Dari `Ekstrim Kanan`

advertisement
MIMBAR, Vol. XXVI, No. 2 (Desember 2010): 169-181
Dari ‘Ekstrim Kanan’ ke Terorisme
BAMBANG SAIFUL MA’ARIF
1
1
Dosen Fakultas Dakwah Unisba, JL. Ranggagading No. 8 Bandung,
Email: [email protected],
Abstract
A religious understanding is one of the characteristics of muslim society.
In one side, the depth of religious consciousness causes the rightness
for the follower , but from another side, it potencially brings into the
conflict. In Indonesia due to multi-religious perspectives, we know that
‘ekstrim kanan’ is adresssed to those who embrace religion by high intensity without taking any tolerance to anothers’ oppinion and governance ideology. The aim of this article is to understand about the realm
of religious ‘ekstrim kanan’(fundamentalism) as social fact, its characteristic and historical dynamic, and its afinity to the terorism. The approach
of this article is interpretive, by studying on the literatures. From the research results, it can be concluded that the muslims’ understanding will
vary and fluctuative. Ulama’s interpretation on the Qur’anic scripts (verses)
and his interaction to the governance as prominent factor will be the
triger to ‘ekstrim kanan’. Yet, not all of the realm of ‘ektrim kanan’ will be
triger to the terorism. Terorism is merely as an ideological antagonism
when there are present prerequisite factors, ie: a) abuse of power, b)
exclussive social link, c) religious ideology as legitamate factor to attact
another man and governance , and d) the dominance of outsider power
in muslim cummunity, aspecially to grassroot, until it marginalized them.
Kata kunci: Ekstrim Kanan, Terorisme
I.
PENGANTAR
Meski kekuasaan tidak menjadi faktor
yang signifikan dalam penerapan agama, ia
dipandang memiliki posisi yang strategis
dalam kehidupan masyarakat. Sehingga
banyak kelompok dalam masyarakat yang
memandang perlu untuk memengaruhi
penguasa, atau bahkan meraih kekuasaan
itu sendiri. Karena banyak sekali kelompok
yang berebut untuk memeroleh kekuasaan,
maka tidak terhindari terjadinya pergesekan
di antara sesama muslim dalam meraih
kekuasaan. Satu dengan lainnya saling
‘Terakreditasi’ SK Dikti No. 64a/DIKTI/Kep/2010
menyudutkan.
menyatakan,
Koentowidjojo (2001: 310)
Apa saja dikerjakan oleh kekuatan Islamophobia untuk memojokkan umat. Melalui politik
resmi, dalam sidang-sidang DPR/MPR (RUU
Perkawinan 1973, masalah perjudian,
masuknya Aliran Kepercayaan dalam GBHN
1978), melalui rekayasa sosial politik (umat
diberi PR dengan masuknya tarekat tertentu
dan adanya ganjalan umat, seperti Darul
Hadis/LDII dalam Golkar; Peraturan
Pemerintah pada tahun 1982 tentang
larangan jilbab di sekolah; pembatasanpembatasan dakwah) dan melalui politik
keamanan (Komando Jihad/DI/TII/NII,
Peristiwa Tanjung Priok 1984).
169
BAMBANG SAIFUL MA’ARIF. Dari ‘Ek st rim Kanan’ k e Terorisme
Pernyataan Koentowidjojo tersebut
mengisyaratkan bahwa, terdapat berbagai
istilah yang muncul dalam sejarah bangsa
Indonesia, sejak jaman Orde Lama, seperti
Darul Islam (DI), Tentara Islam Indonesia,
Negara Islam Indonesia (NII). Jaman Orde
Baru pun telah muncul istilah Komando Jihad,
Gerak an Darul Hadis, I slam Jam a’ah,
Lembaga Kekaryaan Republik Indonesia
(Lemkari), dan Lembaga Dakwah Islamiyah
Indonesia (LDII). Namun sejak tahun 1990an
terdapat rekonsiliasi nasional dalam politik.
Rekonsiliasi antara pemerintah dan umat,
serta antara pihak pemerintah dengan
oposisi. Lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) mendorong umat Islam
menggaungkan lahirnya masyarakat sipil
(masyarakat madani) yang egaliter.
Meski di Indonesia tidak dikenal
‘oposisi’ sebagai kekuatan resmi, suara-suara
yang berseberangan dengan pemerintah
dipandang sebagai oposisi. Sekiranya tidak
dilakukan reko ns iliasi itu nis caya
ketidakpuasan kepada Orde Baru akan
menjadi faktor pemicu lebih awal dari
dilengserkannya Presiden Soeharto. Langkah
tersebut telah memberikan angin segar bagi
kaum muslimin di Indonesia, sehingga dapat
mengerem ketidakpuasan bagi sebagian
kaum muslimin. Orde Baru sebagai kekuatan
dalam panggung sejarah selama 32 tahun
berkuasa penuh menjadikan kaum muslimin
berada dalam beragam posisi; dari yang
semula dirangkul, ditakuti, dimarginalkan,
kemudian dirangkul kembali; ketika pada
tahun 1990, sekelompok cendekiawan
muslim mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Lahirnya ICMI yang
dibidani oleh BJ. Habibie menjadikan
kelompok terpelajar dan teknokrat di Indonesia merasa tidak canggung dalam
menjalankan perintah agamanya. Semua itu
menandakan bahwa posisi umat Islam
memiliki daya tawar cukup besar, di tengah
semua kepentingan penguasa. Ada kesan
bahw a semua itu dipertuk arkan demi
kepentingan kelompok, di mana konflik
dikelola dengan manis. Ada kesadaran pada
umat Islam begitu besarnya umat Islam di
Indonesia, sehingga ia menjadi ‘rebutan’
170
berbagai pihak yang berkepentingan,
terutama berkaitan dengan pemungutan
suara pada pemilihan umum atau pemilihan
kepala daerah (pilkada).
Umat Islam dalam menyikapi berbagai
perkembangan keumatan, terutama dalam
kaitannya dengan kebijakan pemerintah, tidak
satu, misalnya tentang asas tunggal.
Sekelompok muslim menolaknya dengan
tegas. Terutama karena kekhawatiran bahwa
bila Pancasila dijadikan sebagai sumber
segala sumber hukum dan menjadi asas
organisasi Islam, maka akan bertolak
belakang dengan keinginan umat Islam yang
ingin menjalankan ajaran agamanya dengan
baik. Kondisi ini bisa ditafsirkan sebagai
bentuk intervensi negara atas aqidah umat
Islam. Masalah perekonomian juga menjadi
satu ganjalan bagi umat Islam, di mana umat
Islam keberatan bila pemerintah terlalu
condong ke Barat, ke arah Kapitalisme-Liberal. Masyarakat Indonesia mayoritas adalah
muslim yang mengusung prinsip ta’awun
(saling menolong). Demikian pula dengan
kebudayaan Barat yang dibiarkan menembus
lapisan masyarakat muslim. Merespon
dinamika keumatan tersebut, berbagai
komponen umat Islam mengimbanginya
dengan menggunakan kritik-kritik sosial,
ekonomi, dan kebudayaan di Indonesia.
Secara singkat, tulisan ini bertujuan
untuk mengupas empat hal, yaitu: (1)
Bagaimana ajaran Islam tentang keragaman
‘pengamalan agama’, (2) Apa karakteristik
pemahaman keagamaan ‘ekstrim kanan’, (3)
Bagaim ana
dinamika
pem aham an
pergerakan kelompok keagamaan ‘ekstrim
kanan’ sejak jaman Orde Baru hingga era
reformasi, dan (4) Bagaimana kaitan antara
paham ‘ekstrim kanan’ dengan kelompok
‘Teroris’ di Indonesia.
II.
PEMBAHASAN
A.
Ajaran Islam dan Ragam
Pengamalannya
Agama sebagai Jalan Kebenaran
Manusia
1.
Umat Islam dibimbing oleh Nabi
Muhammad Saw. yang membawa ajaran
ISSN 0215-8175
MIMBAR, Vol. XXVI, No. 2 (Desember 2010): 169-181
yang diabadikan dalam bentuk kitab suci dan
tradisi kenabian (al-sunnah al-nabawiyyah).
Setelah nabi wafat, kehidupan masyarakat
beragama dibimbing oleh ajaran yang
diwariskannya itu. Kitab suci diyakini oleh
umat Islam sebagai mukjizat Tuhan yang
abadi melalui tangan nabi-Nya. Kitab suci
dijaga keotentikannya, karena hanya ajaran
otentik yang dapat melahirkan kepercayaan
akan kebenarannya. Secara filosofis, suatu
ajaran disebut agama bila ia memiliki
berbagai kriteria: (a) Mengajarkan adanya
Zat Yang Maha Agung, (b) Ada pembawa
ajarannya, (c) Memiliki ajaran dan kitab
sucinya, (d) Ajaran tentang yang gaib dan
hari pembalasan, dan (e) Mengajarkan
kebaikan, kebahagiaan dan moral.
Semua kriteria tersebut penting sebab
akal sehat tidak bisa menerima agama yang
tidak mengajarkan akan adanya Zat Yang
Maha Agung. Setiap ajaran harus memenuhi
kriteria tersebut untuk bisa disebut sebagai
agama. Agama yang benar menjadikan
orang bahagia, karena semua kebutuhan
hidupnya terpenuhi. Terutama kebutuhan
spiritual. Agama yang hanya menawarkan
kepuas an
duniawi
jus tru
(akan)
membosankan karena tidak mengajarkan
hal-hal yang bersifat transendental dan spiritual. Sementara itu, kebutuhan manusiawi
meliputi perkara-perkara yang tidak semata
fisik material. Oleh karenanya ajaran agama
yang tidak menawarkan hal yang bersifat
transendental dan spiritual tidak
menggairahkan kehidupan manusia,
cenderung membawa frustasi.
Karena itu, ajaran yang mengklaim diri
sebagai ‘agama’, namun tidak memenuhi
lima kriteria di atas disebut sebagai ‘pseudo
agama’ dan cenderung menyes atkan.
Misalnya Marxisme, Liberalisme, Saintologi.
Bahkan Kapitalisme pun bila dipandang oleh
pengikutnya sebagai sesuatu pranata sosial
yang dapat menyelesaikan masalah, berarti
telah mengambil jalan agama, padahal
hekekatnya tidak terbukti adanya kriteria
agama tersebut.
Islam mengajarkan bahwa seorang
muslim selalu berusaha untuk mendekatkan
‘Terakreditasi’ SK Dikti No. 64a/DIKTI/Kep/2010
diri (taqarrub) kepada Allah Swt. dan tidak
mati kecuali dalam keadaan muslim ([taat],
QS. 2: 132). Semua kebutuhan hidup dan
kehidupan manusia (khususnya umat Islam)
diatur secara lengkap oleh Islam, karena ia
adalah agama yang lengkap (QS. 5: 3).
Penyimpangan dari ketidaktaatan kepada Islam lebih sering karena dominasi nafsu atau
tarikan duniawi. Semua umat Islam terkena
keharusan untuk mengamalkan ajarannya,
secara baik dan istikamah. Logika ini menjadi
sandaran untuk bis a masuk kepada
pengam alan I slam s ecara kâff ah .
Menerapk an huk um adalah suatu
keniscayaan dalam kehidupan muslim, baik
secara individu maupun secara kolektif.
Pelaksanaan hukum-hukum Allah dalam
kehidupan ini akan menjamin suatu keadilan
dan kebajikan. Ada ketidaksamaan dalam
upaya untuk menerapkan agama, yaitu pada
tataran mana menjalankan aturan Allah.
Semua sepakat pada tingkat individu dan
keluarga. Pada tataran kemasyarakatan,
kebangsaan dan kenegaraan tidak perlu
diatur secara langsung oleh hukum Allah,
hanya nilai saja yang diambil darinya.
Dis inilah letak perbedaan itu. Terjadi
perbedaan persepsi di antara ulama dengan
negarawan (atau politikus) muslim.
2.
Jihad antara Pemahaman dan
Praksis
Setiap muslim dituntut untuk masuk
ke dalam Islam secara kâffah (QS. 2: 208).
Seorang muslim tidak serta merta dibiarkan
menyatakan dirinya muslim tanpa diuji
terlebih dahulu. Karena hadirnya ujian
merupakan suatu tanda akan keimanannya
(QS.29: 2). Setiap muslim dapat menjalankan peribadatannya dengan baik tanpa
disertai dengan paksaan dan tekanan (QS.
2: 256). Di situ terjadi perbedaan dalam
pelaks anaan ajaran agamany a. Ada
kelompok yang berupaya untuk menjalankan
agama dengan baik dan istikamah, namun
ada pula yang melakukan agamanya dengan
sedang-sedang saja, dan ada pula yang
malas menjalankan ajaran agamanya,
bahkan melakukan maksiat. Mereka disebut
171
BAMBANG SAIFUL MA’ARIF. Dari ‘Ek st rim Kanan’ k e Terorisme
sebagai zalim (QS.35: 32). Allah Swt.
mengemukakan berbagai pengelompokan,
misalnya, mukmin dan kafir, taat dan zalim,
shalih dan maksiat, dan Ihsan dan pragmatis.
Ajaran yang bersumber dari Al-Quran
dan Hadis dipahami secara berbeda oleh
ulama, sehingga melahirkan perbedaan
pelaks anaan agam a. Perbedaan itu
menimbulkan fiqih, yang menjadi sistem
dalam pengelompokan pengamalan agama.
Seorang imam menyatakan, apabila suatu
hadis benar maka ia adalah mazhabku.
Islam itu luas dan tidak mengekang umatnya
untuk berkreasi dalam kehidupan, sepanjang
masih berlandaskan pada syariat Islam.
Umat Islam dituntut untuk berjihad di
jalan Allah. Tidak s em ua m us lim
menyanggupi ajakan, tetapi sebagian lagi
bersiap diri dengan mengerahkan segenap
daya dan kemampuannya. Karena jihad
merupakan seruan yang mulia dari Allah Swt.
dan Rasul-Nya. Makna jihad awalnya berarti
berjuang guna menegakkan agama Allah.
Pengembangan Islam sampai ke seluruh
dunia berk aitan dengan jihad, yang
diimplementasikan dalam bentuk dakwah.
Tujuan utama jihad adalah menegakkan syiar
Islam dan keunggulan umatnya. Jihad
memiliki konotasi yang luas, namun musuhmusuh Islam merasa takut, bila kaum
muslimin dapat melakukannya dengan baik,
dan menyebarluaskan ajaran Islam hingga
akhir jaman. Makna jihad sesungguhnya
adalah berjuang di jalan Allah untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan. Jadi,
bukan ke arah perang, walaupun kadang
untuk mencapai tujuan itu dengan cara
berperang.
3.
Sinyalemen Nabi Saw. akan Lahirnya Perbedaan Paham
Islam hakikatnya satu yaitu yang
mengikuti ajaran Al-Quran dan Al-Sunnah.
Namun dalam praktinya ia mengalami banyak
bentuk. Dari awal sejarahnya kita mengenal
satu pemahaman yang dikenal sebagai
Salafusshâlihin. Salaf bukan suatu aliran
tertentu, tetapi merupakan suatu metode
pemahaman yang m enjadikan tradis i
172
Rasulullah Saw. (al-sunnah al-nabawiyyah)
sebagai basis pemahaman Islam. Rasulullah
Saw. bersabda, Yahudi telah berpecah belah
menjadi 71 golongan, Nasrani telah berpecah
belah menjadi 72 golongan, dan umatku akan
berpecah belah ke dalam 73 golongan.
Semuanya berada di neraka kecuali satu.’
Sahabat bertanya, ‘siapa mereka yang satu
itu, ya Rasulullah?’ Nabi Saw. menjawab:
‘yaitu apa-apa yang aku dan sahabatku
berada di dalamnya’.
Hadis tersebut merupakan sinyalemen
Nabi M uham mad Saw. tentang akan
munculnya perbedaan pendapat di kalangan
umat Islam. Umat Nabi Muhammad Saw. —
sebagaim ana perjalanan umat- um at
terdahulu — mengalami perpecahan, baik
karena motivasi internal, eksternal maupun
konvergen. Namun yang perlu memeroleh
perhatian yaitu satu kelompok yang selamat
(al-firqah al-nâjiyah), yaitu mereka yang
mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Kriteria itu
kemudian disebut sebagai ‘al-sâbiqûn alawwalûn ,’ atau ‘ Salaf al-shâlihîn ’, yang
berusaha untuk mengikuti sunnah Nabi Saw.
serta hidup berjamaah bersama dengan
bagian umat Islam yang lainnya.
Dalam suatu riw ayat Nabi Saw.
bers abda, “Sebaik- baik k urun adalah
kurunku, dan setelahku dan kemudian
menyusul sesudahnya.” Riwayat tersebut
mengindikasikan bahwa generasi umat
Islam terbaik adalah generasi Rasulullah
Saw. lalu generasi s elanjutnya, dan
berikutnya.
Hadis di atas mengisyaratkan bahwa
kaum muslimin tidak hanya satu paham.
Kesemuanya berada di neraka kecuali satu.
Yang satu itu pun masih mungkin untuk terjadi
perbedaan paham di dalamnya sepanjang
hanya pada urusan yang sekunder, bukan
yang primer. Sedangkan perbedaan dalam
masalah yang primer, yaitu aqidah (rukun
iman dan rukun Islam) tidak ditolerir; jadi
harus sama.
4.
Akar-akar Radikalisme dalam
Sejarah Islam
Umat Islam adalah mereka yang
ISSN 0215-8175
MIMBAR, Vol. XXVI, No. 2 (Desember 2010): 169-181
mengikuti Al-Islam yang dibawa oleh dan
dibakukan dalam Sunnah Rasulullah Saw.
Penafsiran pada masa Islam awal nyaris tidak
terjadi, kalaulah ada maka penafsirannya
adalah interpretasi al-Qur’an dengan alQur’an, atau al-Qur’an dengan hadis Nabi.
Landasan tersebut diikuti oleh khulafâ alRâsyidîn (pengganti kepemimpinan umat
setelah Rasulullah s aw.) sepanjang
kepemimpinan mereka. Prinsip tersebut
menjadi suatu dasar bagi kaum muslimin
berikutnya. Artinya, kehidupan muslimin
dalam bentuk kepemimpinan yang diakui
oleh umatnya. Kelompok yang mengikuti
prinsip ini dikenal sebagai ‘kelom pok
mayoritas’ (al-sawâd al-a‘zham ), di mana
meski ajarannya didirikan oleh 2 orang tokoh,
yaitu: Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur
al-Maturidi, namun ajaran tersebut kemudian
diperkokoh oleh para pemikir dan fuqoha
Islam para periode selanjutnya. Ajaran
Ahlussunnah tersebut kemudian menjadi
suatu kekuatan teologi dialektis (kalam) umat
Islam, yang ajaran diapresiasi secara baik
oleh umat Islam hingga kini. Di luar itu, satu
aliran paham Syiah yang menjadi paham
terbesar kedua setelah Ahlussunnah waljama’ah.
Dalam sejarah Is lam terdapat
beberapa kelompok yang muncul sejak
jaman Ali bin Abi Thalib dikenal menggalang
kekuatan dengan cara-cara yang cenderung
menjadi embrio aliran yang kemudian
dipandang sebagai radikal. Sejarah mencatat
Khaw arij,
Muktaz ilah
dan
Syi’ah
berpandangan yang menyudutkan pihakpihak lain yang tidak sepaham dengan aliran
mereka. Hal ini karena salah satu komponen
Khawarij adalah orang-orang Badui, yang
menjadi eksponen dari sikap radikal tersebut.
Abdullah (ed., II, 2002: 59) menyatakan,
Kelompok Badui yang memiliki keberanian
mengagumkan tetapi sangat dangkal
pemikirannya.... Mereka memiliki keuletan
dan sangat tangguh dalam pertimbangannya.
Karena itu mereka tidak sanggup untuk diajak
bermusyawarah yang disertai dengan analisis
yang rumit.
Untuk mengalahkan lawan-lawannya
‘Terakreditasi’ SK Dikti No. 64a/DIKTI/Kep/2010
Khawarij berhasil membina kader-kader
militan, antara lain Abdurrahman bin Muljam
yang berhasil membunuh Ali bin Abi Thalib
(40 H/661 M) saat sedang salat subuh.
Akan tetapi Khawarij mewajibkan
pembentukan suatu negara buat umat Islam.
Jika seseorang telah diangkat menjadi
khalifah, tetapi ternyata tidak memiliki
kecakapan dalam melaksanakan kewajiban
maka ia harus diberhentikan (dimakzulkan)
dan diganti dengan yang lain. Demikian pula
dengan khalifah, seperti Ali yang menerima
tipu muslihat Muawiyah yang berkedok
tahkim (arbitrase). Namun, disamping itu
masih ada unsur demokratisnya, yaitu bahwa
pemimpin tidak harus dari Quraisy, dan tidak
pula dari keluargaa Nabi (Abdullah, 3, 2002:
342).
Dalam tradisi umat Islam, pemikiran
orang- orang terdahulu yang s udah
dipandang baku keberadaannya, maka tidak
diingkari, baik sebagai khazanah pemikiran
Islam maupun sebagai praktik kehidupan
beragama. Khazanah umat Islam memberi
peluang kepada kaum muslimin untuk
memaknai temuan-temuan baru. Dalam
terminologi fiqih dikenal, ‘al-muhâfazhah ‘ala
al-qadîm al-shâlih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-jadîd alashlah’ (memelihara yang lama yang baik,
dan mengambil yang terbaru yang lebih baik).
Suatu kebaikan yang telah dipraktikkan oleh
kaum muslimin menjadi bagian dari tradisi
mereka dan bersifat mengikat. Apabila suatu
hal sudah dipandang baik oleh para ulama,
dan menjadi suatu kebutuhan umat Islam,
maka ia dibakukan sebagai milik umat Islam.
Para ulama dulu dikaji ulang oleh ulama kini,
dan ulama kini akan dikaji oleh ulama
berikutnya; bisa benar atau salah.
Kesemuanya menjadi bagian dari ranah
ijtihad. Dalam kondisi seperti itu kaum
muslim memberikan legitimasi dalam praktik
keagamaan maka ia menjadi bagian dari
sunnah (tradisi) suatu kaum. Meski tidak
mampu mengambil secara keseluruhan, ia
bisa mengambil secara parsial. Kaidah
fiqhiyyah menyatakan, “mâ lâ yudroku kulluh
lâ yutroku kulluh.” (Apa-apa yang tidak
diambil seluruhnya tidak ditinggalkan
semuanya).
173
BAMBANG SAIFUL MA’ARIF. Dari ‘Ek st rim Kanan’ k e Terorisme
B.
Karakteristik Pemahaman ‘Ekstrim
Kanan’
1.
Pengertian ‘ekstrim kanan’
Terma ‘Ekstrim’ merupakan suatu
kondisi di mana pihak tertentu menganut
pandangan yang paling ujung. Al-Mawrid
(1 99 0: 3 31 ) meny atak an bahwa,
ekstrimisme ( al-tatharrufiyyah ) berarti
radikalism e,
yang s enaf as dengan
Fundam entalism e. F erm (1 97 6: 2 91 )
mengungk apkan,
fundam entalism e
merupakan teologi dalam Kristen pasca
perang dan merupakan reaksi agama
terhadap perkembangan yang ada, diilhami
oleh buku The Fundamentals: A Testimony
of Truth (terbit antara tahun 1910-1912, 12
volume).
M as yarakat yang m enganut
pandangan paling ujung dalam suatu bidang,
seperti bidang ekonomi atau politik disebut
sebagai ek strim. Sik ap ini k adang
menimbulkan benturan, karena adanya
perbedaan pandangan, atau kepentingan
yang tajam. Selain itu, benturan fisik sulit
dicari titik temunya (Ensiklopedi Nasional
Indonesia [ENI], jilid V, 1989: 52). Umumnya,
tindakan tersebut disertai dengan sikap dan
perilaku yang radikal karena fanatik pada satu
paham.
Dalam babakan sejarah Indonesia
dikenal dua jenis ektrim, yaitu: Ektrim kanan
dan Ekstrim kiri. Di samping itu terdapat suatu
padanan terma yang saling berdekatan, yaitu:
radikalisme, fanatik, dan fundementalisme.
Terma tersebut memeroleh aksentuasi baru
pada masyarakat Indonesia di era Orde Baru
dengan istilah ‘Ekstrim’ mengacu kepada
pendirian yang radikal dan fundamental.
Fanatisme menyiratkan kekejaman dan daya
saing, tidak satupun yang disebutkan adalah
sesuai dengan teks al-Qur’an. Dari sikap
ekstrim lahirlah apa yang dikenal sebagai
ekstrimitas dan ektrimisme, sikap mencaricari kesalahan (hair spliting [Iqbal, 2003: 78]).
Sebagian orang secara alami lebih
bergairah dan saleh dalam praktek beragama
dibanding yang lain. Para ek strimis
barangkali salah dalam meletakkan gairah,
sering memaksakan beban keagamaan atas
174
orang lain yang tidak seperlunya (Iqbal,
2003) secara membabi buta dalam berbagai
bidang keagamaan atau kepercayaan.
Fanatisme sering menimbulkan sikap dan
perilaku negatif, yaitu pengejaran atau
pembunuhan terhadap manusia demi tujuan
atau paham yang dianut secara membabi
buta, seperti pengikut Hitler (Effendi, 2001:
135) dan Mussolini. Semangat yang besar
dalam menjalankan perintah agama ini
berupaya untuk menjalankan perintah agama
secara mendasar, murni dan istikamah.
Seringkali tanpa memberikan nuansa
penafsiran atau masuknya kebudayaan.
Sedangkan fundamentalisme lebih ke arah
gerakan kembali kepada al-Quran dan
Sunnah, yang secara ketat menentang
gerakan-gerakan ortodoks Islam, sebagai
contoh adalah Islam Jamaah di Indonesia
merupakan gerakan neo-ortodoksi dunia Islam sekarang ini (Ensiklopedi Islam [EI], jilid
1, 1988: 155). Bila ditelisik lebih lanjut,
Fundamentalisme dalam perspektif Islam
dapat pula bermakna, ‘kembali kepada alQuran dan Sunnah (al-ruju’ ila ‘l-quran wa
‘l-sunnah).
2.
‘Ekstrim Kanan’ dalam Realitas
Kebangsaan
Pengertian ‘ekstrim kanan’ dapat
dilacak dari berbagai sumber yang terkait
dengan pemahaman yang disandarkan pada
agama. Pada jaman kemerdekaan Republik
Indonesia, ekstrim kanan dialamatkan kepada
DI/TII, karena memberontak dan bermaksud
mendirikan Negara Islam Indonesia (NII)
serta menyebarkan maut di daerah Jawa
Barat dan Sulawesi Selatan (ENI, V, 1989:
53). Di Yogyakarta dan sekitarnya, tahun
19 78 -1 98 0, m uncul ‘K om ando J ihad’
pimpinan Warman, y ang bertujuan
membentuk apa yang mereka sebut sebagai
“Dewan Revolusi Islam Indonesia”. Gerakan
yang menentang Pancasila dan UUD 1945 ini
dikenal dengan pembajakan pesawat Woyla
tahun 1981, pimpinan Imran. Sedangkan
ekstrim kiri melakukan pemberontakan dan
pembunuhan, yang biasa disebut sebagai
Gerakan September 1965/PKI.
Agama sebagai sumber keyakinan,
ISSN 0215-8175
MIMBAR, Vol. XXVI, No. 2 (Desember 2010): 169-181
pemahaman, dan perbuatan, sebagai oposisi
pemahaman ‘ekstrim kiri,’ yang menekankan
kepada pergerakan so sial berbasis
diferensiasi ekonomi yang melahirkan paham
kelas sosial. Kelas sosial merupakan suatu
keniscayaan dalam kehidupan masyarakat.
Kehidupan so sial ditentukan oleh
kemampuan masyarakat dalam berkarya,
yang sedikit banyak dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah. Kedua terma ini
bersifat ideologis.
Konsep ‘ekstrim kanan’ merupakan
satu k elanjutan dari ras a semangat
beragama y ang sangat k uat, y ang
ditindaklanjuti dengan berbagai relasi sosial
dan politik. Kelompok ini memandang agama
menjadi sumber motivasi pribadi, kelompok,
bangsa dan negara. Kelompok yang hendak
menerapkan ajaran agama secara paripurna
– sebagaimana diperintahkan oleh agama –
dipandang sebagai suatu positif.
Pada masa pemerintahan Orde Baru
pun banyak kelompok penentang Presiden
Soeharto karena alasan agama, di antaranya
adalah Abu Babar Ba’asyir yang dengan gigih
menolak penetapan Pancasila sebagai asas
tunggal. Demikian pula di lingkungan
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ada
kelompok yang menolak Pancasila sebagai
asas tunggal organisasinya, yang kemudian
dikenal sebagai kelompok penyelamat, atau
HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi).
Alasan penolakan bersifat keagamaan,
bahwa aqidah umat Islam tidak boleh
dicampuradukkan dengan ideologi sekuler,
karena akan membawa kepada kemusyrikan.
Argumentasi tersebut sesungguhnya bisa
dipahami, namun karena persoalannya lebih
ditarik k e ranah po litis, sehingga
penilaiannya menjadi bias. Kita perlu
melakukan suatu kajian secara mendalam
agar tidak menjadi korban pihak-pihak yang
berupaya untuk mengeruhkan suasana.
Kondisi itu terjadi bila kaum muslimin ditekan
oleh iklim politik yang tidak memberi
kesempatan untuk berpikir jernih.
3.
Karakteristik ‘Ekstrim Kanan’
Aktivis agama banyak yang menyelami
agama sebagai usaha memurnikan atau
‘Terakreditasi’ SK Dikti No. 64a/DIKTI/Kep/2010
mereformasi kepercayaan dan praktik para
pemeluk menurut dasar-dasar agama yang
didefinisikan sendiri. Mereka itu akan menjadi
lahan subur bagi disemaikannya pahampaham baru, dan sebagi kelompok yang
kurang mentolerir budaya lokal. Esposito
(jilid II, 2001: 84) menyatakan, ‘Interpretasi
fundementalis menuntut usaha sadar-diri
untuk menghindari kompromi, adaptasi, atau
reinterpretasi kritis atas teks-teks dasar dan
sumber-sumber kepercayaan. Arah dari
gerakan ini adalah mendinamisasi ajaran
Islam dan umatnya kepada suatu pergerakan
menjadi suatu kekuatan yang aktif.’
Ciri-ciri dari pengamalan agama
kelompok ‘ekstrim kanan’ adalah a) tidak
mentolerir pandangan lain, terutama yang
bersifat ideologis, b) tidak melihat pentingnya
budaya masyarakat, c) menghendaki ajaran
agama diterapkan secara paripurna mulai
dari ajaran agama yang bersifat kehidupan
pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara, d) Terhadap pihak yang tidak
sepaham dengan pandangan keagamaannya, mereka tidak segan-segan memaksakan pahamnya, meski dengan tindakan
kekerasaan. Persoalannya menjadi krusial
ketika kelompok yang dipaksa itu adalah
kelompok muslim lainnya.
C.
Dinamika Pemahaman Keagamaan
‘Ekstrim Kanan’
1.
Stigmatisasi Gerakan Islam
Pada abad lalu, misalnya Jansen
(1989) menyebut adanya satu gerakan ‘Islam militan’. Nurcholish Madjid (1990)
menawarkan suatu ‘Islam modern’, Jalaluddin
Rakhmat melontarkan “Islam Aktual’’, yang
sejatinya merupakan wacana berbagai
persoalan Islam dengan penalaran kekinian.
Jauh s ebelum itu Cliff ord
G eertz
mengemukakan 3 (tiga) varians muslim di
Jawa, yaitu: a) Santri, 2) Priyayi, dan 3)
Abangan. Meski tiga varians tersebut
disanggah oleh Harsya W. Bachtiar dan
Nurcholis Madjid, namun sebagai varian
kultural dan komunal masyarakat Indonesia
ia tetap dipandang benar. Ketika Geertz
datang ke Indonesia tahun 1990(?), ditanya
175
BAMBANG SAIFUL MA’ARIF. Dari ‘Ek st rim Kanan’ k e Terorisme
apakah tesisnya tersebut masih relevan, dia
menjawab varians keagamaan tersebut
masih belum berubah. Belakangan Bambang
Pranowo (2010) menulis tentang ‘Islam
Jawa.’
Klasifikasi tersebut mewakili realitas
sosiologis atau kebudayaan masyarakat Jawa,
dan bukannya variasi agama secara asli.
Kehidupan masyarakat melahirkan interaksi
antara ajaran Islam dan kebudayaan. Tesis
Geertz tentang variasi budaya muslim Jawa
dipergunakan oleh Orde Baru dalam
mengambil kebijakan politik. Sehingga Partai
politik pada jaman Orde Baru dibakukan hanya
tiga, yaitu: Partai Demokrasi Indonesia, Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), dan Golongan
Karya (Golkar). Tesis Geertz diimplementasikan
secara intens, dan mampu melahirkan
‘stabilitas’ yang cukup lama.
Ko ndis i ters ebut m enjadi s uatu
keadaan yang
dijadikan sandaran
pembangunan Indonesia. Ketika penguasa
hendak menguasai birokrasi, maka kelompok
‘priyayi’ yang diutamakan. Budaya abangan
dipergunakan sebanyak mungkin untuk
menghambat simbol-simbol Islam dan
perk em bangan
dak wah,
m is alny a
penanaman kepala kerbau, dan bukan
dengan membaca al-Qur’an, saat peresmian
proyek-proyek besar pemerintah. Tetapi
kadang juga dilakukan secara eklektik
(perpaduan/comotan).
Namun ketika laju dakwah semakin
menguat, pemerintah Orde Baru menetapkan
Pancasila sebagai asas tunggal. Kemudian
dicetuskannya Penataran P-4 (Santiaji P-4).
Bagi mereka yang menolak dapat dikenakan
sanksi birokrasi, ideologis dan bahkan dicap
sebagai pemberontak. Langkah inilah yang
kemudian menjadikan pemerintah dengan
mudah mencap ’ekstrim kanan’ kepada
mereka yang menolak kebijakan pemerintah
ters ebut. Adalah kaum s antri, y ang
kebanyakan menolak itu, kemudian disebut
‘ekstrim kanan,’ dan dihalau untuk berkuasa.
Penolakan kaum santri itu sebagai hasil dari
kiprah ijtihadnya, yang didasarkan pada
pertimbangan pemikiran dan hati nuraninya.
Sebagai ijtihad bisa benar atau salah.
176
2.
Pemahaman Mainstream Muslim di
Indonesia
Semua orang yang taat beragama
ingin agar kehidupannya diwarnai oleh nilainilai agama, namun mereka berbeda pada
ranah mana agama diaplikasikan. Semua
sepakat bahwa agama diterapkan oleh diri
dan keluarga (saja), sedangkan pada level
bangsa dan negara mereka berbeda
pandangan. Amal ibadah seorang muslim
menjadi satu buk ti akan ketaatan
beragamanya itu.
Um at I slam di Indo nesia lebih
mengedepankan masalah akhlak dibandingkan dengan aqidah dan fiqih. Landasan
berpikir mereka adalah bahwa berdakwah
dan mengamalkan agama Islam harus
didahului dengan pembinaan akhlak pribadi
sebelum mengajarkan agama Islam kepada
khalayak yang lebih luas. Dari kondisi
pemikiran seperti itulah berlangsung
penyebarluasan agama Islam di Indonesia.
Bahkan kita tidak mendapati penyebarluasan
Islam di Nusantara dilakuk an dengan
kekerasan. Masyarakat muslim di Indonesia
memiliki ciri kehidupan yang moderat, dan
itu menjadi satu ciri umum Islam di Indonesia. Masyarakat hidup ramah dan tidak
menaruh dendam pada pihak lain.
Mereka mengamalkan agama dengan
kesadaran akan berbagai kultur yang ada di
bumi pertiwi. Untuk menjadi muslim yang
taat perlu perjuangan dalam mengamalkan
ajara agama. Satu hal yang menjadikan
berbeda di antara orang-orang yang taat
beragama itu adalah tingkat toleransinya
terhadap paham-paham lain. Orang yang
taat beragama memiliki komitmen kepada
amal agamanya, sehingga ia menafikan
keberadaan pihak lain. Karena orang yang
taat memiliki konsen dengan amal agama
dan simbol-simbolnya maka ia sering bersifat
eksklusif. Namun, orang yang taat beragama
tidak otomatis `menjadi ‘ekstrim kanan’,
kecuali bila mereka tidak mentolerir paham
atau ideologi pihak lain.
Awalnya, kelompok yang berupaya
untuk menjalankan ajaran agama secara
baik dan menjauhi larangannya adalah
ISSN 0215-8175
MIMBAR, Vol. XXVI, No. 2 (Desember 2010): 169-181
mereka yang taat dan shaleh. Ketaatan dan
keshalehan itu sebenarnya menjadi embrio
kefanatikan. Fanatik sebenarnya bermakna
netral, ia tidak jelek dan tidak pula baik.
Kefanatikan menjadi negatif apabila telah
berinteraksi dengan pihak lain yang berbeda
kutub dan jalurnya, sehingga menjadi silang
pendapat dan aksinya.
Pada beberapa segi pula masalahmasalah kebangsaan dan kenegaraan dapat
diselesaikan dengan agama, meski tidak
mutlak. Kelompok yang hendak menerapkan
ajaran agama s ecara paripurna –
sebagaimana diperintahkan oleh agama
sendiri – dipandang sebagai suatu respon
yang positif dalam kehidupan masyarakat.
Sebagian muslim lebih memahami substansi
agama yang mewarnai kehidupan pribadi,
keluarga dan m as yarakat. Alih- alih
mengambil kehidupan beragama yang formal dan kaku, mereka mencairkan suasana
dengan inti ajaran yang substantif.
Persoalan penerapan agama telah
memicu polemik yang berkepanjangan
berkaitan dengan Islam moderat yang
menjadi lokus pemahaman Islam di Indonesia. Mayoritas pemahaman Islam di Indonesia merupakan Islam moderat, dengan ciriciri (1) Pemahaman agama tidak hanya
didasari teks kitab suci, namun lebih banyak
menangkap situasi yang melingkupinya,
(2) Mendahulukan kaidah-kaidah akhlak yang
mulia, agar tercapainya rahmatan lil-‘alamin
(kebaikan dan kemanfaatan bagi alam
semesta), (3) Dakwah Islam disebarluaskan
dengan cara-cara yang damai, di mana
perbedaan paham diselesaikan dengan
mengedepankan sikap yang arif dan bijaksana
dan, (4) Penerapan ajaran agama yang
diutamakan adalah pada level individu, dan
keluarga. Sedangkan pada level masyarakat,
bangsa, dan negara merupakan kewenangan
para politisi dan negarawan. Mereka yang
menjadi pemimpin publiklah yang akan
diminta
pertangungjawaban
atas
kepemimpinannya.
Dalam kapasitas pribadi dan kepala
keluarga s es eo rang akan diminta
pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.
‘Terakreditasi’ SK Dikti No. 64a/DIKTI/Kep/2010
Sedangkan bagi mereka yang menyatakan
bahwa pengamalan berada pada level
kelompok, masyarakat, bangsa, dan negara
itu menjadi keharusan pemimpin. Meski hal
ini disanggah oleh kelompok lain karena
penerapan ajaran agama meliputi semua
aspek kehidupan. Masih banyak masyarakat
yang berpandangan bahwa, menjalankan
agama secara baik dan istikamah pada level
individu dan keluarga akan berimbas pada
level yang lainnya. Bila mampu ke arah sana
maka baik, tetapi bila tidak (atau belum)
mampu maka dapat ditunda pelaksanaannya,
sambil tetap berusaha dengan penuh
perjuangan.
Sejak awal sejarah Republik Indonesia umat Islam menyadari urgensi penerapan
hukum yang bersumber dari agama. Di awal
kemerdekaan para pendiri bangsa (the founding fathers ) telah memberikan rumusan
dalam mukaddimah UUD 45 dengan kalimat:
“Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya.” Meski kalimat
tersebut telah dicoret dari UUD 45 yang
berlaku, sehingga hanya ada dalam Piagam
Jakarta. Namun, ia telah mengilhami para
aktivis partai politik Islam, untuk konsen
kepada ajaran agama. Sadar akan luhurnya
pengamalan agama pada beberapa daerah,
yang kekuatan partai politik Islam dan figur
agamawannya dominan, mereka berupaya
untuk menyeponsori penerapan hukum
agama secara sektoral, di kota/kabupaten
dan Provinsi mereka. Untuk Jawa Barat,
Cianjur dan Garut merupakan prototipe bagi
penerapan syariat Islam.
Pada empat kali revisi atas UUD 45
yang berlangsung sejak Era Reformasi, para
pemimpin umat Islam Indonesia (yang
diwakili antara lain o leh pemimpin
Muhammadiyah, dan Nahdlatul ‘Ulama) dan
pemimpin partai-parta politik, tidak banyak
diwacanakan semangat Piagam Jakarta.
Seolah mereka menutup mata akan adanya
khazanah Piagam Jakarta itu. Mereka
melakukan itu karena tidak ingin terjadi
polemik panjang yang akan menguras energi
anak bangsa. Padahal bangsa ini harus
segera menyelesaikan problematika yang
177
BAMBANG SAIFUL MA’ARIF. Dari ‘Ek st rim Kanan’ k e Terorisme
aktual dan krusial, yaitu pemberantasan
ko rups i. K orupsi dipandang dapat
menghancurkan bangsa dan negara.
Kondisi ini merupakan langkah yang
bijak untuk tidak mengungkit luka masa lalu.
Karena bila bangsa ini terjebak kedalam
pusaran perdebatan ideologi negara akan
membaw a ko nf lik dan mengentalk an
polarisasi antara nasionalis agamis dengan
nasionalis s ek uler (Anshari, 1 98 7).
Pengkutuban pemikiran dan ideologi bangsa
akan membawa bangsa ini pada satu problem yang tidak ada ujungnya. Alih-alih
membawa penyelesaian atas bangsa ini,
justru dapat mengacaukan suasana.
Semua eksponen umat dan partai
politik telah legowo untuk meninggalkan luka
lama akibat macetnya perundingan pada
Konstituante (Bandung, 19-57). Suatu
babakan sejarah yang membawa ketegangan
akibat dari tarik ulur antara kelompok
nasional religius dan nasionalis sekuler. Kita
perlu melihat sejarah dengan jernih dan arif,
dan harus kita jadikan guru untuk menatap
masa depan. Ideologi Pancasila dan UUD 45
harus menjadikan manusia Indonesia lebih
cerdas dan baik dalam segala aspek
kehidupan. Sehingga dapat menjadikan
bangsa ini siap untuk bersaing dalam
menghadapi masa depan yang penuh
tantangan. Masyarakat Indonesia sepakat
untuk membangun ‘negara bangsa’, dan
hidup dengan kebudayaan ‘bhineka tunggal
ika’, yang berkonsekuensi besar bagi tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
3.
Ektrim Kanan dan “Ideology counter”
Sebagai bentuk kesalehan muslim,
ekstrim kanan bermakna positif. Gaya
tersebut perlu dipertahankan sebagai bagian
dari aksi individu dan keluarga. Namun bila
permasalahannya menyangkut kehidupan
berbangsa dan bernegara, maka muatan
ideologinya dinetralisir. Pengendaliannya
dapat melalui k onstruk ideo logi y ang
berfungsi menetralisir dan menggiring
kelompok ‘ekstrim kanan’ kepada hubungan
yang lebih cair.
Ideologi yang dapat dijadikan sarana
menetralisir dan meng- counter adalah
178
Ummah (komunitas trans-nasional), yaitu
konsep kebangsaan yang memberikan
perhatian yang besar kepada bangsa-bangsa
lain dengan landasan tauhid. Di mana konsep
ini memberik an penghargaan kepada
masyarakat luas dan karya-karyanya. Harkat
masyarakat diberdayakan sebaik mungkin
agar menjadi bangsa yang besar, bukan
semata karena menghargai pahlawannya,
tetapi karena memiliki karya-karya unggulan.
Ideologi nasionalisme di samping muncul dari
kalangan militer, juga dapat tumbuh dari
kalangan kelompok terpelajar. Dalam ummah
terdapat toleransi dan kedamaian, sehingga
ia melandasi masionalisme yang ada.
Nasionalisme yang diemban oleh
militer bersifat mempertahankan wilayah
NKRI, dari segala tantangan, rintangan,
hambatan dan lawan. Tetapi nasionalisme
dalam pemahaman ilmuwan adalah mengisi
suatu bangsa dengan karya-karya terbaik
anak bangsa, sehingga dapat menjadi
tonggak-tonggak peradaban. Semua itu
dapat terlaksana jika pendidikan menjadi
suatu matra dalam pembangunan peradaban
suatu bangsa. Temuan-temuan bangsa lain
pun dapat diambil oleh Indonesia, sepanjang
membaw a kebaik an dan k em anfatan
(maslahat) bagi penggunanya. Karenanya,
budaya Islam mengenal ‘kosmopolitan’, yang
pengusungnya menuju masyarakat madani.
Pemerintah perlu m em berikan
apresias i bila m endapati k elom po k
pemahaman ‘ekstrim kanan’ yang tidak
menjadi teroris, serta karya-karya unggulan
mereka. Liputan media massa juga sangat
mendukung pembentukan opini tersebut.
Dengan demik ian, bahw a pemerintah
menghargai adanya ekstrim kanan yang
kooperatif terhadap penguasa sebagai
pemimpin k ehidupan berbangsa dan
bernegara.
D.
Hubungan antara ‘Ekstirm Kanan’
Dengan Terorisme
1.
Batas Toleransi Pemahaman Umat
Islam
Umat Islam diberi kesempatan untuk
berbeda, namun perbedaan itu tetap
ISSN 0215-8175
MIMBAR, Vol. XXVI, No. 2 (Desember 2010): 169-181
dijembatani silaturrahmi dan kerjasama
dalam kebaikan. Berbeda itu boleh, asalkan
tidak berpecah belah ( tafarruq ). Karena
perpecahan akan membaw a kepada
persaingan yang tidak sehat, yang bermuara
kepada berbagai benturan fisik dan relasi
sosial yang mengarah kepada perang.
Perbedaan pemahaman atas ajaran
agama di kalangan umat Islam dipandang
wajar bila masyarakat senantiasa berpegang
pada ajaran yang pokok dan mendasar, yaitu
sumber al-Quran dan al-Sunnah. Dalam
praktek keagamaan hal tersebut terkait
dengan corak
jaringan s os ial yang
berk elindan dengan realitas budaya
komunitas. Problematika kehidupan muncul
dan memerlukan jawaban, maka jawabannya
dapat berbeda. Varians i ajaran yang
muaranya ke Al-Quran dan al-sunnah
mengilhami gerak an-gerak an dalam
masyarakat muslim.
Para pendukung ‘Ekstrim Kanan’ dapat
dilihat dari sisi dua, yaitu: 1) pada tataran
pemahaman, dan 2) tatanan praksis. Kedua
parameter ini dapat dijadikan pijakan analisis
sosiologis dalam mengkaji ‘ekstrim kanan’.
Pertam a , Ada k elo mpok y ang
berupaya untuk memahami agama secara
mendasar (radikal). Sehingga dia dapat
menemukan nilai agam a yang dapat
dijadikan sebagai sandaran kehidupan
beragama. Tapi kelompok ini tidak berupaya
untuk melancarkan serangan, baik paham
atau fisik, kepada pihak lain. Kedua, Mereka
yang berpaham mendasar dan keras, serta
berupaya
untuk
m enyebarluask an
pemahamannya itu ke pihak lain, dengan
berbagai cara. Termasuk menggunakan
serangan bersenjata. Dalam menyikapi
mereka, masyarakat muslim lebih banyak
yang menentang.
2.
Ekstrim Kanan sebagai Bentuk
Perlawanan
Masalah ekstrim kanan dalam sejarah
Indonesia merupakan bentuk ketidakpuasan
terhadap suatu rezim. Ketidakpuasan itu
melahirkan perlawanan umat islam terhadap
kebijakan penguasa. Aspirasi itu menyiratkan
‘Terakreditasi’ SK Dikti No. 64a/DIKTI/Kep/2010
pada s im bo l so sial dan juga pada
kepentingan kehidupan muslim y ang
menangani masalah ini. Aspirasi umat Islam
harus didengar dengan baik. Perlawanan
dilakukan berdasarkan ajaran agama, karena
legitimasi agama adalah yang paling kuat bagi
penganut agama. Perlawanan – dengan
berbagai gradasinya – menyiratkan suatu
amar ma’ruf dan nahyi munkar.
Ketika dakwah Islam diijinkan oleh
pemerintah dan bahkan didukung/difasilitasi,
maka gerakan ‘ekstrim kanan’ perlahan akan
berkurang. Sehingga energi umat Islam
dapat dipergunak an untuk m encapai
kehidupan yang sejahtera. Persoalan bangsa
tidak bisa diselesaikan oleh negara saja,
tetapi bila negara memberikan kebebasan
kepada rakyatnya yang kreatif dan inovatif
maka beban negara untuk menyejahterakan
bangsanya akan semakin ringan. Tetapi bila
kehidupan bangsa terkekang, maka negara
akan terbebani dalam menyejahterakan
rakyatnya. Legitimasi Islam menjadi relevan
ketika gerakan-gerakan yang melawan
penguasa terus berkiprah sepenuh tenaga
untuk membangun basis perjuangannya.
Akan tetapi tidak semua pihak yang
dito lak as pirasiny a dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara berupaya untuk
mengadakan perlawanan. Hanya kelompok
yang memiliki ideologi militan, yang kemudian
menyatakan dirinya sebagai lawan dari
penguasa — yang karena tidak menjalankan
perintah agama — berhak untuk dimusuhi
dan diperangi. Sementara kaum muslimin lain
tetap berjuang di jalan Allah, tanpa
melakukan perlawanan secara terbuka.
Kelo mpok m ilitan pada giliran ak an
bermetamorfosis menjadi ‘Ekstim kanan.’
Perlawanan kelompok ekstrim kanan
tidak semuanya dilakukan dengan cara
perm us uhan pada penguasa (secara
terbuka). Mereka menolak penguasa yang
zalim dengan ucapan dan sikapnya. Namun
tidak dengan perilaku terbuka (overt behavior). Mereka menolak berkompromi dengan
penguasa yang dipandangnya batil dan
zalimj, dengan cara membangun
kelompoknya sendiri. Jamaah ini sebagai
179
BAMBANG SAIFUL MA’ARIF. Dari ‘Ek st rim Kanan’ k e Terorisme
penyemaian ajaran yang berupaya untuk
menegakk an k ebenaran dan tidak
berkompromi dengan kebatilan dalam
berbagai bentuknya, seperti ko rups i,
kesewenang-wenangan, tiran, kezaliman.
Sejatinya penguasa diuntungkan oleh adanya
pemahaman Ekstrim Kanan karena sebagai
pengingat saat lupa, akibat tengah menikmati
kekuasaan yang empuk.
Setiap penyimpangan tidak bisa
didiamkan oleh masyarakat dan bangsa.
Peny elew engan dan peny alahgunaan
kekuasaan (abuse of power) dikontrol oleh
masyarakat dan aktivis dakwah. Akibat dari
ak ses info rm as i yang tertutup, para
pemimpin islam moderat di Indonesia tidak
bisa mengontrol dan memberikan nasehat
kepada penguasa, akibatnya puluhan juta
jiwa hidup hidup dibawah garis kemiskinan
di negeri yang kaya raya. Faktornya adalah
ketidakadilan, yang harus dilawan dan
dilenyapkan. Mereka berpotensi intelektual
tinggi – karena tidak mendapat kesempatan
studi – menjadi anak negeri yang sia-sia.
3.
Kaitan antara “Ekstrim Kanan” dan
Terorisme.
Sistem pemerintahan yang baik
adalah yang memperhatikan kepentingan
masyarakat luas. Pemerintah yang peduli
akan kehidupan rakyatnya akan tetap
memeroleh dukungan masyarakatnya. Di
samping itu, fakta bahwa kekuatan Barat
menyerbu negeri yang mayoritas muslim
atau umat Islam, menjadi alasan bagi
ditegakk anny a perlaw anan terhadap
imperialisme Barat. Tidak semua yang
berpaham ‘ekstrim kanan’ menjadi teroris.
Pemerintah perlu mengoptimalkan
pendayagunaan sumber-sumber intelektual
anak bangsa. Adanya kerjasama dengan
Barat, kadang menjadikan kaum muslimin
resah. Alih-alih menjadi tuan di negeri
sendiri, intelektual muslim justru tersingkir.
Dalam jangka panjang k erjasama
penguasaan sumber-sumber daya alam di
bumi pertiwi dapat mentransfer keahlian dan
teknologinya. Sehingga masyarakat muslim
tidak akan terkooptasi oleh Barat. Kekuatan
180
Barat dipandang telah menguras kekayaan
alam bumi pertiwi, yang dapat membawa
penjajahan jangk a panjang. Dengan
penalaran tersebut kelompok ‘ekstrim kanan’
kemudian melancarkan serangan kepada
berbagai instalasi milik Barat di negeri-negeri
muslim. Dari sini titik tolak internasionalisasi
gerakan teror itu terjadi. Gerakan teror
transnasional tidak bisa dipisahkan dari arus
politik dan ideologi. Bahwa dibalik transfer
teknologi terjadi neo-kolonialisme.
Tidak sem ua k ekuatan “ekstrim
kanan” menjadi terorisme. Kekuatan teror
muncul bila memenuhi beberapa syarat,
yaitu: (1) Penguasa dipandang zalim dan
tidak memihak kepada rakyatnya, sementara
itu dakwah kaum muslimin diberangus dan
dibatasi; (2) Adanya jaringan sosial yang
bersifat eksklusif, yang memandang paham
agam anya s ebagai benar, sementara
kelompok lain salah. Jaringan sosial siap
membela perjuangan mereka tindakan
kekerasan; (3) Ideologi agama menjadi
landasan untuk menentang penguasa. Agama
diinterpretasikan secara mendasar (radikal),
dengan m engabaik an f ak to r kultural
masyarakat muslim, dan 4) Dominasi asing
pada tingkat akar rumput (grass root), yang
menjadik an
m as yarakat
muslim
termarginalkan.
III.
PENUTUP
Sejarah umat Islam di masa jaman
Orde Baru dan Era Reformasi menjadi
sesuatu yang menarik untuk dikaji, karena
di awal kedua babakan sejarah ini umat
Islam menempati posisi yang sentral, namun
secara perlahan posisinya umat Islam
sebagai kekuatan strategis dikesampingkan;
kekuatan Islam dimarginalkan.
Mayoritas kekuatan muslim tidak
menghendaki makna jihad hanya diartikan
sebagai berperang melawan kekuatan
musuh-musuh Islam. Kekuatan Islam perlu
diadopsi oleh penguasa muslim sekurangkurangnya menciptakan kebajikan dan
keadilan di negeri muslim di penjuru dunia.
Selama dakwah Islam dan kedaulatan
ISSN 0215-8175
MIMBAR, Vol. XXVI, No. 2 (Desember 2010): 169-181
negera-negara (y ang mayo ritas penduduknya) muslim masih berjalan di atas
landasan kebajikan. Karena bila dakwah Islam dihambat dan kekuatan asing merasuk
ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat
muslim maka akan merusak harkat dan
martabat kaum muslimin. Dalam kondisi
seperti hal itu memberi peluang bagi
metamorfosis ‘ekstrim kanan’ menjadi
teroris. Perlawanan itu menjadi suatu yang
kentara jika tidak dilakukan interaksi dengan
baik.
Umat Islam memiliki satu ideologi
‘jihad’, yang cukup fleksibel maknanya. Suatu
ketika ia diartikan usaha menegakkan syiar
Islam secara baik dan istikamah. Namun
pada lain kesempatan ia berperan sebagai
idiologi perlawanan terhadap kemunkaran.
Paham jihad baru bisa bertemu dengan
tero rism e bila m em enuhi berbagai
persyaratan ideologis, jaringan sosial,
pemaham an keagam aan, dan adanya
hegemoni Barat di negara muslim.
Para pendukung terorisme melakukan
semua itu karena didasari oleh niatan yang
tulus dari kalbu mereka atas situasi yang tidak
menentu, tidak menunjukkan iktikad yang baik
dan berkeadilan. Padahal Kebaikan dan
keadilan merupakan prasyarat bagi lahirnya
suatu negeri baik yang diridlai Allah SWT.
Kekuatan terorisme bukan menjadi pilihan
utama perjuangan kaum muslimin. Karena
itu mereka perlu diajak bicara dan ditangkap
aspirasinya. Langkah tersebut akan dapat
‘Terakreditasi’ SK Dikti No. 64a/DIKTI/Kep/2010
mengurangi metamorfosis dari ‘ekstrim
kanan’ ke terorisme.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T. Ketua Dewan Editor (2002)
Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. Jilid
2, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Al-Mawrid (1990) Qamus inklizy Araby. Beirut
Libanon: Darul ‘ilmi lil-malayin.
Anshari, E.S. (1989) Piagam Jakarta.
Jakarta: Bulan Bintang.
Effendy, M. (2001) Ensiklopedi Agama dan
Filsafat (buku kedua). Palembang:
Penerbit Universitas Sriwijaya.
Esposito, J. L. (2001) Ensiklopedi Oxford
Dunia Islam, jilid II. (Penerjemah: Eva
Y.N., Femm y Syahrani, Jaro t W.
Poerwanto, Rofik S., dan editor: Ahmad
Baiquni, dkk). Bandung: Penerbit Mizan.
Ferm, V. (1976) An Encyclopedia of Religion. Westport Connecticut: Greenword
Press Publisher.
Iqbal, M. (2003) Kamus Dasar Islam. Jakarta:
Inovasi.
Koentowidjojo, (2001) Muslim Tanpa masjid.
Bandung: Mizan.
Soeryanegara, A.M. (2009) Api Sejarah.
Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.
Ensiklopedi Islam (EI). Jilid 2. Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve.
Ensiklopedi Nasional Indonesia (ENI), jilid V,
1989. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka.
181
BAMBANG SAIFUL MA’ARIF. Dari ‘Ek st rim Kanan’ k e Terorisme
182
ISSN 0215-8175
Download