kemandirian ekonomi bangsa dalam pemikiran jusuf kalla

advertisement
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
KEMANDIRIAN EKONOMI BANGSA DALAM PEMIKIRAN JUSUF KALLA:
STUDI KASUS PEMBANGUNAN BANDARA INTERNASIONAL SULTAN
HASANUDDIN MAKASSAR 2004-2009
Isto Widodo
Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak
Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar yang dilakukan dengan
prinsip kemandirian bangsa adalah fenomena unik di tengah kebijakan ekonomi yang
neoliberal. Jusuf Kalla adalah orang yang menginisiasi, mengartikulasi dan mengagregasikan
pemikiran kemandirian bangsa dalam proyek tersebut. Meskipun dalam lingkup yang
terbatas, pembangunan ini berhasil mewujudkan pemikiran Jusuf Kalla tersebut. Skripsi ini
menganalisis penerapan pemikiran kemandirian bangsa oleh Jusuf Kalla dalam proyek
tersebut dengan mempertimbangkan dua faktor utama, yaitu: latar belakang sosialisasi Jusuf
Kalla yang membentuk pemikiran kemandirian bangsa tersebut dan kondisi kontekstual yang
memungkinkan penerapan pemikiran tersebut.
Abstract
Building project of Makassar Sultan Hasanuddin International Airport by implementing
national autonomy principe is unique phenomenon in Indonesian neoliberal economic policy.
Jusuf Kalla is the inisiator, articulator and agregator of the implementation that principe on
the project. Although in limited scope, it was succed. This thesis analizing the
implementation of the national autonomy principe in that project by considers two main
factors: political socialization of Jusuf Kalla and contextual situation that made the
implementation being possible in the project.
Key words: Jusuf Kalla, national autonomy, Makassar Sultan Hasanuddin International
Airport
Pendahuluan
Krisis ekonomi pada tahun 1997-1998
menyebabkan perekonomian Indonesia jatuh hingga
berkonstraksi dengan pertumbuhan minus 13%.
Kekuatan sistem ekonomi yang dibanggakan Orde
Baru ternyata tidak mampu menghadapi krisis
tersebut. Restrukturisasi ekonomi Indonesia
dilakukan sebagai bagian dari pembenahan sistem
secara keseluruhan. Sistem. Restrukturisasi sistem
ekonomi Indonesia tersebut secara umum mengikuti
kaidah-kaidah liberalisme seperti yang disarankan
oleh IMF (International Monetary Fund).1 Hal ini
ditandai dengan tiga ciri khusus yaitu deregulasi
dalam berbagai lingkup untuk memudahkan
kegiatan ekonomi, privatisasi BUMN (badan usaha
1
Untuk kasus restrukturisasi Indonesia dengan skema LoI (Letter
of Intent) yang dirancang oleh IMF lihat “Memorandum on
Economic
and
Financial
Policies”.
Sumber:
http://www.imf.org/external/np/loi/103197.htm (diakses pada 3
September 2012 pukul 12.32 WIB).
milik negara/state owned enterprise) dan desubsidi.
Praktik restrukturisasi ekonomi dengan tiga ciri khas
tersebut telah menjadi resep yang diberikan IMF di
berbagai negara.
Kebijakan ekonomi yang sangat liberal ini
membuat tema-tema tentang nasionalisme ekonomi
mengemuka. Bagi pihak yang menamakan diri
pengusung ide nasionalisme, kebijakan ekonomi
Indonesia yang liberal ini sudah melenceng dari
cita-cita ekonomi nasional yang termuat dalam Pasal
33 UUD 1945 (Undang-Undang Dasar 1945).
Liberalisasi dianggap telah menghilangkan karakter
demokrasi ekonomi dan prinsip-prinsip penggunaan
kekayaan alam untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat seperti yang dinyatakan dalam
pasal tersebut. Liberalisasi sistem ekonomi juga
dianggap hanya menuruti kehendak kepentingan
asing untuk menguasai sistem perekonomian
Indonesia. Menurut pihak ini, Indonesia lebih
banyak merugi dalam paket-paket kebijakan
restrukturisasi yang selama ini dilakukan. Selain itu,
1
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
ada kekhawatiran bahwa liberalisasi ekonomi dan
globalisasi akan menekan kelangsungan hidup
sektor Indonesia sehingga makin tergantung pada
asing. Rendahnya penguasaan terhadap sebagian
sektor ekonomi menjadi indikator meningkatnya
ketergantungan terhadp asing tersebut.
Kabinet Indonesia Bersatu I yang dipimpin
Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK)
adalah pemerintahan yang cukup banyak dikritik
karena kebijakan ekonominya yang liberal ini.
Indikatornya adalah terbukanya sistem ekonomi
Indonesia, makin rendahnya perlindungan terhadp
sektor-sektor yang dianggap strategis seperti air,
pangan dan energi, desubsidi dan privatisasi
terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jadi,
meskipun Indonesia telah keluar dari Paket
Kebijakan IMF pada awal Pemerintahan SBY-JK,
kaidah liberalisme tetap diterapkan.
Pembangunan Bandara Internasional Sultan
Hasanuddin Makassar-merujuk pada klaim Jusuf
Kalla-yang dilakukan dengan berprinsip pada
kemandirian bangsa nampak sebagai anomali dari
kebijakan ekonomi yang dianggap terlalu bebas
sesuai dengan mekanisme pasar. Pembangunan
Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar
sendiri adalah proyek infrastruktur yang cukup besar
yang padat teknologi dan padat biaya. Anggaran
yang dialokasikan untuk proyek ini adalah Rp 1,7
triliun yang bersumber dari konsorsium perbankan
nasional yang merupakan BUMN dan dari alokasi
APBN dengan sistem tahun jamak (multi years
budget).
Berangkat
dari
dua
konsep
yang
dipertentangkan—yaitu
liberalisme
dan
nasionalisme ekonomi—yang
tercermin dalam
kebijakan mikro pada proyek yang dibahas dalam
skripsi ini dengan konteks besar kebijakan ekonomi
KIB I inilah penulis ingin melihat prinsip
kemandirian yang dimaksud oleh Jusuf Kalla dan
implementasinya dalam pembangunan Bandara
Internasional Sultan Hasanuddin Makassar. Jadi,
penulis tertarik untuk mengetahui Bagaimanakah
Jusuf Kalla menerapkan prinsip kemandirian
ekonomi bangsa dalam pembangunan Bandara
Internasional Sultan Hasanuddin Makassar?
Berkitan dengan dengan itu, penulis
menjumpai bahwa kajian mengenai pemikiran
politik tokoh kontemporer Indonesia pada periode
waktu pasca Reformasi 1998 hingga saat ini yang
dilakukan dengan metodologi ilmiah dalam lingkup
Ilmu Politik masih sangat sedikit. Kalaupun ada,
kajian dilakukan dengan tidak mengambil perspektif
khusus untuk membedahnya. Sejauh ini, penulis
sedikit sekali menemukan tulisan yang benar-benar
secara sistematis akademis membahas pemikiran
tokoh Indonesia kontempore dalam bidang ekonomi
politik. Salah satunya adalah buku Tanri Abeng
yang berjudul “Indonesia, Inc. : Privatising StateOwned Enterprise”. Buku ini berisi visi dan
langkah-langkah Tanri Abeng dalam menyehatkan
ekonomi Indonesia dengan melakukan privatisasi
BUMN.
Buku-buku lain lebih berupa sejarah atau bahkan
sebatas biografi yang sering menjadi klaim sepihak
kebenarannya. Jenis kedua adalah buku-buku
testimonial yang berisi pujian-pujian tentang tokoh
yang bersangkutan. Diantaranya adalah buku
biografi “Harus Bisa” yang ditulis Dino Patti Jalal
yang memuji seni kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono.
Tulisan mengenai Jusuf Kalla bukan merupakan
perkecualian. Beberapa buku tentang Jusuf Kalla
diantaranya adalah “JK the Real President”,
“Muhammad Jusuf Kalla Membangun Perdamaian:
Berkarya dan Berprestasi” karya Ahmad Shahab,
“Berbekal Seribu Akal Pemerintahan dengan
Logika: Sari Pati Pidato Jusuf Kalla”,
“Kallanomics” karya Herdi Syahrazad dan “Mereka
Bicara JK” yang merupakan kumpulan testimonial
interaksi para tokoh dengan Jusuf Kalla. Semua
tulisan itu disusun dengan format, baik bahasa
maupun bahasan yang populer dan tidak merupakan
hasil tulisan yang disusun dengan rigiditas
metodologi ilmu pengetahuan terutama dalam
perspektif Ilmu Politik. Kallanomics misalnya,
hanyalah semacam analisis bebas yang disajikan
dengan gaya tulisan opini populer dari kebijakankebijakan yang digagas dan dilaksanakan oleh Jusuf
Kalla semasa ia menjabat sebagai pejabat publik,
terutama sebagai wakil presiden Republik Indonesia.
Buku lain yang sifatnya testimonial adalah buku
“Mereka Bicara Tentang JK”. Buku ini menyajikan
testimoni dan tanggapan terhadap interaksi mereka
dengan Jusuf
Kalla. Selain sifatnya lebih
emosional, buku ini juga tidak menyajikan data-data
maupun pendekatan yang diterima secara
metodologis oleh ilmu pengetahuan. Jadi, tidak
banyak yang kita bisa dapatkan dari buku-buku di
atas secara akademis. Namun demikian, paling tidak
buku itu memberikan gambaran mengenai
pemikiran Jusuf Kalla.
Berkaitan dengan itu, sebenarnya memang ada
pesimisme yang berkembang bahwa tokoh-tokoh
politik Indonesia, terutama yang sedang menjabat
tidak mempunyai pemikiran politik yang spesifik.
Hal ini bisa dimaklumi karena: pertama, tokohtokoh politik Indonesia kontemporer jarang sekali
yang menyusun sebuah buku yang menunjukkan
dasar-dasar pemikirannya. Kedua, berkembangnya
pragmatisme di Indonesia yang turut mewarnai
pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh tersebut. Hal ini
berkonsekuensi pada tindakan-tindakan praktis yang
seeringkali tidak mencerminkan dasar ideologi
seseorang.
Oleh karenanya, dapat dimaklumi jika ada
semacam simplifikasi pernyataan dari para
pengamat politik bahwa para tokoh politik tidak
mempunyai pemikiran politik yang khas. Penulis
melihat bahwa pernyataan yang simplistik itu bisa
jadi digunakan untuk menggeneralisasikan berbagai
2
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
fenomena yang berkitan dengan para tokoh itu.
Namun, di sisi lain, hal tersebut seolah mengabaikan
kenyataan bahwa ada kekhasan yang bisa diambil
dari pemikiran-pemikiran para tokoh tersebut.
Untuk itu, penulis berpendapat bahwa diperlukan
sebuah upaya untuk memulai mengkaji pemikiran
tokoh-tokoh politik pasca Reformasi. Tujuannya
untuk memperjelas pemetaan pemikiran tersebut dan
bagaimana faktor-faktor lain berpengaruh terhadap
terlaksana atau tidaknya pemikiran tersebut. Penulis
berharap tulisan ini menjadi awal bagi eksplorasi
tersebut. Pemikiran Jusuf Kalla penulis pilih sebagai
unit analisis karena Jusuf Kalla adalah tokoh politik
yang cukup menonjol pada era pasca Reformasi. Ia
adalah wakil presiden pertama yang mempunyai
peran cukup signifikan dalam pemerintahan. Hal ini
tidak pernah terjadi sebelumnya sejak zaman
Muhammad Hatta.
Sementara pada masalah kesamaan fokus
bahasan, sebenarnya cukup ada referensi yang
membahas mengenai pemikiran nasionalisme
ekonomi yang dipunyai tokoh-tokoh di luar negeri.
Tema nasionalisme ekonomi selalu relevan bahkan
di saat era perdagangan bebas. Pemikiran ini juga
tidak hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh dari negara
berkembang, tetapi juga dari negara-negara maju.
Ada benang merah dari semua bentuk nasionalisme
ekonomi yang dipunyai baik oleh negara maju
maupun negara berkembang yaitu kekhawatiran
terhadap kedaulatan ekonomi dalam negeri di saat
keterbukaan makin masif terjadi. Negara maju
berkepentingan agar keuntungan dari dominasi dan
hegemoni mereka mereka tetap berlangsung dalam
tata ekonomi dunia dan industri dalam negeri
mereka tetap terlindungi. Inilah yang dilakukan oleh
proteksionisme Barrack Obama di Amerika Serikat,
proteksionisme di Jerman dan proteksionisme di
Zona Uni Eropa pada umumnya. Sementara negara
berkembang berusaha keras agar mereka mampu
sejajar dengan negara-negara maju agar tidak selalu
menjadi obyek dalam tatanan dunia baru yang
terglobalisasi. Inilah yang juga terjadi di Indonesia.
Meskipun banyak tulisan yang membahas fokus
kajian yang sama, namun pemikiran ekonomi politik
oleh seorang tokoh tetap merupakan sesuatu yang
khas. Tulisan pemikiran ekonomi politik adalah
usaha untuk menggali sesuatu yang unik dari sebuah
fenomena. Ia akan berbeda antara satu tokoh dengan
tokoh lain meskipun asal dari tokoh unit analisis
berasal dari negara yang sama, apalagi jika tokohtokoh tersebut berasal dari negara yang berbeda.
Lebih khusus mengenai pemikiran kemandirian
ekonomi Jusuf Kalla, sebenarnya Jusuf Kalla sendiri
telah menulis dua buah buku yang membahas hal
tersebut, namun kedua buku tersebut hanyalah berisi
ringkasan-ringkasa pidato Jusuf kalla sendiri yang
disatukan dengan satu topik mengenai kemandirian.
Sistematikannya sendiri tidak mengikuti alur
penulisan ilmiah. Mengingat dua tulisan itu hanya
merupakan pernyataan pemikiran Jusuf Kalla, tidak
ada mekanisme penyelidikan yang secara
metodologis sesuai dengan prinsip keilmuan.
Sementara buku-buku lain juga tidak secara
mendetail membahas pemikiran Jusuf Kalla
mengenai kemandirian atau bahkan hanya bersifat
testimonial seperti telah dikemukakan di muka.
Dari uraian di atas, dalam peta kajian ilmiah
tulisan ini akan mempunyai beberapa fungsi, yaitu
menjadi pelengkap bagi hasil studi yang telah ada
dengan fokus dan lokus yang sama; pada saat yang
sama, tulisan ini juga akan menjadi pengisi bagi
ruang-ruang yang belum diisi oleh hasil kajian lain
mengingat keunikan dan kekhasan yang dimilikinya.
Secara praksis, tulisan ini diharapkan menjadi
bahan referensi bagi gerakan yang mengusung ide
nasionalisme dalam pembangunan ekonomi,
terutama dalam lingkup Indonesia. Sebagaimana
diketahui, setiap gerakan mempunyai pilihan-pilihan
tindakan untuk bertindak. Hal tersebut harus
ditunjang dengan adanya informasi yang cukup
untuk mengelola konsekuensi yang ditimbulkan oleh
sebuah pilihan tindakan.
Metode Penelitian
Pemikiran politik (political thought atau political
theory) menurut A. Rahman Zainuddin adalah
bagian dari Ilmu Politik yang mengkhususkan dalam
penelitian mengenai pemikiran-pemikiran yang
terdapat dalam bidang politik. pemikiran politik
sendiri berkaitan erat dengan persoalan etika,
moralitas dan idealisme politik. 2
Untuk membahas pemikiran politik ada dua
bidang perhatian yang harus dianalisis: pertama,
sosialisasi yang dialami oleh seseorang yang kita
analisis pemikirannya. Menurut Richard Dawson,
sosialisasi adalah suatu bentuk pewarisan
pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan
politik dari agen-agen sosialisasi seperti orang tua,
guru dan sarana-sarana sosialisasi lain kepada obyek
sosialisasi.3
Kedua,
pembahasan
mengenai
pemikiran politik juga harus menekankan fokus
pada konteks atau realitas sosial politik dimana
tokoh yang dianalisa hidup. Perhatian terhadap latar
yang berkaitan dengan waktu dan tempat dimana
sang tokoh mempunyai pemikiran dan kemudian
menuangkan pemikiran tersebut diperlukan karena
hal ini berhubungan erat dengan fakta-fakta sosial
yang kemudian menuntut seseorang untuk
mempunyai sebuah pemikiran politik.
Penelitian mengenai Pemikiran politik seorang
tokoh juga mempunyai ciri khas yaitu upaya untuk
menemukan sesuatu yang khas/unik menyangkut
konstruksi pemikiran tokoh politik yang dimaksud.
Dalam penelitian ini penulis hendak mencapai dua
dua tujuan, yaitu: (1) menemukan konstruksi
Pemikiran Kemandirian Ekonomi Bangsa Jusuf
2
A. Rahman Zainuddin. 1990. Pemikiran Politik dalam Jurnal
Ilmu Politik No.7. Jakarta: AIPI-LIPI-Gramedia. hlm 3.
Richad E. Dawson et al. 1997. Political Socialization. Boston:
Little Brown and Company. hlm 34.
3
3
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
Kalla beserta implementasinya dalam perumusan
kebijakan pembangunan Bandara Internasional
Hasanuddin Makassar; (2) menemukan sebab yang
melatarbelakangi mengapa Jusuf Kalla mempunyai
pemikiran tersebut.
Untuk dua tujuan yang disasar tersebut penulis
menggunakan metode kualitatif mengingat karakter
dari penelitian ini sesuai dengan karakter metode
penelitian kualitatif. Cresswel menyatakan bahwa
metode penelitian kualitatif bertujuan untuk
menemukan sesuatu yang khas dari obyek yang
dianalisis.
Untuk mencapai dua tujuan yang dimaksud di
atas penulis menggunakan metode wawancara
mendalam dan studi pustaka. Wawancara digunakan
sebagai bahan data untuk skripsi ini secara
keseluruhan, sedangkan studi pustaka digunakan
sebagai pelengkap dan pendukung hasil wawancara.
Kerangka Teori
a. Otonomi Relatif Negara
Otonomi negara adalah sebuah konsep yang
mengacu
pada
“Kemandirian
atau
ketidaktergantungan negara terhadap entitas di
luarnya”. Konsep ini antara lain kita temukan dalam
tesis Theda Skocpol dalam bukunya “Negara dan
Revolusi Sosial”. Menurut Skocpol, negara adalah
seperangkat organisasi adminsitrasi, pengambil
kebijakan, dan militer yang dipimpin atau
dikoordinasi oleh suatu otoritas eksekutif. Oleh
karena itu negara tidak bisa dianggap hanya sebagai
arena dari pertarungan dari aktor-aktor politik
sebagaimana diasumsikan oleh pandangan pluralis.
Negara itu sendiri punya kepentingan dan punya
otoritas untuk mencapai kepentingannya tersebut. 4.
Apa yang dimaksud dengan entitas di luarnya
sendiri sebenarnya sangat dilematis; apakah elemenelemen yang ada dalam negara seperti rakyatnya
sendiri adalah entitas di luar negara? Namun dapat
dikatakan bahwa semua ahli memang memisahkan
antara negara sebagai sebuah badan formal memang
harus dipisahkan dengan kesatuan-kesatuan lainnya
termasuk yang sebenarnya ada di dalam negara
tersebut. Bahkan, pada teori-teori yang pluralis tetap
memisahkan negara dengan individu atau kelompok
individu yang ada dalam negara tersebut. John
Locke, misalnya tetap memisahkan entitas negara
dengan civil society yang ada di negara tersebut. Hal
ini untuk menunjukkan bahwa negara adalah aktor
yang bisa berhadapan dengan entitas lain. Jadi,
negara dalam pengertian ini bisa berhadapan dengan
entitas asing maupun berhadapan dengan elemenelemen yang ada di dalamnya yaitu aktor-aktor
politik yang bertarung di dalam negara tersebut.
Nicos Poulantzas setuju dengan adanya otonomi
negara tersebut, namun menurutnya negara tidak
punya kemutlakan otonomi namun otonomi yang
4
Theda Skocpol.2001. Negara dan Revolusi Sosial. Jakarta:
Erlangga. hlm 1-35.
relatif.5 Bagi Poulantzas, Negara adalah arena
berlangsungnya perjuangan politik namun ia sendiri
bukanlah sebuah institusi pasif yang dapat
dikendalikan oleh satu kelas tertentu. Selain itu,
negara juga merupakan lokasi tempat para
aparaturnya melangsungkan pertarungan politik
diantara mereka. Negara punya otonomi namun hal
ini saling bersinggungan dengan otonomi yang
dimiliki oleh kelas-kelas sosial yang lain. Negara
tidak bisa mutlak berada di atas kelas-kelas sosial
tersebut karena sebagai institusi, ia juga punya
kebutuhan terhadap sumberdaya yang dimiliki oleh
kelas-kelas sosial yang tidak bisa direbut oleh
negara secara semena-mena. Disamping itu ada
kenyataan bahwa negara sebagai badan administrasi
juga bukan sesuatu yang monolitik. Aparaturaparatur yang ada di dalamnya juga punya
kepentingan yang membuat mereka saling
memperjuangkan kepentingan tersebut. Dalam relasi
internasional otonomi negara berhadapan dengan
otonomi negara lain. Negara dianggap sebagai
aktor-aktor dalam hubungan yang diikat oleh norma
hukum dan konvensi internasional. Masing-masing
negara memperjuangkan kepentingannya sendiri.
Dalam tatanan globalisasi seperti saat ini,
otonomi negara menjadi sesuatu yang penuh
polemik untuk dikaji. Globalisasi, seperti dikatakan
Anthony Giddens, adalah intensifikasi relasi sosial
yang semakin masif sehingga kejadian di satu
wilayah bisa sangat berpengaruh terhadap daerah
lain yang jauh.6 Kenichi Ohmae melihat bahwa
relasi sosial yang semakin intensif itu makin
mereduksi arti dari negara.7 Arus informasi, barang,
modal, jasa dan manusia yang semakin intensif
membuat batas-batas teritorial menjadi semakin
mengabur.
Dalam
globalisasi
timbul
kosmopolitanisme yang mengakibatkan identitas
politik tradisional menjadi semakin tidak jelas untuk
mengidentifikasi barang, jasa dan manusia.
Namun demikian, tidak semua setuju dengan
pendapat Kenichi Ohmae tersebut. David Slater
menemukan bahwa globalisasi memuat paradoks.
Paradoks utama, menurutnya adalah bahwa
globalisasi secara bersamaan berhasil membuat
integrasi-integrasi dalam sektor ekonomi namun
pada saat yang sama membuat jarak sosial dan
politik antar negara makin menjauh. 8 Ia
menyebutkan bahwa ada kecenderungan masingmasing negara untuk dipersatukan dalam organisasi-
5
Nicos Poulantzas.1973. Political Power and Social Classes.
London: NIB. hlm 72.
6
Anthony Giddens. 2001. Runaway World: Bagaimana
Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Diterjemahkan oleh
Andry Kristiawan S. dan Yustina Koen S. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. hlm 35.
7
Kenichi Ohmae. 1999. Borderless World: Power and Strategy in
the Interlinked Economy. HarperCollins. hlm 63.
8
David Slater.1998. Post Colonial Question for Global Times
dalam Review of International Political Economy 5:4 Winter
1998 hlm 647-678.
4
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
organisasi ekonomi namun pada saat bersamaan
menguatkan kepentingan mereka sendiri.
Pendapat Slater di atas menunjukkan bahwa
otonomi negara dalam globalisasi tetap ada dan
perlu dipertimbangkan. Meskipun demikian,
argumen bahwa globalisasi telah mengaburkan
batas-batas negara juga tetap relevan untuk
menunjukkan bahwa pertukaran informasi, barang,
jasa dan manusia antar negara secara intensif
membuat otonomi negara tidak bisa lagi dilihat
dalam sudut pandang tradisional. Otonomi suatu
negara tidak serta merta mengisolasi otonomi negara
lain atau ketiadaan pengaruh negara lain terhadap
otonomi negara tersebut. Dalam globalisasi
hubungan antar negara telah membuat negaranegara tersebut terikat dalam hubungan yang
interdependen.
b. Nasionalisme Ekonomi
Tema kemandirian sebuah negara tidak lepas
dari konsep nasionalisme apabila dilihat dalam
kerangka relasi dengan negara lain. Kemandirian
atau otonomi nasional dalam berbagai bidang dapat
dianggap sebagai bagian yang sangat penting dari
nasionalisme ekonomi. Konsep ini bahkan sering
dipertukarkan dengan nasionalisme ekonomi itu
sendiri karena tujuan dari nasionalisme ekonomi
adalah mencapai kemandirian itu sendiri. Hal ini
didasarkan pada pendapat Anthony Smith yang
menyatakan bahwa ada tiga faktor fundamental
dalam konsep nasionalisme: yaitu otonomi nasional,
kesatuan nasional dan identitas nasional.9
Nasionalisme sendiri, menurut Smith adalah
ideologi yang memusatkan perhatian pada sebuah
bangsa dan upaya untuk meningkatkan kebaikan
bagi bangsa tersebut.10 Richard Sauers sependapat
dengan
Smith.
Menurut
Richard
Sauers,
nasionalisme adalah ideologi yang mengajarkan
pengabdian secara menyeluruh terhadap sebuah
bangsa.11
Nasionalisme ekonomi, masih menurut Anthony
Smith, adalah salah satu dimensi dari nasionalisme
secara umum.12 Oleh karena itu, untuk memahami
definisi nasionalisme ekonomi, acuan yang dipakai
adalah nasionalisme secara luas sebagaimana
disebutkan di atas. Jadi, nasionalisme ekonomi
adalah sebuah paham yang mengabdikan kegiatan
ekonomi demi kebaikan sebuah negara bangsa.
Dalam kalimat yang lain, menurut Sumitro
Djojohadikusumo, Nasionalisme ekonomi adalah
sebuah konsep yang mengacu pada kedaulatan
sebuah negara bangsa (nation state) dalam dalam
bidang ekonomi.13 Mundrajad Koencoro juga
memakai definisi yang sama dengan yang dipakai
Sumitro Djojohadikusumo. Bagi Mundradjad,
nasionalisme ekonomi adalah kemampuan atau
kedaulatan bagi sebuah Negara untuk melakukan
pengaturan ekonomi politik di dalam negeri
sendiri.14
Sebagai salah satu dimensi dari nasionalisme
secara umum, nasionalisme ekonomi juga
mempunyai tiga faktor mendasar tersebut. Dengan
demikian nasionalisme ekonomi didasari oleh
politik identitas dalam mewujudkan otonomi dalam
sektor ekonomi pada negara-bangsa yang dimaksud.
Mundradjad
Kuncoro
membagi
nasionalisme ekonomi Indonesia dalam dua titik
ekstrim yaitu kelompok moderat dan kelompok
nasionalis. Kelompok moderat dicirikan oleh
penerimaan mereka terhadap interfensi asing dalam
skala tertentu, misalnya masuknya modal asing.
Kelompok ini tidak anti asing namun tetap
mengusahakan pemberdayaan pengusaha pribumi.
Menurut Mundradjad, ini adalah ciri pemerintahan
teknokratis. Contoh dari nasionalisme ekonomi
moderat adalah Soemitor Djojohadikusumo dengan
Rencana Urgensi Pembangunan pada tahun 1951.
Kebijakan serupa juga diambil oleh pemerintahan
Orde
Baru. Orde Baru selalu menekankan
pentingnya modernisasi ekonomi dengan mengikuti
pola kemajuan Rostow dengan membuka diri
terhadap arus investasi asing untuk memberdayakan
sistem ekonomi dalam negeri.
Sedangkan kutub lain adalah nasionalis radikal.
yang menekankan pentingnya memajukan bisnis
para
pengusaha
pribumi,
menasionalisasi
perusahaan asing sebagai upaya membebaskan diri
dari kekangan imperialis, dan meningkatkan peranan
badan usaha milik negara (BUMN) untuk
membangun industri nasional. Contoh kutub ini
adalah Program Benteng yang diluncurkan oleh
Djuanda saat menjadi Perdana Menteri pada tahun
1956. Program Benteng seperti diketahui adalah
sebuah program untuk menasionalisasi perusahaanperusahaan asing, terutama perusahaan-perusahaan
milik Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia.
Pemikiran Soekarno pada dekade 1960-an juga
mewakili kelompok nasionalis ini. Soekarno dalam
bidang ekonomi terkenal dengan semboyan,”Go to
Hell with Your Aids (persetan dengan bantuanmu)!”
pada masa itu. Menurut Soekarno, bantuan utang
dari Negara-negara neo kolonialisme adalah upaya
untuk menjajah sistem ekonomi dan politik
Indonesia15.
13
9
Anthony D Smith. 2010. Nationalism 2nd ed.Cambridge: Polity
Press. hlm 9.
10
Ibid.
11
Richard Sauers, PHD.2010. Key Concept in American History:
Nationalism. New York: DWJ Books LLC. hlm 1.
12
Anthony D Smith. Nationalism 2nd ed. Op. Cit., hlm 10.
Soemitro. 1951. Rencana Urgensi Perekonomian. Diunduh dari
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8606/ (diakses Senin,
26 Maret 2012 pukul 11.21 WIB).
14
Mundrajad Kuncoro. 1997. Ekonomi Pembangunan : Teori,
Masalah dan Kebijakan.Yogyakarta; UPP AMP YKPN.
15
Cindy Heller Adams. Sukarno: An Autobiography.
Indianapolis: Bobbs-Merrill. hlm 223.
5
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
c. Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik menurut Easton dan Dennis
adalah sebuah proses dimana seseorang memperoleh
orientasi politik.16 Pendapat Althoff dan Rush
sejalan dengan pendapat ini, ia menyatakan bahwa
sosialisasi
politik
adalah
suatu
proses
memperkenalkan sistem politik pada seseorang
sehingga hal tersebut membentuk sikap dan perilaku
bagaimana orang tersebut menanggapi atau bereaksi
terhadap gejala-gejala politik.17 Sosialisasi politik
ditentukan oleh berbagai faktor yang menjadi latar
belakang dimana orang tersebut mengalami
sosialisasi seperti lingkungan sosial, ekonomi, dan
kebudayaan di mana individu berada serta interaksi
dengan pengalaman-pengalaman yang dialami orang
tersebut. Menurut Almond , ada dua hal yang perlu
diperhatikan dalam sosialisasi politik, yaitu:18
(a)Bahwa sosialisasi politik adalah sebuah proses
yang berlangsung lama dan terus menerus; (b)
Sosialisasi politik dapat berlangsung melalui
transmisi langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung jika secara eksplisit melibatkan
komunikasi, informasi, pandangan atau nilai-nilai
politik. Secara tidak langsung jika beberapa hal
tersebut disampaikan dilakukan secara implisit
melalui media antara.
Masih menurut Athoff dan Rush ada beberapa
metode dalam sosialisasi politik yaitu: (1) imitasi
atau proses peniruan dari agen sosialisasi oleh
pelaku sosialisasi. Contohnya adalah anak-anak
yang meniru orang tuanya dalam menanggapi dan
menyampaikan pendapat terhadap fenomena politik;
(2) instruksi atau perintah. Pada metode ini pelaku
sosialisasi diarahkan atau dikondisikan untuk
melakukan atau menyerap apa yang diinginkan
seseorang yang menjadi agen sosialisasi; (3)
Motivasi,
yaitu
sebuah
metode
untuk
mengkondisikan pelaku sosialisasi agar terdorong
atau terpacu untuk mempunyai sikap atau orientasi
politik tertentu. Motivasi didasarkan pada
internalisasi kepentingan pelaku sosialisasi yang
terkait dengan orientasi politik tertentu.
Ada 6 agen sosialisasi politik yang disebutkan
oleh Gabriel Almond, diantaranya: keluarga,
sekolah, peer group (kelompok pertemanan),
pekerjaan,media masa dan kontak-kontak politik
langsung.19
Rekam Jejak Jusuf Kalla
Jusuf Kalla adalah anak tertua pasangan Hadji
Kalla dan Hj Ahthirah. Hadji Kalla adalah seorang
pengusaha yang mengawali usaha dari berjualan
16
David Easton and Jack Dennis. 1969. Children in the Political
System: Origins of Political Legitimacy. New York: McGrawHill. hlm 122.
17
Phillip Athoff and Michael Rush. 1971. An Introduction to
Political Sociology. Melbourne: Thomas and Nelson. hlm 20.
18
Gabriel A. Almond. 1974. “ Political Socialization and Cultur”
dan Political Participation dalam Comparative Politics Today,
Boston: Little, Rown and Company. hlm 34.
19
Ibid., hlm 49.
tekstil di pasar sentral Watampone. Ia lahir di
Watampone, Ibukota Kabupaten Bone, Provinsi
Sulawesi Selatan pada tanggal 25 Mei 1942. Ibunya,
Hj Athirah adalah ibu rumah tangga yang diingat
oleh Jusuf Kalla sebagai orang yang penyabar, setia
dan punya kepedulian sosial tinggi.20 Orientasi
dalam agama menjadi nilai utama yang dipegang
oleh Hadji Kalla dan Athirah. Prinsip-prinsip agama
dalam muamalah juga diajarkan oleh Hadji Kalla
dan Athirah dalam pekerjaannya. Hadji Kalla
misalnya tidak memperbolehkan adanya pegawai
perempuan karena alasan aturan Islam dalam
pergaulan yang melarang laki-laki dan perempuan
bercampur. Aturan tak tertulis ini dipertahankan
hingga akhir kepemimpinannya di NV Hadji Kalla.
Kedua, Hadji Kalla dan Athirah juga melarang sama
sekali anak-anaknya berusaha di bidang perhotelan
juga karena dianggap berlawanan dengan anjuran
Islam. Menurut Hadji Kalla, dalam bisnis perhotelan
seringkali bersentuhan dengan perdagangan
minuman keras yang dilarang oleh agama. Cara
Hadji Kalla dan Athirah mendidik anak-anaknya di
bidang agama tidak hanya melalu indoktrinasi yang
bersifat verbal, tetapi juga dengan teladan yang
langsung dipraktikkan. Cara pengajaran dalam
bidang ini amat disiplin, dalam urusan agama Hadji
Kalla dan Athirah tak kenal urusan tawar menawar.
Jusuf Kalla juga diajarkan hidup sederhana oleh
ibunya sesuai perintah agama. Keluarga Kalla
adalah keluarga pebisnis yang termasuk keluarga
paling kaya di Makassar, tetapi mereka membangun
rumah dan mempunyai gaya hidup dengan prinsip
tidak melebihi kemewahan tetangga-tetangganya.21
Orientasi keagamaan yang kuat inilah yang
membuat Hadji Kalla menginginkan anak-anaknya
terutama Jusuf Kalla menjadi guru agama.
Oleh Jusuf Kalla apa yang diajarkan oleh orang
tuanya itu kemudian dipraktikkan
secara
berkelanjutan dan konsisten hingga kini, baik dalam
kehidupan sosial, politik maupun berbisnis, kecuali
untuk beberapa hal yang dianggapnya sudah tidak
sesuai dengan perkembangan zaman. Urusan zakat
tidak pernah ia tinggalkan sama sekali, bahkan pada
saat bisnisnya merugi. Jusuf Kalla juga meneruskan
upaya ayahnya di bidang sosial seperti menjadi
bendaharawan Masjid Raya Makassar, mengurus
yayasan-yayasan pendidikan dan kemudian juga
mengurus Yayasan Al-Markaz. Dalam berbisnis,
Jusuf Kalla juga memegang prinsip-prinsip yang
diwariskan oleh orang tuanya. Ia menjadikan
bisnisnya sebagai sarana ibadah, bukan semata-mata
kegiatan ekonomi. Jusuf Kalla juga masih
meneruskan batasan-batasan nilai Islam yang
diwariskan oleh kedua orang tuanya.
Nilai-nilai agamis keluarga Kalla sebenarnya
tidak bisa dilepaskan dari karakter sosial masyarakat
20
Taufik Adi Susilo. 2009. Membaca JK: Biografi Singkat Jusuf
Kalla. Yogyakarta: Penerbit Garasi. hlm 13.
21
Husain Abdullah, Neneng Herbawati dan Andi Suruji., Op Cit.
hlm 7.
6
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
Bugis. Menurut Christian Peltras, Sistem dan norma
serta aturan-aturan adat Bugis yang dikenal dengan
pangngadereng yang terdiri dari lima unsur pokok,
yaitu ade’, bicara, rapang, wari, dan sara sarat
dengan ajaran untuk bekerja keras dan
mempertahankan nama baik serta kepatuhan
terhadap agama.22 Sara, konsep terakhir dalam lima
unsur pangngadereng yang dimaksud di sini adalah
syariah Islam. Jadi, sebagaimana sistem sosial
budaya Minangkabau yang menyatakan adat
basandi syara’ (adat bersendikan syariah),
masyarakat Bugis juga memasukkan syariah dalam
sistem sosial budaya mereka.
Selain soal agama, Jusuf Kalla juga dididik oleh
Hadji Kalla menjadi pebisnis. Sejak kecil Jusuf
Kalla sudah diajari teori dan praktik berbisnis
meskipun dengan jalan informal. Jusuf Kalla kecil
sering diajak ikut dalam perundingan-perundingan
bisnis dan rapat-rapat organisasi kemasyarakatan.
Menurut Jusuf Kalla, itu cara ayahnya mendidiknya
mengenai negosiasi, organisasi dan kepemimpinan.
Dari keseluruhan praktik kegiatan bisnis ayahnya ia
juga belajar mengenai kerja keras, keuletan,
rasionalitas dalam berusaha sekaligus kejujuran dan
prinsip penerapan nilai Islam yang keras. Hadji
Kalla memang seorang pebisnis sejak usia masih
sangat muda. Ia mulai berdagang dengan membuka
toko kelontong pada usia 15 tahun di Pasar
Wattampone. Setahun kemudian ia sudah berhasil
mengumpulkan uang dari keuntungannya untuk
dipergunakan sebagai biaya ibadah haji. Setahun
berikutnya ia sudah berani meminang Athirah.
Hadji Kalla menerapkan prinsip aturan Islam
yang keras dalam bisnisnya. Ia menganggap bisnis
adalah ibadah sehingga tidak boleh melanggar
aturan agama. Beberapa aturan bahkan tak lazim
bagi seorang pengusaha yang logikanya seharusnya
mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya seperti:
(1) tidak mau berdagang beras karena dianggapnya
sama dengan menimbun kebutuhan pokok; (2) tidak
mau membuka usaha perhotelan karena berkaitan
dengan penjualan minuman keras; (3) tidak mau
memperkerjakan perempuan karena perempuan dan
laki-laki tidak boleh bercampur di lingkungan kerja;
dan (4) melarang utang (kredit) pada bank dalam
berusaha karena dianggap riba.23
Karier pertama Jusuf Kalla dalam bisnis dimulai
pada waktu ia masih sangat muda. Selain diajak
mengikuti perundingan-perundingan bisnis ayahnya,
ia juga praktik langsung mengawasi kasir toko
ayahnya pada umur 8 tahun. Ia juga sering diajak ke
Makassar untuk berdagang hasil bumi. Karier
sebagai magang pebisnis secara tidak resmi
disematkan oleh ayahnya. Namun, ia belum benarbenar mengurus perusahaan sampai pada tahun 1967
ketika ayahnya menyerahkan bisnis keluarga
22
Christian Peltras. 1996. The Bugis. Oxford :Blackwell
Publisher.
23
Husain Abdullah, Neneng Herbawati, Andi Suruji. Op. Cit.,
hlm. 9-21.
tersebut secara resmi kepadanya. Ketika itu bisnis
keluarganya sedang jatuh karena krisis ekonomi
pada tahun 1965-1966.
Dalam kepemimpinan Jusuf Kalla, bisnis
keluarganya bangkit lagi. Semua disebabkan oleh
kemampuan Jusuf Kalla melihat peluang dan
memanfaatkannya sebaik mungkin. Ia mulai
mendirikan PT Bumi Karsa pada tahun 1967 untuk
menjawab respon pemerintah yang hendak memacu
pembangunan. Selanjutnya ia menjadi pengimpor
pertama Mobil Toyota semi knock down dari Jepang.
Setelah itu bisnisnya terus berkembang dalam
banyak bidang. PT Bukaka Teknik Utama yang
didirikannya terus mengembangkan bisnis hingga
memasuki wilayah komunikasi, pompa angguk
tambang minyak dan lain-lain. Namun, pada
perjalanan selanjutnya PT Bukaka Teknik sangat
terkenal sebagai pembuat garbarata (gangway) yaitu
alat penghubung antara pesawat dan ruang tunggu
terminal bandara. Bidang bisnis yang ditekuninya
juga melebar ke banyak bidang seperti transportasi
laut, eskpor impor hasil bumi dan lain-lain. Secara
pribadi, kesuksesan ini juga menghantarkan Jusuf
Kalla dikenal sebagai tokoh pengusaha ternama dari
KTI. Julukannya, “pangeran bisnis dari timur” atau
ada juga yang menyebut, “ayam jantan dari timur.”
Hal itu mengantarkannya sebagai kepala Kamar
Dagang dan Industri Daerah Sulawesi Selatan
(Kadinda Sulsel) dan berbagai jabatan lainnya.
Jusuf Kalla melakukan duplikasi dengan hanya
sedikit penyesuaian. Pertama, Jusuf kalla
menerapkan prinsip kerja keras, pintar melihat dan
memanfaatkan peluang, realistis, pantang menyerah
dan berpikir jauh ke depan; Kedua, ia juga
menganggap pekerjaannya sebagai ibadah sehingga
batasan-batasan nilai Islam tetap dipertahankannya
kecuali beberapa hal seperti mau menerima pegawai
perempuan. Ketiga, Jusuf Kalla menerapkan prinsipprinsip sosial dalam kegiatan bisnisnya. Ia tidak
hanya melihat bisnis sebagai alat untuk mencapai
keuntungan pribadi, tetapi juga untuk kepentingan
karyawan dan sebanyak-banyak orang. Ia juga
dikenal sangat peduli dengan kemajuan Kawasan
Timur Indonesia. Contohnya adalah pada saat krisis
ekonomi ia menolak untuk memecat 1500
karyawannya demi alasan kemanusiaan. Padahal,
Direktur Operasinal dan Keuangannya menyatakan
bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk terus
bertahan (survive) pada masa krisis. Saat menjabat
sebagai Ketua KADINDA Sulawesi Selatan, ia
berusaha memajukan petani-petani di daerahnya
dengan rajin menghubungkan petani, pengusaha dan
pemerintah daerah agar produktifitas pertanian serta
pemasaran produk pertanian Sulawesi Selatan maju.
Ini dilakukan pada dekade 1980-an. Pada saat itu
Jusuf Kalla belum punya usaha di bidang agribisnis.
Hal yang sama terjadi pada proyek Pembangkit
Listrik Tenaga Air di Poso, Jusuf Kalla tetap
melanjutkan proyek ini meskipun kondisi Poso
masih sering dilanda konflik. Ia mengatakan bahwa
7
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
proyek ini penting karena akan membuka lapangan
kerja bagi penduduk Poso. Menurutnya, konflik di
Poso terjadi karena ketiadaan lapangan kerja. Untuk
itu, ia mengalokasikan hampir semua bidang
pekerjaan pembangunan tersebut pada penduduk
Poso meskipun sebelumnya banyak dari mereka
yang tidak terdidik. Jusuf Kalla tak segan
memberikan bekal keterampilan terlebih dahulu
pada penduduk setempat untuk kemudian
dipekerjakan dalam proyek tersebut.
Kemandirian Ekonomi Bangsa Dalam Pemikiran
Jusuf Kalla
Pembahasan mengenai ini dimulai dari kutipan
testimonial Ponco Sutowo mengenai Jusuf Kalla.
Kutipan ini menurut penulis sangat penting sebagai
pintu masuk untuk memahami seluruh konstruksi
pemikiran Jusuf Kalla mengenai kemandirian
ekonomi. Ponco Sutowo mengatakan:
“Jusuf Kalla berhasil membawa pola pikir
pengusaha untuk diaplikasikan demi kebaikan
nusa dan bangsa.” 24
Pernyataan itu memberi petunjuk pada kita
bahwa pola pikir Jusuf Kalla adalah pola pikir
pengusaha: logika yang dipakai oleh Jusuf Kalla
adalah logika pengusaha. Masih menginduk pada
testimoni Ponco Sutowo ada beberapa hal utama
yang berkaitan dengan pola pikir pengusaha
(kewirausahaan) yang dimaksud oleh Ponco
Sutowo: pertama, Ponco Sutowo mengatakan bahwa
seorang wirausaha adalah seorang pemimpin
(leader);
Kedua,
bahwa
kewirausahaan
(entrepreneurship) adalah sebuah upaya untuk
memberdayakan segala sumberdaya yang ada;
ketiga, pemberdayaan yang dimaksud harus
dilaksanakan dengan prinsip kemandirian; keempat,
tentu saja, kesemua hal tersebut dilakukan untuk
mencapai sebuah tujuan. Untuk memperjelas
kalimat itu, secara ilustratif, apa yang dimaksud oleh
Ponco Sutowo dapat digambarkan pada bagan
sebagai berikut:
Kewirausahaan
Lingkungan Luar
sumberday
a
Tujuan
Bernegara
sumberday
a
sumberday
a
Gambar 2:Logika Pemikiran Jusuf Kalla
Jusuf Kalla mempraktikkan kerangka logika
seperti itu baik ketika menjadi seorang aktifis,
pebisnis hingga menjadi seorang pejabat publik.
24
Melihat latar belakang Jusuf Kalla, diperlukan
sebuah transformasi identitas yang intensif dari
seorang pebisnis menjadi seorang pejabat publik.
Selama ini ada pesimisme yang berkembang di
Indonesia bahwa masuknya pengusaha dalam politik
Indonesia merugikan politik dan demokrasi di
Indonesia. Pengusaha dianggap hanya berusaha
untuk mencari rente dalam sistem politik Indonesia
sesuai dengan sifat khasnya untuk mengejar
keuntungan pribadi (individual interest pursuit).
Dalam konteks Jusuf Kalla, transformasi ini tidak
berjalan secara instan tetapi berlangsung dalam
jangka waktu yang lama. Hal ini bisa dilihat pada
rekam jejak Jusuf Kalla yang diuraikan di atas.
Masuk dalam pemikiran kemandirian ekonomi
bangsa, ada beberapa aspek yang perlu dikupas dari
prinsip kemandirian ekonomi dalam konteks Bangsa
Indonesia. Aspek pertama adalah aspek kesejarahan
yang menyertai pembentukan semangat tersebut.
Aspek kedua adalah aspek geneaologi teori dari
pemikiran tersebut. Keduanya menjadi penting
untuk melihat bagaimana pengaruh fakta
kontekstual dan pengaruh latar belakang pemikiran
saling berkaitan dalam membentuk alam pemikiran
para tokoh Indonesia. Pada sisi kesejarahan,
pemikiran ini merupakan reaksi dari fakta yang
dialami oleh Bangsa Indonesia selama berabadabad. Pemikiran ini adalah reaksi dari inferioritas
ekonomi Indonesia akibat kolonialisme negaranegara Eropa di Nusantara yang kemudian
dilanjutkan oleh Jepang pada tahun 1942-1945.
Kolonialisme menjadikan Indonesia kehilangan
keberdayaan dalam bidang ekonomi karena hampir
semua faktor produksi dan sistem ekonomi dikuasai
dan semata-mata diarahkan untuk kepentingan
asing.
Dampaknya
terasa
ketika
Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya. Kemerdekaan
politik tidak didukung oleh modal yang cukup
dalam sektor ekonomi. Sejarah mencatat bahwa
setelah merdeka, sistem ekonomi Nasional
Indonesia masih memakai sistem ekonomi kolonial.
Indonesia bahkan tidak punya penguasaan yang
cukup baik dalam sistem ekonomi tersebut, baik
dalam pengertian negara maupun pengertian
kekuatan borjuisnya. Hampir semua proses produksi
dikuasai oleh asing mulai dari perkebunan,
pertambangan, transportasi laut, energi dan
sebagainya. Indonesia tercatat hanya mempunyai
kemampuan kecil yang tidak signifikan dalam hal
distribusi domestik dan pertanian pangan. Itupun
dalam proporsi yang tidak cukup baik karena
mobilisasi intensif untuk kepentingan penjajahan
Jepang pada masa sebelumnya.
Pada saat yang sama pengaturan ekonomi
internasional mulai intensif dilakukan untuk
menjaga keseimbangan ekonomi dunia dengan
adanya mekanisme perjanjian Bretton-Woods sejak
Fenty Effendy et al (eds.) Op. Cit., hlm 63.
8
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
tahun 1944.25 Bretton-Woods sendiri semula terbatas
pada upaya bersama untuk mengatasi dampak
Perang Dunia II di Eropa, terutama Eropa Barat;
Namun kemudian, skalanya meluas ke seluruh
dunia. Persaingan dua ideologi, Liberalisme dan
Sosialisme,
turut
memberikan
sumbangan
internasionalisasi berkaitan dengan upaya perluasan
pengaruh masing-masing blok.
Tahapan selanjutnya dari tatanan ekonomi dunia
adalah Globalisasi ekonomi yang mulai sangat
intensif terjadi sejak pertengahan pertama dekade
1980 dengan dimulai mendunianya teknologi
internet. Kemenangan liberalisme atas sosialisme
dengan runtuhnya Uni Sovyet membuat pasar bebas
semakin melembaga dalam relasi antar bangsa.
Salah satu peristiwa yang paling nyata untuk
menunjukkan dampak pengaruh globalisasi versi
terbaru ini dalam konteks Indonesia adalah peristiwa
krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Kemudahan
arus masuk dan keluar modal, barang, jasa dan
manusia dalam globalisasi menghancurkan fondasi
ekonomi yang telah dibangun sebelumnya di masa
Orde Baru.
Dalam konteks seperti itulah pemikiran
kemandirian ekonomi bangsa Jusuf Kalla muncul
dan
diimplementasikan.
Secara
ontologis
sebenarnya pemikiran kemandirian ekonomi bangsa
Jusuf Kalla tidak berbeda secara mendasar dengan
konsep kemandirian bangsa yang ada dalam
pemikiran tokoh Indonesia yang lain, yaitu sebuah
upaya untuk mencapai kedaulatan dalam bidang
ekonomi. Jusuf Kalla mengatakan:
“Kita ini memang bangsa yang sangat
tergantung. Kenapa kita ini menjadi
tergantung? Apa-apa minta bantuan orang
asing, membangun bandara minta bantuan
asing. sudah 60 tahun negeri ini merdeka,
bangun bandara pun tidak bisa. Seharusnya
tidak boleh lagi ada campuran tangan asing.
semua harus dengan otak Indonesia, tangan
Indonesia, uang Indonesia.” 26
Namun Jusuf Kalla juga menyadari keterbatasan
sumberdaya internal Indonesia untuk bisa secara
total membangun dirinya:
“Saya katakan keluarkan dari kamus anda
istilah minta bantuan asing….terkecuali
untuk keperluan supervisi yang terbatas”
Pada bagian lain Jusuf Kalla menegaskan
perlunya
mempertimbangkan
lingkungan
internasional dalam upaya menegakkan kemandirian
ekonomi tersebut. Dengan demikian, karakter
pemikiran kemandirian ekonomi bangsa dalam
pemikiran Jusuf Kalla dapat dijelaskan sebagai
berikut: Pertama, kemandirian ekonomi bangsa
tersebut merupakan idealisme Jusuf Kalla. Ia
menjadi kerangka besar bagi seluruh upayanya
25
Ahmad Erani Yustika. 2009. Ekonomi Politik: Kajian Teoritis
dan Analisis Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm 72.
26
Jusuf Kalla.2009. Membangun Bangsa Dengan Kemandirian
Ekonomi. Jakarta: Focus Grahamedia. hlm xxxvii.
dalam merumuskan kebijakan ekonomi. Kedua,
namun demikian kemandirian ekonomi bangsa
dalam pemikiran Jusuf Kalla adalah merupakan
hasil perhitungan rasionalnya terhadap konteks yang
ia hadapi. Ketiga, meskipun ia merupakan kondisi
ideal yang ingin dicapai, namun idealisme
kemandirian yang dimaksud di atas adalah
kemandirian yang historis. Artinya, kemandirian
ekonomi yang dimaksud berpijak pada kondisi
faktual yang ada dan tidak berusaha mengeksklusi
diri dari kondisi faktual tersebut. Globalisasi di
lingkungan eksternal yang diadopsi Indonesia dan
berbagai faktor internal menjadi faktor yang sangat
berpengaruh dalam hal ini. Rasionalitas Jusuf Kalla
menyatakan bahwa tidak mungkin mengisolasikan
diri dari tata dunia yang saat ini berlaku. Pada
pengertian ini, kemandirian ekonomi yang dimaksud
memang tidak bisa terjadi secara menyeluruh dan
masif pada segala sektor namun bisa parsial dalam
satu atau beberapa sektor. Hal ini tergantung dari
relasi antara upaya perwujudan kemandirian
ekonomi yang digagas dengan kondisi faktual
tersebut. Adanya konformitas terhadap kondisi
faktual (keadaan, nilai dan sebagainya) membuat
Jusuf Kalla sering dianggap sebagai orang yang
pragmatis. Padahal sebenarnya, apa yang dilakukan
Jusuf Kalla harus dilihat dalam kerangka besar
pemikirannya, bukan terhenti pada tindakan teknis
dan strategisnya semata.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pemikiran
Jusuf Kalla mengenai kemandirian ekonomi masuk
dalam tipe kedua dari dikotomi nasionalisme
ekonomi menurut Mundrajad Kuncoro yaitu tipe
moderat. Variasi memang benar terjadi sesuai
dengan konteks yang menjadi lingkungan tindakan,
namun tidak signifikan berbeda dengan apa yang
dimaksud dengan tipe moderat nasionalisme
ekonomi tersebut.
Khusus mengenai pragmatisme yang sering
dituduhkan oleh berbagai pihak terhadap Jusuf
Kalla, penulis merasa perlu membahas hal ini untuk
memperjelas posisi Jusuf Kalla. Dalam berbagai
kesempatan, Jusuf Kalla memang menunjukkan
pragmatisme tersebut, termasuk dalam upaya
mencapai kemandirian bangsa tersebut. Pada suatu
kesempatan Jusuf Kalla mengatakan:
“Kita membangun Bandara Surabaya (dengan
bantuan asing) yang hampir sama dengan
Bandara Makassar, biaya yang di Makassar
hanya setengahnya. Mungkin yang di Makassar
tidak sangat rapi, tetapi tidak apa-apa, yang
penting pesawat mendarat dengan baik, memakai
AC (pendingin udara-pen) enak, tidak usah
terlalu nyaman pun tidak apa. Yang penting,
fungsi-fungsi yang diperlukan bisa jalan.” 27
Namun hal itu juga mengkonfirmasikan tesis
yang penulis ajukan di atas. Pertama, pragmatisme
itu bukan berada dalam tataran filosofis tetapi ada
27
Ibid., hlm xxxvii.
9
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
dalam tataran strategis dan teknis. Dalam tataran
filosofis, Jusuf Kalla tetap berpegang pada nilai dan
tujuan ideal yang ia yakini. Kedua, pragmatisme itu
harus dimaknai sebagai jalan yang paling mungkin
untuk mencapai tujuan ideal berdasarkan konteks
yang ada. Jusuf Kalla menghadapi keterbatasan
kemampuan internal untuk melakukan pekerjaanpekerjaan tertentu. Namun, menyerahkannya kepada
asing akan berakibat lebih buruk yaitu tiadanya
kesempatan untuk mencoba dan akibatnya adalah
ketergantungan kepada asing. Oleh karena itu, Jusuf
Kalla berpendapat bahwa harus ada insentif khusus
untuk menciptakan kesempatan bagi sumberdaya
domestik tersebut. Bagi Jusuf Kalla menyerahkan
semua pada asing adalah sesuatu yang justru
bertentangan dengan idealismenya. Ia mengatakan:
“…tetapi kalau orang luar berhasil, keuntungannya
dibawa keluar.”28
Sebagaimana dinyatakan oleh Anthony Smith
yaitu bahwa ada 3 (tiga) faktor fundamental dari
definisi nasionalisme, yaitu otonomi nasional,
kesatuan nasional dan identitas nasional. Otonomi
nasional yang dimaksud adalah kendali negara atas
sistem ekonomi dan kebijakan-kebijakan yang
dilaksanakannya yang ditujukan untuk kepentingan
nasional. Kesatuan nasional yang berarti ada ikatan
kebersamaan berdasarkan identitas nasional untuk
mewujudkan hal tersebut. Kesatuan nasional ini
adalah wujud dari romantisme ekonomi antara
negara dan elemen-elemen terkait di dalamnya.
Yang ketiga, identitas nasional adalah sebuah acuan
dalam membuat segregasi antara kelompok sendiri,
baik aktor maupun lembaga dengan kelompok, baik
aktor maupun lembaga, luar. Dimensi ketiga ini
menjadi faktor yang paling menentukan sebagai
acuan untuk menilai apakah sebuah kebijakan dapat
dimasukkan dalam tipe nasionalisme ekonomi.
Jika diuji dalam pemikiran Jusuf Kalla maka bisa
dilihat kesesuaiannya. Pertama, Jusuf Kalla
mengatakan bahwa Indonesia harus mampu
melaksanakan pembangunan dengan mandiri:
“Namun Satu hal yang menjadi kelemahan kita
adalah ketergantungan pada pihak asing. Hal
seperti ini harus kita akhiri.”29 Hal yang menarik,
kemandirian yang dimaksud Jusuf Kalla tidak hanya
berada dalam tataran teknis, tetapi masuk dalam
tataran yang lebih dalam: suprastruktur. Jusuf Kalla,
dengan dipengaruhi oleh rasionalitasnya, menyerang
konsep-konsep pembangunan yang diajukan oleh
pihak asing. Jusuf Kalla, misalnya, memprotes
konsep kemiskinan absolut yang dinyatakan oleh
Bank Dunia. Jusuf Kalla pada kesempatan lain juga
tidak menghiraukan masukan dari International
Monetary Fund (IMF) bahwa program bantuan
langsung tunai (BLT) menurut pengalaman di
Amerika Latin bisa dilakukan minimal dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sampai satu tahun,bukan 2
(dua) bulan. Namun Jusuf Kalla mengatakan bahwa
ia lebih tahu mengenai negaranya dibandingkan
dengan IMF.30 Ia mengatakan: “This is my country,
not your country (ini Negara saya, bukan Negara
anda”).31
Dalam faktor fundamental yang kedua yaitu
kesatuan nasional, Jusuf Kalla bersikap idealis di
satu sisi dan realistis di sisi lain. Idealisme Jusuf
Kalla didasari oleh romantisme nasionalisme yang
integralistik dimana aktor-aktor Negara, swasta dan
masyarakat dianggap berkomitmen terhadap
kepentingan Negara secara keseluruhan. Sedangkan
realisme Jusuf Kalla dibentuk oleh rasionalitas
dalam pemikirannya
yang
dibentuk
oleh
sosialisasinya sebagai pebisnis. Rasionalitas ini
menjadi dasar untuk menilai apakah identitas yang
ada punya nilai kebermanfaatan bagi Indonesia dan
menilai apakah globalisasi yang berlaku memberi
kondisi yang menguntungkan bagi tercapainya
tujuan bernegara atau tidak.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa identifikasi aktor adalah bagian inheren
dalam pemikiran kemandirian ekonomi bangsa Jusuf
Kalla. Meskipun demikian faktor kebermanfaatan
bagi bangsa tetap merupakan faktor signifikan
dalam pemikiran Jusuf Kalla mengenai hal ini.
Pemilihan faktor manfaat ini harus dilihat dalam
kerangka besar, yaitu upaya untuk mencapai
kemajuan dan kesejahteraan Indonesia yang
dikaitkan dengan konteks tatanan internasional yang
sudah mengalami globalisasi.
Selanjutnya menarik untuk melihat bagaimana
Jusuf Kalla memandang relasi-relasi antar elemen
dalam upaya mewujudkan kemandirian ekonomi
bangsa tersebut. Pertama, penyelidikan mengenai
hal ini akan membawa pada penjelasan mengenai
eksistensi dan fungsi negara dalam pemikiran Jusuf
Kalla. Kedua, penyelidikan ini juga akan
menjelaskan relasi-relasi yang terjadi antara negara
dengan elemen di dalamnya serta antar elemenelemen tersebut. Ketiga, kedua poin di atas akan
membawa pada penjelasan teoritis mengenai
eksistensi dan genealogis pemikiran Jusuf Kalla
mengenai kemandirian ekonomi bangsa ini.
Pemikiran Jusuf Kalla menjelaskan bahwa
negara punya dua identitas dalam hubungannya
dengan elemen-elemen di dalamnya. Negara pada
satu sisi dianggap sebagai adalah perwujudan dari
perpaduan elemen-elemen di dalamnya yang
ditandai dan diikat oleh satu identitas. Negara adalah
wujud kesatuan identitas yang meskipun terdiri dari
banyak elemen namun tidak terpisahkan satu dengan
lain. Pada pengertian ini, swasta nasional,
masyarakat umum, lembaga Negara dan seterusnya
bisa dianggap sebagai representasi dari negara,
tergantung pada konteks yang dihadapi. Swasta
domestik, misalnya, dalam pemikiran Jusuf Kalla,
28
Wawancara dengan Jusuf Kalla pada 14 November 2012 pukul
13.20-13.50.
29
Ibid., hlm 54.
30
31
Ibid.
Ibid.
10
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
bisa dianggap sebagai „Indonesia‟ ketika berhadapan
dengan swasta asing. Identitas formal menjadi acuan
dalam hal ini. Identitas formal ini mensegregasi dua
kelompok yaitu mereka yang beridentitas sama
dengan yang beridentitas berbeda. Asumsi dasarnya
adalah bahwa mereka yang beridentitas sama
dianggap punya kepentingan dan kehendak yang
sama dengan identitas lain yaitu bersama-sama
mewujudkan tujuan bernegara.
Di sisi lain, negara dalam pemikiran Jusuf Kalla
dianggap sebagai aktor ketika berhadapan dengan
elemen-elemen di dalamnya atau ketika berhadapan
dengan elemen yang datang dari luar. Negara adalah
sebuah wujud administratif yang punya aturan
formal dan tujuan sendiri. Pada tataran hubungan
dengan elemen internal, negara bisa punya fungsi
sebagai pelaku, pelindung (protector), pengasuh
(akselerator pertumbuhan) dan penyatu fungsi dan
pengarah elemen-elemen internal. Semua didasari
pada kepentingan negara untuk mewujudkan
tujuannya. Negara di sini, meskipun dianggap
sebagai aktor, tetapi aktor yang netral terhadap
kepentingan aktor lain. Dengan demikian negara
dianggap sebagai wujud dari hasil akhir dinamika
pertemuan dan persaingan antar aktor-aktor di
dalamnya.
Kepentingannya
semata-mata
diasumsikan bukan kepentingan pencarian rente
pelaku-pelaku dalam lembaga negara tetapi
kepentingan negara itu sendiri seperti yang
tercantum dalam konstitusi. Apa yang disebut
negara sebagai pelaku kegiatan ekonomi ini
merupakan sesuatu yang bisa diperdebatkan. Negara
dalam hal ini dalam tataran yang terbatas menjadi
pelaku bagi kegiatan ekonomi melalui badan usaha
milik negara (BUMN). Jusuf Kalla tidak menggugat
keberadaan BUMN namun tidak pula mengharuskan
ia hadir dalam kegiatan ekonomi. kontekstualitas
sangat berpengaruh dalam hal ini. Jusuf Kalla
menilai keberadaan BUMN hanya dalam kacamata
kebermanfaatan bagi keseluruhan tujuan ekonomi
yang ingin dicapai. Ia akan memanfaatkan
keberadaan BUMN jika ia dibutuhkan, namun tak
segan melakukan privatisasi jika BUMN dirasakan
membebani anggaran negara. hal ini bisa kita lihat
pada pernyataan Jusuf Kalla sebagai berikut:
Pertama, mengenai penggunaan BUMN pada
pembangunan infrastruktur:
“Untuk membangun infrastruktur, kita masih
kembali ke BUMN karena merekalah yang
paling siap dewasa ini….(prioritas pelaksanan
pembangunan,
untuk
mewujudkan
kemandirian serta swasta yang kini juga mulai
masuk secara besar-besaran.” 32
Kedua, mengenai rasionalitas dalam privatisasi:
“Jika diberitakan bahwa menjual BUMN
dengan harga 10 kali lipat dari keuntungan
32
Jusuf Kalla. Membangun Bangsa
Kemandirian Ekonomi. Op. Cit., hlm 150.
Dengan
satu tahun dianggap tidak nasionalistik,
pertanyaannya adalah apanya yang tidak
nasionalistik, apa yang patriotik? Kalau dia
menjual 10 tahun ke depan, diambil dulu
uangnya
dipakai
untuk
pendidikan,
nasionalistik atau tidak? Atau kita biarkan saja
dia tidak perlu memberikan suatu kontribusi
asalkan dia milik kita? 33
Dengan demikian, Jusuf Kalla tidak selalu
berpegang pada faktor kepemilikan negara pada
sektor tertentu untuk mendefinisikan nasionalisme
ekonominya. Ia melihat bahwa fakor nilai tambah
atau kebermanfaatan itulah yang seharusnya
menjadi pertimbangan untuk menilai apakah sebuah
kebijakan merupakan cerminan dari nasionalisme
(patriotisme) ekonomi. Namun, pada tataran ini,
masih terlihat bahwa Jusuf Kalla terikat dengan
kalimat dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa: Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara. Hal ini tampak
dari
penekanannya
mengenai
keharusan
pengusahaan industri minyak oleh PT Pertamina.
Keseluruhan pembahasan di atas membawa pada
beberapa kesimpulan mengenai geneaologis
pemikiran kemandirian ekonomi bangsa Jusuf Kalla.
Pertama, keseluruhan dari ide dasar atau kerangka
umum dari bahasan ini adalah nasionalisme. Jusuf
Kalla adalah seorang nasionalis. Sebagai
perwujudan dari nasionalisme ekonomi tersebut,
pemikiran tersebut berinduk pada ide merkantilis
dan proteksionis dalam lingkup ekonomi politik.
Berkaca pada bagan pembagian corak kebijakan
ekonomi politik yang dibuat oleh Barry Clark,
pemikiran ini merupakan cabang pemikiran Edmund
Burke.34
Karakter ini khas ada dalam sistem negara
integralistik sebagaimana kita bisa temukan pada
pemikiran romantisme yang dirumuskan sejak Jean
Jacques Rosseau, Adam Muller hingga Hegel.
Dalam
konteks
Indonesia,
sebagaimana
dikemukakan oleh Lance Castle, romantisme negara
juga ada dalam pemikiran Jawa.35 Integralisme ini
tercermin dalam UUD 1945.
Namun demikian, praktik nasionalisme yang
integralistik dilakukan dengan mempertimbangkan
konteks internal dan lingkungan eksternal yang
sangat berpengaruh dalam iklim globalisasi.
Pengaruh liberalisme juga terasa dalam pemikiran
Jusuf Kalla ketika memaknai upaya untuk
menegakkan kemandirian ekonomi tersebut. Jusuf
Kalla menekankan perlunya rasionalitas dalam
melihat dua aspek- internal dan eksternal- tersebut.
Cara Jusuf Kalla menganalogikan memimpin negara
33
Ibid., hlm 11.
Ahmad Erani Yustika. Op. Cit., hlm 4.
35
Herbert Feith dan Lance Castle. 1988. Pemikiran
Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES. hlm
170.
34
11
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
dengan cara memimpin perusahaan, penerimaannya
terhadap sistem pasar serta sikapnya untuk bersikap
realistis terhadap globalisasi menunjukkan hal itu.
Negara dalam pandangan Jusuf Kalla, dalam sudut
pandang internasional, adalah aktor yang harus
bersaing dengan negara lain dalam pergaulan dunia
yang menganut pasar bebas.
Secara sederhana, geneaologis pemikiran
kemandirian ekonomi bangsa dalam pemikiran Jusuf
Kalla bisa digambarkan dalam bagan sebagai
berikut:
Nasionalisme
Integralis
me
Pemikiran
Kemandirian
Ekonomi
Bangsa
Realisme
Liberalis
me
Gambar2. Geneaologi Pemikiran Kemandirian
Ekonomi Bangsa Jusuf Kalla
Kemandirian
Ekonomi
Bangsa
Dalam
Pembangunan Bandara Internasional Sultan
Hasanuddin Makassar
Menurut laman Sejarah Bandara yang dirilis PT
Angkasa Pura I, Bandara Internasional Sultan
Hasanuddin adalah bandara pengganti bandara lama
yaitu Bandara Internasional Hasanuddin. Letak
bandara ini sekitar 30 kilometer dari Kota Makassar,
tepatnya terletak di Kabupaten Maros, Sulawesi
Selatan. Bandar Udara Hasanuddin sendiri mulanya
bernama Bandara Kadieng, dibangun oleh
Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun
193536.Pada saat pendudukan Jepang, nama bandara
ini menjadi Mandai. Setelah terjadi pengakuan
kedaulatan Indonesia oleh Belanda, tahun 1950
pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah
Indonesia. Pada tahun 1980 nama Pelabuhan Udara
Mandai diubah menjadi Pelabuhan Udara
Hasanuddin. Selanjutnya, Bandara ini menjadi
semakin penting untuk konteks Makassar, Sulawesi
bahkan Indonesia bagian timur. Tahun 1981,
Bandara ini menjadi bandara embarkasi perjalanan
ibadah haji. Bandara hasanuddin dinyatakan sebagai
Bandara Internasional pada tahun 1994 sesuai
dengan Surat Keputusan Menteri Perhubungan
Nomor KM 61/1994 peresmiannya dilakukan pada
tanggal 7 Januari 1995 oleh Gebernur Kepala
Daerah Tingkat I Propinsi Sulawesi Selatan. Pada
tanggal 28 Maret 1995.
Dalam tinjauan ekonomi politik, Bandar Udara
Sultan Hasanuddin sangat penting untuk Indonesia,
“Hasanuddin International Airport”. Artikel pada
http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=677240
(diakses pada 3 September 2012 pukul 14.00 WIB).
36
terutama bagian tengah dan timur. Bandara ini
merupakan Bandara transit yang menghubungkan
berbagai daerah di Indonesia Timur, antara
Indonesia Barat dan Indonesia Timur maupun antara
Indonesia dengan negara-negara tetangga. Kawasan
Indonesia Timur sendiri adalah kawasan yang terus
berkembang secara ekonomi mengingat potensi
sumberdaya alamnya yang luar biasa. Potensi
ekonomi kawasan ini sangat lengkap, terdiri dari
potensi sektor energi, mineral, batubara, kehutanan,
perikanan dan sebagainya.
Letak Kota Makassar sendiri cukup strategis jika
ditinjau dari Jakarta yang merupakan ibukota
Indonesia. Baik dari segi penerbangan maupun dari
angkutan laut, jaraknya tidak terlalu jauh dan berada
di tengah antara batas Indonesia Barat dan Indonesia
Timur. Hal ini memungkinkan tempat ini sebagai
persinggahan bagi kedua moda angkutan tersebut.
Kawasan Timur Indonesia, dilihat dalam sudut
pandang ekonomi, memang tertinggal jika
dibandingkan dengan Kawasan Barat Indonesia
(KBI). Pada tahun, 2004 saat pembahasan
penganggaran pembangunan ini dilaksanakan baik
di tingkat eksekutif maupun legislatif, sumbangan
produk domestik bruto (PDB) KTI hanya 19%
(sembilan belas persen) dari keseluruhan PDB
Nasional.37 Daerah yang dimaksud dengan KTI
meliputi Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa
Tenggara dan Maluku. Sedangkan di bagian barat,
Jawa saja menyumbangkan sekitar 61% PDB
nasional.
Contoh
indikator
ketertinggalan
pengembangan ekonomi KTI juga bisa dilihat pada
sektor pertanian dimana KBI menyumbangkan 78%
dari produksi nasional, hanya 22% yang dari KTI.
Demikian halnya dengan sektor industri dimana KBI
menyumbangkan 90% dari keseluruhan industri
nasional. Pertumbuhan ekonomi KTI juga masih
lebih rendah dibandingkan dengan KBI. Jawa dan
Bali yang masuk KBI pada tahun 2004 tumbuh
sebesar 10,7%. Wilayah Sumatra juga tumbuh
cukup tinggi sebesar 7,78%. Sementara itu wilayah
yang masuk KTI tumbuh lebih rendah kecuali
Sulawesi yaitu Nusa Tenggara Timur , Maluku dan
Papua sebesar 4,3% serta Kalimantan sebesar 5,7%.
Sementara tumbuh cukup baik dengan angka
Sulawesi 11,2%.
Dalam hal infrastruktur, ketertinggalan KTI juga
dapat dilihat dari ketersediaan jalan dimana KBI
yang wilayahnya hanya 31,25% dari seluruh
wilayah Indonesia mempunyai jalan sepanjang
37.687,5 km; sedangkan KTI yang punya wilayah
68,75% dari wilayah Indonesia hanya punya
panjang jalan 33.241 km. dengan data-data tersebut,
37
Dadang Solihin (Direktur Evaluasi Kinerja Pembangunan
Bappenas). “Pengukuran Kinerja Pembangunan Daerah dalam
Pembangunan Kawasan Timur Indonesia”. Sebuah Lembar Kerja
Bappenas.
Diunduh
dari
http://www.docstoc.com/docs/1829287/Pengukuran-KinerjaPembangunan-Daerah-dalam-Pembangunan-Wilayah-KawasanTimur-Indonesia-%28KTI%29 (diakses pada 3 November 21012
pukul 09.45).
12
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
dapat dimaklumi kalau persentase daerah tertinggal
paling banyak terdapat di KTI yaitu 63% pada tahun
2004. Jumlah persentase penduduk miskin Indonesia
juga sebagian besar berada di KTI. Provinsi Papua
bahkan pada tahun 2004 mencatat bahwa 38,69%
penduduknya miskin.
Padahal dilihat dari potensinya, KTI punya
potensi yang sangat besar untuk dikembangkan.
Kawasan ini memiliki potensi bermacam-macam
tambang mineral, potensi tambang energi, potensi
pertanian, perikanan dan kelautan serta potensi
pariwisata yang luar biasa. Oleh karena itu,
pengembangan KTI menjadi program yang mulai
serius dikerjakan sejak dekade 1990-an. Menurut
data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas), ada beberapa inventarisasi kendala dan
masalah yang menghambat pembangunan kawasan
Indonesia Timur diantaranya adalah ketersediaan
infrastruktur, termasuk infrastruktur angkutan udara.
Pembangunan Bandara Internasional Sultan
Hasanuddin ini adalah upaya relokasi yang
dilakukan untuk menggantikan bandara lama yang
dianggap sudah tidak cukup layak dilihat dari posisi
maupun tata ruang pembangunan kawasan sekitar.
Perencanaan pembangunannya sudah sangat lama
dilakukan. Bahkan sejak era pemerintahan Soeharto,
usulan pembangunan ini sudah digulirkan sebagai
bagian dari pengembangan Kawasan Timur
Indonesia (KTI). Pembebasan lahan untuk proyek
inipun sudah lama dilakukan, yaitu sejak tahun
1990-an.
Ide ini kemudian secara teknis masuk dalam
rencana kerja masing-masing satuan pelaksana
teknis yaitu kementrian terkait serta pemerintah
daerah setempat. Oleh Kementrian Perhubungan
(waktu pembangunan dilaksanakan namanya masih
Departemen Perhubungan) dan PT Angkasa Pura I,
pembangunan Bandara Internasional Sultan
Hasanuddin dimasukkan dalam Master Plan
Pengembangan
dan
Peningkatan
Layanan
Penerbangan Udara Kawasan Timur Indonesia
mengingat letak dan fungsi strategis Bandara Sultan
Hasanuddin sebagai sentral penghubung antara
berbagai wilayah di Indonesia dan antara Indonesia
dan luar negeri. Bandara Sultan Hasanuddin juga
merupakan sentral penting bagi penerbangan
perintis bagi daerah-daerah sekitar Makassar dan
Sulawesi Selatan.
Langkah Kementrian Perhubungan dan PT
Angkasa Pura tersebut sejalan dengan visi
pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah
Kota Makassar dan Pemerintah Kabupaten Maros
yang menjadi lokasi bandara ini. Ketiga pemerintah
daerah tersebut bertekad menjadikan Bandara Sultan
Hasanuddin Makassar sebagai pintu gerbang bagi
Sulawesi Selatan khususnya dan Indonesia bagian
Timur pada umumnya. Pembangunan yang terkait
langsung dengan bandara meliputi tiga bidang yaitu:
pertama, pembangunan landasan pesawat (runway)
yang merupakan domain kerja Kementrian
Perhubungan terutama Dirjen Perhubungan Udara;
kedua, pembangunan terminal dan layanan pesawat
yang masuk satuan kerja PT Angkasa Pura I yang
berada di bawah Kementrian Badan Usaha Milik
Negara (Kementerian BUMN); dan Ketiga,
pembangunan sarana penyediaan bahan bakar yang
masuk dalam bidang kerja PT Pertamina yang juga
berada di bawah Kementrian BUMN. Secara
keseluruhan pembangunan bandara tersebut berada
di bawah koordinasi PT Angkasa Pura I sebagai
penanggung jawab utama. Sementara yang tidak
terkait langsung dengan pembangunan bandara
adalah pembangunan sarana akses yang merupakan
bidang kerja Kementrian Perhubungan dan
pengembangan wilayah. Dalam kedua bidang yang
terakhir ini peran pemerintah provinsi Sulawesi
Selatan dan Pemerintah Kabupaten Maros juga
terlibat. Secara garis besar pembangunan tersebut
diilustrasikan dalam bagan sebagai berikut:
Koordinator
pembangunan Bandara
Satuan Kerja
Pembangunan Landasan
Satuan Kerja
pembangunan terminal
Satuan Kerja
pembangunan sarana
penyediaan bahan bakar
Gambar 4. Satuan Kerja Pembangunan Bandara
Internasional Sultan Hasanuddin
Dalam
spesifikasi
teknis
pembangunan,
pembangunan terminal bandara itu sendiri terdiri
dari peningkatan kapasitas layanan fasilitas baik
fasilitas bangunan, elektronis maupun sistem38.
Dengan perbaikan itu, diharapkan terjadi
penambahan kemampuan kapasitas layanan menjadi
7 juta penumpang per tahun dari semula 3-4 juta
penumpang per tahun. Selain itu, pembangunan
Hasanuddin meliputi perpanjangan landasan pacu
dari 2.500 menjadi 3.000 meter. Terminal Bandara
dalam proyek tersebut juga dibesarkan dari 10.800
meter persegi menjadi 43.800 meter persegi.
Sedangkan luas parkir bandara diperlebar menjadi
32 ribu meter persegi dari semula 9.916 meter
persegi. Spesifikasi lainnya adalah bahwa bandara
ini akan memiliki apron seluas 69.147 meter
persegi. Dengan spesifikasi itu diharapkan bandara
ini mampu untuk menampung pesawat Jumbo Jet
Boeing 747, A-300, DC10, MD-11 serta pesawat
Boeing 737 serta F-100.
Peran Jusuf Kalla Dalam Pembangunan
Bandara Internasional Sultan Hasanuddin
Makassar
Pembangunan Bandara Internasional Sultan
Hasanuddin Makassar adalah proyek yang padat
teknologi dan padat modal. Sebelum tahun 2004,
Indonesia tidak pernah secara mandiri membangun
38
Ibid.
13
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
bandara berskala internasional. Indonesia tergantung
pada bantuan atau campur tangan asing pada hampir
segala hal, yaitu pembiayaan, tenaga kerja dan
kontraktor pelaksana pembangunannya.
Secara umum, kebutuhan terhadap investasi luar
negeri, termasuk dalam membangun infrastruktur, di
Indonesia memang cukup besar untuk mencapai
pertumbuhan yang memadai. Hal ini disebabkan
oleh beberapa hal: (1) Timpangnya alokasi anggaran
untuk pembangunan dibandingkan dengan alokasi
untuk belanja rutin. Berdasarkan data Bappenas,
Sekitar 70% alokasi keuangan negara sampai
dengan tahun 2004 dipergunakan hanya untuk
belanja rutin seperti belanja pegawai39. Dalam
angka, kebutuhan investasi infrastruktur Indonesia
pada tahun 2004 sekitar 379,8 triliun rupiah dan
tahun 2005 sebesar 471,4 triliun rupiah. Padahal
APBN-P Indonesia pada 2004 pada pos pendapatan
hanya berjumlah 403,769 triliun rupiah. Sementara
pos pendapatan pada APBN-P 2005 berjumlah
443,486 triliun rupiah. Hal ini membuat Pemerintah
Indonesia perlu mencari sumber pembiayaan lain
untuk
menutupi
pembiayaan
pembangunan
infrastruktur. Salah satunya dengan menarik
investasi khusus untuk sektor ini; (2) Indonesia tidak
mampu menarik minat sektor swasta domestik,
terutama perbankan, untuk turut serta dalam
pembangunan proyek infrastruktur. Selama itu
perbankan nasional lebih cenderung kurang
berminat untuk membiayai proyek infrastruktur
karena beberapa sebab40: Pertama, proyek
infrastruktur adalah proyek jangka panjang (lebih
dari 15 tahun); Kedua, proyek infrastruktur
mempunyai ketidakpastian revenue (keuntungan)
atau bahkan potensi kerugian berkaitan dengan
kemungkinan perubahan perundangan, resiko politik
dan lain-lain. Dibandingkan dengan pembiayaan
infrastruktur,
perbankan
lebih
menyukai
pembiayaan sektor lain atau meredeposit simpanan
masyarakat ke bank sentral (Bank Indonesia). Saat
itu, suku bunga Bank Indonesia masih sangat tinggi
yaitu mendekati 10%. Dengan tingkat suku bunga
yang tinggi tersebut dapat dimengerti bahwa dari
segi perhitungan ekonomis, meredeposit simpanan
masyarakat ke Bank Indonesia jauh lebih
menjanjikan
daripada
membiayai
proyek
infrastruktur. Modus usaha dengan meredeposit
uang pihak ketiga tidak hanya dilakukan oleh
lembaga keuangan berbebntuk bank, tetapi juga oleh
lembaga keuangan non bank seperti asuransi.
Pada lingkup kontraktor dan tenaga pelaksana
proyek, sampai pada tahun 2004, Indonesia tidak
“Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2004” dan
“Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2005”.
dari
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/1492/ (diakses pada 3
september 2012 pukul 10.00 WIB).
40
Sinthya Rusli. “Pengelolaan Resiko Dalam Penyelenggaraan
Infrastruktur Berkelanjutan”. Diunduh dari
http://pusbinsdi.net/file/1328010335Pengelolaan%20Risiko%20
Dalam%20Penyelenggaraan%20Infrastruktur%20Berkelanjutan.p
df (diakses pada 3 September 2012 pukul 14.30)
39
pernah secara mandiri membangun bandara berkelas
internasional. Peran Indonesia hanya sebatas
menyediakan tenaga yang dibutuhkan oleh
kontraktor asing dalam level yang terbatas atau
paling banyak hanya menjadi sub-kontraktor seperti
yang pernah dilakukan oleh PT Bumi Karsa, salah
satu perusahaan Jusuf Kalla. Ketidakmandirian ini
bukan hanya disebabkan oleh tidak terpercayanya
kontraktor dalam negeri, tetapi juga disebabkan oleh
syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi
donor. Secara lebih lengkap, beberapa syarat umum
yang sering disertakan dalam hubungan itu adalah: 41
1. Keharusan pihak penerima utang (dalam hal
ini Pemerintah Indonesia) menanggung
berbagai biaya mekanisme pembicaraan dan
penyaluran utang. Biasanya terdiri dari:
a. biaya
pembicaraan
awal
dan
pembicaraan baik antara pihak internal
donor maupun antara donor dan pihak
Pemerintah Indonesia;
b. biaya survey;
c. fee (upah) pelobi;
d. dan lain-lain;
2. Keharusan membayar bunga walaupun
kredit belum disalurkan. Banyak kasus
terjadi dimana utang sudah disetujui namun
baru dicairkan beberapa tahun kemudian.
Selama utang belum dicairkan, Pemerintah
Indonesia tetap harus membayar bunganya;
3. Keharusan memenuhi standar-standar teknis
proyek yang disyaratkan oleh negara-negara
pemberi donor. Keharusan ini biasanya
diikuti dengan keharusan memakai teknologi
maupun peralatan dari pihak asing yang
dipercayai oleh pihak donor.
Dengan ketentuan seperti di atas, Indonesia lebih
banyak dirugikan dalam perjanjian kerjasama
pembiayaan
proyek
infrastruktur:
pertama,
Indonesia
tidak
punya
kesempatan
untukmemperoleh porsi pekerjaan yang besar dalam
proyek tersebut; kedua, hal itu mengakibatkan
lemahnya proses alih teknologi; dan ketiga, hal itu
juga mengakibatkan pinjaman yang diberikan
kepada Indonesia kembali pada Negara donor
hingga 80%.
Jusuf Kalla sudah lama mengetahui proyek ini,
namun sebelum ia menjadi wakil presiden, ia tidak
punya kewenangan untuk menentukan kebijakan.
Setelah menjabat sebagai wakil presiden, ia segera
mengevaluasi rencana pembangunan tersebut.
Proyek ini termasuk dalam proyek yang paling awal
yang diartikulasikan oleh Jusuf Kalla. Hal ini
disebabkan oleh keprihatinan Jusuf Kalla terhadap
tertinggalnya pembangunan kawasan Timur
Indonesia dibanding Kawasan Barat Indonesia.
Semula, semua stake holder terkait seperti
Kementerian (dulu departemen) Perhubungan,
41
Wawancara dengan Harmono Juru Bicara LSM Koalisi Anti
Utang Tanggal 29 Agustus 2012 pukul 16.00-17.30.
14
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
Angkasa Pura I dan Pemerintah Tingkat I Provinsi
Sulawesi Selatan masih menganggap bahwa
pembangunan ini harus melibatkan campur tangan
asing. Paradigma pembiayaan juga masih loan
minded (berpegang pada pembiayaan dengan utang)
mengingat anggaran yang mencapai 3,5 triliun
Rupiah. Pihak terkait juga menganggap bahwa
hanya kontraktor asinglah yang bisa membangun
dalam proyek ini. Arsitek dan kontraktor lokal
dianggap tidak punya
pengalaman untuk
membangun bandara berkelas internasional.
Jusuf Kalla melawan paradigma yang
berkembang dan telah menjadi budaya selama ini.
Pertama, berbekal pengalaman dan pengetahuannya
tentang dunia kostruksi dan teknik sipil umumnya,
Jusuf Kalla yakin bahwa Indonesia punya cukup
kemampuan untuk membangun Bandara berkelas
internasional meskipun diakuinya mungkin tidak
sesempurna hasil dari proyek yang ditangani pihak
asing. Pengetahuan ini ditunjang oleh rekam jejak
salah satu perusahannya yaitu PT Bumi Karsa yang
sudah lebih dari 25 tahun bergerak di bidang
konstruksi bandara sebagai sub kontraktor dari
kontraktor asing. PT Bumi Karsa yang waktu itu
sudah dipimpin oleh Ahmad Kalla turut serta dalam
banyak pembangunan bandara di Indonesia,
terutama di bagian Timur Indonesia seperti Bandara
Frans Kaisepo di Biak, Bandara Ambon dan banyak
bandara-bandara perintis lain yang memang banyak
terdapat di kawasan tersebut. Selain Bumi Karsa,
satu lagi perusahaan Jusuf Kalla yang
berpengalaman dalam hal perbandaraan yaitu PT
Bukaka Teknik. PT Bukaka Teknik selama sekitar
25 tahun telah dikenal sebagai pembuat dan supplier
garbarata (gangway) yaitu lorong penghubung
antara pesawat terbang dengan ruang tunggu atau
ruang kedatangan di terminal bandara. PT Bukaka
Teknik tidak hanya membuat dan menyediakan
garbabrata di dalam negeri, tetapi juga untuk
pesanan asing misalnya untuk Bandara Narita di
Tokyo. Ditambah dengan keyakinannya mengenai
kemampuan insinyur-insinyur Indonesia, Jusuf kalla
yakin bahwa Indonesia sebenarnya punya cukup
kemampuan untuk membangun bandara berkelas
internasional. Yang tidak dipunyai oleh Indonesia
selama ini adalah kesempatan. Bagi Jusuf Kalla,
syarat dan ketentuan yang menyertai kerjasama
utang antara Indonesia dengan pihak donor selalu
membatasi peran Indonesia dalam pembangunan
infrastruktur negaranya sendiri42.
Pada saat yang sama Jusuf Kalla yakin bahwa
Indonesia punya cukup sumberdaya keuangan untuk
membiayai pembangunan tersebut. sebagai seorang
pengusaha dan kemudian menjabat sebagai Menteri
Perindustrian dan Perdagangan dan berlanjut
sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan rakyat,
Jusuf Kalla mengetahui kelemahan fungsi
intermediasi bank-bank di Indonesia. Fungsi
intermediasi
adalah
fungsi
bank
sebagai
penghubung antara pihak ketiga yang diposisikan
sebagai investor dengan pelaku usaha yang
menggerakkan sektor riil. Jadi fungsi intermediasi
bank adalah penghubung antara sektor finansial
dengan sektor riil. Pada periode pasca krisis jumlah
dana pihak ketiga yang disalurkan bank ke sektor riil
memang relatif sangat rendah. Loan to Deposit
Ratio (LDR) perbankan di Indonesia hampir
semuanya di bawah 60% bahkan ada yang dibawah
40%pada tahun 2004.
Dengan kecenderungan seperti itu, dana nasabah
di bank menjadi tidak produktif atau bahkan dengan
kontraproduktif dengan tujuan pembangunan.
Tingkat simpanan rakyat yang meningkat tajam
tidak berimbas pada perkembangan sektor riil secara
memadai. Bahkan, hal ini justru memberatkan
negara karena bank cenderung melakukan redeposit
ke Bank Indonesia. Negara menanggung bunga dari
redeposit tersebut yang dananya diambil dari
pendapatan pajak dan non pajak. Dalam sudut
pandang ekonomi, hal ini sebenarnya dapat diterima
karena tingginya suku bunga Bank Indonesia (BI
Rate) yang bahkan pernah mencapai 12,5% sebelum
tahun 2004. Meskipun suku bunga terus diturunkan
hingga menjadi sekita 8,5% namun hal ini tetap
tidak menguntungkan sektor riil. Dengan tingkat
suku bunga bank sentral sebesar itu, secara otomatis
bank-bank di Indonesia lebih menyukai untuk
melakukan redeposit daripada menyalurkan dana
pihak ketiga pada sektor riil. Sebagai perbandingan,
suku bunga Bank Indonesia tersebut termasuk yang
tertinggi di Asia. Suku Bunga kredit bank sentral
Malaysia 2% dan Thailand misalnya ada di kisaran
2%. Suku Bunga Bank Sentral Negara maju di Asia
seperti Korea dan Jepang bahkan hampir mendekati
0% (nol persen).
Pada tahun 2004 sendiri perbankan Indonesia
jutru mengalami kelebihan likuiditas (over liquidity)
yang menunjukkan rendahnya fungsi intermediasi
perbankan salah satu sebab signifikannya karena
besarnya suku bunga Bank Indonesia tersebut. 43
LDR sebagai wujud fungsi intermediasi bank hanya
berada pada angka 40%. Pada sektor riil yang
menyangkut kegiatan ekonomi langsung angka itu
terlalu rendah dan menunjukkan gejala ekonomi
yang menggelembung dimana sektor finansial
berkembang jauh melampaui sektor riil. Kondisi
perbankan seperti ini sangat membebani Negara dan
suatu saat akan menjadi faktor yang bisa memicu
krisis ekonomi multidimensi. Langkah yang terbaik
adalah memanfaatkan ketersediaan likuiditas
tersebut untuk diinvestasikan. Pada tahun 2004,
perbankan nasional yang dimiliki oleh Negara
“Tahun 2004, Perbankan Hadapi Kelebihan Likuiditas”.
Diunduh
dari
http://www.korwilpdip.org/bank291203.htm
(diakses pada 3 November 2012 pukul 15.23).
43
42
Wawancara dengan Jusuf Kalla14 November 2012 pukul
14.30-14.45 WIB.
15
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
(BUMN) cukup banyak dan menguasai pangsa
pasar.44
Dengan pengetahuan dan pengalaman di dua
bidang tersebut dan kewenangan yang dipunyai,
Jusuf Kalla memeriksa ulang rencana pembangunan
Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar.
Hasil evaluasi yang diperintahkannya menunjukkan
bahwa biaya proyek yang semula Rp 3,5 triliun
sebagaimana diajukan oleh sebuah kontraktor dari
Perancis, bisa dihemat hingga menjadi hanya
sebesar Rp 1,7 triliun atau sekitar 50% dari biaya
semula.
Namun, proyek dengan anggaran sebesar Rp 1,7
triliun itupun Indonesia biasanya masih meminta
pembiayaannya dari asing. Untuk mencari jalan
keluar dari itu Jusuf Kalla memakai kewenangan
otoritatifnya sebagai berikut: pertama, sebagai wakil
presiden yang diserahi tugas untuk mengurusi
masalah ekonomi, ia memerintahkan pembentukan
konsorsium bank-bank BUMN. Sebagaimana
disebutkan di atas, portofolio bank domestik di
bidang infrastruktur sebelum tahun 2004 masih
kecil. Pada waktu itu mekanisme penjaminan proyek
infrastruktur pemerintah masih belum memadai jika
dibandingkan dengan resiko yang dihadapi oleh
Bank sebagai penanggung biaya. Oleh karena itu,
konsorsium bank tidak menanggung semua biaya
proyek tetapi hanya sebesar Rp 1 triliun; Kedua,
sebagai Ketua Umum Golkar, ia memerintahkan
anggota legislatif dari Partai Golkar di DPR untuk
membantu persetujuan alokasi APBN untuk proyek
ini.
Dengan
demikian
ketika
pemerintah
mengajukan anggaran tersebut pada DPR, keputusan
ini didukung oleh anggota dari Partai Golkar. Secara
keseluruhan, keputusan ini juga didukung oleh
anggota partai koalisi yang terdiri dari Partai
Demokrat yang merupakan asal dari SBY sebagai
presiden terpilih dan beberapa partai yang semuanya
menguasai 74% kanggotaan di DPR. Pada akhirnya
Rp 700 Miliar yang merupakan sisa anggaran
proyek dibiayai oleh APBN dalam prinsip
pembiayaan tahun jamak (multi years budget)
selama lima tahun anggaran sejak APBN tahun
2005.45
Dengan nilai yang menyusut sekitar 50% dari
pagu anggaran sebelumnya, pihak asing yaitu EST.
Consortium dari Perancis mundur dari pelelangan
karena dalam perhitungan ekonomi, proyek tersebut
Lelang
kemudian
tidak
menguntungkan.46
dimenangkan oleh PT Duta Indah Pertiwi yang
merupakan
perusahaan
milik
Muhammad
“Pengalaman Revitalisasi BUMN”. Sebuah artikel pada
http//.www.bappenas.go.id/get-file-server/node/3342/ (Diakses
pada 12 November pukul 10.00 WIB).
44
“Belum Diresmikan, Lantai Bandara Sultan Hasanuddin Sudah
Retak-Retak”. Artikel pada Harian Republika Sabtu, 26 April
2008.
46
Wawancara dengan Febri Oki dari panitia lelang Proyek
Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin
Makassar pada 2 Juli 2012 pukul 10.20-12.00.
45
Nazaruddin,
fungsionaris
Partai
Demokrat,
sedangkan arsitek pembangunannya ditangani oleh
PT (persero) LEN. Oleh PT Duta Indah Pertiwi,
proyek ini di subkontrakkan ke 24 perusahaan
kontraktor lain menurut satuan kerja masing-masing.
Setelah sempat tertunda beberapa kali karena
molornya waktu pengerjaan, Pembangunan Bandara
Internasional Sultan Hasanuddin Makassar akhirnya
diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada tanggal 26 September 2008.
Proyek tersebut menghasilkan bandara dengan
desain yang indah dengan memadukan desain
futuristik dan desain etnik, mempunyai kelengkapan
fasilitas yang sangat lengkap dan spesifikasi teknis
yang termasuk terbaik di Indonesia47. Pembangunan
bandara dengan kemampuan Indonesia sendiri ini
menghasilkan bandara yang layak secara teknis dan
disahkan sebagai bandara internasional terbaik
dengan dana yang dihemat sekitar Rp 1,8 triliun.
Secara teknis, Bandara ini juga mampu
meningkatkan arus penumpang seperti yang
diharapkan. Menurut data statistik Bandara
Internasional
Sultan
Hasanuddin,
jumlah
penumpang pada rentang tahun rata-rata meningkat
13% per tahun48. Pada tahun 2005 jumlah
penumpangnya sekitar 3,597 juta penumpang
sedangkan pada tahun 2010 mencapai 6,547 juta
penumpang. Terakhir, pada tahun 2011 jumlah
penumpangnya telah mencapai 7,455 juta
penumpang49.
Selain pada keuntungan teknis, Indonesia juga
mendapat keuntungan yang mendasar, yaitu
perubahan paradigma pembangunan pembangunan
secara umum dan pembangunan bandara
internasional secara khusus. Pertama, dalam hal
kepercayaan diri dalam membangun proyek besar
tersebut baik dalam hal pembiayaan maupun teknis.
Kedua, perubahan paradigma perbankan yang
semula cenderung anti pada pembiayaan proyek
infrastruktur negara menjadi lebih terbuka. Proyek
ini juga menjadi inisiator bagi sistem penjaminan
pembiayaan proyek oleh perbankan dalam negeri
yang kemudian diwadahi dan dikelola lebih baik
oleh pemerintah melalui kementrian terkait. Sejak
saat itu, portofolio perbankan dalam negeri untuk
“Raih Bandara terbaik di Indonesia”. Diunduh dari
http://www.hasanuddinairport.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8
0:raih-bandara-terbaik-di-indonesia&catid=3:newsflash (diakses
pada 3 September 2012 pukul 13.00 WIB).
48
“Tren Pergerakan Penumpang Tahun 2005-2010”. Diunduh dari
http://www.hasanuddinairport.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6
5:trend-pergerakan-penumpang-2005-2010&catid=37:data-danstatistik&Itemid=37(diakses pada 3 september 2012 pukul 14.35
WIB).
49
“Tren Pergerakan Penumpang 2011”.
Diunduh dari
http://www.hasanuddinairport.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8
3:trend-penumpang-tahun-2011&catid=37:data-danstatistik&Itemid=37 (diakses pada 3 september 2012 pukul 14.36
WIB).
47
16
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
proyek infrastruktur meningkat dengan rerata
peningkatan 28% per tahun.50 Segera setelah proyek
pembangunan
Bandara
Sultan
Hasanuddin
Makassar, pembangunan-pembangunan bandara
berkelas internasional mulai ditangani oleh bangsa
Indonesia sendiri seperti Bandara Internasional
Lombok dan Bandara Internasional Kuala Namu.
Bandara Interasional Lombok bahkan dibiayai
sepenuhnya oleh konsorsium perbankan nasional
tanpa anggaran dari APBN.
Kritik Peran Jusuf Kalla dalam Pembangunan
Bandara Internasional Sultan Hasanuddin
Makassar
Pada kalangan luas beredar kecurigaan bahwa
proyek yang dibangun dengan sumberdaya dalam
negeri ini tidak sepenuhnya dilatarbelakangi oleh
prinsip kemandirian seperti yang disuarakan oleh
Jusuf Kalla. Sebagian pihak bahkan menuduh bahwa
proyek ini penuh sarat dengan politik kepentingan
dari Jusuf Kalla. Jusuf Kalla dituduh melakukan
nepotisme karena modus prinsip kemandirian
bangsa dalam proyek ini hanya merupakan upaya
untuk
memasukkan
perusahaannya
sebagai
kontraktor pelaksana. Mereka terutama melihat
bahwa masuknya PT Bumi Karsa dalam proyek ini
sebagai indikator nepotisme tersebut.51 PT Bukaka
Teknik yang sebenarnya juga menjadi pemenang
dalam pengadaan garbarata tidak terlalu mendapat
sorotan karena perusahaan ini memang telah terbukti
menjadi pembuat dan penyediaan garbabrata di
hampir seluruh bandara di Indonesia dan bahkan
telah dipergunakan di bandara-bandara internasional
di luar negeri. Dalam rangkaian rapat pembahasan
pelaksanaan proyek pembangunan ini Jusuf Kalla
memang mengakui bahwa ia menekankan perlunya
keterlibatan kontraktor dan tenaga daerah. 52
Penekanan ini dilatarbelakangi bahwa pembangunan
di daerah seharusnya memang melibatkan pihakpihak terkait di daerah sehingga daerah tidak hanya
menjadi penonton. Opini Jusuf Kalla ini sebenarnya
sudah lama disuarakan untuk mengkritik sentralisme
pembangunan sejak zaman Orde Baru.
Tuduhan mengenai nepotisme Jusuf Kalla
tersebut terbantahkan oleh data-data sebagai berikut:
pertama, secara keseluruhan, pemenang tender
pelaksanaan proyek ini bukanlah perusahaan Jusuf
Kalla tetapi PT Duta Indah Pertiwi yang merupakan
perusahaan milik fungsionaris Partai Demokrat
Muhammad Nazaruddin. PT Bumi Karsa hanyalah
merupakan sub kontraktor yang mendapat pekerjaan
dengan lingkup terbatas. Secara lengkap, berikut
data-data kontraktor pelaksana pembangunan
50
Zulkifli Zaini. Loc. Cit.
“Apa Salahnya Bumi Karsa Menang?” diunduh dari
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/01/24/EB/mbm.
20050124.EB100750.id.html (diakses pada 10 Juli 2012 pukul
10.00 WIB).
52
Loc. Cit.
51
Bandara
Internasional
Sultan
Hasanuddin
Makassar:53
1. Pembangunan Tahap I:
- Pembangunan Ruang Tunggu Very
Important Person (VIP) dimenangkan oleh
PT YPP Makassar (bukan perusahaan di
bawah Kalla Group);
- Pembangunan
Terminal
Bandara
dikerjakan oleh 24 perusahaan yaitu 12
perusahaan BUMN dan perusahaan
nasional (diantaranya PT Adhi Karya dan
PT Nindya Karya serta 12 perusahaan lokal
(narasumber tidak hapal namanya satu
persatu, tetapi tidak ada perusahaan di
bawah Kalla Group yang turut serta).
- Pembangunan runway tahap I: Pelataran
Parkir oleh PT Duta Indah Pertiwi dengan
memakai nama PT Gunakarya Nasional.
2. Pembangunan Tahap II
- Pembangunan landasan yang dikerjakan
oleh 3 (tiga kontraktor) salah satunya PT
Bumi Karsa di bawah Kalla Group dengan
nilai kontrak sekitar Rp 80 miliar;
- Paket pelataran parker oleh PT Istaka
Karya (BUMN) dan PT Bumi Rejo
(perusahaan nasional, bukan perusahaan
Jusuf Kalla);
- Pekerjaan navigasi oleh PT Persero LEN
Persero (BUMN).
Dari daftar di atas dapat dilihat bahwa kontraktor
pelaksana local yang memenangkan tender tersebut
bukan hanya perusahaan yang masuk dalam NV
Hadji Kalla saja, tetapi ada kontraktor lain. Dalam
skala lebih besar terlihat juga bahwa proyek ini lebih
banyak melibatkan perusahaan milik Negara
(BUMN) di bidang konstruksi.
Kedua, nilai proyek yang dimenangkan oleh PT
Bumi Karsa ternyata tidak dominan yaitu sekitar Rp
80 Miliar.54 Jika dikonversikan, PT Bumi Karsa
hanya mendapat sekitar 5% dari keseluruhan nilai
proyek. Itupun PT Bumi Karsa tidak secara
langsung memperoleh dari tender yang diadakan
oleh Kementerian Perhubungan atau PT Angkasa
Pura I tetapi melalui PT Duta Indah Pertiwi yang
memenangkan tender secara keseluruhan.
Ketiga, PT Bumi Karsa memang sudah
berpengalaman membangun konstruksi bandara
selama lebih dari 25 tahun. Terutama di daerah
Indonesia
bagian
timur,
banyak
proyek
pembangunan bandara ditangani oleh PT Bumi
Karsa. Namun demikian PT Bumi Karsa tidak selalu
memenangkan
tender
untuk
pembangunan
konstruksi secara umum di Sulawesi Selatan. salah
satu kekalahan PT Bumi Karsa dalam tender adalah
53
Wawancara dengan Saudara Febri Oki dari Panitia Lelang
pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin
Makassar pada 2 Juli 2012 pukul 10.20-12.00.
54
Wawancara dengan Saudara Febri Oki dan Nasrullah dari
Panitia Lelang pembangunan Bandara Internasional Sultan
Hasanuddin Makassar pada 2 Juli 2012 pukul 10.20-12.00 WIB.
17
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
pada pembangunan asrama Universitas Hasanuddin
dan pembangunan Rumah sakit Pendidikan
Universitas Hasanuddin dengan nilai proyek Rp 250
Miliar.
Selain ketiga alasan tersebut di atas, secara legal
formal, sampai saat ini tidak pernah ada gugatan
resmi mengenai persekongkolan dalam proyek
tersebut kepada pihak yang berwenang seperti
kepolisian, KPK atau Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) yang melibatkan PT Bumi Karsa
maupun Jusuf Kalla. Dugaan korupsi dalam proyek
tersebut memang pernah muncul namun melibatkan
Muhammad Nazaruddin pada pembangunan ruang
VIP Bandara yang pelaksanaannya juga ditangani
oleh kontraktor lokal tetapi bukan PT Bumi Karsa.
Dengan demikian tuduhan mengenai nepotisme
Jusuf Kalla dalam proyek tersebut tidak terbukti.
Kemandirian ekonomi dalam pemikiran Jusuf
Kalla adalah sebuah idealisme yang timbul karena
faktor sosialisasi yang kuat dalam bidang bisnis dan
tanggung jawab sosial politik. Jusuf Kalla lahir
dalam keluarga pengusaha yang tidak hanya
mementingkan pengejaran keuntungan semata tetapi
menekankan tanggung jawab sosial dan tanggung
jawab spiritual dalam kegiatan bisnisnya tersebut.
Hal ini diwujudkan dalam berbagai batasan-batasan
kegiatan bisnis yang boleh atau tidak boleh
dilakukan. Agama adalah acuan utama untuk
menilai apakah sebuah kegiatan bisnis baik atau
tidak bagi diri dan masyarakatnya. Prinsip
kemandirian juga dipengaruhi oleh kultur Bugis
yang mementingkan kehormatan atau martabat diri
dan kelompok. Dalam struktur budaya Bugis hal ini
dinyatakan dalam prinsip sirri’ mapasse. Jusuf Kalla
mendapat
didikan
keras
karena
ayahnya
menginginkan anaknya tersebut bukan hanya
menjadi pribadi yang mandiri tetapi juga bermanfaat
dan mempunyai harkat dan martabat.
Dalam sosialisasinya, Jusuf Kalla tidak hanya
mendapat didikan secara verbal tetapi juga dalam
praktik yang terus menerus. Sistem pendidikan
secara praktis ini bahkan menempati bagian terbesar
dari sosialisasi Jusuf Kalla. Pada akhirnya ayahnya
menjadi ego ideal bagi Jusuf Kalla dalam bidang
bisnis, sedangkan ibunya menginternalisasi nilainilai sosial kemasyarakatan. Keduanya menjadi
model utama (role model) bagi Jusuf Kalla dalam
bidang agama. Jusuf Kalla menduplikasi nilai-nilai
yang diwariskan oleh kedua orang tuanya dengan
bingkai keteguhan yang tinggi sebagai pengaruh dari
identitas kesukuannya.
Namun struktur kesempatan politik juga sangat
berpengaruh dalam perjalanan karier Jusuf Kalla
baik dalam bisnis maupun politik. namanya muncul
sebagai aktivis ketika terjadi pergolakan melawan
PKI dan menentang kebijakan pemerintah Orde
Lama. Namanya mengemuka di tingkat daerah dan
kemudian banyak berhubungan dengan petinggipetinggi di Sulawesi Selatan. Dari kedekatankedekatan tersebut ia mendapat kesempatan-
kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan
politik tertentu. Namun, di akhir 1967 ia
meninggalkan arena politik untuk sementara karena
diperintah oleh ayahnya untuk meneruskan bisnis
keluarga.
Pada bidang bisnis pula ia mendapat keuntungan
dari memanfaatkan pergantian rezim. Rezim Orde
Baru yang memfokuskan pembangunan pada bidang
ekonomi memberikan kesempatan pada bidangbidang usaha yang dibuat atau ditekuni oleh Jusuf
Kalla.
Sebagaimana
ayahnya,
Jusuf
Kalla
mempraktikkan jiwa wirausaha yang ulet, pantang
menyerah, pekerja keras dan visioner. Jiwa ini
diiringi dengan jiwa sosial yang tinggi. Jusuf Kalla
menganggap bahwa jaringan sosial adalah investasi
bagi dirinya di bidang apapun yang ia tekuni. Pada
saat yang sama, ia mempraktikkan nilai tanggung
jawab sosial untuk menerapkan pemberdayaan guna
mewujudkan kemandirian sosial. Ia juga dikenal
sebagai seorang pengusaha pemberani dan penuh
dengan ide cemerlang untuk mencari alternatifalternatif metode penyelesaian masalah. Keberanian
mengambil resiko (risk taker) dan penuh ide ini ia
praktikkan bukan hanya demi bisnisnya sendiri
tetapi juga dalam kegiatan sosial dan politiknya.
Beberapa langkah yang diambilnya menunjukkan
keinginan yang kuat untuk membuktikkan bahwa
Indonesia bisa melakukan hal yang sama dengan
negara lain. Ia adalah pembuat pompa angguk
pertama untuk pengeboran minyak, perekayasa
mobil pemadam kebakaran, pengimpor dan perakit
mobil Toyota di Indonesia dan pembuat garbarata
(gangway) pertama di Indonesia.
Idealisme ini juga tampak pada upaya Jusuf
Kalla untuk keluar dari ketergantungan dalam
pembangunan ekonmi baik secara suprastruktur dan
praktik. Ia kerap mendiskursuskan ukuran-ukuran
dan kajian mengenai pembangunan nasional yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga asing. Dalam
mendefinisikan mengenai tingkat kemiskinan
misalnya, ia lebih percaya pada ukuran yang
ditetapkannya. Pada tingkat praktik, ia juga sering
tidak menyetujui saran-saran atau tekanan lembaga
internasional. Contohnya adalah dalam pembatasan
bea masuk beras, penyaluran BLT dan perwujudan
swasembada beras.
Kasus yang dibahas dalam skripsi ini juga
membuktikkan tekad Jusuf Kalla mengusung
idealisme kemandirian. Pembangunan Bandara
Internasional Sultan Hasunuddin Makassar adalah
tonggak sejarah dimana proyek tersebut dilakukan
dengan swadana dan swadaya. Sebelumnya dalam
pembangunan bandara berkelas internasional,
Indonesia selalu menggantungkan diri pada bantuan
asing baik dari segi pembiayaan maupun dalam
pelaksanaannya. Hal ini membuat kerugian dalam
tiga hal: pertama, ketidakmaksimalan keuntungan
yang diambil dari proyek pembangunan baik secara
ekonomi maupun dalam hal alih teknologi; kedua,
18
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
adanya ketergantungan yang membudaya pada
pembangunan
infratsruktur
khususnya
pembangunan bandara internasional; ketiga,
kerugian ekonomi karena sistem kerjasama
pembiayaan yang merugikan.
Pembangunan secara swadana dan swadaya yang
diinisiasi, diagregasi dan diartikulasikan Jusuf Kalla
berhasil mewujudkan bandara inetrnasional yang
dinilai termasuk terbaik di Indonesia. Indonesia juga
mendapat keuntungan dari penghematan anggaran
negara dari anggaran semula Rp 3,5 triliun menjadi
Rp 1,7 triliun. Keuntungan kedua yang didapat
adalah kepercayaan diri dalam hal pembiayaan dan
pelaksanaan pembangunan. Meskipun masih
terbatas secara parsial, namun terjadi perubahan
paradigma pembangunan infrastruktur. Keberhasilan
ini membuat pembangunan bandara internasional
lain memakai konsep serupa.
Meskipun demikian, ada sejumlah pandangan
skeptis mengenai kemandirian dalam pembangunan
bandara dengan konsep kemandirian bangsa yang
diterapkan oleh Jusuf Kalla tersebut. Skeptisme
pertama berkaitan dengan kebijakan umum dalam
bidang ekonomi yang dianggap mengikuti kebijakan
neoliberal. Hal ini ditandai oleh beberapa indikator
yaitu desubsidi, deregulasi dan privatisasi yang
sering dilakukan oleh pemerintah KIB I sebagai
tindak
lanjut
dari
pemerintah-pemerintah
sebelumnya. Kebijakan neoliberal ini diyakini
adalah kelanjutan dari paket kebijakan yang
disarankan IMF untuk restrukturisasi ekonomi
Indonesia pasca krisis. Penentang kebijakan ini
menyatakan bahwa Indonesia banyak dirugikan
dalam pelaksanaan kebijakan ini terutama berkaitan
dengan perwujudan kedaulatan ekonomi nasional.
Skeptisme kedua yang berkembang adalah
mengenai tuduhan kuatnya kepentingan Jusuf Kalla
dalam proyek tersebut. Jusuf Kalla dianggap
melakukan nepotisme dengan memanfaatkan
jabatannya sebagai wakil presiden yang ditugaskan
untuk mengurusi bidang ekonomi. Proyek
pembangunan Bandara Internasional Sultan
Hasanuddin Makassar dengan prinsip kemandirian
dianggap hanyalah sebuah cara untuk memasukkan
perusahaan-perusahaan
Jusuf
Kalla
sebagai
pemenang tender pembangunan. Tuduhan itu
mengemuka dengan masuknya PT Bumi Karsa yang
merupakan salah satu perusahaan di bawah NV
Hadji Kalla sebagai salah satu kontraktor pelaksanan
proyek tersebut. Nama lain yang menyangkut Jusuf
Kalla yaitu PT Bukaka Teknik tidak terlalu
dikaitkan karena rekam jejaknya yang sudah
dipercaya untuk menangani pembangunan garbarata
(gangway) di beberapa bandara internasional di luar
negeri. Kedua tuduhan tersebut tak terbukti baik
secara legal maupun secarapolitis.
Sebenarnya, fokus dari nasionalisme
ekonomi dalam prinsip kemandirian yang diterapkan
dalam proyek pembangunan Bandara Internasional
Sultan Hasanuddin Makassar harus juga melihat
proyek pendanaan, bukan hanya pada tingkat
pelaksanaan. Yang sering dilewatkan oleh mereka
yang menuduh Jusuf Kalla melakukan nepotisme
adalah kenyataan bahwa konsorsium pendanaan
proyek tersebut adalah bank-bank BUMN sehingga
keuntungan dari pembiayaan proyek tersebut juga
akan dimiliki oelh bank-bank BUMN tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
prinsip kemandirian dalam pembangunan Bandara
Internasional Sultan Hasanuddin Makassar adalah
faktor signifikan yang membuat proyek itu
dilakukan secara swadana dan swadaya. Jusuf Kalla
berhasil membuktikkan bahwa Indonesia bisa
membangun proyek bandara berkelas internasional.
Hal ini menimbulkan perubahan paradigma dan
semangat kemandirian di kemandirian di beberapa
lingkup kementrian. Meskipun masih dalam skala
yang terbatas, namun hal ini cukup berarti sebagai
pijakan
awal
untuk
mewujudkan
prinsip
kemandirian dalam sektor pembangunan yang lain.
Jusuf Kalla juga berhasil membuktikkan bahwa
masuknya pengusaha dalam politik tidak selalu
berarti negatif. Syaratnya, harus ada transformasi
identitas dari pebisnis menjadi seorang pejabat
publik. Pada kasus Jusuf Kala, transformasi itu tidak
terjadi serta merta, namun merupakan proses yang
panjang dan berkelanjutan. Jusuf Kalla mengalami
proses sosialisasi dalam bidang bisnis yang
memasukkan nilai-nilai tanggung jawab sosial dan
nasionalisme sepanjang hidupnya. Prinsip usaha
yang demikian diterapkan secara terus menerus
dalam perjalanan kariernya yang panjang. Dengan
demikian ketika ia beralih profesi dari pebisnis
menjadi pejabat publik ia bisa menyesuaikan diri
untuk menggunakan kewenangan otoritatif tersebut
untuk mewujudkan kebermnafaatan kebijakan yang
ia buat bagi kepentingan nasional.
Sumber Buku:
Abdullah Husain, Neneng Herbawati dan Andi
Suruji. 2012. JK Ensiklopedia. Jakarta: Idea
Group Indonesia.
Abeng, Tanri.2001. Indonesia, Inc. : Privatising
State-Owned
Enterprise.Jakarta:
Times
Academic.
Adams, Cindy Heller.1965. Sukarno: An
Autobiography. Indianapolis: Bobbs-Merrill.
Almond, Gabriel Abraham and Sidney Verba. 1989.
Civic Culture: Political Attitudes and
Democracy in Five Nations. California: Sage
Publication.
Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik
Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di
Indonesia Era Reformasi . Jakarta:Penerbit
Kepustakaan Populer Gramedia
Bluhm, William T. 1978. Theories of Politics
System: Classic of Political Thought and
Modern Politics Analysis 3rd Edition. New
York. Prentice Hall
19
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
Bungin, Burhan Prof. Dr. 2010. Penelitian
Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik dan Ilmu Sosial Lainnya cetakan ke-4.
Jakarta: Prenada Media Group.
Creswell,John W. and Vicki L.Piano Clark. 2007.
Designing and Conducting Mixed Methods
Research. California: Sage Publication.
Dawson , Richad E. et al. 1997. Political
Socialization. Boston: Little Brown and
Company.
Effendi , Fenty et al (ed). 2009. Mereka Bicara JK.
Jakarta: National Press Club.
Feith, Herberth dan Castle, Lance. 1970. Pemikiran
Politik Indonesia. Jakarta:LP3ES
Furnivall, JS. 1948. Colonial Policy and
Practice.London: Cambridge University Press.
Giddens, Anthony. 2001. The Global Third Way and
Its Critics. Oxford: Polity Press
Haris, Syamsuddin et al. 2009. Sistem
Presidensialisme dan Sosok Presiden Ideal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Harvey ,David. From Globalizatio to New
Imperialisme dalam Richard P. Appelbaum,
William I. Robinson. Critical Globalization
Studies. New York: Routledge.
Jalal, Dino Patti. 2008. Harus Bisa! Seni Memimpin
ala SBY. Jakarta: Red and white Publishing.
Kaneshiro ,Takeshi. Kapitalisme Semu di Asia
Tenggara. Jakarta: LP3ES
Kalla, Jusuf. 2009. Membangun Bangsa Dengan
Kultur Pesantren. Jakarta: Focus Grahamedia
Kalla, Jusuf. 2009. Membangun Bangsa Dengan
Spirit
Kemandirian.
Jakarta:
Fokus
Grahamedia
Kalla ,Jusuf.2009. Membangun Bangsa Dengan
Kemandirian Ekonomi. Jakarta: Focus
Grahamedia
Kalla , Jusuf. 2009. Membangun Bangsa Dengan
Spirit
Kemandirian.
Jakarta:
Focus
Grahamedia
Kuncoro, Mundrajad. 1997.Ekonomi Pembangunan
:
Teori,
Masalah
dan
Kebijakan.Yogyakarta;UPP AMP YKPN
Lebang, Tomi. Berbekal Seribu Akal Pemerintahan
dengan Logika: Saripati Pidato Wakil
Presiden Jusuf Kalla. Jakarta: Gramedia
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi
Sosial.1995.
Pemikiran
Pembangunan Bung Hatta. Jakarta: Universitas
Bung Hatta.
Miller, T. Christian.2007. Blood Money: Wasted
Billions, Lost Lives and Corporate Greed in
Iraq. New York: Little Brown
Mude, Saleh dkk. Pemimpin Nusantara: Testimoni
Ketokohan Jusuf Kalla. Jakarta: Focus
Grahamedia
Pontoh, Rudi S. Janji dan Komitmen SBY-JK.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Peltras ,Christian. 1996. The Bugis. Oxford
:Blackwell Publisher
Poulantzas, Nicos.1973. Political Power and Social
Classes. London: NIb
Slater ,David.1998. Post Colonial Question for
Global Times dalam Review of International
Political Economy 5:4 Winter 1998 hal: 647678
Sahrasad, Herdi.2009. Kallanomics. Jakarta: PSIK
Universitas Paramadina
Sumartana, Th dkk. 2001. Pluralisme, Konflik dan
Pendidikan
Agama
di
Indonesia
Yogyakarta:Dian Interfiedi 2001
Susilo , Taufik Adi. 2009. Membaca JK: Biografi
Singkat Jusuf Kalla. Yogyakarta: Penerbit
Garasi
Sauers
PHD,Richard.2010. Key Concept in
American History: Nationalism. New York:
DWJ Books LLC
Shahab, Ahmad.2007.Muhammad Jusuf Kalla
Membangun Perdamaian. Berkarya dan
Berprestasi. Jakarta. People Aspiration Center
Skocpol,Theda.2001. Negara dan Revolusi Sosial.
Jakarta: Erlangga.
Slater ,David.1998. Post Colonial Question for
Global Times dalam Review of International
Political Economy 5:4 Winter 1998 hal: 647678
Smith,Anthony D. 2010. Nationalism 2nd
ed.Cambridge: Polity Press
Sukarno dkk. 2001. Ekonomi Berdikari: Kenangan
100 Tahun Bung Karno. Jakarta: Gramedia
Widiasarana
Sumawiyata, Sarbini. 1989. Menuju Masyarakat
Adil dan Makmur. Jakarta: Gramedia
Suruji. Andi (ed). 2009.JK The Real President.
Jakarta: JK for Bright Indonesia.
Susastro. Hadi.2005. Pemikiran dan Permasalahan
Ekonomi Indonesia dalam Setengah Abad
Terakhir. Jakarta: Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia
Stiglitz,Joseph. 2003. Globalization and Its
Discontent. New York: WW Norton.
Swasono ,Sri Edhi . 2002. Satu Abad Muhammad
Hatta: Bapak Kedaulatan Rakyat. Jakarta:
Universita Bung Hatta.
Yustika ,Ahmad Erani. 2009. Ekonomi Politik:
Kajian Teoritis dan Analisis Empiris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Zainuddin, Rahman. 1990. Pemikiran Politik dalam
Jurnal Ilmu Politik No.7. Jakarta: AIPI-LIPIGramedia
Sumber Jurnal:
Alan S. & Gary J. 2011. Perception, Attribution, and
Judgment
of
Others.
Organizational
Behaviour: Understanding and Managing Life
at Work Vol. 7
Djojohadikoesoemo, Soemitro. 1951. Rencana
Urgensi
Perekonomian.
Diunduh
dari
www.bappenas.go.id. Senin, 26 Maret 2012
jam 11.21
20
Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012
Geng
, Yang et al. 2006. The essence,
Characteristics and Limitations of PostColonialism: From Karl Marx`s Point of View
dalam Frontiers of Philosophy in China, Vol 1,
No.2 (Juni 2006). Hal 279-294.
Mubyarto. Semangat Sumpah Pemuda Menggugat
Neo Liberal dalam Jurnal Ekonomi Rakyat.
Artikel - Th. II - No. 8 - Nopember 2003]. Dan
Sri Edhi Swasono.2003. Kemandirian: Dasar
Martabat Bangsa. Dalam Jurnal Ekonomi
Rakyat.
Diunduh
dari
journal.ipb.ac.id/index.php/jupe/article/view/2
114/1145.Senin, 26 Maret 2012 jam 10.00
Suginohara , Masako. The Politics of Economic
Nationalism in Japan:Backlash Against
Inward Foreign Direct Investment? Dalam
Asian
Survey
vol
XLVIII
no
5
September/Oktober 2008
Swasono, Sri Edhi. 2006. Peringatan 100 tahun
Bung Hatta: Kemandirian Dasar martabat
Bangsa.
Diunduh
dari
journal.ipb.ac.id/index.php/jupe/article/view/2
114/1145
Dokumen-dokumen negara
Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 Tentang
Masterplan
Percepatan
dan
Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia
Dadang Solihin (Direktur Evaluasi Kinerja
Pembangunan Bappenas). Pengukuran Kinerja
Pembangunan Daerah dalam Pembangunan
Kawasan Timur Indonesia. Sebuah Lembar
Kerja Bappenas. Tidak diterbitkan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
2004 dan Anggaran Pendapatan Belanja
Negara
2005.
Diunduh
dari
www.bappenas.go.id/get-fileserver/node/1492/ pada 3 september 2012
pukul 10.00
Peraturan Presiden (Perpres) no. 42 Tahun 2005.
Tentang Komite Percepatan Penyediaan
Infrastruktur
Rusli, Sinthya. Pengelolaan Resiko Dalam
Penyelenggaraan Infrastruktur Berkelanjutan.
Diunduh
dari
http://pusbinsdi.net/file/1328010335Pengelola
an%20Risiko%20Dalam%20Penyelenggaraan
%20Infrastruktur%20Berkelanjutan.pdf pada
3 September 2012 pukul 14.30
Dewan Perwakilan Daerah RI. Pidato Refleksi Akhir
Tahun 2011. Jakarta: Biro Humas DPD RI
Situs
Apa
Salahnya
Bumi
Karsa
Menang?
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/20
05/01/24/EB/mbm.20050124.EB100750.id.ht
ml
Belum Diresmikan, Lantai Bandara Sultan
Hasanuddin Sudah Retak-Retak. Republika.
Diunduh pada 5 september 2012 pukuk 09.00
European League for Economic Cooperation.
Economic
Nationalism
or
European
Patriotism? Dalam Resolution of the
Economic and Social Commission hasil dari
The Vienna Central Council 1 Juni 2007.
Hasanuddin
International
Airport.http://www.skyscrapercity.com/showth
read.php?t=677240.
Diunduh
pada
3
September 2012 pukul 14.00
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia. Diunduh dari
http://www.isei.or.id/about-us/.
Pada
3
september 2012 jam 14.00
Kallamatika. Fatah, Eep Saefulloh. Sebuah Artikel
Opini di Koran Tempo diterbitkan tanggal 2 Maret
2009
Memorandum on Economic and Financial Policies.
http://www.imf.org/external/np/loi/103197.htm
(diakses pada 3 September 2012 pukul 12.32 WIB).
Sejarah
Bandara.
http://www.angkasapura2tnj.com/id/index.php?optio
n=com_content&view=article&id=46&Itemid=27.
Diunduh pada Senin 29 Mei 2012
Sejarah
Kota
Makassar.
http://bahasa.makassarkota.go.id/index.php/sej
arah-kota-makassar. diunduh pada 4 Juli 2012
Pukul 01.00
Silalahi , Pande Radja. Bank Merampok. Diunduh
dari
www.csis.or.id/PublicationsOpinionsDetail.php?id=602. Pada 3 september
2012 pukul 15.00
Tren Pergerakan Penumpang Tahun 2005-2010.
Diunduh dari
http://www.hasanuddinairport.com/index.php?option=com_content&v
iew=article&id=65:trend-pergerakanpenumpang-2005-2010&catid=37:data-danstatistik&Itemid=37 pada 3 september 2012
pukul 14.35
Tren Pergerakan Penumpang 2011. Diunduh dari
http://www.hasanuddinairport.com/index.php?option=com_content&v
iew=article&id=83:trend-penumpang-tahun2011&catid=37:data-dan-statistik&Itemid=37
pada 3 september 2012 pukul 14.36
21
Download