Pergerakan garam secara lateral dan vertikal

advertisement
Pergerakan garam secara lateral dan vertikal
Achmad Rachman
Indonesian Soil Research Institute (ISRI)
Pesan kunci
•
Di beberapa lokasi pencucian garam-garam dari tanah
telah terjadi dengan baik, tetapi masih banyak juga lokasi
yang tanahnya masih terlalu asin untuk pertumbuhan
tanaman.
•
Daerah yang tanahnya masih terlalu asin sebaiknya jangan
dulu ditanami. Daerah-dearah seperti ini dapat
dididentifikasi dengan menggunakan alat EM38 maupun
EC meter.
•
Garam-garam yang tercuci kedalam tanah dapat kembali
kepermukaan melalui proses penguapan yang berlebihan
pada musim kemarau dan penjenuhan tanah selama
musim hujan. Penguapan yang berlebihan dapat dicegah
dengan menggunakan mulsa atau tanaman penutup tanah.
•
Untuk lahan sawah yang tanahnya masih terlalu asin,
sebaiknya diusahakakan agar air bisa mengalir dengan
baik untuk meningkatkan pencucuain garam.
Pendahuluan
Kerusakan lahan pertanian akibat tsunami yag terjadi pada
tanggal 26 Desember 2004 di Nangroe Aceh Darussalam (NAD)
dan Nias disebabkan oleh kombinasi dari tiga faktor sebagai
berikut: 1) peningkatan kadar garam tanah sebagai akibat dari
penjenuhan air laut berkadar garam tinggi pada tanah-tanah
pertanian selama dan setelah terjadinya tsunami, 2)
pengendapan lumpur, pasir atau bahan yang lebih besar di
atas lahan pertanian dan/atau saluran-saluran irigasi dan 3)
pemadatan tanah, baik yang disebabkan oleh penggunaan
alat-alat berat selama proses pembersihan maupun oleh
terdispersinya partikel tanah karena kandungan Na yang
tinggi sehingga berpotensi menyumbat pori tanah.
Deposit lumpur tsunami yang diambil di 3 kabupaten
menunjukkan tingkat salinitas yang tinggi yaitu untuk DHL
3,7 sampai 48,9 dS/m dan kandungan garam 9000 – 26000
ppm. Jika lumpur ini tidak tertangani dengan benar,
berpotensi untuk bercampur dengan tanah baik melalui
pengolahan tanah maupun melalui proses infiltrasi, akibatnya
adalah meningkatnya kandungan garam di dalam tanah.
Pencucian (leaching) lebih lanjut dari unsur Na ini sangat
berpotensi untuk mencemari air tanah yang nantinya
digunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari.
Tulisan ini membahas mengenai pergerakan air di dalam
tanah dan implikasinya terhadap pencucian garam-garam dari
permukaan tanah (top soil) ke lapisan tanah bawah
permukaan (sub soil).
Pengaliran air di dalam tanah
Air bergerak di dalam tanah dalam 3 bentuk: 1) aliran air
jenuh, 2) aliran tidak jenuh, dan 3) aliran karena perbedaan
tekanan udara. Aliran jenuh terjadi dalam kondisi dimana
semua pori-pori tanah, besar dan kecil, terisi air. Aliran tidak
jenuh terjadi dalam kondisi dimana hanya pori-pori
berukuran relatif besar tidak terisi air tetapi terisi udara,
sehingga aliran air hanya terjadi di dalam pori-pori yang relatif
kecil. Aliran karena perbedaan tekanan terjadi apabila telah
terbentuk perbedaan tekanan udara antara satu dengan
tempat lainnya, biasanya terjadi di dalam tanah yang relatif
kering. Aliran jenuh dapat terjadi kesemua arah yaitu ke
bawah, ke samping, dan ke atas. Pergerakan air ke bawah
dan ke samping terjadi bersamaan saat air ditambahkan ke
tanah baik berupa hujan maupun irigasi. Pada tanah
bertekstur kasar (pasir), pergerakan air ke lapisan tanah lebih
dalam lebih cepat dibanding pada tanah bertekstur halus (liat
berlempung)). Sedangkan pergerakan air ke samping akan
lebih cepat terjadi pada tanah bertektur halus. Sifat-sifat
tanah lainnya yang mempengaruhi pergerakan air di dalam
tanah adalah kepadatan tanah, perbedaan tiap lapisan, dan
kedalaman perakaran. Tingkat pencucian garam-garam dari
sekitar perakaran ditentukan oleh sifat-sifat tanah yang
mempengaruhi pergerakan air di dalam tanah.
Pengamatan pencucian garam
Beberapa lokasi daerah tsunami telah diamati tingkat
pencucian garam-garamnya terutama dari sekitar daerah
perakaran tanaman semusim yang disebabkan oleh intensitas
hujan. Contoh tanah diambil dari beberapa kedalaman tanah
yang kemudian dianalisa sifat-sifat kimianya yang berkaitan
dengan salinitas, khususnya hantaran listrik atau electrical
conductivity (EC). Gambar 1 memperlihatkan contoh sebaran
Na+ dapat tukar sampai kedalaman 80 cm.
Figure 1. Sebaran Na dapat ditukar pada berbagai kedalaman tanah
yang diamati pada lokasi pengamatan permanent di a) Cot Lheu
Rheng, Pidie; b) Panteraja, Pidie; c) Lhok Nga, Aceh Besar; and d)
Pineung, Aceh Besar pada bulan September 2005 dan Desember
2005.
Sangat jelas terlihat bahwa telah terjadi perubahan yang jelas
terhadap kandungan Na+ dapat tukar dalam jangka waktu
yang relatif singkat, perubahan ini sebagai akibat dari
pencucian dan/atau pembilasan oleh curah hujan yang tinggi
di daerah tersebut. Namun demikian, di lokasi Panteraja,
Pidie tingkat pencucian Na+ dapat tukar tidak begitu besar
disebabkan oleh peningkatan kandungan liat tanah mengikuti
kedalaman tanah sehingga menghambat pergerakan air ke
bawah dan ke samping.
Perlu diingat bahwa pengaruh jangka panjang dari intrusi air
garam di daearh tsunami belum dapat diprediksi secara tepat.
Terdapat bukti-bukti bahwa pembentukan tanah-tanah sodic
setelah pencucian garam yang intensif dan masalah-masalah
yang berhubungan dengan ketidak seimbangan unsur hara di
dalam tanah seperti terjadinya polong kacang tanah yang
tidak berisi. Masalah ini memerlukan pengamatan lebih
lanjut untuk mengetahui proses kejadiannya dan tindakan
yang perlu diambil untuk mengatasinya.
Beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat mengurangi
kehilangan hasil akibat dari tsunami. Rekomendasi tersebut
antara lain:
Hindari menanam pada daerah yang salinitasnya
masih tinggi.
Penentuan daerah-daerah tersebut dapat dilakukan
berdasarkan pengetahuan petani yang berkaitan dengan lama
dan tinggi genangan air asin pada saat tsunami; indikasi yang
ditunjukkan oleh tanah dan tanaman; dan analisa tanah di
lab dan berdasarkan pengukuran dengan EM38.
Memacu tingkat pencucian garam.
Hal ini bisa dilakukan dengan mencegah air pasang memasuki
daerah pertanian; rehabilitasi saluran irigasi dan saluran
pembuangan; memperlancar aliran air masuk dan keluar dari
petakan sawah; dan menanam pada bedengan-bedengan yang
disertai dengan penggunaan mulsa.
Memperbaiki kesuburan tanah.
Penggunaan pupuk anorganik dan organik untuk
memperbaiki kesuburan kimia dan fisik tanah. Hal ini
merupakan langkah penting dalam proses rehabilitasi tanah
sehingga produktivitas tanah dapat optimal.
Tanaman.
Penanaman tanaman pionir, seperti rumput, untuk
merehabilitasi tanah-tanah salin karena sifatnya yang
umumnya toleran terhadap tanah salin dan bermanfaat untuk
menyediakan pakan ternak. Padi dapat ditanam selama proses
pencucian dalam rangka rehabilitasi tanah bersamaan dengan
penanaman tanaman yang lebih toleran.
Dalam rangka membangun kesuburan tanah di daerah bekas
tsunami yang berigasi teknis atau selama musim hujan, padi
dapat ditanam pada daerah yang datar sementara bawang dan
cabe ditanam pada bedengan yang ditinggikan dan dilebarkan.
Kombinasi penggunan pupuk anorganik dan pupuk organik
dari sisa tanaman dan pupuk kandang; dan penggunaan
kapur pada tanah bereaksi masam dan gypsum pada tanah
liat akan membantu memperbaiki kesimbangan hara dan
kemampuan menyimpan air di dalam tanah; memperbaiki
struktur tanah sehingga akar tanaman dapat berkembang,
terutama untuk tanaman selain padi dan mengurangi resiko
penyakit.
Kesimpulan
Beberapa kemajuan telah dicapai dalam merehabilitasi sektor
pertanian dihampir semua lokasi yang terkena tsunami.
Melalui kombinasi antara pemetaaan secara spatial,
monitoring yang berkelanjutan pada beberapa lokasi tertentu
dan penelitian untuk mendapatkan teknologi rehabilitasi yang
tepat untuk diterapkan petani, beberapa program telah
dijalankan untuk membangun kembali sektor pertanian dan
kehidupan masyarakat di daerah bekas tsunami. Sejumlah
program masih berlangsung dan tantangan ke depan adalah
mengetahui pengaruh jangka panjang dari salinitas terhadap
sifat-sifat kimia dan fisik tanah sebagai akibat proses
pencucian garam yang terus berlanjut. Dampaknya akan
terus dimonitor dan dianalisa melalui 20 lokasi monitoring
yang telah dibangun.
Vertical and lateral movement of salt
Achmad Rachman
Indonesian Soil Research Institute
Key messages
•
In many areas sodium salts have leached from the root
zone, but high levels still exist in some areas.
•
Avoid planting in areas that are still highly saline. Areas
that are too saline can be identified using the EM38
instrument or EC meter.
•
Salts that have been leached down could move to the soil
surface by capillary rise or by raising ground water level.
Soil evaporation can be reduced by mulching or
maintaining ground cover.
•
Allow through flow of water in rice areas where salt is still a
problem.
Introduction
Land degradation due to the tsunami that devastated NAD and
Nias on 26 December 2004 is caused by a combination of
three factors:
•
significant increase in soil salt content as the result of
seawater inundation on farm land during and after tsunami
•
deposition of tsunami mud, sand, and other larger
materials on farm land and in irrigation channels
•
soil compaction, either by the use of heavy machinery to
clean up the farm land or by dispersion of soil aggregates
by high soil sodium content.
Tsunami mud collected from three districts indicated very high
salinity, with EC ranging from 3.7 to 48.9 dS/m, with salt
content ranging from 9,000 to 26,000 ppm. Handling of this
mud after the tsunami may have contaminated soil through
tillage and infiltration, and increased salt concentration in the
subsoil. Further leaching of sodium may potentially
contaminate the groundwater used by the community.
This article explains the movement of water in the soil and its
implications for salt leaching from the soil surface down the
soil profile.
Flow of liquid water in soil
Three types of water movement in the soil are recognised:
1. saturated flow, which occurs when the soil pores are
completely filled (or saturated) with water
2. unsaturated flow, which occurs when the larger pores in
the soil are filled with air, leaving only the smaller pores
to hold and transmit water
3. vapour movement, which occurs when vapour pressure
differences develop in relatively dry soils.
Saturated flow may occur down the profile, horizontally, or
even upwards. Downward and horizontal flows take place
simultaneously when water is applied to the field either by
rainfall or irrigation. Water moves down the profile more
rapidly in sandy loam than in clay loam soil. Horizontal water
movement is more evident in clay loam. Other soil properties
that affect water movement in the soil are soil compaction, soil
layering, and rooting depth. The degree of leaching/flushing of
salt from the effective root zone is determined by soil
properties that affect water movement in the soil.
Monitoring of salt leaching/flushing
Fixed monitoring sites have been established in the tsunamiaffected areas to assess the degree of leaching/flushing of salts
from the effective root zone by natural rainfall events. Soil
samples collected are collected regularly from various depths
and are subjected to comprehensive chemical analysis that
includes key indicator ions of salinity and EC. Exchangeable
sodium to a depth of 80 cm for selected sites is presented in
Figure 1. Figure 1 shows that dramatic changes have occurred
in exchangeable sodium over a relatively short time, indicating
the positive benefits associated with natural flushing and
leaching in tropical environments. However, in some areas
such as Panteraja Pidie the degree of leaching/flushing of
sodium is not as great due to a substantial increase in clay
content at depth, which hinders downward water movement
(Figure 1).
Figure 1. Monitoring of exchangeable Na+ from fixed monitoring
sites established at a) Cot Lheu Rheng, Pidie; b) Panteraja, Pidie; c)
Lhok Nga, Aceh Besar; and d) Pineung, Aceh Besar over the period
September 2005 and December 2005.
It is important to note that the long-term impacts of saline
water intrusion on these soils are still not fully understood.
Indeed there is evidence to suggest the development of soils
with sodic characteristics after significant leaching of salts and
problems associated with nutritional imbalances such as
empty pods in peanut crops. These issues need to be
monitored and assessed as and when they occur and
intervention options for farmers developed and distributed.
Recommendations for farmers
The following recommendations have been made to farmers to
help them reduce crop losses on tsunami-affected soils.
Avoid planting land that is still saline.
The identification of such lands can be based on farmer
knowledge associated with flooding events and seawater
intrusion, soil and plant indicators, and soil testing that can
be laboratory (ECe) or field (EM38) based.
Enhance the leaching of salt-affected lands.
This can be achieved by preventing tidal entry into affected
lands, restoring drainage infrastructure and irrigation,
allowing the through flow of water in rice bays, and using beds
to establish crops along with mulches.
Build soil fertility.
Chemical, physical and biological attributes of a soil can be
enhanced with the use of inorganic fertilisers and organic
matter. This is an important step in the recovery process as it
will allow the full potential of the soils to be achieved.
In building the fertility status of tsunami-affected soils under
irrigated or wet season production systems, rice can be grown
on the flats while onions and chillies can be established on
raised beds. The combination of inorganic fertilisers, organic
matter from crop residues and manures, and the use of lime
on acid soils and gypsum on clay soil will all help improve the
nutrient and water holding capacity of soils, improve soil
structure to allow effective root development in non-rice crops,
and reduce the risk of soil-borne diseases.
Choose salt-tolerant vegetation.
Volunteer forage grasses can be used in the rehabilitation
phase as they are tolerant to prevailing conditions and provide
a source of nutrition to livestock; rice should be used as a crop
during the leaching phase in the rehabilitation of soils along
with the growing of more tolerant crop species.
Conclusions
Progress has been made in the overall rehabilitation of the
agricultural sector in most affected areas in Aceh, Indonesia.
Through a combination of mapping, monitoring and studies to
identify and understand best bet options for farmers in
rehabilitating their lands, attempts are being made to rebuild
the agricultural sector and the livelihoods of affected
communities. There is considerable work still be undertaken
and the challenges ahead include the long-term impact of
salinity on the chemical and physical attributes of soils as the
leaching process proceeds. These impacts will continue to be
monitored and assessed through the establishment of
permanent monitoring sites.
Download