The Role of Public Relation as an Integral Part of Crisis Management in Overcoming Crisis in Service Organization – Citibank Crisis Suharyanti M.S.M Dr. Achmad Hidayat Sutawidjaya Universitas Bakrie Jl. H.R. Rasuna Said Kav C-22, Kuningan, Jakarta Selatan 12920 Indonesia ABSTRACT Dealing with a potential crisis is crucial to the survival and reputation of a company. Failure in handling crisis can result serious harm to stakeholders, losses for an organization, or end its very existence. Therefore the need of effective crisis management is a critical organizational function. Responding to a crisis requires a crisis management team organization's to remain focused and effective. Crisis management team involves using public relations activities to overcome the crisis especially in providing communication strategy. When a crisis occurs public relations exists as a facilitator and mediator between organization and public’s to communicate effectively and accurately. Several studies shows that many organizations are totally unprepared to handle the public relations and crisis management aspects of some events. The unpreparedness can lead to many negative and undesirable results for organization regard to all type of business. Therefore, public relations and crisis management are not only important to business, they are both crucial to sustainability of business. This article observes and explains the current issues of crisis management in service organizations which the position of public relations as a integral part of crisis management team is important for the organizations. Keywords: Public relations, management function, crisis management, crisis communication plan I. PENDAHULUAN A. Krisis Mengintai Setiap Saat Setiap perusahaan atau organisasi apapun mempunyai peluang untuk mengalami krisis. Bencana alam, produk yang diduga mengandung bahan kimia berbahaya, skandal korupsi, pemogokan buruh merupakan contoh-contoh peristiwa yang berpotensi untuk menimbulkan krisis. Fearn-banks (2007) mendefinisikan krisis sebagai a major occurance with a potentially negative outcome affecting the organization, company, or industry , as well as its public, product, services or good name. Sementara Coombs (2007) lebih menekankan pada tiga ancaman dalam perushaan akibat diterpa krisis, yaitu; keamanan public (public safety), kerugian finansial (financial loss) dan pada akhirnya mengarah pada rusaknya reputasi (reputation loss) Suatu krisis sebenarnya dapat diantisipasi atau dicegah apabila perusahaan secara proaktif mengidentifikasi dan menganalisis situasi baik pada lingkungan internal maupun eksternal perusahaan. Krisis biasanya diawali dari adanya isu yang terkait dengan kondisi atau kinerja perushaan. Isu yang tidak dicermati atau bahkan diabaikan oleh perusahaan berpotensi berkembang menjadi krisis. Beberapa contoh krisis yang pernah melanda perusahaan dan berakibat fatal adalah; Beberapa contoh krisis yang pernah melanda perusahaan dan berakibat fatal adalah; pernyataan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Kementrian Kesehatan tentang kandungan melamin pada biscuit Oreo yang membahayakan konsumen , kasus dampak limbah tailing PT Newmont Minahasa yang diduga menyebabkan penyakit minamata bagi masyarakat sekitar Teluk Buyat dan kasus perseteruan antara pihak Rumah Sakit Omni dengan pasiennya, Prita Mulyani yang di blow up melalui media jejaring sosial facebook dan sempat menghebohkan serta mengundang simpati ribuan orang. Dari kasus-kasus diatas tampak bahwa krisis yang terjadi selalu tidak lepas dari hubungan dengan stakeholder, seperti pemerintah, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar, investor dan lain-lain. Tidak tertutup kemungkinan bahwa krisis yang semula hanya melibatkan satu atau dua stakeholder kemudian meluas dan menggangu hubungan dengan stakeholder lainnya. Krisis yang meluas dan tidak segera diatasi tentunya akan mengganggu kinerja dan reputasi perusahaan. Padahal membangun reputasi bukanlah semudah membalik tepapak tangan. Reputasi perushaan dibangun dengan kerja keras selama bertahun-tahun dapat rusak dalam sekejap karena krisis yang tidak ditanganni dengan baik. Apalagi dengan pesatnya perkembangan online media dan banyaknya alternatif media yang mudah diakses oleh masryarakat semakin mempercepat penyebaran informasi mengenai krisis yang menimpa perusahaan. Lebih jauh lagi media massa memiliki peran penting dan startegis dalam membentuk opini publik, sehingga penyebaran berita negatif tentang krisis berpotensi untuk membentuk opini negatif tentang perusahaan. Akibatnya krisis yang semestinya dapat dibendung agar tidak meluas justru mendapat sorotan masyarakat dan semakin memperburuk reputasi perusahaan. Di Negara-negara Asia, manajemen krisis mulai berkembang dan ditempatkan menjadi bagian penting dari kinerja perusahaan selama 20 tahun terakhir (Feinberg, 1999). Semakin kompleksnya situasi eksternal di luar perusahaan baik yang terkait dengan dinamika kondisi politik, social, ekonomi dan budaya maupun situasi internal dalam perusahaan yang tidak kalah kompleks akan semakin membuka peluang untuk berkembangnya berbgaia isu yang berpotensi menjadi krisis. Berbagai konferensi, seminar dan pelatihan untuk menangani krisis juga semakin sering diselenggarakan baik yang berskala nasional seperti penanganan krisis pasca gempa bumi, tsunami dan terorisme ataupun krisis-krisis yang menimpa perusahaan seperti kesalahan prosedur kerja, produk yang tidak memenuhi standar kesehatan dan pemogokan buruh. Sama halnya dengan negara-negara asia lainnya , penangan krisis di Indonesia sudah mendapat perhatian cukup serius. Jenis krisis yang menimpa perusahaan-peusahaan di Indonesia juga semakin beragam. Banyak krisis yang dapat diatasi dengan baik, seperti krisis yang pernah menimpa susu Dancow dari Nestle. Adanya isu susu Dancow dari sempat lemak babi dalam kandungan membuat konsumen ragu mengonsumsi susu Dancow, mengundang kecurigaan organisasi keagamaan dan diekspos dengan gencar oleh media massa, sehingga susu Dancow ditarik dari pasaran. Namun dengan strategi komunikasi yang tepat dan kerja sama tim penanganan krisis yang handal kasus tersebut cepat tertangani. Ketika itu pihak Nestle menghadirkan Ketua Majelis Ulama Indonesia dan beberapa media massa terkemuka untuk hadir dalam acara kunjungan pabrik, untuk melihat langsung proses produksi susu Dancow. Pada kesempatan tersebut, pihak Nestle juga menjelaskan mengenai bahan yang diduga tidak halal. Ekspos media massa atas kunjungan pabrik tersebut pada akhirnya mampu meredam kecurigaan konsumen dan secara bertahap konsumen kembali mengonsumsi Dancow Lain halnya dengan Nestle yang mampu menyelamatkan Dancow, krisis yang menimpa Adam Air justru berakibat fatal. Kasus jatuhnya pesawat Adam Air yang diikuti dengan isu buruknya manajemen maskapai penerbangan tersebut, pemeliharaan pesawat yang dibawah standar yang ditetapkan, kecelakaan yang sering menimpa Adam Air serta lambannya proses ganti rugi keluarga korban yang tewas, berujung dengan dicabutnya izin terbang Adam Air. Fatalnya dampak krisis terhadap perusahaan sebenarnya dapat diminimalisasi jika perusahaan memiliki kemampuan untuk mengelola krisis atau lazim disebut dengan crisis management. .Kesiapan perusahaan dalam menghadapi krisis biasanya diwujudkan dalam bentuk crisis management plan (CMP). Walaupun demikian beberapa pakar manajemen dan komunikasi justru berpendapat bahwa adanya CMP tidak sepenuhnya dapat menjamin bahwa krisis dapat ditangani dengan baik. Sebagai contoh, Union Carbide memiliki CMP namun tidak dapat meminimalkan krisi yang terjadiketika terjadi kebocoran reactor nuklir di Bhopal, India. Sebaliknya, kisah sukses Jonson & Johnson dalam mengatasi krisis salah satu produknya, Tylenol justru mampu meningkatkan citra positif Johnson & Jonson, padahal ketika itu perusahaan tersebut belum memiliki CMP. Lepas dari pro kontra mengenai pentingnya CMP, adanya perencanaan yang matang untuk menghadapi krisis tentunya lebih baik daripada mengabaikan atau lalai mengantisipasi kemungkinan adanya krisis. Oleh karena itu dalam hal ini CMP lebih diimplementasikan sebagai reference tool yang menjadi acuan dan bukan merupakan sebuah blue print yang menjadi panduan wajib atau baku dalam menangani krisis (Combs, 2007). Untuk mengimplementasikan CMP maka diperlukan adanya Crisis Management Team sebagai langkah awal dalam implementasi CMP. Anggota Crisis Management Team terdiri dari lintas divisi dalam organisasi perusahaan. Menurut Barton (2001), secara umum, anggota CMT terdiri dari seorang public relations officer, personil dari divisi legal, keamanan, operation, keuangan dan sumber daya manusia. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya personil dari divisi lain , misalnya dari divisi teknologi informasi, karena penetapan divisi yang telibat sangat tergantung pada bentuk krisis yang dihadapi. B. Public Relation Officer, Ujung Tombak Crisis Management Team Makalah ini secara khusus menyoroti peranan Public Relations Officer sebagai perancang strategi komunikasi yang berhadapan langsung dengan publik, khususnya media, saat krisis melanda perusahaan Ketika krisis terjadi, biasanya perusahaan akan berhadapan dengan media. Suka atau tidak media akan menjadi watchdog yang selalu akan memantau dan mengkritisi langkah-langkah yang diambil perusahaan dalam mengatasi krisis. Media memiliki kekuatan untuk membentuk opini public, sehingga diperlukan strategi komunikasi yang memadai untuk menghadapi media, agar pemberitaan di media mengenai perusahaan tidak menyulut masalah yang lebih besar. Selain pers, stakeholder lainnya juga penting untuk dihadapi secara khusus. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan krisis pasti akan diajukan oleh pihakpihak yang berkepentingan. Berkaitan dengan pentingnya strategi komunikasi yang efektif, maka dalam CMP yang disiapkan haruslah menjelaskan juga langkah-langkah komunikasi apa yang akan digunakan untuk menghadapi berbagai stakeholder, terutama pihak media massa. Public Relation Officer sebagai bagian dari CMT yang berperan sebagai ujung tombak aktivitas komunikasi dalam perusahaan memiliki andil yang besar dalam menangani krisis, khususnya yang terkait dengan pemulihan citra perusahaan. II. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Krisis Pada umumnya, krisis dilihat sebagai suatu situasi atau kejadian yang lebih banyak mempunyai implikasi negatif pada perusahaan daripada sebaliknya. Menurut Devlin (2007, 5) a “crisis” is an unstable time for an organization, with a distinct possibility for an undesirable outcome. Yang berarti krisis merupakan suatu keadaan tidak stabil bagi suatu organisasi, dengan adanya kemungkinan untuk hasil yang tidak diinginkan. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa krisis adalah situasi yang merupakan titik balik (turning point) yang dapat membuat sesuatu tambah baik atau tambah buruk. Memiliki Crisis Management Team (CMT) dan Executive Management Team (EMT) di dalam sebuah perusahaan merupakan suatu keharusan, sebab merekalah yang turun tangan ketika perusahaan sedang dilanda krisis. Tim yang handal dan terlatih dapat menangani krisis dengan kepala dingin sehingga tidak mengambil keputusan yang salah yang dapat merugikan perusahhaan. Kuncii sukses darri manajemen krisis iaalah persiapan. Dengann adanya peersiapan, menunjukkan bahw wa perusahaaan telah beerusaha mem minimalkan kemungkin nan terjadinyya suatu krisis. Persiapan P y yang matanng pasti mem mbutuhkann sebuah peerencanaan yang matanng pula, oleh kaarenanya perrusahaan peerlu membuuat Crisis M Managementt Plan (CMP P) yang meerupakan sebuah perencanaaan (plan) yaang didokum mentasikan secara terpperinci menngenai tindaakan apa yang akkan diambil oleh EMT ketika peru usahaan sedaang mengallami krisis. Tahapaan Krisis Seorang ko onsultan krissis terkenal dari Ameriika Steven Fink, F meng gembangkann konsep anatomi krisis. Finnk mendeskrripsikan kriisis seperti layaknya l peenyakit yang menyeranng tubuh manusiaa, dan mem mbagi tahappan krisis sesuai s denggan terminoologi kedokkteran yang dipakai untuk m melihat stadiium penyakkit yang mennyerang maanusia sebag gai berikut: 1. tahap prrodromal 2. tahap akkut 3. tahap krronik 4. tahap reesolusi (pennyembuhan)) Prodromal Crisis Stage e Acute Crisis Stagge Warning—precursor Poin nt of no return Symptom m —precrisis Crisiis has occurrred Crisis Reso olution Stage e Chro onic Crisis Sttage Patien nt is well/ wholle again Lingering on—perrhaps indefiniitely; period of self‐ dou ubt; self‐anallysis Gam mbar 2.1. 4 Stages Crrisis Pre-crisis – Prodromal Crisis Sttages Tahap prodromal disebut juga dengan warning stage, karena pada tahap krisis ini telah muncul gejala-gejala yang harus segera diatasi. Tahap ini merupakan tahap yang menetukan. Apabila perusahaan mampu mengatasi gejala-gejala yang timbul, maka krisis tidak akan melebar dan memasuki fase-fase berikutnya. Pada tahap ini krisis akan ditangani oleh Executive Management Crisis (EMT). Krisis yang terjadi pada tahap ini kadang diabaikan karena perusahaan (sepertinya) masih berjalan secara normal. Tahap prodromal bisa muncul dalam tiga bentuk: a. Jelas sekali, misalnya karyawan meminta kenaikan upah. b. Samar-samar, karena sulitnya menginterpretasikan dan memprediksi luasnya suatu kejadian, misalnya adanya peraturan pemerintah yang baru, munculnya pesaing baru, dsb. c. Sama sekali tidak kelihatan, sebab gejala krisis tidak terlihat sama sekali. Perusahaan tidak dapat membaca gejala ini karena kelihatannya tidak ada masalah dan kegiatan perusahaan berjalan dengan baik. Pada bentuk ini, ada kalanya perusahaan mempunyai asumsi bahwa “sulit untuk memuaskan semua pihak”, maka merupakan hal yang wajar apabila kemudian ada pihak tertentu yang dirugikan. Namun yang membahayakan dari asumsi tersebut adalah perusahaan tidak memikirkan kerugian tersebut bisa merugikan perusahaan secara perlahan namun pasti. Acute Crisis Stages Tahap ini terjadi karena tidak berhasil mendeteksi atau menangani gejalagejala krisis yang terjadi pada tahap prodromal. Pada tahap ini krisis akan dipindah tangankan ke Crisis Management Team (CMT). Gejala yang semula samar atau bahkan tidak terlihat sama sekali mulai tampak jelas. Krisis akut sering disebut sebagai the point of no return, artinya apabila gejala yang muncul pada tahap peringatan (tahap prodromal) tidak terdeteksi sehingga tidak tertangani, maka krisis memasuki tahap akut yang tidak akan bisa kembali lagi. Kerusakan sudah mulai bermunculan, reaksi mulai berdatangan, isu menyebar luas. Namun demikian, seberapa jauh krisis menimbulkan kerugian sangat tergantung dari para akktior yang mengendalikan krisis. Chronic Crisis Stages Tahap kronik biasanya disebut juga sebagai the clean up phase atau the post mortem atau tahap recovery atau selfanalysis. Pada tahap ini perusahaan mempelajari penyebab krisis dan memperbaikinya agar tidak terjadi lagi, misalnya dengan perubahan struktural, seperti penggantian manajemen, penggantian pemilik, atau bahkan mungkin juga perusahaan dilikuidasi. Perusahaan harus segera mengambil keputusan apakah akan mau hidup terus atau tidak. Kalau ingin hidup terus tentu perusahaan harus sehat dan mempunyai reputasi yang baik. Post-Crisis Resolution Stages Merupakan tahap pemulihan kembali kondisi perusahaan. Namun karena tahap-tahap krisis ini merupakan siklus yang berputar, maka bila telah memasuki tahap resolusi perusahaan tetap harus waspada bila proses penyembuhan tidak benarbenar tuntas, krisis akan kembali ke tahap prodromal. Menurut Fink keempat tahap tersebut saling terkait dan membentuk suatu siklus seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1. Lama waktu yang ditempuh oleh setiap tahap tidak menentu tergantung krisis yang dialami oleh perusahaan. Apabila krisis yang terjadi tidak terlalu parah, maka waktu yang dibutuhkan oleh masing-masing fase tidak akan terlalu lama. Sebaliknya, apabila krisis yang terjadi termasuk krisis yang berat, dan juga tidak tertangani dengan baik, maka kemungkinan terburuk yang bisa dialami perusahaan yakni perusahaan tersebut bisa runtuh dan bangkrut. Siapa yang Menangani Krisis Executive Management Team (EMT) Di beberapa perusahaan berkembang, eksekutif manajer termasuk dalam (atau) tim manajemen krisis. Selama Pre-crisis dan Post-crisis Stages EMT bertanggung jawab menangani krisis yang melanda perusahaa. Berdasarkan Crisis Management Plan (CMP), Executive Management Team (EMT) merupakan sebuah tim formal yang dibentuk untuk: 1. Menangani pre-crisis stage dan post crisis stage. Tugas EMT pada saat pre-crisis: a. Bertanggung jawab dalam menganalisa informasi. b. Membuat keputusan mengenai krisis tersebut, apakah akan hilang dengan sendirinya atau akan membutuhkan bantuan. Tugas EMT pada saat post-crisis: a. Bertanggung jawab untuk menutup kerugian. b. Menyelidiki kinerja perusahaan selama krisis. c. Membuat perubahan yang dianggap perlu untuk memperkecil potensi krisis yang sama terjadi. 2. Memenuhi persyaratan dari Board of Directors. Anggota dari EMT, terdiri dari: a. Chief Executive Officer (CEO) b. Chief Financial Officer (CFO) c. Chief Operations Officer (COO) d. Chief Legal Counsel e. Public Relation Officer f. Human Resource Officer g. Chief Information Officer h. Chief Regulatory Officer i. Risk Management Officer j. Chief Privacy Officer Crisis Management Team (CMT) Ketika krisis telah mencapai tahap akut, maka EMT akan mengaktifkan CMT dan memindahtangankan krisis tersebut ke CMT. Peran CMT adalah untuk merespon dengan cepat dan efisien dengan memberikan keahlian dan bantuan mereka. Tanggung jawab anggota CMT terdiri dari: 1. Take charge quickly CMT perlu mengambil tindakan dengan cepat, atau akan berakhir dengan krisis yang menentukan tindakan yang akan diambil. 2. Establish the fact CMT harus menyusun kembali kejadian yang menyebabkan krisis tersebut. Mereka harus menentukan karyawan yang langsung terlibat dalam insiden tersebut, dan kemudian berbicara dengan para karyawan tersebut mengenai apa yang terjadi. Mendapatkan informasi yang baik tentang apa yang terjadi adalah sulit. Banyak dari apa yang dilaporkan sudah dikotori oleh emosi. Informasi yang tersedia pasti juga memiliki interpretasi yang berbeda-beda. 3. Tell your story Lakukan kontak dengan semua segmen penting yang berhubungan dengan public (misalnya, media, masyarakat umum, pelanggan, pemegang saham, vendor, dan karyawan). 4. Fix the problem Ini adalah tahap dimana keputusan-keputusan sulit harus dibuat dengan cepat. Tujuannya ialah untuk menutupi kerugian, untuk mengevaluasi kinerja organisasi, dan untuk membuat perubahan yang diperlukan. Peran Public Relation dalam Crisis Management Team Seperti telah diuraikan diatas, penangan krisis melibatkan banyak aspek dan divisi dalam perusahaan. Salah satunya adalah Public Relations (PR) yang memiliki andil yang besar dalam membantu perusahaan menangani krisis. Dalam hal ini seorang Public Relations Officer akan menyiapkan crisis communication plan yang diperlukan sebagai panduan untuk mengomunikasikan tindakan-tindakan perusahaan kepada para stakeholders. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa suatu krisis seringkali melibatkan banyak stakeholder. Sementara setiap stakeholder memiliki karakteristik dan ekspektasi yang berbeda-beda mengenai cara perusahaan menangani krisis. Mengenai pentingnya komunikasi dalam penanganan krisis, Ucelli (2002) menyatakan bahwa: What you say during a crisis and how you say it, largerly determines how the public will judge what you do. And how a company responds to a crisis (and how fast) is crucial to achieving a positive outcome, and avoiding a disastrous one. It may seems unfair, but a corporation’s reputation typically built up over years or even decades might be shredded in the time it takes to say “no comment” Berkaitan dengan pentingnya komunikasi dan peran public relations, Marra (1998) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor penting yang menentukan kesuksesan komunikasi penanganan kritis, yaitu; hubungan organisasi dengan publiknya sebelum terjadinya krisis, level otonomi dari staf public relations, kultur komunikasi dalam perusahaan serta sejauhmana top communicator di perusahaan tersebut memiliki akses langsung ke Chief Executive Officer nya. Secara umum, PR dalam perusahaan berfungsi sebagai boundary spanners yaitu seseorang yang secara berkala berinteraksi dengan lingkungan organisasi, mengumpulkan, menyeleksi informasi yang disampaikan kepada lingkungan baik eksternal maupun internal dan sebaliknya mengolah informasi yang datang dari lingkungan sekitar untuk disampaikan kepada para pengambil keputusan dalam perusahaan (Grunig, 1992). Tugas PR sebagai boundary spanners ini memiliki andil besar ketika perusahaan dihadapkan dengan krisis, seperti diungkapkan oleh White dan Dozier dalam Grunig (1992): Dominant coalitions pay greater attention to information from boundary spanners under conditions of environment of turbulence , because decision makers are less certain as to which information to attend to and which information to ignore as they manage the organization’s response to rapid environmental change. Dari pernyataan diatas, tampak bahwa PR merupakan ujung tombak bagi perusahaan yang menjadi tumpuan perusahaan , khususnya dalam menyiapkan dan melaksanakan strategi komunikasi guna menghadapi berbagai pertanyaan, kritik, saran, hingga hujatan dan caci maki dari berbagai pihak. Adapun crisis communication plan yang harus disapkan oleh PR secara garis besar meliputi hal-hal berikut (Fearn-Banks, 2002): a. Communication objective, berupa tujuan spesifik dari kegiatan komunikasi yang akan dilaksanakan b. Roles and Responsiblities, menyangkut peran PR dalam menyipakan Emergency Operation Center, mengontrol arus informasi kepada karyawan, stakeholder terkait dan pihak media, memelihara kontak dengan perwakilan media dan menyelenggarakan press center, jika diperlukan c. Notification of a crisis, berkaitan dengan pemberitahuan mengenai kondisi krisis yang menimpa perusahaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan d. Communication Procedure for handling a Minor and Major Crisis, meliputi tahapantahapan prosedur arus penyampaian informasi kepada pihak-pihak terkait e. Emergency Operation Center Activation, yaitu pemberdayaan secara optimal pusat krisis sebagai tempat koordinasi dan pelaksanaan berbagai keputusan strategis f. Identification of Spokesperson, yaitu penunjukan orang yang dianggap paling tepat untuk menjawab dan menjelaskan berbagai hal menyangkut krisis. Termasuk didalamnya panduan untuk memjawab pertanyaan dan memberikan pernyataan seputar krisis KASUS KRISIS – KETELEDORAN CITIBANK Kasus Penyimpangan Wewenang: Inong Melinda – Citibank (disarikan dari Majalah Tempo dan Tempo Interaktif) Skandal Inong Melinda bisa dicalonkan sebagai perkara paling kontroversial tahun 2011 ini. Bekas Senior Relationship Manager Citibank itu didakwa menggelapkan sedikitnya Rp 20 miliar uang nasabah. Bukti-bukti penyelewengannya amat jelas: sejumlah apartemen di jantung segitiga emas Jakarta, empat mobil mewah sekelas Ferrari dan Hummer, serta sejumlah properti di Inggris dan Australia. Lewat pengacaranya, MD pun mengaku telah melakukan "pelanggaran prosedur". Anehnya, sampai tiga pekan setelah ia ditangkap, belum satu pun nasabah mengadukan perempuan 47 tahun yang "seronok" itu ke kantor polisi. Seorang nasabah-diketahui sumber Tempo sebagai perwira tinggi polisi-yang membuat kasus ini terbongkar bahkan tidak melapor kepada markas tempat ia berdinas. Sang perwira tinggi, kemudian juga dua nasabah lain, hanya mengungkapkan kepada Citibank bahwa duit mereka yang berjumlah miliaran rupiah ternyata amblas. Polisi memeriksa ketiga nasabah tajir itu setelah manajemen bank Amerika Serikat ini mengadu kepada aparat penegak hukum. Perilaku nasabah kelas Citigold-nasabah dengan rekening paling kecil Rp 500 juta-ini sangat berbeda dengan nasabah Bank Century. Ketika Century dilanda krisis likuiditas, pada 2008, nasabah Century yang duitnya tak kembali berdemo di depan kantor bank itu. Mereka menduduki kantor-kantor cabang, juga beramai-ramai mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat. Unjuk rasa nasabah Century bahkan sempat menjadi kepala berita sejumlah media massa selama berhari-hari. Kesediaan Citibank mengganti uang nasabah jelas ampuh menahan mereka turun ke jalan. Tapi sesungguhnya belum jelas apakah nasabah yang bertindak ceroboh juga akan mendapat ganti. Walaupun hubungan antara nasabah Citigold dan manajer seperti MD lebih banyak dilakukan lewat telepon, Citibank biasanya melakukan cek ulang kepada nasabah apabila terjadi penarikan uang dalam jumlah besar. Setelah proses verifikasi itu, barulah bank memindahkan uang nasabah, misalnya untuk membeli produk investasi. Dalam kasus seperti ini, belum ada kepastian apakah Citibank juga akan mengganti kerugian nasabah. Masih perlu ditunggu apakah nasabah yang dibujuk MD sampai bersedia mengambil risiko melanggar prosedur resmi itu akan muncul ke permukaan. Berlangsungnya praktek "bawah tangan" ini di luar pengetahuan bank menguatkan dugaan MD tidak bergerak sendiri. Mungkin ia menjalin hubungan khusus dengan orang dalam untuk memuluskan aksinya. Di luar kantornya, ia mendirikan sebuah perusahaan yang salah satu komisaris dan pemegang sahamnya diduga seorang perwira tinggi TNI. Perusahaan ini ditengarai menampung dan memutarkan uang yang digaet MD dari nasabah Citigold yang dilayaninya. Semakin hari, polisi akan semakin terang menggambarkan lika-liku permainan MD. Tapi nasabah kelas kakap yang dirugikan MD tetap saja kabur-paling tidak sampai akhir pekan lalu. Agaknya para nasabah itu menganggap "ongkos" muncul di permukaan, dengan melapor kepada polisi, lebih mahal ketimbang sekian miliar rupiah yang raib di tangan MD. Seandainya benar sebagian nasabah MD perwira tinggi polisi, urusan tentu akan semakin runyam. Masyarakat akan mengaitkan rekening yang diurus MD dengan sejumlah perwira tinggi polisi dalam daftar "rekening gendut" yang diributkan pada pertengahan tahun lalu. Dengan sejumlah risiko itu, alasan para perwira korban MD untuk menyembunyikan identitas akan semakin kuat. Selain menduga MD melakukan pencucian uang, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) perlu melacak rekening para klien MD itu. Bila sang pemilik tidak merasa perlu ribut-ribut setelah kehilangan miliaran rupiah, bisa dibayangkan betapa besar jumlah uang dalam rekening itu. PPATK jelas mempunyai kewenangan memonitor rekening yang mencurigakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Kewenangan itu termasuk melacak transaksi oleh nasabah yang patut diduga sengaja dilakukan untuk menghindari standar pelaporan penyedia jasa keuangan-dalam kasus ini Citibank. PPATK juga bisa melacak rekening yang dicurigai dibuat menggunakan harta yang berasal dari hasil tindak pidana. Di samping memastikan status dan asal-usul duit di dalam rekening klien MD, PPATK bisa menyerahkan hasil pelacakannya kepada Presiden, Kejaksaan, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi, juga kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk diteruskan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Bila mereka yang dulu menjadi klien MD itu tidak membayar pajak dengan benar, atau malah tidak membayar pajak sama sekali, tentu mereka perlu mendapat sanksi. Jangan biarkan bank-bank yang beroperasi di negeri ini menjadi surga para pencuci uang. Mengenai tuduhan Melinda mengenai Citibank ikut bersekongkol dalam melakukan pencucian uang, juru bicara Citibank, Dita Amahorsea, menegaskan tersangka MD telah mengundurkan diri dari Citibank setelah MD ditetapkan sebagai tersangka. Dita membantah dugaan bahwa Citibank terlibat persekongkolan kegiatan pencucian uang dengan MD. Citibank bahkan akan melakukan tindakan hukum terhadap MD setelah kasus MD memperoleh kepastian hukum yang tetap. Sebab, MD telah merugikan Citibank, baik secara finansial maupun reputasi. Setelah menggelar rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia akhirnya menjatuhkan tiga sanksi untuk Citibank. Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Sistem Pembayaran dan Peredaran Uang, Budi Rochadi, mengatakan Citibank melanggar ketentuan internal bank. Selain itu, Citibank juga dianggap lemah menerapkan manajemen risiko. Menurut Budi tiga sanksi itu meliputi, 1. Citibank dilarang menerima nasabah prioritas baru (Citigold) selama satu tahun. "Tapi untuk nasabah yang sudah ada tetap berjalan," kata Budi, Jumat, 6 Mei 2011. 2. Citibank dilarang menerbitkan kartu kredit kepada nasabah baru selama dua tahun. 3. Citibank dilarang menggunakan jasa penagih utang alih daya (outsource) selama dua tahun. Selain menetapkan tiga sanksi tersebut, BI juga memberi rangkaian instruksi pada pengurus Citibank. 1. BI akan melakukan uji kepatutan dan kelayakan pada pejabat eksekutif dan manajemen bank yang terkait. 2. BI menginstrusikan Citibank untuk menonaktifkan pejabat eksekutif bank yang terlibat kasus layanan prioritas (Citigold) dan kartu kredit sampai dengan tuntasnya uji kepatutan dan kelayakan tersebut. 3. BI meminta Citibank memberhentikan pegawai di bawah pejabat eksekutif yang terlibat langsung kasus layanan prioritas dan kartu kredit. "Berapa pejabat yang diberhentikan akan kami hitung kembali. Kami punya daftar namanya. Kami akan lihat bersama dengan Citibank," kata Deputi Gubernur BI Bidang Pengawasan Perbankan, Halim Alamsyah. Budi mengatakan bahwa pemeriksaan terhadap Citibank telah dilakukan lebih dari tiga pekan. Dua pekan pertama digunakan untuk memeriksa Citibank. Setelah itu dilakukan konfirmasi pada Citibank selama satu pekan. Ketentuan BI yang dilanggar oleh Citibank, menurut Budi, antara lain Peraturan Bank Indonesia No 11/25/PBI/2009 tentang penerapan manajemen risiko bagi bank umum. Selain itu, BI juga menemukan pelanggaran dalam PBI 11/11/PBI/2009 dan Surat Edaran BI nomor 11/10/DASP mengenai penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. "Standard Operating Procedure juga lemah," kata Budi. Terkait sanksi yang baru saja dijatuhkan Bank Indonesia kepada Citibank, perusahaan asal Amerika Serikat (AS) ini mengaku akan mengikuti sepenuhnya keputusan BI tersebut. "Kami berkomitmen untuk bekerja sama sepenuhnya dengan BI dan melakukan segala tindakan yang dianggap perlu untuk memenuhi hal-hal yang dianggap penting oleh BI," ungkap Country Corporate Affairs Head Citibank Ditta Amahorseya, kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (6/5/2011). Dirinya menjelaskan, pihaknya pun telah mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki kesalahan tersebut dan berjanji akan memperbaikinya. "Kami telah mengambil langkah-langkah untuk memperkuat proses internal kontrol kami. Kami juga telah merekrut 1.400 karyawan baru untuk proses penagihan internal kami," tambahnya. Selain itu, Citibank akan terus mengimplementasikan segala tindakan perbaikan yang diperlukan dengan berkonsultasi pada regulator. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, dengan metode studi kasus. Menurut Robert Yin, metode studi kasus tepat digunakan pada penelitian yang berfokus pada peristiwa kontemporer dan menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” (Yin, 1996). Penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus memfokuskan dirinya untuk mengetahui keumuman (diversity) dan kekhususan (particularities).Namun hasil akhir yang ingin diperoleh adalah penjelasan tentang keunikan dari kasus yang ditekuninya. Keunikan kasus pada umumnya berkaitan dengan: 1) hakikat dari kasus tersebut, 2) latar belakang historis, 3) setting fisik, 4) konteks kasus, khususnya ekonomi, politik, hukum, estetika, 5) kasus-kasus lain di sekitar kasus yang dipelajari, 6) informan atau pemberi informasi tentang keberadaan kasus tersebut (Jacob, 1987, hal.1-50). Pada penelitian ini, metode studi kasus digunakan karena relevan dengan situasi krisis yang saat ini menimpa Citibank B. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat eksplanatif karena dilakukan untuk memberi gambaran dan menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana suatu peristiwa Penelitian eksplanatif dilakukan untuk menemukan penjelasan tentang mengapa suatu kejadian atau gejala terjadi. Hasil akhir dari penelitian ini adalah mengenai hubungan antar gejala (Prasetyo & Lina Miftakhul Jannah, 2005, hal.43). Uraian mendalam tentang ucapan, tulisan dan tindakan informan yang terkait dengan kasus Citibank diharapkan mampu menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” kasus penyimpangan wewenang oleh karyawan Citibank ini dapat berkembang menjadi krisis perusahaan C. Metode Pengumpulan Data Menurut Lofland dan Lofland, sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah katakata, dan tindakan, sedangkan selebihnya merupakan data tambahan seperti dokumen (Moleong, 1993, hal. 112). Metode pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah: 1 Data Primer Untuk mendapatkan data primer, peneliti menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: a. Wawancara mendalam Wawancara mendalam dilakukan untuk mengumpulkan data atau informasi dari informan dengan cara tatap muka agar mendapat data yang lengkap dan mendalam. Wawancara ini dikombinasikan dengan teknik observasi agar diharapkan dapat menggali data secara lebih lengkap (Christine & Imny, 2000, hal.100). Penelitian ini akan lebih menggunakan teknik wawancara tatap muka dengan, Corporate Communication Head Citibank, wartawan media yang melakukan investigasi kasus Citibank, nasabah Citibank dan masyarakat umum. b. Observasi Observasi adalah kegiatan yang memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.(Poerwandri, 2007, hal.134). Tujuan dari observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. (Poerwandri, 2007, hal.136). Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini berupa pengamatan terhadap aktivitas jajaran manajemen Citibank dalam merespon krisis yang terjadi di perusahaan tersebut. Disamping itu peneliti juga melakukan observasi berdasarkan pemberitaan yang muncul di media massa baik media cetak maupun media online untuk menganalisis perkembangan kasus Citibank mulai dari awal terjadinya penyalahgunaan wewenang karyawan Citibank, keterkaitan kasus ini dengan stakeholder Citibank hingga respon pihak Citibank terhadap krisis yang terjadi. 2. Data Sekunder Data sekunder dikumpulkan dengan melakukan studi pustaka.Studi pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan mempelajari hasil-hasil penelitian sebelumnya baik yang berasal dari penelitian ilmu manajemen maupiun ilmu komunikasi. Disamping itu peneliti juga akan melakukan review dari buku-buku literatur yang relevan dengan penelitian ini D. Metode Pemilihan Informan dan Karakteristik Informan Pemilihan informan dilakukan dengan teknik non-probabilita dikarenakan kesesuaian dengan konteks penelitian kualitatif.Responden yang dipilih dalam sesi wawancara mendalam penelitian ini dilakukan secara sengaja dengan terlebih dahulu menentukan kriteria-kriteria informan.Purposive sampling memungkinkan peneliti untuk menentukan sendiri informan yang menurutnya paling kompeten dan relevan untuk dimintai keterangan. Informan yang dipilih adalah informan yang kriterianya telah dirumuskan terlebih dahulu oleh peneliti, dianggap paling kompeten dalam memberikan informasi dan dapat memberikan gambaran yang kaya sesuai dengan kebutuhan penelitian. 1. Karakteristik Informan Informan dipilih dengan karakteristik sebagai berikut: a. Corporate Communication Head Citibank Informan adalah karyawan Citibank yang bertanggung jawab atas penetapan strategi komunikasi, pengaturan arus komunikasi dan tindakan komunikasi terkait kasus Citibank. Informan merupakan anggota dari Crisis Management Team Citibank b. .Kepala Bagian Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia Informan adalah karyawan Bank Indonesia yang bertanggung jawab untuk melakukan investigasi apabila terjadi kesalahan prosedur atau penyimpangan yang dilakukan oleh bank-bank yang beroperasi di Indonesia. c. Wartawan Senior Media Cetak Informan adalah wartawan yang melakukan investigasi, observasi dan pelaporan dalam bentuk tulisan mengenai perkembangan kasus Citibank d. Nasabah Citibank Informan adalah nasabah salah satu produk Citibank dan telah menjadi nasabah Citibank lebih dari 3 (tiga) tahun e. Masyarakat non nasabah Citibank Yaitu orang yang bukan nasabah Citibank namun mengetahui dan mengikuti perkembangan kasus Citibank E. Metode Analisis dan Interpretasi Data Tahapan analisis data oleh peneliti dimulai dengan menelaah seluruh data yang didapatkan dari berbagai sumber seperti wawancara, observasi, dan studi pustaka.Selanjutnya dilakukan reduksi data dengan membuat pengelompokkan dan ringkasan dari pernyataan-pernyataan informan. Sedangkan untuk interpretasi data, dilakukan dengan cara membandingkan data dengan kerangka konsep, kemudian digambarkan ulang dengan mendapatkan tambahan data empiris (Sumeryono, 1997, hal. 145). Hasil deskripsi akhir akan memunculkan gambaran secara keseluruhan dari data yang diamati. F. Keterbatasan Penelitian 1. Penelitian ini dibatasi hanya pada kasus Citibank sehingga hasil penelitian tidak dapat digeneralisasi untuk kasus yang sama baik pada jenis usaha perbankan maupun jenis usaha yang berbeda 2. Keterbatasan dalam menggali informasi dari informan, khususnya dari pihak Citibank mengingat beberapa informasi bersifat rahasia karena menyangkut reputasi Citibank IV. PEMBAHASAN KASUS CITI BANK Dalam kasus krisis yang menimpa Citibank, tampak stakeholder yang terlibat cukup banyak, mulai dari nasabah, DPR, kepolisian, Bank Indonesia media dan karyawan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa setiap stakeholder mempunyai ekspektasi yang berbedabeda terhadap perusahaan. Ditilik dari perspektif PR, strategi komunikasi yang perlu disiapkan dalam crisis communication plan pun tentunya harus berbeda-beda. Pre-crisis – Prodromal Crisis Stages Tahap prodromal atau warning stage pada kasus Citibank seharusnya sudah dapat dideteksi sejak dini. Apalagi untuk perusahaan jasa perbankan sekelas Citibank yang di Indonesia reputasinya relatif cukup baik. Perlu dipertanyakan bagaimana sistem pengawasan yang diterapkan oleh bank tersebut, sehingga membiarkan dana nasabah hampir sebesar 20 milyar rupiah melayang. Walaupun Direktur Kepatuhan Citibank menyatakan sudah menindak lanjuti sejak awal laporan seorang nasabah yang kehilangan uangnya, namun pengawasan selanjutnya terhadap penanganan keluhan nasabah ini tidak ditangani dengan baik. Karena kelalaian untuk menyikapi kasus ini, maka tidak ada startegi komunikasi yang disiapkan oleh Citibank. Padahal jika awal berkembangnya kasus ini cepat ditanggapi, maka pihak Corporate Communication Citibank dapat mengadakan pendekatan dengan nasabah yang merasa dirugikan sebagai stakeholder utama, sehingga kasus ini tidak tersebar luas melalui media . Bibit-bibit krisis sesungguhnya sudah muncul disini dan karena keteledoran pihak Citibank, maka kasus ini bergulir menjadi lebih rumit. dan memasuki fase-fase berikutnya. Acute Crisis Stages Tahap ini terjadi karena tidak berhasil mendeteksi atau menangani gejalagejala krisis yang terjadi pada tahap prodromal. Pada kasus Citibank tahap ini ditandai dengan mencuatnya pemberitaan pembobolan Citibank ditambah dengan kisah Malinda Dee –manajer senior Citibank yang sosoknya dan kehidupan pribasi sangat menarik perhatian nmasyarakat, semakin memperburuk citra Citibank. Berbagai hujatan, isu-isu baru dan banyaknya stakeholder yang terlibat dalam kasus ini, termasuk keterlibatan sejumlah “orang penting” semakin membuat Citibank terpuruk. Media dan masyarakat menanti-nanti penjelasan dari pihak Citibank yang tampak menahan diri untuk tidak segera memberikan komentar atau pernyataan. Pada tahap ini pihak Citibank tampak sangat berhati-hati menanggapi setiap pertanyaan maupun pendapat terkait kasus ini. Beberapa CEO termasuk Corporate Communication Director dalam pernyataannya di media massa dan DPR sepakat untuk mengakui keteledoran pihaknya dan minta maaf atas berbagai kejadian yang merugikan para nasabahnya. Pengakuan dan permohonan maaf ini secara terbuka juga diikuti dengan kesediaan untuk memberi ganti rugi pada nasabah yang dirugikan dan memperbaiki manajemen merupakan strategi komunikasi Citibank untuk meredam berbagai isu dan menurunkan tensi krisis. Langkah-langkah aktivitas komunikasi tersbut secara garis besar sesuai dengan crisis communication plan yang diuraikan oleh Fearns dan Banks . Tentunya sebagai bagian dari Crisis Management Team strategi komunikasi ini harus terintegrasi dan bersinergi dengan strategi yang disiapkan oleh tim, menyangkut prosedur ganti rugi, pengawasan , sumber daya manusia dan strategi lain yang terkait kasus ini. Chronic Crisis Stages Tahap kronik merupakan the clean up phase. Pada tahap ini stakeholder, khususnya media massa tetap akan memantau langkah-langkah penanganan krisis yang dilakukan Citibank, khususnya mengenai janji untuk memberi ganti rugi pada nasabah dan perubahan struktural dalam manajemen yang tentunya tidak mudah. Citibank juga sudah mengajukan gugatan terhadap mantan karyawan – Melinda Dee sebagai bentuk keseriusan Citibank untuk menuntaskan masalah ini. Tidak tertutup kemungkinan pada tahap ini muncul masalah baru yang dapat menyebabkan krisis semakin parah. Misalnya prosedur ganti rugi yang berbelit-belit, ketidak sesuaian nilai ganti rugi antara bank dengan nasabah atau perubahan struktur organisasi yang tidak berjalan mulus. Tugas komunikasi pada tahap ini adalah secara konsisten memberikan informasi pada masyarakat melalui media massa tentang tindak lanjurt dari kebijaksanaan Citibank serta jika diperlukan menjadi mediator yang membantu pihak manajemen bernegosiasi dengan nasabah. Post-Crisis Resolution Stages Merupakan tahap pemulihan kembali kondisi perusahaan. Saat makalah ini dibuat kasus Citibank masih tetap menjadi perbincangan hangat walaupun tidak lagi segencar pada saat awal terjadinya krisis. Berbagai isu politik, sosial dan ekonomi yang melanda negeri ini sedikit demi sedikit menggeser isu Citibank. Memperbaiki hubungan dengan para stakeholder merupakan tugas berat divisi Corporate Communication. Pemulihan hubungan baik ini selain diperlukan untuk memperbaiki citra Citibank, juga untuk mendeteksi apakah ada residu dari krisis ini yang berpotensi untuk berkembang menjadi krisis baru. Oleh karena itu penanganan krisis perlu dilakukan secara tuntas. V. SIMPULAN Dari uraian teori dan analisa kasus dapat ditarik kesimpulan bahwa krisis tidak bisa dielakkan. Krisis bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Oleh karena itu, peran manajemen krisis dalam suatu perusahaan sangatlah penting, terutama peranan public relation dalam menjembatani komunikasi antara perusahaan dengan pihak media atau masyarakat. Dengan adanya public relation dalam manajemen krisis dapat membantu perusahaan dalam meminimaisir dampak yang disebabkan oleh krisis. REFERENSI Barton, Laurence. Crisis Organization. Cincinnati SouthWestern Publishing, 1993 Coombs Timothy W. Ongoing Crisis Communication Planning, Sage Publication, 2000 Fearn-Banks, Katherine. Crisis Communication. Laurence Erlbaun, 1996 Fink, Steven. Crisis Management, Planning for The Inevitable. Universe Inc. 1993 Devlin, Edward, S. 2007. Crisis Management Planning and Execution. Auerbach Publications. Wilcox, Dennis, Cameron, Glen T., Public Relations Strategies and Tactics, Pearson, 2009 Lattimore, Dan, baskin Otie et.al., Public Relations: The Profession and The Practice. Mc GrawHill, 2009 Ruslan, Rosady. 1999. Praktik dan Solusi Public Relations Dalam Situasi Krisis dan Pemulihan Citra. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. http://www.tempointeraktif.com/hg/fokus/2009/06/06/fks,20090606651,id.html?page=4 http://economy.okezone.com/read/2011/05/06/320/454257/citibank-setuju-dikenai-sanksioleh-bi http://findarticles.com/p/articles/mi_m3301/is_n8_v90/ai_7946277/