PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT K.H. AHMAD DAHLAN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Dwi Puspa Khairunnisa NIM: 1111033100023 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H./2017M. PEDOMAN TRANSLITERASI Arab Indonesia Arab Indonesia ا a ط ṭ ب b ظ ẓ ت t ع ' ث ts غ hg ج j ف f ح ḥ ق q خ kh ك k د d ل l ذ dz م m ر r ن n ز z و w س s ه g ش sy ء ' ص ṣ ي y ض ḍ ة h Vokal Panjang Arab Indonesia آ ā ٳى Ī أو ū iv ABSTRAK Nama: Dwi Puspa Khairunnisa NIM : 1111033100023 Judul : Pemikiran Pendidikan Islam Menurut K.H Ahmad Dahlan Pada awal abad 20, lembaga pendidikan di Indonesia mempunyai dua pendidikan yang berbeda yaitu pendidikan tradisional dan pendidikan sekuler. Pendidikan tradisional adalah lembaga pendidikan pesantren yang dikelola oleh umat Islam atau ulama-ulama Muslim dan hanya diajarkan ilmu agama saja. Sedangkan, pendidikan sekuler adalah pendidikan sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda dan hanya diajarkan ilmu pengetahuan umum saja. Pada awal abad 20 masyarakat Muslim beranggapan bahwa akan dianggap kafir apabila anak-anaknya dimasukkan ke sekolah pemerintah Hindia Belanda yang memakai sistem Barat yaitu bercelana panjang, berjas, berdasi dan lain sebagainya. Anggapan ini membawa pengaruh besar terhadap ekonomi Muslim yang mengakibatkan masyarakat Muslim tidak memiliki akses ke sektor-sektor pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta. Untuk memperbaiki kondisi pendidikan umat Islam di Indonesia khususnya umat Muslim, maka salah satu tokoh pembaharuan yaitu K.H Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah 1912 yang berasal dari Kauman Yogyakarta, juga terkenal sebagai seorang aktivis sosial keagamaan menawarkan sistem pendidikan baru dengan mengkolaborasikan ilmu agama dan ilmu umum. Menurutnya hanya melalui pendidikan seperti ini, kondisi umat Islam di Indonesia dapat berkembang lebih baik secara ekonomi-pendidikan dan pendidikanekonomi. Melalui Muhammadiyah, K.H Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah model Belanda yang mengkolaborasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Adapun kurikulum yang diterapkan K.H Ahmad Dahlan pada sekolah Muhammadiyah meliputi integrasi ilmu dan amal, integrasi ilmu agama dan ilmu umum, kebebasan berfikir dan pembentukan karakter dengan tujuan peserta didik mempunyai wawasan yang luas dan ahli dalam segala bidang ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama, sehingga peserta didik dapat mengembangkan atau mengamalkan ajaran-ajaran/teori-teori yang diajarkan pendidik, serta tidak mengikuti pendangan orang lain tanpa tahu alasannya (taqlid) dan peserta didik harus menanamkan jiwa sosial, moral dan beragama pada kehidupan sehari-hari. v KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb Syukur kata nikmat Allah SWT yang terus mengiringi setiap langkah para hambaNya dalam segala proses kehidupan. Karena-Nya penulis diberi kemudahan selama penyusun skripsi ini, sehingga dapat menyelesaikannya dengan baik. Salawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan, Nabi Muhammad Saw. Atas selesainya karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan materil maupun moril dari berbagai pihak. Untuk itu saya ucapkan terimakasih kepada. 1. Ayahanda Heri Iskandar dan Ibunda Masliyah, kedua orang tua yang selalu memberikan motivasi, serta doa selama perjalanan penulis dalam menuntut ilmu di manapun penulis berada, serta kakak dan adik-adik tercinta, Abraham Pisca, Salsabila, Alarsy dan Fatimah Azzahra yang selalu memberikan semangat dan doa. Rasanya tidak pernah cukup untuk berterima kasih, semoga Allah selalu mencurahkan rahmat dan kasih sayang kepada mereka. 2. Din Wahid, Ph.D., selaku Dosen Pembimbing yang selalu meluangkan waktu, memberikan arahan, motivasi, dan membimbing penulis dengan baik, sehingga terselesaikannya skripsi ini. 3. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku Ketua Program Studi Aqidah Filsafat dan Abdul Hakim Wahid., SHI., MA., selaku Selaku Sekretaris Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam. 4. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin. 5. Drs. Nanang Tahqiq, MA., selaku dosen mata kuliah metode penelitian filsafat yang telah mengajarkan pada penulis tentang ketelitian dan ketekunan. 6. Prof. Dr. Abdul Azis Dahlan, MA., selaku Dosen Pembimbing Akademik. 7. Kepada Ibu Fitroh selaku dosen Fakultas Sainstek yang selalu memberikan motivasi, doa serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. vi 8. Sahabat perjuangan, yang menemani suka duka dan selalu mendengar keluh kesah penulis selama enam tahun ini, Husni Mubarok, Mila Astuti, Annisa Shabrina dan Rilla Selastia. 9. Sahabat-sahabat Aqidah Filsafat 2011 tanpa terkecuali, yang sudah banyak membantu dan selalu memberikan semangat lewat canda dan tawa. 10. Sahabat-Sahabat Basketball UIN Jakarta, IKANZ Basketball Alumni AlZaytun, serta keluarga KKN Garmandes 2014. 11. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut membantu dalam perjuangan penulis dengan sengaja maupun kebetulan, terimakasih tak terhingga penulis sampaikan. Semoga kita dirahmati Allah Swt. Amin. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan wawasan pengetahuan bagi siapa pun yang berkesempatan membacanya. Wassalamu’alaikum wr.wb. Jakarta, 13 Juli 2017 Penulis vii DAFTAR ISI LEMBAR PESETUJUAN ....................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI .................................. iii PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................. iv ABSTRAK ................................................................................................ v KATA PENGANTAR ............................................................................... vi DAFTAR ISI .............................................................................................. viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................. 7 C. Tujuan Penelitian ................................................................... 7 D. Manfaat Penelitian ................................................................. 8 E. Tinjauan Pustaka .................................................................... 8 F. Metodologi Penelitian ............................................................ 10 G. Sistematika Penulisan ............................................................ 11 BAB IIBIOGRAFI K.H. AHMAD DAHLAN A. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan........................... 13 B. Aktivitas Sosial dan Keagamaan ........................................... 23 BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN ISLAM A. Definisi Pendidikan Islam ...................................................... 34 B. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam..................................... 39 C. Metode Dalam Pendidikan Islam ........................................... 43 D. Masalah Modernisasi Pendidikan Islam ................................ 48 viii BAB IV PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM KIAI AHMADDAHLAN A. Integrasi Ilmu dan Amal ........................................................ 60 B. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum ................................. 65 C. Kebebasan Berpikir................................................................ 69 D. Pembentukan Karakter ........................................................... 74 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................ 82 B. Saran-Saran ............................................................................ 85 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 86 viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada awal abad 20, Indonesia mempunyai dua sistem pendidikan yaitu sekuler dan tradisional. Pendidikan sekuler merupakan sistem pendidikan yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dalam sistem pendidikan tersebut di ajarkan ilmu pengetahuan umum saja. Sedangkan, Pendidikan tradisional merupakan sistem pendidikan yang didirikan oleh ulama-ulama Muslim, yang dalam sistem pendidikan tersebut hanya diajarkan ilmu agama. Menurut Raden Sasrosugondo1 menceritakan tentang kondisi pendidikan pada awal abad 20 melalui majalah Adil No. 51 tahun 1936, sebagai berikut: Sepanjang penganggapannya para santri di Kauman, dan di pondok lainnya, pada ketika itu, bahwa anak atau orang yang pernah bersekolah di sekolah pemerintah Hindia Belanda itu sudah tidak Islam lagi, bahkan di anggap sudah memasuki agama Nasrani. Oleh karena itu para santri atau pun haji tidak bisa leluasa perhubungannya dengan priyai-priyai Gubernemen tersebut. Para santri sama merendahkan priyayi-priyayi di dalam hati. Sebaiknya para priyayi-priyayi berganti sama merendahkan pada dirinya santri-santri, sebabnya mereka itu dianggap rendah pengetahuannya tentang pelajaran di bangku sekolah. Misalnya soal berhitung, ilmu bumi, sejarah, ilmu alam, ilmu ukur dan lain sebagainya. Mereka mengira bahwa santri itu terutama hanya pandai soal agama belaka. Lebih-lebih priyayi-priyayi itu perasaanya sudah memegang ilmu sesungguhnya.2 1 Raden Sasrosugondo merupakan aktifis Muhammadiyah yang hidup pada abad 20. Ia juga aktif sebagai penerjemah bahasa Belanda. 2 Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan K.H Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa (Jakarta Selatan: Pustaka Kajian Islam FAI UHAMKA, 2009), h. 361-362. 1 2 Peristiwa tersebut menunjukan bahwa pendidikan di Indonesia belum mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya. Tujuan pendidikan di antaranya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang berbudi luhur, berakhlak baik, serta memiliki pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.3 Tujuan pendidikan di Indonesia adalah membentuk karakter seseorang yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. K.H Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, hadir dengan ketidak sepakatannya dengan sistem pendidikan yang didirikan oleh Hindia belanda. Ia menganggap timpang sistem pendidikan tersebut. Maka dari itu mengkolaborasikan ia menawarkan antara sistem sistem pendidikan pendidikan sekular yang dengan tradisional.4 Sayyid Ahmad Khan, seorang tokoh pembaharu di India, ia mengakui bahwa pendidikan yang mementingkan ilmu agamanya saja akan menghasilkan orang-orang ahli pada bidang agamanya saja. Akan tetapi Ahmad Khan juga mengakui bahwa meniru metode pendidikan para pendahulunya tidak akan membuahkan hasil yang diinginkan. Metode-metode baru yang sesuai dengan zaman harus 3 Tohirin, “Tujuan Pendidikan,” artikel diakses pada tanggal 8 April 2016 dari http://sholihfikr.blogspot.co.id. 4 Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan K.H Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 352-353. 3 diubah karena dengan pendidikan yang sesuai dengan tuntunan zaman akan membentuk kepribadian yang budi luhur. Seperti contoh, Ahmad Khan mencoba mendorong masyarakat Muslim untuk berhubungan dengan orang-orang Barat seperti, makan bersama mereka, menghormati agama mereka, mempelajari ilmu-ilmu mereka dan lain sebagainya. Tindakan ini membuat masyarakat Muslim membentuk kepribadian yang budi pekerti. Menurut Ahmad Khan, berbudi luhur adalah hakikat dari pengajaran, yang bukan bersifat teoritis seperti kebanyakan orang pahami. Maksud pengajaran dari budi luhur bukan berarti mengajarkan teori-teori tentang baik dan buruk, benar dan salah, namun sikap keseharian dan kepribadian yang dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari.5 Berbicara tentang budi luhur, menurut Ahmad Dahlan, berakhlak luhur tidak hanya terbatas memiliki sifat-sifat kepribadian, tetapi harus dinamis, aktif mencari pengetahuan, bersikap dan bertindak dengan baik terhadap kehidupan.6 Berakhlak luhur merupakan sikap yang selalu mengamalkan kebaikan-kebaikan di dalam diri serta senantiasa saling tolong menolong sesama manusia. Dalam menciptakan akhlak luhur di kalangan siswa, Ahmad Dahlan berusaha untuk mendekati remaja di lingkungannya. Ia mempunyai cara khusus 5 Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan K.H Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 268-269. 6 Syuja, Islam Berkemajuan, Kisah Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal (Tangerang: al-Wasath, 2010), h. 163-164. 4 dalam mendidik dan mendekati murid-murid remajanya yang berusia 25 tahun untuk berakhlak luhur. Beberapa penulis menyatakan bahwa Dahlan kerap mengajarkan serta mendorong para muridnya agar gemar beramal, melakukan kebaikan, dan menghindarkan diri dari kebiasaan berfoya-foya dan kenakalan. Hal tersebut akan membentuk kepribadian siswa berakhlak luhur. Ada strategi tersendiri yang digunakan oleh Dahlan untuk mendidik mereka. Ia berawal mengikuti segala keinginan dan kemauan mereka, seperti berpiknik, bermusik, dan sebagainya. Kemudian sedikit demi sedikit mereka dididik hingga kemudian dapat menjadi pribadi yang berbudi luhur dan saleh.7 Dalam hal ini Dahlan berkata: Berakhlak luhur dan berbuat kebajikan merupakan kelanjutan dari sikap iman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab dan para nabi. Berbudi luhur, juga berarti memberikan harta yang dicintai, mengasihi anak-anak yatim, fakir miskin dan budak. Juga mendirikan salat, zakat, tepat janji, sabar, dan lapang dada dari segala kesulitan serta senantiasa rela berkorban untuk sesama.Serta saling menghormati dalam kebenaran dengan sesamanya, dan ini diartikan sebagai upaya perbaikan pribadi umat dan bukan untuk mencari kesalahan orang lain. Dan hal ini akan membawa mereka senantiasa dekat dengan Allah dan terpelihara dari segala kesalahan.8 Dari kutipan di atas, menurut Ahmad Dahlan, akhlak setiap orang tidak cukup hanya mengetahui kebaikan pada tataran teori belaka, 7 Junus Salam, K.H.A. Dahlan, Amal dan Perdjoeangannja (Jakarta: Depot Pengadjajaran Muhammadiyah, 1968), h. 17. 8 Ridjaluddin F.N,Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan K.H Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 458. 5 akan tetapi harus senang mempraktikkan dan senang berbuat baik.9 Di samping itu, selain berakhlak luhur Ahmad Dahlan dalam sistem pendidikannya mempunyai metode tersendiri. Ia mengkolaborasikan sistem pendidikan umum dan agama. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh yang mempunyai pengetahuan umum dan moral (agama). Bagi Ahmad Dahlan, kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan Dahlan mengapa agama dianggap penting dalam pendidikan. Oleh sebab itulah, Ahmad Dahlan menyisipkan nilai-nilai keagamaan di sekolah-sekolah sekuler. Hal ini dimaksudkan agar siswa tidak hanya mampu menguasai pendidikan keduniawian tetapi juga memahami agama sebagai pedoman hidup, yang pada akhirnya menghasilkan manusia yang berbudi luhur (etika).10 Ahmad Dahlan melihat pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua kutub intelektual, yaitu pendidikan pesantren yang dianggap hanya menciptakan individu yang saleh dan hanya menguasai ilmu agama saja. Sebaliknya, di sisi lain pendidikan Belanda yang merupakan pendidikan sekular di dalamnya hanya mengedepankan pendidikan umum.11 Dari peristiwa ini, Ahmad Dahlan berpendapat 9 Syuja, Islam Berkemajuan, Kisah Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal, h. 163-164. 10 Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah (Jakarta: Media Utama, 2010), h. 119-123. 11 Syuja, Islam Berkemajuan, Kisah Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal, h. 34 6 bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat.12 Untuk mencapai kehidupan material dan spiritual Ahmad Dahlan berpendapat bahwa, dengan ilmu yang dimiliki oleh pendidik mampu mengamalkan ilmunya kepada peserta didik. Ahmad Dahlan beranggapan bahwa mengamalkan ilmunya adalah berkarya. Artinya, dengan berkarya merupakan suatu ilmu yang dapat diamalkan secara terus menerus. Selain itu, dengan mengamalkan ilmu-ilmu yang kita miliki dapat menanamkan karakter yang baik terhadap peserta didik dan tindakan ini dapat diajarkan dalam perbuatan sehari-hari. Selain itu, pendidik mampu menjabarkan ajaran-ajaran\teori-teori dengan kebebasan berfikir. artinya, dengan kebebasan berfikir, pendidik dapat menjelaskan kepada peserta didik dengan mudah untuk mencapai pengetahuan. Dengan pengetahuan peserta didik mampu melanjutkan tugasnya sebagai pelajar dan kebebasan berfikir tetap berdasarkan dengan kaidah-kaidah Islam. Oleh karena itu, umat Muslim harus berpendidikan agar mempunyai bekal ilmu baik di duniawi maupun di akhirat, serta tidak mengikuti pandangan orang lain tanpa tahu alasannya (taqlid). Keinginan Ahmad Dahlan dalam menciptakan pembaruan di atas, diharapkan dapat membentuk masyarakat Indonesia yang mempunyai 12 Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan K.H Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 505. 7 peradaban yang lebih maju, karena apabila masyarakat mempunyai peradaban yang lebih maju maka akan menjadikan negara dan bangsa ini menuju peradaban masyarakat yang lebih baik. Merujuk pada penjelasan di atas maka penulis ingin menelusuri lebih jauh tentang “PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM K.H AHMAD DAHLAN” dan membahasnya dalam bentuk skripsi. B. Batasan dan Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pembatasan akan dilakukan pada pembahasa pemikiran pendidikan Islam menurut K.H Ahmad Dahlan pada awal abad 20 dengan mengajukan pertanyaan, yakni bagaimana konsep pendidikan Islam dalam pandangan K.H Ahmad Dahlan? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mendeskripsikan pemikiran pendidikan Islam menurut K. H. Ahmad Dahlan. 2. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1). 8 D. Manfaat penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah bahwa karya ilmiah ini, dapat memberikan gambaran dan informasi tentang pendidikan Islam yang digagas oleh K.H Ahmad Dahlan. Selain itu juga, karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi suatu sumbangan akademik yang bermanfaat di masyarakat dan dapat menambah khazanah perpustakaan di Indonesia. E. Tinjauan Pustaka Sebagai seorang pemikir dan pembaharu di Indonesia, K.H Ahmad Dahlan telah menarik perhatian para sarjana di dalam dan di luar negeri. Di UIN Jakarta, beberapa mahasiswa telah menulis tentangnya. Salah satunya adalah Anastasia Dansy Novitasari dalam skripsinya “Metode Pembelajaran Akhlak Menurut K.H Ahmad Dahlan dan Relevansinya dengan Pembelajaran Akhlak dalam Islam” (skripsi, Pendidikan Agama Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013). Dalam skripsinya tersebut Anastasia menjelaskan bahwa metode pembelajaran akhlak harus berpedoman pada al-Qur‟an dan Hadis, serta harus menggunakan akal pikiran sesuai jiwa ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat dari murid-murid K.H Ahmad Dahlan menggunakan metode pembiasaan. Selanjutnya, karya dari Lutfhi Hariyanto“Gagasan dan Upaya Pembaharuan K.H Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah” (Skripsi, 9 Aqidah Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, 2003). Pada skripsi tersebut penulis menyinggung pemikiran-pemikiran K.H Ahmad Dahlan sebagai pembaruan Islam, karena K.H Ahmad Dahlan bercita-cita untuk meluruskan pemahaman ajaran Islam yang sesuai ajaran Allah dan Rasulnyadan diimplementasikan amal dalam usaha K.H organisasi Ahmad Dahlan yang Muhammadiyah yang didirikannya. Selanjutnya, karya dari Ibnu Tsani“Islam dan Sosialisme Telaah Atas Pemikiran dan Aksi K.H Ahmad Dahlan” (Akidah Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009). Skripsi ini menjelaskan bahwa, sosialisme yang dipraktikkan oleh K.H Ahmad Dahlan lebih menitikberatkan sebagai etika sosial dan sosialisme Ahmad Dahlan bersumber dari kitab suci al-Qur‟an. Aksi-aksi sosialisme Ahmad Dahlan merupakan aksi perjuangan yang menegakkan hak-hak dasar manusia seperti hakatas pendidikan, hak atas kesehatan, dan hak atas penghidupan yang layak. Di samping skripsi yang telah dicantumkan di atas, ada beberapa buku yang sudah ditulis oleh sarjana. Di antaranya adalah: K.H Dahlan Amal dan Perjuangannya, karangan Junus Salam yang diterbitkan oleh Alwasath Publishing House, 2009. Buku ini menjelaskan bahwa gagasan-gagasan cemerlang K.H Ahmad Dahlan dapat terealisir melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya tahun 1912 M. K.H Ahmad Dahlan berusaha membebaskan 10 masyarakat Indonesia dari kebodohan, kesengsaraan, dan kemiskinan, melalui gerakan dakwah amar ma‟ruf nahi munkar yang di antaranya diwujudkan melalui jalur pendidikan. Selain buku tersebut ada juga buku Jejak Pembaharuan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan karangan Abdul Munir Mulkan yang diterbitkan oleh Kompas, Jakarta, 2010. Buku ini menjelaskan gerakan reformasi kemanusiaan K.H Ahmad Dahlan yang bersikap terbuka pada modernitas dan kemanusiaan. Gerakan reformasi kemanusiaan K.H Ahmad Dahlan bersumber dari ayat-ayat kitab suci dan sunah rasul. Lalu karangan Abdul Munir Mulkhan, buku yang berjudul Islam Kultural Kiai Dahlanyang diterbitkan oleh Grafindo, Jakarta, 2012. Buku ini menjelaskan, bagaimana K.H Ahmad Dahlan mewariskan kepada generasi pelanjut dakwah Islam dengan mendirikan organisasi yang kini berkembang pesat yaitu Muhammadiyah. Selain itu, K.H Ahmad Dahlan juga mengembangkan dakwah kultural dan muhammadiyah secara modern, terukur, dan maju. F. Metode penelitian Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode library research (studi kepustakaan). Dengan teknik ini, penulis berupaya mengumpulkan data-data yang terkait permasalahan yang akan dibahas pada skripsi ini seperti buku-buku atau artikel. 11 Metode analisa yang digunakan adalah metode deskriptif dan analitis. Deskriptif digunakan agar mampu memahami dan memberikan dan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan skripsi ini. Sementara analitis dipakai agar penulis dapat menyusun skripsi ini dalam bentuk yang sistematis sehingga mengena pada inti permasalahan. Adapun teknik penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Akademik Tahun 2011/ 2012 Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang disusun oleh Tim Penyusun Universitas Islam Negeri Syarif Hudayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh CeQDA tahun 2011. Sedangkan mengenai transliterasi penulisan skripsi ini mengacu pada sistem transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan oleh HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin). G. Sistematika Penulisan Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisa materi dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggambarkannya dalam sistematika penulisan di bawah ini: BAB I merupakan pendahuluan yang berisi tentang uraian permasalahan secara global dan menyeluruh mengenai materi, konteks, arah dan ruang lingkup pembahasan yang terdiri dari: latar belakang 12 masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II berisi tentang riwayat hidup K.H Ahmad Dahlan yang mencakup latar belakang kehidupan dan pendidikan, aktivitas sosial dan keagamaan. BAB III berisi tentang tinjauan umum tentang pendidikan Islam yang mengenai definisi pendidikan Islam, tujuan dan fungsi pendidikan Islam, metode dalam pendidikan Islam, masalah modernisasi pendidikan Islam. BAB IV merupakan kajian inti persoalan yang dikaji oleh penulis, berisi tentang pemikiran pendidikan Islam menurut K.H Ahmad yang meluputi integrasi ilmu dan amal, integrasi ilmu umum dan ilmu agama, kebebasan berfikir dan pembentukan karakter. BAB V berisi tentang penutup dari skripsi yang berisi kesimpulan dari pembahasan dengan memberikan jawaban atas rumusan dan batasan masalah yang telah dicantumkan pada bab pendahuluan. BAB II BIOGRAFI K.H AHMAD DAHLAN A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan K.H Ahmad Dahlan lahir pada tanggal 1 Agustus 1868 di desa Kauman, kota Yogyakarta dan meninggal 23 Februari tahun 1923. 1 Kauman ―tempat kelahiran dan tempat Ahmad Dahlan dibesarkan― adalah sebuah kampung yang terkenal di Yogyakarta, karena letaknya yang berdekatan dengan Masjid Agung Kesultanan Keraton. Selain letaknya yang strategis dekat dengan masjid, kampung ini juga terkenal dengan nuansa keagamaan yang konservatif. Kampung ini sangat berpengaruh besar dalam perjalanan hidup Ahmad Dahlan dikemudian hari. Sebagian besar penduduk Kauman dipenuhi oleh orang-orang Islam dengan mata pencaharian sebagai pedagang. Disini juga tempat tinggal guru-guru agama seperti imam, khatib, muazin, dan pegawai masjid.2 Kata “Kauman” berasal dari bahasa Arab yaitu “qaum” yang maknanya “pejabat keagamaan”. Daerah ini merupakan tempat tinggal para qaum, santri, serta ulamaulama Islam yang berkewajiban memelihara kemakmuran masjid.3 Kampung Kauman cukup makmur dari segi materi, karena mayoritas dari penduduknya adalah saudagar. Selain itu juga, warga 1 2 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2011), h. 293. Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h. 40. 3 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah (Jakarta: Depdikbud, 1985), h. 36. 13 14 Kauman mempunyai sikap yang fanatik dalam memahami agama Islam serta mereka anti terhadap penjajah.4 Ahmad Dahlan juga berasal dari Kauman namun ia mempunyai sikap yang lebih fleksibel. Dimasa kecil nama Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara, yakni adalah Nyai Khatib Arum, Nyai Muhsinah, Nyai Haji Soleh, Muhammad Darwis, Nyai Abdurrahman, Nyai Haji Muhammad Faqih dan Muhammd Basir.5 Darwis dilahirkan dari keluarga yang terpandang dan taat beragama dan terkenal di lingkungan kesultanan Yogyakarta. Ayahnya bernama K.H Abu Bakar bin Sulaiman dan ibunya adalah putri Haji Ismail. Ayahnya adalah seorang ulama dan khatib terkenal di masjid besar kesultanan di Yogyakarta, sedangkan ibunya adalah anak dari seorang penghulu besar kesultanan di Yogyakarta.6 Dari garis keturunan ibunya, Muhammad Darwis merupakan cucu dari penghulu keraton Yogyakarta yaitu K.H Ibrahim. Sedangkan dari garis keturunan ayahnya, Muhammad Darwis termasuk keturunan kedua belas dari seorang wali besar dan seorang yang terkemuka di antara wali songo, yaitu Maulana Malik Ibrahim. Silsilah dari ayahnya ialah: Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana „Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman, Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurug Djuru Sapisan, Demang 4 Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 41. Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 42. 6 Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan K.H Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh LainnyaPemecahan Problema Pendidikan Bangsa(Jakarta Selatan: Pustaka Kajian Islam, 2009),h. 402. 5 15 Djurug Djuru Kapindo, Kiayi Ilyas, Kiayi Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan).7 Dari silsilah tersebut menjadi jelas bahwa Muhammad Darwis memang memunyai darah ulama yang kuat yang mengalir dalam tubuhnya.8 Muhammad Darwis pada masa kecilnya terkenal sebagai seorang anak yang pintar, rajin, jujur dan suka menolong. Ia sangat kreatif dalam membuat barang-barang kerajinan tangan dan permainan, sehingga masyarakat Kauman menamakan dirinya seorang anak yang ulet, pandai dengan kelebihannya yang bisa memanfaatkan sesuatu. Muhammad Darwis berkarya bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi kesenangannya dibagi-bagikan kepada teman-temannya dan saudarasaudaranya. Sejak masa kanak-kanak, jiwa sosial telah bersemi pada diri Muhammad Darwis. Kelebihan dan jiwa sosial itulah yang menjadikan Muhammad Darwis sering tampil sebagai pemimpin bagi teman-temannya.9Djarnawi Hadi Kusumo menggambarkan sosok K.H Ahmad Dahlan sebagai berikut: Orangnya agak kurus tinggi, raut mukanya bulat telur, dan kulitnya hitam manis, hidungnya mancung dengan bibir elok bentuknya. Kumis dan jenggotnya rapih, kacamata putih selalu melekat di depan matanya yang tenang, tetapi menembus hati siapa saja yang memandangnya. Cahaya matanya memancarkan kasih sayang dan keikhlasan yang tiada taranya. Sinar yang terang menandakan kedalaman ilmunya terutama dalam bidang tasawuf, 7 Junus Salam, K.H Ahmad Dahlan Amal dan Perdjoeangannja (Jakarta: Depot Pengadjajaran Muhammadiyah, 1968), h.56. 8 Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 39. 9 Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah(Jakarta: Media Utama, 2010), h. 51. 16 seolah-olah setiap gerakannya dapat ditandai bahwa dia kurang tidur asyik membaca atau berdzikir kepada Allah, serba teliti dan hati-hati dalam setiap perbuatan dan langkahnya.10 Ketika berumur tujuh tahun, Darwis belajar menulis, membaca kitab, mengaji al-Qur‟an dan memperoleh pendidikan keagamaan dari ayahnya sendiri dan guru-guru yang lain. Muhammad Darwis berhasil menyelesaikan bacaan al-Qur‟an dan mengahafal 20 sifat-sifat Allah ketika ia berumur delapan tahun.11 Selain belajar pesantren yang dipimpin oleh ayahnya di kampung Kauman, Muhammad Darwis juga dikirim oleh ayahnya untuk belajar di luar Yogyakarta. Karena itu, Muhammad Darwis belajar ilmu fiqih (hukum Islam) dari Kiai Haji Muhammad Shaleh, ilmu nahwu (sintaksis bahasa Arab) dari Kiai Haji Muksin, ilmu falak (astronomi) dan geografi dari Kiai Raden Haji Dahlan, qira‟ah (seni membaca alQur‟an) dari syaikh Amin dan Syaid Bakri dan ilmu hadis (nilai-nilai dari ketradisian Nabi Muhammad) dari Kiai Mahfudh dan syaikh Khayyat. Walaupun Muhammad Darwis mempelajari berbagai bidang ilmu, akan tetapi ia sangat tertarik sekali pada ilmu falaq dan mendalami ilmu itu.12 Pada abad ke-19, tradisi masyarakat Kauman mengirimkan anakanaknya kepada guru atau para ulama untuk menuntut ilmu. Pada masa itu ada berbagai guru: guru mengaji al-Qur‟an, guru kitab dan 10 Djarnawi Hadi Kusumo, Matahari-matahari Muhammadiyah (Yogyakarta: Persatuan, t.t), h. 3. 11 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 43. Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 43-44. 12 17 guru tarekat.13 Sebelum mengirim putra-putrinya ke sekolah pendidikan formal dasar, pendidikan dasar agama Islam diajarkan dilingkungan keluarga. Misalnya, ketika anak-anak berumur empat atau lima tahun, anak-anak diajak cara membaca al-Qur‟an, dengan memanfaatkan rumahnya sendiri sebagai tempat mengaji dan belajar agama.14 Anak-anak Kauman termasuk Muhammad Darwis, tidak pernah dimasukkan ke sekolah formal, meskipun banyak sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda yang dikenal sebagai sekolah Gubernemen. Hal ini disebabkankarena masyarakat Kauman menganggap sekolah-sekolah tersebut sebagai sekolah orangorang kafir dan mengirimkan anak ke sekolah Belanda, dianggap sebuah penyimpangan. Pada masa itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa umat Islam tidak diperbolehkan mengikuti pendidikan, pergaulan serta meniru gaya berpakaian Barat (misalnya bercelana panjang, berjas, berdasi, bertopi, dan sebagainya).15 Inilah yang menjadi alasan ayah Darwis tidak memasukkan putra-putrinya ke sekolahBelanda.Pendapat di atas didasarkan atas hadits Nabi Saw, yakni: .َه ْن تَ َشبوَ بِقَىْ ٍم فَه َُى ِه ْنهُ ْن 13 14 Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 42. Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 14. 15 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 43. 18 Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk mereka.16 [HR. Abu Dawud]. Tasyabbuh di dalam hadits di atas artinya menyerupai atau meniru orang kafir dalam masalah keyakinan, ibadah, kebiasaan, atau modelmodel perilaku yang merupakan ciri khas mereka. Ketika berumur 15 tahun, Darwis memutuskan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar ilmu-ilmu agama.Biaya perjalanan dan keperluan Muhammad Darwis ke tanah suci ditanggung oleh kakak iparnya yaitu kiai Haji Soleh. Darwis bermukim di Mekkah selama lima tahun.17 Pada tahun 1888, Darwis memutuskan untuk kembali ke Kauman dan bertemu dengan gurunya, Sayyid Bakri Syatha. 18Pada saat itu sang guru memberikan nama baru untuk Muhammad Darwis yakni Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang ulama yang terkenal Mazhab Syafi‟i di Mekkah, yaitu Ahmad binZaini Dahlan.19 Sepulang dari Mekkah, Ahmad Dahlansibuk dengan kegiatan pendidikan agama. Pada siang hari setelah Zhuhur dan malam hari setelah Maghrib sampai Isya, Ahmad Dahlan membantu ayahnya memberi pelajaran mengaji kepada anak-anak dan remaja. Sementara itu, pada sore hari sesudah Ashar, Ahmad Dahlan mengikuti pelajaran 16 As-shona‟anii, Subulus Salam (Bairut: Darul Kutub Alamiyah, 1971), h. 267/4. Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, h. 51. 18 Abdul Munir Mulkan dan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan (Jakarta: Kompas, 2010), h.17. Sayyid Bakri Syatha adalah salah satu ulama yang ahli dalam bidang ilmu qira‟ah. 19 Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, h. 51. 17 19 ayahnya yang diperuntukkan bagi orang-orang tua. Tetapi, jika ayahnya berhalangan tidak bisa mengajar, Dahlan yang menggantikan untuk mengajar. Lama-kelamaan Ahmad Dahlan dipanggil kiai oleh anak-anak, remaja maupun orang tua. Alasan mereka memanggil dengan sebutan nama kiai, karena Ahmad Dahlan memilki keahlian pada bidang agama Islam dan memberikan keahliannya kepada para santri.20 Selain itu, Kegiatan Ahmad Dahlan tidak hanya mengajar saja melainkan juga berdagang. Ia pernah berdagang batik ke kota-kota di Jawa pada tahun 1892. Usaha perdagangan batik ini dimodali oleh ayahnya. Usaha yang dilakoninya berkembang dengan baik, yang awalnya hanya berdagang di kota-kota Jawa akhirnya semakin maju sampai ke daerah Sumatra bagian Utara. Sambil berdagang Ahmad Dahlan melakukan syiar agama. Di setiap kota yang dikunjunginya, ia selalu menyempatkan diri untuk bersilatuhrahmi kepada para ulama setempat dan berdisukusi tentang ajaran Islam.21 Pada tahun 1896, ayah Ahmad Dahlan meninggal dunia. Semasa hidup sang ayah menjabat sebagai khatib di masjid kesultanan Yogyakarta. Sepeninggalnya, posisi khatib dilanjutkan oleh Ahmad Dahlan. Hal itu karena Ahmad Dahlan pernah mendalami ilmu agama dan meneruskan pelajarannya di Mekkah, maka Ahmad Dahlan 20 Abdul Munir Mulkan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, h.18. 21 Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, h. 54-55. 20 diangkat untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai khatib di masjid kesultanan Yogyakarta oleh Sultan Hamengkubuwono VII. Di antara tugasnya adalah melaksanakan khutbah Jum‟at secara bergantian dengan delapan orang teman khatib lainnya, piket di serambi masjid dengan enam orang temannya dalam waktu seminggu sekali, dan menjadi anggota dewan agama Islam hukum keraton.22 Jabatan sebagai khatib hanya merupakan penghormatan karena khatib tidak bergaji. Ia hanya diberi uang penghormatan atau honorarium yang jumlahnya tidak banyak, yaitu tujuh gulden.23 Ahmad Dahlan memanfaatkan jabatan sebagai seorang khatib untuk menyebarluaskan pemikirannya tentang Islam kepada masyarakat. Keteladanan, kejujuran, serta perhatiannya kepada masalah-masalah sosial pada waktu itu, menjadikan Ahmad Dahlan semakin disukai banyak orang sehingga ia dijuluki “khatib amin” yang artinya “khatib yang dapat di percaya”.24 Sebagai seorang khatib, K.H Ahmad Dahlan meluangkan waktu untuk terus mendalami ilmu agama, khususnya ilmu falaq dan ilmu hisab dari Kiai Haji Saleh Darat yang berasal dari Semarang. K.H Ahmad Dahlan berkata: Bahwa ilmu itu tidak pernah kering-keringnya untuk dipelajari, semakin dipelajari suatu ilmu itu semakin dirasakan kekurangannya. Manusia itu harus selalu menuntut ilmu, ibarat 22 Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 44. Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 49. 24 Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 44. 23 21 mulai dari dilahirkan sampai masuk liang kubur. Orang tidak pernah tua dalam menuntut ilmu.25 Keinginan untuk terus memperdalam ilmu agama sangat besar dalam diri K.H Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, Ahmad Dahlan kembali berangkat ke Mekkah untuk menunaikan Ibadah Haji yang kedua kalinya dan memperdalam ilmu agama di Mekkah.26 Di sana, Ahmad Dahlan bertemu dengan beberapa ulama Indonesia dan membicarakan berbagai masalah sosial keagamaan, termasuk masalah yang terjadi di Indonesia. Di antara ulama tersebut adalah Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kiai Nawawi dari Banten, Kiai Mas Abdulah dari Surabaya dan Kiai Faqih Kumambang Gresik.27 Ahmad Khatib selalu mendorongnya untuk memperbaiki sistem pengajaran agama Islam di Indonesia dan mengubahnya dari cara tradisional yang dianggap sudah ketinggalan zaman dengan cara modern. Menurut Ahmad Khatib, agama Islam itu sebenarnya agama kemajuan dan dapat disesuikan dengan zaman baru.28 Selain itu, Ahmad Dahlan juga sempat bertemu dengan Rasyid Rida, seorang tokoh dan pemikir pembaharuan Islam di Mesir. Dengan Rasyid Rida, Dahlan sempat berputar pikiran mengenai pembaharuan Islam di dunia. Menurut Rasyid Rida, pembaharuan Islam harus menitikberatkan kepada pemurnian tauhid (keesaan Allah) 25 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 49 Abdul Munir Mulkan dan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, h.17. 27 Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 46. 28 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 48. 26 22 tidak beriman secara taqlid (secara membabi buta percaya kepada keterangan seseorang tanpa mengetahui landasan yang primer). Halhal ini juga dipikirkan oleh Ahmad Dahlan. Dari kunjungan yang kedua inilah, Dahlan membawa semangat pembaharuan dan diterapkan di tanah air, serta memberikan jawaban terhadap problemaproblema sosial keagamaan yang dihadapi. Setelah pertemuan dengan Rasyid Rida, Ahmad Dahlan juga memperdalam pemikiran Muhammad Abduh dan Ibnu Taimiah yang dipublikasikan di majalah al-„Urwatul Wutsqa (tali yang kuat) dan al-Manar (mercu suar).29 Pada tahun 1905, Ahmad Dahlan balik ke kampung Kauman, dan kembali melaksanakan fungsinya, baik sebagai khatib amin, maupun sebagai dai. Aktivitasnya antara lain membangun pondok untuk anakanak yang ingin belajar agama Islam secara umum maupun ilmu lain, seperti ilmu falaq, tauhid, dan tafsir.30 Di samping itu, selain melakukan aktivitas sosial keagamaan, K.H Ahmad Dahlan terus belajar untuk memperluas wawasannya dengan membaca buku atau kitab dan mengkaji buku-buku. Diantaranya: Kitab Tauhid, Tafsir al-Manar, Tafsir Juz Amma, al-Islam WalNasharaniyahkarya Syeikh Muhammad Abduh, Kanzul al-Ulum, Dairah al-Ma‟arifkarya Farid Wajdi, Kitab fi al-Bid‟ah, al-Tawaasul Wal-Wasilah karya-karya Ibnu Taimiyah, Izhar al-Haq karya Rahma al-Hindi, Tafshil al-Nasyatin Tashil al-sa‟adatain, Matan Al-Hikmah karya Atha Allah, dan al-Qashaid al- Aththaisyyah karya Abdul al29 Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 44.45. Abdul Munir Mulkan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, h.20. 30 23 Athas.31Dari kitab-kitab tersebut,kitab yang paling K.H Ahmad Dahlan sukai adalah Tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh dan Rasyid Rido. Tafsir al-Manar menjelaskan ide-ide pembaruan Islam pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20.32 B. Aktivitas Sosial Keagamaan K.H Ahmad Dahlan tidak mengenal lelah dalam mencari ilmu dan mengamalkannya pada masyarakat. Ahmad Dahlan dikenal sebagai seorang ulama dan seorang pedagang yang tidak lepas dari aktivitas sosial keagamaan.33 Menurut Ahmad Dahlan, sebagai seorang pedagang ia mempunyai kesempatan besar untuk melakukan aktivitas sosial keagamaan. Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke luar Kauman untuk berdagang dan perjalanan tersebut, ia bertemu dengan ulama, kyai dan tokoh-tokoh umat Islam. Mereka saling bertukar pikir tentang berbagai disiplin ilmu, antara lain ilmu agama, sosial maupun permasalahan yang ada di sekitar masyarakat setempat. Karena kegemarannya menjalin silatuhrami di luar orang-orang kampung Kauman, Ahmad Dahlan semakin popular di luar masyarakat Kauman. 31 Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan,h.18. 32 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 45. 33 Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 20. 24 Aktivitas sosial keagamaan, dilakukan setelah kedatangan Ahmad Dahlan dari Mekkah yang pertama.34 Sebagai seorang khatib, Ahmad Dahlan menyampaikan ide pembaharuan tentang kekeliruan arah kiblat salat yang sebenarnya. Banyak masjid di Jawa yang arah kiblatnya selama ini menghadap kearah Barat, padahal seharusnya menghadap ke arah Barat Laut. Hal ini sesuai dengan perhitungan ilmu falaq. Untuk mewujudkan gagasan ini, Ahmad Dahlan mendiskusikan pandangannya tentang arah kiblat dalam forum pengajian orangtua yang dipimpin oleh kyai Lurah H. M. Nur, seorang ulama yang terkenal di Yogyakarta.35 Forum tersebut dilaksanakan pada tahun 1898. Ahmad Dahlan mengundang 17 ulama yang ada di sekitar kota Yogyakarta untuk membicarakan arah kiblat di surau milik keluarganya di Kauman. Untuk diskusi ini para ulama mempersiapkan kitab-kitab agama. Forum ini disepakati hanya menjadi ajang tukar pikir dan tidak untuk mengambil keputusan apapun. Tetapi beberapa hari setelah musyawarah, lantai Masjid Agung di Kauman telah digaris dengan kapur putih setebal 5 cm yang menunjuk kearah Barat Laut. Kejadian ini membuat kyai penghulu H. M. Khalil Kamuludiningrat meminta garis ini dihapus.36 Setelah itu, Ahmad Dahlan dipanggil oleh kyai Khalil dan ditanya tentang masalah pembuatan garis di lantai Masjid 34 Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan Organisasi(Surakarta: LPID, 2008), h. 31. 35 Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 49. 36 Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 19. 25 Agung. Ahmad Dahlan menjelaskan bahwa dirinya tidak mengetahui sama sekali tentang peristiwa ini. Di kemudian hari diketahui bahwa ada beberapa pemuda yang memang membuat garis dilantai Masjid Agung tersebut. Menghadapi peristiwa ini, Ahmad Dahlan berdiskusi dengan Sayyid Utsman al-Habsyi, seorang ahli geografi di Batavia. Ahmad Dahlan juga pergi ke kantor Observatorium di Lembang Bandung dalam rangka memerkuat pemikirannya tentang arah kiblat yang salah itu.37 Untuk merealisasikan ide pembaharuanya, pada tahun 1899 Ahmad Dahlan merenovasi arah kiblat milik keluarganya di Kauman ke arah Barat Laut. Beberapa bulan setelah pembangunan selesai, datanglah kyai penghulu H.M. Khalil ke surau untuk menemui Ahmad Dahlan dan meminta agar surau itu dibongkar karena arah kiblatnya tidak sama dengan Masjid Agung Yogyakarta, tetapi Ahmad Dahlan menolak perintah kyai H. M Khalil. Pada akhirnya surau itu dibongkar secara paksa pada malam hari itu juga.38 Walaupun diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan mendapat banyak hiburan dari keluarga agar cita-citanya tidak padam. Akhirnya Ahmad Dahlan membangun kembali surau tersebut sesuai dengan arah kiblat Masjid Agung Yogyakarta, sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan membuat garis petunjuk di bagian dalam masjid. K.H Ahmad Dahlan berkata: “Kalau mereka belum suka 37 Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 50. Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 20. 38 26 menerima ilmuku yang benar, di belakang hari mereka akan insaf dan menuruti pendapatku yang menurut ilmu itu”.39 Walaupun idenya ditolak oleh masyarakat Kauman, perjuangan Ahmad Dahlan tidak berhenti sampai di sini. Ia berusaha memperbaiki sikap hidup masyarakat dengan mengajarkan ajaran-ajaran sosial dan agama, seperti: gotong royong, menyantuni fakir miskin dan anak yatim piatu, tolong menolong, dan sebagainya. Untuk menanamkan sifat-sifat itu, Ahmad Dahlan juga mempratikkan hal ini secara langsung, agar masyarakat mempunyai nilai-nilai positif yang terkandung dalam Islam.40 Menurut Ahmad Dahlan, agama Islam tidak akan bisa tegak tanpa diperjuangkan melalui sebuah wadah (organisasi). Demikian pula perjuangan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda, harus disertai meningkatkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan melalui lembaga pendidikan. Akhirnya, Ahmad Dahlan memberi nasihat kepada masyarakat untuk beramal, berorganisasi, dan berpegang pada prinsip “senantiasa mempertanggungjawabkan tindakan kepada Allah”.41 Hal ini berarti tindakan manusia hendaknya senantiasa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah Swt. dalam bentuk syariah. 39 Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 50-51. Farid Ma‟ruf, Analisa Akhlak dalam Perkembangan Muhammdiyah(Jakarta: Majlis Taman Pustaka, 1962), h. 10. 41 Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, h. 62. 40 27 Pada tanggal 20 Mei 1908, lahir sebuah organisasi yang bernama Budi Utomo yang didirikan oleh Dr.Wahidin Sudirohusodo.42 Budi Utomo diawali kata “budi” yang berarti “perangai” atau “tabiat” dan “utomo” yang berarti “baik” atau“luhur”. Jadi Budi Utomo adalah perkumpulan yang akan mencapai sesuatu berdasarkan keluhuran budi, kebaikan perangai atau tabiat. Organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan, sosial budaya, dan ekonomi. Tujuan awal organisasi ini adalah untuk mencapai kemerdekaan Indonesia khusunya di Jawa. Karena ketika itu, ide persatuan seluruh Indonesia masih belum dikenal. Dr. Wahidin Sudirohusodo, lahir pada tanggal 7 Januari 1852 di desa Mlati Sleman, kota Yogyakarta dan wafat pada tangga 26 Mei 1917. Ia menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di Yogyakarta dan melanjutkan belajarnya di Europeesche Lagere School di Yogyakarta. Karena hasrat belajarnya yang besar dan kecintaannya pada dunia medis dan keinginan untuk menolong sesama, Dr. Wahidin lalu memutuskan untuk melanjutkan studinya ke sekolah dokter ke Jawa atau yang dikenal juga dengan sebutan STOVIA di Jakarta.43 Ahmad Dahlan mengenal Budi Utomo melalui Joyosumarto.44 Joyosumarto adalah salah satu anggota Budi Utomo dan pembantu Dr. Wahidin Sudirohusodo di bidang kedokteran. Ketika itu, Joyosumarto 42 Prodjokusumo, Pemesyarakatan Tradisi, Budaya dan Politik Muhammadiyah (Jakarta, Perkasa, 1995), h. 77. 43 Ahmad Fauzi Ramdani, “Gerakan Budi Utomo 1908,” http://mahasiswamuslimgarut.blogspot.co.id, Artikel Diakses Pada Tanggal 18 Maret 2016 44 Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan(Surakarta: LPID, 2008), h. 58. 28 sedang berkunjung ke Kauman untuk bersilatuhrami kepada keluarganya, lalu Ahmad Dahlan melihat Joyosumarto dan mengajak untuk singgah di rumahnya. Dalam pertemuan tersebut, Joyosumarto menceritakan organisasi Budi Utomo yang memunyai tujuan untuk membenahi sistem pendidikan, sosial budaya dan ekonomi. Cerita tersebut mendorong Ahmad Dahlan bertemu dengan pemimpin Budi Utomo. Berkat Joyosumarto, Ahmad Dahlan bertemu Dr. Wahidin Sudirohusodo. Walaupun belum menjadi anggota organisasi ini, Ahmad Dahlan sering menghadiri rapat anggota maupun pengurus yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di Yogyakarta.45 Dari pertemuan-pertemuan ini, Ahmad Dahlan sedikit demi sedikit mengenal aktivitas organisasi Budi Utomo. Dari pertemuan ini, ia membahas pelajaran di sekolah yang harus diperbaiki dan badan wakaf untuk mengumpulkan uang guna membantu anak-anak yang terlantar pendidikannya dan mendirikan sekolah.46 Ahmad Dahlan resmi menjadi anggota Budi Utomo pada tahun 1909. Ahmad Dahlan tidak hanya sebagai anggota Budi Utomo, tetapi ia juga menjadi anggota komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo cabang Yogyakarta.47 Menurut Ahmad Dahlan, selama ia mengikuti 45 Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, h. 72. 46 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 59. 47 Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, h. 72. 29 pertemuan resmi Budi Utomo, ia mendapatkan ilmu pengetahuan dan pengalaman bagaimana memimpin organisasi.48 Walaupun sebagai seorang khatib dan anggota Budi Utomo Ahmad Dahlan tetap aktif dalam kegiatan sosial keagamaan. Ahmad Dahlan sering memanfaatkan forum pertemuan pengurus Budi Utomo sebagai tempat untuk menyampaikan informasi tentang agama Islam. Hal ini menarik perhatian para pengurus maupun anggota Budi Utomo. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah acara resmi selesai. Upaya Ahmad Dahlan tidak sia-sia. Salah satu pengurus Budi Utomo R. Sosrosogondo, yang sedang menjabat sebagai guru di salah satu sekolah negeri yaitu Kweekschool Jetis Yogyakarta, tertarik pada agama Islam.49 Dengan hadirnya R. Sosrosogondo, Ahmad Dahlan juga menyampaikan pelajaran agama Islam, khususnya kepada para pemuda yang akan menjadi penerus sebagai pemimpin bangsa. Karena pemuda-pemuda Indonesia di masa depan akan menduduki jabatan penting dalam konstelasi negara dan masyarakat.50 Berkat bantuan R. Sosrosugondo, pada tahun 1910, Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di Kweekschool. Pelajaran agama Islam di Kweekschool dikategorikan sebagai pelajaran ekstra kurikuler dan dilaksanakan pada Sabtu sore dan Minggu pagi.51 Peristiwa ini 48 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 59. Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, h. 76. 50 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 66. 51 Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan Organisasi, h. 59. 49 30 merupakan pertama kali diajarkan agama Islam di sekolah negeri. Melalui cara ini, Ahmad Dahlan berharap agar ia mengajar agama Islam disekolah-sekolah pemerintah, karena anggota-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah dan di kantor-kantor pemerintah. Selain itu, Ahmad Dahlan juga mengaharapkan kepada anggota Budi Utomo yang pernah diajarnya menyampaikan pelajaran kepada murid-murid mereka. Pada tahun 1910, selain Budi Utomo, Ahmad Dahlan juga pernah mengikuti organisasi yaitu Jami‟at Khair (organisasi masyarakat Arab di Indonesia) yang didirikan pada tahun 1905 di Jakarta, dipimpin oleh Abu Bakar bin Ali Syahab. Meskipun organisasi ini mayoritas anggotanya orang-orang Arab, namun organisasi ini terbuka untuk umat Muslim dari mana saja. Selain belajar berorganisasi secara modern di kalangan orang-orang Islam, namun ia juga mendapatkan pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama yang berhubungan dengan pendirian dan pengolalaan lembaga pendidikan modern. Di samping itu, Jami‟at Khair juga membangun hubungan silatuhrami untuk bertukar pikir kepada pemimpin di negara-negara Islam yang sudah maju seperti Turki, Mesir dan lainya.52 Pengalaman berorganisasi di Budi Utomo dan Jami‟at Khair, memberikan pelajaran kepada siswa di Kweekschool dan didukung oleh perkembangan pendapat masyarakat umumpada waktu itu yang 52 Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan Organisasi, h. 24. 31 mulai menyadari bahwa pendidikan sangat penting. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan memunculkan ide pembentukan sebuah sekolah yang memadukan pelajaran ilmu agama Islam dan ilmu umum.53 Akhirnya pada tanggal 1 Desember tahun 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah sekolah yang bernama “Madrasah Ibtidayah Diniyah Islamiyah” di Yogyakarta.54 Sekolah ini mendapatkan dukungan dari pengurus dan anggota Budi Utomo. Di samping itu, para pengurus dan anggota Budi Utomo juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk meminta subsidi kepada pemerintah jika sekolah yang didirikan itu sudah teratur.55 Sekolah tidak hanya mengajarkan pengetahuan Agama saja tetapi juga mengajarkan ilmu pengetahuan umum, seperti berhitung, ilmu bumi dan sebagainya.56 Lembaga pendidikan yang baru saja didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan perhatian yang lebih lanjut agar dapat terus berkembang. Dalam kondisi seperti ini, Ahmad Dahlan mempunyai suatu ide pembentukan organisasi untuk mengelola sekolah tersebut. Ide pembentukan suatu organisasi ini didiskusikan dengan Budi Utomo, guru Kweekschool dan murid Kweekschool Jetis. Diskusi ini memfokuskan upaya mencari dukungan, persoalan nama organisasi, tujuan, tempat kedudukan dan pengurus organisasi yang akan 53 Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 22. 54 Abdul Munir Mulkhan, Islam Kultural Kiai Dahlan, h. 38. 55 Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 24. 56 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 70. 32 dibentuk.57 Dari pembicaraan ini disepakati beberapa hal yang berhubungan dengan rencana pembentukan suatu organisasi tersebut, yaitu perlu didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta. Para siswa Kweekschool tetap mendukung Ahmad Dahlan, tetapi mereka tidak akan menjadi pengurus organisasi yang akan didirikan karena adanya larangan dari inspektur kepala dan adanya anjuran supaya diambil dari orang-orang yang sudah dewasa. Budi Utomo akan membantu pendirian perkumpulan baru tersebut.58 Pada bulan-bulan akhir tahun 1912, persiapan pebentukan sebuah perkumpulan dilakukan dengan lebih intensif, melalui pertemuanpertemuan yang secara eksplisit membicarakan dan merumuskan masalah seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi Utomo dalam proses formalitas yang berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda. Melihat luhurnya cita-cita Ahmad Dahlan, organisasi yang ingin dibentuk tidak hanya bertujuan untuk mengelola sekolah yang sudah dibentuk terlebih dahulu tetapi pembentukan organisasi ini harus berkembang lebih luas, penyebaran dan pengajaran agama Islam secara umum serta aktivitas sosial lainnya.59 Akhirnya Ahmad Dahlan mendirikan organisasi “Muhammadiyah”. Organisasi ini didirikan pada tanggal 18 57 Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 24-25. 58 Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, h. 28. 59 Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 25. 33 November 1912 di Yogyakarta, diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat seperti, pejabat pemerintah kolonialis, maupun para pejabat dan kerabat keraton Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman. Setelah itu, ada sembilan pengurus inti di Muhammadiyah yaitu, Ahmad Dahlan, Abdullah Sirat, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Muhammad Fakih. Ahmad Dahlan menyebarluaskan Muhammadiyah melalui tabligh dan relasi-relasi dagang yang dimilikinya ke berbagai kota. Muhammdiyah mendapatkan sambutan besar di berbagai kota di Indonesia, sehingga ulama-ulama berbagai daerah berdatangan kepadanya untuk memberi dukungan kepada Muhammadiyah. Atas dukungan tersebut, pada tangga 7 Mei 1921 Ahmad dahlan mengajukan permohonan ke pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang Muhammdiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda tanggal 2 September 1921.60 60 Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 26 dan 54. BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN ISLAM A. Pengertian Pendidikan Islam Islam adalah agama universal yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun akhirat.1 Salah satu ajaran Islam adalah mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Karena menurut ajaran Islam, pendidikan adalah bekal hidup manusia yang harus dipenuhi, demi mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Selain itu, Allah juga menyarankan kepada umat Islam untuk belajar baca tulis dan ilmu pengetahuan, seperti ayat al-Qur‟an yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad yaitu surat Al-Alaq 1-5, yang artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada (manusia)apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. Al-Alaq 1-5). Maksud dari ayat di atas yaitu Allah menginginkan umat Islammenjadi umat yang pandai yang berawal belajar dari baca tulis dan diteruskan belajar berbagai ilmu pengetahuan. Selain belajar, Allah juga menyarankan kepada umat Islam untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Seperti hadis di bawah ini: 1 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 98. 34 35 )ضعُىْ ا لِ ُو َعلِّ ِو ْي ُك ْن َولَ ِّينُىْ ا لِ ُوتَ َعلِّ ِو ْي ُك ْن (رواه الطبرانى َ تَ َعل ُوىْ ا َو َعلِّ ُوىْ ا َوتَ َىا Artinya: “Belajarlah dan kemudian ajarkanlah kepada orang-orang lain, serta rendahkanlah dirimu kepada guru-gurumu, serta berlaku lemah lembutlah kepada murid-muridmu”2 Beberapa tokoh Muslim memberikan pendapat tentang pendidikan Islam. H.M Arifin berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah “proses mengarahkan dan membimbing anak didik ke arah pendewasaan pribadi yang beriman, berilmu pengetahuan dan saling mempengaruhi perkembangan kehidupannya untuk mencapai cita-cita sampai titik optimal kemampuannya”.3 Selanjutnya, Dr. Muhammad Isa Ibrahim menyatakan pendidikan Islam adalah “sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang yang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam”.4 Dr. Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah “bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain agar ia berkembang maksimal sesuai dengan ajaran Islam”.5 Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan proses bimbingan jasmani dan rohani kepada peserta didik untuk membentuk kepribadian yang berakhlak mulia dan 2 Urip Santoso, “Kumpulan Hadist Tentang Ilmu,” Artikel diakes pada tanggal 14 Agustus 2016 dari http://darussalambengkulu.wordpress.com 3 H.M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teortis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Akasara, 1991), h. 10. 4 H.M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 3. 5 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 3. 36 pengembangan potensi sesuai ajaran Islam. Proses pendidikan dalam Islam merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi kemampuan-kemampuan yang mendasar, serta kemampuan belajar, sehingga terjadilah di dalam kehidupannya sebagai makhluk individu dan sosial sampai ketitik optimal. Proses tersebut senantiasa berada di dalam nilai-nilai Islami, yang menuju peningkatan harkat dan martabat manusia sesuai dengan fitrah kejadiannya serta berakhlakul karimah.6 Pendidikan Islam sering dihubungkan dengan tiga konsep, yaitu “al-tarbiyah”, “al-ta‟lim” dan “al-ta‟dib”. Kata “al-tarbiyah” berasal dari “Rabba”, “yurabbi”, “tarbiyyatan” yang artinya pendidikan. Menurut istilah al-tarbiyah adalah mengasuh, mendidik, memelihara, membesarkan dan memimpin.7 Sedangkan, menurut Abuddin Nata altarbiyah adalah “proses bimbingan terhadap potensi manusia baik berupa fisik, intelektual, sosial, estetika, dan spiritual yang terdapat pada peserta didik, sehingga dapat tumbuh dan terbina secara maksimal, melalui cara memimpin, mendidik dan mengasuh agar dapat menjadi bekal dalam menghadapi kehidupan di masa depan”.8 Pemahaman tersebut diambil dari ayat al-Qur‟an surat Al-Isra ayat 24 yang artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.(Q.S. Al-Isra 24). 6 Aminudin Rasyad, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Depag RI, 1986), h. 3. 7 Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam(Jakarta: Kencana, 2006), h. 10-11. Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 8 h. 8. 37 Maksud ayat di atas menjelaskan bahwa seorang anak sudah seharusnya berperilaku sopan dan santun kepada orang tua tanpa terkecuali, karena merekalah yang sudah merawat kita di waktu kecil. Selain itu, orang tua juga harus memberikan didikan yang baik sesuai dengan nilai-nilai agama, karena semua itu demi kebaikan orang tua serta anak. Kemudian al-ta‟lim yang berasal dari kata “„allama, yu‟allimu, ta‟liman” yang artinya pengajaran.9 Sedangkan menurut istilah “alta‟lim” adalah pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan. Sementara itu, Muhammad Rasyid Rida mengartikan “al-ta‟lim” adalah “proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu”.10 Pengertian ini diambil dari ayat alQur‟an surat Al-Baqarah ayat 31 yang artinya: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar. (Q.S Al-Baqarah 31). Ayat di atas menjelaskan, bahwa Allah telah mengajarkan ilmu pengetahuan serta benda-benda yang ada di sekitarnya kepada manusia. Setelah itu, manusia mengembangkannya lewat pengalaman dan pelajaran yang tidak lepas dari bimbingan Allah Swt. 9 Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, h. 18. Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, h. 11. 10 38 Selanjutnya, “al-ta‟dib”berasal darikata “addaba, yu‟addibu, ta‟diban”yang berarti mengajarkan sopan santun. Sedangkan menurut istilah al-ta‟dib adalah proses mendidik yang memfokuskan kepada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti.11 Menurut AlAttas, al-ta‟dib adalah “pendidikan sebagai sarana transformasi nilainilai akhlak mulia yang bersumber pada ajaran agama ke dalam diri manusia, setelah menjadi dasar bagi terjadinya proses Islamisasi ilmupengetahuan”.12 Pengertian ini didasarkan oleh hadis Nabi Saw: اَدبَنِي َربِّي فأَحْ سنَ تَأْ ِدبِي Artinya: “Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku.” Hadis ini memberikan pandangan bahwa kompetensi Muhammad seorang rasul dan misi utamanya adalah pembinaan akhlak. Sehingga, implikasinya terhadap seluruh aktifitas pendidikan Islam seharusnya memiliki relevensi dengan peningkatan kualitas budi pekerti sebagaimana yang diajarkan Rasulullah. Dari ketiga kata tersebut “al-tarbiyah”, “al-ta‟lim” dan“al-ta‟dib” mempunyai pengertian yang berbeda. Pengertian “al-tarbiyah” memfokuskan pada bimbingan anak, penyampaian ilmu yang menggunakan metode mudah diterima sehingga dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dan mengembangkan potensinya sejak dini. Selanjutnya, “al-ta‟lim” memfokuskan kepada penyampaian ilmu 11 Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bina Ilmu, 2004,) h. 4-5. Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, h. 14 12 39 pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian dan belajar bertanggungjawab kepada anak serta keterampilan dalam hidupnya sangat dibutuhkan. Kemudian, “al-ta‟dib” adalah penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik. Kesimpulan di atas bahwa “al-tarbiyah”, “alta‟lim” dan “al-ta‟dib” mempunyai satu tujuan dalam dunia pendidikan yaitu menghantarkan anak didik menjadi yang seutuhnya, sehingga mampu mengarungi kehidupan dengan baik. B. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam Berbicara mengenai tujuan terkait dengan sesuatu cita-cita atau maksud yang ingin dicapainya. Sebelum melakuan kegiatan, tujuan tersebut harus direncanakan agar setiap kegiatan dapat berjalan secara terarah dan menghasilkan sesuatu yang baik. Tujuan pendidikan Islam adalah membangun peradaban manusia. Artinya, peradaban dan kebudayan manusia tumbuh dan berkembang melalui pendidikan. Maka dari itu, agar peradaban manusia tumbuh dan berkembang sesuai yang diinginkan, maka tujuan pendidikan Islam harus didasari atas nilai-nilai dan cita-cita yang berlaku pada suatu masyarakat dan bangsa.13 Ada beberapa tokoh Muslim memberikan pendapat tentang tujuan pendidikanIslam. Omar Al-Toumy al-Syaibany berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah “mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga 13 Abdul Kadir, Dasar-Dasar Pendidikan (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2012), h. 81. 40 mencapai tingkat akhlak al-karimah”.14 Berarti tujuan pendidikan mempunyai kesamaan dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulan yaitu membina manusia agar mempunyai akhlak yang mulia. Menurut Al-Attas tujuan pendidikan Islam adalah “menolong pelajar untuk menjadi manusia yang utuh”.15 Pengertian ini menjelaskan bahwa, manusia harus mempunyai prinsip, memiliki ilmu pengetahuan agama maupun pengetahuan umum dan tingkah laku yang baik. Karena, dengan memiliki keilmuan dan pendidikan yang baik seseorang akan terbebas dari kebodohan dan dengan terbebasnya dari kebodohan akan mengurangi perbuatan yang jelek. Kemudian, menurut Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, tujuan dari pendidikan Islam adalah “membentuk akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral, berjiwa bersih, pantang menyerah, bercita-cita tinggi dan berakhlak mulia, baik laki-laki maupun perempuan”.16 Maksud dari tujuan ini, setiap manusia Muslim harus mengerti kewajiban masingmasing, dapat membedakan perbuatan baik dan buruk, mengetahui dalam setiap pekerjaan apa yang dilakukan dan selalu mengingat Allah. Berdasarkan dari penjelasan terbentuknya dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya Insan Kamil (manusia sempurna), yaitu manusia yang utuh, sehat jasmani dan rohani, berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi baik masyarakat 14 Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.92. Toto Suharto, Filsafat pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 108. 16 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif Normatif (Jakarta: Bumi Askara, 2013), h. 103. 15 41 maupun bernegara, memperhatikan keseimbangan segala aspek kepentingan dunia maupun akhirat dan menuju kesempurnaan hidup sebagai realisasi dari sikap penghambaan diri kepada Allah Swt. Di samping itu, tujuan pendidikan Islam mempunyai fungsi pembinaan dan penyempurnaan kepribadian dan mental anak. Secara umum fungsi pendidikan Islam adalah membimbing, mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencari kemampuan yang optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar.17 Fungsi pendidikan Islam secara mikro adalah proses penanaman nilai-nilai Ilahiah pada diri anak didik, sehingga mereka mampu mengaktualisasikan dirinya semaksimal mungkin sesuai dengan prinsip-prinsip religius. Sedangkan secara makro pendidikan Islam berfungsi sebagai sarana pewarisan budaya dan identitas suatu komunitas yang di dalamnya manusia melakukan interaksi dan saling mempengaruhi antar satu dengan yang lain.18 Menurut Muslim Abdul Halim, fungsi pendidikan agama Islam adalah alat untuk memelihara, memperluas, menghubungkan tingkattingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide 17 Prof. H. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bumi Asakara, 2010), h. 34. 18 Anas, “Fungsi Pendidikan Islam,” Artikel diakes pada tanggal 11 Oktober 2016 dari http://scribd.com.co. 42 masyarakat nasional untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan. Maksud dari pengertian tersebut bahwa upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skillyang dimiliki, serta melatih peserta didik yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi yang demikian dinamis. Sedangkan, menurut Abdul Rahman Shaleh fungsi pendidikan agama Islam adalah mengembangkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt serta akhlak mulia, kegiatan pendidikan dan pengajaran, mencerdaskan kehidupan bangsa, fungsi semangat studi keilmuan dan iptek.19 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan Islam adalah mewujudkan semua tugas-tugas dari pendidikan Islam itu sendiri, agar dalam proses pendidikan Islam dapat berjalan dengan lancar. Bila fungsi pendidikan ini dapat berjalan sesuai dengan apa yang ditugaskan maka dengan otomatis tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri dapat terwujud yaitu dengan menjadikan manusia Insan Kamil (manusia sempurna). Fungsi pendidikan agama Islam ini dapat menjadi insipirasi dan memberi kekuatan mental yang akan menjadi moral yang mengawasi segala tingkah laku dan petunjuk jalan hidupnya. 19 Abdul Rahman Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa (Jakarta: Rajawali Press, 2005), h. 44. 43 C. Metode Dalam Pendidikan Islam Pendidikan Islam dalam pelaksanaanya membutuhkan metode yang tepat untuk mengantarkan proses pendidikannya ke arah tujuan yang dicita-citakan.20 Metode pendidikan Islam memiliki fungsi dan tugas untuk memberikan jalan pelaksanaan operasional dari ilmu pendidikan Islam. Metode digunakan sebagai alat dalam suatu proses untuk pencapaian tujuan. Karena, tanpa metode materi pelajaran tidak akan berproses secara efesien dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan. Dalam pengertian umum, metode diartikan sebagai suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.21 Menurut etimologi metode dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkahlangkah strategi yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan.22 Bila dihubungkan dengan pekerjaan atau pendidikan, maka metode itu harus diwujudkkan dalam proses pendidikan, dalam rangka mengembangkan sikap mental dan kepribadian agar peserta didik menerima pelajaran dengan mudah, efektif dan dapat dicerna dengan baik.23 Selain itu, secara etimologi menurut Athiyah Al-Abrasyi mendefiniskan metode sebagai “jalan yang kita ikuti untuk memberi pemahaman kepada murid-murid dalam segala macam pelajaran dan 20 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, h. 103. Prof. H. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, h. 89. 22 Dr. Armai Arief, Pengantar Ilmu Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h.40. 23 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), h. 184. 21 44 dalam segala mata pelajaran”.24 Sedangkan, menurut Abdurrahim Ghunaimah metode adalah “cara-cara yang diikuti oleh guru-guru untuk menyampaikan sesuatu kepada anak didik”.25 Selanjutnya, menurut Hasan Langgulung bahwa metode adalah “cara atau jalan yang harus di lalui untuk mencapai tujuan pendidikan”.26 Dari definisi-definisi di atas menjelaskan bahwa metode mempunyai berbagai macam cara tehnik untuk mencapai tujuan pembelajaran atau menguasi kompetensi tertentu yang dirumuskan dalam silabi mata pelajaran. Di samping itu, ada beberapa metode pendidikan Islam yang dikemukakan oleh para ahli, di antaranya ialah: 1. Metode Keteladanan, yaitu memberikan teladan atau contoh yang baik kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.27 Metode ini menegaskan pentingnya keteladanan guru (pendidik) agar mempunyai sifat-sifat terpuji dan keutamaan-keutamaan suatu ilmu yang dapat tertanam dengan kuat pada jiwa anak didik. Karena, seorang pendidik harus menjadi teladan bagi murid-muridnya.28 Penjelasan di atas merupakan kesempurnaan pendidikan yang diperoleh dengan menuntut ilmu dan menemukan guru-guru paling berpengaruh agar dapat diteladani baik ilmu maupun akhlaknya. 24 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif Normatif, h. 25 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif Normatif, h. 26 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif Normatif, h. 27 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif Normatif, h. 139. 139. 139. 142. 28 Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun Kritis, Humanis dan Religius (Jakarta: Pt Asdi Mahasatya, 2012), h. 88. 45 2. Metode Motivasi, yaitu suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan motivasi. Jadi seorang pendidik harus memberikan dorongan motivasi untuk mendapatkan kesuksesan dalam pendidikan disertai harus bersikap luhur, berakhlak mulia dan membekalinya dengan prisnip-prnsip Islam. Metode ini sama dengan targhib dan tarhib (anjuran dan ancaman). Jadi Allah mengajarkan kepada umat Muslim utuk mengajarkan hal-hal yang positif. Penjelasan di atas sudah dijelaskan dalam AlQur‟an Surat Al-Zalzalah ayat 7-8 yang artinya: Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”. (Q.S Al-Zalzalah: 7-8). 3. Metode Kisah-Kisah, yaitu penyajian bahan pembelajaran yang menampilkan cerita-cerita yang terdapat dalam kitab-kitab (buku), Al-Qur‟an dan hadis Nabi.29 Menurut Ibnu Khaldun metode kisah ini mempunyai dua cara yaitu, belajar kitab-kitab (buku) yang dibacakan oleh pendidik, lalu mereka menyimpulkan permasalahan ilmu pegetahuan tersebut kepada muridnya dan mengikuti para ulama terkenal yang mengarang kitab-kitab tersebut serta mendengarkan secara langsung pelajaran yang mereka berikan.30 Dari penjelasan di atas, metode ini berpengaruh besar dalam 29 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif Normatif, h. 142-143. 30 Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun Kritis, Humanis dan Religius,h. 86. 46 memperjelas pemahamannya terhadap pengetahuan lewat pengetahuan indrawinya. Melalui metode ini adalah salah satu teknik pendidikan. 4. Metode Hafalan, yaitu suatu cara yang digunakan oleh seorang pendidik dengan menyerukan peserta didiknya untuk mengahfalkan sejumlah kata-kata (mufradat) atau kalimat-kalimat maupun kaidah-kaidah.31 Di samping itu, metode hafalan ini hanya digunakan pada bidang-bidang tertentu, seperti belajar bahasa (Arab) metode hafalan sangat dibutuhkan. Seorang yang sering menghafal dengan cara di ulang-ulang akan memberikan kepada mereka suatu keahlian yang akan terus berkembang. 5. Metode Dialog, yaitu cara menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang lain, karena dialog diartikan sebagai pembicaraan antara dua pihak atau lebih yang dilakukan melalui tanya jawab dan di dalamnya terdapat kesatuan topik atau tujuan pembicaraan.32 Dengan adanya metode dialog, pengertian dan pemahaman seseorang akan dapat lebih dimengerti, sehingga segala bentuk kesalah pahaman, kelemahan daya tangkap terhadap pelajaran dapat dihindari.33 Seperti Al-Qur‟an surat An-Nahl ayat 43 yang artinya: 31 Abdul Mujib, Pengantar Ilmu Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2006), 32 Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun Kritis, Humanis dan Religius, 33 Prof. H. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, h. 70 h. 209. h. 86. 47 Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orangorang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan”. (Q.S An-Nahl: 43). 6. Metode Pembiasaan, yaitu membiasakan peserta didik untuk melakukan sesuatu sejak lahir. Pembiasaan dapat diartikan pengulangan, jadi sesuatu yang dilakukan peserta didik hari ini akan diulang keesokan harinya dan begitu seterusnya. Misalnya, peserta didik dibiasakan untuk mengucapkan salam ketika masuk kelas. Maksudnya, peserta didik dibiasakan untuk melakukan halhal yang bersifat terpuji. 7. Metode Amtsal (Perumpamaan), yaitu metode pendidikan yang digunakan seorang pendidik kepada peserta didik dengan cara memajukan perumpamaan agar materinya mudah dipahami. Jadi seorang pendidik harus rajin membaca, berfikir, dan kreatif agar bisa menemukan perumpamaan saat mengajar. Metode ini dapat memberikan kemudahan dalam memahami suatu konsep yang abstrak, serta dapat membina akal agar terbiasa berfikir secara valid dan analogis melalui penyebutan premis-premis, sekaligus menumbuhkan motivasi untuk meningkatkan imajinasi yang baik.34 Dari beberapa metode pendidikan Islam di atas, bahwa pendidikan Islam diarahkan kepada pembentukan akhlak muliayang menekankan bahwa seorang pendidik harus memiliki 34 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif Normatif, h. 142-143. 48 norma-norma yang baik, khususnya norma akhlak. Karena, pendidik merupakan contoh bagi anak didiknya. Selain itu, metode pendidikan merupakan salah satu aspek dari pembelajaran, maka dalam menentukan metode apa yang akan digunakan harus selalu mempertimbangkan aspek-aspek lain dari pembelajaran, seperti karakter peserta didik, tempat, suasana dan waktu. D. Masalah Modernisasi Pendidikan Islam Pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan yang mengarahkan kehidupan manusia menjadilebih baikdan menuju cita-cita sesuai ajaran Islam. Modernisasi dalam bahasa Arab adalah tajdid, yang berarti pembaruan. Modernisasi atau pembaruan biasanya digunakan sebagai proses perubahan untuk memperbaiki keadaan atau situasi kepada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.35 Nurcholis Madjid berpendapat bahwa modernisasi adalah “proses perombakan pola pikir dan tata kerja lama yang tidak rasional dan menggantikannya dengan pola pikir dan tata kerja baru yang rasional”.36 Pengertian ini menjelaskan bahwa proses untuk membebaskan diri dari pola pikir tradisionalisme dan mengubah tata kerja yang lama menjadi tata kerja yang baru. Sedangkan, menurut Azyumardi Azra modernisasi adalah “upaya untuk mengaktualisasikan ajaran Islam agar sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi”.37 35 36 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, h. 124. Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1993), h. 172. 37 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, h. 124 49 Ini berarti pembaruan dalam Islam muncul sejak zaman Rasulullah dan pembaruan tersebut harus diubah dengan ajaran Islam yang berkembang pada zaman sekarang.Definisi-definisi di atas menjelaskan bahwa modernisasi adalah usaha manusia untuk hidup sesuai dengan zamannya atau harapan hidup manusia untuk mencapai masyarakat yang lebih maju, berkembang, dan sejahtera. Pada awal abad 20, lembaga Islam di Indonesia mempunyai tiga jenis lembaga pendidikan yaitu pesantren, sekolah dan madrasah.38 Lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren. Menurut Mastuhu, pesantren merupakan “lembaga pendidikan tradisional Islam yang bertujuan untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama sebagai pedoman hidup masyarakat”.39 Salah satu pesantren yang berdiri pada tahun 1899 yaitu pesantren Tebuireng yang tergolong pesantren salafiyah dan didirikan oleh K.H Hasyim Asy‟ari di Jawa Timur. Ketika itu, metode pengajaran di pesantren masih menggunakan non klasikal. Karena metode pengajarannya masih didominasi oleh sistem sorogan, di mana pendidik membaca buku yang berbahasa Arab dan menerangkan dengan 38 bahasa daerah dan murid-murid mendengarkan.40 Karena, Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) h.202-203. 39 Azyumardi Azra, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013) h. 85 40 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada periode klasik dan Pertengahan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 194-195. 50 pesantren tidak memakai sistem kelas, kemampuan santri tidak dilihat dari kelas berapa, tetapi dilihat dari kitab apa yang telah dibacanya.41 Selain pesantren, pendidikan Islam juga diberikan dirumah-rumah, surau, langgar dan masjid. Di tempat-tempat inilah anak-anak, remaja dan orang tua belajar agama seperti rukun iman, rukun Islam, pengajian al-Qur‟an dan pengajian kitab.42 Pesantren berbeda dengan sistem sekolah Belanda yang memakai sistem klasikal dan tidak diajarkan pelajaran agama sama sekali. Pada tahun 1819, Jendral Van Der Cappelen, Gubernur Hindia Belanda 1816-1826, menginstruksikan kepada para Residen “agar menyelediki pendidikan Indonesia untuk memperbaiki pendidikan pribumi”.43 Dari usulan di atas, pada tahun 1907, Jendral Van Heutz, Gubernur Hindia Belanda 1904-1909,mendirikan sekolah-sekolah diantaranya: sekolah kelas satu, sekolah kelas dua, sekolah Desa (Volksschool), sekolah ELS (Europeesce Lager School) sekolah untuk anak-anak Eropa di Indonesia, sekolah HCS (Hollandsch Chinese School) sekolah untuk anak-anak etnis China dan sekolah HIS (Hollands Inlands School) sekolah untuk orang-orang bumiputera dari kalangan ningrat.Sedangkanuntuk pendidikan lanjutan, Belanda mendirikan sekolah MULO (Meer Uit Gebreid Lager School) untuk setingkat SMP 41 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan dan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2007), h. 69. 42 Samsul Nizar, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara (Jakarta: kencana Prenada Media Group), h. 93. 43 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan dan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 31. 51 dan sekolah AMS (Algemene Middlebare School) untuk setingkat SMA.44 Kurikulum sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda memberikan pengajaran umum dengan menghormati keyakinan agama masing-masing dan pengajaran agama hanya boleh berlaku di luar jam sekolah. Sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah Belanda ini sangat terbatas, karena penghasilan ekonomi masyarakat Indonesia yang rendah sehingga amat sedikit kalangan bumiputera yang melanjutkan ke sekolah-sekolah Belanda. Maka dari itu, agar masyarakat Muslim di Indonesia tetap berpendidikan, mereka lebih memilih lembaga pendidikan pesantren karena masyarakat Muslim ketika itu banyak memasukkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan pesantren dan lebih merakyat secara ekonomi. Dengan keadaan tersebut, maka pendidikan yang berkembang di Indonesia pada saat itu adalah pendidikan yang diselengarakan oleh pemerintah Belanda. Sejak Belanda menguasai Indonesia, bangsa Belanda berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan pribumi. Perbedaan pendidikan yang diberikan kepada orang pribumi dan bangsawan telah memberlakukan sistem diskriminasi dalam pendidikan untuk keuntungan kalangan Belanda sendiri. K.H. Dewantara mengatakan: 44 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan dan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 29. 52 Pengajaran pada zaman itu tidak dapat memberikan kepuasan pada rakyat kita. Kebijakan pemerintah Belanda dalam bidang pendidikan selain diskriminatif juga terlihat pada sikapnya yang membiarkan atau tidak peduli sama sekali, bahkan memusuhi terhadap pendidikan yang dilaksanakan oleh umat Islam melalui lembaga pendidikan seperti pesantren.45 Hal ini juga dinyatakan Hanun Asrohah sebagai berikut: Sejakawal perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas utama masyarakat Muslim di Indonesia. Di samping karena besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran agama Islam kendati dalam sistem yang sederhana, di mana pengajaran diberikan dengan sistem halaqoh yang dilakukan di tempat-tempat ibadah semacam masjid, mushola, bahkan juga dirumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang ada ke dalam lembaga pendidikan Islam yang ada.46 Dari kutipan di atas jelas bahwa masyarakat Muslim mempunyai motivasi yang besar terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Maka dari itu, pendidikan Islam tidak bersifat statis dan monolitik, tetapi dinamis dan berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi serta motivasimotivasi tertentu yang digerakkan oleh perseorangan dari kalangan tokoh-tokoh agama dan organisasi sosial keagamaan. Artinya, selalu ada upaya pembaruan dalam memperbaiki pendidikan Islam. Menurut Karel A. Steenbrink, gerakan pembaruan Islam pada awal abad 20 dilatarbelakangi oleh faktor keinginan kembali kepada alQur‟an dan sunnah, faktor semangat nasionalisme melawan kolonia 45 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 46 Samsul Nizar, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara, h. 256-257. 53 Belanda, faktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya, politik dan faktor untuk melakukan pembaruanpendidikan Islam di Indonesia.47 Maka dari itu, pendidikan dianggap sebagai aspek strategis untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Pendidikan di Indonesia mulai tumbuh dan berkembang dalam menggunakan sistem kelas dan mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan dan non keagamaan. Pembaruan ini diterapkan pada madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang berfungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru sekaligus menambahkan beberapa materi pelajaran dengan ilmu-ilmu umum.48 Madrasah pada masa itu merupakan lembaga pendidikan Islam alternatif bagi orang tua sebagai wadah pendidikan bagi putra-putri mereka agar lebih terarah. Di samping itu, para siswa madrasah tidak mesti tinggal atau mondokseperti di pesantren, tetapi hanya cukup datang ke madrasah pada jam-jam berlangsung pelajaran di pagi atau sore hari.49 Pertama kali gerakan pembaruan pendidikan Islam di Indonesia terjadi di Minangkabau (Sumatra Barat). Pada tahun 1909, didirikan Madrasah Adabiyah di Minangkabau oleh Syekh Abdullah Ahmad. Madrasah Adabiyah memakai sistem klasikal yang berbeda dengan pesantren, surau dan lainnya yang tidak berkelas, tidak memakai 47 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 26-28. 48 Samsul Nizar, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara, h. 261. 49 Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Suka Press, 2007), h. 92. 54 bangku, meja, papan tulis dan hanya duduk bersila saja. Selain memberikan pelajaran agama, Madrasah Adabiyah juga memberikan pelajaran membaca, menulis huruf latin dan ilmu hitung. 50 Kemudian, pada tahun 1915, Zainuddin Labay El Yunus mendirikan Madrasah Diniyah di Padang Panjang. Madrasah ini juga memakai sistem klasikal yaitu tidak mengikuti sistem pengajian tradisional yang bersifat individual. Selain itu, madrasah ini telah memberikan pendidikan umum seperti sejarah dan ilmu bumi di samping mata pelajaran agama.51 Selain di Minangkabau, gerakan pembaruan pendidikan Islam terjadi di Pulau Jawa oleh organisasi-organisasi Islam keagamaan seperti, Jami‟at Khair yang berdiri pada tahun 1905 oleh Muhammad Al-Fachri di Jakarta. Sebagai organisasi Islam, Jami‟at Khair tergolong modern karena mempunyai AD/ART, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat secara berkala, kurikulum, buku-buku pelajaran yang bergambar, kelaskelas, pemakaian bangku, papan tulis dan lain sebagainya.52 Selanjutnya, Al-Irsyad yang berdiri pada tahun 1913 oleh Syekh Ahmad Sukarti di Jakarta. Tujuan berdirinya madrasah ini untuk memajukan pelajaran agama Islam yang murni di Indonesia, mengenali pelajaran umum dan membangun serta memelihara gedung-gedung 50 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1982), h. 46. 51 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 49. 52 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 69. 55 pertemuan, sekolah dan unit percetakan.53 Pada tahun 1912, Muhammadiyah juga didirikan di Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan. Awalnya organisasi ini bergerak dibidang tabligh, lalu memperluas gerakkannya dalam bidang pendidikan, bidang sosial dan organisasi.54 Pada tahun 1926, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang mengambil nama yang sama dengan pemerintah Belanda yaitu, HIS met de Qur‟an (Hollands Inlandse School), MULO met de Qur‟an (Meer Uitgebried Lager Onderwijs), HIK Muhammadiyah (Hollands Inlandse Kweekschool) dan Schakel School Muhammadiyah.55 Sekolah-sekolah tersebut, memadukan sekolah umum model Belanda dan sekolah Islam model pesantren. Karena Muhammadiyah terkenal sebagai gerakan sosial keagamaan, setiap jenjang pendidikan yang Muhammadiyah dirikan tidak pernah lupa menyisipkan nilai-nilai Islam. Selain madrasah, pesantren juga mengalami pembaruan. Salah satunya adalah pesantren Tebuireng. Pada tahun 1926, pimpinan pesantren Tebuireng K.H Hasyim Asy‟ari menunjuk Abdul Wahid Hasyim dan Moh. Ilyas untuk mengubah kurikulum dan metode pengajarannya menjadi modern. Setelah itu, Abdul Wahid Hasyim dan Moh. Ilyas mengadakan pembaruan, yakni memperluas pengetahuan 53 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 74-75. Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 90. 55 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 68. 54 56 para santri dengan cara memasukkan pengetahuan umum dan meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab. Atas persetujuan K.H Hayim Asy‟ari, pesantren Tebuireng memasukkan mata pelajaran umum seperti ilmu bumi dan berhitung, membaca dan menulis, sejarah dan bahasa melayu, Arab dan Inggris. Selain itu juga, metode pengajarannya menjadi klasikal.56 Di samping itu, pada tahun 1930, pesantren masih bersifat konservatif dan timbul polemik pro dan kontra terhadap orang Indonesia yang berpendidikan Barat. Dalam hal ini Sutan Takdir Ali Syahbana mengatakan “Tersebarnya ilmu pengetahuan modern sampai ke desa-desa dan itu akan berarti robohnya tradisi lama, terpecahnya persatuan yang statis dan pasif, lenyapnya konservatifme”.57 Nurcholis Madjid mempunyai pendapat yang berbeda. Ia mengatakan bahwa ide-ide pembaruan terhadap pesantren membuat para santri mempunyai cita-cita yang tinggi. Nurcholis Madjid berkata: Pesantren diwajibkan oleh tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya dengan perkembangan zaman untuk membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata yang dapat melalui pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai. Sebagaimana layaknya yang terjadi sekarang harus tersedia kemungkinan mengadakan pilihan-pilihan jurusan bagi anak didik sesuai dengan potensi buat mereka. Jadi tujuan pendidian pesantren kiranya berada di sekitar terbentuknya manusia yang memiliki kesadaran setinggi-tinggnya akan bimbingan agama Islam. Weltanschaung yang bersifat menyeluruh dan diperlengakapi dengan kemampuan stinggi-tingginya untuk mengadakan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan56 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 60-70. 57 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan dan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 74. 57 tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada Indonesia dan dunia abad sekarang.58 Dengan demikian, awal abad 20 merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islamyang hampir terjadi diseluruh Indonesia. Namun, pendidikan Islam di Indonesia masih bersifat diniyah. Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya masih belum seragam antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pembaruan yang dilakukan sebelum kemerdekaan belum mengarah kepada penyeragaman bentuk seperti, lamanya belajar, jenjang pelajaran dan kurikulum. Setelah Indonesia merdeka, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Ki Hajar Dewantara membentuk jenjang pendidikan di Indonesia yaitu Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi seperti Universitas, Institut, Sekolah Tinggi dan Akademi.59 Selain itu, menurut peraturan Menteri Agama Nomor 7 tahun 1950, madrasah mengandung makna: 1. Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajaran. 2. Pondok pesantren memberikan pendidikan setempat dengan madrasah. 58 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan dan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 74. 59 Fajri Maulana, “Sejarah Singkat Pendidikan di Indonesia”, http//www.blogspot.co.id, Artikel Diakses Pada Tanggal 19 November 2016 58 Hal ini terbukti bahwa Kementrian Agama telah memberikan bantuan kepada madrasah dalam bentuk material dan bimbingan. Dalam bentuk material dan bimbingan, pendidikan pada madrasah terdiri dari: 1. Madrasah Ibtidaiyah (MI), setingkat SD. 2. Madrasah Tsanawiyah (MTS), setingkat SMP. 3. Madrasah Aliyah (MA), setingkat SMA. Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, madrasah berhasil mendapatkan statusnya. Perjuangan ini diawali oleh terbitnya surat keputusan bersama (SKB) tiga Menteri yakni Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Dalam Negeri pada tanggal 24 Maret 1975 yang menegaskan bahwa kedudukan madrasah adalah sama dan sejajar dengan sekolah formal lain.60 Dengan demikian, siswa lulusan madrasah dapat memasuki jenjang sekolah umum yang lebih tinggi, mempunyai ijazah sebagai pengakuan bahwa siswa telah menyelesaikan pendidikannya dan siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat. Setelah keluarnya SKB, kurikulum madrasah diubah menjadi 70% pelajaran pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama.61 60 Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1998), h. viii. Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan (Jakarta: Raja Grafindo, 2009), h. 195. 61 BAB IV PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM K.H AHMAD DAHLAN K.H Ahmad Dahlan merupakan tokoh nasional yang memiliki tipe man of action yang artinya orang yang lebih mengutamakan praktek ketimbang teori. Ia lebih banyak mewariskan kegiatan-kegiatan yang cukup banyak berupa amal usaha, pendidikan dan sosial, namun ia kurang menyukai bentuk teori, sehingga ia tidak banyak memiliki karya ilmiah seperti tulisan-tulisan maupun buku. Cita-cita pendidikan yang digagas Ahmad Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelektual-ulama”, yaitu seorang Muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. 134 Maka dari itu, ide pendidikan yang digagas Ahmad Dahlan adalah menyelamatkan umat Islam dari cara berfikir yang bersifat statis menuju pemikiran yang bersifat dinamis, kreatif dan inovatif. Satu-satunya jalan mencapai tujuan tersebut adalah melalui pendidikan dan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi peserta didik untuk menghadapi dinamika pada zamannya.135 Menurut Ahmad Dahlan, tujuan pendidikan Islamdiarahkan pada usaha untuk membentuk manusia yang beriman, berakhlak, memahami ajaran agama Islam, memiliki pengetahuan yang luas dan kapasitas intelektual yang dapat 134 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammdiyah (Jakarta: Depdikbud, 1985), h. 24. 135 Al-Rasyid, Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 108. 59 60 diperlukan di dalam kehidupan sehari-hari.136 Untuk mencapai tujuan tersebut, Ahmad Dahlan berpendapat bahwa pendidikan Islam harus dibarengi dengan integrasi ilmu dan amal, integrasi ilmu pengetahuan umum maupun agama, kebabasan berpikir dan pembentukan karakter, agar peserta didik dapat berkembang secara intelektualitas dan spritualitas.137 Adapun pemikiran dari Ahmad Dahlan tentang pendidikan dapat dilihat sebagai berikut: A. Integrasi Ilmu dan Amal Pada tahun 1912, Muhammadiyah. Tujuan Ahmad Dahlan mendirikan organisasi mendirikan Muhammadiyah adalah “menyebarkan pengajaran Rasulullah kepada penduduk bumiputera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya”.138 Ia menekankan bahwa beragama adalah beramal, artinya berkarya dan berbuat sesuatu melakukan tindakan sesuai dengan al-Qur‟an dan Hadis, agar peserta didik mencapai kemajuan secara materil. Orang yang beragama adalah orang yang menghadapkan jiwa dan hidupnya kepada Allah, yang dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan seperti rela berkorban baik dengan harta benda dan diri, serta bekerja dalam kehidupan mereka untuk Allah. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa: 136 Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan di Indonesia Pascakemerdekaan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 94. 137 Al-Rasyid dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, h. 107. 138 Al-Rasyid dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, h. 102. 61 Sikap beragama yang lurus kepada Allah itu adalah kecenderungan rohani untuk berpaling meninggalkan nafsu, menjadi suci, tidak oleh dengan bendawi, dan selalu berusaha menaikkan derajat rohani. Jiwanya akan selalu menghadap Allah dan berpaling dari hal selain-Nya, bersih tanpa terpengaruh oleh apapun dan senantiasa menyerahkan harta benda dan dirinya di jalan Allah.139 Kutipan di atas menjelaskan bahwa pendidikan sepatutnya mengajarkan peserta didik untuk selalu beragama, mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan tindakan yang sesuai dengan yang dianjurkan agama. Serta senantiasa berani mengorbankan hartanya untuk Allah dan tidak sekedar pada tataran pengetahuan saja, tetapi dibarengi dengan praktik keagamaan, yakni beramal. Selain itu, Ahmad Dahlan juga menasehati peserta didik-peserta didiknya: Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama meskipun harus menyumbangkan jiwamu sekalipun. Jiwamu takusah kamu tawarkan, kalau Allah menghendaki Nya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu akan mati sendiri. Tapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentingan agama? Itulah yang lebih diperlukan pada waktu sekarang ini.140 Sejauh ini pendidikan agama hanya dianggap relevan untuk menanamkan karakter yang baik terhadap peserta didik, karena pada hakikatnya karakter terbentuk dari tindakan yang dilakukan secara rutin dan terus menerus.141 Di samping itu, Ahmad Dahlan sering menasihati peserta didik-peserta didiknya sebagai berikut: 139 Hadjid, Ajaran K.H.A Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat al-Qur‟ān (Semarang: PWM Jawa Tengah, 2004), h. 20-21. 140 M. Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan Pemikiran & Kepemimpinannya (Yogyakarta: MPKSDI-PPM, 2005), h. 69. 141 Syuja, Islam Berkemajuan, Kisah Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal(Tangerang: Al-Wasath, 2010), h. 34. 62 Kamu tidak mau menjalankan tugas amal itu karena kamu tidak biasa, bukan? Beruntunglah! Marilah saya ajarkan soalnya itu. Jadi kalau sudah dapat dan mengerti kamu harus menjalankan. Dan soalnya kalau kamu tidak mau, asal tidak mau saja. Siapakah yang dapat mengatasi orang yang sengaja sudah tidak mau.142 Kutipan di atas menjelaskan ilmu dan beramal merupakan suatu kesatuan. Artinya, peserta didik tidak hanya duduk di kelas dan diam memperhatikan gurunya, tetapi dengan ilmu yang dimilikinya harus dipraktikkan di dalam kehidupan sehari-hari. Praktik merupakan aplikasi ilmu pengetahuan yang dimiliki dengan menghasilkan karya (berkarya). Di dalam ajaran Islam, pemeluknya wajib mencari ilmu setinggi mungkin dan dengan ilmu yang dicapainya agar diamalkan dalam bentuk karya nyata. Konsep inilah yang diberikan oleh Ahmad Dahlan di dalam pendidikan Muhammadiyah. Contoh ketika Ahmad Dahlan mengajarkan al-Qur‟an surat al-Ma‟un ayat 1-7, yang artinya: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama. Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak mengajukan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.143 Berdasarkan ayat di atas, Ahmad Dahlan menekankan kepada peserta didiknya “barang siapa yang tidak memperdulikan anak yatim dan orang miskin adalah termasuk orang-orang yang mendustakan agama”.144 Ahmad Dahlan terus berulang-ulang mengajarkan surat al-Mau‟n kepada peserta didiknya, agar mereka hafal dan memahami artinya. Tidak hanya 142 Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAH UHAMKA, 2009), h. 389. 143 Q.S Al-Maun (107): 1-7. 144 Abdul Munir Mulkhan, Islam Kultural Kiai Ahmad Dahlan (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2012), h. 74. 63 hafal dan memahami makna yang terkandung, tetapi Ahmad Dahlan menanamkan bahwa apa yang telah dipelajari harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.145 Contoh yang berdasarkan surat al-Mau‟n yang dipratikkan oleh Ahmad Dahlan kepad peserta didik yaitu, Ahmad dahlan mengajak muridmuridnya ke pasar untuk mencari anak yatim dan pengemis, kemudia mereka diajak ke masjid untuk dimadikan dengan sabun dan diganti pakainnya dengan pakaian bekas yang bersih, masih baik dan utuh. Pekerjaan ini dilakukan beberapa hari berturut-turut dan para murid disibukkan untuk mengumpulkan pakaian, sabun dan uang. Sifat dermawan yang peduli pada kehidupan sosial di pendidikan Muhammadiyah sudah ditanamkan di masa-masa awal tersebut.146 Selanjutnya, pada tahun 1921, melalui Muhammadiyah Ahmad Dahlan mendirikan panti asuhan yang bernama Hoofbestuur di Yogyakarta. Setiap anggota Muhammadiyah diwajibkan mengasuh dan mendidik kepada anak-anak tersebut. Berdirinya panti asuhan Hoofbestuur, telah menyelamatkan anak yatim/piatu dan yatim piatu terhindar dari kebodohan di masa penjajahan kolonial Belanda. Alasan Ahmad Dahlan mendirikan panti asuhan karena, ia melihat disekelilingnya bahwa anak-anak yatim/piatu dan yatim piatu banyak menghabiskan waktunya dengan bermain-main, anak-anak tersebut sangat memerlukan 145 Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan, h. 110. 146 Ridjalaluddin, F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 415. 64 dana dan uluran tangan untuk diayomi serta diberi pendidikan dan pelajaran ilmu agama dan ilmu umum harus diajarkan.147 Selain itu, integrasi ilmu dan amal yang Ahmad Dahlan tanamkan ke peserta didik, ia mencontohkan dengan mendirikan oraginisasi khusus wanita yang bernama Aisyiyah di Kauman pada tahun 1917. Organisasi Aisyiyah adalah salah satu organisasi bagian dari Muhammadiyah. Tujuan berdirinya organisasi Aisyiyah yaitu pembinaan keluarga sakinah, gerakkan sosial dan pendidikan. Kemudian, kegiatan-kegiatan organisasi Aisyiyah bertambah luas yakni mengadakan tabligh-tabligh untuk para anggotanya dan menyediakan kursus batik untuk para wanita. Alasan Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Aisyiyah karena ia melihat pendidikan pertama yang diterima oleh seorang anak adalah di rumah, maka seorang ibu mempunyai tanggung jawab yang besar untuk kemajuan masyarakat melalui asuhan dan didikan anak-anaknya sendiri. Seiring berjalannya waktu, tahun 1928 organisasi Aisyiyah mendirikan panti asuhan yatim/piatu maupun yatim piatu khusus putri. Di dalam panti asuhan tersebut juga diajarkan pendidikan ilmu agama dan ilmu umum. Maka dari itu, melalui organisasi Aisyiyah melatih seorang wanita untuk mempunyai rasa kepedulian terhadap sesama Muslim.148 Contoh di atas merupakan salah satu amal usaha Ahmad Dahlan. Kemudian, Ahmad Dahlan berharap peserta didik terinspirasi dari tindakan tersebut, agar terbiasa menjalani amalnya sejak dini. Selain itu, Ahmad 147 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammdiyah, h. 215- 216. 148 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 90-91. 65 Dahlan beranggapan pembentukan kepribadian sangat penting bagi peserta didik dalam rangka pencapaian keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat.149 Seperti Nabi bersabda “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya dan beramalah untuk akhiratmu seakanakan engkau akan mati besok”. Uraian di atas Ahmad Dahlan menekankan bahwa keikhlasan dalam beramal dapat membentuk kepribadian yang baik, agar tercapainya dari tujuan pendidikan. Ahmad Dahlan berkata “tak seorang pun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan akhirat kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik”.150 Seorang yang kepribadian yang baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur‟an dan Hadis. Karena, Rasulullah merupakan contoh pengalaman al-Qur‟an dan Hadis, maka proses pembentukan kepribadian peserta didik harus diperkenalkan pada kehidupan dan ajaran-ajaran Rasulullah. B. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum Menurut Ahmad Dahlan, upaya untuk mencapai tujuan ini terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Artinya, peserta didik harus mempunyai empat kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual, spritual, emosional dan sosial. Dengan demikian, proses pendidikan akan mampu menghasilkan ”intelektual-ulama” yang berkualitas. Untuk menciptakan peserta didik yang demikian, pendidikan harus diimbangi 149 Rijaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa h. 432. 150 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 102. 66 dengan ilmu agama dan umum. Melalui ilmu umum adalah salah satu sarana peserta didik mengenal kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik serta mencapai kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat, karena al-Qur‟an dan Hadis tidak membeda-bedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Menurut Ahmad Dahlan, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntunan zaman. Seperti contoh, pada awal abad 20, Ahmad Dahlan melihat umat Muslim di Indonesia tertinggal secara ekonomi oleh kolonialisme Belanda. Ketika itu ekonomi Muslim tidak memiliki akses ke sektor-sektor pemerintahan atau perusahaan-perusahaan swasta. Karena partisipasi Muslim yang rendah terhadap sektor-sektor pemerintahan itu membuat kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang menutup peluang bagi Muslim untuk masuk. Peristiwa ini mendorong Ahmad Dahlan untuk memperbaiki dengan memberikan pencerahan tentang pentingnya pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman.151 Berkaitan dengan masalah ini, Ahmad Dahlan mengutip surat alRa‟d ayat 11, yang artinya: sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.152 Pemikiran Ahmad Dahlan menggunakan pendekatan self corrective terhadap umat Islam. Ahmad Dahlan melihat bahwa, pendidikan Islam tradisional terlalu menitikberatkan pada aspek spiritual dalam kehidupan 151 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 102-103. Q.S al-Ra‟d (13): 13. 152 67 sehari-sehari. Ini mengakibatkan kemunduran Islam, sementara kelompok yang lain telah mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi..153 Melihat ketimpangan tersebut, Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh, menguasai ilmu agama dan ilmu umum, intelektual dan spritual. Bagi Ahmad Dahlan, kedua hal tersebut merupakan hal yang integral, tidak dapat dipisahkan satu sama lain.154 Oleh karena itu, sekolah pertama yang didirikan oleh Muhammadiyah ala Belanda adalah HIS met de Qur‟an di Yogyakarta pada tahun 1926. Sekolah ini merupakan sekolah Agama dengan mengkolaborasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Adapun kurikulum pada sekolah ini seperti bahasa Arab, tasawuf, fiqih, tajwid, bahasa Inggris, membaca, menulis dan lain sebagainya.155 Melalui konsep ini Ahmad Dahlan dan para orang tua berharap peserta didik berwawasan luas sesuai perkembangan zaman dan dapat mengintegrasikan ilmu agama ke dalam ilmu pengetahuan umum.156 Berkat pendidikan Muhammadiyah yang mengkolaborasikan ilmu agama dan umum, peserta didik mempunyai kelebihan pada bidang kesehatan. Awalnya, salah satu peserta didik Ahmad Dahlan yaitu H.M Sudjak berinisiatif menyediakan kesehatan untuk kaum dhuafa, berupa klinik dan poliklinik yang bernama PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) 153 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indones, h. 102-103. Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan Kajian Historis, Ideologis dan Organisasi (Surakarta: LPID, 2008), h. 44. 155 Hery Sucipto, K.H Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidikan dan Pendiri Muhammadiyah (Jakarta: Best Media Utama, 2010), h. 118. 156 Ridjaluddin F.N, Muhammadiyah Dalam Tinjauan Filsafat Islam, h. 176. 154 68 di Yogyakarta pada tahun 1923. Kegiatan ini didukung sepenuhnya oleh Ahmad Dahlan. Kemudian, pada tahun 1936 PKU diresmikan oleh pemerintah Belanda menjadi rumah sakit PKU Muhammadiyah. Dengan demikian, berdirinya rumah sakit PKU Muhammadiyah bertujuan agar kehidupan masyarakat dapat mencapai derajat kesehatan yang lebih baik, serta menuju kehidupan yang sejahtera dan sakinah, sebagaimana yang dicita-citakan organisasi Muhammadiyah.157 Maka dari itu, Ahmad Dahlan berharap pendidikan Islam yang berdasarkan al-Qur‟an dan Hadis akan melahirkan peserta didik yang mempunyai ilmu yang luas, jasmani yang kuat dan hati yang bersih. Maksud hati yang bersih yaitu pendekatan keagamaan pada peserta didik merupakan proses pendidikan di mana keberadaanya sesuai kodrat sebagai manusia sejati. Sebab tujuan pendidikan yang ingin dicapai sebagaimana yang tersirat dalam al-Qur‟an adalah membina manusia guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifahnya. Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa), dengan penggabungan dua unsur tersebut terciptalah manusia yang memiliki dua dimensi dalam satu keseimbangan dunia dan akhirat serta ilmu dan iman. Artinya, setiap manusia pada dasarnya mempunyai akal secara kontinuitas yang perlu dipelihara serta dikembangkan guna untuk menyeimbangkan kemampuan lahiriah dan batiniah, 157 duniawi dan ukhrawi. Oleh karena RS. PKU Muhammadiyah Yogyakarta, “Sejarah RS http://rspkujogja.com, Artikel Diaskes Pada Tanggal 24 Maret 2017. itu, PKU sistem yang Muhammadiyah,” 69 dipergunakannya harus membantu secara optimal dan membebaskan serta mengembangkan akal tersebut. Ahmad Dahlan berpendapat: Pengajaran yang berguna dalam mengisi akal itu lebih dibutuhkan oleh manusia dari pada makanan yang mengisi perutnya, dan mencari harta benda dunia itu tidak lebih payah dari mencari pengetahuan yang berguna dalam memperbaiki perbuatan dan kelakuan.158 Kutipan di atas menjelaskan pendidikan akal merupakan prioritas dari pendidikan Islam. Sebab dengan kemampuan penalaran akal akan memberi peluang peningkatan dan pengembangan dalam memahami dan mengenal makna petunjuk al-Qur‟an. Pandangan ini sangat relevan dengan konsep pendidikan Islam yang mana peserta didik mempunyai kemampuan atau potensi dasar yang sangat perlu untuk ditumbuh kembangkan. Di samping itu, Ahmad Dahlan mengelola pendidikan Islam secara profesional, modern dengan menggunakan sistem klasikal, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi pengetahuan peserta didik sesuai dengan zaman. C. Kebebasan Berpikir Ahmad Dahlan menegaskan bahwa penyebab utama kemunduran umat Islam adalah disebabkan kejumudan pemikiran yang dimiliki dan cara pandang terhadap masa yang akan datang, sehingga umat Islam tertinggal dengan umat yang lain. Oleh karena itu, kebebasan berpikir merupakan atribut penting yang menjadikan manusia sebagai pedoman dalam perbuatannya, sedangkan kemauanlah yang menjadi pendorong 158 Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa , h. 368. 70 perbuatan manusia.159 Artinya, kebebasan berfikir merupakan upaya untuk mencapai pengetahuan. Dengan pengetahuan itu manusia menjadi lebih mampu untuk melanjutkan tugas kekhalifahannya di muka bumi serta mampu memposisikan diri lebih tinggi dibanding makhluk lainnya. Oleh karena itu, carilah ilmu dan berfikir untuk mengenal segala yang menguntungkan dan merugikan bagi dirinya. Menurut Ahmad Dahlan, menjadi manusia menuju kepada kebebasan berfikir memang berarti progresif dan dinamis, akan tetapi kebebasan itu seharusnya bersifat relatif, terikat oleh ruang dan waktu, karena yang modern secara mutlak hanyalah Allah dan tetap berdasarkan dengan kaidah-kaidah ajaran Islam.160 Dengan kesadaran kerelatifan kemanusiaan, maka seorang akan bersedia dengan lapang dada menerima dan mendengarkan suatu kebenaran dari orang lain.161 Kebebasan berfikir berarti mengembangkan rasio atau penalaran yang dimilikinya sehingga mampu mengembangkan, menjelaskan dan menjabarkan sendiri ajaran dan teori-teori serta mampu terhindar dari mengikuti pandangan orang lain tanpa tahu alasannya (taqlid). Dalam hal ini, Malik Fajar menjelaskan tentang cara berfikir dari seorang Ahmad Dahlan dalam hal kebebasan berfikir, yakni: Pendidikan Muhammadiyah yang didirikan oleh Dahlan sejak awal menekankan dan mendorong kreatifitas. Hal ini sejalan dengan jiwa pembaharuan yang dicita-citakan olehnya yaitu mengembangkan nalar, menolak bid„ah, khurafat dan taqlid. 159 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammdiyah, h. 77. Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam(Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2011), h. 307. 161 Syuja, Islam Berkemajuan, Kisah Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal, h. 164. 160 71 Pendidikan kemuhammadiyahan menanamkan keutamaan dalam berijtihad. Hal ini akan menjadikan produk didikan yang menampilkan wawasan yang luas, tidak picik, tidak tradisional, toleransi tetapi tidak sinkretis lebih jauh lagi umumnya menjadi manusia yang berpikiran bebas dan tidak bersedia untuk didikte.162 Kutipan di atas menjelaskan, pendidikan yang dianut Ahmad Dahlan adalah upaya untuk pengembangan akal melalui proses pendidikan yang kreatifitas dan memberikan implikasi bagi warga Muhammadiyah untuk memiliki semangat pembaruan pendidikan Islam. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan berupaya untuk memerdekakan kembali akal pada fungsinya yang semula, yaitu apa yang lazim disebut dengan kebebasan berfikir. Upaya Ahmad Dahlan untuk melakukan persiapan ke arah transmisi itu misalnya adalah dengan melepaskan beban-beban kultural yang sampai sejauh itu dianggap dapat menghambat kemajuan.163 Pada tahun 1918, di sekolah Muhammadiyah ala Belanda yaitu Mulo met de Qur‟an, Ahmad Dahlan memasukkan pelajaran bahasa Arab sebagai mata pelajaran wajib, yang bertujuan agar peserta didik mampu memahami arti dan makna al-Qur‟an dan Ḥadis secara bebas sesuai dengan konteks dan pola pikir peserta didik itu sendiri dan tidak hanya sekedar ikut dan terhanyut pada pendapat dan tafsir orang lain. Dengan demikian, para peserta didik diharapkan mampu memperoleh kemampuan untuk memahami ajaran-ajaran agama secara bebas serta mampu 162 Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 369-370. 163 Ridjaluddin F.N, Filsafat Islam Pandangan KH. Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 369-370. 72 menginterpretasikan sendiri maksud dari ajaran agama sesuai dengan konteks kekinian.Tetapi, apa yang mereka pikirkan tidak menyimpang dari ajaran dan nilai keagamaan. Ahmad Dahlan selalu memberikan nasihat kepada para peserta didiknya “sabarlah dan berhati-hati, tetapi ulet dan tidak kenal putus asa. Apa yang hari ini belum berhasil, lanjutkanlah lagi hari esok dengan gembira”. 164 Kutipan ini menjelaskan, Ahmad Dahlan mengajarkan kesabaran, kejujuran, kebaikan serta tidak mengenal putus asa. Oleh karena itu, peserta didik dapat bersikap ramah, optimis dalam bekerja dan berjuang untuk mencapai cita-citanya. Contoh lain dalam kebebasan berpikir, Ahmad Dahlan berusaha meluruskan dan memperbaharui penafsiran al-Qur‟an dan Hadis yang selama ini telah menjadi keyakinan masyarakat pada umumnya yakni “siapa yang menyerupai suatu kaum, ia termasuk kaum itu”. Masyarakat Muslim menafsirkan bahwa segala bentuk yang menyerupai identitas Belanda dianggap kafir seperti, berdasi, bertopi, celana serta sekolah yang memakai bangku dan lainnya. Penafsiran ini berbeda dengan Ahmad Dahlan bahwa sistem sekolah lebih efesien dan efektif bila pendidikan agama meniru sistem sekolah Barat. Selain itu, Ahmad Dahlan lebih banyak menggunakan pendekatan-pendekatan intelektual/rasional dalam menjelaskan dan pengejaran agama pada peserta didik.165 Melalui Muhammadiyah, Ahmad Dahlan mengajak peserta didiknya berfikir maju agar mempunyai pandangan yang luas. Ahmad 164 Sutrisno Kurtoyo, Kiai Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 198. Hery Sucipto,K.H Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidikan dan Pendiri Muhammadiyahh. 184-185. 165 73 Dahlan berkata “kalau menjadi Kiai harus menjadi Kiai yang maju dan selalu ada ide-ide yang baru, sehingga melahirkan amal pembaharuan yang berkemajuan”.166 Kebebasan berpikir ini diharapkan mampu membebaskan pola berpikir anak, sehingga tidak merasa terkekang dan merasa senang belajar agama, serta diharapkan terhindar dari sikap fanatik terhadap agama dan juga tidak begitu saja menyalahkan pendapat orang lain tanpa mengetahui dasarnya, seperti yang terjadi pada para ulama tradisional yang gemar mengafirkan pandangan orang lain yang tidak setuju dengan mereka. Ahmad Dahlan menekankan bahwa agama bukan sekedar pengetahuan, tetapi sebuah kesadaran, dan amal perbuatan. Ahmad Dahlan berkata “jadilah ulama yang berfikir maju, dan jangan berhenti untuk kepentingan pengabdian kepada organisasi Muhammadiyah”.167 Gerakan pembaharuan Ahmad Dahlan dapat diartikan sebagai proses aktualisasi pemahaman dan pemikiran umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri, agar meningkat kualitas pengamalan dan pemahaman umat terhadap ajarannya. Tujuannya adalah membangkitkan semangat dan keIslaman dalam diri umat Islam dan merubah cara pandang/aktualisasi umat dalam memahami ajaran agamanya. Oleh karena itu, perjuangan Ahmad Dahlan adalah perjuangan mengadakan suatu revolusi dalam cara berfikir, yang bebas dari ikatan 166 HerySucipto, K.H Ahmad DahlanSang Pencerah, Pendidikan dan Pendiri Muhammadiyahh. 117. 167 Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 358. 74 taqlid konservatif dan tradisional agar dengan demikian kemurnian tegak kembali.168 Setiap ide Ahmad Dahlan berusaha merombak cara lama dan kemudian di atas aturan Allah yang lama itu dibangunlah yang baru. Dengan kata lain, Ahmad Dahlan mengembangkan sistem berfikir yang progresif dan revolusioner. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa memiliki kebebasan berfikir tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah Islam. Karena, berfikir sucilah yang memainkan peran penting dan memiliki pengaruh praktis dalam pembinaan dan perjalanan manusia menuju kesempurnaan. Kemudian, Islam melarang orang untuk berfikir pada sebagian hal tertentu dan memandangnya sebagai jeratan setan untuk meyesatkan manusia. Islam melarang umatnya untuk tidak berfikir tentang sesuatu yang tidak lazim atau berfikir yang negatif. D. Pembentukan Karakter Pendidikan Muhammadiyah juga menanamkan pada pembentukan karakter. Karena menurut Ahmad Dahlan pendidikan tidak hanya mencerdaskan intelektualitas, tetapi pembentukan karakter sangat penting pada perilaku peserta didik di kehidupan sehari-harinya. Maka dari itu, melalui pendidikan para peserta didik dapat memenuhi kepribadian yang utuh baik jasmani maupun rohani dan memiliki jiwa sosial yang penuh dedikasi serta bermoral yang bersumber dari al-Qur‟an dan Sunnah, agar selamat di dunia maupun di akhirat. 168 Ridjaluddin F,N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 357-358. 75 Ahmad Dahlan menekankan pembentukan karakter harus diawali dengan iman, ilmu dan amal. Karena dengan iman perbuatan yang kita lakukan dengan tujuan yang baik, percaya diri, ikhlas, maka Allah akan memberikan kemudahan pada perbuatannya.169 Kemudian, di dalam ajaran Islam setiap manusia harus menuntut ilmu setinggi-tingginya, agar mempunyai keahlian dalam berbagai bidang ilmu. Dengan adanya ilmu yang kita miliki, setiap manusia wajib mengamalkan ilmunya, agar dapat direalisir oleh masyarakat. Oleh karena itu, iman, ilmu dan amal adalah dasar dari pendidikan pembentukan karakter yang diterapkan oleh Ahmad Dahlan. Sebagai contoh, pada tahun 1910 Ahmad Dahlan pernah mengajarkan pendidikan agama Islam kepada para calon guru di Kweekschool Yogyakarta. Ia berharap bahwa pendidikan para calon guru dengan materi-materi keagamaan dapat memperluas wawasan keIslaman. Kemudian, pendidikan para calon guru diharapkan dapat memercepat proses transmisi ide-ide Ahmad Dahlan, karena mereka setelah menjadi guru akan memupunyai peserta didik yang banyak dan mengajarkannya kepada peserta didik. Selain itu, para guru kelak akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas dan besar kepada peserta didik.170 Maksudnya, peserta didik akan mempunyai akhlak yang baik tergantung pada pendidik yang memimbingnya. 169 Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan, h. 84- 85. 170 Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa , h. 505. 76 Contoh lain, pada tahun 1922 Muhammadiyah berkembang pada bidang pendidikan, serta bertambahnya jumlah sekolah dan bertambahnya guru. Dengan adanya bertambahnya sekolah dan guru, hal ini menimbulkan pembiayaan semakin besar yang membuat Muhammadiyah kesulitan untuk masalah pembayaran kepada guru-guru. Ahmad Dahlan sebagai pemimpin Muhammadiyah, ia berinisiaif untuk melelang barangbarang yang ia punya seperti meja, kursi, pakaian, surban dan lain sebagainya, agar dapat menutup kekurangan gaji guru-guru di Muhammadiyah.171 Peristiwa ini adalah salah satu contoh kongkrit pada bentuk kepedulian Ahmad Dahlan terhadap pendidikan dan pembentukan kakakter pada kepentingan sosial. Ahmad Dahlan berharap agar masyarakat dapat mengambil pelajaran dari perilaku Ahmad Dahlan. Di samping itu, Ahmad Dahlan mengajarkan kepada peserta didiknya di luar Muhammadiyah untuk memperbaiki sikap hidup masyarakat dengan mengajarkan ajaran-ajaran sosial dalam agama, seperti gotong royong, menyantuni fakir miskin, anak yatim, tolong-menolong dan lain sebagainya.172 Kepada peserta didiknya beliau menanamkan sifat tersebut dengan mempraktekannya secara langsung, sehingga peserta didik dapat melihat dan menghayati nilai-nilai positif yang terkandung dalam agama yang sesuai dengan anjuran Rasulullah. Karena menurut Ahmad Dahlan bahwa tujuan pendidikan dapat membuat pembentukan karakter kepada peserta didik. Ia juga berpendapat bahwa tak seorang pun dapat 171 Kurtoyo, Kiai Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 201. Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 155. 172 77 mencapai kebesaran di dunia dan di akhirat kecuali orang yang memiliki kepribadian yang baik.173 Seorang yang berkepribadian baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur`an dan Hadis. Maka proses pembentukan kepribadian peserta didik harus diperkenalkan pada kehidupan dan ajaran-ajaran Rasulullah. Dari uraian tersebut, tujuan pendidikan dalam Islam pada dasarnya mengubah sikap mental dan moral serta perilaku manusia menuju ke arah perbaikan, yang dapat menghasilkan kebahagiaan baik bagi dirinya maupun lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu, pembentukan karakter menurut Ahmad Dahlanmeliputi moral/akhlak serta berbudi pekerti yang terkait pada diri sendiri. Akhlak mengarahkan pada perilaku, artinya perilaku manusia mengikuti aturan Islam dalam setiap aspek kehidupan. Sebagaimana surat al-Israa ayat 9, yang artinya “al-Quran ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus”174. Ayat ini menjelaskan bahwa setiap perilaku manusia seharusnya berpedoman pada al-Qur‟an. Proses pendidikan karakter yang diajarkan Ahmad Dahlan kepada peserta didiknya dengan bertindak atau melakukan amal kebaikan adalah suatu tindakan yang penting dari pada sekedar membaca atau menghafal. Menurut Ahmad Dahlan dengan membaca atau menghafal sebanyakbanyak tanpa melakukan tindakan adalah perbuatan yang sia-sia. Maka dari itu, Ahmad Dahlan mengajarkan kepada peserta didiknya dengan 173 Kurtoyo, Kiai Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 199. Q.S al-Isra (17): 9. 174 78 membaca, menghafal serta memahami maknanya dan melaksanakan atau mengamalkan kebaikan dalam hidup sehari-hari. Dengan tindakan tersebut, Ahmad Dahlan berharap pada peserta didiknya agar berakhlakul karimah. Kesempurnaan akhlak sebagai suatu keseluruhan tidak hanya bergantung kepada suatu aspek pribadi, akan tetapi terdapat empat kecerdasan didalam diri manusia yang menjadi unsur bagi terbentuknya akhlak baik dan buruk. Di antaranya yaitu kecerdasan intelektual, spiritual, emosional dan sosial. Maka dari itu, setiap manusia harus menyeimbangi kecerdasan tersebut, agar terbentuknya karakter yang budi pekerti. Dengan demikian, proses pembaharuan Islam hanya menyangkut prilaku umat Islam dalam pengamalan dan pemahamannya terhadap ajaran agamanya, tidak menyangkut subtansi dan juga tidak termasuk mensiasati ajaran Islam agar dapat mengikuti perkembangan zaman, sebab Islam sendiri sangat prospektif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti orang-orang harus belajar melalui pendidikan formal yang mengajarkan keterampilan-keterampilan tertentu, sehingga muncul golongan Muslim terpelajar yang siap mengahadapi kehidupan modern. Seperti tokoh Muslim Mohammad Djaman berkata: Apa yang dilakukan Ahmad Dahlan yang dilakukannya dan kemudian menjadi dasar amal usaha Muhammadiyah meliputi seluruh lapangan kehidupan manusia dan masyarakat. Yang dikembangkan Ahmad Dahlan bukanlah sistem, tapi etos kerja 79 berdasarkan prinsip-prisnip ajaran Islam sebagaimana di firmankan Allah dalam al-Qur‟an.175 Kutipan di atas menjelaskan bahwa amal usaha yang dilakukan Ahmad Dahlan dengan tulus ikhlas tanpa pamrih. Kini peninggalan Ahmad Dahlan dalam bentuk amal usaha diberbagai aspek kehidupan itu masih dapat dirasakan manfaatnya oleh banyak orang hingga saat ini. Pendidikan Islam Ahmad Dahlan berpegang pada al-Qur‟an surat Luqman ayat 14-20.176 Artinya: Dan Kami perintahkan kepada manusia(berbuat baik) kepada kedua orang tua ibu-bapanya, ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang tua ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang 175 Mohamad Ali, Reinvensi Pendidikan Muhammadiyah (Jakarta: Al-Wasat Publishing House, 2010), h. 10. 176 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammdiyah, h. 204. 80 tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Haluslagi Maha mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalandan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.177 Surat ini menjelaskan bahwa “seorang Muslim harus berpendidikan setinggi mungkin, karena dengan pendidikan kita mempunyai pemikiran atau ide-ide yang dikembangkan. Tidak hanya itu, melalui pendidikan peserta didik mengenal keesaan Allah, berakhlakul karimah baik dengan orang tua kita maupun dengan sesama. Memiliki ilmu pengetahuan yang diimbangi dengan ilmu umum dan ilmu agama akan mempunyai kelebihan dalam segala bidang. Sebagai manusia kita harus mensyukuri ilmu yang kita miliki dengan mengamalkan ilmunya kepada orang lain atau peserta didik”. 177 Lihat Q.S Luqman (31): 14-20. 81 Pemikiran Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan Islam tujuannya adalah menanamkan semangat Islam dalam nuansa wawasan keilmuan. Sehingga hasil dari pendidikan Muhammadiyah adalah melahirkan manusia-manusia yang berhati penuh dengan iman, dan taqwa agar dapat membentuk manusia Muslim yang bersumber pada al-Qur‟an dan Hadis serta berfikir bebas tetapi terikat nilai-nilai kebenaran universal (Allah), progresif dan dinamis dalam mengahadapi dan merespon pada tuntutan zaman serta wawasan kepada kependidikan Islam. Dari pemikiran Ahmad Dahlan melimpah berbagai pengetahuan dan keterampilan. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pada awal abad 20 konsep pemikiran K.H Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan sangat bertolak belakang dengan konsep pendidikan pemerintah Hindia Belanda dan lembaga pesantren. Ketika itu, sekolah pemerintah Hindia Belanda lebih mementingkan ilmu pengetahuan sementara lembaga pesantren lebih mementingkan ilmu keagamaan. Hal tersebut berdampak pada pemikiran para orang tua yang beranggapan, bahwa jika anaknya sekolah di pemerintah Hindia Belanda akan dianggap kafir. Karena sekolah pemerintah Hindia Belanda memakai celana panjang, berjas, berdasi, bertopi dan lain sebagainya khususnya di daerah Jawa. Sementara jika anaknya di masukkan ke sebuah pesantren, anak tersebut akan kurang mendapatkan ilmu pengetahuan umum. Keadaan tersebut ditanggapi oleh K.H. Ahmad Dahlan bahwa umat Muslim tidak dapat berfikir secara monoton atau memisahkan diri dari mempelajari pengetahuan umum dan agama. Oleh karena itu K.H. Ahmad Dahlan berupaya mencari solusi dengan mendirikan sekolah melalui organisasi Muhammadiyah yang mengkolaborasikan antara pendidikan agama dan pengetahuan umum. Melalui pendidikan Muhammadiyah K.H Ahmad Dahlan berharap peserta didiknya mempunyai kelebihan dalam segala bidang ilmu pengetahuan. 82 83 Adapun kurikulum yang diterapkan pada sekolah Muhammadiyah meliputi integrasi ilmu dan amal. Artinya peserta didik harus menuntut ilmu setinggi-tingginya agar dapat mengamalkan ilmunya kepada masyarakat,karena di dalam ajaran Islam diajarkan seorang Muslim harus mempraktikkan ilmunya kepada masyarakat, yang berarti berkarya. Sebagai contoh, K.H Ahmad Dahlan membuat panti asuhan Hoofbestur 1921, agar anak yatim/piatu dan yatim piatu dapat terhindar dari kebodohan dimasa penjajahan Belanda dan membuat organisasi Aisyiyah (khusus wanita) 1917, agar seorang wanita juga harus bependidikan tinggi dikarenakan pendidikan seorang anak dimulai dari pendidikan rumah dengan seorang ibu. Selanjutnya, integrasi ilmu agama dan ilmu umum. Artinya, ilmu harus diimbangi dengan ilmu agama dan ilmu umum, agar peserta didik menjadi ulama-intelek atau intelektual-ulama. Maka dari itu, melalui Muhammadiyah K.H Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah model Belanda yang mengkolaborasikan ilmu agama dengan ilmu umum. Dengan demikian, ia berharap peserta didik mempunyai kelebihan dalam segala hal bidang ilmu pengetahuan. Contoh, berkat mempelajari ilmu agama dan ilmu umum, salah satu murid K.H Ahmad Dahlan yaitu H.M Sudjak mempunyai kelebihan dalam bidang kesehatan, yang akhirnya mendirikan rumah sakit Muhammadiyah di Yogyakarta 1936. Tujuan K.H Ahmad Dahlan menggabungkan kedua ilmu tersebut, agar peserta didik mampu memenuhi kebutuhannya sesuai dengan tuntutan zaman. 84 Kemudian, kebebasan berfikir. Menurut K.H Ahmad Dahlan dengan adanya kebebasan berfikir terhadap peserta didik, agar mampu mempunyai pendapat atau nilai-nilai tersendiri. Artinya, peserta didik mampu mengembangkan, menjelaskan atau menjabarakan ajaranajaran/teori-teori yang diajarkan oleh pendidik, serta tidak mengikuti pandangan orang lain tanpa tahu alasannya (taqlid). Cara K.H Ahmad Dahlan mengajar selalu memberikan kesempatan pada peserta didik untuk berfikir secara modern atau dengan konteks kekinian, tetapi tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Memberikan kebebasan berfikir terhadap peserta didik, agar peserta didik memilki pandangan yang luas dan tidak berfikir monoton. Maka dari itu, K.H Ahmad Dahlan menasihati kepada peserta didik “kalau menjadi Kiai harus menjadi Kiai yang maju dan selalu ada ide-ide yang baru, sehingga melahirkan amal pembaharuan yang berkemajuan” Selain kebebasan berfikir, K.H Ahmad Dahlan juga mengajarkan pada pembentukan karakter. Menurut K.H Ahmad Dahlan pembentukan karakter sangat penting pada peserta didik, agar berakhlakul karimah. Artinya, peserta didik harus menanamkan jiwa sosial, moral dan beragama pada kehidupan sehari-seharinya, agar terbentuknya karakter. Sebagai contoh, di luar Muhammadiyah K.H Ahmad Dahlan mengajarkan peserta didik untuk mempunyai jiwa sosial dalam beragama seperti, bergotong royong, menyantuni fakir miskin, tolong menolong dan lain sebagainya. 85 Karena, manusia yang berkepribadian baik adalah orang-orang yang mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur‟an dan Hadis. Oleh karena itu, pemikiran pendidikan Islam menurut K.H Ahmad Dahlan mengarahkan peserta didik untuk menjadi seorang Muslim yang ulama-intelek atau intelektual-ulama, berwawasan luas, mengamalkan ilmu-ilmunya serta mempunyai karya. Dengan pemikiran tersebut, peserta didik akan terbentuknya karakter pada kehidupan sehari-hari dan berakhlakul karimah sesuai anjuran al-Qur‟an dan Hadis yang menuju pada kecerdasan intelektual, spiritual, emosional dan sosial, agar pserta didik selamat baik di dunia maupun di akhirat. B. Saran-saran 1. Kepada pendidik harus mempunyai visi ke depan pada bentuk keterampilan atau kreatif dalam mengajar pada peserta didik yang tidak hanya bertujuan dalam mencerdaskan intelektual, tetapi harus membentuk watak yang berakhalakul karimah. 2. Untuk para penerus Muhammadiyah agar terus melanjutkan jasa-jasa K.H Ahmad Dahlan atas keikhlasannya dalam memperbaiki agama dan umatnya. Selain itu, organisasi Muhammadiyah perlu memperbanyak media tulis, cetak dan elektronika yang sekiranya dapat menunjang Informasi untuk mendapatkan data yang akurat, agar sosok Muhammadiyah lebih dikenal oleh masyarakat. 3. Kepada pemerintah, diharapkan untuk memfasilitasi dan melakukan pembinaan secara intensif dan berkesinambungan dalam rangka 86 pengembangan sistem dan peningkatan pendidikan umum, karena kian hari pendidikan Islam yang semakin dinamis menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. DAFTAR PUSTAKA Ali, Mohamad, Reivensi Pendidikan Muhammadiyah. Jakarta: Al-Wasat Publishing House, 2010. Arief, Dr. Armai. Pengantar Ilmu Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Arifin, H.M. Ilmu pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdsarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Askara, 1991. ______, Kapita Selekta Pendidiktan Islam dan Umum. Jakarta: Bumi Askara, 1993. Arifin, Prof. H. Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Askara, 2010. Assegaf, Abdur Rahman, Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suka Press, 2007). As-shona’aini, Sabulus Salam, Bairut: Darul Kutub Alamiyah, 1971. Azra, Azyumardi, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2013. Basri, Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009. Daulay, Haidir Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan dan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2007. Djamas, Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Grafindo, 2009. Fadjar, Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1998. Hadjid, Ajaran K.H.A Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat al-Qur’an. Semarang: PMW Jawa Tengah, 2004. Jalaludin, Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Kadir, Abdul, Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Karisma Putra Utama, 2012. Kosim, Muhammad, Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun Kritis, Humanis dan Religius. Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2012. Kusumo, Djarwi Hadi, Persatuan, t,t. Matahari-Matahari Muhammdiyah. Yogyakarta: Kutoyo, Sutrisno, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah. Jakarta: Depdikbud, 1985. Ma’arif, Ahmad Syafi’I dan Abdul Munir Mulkan, I Abad Muhammadiyah Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan. Jakarta: Kompas, 2010. 86 87 Ma’ruf, Farid, Analisis Aklhak dalam Perkembangan Muhammadiyah. Jakarta: Majlis Taman Pustaka, 1962. Madjid, Nurcholis, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1993. Minarti, Sri, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif Normatif. Jakarta: Bumi Askara, 2013. Mujib, Abdul, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2006. Mulkan, Abdul Munir, Islam Kultural Kiai Ahmad Dahlan. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2012. Munardji, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bina Ilmu, 2004. Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. ____, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Nizar, Samsul, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, t,t. Nizar, Samsul dan Al-Rasyid, Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan. Jakarta: Ciputat Press, 2005. Noor, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1980. Prodjokusumo, Pemesyarakatan Tradisi, Budaya, dan Politik Muhammadiyah. Jakarta: Perkasa, 1995. Rahman, Fajrul dan Sutrisno, Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2011. Rasyad, Aminudin, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Depag RI, 1986. Ridjaluddin, F.N, Falsafat Islam Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa. Jakarta: Pustaka Kajian Islam FAI UHAMKA, 2009. Sairin. Weinata, Gerakan Pembaharuan Muhammdiyah., Jakarta: Sinar Harapan, 1995. Salam, Junus, K.H.A. Dahlan, Amal dan Perdjoeangannja. Jakarta: Depot Peangadjajaran, 1968. Shaleh, Abdul Rahman, Pendidikan Agama dan Pengembangan Watak Bangsa. Jakarta: Rajawali Press, 2005. 88 Shobron. Sudarno, Studi Kemuhammadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan Organisasi. Surakarta: LPID, 2008. Steenbink, Karel A, Pesantren Madrsah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES, 1996. Sucipto, Hery, K.H Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri Muhammdiyah. Jakarta: Media Utama, 2010. Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2011. Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Jakarta Raja Grafindo, 2004. Syuja, Islam Berkemajuan, Kisah Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. Tangerang: Al-Wasath, 2010. Zuharini, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Askara, 2009. Referensi Internet: Belarminus, Robertus. “Anies Baswedan Sebut Pendidikan Indonesia Gawat Darurat”. 10 Novmber 2015. http://www.edukasi.com. Ramdani, Ahmad Fauzi. “Gerakan Budi Utomo 1908”. 18 Maret 2016. http://mahasiswamuslimgarut.blogspot.co.id. Santoso, Urip. “Kumpulan Hadist Tentang Ilmu”. 14 Agustus http://darussalambengkulu.wordpress.com. 2016. Suryanis, Afrilia. “Begini Kronologi Bullying di SMA Don Bosco”. 2 Oktober 2015. http://www.tempo.co. Tohirin. “Tujuan Pendidikan”. 8 April 2016. http://sholohfikr.blogspot.co.id. Yogyakarta, RS. PKU Muhammadiyah. “Sejarah RS PKU Muhammadiyah”. 24 Maret 2017. http://rspkujogja.com.