Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 KEMANDIRIAN EKONOMI BANGSA DALAM PEMIKIRAN JUSUF KALLA: STUDI KASUS PEMBANGUNAN BANDARA INTERNASIONAL SULTAN HASANUDDIN MAKASSAR 2004-2009 Isto Widodo Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar yang dilakukan dengan prinsip kemandirian bangsa adalah fenomena unik di tengah kebijakan ekonomi yang neoliberal. Jusuf Kalla adalah orang yang menginisiasi, mengartikulasi dan mengagregasikan pemikiran kemandirian bangsa dalam proyek tersebut. Meskipun dalam lingkup yang terbatas, pembangunan ini berhasil mewujudkan pemikiran Jusuf Kalla tersebut. Skripsi ini menganalisis penerapan pemikiran kemandirian bangsa oleh Jusuf Kalla dalam proyek tersebut dengan mempertimbangkan dua faktor utama, yaitu: latar belakang sosialisasi Jusuf Kalla yang membentuk pemikiran kemandirian bangsa tersebut dan kondisi kontekstual yang memungkinkan penerapan pemikiran tersebut. Abstract Building project of Makassar Sultan Hasanuddin International Airport by implementing national autonomy principe is unique phenomenon in Indonesian neoliberal economic policy. Jusuf Kalla is the inisiator, articulator and agregator of the implementation that principe on the project. Although in limited scope, it was succed. This thesis analizing the implementation of the national autonomy principe in that project by considers two main factors: political socialization of Jusuf Kalla and contextual situation that made the implementation being possible in the project. Key words: Jusuf Kalla, national autonomy, Makassar Sultan Hasanuddin International Airport Pendahuluan Krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 menyebabkan perekonomian Indonesia jatuh hingga berkonstraksi dengan pertumbuhan minus 13%. Kekuatan sistem ekonomi yang dibanggakan Orde Baru ternyata tidak mampu menghadapi krisis tersebut. Restrukturisasi ekonomi Indonesia dilakukan sebagai bagian dari pembenahan sistem secara keseluruhan. Sistem. Restrukturisasi sistem ekonomi Indonesia tersebut secara umum mengikuti kaidah-kaidah liberalisme seperti yang disarankan oleh IMF (International Monetary Fund).1 Hal ini ditandai dengan tiga ciri khusus yaitu deregulasi dalam berbagai lingkup untuk memudahkan kegiatan ekonomi, privatisasi BUMN (badan usaha 1 Untuk kasus restrukturisasi Indonesia dengan skema LoI (Letter of Intent) yang dirancang oleh IMF lihat “Memorandum on Economic and Financial Policies”. Sumber: http://www.imf.org/external/np/loi/103197.htm (diakses pada 3 September 2012 pukul 12.32 WIB). milik negara/state owned enterprise) dan desubsidi. Praktik restrukturisasi ekonomi dengan tiga ciri khas tersebut telah menjadi resep yang diberikan IMF di berbagai negara. Kebijakan ekonomi yang sangat liberal ini membuat tema-tema tentang nasionalisme ekonomi mengemuka. Bagi pihak yang menamakan diri pengusung ide nasionalisme, kebijakan ekonomi Indonesia yang liberal ini sudah melenceng dari cita-cita ekonomi nasional yang termuat dalam Pasal 33 UUD 1945 (Undang-Undang Dasar 1945). Liberalisasi dianggap telah menghilangkan karakter demokrasi ekonomi dan prinsip-prinsip penggunaan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat seperti yang dinyatakan dalam pasal tersebut. Liberalisasi sistem ekonomi juga dianggap hanya menuruti kehendak kepentingan asing untuk menguasai sistem perekonomian Indonesia. Menurut pihak ini, Indonesia lebih banyak merugi dalam paket-paket kebijakan restrukturisasi yang selama ini dilakukan. Selain itu, 1 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 ada kekhawatiran bahwa liberalisasi ekonomi dan globalisasi akan menekan kelangsungan hidup sektor Indonesia sehingga makin tergantung pada asing. Rendahnya penguasaan terhadap sebagian sektor ekonomi menjadi indikator meningkatnya ketergantungan terhadp asing tersebut. Kabinet Indonesia Bersatu I yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) adalah pemerintahan yang cukup banyak dikritik karena kebijakan ekonominya yang liberal ini. Indikatornya adalah terbukanya sistem ekonomi Indonesia, makin rendahnya perlindungan terhadp sektor-sektor yang dianggap strategis seperti air, pangan dan energi, desubsidi dan privatisasi terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jadi, meskipun Indonesia telah keluar dari Paket Kebijakan IMF pada awal Pemerintahan SBY-JK, kaidah liberalisme tetap diterapkan. Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar-merujuk pada klaim Jusuf Kalla-yang dilakukan dengan berprinsip pada kemandirian bangsa nampak sebagai anomali dari kebijakan ekonomi yang dianggap terlalu bebas sesuai dengan mekanisme pasar. Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar sendiri adalah proyek infrastruktur yang cukup besar yang padat teknologi dan padat biaya. Anggaran yang dialokasikan untuk proyek ini adalah Rp 1,7 triliun yang bersumber dari konsorsium perbankan nasional yang merupakan BUMN dan dari alokasi APBN dengan sistem tahun jamak (multi years budget). Berangkat dari dua konsep yang dipertentangkan—yaitu liberalisme dan nasionalisme ekonomi—yang tercermin dalam kebijakan mikro pada proyek yang dibahas dalam skripsi ini dengan konteks besar kebijakan ekonomi KIB I inilah penulis ingin melihat prinsip kemandirian yang dimaksud oleh Jusuf Kalla dan implementasinya dalam pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar. Jadi, penulis tertarik untuk mengetahui Bagaimanakah Jusuf Kalla menerapkan prinsip kemandirian ekonomi bangsa dalam pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar? Berkitan dengan dengan itu, penulis menjumpai bahwa kajian mengenai pemikiran politik tokoh kontemporer Indonesia pada periode waktu pasca Reformasi 1998 hingga saat ini yang dilakukan dengan metodologi ilmiah dalam lingkup Ilmu Politik masih sangat sedikit. Kalaupun ada, kajian dilakukan dengan tidak mengambil perspektif khusus untuk membedahnya. Sejauh ini, penulis sedikit sekali menemukan tulisan yang benar-benar secara sistematis akademis membahas pemikiran tokoh Indonesia kontempore dalam bidang ekonomi politik. Salah satunya adalah buku Tanri Abeng yang berjudul “Indonesia, Inc. : Privatising StateOwned Enterprise”. Buku ini berisi visi dan langkah-langkah Tanri Abeng dalam menyehatkan ekonomi Indonesia dengan melakukan privatisasi BUMN. Buku-buku lain lebih berupa sejarah atau bahkan sebatas biografi yang sering menjadi klaim sepihak kebenarannya. Jenis kedua adalah buku-buku testimonial yang berisi pujian-pujian tentang tokoh yang bersangkutan. Diantaranya adalah buku biografi “Harus Bisa” yang ditulis Dino Patti Jalal yang memuji seni kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Tulisan mengenai Jusuf Kalla bukan merupakan perkecualian. Beberapa buku tentang Jusuf Kalla diantaranya adalah “JK the Real President”, “Muhammad Jusuf Kalla Membangun Perdamaian: Berkarya dan Berprestasi” karya Ahmad Shahab, “Berbekal Seribu Akal Pemerintahan dengan Logika: Sari Pati Pidato Jusuf Kalla”, “Kallanomics” karya Herdi Syahrazad dan “Mereka Bicara JK” yang merupakan kumpulan testimonial interaksi para tokoh dengan Jusuf Kalla. Semua tulisan itu disusun dengan format, baik bahasa maupun bahasan yang populer dan tidak merupakan hasil tulisan yang disusun dengan rigiditas metodologi ilmu pengetahuan terutama dalam perspektif Ilmu Politik. Kallanomics misalnya, hanyalah semacam analisis bebas yang disajikan dengan gaya tulisan opini populer dari kebijakankebijakan yang digagas dan dilaksanakan oleh Jusuf Kalla semasa ia menjabat sebagai pejabat publik, terutama sebagai wakil presiden Republik Indonesia. Buku lain yang sifatnya testimonial adalah buku “Mereka Bicara Tentang JK”. Buku ini menyajikan testimoni dan tanggapan terhadap interaksi mereka dengan Jusuf Kalla. Selain sifatnya lebih emosional, buku ini juga tidak menyajikan data-data maupun pendekatan yang diterima secara metodologis oleh ilmu pengetahuan. Jadi, tidak banyak yang kita bisa dapatkan dari buku-buku di atas secara akademis. Namun demikian, paling tidak buku itu memberikan gambaran mengenai pemikiran Jusuf Kalla. Berkaitan dengan itu, sebenarnya memang ada pesimisme yang berkembang bahwa tokoh-tokoh politik Indonesia, terutama yang sedang menjabat tidak mempunyai pemikiran politik yang spesifik. Hal ini bisa dimaklumi karena: pertama, tokohtokoh politik Indonesia kontemporer jarang sekali yang menyusun sebuah buku yang menunjukkan dasar-dasar pemikirannya. Kedua, berkembangnya pragmatisme di Indonesia yang turut mewarnai pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh tersebut. Hal ini berkonsekuensi pada tindakan-tindakan praktis yang seeringkali tidak mencerminkan dasar ideologi seseorang. Oleh karenanya, dapat dimaklumi jika ada semacam simplifikasi pernyataan dari para pengamat politik bahwa para tokoh politik tidak mempunyai pemikiran politik yang khas. Penulis melihat bahwa pernyataan yang simplistik itu bisa jadi digunakan untuk menggeneralisasikan berbagai 2 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 fenomena yang berkitan dengan para tokoh itu. Namun, di sisi lain, hal tersebut seolah mengabaikan kenyataan bahwa ada kekhasan yang bisa diambil dari pemikiran-pemikiran para tokoh tersebut. Untuk itu, penulis berpendapat bahwa diperlukan sebuah upaya untuk memulai mengkaji pemikiran tokoh-tokoh politik pasca Reformasi. Tujuannya untuk memperjelas pemetaan pemikiran tersebut dan bagaimana faktor-faktor lain berpengaruh terhadap terlaksana atau tidaknya pemikiran tersebut. Penulis berharap tulisan ini menjadi awal bagi eksplorasi tersebut. Pemikiran Jusuf Kalla penulis pilih sebagai unit analisis karena Jusuf Kalla adalah tokoh politik yang cukup menonjol pada era pasca Reformasi. Ia adalah wakil presiden pertama yang mempunyai peran cukup signifikan dalam pemerintahan. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya sejak zaman Muhammad Hatta. Sementara pada masalah kesamaan fokus bahasan, sebenarnya cukup ada referensi yang membahas mengenai pemikiran nasionalisme ekonomi yang dipunyai tokoh-tokoh di luar negeri. Tema nasionalisme ekonomi selalu relevan bahkan di saat era perdagangan bebas. Pemikiran ini juga tidak hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh dari negara berkembang, tetapi juga dari negara-negara maju. Ada benang merah dari semua bentuk nasionalisme ekonomi yang dipunyai baik oleh negara maju maupun negara berkembang yaitu kekhawatiran terhadap kedaulatan ekonomi dalam negeri di saat keterbukaan makin masif terjadi. Negara maju berkepentingan agar keuntungan dari dominasi dan hegemoni mereka mereka tetap berlangsung dalam tata ekonomi dunia dan industri dalam negeri mereka tetap terlindungi. Inilah yang dilakukan oleh proteksionisme Barrack Obama di Amerika Serikat, proteksionisme di Jerman dan proteksionisme di Zona Uni Eropa pada umumnya. Sementara negara berkembang berusaha keras agar mereka mampu sejajar dengan negara-negara maju agar tidak selalu menjadi obyek dalam tatanan dunia baru yang terglobalisasi. Inilah yang juga terjadi di Indonesia. Meskipun banyak tulisan yang membahas fokus kajian yang sama, namun pemikiran ekonomi politik oleh seorang tokoh tetap merupakan sesuatu yang khas. Tulisan pemikiran ekonomi politik adalah usaha untuk menggali sesuatu yang unik dari sebuah fenomena. Ia akan berbeda antara satu tokoh dengan tokoh lain meskipun asal dari tokoh unit analisis berasal dari negara yang sama, apalagi jika tokohtokoh tersebut berasal dari negara yang berbeda. Lebih khusus mengenai pemikiran kemandirian ekonomi Jusuf Kalla, sebenarnya Jusuf Kalla sendiri telah menulis dua buah buku yang membahas hal tersebut, namun kedua buku tersebut hanyalah berisi ringkasan-ringkasa pidato Jusuf kalla sendiri yang disatukan dengan satu topik mengenai kemandirian. Sistematikannya sendiri tidak mengikuti alur penulisan ilmiah. Mengingat dua tulisan itu hanya merupakan pernyataan pemikiran Jusuf Kalla, tidak ada mekanisme penyelidikan yang secara metodologis sesuai dengan prinsip keilmuan. Sementara buku-buku lain juga tidak secara mendetail membahas pemikiran Jusuf Kalla mengenai kemandirian atau bahkan hanya bersifat testimonial seperti telah dikemukakan di muka. Dari uraian di atas, dalam peta kajian ilmiah tulisan ini akan mempunyai beberapa fungsi, yaitu menjadi pelengkap bagi hasil studi yang telah ada dengan fokus dan lokus yang sama; pada saat yang sama, tulisan ini juga akan menjadi pengisi bagi ruang-ruang yang belum diisi oleh hasil kajian lain mengingat keunikan dan kekhasan yang dimilikinya. Secara praksis, tulisan ini diharapkan menjadi bahan referensi bagi gerakan yang mengusung ide nasionalisme dalam pembangunan ekonomi, terutama dalam lingkup Indonesia. Sebagaimana diketahui, setiap gerakan mempunyai pilihan-pilihan tindakan untuk bertindak. Hal tersebut harus ditunjang dengan adanya informasi yang cukup untuk mengelola konsekuensi yang ditimbulkan oleh sebuah pilihan tindakan. Metode Penelitian Pemikiran politik (political thought atau political theory) menurut A. Rahman Zainuddin adalah bagian dari Ilmu Politik yang mengkhususkan dalam penelitian mengenai pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam bidang politik. pemikiran politik sendiri berkaitan erat dengan persoalan etika, moralitas dan idealisme politik. 2 Untuk membahas pemikiran politik ada dua bidang perhatian yang harus dianalisis: pertama, sosialisasi yang dialami oleh seseorang yang kita analisis pemikirannya. Menurut Richard Dawson, sosialisasi adalah suatu bentuk pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik dari agen-agen sosialisasi seperti orang tua, guru dan sarana-sarana sosialisasi lain kepada obyek sosialisasi.3 Kedua, pembahasan mengenai pemikiran politik juga harus menekankan fokus pada konteks atau realitas sosial politik dimana tokoh yang dianalisa hidup. Perhatian terhadap latar yang berkaitan dengan waktu dan tempat dimana sang tokoh mempunyai pemikiran dan kemudian menuangkan pemikiran tersebut diperlukan karena hal ini berhubungan erat dengan fakta-fakta sosial yang kemudian menuntut seseorang untuk mempunyai sebuah pemikiran politik. Penelitian mengenai Pemikiran politik seorang tokoh juga mempunyai ciri khas yaitu upaya untuk menemukan sesuatu yang khas/unik menyangkut konstruksi pemikiran tokoh politik yang dimaksud. Dalam penelitian ini penulis hendak mencapai dua dua tujuan, yaitu: (1) menemukan konstruksi Pemikiran Kemandirian Ekonomi Bangsa Jusuf 2 A. Rahman Zainuddin. 1990. Pemikiran Politik dalam Jurnal Ilmu Politik No.7. Jakarta: AIPI-LIPI-Gramedia. hlm 3. Richad E. Dawson et al. 1997. Political Socialization. Boston: Little Brown and Company. hlm 34. 3 3 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 Kalla beserta implementasinya dalam perumusan kebijakan pembangunan Bandara Internasional Hasanuddin Makassar; (2) menemukan sebab yang melatarbelakangi mengapa Jusuf Kalla mempunyai pemikiran tersebut. Untuk dua tujuan yang disasar tersebut penulis menggunakan metode kualitatif mengingat karakter dari penelitian ini sesuai dengan karakter metode penelitian kualitatif. Cresswel menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif bertujuan untuk menemukan sesuatu yang khas dari obyek yang dianalisis. Untuk mencapai dua tujuan yang dimaksud di atas penulis menggunakan metode wawancara mendalam dan studi pustaka. Wawancara digunakan sebagai bahan data untuk skripsi ini secara keseluruhan, sedangkan studi pustaka digunakan sebagai pelengkap dan pendukung hasil wawancara. Kerangka Teori a. Otonomi Relatif Negara Otonomi negara adalah sebuah konsep yang mengacu pada “Kemandirian atau ketidaktergantungan negara terhadap entitas di luarnya”. Konsep ini antara lain kita temukan dalam tesis Theda Skocpol dalam bukunya “Negara dan Revolusi Sosial”. Menurut Skocpol, negara adalah seperangkat organisasi adminsitrasi, pengambil kebijakan, dan militer yang dipimpin atau dikoordinasi oleh suatu otoritas eksekutif. Oleh karena itu negara tidak bisa dianggap hanya sebagai arena dari pertarungan dari aktor-aktor politik sebagaimana diasumsikan oleh pandangan pluralis. Negara itu sendiri punya kepentingan dan punya otoritas untuk mencapai kepentingannya tersebut. 4. Apa yang dimaksud dengan entitas di luarnya sendiri sebenarnya sangat dilematis; apakah elemenelemen yang ada dalam negara seperti rakyatnya sendiri adalah entitas di luar negara? Namun dapat dikatakan bahwa semua ahli memang memisahkan antara negara sebagai sebuah badan formal memang harus dipisahkan dengan kesatuan-kesatuan lainnya termasuk yang sebenarnya ada di dalam negara tersebut. Bahkan, pada teori-teori yang pluralis tetap memisahkan negara dengan individu atau kelompok individu yang ada dalam negara tersebut. John Locke, misalnya tetap memisahkan entitas negara dengan civil society yang ada di negara tersebut. Hal ini untuk menunjukkan bahwa negara adalah aktor yang bisa berhadapan dengan entitas lain. Jadi, negara dalam pengertian ini bisa berhadapan dengan entitas asing maupun berhadapan dengan elemenelemen yang ada di dalamnya yaitu aktor-aktor politik yang bertarung di dalam negara tersebut. Nicos Poulantzas setuju dengan adanya otonomi negara tersebut, namun menurutnya negara tidak punya kemutlakan otonomi namun otonomi yang 4 Theda Skocpol.2001. Negara dan Revolusi Sosial. Jakarta: Erlangga. hlm 1-35. relatif.5 Bagi Poulantzas, Negara adalah arena berlangsungnya perjuangan politik namun ia sendiri bukanlah sebuah institusi pasif yang dapat dikendalikan oleh satu kelas tertentu. Selain itu, negara juga merupakan lokasi tempat para aparaturnya melangsungkan pertarungan politik diantara mereka. Negara punya otonomi namun hal ini saling bersinggungan dengan otonomi yang dimiliki oleh kelas-kelas sosial yang lain. Negara tidak bisa mutlak berada di atas kelas-kelas sosial tersebut karena sebagai institusi, ia juga punya kebutuhan terhadap sumberdaya yang dimiliki oleh kelas-kelas sosial yang tidak bisa direbut oleh negara secara semena-mena. Disamping itu ada kenyataan bahwa negara sebagai badan administrasi juga bukan sesuatu yang monolitik. Aparaturaparatur yang ada di dalamnya juga punya kepentingan yang membuat mereka saling memperjuangkan kepentingan tersebut. Dalam relasi internasional otonomi negara berhadapan dengan otonomi negara lain. Negara dianggap sebagai aktor-aktor dalam hubungan yang diikat oleh norma hukum dan konvensi internasional. Masing-masing negara memperjuangkan kepentingannya sendiri. Dalam tatanan globalisasi seperti saat ini, otonomi negara menjadi sesuatu yang penuh polemik untuk dikaji. Globalisasi, seperti dikatakan Anthony Giddens, adalah intensifikasi relasi sosial yang semakin masif sehingga kejadian di satu wilayah bisa sangat berpengaruh terhadap daerah lain yang jauh.6 Kenichi Ohmae melihat bahwa relasi sosial yang semakin intensif itu makin mereduksi arti dari negara.7 Arus informasi, barang, modal, jasa dan manusia yang semakin intensif membuat batas-batas teritorial menjadi semakin mengabur. Dalam globalisasi timbul kosmopolitanisme yang mengakibatkan identitas politik tradisional menjadi semakin tidak jelas untuk mengidentifikasi barang, jasa dan manusia. Namun demikian, tidak semua setuju dengan pendapat Kenichi Ohmae tersebut. David Slater menemukan bahwa globalisasi memuat paradoks. Paradoks utama, menurutnya adalah bahwa globalisasi secara bersamaan berhasil membuat integrasi-integrasi dalam sektor ekonomi namun pada saat yang sama membuat jarak sosial dan politik antar negara makin menjauh. 8 Ia menyebutkan bahwa ada kecenderungan masingmasing negara untuk dipersatukan dalam organisasi- 5 Nicos Poulantzas.1973. Political Power and Social Classes. London: NIB. hlm 72. 6 Anthony Giddens. 2001. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Diterjemahkan oleh Andry Kristiawan S. dan Yustina Koen S. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm 35. 7 Kenichi Ohmae. 1999. Borderless World: Power and Strategy in the Interlinked Economy. HarperCollins. hlm 63. 8 David Slater.1998. Post Colonial Question for Global Times dalam Review of International Political Economy 5:4 Winter 1998 hlm 647-678. 4 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 organisasi ekonomi namun pada saat bersamaan menguatkan kepentingan mereka sendiri. Pendapat Slater di atas menunjukkan bahwa otonomi negara dalam globalisasi tetap ada dan perlu dipertimbangkan. Meskipun demikian, argumen bahwa globalisasi telah mengaburkan batas-batas negara juga tetap relevan untuk menunjukkan bahwa pertukaran informasi, barang, jasa dan manusia antar negara secara intensif membuat otonomi negara tidak bisa lagi dilihat dalam sudut pandang tradisional. Otonomi suatu negara tidak serta merta mengisolasi otonomi negara lain atau ketiadaan pengaruh negara lain terhadap otonomi negara tersebut. Dalam globalisasi hubungan antar negara telah membuat negaranegara tersebut terikat dalam hubungan yang interdependen. b. Nasionalisme Ekonomi Tema kemandirian sebuah negara tidak lepas dari konsep nasionalisme apabila dilihat dalam kerangka relasi dengan negara lain. Kemandirian atau otonomi nasional dalam berbagai bidang dapat dianggap sebagai bagian yang sangat penting dari nasionalisme ekonomi. Konsep ini bahkan sering dipertukarkan dengan nasionalisme ekonomi itu sendiri karena tujuan dari nasionalisme ekonomi adalah mencapai kemandirian itu sendiri. Hal ini didasarkan pada pendapat Anthony Smith yang menyatakan bahwa ada tiga faktor fundamental dalam konsep nasionalisme: yaitu otonomi nasional, kesatuan nasional dan identitas nasional.9 Nasionalisme sendiri, menurut Smith adalah ideologi yang memusatkan perhatian pada sebuah bangsa dan upaya untuk meningkatkan kebaikan bagi bangsa tersebut.10 Richard Sauers sependapat dengan Smith. Menurut Richard Sauers, nasionalisme adalah ideologi yang mengajarkan pengabdian secara menyeluruh terhadap sebuah bangsa.11 Nasionalisme ekonomi, masih menurut Anthony Smith, adalah salah satu dimensi dari nasionalisme secara umum.12 Oleh karena itu, untuk memahami definisi nasionalisme ekonomi, acuan yang dipakai adalah nasionalisme secara luas sebagaimana disebutkan di atas. Jadi, nasionalisme ekonomi adalah sebuah paham yang mengabdikan kegiatan ekonomi demi kebaikan sebuah negara bangsa. Dalam kalimat yang lain, menurut Sumitro Djojohadikusumo, Nasionalisme ekonomi adalah sebuah konsep yang mengacu pada kedaulatan sebuah negara bangsa (nation state) dalam dalam bidang ekonomi.13 Mundrajad Koencoro juga memakai definisi yang sama dengan yang dipakai Sumitro Djojohadikusumo. Bagi Mundradjad, nasionalisme ekonomi adalah kemampuan atau kedaulatan bagi sebuah Negara untuk melakukan pengaturan ekonomi politik di dalam negeri sendiri.14 Sebagai salah satu dimensi dari nasionalisme secara umum, nasionalisme ekonomi juga mempunyai tiga faktor mendasar tersebut. Dengan demikian nasionalisme ekonomi didasari oleh politik identitas dalam mewujudkan otonomi dalam sektor ekonomi pada negara-bangsa yang dimaksud. Mundradjad Kuncoro membagi nasionalisme ekonomi Indonesia dalam dua titik ekstrim yaitu kelompok moderat dan kelompok nasionalis. Kelompok moderat dicirikan oleh penerimaan mereka terhadap interfensi asing dalam skala tertentu, misalnya masuknya modal asing. Kelompok ini tidak anti asing namun tetap mengusahakan pemberdayaan pengusaha pribumi. Menurut Mundradjad, ini adalah ciri pemerintahan teknokratis. Contoh dari nasionalisme ekonomi moderat adalah Soemitor Djojohadikusumo dengan Rencana Urgensi Pembangunan pada tahun 1951. Kebijakan serupa juga diambil oleh pemerintahan Orde Baru. Orde Baru selalu menekankan pentingnya modernisasi ekonomi dengan mengikuti pola kemajuan Rostow dengan membuka diri terhadap arus investasi asing untuk memberdayakan sistem ekonomi dalam negeri. Sedangkan kutub lain adalah nasionalis radikal. yang menekankan pentingnya memajukan bisnis para pengusaha pribumi, menasionalisasi perusahaan asing sebagai upaya membebaskan diri dari kekangan imperialis, dan meningkatkan peranan badan usaha milik negara (BUMN) untuk membangun industri nasional. Contoh kutub ini adalah Program Benteng yang diluncurkan oleh Djuanda saat menjadi Perdana Menteri pada tahun 1956. Program Benteng seperti diketahui adalah sebuah program untuk menasionalisasi perusahaanperusahaan asing, terutama perusahaan-perusahaan milik Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia. Pemikiran Soekarno pada dekade 1960-an juga mewakili kelompok nasionalis ini. Soekarno dalam bidang ekonomi terkenal dengan semboyan,”Go to Hell with Your Aids (persetan dengan bantuanmu)!” pada masa itu. Menurut Soekarno, bantuan utang dari Negara-negara neo kolonialisme adalah upaya untuk menjajah sistem ekonomi dan politik Indonesia15. 13 9 Anthony D Smith. 2010. Nationalism 2nd ed.Cambridge: Polity Press. hlm 9. 10 Ibid. 11 Richard Sauers, PHD.2010. Key Concept in American History: Nationalism. New York: DWJ Books LLC. hlm 1. 12 Anthony D Smith. Nationalism 2nd ed. Op. Cit., hlm 10. Soemitro. 1951. Rencana Urgensi Perekonomian. Diunduh dari www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8606/ (diakses Senin, 26 Maret 2012 pukul 11.21 WIB). 14 Mundrajad Kuncoro. 1997. Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah dan Kebijakan.Yogyakarta; UPP AMP YKPN. 15 Cindy Heller Adams. Sukarno: An Autobiography. Indianapolis: Bobbs-Merrill. hlm 223. 5 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 c. Sosialisasi Politik Sosialisasi politik menurut Easton dan Dennis adalah sebuah proses dimana seseorang memperoleh orientasi politik.16 Pendapat Althoff dan Rush sejalan dengan pendapat ini, ia menyatakan bahwa sosialisasi politik adalah suatu proses memperkenalkan sistem politik pada seseorang sehingga hal tersebut membentuk sikap dan perilaku bagaimana orang tersebut menanggapi atau bereaksi terhadap gejala-gejala politik.17 Sosialisasi politik ditentukan oleh berbagai faktor yang menjadi latar belakang dimana orang tersebut mengalami sosialisasi seperti lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana individu berada serta interaksi dengan pengalaman-pengalaman yang dialami orang tersebut. Menurut Almond , ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam sosialisasi politik, yaitu:18 (a)Bahwa sosialisasi politik adalah sebuah proses yang berlangsung lama dan terus menerus; (b) Sosialisasi politik dapat berlangsung melalui transmisi langsung maupun tidak langsung. Secara langsung jika secara eksplisit melibatkan komunikasi, informasi, pandangan atau nilai-nilai politik. Secara tidak langsung jika beberapa hal tersebut disampaikan dilakukan secara implisit melalui media antara. Masih menurut Athoff dan Rush ada beberapa metode dalam sosialisasi politik yaitu: (1) imitasi atau proses peniruan dari agen sosialisasi oleh pelaku sosialisasi. Contohnya adalah anak-anak yang meniru orang tuanya dalam menanggapi dan menyampaikan pendapat terhadap fenomena politik; (2) instruksi atau perintah. Pada metode ini pelaku sosialisasi diarahkan atau dikondisikan untuk melakukan atau menyerap apa yang diinginkan seseorang yang menjadi agen sosialisasi; (3) Motivasi, yaitu sebuah metode untuk mengkondisikan pelaku sosialisasi agar terdorong atau terpacu untuk mempunyai sikap atau orientasi politik tertentu. Motivasi didasarkan pada internalisasi kepentingan pelaku sosialisasi yang terkait dengan orientasi politik tertentu. Ada 6 agen sosialisasi politik yang disebutkan oleh Gabriel Almond, diantaranya: keluarga, sekolah, peer group (kelompok pertemanan), pekerjaan,media masa dan kontak-kontak politik langsung.19 Rekam Jejak Jusuf Kalla Jusuf Kalla adalah anak tertua pasangan Hadji Kalla dan Hj Ahthirah. Hadji Kalla adalah seorang pengusaha yang mengawali usaha dari berjualan 16 David Easton and Jack Dennis. 1969. Children in the Political System: Origins of Political Legitimacy. New York: McGrawHill. hlm 122. 17 Phillip Athoff and Michael Rush. 1971. An Introduction to Political Sociology. Melbourne: Thomas and Nelson. hlm 20. 18 Gabriel A. Almond. 1974. “ Political Socialization and Cultur” dan Political Participation dalam Comparative Politics Today, Boston: Little, Rown and Company. hlm 34. 19 Ibid., hlm 49. tekstil di pasar sentral Watampone. Ia lahir di Watampone, Ibukota Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 25 Mei 1942. Ibunya, Hj Athirah adalah ibu rumah tangga yang diingat oleh Jusuf Kalla sebagai orang yang penyabar, setia dan punya kepedulian sosial tinggi.20 Orientasi dalam agama menjadi nilai utama yang dipegang oleh Hadji Kalla dan Athirah. Prinsip-prinsip agama dalam muamalah juga diajarkan oleh Hadji Kalla dan Athirah dalam pekerjaannya. Hadji Kalla misalnya tidak memperbolehkan adanya pegawai perempuan karena alasan aturan Islam dalam pergaulan yang melarang laki-laki dan perempuan bercampur. Aturan tak tertulis ini dipertahankan hingga akhir kepemimpinannya di NV Hadji Kalla. Kedua, Hadji Kalla dan Athirah juga melarang sama sekali anak-anaknya berusaha di bidang perhotelan juga karena dianggap berlawanan dengan anjuran Islam. Menurut Hadji Kalla, dalam bisnis perhotelan seringkali bersentuhan dengan perdagangan minuman keras yang dilarang oleh agama. Cara Hadji Kalla dan Athirah mendidik anak-anaknya di bidang agama tidak hanya melalu indoktrinasi yang bersifat verbal, tetapi juga dengan teladan yang langsung dipraktikkan. Cara pengajaran dalam bidang ini amat disiplin, dalam urusan agama Hadji Kalla dan Athirah tak kenal urusan tawar menawar. Jusuf Kalla juga diajarkan hidup sederhana oleh ibunya sesuai perintah agama. Keluarga Kalla adalah keluarga pebisnis yang termasuk keluarga paling kaya di Makassar, tetapi mereka membangun rumah dan mempunyai gaya hidup dengan prinsip tidak melebihi kemewahan tetangga-tetangganya.21 Orientasi keagamaan yang kuat inilah yang membuat Hadji Kalla menginginkan anak-anaknya terutama Jusuf Kalla menjadi guru agama. Oleh Jusuf Kalla apa yang diajarkan oleh orang tuanya itu kemudian dipraktikkan secara berkelanjutan dan konsisten hingga kini, baik dalam kehidupan sosial, politik maupun berbisnis, kecuali untuk beberapa hal yang dianggapnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Urusan zakat tidak pernah ia tinggalkan sama sekali, bahkan pada saat bisnisnya merugi. Jusuf Kalla juga meneruskan upaya ayahnya di bidang sosial seperti menjadi bendaharawan Masjid Raya Makassar, mengurus yayasan-yayasan pendidikan dan kemudian juga mengurus Yayasan Al-Markaz. Dalam berbisnis, Jusuf Kalla juga memegang prinsip-prinsip yang diwariskan oleh orang tuanya. Ia menjadikan bisnisnya sebagai sarana ibadah, bukan semata-mata kegiatan ekonomi. Jusuf Kalla juga masih meneruskan batasan-batasan nilai Islam yang diwariskan oleh kedua orang tuanya. Nilai-nilai agamis keluarga Kalla sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari karakter sosial masyarakat 20 Taufik Adi Susilo. 2009. Membaca JK: Biografi Singkat Jusuf Kalla. Yogyakarta: Penerbit Garasi. hlm 13. 21 Husain Abdullah, Neneng Herbawati dan Andi Suruji., Op Cit. hlm 7. 6 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 Bugis. Menurut Christian Peltras, Sistem dan norma serta aturan-aturan adat Bugis yang dikenal dengan pangngadereng yang terdiri dari lima unsur pokok, yaitu ade’, bicara, rapang, wari, dan sara sarat dengan ajaran untuk bekerja keras dan mempertahankan nama baik serta kepatuhan terhadap agama.22 Sara, konsep terakhir dalam lima unsur pangngadereng yang dimaksud di sini adalah syariah Islam. Jadi, sebagaimana sistem sosial budaya Minangkabau yang menyatakan adat basandi syara’ (adat bersendikan syariah), masyarakat Bugis juga memasukkan syariah dalam sistem sosial budaya mereka. Selain soal agama, Jusuf Kalla juga dididik oleh Hadji Kalla menjadi pebisnis. Sejak kecil Jusuf Kalla sudah diajari teori dan praktik berbisnis meskipun dengan jalan informal. Jusuf Kalla kecil sering diajak ikut dalam perundingan-perundingan bisnis dan rapat-rapat organisasi kemasyarakatan. Menurut Jusuf Kalla, itu cara ayahnya mendidiknya mengenai negosiasi, organisasi dan kepemimpinan. Dari keseluruhan praktik kegiatan bisnis ayahnya ia juga belajar mengenai kerja keras, keuletan, rasionalitas dalam berusaha sekaligus kejujuran dan prinsip penerapan nilai Islam yang keras. Hadji Kalla memang seorang pebisnis sejak usia masih sangat muda. Ia mulai berdagang dengan membuka toko kelontong pada usia 15 tahun di Pasar Wattampone. Setahun kemudian ia sudah berhasil mengumpulkan uang dari keuntungannya untuk dipergunakan sebagai biaya ibadah haji. Setahun berikutnya ia sudah berani meminang Athirah. Hadji Kalla menerapkan prinsip aturan Islam yang keras dalam bisnisnya. Ia menganggap bisnis adalah ibadah sehingga tidak boleh melanggar aturan agama. Beberapa aturan bahkan tak lazim bagi seorang pengusaha yang logikanya seharusnya mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya seperti: (1) tidak mau berdagang beras karena dianggapnya sama dengan menimbun kebutuhan pokok; (2) tidak mau membuka usaha perhotelan karena berkaitan dengan penjualan minuman keras; (3) tidak mau memperkerjakan perempuan karena perempuan dan laki-laki tidak boleh bercampur di lingkungan kerja; dan (4) melarang utang (kredit) pada bank dalam berusaha karena dianggap riba.23 Karier pertama Jusuf Kalla dalam bisnis dimulai pada waktu ia masih sangat muda. Selain diajak mengikuti perundingan-perundingan bisnis ayahnya, ia juga praktik langsung mengawasi kasir toko ayahnya pada umur 8 tahun. Ia juga sering diajak ke Makassar untuk berdagang hasil bumi. Karier sebagai magang pebisnis secara tidak resmi disematkan oleh ayahnya. Namun, ia belum benarbenar mengurus perusahaan sampai pada tahun 1967 ketika ayahnya menyerahkan bisnis keluarga 22 Christian Peltras. 1996. The Bugis. Oxford :Blackwell Publisher. 23 Husain Abdullah, Neneng Herbawati, Andi Suruji. Op. Cit., hlm. 9-21. tersebut secara resmi kepadanya. Ketika itu bisnis keluarganya sedang jatuh karena krisis ekonomi pada tahun 1965-1966. Dalam kepemimpinan Jusuf Kalla, bisnis keluarganya bangkit lagi. Semua disebabkan oleh kemampuan Jusuf Kalla melihat peluang dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Ia mulai mendirikan PT Bumi Karsa pada tahun 1967 untuk menjawab respon pemerintah yang hendak memacu pembangunan. Selanjutnya ia menjadi pengimpor pertama Mobil Toyota semi knock down dari Jepang. Setelah itu bisnisnya terus berkembang dalam banyak bidang. PT Bukaka Teknik Utama yang didirikannya terus mengembangkan bisnis hingga memasuki wilayah komunikasi, pompa angguk tambang minyak dan lain-lain. Namun, pada perjalanan selanjutnya PT Bukaka Teknik sangat terkenal sebagai pembuat garbarata (gangway) yaitu alat penghubung antara pesawat dan ruang tunggu terminal bandara. Bidang bisnis yang ditekuninya juga melebar ke banyak bidang seperti transportasi laut, eskpor impor hasil bumi dan lain-lain. Secara pribadi, kesuksesan ini juga menghantarkan Jusuf Kalla dikenal sebagai tokoh pengusaha ternama dari KTI. Julukannya, “pangeran bisnis dari timur” atau ada juga yang menyebut, “ayam jantan dari timur.” Hal itu mengantarkannya sebagai kepala Kamar Dagang dan Industri Daerah Sulawesi Selatan (Kadinda Sulsel) dan berbagai jabatan lainnya. Jusuf Kalla melakukan duplikasi dengan hanya sedikit penyesuaian. Pertama, Jusuf kalla menerapkan prinsip kerja keras, pintar melihat dan memanfaatkan peluang, realistis, pantang menyerah dan berpikir jauh ke depan; Kedua, ia juga menganggap pekerjaannya sebagai ibadah sehingga batasan-batasan nilai Islam tetap dipertahankannya kecuali beberapa hal seperti mau menerima pegawai perempuan. Ketiga, Jusuf Kalla menerapkan prinsipprinsip sosial dalam kegiatan bisnisnya. Ia tidak hanya melihat bisnis sebagai alat untuk mencapai keuntungan pribadi, tetapi juga untuk kepentingan karyawan dan sebanyak-banyak orang. Ia juga dikenal sangat peduli dengan kemajuan Kawasan Timur Indonesia. Contohnya adalah pada saat krisis ekonomi ia menolak untuk memecat 1500 karyawannya demi alasan kemanusiaan. Padahal, Direktur Operasinal dan Keuangannya menyatakan bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk terus bertahan (survive) pada masa krisis. Saat menjabat sebagai Ketua KADINDA Sulawesi Selatan, ia berusaha memajukan petani-petani di daerahnya dengan rajin menghubungkan petani, pengusaha dan pemerintah daerah agar produktifitas pertanian serta pemasaran produk pertanian Sulawesi Selatan maju. Ini dilakukan pada dekade 1980-an. Pada saat itu Jusuf Kalla belum punya usaha di bidang agribisnis. Hal yang sama terjadi pada proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air di Poso, Jusuf Kalla tetap melanjutkan proyek ini meskipun kondisi Poso masih sering dilanda konflik. Ia mengatakan bahwa 7 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 proyek ini penting karena akan membuka lapangan kerja bagi penduduk Poso. Menurutnya, konflik di Poso terjadi karena ketiadaan lapangan kerja. Untuk itu, ia mengalokasikan hampir semua bidang pekerjaan pembangunan tersebut pada penduduk Poso meskipun sebelumnya banyak dari mereka yang tidak terdidik. Jusuf Kalla tak segan memberikan bekal keterampilan terlebih dahulu pada penduduk setempat untuk kemudian dipekerjakan dalam proyek tersebut. Kemandirian Ekonomi Bangsa Dalam Pemikiran Jusuf Kalla Pembahasan mengenai ini dimulai dari kutipan testimonial Ponco Sutowo mengenai Jusuf Kalla. Kutipan ini menurut penulis sangat penting sebagai pintu masuk untuk memahami seluruh konstruksi pemikiran Jusuf Kalla mengenai kemandirian ekonomi. Ponco Sutowo mengatakan: “Jusuf Kalla berhasil membawa pola pikir pengusaha untuk diaplikasikan demi kebaikan nusa dan bangsa.” 24 Pernyataan itu memberi petunjuk pada kita bahwa pola pikir Jusuf Kalla adalah pola pikir pengusaha: logika yang dipakai oleh Jusuf Kalla adalah logika pengusaha. Masih menginduk pada testimoni Ponco Sutowo ada beberapa hal utama yang berkaitan dengan pola pikir pengusaha (kewirausahaan) yang dimaksud oleh Ponco Sutowo: pertama, Ponco Sutowo mengatakan bahwa seorang wirausaha adalah seorang pemimpin (leader); Kedua, bahwa kewirausahaan (entrepreneurship) adalah sebuah upaya untuk memberdayakan segala sumberdaya yang ada; ketiga, pemberdayaan yang dimaksud harus dilaksanakan dengan prinsip kemandirian; keempat, tentu saja, kesemua hal tersebut dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan. Untuk memperjelas kalimat itu, secara ilustratif, apa yang dimaksud oleh Ponco Sutowo dapat digambarkan pada bagan sebagai berikut: Kewirausahaan Lingkungan Luar sumberday a Tujuan Bernegara sumberday a sumberday a Gambar 2:Logika Pemikiran Jusuf Kalla Jusuf Kalla mempraktikkan kerangka logika seperti itu baik ketika menjadi seorang aktifis, pebisnis hingga menjadi seorang pejabat publik. 24 Melihat latar belakang Jusuf Kalla, diperlukan sebuah transformasi identitas yang intensif dari seorang pebisnis menjadi seorang pejabat publik. Selama ini ada pesimisme yang berkembang di Indonesia bahwa masuknya pengusaha dalam politik Indonesia merugikan politik dan demokrasi di Indonesia. Pengusaha dianggap hanya berusaha untuk mencari rente dalam sistem politik Indonesia sesuai dengan sifat khasnya untuk mengejar keuntungan pribadi (individual interest pursuit). Dalam konteks Jusuf Kalla, transformasi ini tidak berjalan secara instan tetapi berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini bisa dilihat pada rekam jejak Jusuf Kalla yang diuraikan di atas. Masuk dalam pemikiran kemandirian ekonomi bangsa, ada beberapa aspek yang perlu dikupas dari prinsip kemandirian ekonomi dalam konteks Bangsa Indonesia. Aspek pertama adalah aspek kesejarahan yang menyertai pembentukan semangat tersebut. Aspek kedua adalah aspek geneaologi teori dari pemikiran tersebut. Keduanya menjadi penting untuk melihat bagaimana pengaruh fakta kontekstual dan pengaruh latar belakang pemikiran saling berkaitan dalam membentuk alam pemikiran para tokoh Indonesia. Pada sisi kesejarahan, pemikiran ini merupakan reaksi dari fakta yang dialami oleh Bangsa Indonesia selama berabadabad. Pemikiran ini adalah reaksi dari inferioritas ekonomi Indonesia akibat kolonialisme negaranegara Eropa di Nusantara yang kemudian dilanjutkan oleh Jepang pada tahun 1942-1945. Kolonialisme menjadikan Indonesia kehilangan keberdayaan dalam bidang ekonomi karena hampir semua faktor produksi dan sistem ekonomi dikuasai dan semata-mata diarahkan untuk kepentingan asing. Dampaknya terasa ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Kemerdekaan politik tidak didukung oleh modal yang cukup dalam sektor ekonomi. Sejarah mencatat bahwa setelah merdeka, sistem ekonomi Nasional Indonesia masih memakai sistem ekonomi kolonial. Indonesia bahkan tidak punya penguasaan yang cukup baik dalam sistem ekonomi tersebut, baik dalam pengertian negara maupun pengertian kekuatan borjuisnya. Hampir semua proses produksi dikuasai oleh asing mulai dari perkebunan, pertambangan, transportasi laut, energi dan sebagainya. Indonesia tercatat hanya mempunyai kemampuan kecil yang tidak signifikan dalam hal distribusi domestik dan pertanian pangan. Itupun dalam proporsi yang tidak cukup baik karena mobilisasi intensif untuk kepentingan penjajahan Jepang pada masa sebelumnya. Pada saat yang sama pengaturan ekonomi internasional mulai intensif dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekonomi dunia dengan adanya mekanisme perjanjian Bretton-Woods sejak Fenty Effendy et al (eds.) Op. Cit., hlm 63. 8 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 tahun 1944.25 Bretton-Woods sendiri semula terbatas pada upaya bersama untuk mengatasi dampak Perang Dunia II di Eropa, terutama Eropa Barat; Namun kemudian, skalanya meluas ke seluruh dunia. Persaingan dua ideologi, Liberalisme dan Sosialisme, turut memberikan sumbangan internasionalisasi berkaitan dengan upaya perluasan pengaruh masing-masing blok. Tahapan selanjutnya dari tatanan ekonomi dunia adalah Globalisasi ekonomi yang mulai sangat intensif terjadi sejak pertengahan pertama dekade 1980 dengan dimulai mendunianya teknologi internet. Kemenangan liberalisme atas sosialisme dengan runtuhnya Uni Sovyet membuat pasar bebas semakin melembaga dalam relasi antar bangsa. Salah satu peristiwa yang paling nyata untuk menunjukkan dampak pengaruh globalisasi versi terbaru ini dalam konteks Indonesia adalah peristiwa krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Kemudahan arus masuk dan keluar modal, barang, jasa dan manusia dalam globalisasi menghancurkan fondasi ekonomi yang telah dibangun sebelumnya di masa Orde Baru. Dalam konteks seperti itulah pemikiran kemandirian ekonomi bangsa Jusuf Kalla muncul dan diimplementasikan. Secara ontologis sebenarnya pemikiran kemandirian ekonomi bangsa Jusuf Kalla tidak berbeda secara mendasar dengan konsep kemandirian bangsa yang ada dalam pemikiran tokoh Indonesia yang lain, yaitu sebuah upaya untuk mencapai kedaulatan dalam bidang ekonomi. Jusuf Kalla mengatakan: “Kita ini memang bangsa yang sangat tergantung. Kenapa kita ini menjadi tergantung? Apa-apa minta bantuan orang asing, membangun bandara minta bantuan asing. sudah 60 tahun negeri ini merdeka, bangun bandara pun tidak bisa. Seharusnya tidak boleh lagi ada campuran tangan asing. semua harus dengan otak Indonesia, tangan Indonesia, uang Indonesia.” 26 Namun Jusuf Kalla juga menyadari keterbatasan sumberdaya internal Indonesia untuk bisa secara total membangun dirinya: “Saya katakan keluarkan dari kamus anda istilah minta bantuan asing….terkecuali untuk keperluan supervisi yang terbatas” Pada bagian lain Jusuf Kalla menegaskan perlunya mempertimbangkan lingkungan internasional dalam upaya menegakkan kemandirian ekonomi tersebut. Dengan demikian, karakter pemikiran kemandirian ekonomi bangsa dalam pemikiran Jusuf Kalla dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, kemandirian ekonomi bangsa tersebut merupakan idealisme Jusuf Kalla. Ia menjadi kerangka besar bagi seluruh upayanya 25 Ahmad Erani Yustika. 2009. Ekonomi Politik: Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm 72. 26 Jusuf Kalla.2009. Membangun Bangsa Dengan Kemandirian Ekonomi. Jakarta: Focus Grahamedia. hlm xxxvii. dalam merumuskan kebijakan ekonomi. Kedua, namun demikian kemandirian ekonomi bangsa dalam pemikiran Jusuf Kalla adalah merupakan hasil perhitungan rasionalnya terhadap konteks yang ia hadapi. Ketiga, meskipun ia merupakan kondisi ideal yang ingin dicapai, namun idealisme kemandirian yang dimaksud di atas adalah kemandirian yang historis. Artinya, kemandirian ekonomi yang dimaksud berpijak pada kondisi faktual yang ada dan tidak berusaha mengeksklusi diri dari kondisi faktual tersebut. Globalisasi di lingkungan eksternal yang diadopsi Indonesia dan berbagai faktor internal menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam hal ini. Rasionalitas Jusuf Kalla menyatakan bahwa tidak mungkin mengisolasikan diri dari tata dunia yang saat ini berlaku. Pada pengertian ini, kemandirian ekonomi yang dimaksud memang tidak bisa terjadi secara menyeluruh dan masif pada segala sektor namun bisa parsial dalam satu atau beberapa sektor. Hal ini tergantung dari relasi antara upaya perwujudan kemandirian ekonomi yang digagas dengan kondisi faktual tersebut. Adanya konformitas terhadap kondisi faktual (keadaan, nilai dan sebagainya) membuat Jusuf Kalla sering dianggap sebagai orang yang pragmatis. Padahal sebenarnya, apa yang dilakukan Jusuf Kalla harus dilihat dalam kerangka besar pemikirannya, bukan terhenti pada tindakan teknis dan strategisnya semata. Uraian di atas menunjukkan bahwa pemikiran Jusuf Kalla mengenai kemandirian ekonomi masuk dalam tipe kedua dari dikotomi nasionalisme ekonomi menurut Mundrajad Kuncoro yaitu tipe moderat. Variasi memang benar terjadi sesuai dengan konteks yang menjadi lingkungan tindakan, namun tidak signifikan berbeda dengan apa yang dimaksud dengan tipe moderat nasionalisme ekonomi tersebut. Khusus mengenai pragmatisme yang sering dituduhkan oleh berbagai pihak terhadap Jusuf Kalla, penulis merasa perlu membahas hal ini untuk memperjelas posisi Jusuf Kalla. Dalam berbagai kesempatan, Jusuf Kalla memang menunjukkan pragmatisme tersebut, termasuk dalam upaya mencapai kemandirian bangsa tersebut. Pada suatu kesempatan Jusuf Kalla mengatakan: “Kita membangun Bandara Surabaya (dengan bantuan asing) yang hampir sama dengan Bandara Makassar, biaya yang di Makassar hanya setengahnya. Mungkin yang di Makassar tidak sangat rapi, tetapi tidak apa-apa, yang penting pesawat mendarat dengan baik, memakai AC (pendingin udara-pen) enak, tidak usah terlalu nyaman pun tidak apa. Yang penting, fungsi-fungsi yang diperlukan bisa jalan.” 27 Namun hal itu juga mengkonfirmasikan tesis yang penulis ajukan di atas. Pertama, pragmatisme itu bukan berada dalam tataran filosofis tetapi ada 27 Ibid., hlm xxxvii. 9 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 dalam tataran strategis dan teknis. Dalam tataran filosofis, Jusuf Kalla tetap berpegang pada nilai dan tujuan ideal yang ia yakini. Kedua, pragmatisme itu harus dimaknai sebagai jalan yang paling mungkin untuk mencapai tujuan ideal berdasarkan konteks yang ada. Jusuf Kalla menghadapi keterbatasan kemampuan internal untuk melakukan pekerjaanpekerjaan tertentu. Namun, menyerahkannya kepada asing akan berakibat lebih buruk yaitu tiadanya kesempatan untuk mencoba dan akibatnya adalah ketergantungan kepada asing. Oleh karena itu, Jusuf Kalla berpendapat bahwa harus ada insentif khusus untuk menciptakan kesempatan bagi sumberdaya domestik tersebut. Bagi Jusuf Kalla menyerahkan semua pada asing adalah sesuatu yang justru bertentangan dengan idealismenya. Ia mengatakan: “…tetapi kalau orang luar berhasil, keuntungannya dibawa keluar.”28 Sebagaimana dinyatakan oleh Anthony Smith yaitu bahwa ada 3 (tiga) faktor fundamental dari definisi nasionalisme, yaitu otonomi nasional, kesatuan nasional dan identitas nasional. Otonomi nasional yang dimaksud adalah kendali negara atas sistem ekonomi dan kebijakan-kebijakan yang dilaksanakannya yang ditujukan untuk kepentingan nasional. Kesatuan nasional yang berarti ada ikatan kebersamaan berdasarkan identitas nasional untuk mewujudkan hal tersebut. Kesatuan nasional ini adalah wujud dari romantisme ekonomi antara negara dan elemen-elemen terkait di dalamnya. Yang ketiga, identitas nasional adalah sebuah acuan dalam membuat segregasi antara kelompok sendiri, baik aktor maupun lembaga dengan kelompok, baik aktor maupun lembaga, luar. Dimensi ketiga ini menjadi faktor yang paling menentukan sebagai acuan untuk menilai apakah sebuah kebijakan dapat dimasukkan dalam tipe nasionalisme ekonomi. Jika diuji dalam pemikiran Jusuf Kalla maka bisa dilihat kesesuaiannya. Pertama, Jusuf Kalla mengatakan bahwa Indonesia harus mampu melaksanakan pembangunan dengan mandiri: “Namun Satu hal yang menjadi kelemahan kita adalah ketergantungan pada pihak asing. Hal seperti ini harus kita akhiri.”29 Hal yang menarik, kemandirian yang dimaksud Jusuf Kalla tidak hanya berada dalam tataran teknis, tetapi masuk dalam tataran yang lebih dalam: suprastruktur. Jusuf Kalla, dengan dipengaruhi oleh rasionalitasnya, menyerang konsep-konsep pembangunan yang diajukan oleh pihak asing. Jusuf Kalla, misalnya, memprotes konsep kemiskinan absolut yang dinyatakan oleh Bank Dunia. Jusuf Kalla pada kesempatan lain juga tidak menghiraukan masukan dari International Monetary Fund (IMF) bahwa program bantuan langsung tunai (BLT) menurut pengalaman di Amerika Latin bisa dilakukan minimal dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sampai satu tahun,bukan 2 (dua) bulan. Namun Jusuf Kalla mengatakan bahwa ia lebih tahu mengenai negaranya dibandingkan dengan IMF.30 Ia mengatakan: “This is my country, not your country (ini Negara saya, bukan Negara anda”).31 Dalam faktor fundamental yang kedua yaitu kesatuan nasional, Jusuf Kalla bersikap idealis di satu sisi dan realistis di sisi lain. Idealisme Jusuf Kalla didasari oleh romantisme nasionalisme yang integralistik dimana aktor-aktor Negara, swasta dan masyarakat dianggap berkomitmen terhadap kepentingan Negara secara keseluruhan. Sedangkan realisme Jusuf Kalla dibentuk oleh rasionalitas dalam pemikirannya yang dibentuk oleh sosialisasinya sebagai pebisnis. Rasionalitas ini menjadi dasar untuk menilai apakah identitas yang ada punya nilai kebermanfaatan bagi Indonesia dan menilai apakah globalisasi yang berlaku memberi kondisi yang menguntungkan bagi tercapainya tujuan bernegara atau tidak. Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa identifikasi aktor adalah bagian inheren dalam pemikiran kemandirian ekonomi bangsa Jusuf Kalla. Meskipun demikian faktor kebermanfaatan bagi bangsa tetap merupakan faktor signifikan dalam pemikiran Jusuf Kalla mengenai hal ini. Pemilihan faktor manfaat ini harus dilihat dalam kerangka besar, yaitu upaya untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan Indonesia yang dikaitkan dengan konteks tatanan internasional yang sudah mengalami globalisasi. Selanjutnya menarik untuk melihat bagaimana Jusuf Kalla memandang relasi-relasi antar elemen dalam upaya mewujudkan kemandirian ekonomi bangsa tersebut. Pertama, penyelidikan mengenai hal ini akan membawa pada penjelasan mengenai eksistensi dan fungsi negara dalam pemikiran Jusuf Kalla. Kedua, penyelidikan ini juga akan menjelaskan relasi-relasi yang terjadi antara negara dengan elemen di dalamnya serta antar elemenelemen tersebut. Ketiga, kedua poin di atas akan membawa pada penjelasan teoritis mengenai eksistensi dan genealogis pemikiran Jusuf Kalla mengenai kemandirian ekonomi bangsa ini. Pemikiran Jusuf Kalla menjelaskan bahwa negara punya dua identitas dalam hubungannya dengan elemen-elemen di dalamnya. Negara pada satu sisi dianggap sebagai adalah perwujudan dari perpaduan elemen-elemen di dalamnya yang ditandai dan diikat oleh satu identitas. Negara adalah wujud kesatuan identitas yang meskipun terdiri dari banyak elemen namun tidak terpisahkan satu dengan lain. Pada pengertian ini, swasta nasional, masyarakat umum, lembaga Negara dan seterusnya bisa dianggap sebagai representasi dari negara, tergantung pada konteks yang dihadapi. Swasta domestik, misalnya, dalam pemikiran Jusuf Kalla, 28 Wawancara dengan Jusuf Kalla pada 14 November 2012 pukul 13.20-13.50. 29 Ibid., hlm 54. 30 31 Ibid. Ibid. 10 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 bisa dianggap sebagai „Indonesia‟ ketika berhadapan dengan swasta asing. Identitas formal menjadi acuan dalam hal ini. Identitas formal ini mensegregasi dua kelompok yaitu mereka yang beridentitas sama dengan yang beridentitas berbeda. Asumsi dasarnya adalah bahwa mereka yang beridentitas sama dianggap punya kepentingan dan kehendak yang sama dengan identitas lain yaitu bersama-sama mewujudkan tujuan bernegara. Di sisi lain, negara dalam pemikiran Jusuf Kalla dianggap sebagai aktor ketika berhadapan dengan elemen-elemen di dalamnya atau ketika berhadapan dengan elemen yang datang dari luar. Negara adalah sebuah wujud administratif yang punya aturan formal dan tujuan sendiri. Pada tataran hubungan dengan elemen internal, negara bisa punya fungsi sebagai pelaku, pelindung (protector), pengasuh (akselerator pertumbuhan) dan penyatu fungsi dan pengarah elemen-elemen internal. Semua didasari pada kepentingan negara untuk mewujudkan tujuannya. Negara di sini, meskipun dianggap sebagai aktor, tetapi aktor yang netral terhadap kepentingan aktor lain. Dengan demikian negara dianggap sebagai wujud dari hasil akhir dinamika pertemuan dan persaingan antar aktor-aktor di dalamnya. Kepentingannya semata-mata diasumsikan bukan kepentingan pencarian rente pelaku-pelaku dalam lembaga negara tetapi kepentingan negara itu sendiri seperti yang tercantum dalam konstitusi. Apa yang disebut negara sebagai pelaku kegiatan ekonomi ini merupakan sesuatu yang bisa diperdebatkan. Negara dalam hal ini dalam tataran yang terbatas menjadi pelaku bagi kegiatan ekonomi melalui badan usaha milik negara (BUMN). Jusuf Kalla tidak menggugat keberadaan BUMN namun tidak pula mengharuskan ia hadir dalam kegiatan ekonomi. kontekstualitas sangat berpengaruh dalam hal ini. Jusuf Kalla menilai keberadaan BUMN hanya dalam kacamata kebermanfaatan bagi keseluruhan tujuan ekonomi yang ingin dicapai. Ia akan memanfaatkan keberadaan BUMN jika ia dibutuhkan, namun tak segan melakukan privatisasi jika BUMN dirasakan membebani anggaran negara. hal ini bisa kita lihat pada pernyataan Jusuf Kalla sebagai berikut: Pertama, mengenai penggunaan BUMN pada pembangunan infrastruktur: “Untuk membangun infrastruktur, kita masih kembali ke BUMN karena merekalah yang paling siap dewasa ini….(prioritas pelaksanan pembangunan, untuk mewujudkan kemandirian serta swasta yang kini juga mulai masuk secara besar-besaran.” 32 Kedua, mengenai rasionalitas dalam privatisasi: “Jika diberitakan bahwa menjual BUMN dengan harga 10 kali lipat dari keuntungan 32 Jusuf Kalla. Membangun Bangsa Kemandirian Ekonomi. Op. Cit., hlm 150. Dengan satu tahun dianggap tidak nasionalistik, pertanyaannya adalah apanya yang tidak nasionalistik, apa yang patriotik? Kalau dia menjual 10 tahun ke depan, diambil dulu uangnya dipakai untuk pendidikan, nasionalistik atau tidak? Atau kita biarkan saja dia tidak perlu memberikan suatu kontribusi asalkan dia milik kita? 33 Dengan demikian, Jusuf Kalla tidak selalu berpegang pada faktor kepemilikan negara pada sektor tertentu untuk mendefinisikan nasionalisme ekonominya. Ia melihat bahwa fakor nilai tambah atau kebermanfaatan itulah yang seharusnya menjadi pertimbangan untuk menilai apakah sebuah kebijakan merupakan cerminan dari nasionalisme (patriotisme) ekonomi. Namun, pada tataran ini, masih terlihat bahwa Jusuf Kalla terikat dengan kalimat dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Hal ini tampak dari penekanannya mengenai keharusan pengusahaan industri minyak oleh PT Pertamina. Keseluruhan pembahasan di atas membawa pada beberapa kesimpulan mengenai geneaologis pemikiran kemandirian ekonomi bangsa Jusuf Kalla. Pertama, keseluruhan dari ide dasar atau kerangka umum dari bahasan ini adalah nasionalisme. Jusuf Kalla adalah seorang nasionalis. Sebagai perwujudan dari nasionalisme ekonomi tersebut, pemikiran tersebut berinduk pada ide merkantilis dan proteksionis dalam lingkup ekonomi politik. Berkaca pada bagan pembagian corak kebijakan ekonomi politik yang dibuat oleh Barry Clark, pemikiran ini merupakan cabang pemikiran Edmund Burke.34 Karakter ini khas ada dalam sistem negara integralistik sebagaimana kita bisa temukan pada pemikiran romantisme yang dirumuskan sejak Jean Jacques Rosseau, Adam Muller hingga Hegel. Dalam konteks Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh Lance Castle, romantisme negara juga ada dalam pemikiran Jawa.35 Integralisme ini tercermin dalam UUD 1945. Namun demikian, praktik nasionalisme yang integralistik dilakukan dengan mempertimbangkan konteks internal dan lingkungan eksternal yang sangat berpengaruh dalam iklim globalisasi. Pengaruh liberalisme juga terasa dalam pemikiran Jusuf Kalla ketika memaknai upaya untuk menegakkan kemandirian ekonomi tersebut. Jusuf Kalla menekankan perlunya rasionalitas dalam melihat dua aspek- internal dan eksternal- tersebut. Cara Jusuf Kalla menganalogikan memimpin negara 33 Ibid., hlm 11. Ahmad Erani Yustika. Op. Cit., hlm 4. 35 Herbert Feith dan Lance Castle. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES. hlm 170. 34 11 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 dengan cara memimpin perusahaan, penerimaannya terhadap sistem pasar serta sikapnya untuk bersikap realistis terhadap globalisasi menunjukkan hal itu. Negara dalam pandangan Jusuf Kalla, dalam sudut pandang internasional, adalah aktor yang harus bersaing dengan negara lain dalam pergaulan dunia yang menganut pasar bebas. Secara sederhana, geneaologis pemikiran kemandirian ekonomi bangsa dalam pemikiran Jusuf Kalla bisa digambarkan dalam bagan sebagai berikut: Nasionalisme Integralis me Pemikiran Kemandirian Ekonomi Bangsa Realisme Liberalis me Gambar2. Geneaologi Pemikiran Kemandirian Ekonomi Bangsa Jusuf Kalla Kemandirian Ekonomi Bangsa Dalam Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar Menurut laman Sejarah Bandara yang dirilis PT Angkasa Pura I, Bandara Internasional Sultan Hasanuddin adalah bandara pengganti bandara lama yaitu Bandara Internasional Hasanuddin. Letak bandara ini sekitar 30 kilometer dari Kota Makassar, tepatnya terletak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Bandar Udara Hasanuddin sendiri mulanya bernama Bandara Kadieng, dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 193536.Pada saat pendudukan Jepang, nama bandara ini menjadi Mandai. Setelah terjadi pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, tahun 1950 pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Pada tahun 1980 nama Pelabuhan Udara Mandai diubah menjadi Pelabuhan Udara Hasanuddin. Selanjutnya, Bandara ini menjadi semakin penting untuk konteks Makassar, Sulawesi bahkan Indonesia bagian timur. Tahun 1981, Bandara ini menjadi bandara embarkasi perjalanan ibadah haji. Bandara hasanuddin dinyatakan sebagai Bandara Internasional pada tahun 1994 sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 61/1994 peresmiannya dilakukan pada tanggal 7 Januari 1995 oleh Gebernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Sulawesi Selatan. Pada tanggal 28 Maret 1995. Dalam tinjauan ekonomi politik, Bandar Udara Sultan Hasanuddin sangat penting untuk Indonesia, “Hasanuddin International Airport”. Artikel pada http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=677240 (diakses pada 3 September 2012 pukul 14.00 WIB). 36 terutama bagian tengah dan timur. Bandara ini merupakan Bandara transit yang menghubungkan berbagai daerah di Indonesia Timur, antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur maupun antara Indonesia dengan negara-negara tetangga. Kawasan Indonesia Timur sendiri adalah kawasan yang terus berkembang secara ekonomi mengingat potensi sumberdaya alamnya yang luar biasa. Potensi ekonomi kawasan ini sangat lengkap, terdiri dari potensi sektor energi, mineral, batubara, kehutanan, perikanan dan sebagainya. Letak Kota Makassar sendiri cukup strategis jika ditinjau dari Jakarta yang merupakan ibukota Indonesia. Baik dari segi penerbangan maupun dari angkutan laut, jaraknya tidak terlalu jauh dan berada di tengah antara batas Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Hal ini memungkinkan tempat ini sebagai persinggahan bagi kedua moda angkutan tersebut. Kawasan Timur Indonesia, dilihat dalam sudut pandang ekonomi, memang tertinggal jika dibandingkan dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI). Pada tahun, 2004 saat pembahasan penganggaran pembangunan ini dilaksanakan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif, sumbangan produk domestik bruto (PDB) KTI hanya 19% (sembilan belas persen) dari keseluruhan PDB Nasional.37 Daerah yang dimaksud dengan KTI meliputi Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara dan Maluku. Sedangkan di bagian barat, Jawa saja menyumbangkan sekitar 61% PDB nasional. Contoh indikator ketertinggalan pengembangan ekonomi KTI juga bisa dilihat pada sektor pertanian dimana KBI menyumbangkan 78% dari produksi nasional, hanya 22% yang dari KTI. Demikian halnya dengan sektor industri dimana KBI menyumbangkan 90% dari keseluruhan industri nasional. Pertumbuhan ekonomi KTI juga masih lebih rendah dibandingkan dengan KBI. Jawa dan Bali yang masuk KBI pada tahun 2004 tumbuh sebesar 10,7%. Wilayah Sumatra juga tumbuh cukup tinggi sebesar 7,78%. Sementara itu wilayah yang masuk KTI tumbuh lebih rendah kecuali Sulawesi yaitu Nusa Tenggara Timur , Maluku dan Papua sebesar 4,3% serta Kalimantan sebesar 5,7%. Sementara tumbuh cukup baik dengan angka Sulawesi 11,2%. Dalam hal infrastruktur, ketertinggalan KTI juga dapat dilihat dari ketersediaan jalan dimana KBI yang wilayahnya hanya 31,25% dari seluruh wilayah Indonesia mempunyai jalan sepanjang 37.687,5 km; sedangkan KTI yang punya wilayah 68,75% dari wilayah Indonesia hanya punya panjang jalan 33.241 km. dengan data-data tersebut, 37 Dadang Solihin (Direktur Evaluasi Kinerja Pembangunan Bappenas). “Pengukuran Kinerja Pembangunan Daerah dalam Pembangunan Kawasan Timur Indonesia”. Sebuah Lembar Kerja Bappenas. Diunduh dari http://www.docstoc.com/docs/1829287/Pengukuran-KinerjaPembangunan-Daerah-dalam-Pembangunan-Wilayah-KawasanTimur-Indonesia-%28KTI%29 (diakses pada 3 November 21012 pukul 09.45). 12 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 dapat dimaklumi kalau persentase daerah tertinggal paling banyak terdapat di KTI yaitu 63% pada tahun 2004. Jumlah persentase penduduk miskin Indonesia juga sebagian besar berada di KTI. Provinsi Papua bahkan pada tahun 2004 mencatat bahwa 38,69% penduduknya miskin. Padahal dilihat dari potensinya, KTI punya potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Kawasan ini memiliki potensi bermacam-macam tambang mineral, potensi tambang energi, potensi pertanian, perikanan dan kelautan serta potensi pariwisata yang luar biasa. Oleh karena itu, pengembangan KTI menjadi program yang mulai serius dikerjakan sejak dekade 1990-an. Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ada beberapa inventarisasi kendala dan masalah yang menghambat pembangunan kawasan Indonesia Timur diantaranya adalah ketersediaan infrastruktur, termasuk infrastruktur angkutan udara. Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin ini adalah upaya relokasi yang dilakukan untuk menggantikan bandara lama yang dianggap sudah tidak cukup layak dilihat dari posisi maupun tata ruang pembangunan kawasan sekitar. Perencanaan pembangunannya sudah sangat lama dilakukan. Bahkan sejak era pemerintahan Soeharto, usulan pembangunan ini sudah digulirkan sebagai bagian dari pengembangan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pembebasan lahan untuk proyek inipun sudah lama dilakukan, yaitu sejak tahun 1990-an. Ide ini kemudian secara teknis masuk dalam rencana kerja masing-masing satuan pelaksana teknis yaitu kementrian terkait serta pemerintah daerah setempat. Oleh Kementrian Perhubungan (waktu pembangunan dilaksanakan namanya masih Departemen Perhubungan) dan PT Angkasa Pura I, pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin dimasukkan dalam Master Plan Pengembangan dan Peningkatan Layanan Penerbangan Udara Kawasan Timur Indonesia mengingat letak dan fungsi strategis Bandara Sultan Hasanuddin sebagai sentral penghubung antara berbagai wilayah di Indonesia dan antara Indonesia dan luar negeri. Bandara Sultan Hasanuddin juga merupakan sentral penting bagi penerbangan perintis bagi daerah-daerah sekitar Makassar dan Sulawesi Selatan. Langkah Kementrian Perhubungan dan PT Angkasa Pura tersebut sejalan dengan visi pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Kabupaten Maros yang menjadi lokasi bandara ini. Ketiga pemerintah daerah tersebut bertekad menjadikan Bandara Sultan Hasanuddin Makassar sebagai pintu gerbang bagi Sulawesi Selatan khususnya dan Indonesia bagian Timur pada umumnya. Pembangunan yang terkait langsung dengan bandara meliputi tiga bidang yaitu: pertama, pembangunan landasan pesawat (runway) yang merupakan domain kerja Kementrian Perhubungan terutama Dirjen Perhubungan Udara; kedua, pembangunan terminal dan layanan pesawat yang masuk satuan kerja PT Angkasa Pura I yang berada di bawah Kementrian Badan Usaha Milik Negara (Kementerian BUMN); dan Ketiga, pembangunan sarana penyediaan bahan bakar yang masuk dalam bidang kerja PT Pertamina yang juga berada di bawah Kementrian BUMN. Secara keseluruhan pembangunan bandara tersebut berada di bawah koordinasi PT Angkasa Pura I sebagai penanggung jawab utama. Sementara yang tidak terkait langsung dengan pembangunan bandara adalah pembangunan sarana akses yang merupakan bidang kerja Kementrian Perhubungan dan pengembangan wilayah. Dalam kedua bidang yang terakhir ini peran pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten Maros juga terlibat. Secara garis besar pembangunan tersebut diilustrasikan dalam bagan sebagai berikut: Koordinator pembangunan Bandara Satuan Kerja Pembangunan Landasan Satuan Kerja pembangunan terminal Satuan Kerja pembangunan sarana penyediaan bahan bakar Gambar 4. Satuan Kerja Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Dalam spesifikasi teknis pembangunan, pembangunan terminal bandara itu sendiri terdiri dari peningkatan kapasitas layanan fasilitas baik fasilitas bangunan, elektronis maupun sistem38. Dengan perbaikan itu, diharapkan terjadi penambahan kemampuan kapasitas layanan menjadi 7 juta penumpang per tahun dari semula 3-4 juta penumpang per tahun. Selain itu, pembangunan Hasanuddin meliputi perpanjangan landasan pacu dari 2.500 menjadi 3.000 meter. Terminal Bandara dalam proyek tersebut juga dibesarkan dari 10.800 meter persegi menjadi 43.800 meter persegi. Sedangkan luas parkir bandara diperlebar menjadi 32 ribu meter persegi dari semula 9.916 meter persegi. Spesifikasi lainnya adalah bahwa bandara ini akan memiliki apron seluas 69.147 meter persegi. Dengan spesifikasi itu diharapkan bandara ini mampu untuk menampung pesawat Jumbo Jet Boeing 747, A-300, DC10, MD-11 serta pesawat Boeing 737 serta F-100. Peran Jusuf Kalla Dalam Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar adalah proyek yang padat teknologi dan padat modal. Sebelum tahun 2004, Indonesia tidak pernah secara mandiri membangun 38 Ibid. 13 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 bandara berskala internasional. Indonesia tergantung pada bantuan atau campur tangan asing pada hampir segala hal, yaitu pembiayaan, tenaga kerja dan kontraktor pelaksana pembangunannya. Secara umum, kebutuhan terhadap investasi luar negeri, termasuk dalam membangun infrastruktur, di Indonesia memang cukup besar untuk mencapai pertumbuhan yang memadai. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: (1) Timpangnya alokasi anggaran untuk pembangunan dibandingkan dengan alokasi untuk belanja rutin. Berdasarkan data Bappenas, Sekitar 70% alokasi keuangan negara sampai dengan tahun 2004 dipergunakan hanya untuk belanja rutin seperti belanja pegawai39. Dalam angka, kebutuhan investasi infrastruktur Indonesia pada tahun 2004 sekitar 379,8 triliun rupiah dan tahun 2005 sebesar 471,4 triliun rupiah. Padahal APBN-P Indonesia pada 2004 pada pos pendapatan hanya berjumlah 403,769 triliun rupiah. Sementara pos pendapatan pada APBN-P 2005 berjumlah 443,486 triliun rupiah. Hal ini membuat Pemerintah Indonesia perlu mencari sumber pembiayaan lain untuk menutupi pembiayaan pembangunan infrastruktur. Salah satunya dengan menarik investasi khusus untuk sektor ini; (2) Indonesia tidak mampu menarik minat sektor swasta domestik, terutama perbankan, untuk turut serta dalam pembangunan proyek infrastruktur. Selama itu perbankan nasional lebih cenderung kurang berminat untuk membiayai proyek infrastruktur karena beberapa sebab40: Pertama, proyek infrastruktur adalah proyek jangka panjang (lebih dari 15 tahun); Kedua, proyek infrastruktur mempunyai ketidakpastian revenue (keuntungan) atau bahkan potensi kerugian berkaitan dengan kemungkinan perubahan perundangan, resiko politik dan lain-lain. Dibandingkan dengan pembiayaan infrastruktur, perbankan lebih menyukai pembiayaan sektor lain atau meredeposit simpanan masyarakat ke bank sentral (Bank Indonesia). Saat itu, suku bunga Bank Indonesia masih sangat tinggi yaitu mendekati 10%. Dengan tingkat suku bunga yang tinggi tersebut dapat dimengerti bahwa dari segi perhitungan ekonomis, meredeposit simpanan masyarakat ke Bank Indonesia jauh lebih menjanjikan daripada membiayai proyek infrastruktur. Modus usaha dengan meredeposit uang pihak ketiga tidak hanya dilakukan oleh lembaga keuangan berbebntuk bank, tetapi juga oleh lembaga keuangan non bank seperti asuransi. Pada lingkup kontraktor dan tenaga pelaksana proyek, sampai pada tahun 2004, Indonesia tidak “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2004” dan “Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2005”. dari www.bappenas.go.id/get-file-server/node/1492/ (diakses pada 3 september 2012 pukul 10.00 WIB). 40 Sinthya Rusli. “Pengelolaan Resiko Dalam Penyelenggaraan Infrastruktur Berkelanjutan”. Diunduh dari http://pusbinsdi.net/file/1328010335Pengelolaan%20Risiko%20 Dalam%20Penyelenggaraan%20Infrastruktur%20Berkelanjutan.p df (diakses pada 3 September 2012 pukul 14.30) 39 pernah secara mandiri membangun bandara berkelas internasional. Peran Indonesia hanya sebatas menyediakan tenaga yang dibutuhkan oleh kontraktor asing dalam level yang terbatas atau paling banyak hanya menjadi sub-kontraktor seperti yang pernah dilakukan oleh PT Bumi Karsa, salah satu perusahaan Jusuf Kalla. Ketidakmandirian ini bukan hanya disebabkan oleh tidak terpercayanya kontraktor dalam negeri, tetapi juga disebabkan oleh syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi donor. Secara lebih lengkap, beberapa syarat umum yang sering disertakan dalam hubungan itu adalah: 41 1. Keharusan pihak penerima utang (dalam hal ini Pemerintah Indonesia) menanggung berbagai biaya mekanisme pembicaraan dan penyaluran utang. Biasanya terdiri dari: a. biaya pembicaraan awal dan pembicaraan baik antara pihak internal donor maupun antara donor dan pihak Pemerintah Indonesia; b. biaya survey; c. fee (upah) pelobi; d. dan lain-lain; 2. Keharusan membayar bunga walaupun kredit belum disalurkan. Banyak kasus terjadi dimana utang sudah disetujui namun baru dicairkan beberapa tahun kemudian. Selama utang belum dicairkan, Pemerintah Indonesia tetap harus membayar bunganya; 3. Keharusan memenuhi standar-standar teknis proyek yang disyaratkan oleh negara-negara pemberi donor. Keharusan ini biasanya diikuti dengan keharusan memakai teknologi maupun peralatan dari pihak asing yang dipercayai oleh pihak donor. Dengan ketentuan seperti di atas, Indonesia lebih banyak dirugikan dalam perjanjian kerjasama pembiayaan proyek infrastruktur: pertama, Indonesia tidak punya kesempatan untukmemperoleh porsi pekerjaan yang besar dalam proyek tersebut; kedua, hal itu mengakibatkan lemahnya proses alih teknologi; dan ketiga, hal itu juga mengakibatkan pinjaman yang diberikan kepada Indonesia kembali pada Negara donor hingga 80%. Jusuf Kalla sudah lama mengetahui proyek ini, namun sebelum ia menjadi wakil presiden, ia tidak punya kewenangan untuk menentukan kebijakan. Setelah menjabat sebagai wakil presiden, ia segera mengevaluasi rencana pembangunan tersebut. Proyek ini termasuk dalam proyek yang paling awal yang diartikulasikan oleh Jusuf Kalla. Hal ini disebabkan oleh keprihatinan Jusuf Kalla terhadap tertinggalnya pembangunan kawasan Timur Indonesia dibanding Kawasan Barat Indonesia. Semula, semua stake holder terkait seperti Kementerian (dulu departemen) Perhubungan, 41 Wawancara dengan Harmono Juru Bicara LSM Koalisi Anti Utang Tanggal 29 Agustus 2012 pukul 16.00-17.30. 14 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 Angkasa Pura I dan Pemerintah Tingkat I Provinsi Sulawesi Selatan masih menganggap bahwa pembangunan ini harus melibatkan campur tangan asing. Paradigma pembiayaan juga masih loan minded (berpegang pada pembiayaan dengan utang) mengingat anggaran yang mencapai 3,5 triliun Rupiah. Pihak terkait juga menganggap bahwa hanya kontraktor asinglah yang bisa membangun dalam proyek ini. Arsitek dan kontraktor lokal dianggap tidak punya pengalaman untuk membangun bandara berkelas internasional. Jusuf Kalla melawan paradigma yang berkembang dan telah menjadi budaya selama ini. Pertama, berbekal pengalaman dan pengetahuannya tentang dunia kostruksi dan teknik sipil umumnya, Jusuf Kalla yakin bahwa Indonesia punya cukup kemampuan untuk membangun Bandara berkelas internasional meskipun diakuinya mungkin tidak sesempurna hasil dari proyek yang ditangani pihak asing. Pengetahuan ini ditunjang oleh rekam jejak salah satu perusahannya yaitu PT Bumi Karsa yang sudah lebih dari 25 tahun bergerak di bidang konstruksi bandara sebagai sub kontraktor dari kontraktor asing. PT Bumi Karsa yang waktu itu sudah dipimpin oleh Ahmad Kalla turut serta dalam banyak pembangunan bandara di Indonesia, terutama di bagian Timur Indonesia seperti Bandara Frans Kaisepo di Biak, Bandara Ambon dan banyak bandara-bandara perintis lain yang memang banyak terdapat di kawasan tersebut. Selain Bumi Karsa, satu lagi perusahaan Jusuf Kalla yang berpengalaman dalam hal perbandaraan yaitu PT Bukaka Teknik. PT Bukaka Teknik selama sekitar 25 tahun telah dikenal sebagai pembuat dan supplier garbarata (gangway) yaitu lorong penghubung antara pesawat terbang dengan ruang tunggu atau ruang kedatangan di terminal bandara. PT Bukaka Teknik tidak hanya membuat dan menyediakan garbabrata di dalam negeri, tetapi juga untuk pesanan asing misalnya untuk Bandara Narita di Tokyo. Ditambah dengan keyakinannya mengenai kemampuan insinyur-insinyur Indonesia, Jusuf kalla yakin bahwa Indonesia sebenarnya punya cukup kemampuan untuk membangun bandara berkelas internasional. Yang tidak dipunyai oleh Indonesia selama ini adalah kesempatan. Bagi Jusuf Kalla, syarat dan ketentuan yang menyertai kerjasama utang antara Indonesia dengan pihak donor selalu membatasi peran Indonesia dalam pembangunan infrastruktur negaranya sendiri42. Pada saat yang sama Jusuf Kalla yakin bahwa Indonesia punya cukup sumberdaya keuangan untuk membiayai pembangunan tersebut. sebagai seorang pengusaha dan kemudian menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan berlanjut sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan rakyat, Jusuf Kalla mengetahui kelemahan fungsi intermediasi bank-bank di Indonesia. Fungsi intermediasi adalah fungsi bank sebagai penghubung antara pihak ketiga yang diposisikan sebagai investor dengan pelaku usaha yang menggerakkan sektor riil. Jadi fungsi intermediasi bank adalah penghubung antara sektor finansial dengan sektor riil. Pada periode pasca krisis jumlah dana pihak ketiga yang disalurkan bank ke sektor riil memang relatif sangat rendah. Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan di Indonesia hampir semuanya di bawah 60% bahkan ada yang dibawah 40%pada tahun 2004. Dengan kecenderungan seperti itu, dana nasabah di bank menjadi tidak produktif atau bahkan dengan kontraproduktif dengan tujuan pembangunan. Tingkat simpanan rakyat yang meningkat tajam tidak berimbas pada perkembangan sektor riil secara memadai. Bahkan, hal ini justru memberatkan negara karena bank cenderung melakukan redeposit ke Bank Indonesia. Negara menanggung bunga dari redeposit tersebut yang dananya diambil dari pendapatan pajak dan non pajak. Dalam sudut pandang ekonomi, hal ini sebenarnya dapat diterima karena tingginya suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) yang bahkan pernah mencapai 12,5% sebelum tahun 2004. Meskipun suku bunga terus diturunkan hingga menjadi sekita 8,5% namun hal ini tetap tidak menguntungkan sektor riil. Dengan tingkat suku bunga bank sentral sebesar itu, secara otomatis bank-bank di Indonesia lebih menyukai untuk melakukan redeposit daripada menyalurkan dana pihak ketiga pada sektor riil. Sebagai perbandingan, suku bunga Bank Indonesia tersebut termasuk yang tertinggi di Asia. Suku Bunga kredit bank sentral Malaysia 2% dan Thailand misalnya ada di kisaran 2%. Suku Bunga Bank Sentral Negara maju di Asia seperti Korea dan Jepang bahkan hampir mendekati 0% (nol persen). Pada tahun 2004 sendiri perbankan Indonesia jutru mengalami kelebihan likuiditas (over liquidity) yang menunjukkan rendahnya fungsi intermediasi perbankan salah satu sebab signifikannya karena besarnya suku bunga Bank Indonesia tersebut. 43 LDR sebagai wujud fungsi intermediasi bank hanya berada pada angka 40%. Pada sektor riil yang menyangkut kegiatan ekonomi langsung angka itu terlalu rendah dan menunjukkan gejala ekonomi yang menggelembung dimana sektor finansial berkembang jauh melampaui sektor riil. Kondisi perbankan seperti ini sangat membebani Negara dan suatu saat akan menjadi faktor yang bisa memicu krisis ekonomi multidimensi. Langkah yang terbaik adalah memanfaatkan ketersediaan likuiditas tersebut untuk diinvestasikan. Pada tahun 2004, perbankan nasional yang dimiliki oleh Negara “Tahun 2004, Perbankan Hadapi Kelebihan Likuiditas”. Diunduh dari http://www.korwilpdip.org/bank291203.htm (diakses pada 3 November 2012 pukul 15.23). 43 42 Wawancara dengan Jusuf Kalla14 November 2012 pukul 14.30-14.45 WIB. 15 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 (BUMN) cukup banyak dan menguasai pangsa pasar.44 Dengan pengetahuan dan pengalaman di dua bidang tersebut dan kewenangan yang dipunyai, Jusuf Kalla memeriksa ulang rencana pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar. Hasil evaluasi yang diperintahkannya menunjukkan bahwa biaya proyek yang semula Rp 3,5 triliun sebagaimana diajukan oleh sebuah kontraktor dari Perancis, bisa dihemat hingga menjadi hanya sebesar Rp 1,7 triliun atau sekitar 50% dari biaya semula. Namun, proyek dengan anggaran sebesar Rp 1,7 triliun itupun Indonesia biasanya masih meminta pembiayaannya dari asing. Untuk mencari jalan keluar dari itu Jusuf Kalla memakai kewenangan otoritatifnya sebagai berikut: pertama, sebagai wakil presiden yang diserahi tugas untuk mengurusi masalah ekonomi, ia memerintahkan pembentukan konsorsium bank-bank BUMN. Sebagaimana disebutkan di atas, portofolio bank domestik di bidang infrastruktur sebelum tahun 2004 masih kecil. Pada waktu itu mekanisme penjaminan proyek infrastruktur pemerintah masih belum memadai jika dibandingkan dengan resiko yang dihadapi oleh Bank sebagai penanggung biaya. Oleh karena itu, konsorsium bank tidak menanggung semua biaya proyek tetapi hanya sebesar Rp 1 triliun; Kedua, sebagai Ketua Umum Golkar, ia memerintahkan anggota legislatif dari Partai Golkar di DPR untuk membantu persetujuan alokasi APBN untuk proyek ini. Dengan demikian ketika pemerintah mengajukan anggaran tersebut pada DPR, keputusan ini didukung oleh anggota dari Partai Golkar. Secara keseluruhan, keputusan ini juga didukung oleh anggota partai koalisi yang terdiri dari Partai Demokrat yang merupakan asal dari SBY sebagai presiden terpilih dan beberapa partai yang semuanya menguasai 74% kanggotaan di DPR. Pada akhirnya Rp 700 Miliar yang merupakan sisa anggaran proyek dibiayai oleh APBN dalam prinsip pembiayaan tahun jamak (multi years budget) selama lima tahun anggaran sejak APBN tahun 2005.45 Dengan nilai yang menyusut sekitar 50% dari pagu anggaran sebelumnya, pihak asing yaitu EST. Consortium dari Perancis mundur dari pelelangan karena dalam perhitungan ekonomi, proyek tersebut Lelang kemudian tidak menguntungkan.46 dimenangkan oleh PT Duta Indah Pertiwi yang merupakan perusahaan milik Muhammad “Pengalaman Revitalisasi BUMN”. Sebuah artikel pada http//.www.bappenas.go.id/get-file-server/node/3342/ (Diakses pada 12 November pukul 10.00 WIB). 44 “Belum Diresmikan, Lantai Bandara Sultan Hasanuddin Sudah Retak-Retak”. Artikel pada Harian Republika Sabtu, 26 April 2008. 46 Wawancara dengan Febri Oki dari panitia lelang Proyek Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar pada 2 Juli 2012 pukul 10.20-12.00. 45 Nazaruddin, fungsionaris Partai Demokrat, sedangkan arsitek pembangunannya ditangani oleh PT (persero) LEN. Oleh PT Duta Indah Pertiwi, proyek ini di subkontrakkan ke 24 perusahaan kontraktor lain menurut satuan kerja masing-masing. Setelah sempat tertunda beberapa kali karena molornya waktu pengerjaan, Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar akhirnya diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 September 2008. Proyek tersebut menghasilkan bandara dengan desain yang indah dengan memadukan desain futuristik dan desain etnik, mempunyai kelengkapan fasilitas yang sangat lengkap dan spesifikasi teknis yang termasuk terbaik di Indonesia47. Pembangunan bandara dengan kemampuan Indonesia sendiri ini menghasilkan bandara yang layak secara teknis dan disahkan sebagai bandara internasional terbaik dengan dana yang dihemat sekitar Rp 1,8 triliun. Secara teknis, Bandara ini juga mampu meningkatkan arus penumpang seperti yang diharapkan. Menurut data statistik Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, jumlah penumpang pada rentang tahun rata-rata meningkat 13% per tahun48. Pada tahun 2005 jumlah penumpangnya sekitar 3,597 juta penumpang sedangkan pada tahun 2010 mencapai 6,547 juta penumpang. Terakhir, pada tahun 2011 jumlah penumpangnya telah mencapai 7,455 juta penumpang49. Selain pada keuntungan teknis, Indonesia juga mendapat keuntungan yang mendasar, yaitu perubahan paradigma pembangunan pembangunan secara umum dan pembangunan bandara internasional secara khusus. Pertama, dalam hal kepercayaan diri dalam membangun proyek besar tersebut baik dalam hal pembiayaan maupun teknis. Kedua, perubahan paradigma perbankan yang semula cenderung anti pada pembiayaan proyek infrastruktur negara menjadi lebih terbuka. Proyek ini juga menjadi inisiator bagi sistem penjaminan pembiayaan proyek oleh perbankan dalam negeri yang kemudian diwadahi dan dikelola lebih baik oleh pemerintah melalui kementrian terkait. Sejak saat itu, portofolio perbankan dalam negeri untuk “Raih Bandara terbaik di Indonesia”. Diunduh dari http://www.hasanuddinairport.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8 0:raih-bandara-terbaik-di-indonesia&catid=3:newsflash (diakses pada 3 September 2012 pukul 13.00 WIB). 48 “Tren Pergerakan Penumpang Tahun 2005-2010”. Diunduh dari http://www.hasanuddinairport.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6 5:trend-pergerakan-penumpang-2005-2010&catid=37:data-danstatistik&Itemid=37(diakses pada 3 september 2012 pukul 14.35 WIB). 49 “Tren Pergerakan Penumpang 2011”. Diunduh dari http://www.hasanuddinairport.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8 3:trend-penumpang-tahun-2011&catid=37:data-danstatistik&Itemid=37 (diakses pada 3 september 2012 pukul 14.36 WIB). 47 16 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 proyek infrastruktur meningkat dengan rerata peningkatan 28% per tahun.50 Segera setelah proyek pembangunan Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, pembangunan-pembangunan bandara berkelas internasional mulai ditangani oleh bangsa Indonesia sendiri seperti Bandara Internasional Lombok dan Bandara Internasional Kuala Namu. Bandara Interasional Lombok bahkan dibiayai sepenuhnya oleh konsorsium perbankan nasional tanpa anggaran dari APBN. Kritik Peran Jusuf Kalla dalam Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar Pada kalangan luas beredar kecurigaan bahwa proyek yang dibangun dengan sumberdaya dalam negeri ini tidak sepenuhnya dilatarbelakangi oleh prinsip kemandirian seperti yang disuarakan oleh Jusuf Kalla. Sebagian pihak bahkan menuduh bahwa proyek ini penuh sarat dengan politik kepentingan dari Jusuf Kalla. Jusuf Kalla dituduh melakukan nepotisme karena modus prinsip kemandirian bangsa dalam proyek ini hanya merupakan upaya untuk memasukkan perusahaannya sebagai kontraktor pelaksana. Mereka terutama melihat bahwa masuknya PT Bumi Karsa dalam proyek ini sebagai indikator nepotisme tersebut.51 PT Bukaka Teknik yang sebenarnya juga menjadi pemenang dalam pengadaan garbarata tidak terlalu mendapat sorotan karena perusahaan ini memang telah terbukti menjadi pembuat dan penyediaan garbabrata di hampir seluruh bandara di Indonesia dan bahkan telah dipergunakan di bandara-bandara internasional di luar negeri. Dalam rangkaian rapat pembahasan pelaksanaan proyek pembangunan ini Jusuf Kalla memang mengakui bahwa ia menekankan perlunya keterlibatan kontraktor dan tenaga daerah. 52 Penekanan ini dilatarbelakangi bahwa pembangunan di daerah seharusnya memang melibatkan pihakpihak terkait di daerah sehingga daerah tidak hanya menjadi penonton. Opini Jusuf Kalla ini sebenarnya sudah lama disuarakan untuk mengkritik sentralisme pembangunan sejak zaman Orde Baru. Tuduhan mengenai nepotisme Jusuf Kalla tersebut terbantahkan oleh data-data sebagai berikut: pertama, secara keseluruhan, pemenang tender pelaksanaan proyek ini bukanlah perusahaan Jusuf Kalla tetapi PT Duta Indah Pertiwi yang merupakan perusahaan milik fungsionaris Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. PT Bumi Karsa hanyalah merupakan sub kontraktor yang mendapat pekerjaan dengan lingkup terbatas. Secara lengkap, berikut data-data kontraktor pelaksana pembangunan 50 Zulkifli Zaini. Loc. Cit. “Apa Salahnya Bumi Karsa Menang?” diunduh dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/01/24/EB/mbm. 20050124.EB100750.id.html (diakses pada 10 Juli 2012 pukul 10.00 WIB). 52 Loc. Cit. 51 Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar:53 1. Pembangunan Tahap I: - Pembangunan Ruang Tunggu Very Important Person (VIP) dimenangkan oleh PT YPP Makassar (bukan perusahaan di bawah Kalla Group); - Pembangunan Terminal Bandara dikerjakan oleh 24 perusahaan yaitu 12 perusahaan BUMN dan perusahaan nasional (diantaranya PT Adhi Karya dan PT Nindya Karya serta 12 perusahaan lokal (narasumber tidak hapal namanya satu persatu, tetapi tidak ada perusahaan di bawah Kalla Group yang turut serta). - Pembangunan runway tahap I: Pelataran Parkir oleh PT Duta Indah Pertiwi dengan memakai nama PT Gunakarya Nasional. 2. Pembangunan Tahap II - Pembangunan landasan yang dikerjakan oleh 3 (tiga kontraktor) salah satunya PT Bumi Karsa di bawah Kalla Group dengan nilai kontrak sekitar Rp 80 miliar; - Paket pelataran parker oleh PT Istaka Karya (BUMN) dan PT Bumi Rejo (perusahaan nasional, bukan perusahaan Jusuf Kalla); - Pekerjaan navigasi oleh PT Persero LEN Persero (BUMN). Dari daftar di atas dapat dilihat bahwa kontraktor pelaksana local yang memenangkan tender tersebut bukan hanya perusahaan yang masuk dalam NV Hadji Kalla saja, tetapi ada kontraktor lain. Dalam skala lebih besar terlihat juga bahwa proyek ini lebih banyak melibatkan perusahaan milik Negara (BUMN) di bidang konstruksi. Kedua, nilai proyek yang dimenangkan oleh PT Bumi Karsa ternyata tidak dominan yaitu sekitar Rp 80 Miliar.54 Jika dikonversikan, PT Bumi Karsa hanya mendapat sekitar 5% dari keseluruhan nilai proyek. Itupun PT Bumi Karsa tidak secara langsung memperoleh dari tender yang diadakan oleh Kementerian Perhubungan atau PT Angkasa Pura I tetapi melalui PT Duta Indah Pertiwi yang memenangkan tender secara keseluruhan. Ketiga, PT Bumi Karsa memang sudah berpengalaman membangun konstruksi bandara selama lebih dari 25 tahun. Terutama di daerah Indonesia bagian timur, banyak proyek pembangunan bandara ditangani oleh PT Bumi Karsa. Namun demikian PT Bumi Karsa tidak selalu memenangkan tender untuk pembangunan konstruksi secara umum di Sulawesi Selatan. salah satu kekalahan PT Bumi Karsa dalam tender adalah 53 Wawancara dengan Saudara Febri Oki dari Panitia Lelang pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar pada 2 Juli 2012 pukul 10.20-12.00. 54 Wawancara dengan Saudara Febri Oki dan Nasrullah dari Panitia Lelang pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar pada 2 Juli 2012 pukul 10.20-12.00 WIB. 17 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 pada pembangunan asrama Universitas Hasanuddin dan pembangunan Rumah sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin dengan nilai proyek Rp 250 Miliar. Selain ketiga alasan tersebut di atas, secara legal formal, sampai saat ini tidak pernah ada gugatan resmi mengenai persekongkolan dalam proyek tersebut kepada pihak yang berwenang seperti kepolisian, KPK atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang melibatkan PT Bumi Karsa maupun Jusuf Kalla. Dugaan korupsi dalam proyek tersebut memang pernah muncul namun melibatkan Muhammad Nazaruddin pada pembangunan ruang VIP Bandara yang pelaksanaannya juga ditangani oleh kontraktor lokal tetapi bukan PT Bumi Karsa. Dengan demikian tuduhan mengenai nepotisme Jusuf Kalla dalam proyek tersebut tidak terbukti. Kemandirian ekonomi dalam pemikiran Jusuf Kalla adalah sebuah idealisme yang timbul karena faktor sosialisasi yang kuat dalam bidang bisnis dan tanggung jawab sosial politik. Jusuf Kalla lahir dalam keluarga pengusaha yang tidak hanya mementingkan pengejaran keuntungan semata tetapi menekankan tanggung jawab sosial dan tanggung jawab spiritual dalam kegiatan bisnisnya tersebut. Hal ini diwujudkan dalam berbagai batasan-batasan kegiatan bisnis yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Agama adalah acuan utama untuk menilai apakah sebuah kegiatan bisnis baik atau tidak bagi diri dan masyarakatnya. Prinsip kemandirian juga dipengaruhi oleh kultur Bugis yang mementingkan kehormatan atau martabat diri dan kelompok. Dalam struktur budaya Bugis hal ini dinyatakan dalam prinsip sirri’ mapasse. Jusuf Kalla mendapat didikan keras karena ayahnya menginginkan anaknya tersebut bukan hanya menjadi pribadi yang mandiri tetapi juga bermanfaat dan mempunyai harkat dan martabat. Dalam sosialisasinya, Jusuf Kalla tidak hanya mendapat didikan secara verbal tetapi juga dalam praktik yang terus menerus. Sistem pendidikan secara praktis ini bahkan menempati bagian terbesar dari sosialisasi Jusuf Kalla. Pada akhirnya ayahnya menjadi ego ideal bagi Jusuf Kalla dalam bidang bisnis, sedangkan ibunya menginternalisasi nilainilai sosial kemasyarakatan. Keduanya menjadi model utama (role model) bagi Jusuf Kalla dalam bidang agama. Jusuf Kalla menduplikasi nilai-nilai yang diwariskan oleh kedua orang tuanya dengan bingkai keteguhan yang tinggi sebagai pengaruh dari identitas kesukuannya. Namun struktur kesempatan politik juga sangat berpengaruh dalam perjalanan karier Jusuf Kalla baik dalam bisnis maupun politik. namanya muncul sebagai aktivis ketika terjadi pergolakan melawan PKI dan menentang kebijakan pemerintah Orde Lama. Namanya mengemuka di tingkat daerah dan kemudian banyak berhubungan dengan petinggipetinggi di Sulawesi Selatan. Dari kedekatankedekatan tersebut ia mendapat kesempatan- kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan politik tertentu. Namun, di akhir 1967 ia meninggalkan arena politik untuk sementara karena diperintah oleh ayahnya untuk meneruskan bisnis keluarga. Pada bidang bisnis pula ia mendapat keuntungan dari memanfaatkan pergantian rezim. Rezim Orde Baru yang memfokuskan pembangunan pada bidang ekonomi memberikan kesempatan pada bidangbidang usaha yang dibuat atau ditekuni oleh Jusuf Kalla. Sebagaimana ayahnya, Jusuf Kalla mempraktikkan jiwa wirausaha yang ulet, pantang menyerah, pekerja keras dan visioner. Jiwa ini diiringi dengan jiwa sosial yang tinggi. Jusuf Kalla menganggap bahwa jaringan sosial adalah investasi bagi dirinya di bidang apapun yang ia tekuni. Pada saat yang sama, ia mempraktikkan nilai tanggung jawab sosial untuk menerapkan pemberdayaan guna mewujudkan kemandirian sosial. Ia juga dikenal sebagai seorang pengusaha pemberani dan penuh dengan ide cemerlang untuk mencari alternatifalternatif metode penyelesaian masalah. Keberanian mengambil resiko (risk taker) dan penuh ide ini ia praktikkan bukan hanya demi bisnisnya sendiri tetapi juga dalam kegiatan sosial dan politiknya. Beberapa langkah yang diambilnya menunjukkan keinginan yang kuat untuk membuktikkan bahwa Indonesia bisa melakukan hal yang sama dengan negara lain. Ia adalah pembuat pompa angguk pertama untuk pengeboran minyak, perekayasa mobil pemadam kebakaran, pengimpor dan perakit mobil Toyota di Indonesia dan pembuat garbarata (gangway) pertama di Indonesia. Idealisme ini juga tampak pada upaya Jusuf Kalla untuk keluar dari ketergantungan dalam pembangunan ekonmi baik secara suprastruktur dan praktik. Ia kerap mendiskursuskan ukuran-ukuran dan kajian mengenai pembangunan nasional yang dilakukan oleh lembaga-lembaga asing. Dalam mendefinisikan mengenai tingkat kemiskinan misalnya, ia lebih percaya pada ukuran yang ditetapkannya. Pada tingkat praktik, ia juga sering tidak menyetujui saran-saran atau tekanan lembaga internasional. Contohnya adalah dalam pembatasan bea masuk beras, penyaluran BLT dan perwujudan swasembada beras. Kasus yang dibahas dalam skripsi ini juga membuktikkan tekad Jusuf Kalla mengusung idealisme kemandirian. Pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasunuddin Makassar adalah tonggak sejarah dimana proyek tersebut dilakukan dengan swadana dan swadaya. Sebelumnya dalam pembangunan bandara berkelas internasional, Indonesia selalu menggantungkan diri pada bantuan asing baik dari segi pembiayaan maupun dalam pelaksanaannya. Hal ini membuat kerugian dalam tiga hal: pertama, ketidakmaksimalan keuntungan yang diambil dari proyek pembangunan baik secara ekonomi maupun dalam hal alih teknologi; kedua, 18 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 adanya ketergantungan yang membudaya pada pembangunan infratsruktur khususnya pembangunan bandara internasional; ketiga, kerugian ekonomi karena sistem kerjasama pembiayaan yang merugikan. Pembangunan secara swadana dan swadaya yang diinisiasi, diagregasi dan diartikulasikan Jusuf Kalla berhasil mewujudkan bandara inetrnasional yang dinilai termasuk terbaik di Indonesia. Indonesia juga mendapat keuntungan dari penghematan anggaran negara dari anggaran semula Rp 3,5 triliun menjadi Rp 1,7 triliun. Keuntungan kedua yang didapat adalah kepercayaan diri dalam hal pembiayaan dan pelaksanaan pembangunan. Meskipun masih terbatas secara parsial, namun terjadi perubahan paradigma pembangunan infrastruktur. Keberhasilan ini membuat pembangunan bandara internasional lain memakai konsep serupa. Meskipun demikian, ada sejumlah pandangan skeptis mengenai kemandirian dalam pembangunan bandara dengan konsep kemandirian bangsa yang diterapkan oleh Jusuf Kalla tersebut. Skeptisme pertama berkaitan dengan kebijakan umum dalam bidang ekonomi yang dianggap mengikuti kebijakan neoliberal. Hal ini ditandai oleh beberapa indikator yaitu desubsidi, deregulasi dan privatisasi yang sering dilakukan oleh pemerintah KIB I sebagai tindak lanjut dari pemerintah-pemerintah sebelumnya. Kebijakan neoliberal ini diyakini adalah kelanjutan dari paket kebijakan yang disarankan IMF untuk restrukturisasi ekonomi Indonesia pasca krisis. Penentang kebijakan ini menyatakan bahwa Indonesia banyak dirugikan dalam pelaksanaan kebijakan ini terutama berkaitan dengan perwujudan kedaulatan ekonomi nasional. Skeptisme kedua yang berkembang adalah mengenai tuduhan kuatnya kepentingan Jusuf Kalla dalam proyek tersebut. Jusuf Kalla dianggap melakukan nepotisme dengan memanfaatkan jabatannya sebagai wakil presiden yang ditugaskan untuk mengurusi bidang ekonomi. Proyek pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar dengan prinsip kemandirian dianggap hanyalah sebuah cara untuk memasukkan perusahaan-perusahaan Jusuf Kalla sebagai pemenang tender pembangunan. Tuduhan itu mengemuka dengan masuknya PT Bumi Karsa yang merupakan salah satu perusahaan di bawah NV Hadji Kalla sebagai salah satu kontraktor pelaksanan proyek tersebut. Nama lain yang menyangkut Jusuf Kalla yaitu PT Bukaka Teknik tidak terlalu dikaitkan karena rekam jejaknya yang sudah dipercaya untuk menangani pembangunan garbarata (gangway) di beberapa bandara internasional di luar negeri. Kedua tuduhan tersebut tak terbukti baik secara legal maupun secarapolitis. Sebenarnya, fokus dari nasionalisme ekonomi dalam prinsip kemandirian yang diterapkan dalam proyek pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar harus juga melihat proyek pendanaan, bukan hanya pada tingkat pelaksanaan. Yang sering dilewatkan oleh mereka yang menuduh Jusuf Kalla melakukan nepotisme adalah kenyataan bahwa konsorsium pendanaan proyek tersebut adalah bank-bank BUMN sehingga keuntungan dari pembiayaan proyek tersebut juga akan dimiliki oelh bank-bank BUMN tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prinsip kemandirian dalam pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar adalah faktor signifikan yang membuat proyek itu dilakukan secara swadana dan swadaya. Jusuf Kalla berhasil membuktikkan bahwa Indonesia bisa membangun proyek bandara berkelas internasional. Hal ini menimbulkan perubahan paradigma dan semangat kemandirian di kemandirian di beberapa lingkup kementrian. Meskipun masih dalam skala yang terbatas, namun hal ini cukup berarti sebagai pijakan awal untuk mewujudkan prinsip kemandirian dalam sektor pembangunan yang lain. Jusuf Kalla juga berhasil membuktikkan bahwa masuknya pengusaha dalam politik tidak selalu berarti negatif. Syaratnya, harus ada transformasi identitas dari pebisnis menjadi seorang pejabat publik. Pada kasus Jusuf Kala, transformasi itu tidak terjadi serta merta, namun merupakan proses yang panjang dan berkelanjutan. Jusuf Kalla mengalami proses sosialisasi dalam bidang bisnis yang memasukkan nilai-nilai tanggung jawab sosial dan nasionalisme sepanjang hidupnya. Prinsip usaha yang demikian diterapkan secara terus menerus dalam perjalanan kariernya yang panjang. Dengan demikian ketika ia beralih profesi dari pebisnis menjadi pejabat publik ia bisa menyesuaikan diri untuk menggunakan kewenangan otoritatif tersebut untuk mewujudkan kebermnafaatan kebijakan yang ia buat bagi kepentingan nasional. Sumber Buku: Abdullah Husain, Neneng Herbawati dan Andi Suruji. 2012. JK Ensiklopedia. Jakarta: Idea Group Indonesia. Abeng, Tanri.2001. Indonesia, Inc. : Privatising State-Owned Enterprise.Jakarta: Times Academic. Adams, Cindy Heller.1965. Sukarno: An Autobiography. Indianapolis: Bobbs-Merrill. Almond, Gabriel Abraham and Sidney Verba. 1989. Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. California: Sage Publication. Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi . Jakarta:Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia Bluhm, William T. 1978. Theories of Politics System: Classic of Political Thought and Modern Politics Analysis 3rd Edition. New York. Prentice Hall 19 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 Bungin, Burhan Prof. Dr. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya cetakan ke-4. Jakarta: Prenada Media Group. Creswell,John W. and Vicki L.Piano Clark. 2007. Designing and Conducting Mixed Methods Research. California: Sage Publication. Dawson , Richad E. et al. 1997. Political Socialization. Boston: Little Brown and Company. Effendi , Fenty et al (ed). 2009. Mereka Bicara JK. Jakarta: National Press Club. Feith, Herberth dan Castle, Lance. 1970. Pemikiran Politik Indonesia. Jakarta:LP3ES Furnivall, JS. 1948. Colonial Policy and Practice.London: Cambridge University Press. Giddens, Anthony. 2001. The Global Third Way and Its Critics. Oxford: Polity Press Haris, Syamsuddin et al. 2009. Sistem Presidensialisme dan Sosok Presiden Ideal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Harvey ,David. From Globalizatio to New Imperialisme dalam Richard P. Appelbaum, William I. Robinson. Critical Globalization Studies. New York: Routledge. Jalal, Dino Patti. 2008. Harus Bisa! Seni Memimpin ala SBY. Jakarta: Red and white Publishing. Kaneshiro ,Takeshi. Kapitalisme Semu di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES Kalla, Jusuf. 2009. Membangun Bangsa Dengan Kultur Pesantren. Jakarta: Focus Grahamedia Kalla, Jusuf. 2009. Membangun Bangsa Dengan Spirit Kemandirian. Jakarta: Fokus Grahamedia Kalla ,Jusuf.2009. Membangun Bangsa Dengan Kemandirian Ekonomi. Jakarta: Focus Grahamedia Kalla , Jusuf. 2009. Membangun Bangsa Dengan Spirit Kemandirian. Jakarta: Focus Grahamedia Kuncoro, Mundrajad. 1997.Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah dan Kebijakan.Yogyakarta;UPP AMP YKPN Lebang, Tomi. Berbekal Seribu Akal Pemerintahan dengan Logika: Saripati Pidato Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jakarta: Gramedia Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial.1995. Pemikiran Pembangunan Bung Hatta. Jakarta: Universitas Bung Hatta. Miller, T. Christian.2007. Blood Money: Wasted Billions, Lost Lives and Corporate Greed in Iraq. New York: Little Brown Mude, Saleh dkk. Pemimpin Nusantara: Testimoni Ketokohan Jusuf Kalla. Jakarta: Focus Grahamedia Pontoh, Rudi S. Janji dan Komitmen SBY-JK. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Peltras ,Christian. 1996. The Bugis. Oxford :Blackwell Publisher Poulantzas, Nicos.1973. Political Power and Social Classes. London: NIb Slater ,David.1998. Post Colonial Question for Global Times dalam Review of International Political Economy 5:4 Winter 1998 hal: 647678 Sahrasad, Herdi.2009. Kallanomics. Jakarta: PSIK Universitas Paramadina Sumartana, Th dkk. 2001. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia Yogyakarta:Dian Interfiedi 2001 Susilo , Taufik Adi. 2009. Membaca JK: Biografi Singkat Jusuf Kalla. Yogyakarta: Penerbit Garasi Sauers PHD,Richard.2010. Key Concept in American History: Nationalism. New York: DWJ Books LLC Shahab, Ahmad.2007.Muhammad Jusuf Kalla Membangun Perdamaian. Berkarya dan Berprestasi. Jakarta. People Aspiration Center Skocpol,Theda.2001. Negara dan Revolusi Sosial. Jakarta: Erlangga. Slater ,David.1998. Post Colonial Question for Global Times dalam Review of International Political Economy 5:4 Winter 1998 hal: 647678 Smith,Anthony D. 2010. Nationalism 2nd ed.Cambridge: Polity Press Sukarno dkk. 2001. Ekonomi Berdikari: Kenangan 100 Tahun Bung Karno. Jakarta: Gramedia Widiasarana Sumawiyata, Sarbini. 1989. Menuju Masyarakat Adil dan Makmur. Jakarta: Gramedia Suruji. Andi (ed). 2009.JK The Real President. Jakarta: JK for Bright Indonesia. Susastro. Hadi.2005. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir. Jakarta: Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Stiglitz,Joseph. 2003. Globalization and Its Discontent. New York: WW Norton. Swasono ,Sri Edhi . 2002. Satu Abad Muhammad Hatta: Bapak Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Universita Bung Hatta. Yustika ,Ahmad Erani. 2009. Ekonomi Politik: Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Zainuddin, Rahman. 1990. Pemikiran Politik dalam Jurnal Ilmu Politik No.7. Jakarta: AIPI-LIPIGramedia Sumber Jurnal: Alan S. & Gary J. 2011. Perception, Attribution, and Judgment of Others. Organizational Behaviour: Understanding and Managing Life at Work Vol. 7 Djojohadikoesoemo, Soemitro. 1951. Rencana Urgensi Perekonomian. Diunduh dari www.bappenas.go.id. Senin, 26 Maret 2012 jam 11.21 20 Kemandirian ekonomi..., Isto Widodo, FISIP UI, 2012 Geng , Yang et al. 2006. The essence, Characteristics and Limitations of PostColonialism: From Karl Marx`s Point of View dalam Frontiers of Philosophy in China, Vol 1, No.2 (Juni 2006). Hal 279-294. Mubyarto. Semangat Sumpah Pemuda Menggugat Neo Liberal dalam Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel - Th. II - No. 8 - Nopember 2003]. Dan Sri Edhi Swasono.2003. Kemandirian: Dasar Martabat Bangsa. Dalam Jurnal Ekonomi Rakyat. Diunduh dari journal.ipb.ac.id/index.php/jupe/article/view/2 114/1145.Senin, 26 Maret 2012 jam 10.00 Suginohara , Masako. The Politics of Economic Nationalism in Japan:Backlash Against Inward Foreign Direct Investment? Dalam Asian Survey vol XLVIII no 5 September/Oktober 2008 Swasono, Sri Edhi. 2006. Peringatan 100 tahun Bung Hatta: Kemandirian Dasar martabat Bangsa. Diunduh dari journal.ipb.ac.id/index.php/jupe/article/view/2 114/1145 Dokumen-dokumen negara Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Dadang Solihin (Direktur Evaluasi Kinerja Pembangunan Bappenas). Pengukuran Kinerja Pembangunan Daerah dalam Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Sebuah Lembar Kerja Bappenas. Tidak diterbitkan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2004 dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2005. Diunduh dari www.bappenas.go.id/get-fileserver/node/1492/ pada 3 september 2012 pukul 10.00 Peraturan Presiden (Perpres) no. 42 Tahun 2005. Tentang Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Rusli, Sinthya. Pengelolaan Resiko Dalam Penyelenggaraan Infrastruktur Berkelanjutan. Diunduh dari http://pusbinsdi.net/file/1328010335Pengelola an%20Risiko%20Dalam%20Penyelenggaraan %20Infrastruktur%20Berkelanjutan.pdf pada 3 September 2012 pukul 14.30 Dewan Perwakilan Daerah RI. Pidato Refleksi Akhir Tahun 2011. Jakarta: Biro Humas DPD RI Situs Apa Salahnya Bumi Karsa Menang? http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/20 05/01/24/EB/mbm.20050124.EB100750.id.ht ml Belum Diresmikan, Lantai Bandara Sultan Hasanuddin Sudah Retak-Retak. Republika. Diunduh pada 5 september 2012 pukuk 09.00 European League for Economic Cooperation. Economic Nationalism or European Patriotism? Dalam Resolution of the Economic and Social Commission hasil dari The Vienna Central Council 1 Juni 2007. Hasanuddin International Airport.http://www.skyscrapercity.com/showth read.php?t=677240. Diunduh pada 3 September 2012 pukul 14.00 Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia. Diunduh dari http://www.isei.or.id/about-us/. Pada 3 september 2012 jam 14.00 Kallamatika. Fatah, Eep Saefulloh. Sebuah Artikel Opini di Koran Tempo diterbitkan tanggal 2 Maret 2009 Memorandum on Economic and Financial Policies. http://www.imf.org/external/np/loi/103197.htm (diakses pada 3 September 2012 pukul 12.32 WIB). Sejarah Bandara. http://www.angkasapura2tnj.com/id/index.php?optio n=com_content&view=article&id=46&Itemid=27. Diunduh pada Senin 29 Mei 2012 Sejarah Kota Makassar. http://bahasa.makassarkota.go.id/index.php/sej arah-kota-makassar. diunduh pada 4 Juli 2012 Pukul 01.00 Silalahi , Pande Radja. Bank Merampok. Diunduh dari www.csis.or.id/PublicationsOpinionsDetail.php?id=602. Pada 3 september 2012 pukul 15.00 Tren Pergerakan Penumpang Tahun 2005-2010. Diunduh dari http://www.hasanuddinairport.com/index.php?option=com_content&v iew=article&id=65:trend-pergerakanpenumpang-2005-2010&catid=37:data-danstatistik&Itemid=37 pada 3 september 2012 pukul 14.35 Tren Pergerakan Penumpang 2011. Diunduh dari http://www.hasanuddinairport.com/index.php?option=com_content&v iew=article&id=83:trend-penumpang-tahun2011&catid=37:data-dan-statistik&Itemid=37 pada 3 september 2012 pukul 14.36 21