penerapan metode palmer drought severity index

advertisement
PENERAPAN METODE PALMER DROUGHT SEVERITY INDEX
(PDSI) UNTUK ANALISA KEKERINGAN PADA SUB-SUB DAS
SLAHUNG KABUPATEN PONOROGO
JURNAL ILMIAH
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Teknik
Disusun oleh:
NUR JANNAH
NIM. 115060401111038-64
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN PENGAIRAN
MALANG
2015
PENERAPAN METODE PALMER DROUGHT SEVERITY INDEX
(PDSI) UNTUK ANALISA KEKERINGAN PADA SUB-SUB DAS
SLAHUNG KABUPATEN PONOROGO
Nur Jannah, Donny Harisuseno2, Dian Chandrasasi2
1
2
Mahasiswa Jurusan Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Dosen Jurusan Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Universitas Brawijaya
Universitas Brawijaya – Malang, Jawa Timur, Indonesia
Jln. MT Haryono 167 Malang 65145 Indonesia
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kekeringan merupakan fenomena yang sering terjadi dan menimbulkan bencana di
berbagai daerah di Indonesia. Kekeringan berhubungan terhadap ketersediaan cadangan air
dalam tanah, untuk kepentingan pertanian maupun untuk kebutuhan manusia. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui indeks kekeringan dengan menggunakan metode Palmer
Drought Severity Index (PDSI). Metode ini menggunakan prinsip neraca air dan
menekankan faktor evapotranspirasi potensial dan memasukkan parameter lengas tanah.
Dari hasil perhitungan, periode basah terjadi pada bulan November sampai maret adalah
(X= 28,20 sampai 0,1), sedangkan mulai mendekati normal yaitu pada bulan April adalah
(X= -0,12), dan pada periode kering terjadi pada bulan Mei sampai Oktober (X= -0,12
sampai -104,78). Tahun yang paling kering terjadi pada tahun 2004 dan 2013. Hasil
perbandingan antara kejadian El Nino dan indeks kekeringan metode Palmer memiliki
nilai kecocokan sebesar 68%, hubungan kekeringan, curah hujan, debit (F.J Mock)
memiliki korelasi erat dan dapat disimpulkan bahwa terjadi hubungan antara nilai surplus
dan defisit Palmer memiliki korelasi terhadap debit (F.J Mock) dan curah hujan.
Kata kunci: kekeringan, Metode Palmer, El Nino
ABSTRACT
Drought is the phenomenon that often occurs and cause disasters in various
regions in Indonesia. Drought related against the availability of water reserves in the soil,
For the benefit of agricultural and to the needs of human. This research is to find out the
drought index for using method of Palmer Drought Severity Index (PDSI). This method
using the principle of water balance and Emphasizing evapotranspirasi potential factors
and inserting the parameters of soil moisture. The analysis result of calculation, A period
of wet occur in november to march is (X= 28,20 until 0,1), whereas Starting normally in
April is (X= -0,12), And in the period of dry happened in may until october (X= -0,12
sampai -104,78).The Most dry of the year happened in 2004 and 2013, The comparison
between the El nino and Drought index method of Palmer has a match value of 68%, The
relationships of drought, rainfall, discharge (FJ Mock) Having closely correlation and the
concluded that there are the relationship between the value of a surplus and the deficit
Palmer has a correlation to the discharge (FJ Mock) and rainfall.
Keywords: Drought, Method of Palmer, El Nino
1. PENDAHULUAN
Perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap cuaca di Indonesia sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan suhu
rata-rata. Menurut Kusnanto (2011) keadaan rata-rata suhu udara di Indonesia
mulai tahun 1968 hingga tahun 2007 terus
mengalami peningkatan. Dalam waktu 70
tahun sejak tahun 1940 suhu rata-rata di
bumi mengalami kenaikan 0,5ºC.
Salah satu pengaruh utama iklim
di Indonesia adalah El-Nino Southern
Oscillation (ENSO). EL Nino dirasakan di
Indonesia lewat musin kemarau yang
lebih panjang yang menjadi penyebab
utama kekeringan, apabila suhu permukaan laut pasifik ekuator tepatnya di
bagian tengah sampai timur mengalami
peningkatan suhu. Keadaan ini mengakibatkan pedinginan suhu permukaan laut di
perairan Indonesia. Dampaknya adalah
berkurangnya produksi awan dan menurunya curah hujan.
Kekeringan merupakan fenomena
yang sering terjadi dan menimbulkan
bencana di berbagai daerah di Indonesia.
Kekeringan berhubungan terhadap ketersediaan cadangan air dalam tanah, baik
yang diperlukan untuk kepentingan pertanian maupun untuk kebutuhan manusia.
Salah satu fenomena bencana
kekeringan yang terjadi di Indonesia dapat
dilihat pada Provinsi Jawa Timur, dimana
sudah dipastikan separuh lebih wilayah
Jawa Timur terkena dampak bencana
kekeringan selama musim kemarau tahun
2012. Sudah tercatat sebanyak 23 dari 38
Kabupaten/Kota di Jawa Timur menyatakan daerahnya dalam bencana Kekeringan (Badan Penaggulangan Bencana
Daerah – Jawa Timur, 2012).
Analisis indeks kekeringan merupakan analisis yang menunjukkan tingkat kelas atau derajat kekeringan karena
tingkat kekeringan suatu wilayah berbeda
satu dengan yang lain. Untuk mengetahui
nilai indeks kekeringan daerah digunakan
salah satu metode analisis yaitu metode
Palmer Drought Severity Index (PDSI).
Metode PDSI merupakan indeks ke-
keringan meteorologi, metode ini berdasarkan pada data curah hujan, suhu udara
dan ketersediaan air dalam tanah.
Tujuan dari studi ini adalah untuk
mengetahui besar indeks kekeringan
menggunakan metode palmer dan mengetahui sebaran kekeringan yang terjadi
pada Sub-sub DAS Slahung, kemudian
hasil kekeringan dibandingkan dengan
kejadian El-Nino Southern Oscillation
(ENSO), curah hujan dan debit andalan
(F.J Mock).
2. KAJIAN PUSTAKA
A. Kekeringan
Kekeringan adalah kekurangan
ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan.
Terjadinya kekeringan mengakibatkan
kendala dalam peningkatan produksi pangan di daerah tersebut. Dipulau Jawa ketersediaan air hanya dapat dipenuhi pada
musim penghujan sedangkan pada musim
kemarau terjadi defisit air yang menjadi
indikator penting terjadinya kekeringan
(Sutopo, 2007).
Bappenas juga mengklasifikasikan
kekeringan menjadi beberapa kriteria
sebagai berikut:
1. Kekeringan Meteorologis; berkaitan
dengan tingkat curah hujan dibawah
normal dalam satu musim. Pengukuran
kekeringan meteorologis merupakan
indikasi pertama adanya kekeringan.
2. Kekeringan Hidrologis; berkaitan
dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini
di ukur berdasarkan elevasi muka air
sungai, waduk, danau dan elevasi muka
air tanah. Ada tenggang waktu mulai
berkurangnya hujan sampai menurunya
elevasi muka air sungai, waduk, danau
dan elevasi muka air tanah.
3. Kekeringan Pertanian; berkaitan dengan berkurangnya lengas tanah (kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Keke-
ringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologi.
4. Kekeringan Sosial Ekonomi; berkaitan
dengan kekeringan yang memberi dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi
seperti rusaknya tanaman, peternakan,
perikanan, berkurangnya tenaga listrik
dari tenaga air, menurunya pasokan air
baku untuk industri domestik dan perkotaan.
5. Kekeringan Hidrotopografi; berkaitan
dengan perubahan tinggi muka air
sungai antara musim hujan dan musim
kering dan topografi lahan.
B. Indeks Kekeringan Metode Palmer
Drought Severity Index (PDSI)
Konsep neraca air yang digunakan
oleh Palmer (1965) dalam menentukan
indeks kekeringan. Dalam analisa ini menggunakan dua lapisan tanah, lapisan tanah atas dan lapisan tanah bawah masingmasing mempunyai kapasitas lapisan yang
tersedia yaitu AWCs (ketersediaan air lapisan pertama) dan AWCu (ketersediaan
air lapisan kedua). Lengas tanah tidak dapat hilang dari (masuk ke dalam) lapisan
tanah bawah sebelum lengas di lapisan
atas habis (telah jenuh).
Cara yang dilakukan untuk menduga air tanah tersedia adalah dengan menghitung luas vegetasi penutup di setiap
luasan poligon tertentu, dimana kedalaman profil tanah yang dihitung dalam
metode Palmer dibagi menjadi dua bagian. Lapisan atas merupakan lapisan
yang biasa di usahakan untuk pertanian
diperkirakan mempunyai kedalaman ratarata sekitar 20 cm. sedangkan lapisan kedua ditentukan berdasarkan zona perakaranya. Namun, untuk tanaman semusim
kedalaman zona perakaranya diperkirakan
tidak lebih satu meter (Andi Ihwan; 2011).
Input data
dalam metode ini
adalah curah hujan, kapasitas air tanah
dan evapotranspirasi potensial. Evapotranspirasi potensial diduga dari suhu ratarata dengan metode Thornthwaite. Kelebihan metode ini selain menghasilkan nilai indeks, juga koefisien parameter iklim,
yaitu koefisien evapotranspirasi, koefisien
imbuhan, koefisien limpasan (run off) dan
koefisien kehilangan lengas tanah. Dari
koefisien tersebut dapat dilakukan perhitungan curah hujan yang terjadi selama
bulan tertentu untuk mendukung evapotraspirasi, limpasan dan cadangan lengas
yang dipertimbangkan sebagai kondisi
normal.
Dalam analisa metode Palmer
klasifikasi indeks kekeringan dibagi menjadi 11 kelas dengan indeks nol sebagai
keadaan normal.
Tabel 1. Kelas Indeks Kekeringan dan
Klasifikasi
Indeks Kekeringan Klasifikasi
Ekstrim basah
4,00
3,00 - 3,99
Sangat Basah
2,00 - 2,99
Agak Basah
1,00 - 1,99
Sedikit Basah
0,50 - 0,99
Awal selang Basah
0,49 - (-0,49)
Mendekati Keadaan Normal
(-0,50) - (-0,99)
Awal selang Kering
(-1,00) - (-1,99)
Sedikit Kering
(-2,00) - (-2,99)
Agak Kering
(-3,00) - (-3,99)
Sangat Kering
Ekstrim Kering
(-4,00)
Sumber:National Drought Mitigation Center, 2006
3. METODOLOGI
A. Lokasi Wilayah Studi
Studi dilakukan di Sub-Sub DAS
Slahung dengan luas 328,58 km2 yang terletak di Sub DAS Kali Madiun bagian dari
DAS Bengawan Solo, secara administratif
terletak pada Kabupaten Ponorogo Provinsi Jawa Timur yang mempunyai luas wilayah mencapai 1.371.78 km2 terbagi menjadi 21 Kecamatan dan terdiri dari 305 desa/kelurahan. Sub-sub DAS terbagi menjadi 7 Kecamatan yaitu Jenangan, Jambon,
Balong, Badegan, Slahung, Sambit dan
Sawoo. Secara astronomis wilayah studi
terletak pada 117º7’ hingga 111º52’ Bujur
Timur dan 7º49’ hingga 8º20’ Lintang Selatan.
 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Wonogiri.
 Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten
Trenggalek.
 Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magetan, Kabupaten Madiun
dan Kabupaten Nganjuk.
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pacitan.
Gambar 1. Peta Sub-sub DAS SLahung
Sumber: Dinas PU Ponorogo
B. Metodologi Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam
studi ini berupa data-data sekunder yang
menggambarkan karakteristik Sub-sub
DAS Slahung. Data-data yang diperlukan
sebagai berikut:
Tabel 2. Data-data Sekunder
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Data
Data curah hujan,
digunakan data curah
hujan bulanan selama
19 tahun (1995-2013)
Data suhu udara
bulanan selama 19
tahun (1995-2013)
Peta tata guna lahan
(2001)
Peta tata guna lahan
(2006)
Peta jenis tanah
Peta tekstur tanah
Peta Batas Daerah
Aliran Sungai
Peta stasiun hujan
Sumber Data
karena Stasiun hujan Ngilo-Ilo, Slahung,
Balong dan Wilangan tidak memiliki data
suhu udara. Data suhu acuan didapatkan
dari pos Lanud Iswahyudi (pos pengamatan suhu terdekat dari lokasi studi).
Cara Mock menggunakan ketinggian
sebagai koreksi untuk menghitung ketinggian sebagai koreksi untuk menghitung selisih suhu antara stasiun.
ΔT
= 0,006 (Z1-Z2)
(1)
dimana:
ΔT
= selisih temperature udara masing
-masing stasiun (ºC)
Z1
= ketinggian stasiun acuan (m)
Z2
= ketinggian stasiun hujan yang
diperhitungkan (m)
b. Evapotranspirasi Potensial
Perhitungan evapotranspirasi potensial (ET) dihitung dengan metode
Thornthwaite. Evapotranspirasi potensial
tersebut berdasarkan suhu udara rerata
bulanan dengan standar 1 bulan 30 hari,
dan lama penyinaran matahari 12 jam
sehari. Adapun persamaanya adalah sebagai berikut:
Dinas PU Kabupaten Ponorogo
ET x
= 16 x (
Stasiun Lanud Iswahyudi
ET
= f x ET x
Bakosurtanal
I
=∑
Dinas PU Kabupaten Ponorogo
Dinas PU Kabupaten Ponorogo
Dinas PU Kabupaten Ponorogo
Dinas PU Kabupaten Ponorogo
Dinas PU Kabupaten Ponorogo
C. Tahapan Penyelesaian Penelitian
Langkah-langkah penyelesaian penelitian adalah sebagai berikut:
 Pengumpulan data
Pengumpulan data-data sekunder
 Analisis Hidrologi
 Uji konsistensi data (Metode kurva
massa ganda)
 Uji stasioneritas data (Uji F dan Uji
T)
 Perhitungan kekeringan metode
Palmer
a. Analisa Data Suhu
Perhitungan suhu udara menggunakan cara Mock pada persamaan (1),
a
)a
(2)
(3)
( )1,514
-7
3
(4)
-5
2
= (6,75.10 ).I – (7,71.10 ).I +
(1,792.10-2).I + 0,49239
(5)
dimana:
Tm
= suhu udara rata-rata bulanan (ºC)
f
= koefisien koreksi (Tabel koefisien penyesuaian menurut bujur
dan bulan)
I
= indeks panas tahunan
i
= indeks panas bulanan
ETx = evapotranspirasi potensial yang
belum disesuaikan faktor f
(mm/bulan)
ET
= evapotranspirasi potensial (mm/bulan)
c. Kapasitas Penyimpanan Air (Water
Holding Capacity)
Kapasitas penyimpanan air (water
holding capacity) adalah jumlah air maksimum yang dapat disimpan oleh suatu
tanah. Keadaan ini dapat dicapai jika pem-
berian air pada tanah sampai terjadi kelebihan air, setelah itu kelebihan airnya dibuang. Pada keadaan ini semua rongga
pori terisi air.
Perhitungan nilai kapasitas penyimpanan air (WHC) pada setiap stasiun
hujan dapat dilakukan dengan bantuan
ArcGIS.10 dan ArcView 3.2. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
 Penggambaran peta polygon thiessen
 Penggambaran peta penggunaan lahan
dan peta tekstur tanah
 Penggabungan peta polygon thiessen,
penggunaan lahan dan peta tekstur
tanah
Dari data spasial hasil penggabunganpeta
dilakukan
perhitungan
kapasitas penyimpanan air (WHC) dengan
mengalikan prosentase luas penggunaan
lahan dengan nilai air tersedia dan nilai
kedalaman zona perakaran yang terdapat
pada tabel pendugaan kapasitas air tersedia berdasarkan kombinasi tipe tanah
dan vegetasi. Selanjutnya nilai kapasitas
penyimpanan air (WHC) dibagi pada tiap
polygon thiessen, maka didapatkan nilai
(WHC) atau Sto tiap polygon thiessen atau
tiap stasiun hujan.
d. Menghitung selisih P dan ET tiap
bulan
 (P-ET) > 0, teradi surplus curah hujan
(periode bulan basah)
 (P-ET) < 0, teradi defisit curah hujan
(periode bulan kering).
e. Menghitung jumlah kumulatif dari
defisit curah hujan (Accumulated
potential water loss)
Dengan menjumlahkan angkaangka (P-ET) untuk bulan-bulan yang
mempunyai evapotranspirasi potensial
lebih daripada curah hujan (P–ET) negatif.
)
APWL = ∑ (
(6)
APWLi = APWLi-1 + (P – ET)neg
(7)
Apabila P>ET, seri data ini terputus,
APWL = 0
f. Menentukan Kelengasan Tanah
 Pada bulan-bulan basah (P>ET), nilai
ST = STo (water holding capacity)
 Pada bulan-bulan basah (P>ET)
berakhir digantikan bulan-bulan kering
(P<ET), pada bulan ini ST tiap bulan
dihitung dengan rumus:
ST = STo x e (+APWL/-STo)
(8)
dimana:
ST
= Kandungan lengas tanah dalam
daerah perakaran (mm)
STo
= Kandungan lengas tanah dalam
kapasitas lapang (mm) STo yang
dimaksud dalam rumus ini
nilainya = WHC
APWL = Jumlah kumulatif dari defisit curah hujan (mm)
g. Perubahan
Kandungan
Lengas
Tanah (ΔST)
Perubahan lengas tanah (ΔST) tiap
bulan didapat dengan cara mengurangkan
lengas tanah (ΔST) pada bulan yang
bersangkutan dengan (ST) pada bulan sebelumnya (ΔST,= STi–Sti-1), maka nilai negatif menyebabkan tanah menjadi kering.
h. Menghitung besarnya evapotranspirasi aktual
Besarnya evapotranspirasi aktual
tiap bulan yaitu:
 Pada bulan basah (P>ET), nilai EA = ET
 Pada bulan kering (P<ET), nilai EA =
P–ΔST.
i. Kekurangan lengas (Defisit)
Kekurangan lengas (moisture
defisit, D) yang terjadi pada bulan-bulan
kering (P<ET), diperoleh dari selisih
evapotranspirasi potensial dengan evapotranspirasi aktual.
(D = ET - EA)
(9)
dimana:
D
=defisit (mm/bulan)
ET
= evapotranspirasi potensial
(mm/bulan)
EA
= evapotranspirasi aktual
(mm/bulan)
j. Kelebihan lengas (Surplus)
Kelebihan lengas (moisture surplus, S) yang terjadi pada bulan-bulan basah (P–ET), diperoleh dari
S = (P–ET) – ΔST
(10)
dimana:
S
= surplus (mm/bulan)
P
= curah hujan (mm/bulan)
ET
= evapotranspirasi potensial
(mm/bulan)
ΔST = perubahan lengas tanah (mm)
a. Debit limpasan
Menunjukkan besarnya air yang
mengalir dipermukaan tanah. Menghitungnya 50% dikalikan dengan nilai surplus.
b. Pengisian lengas tanah potensial
PR = WHC – ST
(11)
dimana:
WHC = kapasitas penyimpanan air
ST
= kandungan lengas tanah dalam
perakaran bulan tesebut
c. Pengisian lengas tanah
Pengisian lengas tanah terjadi jika
nilai ST pada bulan sebelumnya lebih
kecil dari ST pada bulan bersangkutan,
penambahan nilai ST tersebut menjadi
pengisian lengas tanah
R = ST – ST j-1
(12)
dimana:
R
= pengisian lengas tanah
ST
= kandungan lengas tanah dalam
perakaran bulan tesebut
ST j-1 = kandungan lengas tanah dalam
perakaran bulan sebelumnya
d. Kehilangan lengas tanah potensial
PL = ET - ΔST
(13)
dimana:
PL
= kehilangan lengas tanah
potensial
ET
= evapotranspitasi potensial
ΔST = perubahan lengas tanah
e. Kehilangan Lengas Tanah
Kehilangan lengas (L), dilakukan
dengan cara mengurangi nilai ST pada bulan sebelumnya dengan nilai ST pada
bulan bersangkutan
L = ST j-1 – ST
(14)
dimana:
L
= kehilangan lengas tanah
ST
= kandungan lengas tanah dalam
perakaran bulan tesebut
ST j-1 = kandungan lengas tanah dalam
perakaran bulan sebelumnya
f. Indeks Kekeringan Metode Palmer
 Analisa Parameter Iklim
1. Penentuan Konstanta
Konstanta yang ditentukan dimaksudkan untuk menetukan nilai “CAFEC” (Climatically Appropriate for Exis-
ting Conditions). Konstanta tersebut
adalah: Nilai-nilai konstanta di atas ditentukan dengan rumus:
a) Menentukan koefisien evapotranspirasi
 = AE / ET
(15)
dimana:

= koefisien evapotranspirasi
AE
= rerata evapotranspirasi aktual
(mm/bulan)
ET
= rerata evapotranspirasi potensial
(mm/bulan)
b) Menentukan koefisien pengisian
lengas ke dalam tanah
 = R PR
(16)
dimana:

= koefisien pengisian lengas ke
dalam tanah
R
= rerata pegisian lengas tanah(mm)
PR
= rerata pengisian lengas tanah
potensial (mm)
c) Menentukan koefisien limpasan
 = Ro / Surplus
(17)
dimana:

= koefisien limpasan
Ro
= rerata limpasan permukaan (mm)
St j-I = rerata surplus (mm)
d) Menentukan koefisien kehilangan air

L / PL
(18)
dimana:

= koefisien kehilangan air
L
= rerata kehilangan lengas tanah
(mm)
PL
= rerata kehilangan lengas tanah
potensial (mm)
e) Menentukan pendekatan terhadap
pembobot “iklim”
 = ( ET R ( P L)
(19)
dimana:

= pendekatan terhadap pembobot
“iklim”
ET
= rerata evapotranspirasi potensial
(mm/bulan)
R
= rerata pegisian lengas (mm)
P
= rerata hujan (mm)
L
= rerata kehilangan lengas tanah
(mm)
2. Penentuan Nilai CAFEC (Climatically Appropriate for Existing
Conditions)
Nilai ini adalah dugaan parameterparameter evapotranspirasi, runoff, recharge, presipitasi dan loss, dimana secara
klimatologis sesuai dengan kondisi waktu
dan tempat yang diuji. Rumus yang
digunakan untuk masing-masing parameter tersebut adalah:
a) Menentukan nilai evapotranspirasi
CAFEC
̂ =  * ET
(20)
dimana:
̂
= nilai evapotranspirasi CAFEC

= koefisien evapotranspirasi
ET
= evapotranspirasi potensial
(mm/bulan)
b) Menentukan nilai pengisian lengas
ke dalam tanah CAFEC
̂ =  * PR
(21)
dimana:
̂
= nilai evapotranspirasi CAFEC

= koefisien pengisian lengas ke dalam tanah
PR
= pengisian lengas potensial (mm)
c) Menentukan nilai limpasan CAFEC
̂ =  Ro
(22)
dimana:
̂
= nilai limpasan CAFEC

= koefisien limpasan
Ro
= limpasan permukaan (mm)
d) Menentukan nilai kehilangan lengas
tanah CAFEC
̂ =  * PL
(23)
dimana:
̂
= nilai kehilangan lengas tanah
CAFEC

= koefisien kehilangan air
PL
= kehilangan lengas tanah
potensial (mm)
e) Menentukan nilai presipitasi CAFEC
̂ =̂
̂
̂ ̂
(24)
dimana:
̂
= nilai rerata presipitasi CAFEC
̂
= nilai evapotranspirasi CAFEC
̂
= nilai evapotranspirasi CAFEC
̂
= nilai limpasan CAFEC
̂
= nilai kehilangan lengas tanah
CAFEC
3. Penentuan periode kelebihan atau
kekurangan hujan (d)
Untuk
menentukan
periode
kelebihan (surplus) atau kekurangan (defisit) hujan, digunakan rumus:
d=P– ̂
(25)
dimana:
P = hujan bulanan (mm)
̂ = nilai rerata presipitasi CAFEC
4. Rataan nilai mutlak
= rataan nilai d
5. Pendekatan kedua terhadap nilai
faktor K (’), digunakan rumus:
K’ =1,5 log 10 ((
)
)
+0,5
(26)
K’ = * ’
(27)
6. Karakter iklim sebagai faktor pembobot
Untuk menentukan nilai K ini, digunakan rumus:
K=∑
̅
̅
(28)
7. Indeks penyimpangan (Anomali) lengas (Z)
Untuk
menentukan
indeks
penyimpangan (anomali) lengas, digunakan rumus
Z = d*K
(29)
8. Indeks kekeringan
Dihitung dengan rumus:
X = (Z/3) j-1 + Δx
(30)
Δx = (Z/3) j – 0,103 (Z/3) j-1 (31)
dimana
X = indeks kekeringan Palmer
Z = indeks penyimpangan (anomali)
lengas
d = nilai yang menunjukkan periode
kelebihan atau kekurangan hujan
K= karakteristik iklim atau sebagai faktor
bobot.
 Pemetaan Indeks Kekeringan
Menggunakan Software ArcGIS.10
dengan metode IDW.
 Perbandingan hasil perhitungan
dengan data SOI, curah hujan dan
debit andalan (F.J Mock)
Hasil perhitungan kekeringan
metode Palmer kemudian dibandingkan
dengan kejadian El Nino ditampilkan
dengan prosentase, curah hujan dan debit
andalan metode (F.J Mock) ditampikan
dengan grafik.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisa Hidrologi
 Uji Konsistensi Data (Kurva Massa
Ganda)
Hasil uji konsistensi data hujan
bulanan pada Sub-sub DAS Slahung tidak
di-temukan data yang menyimpang sehingga data hujan bulanan dianggap konsisten dan dapat digunakan untuk perhitungan kekeringan metode Palmer.
 Uji Stasioneritas Data (Uji F dan
Uji T)
Untuk hasil pengujian dari 4
stasiun hujan pada Sub-sub DAS Slahung
yaitu Stasiun hujan Ngilo-Ilo, Slahung,
Balong, Wilangan menunjjukan nilai varian dan nilai rata-rata varian adalah stabil
atau homogeny dan deret berkala tersebut
stasioner.
B. Analisa Perubahan Tata Guna
Lahan
Dalam studi ini dilakukan analisa
perubahan tata guna lahan pada tahun
2001 dan 2006, sebagai dasar perhitungan
analisa perhitungan kapasitas penyimpanan air. Untuk mengetahui perubahan
tata guna lahan yang terjadi antara kurun
waktu 2001 sampai dengan 2006 ditampilkan pada tabel berikut:
Tabel 3. Perubahan Tata Guna Lahan
Penggunaan
Lahan
Luas 2001
Luas 2006
Nilai kelembaban tanah tertahan
atau kelembaban tanah pada akapsitas
lapang (STo) sama dengan kapasitas menyimpan air (WHC).
Tabel 4. Nilai kapasitas penyimpanan air
di setiap stasiun hujan
Nilai STo (mm)
Stasiun Hujan
Ngilo-Ilo
Slahung
Balong
Wilangan
2001
2006
362.30
190.13
145.84
180.63
362.24
189.75
145.82
180.59
Perubahan Nilai
STo (mm)
-0.055
-0.386
-0.013
-0.038
Sumber : Hasil Perhitungan
D. Analisa Sebaran Kekeringa pada
Sub-sub DAS Slahung
Dari hasil peta sebaran kekeringan
pada Sub-sub DAS Slahung dapat diketahui bahwa rata-rata kekeringan terjadi
pada bulan Juni sampai dengan bulan
Oktober. Sedangkan bulan Desember
sampai dengan bulan Maret cenderung
mengalami bulan basah dan pada bulan
April sampai dengan bulan Mei cenderung
mulai mengalami kekeringan.
Berikut adalah peta sebaran
kekeringan tahun 2004 dan 2013 yang
merupakan puncak kekeringan.
perubahan
Proporsi %
21.82
Km2
Proporsi %
Kebun
Km2
71.68
72.17
21.96
0.15
Ladang
31.29
9.52
31.54
9.60
0.08
Pemukiman
65.65
19.98
65.91
20.06
0.08
Rumput
0.07
0.02
0.04
0.01
-0.01
Sawah
133.01
40.48
132.84
40.43
-0.05
Semak
26.88
8.18
26.08
7.94
-0.24
Jumlah
328.58
100.00
328.58
100.00
Sumber: hasil analisa ArcGIS.10
Dari tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa Sub-sub DAS Slahung
mengalami perubahan tata guna lahan tapi
tidak terlalu signifikan selama kurun waktu 5 tahun. Perubahan tata guna lahan
yang berkurang cukup besar adalah pada
semak sebesar 0.24% dan beralih pada
bertambahnya prosentase kebun, ladang
dan pemukiman.
C. Analisa Kapasitas Penyimpanan Air
(Water Holding Capacity
Gambar 2. Sebaran Kekeringan
tahun 2004
Gambar 4. Grafik trend indeks kekeringan
tahun 1995-2013
F. Perbandingan Hasil Analisa Kekeringan Terhadap Curah Hujan
Perbandingan yang dilakukan
bertujuan untuk mengetahui apakah ada
hubungan antara indeks kekeringan
Palmer bulanan dengan curah hujan
bulanan. Dengan membandingkan hasil
analisa kekeringan dengan curah hujan
pada sebuah grafik maka dapat terlihat
perbandinganya.
Gambar 3. Sebaran Kekeringan
tahun 2013
Kecamatan
yang
mengalami
kekeringan dengan kriteria kering terbanyak selama 19 tahun adalah Kecamatan Jenangan, Jambon, Badegan,
Slahung, Balong dengan jumlah kekeringan 17-19 kali. Kecamatan yang
mengalami kekeringan dengan durasi paling panjang adalah Kecamatan Jenangan,
Jambon dan Balong dengan durasi kekeringan yang terjadi selama 10 bulan
pada tahun 2004.
E. Trend Kejadian Kekeringan
Trend kekeringan merupakan
suatu analisa yang menunjukkan variasi
kejadian kekeringan yang terjadi selama
kurun waktu tertentu dan bisa digunakan
sebagai prediksi kejadian kekeringan.
Dari gambar 4 diatas dapat disimpulkan Puncak kejadian kekeringan
terjadi pada tahun 2004 (FebruariNovember) dan tahun 2013 (AgustusNovember) dengan durasi 4 bulan dan
rentang waktu 9 tahun, sehingga kejadian
puncak kekeringan akan terjadi lagi pada
tahun 2022.
Gambar 5. Perbandingan antara curah
hujan bulanan dan indeks kekeringan
Palmer Stasiun Ngilo-ilo tahun 1995
Dari Gambar 5, Terlihat bahwa
ada hubungan antara nilai kekeringan terhadap data curah hujan bulanan. Ketika
curah hujan bulanan rendah indeks kekeringan tinggi, begitu juga sebaliknya
ketika curah hujan bulanan tinggi indeks
kekeringan rendah. Jika terjadi curah
hujan bulanan rendah dan indeks kekeringan rendah disebabkan karena metode Palmer tidak hanya dilihat dari faktor
hujan saja melainkan dilihat dari faktor
evapotranspirasi potensial (ET) dan kapasitas menyimpanan air (WHC), meskipun curah hujan rendah tetapi jika
kapasitas air dalam tanah (WHC), maka
indeks kekeringan juga tidak terlalu tinggi
G. Perbandingan Hasil Analisa Kekeringan Terhadap data SOI
Perbandingan hasil analisa kekeringan wilayah studi dengan kejadian El
Nino dapat diprediksi dengan menggunakan nilai SOI (indeks osilasi selatan).
Tabel 5. Rekapitulasi prediksi kecocokan
El Nino dengan kekeringan pada Sub-sub
DAS Slahung
Tahun
Status El-Nino
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
El Nino Sedang
Normal
El Nino Kuat
El Nino Kuat
Normal
El Nino Sedang
El Nino Sedang
El Nino Sedang
El Nino Sedang
El Nino Sedang
El Nino Sedang
El Nino Sedang
El Nino Sedang
Normal
El Nino Sedang
El Nino Sedang
Normal
El Nino Sedang
Normal
Status Kekeringan di Sub-sub
Status
DAS Slahung
Kecocokan
Ekstrim Kering
Cocok
Ekstrim Kering
Tidak
Ekstrim Kering
Cocok
Mendekati Keadaan Normal
Tidak
Ekstrim Kering
Tidak
Ekstrim Kering
Cocok
Ekstrim Kering
Cocok
Ekstrim Kering
Cocok
Sangat Kering
Cocok
Ekstrim Kering
Cocok
Awal Selang Kering
Cocok
Sangat Kering
Cocok
Agak Kering
Cocok
Sangat Kering
Tidak
Sedikit Kerinng
Cocok
Agak Kering
Cocok
Ekstrim Kering
Tidak
Ekstrim Kering
Cocok
Ekstrim Kering
Tidak
Sumber: Hasil Analisa
Dari tabel 5, dapat disimpulkan
nilai kecocokan antara status El Nino
dengan status kekeringan pada Sub-sub
DAS Slahung dari tahun 1995 sampai
2013
adalah selama 13 tahun yang
mengalami kecocokan status.
 Nilai kecocokan =
dapat pengaruh kekeringan di Sub-sub
DAS Slahung.
H. Perbandingan
Hasil
Analisa
Kekeringan Terhadap Debit (F.J
Mock)
Perbandingan yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah ada
hubungan antara indeks kekeringan Palmer bulanan dengan debit bulanan yang
dihitung dengan menggunakan teori (F.J
Mock). pada sebuah grafik sehingga terlihat perbandinganya.
Gambar 6. Perbandingan antara indeks
kekeringan bulanan dan debit bulanan (F.J
Mock)Stasiun Ngilo-ilo tahun 1993
Dari Gambar 6, terlihat bahwa ada
hubungan indeks kekeringan bulanan
terhadap debit. Ketika nilai defisit maka
debit air juga mengalami penurunan, begitu juga sebaliknya ketika terjadi nilai
surplus maka debit mengalami peningkatan.
x 100%
= 68%
Keterangan:
El Nino sedang/kuat =Indeks kekeringan
awal selang kering sampai ekstrim Kering
Normal
= indeks kekeringan yang
mendekati keadaaan normal
Dapat dilihat kejadian El Nino
kuat yang terjadi pada tahun 1997 sampai
1998. Sedangkan pada tahun 2000-2007,
2009-2010 dan 2012 terjadi El Nino
sedang. Kejadian El Nino pada tahuntahun tersebut dapat berakibat pada
kondisi curah hujan di lokasi studi yang
menyebabkan terjadinya gejala kekeringan. Dari hasil perbandingan kejadian
El Nino tahun 1995-2013 dengan kejadian
kekeringan tahun 1995-2013 memiliki nilai kococokan sebesar 68%, sehingga ter-
5. PENUTUP
Berdasarkan hasil analisa dan
perhitungan yang telah dilakukan, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Besaran indeks kekeringan Metode
Palmer Drought Severity Indeks (X)
dari 4 stasiun hujan di Sub-sub DAS
Slahung menunjukkan bahwa periode
basah yang terjadi pada bulan
November sampai maret adalah (X=
28,20 sampai 0,1), sedangkan nilai
indeks kekeringan Palmer mulai
mendekati keadaan normal yaitu pada
bulan April (X=-0,12), dan pada
periode kering yang terjadi pada bulan
Mei sampai Oktober nilai indeks
kekeringan Palmer mulai meningkat
dari klasifikasi sedikit kering sampai
ekstrim kering yaitu (X= -0,12 sampai 104,78).
2. Sebaran kekeringan pada Sub-sub DAS
Slahung
 Berdasarkan hasil pembuatan peta
sebaran kekeringan dengan menggunakan metode IDW pada software
ArcGIS 10 tahun yang paling kering
terjadi pada tahun 2004 dan 2013.
 Kecamatan yang mengalami kekeringan dengan kriteria kering terbanyak selama 19 tahun adalah Kecamatan Jenangan, Jambon, Badegan, Slahung, Balong dengan jumlah kekeringan 17-19 kali. Kecamatan yang mengalami kekeringan
dengan durasi paling panjang adalah
Kecamatan Jenangan, Jambon dan
Balong dengan durasi kekeringan
yang terjadi selama 10 bulan pada
tahun 2004.
 Dari Analisis trend kejadian kekeringan puncak kejadian kekeringan terjadi pada tahun 2004
(Februari-November) dan tahun
2013 (Agustus-November) dengan
durasi 4 bulan dan rentang waktu 9
tahun, sehingga kejadian puncak kekeringan akan terjadi lagi pada
tahun 2022.
3. Perbandingan antara hasil analisa kekeringan metode Palmer terhadap
kejadian El Nino mengindikasikan adanya keterkaitan karena adanya kemiripan trend kejadian dengan El Nino,
kejadian El Nino kuat terjadi pada tahun 1997 dan pada tahun yang sama di
lokasi studi mengalami ekstrim kering,
dari hasil perbandingan kejadian El
Nino tahun 1995-2013 dengan kejadian
kekeringan lokasi studi tahun 19952013 memiliki nilai kococokan sebesar
68%. Selain membandingkan dengan
ke-jadian El Nino, hasil kekeringan juga dibandingkan dengan curah hujan
dan perhitungan debit metode F.JMock, dapat disimpulkan bahwa terjadi
hubungan antara nilai surplus dan
defisit antara curah hujan bulanan dan
debit (F.J Mock).
Adapun beberapa saran yang dapat
digunakan sebagai rekomendasi sebagai
berikut:
1. Untuk mendapatkan hasil yang akurat
diperlukan wilayah studi yang luas dan
data hujan historis yang digunakan
dalam analisa sebaiknya lebih panjang
agar didapatkan hasil analisa yang
lebih akurat.
2. Melakukan pengamatan secara langsung di lokasi studi (suhu, tata guna lahan dan lain-lain) sehingga tidak menggunakan pendekatan-pendekatan dalam
perhitungan analisa suhu, indeks kekeringan Palmer dan perhitungan debit (F.J Mock).
3. Perlu referensi yang lebih banyak
untuk menjelaskan analisa kekeringan
dengan metode Palmer.
6. DAFTAR PUSTAKA
Asdak, Chay .2002, Hidrologi dan
Pengelolaan Derah Aliran Sungai,
Yogyakarta.Gadjah Mada University
Press.
Ihwan, Andi. 2011. Estimasi Kekeringan
Lahan Untuk Beberapa Wilayah Di
Kalimantan
Barat
Berdasarkan
Indeks
Palmer.
Skripsi
tidak
dipublikasikan Kalimantan Barat.
Universitas Tanjungpura.
Suryanti, Ika. 2008. Analisis Hubungan
Antara
Sebaran
Kekeringan
Menggunakan Indeks Palmer Dengan
Karakteristik Kekeringan. Skripsi
tidak dipublikasikan. Bogor. Institut
Pertanian Bogor. Citarum. Skripsi
tidak dipublikasikan Bogor. Institut
Pertanian Bogor.
Prahasta, Eddy. 2002. Sistem Informasi
Geografis. Bandung: Informatika.
Prasetya, A. N., Hadiani, Rintis.,
Susilowati. 2013. Analisa Kekeringan
Sungai Keduang Dengan Menggunakan Metode Palmer. Skripsi
tidak
dipublikasikan
Surakarta.
Universitas Sebelas Maret.
Soemarto, C.D. 1987. Hidrologi teknik.
Surabaya: Usaha Nasional.
Sosrodarsono, Suyono dan Kensaku
Takeda. 1976. Hidrologi Untuk
Pengairan.
Pradnya
Paramita.
Jakarta.
Soewarno. 1995. Hidrologi: Aplikasi
Metode Statistik Untuk Analisa Data
Jilid 2. Bandung: Nova.
Download