BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Merokok 2.1.1 Pengertian Perilaku Merokok Chaplin (2001) memberikan pengertian perilaku terbagi menjadi 2: pengertian dalam arti luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian luas, perilaku mencakup segala sesuatu yang dilakukan atau dialami seseorang, sedangkan pengertian lebih sempit, perilaku mencakup reaksi yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001) mendefinisikan perilaku sebagai sesuatu yang dilakukan oleh individu lain dan sesuatu itu bersifat nyata. Dan perilaku yang ada pada individu tidak timbul dengan sendirinya melainkan sebagai akaibat dari stimulus eksternal maupun internal Walgito (2001). Seperti halnya perilaku lain, perilaku merokok muncul karena adanya faktor internal (faktor biologis dan faktor psikologis seperti perilaku merokok dilakukan untuk mengurangi stres) dan faktor eksternal (faktor lingkungan sosial seperti terpengaruh oleh teman sebaya). Levy (1984) mengatakan bahwa setiap indivudu mempunyai kebiasaan merokok yang berbeda dan biasanya disesuaikan dengan tujuan mereka merokok, seperti untuk mendapatkan kekuatan kesibukan tangan, kenikmatan dan menenangkan diri pada saat stress, dan ketergantungan pada nikotin. Smet (1994) memberi pengertian bahwa seseorang dikatakan perokok berat apabila menghisap rokok 15 batang atau lebih dalam sehari. Perokok sedang adalah apabila menghisap rokok 5-14 batang rokok dalam sehari. Sedangkan perokok ringan yang menghisap 1-4 batang rokok dalam sehari. Danusantosa (1991) mengatakan bahwa asap rokok selain merugikan diri sendiri juga berakibat bagi orang lain disekitarnya. Demikian dengan pendapat Wismanto & Sarwo (2007) mengatakan bahwa merokok adalah perilaku manusia yang sudah berusia ratusan tahun bahkan ribuan tahun. Perilaku merokok adalah perilaku yang merugikan bukan hanya pada si perokok sendiri namun juga merugikan orang lain yang ada disekitarnya. Levy dkk (1984) menambahkan bahwa perilaku merokok adalah sesuatu yang dilakukan seseorang berupa membakar rokok dan menghisapnya serta dapat menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang-orang disekitarnya. Brigham (1991) mengatakan bahwa perilaku merokok bagi remaja merupakan simbolisasi. Simbolisasi dari kematamgam, kekuatan, kepemimpinan dan daya tarik terhadap lawan jenis. Perilaku merokok biasanya dimulai pada masa remaja. Erikson (dalam Komalasari & Helmi, 2000) menyatakan bahwa keputusan seorang remaja untuk merokok berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa perkembangannya, yaitu masa mencari identitas diri. Sering kali remaja merokok karena iseng, diberi oleh temannya atau dipaksa oleh temannya. Hal tersebut dilakukan agar terlihat dewasa, ingin menyesuaikan diri dengan teman atau supaya diterima dalam kelompok dan supaya tidak di cemooh. Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, dapat dinyatakan bahwa perilaku merokok merupakan suatu tindakan individu yang bersifat nyata dapat diamati secara umum dan objektif dengan menghirup asap rokok yang terbuat dari tembakau yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. 2.1.2 Aspek-aspek yang Mempengaruhi Perilaku Merokok Umumnya setiap individu dapat menggambarkan setiap perilaku menurut tiga aspek. Aspek-aspek perilaku menurut Smet (1994) adalah sebagai berikut: a. Frekuensi yaitu sering tidaknya perilaku muncul Frekwensi sangatlah bermanfaat untuk mengetahui sejauh mana perilaku merokok seseorang dengan menghitung jumlah munculnya perilaku merokok sering muncul atau tidak. Dari frekwensi merokok seseorang,dapat diketahui perilaku merokok seseorang yang sebenarnya. b. Lamanya berlangsung yaitu waktu yang diperlukan seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Aspek ini sangatlah berpengaruh bagi perilaku merokok seseorang. Dari aspek inilah dapat diketahui perilaku merokok seseorang apakah dalam menghisapnya lama atau tidak. c. Intensitas yaitu banyaknya daya yang dikeluarkan oleh perilaku tersebut. Aspek intensitas digunakan untuk mengukur seberapa dalam dan seberapa banyak seseorang menghisap rokok.dimensi intensitas merupakan cara yang paling subjektif dalam mengukur perilaku merokok seseorang. 2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok Remaja Faktor yang mempengaruhi perilaku merokok menurut Smet (1994) sebagai berikut: a. Social environment Faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi Perilaku merokok seperti teman sebaya, saudara, orang tua dan media masa. Faktor yang terpenting yaitu tekanan dari teman sebaya berpengaruh sebesar (46%), tetapi pengaruh anggota atau saudara merupakan faktor penentu kedua sebesar (23%) dan orang tua (14%). Lingkungan yang mendukung atau menerima perilaku merokok akan menyebabkan seseorang untuk mempertahankan perilaku merokoknya. Demikian sebaliknya lingkungan yang tidak menerima perilaku merokok maka akan merubah pandangan seseorang tentang merokok. b. Demographic variables Faktor ini meliputi faktor usia dan jenis kelamin. Semakin muda seseorang mulai merokok maka semakin besar kemungkinan untuk merokok dikemudian hari. Jenis kelamin juga berpengaruh pada perilaku merokok. Pada mulanya merokok hanya dilakukan oleh sebagian kaum pria, namun seiring perkembangan zaman wanita juga ambil bagian dalam hal perilaku merokok. dan Di Indonesia jenis kelamin merupakan faktor terpenting dalam faktor sosial. c. Socio-cultural factors Yang terkait dengan kebiasaan budaya, kelas sosial dan tingkat pendidikan. 2.1.4 Tipe-tipe Perilaku Merokok Menurut Smet (1994) ada tiga tipe perokok yang dapat diklasifikasikan menurut banyaknya rokok yang dihisap. Tiga tipe perokok tersebut adalah: a. Perokok berat yang menghisap lebih dari 15 batang rokok dalam sehari b. Perokok sedang yang menghisap 5-14 batang rokok dalam sehari. c. Perokok ringan yang menghisap 1-4 batang rokok dalam sehari 2.2 Konformitas pada Kelompok Sebaya 2.2.1 Pengertian Konformitas Menurut pendapat Sears (1994) konformitas adalah suatu bentuk tingkah laku menyesuaikan diri dengan tingkah laku orang lain, sehingga menjadi kurang lebih sama atau identik guna mencapai tujuan tertentu. Sering kali orang atau organisasi berusaha agar pihak lain menampilkan tindakan tertentu pada saat pihak lain tidak menginginkan untuk melakukan itu, namun bila orang lain menampilkan perilaku tersebut maka itu disebut konformitas. Baron dan Byrne (2005) mengemukakan konformitas adalah suatu sikap individu untuk mengubah perilakunya dengan mengambil norma yang ada dengan menerima ide-ide atau aturan yang menunjukkan bagaimana individu harus bersikap dalam kondisi tertentu. Myers (2010) menyatakan bahwa pengaruh konformitas pada kelompok menghasilkan suatu perubahan kepercayaan sebagai akibat dari tekanan kelompok, terlihat dari adanya kecenderungan seseorang untuk selalu menyamakan perilakunya terhadap perilaku kelompok, sehingga terhindar dari keterasingan maupun celaan Baron, Bans dan Brans combe (dalam Sarwono, 2009) memberi pengertian bahwa konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial di mana individu merubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial. Sedangkan Sarwono (2009) menambahkan bahwa konformitas adalah perilaku sama orang lain yang didorong oleh keinginannya sendiri. Sears (1994) juga berpendapat bahwa bila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena disebabkan oleh orang lain menampilkan perilaku tersebut, disebut konformitas. Asch (Sears, 1991) mengatakan bahwa konformitas hanya terjadi dalam situasi ambigu, yaitu bila orang merasa amat tidak pasti mengenai apa standar perilaku yang benar. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konformitas pada kelompok sebaya adalah perubahan perilaku seseorang dengan mengambil norma yang ada guna menyesuaikan diri dengan tingkah laku orang lain, sehingga menjadi kurang lebih sama atau identik guna mencapai tujuan tertentu. 2.2.2 Konformitas pada kelompok Sebaya Kelompok sebaya adalah lingkungan kedua setelah keluarga. Kelompok sebaya sering diartikan sebagai kelompok yang terdiri dari beberapa orang sahabat dekat dan teman-teman luar lainnya, yang memiliki tingkat usia yang relatif sama untuk berbagi pengalaman. Kelompok sebaya menyediakan suatu lingkungan, yaitu tempat teman sebayanya dapat melakukan sosialisasi dengan nilai yang berlaku, bukan lagi nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa, melainkan oleh teman seusianya, dan tempat dalam rangka menentukan jati dirinya (Santrock, 2003). Namun apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah nilai negatif maka akan menimbulkan bahaya bagi perkembangan jiwa individu. Peranan penting kelompok sebaya terhadap individu berkaitan dengan sikap, minat, dan perilaku remaja adalah perilaku meniru. Sehingga sangat penting bagi remaja untuk menyamakan perilaku dengan teman sebayanya agar mendapat kesempatan bagi dirinya untuk diterima oleh kelompok sebaya menjadi besar. Menurut Sears (1994) menyesuaikan diri dengan tingkah laku orang lain sehingga menjadi kurang lebih sama atau identik guna mencapai tujuan tertentu disebut konformitas. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa konformitas teman sebaya timbul karena pengaruh besar sebagai kelompok yang terdiri dari beberapa orang sahabat dekat dan teman-teman luar lainnya, serta merupakan teman-teman yang seusia atau teman-teman sosial berbagi pengalaman. 2.2.3 Aspek-aspek Konformitas Sears (1994) mengemukakan tiga aspek konformitas secara eksplisit diantaranya yaitu: 1. Kekompakan Kekuatan yang dimiliki kelompok menyebabkan remaja tertarik dan ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan remaja dengan kelompok disebabkan perasaan suka antara anggota kelompok serta harapan memperoleh manfaat dari keanggotaannya. Semakin besar rasa suka anggota yang satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok serta semakin besar kesetiaan mereka, maka akan semakin kompak kelompok tersebut. a) Penyesuaian Diri Kekompakan yang tinggi menimbulkan tingkat konformitas yang semakin tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila orang merasa dekat dengan anggota kelompok lain, akan semakin menyenangkan bagi orang lain untuk mengakui orang tersebut dalam kelompok, dan semakin menyakitkan bila orang lain mencela. Kemungkinan untuk menyesuaikan diri akan semakin besar bila seseorang mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota sebuah kelompok tertentu. b) Perhatian terhadap Kelompok Peningkatan koformitas terjadi karena anggotanya enggan disebut sebagai orang yang menyimpang, dan penyimpangan menimbulkan resiko ditolak. Orang yang terlalu sering menyimpang pada saat-saat yang penting diperlukan, tidak menyenangkan, dan bahkan bisa dikeluarkan dari kelompok. Semakin tinggi perhatian seseorang dalam kelompok semakin serius tingkat rasa takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil kemungkinan untuk tidak menyetujui kelompok. 2. Ketaatan Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja membuatnya rela melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkannya. Bila ketaatannya tinggi maka konformitasnya akan tinggi juga. a) Tekanan karena Ganjaran, Ancaman, atau Hukuman Salah satu cara untuk menimbulkan ketaatan adalah dengan meningkatkan tekanan terhadap individu untuk menampilkan perilaku yang diinginkan melalui ganjaran, ancaman, atau hukuman karena akan menimbulkan ketaatan yang semakin besar. Semua itu merupakan insentif pokok untuk mengubah perilaku seseorang. b) Harapan Orang Lain Seseorang akan rela memenuhi permintaan orang lain hanya karena orang lain tersebut mengharapkannya. Misalnya, bila seseorang menyatakan kepada orang lain bahwa mereka harus menyumbang sejumlah uang, dan memberikan peringatan kepada orang lain apabila tidak menyumbangkan sejumlah uang maka orang lain akan memberikan uang yang lebih banyak. Salah satu cara untuk memaksimalkan ketaatan adalah dengan menempatkan individu dalam situasi yang terkendali, di mana segala sesuatunya diatur sedemikian rupa sehingga ketidaktaatan merupakan hal yang hampir tidak mungkin timbul. 3. Kesepakatan Pendapat kelompok, acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan yang kuat sehingga loyalitas dan menyesuaikan pendapatnya pada pendapat kelompok. a) Kepercayaan Tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat, meskipun orang yang berbeda pendapat itu sebenarnya kurang ahli bila dibandingkan anggota lain yang membentuk mayoritas. Bila seseorang sudah tidak mempunyai kepercayaan terhadap pendapat kelompok, maka hal ini dapat mengurangi ketergantungan individu terhadap kelompok sebagai sebuah kesepakatan. b) Persamaan Pendapat Bila dalam suatu kelompok terdapat satu orang saja tidak sependapat dengan anggota kelompok yang lain maka konformitas akan turun. Kehadiran orang yang tidak sependapat tersebut menunjukkan terjadinya perbedaan yang dapat berakibat pada berkurangnya kesepakatan kelompok. Jadi dengan persamaan pendapat antar anggota kelompok maka konformitas akan semakin tinggi. c) Penyimpangan terhadap pendapat kelompok Bila orang mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang lain dia akan dikucilkan dan dipandang sebagai orang yang menyimpang, baik dalam pandangannya sendiri maupun dalam pandangan orang lain. Bila orang lain juga mempunyai pendapat yang berbeda, maka tidak akan dianggap menyimpang dan tidak akan dikucilkan. Jadi kesimpulan bahwa orang yang menyimpang akan menyebabkan penurunan kesepakatan merupakan aspek penting dalam melakukan konformitas. Berdasarkan uraian di atas aspek-aspek dari konformitas adalah kekompakan, ketaatan dan kesepakatan. 2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Konformitas Faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas pada kelompok sebaya menurut Sears (1994) mengungkapkan, yakni: a. Pengaruh Informasi Pengaruh informasi di mana individu merasa kelompoknya memiliki pengetahuan yang lebih luas mengenai dunia sosialnya dibandingkan dengan dirinya sendiri, sehingga mengikuti pendapat atau opini dan perilaku kelompok sebagai panduan baginya b. Kepercayaan terhadap kelompok. Dalam situasi konformitas, individu mempunyai suatu pandangan dan kemudian menyadari bahwa kelompoknya menganut pandangan yang bertentangan. Individu ingin memberikan informasi yang tepat, oleh karena itu semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, maka seseorang akan mengikuti apa pun yang dilakukan kelompok tanpa memperdulikan pendapatnya sendiri. Demikian pula bila kelompok mempunyai informasi penting yang belum dimiliki individu konformitas akan semakin meningkat. c. Kepercayaan yang lemah terhadap penilaiaan sendiri Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. Semakin lemah kepercayaan seseorang akan penilaiannya sendiri, semakin tinggi tingkat konformitasnya. Sebaliknya, jika seseorang merasa yakin akan kemampuannya sendiri akan penilaian terhadap sesuatu hal, semakin turun tingkat konformitasnya d. Rasa takut terhadap celaan sosial. Celaan sosial memberikan efek yang signifikan terhadap sikap individu karena pada dasarnya setiap manusia cenderung mengusahakan pesetujuan dan menghindari celaan kelompok dalam setiap tindakannya. Tetapi, sejumlah faktor akan menentukan bagaimana pengaruh persetujuan dan celaan terhadap tingkat konformitas individu e. Rasa takut terhadap penyimpangan Rasa takut dipandang sebagai orang yang menyimpang merupakan faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. Rasa takut akan dipandang sebagai orang yang menyimpang ini diperkuat oleh tanggapan kelompok terhadap perilaku menyimpang. 2.3 Hubungan antara Konformitas dengan Perilaku Merokok Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang sering kali timbul banyak permasalahan. Pada usia 15-18 tahun atau siswa yang duduk di kelas XI menengah atas merupakan masa krisis bagi remaja dimana mereka mulai menyesuaikan diri dengan teman sebayanya, tertarik dengan lawan jenis, ingin menunjukkan sisi kedewasaannya, dan ingin menunjukkan eksistensinya di antara teman-teman yang lain. Dari karakteristik tersebut peran teman sebaya sangat mempengaruhi dalam proses pencarian jati diri remaja (Hurlock, 1980) Penyesuaian remaja dengan kelompok teman sebaya sering kali menimbulkan beberapa konsekuensi diantaranya remaja harus mengikuti apa yang dilakukan oleh teman-teman kelompoknya, jika remaja tidak mau maka akan dikucilakn dan dimusuhi. Kepercayaan remaja yang besar terhadap kelompok dapat menimbulkan konformitas yang tinggi terhadap kelompok. Menurut Sears (1991) konformitas adalah suatu bentuk tingkah laku menyesuaikan diri dengan tingkah laku orang lain, sehingga menjadi kurang lebih sama atau identik guna mencapai tujuan tertentu. Konformitas adalah satu tuntutan yang tidak terulis dari kelompok. Siswa yang memiliki kepercayaan diri yang rendah membuat mereka berusaha untuk melakukan konformitas. Misalnya anggota kelompok mencoba untuk merokok, minum munuman keras dan obat-obatan terlarang , maka besar kemungkinan remaja akan cenderung mengikutinya. Perilaku merokok erat kaitannya dengan remaja. Konformitas remaja ini didukung oleh pendapat Sarafino (1990) bahwa seseorang merokok karena remaja terlalu sering bergaul dengan perokok. Perilaku merokok dilakukan remaja agar tampak dewasa dan dilakukan secara sembunyi – sembunyi karena takut dimarahi oleh orang tua atau guru. Terlepas dari hal itu remaja yang merokok bersama teman akan terhindar dari celaan dan cemooh dari teman sekelompoknya begitu pula sebaliknya seringkali siswa yang tidak merokok dikatakan banci dan cemen. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa adanya kepercayaan diri terhadap kelompok yang tinggi, kurangnya kepercayaan terhadap penilaian pada diri sendiri, dan rasa takut terhadap penyimpangan dan celaan sosial dapat menimbulkan perilaku merokok. Hal tersebut menujukkan bahwa konformitas pada kelompok berpengaruh terhadap perilaku merokok siswa. 2.4 Penelitian yang Relevan Penelitian oleh Endah (2011) mengenai “Hubungan Antara Konformitas dengan Perilaku Merokok Pada Remaja Laki-laki” menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konformitas dengan perilaku merokok pada remaja laki-laki dengan p = 0,576 (P > 0,05). Hal yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulansari (2006), mengenai “Hubungan Konformitas terhadap Kelompok Sebaya (Peer Group) dan Perilaku merokok pada remaja putra” menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara konformitas dan perilaku merokok pada remaja putra.Hal ini ditunjukkan dengan (rxy) sebesar 0,310 (p = 0,000 < 0,05). Berbeda pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Adi (2007) yang menghasilkan danya hubungan yang positif dan signifikan antara konformitas dengan persepsi terhadap perilaku merokok pada remaja akhir di UKSW, yakni r = 0,310 dan p < 0,05. 2.4 Hipotesis Untuk memudahkan jalan bagi penelitian ini, penulis mengajukan hipotesis yang nantinya akan diuji kebenarannya. Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara konformitas pada kelompok sebaya dengan perilaku merokok pada siswa kelas XI Mesin Otomotif SMK Islam Sudirman Ungaran”. Apabila semakin tinggi konformitas maka semakin tinggi perilaku merokok, begitu pula sebaliknya semakin rendah konformitas maka semakin rendah perilaku merokok siswa.