pemikiran pendidikan islam menurut kh ahmad

advertisement
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT
K.H. AHMAD DAHLAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Dwi Puspa Khairunnisa
NIM: 1111033100023
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2017M.
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab
Indonesia
Arab
Indonesia
‫ا‬
a
‫ط‬
ṭ
‫ب‬
b
‫ظ‬
ẓ
‫ت‬
t
‫ع‬
'
‫ث‬
ts
‫غ‬
hg
‫ج‬
j
‫ف‬
f
‫ح‬
ḥ
‫ق‬
q
‫خ‬
kh
‫ك‬
k
‫د‬
d
‫ل‬
l
‫ذ‬
dz
‫م‬
m
‫ر‬
r
‫ن‬
n
‫ز‬
z
‫و‬
w
‫س‬
s
‫ه‬
g
‫ش‬
sy
‫ء‬
'
‫ص‬
ṣ
‫ي‬
y
‫ض‬
ḍ
‫ة‬
h
Vokal Panjang
Arab
Indonesia
‫آ‬
ā
‫ٳى‬
Ī
‫أو‬
ū
iv
ABSTRAK
Nama: Dwi Puspa Khairunnisa
NIM : 1111033100023
Judul : Pemikiran Pendidikan Islam Menurut K.H Ahmad Dahlan
Pada awal abad 20, lembaga pendidikan di Indonesia mempunyai dua
pendidikan yang berbeda yaitu pendidikan tradisional dan pendidikan sekuler.
Pendidikan tradisional adalah lembaga pendidikan pesantren yang dikelola oleh
umat Islam atau ulama-ulama Muslim dan hanya diajarkan ilmu agama saja.
Sedangkan, pendidikan sekuler adalah pendidikan sekolah umum yang dikelola
oleh pemerintah Hindia Belanda dan hanya diajarkan ilmu pengetahuan umum
saja. Pada awal abad 20 masyarakat Muslim beranggapan bahwa akan dianggap
kafir apabila anak-anaknya dimasukkan ke sekolah pemerintah Hindia Belanda
yang memakai sistem Barat yaitu bercelana panjang, berjas, berdasi dan lain
sebagainya. Anggapan ini membawa pengaruh besar terhadap ekonomi Muslim
yang mengakibatkan masyarakat Muslim tidak memiliki akses ke sektor-sektor
pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta.
Untuk memperbaiki kondisi pendidikan umat Islam di Indonesia
khususnya umat Muslim, maka salah satu tokoh pembaharuan yaitu K.H Ahmad
Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah 1912 yang berasal dari Kauman
Yogyakarta, juga terkenal sebagai seorang aktivis sosial keagamaan menawarkan
sistem pendidikan baru dengan mengkolaborasikan ilmu agama dan ilmu umum.
Menurutnya hanya melalui pendidikan seperti ini, kondisi umat Islam di Indonesia
dapat berkembang lebih baik secara ekonomi-pendidikan dan pendidikanekonomi.
Melalui Muhammadiyah, K.H Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah
model Belanda yang mengkolaborasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan
umum. Adapun kurikulum yang diterapkan K.H Ahmad Dahlan pada sekolah
Muhammadiyah meliputi integrasi ilmu dan amal, integrasi ilmu agama dan ilmu
umum, kebebasan berfikir dan pembentukan karakter dengan tujuan peserta didik
mempunyai wawasan yang luas dan ahli dalam segala bidang ilmu pengetahuan,
baik umum maupun agama, sehingga peserta didik dapat mengembangkan atau
mengamalkan ajaran-ajaran/teori-teori yang diajarkan pendidik, serta tidak
mengikuti pendangan orang lain tanpa tahu alasannya (taqlid) dan peserta didik
harus menanamkan jiwa sosial, moral dan beragama pada kehidupan sehari-hari.
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Syukur kata nikmat Allah SWT yang terus mengiringi setiap langkah para hambaNya dalam segala proses kehidupan. Karena-Nya penulis diberi kemudahan
selama penyusun skripsi ini, sehingga dapat menyelesaikannya dengan baik.
Salawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan, Nabi
Muhammad Saw. Atas selesainya karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan materil
maupun moril dari berbagai pihak. Untuk itu saya ucapkan terimakasih kepada.
1. Ayahanda Heri Iskandar dan Ibunda Masliyah, kedua orang tua yang
selalu memberikan motivasi, serta doa selama perjalanan penulis dalam
menuntut ilmu di manapun penulis berada, serta kakak dan adik-adik
tercinta, Abraham Pisca, Salsabila, Alarsy dan Fatimah Azzahra yang
selalu memberikan semangat dan doa. Rasanya tidak pernah cukup untuk
berterima kasih, semoga Allah selalu mencurahkan rahmat dan kasih
sayang kepada mereka.
2. Din Wahid, Ph.D., selaku Dosen Pembimbing yang selalu meluangkan
waktu, memberikan arahan, motivasi, dan membimbing penulis dengan
baik, sehingga terselesaikannya skripsi ini.
3. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku Ketua Program Studi Aqidah Filsafat
dan Abdul Hakim Wahid., SHI., MA., selaku Selaku Sekretaris Program
Studi Aqidah dan Filsafat Islam.
4. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
5. Drs. Nanang Tahqiq, MA., selaku dosen mata kuliah metode penelitian
filsafat yang telah mengajarkan pada penulis tentang ketelitian dan
ketekunan.
6. Prof. Dr. Abdul Azis Dahlan, MA., selaku Dosen Pembimbing Akademik.
7. Kepada Ibu Fitroh selaku dosen Fakultas Sainstek yang selalu memberikan
motivasi, doa serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
vi
8. Sahabat perjuangan, yang menemani suka duka dan selalu mendengar
keluh kesah penulis selama enam tahun ini, Husni Mubarok, Mila Astuti,
Annisa Shabrina dan Rilla Selastia.
9.
Sahabat-sahabat Aqidah Filsafat 2011 tanpa terkecuali, yang sudah
banyak membantu dan selalu memberikan semangat lewat canda dan tawa.
10. Sahabat-Sahabat Basketball UIN Jakarta, IKANZ Basketball Alumni AlZaytun, serta keluarga KKN Garmandes 2014.
11. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut membantu
dalam perjuangan penulis dengan sengaja maupun kebetulan, terimakasih
tak terhingga penulis sampaikan. Semoga kita dirahmati Allah Swt. Amin.
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan wawasan
pengetahuan bagi siapa pun yang berkesempatan membacanya.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Jakarta, 13 Juli 2017
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PESETUJUAN .......................................................................
i
LEMBAR PERNYATAAN .....................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ..................................
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ..............................................................
iv
ABSTRAK ................................................................................................
v
KATA PENGANTAR ...............................................................................
vi
DAFTAR ISI ..............................................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................
7
C. Tujuan Penelitian ...................................................................
7
D. Manfaat Penelitian .................................................................
8
E. Tinjauan Pustaka ....................................................................
8
F. Metodologi Penelitian ............................................................
10
G. Sistematika Penulisan ............................................................
11
BAB IIBIOGRAFI K.H. AHMAD DAHLAN
A. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan...........................
13
B. Aktivitas Sosial dan Keagamaan ...........................................
23
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
A. Definisi Pendidikan Islam ......................................................
34
B. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam.....................................
39
C. Metode Dalam Pendidikan Islam ...........................................
43
D. Masalah Modernisasi Pendidikan Islam ................................
48
viii
BAB IV PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM KIAI AHMADDAHLAN
A. Integrasi Ilmu dan Amal ........................................................
60
B. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum .................................
65
C. Kebebasan Berpikir................................................................
69
D. Pembentukan Karakter ...........................................................
74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................
82
B. Saran-Saran ............................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
86
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awal abad 20, Indonesia mempunyai dua sistem pendidikan
yaitu sekuler dan tradisional. Pendidikan sekuler merupakan sistem
pendidikan yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dalam
sistem pendidikan tersebut di ajarkan ilmu pengetahuan umum saja.
Sedangkan, Pendidikan tradisional merupakan sistem pendidikan yang
didirikan oleh ulama-ulama Muslim, yang dalam sistem pendidikan
tersebut hanya diajarkan ilmu agama. Menurut Raden Sasrosugondo1
menceritakan tentang kondisi pendidikan pada awal abad 20 melalui
majalah Adil No. 51 tahun 1936, sebagai berikut:
Sepanjang penganggapannya para santri di Kauman, dan di pondok
lainnya, pada ketika itu, bahwa anak atau orang yang pernah
bersekolah di sekolah pemerintah Hindia Belanda itu sudah tidak
Islam lagi, bahkan di anggap sudah memasuki agama Nasrani. Oleh
karena itu para santri atau pun haji tidak bisa leluasa
perhubungannya dengan priyai-priyai Gubernemen tersebut. Para
santri sama merendahkan priyayi-priyayi di dalam hati. Sebaiknya
para priyayi-priyayi berganti sama merendahkan pada dirinya
santri-santri, sebabnya mereka itu dianggap rendah pengetahuannya
tentang pelajaran di bangku sekolah. Misalnya soal berhitung, ilmu
bumi, sejarah, ilmu alam, ilmu ukur dan lain sebagainya. Mereka
mengira bahwa santri itu terutama hanya pandai soal agama belaka.
Lebih-lebih priyayi-priyayi itu perasaanya sudah memegang ilmu
sesungguhnya.2
1
Raden Sasrosugondo merupakan aktifis Muhammadiyah yang hidup pada abad 20. Ia
juga aktif sebagai penerjemah bahasa Belanda.
2
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan K.H Ahmad Dahlan dan Beberapa
Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa (Jakarta Selatan: Pustaka Kajian Islam
FAI UHAMKA, 2009), h. 361-362.
1
2
Peristiwa tersebut menunjukan bahwa pendidikan di Indonesia
belum mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya. Tujuan
pendidikan di antaranya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang berbudi
luhur, berakhlak baik, serta memiliki pengetahuan, keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.3 Tujuan
pendidikan di Indonesia adalah membentuk karakter seseorang yang
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
K.H Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, hadir dengan ketidak sepakatannya dengan sistem pendidikan yang didirikan oleh
Hindia belanda. Ia menganggap timpang sistem pendidikan tersebut.
Maka
dari
itu
mengkolaborasikan
ia
menawarkan
antara
sistem
sistem
pendidikan
pendidikan
sekular
yang
dengan
tradisional.4
Sayyid Ahmad Khan, seorang tokoh pembaharu di India, ia
mengakui bahwa pendidikan yang mementingkan ilmu agamanya saja
akan menghasilkan orang-orang ahli pada bidang agamanya saja.
Akan tetapi Ahmad Khan juga mengakui bahwa meniru metode
pendidikan para pendahulunya tidak akan membuahkan hasil yang
diinginkan. Metode-metode baru yang sesuai dengan zaman harus
3
Tohirin, “Tujuan Pendidikan,” artikel diakses pada tanggal 8 April 2016 dari
http://sholihfikr.blogspot.co.id.
4
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan K.H Ahmad Dahlan dan Beberapa
Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 352-353.
3
diubah karena dengan pendidikan yang sesuai dengan tuntunan zaman
akan membentuk kepribadian yang budi luhur. Seperti contoh, Ahmad
Khan mencoba mendorong masyarakat Muslim untuk berhubungan
dengan
orang-orang
Barat
seperti,
makan
bersama
mereka,
menghormati agama mereka, mempelajari ilmu-ilmu mereka dan lain
sebagainya. Tindakan ini membuat masyarakat Muslim membentuk
kepribadian yang budi pekerti. Menurut Ahmad Khan, berbudi luhur
adalah hakikat dari pengajaran, yang bukan bersifat teoritis seperti
kebanyakan orang pahami. Maksud pengajaran dari budi luhur bukan
berarti mengajarkan teori-teori tentang baik dan buruk, benar dan
salah, namun sikap keseharian dan kepribadian yang dipraktikan
dalam kehidupan sehari-hari.5
Berbicara tentang budi luhur, menurut Ahmad Dahlan, berakhlak
luhur tidak hanya terbatas memiliki sifat-sifat kepribadian, tetapi
harus dinamis, aktif mencari pengetahuan, bersikap dan bertindak
dengan baik terhadap kehidupan.6 Berakhlak luhur merupakan sikap
yang selalu mengamalkan kebaikan-kebaikan di dalam diri serta
senantiasa
saling
tolong
menolong
sesama
manusia.
Dalam
menciptakan akhlak luhur di kalangan siswa, Ahmad Dahlan berusaha
untuk mendekati remaja di lingkungannya. Ia mempunyai cara khusus
5
Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan K.H Ahmad Dahlan dan Beberapa
Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 268-269.
6
Syuja, Islam Berkemajuan, Kisah Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
Masa Awal (Tangerang: al-Wasath, 2010), h. 163-164.
4
dalam mendidik dan mendekati murid-murid remajanya yang berusia
25 tahun untuk berakhlak luhur.
Beberapa penulis menyatakan bahwa Dahlan kerap mengajarkan
serta mendorong para muridnya agar gemar beramal, melakukan
kebaikan, dan menghindarkan diri dari kebiasaan berfoya-foya dan
kenakalan. Hal tersebut akan membentuk kepribadian siswa berakhlak
luhur. Ada strategi tersendiri yang digunakan oleh Dahlan untuk
mendidik mereka. Ia berawal mengikuti segala keinginan dan
kemauan mereka, seperti berpiknik, bermusik, dan sebagainya.
Kemudian sedikit demi sedikit mereka dididik hingga kemudian dapat
menjadi pribadi yang berbudi luhur dan saleh.7 Dalam hal ini Dahlan
berkata:
Berakhlak luhur dan berbuat kebajikan merupakan kelanjutan dari
sikap iman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab dan para nabi.
Berbudi luhur, juga berarti memberikan harta yang dicintai,
mengasihi anak-anak yatim, fakir miskin dan budak. Juga
mendirikan salat, zakat, tepat janji, sabar, dan lapang dada dari
segala kesulitan serta senantiasa rela berkorban untuk sesama.Serta
saling menghormati dalam kebenaran dengan sesamanya, dan ini
diartikan sebagai upaya perbaikan pribadi umat dan bukan untuk
mencari kesalahan orang lain. Dan hal ini akan membawa mereka
senantiasa dekat dengan Allah dan terpelihara dari segala
kesalahan.8
Dari kutipan di atas, menurut Ahmad Dahlan, akhlak setiap orang
tidak cukup hanya mengetahui kebaikan pada tataran teori belaka,
7
Junus Salam, K.H.A. Dahlan, Amal dan Perdjoeangannja (Jakarta: Depot Pengadjajaran
Muhammadiyah, 1968), h. 17.
8
Ridjaluddin F.N,Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan K.H Ahmad Dahlan dan
Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 458.
5
akan tetapi harus senang mempraktikkan dan senang berbuat baik.9 Di
samping itu, selain berakhlak luhur Ahmad Dahlan dalam sistem
pendidikannya mempunyai metode tersendiri. Ia mengkolaborasikan
sistem pendidikan umum dan agama. Ahmad Dahlan berpendapat
bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu
yang utuh yang mempunyai pengetahuan umum dan moral (agama).
Bagi Ahmad Dahlan, kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Inilah yang menjadi alasan Dahlan mengapa agama
dianggap penting dalam pendidikan. Oleh sebab itulah, Ahmad
Dahlan menyisipkan nilai-nilai keagamaan di sekolah-sekolah sekuler.
Hal ini dimaksudkan agar siswa tidak hanya mampu menguasai
pendidikan keduniawian tetapi juga memahami agama sebagai
pedoman hidup, yang pada akhirnya menghasilkan manusia yang
berbudi luhur (etika).10
Ahmad Dahlan melihat pendidikan di Indonesia terbagi menjadi
dua kutub intelektual, yaitu pendidikan pesantren yang dianggap
hanya menciptakan individu yang saleh dan hanya menguasai ilmu
agama saja. Sebaliknya, di sisi lain pendidikan Belanda yang
merupakan pendidikan sekular di dalamnya hanya mengedepankan
pendidikan umum.11 Dari peristiwa ini, Ahmad Dahlan berpendapat
9
Syuja, Islam Berkemajuan, Kisah Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
Masa Awal, h. 163-164.
10
Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri
Muhammadiyah (Jakarta: Media Utama, 2010), h. 119-123.
11
Syuja, Islam Berkemajuan, Kisah Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
Masa Awal, h. 34
6
bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu
yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan
spritual serta dunia dan akhirat.12
Untuk mencapai kehidupan material dan spiritual Ahmad Dahlan
berpendapat bahwa, dengan ilmu yang dimiliki oleh pendidik mampu
mengamalkan ilmunya kepada peserta didik. Ahmad Dahlan
beranggapan bahwa mengamalkan ilmunya adalah berkarya. Artinya,
dengan berkarya merupakan suatu ilmu yang dapat diamalkan secara
terus menerus. Selain itu, dengan mengamalkan ilmu-ilmu yang kita
miliki dapat menanamkan karakter yang baik terhadap peserta didik
dan tindakan ini dapat diajarkan dalam perbuatan sehari-hari. Selain
itu, pendidik mampu menjabarkan ajaran-ajaran\teori-teori dengan
kebebasan berfikir. artinya,
dengan kebebasan berfikir, pendidik
dapat menjelaskan kepada peserta didik dengan mudah untuk
mencapai pengetahuan. Dengan pengetahuan peserta didik mampu
melanjutkan tugasnya sebagai pelajar dan kebebasan berfikir tetap
berdasarkan dengan kaidah-kaidah Islam. Oleh karena itu, umat
Muslim harus berpendidikan agar mempunyai bekal ilmu baik di
duniawi maupun di akhirat, serta tidak mengikuti pandangan orang
lain tanpa tahu alasannya (taqlid).
Keinginan Ahmad Dahlan dalam menciptakan pembaruan di atas,
diharapkan dapat membentuk masyarakat Indonesia yang mempunyai
12
Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan K.H Ahmad Dahlan dan
Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 505.
7
peradaban yang lebih maju, karena apabila masyarakat mempunyai
peradaban yang lebih maju maka akan menjadikan negara dan bangsa
ini menuju peradaban masyarakat yang lebih baik.
Merujuk pada penjelasan di atas maka penulis ingin menelusuri
lebih jauh tentang “PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM K.H
AHMAD DAHLAN” dan membahasnya dalam bentuk skripsi.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pembatasan akan
dilakukan pada pembahasa pemikiran pendidikan Islam menurut K.H
Ahmad Dahlan pada awal abad 20 dengan mengajukan pertanyaan,
yakni bagaimana konsep pendidikan Islam dalam pandangan K.H
Ahmad Dahlan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan pemikiran pendidikan Islam menurut K. H.
Ahmad Dahlan.
2. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata
Satu (S1).
8
D. Manfaat penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah bahwa karya ilmiah ini,
dapat memberikan gambaran dan informasi tentang pendidikan Islam
yang digagas oleh K.H Ahmad Dahlan. Selain itu juga, karya ilmiah
ini diharapkan dapat menjadi suatu sumbangan akademik yang
bermanfaat
di
masyarakat
dan
dapat
menambah
khazanah
perpustakaan di Indonesia.
E. Tinjauan Pustaka
Sebagai seorang pemikir dan pembaharu di Indonesia, K.H Ahmad
Dahlan telah menarik perhatian para sarjana di dalam dan di luar
negeri. Di UIN Jakarta, beberapa mahasiswa telah menulis
tentangnya. Salah satunya adalah Anastasia Dansy Novitasari dalam
skripsinya “Metode Pembelajaran Akhlak Menurut K.H Ahmad
Dahlan dan Relevansinya dengan Pembelajaran Akhlak dalam Islam”
(skripsi, Pendidikan Agama Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2013). Dalam skripsinya tersebut Anastasia menjelaskan bahwa
metode pembelajaran akhlak harus berpedoman pada al-Qur‟an dan
Hadis, serta harus menggunakan akal pikiran sesuai jiwa ajaran Islam.
Hal ini dapat dilihat dari murid-murid K.H Ahmad Dahlan
menggunakan metode pembiasaan.
Selanjutnya, karya dari Lutfhi Hariyanto“Gagasan dan Upaya
Pembaharuan K.H Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah” (Skripsi,
9
Aqidah Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, 2003). Pada skripsi tersebut
penulis menyinggung pemikiran-pemikiran K.H Ahmad Dahlan
sebagai pembaruan Islam, karena K.H Ahmad Dahlan bercita-cita
untuk meluruskan pemahaman ajaran Islam yang sesuai ajaran Allah
dan
Rasulnyadan
diimplementasikan
amal
dalam
usaha
K.H
organisasi
Ahmad
Dahlan
yang
Muhammadiyah
yang
didirikannya.
Selanjutnya, karya dari Ibnu Tsani“Islam dan Sosialisme Telaah
Atas Pemikiran dan Aksi K.H Ahmad Dahlan” (Akidah Filsafat, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009). Skripsi ini menjelaskan bahwa,
sosialisme yang dipraktikkan oleh K.H Ahmad Dahlan lebih
menitikberatkan sebagai etika sosial dan sosialisme Ahmad Dahlan
bersumber dari kitab suci al-Qur‟an. Aksi-aksi sosialisme Ahmad
Dahlan merupakan aksi perjuangan yang menegakkan hak-hak dasar
manusia seperti hakatas pendidikan, hak atas kesehatan, dan hak atas
penghidupan yang layak.
Di samping skripsi yang telah dicantumkan di atas, ada beberapa
buku yang sudah ditulis oleh sarjana. Di antaranya adalah: K.H
Dahlan Amal dan Perjuangannya, karangan Junus Salam yang
diterbitkan oleh Alwasath Publishing House, 2009. Buku ini
menjelaskan bahwa gagasan-gagasan cemerlang K.H Ahmad Dahlan
dapat terealisir melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya
tahun 1912 M. K.H Ahmad Dahlan berusaha membebaskan
10
masyarakat Indonesia dari kebodohan, kesengsaraan, dan kemiskinan,
melalui gerakan dakwah amar ma‟ruf nahi munkar yang di antaranya
diwujudkan melalui jalur pendidikan.
Selain buku tersebut ada juga buku Jejak Pembaharuan Sosial dan
Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan karangan Abdul Munir Mulkan
yang diterbitkan oleh Kompas, Jakarta, 2010. Buku ini menjelaskan
gerakan reformasi kemanusiaan K.H Ahmad Dahlan yang bersikap
terbuka pada modernitas dan kemanusiaan. Gerakan reformasi
kemanusiaan K.H Ahmad Dahlan bersumber dari ayat-ayat kitab suci
dan sunah rasul.
Lalu karangan Abdul Munir Mulkhan, buku yang berjudul Islam
Kultural Kiai Dahlanyang diterbitkan oleh Grafindo, Jakarta, 2012.
Buku ini menjelaskan, bagaimana K.H Ahmad Dahlan mewariskan
kepada generasi pelanjut dakwah Islam dengan mendirikan organisasi
yang kini berkembang pesat yaitu Muhammadiyah. Selain itu, K.H
Ahmad
Dahlan
juga
mengembangkan
dakwah
kultural
dan
muhammadiyah secara modern, terukur, dan maju.
F. Metode penelitian
Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode library research
(studi
kepustakaan).
Dengan
teknik
ini,
penulis
berupaya
mengumpulkan data-data yang terkait permasalahan yang akan
dibahas pada skripsi ini seperti buku-buku atau artikel.
11
Metode analisa yang digunakan adalah metode deskriptif dan
analitis.
Deskriptif
digunakan
agar
mampu
memahami
dan
memberikan dan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang
terkait dengan skripsi ini. Sementara analitis dipakai agar penulis
dapat menyusun skripsi ini dalam bentuk yang sistematis sehingga
mengena pada inti permasalahan.
Adapun teknik penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman
Akademik Tahun 2011/ 2012 Program Strata 1 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang disusun oleh Tim Penyusun Universitas
Islam Negeri Syarif Hudayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh
CeQDA tahun 2011. Sedangkan mengenai transliterasi penulisan
skripsi ini mengacu pada sistem transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin
yang diterbitkan oleh HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-ilmu
Ushuluddin).
G. Sistematika Penulisan
Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisa materi
dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggambarkannya dalam
sistematika penulisan di bawah ini:
BAB I merupakan pendahuluan yang berisi tentang uraian
permasalahan secara global dan menyeluruh mengenai materi, konteks,
arah dan ruang lingkup pembahasan yang terdiri dari: latar belakang
12
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II berisi tentang riwayat hidup K.H Ahmad Dahlan yang
mencakup latar belakang kehidupan dan pendidikan, aktivitas sosial
dan keagamaan.
BAB III berisi tentang tinjauan umum tentang pendidikan Islam
yang mengenai definisi pendidikan Islam, tujuan dan fungsi
pendidikan
Islam,
metode
dalam
pendidikan
Islam,
masalah
modernisasi pendidikan Islam.
BAB IV merupakan kajian inti persoalan yang dikaji oleh penulis,
berisi tentang pemikiran pendidikan Islam menurut K.H Ahmad yang
meluputi integrasi ilmu dan amal, integrasi ilmu umum dan ilmu
agama, kebebasan berfikir dan pembentukan karakter.
BAB V berisi tentang penutup dari skripsi yang berisi kesimpulan
dari pembahasan dengan memberikan jawaban atas rumusan dan
batasan masalah yang telah dicantumkan pada bab pendahuluan.
BAB II
BIOGRAFI K.H AHMAD DAHLAN
A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
K.H Ahmad Dahlan lahir pada tanggal 1 Agustus 1868 di desa
Kauman, kota Yogyakarta dan meninggal 23 Februari tahun 1923.
1
Kauman ―tempat kelahiran dan tempat Ahmad Dahlan
dibesarkan― adalah sebuah kampung yang terkenal di Yogyakarta,
karena letaknya yang berdekatan dengan Masjid Agung Kesultanan
Keraton. Selain letaknya yang strategis dekat dengan masjid, kampung
ini juga terkenal dengan nuansa keagamaan yang konservatif.
Kampung ini sangat berpengaruh besar dalam perjalanan hidup
Ahmad Dahlan dikemudian hari. Sebagian besar penduduk Kauman
dipenuhi oleh orang-orang Islam dengan mata pencaharian sebagai
pedagang. Disini juga tempat tinggal guru-guru agama seperti imam,
khatib, muazin, dan pegawai masjid.2 Kata “Kauman” berasal dari
bahasa Arab yaitu “qaum” yang maknanya “pejabat keagamaan”.
Daerah ini merupakan tempat tinggal para qaum, santri, serta ulamaulama Islam yang berkewajiban memelihara kemakmuran masjid.3
Kampung Kauman cukup makmur dari segi materi, karena
mayoritas dari penduduknya adalah saudagar. Selain itu juga, warga
1
2
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2011), h. 293.
Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), h.
40.
3
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah (Jakarta:
Depdikbud, 1985), h. 36.
13
14
Kauman mempunyai sikap yang fanatik dalam memahami agama
Islam serta mereka anti terhadap penjajah.4 Ahmad Dahlan juga
berasal dari Kauman namun ia mempunyai sikap yang lebih fleksibel.
Dimasa kecil nama Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia
merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara, yakni adalah Nyai
Khatib Arum, Nyai Muhsinah, Nyai Haji Soleh, Muhammad Darwis,
Nyai Abdurrahman, Nyai Haji Muhammad Faqih dan Muhammd
Basir.5 Darwis dilahirkan dari keluarga yang terpandang dan taat
beragama dan terkenal di lingkungan kesultanan Yogyakarta.
Ayahnya bernama K.H Abu Bakar bin Sulaiman dan ibunya adalah
putri Haji Ismail. Ayahnya adalah seorang ulama dan khatib terkenal
di masjid besar kesultanan di Yogyakarta, sedangkan ibunya adalah
anak dari seorang penghulu besar kesultanan di Yogyakarta.6
Dari garis keturunan ibunya, Muhammad Darwis merupakan cucu
dari penghulu keraton Yogyakarta yaitu K.H Ibrahim. Sedangkan dari
garis keturunan ayahnya, Muhammad Darwis termasuk keturunan
kedua belas dari seorang wali besar dan seorang yang terkemuka di
antara wali songo, yaitu Maulana Malik Ibrahim. Silsilah dari ayahnya
ialah: Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana „Ainul Yaqin,
Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman,
Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurug Djuru Sapisan, Demang
4
Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 41.
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 42.
6
Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan K.H Ahmad Dahlan dan
Beberapa Tokoh LainnyaPemecahan Problema Pendidikan Bangsa(Jakarta Selatan: Pustaka
Kajian Islam, 2009),h. 402.
5
15
Djurug Djuru Kapindo, Kiayi Ilyas, Kiayi Murtadla, KH. Muhammad
Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan).7
Dari silsilah tersebut menjadi jelas bahwa Muhammad Darwis
memang memunyai darah ulama yang kuat yang mengalir dalam
tubuhnya.8
Muhammad Darwis pada masa kecilnya terkenal sebagai seorang
anak yang pintar, rajin, jujur dan suka menolong. Ia sangat kreatif
dalam membuat barang-barang kerajinan tangan dan permainan,
sehingga masyarakat Kauman menamakan dirinya seorang anak yang
ulet, pandai dengan kelebihannya yang bisa memanfaatkan sesuatu.
Muhammad Darwis berkarya bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi
kesenangannya dibagi-bagikan kepada teman-temannya dan saudarasaudaranya. Sejak masa kanak-kanak, jiwa sosial telah bersemi pada
diri Muhammad Darwis. Kelebihan dan jiwa sosial itulah yang
menjadikan Muhammad Darwis sering tampil sebagai pemimpin bagi
teman-temannya.9Djarnawi Hadi Kusumo menggambarkan sosok K.H
Ahmad Dahlan sebagai berikut:
Orangnya agak kurus tinggi, raut mukanya bulat telur, dan
kulitnya hitam manis, hidungnya mancung dengan bibir elok
bentuknya. Kumis dan jenggotnya rapih, kacamata putih selalu
melekat di depan matanya yang tenang, tetapi menembus hati
siapa saja yang memandangnya. Cahaya matanya memancarkan
kasih sayang dan keikhlasan yang tiada taranya. Sinar yang terang
menandakan kedalaman ilmunya terutama dalam bidang tasawuf,
7
Junus Salam, K.H Ahmad Dahlan Amal dan Perdjoeangannja (Jakarta: Depot
Pengadjajaran Muhammadiyah, 1968), h.56.
8
Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 39.
9
Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri
Muhammadiyah(Jakarta: Media Utama, 2010), h. 51.
16
seolah-olah setiap gerakannya dapat ditandai bahwa dia kurang
tidur asyik membaca atau berdzikir kepada Allah, serba teliti dan
hati-hati dalam setiap perbuatan dan langkahnya.10
Ketika berumur tujuh tahun, Darwis belajar menulis, membaca
kitab, mengaji al-Qur‟an dan memperoleh pendidikan keagamaan dari
ayahnya sendiri dan guru-guru yang lain. Muhammad Darwis berhasil
menyelesaikan bacaan al-Qur‟an dan mengahafal 20 sifat-sifat Allah
ketika ia berumur delapan tahun.11
Selain belajar pesantren yang dipimpin oleh ayahnya di kampung
Kauman, Muhammad Darwis juga dikirim oleh ayahnya untuk belajar
di luar Yogyakarta. Karena itu, Muhammad Darwis belajar ilmu fiqih
(hukum Islam) dari Kiai Haji Muhammad Shaleh, ilmu nahwu
(sintaksis bahasa Arab) dari Kiai Haji Muksin, ilmu falak (astronomi)
dan geografi dari Kiai Raden Haji Dahlan, qira‟ah (seni membaca alQur‟an) dari syaikh Amin dan Syaid Bakri dan ilmu hadis (nilai-nilai
dari ketradisian Nabi Muhammad) dari Kiai Mahfudh dan syaikh
Khayyat. Walaupun Muhammad Darwis mempelajari berbagai bidang
ilmu, akan tetapi ia sangat tertarik sekali pada ilmu falaq dan
mendalami ilmu itu.12
Pada abad ke-19, tradisi masyarakat Kauman mengirimkan anakanaknya kepada guru atau para ulama untuk menuntut ilmu. Pada
masa itu ada berbagai guru: guru mengaji al-Qur‟an, guru kitab dan
10
Djarnawi Hadi Kusumo, Matahari-matahari Muhammadiyah (Yogyakarta: Persatuan,
t.t), h. 3.
11
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 43.
Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 43-44.
12
17
guru tarekat.13 Sebelum mengirim putra-putrinya ke sekolah
pendidikan formal dasar, pendidikan dasar agama Islam diajarkan
dilingkungan keluarga. Misalnya, ketika anak-anak berumur empat
atau lima tahun, anak-anak diajak cara membaca al-Qur‟an, dengan
memanfaatkan rumahnya sendiri sebagai tempat mengaji dan belajar
agama.14
Anak-anak Kauman termasuk Muhammad Darwis, tidak pernah
dimasukkan ke sekolah formal, meskipun banyak sekolah-sekolah
yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda yang dikenal
sebagai sekolah Gubernemen. Hal ini disebabkankarena masyarakat
Kauman menganggap sekolah-sekolah tersebut sebagai sekolah orangorang kafir dan mengirimkan anak ke sekolah Belanda, dianggap
sebuah penyimpangan. Pada masa itu, ada pendapat yang mengatakan
bahwa umat Islam tidak diperbolehkan mengikuti pendidikan,
pergaulan serta meniru gaya berpakaian Barat (misalnya bercelana
panjang, berjas, berdasi, bertopi, dan sebagainya).15 Inilah yang
menjadi alasan ayah Darwis tidak memasukkan putra-putrinya ke
sekolahBelanda.Pendapat di atas didasarkan atas hadits Nabi Saw,
yakni:
.‫َه ْن تَ َشبوَ بِقَىْ ٍم فَه َُى ِه ْنهُ ْن‬
13
14
Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 42.
Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980),
h. 14.
15
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 43.
18
Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk
mereka.16 [HR. Abu Dawud].
Tasyabbuh di dalam hadits di atas artinya menyerupai atau meniru
orang kafir dalam masalah keyakinan, ibadah, kebiasaan, atau modelmodel perilaku yang merupakan ciri khas mereka.
Ketika berumur 15 tahun, Darwis memutuskan untuk menunaikan
ibadah haji dan belajar ilmu-ilmu agama.Biaya perjalanan dan
keperluan Muhammad Darwis ke tanah suci ditanggung oleh kakak
iparnya yaitu kiai Haji Soleh. Darwis bermukim di Mekkah selama
lima tahun.17
Pada tahun 1888, Darwis memutuskan untuk kembali ke Kauman
dan bertemu dengan gurunya, Sayyid Bakri Syatha. 18Pada saat itu
sang guru memberikan nama baru untuk Muhammad Darwis yakni
Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang ulama yang terkenal
Mazhab Syafi‟i di Mekkah, yaitu Ahmad binZaini Dahlan.19
Sepulang dari Mekkah, Ahmad Dahlansibuk dengan kegiatan
pendidikan agama. Pada siang hari setelah Zhuhur dan malam hari
setelah Maghrib sampai Isya, Ahmad Dahlan membantu ayahnya
memberi pelajaran mengaji kepada anak-anak dan remaja. Sementara
itu, pada sore hari sesudah Ashar, Ahmad Dahlan mengikuti pelajaran
16
As-shona‟anii, Subulus Salam (Bairut: Darul Kutub Alamiyah, 1971), h. 267/4.
Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri
Muhammadiyah, h. 51.
18
Abdul Munir Mulkan dan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan (Jakarta: Kompas, 2010), h.17. Sayyid Bakri Syatha adalah salah
satu ulama yang ahli dalam bidang ilmu qira‟ah.
19
Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri
Muhammadiyah, h. 51.
17
19
ayahnya yang diperuntukkan bagi orang-orang tua. Tetapi, jika
ayahnya berhalangan tidak bisa mengajar, Dahlan yang menggantikan
untuk mengajar. Lama-kelamaan Ahmad Dahlan dipanggil kiai oleh
anak-anak, remaja maupun orang tua. Alasan mereka memanggil
dengan sebutan nama kiai, karena Ahmad Dahlan memilki keahlian
pada bidang agama Islam dan memberikan keahliannya kepada para
santri.20
Selain itu, Kegiatan Ahmad Dahlan tidak hanya mengajar saja
melainkan juga berdagang. Ia pernah berdagang batik ke kota-kota di
Jawa pada tahun 1892. Usaha perdagangan batik ini dimodali oleh
ayahnya. Usaha yang dilakoninya berkembang dengan baik, yang
awalnya hanya berdagang di kota-kota Jawa akhirnya semakin maju
sampai ke daerah Sumatra bagian Utara. Sambil berdagang Ahmad
Dahlan melakukan syiar agama. Di setiap kota yang dikunjunginya, ia
selalu menyempatkan diri untuk bersilatuhrahmi kepada para ulama
setempat dan berdisukusi tentang ajaran Islam.21
Pada tahun 1896, ayah Ahmad Dahlan meninggal dunia. Semasa
hidup sang ayah menjabat sebagai khatib di masjid kesultanan
Yogyakarta. Sepeninggalnya, posisi khatib dilanjutkan oleh Ahmad
Dahlan. Hal itu karena Ahmad Dahlan pernah mendalami ilmu agama
dan meneruskan pelajarannya di Mekkah, maka Ahmad Dahlan
20
Abdul Munir Mulkan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, h.18.
21
Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri
Muhammadiyah, h. 54-55.
20
diangkat untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai khatib di
masjid kesultanan Yogyakarta oleh Sultan Hamengkubuwono VII. Di
antara tugasnya adalah melaksanakan khutbah Jum‟at secara
bergantian dengan delapan orang teman khatib lainnya, piket di
serambi masjid dengan enam orang temannya dalam waktu seminggu
sekali, dan menjadi anggota dewan agama Islam hukum keraton.22
Jabatan sebagai khatib hanya merupakan penghormatan karena
khatib tidak bergaji. Ia hanya diberi uang penghormatan atau
honorarium yang jumlahnya tidak banyak, yaitu tujuh gulden.23
Ahmad Dahlan memanfaatkan jabatan sebagai seorang khatib untuk
menyebarluaskan pemikirannya tentang Islam kepada masyarakat.
Keteladanan, kejujuran, serta perhatiannya kepada masalah-masalah
sosial pada waktu itu, menjadikan Ahmad Dahlan semakin disukai
banyak orang sehingga ia dijuluki “khatib amin” yang artinya “khatib
yang dapat di percaya”.24
Sebagai seorang khatib, K.H Ahmad Dahlan meluangkan waktu
untuk terus mendalami ilmu agama, khususnya ilmu falaq dan ilmu
hisab dari Kiai Haji Saleh Darat yang berasal dari Semarang. K.H
Ahmad Dahlan berkata:
Bahwa ilmu itu tidak pernah kering-keringnya untuk dipelajari,
semakin dipelajari suatu ilmu itu semakin dirasakan
kekurangannya. Manusia itu harus selalu menuntut ilmu, ibarat
22
Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 44.
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 49.
24
Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 44.
23
21
mulai dari dilahirkan sampai masuk liang kubur. Orang tidak
pernah tua dalam menuntut ilmu.25
Keinginan untuk terus memperdalam ilmu agama sangat besar
dalam diri K.H Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, Ahmad Dahlan
kembali berangkat ke Mekkah untuk menunaikan Ibadah Haji yang
kedua kalinya dan memperdalam ilmu agama di Mekkah.26 Di sana,
Ahmad Dahlan bertemu dengan beberapa ulama Indonesia dan
membicarakan berbagai masalah sosial keagamaan, termasuk masalah
yang terjadi di Indonesia. Di antara ulama tersebut adalah Syekh
Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kiai Nawawi dari Banten, Kiai
Mas Abdulah dari Surabaya dan Kiai Faqih Kumambang Gresik.27
Ahmad Khatib selalu mendorongnya untuk memperbaiki sistem
pengajaran agama Islam di Indonesia dan mengubahnya dari cara
tradisional yang dianggap sudah ketinggalan zaman dengan cara
modern. Menurut Ahmad Khatib, agama Islam itu sebenarnya agama
kemajuan dan dapat disesuikan dengan zaman baru.28
Selain itu, Ahmad Dahlan juga sempat bertemu dengan Rasyid
Rida, seorang tokoh dan pemikir pembaharuan Islam di Mesir.
Dengan Rasyid Rida, Dahlan sempat berputar pikiran mengenai
pembaharuan Islam di dunia. Menurut Rasyid Rida, pembaharuan
Islam harus menitikberatkan kepada pemurnian tauhid (keesaan Allah)
25
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 49
Abdul Munir Mulkan dan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, h.17.
27
Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 46.
28
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 48.
26
22
tidak beriman secara taqlid (secara membabi buta percaya kepada
keterangan seseorang tanpa mengetahui landasan yang primer). Halhal ini juga dipikirkan oleh Ahmad Dahlan. Dari kunjungan yang
kedua inilah, Dahlan membawa semangat pembaharuan dan
diterapkan di tanah air, serta memberikan jawaban terhadap problemaproblema sosial keagamaan yang dihadapi. Setelah pertemuan dengan
Rasyid
Rida,
Ahmad
Dahlan
juga
memperdalam
pemikiran
Muhammad Abduh dan Ibnu Taimiah yang dipublikasikan di majalah
al-„Urwatul Wutsqa (tali yang kuat) dan al-Manar (mercu suar).29
Pada tahun 1905, Ahmad Dahlan balik ke kampung Kauman, dan
kembali melaksanakan fungsinya, baik sebagai khatib amin, maupun
sebagai dai. Aktivitasnya antara lain membangun pondok untuk anakanak yang ingin belajar agama Islam secara umum maupun ilmu lain,
seperti ilmu falaq, tauhid, dan tafsir.30
Di samping itu, selain melakukan aktivitas sosial keagamaan, K.H
Ahmad Dahlan terus belajar untuk memperluas wawasannya dengan
membaca buku atau kitab dan mengkaji buku-buku. Diantaranya:
Kitab Tauhid, Tafsir al-Manar, Tafsir Juz Amma, al-Islam WalNasharaniyahkarya Syeikh Muhammad Abduh, Kanzul al-Ulum,
Dairah al-Ma‟arifkarya Farid Wajdi, Kitab fi al-Bid‟ah, al-Tawaasul
Wal-Wasilah karya-karya Ibnu Taimiyah, Izhar al-Haq karya Rahma
al-Hindi, Tafshil al-Nasyatin Tashil al-sa‟adatain, Matan Al-Hikmah
karya Atha Allah, dan al-Qashaid al- Aththaisyyah karya Abdul al29
Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 44.45.
Abdul Munir Mulkan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, h.20.
30
23
Athas.31Dari kitab-kitab tersebut,kitab yang paling K.H Ahmad
Dahlan sukai adalah Tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh
dan Rasyid Rido. Tafsir al-Manar menjelaskan ide-ide pembaruan
Islam pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20.32
B. Aktivitas Sosial Keagamaan
K.H Ahmad Dahlan tidak mengenal lelah dalam mencari ilmu dan
mengamalkannya pada masyarakat. Ahmad Dahlan dikenal sebagai
seorang ulama dan seorang pedagang yang tidak lepas dari aktivitas
sosial keagamaan.33 Menurut Ahmad Dahlan, sebagai seorang
pedagang ia mempunyai kesempatan besar untuk melakukan aktivitas
sosial keagamaan. Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke
luar Kauman untuk berdagang dan perjalanan tersebut, ia bertemu
dengan ulama, kyai dan tokoh-tokoh umat Islam. Mereka saling
bertukar pikir tentang berbagai disiplin ilmu, antara lain ilmu agama,
sosial maupun permasalahan yang ada di sekitar masyarakat setempat.
Karena kegemarannya menjalin silatuhrami di luar orang-orang
kampung Kauman, Ahmad Dahlan semakin popular di luar
masyarakat Kauman.
31
Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan,h.18.
32
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 45.
33
Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 20.
24
Aktivitas sosial keagamaan, dilakukan setelah kedatangan Ahmad
Dahlan dari Mekkah yang pertama.34 Sebagai seorang khatib, Ahmad
Dahlan menyampaikan ide pembaharuan tentang kekeliruan arah
kiblat salat yang sebenarnya. Banyak masjid di Jawa yang arah
kiblatnya selama ini menghadap kearah Barat, padahal seharusnya
menghadap ke arah Barat Laut. Hal ini sesuai dengan perhitungan
ilmu falaq. Untuk mewujudkan gagasan ini, Ahmad Dahlan
mendiskusikan pandangannya tentang arah kiblat dalam forum
pengajian orangtua yang dipimpin oleh kyai Lurah H. M. Nur, seorang
ulama yang terkenal di Yogyakarta.35
Forum tersebut dilaksanakan pada tahun 1898. Ahmad Dahlan
mengundang 17 ulama yang ada di sekitar kota Yogyakarta untuk
membicarakan arah kiblat di surau milik keluarganya di Kauman.
Untuk diskusi ini para ulama mempersiapkan kitab-kitab agama.
Forum ini disepakati hanya menjadi ajang tukar pikir dan tidak untuk
mengambil
keputusan
apapun.
Tetapi
beberapa
hari
setelah
musyawarah, lantai Masjid Agung di Kauman telah digaris dengan
kapur putih setebal 5 cm yang menunjuk kearah Barat Laut. Kejadian
ini membuat kyai penghulu H. M. Khalil Kamuludiningrat meminta
garis ini dihapus.36 Setelah itu, Ahmad Dahlan dipanggil oleh kyai
Khalil dan ditanya tentang masalah pembuatan garis di lantai Masjid
34
Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan
Organisasi(Surakarta: LPID, 2008), h. 31.
35
Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 49.
36
Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 19.
25
Agung. Ahmad Dahlan menjelaskan bahwa dirinya tidak mengetahui
sama sekali tentang peristiwa ini. Di kemudian hari diketahui bahwa
ada beberapa pemuda yang memang membuat garis dilantai Masjid
Agung tersebut. Menghadapi peristiwa ini, Ahmad Dahlan berdiskusi
dengan Sayyid Utsman al-Habsyi, seorang ahli geografi di Batavia.
Ahmad Dahlan juga pergi ke kantor Observatorium di Lembang
Bandung dalam rangka memerkuat pemikirannya tentang arah kiblat
yang salah itu.37
Untuk merealisasikan ide pembaharuanya, pada tahun 1899 Ahmad
Dahlan merenovasi arah kiblat milik keluarganya di Kauman ke arah
Barat Laut. Beberapa bulan setelah pembangunan selesai, datanglah
kyai penghulu H.M. Khalil ke surau untuk menemui Ahmad Dahlan
dan meminta agar surau itu dibongkar karena arah kiblatnya tidak
sama dengan Masjid Agung Yogyakarta, tetapi Ahmad Dahlan
menolak perintah kyai H. M Khalil. Pada akhirnya surau itu dibongkar
secara paksa pada malam hari itu juga.38
Walaupun diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan mendapat
banyak hiburan dari keluarga agar cita-citanya tidak padam. Akhirnya
Ahmad Dahlan membangun kembali surau tersebut sesuai dengan
arah kiblat Masjid Agung Yogyakarta, sementara arah kiblat yang
sebenarnya ditandai dengan membuat garis petunjuk di bagian dalam
masjid. K.H Ahmad Dahlan berkata: “Kalau mereka belum suka
37
Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 50.
Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 20.
38
26
menerima ilmuku yang benar, di belakang hari mereka akan insaf dan
menuruti pendapatku yang menurut ilmu itu”.39
Walaupun idenya ditolak oleh masyarakat Kauman, perjuangan
Ahmad Dahlan tidak berhenti sampai di sini. Ia berusaha memperbaiki
sikap hidup masyarakat dengan mengajarkan ajaran-ajaran sosial dan
agama, seperti: gotong royong, menyantuni fakir miskin dan anak
yatim piatu, tolong menolong, dan sebagainya. Untuk menanamkan
sifat-sifat itu, Ahmad Dahlan juga mempratikkan hal ini secara
langsung, agar masyarakat mempunyai nilai-nilai positif yang
terkandung dalam Islam.40
Menurut Ahmad Dahlan, agama Islam tidak akan bisa tegak tanpa
diperjuangkan melalui sebuah wadah (organisasi). Demikian pula
perjuangan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda,
harus disertai meningkatkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan melalui
lembaga pendidikan. Akhirnya, Ahmad Dahlan memberi nasihat
kepada masyarakat untuk beramal, berorganisasi, dan berpegang pada
prinsip “senantiasa mempertanggungjawabkan tindakan kepada
Allah”.41 Hal ini berarti tindakan manusia hendaknya senantiasa
merujuk pada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah
Swt. dalam bentuk syariah.
39
Weinata Sairin, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, h. 50-51.
Farid Ma‟ruf, Analisa Akhlak dalam Perkembangan Muhammdiyah(Jakarta: Majlis
Taman Pustaka, 1962), h. 10.
41
Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri
Muhammadiyah, h. 62.
40
27
Pada tanggal 20 Mei 1908, lahir sebuah organisasi yang bernama
Budi Utomo yang didirikan oleh Dr.Wahidin Sudirohusodo.42 Budi
Utomo diawali kata “budi” yang berarti “perangai” atau “tabiat”
dan “utomo” yang berarti “baik” atau“luhur”. Jadi Budi Utomo
adalah perkumpulan yang akan mencapai sesuatu berdasarkan
keluhuran budi, kebaikan perangai atau tabiat. Organisasi ini bergerak
dalam bidang pendidikan, sosial budaya, dan ekonomi. Tujuan awal
organisasi ini adalah untuk mencapai kemerdekaan Indonesia
khusunya di Jawa. Karena ketika itu, ide persatuan seluruh Indonesia
masih belum dikenal.
Dr. Wahidin Sudirohusodo, lahir pada tanggal 7 Januari 1852 di
desa Mlati Sleman, kota Yogyakarta dan wafat pada tangga 26 Mei
1917. Ia menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di Yogyakarta
dan melanjutkan belajarnya di Europeesche Lagere School di
Yogyakarta. Karena hasrat belajarnya yang besar dan kecintaannya
pada dunia medis dan keinginan untuk menolong sesama, Dr. Wahidin
lalu memutuskan untuk melanjutkan studinya ke sekolah dokter ke
Jawa atau yang dikenal juga dengan sebutan STOVIA di Jakarta.43
Ahmad Dahlan mengenal Budi Utomo melalui Joyosumarto.44
Joyosumarto adalah salah satu anggota Budi Utomo dan pembantu Dr.
Wahidin Sudirohusodo di bidang kedokteran. Ketika itu, Joyosumarto
42
Prodjokusumo, Pemesyarakatan Tradisi, Budaya dan Politik Muhammadiyah (Jakarta,
Perkasa, 1995), h. 77.
43
Ahmad Fauzi Ramdani, “Gerakan Budi Utomo 1908,” http://mahasiswamuslimgarut.blogspot.co.id, Artikel Diakses Pada Tanggal 18 Maret 2016
44
Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan(Surakarta: LPID, 2008), h. 58.
28
sedang berkunjung ke Kauman untuk bersilatuhrami kepada
keluarganya, lalu Ahmad Dahlan melihat Joyosumarto dan mengajak
untuk singgah di rumahnya. Dalam pertemuan tersebut, Joyosumarto
menceritakan organisasi Budi Utomo yang memunyai tujuan untuk
membenahi sistem pendidikan, sosial budaya dan ekonomi.
Cerita tersebut mendorong Ahmad Dahlan bertemu dengan
pemimpin Budi Utomo. Berkat Joyosumarto, Ahmad Dahlan bertemu
Dr. Wahidin Sudirohusodo. Walaupun belum menjadi anggota
organisasi ini, Ahmad Dahlan sering menghadiri rapat anggota
maupun pengurus yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di
Yogyakarta.45 Dari pertemuan-pertemuan ini, Ahmad Dahlan sedikit
demi sedikit mengenal aktivitas organisasi Budi Utomo. Dari
pertemuan ini, ia membahas pelajaran di sekolah yang harus
diperbaiki dan badan wakaf untuk mengumpulkan uang guna
membantu anak-anak yang terlantar pendidikannya dan mendirikan
sekolah.46
Ahmad Dahlan resmi menjadi anggota Budi Utomo pada tahun
1909. Ahmad Dahlan tidak hanya sebagai anggota Budi Utomo, tetapi
ia juga menjadi anggota komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo
cabang Yogyakarta.47 Menurut Ahmad Dahlan, selama ia mengikuti
45
Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri
Muhammadiyah, h. 72.
46
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 59.
47
Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri
Muhammadiyah, h. 72.
29
pertemuan resmi Budi Utomo, ia mendapatkan ilmu pengetahuan dan
pengalaman bagaimana memimpin organisasi.48
Walaupun sebagai seorang khatib dan anggota Budi Utomo Ahmad
Dahlan tetap aktif dalam kegiatan sosial keagamaan. Ahmad Dahlan
sering memanfaatkan forum pertemuan pengurus Budi Utomo sebagai
tempat untuk menyampaikan informasi tentang agama Islam. Hal ini
menarik perhatian para pengurus maupun anggota Budi Utomo.
Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah acara resmi selesai.
Upaya Ahmad Dahlan tidak sia-sia. Salah satu pengurus Budi
Utomo R. Sosrosogondo, yang sedang menjabat sebagai guru di salah
satu sekolah negeri yaitu Kweekschool Jetis Yogyakarta, tertarik pada
agama Islam.49 Dengan hadirnya R. Sosrosogondo, Ahmad Dahlan
juga menyampaikan pelajaran agama Islam, khususnya kepada para
pemuda yang akan menjadi penerus sebagai pemimpin bangsa. Karena
pemuda-pemuda Indonesia di masa depan akan menduduki jabatan
penting dalam konstelasi negara dan masyarakat.50
Berkat bantuan R. Sosrosugondo, pada tahun 1910, Ahmad Dahlan
mengajar agama Islam di Kweekschool. Pelajaran agama Islam di
Kweekschool dikategorikan sebagai pelajaran ekstra kurikuler dan
dilaksanakan pada Sabtu sore dan Minggu pagi.51 Peristiwa ini
48
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 59.
Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri
Muhammadiyah, h. 76.
50
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 66.
51
Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan
Organisasi, h. 59.
49
30
merupakan pertama kali diajarkan agama Islam di sekolah negeri.
Melalui cara ini, Ahmad Dahlan berharap agar ia mengajar agama
Islam disekolah-sekolah pemerintah, karena anggota-anggota Budi
Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah yang didirikan oleh
pemerintah dan di kantor-kantor pemerintah. Selain itu, Ahmad
Dahlan juga mengaharapkan kepada anggota Budi Utomo yang pernah
diajarnya menyampaikan pelajaran kepada murid-murid mereka.
Pada tahun 1910, selain Budi Utomo, Ahmad Dahlan juga pernah
mengikuti organisasi yaitu Jami‟at Khair (organisasi masyarakat Arab
di Indonesia) yang didirikan pada tahun 1905 di Jakarta, dipimpin
oleh Abu Bakar bin Ali Syahab. Meskipun organisasi ini mayoritas
anggotanya orang-orang Arab, namun organisasi ini terbuka untuk
umat Muslim dari mana saja. Selain belajar berorganisasi secara
modern di kalangan orang-orang Islam, namun ia juga mendapatkan
pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama yang berhubungan
dengan pendirian dan pengolalaan lembaga pendidikan modern. Di
samping itu, Jami‟at Khair juga membangun hubungan silatuhrami
untuk bertukar pikir kepada pemimpin di negara-negara Islam yang
sudah maju seperti Turki, Mesir dan lainya.52
Pengalaman berorganisasi di Budi Utomo dan Jami‟at Khair,
memberikan pelajaran kepada siswa di Kweekschool dan didukung
oleh perkembangan pendapat masyarakat umumpada waktu itu yang
52
Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan
Organisasi, h. 24.
31
mulai menyadari bahwa pendidikan sangat penting. Oleh karena itu,
Ahmad Dahlan memunculkan ide pembentukan sebuah sekolah yang
memadukan pelajaran ilmu agama Islam dan ilmu umum.53
Akhirnya pada tanggal 1 Desember tahun 1911 Ahmad Dahlan
mendirikan sebuah sekolah yang bernama “Madrasah Ibtidayah
Diniyah Islamiyah” di Yogyakarta.54 Sekolah ini mendapatkan
dukungan dari pengurus dan anggota Budi Utomo. Di samping itu,
para pengurus dan anggota Budi Utomo juga menyarankan kepada
Ahmad Dahlan untuk meminta subsidi kepada pemerintah jika sekolah
yang didirikan itu sudah teratur.55 Sekolah tidak hanya mengajarkan
pengetahuan Agama saja tetapi juga mengajarkan ilmu pengetahuan
umum, seperti berhitung, ilmu bumi dan sebagainya.56
Lembaga pendidikan yang baru saja didirikan oleh Ahmad Dahlan
memerlukan perhatian yang lebih lanjut agar dapat terus berkembang.
Dalam kondisi seperti ini, Ahmad Dahlan mempunyai suatu ide
pembentukan organisasi untuk mengelola sekolah tersebut. Ide
pembentukan suatu organisasi ini didiskusikan dengan Budi Utomo,
guru Kweekschool dan murid Kweekschool Jetis. Diskusi ini
memfokuskan upaya mencari dukungan, persoalan nama organisasi,
tujuan, tempat kedudukan dan pengurus organisasi yang akan
53
Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 22.
54
Abdul Munir Mulkhan, Islam Kultural Kiai Dahlan, h. 38.
55
Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 24.
56
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 70.
32
dibentuk.57 Dari pembicaraan ini disepakati beberapa hal yang
berhubungan dengan rencana pembentukan suatu organisasi tersebut,
yaitu perlu didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta. Para siswa
Kweekschool tetap mendukung Ahmad Dahlan, tetapi mereka tidak
akan menjadi pengurus organisasi yang akan didirikan karena adanya
larangan dari inspektur kepala dan adanya anjuran supaya diambil dari
orang-orang yang sudah dewasa. Budi Utomo akan membantu
pendirian perkumpulan baru tersebut.58
Pada bulan-bulan akhir tahun 1912, persiapan pebentukan sebuah
perkumpulan dilakukan dengan lebih intensif, melalui pertemuanpertemuan yang secara eksplisit membicarakan dan merumuskan
masalah seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi
Utomo dalam proses formalitas yang berhubungan dengan pemerintah
Hindia Belanda. Melihat luhurnya cita-cita Ahmad Dahlan, organisasi
yang ingin dibentuk tidak hanya bertujuan untuk mengelola sekolah
yang sudah dibentuk terlebih dahulu tetapi pembentukan organisasi ini
harus berkembang lebih luas, penyebaran dan pengajaran agama Islam
secara umum serta aktivitas sosial lainnya.59
Akhirnya
Ahmad
Dahlan
mendirikan
organisasi
“Muhammadiyah”. Organisasi ini didirikan pada tanggal 18
57
Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 24-25.
58
Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri
Muhammadiyah, h. 28.
59
Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 25.
33
November 1912 di Yogyakarta, diumumkan secara resmi kepada
masyarakat dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh tokoh
masyarakat seperti, pejabat pemerintah kolonialis, maupun para
pejabat dan kerabat keraton Kesultanan Yogyakarta maupun
Kadipaten Pakualaman. Setelah itu, ada sembilan pengurus inti di
Muhammadiyah yaitu, Ahmad Dahlan, Abdullah Sirat, Ahmad, Abdul
Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Muhammad Fakih.
Ahmad Dahlan menyebarluaskan Muhammadiyah melalui tabligh
dan relasi-relasi dagang yang dimilikinya ke berbagai kota.
Muhammdiyah mendapatkan sambutan besar di berbagai kota di
Indonesia, sehingga ulama-ulama berbagai daerah berdatangan
kepadanya untuk memberi dukungan kepada Muhammadiyah. Atas
dukungan tersebut, pada tangga 7 Mei 1921 Ahmad dahlan
mengajukan permohonan ke pemerintah Hindia Belanda untuk
mendirikan cabang Muhammdiyah di seluruh Indonesia. Permohonan
ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda tanggal 2 September
1921.60
60
Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, 1 Abad Muhammadiyah Gagasan
Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 26 dan 54.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pengertian Pendidikan Islam
Islam adalah agama universal yang mengajarkan kepada umat manusia
mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun akhirat.1
Salah satu ajaran Islam adalah mewajibkan umatnya untuk menuntut
ilmu. Karena menurut ajaran Islam, pendidikan adalah bekal hidup
manusia yang harus dipenuhi, demi mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Selain itu, Allah juga
menyarankan kepada umat Islam untuk belajar baca tulis dan ilmu
pengetahuan, seperti ayat al-Qur‟an yang pertama kali diturunkan oleh
Allah kepada Nabi Muhammad yaitu surat Al-Alaq 1-5, yang artinya:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia
dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada (manusia)apa
yang tidak diketahuinya. (Q.S. Al-Alaq 1-5).
Maksud dari ayat di atas yaitu Allah menginginkan umat
Islammenjadi umat yang pandai yang berawal belajar dari baca tulis dan
diteruskan belajar berbagai ilmu pengetahuan. Selain belajar, Allah juga
menyarankan kepada umat Islam untuk mengajarkan ilmunya kepada
orang lain. Seperti hadis di bawah ini:
1
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 98.
34
35
)‫ضعُىْ ا لِ ُو َعلِّ ِو ْي ُك ْن َولَ ِّينُىْ ا لِ ُوتَ َعلِّ ِو ْي ُك ْن (رواه الطبرانى‬
َ ‫تَ َعل ُوىْ ا َو َعلِّ ُوىْ ا َوتَ َىا‬
Artinya: “Belajarlah dan kemudian ajarkanlah kepada orang-orang
lain, serta rendahkanlah dirimu kepada guru-gurumu, serta berlaku
lemah lembutlah kepada murid-muridmu”2
Beberapa tokoh Muslim memberikan pendapat tentang pendidikan
Islam. H.M Arifin berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah “proses
mengarahkan dan membimbing anak didik ke arah pendewasaan
pribadi yang beriman, berilmu pengetahuan dan saling mempengaruhi
perkembangan kehidupannya untuk mencapai cita-cita sampai titik
optimal kemampuannya”.3
Selanjutnya, Dr. Muhammad Isa Ibrahim menyatakan pendidikan
Islam adalah “sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang yang
dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam,
sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan
ajaran Islam”.4 Dr. Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa pendidikan Islam
adalah “bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain
agar ia berkembang maksimal sesuai dengan ajaran Islam”.5
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
Islam merupakan proses bimbingan jasmani dan rohani kepada peserta
didik untuk membentuk kepribadian yang berakhlak mulia dan
2
Urip Santoso, “Kumpulan Hadist Tentang Ilmu,” Artikel diakes pada tanggal 14
Agustus 2016 dari http://darussalambengkulu.wordpress.com
3
H.M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teortis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Akasara, 1991), h. 10.
4
H.M Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum (Jakarta: Bumi Aksara, 1993),
h. 3.
5
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994), h. 3.
36
pengembangan potensi sesuai ajaran Islam. Proses pendidikan dalam
Islam merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi
kemampuan-kemampuan yang mendasar, serta kemampuan belajar,
sehingga terjadilah di dalam kehidupannya sebagai makhluk individu
dan sosial sampai ketitik optimal. Proses tersebut senantiasa berada di
dalam nilai-nilai Islami, yang menuju peningkatan harkat dan martabat
manusia sesuai dengan fitrah kejadiannya serta berakhlakul karimah.6
Pendidikan Islam sering dihubungkan dengan tiga konsep, yaitu
“al-tarbiyah”, “al-ta‟lim” dan “al-ta‟dib”. Kata “al-tarbiyah” berasal
dari “Rabba”, “yurabbi”, “tarbiyyatan” yang artinya pendidikan.
Menurut istilah al-tarbiyah adalah mengasuh, mendidik, memelihara,
membesarkan dan memimpin.7 Sedangkan, menurut Abuddin Nata altarbiyah adalah “proses bimbingan terhadap potensi manusia baik
berupa fisik, intelektual, sosial, estetika, dan spiritual yang terdapat
pada peserta didik, sehingga dapat tumbuh dan terbina secara maksimal,
melalui cara memimpin, mendidik dan mengasuh agar dapat menjadi
bekal dalam menghadapi kehidupan di masa depan”.8 Pemahaman
tersebut diambil dari ayat al-Qur‟an surat Al-Isra ayat 24 yang artinya:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil.(Q.S. Al-Isra 24).
6
Aminudin Rasyad, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Depag RI, 1986), h.
3.
7
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam(Jakarta: Kencana, 2006), h. 10-11.
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010),
8
h. 8.
37
Maksud ayat di atas menjelaskan bahwa seorang anak sudah
seharusnya berperilaku sopan dan santun kepada orang tua tanpa
terkecuali, karena merekalah yang sudah merawat kita di waktu kecil.
Selain itu, orang tua juga harus memberikan didikan yang baik sesuai
dengan nilai-nilai agama, karena semua itu demi kebaikan orang tua
serta anak.
Kemudian al-ta‟lim yang berasal dari kata “„allama, yu‟allimu,
ta‟liman” yang artinya pengajaran.9 Sedangkan menurut istilah “alta‟lim” adalah pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian
pengertian, pengetahuan dan keterampilan. Sementara itu, Muhammad
Rasyid Rida mengartikan “al-ta‟lim” adalah “proses transmisi berbagai
ilmu pengetahuan dan keterampilan pada jiwa individu tanpa adanya
batasan dan ketentuan tertentu”.10 Pengertian ini diambil dari ayat alQur‟an surat Al-Baqarah ayat 31 yang artinya:
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat
lalu berfirman: "Sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar. (Q.S Al-Baqarah
31).
Ayat di atas menjelaskan, bahwa Allah telah mengajarkan ilmu
pengetahuan serta benda-benda yang ada di sekitarnya kepada manusia.
Setelah itu, manusia mengembangkannya lewat pengalaman dan
pelajaran yang tidak lepas dari bimbingan Allah Swt.
9
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, h. 18.
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, h. 11.
10
38
Selanjutnya, “al-ta‟dib”berasal darikata “addaba, yu‟addibu,
ta‟diban”yang berarti mengajarkan sopan santun. Sedangkan menurut
istilah al-ta‟dib adalah proses mendidik yang memfokuskan kepada
pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti.11 Menurut AlAttas, al-ta‟dib adalah “pendidikan sebagai sarana transformasi nilainilai akhlak mulia yang bersumber pada ajaran agama ke dalam diri
manusia, setelah menjadi dasar bagi terjadinya proses Islamisasi
ilmupengetahuan”.12 Pengertian ini didasarkan oleh hadis Nabi Saw:
‫اَدبَنِي َربِّي فأَحْ سنَ تَأْ ِدبِي‬
Artinya: “Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik
pendidikanku.”
Hadis ini memberikan pandangan bahwa kompetensi Muhammad
seorang rasul dan misi utamanya adalah pembinaan akhlak. Sehingga,
implikasinya terhadap seluruh aktifitas pendidikan Islam seharusnya
memiliki
relevensi
dengan
peningkatan
kualitas
budi
pekerti
sebagaimana yang diajarkan Rasulullah.
Dari ketiga kata tersebut “al-tarbiyah”, “al-ta‟lim” dan“al-ta‟dib”
mempunyai
pengertian
yang
berbeda.
Pengertian
“al-tarbiyah”
memfokuskan pada bimbingan anak, penyampaian ilmu
yang
menggunakan metode mudah diterima sehingga dapat mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari dan mengembangkan potensinya sejak
dini. Selanjutnya, “al-ta‟lim” memfokuskan kepada penyampaian ilmu
11
Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bina Ilmu, 2004,) h. 4-5.
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, h. 14
12
39
pengetahuan
yang
benar,
pemahaman,
pengertian
dan
belajar
bertanggungjawab kepada anak serta keterampilan dalam hidupnya
sangat dibutuhkan. Kemudian, “al-ta‟dib” adalah penguasaan ilmu yang
benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan
tingkah laku yang baik. Kesimpulan di atas bahwa “al-tarbiyah”, “alta‟lim” dan “al-ta‟dib” mempunyai satu tujuan dalam dunia pendidikan
yaitu menghantarkan anak didik menjadi yang seutuhnya, sehingga
mampu mengarungi kehidupan dengan baik.
B. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam
Berbicara mengenai tujuan terkait dengan sesuatu cita-cita atau
maksud yang ingin dicapainya. Sebelum melakuan kegiatan, tujuan
tersebut harus direncanakan agar setiap kegiatan dapat berjalan secara
terarah dan menghasilkan sesuatu yang baik. Tujuan pendidikan Islam
adalah membangun peradaban manusia. Artinya, peradaban dan
kebudayan manusia tumbuh dan berkembang melalui pendidikan. Maka
dari itu, agar peradaban manusia tumbuh dan berkembang sesuai yang
diinginkan, maka tujuan pendidikan Islam harus didasari atas nilai-nilai
dan cita-cita yang berlaku pada suatu masyarakat dan bangsa.13
Ada beberapa tokoh Muslim memberikan pendapat tentang tujuan
pendidikanIslam. Omar Al-Toumy al-Syaibany berpendapat bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah “mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga
13
Abdul Kadir, Dasar-Dasar Pendidikan (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2012), h. 81.
40
mencapai tingkat akhlak al-karimah”.14 Berarti tujuan pendidikan
mempunyai kesamaan dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi
kerasulan yaitu membina manusia agar mempunyai akhlak yang mulia.
Menurut Al-Attas tujuan pendidikan Islam adalah “menolong pelajar
untuk menjadi manusia yang utuh”.15 Pengertian ini menjelaskan
bahwa, manusia harus mempunyai prinsip, memiliki ilmu pengetahuan
agama maupun pengetahuan umum dan tingkah laku yang baik. Karena,
dengan memiliki keilmuan dan pendidikan yang baik seseorang akan
terbebas dari kebodohan dan dengan terbebasnya dari kebodohan akan
mengurangi perbuatan yang jelek. Kemudian, menurut Muhammad
Athiyah Al-Abrasyi, tujuan dari pendidikan Islam adalah “membentuk
akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang yang
bermoral, berjiwa bersih, pantang menyerah, bercita-cita tinggi dan
berakhlak mulia, baik laki-laki maupun perempuan”.16 Maksud dari
tujuan ini, setiap manusia Muslim harus mengerti kewajiban masingmasing, dapat membedakan perbuatan baik dan buruk, mengetahui
dalam setiap pekerjaan apa yang dilakukan dan selalu mengingat Allah.
Berdasarkan dari penjelasan terbentuknya dapat disimpulkan
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya Insan Kamil
(manusia sempurna), yaitu manusia yang utuh, sehat jasmani dan
rohani, berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi baik masyarakat
14
Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.92.
Toto Suharto, Filsafat pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 108.
16
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif Normatif
(Jakarta: Bumi Askara, 2013), h. 103.
15
41
maupun bernegara, memperhatikan keseimbangan segala aspek
kepentingan dunia maupun akhirat dan menuju kesempurnaan hidup
sebagai realisasi dari sikap penghambaan diri kepada Allah Swt.
Di samping itu, tujuan pendidikan Islam mempunyai fungsi
pembinaan dan penyempurnaan kepribadian dan mental anak. Secara
umum fungsi pendidikan Islam adalah membimbing, mengarahkan
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap
kehidupannya sampai mencari kemampuan yang optimal. Sementara
fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan
tugas pendidikan berjalan dengan lancar.17
Fungsi pendidikan Islam secara mikro adalah proses penanaman
nilai-nilai Ilahiah pada diri anak didik, sehingga mereka mampu
mengaktualisasikan dirinya semaksimal mungkin sesuai dengan
prinsip-prinsip religius. Sedangkan secara makro pendidikan Islam
berfungsi sebagai sarana pewarisan budaya dan identitas suatu
komunitas yang di dalamnya manusia melakukan interaksi dan saling
mempengaruhi antar satu dengan yang lain.18
Menurut Muslim Abdul Halim, fungsi pendidikan agama Islam
adalah alat untuk memelihara, memperluas, menghubungkan tingkattingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide
17
Prof. H. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bumi Asakara,
2010), h. 34.
18
Anas, “Fungsi Pendidikan Islam,” Artikel diakes pada tanggal 11 Oktober 2016 dari
http://scribd.com.co.
42
masyarakat nasional untuk mengadakan perubahan, inovasi dan
perkembangan. Maksud dari pengertian tersebut bahwa upaya ini
dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skillyang dimiliki,
serta melatih peserta didik yang produktif dalam menemukan
perimbangan perubahan sosial dan ekonomi yang demikian dinamis.
Sedangkan, menurut Abdul Rahman Shaleh fungsi pendidikan agama
Islam adalah mengembangkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah
swt serta akhlak mulia, kegiatan pendidikan dan pengajaran,
mencerdaskan kehidupan bangsa, fungsi semangat studi keilmuan dan
iptek.19
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan
Islam adalah mewujudkan semua tugas-tugas dari pendidikan Islam itu
sendiri, agar dalam proses pendidikan Islam dapat berjalan dengan
lancar. Bila fungsi pendidikan ini dapat berjalan sesuai dengan apa yang
ditugaskan maka dengan otomatis tujuan dari pendidikan Islam itu
sendiri dapat terwujud yaitu dengan menjadikan manusia Insan Kamil
(manusia sempurna). Fungsi pendidikan agama Islam ini dapat menjadi
insipirasi dan memberi kekuatan mental yang akan menjadi moral yang
mengawasi segala tingkah laku dan petunjuk jalan hidupnya.
19
Abdul Rahman Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa (Jakarta:
Rajawali Press, 2005), h. 44.
43
C. Metode Dalam Pendidikan Islam
Pendidikan Islam dalam pelaksanaanya membutuhkan metode
yang tepat untuk mengantarkan proses pendidikannya ke arah tujuan
yang dicita-citakan.20 Metode pendidikan Islam memiliki fungsi dan
tugas untuk memberikan jalan pelaksanaan operasional dari ilmu
pendidikan Islam. Metode digunakan sebagai alat dalam suatu proses
untuk pencapaian tujuan. Karena, tanpa metode materi pelajaran tidak
akan berproses secara efesien dan efektif dalam kegiatan belajar
mengajar menuju tujuan pendidikan.
Dalam pengertian umum, metode diartikan sebagai suatu jalan
yang dilalui untuk mencapai tujuan.21 Menurut etimologi metode dalam
bahasa Arab dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkahlangkah strategi yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan.22
Bila dihubungkan dengan pekerjaan atau pendidikan, maka metode itu
harus
diwujudkkan
dalam
proses
pendidikan,
dalam
rangka
mengembangkan sikap mental dan kepribadian agar peserta didik
menerima pelajaran dengan mudah, efektif dan dapat dicerna dengan
baik.23
Selain itu, secara etimologi
menurut Athiyah Al-Abrasyi
mendefiniskan metode sebagai “jalan yang kita ikuti untuk memberi
pemahaman kepada murid-murid dalam segala macam pelajaran dan
20
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, h. 103.
Prof. H. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, h. 89.
22
Dr. Armai Arief, Pengantar Ilmu Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), h.40.
23
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), h. 184.
21
44
dalam segala mata pelajaran”.24 Sedangkan, menurut Abdurrahim
Ghunaimah metode adalah “cara-cara yang diikuti oleh guru-guru untuk
menyampaikan sesuatu kepada anak didik”.25 Selanjutnya, menurut
Hasan Langgulung bahwa metode adalah “cara atau jalan yang harus di
lalui untuk mencapai tujuan pendidikan”.26
Dari
definisi-definisi
di
atas
menjelaskan
bahwa
metode
mempunyai berbagai macam cara tehnik untuk mencapai tujuan
pembelajaran atau menguasi kompetensi tertentu yang dirumuskan
dalam silabi mata pelajaran. Di samping itu, ada beberapa metode
pendidikan Islam yang dikemukakan oleh para ahli, di antaranya ialah:
1. Metode Keteladanan, yaitu memberikan teladan atau contoh yang
baik kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.27 Metode
ini menegaskan pentingnya keteladanan guru (pendidik) agar
mempunyai sifat-sifat terpuji dan keutamaan-keutamaan suatu ilmu
yang dapat tertanam dengan kuat pada jiwa anak didik. Karena,
seorang pendidik harus menjadi teladan bagi murid-muridnya.28
Penjelasan di atas merupakan kesempurnaan pendidikan yang
diperoleh dengan menuntut ilmu dan menemukan guru-guru paling
berpengaruh agar dapat diteladani baik ilmu maupun akhlaknya.
24
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif Normatif, h.
25
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif Normatif, h.
26
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif Normatif, h.
27
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif Normatif, h.
139.
139.
139.
142.
28
Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun Kritis, Humanis dan Religius
(Jakarta: Pt Asdi Mahasatya, 2012), h. 88.
45
2. Metode Motivasi, yaitu suatu metode pendidikan dan pengajaran
dengan cara pendidik memberikan motivasi. Jadi seorang pendidik
harus
memberikan
dorongan
motivasi
untuk
mendapatkan
kesuksesan dalam pendidikan disertai harus bersikap luhur,
berakhlak mulia dan membekalinya dengan prisnip-prnsip Islam.
Metode ini sama dengan targhib dan tarhib (anjuran dan ancaman).
Jadi Allah mengajarkan kepada umat Muslim utuk mengajarkan
hal-hal yang positif. Penjelasan di atas sudah dijelaskan dalam AlQur‟an Surat Al-Zalzalah ayat 7-8 yang artinya:
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan
barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”.
(Q.S Al-Zalzalah: 7-8).
3. Metode Kisah-Kisah, yaitu penyajian bahan pembelajaran yang
menampilkan cerita-cerita yang terdapat dalam kitab-kitab (buku),
Al-Qur‟an dan hadis Nabi.29 Menurut Ibnu Khaldun metode kisah
ini mempunyai dua cara yaitu, belajar kitab-kitab (buku) yang
dibacakan oleh pendidik, lalu mereka menyimpulkan permasalahan
ilmu pegetahuan tersebut kepada muridnya dan mengikuti para
ulama terkenal yang mengarang kitab-kitab tersebut serta
mendengarkan secara langsung pelajaran yang mereka berikan.30
Dari penjelasan di atas, metode ini berpengaruh besar dalam
29
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif Normatif, h.
142-143.
30
Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun Kritis, Humanis dan
Religius,h. 86.
46
memperjelas
pemahamannya
terhadap
pengetahuan
lewat
pengetahuan indrawinya. Melalui metode ini adalah salah satu
teknik pendidikan.
4. Metode Hafalan, yaitu suatu cara yang digunakan oleh seorang
pendidik dengan menyerukan peserta didiknya untuk mengahfalkan
sejumlah kata-kata (mufradat) atau kalimat-kalimat maupun
kaidah-kaidah.31 Di samping itu, metode hafalan ini hanya
digunakan pada bidang-bidang tertentu, seperti belajar bahasa
(Arab) metode hafalan sangat dibutuhkan. Seorang yang sering
menghafal dengan cara di ulang-ulang akan memberikan kepada
mereka suatu keahlian yang akan terus berkembang.
5. Metode Dialog, yaitu cara menghubungkan pemikiran seseorang
dengan orang lain, karena dialog diartikan sebagai pembicaraan
antara dua pihak atau lebih yang dilakukan melalui tanya jawab dan
di dalamnya terdapat kesatuan topik atau tujuan pembicaraan.32
Dengan adanya metode dialog, pengertian dan pemahaman
seseorang akan dapat lebih dimengerti, sehingga segala bentuk
kesalah pahaman, kelemahan daya tangkap terhadap pelajaran
dapat dihindari.33 Seperti Al-Qur‟an surat An-Nahl ayat 43 yang
artinya:
31
Abdul Mujib, Pengantar Ilmu Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2006),
32
Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun Kritis, Humanis dan Religius,
33
Prof. H. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, h. 70
h. 209.
h. 86.
47
Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orangorang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan”.
(Q.S An-Nahl: 43).
6. Metode Pembiasaan, yaitu membiasakan peserta didik untuk
melakukan sesuatu sejak lahir. Pembiasaan dapat diartikan
pengulangan, jadi sesuatu yang dilakukan peserta didik hari ini
akan diulang keesokan harinya dan begitu seterusnya. Misalnya,
peserta didik dibiasakan untuk mengucapkan salam ketika masuk
kelas. Maksudnya, peserta didik dibiasakan untuk melakukan halhal yang bersifat terpuji.
7. Metode Amtsal (Perumpamaan), yaitu metode pendidikan yang
digunakan seorang pendidik kepada peserta didik dengan cara
memajukan perumpamaan agar materinya mudah dipahami. Jadi
seorang pendidik harus rajin membaca, berfikir, dan kreatif agar
bisa menemukan perumpamaan saat mengajar. Metode ini dapat
memberikan kemudahan dalam memahami suatu konsep yang
abstrak, serta dapat membina akal agar terbiasa berfikir secara valid
dan
analogis
melalui
penyebutan
premis-premis,
sekaligus
menumbuhkan motivasi untuk meningkatkan imajinasi yang baik.34
Dari beberapa metode pendidikan Islam di atas, bahwa
pendidikan
Islam
diarahkan
kepada
pembentukan
akhlak
muliayang menekankan bahwa seorang pendidik harus memiliki
34
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif Normatif, h.
142-143.
48
norma-norma yang baik, khususnya norma akhlak. Karena,
pendidik merupakan contoh bagi anak didiknya. Selain itu, metode
pendidikan merupakan salah satu aspek dari pembelajaran, maka
dalam menentukan metode apa yang akan digunakan harus selalu
mempertimbangkan aspek-aspek lain dari pembelajaran, seperti
karakter peserta didik, tempat, suasana dan waktu.
D. Masalah Modernisasi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan yang mengarahkan
kehidupan manusia menjadilebih baikdan menuju cita-cita sesuai ajaran
Islam.
Modernisasi dalam bahasa Arab adalah tajdid, yang berarti
pembaruan. Modernisasi atau pembaruan biasanya digunakan sebagai
proses perubahan untuk memperbaiki keadaan atau situasi kepada
kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.35
Nurcholis Madjid berpendapat bahwa modernisasi adalah “proses
perombakan pola pikir dan tata kerja lama yang tidak rasional dan
menggantikannya dengan pola pikir dan tata kerja baru yang
rasional”.36
Pengertian
ini
menjelaskan
bahwa
proses
untuk
membebaskan diri dari pola pikir tradisionalisme dan mengubah tata
kerja yang lama menjadi tata kerja yang baru. Sedangkan, menurut
Azyumardi Azra modernisasi adalah “upaya untuk mengaktualisasikan
ajaran Islam agar sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi”.37
35
36
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, h. 124.
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1993), h.
172.
37
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, h. 124
49
Ini berarti pembaruan dalam Islam muncul sejak zaman Rasulullah dan
pembaruan tersebut
harus
diubah
dengan
ajaran
Islam
yang
berkembang pada zaman sekarang.Definisi-definisi di atas menjelaskan
bahwa modernisasi adalah usaha manusia untuk hidup sesuai dengan
zamannya atau harapan hidup manusia untuk mencapai masyarakat
yang lebih maju, berkembang, dan sejahtera.
Pada awal abad 20, lembaga Islam di Indonesia mempunyai tiga
jenis lembaga pendidikan yaitu pesantren, sekolah dan madrasah.38
Lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren.
Menurut
Mastuhu,
pesantren
merupakan
“lembaga
pendidikan
tradisional Islam yang bertujuan untuk memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral
agama sebagai pedoman hidup masyarakat”.39
Salah satu pesantren yang berdiri pada tahun 1899 yaitu pesantren
Tebuireng yang tergolong pesantren salafiyah dan didirikan oleh K.H
Hasyim Asy‟ari di Jawa Timur. Ketika itu, metode pengajaran di
pesantren
masih
menggunakan
non
klasikal.
Karena
metode
pengajarannya masih didominasi oleh sistem sorogan, di mana
pendidik membaca buku yang berbahasa Arab dan menerangkan
dengan
38
bahasa daerah
dan murid-murid mendengarkan.40 Karena,
Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem
Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) h.202-203.
39
Azyumardi Azra, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di
Nusantara (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013) h. 85
40
Abuddin
Nata, Sejarah
Pendidikan
Islam
pada
periode
klasik
dan
Pertengahan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 194-195.
50
pesantren tidak memakai sistem kelas, kemampuan santri tidak dilihat
dari kelas berapa, tetapi dilihat dari kitab apa yang telah dibacanya.41
Selain pesantren, pendidikan Islam juga diberikan dirumah-rumah,
surau, langgar dan masjid. Di tempat-tempat inilah anak-anak, remaja
dan orang tua belajar agama seperti rukun iman, rukun Islam, pengajian
al-Qur‟an dan pengajian kitab.42 Pesantren berbeda dengan sistem
sekolah Belanda yang memakai sistem klasikal dan tidak diajarkan
pelajaran agama sama sekali. Pada tahun 1819, Jendral Van Der
Cappelen, Gubernur Hindia Belanda 1816-1826, menginstruksikan
kepada para Residen “agar menyelediki pendidikan Indonesia untuk
memperbaiki pendidikan pribumi”.43
Dari usulan di atas, pada tahun 1907, Jendral Van Heutz, Gubernur
Hindia Belanda 1904-1909,mendirikan sekolah-sekolah diantaranya:
sekolah kelas satu, sekolah kelas dua, sekolah Desa (Volksschool),
sekolah ELS (Europeesce Lager School) sekolah untuk anak-anak
Eropa di Indonesia, sekolah HCS (Hollandsch Chinese School) sekolah
untuk anak-anak etnis China dan sekolah HIS (Hollands Inlands
School) sekolah untuk orang-orang bumiputera dari kalangan
ningrat.Sedangkanuntuk pendidikan lanjutan, Belanda mendirikan
sekolah MULO (Meer Uit Gebreid Lager School) untuk setingkat SMP
41
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan dan Pendidikan Islam di
Indonesia (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2007), h. 69.
42
Samsul Nizar, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara
(Jakarta: kencana Prenada Media Group), h. 93.
43
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan dan Pendidikan Islam di
Indonesia, h. 31.
51
dan sekolah AMS (Algemene Middlebare School) untuk setingkat
SMA.44 Kurikulum sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah
Belanda
memberikan
pengajaran
umum
dengan
menghormati
keyakinan agama masing-masing dan pengajaran agama hanya boleh
berlaku di luar jam sekolah.
Sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah Belanda ini
sangat terbatas, karena penghasilan ekonomi masyarakat Indonesia
yang rendah sehingga amat sedikit kalangan bumiputera yang
melanjutkan ke sekolah-sekolah Belanda. Maka dari itu, agar
masyarakat Muslim di Indonesia tetap berpendidikan, mereka lebih
memilih lembaga pendidikan pesantren karena masyarakat Muslim
ketika itu banyak memasukkan anak-anak mereka ke lembaga
pendidikan pesantren dan lebih merakyat secara ekonomi.
Dengan keadaan tersebut, maka pendidikan yang berkembang di
Indonesia pada saat itu adalah pendidikan yang diselengarakan oleh
pemerintah Belanda. Sejak Belanda menguasai Indonesia, bangsa
Belanda berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan pribumi.
Perbedaan pendidikan yang diberikan kepada orang pribumi dan
bangsawan telah memberlakukan sistem diskriminasi dalam pendidikan
untuk keuntungan kalangan Belanda sendiri. K.H. Dewantara
mengatakan:
44
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan dan Pendidikan Islam di
Indonesia, h. 29.
52
Pengajaran pada zaman itu tidak dapat memberikan kepuasan
pada rakyat kita. Kebijakan pemerintah Belanda dalam bidang
pendidikan selain diskriminatif juga terlihat pada sikapnya
yang membiarkan atau tidak peduli sama sekali, bahkan
memusuhi terhadap pendidikan yang dilaksanakan oleh umat
Islam melalui lembaga pendidikan seperti pesantren.45
Hal ini juga dinyatakan Hanun Asrohah sebagai berikut:
Sejakawal perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas
utama masyarakat Muslim di Indonesia. Di samping karena
besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong
umat Islam melaksanakan pengajaran agama Islam kendati
dalam sistem yang sederhana, di mana pengajaran diberikan
dengan sistem halaqoh yang dilakukan di tempat-tempat
ibadah semacam masjid, mushola, bahkan juga dirumah-rumah
ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan mendorong masyarakat
Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga
keagamaan dan sosial yang ada ke dalam lembaga pendidikan
Islam yang ada.46
Dari kutipan di atas jelas bahwa masyarakat Muslim mempunyai
motivasi yang besar terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Maka dari
itu, pendidikan Islam tidak bersifat statis dan monolitik, tetapi dinamis
dan berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi serta motivasimotivasi tertentu yang digerakkan oleh perseorangan dari kalangan
tokoh-tokoh agama dan organisasi sosial keagamaan. Artinya, selalu
ada upaya pembaruan dalam memperbaiki pendidikan Islam.
Menurut Karel A. Steenbrink, gerakan pembaruan Islam pada awal
abad 20 dilatarbelakangi oleh faktor keinginan kembali kepada alQur‟an dan sunnah, faktor semangat nasionalisme melawan kolonia
45
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), h.
46
Samsul Nizar, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di
Nusantara, h. 256-257.
53
Belanda, faktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya,
politik dan faktor untuk melakukan pembaruanpendidikan Islam di
Indonesia.47 Maka dari itu, pendidikan dianggap sebagai aspek strategis
untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat.
Pendidikan di Indonesia mulai tumbuh dan berkembang dalam
menggunakan sistem kelas dan mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan dan
non keagamaan. Pembaruan ini diterapkan pada madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam yang berfungsi menghubungkan sistem lama
dengan sistem baru sekaligus menambahkan beberapa materi pelajaran
dengan ilmu-ilmu umum.48 Madrasah pada masa itu merupakan
lembaga pendidikan Islam alternatif bagi orang tua sebagai wadah
pendidikan bagi putra-putri mereka agar lebih terarah. Di samping itu,
para siswa madrasah tidak mesti tinggal atau mondokseperti di
pesantren, tetapi hanya cukup datang ke madrasah pada jam-jam
berlangsung pelajaran di pagi atau sore hari.49
Pertama kali gerakan pembaruan pendidikan Islam di Indonesia
terjadi di Minangkabau (Sumatra Barat). Pada tahun 1909, didirikan
Madrasah Adabiyah di Minangkabau oleh Syekh Abdullah Ahmad.
Madrasah Adabiyah memakai sistem klasikal yang berbeda dengan
pesantren, surau dan lainnya yang tidak berkelas, tidak memakai
47
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 26-28.
48
Samsul Nizar, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di
Nusantara, h. 261.
49
Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Suka Press,
2007), h. 92.
54
bangku, meja, papan tulis dan hanya duduk bersila saja. Selain
memberikan pelajaran agama, Madrasah Adabiyah juga memberikan
pelajaran membaca, menulis huruf latin dan ilmu hitung. 50 Kemudian,
pada tahun 1915, Zainuddin Labay El Yunus mendirikan Madrasah
Diniyah di Padang Panjang. Madrasah ini juga memakai sistem klasikal
yaitu tidak mengikuti sistem pengajian tradisional yang bersifat
individual.
Selain itu, madrasah ini telah memberikan pendidikan umum
seperti sejarah dan ilmu bumi di samping mata pelajaran agama.51
Selain di Minangkabau, gerakan pembaruan pendidikan Islam terjadi di
Pulau Jawa oleh organisasi-organisasi Islam keagamaan seperti, Jami‟at
Khair yang berdiri pada tahun 1905 oleh Muhammad Al-Fachri di
Jakarta. Sebagai organisasi Islam, Jami‟at Khair tergolong modern
karena mempunyai AD/ART, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat
secara berkala, kurikulum, buku-buku pelajaran yang bergambar, kelaskelas, pemakaian bangku, papan tulis dan lain sebagainya.52
Selanjutnya, Al-Irsyad yang berdiri pada tahun 1913 oleh Syekh
Ahmad Sukarti di Jakarta. Tujuan berdirinya madrasah ini untuk
memajukan pelajaran agama Islam yang murni di Indonesia, mengenali
pelajaran umum dan membangun serta memelihara gedung-gedung
50
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: PT Pustaka
LP3ES, 1982), h. 46.
51
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 49.
52
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 69.
55
pertemuan, sekolah dan unit percetakan.53 Pada tahun 1912,
Muhammadiyah juga didirikan di Yogyakarta oleh K.H. Ahmad
Dahlan. Awalnya organisasi ini bergerak dibidang tabligh, lalu
memperluas gerakkannya dalam bidang pendidikan, bidang sosial dan
organisasi.54
Pada tahun 1926, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah
yang mengambil nama yang sama dengan pemerintah Belanda yaitu,
HIS met de Qur‟an (Hollands Inlandse School), MULO met de Qur‟an
(Meer Uitgebried Lager Onderwijs), HIK Muhammadiyah (Hollands
Inlandse Kweekschool) dan Schakel School Muhammadiyah.55
Sekolah-sekolah tersebut, memadukan sekolah umum model Belanda
dan sekolah Islam model pesantren. Karena Muhammadiyah terkenal
sebagai gerakan sosial keagamaan, setiap jenjang pendidikan yang
Muhammadiyah dirikan tidak pernah lupa menyisipkan nilai-nilai
Islam.
Selain madrasah, pesantren juga mengalami pembaruan. Salah
satunya adalah pesantren Tebuireng. Pada tahun 1926, pimpinan
pesantren Tebuireng K.H Hasyim Asy‟ari menunjuk Abdul Wahid
Hasyim dan Moh. Ilyas untuk mengubah kurikulum dan metode
pengajarannya menjadi modern. Setelah itu, Abdul Wahid Hasyim dan
Moh. Ilyas mengadakan pembaruan, yakni memperluas pengetahuan
53
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 74-75.
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, h. 90.
55
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), h. 68.
54
56
para santri dengan cara memasukkan pengetahuan umum dan
meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab. Atas persetujuan K.H
Hayim Asy‟ari, pesantren Tebuireng memasukkan mata pelajaran
umum seperti ilmu bumi dan berhitung, membaca dan menulis, sejarah
dan bahasa melayu, Arab dan Inggris. Selain itu juga, metode
pengajarannya menjadi klasikal.56
Di samping itu, pada tahun 1930, pesantren masih bersifat
konservatif dan timbul polemik pro dan kontra terhadap orang
Indonesia yang berpendidikan Barat. Dalam hal ini Sutan Takdir Ali
Syahbana mengatakan “Tersebarnya ilmu pengetahuan modern sampai
ke desa-desa dan itu akan berarti robohnya tradisi lama, terpecahnya
persatuan yang statis dan pasif, lenyapnya konservatifme”.57
Nurcholis Madjid mempunyai pendapat yang berbeda. Ia
mengatakan bahwa ide-ide pembaruan terhadap pesantren membuat
para santri mempunyai cita-cita yang tinggi. Nurcholis Madjid berkata:
Pesantren diwajibkan oleh tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya
kelak dalam kaitannya dengan perkembangan zaman untuk
membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata yang
dapat melalui pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum
secara memadai. Sebagaimana layaknya yang terjadi sekarang
harus tersedia kemungkinan mengadakan pilihan-pilihan jurusan
bagi anak didik sesuai dengan potensi buat mereka. Jadi tujuan
pendidian pesantren kiranya berada di sekitar terbentuknya
manusia yang memiliki kesadaran setinggi-tinggnya akan
bimbingan agama Islam. Weltanschaung yang bersifat menyeluruh
dan diperlengakapi dengan kemampuan stinggi-tingginya untuk
mengadakan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan56
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 60-70.
57
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan dan Pendidikan Islam di
Indonesia, h. 74.
57
tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada Indonesia
dan dunia abad sekarang.58
Dengan demikian, awal abad 20 merupakan masa pertumbuhan
dan perkembangan pendidikan Islamyang hampir terjadi diseluruh
Indonesia. Namun, pendidikan Islam di Indonesia masih bersifat
diniyah. Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya masih
belum seragam antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pembaruan
yang dilakukan sebelum kemerdekaan belum mengarah kepada
penyeragaman bentuk seperti, lamanya belajar, jenjang pelajaran dan
kurikulum.
Setelah Indonesia merdeka, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
yaitu Ki Hajar Dewantara membentuk jenjang pendidikan di Indonesia
yaitu Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi seperti Universitas,
Institut, Sekolah Tinggi dan Akademi.59 Selain itu, menurut peraturan
Menteri Agama Nomor 7 tahun 1950, madrasah mengandung makna:
1. Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat
pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok
pengajaran.
2. Pondok pesantren memberikan pendidikan setempat dengan
madrasah.
58
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan dan Pendidikan Islam di
Indonesia, h. 74.
59
Fajri Maulana, “Sejarah Singkat Pendidikan di Indonesia”, http//www.blogspot.co.id,
Artikel Diakses Pada Tanggal 19 November 2016
58
Hal ini terbukti bahwa Kementrian Agama telah memberikan
bantuan kepada madrasah dalam bentuk material dan bimbingan.
Dalam bentuk material dan bimbingan, pendidikan pada madrasah
terdiri dari:
1. Madrasah Ibtidaiyah (MI), setingkat SD.
2. Madrasah Tsanawiyah (MTS), setingkat SMP.
3. Madrasah Aliyah (MA), setingkat SMA.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, madrasah berhasil
mendapatkan statusnya. Perjuangan ini diawali oleh terbitnya surat
keputusan bersama (SKB) tiga Menteri yakni Kementerian Agama,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Dalam
Negeri pada tanggal 24 Maret 1975 yang menegaskan bahwa
kedudukan madrasah adalah sama dan sejajar dengan sekolah formal
lain.60 Dengan demikian, siswa lulusan madrasah dapat memasuki
jenjang sekolah umum yang lebih tinggi, mempunyai ijazah sebagai
pengakuan bahwa siswa telah menyelesaikan pendidikannya dan
siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat.
Setelah keluarnya SKB, kurikulum madrasah diubah menjadi 70%
pelajaran pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama.61
60
Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1998), h. viii.
Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan
(Jakarta: Raja Grafindo, 2009), h. 195.
61
BAB IV
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM K.H AHMAD DAHLAN
K.H Ahmad Dahlan merupakan tokoh nasional yang memiliki tipe man
of action yang artinya orang yang lebih mengutamakan praktek ketimbang
teori. Ia lebih banyak mewariskan kegiatan-kegiatan yang cukup banyak
berupa amal usaha, pendidikan dan sosial, namun ia kurang menyukai bentuk
teori, sehingga ia tidak banyak memiliki karya ilmiah seperti tulisan-tulisan
maupun buku. Cita-cita pendidikan yang digagas Ahmad Dahlan adalah
lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek”
atau “intelektual-ulama”, yaitu seorang Muslim yang memiliki keteguhan iman
dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani.
134
Maka dari itu, ide pendidikan
yang digagas Ahmad Dahlan adalah menyelamatkan umat Islam dari cara
berfikir yang bersifat statis menuju pemikiran yang bersifat dinamis, kreatif
dan inovatif. Satu-satunya jalan mencapai tujuan tersebut adalah melalui
pendidikan dan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional,
sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi peserta didik untuk
menghadapi dinamika pada zamannya.135
Menurut Ahmad Dahlan, tujuan pendidikan Islamdiarahkan pada usaha
untuk membentuk manusia yang beriman, berakhlak, memahami ajaran agama
Islam, memiliki pengetahuan yang luas dan kapasitas intelektual yang dapat
134
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammdiyah (Jakarta:
Depdikbud, 1985), h. 24.
135
Al-Rasyid, Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan
Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 108.
59
60
diperlukan di dalam kehidupan sehari-hari.136 Untuk mencapai tujuan tersebut,
Ahmad Dahlan berpendapat bahwa pendidikan Islam harus dibarengi dengan
integrasi ilmu dan amal, integrasi ilmu pengetahuan umum maupun agama,
kebabasan berpikir dan pembentukan karakter, agar peserta didik dapat
berkembang secara intelektualitas dan spritualitas.137
Adapun pemikiran dari Ahmad Dahlan tentang pendidikan dapat dilihat
sebagai berikut:
A. Integrasi Ilmu dan Amal
Pada tahun 1912,
Muhammadiyah.
Tujuan
Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
mendirikan
Muhammadiyah
adalah
“menyebarkan pengajaran Rasulullah kepada penduduk bumiputera dan
memajukan hal
agama
Islam
kepada
anggota-anggotanya”.138
Ia
menekankan bahwa beragama adalah beramal, artinya berkarya dan
berbuat sesuatu melakukan tindakan sesuai dengan al-Qur‟an dan Hadis,
agar peserta didik mencapai kemajuan secara materil. Orang yang
beragama adalah orang yang menghadapkan jiwa dan hidupnya kepada
Allah, yang dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan seperti rela
berkorban baik dengan harta benda dan diri, serta bekerja dalam kehidupan
mereka untuk Allah. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa:
136
Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan di Indonesia Pascakemerdekaan (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2009), h. 94.
137
Al-Rasyid dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat
Pendidikan Islam, h. 107.
138
Al-Rasyid dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat
Pendidikan Islam, h. 102.
61
Sikap beragama yang lurus kepada Allah itu adalah kecenderungan
rohani untuk berpaling meninggalkan nafsu, menjadi suci, tidak
oleh dengan bendawi, dan selalu berusaha menaikkan derajat
rohani. Jiwanya akan selalu menghadap Allah dan berpaling dari
hal selain-Nya, bersih tanpa terpengaruh oleh apapun dan
senantiasa menyerahkan harta benda dan dirinya di jalan Allah.139
Kutipan di atas menjelaskan bahwa pendidikan sepatutnya
mengajarkan peserta didik untuk selalu beragama, mendekatkan diri
kepada Allah dan melakukan tindakan yang sesuai dengan yang dianjurkan
agama. Serta senantiasa berani mengorbankan hartanya untuk Allah dan
tidak sekedar pada tataran pengetahuan saja, tetapi dibarengi dengan
praktik keagamaan, yakni beramal. Selain itu, Ahmad Dahlan juga
menasehati peserta didik-peserta didiknya:
Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama
meskipun harus menyumbangkan jiwamu sekalipun. Jiwamu
takusah kamu tawarkan, kalau Allah menghendaki Nya, entah
dengan jalan sakit atau tidak, tentu akan mati sendiri. Tapi
beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentingan
agama? Itulah yang lebih diperlukan pada waktu sekarang ini.140
Sejauh ini pendidikan agama hanya dianggap relevan untuk
menanamkan karakter yang baik terhadap peserta didik, karena pada
hakikatnya karakter terbentuk dari tindakan yang dilakukan secara rutin
dan terus menerus.141 Di samping itu, Ahmad Dahlan sering menasihati
peserta didik-peserta didiknya sebagai berikut:
139
Hadjid, Ajaran K.H.A Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat al-Qur‟ān (Semarang:
PWM Jawa Tengah, 2004), h. 20-21.
140
M. Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan Pemikiran & Kepemimpinannya
(Yogyakarta: MPKSDI-PPM, 2005), h. 69.
141
Syuja, Islam Berkemajuan, Kisah Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
Masa Awal(Tangerang: Al-Wasath, 2010), h. 34.
62
Kamu tidak mau menjalankan tugas amal itu karena kamu tidak
biasa, bukan? Beruntunglah! Marilah saya ajarkan soalnya itu. Jadi
kalau sudah dapat dan mengerti kamu harus menjalankan. Dan
soalnya kalau kamu tidak mau, asal tidak mau saja. Siapakah yang
dapat mengatasi orang yang sengaja sudah tidak mau.142
Kutipan di atas menjelaskan ilmu dan beramal merupakan suatu
kesatuan. Artinya, peserta didik tidak hanya duduk di kelas dan diam
memperhatikan gurunya, tetapi dengan ilmu yang dimilikinya harus
dipraktikkan di dalam kehidupan sehari-hari. Praktik merupakan aplikasi
ilmu pengetahuan yang dimiliki dengan menghasilkan karya (berkarya). Di
dalam ajaran Islam, pemeluknya wajib mencari ilmu setinggi mungkin dan
dengan ilmu yang dicapainya agar diamalkan dalam bentuk karya nyata.
Konsep inilah yang diberikan oleh Ahmad Dahlan di dalam pendidikan
Muhammadiyah. Contoh ketika Ahmad Dahlan mengajarkan al-Qur‟an
surat al-Ma‟un ayat 1-7, yang artinya:
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama. Itulah orang
yang menghardik anak yatim. Dan tidak mengajukan memberi
makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang
yang berbuat riya. Dan enggan (menolong dengan) barang
berguna.143
Berdasarkan ayat di atas, Ahmad Dahlan menekankan kepada
peserta didiknya “barang siapa yang tidak memperdulikan anak yatim dan
orang miskin adalah termasuk orang-orang yang mendustakan agama”.144
Ahmad Dahlan terus berulang-ulang mengajarkan surat al-Mau‟n kepada
peserta didiknya, agar mereka hafal dan memahami artinya. Tidak hanya
142
Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan
Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa (Jakarta: Pusat Kajian Islam
FAH UHAMKA, 2009), h. 389.
143
Q.S Al-Maun (107): 1-7.
144
Abdul Munir Mulkhan, Islam Kultural Kiai Ahmad Dahlan (Jakarta: Grafindo Khazanah
Ilmu, 2012), h. 74.
63
hafal dan memahami makna yang terkandung, tetapi Ahmad Dahlan
menanamkan bahwa apa yang telah dipelajari harus dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari.145
Contoh yang berdasarkan surat al-Mau‟n yang dipratikkan oleh
Ahmad Dahlan kepad peserta didik yaitu, Ahmad dahlan mengajak muridmuridnya ke pasar untuk mencari anak yatim dan pengemis, kemudia
mereka diajak ke masjid untuk dimadikan dengan sabun dan diganti
pakainnya dengan pakaian bekas yang bersih, masih baik dan utuh.
Pekerjaan ini dilakukan beberapa hari berturut-turut dan para murid
disibukkan untuk mengumpulkan pakaian, sabun dan uang. Sifat
dermawan
yang
peduli
pada
kehidupan
sosial
di
pendidikan
Muhammadiyah sudah ditanamkan di masa-masa awal tersebut.146
Selanjutnya, pada tahun 1921, melalui Muhammadiyah Ahmad
Dahlan mendirikan panti asuhan yang bernama Hoofbestuur di
Yogyakarta. Setiap anggota Muhammadiyah diwajibkan mengasuh dan
mendidik
kepada
anak-anak
tersebut.
Berdirinya
panti
asuhan
Hoofbestuur, telah menyelamatkan anak yatim/piatu dan yatim piatu
terhindar dari kebodohan di masa penjajahan kolonial Belanda. Alasan
Ahmad Dahlan mendirikan panti asuhan karena, ia melihat disekelilingnya
bahwa anak-anak yatim/piatu dan yatim piatu banyak menghabiskan
waktunya dengan bermain-main, anak-anak tersebut sangat memerlukan
145
Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan, h.
110.
146
Ridjalaluddin, F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan
Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 415.
64
dana dan uluran tangan untuk diayomi serta diberi pendidikan dan
pelajaran ilmu agama dan ilmu umum harus diajarkan.147
Selain itu, integrasi ilmu dan amal yang Ahmad Dahlan tanamkan
ke peserta didik, ia mencontohkan dengan mendirikan oraginisasi khusus
wanita yang bernama Aisyiyah di Kauman pada tahun 1917. Organisasi
Aisyiyah adalah salah satu organisasi bagian dari Muhammadiyah. Tujuan
berdirinya organisasi Aisyiyah yaitu pembinaan keluarga sakinah,
gerakkan sosial dan pendidikan. Kemudian, kegiatan-kegiatan organisasi
Aisyiyah bertambah luas yakni mengadakan tabligh-tabligh untuk para
anggotanya dan menyediakan kursus batik untuk para wanita. Alasan
Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Aisyiyah karena ia melihat
pendidikan pertama yang diterima oleh seorang anak adalah di rumah,
maka seorang ibu mempunyai tanggung jawab yang besar untuk kemajuan
masyarakat melalui asuhan dan didikan anak-anaknya sendiri. Seiring
berjalannya waktu, tahun 1928 organisasi Aisyiyah mendirikan panti
asuhan yatim/piatu maupun yatim piatu khusus putri. Di dalam panti
asuhan tersebut juga diajarkan pendidikan ilmu agama dan ilmu umum.
Maka dari itu, melalui organisasi Aisyiyah melatih seorang wanita untuk
mempunyai rasa kepedulian terhadap sesama Muslim.148
Contoh di atas merupakan salah satu amal usaha Ahmad Dahlan.
Kemudian, Ahmad Dahlan berharap peserta didik terinspirasi dari tindakan
tersebut, agar terbiasa menjalani amalnya sejak dini. Selain itu, Ahmad
147
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammdiyah, h. 215-
216.
148
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 90-91.
65
Dahlan beranggapan pembentukan kepribadian sangat penting bagi peserta
didik dalam rangka pencapaian keselamatan hidup di dunia maupun di
akhirat.149 Seperti Nabi bersabda “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah
engkau akan hidup selamanya dan beramalah untuk akhiratmu seakanakan engkau akan mati besok”.
Uraian di atas Ahmad Dahlan menekankan bahwa keikhlasan
dalam beramal dapat membentuk kepribadian yang baik, agar tercapainya
dari tujuan pendidikan. Ahmad Dahlan berkata “tak seorang pun dapat
mencapai kebesaran di dunia ini dan akhirat kecuali mereka yang memiliki
kepribadian yang baik”.150
Seorang yang kepribadian yang baik adalah orang yang
mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur‟an dan Hadis. Karena, Rasulullah
merupakan contoh pengalaman al-Qur‟an dan Hadis, maka proses
pembentukan kepribadian peserta didik harus diperkenalkan pada
kehidupan dan ajaran-ajaran Rasulullah.
B. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum
Menurut Ahmad Dahlan, upaya untuk mencapai tujuan ini
terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Artinya, peserta
didik harus mempunyai empat kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual,
spritual, emosional dan sosial. Dengan demikian, proses pendidikan akan
mampu menghasilkan ”intelektual-ulama” yang berkualitas. Untuk
menciptakan peserta didik yang demikian, pendidikan harus diimbangi
149
Rijaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan
Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa h. 432.
150
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2005), h. 102.
66
dengan ilmu agama dan umum. Melalui ilmu umum adalah salah satu
sarana peserta didik mengenal kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik
serta mencapai kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat,
karena al-Qur‟an dan Hadis tidak membeda-bedakan antara ilmu agama
dan ilmu umum.
Menurut Ahmad Dahlan, pendidikan yang baik adalah pendidikan
yang sesuai dengan tuntunan zaman. Seperti contoh, pada awal abad 20,
Ahmad Dahlan melihat umat Muslim di Indonesia tertinggal secara
ekonomi oleh kolonialisme Belanda. Ketika itu ekonomi Muslim tidak
memiliki akses ke sektor-sektor pemerintahan atau perusahaan-perusahaan
swasta. Karena partisipasi Muslim yang rendah terhadap sektor-sektor
pemerintahan itu membuat kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang
menutup peluang bagi Muslim untuk masuk. Peristiwa ini mendorong
Ahmad Dahlan untuk memperbaiki dengan memberikan pencerahan
tentang pentingnya pendidikan yang sesuai dengan perkembangan
zaman.151 Berkaitan dengan masalah ini, Ahmad Dahlan mengutip surat alRa‟d ayat 11, yang artinya:
sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum,
sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.152
Pemikiran Ahmad Dahlan menggunakan pendekatan self corrective
terhadap umat Islam. Ahmad Dahlan melihat bahwa, pendidikan Islam
tradisional terlalu menitikberatkan pada aspek spiritual dalam kehidupan
151
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 102-103.
Q.S al-Ra‟d (13): 13.
152
67
sehari-sehari. Ini mengakibatkan kemunduran Islam, sementara kelompok
yang lain telah mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi..153
Melihat ketimpangan tersebut, Ahmad Dahlan berpendapat bahwa
tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh,
menguasai ilmu agama dan ilmu umum, intelektual dan spritual. Bagi
Ahmad Dahlan, kedua hal tersebut merupakan hal yang integral, tidak
dapat dipisahkan satu sama lain.154
Oleh
karena
itu,
sekolah
pertama
yang
didirikan
oleh
Muhammadiyah ala Belanda adalah HIS met de Qur‟an di Yogyakarta
pada tahun 1926. Sekolah ini merupakan sekolah Agama dengan
mengkolaborasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Adapun
kurikulum pada sekolah ini seperti bahasa Arab, tasawuf, fiqih, tajwid,
bahasa Inggris, membaca, menulis dan lain sebagainya.155 Melalui konsep
ini Ahmad Dahlan dan para orang tua berharap peserta didik berwawasan
luas sesuai perkembangan zaman dan dapat mengintegrasikan ilmu agama
ke dalam ilmu pengetahuan umum.156
Berkat pendidikan Muhammadiyah yang mengkolaborasikan ilmu
agama dan umum, peserta didik mempunyai kelebihan pada bidang
kesehatan. Awalnya, salah satu peserta didik Ahmad Dahlan yaitu H.M
Sudjak berinisiatif menyediakan kesehatan untuk kaum dhuafa, berupa
klinik dan poliklinik yang bernama PKU (Penolong Kesengsaraan Umum)
153
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indones, h. 102-103.
Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan Kajian Historis, Ideologis dan Organisasi
(Surakarta: LPID, 2008), h. 44.
155
Hery Sucipto, K.H Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidikan dan Pendiri
Muhammadiyah (Jakarta: Best Media Utama, 2010), h. 118.
156
Ridjaluddin F.N, Muhammadiyah Dalam Tinjauan Filsafat Islam, h. 176.
154
68
di Yogyakarta pada tahun 1923. Kegiatan ini didukung sepenuhnya oleh
Ahmad Dahlan. Kemudian, pada tahun 1936 PKU diresmikan oleh
pemerintah Belanda menjadi rumah sakit PKU Muhammadiyah. Dengan
demikian, berdirinya rumah sakit PKU Muhammadiyah bertujuan agar
kehidupan masyarakat dapat mencapai derajat kesehatan yang lebih baik,
serta menuju kehidupan yang sejahtera dan sakinah, sebagaimana yang
dicita-citakan organisasi Muhammadiyah.157
Maka dari itu, Ahmad Dahlan berharap pendidikan Islam yang
berdasarkan al-Qur‟an dan Hadis akan melahirkan peserta didik yang
mempunyai ilmu yang luas, jasmani yang kuat dan hati yang bersih.
Maksud hati yang bersih yaitu pendekatan keagamaan pada peserta didik
merupakan proses pendidikan di mana keberadaanya sesuai kodrat sebagai
manusia sejati. Sebab tujuan pendidikan yang ingin dicapai sebagaimana
yang tersirat dalam al-Qur‟an adalah membina manusia guna mampu
menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifahnya. Manusia
yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani)
dan immaterial (akal dan jiwa), dengan penggabungan dua unsur tersebut
terciptalah manusia yang memiliki dua dimensi dalam satu keseimbangan
dunia dan akhirat serta ilmu dan iman. Artinya, setiap manusia pada
dasarnya mempunyai akal secara kontinuitas yang perlu dipelihara serta
dikembangkan guna untuk menyeimbangkan kemampuan lahiriah dan
batiniah,
157
duniawi
dan
ukhrawi.
Oleh
karena
RS. PKU Muhammadiyah Yogyakarta, “Sejarah RS
http://rspkujogja.com, Artikel Diaskes Pada Tanggal 24 Maret 2017.
itu,
PKU
sistem
yang
Muhammadiyah,”
69
dipergunakannya harus membantu secara optimal dan membebaskan serta
mengembangkan akal tersebut. Ahmad Dahlan berpendapat:
Pengajaran yang berguna dalam mengisi akal itu lebih dibutuhkan
oleh manusia dari pada makanan yang mengisi perutnya, dan
mencari harta benda dunia itu tidak lebih payah dari mencari
pengetahuan yang berguna dalam memperbaiki perbuatan dan
kelakuan.158
Kutipan di atas menjelaskan pendidikan akal merupakan prioritas
dari pendidikan Islam. Sebab dengan kemampuan penalaran akal akan
memberi peluang peningkatan dan pengembangan dalam memahami dan
mengenal makna petunjuk al-Qur‟an. Pandangan ini sangat relevan dengan
konsep pendidikan Islam yang mana peserta didik mempunyai kemampuan
atau potensi dasar yang sangat perlu untuk ditumbuh kembangkan.
Di samping itu, Ahmad Dahlan mengelola pendidikan Islam secara
profesional, modern dengan menggunakan sistem klasikal, sehingga
pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi pengetahuan peserta
didik sesuai dengan zaman.
C. Kebebasan Berpikir
Ahmad Dahlan menegaskan bahwa penyebab utama kemunduran
umat Islam adalah disebabkan kejumudan pemikiran yang dimiliki dan
cara pandang terhadap masa yang akan datang, sehingga umat Islam
tertinggal dengan umat yang lain. Oleh karena itu, kebebasan berpikir
merupakan atribut penting yang menjadikan manusia sebagai pedoman
dalam perbuatannya, sedangkan kemauanlah yang menjadi pendorong
158
Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan
Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa , h. 368.
70
perbuatan manusia.159 Artinya, kebebasan berfikir merupakan upaya untuk
mencapai pengetahuan. Dengan pengetahuan itu manusia menjadi lebih
mampu untuk melanjutkan tugas kekhalifahannya di muka bumi serta
mampu memposisikan diri lebih tinggi dibanding makhluk lainnya. Oleh
karena itu, carilah ilmu dan berfikir untuk mengenal segala yang
menguntungkan dan merugikan bagi dirinya.
Menurut Ahmad Dahlan, menjadi manusia menuju kepada
kebebasan berfikir memang berarti progresif dan dinamis, akan tetapi
kebebasan itu seharusnya bersifat relatif, terikat oleh ruang dan waktu,
karena yang modern secara mutlak hanyalah Allah dan tetap berdasarkan
dengan kaidah-kaidah ajaran Islam.160 Dengan kesadaran kerelatifan
kemanusiaan, maka seorang akan bersedia dengan lapang dada menerima
dan mendengarkan suatu kebenaran dari orang lain.161 Kebebasan berfikir
berarti mengembangkan rasio atau penalaran yang dimilikinya sehingga
mampu mengembangkan, menjelaskan dan menjabarkan sendiri ajaran dan
teori-teori serta mampu terhindar dari mengikuti pandangan orang lain
tanpa tahu alasannya (taqlid). Dalam hal ini, Malik Fajar menjelaskan
tentang cara berfikir dari seorang Ahmad Dahlan dalam hal kebebasan
berfikir, yakni:
Pendidikan Muhammadiyah yang didirikan oleh Dahlan sejak awal
menekankan dan mendorong kreatifitas. Hal ini sejalan dengan
jiwa pembaharuan
yang
dicita-citakan
olehnya
yaitu
mengembangkan nalar, menolak bid„ah, khurafat dan taqlid.
159
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammdiyah, h. 77.
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam(Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2011), h. 307.
161
Syuja, Islam Berkemajuan, Kisah Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
Masa Awal, h. 164.
160
71
Pendidikan kemuhammadiyahan menanamkan keutamaan dalam
berijtihad. Hal ini akan menjadikan produk didikan yang
menampilkan wawasan yang luas, tidak picik, tidak tradisional,
toleransi tetapi tidak sinkretis lebih jauh lagi umumnya menjadi
manusia yang berpikiran bebas dan tidak bersedia untuk didikte.162
Kutipan di atas menjelaskan, pendidikan yang dianut Ahmad
Dahlan adalah upaya untuk pengembangan akal melalui proses pendidikan
yang kreatifitas dan memberikan implikasi bagi warga Muhammadiyah
untuk memiliki semangat pembaruan pendidikan Islam. Oleh karena itu,
Ahmad Dahlan berupaya untuk memerdekakan kembali akal pada
fungsinya yang semula, yaitu apa yang lazim disebut dengan kebebasan
berfikir. Upaya Ahmad Dahlan untuk melakukan persiapan ke arah
transmisi itu misalnya adalah dengan melepaskan beban-beban kultural
yang sampai sejauh itu dianggap dapat menghambat kemajuan.163
Pada tahun 1918, di sekolah Muhammadiyah ala Belanda yaitu
Mulo met de Qur‟an, Ahmad Dahlan memasukkan pelajaran bahasa Arab
sebagai mata pelajaran wajib, yang bertujuan agar peserta didik mampu
memahami arti dan makna al-Qur‟an dan Ḥadis secara bebas sesuai
dengan konteks dan pola pikir peserta didik itu sendiri dan tidak hanya
sekedar ikut dan terhanyut pada pendapat dan tafsir orang lain. Dengan
demikian, para peserta didik diharapkan mampu memperoleh kemampuan
untuk memahami ajaran-ajaran agama secara bebas serta mampu
162
Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan
Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 369-370.
163
Ridjaluddin F.N, Filsafat Islam Pandangan KH. Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan
KH. Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h.
369-370.
72
menginterpretasikan sendiri maksud dari ajaran agama sesuai dengan
konteks kekinian.Tetapi, apa yang mereka pikirkan tidak menyimpang dari
ajaran dan nilai keagamaan. Ahmad Dahlan selalu memberikan nasihat
kepada para peserta didiknya “sabarlah dan berhati-hati, tetapi ulet dan
tidak kenal putus asa. Apa yang hari ini belum berhasil, lanjutkanlah lagi
hari esok dengan gembira”.
164
Kutipan ini menjelaskan, Ahmad Dahlan
mengajarkan kesabaran, kejujuran, kebaikan serta tidak mengenal putus
asa. Oleh karena itu, peserta didik dapat bersikap ramah, optimis dalam
bekerja dan berjuang untuk mencapai cita-citanya.
Contoh lain dalam kebebasan berpikir, Ahmad Dahlan berusaha
meluruskan dan memperbaharui penafsiran al-Qur‟an dan Hadis yang
selama ini telah menjadi keyakinan masyarakat pada umumnya yakni
“siapa yang menyerupai suatu kaum, ia termasuk kaum itu”. Masyarakat
Muslim menafsirkan bahwa segala bentuk yang menyerupai identitas
Belanda dianggap kafir seperti, berdasi, bertopi, celana serta sekolah yang
memakai bangku dan lainnya. Penafsiran ini berbeda dengan Ahmad
Dahlan bahwa sistem sekolah lebih efesien dan efektif bila pendidikan
agama meniru sistem sekolah Barat. Selain itu, Ahmad Dahlan lebih
banyak menggunakan pendekatan-pendekatan intelektual/rasional dalam
menjelaskan dan pengejaran agama pada peserta didik.165
Melalui Muhammadiyah, Ahmad Dahlan mengajak peserta
didiknya berfikir maju agar mempunyai pandangan yang luas. Ahmad
164
Sutrisno Kurtoyo, Kiai Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 198.
Hery Sucipto,K.H Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidikan dan Pendiri
Muhammadiyahh. 184-185.
165
73
Dahlan berkata “kalau menjadi Kiai harus menjadi Kiai yang maju dan
selalu ada ide-ide yang baru, sehingga melahirkan amal pembaharuan yang
berkemajuan”.166
Kebebasan berpikir ini diharapkan mampu membebaskan pola
berpikir anak, sehingga tidak merasa terkekang dan merasa senang belajar
agama, serta diharapkan terhindar dari sikap fanatik terhadap agama dan
juga tidak begitu saja menyalahkan pendapat orang lain tanpa mengetahui
dasarnya, seperti yang terjadi pada para ulama tradisional yang gemar
mengafirkan pandangan orang lain yang tidak setuju dengan mereka.
Ahmad Dahlan menekankan bahwa agama bukan sekedar pengetahuan,
tetapi sebuah kesadaran, dan amal perbuatan. Ahmad Dahlan berkata
“jadilah ulama yang berfikir maju, dan jangan berhenti untuk kepentingan
pengabdian kepada organisasi Muhammadiyah”.167
Gerakan pembaharuan Ahmad Dahlan dapat diartikan sebagai
proses aktualisasi pemahaman dan pemikiran umat Islam terhadap ajaran
Islam itu sendiri, agar meningkat kualitas pengamalan dan pemahaman
umat terhadap ajarannya. Tujuannya adalah membangkitkan semangat dan
keIslaman dalam diri umat Islam dan merubah cara pandang/aktualisasi
umat dalam memahami ajaran agamanya.
Oleh karena itu, perjuangan Ahmad Dahlan adalah perjuangan
mengadakan suatu revolusi dalam cara berfikir, yang bebas dari ikatan
166
HerySucipto, K.H Ahmad DahlanSang Pencerah, Pendidikan dan Pendiri
Muhammadiyahh. 117.
167
Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan
Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 358.
74
taqlid konservatif dan tradisional agar dengan demikian kemurnian tegak
kembali.168 Setiap ide Ahmad Dahlan berusaha merombak cara lama dan
kemudian di atas aturan Allah yang lama itu dibangunlah yang baru.
Dengan kata lain, Ahmad Dahlan mengembangkan sistem berfikir yang
progresif dan revolusioner.
Akan tetapi harus diperhatikan bahwa memiliki kebebasan berfikir
tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah Islam. Karena, berfikir sucilah yang
memainkan peran penting dan memiliki pengaruh praktis dalam
pembinaan dan perjalanan manusia menuju kesempurnaan. Kemudian,
Islam melarang orang untuk berfikir pada sebagian hal tertentu dan
memandangnya sebagai jeratan setan untuk meyesatkan manusia. Islam
melarang umatnya untuk tidak berfikir tentang sesuatu yang tidak lazim
atau berfikir yang negatif.
D. Pembentukan Karakter
Pendidikan Muhammadiyah juga menanamkan pada pembentukan
karakter. Karena menurut Ahmad Dahlan pendidikan tidak hanya
mencerdaskan intelektualitas, tetapi pembentukan karakter sangat penting
pada perilaku peserta didik di kehidupan sehari-harinya. Maka dari itu,
melalui pendidikan para peserta didik dapat memenuhi kepribadian yang
utuh baik jasmani maupun rohani dan memiliki jiwa sosial yang penuh
dedikasi serta bermoral yang bersumber dari al-Qur‟an dan Sunnah, agar
selamat di dunia maupun di akhirat.
168
Ridjaluddin F,N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan
Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa, h. 357-358.
75
Ahmad Dahlan menekankan pembentukan karakter harus diawali
dengan iman, ilmu dan amal. Karena dengan iman perbuatan yang kita
lakukan dengan tujuan yang baik, percaya diri, ikhlas, maka Allah akan
memberikan kemudahan pada perbuatannya.169 Kemudian, di dalam ajaran
Islam setiap manusia harus menuntut ilmu setinggi-tingginya, agar
mempunyai keahlian dalam berbagai bidang ilmu. Dengan adanya ilmu
yang kita miliki, setiap manusia wajib mengamalkan ilmunya, agar dapat
direalisir oleh masyarakat. Oleh karena itu, iman, ilmu dan amal adalah
dasar dari pendidikan pembentukan karakter yang diterapkan oleh Ahmad
Dahlan.
Sebagai contoh, pada tahun 1910 Ahmad Dahlan pernah
mengajarkan pendidikan agama Islam kepada para calon guru di
Kweekschool Yogyakarta. Ia berharap bahwa pendidikan para calon guru
dengan materi-materi keagamaan dapat memperluas wawasan keIslaman.
Kemudian, pendidikan para calon guru diharapkan dapat memercepat
proses transmisi ide-ide Ahmad Dahlan, karena mereka setelah menjadi
guru akan memupunyai peserta didik yang banyak dan mengajarkannya
kepada peserta didik. Selain itu, para guru kelak akan menjadi orang yang
mempunyai pengaruh luas dan besar kepada peserta didik.170 Maksudnya,
peserta didik akan mempunyai akhlak yang baik tergantung pada pendidik
yang memimbingnya.
169
Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan, h. 84-
85.
170
Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan
Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa , h. 505.
76
Contoh lain, pada tahun 1922 Muhammadiyah berkembang pada
bidang pendidikan, serta bertambahnya jumlah sekolah dan bertambahnya
guru. Dengan adanya bertambahnya sekolah dan guru, hal ini
menimbulkan pembiayaan semakin besar yang membuat Muhammadiyah
kesulitan untuk masalah pembayaran kepada guru-guru. Ahmad Dahlan
sebagai pemimpin Muhammadiyah, ia berinisiaif untuk melelang barangbarang yang ia punya seperti meja, kursi, pakaian, surban dan lain
sebagainya,
agar
dapat
menutup
kekurangan
gaji
guru-guru
di
Muhammadiyah.171 Peristiwa ini adalah salah satu contoh kongkrit pada
bentuk kepedulian Ahmad Dahlan terhadap pendidikan dan pembentukan
kakakter pada kepentingan sosial. Ahmad Dahlan berharap agar
masyarakat dapat mengambil pelajaran dari perilaku Ahmad Dahlan.
Di samping itu, Ahmad Dahlan mengajarkan kepada peserta
didiknya di luar Muhammadiyah untuk
memperbaiki sikap hidup
masyarakat dengan mengajarkan ajaran-ajaran sosial dalam agama, seperti
gotong royong, menyantuni fakir miskin, anak yatim, tolong-menolong
dan lain sebagainya.172 Kepada peserta didiknya beliau menanamkan sifat
tersebut dengan mempraktekannya secara langsung, sehingga peserta didik
dapat melihat dan menghayati nilai-nilai positif yang terkandung dalam
agama yang sesuai dengan anjuran Rasulullah. Karena menurut Ahmad
Dahlan bahwa tujuan pendidikan dapat membuat pembentukan karakter
kepada peserta didik. Ia juga berpendapat bahwa tak seorang pun dapat
171
Kurtoyo, Kiai Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 201.
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 155.
172
77
mencapai kebesaran di dunia dan di akhirat kecuali orang yang memiliki
kepribadian yang baik.173 Seorang yang berkepribadian baik adalah orang
yang mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur`an dan Hadis. Maka proses
pembentukan kepribadian peserta didik harus diperkenalkan pada
kehidupan dan ajaran-ajaran Rasulullah. Dari uraian tersebut, tujuan
pendidikan dalam Islam pada dasarnya mengubah sikap mental dan moral
serta perilaku manusia menuju ke arah perbaikan, yang dapat
menghasilkan kebahagiaan baik bagi dirinya maupun lingkungan di
sekitarnya.
Oleh
karena
itu,
pembentukan
karakter
menurut
Ahmad
Dahlanmeliputi moral/akhlak serta berbudi pekerti yang terkait pada diri
sendiri. Akhlak mengarahkan pada perilaku, artinya perilaku manusia
mengikuti aturan Islam dalam setiap aspek kehidupan. Sebagaimana surat
al-Israa ayat 9, yang artinya “al-Quran ini memberi petunjuk ke (jalan)
yang paling lurus”174. Ayat ini menjelaskan bahwa setiap perilaku manusia
seharusnya berpedoman pada al-Qur‟an.
Proses pendidikan karakter yang diajarkan Ahmad Dahlan kepada
peserta didiknya dengan bertindak atau melakukan amal kebaikan adalah
suatu tindakan yang penting dari pada sekedar membaca atau menghafal.
Menurut Ahmad Dahlan dengan membaca atau menghafal sebanyakbanyak tanpa melakukan tindakan adalah perbuatan yang sia-sia. Maka
dari itu, Ahmad Dahlan mengajarkan kepada peserta didiknya dengan
173
Kurtoyo, Kiai Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, h. 199.
Q.S al-Isra (17): 9.
174
78
membaca, menghafal serta memahami maknanya dan melaksanakan atau
mengamalkan kebaikan dalam hidup sehari-hari. Dengan tindakan
tersebut, Ahmad Dahlan berharap pada peserta didiknya agar berakhlakul
karimah.
Kesempurnaan akhlak sebagai suatu keseluruhan tidak hanya
bergantung kepada suatu aspek pribadi, akan tetapi terdapat empat
kecerdasan didalam diri manusia yang menjadi unsur bagi terbentuknya
akhlak baik dan buruk. Di antaranya yaitu kecerdasan intelektual, spiritual,
emosional dan sosial. Maka dari itu, setiap manusia harus menyeimbangi
kecerdasan tersebut, agar terbentuknya karakter yang budi pekerti.
Dengan demikian, proses pembaharuan Islam hanya menyangkut
prilaku umat Islam dalam pengamalan dan pemahamannya terhadap ajaran
agamanya, tidak menyangkut subtansi dan juga tidak termasuk mensiasati
ajaran Islam agar dapat mengikuti perkembangan zaman, sebab Islam
sendiri sangat prospektif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti
orang-orang harus belajar melalui pendidikan formal yang mengajarkan
keterampilan-keterampilan tertentu, sehingga muncul golongan Muslim
terpelajar yang siap mengahadapi kehidupan modern. Seperti tokoh
Muslim Mohammad Djaman berkata:
Apa yang dilakukan Ahmad Dahlan yang dilakukannya dan
kemudian menjadi dasar amal usaha Muhammadiyah meliputi
seluruh lapangan kehidupan manusia dan masyarakat. Yang
dikembangkan Ahmad Dahlan bukanlah sistem, tapi etos kerja
79
berdasarkan prinsip-prisnip ajaran Islam sebagaimana di firmankan
Allah dalam al-Qur‟an.175
Kutipan di atas menjelaskan bahwa amal usaha yang dilakukan
Ahmad Dahlan dengan tulus ikhlas tanpa pamrih. Kini peninggalan
Ahmad Dahlan dalam bentuk amal usaha diberbagai aspek kehidupan itu
masih dapat dirasakan manfaatnya oleh banyak orang hingga saat ini.
Pendidikan Islam Ahmad Dahlan berpegang pada al-Qur‟an surat Luqman
ayat 14-20.176
  


 
 
 


 
 

Artinya: Dan Kami perintahkan kepada manusia(berbuat baik)
kepada kedua orang tua ibu-bapanya, ibunya telah mengandungnya
dalam Keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang tua
ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang
175
Mohamad Ali, Reinvensi Pendidikan Muhammadiyah (Jakarta: Al-Wasat Publishing
House, 2010), h. 10.
176
Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammdiyah, h. 204.
80
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan
baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa
yang telah kamu kerjakan. (Luqman berkata): "Hai anakku,
Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan
berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah
akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah
Maha Haluslagi Maha mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat
dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah
kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam
berjalandan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk
suara ialah suara keledai.Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya
Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di
langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu
nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang
membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau
petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.177
Surat ini menjelaskan bahwa “seorang Muslim harus berpendidikan
setinggi mungkin, karena dengan pendidikan kita mempunyai pemikiran
atau ide-ide yang dikembangkan. Tidak hanya itu, melalui pendidikan
peserta didik mengenal keesaan Allah, berakhlakul karimah baik dengan
orang tua kita maupun dengan sesama. Memiliki ilmu pengetahuan yang
diimbangi dengan ilmu umum dan ilmu agama akan mempunyai kelebihan
dalam segala bidang. Sebagai manusia kita harus mensyukuri ilmu yang
kita miliki dengan mengamalkan ilmunya kepada orang lain atau peserta
didik”.
177
Lihat Q.S Luqman (31): 14-20.
81
Pemikiran Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan Islam
tujuannya adalah menanamkan semangat Islam dalam nuansa wawasan
keilmuan. Sehingga hasil dari pendidikan Muhammadiyah adalah
melahirkan manusia-manusia yang berhati penuh dengan iman, dan taqwa
agar dapat membentuk manusia Muslim yang bersumber pada al-Qur‟an
dan Hadis serta berfikir bebas tetapi terikat nilai-nilai kebenaran universal
(Allah), progresif dan dinamis dalam mengahadapi dan merespon pada
tuntutan zaman serta wawasan kepada kependidikan Islam. Dari pemikiran
Ahmad Dahlan melimpah berbagai pengetahuan dan keterampilan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada awal abad 20 konsep pemikiran K.H Ahmad Dahlan dalam
bidang pendidikan sangat bertolak belakang dengan konsep pendidikan
pemerintah Hindia Belanda dan lembaga pesantren. Ketika itu, sekolah
pemerintah Hindia Belanda lebih mementingkan ilmu pengetahuan
sementara lembaga pesantren lebih mementingkan ilmu keagamaan. Hal
tersebut berdampak pada pemikiran para orang tua yang beranggapan,
bahwa jika anaknya sekolah di pemerintah Hindia Belanda akan dianggap
kafir. Karena sekolah pemerintah Hindia Belanda memakai celana
panjang, berjas, berdasi, bertopi dan lain sebagainya khususnya di daerah
Jawa. Sementara jika anaknya di masukkan ke sebuah pesantren, anak
tersebut akan kurang mendapatkan ilmu pengetahuan umum.
Keadaan tersebut ditanggapi oleh K.H. Ahmad Dahlan bahwa umat
Muslim tidak dapat berfikir secara monoton atau memisahkan diri dari
mempelajari pengetahuan umum dan agama. Oleh karena itu K.H. Ahmad
Dahlan berupaya mencari solusi dengan mendirikan sekolah melalui
organisasi Muhammadiyah yang mengkolaborasikan antara pendidikan
agama dan pengetahuan umum. Melalui pendidikan Muhammadiyah K.H
Ahmad Dahlan berharap peserta didiknya mempunyai kelebihan dalam
segala bidang ilmu pengetahuan.
82
83
Adapun kurikulum yang diterapkan pada sekolah Muhammadiyah
meliputi integrasi ilmu dan amal. Artinya peserta didik harus menuntut
ilmu setinggi-tingginya agar dapat mengamalkan ilmunya kepada
masyarakat,karena di dalam ajaran Islam diajarkan seorang Muslim harus
mempraktikkan ilmunya kepada masyarakat, yang berarti berkarya.
Sebagai contoh, K.H Ahmad Dahlan membuat panti asuhan Hoofbestur
1921, agar anak yatim/piatu dan yatim piatu dapat terhindar dari
kebodohan dimasa penjajahan Belanda dan membuat organisasi Aisyiyah
(khusus wanita) 1917, agar seorang wanita juga harus bependidikan tinggi
dikarenakan pendidikan seorang anak dimulai dari pendidikan rumah
dengan seorang ibu.
Selanjutnya, integrasi ilmu agama dan ilmu umum. Artinya, ilmu
harus diimbangi dengan ilmu agama dan ilmu umum, agar peserta didik
menjadi ulama-intelek atau intelektual-ulama. Maka dari itu, melalui
Muhammadiyah K.H Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah model
Belanda yang mengkolaborasikan ilmu agama dengan ilmu umum.
Dengan demikian, ia berharap peserta didik mempunyai kelebihan dalam
segala hal bidang ilmu pengetahuan. Contoh, berkat mempelajari ilmu
agama dan ilmu umum, salah satu murid K.H Ahmad Dahlan yaitu H.M
Sudjak mempunyai kelebihan dalam bidang kesehatan, yang akhirnya
mendirikan rumah sakit Muhammadiyah di Yogyakarta 1936. Tujuan K.H
Ahmad Dahlan menggabungkan kedua ilmu tersebut, agar peserta didik
mampu memenuhi kebutuhannya sesuai dengan tuntutan zaman.
84
Kemudian, kebebasan berfikir. Menurut K.H Ahmad Dahlan
dengan adanya kebebasan berfikir terhadap peserta didik, agar mampu
mempunyai pendapat atau nilai-nilai tersendiri. Artinya, peserta didik
mampu mengembangkan, menjelaskan atau menjabarakan ajaranajaran/teori-teori yang diajarkan oleh pendidik, serta tidak mengikuti
pandangan orang lain tanpa tahu alasannya (taqlid). Cara K.H Ahmad
Dahlan mengajar selalu memberikan kesempatan pada peserta didik untuk
berfikir secara modern atau dengan konteks kekinian, tetapi tidak
menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Memberikan kebebasan berfikir
terhadap peserta didik, agar peserta didik memilki pandangan yang luas
dan tidak berfikir monoton. Maka dari itu, K.H Ahmad Dahlan menasihati
kepada peserta didik “kalau menjadi Kiai harus menjadi Kiai yang maju
dan selalu ada ide-ide yang baru, sehingga melahirkan amal pembaharuan
yang berkemajuan”
Selain kebebasan berfikir, K.H Ahmad Dahlan juga mengajarkan
pada pembentukan karakter. Menurut K.H Ahmad Dahlan pembentukan
karakter sangat penting pada peserta didik, agar berakhlakul karimah.
Artinya, peserta didik harus menanamkan jiwa sosial, moral dan beragama
pada kehidupan sehari-seharinya, agar terbentuknya karakter. Sebagai
contoh, di luar Muhammadiyah K.H Ahmad Dahlan mengajarkan peserta
didik untuk mempunyai jiwa sosial dalam beragama seperti, bergotong
royong, menyantuni fakir miskin, tolong menolong dan lain sebagainya.
85
Karena, manusia yang berkepribadian baik adalah orang-orang yang
mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur‟an dan Hadis.
Oleh karena itu, pemikiran pendidikan Islam menurut K.H Ahmad
Dahlan mengarahkan peserta didik untuk menjadi seorang Muslim yang
ulama-intelek atau intelektual-ulama, berwawasan luas, mengamalkan
ilmu-ilmunya serta mempunyai karya. Dengan pemikiran tersebut, peserta
didik akan terbentuknya karakter pada kehidupan sehari-hari dan
berakhlakul karimah sesuai anjuran al-Qur‟an dan Hadis yang menuju
pada kecerdasan intelektual, spiritual, emosional dan sosial, agar pserta
didik selamat baik di dunia maupun di akhirat.
B. Saran-saran
1. Kepada pendidik harus mempunyai visi ke depan
pada bentuk
keterampilan atau kreatif dalam mengajar pada peserta didik yang
tidak hanya bertujuan dalam mencerdaskan intelektual, tetapi harus
membentuk watak yang berakhalakul karimah.
2. Untuk para penerus Muhammadiyah agar terus melanjutkan jasa-jasa
K.H Ahmad Dahlan atas keikhlasannya dalam memperbaiki agama
dan
umatnya.
Selain
itu,
organisasi
Muhammadiyah
perlu
memperbanyak media tulis, cetak dan elektronika yang sekiranya
dapat menunjang Informasi untuk mendapatkan data yang akurat, agar
sosok Muhammadiyah lebih dikenal oleh masyarakat.
3. Kepada pemerintah, diharapkan untuk memfasilitasi dan melakukan
pembinaan secara intensif dan berkesinambungan dalam rangka
86
pengembangan sistem dan peningkatan pendidikan umum, karena kian
hari pendidikan
Islam
yang semakin dinamis menyesuaikan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohamad, Reivensi Pendidikan Muhammadiyah. Jakarta: Al-Wasat
Publishing House, 2010.
Arief, Dr. Armai. Pengantar Ilmu Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Press, 2002.
Arifin, H.M. Ilmu pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdsarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Askara, 1991.
______, Kapita Selekta Pendidiktan Islam dan Umum. Jakarta: Bumi Askara,
1993.
Arifin, Prof. H. Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Askara,
2010.
Assegaf, Abdur Rahman, Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suka Press,
2007).
As-shona’aini, Sabulus Salam, Bairut: Darul Kutub Alamiyah, 1971.
Azra, Azyumardi, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di
Nusantara. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2013.
Basri, Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Daulay, Haidir Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan dan Pendidikan
Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2007.
Djamas, Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Grafindo,
2009.
Fadjar, Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1998.
Hadjid, Ajaran K.H.A Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat al-Qur’an.
Semarang: PMW Jawa Tengah, 2004.
Jalaludin, Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Kadir, Abdul, Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Karisma Putra Utama, 2012.
Kosim, Muhammad, Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun Kritis, Humanis dan
Religius. Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2012.
Kusumo, Djarwi Hadi,
Persatuan, t,t.
Matahari-Matahari
Muhammdiyah.
Yogyakarta:
Kutoyo, Sutrisno, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah.
Jakarta: Depdikbud, 1985.
Ma’arif, Ahmad Syafi’I dan Abdul Munir Mulkan, I Abad Muhammadiyah
Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan. Jakarta: Kompas, 2010.
86
87
Ma’ruf, Farid, Analisis Aklhak dalam Perkembangan Muhammadiyah. Jakarta:
Majlis Taman Pustaka, 1962.
Madjid, Nurcholis, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan,
1993.
Minarti, Sri, Ilmu Pendidikan Islam Fakta, Teoritis Filosofis dan Aplikatif
Normatif. Jakarta: Bumi Askara, 2013.
Mujib, Abdul, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2006.
Mulkan, Abdul Munir, Islam Kultural Kiai Ahmad Dahlan. Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2012.
Munardji, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bina Ilmu, 2004.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
____, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004.
Nizar, Samsul, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di
Nusantara. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, t,t.
Nizar, Samsul dan Al-Rasyid, Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis Filsafat
Pendidikan. Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Noor, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1980.
Prodjokusumo, Pemesyarakatan Tradisi, Budaya, dan Politik Muhammadiyah.
Jakarta: Perkasa, 1995.
Rahman, Fajrul dan Sutrisno, Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2011.
Rasyad, Aminudin, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Depag RI,
1986.
Ridjaluddin, F.N, Falsafat Islam Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan Beberapa
Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa. Jakarta: Pustaka
Kajian Islam FAI UHAMKA, 2009.
Sairin. Weinata, Gerakan Pembaharuan Muhammdiyah., Jakarta: Sinar Harapan,
1995.
Salam, Junus, K.H.A. Dahlan, Amal dan Perdjoeangannja. Jakarta: Depot
Peangadjajaran, 1968.
Shaleh, Abdul Rahman, Pendidikan Agama dan Pengembangan Watak Bangsa.
Jakarta: Rajawali Press, 2005.
88
Shobron. Sudarno, Studi Kemuhammadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan
Organisasi. Surakarta: LPID, 2008.
Steenbink, Karel A, Pesantren Madrsah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern. Jakarta: LP3ES, 1996.
Sucipto, Hery, K.H Ahmad Dahlan Sang Pencerah Pendidik dan Pendiri
Muhammdiyah. Jakarta: Media Utama, 2010.
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2011.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Jakarta Raja
Grafindo, 2004.
Syuja, Islam Berkemajuan, Kisah Perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan
Muhammadiyah Masa Awal. Tangerang: Al-Wasath, 2010.
Zuharini, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Askara, 2009.
Referensi Internet:
Belarminus, Robertus. “Anies Baswedan Sebut Pendidikan Indonesia Gawat
Darurat”. 10 Novmber 2015. http://www.edukasi.com.
Ramdani, Ahmad Fauzi. “Gerakan Budi Utomo 1908”. 18 Maret 2016.
http://mahasiswamuslimgarut.blogspot.co.id.
Santoso, Urip. “Kumpulan Hadist Tentang Ilmu”. 14 Agustus
http://darussalambengkulu.wordpress.com.
2016.
Suryanis, Afrilia. “Begini Kronologi Bullying di SMA Don Bosco”. 2 Oktober
2015. http://www.tempo.co.
Tohirin. “Tujuan Pendidikan”. 8 April 2016. http://sholohfikr.blogspot.co.id.
Yogyakarta, RS. PKU Muhammadiyah. “Sejarah RS PKU Muhammadiyah”. 24
Maret 2017. http://rspkujogja.com.
Download