bagian i - Kebijakan Kesehatan Indonesia

advertisement
BAGIAN I
PERKEMBANGAN SISTEM MANAJEMEN
RUMAH SAKIT DAN REFORMASI
PELAYANAN KESEHATAN
PENGANTAR
Perkembangan rumah sakit saat ini mengalami transformasi
besar. Pada masa sekarang rumah sakit sedang berada dalam suasana
global dan kompetitif, termasuk bersaing dengan pelayanan kesehatan
alternatif seperti dukun dan tabib. Pada keadaan demikian pelayanan
rumah sakit sebaiknya dikelola dengan dasar konsep manajemen yang
mempunyai etika. Tanpa konsep manajemen yang jelas, perkembangan rumah sakit di Indonesia akan berjalan lambat. Hal ini dapat
dilihat pada perkembangan aspek keuangan rumah sakit. Infrastruktur
keuangan rumah sakit pemerintah sangat buruk karena belum ada
pemahaman bahwa sistem keuangan harus berdasarkan sistem
akuntansi yang benar. Sebagai ilustrasi, pada suatu pertemuan
pembahasan sistem keuangan di rumah sakit pemerintah milik pusat
tahun 1995 teridentifikasi bahwa penyusun sistem keuangan rumah
sakit ternyata para dokter yang sehari-hari masih melakukan praktik
klinis. Akibatnya, pada waktu itu sistem akuntansi rumah sakit
pemerintah pusat praktis tidak mengacu pada kaidah-kaidah akuntansi
yang disusun oleh profesi akuntan. Hingga tahun 2001 ketika Rumah
Sakit Umum Pusat (RSUP) harus menjadi rumah sakit berbentuk
perusahaan jawatan, sistem akuntansinya belum terbentuk dengan
benar. Keadaan ini memperkuat laporan konsultan manajemen rumah
sakit dari Belanda pada tahun 1983 yang menyatakan bahwa keadaan
manajemen rumah sakit di Indonesia berada di bawah standar
2
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
(Hardjosoebroto dan Bal, 1983). Akan tetapi terdapat perkembangan
menggembirakan karena pada penghujung dekade 1990-an telah
terjadi kesadaran bahwa infrastruktur manajemen rumah sakit harus
berdasarkan kaidah-kaidah modern yang universal. Kaidah tersebut
universal karena dipergunakan di berbagai negara.
Bagian I merupakan pendahuluan untuk memahami perkembangan sistem manajemen rumah sakit di Indonesia. Terdapat empat
bab dalam bagian ini. Bab I membahas sejarah perkembangan sistem
manajemen rumah sakit di Indonesia dari masa kolonial hingga masa
sekarang. Pembahasan ini akan dilakukan dengan latar belakang
perkembangan sejarah rumah sakit melalui penelitian berbagai arsip,
kutipan, dan diskusi dengan seorang ahli sejarah ekonomi dari UGM,
Yogyakarta.
Dengan berpijak pada akar sejarah tersebut, maka keadaan
rumah sakit di Indonesia saat ini dibahas secara berkelompok yaitu:
rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta keagamaan, hingga rumah
sakitswasta yang mencari keuntungan. Pembahasan secara
berkelompok ini penting untuk melihat berbagai ciri rumah sakit dan
sistem manajemennya. Dapat dilihat bahwa perbedaan sistem
manajemen dipengaruhi pula oleh sejarah dan perilaku ekonomi.
Namun, menarik untuk disimak bahwa sistem manajemen rumah sakit
swasta keagamaan ternyata berubah akibat hilangnya subsidi
pemerintah dan donor. Hal tersebut mengakibatkan sebagian besar
rumah sakit keagamaan praktis beroperasi pada segmen masyarakat
kelas menengah ke atas dan hidup dari cash-flow yang bersumber
pada perdagangan obat, serta menjadi tempat para spesialis
memaksimalkan pendapatan.
Keadaan ini hampir terjadi di seluruh rumah sakit besar
keagamaan akibat tekanan sumber pendanaan yang semakin sulit.
Sorotan mengenai perubahan sistem pendanaan rumah sakit dan
perdebatan apakah mungkin sistem rumah sakit berkembang menjadi
lembaga usaha yang mempunyai aspek sosial di Indonesia dibahas
pada Bab II.
Bab III membahas perkembangan terakhir sistem pada sektor
kesehatan di Indonesia yaitu berbagai perubahan pada komponen
Bagian I
3
sektor kesehatan, antara lain perubahan pemerintah, masyarakat,
lembaga asuransi kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, hingga
perubahan pada sumber daya manusia (SDM).
Perubahan yang terjadi pada berbagai komponen sistem
kesehatan mendorong munculnya manajerialisme sektor rumah sakit
yang diwujudkan dengan fenomena otonomi manajemen rumah sakit.
Fenomena ini dibahas pada Bab IV dengan menekankan pada konsep
otonomi penuh atau sebagian bagi rumah sakit. Kedua konsep tersebut
saat ini banyak dibahas di berbagai negara.
4
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
BAB I
SISTEM MANAJEMEN RUMAH SAKIT DALAM
PERSPEKTIF SEJARAH
Menurut seorang ahli sejarah ekonomi (Purwanto, 1996) pelayanan rumah sakit di Indonesia telah dimulai sejak awal keberadaan
VOC pada dekade ketiga abad XVII, sebagai suatu bagian tidak
terpisahkan dari usaha VOC itu sendiri. Pembangunan rumah sakit
merupakan upaya untuk mengatasi persoalan yang dihadapi akibat
pelayaran yang jauh yaitu dari Eropa ke Indonesia dan tidak didukung
oleh fasilitas medis yang baik, adaptasi klimatis, dan ketidakmampuan
mengadaptasi serta mengatasi penyakit tropik.
Boomgard (1996) menyatakan bahwa sejarah rumah sakit di
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu kedokteran
Barat di Asia yang berlangsung sejak tahun 1649, ketika seorang ahli
bedah bernama Caspar Schamberger berada di Edo (saat ini Tokyo)
untuk mengajarkan ilmu bedah kepada orang Jepang. Masa ini
merupakan awal dari beralihnya sistem tradisional kesehatan di Asia
yang mengacu pada sistem Cina dan berubah menjadi sistem Belanda
(Akira, 1996). Pengalihan ini berjalan secara lambat. Patut dicatat
bahwa pelayanan kesehatan Barat sering diperuntukkan bagi keluarga
bangsawan. Purwanto (1996) menyatakan bahwa pada masa awal
rumah sakit di Indonesia secara eksklusif hanya diperuntukkan bagi
orang-orang Eropa. Baru pada masa berikutnya orang non-Eropa yang
bekerja dengan VOC mendapat kesempatan untuk menggunakan
rumah sakit, akan tetapi berbeda tempat, fasilitas, dan pelayanan.
Sementara itu, orang Cina secara eksklusif digiring oleh peraturan
VOC maupun oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan
rumah sakit sendiri sehingga ilmu kedokteran dan pengobatan
Bagian I
5
tradisional Cina diberlakukan tanpa ada pengaruh terapeutik dan
farmakologis barat.
Baru pada awal abad XX pengaruh Barat mulai ada di rumah
sakit yang dikelola oleh orang Cina. Selain itu, penduduk pribumi
boleh dikatakan tidak mendapat perhatian dalam masalah pelayanan
rumah sakit ini. Walaupun pada akhir abad XVII ada usaha dari
misionaris Kristen untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada
anak-anak pribumi, tetapi lingkup dan dampak tindakan ini terlihat
kecil. Baru pada akhir abad XIX suatu usaha sistematis dalam
pelayanan rumah sakit kepada penduduk pribumi dilakukan oleh para
misionaris Kristen di Indonesia.
Sampai akhir abad XIX, pada dasarnya rumah sakit di Indonesia
merupakan rumah sakitmiliter yang secara eksklusif ditujukan kepada
anggota kesatuan militer dan pegawai VOC atau kemudian pemerintah
baik orang Eropa maupun pribumi. Sementara itu, orang sipil yang
berhak mendapat pelayanan rumah sakit hanya orang Eropa atau
penduduk non-Eropa yang secara yuridis formal disamakan dengan
orang Eropa. Hal ini berhubungan dengan kebijakan kesehatan
penguasa pada waktu itu yang tidak mengindahkan penduduk pribumi.
Apabila penduduk pribumi mendapat pelayanan kesehatan, hal
itu hanya dilakukan sebagai bagian dari upaya melindungi kepentingan orang Eropa. Pelayanan rumah sakit kepada orang pribumi
dipelopori oleh para misionaris Kristen. Dalam perkembangannya
beberapa organisasi sosial-keagamaan, seperti Muhammadiyah
mendirikan rumah sakitsederhana dalam bentuk pelayanan kesehatan
umum seperti yang ada di Yogyakarta dan memberikan pelayanan
rumah sakit untuk penduduk pribumi.
Ketika terjadi pergeseran kebijakan politik kolonial pada akhir
abad XIX dan awal abad XX, secara langsung berdampak pula pada
kebijakan kesehatan pemerintah kolonial yang berpengaruh terhadap
perkembangan pelayanan rumah sakit oleh pemerintah untuk
penduduk pribumi.
Keberadaan pendidikan "Dokter Jawa" pada bagian kedua abad
XIX mempunyai arti penting dalam pelayanan rumah sakit untuk
penduduk pribumi. Pada masa awal para "Dokter Jawa" ini hanya
6
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
memberikan pelayanan kesehatan untuk penduduk sipil pribumi tidak
dalam pengertian pelayanan rumah sakit, akan tetapi setelah pemerintah mulai membangun rumah sakit maka para "Dokter Jawa" ini
merupakan pendukung utama dari pelayanan rumah sakit untuk
penduduk sipil pribumi (Purwanto, 1996).
Sejak akhir abad XIX terdapat pengembangan rumah sakit
swasta yang dikelola oleh perkebunan besar dan perusahaan
pertambangan. Satu catatan yang perlu diperhatikan bahwa walaupun
hampir semua rumah sakit pada awal abad XX sudah membuka
pelayanan untuk penduduk pribumi, pada dasarnya perbedaan secara
yuridis formal dalam masyarakat kolonial tetap tercermin dalam
pelayanan rumah sakit.
Menurut Purwanto (1996) pada masa awal perkembangan
rumah sakit masa VOC sampai awal abad XIX, pendanaan rumah
sakit diperoleh dari subsidi penguasa dan dana yang diambil dari
pasien yang pada dasarnya adalah pegawai VOC. Pada saat itu juga
telah berkembang pemberian pelayanan rumah sakit tergantung
kepada kebutuhan dan kemampuan pasien, terutama yang
berhubungan dengan diet yang diterima pasien. Tinggi atau rendahnya
tarif yang diberlakukan sesuai dengan pelayanan dan kebutuhan
pasien, sehingga secara tidak langsung kelas dalam rumah sakit sudah
tercipta pada waktu itu.
Pada masa kekuasaan Daendels terjadi perubahan yang cukup
penting. Sejak saat itu personil militer dibebaskan dari biaya rumah
sakit, sedangkan pegawai sipil baru menikmati pembebasan biaya
rumah sakit. Di kalangan penduduk sipil pribumi ada delapan
kelompok yang dinyatakan bebas dari biaya rumah sakit, antara lain
pelacur yang ditemukan sakit, orang gila, penghuni penjara, dan orang
sipil yang bekerja pada kegiatan pemerintah. Pada sektor perkebunan
dan pertambangan, biaya rumah sakit para buruh dipotong langsung
secara reguler dari upah yang mereka terima, terlepas dari apakah
mereka memanfaatkan pelayanan rumah sakit ataukah tidak.
Sementara itu, rumah sakit milik orang Cina diharuskan membiayai
sendiri dan dana itu terutama diambil dari pajak khusus yang berlaku
pada masyarakat Cina pada waktu itu.
Bagian I
7
Rumah sakit swasta, seperti rumah sakit misionaris Kristen dan
milik perusahaan pada mulanya harus membiayai sendiri semua
kebutuhan dan sejak tahun 1906 pemerintah sudah memberikan
subsidi secara teratur dalam bentuk bantuan tenaga, peralatan, obatobatan, maupun dana. Berdasarkan peraturan tahun 1928, sekitar 60%
sampai 70% dari seluruh biaya operasional rumah sakit milik
misionaris Kristen disubsidi oleh pemerintah.
Trisnantoro dan Zebua (2000) menggambarkan keadaan pendanaan ini melalui sebuah rumah sakit Zending di Indonesia. Rumah
sakit Zending tersebut, pada jaman Belanda (1936) mendapat subsidi
yang cukup besar untuk membiayai rumah sakit. Jumlah pengeluarannya sebesar F. 218,459.03. Berdasarkan jumlah pengeluaran
sebesar itu, sumber pendanaannya diperoleh dari berbagai sumber
dengan rincian sebagai berikut: subsidi dari gubernemen atau
pemerintah (44,5%); dari gereja-gereja di negeri Belanda, dari dokter,
dan keuntungan bagian kelas (19,4%); dari pembayaran pasien rumah
sakit (10,7%); Sumbangan Pemerintah Kasultanan termasuk F. 250
dari Pakualaman (8,4%); sumbangan perusahaan-perusahaan perkebunan, N.I.S, pemberian dan iuran Ned. Indie (5,6%); setoran premi
pensiun dari personil (2,4%), dan pengeluaran yang tidak tertutup atau
defisit (9%). Dengan demikian, rumah sakit keagamaan ini mempunyai subsidi pemerintah dan bantuan dari donor sebesar kurang
lebih 70%-80% dari total sumber pendanaan. Namun, enam puluh
tahun kemudian, rumah sakit tersebut tidak lagi mempunyai subsidi
yang substansial untuk membiayai pelayanannya. Praktis rumah sakit
keagamaan tersebut telah menjadi lembaga usaha yang harus
membiayai segala kegiatannya dari pendapatan pasien.
Akar sejarah tersebut menunjukkan bahwa rumah sakit di
Indonesia berasal dari suatu sistem yang berbasis pada rumah sakit
militer, yang diikuti oleh rumah sakit keagamaan, dan kemudian
berkembang menjadi rumah sakit pemerintah serta menunjukkan
aspek sosial yang akan memberikan pengaruh besar pada persepsi
masyarakat mengenai rumah sakit. Patut dicatat pula bahwa subsidi
pemerintah merupakan suatu hal yang sangat umum terjadi sebelum
kemerdekaan. Sebagai catatan lain, sistem asuransi kesehatan telah
8
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
dikenal lama dalam sejarah pelayanan kesehatan di Indonesia. Dalam
hal ini, maka jaminan pelayanan kesehatan oleh pemerintah merupakan hal yang sudah lama dipraktikkan. Sebagaimana dinyatakan
oleh Boomgaard (1996) akar sejarah jaminan pelayanan kesehatan
oleh pemerintah berdasarkan pada pemikiran sederhana para pelaut,
serdadu, pedagang, dan birokrat layak mendapat pelayanan dari
pemerintah karena jauh dari keluarga. Berdasarkan pengaruh sejarah,
maka pada awal abad XXI terdapat berbagai jenis pemilik rumah sakit
di Indonesia dengan berbagai kasus yang menarik untuk dibahas.
1.1 Rumah sakit Milik Pemerintah
Ada dua jenis pemilikan rumah sakit pemerintah, yaitu rumah
sakit milik pemerintah pusat atau RSUP dan rumah sakit milik
pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota (Rumah Sakit Umum
Daerah atau RSUD). Kedua jenis rumah sakit pemerintah ini
berpengaruh terhadap gaya manajemen rumah sakit masing-masing.
Rumah sakit pemerintah pusat, mengacu kepada Departemen
Kesehatan (Depkes), sementara rumah sakit pemerintah provinsi dan
kabupaten atau kota mengacu pada stakeholder utamanya yaitu
pimpinan daerah dan lembaga perwakilan masyarakat daerah. Rumah
sakit pemerintah pusat sebagian adalah rumah sakit pendidikan yang
cukup besar dengan hubungan khusus ke Fakultas Kedokteran. RSUD
mempunyai keunikan karena secara teknis medis berada di bawah
koordinasi Depkes, sedangkan secara kepemilikan sebenarnya berada
di bawah pemerintah provinsi atau kabupaten atau kota dengan
pembinaan urusan kerumahtanggaan dari Departemen Dalam Negeri
(Depdagri). Patut dicatat bahwa banyak rumah sakit milik pemerintah
pusat atau daerah yang berakar dari rumah sakit zaman Belanda milik
pemerintah Hindia Belanda atau milik lembaga keagamaan yang
dikonversi.
Pada dekade 1990-an rumah sakit pemerintah menerapkan
kebijakan swadana yaitu rumah sakit pemerintah diberi kewenangan
lebih besar dalam mengelola sistem keuangannya. Keluaran yang
Bagian I
9
diharapkan dari kebijakan swadana adalah kinerja pengelola yang
semakin meningkat sehingga citra rumah sakit pemerintah di mata
masyarakat semakin baik. Akan tetapi, kebijakan swadana di rumah
sakit pemerintah tidak diteruskan menuju otonomi rumah sakit
akibatnya, walaupun sudah swadana tetapi kinerja rumah sakit
pemerintah masih rendah. Pada tahun 2000, dengan adanya UndangUndang (UU) baru mengenai desentralisasi pelayanan kesehatan,
sebagian RSUP berubah menjadi perusahaan jawatan dan sebagian
RSUD menjadi Lembaga Teknis Daerah atau tetap sebagai Unit
Pelaksana Teknis Daerah.
Kasus Rumah sakit Pemerintah di Bali
Rumah sakit milik pemerintah cenderung hidup dalam suasana
birokrasi yang mempunyai sistem kaku sehingga ada kemungkinan
tidak mendapatkan manfaat positif dari perkembangan lingkungan
yang semakin membaik. Sebagai gambaran, berbagai RSUD di Bali
tidak mendapatkan manfaat dari perbaikan lingkungan eksternal
berupa status sosial ekonomi Bali yang meningkat. Terjadi suatu
kegagalan usaha rumah sakit untuk mendapatkan dana dari masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena rumah sakit-rumah sakit daerah di
Bali dikelola dengan suatu asumsi dasar bahwa pelayanan kesehatan
harus murah dan mengikuti berbagai kaidah birokrasi pemerintah.
Keadaan ini merupakan bentukan dari sejarah rumah sakit pemerintah
yang mendapat subsidi besar di masa lampau.
Kebijakan rumah sakit di Bali tidak mengenal nilai-nilai
lembaga usaha, misalnya keinginan para stafnya untuk mendapatkan
penghasilan memadai dari rumah sakit pemerintah. Berbagai penelitian di Bali menunjukkan adanya bukti bahwa pelayanan kesehatan
yang ditekan murah di rumah sakit daerah ini tidak berarti sangat
murah. Tarif rawat jalan yang murah untuk pelayanan dokter spesialis
dapat tidak bermakna karena resepnya berisi obat-obat mahal dan
harus dibeli di apotek tertentu.
Konsep yang dipergunakan di Bali menyebabkan pelayanan
rumah sakit menjadi bersifat lapis dua (two-tier). Bagi masyarakat
10
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
kelas menengah ke atas, rumah sakit swasta merupakan tempat
berobat, sedangkan rumah sakit pemerintah khususnya rumah sakit
daerah diperuntukkan bagi kelompok masyarakat miskin. Keadaan ini
sebenarnya tidak ada masalah asalkan subsidi pemerintah untuk rumah
sakit daerah cukup tinggi yang mencakup subsidi untuk fisik
bangunan, peralatan medis, sampai ke insentif bagi SDM.
Namun, data menunjukkan bahwa subsidi tersebut relatif kecil.
Akibatnya, gedung dan fasilitas fisik rumah sakit relatif tidak sesuai
dengan standar, proses kerja di dalam rumah sakit menjadi tidak baik,
dan keinginan para dokter spesialis bekerja di luar menjadi lebih
banyak. Dalam keadaan ini, rumah sakit pemerintah daerah di
lingkungan Bali yang sangat dinamis pertumbuhan ekonominya, dapat
berpredikat sebagai "bulgur" atau menjadi ”tikus yang kurus di
lumbung padi”. Mengapa menjadi ”bulgur”? Rumah sakit daerah di
Bali berkembang hanya untuk melayani orang miskin sehingga
mutunya rendah akibat subsidi yang sangat kecil dari pemerintah.
Akibatnya, RSUD menjadi sebuah lembaga yang inferior karena
masyarakat yang meningkat pendapatannya cenderung lebih
menggunakan pelayanan rumah sakit swasta. Menarik untuk dicermati
bahwa pada tahun 1999–2000, salah satu rumah sakit daerah di Bali,
RSUD Tabanan, berusaha meninggalkan citra “bulgur” ini dan secara
sistematis berusaha mengembangkan diri untuk melayani seluruh
lapisan masyarakat di Kabupaten Tabanan. Pada tahun 2001, setelah
melakukan perubahan selama 5 tahun, barulah RSUD Tabanan
mampu meninggalkan citra ”bulgur” ini.
Kasus Rumah sakit Pemerintah di Papua
Provinsi Papua merupakan provinsi yang kaya dari segi alam,
tetapi anggaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat sangat
kurang (relatif) dan masyarakat tidak mempunyai daya beli untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Ada berbagai akibat
yang muncul. Pertama, pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit
masih diperlakukan berupa public-goods yang harus gratis atau tarif
sangat rendah. Kedua, terdapat masalah dalam SDM. SDM termasuk
Bagian I
11
spesialis membutuhkan dukungan biaya agar pendapatan mereka
cukup tinggi. Ketiga adalah perbedaan kultur antara sistem pelayanan
kesehatan modern dan keadaan masyarakat Papua.
Namun, masalah khusus yang dihadapi adalah kegagalan
pengadaan SDM di Papua. Sebagai gambaran, tahun 1999 hanya
terdapat dua orang dokter spesialis bedah. Dokter spesialis lebih
banyak menghabiskan waktu Wajib Kerja Sarjana ke-2, kecuali
beberapa orang dokter spesialis anak, kebidanan dan penyakit
kandungan, serta penyakit dalam yang berada dalam kantong-kantong
daerah makmur di Papua seperti, Jayapura dan Sorong.
Seorang dokter spesialis bedah pada tahun 2000 menyatakan
bahwa pendapatan seorang dokter spesialis bedah sangat rendah
karena Peraturan Daerah (Perda) sangat kecil, sementara masyarakat
banyak yang tidak mampu. Penghasilan yang diterima maksimal
hanya Rp 5.000.000,00, sedangkan pada kota besar di Pulau Jawa
dapat mencapai Rp 30.000.000,00 sebulan. Pada tahun 2000, harga
tiket pesawat dari Pulau Jawa ke Papua mencapai Rp 7.500.000,00
untuk pulang pergi. Ditambahkan bahwa perhatian pemerintah daerah
untuk dokter spesialis sangat kurang. Akibatnya, muncul berbagai
kejadian, misalnya RSUD Merauke tidak dapat menarik dokter
spesialis untuk datang ke sana. Bahkan RSUD Sorong yang dianggap
baik ternyata terpaksa melepaskan dokter spesialis bedah untuk pulang
ke Pulau Jawa karena yang bersangkutan tidak betah. Pada tahun
2003, dengan adanya kebijakan desentralisasi berbagai pemerintah
kabupaten di Papua meningkatkan insentif bagi tenaga dokter
spesialis.
Kasus RSUD Banyumas dan RSD X
Terdapat beberapa RSUD yang saat ini berkembang pesat,
seperti RSUD Banyumas dengan pendapatan tinggi dan dapat menunjukkan sebagai suatu badan usaha yang dinamis. SDM termasuk
direktur dapat menggantungkan hidup dari rumah sakit tersebut.
Dengan demikian, profesionalismenya dapat diandalkan. RSUD
Banyumas terlihat sangat kuat dalam pengembangan SDM karena hal
12
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
ini terkait dengan kompensasi yang diterima. Di samping itu, para
pemimpin formal dan informal mempunyai komitmen tinggi untuk
melakukan perubahan. Bupati sebagai stakeholder sangat penting
dalam membantu pendanaan pengembangan, walaupun RSUD sudah
menjadi swadana dan mempunyai pendapatan fungsional yang cukup
tinggi. Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga
mendukung pengembangan RSUD Banyumas dari anggaran daerah
selama sepuluh tahun terakhir.
Sebagai perbandingan kontras, RSUD X tidak mempunyai
gairah untuk berkembang. Para stakeholders dan pemimpin cenderung
mengalami kebuntuan dalam pengembangan rumah sakit. Gambaran
di bawah ini yang diucapkan Direktur RSUD X menunjukkan
keputusasaan dalam usaha mengembangkan rumah sakit.
“Sebelum krisis moneter pernah dilakukan uji coba swadana.
Bupati sudah memberikan ijin dan mengerti diperlukan dana
untuk menambah jasa medis dan memberikan kesempatan pada
rumah sakit swasta untuk mempergunakan sumber daya
manusia rumah sakit kami dengan sistem win-win. Tetapi,
karena kenaikan harga barang habis pakai, pendapatan rumah
sakit kami terus menurun, insentif atau jasa medis sampai
menunggak tidak terbayarkan sehingga gagal uji coba yang
dilakukan kembali pada keadaan semula sebelum uji coba.
Upaya lain yang diusulkan menurut Surat Keputusan Menteri
Kesehatan (SK Menkes) adalah bahwa tarif kelas II ditetapkan
sesuai dengan unit cost. Dengan kondisi ini diharapkan
penentuan tarif yang lain (kelas I dan VIP) dapat digunakan
dengan Surat Keputusan (SK) Bupati. Akan tetapi DPRD tidak
menyetujui hal ini.”
Lebih lanjut, sang Direktur menyatakan keputusasaannya:
“Dengan SK lebih mudah, karena apabila ada kenaikan harga,
tarif bisa disesuaikan dengan SK Bupati. Tetapi DPRD tidak
mau, orang di sana hanya berfikir politis, berkeinginan murah
dan bagus, tanpa melihat kebutuhan. Sehingga ya… sudah
terserah saja semua kebijaksanaan pada Pemerintah Daerah
(Pemda) untuk diapakan rumah sakit ini apakah diswastakan
13
Bagian I
atau kalau perlu ditutup atau jadi agen SDM untuk rumah sakit
swasta. ”
Dari keluhan-keluhan tersebut terlihat bahwa masalah ekonomi
merupakan hal penting dalam usaha mengembangkan RSUD X. Akan
tetapi, patut dicatat bahwa keberhasilan RSUD Banyumas ini masih
harus diuji dalam jangka lebih panjang karena salah seorang dokter
spesialisnya merencanakan untuk membuka klinik pribadi dengan
rawat inap.
1.2 Rumah sakit Milik Militer
Sejarah menunjukkan bahwa sebagian rumah sakit di Indonesia
berasal dari program pelayanan kesehatan milik militer di masa
kolonial Belanda. Contoh rumah sakit militer paling besar adalah
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto di
Jakarta. Pada tahun 1995, di Indonesia terdapat 112 rumah sakit
militer yang berinduk pada Angkatan Darat (62), Angkatan Laut (19),
Angkatan Udara (19), dan Kepolisian (12). Rumah sakit-rumah sakit
militer tersebut misi utama sebenarnya untuk kesehatan militer dan
persiapan perang. Pihak militer menganggap bahwa pelayanan rumah
sakit bukan urusan pokok sehingga pendanaan rumah sakit tersebut
sangat terdesentralisasi dan akibatnya sangat tergantung pada situasi
serta kondisi lingkungan bekerja.
Beberapa rumah sakit militer seperti RSPAD Gatot Subroto
Jakarta atau Rumah Sakit Pusat Angkatan Laut (RSPAL) di Surabaya
merupakan ujung tombak kemajuan pelayanan kesehatan militer.
Peralatan dan SDM dapat mengungguli Rumah Sakit Umum (RSU).
RSPAD Gatot Subroto bahkan mempunyai visi untuk menjadi pusat
berbagai subspesialis Indonesia dengan mengirimkan sumber daya
medisnya untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri dan bekerja
sama dengan negara maju.
Rumah sakit militer di Bogor lokasinya sangat strategis yaitu di
depan Istana Bogor dengan pemandangan indah ke lembah dan
14
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
gunung. Potensi rumah sakit ini luar biasa sehingga dapat memanfaatkan posisinya untuk berkembang. Pada sisi ekstrim lain, rumah
sakit-rumah sakit militer di daerah terpencil berada dalam keadaan
mempertahankan hidup. Rumah sakit militer di kota besar pun ada
yang mengalami keadaan yang sulit berkembang, misal rumah sakit
militer di Yogyakarta. Walaupun berada di daerah elite Kotabaru di
Yogyakarta, rumah sakit ini menghadapi kendala pengembangan yang
cukup berat. Secara keseluruhan rumah sakit militer saat ini sudah
menerima pembayaran langsung dari masyarakat dan berkompetisi
dengan rumah sakit lainnya. Pengamatan terakhir menunjukkan bahwa
rumah sakit militer benar-benar mengembangkan suatu sistem
manajemen yang berorientasi pada kompetisi.
1.3 Rumah sakit Swasta Milik Yayasan Keagamaan dan Kemanusiaan
Di Indonesia, pemilikan rumah sakit oleh yayasan mempunyai
sejarah panjang yang bersumber dari masa kolonial Belanda, terutama
rumah sakit Kristen dan Katolik. Di berbagai kota, rumah sakit swasta
besar dimiliki oleh lembaga-lembaga keagamaan misalnya: Rumah
Sakit (RS) Bethesda di Yogyakarta, RS PGI Cikini di Jakarta, RS
Charitas di Palembang, RS St. Elisabeth di Semarang, RS PKU
Muhammadiyah di Yogyakarta. Perkembangan menarik terjadi saat
ini yaitu sumbangan dana-dana kemanusiaan yang menjadi sumber
tradisional pendanaan ternyata semakin berkurang, kecuali pada
beberapa rumah sakit Islam. Filosofi pemilik rumah sakit ini
mempengaruhi pola manajemen dan situasi rumah sakit. Sebagai
contoh, rumah sakit keagamaan yang dimiliki oleh lembaga
keagamaan yang konservatif terlihat sangat berhati-hati dalam
melakukan investasi untuk pengembangan.
Dalam perkembangannya, rumah sakit keagamaan Kristiani
yang berasal dari semangat misionaris tersebut saat ini justru terkenal
sebagai rumah sakit untuk kelas menengah ke atas, atau dalam arti lain
tarif sebagian besar kelas perawatannya adalah mahal. Hal ini wajar
Bagian I
15
terjadi karena untuk biaya operasional, bantuan dari charity funds
sudah berkurang tajam. Di beberapa rumah sakit misionaris, boleh
dikatakan dana sumber pendanaan dari kemanusiaan sudah mendekati
nol persen. Walaupun demikian, rumah sakit keagamaan tersebut
masih berusaha memberikan pelayanan kesehatan untuk orang miskin
dengan konsep subsidi silang.
Pada beberapa daerah, masih ada rumah sakit Kristiani yang
berusaha untuk tetap pada semangat misionaris, bahkan RS Elim di
Sulawesi Selatan menolak keras pengaruh perbedaan kelas di
masyarakat. Rumah sakit tetap bertahan menyelenggarakan pelayanan
murah yang seragam, walaupun sebagian masyarakat ada yang
meminta pelayanan yang lebih baik dengan membayar lebih mahal.
Sebagai jawaban terhadap perubahan yang terjadi, sebagian
besar pengambil keputusan di rumah sakit keagamaan masih melihat
perubahan yang ada tanpa strategi pengembangan yang jelas. Hal ini
dapat membawa suatu risiko yaitu rumah sakit keagamaan akan
menjadi lembaga usaha yang praktis untuk mencari keuntungan atau
untuk menghidupi SDM. Hal ini disebabkan hilangnya subsidi dan
kenyataan bahwa pelayanan kesehatan semakin mahal serta tenaga
kesehatan semakin menuntut pendapatan yang tinggi. Sudah menjadi
kenyataan bahwa justru rumah sakit keagamaan menjadi: 1) tempat
bagi sebagian dokter spesialis untuk meningkatkan pendapatan setinggi-tingginya; dan 2) tempat penjualan yang baik bagi industri farmasi.
Subsidi yang mengecil ini mengakibatkan rumah sakit keagamaan kesulitan mencari sumber dana bagi orang miskin. Sementara
itu, penggalian dana-dana kemanusiaan sama sekali tidak dilakukan
secara sistematis. Dalam melayani orang miskin, pengamatan menunjukkan bahwa sebagian direktur rumah sakit keagamaan berkeinginan
menerapkan konsep subsidi silang yaitu keuntungan dari kelas atas
akan diberikan kepada orang miskin yang sakit. Akan tetapi, patut
dicatat bahwa pendekatan subsidi silang dalam era manajemen
modern sama sekali tidak masuk akal. Dalam persaingan ketat tidak
mungkin diharapkan bahwa semua orang kaya yang sakit bersedia
mensubsidi orang miskin yang sakit. Orang kaya yang sakit mencari
pengobatan yang terbaik dan paling efisien. Berbagai pengamatan
16
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
menunjukkan bahwa konsep subsidi silang ternyata tidak ada, ataupun
jika ada, subsidi silang ini akan menggerogoti aset dan kemampuan
investasi rumah sakit keagamaan.
Penelitian Abeng dan Trisnantoro (1997) di sebuah rumah sakit
swasta menunjukkan bahwa tarif kamar VIP berada di bawah unit
cost. Hal yang dikhawatirkan adalah justru pasien kelas bawah
memberikan subsidi ke kelas atas. Hal ini mungkin terjadi karena
harga obat yang mempunyai keuntungan yang sama besarnya antara
kelas atas dan kelas bawah, sedangkan jumlah pasien kelas bawah
jauh lebih banyak di banding dengan kelas atas. Konsep subsidi
silang, apabila dilakukan secara murni, akan menurunkan daya kompetitif sebuah rumah sakit, termasuk daya kompetitif internasional.
Pendekatan subsidi silang ini secara praktis mengharapkan
direktur rumah sakit melakukan pekerjaan yang sangat berat yaitu
sebagai manajer lembaga pelayanan kesehatan, sekaligus sebagai
pengatur redistribusi pendapatan masyarakat yang notabene adalah
tanggung jawab pemerintah atau yayasan pemilik rumah sakit. Dapat
dibayangkan bahwa beban direktur dan sistem manajemen menjadi
sangat berat dalam melakukan subsidi silang ini yang sebenarnya
berada di luar jangkauan mereka. Pada kasus ekstrim, sebuah rumah
sakit keagamaan besar harus mensubsidi rumah sakit keagamaan kecil
atau bahkan mensubsidi sekolah-sekolah atau panti asuhan. Keadaan
ini mencerminkan ketidaksiapan rumah sakit keagamaan bersaing
dengan rumah sakit lain yang tidak terbebani misi sosial.
Hal penting lain yang mengesankan ketidaksiapan rumah sakit
keagamaan menjadi rumah sakit yang berbasis pada sistem manajemen modern adalah keengganan mengembangkan diri menjadi lebih
efisien dan kompetitif. Salah satu hal penting di sini adalah bentuk
kerja sama antarrumah sakit keagamaan. Sampai saat ini belum ada
sistem jaringan antarrumah sakit keagamaan yang mencerminkan
efisiensi dan daya saing yang tinggi. Berbagai bukti pada sektor lain
seperti makanan dan perhotelan, serta keadaan rumah sakit keagamaan
di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sistem jaringan merupakan
jawaban peningkatan efisiensi dan daya saing. Perubahan ke arah
jaringan ini memang sulit, apalagi merubah dari suatu sistem yang
Bagian I
17
sudah terbiasa sendiri-sendiri menjadi suatu jaringan. Hal ini berbeda
dengan Hotel Ibis atau Novotel yang membuat jaringan dari kegiatan
yang baru sama sekali.
Kasus Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta dan Rumah Sakit
Bethesda Serukam Pontianak
Dua rumah sakit Kristen yang kontras keadaannya akibat
lingkungan dapat dipaparkan sebagai studi kasus menarik. Rumah
sakit Bethesda di Yogyakarta merupakan rumah sakit swasta terbesar
di Yogyakarta. Rumah sakit Bethesda mempunyai lingkungan baik
untuk pengembangan usahanya dan telah menjadi rumah sakit yang
sistem manajemennya sudah menyerupai badan usaha yang progresif.
Pelayanan perawatan medis saja mempunyai sekitar 10 kelas, mulai
dari yang paling murah hingga yang super VIP. Bandingkan dengan
RS Elim di Sulawesi Selatan yang menolak keras adanya perbedaan
kelas perawatan.
Di samping pelayanan medis sebagai bisnis inti, RS Bethesda
Yogyakarta melakukan berbagai diversifikasi, terutama yang
memperkuat bisnis medisnya. Tidak dapat dibayangkan oleh pendiri
RS Bethesda seratus tahun yang lalu, bahwa saat ini rumah sakit
mempunyai hotel, kantin, ruang pertemuan, sampai warung telepon.
Sebelum krisis moneter di penghujung tahun 1990-an RS Bethesda
merencanakan ekspansi bisnis dengan mengakuisisi rumah sakit
militer yang berada di belakangnya untuk mengembangkan suatu
rumah sakit dengan standar internasional. Pengamat luar menyebutkan
bahwa perilaku RS Bethesda merupakan tindakan usaha yang agresif.
Akan tetapi, agresivitas RS Bethesda ini perlu dikaji dalam hal
efektivitas dan efisiensinya. Dipertanyakan apakah sistem manajemen
di dalamnya mempunyai kemampuan sebagai suatu corporate yang
mempunyai berbagai usaha. Dikhawatirkan terjadi suatu kesalahan
perencanaan yang fatal, terlebih lagi pada situasi moneter yang banyak
ketidakpastiannya. Ketika terjadi pergantian direksi di RS Bethesda
selama krisis moneter di Indonesia, terlihat bahwa direksi baru
menerapkan sistem manajemen yang tidak agresif, termasuk tidak
18
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
meneruskan pengembangan rumah sakit standar internasional.
Rumah sakit Bethesda di Serukam Kalimantan Barat menunjukkan kondisi berbeda. Lingkungan luar RS Bethesda di Serukam
tidak dapat diandalkan untuk pemasukan. Sementara itu, dana-dana
kemanusiaan (sebagai charity funds) menurun. Akibatnya, terjadi
penurunan kinerja dan kesulitan menarik staf untuk bekerja di sana.
Hal ini dipersulit dengan kenyataan adanya saingan dari rumah sakit
di Kuching, Malaysia.
Kasus Rumah Sakit Islam dan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah di Yogyakarta
Menurut sejarah, Rumah Sakit Islam (RSI) dibangun lebih
belakangan dari rumah sakit keagamaan non-Islam. Hal ini terlihat
dari letak bangunan. Rumah sakit-rumah sakit keagamaan Kristiani
biasanya berada di jalan-jalan paling strategis di kota-kota besar, misal
di Palembang (RS Charitas), Yogyakarta (RS Bethesda dan RS
Pantirapih), RS RKZ Surabaya, dan RS Elisabeth Semarang.
Saat ini RSI mulai bangkit dengan pengembangan-pengembangan baru yang dimulai dari fisik. Dengan demikian, banyak dana
yang digunakan untuk pengembangan fisik (kasus RSI Klaten, RSI
Solo, RSI Yogyakarta).
Rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta merupakan
rumah sakit yang tertua dan letaknya strategis, tetapi memiliki lahan
yang sangat sempit. Rumah sakit PKU Muhammadiyah bahkan harus
membuat kebijakan strategis yang sulit untuk dipilih, apakah tetap
berada pada lokasi lama yang sangat sempit ataukah pindah agak ke
luar kota.
Masalah yang dapat diamati dari RSI ini adalah efek dari
kesibukan untuk membangun secara fisik, kelengkapan fasilitas,
ketenagaan medis dan manajerial, serta warisan sejarah yang masih
kurang mengakar. Memang menjadi pertanyaan menarik, apakah
sistem manajemen yang diimpor dari Barat dapat diadopsi oleh
semangat Islami di RSI. Dengan usia RSI yang relatif masih muda,
dapat dipahami apabila sistem manajemennya belum tertata dengan
Bagian I
19
baik.
Keadaan ini dapat dipersulit dengan kondisi moneter saat ini
yang pembangunan fisik (konstruksi) dan pembelian alat-alat medis
menghadapi kendala nilai ”kurs dollar” yang tinggi. Sebagai contoh,
pembangunan RSI di Kalasan Yogyakarta saat krisis tentu
membutuhkan penanganan yang jauh lebih rumit dibanding rumah
sakit-rumah sakit yang telah berdiri dan beroperasi dalam waktu lama.
Disinilah sistem manajemen RSI yang baru berada dalam ujian yang
berat.
Hal penting lain bagi RSI adalah masalah biaya operasional dan
pemeliharaan yang tidak semudah biaya investasi untuk memperolehnya. Akibatnya, terdapat kemungkinan rumah sakit terbangun
secara fisik dan tercukupi peralatannya, tetapi tidak mempunyai
subsidi untuk operasional dan pemeliharaan. Akibatnya, tarif menjadi
tinggi yang sebenarnya berlawanan dengan misi sosial RSI. Sementara
itu, belum ada standar sumber pendanaan termasuk pembagian SHU,
apakah untuk pemilik ataukah harus dipakai untuk pengembangan.
Sebuah kasus di RSI telah terjadi pertikaian antara pemilik
dengan direksi. Pertikaian berlarut-larut hingga terjadi perangkapan
jabatan direktur oleh pemilik. Lebih lanjut terjadi masalah hukum
akibat situasi ini.
1.4 Rumah sakit Swasta Milik Dokter
Kepemilikan rumah sakit oleh dokter biasanya bersumber dari
prestasi klinis seorang dokter. Sebagai contoh, seorang dokter
spesialis kebidanan dan penyakit kandungan dapat memiliki rumah
sakit melalui perluasan klinik spesialis kebidanan dan penyakit
kandungannya. Perluasan klinis ini dimulai dari kesehatan anak
dengan membentuk rumah sakit ibu dan anak. Kemudian dapat
berkembang menjadi RSU. Adapula rumah sakit khusus yang dimiliki
oleh dokter misalnya rumah sakit mata, rumah sakit jiwa, dan lainlain.
Fenomena saat ini menunjukkan terdapat sejumlah dokter
20
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
bersepakat membangun rumah sakit secara bersama-sama. Akan sulit
seorang dokter tanpa kerja sama dengan rekan-rekannya membangun
dan menjalankan rumah sakit yang lengkap dengan sarana dan
prasarana medis yang kompleks. Gaya kepemilikan dokter akan
mempengaruhi pola manajemen.
Kasus di Bali, Padang, dan Yogyakarta menunjukkan bahwa
dosen-dosen senior di Fakultas Kedokteran biasanya mempunyai
rumah sakit kecil atau klinik besar yang menempati areal yang tidak
dirancang untuk rumah sakit. Keadaan ini membuat sistem manajemen sulit dikembangkan dengan berlandaskan visi yang mantap. Di
samping itu, ada berbagai masalah antara lain keterbatasan lahan,
fasilitas, gedung yang semakin menua, dan juga kepemilikan yang
merangkap sebagai dokter.
Di tengah tuntutan masyarakat yang semakin kritis akan mutu
pelayanan, tuntutan untuk mematuhi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL), dan tuntutan hukum, maka sistem manajemen
rumah sakit yang dimiliki oleh dokter membutuhkan pemikiran
kembali. Beberapa kasus menunjukkan bahwa kemunduran keterampilan klinis pemilik diakibatkan karena usia lanjut sehingga
menyebabkan kemunduran rumah sakit. Dengan demikian, timbul
berbagai alternatif di masa mendatang bahwa rumah sakit kecil milik
para dokter ini mungkin akan merger dengan sesamanya atau dibeli
oleh rumah sakit besar dan akan berfungsi sebagai satelit-satelitnya.
Pada prinsipnya rumah sakit kecil milik para dokter sulit
berkembang menjadi pusat pengembangan teknologi kedokteran.
Dikhawatirkan apabila dosen senior terlalu mementingkan praktik di
rumah sakit pribadinya maka kemungkinan terjadi stagnasi dalam
pengembangan teknologi kedokteran di suatu wilayah, termasuk di
tempat yang ada rumah sakit pendidikannya. Keadaan ini sudah
tercermin pada berbagai rumah sakit pendidikan pemerintah, yang
para dokter senior dan profesor lebih banyak melakukan kegiatan di
rumah sakitnya daripada di rumah sakit pendidikan. Hal ini tentu
mengurangi laju perkembangan rumah sakit pemerintah. Patut dicatat
bahwa kegiatan rumah sakit pribadi pada umumnya adalah kasuskasus penyakit yang sederhana karena keterbatasan peralatan medik.
Bagian I
21
1.5 Rumah sakit Swasta Milik Perusahaan yang Mencari
Keuntungan
Rumah sakit saat ini sudah dianggap sebagai tempat yang
menarik dan potensial untuk menghasilkan keuntungan. Dengan
demikian, berbagai perusahaan, terutama yang bersifat konglomerasi
memandang perlu untuk mendirikan rumah sakit yang menguntungkan. Kecenderungan lain adalah tantangan pendirian jaringan
rumah sakit, seiring dengan ekspansi bisnis konglomerasi. Contoh
paling menarik adalah RS Gleneagles Siloam di Karawaci Tangerang
yang berinduk pada kelompok perusahaan Lippo. Rumah sakit yang
dikelola oleh perusahaan untuk mencari keuntungan ini merupakan
fenomena baru yang melanda Indonesia, khususnya di Jakarta pada
tahun 1980-an dan 1990-an.
Sejarah rumah sakit ini masih singkat, tetapi dengan naluri
bisnis yang baik dan kekuatan modal dan sistem manajemennya,
rumah sakit milik perusahaan ini dapat menggantikan peran rumah
sakit keagamaan di masa mendatang, apabila rumah sakit lainnya
tidak memperbaiki sistemnya. Sistem manajemen rumah sakit yang
mencari keuntungan relatif lebih mudah dibandingkan dengan rumah
sakit keagamaan atau rumah sakit pemerintah. Sistem manajemen
perusahaan dengan mudah dapat diterapkan.
1.6 Rumah sakit Milik Badan Usaha Milik Negara
Beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mempunyai
rumah sakit, misalnya Pertamina, PT. Aneka Tambang, PT Pelni, dan
berbagai perusahaan perkebunan. Dengan sifat sebagai organ BUMN,
maka keadaan rumah sakit tersebut sangat tergantung pada kondisi
22
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
keuangan induknya. Rumah sakit Pertamina Pusat terkenal sebagai
rumah sakit yang mempunyai peralatan dengan teknologi tinggi
karena Pertamina mampu membiayainya dan mempunyai segmen
masyarakat yang menuntut penyediaan peralatan dengan teknologi
tinggi. Sebaliknya, kondisi PT Timah yang pernah mempunyai masa
sulit, mempengaruhi rumah sakitnya hingga dalam kondisi yang sulit
untuk berkembang, sehingga rumah sakit dilepas dari induknya.
Isu tentang strategi besar PT Pertamina saat ini, juga
mempengaruhi rumah sakit-rumah sakit Pertamina yang tersebar di
seluruh Indonesia. Dapat diramalkan apabila Pertamina mempunyai
strategi efisiensi maka sebagian rumah sakit diharuskan berubah
menjadi pusat keuntungan. Hal ini tentu menuntut keterampilan
manajerial yang berbeda dibandingkan ketika rumah sakit-rumah sakit
Pertamina dikelola sebagai cost-centre.
Perkembangan Rumah sakit dan Ilmu Ekonomi
Dengan memahami perkembangan berbagai rumah sakit dari
masa lalu sampai sekarang, secara keseluruhan, perkembangan sejarah
rumah sakit menunjukkan bahwa faktor ekonomi merupakan hal
penting sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu faktor
penting dalam pertumbuhan ataupun kemunduran rumah sakit adalah
aspek ekonomi. Tanpa adanya sumber dana cukup, perkembangan
rumah sakit akan sulit berjalan. Tanpa insentif ekonomi memadai bagi
sumber daya manusia, sebuah rumah sakit akan kesulitan menarik
tenaga yang menjadi penentu keberhasilan pelayanan rumah sakit.
Pertanyaan pentingnya adalah apakah para pengambil kebijakan dan
pengelola rumah sakit mau dan mampu mempelajari ilmu ekonomi
untuk merumuskan kebijakan dan mengelola rumah sakit di Indonesia.
23
Bagian I
BAB II
ASPEK PENDANAAN RUMAH SAKIT
2.1 Pemahaman terhadap Public dan Private Goods
Secara konsepsual, sistem pelayanan kesehatan berjalan berdasarkan pemahaman akan makna public goods dan private goods. Katz
and Rosen (1998) menyatakan bahwa public goods mempunyai
berbagai sifat. Pertama, pemakaian jasa kepada seseorang tidak
mengurangi jatah bagi orang lain yang ingin menggunakannya
sehingga tidak perlu berebut. Sifat ini disebut non-rivalry. Hal ini
berlawanan dengan private goods yang penggunaannya akan mengurangi jatah bagi orang lain yang ingin menggunakannya pula. Sifat
kedua adalah non-excludable, artinya adalah tidak mungkin atau
mahal sekali untuk mencegah orang menggunakannya, walaupun yang
bersangkutan tidak mau membayar jasa pelayananan ini. Contoh yang
paling terlihat adalah penyuluhan kesehatan melalui radio atau televisi
yang tidak mungkin mencegah orang menikmati jasa pelayanan
penyuluhan walaupun yang bersangkutan tidak membayar biaya
penyuluhan. Sifat ketiga, adanya eksternalitas positif yaitu pelayanan
jasa publik kepada seseorang akan menimbulkan pengaruh kepada
orang lain yang tidak menggunakan. Contoh eksternalitas yang positif
adalah pemberian jasa imunisasi kepada satu anak akan mengurangi
risiko penularan penyakit kepada anak lain.
Private goods mempunyai sifat sebaliknya yaitu pemakaian jasa
kepada seseorang akan mengurangi jatah bagi orang lain yang ingin
menggunakannya, bersifat excludable, walaupun mungkin mempunyai
eksternalitas positif. Pemilahan public goods dan private goods
bukanlah hitam-putih (dikotomi), tetapi memiliki gradasi pada titik
terdapat public goods tidak murni.
24
Public Goods
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
Private Goods
Gambar 2.1 Kontinum antara jasa publik dan jasa pribadi
Contoh pelayanan public goods dalam kesehatan adalah
program peningkatan higine dan sanitasi, penyuluhan kesehatan,
program pembinaan kesehatan perusahaan, imunisasi. Contoh
pelayanan private goods adalah bangsal VIP rumah sakit, pelayanan
bedah plastik, operasi perorangan, dan lain sebagainya. Pelayanan jasa
publik biasanya disubsidi oleh pemerintah.
Pemahaman mengenai public goods dan private goods ini
penting dalam menganalisis kebijakan pendanaan kesehatan. Konsep
welfare state menyatakan bahwa pelayanan public goods seharusnya
dibiayai oleh negara melalui mekanisme pajak. Dalam hal ini
kesehatan merupakan salah satu sektor kehidupan yang mempunyai
banyak pelayanan bersifat public goods. Secara normatif memang ada
pernyataan bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak bagi setiap
warga untuk menerimanya, seperti yang terdapat dalam UUD 45.
Namun, fakta berbicara lain karena biaya untuk pelayanan kesehatan
sebagai public goods yang dibiayai negara ternyata tinggi. Akibatnya,
membutuhkan sumber keuangan yang besar. Data Tabel 2.1
menunjukkan bahwa negara yang mempunyai persentase besar
sumber pendanaan oleh negara adalah negara-negara yang termasuk
kelompok kaya, kecuali Amerika Serikat.
Di negara-negara yang tidak kaya ternyata sumber pendanaan
lebih banyak berasal dari masyarakat, seperti di Indonesia, Vietnam,
dan Myamar. Dengan melihat latar belakang ini perlu dicermati
pemberian pelayanan private goods tidak hanya oleh swasta tetapi
juga dapat dilakukan oleh pemerintah. Sebagai gambaran kasus
pelayanan kuratif oleh rumah sakit pemerintah dan dalam masa
keterbatasan sumber ekonomi negara mengakibatkan adanya kecenderungan semakin banyak lembaga pemerintah yang memberikan
pelayanan private goods. Hal ini yang menjadi pendorong utama
berkembangnya proses korporatisasi pelayanan kesehatan.
25
Bagian I
Tabel 2.1 Perbandingan antarnegara dalam pengeluaran anggaran pemerintah untuk kesehatan
Negara
Australia
Belgia
Kanada
Denmark
Perancis
Jerman
Itali
Jepang
Amerika Serikat
Inggris
China
India
Brazil
Kuba
Iran
Kuwait
Brunei
Indonesia
Malaysia
Myamar
Filipina
Thailand
Singapura
Vietnam
Pengeluaran kesehatan
total per kapita
dalam dollar
Pengeluaran kesehatan
oleh pemerintah per
kapita
dalam dollar
Persentase Pengeluaran
Kesehatan oleh pemerintan
terhadap total
%
%
1997
1998
1997
1998
1997
1998
1912
1944
2183
1953
1905
2225
1603
1783
3915
1457
127
111
454
282
406
554
992
78
194
24
162
221
679
90
2226
2122
2363
2138
2074
2382
1712
1763
4055
1512
143
110
470
303
397
536
985
54
168
32
144
197
744
112
1655
1380
1525
1607
1449
1703
1157
1417
1780
1220
50
17
183
247
188
485
403
18
112
5
70
126
233
18
1982
1510
1657
1751
1578
1806
1231
1377
1817
1260
55
20
227
266
193
487
428
14
97
5
61
121
263
27
87
71
70
82
76
77
72
79
45
84
39
15
40
88
46
88
41
23
58
21
43
57
34
20
89
71
70
82
76
76
72
78
45
83
38
18
48
88
49
91
43
26
58
16
42
61
35
24
Sumber data: Diolah dari WHO Report 2001.
2.2 Perkembangan Sumber Dana Kesehatan
Masalah utama yang saat ini dihadapi oleh sistem pelayanan
kesehatan adalah sumber daya yang semakin lama semakin sulit
mengejar kebutuhan pelayanan. Sumber daya ini berasal dari swasta
dan pemerintah dengan persentase dari swasta relatif semakin mem-
26
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
besar sehingga muncul masalah baru yang berkaitan dengan akses ke
pelayanan kesehatan dan semakin rendahnya mutu pelayanan
kesehatan masyarakat karena kekurangan subsidi pemerintah.
Di negara-negara sedang berkembang, public spending pada
semua sektor berkembang dengan pesat pada dekade 1960-an dan
1970-an. Pada periode ini ada optimisme bahwa pemerintah dapat
aktif membiayai program-program kesejahteraan rakyatnya. Salah satu
program kesejahteraan adalah membiayai pelayanan rumah sakit.
Dengan demikian, rumah sakit milik pemerintah adalah suatu
organisasi normatif yang mengacu pada fungsi sosial untuk
menyehatkan masyarakat. Periode ini dipuncaki dengan deklarasi pada
tahun 1978 di Alma-Ata. Di bekas negara sosialis Uni Soviet tersebut
WHO mengeluarkan deklarasi "Health for All by the Year 2000".
Pada dekade 1980-an, pertumbuhan ekonomi dunia melambat
dan pengeluaran untuk kesehatan menurun. Subsidi untuk pelayanan
kesehatan semakin kecil, sementara itu biaya pelayanan kesehatan
semakin meningkat, khususnya pelayanan rumah sakit yang menggunakan teknologi canggih. Tidaklah mengherankan jika terjadi
pergeseran mengenai arti pelayanan rumah sakit dari suatu pelayanan
yang bersifat public-goods (dengan subsidi tinggi atau bahkan gratis
sama sekali) menjadi suatu pelayanan yang bersifat individualistis
(private goods).
Pelayanan rumah sakit semakin mengarah pada barang komoditi yang mengacu pada kekuatan pasar dalam perekonomian
masyarakat. Sebagai suatu organisasi, rumah sakit mulai berubah dari
organisasi yang normatif (organisasi sosial) ke arah organisasi yang
utilitarian. Saat ini dikenal istilah rumah sakit sebagai suatu organisasi
sosial-ekonomis.
Perubahan sifat rumah sakit ke arah organisasi sosial-ekonomi
ini dipacu oleh keterlibatan Bank Dunia dalam sektor kesehatan.
Tahun 1980 Bank Dunia mulai memberikan pinjaman ke sektor
kesehatan. Pada tahun 1983 Bank Dunia telah menjadi salah satu
pemberi dana kesehatan terbesar untuk negara-negara sedang berkembang. Tidaklah mengherankan para ekonom sebagai organisasinya
apabila Bank Dunia berperan dalam menekankan prinsip-prinsip
Bagian I
27
ekonomi dalam manajemen rumah sakit.
Pada tahun 1987, Bank Dunia mengeluarkan satu publikasi
berjudul Financing Health Services in Developing Countries: an
Agenda for Reform. Dalam publikasi tersebut, Bank Dunia melihat
adanya tiga masalah, yaitu: misallocation, internal inefficiency of
public programs, dan inequity in the distribution of benefit from
health services. Untuk mengatasinya Bank Dunia mengusulkan 4
reformasi, yaitu: (1) subsidi untuk pelayanan kesehatan pemerintah
harus dikurangi; (2) meningkatkan cakupan asuransi kesehatan; (3)
meningkatkan peran swasta; dan (4) mendesentralisasikan pelayanan
kesehatan pemerintah. Terlihat jelas bahwa reformasi ini terutama
mengacu pada konsep efisiensi, walaupun Bank Dunia telah
memasukkan konsep equity. Terjadi debat antara equity yang
dicanangkan dalam Deklarasi Alma Ata dengan konsep efisiensi
dalam reformasi Bank Dunia.
Pada tahun 1993, Bank Dunia memilih kesehatan sebagai pokok
bahasan World Development Report. Masalah hampir sama dengan
publikasi tahun 1987 tetapi dengan sedikit perbedaan, yaitu:
Misallocation, Inequity, Inefficiency, dan Exploding Costs. Terdapat
berbagai penafsiran yang dapat ditarik dari laporan tersebut. Pertama,
Bank Dunia ingin meningkatkan sumber daya untuk peningkatan
status kesehatan melalui pendekatan di luar sektor pelayanan
kesehatan dan peningkatan dana dari asuransi kesehatan. Kedua, Bank
Dunia ingin meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan melalui
realokasi sumber daya pemerintah dari pelayanan kuratif tersier ke
program-program kesehatan masyarakat dan pelayanan klinik dasar
serta sistem asuransi kesehatan yang fair. Ketiga, Bank Dunia ingin
meningkatkan efisiensi melalui peningkatan mutu pelayanan dan
penurunan ongkos produksi. Untuk peningkatan efisiensi ini perlu
adanya keragaman dan kompetisi sisi supply dan input pelayanan
kesehatan serta adanya peningkatan kemampuan manajerial.
Sebagai lembaga berpengaruh di negara sedang berkembang,
usulan-usulan Bank Dunia tentunya tidak dapat diabaikan. Situasi
ekonomi makro dunia sangat diperhatikan oleh Bank Dunia dan
manajemen suatu rumah sakit pemerintah maupun swasta yang tidak
28
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
lepas dari pengaruh perekonomian dunia. Pada akhirnya terjadi
pergeseran sifat rumah sakit dari suatu organisasi yang bertitik berat
pada fungsi sosial (normatif) menjadi suatu lembaga sosial-ekonomi
ke arah utilitarian.
Satu kata kunci yang sangat penting adalah posisi "laba" atau
profit dalam tujuan rumah sakit. Secara tradisional, sebagai organisasi
normatif yang bersifat sosial maka laba merupakan hal yang jarang
ditemui dalam manajemen rumah sakit, khususnya rumah sakit-rumah
sakit pemerintah. Ada pertanyaan dalam perubahan menjadi organisasi
sosio-ekonomi, apakah laba merupakan suatu hal yang tidak patut
dalam rumah sakit? Dalam memahami suatu organisasi yang
mengandung sifat ekonomi, posisi laba sangat penting. Para ekonom
secara umum mendefinisikan laba sebagai kelebihan penerimaan atas
biaya-biaya yang digunakan dalam usaha. Dalam konteks manajemen
rumah sakit kelebihan pembayaran ini dapat dipergunakan untuk
berbagai hal seperti usaha pengembangan rumah sakit, peningkatan
insentif untuk bekerja, dan usaha subsidi silang.
Jika laba merupakan hal yang tidak patut maka perlu suatu
pertanyaan mengenai kemampuan subsidi pemerintah dan sifat
pelayanan rumah sakit. Dalam era teknologi dan SDM sektor
kesehatan yang semakin membutuhkan dana, sulit mencari rumah
sakit yang tidak memperdulikan unit-cost dan cost-recovery dalam
pengelolaannya. Dalam sistem pelayanan kesehatan, dikenal barang
atau jasa yang bersifat publik dan yang bersifat perorangan. Dalam hal
ini, rumah sakit dibanding misalnya dengan pelayanan penyakit
menular, lebih bersifat sebagai jasa perorangan. Ini berarti bahwa
subsidi pemerintah sebaiknya lebih diarahkan pada program
pemberantasan penyakit menular. Dengan pengertian ini maka timbul
pertanyaan lebih lanjut: apakah pelayanan rumah sakit merupakan
suatu hak ataukah komoditi dagang? Sejarah yang akan membuktikan
nanti. Akan tetapi, saat ini berkembang rumah sakit yang tegas-tegas
menempatkan pelayanan rumah sakit sebagai komoditi dagang dengan
bentuk hukum PT.
Bagian I
29
2.3 Situasi sumber Dana Kesehatan di Indonesia
Sistem pelayanan kesehatan di Indonesia didanai oleh pemerintah dan swasta. Secara garis besar pihak swasta membiayai sekitar
70% total pendanaan (Biro Keuangan Depkes, 2001). Pendanaan dari
swasta terutama diperuntukkan bagi sistem pelayanan kesehatan
perorangan yang lebih bersifat private goods. Di samping itu, sistem
pelayanan kesehatan mendapatkan dana dari sumber pemerintah dan
juga dari luar negeri. Sebagian kecil dana pelayanan kesehatan
menggunakan asuransi kesehatan sebagai mekanisme pendanaan.
Sumber dana kemanusiaan secara resmi tidak tercatat. Gambar 2.2
menunjukkan peta sumber pendanaan kesehatan di Indonesia.
Industri farmasi merupakan satu aspek dalam sistem pelayanan
kesehatan yang mempunyai ukuran ekonomi relatif besar. Pada tahun
1991 konsumsi per kapita untuk obat sebesar Rp 8.162,00, sehingga
dengan demikian sekitar Rp 1,5 triliun beredar dalam industri farmasi.
Pada tahun 1994/1995 anggaran Depkes berjumlah Rp 1,281,18
milyar. Apabila dibandingkan dengan total (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) maka perkembangan proporsi anggaran
Depkes dapat dilihat pada tabel berikutnya. Secara nasional, anggaran
pemerintah untuk Depkes relatif kecil, sekitar 2,5%. Proporsi yang
kecil ini menunjukkan bahwa Depkes bukan merupakan bagian utama
dari kabinet. Dengan kata lain, pemerintah belum memberikan
prioritas pada pelayanan kesehatan. Sebagai perbandingan tahun 1991,
APBN untuk militer (8,2%), anggaran sektor pendidikan (9,1%),
anggaran sektor kesehatan (2,4%), pelayanan jasa ekonomi (27,1%),
perumahan (1,8%), dan lain-lain (51,5%).
Di samping APBN yang rendah untuk kesehatan, pengeluaran
rumah tangga untuk kesehatan juga rendah, hanya 2%. Angka ini jauh
dari pengeluaran untuk pakaian (7%), makanan (21%), bahan bakar
(7%), dan pendidikan (4%). Setelah tahun-tahun tersebut, data
anggaran pemerintah untuk kesehatan relatif tidak bertambah.
Proporsi anggaran justru paling banyak untuk sekretariat jenderal
(1994-1995: 52%, 1998/1999: 62,79%). Sangat menarik bahwa
kenaikan anggaran Depkes banyak berasal dari pinjaman luar negeri.
30
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
Pada tahun anggaran 1994/1995 pinjaman luar negeri dan bantuan luar
negeri jumlahnya sebesar Rp 196.033.500.000,00, sedangkan pada
tahun anggaran 1998-1999 berjumlah Rp 532.347.156.000,00. Data
terbaru mengenai sumber pendanaan pemerintah dan swasta di
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Data di atas menunjukkan bahwa perkembangan sumber dana
untuk kesehatan masih memprihatinkan, tarutama pada saat krisis
Gambar 2.2 Peta sumber pendanaan kesehatan di Indonesia
31
Bagian I
Tabel 2.2 Catatan Pengeluaran Kesehatan Indonesia dari Tahun 1995 s.d. 2000
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Pengeluaran Kesehatan Total
(PKT) sebagai % PDB
1.6%
2.0%
2.4%
2.5%
2.6%
2.7%
Pengeluaran Kesehatan Pemerintah (PKP)
sebagai % PKT
46.0% 32.4% 23.7% 27.2% 28.0% 23.7%
Pengeluaran Kesehatan oleh Masyarakat
(PKM) sebagai % PKT
54.0% 67.6% 76.3% 72.8% 72.0% 76.3%
PKP sebagai % dari total anggaran
pembangunan pemerintah (APBN)
3.6%
2.8%
3.2%
3.2%
3.1%
Pengeluaran kesehatan melalui sistem
jaminan kesehatan sebagai % dari PKP
11.4% 10.6% 14.1%
9.0%
7.3%
7.5%
Pengeluaran Kesehatan bersumber pajak
sebagai % dari PKP
67.5% 68.9% 70.9% 60.3% 62.6% 64.0%
Pengeluaran Kesehatan pemerintah
bersumber dari luar negeri sebagai % PKP
3.2%
3.7%
15.0% 30.7% 30.1% 28.5%
Sumber pendanaan masyarakat berdasarkan
asuransi kesehatan sebagai % dari
Pengeluaran Kesehatan Masyarakat.
N.A
N.A
4.3%
Sumber pendanaan masyarakat berdasarkan
Out-of-Pocket sebagai % dari Pengeluaran
Kesehatan Masyarakat
N.A
N.A
95.7% 93.3% 89.6% 91.8%
Pengeluaran total untuk farmasi sebagai %
dari PKT
N.A
N.A
28.2% 34.0% 30.0% 26.7%
Pengeluaran Masyarakat untuk farmasi
sebagai % dari PKM
N.A
N.A
34.5% 43.5% 37.9% 31.9%
Pengeluaran Kesehatan Total per kapita
dalam US $
14.16
22.53
25.53
11.72
17.65
20.01
Pengeluaran Kesehatan Pemerintah per
kapita dalam US$
6.51
7.30
6.04
3.19
4.95
4.74
3.5%
6.7%
10.4%
8.2%
Sumber: Data NHA, Biro Keuangan Departemen Kesehatan RI
moneter. Pada sisi lain, sumber pendanaan dari masyarakat juga masih
rendah. Masyarakat lebih senang membelanjakan uangnya untuk konsumsi nonkesehatan termasuk tembakau yang justru membahayakan
kesehatan. Tabel 2.3 menunjukkan keadaan ini. Pengeluaran untuk
32
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
tembakau dan rokok sebagai bagian dari pengeluaran untuk makanan
jauh di atas pengeluaran untuk kebutuhan kesehatan. Menarik untuk
dicermati bahwa Biro Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan
tembakau dan rokok sebagai salah satu pengeluaran untuk makanan.
Tabel 2.3 Rata-Rata Pengeluaran Konsumsi Per Kapita Penduduk Menurut Jenis di 5
Propinsi (Persentase Terhadap Konsumsi Per Kapita Per Bulan, 1999).
Jenis Pengeluaran
Daerah Aceh (%) Riau (%) Bengkulu (%) Bali (%) Sulut (%)
Pengeluaran Untuk Makanan
Tembakau, Rokok Desa
6.18%
6.57%
6.77%
2.92%
5.24%
Kota
5.29%
Desa+Kota 5.92%
Pengeluaran Untuk Non-Makanan
4.62%
5.66%
4.63%
6.08%
2.18%
2.60%
3.89%
4.68%
1.60%
1.59%
1.10%
2.19%
1.74%
Kota
1.99%
Desa+Kota 1.71%
1.98%
1.75%
2.02%
1.37%
2.23%
2.21%
2.16%
1.91%
Kebutuhan
Kesehatan
Desa
Sumber: BPS
Prioritas rendah terhadap pengeluaran kesehatan menunjukkan
bahwa penghargaan bangsa dan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan masih buruk. Hal ini disadari karena kegiatan peningkatan
kesehatan merupakan suatu proses yang membutuhkan waktu panjang
untuk membuktikan hasilnya, bukan suatu kegiatan jangka pendek
yang akan terlihat hasilnya seperti membangun jembatan. Dengan
demikian, Indonesia masih menunggu waktu sampai terjadi
peningkatan apresiasi bangsa dan masyarakat terhadap kesehatan
sehingga investasi untuk pelayanan kesehatan dapat layak.
Salah satu hal yang dapat menjelaskan mengapa terjadi sumber
pendanaan yang cenderung tidak berkembang adalah sikap pemerintah
sendiri yang akhirnya justru membatasi perkembangan ekonomi
pelayanan kesehatan. Jarang dilakukan inovasi-inovasi politik dan
ekonomi yang dapat mengembangkan kegiatan di sektor kesehatan.
Pengalaman di negara-negara lain membutuhkan inovasi tersebut
33
Bagian I
(Kaluzny dkk, 1995; Bennet, 1991; Otter, 1991; Mick, 1990). Dengan
tidak adanya inovasi, maka laju pembangunan kesehatan di Indonesia
menjadi terhambat misal adanya fenomena dokter menganggur
walaupun secara rasio masih sangat dibutuhkan.
Dalam konteks pengembangan sumber pendanaan rumah sakit
perlu diperhatikan mengenai peran swasta yang besar. Secara
konseptual peran swasta sebagai sumber pendanaan diwujudkan
dalam berbagai kegiatan pada kotak 3 dan kotak 4. Dengan adanya
program pengembangan mutu rumah sakit pemerintah diharapkan
masyarakat atau swasta menggunakan rumah sakit pemerintah untuk
mencari pengobatan. Pada sisi lain, berbagai sumber pendanaan
pemerintah mungkin akan dikontrakkan ke perusahaan swasta (Kotak
2), misalnya untuk promosi kesehatan ataupun kebersihan lingkungan.
Pola kontrak keluar ini perlu diperhatikan karena cara yang baik untuk
menghindari keadaan over-load pada lembaga pelayanan kesehatan
pemerintah atau Dinas Kesehatan (Dinkes).
Akibat keterbatasan subsidi pemerintah saat ini semakin banyak
Pelaksanaan Program
Pemerintah
Pemerintah
Pendanaan
Program
Swasta
Subsidi untuk rumah
sakit pemerintah atau
bagi orang miskin di
rumah sakit
pemerintah
Kontrak ke
perusahaan swasta
1
2
Dana dari swasta
dipergunakan untuk
pelayanan
kesehatan
pemerintah
Perusahaan swasta
mengerjakan
pesanan dari
masyarakat untuk
pelayanan kesehatan
3
4
Swasta
Gambar 2.3 Peran Swasta dalam Pelayanan Kesehatan
34
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
dana masyarakat yang dilaksanakan oleh rumah sakit pemerintah.
Dengan demikian ada gerakan dari kotak 1 ke kotak 3. Hal ini yang
menyebabkan semakin besarnya pengaruh mekanisme pasar di rumah
sakit pemerintah. Dana yang didapat dari masyarakat dipergunakan
oleh sistem manajemen rumah sakit untuk meningkatkan mutu
pelayanan rumah sakit dengan cara memperbaiki mutu pelayanan,
memperluas bangsal VIP, dan mengeluarkan berbagai produk
pelayanan baru. Dengan cara ini diharapkan akan semakin banyak
dana masyarakat masuk ke rumah sakit pemerintah sehingga rumah
sakit mampu meningkatkan motivasi sumber daya manusianya serta
meningkatkan mutu pelayanannya.
35
Bagian I
BAB III
PERKEMBANGAN SEKTOR KESEHATAN
Perkembangan sektor kesehatan di Indonesia saat ini terlihat
tumbuh secara tidak maksimal. Sebagai contoh, standar mutu
pelayanan rumah sakit masih belum tertata dengan baik, jumlah dokter
khususnya spesialis masih sedikit, penyebaran dan pendapatan dokter
tidak merata dan sebagian dokter rendah pendapatannya, indikator
kinerja lembaga pelayanan kesehatan belum dipergunakan secara
nyata. Bagian ini bertujuan membahas perkembangan komponenkomponen sektor kesehatan di Indonesia agar analisis dapat dilakukan
secara baik. Pembahasan ini diperlukan untuk memahami hambatanhambatan yang ada dalam pertumbuhan sektor pelayanan kesehatan di
Indonesia.
Dalam membahas perkembangan sektor kesehatan, berbagai
pelaku kunci dalam pelayanan kesehatan perlu diidentifikasi yaitu
pemerintah, masyarakat, pihak ketiga yang menjadi sumber
pendanaan, seperti PT Askes Indonesia, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM); penyedia pelayanan, termasuk industri
obat dan tempat-tempat pendidikan tenaga kesehatan; dan pemberi
hutang luar negeri (Bank Dunia, ADB, OECF), serta badan-badan
internasional yang memberikan grant seperti WHO, GTZ, USAID.
Gambar 3.1 menunjukkan komponen-komponen dalam sistem
pelayanan kesehatan.
3.1 Pemerintah
Selama hampir setengah abad ini, pemerintah Indonesia
cenderung memandang kesehatan sebagai suatu sektor yang tidak
36
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
berdasar pada hukum ekonomi. Berbagai peraturan pemerintah,
termasuk pentarifan Puskesmas dan rumah sakit yang mempengaruhi
premi PT Askes Indonesia atau JPKM ditetapkan berdasarkan
pertimbangan sosial dan politik, bukan dengan konsep unit-cost dan
subsidy. Pengelolaan tenaga dokter spesialis dilakukan tanpa
memperhatikan konsep pasar tenaga kerja. Masyarakat terbiasa
memandang kesehatan sebagai sektor yang dibiayai oleh pemerintah
dan murah. Keadaan ini mencerminkan ketidakjelasan situasi
mengenai peran pemerintah dalam sektor kesehatan. Sebenarnya
secara de-facto sistem kesehatan di Indonesia berjalan berdasarkan
mekanisme pasar, akan tetapi sistem kesehatan nasional dikelola tidak
berdasarkan hukum ekonomi, sehingga perlu dipikirkan peran
pemerintah dalam kehidupan yang bertumpu pada mekanisme pasar.
Secara konseptual peran pemerintah dalam kesehatan saat ini
dapat mengacu pada jalan ketiga dari Giddens (1999), yang
mempunyai nilai-nilai: persamaan, perlindungan atas mereka yang
lemah, kebebasan sebagai otonomi, tak ada hak tanpa tanggung jawab,
tak ada otoritas tanpa demokrasi, pluralisme kosmopolitan dan
konservatisme filosofis. Oleh karena itu, pemerintah memang harus
tegas memutuskan pelayanan kesehatan sebagai pelayanan sosial atau
komoditi pasar. Jika sudah mengarah ke komoditi pasar, maka
diperlukan suatu sistem yang tepat dengan prioritas jelas untuk
melindungi orang miskin (sebagai pihak yang lemah yang harus tetap
dijaga). Untuk berbagai pelayanan kesehatan, termasuk JPKM, dapat
dilaksanakan oleh lembaga swasta dengan sistem pengendalian mutu
yang baik. Pemerintah diharapkan pula tetap menjamin
terselenggaranya pelayanan kesehatan masyarakat yang berciri public
goods, karena pihak swasta tidak mempunyai insentif cukup untuk
melakukannya.
Kebijakan desentralisasi (otonomi daerah) tahun 2001 memicu
pengkajian mengenai peran pemerintah pada sektor kesehatan.
Terdapat beberapa hal penting yang perlu dibahas mengenai peran
pemerintah. Pertama adalah peran pemerintah dalam konteks good
governance. Kedua, mengenai hubungan antara kebijakan desentralisasi dan peran pemerintah dalam sektor kesehatan.
37
Bagian I
Ketiga, mengenai peran pemerintah dan equity serta keadaan
pelaksanaannya di Indonesia.
Auransi
kesehatan/JPKM
Pemberi Pelayanan
Kesehatan
Masyarakat
Tempat Pendidikan
Tenaga Kesehatan
Industri Obat
Badan Pengatur
Pemerintah/Tata
Hukum
Pemerintah sebagai
Pembayar
Pemberi
Pinjaman/Bantuan
Luar Negeri
Gambar 3.1 Komponen Sistem Pelayanan Kesehatan (Diadaptasi dari: Public Health
Forum di London School of Hygiene and Tropical Medicine, tahun 1998).
Peran Pemerintah dan Good Governance
Pembahasan akademik mengenai peran pemerintah saat ini
tidak dapat dipisahkan dari konsep good-governance. Governance
menurut United Nations Development Programme (UNDP) adalah:
“the exercise of economic, political and administrative
authority to manage a country’s affairs at all levels. It
comprises the mechanisms, processes and institutions through
which citizens and groups articulate their interests, exercise
their legal rights, meet their obligations and mediate their
38
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
differences ...”.
Ada beberapa hal penting dalam konsep good-governance
menurut UNDP antara lain, partisipasi masyarakat, transparasi,
akuntabilitas, dan pengutamaan aturan hukum. Dalam konteks goodgovernance ini perlu dicermati Laporan Pembangunan Bank Dunia
(1997) berjudul State in Changing World, yang menekankan peranan
negara dalam memperbaiki pemerataan dan kegagalan pasar, serta
mengenai peran sebagai pemberi pendanaan dan pemberi pelayanan.
Dalam laporan ini disebutkan juga bahwa peran negara terdiri
atas 3 tingkat: (1) peranan minimal; (2) peran menengah; dan (3)
peran sebagai pelaku kegiatan (Kovner, 1995). Pada peran minimal,
pemerintah bertugas menyediakan pelayanan publik murni, misalnya,
pertahanan, tata hukum dan perundangan, hak cipta, manajemen
ekonomi mikro dan kesehatan masyarakat. Di samping itu, pemerintah
harus meningkatkan program untuk mengatasi kemiskinan,
melindungi orang miskin dan mengatasi bencana. Pada peran yang
lebih meningkat maka dalam kegiatan mengatasi kegagalan pasar,
pemerintah harus melakukan berbagai hal misalnya: menjamin
pendidikan dasar, melindungi lingkungan hidup, mengatur monopoli,
mengatasi berbagai hal yang terkait dengan tidak seimbangnya
informasi, hingga menyediakan jaminan sosial. Pada tingkat pemerintah berperan sebagai pelaku kegiatan, maka dilakukan beberapa
kegiatan seperti: mengkoordinasi swasta supaya tidak terjadi
kegagalan pasar dan melakukan kegiatan mengatasi ketidakmerataan
dengan tindakan redistribusi.
Pemahaman mengenai good governance bervariasi. Thoha
(2000) menyatakan bahwa ada tiga pilar dalam masyarakat sipil yang
madani yaitu pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga usaha.
Sebagai catatan, pemahaman mengenai lembaga pelaku usaha bukan
harus mencari keuntungan. Dalam konteks good governance,
dimanakah peran pemerintah dalam sektor kesehatan? Brecher dalam
Kovner (1995) menyatakan bahwa peran pemerintah ada tiga, yaitu
(1) regulator, (2) pemberi biaya; dan (3) pelaksana kegiatan.
Bagian I
39
Kebijakan Desentralisasi dan Peran Pemerintah
Pada intinya kebijakan desentralisasi kesehatan di Indonesia
menegaskan peran dan fungsi lembaga-lembaga pemerintah dalam
sektor kesehatan. Peraturan Pemerintah (PP) No. 25/2000 menekankan peran pemerintah pusat lebih sebagai regulator. Peran pemerintah
provinsi terlihat terbatas, sedangkan peran pemerintah kabupaten dan
kota tidak disebutkan secara eksplisit sehingga membutuhkan
berbagai penafsiran. Hasil dari seri workshop mengenai pengaruh
desentralisasi terhadap lembaga-lembaga di pelayanan kesehatan di
Indonesia pada bulan Juli 2002 - Agustus 2002 menunjukkan bahwa
terjadi berbagai penafsiran terhadap fungsi Dinas Kesehatan
Kabupaten (Dinkeskab). Penafsiran ini tidak lepas dari pengaruh
situasi lingkungan pemerintah dan masyarakat ke dinas yang
bersangkutan. Sebagai gambaran Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
cenderung memilih peran sebagai regulator dalam kegiatan kuratif,
sementara di Kabupaten X cenderung ingin bertindak sebagai
pelaksana dalam kegiatan kuratif.
Secara keseluruhan, sebenarnya dapat ditafsirkan bahwa pemerintah diharapkan lebih berfungsi pada peran regulasi dan pemberi
biaya, khususnya di subsektor swasta yang sudah banyak melakukan
kegiatan. Di sektor kesehatan dalam hal ini berarti banyak pada
tindakan kuratif. Swasta cenderung tidak melakukan kegiatan
promotif dan preventif tanpa dukungan pendanaan pemerintah kecuali
apabila tindakan preventif dan promotif tersebut menuju ke arah yang
lebih bersifat private-goods.
Di dalam sektor kesehatan terdapat berbagai lembaga
pemerintah yang beroperasi. Peran sebagai pelaksana dilakukan
misalnya oleh rumah sakit milik pemerintah pusat atau daerah. Peran
sebagai pemberi sumber pendanaan dapat dilakukan oleh pemerintah
pusat dan daerah. Peran sebagai regulator pelayanan kesehatan dapat
dilakukan oleh Departemen Kesehatan bagi pemerintah pusat untuk
sistem kesehatan di Indonesia ataupun Dinas Kesehatan Propinsi dan
40
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
Kabupaten/Kota bagi daerah-daerah. Peran sebagai pelaksana
membutuhkan sistem manajemen yang baik. Salah satu konsep yang
perlu dikembangkan dalam perbaikan sistem manajemen adalah
konsep manajerialisme dan otonomi rumah sakit yang akan dibahas
pada Bab IV.
Perubahan peran pemerintah pada sektor rumah sakit dapat
dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 8 yang dikeluarkan pada awal
tahun 2003. Peraturan Pemerintah (PP) No. 8/2003 mengatur posisi
rumah sakit daerah, tetapi juga memperkuat fungsi Dinas Kesehatan
Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Dapat ditafsirkan bahwa sebagai
pengganti PP No. 84/2000, PP No. 8/2003 mempertegas peran dinas.
Dalam perubahan struktur sistem kesehatan, Dinas Kesehatan
diharapkan berperan sebagai perumus kebijakan dan regulator
termasuk pemberi perijinan untuk rumah sakit. Di samping itu,
sebagai perumus kebijakan teknis diharapkan Dinkes dapat mengelola
sistem pembiayaan kesehatan. Untuk provinsi dalam hal ini, Dinkes
akan mengelola dana dekonsentrasi. Di samping fungsi regulasi dan
penentu kebijakan, dinas diharapkan memberikan pelayanan umum.
Dalam sektor kesehatan kegiatan yang unsur public goodnya besar,
misal kegiatan preventif dan promotif, maka peran Dinkes diharapkan
meningkat.
Terlihat bahwa PP No. 8/2003 melakukan pemisahan rumah
sakit daerah dari Dinkes secara manajerial. Keadaan ini dikhawatirkan
mengakibatkan fragmentasi sistem kesehatan. Dalam menyikapi
pemisahan ini perlu suatu kajian mengenai konsekuensi berupa
reposisi hubungan antara RSD dan Dinkes. Peraturan Pemerintah No.
8/2003 mengisyaratkan pemisahan aspek manajemen rumah sakit
daerah dari Dinkes. Di sisi lain, PP No. 8/2003 menekankan mengenai
fungsi perijinan yang dipegang oleh dinas. Sebagai konsekuensi dari
perubahan struktur ini, rumah sakit daerah perlu dipantau aspek mutu
pelayanan kesehatan dan fungsinya dalam sistem rujukan oleh Dinkes.
Pemantauan ini perlu dikaitkan dengan perijinan rumah sakit. Oleh
karena itu, timbul wacana baru: rumah sakit daerah sebagai lembaga
pelayanan kesehatan harus diperlakukan sama dengan rumah sakit
swasta dalam hal perizinan. Analog dengan Surat Izin Mengemudi
Bagian I
41
(SIM) yang harus diberlakukan kepada semua orang (termasuk
pegawai negeri) yang ingin mengemudikan mobil di jalan umum,
maka perizinan rumah sakit harus diberlakukan juga kepada rumah
sakit pemerintah.
3.2 Masyarakat
Masyarakat merupakan pihak yang harus merubah pandangan
ekonomi terhadap kesehatan mereka sendiri. Di pandang berdasarkan
perspektif sejarah, masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan sistem
pelayanan yang bersifat sosial-misionarisme. Dengan latar belakang
sejarah ada kemungkinan masyarakat belum siap melihat pelayanan
kesehatan sebagai suatu industri yang berbasis pada unit-cost. Dalam
hal ini masyarakat menganggap bahwa pelayanan kesehatan
merupakan hak yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Masyarakat
tidak siap membayar untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini
terbukti dari data Susenas di berbagai daerah yang menunjukkan
bahwa pengeluaran rumah tangga untuk tembakau lebih besar
dibandingkan dengan pengeluaran untuk kesehatan.
Dalam konteks masyarakat yang seperti ini haruslah dicari
upaya agar timbul kebutuhan pada sistem asuransi kesehatan dengan
cara pooling risiko. Dapat dipahami JPKM yang saat ini bertumpu
pada pelayanan kesehatan primer sederhana tidak mampu menarik
para peserta. Dalam hal ini tidak ada demand untuk membeli premi
asuransi yang rendah biayanya karena masyarakat masih beranggapan
bahwa tarif pelayanan masih rendah (Sudibya, 1997). Di samping itu,
ada kemungkinan masyarakat masih mempunyai gotong royong
(asuransi sosial) sendiri jika anggota keluarganya sakit atau anggota
kampung, atau teman sekantor yang menderita sakit. Berbagai
penelitian menunjukkan angka drop out yang tinggi dan kegagalan
JPKM di berbagai tempat (Kusumo, 1998; Sudjarwo dkk, 1998;
Sukeksi, 1998).
Masyarakat di Indonesia harus disadarkan bahwa pelayanan
kesehatan bukan sebuah public-goods sejati. Situasi ekonomi negara
42
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
membuat masyarakat harus membayar guna memperoleh pelayanan
kesehatan. Pendanaan pemerintah tidak mampu menanggung seluruh
sistem pelayanan kesehatan. Masyarakat yang mampu diminta
membayar melalui sistem JPKM atau langsung (tergantung kondisi).
Dalam hal ini perlu upaya yang sistematik sehingga masyarakat siap
menerima kenyataan bahwa pelayanan kesehatan membutuhkan biaya
yang cukup tinggi, sehingga tertarik untuk membayar dengan cara
pre-payment seperti premi asuransi kesehatan dan JPKM. Peluang
untuk mendapatkan dana kesehatan dari masyarakat masih tinggi
karena pengeluaran belanja rumah tangga untuk merokok masih
tinggi.
3.3 Asuransi Kesehatan
Di dunia internasional, terjadi berbagai perubahan yang
mencakup berbagai hal antara lain: adanya kompetisi pada berbagai
perusahaan asuransi dan pilihan untuk asuransi; tuntutan akan
peningkatan kepuasan pembeli asuransi; pendekatan pada hubungan
kontraktual antarberbagai tingkatan pemerintah dan antarpembeli dan
penyedia. Secara nyata negara-negara maju, sistem asuransi kesehatan
berjalan dengan pendekatan ekonomi yaitu demand dan supply,
sedangkan bagi mereka yang miskin maka negara akan memberikan
bantuan.
Akan tetapi, di Indonesia saat ini pengembangan sistem
asuransi kesehatan dijalankan tanpa menggunakan kaidah lembaga
usaha yang berbasis ekonomi. Sistem penghitungan iuran dan
pembayaran rumah sakit yang dilakukan oleh PT Askes Indonesia
sebagai pengelola asuransi kesehatan terbesar di Indonesia belum
sepenuhnya menggunakan pendekatan ekonomi. Sistem PT Askes
Indonesia yang wajib untuk pegawai negeri dengan Surat Keputusan
Bersama (SKB) antarmenteri terkait belum mampu menggairahkan
para dokter dan pengelola rumah sakit pada pihak pemberi pelayanan
kesehatan dan masyarakat untuk membelinya. Surat Keputusan
Bersama (SKB) antarmenteri bukanlah sebuah instrumen ekonomi,
Bagian I
43
tetapi lebih merupakan instrumen sosial yang belum mencerminkan
logika usaha berbasis prinsip ekonomi.
Program JPKM pemerintah masih jauh dari keadaan yang baik.
Kritikan tajam untuk JPKM adalah bahwa program ini terkesan
menjual produk preventif dan promotif yang notabene adalah program
public-goods yang harus dibiayai oleh pemerintah. Seharusnya JPKM
tegas menjual produk kuratif dengan aspek promotif dan preventif
yang mengikuti di dalamnya.
Dengan demikian, PT Askes Indonesia dan JPKM masih belum
berfungsi sebagai alternatif sumber dana pelayanan kesehatan yang
secara ekonomis menarik, kecuali beberapa produk sukarela PT Askes
Indonesia. Di masa depan, sistem JPKM dan lembaga asuransi
kesehatan harus ditata sehingga menarik bagi masyarakat dan sistem
pelayanan kesehatannya. Dalam hal ini berkaitan dengan pertanyaan:
siapkah dokter spesialis dibayar melalui model kapitasi? Sejarah
menunjukkan bahwa dokter sama sekali tidak dididik mengenai
kapitasi sehingga mereka cenderung tidak memahaminya. Dokter dan
dokter spesialis dididik dalam suasana cash and carry.
Ketika merencana ke depan untuk perbaikan asuransi kesehatan,
sejarah masa lalu perlu diperhatikan. PT Askes Indonesia mempunyai
sejarah panjang dengan kritikan dari dokter, rumah sakit, dan
masyarakat. Uji coba JPKM di berbagai daerah tidak disertai dengan
penelitian evaluatif yang independen sehingga hasilnya membingungkan dan ada kesan bahwa kegagalan-kegagalan yang terjadi
cenderung ditutup-tutupi. Dalam penataan mendatang harus diperhatikan berbagai hal, yaitu: (1) Aspek Manajemen Mikro Asuransi
Kesehatan JPKM; (2) Hubungan antara masyarakat dengan lembaga
JPKM dan Askes; dan (3) Hubungan antara lembaga asuransi
kesehatan-JPKM dengan penyedia pelayanan.
Di masa mendatang diharapkan JPKM dan perusahaan asuransi
kesehatan merupakan unit usaha yang berdasarkan prinsip-prinsip
risiko dan memenuhi kriteria industri. Dalam hal ini diperlukan
keterampilan manajemen mikro untuk mengolah asuransi kesehatan
dan Badan Pelaksana (Bapel) JPKM. Keterampilan manajerial dan
kemantapan sistem manajemen ternyata masih memiliki kekurangan.
44
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
Kasus di HKBP Tapanuli Utara menunjukkan bahwa keterampilan
mengenai managed care masih sangat kurang (Sitorus, 1998). Hal ini
dapat dipahami karena sumber daya manusia Indonesia yang paham
dan terampil mengenai konsep managed care dan asuransi kesehatan
masih belum banyak.
Hubungan antara masyarakat dan lembaga asuransi sebenarnya
berdasarkan pada teori ekonomi mengenai masyarakat yang rasional.
Apabila masyarakat tidak puas, maka akan cenderung untuk mengeluh
ataupun keluar dari sistem asuransi kesehatan. Hal ini terkait dengan
kepercayaan masyarakat pada sistem asuransi kesehatan dengan cara
pooling risiko. Masalah drop-out dalam sistem keanggotaan sukarela
menjadi isu penting mengingat belum adanya undang-undang yang
mewajibkan masyarakat menjadi anggota JPKM dan asuransi
kesehatan.
Hubungan antara lembaga asuransi kesehatan dan JPKM
dengan penyedia pelayanan merupakan hubungan industrial yang
diharapkan terkandung prinsip win-win. Tanpa prinsip win-win akan
terjadi hal-hal yang cenderung menghambat perkembangan sistem
asuransi kesehatan (Farida dan Kushadiwijaya, 1998). Dalam hal ini
hubungan antara PT Askes Indonesia dan rumah sakit sebenarnya
bukan merupakan hubungan industrial karena ditetapkan berdasarkan
SKB tiga menteri mengenai Askes bagi pegawai negeri. Akibatnya,
terjadi berbagai silang pendapat mengenai masalah keuangan antara
rumah sakit dan PT Askes Indonesia. Walaupun demikian, ada hal
menggembirakan di tahun 2002 terjadi berbagai kegiatan yang
dilakukan oleh PT Askes Indonesia untuk mengurangi ketegangan
dengan pengelola rumah sakit yang bersumber pada masalah
pembayaran pasien Askes. Salah satu hal menarik adalah pemerintah
Indonesia ikut serta memberikan iuran kepada PT Askes Indonesia
selaku pemberi pekerjaan para pegawai negeri. Diharapkan kegiatankegiatan yang dilakukan oleh PT Askes Indonesia dalam memperbaiki
hubungan antara lembaganya dengan berbagai pihak dapat menjadi
momentum baik bagi perkembangan asuransi kesehatan di Indonesia.
45
Bagian I
3.4 Pemberi Pelayanan Kesehatan
Di berbagai negara terjadi gejala yang hampir sama yaitu
adanya kebijakan desentralisasi termasuk otonomi lembaga pelayanan
kesehatan; kompetisi di antara providers; peningkatan pelayanan
kesehatan primer; dan peningkatan mutu pelayanan melalui program
evidence based medicine, serta peningkatan efisiensi (Meisenher,
1997; Joss dan Kogan, 1995). Prinsip-prinsip ekonomi semakin diacu
oleh lembaga-lembaga pemberi pelayanan kesehatan, termasuk di
negara-negara yang menganut paham welfare state (Bennet, 1991;
Otter, 1991). Pelayanan kesehatan semakin mengarah ke pasar yang
ditandai oleh semakin banyaknya pelayanan kesehatan yang menjadi
private-goods.
Kutub
Lembaga Birokrasi
PNBP
Dinas
Kesehatan
RS non
swadana
Kutub
Lembaga Usaha
Swadana
RS Swadana
UU No. 9/1969 (akan diganti di tahun 2003)
Perjan
Perjan
RSUP
Perum
(Persero)
PT Askes
Indonesia
Gambar 3.2 Spektrum jenis organisasi pada lembaga milik pemerintah sektor
kesehatan
Di Indonesia saat ini lembaga pemberi pelayanan kesehatan
sedang mencari bentuk, apakah mengarah ke lembaga usaha ataukah
bentuk lainnya. Rumah sakit pemerintah sedang bergerak dari
lembaga birokrasi ke lembaga usaha. Demikian pula rumah sakit
swasta sedang bergerak dari lembaga misionaris dan kemanusiaan
menuju ke lembaga yang didasari oleh konsep usaha. Perkembangan
ke arah lembaga usaha ini seperti tidak dapat ditolak karena sudah
46
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
merupakan fenomena global. Apabila sektor rumah sakit di Indonesia
tidak mengikuti, kemungkinan rumah sakit akan kesulitan dalam
mengikuti persaingan dunia.
Sesuai Gambar 3.2, maka ada dua kutub yang saling menjauhi,
yaitu kutub birokrasi dan kutub lembaga usaha. Rumah sakit di
Indonesia saat ini sedang bergeser dari kutub lembaga birokrasi
mengarah ke kutub lembaga usaha (Trisnantoro, 1999a dan 1999b).
Pada rumah sakit milik pemerintah pusat hal ini ditandai dengan
berubahnya status menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Pergeseran
dari kutub birokrasi ke kutub lembaga usaha ini ternyata tidak mudah.
Rumah sakit pemerintah dan juga swasta mengalami apa yang disebut
sebagai keterperangkapan dalam masa lalu. Lebih jelas lagi, sistem
manajemen rumah sakit terperangkap oleh sifat birokratis di masa lalu
dan dapat bersifat patologis.
Struktur birokrasi yang dirancang untuk membuat birokrasi
publik itu bisa memberi pelayanan kepada masyarakat secara efisien,
adil, dan merata, ternyata juga memiliki potensi untuk melahirkan
berbagai bentuk patologi birokrasi, yang membuat birokrasi menjadi
disfungsional. Keadaan ini disebut dengan patologi dari birokrasi.
Pada sektor rumah sakit, berbasis pada pandangan Dwiyanto (1998)
beberapa fenomena patologi dari birokrasi adalah sebagai berikut:
1. Sikap dan perilaku rumah sakit yang belum menghargai konsumer.
Salah satu sebab adalah langkanya tenaga dokter dan lemahnya
posisi pasien sehingga terjadi paternalistik dalam pelayanan dokter.
Sikap arogan dari dokter ini berlawanan dengan berbagai hasil
penelitian yang menginginkan pelayanan dokter yang manusiawi
(Dranove dkk, 1998; Like dan Zyzanski, 1988). Data mengenai
jumlah dokter spesialis menunjukkan hal yang memprihatinkan.
Indonesia kekurangan dokter spesialis yang pada akhirnya membuat laju perkembangan ekonomi sektor kesehatan menjadi rendah.
2. Koordinasi buruk antarberbagai instansi yang mengurusi rumah
sakit. Sebagai contoh adalah koordinasi dalam penempatan dokter
spesialis yang dapat berlawanan dengan logika. Contoh kasus,
sebuah rumah sakit di era sebelum desentralisasi yang sudah
mempunyai banyak dokter spesialis dipaksa oleh Kantor Wilayah
Bagian I
47
Departemen Kesehatan (Kanwil Depkes) menerima tambahan
tenaga dokter spesialis, walaupun tidak dibutuhkan (Permana,
1999, komunikasi pribadi).
3. Prosedur pengadaan alat, peralatan serta bahan habis pakai yang
berbelit-belit. Berbagai bukti empirik seperti adanya Keputusan
Presiden (Kepres) yang mengurangi efisiensi dalam pengadaan
barang, pembelian alat kesehatan oleh pemerintah pusat yang tidak
diperlukan oleh rumah sakit, pengadaan obat secara sentralisasi
yang kaku merupakan contoh-contoh patologi birokrasi yang
sangat mudah ditemui di sektor rumah sakit pemerintah.
4. Penggunaan prosedur (ICW) yang merupakan peninggalan Belanda
sudah tidak cocok lagi dengan situasi saat ini. Prosedur ICW ini
sampai tahun 2003 di saat Musyawarah Kerja Asosiasi Rumah
Sakit Daerah (ARSADA) di Balikpapan masih diperdebatkan
karena pengelola rumah sakit meminta otonomi pengelolaan
keuangan, sementara otoritas keuangan menyatakan sebaliknya.
5. Birokratisasi akreditasi rumah sakit. Proses akreditasi yang
tercampur dengan pengaruh birokrat akan menimbulkan ketakutan
sehingga justru menghilangkan esensi dari proses akreditasi yaitu
pengembangan mutu pelayanan. Yang terjadi adalah ketakutan
untuk tidak lulus akreditasi sehingga dengan berbagai cara,
pengelola rumah sakit mencoba untuk lulus. Dalam keadaan seperti
ini dapat terjadi sebuah rumah sakit sangat sibuk mengejar lulus
akreditasi tetapi melupakan prasyarat dasar untuk menjadi sebuah
lembaga usaha yang baik dalam pelayanan kesehatan.
Berkembangnya berbagai bentuk patologi birokrasi itu merugikan masyarakat pengguna rumah sakit. Gejala ini banyak ditemui
pada rumah sakit-rumah sakit pemerintah (Sufandi, 2000; Manurung
dan Trisnantoro, 2000). Dampak lebih lanjut adalah kekacauan pandangan internal rumah sakit. Dapat terjadi fragmentasi kelompok.
Direksi rumah sakit pemerintah dapat dengan mudah menjadi kelompok birokrat yang berbeda visi dan budaya kerja dengan para spesialis.
3.5 Tenaga di Rumah Sakit
48
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
Salah satu faktor utama yang dikaitkan dengan lambatnya
perkembangan sektor kesehatan adalah langkanya tenaga ahli dan
profesional di rumah sakit. Dalam hal ini ada dua golongan besar yaitu
para profesional bidang manajemen dan profesional bidang mediskeperawatan. Penelitian oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
UGM, Yogyakarta menunjukkan bahwa keterampilan manajerial para
direksi dan manajer-manajer instalasi, serta kepala-kepala Staf Medis
Fungsional (SMF) masih sangat terbatas. Hal ini wajar terjadi karena
rekruitmen mereka untuk menjabat posisi saat ini tidak berdasarkan
pada kemampuan teknis manajerial. Di sektor rumah sakit pemerintah,
adanya eselonisasi mengakibatkan munculnya para direktur rumah
sakit yang birokrat, sementara di swasta terjadi fenomena direktur
”boneka” yang diangkat hanya sebagai formalitas belaka. Dengan
demikian, saat ini relatif belum banyak jumlah profesional bidang
manajemen yang terlatih dan menguasai keterampilan manajerial.
Akibat langkanya tenaga terampil manajemen, menyebabkan keadaan
penciptaan dan perluasan program kesehatan menjadi terhambat.
Di bidang medis-keperawatan terlihat jelas bahwa jumlah
dokter spesialis dan perawat ahli sangat rendah (Depkes, 2000;
Depkes, 1999). Berbagai gambaran menunjukkan bahwa dokter
spesialis sangat sedikit. Akibatnya, perangkapan pekerjaan pada
beberapa rumah sakit. Dalam keadaan ini dapat muncul sesuatu yang
menyerupai kartel dokter spesialis, yang memegang kekuasaan untuk
mengatur jumlah dokter spesialis yang masuk di pendidikan hingga ke
penyebaran alumninya.
Adanya perangkapan pekerjaan yang sangat besar ini mengakibatkan kesulitan sistem manajemen mengelola dokter spesialisnya
karena memang tidak ada sistem kontrak yang wajar. Terjadilah
semacam keruwetan dalam penyebaran kerja. Apalagi sebagian dokter
spesialis beranggapan bahwa profesi ini tidak boleh diatur orang luar
karena memang jumlah dokter spesialis sangat sedikit sehingga power
mereka untuk menawar menjadi sangat tinggi. Sebagai contoh, saat ini
merupakan kelaziman apabila dokter spesialis bedah ortopedi sampai
menjual sendiri pen untuk menyambung patah tulang tanpa melalui
sistem keuangan rumah sakit. Perilaku ini bertentangan dengan sistem
Bagian I
49
manajemen lembaga usaha modern dan tentunya dapat melanggar UU
Perlindungan Konsumen. Perilaku ini muncul karena rendahnya
kepercayaan pada sistem manajemen rumah sakit atau karena motivasi
keuntungan atau karena sistem manajemen rumah sakit yang tidak
efisien.
Akibat langkanya para dokter spesialis tertentu maka mereka
yang ingin sembuh dari penyakit mempunyai dua alternatif: (1) pergi
mencari dokter spesialis ke luar negeri; atau (2) pindah ke pengobatan
alternatif. Hal ini dapat memberikan penjelasan tentang pejabat dan
orang kaya di Indonesia yang pergi berobat ke luar negeri atau menjelaskan mengapa pengobatan alternatif semakin marak di Indonesia.
Langkanya dokter spesialis di Indonesia tidak dapat dipisahkan
dari perkembangan tempat pendidikan para dokter spesialis. Adanya
kekurangan dokter spesialis dapat dilihat pada proses sejarah. Fakultas
Kedokteran menempatkan proses pendidikan bukan sebagai hal yang
penting. Sejarah perkembangan besarnya anggaran Fakultas Kedokteran dan akademik kesehatan sangat menyedihkan. Tidak ada
anggaran khusus untuk pendidikan. Dokter spesialis yang berstatus
sebagai dosen terlihat lebih memperhatikan aspek pelayanan medis di
rumah sakit swasta yang memberikan insentif tinggi.
Sistem pelayanan kesehatan swasta perlu diperbaiki dengan
berbagai macam tindakan, termasuk melengkapi SDM, khususnya
dokter spesialis. Apabila memang tidak mempunyai dokter spesialis,
maka pihak rumah sakit swasta diminta untuk mendidik para dokter
spesialis di pusat pendidikan. Apabila pusat pendidikan tidak mau
menerima, maka perlu dilakukan upaya mencari tenaga dokter
spesialis dari negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).
3.6 Donor-Donor yang Meminjamkan Dana
Departemen Kesehatan merupakan departemen yang output-nya
sulit diukur. Berbeda dengan proyek-proyek fisik yang indikator
keberhasilan dapat dilihat secara objektif. Di dalam proyek-proyek
Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) sektor kesehatan,
50
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
ternyata output-nya tidak jelas indikatornya. Beberapa proyek fisik
seperti pembangunan rumah sakit ternyata mengalami kegagalan di
berbagai tempat, seperti di Kalimantan dan Sumatera. Saat ini belum
pernah dievaluasi secara independen dampak proyek Bank Dunia atau
ADB atau Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) terhadap
sistem manajemen status kesehatan masyarakat. Untuk itu, diharapkan
muncul keadaan agar proyek-proyek Bank Dunia dan ADB dievaluasi
oleh Badan Evaluator Independen. Dalam hal ini perlu dilakukan
suatu penelitian untuk mengetahui akuntabilitas proyek-proyek
bantuan dan pinjaman luar negeri.
51
Bagian I
BAB IV
KEBIJAKAN OTONOMI DALAM
MANAJEMEN RUMAH SAKIT
4.1 Globalisasi dan Otonomi Rumah Sakit
Di Indonesia problem keuangan menyebabkan kemampuan
pemerintah pusat untuk membiayai pembangunan menjadi berkurang.
Secara praktis, pemerintah menjauhi negara kesejahteraan (welfarestate), yang seharusnya negara membiayai seluruh pelayanan
publiknya dari hasil pajak dan usaha negara. Rumah sakit semakin
dilepas ke arah sistem pelayanan yang berbasis pada prinsip privategoods. Akibatnya, di samping mengacu pada pelayanan sosial
kemanusiaan secara faktual, pelayanan rumah sakit telah berkembang
menjadi suatu industri yang berbasis pada prinsip-prinsip ekonomi
dengan salah satu ciri menonjol yaitu sifat kompetitif (Otter, 1991).
Pemahaman bahwa rumah sakit sudah merupakan suatu industri ini
menjadi dasar pengembangan mutu pelayanan rumah sakit. Tanpa
pemahaman ini sulit bagi rumah sakit Indonesia untuk bersaing
dengan pelayanan luar negeri. Fakta telah menunjukkan bahwa telah
banyak orang Indonesia yang mencari pengobatan ke luar negeri.
Fenomena ini dapat disebut sebagai globalisasi tahap pertama.
Sementara itu, globalisasi tahap kedua adalah beroperasinya rumah
sakit asing di Indonesia atau penanaman modal asing dalam sektor
pelayanan kesehatan.
Saat ini pelayanan rumah sakit di Indonesia menghadapi suatu
masa yang menjadi tanda tanya. Benarkah kompetisi global akan
menyebabkan pelayanan kesehatan di Indonesia terdesak oleh investasi asing atau pelayanan kesehatan pemerintah akan terdesak oleh
pelayanan kesehatan swasta, termasuk pelayanan kesehatan preventif
52
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
dan promotif (Brotowasito, 1993; Mulyadi, 1995). Apabila kita
mengacu pada sektor lain, telah terdapat bukti sejarah bahwa produksi
Indonesia terdesak oleh kompetisi global; misalnya minuman ringan,
makanan cepat saji (fast-food), hingga manajemen perhotelan.
Sementara itu, di lingkungan lokal terjadi pula keadaan yang
menarik. Para staf organisasi pelayanan kesehatan melakukan berbagai tindakan untuk mencari pendapatan yang lebih tinggi. Organisasi
pelayanan kesehatan yang dulu bersifat misionaris telah menjadi suatu
lembaga, yang para profesionalnya, seperti dokter spesialis, dokter
umum, perawat, dan tenaga-tenaga lain mencari nafkah untuk hidup.
Ketidakmampuan lembaga rumah sakit dalam memberikan insentif
ekonomi yang memadai menyebabkan para profesional mencari di
tempat lain. Kasus dokter spesialis rumah sakit pemerintah yang
mendapatkan penghasilan terbesarnya dari rumah sakit swasta
merupakan contoh klasik kegagalan lembaga rumah sakit pemerintah
dalam memberikan kompensasi yang cukup.
Salah satu konsep penting dalam sektor rumah sakit yang
digunakan secara global untuk meningkatkan mutu pelayanan adalah
otonomi rumah sakit. Di berbagai negara konsep otonomi rumah sakit
merupakan bagian reformasi pelayanan publik yang bertujuan
memperhatikan tuntutan masyarakat agar terjadi peningkatan mutu
pelayanan publik dan berkurangnya korupsi, pengembangan sumber
daya manajemen, hingga peningkatan akuntabilitas dan transparasi
dalam perencanaan dan penentuan proses anggaran. Hasil lain yang
diharapkan dari otonomi rumah sakit adalah meningkatnya kepercayaan masyarakat pada lembaga pemerintah yang memberikan
pelayanan rumah sakit.
4.2 Dua Dimensi Otonomi Rumah Sakit
Chawla dkk (1996) menyatakan bahwa definisi otonomi rumah
sakit berada pada dua dimensi, yaitu: (1) seberapa jauh sentralisasi
pengambilan keputusan; dan (2) jangkauan keputusan untuk menentukan kebijakan dan pelaksanaan program oleh rumah sakit. Dengan
Bagian I
53
demikian, konsep otonomi rumah sakit dapat dipergunakan pada
rumah sakit-rumah sakit pemerintah ataupun swasta. Pada konteks
rumah sakit swasta, otonomi rumah sakit diartikan sebagai seberapa
jauh direksi rumah sakit dapat melakukan keputusan manajemen,
misalnya menentukan anggaran. Di rumah sakit pemerintah derajat
otonomi dapat diukur, misalnya dari indikator mengenai proses
rekruitmen dokter. Jika rumah sakit pemerintah tidak mempunyai
wewenang untuk menerima dokter, rumah sakit tersebut tidak otonom
dalam manajemen SDM. Perlu dipahami bahwa semakin besar level
tingkatan otonomi sebuah rumah sakit pemerintah tidak berarti
mengarah pada privatisasi, selama tidak ada pemindahan pemilikan ke
pihak masyarakat.
Lebih lanjut Chawla dkk (1996) memberikan sebuah model
konseptual dalam bentuk matriks seperti pada Tabel 4.1 . Dalam
model ini digambarkan bahwa ada sebuah kontinum (pada sumbu
mendatar) yang terdapat sentralisasi penuh dengan otonomi rendah
menuju desentralisasi penuh dengan otonomi tinggi. Pada kolom
(sumbu tegak), terdapat pembedaan otonomi pada tingkat makro yaitu
pada sistem kesehatan nasional dan pada tingkat mikro di rumah sakit.
Terdapat lima domain dalam otonomi rumah sakit yaitu: (1)
manajemen strategis yang memiliki fungsi penetapan visi dan misi,
penetapan tujuan umum secara luas, pengelolaan aset rumah sakit, dan
pertanggungjawaban kebijakan rumah sakit; (2) administrasi untuk
mengelola manajemen sehari-hari, misalnya pengaturan jadual,
alokasi ruangan, sistem informasi manajemen; (3) aspek pembelian
yang mencakup obat, peralatan rumah sakit, dan barang habis pakai;
(4) manajemen keuangan yang mencakup penggalian sumber daya
keuangan, perencanaan anggaran, akuntansi, dan alokasi sumbersumber daya; (5) aspek manajemen SDM yang meliputi kewenangan
untuk mengangkat dan memberhentikan sumber daya manusia,
menciptakan pos-pos jabatan baru, menentukan peraturan kepegawaian, kontrak, dan gaji.
54
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
Tabel 4.1 Kerangka konsepsual untuk otonomi rumah sakit
Fungsi Manajemen dan
Kebijakan
Tingkat Otonomi
Sentralisasi Penuh
dengan Otonomi
Rendah
Manajemen
Stratejik
Semua keputusan
diambil oleh pemilik
Kontrol langsung
oleh pemilik misal
Pemerintah,
Kementrian BUMN,
atau lembaga swasta
Otonomi Sebagian
a
b
c
Keputusan diambil
secara bersama oleh
pemilik dan manajemen
RS
Diatur oleh Dewan
Pengelola yang ditunjuk
oleh pemilik, dan
diarahkan oleh pemilik,
tetapi bukan menjadi
bawahan pemilik
Kekuasaan terbatas yang
didesentralisasikan ke
manajemen RS; pemilik
masih memiliki
pengaruh atas keputusan
manajemen
Administrasi
Manajemen langsung
oleh pemilik, yang
juga menetapkan
peraturan untuk
manajemen RS
Pembelian
Pembelian dilakukan
secara terpusat,
dimana pemilik
menentukan jumlah
dan total pengeluaran
Didanai penuh oleh
pemilik; pemilik
memiliki kontrol atas
keuangan
Kombinasi antara
pembelian yang
disentralisasi dan
didesentralisasikan
Staf ditunjuk oleh
pemilik; sepenuhnya
berada dibawah
kontrol peraturan
pemilik
Staf dipekerjakan oleh
Dewan Pengelola, dan
bekerja dibawah peraturan Dewan Pengelola,
tetapi juga harus mentaati peraturan pemilik
Manajemen
Keuangan
Manajemen
Sumber Daya
Pemilik mensubsidi plus
mendanai melalui
sumber-sumber lain.
Ada pengaruh dari
pemilik tetapi secara
umum berada di bawah
kontrol Dewan
Pengelola
Desentralisasi Penuh
dengan Otonomi Tinggi
Keputusan diambil
seluruhnya oleh
manajemen RS
Dewan Pengelola yang
dibentuk secara
independen, membuat
keputusan secara
independen
Manajemen independen
yang beroperasi dibawah
arahan Dewan Pengelola,
dengan memiliki
kewenangan pengambilan
keputusan independen
secara bermakna
Pembelian secara
keseluruhan dikontrol oleh
manajemen RS
Otonomi penuh secara
keuangan. Tidak ada
subsidi dari pemilik;
Pengelolaan dana secara
keseluruhan berada di
bawah kontrol Dewan;
manajer memiliki kapasitas
pengambilan keputusan
independen yang signifikan
Staf dipekerjakan oleh Dewan Pengelola; semua kondisi dan peraturan ditetapkan oleh Dewan; manajer
memiliki kapasitas
pengambilan keputusan
yang signifikan
55
Bagian I
Dengan menggunakan pemahaman ini dapat disimpulkan
bahwa kebijakan swadana rumah sakit di Indonesia merupakan bentuk
otonomi sebagian. Kebijakan swadana memberikan otonomi terbatas
pada aspek keuangan dan tidak penuh. Sementara itu, terdapat istilah
otonomi penuh yang disebut sebagai korporatisasi sampai ke arah
privatisasi rumah sakit pemerintah.
4.3 Korporatisasi Rumah Sakit
Di Filipina, bahasa yang dipergunakan untuk kebijakan otonomi
rumah sakit adalah hospital corporatization. Dalam istilah ini terdapat
pemahaman suatu proses yang mengarah menjadi lembaga usaha
(corporate) yang mempunyai otonomi luas. Salah satu pokok
reformasi di Filipina seperti yang dinyatakan oleh Dr. Mario C.
Villaverde, seorang pejabat Depkes di Filipina, mengenai otonomi di
bidang keuangan rumah sakit, sebagai berikut.
“Reformasi dalam bidang perumah sakitan di Filipina
diharapkan mampu untuk mengijinkan rumah sakit pemerintah
menerima dan mengelola sendiri pendapatan fungsional yang
didapat dari masyarakat”.
Pengalaman di Filipina menunjukkan bahwa rumah sakit-rumah
sakit khusus mempunyai bentuk corporate seperti Philippine Children
Medical Center. Di Indonesia pengembangan ke arah konsep otonomi
rumah sakit sudah dilakukan dengan kebijakan swadana. Kebijakan
ini sebenarnya hanya merupakan sebagian kecil dari berbagai aspek
otonomi rumah sakit. Kebijakan swadana terbatas pada penggunaan
pendapatan fungsional rumah sakit. Sementara itu untuk aspek-aspek
lain, termasuk pembelian alat rumah sakit, rekrutmen dokter spesialis
misalnya, masih dilakukan oleh pemerintah pusat. Di Thailand kebijakan penggunaan pendapatan fungsional rumah sakit pemerintah
secara otonom telah berjalan lama dan luas. Oleh karena itu, inovasi
aplikasi otonomi rumah sakit di Thailand tidak hanya dalam hal
manajemen keuangan saja, tetapi mencakup pula manajemen SDM
56
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
dan berbagai aspek lain. Inovasi ini dilakukan di RS Ban Phaew
Bangkok.
Pada intinya, proses korporatisasi rumah sakit sudah berjalan di
Indonesia. Proses ini berjalan walaupun masih mengalami kerancuan
mengenai makna yang ada. Sebagai contoh, di sebuah RSD di Jawa
Timur, ditemukan pengembangan rumah sakit swadana menjadi
rumah sakit dalam bentuk Lembaga Teknis Daerah. Pengembangan
ini ternyata justru kemunduran karena otonomi penggunaan pendapatan fungsional ternyata tidak ada lagi setelah menjadi Lembaga
Teknis Daerah. Rumah sakit berubah kembali sistem manajemen
keuangannya seperti lembaga birokrasi. Di Daerah Khusus Ibukota
(DKI) Jakarta, rumah sakit-rumah sakit daerah berkembang menjadi
Unit Pelaksana Teknis Plus (UPTP) yang memiliki berbagai tambahan
otonomi, termasuk otonomi di bidang sumber daya manusia. Di
kelompok RSUP, perubahan rumah sakit swadana menjadi Perjan
berkembang menjadi lembaga yang diharapkan lebih otonom dan
dikelola sebagai lembaga usaha (corporation). Akan tetapi, pada awal
tahun 2003 kebijakan Perjan berada pada persimpangan jalan karena
ternyata rencana undang-undang mengenai BUMN tidak mengenal
bentuk Perjan. Dalam RUU tersebut hanya ada dua bentuk yaitu
Perum dan PT yang keduanya berdasarkan asas mencari keuntungan.
Dengan asas ini tentunya bentuk Perum dan PT bukanlah pilihan ideal
bagi RSUP. Oleh karena itu, berkembang wacana untuk menjadikan
RSUP sebagai organisasi yang berbentuk hukum Badan Layanan
Umum (BLU). Bentuk hukum BLU ini sebenarnya dapat diartikan
sebagai lembaga usaha tidak mencari untung (non-profit corporation).
Bentuk BLU ini masih terus dikembangkan aplikasinya. Secara garis
besar, pola berpikir bentuk otonomi rumah sakit di Indonesia dan
aspek manajemen yang diberikan otonomi dapat dilihat pada Tabel
4.2.
57
Bagian I
Tabel 4.2 Aspek-aspek manajemen dalam otonomi rumah sakit di Indonesia
Aspek manajemen yang diberikan otonomi
Bentuk Hukum RS Pemerintah
Keuangan
Pembelian
Sumber Daya Alat, Obat, dan
Manusia
bahan habis
pakai
Manajemen
Stratejik
RSUP
PNBP
Unit Swadana
_
+ (terbatas)
+(terbatas)
-
+ (Terbatas)
Perusahaan jawatan
+
+ (terbatas)
+
+
Badan Layanan Umum
(dalam wacana)
?
?
?
?
+ (terbatas)
+(terbatas)
-
Terbatas
Lembaga Teknis Daerah
(bervariasi pemahamannya)
?
?
?
?
Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) (dalam wacana)
+
?
?
?
RSD
Unit Swadana
Sampai sekarang masih sulit untuk mengkaji aspek-aspek
otonomi yang diberikan ke rumah sakit, khususnya rumah sakit
daerah. Penyerahan berbagai aspek otonomi ini tergantung pada
konteks daerah masing-masing. Patut dicermati pada tabel di atas dan
perlu dipahami bahwa semakin banyak aspek manajemen yang diotonomikan, maka rumah sakit tersebut akan semakin menggunakan
kaidah-kaidah perusahaan dalam pengelolaan rumah sakit. Dampak
dari penggunaan kaidah-kaidah perusahaan dapat dilihat pada
Tabel 4.3.
58
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
Tabel 4.3 Cara menilai dampak otonomi
Kriteria untuk Evaluasi
Tingkatan Dampak Otonomi
Dampak
Sebaliknya
Tidak Ada
Perubahan
Beberapa
Perbaikan
Perbaikan
Bermakna
Efisiensi
Kualitas layanan dan
kepuasan public
Akuntabilitas
Pemerataan
Mobilisasi Sumber Daya
Dalam kriteria evaluasi ini terlihat bahwa hal-hal yang terkait
dengan prinsip-prinsip ekonomi seperti efisiensi, akuntabilitas,
pemerataan dan mobilisasi sumber daya merupakan hal penting dalam
reformasi rumah sakit. Dengan demikian, perubahan rumah sakit dari
lembaga sosial menjadi lembaga usaha membutuhkan kemampuan
dan keterampilan menggunakan ilmu ekonomi yang tidak hanya
mencari keuntungan keuangan semata, tetapi juga penggunaan ilmu
ekonomi untuk pemerataan dan etika lembaga usaha rumah sakit.
PENUTUP
Berdasarkan pengamatan dengan perspektif sejarah, secara
defacto manajemen rumah sakit mengalami perubahan ke sistem yang
mengarah pada sistem korporasi. Implikasinya adalah dampak
terhadap citra sosial dan misionarisme yang melekat selama ini.
Timbul beberapa pertanyaan kritis, yaitu: (1) Apakah mungkin sistem
manajemen lembaga usaha dengan nilai-nilai sosial dilakukan oleh
rumah sakit?; (2) Jika rumah sakit telah menerapkan sistem
manajemen lembaga usaha, apakah pihak-pihak lain juga telah
berubah? Sebagai catatan, rumah sakit harus dilihat sebagai bagian
dari sistem pelayanan kesehatan yang terdiri atas: masyarakat,
Bagian I
59
pemerintah, sistem JPKM dan lembaga asuransi kesehatan, serta
pemberi pelayanan kesehatan yang terdiri atas pelayanan primer
sampai tersier, industri farmasi atau peralatan medis, dan sistem
pendidikan tenaga kesehatan.
Apabila rumah sakit berubah akan tetapi pihak-pihak lain tidak
berubah, maka dengan mudah akan terjadi konflik, misalnya konflik
antara PT Askes Indonesia dan rumah sakit pemerintah; konflik antara
rumah sakit dan Dinas Kesehatan Provinsi atau Kabupaten atau Kota;
Konflik di dalam rumah sakit sendiri; antara direksi dan dokter
spesialis; konflik dengan masyarakat mengenai masalah tarif yang
terlalu mahal. Dengan demikian, apabila sistem pelayanan kesehatan
menghendaki penurunan konflik, maka dibutuhkan suatu perubahan
besar dalam sistem pelayanan kesehatan.
Berpijak pada dinamika peristiwa-peristiwa yang tercatat dalam
sejarah, perubahan sektor pelayanan kesehatan layak disebut sebagai
reformasi karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: perubahan lebih
mengarah pada struktural dan bukan merupakan perubahan
evolusioner atau sedikit-sedikit; perubahan tidak hanya kebijakan saja,
tapi melembaga; perubahan merupakan hal yang disengaja, bukan
kebetulan-kebetulan; perubahan harus berkelanjutan dan bersifat
jangka panjang; dan perubahan didukung secara politis dari atas; yang
di mulai dari pemerintah pusat, provinsi, hingga tingkat kabupaten.
Dalam proses perubahan sejarah ini terlihat bahwa ilmu ekonomi
menjadi sangat penting peranannya. Dalam hal ini patut ditekankan
bahwa ilmu ekonomi bukan hanya bertujuan untuk mencari
keuntungan, akan tetapi ilmu ini dapat dipergunakan sebagai dasar
pegangan untuk mencari keadilan dan pemerataan bagi seluruh lapisan
masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan.
Download