Berkala Ilmiah Perikanan Vol. 3 No. 1, April 2008 9

advertisement
Berkala Ilmiah Perikanan Vol. 3 No. 1, April 2008
PENGARUH sGnRHa + DOMPERIDON DENGAN DOSIS PEMBERIAN YANG BERBEDA
TERHADAP OVULASI IKAN MAS (Cyprinus carpio L.) STRAIN PUNTEN
THE EFFECT OF sGnRHa + DOMPERIDON IN DIFFERENT DOSES
TO OVULATION OF PUNTEN STRAIN GOLDFISH (Cyprinus carpio L.)
Reny I’tishom
Departemen Biologi Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Kampus A Jl. Dr. Moestopo – Surabaya
Abstract
This aim of study was to determine the effect of sGnRHa + domperidone (ovaprim®) given in
injection different on germinal vesicle break down (GVBD), success female ovulation, latency time,
degree of fertilization and hatching rate in female common carp (Cyprinus carpio L.). This study was
designed on true experimental with complete random design. The differences among group means of dose
and timing of treatment of the ovaprim® were tested by Anova, followed by the Least Significant
Difference test.
This study involved of 40 common carps (Cyprinus carpio L.) consisting in two series
experiment. The experiment was designed to determine the effective dose of ovaprim® to germinal vesicle
break down (GVBD), success female ovulation, latency time, degree of fertilization and hatching rate in
common carp (Cyprinus carpio L.) and as a control carp with injection of saline (NaCl 0,7 %).
The result of the study showed that given a single injection ovaprim® on germinal vesicle break down
(GVBD), success female ovulation, latency time, degree of fertilization and hatching rate in common carp
(Cyprinus carpio L.) have given significant different to control (p<0,05).
Keywords : Cyprinus carpio, sGnRHa + domperidone (ovaprim®), ovulation.
Pendahuluan
Di dalam menunjang perkembangan
akuakultur, diperlukan adanya penyediaan benih
ikan yang memadai baik secara kuantitas
maupun kualitasnya. Untuk itu diperlukan
adanya usaha pembenihan yang dapat
menyediakan benih ikan dalam jumlah banyak
dan
berkualitas
tinggi,
secara
berkesinambungan.
Usaha yang mengarah pada penyediaan
benih ikan unggul selama ini belum
berkembang di Indonesia, hambatan produksi
akibat kekurangan benih ikan masih terasa
dimana-mana. Langkah awal usaha tersebut
dapat dimulai dengan cara mengembangkan
pemuliaan ikan (breeding program), baik
melalui teknik reproduksi alami maupun teknik
reproduksi buatan. Faktor yang sangat
menentukan di dalam pengembangan usaha
pembenihan ikan adalah kesinambungan
penyediaan induk matang gonad yang sehat dan
berkualitas, karena hanya dari induk unggul
akan didapatkan benih ikan yang mempunyai
kecepatan tumbuh tinggi dan kebal penyakit.
Proses perkembangan gonad dan ovulasi
pada ikan diatur oleh sistem hormon (Harvey
dan Hoar, 1979; Randal, 1995). Hormon
estrogen, terutama estradiol 17 β mempengaruhi
sintesis vitelogenin di hati (Nagahama et al.
1983; Randal, 1995) dan hormon gonadotropin
berfungsi mempercepat proses kematangan
akhir oosit dalam persiapan ovulasi ataupun
spermiasi (Zohar, 1989; Lieberman, 1995).
Agar supaya ikan mau memijah, maka dalam
prosesnya akan lebih baik jika menggunakan
manipulasi hormon yaitu melalui penyuntikan
beberapa macam hormon (Davy dan Chouinard,
1980). Hormon-hormon yang telah dicoba untuk
merangsang pemijahan pada ikan baik betina
maupun jantan yaitu : ekstrak hipofisa sapi,
pregnant mare serum gonadotropin (PMSG)
(Wahyudi,
1995),
human
chorionic
gonadotropin (HCG), carp pituitary gland
(CPG), luteinizing hormone releasing hormone
(LHRH), gonadotropin releasing hormone
(GnRH), calibrated pituitary extract (CPE)
(Drori et al. 1994; Pao et al. 1999; Yaron et al.
1999) dan ovaprim® (sGnRHa + domperidon)
(Nandeesha et al. 1990a; Pao et al. 1999).
Hormon yang sering digunakan untuk
merangsang pemijahan di berbagai negara saat
ini adalah sGnRHa + domperidon (ovaprim®).
Salah satu faktor yang mempengaruhi
rangsangan pemijahan adalah pemberian dosis
yang tepat. Dosis hormon yang kurang tepat
akan memberikan hasil
yang kurang
9
Pengaruh sGnRHa + Domperidon........
memuaskan. Dari latar belakang tersebut perlu
dilakukan penelitian tentang dosis pemberian
sGnRHa + dopamin yang tepat pada induk ikan
mas strain “Punten” agar diperoleh hasil yang
optimal terhadap migrasi inti, induk yang
mengalami ovulasi, waktu latensi, derajat
pembuahan dan derajat penetasan.
Bahan Dan Metode
Rancangan penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL). Sebagai perlakuan dalam
penelitian pertama adalah dosis ovaprim® yang
terdiri 5 perlakuan
perlakuan (A) placebo = larutan NaCl fisiologis
0,7 % (kontrol) (Drori et al. 1994),
perlakuan (B) = ovaprim® 0,3 ml/kg/bb,
perlakuan (C) = ovaprim® 0,4 ml/kg/bb,
perlakuan (D) = ovaprim® 0,5 ml/kg/bb,
perlakuan (E) = ovaprim® 0,6 ml/kg/bb.
Pengambilan data untuk masing-masing
perlakuan sebanyak delapan kali ulangan.
Populasi ikan mas seluruhnya adalah 80
ekor betina dan 30 ekor jantan. Banyaknya ikan
mas yang digunakan sebagai sampel dalam
penelitian pertama adalah 40 ekor betina dan 20
ekor jantan. Baik sampel ikan betina maupun
ikan jantan dibagi secara acak menjadi lima
kelompok, serta tiap kelompok perlakuan terdiri
dari 8 ekor ikan mas betina. Semua ikan mas
dimasukkan ke dalam akuarium pemeliharaan
yang telah disiapkan untuk masing-masing
perlakuan dan diadaptasikan dengan lingkungan
baru selama 2 minggu. Pada saat penelitian,
kelima kelompok ikan ditempatkan pada
akuarium yang sudah diatur sesuai macam
perlakuan.
Variabel utama yang diukur dalam
penelitian ini adalah migrasi inti (GVBD),
sukses induk ovulasi, waktu latensi, derajat
pembuahan dan derajat penetasan. Sebagai
variabel penunjang adalah kualitas air meliputi
suhu, pH dan oksigen terlarut (DO).
Variabel bebas : dosis ovaprim®
Variabel kendali :kualitas air, bahan
penyubur, malachite green
Variabel tergantung : migrasi inti (GVBD),
ovulasi telur, waktu latensi, derajat
pembuahan, derajat penetasan
Migrasi inti atau germinal vesicle break
down (GVBD) adalah proses perpindahan inti
ke kutub animal dan oosit mulai mengisap air.
Selanjutnya
dinding
nukleus
kemudian
menghilang. Pada tahap yang lebih lanjut materi
inti akan membentuk kromosom. Pengamatan
migrasi inti dilakukan dengan cara kanulasi
telur setelah sepuluh jam penyuntikan (Adi,
1999). Pengukuran dilihat dengan cara melihat
10
telur pada mikroskop binokuler yang dilengkapi
mikrometer dengan pembesaran 10 x 10.
Pengukuran dilakukan terhadap oosit dengan
cara melihat intinya, apabila inti telah berada
ditepi maka telah terjadi migrasi inti. Apabila
terlihat warna jernih maka telah terjadi
peleburan inti atau GVBD
(de Vlaming,
1983). Jumlah telur yang transparan dan buram
dihitung dari hasil kanulasi pada waktu tersebut
sebagai persen GVBD.
Jumlah sukses induk ovulasi yaitu indukinduk betina yang berhasil ovulasi untuk setiap
perlakuan dan ulangan percobaan. Sukses
ovulasi induk-induk ditandai dengan cara
mengurut perut induk ke arah lubang kelamin
hingga telur keluar, ditampung pada nampan
plastik dan dicampur dengan sperma yang telah
disiapkan untuk proses pembuahan.
Waktu laten adalah waktu yang
dibutuhkan
induk betina ikan mas untuk
mencapai
ovulasi
setelah
penyuntikan
ovaprim®.
Derajat pembuahan (%) adalah telurtelur yang dibuahi diamati setelah 3 sampai 12
jam pencampuran dengan sperma. Jumlah telur
yang dibuahi tiap perlakuan dihitung dengan
menggunakan counter. Telur yang dibuahi
warnanya transparan sedangkan telur yang tidak
dibuahi
warnanya
putih
dan
keruh
(Sumantadinata, 1983). Derajat pembuahan
dinyatakan dalam persen, berdasarkan rumus
berikut ini (Winarsih, 1996):
DP =
Jumlah telur yang dibuahi
Jumlah telur seluruhnya
Keterangan :
DP = derajat pembuahan
x 100 %
Derajat penetasan (%), dihitung setelah
telur menetas, yaitu pada saat larva mulai aktif
bergerak. Larva yang menetas dihitung dengan
cara memindahkan larva dari tempat penetasan
ke dalam akuarium melalui selang plastik.
Besaran nilai derajat penetasan telur dinyatakan
dalam persen berdasarkan rumus :
HR =
a
x 100 %
a+b+c
dimana :
HR = daya tetas (hatching rate)
a = larva normal
b = larva cacat
c = telur tidak menetas (Winarsih, 1996).
Kualitas air diukur untuk pemeliharaan
induk dan penetasan telur yang meliputi suhu air
(0C), pH (derajat keasaman) dan oksigen terlarut
(DO) (mg/l).
Berkala Ilmiah Perikanan Vol. 3 No. 1, April 2008
Dalam penelitian ini skala datanya
adalah rasio. Variabel utama meliputi migrasi
inti, sukses induk ovulasi, waktu latensi, derajat
pembuahan dan derajat penetasan. Selanjutnya
diuji dengan Anava dan jika terdapat perbedaan
yang bermakna dilanjutkan dengan uji LSD.
Hasil uji Anova dan LSD bermakna bila
diperoleh harga p ≤ 0,05 (Steel dan Torrie,
1995).
Hasil Dan Pembahasan
Pengaruh
Ovaprim®
dengan
Dosis
Pemberian
yang
Berbeda
(penelitian
pertama)
Hasil penelitian tentang pengaruh ovaprim
dengan dosis pemberian yang berbeda pada ikan
mas (Cyprinus carpio L.) dapat dilihat pada
Tabel 1. Berdasarkan hasil pengamatan pada
Tabel 1 di atas dan analisis ragam
dengan menggunakan uji F menunjukkan bahwa
ovaprim® dengan dosis pemberian yang berbeda
terhadap migrasi inti atau germinal vesicle
break down (GVBD), sukses induk ovulasi,
waktu latensi, derajat pembuahan dan derajat
penetasan pada ikan mas (Cyprinus carpio L.)
berbeda nyata (p<0,05).
Tabel 1.Rerata (x) dan simpangan baku (sb) pengaruh ovaprim® dengan dosis pemberian yang berbeda
terhadap migrasi inti atau germinal vesicle break down (GVBD), sukses induk ovulasi, waktu
latensi, derajat pembuahan dan derajat penetasan pada ikan mas (Cyprinus carpio L.) (x ± sb).
Perlakuan
Variabel
A
B
C
D
E
0 ml/kg
0,3 ml/kg
0,4 ml/kg
0,5 ml/kg
0,6 ml/kg
Migrasi
inti
0 ± 0a
66,76 ± 13,41b 79,16 ± 10,13c
89,28 ± 8,55d
92,33 ± 7,67d
(GVBD)
Sukses induk
0 ± 0a
100 ± 0b
100 ± 0b
100 ± 0b
100 ± 0b
ovulasi
Waktu latensi
0 ± 0a
16,44 ± 0,88b
15,06 ± 0,79b
14,94 ± 0,78b
13,67 ± 0,81b
Derajat
pembuahan
Derajat
penetasan
Keterangan :
0 ± 0a
54,93 ± 7,91b
79,03 ± 6,45c
82,45 ± 5,91c
84,52 ± 4,55c
0 ± 0a
47,30 ± 5,67b
58,99 ± 8,99c
68,32 ± 5,39d
54,24 ± 8,48c
a,b,c,d
superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perlakuan
berbeda nyata (p>0,05).
merangsang proses preovulasi dan ovulasi ikan
Migrasi Inti atau Germinal Vesicle Break
mas. Menurut pendapat Woynarovich dan
Down (GVBD)
Horvath (1980), Redding dan Pattino (1993),
Dari hasil pengamatan pada penelitian ini
aktivitas biologis ovaprim menyerupai GnRH
terlihat adanya perbedaan migrasi inti atau
yang dihasilkan oleh hipotalamus. Akibat aksi
germinal vesicle break down (GVBD) antara
hormon gonadotropin atau steroid inti (GV =
perlakuan dan kontrol. Terjadinya perbedaan
germinal vesicle) yang mulanya berada ditengah
tersebut, menunjukkan bahwa dosis ovaprim®
kemudian menuju ke tepi dekat mikrofil dan
yang diberikan mempunyai potensi untuk
saat sebelum ovulasi terjadi, inti melebur
merangsang terjadinya GVBD. Pada penelitian
(GVBD) tetapi materi genetiknya tidak berubah.
ini dosis 0,5 ml/kg/bb dan 0,6 ml/kg/bb
Germinal vesicle break down (GVBD) biasanya
merupakan dosis yang optimal untuk
terjadi karena adanya rangsangan steroid (de
merangsang terjadinya GVBD pada ikan mas
Vlaming, 1983; Nagahama et al. 1983).
(Cyprinus carpio L.). Dosis 0,3 ml/kg/bb
Perkembangan telur mencapai ovulasi
ternyata masih dapat direspon oleh ikan mas
(akhir pematangan) diatur oleh hormon
untuk meningkatkan GVBD, tetapi hasilnya
gonadotropin, yang dibentuk dan disimpan
masih kurang optimal dibandingkan dosis 0,5
dalam kelenjar pituitari atau hipofisa, seperti
ml/kg/bb dan 0,6 ml/kg/bb. Makin tinggi jumlah
FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH
ovaprim® yang diberikan menyebabkan makin
(Luteinizing Hormone) kontinyu diproduksi dan
singkat tercapainya GVBD. Hal ini disebabkan
dikeluarkan ke dalam aliran darah. Sedangkan
semakin tinggi dosis ovaprim® yang diberikan
organ target gonadotropin dan steroid adalah
maka gonadotropin yang dilepaskan oleh
gonad (Degani dan Boker, 1992). Gonadotropin
kelenjar pituitari juga semakin meningkat.
yang sudah dilepaskan akan mencapai gonad
Meningkatnya
gonadotropin
ini
akan
dan merangsang proses preovulasi dan akhir
11
Pengaruh sGnRHa + Domperidon........
ovulasi (Woynarovich dan Horvath, 1980).
Gonadotropin ada 2 jenis, yaitu GtH I dan GtH
II. Gonadotropin I merangsang produksi
testosteron pada lapisan teka yang diaromatase
oleh sel granulosa menjadi estradiol 17 β
(Yaron, 1995). Kemudian estradiol 17 β
merangsang hati untuk mensintesis dan
mensekresikan vitelogenin yang selanjutnya
dibawa ke dalam aliran darah menuju oosit
(Kobayashi et al. 1996). Penyerapan vitelogenin
ini (vitellogenesis) menyebabkan ukuran oosit
bertambah besar. Selanjutnya gonadotropin II
merangsang 17α, 20 β-DHP oleh 20 βdihidroksisteroid dehidrogenase (20 β-HSDH)
di dalam sel-sel granulosa (Yaron, 1995).
Steroid ini menyebabkan kematangan oosit
akhir (Yaron 1995; Kobayashi et al. 1996).
Germinal vesicle break down (GVBD)
umumnya
digunakan
sebagai
indikator
kematangan oosit dan pada beberapa spesies
terjadi karena berkumpulnya butiran kuning
telur atau lempengan lipida yang diikuti inti
yang mengakibatkan oosit menjadi lebih
transparan. Apabila kondisi GVBD telah
mencapai 100 persen, maka tidak lama lagi akan
terjadi ovulasi dan dengan bantuan pengurutan
perut induk betina, telur akan mudah
dikeluarkan (de Vlaming, 1983).
Sukses Induk Ovulasi
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan,
ternyata ovaprim® berpengaruh terhadap sukses
induk ovulasi pada ikan mas (Cyprinus carpio
L.). Penyuntikan ovaprim® memberikan hasil
yang baik dari segi keberhasilan ovulasi (100
%) dibandingkan kontrol (0 %). Dosis 0,3
ml/kg/bb merupakan dosis optimal yang dapat
direspon oleh ikan mas untuk ovulasi. Hal ini
diduga karena induk-induk yang dipilih
semuanya telah mengalami matang gonad,
sehingga hanya dengan dosis ovaprim® 0,3
ml/kg/bb semua induk ikan mas dapat ovulasi.
Dari hasil penelitian Nandeesha et al. (1990b),
bahwa dosis ovaprim® 0,5 ml/kg/bb dapat
menyebabkan ovulasi pada ikan catla (Catla
catla), rohu (Labeo rohita) dan mrigal
(Cirrhinus mrigala) dengan sekali suntik secara
intra muskuler. Pada ikan mrigal (Cirrhinus
mrigala) dosis terendah yang dapat direspon
adalah 0,3 ml/kg/bb, sedangkan pada ikan rohu
(Labeo rohita) dosis minimum yang dapat
direspon adalah 0,4 ml/kg/bb. Pemberian
ovaprim® dosis 0,2 ml/kg/bb tidak ada yang
mengalami ovulasi pada ketiga spesies tersebut.
Peter et al. (1988), melaporkan sGnRHa
mempunyai potensi 17 kali lebih kuat
dibandingkan LHRHa yang dikombinasikan
dengan dosis rendah pimozid (anti dopamin).
12
Silver carp (Hypopthalmichthys molitrix) dan
loach (Paramisgurnus debyanus) dapat ovulasi
setelah disuntik sGnRHa 10 µg/kg dan 1 µg/kg
dikombinasikan dengan domperidon 10
mg/kg/bb, dibandingkan dengan dosis tinggi
LHRH (50 µg/kg) yang dikombinasikan dengan
domperidon atau pimozid (Lin et al. 1988).
Selain itu hasil pengamatan migrasi inti
persentase rata-ratanya didapatkan minimal
66,76 persen pada dosis 0,3 ml/kg/bb. Hal ini
juga yang mendorong suksesnya ovulasi ikan
mas. Menurut Head et al. (1995), kemampuan
ovulasi ikan sangat berkaitan dengan
penggunaan dosis yang efektif untuk tiap
spesies dan kondisi yang sesuai untuk
perkembangan gonad sehingga ovulasi selalu
berbeda. Salah satu keberhasilan ovulasi
ditentukan oleh tingkat kematangan gonad
induk betina. Menurut hasil penelitian Yaron
(1995), kesuksesan ovulasi pada ikan mas
diperoleh apabila migrasi inti lebih dari 66
persen, sedangkan apabila kurang dari dari 34
persen ovulasi tidak sukses.
Waktu Latensi
Pemberian dosis ovaprim® yang berbeda
memberikan pengaruh terhadap ovulasi dan
waktu latensi. Waktu latensi tercepat didapatkan
pada dosis 0,6 ml/kg/bb diikuti dosis 0,5
ml/kg/bb, 0,4 ml/kg/bb, 0,3 ml/kg/bb,
sedangkan kontrol tidak mengalami ovulasi.
Semakin tinggi dosis ovaprim® yang diberikan
semakin cepat tercapainya waktu ovulasi dan
waktu latensi. Dosis yang tinggi ini diduga akan
membantu kerja GnRH yang dikeluarkan oleh
kelenjar pituitari, dengan cara menghambat
dopamin yang dihasilkan oleh ikan mas. Pada
penelitian ini didapatkan waktu latensi antara 13
sampai 16 jam dari awal penyuntikan. Hasil
penelitian Syndel (1999), pada ikan mas
(Cyprinus carpio) yang disuntik ovaprim sekali
dengan dosis
0,5 ml/kg/bb berat tubuh
didapatkan waktu latensi antara 14 – 16 jam.
Hasil penelitian Nandeesha et al. (1990), pada
ikan indian major carp, catla (Catla catla), rohu
(Labeo rohita) dan mrigal (Cirrhinus mrigala)
yang disuntik ovaprim® sekali dengan dosis 0,3
ml/kg/bb sampai 0,5 ml/kg/bb didapatkan waktu
latensi yang bervariasi antara 10 – 14 jam.
Derajat Pembuahan
Penggunaan hormon (sGnRHa + dopamin)
tidak hanya mendorong induk untuk ovulasi
saja, tetapi juga kaitannya dengan keberhasilan
pembuahan, penetasan dan larva yang
dihasilkan. Dalam penelitian pertama derajat
pembuahan yang optimal didapatkan pada dosis
0,4 ml/kg/bb, 0,5 ml/kg/bb dn 0,6 ml/kg/bb.
Berkala Ilmiah Perikanan Vol. 3 No. 1, April 2008
Derajat pembuahan sangat dipengaruhi oleh
kualitas telur dan sperma ikan mas. Pembuahan
buatan juga memerlukan keterampilan khusus,
sehingga saat pengurutan telur dan sperma tidak
tercampur dengn air atau kotoran. Di samping
itu proses pencampuran sperma dan telur harus
cepat. Penggunaan alat yang memadai juga akan
membantu keberhasilan pembuahan.
Menurut Woynarovich dan Horvath (1980),
derajat pembuahan pada ikan sangat ditentukan
oleh kualitas telur, spermatozoa, media dan
penanganan
manusia.
Telur-telur
yang
diletakkan di air akan cepat mengembang dan
mempercepat proses penutupan mikrofil. Pada
ikan mas pentupan ini memerlukan waktu 45
sampai 60 detik. Waktu yang diperlukan oleh
spermatozoa untuk membuahi sel telur sangat
singkat. Pada pembuahan buatan juga perlu
penanganan khusus. Jika terlalu banyak air yang
ditambahkan, beberapa spermatozoa tidak akan
sampai atau meleset dari lubang mikrofil.
Demikian juga penambahan air yang terlalu
sedikit atau tidak mencukupi, mikrofil akan
tertutupi oleh telur lainnya atau bahkan oleh
mukosa ovarium. Akibatnya spermatozoa tidak
mampu masuk mikrofil dan membuahi telur.
Sedangkan menurut Woynarovich (1975), untuk
1 liter telur kering dibutuhkan kira-kira 10 ml
cairan sperma. Pembuahan buatan harus
dilakukan dengan segera. Cairan sperma
dicampur dengan telur dan diaduk pelan-pelan
dengan sendok plastik atau bulu ayam antara 1
– 2 menit. Saat itu juga diperlukan air bersih,
untuk 1 liter telur diperlukan kira-kira 100 ml
air. Pengadukan dilakukan secara kontinyu
antara 2 – 3 menit.
Derajat Penetasan
Pada penelitian pemberian ovaprim®
dengan dosis yang berbeda memberikan
pengaruh
terhadap
derajat
penetasan,
dibandingkan dengan kontrol. Dari hasil
penelitian ini derajat penetasan optimal
didapatkan pada perlakuan dosis 0,4 ml/kg/bb
dan 0,5 ml/kg/bb. Dosis yang terlalu tinggi
ternyata memberikan hasil yang menurun. Hal
ini diduga karena mekanisme kerja hormon
akan bekerja normal (optimal) pada kadar
tertentu, penurunan atau peningkatannya diduga
akan menurunkan potensi biologis hormon
terhadap targetnya. Hasil penelitian Saberi et al.
(1996), pemberian dosis ovaprim® 0,5 ml/kg/bb
pada ikan Mystus nemurus memberikan hasil
ovulasi 100 % dengan rata-rata derajat
penetasan 70 %, dosis 0,75 ml/kg/bb ovulasinya
100 % dengan derajat penetasan 45 % serta
dosis 0,25 ml/kg/bb ovulasinya 66 % dengan
derajat penetasan 49,4 %. Menurut Sundararaj
(1981), bahwa telur yang terovulasi dan tidak
dikeluarkan dalam periode yang lama akan
terjadi overripe (lewat masak) dan ini tidak akan
berkembang normal. Hal ini disebabkan karena
telur yang terovulasi sudah lepas hubungan
dengan induk, sehingga suplai makanan dan
oksigen terputus. Apabila terlalu lama tidak
segera distripping dan dibuahi maka kualitas
telur akan menurun dan ini menyebabkan
derajat penetasan rendah.
Menurut Woynarovich dan Horvath (1980),
telur ikan biasanya akan berkembang normal
jika kondisi bak penetasan meliputi oksigen,
suhu, dan pH terpenuhi. Sering terjadi beberapa
telur mati setelah periode singkat dari
perkembangan, yaitu fase morula atau sebelum
penutupan blastopor. Kekurangan oksigen
merupakan alasan penyebab kematian telur.
Suhu juga membunuh telur, biasanya pada fase
perkembangan embrio. Pada awalnya telur-telur
tampak sehat dan berkembang baik. Lama
kelamaan telur-telur itu ada yang berwarna
putih dan kusam.Telur yang dibuahi dan tidak
dibuahi pada awalnya tidak dapat dibedakan
dari telur yang dibuahi. Telur yang sehat akan
berkembang menjadi transparan atau jernih.
Kualitas Air
Pengamatan kualitas air pada waktu
penetasan menunjukkan semua parameter masih
berada pada batas toleransi penetasan ikan mas.
Data yang diperoleh meliputi suhu 27 – 290C,
pH 6,5 – 7,5 dan oksigen terlarut 5 - 6 ppm.
Data ini mendukung inkubasi dan penetasan
ikan mas (Cyprinus carpio L.) secara normal
sesuai dengan kriteria yang diberikan yaitu suhu
20 – 300C (Zonneveld et al. 1991), pH 6,0 – 8,5
(Jezierska dan Bartnicka, 1995) dan oksigen
terlarut minimal 5 ppm (Suseno, 1994;
Zonneveld et al. 1991).
Dalam budidaya ikan di samping pakan
yang diberikan kualitas air juga memegang
peranan penting.
Kualitas air
sangat
mempengaruhi pertumbuhan ikan budidaya.
Kualitas air tersebut meliputi suhu, pH dan
oksigen terlarut (Cholik et al. 1986). Pada
budidaya dengan sistem mengalir hanya
bertindak sebagai sarana bagi transport oksigen.
Hasil buangan yang berasal dari ikan juga
mempengaruhi kualitas air. Sebagai akibatnya
kualitas air hanya dapat diterima selama tidak
mempunyai pengaruh negatif terhadap sasaran
antara lain, pertumbuhan dapat memperoleh
berbagai hasil dari satu pelaksanaan budidaya
(Zonneveld et al. 1991).
Oksigen terlarut merupakan salah satu
parameter peubah kualitas air yang paling kritis
13
Pengaruh sGnRHa + Domperidon........
pada budidaya ikan. Air kolam yang
mengandung konsentrasi oksigen terlarut yang
rendah akan mempengaruhi kesehatan ikan,
karena ikan mudah terserang penyakit. Oksigen
selain dibutuhkan dalam proses metabolisme
juga dalam aktivitas gerak organisme (Cholik et
al. 1986). Lebih lanjut menurut Zonneveld et al.
(1991), dalam budidaya ikan oksigen terlarut
tidak boleh kurang dari 5 ppm. Ikan
memerlukan
oksigen
guna pembakaran
makanan untuk menghasilkan aktivitas,
berenang, pertumbuhan dan reproduksi.
pH air bagi hampir semua organisme
air berkisar antara 6,5 – 8. pH air yang rendah
akan menyebabkan timbulnya penyakit jamur
(fungal) (Brotowidjojo et al. 1995). Nilai pH air
sangat dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis
tanaman yang hidup dalam air. Air yang
digunakan untuk budidaya ikan pada kolam air
mempunyai kisaran antara 6,7 – 8,2 (Zonneveld
et al. 1991).
Kesimpulan Dan Saran
Pemberian dosis ovaprim® (sGnRHa +
domperidon) yang berbeda dapat meningkatkan
migrasi inti atau germinal vesicle break down
(GVBD), sukses induk ovulasi, waktu latensi,
derajat pembuahan dan derajat penetasan
dibandingkan dengan kontrol (diberi NaCl 0,7
%). Dosis ovaprim yang optimal yang
didapatkan adalah 0,5 ml/kg/bb ikan mas
(Cyprinus carpio L.).
Daftar Pustaka
Adi, C.H. 1999. Pengaruh Kombinasi hCG dan
Ekstrak Kelenjar Hipofisa Ikan Mas
Terhadap Proses Ovulasi Ikan Baung
(Mystus nemurus C.V). Thesis.
Pascasarjana. IPB. Bogor. 55 hal.
Brotowidjojo, M.D., Tribawono, D dan
Mulbyantoro, E. 1995. Pengantar
Lingkungan Perairan dan Budidaya
Air. Liberty. Yogyakarta. 259 hal.
Cholik, F., Artati dan Arifudin. 1986.
Pengelolaan kualitas Air kolam Ikan.
INFIS Manual.Seri No. 36. 52 hal.
Davy, F.B., and Chouinard, A. 1980. Induced
Fish Breeding in Southeast Asia.
IDRC. Ottawa, Canada. 1-48 pp.
Degani,G and Boker, R. 1992. Vitellogenesis
Level and Induction of Maturation in
The Ovary if The Blue Gouramy
Trichogaster
trichopterus
(Anabantidae, Pallas, 1770). J.
Experimental Zoology, 263 : 330-337.
De Vlaming, V. 1983. Oocyte Development
Patterns and Hormonal Involvements
Among Teleosts. In : Rankin, J. C.,
14
Pitcher, T. J. and Duggan, R. T. (eds).
1983. Controle Process in Fish
Physiology. 298 p. Croom Helm.
Australia. 176 – 199.
Drori, S., Ofir, M., Levavi-Sivan, B., Yaron, Z..
1994. Spawning Induction in Common
Carp (Cyprinus carpio) Using Pituitary
Extract
or
GnRH
Superactive
Analogue
Combined
with
Metoclopramide
:
Analysis
of
Hormone Profile, Progress Oocyte
Maturation and Independence on
Temperature. Aquaculture, 119 : 393407.
Harvey B.J. dan Hoar, W.S. 1979. The Theory
and Practice of Induced Breeding in
Fish. IDRC. Ottawa. 1-48 pp.
Head, W. D., Watanabe, W.O., Ellis, S.C., dan
Ellis, E. 1996. Hormone Induced
Multiple Spawning of Captive Nassau
Grouper Broodstock. The Progressive
Fish Culturist. 58 : 65 – 69.
Horvath, L. 1978. Relation Between Ovulation
and Water Temperature by Farmed
Cyprinids. Aquacult. Hung. (Szarvas),
1 : 58 – 65.
Horvath, L. 1985. Egg Development
(Oogenesis) in The Common Carp
(Cyprinus carpio L.). In : J. F. Muir
and R. J. Robert (Editors), Recent
Advanced in Aquaculture, Vol. 2.
Croom Helm, London. pp. 32 – 77.
Jezierska, B., and Bartnicka, B. 1995. The
Effect of pH on Embryonic
Development of Carp (Cyprinus carpio
L.). Aquaculture, 129 : 133 – 137.
Kobayashi, D., Tanaka, M., Fukuda, S., and
Nagahama, Y. 1996. Steroidogenesis in
Follicles of Medaka (Oryzas latifes)
During Vitellogenesis and Oocyte
Maturation. Zoo. Science. 13 : 921927.
Lieberman, E. 1995. A Guide to The
Application of Endocrine Techniques
in Aquaculture. Argent Laboratories
Press. 40 pp.
Lin, H. R., Van Der Kraak, G., Zhou, X. J.,
Liang, J. Y., Peter, R. E., Rivier, J. E.
and Vale, W.W. 1988. Effect of (DArg6,Trp7,Leu8,Pro9-NEt)-luteinizing
hormone-releasing hormone (sGnRHA) and (D-Ala6,Pro9-Net)-luteinizing
hormone-releasing hormone (LHRHA), in Combination with Pimozide or
Domperidone,
on
Gonadotropin
Release and Ovulation in The Chinese
loach and Common carp. Gen. Comp.
Endocrinol., 69 : 31 – 40.
Berkala Ilmiah Perikanan Vol. 3 No. 1, April 2008
Nagahama, Y. 1983. The Functional
Morphology of Teleost Gonads. In :
Hoar, W.S., Randall, D.J. and
Donaldson, E.M. (eds). 1983. Fish
Physiology. Vol. IX Part B. Academic
Press, Inc, New York. 223-275 pp.
Nagahama, Y. 1987. Gonadotropin Action on
Gametogenesis and Steroidogenesis in
Teleost Gonads. Zoological Science, 4
: 209-222.
Nandeesha M.C., Das, S.K., Nathaniel, D.E.,
and Varghese, T.J. 1990a. Breeding of
Carps With Ovaprim in India. Spec.
Publ. Asian Fish. Soc. Indian Branch,
Mangalore, India. no. 4. 41 pp.
Nandeesha M.C., Rao, K.G., Jayanna, R.N.,
Parker, N.C.,
Varghese, T.J.,
Keshavanath, P., and Shetty, H.P.C.
1990b. Induce Spawning in Indian
Major
Carps
Through
Single
Application of Ovaprim-C. Proc. of
The Second Asian Fisheries Forum.
Tokyo, Japan. 581-585 pp.
Pao, X., Kuanhong, M., Jian, Z., Jianxin, W.,
Yongseng, G. 1999. Comparative
Studies on Spawning-Inducing Using
Ovaprim and
Other
Hormone.
Freshwater Fisheries Research Center,
Chinese Academy of Fishery Science,
Wuxi, China. 12 pp.
Peter, R.E., Lin, H.R. and Van Fer Kraak, G.
1988.
Induced
Ovulation
and
Spawning of Cultured Freshwater Fish
in China : Advances in Application of
GnRH analogues and Dopamine
Antagonist. Aquaculture, 74 : 1 –10.
Randall, C. 1995. The Control of the Timing of
Seasonal Reproduction in Salmonid
Fish. Aquaculture News, 19 : 18-20.
Redding, J.M., and Pattino, R. 1993.
Reproductive Physiology. In : Evans
D. H. (ed). 1993. The Physiology of
Fishes. CRC Press, Inc, USA. 503-533
pp.
Rottmann, R.W., and Shireman, J.V. 1985. The
Use of Synthetic LH-RH Analogue to
Spawn Chinnese Carp. Aquacult. Fish.
Manage. 1 : 19 – 24.
Saberi, M., Ibrahim, T., and Samsury, K. 1996.
Induced Spawning of Mystus nemurus
(C & V) Using Ovaprim. Proc. Fish.
Res. Conf. DOF. Mal. 1996 : 273 –
277.
Steel R.G.D., dan Torrie J.H. 1995. Prinsip Dan
Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan
Biometrik. PT. Gramedia, Jakarta.
Sumantadinata, K. 1995. Present State of
Common Carp (Cyprinus carpio L.)
Stock in Indonesia. Aquaculture, 129 :
205-209.
Suseno, D.
1994. Pengelolaan Usaha
Pembenihan Ikan Mas. Penebar
Swadaya, Jakarta. Hal 4-13.
Sundararaj, B.I. 1981. Reproductive Physiology
of Teleost Fishes. UNDP. Rome. 82
pp.
Syndel. 1999. Using Ovaprim To Induced
Spawning in Cultured Fish. Syndel
Laboratories Ltd. Canada. 3 pp.
Wahyudi. 1995. Penggunaan Ekstraks Hipofisis
Sapi dan PMSG-hCG Sebagai Bahan
Untuk Menghasilkan Sperma Dan
Daya Fertilisasi Telur Ikan Nila Merah
(Oreochromis
niloticus).
Thesis.
Pascasarjana Unair. Surabaya. 71 hal.
Winarsih, W.H. 1996. Pengaruh Pembekuan
Sperma Dengan Nitrogen Cair
Terhadap Motilitas Spermatozoa,
Fertilitas dan Daya Tetas Telur Ikan
Mas (Cyprinus carpio L.). Thesis.
Pascasarjana Unair. Surabaya. 91 hal.
Woynarovich E. 1975. Elementary Guide to
Fish Culture in Nepal. FAO Inland
Fishery Biologist. Rome. 131 pp.
Woynarovich E., and Horvart, L. 1980. The
Artificial Propagation of Warm-Water
Finfishes a Manual for Extention. FAO
Fish. Tech. Pap. (201) : 183 pp.
Yaron, Z., 1995. Endocrine Control of
Gametogenesis
and
Spawning
Induction in The Carp. Aquaculture,
129 : 49-73.
Yaron, Z., Sivan, B., Drori, S., and Kulikovsky,
Z. 1999. Spawning Induction in
Cyprinids
:
Hypophyseal
and
Hypothalmic Approaches. Department
of Zoology, Tel-Aviv University.
Israel. 20 pp. (Unpublished).
Zohar, Y. 1986. Gonadotropin Releasing
Hormone In Spawning Induction In
Teleosts : Basic and Applied
Considerations. In : Y. Zohar and B.
Breton (Editors), Reproduction In Fish,
Basic and Applied Aspects In
Endocrinology and Genetics, INRA,
Paris, France. 47-61 pp.
Zohar, Y. 1989. Fish Reproduction : Its
Physiology
and
Artificial
Manipulation. In : Shilo, M and Sarig,
S (ed). 1989. Fish Culture in
Warmwater System : Problem and
Trends. CRC Press Inc. Boca Raton,
Florida. 65-119 pp.
Zonneveld. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya
Ikan. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta
15
Pengaruh sGnRHa + Domperidon........
16
Download