gereja dan transformasi kristen

advertisement
BERIMAN DAN BERDOA KARENA ALLAH
SUATU EKSPOSISI LUKAS 18:1-8
STEVRI I. LUMINTANG
PENDAHULUAN
Banyak alasan orang Kristen beriman kepada Tuhan, di antaranya
adalah karena Tuhan itu baik, Tuhan itu Juruselamat, karena Tuhan adalah
penolong, karena Tuhan adalah mahakuasa, dan lain sebagainya. Semua
alasan ini dapat ditemukan dengan muda di buku-buku nyanyian Gereja
masa kini, dan pada pernyataan-pernyataan para pengkhotbah dan para
pemimpin ibadah kontemporer. Orang beriman bukan karena iman
melainkan pada iman plus. Beriman pada sesuatu yang ada pada Allah,
yaitu kebaikan Allah, keselamatan Allah, pertolongan Allah dan kuasa
Allah, bukan pada Allah. Seperti seorang istri memuji suaminya, bukan
karena apa adanya suaminya (ontologis), melainkan karena apa yang ada
pada suaminya, sama dengan ungkapan “ada uang abangku sayang, tidak
ada uang abang melayang.” Ada pertolongan Tuhan, Tuhan ku sayang,
tidak ada pertolongan Tuhan, Tuhan melayang.
Beriman tidak dapat dipisahkan dengan berdoa. Berdasarkan filsafat
dan psikologi agama, paling sedikit ada dua alasan orang berdoa, yaitu
karena adanya kebutuhan dan karena adanya masalah. Yang pertama, doa
dijadikan alat untuk memenuhi kebutuhan; sedangkan yang kedua, doa
dijadikan media bagi solusi atas masalah apapun. Dalam hal ini, doa
menjadi alat untuk memperoleh yang diinginkan dan untuk mengatasi
masalah yang dihadapi. Semua kebutuhan dan masalah disampaikan kepada
Allah yang dijadikan sebagai objek yang dikendalikan oleh pendoa. Praktik
doa seperti ini semakin dipropaganda oleh para pengkhotbah kontemporer
yang biasa menyatakan kalimat-kalimat seperti berikut: “Asal kamu yakin
apa yang kamu doakan, maka doamu akan terkabul” atau “Kamu harus
yakin bahwa apa yang kamu minta itu sudah dijawab, dan bayangkanlah
bahwa itu sudah ada.” Atau pernyataan ini: “Asal dengan menjamah mobil
yang kita inginkan, maka Tuhan pasti memberikan mobil yang sama.”
Apakah seperti ini doa Kristen? Apakah seperti ini doa yang seharusnya
diajarkan oleh Gereja? Apakah seperti ini arti doa menurut Alkitab?
Apakah Tuhan objek atau subjek doa? Mari kita mempelajari satu bagian
Alkitab mengenai doa, yakni Lukas 18:1-8.
LATAR BELAKANG INJIL LUKAS
Injil Lukas adalah Injil yang memiliki karakteristik tersendiri
dibandingkan dengan Injil lainnya. Pada umumnya, para ahli berpendapat
bahwa Lukas adalah seorang tabib, namun bagi penulis, Lukas bukan hanya
seorang tabib, melainkan ia juga adalah seorang sejarahwan, karena ialah
yang menulis Injil Lukas dengan menegakkan historitas Tuhan Yesus,
demikian dengan kitab sejarahnya yakni Kisah Para Rasul. Dari semua
penulis Injil, maka Lukaslah yang terdekat dalam hal penulisan riwayat
hidup Tuhan Yesus. Ia menjelaskan kelanjutan pelayanan Tuhan Yesus
dengan berdirinya Gereja mula-mula, dan dalam tulisannya Yesus menjadi
bagian dari sejarah Gereja.
Perhatian Injil Lukas ialah pada kedatangan era keselamatan yang
baru yaitu bersifat universal (universatity of salvation). Keselamatan yang
bersifat universal ini ditandai oleh era pekerjaan Roh Kudus, dan
terbukanya keselamatan untuk semua orang termasuk non Yahudi.
Keselamatan yang bersifat universal itu dikemukakan oleh Lukas dalam
konsep kerajaan Allah, dimana Yesus Kristus adalah manifestasi Kerajaan
Allah yang sempurna. Bagian yang khusus dalam pengajaran Tuhan Yesus
tentang kerajaan Allah ialah penerimaan dan pemuridan. Orang yang
menerima Tuhan Yesus sekaligus menjadi anggota kerajaan Allah, melalui
proses pemuridan. Salah satu tema pemuridan adalah beriman dan berdoa.
Secara khusus, Lukas mencatat satu perumpamaan Tuhan Yesus
yang mengetengahkan mengenai ketekunan dalam doa sebagai sikap yang
benar terhadap kedatangan Anak Manusia dalam konteks eskatologis.
Perumpamaan itu yaitu perumpamaan tentang seorang janda yang tekun
(Luk 18:1-8). Keistimewaan dari teks perumpamaan ini ialah bahwa
perumpamaan ini tidak ada dalam injil-injil yang lain. Dengan kata lain,
hanya Lukaslah yang mencatat tentang perumpamaan Tuhan Yesus ini.
Perumpamaan ini adalah sangat menarik untuk dikaji, karena ada beberapa
hal yang kelihatannya adalah agak membingungkan, diantaranya, yaitu
sikap hakim yang tidak benar namun membenarkan kasus seorang janda.
Secara khusus perumpamaan ini semakin menarik untuk dikaji karena
hakim yang tidak benar dianalogikan dengan Allah. Karakter hakim dalam
perumpamaan ini jelas-jelas bertolak belakang sama sekali dengan karakter
Allah; dan motivasi hakim membenarkan janda tersebut adalah berbeda
sama sekali dengan motivasi Allah membenarkan atau menjawab doa
orang-orang pilihan-Nya. Selain itu, kebenaran teologis dari perumpamaan
ini, nampaknya sangat relevan untuk dijadikan acuan untuk menyikapi
praktik agamawi yang sedang menjamur masa kini, yaitu praktik yang sama
kelihatannya antara doa orang-orang Kristen dengan doa orang-orang nonKristen, yaitu giat berdoa demi sesuatu atau segala sesuatu yang diinginkan.
Doa dijadikan media untuk memenuhi kebutuhan para pendoa. Seolah-olah
doa adalah cara untuk menjadi kaya. Doa juga dijadikan senjata untuk
mengusir setan, sehingga hampir tidak terlihat perbedaannya dengan dukun
yang mengusir setan dari seseorang yang kerasukan setan. Yang terakhir
ini, doa dijadikan alat ukur iman orang beragama. Seolah-olah orang yang
banyak berdoa adalah orang beriman.
Sebelum menafsirkan perumpamaan yang terdapat dalam Lukas
18:1-8 mengenai seorang hakim yang tidak benar atau seorang janda yang
tekun, maka sangatlah penting untuk menganalisis perumpamaan ini
terlebih dahulu, secara khusus menganalisis teks, konteks dan
latarbelakangnya.
Analisis Teks
Analisis teks adalah suatu studi untuk memahami hakikat teks
tertentu, baik bentuk, gendre dan stuktur teks tersebut supaya dapat
menemukan pengertian teks sedekat mungkin dengan maksud penulis.
Bentuk Teks
Lukas 18:1-8 adalah satu bentuk teks perumpamaan yang disertai
dengan penerapan yang mengikat perumpamaan itu. 1 Perumpamaan ini
merupakan salah satu dari sekian banyak perumpamaan Yesus dalam Injil
Lukas, khususnya merupakan satu dari tujuh belas perumpamaan yang
tergolong dalam Journey Narrative (Luk 9:51-19:27). Perumpamaan ini
1
Bnd. Darrell L. Bock, Luke Volume 2. Baker Exegetical Commentary on
the New Testament (Grand Rapids: Baker Book House, 1998 ), 1446.
adalah perumpamaan dari pernyataan Yesus (illustration of statement).
Memang kata perumpamaan dalam Perjanjian Baru (PB) adalah memiliki
suatu konotasi yang luas. Secara umum, Simon J. Kistemaker membagi
perumpamaan-perumpamaan Perjanjian Baru dalam 3 bagian besar, yaitu
The true parables, story parables, and illustrations.2 Dan Lukas 18:1-8
adalah termasuk dalam Kelompok story parables. Artinya perumpamaan
mengenai Hakim yang tidak benar atau Janda yang tekun dalam Lukas
18:1-8, adalah satu perumpamaan yang bersifat cerita, dan sekalipun bukan
cerita yang benar-benar terjadi atau bukan cerita yang nyata namun cerita
ini membawa atau memberikan kebenaran yang penting. 3 Melalui
perumpamaan ini, Tuhan Yesus sedang mengajarkan dalam konteks
pemuridan mengenai arti pemuridan dalam konteks kerajaan Allah yang
hanya dimengerti jelas oleh pendengar, khususnya para murid-murid Tuhan
yang sedang dimuridkan.
Judul Teks Perumpamaan
Alkitab versi LAI memberikan judul bagi teks Lukas 18:1-8 adalah
perumpamaan hakim yang tidak benar. Alkitab versi NGSB dan NIV
memberikan judul untuk teks ini adalah perumpamaan tentang Janda yang
tekun.4 Dari perbandingan di atas, maka nampak perbedaan penekanan,
yaitu bahwa LAI menekankan karakter hakim sedangkan NGSB dan NIV
menekankan karakter janda. Para penafsir pun adalah berbeda dalam
pemberian judul. Herbert Lockyer, Simon J. Kistemaker dan B.J. Boland
memberikan judul untuk teks Lukas 18:1-8 adalah Unjust Judge dan
Unrighteou Judge. Karakter hakim sebagai sorotan utama. Sedangkan
Graig A. Evans serta Darrell L. Bock memberikan judul untuk teks Lukas
2
The True Parables. These use an illustration from daily life within reach
who hears the parables.Everyone acknowledges the truth conveyed ; there is no basis for
any objection or criticism; Story parables Differing from the true parables, the story
parables does not rely on an obvious truth or generally custom. The true parables is told
in the present tense as fact; Illustration. Illustrative stories appearing in the Gospel of
Luke are usually categorized as example stories; Simon J. Kistemaker, The Parables of
Jesus (Grand Rapids: Baker Book House, 1991), xiii.
3
Ibid.
4
Lih. Alkitab (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1993), 105; The Holy
Bible, New International Version, 780; New Geneva study Bible, 1995, 1639.
18:1-8 adalah The Nagging Widow. Penekanannya pada karakter janda
dalam hal memohon atau berdoa dengan tekun. Searah dengan ini juga
penafsir lain memberikan judul pembahasan teks ini adalah doa, seperti
William Barclay dan Craig A. Evans. Hanya Earle Ellis yang melihat
secara bersama-sama kedua karakter dalam teks tersebut.5
Menurut pendapat penulis, bahwa penekanan pada karakter dalam
perumpamaan memang adalah sangat penting untuk menentukan one main
point, namun demikian, penulis lebih setujuh untuk melihat secara bersama
kedua karekter dalam perumpamaan ini, yaitu hakim dan janda, sehingga
judul perumpamaan ini bisa dinamakan ketekunan seorang janda atau
hakim yang tidak benar. Bagi penulis kedua karakter ini adalah sama
penting. Dan walaupun penulis melihat secara bersama dua karakter ini,
namun hanya ada one main point of the parable, yaitu doa. Pokok utama ini
adalah berdasarkan maksud perumpamaan (18:1), peran kedua karakter,
dan konteks pengajaran Yesus mengenai doa sebagai satu bagian dari
pemuridan (discipleship in the kingdom context).
Struktur Teks
Memang ada baiknya menemukan sendiri struktur teks dari teks
asli, namun penulis mempertimbangkan beberapa struktur yang telah
disediakan oleh beberapa ahli. Seperti E.E. Ellis mengemukakan struktur
Lukas 18:1-8 sebagai berikut: Besides the introduction (ay 1), the passage
consists of a parables (ay 2-5) with a double conclusion (ay 6-8).6 Dan
Darrell L. Bock membuat struktur Lukas 18:1-8 sebagai berikut:
Setting (18:1)
Parable of the Judge and the Widow (18:2-5)
The Judge (18:2)
The Widow’s Request (18:3)
5
E.E. Ellis, The New Century Bible Commentary, The Gospel of Luke
(Grand Rapids: Eerdmans, 1991), 212; Craig A. Evans, New International Biblical
Commentary, Luke (Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1993), 266; Herbert
Lockyer, The Parables of the Bible (Grand Rapids: Zondervan, 1963), 298; William
Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 325; B.J.
Boland, Tafsiran Lukas 9:51-24:53 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982 ), 159;
Kistemaker, The Parables of..., 249; Bock, Baker Exegetical Commentary..., 1444.
6
Ibid.
The Judge’s Responses (18:4-5)
Jesus’ Comments (18:6-8)
Comparison of the judge to God (18:6-8a)
Contrast to the Son of man finding faithful people (18:8b).7
Dari dua bentuk struktur teks di atas, maka penulis lebih cenderung
untuk mengikuti struktur dari Darrell L. Bock, namun dengan sedikit
modifikasi pada bagian terankhir. Jadi, menurut penulis, struktur teks Lukas
18:1-8 adalah sebagai berikut:
Pendahuluan (18:1)
Objek Perumpamaan Yesus
Maksud dan Tujuan Perumpamaan
Isi Perumpamaan (18:2-5)
Karakter Hakim (ay 2)
Karakter Seorang Janda (ay 3)
Tanggapan Hakim Terhadap Permohonan Janda (ay 4-5)
Penolakkan Hakim atas permohonan Janda
Pertimbangan Dan Keputusan
Komentar Tuhan Yesus (18:6-8)
Maksud Perumpamaan (ay 6)
Perbedaan Hakim dan Allah
Analogi Hakim dengan Allah dan Analogi Janda dengan
Orang Pilihan
Aplikasi Perumpamaan (ay 7-8)
Struktur di atas ini akan menjadi kerangka penafsiran dan
pembahasan penulis berikut ini. Sebelumnya, penulis memandang perlu
untuk mengemukakan mengenai analisis latar belakang teks, seperti
pembahasan berikut ini.
Analisis Latarbelakang Teks
Ada pun latarbelakang Lukas menulis perumpamaan Yesus ini,
berkenaan dengan tekanan yang dialami oleh orang Kristen dari pihakpihak non-Kristen. Searah dengan ini, E.E. Ellis mengungkapkan bahwa:
7
Bock, Baker Exegetical Commentary..., 1446.
Luke apparently is writing to a situation in which Christians under severe
persecution are denying their faith.8 Karena itu, Lukas menulis bahwa
dalam keadaan seperti ini, dan pada waktu kedatangan Tuhan, adakah Ia
mendapati iman di bumi? (18:8). Dan lagi, dalam Lukas 12:11 diungkapkan
tekanan yang dialami oleh orang percaya dari pihak-pihak majelis,
pemerintah-pemerintah atau penguasa-penguasa.
Secara khusus, persoalan yang sedang dihadapi oleh pembaca
pertama Injil Lukas, ialah masalah kedatangan Tuhan yang kelihatannya
adalah ditunda-tunda. Bagi Gereja mula-mula, penundaan kedatangan
Tuhan (the 'delay' of parousia) bukanlah suatu masalah kronologis
melainkan sesuatu yang istimewa yang akan dialami orang Kristen di balik
penderitaan, ketahanan bahkan kematian karena iman. E.E. Ellis
berkomentar sebagai berikut:
From the first this had a simple and effective answer (20:37, I Th
4:13). It was not delay qua delay but delay in the face of continuing
death under persecution that caused hope to fade and apostasy to
rise. ‘Sunshine‘ delay poses no problem. But a thousand years go by
in one short hour waiting for the lions.9
Dengan demikian, latarbelakang Lukas secara khusus teks 18:1-8
adalah mengenai konteks penderitaan orang-orang percaya karena iman
yang mereka alami di bumi. Mereka memerlukan penguatan, dan Tuhan
Yesus sebagai fokus dan sumber kekuatan iman di tengah-tengah
penderitaan mengajarkan mengenai beriman dan berdoa seperti seorang
janda yang menghadapi kemustahilan. Teks ini tidak sama dengan
kecenderungan masa kini, bahwa iman dan doa terpisah dari penderitaan,
sehingga iman dan doa menjadi alat untuk mengusir penderitaan, atau alat
untuk menghimpun keberhasilan atau kesuksesan. Mari lanjutkan dengan
menganalisis konteks untuk menemukan arti teks.
Analisis Konteks
Analisis konteks sangat penting untuk mengetahui maksud penulis
menulis teks yang sedang kita pelajari. Berkenaan dengan itu, ada tiga
8
9
Ellis, The New Century Bible…, 212.
Ibid.
konteks yang patut dianalisis berikut ini, yakni konteks Injil Sinoptis,
konteks keseluruhan Injil Lukas, dan konteks dekat.
Analisis Konteks Injil Sinoptis
Perumpamaan tentang seorang janda yang tekun dalam Lukas 18:18 tidak ditemukan dalam teks Injil-Injil yang lain, kecuali hanya pada
tulisan Lukas yang mencatat perumpamaan itu. Dengan kata lain, Para
penulis Injil yang lain seperti Matius dan Markus tidak memasukkan atau
mencatat perumpamaan Yesus tersebut dalam Injilnya. Karena itu,
memahami Lukas 18, lebih tepat pada upaya memahami konteks
keseluruhan Injil Lukas saja, seperti yang penulis kemukakan berikut ini.
Konteks Keseluruhan Injil Lukas
Kyu Sam Han membagi Injil Lukas dalam 7 Bagian besar, yaitu :10
Pasal 1- 2
Pasal 3-4:15
Pasal 4:16-9:50
Pasal 9:51-19:27
Pasal 19:28-21
Pasal 22-23
Pasal 24
: Infancy Narrative
: Baptism and Temptation
: Galilee Ministry
: Journey Narrative
: Ministry in Jerusalem
: Passion
: Resurrection and Ascension
Dan menurut Bock bahwa: Luke records many parables, most as
part of his emphasis on Jesus’ teaching in the ‘journey to Jerusalem’
section (9:51-19:44).11 Dengan demikian, Lukas 18:1-8 adalah salah satu
bagian dari Journey Narrative (9:51-19:27). Dalam bagian ini, Lukas
memaparkan pengajaran Yesus tentang Kerajaan Allah. Dan discipleship
(pemuridan) adalah bagian integral dari Pengajaran Yesus tentang Kerajaan
Allah. Perumpamaan tentang seorang janda yang tekun (Luk 18:1-8),
adalah memiliki persamaan dengan perumpamaan tentang seorang yang
datang ke rumah temannya pada tengah malam (Luk 11:5-8). Lukas
memberikan dua laporan yang sama, yaitu: yang pertama mengenai seorang
Kyu Sam Han, “Catatan Kuliah,” God’s Saving Plan: A Redemptive
Historical Interpretation of the Gospel of Luke (Pacet : ICTS , 1998 ).
1
1
Darrell, L. Bock, Baker Exegetical Commentary on the New Testament,
Luke 1:1-9:50, Vol. 1 (Grand Rapids: Baker Books,1994), 947.
1
0
laki-laki dan kedua adalah seorang wanita. Kedua cerita ini
mengetengahkan pokok bahasan yang sama, yaitu: Keduanya meminta atau
memohon dengan sikap tidak malu (Luk 11:8) dan sikap memohon dengan
tidak jemu-jemu atau memohon dengan terus-menerus Luk 18:2);
Keduanya menjelaskan mengenai kepastian mengenai adanya jawaban bagi
doa. Kedua teks di atas memang mendukung ciri khas penekanan Injil
Lukas yaitu doa. Hal ini ditulis juga oleh Kyu Sam Han bahwa:
Preyer is a characteristic emphasis of the Third Gospel. The Gospel
opens with God’s people at prayer (1:10) and closes with the
believers jayfully blessing God in the temple (24:53). A survey of the
prayer terminology used in Luke-Acts suggests that the theme of
prayer is not unimportant.12
Analisa Konteks Dekat (Literary Context)
Lukas 18:1-8 adalah teks yang tidak dapat dipisahkan dengan
konteks dekat, yaitu teks sebelum dan sesudahnya. Perumpamaan tentang
ketekunan seorang janda ini, masih dalam konteks pengajaran Yesus
tentang kerajaan Allah yaitu berkenaan dengan jawaban Yesus atas
pertanyaan orang-orang farisi (Luk 17:20). Pengajaran Yesus tentang
kerajaan Allah ini diikuti dengan pengajaran Yesus tentang ketekunan
dalam doa (Luk 18:1-8). Kemudian dilanjutkan dengan perumpamaan
tentang orang farisi dan pemungut cukai yang masih mengetengahkan
tentang doa (Luk 18:9-14).
Perumpamaan dalam Lukas 18:1-8, memang mengajarkan tentang
doa. Dan berdasarkan konteks, perumpamaan ini adalah bagian penutup
dari pengajaran Yesus tentang kerajaan Allah (Luk 17:20-37). Sebenarnya
secara implisit, Yesus menyatakan bahwa diri-Nya adalah pewujudan
sempurna kerajaan Allah yang sudah ada. Hal ini nampak dalam ungkapanNya bahwa “Sesungguhnya kerajaan Allah ada di antara kamu” (17:21).
Namun konsep kerajaan Allah yang diajarkan oleh Tuhan Yesus adalah
bersifat rohani, dalam arti tanpa tanda-tanda lahiriah (17:20b). Bahkan
konsep kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang menderita dan ditolak, yaitu
konsep Anak manusia (Luk 17:25-26). Bersamaan dengan itu, Lukas juga
1
1/7.
2
Kyu Sam Han, “Prayer in the Gospel of Luke” in God’s Saving Plan...,
membeberkan kondisi zaman Anak manusia ini adalah sama dengan
kondisi yang terjadi pada zaman Nuh (17:26) dan zaman Lot (17:28).
Untuk itu, kepada anggota kerajaan Allah, yaitu murid-murid-Nya pada
waktu itu dan semua yang percaya kepada Tuhan Yesus, diharapkan untuk
bertekun dan setia dalam iman sampai pada kedatangan Anak Manusia
(Luk 18:8). Ketekunan iman anggota kerajaan Allah ini diungkapkan
melalui berdoa dengan tidak jemu-jemu (tekun), doa pantang menyerah.
Perumpamaan tentang ketekunan seorang janda adalah ilustrasi
Tuhan Yesus untuk menjelaskan dan menegaskan bahwa orang-orang
pilihan Allah (18:7), murid-muridNya haruslah terlibat dalam pemuridan
(discipleship). Dan doa adalah bagian dari pemuridan dalam konteks
kerajaan Allah. Doa adalah untuk meningkatkan mutu rohani, supaya dapat
bertahan dalam bahaya keduniawian yang membinasakan (Luk 17:22-29,
bnd. Mat 24:40-42), dan sebagai kesiapan orang pilihan terhadap
kedatangan Tuhan yang akan terjadi secara tiba-tiba atau tak terduga (Luk
17:30-37). Lukas memaksudkan perumpamaan ini untuk mendorong orangorang pilihan terus berdoa tanpa putus asa sebelum zaman akhir datang.
EKSPOSISI LUKAS 18:1-8: BERIMAN DAN BERDOA
KARENA KESETIAAN ALLAH
Pandangan yang keliru bahwa dengan beriman, kita bisa beroleh
kasih karunia Allah. Dengan berdoa kita beroleh kasih karunia Allah.
Dengan beriman, kita beroleh berkat Allah. Dengan berdoa, Tuhan
mengarunikan berkat-Nya kepada kita. Iman dan doa seperti ini adalah
iman dan doa dari orang-orang beragama bukan Kristen. Alkitab
memberitahukan bahwa oleh karena kasih karunia Allah, kita beriman,
maka kita bisa berdoa. Allah adalah sumber iman, alasan doa. Dalan teks
ini, kesetiaan Allah adalah penyebab orang beriman dan berdoa.
Pengantar
Darrell Bock telah mengklasifikasi perumpamaan-perumpamaan
yang ada dalam Injil Lukas termasuk Lukas 18:1-8 ini, adalah sebagai
berikut: (1). Nama perumpamaan: Nagging Widow; (2). Topik
perumpamaan: Future Spiritual life; (3). Tema perumpamaan: Prayer and
Trust of God’s Faithfulness.13 Pokok utama (main point) perumpamaan ini
ialah mengenai Doa. Dan adanya perumpamaan ini merupakan ilustrasi dari
pernyataan Yesus (Jesus’ illustration of statement) tentang doa. Di awal
teks ini (18:1), Lukas melaporkan dua hal yang penting, pertama yaitu
objek perumpamaan, kedua yaitu maksud dan tujuan perumpamaan.
Objek Perumpamaan Yesus (18:1)
Lukas mencatat bahwa “Yesus mengatakan suatu perumpamaan
kepada mereka”(ay 1). Istilah mereka tidak dijelaskan secara eksplisit
dalam keseluruhan teks Lukas 18:1-8, namun untuk mengetahui mengenai
siapa yang dimaksudkan oleh Lukas dengan istilah mereka, maka kita harus
memperhatikan analisis konteks dekat, yaitu melihat ayat-ayat sebelumnya.
Teks sebelumnya (17:20-37), Lukas melaporkan pengajaran Yesus tentang
kedatangan kerajaan Allah. Dan Pengajaran ini bertolak dari pertanyaan
orang-orang farisi tentang kerajaan Allah (17:20), namun sesunggunya,
perumpamaan ini tidak ditujukan kepada orang-orang farisi, melainkan
ditujukan kepada murid-murid-Nya. Hal ini sangat jelas dalam ungkapan
“Dan Ia berkata kepada murid-muridNya” (17:22).14 Karena biasanya
Yesus mengunakan perumpamaan untuk mengajar murid-murid-Nya.
Berkenaan dengan pemakaian perumpamaan, Bock berpendapat bahwa:
Jesus Himself used parables for instruction, exhortation and defence.15 Isi
perumpamaan yang Yesus sampaikan kepada murid-murid-Nya dalam
konteks ini, adalah tentang doa. Doa merupakan bagian dari pemuridan
anggota-anggota kerajaan Allah setelah keputusan menerima Yesus.
Perumpamaan ini, merupakan ilustrasi Tuhan Yesus mengenai pengajaranNya yang masih berkenaan dengan kerajaan Allah (17:20-37).
Maksud Dan Tujuan Perumpamaan (18:1)
1
3
1
4
Bock, Baker Exegetical Commentary..., Vol.2, 949.
Jesus is telling the parable “to them,” (autois), which must look back to
17:22, where the disciples are the audience; Bock, Baker Exegetical Commentary...,
Vol.2, 1446.
15
Ibid., 947.
Seperti yang dikemukakan Bock bahwa: Keys to understanding a
parable are direct speech, soliloquy, repetition, contrasts and the account’s
ending.16 Kunci ini sangat tepat untuk mengerti perumpamaan dalam Lukas
18:1-8. Karena dalam teks tersebut nampak perkataan langsung, kontras,
dan catatan akhir yang ada di teks tersebut. Selain itu, bahwa berdasarkan
teks, permulaan perumpamaan ini adalah sangat penting, karena selain
memuat objek perumpamaan, juga memuat maksud dan tujuan
perumpamaan. Sekalipun Kistemaker berpendapat: in Jesus’ parables it is
not the beginning of the story but the end that is important,17 namun
berdasarkan teks, maka permulaan teks perumpamaan (Luk 18:1) adalah
sangat penting untuk memahami keseluruhan perumpamaan itu (18:1-8).
Lukas mencatat bahwa Yesus mengatakan suatu perumpamaan
kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa
dengan tidak jemu-jemu. Dari ayat inilah keseluruhan perumpamaan dapat
dipahami. Karena dalam ayat ini (18:1), nampak jelas maksud dan tujuan
dari perumpamaan Yesus ini yaitu untuk menegaskan supaya murid-muridNya bertekun dalam doa. Lebih jauh, Sammers berkomentar mengenai
maksud perumpamaan ini:
Luke indicates that Jesus’ purpose in this parable was to encourage
his disciples. In his prediction of the difficult experience thay faced
in the future (17:22), he had given them cause for discouragement…
He gave them this parable that they might see the importance of
preyer and faithin opposition to losing heart in prolonged
difficulty.18
Dalam NGSB tertulis: always ough to pray, tidak berarti berdoa
dalam segala waktu atau terus-menerus (tak henti-hentinya), melainkan
seperti pendapat Bock, yaitu praying again and again.19 Kalimat always
ough to pray juga berkaitan dengan istilah egkakein, yang berarti to become
weary or tired, lose heart, dengan me berarti not lose heart.20 Jadi, berdoa
dengan tidak jemu-jemu yaitu berdoa dengan tidak menjadi lelah atau
16
Bock, Baker Exegetical Commentary..., Vol.2, 947.
Kistemaker, The Parables of ..., xvi.
18
Ray Summers, Commentary on Luke (Waco: Word Books, 1982), 206.
19
Bock, Ibid., 1447.
20
Wesley J. Perschbacher, Refresh Your Greek (Chicago: Moody Press,
1989), 311; New geneva Study Bible (NGSB), (Nashville: Thomas Nelson Pub., 1995),
1639.
17
berdoa dengan tidak putus-asa. Berdoa dengan berulang-ulang, penuh
energi, tidak menjadi lelah, atau tidak menjadi berputus asa karena
menunggu waktu yang lama. Kita mungkin langsung menanggapi dengan
berpikir mengenai jaminan atau dasar yang harus dipegang untuk bertahan,
untuk tidak putus asa, untuk terus menerus berdoa. Mari kita temukan
jawabannya pada pembahasan berikut ini.
Isi Perumpamaan (18:2-5)
Setelah Tuhan Yesus menegaskan kepada murid-murid-Nya tentang
berdoa dengan tidak putus asa dan berdoa secara berulang-ulang, maka
kemudian, Ia mengilustrasikan ajaran-Nya itu dengan suatu perumpamaan.
Ada Dua karakter yang menjadi sorotan dalam perumpamaan ini, yaitu
pertama adalah karakter seorang hakim dan kedua adalah karakter seorang
janda.
Karakter Hakim (ay 2)
Perumpamaan ini dimulai dengan membicarakan tentang seorang
hakim dengan sifat-sifatnya yang buruk. Bahwa Hakim ini adalah seorang
yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorang pun (ay 2).
Ada komentar berkenaan dengan karakter hakim ini. Menurut Barclay:
Hakim jelas bukanlah seorang hakim Yahudi... Hakim ini adalah
seorang dari hakim-hakim yang ditunjuk baik oleh Herodes atau pun
oleh penguasa Romawi. Hakim-hakim demikian terkenal dengan
nama buruknya. Kalau si penuntut tidak mempunysai pengaruh besar
dan yang bersangkutan tidak mempunyai uang yang cukup untuk
mempengaruhi para hakim, maka perkaranya tidak akan mendapat
perhatian.21
2
1
Alasan bahwa hakim tersebut bukanlah hakim Yahudi karena kalau
hakim yahudi maka segala perselisihan hari-hari biasanya dibawa ke hadapan tua-tua, dan
sama sekali tidak dibawa kepada pengadilan umum. Jika dibawah hukum Yahudi, suatu
perkara dibawa ke pengadilan, maka satu orang saja tidak dapat merupakan suatu
pengadilan. Selalu terdapat tiga orang hakim, yang seorang dipilih oleh pendakwa, yang
seorang oleh terdakwa, dan yang seorang lagi yang tidak terikat dengan siapa-siapa;
William Barclay, Pemahaman Alkitab setiap hari, Lukas ( Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1983).
Mulanya Bock berpendapat bahwa: the judge is probably a Jew and
may have been a powerful man, since the Romans allowed the Jews to
manage many of their own legal affairs,22 namun karena hakim ini
digambarkan sebagai seorang yang tidak takut akan Allah, maka Bock pun
menyimpulkan seperti pendapat Barclay, bahwa: He is possibly a political
type of ‘police’ judge.23 Hakim seperti ini bukanlah hakim yang ideal yang
seharusnya membela kaum miskin dan lemah, melainkan tipe hakim yang
tidak memiliki belas kasihan, tidak takut Tuhan dan tidak menghormati
sesama, karena itu Boch pun menulis lebih jauh: Neither the laws of God
nor public opinion can stir his conscience. Appeal to this character would
be difficult.24
Karakter Seorang Janda (ay 3)
Karakter yang kedua dari perumpamaan ini adalah seorang janda
tanpa harapan, sekalipun ia belum terlalu tua. 25 Janda ini percaya bahwa
hakim tersebut adalah hakim yang bertanggung jawab. Karena itu, ia selalu
datang kepada hakim tersebut. Begitu pula pendapat Summers bahwa: She
recognized him as the right one to deal with her case. Because she felt the
importance of her case, she found it necessary to go to the judge
repeatedly to seek a just settlement.26 Janda ini berkata: “Belalah hakku
terhadap lawanku.” Janda mungkin sedang menghadapi sedikit kesulitan
dengan keuangan sehingga tidak mampu membayar hakim tersebut, karena
itu ia berkali-kali datang dan memohon kepada hakim untuk memberikan
keadilannya. Kata datang (ercheto) dalam bentuk iterative imperfect dan
dalam konteks ini, Bock berpendapat bahwa: iterative and suggests
repeated appeals for aid. She seeks relief from the opponent who wronged
her.27 Janda yang tanpa harapan, tidak berdaya itu memohon dengan
berulang-ulang kepada seseorang yang memiliki wibawa dan kuasa untuk
2
2
2
3
Bock, Baker Exegetical Commentary..., Vol.2, 1447.
Bock, Baker Exegetical Commentary..., Vol.2, 1447.
2
4
Ibid., 1448.
2
5
Since in this culture women married at age thirteen or fourteen and
widows were frequently quite young; Ibid.
2
6
Summers, Commentary on Luke..., 206.
2
7
Bock, Ibid., 1448.
membelanya. Kata membela (ekdikeo) adalah dalam arti membenarkan dia,
seperti ungkapan ekdikeso yang berarti membenarkan dalam ayat 5.
Tanggapan Hakim Terhadap Permohonan Janda ( ay 4-5)
Hakim Menolak Permohonan Janda Itu
Beberapa waktu lamanya hakim itu menolak. Hakim tersebut tidak
meresponi permohonan janda itu untuk beberapa waktu lamanya (epi
chronon), seperti yang tertulis: As often as the widow came, he refused.28
Penolakkan yang dimaksud tidaklah digambarkan dengan sikap mengusir
dengan kasar, melainkan tidak mengubrisnya atau tidak menjawab
permohonan janda tersebut. Tentu tidak ada alasan untuk sikap itu, namun
karena karakter hakim itu yang adalah tidak sensitif kepada kebutuhan
orang dan tidak ada sesuatu dari janda tersebut yang dapat dianggap
mempengaruhi hakim itu, maka jelaslah hakim itu menolak permohonan
janda tersebut. Tidak ada kesalahan dengan permohonannya, namun
masalahnya terletak pada hakim itu, yaitu tidak perduli kepada Janda itu.
Pertimbangan dan Keputusan
Teks selanjutnya tertulis: “Tetapi kemudian ia berkata dalam
hatinya: Walaupun aku tidak takut akan Allah dan tidak menghormati
seorangpun, namun karena janda ini menyusahkan aku, baiklah aku
membenarkan dia, supaya jangan terus saja ia datang dan akhirnya
menyerang aku.” Jawaban atau tanggapan Hakim terhadap permohonan
janda itu, bukan karena hakim itu menyadari tugas untuk menjalankan
keadilan, melainkan karena pertimbangannya, bahwa janda itu terus
mengganggu dia, dan bahaya yang nantinya akan menyerang dia secara
membabi-buta.29 Penekanan yang pantas dalam ayat 4-5 yaitu pada
2
8
2
9
Bock, Baker Exegetical Commentary..., Vol.2, 1448.
Dan siapa tahu, begitulah pikirnya, kalau itu nanti menjadi mata gelap
sehingga ia menyerang saya dan memukul mukaku biru lebam (kata-kata dari ay. 5b itu
keputusan hakim yang membenarkan janda itu dan ketekunan janda dalam
berdoa. Hal ini sama dengan perumpamaan tentang seorang yang datang
ke rumah temannya pada tengah malam. Dan karena sikap yang tidak tahu
malu dari orang itu, maka temannya itu akan bangun juga dan memberikan
kepadanya apa yang diperlukannya (Luk 11:7-8). Apalagi Bapa yang di
sorga, Ia akan memberikan kepada mereka yang meminta kepada-Nya.
Berkenaan dengan itu, Sammers berkomentar: the central teaching is not
that man can, by repeated prayer, break down the will of God. It is rather
that man can be encouraged in prayer by the realization that he prays to a
just God who desires to give and to do that which his child needs.30
Jadi, fokus utama perumpamaan ini bukan pada karakter dan
pertimbangan hakim itu, melainkan kepada keputusan hakim yang
membenarkan dan kepada ketekunan janda tersebut. Ketekunan janda
tersebut nampak dalam beberapa keterangan dari teks perumpamaan itu
sendiri, bahwa “walaupun permohonan janda tersebut ditolak berkali-kali,
dimana sesering janda itu datang dan memohon, sesering itu juga janda
tersebut ditolak.” Inilah bukti ketekunan janda tersebut. Begitu juga dengan
ungkapan hakim bahwa “karena janda ini menyusahkan aku,… supaya
jangan terus saja ia datang” kalimat ini menerangkan dengan jelas
mengenai ketekunan janda tersebut. The woman’s constant intercession has
brought success. Here is the example that the disciples’ prayer should
emulate.31 Teks ini sangat menonjolkan mengenai ketekunan Janda yang
terus menerus datang kepada hakim.
Komentar Tuhan Yesus Mengenai Perumpamaan Ini (ay 6)
Setelah Lukas menyampaikan perumpamaan tentang hakim yang
tidak benar atau ketekunan seorang janda, maka kemudian Lukas
menindak-lanjuti dengan komentar Tuhan Yesus sendiri.
Kata Tuhan “Camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu!”
(18:6). Listen to what the unjust judge says (NIV) - Hear what the unjust
judge said (NGSB). Kata camkanlah (listen) adalah searah dengan maksud
dipinjam dari permainan tinju); B.J. Boland, Tafsiran Lukas 9:51-24:53. II (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1982), 161.
3
0
Summers, Commentary on Luke..., 207.
3
1
Bock, Baker Exegetical Commentary..., Vol.2, 1450.
perumpamaan ini, yaitu untuk menegaskan ajaran tentang doa (18:1).
Kalimat “camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu” adalah
komentar Tuhan Yesus. Komentar itu secara khusus berfokus kepada
perkataan hakim yang dianalogikan dengan Allah. Berkenaan dengan itu,
Kistemaker berkomentar sebagai berikut:
He wants the disciples to pay attention to the very words of the
judge. They are important for a correct understanding of the
parable. As in the parable of the friend at midnight Jesus uses the
rule of contrasts. He contasts the worst in man to the best in God:
“This is what the unjust judge says and does.” 32
Sekali lagi, komentar Tuhan tentang hakim itu, bukan mengenai
karakter hakim yang jelas adalah buruk, melainkan perkataan dan tindakan
hakim itu yang adalah kebenaran analogis dengan kebenaran Allah.
Perbedaan Antara Hakim Dan Allah (ay 6-7)
Ada dua pribadi yang dianalogikan dalam Lukas 18:6-7, yaitu
hakim dan Allah, namun sebelum kita memperhatikan analogi tersebut,
maka terlebih dahulu kita memperhatikan perbedaan-perbedaan yang sangat
menyolok dari keduannya. Berdasarkan teks, Kistemaker melihat perbedaan
antara hakim dan Allah yaitu:
Pertama
Tidak ada hubungan yang mendasar antara janda dan hakim, apakah itu
hubungan sosial, bersifat umum, bersifat keagamaan. Hakim ingin
menghindar dari janda itu, bahkan ia menghendaki hubungan dengan janda
tersebut sebagai lawyer clientnya akan berakhir. Namun hakim yang lalim
itu mendengarkan janda tersebut dan membenarkannya.
3
2
In the parables of the unjust judge, Jesus is more specific than in the
one of the friend at midnight. In fact, the interpretation and application of the massage of
the parables in Luke 11:5-8 must be gleaned from the general contex, while the parable of
the unjust judge contains both the message and the application; Kistemaker, The Parables
of..., 252.
Kedua
Allah telah memilih umat kepunyaan-Nya. Ia memiliki ketertarikan yang
khusus kepada mereka karena mereka kepunyaan-Nya. Ketika umat-Nya
berseru siang dan malam, Allah mengangkat kasus mereka dan membawa
keadilan. Demikian dengan janda yang berseru kepada Allah, menerima
keadilan, karena Allah mendengar dan menjawab doa. 33
Kistemaker menyimpulkan bahwa: The Judge listened to the widow for the
wrong reason: to get off his back. God listens to his people because he
loves them and vindicates their cause. The judge acts selfishly; God acts in
behalf of his people.34
Pada dasarnya, tidak ada kesamaan antara hakim yang lalim dengan
Allah; tidak ada kesamaan karakter, karena karakter hakim adalah seorang
yang lalim, tidak takut Tuhan dan tidak berbelas-kasihan; juga tidak ada
kesamaan motivasi, motivasi hakim membenarkan janda adalah motivasi
tidak benar/mementingkan diri sendiri, sedangkan Allah membenarkan
umat pilihan-Nya karena kasih-Nya; tidak ada kesamaan hubungan antara
hakim dalam relasinya dengan janda, dan hubungan Allah dalam relasinya
dengan umat pilihan-Nya. Jadi, hakim dan Allah adalah kontras sama
sekali, namun yang dianalogikan dari karakter hakim ini dengan Allah
adalah seperti yang penulis kemukakan berikut ini.
Analogi Hakim Dengan Allah dan Analogi Janda
Dengan Orang Pilihan
Karena perbedaan karakter, motivasi antara hakim dan Allah adalah
sangat menyolok, dalam arti tidak ada kesamaan sedikit pun, maka analogi
hakim dengan Allah hanya berdasarkan pada perkataan dan tindakan hakim
3
3
Moreover, no relationship exixts between the widow and the judge,
whether is be social, communal, or religious. The judge wants to be rid of her so that even
the lawyer-client relationship will end. And yet this unscrupulous judge listens to this
widow and does her justice. By contrast, God has chosen his own people. He has a special
interest in them because they belong to him. When his people cry to him day and night,
God takes up their case and brings about justice. Thus, should the widow cry out to God,
she would receive justice, because God hears and answers prayer; Kistemaker, The
Parables of..., 252.
3
4
Kistemaker, The Parables of..., 253.
yang membenarkan janda tersebut. Tuhan Yesus menganalogikan tindakan
hakim yang membenarkan janda itu dengan tindakan Allah membenarkan
orang-orang pilihan-Nya (18:6-7).
Lebih jauh lagi, Tuhan Yesus menganalogikan figur Hakim dalam
ayat 6 dengan Figur Allah dalam ayat 7. Hal ini adalah identik dengan
analogi Figur bapa dunia dalam Lukas 11:9-13.35 Memang sulit sekali
untuk mengerti mengapa Tuhan Yesus menganalogikan hakim dengan
Allah. Sebab tidak ada kesamaan sedikit pun antara hakim dan Allah (antimetafor). Barclay mengomentari bahwa perumpamaan ini tidak bermaksud
untuk menyamakan Allah dengan hakim yang tidak adil itu; Allah sama
sekali bertolak belakang dengan hakim yang tidak adil dan keadilan, maka
apalagi Allah, yang memang adalah Bapa yang mengasihi, akan
memberikan kepada anak-anak-Nya apa yang mereka inginkan.36 Dan
berdasarkan teks yang ada, maka analogi hakim dan Allah ini, hanyalah
dapat dimengerti melalui analogi perbandingan. Bahwa jika Hakim itu
dapat membenarkan janda tersebut, apalagi Allah. Sebab hakim itu adalah
lalim, tidak takut Tuhan, tidak berbelas-kasihan, dan hakim itu tidak ada
hubungan pribadi apa pun dengan janda; dibandingkan dengan Allah yang
adalah penuh kasih dan yang pada hakekatnya mempunyai hubungan
dengan orang-orang pilihan-Nya.
Secara implisit bahwa dalam ayat 6-7 ini, Tuhan Yesus
menganalogikan janda yang dibenarkan oleh hakim dengan orang-orang
pilihan yang dibenarkan oleh Allah. Janda itu adalah orang yang tidak
berdaya secara politis, ekonomi dan sosial. Barclay menjelaskan bahwa:
“Janda itu adalah lambang dari mereka semua yang miskin dan yang tidak
berdaya. Jelas, bahwa ia tanpa uang atau apa pun, tidak mempunyai
harapan untuk memenangkan perkara dari hakim yang seperti itu.” 37
Kondisi janda yang seperti ini adalah dianalogikan dengan orang-orang
3
5
Jika Bapa duniawi yang jahat tahu memberi pemberian yang baik
kepada anak-anakmu, apalagi bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang terbaik
(Roh Kudus) kepada mereka yang meminta kepada-Nya (Luk 11:13). Begitu juga, jika
Hakim yang jahat dapat membenarkan janda itu, tidakkah Allah akan membenarkan orangorang pilihan-Nya yang siang-malam berseru kepada-Nya? (Luk 18:7). Verses 7-8a clarify
how the parable relates to God; Craig A. Evans, New Internation Biblical Commentary
Luke (Peabody: Hendrickson Publishers, 1990 ), 266.
3
6
William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Lukas (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996 ), 327.
3
7
Barclay, Ibid., 326.
pilihan. Menurut Marshall bahwa orang-orang pilihan ini ialah “orangorang yang telah mendengar panggilan Allah dan menjawabnya.” 38 Dengan
beberapa referensi bagian kitab yang lain Summers berkomentar bahwa
orang-orang pilihan ialah a synonym for believers or christians.39 Bagian
ini sangat menghibur dan menguatkan orang Kristen yang sedang
menderita. Tidak ada kekuatan dari diri sendiri, namun sebagai orang
pilihan, Allahlah yang bertindak. Allah yang menjamin orang pilihan-Nya,
yang lemah, namun kekuatannya adalah pada Allah.
Aplikasi Perumpamaan (7-8)
Pada ayat 7 dan 8, Tuhan Yesus mengaplikasikan perumpamaan
sesuai dengan maksud utama perumpamaan yaitu mengenai ketekunan
orang percaya dalam hal berdoa. Ada beberapa hal yang penting
diungkapkan dalam bagian terakhir ini, khususnya yang berkaitan dengan
ketehanan atau ketekunan dalam berdoa, yaitu:
Kepastian Jawaban Atas Doa
Setelah Tuhan Yesus mengarahkan perhatian kepada hakim (ay 6),
kemudian, Ia segera mengalihkan perhatian kepada Allah (ay 7). Kalau
hakim itu telah bertindak yang bersifat kontradiksi dengan pribadi hakim
itu sendiri, yaitu membenarkan janda, apalagi Allah. Inilah bahasa analogi
perbandingan. Earle menjelaskan hal ini: If an unjust judge would finally
surrender to persistent pleading, how much more would a faithful God of
love avenge his elect. Hal yang sama dijelaskan juga oleh Leon Morris.40
I.H. Marshall, “Luke” in Donald Gutrie, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3,
Matius-Wahyu (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1990 ), 246.
3
9
Summers, Commentary on..., 207.
4
0
Ralph Earle, The Wesleyan Bible Commentary (Grand Rapids:
Eerdmans, 1964), 308; Since even an unjust judge can sometimes do justice, much more
must we expect that righteous God will vindicate his elect; Leon Morris, Tyndale New
Testament Commentaries, The Gospel According to St. Luke (Grand Rapids: Eerdmans,
1982), 263; Bnd. Since (1). He is not an unjust, but a righteous judge, and (2). The
supplicant is not a stranger, but His own elect; J. Willcocok, The Preacher’s Complete
Homiletic Commentary on the Gospel According tp St. Luke (Grand Rapids: Baker Book
House, 1978), 485.
3
8
Pertanyaan-pertanyan berikut, “Tidakkah Allah akan membenarkan orangorang pilihanNya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia
mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka? (ay 7),” sesungguhnya
mengungkapkan mengenai kepastian jawaban doa atas doa umat pilihan
Tuhan. Berkenaan dengan itu, ada tiga pokok yang dibahas secara khusus,
yakni tindakan Allah yang membenarkan, dengan segera, dan ketekunan
orang-orang pilihan dalam berdoa.
Tindakan Allah yang Membenarkan
Kalimat “Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihanNya” adalah pernyataan negatif Tuhan Yesus untuk menegaskan bahwa
Allah pasti membenarkan orang-orang pilihan-Nya. Istilah membenarkan
dalam teks Yunani adalah ekdikesin yang berarti vengeance, punishment;
dengan objek langsung dari kata poiese, yang berarti menyebabkan
keadilan dilakukan.41 Dalam bentuk kata kerja ekdikeo dipakai juga dalam
pasal 18 ayat 3 dan 5, dimana Allah akan membawa keadilan kepada umat
yang sedang menghadapi kesulitan.42 Bock menghubungkan hal ini dengan
musuh-musuh Kristen, dengan berkata: He will judge those who persecute
the righteous.43 Allah akan menjawab seruan umat-Nya dalam menghadapi
pelbagai tekanan. Dalam hal ini, Allahlah yang aktif dalam karya
membenarkan atau menjawab doa umat pilihan-Nya yang sedang dalam
kesulitan. Tindakan Allah ini lahir dari kasih-Nya, dan kasihNya ini dalam
relasinya dengan orang-orang pilihan-Nya.44 Frase “orang-orang pilihan”
(eklekton) dijelaskan oleh Bock sebagai berikut:
The term eklektos is a colletive (the only such time in Luke – Acts,
though the singular is applied to Jesus in Luke 23:35; elsewhere in
term has a traditional flavor, since so many other authors use it
(Rom.8:33; 16:13; Col. 3:12; 1 Tim 5:21, 2 Tim 2:10; Titus 1:1; 1
Pet.1:1; 2:4,6,9; 2 John 1,13, Rev.17:14… The uses in 1 Peter,
Colossians, and Romans share the collective overtones of this text,
4
1
4
2
Perschbacher, Refresh Your..., 312.
Bock, Baker Exegetical Commentary ..., Vol.2, 1451.
4
3
Ibid.
4
4
God listens to his people becaiuse He loves them; Kistemaker, The
Parables of..., 253.
with Peter using OT imagery. God will come to the defense of his
chosen people… 45
Pemilihan adalah satu kebenaran yang paling dalam dari Alkitab.
Karena pemilihan merupakan “Tindakan kekal Allah di mana Ia dalam
kesukaan kedaulatan-Nya dan tanpa memperhitungkan jasa atau kebaikan
manusia memilih sejumlah orang untuk menjadi penerima dari anugerah
khusus dan keselamatan kekal.”46 Pemilihan ini ada dalam kekekalan Allah,
sebelum dunia diciptakan. Pemilihan berdasarkan kerelaan kehendak-Nya
(Ef 1:4-5). Pemilihan ini adalah tanpa syarat (Ef 2:8,10; 2Tim 2:21); tidak
dapat ditolak (Mzm 110:3; Flp 2:13); bertujuan untuk keselamatan orang
pilihan dan untuk kemuliaan Allah (Rm 11:7-11; 2Tes 2:13; Ef 1:6, 12,14).
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa orang pilihan
yaitu orang yang percaya kepada Tuhan Yesus atau orang Kristen. Dan
pemilihan inilah yang menjadi keistimewaan relasi Allah dengan orang
percaya.47 Pemilihan ini jugalah yang menjadi dasar yang pasti akan
jawaban doa orang percaya.
Tindakan Allah yang Membenarkan Dengan Segera
Pertanyaan kedua ialah “dan adakah Ia mengulur-ulur waktu
sebelum menolong mereka ?” Pertanyaan ini pun merupakan jaminan akan
adanya kepastian jawaban doa. Istilah mengulur-ulur (makrothumei) dalam
bentuk present indikatif aktif -orang ketiga tunggal, yang berarti ia
menunda, menunda lama.48 NGSB menterjemahkan pertanyaan kedua ini
sebagai berikut: though He bears long with them? dan istilah bears long,
diartikan: God will not keep putting them of like the judge in this parable;
4
5
4
6
Bock, Ibid., 1451.
Louis Berkhof, Teologi Sistematika. I (Jakarta: Lembaga Reformed
Injili Indonesia, 1993), 207; J.C. Ryle, Expository Thoughts on Luke. 2 (Pennsylvania: The
Banner of Truth Trust, 1986 ), 254-255.
4
7
Berbeda sama sekali dengan relasi hakim dan janda. Keduanya tidak
ada hubungan apapun, namun Hakim itu menjawab atau membenarkan kasus janda
tersebut. Dibandingkan dengan hubungan istimewa antara Allah dan orang pilihan, maka
akan memberikan jaminan yang pasti mengenai jawaban Allah atas doa-doa umat pilihanNya.
4
8
Perschbacker, Refreh Your..., 312.
any delay will have a reason.49 Bagi Bock, pertanyaan ini dibuat sulit,
karena Lukas tidak memakai baik kata kerja makrothumeo (to be patient)
maupun kata benda makrothumia (patience). Ada banyak komentar
berkaitan dengan hal ini. Namun menurut Bock yang paling tepat ialah:
With better contextual support, many commentators hold that the
idea of patience has to do with God’s response: God will not
delay…; A final view also treats the reference to patience as God’s
response, but sees it in terms of his restricting the enemies’ power to
persecute until the vindication…God is patient with his elect in
lightening the intensity of their suffering until he comes.50
Karena itu Bock menyimpulkan bahwa: Whether his patience is
reflected in acurrent care that culminates in ultimate deliverance or in
keeping persecution from being too great is not certain.51 Pokoknya yang
jelas ialah Allah membenarkan umat-Nya dengan segera. Hal ini tidak
disebabkan oleh apa pun selain dari tindakan Allah saja, dan tidak ada
alasan apapun untuk menahan tindakan Allah yang membenarkan umatNya. Tindakan Allah membenarkan umat-Nya ini berbada dengan tindakan
hakim yang membenarkan janda tersebut. Dimana hakim bertindak setelah
sekian lama janda memohon, sebagaimana kebiasaan hakim yaitu
mengulur-ulur waktu untuk maksud disogok kemudian bertindak. Allah
tidaklah demikian. Karena itu, dua pertanyaan: “Tidakkah Allah akan
membenarkan orang-orang pilihan-Nya, dan adakah Ia mengulur-ulur
waktu?” langsung diikuti dengan jawaban dalam ayat 8 yaitu: “Ia akan
segera membenarkan mereka.” Inilah pertanyaan retoris Tuhan Yesus
berkenaan dengan jawaban Allah, bahwa Allah akan dengan segera
membawa keadilan untuk umat pilihan-Nya. Hal ini semakin diperkuat
dengan pengunaan istilah segera. Dimana Istilah segera (tachei) dapat
diartikan: “dengan cepat, tanpa menunda, secara tidak disangka-sangka.”52
4
9
New Geneva Study Bible (Nazhville: Thomas Nelson Publ., 1995),
1639. “Will he keep putting them off.” The Holy Bible NIV (New Jersey: International
Bible Society, 1984), 781.
5
0
Bock, Baker Exegetical Commentary..., Vol. 2, 1454.
5
1
Ibid.
5
2
Tachei, dat. Sg. neut. Tachos, ous to, speed, quickness, swiftness, haste;
prep. Phrase with en (adv. Sense), quickly, at once, without delay; Perschbacher, Refreh
Your..., 312.
Inilah jaminan bagi doa umat Tuhan, yaitu adanya kepastian bahwa Tuhan
akan segera bertindak.
Ketekunan Orang-Orang Pilihan Dalam Doa
Kepastian jawaban doa memang tergantung pada kehendak dan
waktu Tuhan. Namun hal yang tidak dapat diabaikan juga ialah ketekunan
orang percaya dalam berdoa. Seperti ungkapan: “… orang-orang pilihanNya yang siang malam berseru kepadaNya.” Ungkapan mengekspresikan
ide yang sama dengan perintah Tuhan yaitu: “bahwa mereka harus selalu
berdoa dengan tidak jemu-jemu.”53 Inilah jaminan bagi doa umat Tuhan,
yaitu adanya kepastian bahwa Tuhan akan segera bertindak. Hal ini searah
dengan maksud utama perumpamaan ini, dimana menjelaskan bahwa orang
percaya harus secara terus-menerus membawa kasus mereka di hadapan
Allah melalui doa. Mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu
ketika jawaban doa belum diberikan dengan segera. Kistemaker
berpendapat bahwa: Jesus teaches the power of prayer. By word and
example he demonstrates that God’s children must pray day and night and
not los heart.54 Demikian juga, Paulus berulang kali menasehatkan untuk
berdoa secara terus-menerus (siang dan malam), seperti kepada jemaat di
Tesalonika (3:10).
Ada dua pertanyaan berkenaan dengan kepastian atau jaminan atas
doa umat Tuhan. Pertanyaan pertama, ialah: Apakah Allah akan
membenarkan atau memberikan keadilan kepada umat-Nya (apakah Allah
akan menjawab doa umat-Nya)? Kedua ialah: Apakah umat Allah harus
lama menunggu doa-doa mereka dijawab? Terhadap pertanyaan ini, Tuhan
Yesus memberikan komentar bahwa: “Ia akan segera membenarkan
mereka.” Berkenaan dengan ini, Kistemaker menegaskan bahwa:
God’s people can rely on God’s faithfulness. He is not like the unjust
judge whose character could not be trusted…In contrast to the
judge, God is not annoyed when his people cry out to him day and
night. The hearing of prayers is not to be understood as God’s
“Crying day and night,” expresses the same idea as our Lord’s
injunction that “men ought always to pray.” Herbert Lockyer, The parables of the Bible
(Grand Rapids: Zondervan, 1963 ), 300.
5
4
Kistemaker, The Parables of..., 253.
5
3
relenting from a set determination not to answer. Rather, God
answers prayer in his time and in accordance with his plan.55
Jaminan inilah seharusnya mendorong umat Tuhan untuk berdoa dengan
tekun, bukan karena isi doa pendoa, bukan karena doanya pendoa (sugesti).
Kesetiaan Umat Tuhan Dan Kedatangan Anak Manusia
Pertanyaan yang bersifat retorikal dari Tuhan Yesus dalam ayat 7,
bahwa Tidakkah Allah akan membenarkan…? Adakah Ia mengulur-ulur
waktu sebelum menolong mereka? Secara langsung dijawab oleh Tuhan
Yesus sendiri dengan kalimat: “Ia akan segera membenarkan mereka” (ay
8). Setelah itu, Tuhan Yesus membuat pernyataan kontradiksi, yaitu: “Akan
tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?”
Dalam NGSB tertulis: Nevertheless, when the Son of Man comes, will he
really find faith on the earth. Istilah nevertheless menunjukan pernyataan
kontradiksi dengan pernyataan sebelumnya. Pada bagian sebelumnya,
Tuhan Yesus memberikan jaminan atau kepastian dari pihak Allah yang
akan menjawab doa, namun apakah Tuhan akan menemukan kesetiaan
iman dari pihak umat-Nya? Leon Morris mengartikan kalimat “adakah Ia
menemukan iman di bumi?” sebagai berikut: he is not suggesting that there
will be no believers. He is saying that the characteristic of the world’s
people at that time will not be faith.” Begitu juga komentar dari NGSB:
“This does not mean that there will be no believers, but that faith will not
be characteristic of all.56
Bagian sebelumnya (17:20-37), Lukas mengemukakan tentang
kedatangan kerajaan Allah, yang berfokus pada kedatangan Anak Manusia
di akhir zaman (17:22, 24, 26, 30). Dan setelah Lukas mencatat
perumpamaan Tuhan Yesus tentang Hakim yang lalim atau janda yang
tekun (18:1-8), maka akhir dari teks perumpamaan tersebut, Lukas
melaporkan kembali perkataan Tuhan Yesus tentang Kedatangan Anak
Manusia (18:8). Jadi sangatlah jelas, bahwa Doa yang diajarkan oleh Tuhan
Yesus dalam bentuk perumpamaan adalah satu pola pemuridan orang
5
5
5
6
Ibid., 254.
Morris, Tyndale New Testament Commentaries..., 263; New Geneva
Study Bible ( NGSB), 1639.
percaya supaya tetap setia dalam menantikan kedatangan Tuhan Yesus
kedua kali. Ditegaskan oleh Kistemaker bahwa:
Of Jesus’ promise to return, the believer can be sure. The other side
of the coin is whether the believer will be faithful in his prayers. Will
the followers of Jesus contunually pray for the coming of God’s
Kingdom (Matt 6:10; Luk 11:2), and the return of Christ (1 Cor
16:22; Rev.22:17,20)?… Jesus does the work entrusted to him. Will
the believer, however, be faithful to Jesus by constantly
communicating with him in prayer? And will there be faith that
perseveres when he returns?57
Jadi sementara menantikan kedatangan-Nya yang kedua kali Tuhan
mengharapkan pada umat-Nya untuk bertekun dalam doa. Karena
ketekunan dalam doa merupakan manifestasi dari iman.
Rumusan Teologis Perumpamaan Lukas 18:1-8
Karakter janda dalam perumpamaan ini merupakan representatif
dari orang-orang pilihan Allah (orang percaya) yang sedang berada dalam
dunia. Sekalipun tidak memiliki pengaruh politis, ekonomi, dan sosial,
sehingga tidak diperhitungkan dunia (hakim yang lalim), namun mereka
diperhatikan oleh Allah secara khusus dalam konteks pemuridan dengan
prinsip-prinsip kerajaan Allah. Orang pilihan (orang percaya) yang memang
hidup dengan prinsip-prinsip kerajaan Allah pastilah berbeda dengan
prinsip-prinsip kerajaan dunia, dan itulah sebabnya mereka menderita.
Penderitaan orang pilihan disebabkan oleh karena ketidakadilan dalam
dunia. Dalam penderitaan karena ketidakadilan, Tuhan memberikan
jaminan bahwa Ia pasti membenarkan atau memberikan keadilan kepada
mereka. Jaminan inilah yang sesungguhnya menjadikan orang-orang
pilihan bertekun dalam iman mereka kepada Tuhan, dan mengekpresikan
ketekunan iman mereka melalui ketekunan atau ketahanan berdoa. Dalam
hal ini, Tuhan adalah penyebab orang beriman dan berdoa. Tidak ada alasan
atau dasar dari pendoa sehingga doanya terkabalkan, Tuhanlah subjek doa.
Tidak seorang pun tahu bagaimana sebenarnya berdoa. Dialah yang
sesunguhnya berdoa di dalam dan melalui kita. Melalui Roh Kudus, Ia
5
7
Kistemaker, The Parables of..., 253.
memimpin kita berdoa sesuai dengan kehendak-Nya, seperti yang Paulus
nyatakan sebagai berikut.
Roh Kudus menolong kita di dalam kelemahan kita, karena kita
tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa, tetapi Roh sendiri
berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak
terucapkan. Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui
maksud Roh itu, bahwa Ia sesuai dengan kehendak Allah, berdoa
untuk orang-orang kudus (Rm 8:26-27).
RANCANG BANGUN TEOLOGI MULTIKULTURAL
DALAM PERSPEKTIF PERJANJIAN BARU
GUNARYO SUDARMANTO
PENDAHULUAN
Diversitas manusia merupakan kekayaan sekaligus potensi konflik.
Fakta di sepanjang sejarah manusia menunjukkan bahwa perbedaan etnik
dan religi telah menjadikan manusia bagai serigala bagi sesamanya (homo
homini lopus). Konflik horisontal yang terus terjadi, lebih disebabkan oleh
sempitnya horison tentang hakikat nilai sesama sebagai akibat dari
justifikasi dogmatis yang tidak seimbang. Padahal di setiap komunitas religi
dan etnik senantiasa memuat urgensi menghargai kehidupan sesama
manusia.
Teologi Kristen tidak meniadakan kebenaran bahwa TUHAN baik
kepada semua orang (Mzm 145:8). Untuk itu pula Rasul Paulus
menyerukan, “...marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi
terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Gal 6:10). Kata terutama
tidak berarti meniadakan aspek universalitasnya, melainkan pada prioritas
sesuai tuntutan konteks jamannya. Mengumpulkan dasar-dasar Alkitabiah
yang melandasi pemahaman tentang pentingnya membangun relasi dengan
sesama, itulah yang saya sebut sebagai Teologi Multikultural. Teologi ini
menekankan pada cara pandang Allah terhadap sesama manusia yang
berbeda etnik dan religinya. Dengan teologi ini, orang Kristen memiliki
landasan yang kokoh untuk membangun relasi dengan sesamanya dalam
segala kepelbagaiannya. Dalam perspektif Perjanjian Baru setidaknya
ditemukan Enam prinsip teologis yang dapat menjadi rancang bangun
Teologi Multikultural. Keenam prinsip tersebut ialah: (1) Inkarnasi; (2)
Universalitas soteriologi; (3) Teokrasi-presentis; (4) Universalitas Karya
Roh Kudus; (5) Naturalitas Gereja sebagai tubuh Kristus; (6)
Multikulturalitas kekekalan.
INKARNASI
Istilah inkarnasi merupakan bentukan kata Latin: in (masuk) dan
carne (daging) yang berarti masuk ke dalam daging. Istilah ini digunakan
secara teologis untuk menunjuk pada fakta “Allah menjadi manusia
(daging) di dalam dan melalui Yesus Kristus.” Kebenaran ini bersumber
dari Yohanes 1:14 khususnya pada frasa, “Firman itu telah menjadi
manusia” (kai o` logoj sarx egeneto). Kata egeneto (menjadi) ditulis dalam
bentuk singular, aorist, middle, indicative.1 menunjuk kepada sesuatu yang
sudah pernah sungguh-sungguh terjadi secara faktual. Dengan kata lain
bahwa peristiwa itu bukan sebuah metafor atau simbolis, dan hasilnya
masih dapat dirasakan sampai masa sesudahnya. Hal serupa pernah terjadi
pada isteri Lot menjadi tiang garam (Kej 19:26). Artinya secara faktual ia
sungguh-sungguh menjadi tiang garam. Sedangkan kata sarx (sarx) yang
secara harafiah berarti daging digunakan untuk menunjukkan kesungguhan
kemanusiaan Yesus. Sebaliknya, kata logoj (logos) diartikan Firman
menunjuk pada kesungguhan keilahian Yesus.2 Jadi dengan frasa “dan
Firman itu telah menjadi manusia” Yohanes menegaskan bahwa yang
sungguh-sungguh Allah telah menjadi sungguh-sungguh manusia.
Terutama dengan menggunakan kata sarxYohanes melegitimasi
1
Hasan Susanto (Peny.), Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia
(Jakarta: LAI, 2003), 476.
2
Leon Morris, The New International Commentary on The New
Testament: The Gospel According to John (Grand Rapdis: Eerdmans, 1977), 102.
kesungguhan realitas kemanusiaan Yesus. Paulus juga menggunakan kata
sark untuk menunjukkan hakikat manusia dengan segala kelemahannya
(Rm 8:3; Flp 2:7).3
Selain secara literal, kemanusiaan Yesus juga dapat dibuktikan dari
aspek-aspek fisik, intelektual, emosi, kehendak dan spiritual sebagaimana
ciri-ciri manusia pada umumnya. Secara fisik Yesus dilahirkan secara
alamiah (Mat 1:25; Luk 2:7). Dia bertumbuh secara normal dari kanakkanak hingga menjadi dewasa (Luk 2:40). Dia merasa lapar (Mat 21:18)
dan haus (Yoh 19:28). Dia mengalami penderitaan dan kematian (Yoh
19:33). Secara mental Dia membutuhkan informasi sehingga perlu bertanya
(Mrk 9:21; Luk 2:46-47). Secara intelektual, Dia belajar Kitab Suci dengan
nalar anak Yahudi. Secara emosi, Dia mengasihi keluarga-Nya (Yoh 19:26)
dan sahabat-Nya (Mat 23:37). Dia bisa marah (Mrk 19:26), sedih (Mat
9:36). Dia juga memiliki kehendak yang berbeda dengan Bapa-Nya (Mat
26:39). Secara spiritual, Dia berdoa (Mrk 1:35), beriman dan taat kepada
Bapa (Flp 2:8). Jadi dari seluruh aspek tersebut jelas menunjukkan bahwa
Yesus benar-benar manusia secara utuh. Dengan menjadi manusia Dia
turut merasakan berbagai pencobaan dan penderitaan manusia supaya Dia
bisa menolong manusia berdosa (Ibr 2:18, 4:16). Meski dalam segala hal
Dia sama dengan manusia, namun Dia tidak pernah berbuat dosa (Ibr 4:15)
dan tidak pernah gagal. Yesus adalah Manusia Sejati sebagaimana keadaan
manusia ketika ia diciptakan pada mulanya, sebelum jatuh ke dalam dosa. 4
Karya Kristus ini menunjukkan dua kebenaran penting. Pertama,
Solidaritas. Dia yang mulia sedia merendahkan diri, menjadi kecil dan
lemah. Dia sedia masuk ke dalam kesakitan dan penderitaan manusia (Flp
2:6-8). Dia melakukan segalanya demi manusia. Dia memberi makan yang
lapar, menyembuhkan yang sakit, mengampuni yang berdosa, menjadi
kawan bagi yang tersisih, membangkitkan yang mati. Bahkan Dia juga
menjadi korban ketidakadilan. Dia mati menanggung dosa manusia. 5
Kedua, Identifikasi diri. Kesediaan-Nya menjadi manusia dan sedia
memasuki dunia manusia merupakan bentuk identifikasi diri dengan
3
William Hendriksen, New Testament Commentary: The Gospel of John
(Edinburg: The Banner Truth Trust, 1959), 109.
4
Peter Wongso, Kristologi (Malang: SAAT, 1988), 61-62.
5
John Stott, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1984), 15.
manusia yang dilayani-Nya. Ini merupakan model yang harus ditiru misi
kristiani masa kini. Mengenai hal ini, John Stott menyatakan bahwa,
Sebab jika misi kristiani harus mengikuti model misi Kristus, maka
tak dapat tidak dalamnya harus tercakup tuntutan yang sama seperti
yang telah dipenuhi-Nya, yaitu bahwa kita harus memasuki duniadunia orang lain... itu berarti kerelaan meninggalkan kemudahan dan
kerterjaminan latarbelakang kebudayaan sendiri, agar dapat
mengabdikan diri kepada kepentingan orang-orang dari latar
belakang kebudayaan yang lain, yang kebutuhan-kebutuhannya
mustahil dapat kita ketahui atau simak sebelumnya. Misi nyata,
entah itu pekabaran Injil atau pelayanan sosial atau dua-duanya,
menuntut pengidentifikasian diri dengan orang-orang dalam situasi
aktual mereka.6
Prinsip solidaritas dan identifikasi diri yang dilakukan Yesus dalam
masa inkanasi-Nya ini merupakan dasar Kristologis bagi hubungan yang
baik dengan semua orang secara multikultur, baik multietnis maupun
multireligi.
UNIVERSALITAS SOTERIOLOGI
Tujuan utama kedatangan Yesus ke dunia adalah menyelamatkan
manusia berdosa. Yang dimaksudkan dengan manusia berdosa ini tentunya
bukanlah bangsa Israel saja, melainkan semua bangsa, karena semua orang
telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Rm 3:23). Sejak jatuh ke
dalam dosa, manusia telah menjadi musuh Allah (ectra tou qeou: Rm 5:10;
Kol 1:21; Yak 4:4). Namun pada prinsipnya, Allah tidak menghendaki
seorangpun binasa, maka setiap orang memiliki kesempatan untuk bertobat,
yaitu mengalami pemulihan hubungan (rekonsiliasi) dengan Allah dan
sesamanya. Karya keselamatan Allah di dalam dan melalui Kristus disebut
juga sebagai atonement. Untuk memahami konsep mengenai karya
keselamatan ini, PL menggunakan kata Ibrani rpk (khapar) yang artinya: to
cover by making expiation. Sedangkan PB menggunakan kata Yunani
katallagh (katallage) yang berarti reconciliation.7 Rekonsiliasi merupakan
6
7
33.
Ibid., 15-16.
Archibal A. Hodge, The Atonement (London: Evangelical Pree, 1974),
bagian sentral dari karya keselamatan Kristus yang sudah dimulai pada
masa PL. Dalam PB, rasul Paulus paling banyak menguraikan pokok ini,
antara lain dalam Roma 5:10-11 dan 2Korintus 5:18-20. Dalam kedua teks
tersebut, Paulus memakai istilah katallage yang diartikan dengan
pendamaian. Kata itu berasal dari kata kerja katallasw (katallaso), artinya:
mendamaikan. PB menggunakannya dalam dua konteks, yaitu: konteks
hubungan suami dan isteri, dan konteks hubungan Allah dan manusia. 8
Kattallasw/ dibentuk dari kata allassw (allaso) yang artinya: mengubah (to
change). Sedangkan allasw sendiri berasal dari kata allwj (allos) yang
berarti: lain atau yang lain (other, another). Jadi, secara esensial, katallasw
memiliki pengertian dasar mengubah menjadi lain.9 Dalam konteks karya
keselamatan manusia katallasw dimaksudkan untuk mengubah manusia
sebagai musuh Allah menjadi kekasih Allah (agaphtoj). Untuk maksud itu
Kristus datang ke dunia yaitu menyelamatkan setiap orang yang percaya
kepada-Nya (Yoh 3:16).
Karya keselamatan tersebut terbuka untuk semua orang (universal).
Sebab itu, sebelum kenaikan-Nya ke sorga, Yesus memberikan Amanat
Agung-Nya kepada murid-Nya untuk menjadi saksi-Nya dari Yerusalem,
Yudea, Samaria dan sampai ujung bumi. Amanat ini, “...menegaskan bahwa
Injil sebagai satu-satunya kebenaran universal harus disampaikan kepada
segenap umat manusia pada segala tempat dan waktu (universal).” 10 Selain
berita Injil tersebut dimaksudkan untuk pemulihan hubungan dengan Allah,
namun akibatnya juga akan terjadi pemulihan hubungan antar sesama
manusia.
Prinsip universalitas keselamatan ini merupakan dasar bagi
hubungan multikultur, karena setiap orang dengan etnis dan religinya
memiliki kesempatan untuk percaya kepada Kristus dan menerima
keselamatan. Karena itu, hubungan multikultural haruslah dipandang dari
dua perspektif sekaligus, yaitu: keharusan untuk hidup dalam damai dengan
orang lain, dan memanfaatkan hubungan multikultur sebagai kesempatan
8
Buchel, katallagh dalam Gerhart Kittel (Ed.), Theological Dictionary of
New Testament, Vol. I (Grand Rapids: Eerdmans, t.t.), 255.
9
Robert L. Thomas (Ed.), New American Standard Exhaustive
Concordance of The Bible (Nashville: Holman Bible Publisher, 1981), 1629, 1630, 1659.
1
0
Elisa B. Surbakti, Benarkah Yesus Juruselamat Universal?
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 55.
untuk memberitakan kabar keselamatan kepada semua orang. Karena itu
Injil juga harus diberitakan melalui aspek-aspek budaya orang lain.
TEOKRASI-PRESENTIS
Yang dimaksudkan dengan Teokrasi ialah pemerintahan Allah
dimana Allah memerintah sebagai Raja dalam Kerajaan-Nya. Dengan kata
lain Teokrasi berbicara mengenai kerajaan Allah yang dalam bahasa
Yunani disebut basileia tou qeou (basileia tou theou). Istilah Yunani
basileia dari kata basileuj (basileus) yang berarti: raja.11 Dalam pemikiran
Yunani basileus menunjuk kepada seorang raja yang sah menurut hukum
dan biasanya secara turun-temurun menjadi pemimpin religius atas
rakyatnya.12 Sedangkan istilah basileia (basileia) yang berarti pertama:
royal, power, kingship, dominion, rule.” Kedua: a kingdom. Arti yang
pertama menunjuk kepada kuasa atau wewenang yang dimiliki oleh seorang
raja. Sedangkan yang kedua menunjuk kepada wilayah kekuasaan seorang
raja.
Kemudian dalam Alkitab istilah kerajaan digunakan dalam
hubungannya dengan Allah, sehingga disebut Kerajaan Allah: h` basileia
tou Qeou: he basileia tou theou. Istilah Kerajaan Allah itu sendiri
digunakan oleh Yesus dalam pemberitaan-Nya seperti termaktub dalam
Injil Sinoptis, yang juga sinonim dengan Kerajaan Sorga (Mat 4:17; 5:3;
Mrk 1:15; Luk 6:20) dan Kerajaan Bapa (Mat 26:29). Istilah Kerajaan
Allah dan Kerajaan Sorga secara literal tidak terdapat dalam Perjanjian
Lama, sehingga pengertiannya juga belum begitu jelas dalam agama
Yahudi. Namun demikian akar dan ide yang terkandung di dalamnya sudah
terdapat secara samar dalam Perjanjian Lama dan dalam pengharapan iman
umat Israel. Karena itu istilah Kerajaan Sorga tidak ditemukan dalam
tulisan-tulisan Yahudi-Yunani, namun sudah terdapat dalam literatur
Talmud (malkuth shamayim) sebagai literatur yang lebih tua. Hal itu
1
1
B. Klappert, “King, Kingdom” dalam Colin Brown, The New
International Dictionary of New Testament Theology, Vol. 2 (Grand Rapids: Zondervan,
1976), 372.
1
2
Kleinknecht, “basileuj in The Greek World” dalam Kittel (Ed.),
Theological Dictionary of..., Vol. I, 564.
menunjukkan bahwa pemahaman dasar tentang Kerajaan Sorga telah
disimpan lama dalam idiom Yahudi.13
Jadi, kerajaan Allah dapat berarti: pemerintahan Allah, kekuasaan
Allah, dan kedaulatan Allah yang bersifat universal (bnd Mzm 103:19;
145:11,13; Dan 2:37; Luk 19:11-12). Secara terminologis Alkitabiah
pengertian kerajaan Allah lebih menunjuk kepada kedudukan-Nya sebagai
raja atau pemerintahan-Nya dan kedaulatan-Nya.14 Kerajaan Allah ini
menunjuk kepada Kristus sebagai Raja yang sudah datang, memulai
kerajaan-Nya dan akan datang di masa mendatang (future). Karena itu
basileia tou theou tidak hanya dimengerti sebagai The Kingdom of God
(Kerajaan Allah) melainkan God’s Kingship (Kepemerintahan Allah).
Kingship of God lebih menunjuk kepada sebuah situasi yang luas yang
meliputi seluruh kehidupan yang di dalamnya Allah memerintah sebagai
Raja. Dalam pengertian ini Allah menjadi pemilik dari seluruh kehidupan
pada masa kini dan masa yang akan datang. 15 Eka Darmaputera
menambahkan bahwa Kerajaan Allah merupakan terminologi dalam teologi
Kristen yang menunjuk kepada, “suatu keadaan atau kenyataan dimana
Allah dengan spenuhnya akan memerintah dan memberlakukan kehendakNya, yaitu keadilan, kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan yang
menyeluruh bagi seluruh umat manusia.” 16 Itu berarti Kerajaan Allah tidak
hanya bersifat futuris, melainkan juga memuat dimensi presentis. Hal itu
sudah dinyatakan ketika Yohanes Pembaptis berseru, “Bertobatlah, sebab
Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat 3:2). Frasa sudah dekat diterjemahkan
dari kata Yunani hggiken (eggiken) yang merupakan bentuk perfek aktif
indikatif dari eggidzw (eggidzo) yang berarti: to come near, approach, or
1
3
George Eldon Ladd, Crucial Question About The Kingdom of
God (Grand Rapids: Eerdmans, 1952), 121-122.
1
4
George Eldon Ladd, Injil Kerajaan (Malang: Gandum Mas,
1999), 21-23.
1
5
Weinata Sairin, Victor I. Tanya, Eka Darmaputera, “Berbagai
Dimensi Kerukunan Hidup Umat Beragama” dalam Weinata Sairin (Peny.), Kerukunan
Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006),
18.
1
6
Eka Darmaputera, “Tugas Panggilan Bersama Agama-agama di
Indonesia” dalam. J. Garang (Peny.), Peranan Agama-agama dan Kepercayaan Terhadap
Tuhan yang Maha Esa Dalam Negara Pancasila yang Membangun (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1996), 141.
draw nigh.” W.E. Best menjelaskan pengertian dasar dari ketiga kata
Inggris tersebut sebagai berikut:
There is much discussion over the following statement in the King
James translation of the Bible: “the Kingdom of heaven is at hand”
(Matt 3:2; 4:17; 10:7). The Greek verb in those verses is eggiken,
perfect active indicative of eggidzo, which means to come near,
approach, or draw nigh. When we observe the basic English
meaning of these three verbs, we can better determine the definition
of eggidzo. “Come” means to come toward or away from something,
to pass from one point to one nearer. “Draw” means to pull, drag,
draw, or move toward. “Approach” means to come or go near or
nearer in either place or time. The accurance of eggidzo in its
perfect active indicative form in each reference where it is used
proves that the kingdom has not arrived, but it has approach or
come near.17
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kerajaan Allah itu
memang sudah dekat atau sama dengan belum sampai. Namun tidak berarti
masih sangat jauh sehingga sama sekali tidak dapat dilihat dan dirasakan
kehadirannya. Maksud dari kata eggiken adalah bahwa kehadirannya telah
begitu dekat dan sangat dapat dirasakan. Bentuk perfek yang digunakan
menegaskan bahwa kerajaan yang dimaksudkan dalam nubuatan PL telah
benar-benar tergenapi.
Presensi Kerajaan Allah itu semakin jelas ketika Yesus memulai
pelayanan-Nya di Galilea dan menyatakan, “Waktunya telah genap,
Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!”
(Mrk 4:15). Kata Yunani yang diterjemahkan dengan “waktu” adalah kata
kairoj (kairos) yang berarti saat atau waktu tertentu, bukan kronoj kronos)
yaitu waktu yang berlangsung terus menerus. Kairos itulah yang dipakai
Yesus untuk menunjukkan penggenapan di dalam Diri-Nya. Herman
Ridderbos menjelaskan pengertian kairos sebagai berikut:
Therefore, kairos means the great moment of commencement of the
great future appointed by God in His counsel, and announced by the
prophets. By the side of “is at hand” there is already the “is
fulfilled.” No doubt the two expressions shoult be understood in
connection with each other. “At hand” in expression “is at hand”
W.E. Best, Christ’s Kingdom Is Future, Vol. II (Houston,
Texas: South Belt Assembly of Christ, t.t), 159.
1
7
does not mean the same thing as “has come,” “is present,” as
clearly appears from the purpose of John’s preaching. The
expression “the time is fulfilled” will thus have to be understood as
the indication that the threhold of the great future has been reached,
that the door has been opened, and that the prerequisites of the
realization of the divine work of consummation are present; so that
now the concluding divine drama can start. 18
Jadi, waktunya telah genap berarti bahwa melalui kehadiran Yesus
“masa yang akan datang” sedang dimulai. Hal itu lebih ditegaskan oleh
Yesus ketika Ia berkhotbah di Nazaret (Luk 4:16-30). Dalam ibadah di
Sinagoge itu Ia membaca nubuat dari kitab Yesaya 61:1-2 mengenai tahun
rahmat Tuhan. Pada saat itulah Yesus menegaskan: “Pada hari ini genaplah
nas ini...” (ay 21). Dengan penegasan tersebut, Yesus sedang menunjuk
Diri-Nya sendiri sebagai penggenapan dari nubuatan Yesaya. Itu berarti
bahwa Person yang diurapi Tuhan dan yang disertai Roh Tuhan, seperti
yang dimaksudkan oleh Yesaya, ialah Yesus sendiri. Dialah yang
dimaksudkan yang akan memberitakan kabar baik kepada orang miskin,
pembebasan kepada tawanan, mencelikkan yang buta, membebaskan yang
tertindas, dan memberitakan tahun rahmat Tuhan.
Hal tersebut ditegaskan kembali oleh Yesus ketika menjawab
pertanyaan murid-murid Yohanes Pembaptis tentang jatidiri-Nya sebagai
Mesias. Yesus menjawab pertanyaan itu dengan menyebutkan tindakantindakan Mesianis-Nya, yaitu: “...orang buta melihat, orang lumpuh
berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati
dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Luk 7:1822). Meskipun Yesus hanya menyebutkan karya-Nya, namun hal itu
sekaligus mengindikasikan jatidiri-Nya sebagai Mesias. Dalam hal ini nyata
kesatuan karya dan Person Mesias dalam Diri Yesus.
Selanjutnya, presensi Kerajaan Allah diperjelas oleh tanda-tanda
yang dinyatakan Yesus melalui pengajaran dan karya-karya-Nya. Secara
umum ada enam tanda yang menunjukkan presensi Kerajaan Allah, yaitu:
Pertama, pemberitaan kabar baik kepada orang miskin. Tanda ini
dinyatakan tiga kali oleh Yesus, yaitu: dalam khotbah di Nazaret (Luk
4:18), dalam jawaban-Nya atas keraguan Yohanes Pembaptis di penjara
(Mat 11:5; Luk 7:22), dan dalam ucapan bahagia (Mat 5:3; Luk 6:20). Kata
1
8
Herman Ridderbos, The Coming of The Kingdom (Philadelphia:
Presbyterian and Reform Publishing Company, 1973), 48.
miskin yang dimaksudkan adalah pertama-tama menunjuk kepada orang
desa (am-haarezt). Mereka adalah penduduk Israel yang kurang memahami
Hukum Taurat, karena tidak mendapatkan pengajaran semestinya dari
orang Farisi dan ahli Taurat. Mereka tidak diperhatikan dan dianggap
berperilaku tidak senonoh, sehingga dianggap berada di luar keselamatan.
Dengan demikian di dalam kemiskinan jasmani itu terkandung juga
kesusahan rohani yang terus menantikan datangnya keselamatan atas
dirinya.19
Kata miskin juga bisa diartikan sebagai orang yang mengalami
kesulitan jasmani, menanggung sengsara, teraniaya dalam masyarakat dan
mengeluh di bawah kejahatan sosial orang-orang yang egois. Tetapi mereka
juga adalah orang yang rendah hati, lembut hati, senantiasa menantikan
keselamatan yang dijanjikan Allah kepada umat-Nya. Kepada merekalah
Injil Kerajaan Allah diberitakan sebagai penggenapan janji keselamatanNya.20 Pengertian tersebut juga berkaitan dengan pernyataan Yesus dalam
Matius 5:3, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena
merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Dalam ayat itu, kata miskin
lebih bersifat rohani daripada jasmani. Frasa “merekalah yang empunya
Kerajaan Sorga” berarti Kerajaan Sorga menjadi milik mereka dalam arti
rohani. Sebagai contoh, Yesus mengajarkan perumpamaan tentang orang
Farisi dan pemungut cukai (Luk 18:9-14). Keduanya bersama-sama berdoa
di Bait Allah. Dalam doanya orang, Farisi sangat bangga dengan segala
kebaikan rohaninya. Sedangkan pemungut cukai dengan hancur hati
menyadari keberdosaannya. Tentang pemungut cukai itu Yesus berkata:
“orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan
orang lain itu tidak” (ay 4).21 Mengomentari ayat tersebut Charles L. Allen
menyatakan: “The first key to God’s Kingdom is another type of poverty...
the poverty which is a key to God’s Kingdom is realization that, though we
posses all things, without God all our things are nothing.” 22 Itulah aspek
1
9
Ulrich Beyer, Garis-garis Besar Eskatologi Dalam Perjanjian
Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 16.
2
0
Herman Ridderbos dan Baarlink, Pemberitaan Yesus Menurut
Injil Sinoptis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), 72-75.
2
1
Peter Wongso, Hermeneutika Eskatologi (Malang: SAAT,
1989), 91.
2
2
Charles L. Allen, God’s Psichiatry (New Jersey: Fleming H.
Revell Company, 1970), 130-131.
utama yang diperhatikan Yesus, sehingga mereka perlu mendengarkan Injil
agar mereka mengalami keselamatan dari dosa.
Kedua, kehadiran Kerajaan Allah ditandai dengan Pengampunan
dosa. Yesus menegaskan kembali nubuat Yesaya tentang, “Pembebasan
bagi tawanan dan orang yang tertindas” (Luk 4:19). Pernyataan itu hanya
dapat dimengerti dalam hubungannya dengan pengampunan dosa, karena
terkait erat dengan tahun rahmat Tuhan atau tahun Yobel. Di tahun itu,
menurut tradisi Israel, seorang yang miskin dan telah menjadi budak harus
dibebaskan dari segala hutangnya dan dimerdekakan (bnd. Im 25:39, dst;
Yeh 46:17). Searah dengan nubuatan tersebut, Yesus memberikan
pengampunan dosa agar orang yang tertawan dan tertindas oleh dosanya
dilepaskan dan diampuni. Matthew Henry dalam komentarnya menyatakan:
“The Gospel is a proclamation of liberty, like that to Israel in Egypt and in
Babylon. It is a deliverence from the worst of thraldoms, which all those
shall have the benefit of that are willing to make Christ their Head.” 23
Pembebasan yang utama ialah pembebasan dari dosa. Karena itu Yesus
memberitakan tentang pengampunan dosa dan melakukan pengampunan
dosa (Mrk 2:5). Tindakan tersebut merupakan proklamasi ke-Allahan-Nya
dimana Ia menunjukkan hak prerogatif Allah untuk mengampuni manusia
berdosa. Untuk itu Ia bergaul dengan orang-orang yang dianggap paling
berdosa seperti: pemungut cukai dan wanita pezinah, karena mereka juga
berhak masuk ke dalam Kerajaan Allah. Kepada para pemimpin agama
Yahudi, Yesus menegaskan, “pemungut-pemungut cukai dan perempuanperempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan
Allah” (Mat 21:31). Ayat itu menunjukkan sifat kekinian dari Kerajaan
Allah, karena orang-orang berdosa itu sedang menjadi warga Kerajaan
Allah. Itu berarti Yesus menyatakan bahwa Kerajaan Allah sudah hadir dan
dimulai di bumi.24
Ketiga, Yesus melakukan Mujizat. Matius 8:17; 11:5; Lukas 7:16
mendaftarkan tindakan kemesiasan Yesus sebagaimana dinubuatkan
Yesaya 35:5b; 29:18-19 dimana “orang buta melihat, orang lumpuh
berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar dan orang mati
dibangkitkan.” Esensi dari mujizat tersebut ialah penyataan Kerajaan Allah
2
3
Matthew Henry, Matthew’s Henry Commentary (Grand Rapids:
Zondervan, 1979), 1425.
2
4
Gunung Mulia, 1993), 26.
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: BPK
sebagai tindakan penyelamatan oleh Mesias. Jadi, dengan melakukan
mujizat, sebenarnya Yesus sedang menunjukkan kehadiran-Nya sebagai
Raja yang berkuasa.25
Keempat, Pengusiran setan. Secara eksplisit Yesus sendiri telah
menyatakan hubungan langsung antara pengusiran setan dengan kehadiran
Kerajaan Allah. Ia berkata, “Jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh
Allah, sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Mat 12:28;
Luk 11:20). George Eldon Ladd menyatakan, “Tindakan pengusiran rohroh jahat membuktikan bahwa Kerajaan Allah sudah datang dan sedang
bekerja di antara umat manusia. Pengusiran roh jahat itu sendiri merupakan
pekerjaan Kerajaan Allah.”26 Jelaslah bahwa pengusiran setan oleh Yesus
membuktikan kekalahan kuasa setan atas kuasa Allah yang telah hadir di
dalam dan melalui Yesus. Dengan kata lain, terusirnya setan menyatakan
kehadiran Kerajaan Allah.
Kelima, Perumpamaan. Untuk mengajarkan tentang kerajaan Allah,
Yesus kerapkali menjelaskannya melalui sebuah perumpamaan, yaitu cerita
yang diambil dari kehidupan manusia sehari-hari dan dirancang untuk
menggambarkan kebenaran utama dari apa yang akan diberitakan.
Perumpamaan begitu penting, sehingga menguasai hampir sepertiga dari
pengajaran Yesus.27 Dalam Markus 4 dan Matius 13 terdapat kumpulan
perumpamaan tentang rahasia Kerajaan Allah. Melalui perumpamaanperumpamaan tersebut, Yesus menyatakan kehadiran Kerajaan Allah
sebagai revolusi Allah dalam sejarah. David Wenham dalam bukunya The
Parables of Jesus: Pictures of Revolution menjelaskan sebagai berikut:
...in proclaiming the kingdom of God, Jesus was announcing the
coming of God’s revolution and God’s new world, as promised in
the Old Testament. God was at last intervening, Jesus declared, to
establish his reign over everything, to bring salvation to his people
and renewal and reconciliation to the world. But fortunetely Jesus
did not announce his message in such general theological terms, he
announced it primarily through vivid, concrete parables. 28
2
5
2
6
Ridderbos dan Baarlink, Pemberitaan Yesus Menurut..., 36-38.
George E. Ladd, A Theology of The New Testament (Grand
Rapids: Eerdmans, 1987), 56.
2
7
A.M. Hunter, Menafsirkan Perumpamaan-perumpamaan Yesus
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 1, 11.
2
8
David Wenham, The Parables of Jesus: Pictures of Revolution
(London: Hodder & Stoughton, 1989), 25.
Jadi, melalui perumpamaan yang disampaikan, Yesus menegaskan
bahwa Kerajaan Allah telah dinyatakan dan hadir dalam sejarah manusia
masa kini. Keenam, Peristiwa di sekitar Yesus melebihi kehebatan
peristiwa dalam PL. Yesus menyatakan hal itu ketika berkata,
“sesungguhnya yang ada di sini lebih besar daripada Yunus” dan “lebih
daripada Salomo” (Mat 12:41-42). Peristiwa Yunus dan pertobatan orang
Niniwe merupakan peristiwa yang menakjubkan. Tetapi Yunus hanya
memberitakan tentang kebenaran Allah, sedangkan Yesus adalah kebenaran
itu sendiri. Demikian juga dengan hikmat Salomo yang begitu tinggi,
sehingga mempesona setiap orang yang mendengarnya. Namun, Salomo
tidak dapat memberikan hikmatnya kepada siapapun, sedangkan Yesus
adalah Hikmat itu sendiri dan memberikan kepada siapa saja yang datang
kepada-Nya serta menyelamatkannya. Karena itu Ia menegaskan,
“Sesungguhnya banyak nabi dan orang benar ingin melihat apa yang kamu
lihat, tetapi tidak melihatnya dan ingin mendengar apa yang kamu dengar,
tetapi tidak mendengarnya” (Mat 13:17).29 Artinya, di dalam dan melalui
Yesus terjadi peristiwa-peristiwa yang melebihi peristiwa sebelumnya. Itu
disebabkan Yesus sendiri ialah Mesias yang oleh-Nya Allah melawat umatNya dengan kasih-Nya sebagaimana telah dijanjikan sebelumnya (Luk
7:16; Mat 11:2-6). Dengan kedatangan Yesus berarti masa eskatologis
sudah mulai diwujudkan pada masa kini.
Selain bukti-bukti kehadiran Kerajaan Allah pada masa kini tersebut
di atas, Kerajaan Kristus juga dapat dipahami dalam dua aspek pengertian,
yaitu: regnum potentiae dan regnum gratiae. Yang dimaksud dengan
regnum gratiae adalah jabatan Kristus sebagai Raja Rohani atas umat-Nya
atau Gereja-Nya. Kerajaan ini bersifat rohani yang didasarkan pada karya
penebusan Kristus. Kerajaan rohani ini sudah ada pada masa sekarang
mapun masa yang akan datang.30 Sedangkan yang dimaksud dengan
regnum potentiae adalah kekuasaan Kristus atas alam semesta yaitu
pemerintahan-Nya secara providensial dan yuridis atas segala sesuatu
dalam hubunganya dengan Gereja. Lebih lanjut Berkhof menjelaskan
bahwa, sebagai Raja alam semesta, Sang Pengantara memimpin dan
menentukan setiap pribadi individual, dari kelompok sosial, dan bangsa2
9
3
0
LRII, 1998), 234-242.
Beyer, Garis-garis Besar..., 22.
Louis Berkhof, Teologi Sistematika 3: Doktrin Kristus (Jakarta:
bangsa, untuk menentukan pertumbuhan, penyucian sedikit demi sedikit,
dan kesempurnaan akhir dari umat-Nya yang telah Ia tebus dengan darahNya... Kristus sekarang mengatur jalan hidup setiap individu dan bangsa
yang termasuk dalam Gereja yang telah disatukan oleh darah-Nya... 31
Jadi, dari aspek regnum potentiae, pemerintahan Kristus atas alam
semesta berkuasa mengatur segala bangsa untuk melindungi umat-Nya.
Dalam hal ini nampak hubungan tak terpisahkan antara umat-Nya dengan
bangsa-bangsa. Sebab itu Gereja tidaklah seharusnya berusaha memisahkan
diri dari bangsa-bangsa (multikultur), sebaliknya harus mengintensifkan
hubungan dengan bangsa-bangsa. Dalam hal ini Gereja menyatakan
keharmonisan sosial sebagai bagian dari rencana perwujudan Kerajaan
Allah dalam aspek kekinian. Gereja memiliki tanggung jawab sosial yang
menyatukannya dengan masyarakat. Gereja dan masyarakat tidak dapat
dipisahkan melainkan saling melengkapi.32 H. Henry Meeter menegaskan
bahwa sorga dibawa ke dalam material (dunia nyata). Dimensi rohani
menerangi dunia materi (sosial) supaya terjadi pemulihan. Tuhan
mendelegasikan orang percaya untuk membangun dan memelihara tatanan
sosial.33 Teokrasi presentis dalam aspek inilah yang menjadi dasar orang
percaya untuk berelasi sebaik-baiknya secara multietnis dan multireligi.
UNIVERSALITAS KARYA ROH KUDUS
Pemberitaan karya Allah diteruskan oleh Roh Kudus ke seluruh
dunia di segala abad. Roh Kudus adalah utusan Kristus untuk
mengaplikasikan karya Kristus kepada semua manusia. Roh Kudus inilah
yang dijanjikan Kristus sebagai yang akan memberi kuasa untuk menjadi
saksi Kristus (Kis 1:8). Dinamika Roh Kudus yang memampukan para
murid Kristus untuk menjadi saksi-saksi Kristus sampai ke ujung bumi.
Dalam hal ini Roh Kudus menindak lanjuti penugasan Kristus untuk
3
1
3
2
Ibid., 242-243.
Ernst Troeltsch, Protestanism and Progres, A History of the
Relation of Protestanism to the Modern World (Beacon: Beacon, 1958), 57.
3
3
H. Henry Meeter, The Sovereignty of The Social Sphere (Grand
Rapids, Michigan: Baker Book House, 1975), 125.
menjadikan sekalian bangsa murid-Nya (Mat 28:19-20). Dengan tugas ini
menunjukkan adanya aspek universalitas karya Roh Kudus itu. Pada
peristiwa Pentakosta, universalitas tersebut mulai memanifestasi dalam
bentuk bahasa-bahasa dari berbagai etnis (Partia, Media, Elam,
Mesopotamia, Yudea, Kapadokia, Pontus, Asia, Frigia, Pamfilia, Mesir,
Libia, Roma, Yahudi, Kreta, dan Arab; Kis 2:8-11). Jadi, Roh Kudus yang
mendinamisasi orang percaya untuk memberitakan Injil kepada segala
bangsa (panta ta ethne). H. Berkhof sebagaimana dikutip oleh Abineno
menyatakan sebagai berikut:
Roh Yesus Kristus–yaitu Roh yang mengandung kuasa yang
membebaskan dan yang membaharui–sedang bekerja di segala
tempat,di mana manusia dilepaskan dari keganasan alam, negara,
warna kulit, kasta, kelas, kelamin, kemiskinan, penyakit, kebodohan
dan lain-lain.34
Lebih lanjut Abineno menegaskan bahwa karya Roh Kudus tidak
hanya terbatas pada Gereja, melainkan mencakup seluruh dunia. 35 Atas
dasar itu, orang yang telah ditebus oleh karya Kristus dan menerima Roh
Kudus dalam dirinya pastilah didorong untuk terus berkomunikasi dengan
orang lain yang beda etis dan agama menjadi saksi Kristus bagi mereka.
Selain itu, Roh Kudus juga memberi buah dalam hidup orang
percaya berupa: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan,
kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri (Gal 5:23).
Buah Roh ini merupakan potensi pada diri orang percaya untuk
diaktualisasikan dalam relasinya dengan orang lain: baik teman seiman
maupun beda iman. Misalnya, istilah kasih yang diterjemahkan dari agape
berarti: love, concern, interest, sacred meal shared by the early church
(kasih, kepedulian, minat, makanan kudus yang dibagikan oleh Gereja
mula-mula).36 Makna yang jelas dari agape adalah kasih dan kepedulian
yang mencakup kasih kepada semua orang. J. Lengkong menyimpulkan,
Kasih sebagai buah Roh tidak bersikap diskriminatif dan
memperlakukan orang-orang lain dengan keprihatinan yang
3
4
J.L.Ch. Abineno, Roh Kudus dan Pekerjaan-Nya (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1982), 144.
3
5
Ibid., 145.
3
6
Barclay M. Newman, A Concise Greek-English Dictionary Of
The New Testament (London: United Bible Societies, 1971), 2.
mendalam... Rasa cemburu yang banyak merusak hubungan antar
pribadi, antar golongan dan antar umat beragama, akan dengan
sendirinya ditinggalkan.”37
Hal ini juga menjadi dasar untuk melakukan kebaikan kepada yang beda
etnis dan religinya.
NATURALITAS GEREJA SEBAGAI TUBUH KRISTUS
Septuaginta menggunakan istilah Yunani ekkalew(ekkaleo) yang
artinya: memanggil keluar. Dari kata Yunani ini, Perjanjian Baru
menggunakan kata ekklesia (ekklesia) sebagai bentukan dari kata ek (ek)
dan kalew (kaleo) yang berarti: dipanggil keluar. Kata ini dimengerti dalam
hubungannya dengan karya Kristus yang telah menjadi Juruselamat
manusia berdosa. Sehingga secara esensial kata ekklesia dimengerti sebagai
“persekutuan orang yang telah dipanggil keluar dari dunia ini untuk
menjadi milik Allah.”38 Dengan demikian pengertian ekklesia juga
menunjukkan keterikatan dengan Allah di dalam dan melalui Kristus.
Sebab itu ekklesia juga dimengerti sebagai jemaat Allah dengan maksud
yang sama seperti qahal yahwe dalam Perjanjian Lama.
Pemahaman Yesus tentang jemaat Allah nampak dalam misi
pelayanan dan pengajaran-Nya yang berkesinambungan dengan
pemahaman Perjanjian Lama. Yesus memfokuskan pelayanan-Nya kepada
orang Yahudi yang disebut-Nya sebagai “domba-domba yang hilang dari
umat Israel” (Mat 15:24) yang secara esensial sama dengan umat Allah.
Namun kemudian Yesus memperluas pengertian domba yang hilang juga
dikenakan kepada murid-Nya yang tercerai-berai (Luk 12:32; Mrk 14:27;
bnd. Zak 13:7). Meskipun Yesus menujukan misi keselamatan-Nya kepada
orang Yahudi, namun Ia juga menyadari bahwa mereka akhirnya akan
menolak-Nya. Sebab itu terjadi transformasi pengertian umat Allah yang
tidak saja ditujukan kepada umat Israel melainkan juga kepada para muridNya dan semua orang yang percaya kepada-Nya (bnd. Mat 3:9; Luk 3:8).
Yesus menggunakan istilah ekklesia tidak dimaksudkan menunjuk kepada
3
7
Josias L. Lengkong, Jihad Kristen: Adakah kesamaan Jihad
Islam dan Jihad Kristen? (Jakarta: Yayasan Misi Global Kalimatullah, 2003), 306-307.
3
8
Louis Berkhof, Systematic Theology (Edinburg: The Banner of
Truth Trust, 1976), 555.
suatu organisasi, tetapi sekelompok orang yang dianggap-Nya sebagai
milik-Nya dan diwakili oleh para murid-Nya.39
Jadi, Gereja pada hakikatnya ialah umat Allah atau jemaat Allah
yaitu orang-orang yang telah dipanggil keluar dari dunia melalui karya
Kristus untuk mengalami persekutuan dengan Dia pada masa kini dan masa
yang akan datang. Gereja bersifat universal karena meliputi seluruh orang
percaya di muka bumi. Karena itu, Gereja juga dituntut agar kehadirannya
di dunia ini menjadi representasi Allah dengan turut memproklamasikan
keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus.
Dengan demikian tidak dapat dipisahkan antara Kristus dan Gereja.
Kristus adalah Kepala Gereja dan Gereja adalah umat-Nya. Dia memerintah
di dalam dan melalui Gereja-Nya. Gereja sebagai umat yang kudus yang
telah dipanggil ke luar dari dunia, namun diutus kembali ke dalam dunia.
Karenanya, Gereja berada di dalam konteks dunia. Sebagai bagian integral
dari konteks dunia, maka Gereja harus berkorelasi dengan konteks sosial
dan kultural di tengah masyarakat sekitarnya. Sebagai Kepala Gereja yang
memerintah kerajaan-Nya, Kristus juga tidak menginginkan Gereja-Nya ke
luar dari konteks sosial masyarakat. Donald B. Kraybill menegaskan,
Kitab-kitab Injil tidak memandang kerajaan itu sebagai sesuatu yang
terasing dari bagian masyarakat lainnya, baik secara geografis
maupun sosial. Yesus tidak menganjurkan kita menghindar atau
menarik diri dari kehidupan sosial. Ia juga tidak mengasumsikan
bahwa kerajaan dan dunia terpisah dalam wilayah-wilayah yang
terbagi tegas. Aksi kerajaan itu berlangsung di tengah-tengah
kehidupan sosial.40
Dengan demikian, natur alamiah Gereja membuatnya tidak bisa
tidak berinteraksi aktif dengan konteksnya. Interaksi tersebut mewujud
dalam karya-karya bersama dengan orang lain yang tidak seetnis atau
seagama. George V. Pixley menyebutkan lebih konkrit demikian,
Dalam pengertian abstrak dan umum kerajaan Allah dalam Alkitab
berarti satu masyarakat yang adil, makmur dan yang memandang
semua manusia sederajat. Dalam arti konkret, kerajaan Allah
3
9
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru, Jilid 3 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1992), 27-28, 34.
4
0
Donald B. Kraybill, Kerajaan Yang Sungsang (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1993), 3.
mendorong berbagai proyek historis dalam bermacam-macam
keadaan. Dalam dua momen permulaan kerajaan berarti
pembebasan, satu perjuangan melawan sistem-sistem penjejangan
sosial yang memeras kaum pekarya Israel.41
Di sinilah Gereja harus kreatif dalam melaksanakan panggilannya
untuk percaya dan melayani secara seimbang di tengah dunia. Gereja
dituntut tanggung jawab yang besar untuk melibatkan diri sepenuhnya
dalam kehidupan sosial yang sama nilainya dengan aspek rohani.42 Jadi,
Kristus yang telah memanggil Gereja-Nya ke luar dari dunia, namun
mengutusnya kembali ke dalam dunia, menghendaki agar Gereja-Nya
berinteraksi melalui karya nyata di tengah masyarakat. Hakikat naturalitas
Gereja inilah yang juga dapat menjadi dasar untuk berinteraksi dengan
multietnis dan multireligi.
MULTIKULTURALITAS KEKEKALAN
Karya penebusan Kristus yang diteruskan oleh dinamika karya Roh
Kudus telah melahirkan Gereja Perjanjian Baru yang bersifat multikultural.
Hingga perkembangannya saat ini Gereja terus menjadi semakin
multikultural, seperti disinyalir bahwa,
Dalam tahun-tahun belakangan ini maka persoalan budaya dan
pluralismenya sudah menjadi masalah yang sangat besar di seluruh
dunia (hal ini juga berhubungan dengan migrasi dan globalisasi).
Banyak Gereja sekarang memasuki situasi di mana Gereja memiliki
jemaat yang berasal dari budaya yang beragam dan karenanya
Gereja terdorong untuk menjadi lebih multi-cultural.43
4
1
George V. Pixley, Kerajaan Allah (Jakarta: Gunung Mulia,
1998), 92.
4
2
Albert Terril Rasmussen, Christian Social Ethics, Exerting
Christian Influence (Englewood: Prenctice, 1956), 70-72, 266.
4
3
Agus Gunawan Satyaputra, Gereja, Budaya dan Misi dalam
Jurnal Teologi: Stulos (Bandung: STTB, 2002), 100.
Kondisi Multikulturalitas Gereja ini akan terus berlanjut hingga
kekekalan. Pada masa eskatologis, dimana Gereja-Nya telah mengalami
pengudusan sempurna, setelah kedatangan Kristus, Sang Kepala Gereja,
untuk kedua kalinya, maka Gereja-Nya juga memasuki masa kemuliaan di
hadapan tahta Bapa yang kekal. Di sanalah multikulturalitas Gereja
menyemarakkan suasana kemuliaan, sebagaimana digambarkan oleh
Yohanes dalam kitab Wahyu 7:9-10 sebagai berikut:
“Kemudian daripada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan
besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari
segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan
tahta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan
memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara
nyaring mereka berseru: “Keselamatan bagi Allah kami yang duduk
di atas tahta dan bagi Anak Domba.”
Multikulturalitas kekekalan di hadapan Anak Domba (Kristus) ini
juga menjadi landasan Kristologis bagi orang percaya masa kini bahwa
Allah sangat memberi tempat bagi multikulturalitas umat-Nya. Ini menjadi
motivasi bagi Gereja masa kini untuk terus memberitakan kabar baik
kepada segala bangsa dan suku bangsa (multietnis).
PENUTUP
Diversitas humanitas mesti dipandang sebagai kreatifitas Allah yang
patut dihargai sebagaimana Allah menghargainya sebagai gambar dan
rupa-Nya sendiri. Diskriminasi humanitas justru bukti sikap antagonis
terhadap otoritas penciptanya. Radikalisme doktrin yang melulu
berorientasi pada kebenaran vertikal harus dibarengi dengan pemahaman
horisontalnya. Kebenaran sejati justru menjadi utuh ketika kedua aspek
tersebut diposisikan secara proporsional. Perbedaan bukan alasan untuk
saling melawan dan menghancurkan, karena kasih kepada Tuhan dan
sesama bukanlah kebenaran yang dapat dipisahkan sama sekali.
Allah sendiri telah berbuat baik kepada semua orang sesuai hakikat
Diri-Nya sendiri sebagai Pencipta segalanya. Allah juga menghendaki agar
manusia, yang telah diciptakan dalam gambar dan rupa-Nya, saling
melakukan perbuatan baik. Semua manusia memiliki tanggung jawab
bersama selama kehidupannya di dunia ini, sehingga dibutuhkan solidaritas
dengan sesama. Melalui interaksi yang baik justru dimungkinkan adanya
point of contact bagi Injil, sehingga dapat terjadi transformasi kesadaran
terhadap hakikat kebenaran Injil yang meresap ke segala aspek hidup
manusia seperti garam mengasinkan dunia yang tawar (Mat 5:13). Teologi
Multikultural melandasi sikap Kristen untuk berelasi dengan semua orang
dalam segala bentuk perbedaannya tanpa kehilangan jati diri (keunikan)
kekristenannya.
KARUNIA ROH MENURUT PENGAJARAN RASUL
PAULUS: SUATU KAJIAN TEOLOGIS TERHADAP
PANDANGAN NEO-PENTAKOSTA TENTANG
KARUNIA SPEKTAKULAR
ROBERT CALVIN WAGEY
PENDAHULUAN
Karunia Roh Kudus adalah perlengkapan rohani yang Allah
anugerahkan kepada setiap orang percaya atau Gereja dengan tujuan untuk
digunakan bagi pekerjaan pelayanan dan pembangunan tubuh Kristus (bnd.
Ef 4:11,16; 1Kor 12:7). Karunia Roh Kudus sangat bermanfaat di dalam
melaksanakan amanat Agung Tuhan Yesus Kristus yang diberikan kepada
orang percaya dan Gereja. Keberhasilan Gereja di dalam mewujudkan
pelayanan kesaksian, persekutuan dan diakonia tidak dapat dipisahkan dari
pemanfaatan karunia-karunia roh yang dianugerahkan Allah kepadanya.
Gereja akan bertumbuh secara kualitatif dan kuantitatif apabila seluruh
potensi, karunia-karunia roh, yang ada pada setiap anggota digunakan
semaksimal mungkin. Karena itulah maksud dan tujuan Allah
memberikannya kepada jemaat. Tetapi sangat disayangkan, pada masa kini,
potensi yang besar yang Allah anugerahkan kepada jemaat yang seharusnya
menjadi berkat bagi sesama anggota jemaat dan perkembangan Gereja,
justru menimbulkan masalah.
Beberapa karunia Roh kudus tertentu menimbulkan kontroversi
bahkan membingungkan sebagian orang percaya ketika melihat
‘keekstriman’ tanggapan serta pemanfaatannya. Kenyataan ini dilatar
belakangi oleh penafsiran dan pengertian yang berbeda-beda dari beberapa
kelompok tertentu tentang hakikat karunia-karunia Roh dan signifikansinya
untuk Gereja Tuhan pada masa kini.1
Ada pandangan yang cenderung membeda-bedakan bahkan sangat
menekankan dan mengutamakan karunia-karunia Roh tertentu, khususnya
karunia-karunia Roh yang bersifat spektakular. Pandangan ini nampak
dalam Kelompok Neo-Pentakosta. Lebih ekstrim lagi, ada yang
menyatakan bahwa karunia-karunia Roh yang diberikan Allah kepada
orang percaya atau jemaat, hanya terbatas sembilan karunia Roh, yang
1
Wayne Grundem (ed.), Are Miraclous Gifts For To day, Four Views
(Leicester: InterVarsity Press, 1996), 9-13; bnd. Peter Wagner, Manfaat Karunia-karunia
Roh untuk Pertumbuhan Gereja (Malang: Gunung Mas, 1987), 79.
dinyatakan dalam 1Korintus 12:8-10.2 Menurut pandangan ini, karuniakarunia Roh tersebut hanya dimiliki oleh orang percaya ketika mereka
mengalami baptisan Roh, yang ditandai dengan karunia untuk berkata-kata
dengan bahasa roh. Pengalaman baptisan Roh adalah merupakan
pengalaman yang berbeda dan tidak sama dengan pekerjaan Roh Kudus di
dalam proses kelahiran baru, yang menjadikan seseorang bertobat dan
percaya kepada Kristus, untuk menerima keselamatan. 3
Pemahaman ini berakibat ‘fatal’ di dalam pneumatologi. Bilamana
penerimaan karunia Roh Kudus hanya terbatas pada mereka yang telah
mengalami baptisan Roh Kudus, dan pengalaman baptisan Roh Kudus
merupakan pengalaman yang berbeda dan terpisah dari pengalaman
kelahiran baru dan pertobatan, maka konsekuensi logis adalah tidak semua
orang percaya mengalami Baptisan Roh Kudus, dan dengan demikian tidak
semua orang percaya memiliki karunia Roh Kudus.
Memperhatikan masalah tersebut, maka penulis terdorong untuk
meneliti apa itu hakikat karunia Roh menurut pengajaran rasul Paulus, yang
kemudian hal itu dipakai sebagai landasan teori menanggapi permasalahan
tersebut.
HAKIKAT KARUNIA-KARUNIA ROH
Paulus adalah seorang Rasul yang paling banyak berbicara tentang
karunia-karunia Roh Kudus dibandingkan dengan Rasul yang lain. Oleh
karena itu untuk memahami tentang apa itu karunia Roh Kudus dan
2
Bnd. J.L. Ch. Abineno, Karunia-karunia Roh Kudus (Jakarta: BPK
Gunung Mulia 1980), 9,12; R. Budiman,” Menentukan Sikap Terhadap Gerakan
Kharismatik”, Dalam Gerakan Kharismatik Apakah Itu (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1980), 179; Larry Christenson, Speaking in Tongues (Minneapolis: Dimension Books,
1975), 114,117; Howard M. Ervin, These Are No Drunken, as You Suppose (Plainfield,
N.J: Logos International, 1968), 216; Kevin And Dorothy Ranagham, Catholic
Pentecostals (Paramus, N.J: Paulist Press, 1969), 160; Gordond Fee, Paul, the Spirit, and
the People of God (Peabody Massachusetts: Hendrickson Publishers, 2003), 164 165;
Wagner, Ibid.
3
Bnd. Christenson, Speaking in Tangues..., 37.
bagaimana peranannya di dalam diri orang percaya maka penulis ingin
meneliti bagaimana hal itu dikemukakan oleh Rasul Paulus di dalam suratsuratnya, secara khusus di surat Roma, 1Korintus dan Efesus.
Terminologi
Di dalam pengajaran rasul Paulus, ada beberapa istilah Yunani yang
dipergunakan oleh Rasul Paulus, yang mempunyai hubungan dengan
pengertian karunia-karunia Roh, yaitu: Pneumatikos, Charisma dan
Dorea.4
Pneumatikos
Rasul Paulus, ketika membahas mengenai masalah karunia-karunia
Roh yang ada di dalam jemaat Korintus, mempergunakan istilah
Pneumatikos sebanyak dua kali dalam bentuk jamak: dalam 1Korintus 12:1
pneumatikon dan 1Korintus 14:1 pneumatika. Lembaga Alkitab Indonesia
(LAI) menterjemahkan istilah tersebut dengan kata karunia-karunia Roh.
Searah dengan hal itu, King James Version dan Interlinear Greek-English
New Testament menerjemahkannya dengan spiritual gifts, dengan catatan
samping ataupun dengan gifts dalam cetakan miring, untuk menyatakan
bahwa hal tersebut tidak dengan pasti diterjemahkan dari istilah tersebut.
Terjemahan yang demikian juga diikuti oleh The New International
Version.5
Beberapa Teolog memberikan beberapa pendapat mengenai hal itu.
Ada yang berpendapat bahwa istilah pneumatikon sebenarnya dipergunakan
oleh Paulus khusus untuk berbicara mengenai “karunia untuk berkata-kata
4
Bnd. J. Strong, Exhaustive Concordance of the Bible (Nashville: Thomas
Nelson Publishers, 1979), 385.
5
Bnd. Kenneth Barker (gen.ed.), The NIV Study Bible (Grand Rapids:
Zondervan : 1984), 1750, 1752; Interlinear Greek-English New Testament (Grand Rapids:
Baker Book House: 1981), 619, 624; The Iversen-Norman Associates, The Zondervan
Parallel New Testament in Greek and English (Grand Rapids: Zondervan, 1979), 508, W.
Sihite, Pemberian di dalam Perjanjian Baru, dalam Theo-Doron, Pemberian Allah, M.A.
Ihromi, ed. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979),17.
dengan bahasa roh.”6 Yang lain mengemukakan bahwa istilah ini
sebenarnya berbicara tentang manusia-manusia rohani bukan hal-hal
rohani.7 Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa istilah pneumatikon
mungkin berbicara tentang hal-hal rohani (karunia-karunia rohani) ataupun
juga manusia-manusia rohani, sebab tidak mudah untuk membedakan
antara hal-hal rohani dengan manusia-manusia rohani. manusia-manusia
rohani adalah mereka yang memiliki karunia-karunia rohani, antara lain
karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh.8
Memang istilah pneumatikon, bilamana dilihat dari jenis kelaminnya,
dapat dinyatakan sebagai neuter (yang diartikan sebagai 'hal-hal rohani')
ataupun juga masculine (yang diartikan sebagai “orang-orang rohani”).9
Karena itu, sepintas lalu memang sulit untuk membedakan dan menyatakan
dengan pasti apa yang dimaksud dengan istilah tersebut. Untuk dapat
memecahkan masalah ini maka perlu diselidiki dan dipahami apa yang
dimaksud oleh Rasul Paulus ketika ia mempergunakan istilah tersebut
dalam konteks 1Korintus 12.
Dalam 1Korintus 12:1, ada satu istilah Yunani yang dipergunakan
oleh rasul Paulus, yaitu istilah de yang sering diterjemahkan now, but,
sekarang atau tetapi. LAI menterjemahkan dengan kata sekarang. Istilah ini
mempunyai pengertian dan menunjukkan bahwa pokok pembahasan dalam
1Korintus 12 adalah berbeda dan tidak mempunyai hubungan dengan
pembahasan sebelumnya.10 Sehingga yang menjadi pokok pembahasannya
adalah apa yang diuraikan dalam pasal tersebut. Dalam I Kor 12:4-11, yang
menjadi pokok pembahasan rasul Paulus adalah mengenai karunia-karunia
Roh yang diberikan oleh Allah kepada jemaat Korintus. Sehingga
penekanan dalam pembahasan rasul Paulus adalah mengenai karunia-
6
Mereka adalah : Storr, Heydenreich, Baur, Wieseler; dikutip dari H.A.W.
Meyer, Meyer’s Commentary on the New Testament. Vol. VI (Winona Lake: Alpha
Publications, 1980), 275.
7
Mereka adalah : Grotius Hammond; dikutip dari Henry Alford, Alford’s
Greek Testament. Vol.I & II (Chicago: Moody Press, 1958), 576.
8
Bnd. C.K. Barrett, A Commentary on the First Epistle to the Corinthians
(London: Adam & Charles Black, 1979), 278.
9
Bnd. Arndt & Gingrich, A Greek English Lexicon of the New Testament
(Chicago: The University of Chicago Press, 1971), 685.
1
0
Bnd. J.H. Thayer, Thayer’s Greek English Lexicon of the New
Testament (Grand Rapids: Baker Book House, 1981), 125.
karunia tersebut dan bukan kepada manusia yang menerima karuniakarunia tersebut.
Hal ini lebih jelas nampak dalam istilah Yunani charismata yang
dipergunakan Paulus dalam ayat 4, yang menunjuk kepada pengertian
tersebut, yaitu rupa-rupa karunia (penguraian lebih luas dari istilah ini akan
dibahas dalam butir kedua). Sebagaimana yang dikatakan oleh Lenski : “In
v.4 they are called ‘charismata’ in the technical sense of this term, namely
special gifts of the Spirit that were portioned out to different individuals.”11
Dalam ayat 28-29, memang dibicarakan juga mengenai mereka
yang menerima karunia-karunia.:” Dan Allah telah menetapkan beberapa
orang dalam Jemaat: Pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga
sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia... Adakah
mereka semua rasul, atau nabi atau pengajar? Adakah mereka semua
mendapat karunia... ” Tetapi penekanan yang sebenarnya bukan pada
mereka yang menerima karunia-karunia, tetapi pada sumber dari karuniakarunia Roh. Hal tersebut nampak dalam ayat 28a: “Dan Allah telah
menetapkan beberapa orang dalam Jemaat.”
Dengan demikian, yang menjadi penekanan pembahasan Paulus
dalam 1Korintus 12 adalah pada karunia-karunia Roh yang telah diberikan
Allah kepada jemaat Korintus dan sekaligus menunjukkan kepada sumber
dari karunia-karunia tersebut. Tujuannya untuk menyadarkan jemaat
Korintus yang terlalu membanggakan karunia-karunia tertentu, yang
bersifat spektakular dan meremehkan yang non spektakular, bahwa semua
karunia tersebut tanpa terkecuali adalah sama dalam kualitasnya karena dari
Allah yang satu yang menganugerahkannya kepada mereka, yang berbeda
adalah pada manifestasinya dan fungsinya. Tentu saja dalam membicarakan
karunia-karunia tersebut, Paulus akan menyinggung mengenai mereka
(manusia-manusia rohani) yang memilikinya, dengan tujuan agar mereka
saling menghargai juga akan karunia Roh yang telah Allah anugerahkan
kepada mereka masing-masing. Sebab semuanya itu diberikan Allah untuk
kepentingan mereka bersama bagi pertumbuhan dan pengembangan jemaat
sebagai tubuh Kristus.
Hal itu berarti bahwa yang dimaksud dengan istilah pneumatikon
bukan khusus tertuju kepada manusia-manusia rohani ataupun khusus
mengenai “karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh” melainkan
R.C.H. Lenski, The Interpretation of St. Paul’s First and
second Epistle to Corinthians ( Minneopolis: Augburg Publishing House, 1963), 490.
1
1
berbicara khusus mengenai seluruh karunia Roh yang beraneka ragam dan
multi fungsi yang telah diberikan oleh Allah kepada jemaat Korintus. 12
Pengertian ini juga sama dengan pengertian dari istilah pneumatika
dalam 1Korintus 14:1.13 Tujuan rasul Paulus mempergunakan istilah
pneumatikon atau pneumatika bagi karunia-karunia Roh yang ada dalam
jemaat Korintus, nampak dalam penguraian selanjutnya ini.
Istilah pneumatikon atau pneumatika (bentuk tunggalnya
pneumatikos) berasal dari kata pneuma, yang mempunyai banyak
pengertian, antara lain roh. Dalam Perjanjian Baru khususnya dalam
pengajaran rasul Paulus, istilah pneuma sering dipergunakan untuk
menyatakan tentang Roh Kudus. Sedangkan arti pneumatikos adalah
sesuatu yang berasal Roh Kudus dan menjadi milik Roh Kudus. 14 Sehingga
istilah pneumatikon atau pneumatika menunjukkan bahwa karunia-karunia
adalah berasal dari Roh dan menjadi milik Roh Kudus. Kemungkinan
dalam pengertian ini sehingga King James Version dan Alkitab bahasa
Inggris yang lain menterjemahkan istilah pneumatikon atau pneumatika
dengan spiritual gifts atau oleh LAI diterjemahkan karunia-karunia Roh.
Jadi hal ini merupakan suatu penafsiran.
Hal itu menunjukkan bahwa Paulus mempergunakan istilah
pneumatikon atau pneumatika untuk segala karunia yang ada di dalam
jemaat Korintus adalah untuk menyatakan bahwa karunia-karunia tersebut
bersifat dan mempunyai tujuan rohani, bukan duniawi. Karena hal tersebut
bukan berasal dari diri manusia sendiri, melainkan dari Roh Kudus dan
digerakkan oleh Roh Kudus, suatu manifestasi dari Roh Kudus. 15 Karuniakarunia Roh adalah suatu kesanggupan khusus yang diberikan oleh Allah
kepada setiap orang percaya untuk melayani pekerjaan-Nya dan demi untuk
kemuliaan nama-Nya.16 Ia akan memampukan setiap orang percaya untuk
melayani secara efektif dalam ladang pelayanan yang Allah percayakan
kepada mereka masing-masing sehingga tujuan dan sasaran yang ingin
dicapai oleh Allah di dalam jemaat dan dunia terwujud dengan baik.
1
2
Bnd. H. Ridderbos, Paul: An Outline of His Theology (Grand
Rapids: Eerdmans, 1977), 442.
1
3
Bnd. Meyer, Meyer’s Commentary On The New..., 315.
1
4
Bnd. Thayer, Thayer’s Greek English Lexicon..., 521-523.
1
5
Bnd. Donald Bridge & David Phyphers, Karunia-karunia Roh
dan Jemaat (Bandung: Kalam Hidup, 1973), 20.
1
6
Bnd. 1Korintus 12:3c.
Charisma
Dalam Perjanjian Baru, selain 1Petrus 4:10, istilah Charisma adalah
merupakan suatu istilah yang hanya dipergunakan oleh rasul Paulus.17
Searah dengan hal tersebut nampak dalam pernyataan Richard B. Gaffin,
bahwa “Paul is apparently the first to make it an important (theological)
term.”18 Istilah charisma (bentuk jamak charismata) berarti suatu hadiah
atau pemberian cuma-cuma yang diberikan berdasarkan anugerah atau
kasih karunia Allah.19 Dengan demikian, charisma bukanlah suatu
pemberian yang diterima oleh seseorang berdasarkan jasa baik atau hasil
perbuatannya sendiri tetapi semata-mata berdasarkan belaskasihan Allah.20
Istilah ini berasal dari istilah charizomai, yang juga mempunyai hubungan
dengan istilah charis yang berarti “anugerah atau kasih karunia.”21
Dalam pengajaran rasul Paulus, kedua istilah charisma dan charis
sering dipergunakan dalam pengertian yang sama dan hampir tidak ada
perbedaan. Sehingga kedua istilah ini saling tumpang tindih dan kait
mengait. Misalnya dalam Efesus 4:7 istilah charis dipergunakan untuk
kasih karunia yang dianugerahkan kepada jemaat menurut ukuran
pemberian Kristus. Dalam ayat ini, istilah charis dipergunakan dalam
pengertian dari istilah charisma.22 Sebaliknya, dalam Roma 5:15-21, istilah
charisma dipakai untuk kasih karunia Allah yang dinyatakan di dalam
Kristus bagi keselamatan manusia. Hal yang sama digunakan dalam Roma
6:23. Dalam ayat-ayat tersebut, istilah ini dipakai dalam pengertian dari
1
7
Bnd. G. Kittel, Theological Dictionary of the New Testament.
Vol. IX (Grand Rapids: Eerdmans, 1978), 403.
1
8
Richard B. Gaffin, Jr., Perspective on Pentecost, New
Testament Teaching on the gifts of the Holy Spirit (New Jersey: Presbyterian and
Reformed Publishing Company, 1979), 46.
1
9
W.E. Vine, An Expository Dictionary Of New Testament Words
(New Jersey: Fleming H Revell Company, 1966), 147.
2
0
Bnd. James Orr, The International Standard Bible
Encyclopedia. Vol. IV (Grand Rapids: Eerdmans, 1960), 1228.
21
Strong, Exhaustive Concordance of the Bible, dalam Greek Dictionary of
the New Testament..., 177.
22
Bnd. Colin Brown, The New International Dictionary of New Testament
Theology. Vol.III (Grand Rapids: Zondervan, 1979), 120.
istilah charis.23 Dalam Roma 11:29, istilah charisma dipakai dalam bentuk
jamak charismata, untuk kasih karunia Allah dalam memilih dan
menjadikan bangsa Israel sebagai umat kesayangan-Nya. Maksud Paulus
mempergunakan istilah charisma atau charismata dalam ayat-ayat tersebut,
adalah untuk menyatakan tentang sifat dan hakekat keselamatan yang
diberikan Allah kepada manusia dan pemilihan-Nya bagi bangsa Israel
sebagai umat kesayangan-Nya. Yaitu, bahwa semua hal tersebut adalah
semata-mata didasarkan atas kasih dan anugerah Allah, bukan karena
perbuatan dan kebaikan bangsa Israel.24
Selain dipergunakan dalam pengertian hal tersebut di atas, istilah
charisma ini dipergunakan secara khusus oleh Paulus untuk karuniakarunia Roh yang ada dalam jemaat, dalam kaitan dengan pelayanan jemaat
(bnd. Rm 12:6, 1Kor 1:7, 7:7, 12:4,9,28,30,31; 1Tim 4:14; 2Tim 1:6).
Istilah ini sering dipergunakan dalam bentuk jamak charismata atau
charismaton. Yaitu, dalam Roma 12:6 dipergunakan untuk semua karunia
yang ada dalam jemaat Roma, yang disebutkan dalam Roma 12:6-8. Dalam
1Korintus. 12:4, berkaitan dengan kesembilan karunia yang disebutkan
dalam 1Korintus 12:8-10.
Dalam 1Korintus 12:31, istilah ini dipergunakan untuk karuniakarunia yang paling utama; dan dalam 1Korintus 12:9,28,30, istilah ini
dipergunakan untuk karunia-karunia penyembuhan.
Dalam 1Korintus 7:7, hidup melajang seperti rasul Paulus, demi
untuk melayani Tuhan tanpa gangguan,25 dikategorikan sebagai salah satu
charisma dari karunia-karunia Roh di dalam jemaat.26 Demikian juga dalam
1Timontius 4:14, 2Timotius 1:6, jabatan Timotius sebagai pejabat Gereja
dalam menggembalakan dan memimpin jemaat Efesus adalah suatu
charisma, sesuai dengan nubuatan dan penumpangan tangan para penatua.
Kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa karunia-karunia
Roh adalah berbagai macam ragam dan tidak hanya terbatas dalam jenis
karunia tertentu. Karunia atau charisma itu bukan hanya berkaitan dengan
23
Ibid.
Bnd. Duane A. Priebe, Charismatic Gifts and Christian Existence in
Paul, dikutip dari J.E. Grimson, Gifts of the Spirit and the Body of Christ (Minneopolis:
Augsburg Publishing House, 1974), 20.
25
Bnd. 1Kor 7:34a, 35b.
26
Bnd. Peter Wagner, Your Spiritual gifts can help your Church Grow
(Glendale: G.L. Regal Books, 1980), 65.
24
berbagai ragam karunia yang luar biasa atau karunia yang bersifat
spektakular, seperti: karunia penyembuhan, membuat mujizat, berbahasa
roh atau bernubuat tetapi juga berkaitan dengan segala karunia yang
bersifat natural yang bermanfaat bagi pembangunan jemaat.27 Walaupun
mungkin hal itu kelihatan tidak ada artinya dan tidak bernilai karena tidak
begitu menonjol, seperti yang dikatakan oleh Abraham Kuyper: “Every
means afforded by the King for the doing of His work is a charisma, a gifts
of grace.”28 Sebab itu, karunia-karunia Roh Kudus tidak bisa dikotakkotakkan dan dibedakan secara kualitatif. Tidak boleh dibedakan antara
karunia yang kelihatan spektakular dan natural.29 Sebab konsepsi yang
demikian tak ada dalam istilah charisma. Rasul Paulus dalam
pengajarannya tentang segala macam karunia Roh Kudus tak pernah
membedakan atau mengistimewakan karunia tertentu. Hal ini nyata dalam
uraiannya di 1Korintus 12. Ia dengan tegas menasehati para pemilik karunia
yang bersifat spektakular untuk menghargai sesama orang percaya yang
memiliki karunia yang kelihatannya non spektakular karena hal itu juga
berasal dari Allah.
Dari semua uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa istilah
charisma mempunyai banyak pengertian. Hal itu tidak hanya khusus
dipergunakan untuk karunia-karunia yang diberikan kepada jemaat dalam
kaitan dengan pelayanan jemaat melainkan juga dipergunakan untuk semua
charis Allah yang telah dinyatakan dalam karya keselamatan Kristus bagi
manusia melalui Roh Kudus. 30 Sebab itu, sebagaimana yang telah
dikemukakan sebelumnya, bahwa charisma dan charis saling berhubungan
satu dengan yang lain. Hal ini memberikan suatu pengertian bahwa Paulus
mempergunakan istilah charisma untuk semua karunia Roh yang ada dalam
jemaat, adalah untuk menyatakan bahwa semua karunia tersebut, yang
bersifat spektakular maupun natural adalah semata-mata pemberian Allah
yang diberikan kepada jemaat atas dasar kasih dan anugerah-Nya. Hal itu
bukan karena usaha manusia ataupun sebagai pahala atas jasa baik manusia.
27
Bnd. Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979),
315.
28
Abraham Kuyper, The Work Of The Holy Spirit (Grand Rapids:
Eerdmans, 1975), 184.
29
Bnd. George A. Buttrick, The Interpreter’s Dictionary of the Bible. Vol.
IV (Nashville: Abingdon Press, 1978), 435.
30
Bnd. Kurt Koch, Charismatic Gifts (Gran Rapids: The Association for
Christian Evangelism, 1975), 81.
Karena semua karunia itu adalah pemberian Allah di dalam kedaulatan-Nya
dan bersumber dari Allah maka semua karunia Roh Kudus, yang bersifat
spektakular maupun yang bersifat natural, adalah sama nilainya dan
kualitasnya, tidak ada perbedaan. Yang berbeda adalah fungsinya, cara
kerjanya dan penampakkannya di hadapan manusia, ada yang bersifat
spektakular dan menakjubkan ada yang kelihatan non-spektakular/natural.
Dorea
Selain kedua istilah yang telah diuraikan di atas, rasul Paulus juga
mempergunakan
istilah
dorea
untuk
karunia-karunia,
ketika
membicarakannya di dalam jemaat (Ef 3:7, 4:7). Istilah ini berasal dari kata
doron, yang berarti suatu pemberian atau hadiah ataupun juga suatu
pemberian yang sah. Dan dalam Perjanjian Baru, istilah ini digunakan
khusus untuk pemberian dari Allah atau Kristus kepada manusia.31
Dalam Efesus 3:7, Paulus menyatakan bahwa jabatan dan tugasnya
sebagai pelayan Injil adalah merupakan pemberian (dorean) kasih karunia
Allah. Hal itu dinyatakannya untuk menekankan bahwa jabatan dan
tugasnya tersebut bukan berasal dari manusia maupun dari keinginan
dirinya sendiri, melainkan semata-mata dari Allah yang didasarkan atas
anugerah-Nya. Alasan ini nampak dalam ayat 8-12 yang menyatakan
bahwa kepada Paulus, yang paling hina di antara segala orang kudus, telah
dianugerahkan kasih karunia tersebut, untuk memberitakan kepada orangorang bukan Yahudi kekayaan Kristus supaya oleh jemaat diberitahukan
pelbagai ragam hikmat Allah kepada pemerintah-pemerintah dan penguasapenguasa di sorga, sesuai dengan maksud abadi yang dilaksanakan-Nya
dalam Kristus Yesus. Selanjutnya, dalam 1Korintus 9:16, Paulus
menyatakan bahwa tugas dan jabatan tersebut harus dilaksanakan dengan
penuh tanggung jawab dan tanpa pamrih, apapun resiko yang akan
dihadapinya. Sebab itulah hakikat daripada karunia, yang telah Allah
percayakan kepada setiap hamba-Nya.32 Sehingga dalam 1Korintus 9:16
Paulus menyatakan bahwa “Celakalah aku jika aku tidak memberitakan
31
G. Kittel, Theological Dictionary of the New Testament. Vol. II (Grand
Rapids: Eerdmans, 1978), 167.
32
J.L. Abineno, Tafsiran Surat Efesus (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1977), 99
Injil.” Searah dengan hal itu juga dikatakan oleh Billy Graham: If I had the
gift of evangelism and failed to use it, it would be a sin for me.33
Istilah yang sama dipergunakan Paulus dalam Efesus 4:7, ketika
dinyatakan bahwa setiap orang percaya telah dianugerahkan kasih karunia
menurut ukuran pemberian (doreas) Kristus. Maksudnya, bahwa setiap
orang percaya telah diberikan karunia-karunia Roh, menurut ukuran
pemberian (doreas) Kristus.
Dalam ayat 8-10 dinyatakan bahwa pemberian itu berkaitan dengan
karya keselamatan Kristus bagi manusia, yaitu melalui kematian,
kebangkitan dan kenaikan-Nya. Di mana Kristus, yang kepadaNya telah
diberikan segala kuasa di surga dan di bumi oleh Allah Bapa, memberikan
pemberian-pemberian (domata) kepada jemaat-Nya.34 Penggunaan istilah
dorea dalam Efesus 4:7 adalah untuk menyatakan bahwa adanya segala
karunia Roh di dalam jemaat, dimungkinkan karena karya keselamatan
Kristus. Karunia-karunia Roh berasal dari Kristus dan Kristus sendirilah
yang menentukan pemberian karunia-karunia tersebut. Sehingga tepat apa
yang telah dikatakan oleh D. Martyn Lloyd Jones: “The Lord Jesus Christ is
the Head of Church … is the Giver and Dispenser of all the Gifts.”35 Tujuan
pemberian karunia-karunia itu, dalam kaitan dengan karya keselamatan
Kristus bagi jemaat, adalah untuk memperlengkapi jemaat bagi pekerjaan
pelayanan dan pembangunan jemaat, sebagai tubuh Kristus (Ef 4:11-16).
Semua hal ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah dorea dalam
kaitan dengan karunia-karunia Roh, adalah untuk menyatakan bahwa
karunia karunia Roh adalah merupakan pemberian atau hadiah yang resmi
dari Allah Bapa dan Tuhan Yesus Kristus melalui Roh Kudus, kepada
setiap orang percaya. Itu dimungkinkan karena karya keselamatan Kristus
di atas kayu salib dan kemenangan-Nya yang terwujud dalam kebangkitan
dan kenaikkan-Nya ke surga. Karunia-karunia Roh ini dibagi-bagikan
menurut kehendak-Nya. Tujuan pemberian karunia-karunia tersebut adalah
bagi pelayanan dan pembangunan jemaat, sebagai tubuh Kristus. Karena
33
Billy Graham, The Holy Spirit (New York: Warner Books, 1980), 169.
Bnd. R.C.H. Lenski, The Interpretation of St. Paul’s Epistle to the
Galatians, the Ephesians, and to the Philippians (Minneapolis: Augsburg Publishing,
1961), 520.
35
D. Martyn Lloyd Jones, Christian Unity, An Exposition of Ephesians
4:1-16 (Grand Rapids: Baker Book House, 1980), 148.
34
itu, setiap orang percaya harus mempergunakan segala karunia yang ada
padanya dengan penuh tanggung jawab, apapun konsekuensinya.
Dari pembahasan ketiga istilah tersebut di atas dapat ditarik
kesimpulan: 1) Menurut Paulus karunia Roh adalah suatu perlengkapan
atau kesanggupan khusus, yang diberikan Roh Kudus kepada setiap orang
percaya ketika percaya kepada Kristus; 2) Pemberian karunia-karunia
tersebut adalah menurut kasih karunia Allah yang didasarkan atas karya
keselamatan Kristus. Itu bukan hasil karya dan usaha manusia atau sebagai
suatu pahala atas jasa baik manusia. Itu diberi kepada setiap orang secara
khusus, seperti yang dikendaki-Nya; 3) Tujuan pemberian karunia-karunia
Roh adalah agar setiap orang percaya dimampukan untuk berfungsi secara
efektif dalam segala kegiatan pelayanan dan pembangunan jemaat, sebagai
tubuh Kristus. Dengan sasaran akhir agar setiap orang percaya mencapai
kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah,
kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan
kepenuhan Kristus. Dengan perkataan lain adalah agar setiap orang percaya
berkarakter dan berintegritas serta menampakkan diri sebagai anak Allah
yang serupa dan segambar Kristus; 4) Karena itu, semua orang percaya
tanpa terkecuali mempunyai tanggung jawab untuk mempergunakan
karunianya bagi kepentingan jemaat dan untuk kemuliaan Allah.
Karunia Roh dan Talenta atau Bakat
Pada dasarnya karunia Roh tidak sama dengan talenta atau bakat.
Hal ini nampak dalam pengertian talenta atau bakat itu sendiri. Menurut
Webster’s New Collegiate Dictionary bahwa talenta adalah suatu
kesanggupan atau kecakapan yang khusus dan luar biasa yang dimiliki oleh
seseorang secara alami dan telah diwarisi sejak lahir. 36 Talenta ini nyata
pada setiap orang dan mulai nampak pada masa kanak-kanak dan
berkembang terus dalam sepanjang kehidupan orang tersebut. Misalnya
kesanggupan untuk memainkan salah satu atau bermacam-macam alat
musik dengan begitu baik dan melebihi standart kemampuan orang lain.
Pengertian ini menunjukkan adanya perbedaan antara karunia dan talenta.
Talenta atau bakat adalah bersifat alami sedangkan karunia bersifat rohani.
H.B. Woolf, Webster’ New Collegiate Dictionary (Quezon: Phoenix
Press Inc, 1973), 485.
36
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa karunia Roh Kudus adalah
suatu kesanggupan rohani, yang didasarkan pada kekuatan kuasa Allah atau
sebagai suatu manifestasi dari Roh Kudus dan bukan pada diri dan kekuatan
manusia secara alami. Oleh karena itu, karunia Roh Kudus mempunyai
tujuan rohani, yaitu untuk kepentingan pelayanan dan pembangunan jemaat
sebagai tubuh Kristus. Karunia diberikan dan dipergunakan untuk
kemuliaan Tuhan.
Sebagaimana karunia-karunia Roh Kudus, talenta juga adalah
pemberian Allah kepada manusia, di dalam anugerah-Nya yang umum.
Karena itu talenta dimiliki oleh manusia tanpa harus percaya kepada-Nya.37
Sebaliknya, karunia Roh Kudus diberikan berdasarkan kasih karunia-Nya
kepada setiap orang ketika mereka percaya kepada-Nya.
Sebab itu talenta dipergunakan hanya berkaitan dengan kepentingan
kehidupan manusia secara umum tanpa ada hubungan dengan ketaatan
kepada Allah dan demi kemuliaan-Nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Ray C. Stedman : “…Talents .. are gifts on a physical or social level only,
given to benefit mankind in its ‘natural’ life. Spiritual gifts, on the other
hand, are given for benefit in the realm of the spirit, the realm of
individual’s relationship to God.”38
Pemakaian istilah charisma yang saat ini sering dipergunakan untuk
beberapa tokoh masyarakat, misalnya: Bung Karno ataupun Anwar Sadat,
sebenarnya tidak sama pengertiannya dengan charisma atau karunia Roh
yang dipergunakan oleh rasul Paulus. Pada dasarnya pengertian charisma
untuk tokoh masyarakat adalah talenta atau bakat atau kemampuan manusia
secara alamiah bukan charisma dalam pengertian karunia Roh kudus.
Sebab pemakaian istilah charisma, sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya,39 selain dalam 1Petrus 4:10 dan sekali dalam surat Philo, hal
itu dipergunakan hanya oleh rasul Paulus untuk segala macam karunia
Allah yang diberikan dan dikaruniakan-Nya kepada jemaat-Nya, sebagai
tubuh Kristus.
Pada abad ke 19 istilah charisma, dalam pengertian bakat atau
talenta, mulai dipergunakan dan dipopulerkan oleh seorang sarjana
sosiologi terkenal dari Jerman yang bernama Max Weber, bagi setiap
37
38
39
Bnd. Wagner, Your Spiritual Gifts Can Help..., 86.
Ray C. Stedman, Body Life (California: Regal Book Division, 1973), 54.
Bandingkan uraian tentang pengertian istilah Charisma.
pemimpin masyarakat yang berbakat dan menonjol keistimewaan bakatnya
dibandingkan dengan setiap anggota masyarakat pada umumnya. 40
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada satu segi talenta atau bakat
berbeda dengan karunia Roh Kudus, tetapi di lain segi pada tingkat dan
peristiwa tertentu keduanya memiliki hubungan satu dengan yang lain.
Setiap talenta dari setiap orang dapat diubah oleh Allah menjadi karunia,
ketika orang tersebut percaya kepada-Nya. Misalnya, kemampuan mengajar
Paulus yang di dapat dari hasil pendidikannya melalui guru besar Gameliel
mempunyai hubungan erat dengan karunia mengajar dalam pelayanannya
kemudian hari. Demikian juga semua pengalaman hidup Paulus selama di
kota Tarsus yang mempunyai penduduk yang multi nasional dan
kebudayaan hellenistis, mempunyai hubungan erat dengan karunia rasuli
yang ia terima kemudian.41 Sehingga ada banyak pendapat, antara lain
seperti yang dikemukakan oleh Peter Wagner, bahwa setiap karunia Roh
Kudus yang diberikan Allah kepada orang percaya hampir senantiasa
searah dengan talenta yang dimilikinya. 42 Walaupun demikian hal itu tidak
senantiasa harus terjadi dan berlangsung seperti itu. D. Scheunemann
menyatakan sebagai berikut:
Salah satu hal yang mengherankan dalam kegerakan kebangunan
rohani di Timor orang-orang buta huruf yang melalui perlengkapan
dari Roh Kudus menjadi pemberita Firman Tuhan yang penuh kuasa,
yang meletakkan tangan mereka atas orang sakit dan dalam nama
Yesus menyembuhkan mereka, yang dengan nama Yesus juga
melepaskan orang dari ikatan okultisme; dan mengusir roh-roh jahat,
serta memimpin orang-orang percaya masuk dalam kemerdekaan
anak-anak Tuhan. Petani-petani yang sederhana itu menghafal ayatayat Alkitab yang sering mereka terima secara langsung dari Tuhan.
Kemudian mereka memberitakan Injil melalui ayat-ayat itu ….43
Dengan demikian, karunia-karunia yang diberikan kepada orang
percaya sewaktu-waktu searah dengan talenta yang dimiliki, tetapi sewaktuwaktu tidak. Ia bisa diberikan Allah kepada mereka yang sama sekali tidak
bertalenta sebagaimana kesaksian tersebut diatas.
40
41
42
Bnd. Wagner, Your Spiritual Gifts..., 86.
D. Scheunemann, Sungai Air Hidup (Batu: YPPII, 1979), 87.
Leelie B. Flynn, 19 Gifts of the Spirit (Wheaton: Victor Books, 1980),
23.
43
Scheunemann, Ibid., 87.
Satu hal yang perlu disadari bahwa menerima karunia Roh Kudus
dari Tuhan, tidak berarti menghilangkan tanggung jawab untuk
memperlengkapi diri dengan pengetahuan umum maupun pengetahuan
tentang kebenaran Firman Tuhan. Sebab Tuhan tidak pernah bermaksud
agar orang percaya hidup seperti robot tanpa bertanggung jawab
mengembangkan potensi yang sudah ia miliki. Oleh karena itu, menerima
karunia-karunia seperti mengajar, memberitakan Injil ataupun
menggembalakan jemaat, tidak berarti menghilangkan kemungkinan untuk
belajar atau dipersiapkan dalam pendidikan teologi. Rasul-rasul di
Yerusalem yang merupakan dasar berdirinya Gereja mula-mula yang penuh
dengan segala hikmat dan pengetahuan, masih membutuhkan pengertian
dari rasul Paulus tentang tidak perlunya jemaat yang non Yahudi untuk
disunat dan melaksanakan berbagai peraturan hukum Torat (bnd. Kis 15:121; Gal 2:1-9).
Sebaliknya, rasul Paulus belajar dari rasul-rasul di Yerusalem
tentang pentingnya pelayanan kepada orang-orang miskin (bnd. Gal 2:10).
Jemaat di Korintus yang tidak kekurangan satu karunia Roh, masih perlu
dibimbing oleh Paulus untuk hidup menurut kebenaran Firman Tuhan (bnd.
1Kor). Demikian juga Apolos, seorang yang fasih berbicara dan sangat
mahir dalam soal-soal Kitab Suci masih membutuhkan bimbingan dan
pengetahuan dari Priskila dan Akwila (bnd. Kis 18:24-26).44
Dengan demikian, menerima karunia Roh Kudus dari Tuhan tidak
berarti telah menjadi sempurna dalam segala hal, khususnya dalam kaitan
dengan karunia itu sendiri.
Karunia Roh dan Panggilan Tuhan
Dalam Efesus 2:10, rasul Paulus menyatakan bahwa setiap orang
percaya yang diciptakan di dalam Kristus, mempunyai suatu tujuan yaitu
untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan oleh Allah sebelumnya.
Berarti setiap orang percaya dipanggil oleh Allah tidak hanya untuk
menerima keselamatan dan hidup dalam persekutuan dengan-Nya. Percaya
dan masuk dalam persekutuan dengan Allah berarti ikut serta terlibat aktif
dalam karya penyelamatan Allah atau Missio Dei bagi dunia ini. Jadi setiap
orang percaya harus berfungsi dan berperan aktif di dalam segala kegiatan
44
Scheunemann, Sungai Air..., 87.
pelayanan jemaat. Untuk dapat melaksanakan fungsi tersebut, setiap orang
percaya diberikan atau diperlengkapi dengan karunia-karunia Roh Kudus
minimal satu karunia, sesuai dengan kehendak Tuhan (bnd. Rm 12:3-6;
1Kor 12:7,11; Ef 4:7,16).
Searah dengan hal ini, Peter Wagner menyatakan bahwa “Allah
tidak memberi karunia-karunia lalu tidak ‘memanggil’ si penerima untuk
menggunakannya; demikian juga Ia tidak memanggil orang untuk
melakukan sesuatu tanpa memperlengkapi orang itu dengan karunia atau
karunia-karunia yang perlu untuk melakukan tugas itu.”45
Karunia-karunia tersebut diberikan bukan untuk dipergunakan bagi
kepentingan diri sendiri. Karunia-karunia Roh Kudus tidak direncanakan
untuk orang-orang yang suka bekerja sendirian.46 Demikian juga, karuniakarunia itu diberikan bukan supaya terjadi persaingan dan pertentangan
rohani di antara setiap orang percaya (bnd. 1Kor 1:12; 12:14-21). Ia tidak
diberikan untuk mengagungkan karunia tertentu di atas karunia-karunia
yang lain. Allah tidak pernah merancangkan karunia tertentu menjadi suatu
kebesaran rohaniah di beberapa kelompok tertentu dan menjadikan mereka
tingkatan kelas yang berbeda, kelas elite rohani, kemudian meremehkan
kelompok lain dalam jemaat seperti yang terjadi di dalam jemaat Korintus.
Karunia Roh Kudus diberikan Allah untuk dipergunakan bagi kepentingan
jemaat bersama dan untuk kemuliaan Allah. Setiap orang percaya
mempunyai tanggung jawab atas panggilan pelayanan yang telah diberikan
oleh Kristus kepada jemaat. Setiap orang percaya adalah pelayan-pelayan
Allah, tidak ada yang bukan pelayan Tuhan, karena semuanya telah
dipanggil dan mendapat bagian di dalam diakonat Kristus. 47 Mereka
dipanggil untuk bertumbuh bersama, melayani sesama dan saling berbagi
kasih diantara sesama karena mereka adalah umat Allah, anggota keluarga
Allah dan warga Kerajaan Allah, yang dipanggil untuk menjadi terang bagi
sesama.
Selanjutnya, menurut rasul Paulus bahwa setiap orang percaya
mempunyai panggilan dan karunianya yang berbeda-beda. Tiap-tiap orang
mendapat suatu tugas pelayanan tersebut. Karena itu juga maka masing45
Peter Wagner, Manfaat Karunia Roh Untuk Pertumbuhan Gereja
(Malang: Gandum Mas, 1987), 40.
46
Ibid., 42.
47
Bnd. J.L.Ch. Abineno, Djemaat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1965),
100.
masing orang percaya mempunyai tanggung jawab yang berbeda-beda
(bnd. Rm 12:3-8; 1Kor 7:7, 12:29-30). Karena tanggung jawab berbedabeda, maka tidaklah benar bilamana ada orang percaya yang melepaskan
tanggung jawabnya dalam pelayanan ataupun mewakilkan pelayanannya
serta karunia-karunia yang ada pada mereka kepada saudaranya seiman
yang lain.48 Hal itu adalah mustahil.
Demikian juga, tidaklah benar berdalih bahwa mereka hanya
memiliki karunia tertentu dan berkosentrasi pada pelayanan tertentu
sehingga tidak mau melakukan tugas dan tanggung jawab lainnya, yang
dipercayakan kepadanya. Kepercayaan tersebut harus dihargai dan
diwujudkan dengan keyakinan akan pertolongan Tuhan dan kemungkinan
pemberian perlengkapan tambahan dari Allah sesuai dengan kebutuhannya.
Walaupun demikian, setiap orang percaya tidak dapat dipaksakan
untuk melakukan tugas dan tanggung jawab dari saudaranya seiman atau
setiap orang percaya tidak harus memaksakan dirinya untuk melakukan
tugas dan tanggung jawab yang bukan menjadi panggilannya. 49 Hal itu
tidak akan terlaksanakan secara efektif bahkan mungkin dapat mengganggu
kelancaran jalannya pelayanan dan perkembangan jemaat.
Dalam membicarakan tentang karunia-karunia Roh dalam jemaat
Korintus, Paulus memakai metapora tubuh manusia. Dalam tubuh yang
normal, setiap anggota berfungsi sesuai dengan fungsinya yang telah
ditentukan Allah. Kaki berfungsi untuk menopang tubuh dan berjalan; mata
untuk melihat; mulut untuk mencicipi dan memakan makanan; telinga
untuk mendengar dan tangan untuk melakukan atau mengambil sesuatu.
Semuanya berjalan secara proposional supaya tubuh dapat bertumbuh sehat.
Tidak mungkin fungsi mata didelegasikan kepada kaki atau sebaliknya.
Demikian juga tidak mungkin tangan berfungsi untuk mendengar
menggantikan telinga. Hal ini mustahil karena akan mengacaukan fungsi
anggota tubuh sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah. Demikian
juga dengan karunia Roh Kudus.
Tidak dapat disangkal bahwa setiap orang percaya, seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam hal-hal yang khusus dimana ia
sangat dibutuhkan untuk suatu bidang pelayanan yang bukan merupakan
panggilannya, di mana ia tidak memiliki karunia dalam bidang tersebut,
48
Bnd. J.L.Ch. Abineno, Sekitar Theologia Praktika. I (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1979), 102.
49
Bnd. Wagner, Your Spiritual Gifts..., 66.
maka Tuhan akan memberikan kemampuan atau karunia baginya untuk
melaksanakan pelayanan tersebut. Sebab itu, bilamana seseorang
ditugaskan untuk melakukan suatu tugas yang tidak sesuai dengan
karunianya dan ia tidak mampu menolaknya, ia perlu berdoa kepada Tuhan
agar ia diberikan kemampuan dan karunia untuk bisa dapat melakukan
tugas tersebut. Dengan demikian, ia bisa berfungsi seperti yang diharapkan
oleh lembaga yang menugaskannya dan nama Tuhan dipermuliakan dalam
tugas dan tanggung jawab tersebut.
Berbagai Macam dan Fungsi Karunia Roh
Sebagai tubuh Kristus, jemaat adalah persekutuan orang-orang
percaya, yang telah dipanggil dan dibenarkan Allah untuk menjadi milikNya. Tujuan panggilan dan pembenaran Allah tersebut adalah untuk
kemuliaan Allah. Oleh karena itu, seluruh kehidupan dan aktifitas jemaat di
tengah-tengah dunia ini harus senantiasa dihubungkan dengan kemuliaan
bagi Allah. Yaitu, dengan mengembangkan persekutuan jemaat dengan
Allah dan sekaligus mengembangkan pelayanan jemaat bagi kemuliaan
Allah. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan, karena saling
berhubungan satu dengan yang lain. Jemaat tidak dapat memuliakan Allah
di dalam pelayanannya kalau jemaat tidak hidup dalam persekutuan
dengan Allah. Demikian juga sebaliknya,
jemaat tidak mungkin
menyatakan diri memiliki persekutuan dengan Allah tetapi tidak
melayani.50 Dengan kata lain, jemaat dalam kehidupannya harus bertumbuh
dalam dua segi, yaitu segi kualitatif dan segi kuantitatif. Ia harus
bertumbuh secara rohani dan bertumbuh secara jumlah.
Untuk mewujudkan kedua pertumbuhan jemaat tersebut, jemaat
tidak sanggup untuk melaksanakannya dengan kemampuannya sendiri.
Karena itu, Allah memberikan karunia-karunia Roh kepada setiap anggota
jemaat, sesuai dengan kehendakNya. Karena pelayanan rohani adalah
pelayanan Allah. Demikian juga “pertumbuhan jemaat adalah karya
Allah”51 dan bukan karya manusia.
50
Bnd. Hatman & Sutherland, Pedoman Pemuridan (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1976), 35.
51
1977), 135.
J.L.Ch. Abineno, Tafsiran Surat Efesus (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
Ada empat daftar mengenai karunia-karunia Roh yang dikemukakan
oleh rasul Paulus dalam surat-suratnya, yaitu dalam Roma 12:6-8;
1Korintus 12:8-10; 28-30 dan Efesus 4:11. Bilamana diperhatikan akan isi
daftar-daftar karunia-karunia Roh tersebut, ternyata tidak ada daftar yang
menguraikan secara lengkap jumlah keseluruhan karunia Roh.
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa rasul Paulus, ketika
membicarakan karunia-karunia Roh yang ada dalam jemaat, tidak pernah
memberikan suatu kepastian mengenai jumlah seluruh karunia Roh yang
telah diberikan Allah kepada jemaat.52 Ia juga tidak menginformasikan
mengenai jenis-jenis karunia-karunia Roh Kudus secara sistematis. Rasul
Paulus sangat menekankan keanekaragaman dari karunia-karunia Roh
Kudus dalam Gereja sebagai tubuh Kristus (bnd. Rm 12:6; 1Kor 12:4).
Keanekaragaman karunia tersebut bertujuan akan pentingnya
keharmonisasi karunia-karunia tesebut dalam jemaat sebagai tubuh
Kristus.53 Sebab itu, jumlah keseluruhan karunia Roh yang telah disebut
oleh rasul Paulus dalam Roma 12:6-8; 1Korintus 12:8-10, 28-30; Efesus
4:11 bersama karunia melajang yang disebut dalam 1Korintus 7:7,
bukanlah merupakan suatu jumlah keseluruhan dari karunia-karunia Roh
yang telah diberikan Allah kepada jemaat-jemaat-Nya.
In the Scriptures of the New Covenant we find different lists of the
‘gifts’ bestowed upon His church by the risen and glorified Lord. It
has often been pointed out that no two of these lists are exactly alike.
There is deep suggestiveness and great beauty in this fact. We are all
strangely prone to mechanism, and are too fond of tabulating and
stating systematically even the things of God. There would have been
some sort of satisfaction in having an exhaustive list of His gifts. Yet
how sad would it have been, for inevitably we should have spent
much time in seeking to place each other by our gifts, or pitying such
as seemed to possess none. The gifts were never tabulated
exhaustively because they cannot be exhausted; and while today
some of the earliest are not found, many new and precious ones are
ours.54
52
Wayne Grundem, Systematic Theology, An Introduction to Biblical
Doctrine (Leicester: InterVarsity Press, 1994), 1090-1091.
53
Ridderbos, Herman., Paul An Outline Of His Theology (Grand Rapids:
Eerdmans, 1975), 446-447.
54
G. Campbell Morgan, dalam Leslie B. Flynn, 19 Gifts Of The Spirit
(Wheaton: Victor Books, 1980), 30.
Oleh karena itu, karunia-karunia Roh tidak hanya terbatas pada
segala karunia Roh yang telah disebutkan oleh Paulus, baik yang bersifat
spektakular maupun bersifat natural, tetapi juga mencakupi segala talenta
atau bakat dan kecakapan orang percaya yang telah dan yang akan
dipergunakan serta diubah oleh Allah sebagai karunia Roh. Sehingga segala
karunia Roh yang telah Paulus sebutkan hanya merupakan contoh-contoh
dari segala karunia Roh yang telah dan yang akan diberikan oleh Allah
kepada jemaat. Yang menarik dalam daftar karunia-karunia Roh Kudus
yang Paulus sebut, urutan dan isinya sangat berbeda dan bervariasi. Hal ini
menunjukkan bahwa Rasul Paulus ingin menegaskan bahwa Roh Kudus
ketika menganugerahkan karunia-karunia tersebut kepada setiap jemaat
atau anggota jemaat, Ia bertindak dengan cara yang bebas dan
beranekaragam sesuai dengan kedaulatan dan kehendak-Nya sendiri bukan
kehendak manusia.55
TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PANDANGAN NEO
PENTAKOSTA TENTANG KARUNIA SPEKTAKULAR
Dalam bagian ini penulis akan membahas tentang siapa itu NeoPentakosta dilihat dari latarbelakang sejarahnya dan bagaimana pandangan
Neo Pentakosta tentang karunia-karunia, secara khusus karunia Spektakular
yang dihubungkan dengan Baptisan Roh Kudus sebagai syarat mutlak
untuk menerima karunia Roh. Kemudian penulis akan meninjaunya secara
teologis pandangan tersebut.
Sejarah Singkat Neo-Pentakosta
Neo Pentakosta atau Pentakosta Baru atau yang dikenal sebagai
Gerakan Kharismatik, adalah gerakan orang Kristen yang mengutamakan
Baptisan Roh Kudus dan karunia-karunia spektakular, secara khusus
karunia berbahasa roh. Penganut-penganutnya, pada mulanya terdapat di
55
Bnd. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1995), 201.
hampir semua Gereja tradisional,56 kemudian membentuk kelompok
tersendiri. Gerakan ini muncul sekitar tahun 1960 dimulai pertama kali di
Gereja-gereja Amerika, karena pada saat itu orang-orang mendambakan
kehidupan rohani lebih intim dalam hal perasaan kepada Allah. 57 Pendeta
Dennis Bennett, dari Gereja Episkopal St. Markus, disebut-sebut sebagai
tokoh munculnya Gerakan Neo Pentakosta atau Kharismatik. Lewat
kesaksiannya tentang pengalaman menerima kuasa dan Baptisan Roh,
termasuk karunia berbahasa roh, menggoncangkan jemaat tersebut serta
mempengaruhi beberapa jemaat Episkopal. Pengaruh ini mulai di kota Los
Angeles, California kemudian di kota Seattle, negara bagian Washington.
Terobosan awal mulai dari Gereja Episkopal mulai meluas pengaruhnya ke
Gereja Protestan arus utama lainnya, yaitu Metodis, Lutheran, Presbyterian
dan Mennonit.58
Gerakan ini merupakan perkembangan dari Gerakan Pentakosta
sehingga garis besar ajarannya sama dengan ajaran Pentakosta.59 Yang
membedakan antara Neo-Pentakosta dengan Gerakan Pentakosta adalah
Gerakan Pentakosta cendrung membentuk denominasi tersendiri sedangkan
Neo-Pentakosta atau Kharismatik tersebar di banyak denominasi Gereja
termasuk Katolik. Untuk membedakan dari Gerakan ini dari Gerakan
Pentakosta yang lama, maka ia biasanya disebut Gerakan Pentakosta
Baru.60 Selanjutnya, menurut Abineno bahwa timbulnya Gerakan
Pentakosta Baru atau Gerakan Kharismatik disebabkan oleh berbagai hal,
baik karena keadaan di masyarakat, juga masalah di Gereja dan
theologianya. Oleh keadaan letih menghadapi hal tersebut terciptalah
kemungkinan dan ruang untuk timbulnya rupa-rupa hal dalam Gereja. Salah
satunya adalah Gerakan Kharismatik.61 Gerakan ini merupakan suatu
gerakan yang penuh dinamika, dan merupakan suatu kekuatan baru dalam
sejarah kehidupan Gereja sejak tahun 1960.
56
Rudy Budiman, Menentukan Sikap Terhadap Gerakan Kharismatik,
dalam Gerakan Kharismatik, Apa Itu? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 170.
57
J. Stephen Lang, 1001 Hal yang Ingin Anda Ketahui Tentang Roh Kudus
(Jakarta: Immanuel, 2002), 259.
58
Jan Aritonang, Berbagai Aliran Di dalam Dan Sekitar Gereja (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1995), 202-204.
59
Budiman, Menentukan Sikap Terhadap Gerakan..., 171.
60
J.L. Ch. Abineno, Gerakan Pentakosta Dan Gerakan Pentakosta Baru,
dalam Gerakan Kharismatik, Apa Itu, (Jakarta: BPK Gunung Agung, 1980), 281.
61
Ibid., 290-292.
Tujuan utama dari Neo-Pentakosta atau Gerakan Kharismatik
adalah untuk menghidupkan kembali semangat Perjanjian baru jemaat
Kristen yang mula-mula, sebagaimana yang diberitakan dalam Kisah Para
Rasul.62 Mereka ingin memberikan kepada orang percaya suatu
penghayatan baru dari peristiwa Pentakosta. Penghayatan iman yang
intensif disertai dengan rupa-rupa karunia spektakular, terutama berbahasa
Roh. Hal ini sering dihubungkan dengan apa yang dikenal sebagai Baptisan
Roh Kudus.63
Pandangan Neo-Pentakosta
Karunia Roh Dan Baptisan Roh Kudus
Menurut pengajaran Neo-Pentakosta/Kharismatik, pengalaman
baptisan Roh adalah merupakan suatu pengalaman yang berbeda dan tidak
sama dengan pekerjaan Roh Kudus di dalam proses kelahiran baru, yang
menjadikan seseorang bertobat dan percaya kepada Kristus untuk menerima
keselamatan.64
Pandangan ini misalnya nampak dalam penguraian dari salah
seorang pemimpin dari gerakan ini, L. Christenson, Pendeta dari Gereja
Trinity Lutheran di California. Dalam bukunya Speaking in Tongues ia
menyatakan sebagai berikut: “Beyond conversion, beyond the assurance of
salvation, beyond having the Holy Spirit, there is a baptism with the Holy
Spirit.”65
Hal yang sama dikemukakan oleh Don Basham, dalam bukunya A
Handbook on Holy Spirit Baptism ketika menjawab pertanyaan tentang
62
Homan Rubyono, Dari Baptisan Roh Menuju Kepenuhan Roh (Bandung:
Yayasan Kalam Hidup, 1999), 17.
63
John F. MacArthur, Jr., The Charismatics, A Doctrinal Perspective
(Grand Rapids: Zondervan, 1978), 13.
64
Bnd. Bina Oikoumene no: 3, Gerakan Pentakosta dan Baptisan Dengan
Roh (Jakarta: Dept. Keesaan Dan Kesaksian DGI, t.t.), 6; Rubyono, Ibid, 30; Rudy
Budiman, Menentukan Sikap Terhadap Gerakan Kharismatik, Dalam Gerakan
Kharismatik, Apakah itu? ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 174.
65
L. Christenson, Speaking in Tongues (Minneapolis: Dimension Books,
1975), 37
apakah penting baptisan Roh Kudus bagi keselamatan, ia menjawab sebagai
berikut:
No, baptism in the Holy Spirit is not essential for salvation.
Salvation, or conversion, or the acceptance of Christ as Lord and
Savior is a separate, prior experience. Millions of Christians who
love and serve Jesus Christ as Savior have not received the baptism
in the Holy Spirit. The New Testament makes it plain that baptism in
the Holy Spirit is a second work of grace which follows conversion.66
Oleh karena itu, bagi gerakan Kharismatik, pengalaman baptisan
Roh Kudus adalah merupakan suatu pengalaman yang kedua atau the
second blessing bagi setiap orang percaya. Sehingga tidak semua orang
percaya mengalami akan hal tersebut, melainkan hanya kepada mereka
yang sungguh-sungguh mau mencari dan mengharapkannya dengan iman.67
Dengan kata lain, hanya mereka yang mempunyai taraf iman yang lebih
‘sempurna’ yang akan menerima dan mengalami Baptisan Roh.
Neo-Pentakosta membedakan antara karya permulaan Roh Kudus,
dalam proses kelahiran baru dengan karya Roh Kudus yang dianggap
‘sempurna’ dalam Baptisan Roh kudus, yaitu karena dalam Baptisan Roh
Kudus nyata sekali pengalaman orang percaya mengalami kekayaan rohani
dan kuasa Allah. Dalam Baptisan Roh kudus, orang percaya mengalami
kuasa dan kelimpahan karunia-karunia Roh Kudus, dan manifestasi pertama
dari kenyataan itu adalah menerima karunia berbahasa Roh. Dengan
demikian, syarat utama bagi setiap orang percaya untuk menerima karuniakarunia Roh Kudus adalah harus mengalami Baptisan Roh Kudus.
Dasar pandangan gerakan Kharismatik mengenai hal tersebut adalah
pengalaman orang-orang percaya yang disaksikan oleh kitab Kisah Rasul.68
Searah dengan hal ini, Abineno menyatakan, “Kitab ini, menurut mereka,
66
Don Basham, A Handbook on Holy Spirit Baptism (Monroeville:
Whitaker Books Publisher, 1973), 15.
67
Bnd. Robert Dalton, Tongues Like As of Fire, 70, dalam Kohn F.
MacArthur, Jr., The Charismatics, A Doctrinal Perspective (Grand Rapids: Zondervan,
1980), 119.
68
Bnd. Frederick Dale Bruner, A Theology of the Holy Spirit (Grand
Rapids: Eerdmans,1970), 61.
adalah kunci untuk mengerti segala sesuatu yang dikatakan oleh Perjanjian
Baru tentang ajaran itu.”69
Pengalaman-pengalaman orang percaya yang dimaksud adalah:
pertama, mereka menunjuk kepada pengalaman 120 murid Tuhan Yesus,
yang di dalamnya termasuk para Rasul Yesus. Ke-120 murid Yesus ini
sudah menjadi murid Yesus dan sudah menerima Roh Kudus, tetapi Yesus
masih memerintah mereka untuk menantikan janji Bapa, yaitu untuk
menerima baptisan Roh Kudus.
On the day of Christ’s ascension, every one of the Apostles could
have made the same confession: “I believe on the Lord Jesus. I’m
saved. I’m going to heaven. I have the Holy Spirit (see John 20:22)”.
Yet charged them “not to depart from Jerusalem, but to wait for the
promise of the Father, which, he said, ‘you heard from me, for John
baptized with water, but before many days you shall be baptized with
the Holy Spirit.’70
Kemudian, mereka menunjuk kepada orang Kristen di Samaria, yang
dikemukakan dalam Kisah Rasul 8:12-17. Dikatakan dalam ayat 12 bahwa
mereka telah percaya dan memberi dirinya dibaptis. Tetapi dalam ayat 16
dinyatakan bahwa Roh Kudus belum turun atas mereka, karena hanya
dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Saat Petrus dan Yohanes berdoa dan
menumpangkan tangan, maka mereka menerima Roh Kudus (ay. 15, 17).
Selanjutnya, dikemukakan mengenai pengalaman keluarga
Kornelius dan sahabat-sahabatnya. Dalam Kisah Para Rasul 10:2, dikatakan
bahwa Kornelius beserta keluarganya adalah orang yang takut akan Allah
dan senantiasa berdoa kepada Allah. Namun demikian, mereka baru
menerima baptisan Roh Kudus setelah mendengar pemberitaan Petrus, yang
membawa mereka untuk beriman kepada Kristus.
Yang terakhir, yang paling diandalkan oleh gerakan ini untuk
membuktikan akan pentingnya pengalaman baptisan Roh dan yang hanya
dialami oleh mereka yang sungguh beriman kepada Kristus, adalah Kisah
Rasul 19:1-6. Dinyatakan dalam ayat-ayat tersebut bahwa Paulus bertemu
dengan 12 murid yang telah dibaptis dengan baptisan Yohanes, baptisan
pertobatan, namun belum memiliki Roh Kudus. Setelah mendengar
J.L.Ch. Abineno, “Gerakan Pentakosta dan Baptisan dengan Roh.”
dalam Bina Oikumene No. 3 (Jakarta Pusat: Departemen Keesaan dan Kesaksian DGI,
1978), 13.
70
Christenson, Speaking In Tongues..., 37.
69
pemberitaan Paulus tentang Kristus dan dibaptis dalam nama Tuhan Yesus,
baru Roh Kudus turun ke atas mereka dan mereka mengalami baptisan Roh
Kudus, yang ditandai dengan berkata-kata dalam bahasa roh dan bernubuat.
Melalui beberapa kesaksian tersebut di atas, gerakan NeoPentakosta/Kharismatik mengambil kesimpulan bahwa pengalaman
baptisan Roh, adalah merupakan suatu pengalaman kedua dan berbeda
dengan pengalaman ketika percaya kepada Kristus dan menerima
keselamatan-Nya. Hal ini makin jelas nampak dari pernyataan Ariel
Edvardsen sebagai berikut:
Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Kelahiran Baru dan
Baptisan Roh merupakan dua pengalaman yang berbeda......Jika kita
akan DIPENUHI ATAU DIBAPTIS OLEH ROHULKUDUS maka
kita pertama-tama harus DILAHIRKAN OLEH ROHULKUDUS.
Dan mujizat Kelahiran Baru berlaku ketika kita bertobat lalu
kemudian juga dapat dibaptis dengan Rohulkudus... Di sini kita
melihat bahwa pertama-tama PERTOBATAN dan barulah setelah
pertobatan ada Baptisan Rohulkudus.” 71
Alasan mengapa mereka sangat menekankan pengalaman baptisan
Roh, antara lain nampak dalam uraian Don Basham berikut ini:
Essentially, baptism in the Holy Spirit is a doorway leading from a
natural realm into a supernatural realm of life and experience. The
average Christians, although truly professing Christ, operates
largely on his own power, making his own decisions, living by his
own strength, and controlling his own life. But through the baptism
in the Holy Spirit the Christian steps out of this natural realm into a
realm where he can begin to experience the supernatural gifts and
powers of God’s Holy Spirit.72
Hal yang sama dikemukakan oleh Robert C. Frost bahwa “We must
also know Him, however, as our personal Baptizer if ‘power’ of God’s
Spirit is to find full expression in our lives.”73
Bagi gerakan Kharismatik baptisan Roh Kudus sangat dibutuhkan
untuk dapat menerima kepenuhan kuasa Roh Kudus dan karunia-karunia71
Ariel Edvardsen, Baptisan Dan Karunia Rohulkudus (Jakarta: Immanuel,
t.t.), 22.
72
Basham, A Handbook On Holy..., 4.
Robert C. Frost, Aglow with the Spirit, dikutip dari Anthony A.
Hoekema, Holy Spirit Baptism (Grand Rapids: Eerdmans, 1972), 12.
73
Nya, sehingga memungkinkan seseorang siap untuk menunaikan tugasnya
di bidang kesaksian dan pelayanan bagi kemuliaan Allah.74 Dengan kata
lain, tanpa pengalaman baptisan Roh tidak mungkin seseorang dapat
menerima kuasa Roh Kudus dan karunia-karunia Roh Kudus, sebagai
perlengkapan di bidang kesaksian dan pelayanan. Ajaran ini menimbulkan
suatu pengertian yang baru dalam penumatologi bahwa hanya orang-orang
yang telah mengalami karya Roh kudus yang ‘sempurna’ dalam baptisan
Roh, mengalami second blessing yang memiliki karunia-karunia Roh,
karena karunia-karunia Roh diterima melalui baptisan Roh.75 Berarti tidak
semua orang percaya menerima dan memiliki karunia-karunia Roh
bilamana mereka baru mengalami ‘karya permulaan’ Roh kudus, yaitu
kelahiran baru.
Karunia Roh dan Kualitasnya
Kecenderungan untuk membeda-bedakan dan mengutamakan
beberapa karunia-karunia Roh tertentu, sebagaimana yang terjadi dalam
kehidupan jemaat di Korintus, nampak dalam pandangan gerakan NeoPentakosta/Kharismatik.
Menurut pandangan gerakan ini, karunia-karunia Roh yang
diberikan Allah kepada orang percaya atau jemaat, hanya sebatas sembilan
macam karunia Roh.76 Yaitu, kesembilan macam karunia Roh yang
disebutkan rasul Paulus dalam 1Korintus 12:8-10 : Karunia untuk berkatakata dengan hikmat, karunia untuk berkata-kata dengan pengetahuan,
karunia iman karunia penyembuhan, karunia mujizat, karunia bernubuat,
karunia berkata-kata dengan bahasa roh, dan karunia untuk menafsirkan
bahasa roh.
Bnd. Abineno, “Gerakan Pentakosta dan Baptisan...,” 3.
Bnd. Bridge & David Phypers, Karunia-karunia dan…, 120.
76
Bnd. J.L.Ch. Abineno, Karunia-karunia Roh Kudus (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1980), 9, 12; Budiman, Menentukan Sikap Terhadap..., 179; Christenson,
Speaking In Tongues..., 114,117; Howard M. Ervin, These are not Drunken as Ye Suppose
(Plainfiel, N.J: Logos International, 1968), 216; Kevin and Dorothy Ranagham, Catholic
Pentecostals (Paramus, N.J.: Paulist Press, 1969), 160.
74
75
Dan karena Allah telah memberikan Rohulkudus kepada setiap
Gereja setempat maka kesembilan karunia itu bekerja sepenuhnya di
dalam setiap Gereja itu. Pendeta T.B. Barratt yang terkenal
mengatakan:’ Kita harus mengambil kesembilan’ karunia di dalam I
Korintus 12, mencelupkannya di dalam pasal 13 (kasih) lalu
menerapkannya seperti di dalam pasal 14’. Inilah maksud Allah
dengan karunia-karunia Roh itu. Setiap Gereja yang berhadap untuk
mengalami dan hidup di dalam kegerakan Perjanjian baru yang kini
sedang berlangsung, haruslah mempersilahkan kesembilan karunia
Roh itu bekerja di dalam Gereja. Bila karunia-karunia ini bekerja di
dalam Gereja anda maka anda akan kembali kepada kegerakan
rohani kerasulan, Kegerakan Karunia Rohani. 77
Dari antara kesembilan karunia Roh Kudus tersebut, karuniakarunia Roh Kudus yang bersifat spectacular dianggap sebagai karuniakarunia yang paling penting.78 Khusus karunia untuk berkata-kata dengan
bahasa roh, untuk hampir seluruh tokoh gerakan Kharismatik mempunyai
pandangan bahwa hal itu mutlak harus dimiliki oleh setiap orang percaya,
sebagai bukti pengalaman baptisan dengan Roh Kudus. 79 Pandangan
mengenai hal tersebut, antara lain nampak dalam jawaban Don Basham,
ketika ditanya mengenai “apakah mungkin seseorang menerima baptisan
dengan Roh Kudus tanpa berkata-kata dengan bahasa Roh?” Ia menjawab
sebagai berikut:
So we must admit that the baptism in the Holy Spirit can be received
without the manifestation of tongues, but we encourage no one to
seek the baptism without expecting tongues. Both our understanding
of spiritual gifts and our willingness to receive then affect what gifts
and manifestations will appear. SOMETHING IS MISSING IN
YOUR SPIRITUAL LIFE IF YOU HAVE RECEIVED THE HOLY
SPIRIT YET HAVE NOT SPOKEN IN TONGUES... We encourage
everyone seeking to be filled with this Holy Spirit to seek the baptism
on scriptural terms, fully expecting to speak in tongues when they
receive.80
77
Edvardsen, Baptisan Dan Karunia..., 11.
Bnd. Abineno, Karunia-karunia Roh..., 9.
79
Bnd. Anthony A. Hoekema, What About Tongue-Speaking (Grand
Rapids: Eerdmans, 1966), 48.
80
Basham, A Handbook On Holy..., 63-64.
78
Pandangan yang sama dikemukakan oleh Rev. Edwin B. Stube,
Direktur dari Blessed Trinity Society sebagai berikut:
In the New Testament, the standard sign or evidence of the baptism
of the Holy Spirit is that of speaking with other tongues as the Spirit
given utterance…. It is clearly God’s intention that all believers
should receive the Baptism of the Holy Spirit with the sign which the
New Testament indicates (namely, the sign of tongue-speaking).81
Menurut Rudy Budiman, bahwa kecenderungan dari gerakan
Kharismatik untuk mengutamakan kesembilan karunia yang disebutkan
dalam 1Korintus 12:8-10 dan membedakannya dari karunia-karunia Roh
yang lain, yang Paulus sebutkan dalam 1Korintus 12:28; Roma 12:6-8
seperti karunia melayani, karunia memimpin, karunia mengajar, karunia
menasehati, membagi-bagikan sesuatu, kemurahan; antara lain karena di
dalam penampilan kesembilan karunia tersebut, bersifat supranatural dan
nampak sekali kuasa ajaib yang bekerja. Sebaliknya, karunia-karunia yang
lain yang bersifat natural, tidak ada hal-hal yang luar biasa di dalam
penampilannya, yang membuktikan akan adanya pekerjaan-pekerjaan kuasa
ajaib.82 Implikasinya, segala karunia Roh Kudus yang di dalamnya tidak
menampakkan keajaiban Tuhan atau yang bersifat supra-natural, dianggap
kurang bernilai atau bukan karunia Roh. Segala karunia yang di dalamnya
nampak keajaiban Tuhan atau bersifat supra-natural, itulah karunia Roh
Kudus. Karena itu, kesembilan karunia yang disebut dalam 1Korintus
12:8-10, dianggap lebih tinggi atau lebih berkualitas daripada karuniakarunia Roh yang lain. Karena ia bersifat supranatural dan sepktakular,
yang lain bersifat natural dan non spektakular.
Tinjaun Teologis Terhadap Pandangan Neo-Pentakosta
Karunia Roh dan Baptisan Roh
Dalam Perjanjian Baru, istilah baptisan Roh Kudus atau dibaptis
dengan Roh Kudus, dipergunakan sebanyak 7 kali. 5 kali dipergunakan
dalam bentuk nubuatan yang berkaitan dengan janji Allah mengenai
81
82
Edwin B. Stube, dalam Anthony A. Hoekema, Ibid., 46-47.
Budiman, Menentukan Sikap Terhadap..., 224-225.
baptisan dengan Roh Kudus yang akan dilaksanakan oleh Kristus bagi
setiap orang percaya: 4 kali berkaitan dengan ucapan Yohanes Pembaptis
dan 1 kali diucapkan oleh Kristus sendiri sebelum peristiwa Pentakosta.
(Mat 3:11; Mrk 1:8; Luk 3:16; Yoh 1:33; Kis 1:5). Satu kali dipergunakan
oleh rasul Petrus di dalam Kisah Rasul 11:16, ketika memberikan laporan
kepada saudara-saudara seiman di Yerusalem, tentang pengalaman keluarga
Kornelius dan sahabat-sahabatnya menerima baptisan Roh Kudus. Dan
yang terakhir, dalam bentuk pengajaran, rasul Paulus mempergunakan
istilah tersebut sebanyak 1 kali dalam 1Korintus 12:13. Yaitu, berkaitan
dengan pengalaman semua orang percaya yang dalam satu Roh telah
dibaptis menjadi satu di dalam tubuh Kristus.
Bilamana diperhatikan semua ayat-ayat Firman Tuhan tersebut di
atas, nampak bahwa semuanya saling berkaitan satu dengan yang lain. Apa
yang telah dinubuatkan oleh Yohanes dan yang dijanjikan oleh Kristus,
telah digenapi di dalam peristiwa Pentakosta dan pengalaman keluarga
Kornelius dan sahabat-sahabatnya. Sedangkan apa yang diajarkan oleh
rasul Paulus tentang dalam satu Roh semua orang percaya telah dibaptis
menjadi satu tubuh, adalah merupakan suatu kesimpulan pengajaran tentang
apa yang telah terjadi, sebagai akibat adanya Roh Kudus yang telah
dicurahkan melalui peristiwa Pentakosta, sebagai penggenapan nubuatan
Yohanes dan janji Kristus.83
Karena itu, istilah dibaptis dengan Roh Kudus yang dipergunakan
oleh Yohanes dan Kristus, maupun Petrus, pada dasarnya sama dengan
istilah yang dipergunakan Paulus dalam 1Korintus 12:13. 84
Lebih lanjut kita akan menyelidiki apa yang dimaksud Paulus
dengan istilah dibaptis dengan Roh dalam 1Korintus 12:13. Dalam ayat
tersebut, Paulus menyatakan: “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik
orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka,
telah dibaptis menjadi satu tubuh kita semua diberi minum dari satu Roh.”
Rasul Paulus memakai istilah kita semua adalah untuk menunjuk
kepada dirinya dan semua orang percaya yang ada di jemaat Korintus
tanpa terkecuali. Tanpa membedakan keadaan status sosial dan keadaan
rohaninya. Sehingga hal tersebut termasuk semua anggota jemaat di
83
Bnd. J. Oswald Sanders, The Holy Spirit and His Gifts (London:
Marshall, Morgan & Scott, 1970), 65-66
84
Bnd. Albert Barnes, Barnes on the New Testament, I Corinthians (Grand
Rapids: Baker Book House, 1979), 233.
Korintus, yang dalam 1Korintus 3:1 disebut oleh Paulus sebagai manusia
duniawi, manusia yang penuh dengan segala macam dosa (bnd. 1Kor 3:3,
4:18, 5:1, 6:12-18, 10:14-22, 11:17-22, dst). Sebab itu, baptisan Roh Kudus
bukan hanya dialami oleh beberapa orang percaya saja, yang mempunyai
taraf iman dan kerohanian tinggi. Baptisan Roh Kudus juga mencakupi
semua orang percaya, yang ada di dalam Kristus. Sebab itu, tepat apa yang
dikatakan oleh Michael Green: “So baptism with the Holy Spirit is not a
second-stage experience for some Christians, but an initiatory experience
for all Christians. Without it we are not Christians at all.”85
Satu hal yang menarik dalam 1Korintus 12:13, yaitu tentang istilah
telah dibaptis dan diberi minum. Keduanya mempunyai aspek aorist dan
arahnya pasif, yang dihubungkan dengan kata penghubung kai. Dengan
demikian kedua hal tersebut adalah merupakan suatu kejadian yang terjadi
bersama-sama (simultan) pada masa yang lampau, sekali untuk seterusnya.
Pengertian “dalam satu Roh kita semua telah dibaptis menjadi satu tubuh,”
sebenarnya mempunyai kesamaan pengertian dengan apa yang
dikemukakan dalam Galatia 3:27; Roma 6:3, “dibaptis di dalam Kristus.”86
Karena, pada waktu seseorang percaya kepada Kristus dan dibaptis di
dalam Kristus, pada waktu itu juga ia dibaptis dengan Roh Kudus. Kedua
baptisan tersebut saling berhubungan dan karena itu tidak dapat dipisahkan
satu sama yang lain. Sebagaimana yang dikatakan oleh Frederick Dale
Bruner:
Appropriate to the Christological character and mission of the Holy
Spirit, the Baptism of the Holy Spirit is the baptism the believer into
Christ. Yet baptism into Christ can no more be separated from
baptism into the Holy Spirit than Christ can separated from the Holy
Spirit. For in the depths the name by which we are baptized is one (I
Cor 6:17, 15:45, II Cor 3:17-18; cf. the singular “name” in Matt
28:18). For Christ and the Spirit are not divided that each must
separately and at appropriate times baptize into each other.87
Selanjutnya, pengertian diberi minum dari satu Roh mempunyai
kaitan dengan apa yang Yesus nyatakan dalam Yohanes 4:14, 7:37-39,
85
Michael Green, I Believe in the Holy Spirit (Grand Rapids: Eerdmans,
1980), 141-142.
86
Bnd. A.T. Robertson, Word Pictures in the New Testament. Vol. IV
(Grand Rapids: Baker Book House, 1931), 171.
87
Bruner, A Theology Of The Holy Spirit..., 293.
yaitu tentang pemberian Roh Kudus dan keselamatan bagi setiap orang
yang percaya kepada Kristus.88 Karena Istilah telah dibaptis dan diberi
minum mempunyai aspek aorist, maka pengertian “dalam satu Roh kita
semua telah dibaptis menjadi satu tubuh, dan kita semua telah diberi minum
dari satu Roh” adalah menunjuk kepada satu peristiwa yang telah terjadi
serentak (simultan) dalam kehidupan setiap orang percaya pada waktu ia
diselamatkan. Maksudnya, pada waktu seseorang percaya kepada Kristus,
pada saat itulah ia menerima keselamatan dan Roh Kudus, dan menjadi
anggota jemaat, sebagai tubuh Kristus. Dan hal inilah yang dimaksud
dengan baptisan dengan Roh Kudus. 89
Jadi, istilah dibaptis dengan Roh Kudus sama pengertiannya dengan
menerima Roh Kudus, bahkan sama dengan diurapi Roh Kudus dan
dimeteraikan dengan Roh Kudus, sebagaimana yang dinyatakan rasul
Paulus dalam Efesus 1:13; 2Korintus 1:21-22; Roma 8:15.90 Semua
pengalaman tersebut adalah semata-mata pemberian Allah berdasarkan
kasih dan anugerah-Nya, bukan berdasarkan kebaikan dan jasa dari setiap
orang percaya. Karena itu, baptisan dengan Roh Kudus bukanlah sesuatu
yang diusahakan ataupun harus dicapai sebagai pengalaman yang kedua
bagi setiap orang percaya. Melainkan semua orang percaya telah dibaptis
dengan Roh Kudus atau telah memiliki Roh Kudus, sebagai pemberian
Allah. Inilah yang dimaksud oleh rasul Paulus ketika ia mempergunakan
arah pasif untuk kedua istilah telah dibaptis dan diberi minum dalam satu
Roh, di dalam 1Korintus 12:13.
Bnd. Lenski, The Interpretation Of St. Paul’s..., 516.
Bnd. Galatia 3:2-5,14,29, Kisah Rasul 2:38-39, 11:14-18: menerima Roh
Kudus yang dijanjikan Allah, pada waktu percaya, sama dengan dibaptis dengan Roh
Kudus.
90
“Baptisan Roh tidak terbatas pada peristiwa Petakosta, tetapi masih
terjadi terus menerus dalam seraja gereja dan juga berulang-ulang disebut dalam Perjanjian
Baru, Cuma dengan istilah-istilah lain. Di Galatia 3:14 misalnya disebut ‘menerima Roh
yang telah dijanjikan.’ Ini mengingat kita pada Kisah Rasul 2:33,39, di mana Roh yang
yang dijanjikan dicurahkan pada hari Pentakosta.... Istilah lain lagi adalah ‘Roh Kudus
turun atas; (Kis 11:15; 19:6)...Istilah yang juga dipergunakan Paulus adalah ‘mengurapi
dengan Roh Kudus’ (2Kor 1:21b,22), ‘memeteraikan dengan Roh Kudus’(Ef 1:13b; 14;
4:20). Kata-kata kerja (dalam bahasa Yunani) ini dipakai dengan bentuk waktu Aorist yang
menunjukkan, bahwa pengurapan atau pemeteraian itu terjadi satu kali pada masa yang
lampau, dengan perkataan lain, pada saat orang dibaptis dengan Roh Kudus.” Budiman,
Menentukan Sikap Terhadap..., 174.
88
89
Lalu bagaimana dengan segala pengalaman orang percaya yang
dikemukakan dalam Kis 2 berkaitan dengan pengalaman murid-murid
Yesus, pasal 8 berkaitan dengan murid-murid di Samaria, pasal 10
berkaitan dengan keluarga Kornelius dan sahabat-sahabatnya dalam pasal
19 berkaitan dengan murid-murid Yohanes di Efesus? Untuk menjawab
pertanyaan ini, maka hal tersebut akan dibahas selanjutnya di bawah ini.
Satu hal yang perlu menjadi pegangan di dalam menafsirkan semua
pengalaman orang percaya dalam Kisah Para Rasul, yaitu bahwa semua
pengalaman praktis tersebut tidak dapat menjadikan suatu patokan untuk
suatu pengajaran mutlak tentang baptisan dengan Roh Kudus. Karena hal
tersebut bukan merupakan uraian-uraian dan kesimpulan yang bersifat
dogmatis, sebagaimana yang dikatakan oleh D. Scheunemann:
Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa Roh Kudus dapat bekerja
demikian, namun tidak harus bekerja sedemikian. “Dimana ada Roh
Allah disitu ada kemerdekaan”. Hermeneutik yang bertanggung
jawab dan berorientasi kepada Alkitab membangun suatu pengajaran
Kristen hanya berdasarkan atas bagian-bagian Alkitab yang bersifat
didaktis (bersifat ajaran), dan bukan atas kejadian-kejadian historis
yang diceritakan dalam Alkitab. Karena itu, dari peristiwa-peristiwa
yang dicatat dalam Kisah Para Rasul, kita tidak boleh menarik
kesimpulan-kesimpulan yang bersifat dogmatis tentang penerimaan
Roh Kudus serta akibat-akibatnya, sebagai kaidah yang mutlak bagi
setiap orang Kristen. 91
Membahas pengalaman orang percaya dalam Kisah Rasul haruslah
dibahas secara bertanggung jawab dengan melihat seluruh kesaksian
Alkitab. Walaupun apa yang dikemukakan oleh penulis Kisah Rasul adalah
fakta sejarah. Namun, hal tersebut adalah merupakan suatu ungkapan
historis dan bukan didaktis yang normatif.
Pengalaman 120 Murid Kristus Dalam Kisah Para Rasul 2
Merupakan suatu kenyataan bahwa sebelum peristiwa Pentakosta,
dimana 120 murid Kristus dibaptis dengan Roh Kudus, mereka adalah
murid-murid Kristus yang telah percaya kepada-Nya. Kesebelas murid-Nya
telah dipilih dan ditetapkan sebagai rasul-rasul-Nya untuk memberitakan
91
Scheunemann, Sungai Air..., 211-212.
Injil ke seluruh dunia (Mat 10:1-4, 28:16-20). Mereka adalah dasar Gereja
(Mat 16:18-19). Mereka pernah melayani dan memberitakan Injil dengan
kuasa Allah (Mrk 6:6-13, Luk 9:1-6, Mat 10:5-15) dan setan-setan takluk
kepada mereka, karena nama Kristus. (Luk 10:17). Mereka adalah saksi
mata kematian, kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus ke surga. (Mrk
16:12-20; Luk 24:36-53; Yoh 20:19-20, 26-29; Kis 1:11; 1Kor 15:5-7).
Namun situasi mereka berbeda dengan situasi orang percaya masa kini.
Pada saat itu, 120 murid Tuhan Yesus hidup dalam situasi dimana Roh
Kudus belum dicurahkan. Kedua belas Rasul dan murid-murid Tuhan
Yesus yang lain, masih harus menantikan janji Tuhan Yesus tentang
baptisan dengan Roh Kudus yang akan mereka alami. Hal itu terwujud pada
peristiwa Pentakosta. Dan yang menyebabkan “adanya tenggang waktu
antara percayanya ke 120 orang itu dengan turunnya Roh Kudus adalah
disebabkan oleh penentuan waktu dalam urutan sejarah keselamatan
Kristus, dan bukan oleh perbedaan taraf iman.”92 Oleh karena itu,
pengalaman murid-murid Yesus tidak dapat diterapkan pada orang percaya
yang hidup pada masa kini.93
Pengalaman Orang Percaya di Samaria Dalam Kisah Para Rasul 8
Banyak teolog berpendapat bahwa bagian Firman Tuhan tersebut
merupakan suatu bagian yang agak sulit untuk ditafsirkan.94 Karena situasi
yang terjadi pada saat itu agak berbeda dengan kebiasaan yang seharusnya
terjadi. Mereka yang sudah percaya kepada Kristus dan telah dibaptis di
dalam Kristus, tetapi kenyataannya belum menerima Roh Kudus. Padahal
mereka hidup dalam situasi dimana Roh Kudus sudah dicurahkan oleh
Kristus, bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Sehingga kasusnya
berbeda dengan yang dialami oleh ke 120 murid Yesus di Yerusalem. Hal
ini mengakibatkan terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli teologi
tentang sebab-sebab Roh Kudus belum diberikan kepada orang di Samaria.
Ada yang menyatakan bahwa yang menyebabkan orang percaya di
Samaria belum dibaptis dengan Roh Kudus, adalah karena mereka belum
92
R. Budiman, Menentukan sikap terhadap gerakan Kharismatik, dalam
buku: Gerakan Kharismatik Apakah Itu (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 191.
93
Bnd. Rene Pache, The Person and work of the Holy Spirit (Chicago:
Moody Press, 1957), 73.
94
Abineno, Gerakan Pentakosta & Baptisan..., 22, Bridge & David
Phypers, Karunia-karunia Roh..., 135.
sungguh-sungguh bertobat dan percaya kepada Kristus. Mereka dikatakan
percaya, dalam ayat 12, tetapi percaya mereka tertuju kepada Filipus dan
bukan kepada Kristus. Dan juga respons mereka terhadap apa yang
diberitakan Filipus adalah hanya merupakan suatu luapan emosi saja dan
bukan berdasarkan iman.95
Sebaliknya, ada yang menyatakan bahwa sebenarnya orang-orang di
Samaria sungguh sudah percaya kepada Kristus. Karena itu, sukacita yang
dinyatakan dalam ayat 8 adalah sukacita orang yang telah bertobat,
sebagaimana yang dinyatakan dalam Kisah Para Rasul 2:46-47. Yang
menyebabkan mereka belum dibaptis dengan Roh Kudus, adalah
merupakan suatu maksud Tuhan. Yaitu, supaya melalui penumpangan
tangan dan doa dari kedua rasul tersebut, orang percaya di Samaria
mengetahui posisi dan wibawa dari para rasul, yang telah ditetapkan
sebagai dasar Gereja. Dan sekaligus untuk mempersatukan kedua Gereja,
Gereja Yahudi di Yerusalem dan non Yahudi di Samaria, di dalam Kristus,
sebagai tubuh Kristus.96
Untuk memecahkan masalah tersebut di atas dan mengetahui
pengertian yang sebenarnya, maka perlu dilihat kembali apa kata Firman
Tuhan itu sendiri.
Dalam ayat 12, dikatakan bahwa orang Samaria percaya kepada
Filipus, yang memberikan Injil tentang nama Yesus Kristus. Dalam struktur
kalimat tersebut, nampaknya memang percaya mereka tertuju kepada
Filipus. Tetapi kalau diperhatikan lebih teliti akan kalimat tersebut, nyata
bahwa mereka tidak hanya percaya kepada Filipus; melainkan kepada
Filipus, yang memberitakan Injil Kerajaan Allah dan Yesus Kristus.
Selanjutnya, dalam ayat 15-16, dikatakan bahwa Petrus dan
Yohanes berdoa supaya orang percaya di Samaria memperoleh Roh Kudus.
Keterangan lebih lanjut tidak ada, sehingga penekanannya hanya tertuju
kepada mendoakan mereka. Bilamana mereka sungguh belum bertobat
maka merupakan suatu keganjilan untuk mendoakan mereka supaya
menerima Roh Kudus. Petrus sendiri, dalam Kisah Para Rasul 2:38,
95
James D.G. Dunn, Baptism in the Holy Spirit (Philadelphia: The
Westminster Press, 1970), 63.
96
David Brown, A Commentary, Critical, Experimental, and Practical on
the Old and New Testament. Vol.III, Part Two (Grand Rapids: Eerdmans, 1978), 49-50.
menegaskan bahwa syarat untuk menerima Roh kudus: Pertama, harus
bertobat; Kedua, Dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan
dosa. Sehingga, prinsip ini pasti diterapkan Petrus sebelum mendoakan
mereka. Mereka pasti dilayani dan diberitakan Injil Yesus Kristus terlebih
dahulu supaya mereka percaya kepada Kristus, sebagaimana yang nampak
dalam Kisah Para Rasul 10:34-43, 19:4.
Dalam ayat 16 dikatakan: “Sebab Roh Kudus belum turun di atas
seorangpun diantara mereka, karena mereka hanya dibaptis dalam Tuhan
Yesus.” Istilah belum, dipakai kata Yunani oudepo yang dalam bahasa
Inggris not yet. Ini berbeda sekali dengan istilah ou yang berarti tidak, not.
Dalam pengertian not yet terkandung sesuatu yang pasti dan akan dialami,
namun belum terjadi pada saat itu.97 Istilah ini juga yang dipakai dalam
Yohanes 7:39 ketika membicarakan tentang Roh Kudus yang belum datang,
karena Kristus belum dimuliakan. Hal itu menunjukkan bahwa bagi orang
percaya di Samaria, pengharapan untuk menerima Roh Kudus adalah suatu
yang pasti akan mereka terima. Namun hal itu belum terjadi pada saat itu,
nanti pada waktu kemudian. Hal itu baru terjadi pada waktu Petrus dan
Yohanes mendoakan dan meletakkan tangan mereka ke atas orang Samaria.
Kenyataan ini memberikan suatu petunjuk bahwa orang-orang di Samaria,
kecuali Simon si Penyihir, sungguh-sungguh telah percaya kepada
Kristus.98 Kelihatannya peristiwa ini agak aneh. Bagaimana mungkin orang
yang telah percaya kepada Kristus tetapi tanpa Roh Kudus? Tetapi itulah
kenyataan yang telah terjadi dalam jemaat di Samaria. Tentu saja ada
maksud Tuhan di balik semua ini. Menurut Donald Bridge & David
Phypers:
Adalah cara Allah untuk menunjukkan kepada orang-orang Kristen
Yahudi maupun Samaria bahwa sekarang mereka adalah anggotaanggota satu tubuh, yaitu tubuh Kristus, walaupun sampai saat itu
mereka bermusuhan karena kebencian rasial dan agama yang sudah
berurat berakar. Petobat-petobat baru di Samaria disadarkan bahwa
mereka memerlukan jemaat induk di Yerusalem. Sebaliknya para
pemimpin di Yerusalem yang merasa ragu-ragu terpaksa mengakui
kenyataan daripada pertobatan orang Samaria. Sekali lagi ini benarbenar luar biasa. 99
97
98
99
Bruner, A Theology Of The Holy Spirit..., 177-178.
Bnd. Abineno, Gerakan Pentakosta..., 22-23.
Bridge & David Phypers, Karunia-karunia Roh..., 136.
Dari pernyataan ini, nampaklah bahwa Allah bertindak demikian
supaya arti dan tujuan daripada baptisan dengan Roh Kudus, yaitu untuk
mempersatukan setiap orang percaya dalam jemaat sebagai tubuh Kristus,
sungguh-sungguh dialami kenyataannya. Tepat apa yang dinyatakan oleh
Simon Tugwell: “There is a great diversity of ways in which the Spirit
works in us; the one thing that is common to all and is the bond of our
unity, is baptism.”100
Semua ini membuktikan Penundaan atau belum terlaksananya
pemberian Roh Kudus kepada jemaat di Samaria bukan karena mereka
belum bertobat. Juga bukan karena taraf iman mereka rendah sehingga
membutuhkan waktu untuk meningkatkan iman mereka untuk dapat
memiliki Roh Kudus atau mengalami baptisan dengan Roh Kudus. Adanya
tenggang waktu dalam menerima Roh Kudus bukan karena keadaan rohani
jemaat Samaria belum sesuai dengan kehendak Tuhan. Semua itu terjadi
karena kehendak Allah yang bebas yang bertindak demi kebaikan jemaat
Samaria itu sendiri.
Dengan demikian nyatalah bahwa pemberian Roh Kudus atau
dibaptis dengan Roh Kudus adalah semata-mata pemberian Allah yang
didasarkan atas kasih dan anugerah-Nya bukan berdasarkan perbuatan atau
ditentukan oleh usaha manusia sendiri. Pengalaman jemaat di Samaria
dalam menerima Roh Kudus tidak dapat dijadikan pola untuk menerima
Roh Kudus atau dibaptis dengan Roh bagi jemaat pada masa kini. Karena
pengalaman tersebut mempunyai arti tersendiri bagi jemaat di Samaria.
Seandainyapun pada masa kini “Allah benar-benar melakukan peristiwa
seperti itu pada orang-orang tertentu,” itu merupakan kedaulatan Allah dan
bukan hasil usaha manusia, sehingga bukan suatu pola yang bersifat prinsip
dan mutlak diberlakukan orang percaya.
Pengalaman Keluarga Kornelius Dalam Kisah Para Rasul 10
Bila diperhatikan peristiwa yang terjadi dalam keluarga Kornelius
dan sahabat-sahabatnya, pada waktu menerima atau dibaptis dengan Roh
Kudus, nampaknya tidak mengikuti urut-urutan seperti yang telah disebut
oleh Petrus dalam Kisah Para Rasul 2:38. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, syarat untuk dapat menerima karunia Roh Kudus atau baptisan
100
Simon Tugwell, dalam Green,. I Believe In The Holy..., 139.
dengan Roh Kudus, adalah bertobat (= percaya kepada Kristus) dan
dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Tetapi kenyataannya peristiwa yang
terjadi dalam keluarga Kornelius sangat berbeda. Ketika Petrus sedang
memberitakan Injil dan belum membaptis mereka dalam nama Tuhan
Yesus, dikatakan bahwa tiba-tiba turunlah Roh Kudus ke atas keluarga
Kornelius dan sahabat-sahabatnya, yang mendengar pemberitaan Petrus.
Pelayanan sakramen baptisan baru dilaksanakan setelah mereka menerima
baptisan dengan Roh Kudus. Apakah ini berarti bahwa keluarga Kornelius
dan sahabat-sahabatnya, jauh sebelum kedatangan Petrus ke rumahnya,
memang sudah menjadi murid Tuhan Yesus sebagaimana yang dikatakan
oleh gerakan Kharismatik?
Tak dapat disangkali bahwa dalam ayat 2, dikatakan bahwa
keluarga ini adalah keluarga yang takut akan Allah dan banyak memberi
sedekah kepada umat Yahudi dan senantiasa berdosa kepada Allah. Tapi
kalau melihat penjelasan Petrus dalam pasal 11 ayat 14-18, nampaklah
bahwa mereka belum termasuk murid atau orang yang sudah percaya
kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi mereka. Dikatakan
dalam ayat 13-14 bahwa Tuhan menyuruh Kornelius untuk menjemput
Petrus dengan tujuan agar Petrus dapat menyampaikan kepada mereka
suatu berita yang akan mendatangkan keselamatan bagi Kornelius dan
keluarganya serta seisi rumahnya. Kemudian dalam ayat 18, dinyatakan
bahwa Rasul-rasul dan murid-murid di Yerusalem memuliakan Allah,
karena kepada bangsa-bangsa lain juga (= keluarga Kornelius dan sahabatsahabatnya) Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada
hidup. Hal ini memberikan suatu pengertian bahwa mereka belum
memiliki keselamatan, sebelum Petrus memberitakan Injil kepada mereka.
Mereka baru memiliki keselamatan dan Kristus sebagai Tuhan mereka,
ketika Petrus memberitakan Injil kepada mereka. Pada saat itulah Allah
memberikan Roh Kudus atau membaptis mereka dengan Roh Kudus.
Sehingga hal itu merupakan suatu pengalaman yang pertama bukan kedua
atau the second blessing.
Kesalehan dan rasa takut akan Allah dari Kornelius serta seisi
rumahnya, merupakan ungkapan kesalehan dan rasa takut simpatisan
penganut agama Yahudi. Sebab itu, mereka masih membutuhkan Injil
keselamatan, yang disampaikan oleh Petrus.101
101
Bnd. F.F. Bruce, The New International Commentary on the New
Testament, The Book of The Acts (Grand Rapids: Eerdmans, 1979), 216.
Pengalaman Ke 12 Murid di Efesus Dalam Kisah Para Rasul 19:1-17
Ada beberapa pendapat mengenai istilah murid yang dinyatakan
dalam ayat-ayat tersebut. Ada yang menyatakan bahwa keduabelas murid
yang ditemui oleh Paulus di Efesus adalah murid-murid dari hasil
pelayanan Apollos, ketika ia belum dilayani oleh Priskila dan Akwila. 102
Tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa mereka bukan muridmurid Apollos. Kemungkinan besar mereka adalah murid-murid dari pada
pengikut Yohanes Pembaptis, yang tersebar keluar dari Palestina. Setelah
kematian Yohanes Pembaptis, mereka menyebarluaskan baptisan dan
pengajaran Yohanes Pembaptis,103 yang kemudian tiba di Efesus sesudah
Apollos berangkat ke Korintus dan sebelum Paulus tiba untuk kedua kali di
Efesus. Kemungkinan besar pandangan yang terakhir ini yang benar. Lepas
dari segala penafsiran ini, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana
kesaksian Alkitab mengenai keadaan rohani mereka. Apakah mereka
pengikut Kristus, sebelum bertemu dengan rasul Paulus atau tidak.
Dalam ayat 2-3, dinyatakan bahwa mereka menjadi murid melalui
baptisan Yohanes, tetapi belum menerima Roh Kudus bahkan belum pernah
mendengar akan adanya Roh Kudus. Pengertian belum menerima Roh
Kudus disini berbeda dengan pengertian belum menerima Roh Kudus
dalam pengalaman jemaat di Samaria. Jemaat Samaria telah percaya dan
dibaptis di dalam Kristus. Mereka juga sudah mendengar dan melihat
kenyataan akan adanya Roh Kudus, melalui pengajaran dan segala mujizat
serta tanda ajaib yang dilakukan oleh Filipus. Sebaliknya, keduabelas murid
di Efesus belum mengetahui akan adanya Roh Kudus. Itulah sebabnya
menurut Anthony A. Hoekema: “It is quite obvious that these disciples
were not full fledged Christian believers when Paul first met them, since
they had not even heard the Holy Spirit had been given to the Church.”104
Jadi, kedua belas murid di Efesus belum dapat dikategorikan
sebagai murid Kristus. Mereka belum memiliki keselamatan dari Kristus.
102
William Neil, The New Century Bible Commentary, The Acts of the
Apostles (Grand Rapids: Eerdmans, 1981), 202.
103
R.C.H.Lenski, The Interpretation of the Acts of The Appostles
(Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1963), 782.
104
Anthony A. Hoekema, Holy Spirit Baptism (Grand Rapids: Eerdmans,
1966), 41.
Dalam ayat 4, Paulus menantang mereka untuk percaya kepada Yesus
Kristus.
Selanjutnya, dalam ayat 5-6 dikatakan bahwa setelah mereka
mendengar akan hal tersebut, mereka memberi diri mereka dibaptis dalam
Tuhan Yesus. Dan pada waktu Paulus menumpangkan tangannya di atas
mereka, Roh Kudus turun ke atas mereka dan mulailah mereka berkata-kata
dalam bahasa roh dan bernubuat.
Hal itu mengidikasikan bahwa mereka menerima Roh Kudus atau
dibaptis dengan Roh Kudus yaitu pada saat mereka percaya dan dibaptis
dalam nama Tuhan Yesus. Pengalaman tersebut merupakan pengalaman
pertama dan bukan pengalaman kedua atau the second blessing. Searah
dengan hal itu, Merrill F. Unger menegaskan: “They were disciples of the
Baptism, but not Christians. When they received the Holy Spirit, they
became Christians. This was not a second blessing, but the first blessing, as
the baptism and the reception of the Holy Spirit always is.”105
Setelah meneliti pengertian baptisan Roh Kudus atau dibaptis
dengan Roh Kudus dan kesaksian Kisah Para Rasul mengenai pengalaman
orang-orang percaya dalam menerima baptisan Roh Kudus, ternyata bahwa
hal itu adalah merupakan suatu pengalaman semua orang percaya tanpa
terkecuali. Pengalaman tersebut diterima atau terjadi pada waktu seseorang
percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya dan
dibaptis di dalam nama Tuhan Yesus.
Baptisan Roh Kudus sama artinya dengan menerima Roh Kudus
atau dimeteraikan dengan Roh Kudus pada waktu seseorang menerima
keselamatannya. Baptisan Roh Kudus berkenan dengan pengalaman
pertama kali seseorang percaya dan terjadi secara bersamaan dengan
kelahiran baru dan pertobatan dan sebab itu tidak mungkin terjadi kembali.
Dalam kesaksian Kisah Para Rasul, ada pengalaman dari beberapa
orang percaya yang menerima baptisan Roh Kudus setelah percaya kepada
Kristus dan melewati satu masa tertentu. Hal tersebut merupakan suatu
kejadian yang khusus, sehingga bukan merupakan suatu pola dan prinsip
dalam menerima baptisan Roh Kudus.
Berkaitan dengan relasi baptisan Roh Kudus dan karunia-karunia
Roh, menurut kesaksian Kisah Para Rasul, karunia-karunia Roh (mis.
karunia bernubuat dan berkata-kata dengan bahasa Roh) diterima pada
105
Merrill F. Unger, The Baptizing work of the Holy Spirit (Chocago:
Scripture Press Fondation, 1953), 73.
waktu seseorang menerima atau dibaptis dengan Roh Kudus. Selanjutnya,
menurut pengajaran Paulus, yaitu dalam Roma 12:6; 1Korintus 1:7,
12:7,11; Efesus 4:7 dikatakan bahwa Allah telah memberikan karuniakarunia Roh kepada semua orang percaya atau jemaat, sesuai dengan
kehendak-Nya. Itu berarti bahwa setiap orang percaya, tanpa terkecuali,
telah menerima karunia-karunia Roh, paling sedikit satu karunia Roh. Hal
tersebut diterima pada saat seseorang menerima Roh Kudus atau dibaptis
dengan Roh Kudus, yaitu pada saat ia percaya kepada Kristus dan dibaptis
di dalam nama Tuhan Yesus. Dengan kata lain, pada saat seseorang percaya
kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya dan dibaptis di
dalam nama Tuhan Yesus, saat itulah ia menerima keselamatan, menjadi
anggota tubuh Kristus, menerima Roh Kudus dan karunia-karunia Roh.
Apa yang diajarkan oleh beberapa tokoh, theolog dari NeoPentakosta tentang baptisan dengan Roh Kudus dan relasinya dengan
karunia-karunia Roh, jelas tidak sesuai dengan kesaksian Alkitab. Alkitab
tidak pernah mengajarkan bahwa hanya orang-orang percaya tertentu saja
yang menerima baptisan Roh Kudus dan karunia-karunia Roh. Jurstru
sebaliknya Alkitab mengajarkan bahwa semua orang percaya, tanpa
memandang kualitas kerohaniannya, telah menerima baptisan Roh Kudus
dan karunia-karunia Roh. Misalnya, jemaat Korintus, jemaat yang penuh
dengan bermacam-macam dosa dan kesalahan, dikatakan oleh Paulus telah
menerima baptisan Roh Kudus dan karunia-karunia Roh, sesuai dengan
kehendak Allah. Hal ini kurang diperhatikan oleh gerakan Kharismatik.
Memang di satu segi, walaupun pengajaran tersebut mengenal hal
tersebut di atas tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, namun
usaha mereka untuk melayani dan menyaksikan Kristus berdasarkan kuasa
Allah dan karunia-karunia Roh, perlu kita hargai. Sekaligus merupakan
suatu kritik yang positif terhadap Gereja-gereja di Indonesia (khususnya
Gereja-gereja yang bersifat tradisionil) yang kebanyakan kurang
memperhatikan dan mengajarkan akan manfaat karunia-karunia Roh yang
ada pada setiap anggota jemaat bagi pelayanan jemaat. Sehingga hal itu
berakibat kepada kehidupan berjemaat, dimana banyak anggota jemaat
menjadi statis, pasif dan acuh tak acuh terhadap pelayanan jemaat. Bahkan
tidak jarang keadaan ini mendorong sebagian anggota jemaat untuk terbuka
pada pengajaran yang baru yang ditawarkan oleh Neo-Pentakosta dan
kemudian menjadi pengikutnya. Hal ini harus disadari oleh Gereja-gereja di
Indonesia. Demikian juga, tidak ada artinya mengetahui bahwa setiap orang
percaya telah mengalami baptisan Roh Kudus dan memiliki karuniakarunia Roh, kalau jemaat itu sendiri tidak terlibat atau dilibatkan dalam
pelayanan jemaat dan mengalami kelimpahan karunia Roh Kudus.
Karunia-karunia Roh dan Kualitasnya
Berkaitan dengan pandangan gerakan Neo-Pentakosta Kharismatik,
yang sangat mengutamakan karunia-karunia Spektakular, secara khusus
bahasa roh; bahkan menganggap karunia-karunia Roh terbatas pada
kesembilan karunia Roh dalam 1Korintus 12:8-10, hal itu tidak dapat
dibenarkan. Hal itu bertentangan dengan pengajaran rasul Paulus sendiri.
Rasul Paulus ketika membicarakan karunia-karunia Roh Kudus, tidak
pernah membeda-bedakan dan menganggap bahwa satu atau beberapa
karunia Roh Kudus tertentu lebih bernilai dan lebih berkualitas daripada
karunia-karunia yang lain. Khusus mengenai kesembilan karunia Roh yang
dicantumkan dalam 1Korintus 12:8-10, Paulus tidak pernah menyatakan
bahwa hanya karunia-karunia tersebutlah yang dikategorikan sebagai
karunia Roh Kudus dan yang lain bukan karunia Roh Kudus. Hal itu
nampak dalam istilah yang dipergunakan oleh rasul Paulus untuk karuniakarunia Roh Kudus. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa
istilah yang dipergunakan oleh rasul Paulus untuk segala karunia Roh
Kudus adalah charismata. Istilah charismata yang digunakan dalam
1Korintus 12:4 untuk kesembilan karunia yang bersifat supra-natural dan
yang dalam 1Korintus 12:9,28,30, yang dipergunakan untuk salah satu
karunia spectacular (karunia penyembuhan); dipergunakan juga oleh Paulus
dalam Roma 12:6 untuk karunia bernubuat, karunia melayani, karunia
mengajar, karunia menasehati, karunia memimpin, karunia membagibagikan sesuatu dan karunia kemurahan. Hal itu menunjukkan bahwa bagi
Paulus karunia-karunia Roh, charismata, tidak hanya terbatas pada
kesembilan karunia Roh Kudus yang disebutkan dalam 1Korintus 12:8-10
atau hanya pada karunia spectacular, melainkan untuk semua karunia Roh
yang telah disebutkan oleh Paulus.
When one studies the use of the word charismata in the New
Testament, moreover, it becomes quite evident that one cannot limit
the meaning of this word to spectacular or miraculous gifts like
healing or tongue speaking. Charismata in the New Testament
designated whatever gifts the Holy Spirit wishes to use for the
upbuilding of the church.106
Bagi rasul Paulus seluruh karunia Roh Kudus, mempunyai nilai dan
kualitas yang sama. Diantara karunia-karunia Roh Kudus, tidak ada yang
lebih tinggi atau lebih rendah kualitasnya. Tidak ada karunia Roh Kudus
yang lebih istimewa atau lebih penting daripada karunia yang lain.
Karunia-karunia Roh Kudus yang bersifat supra-natural tidak lebih tinggi
atau lebih istimewa daripada karunia-karunia Roh Kudus yang bersifat
natural. Semuanya istimewa, bernilai dan berkualitas. Karena semua berasal
dari Allah yang satu dan diberikan untuk pelayanan dan pembangunan
jemaat. Dengan demikian, semua karunia Roh Kudus sama pentingnya.
Searah dengan hal itu, Abineno menegaskan: “Pendapat yang mengatakan,
bahwa kharisma-kharisma yang spektakular… lebih penting daripada
kharisma-kharisma yang lain. Pendapat ini–sama seperti pendapat-pendapat
di atas–tidak benar. Ia bertentangan dengan kesaksian Kitab Suci.”107
Untuk lebih memahami akan hal tersebut, perlu dilihat apa yang
dikemukakan Paulus dalam surat-suratnya. Dalam Roma 12:6-8, rasul
Paulus mencantumkan dan menggabungkan bersama-sama karunia Roh
Kudus yang bersifat supra-natural (karunia bernubuat) dengan karuniakarunia Roh Kudus yang lain yang bersifat natural (melayani, mengajar,
menasehati, membagi-bagikan sesuatu, memberi pimpinan dan kemurahan).
Hal yang sama dinyatakan dalam 1Korintus 12:28, karunia-karunia Roh
Kudus yang bersifat natural (karunia memimpin dan melayani) digabung
bersama-sama dengan karunia-karunia Roh Kudus yang bersifat supranatural atau yang bersifat spectacular (mujizat, menyembuhkan dan
berkata-kata dalam bahasa roh. Semuanya ini menunjukkan akan adanya
kesejajaran antara semua karunia Roh Kudus, antara yang bersifat
spektakular dan yang bersifat natural.
Dalam 1Korintus 12:12-26, rasul Paulus memang menjelaskan bahwa
sebagaimana tubuh manusia terdiri dari bermacam-macam anggota tubuh,
demikian juga jemaat, sebagai tubuh Kristus. Tiap-tiap anggota jemaat
berbeda satu sama yang lain, sesuai dengan karunianya. Dengan kata lain,
Paulus memang menyadari bahwa antara satu karunia Roh Kudus dengan
karunia Roh Kudus yang lain, ada perbedaannya. Karunia bernubuat
106
107
Hoekema, Holy Spirit..., 57.
Abineno, Karunia-Karunia Roh..., 13.
berbeda dengan karunia kemurahan. Karunia untuk berkata-kata dengan
bahasa roh berbeda dengan karunia mengajar. Karunia penyembuhan
berbeda dengan karunia untuk menasehati. Namun demikian, sekali lagi,
perbedaan tersebut bukan dalam soal kualitasnya, melainkan dalam soal
fungsinya. Fungsi kaki berbeda dengan fungsi mata. Fungsi mata berbeda
dengan fungsi telinga. Kaki untuk berjalan, mata untuk melihat dan telinga
untuk mendengar. Demikian juga dengan karunia-karunia. Perbedaan
tersebut, bagi rasul Paulus, bukan untuk dipertentangkan ataupun untuk
dibanggakan dan diperbandingkan antara satu karunia dengan karunia Roh
Kudus yang lain. Melainkan untuk saling memperlengkapi dan oleh karena
itu saling membutuhkan.
Dalam ayat 22-24, rasul Paulus menjelaskan bahwa anggotaanggota tubuh yang kelihatan paling lemah, justru paling dibutuhkan.
Anggota-anggota tubuh yang menurut pandangan manusia kurang
terhormat, justru diberi penghormatan secara khusus. Anggota-anggota
tubuh yang kelihatan tidak elok, justru diberikan perhatian secara khusus.
Dalam hal ini, rasul Paulus ingin menunjukkan bahwa tidak ada satu
karunia Roh Kudus yang dapat dianggap kurang dibutuhkan, kurang
terhormat dan kurang mulia. Dengan kata lain tidak ada karunia Roh Kudus
yang dapat dianggap paling dibutuhkan, paling terhormat dan paling mulia
daripada karunia-karunia Roh Kudus yang lain. Melainkan, semua karunia
Roh Kudus sangat dibutuhkan, semuanya terhormat dan semuanya mulia.
Karena semuanya adalah pemberian daripada Allah. Dan semua yang
datangnya daripada Allah pasti bermanfaat bagi kehidupan jemaat,
terhormat dan mulia. Selanjutnya mengenai karunia untuk berkata-kata
dengan bahasa roh. Rasul Paulus tidak pernah menyatakan bahwa karunia
tersebut paling penting dan mutlak harus dimiliki oleh setiap orang percaya.
Demikian juga, karunia tersebut bukan merupakan suatu bukti atau tanda
satu-satunya menerima baptisan dengan Roh Kudus. Hal ini nampak dalam
uraian di bawah ini.
Dalam 1Korintus 12:8-10, rasul Paulus menyatakan bahwa setiap
orang percaya menerima karunia Roh Kudus berbeda satu dengan yang
lain. Ada yang menerima karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, ada
yang menerima karunia untuk berkata-kata dengan pengetahuan, ada yang
menerima karunia bernubuat, ada yang menerima karunia iman, ada yang
menerima karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, dan seterusnya.
Dalam 1Korintus 12:28-30, Paulus kembali menyatakan bahwa ada
yang ditetapkan Allah untuk menjadi rasul, nabi dan pengajar. Ada pula
yang menerima karunia mengadakan mujizat, menyembuhkan, melayani,
memimpin, dan untuk berkata-kata dengan bahasa Roh. Dalam ayat 29-30,
Paulus menyatakan: Apakah mereka semua rasul, nabi, pengajar? Adakah
mereka semua mendapat karunia untuk mengadakan mujizat atau
menyembuhkan atau untuk berkata-kata dalam bahasa roh, atau untuk
menafsirkan bahasa roh? Jawabannya adalah tidak. Kemudian dalam
1Korintus 12:11, rasul Paulus menyatakan bahwa semua karunia-karunia
Roh diberikan kepada setiap orang percaya, sesuai dengan kehendak Allah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak semua orang percaya harus
senantiasa menerima karunia Roh Kudus yang sama. Demikian juga tidak
semua orang percaya harus menerima karunia mujizat, menyembuhkan dan
untuk berkata-kata dengan bahasa roh. Karena yang menentukan pemberian
karunia-karunia Roh Kudus adalah Allah sendiri dan bukan manusia.
Dalam 1Korintus 14:1-25, rasul Paulus menjelaskan bahwa karunia
untuk berkata-kata dengan bahasa roh, hanya bermanfaat bagi mereka yang
memilikinya. Namun kalau ada yang menafsirkannya maka karunia tersebut
dapat bermanfaat bagi jemaat. Kemudian dalam ayat 5, rasul Paulus
menjelaskan bahwa karunia bernubuat sangat bermanfaat bagi jemaat,
bilamana dibandingkan dengan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa
roh. Alasannya, menurut Paulus dalam ayat 3,24-25, orang yang bernubuat
langsung berkata-kata kepada manusia; ia membangun, menasehati dan
menghibur jemaat. Demikian juga, karunia bernubuat dapat membawa
orang yang tidak beriman untuk sujud menyembah Allah dan mengakui
akan kehadiran Allah dalam jemaat, ketika mendengar perkataan yang
disampaikan melalui karunia bernubuat. Paulus tidak pernah
mengistimewakan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa Roh.
Sebaliknya juga, Paulus tidak mempunyai tujuan untuk membandingbandingkan antara satu karunia dengan karunia yang lain. Juga bukan untuk
menyatakan karunia nubuat lebih istimewa dan penting daripada karunia
untuk berkata-kata dengan bahasa roh. Paulus ingin menyatakan bahwa
betapa pentingnya karunia-karunia Roh Kudus dipergunakan bagi
pembangunan jemaat. Karena itulah tujuan Allah memberikan karuniakarunia Roh Kudus kepada jemaat.
Melalui semua pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa ternyata karunia-karunia Roh Kudus tidak hanya terbatas pada
Sembilan karunia Roh, sebagaimana yang dikatakan oleh Neo-Pentakosta
atau Kharismatik. Ia mencakupi semua karunia Spektakular dan non
spektakular seperti yang telah Paulus sebutkan dalam Roma 12:6-8; Efesus
4:11, 1Korintus 7:7, 12:8-10, 28-30. Demikian juga, karunia untuk berkatakata dengan bahasa roh bukan merupakan suatu kemutlakan untuk dimiliki
sebagai bukti telah dibaptis dengan Roh Kudus. Allah memberikan karunia
Roh kudus sesuai kehendak-Nya.
Dari antara semua karunia Roh Kudus tersebut, tidak ada karunia
Roh Kudus tertentu yang lebih penting atau lebih tinggi kualitasnya
daripada karunia-karunia Roh Kudus yang lain. Semua karunia Roh Kudus
sama penting sama kualitasnya. Karena, semua karunia Roh Kudus berasal
dari pada Allah dan diberikan untuk pelayanan dan pembangunan jemaat,
sebagai tubuh Kristus.
PENUTUP: KESIMPULAN
Menurut Rasul Paulus, yang dimaksud dengan karunia Roh adalah
suatu kesanggupan khusus yang diberikan Allah kepada setiap orang
percaya sesuai kehendak-Nya guna dipakai bagi kepentingan jemaat
sebagai tubuh Kristus. Pemberian ini dimungkinkan karena karya
keselamatan Kristus di atas kayu salib. Dasar pemberian karunia Roh
adalah semata-mata karena kasih dan anugerah Allah, bukan hasil usaha
manusia atau sebagai suatu pahala atas jasa manusia.
Karunia Roh berbeda dengan talenta. Karunia Roh diberikan Allah
kepada orang percaya untuk kemuliaan Allah. Talenta adalah bakat atau
kesanggupan khusus pembawaan seseorang sejak lahir, digunakan untuk
kepentingan umum manusia. Setiap talenta/bakat dapat dipakai dan diubahNya sebagai karunia Roh pada saat orang tersebut percaya kepada-Nya.
Berdasarkan pengertian bahwa karunia-karunia Roh diberikan Allah
kepada jemaat untuk pelayanan dan pembangunan tubuh Kristus, maka
setiap anggota jemaat atau orang percaya mempunyai tanggung jawab di
dalam pelayanan jemaat. Tanggungjawab itu tidak dapat diwakilkan dan
dimonopoli orang lain, secara khusus oleh para pelayan jemaat. Para
pelayan jemaat bertanggung jawab untuk memperlengkapi dan
mempersiapkan setiap anggota jemaat bagi pelayanan dan pembangunan
jemaat, sebagai tubuh Kristus.
Jemaat dengan segala karunianya merupakan potensi yang amat
besar bagi perkembangan dan pertumbuhan tubuh Kristus. Melalaikan
potensi ini berarti kehilangan kesempatan bahkan dapat menghalangi
pertumbuhan jemaat. Sebaliknya, melibatkan setiap anggota jemaat, sesuai
dengan karunianya, dalam Pelayanan Kesaksian (Marturia), Pelayanan
Persekutuan (Koinonia), Pelayanan Sosial (Diakonia) akan berakibat pada
pertumbuhan jemaat secara kualitatif dan kuantitatif. Karena itulah tujuan
Allah memberikan karunia-karunia Roh kepada jemaat-Nya.
Karunia-karunia Roh yang diberikan Allah kepada setiap orang
percaya beranekaragam dan berbeda-beda. Perbedaan ini bukan untuk
dipertentangkan atau diistimewakan melainkan untuk saling melengkapi
satu dengan yang lain, agar seluruh orang percaya sampai kepada
kesempurnaan Kristus. Setiap karunia tidak lebih penting dan istimewa
daripada karunia-karunia yang lain. Semua sama penting dan sama
kualitasnya karena bersumber dari Allah yang sama.
Pandangan yang menganggap karunia-karunia Roh yang bersifat
spektakular lebih penting daripada karunia-karunia Roh yang lain, tidak
benar. Demikian juga, memutlakkan karunia berkata-kata dengan bahasa
roh bagi setiap orang percaya tidak sesuai dengan kebenaran Firman
Tuhan. Setiap orang percaya menerima karunia yang berbeda-beda, sesuai
dengan kehendak Allah.
Karunia-karunia Roh diberikan Allah kepada setiap orang percaya,
pada saat percaya kepada Kristus dan dibaptis di dalam nama-Nya.
Pengalaman orang percaya menerima karunia-karunia Roh berlangsung
secara simultan. Saat seseorang percaya kepada Kristus dan dibaptis dalam
nama-Nya, pada saat itu secara simultan ia menerima keselamatan, menjadi
anggota tubuh Kristus, menerima Roh Kudus dan karunia-karunia Roh. Dan
menurut Paulus, inilah yang dimaksud dengan dibaptis dengan Roh Kudus.
Oleh karena itu, pandangan yang menyatakan pengalaman tersebut
berbeda, tidak simultan dengan kelahiran baru melainkan merupakan
pengalaman kedua atau second blessing dan karena itu hanya merupakan
pengalaman beberapa orang percaya tertentu saja adalah tidak benar.
IBADAH PERJANJIAN BARU
SUATU URAIAN DESKRIPTIF TENTANG IBADAH
DAN KONTRIBUSINYA BAGI IBADAH MASA KINI
FERDINAN S. MANAFE
PENDAHULUAN
Ibadah adalah bagian penting dari hidup keagamaan seseorang.
Tidak pernah terjadi dalam dua dekade yang lalu, dimana ibadah menjadi
hangat dibicarakan dalam kekristenan seperti saat ini. Tidak pernah
sebelumnya ibadah menjadi sesuatu yang begitu rumit, sementara itu
banyak orang keluar dari satu Gereja kepada Gereja yang lain untuk
mencari dan mengalami ibadah yang benar, yang telah dimodifikasi untuk
menjawab persoalan manusia, demikian pendapat Fischer, seorang
penyanyi dan pengarang lagu serta penulis buku Fearless Faith.1
Selanjutnya dikatakan: statistik menunjukkan bahwa Gereja-gereja besar
bertumbuh bukan karena pertobatan tetapi bentuk ibadah yang lebih baik
dan populer bagaikan pipa penyedot yang menarik pengunjung ke dalam
Gereja yang tadinya kecil, kemudian menjadi besar. Bahkan pemberitaan
Firman Tuhan yang tadinya begitu penting, sekarang menjadi hanya
sebagai tambahan kepada pujian dan penyembahan. 2 Menurut Fischer:
1
John Fischer, What to Do about The Worship Wars, Moody Magazine,
July/August 2002, 18.
2
Ibid.
Many people go to church today more to experience God than they go to
hear about Him, and they feel that they experience God mostly in the
music.3 Hal ini menunjukkan adanya kehausan yang dalam dari umat Tuhan
untuk bertemu dengan Allah-nya dalam ibadah.
Pemahaman tentang pengertian ibadah dalam Perjanjian Baru (PB)
harus dimulai dengan memperhatikan kata-kata tertentu yang biasa
digunakan dalam ibadah PB. Menurut Reimer, kata ibadah (atau ibadat)
adalah istilah untuk menyebut suatu perbuatan yang menyatakan bakti
kepada Allah, yang didasari oleh ketaatan mengerjakan perintah-Nya.4 Kata
leiturgia berasal dari kata kerja leiturgeo, artinya melayani, melaksanakan
dinas atau tugas, memegang jabatan.5 Secara harafiah kata leiturgia berasal
dari dua kata Yunani, yaitu leitos yang berarti rakyat, umat; dan kata ergon
yang berarti pekerjaan, perbuatan, tugas. Jadi leiturgia berarti melakukan
suatu pekerjaan untuk rakyat.6 Menurut Abineno yang dikutip Reimer,
ibadah yang biasanya digunakan dalam PB bahasa Indonesia, adalah
terjemahan tiga istilah Yunani, sebagai berikut: leiturgi (Kis 13:2)…
beribadah kepada Allah; latreia (Rm 12:1)… mempersembahkan seluruh
tubuh: threskeia (Yak 1)… pelayanan kepada orang yang dalam
kesusahan.7 Dengan demikian, seluruh istilah ini adalah menunjuk kepada
aktifitas manusia. Dengan kata lain, pengertian ibadah PB menunjuk
kepada aktifitas ibadah manusia sebagai respons terhadap karya
keselamatan Kristus, yang adalah penggenapan ibadah Perjanjian Lama.
Tulisan ini bertujuan memaparkan apa itu ibadah dalam PB dan bagaimana
umat Tuhan beribadah serta kontribusinya bagi ibadah masa kini.
DASAR IBADAH
Dasar ibadah PB adalah pada perjanjian Allah yang digenapi di
dalam pengurbanan Kristus di kayu salib. Kristus adalah kurban yang
3
4
Ibid.
G. Riemer, Cermin Injil (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
1995), 9.
5
6
7
Riemer, Cermin..., 9.
Ibid., 10.
Ibid., 62
sempurna. Kristus adalah penggenapan ibadah PL. Searah dengan
pernyataan di atas, Lumintang menuliskan sebagai berikut:
Kristus menggenapi tabernakel dan Bait Allah dengan jalan Pribadi
Kedua Allah Tritunggal menjadi manusia dan tinggal di antara kita
(manusia). Kehadiran Allah menjadi nyata di dalam Pribadi Yesus.
Yesus adalah Allah yang tinggal di antara kita. Karena itu, ibadah
kepada Allah hanya terjadi di dalam dan melalui Tuhan Yesus. 8
Peterson juga menuliskan bahwa: the New Testament begins with
the assurance that all history has been moving towards Jesus Christ as its
goal and that he is the final and definitive manifestation of God’s presence
with his people,9 maka dasar ibadah Perjanjian Baru ada pada inkarnasi
Yesus Kristus, sebagai penggenapan nubuatan mesianik Perjanjian Lama.
Dasar ibadah PB dapat ditemukan melalui mencermati sikap Yesus
terhadap ibadah dan makna karya Kristus. Sikap Yesus terhadap ibadah,
pertama; Yesus mendukung ibadah PL. 10 Hubungan Yesus dengan Bait
Allah, synagoge, dan hari raya Yahudi membuktikan kesimpulan di atas.
Dalam Injil dicatat bahwa Yesus berada Bait Allah (Luk 2:21-25; Yoh
7:14-49; 10:22,23). Tetapi tidak dicatat bahwa Yesus mempersembahkan
kurban binatang atau menyetujui system kurban. Menurut Lukas, Yesus
secara regular mengunjungi synagoge pada hari Sabat (Luk 4:16). Yesus
juga menghadiri perayaan hari raya Israel (Yoh 7:2; 10:22). Detail dari
Yesus merayakan paskah sebelum perjamuan akhir membuktikan
pengetahuan dan penghargaan Yesus terhadap hari raya besar Israel (Mat
26:1-30; Mrk 14:1-26; Luk 22:1-23; Yoh 13:1-30).11
Kedua, Yesus memandang institusi ibadah dalam PL menunjuk
kepada diri-Nya.12 Contoh; pembersihan Bait Allah harus dilakukan
bersama dengan pandangan tentang berakhirnya tempat untuk pengurbanan.
Jadi makna sesungguhnya dari tindakan Yesus adalah untuk menyatakan
bahwa ritual tradisional kurban adalah tidak cukup atau tidak mungkin.
Dengan menghentikan system pengurbanan binatang, Yesus menunjuk diri8
9
1
1
Lumintang, Theologia Ibadah..., 36.
David Peterson, Engaging with God (England: Apollos, 1992), 81.
0
Peterson, Engaging with..., 34.
1
Robert E. Webber, Worship Old & New (Grand Rapids: Zondervan,
1982), 34.
1
2
Ibid.
Nya sebagai penggenapan kurban yang sempurna.13 Dengan kata lain,
Yesus adalah anak domba yang sempurna, dan adalah kurban yang
sempurna.
Ketiga, Yesus berhak menginterpretasi tradisi ibadah Yahudi. 14
Contoh; konfrontasi Yesus dan orang Farisi tentang hari Sabat. “Lalu kata
Yesus kepada mereka: Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan
manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari
Sabat” (Mrk 2:27,28). Tentang konfrontasi ini, Webber menyatakan: Jesus
willingness to break the rulers of Sabbath carried over into His attitude
toward the regulations that governed cleannes and uncleanness (Mrk 7:123), as well as the ruler regarding fasting dan prayer (Mat 6:5-8, 16-18).15
Inti dari pembicaraan Yesus dengan orang Farisi di atas adalah proclaiming
Himself–His lordship, His place in the kingdom, His place in the revelation
of God in history.16 Dalam hal ini, Yesus mempersiapkan jalan perubahan
yang signifikan dalam ibadah bagi umat yang baru sebagai pengenapan PL
di dalam diri-Nya.
Di dalam ibadah PL, berisi perayaan peristiwa di Sinai, sedangkan
ibadah PB adalah proklamasi kisah Keluaran yang kedua, masuknya
Kristus ke dalam dunia untuk menebus umat-Nya dari ikatan dosa.17
Kelahiran Kristus adalah wujud dari sejumlah penggenapan nubuatan
dalam Perjanjian Lama. Kematian dan kebangkitan Yesus menghasilkan
satu respons ibadah yang menekankan penghancuran kuasa dosa dan maut.
Tema ini adalah fokus khotbah mula-mula dan pada perjamuan Tuhan.
Pencurahan Roh Kudus bermanifestasi di dalam hidup manusia baru oleh
karya Roh di dalam nama Yesus dan untuk menyembah-Nya.
Dengan demikian, isi ibadah PB adalah proklamasi dan respons
terhadap karya keselamatan yang dikerjakan Kristus melalui kematian dan
kebangkitan, serta oleh karya Roh Kudus di dalam hidup orang percaya.
ELEMEN-ELEMEN IBADAH
1
3
1
4
1
1
1
Ibid., 34.
Ibid., 35.
5
Webber, Ibid., 34.
6
Ibid., 34.
7
Ibid.
Mengerti elemen-elemen ibadah dalam Perjanjian Baru tidak dapat
dipisahkan dari peristiwa Pentakosta dalam Kisah Para Rasul 2, dimana
Gereja lahir dan dibangun, pertama-tama melalui khotbah Petrus yang
mengakibatkan kurang lebih 3000 orang menerima firman dan memberi diri
dibaptis (Kis 2:14-47).
Pentakosta adalah moment bersejarah berdirinya Gereja. Setelah
kematian, kebangkitan, dan kenaikkan Kristus ke Sorga, maka tahapan baru
sejarah kekristenan dimulai. Gereja dibangun dan didirikan oleh Roh Kudus
melalui khotbah Petrus, dimana tiga ribu orang bertobat dan menyerahkan
diri dibaptis (Kis 2:1-40).
Orang-orang yang telah menerima firman yang dikhotbahkan Petrus
memberi diri dibaptis (Kis 2:41). Mereka bertekun dalam pengajaran para
Rasul dan dalam persekutuan. Mereka selalu berkumpul untuk
memecahkan roti dan berdoa (Kis 2:42). Inilah situasi ibadah Gereja
pertama. Webber mengomentari teks ini dengan menyatakan: some scholar
have argued for a twofold sequence of Word and sacrament.18 Hal ini
menyatakan bahwa ibadah pada Gereja mula-mula berakar pada pengajaran
firman Tuhan dan sakramen.
Yesus Kristus adalah kegenapan ibadah PL. Maka setelah pelayanan
Yesus di dunia ini, pelayanan-Nya dilanjutkan oleh para murid, dan
kemudian oleh Gereja sebagai tubuh Kristus. Itulah sebabnya isi ibadah
pada Gereja mula-mula adalah merupakan respons orang percaya terhadap
karya Kristus, yang datang ke dalam dunia untuk membebaskan dan
menyelamatkan manusia dari ikatan kuasa dosa. Berdasarkan penelitian
tentang ibadah di dalam seluruh PB, Segler menuliskan sepuluh elemen
ibadah sebagai berikut:
(1)Musik memiliki tempat sentral di dalam ekspresi pujian Kristen.
Mereka menyanyikan mazmur dan puji-pujian serta lagu-lagu rohani
dari hati mereka kepada Tuhan (Ef 5:18-20; Kol 3:16; 1Kor 14:15);
(2) Pembacaan Kitab Suci adalah element penting dalam ibadah
Kristen mula-mula. Yesus berdiri di Synagoge, membaca kitab suci
(Kol 4:16; 1Tes 5:27; 1Tim 4:13) dan surat-surat Paulus ditulis
untuk dibacakan dalam Gereja-gereja. Tidak diragukan lagi bahwa
pembacaan kitab suci menjadi bagian dari perintah umum dalam
ibadah; (3) Doa yang telah terbukti kuasanya pada ibadah Kristen
1
8
Webber, Worship Old &..., 50.
mula-mula. Kisah Para Rasul 2:42,19 menceriterakan bagaimana
keadaan jemaat mula-mula. Doa ucapan syukur, permintaan, syafaat;
(4) Jemaat berkata “Amin.” Amin adalah kata yang biasa digunakan
jemaat dalam ibadah untuk mengekspresikan persetujuan kepada apa
yang dikatakan oleh pemimpin (1Kor 14:16); 5) Khotbah atau
Eksposisi kitab Suci adalah bagian dari ibadah Kristen mula-mula.
(6) Nasehat adalah esensi ibadah. Penulis kitab Ibrani merasa
nasehat penting bagi orang Kristen untuk ”saling mendorong dalam
kasih dan dalam pekerjaan baik” (Ibr 10:24); (7) Orang Kristen
memberi persembahan dalam ibadah umum (1Kor 16:2; 2Kor 9:6-7,
10-13; 2Kor 8:2-8); (8) Ibadah Perjanjian Baru dipenuhi dengan
doxology atau puji-pujian (Ef 1:3); (9) Pengakuan yang terbuka
telah menjadi hal praktis dalam ibadah Kristen mula-mula. Ada
pengakuan dosa di depan umum dan di hadapan saksi-saksi (1Tim
6:12; Rm 10:9; Yak 5:16); (10) Ibadah Kristen juga meliputi
sakramen baptisan dan perjamuan kudus. Yesus memerintahkan
umat-Nya untuk membaptis dan mengadakan perjamuan kudus. 20
Basden dalam The Worship Maze, tentang elemen ibadah dalam
Perjanjian Baru menuliskan bahwa: The first disciples worshiped by means
of prayer (Acts 2:42), singing (Col 3:16), Scripture reading, preaching and
teaching (1Tim 4:13), making offerings (1Cor 16:2), and celebrating the
Lord’s Supper (1Cor 11:17-34).21 Dengan demikian, elemen penting dalam
ibadah PB seperti dipaparkan Basden adalah lima elemen; Doa, Nyanyian,
Khotbah, Persembahan dan Perjamuan Kudus.
TUJUAN IBADAH
Tujuan ibadah PB adalah memuliakan Allah Bapa yang menyatakan
diri di dalam dan melalui Tuhan Yesus Kristus anak domba Allah, yang
adalah kurban yang sempurna, tetapi juga yang adalah imam agung dari
1
9
Kisah Para Rasul 2:42; Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul
dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.
Ayat ini menyatakan situasi ibadah jemaat mula-mula, khususnya dalam hal doa mereka.
2
0
Franklin M. Segler, Christian Worship (Nashville, Tennessee:
Broadman & Holman Pub., 1996), 25-27.
2
1
Paul Basden, The Worship Maze (Downers Grove, Illinois: InterVarsity
Press, 1999), 23.
perjanjian yang baru. Yesus Kristus adalah sentral dalam ibadah PB. Tidak
ada hal lain yang memotivasi orang Kristen mula-mula ketika mereka
berkumpul dan beribadah, hanya nama Yesus.22 Hal ini nampak dalam
pengucapan nama Yesus dalam doa, nyanyian yang meninggikan dan
memuliakan karya Kristus, dan dalam khotbah serta pengajaran.
IBADAH DALAM KITAB WAHYU
Prinsip-prinsip teologis yang mendasar tentang ibadah telah
dinyatakan di dalam kitab Wahyu sebagai kitab terakhir dari Alkitab. Untuk
itu perlu dicermati bagaimana ibadah di dalam kitab Wahyu.
Wahyu kepada Yohanes adalah kitab penting tentang ibadah dalam
Perjanjian Baru. Disusun dalam bentuk drama yang agung tentang
kemenangan Kristus, hal ini dimulai dengan surat-surat yang dialamatkan
kepada tujuh jemaat di tujuh kota di Asia Kecil dan diakhiri dengan
penglihatan tentang Yerusalem baru dimana Allah tinggal di tengah umatNya (21:3), dalam menggenapi formulasi ringkas para nabi Israel tentang
perjanjian, “Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi
umat-Ku” (Yer 31:33).23 Tentang ibadah dalam kitab Wahyu, Peterson
menuliskan bahwa,
A major theme of this book is the distinction between true worship
and idolatry. John devides humanity into two categories, the
worshippers of the dragon and the beast and the worshippers of God
and the Lamb. The contrast between the two groups of worshippers
reaches its climax in two visions at the end of the book. 24
Untuk memahami penjelasan lebih lanjut, penulis akan memaparkan
dasar teologi ibadah.
2
2
2
3
Ibid.
Robert E. Webber (Ed.), The Biblical Foundations of Christian Worship
(Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1993), 21.
2
4
Peterson, Engaging with..., 264.
Allah
Allah adalah sumber segala wahyu, wahyu Kristus juga adalah apa
yang dikaruniakan Allah (1:1). Sedangkan Firman (logos) adalah milik
Allah, maka disebut Firman Allah (1:2,9). Firman Allah sudah ada sejak
semula, maka Firman itu adalah Allah (bnd. Yoh 1:1,2).
Allah adalah yang dahulu ada, sekarang ada, dan yang akan datang
(1:4). Di dalam kurun waktu, Ia adalah yang pernah ada, sekarang ada;
dalam konteks lintas waktu, Ia adalah yang akan ada selama-lamanya. Oleh
karena sifat, kehendak, kuasa, hikmat, kekuatan, otoritas-Nya selamalamanya sama, maka Allah itu kekal adanya.
Allah adalah pencipta segala sesuatu (3:14; 4:11). Segala sesuatu
diciptakan berdasarkan kehendak Allah (4:11). Allah menciptakan langit
dan segala yang ada di langit; bumi dan segala yang ada di dalamnya, laut
dan segala yang ada di dalamnya (10:6). Dia yang menciptakan langit dan
bumi, laut dan segala sumber air itu patut menyembah-Nya (14:7).
Allah duduk di takhta (1:4; 4:3-11; 5:1-14; 7:9-17; 8:3; 12:5; 14:3;
16:17; 19:4, 11, 12; 21:3,5; 22:1,3). Hal ini menyatakan pengontrolan,
kuasa serta wibawa-Nya. Di sekeliling takhta ada 4 makluk hidup, 24 tuatua, serta orang percaya yang tak terbilang banyaknya, juga disertai dengan
perhiasan yang indah. Semua ini bersifat rohani dan non material. TakhtaNya sudah ada sejak semula dan berada untuk selama-lamanya. Dalam
rencana Allah yang kekal, Ia ingin agar orang percaya umat tebusan-Nya
menjadi warga kerajaan-Nya dan imamat-Nya (1:6; 20:6). Untuk menjadi
warga kerajaan-Nya harus mengalami tebusan darah Kristus (1:5). Allah
adalah Mahakuasa (1:8; 11:17) menunjukkan kuasa dan kekuatan
kesempurnaan-Nya. Allah Mahatahu, tidak ada sesuatupun di luar
pengetahuan-Nya; “Aku tahu perbuatanmu” (3:1).
Allah adalah hakim. Ia melaksanakan penghakiman pada waktunya
(14:7). Ia adil (16:5,7); Ia mengadili seturut dengan perilaku manusia
(20:12,13). Menurut Wongso,
Jika ditinjau dari seluruh kitab Wahyu, maka pasal 2 dan 3 adalah
penghakiman atas para pemimpin jemaat; enam malapetaka dalam
pasal 6, enam sangkakala dalam pasal 8,9,11; tujuh malapetaka
dalam pasal 15,16 ditujukan kepada orang non-percaya di sepanjang
abad, serta penghakiman atas para penganiaya jemaat; Wahyu 17:18
adalah penghakiman atas Babel, pezinah, penyembah berhala serta
usaha dagang ilegal dan ekonomi memegang peranan paling penting;
penghakiman atas Setan (20:1-3,7,10); penghakiman ata segenap
umat manusia di dunia (20:11-15).25
Itulah sebabnya otoritas Allah nampak dengan jelas dalam
ungkapan, “Segera aku dikuasai oleh Roh dan lihatlah, sebuah takhta terdiri
di sorga, dan di takhta itu duduk Seorang Dan keempat makhluk itu
masing-masing bersayap enam, sekelilingnya dan di sebelah dalamnya
penuh dengan mata, dan dengan tidak berhenti-hentinya mereka berseru
siang dan malam: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa,
yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang” (4:2,8). Menurut
Scheunemann, istilah takhta menyatakan: Allah memerintah. 26 Mounce
menulis bahwa: The first thing that John sees in heaven is a throne. This
symbol occurs more than forty times in Revelation. It symbolizes the
absolute sovereignty of God.27 Istilah Takhta Allah sering digunakan dalam
literatur Yahudi, seperti; “Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat
Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubahNya memenuhi Bait Suci” (Yes 6:1) dan di dalam Mazmur 47:8; “Allah
memerintah sebagai raja atas bangsa-bangsa, Allah bersemayam di atas
takhta-Nya yang kudus.” Dengan demikian Allah dalam konteks kitab
Wahyu adalah pusat ibadah. Dengan kata lain, dasar Ibadah dalam kitab
Wahyu adalah pada Allah yang duduk di takhta. Dia yang duduk di takhta
adalah Dia yang mencipta dunia dan segala isinya. Dia yang menyatakan
diri-Nya kepada manusia, baik melalui Firman yang menjadi manusia,
maupun Firman yang tertulis. Dia yang menebus manusia dari ikatan kuasa
dosa. Hanya kepada Dia, segala puji, hormat dan kuasa serta kemuliaan,
dari sekarang sampai selama-lamanya.
Yesus Kristus
Selain Allah yang duduk di atas takhta, dalam kitab Wahyu Anak
Domba yang menunjuk kepada Kristus juga adalah pusat ibadah. Mengapa?
2
5
Peter Wongso, Eksposisi Doktrin Alkitab Kitab Wahyu (Malang:
Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1996), 117.
2
6
D. Scheunemann, Berita Kitab Wahyu (Batu: Yayasan Persekutuan
Pekabaran Injil Indonesia, 1994), 70.
2
7
Robert H. Mounce, The New International Commentary On The New
Testament; The Book of Revelation (Grand Rapids, Michigan: Eerdmands, 1977), 134.
Mounce menjelaskan bahwa: The Lamb of Revelation is the 'Lord of lords,
and the King of kings' who wages a victorious warfare against the beast
and his confederates (17:12-14) and before whose wrath the men of earth
call upon the rocks and mountains to fall on them (6:15-17).28
Anak Domba disembah karena Dia adalah Tuhan atas segala tuhan
dan Raja atas segala raja. Searah dengan pernyataan di atas, Scheunemann
menuliskan bahwa,
Di tengah-tengah penglihatan Yohanes tentang takhta Allah
muncullah sebagai puncak penglihatan Anak Domba Allah antara
takhta Allah dan empat zat hidup dan duapuluh empat tua-tua (5:6).
Namun sekarang Anak Domba Allah mempunyai wujud yang baru.
Kata yang dipakai Yohanes, ialah ”anak domba kecil yang ditandai
luka kematian” (Yun. arnion).29
Dengan demikian yang dimaksudkan dengan Anak Domba Allah
adalah Yesus Kristus. Istilah Anak Domba Allah dipakai untuk menunjuk
kepada penggenapan perjanjian30 yang Allah telah berikan kepada Adam
dan Hawa setelah mereka jatuh ke dalam dosa. Dan kemudian diberikan
kepada Abraham31 serta keturunannya. Jadi dasar teologi ibadah dalam
kitab Wahyu adalah penggenapan perjanjian Allah kepada manusia di
dalam diri Tuhan Yesus Kristus.
Roh Kudus
2
8
2
9
Mounce, The New International Commentary..., 145.
Scheunemann, Berita Kitab..., 73.
3
0
Kejadian 3:15: Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan
perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan
kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya."
3
1
Kejadian 12:1-3: Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: "Pergilah dari
negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan
Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan
memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat.
Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang
yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat."
Karya Roh Kudus dalam konteks kitab Wahyu lebih banyak
menyatakan penggenapan dari janji Tuhan Yesus tentang penolong yang
lain,32 yang akan datang dan yang menginsyafkan manusia.
Tujuh Roh dalam kitab Wahyu dipakai sebanyak empat kali (1:4;
3:1; 4:5; 5:6).33 Roh Kudus disebut tujuh Roh, untuk menyatakan
kesetaraan Roh Kudus dengan Kristus dan Allah Bapa. Dalam kitab
Wahyu, empat kali mencatat Yohanes digerakkan Roh Kudus (1:10; 4:2;
17:3; 22:6). Dan empat kali gerakkan Roh Kudus membuat Yohanes
mendengar, melihat fakta rohani.34 Hal ini berarti tanpa Roh Kudus
Yohanes tidak dapat melihat dan mengalami penglihatan yang dahsyat itu.
Dengan kata lain Roh Kudus adalah dinamisator ibadah dalam kitab
Wahyu.
Penulis menyimpulkan bahwa dasar teologi ibadah dalam kitab
Wahyu adalah ibadah Trinitarian. Allah Bapa dengan takhta-Nya adalah
center ibadah kitab Wahyu. Yesus Kristus adalah kegenapan ibadah
Perjanjian Lama. Roh Kudus adalah dinamisator ibadah dalam kitab
Wahyu. Lumintang menuliskan bahwa “Ibadah Kristen adalah ibadah
kepada Allah Bapa di dalam dan melalui Tuhan Yesus oleh Roh Kudus.” 35
KARAKTERISTIK IBADAH KITAB WAHYU
Adapun karakteristik ibadah dalam kitab Wahyu, antara lain:
trinitarian, theocentric, redeemptif, theistik, covenental, dan transformatif.
Trinitarian
Kitab Wahyu dimulai dengan salam dari Tiga Pribadi dalam Trinitas
(1:5b,6); “... Bagi Dia, yang mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita
dari dosa kita oleh darah-Nya, dan yang telah membuat kita menjadi suatu
3
2
Yohanes 14:16 Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan
kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya,
3
3
Wongso, Eksposisi Doktrin Alkitab..., 131.
3
4
Ibid., 131.
3
5
Lumintang, Theologia Ibadah..., 29.
kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya, bagi Dialah
kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya. Amin.
Doxology (1:4-8) ini berkembang secara signifikan sebagai formula
dasar yang dapat ditemukan dalam surat-surat kiriman. Karya penebusan
Kristus adalah penting dalam doxology. Perhatikanlah bahwa sekalipun
Tiga Pribadi dari Trinitas disebut, dalam doxology ini diarahkan langsung
secara jelas kepada Kristus. Dalam posisi-Nya sebagai raja, dan oleh
kebajikan dalam karya penebusan yang sempurna, Kristus membuat umatNya menjadi imamat yang rajani (bnd. 1Ptr 2:9). Umat Tuhan yang
berkumpul di Gereja dan di Sorga (7:9-15) adalah penggenapan dari
perjanjian yang dibuat untuk Israel di Sinai; “Kamu akan menjadi bagi-Ku
kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus
kaukatakan kepada orang Israel” (Kel 19:6; bnd. 1Ptr 2:9). Konteks
menyatakan bahwa doxology ini lebih merefleksikan PL dan secara
sederhana mengindikasikan penggenapan perjanjian Sinai. Kemudian
diikuti dengan doxology pengumuman bahwa Kristus datang di awanawan. Hal ini menyatakan satu kiasan yang kuat kepada seorang seperti
anak manusia dalam Daniel 7:13.
Dalam pasal 4:1-5:14, doxology diarahkan kepada seorang yang
duduk di atas takhta dan anak domba (4:9,11; 5:12,13). Ini adalah salah
satu dari sekian banyak liturgi yang kaya dari seluruh kitab. Memuat tidak
lebih dari lima lagu pujian yang dikumandangkan keluar dari lingkaran
takhta itu. Dengan kata lain, kalau dicermati, pasal 4-5 memberi alasan
mengapa Allah (Bapa) dan Kristus (Anak) layak disembah: Allah
menciptakan segala sesuatu (4:11) dan Kristus melalui kematian-Nya
menebus manusia bagi Allah (5:9). Atau dapat dikatakan bahwa umat
Tuhan menyembah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan
anak domba yang telah menebus mereka di pihak yang lain, maka
penyembahan menjadi powerful. Ungkapan “Pada hari Tuhan aku dikuasai
oleh Roh” (1:10) menunjuk kepada karya Roh Kudus. Itu sebabnya penulis
menyimpulkan bahwa dalam konteks kitab Wahyu, Ibadah bersifat
Trinitarian. Yang penulis maksudkan adalah dalam ibadah, jemaat
menyembah Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Dengan kata
lain, dalam ibadah, jemaat masuk dalam relasi dengan Allah (Bapa)
melalui Allah (Anak) dan oleh Allah (Roh Kudus).
Theocentric
Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian theologia kitab Wahyu,
Allah yang duduk di takhta menjadi pusat ibadah, maka sifat ibadah dalam
konteks Wahyu bersifat Theocentric. Wahyu 4:1-11 adalah penglihatan
Yohanes yang kedua. Penglihatan yang kedua ini terfokus pada Takhta (ay
2-3). Muncul 3 kali dalam ayat 2 dan 3, dan muncul 13 kali dalam seluruh
pasal ini. Takhta merupakan simbol; “Otoritas Tertinggi, Kekuasaan yang
Maha Agung, Kedaulatan yang mutlak.” Jadi, kedaulatan Allah merupakan
sentral dalam penglihatan Yohanes. Sentralitas dari penglihatan ini,
bukanlah mengenai Sorga, melainkan mengenai pusat dari Sorga ialah
Takhta, mengenai Kedaulatan Allah. Tahkta atau Kedaulatan Allah, hanya
mungkin dimengerti oleh orang percaya yang dikuasai oleh Roh Kudus.
Karena hanya kepada orang yang diundang oleh Tuhan Yesus sendirilah,
yang dikuasai oleh Roh Kudus untuk mengerti mengenai Allah yang
berdaulat.36 Jadi, pusat ibadah kitab Wahyu adalah Allah, yaitu Allah yang
sedang bekerja dan memerintah dunia ini, mengontrol semua kejadian
dalam dunia, sehingga tidak satu peristiwa yang luput dari kedaulatan-Nya.
Sentralitas Takhta yang dilihat Yohanes, terletak pada Dia Yang
Duduk Di Atas Takhta, yaitu Dia yang berdaulat. Siapakah Dia yang duduk
di atas Takhta itu? Yohanes tidak bisa mengidentifikasikan dengan jelas.
Karena itu, Yohanes hanya mampu melukiskan “Dia yang duduk di Takhta
itu” dengan menggunakan istilah bagaikan. Bahasa manusia tidak mampu
menampung bahasa Sorga. Penglihatan manusia tidak mampu
membahasakan apa yang dilihatnya tentang Allah.37
Redeemptif
Sifat ini menunjuk pada karya penebusan Kristus. Istilah Anak
Domba dalam kitab Wahyu menunjuk kepada Yesus. Hal ini dapat
ditemukan dalam kitab Wahyu bahwa Ia hampir selalu diperkenalkan
dengan nama pribadi Yesus (1:9; 12:17) daripada Kristus (11:15).38 Nama
Yesus menunjuk kepada karya keselamatan yang dikerjakan-Nya. Dalam
3
6
3
7
Lumintang, Theologia Ibadah..., 30.
Ibid.
3
8
George Barker Stevens, The Theology of the New Testament, (New
York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 536.
pasal 5, penyembahan ke-24 tua-tua diarahkan kepada Anak Domba karena
karya penebusan-Nya.39
Kristus menerima penyataan Allah, yang kemudian Ia lanjutkan
kepada Yohanes (1:1); Ia adalah Anak Domba yang disembelih dan dengan
darah-Nya ia telah menebus orang kudus bagi Allah (5:6,9); dan sebagai
Anak Domba, Ia akan menyambut mempelainya, itulah Gereja, ke dalam
pesta perkawinan (19:7-9; 21:9). Yohanes mengajarkan bahwa Kristus
adalah agen Allah dalam penciptaan, penebusan dan penyempurna. 40
Dengan demikian, karakteristik ibadah dalam kitab Wahyu ialah
Redemptif, sebagaimana ditunjukan dalam penyembahan kepada Anak
Domba Allah dan Dia yang duduk di Takhta. Sifat redemptif ini
berimplikasi kepada penyembah, yaitu seorang yang datang menyembah
adalah seorang yang sudah mengalami karya penebusan Kristus.
Theistik
Teologi ibadah Kristen, tentu bukanlah teologi yang deistik, yaitu
teologi yang menekankan pada penyembahan kepada Allah yang bersifat
transenden, yang jauh di “sana” (Allah yang ada di Sorga), juga bukanlah
teologi penyembahan yang pantheistik, yaitu teologi yang semata-mata
menekankan pada ibadah yang imanen (Allah itu ada di mana-mana, di
mana-mana ada Allah), melainkan teologi yang theistik, yaitu teologi yang
mengemukakan mengenai penyembahan kepada Allah yang transenden
sekaligus imanen.41
Pelukisan tentang Allah dalam penglihatan Yohanes menunjukkan
betapa mulia dan tak terjangkaunya manusia berdosa untuk menghampiri
Takhta yang suci itu. Kemuliaan Allah yang tak terhampiri itu menunjuk
kepada sifat transcendent. Yohanes begitu takut, bahkan seperti orang mati
(1:17), hal ini menunjukkan bahwa Yohanes sedang berhadapan dengan
Allah yang transcendent. Tetapi ayat 17 juga menyatakan bahwa “tetapi Ia
meletakkan tangan kanan-Nya di atasku.” Hal ini menunjukkan bahwa
Yohanes sedang berhadapan dengan Allah yang imanent. Maka memahami
3
9
4
0
Mounce, The Book Of Revelation..., 147.
Simon J. Kistemaker, Revelation; New Teatament Commentary (Grand
Rapids, Michigan: Baker Book House, 2001), 58.
4
1
Lumintang, Theologia Ibadah..., 31.
sifat ibadah yang theistik ini membuat penyembah dengan rasa hormat dan
gentar datang beribadah kepada Allah, tetapi di sisi lain ibadah Kristen
adalah ibadah dengan rasa nyaman, dan dekat dengan Allah yang imanen.
Covenental
Wahyu kepada Yohanes adalah satu dokumen perjanjian. Janice E.
Leonard dalam Covenant Worship in The New Testament menuliskan
bahwa: The proliferation of sevens is a clue to the book’s covenant content,
a reminder of the taking of a covenant oath, which in Hebrew is literally
“to seven oneself.42 Kitab Wahyu adalah juga merupakan sebuah lukisan
tentang ibadah perjanjian sebagai respons manusia baru kepada Allah yang
telah membebaskan mereka.
Yohanes juga memberikan satu pola Gereja mengikuti deskripsi 24
tua-tua yang tersungkur di hadapan Anak Domba. “Lalu aku mendengar
seperti suara himpunan besar orang banyak, seperti desau air bah dan
seperti deru guruh yang hebat, katanya: Haleluya! Karena Tuhan, Allah
kita, Yang Mahakuasa, telah menjadi raja. Marilah kita bersukacita dan
bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba
telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia” (19:6,7). Di dalam ibadah
Gereja, “Kota suci, Yerusalem baru,” perjanjian itu mendapat
penggenapannya: Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu
berkata: Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan
diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia
akan menjadi Allah mereka” (21:3).
Dengan demikian, sifat ibadah covenental menuntut penyembah
untuk mengalami rekonsiliasi yang adalah merupakan pintu masuk kepada
ibadah. Karena perjanjian Allah digenapi di dalam diri Tuhan Yesus, maka
penyembah terlebih dahulu harus mengalami rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini
terjadi di kayu salib. Itu berarti, dengan menerima Kristus sebagai Tuhan
dan Juruselamat, seseorang memperoleh pintu masuk ke dalam ibadah.
4
2
Janice E. Leonard, Covenant Worship In The New Testament, in The
Biblical Foundations of Christian Worship, edit by Robert E. Webber (Peabody,
Massachusetts: Hendrickson, 1993), 63.
Transformatif
Sifat ibadah yang transformatif ini dapat dicermati dalam kitab
Wahyu, khususnya pada saat berhadapan dengan Takhta Allah. “Ketika
aku melihat Dia, tersungkurlah aku di depan kaki-Nya sama seperti orang
yang mati; tetapi Ia meletakkan tangan kanan-Nya di atasku, lalu berkata:
'Jangan takut! Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir (1:17).” Maka
tersungkurlah ke-24 tua-tua itu di hadapan Dia yang duduk di atas takhta
itu, dan mereka menyembah Dia yang hidup sampai selama-lamanya. Dan
mereka melemparkan mahkotanya di hadapan takhta itu, sambil berkata:
“Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat
dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena
kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan” (4:10).
Transformasi terjadi ketika Yohanes berhadapan atau melihat Yesus
dalam kemuliaan-Nya. Menyadari ketidaklayakan di hadapan Dia yang
layak menerima segala hormat dan pujian, serta kemuliaan, 43 adalah
transformasi pikiran.
Transformasi berikut adalah sikap 24 tua-tua yang tersungkur di
hadapan Dia yang duduk di atas Takhta, serta tindakan melemparkan
mahkota, juga menyatakan ketidaklayakan, di hadapan Dia yang layak
menerima penyembahan umatnya. Kistemaker menuliskan tentang sikap 24
tua-tua demikian: they had recieved these crowns from God for being
overcomes, but they respectfully return them to God to assign to him all
glory and honor.44
Dengan demikian, orang yang beribadah harus menunjukkan
transformasi baik pikiran, maupun sikap hidup. Transformasi ini tentu
karena karya Roh Kudus yang mengaplikasikan karya penebusan Kristus
bagi kita.
KONTRIBUSI BAGI IBADAH MASA KINI
4
3
4
4
Kistemaker, Revelation: New Testament..., 99.
Ibid., 193.
Kontribusi kepada Gereja-gereja masa kini. Ibadah Kristen yang
memadai perlu memperhatikan beberapa prinsip ibadah di bawah ini.
1. Ibadah Kristen harus Biblikal. Bersumber dari firman Tuhan dan bukan
pengalaman atau perasaan atau emosi belaka.
2. Ibadah Kristen harus bersifat dialog. Dalam ibadah, Allah berbicara
dan mendengar. Dengan kuasa Roh Kudus, Allah menantang kita,
menghibur kita, dan membangunkan kita. Dan oleh Roh Kudus, kita
mendengar dan memberi respons dengan pujian, pengakuan, kesaksian
dan dedikasi.
3. Ibadah Kristen bersifat covenental. Dalam ibadah, kebaikan Allah dan
perjanjian yang baru dengan kita di dalam Kristus dibaharui,
diteguhkan dan dimateraikan. Hubungan kita dengan Allah bukan
didasarkan pada kontrak, tetapi pada perjanjian.
4. Ibadah Kristen harus Trinitarian. Dalam ibadah kita arahkan segala
hormat, pujian dan kemuliaan hanya kepada Allah Trinitas, Bapa,
Anak dan Roh Kudus. Allah adalah yang dengan anugerah-Nya
mengundang kita beribadah dan kemudian Ia mendengar bahkan
melihat respons kita.
5. Ibadah Kristen harus communal. Injil Yesus Kristus menarik kita
masuk dalam kehidupan bersama dengan orang lain.
PENUTUP: KESIMPULAN
Ibadah dalam Perjanjian Baru adalah penggenapan perjanjian Allah
kepada manusia, bahwa akhirnya semua orang akan berhadapan dengan
takhta Allah yang kudus, dan Anak Domba. Semua bangsa akan bertekuk
lutut di hadapan Anak Domba yang menghapus dosa isi dunia. Dengan kata
lain, Allah Tritunggal adalah arah dan alamat pujian dan penyembahan
orang percaya. Allah Bapa disembah di dalam nama Allah Anak yaitu
Yesus Kristus dan dikerjakan oleh Allah Roh Kudus sebagai dinamisator
ibadah. Ibadah kitab Wahyu adalah ibadah kepada Tuhan, Allah Bapa,
Pencipta alam semesta (Why 4:10-11). Yesus Kristus, Anak Allah, Penebus
dan Anak Domba Allah (Why 1:5,6; 5:11-14; 7:9-10). Roh Kudus, ialah
tujuh Roh yang ada di hadapan takhta-Nya (Why.1:4). Ibadah dalam kitab
Wahyu adalah Trinitarian. Bukan kepada; Iblis, “seluruh dunia menyembah
naga itu” (13:3); anti Kristus, “iblis memberi kekuasaan kepada binatang itu
dan mereka menyembah dia” (13:4); kepada nabi anti-Kristus, “ia
menyebabkan seluruh bumi menyembah binatang pertama” (13:11-12).
Allah Tritunggal adalah pusat ibadah Perjanjian Baru sebagaimana
dinyatakan dalam kitab Wahyu.
FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT DAN
PENUNJANG PERTUMBUHAN GEREJA
MORRIS P. TAKALIUANG
PENDAHULUAN
Prinsip yang fundamental bagi semua kehidupan adalah bahwa
organisme hidup itu tumbuh. Pertumbuhan itu alamiah, sebagai pernyataan
kehidupan yang spontan. Satu-satunya cara yang menghentikan
pertumbuhan adalah penyakit atau kematian. Demikian pula dengan Gereja
Kristus. Ron Jenson dan Jim Stevens menilai, bahwa Gereja berdenyut
seiring kehidupan Kristus, maka kita berharap Gereja bertumbuh, kecuali
pertumbuhannya dihambat oleh penyakit.1
Pembahasan tentang pertumbuhan Gereja dan analisis dinamikanya
di balik cara bagaimana Gereja bertumbuh telah menerima daya dorong
melalui pekerjaan Donald McGravan dan koleganya di Fuller Theological
1
Bnd. Ron Jenson dan Jim Stevens, Dinamika Pertumbuhan Gereja
(Malang, Jawa Timur: Gandum Mas, 1996), 7-8.
Seminary School of World Mission. Studi mereka telah mendorong minat
dalam pertumbuhan Gereja dan menstimulir penulis dalam presentasi
tulisan ini.
Bagian pertama penulis memaparkan pengertian Alkitab mengenai
pertumbuhan Gereja. Bagian kedua memaparkan tentang faktor-faktor
penghambat dan penunjang pertumbuhan Gereja. Sedangkan bagian ketiga
menjabarkan strategi pertumbuhan Gereja. Dan ditutup dengan kesimpulan
dan rekomendasi.
PENGERTIAN PERTUMBUHAN GEREJA
Suatu pengertian yang tepat dan baik tentang pertumbuhan Gereja
sangat diperlukan dalam usaha memahami esensi dan eksistensi dari
gerakan pertumbuhan Gereja. Esensi maksudnya adalah perlunya konsep
teologis tentang pertumbuhan Gereja, dan eksistensi maksudnya adalah
hadirnya gerakan pertumbuhan Gereja terkait dengan beberapa faktor yang
turut mendukung maupun menghambatnya.
Pakar pertumbuhan Gereja, Peter Wagner merumuskan
pertumbuhan Gereja sebagai: segala sesuatu yang mencakup soal membawa
orang-orang yang tak memiliki hubungan pribadi dengan Yesus Kristus ke
dalam persekutuan dengan Dia dan membawa menjadi anggota Gereja yang
bertanggung jawab.2 Bagi Wagner, penginjilan dan pemuridan merupakan
proses yang menghasilkan pertumbuhan kuantitatif dan kualitatif yang
berjalan secara simultan dan dalam keseimbangan yang baik. Sedangkan
menurut Dr. Peter Wongso, pertumbuhan Gereja adalah sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan pertumbuhan Gereja ialah perkembangan
dan perluasan Tubuh Kristus, baik dalam kualitas maupun kuantitas,
dalam bentuk yang tampak. Alkitab mencacat, “Gereja adalah Tubuh
Kristus” (Ef 1:23; 4:12-16; Kol 1:24). Tiap-tiap hari Tuhan
menambahkan jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan (Kis
2:47). Jelaslah ayat-ayat ini menerangkan bahwa orang yang
diselamatkan (kualitas yang tak tampak), tiap-tiap hari Tuhan
menambahkan jumlah mereka (kuantitas yang tampak). Ini adalah
makna pertumbuhan Gereja. Ide pertumbuhan Gereja bukan berasal
2
1981), 80.
Peter Wongso, Tugas Gereja dan Misi Masa Kini (Surabaya: YAKIN,
dari pikiran manusia, melainkan dari kehendak Allah sendiri.
Tatkala Allah menciptakan manusia, Ia memberkati mereka agar
mereka berkembang biak memenuhi bumi (Kej 1:27-28). Tuhan
Yesus juga memerintahkan murid-murid-Nya, pergilah ke ujung
bumi memberitakan Injil kepada segenap bangsa, yang percaya dan
dibaptis pasti diselamatkan (Mrk 16:15-16). Maka ide pertumbuhan
Gereja bukanlah berasal dari filsafat barat, melainkan kehendak
Allah semula. Pertumbuhan Gereja adalah suatu masalah yang
mendesak, karena Allah tidak menghendaki manusia binasa,
melainkan menghendaki semua diselamatkan, percaya bahwa Tuhan
Yesus adalah Juruselamat pribadi dan beroleh hidup yang kekal
(Yoh 3:16; 2Ptr 3:9).3
Selanjutnya Peter Wongso dalam bukunya Tugas Gereja dan Misi
Masa Kini menuliskan sebagai berikut:
Bila kita ingin Gereja bertumbuh dengan sesungguhnya, kebenaran
pertumbuhan Gereja harus dijadikan suatu konsep dan pandangan
yang amat kuat dalam hati setiap umat Kristen... Jika konsep dan
pandangan setiap orang Kristen terhadap hal ini makin kuat, maka
pertumbuhan Gereja pasti akan maju dengan pesat... jika Gereja mau
mempertahankan eksistensinya, harus terus berkembang dan
bertumbuh. Gereja yang tak bertumbuh adalah Gereja yang tak
mungkin mempertahankan eksistensinya.4
Sedangkan Pdt. Dr. I Wayan Mastra, berdasarkan Lukas 2:40 dan
Lukas 2:52 menulis sebagai berikut:
Jika Gereja adalah Tubuh Kristus, maka dalam berbicara mengenai
pertumbuhan Gereja kita tak boleh melalaikan empat unsur
pertumbuhan Gereja. Pertama, Gereja harus makin bertumbuh
dalam hikmat atau kebijaksanaannya secara intelektual dan
akademis. Jadi, Gereja harus makin dicerdaskan. Kedua, Gereja
harus bertumbuh besar dan makin kuat jasmaninya, fisiknya,
materialnya atau ekonominya. Ketiga, Gereja harus makin dikasihi
Allah. Jadi makin bertumbuh kehidupan rohaninya. Keempat, Gereja
3
Ibid., 80.
I Wayan Mastra, ”Kebudayaan dan Pertumbuhan Gereja” dalam
Wagiyono Sumarto (ed.), Dipanggil untuk Melayani (Batu-Malang: YPPII, 1998), 314.
4
makin dikasihi manusia artinya makin banyak orang percaya dan
melekatkan diri kepada-Nya.5
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Gereja yang bertumbuh adalah
Gereja yang diperkuat kecerdasannya, jasmaninya, kerohaniannya dan
kehidupan sosialnya, sehingga ia makin disukai oleh Allah dan manusia.
Dalam pertumbuhan Gereja yang utuh dan menyeluruh, maka ketiga aspek
kebutuhan manusia, yaitu: kebutuhan kepala, hati dan perut harus dipenuhi
agar tubuh itu dapat tumbuh seimbang dan selaras.
Pertumbuhan yang berimbang itu amat penting artinya, agar Gereja
dapat menjalankan tugas dan panggilannya dengan baik. Kalau seseorang
makin kuat jasmani, kebijaksanaan dan kerohaniannya, maka secara
otomatis akan dihargai dalam masyarakat. Memutuskan bahwa Allah tidak
menghendaki Gereja-Nya bertumbuh berarti kita telah memutuskan untuk
mati. Tidak ada pilihan lain, karena makhluk hidup seharusnya bertumbuh,
demikian pula Gereja harus bertumbuh karena Gereja itu hidup.
Karena itu, jika kita telah percaya kepada Imamat am orang
percaya, maka setiap anggota Gereja harus mampu dalam doa, daya dan
dana, melaksanakan tugas dan panggilannya. Kenyataan ini juga terdapat
dalam diri rasul Paulus. Dia mengembangkan teologinya dan sekaligus
penyerahan diri secara total kepada Allah dan pada saat yang bersamaan,
dia berusaha sendiri dengan cara membuat dan menjual tenda untuk
membiayai usaha-usaha pekabaran Injilnya. Gereja dapat berbuat demikian
jika memperhatikan ketiga aspek kebutuhan anggota Gereja, yaitu: kepala,
hati, dan perut dalam memikirkan pertumbuhan Gereja. Artinya, Gereja
harus bisa menjadi subjek dan bukan hanya objek. Gereja harus menjadi
berkat dalam arti mampu memberi, karena lebih baik memberi daripada
menerima (Kis 20:35).
FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PERTUMBUHAN GEREJA
Faktor penghambat pertumbuhan Gereja dapat dilihat dari lima
sudut, yakni: kesalahan pemahaman teologi, kesalahan pemahaman hakikat
arti misi, sosial kultural, trauma sejarah, dan agama tertentu.
5
28-29.
Peter Wagner, Strategi Pertumbuhan Gereja (Malang: Gandum Mas, t.t),
Faktor Kesalahan Pemahaman Teologi
Pada tahun 1960-an, banyak orang mempersoalkan apakah Gereja
seharusnya bertumbuh? Ada keragu-raguan yang datang dari beberapa
orang tentang apakah Gereja dapat bermanfaat bagi masyarakat secara
keseluruhan. Di dalam lingkungan tertentu untuk beberapa saat lamanya
orang biasa menyampaikan bahwa kita sekarang hidup dalam suatu zaman
sesudah Kristen (post christianity). Lembaga Gereja dianggap sudah
ketinggalan zaman. Beberapa pengaruh dari konsep ini, masih tertinggal
seperti suatu batuk kecil sesudah pilek yang berat.
Di kalangan tertentu, ada anggapan populer yang menyatakan
bahwa Tuhan Yesus Kristus tidak tertarik pada perkembangan Gereja.
Mereka beranggapan bahwa Yesus menganut filsafat kecil itu indah. Yesus
dianggap tidak mengutamakan kesuksesan, melainkan mengutamakan
kesetiaan. Misi penderitaan-Nya dinyatakan di atas kayu salib. Yesus
dipandang lain oleh masyarakat pada zaman-Nya. Yesus hanya memanggil
beberapa orang untuk mengikuti-Nya, Yesus lebih mengutamakan kualitas
bukan kuantitas.
Orang-orang yang memandang Yesus dan pelayanan-Nya seperti ini
seringkali menolak ajaran tentang perkembangan Gereja. Bagi
mereka, antusiasme dan optimisme yang terdapat pada gerakan
pertumbuhan Gereja tampak sebagai suatu sikap kebanggaan yang
berlebih-lebihan akan keberhasilan yang tak sepadan dengan Roh
Kristus. Bahkan ada yang menganggapnya serupa dengan sikap
mengagung-agungkan angka dan jumlah ini, dengan mudah dapat
menjadi sesuatu yang buruk dan berpusat pada diri sendiri. 6
Timbul pertanyaan, benarkah Yesus memandang pelayanan dan
misi-Nya seperti demikian? Setelah tiga tahun melayani murid-murid-Nya,
Yesus sedang mendekati saat-saat terakhir dalam pelayanan-Nya di dalam
dunia ini. Ia akan ditangkap, diadili, difitnah, diludahi, dihina, pakaian-Nya
dilucuti, diejek dan disalibkan di antara dua orang penyamun. Penduduk
kota Yerusalem yang dikasihi dan ditangisi-Nya justru memarahi Dia dan
6
Bnd. Peter Wagner, Penanaman Gereja untuk Tuaian yang Lebih Besar
(Malang: Gandum Mas, t.t), 36-40.
menghendaki penyaliban-Nya. Lebih dari itu, Ia ditinggalkan oleh muridmurid-Nya yang terdekat, orang yang disiapkan-Nya untuk melanjutkan
pelayanan-Nya dikemudian hari, jika Ia pergi.
Pada saat-saat demikian, kebanyakan orang akan merasa tidak
mempunyai harapan lagi, tetapi lain bagi Yesus, Dia tetap optimis. BagiNya peristiwa-peristiwa yang dilayani-Nya tak akan berakhir dalam
kekalahan, tetapi dalam kemenangan. Di tengah-tengah semuanya itu Dia
membuat pernyataan yang luar biasa, Injil Kerajaan ini akan diberitakan di
seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah
tiba kesudahannya (Mrk 24:14). Sedangkan pada saat itu pemberitaan Injil
masih terbatas pada sekelompok kecil orang-orang yang terdapat di pantai
Laut Tengah bagian Timur, yakni orang Yahudi di Galilea yang berbahasa
Aram. Tetapi Yesus mampu memandang ke depan dan melihat pemberitaan
Injil Kerajaan Allah akan terjadi kepada semua bangsa di bumi ini.
Faktor Kesalahan Pemahaman Hakikat Misi
Kurangnya pemahaman dan dangkalnya kesadaran orang-orang
Kristen bahwa setiap generasi baru harus diinjili di dalam zamannya
sendiri, dan juga adanya prinsip teologi bahwa Allah tidak mempunyai
cucu, salah dipahami oleh Gereja, sehingga terdapat pemahaman keliru
bahwa orangtua yang percaya secara sungguh-sungguh kepada Kristus
dapat menyebabkan anaknya masuk ke dalam keselamatan.
Di sini dapat dipahami bahwa para orangtua yang sungguh-sungguh
percaya Kristus dapat sangat mempengarui anak-anaknya mengenal
Kristus, tetapi hal itu tak otomatis anak-anak tersebut langsung menerima
keselamatan. Anak-anak itu perlu mengenal pribadi Juruselamat karena
usaha penginjilan. Juga karena kurangnya kesadaran bahwa walaupun telah
terdapat banyak pelayanan pengembalaan tetapi masih banyak dombadomba yang hilang dan tersesat. Dan bahwa kehendak Allah ialah dombadomba itu ditemukan kembali dan beroleh keselamatan (2Ptr 3:9). 7
Faktor Sosio-Kultural
7
Bnd. Stephen Neill, Colonialism and Christian Missions (London:
Lutterworth, 1966), 412.
Selama 50 tahun terakhir ini, agama-agama di seluruh dunia
mengalami kebangkitan. Dari pihak Gereja kenyataan ini merupakan
tantangan dan hambatan bagi pertumbuhan Gereja. Apabila Gereja tidak
bertumbuh, maka ketika agama lain bertumbuh, dengan sendirinya Gereja
yang tak memiliki konsep yang Alkitabiah tentang pertumbuhan Gereja
akan terdesak.
Pada tahun 1966, Pemerintah Indonesia mengakui ajaran Konghucu
sebagai suatu agama dan mereka juga membaurkan diri dalam kegiatan
masyarakat, menyusun buku-buku pelajaran dan mengajarkan ajaran etika
Konghucu di sekolah-sekolah negeri dan swasta. Dewasa ini jumlah mereka
telah mencapai jutaan orang di seluruh Indonesia.
Agama Budha di Asia juga ikut berkembang. Di Taiwan terdapat
puluhan ribu kuil. Rakyat di sana kian percaya kepada tahyul dan mengasuh
kuil Budha sehingga sudah menjadi semacam usaha baru. Banyak orang
yang melayani di kuil-kuil itu mengumpulkan uang dari para pengunjung
yang sembahyang di tempat tersebut dan dengan itu mengadakan
pemugaran kuil-kuil Hindu.
Akhir-akhir ini agama Budha juga menerbitkan buku-buku,
mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit, panti asuhan yatim piatu dan
lain sebagainya. Di samping itu, kerapkali mereka mengadakan ceramahceramah yang bersifat ilmiah. Candi Borobudur beberapa kali telah dipugar
dan di tempat tersebut diadakan upacara besar-besaran dan umat Budha dari
berbagai negara turut hadir.
Agama Islam juga mengalami kebangkitan yang luar biasa. Di
samping mereka mengembangkan pendidikan dasar sampai perguruan
tinggi dan rumah sakit yang sangat banyak, juga umat Islam masa kini telah
mempunyai paling kurang tiga partai politik besar yang berazaskan Islam
(Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan
Bangsa), tujuan akhirnya adalah penerapan syariat Islam dalam segala
aspek kehidupan masyarakat. Belum lagi berkembangnya organisasiorganisasi intelektual Islam yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan
politik dan kemasyarakatan.
Selain agama-agama besar yang telah disebutkan di atas,
kepercayaan lain seperti: animisme, astrologi, ilmu sihir, ilmu kebatinan,
kepercayaan kepada dukun-dukun dan jimat-jimat dari agama primitif,
dewasa ini telah menjadi mata kuliah dalam studi Antropologi di perguruan
tinggi. Ilmu-ilmu tersebut bukan saja diilmiahkan, tetapi juga telah sangat
menarik perhatian banyak sarjana yang jiwanya kosong. Di Amerika juga di
Indonesia, majalah-majalah dan surat kabar-kabar besar, membuka kolom
astrologia dan mempromosikannya secara besar-besaran. Penulis-penulis
kolom itu kebanyakan adalah orang-orang yang bergelar dokter atau para
profesor. Ini sangat menarik perhatian banyak orang yang tersesat.
Faktor Trauma Sejarah
Sejarah perkembangan dan perluasan agama Kristen atau Gereja
dalam sejarah dunia, pada satu sisi merupakan suatu prestasi dan prestise
tersendiri, bagi dunia misi dan zending.8 Tetapi pada sisi lain hal itu
berdampak buruk pada sebagian orang, karena menimbulkan trauma sejarah
yang berkepanjangan dan sulit dipulihkan. Sebagai contoh adalah sejarah
Perang Salib yang sampai saat ini telah membuat orang-orang dari agama
tertentu berpandangan bahwa agama Kristen adalah musuh yang harus
diperangi karena telah menumpahkan darah jutaan umat agama tertentu
pada zamannya. Kebencian itu sampai hari ini telah menjiwai juataan umat
penganut agama tertentu terhadap orang-orang Kristen dan Gereja.9 Tentu
juga ada faktor teologis lain yang menyebabkannya.
Serangan Belanda terhadap Indonesia dan penjajahan panjang
terhadap Nusantara ini telah melahirkan trauma baru, di mana orang-orang
non-Kristen menganggap agama Kristen identik dengan penjajah atau
agama orang barat atau kulit putih.10 Dan sekali pun alasan mereka dapat
8
Bnd. Th. Van den End, Harta Dalam Bejana (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1980), 114; Bnd. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor
Inlandsche Zaken (Jakarta: LP3ES, 1983)
9
Bnd. Anne Ruck, Sejarah Gereja Asia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1997), 378-379; Bnd. Th. Van den End, Sejarah Gereja Asia (Yogyakarta: Duta Wacana,
1931), 97; Ismatu Ropi, Fragile Relation – Muslim and Christians in Modern Indonesia
(Jakarta: Logos, 2000); Bnd. Olaf Schumann, ”Christian-Muslim Encounter in Indonesia,”
dalam Yvonne Yazbeck (eds.), Christian Muslim Encounters (Gainesville: University
Press of Florida, 1988), 285-287; Th. Müller-Krüger, Sejarah Geredja di Indonesia
(Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1966), 15-20; Lih. Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto (eds), Sejarah Nasional Indonesia. III (Jakarta: Balai Pustaka,
1990); Bnd. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari
Imperium sampai Imperium (Jakarta: Gramedia, 1987), 28-65.
1
0
Bnd. Mastra, Kebudayaan dan Pertumbuhan…, 317;
Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1987), 54-63; S.C. van
dimengerti tetapi harus diakui juga bahwa Gereja dan zending yang diutus
dari barat, turut andil dalam menciptakan citra negatif tersebut. Dengan
demikian mayoritas bangsa Indonesia menyimpan dendam sejarah terhadap
agama Kristen, Gereja dan misi masa kini.11
Belum lagi zaman Post Modern ini, perlakukan Amerika terhadap
terorisme yang begitu keras, lebih memicu dendam dan sakit hati terhadap
Kekristenan, karena Amerika Serikat dianggap Negara Kristen oleh
sebagian besar orang-orang non-Kristen di Indonesia. Ditambah, dukungan
yang sangat kuat dari Amerika Serikat terhadap musuh bersama agamaagama tertentu, yakni Israel, turut menambah intensitas kebencian itu.
Sikap permusuhan dan anti-Kristen memuncak di Indonesia dengan
pengrusakkan, pembakaran dan penutupan 800 Gereja lebih di Indonesia
masa kini. Hal ini mengakibatkan ketakutan, kegelisahan dan trauma
mental yang cukup berat bagi orang-orang Kristen di Indonesia. Kita
melihat bahwa banyak orang Kristen yang menjadi pudar imannya lalu
mundur dari iman. Inilah sebabnya beberapa orang Kristen beranggapan
bahwa kita perlu kompromi, perlu mengoreksi kepercayaan kita dan bahkan
tak perlu lagi menjalankan penginjilan dan misi terhadap orang-orang nonKristen tersebut. Dalam kondisi seperti ini, Gereja atau kekristenan, jelas
akan merosot dan terus merosot sampai akhirnya kehilangan garam dan
terangnya yakni Gereja dalam proses menuju kematian rohani.
Dalam pandangan Alkitab, Gereja yang menderita adalah Gereja
yang cepat bertumbuh dan memenangkan banyak jiwa bagi Kristus. Sebab
seorang Kristen yang telah lahir baru dan terus bertumbuh dalam
pengenalan akan Kristus pasti akan tetap bertahan dan bertumbuh dalam hal
kualitas, kuantitas dan komplesitas organisasi Tubuh Kristus. Maka
benarlah yang dikatakan oleh Dr. Peter Wongso: Apabila Gereja tak
bertumbuh dengan cepat, maka tatkala agama-agama lain bertumbuh,
dengan sendirinya Gereja akan terdesak.12
Randwijck, Oegstgeet: Kebijaksanaan Lembaga-Lembaga Pekabaran Injil yang
Bekerjasama 1897-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989),149; Lih. J. Verkuyl,
Ketegangan antara Imperialisme dan Kolonialisme Barat dan Zending pada Masa Politik
Kolonial Etis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 67-75.
1
1
Wongso, Tugas Gereja dan …, 63.
1
2
Hamran Amri, Allah Sudah Pilihkan Buat Saya Hidup Baru
Dalam Kristus (Jakarta: BPK Sinar Kasih, 1976), 27.
Faktor Agama
Sandungan terbesar, terkuat dan terberat umat agama tertentu dalam
memahami dan menerima kekristenan adalah karena mereka menganggap
dan yakin bahwa ajaran Kristen tentang Allah Tritunggal dan tentang Yesus
Kristus merupakan dosa yang tidak terampuni (dosa syirk). Menurut
mereka, syirk atau mempersekutukan Tuhan Allah adalah dosa yang tak
dapat diampuni.13
Sejak masa kanak-kanak penganut agama tertentu sudah diajarkan
bahwa... lam yalid lam yulod... atau Allah itu tak beranak dan tidak
diperanakan.14 Akibatnya, mereka tidak dapat menerima pandangan bahwa
Yesus Kristus itu Anak Allah. Juga, mereka tak dapat menyebut Yesus itu
Tuhan karena mereka sudah diajarkan, La ilaha illahlah atau Tiada Tuhan
selain Allah. Karena inilah muncul anggapan bahwa orang-orang Kristen
bersalah terhadap syirk ini karena mempercayai dan mengajarkan doktrin
Allah Tritunggal.
Sementara itu di kalangan Kristen, khususnya di Indonesia ini,
masalah dosa syirk ini, menjadi salah satu sebab munculnya keragu-raguan
di benak mereka. Apalagi, posisi orang Kristen pada saat ia dituduh atau
difitnah dan bahkan diserang oleh orang-orang penganut agama tertentu.
Karena itu terhadap situasi yang demikian ini, tak jarang orang Kristen,
bukan saja tak bertumbuh, tetapi malahan sedang berada dalam proses
menuju kematian iman. Dan jangan lupa, pengaruh ajaran agama tertentu,
telah sangat mempengaruhi perudangan-undangan di Indonesia sejak
beberapa dekade yang lalu. Tetapi bagi kita yang sungguh telah percaya
kepada Allah dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus seperti yang diajarkan
Alkitab, justru hal ini merupakan tantangan dan sekaligus peluang untuk
menyaksikan Injil Yesus Kristus yang menyelamatkan (Rm 1:16-17).
FAKTOR-FAKTOR PENUNJANG PERTUMBUHAN GEREJA
1
3
Ibid., 14; Bnd. Yohanes D. Mansur, “To Give An Answer To
Every Man: Trinitarian and Christological Views in The Apologetics of Hamran Amri of
Indonesia” dalam Tesis Master of Theology (Los Angeles: Bible University, 1990), 65.
1
4
Bnd. Chris Marantika, Pertumbuhan Gereja Secara Alkitab dan
Theologis (Jakarta: Panitia PG, 1989), 34-43.
Faktor-faktor penunjang atau penentu pertumbuhan Gereja dapat
dilihat dari dua sudut, yakni faktor teologis dan antropologis. Yang
dimaksud dengan faktor teologis adalah keterlibatan dan peranan Allah
sendiri di dalam memulai dan menumbuhkan Gereja-Nya. Sedangkan
faktor antropologis bermaksud menunjukkan bahwa Allah memakai,
membentuk dan memperlengkapi hamba-hamba-Nya atau manusia Tuhan
yang dipilih-Nya untuk bekerja sama dengan Dia dalam rangka menumbuhkembangkan Gereja-Nya di dunia ini.
Faktor Teologis
Salah satu aspek penunjang pertumbuhan Gereja adalah faktor
teologis, yakni bergantung kepada Allah, dan peranan atau karya Roh
Kudus dalam Gereja.
Pertumbuhan Gereja Bergantung Kepada Allah
Pertumbuhan secara kuantitatif, kualitatif dan organik dalam Gereja
lokal merupakan suatu proses supranatural. Gereja adalah ciptaan Allah,
Yesus Kristus adalah kepalanya. Kehidupan mengalir dari keberadaan-Nya
di dalam Gereja dan pertumbuhan terjadi sebagai akibat dari kehidupan
ilahi tersebut. Gereja adalah sebuah organisme yang hidup. Gereja
berkembang dan bertumbuh melalui proses karya Allah, bukan perbuatan
manusia. Dalam 1Korintus 3 Paulus menjelaskan tentang tanggung jawab
terakhir untuk pertumbuhan Gereja: Aku menanam, Apolos menyiram,
tetapi Allah yang memberi pertumbuhan (1Kor 3:6).
Rasul Paulus menguraikan bahwa setelah segala usaha manusia
dilakukan, pada akhirnya pertumbuhan itu bergantung kepada Allah. Benih
itu ditanam dan tanaman yang tumbuh itu disiram, dipangkas dan
dipelihara, tetapi pertumbuhan adalah hasil dari proses supranatural,
misterius dan ajaib yang terjadi di bawah tanah, bebas dari intervensi dan
usaha manusia. Demikian juga pertumbuhan Gereja. Jikalau bukan Tuhan
yang membangun Gereja, maka sia-sialah usaha manusia yang
mengorganisir, merencanakan dan membiayainya (bnd. Mzm 127:1).
Sebelum kita mengakui adanya unsur supranatural dalam proses
pertumbuhan Gereja dan menempatkan usaha manusia pada proporsinya,
maka tidak ada nilai benar dan kekal yang dapat dicapai dari diri kita
sendiri; kita tak dapat membuat Gereja bertumbuh (Yoh 15:5). 15
Kita mungkin berpikir sejenak dan kemudian memuji keberhasilan
kita karena sifat yang baik, karunia rohani yang hebat, adanya sumbersumber dana atau karena kepempinan gembala yang kuat. Tetapi tanpa
mengecilkan faktor di mana Allah memakai keterlibatan manusia,
pertumbuhan Gereja tetap tergantung pada Allah dan di dalamnya Allah
memakai manusia yang bergantung kepada-Nya (Yoh 15:1-8).
Gereja-gereja yang dibangun berdasarkan talenta berkhotbah yang
hebat atau kemampuan berorganisasi seseorang, harus menolak godaan
untuk memuji manusia sebagai penyebab pertumbuhan sebuah Gereja.
Paling tepat, jika kita berkata, kita adalah orang-orang yang menanam dan
orang-orang yang menyiram tetapi Allah yang menghidupkan dan
menumbuhkan Gereja dan hanya Dia saja yang layak menerima pujian.
Timbul pertanyaan, bagaimana hal tersebut di atas berhubungan
dengan doa? Jawabannya adalah: jika kita percaya bahwa pertumbuhan
Gereja berasal dari Allah dan kerenanya bersifat supranatural dan jika kita
sadar bahwa kita bergantung kepada Allah dalam proses pertumbuhan
Gereja, maka doa juga di dalam tuntunan Allah (Roh Kudus) akan
menempati urutan teratas dari susunan daftar prioritas kita. Jika Allah yang
menyebabkan pertumbuhan, maka kita harus berhubungan dengan Dia, jika
tidak, maka kita berusaha dengan sia-sia, menjalankan roda pelayanan kita
tanpa hasil rohani yang diharapkan.
Perubahan dan pertumbuhan roahni yang sejati akan terjadi hanya
karena jawaban doa, sementara kita terus belajar untuk bergantung kepadaNya Fokus harus dialihkan dari diri kita sendiri kepada Allah. Dan jika
kemampuan kita berasal dari Allah dan bukan dari diri kita sendiri dalam
segala hal, maka pastilah fokus kita harus berpusat pada Allah sebagai
sumber segala kekuatan kita. Supaya kita menjadi semakin yakin bahwa
sumber pertumbuhan Gereja adalah dari Allah saja dan bahwa usaha
manusia sia-sia adanya tanpa berkat-Nya, maka seharusnya kita memahami
petingnya peranan Roh Kudus dalam Gereja.
Pertumbuhan Gereja Bergantung Kepada Peranan Roh Kudus
1
Baptis, 1985), 71.
5
Bnd. Billy Graham, Roh Kudus (Bandung: Lembaga Literatur
Gereja lahir, bertumbuh dan tetap eksis karena pekerjaan Roh
Kudus. Roh Kudus-lah yang membawa orang-orang ke dalam Gereja.
Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hidup seseorang sehingga
mengalami kelahiran baru, makin berakar dan bertumbuh di dalam Kristus
merupakan karya Roh Kudus.16 Karya tersebut dapat diamati dalam proses
di bawah ini.
Roh Kudus Menginsafkan
Roh Kudus mengisafkan manusia akan dosa-dosanya ketika Ia
mendirikan Gereja (Yoh 16:8-11). Dalam bagian lain Yesus menegaskan
bahwa, tak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku jikalau ia tak
ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku (Yoh 6:44). Kesadaran akan
pendekatan ilahi membuat kita sadar bahwa Allah memulai dengan caraNya yang misterius, menarik, melembutkan dan menciptakan kesadaran
akan kebutuhan dalam hati seseorang akan pentingnya keselamatan atau
lahir baru.
Kita harus sadar bahwa Roh Kudus, dengan cara yang kadangkadang tak kita mengerti dan di luar kemampuan kita, bekerja di dalam hati
seseorang mendatangkan keselamatan. Kita berpikir bahwa latihan,
kemampuan dan pengetahuan kita sebagai penyebab kesadaran seseorang.
Roh Kudus menggunakan sumber daya manusia dalam pekerjaan-Nya
tetapi tanggung jawab untuk menyadarkan seseorang adalah karya-Nya
sendiri.
Roh Kudus Mengerjakan Pertobatan
Roh Kudus mengerjakan pertobatan yang sejati di dalam hati
seseorang. Pertobatan adalah buah dari kesadaran yang membawa kepada
keputusan, di mana caranya sulit untuk dipahami. Roh Kudus menarik kita
dan menciptakan di dalam kita kesadaran akan kebutuhan kita yang paling
dalam. Ia kemudian memberikan kemampuan kepada kita untuk percaya
kepada berita Injil dan menempatkan iman kita kepada-Nya. Ia
menyebabkan perubahan itu terjadi. Titus 3:5 menjelaskan proses tersebut:
1
6
Bnd. Graham, Roh Kudus..., 81.
Oleh pemandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan
oleh Roh Kudus. Hal yang perlu diigat bahwa sebagai manusia, kita tidak
memiliki peran apapun dalam kelahiran baru atau pembaharuan seseorang,
selain hanya menyampaikan berita Injil. Tentang hal ini, Billy Graham
menjelaskan sebagai berikut:
Pembaharuan itu bukanlah pekerjaan penginjil, itu adalah pekerjaan
Roh Allah. Syarat yang tak dapat dipisahkan dari kelahiran baru
adalah pertobatan dan iman, tetapi pertobatan dan iman itu sendiri
tak menyelamatkan. Iman yang sejati itu adalah pemberian Allah
kepada seseorang seperti yang telah saya katakan bahkan menolong
kita untuk bertobat.17
Roh Kudus Menciptakan Pengakuan
Hal Penting lainnya dalam karya Roh Kudus selain menginsafkan
dan menobatkan seseorang adalah adanya pengakuan bahwa Yesus adalah
Tuhan (Rm 10:9-10). Dalam 1Korintus 12:3, dijelaskan: Tak ada seorang
pun yang dapat mengaku Yesus adalah Tuhan selain oleh Roh Kudus. Roh
Kudus saja yang menyebabkan seseorang bertobat kemudian membuatnya
mengakui di dalam hati dan dengan kata-kata di dalam mulutnya, bahwa
Yesus adalah Tuhannya.
Roh Kudus memperlengkapi Gereja
Roh Kudus memperlengkapi Gereja di samping membawa orangorang ke dalam Gereja. Roh Kudus juga mengarahkan pertumbuhan
individu-individu tersebut ke tingkat yang lebih dalam dan tinggi di dalam
Tuhan Kristus Yesus.
Perlu disadari bahwa kita tak dapat menyebabkan pertumbuhan
Gereja sama seperti halnya pertobatan. Surat Galatia 5:22 melukiskan
sembilan kualitas sifat atau karakter dan tingkah laku Kristus dalam diri
seorang Kristen sebagai buah pertumbuhan rohani, yang disebut Paulus
sebagai buah Roh. Buah Roh di sini bukan berasal dari manusia yang
mengalaminya tetapi dari Roh yang tinggal di dalamnya. Ini terjadi pada
individu-individu yang berada dan tinggal di dalam Tubuh Kristus.
1
7
Stephen Tong, Roh Kudus, Suara Hati Nurani dan Setan
(Jakarta: Lembaga Reformed Injili Jakarta, 1997), 115-116.
Efesus 3:16 berkata tentang aktifitas Roh ini yang terjadi di dalam
batin manusia. Jika Roh Kudus tinggal dalam hati atau batin seseorang,
maka ia juga bekerja di dalam orang tersebut. Ia menggerakkan, mengubah,
menuntun dan menggembalakannya menjadi seperti Kristus dalam tiga cara
utama.
Pertama, melalui Firman Tuhan. Roh Kudus memperlengkapi
Gereja melalui Firman Allah. Ibrani 4:12 melukiskan bahwa Firman Allah
itu hidup, kuat dan tajam. Selanjutnya dalam Yohanes 16:13 ditulis bahwa
Roh akan memimpin kita ke dalam seluruh kebenaran yaitu kebenaran
tentang Tuhan Yesus Kristus. Konteks dari ayat ini adalah percakapan di
mana Yesus sedang berhubungan dengan murid-murid-Nya berkaitan
dengan hubungan-Nya dengan Allah, Kerajaan Surga dan mereka sendiri.
Kata Yesus kepada mereka bahwa salah satu pelayanan Roh Kudus atau
Penghibur adalah mencelikkan mata rohani mereka yang buta dan
memimpin mereka kepada pengertian yang mendalam tentang Kristus,
Anak Allah yang hidup. Roh Kudus yang hidup menggunakan Firman
Allah yang hidup, memberinya kuasa, dan dengan cara ajaib atau misterius,
supranatural, memakainya untuk mengubah seseorang di dalam hatinya dan
menumbuhkan kualitas rohaninya.
Dalam 1Tesalonika 2:13 Paulus berbicara tentang Firman yang
bekerja dalam hidup mereka yang percaya. Hubungan yang erat dan
harmonis antara Roh yang bekerja melalui Firman Allah ditegaskan lagi
oleh Stephen Tong sebagai berikut:
Dan semua yang disebut sebagai suara Roh Kudus harus sesuai dan
harmonis dengan prinsip-prinsip yang ada di seluruh Kitab Suci.
Tidak ada konflik dengan Firman. Jangan membedakan dan
memisahkan Roh Kudus dari Firman. Roh Kudus adalah kebenaran
dan Kitab Suci adalah kebenaran yang diwahyukan oleh Roh Kudus,
karena Roh Kudus adalah roh kebenaran, maka Roh Kudus yang
mewahyukan kebenaran, mencerahkan orang akan kebenaran dan
memimpin Gereja kembali, masuk ke dalam pengertian dan
kenikmatan kebenaran. Roh Kudus dan kebenaran tak boleh
dipisahkan.18
Bnd. David Iman Santoso, “Pertumbuhan Gereja dan Peranan
Roh Kudus” dalam Tantangan Gereja di Indonesia (Surabaya: YAKIN, 1990).
1
8
Kedua, melalui manusia-manusia Tuhan. Di samping menggunakan
Firman Allah, Roh Kudus juga menggunakan orang-orang dalam
menyatakan dan menyingkap makna Firman Allah. Menurut Efesus 4:12,
Allah telah memberikan orang-orang yang mempunyai karunia kepada
Gereja untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan
pelayanan. Seringkali kita melihat laki-laki dan perempuan yang
sebelumnya mati secara rohani, datang ke dalam keluarga Allah dan mulai
berkembang sementara mereka belajar dari pelayanan Firman yang
dinyatakan oleh seorang pengkhotbah, guru, gembala-gembala dan
penginjil yang memiliki karunia.
Seringkali terjadi seorang hamba Tuhan memerlukan waktu berjamjam untuk menyiapkan sebuah khotbah, tetapi sesudah menyampaikannya
ia mendapati bahwa orang-orang diberkati dan mengalami pertumbuhan
iman dan pengertiannya akan rencana Allah bagi dirinya dan dunia. Dalam
hal ini Roh Kudus telah bekerja, menyatakan kesalahan, memperbaiki
kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran (2Tim 3:16-17).
Jadi, Roh Kudus menggunakan hamba Tuhan untuk menjelaskan
arti Firman Tuhan. Tetapi Roh Kudus sendiri akan bekerja pada tingkat
yang lebih mendalam, menggunakan Firman yang membawa kepada
perubahan dan pertumbuhan rohani.
Ketiga, melalui karunia-karunia Roh Kudus. Cara kerja Roh Kudus
yang ketiga dalam memperlengkapi Gereja adalah dengan mengaruniakan
karunia-karunia rohani kepada orang-orang percaya secara pribadi. Allah
memberikan kepada setiap orang sedikitnya satu karunia rohani untuk
mengisi peranan khusus dalam Gereja. Setiap karunia menyumbangkan
sesuatu kepada Tubuh Kristus. Persoalan dan sampai pada perpecahan
dalam Gereja terjadi karena masing-masing orang Kristen tak melayani
sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan oleh Roh Kudus kepadanya
(tak sesuai dengan karunia Roh yang ada padanya).
Kita masing-masing memiliki keterbatasan tetapi Allah telah
memberikan kemampuan atau karunia-karunia kepada yang lain untuk
mengisi dan mengimbangi keterbatasan dan kekurangan-kekurangan kita.
Tidak ada satu manusia pun yang dapat menjadi manusia super. Tiap-tiap
anggota mempunyai kemampuan atau karunia unik. Dan kita harus
menjalankan karunia-karunia itu, bukan meremehkan atau pun
memamerkannya. Dengan perkataan lain setiap orang Kristen, mesti
menemukan sebuah tempat pelayanan yang diberikan oleh Roh Kudus
kepadanya untuk mengembangkan karunia rohani yang dimilikinya. Sebab
dengan cara demikian pertumbuhan Gereja yang diharapkan dapat
tercapai.19
Faktor Antropologis
Faktor kedua terjadinya pertumbuhan Gereja adalah aspek
antropologis yang meliputi enam pernan penting, yakni: doa, iman,
kepemimpinan yang memberdayakan, struktur pelayanan yang efektif,
ibadah yang membangkitkan inspirasi, serta kelompok kecil yang
menjawab kebutuhan anggota Gereja.
Peranan Doa
Pertumbuhan Gereja secara kualitatif, kuantitatif dan organis, akan
terjadi jika kita sadar bahwa implikasi dari pekerjaan dan pelayanan Roh
Kudus adalah dorongan, komitmen dan kegiatan doa yang lebih serius
dengan yang kita lakukan sebelumnya. Allah mengasihi dan memelihara
Gereja-Nya. Ia selalu siap memberkati umat-Nya. Tetapi terkadang Allah
menunggu kita agar meminta daripada-Nya (Yoh 14:13-14, 15:7-8).
Tantangan Firman Tuhan benar secara teologis tetapi jarang dan kurang
dipraktikkan. Kita sering berpendirian dan berpikir bahwa kita dapat
menjalankan kehidupan Gereja (kekristenan kita) dengan baik, dengan
menggunakan sumber daya kita sendiri, tanpa mempedulikan kekuatan
ilahi. Kita kurang memiliki pengertian perlunya bergantung kepada Allah.
Kita berpikir bahwa kita tahu bagaimana menyusun program yang kreatif
sehingga ada kegiatan untuk setiap kelompok umur dan profesi. Kita tahu
bagaimana menyampaikan pikiran-pikiran teologis dengan cara menarik.
Kita tahu bagaimana cara membangun fasilitas yang bagus untuk mewadahi
program-program kita. Mungkin juga kita tahu, bagaimana menerapkan
struktur badan usaha ke dalam Gereja sehingga organisasi kita menjadi
hebat, kita tahu melakukan hal-hal tersebut dan kita berpikir, semua itu
dapat dilakukan tanpa keterlibatan Allah. Kurangnya pengertian terhadap
1
9
E.M. Bounds, Power Through Prayer (Grand Rapids: Baker
Book House, 1972); Bnd. Peter C. Wagner, Your Church Can Grow (Glendale, California:
Regal Books, 1976).
kebutuhan akan Allah menghilangkan pengertian kita akan perlunya
berdoa. Doa pribadi dan bersama tidak antusias, mencerminkan kurangnya
pengertian kita tentang proses supranatural yang bekerja dalam
pertumbuhan Gereja.
Kita sering berbicara tentang doa secara abstrak, lalu berdoa tidak
lagi menjadi prioritas kita. Kelesuan terhadap doa merupakan akibat dari
kecenderungan kita untuk mengukur hasil-hasil dengan cara-cara yang
berbeda dari sifat-sifat Allah. Sarana pengukur kita menunjuk kepada
jumlah anggota, jumlah rupiah atau fasilitas-fasilitas. Meskipun Allah juga
peduli terhadap aspek-aspek tersebut, namun Allah lebih melihat pada
kondisi hati manusia. Ia peduli terhadap dosa yang tak diakui; apakah kita
mengasihi Dia dan mengasihi satu terhadap yang lain? Apakah kita peduli
terhadap mereka yang terhilang?
Rasul Paulus memberi contoh-contoh doa bagi kita. Ia secara terusmenerus berdoa agar jemaat-Nya mengembangkan kualitas-kaulitas rohani
yang merupakan hal yang paling penting. Ia berdoa bagi kasih yang dalam
di antara orang percaya, bagi pengertian yang makin jelas tentang siapakah
Yesus, dan bagi peningkatan kesabaran dalam penderitaan dan
penganiayaan (Ef 3:14-21). Jika kita mulai melihat bahwa hal-hal itu tak
akan terjadi kecuali melalui jawaban doa, maka doa akan menjadi lebih
daripada sekedar program pilihan atau tambahan saja. Sebaliknya doa akan
menjadi kekuatan yang mendorong pertumbuhan Gereja. 20
Peranan Iman
Karya Roh Kudus dalam pertumbuhan Gereja mempunyai implikasi
bagi iman kita. Persoalan kita, seringkali terlalu banyak di antara kita
masuk dan terjual dalam sebuah pelayanan pemeliharaan (status qua).
Terdapat suatu kekurangan dan ketidakpercayaan bahwa Allah akan
melakukan mujizat. Kita telah menjadi satu generasi yang ragu-ragu dan
mungkin takut. Kita sering menganggap Allah tidak dapat melakukan halhal yang besar dan tak terpahami (Yer 33:3). Atau mungkin kita juga masih
percaya tetapi hanya dalam tingkatan ajaran atau doktrin saja di dalam
pemikiran kita. Salah satu sebabnya adalah karena kita tak memiliki iman
terhadap perkara-perkara yang besar dari Allah. Kita akan percaya kepada
2
0
Benson dan Jim Stevens, Dinamika Pertumbuhan..., 33.
Allah jika kita merasa terpaksa. Kita cenderung melihat pada setiap
altematif manusia dalam penyelesaian suatu masalah, sebelum akhimya kita
berpaling kepada Allah. Untuk mengajar murid-murid tentang iman,
berkali-kali Yesus membawa mereka ke dalam situasi yang tak
berpengharapan dari sudut pandang manusia (badai di laut, 5.000 orang
yang harus diberikan makan, dan lain sebagainya). Yesus sedang melatih
mereka untuk beriman dan berpaling kepada-Nya dengan sebuah sikap
ketergantugan dan berpengharapan di dalam Dia saja. Kita akan belajar
berpaling kepada-Nya, hanya jika kita telah mulai melihat kegagalan usaha
manusiawi untuk menghasilkan perkara-perkara rohani di luar Dia.
Kurangnya iman yang membawa ketergantungan kepada Allah
dapat ditelusuri pada pengertian tentang siapa yang bertanggung jawab
terhadap pertumbuhan Gereja. Jansen dan Jim Stevens menegaskan sebagai
berikut:
Jika kita percaya bahwa pertumbuhan adalah karya manusia, maka
kita akan berpaling kepada manusia untuk memperoleh sumbersumber daya; perhatian kita akan berada pada rencana-rencana dan
strategi-strategi kita. Kita akan cenderung menggunakan cara
penyeleksian manusiawi terhadap masalah-masalah yang tak
terselesaikan. Tetapi hasil dari proses buatan manusia adalah sebuah
produk karya manusia. Jika Gereja harus bertumbuh, Gereja harus
bergantung dengan kendali manusia. Jika Gereja harus bertumbuh,
Gereja harus bergantung kepada Allah, Gereja juga akan
berpengharapan. Seluruh proses akan menjadi sebuah pengalaman
besar seperti yang seharusnya. Pengalaman untuk melihat Allah
yang hidup terus-menerus melakukan perkara-perkara yang tak
dapat dijelaskan dengan bahasa manusia. Jika kita tahu bahwa hanya
Allah yang dapat melakukan hal-hal tersebut terjadi, maka kita akan
meminta kepada-Nya perkara-perkara yang mustahil dan percaya
bahwa Ia akan melakukannya.21
Karena itu, orang-orang Kristen perlu belajar bagaimana berdoa dan
melangkah dengan iman dalam setiap peristiwa. Peristiwa-peristiwa iman
menantang umat Allah untuk percaya bahwa Ia akan memberikan sesuatu
di luar jangkauan mereka. Gereja perlu dimobilisir agar melalui iman
mendoakan perkara-perkara besar. Mulai dengan doa bersama untuk situasi
2
1
Christian A. Schwarz, Pertumbuhan Gereja yang Alamiah
(Jakarta: Metanoia, 1998), 14.
yang tampaknya tak berpengharapan. Misalnya sang pecandu alkohol yang
perlu dilepaskan, sebuah keluarga yang tampaknya harus bercerai atau
orang-orang yang telah tersesat pada jalan Setan dan sebagainya.
Banyak Gereja mengalami kemunduran rohani dan moral. Mereka
memiliki mentalitas yang lelah. Tetapi keadaan demikian dapat berubah
jika kelompok-kelompok Kristen berdoa bagi hal-hal yang tak mungkin.
Allah pasti menyukai doa-doa semacam itu dan Ia akan menanggapinya.
Iman melibatkan resiko dan usaha tanpa takut akan kegagalan. Tetap
beriman walaupun dalam situasi yang tak menyenangkan. Ini berarti bahwa
orang Kristen harus belajar nyerempet-nyerempet bahaya. Ini juga berarti
orang-orang Kristen belajar meremehkan kesulitan-kesulitan. Tentang hal
ini, seorang pakar pertumbuhan Gereja menulis sebagai berikut:
Sejarah berhubungan dengan pertumbuhan Gereja, salah satu hasil
dari studi kami menunjukkan bahwa kenyataan yang penting,
bukanlah bagaimana cara kerohanian diekspresikan, melainkan
kenyataan bahwa iman dihayati dan diamalkan berdasarkan
komitmen yang berapi-api dan antusiasme. Tingkat kehausan rohani,
jelas merupakan titik yang memisahkan Gereja yang bertumbuh
dengan yang tidak.22
Peranan Kepemimpinan yang Memberdayakan
Hasil studi dan penelitian para pakar pertumbuhan Gereja
membuktikan bahwa para pemimpin Gereja yang bertumbuh tidaklah
berusaha membangun kekuasan mereka untuk menjadi sangat dominan.
Justru sebaliknya mereka menganggap salah satu tugas yang terpenting
adalah menolong orang-orang Kristen mengembangkan tingkat
kemampuannya, menurut yang telah Allah berikan kepada mereka. Para
pemimpin di sini melayani untuk memperlengkapi, mendukung,
memotivasi dan menjadi mentor bagi individu-individu untuk menjadi
2
2
Bnd. Schwarz, Pertumbuhan Gereja yang..., 12; David A.
Womack, The Pyramid Principle (Minneapolis: Bethany Fellowship, 1977), 79; Michale
Tucker, The Church Change or Decay (Wheaton, Illinois: Tyndale, 1978); John
Alexander, Practical Criticism: Giving and Receiving It (Downers Grove, Illinois:
InterVarsity Press, 1976); Dan Benson, The Total Man (Wheaton, Illinois: Tyndale, 1977);
Richard Havenson, How I Changed My Thinking About the Church (Grand Rapids:
Zondervan, 1972).
seperti yang Allah kehendaki atas mereka. Beginilah sifat daripada
kepemimpinan Kristus yang berjiwa memuridkan segala bangsa bagi
perluasan kerajaan-Nya di bumi ini.23
Peranan Struktur Pelayanan yang Efektif
Kriteria paling penting untuk bentuk dan struktur di dalam Gereja
yang bertumbuh adalah apakah Gereja-gereja tersebut memenuhi tujuannya,
apakah Gereja tersebut jalan di tempat atau sedang mundur dan akhimya
merosot, yang ujung-ujungnya menjadi Gereja yang mati? Struktur Gereja
sendiri tak pernah dan tidak boleh menjadi tujuan, tetapi selalu hanya
merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan. Disarankan oleh para pakar
supaya apa pun yang tak memenuhi persyaratan-persyaratan ini seperti,
struktur kepemimpinan, merendahkan martabat, waktu ibadah yang tak
tepat atau program yang tak menjangkau khalayak secara efektif lebih baik
diubah dan dinonaktifkan. Melalui proses pembaharuan ini, kebiasaan yang
hanya bersifat tradisi dapat dipertahankan sejauh masih efektif.24
Peranan Ibadah yang Membangkitkan Inspirasi
Ibadah yang dimaksud dengan membangkitkan inspirasi adalah
kegiatan menyembah Allah, bersekutu dengan Dia, berdoa kepada-Nya,
memuji dan menyanyi bagi Allah, mengaku dihadapan-Nya dan memberi
tanggapan kepada-Nya, sebagaimana layaknya Ia patut ditinggikan dan
dimuliakan seperti yang dinyatakan dalam firman-Nya. Dalam ibadah ini
pertanyaan yang patut disampaikan adalah apakah ibadah merupakan
pengalaman yang membangkitkan inspirasi bagi mereka yang
menghadirinya? Jika ya maka ibadah itu akan dihadiri dan dinikmati, jika
tidak maka ibadah itu kurang diminati.
Bidang ini secara jelas memisahkan Gereja yang bertumbuh dengan
Gereja yang tidak bertumbuh. Dari sekian banyak kelompok Kristen,
terdapat pemikiran yang berbeda-beda tentang fungsi dan manfaat ibadah.
Di antaranya ada yang biasa beribadah hanya sekedar memenuhi tuntutan
agamanya, datang ke Gereja hanya demi berbuat baik bagi Allah atau bagi
2
3
2
4
Schwarz, Pertumbuhan Gereja yang..., 15-16.
Ibid., 16-17.
gembalanya atau orang lain. Beberapa orang di antara mereka percaya
bahwa kesetiaan dalam beribadah seperti itu diberkati oleh Allah.
Sedangkan bagi yang lain ibadah itu benar-benar sangat menggairahkan dan
membangkitkan inspirasi dan semangat. Dalam posisi dan pandangan yang
mana kita berada, merupakan petunjuk dan pertanda yang jelas tentang
keadaan Gereja kita. Ibadah yang benar dan mendatangkan kualitas
pembaharuan, itulah salah satu sebab bagi pertumbuhan Gereja baik
kualitas maupun kuantitas dan organis.25
Peranan Kelompok Kecil yang Menjawab Kebutuhan Anggota
Penelitian para pakar telah membuktikan bahwa Gereja yang
bertumbuh lezimnya adalah Gereja yang mengembangkan hadirnya sistem
kelompok kecil, dimana setiap orang Kristen dapat berkomunikasi dengan
intim, mendapat pertolongan sehari-hari dan dukungan pertumbuhan rohani
yang tetap dalam kelompok ini. Isi Alkitab di dalam kelompok ini,
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok kecil seperti ini,
bukanlah suatu pilihan hati atau kesenangan yang dilakukan bila ada waktu,
tetapi ini merupakan pokok kehidupan yang utama dari Gereja Tuhan yang
bertumbuh. Dalam buku Bukan Sekadar Jumlah, Dr. Yonggi Cho
menjelaskan pentingnya pelayanan di dalam Kelompok Sel.
Terdapat banyak orang di tengah-tengah masyarakat kita, yang telah
menjadi anggota dari suatu Gereja, akan tetapi sekarang tak lagi
menghadiri kebaktian dimana pun juga. Oleh karena sesuatu alasan
maka menggabungkan diri dengan jumlah guguran orang-orang
Kristen yang kita saksikan tersebar di seluruh dunia. Sebagian besar
dari guguran orang-orang Kristen itu, menurut pandangan saya,
mempunyai alasan yang sama. Mereka masih tetap percaya kepada
Yesus Kristus. Mereka masih tetap menganggap diri sebagai orang
Kristen, akan tetapi mereka telah dikecewakan oleh pihak Gereja.
Beberapa di antaranya bahkan ada yang telah melibatkan diri dalam
perpecahan Gereja. Sebagian lagi di antaranya ada yang merasa
kecewa terhadap pendeta atau gembala sidang mereka, atau terhadap
kepimpinan Gereja mereka. Ada lagi yang mungkin telah jatuh ke
dalam lembah dosa dan sudah meras amalu untuk kembali ke Gereja,
2
5
Yonggi Cho, Bukan Sekedar Jumlah (Jakarta: Yayasan
Pekabaran Injil Immanuel, 1985), 71.
sebagian lagi ada yang mungkin merasa malu untuk kembali ke
Gereja, sebagian lagi ada yang mungkin merasa diabaikan oleh
gembala sidang, yang tidak pernah datang berkunjung menengok
mereka entah apa pun alasannya, kita temukan masih ada kelompok
besar orang-orang yang perlu untuk kita capai dan sentuh mereka
demi kepentingan Tuhan kita, agar supaya mereka boleh
disembuhkan dan dapat dikembalikan lagi ke dalam himpunan
kelompok domba-domba.26
Jadi, cukup penting kelompok kecil itu diadakan dalam rangka
memulihkan kembali orang-orang Kristen dari persoalan mereka dan
kemudian orang-orang Kristen ini perlu berkembang atau bertumbuh di
dalam Tuhan. Karena Allah menginginkan setiap orang percaya
mengembangkan karakter Kristus dalam hidupnya. Dalam hal ini
diperlukan tekat dan komitmen dari setiap orang Kristen.
Dengan pertolongan Tuhan kita dapat menjadi apa saja sesuai
dengan tekad kita, karena kesehatan rohani tergantung pada latihan rohani
yaitu mendisiplinkan diri untuk melakukannya hingga hal-hal tersebut
menjadi kebiasaan (1Kor 9:27).
Orang-orang percaya akan bertumbuh lebih cepat jika mereka
menyediakan jalan untuk bertumbuh dan dalam kaitan ini orang Kristen
membutuhkan hubungan dengan sesama untuk dapat bertumbuh, karena
kita bertumbuh dalam konteks persekutuan.27
Kita tak dapat berbicara tentang karakter tanpa berbicara tentang
kebiasaan, karakter seperti Kristus merupakan tujuan akhir dari semua
pendidikan dan disiplin Kristen, karakter ini dibentuk dalam keadaankeadaan di lingkungan persekutuan, pergaulan dan kehidupan. 28
2
6
Bnd. John W. Alexander, Practical Criticism: Giving and
Receiving It (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 1976); Gene A. Getz, A Building Up
One Another (Wheaton, Illinois: Victor Boks, 1976); Ronald Jenson, How to Succeed the
Biblical Way (Wheaton, Illinois: Tyndale, 1981), 87-94; Bnd. Lawrence O. Richard, A
New Face for the Church (Grand Rapids: Zondervan, 1970)
2
7
Bnd. Rick Warren, Pertumbuhan Gereja Masa Kini. Terj.
(Malang: Gandum Mas, 1999), 327, 333, 339.
2
8
Ted W. Engstrom, The Making of a Christian Leader (Grand
Rapids: Zodervan, 1976), 14; Lih. Gene A. Getz, Sharpening the Focus of the Church
(Chicago: Moody Press, 1976); R. Alec Mackenzie, The Time Trap (New York: McGrawHill, 1975); Lyle E. Schaller, Parish Planning (Nashville: Abingdon, 1975).
Faktor Strategi
Gereja dapat bertumbuh jika penginjilan yang dilakukan didukung
oleh strategi dipimpin oleh Roh Kudus. Dalam kitab Kisah Para Rasul
ditunjukkan bahwa Roh Kudus adalah ahli strategi Agung. Roh Kudus
adalah pengawas tertinggi dari kampanye misi yang besar. Roh Kudus
memberi kuasa dan mengambil prakarsa (Kis I:8, 13:1-4), membimbing dan
mengarahkan (Kis 8:29, 16:6-10).
Langkah utama dalam kerangka strategi adalah penetapan tujuan
scperti yang dikemukakan oleh Tuhan. Dalam Kisah Para Rasul 1:8, di
mana Tuhan Yesus memberi tugas kepada munid-murid-Nya: Tetapi kamu
akan menerimna kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu
akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria
dan sampai ke ujung bumi. Bagian bumi yang paling jauh menjadi tujuan
dan penginjilan yang sepenuhnya dipimpin olel Roh Kudus.
Beberapa pengamatan berikut menunjukkan strategi yang telah
mendorong penginjilan dan pertumbuhan Gereja, yakni: tempat yang dipilih
oleh Tuhan, waktu yang ditetapkan Tuhan, pembentukan hamba-hamba
Tuhan, dan visi universal dari Tuhan.
Tempat yang Dipilih Tuhan
Kunjungan Allah terjadi di Yerusalem, pusat ibadah dan ajaran
Yahudi zaman itu. Roh Kudus turun pada hari Pentakosta dan melahirkan
umat Allah yang baru, sebuah lembaga baru–Gereja–telah tercipta. Jadi,
Yerusalem telah menjadi pusat manifestasi kuasa Allah. Allah memilih
sebuah tempat untuk menyatakan kuasa-Nya. Prinsip rohani yang dapat
diambil dalam peristiwa ini adalah Allah dalam strategi-Nya memilih
tempat yang ditunjukkan-Nya untuk melakukan sesuatu demi kelahiran dan
pertumbuhan Gereja-Nya.
Waktu yang Ditetapkan Tuhan
Intervensi Allah terjadi pada waktu yang tepat (waktu yang
ditetapkan Tuhan). Saat itu ribuan orang Yahudi, orang-orang yang takut
akan Allah, dan orang-orang yang beragama lain memenuhi kota
Yerusalem untuk perayaan-perayaan keagamaan. Pada saat itu Allah
mengirim Roh Kudus, banyak orang bertobat dan menjadi anggota Gereja
mula-mula.
Pada peristiwa Pentakosta tersebut, muncul pemberita-pemberita
Injil yang utama seperti: Barnabas, Stefanus, Filipus dan yang lain (Kis
6:5). Juga ketika terjadi penganiayaan, memaksa orang-orang percaya
meninggalkan Yerusalem, dan pergi, membawa berita Injil ke negeri-negeri
dimana mereka tinggal (Kis 8:4, 11:19-22).
Pembentukan Hamba-Hamba Tuhan
Tuhan memberikan waktu persiapan bagi orang-orang percaya yang
baru mengalami kelahiran baru untuk mengembangkan hubungan spiritual
dan kemasyarakatan yang baru, serta untuk dibentuk menjadi murid-murid
Yesus Kristus. Mereka diberi pengajaran untuk menjadi saksi demi menjaga
kesatuan dan kesehatan iman, serta diajar untuk melaksanakan fungsi
sebagai anggota-anggota yang bertanggung jawab dalam bersaksi, berdoa
dan hidup dalam masyarakat (Kis 2:42-46, 4:23-41, 5:42; 6:1-7, 8:4: 11:1921, 12:5).
Visi Universal dari Tuhan
Paulus mempunyai visi misi universal yang jelas. Setelah didesak ke
luar dari Yerusalem, dia mengubah perhatiannya pada Asia Kecil, bekerja
keras pertama di Tarsus dan Antiokhia (Kis l1:25-30, 13:1-3), kemudian ke
Asia Kecil bagian barat, di mana Efesus sebagai pusatnya (Kis 19:1-20:38).
Dari situ Paulus melihat ke arah barat dengan Roma sebagai pusat, dan
Spanyol sebagai bagian yang paling jauh (Kis 19:21, 23:11, 28:14-31; Rm
1:9-15, 15:24-28). Inilah orang dengan visi yang universal.
Pentingnya dan efektifnya sebuah strategi, nampak dari hasil-hasil
pelayanan seperti yang disebutkan dalam Kisah Para rasul.
• Kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaranmu (Kis 5:28)
• Dan Firman Allah makin tersebar, dan jumlah murid makin
bertambah banyak; juga sejumlah besar imam menyerahkan diri dan
percaya (Kis 6:7)
• Maka sangat besar sukacita dalam kota itu (Kis 8:8)
• Semua penduduk Lida dan Saron melihat Dia, lalu mereka berbalik
kepada Tuhan (Kis 9:35)
• Maka Firman makin tersebar dan makin banyak didengar orang (Kis
12:24)
• Lalu Firman Tuhan disiarkan di seluruh daerah itu (Kis 13:49)
• Demikianlah jemaat-jemaat diteguhkan dalam iman dan makin lama
makin bertambah besar jumlahnya (Kis 16:5)
• Sehingga semua penduduk Asia mendengar Firman Tuhan, baik
orang Yahudi maupun orang Yunani (Kis 19:10)
• Makin tersiarlah Firman Tuhan dan makin berkuasa (Kis 19:20)
• Demikianlah dalam perjalanan keliling dari Yerusalem sampai ke
Ilirikum aku telah memberitakan sepenuhnva Injil Kristus (Rm
15:19)
Inilah contoh dari pelayanan yang digerakkan oleh strategi dan visi
yang jelas, suatu gerakan yang dipimpin dan diawasi oleh Roh Kudus, yang
juga disertai dengan penuh ketaatan, ketekunan dan pengorbanan dari lakilaki dan perempuan pemberani. George W. Peters mengatakan sebagai
berikut:
Jangan seorang pun menganggap ringan strategi. Strategi bukan
mengatur siasat licik. Strategi adalah perencanaan yang bijaksana
dan mempunyai maksud serta merupakan prosedur yang teratur
untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Strategi sangat
penting bagi pertumbuhan Gereja.29
PENUTUP: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Sebagai suatu fenomena rohani dan teologis, gerakan pertumbuhan
Gereja yang dimulai oleh beberapa hamba Tuhan, tidak dapat tidak harus
diakui dan diterima sebagai jawaban Tuhan atas kebutuhan rohani Gereja
Kristen dan sekaligus sebagai jawaban Tuhan terhadap kemerosotankemerosotan rohani dalam kehadiran dan pelayanan Gereja Tuhan terhadap
dunia ini. Karena itu, disarankan supaya Gereja-gereja Tuhan masa kini,
2
9
Gandum Mas, 2002), 278.
George W. Peters. Theologia Pertumbuhan Gereja (Malang:
perlu masuk dan mengambil bagian yang aktif dan konkrit dalam arus
pertumbuhan Gereja ini demi terlaksananya Amanat Agung Tuhan Yesus
dalam Matius 28:19-20.
Pengertian atau pun konsep yang benar, proporsional dan
konprehensif tentang pertumbuhan Gereja haruslah berdasar dan bertumbuh
sesuai dengan pengajaran Alkitab sendiri tentang Teologi Pertumbuhan
Gereja. Supaya orang Kristen tahu dan sadar bahwa ide, ilmu Teologi
Pertumbuhan Gereja bukanlah ide manusia atau hasil filsafat manusia tetapi
benar-benar adalah ide dan kehendak Allah sendiri bagi Gereja dan dunia
ini. Karena itu disarankan supaya pengertian atau pun konsep orang-orang
Kristen tentang pertumbuhan Gereja harus terus diperdalam, dipengaruhi
dan diperkokoh melalui studi dan pengertian Alkitab.
Kita harus mengerti dan meyakini bahwa upaya Gereja untuk
menerapkan ilmu, konsep dan prinsip-prinsip pertumbuhan Gereja yang
Alkitabiah perlu mempertimbangkan tantangan, serangan dan hambatanhambatan yang datang dan berbagai segi seperti adanya hambatan karena
dangkalnya pengertian sebagian anggota Gereja tentang pentingnya
pertumbuhan Gereja. Juga hambatan karena kurangnya pemahaman tentang
arti misi Kristus bagi dunia ini. Di samping itu, perlu mempertimbangkan
hambatan-hambatan karena bangkitnya agama-agama dunia yang juga
sangat misioner dalam gerak dan aksinya, dimana tujuannya juga adalah
untuk memenangkan umat manusia bagi agamanya, secara khusus perlu
dihitung tantangan yang muncul karena faktor kesalahan sejarah yang
dibuat oleh misi atau zending Kristen sendiri dalam beberapa kurun waktu
yang lalu. Karena hal ini telah dan terus saja menimbulkan penolakan
psikologi dan sosial terhadap hadirnya misi Gereja di berbagai tempat di
dunia ini dan di Indonesia khususnya. Namun, yang sangat penting untuk
disadari adalah tantangan serius yang datang dan ajaran agama tertentu
tentang dosa Syrk. Karena penolakan, kebencian dan serangan pihak agama
tertentu terhadap orang-orang Kristen, organisasi Kristen dan teologi
Kristen berakar di sini. Makanya disarankan supaya orang-orang Kristen,
organisasi dan teologi Kristen harus mampu secara bijaksana dan penuh
kasih mensikapi perlakuan orang-orang dari agama tertentu tersebut, tanpa
terpancing dalam emosi dan pikiran serta sikap yang merugikan kita
sendiri. Jelasnya kita perlu tulus dan cerdik disertai doa yang tak putusputusnya bagi saudara-saudara dari agama tertentu tersebut, agar mereka
dapat mengenal Allah yang sejati di dalam Kristus dan bertumhuh di dalam
pengetahuan tentang kehenaran (Mat 5:44-45, 10:16; 1Tim 2:3-4).
Kendati pun demikian, bagi kita yang telah mengenal kebenaran
tentang pertumbuhan Gereja seperti yang diajarkan Alkitab, tidak ada
alasan untuk merasa takut, tawar hati dan menjadi lemah di dalam iman,
kehadiran dan pelayanan misi di tengah-tengah tantangan dan hambatanhambatan apa pun, karena Allah sendiri menjamin bahwa Injil Kerajaan
Allah yang mengamanatkan pelaksanaan gerak pertumbuhan Gereja akan
menyertai, melindungi, melengkapi dan memakai kita agar semua bangsa
mendengar Injil sebelum kedatangan-Nya yang kedua kali (Mat 14:14).
Mengapa kita harus bersikap dan berpendirian seperti ini? Jawabannya
adalah karena terdapat banyak faktor yang menunjang kemungkinan lahir,
hadir dan berkembangnya Gereja Tuhan di tengah-tengah serigala dunia
ini. Karena ltu, disarankan supaya Gereja tetap setia menjalankan perintah
Kristus dalam ketergantungan yang terus-menerus kepada Allah pemilik
dan pemelihara manusia, supaya kemuliaan akan terus bertambah bagi Dia
dalam segala pelayanan kita.
Terdapat empat hal penting tentang prinsip-prinsip pertumbuhan
Gereja yang harus kita pertimbangkan dalam upaya menumbuhkan Gereja
Tuhan masa kini.
Pertama, prinsip-prinsip (faktor-faktor penunjang pertumbuhan
Gereja seperti tertulis dalam makalah ini), tersebut berlaku secara universal,
artinya dapat diterapkan pada Gereja-gereja di seluruh dunia, alasannya
karena Allah kita adalah Allah untuk seluruh dunia dan semua manusia dan
juga karena Gereja yang ada di dalam dunia ini adalah milik Tuhan sendiri
yang diperinthkan untuk bertumbuh dalam pengenalan akan Allah (1Tim
2:3-4; 2Ptr 3:8).
Kedua, prinsip-prinsip itu dapat ditransfer ke dalam situasi kita
masa kini, alasannya adalah karena ketaatan kita kepada perintah Kristus
untuk memuridkan semua orang dan segala bangsa menjadi murid Kristus
(Mat 28:19-20).
Ketiga, perlu disadari bahwa masing-masing prinsip ini memiliki
hubungan yang erat satu sama lain; baik pertumbuhan kualitas, kuantitas
maupun organisatoris, karena itu disarankan supaya orang-orang Kristen
tidak memandang, dan memperlakukan masing-masing prinsip itu secara
terpisah tetapi harus memegang dan menjalankannya secara bersama-sama,
saling berkaitan, saling mengisi dan saling mendukung, karena dengan cara
demikian pertumbuhan Gereja yang kita dambakan bakal terwujud.
Keempat, tiap-tiap prinsip yang telah dikemukakan merupakan
pesan-pesan pokok Alkitab sendiri dengan kata lain, prinsip-prinsip tersebut
adalah prinsip Allah sendiri bagi pertumbuhan Gereja-Nya di dunia dalam
dunia. Terminologi yang digunakan dalam mengungkapkan prinsip-prinsip
tersebut dapat saja tidak sempuma seperti halnya metodologi ilmiah
lainnya, tetapi hal itu tidak dapat meniadakan fakta bahwa prinsip tersebut
adalah prinsip-prinsip Allah sendiri yang mesti dipegang dan dipatuhi oleh
Gereja Tuhan masa kini. Akhirnya, aku (Paulus) menanam, Apolos
menyiram, tetapi Allah memberi pertumbuhan (1Kor 3:6). Ini berarti bahwa
para petani dapat menanam, menyiram, dan menuiai, tetapi mereka tidak
dapat memberi pertumbuhan. Akan telapi mereka tahu bahwa penanaman
dan penyiraman yang mereka lakukan benar-benar mempengaruhi tuaian
yang diharapkan.
Akhirnya, kemajuan pertumbuhan Gereja juga sangat ditentukan
oleh faktor strategi Tuhan yang dapat kita pelajari dari Alkitab, khususnya
kitab Kisah Papa Rasul. Di sana dijelaskan bahwa pertumbuhan Gereja
mesti dimulai: (1) di tempat yang dipilih Tuhan, (2) Dilaksanakan dalam
waktu Tuhan, (3) Didukung oleh hamba-hamba Tuhan yang dipersiapkan
dan dibentuk Tuhan secara khusus, dan (4) Perlu diarahkan dan dibimbing
oleh visi misi universal dari Tuhan sendiri. Karena itu, tulisan ini
menyarankan agar Gereja-gereja masa kini sungguh-sungguh mencari dan
menemukan strategi Tuhan yang khusus untuk tiap-tiap pelayanan misi
yang kita kerjakan.
HERMENEUTIKA FENOMENOLOGIS
PAUL RICOEUR
GUSTAF R. RAME
“…Nous Etendrons toujours par hermeneutique La theorie de regle
qui president a une exegese, c’est-a-dire a L’interpretation
d’untexte singulier ou d’un ensemble de signes usceptible
d’etre considere comne un text”1
PENDAHULUAN
Paul Ricoeur adalah salah satu nama terkenal dalam kancah filsafat.
Ia dikenal tajam dalam pemikiran fenomenologis yang membedah makna
dalam narasi teks menjadi terang bagi pencari kebenaran otentik. Cakrawala
pemikirannya melingkupi hampir semua topik filsafat kontemporer,
sehingga ia dinobatkan sebagai pemenang hadiah Balzan Price for
Philosophy pada tahun 1999.2 Tidak heran kemudian apabila ia termasuk
tokoh yang masih hidup yang banyak diperbincangkan dengan panjang
lebar. Berbagai kajian tentang Ricoeur diselenggarakan di berbagai tempat,
baik secara personal insidentil oleh para pemikir dan penulis maupun secara
kolektif sistematis oleh lembaga-lembaga perguruan tinggi.3
Lebih khusus lagi dalam wilayah studi hermeneutika, Ricoeur telah
menyumbangkan, bukan hanya gagasan-gagasan (ideas) baru tetapi bahkan
wawasan (insight) baru.4 Kekhasan kajian hermeneutika Ricoeur, bukan
hanya karena ia adalah pemikir mutakhir sehingga memiliki kesempatan
untuk meng-up-date pemikiran-pemikiran sebelumnya, melainkan ia juga
1
Yang kita maksud dengan hermenutika adalah sebuah teori yang
mengatur tentang metode penafsiran, yaitu interpretasi terhadap teks, serta tanda-tanda lain
yang dapat dianggap sebagai sebuah teks. Dikutip dari Richard Palmer, Hermenutics,
Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Northwestern
University Press, 1969), 43, footnote no.23
2
Menurut ungkapan lembaga itu, Ricouer terpilih karena: “…his
capability in bringing together all the most important themes and indications of 20th
century philosophy and realaborating them into an original synthesis whinch turn language
in particular, that which is poetic and metaphoric into a chosen place revealing a reality
that we cannot manipulate, but interpret in diverse ways, and yet all coherent…”
International Balzan Foundation 1999, “Paul Ricouer Laudatio and Profile” pada http:
//www.balzan.it/english/pb1999/ricoeur/laudatiopprofolio.html
3
Lih.
mis.
“Graduate
Hermeneutic
Spring”
di
http//www.uta.edu/philosophy/ faculty/reader/GrHermSy/Samp.html; atau Paul Ricouer
Reading Group” di http//tcs.ntu. ac.uk.k.research/ricouer.html
4
Untuk bibliografi karya oleh maupun tentang Ricoeur yang mencapai
puluhan judul, lihat “References on Hermeneutics.”
meng-up-grade dengan menampilkan corak kajian hermeneutika yang
sepenuhnya berbeda dengan kajian-kajian yang ada.
Sebagaimana yang dikatakan Joseph Bleicher dalam Contemporary
Hermeneutics (1981)5 yang menempatkan pemikiran Ricoeur di luar tiga
tradisi pemikiran hermeneutik: hermeneutika metodologis, hermeneutika
filosofis dan hermeneutika kritis. Ini menunjukkan bahwa corak pemikiran
Ricoeur tidak dapat dimasukkan dalam salah satu dari tiga tradisi itu. Dan
dengan melihat pada para komentator Ricoeur seperti Don Ihde6 dan
Patrick L. Bourgouis,7 Zainal Abidin8 bahkan berani melangkah lebih jauh
dengan mengatakan bahwa untuk mengkaji hermeneutika Ricoeur, tidak
perlu melacak akarnya pada perkembangan hermeneutika sebelumnya. 9
RICOEUR DAN HERMENEUTICAL DESPUTE
Sebelum melangkah pada kajian pemikiran Ricoeur, ada baiknya
kita melihat kontur yang lebih luas dari posisi pemikiran Ricoeur sendiri
dalam peta pemikiran hermeneutika. Hal ini akan dapat memudahkan kita
untuk memahami pengaruh dan tantangan dari pemikirannya. Sebab, dalam
genealogi intelektual, setiap pemikiran selalu merupakan aksi sekaligus
reaksi terhadap wacana yang sudah ada.
Mengikuti penjelasan Bleicher,10 pemikiran Ricoeur dapat dianggap
menjembatani perdebatan sengit dalam peta hermeneutika antara tradisi
5
Bleicher sendiri menempatkan Ricoeur sebagai penghubung sekaligus
pembeda dari aliran-aliran hermeneutika yang ada. Bahkan ia juga dianggap sebagai
penghubung antara dua tradisi filsafat besar yaitu fenomenologi Jerman dan strukturalisme
Perancis
6
Don Idhe, Hermeneutics Phenomenology (Evanston: Northwestern
University Press, 1971).
7
Patrick L. Bourgouis, Extenssion of Ricoeur Hermeneutics (The Hague:
Matinus Njhoff, 1975).
8
Lih. Zainal Abidin, “Fenomenologi” Hermeneutik Paul Ricoeur, Skripsi
UGM 1990, 144-145.
9
Sikap inipun sebenarnya juga diambil oleh Richard Palmer dengan
menempatkan posisi Ricoeur yang sepenuhnya terpisah dari tokoh-tokoh hermenutik yang
dibahasnya; Lih. Palmer, Hermenutics, Interpretation Theory..., 43-45.
1
0
Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics, Hermeneutics and
Method, Philosophy, and Critique (London: Ruthledge & Kegan Paul, 1980), Chapter 13,
233-235.
metodologis dan tradisi filosofis yang masing-masing diwakili oleh Emilio
Betti dan Hans-George Gadamer.11 Di satu sisi Ricoeur berpijak pada titik
berangkat yang sama dengan Betti bahwa hermeneutika adalah kajian untuk
menyingkapkan makna objektif dari teks-teks yang memiliki jarak ruang
dan waktu dari pembaca,12 namun di sisi lain, ia juga menganggap bahwa
seiring perjalanan waktu niat awal dari penulis sudah tidak lagi digunakan
sebagai acuan utama dalam memahami teks. Dan ini adalah posisi
Gadamer.13
Lebih jauh lagi, Ricoeur juga dianggap menjadi mediator dari posisi
tradisi hermeneutika romantic dari Schleirmacher dan Dilthey dengan
hermeneutika filosofisnya Martin Heidegger.14 Mengikuti Dilthey, Ricoeur
menempatkan hermeneutika sebagai kajian sebagai ekspresi-ekspresi
kehidupan yang terbakukan dalam bahasa (linguistically fixed expression of
life),15 namun ia tidak berhenti pada langkah psikologisme untuk
merekonstruksi pengalaman penulis (seperti Schleirmacher), 16 maupun
usaha penemuan diri sendiri pada orang lain (seperti Dilthey) 17 melainkan
untuk menyingkapkan potensi keber-Ada-an atau Eksistensi (seperti
Heidegger).18
Bahkan Ricoeur dapat ditempatkan sebagai perpaduan antara dua
tradisi filsafat besar, yaitu fenomenologi Jerman19 dan Strukturalisme
1
1
1
2
Ibid.
Ricoeur, “The Tast of Hermeneutics,” dalam Hermeneutics and Human
Sciences, trans.& ed. John B. Tomphson (Canbridge: Canbridege University Press, t.t), 48.
1
3
Ibid., 59 dst.
1
4
Ricoeur sendiri menganggap pemikiran Heidegger sebagai sambutan
langsung terhadap persoalan yang tak terjawab oleh Dilthey; Lih. Ricoeur, Ibid, 53-54.
1
5
Dilthey memiliki rumusan Interpretation-Expression-Understanding;
Lih. Palmer, Hermenutics, Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger,
and Gadamer, 107-115.
1
6
Schleimacher menganggap bahwa rekonstruksi psikologis merupakan
langkah utama dan puncak dari metode hermeneutika untuk memahami teks; Lih. Palmer,
Ibid., 86.
1
7
Sedangkan bagi Dilthey, usaha pemahaman diri dapat dilakukan dengan
melalui pemahaman terhadap orang lain. Palmer, Ibid., 14-15.
1
8
Ibid., 130.
1
9
Ricoeur termasuk perintis kajian Husserlian di Prancis, karena ia yang
pertama kali menerjemahkan karya Husserl ke dalam bahasa Prancis; Lih. John B
Thompson, “Editors Introduction” dalam Paul Ricoeur, Hermeneutic and Human Science,
2.
Perancis.20 Dari arah fenomenologi, Ricoeur juga memadukan antara
tendensi metafisik Cartesian Edmund Husserl dan tendensi eksistensial dari
Heidegger,21 sedangkan dari Strukturalisme ia mengadopsi baik dari aliran
linguistik dari Ferdinand de Saussure maupun aliran Antropologis dari
Claude Levi-Strauss.22 Sebagai tambahan, Ricoeur juga mengakomodir
tendensi kritik ideologi di satu sisi dan psikoanalisis di sisi lain untuk
melakukan eksplorasi isi pada kajian hermeneutika yang ia lakukan.23
MENCANGKOK24 HERMENUTIKA DARI FENOMENOLOGI
Selanjutnya mari kita menukik lebih dalam pada penelusuran
pemikiran hermeneutika menurut Paul Ricoeur. Sebagaimana dikatakan di
atas, meskipun mengakomodir semua tendensi dalam sejarah hermeneutika,
bahkan di antara berbagai cabang dan model hermeneutika yang saling
bersaing, namun Ricoeur sekaligus membuka wawasan baru dalam kajian
hermeneutika yang sekaligus mengatasi atau melampaui carut-marut
hermeneutical despute yang sudah berlangsung dan bukan sekedar
mendamaikan semata. Dalam hal ini barangkali akan cukup memadai bagi
kita untuk memfokuskan pada dua tema sentral dalam pemikiran
2
0
Strukturalisme adalah aliran filsafat bahasa modern yang berkembang di
bawah pengaruh Ferdinand de Saussure, yang kemudian dikenal dengan Simiologi; Lih.
William McNeil & Karen S. Feldman, Continental Philosophy (Massachusset: Blackwell
Pub., 1998), 297.
2
1
Paul Ricouer, “Existence and Hermeneutics”, dalam Bleicher,
Contemporary Hermeneutics..., 240-241.
2
2
Ibid., 22-24.
2
3
Pada aspek ini sepertinya tidak langsung, tapi justru sentral.
Sebagaimana yang nantinya dapat dilihat bagaimana Ricoeur memainkan Psikoanalisis
dalam mengembangkan hermeneutika fenomenologis dan di tempat lain juga dapat
disaksikan bagaimana Ricouer menggunakan kritik ideologi untuk membangun
hermeneutics suspicion; Lih. Ricouer, “Hermeneutics and Critics of Ideology,” dalam
Hermeneutic and Human Science.
2
4
Istilah mencangkok (grafting, greffer) digunakan oleh Ricoeur sendiri
untuk menandai usahanya memadukan antara hermeneutika ilmu (metodologi) dengan
fenomenologi sebagai filsafat (ontology). Tujuan Ricouer adalah mengembangakan sebuah
hermeneutika yang metodologis sekaligus ontologism. Dari sini orang kadang-kadang
bingung untuk menata kedua kata tersebut, mana yang subjek dan mana yang predikat.
Misalnya, Zainal Abidin menulis Skripsi berjudul “Fenomenologi Hermeneutik Paul
Ricouer,” UGM, 1992.
hermeneutika Paul Ricoeur, yaitu apa yang ia sebut sebagai jalan panjang
hermeneutika dan setelah itu kita akan menelaah apa yang menurutnya
problem sentral dalam hermeneutika: yaitu hubungan antara bahasa lisan
dan metafor di satu sisi dengan bahasa tulis dan teks di sisi lain. Dengan
menelaah dua tema itu, barangkali kita sudah akan dapat mengikuti proyek
utama
Ricoeur,
yaitu
mencangkokkan
Hermenutika
dengan
25
fenomenologi.
Ricoeur menganggap bahwa persoalan hermeneutika adalah
persoalan yang sudah sangat panjang sejarahnya, 26 mulai dari tradisi
Yunani hingga pemikiran teologi abad pertengahan. Ini disebutnya sebagai
fase pertama hermeneutika klasik. Di sini hermeneutika sudah menghadapi
persoalan filosofis, di mana ia tidak hanya merupakan sebuah keahlian
teknis dalam menafsirkan teks tertentu (techne hermeneutikhe) melainkan
juga berhadapan dengan persoalan tentang pemahaman dalam arti yang
lebih luas. Inilah yang diangkat dalam pemikiran Aristoteles dalam Peri
Hermeneia. Pada tahap ini sudah dihasilkan dua arah kajian hermeneutika,
yaitu sebagai interpretasi atau tafsir terhadap suatu teks tertentu serta
sebagai pemahaman terhadap konsep pemahaman itu sendiri.27
Sedangkan fase kedua perkembangan hermeneutika klasik dibidangi
oleh Schleirmacher28 dan terutama Dilthey.29 Pemikir yang terakhir ini
menurut Ricoeur telah berjasa untuk membangkitkan pertanyaan
fundamental mengenai keunikan posisi manusia vis-à-vis objek alami,
sehingga kajian terhadap manusia qua manusia harus menggunakan
metodologi yang berbeda dengan ilmu alam. Dilthey mengusulkan sebuah
ilmu kemanusiaan (Geistesswissenschaften) yang secara epistemologi akan
bersaing dengan ilmu-ilmu alam yang positivistik.30 Pertanyaan kedua dari
2
5
Sebenarnya berbagai cabang kajian yang dikembangkan Ricoeur, mulai
dari hermeneutika, ontologi, teologi, ideologi, etika, hingga pendidikan, menyusun sebuah
bangunan besar yang padu di mana ujungnya saling bertemu. Bila kita memasuki sebuah
kajian kita akan menembus ke dalam kajian-kajian yang lain.
2
6
Jean Groundin dalam Introduction to Philosophical Hermeneutics (New
Haven: Yale University Press, 1994), mengurutkan tahapan ini dari zaman Yunani, Abad
pertengahan, Pencerahan, hingga modern.
2
7
Ricouer, Existence and ..., 236-238.
2
8
Palmer, Hermenutics, Interpretation Theory..., 84.
2
9
Ricoeur, The History of..., 49.
3
0
Meskipun ia tampaknya masih terkurung dalam sangkar yang justru
ingin ia tolak
Dilthey yang fundamental adalah kesadaran historis. Bahwa manusia adalah
wujud historis yang hanya dapat hidup, dipahami, dan memahami secara
historis. Kehidupan selalu dalam konteks. Kebenaran bagi manusia selalu
dalam konteks.31 Namun, Ricoeur mencatat bahwa pertanyaan yang
diajukan Dilthey ini menyimpan residu problem yang tak mampu ia reduksi
sendiri: sebagai mahluk historis bagaimana manusia dapat memahami
sejarah secara historis? Bagaimana kehidupan dapat menampilkan diri
sekaligus menyingkapkan makna dirinya yang dapat terpahami oleh wujud
historis lain?32
Persoalan inilah yang menurut Ricoeur memicu pertanyaan tentang
ontology of understanding.33 Yaitu untuk menjawab pertanyaan paradox di
atas maka kita harus lebih dulu mengetahui hakikat manusia sebagai keberada-an yang historis, keberadaan yang terjebak dalam arus waktu, Das Sein,
Being and Time.34 Hermeneutika bukan lagi diarahkan kepada teks
melainkan kepada realitas itu sendiri untuk menemukan eksistensi keberada-an yang bersifat historis. Namun jalan ini oleh Ricoeur dianggap
sebagai potong kompas karena melakukan lompatan dari hermeneutika
pada level metode kepada level metafisika atau ontology. 35 Dan ini yang
dilanjutkan oleh Gadamer dengan memisahkan metode dan kebenaran
(truth and metode). Sehingga pertanyaan yang muncul adalah, dalam
pemahaman jenis apakah yang ada di situ?36
Sedangkan menurut Ricoeur, pertanyaan yang tepat mestinya
adalah: dalam kondisi bagaimana sebuah wujud yang mengetahui dapat
memahami teks atau sejarah?37 Pertanyaan ini lebih memadai karena lebih
sistematis dalam usaha mengarahkan hermeneutika dari level metode
3
1
3
2
Palmer, Hermenutics, Interpretation Theory..., 103-106.
Ricoeur, The Task of..., 53.
3
3
Ricoeur, Existence and Hermeneutics..., 238.
3
4
Heidegger menulis Being and Time dalam rangka memetakan bahwa
Being adalah implicit dalam Time. Sebenarnya Heidegger ingin melanjutkan dengan
melakukan pembalikan (Kehre) tentang Time dan Being, tapi gagasannya macet karena
menurutnya bahasa metafisika tidak memadai untuk itu. K. Bertens, Filsafat Barat Abad
XX, Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 1990), 150-51.
3
5
Ricoeur, Existence and Hermeneutics..., 239.
3
6
Ibid.
3
7
“On what condition being that knowing understand text or history?”
Sementara rumusan pertanyaan sebelumnya adalah: “What kind of being whose being
consist in interpretation? Ricoeur, Existence and Hermeneutics..., 239.
menuju metafisika. Sedangkan pertanyaan terdahulu mengalami lompatan
sehingga antara metodologi dan ontology tetap terdapat jarak yang tak
terjembatani.38
Selanjutnnya, Ricoeur menguraikan bahwa proses okulasi antara
metode dengan metafisika dari teori ke ontologi, dari hermeneutika ke
fenomenologi, terdapat tiga tahapan yang harus dilalui.39 Pertama adalah
level semantic, yaitu bahwa bahasa merupakan wahana utama bagi ekspresi
ontologi.40 Oleh karena itu, poros yang tidak dapat ditinggalkan adalah
kajian terhadap struktur bahasa dan kebahasaan mencakup keseluruhan
sistem symbol sebagai hakikat dari berbahasa. Keberbahasaan ini dalam
tataran normal akan tercakup dalam kajian simbolisme sebagai kajian
terhadap sistem bahasa.41 Sedangkan dalam tataran abnormal menjadi
kajian dari psikoanalisis, yaitu dalam usaha untuk mengungkapkan makna
yang tak terbahasakan karena terepresi atau pengungkapan makna yang
terdeviasi atau bahkan tereduksi, karena kendala dalam sistem
komunikasi.42
Level semantic ini memiliki peran fundamental dalam menjaga
hubungan antara hermeneutika dengan metode di satu sisi dan ontology di
sisi yang lain.43 Hermeneutika sebagai metode, sebagai praktik yang
dijalankan, akan menjaganya terhindar dari langkah untuk memisahkan
konsep metode dan konsep kebenaran. Selanjutnya, ia juga bermanfaat
dalam hubungan dengan fenomenologi sebagai usaha untuk menangkap
3
8
3
9
Ibid., 340.
Tahapan ini dinamakan sebagai jalan panjang yang dilawankan dengan
lompatan ontologisnya Heidegger dan Gadamer. Namun ini juga mengimplikasikan
ketidaklangsungan (indirectness) dan fenomenology of being; Ibid., 266.
4
0
Sebenarnya ini juga merupakan jargon utama Gadamer, “Sein das
verstanden widen kann, ist sprache” being that can be understood is language, Bertens,
Filsafat Barat Abad..., 231.
4
1
Ricoeur mendefenisikan simbolisme sebagai: “ …any structure of
signification in which a direct, primary, literal meaning designates, in addition, another
meaning which is indirect, secondary dan figurative and which can be apprehenden only
through the first.” Ricoeur, Ibid., 245.
4
2
Ricoeur menganggap bahwa jasa utama psikoanalisis adalah
memecahkan persoalan distorsi makna baik karena represi maupun miskomunikasi.
Dengan demikian mencegah terjadinya kesalahpahaman karena ungkapan-ungkapan
makna yang tidak normal, melalui pengenalan terhadap posisi subjek dari situasi
ketertekanannya; Ibid., 252-254.
4
3
Ibid., 247.
realitas “keber-ada-an” manusia bukan sebagai entitas objektif dan statis
melainkan equivocal dan intensional.44 Dan terakhir, tataran penampang
semantik ini akan menjaga pintu penghubung antara hermeneutika dengan
filsafat bahasa yang lain dan bahkan filsafat secara keseluruhan. 45
Tahap kedua adalah level refleksi, yaitu mengangkat lebih tinggi
lagi posisi hermenutika pada level filosofis. 46 Level semantic
memungkinkan hermeneutika memijakkan kakinya pada tingkap teknik
aplikatif kebahasaan. Sedangkan pada level ini hermeneutika harus
melewati tahap yang lebih tinggi untuk memperoleh posisi sebagai sebuah
filsafat. Posisi itu akan teraih dengan melalui proses ulang-balik antara
pemahaman teks dengan pemahaman diri.47 Proses ini berlangsung mirip
dengan lingkaran hermeneutic Schleirmacher, 48 di mana yang satu
menghasilkan yang lain dan keduanya harus dilaksanakan secara bersama.
Tujuan hermeneutika dalam hal ini adalah memahami diri sendiri melalui
pemahaman orang lain. Yaitu dengan mengatasi jarak waktu yang
memisahkan antara kita dengan teks. Namun refleksi ini tidak terjadi dalam
pola Cogito Cartesian49 di mana entitas diri adalah sesuatu yang statis dan
objektif terkungkung dalam hubungan subjek-objek, melainkan dalam
sebuah benturan langsung dalam realitas sebagaimana yang diistilahkan
Dilthey dengan ekspresi kehidupan.50 Dalam hal ini yang kita gunakan
4
4
4
5
Ricoeur, Existence and Hermeneutics..., 248.
Ricoeur secara luas menggunakan kajian filsafat bahasa dalam
hermeneutiknya. Rujukan intensif ia lakukan pada Wittgenstein, I.A. Richard, Max Black
maupun Moore Berdsley; Lih. Ricoeur “Metaphor and Central Problems of
Hermeneutics,” dalam Hermeneutics and Human Sciences, 170.
4
6
Ricoeur menganggap bahwa dengan berada pada level semantic
hermeneutika belum menempati posisi sebagai sebuah filsafat. Sebab filsafat menurutnya
adalah bagaimana mempertanyakan realitas dalam konteks general, Yvanka B. Raynova,
“Philosphie et Theologie: les deux voies de Paul Ricouer,” Labirint, vol. 2 Winter 2000,
http://h2hobel.phl.univie.ac.at/’iaf/Labyrinth/2000/raynova2.html., 2-3. Di tempat lain,
pada konferensi filsafat entretien avec Pul Ricoeur”, http://h2hobel. Phl. Univie.
ac.at/’iaf/Labyrinth/2000/ricouer.html
4
7
Sekali lagi di sini kita menyaksikan jejak-jejak Dilthey.
4
8
Palmer, Hermenutics, Interpretation Theory..., 87.
4
9
Cogito di sini adalah diri yang berpikir secara objektif.
5
0
Lih. Palmer, Ibid., 111 dst.
bukan logika positivistic yang bisa dijungkirbalikkan, melainkan logika
transcendental yang berpijak pada perjumpaan langsung dengan realitas.51
Tahap ketiga adalah level eksistensial. 52 Pada tahap ini, menurut
Ricoeur hermeneutika memasuki tahap paling kompleks yaitu ontology
membeberkan hakikat dari pemahaman, ontology of understanding melalui
methodology of interpretation. Pada tahap ini akan tersingkap pemahaman
dan makna, bagi manusia, ternyata berakar pada dorongan-dorongan yang
lebih mendasar yang bersifat instingtif: hasrat. 53 Dari hasrat inilah lahir
kehidupan, dan selanjutnya bahasa. Untuk menyingkapkan realitas hasrat
ini, sebagai realitas yang tidak disadari instingtif, Ricoeur mengajak kita
melewati lorong Psikoanalisis.54 Melalui lorong ini kita diajak untuk
menemukan the archeology of subject55 – suatu sumber data diri paling
primitif dan mentah. Dari sini kita akan menyadari, kata Ricoeur, bahwa
ontology pemahaman itu bisa ditarik kepada arah awal dan ke dalam. 56 Di
samping itu, ontology pemahaman manusia juga memiliki akar pada
kesadarannya terhadap realitas yang lebih tinggi dari kesadaran dirinya
sendiri, yaitu kekuatan semesta yang teratur, yang membatasi hasrathasratnya dalam batasan-batasan yang stabil. Di sini kita akan memasuki
5
1
Maksudnya, adalah bahwa selama argument itu dibangun dengan
logika, tidak peduli berbagai bukti yang diajukan, maka ia dengan sangat mudah akan
dijungkirkan dengan logika pula. Seperti misalnya yang dilakukan oleh Bertrand Russel
dalam Why I am not a Christian, di mana ia membalikkan semua argumentasi tentang
adanya Tuhan. Dan dengan logika yang sama pula ia berkesimpulan bahwa Tuhan tidak
mungkin ada. Ricouer mengatasinya sama dengan Dilthey, yaitu masuk ke dalam tahap
sebelum terjadinya dikotomi subjek-objek dalam pengetahaun.
5
2
Eksistensialisme Ricouer ini lebih dekat kepada Jaspers, Marcel dan
Marleu-Ponty ketimbang kepada Sartre. Yaitu eksistensi dalam batas-batas kontek historis.
Sementara Sartre menjadikan eksistensi sebagai keterbatasan manusia.
5
3
Bukan dalam arti psikologis berupa keinginan yang menggebu,
melainkan sebagai dorongan fisik primitif dari kehidupan untuk hidup. Bandingkan dengan
konsep Freud tentang Id.
5
4
Langkah Ricoeur menggunakan psikoanalisis relatif alami, dan tidak
memaksakan diri sebagaimana para psikolog transpersonalis menggunakan William James.
Lihat James T. Alexander, “William James, the sick Soul and the Negative Dimensions of
Counsiousness: A Partial Critique of Transpersonal Psychology,” Journal of American
Academy of Religion, XLVIII/2, 1980.
5
5
Arkeologi berarti data berserakan yang tidak tersusun secara kausal.
Konsep ini juga yang nantinya digunakan Foucault dalam L’Archeologie du Savoir;
Ricouer, Existence and Hermeneutics..., 253.
5
6
Ricouer, Ibid.
lorong Phenomenology of the Spirit57–suatu kesadaran akan adanya
kesadaran yang lebih tinggi, bertujuan teologis dan menyatukan.58 Pada
tahap ini ontology pemahaman manusia bisa ditarik pada ujung yang lebih
akhir dan bersifat ke luar. Dan pada lapis terakhir kita akan menembus
lorong Phenomenology of Religion,59 yang kata Ricoeur merupakan tahapan
paling tinggi eskatologis di mana pada lapisan ini ontology pemahaman
manusia bisa ditarik ke atas yang melampaui masa lalu dan masa depan ke
arah yang sacral.60 Yang sakral ini lebih unggul ketimbang arche maupun
telos karena di luar kendali manusia. Dalam posisi ini manusia hanya dapat
bersikap pasif dan menunggu panggilan dari sana.61
Dengan demikian, maka level ontologis dapat diraih dengan
sempurna, tanpa kehilangan pijakan pada level methodology, yaitu melalui
interpretasi. Sehingga ontology yang konkrit dan wajar bagi hermeneutika
bukanlah ontology of understanding secara langsung dalam dirinya sendiri,
melainkan sejauh yang dapat kita jangkau melalui interpretasi ontology. 62
Dengan ketiga tahapan ini, hermeneutika tidak meletakkan
posisinya di kursi metafisika dengan tenang, anggun dan aman, tanpa harus
melakukan lompatan yang intuitif, melainkan tetap melalui prosedur
metodologis. Setelah menyingkapkan postur hermeneutika yang berpijak di
metode, meliuk di filsafat dengan logika transenden, serta menjulang
5
7
5
8
Ricouer, Existence and Hermeneutics..., 254.
Telos sebagai sifat semesta yang purposive dalam dirinya sendiri.
Tetapi kadangkala asumsi ini dianggap tidak ilmiah. Lihat pembahasan Frihjof Capra
tentang teori Gaia dalam Jaring-jaring Kehidupan, Visi Baru Epistemologi dan
Kehidupan, terj. Saut Pasaribu (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001).
5
9
Fenomenologi Agama adalah cabang ilmu yang telative
independent dari fenomenologi Hesserlian; Lih. Ursula King “Debat Metodologis Pasca
Perang Dunia II, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), 303.
6
0
Ricoeur merujuk pada Eliade. Namun di sisi lain, Ricoeur
habis-habisan menyerang Eliade berkenaan dengan konsep tentang yang sacral yang
dianggap oleh Ricoeur terlalu kaku dan monoton, “Etreiten avec le philoosophe Paul
Ricoeur, sur L’Eurupe, la science et Dieu.”
6
1
Mungkin menarik untuk membandingkan konsep ini dengan
pandangan para mistikus yang menganggap tingkat tertinggi pengetahuan bukan pada
terapan melainkan perolehan.
6
2
Di sinilah tepatnya, poin di mana Ricoeur memadukan
sekaligus mengatasi hermeneutika metodologis dan filosofis.
menjangkau metafisika alias ontology: sekarang mari kita mengikuti lebih
jauh, apa yang menjadi tema sentral dalam hermeneutika Paul Ricoeur.
TUGAS-TUGAS POKOK HERMENEUTIKA
Menurut Ricoeur, tugas utama hermeneutika adalah untuk
memahami teks. Oleh karena itu, perngertian tentang teks menjadi sangat
sentral dalam pemikiran hermeneutika Ricoeur. Untuk itu, kita perlu
memberikan perhatian yang cermat pada poin ini.
Teks dan Teori Interpretasi
Secara mendasar, Ricoeur mengatakan bahwa teks adalah any
discourse fixed by writing.63 Berpijak pada defeinisi singkat ini, pertama
kali kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan Ricouer dengan
discourse, sebelum kita memahami tentang writing.
Dengan istilah discourse, Ricouer merujuk kepada bahasa sebagai
event, yaitu bahasa yang membicarakan tentang sesuatu. Pengertian ini
diambil Ricouer dari para filsuf bahasa seperti Austin dan Beardsley64 yang
membagi bahasa ke dalam dua sifat, yaitu “bahasa sebagai meaning65 dan
bahasa sebagai event.” Bahasa sebagai meaning adalah dimensi yang hidup
dan dinamis; atau dalam ungkapan Ricouer sendiri, “bahasa selalu
mengatakan sesuatu, sekaligus tentang sesuatu.” 66 Gampangnya, discourse
adalah bahasa ketika ia gunakan untuk berkomunikasi. Dan dalam hal ini
6
3
Ricoeur, “What is a text? Explanation and Understanding,”
dalam Hermeneutics and Human..., 145.
6
4
Ricoeur, “Text and Metaphore as ad Central Problem in
Hermeneutics,” 168.
6
5
Istilah makna adalah istilah yang menarik sekaligus
problematik. Bagi para pemikir positivis, mengatakan bahwa “makna berarti apa yang di
belakang penampakkan;” bagi para fenomenolog ia adalah substansi atau hakikat;
sedangkan bagi teolog, seperti pernah dikatakan Prof. Donna Runnals, meaning
maksudnya adalah suffering.
6
6
Ricoeur, “Metaphore and the Central Problem of
Hermeneutics,” 168. Dalam bidang teologi, Bultman, Ebeling dan Fuchs telah terlebih
dahulu menerapkannya pada teks-teks Alkitab yang pada gilirannya melahirkan “analisa
narasi” yakni bahwa teks dilihat dalam bentuk akhir, dan bahwa arti suatu teks akan
menjadi jelas jika terlebih dahulu mengalami rekionstruksi bahasa yang digunakan teks.
ada dua jenis artikulasi discourse yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis.67
Yang pertama membentuk komunikasi langsung dimana metode
hermeneutik tidak terlalu diperlukan, karena ujaran yang disampaikan
(speech) masih terlekat langsung kepada pembicara. Maka dari ujaran
tersebut masih bisa dirujuk langsung kepada intonasi maupun gerak isyarat
(gestures) dari si pembicara.68
Sedangkan teks merupakan sebuah korpus yang otonom. Ricoeur
menganggap bahwa sebuah teks memiliki kemandirian, totalitas, 69 yang
dicirikan oleh empat hal. Pertama, dalam sebuah teks makna yang terdapat
pada apa yang dikatakan (what is said)70 terlepas dari proses
pengungkapannya (the act of saying), sedangkan dalam bahasa lisan kedua
proses itu tidak dapat dipisahkan.71 Dalam sebuah dialog, maksud dari
seorang pembicara bukan hanya ditunjukkan oleh ucapannya, melainkan
juga oleh intonasi, mimik maupun gesturesnya. 72 Kedua, dengan demikian
makna sebuah teks juga tidak lagi terikat kepada pembicara, sebagaimana
bahasa lisan. Apa yang dimaksud teks tidak lagi terkait dengan apa yang
awalnya dimaksudkan oleh penulisnya.73 Bukan berarti bahwa penulis tidak
lagi diperlukan, meskipun Ricoeur sempat mengatakan tentang kematian
penulis,74 akan tetapi maksud si penulis terhalang oleh teks yang sudah
membaku. Yang tidak kalah menarik, Ricoeur menganggap bahwa penulis
lebih merupakan pembaca pertama. Ketiga, karena tidak lagi terikat pada
sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidak lagi terikat pada konteks
semula (ostensive reference),75 ia tidak terikat pada konteks asli dari
pembicaraan. Apa yang ditunjuk oleh teks dengan demikian, adalah dunia
Ricoeur, “Metaphore and the Central...,” 165-166.
Ricoeur, “Metaphore and the Central...,” 166-167.
6
9
Ibid., 212.
7
0
Thompson, “Editor’s Introduction...,” 13.
7
1
The Act of Speaking…is constituted by a hierarchy of
subordinate acts which are distributed on three level: (1) the level of locutionary or
proposiotional, the act of saying; (2) the level of illocutionary act or force, that which we
do in saying; (3) the level of perlucotionary act, that which we do by saying…” Ricoeur
“The Model of the...,” 199.
7
2
Sangat mungkin terjadi, dengan melihat ekspresi si pembicara,
apa yang ia katakan bermakna yang sebaliknya.
7
3
“What the text says no matter more than what the author meant
to say…” in “The Model of the...,” 201.
7
4
Ricoeur, “What is a...? 147.
7
5
Ibid., 201.
6
7
6
8
imajiner yang dibangun oleh teks itu sendiri dalam dirinya sendiri maupun
dalam hubungan dengan teks-teks yang lain. Terakhir, dengan demikian
juga tidak lagi terikat kepada audiens awal, sebagaimana bahasa lisan
terikat kepada pendengarnya. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca
tertentu, melainkan kepada siapapun yang bisa membaca, 76 dan tidak
terbatas pada ruang dan waktu. Dapat dikatakan pula bahwa sebuah teks
membangun hidupnya sendiri, karena sebuah teks adalah sebuah monolog.
Penjelasan lebih lanjut Ricoeur terhadap konsep teks ini juga akan
menjadi revisi bagi konsep Dilthey tentang Explanation dan
understanding,77 di mana Dilthey menganggap bahwa penjelasan adalah
karakteristik kerja ilmu alam, yaitu untuk mengungkapkan cara kerja
fenomena alami yang pasti dan tanpa intensi. Sementara pemahaman adalah
cara kerja ilmu humaniora, untuk mengungkapkan perilaku manusia yang
sangat kompleks, tidak kausalistik dan memiliki dimensi intensionalitas.
Dan kedua metode itu bekerja secara mutual exclusive.78 Sedangkan
menurut Ricoeur, kedua cara kerja metodologis tersebut tidak bisa
dipisahkan secara dikotomis. Dengan menerapkan pada persoalan
hubungan antara metaphor dan teks sebagai kodifikasi bahasa lisan dan
bahasa tulis, Ricoeur menunjukkan bagaimana penjelasan dan pemahaman
dapat diterapkan pada sisi yang berlainan. Penjelasan (explanation) adalah
cara kerja yang menghubungkan metaphor kepada teks, 79 yaitu pembakuan
bahasa lisan kepada bahasa tulis, sementara interpretasi (interpretation)
adalah cara kerja dari teks ke metaphor, yaitu transkripsi dari bahasa tulis
ke bahasa lisan.80
Dengan kata lain, bahasa sebagai meaning adalah sebuah sistem
tanda yang memiliki konstelasi internal, yang baku dan objektif. Di sini
Ricoeur meminjam teori para strukturalis mulai dari dikotomi langue dan
parole dari Ferdinand de Saussure, strukturalisme filosofis-antropologis
dari Claude Levi Strauss81 hingga analisis struktural sastrawi Rolland
7
6
7
7
Ibid., 203.
Ricoeur, “What is a...? 145.
7
8
Richard Palmer mengomentari bahwa pendukung paling setia
Dilthey, George Mish, sekalipun tidak mendukung dikotomi permanen ini; Lih. Palmer,
Hermenutics, Interpretation Theory ..., 106.
7
9
Ricoeur, “Metaphore and Central Problem...,” 177.
8
0
Ibid., 176.
8
1
Ibid., 154.
Barthes dan A.J. Greimas.82 Bahasa memiliki hukum-hukum yang baku,
yang bekerja mirip hukum alam. Ini adalah pengertian kata-kata dalam
kamus atau ensiklopedi yang sudah bermakna tunggal dan baku. Dalam
aspek inilah metodologi yang digunakan adalah explanation. Sedangkan
bahasa sebagai event atau discourse, adalah penampang bahasa yang terikat
kepada konteks. Di sini bahasa menjadi multi-interpretable, sehingga tidak
mungkin ada objektivitas, apalagi pembakuan. Di sinilah, lanjut Ricoeur,
tempatnya metode interpretation sebagai bentuk utama dari
understanding.83
Melangkah lebih jauh lagi, Ricoeur tidak hanya ingin sekedar
mendamaikan dikotomi yang diciptakan namun tidak mampu diatasi
Dilthey di atas. Sampai pada tahap itu, Ricoeur hanya menempatkan
explanation dan interpretation pada satu domain yaitu Geisteswissenschaften tetapi tetap saja keduanya adalah dua prosedur yang
berbeda dan bekerja secara terpisah.85 Untuk ini Ricouer mengajukan
prosedur kerja depth semantic86 yaitu dengan menempatkan kedua prosedur
metodologis di atas dalam sebuah garis linier. Menurut Ricoeur, analisis
explanation bisa digunakan sebagai tahap awal untuk mengkaji dimensi
statis dari teks, sedangkan interpretation digunakan selanjutnya untuk
menangkap makna kontekstual dari teks tersebut.87
Bagi Ricoeur, istilah makna kontekstual bukan lagi mengacu kepada
the single meaning dari teks yang bersangkutan, karena teks itu sudah
memiliki makna internal yang objektif dan tidak lagi ditopang oleh
intensional psikologis dari penulisnya melainkan the multiple meaning dari
konteks pembaca modern. Dalam sebuah pembacaan teks, seorang pembaca
tidak lagi masuk ke dalam teks untuk melakukan rekonstruksi psikologis
kepada pengarang, dan tidak pula menarik teks ke dalam preunderstanding-nya sendiri. Yang terjadi adalah seorang pembaca membuka
8
2
8
3
Ibid., 157.
Namun dalam konteks ini Ricoeur tetap lebih memilih
ungkapan interpretation sebagai bentuk derivative dari understanding.
8
5
Ibid., 161.
8
6
Ibid.
8
7
“…to explain is to bring out the structure, that is the internal
relations of dependence of constitute the static of the text; to interpret is to follow the path
of thought open up by the text, to place one self en route toward the orient of the text.”
Ibid, 161-162.
dirinya di hadapan teks yang juga telah membuka diri. Makna sebuah teks
tidaklah ada di balik atau di belakangnya, melainkan ada di depannya. 88
Sejarah Sebagai Teks
Ricoeur memperluas konsep teks ini bukan hanya pada bahasa yang
mengendap pada tulisan, melainkan juga kepada setiap tindakan manusia
yang memiliki makna yaitu setiap tindakan yang disengaja untuk mencapai
tujuan tertentu. Dalam hal ini dia meminjam teori Max Weber tentang
sinhaft orientierties Verhalten.89 Tujuan Ricoeur dalam teori ini adalah
membangun sebuah epistemology baru bagi ilmu-ilmu sosial maupun
humaniora karena, berdasarkan pendalaman pada hermeneutik sebagai
kajian terhadap teks, Ricoeur menganggap bahwa (1) objek dari ilmu-ilmu
sosial dan humaniora memiliki karakter sebagai teks; (2) dengan demikian
metodologi kajian untuk itu haruslah berupa kajian yang menyerupai kajian
interpretative (Auslengung) yang ada pada hermeneutika.90
Dalam penjelasan selanjutnya, Ricoeur memaparkan bagaimana
realitas sosial, atau dapat kita katakan sejarah,91 memiliki persamaan
karakater dengan definisinya mengenai teks. Pertama, fixation of action,92
yaitu bahwa realitas sosial baru akan dapat dijadikan sebagi objek kajian
ilmiah sejauh ia terbakukan dalam mekanisme maupun struktur seperti
terbakukannya discourse dalam tulisan. Sedangkan pemahaman pada
realitas sosial yang belum terbakukan, yaitu peristiwa-peristiwa yang
“Beyond my situation as reader, beyond the situation of the
author, I offer my self to the possible mode of being-in-the-world which the text opened up
the disclose to me.” Ricoeur, “Metaphore and the Central Problems of Hermeneutics,” 177.
8
9
Ricoeur, “The model of text, Meaningful Action Considered as
text,” dalam Hermeneutics and..., 203.
9
0
Ibid., 197.
9
1
Pada umumnya orang menganggap sejarah sebagai kajian masa
lalu jauh (far past); padahal realitas sosial yang kita hadapi sekarang inipun sebenarnya
adalah sejarah tapi dalam jangka dekat (near past). Sehingga sebenarnya yang dapat
dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial-humaniora adalah sejarah; Lih. Permata, Metodologi
Studi..., 21.
9
2
Ricoeur, “The Model of...,” 203.
8
8
datang dan pergi disebut dengan knowledge without observation, yaitu
pengetahuan tentang bagaimana dari realitas sosial dan bukan apa.93
Kedua, the automatiozation of action, berupa kenyataan bahwa
tindakan sosial kita memiliki makna objektif 94 dan bukan hanya semata
tergantung kepada maksud kita belaka sebagaimana makna teks yang sudah
tidak lagi tergantung kepada intensitas psikologis sang pengarang. Pada
tindakan sederhana memang masih memungkinkan hubungan antara pelaku
dengan perbuatannya. Namun dalam peristiwa-peristiwa sosial yang
kompleks yang memiliki dampak luas, maka hubungan antara maksud
dengan hasil tindakan semakin menjauh. Misalnya seorang pemimpin
politik, tidaklah dinilai dari apa tujuan dari kebijakan yang ia ambil,
melainkan dari hasilnya.95
Ciri ketiga dari realitas sosial yang memiliki karakter teks adalah
keterlepasannya dari konteks awal tindakan atau dalam ungkapan Ricoeur
sendiri adalah relevance and importance.96 Sebagaimana sebuah teks tidak
lagi harus dipahami berdasarkan konteks awalnya, demikian pula nilai
penting (importance) dari sebuah tindakan sosial tidak lagi terikat baku
dengan nilai pentingnya (relevance). Maksudnya, bahwa sebuah tindakan
bisa bermakna lain bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda, dan itu
adalah pemahaman yang absah dilakukan. Dan inilah yang sering terjadi
dalam proses hermeneutika judicial, di mana makna sebuah tindakan
diperdebatkan dengan mengaitkannya kepada konteks-konteks yang
berlainan.97
Yang terakhir, penampang dari meaningful action yang menyerupai
penampang sebuah teks adalah keterbukaanya kepada makna-makna baru
9
3
Ibid.; dimana Ricoeur mengikti konsep E. Anscombe tentang
“practical knowledge.”
9
4
Cukup jelas maksudnya di sini bila kita melihat konsep Peter L.
Berger tentang realitas sosial. Berger mengatakan bahwa realitas sosial terbangun dalam
siklus tiga tahapan, yaitu (1) Sosialisasi, di mana sekelompok orang membentuk konvensikonvensi sosial dalam berinteraksi, (2) konvensi tersebut kemudian menjadi sesuatu yang
baku, terobjektivikasi, yang tidak lagi melekat pada individu-individu anggota masyarakat,
dan (3) sosialisasi, di mana norma sosial objektif di atas diwariskan kepada generasi
berikutnya, yang pada gilirannya akan mengenakan sekaligus menginovasi norma sosial
ayng ada dan memulai tahapan siklus baru dengan sosialisasi; Lih. Berger, Sacred Canopy,
Element of Sociological Theory of Religion (New York: Anchor Books, 1069), 4.
9
5
Ricoeur, “The Model of ...,” 206.
9
6
Ibid., 207.
9
7
Ibid.
human action sebagai “open” work yang identik dengan karakter teks yang
juga equivocal. Maksudnya adalah, sebagaimana sebuah teks tidak lagi
terikat kepada audiens awal dalam suatu proses dialogis bahasa lisan,
demikian juga sebuah perbuatan tidak hanya dapat dinilai oleh orang-orang
yang menjadi saksi mata. Sebuah tindakan menjadi terbuka untuk
selamanya, bagi para penanggap baru yang datang dari ruang waktu. Yang
menjadi hakim dari sebuah tindakan atau realitas sosial bukan hanya orangorang dari zaman itu, melainkan sejarah itu sendiri.98
Dengan demikian, proyek hermeneutika fenomenologis Paul
Ricoeur merupakan sebuah jalan panjang dan ambisius, bukan hanya untuk
menjembatani hubungan antara hermeneutika metodologi di satu sisi degan
hermeneutika filosofis di sisi lain, tetapi juga membangun sebuah
epistemologi baru bagi ilmu-ilmu sosial-humaniora. Epistemologi ini tidak
lagi merupakan kelanjutan epistemologi tradisional, melainkan lebih pada
epistemologi kritis sebagaimana yang kita jumpai dalam pemikiran
hermenutika kritis baik dai Karl-Otto Apel maupun Jürgen Habermas.
PENUTUP: IMPLIKASI HERMENUTIS
Dari analisa teori interpretasi, Paul Ricoeur membawa kita untuk
dapat mengantisipasi beberapa implikasi, yakni yang berkisar pada
penggunaan dan pengkaburan konsep peristiwa pembicaraan dalam tradisi
hermenutika romantic yang telah dibangun oleh Schleirmarcher dan
Dilthey, bahwa interpretasi harus mengindentifikasi kategori pemahaman
sebagai maksud mula-mula dari sudut pandang penulis teks atau si
pembicara. Dalam hal ini Ricoeur mengajak untuk mempertanyakan asumsi
hermeneutika ini dari sudut pandang anatomi bahasa, bahwa tanpa adanya
suatu penyelidikan khusus terhadap tulisan (teks), suatu teori analisa bahasa
belum dapat menjadi suatu teori teks. Namun bila suatu teks dapat
diakomodir oleh teori analisa bahasa, maka kondisi inskripsi bahasa berada
dalam persyaratan yang memungkinkan terjadinya suatu wacana dalam
pengaruh teks. Dalam artian bahwa apa yang terjadi dengan teks adalah
manifestasi sepenuhnya pembicaraan yang hidup, yakni pemilahan makna
9
ist Weltgerict.
8
Ibid., 208; Ricoeur mengutip ungkapan Hegel Wltgenschichte
dari peristiwa, yakni otonomi teks tetap muncul dalam aturan dialektika
peristiwa dan makna teks.
Di sinilah Ricoeur menawarkan sebuah proyek yang menarik dalam
rangkuman ilmu teologi dan filsafat sebagai suatu pendekatan bagi kajiankajian hermeneutika yang berguna bagi suatu analisis kritis dalam dunia
interpretasi.
KONTRIBUSI GAGASAN JÜRGEN HABERMAS
BAGI HERMENEUTIKA POSTMODERN
ERNI M.C. EFRUAN
PENDAHULUAN
Hermeneutika dalam segala tahap perkembangannya sangat
berpengaruh, bukan hanya dalam bidang teologi, tetapi juga dalam berbagai
bidang pengetahuan manusia. Dalam Postmodern ini, orang yang mengaku
ilmuwan atau filsuf, tidak bisa begitu saja mengabaikan hermeneutika.
Ironisnya, manusia Postmodern menyerang kekristenan karena
beranggapan bahwa merekalah satu-satunya yang memiliki kebenaran.
Berdasarkan pemikiran yang objektif dan metanaratif sekuler, manusia
Postmodern tidak percaya adanya metanaratif-absolut.1 Sedangkan,
kepercayaan berelasi erat dengan pemahaman, sementara semua
interpretasi mencakup pemahaman.2 Untuk dapat menginterpretasi hal-hal
metanaratif, maka pastinya terlebih dahulu harus memahami. Tentunya,
memahami dan menginterpretasi adalah satu momen dalam satu proses
Bnd. Henry Efferin, “Pascamodernisme dan Keyakinan Injili” dalam
Jurnal Pelita Zaman, Jakarta: Mei-Oktober (1999), 1; bnd. Gene E. Veith, Jr., Postmodern
Times (Wheaton: Crossway Book, 1994), 18-20.
2
Menurut Habermas, pemahaman adalah suatu kegiatan dimana
pengalaman dan pengetahuan teoritis berpadu menjadi satu. Pemahaman yang dimaksud
adalah pemahaman monologis atau makna, yaitu pemahaman yang tidak melibatkan
hubungan-hubungan faktual tetapi mencakup bahasa-bahasa 'murni' (mis. bahasa simbol).
Bahasa dan pengalaman harus masuk ke dalam dialektik dengan tindakan. Oleh karenanya,
bila kita hendak membuat interpretasi yang benar dan tepat, maka kita harus
mengupayakan dialog antara bahasa dan pengalaman di satu sisi dan tindakan di sisi lain;
Bnd. Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interest (Boston: Beacon Press, 1972),
144.
1
yang menciptakan lingkaran hermeneutika; hermeneutika tidak dapat
mempersempit ketergantungannya pada hal-hal lain. Di sini hermeneut
mengahadapi dilema antara tetap objektif dan bersifat subjektif, atau antara
tetap subjektif dan harus menjadi objektif.
Dengan demikian, adakah kontribusi dimensi gagasan atau
pemikiran filsuf hermeneutika atau hermeneut bagi hermeneutis-teologis
yang memadai di era Post Modern ini?
POSTMODERN DAN HERMENEUTIKA
Mencari dan menemukan kontribusi gagasan-gagasan atau
pemikiran-pemikiran filsuf hermeneutika terkemuka saat kini Jürgen
Hubermas telah menstimulir penulis untuk terlebih dahulu mengkaji
hakekat postmodern dan hermeneutika pada bagian berikut ini.
Postmodern
Postmodern adalah suatu tantangan utama bagi kekristenan abad ke21 ini. Para pemikir Barat beranggapan bahwa manusia sudah melewati
zaman Modern yang berlangsung mulai dari Abad Pencerahan (Aufklarung)
sampai tahun 1960-an.3 Faktanya, terjadi perubahan budaya yang
berlawanan dengan ciri khas zaman modern, yakni: inovasi yang lahir
sebagai reaksi terhadap kemandulan dan kelumpuhan Abad Pertengahan.4
3
Bnd. Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodern (Grand Rapids:
Eerdmans, 1996), 7-20.
4
Beberapa pemikir dengan berani mencoba untuk menggambarkan
suasana baru ala Postmodern. Namun usaha mereka cenderung merefleksikan posisi yang
menaruh simpati. Misalnya Sallie McFague memuat asumsi-asumsi Postmodern dalam
tulisannya yang menginginkan adanya “penghargaan lebih besar terhadap alam, pengakuan
akan pentingnya 'bahasa' dalam hidup manusia, pengurangan kekaguman terhadap
teknologi, penerimaan tantangan dari agama-agama lain terhadap tradisi Yudeo-Kristen,
kepekaan akan adanya wahyu baru, kepekaan akan adanya pergeseran dari posisi pria
Barat berkulit putih dan kebangkitan mereka yang tertindas akibat gender, ras atau kelas
sosial dan mungkin yang paling penting adalah bertumbuhnya kesadaran akan adanya
saling-ketergantungan secara radikal dari semua pihak dan di dalam segala cara yang dapat
dipikirkan,” Lih. Sallie McFague, Metaphorical Theology (Philadelphia: Fotress Press,
1982), x-xi; bnd. Diogenes Allen, Christian Belief in a Postmodern Worl: The Full Wealth
of Conviction (Lousville: Westminster/John Konox Press, 1989), 2; Istilah Postmodern
dapat ditelusuri kembali dari tahun 1930-an, ketika sebuah perubahan besar terjadi dalam
sejarah; Lih. Margaret Rose, “Defining the Post-Modern” in The Post Modern Reader,
Pemikir lain seperti sejarawan Arnold Toynbee berpendapat bahwa Perang
Dunia I merupakan saat berakhirnya Modernisme dan dimulainya
Postmodern.5 Dengan demikian dapat dianggap bahwa pencetus istilah
Postmodern adalah Arnold Toynbee dengan bukunya yang termahsyur
berjudul Study of History.6 Ada pula yang mengatakan bahwa karya
Friedrich Nietzsche (1844-1900) berjudul Thus Spoke Zarathustra, terbit
tahun 1883,7 menandai berakhirnya era Modern dan bangkitnya
Postmodern. Tetapi Charles Jencks, arsitek Postmodern yang paling
berpengaruh mengatakan bahwa, the end of modernism and the beginning
of postmodernism took place at:32 P.M. on July 15, 1972.8 Jean Francois
Lyotard dengan semangat Nietzschean yang menyala-nyala mengemukakan
kematian pilar-pilar metanaratif modernisme seperti dialektika roh,
emansipasi proletar, hermeneutika dan sains.9 Dengan demikian, kehadiran
Postmodern merupakan reaksi penolakan terhadap modernisme dan
Charles Jenck, ed. (New York: St. Martin's Press, 1992), 119-136; Istilah Postmodern juga
menunjuk kepada perkembangan dan pergeseran yang terjadi dalam dunia seni; bnd. Craig
Van Gelder, “Postmodernism as an Energing Worldview,” Calvin Theological Journal 26
(1991), 42.
5
The first instance of the word postmodernism cited by the Oxford English
Dictionary is Dated 1949 from a book on architecture; bnd. Charles Jencks, What is PostModern? (New York: St. Martin's Press, 1989), 8.
6
For Toynbee, The Postmodern age would be the fourth and final phase
of Western history and one dominated by anxiety, irrationalism and helplessness; Arnold J.
Toynbee, A Study of History (London: Oxford University Press, 1948), 399-404. Menurut
analisis Toynbee, Postmodern dintandai dengan berakhirnya dominasi Barat dan semakin
merosotnya individualisme, kapitalisme dan kekristenan; bnd. Grenz, A Primer on..., 31.
7
Lih. Grenz, A Primer on Postmodern, 133; Zarathustra merupakan
model filsuf ciptaan Nietzsche. Yang terpenting dalam munculnya budaya baru (Manusia
Super/Ubermensch) adalah bahasa baru (sebuah sistem penafsiran yang komprehensif).
Bahasa baru itu menolak segala sistem lain yang berlawanan dengannya; bnd. Allan
Megill, Prophets of Extremity: Nietzsche, Heidegger, Foucault, Derida (Berkeley and Los
Angeles: University of California Press, 1985), 2.
8
Ketika pertama kali didirikan proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis
dianggap sebagai lambang arsitektur modern. Tetapi pada sore hari 15 Juli 1972, bangunan
itu diledakkan dengan dinamit. Bagi Charles Jencks, peristiwa peledakan ini menandai
kematian modernisme dan kelahiran postmodernisme; bnd. Charles Jencks, The Language
of Post-Modern Architechture (London: Acadey Editions, 1984), 9.
9
Jean Francois Lyotard, The Postmodern Explained (Minnesota:
University of Minnesota Press, 1992), 120.
Pencerahan serta asumsi-asumsinya,10 sebagaimna ditulis oleh David
Harvey sebagai berikut:
The Enlightenment project... took it as axiomatic that there was only
one possible answer to any question. From this it followed taht the
world could be controlled and rationally ordered if we could only
picture and represent it rightly. But this presumed that there existed
a single correct mode of representation which, if we could uncover it
(and this was what scientific and mathematical endeavors were all
about), would provide the means to Enlightenment ends.11
Bagi Rene Descartes (1596-1650), dasar segala sesuatu adalah diri manusia
yang berpikir (thinking-self), dan diri manusia adalah subjek otonom dan
rasional (cogito ergo sum).12 Manusia memasuki Postmodern yang ditandai
dengan pandangan yang pesimis terhadap kemajuan manusia, disintegrasi
kebudayaan dan sikap relativisme terhadap kenyataan dalam dunia. Hasil
penelitian George Barna mengindikasikan, 66% orang Amerika percaya
bahwa there is no such thing as absolute truth.13 Veith menegaskan,
Postmodernism attempts to re-order thought and culture on a completely
different basis, accepting reality as a social contruction and avoiding
“totalizing discourse” altogether.14 Postmodern, pada satu sisi adalah anti
metanaratif, antifondasi, sebagaimana dideskripsikan oleh Patricia Waugh:
Central to the “Postmodern coundition,” of Western history and, in
particular, enlightened modernity have broken down.15
Hermeneutika
Kata Hermeneutika (Inggris: hermeneutics) berasal dari bahasa Ibrani
Pathar (to interpret), Pithron (penafsiran); Yunani- e`rmhneuw hermēneuō- (explai, expound) yang berarti menginterpretasi, menjelaskan
1
0
1
1
Bnd. Veith, Postmodern Times..., 42.
David Harvey, The Condition of Posmodernity (Cambridge: Basil
Blackwell, 1989), 39.
1
2
Grenz, A Primer on..., 10.
1
3
George Barna, The Barna Report: What American Believe (Ventura,
California: Regal Books, 1991), 83-85.
1
4
Veith, Postmodern Times..., 44.
1
5
Patricia Wough, Postmodernism: A Reader (London: Edward Arnold,
1992), 5.
atau menterjemahkan. Kata benda e`rmhneia secara harfiah dapat diartikan
sebagai penafsiran atau interpretasi.16 Kata Yunani ini berhubungan dengan
dewa Hermes, dewa dalam mitos orang Yunani. 17 Walter C. Kaiser Jr.
mengatakan: The term hermeneutics has become in creasingly popular in
recent decades.18 Hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.19 J.
Bleicher menggolongkan hermeneutika dalam tiga bagian, yaitu: teori
hermeneutika, filsafat hermeneutika dan hermeneutika kritis. Dalam
penggolongan ini, Jürgen Habermas ditempatkan sebagai salah satu filsuf
hermeneutika terkemuka saat kini, yang menekankan pentingnya
hermeneutika yang sadar secara sosiologis; “Hermeneutika Kritis.” 20
Fungsi Hermeneutika
Hermeneutika merupakan upaya memberi makna (meaning) suatu teks.21
Namun perlu dicatat, rentang waktu penulisan teks dan pembaca teks sering
1
6
Harold K. Moulton (ed.), The Analytical Greek Lexicon (Grand Rapids:
Zondervan, 1978), 166.
1
7
Tugas Hermes adalah mengerti dan menginterpretasi pesan-pesan dari
dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh umat manusia Jika
terjadi kesalahpahaman, maka akan berakibat fatal bagi seluruh umat manusia. Berhasiltidaknya misi Hermes tergantung kepada metode atau cara pesan disampaikan; Sebetulnya
istilah hermeneutik ini tidak dipakai untuk penafsiran Alkitab saja. Dalam arti dan
pemakaian umum, ia menunjukan peraturan-peraturan yang dipergunakan untuk mencari
arti sesungguhnya dari, misalnya: kesenian, sejarah, literatur, ilmu purbakala, dan
penerjemahan; bnd. Bernard Ramm, Protestan Biblical Interpretation (Grand Rapids:
Baker Book House, 1986), 9; William F. Arndt and Gingrich F. Wilbur, A Greek-English
Lexicon of The New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago: The
University of Chicago Press, 1957), 309-310.
1
8
Walter C. Kaiser and Moises Silva, An Introduction to Biblical
Hermeneutics, (Grand Rapids: Zondervan, 1994), 15. Dalam menjelaskan hermeneutika
sebagai prinsip dan seni penafsiran, Silva mengemukakan sejumlah prinsip kerja antara
lain: perlunya memahami tata bahasa, latarbelakang sejarah, apa yang dikerjakan oleh teks,
setting dari teks, konteks kanonis dari teks itu sendiri, apa kata para penafsir sebelumnya
dan apa makna pesan teks bagi kita sekarang ini.
1
9
Richard E. Palmer, Hermeneutics (Evanston: Northwestern Univ Press,
1969), 3.
2
0
Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX (Jakarta: Gramedia, 1990), 224.
2
1
Klass Runia, The Hermeneutics of The Reformers, Calvin Theological
Journal 19 (November 1984), 121-122.
menciptakan berbagai hambatan. Hermeneutik paling sedikit melibatkan
dua aspek, yaitu, eksegese dan eksposisi, walaupun di sisi yang lain, J.I.
Packer menawarkan penafsiran biblikal Injili yang dimulai dengan tiga
langkah, yaitu, eksegese, sintesa dan aplikasi.22
Hermeneutik berfungsi untuk mempelajari prinsip-prinsip penafsiran, baik
penafsiran tata bahasa, historis, kebudayaan maupun penerapan praktis dari
penafsiran tersebut di mimbar.23 Mencari penjelasan tentang apa yang tidak
secara jelas di dalam Alkitab, yang didahului dengan langkah observasi
atau dapat pula disebut persiapan,24 bertanya dan menjawab pertanyaan apa
makna teks ini.25
Urgensitas Hermeneutika
G.W. Bromiley memberikan empat alasan urgensitas hermeneutik.26
Pertama, otoritas Alkitab dihilangkan bilamana arti yang sesungguhnya
dilalaikan. Kedua, memahami Alkitab adalah tidak begitu mudah, seperti
kelihatannya dan secara umum menyatakannya dalam istilah-istilah yang
sederhana, namun hal itu tidaklah menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang
mengitari semua komunikasi. Ketiga, dalam hal-hal yang dari iman dan
tingkah laku, orang-orang Kristen berbeda dengan apa yang Alkitab
ajarkan; komitmen kepada otoritas Alkitab bukanlah usaha perlindungan
terhadap ketidak-setujuan. Keempat, ada bahaya yang sungguh-sungguh
bilamana kita membingungkan otoritas-otoritas, yaitu otoritas dari Alkitab
dan otoritas dari penafsiran perorangan akan Alkitab, bilamana pertanyaan
hermeneutik tidak diperhatikan.
J.I. Packer, “Infallible Scripture and The Role of Hermeneutics,” in
Scripture and Truth, peny. D.A. Carson & John D. Woodbridge (Grand Rapids: Baker,
1992), 345.
2
3
F.F. Bruce, “Interpretation of The Bible,” in Evangelical Dictionary of
Theology, editor Walter A. Elwell (Grand Rapids: Baker Books House, 1984), 565.
2
4
Richard L. Pratt, He Gave Us Stories: The Bible Student's Guide to
Interpreting OT Narratives (Philipsburg, New Jersey: Presbyterian and Reformed, 1990),
3.
2
5
Howard G. Hendricks, Living by The Book (Chicago: Moody Press,
1991), 195.
2
6
G. W. Bromiley, “The Interpretation of The Bible,” in The Expositor's
Bible Commentary, peny. F. E. Gaebelein (Grand Rapids: Zondervan, 1979), 61.
2
2
Interpretasi Alkitab meliputi 3 (tiga) aspek yang perlu diperhatikan, yaitu:
antara penulis, teks, dan pembaca. Penulis mengekspresikan pesan kepada
pembaca melalui teks yang ditulisnya. Arah komunikasi bersifat satu arah,
bergerak dari penulis kepada pembaca. Pembaca tidak dapat berkomunikasi
dengan pengarang seperti lazimnya dalam setiap komunikasi, maka respons
atau efek diharapkan muncul sebagai akibat proses komunikasi. Banyak
kritikus berpendapat bahwa penafsiran yang objektif tidak mungkin
dilakukan dan makna yang dimaksud penulis telah hilang selamanya.
Dengan demikian setiap komunitas menyediakan tradisi untuk menuntun
pembaca dalam memahami suatu teks, dan inilah yang menghasilkan
makna. Implikasinya, makna tersebut berbeda-beda di setiap komunitas.
Jadi, pada kenyataannya setiap teks dapat memiliki beragam makna, dan
setiap makna itu sah bagi suatu perspektif pembaca atau komunitas
tertentu.27
Karakteristik Hermeneutika Postmodern
Secara umum, karakteristik hermeneutika Postmodern, antara lain:
Pertama, hal atau peristiwa tidak mempunyai arti yang intrinsik pada
dirinya, yang ada hanyalah penafsiran yang terus-menerus terhadap realitas
dan dunia. Kedua, penafsiran-penafsiran tersebut membutuhkan penelitian
sesuai dengan konteksnya, sedangkan kita adalah bagian dari konteks itu
sendiri. Ketiga, penafsiran tidak tergantung kepada faktor objektif dari teks
atau pengarangnya, tetapi kepada pandangan relatif dari penafsir. Keempat,
bahasa tidaklah netral melainkan relatif dan dipakai untuk menyampaikan
suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu.28
Problema Hermeneutika Postmodern
Dalam Studi Hermeneutika saat kini, tak bisa dilepaskan dari pengaruh
Posmodern. Pendekatan hermeneutika dibawa kepada pendekatanpendekatan ilmu sastra yang dikenal dengan nama-nama: Reader-response,
deconstruction, feminist criticism, ideological criticism, autobiographical
2
7
Grant R. Osborne, The Hermeneutical Spiral: A Comprehensive
Introduction to Biblical Interpretation (Downers Grove: InterVarsity Press, 1991), 5.
2
8
Henry Efferin, Jurnal Pelita Zaman, No.14.
criticism, dan lain sebagainya. Dengan munculnya reader-response
criticism maka terjadilah pergeseran paradigma aktivitas membaca teks.
Tiap orang dapat membaca Alkitab dan berhak menafsirkan artinya
sebagaimana ia atau golongannya mengartikannya.
Namun percu dicatat, bahwa penafsiran tanpa hermenutika yang benar
menimbulkan problema serius. Munculnya publikasi biblika seperti
interpretasi feminis merupakan petunjuk semakin meluasnya pendekatanpendekatan Postmodern dalam dunia hermeneutika.
Hakikatnya, suatu teks merupakan dasar pemaknaan teks. Tidak salah jika
dikatakan bahwa hermeneutika bergantung pada konsep tentang teks. 29
Dengan melalaikan maksud asli teks Alkitab akan menimbulkan krisis yang
dalam banyak cara menimbulkan krisis-krisis teologi yang lain. George M.
Landes mengatakan bahwa krisis yang paling dasar dalam studi-studi
biblikal haruslah ditempatkan dalam disiplin hermeneutika. 30
Friedrich Schleiermacher (1768-1834), pemikir utama jalur hermeneutika
yang berorientasi pada penulis terkenal sebagai: to reproduce the whole
internal process of an author's way of combining thoughts... Explanation of
words and contents are not themselves interpretation but only elements of
it.31 William Dilthey (1833-1911) dan E.D. Hirsch32 serta pakar lainnya
kemudian berjalan di atas landasan yang telah dibangun Schleiermacher.
Hans-Georg Gadamer membuka jalan terhadap pendekatan yang
2
9
Upaya memahami teks dari perspektif pengarang menegaskan bahwa
teks hanya dapat dipahami bila dapat mengungkapkan maksud pengarang menulis teks
tersebut. Langkah pertama memberi makna suatu teks diawali dengan memahami penulis
dan konteks penulis berada. Jadi, proses pembacaan difokuskan pada usaha merekonstruksi
konteks suatu teks dan harapan maksud sebenarnya penulis dapat terungkap.
3
0
George M. Landes, “Towards an Exegetical Theology: Biblical
Exegesis in Crisis, What is the Exegetical Task in a Theological Context?” 274; seperti
dikutif oleh Walter C. Kaiser, Jr. (ed.), Toward and Exegetical Theology: Biblical
Exegesis for Preaching and Teaching (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House,
1981), 17.
3
1
Stanley J. Grenz, Revisioning Evangelical Theology (Downers Grove:
Inter Varsity, 1993), 67.
3
2
Bnd. E.D. Hirsch, Validity in Interpretation (New Haven: Yale Univ.
Press, 1967); and idem, The Aims of Interpretation (Chicago: University of Chicago Press,
1976).
menekankan partisipasi pembaca dalam memberi makna suatu teks. Jürgen
Habermas sendiri menghargai dan menyetujui sikap Gadamer.
LANDASAN PEMIKIRAN JÜRGEN HUBERMAS
Untuk memahami pemikiran-pemikiran atau gagasan-gagasan
Jürgen Hubermas yang memiliki relasi dengan hermeneutika, maka terlebih
dahulu perlu menganalisis riwayat hidup, latarbelakang pemikirannya, dan
kerangka hermeneutiknya.
Riwayat Hidup
K. Bertens meringkaskan riwayat hidup Jürgen Habermas dalam
buku Filsafat Barat Abad XX, sebagai berikut:
Jürgen Habermas dilahirkan di Gummersbach tahun 1929. Di
Universitas kota Gottingen, ia belajar kesusastraan Jerman, sejarah
dan filsafat (a.l. pada N. Hartmann) dan juga mengikuti kuliah di
bidang psikologi dan ekonomi. Sesudah beberapa waktu di Zurich, ia
meneruskan studi filsafat di Universitas Bonn. Tahun 1954 ia meraih
gelar 'doktor filsafat,' berdasarkan sebuah disertasi tentang Das
Absolute und die Geschichte, suatu karya yang masih secara
mendalam dipengaruhi oleh filsafat Heidegger. 33
Habermas sangat populer di kalangan mahasiswa Jerman dan oleh
beberapa golongan dianggap sebagai ideolog mereka. Ia adalah salah
seorang filsuf Jerman paling terkemuka dalam era 1970-an. Pada tahun
tersebut ia menerbitkan buku Protesbewegung und Hochschulreform, suatu
buku yang menjadi best-seller di Jerman. Salah satu kritik yang menarik
atas Kebenaran dan Metode berasal dari Jürgen Habermas.
Latarbelakang Pemikiran Habermas
Jürgen Habermas (1929), tidak diragukan lagi menjadi salah
satu filsuf terbesar abad ini. Sebagai pemikir generasi baru (generasi kedua)
3
3
Bertens, Filsafat Barat Abad..., 213.
Mazhab Frankfurt (Frankfurt School),34 Habermas berusaha meneruskan
pemikiran para pendahulunya (M. Horkheimer, Th. Adorno, H. Marcuse),
sekaligus mengusulkan proyek-proyek baru yang lebih otentik. Meskipun
gagasan-gagasan Habermas tidak berpusat pada hermeneutika, namun ideidenya tersebut memberi warna pada pustaka hermeneutika.
Tidaklah mudah memahami secara tepat dan sistematis seluruh
pemikiran atau gagasan Habermas, yang luas dan mendalam; lagi pula
pemikirannya amat dinamis dan terus berkembang hingga kini. Untuk
memahami gagasan-gagasannya, maka harus terlebih dahulu menempatkan
seluruh pemikirannya dalam konteks Teori Kritis yang ditawarkan Mazhab
Frankfurt, bahkan lebih jauh lagi dalam tradisi pemikiran Hegelianisme,
Marxisme dan psikoanalisis Sigmund Freud. Ketiga pemikiran kritis
tersebut memahami kata kritik secara berbeda.
Hegel memahami kritik sebagai refleksi atau refleksi diri atas
rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi-kontradiksi
yang menghambat proses pembentukkan-diri dari rasio dalam
sejarah. Karl Marx sebagai seorang Hegelian, memahami kritik
sebagai usaha-usaha emansipatoris dari penindasan dan alienasi yang
dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
Sigmund Freud memahami kritik sebagai pembebasan individu dari
irasionalitas menjadi rasionalitas, dari ketidaksadaran menjadi
kesadaran.35
Habermas juga amat dipengaruhi oleh pragmatisme Dewey, filsafat
analisis-nya Wittgenstein dan J.L. Austin, serta banyak pemikir lainnya.
Oleh karena itu, dapatkah dimunculkan dimensi-dimensi hermeneutik-
3
4
Sekolah Frankfurt mengembangkan suatu teori yang dinamakan Teori
Kritis. Teori Kritis bukan sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip objektif realitas
melainkan bersifat emansipatoris; yang harus memenuhi 3 syarat: Pertama, Bersikap kritis
dan curiga terhadap zamannya, seperti yang telah dilakukan Karl Marx terhadap sistem
kapitalisme. Kedua, Berpikir secara historis, berpijak pada masyarakat dalam prosesnya
yang historis. Ketiga, tidak memisahkan teori dan praktis, tidak melepaskan fakta dari
nilai semata-mata untuk mendapat hasil yang objektif; Bnd. Frans Magnis Suseno, Para
Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 141-154.
3
5
Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer (Yogyakarta:
Jalasutra, 2001), 60-61.
teologis dari Teori Kritis Habermas ini?36 Selain itu, tidak mungkin
memahami pemikiran Habermas tanpa menyadari konteks kehidupan
bangsa Jerman pada masa mudanya. Habermas dibingungkan pertanyaan,
mengapa bangsa Jerman, yang melahirkan gagasan-gagasan kemanusiaan
yang unggul, mulai dari Kant sampai Marx dengan tema-tema emansipasi,
kebebasan, sekaligus menyediakan lahan subur bagi Hitler dan Nazisme? 37
Kerangka Hermeneutika Habermas
Meskipun gagasan-gagasan Jürgen Habermas tidak berpusat pada
hermeneutik, dan karya-karyanya-pun tidak secara khusus membicarakan
hermeneutik sebagai ide tunggalnya, namun pemikiran-pemikirannya itu
mendukung pustaka hermeneutik. Gagasan hermeneutikanya dapat ditemui
di dalam tulisannya berjudul Knowledge and Human Interest.38 Habermas
mengikuti tiga bentuk penyimpulan, yaitu: deduksi, induksi dan abduksi
atau proses abdutif.39
Dalam penyelidikan ilmu-ilmu hermeneutik, ia tertarik untuk
menyingkapkan kerangka metodologis dan kepentingan yang menentukan
dalam ilmu hermeneutik. Bagi Habermas, klaim-klaim pengetahuan dalam
ilmu-ilmu hermeneutik grasp interpretations of reality with regard to
possible intersubjectivity of action-orieting mutual understanding specific
to a given hermeneutic sating point.40 Ia memusatkan kritik dan studinya
pada pemikiran hermeneutik Dilthey, bahwa pemahaman hermeneutik
harus mengintegrasikan ketiga kelas kehidupan, yakni: bahasa, tindakan
Gary M. Simpson, “Theologia Crucis and The Forensically Fraught
World: Engaging Helmut Peukert and Jürgen Habermas” in Journal of the American
Academy of Religion. Vol. LVII, No. 3, Th.1989, 509.
3
7
Richard J. Berstein (ed.), “Introduction,” dalam Habermas and
Modernity, (Cambridge: Polity Press & Oxford, Basil Blackwell, 1986), 2.
3
8
Habermas, Knowledge and Human..., 144.
3
9
Dengan deduksi, Habermas ingin membuktikkan bahwa sesuatu
'seharusnya' berperilaku dalam cara tertentu; dengan induksi ia ingin membuktikkan bahwa
sesuatu pada kenyataannya berperilaku dalam suatu cara tertentu; dan dengan abduksi ia
ingin membuktikkan bahwa sesuatu mungkin akan berperilaku menurut suatu cara tertentu.
4
0
Habermas, Ibid, 195.
3
6
dan pengalaman. Habermas sendiri menyetujui sikap Gadamer yang
menentang pendirian objektivisme. Ia juga menghargai usaha Gadamer
merefleksikan kesadaran diri hermeneutis, sekaligus setuju pada pendapat
Gadamer mengenai ketergantungan subjek yang berbicara dengan
bahasanya.41
Menurut Habermas, hermeneut atau penafsir tak dapat memahami
sepenuhnya makna suatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat
diinterpretasi. Hermeneutika membutuhkan pemahaman tentang makna
yang mampu mengartikan hubungan-hubungan simbol sebagai hubungan
fakta. Habermas harus melawan klaim Gadamer bahwa hermeneutik
memiliki arah atau penekanan yang universal karena hermeneutika berpusat
pada bahasa.42 Yang ditakutkan oleh Habermas adalah terjadinya pseudocommunication yang memungkinkan terjadinya “komunikasi yang
terdistorsi secara sistematis.” Ia berpendapat bahwa bahasa itu sendiri
didominasi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan satu-satunya jawaban adalah
kritik ideologi pada inti hermeneutika. Ketimbang mengandaikan sebuah
hermeneutika yang universal, Habermas menawarkan dipakainya Depth
Hermeneutics yang diyakininya tidak akan mengalami distorsi yang muncul
dari luar. Habermas menulis sebagai berikut:
Even the implisit knowledge of the pre-conditions of systematically
distored communication which is really prespposed in the usage of
communicative competense characterictioc depthe hermeneuticseven this is sufficient to put in question the ontological selfunderstanding of hermeneutics which Gadamer, following on
Heidegger, makes explicit.43
KONTRIBUSI PEMIKIRAN HABERMAS BAGI
HERMENEUTIKA POSTMODERN
4
1
Anthony C. Thiselton, New Horizons in Hermeneutics (Grand Rapids:
Zondervan, 1992), 12.
4
2
Bnd. Werner G. Jeanrond, Teks and Interpretation as Categories of
Theological Thingking (Dublin: Gill and Macmillan, 1988), 22-23.
4
3
Jeanrond, Teks and Interpretation as Categories of Theological
Thingking, 23; Habermas amat terganggu dengan upaya Gadamer merehabilitasi konsep
prasangka (prejudice) dalam konteks hermeneutisnya.
Skeptisisme Postmodern menghasilkan dunia yang selalu dipenuhi
pluralitas yang saling bertentangan dan tak pernah selesai. Komitmen
kepada Allah dalam Kristus, mengharuskan kita berdiri teguh melawan
skeptisisme radikal postmodern, yakni lenyapnya metanaratif - “titik pusat.”
Namun harus selalu siuman dan patut dicatat bahwa suatu faham baru
selalu ada sisi postif dan negatifnya.
Berkaitan dengan hal di atas, telah bermunculan pemikir-pemikir
dari kaum injili yang menggunakan tiga metode pendekatan terhadap
semangat postmodern, yakni: akomodasi, sintesis juga kontra-postmodern.
Fakta menunjukan bahwa kritik postmodern dalam beberapa bagian lebih
sesuai dengan pemahaman iman Kristen. Selama kita mengakui validitas
keyakinan-keyakinan kristiani secara absolut, metanaratif, keyakinankeyakinan tersebut pasti mengendalikan penafsiran. Hanya dengan
mengidentifikasikan mereka apa adanya, suatu perkiraan terhadap
kebenaran secara teologis dan budaya, barulah kita dapat tetap
menempatkan mereka di dalam perspektif postmodern yang benar.44
Postmodern menolak anggapan pencerahan bahwa pengetahuan itu
pasti dan kriteria kepastian itu terletak pada rasio manusia. Iman Kristen
juga menolak kalau metode ilmiah dan rasional itu dianggap sebagai satusatunya kriteria kebenaran. Sebagaimana dikatakan oleh Blaise Pascal,
“Hati manusia mempunyai logikanya sendiri yang tidak dapat dipahami
oleh rasio manusia” (bnd. Ams 3:7; Ul 29:29; Flp 4:7; 1Kor 13:12).
Berkaitan dengan hal inilah penulis mengamati adanya dimensi-dimensi
gagasan hermeneutik posmodern Jürgen Habermas yang dapat
didistribusikan ke dalam hermeneutis-teologis.
Kritik Atas Positivisme
Pada tahun 1960-an di Eropa, muncul sebuah perbantahan hebat
mengenai positivisme, yang dikenal dengan nama Possitivismusstreit.
Diskusi ini menempatkan metode ilmu sosial sebagai bahan pembicaraan.
Semula Theodor W. Adorno berdebat dengan Karl Popper, yang masingmasing mewakili pendirian kritis-dialektis dan pendirian positivistis.
4
4
William Larkin, Culture and Biblical Hermeneutics (Grand Rapids:
Baker Book House, 1988), 75-95.
Setelah itu tampil Hans Alber dan Jürgen Habermas. Perdebatan ini
mempertajam permasalahan dan pemikiran masing-masing pihak.45
Sejak awal Habermas menempatkan pendiriannya dalam alur
pemikiran Mazhab Frankfurt, yang berjuang menentang positivisme dan
objektivisme. Habermas mengikuti pemikiran para pendahulunya,
menegaskan penolakannya terhadap positivisme, yang berusaha
memisahkan ilmu dan kepentingan (interest), agar ilmu bisa hadir secara
netral tanpa pemihakan (disinterested). Akibatnya ilmu (theoria) dipisahkan
secara radikal dengan praksis dan menjadi a-historis secara a-sosial.
Menurut Habermas, kepentingan atau minat adalah orientasi dasar
yang berakar dalam kondisi fundamental khusus dari reproduksi yang
mungkin dan kelangsungan hidup spesies manusia, yaitu kerja atau karya
dan interaksi. Sebagai contoh misalnya: sesuatu yang diminati atas dasar
penalaran adalah masuk akal. Jadi, dari hal yang menyenangkan bisa
muncul kecenderungan untuk sesuatu yang baik dan masuk akal. 46 Tetapi,
mengapa kepentingan atau minat dimasukkan ke dalam hermeneutik? Bagi
Habermas, pengetahuan dan minat itu pada dasarnya adalah satu dan
keduanya berpadu atau berbaur menjadi satu dalam bahasa yang dipakai.
Akibat semua tindak-tanduk positivisme ini, Habermas melontarkan
tuduhan bahwa ilmu–yang bebas–nilai pada akhirnya hanya ingin
mempertahankan status-quo masyarakat. Baginya, usaha memperoleh
pengetahuan yang objektif, yang terbebas dari kepentingan-kepentingan,
sebenarnya usaha tersebut didorong oleh sebuah kepentingan yang lebih
dalam, yaitu agar dicapai sebuah teori murni.47
Dalam interpretasi, bahasa mendapatkan tempat yang utama. Untuk
mencapai pemahaman dengan perantaraan bahasa diperlukan pengarahan,
yaitu semacam mekanisme tindakan yang terkoordinasikan. Sehingga,
4
5
Karangan-karangan penting mengenai perdebatan ini dikumpulkan oleh
Th. Adorno dalam buku The Positivist Dispute in German (New York: 1976).
4
6
E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1999), 88.
4
7
Di sini Habermas menyetujui upaya Edmund Husserl yang juga
mencela gejala objektivisme yang memisahkan teori dari kenyataan sesehari (Lebenswelt).
Namun bagi Habermas, kesalahan Husserl adalah menolak objektivisme itu sembari
memunculkan bentuk objektivisme lainnya, ketika ia berusaha memperoleh sebuah teori
yang murni. Lih. Knowledge and Human Interest, 302-306. Habermas menulis, “While
criticizing the objectivist self-understanding of the sciences, Husserl succumbs to another
objectivism, which was always attched to the traditional concept of theory,” 306.
walaupun mempergunakan konsensus tertentu, tetap dapat mengkoordinir
diri sendiri ke arah tujuan tertentu.
Teori Kritis
Habermas mengajukan sebuah pemecahan epistemologis melalui
apa yang kemudian disebut Teori Kritis. Bagi Habermas, proses
memperoleh pengetahuan selalu dilandasi kepentingan tertentu. Teori Kritis
senantiasa bersifat historis, berpijak pada realitas konkret, serta menjadi
kritik imanen atas tatanan yang melanggengkan status-quo. Namun yang
menjadi sasaran kritis teori ini bukan hanya realitas sosial, tetapi juga
pendekatan-pendekatan ilmiah atas realitas sosial itu sendiri.
Bagi Habermas, Teori Kritis mengambil sikap kritis baik terhadap
ilmu-ilmu sosial dewasa ini maupun kenyataan sosial yang dilukiskannya.
Ia kritis terhadap pendekatan-pendekatan ilmiah yang tidak mampu
menjelaskan paradoks-paradoks rasionalisasi kemasyarakatan karena
pendekatan-pendekatan itu membuat sistem-sistem sosial yang kompleks
sebagai objek mereka hanya dari salah satu sudut pandang abstrak, tanpa
memperhitungkan asal-usul historis (dalam arti sosiologi reflektif).48
Ilmu tidak pernah bebas-nilai, termasuk pula teologi. Selain itu
Habermas juga mencela kecenderungan positivisme yang berusaha
melepaskan teori dari praksis, demi memperoleh sebuah teori murni. Tak
jarang pula teologi Kristen terjebak dalam kecenderungan semacam ini.
Dengan demikian jelaslah bahwa Teori Kritis berurusan dengan
usaha memperoleh pengetahuan (epistemologi) dengan cara-cara yang
kritis, serta peka terhadap kepentingan manusiawi di balik setiap upaya
ilmiah. Dalam hal ini, Habermas sendiri membedakan pengetahuan dalam
tiga cakupan: ilmu yang memanfaatkan keterangan teknis yang diperoleh
secara langsung atau secara analitis; sejarah, yang menafsirkan bahasa
sesuai dengan Gadamer; dan ilmu-ilmu sosial yang menggunakan
4
8
Habermas membagi tindakan menjadi 4 jenis: tindakan teologis (konsep
pokok tindakan ini adalah keputusan); tindakan normatif (konsep pokok dalam tindakan ini
adalah pemenuhan terhadap norma); tindakan dramaturgik (konsep pokok adalah
penampilan diri di hadapan umum atau masyarakat); tindakan komunikatif (konsep pokok
dalam tindakan ini adalah “interpretasi”); bnd. J. Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. II (Boston: Beacon Press, 1984), 375.
perenungan untuk membebaskan atau meng-“emansipasi” orang-orang dari
dominasi kekuatan dan-kekuatan-kekuatan sejarah.49
Rasio dan Praksis
Habermas juga mempersoalkan makna Rasio dalam seluruh
percakapan yang sedang diikutinya. Bagi para pemikir Mazhab Frankfurt
rasio telah menjadi alat yang netral untuk mengoperasionalisasikan sebuah
sistem. Rasio semacam ini oleh Horkheimer disebut rasionalitas-bertujuan.
Yang dimaksud di sini, rasio sekedar menjadi alat (instrument) belaka di
luar dirinya sendiri, yaitu kepentingan-kepentingan ideologis. Akhirnya,
menurut Marcuse, “masyarakat modern adalah rasional secara parsial
tetapi irasional dalam keseluruhan.” Rasionalitas yang irasional!50
Mazhab Frankfurt berhasil menunjukan bahwa kesalahan ini terjadi
karena rasio dipisahkan dari praksis, yaitu tindakan manusia untuk
merealisasikan hidup yang baik. Rasio dimurnikan dari unsur penilaian dan
moralitas. Secara epistemologis akhirnya mereka sendiri pun pesimis
terhadap Teori Kritis, dengan kekuatiran bahwa rasionalitas yang kritis pun
bisa membeku dan menjadi ideologis. Di sinilah persimpangan muncul;
Habermas menjalani arah lain yang jauh lebih optimis terhadap rasionalitas.
Permasalahan rasio ini oleh Habermas diletakan dalam konteks yang
lebih luas, yaitu nisbah antara teori dan praksis. Bagi Habermas,
pengetahuan bukanlah persoalan kontemplasi, melainkan mendorong
praksis perubahan sosial. Praksis di sini adalah tindakan dasar manusia
yang didorong oleh kesadaran rasional. Dari Karl Marx, Habermas
mewarisi konsep tentang kerja sebagai syarat keberadaan manusia dan tidak
terikat pada bentuk-bentuk masyarakat. Kerja adalah proses yang terdapat
antara manusia dengan alam, dimana manusia melalui tindakannya
menengahi, mengatur dan mengawasi pertukaran barang-barang yang
mereka miliki dengan alam. Jadi, kerja mempunyai fungsi sintesis, namun
juga dapat dijauhkan dan diasingkan dari manusia. 51 Dalam studinya atas
pemikiran Hegel, Habermas menemukan bahwa praksis pada dasarnya
4
9
5
0
Bnd. Habermas, Knowledge and Human..., 308-311.
H. Marcuse, One Dimensional Man: Studies in the Ideologyof Advanced
Industrial Society (London: Routledge & Kegan Paul, 1964), 134.
5
1
Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode..., 89-90.
tidak hanya berarti kerja (arbeit), namun juga komunikasi (communication).
Namun Habermas juga mengritik Marx dengan mengatakan bahwa Marx
telah menipu dirinya sendiri dalam hal yang berkaitan dengan hakikat
refleksi yang ia kembalikan ke kerja karena Marx kemudian menarik proses
refleksi ke tingkat tindakan instrumental. 52
Harus mulai diusahakan sebuah rancang bangun model Gereja
sebagai sebuah komunitas aksi komunikatif,53 dimana diskursus imankomunikasi iman-menjadi praksis bersama. Konsep pokok dalam praksis
adalah interpretasi. Dalam interpretasi, bahasa mendapatkan tempat yang
utama. Untuk mencapai pemahaman dengan perantaraan bahasa diperlukan
semacam mekanisme praksis yang terkoordinasikan. Sehingga, walaupun
mempergunakan konsensus tertentu, kita dapat mengkoordinir diri kita
sendiri ke arah tujuan tertentu.
Habermas memperlihatkan bahwa praksis berdasarkan rasio
instrumental bisa menjadi praksis dari manusia, namun tidak boleh menjadi
praksis terhadap sesama. Kehebatan Habermas adalah mengajukan secara
konsisten perlunya pemakaian praksis melalui paradigma komunikasi
daripada sekedar memakai paradigma kerja.54
Refleksi Diri
Dalam Knowledge and Human Interest Habermas melontarkan tesis
keempatnya yang berbunyi, “in the power self-reflection, knowledge and
interest are one.”55 Di sini Habermas berdiri dalam tradisi pemikir Jerman
Fichte bahwa rasio mengandung dua segi, yaitu: kehendak dan kesadaran.
Bagi Hegel, rasio dipandang memiliki kemampuan untuk
menemukan hambatan yang merintangi perkembangan diri untuk mencari
otonomi kedewasaan. Oleh Habermas, kedewasaan diartikan sebagai
konsensus-bebas-hambatan, yang dicapai melalui refleksi-diri, kita terbebas
dari dogmatisme, “Self-reflection is at once intuition and emancipations,
5
2
5
3
Bnd. Bertens, Filsafat Barat Abad..., 177-178.
Paul Lakeland, Theology and Critical Theory: The Discouse of the
Church, (Nashville: Abingdon Press, 1990), 103-137.
5
4
J. Habermas, Towards a Rational Society (London: Heinemann, 1971),
93.
5
5
Habermas, Knowledge and Human..., 314.
comprehension and liberation from dogmatic dependence.”56 Dalam banyak
hal, para interpreter tidak dapat bebas dari titik mula hermeneutika, yaitu
refleksi diri. Habermas mempertahankan pendapatnya bahwa minat yang
tertinggi dan dasar dari semua minat yang lain adalah minat terhadap diri
sendiri. Lalu, apakah minat terhadap diri sendiri akan menjadi faktor
penentu dalam pemahaman epistemologi seperti hermeneutika? Habermas
mengatakan bahwa penalaran mempunyai minat praktis yang menjadi milik
penalaran itu sendiri. Ini berarti bahwa bila kita berefleksi, maka refleksi itu
sekaligus merupakan intuisi dan emansipasi, pemahaman dan kebebasan
dari ketergantungan kepada dogma. Dengan memahami diri sendiri maka
kita juga memahami dunia.
Interpreter tidak dapat mengawali interpretasinya tanpa terlebih
dahulu melibatkan dirinya dalam refleksi diri. Inilah alasan Habermas
mengatakan bahwa “membuka rahasia interpretasi terhadap diri sendiri
adalah tugas hermeneutika.”57 Sebab itu, diri sendiri menjadi titik tolak
interpretasi, dan ini menyebabkan hermeneutika menjadi penting.
Habermas memperkaya konsep refleksi-diri ini dengan teori
psikoanalisis-nya Freud.58 Bagi Paul Ricoeur, ide-ide Freud melengkapi
para hermeneut dengan landasan yang kokoh untuk interpretasi. 59 Bahkan,
mimpi juga memerlukan hermeneutik batin dan refleksi diri.
Praktek penafsiran mimpi merupakan sebuah bentuk hermeneutika
yang amat mendalam. Karena, berbeda dengan hermeneutika biasa yang
memakai bahasa sesehari sebagai teks, panafsiran mimpi mempergunakan
bahasa yang kacau sebagai teks yang perlu dianalisis. 60 Dalam hal ini
hermeneutika mempunyai tugas ganda, yaitu menempatkan dirinya sendiri
sebagai orang yang bermimpi untuk kemudian menyibukkan diri dalam
penjelasan kausal dan ilmiah, serta interpretasi. Ia menjadi semacam
analisis yang harus menyusup masuk ke bawah isi yang mewujud dari teks
mimpi, yang menyembunyikan kejanggalannya dan analisis harus bisa
menguraikan kejanggalan tersebut.61
5
6
5
7
Ibid., 208.
Habermas, The Theory of Communicative..., 169.
5
8
Habermas, The Theory of Communicative..., 209.
5
9
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy (New Haven & London: Yale
Univ. Press, 1970), 217.
6
0
Habermas, Knowledge and Human..., 190-203.
6
1
Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode..., 93.
Tidak ada satu batas pun dalam mimpi. Berdeda pula dengan
hermeneutika biasa yang menghadapi teks transparan, psikoanalisis
berhadapan dengan teks yang terselubung. Karena itu, Habermas menyebut
psikoanalisis sebagai Hermeneutika Dalam/Batin (Tiefenhermeneutik atau
Dept Hermeneutics). Terhadap bentuk atau objek semacam itu interpreter
diharapkan menghubungkan dan menjalin pola-pola tindakan dalam
upayanya untuk menguraikan misteri dan mencari penjelasannya melalui
makna yang tersembunyi di balik bahasa atau mimpi.
PENUTUP: EVALUASI DAN REFLEKSI
Pertama, konteks sosial postmodern terdiri dari banyak bagian dan
berubah-ubah, yang memengaruhi hermeneutika seseorang. Hermeneut
menjadi titik tolak hermeneutika, dan ini menyebabkan hermeneutika
menjadi penting. Karenanya, bila hermeneut meninggalkan makna teks dan
maksud penulis, maka ia akan tenggelam dalam lautan relativitas
postmodern, dan tak ada dimensi metanaratif yang absolut.
Kedua, pewahyuan ilahi itu sendiri terkondisi secara budaya karena
dikomunikasikan kepada berbagai budaya dalam berbagai bahasa yang
tidaklah netral dan tak dapat dihapuskan oleh postmodern.
Ketiga, teologi kritis bisa memberi kemungkinan mengerjakan refleksi-diri
terus-menerus. Kritis atas kenyataan dunia harus dibarengi dengan kritik
terhadap diri sendiri. Untuk itu diperlukan sebuah pola hermeneutik yang
kritis atas teks-teks mapan yang ada.
Keempat, jika hendak menginterpretasi secara benar dan tepat, maka kita
harus mengupayakan dialog antara bahasa dan pengalaman di satu sisi
dengan tindakan di sisi lain. Tidak memisahkan teori dan praksis, tidak
melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapat hasil yang
objektif.
Kelima, bahasa mencakup seluruh makna dan oleh sebab itu hermeneutika
memiliki implikasi yang universal. Pentingnya sosiologi pengetahuan
sebagai suatu sarana penafsiran.
Keenam, kekuatan-kekuatan ideologis mengendalikan hermeneutika hampir
semua orang. Calvinis atau Armenian, Reformed atau Dispensasional,
Teolog Proses atau Pembebasan, tiap komunitas orang percaya telah
memberikan kecenderungan-kecenderungan ideologis tertentu yang
menuntun penafsiran. Karenanya, hermeneutika harus membebaskan
pemahaman dari ideologi.
Ketujuh, pemahaman hermeneutik sifatnya global, yaitu mengandaikan
adanya tujuan khusus. Setiap komunikasi yang sehat adalah komunikasi
dimana setiap partisipan bebas untuk menentang klaim-klaim tanpa
ketakutan akan koersi, intimidasi, deceit dan sebagainya. Melalui tindakan
komunikatif, pemahaman hermeneutik mempunyai bentuk yang hidup,
yaitu kehidupan sosial Postmodern.
KEBANGKITAN ORANG MATI MENURUT
I KORINTUS 15:12-34 DAN IMPLIKASI ETISNYA BAGI
ORANG PERCAYA
DANIK ASTUTI LUMINTANG
PENDAHULUAN
Doktrin kebangkitan merupakan dasar atau sentral pemberitaan dari
iman kristen, karena itu, doktrin kebangkitan merupakan keunikan Kristen
yang tiada tandingnya. Memang, doktrin kebangkitan orang mati bukanlah
monopoli agama Kristen, karena agama-agama dan aliran lain, misalnya:
agama Islam, Hindu, Budha dan aliran kebatinan, serta agama Suku
memiliki konsep masing-masing.1 Yang jelas, bahwa doktrin Kristen
1
Semua agama membahas tentang dunia orang mati, namun ajaran-ajaran
itu adalah berbeda. Agama Suku percaya bahwa di luar dunia manusia ada dunia tempat
orang mati, tempat para dewa, tempat nenek moyang, kembali kepada asal, perpindahan
mengenai kebangkitan berbeda sama sekali dengan doktrin kebangkitan
agama-agama lain, aliran-aliran kepercayaan bahkan pandangan filsafat.
Kesamaan yang ada hanyalah kesamaan istilah, sedangkan sumber dan
konsepnya berbeda. Tetapi karena tulisan ini bukanlah studi perbandingan
agama, maka perbedaan konsep ini tidak akan dibahas lebih lanjut.
Doktrin kebangkitan menurut ajaran kristiani adalah doktrin yang
unik, karena Alkitab yang adalah sumber dogma menyatakan bahwa
kebangkitan orang percaya (Gereja) adalah kebangkitan tubuh. Tidak
ditemukan di dalam ajaran lain mana pun juga. Kebangkitan Kristus yang
menjadi dasar kebangkitan orang percaya adalah unik. Kendatipun
demikian di kalangan Kristen sendiri masih menjadi pokok perdebatan yang
seru, antara dongeng dan fakta, antara spiritual dan jasmaniah, antara
bohong dan benar. Perdebatan ini sesungguhnya sudah dimulai sejak zaman
Tuhan Yesus.2 Hal ini disebabkan oleh karena perbedaan pandangan atau
konsep di antara orang Kristen sendiri. Perbedaan-perbedaan yang ada ini
disebabkan oleh perbedaan hermeneutika yang dipakai, dan perbedaan latar
belakang yang mempengaruhi masing-masing pandangan tersebut, bahkan
perbedaan konteks zaman dan tempat dimana doktrin itu dibicarakan atau
diajarkan. Karena itu, penulis sengaja membahas lagi topik kebangkitan
orang mati ini dalam 1Korintus 15:12-58 untuk menggali kebenaran
alkitabiah mengenai doktrin ini, sekaligus menemukan implikasinya etisnya
bagi kehidupan orang percaya (Gereja).
ANALISIS SURAT IKORINTUS
Untuk memahami 1Korintus 15:12-34, sebelum penulis membahas
kebangkitan orang mati secara mendalam, penulis akan terlebih dahulu
dari dunia yang satu kepada dunia yang lain. Agama Hindu mengajarkan tentang tempat
kelepasan, yaitu kembali kepada Brahman. Dan agama Budha mengajarkan tentang
nirwana. Agama Islam mengajarkan tentang sorga bagi orang mati yang beriman. Sekali
lagi, sekalipun semua agama mengajarkan tentang dunia orang mati (sorga, nirwana,
swargo loka, tempat dewa, dll.), namun semua ajaran itu adalah tidak sama; Harun
Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 475.
2
Pada zaman Tuhan Yesus-pun ada perbedaan pendapat mengenai
kebangkitan orang mati, yaitu perbedaan pendapat diantara orang Yahudi sendiri. Orang
Farisi mempercayai adanya kebangkitan orang mati, dan orang Saduki tidak mempercayai
adanya kebangkitan orang mati (Mat 22:23; Kis 23:8). Louis Berkhof, Teologi…, 115.
memaparkan mengenai latarbelakang 1Korintus, baik analisis konteks
historis secara umum dan analisis konteks historis secara khusus maupun
analisis struktur teks dan paralelnya.
Analisis Latarbelakang Surat 1Korintus
Analisis latarbelakang surat 1Korintus, secara khusus penulis akan
membahas dua hal penting, yaitu: analisa konteks historis secara umum dan
analisa konteks historis secara khusus. Adapun pemahaman kedua hal
tersebut adalah sebagai berikut:
Analisis Konteks Historis Secara Umum
Korintus adalah kota yang berada di wilayah Akhaya, dekat selat yang
memisahkan tanah daratan Yunani dari Peloppones, yaitu sebuah
semenanjung bagian selatan Yunani.3 Pada tahun 146 SM., kota Korintus
dihancurkan oleh tentara Romawi, namun kota ini dibangun kembali sekitar
tahun 50 SM dan menjadi ibu kota propinsi Akhaya. Kota Korintus adalah
kota yang sangat strategis, baik di bidang ekonomi maupun militer. Selain
kota ini adalah kota dagang, kota ini juga memiliki dua pelabuhan yang
sangat ramai, karena hampir semua kapal, baik kapal perang maupun kapal
dagang pasti melewati kota Korintus.4
Penduduk kota Korintus adalah sebagian besar pendatang dari
beberapa wilayah jajahan Romawi, yaitu orang Yunani asli dan bangsabangsa Timur pada umumnya, termasuk orang Yahudi (band. Kis. 18:4).
Sebagian besar penduduknya adalah para cerdik pandai (pengaruh ilmu
pengetahuan Yunani) dan kota Korintus adalah kota yang kaya karena
merupakan pusat perdagangan, namun penduduknya memiliki moral yang
buruk. Penduduk kota ini terdiri dari pelbagai kelompok masyarakat yaitu
orang Yunani, Romawi dan Yahudi. Hal ini membuktikan bahwa kota ini
adalah majemuk dalam hal suku bangsa, budaya maupun agama. Di kota
Ludwid, Kota-kota Pada Zaman…, 41-49; Ola Tulluan, Introduksi
Perjanjian Baru (Batu: Departemen Literatur YPPII, 1999), 134.
4
Tulluan, Introduksi Perjanjian…, 134; Denis Green, Tafsiran Surat I
Korintus (Malang: SAAT, 1992), 1.
3
ini, orang Yahudi dan agamanya adalah golongan yang cukup besar, hal ini
terbukti dengan adanya sinagoge-sinagoge (tempat ibadah).5
Jemaat Korintus didirikan oleh Paulus pada perjalanan misinya yang
kedua (Kis 18). Selama kurang lebih 1,5 tahun, Paulus tinggal di rumah
Akwila dan Priskila, dan mereka bekerjasama sebagai tukang kemah. 6
Paulus mulai memberitakan Injil di rumah-rumah ibadah orang Yahudi,
dibantu oleh Timotius dan Silas. Karena adanya tekanan dari penentang
Paulus, maka Paulus selanjutnya memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa
lain (Kis 18:9,18). Lama setelah Gereja Korintus berdiri, muncul masalahmasalah yang sangat membebani Paulus, selain karena masalah moral
dalam jemaat juga masalah perpecahan karena kemajemukan dalam jemaat.
Anggota jemaatnya terdiri dari orang yang berlatar belakang Yahudi dan
sebagian besar anggotanya bukan orang Yahudi.7
Analisa Konteks Historis Secara Khusus
Surat pertama Korintus ini ditulis oleh Paulus pada waktu ia berada
di Efesus kira-kira tahun 55 M, yaitu pada perjalanan misinya yang ketiga.
Hal ini sesuai dengan pengakuannya yang terdapat dalam 1Korintus 1:1,
16:21 dan pengakuan jemaat korintus sendiri serta pengakuan oleh gereja
pada umumnya sejak abad ke-2 M. Hal ini tidak dapat diragukan, karena
surat ini begitu cepat dikenal dan dipakai oleh seluruh kekristenan pada
waktu itu.8 Informasi ini juga dilaporkan Gaebelein dalam tulisannya. 9
5
Everett F. Harrison, Introduction to the New Testament, (Grand Rapids:
Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1964), 267; Alfred Martin; First Corinthians,
(New Jersey: Loizeaux Brothers, 1989), 11; David Prior, The Message of I Corinthians,
(Leicester: Inter-varsity Press, 1985), 12; Green, Ibid., 1.
6
Akwila sebenarnya berasal dari kota Roma, namun oleh karena ia adalah
keturunan Yahudi, ia diusir oleh Kaisar Klaudius. Pasangan suami-istri ini bekerjasama
dengan Paulus; Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (Batu: Departemen Literatur
YPPII, 1999), 134; Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1996), 77; John Drane, Memahami Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996), 335-336.
7
Merrill C. Tenney, Survey Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas,
1992), 365; Harrison, Introduction to the New…, 268.
8
Tulluan, Introduksi Perjanjian…,136; Denis Green, Tafsiran Surat I
Korintus (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1992), 1; Robert G. Gromacki, New
Surat ini mengungkapkan perhatian yang tulus dari bapa rohani kepada
anak rohani, yakni dari Paulus kepada jemaat Korintus (1Kor 15).10
Alasan Paulus menulis surat pertama Korintus adalah karena ia
mendengar adanya perpecahan dalam jemaat Korintus (1:11, 5:1), yang
disebabkan oleh karena adanya beberapa golongan yang berselisih (1:10
dst). Selain itu, Paulus mendapat laporan mengenai masalah kehidupan
beberapa jemaat di antaranya, yaitu: dosa percabulan (bnd. 5:1), mencari
keadilan kepada orang-orang yang tidak beriman (6:1 dst); masalah
perkawinan (7:1 dst); masalah kebangkitan Kristus dan kebangkitan orang
percaya (15). Di samping itu, ada alasan khusus Paulus menulis surat ini,
yaitu Paulus ingin mengingatkan jemaat Korintus mengenai bantuan untuk
jemaat di Yerusalem yang hidup dalam kemiskinan (bnd. 16:1 dst). Jadi,
maksud Paulus menulis surat pertama Korintus ialah untuk menjawab dan
mengkoreksi beberapa masalah yang terjadi dalam jemaat tersebut, dan
memberikan beberapa aplikasi praktis bagi kehidupan jemaat. 11
Sedangkan alasan Paulus membahas mengenai kebangkitan Kristus
dan orang percaya dalam pasal 15 dari pertama Korintus, adalah untuk
menanggapi dan memperbaiki ajaran sesat yang ada dalam jemaat, dimana
ajaran tersebut telah mempengaruhi jemaat Korintus. Adapun ajaran sesat
tersebut beranggapan bahwa tidak ada kebangkitan orang mati. Dalam
suratnya, Paulus memberikan penegasan bahwa menyangkal kebangkitan
adalah sama dengan menjadikan iman Kristen tanpa arti dan tidak berharga.
Dalam hal ini Paulus mengulangi kembali mengenai azas-azas dasar Injil
dan menunjukkan bahwa kebangkitan Kristus (15:1-11), merupakan hal
yang sangat penting dari kebangkitan orang percaya, dimana kebangkitan
Testament Survey (Grand Rapids: Baker Book House, 1974), 198; Willi Marxsen,
Pengantar Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 77.
9
Bukti penulisan: Paulus menulis surat di Efesus (1Kor 16:8,9,19); ia
menulis surat itu beberapa tahun setelah dia meninggalkan Korintus pada tahun 51, karena
itu kitab ini ditulis bersamaan dengan Apolos tinggal di kota itu (Kis 18:26; 1Kor 1:2);
surat tersebut ditulis sebelum permulaan musim panas, karena 1Korintus 16:8, Paulus
menjelaskan mengenai satu waktu peristiwa yang dekat dengan Pentakosta; W, Harold
Mare, “1 Corinthians,” in The Expositor’s Bible Commentary, Edited by Frank E.
Gaebelein (Grand Rapids: Zondervan, 1976), 179-180.
1
0
Harrison, Ibid., 275
1
1
Green, Tafsiran Surat …, 3; Marxsen, Pengantar Perjanjian…, 77;
Tulluan, Introduksi Perjanjian…, 136-137; Drane, Memahami Perjanjian…, 348-349; W.
Harold Mare, “I Corinthians,” in The Expositor’s Bible…, 180.
Kristus adalah mencakup kebangkitan orang percaya (15:12-34). Selain itu,
Paulus juga menjawab kesukaran-kesukaran yang berkaitan dengan
kebangkitan orang percaya, khususnya kebangkitan tubuh (15:35-58). Jadi
teks 1Korintus 15 merupakan perumusan doktrin kebangkitan yang paling
unggul dari seluruh Alkitab.12
Analisa Struktur Teks
Untuk mengetahui outline teks 1Korintus 15, maka perlu mengetahui
terlebih dahulu keseluruhan teks dari surat 1Korintus. Para ahli Perjanjian
Baru membagi surat 1Korintus dalam beberapa bagian besar. Gordon D.
Fee membaginya dalam empat bagian besar, yaitu: Introduction (1:1-9), In
Response To Reports (1:10-6:20), In Response To The Corinthians Letter
(7:1-6:12), Concluding Matters (16:13-24).13 Sedangkan pokok mengenai
kebangkitan dalam pasal 15:1-58, merupakan salah satu dari delapan
pembahasan bagian ketiga 7:1-16:12.14 Penulis lebih setuju dengan struktur
Gromachi, yang membagi surat 1Korintus dalam dua bagian besar, yaitu
pertama: Jawaban terhadap laporan pribadi, kedua: Jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan dalam surat mereka. Pokok yang membahas
mengenai kebangkitan dalam pasal 15:1-58, merupakan salah satu dari
tujuh pembahasan bagian kedua pasal 7:1-16:4.15 Struktur Gromachi ini
Green, Tafsiran Surat…, 101.
I. Introduction (1:1-9), II. In Response To Reports (1:10-6:20), III. In
Response To The Corinthians Letter (7:1-16:12), IV. Concluding Matters (16:13-24);
Gordon D. Fee, The New International Commentary On The New Testament (Grand
Rapids: Eerdmans, 1987), 21-23.
1
4
II. In Response To Reports (1:10-6:20): A. Marriage And Related
Matters (7:1-40), B. Food sacrificed To Idols (8:1-11:1), C. Women And Men In Worship
(11:2-16), D. Abuse Of The Lord’s Supper (11:17-34), E. Spiritual Gift and Spiritual
People (12:1-14:40), F. The Resurrection Of Believers (15:1-58), G. About The Collection
(16:1-11), H. About The Coming Of Apollos (16:12). Ibid., 22-23.
1
5
I. Reply to Personal Report (1:10-6:20); II. Reply to Questions in Their
Letter (7:1-16:4); Gromacki, New Testament…, 184; A. Concerning Marriage (7:1-24), B.
Concerning virgins (7:25-40), C. Concerning things sacrificed to idols (8:1-11:1), D.
Concerning problems of worship (11:2-34), E. Concerning spiritual gift (12:1-14:40), F.
Concerning the resurrection (15:1-58), G. Concerning the collection (16:1-4); Ibid., 205.
1
2
1
3
ternyata sama dengan struktur Alfred Martin.16 Namun berbicara secara
khusus mengenai pasal 15:1-58, Penulis lebih setuju dengan struktur teks
menurut The Greek New Testament, yang membagi pasal 15 menjadi tiga
bagian, yaitu Pertama: Kebangkitan Kristus (15:1-11); Kedua: kebangkitan
dari kematian (15:12-34); Ketiga: Kebangkitan Tubuh (15:35-58). Hal ini
adalah benar menurut penulis, untuk itu penulis membagi struktur teks
pasal 15 ini pula menjadi tiga bagian besar, yaitu pertama: Fakta
kebangkitan Kristus merupakan dasar kebangkitan Kristen (15:1-11),
kedua: Kebangkitan orang mati (15:12-34), ketiga: Misteri kebangkitan
tubuh (15:35-58). Pembagian ini didasarkan pada struktur teks bahasa
asli.17
Berbicara secara khusus mengenai struktur teks 1Korintus 15:12-58,
penulis cenderung mengikuti struktur yang dikemukakan oleh Gordon D.
Fee.18 Hal ini akan dikemukakan pada bagian eksegese teks.
Paralel Surat 1Korintus 15 dengan Tulisan Paulus yang Lain
Surat pertama Korintus pasal 15 ini memiliki kesamaan atau paralel
dengan tulisan surat-surat Paulus yang lain. Francis dan Sapley membagi
surat 1Korintus 15 menjadi tujuh bagian yang dilengkapi dengan masingmasing paralelnya di surat Paulus yang lain. Paralel dari tujuh bagian dari
surat 1Korintus 15 tersebut, yaitu:
I Cor. 15:1-11: I Delivered to you what I also received : Rom. 1:1-7,
5:6-11, 6:1-10, 11:33-36; II Cor. 5:14-21, 10:7-12; Gal. 1:15-24, 2:110; Eph. 2:1-10, 3:1-13, 4:1-10, Phil. 2:1-11; Col. 1:15-20, 2:8-15; I
Thess. 1:2-10. I Cor. 15:12-19: If Christ has not been raised : Rom
5:1-5, 6:1-10; II Cor. 5:14-21; Eph. 2:1-10; Phil. 3:17-21; Col. 2:81
6
Part One Problems about which Paul had heard. Part Two I
Corinthians 1-4, Things the Corinthians had written to Paul 1 Corinthians 7-16; Martin;
First Corinthians…, 16-146.
1
7
The Resurrection of Christ (15:1-11), The Resurrection of the Dead
(15:12-34), The resurrection Body (15:35-58); Kurt Aland (ed.), The Greek New Testament
(Germany: The United Bible Societies, 1983), 612-618.
1
8
Fee, The New International Commentary…, 739,
15; I Thess. 4:13-18. I Cor. 15:20-28: In Adam All Die; In Christ
Shall All Be Made Alive : Rom. 5:12-21; II Cor. 10:1-6; Eph. 1:323; Phil. 3:17-21; Col. 1:15-20; I Thess. 4:13-18; II Thess. 2:1-12.
I Cor. 15:29-34: If The Dead Are Not Raised : II Cor. 4:7-12, 6:110, 11:21b-29; Phil. 1:19-26; Col. 1:24–2:3; I Thess. 3:1-5. I Cor.
15:35-41: With What Kind of Body Are The Dead Raised ? : Rom.
8:18-25; II Cor. 4:16–5:5; Phil. 3:17-21. I Cor. 15:42-50: How Are
The Dead Raised ? : Rom. 5:12-21; Gal. 6:7-10; Phil. 3:17-21; Col.
1:15-20. I Cor. 15:51-58: We Shall All Be Changed: II Cor. 4:16 –
5:5; Eph. 4:14-21; Col. 3:1-4, 5-11; I Thess. 4:13-18.19
RELASI PENULISAN 1KORINTUS 15:1-58 DENGAN
PERISTIWA KEBANGKITAN OLEH PENULIS INJIL
Cerita mengenai kebangkitan Yesus dalam Injil menurut pandangan
liberal yang radikal adalah bertentangan dengan pandangan konservatif
(Injili). Menurut pandangan liberal mengenai hubungan antara cerita
kebangkitan Yesus dan penulisan Injil tidak ada kesinambungan antara
peristiwa Yesus (perkataan dan perbuatan Yesus) dengan waktu penulisan.
Menurut mereka, para penulis Injil, menulis cerita kebangkitan Yesus
hanya berdasarkan iman Gereja mula-mula, bukan merupakan suatu fakta
historis. Sebaliknya, cerita itu adalah hasil usaha para penulis Injil dalam
mengumpulkan bahan yang ada pada waktu itu. Sedangkan bahan
mengenai kebangkitan tersebut bukan berdasarkan fakta historis, melainkan
hasil iman Gereja mula-mula, yaitu hasil pemikiran teologis para penulis
Injil untuk kepentingan iman Gereja semata. Bagi mereka, yang penting
bukanlah fakta historis, melainkan apakah itu bermanfaat bagi iman orang
percaya. Kesimpulan mereka ini didasarkan pada teori dokumentaris. 20 Jadi,
1
9
Fred O. Francis and J. Paul Sampley, Pauline Paralels (Philadelphia:
Fortress Press, 1984), XXX.
2
0
Formgeschichte menyatakan bahwa sumber ini disusun dari cerita-cerita
pendek mengenai Yesus serta beberapa petikan ajaran-Nya yang disebarluaskan oleh para
pengikut-Nya secara terpisah. Menurut teori ini unsur-unsur biografis Yesus dihimpun,
dimasukkan dalam suatu kerangka ciptaan sang penulis, dan dirangkai menjadi suatu kisah
yang menjadi sumber Injil atau Injil itu sendiri; Tenney, Survey Perjanjian…, 178; Namun
metode ini adalah sangat menolak unsur supernatural yang mendasari konsep inspirasi.
Para penganut kritik Alkitab khususnya higher criticism, lebih menekankan pada metode
Paulus menulis mengenai kebangkitan Kristus dalam 1Korintus 15 adalah
berdasarkan sumber-sumber hasil pemikiran penulis Injil dan ditambah
dengan pemikirannya sendiri atau berdasarkan bukti-bukti Alkitab dan
konsep inspirasi. Penulis memegang konsep inspirasi dimana Allah yang
menghembuskan Firman-Nya kepada penulis, seperti pendapat Packer
bahwa:
Gambaran historis mengenai Kitab suci yang diinspirasikan bukan
dalam pengertian bahwa itu sedang mengilhamkan (walaupun itu
ada), melainkan itu berarti bahwa “Allah menghembuskan”
(theopneustos, 2Tim 3:16), suatu hasil karya dari Roh Kudus,
Pencipta, selalu dipandang sebagai pemberitaan dan pengajaran
Allah sendiri melalui kata-kata dari para penyembahNya yang
menyaksikan apa yang Roh Kudus berikan Baik Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru, keduanya mengajarkan bahwa Firman dari
Kitab Suci sebagai Firman Allah sendiri.21
Artinya, dalam penulisan 1Korintus 15, Allah memakai penulis dalam
seluruh keberadaannya, menyampaikan kepadanya apa yang harus ditulis,
dan mengontrol penulisan sehingga tidak mungkin salah (innerant).
Sekalipun Paulus bukanlah saksi mata kebangkitan Yesus, namun Roh
Kudus menghembuskan berita kebangkitan sehingga sesuai dengan fakta
historis kebangkitan Yesus. Selain alasan di atas, ajaran mengenai
kebangkitan dalam 1Korintus 15 adalah ajaran yang dibangun berdasarkan
bukti-bukti historis. Perjanjian Baru memaparkan sedemikian banyaknya
teks Alkitab yang dengan jelas melaporkan bukti-bukti historis tentang
kebangkitan yang diceritakan oleh penulis Injil dan yang diajarkan oleh
Paulus, di antaranya ialah: Tuhan Yesus menampakkan diri kepada Maria
Magdalena (Yoh 20:11-17 bnd. Mrk 16:9-11); Tuhan Yesus berjumpa
penelitian sejarah dari sudut sekuler, sehingga mengabaikan unsur-unsur supernatural,
khususnya menolak konsep inspirasi yang kental dengan muatan supernatural.
2
1
The historic description of Scripture as inspired means not that it is
inspiring (although it is) but that it is ‘God-breathed’ a product the creator-Spirit’s work,
always to be viewed as the preaching and teaching of God himself through the words of
the worshipping human witnesses through whom the Spirit gave it. Both testamens view the
words of Scripture as God’s own words; J.I. Packer, “Scripture,” edited by Sinclair B.
Ferguson, New Dictionary of Theology (Laicester: InterVarsity Press, 1994), 629; The
Greek term theopneustos ('God breathed') (2Tim 3:16) means that the Scriptures were
given by God, actually breathed out by Him; Mel Loucks, Contemporary Debate in
Evangelical Theology (Pacet: PSTI, 2000), 21.
dengan para murid (Mat 28:9-10); Tuhan Yesus menampakkan diri kepada
Simon (Luk 24:34; 1Kor 15:5); Tuhan Yesus menampakkan diri kepada
murid-murid-Nya di jalan ke Emaus (Luk 24:13-35; Mrk 16:12-13); Tuhan
Yesus menampakkan diri kepada kesebelas murid-Nya (Mrk 16:14; Luk
24:36-43; Yoh 20:19-23); Tuhan Yesus menampakkan diri kepada Tomas
(Yoh 20:26-29); Tuhan Yesus menampakkan diri kepada kesebelas muridNya dan Ia memberi perintah untuk pergi memberitakan Injil-Nya (Mat
28:16-20); Kristus menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara,
dan juga kepada Yakobus (1Kor 15:6-7). Kristus menampakkan diri kepada
Paulus (Kis 9:5-6, 1Kor 15:8).22
FAKTA KEBANGKITAN KRISTUS MERUPAKAN DASAR
KEBANGKITAN KRISTEN (15:1-11)
Pokok mengenai fakta kebangkitan Kristus merupakan dasar
kebangkitan kristen adalah ajaran yang asasi bagi kekristenan. Menyangkal
kebangkitan Kristus dari antara orang mati (15:12) berarti meniadakan
seluruh makna Injil. Demikianlah Paulus mengulangi kembali hal-hal yang
asasi dari Injil. Ia menunjukkan bagaimana kebenaran kebangkitan Kristus
mewujudkan suatu bagian yang pasti dari Injil itu (ay. 1-11), dan bahwa
kebangkitan itu mencakup kebangkitan orang Kristen (ay. 12-34). Akhirnya
kesukaran-kesukaran tertentu yang timbul terhadap ajaran itu dipecahkan
(ay. 35-58).23
Pada bagian awal pasal 15 ini, Paulus mengawali pembahasannya
tentang kebangkitan, dengan kalimat: “aku mau mengingatkan kamu
kepada Injil yang aku beritakan dan yang kamu terima dan yang di
dalamnya kamu teguh berdiri (ay 1).” Dalam hal ini, Paulus ingin
mengingatkan kembali jemaat Korintus mengenai kuasa Injil yang telah
mereka terima. Paulus memandang perlu untuk mengingatkan mereka
mengenai Injil yang ia beritakan, sekalipun jemaat Korintus sudah
berpegang pada Injil tersebut, namun Paulus melihat adanya orang mati
(bnd. ay.12). Paulus tidak ingin jemaat Korintus menyangkal Injil yang dia
2
2
2
3
John Walvoord, Yesus Kristus Tuhan Kita (Surabaya: Yakin, 1969),
181-183.
Donald Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa Kini. 3 (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1990), 530.
telah beritakan dengan mengikuti pandangan yang berpendapat bahwa tidak
ada kebangkitan orang mati. Karena itu ia memperingatkan mereka dengan
tegas. Berkenaan dengan itu, Guthrie berkomentar bahwa: “Peringatan ini
dipandang perlu menjadikan Paulus bertanya apakah mereka sudah lupa
akan hal itu, atau memang belum pernah benar-benar memilikinya.”24
Paulus kembali menekankan mengenai hakekat Injil yang telah
diberitakannya, adalah Injil yang telah menyelamatkan mereka. Dengan
diawali preposisi oleh (dia) Paulus mengfokuskan perhatian pada Injil yang
membawa keselamatan, namun ada kesulitan berkenaan dengan kalimat
“Oleh Injil itu kamu diselamatkan …” (ay. 2), itu dilanjutkan dengan
kalimat “asal kamu teguh berpegang padanya”. Nampak di sini ada dua
pengertian yang berbeda, yaitu sudah selamat, dan sedang selamat. 25
Berkenaan dengan kesulitan itu, Morris memberikan jalan keluar, bahwa:
Kata yang terakhir itu (eike) mungkin dimengerti tanpa
pertimbangan yang baik, yakni dengan cara yang serampangan. Jika
orang mengaku untuk mempercayai Injil, tetapi belum
mempertimbangkan dengan baik-baik untuk menyatakan secara
tidak langsung apa dan bagaimana tuntutan-tuntutannya. Mereka
sesungguhnya belum percaya Kristus. Keyakinan mereka tanpa
dasar dan kosong. Mereka kurang iman yang menyelamatkan.26
Dengan adanya beberapa orang dalam jemaat Korintus yang telah
menyangkal kebangkitan, maka hal inilah yang mendasari keinginan Paulus
untuk mengingatkan atau menasehati jemaat Korintus. Paulus
mengingatkan bahwa Injil yang dia beritakan adalah Injil yang benar, bukan
hasil pikiran manusia dan bukan kayalan belaka. Karena itu, Paulus
memaparkan beberapa bukti yang kuat dari fakta historis yang tidak dapat
diragukan tentang kematian dan kebangkitan Kristus yang adalah inti Injil
yang dia beritakan.
2
4
2
5
Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa, 530.
You are saved is present continous, ‘you are being saved’. There is a
sense in which salvation in once for all (as in received, v.1), and another sense in which it
is progressive (cf. 1:18; 2Cor. 2:15); Morris, Tyndale New Testament…, 200.
2
6
The last word,  may be understood as ‘without due consideration
in a haphazard manner. If people proffes to believe the Gospel, but have not given due
consideration to what implies and what demands, they do not really trust Christ. Their
belief is groundless and empty. They lack saving faith; Ibid., 201.
Fakta Kematian dan Penguburan Kristus (ay.3-4)
Setelah Paulus menarik perhatian jemaat Korintus kepada Injil yang
telah mereka terima, Paulus melanjutkan pembahasannya dengan
menekankan hakekat Injil itu sendiri. “Sebab yang sangat penting telah
kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah
Kristus telah mati karena dosa-dosa kita sesuai dengan kitab suci (ay. 3).”
Paulus menyatakan tentang Injil yang dirinya sendiri telah menerima, yaitu
tradisi pengajaran Gereja.27 Bahwa Injil itu pada intinya adalah berpusat
pada kematian Kristus. Morris berpendapat sama bahwa: “Salib itu
merupakan inti dari Injil.”28 Hal ini pun dikatakan oleh Wilson: “Karena
dosa-dosa kita yang merupakan alasan kematian Kristus, ini berarti bahwa
Ia mati sebagai orang berdosa, sebagai kurban penggantian yang oleh-Nya
kita menerima pengampunan dosa-dosa.”29
Makna kematian Kristus disampaikan oleh Paulus, dengan harapan
akan menggugah kesadaran jemaat Korintus, supaya tidak begitu cepat
mengikuti injil lain, yaitu injil yang tidak menghargai kematian dan
kebangkitan Yesus. Injil itu, tidak hanya berhenti pada kematian Yesus,
melainkan diteruskan pada penguburan dan kebangkitan Kristus (ay. 4).
Injil itu bukanlah suatu program yang mendadak, melainkan Injil adalah
kebenaran yang telah dinubuatkan dan yang telah terjadi suatu “Kitab Suci”
(Yes 53:10-12; Mzm 16:10; bnd. Kis 2:24-28). Karena itu, Paulus dapat
memberitakan Injil dengan penuh keyakinan berdasarkan kebenaran
tersebut. Kristus telah mati dan dikuburkan, dimana kematianNya
merupakan fakta historis, karena mayat Kristus memang telah dikuburkan,
dan hal ini tidak dapat disangkal kebenarannya (Mat 27:59-60; Mrk 15:46;
Luk 23:53).30
2
7
This is the kerygma, the proclamation the gospel preached by the early
church; Morris, Tyndale New Testament…, 201.
2
8
The cross is at the heart of the Gospel; Ibid.
2
9
Since ‘our sins’ were the only reason for Christ’s death, this means that
he died for as sinners, as the substitutionary sacrifice through whom we receive the
forgiveness of sins; Geoffrey B. Wilson, I Corinthian (Pennsylvania: The Banner of Truth
Trust, 1978), 214.
3
0
Green, Tafsiran Surat I…, 101; Brill, Tafsiran Surat
Korintus…, 298-299; Reginald H. Fuller, The Formation of the Resurrection Narratives
(Philadelphia: Fortress Press, 1980), 15-16.
Fakta Dan Bukti Kebangkitan Kristus (ay. 4-11)
Kristus telah mati dan dikuburkan, tetapi Dia tidak mati selamalamanya, pada hari yang ketiga dari kematian dan penguburan-Nya, Kristus
bangkit sesuai dengan nubuatan Kitab Suci (ay. 4). Kebangkitan Kristus
menggemparkan dunia pada waktu itu. Kebangkitan-Nya bukanlah ceritera
jemaat mula-mula, tetapi diproklamasikan. Hal ini juga diungkapkan oleh
Fuller.31 Dengan demikian satu hal yang pasti dan merupakan fakta historis
adalah Kristus telah bangkit dari kematian dan disertai dengan bukti-bukti
yang akurat. Hal inilah yang dituangkan Paulus dalam ayat 5-11.




Kristus menampakkan diri-Nya kepada Kefas atau Petrus dan
kepada keduabelas murid-Nya (15:5, bnd. Luk 24:34-36; Kis 1:2-3)
Kristus menampakkan diri-Nya kepada lebih dari limaratus saudara
(15:6, bnd. Luk 24:33,36; Mat 28:10,16). Fakta menunjukkan
bahwa, banyak orang tersebut masih hidup pada waktu Paulus
menulis suratnya. Hal ini membuktikan bahwa mereka
menyaksikan peristiwa kebangkitan Kristus
Kristus menampakkan diri-Nya kepada Yakobus, saudara Tuhan
Yesus sendiri, kemudian kepada semua rasul (15:7). Yakobus yang
dimaksudkan disini adalah Yakobus saudara Tuhan Yesus. Dimana
ia belum bertobat pada waktu pelayanan Yesus (Yoh 7:5), namun ia
bertobat setelah kebangkitan Tuhan Yesus (Kis 1:14), kemudian ia
menjadi tokoh jemaat di Yerusalem (Gal 2:9, bnd. 15:13 dst)
Yang terakhir, Kristus menampakkan diri-Nya kepada Paulus
(15:8). Penampakan Tuhan Yesus berhenti saat Dia naik ke Surga,
namun secara istimewa Dia menampakkan diri kepada Paulus di
3
1
Ibid.; In the early community the resurrection was not
narrative, but proclaimed (e.g. IThess 1:10). In the Gospel tradition, similarly, statements
of the resurrection occur, not in naratice form, but in predictions (e.g. Mrk 16:6), and in
the report of the eleven to the Emmaus disciples (Luk 24:34). Fuller, The Formation of the
Resurrection…, 16-17. Dalam masyarakat Kristen mula-mula, kebangkitan bukanlah
cerita, melainkan diberitakan (1Tes 1:10). Dalam tradisi Injil itu, pernyataan-pernyataan
mengenai kebangkitan muncul bukan dalam bentuk cerita, tetapi dalam prediksi (Mrk
16:6) begitu juga dengan laporan kepada kesebelas murid kepada pengikut Yesus di
Emaus).
jalan menuju ke Damsyik (Kis. 9).32 Peristiwa inilah yang
digambarkan Paulus “seperti anak yang lahir sebelum waktunya,”
artinya Paulus mengungkapkan mengenai dirinya yang tidak
layak.33
Bukti-bukti di atas, diperkuat oleh Paulus dengan pengalamannya
sendiri. Dalam ayat 9-10, Paulus bersaksi dalam kerendahan hatinya dan ia
senantiasa merasa menyesal karena telah menganiaya jemaat Tuhan. Alasan
inilah yang dianggap Paulus bahwa dirinya adalah yang terkecil (paling
hina) diantara semua rasul. Kuasa kebangkitan Kristus telah merubah
Paulus secara total menjadi seorang yang sungguh-sungguh hidup dan
melayani Tuhan. Pendapat yang sama disampaikan oleh Pfitzner dalam
bukunya.34 Kuasa yang mengubah hidup Paulus ini, disadari oleh Paulus
sebagai karunia Allah (ay. 10). Kesadaran akan anugerah Allah ini telah
membangkitkan semangat Paulus dalam pelayanan, yaitu dengan semakin
bekerja keras. Injil telah mengubah Paulus, Injil itulah yang diberitakannya.
Paulus menarik perhatian jemaat Korintus untuk tertuju kepada Injil, karena
Injil itulah yang telah membuat orang Korintus percaya (ay. 11).35
KEBANGKITAN ORANG MATI (15:12-34)
3
2
Green, Tafsiran Surat I…, 102; Brill, Tafsiran Surat
Korintus…, 299-301.
3
3
Ungkapan itu bukan menunjuk kepada saatnya Paulus bertobat,
melainkan kepada tindakan menyela yang mendadak, yang dengannya ia disobek, dari
menentang Tuhan menjadi murid Tuhan atau kepada perasaannya sebagai orang yang tak
layak sama sekali–sama tak layak disebut rasul, sama halnya abortus dipandang sebagai
dewasa. Sekalipun disini Paulus menyebut dirinya yang paling hina dari semua rasul, ia
tidak bermaksud menunjukkan bahwa pelayanannya lebih rendah daripada pelayanan
rasul-rasul lainnya (bnd. 2Kor 11:5; Gal 2:11), sebab sebenarnya ia bekerja lebih
berkelimpahan, tapi karena ia telah menganiaya jemaat Allah (Kis 26:9 dsb; Gal 1:13) ia
tak patut sama sekali disebut rasul (1Tim 1:15). Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa…, 530531.
3
4
Tuhan menangkap penganiaya besar ini dan mengubahnya
menjadi seorang misionaris yang besar (Gal 1:13-16). Hal itu, kata Paulus, hanya
membuktikan satu hal : karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada
sekarang; V.C. Pfitzner, Kesatuan dalam Kepelbagaian, Tafsiran atas Surat I Korintus
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 295.
3
5
Green, Tafsiran Surat I…, 102-103; Brill, Tafsiran Surat…,
301-302.
Dalam 1Korintus 15:12-28, memaparkan secara khusus tentang
kebangkitan orang mati. Dalam hal ini, penulis akan membagi dalam dua
pokok bahasan, yaitu: Akibat yang terjadi apabila tidak ada kebangkitan
(15:12-19) dan Akibat yang dihasilkan oleh kebangkitan Kristus bagi orang
percaya (15:20-34).
Akibat Apabila Tidak Ada Kebangkitan (15:12-19)
Teks 1Korintus 15:12-19, diungkapkan dalam struktur yang
bentuknya paralel dan logis. Dalam hal ini, Paulus berusaha untuk
memberikan argumentasi yang logis kepada orang-orang Korintus supaya
mereka mengakui bahwa ada kebangkitan orang percaya yang telah mati,
dan kebangkitan itu adalah didasarkan pada kebangkitan Kristus (ay. 1-11).
Adapun struktur ayat 12-19 adalah sebagai berikut:
I.
Ayat 12-13
A. Kami memberitakan: Kristus telah dibangkitkan dari antara
orang mati
B. Beberapa darimu berkata: Tidak ada Kebangkitan orang
mati.
Tetapi
B’ Jika tidak ada kebangkitan orang mati,
A’ Kristus pun tidak dibangkitkan
II.
Ayat 14-16
A’ Jika Kristus tidak dibangkitkan
R-1 Baik pemberitaan maupun iman adalah sia-sia
Lebih dari pada itu
R-2 Kami bersaksi dusta tentang Allah
Karena
A. Kami mengatakan tentang Allah, bahwa Ia
membangkitkan Kristus
A’ Kepadanya ia tidak membangkitkan
B’ Jika memang orang mati tidak dibangkitkan
Karena
B’ Jika orang mati tidak dibangkitkan
A’ Kristus pun tidak dibangkitkan
III.
Ayat 17-19
A’ Jika Kristus tidak dibangkitkan
R-1a Engkau masih hidup dalam dosa-dosamu
Dan lebih jauh lagi
R-1b Orang percaya yang telah mati, telah binasa.36
Paulus dalam ayat 1-11, mengungkapkan pokok kebangkitan Kristus,
sedangkan dalam ayat 12-19, Paulus menjelaskan konsekuensi yang
mematikan, bila jemaat Korintus menyangkal segala kemungkinan tentang
kebangkitan. Kemungkinan konsekuensi tersebut, yaitu menjadikan
pemberitaan para rasul menjadi suatu kebohongan dan iman menjadi suatu
yang sia-sia, orang Kristen yang mati menjadi binasa, orang Kristen yang
masih hidup menjadi orang yang paling malang.
Paulus dalam teks ini memaparkan akibat-akibat yang akan terjadi,
apabila tidak ada kebangkitan orang mati (15:12-19). Secara khusus,
berdasarkan struktur di atas, argumentasi Paulus diawali dengan kalimat
pengandaian, yaitu “Jika Kristus tidak dibangkitkan” (14-16 dan 17-19).
Kalimat pengandaian ini, diikuti penjelasan sebagai akibat yang akan
terjadi. Sebelum penulis membahas mengenai akibat yang terjadi apabila
tidak ada kebangkitan, maka penulis akan mengemukakan terlebih dahulu
mengenai latar belakang pengajaran Paulus.
Latarbelakang Pengajaran Paulus tentang Kebangkitan
Orang Mati (ay. 12)
Dalam teks Yunani: Ei de Cristoj khrussetai oti ek ekrw eghgertai37
Kata kerussetai (verb, ind, pres, pass 3 pers, sing) artinya memberitakan,
memproklamasikan, dengan diawali oleh preposisi Ei (kata bersyarat)
artinya jika. Maka kalimat yang benar dalam ayat 12 adalah: Dan jika
Kristus diberitakan bahwa Dia bangkit dari kematian, bagaimana
beberapa orang di antara kamu mengatakan tidak ada kebangkitan dari
kematian?38 Dalam hal ini, jelas bahwa Paulus yang telah memberitakan
3
6
Fee, The New International Commentary, …, 739, 749, 758,
762, 783, 794.
3
7
Jay P. Green, The Interlinear Greek-English New Testament
(Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1984), 629.
3
8
Kepussetai berasal dari kata dasar kerossw artinya to preach to
proclaim, Wesley J. Perschbacher, Refresh Your Greek (Chicago: Moddy Press, 1989),
kebangkitan Kristus kepada jemaat Korintus. Namun, karena ada sebagian
jemaat di Korintus yang percaya pada filsafat Yunani, yang berpandangan
bahwa tidak ada kebangkitan orang mati, 39 maka karena alasan yang
mendasar inilah yang membuat Paulus ingin memberikan responnya
terhadap pandangan yang keliru tersebut. Paulus ingin memperlihatkan
ketidakkonsistenan dan kemustahilan terhadap iman Kristen, apabila tidak
ada kebangkitan.
Kristus Tidak Dibangkitkan (ay. 13)
Dalam ayat 13, Paulus memberikan penjelasan kepada jemaat
Korintus dengan kalimat Ei de anastasij nekron ouk estin40 Kalimat ini
mendapat preposisi Ei de (dan jika), menjelaskan bahwa, kalimat ini
merupakan kalimat bersyarat.41 Dimana dilanjutkan dengan frase …oude
Cristoj eghgertai (maka Kristus juga tidak dibangkitkan).42 Dalam teks ini,
Paulus memberikan suatu penjelasan kepada jemaat Korintus bahwa
Kristus tidak akan mengalami kebangkitan, apabila tidak ada kebangkitan
orang mati. Kalimat kedua merupakan akibat dari kalimat sebelumnya
kalau tidak ada kebangkitan orang mati. Dalam hal ini, kalimat kedua
658; James Strong, Strong’s Exhaustive concordance of The Bible (Nashville: Thomas
Nelson Publishers, 1979), 42. Kata bersyarat adalah kata dimana jika sesuatu telah terjadi,
maka akan menimbulkan suatu akibat yang pasti akan terjadi. Seperti: Jika Kristus tidak
dibangkitkan, maka orang percaya tidak akan dibangkitkan pula, orang percaya tidak
diampuni, dan akan mengalami kebinasaan.
3
9
Orang sesudah mati: jiwa meninggalkan tubuh dan melanjutkan
keberadaannya di tempat lain, tetapi bagi tubuh tidak ada harapan untuk bangkit (bnd. Kis
17:32). Green, Tafsiran Surat I…, 103; Para anggota persekutuan Kristen awal yang
menolak kehidupan setelah kematian. Penolakkan mereka bersifat mutlak. Mereka
menekankan bahwa tidak ada kebangkitan orang mati. Tidak seorangpun, bahkan Yesus
juga tidak, yang selamat dari kubur; R.C. Sproul, Hai Maut Dimanakah Sengatmu?
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 91.
4
0
Et de anastasij nekron ouk estuBut if there be no resurrection
of the dead; Green, The Interlinear Greek – English..., 629.
4
1
The conditional sentences throughout this section begin with ei
de, the condition being an assumed fact : “It it is preached (as it is) that Christ has been
raised …” (v. 12); W. Harold Mare, “I Corinthians,” in The Expositor’s Bible…, 283.
4
2
He perfect tense egegertai ('has been raised'), with its emphasis
on the present reality of the historic fact is important to Paul (cf. Gal 2:20). Ibid.; Green,
The Interlinear Greek-English…, 629.
sebagai konsekuensi dari kalimat pertama, dalam arti bahwa kebenaran
tentang kebangkitan orang mati diwujudkan dengan kebangkitan Kristus
dan Kebangkitan Kristus membuktikan mengenai kebenaran kebangkitan
orang mati. Dengan kata lain, Paulus menyatakan bahwa penyangkalan
terhadap kebenaran tentang kebangkitan orang mati, merupakan
penyangkalan juga terhadap fakta dan kebenaran kebangkitan Kristus.
Pemberitaan Injil Dan Iman Menjadi Sia-sia (ay 14-16)
Paulus pada ayat sebelumnya telah memaparkan mengenai adanya
suatu ajaran yang tidak mempercayai kebangkitan orang mati.
Ketidakpercayaan ini juga berarti penyangkalan kebangkitan Kristus. Pada
ayat 14, Paulus memaparkan akibat yang beruntun apabila menyangkal
kebenaran tentang kebangkitan orang mati. Akibat yang beruntun tersebut,
pertama yaitu penyangkalan kebangkitan Kristus; kedua yaitu: pemberitaan
para rasul termasuk Paulus adalah pemberitaan yang palsu, bohong,
kosong, dan tidak berguna; ketiga, sebagai akibat langsung dari
pemberitaan yang palsu yaitu mengakibatkan kepercayaan jemaat Korintus
pun menjadi sia-sia. Karena ternyata iman mereka adalah didasarkan
kepada berita yang palsu, yaitu berita tentang Kristus yang tidak pernah
dibangkitkan. Hal ini diungkapkan Paulus dengan ungkapan “Tetapi
andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami
dan sia-sialah juga kepercayaan kamu.” Berkenaan dengan hal ini, Pfitzner
berkomentar bahwa:
Iman mengakui bahwa Kristus “telah diserahkan karena pelanggaran
kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita” (Rm 4:25). Apabila
Paskah itu tidal lebih dari pada sekedar hiasan yang indah (tetapi
tidak harus ada) dari kue Injil maka sia-sialah juga kepercayaan kita.
Paskah tidak lebih dari sekedar sebuah akhir yang menyenangkan
dari suatu kisah yang seharusnya menyedihkan, tidak ada
pengharapan di dalam Juru Selamat yang mati. Namun sebaliknya,
iman tahu bahwa Paskah berarti perayaan kehidupan yang terus
menerus dalam menghadapi maut, janji tentang suatu kemenangan
akhir (ay 54-55).43
4
3
Pfitzner, Kesatuan dalam…, 300.
Lebih lanjut lagi dalam ayat 15, Paulus mengemukakan dalam teks
Yunani tertulis Euriskomeqa de kai yeudomarturej tou qeou Kata
euriskomeqa dalam bentuk present pasif berarti ditemukan. Sedangkan kata
yeudomarturej (verb, indic, pres, pass, 1 pers, pl) artinya kesaksian palsu.44
Jadi, dalam teks Yunani adalah lebih jelas menerjemahkannya: Dan
didalam diri kami, ditemukan kesaksian palsu tentang Allah. Paulus
menjelaskan mengenai kalimat di dalam diri kamu ditemukan kesaksian
palsu adalah menujuk kepada para rasul termasuk Paulus sendiri, yang telah
memberitakan kesaksian palsu, karena mereka sudah memberitakan berita
bohong tentang Allah yang telah membangkitkan Kristus adalah tidak
demikian. Namun, Paulus mengungkapkan hal ini dalam bahasa
pengandaian: kalau andaikata benar, bahwa orang mati tidak
dibangkitkan.45 Lebih jauh lagi, Paulus mengungkapkan bahwa andaikata
tidak ada kebangkitan orang mati, bukan hanya mereka yang berdusta,
melainkan Allah sendiri adalah berdusta. Namun sesungguhnya, Allah
adalah benar, tidak berdusta (Rm 3:4), demikian pula hamba-hambaNya
yang menjadi saksi-saksi tentang kebangkitan Tuhan (Kis 1:22). Akhirnya
Paulus kembali menegaskan dalam ayat 16 dengan mengulangi ayat 13
bahwa: Jika benar orang mati tidak dibangkitkan, maka Kristus juga tidak
dibangkitkan.46
Tidak Ada Pengampunan Dosa (ay 17-18)
Lebih lanjut dalam ayat 17 tertulis: Ei de Cristoj ouk egegertai...47
Disini Paulus menggunakan preposisi Ei (jika), sama seperti ayat
sebelumnya, yaitu menjelaskan mengenai kalimat bersyarat. Didalam teks
Yunani maupun LAI memakai terjemahan yang sama, yaitu: Dan jika
Kristus tidak dibangkitkan. Dalam bagian ini, Paulus menekankan akibat
jika Kristus tidak dibangkitkan dan sekali lagi ia menekankan titik kesiasiaan (bnd. ay. 14). Bahwa tanpa kebangkitan Kristus maka kepercayaan
4
4
Euriskomeqa berasal dari kata dasar Euriskw artinya to find,
discover yeudomarturej (noun, nom, pl, masc) terdiri dari dua kata yaitu yeudomartuj dan
upoj artinya a false; Perschbacher, Refresh Your…, 658; Kurt Aland, Analitical Greek
New Testament (Grand Rapids: Baker Book House, 1981), 543.
4
5
Ibid.
4
6
Ibid.
4
7
And if Christ be not raised. Ibid.
mereka menjadi sia-sia, tidak berguna dan tetap hidup dalam dosa mereka.
Hal yang lebih luas dan jelas diungkapkan oleh Sproul sebagai berikut:
Paulus melihat kebangkitan sebagai tanda yang jelas dari Allah
tentang penerimaan-Nya terhadap pengorbanan Kristus sebagai
suatu penebusan untuk dosa-dosa kita. Jika Dia tidak bangkit maka
kita tetap dalam dosa-dosa kita. Kita tidak mempunyai Juruselamat.
Baik kepercayaan kita maupun kematian Kristus menjadi sia-sia.
Kita tetap jadi orang berutang yang tidak bisa membayar hutanghutang kita.48
Lebih jauh lagi, Paulus menekankan akibat selanjutnya jika Kristus
tidak dibangkitkan dalam ayat 18, yaitu: ara kai, oi` koimhqentej h` Cristw
aplonto49 Kata koimhqentej dalam bentuk aorist pasif berarti mati. Dengan
demikian, frase oi` koimhqentej (verb, partic, aor, pass, nom, mac, pl)
memiliki pengertian kepada mereka yang telah mati.50 Istilah apwlonto
adalah dalam bentuk aorist medium, yang berarti: menjadi binasa.51 Dari
pengertian ini, kalimat ara kai, oi` koimhqentej h` Cristw apwlonto
diterjemahkan sebagai berikut: Dengan demikian kepada mereka yang telah
mati dalam Kristus menjadi binasa. Jadi, dalam ayat 18 ini, Paulus
menekankan dengan jelas bahwa, jika Kristus tidak dibangkitkan, maka
sebagai akibat yang berikutnya adalah jemaat Korintus yang percaya dan
mati dalam Kristus mengalami kebinasaan. Guthrie pun memiliki
pandangan serupa, yaitu: Tidak ada harapan bagi orang Kristen yang
sudah mati dalam kehidupan selanjutnya (bnd. Rm 6:1-11), sama seperti
mereka yang tidak percaya kepada Kristus atau kebangkitan Kristus.52
Berkenaan dengan ini, Grosheide juga menyatakan hal yang serupa sebagai
berikut:
Sproul, Hai Maut Dimanakah …? 94.
Green, The Interlinear Greek…, 629.
5
0
koimeqentej berasal dari kata dasar koimaw artinya be dead;
Perschbacher, Refresh Your…, 658; Aland, Analitical Greek New…, 658; (1Th 4:14f. oi k.
en Cristw those who died in communion w. Christ I Cor 15:18; William F. Arndt, A GreekEnglish Lexicon of The New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago:
The University of Chicago Press, 1979), 437.
5
1
Aorist medium artinya membuat jadi (menjadi); J.W. Wenham,
Bahasa Yunani Koine (Malang: SAAT, 1977), 92-93; apwlonto (verb, indic, aor, mid, 3
pers, pl) terdiri dari dua, yaitu kata apollumi dan kata apo artinya perished; Ibid., 14.
5
2
Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa…, 531.
4
8
4
9
Menyebutkan hasil yang lain dari pendapat yang mengajarkan bahwa
Kristus tidak bangkti dari antara orang mati, suatu hasil yang
diyakini oleh orang-orang Korintus bahwa itu adalah tidak benar.
Jika demikian, maka orang-orang Korintus berarti masih hidup
dalam dosa. Hal ini disebabkan oleh karena iman mereka adalah siasia.”53
Tidak Ada Pengharapan (ay. 19)
Lebih jauh lagi dalam ayat 19, Paulus menyatakan bahwa: ei en th
zwh en Cristw hlpikotej esmen monon eleeinoteroi pantwn
anqrwpwnesmen54 Kata hlpikotej (verb, partic, 3 pers, nom, pl, masc, perf,
act) artinya berharap atau mengharapkan. Sedangkan kata Elleinoteroi
(adj, compar, masc, nom, pl) artinya yang menyedihkan atau sengsara.55
Terjemahan yang lebih tepat adalah: Jikalau kita hanya dalam hidup ini
saja berharap pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling
sengsara dari segala manusia. Dalam ungkapan ini, Paulus menyatakan
betapa malang atau sengsaranya jemaat Korintus yang telah berharap pada
Kristus dalam seluruh kehidupannya, termasuk kehidupan setelah kematian.
Pernyataan Paulus ini adalah sebagai akibat jika Kristus tidak dibangkitkan.
Dalam hal ini, jemaat Korintus mengatakan bahwa mereka adalah orang
yang paling sengsara atau malang dari segala manusia. Lebih jauh dari itu,
tanpa kebangkitan Kristus, maka, iman jemaat Korintus adalah iman yang
kosong, karena mereka percaya kepada Injil yang tidak benar dan sia-sia.
Maka orang Kristen tidak lebih dari orang-orang bukan Kristen. Pandangan
ini pun juga menjadi pandangan Prior yang menyatakan bahwa: Jika iman
5
3
F.W. Grosheide, Commentary on The First Epistle To The
Corinthians (Grand Rapids: Eerdmans, 1960), 359.
5
4
Jika dalam kehidupan ini kita hanya memiliki pengharapan
pada Kristus, kita adalah yang paling malang dari semua orang. (If in this life only we have
hope in Christ, we are of all men most miserable). Green, The Interlinear Greek-English
New Testament …, 629.
5
5
hlpikotej berasal dari kata dasar elpizw artinya berharap atau
mengharapkan. Sedangkan kata eleeinoteroi berasal dari kata dasar eleeinoj artinya
miserable; Perschbacher, Refresh Your…, 658-659; Aland, Analytical Greek New…, 543.
orang Kristen didasarkan pada suatu Injil yang kosong dan penyelamat
yang menipu, maka orang lain adalah lebih baik dari pada orang Kristen.56
Akibat Kebangkitan Kristus Bagi Orang Percaya (15:20-34)
Di atas telah dibahas mengenai konsekuensi-konsekuensi negatif jika
Kristus tidak dibangkitkan (15:11-19). Dalam bagian selanjutnya, yaitu
dalam ayat 20-34, penulis membahas mengenai konsekuensi-konsekuensi
positif, sebagai antagonis dari konsekuensi-konsekuensi negatif terhadap
penyangkalan kebangkitan Kristus.57Dalam pembahasan ayat 20-34, Paulus
mengembangkan sebuah pendapat dengan menggunakan Perjanjian Lama
sebagai bukti. Pertama-tama Paulus menunjuk pada perhambaan bersama
manusia kepada maut melalui Adam yang pertama, untuk menyoroti
karunia kehidupan di dalam bagian yang kedua (ay. 20-22). Mazmur 110:1,
8:6 dikutip untuk membuktikan bahwa Kerajaan Allah akan disempurnakan
hanya apabila musuh terakhir, yaitu maut telah dihancurkan (ay. 23-28).58
Adapun akibat yang dihasilkan oleh kebangkitan Kristus bagi orang
percaya, yang merupakan pokok pembahasan dalam bagian ini adalah
sebagai berikut ini.
Kristus Sebagai Perintis Kebangkitan Orang Percaya (ay. 20-23)
Paulus menjelaskan lebih jauh tentang konsekuensi penolakan
terhadap kebenaran kebangkitan dengan menggunakan metafora dalam ayat
20 yang diikuti oleh implikasinya. Paulus memulai pembahasan ini dengan
frase nuni de. Kata nuni artinya sekarang, dan kata de artinya tetapi.59 Jadi,
ayat ini, diawali dengan ungkapan tetapi sekarang, dengan kata lain ayat ini
menekankan waktu sekarang, (LAI meniadakan kata sekarang). Paulus
mencoba untuk menarik perhatian orang Korintus kepada kebenaran yang
mendasar. Kata de (tetapi) sebagai kata pertentangan antara dua hal, yaitu:
5
6
If the Christian faith is thus based on an empty Gospel and
fraudulent saviour, anybody is better off than the Christian; David Prior, The Message of I
Corinthians, (Leicester: InterVarsity Press, 1985), 265.
5
7
Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa..., 531.
5
8
Pfitzner, Kesatuan Dalam…, 303.
5
9
Perschbache, Refresh Your…, 659; Nuni berasal dari kata
nun (nun) artinya now; also as noun or adj. Present or immediate; of cate, soon, present,
this (time); Strong, Strong’s Exhaustive …, 50.
antara ayat 11-19 yang berbicara mengenai konsekuensi negatif jika Kristus
tidak dibangkitkan dengan ayat 20-28 yang berbicara mengenai
konsekuensi positif sebagai hasil dari kebangkitan Kristus.
Kata egegertai dalam bentuk pasif, artinya dibangkitkan,60
sehinggga kalimat Nuni de Cristoj egegertau ek nekrwndiartikan tetapi
sekarang Kristus telah dibangkitkan dari kematian. Paulus menjelaskan
bahwa, Kristus benar-benar telah bangkit dari kematian. Kristus telah
bangkit, hal ini menjelaskan mengenai suatu kejadian yang sudah
berlangsung. Guthrie menulis bahwa: “Kristus telah dibangkitkan dan tidak
akan mati lagi. Hal ini m,enjadi jaminan bagi hidup orang percaya (bnd. Ibr
6:19-20).”61 Hal yang sama juga diungkapkan lebih luas oleh Stott:
“Kebangkitan Yesus memberikan jaminan kepada kita mengenai
pengampunan Allah. Kita telah mengetahui bahwa pengampunan adalah
salah satu kebutuhan yang paling mendasar dan salah satu dari karunia
Allah yang terbaik.”62
Secara khusus, kebangkitan Kristus adalah buah sulung dari orang
mati. Kata aparce (noun, nom, fem, sing) artinya permulaan atau yang
sulung.63 Jadi, kata aparce adalah kata yang menjelaskan suatu kejadian
yang terjadi paling pertama atau merupakan buah sulung dari kebangkitan
Kristus. Istilah kekoimhmenwn (verb, part, perf, pass, gen. masc, pl) artinya
tidur, tertidur, sama sekali sudah mati atau tidak sadar,64 sehingga
6
0
Nuni de Cristoj egegertai ek nekrwn (But now is Christ risen
from the dead); Green, The Interlinear Greek…, 629; egegertaiberasal dari kata dasar
egeirw artinya rise, rouse; Friberg, Analytical Greek New…, 543; Strongs, Greek
Dictionary of…, 25.
6
1
Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa…, 531.
6
2
The resurrection of Jesus assures us God’s forgiveness we have
already noted that forgiveness is one of our most basic need and one of God’s best gifts;
John Stott, The Contemporary Christian (Leicester: InterVarsity Press, 1992), 81.
6
3
aparke berasal dari dua kata yaitu: apo yang mengandung
pengertian mengenai tempat, waktu dan hubungan yang artinya after, ago, at, because of,
before, dan kata arcomai artinya beginning. Dalam bentuk intensive, perfek, substantive,
partitive, as partitive genetif dari kata aparch artinya sulung; Strong, Strong’s Exhaustive
concordance…, 13, 14, 16.
6
4
kekoimhmen berasal dari kata koimaw artinya to sleep, fall
sleep, dalam bentuk intensive, perfek, substantive, partitive, as partitive genetif dari kata
aparch artinya sulung. Aparch sulung (istilah Yahudi untuk bagian pertama yang
dikhususkan bagi Allah sebelum sisanya dapat digunakan); setara dengan arrabwn(Rm
diterjemahkan “menjadi buah sulung dari mereka yang telah benar-benar
mati.” Paulus dalam hal ini, menjelaskan bahwa Kristus benar-benar telah
dibangkitkan. Ia mau menjelaskan suatu kejadian yang sudah berlalu, tetapi
berakibat terus menerus sebagai jaminan bagi umatnya di masa yang akan
datang. Kebangkitan-Nya menyebabkan kita dibangkitkan secara rohani
(Rm 6:4; Ef 2:6), dan pada saat yang sama menjamin bahwa kita akan
dibangkitkan secara tubuh, seperti metafora dalam Rm 8:23 dan juga dalam
2Kor 1:22, 5:5; Ef 1:14).65
Kristus dikatakan “yang pertama kali bangkit dari kematian” karena
kebangkitan yang Kristus alami adalah kebangkitan yang sempurna. Kristus
bangkit dari kematian langsung ke sorga, tidak hidup dalam dunia ini lagi.
Memang sebelum Kristus bangkit dari kematian, di dalam Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru telah banyak orang dibangkitkan dari kematian
sebelum Kristus. Namun kebangkitan mereka adalah berbeda dengan
kebangkitan yang Kristus alami. Perbedaan tersebut yaitu orang-orang yang
dibangkitkan sebelum Kristus (PL dan PB), dibangkitkan untuk menjalani
kehidupan mereka di bumi lagi, sifatnya untuk sementara waktu dan setelah
itu mereka akan mati lagi. Hal ini membuktikan bahwa kebangkitan yang
mereka alami adalah tidak sempurna seperti yang Tuhan Yesus Kristus
alami adalah kebangkitan yang sempurna. Selain itu, kebangkitan Yesus
adalah menjadi dasar bagi kebangkitan orang percaya, dengan kata lain,
kebangkitan Yesus adalah kebangkitan yang menyelamatkan, kebangkitanNya memungkinkan kebangkitan orang mati.
Dalam ayat 21-22, terdapat dua kalimat dalam bentuk parallel ganda,
yang pertama (ay. 21) menjelaskan analogi bagaimana Allah
8:23). Newman, Kamus Yunani…, 16; Perschbacher, Refresh Your…, 659; Friberg,
Analytical Greek New…, 104.
6
5
The first to rise from the dead (Acts 26:23), rising as our
representative. His resurrection caused us to be raised spiritually (Rom. 6:4; Eph. 2:6),
and at the same time guarantees that we will be raised bodily. Another use of the
methaphor is found in Rom. 8:23 (cf. also 2 Cor. 1:22, 5:5; Eph. 1:14). New Geneva Study
Bible (Nashville: Thomas Nelson Pub., 1995), 1821; Kebangkitan Kristus, sebagai
manusia pertama yang mati tetapi hidup kembali dengan hidup yang tak berkesudahan,
menjamin kebangkitan seluruh umat Allah (bnd. ay. 23; 1Tes 4:14); Green, Tafsiran surat
I…, 104. Bruce pun berpendapat bahwa: “Since he was raised, his people will be raised: as
surely as the first fruits guarantee the coming harvest, so surey does his resurrection
guarantee their;” F.F. Bruce, The Centure Bible Commentary I & II Corinthian (Grand
Rapids: Eerdmans, 1990), 145.
membangkitkan Kristus sebagai yang sulung dari kebangkitan orang mati;
yang kedua (ay. 22) menjelaskan lebih jauh secara detail ayat 21. Ada pun
struktur ayat 21-22 adalah:
Karena (penjelasan mengenai bagaimana Kristus menjadi buah
sulung)
Karena melalui seorang manusia
kematian,
Juga melalui seorang manusia, kebangkitan orang mati;
Karena (penjelasan mengenai ... demikian juga)
Sebagaimana di dalam Adam
semua mati
Demikian juga di dalam Kristus
semua akan dihidupkan.66
Paulus lebih lanjut menjelaskan dalam ayat 21-23, bahwa ia memandang
Kristus sebagai Adam kedua, dimana maut datang dari satu orang yaitu
Adam (Rm 5:12), sehingga membuat semua keturunan Adam mati dalam
persekutuan dengan Adam. Demikian juga dengan kebangkitan orang mati
datang karena satu orang yaitu Kristus (ay. 21). Kebangkitan Kristus yang
merupakan buah sulung dari kebangkitan orang mati, mengakibatkan
adanya kesempatan bagi semua orang mati dibangkitkan kembali dan
dikuduskan kembali dalam persekutuan dengan Kristus dari kematian (ay.
22). Kata semua orang mati, adalah menunjuk baik kepada orang percaya
maupun kepada orang yang tidak percaya kepada Kristus. Namun
kebangkitan semua orang mati tidaklah terjadi secara bersama-sama. Dalam
ayat 23, Paulus menjelaskan bahwa kebangkitan orang mati adalah sesuai
dengan urutannya. Kristus yang telah bangkit pada waktu kedatangan-Nya.
Hal yang sama, juga diungkapkan oleh Pfitzner: “Kebenaran yang penting
ialah bahwa Kristus sebagai buah sulung telah dibangkitkan (ay. 20). Pada
waktu kedatangan-Nya, mereka yang menjadi milik-Nya (3:23; Gal 5:24)
juga akan bangkit dari kubur mereka.” 67 Jadi, jelaslah bahwa, Kristus telah
dibangkitkan. Dia adalah sebagai perintis atau buah sulung dari
kebangkitan orang mati, yang mana mengakibatkan kebangkitan bagi orang
percaya pada hari kedatangan-Nya.
Maut Ditaklukkan (ay 24-28)
6
6
6
7
Fee, The New International Commentary…, 749.
Pfitzner, Kesatuan Dalam Kepelbagaian…, 306.
Dalam ayat 20-23 telah dibahas mengenai Kristus sebagai perintis
kebangkitan orang percaya, kemudian orang percaya yang telah mati
dibangkitkan pada saat kedatangan Kristus yang kedua kali (Parousia).
Selanjutnya dalam ayat 24 tertulis Eita to teloj. Kata teloj (noun, nom,
neuter, sing.), artinya akhir, penghabisan, kesudahannya.68 Jadi, frase Eita
to teloj terjemahannya adalah sama dengan terjemahan LAI yaitu:
“Kemudian tiba kesudahannya.” Dengan kalimat ini, Paulus hendak
menjelaskan bahwa sesudah kedatangan Kristus dan orang percaya yang
telah mati dibangkitkan, maka tibalah kesudahannya, yaitu puncak dari
segala zaman. Paulus memberikan penjelasan bahwa, kedatangan Kristus
adalah untuk meneguhkan kedaulatan-Nya yang penuh dan secara langsung
(2Tes 1:7). Dimana sebelum Kristus meneguhkan kedaulatan-Nya, tiap
kuasa yang menentang-Nya akan dibinasakan. Setelah semuanya
dibinasakan, yaitu tugas yang diberikan Allah Bapa telah dipenuhi (Mat
28:18), maka Kristus menyerahkan kedaulatan atau kerajaan-Nya kembali
kepada Allah Bapa (1Kor 15:24).
Kerajaan yang diserahkan Kristus kepada Allah Bapa bukanlah
pemerintahan atas daerah atau wilayah tertentu secara lahiriah, melainkan
yang diserahkan Kristus adalah kekuasaan penuh atas segala sesuatu
termasuk manusia (bnd. Flp 2:10). Untuk itu, terlebih dahulu Dia harus
membinasakan segala kekuasaan lain. 69 Karena itulah Kristus harus
memegang pemerintahan sebagai Raja (ay. 25), sampai pemerintahan yang
lain dibinasakan dan ditaklukkan, yaitu sebelum kesudahannya tiba. Hal ini
adalah sesuai dengan janji Allah bahwa Kristus akan memperoleh
kemenangan terakhir atas kuasa-kuasa yang menentang-Nya (bnd. Mzm
110:1). Kata escatosa artinya paling akhir dimana kata ini berfungsi untuk
menjelaskan kata acqroj (adj, nom, masc, sing).70 Kata acqroj (adj, pron,
nom, masc, sing) artinya musuh atau lawan.71 Dengan demikian, frase
escatoj acqroj memiliki pengertian musuh yang paling terakhir. Dalam hal
6
8
teloj berasal dari kata dasar tellw artinya akhir: penghabisan,
kesudahan; Friberg, Analytical Greek…, 543; Miller, Kamus Yunani…, 171.
6
9
Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa…, 532; Green, Tafsiran Surat I
…,105.
7
0
escatojberasal dari dua kata, yaitu ecwdan ocew artinya the
last, final; Friberg, Ibid., 543; Strongs, Strong’s Exautive …, 33; Arndt, A GreekEnglish…, 314.
7
1
acqroj berasal dari kata dasar ecqrw artinya enemy; Strongs,
Strong’s Exautive…, 34.
ini, Paulus menjelaskan bahwa tidak ada musuh lain, selain maut, musuh
yang paling akhir atau paling berat. Sedangkan kata katargeitai (verb,
indic, prest, pass, 3 pers, sing) dalam bentuk present pasif berarti
dimusnakan,72 sehingga secara harafia diterjemahkan “Musuh paling akhir
yang dimusnakan adalah maut.” Setelah itu tidak ada lagi yang harus
dibisanakan, karena maut merupakan musuh paling terakhir dan paling
besar dari manusia.
Maut sebenarnya sudah ditaklukkan oleh Kristus, yaitu pada saat
kebangkitan-Nya (bnd. 2Tim 1:10). Namun maut akan dibinasakan secara
terang-terangan atau secara sempurna, yaitu pada saat konsumasi, pada
waktu kedatangan-Nya kembali (bnd. Why 20:14) dalam pengertian Kristus
merampas segala kuasa maut pada saat semua tawanannya sudah
dibangkitkan.73 Kematian dan kebangkitan Kristus merupakan perjuangan
yang menentukan dalam peperangan yang pada akhirnya adalah
kemenangan yang dialami oleh orang percaya, yaitu mengalami
kebangkitan.74 Pengalaman inilah membuktikan bahwa musuh terakhir
yaitu maut (kematian kekal) telah dikalahkan.
Dalam ayat 27-28, Paulus berbicara tentang manusia yang
sempurna, yaitu Yesus Kristus. Segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah
kaki-Nya, Allah Bapa yang menyerahkan kekuasaan mutlak itu kepada
Kristus. Kalau pekerjaan yang diberikan Allah Bapa kepada Kristus telah
selesai, maka Kristus akan menyerahkannya kembali segala kekuasaan
kepada Bapa-Nya (ay. 24). Sebagai bukti bahwa kepada-Nya Anak sendiri
ditaklukkan, yaitu Anak taat kepada Bapa-Nya. Tujuannya adalah bahwa
Allah Bapa menjadi semua di dalam semua (bnd. Rm 11:36). Disini Paulus
menjelaskan bahwa, Kristus memegang pemerintahan adalah berakhir
bersamaan dengan penaklukkan musuh yang terakhir, selanjutnya Kristus
menyerahkan kekuasaan kembali kepada Bapa-Nya (ay. 24).
Untuk ayat 29-34, yaitu berbicara mengenai implikasi etis moral yang
akan dibahas pada tulisan berikutnya.
7
2
katargeitai berasal dari kata dasar katargew artinya to abolish,
wipe out; Perschbacher, Refres Your…, 659.
7
3
Green, Tafsiran Surat I…, 105; Guthrie, Tafsiran Alkitab
Masa…, 532.
7
4
Because the death and resurrection of Christ constitute the
decisive battle in the war that ends victoriously with the resurrection of his people; Bnd.
O. Cullmann, Christ and Time, E.T. (1951), 141; Bruce, The New Century Bible…, 147.
KEBANGKITAN DAN IMPLIKASI ETIS MINISTRIAL
(15:31-34)
Paulus dalam ayat 31-34, setelah memaparkan panjang lebar
mengenai akibat yang dihasilkan oleh kebangkitan Kristus bagi orang
percaya, yaitu sikap etis yang patut. Ayat 30-31 tertulis ti kai emeij
kinduneuomen pasan wran Kata kinduneuomen dalam bentuk present
indikatif aktif berarti selalu dalam bahaya,75 artinya “setiap saat Paulus
menyerahkan dirinya ke dalam bahaya di dalam konteks pelayanan. Ia
mengatakan: “Kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari” (Rm 8:36,
dikutip dari Mzm 44:23). Hal ini dipertegas lagi dengan frase kaq hmeran
apoqnhskw (ay. 31). Kata apaqnhskw dalam bentuk present indikatif aktif
berarti maut.76 Dengan demikian terjemahan ialah “Hari demi hari aku
diperhadapkan dengan maut” (bnd. 2Kor 11). Mengapa Paulus bersedia
menderita? Karena ia telah mengalami arti dan kuasa kebangkitan Kristus.
Kebangkitan Kristus memotivasi Paulus dalam pelayanan, sehingga
dia memiliki semangat pelayanan sekalipun banyak kali berhadapan dengan
bahaya yang bisa membawanya kepada kematian. Kata eqhriomachsa
adalah dalam bentuk aorist indikatif aktif yang berarti bertarung melawan
binatang buas77 LAI menerjemahkannya sama, hanya kata bertarung
menggunakan kata berjuang.78 Paulus ingin menjelaskan pengalamannya di
Efesus, dengan memberikan arti kiasan tentang perjuangannya melawan
binatang buas di arena yang ditonton oleh banyak orang. Hal ini
menggambarkan betapa berat pelayanannya di dalam memberitakan Injil di
kota Efesus (Kis 19). Karena itu, apabila tidak ada kebangkitan orang mati,
maka tentulah ia akan melarikan diri dari bahaya dan kesulitan yang harus
ia hadapi. Kerelaan atau kesediaan Paulus menghadapi kesulitan dalam
7
5
kindunenomen(1pers, pl, pres, act, indc) berasal dari kata dasar
kinduneuw yang berarti to be in danger, run a risk; Perschbacher, Refresh Your…, 660.
7
6
apoqnhskw(verb, indic, prest, act) berasal dari kata apo dan
qnhskw yang berarti be dead, death, die, lie a–dying, be slain; Strong, Strong’s Exhaustive
Concordance…, 14, 36; Barbara, Analytical Greek New…, 544.
7
7
eqhrimachsa (1pers, sg, aor, act, indic) berasal dari kata
eqhriomacew yang berarti to fight with wild animal; Perschabacher, Refresh Your…, 660.
7
8
If according to man I fought with beasts in Ephesus, what the
profit to me if the dead are not raised? Green, The Interlinear …, 479.
pelayanan karena ia memiliki pengharapan mengenai kebangkitan. Kalau
kan diri dan meninggalkan pelayanan.79 Tanpa pengharapan terhadap
kebangkitan, maka pertarungan seperti itu tidaklah berarti apa-apa. Dan
sebagai langkah berikutnya akan hidup seenaknya, seperti yang dimengerti
dengan ungkapan “makan dan minum,” atau untuk menikmati kesenangankesenangan dunia ini. Namun tidaklah demikian dengan Paulus, ia
menegaskan bahwa hanya pengharapan terhadap kebangkitan membuat ia
bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan dan ancaman-ancaman.
Selain itu, hanya pengharapan akan kebangkitan orang mati ini yang
melahirkan sikap moral yang baik, yakni tidak “makan-minum” atau
bermasa bodoh, seolah tidak ada hari esok lagi, hidup dalam kesenangan
duniawi. Sebaliknya, dalam ayat berikutnya (ay. 33-34), Paulus
memberikan suatu nasehat yang benar, yaitu dengan ia menyatakan mh
planasqe (janganlah kamu disesatkan).80 Kalimat ini menjelaskan mengenai
ayat sebelumnnya, yaitu janganlah menyesatkan diri dengan orang yang
memiliki pedoman menikmati kesenangan hidup duniawi, yaitu karena
mereka tidak percaya adanya kebangkitan orang mati. Alasan Paulus
melarang atau menasehati jemaat Korintus untuk tidak masuk dalam
“pergaulan yang buruk” tersebut yaitu karena pergaulan yang buruk
tersebut akan merusakkan kebiasaan yang baik. Mengingat kepastian
mengenai kebangkitan, maka orang Kristen harus menghindari hubungan
dan persahabatan terus-menerus dengan orang-orang yang mencari
kesenangan semata di dalam hidup ini (ay 34a). Hal ini dikatakan Paulus
karena dalam jemaat Korintus ada sebagian orang yang “tidak mengenal
Allah,” meskipun dalam kenyataannya mereka dengan bangga
menggabungkan diri sebagai orang Kristen, yang tidak berlaku sebagai
Kristen, karena menolak adanya kebangkitan orang mati.
Singkat kata, bahwa implikasi etis dari doktrin kebangkitan, bukan
hanya teori Paulus melainkan dari pengalaman Paulus sendiri dalam
pelayanannya. Paulus memiliki kepastian mengenai kebangkitan orang
mati, maka itu ia tetap bersemangat dan aktif sekalipun banyak kesulitan,
bahkan maut sekalipun. Demikianlah juga kepada orang yang percaya,
mereka tidak seharusnya pasifisme, melainkan harus bersemangat dan aktif
dalam hidup ini untuk melayani Tuhan. Tidak hanya sebatas ini, orang
percaya yang memandang dirinya sebagai tubuh Kristus, maka ia tidak
7
9
8
0
Pfitzner, Kesatuan Dalam Kepelbagaian…, 313.
Do not be led astray; Green, The Interlinear…, 479.
akan menyerahkan diri lagi menjadi tubuh kelaliman/dosa (Rm 6:12-14).81
Karena tubuhnya telah ditebus oleh Kristus dan diberikan jaminan melalui
kebangkitan-Nya. Selain kebangkitan sebagai suatu jaminan bagi
pengampunan orang percaya, juga sebagai menjamin atas kehidupan yang
diubahkan. Karena Allah berkuasa membangkitkan orang mati, maka Ia
pun berkuasa mengubah morah dan karakter umat-Nya. Hal yang sama
dikemukakan oleh Stott bahwa:
Kebangkitan Yesus menjadi jaminan bagi kita mengenai kuasa
Allah. Karena kita membutuhkan kuasa Allah untuk hidup masa kini
dan juga pengampunan pada masa lalu. Apakah Allah sungguh
mampu mengubah hakekat manusia yang kelihatannya menjadi
begitu degil, membuat orang yang kasar menjadi baik, orang yang
egois menjadi tidak egois, orang yang hidup amoral menjadi orang
yang mampu mengontrol diri sendiri dan orang yang masam
hidupnya, menjadi manis? Apakah Ia mampu membawa orang yang
mati kepada kenyataan rohani, dan membuatnya hidup dalam
Kristus? Ya, Ia pasti mampu! Dia mampu memberi kehidupan
kepada orang yang mati secara rohani dan mengubah kita menjadi
sama seperti Kristus.82
Kebangkitan Yesus Kristus menyatakan kedaulatan Allah yang
tertinggi yang menjadi jaminan bagi orang percaya menghadapi kehidupan
di masa yang akan datang, sekaligus jaminan menghadapi tantangan hidup
pada masa kini.83
8
1
12 Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam
tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya. 13 Dan janganlah
kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata
kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang yang dahulu mati,
tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah
untuk menjadi senjata-senjata kebenaran. 14 Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh
dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia.
8
2
The resurrection of Jesus assures us of God’s power. Fot we
need God’s power in the present as well as his forgiveness of the past. Is God really able
to change human nature, which appears to be so intractable, to make cruel people kind,
slfish people unselfish, immoral people self-controlled, and sour people sweet? Is he able
to take people who are dead to spiritual reality, and make them alive in Christ? Yes, he
really is! He is able to give life to the spiritually dead, and to transform us into the likeness
of Christ; John Stott, The Contemporary Christian…, 82.
8
3
Ibid., 85. Yesus Kristus melepaskan murid-muridNya dari
ketakutan bahwa orang percaya tidak hanya bertahan dalam kematian tetapi akan
Pada akhirnya kebangkitan memberikan jaminan bahwa kita hidup
dalam satu dunia yang dikuasai/diatur oleh standar-standar yang absolut,
yang pada akhirnya kebenaran akan menang. Dalam pandangan dunia,
bahwa pada mulanya salib menyatakan kemenangan dunia kejahatan dan
dunia tanpa hukum. Tapi melalui kebangkitan, Allah menyatakan kemuliaan
salib Kristus. Bahwa Kristus sekali mati untuk dosa-dosa dan kematian tidak
lagi menguasai-Nya. Kebenaran ada pada pihak Kristus dan umat-Nya.
Macleod menulis bahwa: “Pada waktu kita memandang ke kubur yang
kosong itu, kita sedang memandang kemenangan dari kebenaran.” 84 Karena
itu, kebenaran menjadi standar moral etis yang bersifat permanen bagi orang
percaya.
Jadi, implikasi etis dari doktrin kebangkitan orang mati ialah Pertama:
Kepastian kebangkitan orang mati tersebut telah memotivasi Paulus dalam
pelayanan. a). Ia semangat dan aktif dalam pekerjaan Tuhan, sekalipun
banyak kali berhadapan dengan bahaya yang bisa membawanya kepada
kematian. b). Kepastian kebangkitan orang mati melahirkan sikap moral
yang baik “tidak bermasa bodoh” dalam hidup ini, tidak menyerahkan diri
lagi pada kelaliman/dosa, tetapi menerapkan kebenaran dalam hidup hari
lepas hari. c). Kepastian kebangkitan orang mati menjamin mengenai kuasa
Allah atas hidup kita, bahwa Allah mampu merubah karakter hidup manusia.
d). Kepastian kebangkitan orang mati menjamin kita untuk hidup dalam satu
dunia yang dikuasai/diatur oleh standar-standar yang absolut, yang pada
akhirnya kebenaran akan menang. Implikasi etis moral ini dilihat oleh
Grudem sebagai aplikasi etis, ia mengemukakan tiga aplikasi etis dari
doktrin kebangkitan orang mati, yakni: “Paulus juga melihat bahwa
kebangkitan memiliki aplikasi untuk ketaatan kita kepada Allah dalam
kehidupan ini. Kedua, Paulus mendorong kita, ketika kita berpikir mengenai
kebangkitan, mengfokuskan pada upah sorgawi di masa yang akan datang
dibangkitkan dari kematian. Kita akan memiliki tubuh yang baru seperti tubuh kebangkitan
Yesus Kristus (Flp 3:21), dengan kuas ayang baru dan yang tak terbayangkan (1Kor 15:2444). Karena Kristus disebut baik sebagai “yang sulung” (1Kor 15:20,23) dan juga disebut
sebagai yang pertama bangkit dari orang mati (Rm 8:29; Kol 1:18; Why 1:5). Kedua
metafora ini memberikan jaminan yang sama. Dia adalah yang pertama bangkit dan semua
umat/orang percaya akan mengikuti-Nya. Kita akan memiliki satu tubuh seperti tubuh-Nya
(1Kor 15:49), sebagaimana kita lahir dalam kesempurnaan sebagai manusia (Adam)
demikian juga kita akan menjadi serupa dengan manusia surga (Kristus); Ibid., 84.
8
4
“When we look at the empty tomb we are looking at the
triumph of righteourness;” Ferguson, New Dictionary Theology…, 584.
sebagai tujuan kita. Aplikasi etis yang ketiga dari kebangkitan adalah
kewajiban untuk berhenti berbuat dosa dalam kehidupan kita.” 85
8
5
Paul also sees that the resurrection has application to our
obedience to God in this life… Second, Paul encourages us, when we think about the
resurrection, to focus on our future heavenly reward as our goal … A third ethical
Application of the resurrection is the obligation to stop yielding to sin in our lives. Wayne
Grudem, this life … Second, Paul encourages us, when we think about the resurrection, to
focus on our future heavenly reward as our goal … A third ethical Application of the
resurrection is the obligation to stop yielding to sin in our lives; Wayne Grudem,
Systematic Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1994), 616.
Download