I-100 POTENSI KEKERANGAN ABALON SULAWESI SELATAN, PROSPEK DAN TANTANGAN PENGELOLAAN Magdalena Litaay 1,2), Rosana Agus 1), Rusmidin 1), St. Ferawati 1) 1) Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Hasanuddin, Makassar 2) Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin, Makassar Email: [email protected], [email protected] ABSTRAK Abalon dikenal dengan nama umum kerang mata tujuh merupakan gastropoda ekonomis oleh karena bentuk dan warna kerang yang indah dan merupakan makanan prestise terutama bagi keturunan tionghoa di berbagai tempat di dunia. Abalon mengandung nutrisi yang baik, namun tidak umum dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Eksploitasi abalon di Indonesia lebih ditujukan untuk ekspor. Permintaan dunia akan abalon meningkat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan sumber protein serta perkembangan industri perhiasan dan akuarium. Disisi lain informasi keberadaan abalon di alam dan variasi genetiknya terutama di Indonesia masih sangat terbatas. Sulawesi Selatan memiliki daerah perairan yang cukup luas, memiliki sumber daya hayati laut yang berpotensi untuk dikembangkan. Penelitian mengenai kekerangan abalon di kawasan ini penting untuk menyediakan informasi mengenai potensi dan tingkat pemanfaatan sebagai bahan untuk pengembangan berkelanjutan komoditi ini. Kajian ini menggunakan dua pendekatan yakni penelitian lapangan pada dua lokasi di perairan Spermonde dan Teluk Bone serta kajian variasi genetik abalon. Data sekunder diperoleh dari kajian yang telah dilakukan sebelumnya. Tercatat enam jenis abalon di Sulawesi Selatan. Tulisan ini membahas potensi kekerangan abalon di daerah Sulawesi Selatan, prospek serta tantangan pengelolaan berkelanjutan komoditi ini. Kata Kunci: kerang mata tujuh, gastropoda laut, Spermonde, Haliotis PENGANTAR Sulawesi Selatan diantaranya daerah Spermonde memiliki daerah perairan yang cukup luas, memiliki sumber daya hayati laut yang berpotensi untuk dikembangan (Litaay & Jompa, 2007). Pemberlakuan otonomi daerah turut membuka peluang bagi daerah untuk mengolah sumber daya hayatinya untuk peneningkatan pendapatan daerah dengan sasaran akhir peningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat pada khususnya. Informasi keanekaragaman organisme di suatu kawasan merupakan dasar pemanfaatan dan pengelolaan berkelanjutan sumberdaya tersebut. Selama ini kendala umum yang dihadapi adalah kurangnya informasi tentang biodiversitas organisme laut. Informasi biodiversitas kekerangan moluska terutama di kawasan Indonesia timur masih minim, di sisi lain moluska merupakan kelompok hewan terbesar setelah serangga. Penelitian diversitas kekerangan abalon di Sulawesi Selatan penting untuk menyediakan informasi mengenai potensi komoditi ini sebagai bahan untuk pengembangan berkelanjutan. Data dan informasi tentang potensi abalon nantinya dapat digunakan oleh stakeholder terkait dalam membuat strategi yang tepat untuk pengelolaan sumberdaya laut ini secara berkelanjutan. Moluska laut sebagian besar merupakan hewan sesil sehingga menjadi sasaran ekploitasi. Abalon, merupakan kelompok moluska laut, di Indonesia di kenal sebagai siput mata tujuh atau siput lapar kenyang, beberapa jenis merupakan komoditi ekonomis. Permintaan dunia akan abalon meningkat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan sumber protein serta perkembangan industri perhiasan dan akuarium. I-101 BAHAN DAN METODE Pendekatan yang dilakukan dalam studi ini meliputi pengumpulan data primer pada tiga lokasi berbeda di kawasan Sulawesi Selatan dan data sekunder dari kajian yang pernah dilakukan sebelumnya. Pengambilan sampel abalon dilakukan pada tiga lokasi perairan yakni Tana Keke Takalar (S 05o29’10.9’’, E 119o18’54.6’’), Lumu lumu Makassar (S 04o68’33.2’’, E 119o12’51.6’’) dan Teluk Bone (S 04o40’18.8’’, E 120o29’32.2”; S o 04 40’18.8’’, E 120o29’32.0”; S 04o40’17.3’’, E 120o29’28.9” ). Abalon diperoleh dengan bantuan nelayan pengumpul. Semua jenis dan jumlah abalon di data kemudian ditransfer dalam keadaan hidup ke Unhas Makassar untuk selanjutnya disimpan di lemari pendingin (deep freezer -20oC) sampai analisis lanjut. Data sekunder untuk mengetahui tingkat pemanfaatan abalon diperoleh dari stakeholder terkait baik berupa referensi tertulis maupun informasi lisan. Identifikasi jenis abalone berdasarkan morfologi bentuk, ukuran, corak warna cangkang disesuaikan dengan referensi (Dharma, 1988; Geiger, 2000). Analisis genetik meliputi indentifikasi jenis dan variasi genetic menggunakan analisis RAPD (Klinbunga et al., 2004; Tang et al., 2005), namun sampai tulisan ini dibuat masih proses penyelesaian sehingga akan dipublikasi terpisah. HASIL DAN PEMBAHASAN Abalon sejauh ini telah teridentifikasi kurang lebih 100 jenis, dimana keseluruhan termasuk dalam satu genus yakni Haliotis dan family Haliotiidae (Geiger, 2000). Penyebaran abalon cukup luas, umumnya dapat ditemukan di seluruh perairan di dunia, sepanjang pantai kontinen utama dan pada pulau-pulau di daerah Pasifik, Atlantik dan Hindia (Linberg,1992). Di perairan Indonesia terdapat tujuh species abalon yakni: H. asinina, H squamata, H. ovina, H. scabra, H. crebrisculpata, H. planate dan H. varia (Dharma, 1988). Status Perikanan dan Budidaya Abalon Diantara abalon yang telah dikenal dewasa ini, 15 jenis diantaranya ekonomis penting (Jarayabhand and Paphavasit, 1996). Abalon menjadi penting karena bernilai ekonomis disebabkan oleh bentuk dan warna kerang yang indah. Selain cangkang yang dimanfaatkan pada industri kancing perhiasan, daging abalon mengandung protein yang cukup tinggi sehingga merupakan salah satu makanan utama dan prestise terutama di kalangan masyarakat keturunan Tionghoa, Jepang, dan Amerika. Abalon sebagai komoditi perikanan komersial skala besar terdapat terlihat jelas pada tujuh negara dengan total nilai sekitar U$ 100.000 (Miller et al. 2009). Namun, beberapa daerah utama penghasil abalon alami tidak memproduksi lagi (mengalami collapse) pada dekade terakhir tanpa ada proses pemulihan. Salah satu contoh yang signifikan adalah perikanan komersil di California yang pernah memproduksi > 2000 ton/tahun, ditutup pada tahun 1997 (Karpov et al. 2000). Empat dari lima species yang merupakan komoditi target daerah ini telah terdaftar dalam daftar species yang dilindungi atau dipertimbangkan untuk dilindungi (Mitchell et al. 2008). Kebutuhan dunia akan abalon yang terus meningkat telah berdampak pada eksploitasi berlebihan sehingga menyebabkan penurunan populasi alami dimana-mana. Eksploitasi abalon seperti telah dijelaskan di depan secara ektensif telah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Abalon tropis jenis H. asinina L. diketahui terdapat dan telah dieksploitasi secara ekstensif di perairan kepulauan Seribu DKI, Bali, Lombok, Sumbawa, Sulwesi dan Maluku (Setyono, 2007). Abalon mata tujuh telah dieksploitasi di perairan pulau Bone Tambu (Anwar, 2006), di pulau Badi Pangkep (Hadijah, 2007). Kedua lokasi terakhir berada di kawasan Spermonde Sulawesi Selatan. Permintaan dunia akan abalon telah memicu berkembangnya budidaya abalon di berbagai negara. Budidaya abalon mulamula dikembangkan di Jepang dan China pada ahir tahun 1950-an. Dewasa ini I-102 budidaya abalon didominasi oleh Taiwan (400 farms ) dan China dengan lebih dari 300 farms, dengan produksi abalon 4.000 ton (T) dan lebih dari 26.700 mton di China (Fishtech. 2007). Budidaya abalon belum berkembang Di Indonesia, namum untuk tujuan penelitian beberapa hatchery di Indonesia telah memproduksi kerang mata tujuh ini dalam skala kecil. Pemerintah melalui Ditjen Budidaya DKP sedang mengupayakan budidaya Haliotis squamata untuk produksi ukuran tiga cm untuk tujuan ekspor (Sugama, 2009). Untuk Sulawesi Selatan, penelitian dan ujicoba produksi abalon skala laboratorium sekarang sedang dikembangkan oleh Balai Budidaya Air Payau Takalar. Potensi dan Tantangan Pengelolaan Abalon Sulawesi Selatan Tercatat tujuh species abalon di Indonesia, lima jenis dintaranya ditemukan di perairan pulau Bonetambu Makassar (Andy Omar dkk, 2006; Anwar, 2006). Hadijah (2007) melaporkan abalon jenis H. asinina, H. squamata, H. ovina dan H. crebrisculpta terdapat di perairan pulau Badi Kab Pangkep. Abalon tropis asal perairan Tana Keke, Lumu Lumu dan Teluk Bone yang terdata pada kajian ini berukuran 2.90 g s/d 41.16 g berat basah. Variasi morfologi abalon tropis yang berasal dari tiga lokasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Jenis abalon pada kajian ini dan sebelumnya asal Sulawesi Selatan disajikan pada Tabel 1, dimana abalon mata tujuh H. asinina ditemukan pada semua lokasi penelitian. Kepulauan Spermonde terletak barat daya Propinsi Sulawesi Selatan, terbentang dari kabupaten Barru di bagian utara sampai kabupaten Takalar pada bagian selatan, terdiri dari lebih 100 pulau memiliki potensi sumber daya hayati beeragam. Kawasan lainnya yang memiliki potensi sumberdaya kelautan yakni daerah perairan Teluk Bone yang terletak pada bagian timur propinsi Sulawesi Selatan. Kawasan Teluk Bone secara administratif meliputi beberapa kabupaten yang daerah pesisirnya memiliki potensi sumber daya alam laut yang bervariasi misalnya Kabupaten Bone dan Sinjay. Perairan Laut Teluk Bone merupakan perairan yang semi tertutup terhadap Laut Flores. Secara geografis daerah ini terletak disebelah timur daratan Sulawesi Selatan dan sebelah barat daratan Sulawsei Tenggara dan pada bagian selatannya berhubungan langsung dengan laut Flores. Oleh karena letak geografis tersebut maka kondisi perairan Teluk Bone relatif berbeda dengan kondisi perairan Selat Makassar dan Laut Flores. Kawasan perairan Teluk Bone memiliki potensi sumberdaya alam laut yang telah lama dimanfaatkan oleh penduduk setempat baik berasal dari Kabupaten Bone maupun dari Sinjai. Hampir semua biota yang bernilai ekonomis telah dimanfaatkan secara tidak terkendali, hal ini dikuti pula oleh kerusakan lingkungan dan habitat di laut. Suatu indikasi yang jelas digambarkan oleh peneliti sebelumnya dimana kondisi terumbu karang telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2006 sekitar 75% terumbu karang yang berada di wilayah administrasi Kab. Bone telah rusak total atau 80% rusak parah, sementara di Kabupaten Sinjai kerusakan terumbu karang mencapai 60% dari seluruh wilayahnya (PPTK, 2006). Indonesia mulai mengekspor abalon dari alam pada tahun 2005 ke negara Jepang, Cina, Singapura dan Hongkong (Republika, 2007). Balai Karantina Ikan Hasanuddin Makassar mencatat ekspor abalon kering dari Sulawesi Selatan tahun 2007 sebesar 110 kg, meningkat tajam pada tahun 2008 menjadi 8.632 kg (Balai Karantina Ikan Hasanuddin, 2008). Hasil wawancara dengan pengekspor abalon, disebutkan bahwa jenis kerang mata tujuh H. asinina lebih diminati di China dan Hongkong, Selanjutnya disebutkan bahwa mayoritas abalon mata tujuh yang diekspor berasal dari perairan Sulawesi Tengah, sedangkan abalon asal Sulawesi Selatan berasal dari Kabupaten Pangkep dan Tana Keke dengan rata-rata ekspor 300 – 500 kg per bulan (pers. Comm). Jenis abalon mata lima juga diekspor namun jumlahnya lebih kecil dibanding abalon mata tujuh. Namun ditambahkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir telah terjadi penurunan ekspor sebesar 30% setiap I-103 tahunnya. Hal ini menunjukan telah terjadi penurunan tangkapan alami. Berdasarkan nilai ekonomis yang dimiliki oleh abalon dan tinggingginya tingkat eksploitasi maka perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam tentang aspek bio-ekologi termasuk sebaran dan kelimpahan, variasi genetik dan siklus reproduksi. Informasi dasar ini akan menunjang program breeding untuk konservasi dan marikultur. Informasi mengenai variasi genetik sangat penting untuk mengembangkan model pengelolaan yang tepat species target. Marker genetik yang tepat dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi budidaya dan pengelolaan berkelanjutan abalon di kawasan ini. Telah dijelaskan di atas bahwa dari tujuh species abalon yang disebut Dharma (1988) terdapat di perairan Indonesia, enam diantaranya terdapat di perairan Sulawesi Selatan. Hal ini tentu saja bila dikelola baik akan dapat merupakan sumber devisa bagi propinsi Sulawesi Selatan. Disisi lain tingkat eksploitasi yang cukup tinggi mengharuskan adanya kebijakan pelarangan penangkapan dengan cara tidak ramah lingkungan. Kawasan Spermonde sendiri meliputi tiga daerah administratif yakni Kabupaten Barru, Pangkep dan Kota Makassar, dimana kebijakan pengelolaan sumberdaya diatur berdasarkan otoomi daerah. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi pengelolaan sumber daya berkelanjutan. Disisi lain, tantangan implementasi UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil masih besar. Diperlukan kerja keras dan kerjasama yang baik antara semua stakeholder terkait pengguna sumber daya hayati kelautan untuk pengelolaan berkelanjutan. KESIMPULAN Sulawesi Selatan memiliki potensi abalon namun perlu kajian lebih lanjut dalam rangka pemanfaatan berkelanjutan komoditi ekonomis ini. Untuk pengkayaan sumber protein lain selain ikan, maka perlu sosialisasi kepada stakeholder terkait tentang abalon sebagai sumber alternatif protein. UCAPAN TERIMA KASIH Studi ini dibiayai oleh Hibah Penelitian Stranas DIPA UNHAS tahun 2010, olehnya penulis mengucapkan terima kasih. Terima kasih juga kami sampaikan pada saudara Rio Ahmad dan Yusal untuk bantuannya selama di lapangan DAFTAR PUSTAKA Andy Omar, S Bin, Litaay M, Anwar N. 2006. The occurrence of tropical abalone (Haliotis spp) at reef flat of Bonetambu Island, Makassar. J. TORANI 16 (2): 142147. Anwar N. 2006 Sebaran abalon tropis Haliotis spp di perairan pulau Bon Tambu. Skripsi Jurusan Perikanan FIKP. Universitas Hasanuddin. Dharma B. 1988. Indonesian Shell I..PT. Sarana Graha. Jakarta. Pp. 30-31. Fistech. 2007. 2007 Worldwide Abalone Farming Production. http://www. fishtech.com/ farming.html. Akses 27 November 2010. 15.00 pm. Geiger D. 2000. Conchological Iconography Vol. 4. Haliotis. Hadijah. 2007. Sebaran spasial dan biologi abalon (Haliotis spp) di perairan Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Penelitian Dosen Muda, DIKTI. Lembaga Penelitian Universitas 45 Makassar. Jarayabhand P, Paphavasit N. 1996. A review of the culture of tropical abalone with special reference to Thailand. Aquaculture 140:159-168. Karpov, KA, Haeker, PL, Taniguchi, IK., Robert-Bennet I. 2000. Serial depletion and collapse of the California (Haliotus spp) fishery. In: Workshop on Rebuilding Abalone Stocks in British Columbia, Nanaima, BC (ed: Campbell, A) pp. 11-24. Canadian Special Publication, Fisheries Aquatic Science. Klibunga S, Apparyup P, Leelatanawit R, Tassanakajon A, Hirono I, Aoki T, Jayarabhand A, Menasveta, P. 2004. Species Identification of The Tropical Abalione Haliotis Asinina, Haliotis ovina and Haliotis varia in Thailand Using RAPD I-104 and SCAR Markers. J. Biochemistry and Molecular Biology 37: 213-222. Lindberg DR. 1992. Evolution, distribution and systematics of Haliotidae. In: Abalone of the World, Biology, Fisheries and Culture, Fishing New Books, Oxford (eds., S.A. Sheperd et al.). Pp. 3-18. Miller KJ, Maynardi BT, Mundy CN. 2009. Genetic diversity and gene flow in collapsed and healthy abalone fisheries. Molecular ecology 18:200-211. Pusat Penelitian Terumbu Karang, 2006. Penelitian Tingkat Kabupaten Coremap II Selayar. Coremap II Selayar Republika 2007. Kerang abalone bernilai ekonimi tinggi. Kamis 5 Juli 2007 (diakses tgl 14 Januari 2008). Setyono DED. 2007. Stocking density for juvenile tropical abalone. Haliotis asinina reared in structures and suspended offshore. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 33:213-226. Tang S, Popongviwat A, Klibunga S, Tassanakajon A, Jarayabhand P, Menasveta P. 2005. Genetic Heterogeneity of The Tropical Abalone (Haliotis Asinina) Revealed by RAPD and Microsatellte Analyses. Journal of Biochemistry and Molecular Biology 38: 182-190. Tabel 1. Jenis dan lokasi ditemukannya abalon di perairan Sulawesi Selatan. (1) Hadijah, 2007; (2) Andi Omar et al. 2006; (3),( 4) & (5) Studi ini Gambar 1. Variasi morfologi abalon tropis pada studi ini (Dok. M.Litaay, 2010). I-105