BERIMAN DAN BERDOA KARENA ALLAH SUATU EKSPOSISI LUKAS 18:1-8 STEVRI I. LUMINTANG PENDAHULUAN Banyak alasan orang Kristen beriman kepada Tuhan, di antaranya adalah karena Tuhan itu baik, Tuhan itu Juruselamat, karena Tuhan adalah penolong, karena Tuhan adalah mahakuasa, dan lain sebagainya. Semua alasan ini dapat ditemukan dengan muda di buku-buku nyanyian Gereja masa kini, dan pada pernyataan-pernyataan para pengkhotbah dan para pemimpin ibadah kontemporer. Orang beriman bukan karena iman melainkan pada iman plus. Beriman pada sesuatu yang ada pada Allah, yaitu kebaikan Allah, keselamatan Allah, pertolongan Allah dan kuasa Allah, bukan pada Allah. Seperti seorang istri memuji suaminya, bukan karena apa adanya suaminya (ontologis), melainkan karena apa yang ada pada suaminya, sama dengan ungkapan “ada uang abangku sayang, tidak ada uang abang melayang.” Ada pertolongan Tuhan, Tuhan ku sayang, tidak ada pertolongan Tuhan, Tuhan melayang. Beriman tidak dapat dipisahkan dengan berdoa. Berdasarkan filsafat dan psikologi agama, paling sedikit ada dua alasan orang berdoa, yaitu karena adanya kebutuhan dan karena adanya masalah. Yang pertama, doa dijadikan alat untuk memenuhi kebutuhan; sedangkan yang kedua, doa dijadikan media bagi solusi atas masalah apapun. Dalam hal ini, doa menjadi alat untuk memperoleh yang diinginkan dan untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Semua kebutuhan dan masalah disampaikan kepada Allah yang dijadikan sebagai objek yang dikendalikan oleh pendoa. Praktik doa seperti ini semakin dipropaganda oleh para pengkhotbah kontemporer yang biasa menyatakan kalimat-kalimat seperti berikut: “Asal kamu yakin apa yang kamu doakan, maka doamu akan terkabul” atau “Kamu harus yakin bahwa apa yang kamu minta itu sudah dijawab, dan bayangkanlah bahwa itu sudah ada.” Atau pernyataan ini: “Asal dengan menjamah mobil yang kita inginkan, maka Tuhan pasti memberikan mobil yang sama.” Apakah seperti ini doa Kristen? Apakah seperti ini doa yang seharusnya diajarkan oleh Gereja? Apakah seperti ini arti doa menurut Alkitab? Apakah Tuhan objek atau subjek doa? Mari kita mempelajari satu bagian Alkitab mengenai doa, yakni Lukas 18:1-8. LATAR BELAKANG INJIL LUKAS Injil Lukas adalah Injil yang memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan Injil lainnya. Pada umumnya, para ahli berpendapat bahwa Lukas adalah seorang tabib, namun bagi penulis, Lukas bukan hanya seorang tabib, melainkan ia juga adalah seorang sejarahwan, karena ialah yang menulis Injil Lukas dengan menegakkan historitas Tuhan Yesus, demikian dengan kitab sejarahnya yakni Kisah Para Rasul. Dari semua penulis Injil, maka Lukaslah yang terdekat dalam hal penulisan riwayat hidup Tuhan Yesus. Ia menjelaskan kelanjutan pelayanan Tuhan Yesus dengan berdirinya Gereja mula-mula, dan dalam tulisannya Yesus menjadi bagian dari sejarah Gereja. Perhatian Injil Lukas ialah pada kedatangan era keselamatan yang baru yaitu bersifat universal (universatity of salvation). Keselamatan yang bersifat universal ini ditandai oleh era pekerjaan Roh Kudus, dan terbukanya keselamatan untuk semua orang termasuk non Yahudi. Keselamatan yang bersifat universal itu dikemukakan oleh Lukas dalam konsep kerajaan Allah, dimana Yesus Kristus adalah manifestasi Kerajaan Allah yang sempurna. Bagian yang khusus dalam pengajaran Tuhan Yesus tentang kerajaan Allah ialah penerimaan dan pemuridan. Orang yang menerima Tuhan Yesus sekaligus menjadi anggota kerajaan Allah, melalui proses pemuridan. Salah satu tema pemuridan adalah beriman dan berdoa. Secara khusus, Lukas mencatat satu perumpamaan Tuhan Yesus yang mengetengahkan mengenai ketekunan dalam doa sebagai sikap yang benar terhadap kedatangan Anak Manusia dalam konteks eskatologis. Perumpamaan itu yaitu perumpamaan tentang seorang janda yang tekun (Luk 18:1-8). Keistimewaan dari teks perumpamaan ini ialah bahwa perumpamaan ini tidak ada dalam injil-injil yang lain. Dengan kata lain, hanya Lukaslah yang mencatat tentang perumpamaan Tuhan Yesus ini. Perumpamaan ini adalah sangat menarik untuk dikaji, karena ada beberapa hal yang kelihatannya adalah agak membingungkan, diantaranya, yaitu sikap hakim yang tidak benar namun membenarkan kasus seorang janda. Secara khusus perumpamaan ini semakin menarik untuk dikaji karena hakim yang tidak benar dianalogikan dengan Allah. Karakter hakim dalam perumpamaan ini jelas-jelas bertolak belakang sama sekali dengan karakter Allah; dan motivasi hakim membenarkan janda tersebut adalah berbeda sama sekali dengan motivasi Allah membenarkan atau menjawab doa orang-orang pilihan-Nya. Selain itu, kebenaran teologis dari perumpamaan ini, nampaknya sangat relevan untuk dijadikan acuan untuk menyikapi praktik agamawi yang sedang menjamur masa kini, yaitu praktik yang sama kelihatannya antara doa orang-orang Kristen dengan doa orang-orang nonKristen, yaitu giat berdoa demi sesuatu atau segala sesuatu yang diinginkan. Doa dijadikan media untuk memenuhi kebutuhan para pendoa. Seolah-olah doa adalah cara untuk menjadi kaya. Doa juga dijadikan senjata untuk mengusir setan, sehingga hampir tidak terlihat perbedaannya dengan dukun yang mengusir setan dari seseorang yang kerasukan setan. Yang terakhir ini, doa dijadikan alat ukur iman orang beragama. Seolah-olah orang yang banyak berdoa adalah orang beriman. Sebelum menafsirkan perumpamaan yang terdapat dalam Lukas 18:1-8 mengenai seorang hakim yang tidak benar atau seorang janda yang tekun, maka sangatlah penting untuk menganalisis perumpamaan ini terlebih dahulu, secara khusus menganalisis teks, konteks dan latarbelakangnya. Analisis Teks Analisis teks adalah suatu studi untuk memahami hakikat teks tertentu, baik bentuk, gendre dan stuktur teks tersebut supaya dapat menemukan pengertian teks sedekat mungkin dengan maksud penulis. Bentuk Teks Lukas 18:1-8 adalah satu bentuk teks perumpamaan yang disertai dengan penerapan yang mengikat perumpamaan itu. 1 Perumpamaan ini merupakan salah satu dari sekian banyak perumpamaan Yesus dalam Injil Lukas, khususnya merupakan satu dari tujuh belas perumpamaan yang tergolong dalam Journey Narrative (Luk 9:51-19:27). Perumpamaan ini 1 Bnd. Darrell L. Bock, Luke Volume 2. Baker Exegetical Commentary on the New Testament (Grand Rapids: Baker Book House, 1998 ), 1446. adalah perumpamaan dari pernyataan Yesus (illustration of statement). Memang kata perumpamaan dalam Perjanjian Baru (PB) adalah memiliki suatu konotasi yang luas. Secara umum, Simon J. Kistemaker membagi perumpamaan-perumpamaan Perjanjian Baru dalam 3 bagian besar, yaitu The true parables, story parables, and illustrations.2 Dan Lukas 18:1-8 adalah termasuk dalam Kelompok story parables. Artinya perumpamaan mengenai Hakim yang tidak benar atau Janda yang tekun dalam Lukas 18:1-8, adalah satu perumpamaan yang bersifat cerita, dan sekalipun bukan cerita yang benar-benar terjadi atau bukan cerita yang nyata namun cerita ini membawa atau memberikan kebenaran yang penting. 3 Melalui perumpamaan ini, Tuhan Yesus sedang mengajarkan dalam konteks pemuridan mengenai arti pemuridan dalam konteks kerajaan Allah yang hanya dimengerti jelas oleh pendengar, khususnya para murid-murid Tuhan yang sedang dimuridkan. Judul Teks Perumpamaan Alkitab versi LAI memberikan judul bagi teks Lukas 18:1-8 adalah perumpamaan hakim yang tidak benar. Alkitab versi NGSB dan NIV memberikan judul untuk teks ini adalah perumpamaan tentang Janda yang tekun.4 Dari perbandingan di atas, maka nampak perbedaan penekanan, yaitu bahwa LAI menekankan karakter hakim sedangkan NGSB dan NIV menekankan karakter janda. Para penafsir pun adalah berbeda dalam pemberian judul. Herbert Lockyer, Simon J. Kistemaker dan B.J. Boland memberikan judul untuk teks Lukas 18:1-8 adalah Unjust Judge dan Unrighteou Judge. Karakter hakim sebagai sorotan utama. Sedangkan Graig A. Evans serta Darrell L. Bock memberikan judul untuk teks Lukas 2 The True Parables. These use an illustration from daily life within reach who hears the parables.Everyone acknowledges the truth conveyed ; there is no basis for any objection or criticism; Story parables Differing from the true parables, the story parables does not rely on an obvious truth or generally custom. The true parables is told in the present tense as fact; Illustration. Illustrative stories appearing in the Gospel of Luke are usually categorized as example stories; Simon J. Kistemaker, The Parables of Jesus (Grand Rapids: Baker Book House, 1991), xiii. 3 Ibid. 4 Lih. Alkitab (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1993), 105; The Holy Bible, New International Version, 780; New Geneva study Bible, 1995, 1639. 18:1-8 adalah The Nagging Widow. Penekanannya pada karakter janda dalam hal memohon atau berdoa dengan tekun. Searah dengan ini juga penafsir lain memberikan judul pembahasan teks ini adalah doa, seperti William Barclay dan Craig A. Evans. Hanya Earle Ellis yang melihat secara bersama-sama kedua karakter dalam teks tersebut.5 Menurut pendapat penulis, bahwa penekanan pada karakter dalam perumpamaan memang adalah sangat penting untuk menentukan one main point, namun demikian, penulis lebih setujuh untuk melihat secara bersama kedua karekter dalam perumpamaan ini, yaitu hakim dan janda, sehingga judul perumpamaan ini bisa dinamakan ketekunan seorang janda atau hakim yang tidak benar. Bagi penulis kedua karakter ini adalah sama penting. Dan walaupun penulis melihat secara bersama dua karakter ini, namun hanya ada one main point of the parable, yaitu doa. Pokok utama ini adalah berdasarkan maksud perumpamaan (18:1), peran kedua karakter, dan konteks pengajaran Yesus mengenai doa sebagai satu bagian dari pemuridan (discipleship in the kingdom context). Struktur Teks Memang ada baiknya menemukan sendiri struktur teks dari teks asli, namun penulis mempertimbangkan beberapa struktur yang telah disediakan oleh beberapa ahli. Seperti E.E. Ellis mengemukakan struktur Lukas 18:1-8 sebagai berikut: Besides the introduction (ay 1), the passage consists of a parables (ay 2-5) with a double conclusion (ay 6-8).6 Dan Darrell L. Bock membuat struktur Lukas 18:1-8 sebagai berikut: Setting (18:1) Parable of the Judge and the Widow (18:2-5) The Judge (18:2) The Widow’s Request (18:3) 5 E.E. Ellis, The New Century Bible Commentary, The Gospel of Luke (Grand Rapids: Eerdmans, 1991), 212; Craig A. Evans, New International Biblical Commentary, Luke (Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1993), 266; Herbert Lockyer, The Parables of the Bible (Grand Rapids: Zondervan, 1963), 298; William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 325; B.J. Boland, Tafsiran Lukas 9:51-24:53 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982 ), 159; Kistemaker, The Parables of..., 249; Bock, Baker Exegetical Commentary..., 1444. 6 Ibid. The Judge’s Responses (18:4-5) Jesus’ Comments (18:6-8) Comparison of the judge to God (18:6-8a) Contrast to the Son of man finding faithful people (18:8b).7 Dari dua bentuk struktur teks di atas, maka penulis lebih cenderung untuk mengikuti struktur dari Darrell L. Bock, namun dengan sedikit modifikasi pada bagian terankhir. Jadi, menurut penulis, struktur teks Lukas 18:1-8 adalah sebagai berikut: Pendahuluan (18:1) Objek Perumpamaan Yesus Maksud dan Tujuan Perumpamaan Isi Perumpamaan (18:2-5) Karakter Hakim (ay 2) Karakter Seorang Janda (ay 3) Tanggapan Hakim Terhadap Permohonan Janda (ay 4-5) Penolakkan Hakim atas permohonan Janda Pertimbangan Dan Keputusan Komentar Tuhan Yesus (18:6-8) Maksud Perumpamaan (ay 6) Perbedaan Hakim dan Allah Analogi Hakim dengan Allah dan Analogi Janda dengan Orang Pilihan Aplikasi Perumpamaan (ay 7-8) Struktur di atas ini akan menjadi kerangka penafsiran dan pembahasan penulis berikut ini. Sebelumnya, penulis memandang perlu untuk mengemukakan mengenai analisis latar belakang teks, seperti pembahasan berikut ini. Analisis Latarbelakang Teks Ada pun latarbelakang Lukas menulis perumpamaan Yesus ini, berkenaan dengan tekanan yang dialami oleh orang Kristen dari pihakpihak non-Kristen. Searah dengan ini, E.E. Ellis mengungkapkan bahwa: 7 Bock, Baker Exegetical Commentary..., 1446. Luke apparently is writing to a situation in which Christians under severe persecution are denying their faith.8 Karena itu, Lukas menulis bahwa dalam keadaan seperti ini, dan pada waktu kedatangan Tuhan, adakah Ia mendapati iman di bumi? (18:8). Dan lagi, dalam Lukas 12:11 diungkapkan tekanan yang dialami oleh orang percaya dari pihak-pihak majelis, pemerintah-pemerintah atau penguasa-penguasa. Secara khusus, persoalan yang sedang dihadapi oleh pembaca pertama Injil Lukas, ialah masalah kedatangan Tuhan yang kelihatannya adalah ditunda-tunda. Bagi Gereja mula-mula, penundaan kedatangan Tuhan (the 'delay' of parousia) bukanlah suatu masalah kronologis melainkan sesuatu yang istimewa yang akan dialami orang Kristen di balik penderitaan, ketahanan bahkan kematian karena iman. E.E. Ellis berkomentar sebagai berikut: From the first this had a simple and effective answer (20:37, I Th 4:13). It was not delay qua delay but delay in the face of continuing death under persecution that caused hope to fade and apostasy to rise. ‘Sunshine‘ delay poses no problem. But a thousand years go by in one short hour waiting for the lions.9 Dengan demikian, latarbelakang Lukas secara khusus teks 18:1-8 adalah mengenai konteks penderitaan orang-orang percaya karena iman yang mereka alami di bumi. Mereka memerlukan penguatan, dan Tuhan Yesus sebagai fokus dan sumber kekuatan iman di tengah-tengah penderitaan mengajarkan mengenai beriman dan berdoa seperti seorang janda yang menghadapi kemustahilan. Teks ini tidak sama dengan kecenderungan masa kini, bahwa iman dan doa terpisah dari penderitaan, sehingga iman dan doa menjadi alat untuk mengusir penderitaan, atau alat untuk menghimpun keberhasilan atau kesuksesan. Mari lanjutkan dengan menganalisis konteks untuk menemukan arti teks. Analisis Konteks Analisis konteks sangat penting untuk mengetahui maksud penulis menulis teks yang sedang kita pelajari. Berkenaan dengan itu, ada tiga 8 9 Ellis, The New Century Bible…, 212. Ibid. konteks yang patut dianalisis berikut ini, yakni konteks Injil Sinoptis, konteks keseluruhan Injil Lukas, dan konteks dekat. Analisis Konteks Injil Sinoptis Perumpamaan tentang seorang janda yang tekun dalam Lukas 18:18 tidak ditemukan dalam teks Injil-Injil yang lain, kecuali hanya pada tulisan Lukas yang mencatat perumpamaan itu. Dengan kata lain, Para penulis Injil yang lain seperti Matius dan Markus tidak memasukkan atau mencatat perumpamaan Yesus tersebut dalam Injilnya. Karena itu, memahami Lukas 18, lebih tepat pada upaya memahami konteks keseluruhan Injil Lukas saja, seperti yang penulis kemukakan berikut ini. Konteks Keseluruhan Injil Lukas Kyu Sam Han membagi Injil Lukas dalam 7 Bagian besar, yaitu :10 Pasal 1- 2 Pasal 3-4:15 Pasal 4:16-9:50 Pasal 9:51-19:27 Pasal 19:28-21 Pasal 22-23 Pasal 24 : Infancy Narrative : Baptism and Temptation : Galilee Ministry : Journey Narrative : Ministry in Jerusalem : Passion : Resurrection and Ascension Dan menurut Bock bahwa: Luke records many parables, most as part of his emphasis on Jesus’ teaching in the ‘journey to Jerusalem’ section (9:51-19:44).11 Dengan demikian, Lukas 18:1-8 adalah salah satu bagian dari Journey Narrative (9:51-19:27). Dalam bagian ini, Lukas memaparkan pengajaran Yesus tentang Kerajaan Allah. Dan discipleship (pemuridan) adalah bagian integral dari Pengajaran Yesus tentang Kerajaan Allah. Perumpamaan tentang seorang janda yang tekun (Luk 18:1-8), adalah memiliki persamaan dengan perumpamaan tentang seorang yang datang ke rumah temannya pada tengah malam (Luk 11:5-8). Lukas memberikan dua laporan yang sama, yaitu: yang pertama mengenai seorang Kyu Sam Han, “Catatan Kuliah,” God’s Saving Plan: A Redemptive Historical Interpretation of the Gospel of Luke (Pacet : ICTS , 1998 ). 1 1 Darrell, L. Bock, Baker Exegetical Commentary on the New Testament, Luke 1:1-9:50, Vol. 1 (Grand Rapids: Baker Books,1994), 947. 1 0 laki-laki dan kedua adalah seorang wanita. Kedua cerita ini mengetengahkan pokok bahasan yang sama, yaitu: Keduanya meminta atau memohon dengan sikap tidak malu (Luk 11:8) dan sikap memohon dengan tidak jemu-jemu atau memohon dengan terus-menerus Luk 18:2); Keduanya menjelaskan mengenai kepastian mengenai adanya jawaban bagi doa. Kedua teks di atas memang mendukung ciri khas penekanan Injil Lukas yaitu doa. Hal ini ditulis juga oleh Kyu Sam Han bahwa: Preyer is a characteristic emphasis of the Third Gospel. The Gospel opens with God’s people at prayer (1:10) and closes with the believers jayfully blessing God in the temple (24:53). A survey of the prayer terminology used in Luke-Acts suggests that the theme of prayer is not unimportant.12 Analisa Konteks Dekat (Literary Context) Lukas 18:1-8 adalah teks yang tidak dapat dipisahkan dengan konteks dekat, yaitu teks sebelum dan sesudahnya. Perumpamaan tentang ketekunan seorang janda ini, masih dalam konteks pengajaran Yesus tentang kerajaan Allah yaitu berkenaan dengan jawaban Yesus atas pertanyaan orang-orang farisi (Luk 17:20). Pengajaran Yesus tentang kerajaan Allah ini diikuti dengan pengajaran Yesus tentang ketekunan dalam doa (Luk 18:1-8). Kemudian dilanjutkan dengan perumpamaan tentang orang farisi dan pemungut cukai yang masih mengetengahkan tentang doa (Luk 18:9-14). Perumpamaan dalam Lukas 18:1-8, memang mengajarkan tentang doa. Dan berdasarkan konteks, perumpamaan ini adalah bagian penutup dari pengajaran Yesus tentang kerajaan Allah (Luk 17:20-37). Sebenarnya secara implisit, Yesus menyatakan bahwa diri-Nya adalah pewujudan sempurna kerajaan Allah yang sudah ada. Hal ini nampak dalam ungkapanNya bahwa “Sesungguhnya kerajaan Allah ada di antara kamu” (17:21). Namun konsep kerajaan Allah yang diajarkan oleh Tuhan Yesus adalah bersifat rohani, dalam arti tanpa tanda-tanda lahiriah (17:20b). Bahkan konsep kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang menderita dan ditolak, yaitu konsep Anak manusia (Luk 17:25-26). Bersamaan dengan itu, Lukas juga 1 1/7. 2 Kyu Sam Han, “Prayer in the Gospel of Luke” in God’s Saving Plan..., membeberkan kondisi zaman Anak manusia ini adalah sama dengan kondisi yang terjadi pada zaman Nuh (17:26) dan zaman Lot (17:28). Untuk itu, kepada anggota kerajaan Allah, yaitu murid-murid-Nya pada waktu itu dan semua yang percaya kepada Tuhan Yesus, diharapkan untuk bertekun dan setia dalam iman sampai pada kedatangan Anak Manusia (Luk 18:8). Ketekunan iman anggota kerajaan Allah ini diungkapkan melalui berdoa dengan tidak jemu-jemu (tekun), doa pantang menyerah. Perumpamaan tentang ketekunan seorang janda adalah ilustrasi Tuhan Yesus untuk menjelaskan dan menegaskan bahwa orang-orang pilihan Allah (18:7), murid-muridNya haruslah terlibat dalam pemuridan (discipleship). Dan doa adalah bagian dari pemuridan dalam konteks kerajaan Allah. Doa adalah untuk meningkatkan mutu rohani, supaya dapat bertahan dalam bahaya keduniawian yang membinasakan (Luk 17:22-29, bnd. Mat 24:40-42), dan sebagai kesiapan orang pilihan terhadap kedatangan Tuhan yang akan terjadi secara tiba-tiba atau tak terduga (Luk 17:30-37). Lukas memaksudkan perumpamaan ini untuk mendorong orangorang pilihan terus berdoa tanpa putus asa sebelum zaman akhir datang. EKSPOSISI LUKAS 18:1-8: BERIMAN DAN BERDOA KARENA KESETIAAN ALLAH Pandangan yang keliru bahwa dengan beriman, kita bisa beroleh kasih karunia Allah. Dengan berdoa kita beroleh kasih karunia Allah. Dengan beriman, kita beroleh berkat Allah. Dengan berdoa, Tuhan mengarunikan berkat-Nya kepada kita. Iman dan doa seperti ini adalah iman dan doa dari orang-orang beragama bukan Kristen. Alkitab memberitahukan bahwa oleh karena kasih karunia Allah, kita beriman, maka kita bisa berdoa. Allah adalah sumber iman, alasan doa. Dalan teks ini, kesetiaan Allah adalah penyebab orang beriman dan berdoa. Pengantar Darrell Bock telah mengklasifikasi perumpamaan-perumpamaan yang ada dalam Injil Lukas termasuk Lukas 18:1-8 ini, adalah sebagai berikut: (1). Nama perumpamaan: Nagging Widow; (2). Topik perumpamaan: Future Spiritual life; (3). Tema perumpamaan: Prayer and Trust of God’s Faithfulness.13 Pokok utama (main point) perumpamaan ini ialah mengenai Doa. Dan adanya perumpamaan ini merupakan ilustrasi dari pernyataan Yesus (Jesus’ illustration of statement) tentang doa. Di awal teks ini (18:1), Lukas melaporkan dua hal yang penting, pertama yaitu objek perumpamaan, kedua yaitu maksud dan tujuan perumpamaan. Objek Perumpamaan Yesus (18:1) Lukas mencatat bahwa “Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka”(ay 1). Istilah mereka tidak dijelaskan secara eksplisit dalam keseluruhan teks Lukas 18:1-8, namun untuk mengetahui mengenai siapa yang dimaksudkan oleh Lukas dengan istilah mereka, maka kita harus memperhatikan analisis konteks dekat, yaitu melihat ayat-ayat sebelumnya. Teks sebelumnya (17:20-37), Lukas melaporkan pengajaran Yesus tentang kedatangan kerajaan Allah. Dan Pengajaran ini bertolak dari pertanyaan orang-orang farisi tentang kerajaan Allah (17:20), namun sesunggunya, perumpamaan ini tidak ditujukan kepada orang-orang farisi, melainkan ditujukan kepada murid-murid-Nya. Hal ini sangat jelas dalam ungkapan “Dan Ia berkata kepada murid-muridNya” (17:22).14 Karena biasanya Yesus mengunakan perumpamaan untuk mengajar murid-murid-Nya. Berkenaan dengan pemakaian perumpamaan, Bock berpendapat bahwa: Jesus Himself used parables for instruction, exhortation and defence.15 Isi perumpamaan yang Yesus sampaikan kepada murid-murid-Nya dalam konteks ini, adalah tentang doa. Doa merupakan bagian dari pemuridan anggota-anggota kerajaan Allah setelah keputusan menerima Yesus. Perumpamaan ini, merupakan ilustrasi Tuhan Yesus mengenai pengajaranNya yang masih berkenaan dengan kerajaan Allah (17:20-37). Maksud Dan Tujuan Perumpamaan (18:1) 1 3 1 4 Bock, Baker Exegetical Commentary..., Vol.2, 949. Jesus is telling the parable “to them,” (autois), which must look back to 17:22, where the disciples are the audience; Bock, Baker Exegetical Commentary..., Vol.2, 1446. 15 Ibid., 947. Seperti yang dikemukakan Bock bahwa: Keys to understanding a parable are direct speech, soliloquy, repetition, contrasts and the account’s ending.16 Kunci ini sangat tepat untuk mengerti perumpamaan dalam Lukas 18:1-8. Karena dalam teks tersebut nampak perkataan langsung, kontras, dan catatan akhir yang ada di teks tersebut. Selain itu, bahwa berdasarkan teks, permulaan perumpamaan ini adalah sangat penting, karena selain memuat objek perumpamaan, juga memuat maksud dan tujuan perumpamaan. Sekalipun Kistemaker berpendapat: in Jesus’ parables it is not the beginning of the story but the end that is important,17 namun berdasarkan teks, maka permulaan teks perumpamaan (Luk 18:1) adalah sangat penting untuk memahami keseluruhan perumpamaan itu (18:1-8). Lukas mencatat bahwa Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu. Dari ayat inilah keseluruhan perumpamaan dapat dipahami. Karena dalam ayat ini (18:1), nampak jelas maksud dan tujuan dari perumpamaan Yesus ini yaitu untuk menegaskan supaya murid-muridNya bertekun dalam doa. Lebih jauh, Sammers berkomentar mengenai maksud perumpamaan ini: Luke indicates that Jesus’ purpose in this parable was to encourage his disciples. In his prediction of the difficult experience thay faced in the future (17:22), he had given them cause for discouragement… He gave them this parable that they might see the importance of preyer and faithin opposition to losing heart in prolonged difficulty.18 Dalam NGSB tertulis: always ough to pray, tidak berarti berdoa dalam segala waktu atau terus-menerus (tak henti-hentinya), melainkan seperti pendapat Bock, yaitu praying again and again.19 Kalimat always ough to pray juga berkaitan dengan istilah egkakein, yang berarti to become weary or tired, lose heart, dengan me berarti not lose heart.20 Jadi, berdoa dengan tidak jemu-jemu yaitu berdoa dengan tidak menjadi lelah atau 16 Bock, Baker Exegetical Commentary..., Vol.2, 947. Kistemaker, The Parables of ..., xvi. 18 Ray Summers, Commentary on Luke (Waco: Word Books, 1982), 206. 19 Bock, Ibid., 1447. 20 Wesley J. Perschbacher, Refresh Your Greek (Chicago: Moody Press, 1989), 311; New geneva Study Bible (NGSB), (Nashville: Thomas Nelson Pub., 1995), 1639. 17 berdoa dengan tidak putus-asa. Berdoa dengan berulang-ulang, penuh energi, tidak menjadi lelah, atau tidak menjadi berputus asa karena menunggu waktu yang lama. Kita mungkin langsung menanggapi dengan berpikir mengenai jaminan atau dasar yang harus dipegang untuk bertahan, untuk tidak putus asa, untuk terus menerus berdoa. Mari kita temukan jawabannya pada pembahasan berikut ini. Isi Perumpamaan (18:2-5) Setelah Tuhan Yesus menegaskan kepada murid-murid-Nya tentang berdoa dengan tidak putus asa dan berdoa secara berulang-ulang, maka kemudian, Ia mengilustrasikan ajaran-Nya itu dengan suatu perumpamaan. Ada Dua karakter yang menjadi sorotan dalam perumpamaan ini, yaitu pertama adalah karakter seorang hakim dan kedua adalah karakter seorang janda. Karakter Hakim (ay 2) Perumpamaan ini dimulai dengan membicarakan tentang seorang hakim dengan sifat-sifatnya yang buruk. Bahwa Hakim ini adalah seorang yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorang pun (ay 2). Ada komentar berkenaan dengan karakter hakim ini. Menurut Barclay: Hakim jelas bukanlah seorang hakim Yahudi... Hakim ini adalah seorang dari hakim-hakim yang ditunjuk baik oleh Herodes atau pun oleh penguasa Romawi. Hakim-hakim demikian terkenal dengan nama buruknya. Kalau si penuntut tidak mempunysai pengaruh besar dan yang bersangkutan tidak mempunyai uang yang cukup untuk mempengaruhi para hakim, maka perkaranya tidak akan mendapat perhatian.21 2 1 Alasan bahwa hakim tersebut bukanlah hakim Yahudi karena kalau hakim yahudi maka segala perselisihan hari-hari biasanya dibawa ke hadapan tua-tua, dan sama sekali tidak dibawa kepada pengadilan umum. Jika dibawah hukum Yahudi, suatu perkara dibawa ke pengadilan, maka satu orang saja tidak dapat merupakan suatu pengadilan. Selalu terdapat tiga orang hakim, yang seorang dipilih oleh pendakwa, yang seorang oleh terdakwa, dan yang seorang lagi yang tidak terikat dengan siapa-siapa; William Barclay, Pemahaman Alkitab setiap hari, Lukas ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983). Mulanya Bock berpendapat bahwa: the judge is probably a Jew and may have been a powerful man, since the Romans allowed the Jews to manage many of their own legal affairs,22 namun karena hakim ini digambarkan sebagai seorang yang tidak takut akan Allah, maka Bock pun menyimpulkan seperti pendapat Barclay, bahwa: He is possibly a political type of ‘police’ judge.23 Hakim seperti ini bukanlah hakim yang ideal yang seharusnya membela kaum miskin dan lemah, melainkan tipe hakim yang tidak memiliki belas kasihan, tidak takut Tuhan dan tidak menghormati sesama, karena itu Boch pun menulis lebih jauh: Neither the laws of God nor public opinion can stir his conscience. Appeal to this character would be difficult.24 Karakter Seorang Janda (ay 3) Karakter yang kedua dari perumpamaan ini adalah seorang janda tanpa harapan, sekalipun ia belum terlalu tua. 25 Janda ini percaya bahwa hakim tersebut adalah hakim yang bertanggung jawab. Karena itu, ia selalu datang kepada hakim tersebut. Begitu pula pendapat Summers bahwa: She recognized him as the right one to deal with her case. Because she felt the importance of her case, she found it necessary to go to the judge repeatedly to seek a just settlement.26 Janda ini berkata: “Belalah hakku terhadap lawanku.” Janda mungkin sedang menghadapi sedikit kesulitan dengan keuangan sehingga tidak mampu membayar hakim tersebut, karena itu ia berkali-kali datang dan memohon kepada hakim untuk memberikan keadilannya. Kata datang (ercheto) dalam bentuk iterative imperfect dan dalam konteks ini, Bock berpendapat bahwa: iterative and suggests repeated appeals for aid. She seeks relief from the opponent who wronged her.27 Janda yang tanpa harapan, tidak berdaya itu memohon dengan berulang-ulang kepada seseorang yang memiliki wibawa dan kuasa untuk 2 2 2 3 Bock, Baker Exegetical Commentary..., Vol.2, 1447. Bock, Baker Exegetical Commentary..., Vol.2, 1447. 2 4 Ibid., 1448. 2 5 Since in this culture women married at age thirteen or fourteen and widows were frequently quite young; Ibid. 2 6 Summers, Commentary on Luke..., 206. 2 7 Bock, Ibid., 1448. membelanya. Kata membela (ekdikeo) adalah dalam arti membenarkan dia, seperti ungkapan ekdikeso yang berarti membenarkan dalam ayat 5. Tanggapan Hakim Terhadap Permohonan Janda ( ay 4-5) Hakim Menolak Permohonan Janda Itu Beberapa waktu lamanya hakim itu menolak. Hakim tersebut tidak meresponi permohonan janda itu untuk beberapa waktu lamanya (epi chronon), seperti yang tertulis: As often as the widow came, he refused.28 Penolakkan yang dimaksud tidaklah digambarkan dengan sikap mengusir dengan kasar, melainkan tidak mengubrisnya atau tidak menjawab permohonan janda tersebut. Tentu tidak ada alasan untuk sikap itu, namun karena karakter hakim itu yang adalah tidak sensitif kepada kebutuhan orang dan tidak ada sesuatu dari janda tersebut yang dapat dianggap mempengaruhi hakim itu, maka jelaslah hakim itu menolak permohonan janda tersebut. Tidak ada kesalahan dengan permohonannya, namun masalahnya terletak pada hakim itu, yaitu tidak perduli kepada Janda itu. Pertimbangan dan Keputusan Teks selanjutnya tertulis: “Tetapi kemudian ia berkata dalam hatinya: Walaupun aku tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorangpun, namun karena janda ini menyusahkan aku, baiklah aku membenarkan dia, supaya jangan terus saja ia datang dan akhirnya menyerang aku.” Jawaban atau tanggapan Hakim terhadap permohonan janda itu, bukan karena hakim itu menyadari tugas untuk menjalankan keadilan, melainkan karena pertimbangannya, bahwa janda itu terus mengganggu dia, dan bahaya yang nantinya akan menyerang dia secara membabi-buta.29 Penekanan yang pantas dalam ayat 4-5 yaitu pada 2 8 2 9 Bock, Baker Exegetical Commentary..., Vol.2, 1448. Dan siapa tahu, begitulah pikirnya, kalau itu nanti menjadi mata gelap sehingga ia menyerang saya dan memukul mukaku biru lebam (kata-kata dari ay. 5b itu keputusan hakim yang membenarkan janda itu dan ketekunan janda dalam berdoa. Hal ini sama dengan perumpamaan tentang seorang yang datang ke rumah temannya pada tengah malam. Dan karena sikap yang tidak tahu malu dari orang itu, maka temannya itu akan bangun juga dan memberikan kepadanya apa yang diperlukannya (Luk 11:7-8). Apalagi Bapa yang di sorga, Ia akan memberikan kepada mereka yang meminta kepada-Nya. Berkenaan dengan itu, Sammers berkomentar: the central teaching is not that man can, by repeated prayer, break down the will of God. It is rather that man can be encouraged in prayer by the realization that he prays to a just God who desires to give and to do that which his child needs.30 Jadi, fokus utama perumpamaan ini bukan pada karakter dan pertimbangan hakim itu, melainkan kepada keputusan hakim yang membenarkan dan kepada ketekunan janda tersebut. Ketekunan janda tersebut nampak dalam beberapa keterangan dari teks perumpamaan itu sendiri, bahwa “walaupun permohonan janda tersebut ditolak berkali-kali, dimana sesering janda itu datang dan memohon, sesering itu juga janda tersebut ditolak.” Inilah bukti ketekunan janda tersebut. Begitu juga dengan ungkapan hakim bahwa “karena janda ini menyusahkan aku,… supaya jangan terus saja ia datang” kalimat ini menerangkan dengan jelas mengenai ketekunan janda tersebut. The woman’s constant intercession has brought success. Here is the example that the disciples’ prayer should emulate.31 Teks ini sangat menonjolkan mengenai ketekunan Janda yang terus menerus datang kepada hakim. Komentar Tuhan Yesus Mengenai Perumpamaan Ini (ay 6) Setelah Lukas menyampaikan perumpamaan tentang hakim yang tidak benar atau ketekunan seorang janda, maka kemudian Lukas menindak-lanjuti dengan komentar Tuhan Yesus sendiri. Kata Tuhan “Camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu!” (18:6). Listen to what the unjust judge says (NIV) - Hear what the unjust judge said (NGSB). Kata camkanlah (listen) adalah searah dengan maksud dipinjam dari permainan tinju); B.J. Boland, Tafsiran Lukas 9:51-24:53. II (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 161. 3 0 Summers, Commentary on Luke..., 207. 3 1 Bock, Baker Exegetical Commentary..., Vol.2, 1450. perumpamaan ini, yaitu untuk menegaskan ajaran tentang doa (18:1). Kalimat “camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu” adalah komentar Tuhan Yesus. Komentar itu secara khusus berfokus kepada perkataan hakim yang dianalogikan dengan Allah. Berkenaan dengan itu, Kistemaker berkomentar sebagai berikut: He wants the disciples to pay attention to the very words of the judge. They are important for a correct understanding of the parable. As in the parable of the friend at midnight Jesus uses the rule of contrasts. He contasts the worst in man to the best in God: “This is what the unjust judge says and does.” 32 Sekali lagi, komentar Tuhan tentang hakim itu, bukan mengenai karakter hakim yang jelas adalah buruk, melainkan perkataan dan tindakan hakim itu yang adalah kebenaran analogis dengan kebenaran Allah. Perbedaan Antara Hakim Dan Allah (ay 6-7) Ada dua pribadi yang dianalogikan dalam Lukas 18:6-7, yaitu hakim dan Allah, namun sebelum kita memperhatikan analogi tersebut, maka terlebih dahulu kita memperhatikan perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok dari keduannya. Berdasarkan teks, Kistemaker melihat perbedaan antara hakim dan Allah yaitu: Pertama Tidak ada hubungan yang mendasar antara janda dan hakim, apakah itu hubungan sosial, bersifat umum, bersifat keagamaan. Hakim ingin menghindar dari janda itu, bahkan ia menghendaki hubungan dengan janda tersebut sebagai lawyer clientnya akan berakhir. Namun hakim yang lalim itu mendengarkan janda tersebut dan membenarkannya. 3 2 In the parables of the unjust judge, Jesus is more specific than in the one of the friend at midnight. In fact, the interpretation and application of the massage of the parables in Luke 11:5-8 must be gleaned from the general contex, while the parable of the unjust judge contains both the message and the application; Kistemaker, The Parables of..., 252. Kedua Allah telah memilih umat kepunyaan-Nya. Ia memiliki ketertarikan yang khusus kepada mereka karena mereka kepunyaan-Nya. Ketika umat-Nya berseru siang dan malam, Allah mengangkat kasus mereka dan membawa keadilan. Demikian dengan janda yang berseru kepada Allah, menerima keadilan, karena Allah mendengar dan menjawab doa. 33 Kistemaker menyimpulkan bahwa: The Judge listened to the widow for the wrong reason: to get off his back. God listens to his people because he loves them and vindicates their cause. The judge acts selfishly; God acts in behalf of his people.34 Pada dasarnya, tidak ada kesamaan antara hakim yang lalim dengan Allah; tidak ada kesamaan karakter, karena karakter hakim adalah seorang yang lalim, tidak takut Tuhan dan tidak berbelas-kasihan; juga tidak ada kesamaan motivasi, motivasi hakim membenarkan janda adalah motivasi tidak benar/mementingkan diri sendiri, sedangkan Allah membenarkan umat pilihan-Nya karena kasih-Nya; tidak ada kesamaan hubungan antara hakim dalam relasinya dengan janda, dan hubungan Allah dalam relasinya dengan umat pilihan-Nya. Jadi, hakim dan Allah adalah kontras sama sekali, namun yang dianalogikan dari karakter hakim ini dengan Allah adalah seperti yang penulis kemukakan berikut ini. Analogi Hakim Dengan Allah dan Analogi Janda Dengan Orang Pilihan Karena perbedaan karakter, motivasi antara hakim dan Allah adalah sangat menyolok, dalam arti tidak ada kesamaan sedikit pun, maka analogi hakim dengan Allah hanya berdasarkan pada perkataan dan tindakan hakim 3 3 Moreover, no relationship exixts between the widow and the judge, whether is be social, communal, or religious. The judge wants to be rid of her so that even the lawyer-client relationship will end. And yet this unscrupulous judge listens to this widow and does her justice. By contrast, God has chosen his own people. He has a special interest in them because they belong to him. When his people cry to him day and night, God takes up their case and brings about justice. Thus, should the widow cry out to God, she would receive justice, because God hears and answers prayer; Kistemaker, The Parables of..., 252. 3 4 Kistemaker, The Parables of..., 253. yang membenarkan janda tersebut. Tuhan Yesus menganalogikan tindakan hakim yang membenarkan janda itu dengan tindakan Allah membenarkan orang-orang pilihan-Nya (18:6-7). Lebih jauh lagi, Tuhan Yesus menganalogikan figur Hakim dalam ayat 6 dengan Figur Allah dalam ayat 7. Hal ini adalah identik dengan analogi Figur bapa dunia dalam Lukas 11:9-13.35 Memang sulit sekali untuk mengerti mengapa Tuhan Yesus menganalogikan hakim dengan Allah. Sebab tidak ada kesamaan sedikit pun antara hakim dan Allah (antimetafor). Barclay mengomentari bahwa perumpamaan ini tidak bermaksud untuk menyamakan Allah dengan hakim yang tidak adil itu; Allah sama sekali bertolak belakang dengan hakim yang tidak adil dan keadilan, maka apalagi Allah, yang memang adalah Bapa yang mengasihi, akan memberikan kepada anak-anak-Nya apa yang mereka inginkan.36 Dan berdasarkan teks yang ada, maka analogi hakim dan Allah ini, hanyalah dapat dimengerti melalui analogi perbandingan. Bahwa jika Hakim itu dapat membenarkan janda tersebut, apalagi Allah. Sebab hakim itu adalah lalim, tidak takut Tuhan, tidak berbelas-kasihan, dan hakim itu tidak ada hubungan pribadi apa pun dengan janda; dibandingkan dengan Allah yang adalah penuh kasih dan yang pada hakekatnya mempunyai hubungan dengan orang-orang pilihan-Nya. Secara implisit bahwa dalam ayat 6-7 ini, Tuhan Yesus menganalogikan janda yang dibenarkan oleh hakim dengan orang-orang pilihan yang dibenarkan oleh Allah. Janda itu adalah orang yang tidak berdaya secara politis, ekonomi dan sosial. Barclay menjelaskan bahwa: “Janda itu adalah lambang dari mereka semua yang miskin dan yang tidak berdaya. Jelas, bahwa ia tanpa uang atau apa pun, tidak mempunyai harapan untuk memenangkan perkara dari hakim yang seperti itu.” 37 Kondisi janda yang seperti ini adalah dianalogikan dengan orang-orang 3 5 Jika Bapa duniawi yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang terbaik (Roh Kudus) kepada mereka yang meminta kepada-Nya (Luk 11:13). Begitu juga, jika Hakim yang jahat dapat membenarkan janda itu, tidakkah Allah akan membenarkan orangorang pilihan-Nya yang siang-malam berseru kepada-Nya? (Luk 18:7). Verses 7-8a clarify how the parable relates to God; Craig A. Evans, New Internation Biblical Commentary Luke (Peabody: Hendrickson Publishers, 1990 ), 266. 3 6 William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Lukas (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996 ), 327. 3 7 Barclay, Ibid., 326. pilihan. Menurut Marshall bahwa orang-orang pilihan ini ialah “orangorang yang telah mendengar panggilan Allah dan menjawabnya.” 38 Dengan beberapa referensi bagian kitab yang lain Summers berkomentar bahwa orang-orang pilihan ialah a synonym for believers or christians.39 Bagian ini sangat menghibur dan menguatkan orang Kristen yang sedang menderita. Tidak ada kekuatan dari diri sendiri, namun sebagai orang pilihan, Allahlah yang bertindak. Allah yang menjamin orang pilihan-Nya, yang lemah, namun kekuatannya adalah pada Allah. Aplikasi Perumpamaan (7-8) Pada ayat 7 dan 8, Tuhan Yesus mengaplikasikan perumpamaan sesuai dengan maksud utama perumpamaan yaitu mengenai ketekunan orang percaya dalam hal berdoa. Ada beberapa hal yang penting diungkapkan dalam bagian terakhir ini, khususnya yang berkaitan dengan ketehanan atau ketekunan dalam berdoa, yaitu: Kepastian Jawaban Atas Doa Setelah Tuhan Yesus mengarahkan perhatian kepada hakim (ay 6), kemudian, Ia segera mengalihkan perhatian kepada Allah (ay 7). Kalau hakim itu telah bertindak yang bersifat kontradiksi dengan pribadi hakim itu sendiri, yaitu membenarkan janda, apalagi Allah. Inilah bahasa analogi perbandingan. Earle menjelaskan hal ini: If an unjust judge would finally surrender to persistent pleading, how much more would a faithful God of love avenge his elect. Hal yang sama dijelaskan juga oleh Leon Morris.40 I.H. Marshall, “Luke” in Donald Gutrie, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, Matius-Wahyu (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1990 ), 246. 3 9 Summers, Commentary on..., 207. 4 0 Ralph Earle, The Wesleyan Bible Commentary (Grand Rapids: Eerdmans, 1964), 308; Since even an unjust judge can sometimes do justice, much more must we expect that righteous God will vindicate his elect; Leon Morris, Tyndale New Testament Commentaries, The Gospel According to St. Luke (Grand Rapids: Eerdmans, 1982), 263; Bnd. Since (1). He is not an unjust, but a righteous judge, and (2). The supplicant is not a stranger, but His own elect; J. Willcocok, The Preacher’s Complete Homiletic Commentary on the Gospel According tp St. Luke (Grand Rapids: Baker Book House, 1978), 485. 3 8 Pertanyaan-pertanyan berikut, “Tidakkah Allah akan membenarkan orangorang pilihanNya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka? (ay 7),” sesungguhnya mengungkapkan mengenai kepastian jawaban doa atas doa umat pilihan Tuhan. Berkenaan dengan itu, ada tiga pokok yang dibahas secara khusus, yakni tindakan Allah yang membenarkan, dengan segera, dan ketekunan orang-orang pilihan dalam berdoa. Tindakan Allah yang Membenarkan Kalimat “Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihanNya” adalah pernyataan negatif Tuhan Yesus untuk menegaskan bahwa Allah pasti membenarkan orang-orang pilihan-Nya. Istilah membenarkan dalam teks Yunani adalah ekdikesin yang berarti vengeance, punishment; dengan objek langsung dari kata poiese, yang berarti menyebabkan keadilan dilakukan.41 Dalam bentuk kata kerja ekdikeo dipakai juga dalam pasal 18 ayat 3 dan 5, dimana Allah akan membawa keadilan kepada umat yang sedang menghadapi kesulitan.42 Bock menghubungkan hal ini dengan musuh-musuh Kristen, dengan berkata: He will judge those who persecute the righteous.43 Allah akan menjawab seruan umat-Nya dalam menghadapi pelbagai tekanan. Dalam hal ini, Allahlah yang aktif dalam karya membenarkan atau menjawab doa umat pilihan-Nya yang sedang dalam kesulitan. Tindakan Allah ini lahir dari kasih-Nya, dan kasihNya ini dalam relasinya dengan orang-orang pilihan-Nya.44 Frase “orang-orang pilihan” (eklekton) dijelaskan oleh Bock sebagai berikut: The term eklektos is a colletive (the only such time in Luke – Acts, though the singular is applied to Jesus in Luke 23:35; elsewhere in term has a traditional flavor, since so many other authors use it (Rom.8:33; 16:13; Col. 3:12; 1 Tim 5:21, 2 Tim 2:10; Titus 1:1; 1 Pet.1:1; 2:4,6,9; 2 John 1,13, Rev.17:14… The uses in 1 Peter, Colossians, and Romans share the collective overtones of this text, 4 1 4 2 Perschbacher, Refresh Your..., 312. Bock, Baker Exegetical Commentary ..., Vol.2, 1451. 4 3 Ibid. 4 4 God listens to his people becaiuse He loves them; Kistemaker, The Parables of..., 253. with Peter using OT imagery. God will come to the defense of his chosen people… 45 Pemilihan adalah satu kebenaran yang paling dalam dari Alkitab. Karena pemilihan merupakan “Tindakan kekal Allah di mana Ia dalam kesukaan kedaulatan-Nya dan tanpa memperhitungkan jasa atau kebaikan manusia memilih sejumlah orang untuk menjadi penerima dari anugerah khusus dan keselamatan kekal.”46 Pemilihan ini ada dalam kekekalan Allah, sebelum dunia diciptakan. Pemilihan berdasarkan kerelaan kehendak-Nya (Ef 1:4-5). Pemilihan ini adalah tanpa syarat (Ef 2:8,10; 2Tim 2:21); tidak dapat ditolak (Mzm 110:3; Flp 2:13); bertujuan untuk keselamatan orang pilihan dan untuk kemuliaan Allah (Rm 11:7-11; 2Tes 2:13; Ef 1:6, 12,14). Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa orang pilihan yaitu orang yang percaya kepada Tuhan Yesus atau orang Kristen. Dan pemilihan inilah yang menjadi keistimewaan relasi Allah dengan orang percaya.47 Pemilihan ini jugalah yang menjadi dasar yang pasti akan jawaban doa orang percaya. Tindakan Allah yang Membenarkan Dengan Segera Pertanyaan kedua ialah “dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka ?” Pertanyaan ini pun merupakan jaminan akan adanya kepastian jawaban doa. Istilah mengulur-ulur (makrothumei) dalam bentuk present indikatif aktif -orang ketiga tunggal, yang berarti ia menunda, menunda lama.48 NGSB menterjemahkan pertanyaan kedua ini sebagai berikut: though He bears long with them? dan istilah bears long, diartikan: God will not keep putting them of like the judge in this parable; 4 5 4 6 Bock, Ibid., 1451. Louis Berkhof, Teologi Sistematika. I (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1993), 207; J.C. Ryle, Expository Thoughts on Luke. 2 (Pennsylvania: The Banner of Truth Trust, 1986 ), 254-255. 4 7 Berbeda sama sekali dengan relasi hakim dan janda. Keduanya tidak ada hubungan apapun, namun Hakim itu menjawab atau membenarkan kasus janda tersebut. Dibandingkan dengan hubungan istimewa antara Allah dan orang pilihan, maka akan memberikan jaminan yang pasti mengenai jawaban Allah atas doa-doa umat pilihanNya. 4 8 Perschbacker, Refreh Your..., 312. any delay will have a reason.49 Bagi Bock, pertanyaan ini dibuat sulit, karena Lukas tidak memakai baik kata kerja makrothumeo (to be patient) maupun kata benda makrothumia (patience). Ada banyak komentar berkaitan dengan hal ini. Namun menurut Bock yang paling tepat ialah: With better contextual support, many commentators hold that the idea of patience has to do with God’s response: God will not delay…; A final view also treats the reference to patience as God’s response, but sees it in terms of his restricting the enemies’ power to persecute until the vindication…God is patient with his elect in lightening the intensity of their suffering until he comes.50 Karena itu Bock menyimpulkan bahwa: Whether his patience is reflected in acurrent care that culminates in ultimate deliverance or in keeping persecution from being too great is not certain.51 Pokoknya yang jelas ialah Allah membenarkan umat-Nya dengan segera. Hal ini tidak disebabkan oleh apa pun selain dari tindakan Allah saja, dan tidak ada alasan apapun untuk menahan tindakan Allah yang membenarkan umatNya. Tindakan Allah membenarkan umat-Nya ini berbada dengan tindakan hakim yang membenarkan janda tersebut. Dimana hakim bertindak setelah sekian lama janda memohon, sebagaimana kebiasaan hakim yaitu mengulur-ulur waktu untuk maksud disogok kemudian bertindak. Allah tidaklah demikian. Karena itu, dua pertanyaan: “Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya, dan adakah Ia mengulur-ulur waktu?” langsung diikuti dengan jawaban dalam ayat 8 yaitu: “Ia akan segera membenarkan mereka.” Inilah pertanyaan retoris Tuhan Yesus berkenaan dengan jawaban Allah, bahwa Allah akan dengan segera membawa keadilan untuk umat pilihan-Nya. Hal ini semakin diperkuat dengan pengunaan istilah segera. Dimana Istilah segera (tachei) dapat diartikan: “dengan cepat, tanpa menunda, secara tidak disangka-sangka.”52 4 9 New Geneva Study Bible (Nazhville: Thomas Nelson Publ., 1995), 1639. “Will he keep putting them off.” The Holy Bible NIV (New Jersey: International Bible Society, 1984), 781. 5 0 Bock, Baker Exegetical Commentary..., Vol. 2, 1454. 5 1 Ibid. 5 2 Tachei, dat. Sg. neut. Tachos, ous to, speed, quickness, swiftness, haste; prep. Phrase with en (adv. Sense), quickly, at once, without delay; Perschbacher, Refreh Your..., 312. Inilah jaminan bagi doa umat Tuhan, yaitu adanya kepastian bahwa Tuhan akan segera bertindak. Ketekunan Orang-Orang Pilihan Dalam Doa Kepastian jawaban doa memang tergantung pada kehendak dan waktu Tuhan. Namun hal yang tidak dapat diabaikan juga ialah ketekunan orang percaya dalam berdoa. Seperti ungkapan: “… orang-orang pilihanNya yang siang malam berseru kepadaNya.” Ungkapan mengekspresikan ide yang sama dengan perintah Tuhan yaitu: “bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu.”53 Inilah jaminan bagi doa umat Tuhan, yaitu adanya kepastian bahwa Tuhan akan segera bertindak. Hal ini searah dengan maksud utama perumpamaan ini, dimana menjelaskan bahwa orang percaya harus secara terus-menerus membawa kasus mereka di hadapan Allah melalui doa. Mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu ketika jawaban doa belum diberikan dengan segera. Kistemaker berpendapat bahwa: Jesus teaches the power of prayer. By word and example he demonstrates that God’s children must pray day and night and not los heart.54 Demikian juga, Paulus berulang kali menasehatkan untuk berdoa secara terus-menerus (siang dan malam), seperti kepada jemaat di Tesalonika (3:10). Ada dua pertanyaan berkenaan dengan kepastian atau jaminan atas doa umat Tuhan. Pertanyaan pertama, ialah: Apakah Allah akan membenarkan atau memberikan keadilan kepada umat-Nya (apakah Allah akan menjawab doa umat-Nya)? Kedua ialah: Apakah umat Allah harus lama menunggu doa-doa mereka dijawab? Terhadap pertanyaan ini, Tuhan Yesus memberikan komentar bahwa: “Ia akan segera membenarkan mereka.” Berkenaan dengan ini, Kistemaker menegaskan bahwa: God’s people can rely on God’s faithfulness. He is not like the unjust judge whose character could not be trusted…In contrast to the judge, God is not annoyed when his people cry out to him day and night. The hearing of prayers is not to be understood as God’s “Crying day and night,” expresses the same idea as our Lord’s injunction that “men ought always to pray.” Herbert Lockyer, The parables of the Bible (Grand Rapids: Zondervan, 1963 ), 300. 5 4 Kistemaker, The Parables of..., 253. 5 3 relenting from a set determination not to answer. Rather, God answers prayer in his time and in accordance with his plan.55 Jaminan inilah seharusnya mendorong umat Tuhan untuk berdoa dengan tekun, bukan karena isi doa pendoa, bukan karena doanya pendoa (sugesti). Kesetiaan Umat Tuhan Dan Kedatangan Anak Manusia Pertanyaan yang bersifat retorikal dari Tuhan Yesus dalam ayat 7, bahwa Tidakkah Allah akan membenarkan…? Adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka? Secara langsung dijawab oleh Tuhan Yesus sendiri dengan kalimat: “Ia akan segera membenarkan mereka” (ay 8). Setelah itu, Tuhan Yesus membuat pernyataan kontradiksi, yaitu: “Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?” Dalam NGSB tertulis: Nevertheless, when the Son of Man comes, will he really find faith on the earth. Istilah nevertheless menunjukan pernyataan kontradiksi dengan pernyataan sebelumnya. Pada bagian sebelumnya, Tuhan Yesus memberikan jaminan atau kepastian dari pihak Allah yang akan menjawab doa, namun apakah Tuhan akan menemukan kesetiaan iman dari pihak umat-Nya? Leon Morris mengartikan kalimat “adakah Ia menemukan iman di bumi?” sebagai berikut: he is not suggesting that there will be no believers. He is saying that the characteristic of the world’s people at that time will not be faith.” Begitu juga komentar dari NGSB: “This does not mean that there will be no believers, but that faith will not be characteristic of all.56 Bagian sebelumnya (17:20-37), Lukas mengemukakan tentang kedatangan kerajaan Allah, yang berfokus pada kedatangan Anak Manusia di akhir zaman (17:22, 24, 26, 30). Dan setelah Lukas mencatat perumpamaan Tuhan Yesus tentang Hakim yang lalim atau janda yang tekun (18:1-8), maka akhir dari teks perumpamaan tersebut, Lukas melaporkan kembali perkataan Tuhan Yesus tentang Kedatangan Anak Manusia (18:8). Jadi sangatlah jelas, bahwa Doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam bentuk perumpamaan adalah satu pola pemuridan orang 5 5 5 6 Ibid., 254. Morris, Tyndale New Testament Commentaries..., 263; New Geneva Study Bible ( NGSB), 1639. percaya supaya tetap setia dalam menantikan kedatangan Tuhan Yesus kedua kali. Ditegaskan oleh Kistemaker bahwa: Of Jesus’ promise to return, the believer can be sure. The other side of the coin is whether the believer will be faithful in his prayers. Will the followers of Jesus contunually pray for the coming of God’s Kingdom (Matt 6:10; Luk 11:2), and the return of Christ (1 Cor 16:22; Rev.22:17,20)?… Jesus does the work entrusted to him. Will the believer, however, be faithful to Jesus by constantly communicating with him in prayer? And will there be faith that perseveres when he returns?57 Jadi sementara menantikan kedatangan-Nya yang kedua kali Tuhan mengharapkan pada umat-Nya untuk bertekun dalam doa. Karena ketekunan dalam doa merupakan manifestasi dari iman. Rumusan Teologis Perumpamaan Lukas 18:1-8 Karakter janda dalam perumpamaan ini merupakan representatif dari orang-orang pilihan Allah (orang percaya) yang sedang berada dalam dunia. Sekalipun tidak memiliki pengaruh politis, ekonomi, dan sosial, sehingga tidak diperhitungkan dunia (hakim yang lalim), namun mereka diperhatikan oleh Allah secara khusus dalam konteks pemuridan dengan prinsip-prinsip kerajaan Allah. Orang pilihan (orang percaya) yang memang hidup dengan prinsip-prinsip kerajaan Allah pastilah berbeda dengan prinsip-prinsip kerajaan dunia, dan itulah sebabnya mereka menderita. Penderitaan orang pilihan disebabkan oleh karena ketidakadilan dalam dunia. Dalam penderitaan karena ketidakadilan, Tuhan memberikan jaminan bahwa Ia pasti membenarkan atau memberikan keadilan kepada mereka. Jaminan inilah yang sesungguhnya menjadikan orang-orang pilihan bertekun dalam iman mereka kepada Tuhan, dan mengekpresikan ketekunan iman mereka melalui ketekunan atau ketahanan berdoa. Dalam hal ini, Tuhan adalah penyebab orang beriman dan berdoa. Tidak ada alasan atau dasar dari pendoa sehingga doanya terkabalkan, Tuhanlah subjek doa. Tidak seorang pun tahu bagaimana sebenarnya berdoa. Dialah yang sesunguhnya berdoa di dalam dan melalui kita. Melalui Roh Kudus, Ia 5 7 Kistemaker, The Parables of..., 253. memimpin kita berdoa sesuai dengan kehendak-Nya, seperti yang Paulus nyatakan sebagai berikut. Roh Kudus menolong kita di dalam kelemahan kita, karena kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa, tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, bahwa Ia sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus (Rm 8:26-27). RANCANG BANGUN TEOLOGI MULTIKULTURAL DALAM PERSPEKTIF PERJANJIAN BARU GUNARYO SUDARMANTO PENDAHULUAN Diversitas manusia merupakan kekayaan sekaligus potensi konflik. Fakta di sepanjang sejarah manusia menunjukkan bahwa perbedaan etnik dan religi telah menjadikan manusia bagai serigala bagi sesamanya (homo homini lopus). Konflik horisontal yang terus terjadi, lebih disebabkan oleh sempitnya horison tentang hakikat nilai sesama sebagai akibat dari justifikasi dogmatis yang tidak seimbang. Padahal di setiap komunitas religi dan etnik senantiasa memuat urgensi menghargai kehidupan sesama manusia. Teologi Kristen tidak meniadakan kebenaran bahwa TUHAN baik kepada semua orang (Mzm 145:8). Untuk itu pula Rasul Paulus menyerukan, “...marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Gal 6:10). Kata terutama tidak berarti meniadakan aspek universalitasnya, melainkan pada prioritas sesuai tuntutan konteks jamannya. Mengumpulkan dasar-dasar Alkitabiah yang melandasi pemahaman tentang pentingnya membangun relasi dengan sesama, itulah yang saya sebut sebagai Teologi Multikultural. Teologi ini menekankan pada cara pandang Allah terhadap sesama manusia yang berbeda etnik dan religinya. Dengan teologi ini, orang Kristen memiliki landasan yang kokoh untuk membangun relasi dengan sesamanya dalam segala kepelbagaiannya. Dalam perspektif Perjanjian Baru setidaknya ditemukan Enam prinsip teologis yang dapat menjadi rancang bangun Teologi Multikultural. Keenam prinsip tersebut ialah: (1) Inkarnasi; (2) Universalitas soteriologi; (3) Teokrasi-presentis; (4) Universalitas Karya Roh Kudus; (5) Naturalitas Gereja sebagai tubuh Kristus; (6) Multikulturalitas kekekalan. INKARNASI Istilah inkarnasi merupakan bentukan kata Latin: in (masuk) dan carne (daging) yang berarti masuk ke dalam daging. Istilah ini digunakan secara teologis untuk menunjuk pada fakta “Allah menjadi manusia (daging) di dalam dan melalui Yesus Kristus.” Kebenaran ini bersumber dari Yohanes 1:14 khususnya pada frasa, “Firman itu telah menjadi manusia” (kai o` logoj sarx egeneto). Kata egeneto (menjadi) ditulis dalam bentuk singular, aorist, middle, indicative.1 menunjuk kepada sesuatu yang sudah pernah sungguh-sungguh terjadi secara faktual. Dengan kata lain bahwa peristiwa itu bukan sebuah metafor atau simbolis, dan hasilnya masih dapat dirasakan sampai masa sesudahnya. Hal serupa pernah terjadi pada isteri Lot menjadi tiang garam (Kej 19:26). Artinya secara faktual ia sungguh-sungguh menjadi tiang garam. Sedangkan kata sarx (sarx) yang secara harafiah berarti daging digunakan untuk menunjukkan kesungguhan kemanusiaan Yesus. Sebaliknya, kata logoj (logos) diartikan Firman menunjuk pada kesungguhan keilahian Yesus.2 Jadi dengan frasa “dan Firman itu telah menjadi manusia” Yohanes menegaskan bahwa yang sungguh-sungguh Allah telah menjadi sungguh-sungguh manusia. Terutama dengan menggunakan kata sarxYohanes melegitimasi 1 Hasan Susanto (Peny.), Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia (Jakarta: LAI, 2003), 476. 2 Leon Morris, The New International Commentary on The New Testament: The Gospel According to John (Grand Rapdis: Eerdmans, 1977), 102. kesungguhan realitas kemanusiaan Yesus. Paulus juga menggunakan kata sark untuk menunjukkan hakikat manusia dengan segala kelemahannya (Rm 8:3; Flp 2:7).3 Selain secara literal, kemanusiaan Yesus juga dapat dibuktikan dari aspek-aspek fisik, intelektual, emosi, kehendak dan spiritual sebagaimana ciri-ciri manusia pada umumnya. Secara fisik Yesus dilahirkan secara alamiah (Mat 1:25; Luk 2:7). Dia bertumbuh secara normal dari kanakkanak hingga menjadi dewasa (Luk 2:40). Dia merasa lapar (Mat 21:18) dan haus (Yoh 19:28). Dia mengalami penderitaan dan kematian (Yoh 19:33). Secara mental Dia membutuhkan informasi sehingga perlu bertanya (Mrk 9:21; Luk 2:46-47). Secara intelektual, Dia belajar Kitab Suci dengan nalar anak Yahudi. Secara emosi, Dia mengasihi keluarga-Nya (Yoh 19:26) dan sahabat-Nya (Mat 23:37). Dia bisa marah (Mrk 19:26), sedih (Mat 9:36). Dia juga memiliki kehendak yang berbeda dengan Bapa-Nya (Mat 26:39). Secara spiritual, Dia berdoa (Mrk 1:35), beriman dan taat kepada Bapa (Flp 2:8). Jadi dari seluruh aspek tersebut jelas menunjukkan bahwa Yesus benar-benar manusia secara utuh. Dengan menjadi manusia Dia turut merasakan berbagai pencobaan dan penderitaan manusia supaya Dia bisa menolong manusia berdosa (Ibr 2:18, 4:16). Meski dalam segala hal Dia sama dengan manusia, namun Dia tidak pernah berbuat dosa (Ibr 4:15) dan tidak pernah gagal. Yesus adalah Manusia Sejati sebagaimana keadaan manusia ketika ia diciptakan pada mulanya, sebelum jatuh ke dalam dosa. 4 Karya Kristus ini menunjukkan dua kebenaran penting. Pertama, Solidaritas. Dia yang mulia sedia merendahkan diri, menjadi kecil dan lemah. Dia sedia masuk ke dalam kesakitan dan penderitaan manusia (Flp 2:6-8). Dia melakukan segalanya demi manusia. Dia memberi makan yang lapar, menyembuhkan yang sakit, mengampuni yang berdosa, menjadi kawan bagi yang tersisih, membangkitkan yang mati. Bahkan Dia juga menjadi korban ketidakadilan. Dia mati menanggung dosa manusia. 5 Kedua, Identifikasi diri. Kesediaan-Nya menjadi manusia dan sedia memasuki dunia manusia merupakan bentuk identifikasi diri dengan 3 William Hendriksen, New Testament Commentary: The Gospel of John (Edinburg: The Banner Truth Trust, 1959), 109. 4 Peter Wongso, Kristologi (Malang: SAAT, 1988), 61-62. 5 John Stott, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1984), 15. manusia yang dilayani-Nya. Ini merupakan model yang harus ditiru misi kristiani masa kini. Mengenai hal ini, John Stott menyatakan bahwa, Sebab jika misi kristiani harus mengikuti model misi Kristus, maka tak dapat tidak dalamnya harus tercakup tuntutan yang sama seperti yang telah dipenuhi-Nya, yaitu bahwa kita harus memasuki duniadunia orang lain... itu berarti kerelaan meninggalkan kemudahan dan kerterjaminan latarbelakang kebudayaan sendiri, agar dapat mengabdikan diri kepada kepentingan orang-orang dari latar belakang kebudayaan yang lain, yang kebutuhan-kebutuhannya mustahil dapat kita ketahui atau simak sebelumnya. Misi nyata, entah itu pekabaran Injil atau pelayanan sosial atau dua-duanya, menuntut pengidentifikasian diri dengan orang-orang dalam situasi aktual mereka.6 Prinsip solidaritas dan identifikasi diri yang dilakukan Yesus dalam masa inkanasi-Nya ini merupakan dasar Kristologis bagi hubungan yang baik dengan semua orang secara multikultur, baik multietnis maupun multireligi. UNIVERSALITAS SOTERIOLOGI Tujuan utama kedatangan Yesus ke dunia adalah menyelamatkan manusia berdosa. Yang dimaksudkan dengan manusia berdosa ini tentunya bukanlah bangsa Israel saja, melainkan semua bangsa, karena semua orang telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Rm 3:23). Sejak jatuh ke dalam dosa, manusia telah menjadi musuh Allah (ectra tou qeou: Rm 5:10; Kol 1:21; Yak 4:4). Namun pada prinsipnya, Allah tidak menghendaki seorangpun binasa, maka setiap orang memiliki kesempatan untuk bertobat, yaitu mengalami pemulihan hubungan (rekonsiliasi) dengan Allah dan sesamanya. Karya keselamatan Allah di dalam dan melalui Kristus disebut juga sebagai atonement. Untuk memahami konsep mengenai karya keselamatan ini, PL menggunakan kata Ibrani rpk (khapar) yang artinya: to cover by making expiation. Sedangkan PB menggunakan kata Yunani katallagh (katallage) yang berarti reconciliation.7 Rekonsiliasi merupakan 6 7 33. Ibid., 15-16. Archibal A. Hodge, The Atonement (London: Evangelical Pree, 1974), bagian sentral dari karya keselamatan Kristus yang sudah dimulai pada masa PL. Dalam PB, rasul Paulus paling banyak menguraikan pokok ini, antara lain dalam Roma 5:10-11 dan 2Korintus 5:18-20. Dalam kedua teks tersebut, Paulus memakai istilah katallage yang diartikan dengan pendamaian. Kata itu berasal dari kata kerja katallasw (katallaso), artinya: mendamaikan. PB menggunakannya dalam dua konteks, yaitu: konteks hubungan suami dan isteri, dan konteks hubungan Allah dan manusia. 8 Kattallasw/ dibentuk dari kata allassw (allaso) yang artinya: mengubah (to change). Sedangkan allasw sendiri berasal dari kata allwj (allos) yang berarti: lain atau yang lain (other, another). Jadi, secara esensial, katallasw memiliki pengertian dasar mengubah menjadi lain.9 Dalam konteks karya keselamatan manusia katallasw dimaksudkan untuk mengubah manusia sebagai musuh Allah menjadi kekasih Allah (agaphtoj). Untuk maksud itu Kristus datang ke dunia yaitu menyelamatkan setiap orang yang percaya kepada-Nya (Yoh 3:16). Karya keselamatan tersebut terbuka untuk semua orang (universal). Sebab itu, sebelum kenaikan-Nya ke sorga, Yesus memberikan Amanat Agung-Nya kepada murid-Nya untuk menjadi saksi-Nya dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ujung bumi. Amanat ini, “...menegaskan bahwa Injil sebagai satu-satunya kebenaran universal harus disampaikan kepada segenap umat manusia pada segala tempat dan waktu (universal).” 10 Selain berita Injil tersebut dimaksudkan untuk pemulihan hubungan dengan Allah, namun akibatnya juga akan terjadi pemulihan hubungan antar sesama manusia. Prinsip universalitas keselamatan ini merupakan dasar bagi hubungan multikultur, karena setiap orang dengan etnis dan religinya memiliki kesempatan untuk percaya kepada Kristus dan menerima keselamatan. Karena itu, hubungan multikultural haruslah dipandang dari dua perspektif sekaligus, yaitu: keharusan untuk hidup dalam damai dengan orang lain, dan memanfaatkan hubungan multikultur sebagai kesempatan 8 Buchel, katallagh dalam Gerhart Kittel (Ed.), Theological Dictionary of New Testament, Vol. I (Grand Rapids: Eerdmans, t.t.), 255. 9 Robert L. Thomas (Ed.), New American Standard Exhaustive Concordance of The Bible (Nashville: Holman Bible Publisher, 1981), 1629, 1630, 1659. 1 0 Elisa B. Surbakti, Benarkah Yesus Juruselamat Universal? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 55. untuk memberitakan kabar keselamatan kepada semua orang. Karena itu Injil juga harus diberitakan melalui aspek-aspek budaya orang lain. TEOKRASI-PRESENTIS Yang dimaksudkan dengan Teokrasi ialah pemerintahan Allah dimana Allah memerintah sebagai Raja dalam Kerajaan-Nya. Dengan kata lain Teokrasi berbicara mengenai kerajaan Allah yang dalam bahasa Yunani disebut basileia tou qeou (basileia tou theou). Istilah Yunani basileia dari kata basileuj (basileus) yang berarti: raja.11 Dalam pemikiran Yunani basileus menunjuk kepada seorang raja yang sah menurut hukum dan biasanya secara turun-temurun menjadi pemimpin religius atas rakyatnya.12 Sedangkan istilah basileia (basileia) yang berarti pertama: royal, power, kingship, dominion, rule.” Kedua: a kingdom. Arti yang pertama menunjuk kepada kuasa atau wewenang yang dimiliki oleh seorang raja. Sedangkan yang kedua menunjuk kepada wilayah kekuasaan seorang raja. Kemudian dalam Alkitab istilah kerajaan digunakan dalam hubungannya dengan Allah, sehingga disebut Kerajaan Allah: h` basileia tou Qeou: he basileia tou theou. Istilah Kerajaan Allah itu sendiri digunakan oleh Yesus dalam pemberitaan-Nya seperti termaktub dalam Injil Sinoptis, yang juga sinonim dengan Kerajaan Sorga (Mat 4:17; 5:3; Mrk 1:15; Luk 6:20) dan Kerajaan Bapa (Mat 26:29). Istilah Kerajaan Allah dan Kerajaan Sorga secara literal tidak terdapat dalam Perjanjian Lama, sehingga pengertiannya juga belum begitu jelas dalam agama Yahudi. Namun demikian akar dan ide yang terkandung di dalamnya sudah terdapat secara samar dalam Perjanjian Lama dan dalam pengharapan iman umat Israel. Karena itu istilah Kerajaan Sorga tidak ditemukan dalam tulisan-tulisan Yahudi-Yunani, namun sudah terdapat dalam literatur Talmud (malkuth shamayim) sebagai literatur yang lebih tua. Hal itu 1 1 B. Klappert, “King, Kingdom” dalam Colin Brown, The New International Dictionary of New Testament Theology, Vol. 2 (Grand Rapids: Zondervan, 1976), 372. 1 2 Kleinknecht, “basileuj in The Greek World” dalam Kittel (Ed.), Theological Dictionary of..., Vol. I, 564. menunjukkan bahwa pemahaman dasar tentang Kerajaan Sorga telah disimpan lama dalam idiom Yahudi.13 Jadi, kerajaan Allah dapat berarti: pemerintahan Allah, kekuasaan Allah, dan kedaulatan Allah yang bersifat universal (bnd Mzm 103:19; 145:11,13; Dan 2:37; Luk 19:11-12). Secara terminologis Alkitabiah pengertian kerajaan Allah lebih menunjuk kepada kedudukan-Nya sebagai raja atau pemerintahan-Nya dan kedaulatan-Nya.14 Kerajaan Allah ini menunjuk kepada Kristus sebagai Raja yang sudah datang, memulai kerajaan-Nya dan akan datang di masa mendatang (future). Karena itu basileia tou theou tidak hanya dimengerti sebagai The Kingdom of God (Kerajaan Allah) melainkan God’s Kingship (Kepemerintahan Allah). Kingship of God lebih menunjuk kepada sebuah situasi yang luas yang meliputi seluruh kehidupan yang di dalamnya Allah memerintah sebagai Raja. Dalam pengertian ini Allah menjadi pemilik dari seluruh kehidupan pada masa kini dan masa yang akan datang. 15 Eka Darmaputera menambahkan bahwa Kerajaan Allah merupakan terminologi dalam teologi Kristen yang menunjuk kepada, “suatu keadaan atau kenyataan dimana Allah dengan spenuhnya akan memerintah dan memberlakukan kehendakNya, yaitu keadilan, kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan yang menyeluruh bagi seluruh umat manusia.” 16 Itu berarti Kerajaan Allah tidak hanya bersifat futuris, melainkan juga memuat dimensi presentis. Hal itu sudah dinyatakan ketika Yohanes Pembaptis berseru, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat 3:2). Frasa sudah dekat diterjemahkan dari kata Yunani hggiken (eggiken) yang merupakan bentuk perfek aktif indikatif dari eggidzw (eggidzo) yang berarti: to come near, approach, or 1 3 George Eldon Ladd, Crucial Question About The Kingdom of God (Grand Rapids: Eerdmans, 1952), 121-122. 1 4 George Eldon Ladd, Injil Kerajaan (Malang: Gandum Mas, 1999), 21-23. 1 5 Weinata Sairin, Victor I. Tanya, Eka Darmaputera, “Berbagai Dimensi Kerukunan Hidup Umat Beragama” dalam Weinata Sairin (Peny.), Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 18. 1 6 Eka Darmaputera, “Tugas Panggilan Bersama Agama-agama di Indonesia” dalam. J. Garang (Peny.), Peranan Agama-agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa Dalam Negara Pancasila yang Membangun (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 141. draw nigh.” W.E. Best menjelaskan pengertian dasar dari ketiga kata Inggris tersebut sebagai berikut: There is much discussion over the following statement in the King James translation of the Bible: “the Kingdom of heaven is at hand” (Matt 3:2; 4:17; 10:7). The Greek verb in those verses is eggiken, perfect active indicative of eggidzo, which means to come near, approach, or draw nigh. When we observe the basic English meaning of these three verbs, we can better determine the definition of eggidzo. “Come” means to come toward or away from something, to pass from one point to one nearer. “Draw” means to pull, drag, draw, or move toward. “Approach” means to come or go near or nearer in either place or time. The accurance of eggidzo in its perfect active indicative form in each reference where it is used proves that the kingdom has not arrived, but it has approach or come near.17 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kerajaan Allah itu memang sudah dekat atau sama dengan belum sampai. Namun tidak berarti masih sangat jauh sehingga sama sekali tidak dapat dilihat dan dirasakan kehadirannya. Maksud dari kata eggiken adalah bahwa kehadirannya telah begitu dekat dan sangat dapat dirasakan. Bentuk perfek yang digunakan menegaskan bahwa kerajaan yang dimaksudkan dalam nubuatan PL telah benar-benar tergenapi. Presensi Kerajaan Allah itu semakin jelas ketika Yesus memulai pelayanan-Nya di Galilea dan menyatakan, “Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk 4:15). Kata Yunani yang diterjemahkan dengan “waktu” adalah kata kairoj (kairos) yang berarti saat atau waktu tertentu, bukan kronoj kronos) yaitu waktu yang berlangsung terus menerus. Kairos itulah yang dipakai Yesus untuk menunjukkan penggenapan di dalam Diri-Nya. Herman Ridderbos menjelaskan pengertian kairos sebagai berikut: Therefore, kairos means the great moment of commencement of the great future appointed by God in His counsel, and announced by the prophets. By the side of “is at hand” there is already the “is fulfilled.” No doubt the two expressions shoult be understood in connection with each other. “At hand” in expression “is at hand” W.E. Best, Christ’s Kingdom Is Future, Vol. II (Houston, Texas: South Belt Assembly of Christ, t.t), 159. 1 7 does not mean the same thing as “has come,” “is present,” as clearly appears from the purpose of John’s preaching. The expression “the time is fulfilled” will thus have to be understood as the indication that the threhold of the great future has been reached, that the door has been opened, and that the prerequisites of the realization of the divine work of consummation are present; so that now the concluding divine drama can start. 18 Jadi, waktunya telah genap berarti bahwa melalui kehadiran Yesus “masa yang akan datang” sedang dimulai. Hal itu lebih ditegaskan oleh Yesus ketika Ia berkhotbah di Nazaret (Luk 4:16-30). Dalam ibadah di Sinagoge itu Ia membaca nubuat dari kitab Yesaya 61:1-2 mengenai tahun rahmat Tuhan. Pada saat itulah Yesus menegaskan: “Pada hari ini genaplah nas ini...” (ay 21). Dengan penegasan tersebut, Yesus sedang menunjuk Diri-Nya sendiri sebagai penggenapan dari nubuatan Yesaya. Itu berarti bahwa Person yang diurapi Tuhan dan yang disertai Roh Tuhan, seperti yang dimaksudkan oleh Yesaya, ialah Yesus sendiri. Dialah yang dimaksudkan yang akan memberitakan kabar baik kepada orang miskin, pembebasan kepada tawanan, mencelikkan yang buta, membebaskan yang tertindas, dan memberitakan tahun rahmat Tuhan. Hal tersebut ditegaskan kembali oleh Yesus ketika menjawab pertanyaan murid-murid Yohanes Pembaptis tentang jatidiri-Nya sebagai Mesias. Yesus menjawab pertanyaan itu dengan menyebutkan tindakantindakan Mesianis-Nya, yaitu: “...orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Luk 7:1822). Meskipun Yesus hanya menyebutkan karya-Nya, namun hal itu sekaligus mengindikasikan jatidiri-Nya sebagai Mesias. Dalam hal ini nyata kesatuan karya dan Person Mesias dalam Diri Yesus. Selanjutnya, presensi Kerajaan Allah diperjelas oleh tanda-tanda yang dinyatakan Yesus melalui pengajaran dan karya-karya-Nya. Secara umum ada enam tanda yang menunjukkan presensi Kerajaan Allah, yaitu: Pertama, pemberitaan kabar baik kepada orang miskin. Tanda ini dinyatakan tiga kali oleh Yesus, yaitu: dalam khotbah di Nazaret (Luk 4:18), dalam jawaban-Nya atas keraguan Yohanes Pembaptis di penjara (Mat 11:5; Luk 7:22), dan dalam ucapan bahagia (Mat 5:3; Luk 6:20). Kata 1 8 Herman Ridderbos, The Coming of The Kingdom (Philadelphia: Presbyterian and Reform Publishing Company, 1973), 48. miskin yang dimaksudkan adalah pertama-tama menunjuk kepada orang desa (am-haarezt). Mereka adalah penduduk Israel yang kurang memahami Hukum Taurat, karena tidak mendapatkan pengajaran semestinya dari orang Farisi dan ahli Taurat. Mereka tidak diperhatikan dan dianggap berperilaku tidak senonoh, sehingga dianggap berada di luar keselamatan. Dengan demikian di dalam kemiskinan jasmani itu terkandung juga kesusahan rohani yang terus menantikan datangnya keselamatan atas dirinya.19 Kata miskin juga bisa diartikan sebagai orang yang mengalami kesulitan jasmani, menanggung sengsara, teraniaya dalam masyarakat dan mengeluh di bawah kejahatan sosial orang-orang yang egois. Tetapi mereka juga adalah orang yang rendah hati, lembut hati, senantiasa menantikan keselamatan yang dijanjikan Allah kepada umat-Nya. Kepada merekalah Injil Kerajaan Allah diberitakan sebagai penggenapan janji keselamatanNya.20 Pengertian tersebut juga berkaitan dengan pernyataan Yesus dalam Matius 5:3, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Dalam ayat itu, kata miskin lebih bersifat rohani daripada jasmani. Frasa “merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” berarti Kerajaan Sorga menjadi milik mereka dalam arti rohani. Sebagai contoh, Yesus mengajarkan perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai (Luk 18:9-14). Keduanya bersama-sama berdoa di Bait Allah. Dalam doanya orang, Farisi sangat bangga dengan segala kebaikan rohaninya. Sedangkan pemungut cukai dengan hancur hati menyadari keberdosaannya. Tentang pemungut cukai itu Yesus berkata: “orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak” (ay 4).21 Mengomentari ayat tersebut Charles L. Allen menyatakan: “The first key to God’s Kingdom is another type of poverty... the poverty which is a key to God’s Kingdom is realization that, though we posses all things, without God all our things are nothing.” 22 Itulah aspek 1 9 Ulrich Beyer, Garis-garis Besar Eskatologi Dalam Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 16. 2 0 Herman Ridderbos dan Baarlink, Pemberitaan Yesus Menurut Injil Sinoptis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), 72-75. 2 1 Peter Wongso, Hermeneutika Eskatologi (Malang: SAAT, 1989), 91. 2 2 Charles L. Allen, God’s Psichiatry (New Jersey: Fleming H. Revell Company, 1970), 130-131. utama yang diperhatikan Yesus, sehingga mereka perlu mendengarkan Injil agar mereka mengalami keselamatan dari dosa. Kedua, kehadiran Kerajaan Allah ditandai dengan Pengampunan dosa. Yesus menegaskan kembali nubuat Yesaya tentang, “Pembebasan bagi tawanan dan orang yang tertindas” (Luk 4:19). Pernyataan itu hanya dapat dimengerti dalam hubungannya dengan pengampunan dosa, karena terkait erat dengan tahun rahmat Tuhan atau tahun Yobel. Di tahun itu, menurut tradisi Israel, seorang yang miskin dan telah menjadi budak harus dibebaskan dari segala hutangnya dan dimerdekakan (bnd. Im 25:39, dst; Yeh 46:17). Searah dengan nubuatan tersebut, Yesus memberikan pengampunan dosa agar orang yang tertawan dan tertindas oleh dosanya dilepaskan dan diampuni. Matthew Henry dalam komentarnya menyatakan: “The Gospel is a proclamation of liberty, like that to Israel in Egypt and in Babylon. It is a deliverence from the worst of thraldoms, which all those shall have the benefit of that are willing to make Christ their Head.” 23 Pembebasan yang utama ialah pembebasan dari dosa. Karena itu Yesus memberitakan tentang pengampunan dosa dan melakukan pengampunan dosa (Mrk 2:5). Tindakan tersebut merupakan proklamasi ke-Allahan-Nya dimana Ia menunjukkan hak prerogatif Allah untuk mengampuni manusia berdosa. Untuk itu Ia bergaul dengan orang-orang yang dianggap paling berdosa seperti: pemungut cukai dan wanita pezinah, karena mereka juga berhak masuk ke dalam Kerajaan Allah. Kepada para pemimpin agama Yahudi, Yesus menegaskan, “pemungut-pemungut cukai dan perempuanperempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Mat 21:31). Ayat itu menunjukkan sifat kekinian dari Kerajaan Allah, karena orang-orang berdosa itu sedang menjadi warga Kerajaan Allah. Itu berarti Yesus menyatakan bahwa Kerajaan Allah sudah hadir dan dimulai di bumi.24 Ketiga, Yesus melakukan Mujizat. Matius 8:17; 11:5; Lukas 7:16 mendaftarkan tindakan kemesiasan Yesus sebagaimana dinubuatkan Yesaya 35:5b; 29:18-19 dimana “orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar dan orang mati dibangkitkan.” Esensi dari mujizat tersebut ialah penyataan Kerajaan Allah 2 3 Matthew Henry, Matthew’s Henry Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 1979), 1425. 2 4 Gunung Mulia, 1993), 26. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: BPK sebagai tindakan penyelamatan oleh Mesias. Jadi, dengan melakukan mujizat, sebenarnya Yesus sedang menunjukkan kehadiran-Nya sebagai Raja yang berkuasa.25 Keempat, Pengusiran setan. Secara eksplisit Yesus sendiri telah menyatakan hubungan langsung antara pengusiran setan dengan kehadiran Kerajaan Allah. Ia berkata, “Jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Mat 12:28; Luk 11:20). George Eldon Ladd menyatakan, “Tindakan pengusiran rohroh jahat membuktikan bahwa Kerajaan Allah sudah datang dan sedang bekerja di antara umat manusia. Pengusiran roh jahat itu sendiri merupakan pekerjaan Kerajaan Allah.”26 Jelaslah bahwa pengusiran setan oleh Yesus membuktikan kekalahan kuasa setan atas kuasa Allah yang telah hadir di dalam dan melalui Yesus. Dengan kata lain, terusirnya setan menyatakan kehadiran Kerajaan Allah. Kelima, Perumpamaan. Untuk mengajarkan tentang kerajaan Allah, Yesus kerapkali menjelaskannya melalui sebuah perumpamaan, yaitu cerita yang diambil dari kehidupan manusia sehari-hari dan dirancang untuk menggambarkan kebenaran utama dari apa yang akan diberitakan. Perumpamaan begitu penting, sehingga menguasai hampir sepertiga dari pengajaran Yesus.27 Dalam Markus 4 dan Matius 13 terdapat kumpulan perumpamaan tentang rahasia Kerajaan Allah. Melalui perumpamaanperumpamaan tersebut, Yesus menyatakan kehadiran Kerajaan Allah sebagai revolusi Allah dalam sejarah. David Wenham dalam bukunya The Parables of Jesus: Pictures of Revolution menjelaskan sebagai berikut: ...in proclaiming the kingdom of God, Jesus was announcing the coming of God’s revolution and God’s new world, as promised in the Old Testament. God was at last intervening, Jesus declared, to establish his reign over everything, to bring salvation to his people and renewal and reconciliation to the world. But fortunetely Jesus did not announce his message in such general theological terms, he announced it primarily through vivid, concrete parables. 28 2 5 2 6 Ridderbos dan Baarlink, Pemberitaan Yesus Menurut..., 36-38. George E. Ladd, A Theology of The New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1987), 56. 2 7 A.M. Hunter, Menafsirkan Perumpamaan-perumpamaan Yesus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 1, 11. 2 8 David Wenham, The Parables of Jesus: Pictures of Revolution (London: Hodder & Stoughton, 1989), 25. Jadi, melalui perumpamaan yang disampaikan, Yesus menegaskan bahwa Kerajaan Allah telah dinyatakan dan hadir dalam sejarah manusia masa kini. Keenam, Peristiwa di sekitar Yesus melebihi kehebatan peristiwa dalam PL. Yesus menyatakan hal itu ketika berkata, “sesungguhnya yang ada di sini lebih besar daripada Yunus” dan “lebih daripada Salomo” (Mat 12:41-42). Peristiwa Yunus dan pertobatan orang Niniwe merupakan peristiwa yang menakjubkan. Tetapi Yunus hanya memberitakan tentang kebenaran Allah, sedangkan Yesus adalah kebenaran itu sendiri. Demikian juga dengan hikmat Salomo yang begitu tinggi, sehingga mempesona setiap orang yang mendengarnya. Namun, Salomo tidak dapat memberikan hikmatnya kepada siapapun, sedangkan Yesus adalah Hikmat itu sendiri dan memberikan kepada siapa saja yang datang kepada-Nya serta menyelamatkannya. Karena itu Ia menegaskan, “Sesungguhnya banyak nabi dan orang benar ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya dan ingin mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya” (Mat 13:17).29 Artinya, di dalam dan melalui Yesus terjadi peristiwa-peristiwa yang melebihi peristiwa sebelumnya. Itu disebabkan Yesus sendiri ialah Mesias yang oleh-Nya Allah melawat umatNya dengan kasih-Nya sebagaimana telah dijanjikan sebelumnya (Luk 7:16; Mat 11:2-6). Dengan kedatangan Yesus berarti masa eskatologis sudah mulai diwujudkan pada masa kini. Selain bukti-bukti kehadiran Kerajaan Allah pada masa kini tersebut di atas, Kerajaan Kristus juga dapat dipahami dalam dua aspek pengertian, yaitu: regnum potentiae dan regnum gratiae. Yang dimaksud dengan regnum gratiae adalah jabatan Kristus sebagai Raja Rohani atas umat-Nya atau Gereja-Nya. Kerajaan ini bersifat rohani yang didasarkan pada karya penebusan Kristus. Kerajaan rohani ini sudah ada pada masa sekarang mapun masa yang akan datang.30 Sedangkan yang dimaksud dengan regnum potentiae adalah kekuasaan Kristus atas alam semesta yaitu pemerintahan-Nya secara providensial dan yuridis atas segala sesuatu dalam hubunganya dengan Gereja. Lebih lanjut Berkhof menjelaskan bahwa, sebagai Raja alam semesta, Sang Pengantara memimpin dan menentukan setiap pribadi individual, dari kelompok sosial, dan bangsa2 9 3 0 LRII, 1998), 234-242. Beyer, Garis-garis Besar..., 22. Louis Berkhof, Teologi Sistematika 3: Doktrin Kristus (Jakarta: bangsa, untuk menentukan pertumbuhan, penyucian sedikit demi sedikit, dan kesempurnaan akhir dari umat-Nya yang telah Ia tebus dengan darahNya... Kristus sekarang mengatur jalan hidup setiap individu dan bangsa yang termasuk dalam Gereja yang telah disatukan oleh darah-Nya... 31 Jadi, dari aspek regnum potentiae, pemerintahan Kristus atas alam semesta berkuasa mengatur segala bangsa untuk melindungi umat-Nya. Dalam hal ini nampak hubungan tak terpisahkan antara umat-Nya dengan bangsa-bangsa. Sebab itu Gereja tidaklah seharusnya berusaha memisahkan diri dari bangsa-bangsa (multikultur), sebaliknya harus mengintensifkan hubungan dengan bangsa-bangsa. Dalam hal ini Gereja menyatakan keharmonisan sosial sebagai bagian dari rencana perwujudan Kerajaan Allah dalam aspek kekinian. Gereja memiliki tanggung jawab sosial yang menyatukannya dengan masyarakat. Gereja dan masyarakat tidak dapat dipisahkan melainkan saling melengkapi.32 H. Henry Meeter menegaskan bahwa sorga dibawa ke dalam material (dunia nyata). Dimensi rohani menerangi dunia materi (sosial) supaya terjadi pemulihan. Tuhan mendelegasikan orang percaya untuk membangun dan memelihara tatanan sosial.33 Teokrasi presentis dalam aspek inilah yang menjadi dasar orang percaya untuk berelasi sebaik-baiknya secara multietnis dan multireligi. UNIVERSALITAS KARYA ROH KUDUS Pemberitaan karya Allah diteruskan oleh Roh Kudus ke seluruh dunia di segala abad. Roh Kudus adalah utusan Kristus untuk mengaplikasikan karya Kristus kepada semua manusia. Roh Kudus inilah yang dijanjikan Kristus sebagai yang akan memberi kuasa untuk menjadi saksi Kristus (Kis 1:8). Dinamika Roh Kudus yang memampukan para murid Kristus untuk menjadi saksi-saksi Kristus sampai ke ujung bumi. Dalam hal ini Roh Kudus menindak lanjuti penugasan Kristus untuk 3 1 3 2 Ibid., 242-243. Ernst Troeltsch, Protestanism and Progres, A History of the Relation of Protestanism to the Modern World (Beacon: Beacon, 1958), 57. 3 3 H. Henry Meeter, The Sovereignty of The Social Sphere (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1975), 125. menjadikan sekalian bangsa murid-Nya (Mat 28:19-20). Dengan tugas ini menunjukkan adanya aspek universalitas karya Roh Kudus itu. Pada peristiwa Pentakosta, universalitas tersebut mulai memanifestasi dalam bentuk bahasa-bahasa dari berbagai etnis (Partia, Media, Elam, Mesopotamia, Yudea, Kapadokia, Pontus, Asia, Frigia, Pamfilia, Mesir, Libia, Roma, Yahudi, Kreta, dan Arab; Kis 2:8-11). Jadi, Roh Kudus yang mendinamisasi orang percaya untuk memberitakan Injil kepada segala bangsa (panta ta ethne). H. Berkhof sebagaimana dikutip oleh Abineno menyatakan sebagai berikut: Roh Yesus Kristus–yaitu Roh yang mengandung kuasa yang membebaskan dan yang membaharui–sedang bekerja di segala tempat,di mana manusia dilepaskan dari keganasan alam, negara, warna kulit, kasta, kelas, kelamin, kemiskinan, penyakit, kebodohan dan lain-lain.34 Lebih lanjut Abineno menegaskan bahwa karya Roh Kudus tidak hanya terbatas pada Gereja, melainkan mencakup seluruh dunia. 35 Atas dasar itu, orang yang telah ditebus oleh karya Kristus dan menerima Roh Kudus dalam dirinya pastilah didorong untuk terus berkomunikasi dengan orang lain yang beda etis dan agama menjadi saksi Kristus bagi mereka. Selain itu, Roh Kudus juga memberi buah dalam hidup orang percaya berupa: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri (Gal 5:23). Buah Roh ini merupakan potensi pada diri orang percaya untuk diaktualisasikan dalam relasinya dengan orang lain: baik teman seiman maupun beda iman. Misalnya, istilah kasih yang diterjemahkan dari agape berarti: love, concern, interest, sacred meal shared by the early church (kasih, kepedulian, minat, makanan kudus yang dibagikan oleh Gereja mula-mula).36 Makna yang jelas dari agape adalah kasih dan kepedulian yang mencakup kasih kepada semua orang. J. Lengkong menyimpulkan, Kasih sebagai buah Roh tidak bersikap diskriminatif dan memperlakukan orang-orang lain dengan keprihatinan yang 3 4 J.L.Ch. Abineno, Roh Kudus dan Pekerjaan-Nya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 144. 3 5 Ibid., 145. 3 6 Barclay M. Newman, A Concise Greek-English Dictionary Of The New Testament (London: United Bible Societies, 1971), 2. mendalam... Rasa cemburu yang banyak merusak hubungan antar pribadi, antar golongan dan antar umat beragama, akan dengan sendirinya ditinggalkan.”37 Hal ini juga menjadi dasar untuk melakukan kebaikan kepada yang beda etnis dan religinya. NATURALITAS GEREJA SEBAGAI TUBUH KRISTUS Septuaginta menggunakan istilah Yunani ekkalew(ekkaleo) yang artinya: memanggil keluar. Dari kata Yunani ini, Perjanjian Baru menggunakan kata ekklesia (ekklesia) sebagai bentukan dari kata ek (ek) dan kalew (kaleo) yang berarti: dipanggil keluar. Kata ini dimengerti dalam hubungannya dengan karya Kristus yang telah menjadi Juruselamat manusia berdosa. Sehingga secara esensial kata ekklesia dimengerti sebagai “persekutuan orang yang telah dipanggil keluar dari dunia ini untuk menjadi milik Allah.”38 Dengan demikian pengertian ekklesia juga menunjukkan keterikatan dengan Allah di dalam dan melalui Kristus. Sebab itu ekklesia juga dimengerti sebagai jemaat Allah dengan maksud yang sama seperti qahal yahwe dalam Perjanjian Lama. Pemahaman Yesus tentang jemaat Allah nampak dalam misi pelayanan dan pengajaran-Nya yang berkesinambungan dengan pemahaman Perjanjian Lama. Yesus memfokuskan pelayanan-Nya kepada orang Yahudi yang disebut-Nya sebagai “domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Mat 15:24) yang secara esensial sama dengan umat Allah. Namun kemudian Yesus memperluas pengertian domba yang hilang juga dikenakan kepada murid-Nya yang tercerai-berai (Luk 12:32; Mrk 14:27; bnd. Zak 13:7). Meskipun Yesus menujukan misi keselamatan-Nya kepada orang Yahudi, namun Ia juga menyadari bahwa mereka akhirnya akan menolak-Nya. Sebab itu terjadi transformasi pengertian umat Allah yang tidak saja ditujukan kepada umat Israel melainkan juga kepada para muridNya dan semua orang yang percaya kepada-Nya (bnd. Mat 3:9; Luk 3:8). Yesus menggunakan istilah ekklesia tidak dimaksudkan menunjuk kepada 3 7 Josias L. Lengkong, Jihad Kristen: Adakah kesamaan Jihad Islam dan Jihad Kristen? (Jakarta: Yayasan Misi Global Kalimatullah, 2003), 306-307. 3 8 Louis Berkhof, Systematic Theology (Edinburg: The Banner of Truth Trust, 1976), 555. suatu organisasi, tetapi sekelompok orang yang dianggap-Nya sebagai milik-Nya dan diwakili oleh para murid-Nya.39 Jadi, Gereja pada hakikatnya ialah umat Allah atau jemaat Allah yaitu orang-orang yang telah dipanggil keluar dari dunia melalui karya Kristus untuk mengalami persekutuan dengan Dia pada masa kini dan masa yang akan datang. Gereja bersifat universal karena meliputi seluruh orang percaya di muka bumi. Karena itu, Gereja juga dituntut agar kehadirannya di dunia ini menjadi representasi Allah dengan turut memproklamasikan keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Dengan demikian tidak dapat dipisahkan antara Kristus dan Gereja. Kristus adalah Kepala Gereja dan Gereja adalah umat-Nya. Dia memerintah di dalam dan melalui Gereja-Nya. Gereja sebagai umat yang kudus yang telah dipanggil ke luar dari dunia, namun diutus kembali ke dalam dunia. Karenanya, Gereja berada di dalam konteks dunia. Sebagai bagian integral dari konteks dunia, maka Gereja harus berkorelasi dengan konteks sosial dan kultural di tengah masyarakat sekitarnya. Sebagai Kepala Gereja yang memerintah kerajaan-Nya, Kristus juga tidak menginginkan Gereja-Nya ke luar dari konteks sosial masyarakat. Donald B. Kraybill menegaskan, Kitab-kitab Injil tidak memandang kerajaan itu sebagai sesuatu yang terasing dari bagian masyarakat lainnya, baik secara geografis maupun sosial. Yesus tidak menganjurkan kita menghindar atau menarik diri dari kehidupan sosial. Ia juga tidak mengasumsikan bahwa kerajaan dan dunia terpisah dalam wilayah-wilayah yang terbagi tegas. Aksi kerajaan itu berlangsung di tengah-tengah kehidupan sosial.40 Dengan demikian, natur alamiah Gereja membuatnya tidak bisa tidak berinteraksi aktif dengan konteksnya. Interaksi tersebut mewujud dalam karya-karya bersama dengan orang lain yang tidak seetnis atau seagama. George V. Pixley menyebutkan lebih konkrit demikian, Dalam pengertian abstrak dan umum kerajaan Allah dalam Alkitab berarti satu masyarakat yang adil, makmur dan yang memandang semua manusia sederajat. Dalam arti konkret, kerajaan Allah 3 9 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru, Jilid 3 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), 27-28, 34. 4 0 Donald B. Kraybill, Kerajaan Yang Sungsang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 3. mendorong berbagai proyek historis dalam bermacam-macam keadaan. Dalam dua momen permulaan kerajaan berarti pembebasan, satu perjuangan melawan sistem-sistem penjejangan sosial yang memeras kaum pekarya Israel.41 Di sinilah Gereja harus kreatif dalam melaksanakan panggilannya untuk percaya dan melayani secara seimbang di tengah dunia. Gereja dituntut tanggung jawab yang besar untuk melibatkan diri sepenuhnya dalam kehidupan sosial yang sama nilainya dengan aspek rohani.42 Jadi, Kristus yang telah memanggil Gereja-Nya ke luar dari dunia, namun mengutusnya kembali ke dalam dunia, menghendaki agar Gereja-Nya berinteraksi melalui karya nyata di tengah masyarakat. Hakikat naturalitas Gereja inilah yang juga dapat menjadi dasar untuk berinteraksi dengan multietnis dan multireligi. MULTIKULTURALITAS KEKEKALAN Karya penebusan Kristus yang diteruskan oleh dinamika karya Roh Kudus telah melahirkan Gereja Perjanjian Baru yang bersifat multikultural. Hingga perkembangannya saat ini Gereja terus menjadi semakin multikultural, seperti disinyalir bahwa, Dalam tahun-tahun belakangan ini maka persoalan budaya dan pluralismenya sudah menjadi masalah yang sangat besar di seluruh dunia (hal ini juga berhubungan dengan migrasi dan globalisasi). Banyak Gereja sekarang memasuki situasi di mana Gereja memiliki jemaat yang berasal dari budaya yang beragam dan karenanya Gereja terdorong untuk menjadi lebih multi-cultural.43 4 1 George V. Pixley, Kerajaan Allah (Jakarta: Gunung Mulia, 1998), 92. 4 2 Albert Terril Rasmussen, Christian Social Ethics, Exerting Christian Influence (Englewood: Prenctice, 1956), 70-72, 266. 4 3 Agus Gunawan Satyaputra, Gereja, Budaya dan Misi dalam Jurnal Teologi: Stulos (Bandung: STTB, 2002), 100. Kondisi Multikulturalitas Gereja ini akan terus berlanjut hingga kekekalan. Pada masa eskatologis, dimana Gereja-Nya telah mengalami pengudusan sempurna, setelah kedatangan Kristus, Sang Kepala Gereja, untuk kedua kalinya, maka Gereja-Nya juga memasuki masa kemuliaan di hadapan tahta Bapa yang kekal. Di sanalah multikulturalitas Gereja menyemarakkan suasana kemuliaan, sebagaimana digambarkan oleh Yohanes dalam kitab Wahyu 7:9-10 sebagai berikut: “Kemudian daripada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan tahta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru: “Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas tahta dan bagi Anak Domba.” Multikulturalitas kekekalan di hadapan Anak Domba (Kristus) ini juga menjadi landasan Kristologis bagi orang percaya masa kini bahwa Allah sangat memberi tempat bagi multikulturalitas umat-Nya. Ini menjadi motivasi bagi Gereja masa kini untuk terus memberitakan kabar baik kepada segala bangsa dan suku bangsa (multietnis). PENUTUP Diversitas humanitas mesti dipandang sebagai kreatifitas Allah yang patut dihargai sebagaimana Allah menghargainya sebagai gambar dan rupa-Nya sendiri. Diskriminasi humanitas justru bukti sikap antagonis terhadap otoritas penciptanya. Radikalisme doktrin yang melulu berorientasi pada kebenaran vertikal harus dibarengi dengan pemahaman horisontalnya. Kebenaran sejati justru menjadi utuh ketika kedua aspek tersebut diposisikan secara proporsional. Perbedaan bukan alasan untuk saling melawan dan menghancurkan, karena kasih kepada Tuhan dan sesama bukanlah kebenaran yang dapat dipisahkan sama sekali. Allah sendiri telah berbuat baik kepada semua orang sesuai hakikat Diri-Nya sendiri sebagai Pencipta segalanya. Allah juga menghendaki agar manusia, yang telah diciptakan dalam gambar dan rupa-Nya, saling melakukan perbuatan baik. Semua manusia memiliki tanggung jawab bersama selama kehidupannya di dunia ini, sehingga dibutuhkan solidaritas dengan sesama. Melalui interaksi yang baik justru dimungkinkan adanya point of contact bagi Injil, sehingga dapat terjadi transformasi kesadaran terhadap hakikat kebenaran Injil yang meresap ke segala aspek hidup manusia seperti garam mengasinkan dunia yang tawar (Mat 5:13). Teologi Multikultural melandasi sikap Kristen untuk berelasi dengan semua orang dalam segala bentuk perbedaannya tanpa kehilangan jati diri (keunikan) kekristenannya. KARUNIA ROH MENURUT PENGAJARAN RASUL PAULUS: SUATU KAJIAN TEOLOGIS TERHADAP PANDANGAN NEO-PENTAKOSTA TENTANG KARUNIA SPEKTAKULAR ROBERT CALVIN WAGEY PENDAHULUAN Karunia Roh Kudus adalah perlengkapan rohani yang Allah anugerahkan kepada setiap orang percaya atau Gereja dengan tujuan untuk digunakan bagi pekerjaan pelayanan dan pembangunan tubuh Kristus (bnd. Ef 4:11,16; 1Kor 12:7). Karunia Roh Kudus sangat bermanfaat di dalam melaksanakan amanat Agung Tuhan Yesus Kristus yang diberikan kepada orang percaya dan Gereja. Keberhasilan Gereja di dalam mewujudkan pelayanan kesaksian, persekutuan dan diakonia tidak dapat dipisahkan dari pemanfaatan karunia-karunia roh yang dianugerahkan Allah kepadanya. Gereja akan bertumbuh secara kualitatif dan kuantitatif apabila seluruh potensi, karunia-karunia roh, yang ada pada setiap anggota digunakan semaksimal mungkin. Karena itulah maksud dan tujuan Allah memberikannya kepada jemaat. Tetapi sangat disayangkan, pada masa kini, potensi yang besar yang Allah anugerahkan kepada jemaat yang seharusnya menjadi berkat bagi sesama anggota jemaat dan perkembangan Gereja, justru menimbulkan masalah. Beberapa karunia Roh kudus tertentu menimbulkan kontroversi bahkan membingungkan sebagian orang percaya ketika melihat ‘keekstriman’ tanggapan serta pemanfaatannya. Kenyataan ini dilatar belakangi oleh penafsiran dan pengertian yang berbeda-beda dari beberapa kelompok tertentu tentang hakikat karunia-karunia Roh dan signifikansinya untuk Gereja Tuhan pada masa kini.1 Ada pandangan yang cenderung membeda-bedakan bahkan sangat menekankan dan mengutamakan karunia-karunia Roh tertentu, khususnya karunia-karunia Roh yang bersifat spektakular. Pandangan ini nampak dalam Kelompok Neo-Pentakosta. Lebih ekstrim lagi, ada yang menyatakan bahwa karunia-karunia Roh yang diberikan Allah kepada orang percaya atau jemaat, hanya terbatas sembilan karunia Roh, yang 1 Wayne Grundem (ed.), Are Miraclous Gifts For To day, Four Views (Leicester: InterVarsity Press, 1996), 9-13; bnd. Peter Wagner, Manfaat Karunia-karunia Roh untuk Pertumbuhan Gereja (Malang: Gunung Mas, 1987), 79. dinyatakan dalam 1Korintus 12:8-10.2 Menurut pandangan ini, karuniakarunia Roh tersebut hanya dimiliki oleh orang percaya ketika mereka mengalami baptisan Roh, yang ditandai dengan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh. Pengalaman baptisan Roh adalah merupakan pengalaman yang berbeda dan tidak sama dengan pekerjaan Roh Kudus di dalam proses kelahiran baru, yang menjadikan seseorang bertobat dan percaya kepada Kristus, untuk menerima keselamatan. 3 Pemahaman ini berakibat ‘fatal’ di dalam pneumatologi. Bilamana penerimaan karunia Roh Kudus hanya terbatas pada mereka yang telah mengalami baptisan Roh Kudus, dan pengalaman baptisan Roh Kudus merupakan pengalaman yang berbeda dan terpisah dari pengalaman kelahiran baru dan pertobatan, maka konsekuensi logis adalah tidak semua orang percaya mengalami Baptisan Roh Kudus, dan dengan demikian tidak semua orang percaya memiliki karunia Roh Kudus. Memperhatikan masalah tersebut, maka penulis terdorong untuk meneliti apa itu hakikat karunia Roh menurut pengajaran rasul Paulus, yang kemudian hal itu dipakai sebagai landasan teori menanggapi permasalahan tersebut. HAKIKAT KARUNIA-KARUNIA ROH Paulus adalah seorang Rasul yang paling banyak berbicara tentang karunia-karunia Roh Kudus dibandingkan dengan Rasul yang lain. Oleh karena itu untuk memahami tentang apa itu karunia Roh Kudus dan 2 Bnd. J.L. Ch. Abineno, Karunia-karunia Roh Kudus (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1980), 9,12; R. Budiman,” Menentukan Sikap Terhadap Gerakan Kharismatik”, Dalam Gerakan Kharismatik Apakah Itu (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 179; Larry Christenson, Speaking in Tongues (Minneapolis: Dimension Books, 1975), 114,117; Howard M. Ervin, These Are No Drunken, as You Suppose (Plainfield, N.J: Logos International, 1968), 216; Kevin And Dorothy Ranagham, Catholic Pentecostals (Paramus, N.J: Paulist Press, 1969), 160; Gordond Fee, Paul, the Spirit, and the People of God (Peabody Massachusetts: Hendrickson Publishers, 2003), 164 165; Wagner, Ibid. 3 Bnd. Christenson, Speaking in Tangues..., 37. bagaimana peranannya di dalam diri orang percaya maka penulis ingin meneliti bagaimana hal itu dikemukakan oleh Rasul Paulus di dalam suratsuratnya, secara khusus di surat Roma, 1Korintus dan Efesus. Terminologi Di dalam pengajaran rasul Paulus, ada beberapa istilah Yunani yang dipergunakan oleh Rasul Paulus, yang mempunyai hubungan dengan pengertian karunia-karunia Roh, yaitu: Pneumatikos, Charisma dan Dorea.4 Pneumatikos Rasul Paulus, ketika membahas mengenai masalah karunia-karunia Roh yang ada di dalam jemaat Korintus, mempergunakan istilah Pneumatikos sebanyak dua kali dalam bentuk jamak: dalam 1Korintus 12:1 pneumatikon dan 1Korintus 14:1 pneumatika. Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menterjemahkan istilah tersebut dengan kata karunia-karunia Roh. Searah dengan hal itu, King James Version dan Interlinear Greek-English New Testament menerjemahkannya dengan spiritual gifts, dengan catatan samping ataupun dengan gifts dalam cetakan miring, untuk menyatakan bahwa hal tersebut tidak dengan pasti diterjemahkan dari istilah tersebut. Terjemahan yang demikian juga diikuti oleh The New International Version.5 Beberapa Teolog memberikan beberapa pendapat mengenai hal itu. Ada yang berpendapat bahwa istilah pneumatikon sebenarnya dipergunakan oleh Paulus khusus untuk berbicara mengenai “karunia untuk berkata-kata 4 Bnd. J. Strong, Exhaustive Concordance of the Bible (Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1979), 385. 5 Bnd. Kenneth Barker (gen.ed.), The NIV Study Bible (Grand Rapids: Zondervan : 1984), 1750, 1752; Interlinear Greek-English New Testament (Grand Rapids: Baker Book House: 1981), 619, 624; The Iversen-Norman Associates, The Zondervan Parallel New Testament in Greek and English (Grand Rapids: Zondervan, 1979), 508, W. Sihite, Pemberian di dalam Perjanjian Baru, dalam Theo-Doron, Pemberian Allah, M.A. Ihromi, ed. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979),17. dengan bahasa roh.”6 Yang lain mengemukakan bahwa istilah ini sebenarnya berbicara tentang manusia-manusia rohani bukan hal-hal rohani.7 Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa istilah pneumatikon mungkin berbicara tentang hal-hal rohani (karunia-karunia rohani) ataupun juga manusia-manusia rohani, sebab tidak mudah untuk membedakan antara hal-hal rohani dengan manusia-manusia rohani. manusia-manusia rohani adalah mereka yang memiliki karunia-karunia rohani, antara lain karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh.8 Memang istilah pneumatikon, bilamana dilihat dari jenis kelaminnya, dapat dinyatakan sebagai neuter (yang diartikan sebagai 'hal-hal rohani') ataupun juga masculine (yang diartikan sebagai “orang-orang rohani”).9 Karena itu, sepintas lalu memang sulit untuk membedakan dan menyatakan dengan pasti apa yang dimaksud dengan istilah tersebut. Untuk dapat memecahkan masalah ini maka perlu diselidiki dan dipahami apa yang dimaksud oleh Rasul Paulus ketika ia mempergunakan istilah tersebut dalam konteks 1Korintus 12. Dalam 1Korintus 12:1, ada satu istilah Yunani yang dipergunakan oleh rasul Paulus, yaitu istilah de yang sering diterjemahkan now, but, sekarang atau tetapi. LAI menterjemahkan dengan kata sekarang. Istilah ini mempunyai pengertian dan menunjukkan bahwa pokok pembahasan dalam 1Korintus 12 adalah berbeda dan tidak mempunyai hubungan dengan pembahasan sebelumnya.10 Sehingga yang menjadi pokok pembahasannya adalah apa yang diuraikan dalam pasal tersebut. Dalam I Kor 12:4-11, yang menjadi pokok pembahasan rasul Paulus adalah mengenai karunia-karunia Roh yang diberikan oleh Allah kepada jemaat Korintus. Sehingga penekanan dalam pembahasan rasul Paulus adalah mengenai karunia- 6 Mereka adalah : Storr, Heydenreich, Baur, Wieseler; dikutip dari H.A.W. Meyer, Meyer’s Commentary on the New Testament. Vol. VI (Winona Lake: Alpha Publications, 1980), 275. 7 Mereka adalah : Grotius Hammond; dikutip dari Henry Alford, Alford’s Greek Testament. Vol.I & II (Chicago: Moody Press, 1958), 576. 8 Bnd. C.K. Barrett, A Commentary on the First Epistle to the Corinthians (London: Adam & Charles Black, 1979), 278. 9 Bnd. Arndt & Gingrich, A Greek English Lexicon of the New Testament (Chicago: The University of Chicago Press, 1971), 685. 1 0 Bnd. J.H. Thayer, Thayer’s Greek English Lexicon of the New Testament (Grand Rapids: Baker Book House, 1981), 125. karunia tersebut dan bukan kepada manusia yang menerima karuniakarunia tersebut. Hal ini lebih jelas nampak dalam istilah Yunani charismata yang dipergunakan Paulus dalam ayat 4, yang menunjuk kepada pengertian tersebut, yaitu rupa-rupa karunia (penguraian lebih luas dari istilah ini akan dibahas dalam butir kedua). Sebagaimana yang dikatakan oleh Lenski : “In v.4 they are called ‘charismata’ in the technical sense of this term, namely special gifts of the Spirit that were portioned out to different individuals.”11 Dalam ayat 28-29, memang dibicarakan juga mengenai mereka yang menerima karunia-karunia.:” Dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: Pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia... Adakah mereka semua rasul, atau nabi atau pengajar? Adakah mereka semua mendapat karunia... ” Tetapi penekanan yang sebenarnya bukan pada mereka yang menerima karunia-karunia, tetapi pada sumber dari karuniakarunia Roh. Hal tersebut nampak dalam ayat 28a: “Dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat.” Dengan demikian, yang menjadi penekanan pembahasan Paulus dalam 1Korintus 12 adalah pada karunia-karunia Roh yang telah diberikan Allah kepada jemaat Korintus dan sekaligus menunjukkan kepada sumber dari karunia-karunia tersebut. Tujuannya untuk menyadarkan jemaat Korintus yang terlalu membanggakan karunia-karunia tertentu, yang bersifat spektakular dan meremehkan yang non spektakular, bahwa semua karunia tersebut tanpa terkecuali adalah sama dalam kualitasnya karena dari Allah yang satu yang menganugerahkannya kepada mereka, yang berbeda adalah pada manifestasinya dan fungsinya. Tentu saja dalam membicarakan karunia-karunia tersebut, Paulus akan menyinggung mengenai mereka (manusia-manusia rohani) yang memilikinya, dengan tujuan agar mereka saling menghargai juga akan karunia Roh yang telah Allah anugerahkan kepada mereka masing-masing. Sebab semuanya itu diberikan Allah untuk kepentingan mereka bersama bagi pertumbuhan dan pengembangan jemaat sebagai tubuh Kristus. Hal itu berarti bahwa yang dimaksud dengan istilah pneumatikon bukan khusus tertuju kepada manusia-manusia rohani ataupun khusus mengenai “karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh” melainkan R.C.H. Lenski, The Interpretation of St. Paul’s First and second Epistle to Corinthians ( Minneopolis: Augburg Publishing House, 1963), 490. 1 1 berbicara khusus mengenai seluruh karunia Roh yang beraneka ragam dan multi fungsi yang telah diberikan oleh Allah kepada jemaat Korintus. 12 Pengertian ini juga sama dengan pengertian dari istilah pneumatika dalam 1Korintus 14:1.13 Tujuan rasul Paulus mempergunakan istilah pneumatikon atau pneumatika bagi karunia-karunia Roh yang ada dalam jemaat Korintus, nampak dalam penguraian selanjutnya ini. Istilah pneumatikon atau pneumatika (bentuk tunggalnya pneumatikos) berasal dari kata pneuma, yang mempunyai banyak pengertian, antara lain roh. Dalam Perjanjian Baru khususnya dalam pengajaran rasul Paulus, istilah pneuma sering dipergunakan untuk menyatakan tentang Roh Kudus. Sedangkan arti pneumatikos adalah sesuatu yang berasal Roh Kudus dan menjadi milik Roh Kudus. 14 Sehingga istilah pneumatikon atau pneumatika menunjukkan bahwa karunia-karunia adalah berasal dari Roh dan menjadi milik Roh Kudus. Kemungkinan dalam pengertian ini sehingga King James Version dan Alkitab bahasa Inggris yang lain menterjemahkan istilah pneumatikon atau pneumatika dengan spiritual gifts atau oleh LAI diterjemahkan karunia-karunia Roh. Jadi hal ini merupakan suatu penafsiran. Hal itu menunjukkan bahwa Paulus mempergunakan istilah pneumatikon atau pneumatika untuk segala karunia yang ada di dalam jemaat Korintus adalah untuk menyatakan bahwa karunia-karunia tersebut bersifat dan mempunyai tujuan rohani, bukan duniawi. Karena hal tersebut bukan berasal dari diri manusia sendiri, melainkan dari Roh Kudus dan digerakkan oleh Roh Kudus, suatu manifestasi dari Roh Kudus. 15 Karuniakarunia Roh adalah suatu kesanggupan khusus yang diberikan oleh Allah kepada setiap orang percaya untuk melayani pekerjaan-Nya dan demi untuk kemuliaan nama-Nya.16 Ia akan memampukan setiap orang percaya untuk melayani secara efektif dalam ladang pelayanan yang Allah percayakan kepada mereka masing-masing sehingga tujuan dan sasaran yang ingin dicapai oleh Allah di dalam jemaat dan dunia terwujud dengan baik. 1 2 Bnd. H. Ridderbos, Paul: An Outline of His Theology (Grand Rapids: Eerdmans, 1977), 442. 1 3 Bnd. Meyer, Meyer’s Commentary On The New..., 315. 1 4 Bnd. Thayer, Thayer’s Greek English Lexicon..., 521-523. 1 5 Bnd. Donald Bridge & David Phyphers, Karunia-karunia Roh dan Jemaat (Bandung: Kalam Hidup, 1973), 20. 1 6 Bnd. 1Korintus 12:3c. Charisma Dalam Perjanjian Baru, selain 1Petrus 4:10, istilah Charisma adalah merupakan suatu istilah yang hanya dipergunakan oleh rasul Paulus.17 Searah dengan hal tersebut nampak dalam pernyataan Richard B. Gaffin, bahwa “Paul is apparently the first to make it an important (theological) term.”18 Istilah charisma (bentuk jamak charismata) berarti suatu hadiah atau pemberian cuma-cuma yang diberikan berdasarkan anugerah atau kasih karunia Allah.19 Dengan demikian, charisma bukanlah suatu pemberian yang diterima oleh seseorang berdasarkan jasa baik atau hasil perbuatannya sendiri tetapi semata-mata berdasarkan belaskasihan Allah.20 Istilah ini berasal dari istilah charizomai, yang juga mempunyai hubungan dengan istilah charis yang berarti “anugerah atau kasih karunia.”21 Dalam pengajaran rasul Paulus, kedua istilah charisma dan charis sering dipergunakan dalam pengertian yang sama dan hampir tidak ada perbedaan. Sehingga kedua istilah ini saling tumpang tindih dan kait mengait. Misalnya dalam Efesus 4:7 istilah charis dipergunakan untuk kasih karunia yang dianugerahkan kepada jemaat menurut ukuran pemberian Kristus. Dalam ayat ini, istilah charis dipergunakan dalam pengertian dari istilah charisma.22 Sebaliknya, dalam Roma 5:15-21, istilah charisma dipakai untuk kasih karunia Allah yang dinyatakan di dalam Kristus bagi keselamatan manusia. Hal yang sama digunakan dalam Roma 6:23. Dalam ayat-ayat tersebut, istilah ini dipakai dalam pengertian dari 1 7 Bnd. G. Kittel, Theological Dictionary of the New Testament. Vol. IX (Grand Rapids: Eerdmans, 1978), 403. 1 8 Richard B. Gaffin, Jr., Perspective on Pentecost, New Testament Teaching on the gifts of the Holy Spirit (New Jersey: Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1979), 46. 1 9 W.E. Vine, An Expository Dictionary Of New Testament Words (New Jersey: Fleming H Revell Company, 1966), 147. 2 0 Bnd. James Orr, The International Standard Bible Encyclopedia. Vol. IV (Grand Rapids: Eerdmans, 1960), 1228. 21 Strong, Exhaustive Concordance of the Bible, dalam Greek Dictionary of the New Testament..., 177. 22 Bnd. Colin Brown, The New International Dictionary of New Testament Theology. Vol.III (Grand Rapids: Zondervan, 1979), 120. istilah charis.23 Dalam Roma 11:29, istilah charisma dipakai dalam bentuk jamak charismata, untuk kasih karunia Allah dalam memilih dan menjadikan bangsa Israel sebagai umat kesayangan-Nya. Maksud Paulus mempergunakan istilah charisma atau charismata dalam ayat-ayat tersebut, adalah untuk menyatakan tentang sifat dan hakekat keselamatan yang diberikan Allah kepada manusia dan pemilihan-Nya bagi bangsa Israel sebagai umat kesayangan-Nya. Yaitu, bahwa semua hal tersebut adalah semata-mata didasarkan atas kasih dan anugerah Allah, bukan karena perbuatan dan kebaikan bangsa Israel.24 Selain dipergunakan dalam pengertian hal tersebut di atas, istilah charisma ini dipergunakan secara khusus oleh Paulus untuk karuniakarunia Roh yang ada dalam jemaat, dalam kaitan dengan pelayanan jemaat (bnd. Rm 12:6, 1Kor 1:7, 7:7, 12:4,9,28,30,31; 1Tim 4:14; 2Tim 1:6). Istilah ini sering dipergunakan dalam bentuk jamak charismata atau charismaton. Yaitu, dalam Roma 12:6 dipergunakan untuk semua karunia yang ada dalam jemaat Roma, yang disebutkan dalam Roma 12:6-8. Dalam 1Korintus. 12:4, berkaitan dengan kesembilan karunia yang disebutkan dalam 1Korintus 12:8-10. Dalam 1Korintus 12:31, istilah ini dipergunakan untuk karuniakarunia yang paling utama; dan dalam 1Korintus 12:9,28,30, istilah ini dipergunakan untuk karunia-karunia penyembuhan. Dalam 1Korintus 7:7, hidup melajang seperti rasul Paulus, demi untuk melayani Tuhan tanpa gangguan,25 dikategorikan sebagai salah satu charisma dari karunia-karunia Roh di dalam jemaat.26 Demikian juga dalam 1Timontius 4:14, 2Timotius 1:6, jabatan Timotius sebagai pejabat Gereja dalam menggembalakan dan memimpin jemaat Efesus adalah suatu charisma, sesuai dengan nubuatan dan penumpangan tangan para penatua. Kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa karunia-karunia Roh adalah berbagai macam ragam dan tidak hanya terbatas dalam jenis karunia tertentu. Karunia atau charisma itu bukan hanya berkaitan dengan 23 Ibid. Bnd. Duane A. Priebe, Charismatic Gifts and Christian Existence in Paul, dikutip dari J.E. Grimson, Gifts of the Spirit and the Body of Christ (Minneopolis: Augsburg Publishing House, 1974), 20. 25 Bnd. 1Kor 7:34a, 35b. 26 Bnd. Peter Wagner, Your Spiritual gifts can help your Church Grow (Glendale: G.L. Regal Books, 1980), 65. 24 berbagai ragam karunia yang luar biasa atau karunia yang bersifat spektakular, seperti: karunia penyembuhan, membuat mujizat, berbahasa roh atau bernubuat tetapi juga berkaitan dengan segala karunia yang bersifat natural yang bermanfaat bagi pembangunan jemaat.27 Walaupun mungkin hal itu kelihatan tidak ada artinya dan tidak bernilai karena tidak begitu menonjol, seperti yang dikatakan oleh Abraham Kuyper: “Every means afforded by the King for the doing of His work is a charisma, a gifts of grace.”28 Sebab itu, karunia-karunia Roh Kudus tidak bisa dikotakkotakkan dan dibedakan secara kualitatif. Tidak boleh dibedakan antara karunia yang kelihatan spektakular dan natural.29 Sebab konsepsi yang demikian tak ada dalam istilah charisma. Rasul Paulus dalam pengajarannya tentang segala macam karunia Roh Kudus tak pernah membedakan atau mengistimewakan karunia tertentu. Hal ini nyata dalam uraiannya di 1Korintus 12. Ia dengan tegas menasehati para pemilik karunia yang bersifat spektakular untuk menghargai sesama orang percaya yang memiliki karunia yang kelihatannya non spektakular karena hal itu juga berasal dari Allah. Dari semua uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa istilah charisma mempunyai banyak pengertian. Hal itu tidak hanya khusus dipergunakan untuk karunia-karunia yang diberikan kepada jemaat dalam kaitan dengan pelayanan jemaat melainkan juga dipergunakan untuk semua charis Allah yang telah dinyatakan dalam karya keselamatan Kristus bagi manusia melalui Roh Kudus. 30 Sebab itu, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa charisma dan charis saling berhubungan satu dengan yang lain. Hal ini memberikan suatu pengertian bahwa Paulus mempergunakan istilah charisma untuk semua karunia Roh yang ada dalam jemaat, adalah untuk menyatakan bahwa semua karunia tersebut, yang bersifat spektakular maupun natural adalah semata-mata pemberian Allah yang diberikan kepada jemaat atas dasar kasih dan anugerah-Nya. Hal itu bukan karena usaha manusia ataupun sebagai pahala atas jasa baik manusia. 27 Bnd. Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), 315. 28 Abraham Kuyper, The Work Of The Holy Spirit (Grand Rapids: Eerdmans, 1975), 184. 29 Bnd. George A. Buttrick, The Interpreter’s Dictionary of the Bible. Vol. IV (Nashville: Abingdon Press, 1978), 435. 30 Bnd. Kurt Koch, Charismatic Gifts (Gran Rapids: The Association for Christian Evangelism, 1975), 81. Karena semua karunia itu adalah pemberian Allah di dalam kedaulatan-Nya dan bersumber dari Allah maka semua karunia Roh Kudus, yang bersifat spektakular maupun yang bersifat natural, adalah sama nilainya dan kualitasnya, tidak ada perbedaan. Yang berbeda adalah fungsinya, cara kerjanya dan penampakkannya di hadapan manusia, ada yang bersifat spektakular dan menakjubkan ada yang kelihatan non-spektakular/natural. Dorea Selain kedua istilah yang telah diuraikan di atas, rasul Paulus juga mempergunakan istilah dorea untuk karunia-karunia, ketika membicarakannya di dalam jemaat (Ef 3:7, 4:7). Istilah ini berasal dari kata doron, yang berarti suatu pemberian atau hadiah ataupun juga suatu pemberian yang sah. Dan dalam Perjanjian Baru, istilah ini digunakan khusus untuk pemberian dari Allah atau Kristus kepada manusia.31 Dalam Efesus 3:7, Paulus menyatakan bahwa jabatan dan tugasnya sebagai pelayan Injil adalah merupakan pemberian (dorean) kasih karunia Allah. Hal itu dinyatakannya untuk menekankan bahwa jabatan dan tugasnya tersebut bukan berasal dari manusia maupun dari keinginan dirinya sendiri, melainkan semata-mata dari Allah yang didasarkan atas anugerah-Nya. Alasan ini nampak dalam ayat 8-12 yang menyatakan bahwa kepada Paulus, yang paling hina di antara segala orang kudus, telah dianugerahkan kasih karunia tersebut, untuk memberitakan kepada orangorang bukan Yahudi kekayaan Kristus supaya oleh jemaat diberitahukan pelbagai ragam hikmat Allah kepada pemerintah-pemerintah dan penguasapenguasa di sorga, sesuai dengan maksud abadi yang dilaksanakan-Nya dalam Kristus Yesus. Selanjutnya, dalam 1Korintus 9:16, Paulus menyatakan bahwa tugas dan jabatan tersebut harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan tanpa pamrih, apapun resiko yang akan dihadapinya. Sebab itulah hakikat daripada karunia, yang telah Allah percayakan kepada setiap hamba-Nya.32 Sehingga dalam 1Korintus 9:16 Paulus menyatakan bahwa “Celakalah aku jika aku tidak memberitakan 31 G. Kittel, Theological Dictionary of the New Testament. Vol. II (Grand Rapids: Eerdmans, 1978), 167. 32 J.L. Abineno, Tafsiran Surat Efesus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977), 99 Injil.” Searah dengan hal itu juga dikatakan oleh Billy Graham: If I had the gift of evangelism and failed to use it, it would be a sin for me.33 Istilah yang sama dipergunakan Paulus dalam Efesus 4:7, ketika dinyatakan bahwa setiap orang percaya telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian (doreas) Kristus. Maksudnya, bahwa setiap orang percaya telah diberikan karunia-karunia Roh, menurut ukuran pemberian (doreas) Kristus. Dalam ayat 8-10 dinyatakan bahwa pemberian itu berkaitan dengan karya keselamatan Kristus bagi manusia, yaitu melalui kematian, kebangkitan dan kenaikan-Nya. Di mana Kristus, yang kepadaNya telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi oleh Allah Bapa, memberikan pemberian-pemberian (domata) kepada jemaat-Nya.34 Penggunaan istilah dorea dalam Efesus 4:7 adalah untuk menyatakan bahwa adanya segala karunia Roh di dalam jemaat, dimungkinkan karena karya keselamatan Kristus. Karunia-karunia Roh berasal dari Kristus dan Kristus sendirilah yang menentukan pemberian karunia-karunia tersebut. Sehingga tepat apa yang telah dikatakan oleh D. Martyn Lloyd Jones: “The Lord Jesus Christ is the Head of Church … is the Giver and Dispenser of all the Gifts.”35 Tujuan pemberian karunia-karunia itu, dalam kaitan dengan karya keselamatan Kristus bagi jemaat, adalah untuk memperlengkapi jemaat bagi pekerjaan pelayanan dan pembangunan jemaat, sebagai tubuh Kristus (Ef 4:11-16). Semua hal ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah dorea dalam kaitan dengan karunia-karunia Roh, adalah untuk menyatakan bahwa karunia karunia Roh adalah merupakan pemberian atau hadiah yang resmi dari Allah Bapa dan Tuhan Yesus Kristus melalui Roh Kudus, kepada setiap orang percaya. Itu dimungkinkan karena karya keselamatan Kristus di atas kayu salib dan kemenangan-Nya yang terwujud dalam kebangkitan dan kenaikkan-Nya ke surga. Karunia-karunia Roh ini dibagi-bagikan menurut kehendak-Nya. Tujuan pemberian karunia-karunia tersebut adalah bagi pelayanan dan pembangunan jemaat, sebagai tubuh Kristus. Karena 33 Billy Graham, The Holy Spirit (New York: Warner Books, 1980), 169. Bnd. R.C.H. Lenski, The Interpretation of St. Paul’s Epistle to the Galatians, the Ephesians, and to the Philippians (Minneapolis: Augsburg Publishing, 1961), 520. 35 D. Martyn Lloyd Jones, Christian Unity, An Exposition of Ephesians 4:1-16 (Grand Rapids: Baker Book House, 1980), 148. 34 itu, setiap orang percaya harus mempergunakan segala karunia yang ada padanya dengan penuh tanggung jawab, apapun konsekuensinya. Dari pembahasan ketiga istilah tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan: 1) Menurut Paulus karunia Roh adalah suatu perlengkapan atau kesanggupan khusus, yang diberikan Roh Kudus kepada setiap orang percaya ketika percaya kepada Kristus; 2) Pemberian karunia-karunia tersebut adalah menurut kasih karunia Allah yang didasarkan atas karya keselamatan Kristus. Itu bukan hasil karya dan usaha manusia atau sebagai suatu pahala atas jasa baik manusia. Itu diberi kepada setiap orang secara khusus, seperti yang dikendaki-Nya; 3) Tujuan pemberian karunia-karunia Roh adalah agar setiap orang percaya dimampukan untuk berfungsi secara efektif dalam segala kegiatan pelayanan dan pembangunan jemaat, sebagai tubuh Kristus. Dengan sasaran akhir agar setiap orang percaya mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Dengan perkataan lain adalah agar setiap orang percaya berkarakter dan berintegritas serta menampakkan diri sebagai anak Allah yang serupa dan segambar Kristus; 4) Karena itu, semua orang percaya tanpa terkecuali mempunyai tanggung jawab untuk mempergunakan karunianya bagi kepentingan jemaat dan untuk kemuliaan Allah. Karunia Roh dan Talenta atau Bakat Pada dasarnya karunia Roh tidak sama dengan talenta atau bakat. Hal ini nampak dalam pengertian talenta atau bakat itu sendiri. Menurut Webster’s New Collegiate Dictionary bahwa talenta adalah suatu kesanggupan atau kecakapan yang khusus dan luar biasa yang dimiliki oleh seseorang secara alami dan telah diwarisi sejak lahir. 36 Talenta ini nyata pada setiap orang dan mulai nampak pada masa kanak-kanak dan berkembang terus dalam sepanjang kehidupan orang tersebut. Misalnya kesanggupan untuk memainkan salah satu atau bermacam-macam alat musik dengan begitu baik dan melebihi standart kemampuan orang lain. Pengertian ini menunjukkan adanya perbedaan antara karunia dan talenta. Talenta atau bakat adalah bersifat alami sedangkan karunia bersifat rohani. H.B. Woolf, Webster’ New Collegiate Dictionary (Quezon: Phoenix Press Inc, 1973), 485. 36 Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa karunia Roh Kudus adalah suatu kesanggupan rohani, yang didasarkan pada kekuatan kuasa Allah atau sebagai suatu manifestasi dari Roh Kudus dan bukan pada diri dan kekuatan manusia secara alami. Oleh karena itu, karunia Roh Kudus mempunyai tujuan rohani, yaitu untuk kepentingan pelayanan dan pembangunan jemaat sebagai tubuh Kristus. Karunia diberikan dan dipergunakan untuk kemuliaan Tuhan. Sebagaimana karunia-karunia Roh Kudus, talenta juga adalah pemberian Allah kepada manusia, di dalam anugerah-Nya yang umum. Karena itu talenta dimiliki oleh manusia tanpa harus percaya kepada-Nya.37 Sebaliknya, karunia Roh Kudus diberikan berdasarkan kasih karunia-Nya kepada setiap orang ketika mereka percaya kepada-Nya. Sebab itu talenta dipergunakan hanya berkaitan dengan kepentingan kehidupan manusia secara umum tanpa ada hubungan dengan ketaatan kepada Allah dan demi kemuliaan-Nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ray C. Stedman : “…Talents .. are gifts on a physical or social level only, given to benefit mankind in its ‘natural’ life. Spiritual gifts, on the other hand, are given for benefit in the realm of the spirit, the realm of individual’s relationship to God.”38 Pemakaian istilah charisma yang saat ini sering dipergunakan untuk beberapa tokoh masyarakat, misalnya: Bung Karno ataupun Anwar Sadat, sebenarnya tidak sama pengertiannya dengan charisma atau karunia Roh yang dipergunakan oleh rasul Paulus. Pada dasarnya pengertian charisma untuk tokoh masyarakat adalah talenta atau bakat atau kemampuan manusia secara alamiah bukan charisma dalam pengertian karunia Roh kudus. Sebab pemakaian istilah charisma, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,39 selain dalam 1Petrus 4:10 dan sekali dalam surat Philo, hal itu dipergunakan hanya oleh rasul Paulus untuk segala macam karunia Allah yang diberikan dan dikaruniakan-Nya kepada jemaat-Nya, sebagai tubuh Kristus. Pada abad ke 19 istilah charisma, dalam pengertian bakat atau talenta, mulai dipergunakan dan dipopulerkan oleh seorang sarjana sosiologi terkenal dari Jerman yang bernama Max Weber, bagi setiap 37 38 39 Bnd. Wagner, Your Spiritual Gifts Can Help..., 86. Ray C. Stedman, Body Life (California: Regal Book Division, 1973), 54. Bandingkan uraian tentang pengertian istilah Charisma. pemimpin masyarakat yang berbakat dan menonjol keistimewaan bakatnya dibandingkan dengan setiap anggota masyarakat pada umumnya. 40 Tidak dapat dipungkiri bahwa pada satu segi talenta atau bakat berbeda dengan karunia Roh Kudus, tetapi di lain segi pada tingkat dan peristiwa tertentu keduanya memiliki hubungan satu dengan yang lain. Setiap talenta dari setiap orang dapat diubah oleh Allah menjadi karunia, ketika orang tersebut percaya kepada-Nya. Misalnya, kemampuan mengajar Paulus yang di dapat dari hasil pendidikannya melalui guru besar Gameliel mempunyai hubungan erat dengan karunia mengajar dalam pelayanannya kemudian hari. Demikian juga semua pengalaman hidup Paulus selama di kota Tarsus yang mempunyai penduduk yang multi nasional dan kebudayaan hellenistis, mempunyai hubungan erat dengan karunia rasuli yang ia terima kemudian.41 Sehingga ada banyak pendapat, antara lain seperti yang dikemukakan oleh Peter Wagner, bahwa setiap karunia Roh Kudus yang diberikan Allah kepada orang percaya hampir senantiasa searah dengan talenta yang dimilikinya. 42 Walaupun demikian hal itu tidak senantiasa harus terjadi dan berlangsung seperti itu. D. Scheunemann menyatakan sebagai berikut: Salah satu hal yang mengherankan dalam kegerakan kebangunan rohani di Timor orang-orang buta huruf yang melalui perlengkapan dari Roh Kudus menjadi pemberita Firman Tuhan yang penuh kuasa, yang meletakkan tangan mereka atas orang sakit dan dalam nama Yesus menyembuhkan mereka, yang dengan nama Yesus juga melepaskan orang dari ikatan okultisme; dan mengusir roh-roh jahat, serta memimpin orang-orang percaya masuk dalam kemerdekaan anak-anak Tuhan. Petani-petani yang sederhana itu menghafal ayatayat Alkitab yang sering mereka terima secara langsung dari Tuhan. Kemudian mereka memberitakan Injil melalui ayat-ayat itu ….43 Dengan demikian, karunia-karunia yang diberikan kepada orang percaya sewaktu-waktu searah dengan talenta yang dimiliki, tetapi sewaktuwaktu tidak. Ia bisa diberikan Allah kepada mereka yang sama sekali tidak bertalenta sebagaimana kesaksian tersebut diatas. 40 41 42 Bnd. Wagner, Your Spiritual Gifts..., 86. D. Scheunemann, Sungai Air Hidup (Batu: YPPII, 1979), 87. Leelie B. Flynn, 19 Gifts of the Spirit (Wheaton: Victor Books, 1980), 23. 43 Scheunemann, Ibid., 87. Satu hal yang perlu disadari bahwa menerima karunia Roh Kudus dari Tuhan, tidak berarti menghilangkan tanggung jawab untuk memperlengkapi diri dengan pengetahuan umum maupun pengetahuan tentang kebenaran Firman Tuhan. Sebab Tuhan tidak pernah bermaksud agar orang percaya hidup seperti robot tanpa bertanggung jawab mengembangkan potensi yang sudah ia miliki. Oleh karena itu, menerima karunia-karunia seperti mengajar, memberitakan Injil ataupun menggembalakan jemaat, tidak berarti menghilangkan kemungkinan untuk belajar atau dipersiapkan dalam pendidikan teologi. Rasul-rasul di Yerusalem yang merupakan dasar berdirinya Gereja mula-mula yang penuh dengan segala hikmat dan pengetahuan, masih membutuhkan pengertian dari rasul Paulus tentang tidak perlunya jemaat yang non Yahudi untuk disunat dan melaksanakan berbagai peraturan hukum Torat (bnd. Kis 15:121; Gal 2:1-9). Sebaliknya, rasul Paulus belajar dari rasul-rasul di Yerusalem tentang pentingnya pelayanan kepada orang-orang miskin (bnd. Gal 2:10). Jemaat di Korintus yang tidak kekurangan satu karunia Roh, masih perlu dibimbing oleh Paulus untuk hidup menurut kebenaran Firman Tuhan (bnd. 1Kor). Demikian juga Apolos, seorang yang fasih berbicara dan sangat mahir dalam soal-soal Kitab Suci masih membutuhkan bimbingan dan pengetahuan dari Priskila dan Akwila (bnd. Kis 18:24-26).44 Dengan demikian, menerima karunia Roh Kudus dari Tuhan tidak berarti telah menjadi sempurna dalam segala hal, khususnya dalam kaitan dengan karunia itu sendiri. Karunia Roh dan Panggilan Tuhan Dalam Efesus 2:10, rasul Paulus menyatakan bahwa setiap orang percaya yang diciptakan di dalam Kristus, mempunyai suatu tujuan yaitu untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan oleh Allah sebelumnya. Berarti setiap orang percaya dipanggil oleh Allah tidak hanya untuk menerima keselamatan dan hidup dalam persekutuan dengan-Nya. Percaya dan masuk dalam persekutuan dengan Allah berarti ikut serta terlibat aktif dalam karya penyelamatan Allah atau Missio Dei bagi dunia ini. Jadi setiap orang percaya harus berfungsi dan berperan aktif di dalam segala kegiatan 44 Scheunemann, Sungai Air..., 87. pelayanan jemaat. Untuk dapat melaksanakan fungsi tersebut, setiap orang percaya diberikan atau diperlengkapi dengan karunia-karunia Roh Kudus minimal satu karunia, sesuai dengan kehendak Tuhan (bnd. Rm 12:3-6; 1Kor 12:7,11; Ef 4:7,16). Searah dengan hal ini, Peter Wagner menyatakan bahwa “Allah tidak memberi karunia-karunia lalu tidak ‘memanggil’ si penerima untuk menggunakannya; demikian juga Ia tidak memanggil orang untuk melakukan sesuatu tanpa memperlengkapi orang itu dengan karunia atau karunia-karunia yang perlu untuk melakukan tugas itu.”45 Karunia-karunia tersebut diberikan bukan untuk dipergunakan bagi kepentingan diri sendiri. Karunia-karunia Roh Kudus tidak direncanakan untuk orang-orang yang suka bekerja sendirian.46 Demikian juga, karuniakarunia itu diberikan bukan supaya terjadi persaingan dan pertentangan rohani di antara setiap orang percaya (bnd. 1Kor 1:12; 12:14-21). Ia tidak diberikan untuk mengagungkan karunia tertentu di atas karunia-karunia yang lain. Allah tidak pernah merancangkan karunia tertentu menjadi suatu kebesaran rohaniah di beberapa kelompok tertentu dan menjadikan mereka tingkatan kelas yang berbeda, kelas elite rohani, kemudian meremehkan kelompok lain dalam jemaat seperti yang terjadi di dalam jemaat Korintus. Karunia Roh Kudus diberikan Allah untuk dipergunakan bagi kepentingan jemaat bersama dan untuk kemuliaan Allah. Setiap orang percaya mempunyai tanggung jawab atas panggilan pelayanan yang telah diberikan oleh Kristus kepada jemaat. Setiap orang percaya adalah pelayan-pelayan Allah, tidak ada yang bukan pelayan Tuhan, karena semuanya telah dipanggil dan mendapat bagian di dalam diakonat Kristus. 47 Mereka dipanggil untuk bertumbuh bersama, melayani sesama dan saling berbagi kasih diantara sesama karena mereka adalah umat Allah, anggota keluarga Allah dan warga Kerajaan Allah, yang dipanggil untuk menjadi terang bagi sesama. Selanjutnya, menurut rasul Paulus bahwa setiap orang percaya mempunyai panggilan dan karunianya yang berbeda-beda. Tiap-tiap orang mendapat suatu tugas pelayanan tersebut. Karena itu juga maka masing45 Peter Wagner, Manfaat Karunia Roh Untuk Pertumbuhan Gereja (Malang: Gandum Mas, 1987), 40. 46 Ibid., 42. 47 Bnd. J.L.Ch. Abineno, Djemaat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1965), 100. masing orang percaya mempunyai tanggung jawab yang berbeda-beda (bnd. Rm 12:3-8; 1Kor 7:7, 12:29-30). Karena tanggung jawab berbedabeda, maka tidaklah benar bilamana ada orang percaya yang melepaskan tanggung jawabnya dalam pelayanan ataupun mewakilkan pelayanannya serta karunia-karunia yang ada pada mereka kepada saudaranya seiman yang lain.48 Hal itu adalah mustahil. Demikian juga, tidaklah benar berdalih bahwa mereka hanya memiliki karunia tertentu dan berkosentrasi pada pelayanan tertentu sehingga tidak mau melakukan tugas dan tanggung jawab lainnya, yang dipercayakan kepadanya. Kepercayaan tersebut harus dihargai dan diwujudkan dengan keyakinan akan pertolongan Tuhan dan kemungkinan pemberian perlengkapan tambahan dari Allah sesuai dengan kebutuhannya. Walaupun demikian, setiap orang percaya tidak dapat dipaksakan untuk melakukan tugas dan tanggung jawab dari saudaranya seiman atau setiap orang percaya tidak harus memaksakan dirinya untuk melakukan tugas dan tanggung jawab yang bukan menjadi panggilannya. 49 Hal itu tidak akan terlaksanakan secara efektif bahkan mungkin dapat mengganggu kelancaran jalannya pelayanan dan perkembangan jemaat. Dalam membicarakan tentang karunia-karunia Roh dalam jemaat Korintus, Paulus memakai metapora tubuh manusia. Dalam tubuh yang normal, setiap anggota berfungsi sesuai dengan fungsinya yang telah ditentukan Allah. Kaki berfungsi untuk menopang tubuh dan berjalan; mata untuk melihat; mulut untuk mencicipi dan memakan makanan; telinga untuk mendengar dan tangan untuk melakukan atau mengambil sesuatu. Semuanya berjalan secara proposional supaya tubuh dapat bertumbuh sehat. Tidak mungkin fungsi mata didelegasikan kepada kaki atau sebaliknya. Demikian juga tidak mungkin tangan berfungsi untuk mendengar menggantikan telinga. Hal ini mustahil karena akan mengacaukan fungsi anggota tubuh sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah. Demikian juga dengan karunia Roh Kudus. Tidak dapat disangkal bahwa setiap orang percaya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam hal-hal yang khusus dimana ia sangat dibutuhkan untuk suatu bidang pelayanan yang bukan merupakan panggilannya, di mana ia tidak memiliki karunia dalam bidang tersebut, 48 Bnd. J.L.Ch. Abineno, Sekitar Theologia Praktika. I (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), 102. 49 Bnd. Wagner, Your Spiritual Gifts..., 66. maka Tuhan akan memberikan kemampuan atau karunia baginya untuk melaksanakan pelayanan tersebut. Sebab itu, bilamana seseorang ditugaskan untuk melakukan suatu tugas yang tidak sesuai dengan karunianya dan ia tidak mampu menolaknya, ia perlu berdoa kepada Tuhan agar ia diberikan kemampuan dan karunia untuk bisa dapat melakukan tugas tersebut. Dengan demikian, ia bisa berfungsi seperti yang diharapkan oleh lembaga yang menugaskannya dan nama Tuhan dipermuliakan dalam tugas dan tanggung jawab tersebut. Berbagai Macam dan Fungsi Karunia Roh Sebagai tubuh Kristus, jemaat adalah persekutuan orang-orang percaya, yang telah dipanggil dan dibenarkan Allah untuk menjadi milikNya. Tujuan panggilan dan pembenaran Allah tersebut adalah untuk kemuliaan Allah. Oleh karena itu, seluruh kehidupan dan aktifitas jemaat di tengah-tengah dunia ini harus senantiasa dihubungkan dengan kemuliaan bagi Allah. Yaitu, dengan mengembangkan persekutuan jemaat dengan Allah dan sekaligus mengembangkan pelayanan jemaat bagi kemuliaan Allah. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan, karena saling berhubungan satu dengan yang lain. Jemaat tidak dapat memuliakan Allah di dalam pelayanannya kalau jemaat tidak hidup dalam persekutuan dengan Allah. Demikian juga sebaliknya, jemaat tidak mungkin menyatakan diri memiliki persekutuan dengan Allah tetapi tidak melayani.50 Dengan kata lain, jemaat dalam kehidupannya harus bertumbuh dalam dua segi, yaitu segi kualitatif dan segi kuantitatif. Ia harus bertumbuh secara rohani dan bertumbuh secara jumlah. Untuk mewujudkan kedua pertumbuhan jemaat tersebut, jemaat tidak sanggup untuk melaksanakannya dengan kemampuannya sendiri. Karena itu, Allah memberikan karunia-karunia Roh kepada setiap anggota jemaat, sesuai dengan kehendakNya. Karena pelayanan rohani adalah pelayanan Allah. Demikian juga “pertumbuhan jemaat adalah karya Allah”51 dan bukan karya manusia. 50 Bnd. Hatman & Sutherland, Pedoman Pemuridan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976), 35. 51 1977), 135. J.L.Ch. Abineno, Tafsiran Surat Efesus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, Ada empat daftar mengenai karunia-karunia Roh yang dikemukakan oleh rasul Paulus dalam surat-suratnya, yaitu dalam Roma 12:6-8; 1Korintus 12:8-10; 28-30 dan Efesus 4:11. Bilamana diperhatikan akan isi daftar-daftar karunia-karunia Roh tersebut, ternyata tidak ada daftar yang menguraikan secara lengkap jumlah keseluruhan karunia Roh. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa rasul Paulus, ketika membicarakan karunia-karunia Roh yang ada dalam jemaat, tidak pernah memberikan suatu kepastian mengenai jumlah seluruh karunia Roh yang telah diberikan Allah kepada jemaat.52 Ia juga tidak menginformasikan mengenai jenis-jenis karunia-karunia Roh Kudus secara sistematis. Rasul Paulus sangat menekankan keanekaragaman dari karunia-karunia Roh Kudus dalam Gereja sebagai tubuh Kristus (bnd. Rm 12:6; 1Kor 12:4). Keanekaragaman karunia tersebut bertujuan akan pentingnya keharmonisasi karunia-karunia tesebut dalam jemaat sebagai tubuh Kristus.53 Sebab itu, jumlah keseluruhan karunia Roh yang telah disebut oleh rasul Paulus dalam Roma 12:6-8; 1Korintus 12:8-10, 28-30; Efesus 4:11 bersama karunia melajang yang disebut dalam 1Korintus 7:7, bukanlah merupakan suatu jumlah keseluruhan dari karunia-karunia Roh yang telah diberikan Allah kepada jemaat-jemaat-Nya. In the Scriptures of the New Covenant we find different lists of the ‘gifts’ bestowed upon His church by the risen and glorified Lord. It has often been pointed out that no two of these lists are exactly alike. There is deep suggestiveness and great beauty in this fact. We are all strangely prone to mechanism, and are too fond of tabulating and stating systematically even the things of God. There would have been some sort of satisfaction in having an exhaustive list of His gifts. Yet how sad would it have been, for inevitably we should have spent much time in seeking to place each other by our gifts, or pitying such as seemed to possess none. The gifts were never tabulated exhaustively because they cannot be exhausted; and while today some of the earliest are not found, many new and precious ones are ours.54 52 Wayne Grundem, Systematic Theology, An Introduction to Biblical Doctrine (Leicester: InterVarsity Press, 1994), 1090-1091. 53 Ridderbos, Herman., Paul An Outline Of His Theology (Grand Rapids: Eerdmans, 1975), 446-447. 54 G. Campbell Morgan, dalam Leslie B. Flynn, 19 Gifts Of The Spirit (Wheaton: Victor Books, 1980), 30. Oleh karena itu, karunia-karunia Roh tidak hanya terbatas pada segala karunia Roh yang telah disebutkan oleh Paulus, baik yang bersifat spektakular maupun bersifat natural, tetapi juga mencakupi segala talenta atau bakat dan kecakapan orang percaya yang telah dan yang akan dipergunakan serta diubah oleh Allah sebagai karunia Roh. Sehingga segala karunia Roh yang telah Paulus sebutkan hanya merupakan contoh-contoh dari segala karunia Roh yang telah dan yang akan diberikan oleh Allah kepada jemaat. Yang menarik dalam daftar karunia-karunia Roh Kudus yang Paulus sebut, urutan dan isinya sangat berbeda dan bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa Rasul Paulus ingin menegaskan bahwa Roh Kudus ketika menganugerahkan karunia-karunia tersebut kepada setiap jemaat atau anggota jemaat, Ia bertindak dengan cara yang bebas dan beranekaragam sesuai dengan kedaulatan dan kehendak-Nya sendiri bukan kehendak manusia.55 TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PANDANGAN NEO PENTAKOSTA TENTANG KARUNIA SPEKTAKULAR Dalam bagian ini penulis akan membahas tentang siapa itu NeoPentakosta dilihat dari latarbelakang sejarahnya dan bagaimana pandangan Neo Pentakosta tentang karunia-karunia, secara khusus karunia Spektakular yang dihubungkan dengan Baptisan Roh Kudus sebagai syarat mutlak untuk menerima karunia Roh. Kemudian penulis akan meninjaunya secara teologis pandangan tersebut. Sejarah Singkat Neo-Pentakosta Neo Pentakosta atau Pentakosta Baru atau yang dikenal sebagai Gerakan Kharismatik, adalah gerakan orang Kristen yang mengutamakan Baptisan Roh Kudus dan karunia-karunia spektakular, secara khusus karunia berbahasa roh. Penganut-penganutnya, pada mulanya terdapat di 55 Bnd. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 201. hampir semua Gereja tradisional,56 kemudian membentuk kelompok tersendiri. Gerakan ini muncul sekitar tahun 1960 dimulai pertama kali di Gereja-gereja Amerika, karena pada saat itu orang-orang mendambakan kehidupan rohani lebih intim dalam hal perasaan kepada Allah. 57 Pendeta Dennis Bennett, dari Gereja Episkopal St. Markus, disebut-sebut sebagai tokoh munculnya Gerakan Neo Pentakosta atau Kharismatik. Lewat kesaksiannya tentang pengalaman menerima kuasa dan Baptisan Roh, termasuk karunia berbahasa roh, menggoncangkan jemaat tersebut serta mempengaruhi beberapa jemaat Episkopal. Pengaruh ini mulai di kota Los Angeles, California kemudian di kota Seattle, negara bagian Washington. Terobosan awal mulai dari Gereja Episkopal mulai meluas pengaruhnya ke Gereja Protestan arus utama lainnya, yaitu Metodis, Lutheran, Presbyterian dan Mennonit.58 Gerakan ini merupakan perkembangan dari Gerakan Pentakosta sehingga garis besar ajarannya sama dengan ajaran Pentakosta.59 Yang membedakan antara Neo-Pentakosta dengan Gerakan Pentakosta adalah Gerakan Pentakosta cendrung membentuk denominasi tersendiri sedangkan Neo-Pentakosta atau Kharismatik tersebar di banyak denominasi Gereja termasuk Katolik. Untuk membedakan dari Gerakan ini dari Gerakan Pentakosta yang lama, maka ia biasanya disebut Gerakan Pentakosta Baru.60 Selanjutnya, menurut Abineno bahwa timbulnya Gerakan Pentakosta Baru atau Gerakan Kharismatik disebabkan oleh berbagai hal, baik karena keadaan di masyarakat, juga masalah di Gereja dan theologianya. Oleh keadaan letih menghadapi hal tersebut terciptalah kemungkinan dan ruang untuk timbulnya rupa-rupa hal dalam Gereja. Salah satunya adalah Gerakan Kharismatik.61 Gerakan ini merupakan suatu gerakan yang penuh dinamika, dan merupakan suatu kekuatan baru dalam sejarah kehidupan Gereja sejak tahun 1960. 56 Rudy Budiman, Menentukan Sikap Terhadap Gerakan Kharismatik, dalam Gerakan Kharismatik, Apa Itu? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 170. 57 J. Stephen Lang, 1001 Hal yang Ingin Anda Ketahui Tentang Roh Kudus (Jakarta: Immanuel, 2002), 259. 58 Jan Aritonang, Berbagai Aliran Di dalam Dan Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 202-204. 59 Budiman, Menentukan Sikap Terhadap Gerakan..., 171. 60 J.L. Ch. Abineno, Gerakan Pentakosta Dan Gerakan Pentakosta Baru, dalam Gerakan Kharismatik, Apa Itu, (Jakarta: BPK Gunung Agung, 1980), 281. 61 Ibid., 290-292. Tujuan utama dari Neo-Pentakosta atau Gerakan Kharismatik adalah untuk menghidupkan kembali semangat Perjanjian baru jemaat Kristen yang mula-mula, sebagaimana yang diberitakan dalam Kisah Para Rasul.62 Mereka ingin memberikan kepada orang percaya suatu penghayatan baru dari peristiwa Pentakosta. Penghayatan iman yang intensif disertai dengan rupa-rupa karunia spektakular, terutama berbahasa Roh. Hal ini sering dihubungkan dengan apa yang dikenal sebagai Baptisan Roh Kudus.63 Pandangan Neo-Pentakosta Karunia Roh Dan Baptisan Roh Kudus Menurut pengajaran Neo-Pentakosta/Kharismatik, pengalaman baptisan Roh adalah merupakan suatu pengalaman yang berbeda dan tidak sama dengan pekerjaan Roh Kudus di dalam proses kelahiran baru, yang menjadikan seseorang bertobat dan percaya kepada Kristus untuk menerima keselamatan.64 Pandangan ini misalnya nampak dalam penguraian dari salah seorang pemimpin dari gerakan ini, L. Christenson, Pendeta dari Gereja Trinity Lutheran di California. Dalam bukunya Speaking in Tongues ia menyatakan sebagai berikut: “Beyond conversion, beyond the assurance of salvation, beyond having the Holy Spirit, there is a baptism with the Holy Spirit.”65 Hal yang sama dikemukakan oleh Don Basham, dalam bukunya A Handbook on Holy Spirit Baptism ketika menjawab pertanyaan tentang 62 Homan Rubyono, Dari Baptisan Roh Menuju Kepenuhan Roh (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999), 17. 63 John F. MacArthur, Jr., The Charismatics, A Doctrinal Perspective (Grand Rapids: Zondervan, 1978), 13. 64 Bnd. Bina Oikoumene no: 3, Gerakan Pentakosta dan Baptisan Dengan Roh (Jakarta: Dept. Keesaan Dan Kesaksian DGI, t.t.), 6; Rubyono, Ibid, 30; Rudy Budiman, Menentukan Sikap Terhadap Gerakan Kharismatik, Dalam Gerakan Kharismatik, Apakah itu? ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 174. 65 L. Christenson, Speaking in Tongues (Minneapolis: Dimension Books, 1975), 37 apakah penting baptisan Roh Kudus bagi keselamatan, ia menjawab sebagai berikut: No, baptism in the Holy Spirit is not essential for salvation. Salvation, or conversion, or the acceptance of Christ as Lord and Savior is a separate, prior experience. Millions of Christians who love and serve Jesus Christ as Savior have not received the baptism in the Holy Spirit. The New Testament makes it plain that baptism in the Holy Spirit is a second work of grace which follows conversion.66 Oleh karena itu, bagi gerakan Kharismatik, pengalaman baptisan Roh Kudus adalah merupakan suatu pengalaman yang kedua atau the second blessing bagi setiap orang percaya. Sehingga tidak semua orang percaya mengalami akan hal tersebut, melainkan hanya kepada mereka yang sungguh-sungguh mau mencari dan mengharapkannya dengan iman.67 Dengan kata lain, hanya mereka yang mempunyai taraf iman yang lebih ‘sempurna’ yang akan menerima dan mengalami Baptisan Roh. Neo-Pentakosta membedakan antara karya permulaan Roh Kudus, dalam proses kelahiran baru dengan karya Roh Kudus yang dianggap ‘sempurna’ dalam Baptisan Roh kudus, yaitu karena dalam Baptisan Roh Kudus nyata sekali pengalaman orang percaya mengalami kekayaan rohani dan kuasa Allah. Dalam Baptisan Roh kudus, orang percaya mengalami kuasa dan kelimpahan karunia-karunia Roh Kudus, dan manifestasi pertama dari kenyataan itu adalah menerima karunia berbahasa Roh. Dengan demikian, syarat utama bagi setiap orang percaya untuk menerima karuniakarunia Roh Kudus adalah harus mengalami Baptisan Roh Kudus. Dasar pandangan gerakan Kharismatik mengenai hal tersebut adalah pengalaman orang-orang percaya yang disaksikan oleh kitab Kisah Rasul.68 Searah dengan hal ini, Abineno menyatakan, “Kitab ini, menurut mereka, 66 Don Basham, A Handbook on Holy Spirit Baptism (Monroeville: Whitaker Books Publisher, 1973), 15. 67 Bnd. Robert Dalton, Tongues Like As of Fire, 70, dalam Kohn F. MacArthur, Jr., The Charismatics, A Doctrinal Perspective (Grand Rapids: Zondervan, 1980), 119. 68 Bnd. Frederick Dale Bruner, A Theology of the Holy Spirit (Grand Rapids: Eerdmans,1970), 61. adalah kunci untuk mengerti segala sesuatu yang dikatakan oleh Perjanjian Baru tentang ajaran itu.”69 Pengalaman-pengalaman orang percaya yang dimaksud adalah: pertama, mereka menunjuk kepada pengalaman 120 murid Tuhan Yesus, yang di dalamnya termasuk para Rasul Yesus. Ke-120 murid Yesus ini sudah menjadi murid Yesus dan sudah menerima Roh Kudus, tetapi Yesus masih memerintah mereka untuk menantikan janji Bapa, yaitu untuk menerima baptisan Roh Kudus. On the day of Christ’s ascension, every one of the Apostles could have made the same confession: “I believe on the Lord Jesus. I’m saved. I’m going to heaven. I have the Holy Spirit (see John 20:22)”. Yet charged them “not to depart from Jerusalem, but to wait for the promise of the Father, which, he said, ‘you heard from me, for John baptized with water, but before many days you shall be baptized with the Holy Spirit.’70 Kemudian, mereka menunjuk kepada orang Kristen di Samaria, yang dikemukakan dalam Kisah Rasul 8:12-17. Dikatakan dalam ayat 12 bahwa mereka telah percaya dan memberi dirinya dibaptis. Tetapi dalam ayat 16 dinyatakan bahwa Roh Kudus belum turun atas mereka, karena hanya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Saat Petrus dan Yohanes berdoa dan menumpangkan tangan, maka mereka menerima Roh Kudus (ay. 15, 17). Selanjutnya, dikemukakan mengenai pengalaman keluarga Kornelius dan sahabat-sahabatnya. Dalam Kisah Para Rasul 10:2, dikatakan bahwa Kornelius beserta keluarganya adalah orang yang takut akan Allah dan senantiasa berdoa kepada Allah. Namun demikian, mereka baru menerima baptisan Roh Kudus setelah mendengar pemberitaan Petrus, yang membawa mereka untuk beriman kepada Kristus. Yang terakhir, yang paling diandalkan oleh gerakan ini untuk membuktikan akan pentingnya pengalaman baptisan Roh dan yang hanya dialami oleh mereka yang sungguh beriman kepada Kristus, adalah Kisah Rasul 19:1-6. Dinyatakan dalam ayat-ayat tersebut bahwa Paulus bertemu dengan 12 murid yang telah dibaptis dengan baptisan Yohanes, baptisan pertobatan, namun belum memiliki Roh Kudus. Setelah mendengar J.L.Ch. Abineno, “Gerakan Pentakosta dan Baptisan dengan Roh.” dalam Bina Oikumene No. 3 (Jakarta Pusat: Departemen Keesaan dan Kesaksian DGI, 1978), 13. 70 Christenson, Speaking In Tongues..., 37. 69 pemberitaan Paulus tentang Kristus dan dibaptis dalam nama Tuhan Yesus, baru Roh Kudus turun ke atas mereka dan mereka mengalami baptisan Roh Kudus, yang ditandai dengan berkata-kata dalam bahasa roh dan bernubuat. Melalui beberapa kesaksian tersebut di atas, gerakan NeoPentakosta/Kharismatik mengambil kesimpulan bahwa pengalaman baptisan Roh, adalah merupakan suatu pengalaman kedua dan berbeda dengan pengalaman ketika percaya kepada Kristus dan menerima keselamatan-Nya. Hal ini makin jelas nampak dari pernyataan Ariel Edvardsen sebagai berikut: Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Kelahiran Baru dan Baptisan Roh merupakan dua pengalaman yang berbeda......Jika kita akan DIPENUHI ATAU DIBAPTIS OLEH ROHULKUDUS maka kita pertama-tama harus DILAHIRKAN OLEH ROHULKUDUS. Dan mujizat Kelahiran Baru berlaku ketika kita bertobat lalu kemudian juga dapat dibaptis dengan Rohulkudus... Di sini kita melihat bahwa pertama-tama PERTOBATAN dan barulah setelah pertobatan ada Baptisan Rohulkudus.” 71 Alasan mengapa mereka sangat menekankan pengalaman baptisan Roh, antara lain nampak dalam uraian Don Basham berikut ini: Essentially, baptism in the Holy Spirit is a doorway leading from a natural realm into a supernatural realm of life and experience. The average Christians, although truly professing Christ, operates largely on his own power, making his own decisions, living by his own strength, and controlling his own life. But through the baptism in the Holy Spirit the Christian steps out of this natural realm into a realm where he can begin to experience the supernatural gifts and powers of God’s Holy Spirit.72 Hal yang sama dikemukakan oleh Robert C. Frost bahwa “We must also know Him, however, as our personal Baptizer if ‘power’ of God’s Spirit is to find full expression in our lives.”73 Bagi gerakan Kharismatik baptisan Roh Kudus sangat dibutuhkan untuk dapat menerima kepenuhan kuasa Roh Kudus dan karunia-karunia71 Ariel Edvardsen, Baptisan Dan Karunia Rohulkudus (Jakarta: Immanuel, t.t.), 22. 72 Basham, A Handbook On Holy..., 4. Robert C. Frost, Aglow with the Spirit, dikutip dari Anthony A. Hoekema, Holy Spirit Baptism (Grand Rapids: Eerdmans, 1972), 12. 73 Nya, sehingga memungkinkan seseorang siap untuk menunaikan tugasnya di bidang kesaksian dan pelayanan bagi kemuliaan Allah.74 Dengan kata lain, tanpa pengalaman baptisan Roh tidak mungkin seseorang dapat menerima kuasa Roh Kudus dan karunia-karunia Roh Kudus, sebagai perlengkapan di bidang kesaksian dan pelayanan. Ajaran ini menimbulkan suatu pengertian yang baru dalam penumatologi bahwa hanya orang-orang yang telah mengalami karya Roh kudus yang ‘sempurna’ dalam baptisan Roh, mengalami second blessing yang memiliki karunia-karunia Roh, karena karunia-karunia Roh diterima melalui baptisan Roh.75 Berarti tidak semua orang percaya menerima dan memiliki karunia-karunia Roh bilamana mereka baru mengalami ‘karya permulaan’ Roh kudus, yaitu kelahiran baru. Karunia Roh dan Kualitasnya Kecenderungan untuk membeda-bedakan dan mengutamakan beberapa karunia-karunia Roh tertentu, sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan jemaat di Korintus, nampak dalam pandangan gerakan NeoPentakosta/Kharismatik. Menurut pandangan gerakan ini, karunia-karunia Roh yang diberikan Allah kepada orang percaya atau jemaat, hanya sebatas sembilan macam karunia Roh.76 Yaitu, kesembilan macam karunia Roh yang disebutkan rasul Paulus dalam 1Korintus 12:8-10 : Karunia untuk berkatakata dengan hikmat, karunia untuk berkata-kata dengan pengetahuan, karunia iman karunia penyembuhan, karunia mujizat, karunia bernubuat, karunia berkata-kata dengan bahasa roh, dan karunia untuk menafsirkan bahasa roh. Bnd. Abineno, “Gerakan Pentakosta dan Baptisan...,” 3. Bnd. Bridge & David Phypers, Karunia-karunia dan…, 120. 76 Bnd. J.L.Ch. Abineno, Karunia-karunia Roh Kudus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 9, 12; Budiman, Menentukan Sikap Terhadap..., 179; Christenson, Speaking In Tongues..., 114,117; Howard M. Ervin, These are not Drunken as Ye Suppose (Plainfiel, N.J: Logos International, 1968), 216; Kevin and Dorothy Ranagham, Catholic Pentecostals (Paramus, N.J.: Paulist Press, 1969), 160. 74 75 Dan karena Allah telah memberikan Rohulkudus kepada setiap Gereja setempat maka kesembilan karunia itu bekerja sepenuhnya di dalam setiap Gereja itu. Pendeta T.B. Barratt yang terkenal mengatakan:’ Kita harus mengambil kesembilan’ karunia di dalam I Korintus 12, mencelupkannya di dalam pasal 13 (kasih) lalu menerapkannya seperti di dalam pasal 14’. Inilah maksud Allah dengan karunia-karunia Roh itu. Setiap Gereja yang berhadap untuk mengalami dan hidup di dalam kegerakan Perjanjian baru yang kini sedang berlangsung, haruslah mempersilahkan kesembilan karunia Roh itu bekerja di dalam Gereja. Bila karunia-karunia ini bekerja di dalam Gereja anda maka anda akan kembali kepada kegerakan rohani kerasulan, Kegerakan Karunia Rohani. 77 Dari antara kesembilan karunia Roh Kudus tersebut, karuniakarunia Roh Kudus yang bersifat spectacular dianggap sebagai karuniakarunia yang paling penting.78 Khusus karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, untuk hampir seluruh tokoh gerakan Kharismatik mempunyai pandangan bahwa hal itu mutlak harus dimiliki oleh setiap orang percaya, sebagai bukti pengalaman baptisan dengan Roh Kudus. 79 Pandangan mengenai hal tersebut, antara lain nampak dalam jawaban Don Basham, ketika ditanya mengenai “apakah mungkin seseorang menerima baptisan dengan Roh Kudus tanpa berkata-kata dengan bahasa Roh?” Ia menjawab sebagai berikut: So we must admit that the baptism in the Holy Spirit can be received without the manifestation of tongues, but we encourage no one to seek the baptism without expecting tongues. Both our understanding of spiritual gifts and our willingness to receive then affect what gifts and manifestations will appear. SOMETHING IS MISSING IN YOUR SPIRITUAL LIFE IF YOU HAVE RECEIVED THE HOLY SPIRIT YET HAVE NOT SPOKEN IN TONGUES... We encourage everyone seeking to be filled with this Holy Spirit to seek the baptism on scriptural terms, fully expecting to speak in tongues when they receive.80 77 Edvardsen, Baptisan Dan Karunia..., 11. Bnd. Abineno, Karunia-karunia Roh..., 9. 79 Bnd. Anthony A. Hoekema, What About Tongue-Speaking (Grand Rapids: Eerdmans, 1966), 48. 80 Basham, A Handbook On Holy..., 63-64. 78 Pandangan yang sama dikemukakan oleh Rev. Edwin B. Stube, Direktur dari Blessed Trinity Society sebagai berikut: In the New Testament, the standard sign or evidence of the baptism of the Holy Spirit is that of speaking with other tongues as the Spirit given utterance…. It is clearly God’s intention that all believers should receive the Baptism of the Holy Spirit with the sign which the New Testament indicates (namely, the sign of tongue-speaking).81 Menurut Rudy Budiman, bahwa kecenderungan dari gerakan Kharismatik untuk mengutamakan kesembilan karunia yang disebutkan dalam 1Korintus 12:8-10 dan membedakannya dari karunia-karunia Roh yang lain, yang Paulus sebutkan dalam 1Korintus 12:28; Roma 12:6-8 seperti karunia melayani, karunia memimpin, karunia mengajar, karunia menasehati, membagi-bagikan sesuatu, kemurahan; antara lain karena di dalam penampilan kesembilan karunia tersebut, bersifat supranatural dan nampak sekali kuasa ajaib yang bekerja. Sebaliknya, karunia-karunia yang lain yang bersifat natural, tidak ada hal-hal yang luar biasa di dalam penampilannya, yang membuktikan akan adanya pekerjaan-pekerjaan kuasa ajaib.82 Implikasinya, segala karunia Roh Kudus yang di dalamnya tidak menampakkan keajaiban Tuhan atau yang bersifat supra-natural, dianggap kurang bernilai atau bukan karunia Roh. Segala karunia yang di dalamnya nampak keajaiban Tuhan atau bersifat supra-natural, itulah karunia Roh Kudus. Karena itu, kesembilan karunia yang disebut dalam 1Korintus 12:8-10, dianggap lebih tinggi atau lebih berkualitas daripada karuniakarunia Roh yang lain. Karena ia bersifat supranatural dan sepktakular, yang lain bersifat natural dan non spektakular. Tinjaun Teologis Terhadap Pandangan Neo-Pentakosta Karunia Roh dan Baptisan Roh Dalam Perjanjian Baru, istilah baptisan Roh Kudus atau dibaptis dengan Roh Kudus, dipergunakan sebanyak 7 kali. 5 kali dipergunakan dalam bentuk nubuatan yang berkaitan dengan janji Allah mengenai 81 82 Edwin B. Stube, dalam Anthony A. Hoekema, Ibid., 46-47. Budiman, Menentukan Sikap Terhadap..., 224-225. baptisan dengan Roh Kudus yang akan dilaksanakan oleh Kristus bagi setiap orang percaya: 4 kali berkaitan dengan ucapan Yohanes Pembaptis dan 1 kali diucapkan oleh Kristus sendiri sebelum peristiwa Pentakosta. (Mat 3:11; Mrk 1:8; Luk 3:16; Yoh 1:33; Kis 1:5). Satu kali dipergunakan oleh rasul Petrus di dalam Kisah Rasul 11:16, ketika memberikan laporan kepada saudara-saudara seiman di Yerusalem, tentang pengalaman keluarga Kornelius dan sahabat-sahabatnya menerima baptisan Roh Kudus. Dan yang terakhir, dalam bentuk pengajaran, rasul Paulus mempergunakan istilah tersebut sebanyak 1 kali dalam 1Korintus 12:13. Yaitu, berkaitan dengan pengalaman semua orang percaya yang dalam satu Roh telah dibaptis menjadi satu di dalam tubuh Kristus. Bilamana diperhatikan semua ayat-ayat Firman Tuhan tersebut di atas, nampak bahwa semuanya saling berkaitan satu dengan yang lain. Apa yang telah dinubuatkan oleh Yohanes dan yang dijanjikan oleh Kristus, telah digenapi di dalam peristiwa Pentakosta dan pengalaman keluarga Kornelius dan sahabat-sahabatnya. Sedangkan apa yang diajarkan oleh rasul Paulus tentang dalam satu Roh semua orang percaya telah dibaptis menjadi satu tubuh, adalah merupakan suatu kesimpulan pengajaran tentang apa yang telah terjadi, sebagai akibat adanya Roh Kudus yang telah dicurahkan melalui peristiwa Pentakosta, sebagai penggenapan nubuatan Yohanes dan janji Kristus.83 Karena itu, istilah dibaptis dengan Roh Kudus yang dipergunakan oleh Yohanes dan Kristus, maupun Petrus, pada dasarnya sama dengan istilah yang dipergunakan Paulus dalam 1Korintus 12:13. 84 Lebih lanjut kita akan menyelidiki apa yang dimaksud Paulus dengan istilah dibaptis dengan Roh dalam 1Korintus 12:13. Dalam ayat tersebut, Paulus menyatakan: “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh kita semua diberi minum dari satu Roh.” Rasul Paulus memakai istilah kita semua adalah untuk menunjuk kepada dirinya dan semua orang percaya yang ada di jemaat Korintus tanpa terkecuali. Tanpa membedakan keadaan status sosial dan keadaan rohaninya. Sehingga hal tersebut termasuk semua anggota jemaat di 83 Bnd. J. Oswald Sanders, The Holy Spirit and His Gifts (London: Marshall, Morgan & Scott, 1970), 65-66 84 Bnd. Albert Barnes, Barnes on the New Testament, I Corinthians (Grand Rapids: Baker Book House, 1979), 233. Korintus, yang dalam 1Korintus 3:1 disebut oleh Paulus sebagai manusia duniawi, manusia yang penuh dengan segala macam dosa (bnd. 1Kor 3:3, 4:18, 5:1, 6:12-18, 10:14-22, 11:17-22, dst). Sebab itu, baptisan Roh Kudus bukan hanya dialami oleh beberapa orang percaya saja, yang mempunyai taraf iman dan kerohanian tinggi. Baptisan Roh Kudus juga mencakupi semua orang percaya, yang ada di dalam Kristus. Sebab itu, tepat apa yang dikatakan oleh Michael Green: “So baptism with the Holy Spirit is not a second-stage experience for some Christians, but an initiatory experience for all Christians. Without it we are not Christians at all.”85 Satu hal yang menarik dalam 1Korintus 12:13, yaitu tentang istilah telah dibaptis dan diberi minum. Keduanya mempunyai aspek aorist dan arahnya pasif, yang dihubungkan dengan kata penghubung kai. Dengan demikian kedua hal tersebut adalah merupakan suatu kejadian yang terjadi bersama-sama (simultan) pada masa yang lampau, sekali untuk seterusnya. Pengertian “dalam satu Roh kita semua telah dibaptis menjadi satu tubuh,” sebenarnya mempunyai kesamaan pengertian dengan apa yang dikemukakan dalam Galatia 3:27; Roma 6:3, “dibaptis di dalam Kristus.”86 Karena, pada waktu seseorang percaya kepada Kristus dan dibaptis di dalam Kristus, pada waktu itu juga ia dibaptis dengan Roh Kudus. Kedua baptisan tersebut saling berhubungan dan karena itu tidak dapat dipisahkan satu sama yang lain. Sebagaimana yang dikatakan oleh Frederick Dale Bruner: Appropriate to the Christological character and mission of the Holy Spirit, the Baptism of the Holy Spirit is the baptism the believer into Christ. Yet baptism into Christ can no more be separated from baptism into the Holy Spirit than Christ can separated from the Holy Spirit. For in the depths the name by which we are baptized is one (I Cor 6:17, 15:45, II Cor 3:17-18; cf. the singular “name” in Matt 28:18). For Christ and the Spirit are not divided that each must separately and at appropriate times baptize into each other.87 Selanjutnya, pengertian diberi minum dari satu Roh mempunyai kaitan dengan apa yang Yesus nyatakan dalam Yohanes 4:14, 7:37-39, 85 Michael Green, I Believe in the Holy Spirit (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), 141-142. 86 Bnd. A.T. Robertson, Word Pictures in the New Testament. Vol. IV (Grand Rapids: Baker Book House, 1931), 171. 87 Bruner, A Theology Of The Holy Spirit..., 293. yaitu tentang pemberian Roh Kudus dan keselamatan bagi setiap orang yang percaya kepada Kristus.88 Karena Istilah telah dibaptis dan diberi minum mempunyai aspek aorist, maka pengertian “dalam satu Roh kita semua telah dibaptis menjadi satu tubuh, dan kita semua telah diberi minum dari satu Roh” adalah menunjuk kepada satu peristiwa yang telah terjadi serentak (simultan) dalam kehidupan setiap orang percaya pada waktu ia diselamatkan. Maksudnya, pada waktu seseorang percaya kepada Kristus, pada saat itulah ia menerima keselamatan dan Roh Kudus, dan menjadi anggota jemaat, sebagai tubuh Kristus. Dan hal inilah yang dimaksud dengan baptisan dengan Roh Kudus. 89 Jadi, istilah dibaptis dengan Roh Kudus sama pengertiannya dengan menerima Roh Kudus, bahkan sama dengan diurapi Roh Kudus dan dimeteraikan dengan Roh Kudus, sebagaimana yang dinyatakan rasul Paulus dalam Efesus 1:13; 2Korintus 1:21-22; Roma 8:15.90 Semua pengalaman tersebut adalah semata-mata pemberian Allah berdasarkan kasih dan anugerah-Nya, bukan berdasarkan kebaikan dan jasa dari setiap orang percaya. Karena itu, baptisan dengan Roh Kudus bukanlah sesuatu yang diusahakan ataupun harus dicapai sebagai pengalaman yang kedua bagi setiap orang percaya. Melainkan semua orang percaya telah dibaptis dengan Roh Kudus atau telah memiliki Roh Kudus, sebagai pemberian Allah. Inilah yang dimaksud oleh rasul Paulus ketika ia mempergunakan arah pasif untuk kedua istilah telah dibaptis dan diberi minum dalam satu Roh, di dalam 1Korintus 12:13. Bnd. Lenski, The Interpretation Of St. Paul’s..., 516. Bnd. Galatia 3:2-5,14,29, Kisah Rasul 2:38-39, 11:14-18: menerima Roh Kudus yang dijanjikan Allah, pada waktu percaya, sama dengan dibaptis dengan Roh Kudus. 90 “Baptisan Roh tidak terbatas pada peristiwa Petakosta, tetapi masih terjadi terus menerus dalam seraja gereja dan juga berulang-ulang disebut dalam Perjanjian Baru, Cuma dengan istilah-istilah lain. Di Galatia 3:14 misalnya disebut ‘menerima Roh yang telah dijanjikan.’ Ini mengingat kita pada Kisah Rasul 2:33,39, di mana Roh yang yang dijanjikan dicurahkan pada hari Pentakosta.... Istilah lain lagi adalah ‘Roh Kudus turun atas; (Kis 11:15; 19:6)...Istilah yang juga dipergunakan Paulus adalah ‘mengurapi dengan Roh Kudus’ (2Kor 1:21b,22), ‘memeteraikan dengan Roh Kudus’(Ef 1:13b; 14; 4:20). Kata-kata kerja (dalam bahasa Yunani) ini dipakai dengan bentuk waktu Aorist yang menunjukkan, bahwa pengurapan atau pemeteraian itu terjadi satu kali pada masa yang lampau, dengan perkataan lain, pada saat orang dibaptis dengan Roh Kudus.” Budiman, Menentukan Sikap Terhadap..., 174. 88 89 Lalu bagaimana dengan segala pengalaman orang percaya yang dikemukakan dalam Kis 2 berkaitan dengan pengalaman murid-murid Yesus, pasal 8 berkaitan dengan murid-murid di Samaria, pasal 10 berkaitan dengan keluarga Kornelius dan sahabat-sahabatnya dalam pasal 19 berkaitan dengan murid-murid Yohanes di Efesus? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka hal tersebut akan dibahas selanjutnya di bawah ini. Satu hal yang perlu menjadi pegangan di dalam menafsirkan semua pengalaman orang percaya dalam Kisah Para Rasul, yaitu bahwa semua pengalaman praktis tersebut tidak dapat menjadikan suatu patokan untuk suatu pengajaran mutlak tentang baptisan dengan Roh Kudus. Karena hal tersebut bukan merupakan uraian-uraian dan kesimpulan yang bersifat dogmatis, sebagaimana yang dikatakan oleh D. Scheunemann: Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa Roh Kudus dapat bekerja demikian, namun tidak harus bekerja sedemikian. “Dimana ada Roh Allah disitu ada kemerdekaan”. Hermeneutik yang bertanggung jawab dan berorientasi kepada Alkitab membangun suatu pengajaran Kristen hanya berdasarkan atas bagian-bagian Alkitab yang bersifat didaktis (bersifat ajaran), dan bukan atas kejadian-kejadian historis yang diceritakan dalam Alkitab. Karena itu, dari peristiwa-peristiwa yang dicatat dalam Kisah Para Rasul, kita tidak boleh menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat dogmatis tentang penerimaan Roh Kudus serta akibat-akibatnya, sebagai kaidah yang mutlak bagi setiap orang Kristen. 91 Membahas pengalaman orang percaya dalam Kisah Rasul haruslah dibahas secara bertanggung jawab dengan melihat seluruh kesaksian Alkitab. Walaupun apa yang dikemukakan oleh penulis Kisah Rasul adalah fakta sejarah. Namun, hal tersebut adalah merupakan suatu ungkapan historis dan bukan didaktis yang normatif. Pengalaman 120 Murid Kristus Dalam Kisah Para Rasul 2 Merupakan suatu kenyataan bahwa sebelum peristiwa Pentakosta, dimana 120 murid Kristus dibaptis dengan Roh Kudus, mereka adalah murid-murid Kristus yang telah percaya kepada-Nya. Kesebelas murid-Nya telah dipilih dan ditetapkan sebagai rasul-rasul-Nya untuk memberitakan 91 Scheunemann, Sungai Air..., 211-212. Injil ke seluruh dunia (Mat 10:1-4, 28:16-20). Mereka adalah dasar Gereja (Mat 16:18-19). Mereka pernah melayani dan memberitakan Injil dengan kuasa Allah (Mrk 6:6-13, Luk 9:1-6, Mat 10:5-15) dan setan-setan takluk kepada mereka, karena nama Kristus. (Luk 10:17). Mereka adalah saksi mata kematian, kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus ke surga. (Mrk 16:12-20; Luk 24:36-53; Yoh 20:19-20, 26-29; Kis 1:11; 1Kor 15:5-7). Namun situasi mereka berbeda dengan situasi orang percaya masa kini. Pada saat itu, 120 murid Tuhan Yesus hidup dalam situasi dimana Roh Kudus belum dicurahkan. Kedua belas Rasul dan murid-murid Tuhan Yesus yang lain, masih harus menantikan janji Tuhan Yesus tentang baptisan dengan Roh Kudus yang akan mereka alami. Hal itu terwujud pada peristiwa Pentakosta. Dan yang menyebabkan “adanya tenggang waktu antara percayanya ke 120 orang itu dengan turunnya Roh Kudus adalah disebabkan oleh penentuan waktu dalam urutan sejarah keselamatan Kristus, dan bukan oleh perbedaan taraf iman.”92 Oleh karena itu, pengalaman murid-murid Yesus tidak dapat diterapkan pada orang percaya yang hidup pada masa kini.93 Pengalaman Orang Percaya di Samaria Dalam Kisah Para Rasul 8 Banyak teolog berpendapat bahwa bagian Firman Tuhan tersebut merupakan suatu bagian yang agak sulit untuk ditafsirkan.94 Karena situasi yang terjadi pada saat itu agak berbeda dengan kebiasaan yang seharusnya terjadi. Mereka yang sudah percaya kepada Kristus dan telah dibaptis di dalam Kristus, tetapi kenyataannya belum menerima Roh Kudus. Padahal mereka hidup dalam situasi dimana Roh Kudus sudah dicurahkan oleh Kristus, bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Sehingga kasusnya berbeda dengan yang dialami oleh ke 120 murid Yesus di Yerusalem. Hal ini mengakibatkan terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli teologi tentang sebab-sebab Roh Kudus belum diberikan kepada orang di Samaria. Ada yang menyatakan bahwa yang menyebabkan orang percaya di Samaria belum dibaptis dengan Roh Kudus, adalah karena mereka belum 92 R. Budiman, Menentukan sikap terhadap gerakan Kharismatik, dalam buku: Gerakan Kharismatik Apakah Itu (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 191. 93 Bnd. Rene Pache, The Person and work of the Holy Spirit (Chicago: Moody Press, 1957), 73. 94 Abineno, Gerakan Pentakosta & Baptisan..., 22, Bridge & David Phypers, Karunia-karunia Roh..., 135. sungguh-sungguh bertobat dan percaya kepada Kristus. Mereka dikatakan percaya, dalam ayat 12, tetapi percaya mereka tertuju kepada Filipus dan bukan kepada Kristus. Dan juga respons mereka terhadap apa yang diberitakan Filipus adalah hanya merupakan suatu luapan emosi saja dan bukan berdasarkan iman.95 Sebaliknya, ada yang menyatakan bahwa sebenarnya orang-orang di Samaria sungguh sudah percaya kepada Kristus. Karena itu, sukacita yang dinyatakan dalam ayat 8 adalah sukacita orang yang telah bertobat, sebagaimana yang dinyatakan dalam Kisah Para Rasul 2:46-47. Yang menyebabkan mereka belum dibaptis dengan Roh Kudus, adalah merupakan suatu maksud Tuhan. Yaitu, supaya melalui penumpangan tangan dan doa dari kedua rasul tersebut, orang percaya di Samaria mengetahui posisi dan wibawa dari para rasul, yang telah ditetapkan sebagai dasar Gereja. Dan sekaligus untuk mempersatukan kedua Gereja, Gereja Yahudi di Yerusalem dan non Yahudi di Samaria, di dalam Kristus, sebagai tubuh Kristus.96 Untuk memecahkan masalah tersebut di atas dan mengetahui pengertian yang sebenarnya, maka perlu dilihat kembali apa kata Firman Tuhan itu sendiri. Dalam ayat 12, dikatakan bahwa orang Samaria percaya kepada Filipus, yang memberikan Injil tentang nama Yesus Kristus. Dalam struktur kalimat tersebut, nampaknya memang percaya mereka tertuju kepada Filipus. Tetapi kalau diperhatikan lebih teliti akan kalimat tersebut, nyata bahwa mereka tidak hanya percaya kepada Filipus; melainkan kepada Filipus, yang memberitakan Injil Kerajaan Allah dan Yesus Kristus. Selanjutnya, dalam ayat 15-16, dikatakan bahwa Petrus dan Yohanes berdoa supaya orang percaya di Samaria memperoleh Roh Kudus. Keterangan lebih lanjut tidak ada, sehingga penekanannya hanya tertuju kepada mendoakan mereka. Bilamana mereka sungguh belum bertobat maka merupakan suatu keganjilan untuk mendoakan mereka supaya menerima Roh Kudus. Petrus sendiri, dalam Kisah Para Rasul 2:38, 95 James D.G. Dunn, Baptism in the Holy Spirit (Philadelphia: The Westminster Press, 1970), 63. 96 David Brown, A Commentary, Critical, Experimental, and Practical on the Old and New Testament. Vol.III, Part Two (Grand Rapids: Eerdmans, 1978), 49-50. menegaskan bahwa syarat untuk menerima Roh kudus: Pertama, harus bertobat; Kedua, Dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosa. Sehingga, prinsip ini pasti diterapkan Petrus sebelum mendoakan mereka. Mereka pasti dilayani dan diberitakan Injil Yesus Kristus terlebih dahulu supaya mereka percaya kepada Kristus, sebagaimana yang nampak dalam Kisah Para Rasul 10:34-43, 19:4. Dalam ayat 16 dikatakan: “Sebab Roh Kudus belum turun di atas seorangpun diantara mereka, karena mereka hanya dibaptis dalam Tuhan Yesus.” Istilah belum, dipakai kata Yunani oudepo yang dalam bahasa Inggris not yet. Ini berbeda sekali dengan istilah ou yang berarti tidak, not. Dalam pengertian not yet terkandung sesuatu yang pasti dan akan dialami, namun belum terjadi pada saat itu.97 Istilah ini juga yang dipakai dalam Yohanes 7:39 ketika membicarakan tentang Roh Kudus yang belum datang, karena Kristus belum dimuliakan. Hal itu menunjukkan bahwa bagi orang percaya di Samaria, pengharapan untuk menerima Roh Kudus adalah suatu yang pasti akan mereka terima. Namun hal itu belum terjadi pada saat itu, nanti pada waktu kemudian. Hal itu baru terjadi pada waktu Petrus dan Yohanes mendoakan dan meletakkan tangan mereka ke atas orang Samaria. Kenyataan ini memberikan suatu petunjuk bahwa orang-orang di Samaria, kecuali Simon si Penyihir, sungguh-sungguh telah percaya kepada Kristus.98 Kelihatannya peristiwa ini agak aneh. Bagaimana mungkin orang yang telah percaya kepada Kristus tetapi tanpa Roh Kudus? Tetapi itulah kenyataan yang telah terjadi dalam jemaat di Samaria. Tentu saja ada maksud Tuhan di balik semua ini. Menurut Donald Bridge & David Phypers: Adalah cara Allah untuk menunjukkan kepada orang-orang Kristen Yahudi maupun Samaria bahwa sekarang mereka adalah anggotaanggota satu tubuh, yaitu tubuh Kristus, walaupun sampai saat itu mereka bermusuhan karena kebencian rasial dan agama yang sudah berurat berakar. Petobat-petobat baru di Samaria disadarkan bahwa mereka memerlukan jemaat induk di Yerusalem. Sebaliknya para pemimpin di Yerusalem yang merasa ragu-ragu terpaksa mengakui kenyataan daripada pertobatan orang Samaria. Sekali lagi ini benarbenar luar biasa. 99 97 98 99 Bruner, A Theology Of The Holy Spirit..., 177-178. Bnd. Abineno, Gerakan Pentakosta..., 22-23. Bridge & David Phypers, Karunia-karunia Roh..., 136. Dari pernyataan ini, nampaklah bahwa Allah bertindak demikian supaya arti dan tujuan daripada baptisan dengan Roh Kudus, yaitu untuk mempersatukan setiap orang percaya dalam jemaat sebagai tubuh Kristus, sungguh-sungguh dialami kenyataannya. Tepat apa yang dinyatakan oleh Simon Tugwell: “There is a great diversity of ways in which the Spirit works in us; the one thing that is common to all and is the bond of our unity, is baptism.”100 Semua ini membuktikan Penundaan atau belum terlaksananya pemberian Roh Kudus kepada jemaat di Samaria bukan karena mereka belum bertobat. Juga bukan karena taraf iman mereka rendah sehingga membutuhkan waktu untuk meningkatkan iman mereka untuk dapat memiliki Roh Kudus atau mengalami baptisan dengan Roh Kudus. Adanya tenggang waktu dalam menerima Roh Kudus bukan karena keadaan rohani jemaat Samaria belum sesuai dengan kehendak Tuhan. Semua itu terjadi karena kehendak Allah yang bebas yang bertindak demi kebaikan jemaat Samaria itu sendiri. Dengan demikian nyatalah bahwa pemberian Roh Kudus atau dibaptis dengan Roh Kudus adalah semata-mata pemberian Allah yang didasarkan atas kasih dan anugerah-Nya bukan berdasarkan perbuatan atau ditentukan oleh usaha manusia sendiri. Pengalaman jemaat di Samaria dalam menerima Roh Kudus tidak dapat dijadikan pola untuk menerima Roh Kudus atau dibaptis dengan Roh bagi jemaat pada masa kini. Karena pengalaman tersebut mempunyai arti tersendiri bagi jemaat di Samaria. Seandainyapun pada masa kini “Allah benar-benar melakukan peristiwa seperti itu pada orang-orang tertentu,” itu merupakan kedaulatan Allah dan bukan hasil usaha manusia, sehingga bukan suatu pola yang bersifat prinsip dan mutlak diberlakukan orang percaya. Pengalaman Keluarga Kornelius Dalam Kisah Para Rasul 10 Bila diperhatikan peristiwa yang terjadi dalam keluarga Kornelius dan sahabat-sahabatnya, pada waktu menerima atau dibaptis dengan Roh Kudus, nampaknya tidak mengikuti urut-urutan seperti yang telah disebut oleh Petrus dalam Kisah Para Rasul 2:38. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, syarat untuk dapat menerima karunia Roh Kudus atau baptisan 100 Simon Tugwell, dalam Green,. I Believe In The Holy..., 139. dengan Roh Kudus, adalah bertobat (= percaya kepada Kristus) dan dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Tetapi kenyataannya peristiwa yang terjadi dalam keluarga Kornelius sangat berbeda. Ketika Petrus sedang memberitakan Injil dan belum membaptis mereka dalam nama Tuhan Yesus, dikatakan bahwa tiba-tiba turunlah Roh Kudus ke atas keluarga Kornelius dan sahabat-sahabatnya, yang mendengar pemberitaan Petrus. Pelayanan sakramen baptisan baru dilaksanakan setelah mereka menerima baptisan dengan Roh Kudus. Apakah ini berarti bahwa keluarga Kornelius dan sahabat-sahabatnya, jauh sebelum kedatangan Petrus ke rumahnya, memang sudah menjadi murid Tuhan Yesus sebagaimana yang dikatakan oleh gerakan Kharismatik? Tak dapat disangkali bahwa dalam ayat 2, dikatakan bahwa keluarga ini adalah keluarga yang takut akan Allah dan banyak memberi sedekah kepada umat Yahudi dan senantiasa berdosa kepada Allah. Tapi kalau melihat penjelasan Petrus dalam pasal 11 ayat 14-18, nampaklah bahwa mereka belum termasuk murid atau orang yang sudah percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi mereka. Dikatakan dalam ayat 13-14 bahwa Tuhan menyuruh Kornelius untuk menjemput Petrus dengan tujuan agar Petrus dapat menyampaikan kepada mereka suatu berita yang akan mendatangkan keselamatan bagi Kornelius dan keluarganya serta seisi rumahnya. Kemudian dalam ayat 18, dinyatakan bahwa Rasul-rasul dan murid-murid di Yerusalem memuliakan Allah, karena kepada bangsa-bangsa lain juga (= keluarga Kornelius dan sahabatsahabatnya) Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup. Hal ini memberikan suatu pengertian bahwa mereka belum memiliki keselamatan, sebelum Petrus memberitakan Injil kepada mereka. Mereka baru memiliki keselamatan dan Kristus sebagai Tuhan mereka, ketika Petrus memberitakan Injil kepada mereka. Pada saat itulah Allah memberikan Roh Kudus atau membaptis mereka dengan Roh Kudus. Sehingga hal itu merupakan suatu pengalaman yang pertama bukan kedua atau the second blessing. Kesalehan dan rasa takut akan Allah dari Kornelius serta seisi rumahnya, merupakan ungkapan kesalehan dan rasa takut simpatisan penganut agama Yahudi. Sebab itu, mereka masih membutuhkan Injil keselamatan, yang disampaikan oleh Petrus.101 101 Bnd. F.F. Bruce, The New International Commentary on the New Testament, The Book of The Acts (Grand Rapids: Eerdmans, 1979), 216. Pengalaman Ke 12 Murid di Efesus Dalam Kisah Para Rasul 19:1-17 Ada beberapa pendapat mengenai istilah murid yang dinyatakan dalam ayat-ayat tersebut. Ada yang menyatakan bahwa keduabelas murid yang ditemui oleh Paulus di Efesus adalah murid-murid dari hasil pelayanan Apollos, ketika ia belum dilayani oleh Priskila dan Akwila. 102 Tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa mereka bukan muridmurid Apollos. Kemungkinan besar mereka adalah murid-murid dari pada pengikut Yohanes Pembaptis, yang tersebar keluar dari Palestina. Setelah kematian Yohanes Pembaptis, mereka menyebarluaskan baptisan dan pengajaran Yohanes Pembaptis,103 yang kemudian tiba di Efesus sesudah Apollos berangkat ke Korintus dan sebelum Paulus tiba untuk kedua kali di Efesus. Kemungkinan besar pandangan yang terakhir ini yang benar. Lepas dari segala penafsiran ini, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kesaksian Alkitab mengenai keadaan rohani mereka. Apakah mereka pengikut Kristus, sebelum bertemu dengan rasul Paulus atau tidak. Dalam ayat 2-3, dinyatakan bahwa mereka menjadi murid melalui baptisan Yohanes, tetapi belum menerima Roh Kudus bahkan belum pernah mendengar akan adanya Roh Kudus. Pengertian belum menerima Roh Kudus disini berbeda dengan pengertian belum menerima Roh Kudus dalam pengalaman jemaat di Samaria. Jemaat Samaria telah percaya dan dibaptis di dalam Kristus. Mereka juga sudah mendengar dan melihat kenyataan akan adanya Roh Kudus, melalui pengajaran dan segala mujizat serta tanda ajaib yang dilakukan oleh Filipus. Sebaliknya, keduabelas murid di Efesus belum mengetahui akan adanya Roh Kudus. Itulah sebabnya menurut Anthony A. Hoekema: “It is quite obvious that these disciples were not full fledged Christian believers when Paul first met them, since they had not even heard the Holy Spirit had been given to the Church.”104 Jadi, kedua belas murid di Efesus belum dapat dikategorikan sebagai murid Kristus. Mereka belum memiliki keselamatan dari Kristus. 102 William Neil, The New Century Bible Commentary, The Acts of the Apostles (Grand Rapids: Eerdmans, 1981), 202. 103 R.C.H.Lenski, The Interpretation of the Acts of The Appostles (Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1963), 782. 104 Anthony A. Hoekema, Holy Spirit Baptism (Grand Rapids: Eerdmans, 1966), 41. Dalam ayat 4, Paulus menantang mereka untuk percaya kepada Yesus Kristus. Selanjutnya, dalam ayat 5-6 dikatakan bahwa setelah mereka mendengar akan hal tersebut, mereka memberi diri mereka dibaptis dalam Tuhan Yesus. Dan pada waktu Paulus menumpangkan tangannya di atas mereka, Roh Kudus turun ke atas mereka dan mulailah mereka berkata-kata dalam bahasa roh dan bernubuat. Hal itu mengidikasikan bahwa mereka menerima Roh Kudus atau dibaptis dengan Roh Kudus yaitu pada saat mereka percaya dan dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Pengalaman tersebut merupakan pengalaman pertama dan bukan pengalaman kedua atau the second blessing. Searah dengan hal itu, Merrill F. Unger menegaskan: “They were disciples of the Baptism, but not Christians. When they received the Holy Spirit, they became Christians. This was not a second blessing, but the first blessing, as the baptism and the reception of the Holy Spirit always is.”105 Setelah meneliti pengertian baptisan Roh Kudus atau dibaptis dengan Roh Kudus dan kesaksian Kisah Para Rasul mengenai pengalaman orang-orang percaya dalam menerima baptisan Roh Kudus, ternyata bahwa hal itu adalah merupakan suatu pengalaman semua orang percaya tanpa terkecuali. Pengalaman tersebut diterima atau terjadi pada waktu seseorang percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya dan dibaptis di dalam nama Tuhan Yesus. Baptisan Roh Kudus sama artinya dengan menerima Roh Kudus atau dimeteraikan dengan Roh Kudus pada waktu seseorang menerima keselamatannya. Baptisan Roh Kudus berkenan dengan pengalaman pertama kali seseorang percaya dan terjadi secara bersamaan dengan kelahiran baru dan pertobatan dan sebab itu tidak mungkin terjadi kembali. Dalam kesaksian Kisah Para Rasul, ada pengalaman dari beberapa orang percaya yang menerima baptisan Roh Kudus setelah percaya kepada Kristus dan melewati satu masa tertentu. Hal tersebut merupakan suatu kejadian yang khusus, sehingga bukan merupakan suatu pola dan prinsip dalam menerima baptisan Roh Kudus. Berkaitan dengan relasi baptisan Roh Kudus dan karunia-karunia Roh, menurut kesaksian Kisah Para Rasul, karunia-karunia Roh (mis. karunia bernubuat dan berkata-kata dengan bahasa Roh) diterima pada 105 Merrill F. Unger, The Baptizing work of the Holy Spirit (Chocago: Scripture Press Fondation, 1953), 73. waktu seseorang menerima atau dibaptis dengan Roh Kudus. Selanjutnya, menurut pengajaran Paulus, yaitu dalam Roma 12:6; 1Korintus 1:7, 12:7,11; Efesus 4:7 dikatakan bahwa Allah telah memberikan karuniakarunia Roh kepada semua orang percaya atau jemaat, sesuai dengan kehendak-Nya. Itu berarti bahwa setiap orang percaya, tanpa terkecuali, telah menerima karunia-karunia Roh, paling sedikit satu karunia Roh. Hal tersebut diterima pada saat seseorang menerima Roh Kudus atau dibaptis dengan Roh Kudus, yaitu pada saat ia percaya kepada Kristus dan dibaptis di dalam nama Tuhan Yesus. Dengan kata lain, pada saat seseorang percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya dan dibaptis di dalam nama Tuhan Yesus, saat itulah ia menerima keselamatan, menjadi anggota tubuh Kristus, menerima Roh Kudus dan karunia-karunia Roh. Apa yang diajarkan oleh beberapa tokoh, theolog dari NeoPentakosta tentang baptisan dengan Roh Kudus dan relasinya dengan karunia-karunia Roh, jelas tidak sesuai dengan kesaksian Alkitab. Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa hanya orang-orang percaya tertentu saja yang menerima baptisan Roh Kudus dan karunia-karunia Roh. Jurstru sebaliknya Alkitab mengajarkan bahwa semua orang percaya, tanpa memandang kualitas kerohaniannya, telah menerima baptisan Roh Kudus dan karunia-karunia Roh. Misalnya, jemaat Korintus, jemaat yang penuh dengan bermacam-macam dosa dan kesalahan, dikatakan oleh Paulus telah menerima baptisan Roh Kudus dan karunia-karunia Roh, sesuai dengan kehendak Allah. Hal ini kurang diperhatikan oleh gerakan Kharismatik. Memang di satu segi, walaupun pengajaran tersebut mengenal hal tersebut di atas tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, namun usaha mereka untuk melayani dan menyaksikan Kristus berdasarkan kuasa Allah dan karunia-karunia Roh, perlu kita hargai. Sekaligus merupakan suatu kritik yang positif terhadap Gereja-gereja di Indonesia (khususnya Gereja-gereja yang bersifat tradisionil) yang kebanyakan kurang memperhatikan dan mengajarkan akan manfaat karunia-karunia Roh yang ada pada setiap anggota jemaat bagi pelayanan jemaat. Sehingga hal itu berakibat kepada kehidupan berjemaat, dimana banyak anggota jemaat menjadi statis, pasif dan acuh tak acuh terhadap pelayanan jemaat. Bahkan tidak jarang keadaan ini mendorong sebagian anggota jemaat untuk terbuka pada pengajaran yang baru yang ditawarkan oleh Neo-Pentakosta dan kemudian menjadi pengikutnya. Hal ini harus disadari oleh Gereja-gereja di Indonesia. Demikian juga, tidak ada artinya mengetahui bahwa setiap orang percaya telah mengalami baptisan Roh Kudus dan memiliki karuniakarunia Roh, kalau jemaat itu sendiri tidak terlibat atau dilibatkan dalam pelayanan jemaat dan mengalami kelimpahan karunia Roh Kudus. Karunia-karunia Roh dan Kualitasnya Berkaitan dengan pandangan gerakan Neo-Pentakosta Kharismatik, yang sangat mengutamakan karunia-karunia Spektakular, secara khusus bahasa roh; bahkan menganggap karunia-karunia Roh terbatas pada kesembilan karunia Roh dalam 1Korintus 12:8-10, hal itu tidak dapat dibenarkan. Hal itu bertentangan dengan pengajaran rasul Paulus sendiri. Rasul Paulus ketika membicarakan karunia-karunia Roh Kudus, tidak pernah membeda-bedakan dan menganggap bahwa satu atau beberapa karunia Roh Kudus tertentu lebih bernilai dan lebih berkualitas daripada karunia-karunia yang lain. Khusus mengenai kesembilan karunia Roh yang dicantumkan dalam 1Korintus 12:8-10, Paulus tidak pernah menyatakan bahwa hanya karunia-karunia tersebutlah yang dikategorikan sebagai karunia Roh Kudus dan yang lain bukan karunia Roh Kudus. Hal itu nampak dalam istilah yang dipergunakan oleh rasul Paulus untuk karuniakarunia Roh Kudus. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa istilah yang dipergunakan oleh rasul Paulus untuk segala karunia Roh Kudus adalah charismata. Istilah charismata yang digunakan dalam 1Korintus 12:4 untuk kesembilan karunia yang bersifat supra-natural dan yang dalam 1Korintus 12:9,28,30, yang dipergunakan untuk salah satu karunia spectacular (karunia penyembuhan); dipergunakan juga oleh Paulus dalam Roma 12:6 untuk karunia bernubuat, karunia melayani, karunia mengajar, karunia menasehati, karunia memimpin, karunia membagibagikan sesuatu dan karunia kemurahan. Hal itu menunjukkan bahwa bagi Paulus karunia-karunia Roh, charismata, tidak hanya terbatas pada kesembilan karunia Roh Kudus yang disebutkan dalam 1Korintus 12:8-10 atau hanya pada karunia spectacular, melainkan untuk semua karunia Roh yang telah disebutkan oleh Paulus. When one studies the use of the word charismata in the New Testament, moreover, it becomes quite evident that one cannot limit the meaning of this word to spectacular or miraculous gifts like healing or tongue speaking. Charismata in the New Testament designated whatever gifts the Holy Spirit wishes to use for the upbuilding of the church.106 Bagi rasul Paulus seluruh karunia Roh Kudus, mempunyai nilai dan kualitas yang sama. Diantara karunia-karunia Roh Kudus, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah kualitasnya. Tidak ada karunia Roh Kudus yang lebih istimewa atau lebih penting daripada karunia yang lain. Karunia-karunia Roh Kudus yang bersifat supra-natural tidak lebih tinggi atau lebih istimewa daripada karunia-karunia Roh Kudus yang bersifat natural. Semuanya istimewa, bernilai dan berkualitas. Karena semua berasal dari Allah yang satu dan diberikan untuk pelayanan dan pembangunan jemaat. Dengan demikian, semua karunia Roh Kudus sama pentingnya. Searah dengan hal itu, Abineno menegaskan: “Pendapat yang mengatakan, bahwa kharisma-kharisma yang spektakular… lebih penting daripada kharisma-kharisma yang lain. Pendapat ini–sama seperti pendapat-pendapat di atas–tidak benar. Ia bertentangan dengan kesaksian Kitab Suci.”107 Untuk lebih memahami akan hal tersebut, perlu dilihat apa yang dikemukakan Paulus dalam surat-suratnya. Dalam Roma 12:6-8, rasul Paulus mencantumkan dan menggabungkan bersama-sama karunia Roh Kudus yang bersifat supra-natural (karunia bernubuat) dengan karuniakarunia Roh Kudus yang lain yang bersifat natural (melayani, mengajar, menasehati, membagi-bagikan sesuatu, memberi pimpinan dan kemurahan). Hal yang sama dinyatakan dalam 1Korintus 12:28, karunia-karunia Roh Kudus yang bersifat natural (karunia memimpin dan melayani) digabung bersama-sama dengan karunia-karunia Roh Kudus yang bersifat supranatural atau yang bersifat spectacular (mujizat, menyembuhkan dan berkata-kata dalam bahasa roh. Semuanya ini menunjukkan akan adanya kesejajaran antara semua karunia Roh Kudus, antara yang bersifat spektakular dan yang bersifat natural. Dalam 1Korintus 12:12-26, rasul Paulus memang menjelaskan bahwa sebagaimana tubuh manusia terdiri dari bermacam-macam anggota tubuh, demikian juga jemaat, sebagai tubuh Kristus. Tiap-tiap anggota jemaat berbeda satu sama yang lain, sesuai dengan karunianya. Dengan kata lain, Paulus memang menyadari bahwa antara satu karunia Roh Kudus dengan karunia Roh Kudus yang lain, ada perbedaannya. Karunia bernubuat 106 107 Hoekema, Holy Spirit..., 57. Abineno, Karunia-Karunia Roh..., 13. berbeda dengan karunia kemurahan. Karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh berbeda dengan karunia mengajar. Karunia penyembuhan berbeda dengan karunia untuk menasehati. Namun demikian, sekali lagi, perbedaan tersebut bukan dalam soal kualitasnya, melainkan dalam soal fungsinya. Fungsi kaki berbeda dengan fungsi mata. Fungsi mata berbeda dengan fungsi telinga. Kaki untuk berjalan, mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar. Demikian juga dengan karunia-karunia. Perbedaan tersebut, bagi rasul Paulus, bukan untuk dipertentangkan ataupun untuk dibanggakan dan diperbandingkan antara satu karunia dengan karunia Roh Kudus yang lain. Melainkan untuk saling memperlengkapi dan oleh karena itu saling membutuhkan. Dalam ayat 22-24, rasul Paulus menjelaskan bahwa anggotaanggota tubuh yang kelihatan paling lemah, justru paling dibutuhkan. Anggota-anggota tubuh yang menurut pandangan manusia kurang terhormat, justru diberi penghormatan secara khusus. Anggota-anggota tubuh yang kelihatan tidak elok, justru diberikan perhatian secara khusus. Dalam hal ini, rasul Paulus ingin menunjukkan bahwa tidak ada satu karunia Roh Kudus yang dapat dianggap kurang dibutuhkan, kurang terhormat dan kurang mulia. Dengan kata lain tidak ada karunia Roh Kudus yang dapat dianggap paling dibutuhkan, paling terhormat dan paling mulia daripada karunia-karunia Roh Kudus yang lain. Melainkan, semua karunia Roh Kudus sangat dibutuhkan, semuanya terhormat dan semuanya mulia. Karena semuanya adalah pemberian daripada Allah. Dan semua yang datangnya daripada Allah pasti bermanfaat bagi kehidupan jemaat, terhormat dan mulia. Selanjutnya mengenai karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh. Rasul Paulus tidak pernah menyatakan bahwa karunia tersebut paling penting dan mutlak harus dimiliki oleh setiap orang percaya. Demikian juga, karunia tersebut bukan merupakan suatu bukti atau tanda satu-satunya menerima baptisan dengan Roh Kudus. Hal ini nampak dalam uraian di bawah ini. Dalam 1Korintus 12:8-10, rasul Paulus menyatakan bahwa setiap orang percaya menerima karunia Roh Kudus berbeda satu dengan yang lain. Ada yang menerima karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, ada yang menerima karunia untuk berkata-kata dengan pengetahuan, ada yang menerima karunia bernubuat, ada yang menerima karunia iman, ada yang menerima karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, dan seterusnya. Dalam 1Korintus 12:28-30, Paulus kembali menyatakan bahwa ada yang ditetapkan Allah untuk menjadi rasul, nabi dan pengajar. Ada pula yang menerima karunia mengadakan mujizat, menyembuhkan, melayani, memimpin, dan untuk berkata-kata dengan bahasa Roh. Dalam ayat 29-30, Paulus menyatakan: Apakah mereka semua rasul, nabi, pengajar? Adakah mereka semua mendapat karunia untuk mengadakan mujizat atau menyembuhkan atau untuk berkata-kata dalam bahasa roh, atau untuk menafsirkan bahasa roh? Jawabannya adalah tidak. Kemudian dalam 1Korintus 12:11, rasul Paulus menyatakan bahwa semua karunia-karunia Roh diberikan kepada setiap orang percaya, sesuai dengan kehendak Allah. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak semua orang percaya harus senantiasa menerima karunia Roh Kudus yang sama. Demikian juga tidak semua orang percaya harus menerima karunia mujizat, menyembuhkan dan untuk berkata-kata dengan bahasa roh. Karena yang menentukan pemberian karunia-karunia Roh Kudus adalah Allah sendiri dan bukan manusia. Dalam 1Korintus 14:1-25, rasul Paulus menjelaskan bahwa karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, hanya bermanfaat bagi mereka yang memilikinya. Namun kalau ada yang menafsirkannya maka karunia tersebut dapat bermanfaat bagi jemaat. Kemudian dalam ayat 5, rasul Paulus menjelaskan bahwa karunia bernubuat sangat bermanfaat bagi jemaat, bilamana dibandingkan dengan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh. Alasannya, menurut Paulus dalam ayat 3,24-25, orang yang bernubuat langsung berkata-kata kepada manusia; ia membangun, menasehati dan menghibur jemaat. Demikian juga, karunia bernubuat dapat membawa orang yang tidak beriman untuk sujud menyembah Allah dan mengakui akan kehadiran Allah dalam jemaat, ketika mendengar perkataan yang disampaikan melalui karunia bernubuat. Paulus tidak pernah mengistimewakan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa Roh. Sebaliknya juga, Paulus tidak mempunyai tujuan untuk membandingbandingkan antara satu karunia dengan karunia yang lain. Juga bukan untuk menyatakan karunia nubuat lebih istimewa dan penting daripada karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh. Paulus ingin menyatakan bahwa betapa pentingnya karunia-karunia Roh Kudus dipergunakan bagi pembangunan jemaat. Karena itulah tujuan Allah memberikan karuniakarunia Roh Kudus kepada jemaat. Melalui semua pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ternyata karunia-karunia Roh Kudus tidak hanya terbatas pada Sembilan karunia Roh, sebagaimana yang dikatakan oleh Neo-Pentakosta atau Kharismatik. Ia mencakupi semua karunia Spektakular dan non spektakular seperti yang telah Paulus sebutkan dalam Roma 12:6-8; Efesus 4:11, 1Korintus 7:7, 12:8-10, 28-30. Demikian juga, karunia untuk berkatakata dengan bahasa roh bukan merupakan suatu kemutlakan untuk dimiliki sebagai bukti telah dibaptis dengan Roh Kudus. Allah memberikan karunia Roh kudus sesuai kehendak-Nya. Dari antara semua karunia Roh Kudus tersebut, tidak ada karunia Roh Kudus tertentu yang lebih penting atau lebih tinggi kualitasnya daripada karunia-karunia Roh Kudus yang lain. Semua karunia Roh Kudus sama penting sama kualitasnya. Karena, semua karunia Roh Kudus berasal dari pada Allah dan diberikan untuk pelayanan dan pembangunan jemaat, sebagai tubuh Kristus. PENUTUP: KESIMPULAN Menurut Rasul Paulus, yang dimaksud dengan karunia Roh adalah suatu kesanggupan khusus yang diberikan Allah kepada setiap orang percaya sesuai kehendak-Nya guna dipakai bagi kepentingan jemaat sebagai tubuh Kristus. Pemberian ini dimungkinkan karena karya keselamatan Kristus di atas kayu salib. Dasar pemberian karunia Roh adalah semata-mata karena kasih dan anugerah Allah, bukan hasil usaha manusia atau sebagai suatu pahala atas jasa manusia. Karunia Roh berbeda dengan talenta. Karunia Roh diberikan Allah kepada orang percaya untuk kemuliaan Allah. Talenta adalah bakat atau kesanggupan khusus pembawaan seseorang sejak lahir, digunakan untuk kepentingan umum manusia. Setiap talenta/bakat dapat dipakai dan diubahNya sebagai karunia Roh pada saat orang tersebut percaya kepada-Nya. Berdasarkan pengertian bahwa karunia-karunia Roh diberikan Allah kepada jemaat untuk pelayanan dan pembangunan tubuh Kristus, maka setiap anggota jemaat atau orang percaya mempunyai tanggung jawab di dalam pelayanan jemaat. Tanggungjawab itu tidak dapat diwakilkan dan dimonopoli orang lain, secara khusus oleh para pelayan jemaat. Para pelayan jemaat bertanggung jawab untuk memperlengkapi dan mempersiapkan setiap anggota jemaat bagi pelayanan dan pembangunan jemaat, sebagai tubuh Kristus. Jemaat dengan segala karunianya merupakan potensi yang amat besar bagi perkembangan dan pertumbuhan tubuh Kristus. Melalaikan potensi ini berarti kehilangan kesempatan bahkan dapat menghalangi pertumbuhan jemaat. Sebaliknya, melibatkan setiap anggota jemaat, sesuai dengan karunianya, dalam Pelayanan Kesaksian (Marturia), Pelayanan Persekutuan (Koinonia), Pelayanan Sosial (Diakonia) akan berakibat pada pertumbuhan jemaat secara kualitatif dan kuantitatif. Karena itulah tujuan Allah memberikan karunia-karunia Roh kepada jemaat-Nya. Karunia-karunia Roh yang diberikan Allah kepada setiap orang percaya beranekaragam dan berbeda-beda. Perbedaan ini bukan untuk dipertentangkan atau diistimewakan melainkan untuk saling melengkapi satu dengan yang lain, agar seluruh orang percaya sampai kepada kesempurnaan Kristus. Setiap karunia tidak lebih penting dan istimewa daripada karunia-karunia yang lain. Semua sama penting dan sama kualitasnya karena bersumber dari Allah yang sama. Pandangan yang menganggap karunia-karunia Roh yang bersifat spektakular lebih penting daripada karunia-karunia Roh yang lain, tidak benar. Demikian juga, memutlakkan karunia berkata-kata dengan bahasa roh bagi setiap orang percaya tidak sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan. Setiap orang percaya menerima karunia yang berbeda-beda, sesuai dengan kehendak Allah. Karunia-karunia Roh diberikan Allah kepada setiap orang percaya, pada saat percaya kepada Kristus dan dibaptis di dalam nama-Nya. Pengalaman orang percaya menerima karunia-karunia Roh berlangsung secara simultan. Saat seseorang percaya kepada Kristus dan dibaptis dalam nama-Nya, pada saat itu secara simultan ia menerima keselamatan, menjadi anggota tubuh Kristus, menerima Roh Kudus dan karunia-karunia Roh. Dan menurut Paulus, inilah yang dimaksud dengan dibaptis dengan Roh Kudus. Oleh karena itu, pandangan yang menyatakan pengalaman tersebut berbeda, tidak simultan dengan kelahiran baru melainkan merupakan pengalaman kedua atau second blessing dan karena itu hanya merupakan pengalaman beberapa orang percaya tertentu saja adalah tidak benar. IBADAH PERJANJIAN BARU SUATU URAIAN DESKRIPTIF TENTANG IBADAH DAN KONTRIBUSINYA BAGI IBADAH MASA KINI FERDINAN S. MANAFE PENDAHULUAN Ibadah adalah bagian penting dari hidup keagamaan seseorang. Tidak pernah terjadi dalam dua dekade yang lalu, dimana ibadah menjadi hangat dibicarakan dalam kekristenan seperti saat ini. Tidak pernah sebelumnya ibadah menjadi sesuatu yang begitu rumit, sementara itu banyak orang keluar dari satu Gereja kepada Gereja yang lain untuk mencari dan mengalami ibadah yang benar, yang telah dimodifikasi untuk menjawab persoalan manusia, demikian pendapat Fischer, seorang penyanyi dan pengarang lagu serta penulis buku Fearless Faith.1 Selanjutnya dikatakan: statistik menunjukkan bahwa Gereja-gereja besar bertumbuh bukan karena pertobatan tetapi bentuk ibadah yang lebih baik dan populer bagaikan pipa penyedot yang menarik pengunjung ke dalam Gereja yang tadinya kecil, kemudian menjadi besar. Bahkan pemberitaan Firman Tuhan yang tadinya begitu penting, sekarang menjadi hanya sebagai tambahan kepada pujian dan penyembahan. 2 Menurut Fischer: 1 John Fischer, What to Do about The Worship Wars, Moody Magazine, July/August 2002, 18. 2 Ibid. Many people go to church today more to experience God than they go to hear about Him, and they feel that they experience God mostly in the music.3 Hal ini menunjukkan adanya kehausan yang dalam dari umat Tuhan untuk bertemu dengan Allah-nya dalam ibadah. Pemahaman tentang pengertian ibadah dalam Perjanjian Baru (PB) harus dimulai dengan memperhatikan kata-kata tertentu yang biasa digunakan dalam ibadah PB. Menurut Reimer, kata ibadah (atau ibadat) adalah istilah untuk menyebut suatu perbuatan yang menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari oleh ketaatan mengerjakan perintah-Nya.4 Kata leiturgia berasal dari kata kerja leiturgeo, artinya melayani, melaksanakan dinas atau tugas, memegang jabatan.5 Secara harafiah kata leiturgia berasal dari dua kata Yunani, yaitu leitos yang berarti rakyat, umat; dan kata ergon yang berarti pekerjaan, perbuatan, tugas. Jadi leiturgia berarti melakukan suatu pekerjaan untuk rakyat.6 Menurut Abineno yang dikutip Reimer, ibadah yang biasanya digunakan dalam PB bahasa Indonesia, adalah terjemahan tiga istilah Yunani, sebagai berikut: leiturgi (Kis 13:2)… beribadah kepada Allah; latreia (Rm 12:1)… mempersembahkan seluruh tubuh: threskeia (Yak 1)… pelayanan kepada orang yang dalam kesusahan.7 Dengan demikian, seluruh istilah ini adalah menunjuk kepada aktifitas manusia. Dengan kata lain, pengertian ibadah PB menunjuk kepada aktifitas ibadah manusia sebagai respons terhadap karya keselamatan Kristus, yang adalah penggenapan ibadah Perjanjian Lama. Tulisan ini bertujuan memaparkan apa itu ibadah dalam PB dan bagaimana umat Tuhan beribadah serta kontribusinya bagi ibadah masa kini. DASAR IBADAH Dasar ibadah PB adalah pada perjanjian Allah yang digenapi di dalam pengurbanan Kristus di kayu salib. Kristus adalah kurban yang 3 4 Ibid. G. Riemer, Cermin Injil (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1995), 9. 5 6 7 Riemer, Cermin..., 9. Ibid., 10. Ibid., 62 sempurna. Kristus adalah penggenapan ibadah PL. Searah dengan pernyataan di atas, Lumintang menuliskan sebagai berikut: Kristus menggenapi tabernakel dan Bait Allah dengan jalan Pribadi Kedua Allah Tritunggal menjadi manusia dan tinggal di antara kita (manusia). Kehadiran Allah menjadi nyata di dalam Pribadi Yesus. Yesus adalah Allah yang tinggal di antara kita. Karena itu, ibadah kepada Allah hanya terjadi di dalam dan melalui Tuhan Yesus. 8 Peterson juga menuliskan bahwa: the New Testament begins with the assurance that all history has been moving towards Jesus Christ as its goal and that he is the final and definitive manifestation of God’s presence with his people,9 maka dasar ibadah Perjanjian Baru ada pada inkarnasi Yesus Kristus, sebagai penggenapan nubuatan mesianik Perjanjian Lama. Dasar ibadah PB dapat ditemukan melalui mencermati sikap Yesus terhadap ibadah dan makna karya Kristus. Sikap Yesus terhadap ibadah, pertama; Yesus mendukung ibadah PL. 10 Hubungan Yesus dengan Bait Allah, synagoge, dan hari raya Yahudi membuktikan kesimpulan di atas. Dalam Injil dicatat bahwa Yesus berada Bait Allah (Luk 2:21-25; Yoh 7:14-49; 10:22,23). Tetapi tidak dicatat bahwa Yesus mempersembahkan kurban binatang atau menyetujui system kurban. Menurut Lukas, Yesus secara regular mengunjungi synagoge pada hari Sabat (Luk 4:16). Yesus juga menghadiri perayaan hari raya Israel (Yoh 7:2; 10:22). Detail dari Yesus merayakan paskah sebelum perjamuan akhir membuktikan pengetahuan dan penghargaan Yesus terhadap hari raya besar Israel (Mat 26:1-30; Mrk 14:1-26; Luk 22:1-23; Yoh 13:1-30).11 Kedua, Yesus memandang institusi ibadah dalam PL menunjuk kepada diri-Nya.12 Contoh; pembersihan Bait Allah harus dilakukan bersama dengan pandangan tentang berakhirnya tempat untuk pengurbanan. Jadi makna sesungguhnya dari tindakan Yesus adalah untuk menyatakan bahwa ritual tradisional kurban adalah tidak cukup atau tidak mungkin. Dengan menghentikan system pengurbanan binatang, Yesus menunjuk diri8 9 1 1 Lumintang, Theologia Ibadah..., 36. David Peterson, Engaging with God (England: Apollos, 1992), 81. 0 Peterson, Engaging with..., 34. 1 Robert E. Webber, Worship Old & New (Grand Rapids: Zondervan, 1982), 34. 1 2 Ibid. Nya sebagai penggenapan kurban yang sempurna.13 Dengan kata lain, Yesus adalah anak domba yang sempurna, dan adalah kurban yang sempurna. Ketiga, Yesus berhak menginterpretasi tradisi ibadah Yahudi. 14 Contoh; konfrontasi Yesus dan orang Farisi tentang hari Sabat. “Lalu kata Yesus kepada mereka: Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat” (Mrk 2:27,28). Tentang konfrontasi ini, Webber menyatakan: Jesus willingness to break the rulers of Sabbath carried over into His attitude toward the regulations that governed cleannes and uncleanness (Mrk 7:123), as well as the ruler regarding fasting dan prayer (Mat 6:5-8, 16-18).15 Inti dari pembicaraan Yesus dengan orang Farisi di atas adalah proclaiming Himself–His lordship, His place in the kingdom, His place in the revelation of God in history.16 Dalam hal ini, Yesus mempersiapkan jalan perubahan yang signifikan dalam ibadah bagi umat yang baru sebagai pengenapan PL di dalam diri-Nya. Di dalam ibadah PL, berisi perayaan peristiwa di Sinai, sedangkan ibadah PB adalah proklamasi kisah Keluaran yang kedua, masuknya Kristus ke dalam dunia untuk menebus umat-Nya dari ikatan dosa.17 Kelahiran Kristus adalah wujud dari sejumlah penggenapan nubuatan dalam Perjanjian Lama. Kematian dan kebangkitan Yesus menghasilkan satu respons ibadah yang menekankan penghancuran kuasa dosa dan maut. Tema ini adalah fokus khotbah mula-mula dan pada perjamuan Tuhan. Pencurahan Roh Kudus bermanifestasi di dalam hidup manusia baru oleh karya Roh di dalam nama Yesus dan untuk menyembah-Nya. Dengan demikian, isi ibadah PB adalah proklamasi dan respons terhadap karya keselamatan yang dikerjakan Kristus melalui kematian dan kebangkitan, serta oleh karya Roh Kudus di dalam hidup orang percaya. ELEMEN-ELEMEN IBADAH 1 3 1 4 1 1 1 Ibid., 34. Ibid., 35. 5 Webber, Ibid., 34. 6 Ibid., 34. 7 Ibid. Mengerti elemen-elemen ibadah dalam Perjanjian Baru tidak dapat dipisahkan dari peristiwa Pentakosta dalam Kisah Para Rasul 2, dimana Gereja lahir dan dibangun, pertama-tama melalui khotbah Petrus yang mengakibatkan kurang lebih 3000 orang menerima firman dan memberi diri dibaptis (Kis 2:14-47). Pentakosta adalah moment bersejarah berdirinya Gereja. Setelah kematian, kebangkitan, dan kenaikkan Kristus ke Sorga, maka tahapan baru sejarah kekristenan dimulai. Gereja dibangun dan didirikan oleh Roh Kudus melalui khotbah Petrus, dimana tiga ribu orang bertobat dan menyerahkan diri dibaptis (Kis 2:1-40). Orang-orang yang telah menerima firman yang dikhotbahkan Petrus memberi diri dibaptis (Kis 2:41). Mereka bertekun dalam pengajaran para Rasul dan dalam persekutuan. Mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa (Kis 2:42). Inilah situasi ibadah Gereja pertama. Webber mengomentari teks ini dengan menyatakan: some scholar have argued for a twofold sequence of Word and sacrament.18 Hal ini menyatakan bahwa ibadah pada Gereja mula-mula berakar pada pengajaran firman Tuhan dan sakramen. Yesus Kristus adalah kegenapan ibadah PL. Maka setelah pelayanan Yesus di dunia ini, pelayanan-Nya dilanjutkan oleh para murid, dan kemudian oleh Gereja sebagai tubuh Kristus. Itulah sebabnya isi ibadah pada Gereja mula-mula adalah merupakan respons orang percaya terhadap karya Kristus, yang datang ke dalam dunia untuk membebaskan dan menyelamatkan manusia dari ikatan kuasa dosa. Berdasarkan penelitian tentang ibadah di dalam seluruh PB, Segler menuliskan sepuluh elemen ibadah sebagai berikut: (1)Musik memiliki tempat sentral di dalam ekspresi pujian Kristen. Mereka menyanyikan mazmur dan puji-pujian serta lagu-lagu rohani dari hati mereka kepada Tuhan (Ef 5:18-20; Kol 3:16; 1Kor 14:15); (2) Pembacaan Kitab Suci adalah element penting dalam ibadah Kristen mula-mula. Yesus berdiri di Synagoge, membaca kitab suci (Kol 4:16; 1Tes 5:27; 1Tim 4:13) dan surat-surat Paulus ditulis untuk dibacakan dalam Gereja-gereja. Tidak diragukan lagi bahwa pembacaan kitab suci menjadi bagian dari perintah umum dalam ibadah; (3) Doa yang telah terbukti kuasanya pada ibadah Kristen 1 8 Webber, Worship Old &..., 50. mula-mula. Kisah Para Rasul 2:42,19 menceriterakan bagaimana keadaan jemaat mula-mula. Doa ucapan syukur, permintaan, syafaat; (4) Jemaat berkata “Amin.” Amin adalah kata yang biasa digunakan jemaat dalam ibadah untuk mengekspresikan persetujuan kepada apa yang dikatakan oleh pemimpin (1Kor 14:16); 5) Khotbah atau Eksposisi kitab Suci adalah bagian dari ibadah Kristen mula-mula. (6) Nasehat adalah esensi ibadah. Penulis kitab Ibrani merasa nasehat penting bagi orang Kristen untuk ”saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik” (Ibr 10:24); (7) Orang Kristen memberi persembahan dalam ibadah umum (1Kor 16:2; 2Kor 9:6-7, 10-13; 2Kor 8:2-8); (8) Ibadah Perjanjian Baru dipenuhi dengan doxology atau puji-pujian (Ef 1:3); (9) Pengakuan yang terbuka telah menjadi hal praktis dalam ibadah Kristen mula-mula. Ada pengakuan dosa di depan umum dan di hadapan saksi-saksi (1Tim 6:12; Rm 10:9; Yak 5:16); (10) Ibadah Kristen juga meliputi sakramen baptisan dan perjamuan kudus. Yesus memerintahkan umat-Nya untuk membaptis dan mengadakan perjamuan kudus. 20 Basden dalam The Worship Maze, tentang elemen ibadah dalam Perjanjian Baru menuliskan bahwa: The first disciples worshiped by means of prayer (Acts 2:42), singing (Col 3:16), Scripture reading, preaching and teaching (1Tim 4:13), making offerings (1Cor 16:2), and celebrating the Lord’s Supper (1Cor 11:17-34).21 Dengan demikian, elemen penting dalam ibadah PB seperti dipaparkan Basden adalah lima elemen; Doa, Nyanyian, Khotbah, Persembahan dan Perjamuan Kudus. TUJUAN IBADAH Tujuan ibadah PB adalah memuliakan Allah Bapa yang menyatakan diri di dalam dan melalui Tuhan Yesus Kristus anak domba Allah, yang adalah kurban yang sempurna, tetapi juga yang adalah imam agung dari 1 9 Kisah Para Rasul 2:42; Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Ayat ini menyatakan situasi ibadah jemaat mula-mula, khususnya dalam hal doa mereka. 2 0 Franklin M. Segler, Christian Worship (Nashville, Tennessee: Broadman & Holman Pub., 1996), 25-27. 2 1 Paul Basden, The Worship Maze (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 1999), 23. perjanjian yang baru. Yesus Kristus adalah sentral dalam ibadah PB. Tidak ada hal lain yang memotivasi orang Kristen mula-mula ketika mereka berkumpul dan beribadah, hanya nama Yesus.22 Hal ini nampak dalam pengucapan nama Yesus dalam doa, nyanyian yang meninggikan dan memuliakan karya Kristus, dan dalam khotbah serta pengajaran. IBADAH DALAM KITAB WAHYU Prinsip-prinsip teologis yang mendasar tentang ibadah telah dinyatakan di dalam kitab Wahyu sebagai kitab terakhir dari Alkitab. Untuk itu perlu dicermati bagaimana ibadah di dalam kitab Wahyu. Wahyu kepada Yohanes adalah kitab penting tentang ibadah dalam Perjanjian Baru. Disusun dalam bentuk drama yang agung tentang kemenangan Kristus, hal ini dimulai dengan surat-surat yang dialamatkan kepada tujuh jemaat di tujuh kota di Asia Kecil dan diakhiri dengan penglihatan tentang Yerusalem baru dimana Allah tinggal di tengah umatNya (21:3), dalam menggenapi formulasi ringkas para nabi Israel tentang perjanjian, “Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Yer 31:33).23 Tentang ibadah dalam kitab Wahyu, Peterson menuliskan bahwa, A major theme of this book is the distinction between true worship and idolatry. John devides humanity into two categories, the worshippers of the dragon and the beast and the worshippers of God and the Lamb. The contrast between the two groups of worshippers reaches its climax in two visions at the end of the book. 24 Untuk memahami penjelasan lebih lanjut, penulis akan memaparkan dasar teologi ibadah. 2 2 2 3 Ibid. Robert E. Webber (Ed.), The Biblical Foundations of Christian Worship (Peabody, Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1993), 21. 2 4 Peterson, Engaging with..., 264. Allah Allah adalah sumber segala wahyu, wahyu Kristus juga adalah apa yang dikaruniakan Allah (1:1). Sedangkan Firman (logos) adalah milik Allah, maka disebut Firman Allah (1:2,9). Firman Allah sudah ada sejak semula, maka Firman itu adalah Allah (bnd. Yoh 1:1,2). Allah adalah yang dahulu ada, sekarang ada, dan yang akan datang (1:4). Di dalam kurun waktu, Ia adalah yang pernah ada, sekarang ada; dalam konteks lintas waktu, Ia adalah yang akan ada selama-lamanya. Oleh karena sifat, kehendak, kuasa, hikmat, kekuatan, otoritas-Nya selamalamanya sama, maka Allah itu kekal adanya. Allah adalah pencipta segala sesuatu (3:14; 4:11). Segala sesuatu diciptakan berdasarkan kehendak Allah (4:11). Allah menciptakan langit dan segala yang ada di langit; bumi dan segala yang ada di dalamnya, laut dan segala yang ada di dalamnya (10:6). Dia yang menciptakan langit dan bumi, laut dan segala sumber air itu patut menyembah-Nya (14:7). Allah duduk di takhta (1:4; 4:3-11; 5:1-14; 7:9-17; 8:3; 12:5; 14:3; 16:17; 19:4, 11, 12; 21:3,5; 22:1,3). Hal ini menyatakan pengontrolan, kuasa serta wibawa-Nya. Di sekeliling takhta ada 4 makluk hidup, 24 tuatua, serta orang percaya yang tak terbilang banyaknya, juga disertai dengan perhiasan yang indah. Semua ini bersifat rohani dan non material. TakhtaNya sudah ada sejak semula dan berada untuk selama-lamanya. Dalam rencana Allah yang kekal, Ia ingin agar orang percaya umat tebusan-Nya menjadi warga kerajaan-Nya dan imamat-Nya (1:6; 20:6). Untuk menjadi warga kerajaan-Nya harus mengalami tebusan darah Kristus (1:5). Allah adalah Mahakuasa (1:8; 11:17) menunjukkan kuasa dan kekuatan kesempurnaan-Nya. Allah Mahatahu, tidak ada sesuatupun di luar pengetahuan-Nya; “Aku tahu perbuatanmu” (3:1). Allah adalah hakim. Ia melaksanakan penghakiman pada waktunya (14:7). Ia adil (16:5,7); Ia mengadili seturut dengan perilaku manusia (20:12,13). Menurut Wongso, Jika ditinjau dari seluruh kitab Wahyu, maka pasal 2 dan 3 adalah penghakiman atas para pemimpin jemaat; enam malapetaka dalam pasal 6, enam sangkakala dalam pasal 8,9,11; tujuh malapetaka dalam pasal 15,16 ditujukan kepada orang non-percaya di sepanjang abad, serta penghakiman atas para penganiaya jemaat; Wahyu 17:18 adalah penghakiman atas Babel, pezinah, penyembah berhala serta usaha dagang ilegal dan ekonomi memegang peranan paling penting; penghakiman atas Setan (20:1-3,7,10); penghakiman ata segenap umat manusia di dunia (20:11-15).25 Itulah sebabnya otoritas Allah nampak dengan jelas dalam ungkapan, “Segera aku dikuasai oleh Roh dan lihatlah, sebuah takhta terdiri di sorga, dan di takhta itu duduk Seorang Dan keempat makhluk itu masing-masing bersayap enam, sekelilingnya dan di sebelah dalamnya penuh dengan mata, dan dengan tidak berhenti-hentinya mereka berseru siang dan malam: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang” (4:2,8). Menurut Scheunemann, istilah takhta menyatakan: Allah memerintah. 26 Mounce menulis bahwa: The first thing that John sees in heaven is a throne. This symbol occurs more than forty times in Revelation. It symbolizes the absolute sovereignty of God.27 Istilah Takhta Allah sering digunakan dalam literatur Yahudi, seperti; “Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubahNya memenuhi Bait Suci” (Yes 6:1) dan di dalam Mazmur 47:8; “Allah memerintah sebagai raja atas bangsa-bangsa, Allah bersemayam di atas takhta-Nya yang kudus.” Dengan demikian Allah dalam konteks kitab Wahyu adalah pusat ibadah. Dengan kata lain, dasar Ibadah dalam kitab Wahyu adalah pada Allah yang duduk di takhta. Dia yang duduk di takhta adalah Dia yang mencipta dunia dan segala isinya. Dia yang menyatakan diri-Nya kepada manusia, baik melalui Firman yang menjadi manusia, maupun Firman yang tertulis. Dia yang menebus manusia dari ikatan kuasa dosa. Hanya kepada Dia, segala puji, hormat dan kuasa serta kemuliaan, dari sekarang sampai selama-lamanya. Yesus Kristus Selain Allah yang duduk di atas takhta, dalam kitab Wahyu Anak Domba yang menunjuk kepada Kristus juga adalah pusat ibadah. Mengapa? 2 5 Peter Wongso, Eksposisi Doktrin Alkitab Kitab Wahyu (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1996), 117. 2 6 D. Scheunemann, Berita Kitab Wahyu (Batu: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 1994), 70. 2 7 Robert H. Mounce, The New International Commentary On The New Testament; The Book of Revelation (Grand Rapids, Michigan: Eerdmands, 1977), 134. Mounce menjelaskan bahwa: The Lamb of Revelation is the 'Lord of lords, and the King of kings' who wages a victorious warfare against the beast and his confederates (17:12-14) and before whose wrath the men of earth call upon the rocks and mountains to fall on them (6:15-17).28 Anak Domba disembah karena Dia adalah Tuhan atas segala tuhan dan Raja atas segala raja. Searah dengan pernyataan di atas, Scheunemann menuliskan bahwa, Di tengah-tengah penglihatan Yohanes tentang takhta Allah muncullah sebagai puncak penglihatan Anak Domba Allah antara takhta Allah dan empat zat hidup dan duapuluh empat tua-tua (5:6). Namun sekarang Anak Domba Allah mempunyai wujud yang baru. Kata yang dipakai Yohanes, ialah ”anak domba kecil yang ditandai luka kematian” (Yun. arnion).29 Dengan demikian yang dimaksudkan dengan Anak Domba Allah adalah Yesus Kristus. Istilah Anak Domba Allah dipakai untuk menunjuk kepada penggenapan perjanjian30 yang Allah telah berikan kepada Adam dan Hawa setelah mereka jatuh ke dalam dosa. Dan kemudian diberikan kepada Abraham31 serta keturunannya. Jadi dasar teologi ibadah dalam kitab Wahyu adalah penggenapan perjanjian Allah kepada manusia di dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Roh Kudus 2 8 2 9 Mounce, The New International Commentary..., 145. Scheunemann, Berita Kitab..., 73. 3 0 Kejadian 3:15: Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya." 3 1 Kejadian 12:1-3: Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: "Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." Karya Roh Kudus dalam konteks kitab Wahyu lebih banyak menyatakan penggenapan dari janji Tuhan Yesus tentang penolong yang lain,32 yang akan datang dan yang menginsyafkan manusia. Tujuh Roh dalam kitab Wahyu dipakai sebanyak empat kali (1:4; 3:1; 4:5; 5:6).33 Roh Kudus disebut tujuh Roh, untuk menyatakan kesetaraan Roh Kudus dengan Kristus dan Allah Bapa. Dalam kitab Wahyu, empat kali mencatat Yohanes digerakkan Roh Kudus (1:10; 4:2; 17:3; 22:6). Dan empat kali gerakkan Roh Kudus membuat Yohanes mendengar, melihat fakta rohani.34 Hal ini berarti tanpa Roh Kudus Yohanes tidak dapat melihat dan mengalami penglihatan yang dahsyat itu. Dengan kata lain Roh Kudus adalah dinamisator ibadah dalam kitab Wahyu. Penulis menyimpulkan bahwa dasar teologi ibadah dalam kitab Wahyu adalah ibadah Trinitarian. Allah Bapa dengan takhta-Nya adalah center ibadah kitab Wahyu. Yesus Kristus adalah kegenapan ibadah Perjanjian Lama. Roh Kudus adalah dinamisator ibadah dalam kitab Wahyu. Lumintang menuliskan bahwa “Ibadah Kristen adalah ibadah kepada Allah Bapa di dalam dan melalui Tuhan Yesus oleh Roh Kudus.” 35 KARAKTERISTIK IBADAH KITAB WAHYU Adapun karakteristik ibadah dalam kitab Wahyu, antara lain: trinitarian, theocentric, redeemptif, theistik, covenental, dan transformatif. Trinitarian Kitab Wahyu dimulai dengan salam dari Tiga Pribadi dalam Trinitas (1:5b,6); “... Bagi Dia, yang mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darah-Nya, dan yang telah membuat kita menjadi suatu 3 2 Yohanes 14:16 Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, 3 3 Wongso, Eksposisi Doktrin Alkitab..., 131. 3 4 Ibid., 131. 3 5 Lumintang, Theologia Ibadah..., 29. kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya, bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya. Amin. Doxology (1:4-8) ini berkembang secara signifikan sebagai formula dasar yang dapat ditemukan dalam surat-surat kiriman. Karya penebusan Kristus adalah penting dalam doxology. Perhatikanlah bahwa sekalipun Tiga Pribadi dari Trinitas disebut, dalam doxology ini diarahkan langsung secara jelas kepada Kristus. Dalam posisi-Nya sebagai raja, dan oleh kebajikan dalam karya penebusan yang sempurna, Kristus membuat umatNya menjadi imamat yang rajani (bnd. 1Ptr 2:9). Umat Tuhan yang berkumpul di Gereja dan di Sorga (7:9-15) adalah penggenapan dari perjanjian yang dibuat untuk Israel di Sinai; “Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel” (Kel 19:6; bnd. 1Ptr 2:9). Konteks menyatakan bahwa doxology ini lebih merefleksikan PL dan secara sederhana mengindikasikan penggenapan perjanjian Sinai. Kemudian diikuti dengan doxology pengumuman bahwa Kristus datang di awanawan. Hal ini menyatakan satu kiasan yang kuat kepada seorang seperti anak manusia dalam Daniel 7:13. Dalam pasal 4:1-5:14, doxology diarahkan kepada seorang yang duduk di atas takhta dan anak domba (4:9,11; 5:12,13). Ini adalah salah satu dari sekian banyak liturgi yang kaya dari seluruh kitab. Memuat tidak lebih dari lima lagu pujian yang dikumandangkan keluar dari lingkaran takhta itu. Dengan kata lain, kalau dicermati, pasal 4-5 memberi alasan mengapa Allah (Bapa) dan Kristus (Anak) layak disembah: Allah menciptakan segala sesuatu (4:11) dan Kristus melalui kematian-Nya menebus manusia bagi Allah (5:9). Atau dapat dikatakan bahwa umat Tuhan menyembah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan anak domba yang telah menebus mereka di pihak yang lain, maka penyembahan menjadi powerful. Ungkapan “Pada hari Tuhan aku dikuasai oleh Roh” (1:10) menunjuk kepada karya Roh Kudus. Itu sebabnya penulis menyimpulkan bahwa dalam konteks kitab Wahyu, Ibadah bersifat Trinitarian. Yang penulis maksudkan adalah dalam ibadah, jemaat menyembah Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Dengan kata lain, dalam ibadah, jemaat masuk dalam relasi dengan Allah (Bapa) melalui Allah (Anak) dan oleh Allah (Roh Kudus). Theocentric Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian theologia kitab Wahyu, Allah yang duduk di takhta menjadi pusat ibadah, maka sifat ibadah dalam konteks Wahyu bersifat Theocentric. Wahyu 4:1-11 adalah penglihatan Yohanes yang kedua. Penglihatan yang kedua ini terfokus pada Takhta (ay 2-3). Muncul 3 kali dalam ayat 2 dan 3, dan muncul 13 kali dalam seluruh pasal ini. Takhta merupakan simbol; “Otoritas Tertinggi, Kekuasaan yang Maha Agung, Kedaulatan yang mutlak.” Jadi, kedaulatan Allah merupakan sentral dalam penglihatan Yohanes. Sentralitas dari penglihatan ini, bukanlah mengenai Sorga, melainkan mengenai pusat dari Sorga ialah Takhta, mengenai Kedaulatan Allah. Tahkta atau Kedaulatan Allah, hanya mungkin dimengerti oleh orang percaya yang dikuasai oleh Roh Kudus. Karena hanya kepada orang yang diundang oleh Tuhan Yesus sendirilah, yang dikuasai oleh Roh Kudus untuk mengerti mengenai Allah yang berdaulat.36 Jadi, pusat ibadah kitab Wahyu adalah Allah, yaitu Allah yang sedang bekerja dan memerintah dunia ini, mengontrol semua kejadian dalam dunia, sehingga tidak satu peristiwa yang luput dari kedaulatan-Nya. Sentralitas Takhta yang dilihat Yohanes, terletak pada Dia Yang Duduk Di Atas Takhta, yaitu Dia yang berdaulat. Siapakah Dia yang duduk di atas Takhta itu? Yohanes tidak bisa mengidentifikasikan dengan jelas. Karena itu, Yohanes hanya mampu melukiskan “Dia yang duduk di Takhta itu” dengan menggunakan istilah bagaikan. Bahasa manusia tidak mampu menampung bahasa Sorga. Penglihatan manusia tidak mampu membahasakan apa yang dilihatnya tentang Allah.37 Redeemptif Sifat ini menunjuk pada karya penebusan Kristus. Istilah Anak Domba dalam kitab Wahyu menunjuk kepada Yesus. Hal ini dapat ditemukan dalam kitab Wahyu bahwa Ia hampir selalu diperkenalkan dengan nama pribadi Yesus (1:9; 12:17) daripada Kristus (11:15).38 Nama Yesus menunjuk kepada karya keselamatan yang dikerjakan-Nya. Dalam 3 6 3 7 Lumintang, Theologia Ibadah..., 30. Ibid. 3 8 George Barker Stevens, The Theology of the New Testament, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1936), 536. pasal 5, penyembahan ke-24 tua-tua diarahkan kepada Anak Domba karena karya penebusan-Nya.39 Kristus menerima penyataan Allah, yang kemudian Ia lanjutkan kepada Yohanes (1:1); Ia adalah Anak Domba yang disembelih dan dengan darah-Nya ia telah menebus orang kudus bagi Allah (5:6,9); dan sebagai Anak Domba, Ia akan menyambut mempelainya, itulah Gereja, ke dalam pesta perkawinan (19:7-9; 21:9). Yohanes mengajarkan bahwa Kristus adalah agen Allah dalam penciptaan, penebusan dan penyempurna. 40 Dengan demikian, karakteristik ibadah dalam kitab Wahyu ialah Redemptif, sebagaimana ditunjukan dalam penyembahan kepada Anak Domba Allah dan Dia yang duduk di Takhta. Sifat redemptif ini berimplikasi kepada penyembah, yaitu seorang yang datang menyembah adalah seorang yang sudah mengalami karya penebusan Kristus. Theistik Teologi ibadah Kristen, tentu bukanlah teologi yang deistik, yaitu teologi yang menekankan pada penyembahan kepada Allah yang bersifat transenden, yang jauh di “sana” (Allah yang ada di Sorga), juga bukanlah teologi penyembahan yang pantheistik, yaitu teologi yang semata-mata menekankan pada ibadah yang imanen (Allah itu ada di mana-mana, di mana-mana ada Allah), melainkan teologi yang theistik, yaitu teologi yang mengemukakan mengenai penyembahan kepada Allah yang transenden sekaligus imanen.41 Pelukisan tentang Allah dalam penglihatan Yohanes menunjukkan betapa mulia dan tak terjangkaunya manusia berdosa untuk menghampiri Takhta yang suci itu. Kemuliaan Allah yang tak terhampiri itu menunjuk kepada sifat transcendent. Yohanes begitu takut, bahkan seperti orang mati (1:17), hal ini menunjukkan bahwa Yohanes sedang berhadapan dengan Allah yang transcendent. Tetapi ayat 17 juga menyatakan bahwa “tetapi Ia meletakkan tangan kanan-Nya di atasku.” Hal ini menunjukkan bahwa Yohanes sedang berhadapan dengan Allah yang imanent. Maka memahami 3 9 4 0 Mounce, The Book Of Revelation..., 147. Simon J. Kistemaker, Revelation; New Teatament Commentary (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 2001), 58. 4 1 Lumintang, Theologia Ibadah..., 31. sifat ibadah yang theistik ini membuat penyembah dengan rasa hormat dan gentar datang beribadah kepada Allah, tetapi di sisi lain ibadah Kristen adalah ibadah dengan rasa nyaman, dan dekat dengan Allah yang imanen. Covenental Wahyu kepada Yohanes adalah satu dokumen perjanjian. Janice E. Leonard dalam Covenant Worship in The New Testament menuliskan bahwa: The proliferation of sevens is a clue to the book’s covenant content, a reminder of the taking of a covenant oath, which in Hebrew is literally “to seven oneself.42 Kitab Wahyu adalah juga merupakan sebuah lukisan tentang ibadah perjanjian sebagai respons manusia baru kepada Allah yang telah membebaskan mereka. Yohanes juga memberikan satu pola Gereja mengikuti deskripsi 24 tua-tua yang tersungkur di hadapan Anak Domba. “Lalu aku mendengar seperti suara himpunan besar orang banyak, seperti desau air bah dan seperti deru guruh yang hebat, katanya: Haleluya! Karena Tuhan, Allah kita, Yang Mahakuasa, telah menjadi raja. Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia” (19:6,7). Di dalam ibadah Gereja, “Kota suci, Yerusalem baru,” perjanjian itu mendapat penggenapannya: Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka” (21:3). Dengan demikian, sifat ibadah covenental menuntut penyembah untuk mengalami rekonsiliasi yang adalah merupakan pintu masuk kepada ibadah. Karena perjanjian Allah digenapi di dalam diri Tuhan Yesus, maka penyembah terlebih dahulu harus mengalami rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini terjadi di kayu salib. Itu berarti, dengan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, seseorang memperoleh pintu masuk ke dalam ibadah. 4 2 Janice E. Leonard, Covenant Worship In The New Testament, in The Biblical Foundations of Christian Worship, edit by Robert E. Webber (Peabody, Massachusetts: Hendrickson, 1993), 63. Transformatif Sifat ibadah yang transformatif ini dapat dicermati dalam kitab Wahyu, khususnya pada saat berhadapan dengan Takhta Allah. “Ketika aku melihat Dia, tersungkurlah aku di depan kaki-Nya sama seperti orang yang mati; tetapi Ia meletakkan tangan kanan-Nya di atasku, lalu berkata: 'Jangan takut! Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir (1:17).” Maka tersungkurlah ke-24 tua-tua itu di hadapan Dia yang duduk di atas takhta itu, dan mereka menyembah Dia yang hidup sampai selama-lamanya. Dan mereka melemparkan mahkotanya di hadapan takhta itu, sambil berkata: “Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan” (4:10). Transformasi terjadi ketika Yohanes berhadapan atau melihat Yesus dalam kemuliaan-Nya. Menyadari ketidaklayakan di hadapan Dia yang layak menerima segala hormat dan pujian, serta kemuliaan, 43 adalah transformasi pikiran. Transformasi berikut adalah sikap 24 tua-tua yang tersungkur di hadapan Dia yang duduk di atas Takhta, serta tindakan melemparkan mahkota, juga menyatakan ketidaklayakan, di hadapan Dia yang layak menerima penyembahan umatnya. Kistemaker menuliskan tentang sikap 24 tua-tua demikian: they had recieved these crowns from God for being overcomes, but they respectfully return them to God to assign to him all glory and honor.44 Dengan demikian, orang yang beribadah harus menunjukkan transformasi baik pikiran, maupun sikap hidup. Transformasi ini tentu karena karya Roh Kudus yang mengaplikasikan karya penebusan Kristus bagi kita. KONTRIBUSI BAGI IBADAH MASA KINI 4 3 4 4 Kistemaker, Revelation: New Testament..., 99. Ibid., 193. Kontribusi kepada Gereja-gereja masa kini. Ibadah Kristen yang memadai perlu memperhatikan beberapa prinsip ibadah di bawah ini. 1. Ibadah Kristen harus Biblikal. Bersumber dari firman Tuhan dan bukan pengalaman atau perasaan atau emosi belaka. 2. Ibadah Kristen harus bersifat dialog. Dalam ibadah, Allah berbicara dan mendengar. Dengan kuasa Roh Kudus, Allah menantang kita, menghibur kita, dan membangunkan kita. Dan oleh Roh Kudus, kita mendengar dan memberi respons dengan pujian, pengakuan, kesaksian dan dedikasi. 3. Ibadah Kristen bersifat covenental. Dalam ibadah, kebaikan Allah dan perjanjian yang baru dengan kita di dalam Kristus dibaharui, diteguhkan dan dimateraikan. Hubungan kita dengan Allah bukan didasarkan pada kontrak, tetapi pada perjanjian. 4. Ibadah Kristen harus Trinitarian. Dalam ibadah kita arahkan segala hormat, pujian dan kemuliaan hanya kepada Allah Trinitas, Bapa, Anak dan Roh Kudus. Allah adalah yang dengan anugerah-Nya mengundang kita beribadah dan kemudian Ia mendengar bahkan melihat respons kita. 5. Ibadah Kristen harus communal. Injil Yesus Kristus menarik kita masuk dalam kehidupan bersama dengan orang lain. PENUTUP: KESIMPULAN Ibadah dalam Perjanjian Baru adalah penggenapan perjanjian Allah kepada manusia, bahwa akhirnya semua orang akan berhadapan dengan takhta Allah yang kudus, dan Anak Domba. Semua bangsa akan bertekuk lutut di hadapan Anak Domba yang menghapus dosa isi dunia. Dengan kata lain, Allah Tritunggal adalah arah dan alamat pujian dan penyembahan orang percaya. Allah Bapa disembah di dalam nama Allah Anak yaitu Yesus Kristus dan dikerjakan oleh Allah Roh Kudus sebagai dinamisator ibadah. Ibadah kitab Wahyu adalah ibadah kepada Tuhan, Allah Bapa, Pencipta alam semesta (Why 4:10-11). Yesus Kristus, Anak Allah, Penebus dan Anak Domba Allah (Why 1:5,6; 5:11-14; 7:9-10). Roh Kudus, ialah tujuh Roh yang ada di hadapan takhta-Nya (Why.1:4). Ibadah dalam kitab Wahyu adalah Trinitarian. Bukan kepada; Iblis, “seluruh dunia menyembah naga itu” (13:3); anti Kristus, “iblis memberi kekuasaan kepada binatang itu dan mereka menyembah dia” (13:4); kepada nabi anti-Kristus, “ia menyebabkan seluruh bumi menyembah binatang pertama” (13:11-12). Allah Tritunggal adalah pusat ibadah Perjanjian Baru sebagaimana dinyatakan dalam kitab Wahyu. FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT DAN PENUNJANG PERTUMBUHAN GEREJA MORRIS P. TAKALIUANG PENDAHULUAN Prinsip yang fundamental bagi semua kehidupan adalah bahwa organisme hidup itu tumbuh. Pertumbuhan itu alamiah, sebagai pernyataan kehidupan yang spontan. Satu-satunya cara yang menghentikan pertumbuhan adalah penyakit atau kematian. Demikian pula dengan Gereja Kristus. Ron Jenson dan Jim Stevens menilai, bahwa Gereja berdenyut seiring kehidupan Kristus, maka kita berharap Gereja bertumbuh, kecuali pertumbuhannya dihambat oleh penyakit.1 Pembahasan tentang pertumbuhan Gereja dan analisis dinamikanya di balik cara bagaimana Gereja bertumbuh telah menerima daya dorong melalui pekerjaan Donald McGravan dan koleganya di Fuller Theological 1 Bnd. Ron Jenson dan Jim Stevens, Dinamika Pertumbuhan Gereja (Malang, Jawa Timur: Gandum Mas, 1996), 7-8. Seminary School of World Mission. Studi mereka telah mendorong minat dalam pertumbuhan Gereja dan menstimulir penulis dalam presentasi tulisan ini. Bagian pertama penulis memaparkan pengertian Alkitab mengenai pertumbuhan Gereja. Bagian kedua memaparkan tentang faktor-faktor penghambat dan penunjang pertumbuhan Gereja. Sedangkan bagian ketiga menjabarkan strategi pertumbuhan Gereja. Dan ditutup dengan kesimpulan dan rekomendasi. PENGERTIAN PERTUMBUHAN GEREJA Suatu pengertian yang tepat dan baik tentang pertumbuhan Gereja sangat diperlukan dalam usaha memahami esensi dan eksistensi dari gerakan pertumbuhan Gereja. Esensi maksudnya adalah perlunya konsep teologis tentang pertumbuhan Gereja, dan eksistensi maksudnya adalah hadirnya gerakan pertumbuhan Gereja terkait dengan beberapa faktor yang turut mendukung maupun menghambatnya. Pakar pertumbuhan Gereja, Peter Wagner merumuskan pertumbuhan Gereja sebagai: segala sesuatu yang mencakup soal membawa orang-orang yang tak memiliki hubungan pribadi dengan Yesus Kristus ke dalam persekutuan dengan Dia dan membawa menjadi anggota Gereja yang bertanggung jawab.2 Bagi Wagner, penginjilan dan pemuridan merupakan proses yang menghasilkan pertumbuhan kuantitatif dan kualitatif yang berjalan secara simultan dan dalam keseimbangan yang baik. Sedangkan menurut Dr. Peter Wongso, pertumbuhan Gereja adalah sebagai berikut: Yang dimaksud dengan pertumbuhan Gereja ialah perkembangan dan perluasan Tubuh Kristus, baik dalam kualitas maupun kuantitas, dalam bentuk yang tampak. Alkitab mencacat, “Gereja adalah Tubuh Kristus” (Ef 1:23; 4:12-16; Kol 1:24). Tiap-tiap hari Tuhan menambahkan jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan (Kis 2:47). Jelaslah ayat-ayat ini menerangkan bahwa orang yang diselamatkan (kualitas yang tak tampak), tiap-tiap hari Tuhan menambahkan jumlah mereka (kuantitas yang tampak). Ini adalah makna pertumbuhan Gereja. Ide pertumbuhan Gereja bukan berasal 2 1981), 80. Peter Wongso, Tugas Gereja dan Misi Masa Kini (Surabaya: YAKIN, dari pikiran manusia, melainkan dari kehendak Allah sendiri. Tatkala Allah menciptakan manusia, Ia memberkati mereka agar mereka berkembang biak memenuhi bumi (Kej 1:27-28). Tuhan Yesus juga memerintahkan murid-murid-Nya, pergilah ke ujung bumi memberitakan Injil kepada segenap bangsa, yang percaya dan dibaptis pasti diselamatkan (Mrk 16:15-16). Maka ide pertumbuhan Gereja bukanlah berasal dari filsafat barat, melainkan kehendak Allah semula. Pertumbuhan Gereja adalah suatu masalah yang mendesak, karena Allah tidak menghendaki manusia binasa, melainkan menghendaki semua diselamatkan, percaya bahwa Tuhan Yesus adalah Juruselamat pribadi dan beroleh hidup yang kekal (Yoh 3:16; 2Ptr 3:9).3 Selanjutnya Peter Wongso dalam bukunya Tugas Gereja dan Misi Masa Kini menuliskan sebagai berikut: Bila kita ingin Gereja bertumbuh dengan sesungguhnya, kebenaran pertumbuhan Gereja harus dijadikan suatu konsep dan pandangan yang amat kuat dalam hati setiap umat Kristen... Jika konsep dan pandangan setiap orang Kristen terhadap hal ini makin kuat, maka pertumbuhan Gereja pasti akan maju dengan pesat... jika Gereja mau mempertahankan eksistensinya, harus terus berkembang dan bertumbuh. Gereja yang tak bertumbuh adalah Gereja yang tak mungkin mempertahankan eksistensinya.4 Sedangkan Pdt. Dr. I Wayan Mastra, berdasarkan Lukas 2:40 dan Lukas 2:52 menulis sebagai berikut: Jika Gereja adalah Tubuh Kristus, maka dalam berbicara mengenai pertumbuhan Gereja kita tak boleh melalaikan empat unsur pertumbuhan Gereja. Pertama, Gereja harus makin bertumbuh dalam hikmat atau kebijaksanaannya secara intelektual dan akademis. Jadi, Gereja harus makin dicerdaskan. Kedua, Gereja harus bertumbuh besar dan makin kuat jasmaninya, fisiknya, materialnya atau ekonominya. Ketiga, Gereja harus makin dikasihi Allah. Jadi makin bertumbuh kehidupan rohaninya. Keempat, Gereja 3 Ibid., 80. I Wayan Mastra, ”Kebudayaan dan Pertumbuhan Gereja” dalam Wagiyono Sumarto (ed.), Dipanggil untuk Melayani (Batu-Malang: YPPII, 1998), 314. 4 makin dikasihi manusia artinya makin banyak orang percaya dan melekatkan diri kepada-Nya.5 Jadi, dapat disimpulkan bahwa Gereja yang bertumbuh adalah Gereja yang diperkuat kecerdasannya, jasmaninya, kerohaniannya dan kehidupan sosialnya, sehingga ia makin disukai oleh Allah dan manusia. Dalam pertumbuhan Gereja yang utuh dan menyeluruh, maka ketiga aspek kebutuhan manusia, yaitu: kebutuhan kepala, hati dan perut harus dipenuhi agar tubuh itu dapat tumbuh seimbang dan selaras. Pertumbuhan yang berimbang itu amat penting artinya, agar Gereja dapat menjalankan tugas dan panggilannya dengan baik. Kalau seseorang makin kuat jasmani, kebijaksanaan dan kerohaniannya, maka secara otomatis akan dihargai dalam masyarakat. Memutuskan bahwa Allah tidak menghendaki Gereja-Nya bertumbuh berarti kita telah memutuskan untuk mati. Tidak ada pilihan lain, karena makhluk hidup seharusnya bertumbuh, demikian pula Gereja harus bertumbuh karena Gereja itu hidup. Karena itu, jika kita telah percaya kepada Imamat am orang percaya, maka setiap anggota Gereja harus mampu dalam doa, daya dan dana, melaksanakan tugas dan panggilannya. Kenyataan ini juga terdapat dalam diri rasul Paulus. Dia mengembangkan teologinya dan sekaligus penyerahan diri secara total kepada Allah dan pada saat yang bersamaan, dia berusaha sendiri dengan cara membuat dan menjual tenda untuk membiayai usaha-usaha pekabaran Injilnya. Gereja dapat berbuat demikian jika memperhatikan ketiga aspek kebutuhan anggota Gereja, yaitu: kepala, hati, dan perut dalam memikirkan pertumbuhan Gereja. Artinya, Gereja harus bisa menjadi subjek dan bukan hanya objek. Gereja harus menjadi berkat dalam arti mampu memberi, karena lebih baik memberi daripada menerima (Kis 20:35). FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PERTUMBUHAN GEREJA Faktor penghambat pertumbuhan Gereja dapat dilihat dari lima sudut, yakni: kesalahan pemahaman teologi, kesalahan pemahaman hakikat arti misi, sosial kultural, trauma sejarah, dan agama tertentu. 5 28-29. Peter Wagner, Strategi Pertumbuhan Gereja (Malang: Gandum Mas, t.t), Faktor Kesalahan Pemahaman Teologi Pada tahun 1960-an, banyak orang mempersoalkan apakah Gereja seharusnya bertumbuh? Ada keragu-raguan yang datang dari beberapa orang tentang apakah Gereja dapat bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Di dalam lingkungan tertentu untuk beberapa saat lamanya orang biasa menyampaikan bahwa kita sekarang hidup dalam suatu zaman sesudah Kristen (post christianity). Lembaga Gereja dianggap sudah ketinggalan zaman. Beberapa pengaruh dari konsep ini, masih tertinggal seperti suatu batuk kecil sesudah pilek yang berat. Di kalangan tertentu, ada anggapan populer yang menyatakan bahwa Tuhan Yesus Kristus tidak tertarik pada perkembangan Gereja. Mereka beranggapan bahwa Yesus menganut filsafat kecil itu indah. Yesus dianggap tidak mengutamakan kesuksesan, melainkan mengutamakan kesetiaan. Misi penderitaan-Nya dinyatakan di atas kayu salib. Yesus dipandang lain oleh masyarakat pada zaman-Nya. Yesus hanya memanggil beberapa orang untuk mengikuti-Nya, Yesus lebih mengutamakan kualitas bukan kuantitas. Orang-orang yang memandang Yesus dan pelayanan-Nya seperti ini seringkali menolak ajaran tentang perkembangan Gereja. Bagi mereka, antusiasme dan optimisme yang terdapat pada gerakan pertumbuhan Gereja tampak sebagai suatu sikap kebanggaan yang berlebih-lebihan akan keberhasilan yang tak sepadan dengan Roh Kristus. Bahkan ada yang menganggapnya serupa dengan sikap mengagung-agungkan angka dan jumlah ini, dengan mudah dapat menjadi sesuatu yang buruk dan berpusat pada diri sendiri. 6 Timbul pertanyaan, benarkah Yesus memandang pelayanan dan misi-Nya seperti demikian? Setelah tiga tahun melayani murid-murid-Nya, Yesus sedang mendekati saat-saat terakhir dalam pelayanan-Nya di dalam dunia ini. Ia akan ditangkap, diadili, difitnah, diludahi, dihina, pakaian-Nya dilucuti, diejek dan disalibkan di antara dua orang penyamun. Penduduk kota Yerusalem yang dikasihi dan ditangisi-Nya justru memarahi Dia dan 6 Bnd. Peter Wagner, Penanaman Gereja untuk Tuaian yang Lebih Besar (Malang: Gandum Mas, t.t), 36-40. menghendaki penyaliban-Nya. Lebih dari itu, Ia ditinggalkan oleh muridmurid-Nya yang terdekat, orang yang disiapkan-Nya untuk melanjutkan pelayanan-Nya dikemudian hari, jika Ia pergi. Pada saat-saat demikian, kebanyakan orang akan merasa tidak mempunyai harapan lagi, tetapi lain bagi Yesus, Dia tetap optimis. BagiNya peristiwa-peristiwa yang dilayani-Nya tak akan berakhir dalam kekalahan, tetapi dalam kemenangan. Di tengah-tengah semuanya itu Dia membuat pernyataan yang luar biasa, Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya (Mrk 24:14). Sedangkan pada saat itu pemberitaan Injil masih terbatas pada sekelompok kecil orang-orang yang terdapat di pantai Laut Tengah bagian Timur, yakni orang Yahudi di Galilea yang berbahasa Aram. Tetapi Yesus mampu memandang ke depan dan melihat pemberitaan Injil Kerajaan Allah akan terjadi kepada semua bangsa di bumi ini. Faktor Kesalahan Pemahaman Hakikat Misi Kurangnya pemahaman dan dangkalnya kesadaran orang-orang Kristen bahwa setiap generasi baru harus diinjili di dalam zamannya sendiri, dan juga adanya prinsip teologi bahwa Allah tidak mempunyai cucu, salah dipahami oleh Gereja, sehingga terdapat pemahaman keliru bahwa orangtua yang percaya secara sungguh-sungguh kepada Kristus dapat menyebabkan anaknya masuk ke dalam keselamatan. Di sini dapat dipahami bahwa para orangtua yang sungguh-sungguh percaya Kristus dapat sangat mempengarui anak-anaknya mengenal Kristus, tetapi hal itu tak otomatis anak-anak tersebut langsung menerima keselamatan. Anak-anak itu perlu mengenal pribadi Juruselamat karena usaha penginjilan. Juga karena kurangnya kesadaran bahwa walaupun telah terdapat banyak pelayanan pengembalaan tetapi masih banyak dombadomba yang hilang dan tersesat. Dan bahwa kehendak Allah ialah dombadomba itu ditemukan kembali dan beroleh keselamatan (2Ptr 3:9). 7 Faktor Sosio-Kultural 7 Bnd. Stephen Neill, Colonialism and Christian Missions (London: Lutterworth, 1966), 412. Selama 50 tahun terakhir ini, agama-agama di seluruh dunia mengalami kebangkitan. Dari pihak Gereja kenyataan ini merupakan tantangan dan hambatan bagi pertumbuhan Gereja. Apabila Gereja tidak bertumbuh, maka ketika agama lain bertumbuh, dengan sendirinya Gereja yang tak memiliki konsep yang Alkitabiah tentang pertumbuhan Gereja akan terdesak. Pada tahun 1966, Pemerintah Indonesia mengakui ajaran Konghucu sebagai suatu agama dan mereka juga membaurkan diri dalam kegiatan masyarakat, menyusun buku-buku pelajaran dan mengajarkan ajaran etika Konghucu di sekolah-sekolah negeri dan swasta. Dewasa ini jumlah mereka telah mencapai jutaan orang di seluruh Indonesia. Agama Budha di Asia juga ikut berkembang. Di Taiwan terdapat puluhan ribu kuil. Rakyat di sana kian percaya kepada tahyul dan mengasuh kuil Budha sehingga sudah menjadi semacam usaha baru. Banyak orang yang melayani di kuil-kuil itu mengumpulkan uang dari para pengunjung yang sembahyang di tempat tersebut dan dengan itu mengadakan pemugaran kuil-kuil Hindu. Akhir-akhir ini agama Budha juga menerbitkan buku-buku, mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit, panti asuhan yatim piatu dan lain sebagainya. Di samping itu, kerapkali mereka mengadakan ceramahceramah yang bersifat ilmiah. Candi Borobudur beberapa kali telah dipugar dan di tempat tersebut diadakan upacara besar-besaran dan umat Budha dari berbagai negara turut hadir. Agama Islam juga mengalami kebangkitan yang luar biasa. Di samping mereka mengembangkan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi dan rumah sakit yang sangat banyak, juga umat Islam masa kini telah mempunyai paling kurang tiga partai politik besar yang berazaskan Islam (Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan Bangsa), tujuan akhirnya adalah penerapan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Belum lagi berkembangnya organisasiorganisasi intelektual Islam yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan politik dan kemasyarakatan. Selain agama-agama besar yang telah disebutkan di atas, kepercayaan lain seperti: animisme, astrologi, ilmu sihir, ilmu kebatinan, kepercayaan kepada dukun-dukun dan jimat-jimat dari agama primitif, dewasa ini telah menjadi mata kuliah dalam studi Antropologi di perguruan tinggi. Ilmu-ilmu tersebut bukan saja diilmiahkan, tetapi juga telah sangat menarik perhatian banyak sarjana yang jiwanya kosong. Di Amerika juga di Indonesia, majalah-majalah dan surat kabar-kabar besar, membuka kolom astrologia dan mempromosikannya secara besar-besaran. Penulis-penulis kolom itu kebanyakan adalah orang-orang yang bergelar dokter atau para profesor. Ini sangat menarik perhatian banyak orang yang tersesat. Faktor Trauma Sejarah Sejarah perkembangan dan perluasan agama Kristen atau Gereja dalam sejarah dunia, pada satu sisi merupakan suatu prestasi dan prestise tersendiri, bagi dunia misi dan zending.8 Tetapi pada sisi lain hal itu berdampak buruk pada sebagian orang, karena menimbulkan trauma sejarah yang berkepanjangan dan sulit dipulihkan. Sebagai contoh adalah sejarah Perang Salib yang sampai saat ini telah membuat orang-orang dari agama tertentu berpandangan bahwa agama Kristen adalah musuh yang harus diperangi karena telah menumpahkan darah jutaan umat agama tertentu pada zamannya. Kebencian itu sampai hari ini telah menjiwai juataan umat penganut agama tertentu terhadap orang-orang Kristen dan Gereja.9 Tentu juga ada faktor teologis lain yang menyebabkannya. Serangan Belanda terhadap Indonesia dan penjajahan panjang terhadap Nusantara ini telah melahirkan trauma baru, di mana orang-orang non-Kristen menganggap agama Kristen identik dengan penjajah atau agama orang barat atau kulit putih.10 Dan sekali pun alasan mereka dapat 8 Bnd. Th. Van den End, Harta Dalam Bejana (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 114; Bnd. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche Zaken (Jakarta: LP3ES, 1983) 9 Bnd. Anne Ruck, Sejarah Gereja Asia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 378-379; Bnd. Th. Van den End, Sejarah Gereja Asia (Yogyakarta: Duta Wacana, 1931), 97; Ismatu Ropi, Fragile Relation – Muslim and Christians in Modern Indonesia (Jakarta: Logos, 2000); Bnd. Olaf Schumann, ”Christian-Muslim Encounter in Indonesia,” dalam Yvonne Yazbeck (eds.), Christian Muslim Encounters (Gainesville: University Press of Florida, 1988), 285-287; Th. Müller-Krüger, Sejarah Geredja di Indonesia (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1966), 15-20; Lih. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (eds), Sejarah Nasional Indonesia. III (Jakarta: Balai Pustaka, 1990); Bnd. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Imperium sampai Imperium (Jakarta: Gramedia, 1987), 28-65. 1 0 Bnd. Mastra, Kebudayaan dan Pertumbuhan…, 317; Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1987), 54-63; S.C. van dimengerti tetapi harus diakui juga bahwa Gereja dan zending yang diutus dari barat, turut andil dalam menciptakan citra negatif tersebut. Dengan demikian mayoritas bangsa Indonesia menyimpan dendam sejarah terhadap agama Kristen, Gereja dan misi masa kini.11 Belum lagi zaman Post Modern ini, perlakukan Amerika terhadap terorisme yang begitu keras, lebih memicu dendam dan sakit hati terhadap Kekristenan, karena Amerika Serikat dianggap Negara Kristen oleh sebagian besar orang-orang non-Kristen di Indonesia. Ditambah, dukungan yang sangat kuat dari Amerika Serikat terhadap musuh bersama agamaagama tertentu, yakni Israel, turut menambah intensitas kebencian itu. Sikap permusuhan dan anti-Kristen memuncak di Indonesia dengan pengrusakkan, pembakaran dan penutupan 800 Gereja lebih di Indonesia masa kini. Hal ini mengakibatkan ketakutan, kegelisahan dan trauma mental yang cukup berat bagi orang-orang Kristen di Indonesia. Kita melihat bahwa banyak orang Kristen yang menjadi pudar imannya lalu mundur dari iman. Inilah sebabnya beberapa orang Kristen beranggapan bahwa kita perlu kompromi, perlu mengoreksi kepercayaan kita dan bahkan tak perlu lagi menjalankan penginjilan dan misi terhadap orang-orang nonKristen tersebut. Dalam kondisi seperti ini, Gereja atau kekristenan, jelas akan merosot dan terus merosot sampai akhirnya kehilangan garam dan terangnya yakni Gereja dalam proses menuju kematian rohani. Dalam pandangan Alkitab, Gereja yang menderita adalah Gereja yang cepat bertumbuh dan memenangkan banyak jiwa bagi Kristus. Sebab seorang Kristen yang telah lahir baru dan terus bertumbuh dalam pengenalan akan Kristus pasti akan tetap bertahan dan bertumbuh dalam hal kualitas, kuantitas dan komplesitas organisasi Tubuh Kristus. Maka benarlah yang dikatakan oleh Dr. Peter Wongso: Apabila Gereja tak bertumbuh dengan cepat, maka tatkala agama-agama lain bertumbuh, dengan sendirinya Gereja akan terdesak.12 Randwijck, Oegstgeet: Kebijaksanaan Lembaga-Lembaga Pekabaran Injil yang Bekerjasama 1897-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989),149; Lih. J. Verkuyl, Ketegangan antara Imperialisme dan Kolonialisme Barat dan Zending pada Masa Politik Kolonial Etis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 67-75. 1 1 Wongso, Tugas Gereja dan …, 63. 1 2 Hamran Amri, Allah Sudah Pilihkan Buat Saya Hidup Baru Dalam Kristus (Jakarta: BPK Sinar Kasih, 1976), 27. Faktor Agama Sandungan terbesar, terkuat dan terberat umat agama tertentu dalam memahami dan menerima kekristenan adalah karena mereka menganggap dan yakin bahwa ajaran Kristen tentang Allah Tritunggal dan tentang Yesus Kristus merupakan dosa yang tidak terampuni (dosa syirk). Menurut mereka, syirk atau mempersekutukan Tuhan Allah adalah dosa yang tak dapat diampuni.13 Sejak masa kanak-kanak penganut agama tertentu sudah diajarkan bahwa... lam yalid lam yulod... atau Allah itu tak beranak dan tidak diperanakan.14 Akibatnya, mereka tidak dapat menerima pandangan bahwa Yesus Kristus itu Anak Allah. Juga, mereka tak dapat menyebut Yesus itu Tuhan karena mereka sudah diajarkan, La ilaha illahlah atau Tiada Tuhan selain Allah. Karena inilah muncul anggapan bahwa orang-orang Kristen bersalah terhadap syirk ini karena mempercayai dan mengajarkan doktrin Allah Tritunggal. Sementara itu di kalangan Kristen, khususnya di Indonesia ini, masalah dosa syirk ini, menjadi salah satu sebab munculnya keragu-raguan di benak mereka. Apalagi, posisi orang Kristen pada saat ia dituduh atau difitnah dan bahkan diserang oleh orang-orang penganut agama tertentu. Karena itu terhadap situasi yang demikian ini, tak jarang orang Kristen, bukan saja tak bertumbuh, tetapi malahan sedang berada dalam proses menuju kematian iman. Dan jangan lupa, pengaruh ajaran agama tertentu, telah sangat mempengaruhi perudangan-undangan di Indonesia sejak beberapa dekade yang lalu. Tetapi bagi kita yang sungguh telah percaya kepada Allah dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus seperti yang diajarkan Alkitab, justru hal ini merupakan tantangan dan sekaligus peluang untuk menyaksikan Injil Yesus Kristus yang menyelamatkan (Rm 1:16-17). FAKTOR-FAKTOR PENUNJANG PERTUMBUHAN GEREJA 1 3 Ibid., 14; Bnd. Yohanes D. Mansur, “To Give An Answer To Every Man: Trinitarian and Christological Views in The Apologetics of Hamran Amri of Indonesia” dalam Tesis Master of Theology (Los Angeles: Bible University, 1990), 65. 1 4 Bnd. Chris Marantika, Pertumbuhan Gereja Secara Alkitab dan Theologis (Jakarta: Panitia PG, 1989), 34-43. Faktor-faktor penunjang atau penentu pertumbuhan Gereja dapat dilihat dari dua sudut, yakni faktor teologis dan antropologis. Yang dimaksud dengan faktor teologis adalah keterlibatan dan peranan Allah sendiri di dalam memulai dan menumbuhkan Gereja-Nya. Sedangkan faktor antropologis bermaksud menunjukkan bahwa Allah memakai, membentuk dan memperlengkapi hamba-hamba-Nya atau manusia Tuhan yang dipilih-Nya untuk bekerja sama dengan Dia dalam rangka menumbuhkembangkan Gereja-Nya di dunia ini. Faktor Teologis Salah satu aspek penunjang pertumbuhan Gereja adalah faktor teologis, yakni bergantung kepada Allah, dan peranan atau karya Roh Kudus dalam Gereja. Pertumbuhan Gereja Bergantung Kepada Allah Pertumbuhan secara kuantitatif, kualitatif dan organik dalam Gereja lokal merupakan suatu proses supranatural. Gereja adalah ciptaan Allah, Yesus Kristus adalah kepalanya. Kehidupan mengalir dari keberadaan-Nya di dalam Gereja dan pertumbuhan terjadi sebagai akibat dari kehidupan ilahi tersebut. Gereja adalah sebuah organisme yang hidup. Gereja berkembang dan bertumbuh melalui proses karya Allah, bukan perbuatan manusia. Dalam 1Korintus 3 Paulus menjelaskan tentang tanggung jawab terakhir untuk pertumbuhan Gereja: Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan (1Kor 3:6). Rasul Paulus menguraikan bahwa setelah segala usaha manusia dilakukan, pada akhirnya pertumbuhan itu bergantung kepada Allah. Benih itu ditanam dan tanaman yang tumbuh itu disiram, dipangkas dan dipelihara, tetapi pertumbuhan adalah hasil dari proses supranatural, misterius dan ajaib yang terjadi di bawah tanah, bebas dari intervensi dan usaha manusia. Demikian juga pertumbuhan Gereja. Jikalau bukan Tuhan yang membangun Gereja, maka sia-sialah usaha manusia yang mengorganisir, merencanakan dan membiayainya (bnd. Mzm 127:1). Sebelum kita mengakui adanya unsur supranatural dalam proses pertumbuhan Gereja dan menempatkan usaha manusia pada proporsinya, maka tidak ada nilai benar dan kekal yang dapat dicapai dari diri kita sendiri; kita tak dapat membuat Gereja bertumbuh (Yoh 15:5). 15 Kita mungkin berpikir sejenak dan kemudian memuji keberhasilan kita karena sifat yang baik, karunia rohani yang hebat, adanya sumbersumber dana atau karena kepempinan gembala yang kuat. Tetapi tanpa mengecilkan faktor di mana Allah memakai keterlibatan manusia, pertumbuhan Gereja tetap tergantung pada Allah dan di dalamnya Allah memakai manusia yang bergantung kepada-Nya (Yoh 15:1-8). Gereja-gereja yang dibangun berdasarkan talenta berkhotbah yang hebat atau kemampuan berorganisasi seseorang, harus menolak godaan untuk memuji manusia sebagai penyebab pertumbuhan sebuah Gereja. Paling tepat, jika kita berkata, kita adalah orang-orang yang menanam dan orang-orang yang menyiram tetapi Allah yang menghidupkan dan menumbuhkan Gereja dan hanya Dia saja yang layak menerima pujian. Timbul pertanyaan, bagaimana hal tersebut di atas berhubungan dengan doa? Jawabannya adalah: jika kita percaya bahwa pertumbuhan Gereja berasal dari Allah dan kerenanya bersifat supranatural dan jika kita sadar bahwa kita bergantung kepada Allah dalam proses pertumbuhan Gereja, maka doa juga di dalam tuntunan Allah (Roh Kudus) akan menempati urutan teratas dari susunan daftar prioritas kita. Jika Allah yang menyebabkan pertumbuhan, maka kita harus berhubungan dengan Dia, jika tidak, maka kita berusaha dengan sia-sia, menjalankan roda pelayanan kita tanpa hasil rohani yang diharapkan. Perubahan dan pertumbuhan roahni yang sejati akan terjadi hanya karena jawaban doa, sementara kita terus belajar untuk bergantung kepadaNya Fokus harus dialihkan dari diri kita sendiri kepada Allah. Dan jika kemampuan kita berasal dari Allah dan bukan dari diri kita sendiri dalam segala hal, maka pastilah fokus kita harus berpusat pada Allah sebagai sumber segala kekuatan kita. Supaya kita menjadi semakin yakin bahwa sumber pertumbuhan Gereja adalah dari Allah saja dan bahwa usaha manusia sia-sia adanya tanpa berkat-Nya, maka seharusnya kita memahami petingnya peranan Roh Kudus dalam Gereja. Pertumbuhan Gereja Bergantung Kepada Peranan Roh Kudus 1 Baptis, 1985), 71. 5 Bnd. Billy Graham, Roh Kudus (Bandung: Lembaga Literatur Gereja lahir, bertumbuh dan tetap eksis karena pekerjaan Roh Kudus. Roh Kudus-lah yang membawa orang-orang ke dalam Gereja. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hidup seseorang sehingga mengalami kelahiran baru, makin berakar dan bertumbuh di dalam Kristus merupakan karya Roh Kudus.16 Karya tersebut dapat diamati dalam proses di bawah ini. Roh Kudus Menginsafkan Roh Kudus mengisafkan manusia akan dosa-dosanya ketika Ia mendirikan Gereja (Yoh 16:8-11). Dalam bagian lain Yesus menegaskan bahwa, tak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku jikalau ia tak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku (Yoh 6:44). Kesadaran akan pendekatan ilahi membuat kita sadar bahwa Allah memulai dengan caraNya yang misterius, menarik, melembutkan dan menciptakan kesadaran akan kebutuhan dalam hati seseorang akan pentingnya keselamatan atau lahir baru. Kita harus sadar bahwa Roh Kudus, dengan cara yang kadangkadang tak kita mengerti dan di luar kemampuan kita, bekerja di dalam hati seseorang mendatangkan keselamatan. Kita berpikir bahwa latihan, kemampuan dan pengetahuan kita sebagai penyebab kesadaran seseorang. Roh Kudus menggunakan sumber daya manusia dalam pekerjaan-Nya tetapi tanggung jawab untuk menyadarkan seseorang adalah karya-Nya sendiri. Roh Kudus Mengerjakan Pertobatan Roh Kudus mengerjakan pertobatan yang sejati di dalam hati seseorang. Pertobatan adalah buah dari kesadaran yang membawa kepada keputusan, di mana caranya sulit untuk dipahami. Roh Kudus menarik kita dan menciptakan di dalam kita kesadaran akan kebutuhan kita yang paling dalam. Ia kemudian memberikan kemampuan kepada kita untuk percaya kepada berita Injil dan menempatkan iman kita kepada-Nya. Ia menyebabkan perubahan itu terjadi. Titus 3:5 menjelaskan proses tersebut: 1 6 Bnd. Graham, Roh Kudus..., 81. Oleh pemandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Hal yang perlu diigat bahwa sebagai manusia, kita tidak memiliki peran apapun dalam kelahiran baru atau pembaharuan seseorang, selain hanya menyampaikan berita Injil. Tentang hal ini, Billy Graham menjelaskan sebagai berikut: Pembaharuan itu bukanlah pekerjaan penginjil, itu adalah pekerjaan Roh Allah. Syarat yang tak dapat dipisahkan dari kelahiran baru adalah pertobatan dan iman, tetapi pertobatan dan iman itu sendiri tak menyelamatkan. Iman yang sejati itu adalah pemberian Allah kepada seseorang seperti yang telah saya katakan bahkan menolong kita untuk bertobat.17 Roh Kudus Menciptakan Pengakuan Hal Penting lainnya dalam karya Roh Kudus selain menginsafkan dan menobatkan seseorang adalah adanya pengakuan bahwa Yesus adalah Tuhan (Rm 10:9-10). Dalam 1Korintus 12:3, dijelaskan: Tak ada seorang pun yang dapat mengaku Yesus adalah Tuhan selain oleh Roh Kudus. Roh Kudus saja yang menyebabkan seseorang bertobat kemudian membuatnya mengakui di dalam hati dan dengan kata-kata di dalam mulutnya, bahwa Yesus adalah Tuhannya. Roh Kudus memperlengkapi Gereja Roh Kudus memperlengkapi Gereja di samping membawa orangorang ke dalam Gereja. Roh Kudus juga mengarahkan pertumbuhan individu-individu tersebut ke tingkat yang lebih dalam dan tinggi di dalam Tuhan Kristus Yesus. Perlu disadari bahwa kita tak dapat menyebabkan pertumbuhan Gereja sama seperti halnya pertobatan. Surat Galatia 5:22 melukiskan sembilan kualitas sifat atau karakter dan tingkah laku Kristus dalam diri seorang Kristen sebagai buah pertumbuhan rohani, yang disebut Paulus sebagai buah Roh. Buah Roh di sini bukan berasal dari manusia yang mengalaminya tetapi dari Roh yang tinggal di dalamnya. Ini terjadi pada individu-individu yang berada dan tinggal di dalam Tubuh Kristus. 1 7 Stephen Tong, Roh Kudus, Suara Hati Nurani dan Setan (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Jakarta, 1997), 115-116. Efesus 3:16 berkata tentang aktifitas Roh ini yang terjadi di dalam batin manusia. Jika Roh Kudus tinggal dalam hati atau batin seseorang, maka ia juga bekerja di dalam orang tersebut. Ia menggerakkan, mengubah, menuntun dan menggembalakannya menjadi seperti Kristus dalam tiga cara utama. Pertama, melalui Firman Tuhan. Roh Kudus memperlengkapi Gereja melalui Firman Allah. Ibrani 4:12 melukiskan bahwa Firman Allah itu hidup, kuat dan tajam. Selanjutnya dalam Yohanes 16:13 ditulis bahwa Roh akan memimpin kita ke dalam seluruh kebenaran yaitu kebenaran tentang Tuhan Yesus Kristus. Konteks dari ayat ini adalah percakapan di mana Yesus sedang berhubungan dengan murid-murid-Nya berkaitan dengan hubungan-Nya dengan Allah, Kerajaan Surga dan mereka sendiri. Kata Yesus kepada mereka bahwa salah satu pelayanan Roh Kudus atau Penghibur adalah mencelikkan mata rohani mereka yang buta dan memimpin mereka kepada pengertian yang mendalam tentang Kristus, Anak Allah yang hidup. Roh Kudus yang hidup menggunakan Firman Allah yang hidup, memberinya kuasa, dan dengan cara ajaib atau misterius, supranatural, memakainya untuk mengubah seseorang di dalam hatinya dan menumbuhkan kualitas rohaninya. Dalam 1Tesalonika 2:13 Paulus berbicara tentang Firman yang bekerja dalam hidup mereka yang percaya. Hubungan yang erat dan harmonis antara Roh yang bekerja melalui Firman Allah ditegaskan lagi oleh Stephen Tong sebagai berikut: Dan semua yang disebut sebagai suara Roh Kudus harus sesuai dan harmonis dengan prinsip-prinsip yang ada di seluruh Kitab Suci. Tidak ada konflik dengan Firman. Jangan membedakan dan memisahkan Roh Kudus dari Firman. Roh Kudus adalah kebenaran dan Kitab Suci adalah kebenaran yang diwahyukan oleh Roh Kudus, karena Roh Kudus adalah roh kebenaran, maka Roh Kudus yang mewahyukan kebenaran, mencerahkan orang akan kebenaran dan memimpin Gereja kembali, masuk ke dalam pengertian dan kenikmatan kebenaran. Roh Kudus dan kebenaran tak boleh dipisahkan.18 Bnd. David Iman Santoso, “Pertumbuhan Gereja dan Peranan Roh Kudus” dalam Tantangan Gereja di Indonesia (Surabaya: YAKIN, 1990). 1 8 Kedua, melalui manusia-manusia Tuhan. Di samping menggunakan Firman Allah, Roh Kudus juga menggunakan orang-orang dalam menyatakan dan menyingkap makna Firman Allah. Menurut Efesus 4:12, Allah telah memberikan orang-orang yang mempunyai karunia kepada Gereja untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan. Seringkali kita melihat laki-laki dan perempuan yang sebelumnya mati secara rohani, datang ke dalam keluarga Allah dan mulai berkembang sementara mereka belajar dari pelayanan Firman yang dinyatakan oleh seorang pengkhotbah, guru, gembala-gembala dan penginjil yang memiliki karunia. Seringkali terjadi seorang hamba Tuhan memerlukan waktu berjamjam untuk menyiapkan sebuah khotbah, tetapi sesudah menyampaikannya ia mendapati bahwa orang-orang diberkati dan mengalami pertumbuhan iman dan pengertiannya akan rencana Allah bagi dirinya dan dunia. Dalam hal ini Roh Kudus telah bekerja, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran (2Tim 3:16-17). Jadi, Roh Kudus menggunakan hamba Tuhan untuk menjelaskan arti Firman Tuhan. Tetapi Roh Kudus sendiri akan bekerja pada tingkat yang lebih mendalam, menggunakan Firman yang membawa kepada perubahan dan pertumbuhan rohani. Ketiga, melalui karunia-karunia Roh Kudus. Cara kerja Roh Kudus yang ketiga dalam memperlengkapi Gereja adalah dengan mengaruniakan karunia-karunia rohani kepada orang-orang percaya secara pribadi. Allah memberikan kepada setiap orang sedikitnya satu karunia rohani untuk mengisi peranan khusus dalam Gereja. Setiap karunia menyumbangkan sesuatu kepada Tubuh Kristus. Persoalan dan sampai pada perpecahan dalam Gereja terjadi karena masing-masing orang Kristen tak melayani sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan oleh Roh Kudus kepadanya (tak sesuai dengan karunia Roh yang ada padanya). Kita masing-masing memiliki keterbatasan tetapi Allah telah memberikan kemampuan atau karunia-karunia kepada yang lain untuk mengisi dan mengimbangi keterbatasan dan kekurangan-kekurangan kita. Tidak ada satu manusia pun yang dapat menjadi manusia super. Tiap-tiap anggota mempunyai kemampuan atau karunia unik. Dan kita harus menjalankan karunia-karunia itu, bukan meremehkan atau pun memamerkannya. Dengan perkataan lain setiap orang Kristen, mesti menemukan sebuah tempat pelayanan yang diberikan oleh Roh Kudus kepadanya untuk mengembangkan karunia rohani yang dimilikinya. Sebab dengan cara demikian pertumbuhan Gereja yang diharapkan dapat tercapai.19 Faktor Antropologis Faktor kedua terjadinya pertumbuhan Gereja adalah aspek antropologis yang meliputi enam pernan penting, yakni: doa, iman, kepemimpinan yang memberdayakan, struktur pelayanan yang efektif, ibadah yang membangkitkan inspirasi, serta kelompok kecil yang menjawab kebutuhan anggota Gereja. Peranan Doa Pertumbuhan Gereja secara kualitatif, kuantitatif dan organis, akan terjadi jika kita sadar bahwa implikasi dari pekerjaan dan pelayanan Roh Kudus adalah dorongan, komitmen dan kegiatan doa yang lebih serius dengan yang kita lakukan sebelumnya. Allah mengasihi dan memelihara Gereja-Nya. Ia selalu siap memberkati umat-Nya. Tetapi terkadang Allah menunggu kita agar meminta daripada-Nya (Yoh 14:13-14, 15:7-8). Tantangan Firman Tuhan benar secara teologis tetapi jarang dan kurang dipraktikkan. Kita sering berpendirian dan berpikir bahwa kita dapat menjalankan kehidupan Gereja (kekristenan kita) dengan baik, dengan menggunakan sumber daya kita sendiri, tanpa mempedulikan kekuatan ilahi. Kita kurang memiliki pengertian perlunya bergantung kepada Allah. Kita berpikir bahwa kita tahu bagaimana menyusun program yang kreatif sehingga ada kegiatan untuk setiap kelompok umur dan profesi. Kita tahu bagaimana menyampaikan pikiran-pikiran teologis dengan cara menarik. Kita tahu bagaimana cara membangun fasilitas yang bagus untuk mewadahi program-program kita. Mungkin juga kita tahu, bagaimana menerapkan struktur badan usaha ke dalam Gereja sehingga organisasi kita menjadi hebat, kita tahu melakukan hal-hal tersebut dan kita berpikir, semua itu dapat dilakukan tanpa keterlibatan Allah. Kurangnya pengertian terhadap 1 9 E.M. Bounds, Power Through Prayer (Grand Rapids: Baker Book House, 1972); Bnd. Peter C. Wagner, Your Church Can Grow (Glendale, California: Regal Books, 1976). kebutuhan akan Allah menghilangkan pengertian kita akan perlunya berdoa. Doa pribadi dan bersama tidak antusias, mencerminkan kurangnya pengertian kita tentang proses supranatural yang bekerja dalam pertumbuhan Gereja. Kita sering berbicara tentang doa secara abstrak, lalu berdoa tidak lagi menjadi prioritas kita. Kelesuan terhadap doa merupakan akibat dari kecenderungan kita untuk mengukur hasil-hasil dengan cara-cara yang berbeda dari sifat-sifat Allah. Sarana pengukur kita menunjuk kepada jumlah anggota, jumlah rupiah atau fasilitas-fasilitas. Meskipun Allah juga peduli terhadap aspek-aspek tersebut, namun Allah lebih melihat pada kondisi hati manusia. Ia peduli terhadap dosa yang tak diakui; apakah kita mengasihi Dia dan mengasihi satu terhadap yang lain? Apakah kita peduli terhadap mereka yang terhilang? Rasul Paulus memberi contoh-contoh doa bagi kita. Ia secara terusmenerus berdoa agar jemaat-Nya mengembangkan kualitas-kaulitas rohani yang merupakan hal yang paling penting. Ia berdoa bagi kasih yang dalam di antara orang percaya, bagi pengertian yang makin jelas tentang siapakah Yesus, dan bagi peningkatan kesabaran dalam penderitaan dan penganiayaan (Ef 3:14-21). Jika kita mulai melihat bahwa hal-hal itu tak akan terjadi kecuali melalui jawaban doa, maka doa akan menjadi lebih daripada sekedar program pilihan atau tambahan saja. Sebaliknya doa akan menjadi kekuatan yang mendorong pertumbuhan Gereja. 20 Peranan Iman Karya Roh Kudus dalam pertumbuhan Gereja mempunyai implikasi bagi iman kita. Persoalan kita, seringkali terlalu banyak di antara kita masuk dan terjual dalam sebuah pelayanan pemeliharaan (status qua). Terdapat suatu kekurangan dan ketidakpercayaan bahwa Allah akan melakukan mujizat. Kita telah menjadi satu generasi yang ragu-ragu dan mungkin takut. Kita sering menganggap Allah tidak dapat melakukan halhal yang besar dan tak terpahami (Yer 33:3). Atau mungkin kita juga masih percaya tetapi hanya dalam tingkatan ajaran atau doktrin saja di dalam pemikiran kita. Salah satu sebabnya adalah karena kita tak memiliki iman terhadap perkara-perkara yang besar dari Allah. Kita akan percaya kepada 2 0 Benson dan Jim Stevens, Dinamika Pertumbuhan..., 33. Allah jika kita merasa terpaksa. Kita cenderung melihat pada setiap altematif manusia dalam penyelesaian suatu masalah, sebelum akhimya kita berpaling kepada Allah. Untuk mengajar murid-murid tentang iman, berkali-kali Yesus membawa mereka ke dalam situasi yang tak berpengharapan dari sudut pandang manusia (badai di laut, 5.000 orang yang harus diberikan makan, dan lain sebagainya). Yesus sedang melatih mereka untuk beriman dan berpaling kepada-Nya dengan sebuah sikap ketergantugan dan berpengharapan di dalam Dia saja. Kita akan belajar berpaling kepada-Nya, hanya jika kita telah mulai melihat kegagalan usaha manusiawi untuk menghasilkan perkara-perkara rohani di luar Dia. Kurangnya iman yang membawa ketergantungan kepada Allah dapat ditelusuri pada pengertian tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan Gereja. Jansen dan Jim Stevens menegaskan sebagai berikut: Jika kita percaya bahwa pertumbuhan adalah karya manusia, maka kita akan berpaling kepada manusia untuk memperoleh sumbersumber daya; perhatian kita akan berada pada rencana-rencana dan strategi-strategi kita. Kita akan cenderung menggunakan cara penyeleksian manusiawi terhadap masalah-masalah yang tak terselesaikan. Tetapi hasil dari proses buatan manusia adalah sebuah produk karya manusia. Jika Gereja harus bertumbuh, Gereja harus bergantung dengan kendali manusia. Jika Gereja harus bertumbuh, Gereja harus bergantung kepada Allah, Gereja juga akan berpengharapan. Seluruh proses akan menjadi sebuah pengalaman besar seperti yang seharusnya. Pengalaman untuk melihat Allah yang hidup terus-menerus melakukan perkara-perkara yang tak dapat dijelaskan dengan bahasa manusia. Jika kita tahu bahwa hanya Allah yang dapat melakukan hal-hal tersebut terjadi, maka kita akan meminta kepada-Nya perkara-perkara yang mustahil dan percaya bahwa Ia akan melakukannya.21 Karena itu, orang-orang Kristen perlu belajar bagaimana berdoa dan melangkah dengan iman dalam setiap peristiwa. Peristiwa-peristiwa iman menantang umat Allah untuk percaya bahwa Ia akan memberikan sesuatu di luar jangkauan mereka. Gereja perlu dimobilisir agar melalui iman mendoakan perkara-perkara besar. Mulai dengan doa bersama untuk situasi 2 1 Christian A. Schwarz, Pertumbuhan Gereja yang Alamiah (Jakarta: Metanoia, 1998), 14. yang tampaknya tak berpengharapan. Misalnya sang pecandu alkohol yang perlu dilepaskan, sebuah keluarga yang tampaknya harus bercerai atau orang-orang yang telah tersesat pada jalan Setan dan sebagainya. Banyak Gereja mengalami kemunduran rohani dan moral. Mereka memiliki mentalitas yang lelah. Tetapi keadaan demikian dapat berubah jika kelompok-kelompok Kristen berdoa bagi hal-hal yang tak mungkin. Allah pasti menyukai doa-doa semacam itu dan Ia akan menanggapinya. Iman melibatkan resiko dan usaha tanpa takut akan kegagalan. Tetap beriman walaupun dalam situasi yang tak menyenangkan. Ini berarti bahwa orang Kristen harus belajar nyerempet-nyerempet bahaya. Ini juga berarti orang-orang Kristen belajar meremehkan kesulitan-kesulitan. Tentang hal ini, seorang pakar pertumbuhan Gereja menulis sebagai berikut: Sejarah berhubungan dengan pertumbuhan Gereja, salah satu hasil dari studi kami menunjukkan bahwa kenyataan yang penting, bukanlah bagaimana cara kerohanian diekspresikan, melainkan kenyataan bahwa iman dihayati dan diamalkan berdasarkan komitmen yang berapi-api dan antusiasme. Tingkat kehausan rohani, jelas merupakan titik yang memisahkan Gereja yang bertumbuh dengan yang tidak.22 Peranan Kepemimpinan yang Memberdayakan Hasil studi dan penelitian para pakar pertumbuhan Gereja membuktikan bahwa para pemimpin Gereja yang bertumbuh tidaklah berusaha membangun kekuasan mereka untuk menjadi sangat dominan. Justru sebaliknya mereka menganggap salah satu tugas yang terpenting adalah menolong orang-orang Kristen mengembangkan tingkat kemampuannya, menurut yang telah Allah berikan kepada mereka. Para pemimpin di sini melayani untuk memperlengkapi, mendukung, memotivasi dan menjadi mentor bagi individu-individu untuk menjadi 2 2 Bnd. Schwarz, Pertumbuhan Gereja yang..., 12; David A. Womack, The Pyramid Principle (Minneapolis: Bethany Fellowship, 1977), 79; Michale Tucker, The Church Change or Decay (Wheaton, Illinois: Tyndale, 1978); John Alexander, Practical Criticism: Giving and Receiving It (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 1976); Dan Benson, The Total Man (Wheaton, Illinois: Tyndale, 1977); Richard Havenson, How I Changed My Thinking About the Church (Grand Rapids: Zondervan, 1972). seperti yang Allah kehendaki atas mereka. Beginilah sifat daripada kepemimpinan Kristus yang berjiwa memuridkan segala bangsa bagi perluasan kerajaan-Nya di bumi ini.23 Peranan Struktur Pelayanan yang Efektif Kriteria paling penting untuk bentuk dan struktur di dalam Gereja yang bertumbuh adalah apakah Gereja-gereja tersebut memenuhi tujuannya, apakah Gereja tersebut jalan di tempat atau sedang mundur dan akhimya merosot, yang ujung-ujungnya menjadi Gereja yang mati? Struktur Gereja sendiri tak pernah dan tidak boleh menjadi tujuan, tetapi selalu hanya merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan. Disarankan oleh para pakar supaya apa pun yang tak memenuhi persyaratan-persyaratan ini seperti, struktur kepemimpinan, merendahkan martabat, waktu ibadah yang tak tepat atau program yang tak menjangkau khalayak secara efektif lebih baik diubah dan dinonaktifkan. Melalui proses pembaharuan ini, kebiasaan yang hanya bersifat tradisi dapat dipertahankan sejauh masih efektif.24 Peranan Ibadah yang Membangkitkan Inspirasi Ibadah yang dimaksud dengan membangkitkan inspirasi adalah kegiatan menyembah Allah, bersekutu dengan Dia, berdoa kepada-Nya, memuji dan menyanyi bagi Allah, mengaku dihadapan-Nya dan memberi tanggapan kepada-Nya, sebagaimana layaknya Ia patut ditinggikan dan dimuliakan seperti yang dinyatakan dalam firman-Nya. Dalam ibadah ini pertanyaan yang patut disampaikan adalah apakah ibadah merupakan pengalaman yang membangkitkan inspirasi bagi mereka yang menghadirinya? Jika ya maka ibadah itu akan dihadiri dan dinikmati, jika tidak maka ibadah itu kurang diminati. Bidang ini secara jelas memisahkan Gereja yang bertumbuh dengan Gereja yang tidak bertumbuh. Dari sekian banyak kelompok Kristen, terdapat pemikiran yang berbeda-beda tentang fungsi dan manfaat ibadah. Di antaranya ada yang biasa beribadah hanya sekedar memenuhi tuntutan agamanya, datang ke Gereja hanya demi berbuat baik bagi Allah atau bagi 2 3 2 4 Schwarz, Pertumbuhan Gereja yang..., 15-16. Ibid., 16-17. gembalanya atau orang lain. Beberapa orang di antara mereka percaya bahwa kesetiaan dalam beribadah seperti itu diberkati oleh Allah. Sedangkan bagi yang lain ibadah itu benar-benar sangat menggairahkan dan membangkitkan inspirasi dan semangat. Dalam posisi dan pandangan yang mana kita berada, merupakan petunjuk dan pertanda yang jelas tentang keadaan Gereja kita. Ibadah yang benar dan mendatangkan kualitas pembaharuan, itulah salah satu sebab bagi pertumbuhan Gereja baik kualitas maupun kuantitas dan organis.25 Peranan Kelompok Kecil yang Menjawab Kebutuhan Anggota Penelitian para pakar telah membuktikan bahwa Gereja yang bertumbuh lezimnya adalah Gereja yang mengembangkan hadirnya sistem kelompok kecil, dimana setiap orang Kristen dapat berkomunikasi dengan intim, mendapat pertolongan sehari-hari dan dukungan pertumbuhan rohani yang tetap dalam kelompok ini. Isi Alkitab di dalam kelompok ini, diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok kecil seperti ini, bukanlah suatu pilihan hati atau kesenangan yang dilakukan bila ada waktu, tetapi ini merupakan pokok kehidupan yang utama dari Gereja Tuhan yang bertumbuh. Dalam buku Bukan Sekadar Jumlah, Dr. Yonggi Cho menjelaskan pentingnya pelayanan di dalam Kelompok Sel. Terdapat banyak orang di tengah-tengah masyarakat kita, yang telah menjadi anggota dari suatu Gereja, akan tetapi sekarang tak lagi menghadiri kebaktian dimana pun juga. Oleh karena sesuatu alasan maka menggabungkan diri dengan jumlah guguran orang-orang Kristen yang kita saksikan tersebar di seluruh dunia. Sebagian besar dari guguran orang-orang Kristen itu, menurut pandangan saya, mempunyai alasan yang sama. Mereka masih tetap percaya kepada Yesus Kristus. Mereka masih tetap menganggap diri sebagai orang Kristen, akan tetapi mereka telah dikecewakan oleh pihak Gereja. Beberapa di antaranya bahkan ada yang telah melibatkan diri dalam perpecahan Gereja. Sebagian lagi di antaranya ada yang merasa kecewa terhadap pendeta atau gembala sidang mereka, atau terhadap kepimpinan Gereja mereka. Ada lagi yang mungkin telah jatuh ke dalam lembah dosa dan sudah meras amalu untuk kembali ke Gereja, 2 5 Yonggi Cho, Bukan Sekedar Jumlah (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1985), 71. sebagian lagi ada yang mungkin merasa malu untuk kembali ke Gereja, sebagian lagi ada yang mungkin merasa diabaikan oleh gembala sidang, yang tidak pernah datang berkunjung menengok mereka entah apa pun alasannya, kita temukan masih ada kelompok besar orang-orang yang perlu untuk kita capai dan sentuh mereka demi kepentingan Tuhan kita, agar supaya mereka boleh disembuhkan dan dapat dikembalikan lagi ke dalam himpunan kelompok domba-domba.26 Jadi, cukup penting kelompok kecil itu diadakan dalam rangka memulihkan kembali orang-orang Kristen dari persoalan mereka dan kemudian orang-orang Kristen ini perlu berkembang atau bertumbuh di dalam Tuhan. Karena Allah menginginkan setiap orang percaya mengembangkan karakter Kristus dalam hidupnya. Dalam hal ini diperlukan tekat dan komitmen dari setiap orang Kristen. Dengan pertolongan Tuhan kita dapat menjadi apa saja sesuai dengan tekad kita, karena kesehatan rohani tergantung pada latihan rohani yaitu mendisiplinkan diri untuk melakukannya hingga hal-hal tersebut menjadi kebiasaan (1Kor 9:27). Orang-orang percaya akan bertumbuh lebih cepat jika mereka menyediakan jalan untuk bertumbuh dan dalam kaitan ini orang Kristen membutuhkan hubungan dengan sesama untuk dapat bertumbuh, karena kita bertumbuh dalam konteks persekutuan.27 Kita tak dapat berbicara tentang karakter tanpa berbicara tentang kebiasaan, karakter seperti Kristus merupakan tujuan akhir dari semua pendidikan dan disiplin Kristen, karakter ini dibentuk dalam keadaankeadaan di lingkungan persekutuan, pergaulan dan kehidupan. 28 2 6 Bnd. John W. Alexander, Practical Criticism: Giving and Receiving It (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 1976); Gene A. Getz, A Building Up One Another (Wheaton, Illinois: Victor Boks, 1976); Ronald Jenson, How to Succeed the Biblical Way (Wheaton, Illinois: Tyndale, 1981), 87-94; Bnd. Lawrence O. Richard, A New Face for the Church (Grand Rapids: Zondervan, 1970) 2 7 Bnd. Rick Warren, Pertumbuhan Gereja Masa Kini. Terj. (Malang: Gandum Mas, 1999), 327, 333, 339. 2 8 Ted W. Engstrom, The Making of a Christian Leader (Grand Rapids: Zodervan, 1976), 14; Lih. Gene A. Getz, Sharpening the Focus of the Church (Chicago: Moody Press, 1976); R. Alec Mackenzie, The Time Trap (New York: McGrawHill, 1975); Lyle E. Schaller, Parish Planning (Nashville: Abingdon, 1975). Faktor Strategi Gereja dapat bertumbuh jika penginjilan yang dilakukan didukung oleh strategi dipimpin oleh Roh Kudus. Dalam kitab Kisah Para Rasul ditunjukkan bahwa Roh Kudus adalah ahli strategi Agung. Roh Kudus adalah pengawas tertinggi dari kampanye misi yang besar. Roh Kudus memberi kuasa dan mengambil prakarsa (Kis I:8, 13:1-4), membimbing dan mengarahkan (Kis 8:29, 16:6-10). Langkah utama dalam kerangka strategi adalah penetapan tujuan scperti yang dikemukakan oleh Tuhan. Dalam Kisah Para Rasul 1:8, di mana Tuhan Yesus memberi tugas kepada munid-murid-Nya: Tetapi kamu akan menerimna kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi. Bagian bumi yang paling jauh menjadi tujuan dan penginjilan yang sepenuhnya dipimpin olel Roh Kudus. Beberapa pengamatan berikut menunjukkan strategi yang telah mendorong penginjilan dan pertumbuhan Gereja, yakni: tempat yang dipilih oleh Tuhan, waktu yang ditetapkan Tuhan, pembentukan hamba-hamba Tuhan, dan visi universal dari Tuhan. Tempat yang Dipilih Tuhan Kunjungan Allah terjadi di Yerusalem, pusat ibadah dan ajaran Yahudi zaman itu. Roh Kudus turun pada hari Pentakosta dan melahirkan umat Allah yang baru, sebuah lembaga baru–Gereja–telah tercipta. Jadi, Yerusalem telah menjadi pusat manifestasi kuasa Allah. Allah memilih sebuah tempat untuk menyatakan kuasa-Nya. Prinsip rohani yang dapat diambil dalam peristiwa ini adalah Allah dalam strategi-Nya memilih tempat yang ditunjukkan-Nya untuk melakukan sesuatu demi kelahiran dan pertumbuhan Gereja-Nya. Waktu yang Ditetapkan Tuhan Intervensi Allah terjadi pada waktu yang tepat (waktu yang ditetapkan Tuhan). Saat itu ribuan orang Yahudi, orang-orang yang takut akan Allah, dan orang-orang yang beragama lain memenuhi kota Yerusalem untuk perayaan-perayaan keagamaan. Pada saat itu Allah mengirim Roh Kudus, banyak orang bertobat dan menjadi anggota Gereja mula-mula. Pada peristiwa Pentakosta tersebut, muncul pemberita-pemberita Injil yang utama seperti: Barnabas, Stefanus, Filipus dan yang lain (Kis 6:5). Juga ketika terjadi penganiayaan, memaksa orang-orang percaya meninggalkan Yerusalem, dan pergi, membawa berita Injil ke negeri-negeri dimana mereka tinggal (Kis 8:4, 11:19-22). Pembentukan Hamba-Hamba Tuhan Tuhan memberikan waktu persiapan bagi orang-orang percaya yang baru mengalami kelahiran baru untuk mengembangkan hubungan spiritual dan kemasyarakatan yang baru, serta untuk dibentuk menjadi murid-murid Yesus Kristus. Mereka diberi pengajaran untuk menjadi saksi demi menjaga kesatuan dan kesehatan iman, serta diajar untuk melaksanakan fungsi sebagai anggota-anggota yang bertanggung jawab dalam bersaksi, berdoa dan hidup dalam masyarakat (Kis 2:42-46, 4:23-41, 5:42; 6:1-7, 8:4: 11:1921, 12:5). Visi Universal dari Tuhan Paulus mempunyai visi misi universal yang jelas. Setelah didesak ke luar dari Yerusalem, dia mengubah perhatiannya pada Asia Kecil, bekerja keras pertama di Tarsus dan Antiokhia (Kis l1:25-30, 13:1-3), kemudian ke Asia Kecil bagian barat, di mana Efesus sebagai pusatnya (Kis 19:1-20:38). Dari situ Paulus melihat ke arah barat dengan Roma sebagai pusat, dan Spanyol sebagai bagian yang paling jauh (Kis 19:21, 23:11, 28:14-31; Rm 1:9-15, 15:24-28). Inilah orang dengan visi yang universal. Pentingnya dan efektifnya sebuah strategi, nampak dari hasil-hasil pelayanan seperti yang disebutkan dalam Kisah Para rasul. • Kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaranmu (Kis 5:28) • Dan Firman Allah makin tersebar, dan jumlah murid makin bertambah banyak; juga sejumlah besar imam menyerahkan diri dan percaya (Kis 6:7) • Maka sangat besar sukacita dalam kota itu (Kis 8:8) • Semua penduduk Lida dan Saron melihat Dia, lalu mereka berbalik kepada Tuhan (Kis 9:35) • Maka Firman makin tersebar dan makin banyak didengar orang (Kis 12:24) • Lalu Firman Tuhan disiarkan di seluruh daerah itu (Kis 13:49) • Demikianlah jemaat-jemaat diteguhkan dalam iman dan makin lama makin bertambah besar jumlahnya (Kis 16:5) • Sehingga semua penduduk Asia mendengar Firman Tuhan, baik orang Yahudi maupun orang Yunani (Kis 19:10) • Makin tersiarlah Firman Tuhan dan makin berkuasa (Kis 19:20) • Demikianlah dalam perjalanan keliling dari Yerusalem sampai ke Ilirikum aku telah memberitakan sepenuhnva Injil Kristus (Rm 15:19) Inilah contoh dari pelayanan yang digerakkan oleh strategi dan visi yang jelas, suatu gerakan yang dipimpin dan diawasi oleh Roh Kudus, yang juga disertai dengan penuh ketaatan, ketekunan dan pengorbanan dari lakilaki dan perempuan pemberani. George W. Peters mengatakan sebagai berikut: Jangan seorang pun menganggap ringan strategi. Strategi bukan mengatur siasat licik. Strategi adalah perencanaan yang bijaksana dan mempunyai maksud serta merupakan prosedur yang teratur untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Strategi sangat penting bagi pertumbuhan Gereja.29 PENUTUP: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Sebagai suatu fenomena rohani dan teologis, gerakan pertumbuhan Gereja yang dimulai oleh beberapa hamba Tuhan, tidak dapat tidak harus diakui dan diterima sebagai jawaban Tuhan atas kebutuhan rohani Gereja Kristen dan sekaligus sebagai jawaban Tuhan terhadap kemerosotankemerosotan rohani dalam kehadiran dan pelayanan Gereja Tuhan terhadap dunia ini. Karena itu, disarankan supaya Gereja-gereja Tuhan masa kini, 2 9 Gandum Mas, 2002), 278. George W. Peters. Theologia Pertumbuhan Gereja (Malang: perlu masuk dan mengambil bagian yang aktif dan konkrit dalam arus pertumbuhan Gereja ini demi terlaksananya Amanat Agung Tuhan Yesus dalam Matius 28:19-20. Pengertian atau pun konsep yang benar, proporsional dan konprehensif tentang pertumbuhan Gereja haruslah berdasar dan bertumbuh sesuai dengan pengajaran Alkitab sendiri tentang Teologi Pertumbuhan Gereja. Supaya orang Kristen tahu dan sadar bahwa ide, ilmu Teologi Pertumbuhan Gereja bukanlah ide manusia atau hasil filsafat manusia tetapi benar-benar adalah ide dan kehendak Allah sendiri bagi Gereja dan dunia ini. Karena itu disarankan supaya pengertian atau pun konsep orang-orang Kristen tentang pertumbuhan Gereja harus terus diperdalam, dipengaruhi dan diperkokoh melalui studi dan pengertian Alkitab. Kita harus mengerti dan meyakini bahwa upaya Gereja untuk menerapkan ilmu, konsep dan prinsip-prinsip pertumbuhan Gereja yang Alkitabiah perlu mempertimbangkan tantangan, serangan dan hambatanhambatan yang datang dan berbagai segi seperti adanya hambatan karena dangkalnya pengertian sebagian anggota Gereja tentang pentingnya pertumbuhan Gereja. Juga hambatan karena kurangnya pemahaman tentang arti misi Kristus bagi dunia ini. Di samping itu, perlu mempertimbangkan hambatan-hambatan karena bangkitnya agama-agama dunia yang juga sangat misioner dalam gerak dan aksinya, dimana tujuannya juga adalah untuk memenangkan umat manusia bagi agamanya, secara khusus perlu dihitung tantangan yang muncul karena faktor kesalahan sejarah yang dibuat oleh misi atau zending Kristen sendiri dalam beberapa kurun waktu yang lalu. Karena hal ini telah dan terus saja menimbulkan penolakan psikologi dan sosial terhadap hadirnya misi Gereja di berbagai tempat di dunia ini dan di Indonesia khususnya. Namun, yang sangat penting untuk disadari adalah tantangan serius yang datang dan ajaran agama tertentu tentang dosa Syrk. Karena penolakan, kebencian dan serangan pihak agama tertentu terhadap orang-orang Kristen, organisasi Kristen dan teologi Kristen berakar di sini. Makanya disarankan supaya orang-orang Kristen, organisasi dan teologi Kristen harus mampu secara bijaksana dan penuh kasih mensikapi perlakuan orang-orang dari agama tertentu tersebut, tanpa terpancing dalam emosi dan pikiran serta sikap yang merugikan kita sendiri. Jelasnya kita perlu tulus dan cerdik disertai doa yang tak putusputusnya bagi saudara-saudara dari agama tertentu tersebut, agar mereka dapat mengenal Allah yang sejati di dalam Kristus dan bertumhuh di dalam pengetahuan tentang kehenaran (Mat 5:44-45, 10:16; 1Tim 2:3-4). Kendati pun demikian, bagi kita yang telah mengenal kebenaran tentang pertumbuhan Gereja seperti yang diajarkan Alkitab, tidak ada alasan untuk merasa takut, tawar hati dan menjadi lemah di dalam iman, kehadiran dan pelayanan misi di tengah-tengah tantangan dan hambatanhambatan apa pun, karena Allah sendiri menjamin bahwa Injil Kerajaan Allah yang mengamanatkan pelaksanaan gerak pertumbuhan Gereja akan menyertai, melindungi, melengkapi dan memakai kita agar semua bangsa mendengar Injil sebelum kedatangan-Nya yang kedua kali (Mat 14:14). Mengapa kita harus bersikap dan berpendirian seperti ini? Jawabannya adalah karena terdapat banyak faktor yang menunjang kemungkinan lahir, hadir dan berkembangnya Gereja Tuhan di tengah-tengah serigala dunia ini. Karena ltu, disarankan supaya Gereja tetap setia menjalankan perintah Kristus dalam ketergantungan yang terus-menerus kepada Allah pemilik dan pemelihara manusia, supaya kemuliaan akan terus bertambah bagi Dia dalam segala pelayanan kita. Terdapat empat hal penting tentang prinsip-prinsip pertumbuhan Gereja yang harus kita pertimbangkan dalam upaya menumbuhkan Gereja Tuhan masa kini. Pertama, prinsip-prinsip (faktor-faktor penunjang pertumbuhan Gereja seperti tertulis dalam makalah ini), tersebut berlaku secara universal, artinya dapat diterapkan pada Gereja-gereja di seluruh dunia, alasannya karena Allah kita adalah Allah untuk seluruh dunia dan semua manusia dan juga karena Gereja yang ada di dalam dunia ini adalah milik Tuhan sendiri yang diperinthkan untuk bertumbuh dalam pengenalan akan Allah (1Tim 2:3-4; 2Ptr 3:8). Kedua, prinsip-prinsip itu dapat ditransfer ke dalam situasi kita masa kini, alasannya adalah karena ketaatan kita kepada perintah Kristus untuk memuridkan semua orang dan segala bangsa menjadi murid Kristus (Mat 28:19-20). Ketiga, perlu disadari bahwa masing-masing prinsip ini memiliki hubungan yang erat satu sama lain; baik pertumbuhan kualitas, kuantitas maupun organisatoris, karena itu disarankan supaya orang-orang Kristen tidak memandang, dan memperlakukan masing-masing prinsip itu secara terpisah tetapi harus memegang dan menjalankannya secara bersama-sama, saling berkaitan, saling mengisi dan saling mendukung, karena dengan cara demikian pertumbuhan Gereja yang kita dambakan bakal terwujud. Keempat, tiap-tiap prinsip yang telah dikemukakan merupakan pesan-pesan pokok Alkitab sendiri dengan kata lain, prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip Allah sendiri bagi pertumbuhan Gereja-Nya di dunia dalam dunia. Terminologi yang digunakan dalam mengungkapkan prinsip-prinsip tersebut dapat saja tidak sempuma seperti halnya metodologi ilmiah lainnya, tetapi hal itu tidak dapat meniadakan fakta bahwa prinsip tersebut adalah prinsip-prinsip Allah sendiri yang mesti dipegang dan dipatuhi oleh Gereja Tuhan masa kini. Akhirnya, aku (Paulus) menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah memberi pertumbuhan (1Kor 3:6). Ini berarti bahwa para petani dapat menanam, menyiram, dan menuiai, tetapi mereka tidak dapat memberi pertumbuhan. Akan telapi mereka tahu bahwa penanaman dan penyiraman yang mereka lakukan benar-benar mempengaruhi tuaian yang diharapkan. Akhirnya, kemajuan pertumbuhan Gereja juga sangat ditentukan oleh faktor strategi Tuhan yang dapat kita pelajari dari Alkitab, khususnya kitab Kisah Papa Rasul. Di sana dijelaskan bahwa pertumbuhan Gereja mesti dimulai: (1) di tempat yang dipilih Tuhan, (2) Dilaksanakan dalam waktu Tuhan, (3) Didukung oleh hamba-hamba Tuhan yang dipersiapkan dan dibentuk Tuhan secara khusus, dan (4) Perlu diarahkan dan dibimbing oleh visi misi universal dari Tuhan sendiri. Karena itu, tulisan ini menyarankan agar Gereja-gereja masa kini sungguh-sungguh mencari dan menemukan strategi Tuhan yang khusus untuk tiap-tiap pelayanan misi yang kita kerjakan. HERMENEUTIKA FENOMENOLOGIS PAUL RICOEUR GUSTAF R. RAME “…Nous Etendrons toujours par hermeneutique La theorie de regle qui president a une exegese, c’est-a-dire a L’interpretation d’untexte singulier ou d’un ensemble de signes usceptible d’etre considere comne un text”1 PENDAHULUAN Paul Ricoeur adalah salah satu nama terkenal dalam kancah filsafat. Ia dikenal tajam dalam pemikiran fenomenologis yang membedah makna dalam narasi teks menjadi terang bagi pencari kebenaran otentik. Cakrawala pemikirannya melingkupi hampir semua topik filsafat kontemporer, sehingga ia dinobatkan sebagai pemenang hadiah Balzan Price for Philosophy pada tahun 1999.2 Tidak heran kemudian apabila ia termasuk tokoh yang masih hidup yang banyak diperbincangkan dengan panjang lebar. Berbagai kajian tentang Ricoeur diselenggarakan di berbagai tempat, baik secara personal insidentil oleh para pemikir dan penulis maupun secara kolektif sistematis oleh lembaga-lembaga perguruan tinggi.3 Lebih khusus lagi dalam wilayah studi hermeneutika, Ricoeur telah menyumbangkan, bukan hanya gagasan-gagasan (ideas) baru tetapi bahkan wawasan (insight) baru.4 Kekhasan kajian hermeneutika Ricoeur, bukan hanya karena ia adalah pemikir mutakhir sehingga memiliki kesempatan untuk meng-up-date pemikiran-pemikiran sebelumnya, melainkan ia juga 1 Yang kita maksud dengan hermenutika adalah sebuah teori yang mengatur tentang metode penafsiran, yaitu interpretasi terhadap teks, serta tanda-tanda lain yang dapat dianggap sebagai sebuah teks. Dikutip dari Richard Palmer, Hermenutics, Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Northwestern University Press, 1969), 43, footnote no.23 2 Menurut ungkapan lembaga itu, Ricouer terpilih karena: “…his capability in bringing together all the most important themes and indications of 20th century philosophy and realaborating them into an original synthesis whinch turn language in particular, that which is poetic and metaphoric into a chosen place revealing a reality that we cannot manipulate, but interpret in diverse ways, and yet all coherent…” International Balzan Foundation 1999, “Paul Ricouer Laudatio and Profile” pada http: //www.balzan.it/english/pb1999/ricoeur/laudatiopprofolio.html 3 Lih. mis. “Graduate Hermeneutic Spring” di http//www.uta.edu/philosophy/ faculty/reader/GrHermSy/Samp.html; atau Paul Ricouer Reading Group” di http//tcs.ntu. ac.uk.k.research/ricouer.html 4 Untuk bibliografi karya oleh maupun tentang Ricoeur yang mencapai puluhan judul, lihat “References on Hermeneutics.” meng-up-grade dengan menampilkan corak kajian hermeneutika yang sepenuhnya berbeda dengan kajian-kajian yang ada. Sebagaimana yang dikatakan Joseph Bleicher dalam Contemporary Hermeneutics (1981)5 yang menempatkan pemikiran Ricoeur di luar tiga tradisi pemikiran hermeneutik: hermeneutika metodologis, hermeneutika filosofis dan hermeneutika kritis. Ini menunjukkan bahwa corak pemikiran Ricoeur tidak dapat dimasukkan dalam salah satu dari tiga tradisi itu. Dan dengan melihat pada para komentator Ricoeur seperti Don Ihde6 dan Patrick L. Bourgouis,7 Zainal Abidin8 bahkan berani melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa untuk mengkaji hermeneutika Ricoeur, tidak perlu melacak akarnya pada perkembangan hermeneutika sebelumnya. 9 RICOEUR DAN HERMENEUTICAL DESPUTE Sebelum melangkah pada kajian pemikiran Ricoeur, ada baiknya kita melihat kontur yang lebih luas dari posisi pemikiran Ricoeur sendiri dalam peta pemikiran hermeneutika. Hal ini akan dapat memudahkan kita untuk memahami pengaruh dan tantangan dari pemikirannya. Sebab, dalam genealogi intelektual, setiap pemikiran selalu merupakan aksi sekaligus reaksi terhadap wacana yang sudah ada. Mengikuti penjelasan Bleicher,10 pemikiran Ricoeur dapat dianggap menjembatani perdebatan sengit dalam peta hermeneutika antara tradisi 5 Bleicher sendiri menempatkan Ricoeur sebagai penghubung sekaligus pembeda dari aliran-aliran hermeneutika yang ada. Bahkan ia juga dianggap sebagai penghubung antara dua tradisi filsafat besar yaitu fenomenologi Jerman dan strukturalisme Perancis 6 Don Idhe, Hermeneutics Phenomenology (Evanston: Northwestern University Press, 1971). 7 Patrick L. Bourgouis, Extenssion of Ricoeur Hermeneutics (The Hague: Matinus Njhoff, 1975). 8 Lih. Zainal Abidin, “Fenomenologi” Hermeneutik Paul Ricoeur, Skripsi UGM 1990, 144-145. 9 Sikap inipun sebenarnya juga diambil oleh Richard Palmer dengan menempatkan posisi Ricoeur yang sepenuhnya terpisah dari tokoh-tokoh hermenutik yang dibahasnya; Lih. Palmer, Hermenutics, Interpretation Theory..., 43-45. 1 0 Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics, Hermeneutics and Method, Philosophy, and Critique (London: Ruthledge & Kegan Paul, 1980), Chapter 13, 233-235. metodologis dan tradisi filosofis yang masing-masing diwakili oleh Emilio Betti dan Hans-George Gadamer.11 Di satu sisi Ricoeur berpijak pada titik berangkat yang sama dengan Betti bahwa hermeneutika adalah kajian untuk menyingkapkan makna objektif dari teks-teks yang memiliki jarak ruang dan waktu dari pembaca,12 namun di sisi lain, ia juga menganggap bahwa seiring perjalanan waktu niat awal dari penulis sudah tidak lagi digunakan sebagai acuan utama dalam memahami teks. Dan ini adalah posisi Gadamer.13 Lebih jauh lagi, Ricoeur juga dianggap menjadi mediator dari posisi tradisi hermeneutika romantic dari Schleirmacher dan Dilthey dengan hermeneutika filosofisnya Martin Heidegger.14 Mengikuti Dilthey, Ricoeur menempatkan hermeneutika sebagai kajian sebagai ekspresi-ekspresi kehidupan yang terbakukan dalam bahasa (linguistically fixed expression of life),15 namun ia tidak berhenti pada langkah psikologisme untuk merekonstruksi pengalaman penulis (seperti Schleirmacher), 16 maupun usaha penemuan diri sendiri pada orang lain (seperti Dilthey) 17 melainkan untuk menyingkapkan potensi keber-Ada-an atau Eksistensi (seperti Heidegger).18 Bahkan Ricoeur dapat ditempatkan sebagai perpaduan antara dua tradisi filsafat besar, yaitu fenomenologi Jerman19 dan Strukturalisme 1 1 1 2 Ibid. Ricoeur, “The Tast of Hermeneutics,” dalam Hermeneutics and Human Sciences, trans.& ed. John B. Tomphson (Canbridge: Canbridege University Press, t.t), 48. 1 3 Ibid., 59 dst. 1 4 Ricoeur sendiri menganggap pemikiran Heidegger sebagai sambutan langsung terhadap persoalan yang tak terjawab oleh Dilthey; Lih. Ricoeur, Ibid, 53-54. 1 5 Dilthey memiliki rumusan Interpretation-Expression-Understanding; Lih. Palmer, Hermenutics, Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, 107-115. 1 6 Schleimacher menganggap bahwa rekonstruksi psikologis merupakan langkah utama dan puncak dari metode hermeneutika untuk memahami teks; Lih. Palmer, Ibid., 86. 1 7 Sedangkan bagi Dilthey, usaha pemahaman diri dapat dilakukan dengan melalui pemahaman terhadap orang lain. Palmer, Ibid., 14-15. 1 8 Ibid., 130. 1 9 Ricoeur termasuk perintis kajian Husserlian di Prancis, karena ia yang pertama kali menerjemahkan karya Husserl ke dalam bahasa Prancis; Lih. John B Thompson, “Editors Introduction” dalam Paul Ricoeur, Hermeneutic and Human Science, 2. Perancis.20 Dari arah fenomenologi, Ricoeur juga memadukan antara tendensi metafisik Cartesian Edmund Husserl dan tendensi eksistensial dari Heidegger,21 sedangkan dari Strukturalisme ia mengadopsi baik dari aliran linguistik dari Ferdinand de Saussure maupun aliran Antropologis dari Claude Levi-Strauss.22 Sebagai tambahan, Ricoeur juga mengakomodir tendensi kritik ideologi di satu sisi dan psikoanalisis di sisi lain untuk melakukan eksplorasi isi pada kajian hermeneutika yang ia lakukan.23 MENCANGKOK24 HERMENUTIKA DARI FENOMENOLOGI Selanjutnya mari kita menukik lebih dalam pada penelusuran pemikiran hermeneutika menurut Paul Ricoeur. Sebagaimana dikatakan di atas, meskipun mengakomodir semua tendensi dalam sejarah hermeneutika, bahkan di antara berbagai cabang dan model hermeneutika yang saling bersaing, namun Ricoeur sekaligus membuka wawasan baru dalam kajian hermeneutika yang sekaligus mengatasi atau melampaui carut-marut hermeneutical despute yang sudah berlangsung dan bukan sekedar mendamaikan semata. Dalam hal ini barangkali akan cukup memadai bagi kita untuk memfokuskan pada dua tema sentral dalam pemikiran 2 0 Strukturalisme adalah aliran filsafat bahasa modern yang berkembang di bawah pengaruh Ferdinand de Saussure, yang kemudian dikenal dengan Simiologi; Lih. William McNeil & Karen S. Feldman, Continental Philosophy (Massachusset: Blackwell Pub., 1998), 297. 2 1 Paul Ricouer, “Existence and Hermeneutics”, dalam Bleicher, Contemporary Hermeneutics..., 240-241. 2 2 Ibid., 22-24. 2 3 Pada aspek ini sepertinya tidak langsung, tapi justru sentral. Sebagaimana yang nantinya dapat dilihat bagaimana Ricoeur memainkan Psikoanalisis dalam mengembangkan hermeneutika fenomenologis dan di tempat lain juga dapat disaksikan bagaimana Ricouer menggunakan kritik ideologi untuk membangun hermeneutics suspicion; Lih. Ricouer, “Hermeneutics and Critics of Ideology,” dalam Hermeneutic and Human Science. 2 4 Istilah mencangkok (grafting, greffer) digunakan oleh Ricoeur sendiri untuk menandai usahanya memadukan antara hermeneutika ilmu (metodologi) dengan fenomenologi sebagai filsafat (ontology). Tujuan Ricouer adalah mengembangakan sebuah hermeneutika yang metodologis sekaligus ontologism. Dari sini orang kadang-kadang bingung untuk menata kedua kata tersebut, mana yang subjek dan mana yang predikat. Misalnya, Zainal Abidin menulis Skripsi berjudul “Fenomenologi Hermeneutik Paul Ricouer,” UGM, 1992. hermeneutika Paul Ricoeur, yaitu apa yang ia sebut sebagai jalan panjang hermeneutika dan setelah itu kita akan menelaah apa yang menurutnya problem sentral dalam hermeneutika: yaitu hubungan antara bahasa lisan dan metafor di satu sisi dengan bahasa tulis dan teks di sisi lain. Dengan menelaah dua tema itu, barangkali kita sudah akan dapat mengikuti proyek utama Ricoeur, yaitu mencangkokkan Hermenutika dengan 25 fenomenologi. Ricoeur menganggap bahwa persoalan hermeneutika adalah persoalan yang sudah sangat panjang sejarahnya, 26 mulai dari tradisi Yunani hingga pemikiran teologi abad pertengahan. Ini disebutnya sebagai fase pertama hermeneutika klasik. Di sini hermeneutika sudah menghadapi persoalan filosofis, di mana ia tidak hanya merupakan sebuah keahlian teknis dalam menafsirkan teks tertentu (techne hermeneutikhe) melainkan juga berhadapan dengan persoalan tentang pemahaman dalam arti yang lebih luas. Inilah yang diangkat dalam pemikiran Aristoteles dalam Peri Hermeneia. Pada tahap ini sudah dihasilkan dua arah kajian hermeneutika, yaitu sebagai interpretasi atau tafsir terhadap suatu teks tertentu serta sebagai pemahaman terhadap konsep pemahaman itu sendiri.27 Sedangkan fase kedua perkembangan hermeneutika klasik dibidangi oleh Schleirmacher28 dan terutama Dilthey.29 Pemikir yang terakhir ini menurut Ricoeur telah berjasa untuk membangkitkan pertanyaan fundamental mengenai keunikan posisi manusia vis-à-vis objek alami, sehingga kajian terhadap manusia qua manusia harus menggunakan metodologi yang berbeda dengan ilmu alam. Dilthey mengusulkan sebuah ilmu kemanusiaan (Geistesswissenschaften) yang secara epistemologi akan bersaing dengan ilmu-ilmu alam yang positivistik.30 Pertanyaan kedua dari 2 5 Sebenarnya berbagai cabang kajian yang dikembangkan Ricoeur, mulai dari hermeneutika, ontologi, teologi, ideologi, etika, hingga pendidikan, menyusun sebuah bangunan besar yang padu di mana ujungnya saling bertemu. Bila kita memasuki sebuah kajian kita akan menembus ke dalam kajian-kajian yang lain. 2 6 Jean Groundin dalam Introduction to Philosophical Hermeneutics (New Haven: Yale University Press, 1994), mengurutkan tahapan ini dari zaman Yunani, Abad pertengahan, Pencerahan, hingga modern. 2 7 Ricouer, Existence and ..., 236-238. 2 8 Palmer, Hermenutics, Interpretation Theory..., 84. 2 9 Ricoeur, The History of..., 49. 3 0 Meskipun ia tampaknya masih terkurung dalam sangkar yang justru ingin ia tolak Dilthey yang fundamental adalah kesadaran historis. Bahwa manusia adalah wujud historis yang hanya dapat hidup, dipahami, dan memahami secara historis. Kehidupan selalu dalam konteks. Kebenaran bagi manusia selalu dalam konteks.31 Namun, Ricoeur mencatat bahwa pertanyaan yang diajukan Dilthey ini menyimpan residu problem yang tak mampu ia reduksi sendiri: sebagai mahluk historis bagaimana manusia dapat memahami sejarah secara historis? Bagaimana kehidupan dapat menampilkan diri sekaligus menyingkapkan makna dirinya yang dapat terpahami oleh wujud historis lain?32 Persoalan inilah yang menurut Ricoeur memicu pertanyaan tentang ontology of understanding.33 Yaitu untuk menjawab pertanyaan paradox di atas maka kita harus lebih dulu mengetahui hakikat manusia sebagai keberada-an yang historis, keberadaan yang terjebak dalam arus waktu, Das Sein, Being and Time.34 Hermeneutika bukan lagi diarahkan kepada teks melainkan kepada realitas itu sendiri untuk menemukan eksistensi keberada-an yang bersifat historis. Namun jalan ini oleh Ricoeur dianggap sebagai potong kompas karena melakukan lompatan dari hermeneutika pada level metode kepada level metafisika atau ontology. 35 Dan ini yang dilanjutkan oleh Gadamer dengan memisahkan metode dan kebenaran (truth and metode). Sehingga pertanyaan yang muncul adalah, dalam pemahaman jenis apakah yang ada di situ?36 Sedangkan menurut Ricoeur, pertanyaan yang tepat mestinya adalah: dalam kondisi bagaimana sebuah wujud yang mengetahui dapat memahami teks atau sejarah?37 Pertanyaan ini lebih memadai karena lebih sistematis dalam usaha mengarahkan hermeneutika dari level metode 3 1 3 2 Palmer, Hermenutics, Interpretation Theory..., 103-106. Ricoeur, The Task of..., 53. 3 3 Ricoeur, Existence and Hermeneutics..., 238. 3 4 Heidegger menulis Being and Time dalam rangka memetakan bahwa Being adalah implicit dalam Time. Sebenarnya Heidegger ingin melanjutkan dengan melakukan pembalikan (Kehre) tentang Time dan Being, tapi gagasannya macet karena menurutnya bahasa metafisika tidak memadai untuk itu. K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 1990), 150-51. 3 5 Ricoeur, Existence and Hermeneutics..., 239. 3 6 Ibid. 3 7 “On what condition being that knowing understand text or history?” Sementara rumusan pertanyaan sebelumnya adalah: “What kind of being whose being consist in interpretation? Ricoeur, Existence and Hermeneutics..., 239. menuju metafisika. Sedangkan pertanyaan terdahulu mengalami lompatan sehingga antara metodologi dan ontology tetap terdapat jarak yang tak terjembatani.38 Selanjutnnya, Ricoeur menguraikan bahwa proses okulasi antara metode dengan metafisika dari teori ke ontologi, dari hermeneutika ke fenomenologi, terdapat tiga tahapan yang harus dilalui.39 Pertama adalah level semantic, yaitu bahwa bahasa merupakan wahana utama bagi ekspresi ontologi.40 Oleh karena itu, poros yang tidak dapat ditinggalkan adalah kajian terhadap struktur bahasa dan kebahasaan mencakup keseluruhan sistem symbol sebagai hakikat dari berbahasa. Keberbahasaan ini dalam tataran normal akan tercakup dalam kajian simbolisme sebagai kajian terhadap sistem bahasa.41 Sedangkan dalam tataran abnormal menjadi kajian dari psikoanalisis, yaitu dalam usaha untuk mengungkapkan makna yang tak terbahasakan karena terepresi atau pengungkapan makna yang terdeviasi atau bahkan tereduksi, karena kendala dalam sistem komunikasi.42 Level semantic ini memiliki peran fundamental dalam menjaga hubungan antara hermeneutika dengan metode di satu sisi dan ontology di sisi yang lain.43 Hermeneutika sebagai metode, sebagai praktik yang dijalankan, akan menjaganya terhindar dari langkah untuk memisahkan konsep metode dan konsep kebenaran. Selanjutnya, ia juga bermanfaat dalam hubungan dengan fenomenologi sebagai usaha untuk menangkap 3 8 3 9 Ibid., 340. Tahapan ini dinamakan sebagai jalan panjang yang dilawankan dengan lompatan ontologisnya Heidegger dan Gadamer. Namun ini juga mengimplikasikan ketidaklangsungan (indirectness) dan fenomenology of being; Ibid., 266. 4 0 Sebenarnya ini juga merupakan jargon utama Gadamer, “Sein das verstanden widen kann, ist sprache” being that can be understood is language, Bertens, Filsafat Barat Abad..., 231. 4 1 Ricoeur mendefenisikan simbolisme sebagai: “ …any structure of signification in which a direct, primary, literal meaning designates, in addition, another meaning which is indirect, secondary dan figurative and which can be apprehenden only through the first.” Ricoeur, Ibid., 245. 4 2 Ricoeur menganggap bahwa jasa utama psikoanalisis adalah memecahkan persoalan distorsi makna baik karena represi maupun miskomunikasi. Dengan demikian mencegah terjadinya kesalahpahaman karena ungkapan-ungkapan makna yang tidak normal, melalui pengenalan terhadap posisi subjek dari situasi ketertekanannya; Ibid., 252-254. 4 3 Ibid., 247. realitas “keber-ada-an” manusia bukan sebagai entitas objektif dan statis melainkan equivocal dan intensional.44 Dan terakhir, tataran penampang semantik ini akan menjaga pintu penghubung antara hermeneutika dengan filsafat bahasa yang lain dan bahkan filsafat secara keseluruhan. 45 Tahap kedua adalah level refleksi, yaitu mengangkat lebih tinggi lagi posisi hermenutika pada level filosofis. 46 Level semantic memungkinkan hermeneutika memijakkan kakinya pada tingkap teknik aplikatif kebahasaan. Sedangkan pada level ini hermeneutika harus melewati tahap yang lebih tinggi untuk memperoleh posisi sebagai sebuah filsafat. Posisi itu akan teraih dengan melalui proses ulang-balik antara pemahaman teks dengan pemahaman diri.47 Proses ini berlangsung mirip dengan lingkaran hermeneutic Schleirmacher, 48 di mana yang satu menghasilkan yang lain dan keduanya harus dilaksanakan secara bersama. Tujuan hermeneutika dalam hal ini adalah memahami diri sendiri melalui pemahaman orang lain. Yaitu dengan mengatasi jarak waktu yang memisahkan antara kita dengan teks. Namun refleksi ini tidak terjadi dalam pola Cogito Cartesian49 di mana entitas diri adalah sesuatu yang statis dan objektif terkungkung dalam hubungan subjek-objek, melainkan dalam sebuah benturan langsung dalam realitas sebagaimana yang diistilahkan Dilthey dengan ekspresi kehidupan.50 Dalam hal ini yang kita gunakan 4 4 4 5 Ricoeur, Existence and Hermeneutics..., 248. Ricoeur secara luas menggunakan kajian filsafat bahasa dalam hermeneutiknya. Rujukan intensif ia lakukan pada Wittgenstein, I.A. Richard, Max Black maupun Moore Berdsley; Lih. Ricoeur “Metaphor and Central Problems of Hermeneutics,” dalam Hermeneutics and Human Sciences, 170. 4 6 Ricoeur menganggap bahwa dengan berada pada level semantic hermeneutika belum menempati posisi sebagai sebuah filsafat. Sebab filsafat menurutnya adalah bagaimana mempertanyakan realitas dalam konteks general, Yvanka B. Raynova, “Philosphie et Theologie: les deux voies de Paul Ricouer,” Labirint, vol. 2 Winter 2000, http://h2hobel.phl.univie.ac.at/’iaf/Labyrinth/2000/raynova2.html., 2-3. Di tempat lain, pada konferensi filsafat entretien avec Pul Ricoeur”, http://h2hobel. Phl. Univie. ac.at/’iaf/Labyrinth/2000/ricouer.html 4 7 Sekali lagi di sini kita menyaksikan jejak-jejak Dilthey. 4 8 Palmer, Hermenutics, Interpretation Theory..., 87. 4 9 Cogito di sini adalah diri yang berpikir secara objektif. 5 0 Lih. Palmer, Ibid., 111 dst. bukan logika positivistic yang bisa dijungkirbalikkan, melainkan logika transcendental yang berpijak pada perjumpaan langsung dengan realitas.51 Tahap ketiga adalah level eksistensial. 52 Pada tahap ini, menurut Ricoeur hermeneutika memasuki tahap paling kompleks yaitu ontology membeberkan hakikat dari pemahaman, ontology of understanding melalui methodology of interpretation. Pada tahap ini akan tersingkap pemahaman dan makna, bagi manusia, ternyata berakar pada dorongan-dorongan yang lebih mendasar yang bersifat instingtif: hasrat. 53 Dari hasrat inilah lahir kehidupan, dan selanjutnya bahasa. Untuk menyingkapkan realitas hasrat ini, sebagai realitas yang tidak disadari instingtif, Ricoeur mengajak kita melewati lorong Psikoanalisis.54 Melalui lorong ini kita diajak untuk menemukan the archeology of subject55 – suatu sumber data diri paling primitif dan mentah. Dari sini kita akan menyadari, kata Ricoeur, bahwa ontology pemahaman itu bisa ditarik kepada arah awal dan ke dalam. 56 Di samping itu, ontology pemahaman manusia juga memiliki akar pada kesadarannya terhadap realitas yang lebih tinggi dari kesadaran dirinya sendiri, yaitu kekuatan semesta yang teratur, yang membatasi hasrathasratnya dalam batasan-batasan yang stabil. Di sini kita akan memasuki 5 1 Maksudnya, adalah bahwa selama argument itu dibangun dengan logika, tidak peduli berbagai bukti yang diajukan, maka ia dengan sangat mudah akan dijungkirkan dengan logika pula. Seperti misalnya yang dilakukan oleh Bertrand Russel dalam Why I am not a Christian, di mana ia membalikkan semua argumentasi tentang adanya Tuhan. Dan dengan logika yang sama pula ia berkesimpulan bahwa Tuhan tidak mungkin ada. Ricouer mengatasinya sama dengan Dilthey, yaitu masuk ke dalam tahap sebelum terjadinya dikotomi subjek-objek dalam pengetahaun. 5 2 Eksistensialisme Ricouer ini lebih dekat kepada Jaspers, Marcel dan Marleu-Ponty ketimbang kepada Sartre. Yaitu eksistensi dalam batas-batas kontek historis. Sementara Sartre menjadikan eksistensi sebagai keterbatasan manusia. 5 3 Bukan dalam arti psikologis berupa keinginan yang menggebu, melainkan sebagai dorongan fisik primitif dari kehidupan untuk hidup. Bandingkan dengan konsep Freud tentang Id. 5 4 Langkah Ricoeur menggunakan psikoanalisis relatif alami, dan tidak memaksakan diri sebagaimana para psikolog transpersonalis menggunakan William James. Lihat James T. Alexander, “William James, the sick Soul and the Negative Dimensions of Counsiousness: A Partial Critique of Transpersonal Psychology,” Journal of American Academy of Religion, XLVIII/2, 1980. 5 5 Arkeologi berarti data berserakan yang tidak tersusun secara kausal. Konsep ini juga yang nantinya digunakan Foucault dalam L’Archeologie du Savoir; Ricouer, Existence and Hermeneutics..., 253. 5 6 Ricouer, Ibid. lorong Phenomenology of the Spirit57–suatu kesadaran akan adanya kesadaran yang lebih tinggi, bertujuan teologis dan menyatukan.58 Pada tahap ini ontology pemahaman manusia bisa ditarik pada ujung yang lebih akhir dan bersifat ke luar. Dan pada lapis terakhir kita akan menembus lorong Phenomenology of Religion,59 yang kata Ricoeur merupakan tahapan paling tinggi eskatologis di mana pada lapisan ini ontology pemahaman manusia bisa ditarik ke atas yang melampaui masa lalu dan masa depan ke arah yang sacral.60 Yang sakral ini lebih unggul ketimbang arche maupun telos karena di luar kendali manusia. Dalam posisi ini manusia hanya dapat bersikap pasif dan menunggu panggilan dari sana.61 Dengan demikian, maka level ontologis dapat diraih dengan sempurna, tanpa kehilangan pijakan pada level methodology, yaitu melalui interpretasi. Sehingga ontology yang konkrit dan wajar bagi hermeneutika bukanlah ontology of understanding secara langsung dalam dirinya sendiri, melainkan sejauh yang dapat kita jangkau melalui interpretasi ontology. 62 Dengan ketiga tahapan ini, hermeneutika tidak meletakkan posisinya di kursi metafisika dengan tenang, anggun dan aman, tanpa harus melakukan lompatan yang intuitif, melainkan tetap melalui prosedur metodologis. Setelah menyingkapkan postur hermeneutika yang berpijak di metode, meliuk di filsafat dengan logika transenden, serta menjulang 5 7 5 8 Ricouer, Existence and Hermeneutics..., 254. Telos sebagai sifat semesta yang purposive dalam dirinya sendiri. Tetapi kadangkala asumsi ini dianggap tidak ilmiah. Lihat pembahasan Frihjof Capra tentang teori Gaia dalam Jaring-jaring Kehidupan, Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan, terj. Saut Pasaribu (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001). 5 9 Fenomenologi Agama adalah cabang ilmu yang telative independent dari fenomenologi Hesserlian; Lih. Ursula King “Debat Metodologis Pasca Perang Dunia II, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 303. 6 0 Ricoeur merujuk pada Eliade. Namun di sisi lain, Ricoeur habis-habisan menyerang Eliade berkenaan dengan konsep tentang yang sacral yang dianggap oleh Ricoeur terlalu kaku dan monoton, “Etreiten avec le philoosophe Paul Ricoeur, sur L’Eurupe, la science et Dieu.” 6 1 Mungkin menarik untuk membandingkan konsep ini dengan pandangan para mistikus yang menganggap tingkat tertinggi pengetahuan bukan pada terapan melainkan perolehan. 6 2 Di sinilah tepatnya, poin di mana Ricoeur memadukan sekaligus mengatasi hermeneutika metodologis dan filosofis. menjangkau metafisika alias ontology: sekarang mari kita mengikuti lebih jauh, apa yang menjadi tema sentral dalam hermeneutika Paul Ricoeur. TUGAS-TUGAS POKOK HERMENEUTIKA Menurut Ricoeur, tugas utama hermeneutika adalah untuk memahami teks. Oleh karena itu, perngertian tentang teks menjadi sangat sentral dalam pemikiran hermeneutika Ricoeur. Untuk itu, kita perlu memberikan perhatian yang cermat pada poin ini. Teks dan Teori Interpretasi Secara mendasar, Ricoeur mengatakan bahwa teks adalah any discourse fixed by writing.63 Berpijak pada defeinisi singkat ini, pertama kali kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan Ricouer dengan discourse, sebelum kita memahami tentang writing. Dengan istilah discourse, Ricouer merujuk kepada bahasa sebagai event, yaitu bahasa yang membicarakan tentang sesuatu. Pengertian ini diambil Ricouer dari para filsuf bahasa seperti Austin dan Beardsley64 yang membagi bahasa ke dalam dua sifat, yaitu “bahasa sebagai meaning65 dan bahasa sebagai event.” Bahasa sebagai meaning adalah dimensi yang hidup dan dinamis; atau dalam ungkapan Ricouer sendiri, “bahasa selalu mengatakan sesuatu, sekaligus tentang sesuatu.” 66 Gampangnya, discourse adalah bahasa ketika ia gunakan untuk berkomunikasi. Dan dalam hal ini 6 3 Ricoeur, “What is a text? Explanation and Understanding,” dalam Hermeneutics and Human..., 145. 6 4 Ricoeur, “Text and Metaphore as ad Central Problem in Hermeneutics,” 168. 6 5 Istilah makna adalah istilah yang menarik sekaligus problematik. Bagi para pemikir positivis, mengatakan bahwa “makna berarti apa yang di belakang penampakkan;” bagi para fenomenolog ia adalah substansi atau hakikat; sedangkan bagi teolog, seperti pernah dikatakan Prof. Donna Runnals, meaning maksudnya adalah suffering. 6 6 Ricoeur, “Metaphore and the Central Problem of Hermeneutics,” 168. Dalam bidang teologi, Bultman, Ebeling dan Fuchs telah terlebih dahulu menerapkannya pada teks-teks Alkitab yang pada gilirannya melahirkan “analisa narasi” yakni bahwa teks dilihat dalam bentuk akhir, dan bahwa arti suatu teks akan menjadi jelas jika terlebih dahulu mengalami rekionstruksi bahasa yang digunakan teks. ada dua jenis artikulasi discourse yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis.67 Yang pertama membentuk komunikasi langsung dimana metode hermeneutik tidak terlalu diperlukan, karena ujaran yang disampaikan (speech) masih terlekat langsung kepada pembicara. Maka dari ujaran tersebut masih bisa dirujuk langsung kepada intonasi maupun gerak isyarat (gestures) dari si pembicara.68 Sedangkan teks merupakan sebuah korpus yang otonom. Ricoeur menganggap bahwa sebuah teks memiliki kemandirian, totalitas, 69 yang dicirikan oleh empat hal. Pertama, dalam sebuah teks makna yang terdapat pada apa yang dikatakan (what is said)70 terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying), sedangkan dalam bahasa lisan kedua proses itu tidak dapat dipisahkan.71 Dalam sebuah dialog, maksud dari seorang pembicara bukan hanya ditunjukkan oleh ucapannya, melainkan juga oleh intonasi, mimik maupun gesturesnya. 72 Kedua, dengan demikian makna sebuah teks juga tidak lagi terikat kepada pembicara, sebagaimana bahasa lisan. Apa yang dimaksud teks tidak lagi terkait dengan apa yang awalnya dimaksudkan oleh penulisnya.73 Bukan berarti bahwa penulis tidak lagi diperlukan, meskipun Ricoeur sempat mengatakan tentang kematian penulis,74 akan tetapi maksud si penulis terhalang oleh teks yang sudah membaku. Yang tidak kalah menarik, Ricoeur menganggap bahwa penulis lebih merupakan pembaca pertama. Ketiga, karena tidak lagi terikat pada sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidak lagi terikat pada konteks semula (ostensive reference),75 ia tidak terikat pada konteks asli dari pembicaraan. Apa yang ditunjuk oleh teks dengan demikian, adalah dunia Ricoeur, “Metaphore and the Central...,” 165-166. Ricoeur, “Metaphore and the Central...,” 166-167. 6 9 Ibid., 212. 7 0 Thompson, “Editor’s Introduction...,” 13. 7 1 The Act of Speaking…is constituted by a hierarchy of subordinate acts which are distributed on three level: (1) the level of locutionary or proposiotional, the act of saying; (2) the level of illocutionary act or force, that which we do in saying; (3) the level of perlucotionary act, that which we do by saying…” Ricoeur “The Model of the...,” 199. 7 2 Sangat mungkin terjadi, dengan melihat ekspresi si pembicara, apa yang ia katakan bermakna yang sebaliknya. 7 3 “What the text says no matter more than what the author meant to say…” in “The Model of the...,” 201. 7 4 Ricoeur, “What is a...? 147. 7 5 Ibid., 201. 6 7 6 8 imajiner yang dibangun oleh teks itu sendiri dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungan dengan teks-teks yang lain. Terakhir, dengan demikian juga tidak lagi terikat kepada audiens awal, sebagaimana bahasa lisan terikat kepada pendengarnya. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapapun yang bisa membaca, 76 dan tidak terbatas pada ruang dan waktu. Dapat dikatakan pula bahwa sebuah teks membangun hidupnya sendiri, karena sebuah teks adalah sebuah monolog. Penjelasan lebih lanjut Ricoeur terhadap konsep teks ini juga akan menjadi revisi bagi konsep Dilthey tentang Explanation dan understanding,77 di mana Dilthey menganggap bahwa penjelasan adalah karakteristik kerja ilmu alam, yaitu untuk mengungkapkan cara kerja fenomena alami yang pasti dan tanpa intensi. Sementara pemahaman adalah cara kerja ilmu humaniora, untuk mengungkapkan perilaku manusia yang sangat kompleks, tidak kausalistik dan memiliki dimensi intensionalitas. Dan kedua metode itu bekerja secara mutual exclusive.78 Sedangkan menurut Ricoeur, kedua cara kerja metodologis tersebut tidak bisa dipisahkan secara dikotomis. Dengan menerapkan pada persoalan hubungan antara metaphor dan teks sebagai kodifikasi bahasa lisan dan bahasa tulis, Ricoeur menunjukkan bagaimana penjelasan dan pemahaman dapat diterapkan pada sisi yang berlainan. Penjelasan (explanation) adalah cara kerja yang menghubungkan metaphor kepada teks, 79 yaitu pembakuan bahasa lisan kepada bahasa tulis, sementara interpretasi (interpretation) adalah cara kerja dari teks ke metaphor, yaitu transkripsi dari bahasa tulis ke bahasa lisan.80 Dengan kata lain, bahasa sebagai meaning adalah sebuah sistem tanda yang memiliki konstelasi internal, yang baku dan objektif. Di sini Ricoeur meminjam teori para strukturalis mulai dari dikotomi langue dan parole dari Ferdinand de Saussure, strukturalisme filosofis-antropologis dari Claude Levi Strauss81 hingga analisis struktural sastrawi Rolland 7 6 7 7 Ibid., 203. Ricoeur, “What is a...? 145. 7 8 Richard Palmer mengomentari bahwa pendukung paling setia Dilthey, George Mish, sekalipun tidak mendukung dikotomi permanen ini; Lih. Palmer, Hermenutics, Interpretation Theory ..., 106. 7 9 Ricoeur, “Metaphore and Central Problem...,” 177. 8 0 Ibid., 176. 8 1 Ibid., 154. Barthes dan A.J. Greimas.82 Bahasa memiliki hukum-hukum yang baku, yang bekerja mirip hukum alam. Ini adalah pengertian kata-kata dalam kamus atau ensiklopedi yang sudah bermakna tunggal dan baku. Dalam aspek inilah metodologi yang digunakan adalah explanation. Sedangkan bahasa sebagai event atau discourse, adalah penampang bahasa yang terikat kepada konteks. Di sini bahasa menjadi multi-interpretable, sehingga tidak mungkin ada objektivitas, apalagi pembakuan. Di sinilah, lanjut Ricoeur, tempatnya metode interpretation sebagai bentuk utama dari understanding.83 Melangkah lebih jauh lagi, Ricoeur tidak hanya ingin sekedar mendamaikan dikotomi yang diciptakan namun tidak mampu diatasi Dilthey di atas. Sampai pada tahap itu, Ricoeur hanya menempatkan explanation dan interpretation pada satu domain yaitu Geisteswissenschaften tetapi tetap saja keduanya adalah dua prosedur yang berbeda dan bekerja secara terpisah.85 Untuk ini Ricouer mengajukan prosedur kerja depth semantic86 yaitu dengan menempatkan kedua prosedur metodologis di atas dalam sebuah garis linier. Menurut Ricoeur, analisis explanation bisa digunakan sebagai tahap awal untuk mengkaji dimensi statis dari teks, sedangkan interpretation digunakan selanjutnya untuk menangkap makna kontekstual dari teks tersebut.87 Bagi Ricoeur, istilah makna kontekstual bukan lagi mengacu kepada the single meaning dari teks yang bersangkutan, karena teks itu sudah memiliki makna internal yang objektif dan tidak lagi ditopang oleh intensional psikologis dari penulisnya melainkan the multiple meaning dari konteks pembaca modern. Dalam sebuah pembacaan teks, seorang pembaca tidak lagi masuk ke dalam teks untuk melakukan rekonstruksi psikologis kepada pengarang, dan tidak pula menarik teks ke dalam preunderstanding-nya sendiri. Yang terjadi adalah seorang pembaca membuka 8 2 8 3 Ibid., 157. Namun dalam konteks ini Ricoeur tetap lebih memilih ungkapan interpretation sebagai bentuk derivative dari understanding. 8 5 Ibid., 161. 8 6 Ibid. 8 7 “…to explain is to bring out the structure, that is the internal relations of dependence of constitute the static of the text; to interpret is to follow the path of thought open up by the text, to place one self en route toward the orient of the text.” Ibid, 161-162. dirinya di hadapan teks yang juga telah membuka diri. Makna sebuah teks tidaklah ada di balik atau di belakangnya, melainkan ada di depannya. 88 Sejarah Sebagai Teks Ricoeur memperluas konsep teks ini bukan hanya pada bahasa yang mengendap pada tulisan, melainkan juga kepada setiap tindakan manusia yang memiliki makna yaitu setiap tindakan yang disengaja untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini dia meminjam teori Max Weber tentang sinhaft orientierties Verhalten.89 Tujuan Ricoeur dalam teori ini adalah membangun sebuah epistemology baru bagi ilmu-ilmu sosial maupun humaniora karena, berdasarkan pendalaman pada hermeneutik sebagai kajian terhadap teks, Ricoeur menganggap bahwa (1) objek dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora memiliki karakter sebagai teks; (2) dengan demikian metodologi kajian untuk itu haruslah berupa kajian yang menyerupai kajian interpretative (Auslengung) yang ada pada hermeneutika.90 Dalam penjelasan selanjutnya, Ricoeur memaparkan bagaimana realitas sosial, atau dapat kita katakan sejarah,91 memiliki persamaan karakater dengan definisinya mengenai teks. Pertama, fixation of action,92 yaitu bahwa realitas sosial baru akan dapat dijadikan sebagi objek kajian ilmiah sejauh ia terbakukan dalam mekanisme maupun struktur seperti terbakukannya discourse dalam tulisan. Sedangkan pemahaman pada realitas sosial yang belum terbakukan, yaitu peristiwa-peristiwa yang “Beyond my situation as reader, beyond the situation of the author, I offer my self to the possible mode of being-in-the-world which the text opened up the disclose to me.” Ricoeur, “Metaphore and the Central Problems of Hermeneutics,” 177. 8 9 Ricoeur, “The model of text, Meaningful Action Considered as text,” dalam Hermeneutics and..., 203. 9 0 Ibid., 197. 9 1 Pada umumnya orang menganggap sejarah sebagai kajian masa lalu jauh (far past); padahal realitas sosial yang kita hadapi sekarang inipun sebenarnya adalah sejarah tapi dalam jangka dekat (near past). Sehingga sebenarnya yang dapat dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial-humaniora adalah sejarah; Lih. Permata, Metodologi Studi..., 21. 9 2 Ricoeur, “The Model of...,” 203. 8 8 datang dan pergi disebut dengan knowledge without observation, yaitu pengetahuan tentang bagaimana dari realitas sosial dan bukan apa.93 Kedua, the automatiozation of action, berupa kenyataan bahwa tindakan sosial kita memiliki makna objektif 94 dan bukan hanya semata tergantung kepada maksud kita belaka sebagaimana makna teks yang sudah tidak lagi tergantung kepada intensitas psikologis sang pengarang. Pada tindakan sederhana memang masih memungkinkan hubungan antara pelaku dengan perbuatannya. Namun dalam peristiwa-peristiwa sosial yang kompleks yang memiliki dampak luas, maka hubungan antara maksud dengan hasil tindakan semakin menjauh. Misalnya seorang pemimpin politik, tidaklah dinilai dari apa tujuan dari kebijakan yang ia ambil, melainkan dari hasilnya.95 Ciri ketiga dari realitas sosial yang memiliki karakter teks adalah keterlepasannya dari konteks awal tindakan atau dalam ungkapan Ricoeur sendiri adalah relevance and importance.96 Sebagaimana sebuah teks tidak lagi harus dipahami berdasarkan konteks awalnya, demikian pula nilai penting (importance) dari sebuah tindakan sosial tidak lagi terikat baku dengan nilai pentingnya (relevance). Maksudnya, bahwa sebuah tindakan bisa bermakna lain bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda, dan itu adalah pemahaman yang absah dilakukan. Dan inilah yang sering terjadi dalam proses hermeneutika judicial, di mana makna sebuah tindakan diperdebatkan dengan mengaitkannya kepada konteks-konteks yang berlainan.97 Yang terakhir, penampang dari meaningful action yang menyerupai penampang sebuah teks adalah keterbukaanya kepada makna-makna baru 9 3 Ibid.; dimana Ricoeur mengikti konsep E. Anscombe tentang “practical knowledge.” 9 4 Cukup jelas maksudnya di sini bila kita melihat konsep Peter L. Berger tentang realitas sosial. Berger mengatakan bahwa realitas sosial terbangun dalam siklus tiga tahapan, yaitu (1) Sosialisasi, di mana sekelompok orang membentuk konvensikonvensi sosial dalam berinteraksi, (2) konvensi tersebut kemudian menjadi sesuatu yang baku, terobjektivikasi, yang tidak lagi melekat pada individu-individu anggota masyarakat, dan (3) sosialisasi, di mana norma sosial objektif di atas diwariskan kepada generasi berikutnya, yang pada gilirannya akan mengenakan sekaligus menginovasi norma sosial ayng ada dan memulai tahapan siklus baru dengan sosialisasi; Lih. Berger, Sacred Canopy, Element of Sociological Theory of Religion (New York: Anchor Books, 1069), 4. 9 5 Ricoeur, “The Model of ...,” 206. 9 6 Ibid., 207. 9 7 Ibid. human action sebagai “open” work yang identik dengan karakter teks yang juga equivocal. Maksudnya adalah, sebagaimana sebuah teks tidak lagi terikat kepada audiens awal dalam suatu proses dialogis bahasa lisan, demikian juga sebuah perbuatan tidak hanya dapat dinilai oleh orang-orang yang menjadi saksi mata. Sebuah tindakan menjadi terbuka untuk selamanya, bagi para penanggap baru yang datang dari ruang waktu. Yang menjadi hakim dari sebuah tindakan atau realitas sosial bukan hanya orangorang dari zaman itu, melainkan sejarah itu sendiri.98 Dengan demikian, proyek hermeneutika fenomenologis Paul Ricoeur merupakan sebuah jalan panjang dan ambisius, bukan hanya untuk menjembatani hubungan antara hermeneutika metodologi di satu sisi degan hermeneutika filosofis di sisi lain, tetapi juga membangun sebuah epistemologi baru bagi ilmu-ilmu sosial-humaniora. Epistemologi ini tidak lagi merupakan kelanjutan epistemologi tradisional, melainkan lebih pada epistemologi kritis sebagaimana yang kita jumpai dalam pemikiran hermenutika kritis baik dai Karl-Otto Apel maupun Jürgen Habermas. PENUTUP: IMPLIKASI HERMENUTIS Dari analisa teori interpretasi, Paul Ricoeur membawa kita untuk dapat mengantisipasi beberapa implikasi, yakni yang berkisar pada penggunaan dan pengkaburan konsep peristiwa pembicaraan dalam tradisi hermenutika romantic yang telah dibangun oleh Schleirmarcher dan Dilthey, bahwa interpretasi harus mengindentifikasi kategori pemahaman sebagai maksud mula-mula dari sudut pandang penulis teks atau si pembicara. Dalam hal ini Ricoeur mengajak untuk mempertanyakan asumsi hermeneutika ini dari sudut pandang anatomi bahasa, bahwa tanpa adanya suatu penyelidikan khusus terhadap tulisan (teks), suatu teori analisa bahasa belum dapat menjadi suatu teori teks. Namun bila suatu teks dapat diakomodir oleh teori analisa bahasa, maka kondisi inskripsi bahasa berada dalam persyaratan yang memungkinkan terjadinya suatu wacana dalam pengaruh teks. Dalam artian bahwa apa yang terjadi dengan teks adalah manifestasi sepenuhnya pembicaraan yang hidup, yakni pemilahan makna 9 ist Weltgerict. 8 Ibid., 208; Ricoeur mengutip ungkapan Hegel Wltgenschichte dari peristiwa, yakni otonomi teks tetap muncul dalam aturan dialektika peristiwa dan makna teks. Di sinilah Ricoeur menawarkan sebuah proyek yang menarik dalam rangkuman ilmu teologi dan filsafat sebagai suatu pendekatan bagi kajiankajian hermeneutika yang berguna bagi suatu analisis kritis dalam dunia interpretasi. KONTRIBUSI GAGASAN JÜRGEN HABERMAS BAGI HERMENEUTIKA POSTMODERN ERNI M.C. EFRUAN PENDAHULUAN Hermeneutika dalam segala tahap perkembangannya sangat berpengaruh, bukan hanya dalam bidang teologi, tetapi juga dalam berbagai bidang pengetahuan manusia. Dalam Postmodern ini, orang yang mengaku ilmuwan atau filsuf, tidak bisa begitu saja mengabaikan hermeneutika. Ironisnya, manusia Postmodern menyerang kekristenan karena beranggapan bahwa merekalah satu-satunya yang memiliki kebenaran. Berdasarkan pemikiran yang objektif dan metanaratif sekuler, manusia Postmodern tidak percaya adanya metanaratif-absolut.1 Sedangkan, kepercayaan berelasi erat dengan pemahaman, sementara semua interpretasi mencakup pemahaman.2 Untuk dapat menginterpretasi hal-hal metanaratif, maka pastinya terlebih dahulu harus memahami. Tentunya, memahami dan menginterpretasi adalah satu momen dalam satu proses Bnd. Henry Efferin, “Pascamodernisme dan Keyakinan Injili” dalam Jurnal Pelita Zaman, Jakarta: Mei-Oktober (1999), 1; bnd. Gene E. Veith, Jr., Postmodern Times (Wheaton: Crossway Book, 1994), 18-20. 2 Menurut Habermas, pemahaman adalah suatu kegiatan dimana pengalaman dan pengetahuan teoritis berpadu menjadi satu. Pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman monologis atau makna, yaitu pemahaman yang tidak melibatkan hubungan-hubungan faktual tetapi mencakup bahasa-bahasa 'murni' (mis. bahasa simbol). Bahasa dan pengalaman harus masuk ke dalam dialektik dengan tindakan. Oleh karenanya, bila kita hendak membuat interpretasi yang benar dan tepat, maka kita harus mengupayakan dialog antara bahasa dan pengalaman di satu sisi dan tindakan di sisi lain; Bnd. Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interest (Boston: Beacon Press, 1972), 144. 1 yang menciptakan lingkaran hermeneutika; hermeneutika tidak dapat mempersempit ketergantungannya pada hal-hal lain. Di sini hermeneut mengahadapi dilema antara tetap objektif dan bersifat subjektif, atau antara tetap subjektif dan harus menjadi objektif. Dengan demikian, adakah kontribusi dimensi gagasan atau pemikiran filsuf hermeneutika atau hermeneut bagi hermeneutis-teologis yang memadai di era Post Modern ini? POSTMODERN DAN HERMENEUTIKA Mencari dan menemukan kontribusi gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikiran filsuf hermeneutika terkemuka saat kini Jürgen Hubermas telah menstimulir penulis untuk terlebih dahulu mengkaji hakekat postmodern dan hermeneutika pada bagian berikut ini. Postmodern Postmodern adalah suatu tantangan utama bagi kekristenan abad ke21 ini. Para pemikir Barat beranggapan bahwa manusia sudah melewati zaman Modern yang berlangsung mulai dari Abad Pencerahan (Aufklarung) sampai tahun 1960-an.3 Faktanya, terjadi perubahan budaya yang berlawanan dengan ciri khas zaman modern, yakni: inovasi yang lahir sebagai reaksi terhadap kemandulan dan kelumpuhan Abad Pertengahan.4 3 Bnd. Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodern (Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 7-20. 4 Beberapa pemikir dengan berani mencoba untuk menggambarkan suasana baru ala Postmodern. Namun usaha mereka cenderung merefleksikan posisi yang menaruh simpati. Misalnya Sallie McFague memuat asumsi-asumsi Postmodern dalam tulisannya yang menginginkan adanya “penghargaan lebih besar terhadap alam, pengakuan akan pentingnya 'bahasa' dalam hidup manusia, pengurangan kekaguman terhadap teknologi, penerimaan tantangan dari agama-agama lain terhadap tradisi Yudeo-Kristen, kepekaan akan adanya wahyu baru, kepekaan akan adanya pergeseran dari posisi pria Barat berkulit putih dan kebangkitan mereka yang tertindas akibat gender, ras atau kelas sosial dan mungkin yang paling penting adalah bertumbuhnya kesadaran akan adanya saling-ketergantungan secara radikal dari semua pihak dan di dalam segala cara yang dapat dipikirkan,” Lih. Sallie McFague, Metaphorical Theology (Philadelphia: Fotress Press, 1982), x-xi; bnd. Diogenes Allen, Christian Belief in a Postmodern Worl: The Full Wealth of Conviction (Lousville: Westminster/John Konox Press, 1989), 2; Istilah Postmodern dapat ditelusuri kembali dari tahun 1930-an, ketika sebuah perubahan besar terjadi dalam sejarah; Lih. Margaret Rose, “Defining the Post-Modern” in The Post Modern Reader, Pemikir lain seperti sejarawan Arnold Toynbee berpendapat bahwa Perang Dunia I merupakan saat berakhirnya Modernisme dan dimulainya Postmodern.5 Dengan demikian dapat dianggap bahwa pencetus istilah Postmodern adalah Arnold Toynbee dengan bukunya yang termahsyur berjudul Study of History.6 Ada pula yang mengatakan bahwa karya Friedrich Nietzsche (1844-1900) berjudul Thus Spoke Zarathustra, terbit tahun 1883,7 menandai berakhirnya era Modern dan bangkitnya Postmodern. Tetapi Charles Jencks, arsitek Postmodern yang paling berpengaruh mengatakan bahwa, the end of modernism and the beginning of postmodernism took place at:32 P.M. on July 15, 1972.8 Jean Francois Lyotard dengan semangat Nietzschean yang menyala-nyala mengemukakan kematian pilar-pilar metanaratif modernisme seperti dialektika roh, emansipasi proletar, hermeneutika dan sains.9 Dengan demikian, kehadiran Postmodern merupakan reaksi penolakan terhadap modernisme dan Charles Jenck, ed. (New York: St. Martin's Press, 1992), 119-136; Istilah Postmodern juga menunjuk kepada perkembangan dan pergeseran yang terjadi dalam dunia seni; bnd. Craig Van Gelder, “Postmodernism as an Energing Worldview,” Calvin Theological Journal 26 (1991), 42. 5 The first instance of the word postmodernism cited by the Oxford English Dictionary is Dated 1949 from a book on architecture; bnd. Charles Jencks, What is PostModern? (New York: St. Martin's Press, 1989), 8. 6 For Toynbee, The Postmodern age would be the fourth and final phase of Western history and one dominated by anxiety, irrationalism and helplessness; Arnold J. Toynbee, A Study of History (London: Oxford University Press, 1948), 399-404. Menurut analisis Toynbee, Postmodern dintandai dengan berakhirnya dominasi Barat dan semakin merosotnya individualisme, kapitalisme dan kekristenan; bnd. Grenz, A Primer on..., 31. 7 Lih. Grenz, A Primer on Postmodern, 133; Zarathustra merupakan model filsuf ciptaan Nietzsche. Yang terpenting dalam munculnya budaya baru (Manusia Super/Ubermensch) adalah bahasa baru (sebuah sistem penafsiran yang komprehensif). Bahasa baru itu menolak segala sistem lain yang berlawanan dengannya; bnd. Allan Megill, Prophets of Extremity: Nietzsche, Heidegger, Foucault, Derida (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1985), 2. 8 Ketika pertama kali didirikan proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis dianggap sebagai lambang arsitektur modern. Tetapi pada sore hari 15 Juli 1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Bagi Charles Jencks, peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan kelahiran postmodernisme; bnd. Charles Jencks, The Language of Post-Modern Architechture (London: Acadey Editions, 1984), 9. 9 Jean Francois Lyotard, The Postmodern Explained (Minnesota: University of Minnesota Press, 1992), 120. Pencerahan serta asumsi-asumsinya,10 sebagaimna ditulis oleh David Harvey sebagai berikut: The Enlightenment project... took it as axiomatic that there was only one possible answer to any question. From this it followed taht the world could be controlled and rationally ordered if we could only picture and represent it rightly. But this presumed that there existed a single correct mode of representation which, if we could uncover it (and this was what scientific and mathematical endeavors were all about), would provide the means to Enlightenment ends.11 Bagi Rene Descartes (1596-1650), dasar segala sesuatu adalah diri manusia yang berpikir (thinking-self), dan diri manusia adalah subjek otonom dan rasional (cogito ergo sum).12 Manusia memasuki Postmodern yang ditandai dengan pandangan yang pesimis terhadap kemajuan manusia, disintegrasi kebudayaan dan sikap relativisme terhadap kenyataan dalam dunia. Hasil penelitian George Barna mengindikasikan, 66% orang Amerika percaya bahwa there is no such thing as absolute truth.13 Veith menegaskan, Postmodernism attempts to re-order thought and culture on a completely different basis, accepting reality as a social contruction and avoiding “totalizing discourse” altogether.14 Postmodern, pada satu sisi adalah anti metanaratif, antifondasi, sebagaimana dideskripsikan oleh Patricia Waugh: Central to the “Postmodern coundition,” of Western history and, in particular, enlightened modernity have broken down.15 Hermeneutika Kata Hermeneutika (Inggris: hermeneutics) berasal dari bahasa Ibrani Pathar (to interpret), Pithron (penafsiran); Yunani- e`rmhneuw hermēneuō- (explai, expound) yang berarti menginterpretasi, menjelaskan 1 0 1 1 Bnd. Veith, Postmodern Times..., 42. David Harvey, The Condition of Posmodernity (Cambridge: Basil Blackwell, 1989), 39. 1 2 Grenz, A Primer on..., 10. 1 3 George Barna, The Barna Report: What American Believe (Ventura, California: Regal Books, 1991), 83-85. 1 4 Veith, Postmodern Times..., 44. 1 5 Patricia Wough, Postmodernism: A Reader (London: Edward Arnold, 1992), 5. atau menterjemahkan. Kata benda e`rmhneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi.16 Kata Yunani ini berhubungan dengan dewa Hermes, dewa dalam mitos orang Yunani. 17 Walter C. Kaiser Jr. mengatakan: The term hermeneutics has become in creasingly popular in recent decades.18 Hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.19 J. Bleicher menggolongkan hermeneutika dalam tiga bagian, yaitu: teori hermeneutika, filsafat hermeneutika dan hermeneutika kritis. Dalam penggolongan ini, Jürgen Habermas ditempatkan sebagai salah satu filsuf hermeneutika terkemuka saat kini, yang menekankan pentingnya hermeneutika yang sadar secara sosiologis; “Hermeneutika Kritis.” 20 Fungsi Hermeneutika Hermeneutika merupakan upaya memberi makna (meaning) suatu teks.21 Namun perlu dicatat, rentang waktu penulisan teks dan pembaca teks sering 1 6 Harold K. Moulton (ed.), The Analytical Greek Lexicon (Grand Rapids: Zondervan, 1978), 166. 1 7 Tugas Hermes adalah mengerti dan menginterpretasi pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh umat manusia Jika terjadi kesalahpahaman, maka akan berakibat fatal bagi seluruh umat manusia. Berhasiltidaknya misi Hermes tergantung kepada metode atau cara pesan disampaikan; Sebetulnya istilah hermeneutik ini tidak dipakai untuk penafsiran Alkitab saja. Dalam arti dan pemakaian umum, ia menunjukan peraturan-peraturan yang dipergunakan untuk mencari arti sesungguhnya dari, misalnya: kesenian, sejarah, literatur, ilmu purbakala, dan penerjemahan; bnd. Bernard Ramm, Protestan Biblical Interpretation (Grand Rapids: Baker Book House, 1986), 9; William F. Arndt and Gingrich F. Wilbur, A Greek-English Lexicon of The New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago: The University of Chicago Press, 1957), 309-310. 1 8 Walter C. Kaiser and Moises Silva, An Introduction to Biblical Hermeneutics, (Grand Rapids: Zondervan, 1994), 15. Dalam menjelaskan hermeneutika sebagai prinsip dan seni penafsiran, Silva mengemukakan sejumlah prinsip kerja antara lain: perlunya memahami tata bahasa, latarbelakang sejarah, apa yang dikerjakan oleh teks, setting dari teks, konteks kanonis dari teks itu sendiri, apa kata para penafsir sebelumnya dan apa makna pesan teks bagi kita sekarang ini. 1 9 Richard E. Palmer, Hermeneutics (Evanston: Northwestern Univ Press, 1969), 3. 2 0 Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX (Jakarta: Gramedia, 1990), 224. 2 1 Klass Runia, The Hermeneutics of The Reformers, Calvin Theological Journal 19 (November 1984), 121-122. menciptakan berbagai hambatan. Hermeneutik paling sedikit melibatkan dua aspek, yaitu, eksegese dan eksposisi, walaupun di sisi yang lain, J.I. Packer menawarkan penafsiran biblikal Injili yang dimulai dengan tiga langkah, yaitu, eksegese, sintesa dan aplikasi.22 Hermeneutik berfungsi untuk mempelajari prinsip-prinsip penafsiran, baik penafsiran tata bahasa, historis, kebudayaan maupun penerapan praktis dari penafsiran tersebut di mimbar.23 Mencari penjelasan tentang apa yang tidak secara jelas di dalam Alkitab, yang didahului dengan langkah observasi atau dapat pula disebut persiapan,24 bertanya dan menjawab pertanyaan apa makna teks ini.25 Urgensitas Hermeneutika G.W. Bromiley memberikan empat alasan urgensitas hermeneutik.26 Pertama, otoritas Alkitab dihilangkan bilamana arti yang sesungguhnya dilalaikan. Kedua, memahami Alkitab adalah tidak begitu mudah, seperti kelihatannya dan secara umum menyatakannya dalam istilah-istilah yang sederhana, namun hal itu tidaklah menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang mengitari semua komunikasi. Ketiga, dalam hal-hal yang dari iman dan tingkah laku, orang-orang Kristen berbeda dengan apa yang Alkitab ajarkan; komitmen kepada otoritas Alkitab bukanlah usaha perlindungan terhadap ketidak-setujuan. Keempat, ada bahaya yang sungguh-sungguh bilamana kita membingungkan otoritas-otoritas, yaitu otoritas dari Alkitab dan otoritas dari penafsiran perorangan akan Alkitab, bilamana pertanyaan hermeneutik tidak diperhatikan. J.I. Packer, “Infallible Scripture and The Role of Hermeneutics,” in Scripture and Truth, peny. D.A. Carson & John D. Woodbridge (Grand Rapids: Baker, 1992), 345. 2 3 F.F. Bruce, “Interpretation of The Bible,” in Evangelical Dictionary of Theology, editor Walter A. Elwell (Grand Rapids: Baker Books House, 1984), 565. 2 4 Richard L. Pratt, He Gave Us Stories: The Bible Student's Guide to Interpreting OT Narratives (Philipsburg, New Jersey: Presbyterian and Reformed, 1990), 3. 2 5 Howard G. Hendricks, Living by The Book (Chicago: Moody Press, 1991), 195. 2 6 G. W. Bromiley, “The Interpretation of The Bible,” in The Expositor's Bible Commentary, peny. F. E. Gaebelein (Grand Rapids: Zondervan, 1979), 61. 2 2 Interpretasi Alkitab meliputi 3 (tiga) aspek yang perlu diperhatikan, yaitu: antara penulis, teks, dan pembaca. Penulis mengekspresikan pesan kepada pembaca melalui teks yang ditulisnya. Arah komunikasi bersifat satu arah, bergerak dari penulis kepada pembaca. Pembaca tidak dapat berkomunikasi dengan pengarang seperti lazimnya dalam setiap komunikasi, maka respons atau efek diharapkan muncul sebagai akibat proses komunikasi. Banyak kritikus berpendapat bahwa penafsiran yang objektif tidak mungkin dilakukan dan makna yang dimaksud penulis telah hilang selamanya. Dengan demikian setiap komunitas menyediakan tradisi untuk menuntun pembaca dalam memahami suatu teks, dan inilah yang menghasilkan makna. Implikasinya, makna tersebut berbeda-beda di setiap komunitas. Jadi, pada kenyataannya setiap teks dapat memiliki beragam makna, dan setiap makna itu sah bagi suatu perspektif pembaca atau komunitas tertentu.27 Karakteristik Hermeneutika Postmodern Secara umum, karakteristik hermeneutika Postmodern, antara lain: Pertama, hal atau peristiwa tidak mempunyai arti yang intrinsik pada dirinya, yang ada hanyalah penafsiran yang terus-menerus terhadap realitas dan dunia. Kedua, penafsiran-penafsiran tersebut membutuhkan penelitian sesuai dengan konteksnya, sedangkan kita adalah bagian dari konteks itu sendiri. Ketiga, penafsiran tidak tergantung kepada faktor objektif dari teks atau pengarangnya, tetapi kepada pandangan relatif dari penafsir. Keempat, bahasa tidaklah netral melainkan relatif dan dipakai untuk menyampaikan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu.28 Problema Hermeneutika Postmodern Dalam Studi Hermeneutika saat kini, tak bisa dilepaskan dari pengaruh Posmodern. Pendekatan hermeneutika dibawa kepada pendekatanpendekatan ilmu sastra yang dikenal dengan nama-nama: Reader-response, deconstruction, feminist criticism, ideological criticism, autobiographical 2 7 Grant R. Osborne, The Hermeneutical Spiral: A Comprehensive Introduction to Biblical Interpretation (Downers Grove: InterVarsity Press, 1991), 5. 2 8 Henry Efferin, Jurnal Pelita Zaman, No.14. criticism, dan lain sebagainya. Dengan munculnya reader-response criticism maka terjadilah pergeseran paradigma aktivitas membaca teks. Tiap orang dapat membaca Alkitab dan berhak menafsirkan artinya sebagaimana ia atau golongannya mengartikannya. Namun percu dicatat, bahwa penafsiran tanpa hermenutika yang benar menimbulkan problema serius. Munculnya publikasi biblika seperti interpretasi feminis merupakan petunjuk semakin meluasnya pendekatanpendekatan Postmodern dalam dunia hermeneutika. Hakikatnya, suatu teks merupakan dasar pemaknaan teks. Tidak salah jika dikatakan bahwa hermeneutika bergantung pada konsep tentang teks. 29 Dengan melalaikan maksud asli teks Alkitab akan menimbulkan krisis yang dalam banyak cara menimbulkan krisis-krisis teologi yang lain. George M. Landes mengatakan bahwa krisis yang paling dasar dalam studi-studi biblikal haruslah ditempatkan dalam disiplin hermeneutika. 30 Friedrich Schleiermacher (1768-1834), pemikir utama jalur hermeneutika yang berorientasi pada penulis terkenal sebagai: to reproduce the whole internal process of an author's way of combining thoughts... Explanation of words and contents are not themselves interpretation but only elements of it.31 William Dilthey (1833-1911) dan E.D. Hirsch32 serta pakar lainnya kemudian berjalan di atas landasan yang telah dibangun Schleiermacher. Hans-Georg Gadamer membuka jalan terhadap pendekatan yang 2 9 Upaya memahami teks dari perspektif pengarang menegaskan bahwa teks hanya dapat dipahami bila dapat mengungkapkan maksud pengarang menulis teks tersebut. Langkah pertama memberi makna suatu teks diawali dengan memahami penulis dan konteks penulis berada. Jadi, proses pembacaan difokuskan pada usaha merekonstruksi konteks suatu teks dan harapan maksud sebenarnya penulis dapat terungkap. 3 0 George M. Landes, “Towards an Exegetical Theology: Biblical Exegesis in Crisis, What is the Exegetical Task in a Theological Context?” 274; seperti dikutif oleh Walter C. Kaiser, Jr. (ed.), Toward and Exegetical Theology: Biblical Exegesis for Preaching and Teaching (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1981), 17. 3 1 Stanley J. Grenz, Revisioning Evangelical Theology (Downers Grove: Inter Varsity, 1993), 67. 3 2 Bnd. E.D. Hirsch, Validity in Interpretation (New Haven: Yale Univ. Press, 1967); and idem, The Aims of Interpretation (Chicago: University of Chicago Press, 1976). menekankan partisipasi pembaca dalam memberi makna suatu teks. Jürgen Habermas sendiri menghargai dan menyetujui sikap Gadamer. LANDASAN PEMIKIRAN JÜRGEN HUBERMAS Untuk memahami pemikiran-pemikiran atau gagasan-gagasan Jürgen Hubermas yang memiliki relasi dengan hermeneutika, maka terlebih dahulu perlu menganalisis riwayat hidup, latarbelakang pemikirannya, dan kerangka hermeneutiknya. Riwayat Hidup K. Bertens meringkaskan riwayat hidup Jürgen Habermas dalam buku Filsafat Barat Abad XX, sebagai berikut: Jürgen Habermas dilahirkan di Gummersbach tahun 1929. Di Universitas kota Gottingen, ia belajar kesusastraan Jerman, sejarah dan filsafat (a.l. pada N. Hartmann) dan juga mengikuti kuliah di bidang psikologi dan ekonomi. Sesudah beberapa waktu di Zurich, ia meneruskan studi filsafat di Universitas Bonn. Tahun 1954 ia meraih gelar 'doktor filsafat,' berdasarkan sebuah disertasi tentang Das Absolute und die Geschichte, suatu karya yang masih secara mendalam dipengaruhi oleh filsafat Heidegger. 33 Habermas sangat populer di kalangan mahasiswa Jerman dan oleh beberapa golongan dianggap sebagai ideolog mereka. Ia adalah salah seorang filsuf Jerman paling terkemuka dalam era 1970-an. Pada tahun tersebut ia menerbitkan buku Protesbewegung und Hochschulreform, suatu buku yang menjadi best-seller di Jerman. Salah satu kritik yang menarik atas Kebenaran dan Metode berasal dari Jürgen Habermas. Latarbelakang Pemikiran Habermas Jürgen Habermas (1929), tidak diragukan lagi menjadi salah satu filsuf terbesar abad ini. Sebagai pemikir generasi baru (generasi kedua) 3 3 Bertens, Filsafat Barat Abad..., 213. Mazhab Frankfurt (Frankfurt School),34 Habermas berusaha meneruskan pemikiran para pendahulunya (M. Horkheimer, Th. Adorno, H. Marcuse), sekaligus mengusulkan proyek-proyek baru yang lebih otentik. Meskipun gagasan-gagasan Habermas tidak berpusat pada hermeneutika, namun ideidenya tersebut memberi warna pada pustaka hermeneutika. Tidaklah mudah memahami secara tepat dan sistematis seluruh pemikiran atau gagasan Habermas, yang luas dan mendalam; lagi pula pemikirannya amat dinamis dan terus berkembang hingga kini. Untuk memahami gagasan-gagasannya, maka harus terlebih dahulu menempatkan seluruh pemikirannya dalam konteks Teori Kritis yang ditawarkan Mazhab Frankfurt, bahkan lebih jauh lagi dalam tradisi pemikiran Hegelianisme, Marxisme dan psikoanalisis Sigmund Freud. Ketiga pemikiran kritis tersebut memahami kata kritik secara berbeda. Hegel memahami kritik sebagai refleksi atau refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukkan-diri dari rasio dalam sejarah. Karl Marx sebagai seorang Hegelian, memahami kritik sebagai usaha-usaha emansipatoris dari penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Sigmund Freud memahami kritik sebagai pembebasan individu dari irasionalitas menjadi rasionalitas, dari ketidaksadaran menjadi kesadaran.35 Habermas juga amat dipengaruhi oleh pragmatisme Dewey, filsafat analisis-nya Wittgenstein dan J.L. Austin, serta banyak pemikir lainnya. Oleh karena itu, dapatkah dimunculkan dimensi-dimensi hermeneutik- 3 4 Sekolah Frankfurt mengembangkan suatu teori yang dinamakan Teori Kritis. Teori Kritis bukan sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip objektif realitas melainkan bersifat emansipatoris; yang harus memenuhi 3 syarat: Pertama, Bersikap kritis dan curiga terhadap zamannya, seperti yang telah dilakukan Karl Marx terhadap sistem kapitalisme. Kedua, Berpikir secara historis, berpijak pada masyarakat dalam prosesnya yang historis. Ketiga, tidak memisahkan teori dan praktis, tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapat hasil yang objektif; Bnd. Frans Magnis Suseno, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 141-154. 3 5 Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra, 2001), 60-61. teologis dari Teori Kritis Habermas ini?36 Selain itu, tidak mungkin memahami pemikiran Habermas tanpa menyadari konteks kehidupan bangsa Jerman pada masa mudanya. Habermas dibingungkan pertanyaan, mengapa bangsa Jerman, yang melahirkan gagasan-gagasan kemanusiaan yang unggul, mulai dari Kant sampai Marx dengan tema-tema emansipasi, kebebasan, sekaligus menyediakan lahan subur bagi Hitler dan Nazisme? 37 Kerangka Hermeneutika Habermas Meskipun gagasan-gagasan Jürgen Habermas tidak berpusat pada hermeneutik, dan karya-karyanya-pun tidak secara khusus membicarakan hermeneutik sebagai ide tunggalnya, namun pemikiran-pemikirannya itu mendukung pustaka hermeneutik. Gagasan hermeneutikanya dapat ditemui di dalam tulisannya berjudul Knowledge and Human Interest.38 Habermas mengikuti tiga bentuk penyimpulan, yaitu: deduksi, induksi dan abduksi atau proses abdutif.39 Dalam penyelidikan ilmu-ilmu hermeneutik, ia tertarik untuk menyingkapkan kerangka metodologis dan kepentingan yang menentukan dalam ilmu hermeneutik. Bagi Habermas, klaim-klaim pengetahuan dalam ilmu-ilmu hermeneutik grasp interpretations of reality with regard to possible intersubjectivity of action-orieting mutual understanding specific to a given hermeneutic sating point.40 Ia memusatkan kritik dan studinya pada pemikiran hermeneutik Dilthey, bahwa pemahaman hermeneutik harus mengintegrasikan ketiga kelas kehidupan, yakni: bahasa, tindakan Gary M. Simpson, “Theologia Crucis and The Forensically Fraught World: Engaging Helmut Peukert and Jürgen Habermas” in Journal of the American Academy of Religion. Vol. LVII, No. 3, Th.1989, 509. 3 7 Richard J. Berstein (ed.), “Introduction,” dalam Habermas and Modernity, (Cambridge: Polity Press & Oxford, Basil Blackwell, 1986), 2. 3 8 Habermas, Knowledge and Human..., 144. 3 9 Dengan deduksi, Habermas ingin membuktikkan bahwa sesuatu 'seharusnya' berperilaku dalam cara tertentu; dengan induksi ia ingin membuktikkan bahwa sesuatu pada kenyataannya berperilaku dalam suatu cara tertentu; dan dengan abduksi ia ingin membuktikkan bahwa sesuatu mungkin akan berperilaku menurut suatu cara tertentu. 4 0 Habermas, Ibid, 195. 3 6 dan pengalaman. Habermas sendiri menyetujui sikap Gadamer yang menentang pendirian objektivisme. Ia juga menghargai usaha Gadamer merefleksikan kesadaran diri hermeneutis, sekaligus setuju pada pendapat Gadamer mengenai ketergantungan subjek yang berbicara dengan bahasanya.41 Menurut Habermas, hermeneut atau penafsir tak dapat memahami sepenuhnya makna suatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi. Hermeneutika membutuhkan pemahaman tentang makna yang mampu mengartikan hubungan-hubungan simbol sebagai hubungan fakta. Habermas harus melawan klaim Gadamer bahwa hermeneutik memiliki arah atau penekanan yang universal karena hermeneutika berpusat pada bahasa.42 Yang ditakutkan oleh Habermas adalah terjadinya pseudocommunication yang memungkinkan terjadinya “komunikasi yang terdistorsi secara sistematis.” Ia berpendapat bahwa bahasa itu sendiri didominasi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan satu-satunya jawaban adalah kritik ideologi pada inti hermeneutika. Ketimbang mengandaikan sebuah hermeneutika yang universal, Habermas menawarkan dipakainya Depth Hermeneutics yang diyakininya tidak akan mengalami distorsi yang muncul dari luar. Habermas menulis sebagai berikut: Even the implisit knowledge of the pre-conditions of systematically distored communication which is really prespposed in the usage of communicative competense characterictioc depthe hermeneuticseven this is sufficient to put in question the ontological selfunderstanding of hermeneutics which Gadamer, following on Heidegger, makes explicit.43 KONTRIBUSI PEMIKIRAN HABERMAS BAGI HERMENEUTIKA POSTMODERN 4 1 Anthony C. Thiselton, New Horizons in Hermeneutics (Grand Rapids: Zondervan, 1992), 12. 4 2 Bnd. Werner G. Jeanrond, Teks and Interpretation as Categories of Theological Thingking (Dublin: Gill and Macmillan, 1988), 22-23. 4 3 Jeanrond, Teks and Interpretation as Categories of Theological Thingking, 23; Habermas amat terganggu dengan upaya Gadamer merehabilitasi konsep prasangka (prejudice) dalam konteks hermeneutisnya. Skeptisisme Postmodern menghasilkan dunia yang selalu dipenuhi pluralitas yang saling bertentangan dan tak pernah selesai. Komitmen kepada Allah dalam Kristus, mengharuskan kita berdiri teguh melawan skeptisisme radikal postmodern, yakni lenyapnya metanaratif - “titik pusat.” Namun harus selalu siuman dan patut dicatat bahwa suatu faham baru selalu ada sisi postif dan negatifnya. Berkaitan dengan hal di atas, telah bermunculan pemikir-pemikir dari kaum injili yang menggunakan tiga metode pendekatan terhadap semangat postmodern, yakni: akomodasi, sintesis juga kontra-postmodern. Fakta menunjukan bahwa kritik postmodern dalam beberapa bagian lebih sesuai dengan pemahaman iman Kristen. Selama kita mengakui validitas keyakinan-keyakinan kristiani secara absolut, metanaratif, keyakinankeyakinan tersebut pasti mengendalikan penafsiran. Hanya dengan mengidentifikasikan mereka apa adanya, suatu perkiraan terhadap kebenaran secara teologis dan budaya, barulah kita dapat tetap menempatkan mereka di dalam perspektif postmodern yang benar.44 Postmodern menolak anggapan pencerahan bahwa pengetahuan itu pasti dan kriteria kepastian itu terletak pada rasio manusia. Iman Kristen juga menolak kalau metode ilmiah dan rasional itu dianggap sebagai satusatunya kriteria kebenaran. Sebagaimana dikatakan oleh Blaise Pascal, “Hati manusia mempunyai logikanya sendiri yang tidak dapat dipahami oleh rasio manusia” (bnd. Ams 3:7; Ul 29:29; Flp 4:7; 1Kor 13:12). Berkaitan dengan hal inilah penulis mengamati adanya dimensi-dimensi gagasan hermeneutik posmodern Jürgen Habermas yang dapat didistribusikan ke dalam hermeneutis-teologis. Kritik Atas Positivisme Pada tahun 1960-an di Eropa, muncul sebuah perbantahan hebat mengenai positivisme, yang dikenal dengan nama Possitivismusstreit. Diskusi ini menempatkan metode ilmu sosial sebagai bahan pembicaraan. Semula Theodor W. Adorno berdebat dengan Karl Popper, yang masingmasing mewakili pendirian kritis-dialektis dan pendirian positivistis. 4 4 William Larkin, Culture and Biblical Hermeneutics (Grand Rapids: Baker Book House, 1988), 75-95. Setelah itu tampil Hans Alber dan Jürgen Habermas. Perdebatan ini mempertajam permasalahan dan pemikiran masing-masing pihak.45 Sejak awal Habermas menempatkan pendiriannya dalam alur pemikiran Mazhab Frankfurt, yang berjuang menentang positivisme dan objektivisme. Habermas mengikuti pemikiran para pendahulunya, menegaskan penolakannya terhadap positivisme, yang berusaha memisahkan ilmu dan kepentingan (interest), agar ilmu bisa hadir secara netral tanpa pemihakan (disinterested). Akibatnya ilmu (theoria) dipisahkan secara radikal dengan praksis dan menjadi a-historis secara a-sosial. Menurut Habermas, kepentingan atau minat adalah orientasi dasar yang berakar dalam kondisi fundamental khusus dari reproduksi yang mungkin dan kelangsungan hidup spesies manusia, yaitu kerja atau karya dan interaksi. Sebagai contoh misalnya: sesuatu yang diminati atas dasar penalaran adalah masuk akal. Jadi, dari hal yang menyenangkan bisa muncul kecenderungan untuk sesuatu yang baik dan masuk akal. 46 Tetapi, mengapa kepentingan atau minat dimasukkan ke dalam hermeneutik? Bagi Habermas, pengetahuan dan minat itu pada dasarnya adalah satu dan keduanya berpadu atau berbaur menjadi satu dalam bahasa yang dipakai. Akibat semua tindak-tanduk positivisme ini, Habermas melontarkan tuduhan bahwa ilmu–yang bebas–nilai pada akhirnya hanya ingin mempertahankan status-quo masyarakat. Baginya, usaha memperoleh pengetahuan yang objektif, yang terbebas dari kepentingan-kepentingan, sebenarnya usaha tersebut didorong oleh sebuah kepentingan yang lebih dalam, yaitu agar dicapai sebuah teori murni.47 Dalam interpretasi, bahasa mendapatkan tempat yang utama. Untuk mencapai pemahaman dengan perantaraan bahasa diperlukan pengarahan, yaitu semacam mekanisme tindakan yang terkoordinasikan. Sehingga, 4 5 Karangan-karangan penting mengenai perdebatan ini dikumpulkan oleh Th. Adorno dalam buku The Positivist Dispute in German (New York: 1976). 4 6 E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 88. 4 7 Di sini Habermas menyetujui upaya Edmund Husserl yang juga mencela gejala objektivisme yang memisahkan teori dari kenyataan sesehari (Lebenswelt). Namun bagi Habermas, kesalahan Husserl adalah menolak objektivisme itu sembari memunculkan bentuk objektivisme lainnya, ketika ia berusaha memperoleh sebuah teori yang murni. Lih. Knowledge and Human Interest, 302-306. Habermas menulis, “While criticizing the objectivist self-understanding of the sciences, Husserl succumbs to another objectivism, which was always attched to the traditional concept of theory,” 306. walaupun mempergunakan konsensus tertentu, tetap dapat mengkoordinir diri sendiri ke arah tujuan tertentu. Teori Kritis Habermas mengajukan sebuah pemecahan epistemologis melalui apa yang kemudian disebut Teori Kritis. Bagi Habermas, proses memperoleh pengetahuan selalu dilandasi kepentingan tertentu. Teori Kritis senantiasa bersifat historis, berpijak pada realitas konkret, serta menjadi kritik imanen atas tatanan yang melanggengkan status-quo. Namun yang menjadi sasaran kritis teori ini bukan hanya realitas sosial, tetapi juga pendekatan-pendekatan ilmiah atas realitas sosial itu sendiri. Bagi Habermas, Teori Kritis mengambil sikap kritis baik terhadap ilmu-ilmu sosial dewasa ini maupun kenyataan sosial yang dilukiskannya. Ia kritis terhadap pendekatan-pendekatan ilmiah yang tidak mampu menjelaskan paradoks-paradoks rasionalisasi kemasyarakatan karena pendekatan-pendekatan itu membuat sistem-sistem sosial yang kompleks sebagai objek mereka hanya dari salah satu sudut pandang abstrak, tanpa memperhitungkan asal-usul historis (dalam arti sosiologi reflektif).48 Ilmu tidak pernah bebas-nilai, termasuk pula teologi. Selain itu Habermas juga mencela kecenderungan positivisme yang berusaha melepaskan teori dari praksis, demi memperoleh sebuah teori murni. Tak jarang pula teologi Kristen terjebak dalam kecenderungan semacam ini. Dengan demikian jelaslah bahwa Teori Kritis berurusan dengan usaha memperoleh pengetahuan (epistemologi) dengan cara-cara yang kritis, serta peka terhadap kepentingan manusiawi di balik setiap upaya ilmiah. Dalam hal ini, Habermas sendiri membedakan pengetahuan dalam tiga cakupan: ilmu yang memanfaatkan keterangan teknis yang diperoleh secara langsung atau secara analitis; sejarah, yang menafsirkan bahasa sesuai dengan Gadamer; dan ilmu-ilmu sosial yang menggunakan 4 8 Habermas membagi tindakan menjadi 4 jenis: tindakan teologis (konsep pokok tindakan ini adalah keputusan); tindakan normatif (konsep pokok dalam tindakan ini adalah pemenuhan terhadap norma); tindakan dramaturgik (konsep pokok adalah penampilan diri di hadapan umum atau masyarakat); tindakan komunikatif (konsep pokok dalam tindakan ini adalah “interpretasi”); bnd. J. Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. II (Boston: Beacon Press, 1984), 375. perenungan untuk membebaskan atau meng-“emansipasi” orang-orang dari dominasi kekuatan dan-kekuatan-kekuatan sejarah.49 Rasio dan Praksis Habermas juga mempersoalkan makna Rasio dalam seluruh percakapan yang sedang diikutinya. Bagi para pemikir Mazhab Frankfurt rasio telah menjadi alat yang netral untuk mengoperasionalisasikan sebuah sistem. Rasio semacam ini oleh Horkheimer disebut rasionalitas-bertujuan. Yang dimaksud di sini, rasio sekedar menjadi alat (instrument) belaka di luar dirinya sendiri, yaitu kepentingan-kepentingan ideologis. Akhirnya, menurut Marcuse, “masyarakat modern adalah rasional secara parsial tetapi irasional dalam keseluruhan.” Rasionalitas yang irasional!50 Mazhab Frankfurt berhasil menunjukan bahwa kesalahan ini terjadi karena rasio dipisahkan dari praksis, yaitu tindakan manusia untuk merealisasikan hidup yang baik. Rasio dimurnikan dari unsur penilaian dan moralitas. Secara epistemologis akhirnya mereka sendiri pun pesimis terhadap Teori Kritis, dengan kekuatiran bahwa rasionalitas yang kritis pun bisa membeku dan menjadi ideologis. Di sinilah persimpangan muncul; Habermas menjalani arah lain yang jauh lebih optimis terhadap rasionalitas. Permasalahan rasio ini oleh Habermas diletakan dalam konteks yang lebih luas, yaitu nisbah antara teori dan praksis. Bagi Habermas, pengetahuan bukanlah persoalan kontemplasi, melainkan mendorong praksis perubahan sosial. Praksis di sini adalah tindakan dasar manusia yang didorong oleh kesadaran rasional. Dari Karl Marx, Habermas mewarisi konsep tentang kerja sebagai syarat keberadaan manusia dan tidak terikat pada bentuk-bentuk masyarakat. Kerja adalah proses yang terdapat antara manusia dengan alam, dimana manusia melalui tindakannya menengahi, mengatur dan mengawasi pertukaran barang-barang yang mereka miliki dengan alam. Jadi, kerja mempunyai fungsi sintesis, namun juga dapat dijauhkan dan diasingkan dari manusia. 51 Dalam studinya atas pemikiran Hegel, Habermas menemukan bahwa praksis pada dasarnya 4 9 5 0 Bnd. Habermas, Knowledge and Human..., 308-311. H. Marcuse, One Dimensional Man: Studies in the Ideologyof Advanced Industrial Society (London: Routledge & Kegan Paul, 1964), 134. 5 1 Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode..., 89-90. tidak hanya berarti kerja (arbeit), namun juga komunikasi (communication). Namun Habermas juga mengritik Marx dengan mengatakan bahwa Marx telah menipu dirinya sendiri dalam hal yang berkaitan dengan hakikat refleksi yang ia kembalikan ke kerja karena Marx kemudian menarik proses refleksi ke tingkat tindakan instrumental. 52 Harus mulai diusahakan sebuah rancang bangun model Gereja sebagai sebuah komunitas aksi komunikatif,53 dimana diskursus imankomunikasi iman-menjadi praksis bersama. Konsep pokok dalam praksis adalah interpretasi. Dalam interpretasi, bahasa mendapatkan tempat yang utama. Untuk mencapai pemahaman dengan perantaraan bahasa diperlukan semacam mekanisme praksis yang terkoordinasikan. Sehingga, walaupun mempergunakan konsensus tertentu, kita dapat mengkoordinir diri kita sendiri ke arah tujuan tertentu. Habermas memperlihatkan bahwa praksis berdasarkan rasio instrumental bisa menjadi praksis dari manusia, namun tidak boleh menjadi praksis terhadap sesama. Kehebatan Habermas adalah mengajukan secara konsisten perlunya pemakaian praksis melalui paradigma komunikasi daripada sekedar memakai paradigma kerja.54 Refleksi Diri Dalam Knowledge and Human Interest Habermas melontarkan tesis keempatnya yang berbunyi, “in the power self-reflection, knowledge and interest are one.”55 Di sini Habermas berdiri dalam tradisi pemikir Jerman Fichte bahwa rasio mengandung dua segi, yaitu: kehendak dan kesadaran. Bagi Hegel, rasio dipandang memiliki kemampuan untuk menemukan hambatan yang merintangi perkembangan diri untuk mencari otonomi kedewasaan. Oleh Habermas, kedewasaan diartikan sebagai konsensus-bebas-hambatan, yang dicapai melalui refleksi-diri, kita terbebas dari dogmatisme, “Self-reflection is at once intuition and emancipations, 5 2 5 3 Bnd. Bertens, Filsafat Barat Abad..., 177-178. Paul Lakeland, Theology and Critical Theory: The Discouse of the Church, (Nashville: Abingdon Press, 1990), 103-137. 5 4 J. Habermas, Towards a Rational Society (London: Heinemann, 1971), 93. 5 5 Habermas, Knowledge and Human..., 314. comprehension and liberation from dogmatic dependence.”56 Dalam banyak hal, para interpreter tidak dapat bebas dari titik mula hermeneutika, yaitu refleksi diri. Habermas mempertahankan pendapatnya bahwa minat yang tertinggi dan dasar dari semua minat yang lain adalah minat terhadap diri sendiri. Lalu, apakah minat terhadap diri sendiri akan menjadi faktor penentu dalam pemahaman epistemologi seperti hermeneutika? Habermas mengatakan bahwa penalaran mempunyai minat praktis yang menjadi milik penalaran itu sendiri. Ini berarti bahwa bila kita berefleksi, maka refleksi itu sekaligus merupakan intuisi dan emansipasi, pemahaman dan kebebasan dari ketergantungan kepada dogma. Dengan memahami diri sendiri maka kita juga memahami dunia. Interpreter tidak dapat mengawali interpretasinya tanpa terlebih dahulu melibatkan dirinya dalam refleksi diri. Inilah alasan Habermas mengatakan bahwa “membuka rahasia interpretasi terhadap diri sendiri adalah tugas hermeneutika.”57 Sebab itu, diri sendiri menjadi titik tolak interpretasi, dan ini menyebabkan hermeneutika menjadi penting. Habermas memperkaya konsep refleksi-diri ini dengan teori psikoanalisis-nya Freud.58 Bagi Paul Ricoeur, ide-ide Freud melengkapi para hermeneut dengan landasan yang kokoh untuk interpretasi. 59 Bahkan, mimpi juga memerlukan hermeneutik batin dan refleksi diri. Praktek penafsiran mimpi merupakan sebuah bentuk hermeneutika yang amat mendalam. Karena, berbeda dengan hermeneutika biasa yang memakai bahasa sesehari sebagai teks, panafsiran mimpi mempergunakan bahasa yang kacau sebagai teks yang perlu dianalisis. 60 Dalam hal ini hermeneutika mempunyai tugas ganda, yaitu menempatkan dirinya sendiri sebagai orang yang bermimpi untuk kemudian menyibukkan diri dalam penjelasan kausal dan ilmiah, serta interpretasi. Ia menjadi semacam analisis yang harus menyusup masuk ke bawah isi yang mewujud dari teks mimpi, yang menyembunyikan kejanggalannya dan analisis harus bisa menguraikan kejanggalan tersebut.61 5 6 5 7 Ibid., 208. Habermas, The Theory of Communicative..., 169. 5 8 Habermas, The Theory of Communicative..., 209. 5 9 Paul Ricoeur, Freud and Philosophy (New Haven & London: Yale Univ. Press, 1970), 217. 6 0 Habermas, Knowledge and Human..., 190-203. 6 1 Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode..., 93. Tidak ada satu batas pun dalam mimpi. Berdeda pula dengan hermeneutika biasa yang menghadapi teks transparan, psikoanalisis berhadapan dengan teks yang terselubung. Karena itu, Habermas menyebut psikoanalisis sebagai Hermeneutika Dalam/Batin (Tiefenhermeneutik atau Dept Hermeneutics). Terhadap bentuk atau objek semacam itu interpreter diharapkan menghubungkan dan menjalin pola-pola tindakan dalam upayanya untuk menguraikan misteri dan mencari penjelasannya melalui makna yang tersembunyi di balik bahasa atau mimpi. PENUTUP: EVALUASI DAN REFLEKSI Pertama, konteks sosial postmodern terdiri dari banyak bagian dan berubah-ubah, yang memengaruhi hermeneutika seseorang. Hermeneut menjadi titik tolak hermeneutika, dan ini menyebabkan hermeneutika menjadi penting. Karenanya, bila hermeneut meninggalkan makna teks dan maksud penulis, maka ia akan tenggelam dalam lautan relativitas postmodern, dan tak ada dimensi metanaratif yang absolut. Kedua, pewahyuan ilahi itu sendiri terkondisi secara budaya karena dikomunikasikan kepada berbagai budaya dalam berbagai bahasa yang tidaklah netral dan tak dapat dihapuskan oleh postmodern. Ketiga, teologi kritis bisa memberi kemungkinan mengerjakan refleksi-diri terus-menerus. Kritis atas kenyataan dunia harus dibarengi dengan kritik terhadap diri sendiri. Untuk itu diperlukan sebuah pola hermeneutik yang kritis atas teks-teks mapan yang ada. Keempat, jika hendak menginterpretasi secara benar dan tepat, maka kita harus mengupayakan dialog antara bahasa dan pengalaman di satu sisi dengan tindakan di sisi lain. Tidak memisahkan teori dan praksis, tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapat hasil yang objektif. Kelima, bahasa mencakup seluruh makna dan oleh sebab itu hermeneutika memiliki implikasi yang universal. Pentingnya sosiologi pengetahuan sebagai suatu sarana penafsiran. Keenam, kekuatan-kekuatan ideologis mengendalikan hermeneutika hampir semua orang. Calvinis atau Armenian, Reformed atau Dispensasional, Teolog Proses atau Pembebasan, tiap komunitas orang percaya telah memberikan kecenderungan-kecenderungan ideologis tertentu yang menuntun penafsiran. Karenanya, hermeneutika harus membebaskan pemahaman dari ideologi. Ketujuh, pemahaman hermeneutik sifatnya global, yaitu mengandaikan adanya tujuan khusus. Setiap komunikasi yang sehat adalah komunikasi dimana setiap partisipan bebas untuk menentang klaim-klaim tanpa ketakutan akan koersi, intimidasi, deceit dan sebagainya. Melalui tindakan komunikatif, pemahaman hermeneutik mempunyai bentuk yang hidup, yaitu kehidupan sosial Postmodern. KEBANGKITAN ORANG MATI MENURUT I KORINTUS 15:12-34 DAN IMPLIKASI ETISNYA BAGI ORANG PERCAYA DANIK ASTUTI LUMINTANG PENDAHULUAN Doktrin kebangkitan merupakan dasar atau sentral pemberitaan dari iman kristen, karena itu, doktrin kebangkitan merupakan keunikan Kristen yang tiada tandingnya. Memang, doktrin kebangkitan orang mati bukanlah monopoli agama Kristen, karena agama-agama dan aliran lain, misalnya: agama Islam, Hindu, Budha dan aliran kebatinan, serta agama Suku memiliki konsep masing-masing.1 Yang jelas, bahwa doktrin Kristen 1 Semua agama membahas tentang dunia orang mati, namun ajaran-ajaran itu adalah berbeda. Agama Suku percaya bahwa di luar dunia manusia ada dunia tempat orang mati, tempat para dewa, tempat nenek moyang, kembali kepada asal, perpindahan mengenai kebangkitan berbeda sama sekali dengan doktrin kebangkitan agama-agama lain, aliran-aliran kepercayaan bahkan pandangan filsafat. Kesamaan yang ada hanyalah kesamaan istilah, sedangkan sumber dan konsepnya berbeda. Tetapi karena tulisan ini bukanlah studi perbandingan agama, maka perbedaan konsep ini tidak akan dibahas lebih lanjut. Doktrin kebangkitan menurut ajaran kristiani adalah doktrin yang unik, karena Alkitab yang adalah sumber dogma menyatakan bahwa kebangkitan orang percaya (Gereja) adalah kebangkitan tubuh. Tidak ditemukan di dalam ajaran lain mana pun juga. Kebangkitan Kristus yang menjadi dasar kebangkitan orang percaya adalah unik. Kendatipun demikian di kalangan Kristen sendiri masih menjadi pokok perdebatan yang seru, antara dongeng dan fakta, antara spiritual dan jasmaniah, antara bohong dan benar. Perdebatan ini sesungguhnya sudah dimulai sejak zaman Tuhan Yesus.2 Hal ini disebabkan oleh karena perbedaan pandangan atau konsep di antara orang Kristen sendiri. Perbedaan-perbedaan yang ada ini disebabkan oleh perbedaan hermeneutika yang dipakai, dan perbedaan latar belakang yang mempengaruhi masing-masing pandangan tersebut, bahkan perbedaan konteks zaman dan tempat dimana doktrin itu dibicarakan atau diajarkan. Karena itu, penulis sengaja membahas lagi topik kebangkitan orang mati ini dalam 1Korintus 15:12-58 untuk menggali kebenaran alkitabiah mengenai doktrin ini, sekaligus menemukan implikasinya etisnya bagi kehidupan orang percaya (Gereja). ANALISIS SURAT IKORINTUS Untuk memahami 1Korintus 15:12-34, sebelum penulis membahas kebangkitan orang mati secara mendalam, penulis akan terlebih dahulu dari dunia yang satu kepada dunia yang lain. Agama Hindu mengajarkan tentang tempat kelepasan, yaitu kembali kepada Brahman. Dan agama Budha mengajarkan tentang nirwana. Agama Islam mengajarkan tentang sorga bagi orang mati yang beriman. Sekali lagi, sekalipun semua agama mengajarkan tentang dunia orang mati (sorga, nirwana, swargo loka, tempat dewa, dll.), namun semua ajaran itu adalah tidak sama; Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 475. 2 Pada zaman Tuhan Yesus-pun ada perbedaan pendapat mengenai kebangkitan orang mati, yaitu perbedaan pendapat diantara orang Yahudi sendiri. Orang Farisi mempercayai adanya kebangkitan orang mati, dan orang Saduki tidak mempercayai adanya kebangkitan orang mati (Mat 22:23; Kis 23:8). Louis Berkhof, Teologi…, 115. memaparkan mengenai latarbelakang 1Korintus, baik analisis konteks historis secara umum dan analisis konteks historis secara khusus maupun analisis struktur teks dan paralelnya. Analisis Latarbelakang Surat 1Korintus Analisis latarbelakang surat 1Korintus, secara khusus penulis akan membahas dua hal penting, yaitu: analisa konteks historis secara umum dan analisa konteks historis secara khusus. Adapun pemahaman kedua hal tersebut adalah sebagai berikut: Analisis Konteks Historis Secara Umum Korintus adalah kota yang berada di wilayah Akhaya, dekat selat yang memisahkan tanah daratan Yunani dari Peloppones, yaitu sebuah semenanjung bagian selatan Yunani.3 Pada tahun 146 SM., kota Korintus dihancurkan oleh tentara Romawi, namun kota ini dibangun kembali sekitar tahun 50 SM dan menjadi ibu kota propinsi Akhaya. Kota Korintus adalah kota yang sangat strategis, baik di bidang ekonomi maupun militer. Selain kota ini adalah kota dagang, kota ini juga memiliki dua pelabuhan yang sangat ramai, karena hampir semua kapal, baik kapal perang maupun kapal dagang pasti melewati kota Korintus.4 Penduduk kota Korintus adalah sebagian besar pendatang dari beberapa wilayah jajahan Romawi, yaitu orang Yunani asli dan bangsabangsa Timur pada umumnya, termasuk orang Yahudi (band. Kis. 18:4). Sebagian besar penduduknya adalah para cerdik pandai (pengaruh ilmu pengetahuan Yunani) dan kota Korintus adalah kota yang kaya karena merupakan pusat perdagangan, namun penduduknya memiliki moral yang buruk. Penduduk kota ini terdiri dari pelbagai kelompok masyarakat yaitu orang Yunani, Romawi dan Yahudi. Hal ini membuktikan bahwa kota ini adalah majemuk dalam hal suku bangsa, budaya maupun agama. Di kota Ludwid, Kota-kota Pada Zaman…, 41-49; Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (Batu: Departemen Literatur YPPII, 1999), 134. 4 Tulluan, Introduksi Perjanjian…, 134; Denis Green, Tafsiran Surat I Korintus (Malang: SAAT, 1992), 1. 3 ini, orang Yahudi dan agamanya adalah golongan yang cukup besar, hal ini terbukti dengan adanya sinagoge-sinagoge (tempat ibadah).5 Jemaat Korintus didirikan oleh Paulus pada perjalanan misinya yang kedua (Kis 18). Selama kurang lebih 1,5 tahun, Paulus tinggal di rumah Akwila dan Priskila, dan mereka bekerjasama sebagai tukang kemah. 6 Paulus mulai memberitakan Injil di rumah-rumah ibadah orang Yahudi, dibantu oleh Timotius dan Silas. Karena adanya tekanan dari penentang Paulus, maka Paulus selanjutnya memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa lain (Kis 18:9,18). Lama setelah Gereja Korintus berdiri, muncul masalahmasalah yang sangat membebani Paulus, selain karena masalah moral dalam jemaat juga masalah perpecahan karena kemajemukan dalam jemaat. Anggota jemaatnya terdiri dari orang yang berlatar belakang Yahudi dan sebagian besar anggotanya bukan orang Yahudi.7 Analisa Konteks Historis Secara Khusus Surat pertama Korintus ini ditulis oleh Paulus pada waktu ia berada di Efesus kira-kira tahun 55 M, yaitu pada perjalanan misinya yang ketiga. Hal ini sesuai dengan pengakuannya yang terdapat dalam 1Korintus 1:1, 16:21 dan pengakuan jemaat korintus sendiri serta pengakuan oleh gereja pada umumnya sejak abad ke-2 M. Hal ini tidak dapat diragukan, karena surat ini begitu cepat dikenal dan dipakai oleh seluruh kekristenan pada waktu itu.8 Informasi ini juga dilaporkan Gaebelein dalam tulisannya. 9 5 Everett F. Harrison, Introduction to the New Testament, (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1964), 267; Alfred Martin; First Corinthians, (New Jersey: Loizeaux Brothers, 1989), 11; David Prior, The Message of I Corinthians, (Leicester: Inter-varsity Press, 1985), 12; Green, Ibid., 1. 6 Akwila sebenarnya berasal dari kota Roma, namun oleh karena ia adalah keturunan Yahudi, ia diusir oleh Kaisar Klaudius. Pasangan suami-istri ini bekerjasama dengan Paulus; Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru (Batu: Departemen Literatur YPPII, 1999), 134; Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 77; John Drane, Memahami Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 335-336. 7 Merrill C. Tenney, Survey Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1992), 365; Harrison, Introduction to the New…, 268. 8 Tulluan, Introduksi Perjanjian…,136; Denis Green, Tafsiran Surat I Korintus (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1992), 1; Robert G. Gromacki, New Surat ini mengungkapkan perhatian yang tulus dari bapa rohani kepada anak rohani, yakni dari Paulus kepada jemaat Korintus (1Kor 15).10 Alasan Paulus menulis surat pertama Korintus adalah karena ia mendengar adanya perpecahan dalam jemaat Korintus (1:11, 5:1), yang disebabkan oleh karena adanya beberapa golongan yang berselisih (1:10 dst). Selain itu, Paulus mendapat laporan mengenai masalah kehidupan beberapa jemaat di antaranya, yaitu: dosa percabulan (bnd. 5:1), mencari keadilan kepada orang-orang yang tidak beriman (6:1 dst); masalah perkawinan (7:1 dst); masalah kebangkitan Kristus dan kebangkitan orang percaya (15). Di samping itu, ada alasan khusus Paulus menulis surat ini, yaitu Paulus ingin mengingatkan jemaat Korintus mengenai bantuan untuk jemaat di Yerusalem yang hidup dalam kemiskinan (bnd. 16:1 dst). Jadi, maksud Paulus menulis surat pertama Korintus ialah untuk menjawab dan mengkoreksi beberapa masalah yang terjadi dalam jemaat tersebut, dan memberikan beberapa aplikasi praktis bagi kehidupan jemaat. 11 Sedangkan alasan Paulus membahas mengenai kebangkitan Kristus dan orang percaya dalam pasal 15 dari pertama Korintus, adalah untuk menanggapi dan memperbaiki ajaran sesat yang ada dalam jemaat, dimana ajaran tersebut telah mempengaruhi jemaat Korintus. Adapun ajaran sesat tersebut beranggapan bahwa tidak ada kebangkitan orang mati. Dalam suratnya, Paulus memberikan penegasan bahwa menyangkal kebangkitan adalah sama dengan menjadikan iman Kristen tanpa arti dan tidak berharga. Dalam hal ini Paulus mengulangi kembali mengenai azas-azas dasar Injil dan menunjukkan bahwa kebangkitan Kristus (15:1-11), merupakan hal yang sangat penting dari kebangkitan orang percaya, dimana kebangkitan Testament Survey (Grand Rapids: Baker Book House, 1974), 198; Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 77. 9 Bukti penulisan: Paulus menulis surat di Efesus (1Kor 16:8,9,19); ia menulis surat itu beberapa tahun setelah dia meninggalkan Korintus pada tahun 51, karena itu kitab ini ditulis bersamaan dengan Apolos tinggal di kota itu (Kis 18:26; 1Kor 1:2); surat tersebut ditulis sebelum permulaan musim panas, karena 1Korintus 16:8, Paulus menjelaskan mengenai satu waktu peristiwa yang dekat dengan Pentakosta; W, Harold Mare, “1 Corinthians,” in The Expositor’s Bible Commentary, Edited by Frank E. Gaebelein (Grand Rapids: Zondervan, 1976), 179-180. 1 0 Harrison, Ibid., 275 1 1 Green, Tafsiran Surat …, 3; Marxsen, Pengantar Perjanjian…, 77; Tulluan, Introduksi Perjanjian…, 136-137; Drane, Memahami Perjanjian…, 348-349; W. Harold Mare, “I Corinthians,” in The Expositor’s Bible…, 180. Kristus adalah mencakup kebangkitan orang percaya (15:12-34). Selain itu, Paulus juga menjawab kesukaran-kesukaran yang berkaitan dengan kebangkitan orang percaya, khususnya kebangkitan tubuh (15:35-58). Jadi teks 1Korintus 15 merupakan perumusan doktrin kebangkitan yang paling unggul dari seluruh Alkitab.12 Analisa Struktur Teks Untuk mengetahui outline teks 1Korintus 15, maka perlu mengetahui terlebih dahulu keseluruhan teks dari surat 1Korintus. Para ahli Perjanjian Baru membagi surat 1Korintus dalam beberapa bagian besar. Gordon D. Fee membaginya dalam empat bagian besar, yaitu: Introduction (1:1-9), In Response To Reports (1:10-6:20), In Response To The Corinthians Letter (7:1-6:12), Concluding Matters (16:13-24).13 Sedangkan pokok mengenai kebangkitan dalam pasal 15:1-58, merupakan salah satu dari delapan pembahasan bagian ketiga 7:1-16:12.14 Penulis lebih setuju dengan struktur Gromachi, yang membagi surat 1Korintus dalam dua bagian besar, yaitu pertama: Jawaban terhadap laporan pribadi, kedua: Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam surat mereka. Pokok yang membahas mengenai kebangkitan dalam pasal 15:1-58, merupakan salah satu dari tujuh pembahasan bagian kedua pasal 7:1-16:4.15 Struktur Gromachi ini Green, Tafsiran Surat…, 101. I. Introduction (1:1-9), II. In Response To Reports (1:10-6:20), III. In Response To The Corinthians Letter (7:1-16:12), IV. Concluding Matters (16:13-24); Gordon D. Fee, The New International Commentary On The New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1987), 21-23. 1 4 II. In Response To Reports (1:10-6:20): A. Marriage And Related Matters (7:1-40), B. Food sacrificed To Idols (8:1-11:1), C. Women And Men In Worship (11:2-16), D. Abuse Of The Lord’s Supper (11:17-34), E. Spiritual Gift and Spiritual People (12:1-14:40), F. The Resurrection Of Believers (15:1-58), G. About The Collection (16:1-11), H. About The Coming Of Apollos (16:12). Ibid., 22-23. 1 5 I. Reply to Personal Report (1:10-6:20); II. Reply to Questions in Their Letter (7:1-16:4); Gromacki, New Testament…, 184; A. Concerning Marriage (7:1-24), B. Concerning virgins (7:25-40), C. Concerning things sacrificed to idols (8:1-11:1), D. Concerning problems of worship (11:2-34), E. Concerning spiritual gift (12:1-14:40), F. Concerning the resurrection (15:1-58), G. Concerning the collection (16:1-4); Ibid., 205. 1 2 1 3 ternyata sama dengan struktur Alfred Martin.16 Namun berbicara secara khusus mengenai pasal 15:1-58, Penulis lebih setuju dengan struktur teks menurut The Greek New Testament, yang membagi pasal 15 menjadi tiga bagian, yaitu Pertama: Kebangkitan Kristus (15:1-11); Kedua: kebangkitan dari kematian (15:12-34); Ketiga: Kebangkitan Tubuh (15:35-58). Hal ini adalah benar menurut penulis, untuk itu penulis membagi struktur teks pasal 15 ini pula menjadi tiga bagian besar, yaitu pertama: Fakta kebangkitan Kristus merupakan dasar kebangkitan Kristen (15:1-11), kedua: Kebangkitan orang mati (15:12-34), ketiga: Misteri kebangkitan tubuh (15:35-58). Pembagian ini didasarkan pada struktur teks bahasa asli.17 Berbicara secara khusus mengenai struktur teks 1Korintus 15:12-58, penulis cenderung mengikuti struktur yang dikemukakan oleh Gordon D. Fee.18 Hal ini akan dikemukakan pada bagian eksegese teks. Paralel Surat 1Korintus 15 dengan Tulisan Paulus yang Lain Surat pertama Korintus pasal 15 ini memiliki kesamaan atau paralel dengan tulisan surat-surat Paulus yang lain. Francis dan Sapley membagi surat 1Korintus 15 menjadi tujuh bagian yang dilengkapi dengan masingmasing paralelnya di surat Paulus yang lain. Paralel dari tujuh bagian dari surat 1Korintus 15 tersebut, yaitu: I Cor. 15:1-11: I Delivered to you what I also received : Rom. 1:1-7, 5:6-11, 6:1-10, 11:33-36; II Cor. 5:14-21, 10:7-12; Gal. 1:15-24, 2:110; Eph. 2:1-10, 3:1-13, 4:1-10, Phil. 2:1-11; Col. 1:15-20, 2:8-15; I Thess. 1:2-10. I Cor. 15:12-19: If Christ has not been raised : Rom 5:1-5, 6:1-10; II Cor. 5:14-21; Eph. 2:1-10; Phil. 3:17-21; Col. 2:81 6 Part One Problems about which Paul had heard. Part Two I Corinthians 1-4, Things the Corinthians had written to Paul 1 Corinthians 7-16; Martin; First Corinthians…, 16-146. 1 7 The Resurrection of Christ (15:1-11), The Resurrection of the Dead (15:12-34), The resurrection Body (15:35-58); Kurt Aland (ed.), The Greek New Testament (Germany: The United Bible Societies, 1983), 612-618. 1 8 Fee, The New International Commentary…, 739, 15; I Thess. 4:13-18. I Cor. 15:20-28: In Adam All Die; In Christ Shall All Be Made Alive : Rom. 5:12-21; II Cor. 10:1-6; Eph. 1:323; Phil. 3:17-21; Col. 1:15-20; I Thess. 4:13-18; II Thess. 2:1-12. I Cor. 15:29-34: If The Dead Are Not Raised : II Cor. 4:7-12, 6:110, 11:21b-29; Phil. 1:19-26; Col. 1:24–2:3; I Thess. 3:1-5. I Cor. 15:35-41: With What Kind of Body Are The Dead Raised ? : Rom. 8:18-25; II Cor. 4:16–5:5; Phil. 3:17-21. I Cor. 15:42-50: How Are The Dead Raised ? : Rom. 5:12-21; Gal. 6:7-10; Phil. 3:17-21; Col. 1:15-20. I Cor. 15:51-58: We Shall All Be Changed: II Cor. 4:16 – 5:5; Eph. 4:14-21; Col. 3:1-4, 5-11; I Thess. 4:13-18.19 RELASI PENULISAN 1KORINTUS 15:1-58 DENGAN PERISTIWA KEBANGKITAN OLEH PENULIS INJIL Cerita mengenai kebangkitan Yesus dalam Injil menurut pandangan liberal yang radikal adalah bertentangan dengan pandangan konservatif (Injili). Menurut pandangan liberal mengenai hubungan antara cerita kebangkitan Yesus dan penulisan Injil tidak ada kesinambungan antara peristiwa Yesus (perkataan dan perbuatan Yesus) dengan waktu penulisan. Menurut mereka, para penulis Injil, menulis cerita kebangkitan Yesus hanya berdasarkan iman Gereja mula-mula, bukan merupakan suatu fakta historis. Sebaliknya, cerita itu adalah hasil usaha para penulis Injil dalam mengumpulkan bahan yang ada pada waktu itu. Sedangkan bahan mengenai kebangkitan tersebut bukan berdasarkan fakta historis, melainkan hasil iman Gereja mula-mula, yaitu hasil pemikiran teologis para penulis Injil untuk kepentingan iman Gereja semata. Bagi mereka, yang penting bukanlah fakta historis, melainkan apakah itu bermanfaat bagi iman orang percaya. Kesimpulan mereka ini didasarkan pada teori dokumentaris. 20 Jadi, 1 9 Fred O. Francis and J. Paul Sampley, Pauline Paralels (Philadelphia: Fortress Press, 1984), XXX. 2 0 Formgeschichte menyatakan bahwa sumber ini disusun dari cerita-cerita pendek mengenai Yesus serta beberapa petikan ajaran-Nya yang disebarluaskan oleh para pengikut-Nya secara terpisah. Menurut teori ini unsur-unsur biografis Yesus dihimpun, dimasukkan dalam suatu kerangka ciptaan sang penulis, dan dirangkai menjadi suatu kisah yang menjadi sumber Injil atau Injil itu sendiri; Tenney, Survey Perjanjian…, 178; Namun metode ini adalah sangat menolak unsur supernatural yang mendasari konsep inspirasi. Para penganut kritik Alkitab khususnya higher criticism, lebih menekankan pada metode Paulus menulis mengenai kebangkitan Kristus dalam 1Korintus 15 adalah berdasarkan sumber-sumber hasil pemikiran penulis Injil dan ditambah dengan pemikirannya sendiri atau berdasarkan bukti-bukti Alkitab dan konsep inspirasi. Penulis memegang konsep inspirasi dimana Allah yang menghembuskan Firman-Nya kepada penulis, seperti pendapat Packer bahwa: Gambaran historis mengenai Kitab suci yang diinspirasikan bukan dalam pengertian bahwa itu sedang mengilhamkan (walaupun itu ada), melainkan itu berarti bahwa “Allah menghembuskan” (theopneustos, 2Tim 3:16), suatu hasil karya dari Roh Kudus, Pencipta, selalu dipandang sebagai pemberitaan dan pengajaran Allah sendiri melalui kata-kata dari para penyembahNya yang menyaksikan apa yang Roh Kudus berikan Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, keduanya mengajarkan bahwa Firman dari Kitab Suci sebagai Firman Allah sendiri.21 Artinya, dalam penulisan 1Korintus 15, Allah memakai penulis dalam seluruh keberadaannya, menyampaikan kepadanya apa yang harus ditulis, dan mengontrol penulisan sehingga tidak mungkin salah (innerant). Sekalipun Paulus bukanlah saksi mata kebangkitan Yesus, namun Roh Kudus menghembuskan berita kebangkitan sehingga sesuai dengan fakta historis kebangkitan Yesus. Selain alasan di atas, ajaran mengenai kebangkitan dalam 1Korintus 15 adalah ajaran yang dibangun berdasarkan bukti-bukti historis. Perjanjian Baru memaparkan sedemikian banyaknya teks Alkitab yang dengan jelas melaporkan bukti-bukti historis tentang kebangkitan yang diceritakan oleh penulis Injil dan yang diajarkan oleh Paulus, di antaranya ialah: Tuhan Yesus menampakkan diri kepada Maria Magdalena (Yoh 20:11-17 bnd. Mrk 16:9-11); Tuhan Yesus berjumpa penelitian sejarah dari sudut sekuler, sehingga mengabaikan unsur-unsur supernatural, khususnya menolak konsep inspirasi yang kental dengan muatan supernatural. 2 1 The historic description of Scripture as inspired means not that it is inspiring (although it is) but that it is ‘God-breathed’ a product the creator-Spirit’s work, always to be viewed as the preaching and teaching of God himself through the words of the worshipping human witnesses through whom the Spirit gave it. Both testamens view the words of Scripture as God’s own words; J.I. Packer, “Scripture,” edited by Sinclair B. Ferguson, New Dictionary of Theology (Laicester: InterVarsity Press, 1994), 629; The Greek term theopneustos ('God breathed') (2Tim 3:16) means that the Scriptures were given by God, actually breathed out by Him; Mel Loucks, Contemporary Debate in Evangelical Theology (Pacet: PSTI, 2000), 21. dengan para murid (Mat 28:9-10); Tuhan Yesus menampakkan diri kepada Simon (Luk 24:34; 1Kor 15:5); Tuhan Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya di jalan ke Emaus (Luk 24:13-35; Mrk 16:12-13); Tuhan Yesus menampakkan diri kepada kesebelas murid-Nya (Mrk 16:14; Luk 24:36-43; Yoh 20:19-23); Tuhan Yesus menampakkan diri kepada Tomas (Yoh 20:26-29); Tuhan Yesus menampakkan diri kepada kesebelas muridNya dan Ia memberi perintah untuk pergi memberitakan Injil-Nya (Mat 28:16-20); Kristus menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara, dan juga kepada Yakobus (1Kor 15:6-7). Kristus menampakkan diri kepada Paulus (Kis 9:5-6, 1Kor 15:8).22 FAKTA KEBANGKITAN KRISTUS MERUPAKAN DASAR KEBANGKITAN KRISTEN (15:1-11) Pokok mengenai fakta kebangkitan Kristus merupakan dasar kebangkitan kristen adalah ajaran yang asasi bagi kekristenan. Menyangkal kebangkitan Kristus dari antara orang mati (15:12) berarti meniadakan seluruh makna Injil. Demikianlah Paulus mengulangi kembali hal-hal yang asasi dari Injil. Ia menunjukkan bagaimana kebenaran kebangkitan Kristus mewujudkan suatu bagian yang pasti dari Injil itu (ay. 1-11), dan bahwa kebangkitan itu mencakup kebangkitan orang Kristen (ay. 12-34). Akhirnya kesukaran-kesukaran tertentu yang timbul terhadap ajaran itu dipecahkan (ay. 35-58).23 Pada bagian awal pasal 15 ini, Paulus mengawali pembahasannya tentang kebangkitan, dengan kalimat: “aku mau mengingatkan kamu kepada Injil yang aku beritakan dan yang kamu terima dan yang di dalamnya kamu teguh berdiri (ay 1).” Dalam hal ini, Paulus ingin mengingatkan kembali jemaat Korintus mengenai kuasa Injil yang telah mereka terima. Paulus memandang perlu untuk mengingatkan mereka mengenai Injil yang ia beritakan, sekalipun jemaat Korintus sudah berpegang pada Injil tersebut, namun Paulus melihat adanya orang mati (bnd. ay.12). Paulus tidak ingin jemaat Korintus menyangkal Injil yang dia 2 2 2 3 John Walvoord, Yesus Kristus Tuhan Kita (Surabaya: Yakin, 1969), 181-183. Donald Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa Kini. 3 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1990), 530. telah beritakan dengan mengikuti pandangan yang berpendapat bahwa tidak ada kebangkitan orang mati. Karena itu ia memperingatkan mereka dengan tegas. Berkenaan dengan itu, Guthrie berkomentar bahwa: “Peringatan ini dipandang perlu menjadikan Paulus bertanya apakah mereka sudah lupa akan hal itu, atau memang belum pernah benar-benar memilikinya.”24 Paulus kembali menekankan mengenai hakekat Injil yang telah diberitakannya, adalah Injil yang telah menyelamatkan mereka. Dengan diawali preposisi oleh (dia) Paulus mengfokuskan perhatian pada Injil yang membawa keselamatan, namun ada kesulitan berkenaan dengan kalimat “Oleh Injil itu kamu diselamatkan …” (ay. 2), itu dilanjutkan dengan kalimat “asal kamu teguh berpegang padanya”. Nampak di sini ada dua pengertian yang berbeda, yaitu sudah selamat, dan sedang selamat. 25 Berkenaan dengan kesulitan itu, Morris memberikan jalan keluar, bahwa: Kata yang terakhir itu (eike) mungkin dimengerti tanpa pertimbangan yang baik, yakni dengan cara yang serampangan. Jika orang mengaku untuk mempercayai Injil, tetapi belum mempertimbangkan dengan baik-baik untuk menyatakan secara tidak langsung apa dan bagaimana tuntutan-tuntutannya. Mereka sesungguhnya belum percaya Kristus. Keyakinan mereka tanpa dasar dan kosong. Mereka kurang iman yang menyelamatkan.26 Dengan adanya beberapa orang dalam jemaat Korintus yang telah menyangkal kebangkitan, maka hal inilah yang mendasari keinginan Paulus untuk mengingatkan atau menasehati jemaat Korintus. Paulus mengingatkan bahwa Injil yang dia beritakan adalah Injil yang benar, bukan hasil pikiran manusia dan bukan kayalan belaka. Karena itu, Paulus memaparkan beberapa bukti yang kuat dari fakta historis yang tidak dapat diragukan tentang kematian dan kebangkitan Kristus yang adalah inti Injil yang dia beritakan. 2 4 2 5 Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa, 530. You are saved is present continous, ‘you are being saved’. There is a sense in which salvation in once for all (as in received, v.1), and another sense in which it is progressive (cf. 1:18; 2Cor. 2:15); Morris, Tyndale New Testament…, 200. 2 6 The last word, may be understood as ‘without due consideration in a haphazard manner. If people proffes to believe the Gospel, but have not given due consideration to what implies and what demands, they do not really trust Christ. Their belief is groundless and empty. They lack saving faith; Ibid., 201. Fakta Kematian dan Penguburan Kristus (ay.3-4) Setelah Paulus menarik perhatian jemaat Korintus kepada Injil yang telah mereka terima, Paulus melanjutkan pembahasannya dengan menekankan hakekat Injil itu sendiri. “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah Kristus telah mati karena dosa-dosa kita sesuai dengan kitab suci (ay. 3).” Paulus menyatakan tentang Injil yang dirinya sendiri telah menerima, yaitu tradisi pengajaran Gereja.27 Bahwa Injil itu pada intinya adalah berpusat pada kematian Kristus. Morris berpendapat sama bahwa: “Salib itu merupakan inti dari Injil.”28 Hal ini pun dikatakan oleh Wilson: “Karena dosa-dosa kita yang merupakan alasan kematian Kristus, ini berarti bahwa Ia mati sebagai orang berdosa, sebagai kurban penggantian yang oleh-Nya kita menerima pengampunan dosa-dosa.”29 Makna kematian Kristus disampaikan oleh Paulus, dengan harapan akan menggugah kesadaran jemaat Korintus, supaya tidak begitu cepat mengikuti injil lain, yaitu injil yang tidak menghargai kematian dan kebangkitan Yesus. Injil itu, tidak hanya berhenti pada kematian Yesus, melainkan diteruskan pada penguburan dan kebangkitan Kristus (ay. 4). Injil itu bukanlah suatu program yang mendadak, melainkan Injil adalah kebenaran yang telah dinubuatkan dan yang telah terjadi suatu “Kitab Suci” (Yes 53:10-12; Mzm 16:10; bnd. Kis 2:24-28). Karena itu, Paulus dapat memberitakan Injil dengan penuh keyakinan berdasarkan kebenaran tersebut. Kristus telah mati dan dikuburkan, dimana kematianNya merupakan fakta historis, karena mayat Kristus memang telah dikuburkan, dan hal ini tidak dapat disangkal kebenarannya (Mat 27:59-60; Mrk 15:46; Luk 23:53).30 2 7 This is the kerygma, the proclamation the gospel preached by the early church; Morris, Tyndale New Testament…, 201. 2 8 The cross is at the heart of the Gospel; Ibid. 2 9 Since ‘our sins’ were the only reason for Christ’s death, this means that he died for as sinners, as the substitutionary sacrifice through whom we receive the forgiveness of sins; Geoffrey B. Wilson, I Corinthian (Pennsylvania: The Banner of Truth Trust, 1978), 214. 3 0 Green, Tafsiran Surat I…, 101; Brill, Tafsiran Surat Korintus…, 298-299; Reginald H. Fuller, The Formation of the Resurrection Narratives (Philadelphia: Fortress Press, 1980), 15-16. Fakta Dan Bukti Kebangkitan Kristus (ay. 4-11) Kristus telah mati dan dikuburkan, tetapi Dia tidak mati selamalamanya, pada hari yang ketiga dari kematian dan penguburan-Nya, Kristus bangkit sesuai dengan nubuatan Kitab Suci (ay. 4). Kebangkitan Kristus menggemparkan dunia pada waktu itu. Kebangkitan-Nya bukanlah ceritera jemaat mula-mula, tetapi diproklamasikan. Hal ini juga diungkapkan oleh Fuller.31 Dengan demikian satu hal yang pasti dan merupakan fakta historis adalah Kristus telah bangkit dari kematian dan disertai dengan bukti-bukti yang akurat. Hal inilah yang dituangkan Paulus dalam ayat 5-11. Kristus menampakkan diri-Nya kepada Kefas atau Petrus dan kepada keduabelas murid-Nya (15:5, bnd. Luk 24:34-36; Kis 1:2-3) Kristus menampakkan diri-Nya kepada lebih dari limaratus saudara (15:6, bnd. Luk 24:33,36; Mat 28:10,16). Fakta menunjukkan bahwa, banyak orang tersebut masih hidup pada waktu Paulus menulis suratnya. Hal ini membuktikan bahwa mereka menyaksikan peristiwa kebangkitan Kristus Kristus menampakkan diri-Nya kepada Yakobus, saudara Tuhan Yesus sendiri, kemudian kepada semua rasul (15:7). Yakobus yang dimaksudkan disini adalah Yakobus saudara Tuhan Yesus. Dimana ia belum bertobat pada waktu pelayanan Yesus (Yoh 7:5), namun ia bertobat setelah kebangkitan Tuhan Yesus (Kis 1:14), kemudian ia menjadi tokoh jemaat di Yerusalem (Gal 2:9, bnd. 15:13 dst) Yang terakhir, Kristus menampakkan diri-Nya kepada Paulus (15:8). Penampakan Tuhan Yesus berhenti saat Dia naik ke Surga, namun secara istimewa Dia menampakkan diri kepada Paulus di 3 1 Ibid.; In the early community the resurrection was not narrative, but proclaimed (e.g. IThess 1:10). In the Gospel tradition, similarly, statements of the resurrection occur, not in naratice form, but in predictions (e.g. Mrk 16:6), and in the report of the eleven to the Emmaus disciples (Luk 24:34). Fuller, The Formation of the Resurrection…, 16-17. Dalam masyarakat Kristen mula-mula, kebangkitan bukanlah cerita, melainkan diberitakan (1Tes 1:10). Dalam tradisi Injil itu, pernyataan-pernyataan mengenai kebangkitan muncul bukan dalam bentuk cerita, tetapi dalam prediksi (Mrk 16:6) begitu juga dengan laporan kepada kesebelas murid kepada pengikut Yesus di Emaus). jalan menuju ke Damsyik (Kis. 9).32 Peristiwa inilah yang digambarkan Paulus “seperti anak yang lahir sebelum waktunya,” artinya Paulus mengungkapkan mengenai dirinya yang tidak layak.33 Bukti-bukti di atas, diperkuat oleh Paulus dengan pengalamannya sendiri. Dalam ayat 9-10, Paulus bersaksi dalam kerendahan hatinya dan ia senantiasa merasa menyesal karena telah menganiaya jemaat Tuhan. Alasan inilah yang dianggap Paulus bahwa dirinya adalah yang terkecil (paling hina) diantara semua rasul. Kuasa kebangkitan Kristus telah merubah Paulus secara total menjadi seorang yang sungguh-sungguh hidup dan melayani Tuhan. Pendapat yang sama disampaikan oleh Pfitzner dalam bukunya.34 Kuasa yang mengubah hidup Paulus ini, disadari oleh Paulus sebagai karunia Allah (ay. 10). Kesadaran akan anugerah Allah ini telah membangkitkan semangat Paulus dalam pelayanan, yaitu dengan semakin bekerja keras. Injil telah mengubah Paulus, Injil itulah yang diberitakannya. Paulus menarik perhatian jemaat Korintus untuk tertuju kepada Injil, karena Injil itulah yang telah membuat orang Korintus percaya (ay. 11).35 KEBANGKITAN ORANG MATI (15:12-34) 3 2 Green, Tafsiran Surat I…, 102; Brill, Tafsiran Surat Korintus…, 299-301. 3 3 Ungkapan itu bukan menunjuk kepada saatnya Paulus bertobat, melainkan kepada tindakan menyela yang mendadak, yang dengannya ia disobek, dari menentang Tuhan menjadi murid Tuhan atau kepada perasaannya sebagai orang yang tak layak sama sekali–sama tak layak disebut rasul, sama halnya abortus dipandang sebagai dewasa. Sekalipun disini Paulus menyebut dirinya yang paling hina dari semua rasul, ia tidak bermaksud menunjukkan bahwa pelayanannya lebih rendah daripada pelayanan rasul-rasul lainnya (bnd. 2Kor 11:5; Gal 2:11), sebab sebenarnya ia bekerja lebih berkelimpahan, tapi karena ia telah menganiaya jemaat Allah (Kis 26:9 dsb; Gal 1:13) ia tak patut sama sekali disebut rasul (1Tim 1:15). Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa…, 530531. 3 4 Tuhan menangkap penganiaya besar ini dan mengubahnya menjadi seorang misionaris yang besar (Gal 1:13-16). Hal itu, kata Paulus, hanya membuktikan satu hal : karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang; V.C. Pfitzner, Kesatuan dalam Kepelbagaian, Tafsiran atas Surat I Korintus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 295. 3 5 Green, Tafsiran Surat I…, 102-103; Brill, Tafsiran Surat…, 301-302. Dalam 1Korintus 15:12-28, memaparkan secara khusus tentang kebangkitan orang mati. Dalam hal ini, penulis akan membagi dalam dua pokok bahasan, yaitu: Akibat yang terjadi apabila tidak ada kebangkitan (15:12-19) dan Akibat yang dihasilkan oleh kebangkitan Kristus bagi orang percaya (15:20-34). Akibat Apabila Tidak Ada Kebangkitan (15:12-19) Teks 1Korintus 15:12-19, diungkapkan dalam struktur yang bentuknya paralel dan logis. Dalam hal ini, Paulus berusaha untuk memberikan argumentasi yang logis kepada orang-orang Korintus supaya mereka mengakui bahwa ada kebangkitan orang percaya yang telah mati, dan kebangkitan itu adalah didasarkan pada kebangkitan Kristus (ay. 1-11). Adapun struktur ayat 12-19 adalah sebagai berikut: I. Ayat 12-13 A. Kami memberitakan: Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati B. Beberapa darimu berkata: Tidak ada Kebangkitan orang mati. Tetapi B’ Jika tidak ada kebangkitan orang mati, A’ Kristus pun tidak dibangkitkan II. Ayat 14-16 A’ Jika Kristus tidak dibangkitkan R-1 Baik pemberitaan maupun iman adalah sia-sia Lebih dari pada itu R-2 Kami bersaksi dusta tentang Allah Karena A. Kami mengatakan tentang Allah, bahwa Ia membangkitkan Kristus A’ Kepadanya ia tidak membangkitkan B’ Jika memang orang mati tidak dibangkitkan Karena B’ Jika orang mati tidak dibangkitkan A’ Kristus pun tidak dibangkitkan III. Ayat 17-19 A’ Jika Kristus tidak dibangkitkan R-1a Engkau masih hidup dalam dosa-dosamu Dan lebih jauh lagi R-1b Orang percaya yang telah mati, telah binasa.36 Paulus dalam ayat 1-11, mengungkapkan pokok kebangkitan Kristus, sedangkan dalam ayat 12-19, Paulus menjelaskan konsekuensi yang mematikan, bila jemaat Korintus menyangkal segala kemungkinan tentang kebangkitan. Kemungkinan konsekuensi tersebut, yaitu menjadikan pemberitaan para rasul menjadi suatu kebohongan dan iman menjadi suatu yang sia-sia, orang Kristen yang mati menjadi binasa, orang Kristen yang masih hidup menjadi orang yang paling malang. Paulus dalam teks ini memaparkan akibat-akibat yang akan terjadi, apabila tidak ada kebangkitan orang mati (15:12-19). Secara khusus, berdasarkan struktur di atas, argumentasi Paulus diawali dengan kalimat pengandaian, yaitu “Jika Kristus tidak dibangkitkan” (14-16 dan 17-19). Kalimat pengandaian ini, diikuti penjelasan sebagai akibat yang akan terjadi. Sebelum penulis membahas mengenai akibat yang terjadi apabila tidak ada kebangkitan, maka penulis akan mengemukakan terlebih dahulu mengenai latar belakang pengajaran Paulus. Latarbelakang Pengajaran Paulus tentang Kebangkitan Orang Mati (ay. 12) Dalam teks Yunani: Ei de Cristoj khrussetai oti ek ekrw eghgertai37 Kata kerussetai (verb, ind, pres, pass 3 pers, sing) artinya memberitakan, memproklamasikan, dengan diawali oleh preposisi Ei (kata bersyarat) artinya jika. Maka kalimat yang benar dalam ayat 12 adalah: Dan jika Kristus diberitakan bahwa Dia bangkit dari kematian, bagaimana beberapa orang di antara kamu mengatakan tidak ada kebangkitan dari kematian?38 Dalam hal ini, jelas bahwa Paulus yang telah memberitakan 3 6 Fee, The New International Commentary, …, 739, 749, 758, 762, 783, 794. 3 7 Jay P. Green, The Interlinear Greek-English New Testament (Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1984), 629. 3 8 Kepussetai berasal dari kata dasar kerossw artinya to preach to proclaim, Wesley J. Perschbacher, Refresh Your Greek (Chicago: Moddy Press, 1989), kebangkitan Kristus kepada jemaat Korintus. Namun, karena ada sebagian jemaat di Korintus yang percaya pada filsafat Yunani, yang berpandangan bahwa tidak ada kebangkitan orang mati, 39 maka karena alasan yang mendasar inilah yang membuat Paulus ingin memberikan responnya terhadap pandangan yang keliru tersebut. Paulus ingin memperlihatkan ketidakkonsistenan dan kemustahilan terhadap iman Kristen, apabila tidak ada kebangkitan. Kristus Tidak Dibangkitkan (ay. 13) Dalam ayat 13, Paulus memberikan penjelasan kepada jemaat Korintus dengan kalimat Ei de anastasij nekron ouk estin40 Kalimat ini mendapat preposisi Ei de (dan jika), menjelaskan bahwa, kalimat ini merupakan kalimat bersyarat.41 Dimana dilanjutkan dengan frase …oude Cristoj eghgertai (maka Kristus juga tidak dibangkitkan).42 Dalam teks ini, Paulus memberikan suatu penjelasan kepada jemaat Korintus bahwa Kristus tidak akan mengalami kebangkitan, apabila tidak ada kebangkitan orang mati. Kalimat kedua merupakan akibat dari kalimat sebelumnya kalau tidak ada kebangkitan orang mati. Dalam hal ini, kalimat kedua 658; James Strong, Strong’s Exhaustive concordance of The Bible (Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1979), 42. Kata bersyarat adalah kata dimana jika sesuatu telah terjadi, maka akan menimbulkan suatu akibat yang pasti akan terjadi. Seperti: Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka orang percaya tidak akan dibangkitkan pula, orang percaya tidak diampuni, dan akan mengalami kebinasaan. 3 9 Orang sesudah mati: jiwa meninggalkan tubuh dan melanjutkan keberadaannya di tempat lain, tetapi bagi tubuh tidak ada harapan untuk bangkit (bnd. Kis 17:32). Green, Tafsiran Surat I…, 103; Para anggota persekutuan Kristen awal yang menolak kehidupan setelah kematian. Penolakkan mereka bersifat mutlak. Mereka menekankan bahwa tidak ada kebangkitan orang mati. Tidak seorangpun, bahkan Yesus juga tidak, yang selamat dari kubur; R.C. Sproul, Hai Maut Dimanakah Sengatmu? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 91. 4 0 Et de anastasij nekron ouk estuBut if there be no resurrection of the dead; Green, The Interlinear Greek – English..., 629. 4 1 The conditional sentences throughout this section begin with ei de, the condition being an assumed fact : “It it is preached (as it is) that Christ has been raised …” (v. 12); W. Harold Mare, “I Corinthians,” in The Expositor’s Bible…, 283. 4 2 He perfect tense egegertai ('has been raised'), with its emphasis on the present reality of the historic fact is important to Paul (cf. Gal 2:20). Ibid.; Green, The Interlinear Greek-English…, 629. sebagai konsekuensi dari kalimat pertama, dalam arti bahwa kebenaran tentang kebangkitan orang mati diwujudkan dengan kebangkitan Kristus dan Kebangkitan Kristus membuktikan mengenai kebenaran kebangkitan orang mati. Dengan kata lain, Paulus menyatakan bahwa penyangkalan terhadap kebenaran tentang kebangkitan orang mati, merupakan penyangkalan juga terhadap fakta dan kebenaran kebangkitan Kristus. Pemberitaan Injil Dan Iman Menjadi Sia-sia (ay 14-16) Paulus pada ayat sebelumnya telah memaparkan mengenai adanya suatu ajaran yang tidak mempercayai kebangkitan orang mati. Ketidakpercayaan ini juga berarti penyangkalan kebangkitan Kristus. Pada ayat 14, Paulus memaparkan akibat yang beruntun apabila menyangkal kebenaran tentang kebangkitan orang mati. Akibat yang beruntun tersebut, pertama yaitu penyangkalan kebangkitan Kristus; kedua yaitu: pemberitaan para rasul termasuk Paulus adalah pemberitaan yang palsu, bohong, kosong, dan tidak berguna; ketiga, sebagai akibat langsung dari pemberitaan yang palsu yaitu mengakibatkan kepercayaan jemaat Korintus pun menjadi sia-sia. Karena ternyata iman mereka adalah didasarkan kepada berita yang palsu, yaitu berita tentang Kristus yang tidak pernah dibangkitkan. Hal ini diungkapkan Paulus dengan ungkapan “Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu.” Berkenaan dengan hal ini, Pfitzner berkomentar bahwa: Iman mengakui bahwa Kristus “telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita” (Rm 4:25). Apabila Paskah itu tidal lebih dari pada sekedar hiasan yang indah (tetapi tidak harus ada) dari kue Injil maka sia-sialah juga kepercayaan kita. Paskah tidak lebih dari sekedar sebuah akhir yang menyenangkan dari suatu kisah yang seharusnya menyedihkan, tidak ada pengharapan di dalam Juru Selamat yang mati. Namun sebaliknya, iman tahu bahwa Paskah berarti perayaan kehidupan yang terus menerus dalam menghadapi maut, janji tentang suatu kemenangan akhir (ay 54-55).43 4 3 Pfitzner, Kesatuan dalam…, 300. Lebih lanjut lagi dalam ayat 15, Paulus mengemukakan dalam teks Yunani tertulis Euriskomeqa de kai yeudomarturej tou qeou Kata euriskomeqa dalam bentuk present pasif berarti ditemukan. Sedangkan kata yeudomarturej (verb, indic, pres, pass, 1 pers, pl) artinya kesaksian palsu.44 Jadi, dalam teks Yunani adalah lebih jelas menerjemahkannya: Dan didalam diri kami, ditemukan kesaksian palsu tentang Allah. Paulus menjelaskan mengenai kalimat di dalam diri kamu ditemukan kesaksian palsu adalah menujuk kepada para rasul termasuk Paulus sendiri, yang telah memberitakan kesaksian palsu, karena mereka sudah memberitakan berita bohong tentang Allah yang telah membangkitkan Kristus adalah tidak demikian. Namun, Paulus mengungkapkan hal ini dalam bahasa pengandaian: kalau andaikata benar, bahwa orang mati tidak dibangkitkan.45 Lebih jauh lagi, Paulus mengungkapkan bahwa andaikata tidak ada kebangkitan orang mati, bukan hanya mereka yang berdusta, melainkan Allah sendiri adalah berdusta. Namun sesungguhnya, Allah adalah benar, tidak berdusta (Rm 3:4), demikian pula hamba-hambaNya yang menjadi saksi-saksi tentang kebangkitan Tuhan (Kis 1:22). Akhirnya Paulus kembali menegaskan dalam ayat 16 dengan mengulangi ayat 13 bahwa: Jika benar orang mati tidak dibangkitkan, maka Kristus juga tidak dibangkitkan.46 Tidak Ada Pengampunan Dosa (ay 17-18) Lebih lanjut dalam ayat 17 tertulis: Ei de Cristoj ouk egegertai...47 Disini Paulus menggunakan preposisi Ei (jika), sama seperti ayat sebelumnya, yaitu menjelaskan mengenai kalimat bersyarat. Didalam teks Yunani maupun LAI memakai terjemahan yang sama, yaitu: Dan jika Kristus tidak dibangkitkan. Dalam bagian ini, Paulus menekankan akibat jika Kristus tidak dibangkitkan dan sekali lagi ia menekankan titik kesiasiaan (bnd. ay. 14). Bahwa tanpa kebangkitan Kristus maka kepercayaan 4 4 Euriskomeqa berasal dari kata dasar Euriskw artinya to find, discover yeudomarturej (noun, nom, pl, masc) terdiri dari dua kata yaitu yeudomartuj dan upoj artinya a false; Perschbacher, Refresh Your…, 658; Kurt Aland, Analitical Greek New Testament (Grand Rapids: Baker Book House, 1981), 543. 4 5 Ibid. 4 6 Ibid. 4 7 And if Christ be not raised. Ibid. mereka menjadi sia-sia, tidak berguna dan tetap hidup dalam dosa mereka. Hal yang lebih luas dan jelas diungkapkan oleh Sproul sebagai berikut: Paulus melihat kebangkitan sebagai tanda yang jelas dari Allah tentang penerimaan-Nya terhadap pengorbanan Kristus sebagai suatu penebusan untuk dosa-dosa kita. Jika Dia tidak bangkit maka kita tetap dalam dosa-dosa kita. Kita tidak mempunyai Juruselamat. Baik kepercayaan kita maupun kematian Kristus menjadi sia-sia. Kita tetap jadi orang berutang yang tidak bisa membayar hutanghutang kita.48 Lebih jauh lagi, Paulus menekankan akibat selanjutnya jika Kristus tidak dibangkitkan dalam ayat 18, yaitu: ara kai, oi` koimhqentej h` Cristw aplonto49 Kata koimhqentej dalam bentuk aorist pasif berarti mati. Dengan demikian, frase oi` koimhqentej (verb, partic, aor, pass, nom, mac, pl) memiliki pengertian kepada mereka yang telah mati.50 Istilah apwlonto adalah dalam bentuk aorist medium, yang berarti: menjadi binasa.51 Dari pengertian ini, kalimat ara kai, oi` koimhqentej h` Cristw apwlonto diterjemahkan sebagai berikut: Dengan demikian kepada mereka yang telah mati dalam Kristus menjadi binasa. Jadi, dalam ayat 18 ini, Paulus menekankan dengan jelas bahwa, jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sebagai akibat yang berikutnya adalah jemaat Korintus yang percaya dan mati dalam Kristus mengalami kebinasaan. Guthrie pun memiliki pandangan serupa, yaitu: Tidak ada harapan bagi orang Kristen yang sudah mati dalam kehidupan selanjutnya (bnd. Rm 6:1-11), sama seperti mereka yang tidak percaya kepada Kristus atau kebangkitan Kristus.52 Berkenaan dengan ini, Grosheide juga menyatakan hal yang serupa sebagai berikut: Sproul, Hai Maut Dimanakah …? 94. Green, The Interlinear Greek…, 629. 5 0 koimeqentej berasal dari kata dasar koimaw artinya be dead; Perschbacher, Refresh Your…, 658; Aland, Analitical Greek New…, 658; (1Th 4:14f. oi k. en Cristw those who died in communion w. Christ I Cor 15:18; William F. Arndt, A GreekEnglish Lexicon of The New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), 437. 5 1 Aorist medium artinya membuat jadi (menjadi); J.W. Wenham, Bahasa Yunani Koine (Malang: SAAT, 1977), 92-93; apwlonto (verb, indic, aor, mid, 3 pers, pl) terdiri dari dua, yaitu kata apollumi dan kata apo artinya perished; Ibid., 14. 5 2 Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa…, 531. 4 8 4 9 Menyebutkan hasil yang lain dari pendapat yang mengajarkan bahwa Kristus tidak bangkti dari antara orang mati, suatu hasil yang diyakini oleh orang-orang Korintus bahwa itu adalah tidak benar. Jika demikian, maka orang-orang Korintus berarti masih hidup dalam dosa. Hal ini disebabkan oleh karena iman mereka adalah siasia.”53 Tidak Ada Pengharapan (ay. 19) Lebih jauh lagi dalam ayat 19, Paulus menyatakan bahwa: ei en th zwh en Cristw hlpikotej esmen monon eleeinoteroi pantwn anqrwpwnesmen54 Kata hlpikotej (verb, partic, 3 pers, nom, pl, masc, perf, act) artinya berharap atau mengharapkan. Sedangkan kata Elleinoteroi (adj, compar, masc, nom, pl) artinya yang menyedihkan atau sengsara.55 Terjemahan yang lebih tepat adalah: Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja berharap pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling sengsara dari segala manusia. Dalam ungkapan ini, Paulus menyatakan betapa malang atau sengsaranya jemaat Korintus yang telah berharap pada Kristus dalam seluruh kehidupannya, termasuk kehidupan setelah kematian. Pernyataan Paulus ini adalah sebagai akibat jika Kristus tidak dibangkitkan. Dalam hal ini, jemaat Korintus mengatakan bahwa mereka adalah orang yang paling sengsara atau malang dari segala manusia. Lebih jauh dari itu, tanpa kebangkitan Kristus, maka, iman jemaat Korintus adalah iman yang kosong, karena mereka percaya kepada Injil yang tidak benar dan sia-sia. Maka orang Kristen tidak lebih dari orang-orang bukan Kristen. Pandangan ini pun juga menjadi pandangan Prior yang menyatakan bahwa: Jika iman 5 3 F.W. Grosheide, Commentary on The First Epistle To The Corinthians (Grand Rapids: Eerdmans, 1960), 359. 5 4 Jika dalam kehidupan ini kita hanya memiliki pengharapan pada Kristus, kita adalah yang paling malang dari semua orang. (If in this life only we have hope in Christ, we are of all men most miserable). Green, The Interlinear Greek-English New Testament …, 629. 5 5 hlpikotej berasal dari kata dasar elpizw artinya berharap atau mengharapkan. Sedangkan kata eleeinoteroi berasal dari kata dasar eleeinoj artinya miserable; Perschbacher, Refresh Your…, 658-659; Aland, Analytical Greek New…, 543. orang Kristen didasarkan pada suatu Injil yang kosong dan penyelamat yang menipu, maka orang lain adalah lebih baik dari pada orang Kristen.56 Akibat Kebangkitan Kristus Bagi Orang Percaya (15:20-34) Di atas telah dibahas mengenai konsekuensi-konsekuensi negatif jika Kristus tidak dibangkitkan (15:11-19). Dalam bagian selanjutnya, yaitu dalam ayat 20-34, penulis membahas mengenai konsekuensi-konsekuensi positif, sebagai antagonis dari konsekuensi-konsekuensi negatif terhadap penyangkalan kebangkitan Kristus.57Dalam pembahasan ayat 20-34, Paulus mengembangkan sebuah pendapat dengan menggunakan Perjanjian Lama sebagai bukti. Pertama-tama Paulus menunjuk pada perhambaan bersama manusia kepada maut melalui Adam yang pertama, untuk menyoroti karunia kehidupan di dalam bagian yang kedua (ay. 20-22). Mazmur 110:1, 8:6 dikutip untuk membuktikan bahwa Kerajaan Allah akan disempurnakan hanya apabila musuh terakhir, yaitu maut telah dihancurkan (ay. 23-28).58 Adapun akibat yang dihasilkan oleh kebangkitan Kristus bagi orang percaya, yang merupakan pokok pembahasan dalam bagian ini adalah sebagai berikut ini. Kristus Sebagai Perintis Kebangkitan Orang Percaya (ay. 20-23) Paulus menjelaskan lebih jauh tentang konsekuensi penolakan terhadap kebenaran kebangkitan dengan menggunakan metafora dalam ayat 20 yang diikuti oleh implikasinya. Paulus memulai pembahasan ini dengan frase nuni de. Kata nuni artinya sekarang, dan kata de artinya tetapi.59 Jadi, ayat ini, diawali dengan ungkapan tetapi sekarang, dengan kata lain ayat ini menekankan waktu sekarang, (LAI meniadakan kata sekarang). Paulus mencoba untuk menarik perhatian orang Korintus kepada kebenaran yang mendasar. Kata de (tetapi) sebagai kata pertentangan antara dua hal, yaitu: 5 6 If the Christian faith is thus based on an empty Gospel and fraudulent saviour, anybody is better off than the Christian; David Prior, The Message of I Corinthians, (Leicester: InterVarsity Press, 1985), 265. 5 7 Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa..., 531. 5 8 Pfitzner, Kesatuan Dalam…, 303. 5 9 Perschbache, Refresh Your…, 659; Nuni berasal dari kata nun (nun) artinya now; also as noun or adj. Present or immediate; of cate, soon, present, this (time); Strong, Strong’s Exhaustive …, 50. antara ayat 11-19 yang berbicara mengenai konsekuensi negatif jika Kristus tidak dibangkitkan dengan ayat 20-28 yang berbicara mengenai konsekuensi positif sebagai hasil dari kebangkitan Kristus. Kata egegertai dalam bentuk pasif, artinya dibangkitkan,60 sehinggga kalimat Nuni de Cristoj egegertau ek nekrwndiartikan tetapi sekarang Kristus telah dibangkitkan dari kematian. Paulus menjelaskan bahwa, Kristus benar-benar telah bangkit dari kematian. Kristus telah bangkit, hal ini menjelaskan mengenai suatu kejadian yang sudah berlangsung. Guthrie menulis bahwa: “Kristus telah dibangkitkan dan tidak akan mati lagi. Hal ini m,enjadi jaminan bagi hidup orang percaya (bnd. Ibr 6:19-20).”61 Hal yang sama juga diungkapkan lebih luas oleh Stott: “Kebangkitan Yesus memberikan jaminan kepada kita mengenai pengampunan Allah. Kita telah mengetahui bahwa pengampunan adalah salah satu kebutuhan yang paling mendasar dan salah satu dari karunia Allah yang terbaik.”62 Secara khusus, kebangkitan Kristus adalah buah sulung dari orang mati. Kata aparce (noun, nom, fem, sing) artinya permulaan atau yang sulung.63 Jadi, kata aparce adalah kata yang menjelaskan suatu kejadian yang terjadi paling pertama atau merupakan buah sulung dari kebangkitan Kristus. Istilah kekoimhmenwn (verb, part, perf, pass, gen. masc, pl) artinya tidur, tertidur, sama sekali sudah mati atau tidak sadar,64 sehingga 6 0 Nuni de Cristoj egegertai ek nekrwn (But now is Christ risen from the dead); Green, The Interlinear Greek…, 629; egegertaiberasal dari kata dasar egeirw artinya rise, rouse; Friberg, Analytical Greek New…, 543; Strongs, Greek Dictionary of…, 25. 6 1 Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa…, 531. 6 2 The resurrection of Jesus assures us God’s forgiveness we have already noted that forgiveness is one of our most basic need and one of God’s best gifts; John Stott, The Contemporary Christian (Leicester: InterVarsity Press, 1992), 81. 6 3 aparke berasal dari dua kata yaitu: apo yang mengandung pengertian mengenai tempat, waktu dan hubungan yang artinya after, ago, at, because of, before, dan kata arcomai artinya beginning. Dalam bentuk intensive, perfek, substantive, partitive, as partitive genetif dari kata aparch artinya sulung; Strong, Strong’s Exhaustive concordance…, 13, 14, 16. 6 4 kekoimhmen berasal dari kata koimaw artinya to sleep, fall sleep, dalam bentuk intensive, perfek, substantive, partitive, as partitive genetif dari kata aparch artinya sulung. Aparch sulung (istilah Yahudi untuk bagian pertama yang dikhususkan bagi Allah sebelum sisanya dapat digunakan); setara dengan arrabwn(Rm diterjemahkan “menjadi buah sulung dari mereka yang telah benar-benar mati.” Paulus dalam hal ini, menjelaskan bahwa Kristus benar-benar telah dibangkitkan. Ia mau menjelaskan suatu kejadian yang sudah berlalu, tetapi berakibat terus menerus sebagai jaminan bagi umatnya di masa yang akan datang. Kebangkitan-Nya menyebabkan kita dibangkitkan secara rohani (Rm 6:4; Ef 2:6), dan pada saat yang sama menjamin bahwa kita akan dibangkitkan secara tubuh, seperti metafora dalam Rm 8:23 dan juga dalam 2Kor 1:22, 5:5; Ef 1:14).65 Kristus dikatakan “yang pertama kali bangkit dari kematian” karena kebangkitan yang Kristus alami adalah kebangkitan yang sempurna. Kristus bangkit dari kematian langsung ke sorga, tidak hidup dalam dunia ini lagi. Memang sebelum Kristus bangkit dari kematian, di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru telah banyak orang dibangkitkan dari kematian sebelum Kristus. Namun kebangkitan mereka adalah berbeda dengan kebangkitan yang Kristus alami. Perbedaan tersebut yaitu orang-orang yang dibangkitkan sebelum Kristus (PL dan PB), dibangkitkan untuk menjalani kehidupan mereka di bumi lagi, sifatnya untuk sementara waktu dan setelah itu mereka akan mati lagi. Hal ini membuktikan bahwa kebangkitan yang mereka alami adalah tidak sempurna seperti yang Tuhan Yesus Kristus alami adalah kebangkitan yang sempurna. Selain itu, kebangkitan Yesus adalah menjadi dasar bagi kebangkitan orang percaya, dengan kata lain, kebangkitan Yesus adalah kebangkitan yang menyelamatkan, kebangkitanNya memungkinkan kebangkitan orang mati. Dalam ayat 21-22, terdapat dua kalimat dalam bentuk parallel ganda, yang pertama (ay. 21) menjelaskan analogi bagaimana Allah 8:23). Newman, Kamus Yunani…, 16; Perschbacher, Refresh Your…, 659; Friberg, Analytical Greek New…, 104. 6 5 The first to rise from the dead (Acts 26:23), rising as our representative. His resurrection caused us to be raised spiritually (Rom. 6:4; Eph. 2:6), and at the same time guarantees that we will be raised bodily. Another use of the methaphor is found in Rom. 8:23 (cf. also 2 Cor. 1:22, 5:5; Eph. 1:14). New Geneva Study Bible (Nashville: Thomas Nelson Pub., 1995), 1821; Kebangkitan Kristus, sebagai manusia pertama yang mati tetapi hidup kembali dengan hidup yang tak berkesudahan, menjamin kebangkitan seluruh umat Allah (bnd. ay. 23; 1Tes 4:14); Green, Tafsiran surat I…, 104. Bruce pun berpendapat bahwa: “Since he was raised, his people will be raised: as surely as the first fruits guarantee the coming harvest, so surey does his resurrection guarantee their;” F.F. Bruce, The Centure Bible Commentary I & II Corinthian (Grand Rapids: Eerdmans, 1990), 145. membangkitkan Kristus sebagai yang sulung dari kebangkitan orang mati; yang kedua (ay. 22) menjelaskan lebih jauh secara detail ayat 21. Ada pun struktur ayat 21-22 adalah: Karena (penjelasan mengenai bagaimana Kristus menjadi buah sulung) Karena melalui seorang manusia kematian, Juga melalui seorang manusia, kebangkitan orang mati; Karena (penjelasan mengenai ... demikian juga) Sebagaimana di dalam Adam semua mati Demikian juga di dalam Kristus semua akan dihidupkan.66 Paulus lebih lanjut menjelaskan dalam ayat 21-23, bahwa ia memandang Kristus sebagai Adam kedua, dimana maut datang dari satu orang yaitu Adam (Rm 5:12), sehingga membuat semua keturunan Adam mati dalam persekutuan dengan Adam. Demikian juga dengan kebangkitan orang mati datang karena satu orang yaitu Kristus (ay. 21). Kebangkitan Kristus yang merupakan buah sulung dari kebangkitan orang mati, mengakibatkan adanya kesempatan bagi semua orang mati dibangkitkan kembali dan dikuduskan kembali dalam persekutuan dengan Kristus dari kematian (ay. 22). Kata semua orang mati, adalah menunjuk baik kepada orang percaya maupun kepada orang yang tidak percaya kepada Kristus. Namun kebangkitan semua orang mati tidaklah terjadi secara bersama-sama. Dalam ayat 23, Paulus menjelaskan bahwa kebangkitan orang mati adalah sesuai dengan urutannya. Kristus yang telah bangkit pada waktu kedatangan-Nya. Hal yang sama, juga diungkapkan oleh Pfitzner: “Kebenaran yang penting ialah bahwa Kristus sebagai buah sulung telah dibangkitkan (ay. 20). Pada waktu kedatangan-Nya, mereka yang menjadi milik-Nya (3:23; Gal 5:24) juga akan bangkit dari kubur mereka.” 67 Jadi, jelaslah bahwa, Kristus telah dibangkitkan. Dia adalah sebagai perintis atau buah sulung dari kebangkitan orang mati, yang mana mengakibatkan kebangkitan bagi orang percaya pada hari kedatangan-Nya. Maut Ditaklukkan (ay 24-28) 6 6 6 7 Fee, The New International Commentary…, 749. Pfitzner, Kesatuan Dalam Kepelbagaian…, 306. Dalam ayat 20-23 telah dibahas mengenai Kristus sebagai perintis kebangkitan orang percaya, kemudian orang percaya yang telah mati dibangkitkan pada saat kedatangan Kristus yang kedua kali (Parousia). Selanjutnya dalam ayat 24 tertulis Eita to teloj. Kata teloj (noun, nom, neuter, sing.), artinya akhir, penghabisan, kesudahannya.68 Jadi, frase Eita to teloj terjemahannya adalah sama dengan terjemahan LAI yaitu: “Kemudian tiba kesudahannya.” Dengan kalimat ini, Paulus hendak menjelaskan bahwa sesudah kedatangan Kristus dan orang percaya yang telah mati dibangkitkan, maka tibalah kesudahannya, yaitu puncak dari segala zaman. Paulus memberikan penjelasan bahwa, kedatangan Kristus adalah untuk meneguhkan kedaulatan-Nya yang penuh dan secara langsung (2Tes 1:7). Dimana sebelum Kristus meneguhkan kedaulatan-Nya, tiap kuasa yang menentang-Nya akan dibinasakan. Setelah semuanya dibinasakan, yaitu tugas yang diberikan Allah Bapa telah dipenuhi (Mat 28:18), maka Kristus menyerahkan kedaulatan atau kerajaan-Nya kembali kepada Allah Bapa (1Kor 15:24). Kerajaan yang diserahkan Kristus kepada Allah Bapa bukanlah pemerintahan atas daerah atau wilayah tertentu secara lahiriah, melainkan yang diserahkan Kristus adalah kekuasaan penuh atas segala sesuatu termasuk manusia (bnd. Flp 2:10). Untuk itu, terlebih dahulu Dia harus membinasakan segala kekuasaan lain. 69 Karena itulah Kristus harus memegang pemerintahan sebagai Raja (ay. 25), sampai pemerintahan yang lain dibinasakan dan ditaklukkan, yaitu sebelum kesudahannya tiba. Hal ini adalah sesuai dengan janji Allah bahwa Kristus akan memperoleh kemenangan terakhir atas kuasa-kuasa yang menentang-Nya (bnd. Mzm 110:1). Kata escatosa artinya paling akhir dimana kata ini berfungsi untuk menjelaskan kata acqroj (adj, nom, masc, sing).70 Kata acqroj (adj, pron, nom, masc, sing) artinya musuh atau lawan.71 Dengan demikian, frase escatoj acqroj memiliki pengertian musuh yang paling terakhir. Dalam hal 6 8 teloj berasal dari kata dasar tellw artinya akhir: penghabisan, kesudahan; Friberg, Analytical Greek…, 543; Miller, Kamus Yunani…, 171. 6 9 Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa…, 532; Green, Tafsiran Surat I …,105. 7 0 escatojberasal dari dua kata, yaitu ecwdan ocew artinya the last, final; Friberg, Ibid., 543; Strongs, Strong’s Exautive …, 33; Arndt, A GreekEnglish…, 314. 7 1 acqroj berasal dari kata dasar ecqrw artinya enemy; Strongs, Strong’s Exautive…, 34. ini, Paulus menjelaskan bahwa tidak ada musuh lain, selain maut, musuh yang paling akhir atau paling berat. Sedangkan kata katargeitai (verb, indic, prest, pass, 3 pers, sing) dalam bentuk present pasif berarti dimusnakan,72 sehingga secara harafia diterjemahkan “Musuh paling akhir yang dimusnakan adalah maut.” Setelah itu tidak ada lagi yang harus dibisanakan, karena maut merupakan musuh paling terakhir dan paling besar dari manusia. Maut sebenarnya sudah ditaklukkan oleh Kristus, yaitu pada saat kebangkitan-Nya (bnd. 2Tim 1:10). Namun maut akan dibinasakan secara terang-terangan atau secara sempurna, yaitu pada saat konsumasi, pada waktu kedatangan-Nya kembali (bnd. Why 20:14) dalam pengertian Kristus merampas segala kuasa maut pada saat semua tawanannya sudah dibangkitkan.73 Kematian dan kebangkitan Kristus merupakan perjuangan yang menentukan dalam peperangan yang pada akhirnya adalah kemenangan yang dialami oleh orang percaya, yaitu mengalami kebangkitan.74 Pengalaman inilah membuktikan bahwa musuh terakhir yaitu maut (kematian kekal) telah dikalahkan. Dalam ayat 27-28, Paulus berbicara tentang manusia yang sempurna, yaitu Yesus Kristus. Segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah kaki-Nya, Allah Bapa yang menyerahkan kekuasaan mutlak itu kepada Kristus. Kalau pekerjaan yang diberikan Allah Bapa kepada Kristus telah selesai, maka Kristus akan menyerahkannya kembali segala kekuasaan kepada Bapa-Nya (ay. 24). Sebagai bukti bahwa kepada-Nya Anak sendiri ditaklukkan, yaitu Anak taat kepada Bapa-Nya. Tujuannya adalah bahwa Allah Bapa menjadi semua di dalam semua (bnd. Rm 11:36). Disini Paulus menjelaskan bahwa, Kristus memegang pemerintahan adalah berakhir bersamaan dengan penaklukkan musuh yang terakhir, selanjutnya Kristus menyerahkan kekuasaan kembali kepada Bapa-Nya (ay. 24). Untuk ayat 29-34, yaitu berbicara mengenai implikasi etis moral yang akan dibahas pada tulisan berikutnya. 7 2 katargeitai berasal dari kata dasar katargew artinya to abolish, wipe out; Perschbacher, Refres Your…, 659. 7 3 Green, Tafsiran Surat I…, 105; Guthrie, Tafsiran Alkitab Masa…, 532. 7 4 Because the death and resurrection of Christ constitute the decisive battle in the war that ends victoriously with the resurrection of his people; Bnd. O. Cullmann, Christ and Time, E.T. (1951), 141; Bruce, The New Century Bible…, 147. KEBANGKITAN DAN IMPLIKASI ETIS MINISTRIAL (15:31-34) Paulus dalam ayat 31-34, setelah memaparkan panjang lebar mengenai akibat yang dihasilkan oleh kebangkitan Kristus bagi orang percaya, yaitu sikap etis yang patut. Ayat 30-31 tertulis ti kai emeij kinduneuomen pasan wran Kata kinduneuomen dalam bentuk present indikatif aktif berarti selalu dalam bahaya,75 artinya “setiap saat Paulus menyerahkan dirinya ke dalam bahaya di dalam konteks pelayanan. Ia mengatakan: “Kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari” (Rm 8:36, dikutip dari Mzm 44:23). Hal ini dipertegas lagi dengan frase kaq hmeran apoqnhskw (ay. 31). Kata apaqnhskw dalam bentuk present indikatif aktif berarti maut.76 Dengan demikian terjemahan ialah “Hari demi hari aku diperhadapkan dengan maut” (bnd. 2Kor 11). Mengapa Paulus bersedia menderita? Karena ia telah mengalami arti dan kuasa kebangkitan Kristus. Kebangkitan Kristus memotivasi Paulus dalam pelayanan, sehingga dia memiliki semangat pelayanan sekalipun banyak kali berhadapan dengan bahaya yang bisa membawanya kepada kematian. Kata eqhriomachsa adalah dalam bentuk aorist indikatif aktif yang berarti bertarung melawan binatang buas77 LAI menerjemahkannya sama, hanya kata bertarung menggunakan kata berjuang.78 Paulus ingin menjelaskan pengalamannya di Efesus, dengan memberikan arti kiasan tentang perjuangannya melawan binatang buas di arena yang ditonton oleh banyak orang. Hal ini menggambarkan betapa berat pelayanannya di dalam memberitakan Injil di kota Efesus (Kis 19). Karena itu, apabila tidak ada kebangkitan orang mati, maka tentulah ia akan melarikan diri dari bahaya dan kesulitan yang harus ia hadapi. Kerelaan atau kesediaan Paulus menghadapi kesulitan dalam 7 5 kindunenomen(1pers, pl, pres, act, indc) berasal dari kata dasar kinduneuw yang berarti to be in danger, run a risk; Perschbacher, Refresh Your…, 660. 7 6 apoqnhskw(verb, indic, prest, act) berasal dari kata apo dan qnhskw yang berarti be dead, death, die, lie a–dying, be slain; Strong, Strong’s Exhaustive Concordance…, 14, 36; Barbara, Analytical Greek New…, 544. 7 7 eqhrimachsa (1pers, sg, aor, act, indic) berasal dari kata eqhriomacew yang berarti to fight with wild animal; Perschabacher, Refresh Your…, 660. 7 8 If according to man I fought with beasts in Ephesus, what the profit to me if the dead are not raised? Green, The Interlinear …, 479. pelayanan karena ia memiliki pengharapan mengenai kebangkitan. Kalau kan diri dan meninggalkan pelayanan.79 Tanpa pengharapan terhadap kebangkitan, maka pertarungan seperti itu tidaklah berarti apa-apa. Dan sebagai langkah berikutnya akan hidup seenaknya, seperti yang dimengerti dengan ungkapan “makan dan minum,” atau untuk menikmati kesenangankesenangan dunia ini. Namun tidaklah demikian dengan Paulus, ia menegaskan bahwa hanya pengharapan terhadap kebangkitan membuat ia bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan dan ancaman-ancaman. Selain itu, hanya pengharapan akan kebangkitan orang mati ini yang melahirkan sikap moral yang baik, yakni tidak “makan-minum” atau bermasa bodoh, seolah tidak ada hari esok lagi, hidup dalam kesenangan duniawi. Sebaliknya, dalam ayat berikutnya (ay. 33-34), Paulus memberikan suatu nasehat yang benar, yaitu dengan ia menyatakan mh planasqe (janganlah kamu disesatkan).80 Kalimat ini menjelaskan mengenai ayat sebelumnnya, yaitu janganlah menyesatkan diri dengan orang yang memiliki pedoman menikmati kesenangan hidup duniawi, yaitu karena mereka tidak percaya adanya kebangkitan orang mati. Alasan Paulus melarang atau menasehati jemaat Korintus untuk tidak masuk dalam “pergaulan yang buruk” tersebut yaitu karena pergaulan yang buruk tersebut akan merusakkan kebiasaan yang baik. Mengingat kepastian mengenai kebangkitan, maka orang Kristen harus menghindari hubungan dan persahabatan terus-menerus dengan orang-orang yang mencari kesenangan semata di dalam hidup ini (ay 34a). Hal ini dikatakan Paulus karena dalam jemaat Korintus ada sebagian orang yang “tidak mengenal Allah,” meskipun dalam kenyataannya mereka dengan bangga menggabungkan diri sebagai orang Kristen, yang tidak berlaku sebagai Kristen, karena menolak adanya kebangkitan orang mati. Singkat kata, bahwa implikasi etis dari doktrin kebangkitan, bukan hanya teori Paulus melainkan dari pengalaman Paulus sendiri dalam pelayanannya. Paulus memiliki kepastian mengenai kebangkitan orang mati, maka itu ia tetap bersemangat dan aktif sekalipun banyak kesulitan, bahkan maut sekalipun. Demikianlah juga kepada orang yang percaya, mereka tidak seharusnya pasifisme, melainkan harus bersemangat dan aktif dalam hidup ini untuk melayani Tuhan. Tidak hanya sebatas ini, orang percaya yang memandang dirinya sebagai tubuh Kristus, maka ia tidak 7 9 8 0 Pfitzner, Kesatuan Dalam Kepelbagaian…, 313. Do not be led astray; Green, The Interlinear…, 479. akan menyerahkan diri lagi menjadi tubuh kelaliman/dosa (Rm 6:12-14).81 Karena tubuhnya telah ditebus oleh Kristus dan diberikan jaminan melalui kebangkitan-Nya. Selain kebangkitan sebagai suatu jaminan bagi pengampunan orang percaya, juga sebagai menjamin atas kehidupan yang diubahkan. Karena Allah berkuasa membangkitkan orang mati, maka Ia pun berkuasa mengubah morah dan karakter umat-Nya. Hal yang sama dikemukakan oleh Stott bahwa: Kebangkitan Yesus menjadi jaminan bagi kita mengenai kuasa Allah. Karena kita membutuhkan kuasa Allah untuk hidup masa kini dan juga pengampunan pada masa lalu. Apakah Allah sungguh mampu mengubah hakekat manusia yang kelihatannya menjadi begitu degil, membuat orang yang kasar menjadi baik, orang yang egois menjadi tidak egois, orang yang hidup amoral menjadi orang yang mampu mengontrol diri sendiri dan orang yang masam hidupnya, menjadi manis? Apakah Ia mampu membawa orang yang mati kepada kenyataan rohani, dan membuatnya hidup dalam Kristus? Ya, Ia pasti mampu! Dia mampu memberi kehidupan kepada orang yang mati secara rohani dan mengubah kita menjadi sama seperti Kristus.82 Kebangkitan Yesus Kristus menyatakan kedaulatan Allah yang tertinggi yang menjadi jaminan bagi orang percaya menghadapi kehidupan di masa yang akan datang, sekaligus jaminan menghadapi tantangan hidup pada masa kini.83 8 1 12 Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya. 13 Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran. 14 Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia. 8 2 The resurrection of Jesus assures us of God’s power. Fot we need God’s power in the present as well as his forgiveness of the past. Is God really able to change human nature, which appears to be so intractable, to make cruel people kind, slfish people unselfish, immoral people self-controlled, and sour people sweet? Is he able to take people who are dead to spiritual reality, and make them alive in Christ? Yes, he really is! He is able to give life to the spiritually dead, and to transform us into the likeness of Christ; John Stott, The Contemporary Christian…, 82. 8 3 Ibid., 85. Yesus Kristus melepaskan murid-muridNya dari ketakutan bahwa orang percaya tidak hanya bertahan dalam kematian tetapi akan Pada akhirnya kebangkitan memberikan jaminan bahwa kita hidup dalam satu dunia yang dikuasai/diatur oleh standar-standar yang absolut, yang pada akhirnya kebenaran akan menang. Dalam pandangan dunia, bahwa pada mulanya salib menyatakan kemenangan dunia kejahatan dan dunia tanpa hukum. Tapi melalui kebangkitan, Allah menyatakan kemuliaan salib Kristus. Bahwa Kristus sekali mati untuk dosa-dosa dan kematian tidak lagi menguasai-Nya. Kebenaran ada pada pihak Kristus dan umat-Nya. Macleod menulis bahwa: “Pada waktu kita memandang ke kubur yang kosong itu, kita sedang memandang kemenangan dari kebenaran.” 84 Karena itu, kebenaran menjadi standar moral etis yang bersifat permanen bagi orang percaya. Jadi, implikasi etis dari doktrin kebangkitan orang mati ialah Pertama: Kepastian kebangkitan orang mati tersebut telah memotivasi Paulus dalam pelayanan. a). Ia semangat dan aktif dalam pekerjaan Tuhan, sekalipun banyak kali berhadapan dengan bahaya yang bisa membawanya kepada kematian. b). Kepastian kebangkitan orang mati melahirkan sikap moral yang baik “tidak bermasa bodoh” dalam hidup ini, tidak menyerahkan diri lagi pada kelaliman/dosa, tetapi menerapkan kebenaran dalam hidup hari lepas hari. c). Kepastian kebangkitan orang mati menjamin mengenai kuasa Allah atas hidup kita, bahwa Allah mampu merubah karakter hidup manusia. d). Kepastian kebangkitan orang mati menjamin kita untuk hidup dalam satu dunia yang dikuasai/diatur oleh standar-standar yang absolut, yang pada akhirnya kebenaran akan menang. Implikasi etis moral ini dilihat oleh Grudem sebagai aplikasi etis, ia mengemukakan tiga aplikasi etis dari doktrin kebangkitan orang mati, yakni: “Paulus juga melihat bahwa kebangkitan memiliki aplikasi untuk ketaatan kita kepada Allah dalam kehidupan ini. Kedua, Paulus mendorong kita, ketika kita berpikir mengenai kebangkitan, mengfokuskan pada upah sorgawi di masa yang akan datang dibangkitkan dari kematian. Kita akan memiliki tubuh yang baru seperti tubuh kebangkitan Yesus Kristus (Flp 3:21), dengan kuas ayang baru dan yang tak terbayangkan (1Kor 15:2444). Karena Kristus disebut baik sebagai “yang sulung” (1Kor 15:20,23) dan juga disebut sebagai yang pertama bangkit dari orang mati (Rm 8:29; Kol 1:18; Why 1:5). Kedua metafora ini memberikan jaminan yang sama. Dia adalah yang pertama bangkit dan semua umat/orang percaya akan mengikuti-Nya. Kita akan memiliki satu tubuh seperti tubuh-Nya (1Kor 15:49), sebagaimana kita lahir dalam kesempurnaan sebagai manusia (Adam) demikian juga kita akan menjadi serupa dengan manusia surga (Kristus); Ibid., 84. 8 4 “When we look at the empty tomb we are looking at the triumph of righteourness;” Ferguson, New Dictionary Theology…, 584. sebagai tujuan kita. Aplikasi etis yang ketiga dari kebangkitan adalah kewajiban untuk berhenti berbuat dosa dalam kehidupan kita.” 85 8 5 Paul also sees that the resurrection has application to our obedience to God in this life… Second, Paul encourages us, when we think about the resurrection, to focus on our future heavenly reward as our goal … A third ethical Application of the resurrection is the obligation to stop yielding to sin in our lives. Wayne Grudem, this life … Second, Paul encourages us, when we think about the resurrection, to focus on our future heavenly reward as our goal … A third ethical Application of the resurrection is the obligation to stop yielding to sin in our lives; Wayne Grudem, Systematic Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1994), 616.