Berkala Ilmiah Perikanan Vol. 3 No. 1, April 2008 PENGARUH sGnRHa + DOMPERIDON DENGAN DOSIS PEMBERIAN YANG BERBEDA TERHADAP OVULASI IKAN MAS (Cyprinus carpio L.) STRAIN PUNTEN THE EFFECT OF sGnRHa + DOMPERIDON IN DIFFERENT DOSES TO OVULATION OF PUNTEN STRAIN GOLDFISH (Cyprinus carpio L.) Reny I’tishom Departemen Biologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Kampus A Jl. Dr. Moestopo – Surabaya Abstract This aim of study was to determine the effect of sGnRHa + domperidone (ovaprim®) given in injection different on germinal vesicle break down (GVBD), success female ovulation, latency time, degree of fertilization and hatching rate in female common carp (Cyprinus carpio L.). This study was designed on true experimental with complete random design. The differences among group means of dose and timing of treatment of the ovaprim® were tested by Anova, followed by the Least Significant Difference test. This study involved of 40 common carps (Cyprinus carpio L.) consisting in two series experiment. The experiment was designed to determine the effective dose of ovaprim® to germinal vesicle break down (GVBD), success female ovulation, latency time, degree of fertilization and hatching rate in common carp (Cyprinus carpio L.) and as a control carp with injection of saline (NaCl 0,7 %). The result of the study showed that given a single injection ovaprim® on germinal vesicle break down (GVBD), success female ovulation, latency time, degree of fertilization and hatching rate in common carp (Cyprinus carpio L.) have given significant different to control (p<0,05). Keywords : Cyprinus carpio, sGnRHa + domperidone (ovaprim®), ovulation. Pendahuluan Di dalam menunjang perkembangan akuakultur, diperlukan adanya penyediaan benih ikan yang memadai baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Untuk itu diperlukan adanya usaha pembenihan yang dapat menyediakan benih ikan dalam jumlah banyak dan berkualitas tinggi, secara berkesinambungan. Usaha yang mengarah pada penyediaan benih ikan unggul selama ini belum berkembang di Indonesia, hambatan produksi akibat kekurangan benih ikan masih terasa dimana-mana. Langkah awal usaha tersebut dapat dimulai dengan cara mengembangkan pemuliaan ikan (breeding program), baik melalui teknik reproduksi alami maupun teknik reproduksi buatan. Faktor yang sangat menentukan di dalam pengembangan usaha pembenihan ikan adalah kesinambungan penyediaan induk matang gonad yang sehat dan berkualitas, karena hanya dari induk unggul akan didapatkan benih ikan yang mempunyai kecepatan tumbuh tinggi dan kebal penyakit. Proses perkembangan gonad dan ovulasi pada ikan diatur oleh sistem hormon (Harvey dan Hoar, 1979; Randal, 1995). Hormon estrogen, terutama estradiol 17 β mempengaruhi sintesis vitelogenin di hati (Nagahama et al. 1983; Randal, 1995) dan hormon gonadotropin berfungsi mempercepat proses kematangan akhir oosit dalam persiapan ovulasi ataupun spermiasi (Zohar, 1989; Lieberman, 1995). Agar supaya ikan mau memijah, maka dalam prosesnya akan lebih baik jika menggunakan manipulasi hormon yaitu melalui penyuntikan beberapa macam hormon (Davy dan Chouinard, 1980). Hormon-hormon yang telah dicoba untuk merangsang pemijahan pada ikan baik betina maupun jantan yaitu : ekstrak hipofisa sapi, pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) (Wahyudi, 1995), human chorionic gonadotropin (HCG), carp pituitary gland (CPG), luteinizing hormone releasing hormone (LHRH), gonadotropin releasing hormone (GnRH), calibrated pituitary extract (CPE) (Drori et al. 1994; Pao et al. 1999; Yaron et al. 1999) dan ovaprim® (sGnRHa + domperidon) (Nandeesha et al. 1990a; Pao et al. 1999). Hormon yang sering digunakan untuk merangsang pemijahan di berbagai negara saat ini adalah sGnRHa + domperidon (ovaprim®). Salah satu faktor yang mempengaruhi rangsangan pemijahan adalah pemberian dosis yang tepat. Dosis hormon yang kurang tepat akan memberikan hasil yang kurang 9 Pengaruh sGnRHa + Domperidon........ memuaskan. Dari latar belakang tersebut perlu dilakukan penelitian tentang dosis pemberian sGnRHa + dopamin yang tepat pada induk ikan mas strain “Punten” agar diperoleh hasil yang optimal terhadap migrasi inti, induk yang mengalami ovulasi, waktu latensi, derajat pembuahan dan derajat penetasan. Bahan Dan Metode Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sebagai perlakuan dalam penelitian pertama adalah dosis ovaprim® yang terdiri 5 perlakuan perlakuan (A) placebo = larutan NaCl fisiologis 0,7 % (kontrol) (Drori et al. 1994), perlakuan (B) = ovaprim® 0,3 ml/kg/bb, perlakuan (C) = ovaprim® 0,4 ml/kg/bb, perlakuan (D) = ovaprim® 0,5 ml/kg/bb, perlakuan (E) = ovaprim® 0,6 ml/kg/bb. Pengambilan data untuk masing-masing perlakuan sebanyak delapan kali ulangan. Populasi ikan mas seluruhnya adalah 80 ekor betina dan 30 ekor jantan. Banyaknya ikan mas yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian pertama adalah 40 ekor betina dan 20 ekor jantan. Baik sampel ikan betina maupun ikan jantan dibagi secara acak menjadi lima kelompok, serta tiap kelompok perlakuan terdiri dari 8 ekor ikan mas betina. Semua ikan mas dimasukkan ke dalam akuarium pemeliharaan yang telah disiapkan untuk masing-masing perlakuan dan diadaptasikan dengan lingkungan baru selama 2 minggu. Pada saat penelitian, kelima kelompok ikan ditempatkan pada akuarium yang sudah diatur sesuai macam perlakuan. Variabel utama yang diukur dalam penelitian ini adalah migrasi inti (GVBD), sukses induk ovulasi, waktu latensi, derajat pembuahan dan derajat penetasan. Sebagai variabel penunjang adalah kualitas air meliputi suhu, pH dan oksigen terlarut (DO). Variabel bebas : dosis ovaprim® Variabel kendali :kualitas air, bahan penyubur, malachite green Variabel tergantung : migrasi inti (GVBD), ovulasi telur, waktu latensi, derajat pembuahan, derajat penetasan Migrasi inti atau germinal vesicle break down (GVBD) adalah proses perpindahan inti ke kutub animal dan oosit mulai mengisap air. Selanjutnya dinding nukleus kemudian menghilang. Pada tahap yang lebih lanjut materi inti akan membentuk kromosom. Pengamatan migrasi inti dilakukan dengan cara kanulasi telur setelah sepuluh jam penyuntikan (Adi, 1999). Pengukuran dilihat dengan cara melihat 10 telur pada mikroskop binokuler yang dilengkapi mikrometer dengan pembesaran 10 x 10. Pengukuran dilakukan terhadap oosit dengan cara melihat intinya, apabila inti telah berada ditepi maka telah terjadi migrasi inti. Apabila terlihat warna jernih maka telah terjadi peleburan inti atau GVBD (de Vlaming, 1983). Jumlah telur yang transparan dan buram dihitung dari hasil kanulasi pada waktu tersebut sebagai persen GVBD. Jumlah sukses induk ovulasi yaitu indukinduk betina yang berhasil ovulasi untuk setiap perlakuan dan ulangan percobaan. Sukses ovulasi induk-induk ditandai dengan cara mengurut perut induk ke arah lubang kelamin hingga telur keluar, ditampung pada nampan plastik dan dicampur dengan sperma yang telah disiapkan untuk proses pembuahan. Waktu laten adalah waktu yang dibutuhkan induk betina ikan mas untuk mencapai ovulasi setelah penyuntikan ovaprim®. Derajat pembuahan (%) adalah telurtelur yang dibuahi diamati setelah 3 sampai 12 jam pencampuran dengan sperma. Jumlah telur yang dibuahi tiap perlakuan dihitung dengan menggunakan counter. Telur yang dibuahi warnanya transparan sedangkan telur yang tidak dibuahi warnanya putih dan keruh (Sumantadinata, 1983). Derajat pembuahan dinyatakan dalam persen, berdasarkan rumus berikut ini (Winarsih, 1996): DP = Jumlah telur yang dibuahi Jumlah telur seluruhnya Keterangan : DP = derajat pembuahan x 100 % Derajat penetasan (%), dihitung setelah telur menetas, yaitu pada saat larva mulai aktif bergerak. Larva yang menetas dihitung dengan cara memindahkan larva dari tempat penetasan ke dalam akuarium melalui selang plastik. Besaran nilai derajat penetasan telur dinyatakan dalam persen berdasarkan rumus : HR = a x 100 % a+b+c dimana : HR = daya tetas (hatching rate) a = larva normal b = larva cacat c = telur tidak menetas (Winarsih, 1996). Kualitas air diukur untuk pemeliharaan induk dan penetasan telur yang meliputi suhu air (0C), pH (derajat keasaman) dan oksigen terlarut (DO) (mg/l). Berkala Ilmiah Perikanan Vol. 3 No. 1, April 2008 Dalam penelitian ini skala datanya adalah rasio. Variabel utama meliputi migrasi inti, sukses induk ovulasi, waktu latensi, derajat pembuahan dan derajat penetasan. Selanjutnya diuji dengan Anava dan jika terdapat perbedaan yang bermakna dilanjutkan dengan uji LSD. Hasil uji Anova dan LSD bermakna bila diperoleh harga p ≤ 0,05 (Steel dan Torrie, 1995). Hasil Dan Pembahasan Pengaruh Ovaprim® dengan Dosis Pemberian yang Berbeda (penelitian pertama) Hasil penelitian tentang pengaruh ovaprim dengan dosis pemberian yang berbeda pada ikan mas (Cyprinus carpio L.) dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1 di atas dan analisis ragam dengan menggunakan uji F menunjukkan bahwa ovaprim® dengan dosis pemberian yang berbeda terhadap migrasi inti atau germinal vesicle break down (GVBD), sukses induk ovulasi, waktu latensi, derajat pembuahan dan derajat penetasan pada ikan mas (Cyprinus carpio L.) berbeda nyata (p<0,05). Tabel 1.Rerata (x) dan simpangan baku (sb) pengaruh ovaprim® dengan dosis pemberian yang berbeda terhadap migrasi inti atau germinal vesicle break down (GVBD), sukses induk ovulasi, waktu latensi, derajat pembuahan dan derajat penetasan pada ikan mas (Cyprinus carpio L.) (x ± sb). Perlakuan Variabel A B C D E 0 ml/kg 0,3 ml/kg 0,4 ml/kg 0,5 ml/kg 0,6 ml/kg Migrasi inti 0 ± 0a 66,76 ± 13,41b 79,16 ± 10,13c 89,28 ± 8,55d 92,33 ± 7,67d (GVBD) Sukses induk 0 ± 0a 100 ± 0b 100 ± 0b 100 ± 0b 100 ± 0b ovulasi Waktu latensi 0 ± 0a 16,44 ± 0,88b 15,06 ± 0,79b 14,94 ± 0,78b 13,67 ± 0,81b Derajat pembuahan Derajat penetasan Keterangan : 0 ± 0a 54,93 ± 7,91b 79,03 ± 6,45c 82,45 ± 5,91c 84,52 ± 4,55c 0 ± 0a 47,30 ± 5,67b 58,99 ± 8,99c 68,32 ± 5,39d 54,24 ± 8,48c a,b,c,d superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perlakuan berbeda nyata (p>0,05). merangsang proses preovulasi dan ovulasi ikan Migrasi Inti atau Germinal Vesicle Break mas. Menurut pendapat Woynarovich dan Down (GVBD) Horvath (1980), Redding dan Pattino (1993), Dari hasil pengamatan pada penelitian ini aktivitas biologis ovaprim menyerupai GnRH terlihat adanya perbedaan migrasi inti atau yang dihasilkan oleh hipotalamus. Akibat aksi germinal vesicle break down (GVBD) antara hormon gonadotropin atau steroid inti (GV = perlakuan dan kontrol. Terjadinya perbedaan germinal vesicle) yang mulanya berada ditengah tersebut, menunjukkan bahwa dosis ovaprim® kemudian menuju ke tepi dekat mikrofil dan yang diberikan mempunyai potensi untuk saat sebelum ovulasi terjadi, inti melebur merangsang terjadinya GVBD. Pada penelitian (GVBD) tetapi materi genetiknya tidak berubah. ini dosis 0,5 ml/kg/bb dan 0,6 ml/kg/bb Germinal vesicle break down (GVBD) biasanya merupakan dosis yang optimal untuk terjadi karena adanya rangsangan steroid (de merangsang terjadinya GVBD pada ikan mas Vlaming, 1983; Nagahama et al. 1983). (Cyprinus carpio L.). Dosis 0,3 ml/kg/bb Perkembangan telur mencapai ovulasi ternyata masih dapat direspon oleh ikan mas (akhir pematangan) diatur oleh hormon untuk meningkatkan GVBD, tetapi hasilnya gonadotropin, yang dibentuk dan disimpan masih kurang optimal dibandingkan dosis 0,5 dalam kelenjar pituitari atau hipofisa, seperti ml/kg/bb dan 0,6 ml/kg/bb. Makin tinggi jumlah FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH ovaprim® yang diberikan menyebabkan makin (Luteinizing Hormone) kontinyu diproduksi dan singkat tercapainya GVBD. Hal ini disebabkan dikeluarkan ke dalam aliran darah. Sedangkan semakin tinggi dosis ovaprim® yang diberikan organ target gonadotropin dan steroid adalah maka gonadotropin yang dilepaskan oleh gonad (Degani dan Boker, 1992). Gonadotropin kelenjar pituitari juga semakin meningkat. yang sudah dilepaskan akan mencapai gonad Meningkatnya gonadotropin ini akan dan merangsang proses preovulasi dan akhir 11 Pengaruh sGnRHa + Domperidon........ ovulasi (Woynarovich dan Horvath, 1980). Gonadotropin ada 2 jenis, yaitu GtH I dan GtH II. Gonadotropin I merangsang produksi testosteron pada lapisan teka yang diaromatase oleh sel granulosa menjadi estradiol 17 β (Yaron, 1995). Kemudian estradiol 17 β merangsang hati untuk mensintesis dan mensekresikan vitelogenin yang selanjutnya dibawa ke dalam aliran darah menuju oosit (Kobayashi et al. 1996). Penyerapan vitelogenin ini (vitellogenesis) menyebabkan ukuran oosit bertambah besar. Selanjutnya gonadotropin II merangsang 17α, 20 β-DHP oleh 20 βdihidroksisteroid dehidrogenase (20 β-HSDH) di dalam sel-sel granulosa (Yaron, 1995). Steroid ini menyebabkan kematangan oosit akhir (Yaron 1995; Kobayashi et al. 1996). Germinal vesicle break down (GVBD) umumnya digunakan sebagai indikator kematangan oosit dan pada beberapa spesies terjadi karena berkumpulnya butiran kuning telur atau lempengan lipida yang diikuti inti yang mengakibatkan oosit menjadi lebih transparan. Apabila kondisi GVBD telah mencapai 100 persen, maka tidak lama lagi akan terjadi ovulasi dan dengan bantuan pengurutan perut induk betina, telur akan mudah dikeluarkan (de Vlaming, 1983). Sukses Induk Ovulasi Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ternyata ovaprim® berpengaruh terhadap sukses induk ovulasi pada ikan mas (Cyprinus carpio L.). Penyuntikan ovaprim® memberikan hasil yang baik dari segi keberhasilan ovulasi (100 %) dibandingkan kontrol (0 %). Dosis 0,3 ml/kg/bb merupakan dosis optimal yang dapat direspon oleh ikan mas untuk ovulasi. Hal ini diduga karena induk-induk yang dipilih semuanya telah mengalami matang gonad, sehingga hanya dengan dosis ovaprim® 0,3 ml/kg/bb semua induk ikan mas dapat ovulasi. Dari hasil penelitian Nandeesha et al. (1990b), bahwa dosis ovaprim® 0,5 ml/kg/bb dapat menyebabkan ovulasi pada ikan catla (Catla catla), rohu (Labeo rohita) dan mrigal (Cirrhinus mrigala) dengan sekali suntik secara intra muskuler. Pada ikan mrigal (Cirrhinus mrigala) dosis terendah yang dapat direspon adalah 0,3 ml/kg/bb, sedangkan pada ikan rohu (Labeo rohita) dosis minimum yang dapat direspon adalah 0,4 ml/kg/bb. Pemberian ovaprim® dosis 0,2 ml/kg/bb tidak ada yang mengalami ovulasi pada ketiga spesies tersebut. Peter et al. (1988), melaporkan sGnRHa mempunyai potensi 17 kali lebih kuat dibandingkan LHRHa yang dikombinasikan dengan dosis rendah pimozid (anti dopamin). 12 Silver carp (Hypopthalmichthys molitrix) dan loach (Paramisgurnus debyanus) dapat ovulasi setelah disuntik sGnRHa 10 µg/kg dan 1 µg/kg dikombinasikan dengan domperidon 10 mg/kg/bb, dibandingkan dengan dosis tinggi LHRH (50 µg/kg) yang dikombinasikan dengan domperidon atau pimozid (Lin et al. 1988). Selain itu hasil pengamatan migrasi inti persentase rata-ratanya didapatkan minimal 66,76 persen pada dosis 0,3 ml/kg/bb. Hal ini juga yang mendorong suksesnya ovulasi ikan mas. Menurut Head et al. (1995), kemampuan ovulasi ikan sangat berkaitan dengan penggunaan dosis yang efektif untuk tiap spesies dan kondisi yang sesuai untuk perkembangan gonad sehingga ovulasi selalu berbeda. Salah satu keberhasilan ovulasi ditentukan oleh tingkat kematangan gonad induk betina. Menurut hasil penelitian Yaron (1995), kesuksesan ovulasi pada ikan mas diperoleh apabila migrasi inti lebih dari 66 persen, sedangkan apabila kurang dari dari 34 persen ovulasi tidak sukses. Waktu Latensi Pemberian dosis ovaprim® yang berbeda memberikan pengaruh terhadap ovulasi dan waktu latensi. Waktu latensi tercepat didapatkan pada dosis 0,6 ml/kg/bb diikuti dosis 0,5 ml/kg/bb, 0,4 ml/kg/bb, 0,3 ml/kg/bb, sedangkan kontrol tidak mengalami ovulasi. Semakin tinggi dosis ovaprim® yang diberikan semakin cepat tercapainya waktu ovulasi dan waktu latensi. Dosis yang tinggi ini diduga akan membantu kerja GnRH yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitari, dengan cara menghambat dopamin yang dihasilkan oleh ikan mas. Pada penelitian ini didapatkan waktu latensi antara 13 sampai 16 jam dari awal penyuntikan. Hasil penelitian Syndel (1999), pada ikan mas (Cyprinus carpio) yang disuntik ovaprim sekali dengan dosis 0,5 ml/kg/bb berat tubuh didapatkan waktu latensi antara 14 – 16 jam. Hasil penelitian Nandeesha et al. (1990), pada ikan indian major carp, catla (Catla catla), rohu (Labeo rohita) dan mrigal (Cirrhinus mrigala) yang disuntik ovaprim® sekali dengan dosis 0,3 ml/kg/bb sampai 0,5 ml/kg/bb didapatkan waktu latensi yang bervariasi antara 10 – 14 jam. Derajat Pembuahan Penggunaan hormon (sGnRHa + dopamin) tidak hanya mendorong induk untuk ovulasi saja, tetapi juga kaitannya dengan keberhasilan pembuahan, penetasan dan larva yang dihasilkan. Dalam penelitian pertama derajat pembuahan yang optimal didapatkan pada dosis 0,4 ml/kg/bb, 0,5 ml/kg/bb dn 0,6 ml/kg/bb. Berkala Ilmiah Perikanan Vol. 3 No. 1, April 2008 Derajat pembuahan sangat dipengaruhi oleh kualitas telur dan sperma ikan mas. Pembuahan buatan juga memerlukan keterampilan khusus, sehingga saat pengurutan telur dan sperma tidak tercampur dengn air atau kotoran. Di samping itu proses pencampuran sperma dan telur harus cepat. Penggunaan alat yang memadai juga akan membantu keberhasilan pembuahan. Menurut Woynarovich dan Horvath (1980), derajat pembuahan pada ikan sangat ditentukan oleh kualitas telur, spermatozoa, media dan penanganan manusia. Telur-telur yang diletakkan di air akan cepat mengembang dan mempercepat proses penutupan mikrofil. Pada ikan mas pentupan ini memerlukan waktu 45 sampai 60 detik. Waktu yang diperlukan oleh spermatozoa untuk membuahi sel telur sangat singkat. Pada pembuahan buatan juga perlu penanganan khusus. Jika terlalu banyak air yang ditambahkan, beberapa spermatozoa tidak akan sampai atau meleset dari lubang mikrofil. Demikian juga penambahan air yang terlalu sedikit atau tidak mencukupi, mikrofil akan tertutupi oleh telur lainnya atau bahkan oleh mukosa ovarium. Akibatnya spermatozoa tidak mampu masuk mikrofil dan membuahi telur. Sedangkan menurut Woynarovich (1975), untuk 1 liter telur kering dibutuhkan kira-kira 10 ml cairan sperma. Pembuahan buatan harus dilakukan dengan segera. Cairan sperma dicampur dengan telur dan diaduk pelan-pelan dengan sendok plastik atau bulu ayam antara 1 – 2 menit. Saat itu juga diperlukan air bersih, untuk 1 liter telur diperlukan kira-kira 100 ml air. Pengadukan dilakukan secara kontinyu antara 2 – 3 menit. Derajat Penetasan Pada penelitian pemberian ovaprim® dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh terhadap derajat penetasan, dibandingkan dengan kontrol. Dari hasil penelitian ini derajat penetasan optimal didapatkan pada perlakuan dosis 0,4 ml/kg/bb dan 0,5 ml/kg/bb. Dosis yang terlalu tinggi ternyata memberikan hasil yang menurun. Hal ini diduga karena mekanisme kerja hormon akan bekerja normal (optimal) pada kadar tertentu, penurunan atau peningkatannya diduga akan menurunkan potensi biologis hormon terhadap targetnya. Hasil penelitian Saberi et al. (1996), pemberian dosis ovaprim® 0,5 ml/kg/bb pada ikan Mystus nemurus memberikan hasil ovulasi 100 % dengan rata-rata derajat penetasan 70 %, dosis 0,75 ml/kg/bb ovulasinya 100 % dengan derajat penetasan 45 % serta dosis 0,25 ml/kg/bb ovulasinya 66 % dengan derajat penetasan 49,4 %. Menurut Sundararaj (1981), bahwa telur yang terovulasi dan tidak dikeluarkan dalam periode yang lama akan terjadi overripe (lewat masak) dan ini tidak akan berkembang normal. Hal ini disebabkan karena telur yang terovulasi sudah lepas hubungan dengan induk, sehingga suplai makanan dan oksigen terputus. Apabila terlalu lama tidak segera distripping dan dibuahi maka kualitas telur akan menurun dan ini menyebabkan derajat penetasan rendah. Menurut Woynarovich dan Horvath (1980), telur ikan biasanya akan berkembang normal jika kondisi bak penetasan meliputi oksigen, suhu, dan pH terpenuhi. Sering terjadi beberapa telur mati setelah periode singkat dari perkembangan, yaitu fase morula atau sebelum penutupan blastopor. Kekurangan oksigen merupakan alasan penyebab kematian telur. Suhu juga membunuh telur, biasanya pada fase perkembangan embrio. Pada awalnya telur-telur tampak sehat dan berkembang baik. Lama kelamaan telur-telur itu ada yang berwarna putih dan kusam.Telur yang dibuahi dan tidak dibuahi pada awalnya tidak dapat dibedakan dari telur yang dibuahi. Telur yang sehat akan berkembang menjadi transparan atau jernih. Kualitas Air Pengamatan kualitas air pada waktu penetasan menunjukkan semua parameter masih berada pada batas toleransi penetasan ikan mas. Data yang diperoleh meliputi suhu 27 – 290C, pH 6,5 – 7,5 dan oksigen terlarut 5 - 6 ppm. Data ini mendukung inkubasi dan penetasan ikan mas (Cyprinus carpio L.) secara normal sesuai dengan kriteria yang diberikan yaitu suhu 20 – 300C (Zonneveld et al. 1991), pH 6,0 – 8,5 (Jezierska dan Bartnicka, 1995) dan oksigen terlarut minimal 5 ppm (Suseno, 1994; Zonneveld et al. 1991). Dalam budidaya ikan di samping pakan yang diberikan kualitas air juga memegang peranan penting. Kualitas air sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan budidaya. Kualitas air tersebut meliputi suhu, pH dan oksigen terlarut (Cholik et al. 1986). Pada budidaya dengan sistem mengalir hanya bertindak sebagai sarana bagi transport oksigen. Hasil buangan yang berasal dari ikan juga mempengaruhi kualitas air. Sebagai akibatnya kualitas air hanya dapat diterima selama tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap sasaran antara lain, pertumbuhan dapat memperoleh berbagai hasil dari satu pelaksanaan budidaya (Zonneveld et al. 1991). Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter peubah kualitas air yang paling kritis 13 Pengaruh sGnRHa + Domperidon........ pada budidaya ikan. Air kolam yang mengandung konsentrasi oksigen terlarut yang rendah akan mempengaruhi kesehatan ikan, karena ikan mudah terserang penyakit. Oksigen selain dibutuhkan dalam proses metabolisme juga dalam aktivitas gerak organisme (Cholik et al. 1986). Lebih lanjut menurut Zonneveld et al. (1991), dalam budidaya ikan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 5 ppm. Ikan memerlukan oksigen guna pembakaran makanan untuk menghasilkan aktivitas, berenang, pertumbuhan dan reproduksi. pH air bagi hampir semua organisme air berkisar antara 6,5 – 8. pH air yang rendah akan menyebabkan timbulnya penyakit jamur (fungal) (Brotowidjojo et al. 1995). Nilai pH air sangat dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis tanaman yang hidup dalam air. Air yang digunakan untuk budidaya ikan pada kolam air mempunyai kisaran antara 6,7 – 8,2 (Zonneveld et al. 1991). Kesimpulan Dan Saran Pemberian dosis ovaprim® (sGnRHa + domperidon) yang berbeda dapat meningkatkan migrasi inti atau germinal vesicle break down (GVBD), sukses induk ovulasi, waktu latensi, derajat pembuahan dan derajat penetasan dibandingkan dengan kontrol (diberi NaCl 0,7 %). Dosis ovaprim yang optimal yang didapatkan adalah 0,5 ml/kg/bb ikan mas (Cyprinus carpio L.). Daftar Pustaka Adi, C.H. 1999. Pengaruh Kombinasi hCG dan Ekstrak Kelenjar Hipofisa Ikan Mas Terhadap Proses Ovulasi Ikan Baung (Mystus nemurus C.V). Thesis. Pascasarjana. IPB. Bogor. 55 hal. Brotowidjojo, M.D., Tribawono, D dan Mulbyantoro, E. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberty. Yogyakarta. 259 hal. Cholik, F., Artati dan Arifudin. 1986. Pengelolaan kualitas Air kolam Ikan. INFIS Manual.Seri No. 36. 52 hal. Davy, F.B., and Chouinard, A. 1980. Induced Fish Breeding in Southeast Asia. IDRC. Ottawa, Canada. 1-48 pp. Degani,G and Boker, R. 1992. Vitellogenesis Level and Induction of Maturation in The Ovary if The Blue Gouramy Trichogaster trichopterus (Anabantidae, Pallas, 1770). J. Experimental Zoology, 263 : 330-337. De Vlaming, V. 1983. Oocyte Development Patterns and Hormonal Involvements Among Teleosts. In : Rankin, J. C., 14 Pitcher, T. J. and Duggan, R. T. (eds). 1983. Controle Process in Fish Physiology. 298 p. Croom Helm. Australia. 176 – 199. Drori, S., Ofir, M., Levavi-Sivan, B., Yaron, Z.. 1994. Spawning Induction in Common Carp (Cyprinus carpio) Using Pituitary Extract or GnRH Superactive Analogue Combined with Metoclopramide : Analysis of Hormone Profile, Progress Oocyte Maturation and Independence on Temperature. Aquaculture, 119 : 393407. Harvey B.J. dan Hoar, W.S. 1979. The Theory and Practice of Induced Breeding in Fish. IDRC. Ottawa. 1-48 pp. Head, W. D., Watanabe, W.O., Ellis, S.C., dan Ellis, E. 1996. Hormone Induced Multiple Spawning of Captive Nassau Grouper Broodstock. The Progressive Fish Culturist. 58 : 65 – 69. Horvath, L. 1978. Relation Between Ovulation and Water Temperature by Farmed Cyprinids. Aquacult. Hung. (Szarvas), 1 : 58 – 65. Horvath, L. 1985. Egg Development (Oogenesis) in The Common Carp (Cyprinus carpio L.). In : J. F. Muir and R. J. Robert (Editors), Recent Advanced in Aquaculture, Vol. 2. Croom Helm, London. pp. 32 – 77. Jezierska, B., and Bartnicka, B. 1995. The Effect of pH on Embryonic Development of Carp (Cyprinus carpio L.). Aquaculture, 129 : 133 – 137. Kobayashi, D., Tanaka, M., Fukuda, S., and Nagahama, Y. 1996. Steroidogenesis in Follicles of Medaka (Oryzas latifes) During Vitellogenesis and Oocyte Maturation. Zoo. Science. 13 : 921927. Lieberman, E. 1995. A Guide to The Application of Endocrine Techniques in Aquaculture. Argent Laboratories Press. 40 pp. Lin, H. R., Van Der Kraak, G., Zhou, X. J., Liang, J. Y., Peter, R. E., Rivier, J. E. and Vale, W.W. 1988. Effect of (DArg6,Trp7,Leu8,Pro9-NEt)-luteinizing hormone-releasing hormone (sGnRHA) and (D-Ala6,Pro9-Net)-luteinizing hormone-releasing hormone (LHRHA), in Combination with Pimozide or Domperidone, on Gonadotropin Release and Ovulation in The Chinese loach and Common carp. Gen. Comp. Endocrinol., 69 : 31 – 40. Berkala Ilmiah Perikanan Vol. 3 No. 1, April 2008 Nagahama, Y. 1983. The Functional Morphology of Teleost Gonads. In : Hoar, W.S., Randall, D.J. and Donaldson, E.M. (eds). 1983. Fish Physiology. Vol. IX Part B. Academic Press, Inc, New York. 223-275 pp. Nagahama, Y. 1987. Gonadotropin Action on Gametogenesis and Steroidogenesis in Teleost Gonads. Zoological Science, 4 : 209-222. Nandeesha M.C., Das, S.K., Nathaniel, D.E., and Varghese, T.J. 1990a. Breeding of Carps With Ovaprim in India. Spec. Publ. Asian Fish. Soc. Indian Branch, Mangalore, India. no. 4. 41 pp. Nandeesha M.C., Rao, K.G., Jayanna, R.N., Parker, N.C., Varghese, T.J., Keshavanath, P., and Shetty, H.P.C. 1990b. Induce Spawning in Indian Major Carps Through Single Application of Ovaprim-C. Proc. of The Second Asian Fisheries Forum. Tokyo, Japan. 581-585 pp. Pao, X., Kuanhong, M., Jian, Z., Jianxin, W., Yongseng, G. 1999. Comparative Studies on Spawning-Inducing Using Ovaprim and Other Hormone. Freshwater Fisheries Research Center, Chinese Academy of Fishery Science, Wuxi, China. 12 pp. Peter, R.E., Lin, H.R. and Van Fer Kraak, G. 1988. Induced Ovulation and Spawning of Cultured Freshwater Fish in China : Advances in Application of GnRH analogues and Dopamine Antagonist. Aquaculture, 74 : 1 –10. Randall, C. 1995. The Control of the Timing of Seasonal Reproduction in Salmonid Fish. Aquaculture News, 19 : 18-20. Redding, J.M., and Pattino, R. 1993. Reproductive Physiology. In : Evans D. H. (ed). 1993. The Physiology of Fishes. CRC Press, Inc, USA. 503-533 pp. Rottmann, R.W., and Shireman, J.V. 1985. The Use of Synthetic LH-RH Analogue to Spawn Chinnese Carp. Aquacult. Fish. Manage. 1 : 19 – 24. Saberi, M., Ibrahim, T., and Samsury, K. 1996. Induced Spawning of Mystus nemurus (C & V) Using Ovaprim. Proc. Fish. Res. Conf. DOF. Mal. 1996 : 273 – 277. Steel R.G.D., dan Torrie J.H. 1995. Prinsip Dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. PT. Gramedia, Jakarta. Sumantadinata, K. 1995. Present State of Common Carp (Cyprinus carpio L.) Stock in Indonesia. Aquaculture, 129 : 205-209. Suseno, D. 1994. Pengelolaan Usaha Pembenihan Ikan Mas. Penebar Swadaya, Jakarta. Hal 4-13. Sundararaj, B.I. 1981. Reproductive Physiology of Teleost Fishes. UNDP. Rome. 82 pp. Syndel. 1999. Using Ovaprim To Induced Spawning in Cultured Fish. Syndel Laboratories Ltd. Canada. 3 pp. Wahyudi. 1995. Penggunaan Ekstraks Hipofisis Sapi dan PMSG-hCG Sebagai Bahan Untuk Menghasilkan Sperma Dan Daya Fertilisasi Telur Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus). Thesis. Pascasarjana Unair. Surabaya. 71 hal. Winarsih, W.H. 1996. Pengaruh Pembekuan Sperma Dengan Nitrogen Cair Terhadap Motilitas Spermatozoa, Fertilitas dan Daya Tetas Telur Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Thesis. Pascasarjana Unair. Surabaya. 91 hal. Woynarovich E. 1975. Elementary Guide to Fish Culture in Nepal. FAO Inland Fishery Biologist. Rome. 131 pp. Woynarovich E., and Horvart, L. 1980. The Artificial Propagation of Warm-Water Finfishes a Manual for Extention. FAO Fish. Tech. Pap. (201) : 183 pp. Yaron, Z., 1995. Endocrine Control of Gametogenesis and Spawning Induction in The Carp. Aquaculture, 129 : 49-73. Yaron, Z., Sivan, B., Drori, S., and Kulikovsky, Z. 1999. Spawning Induction in Cyprinids : Hypophyseal and Hypothalmic Approaches. Department of Zoology, Tel-Aviv University. Israel. 20 pp. (Unpublished). Zohar, Y. 1986. Gonadotropin Releasing Hormone In Spawning Induction In Teleosts : Basic and Applied Considerations. In : Y. Zohar and B. Breton (Editors), Reproduction In Fish, Basic and Applied Aspects In Endocrinology and Genetics, INRA, Paris, France. 47-61 pp. Zohar, Y. 1989. Fish Reproduction : Its Physiology and Artificial Manipulation. In : Shilo, M and Sarig, S (ed). 1989. Fish Culture in Warmwater System : Problem and Trends. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida. 65-119 pp. Zonneveld. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta 15 Pengaruh sGnRHa + Domperidon........ 16