TINJAUAN PUSTAKA Pakan Ruminansia Pakan ternak ruminansia secara umum dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni hijauan dan pakan penguat atau konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak (>18%) pada bahan keringnya, sedangkan pakan penguat atau konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit daripada hijauan dan mengandung karbohidrat, protein dan lemak yang relatif banyak tetapi jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit (Church, 1979). Sutardi (1980) menyatakan bahwa energi merupakan hasil metabolisme zat nutrisi organik yang terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein. Karbohidrat pada pakan ruminansia merupakan nutrien yang dominan dalam menyediakan sumber energi untuk tubuh, disamping menyediakan bahan yang bersifat bulky yang berguna untuk memelihara kelancaran proses pencernaan. Peranan protein dalam tubuh adalah untuk memperbaiki jaringan tubuh, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme (deaminasi) untuk energi dan sebagai enzim-enzim yang esensial bagi tubuh (Anggorodi, 1994). Kebutuhan nutrien (energi dan protein) untuk beberapa ternak ruminansia besar dapat dilihat pada Tabel 1. Church (1979) menyatakan hijauan adalah bahan makanan yang berasal dari batang dan daun tanaman dan kadang-kadang mengandung bunga dan biji, masih hijau atau dalam bentuk kering. Rumput mengandung zat-zat makanan yang bermanfaat bagi ternak seperti air, lemak, bahan ekstrak tanpa-N, serat kasar (terutama phosphor dan garam dapur) yang kadarnya akan berkurang dengan meningkatnya umur tanaman (Tillman et al., 1989). Salah satu hijauan yang sering digunakan di peternakan sapi perah adalah rumput gajah. Rumput gajah termasuk tanaman berumur panjang, tumbuh cepat dan tegak mencapai tinggi 1,8-2,4 m, perakarannya dalam dengan rhizome pendek serta membentuk rumpun (Nuraeni, 1993). Konsentrat merupakan suatu bahan makanan yang digunakan bersama bahan makanan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan makanan dan dimaksudkan untuk disatukan dan dicampur sebagai suplemen (pelengkap) atau makanan lengkap. Suatu bahan atau kombinasi bahan yang ditambahkan (biasanya 3 dalam kuantitas yang kecil) ke dalam campuran makanan dasar untuk memenuhi kebutuhan khusus disebut aditif (Tillman et al., 1997). Tabel 1. Kebutuhan Nutrien (Energi dan Protein) untuk Sapi Perah Jenis Ternak Kebutuhan TDN (%) Kebutuhan PK (%) 55 10 61-66 12 56 12 63-67 12-15 Sapi Perah*) Pejantan Dara (Umur 6-12 Bulan) Masa Pengeringan Laktasi (Produksi Susu 7-10 Kg/hari) Keterangan : TDN = Total Digestible Nutrient Sumber : NRC (2001). PK = Protein Kasar Ampas Teh Ampas teh merupakan hasil ikutan atau limbah dari pembuatan minuman ringan teh yang diproses dengan pelayuan, penggulungan, fermentasi, dan pengeringan (Istirahayu, 1993). Produksi teh di Indonesia cukup tinggi, hal ini didukung dengan banyaknya perkebunan teh yang tersebar di Indonesia dan terpusat di pulau Jawa. Data terakhir menunjukkan bahwa Indonesia memiliki perkebunan teh seluas 78.900 Ha dengan produksi daun teh 114,689 ton pada tahun 2008 (BPS, 2010). Gambar 1. Ampas Teh dari PT. Sinar Sosro Sumber: PT. Sinar Sosro (2011). Teh sebagai minuman sangat popular di bagian timur Asia dan sebagian di pertengahan timur dan utara Afrika. Konsumsi teh dalam kaleng, kemasan, dan botol terjadi penambahan setiap tahunnya di bagian timur Asia dan negara bagian selatan tenggara Asia, sehingga pabrik minuman teh menghasilkan limbah berupa ampas teh 4 yang cukup besar (Kondo et al., 2007). Menurut (Khotijah et al., 2004) PT Sosro yang dapat menghasilkan ampas teh sebanyak 470 ton/tahun ditambah dengan beberapa perusahaan lain yang juga memproduksi minuman teh baik dalam kemasan kotak maupun botol yaitu, Pepsi, Coca Cola, Teh Giju, dan Ultra Jaya, merupakan potensi yang dapat menjamin ketersediaan ampas teh. Ampas teh berpotensi dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Ampas teh harus tampak segar, dengan warna tembaga yang merata, tidak hitam kecoklatan atau coklat tua (Kuntadi, 1992). Kandungan zat makanan dari ampas teh dapat dilihat pada Tabel 2. Faktor yang membatasi penggunaan ampas teh adalah kandungan serat kasar yang cukup tinggi yaitu 20,39%, lignin mencapai 29% dan tannin 1,4% (Istirahayu, 1993). Serat yang tertinggal dalam ampas teh lebih dominan berupa serat yang tidak larut. Serat tidak larut dalam tanaman berupa polisakarida (selulosa dan hemiselulosa) yang terikat dengan lignin membentuk kompleks stabil lgninpolisakarida (Galleher et al., 1993). Kandungan lignin yang tinggi dalam ransum akan menghambat proses pencernaan, karena lignin dapat membentuk ikatan hidrogen yang membatasi aktivitas enzim selulase sehingga menurunkan kecernaan bahan kering ransum. Tanin merupakan senyawa polifenol yang mempunyai kemampuan untuk mengikat protein sehingga menghalangi kerja enzim protease. Jika dalam jumlah yang kecil pada ruminansia dapat bersifat menguntungkan karena melindungi protein dari degradasi oleh mikroba secara berlebihan (Soebarinoto, 1986). Tabel 2. Kandungan Zat Makanan pada Ampas Teh Berdasarkan Bahan Kering Zat Makanan Persentase (%) Bahan Kering 43,9 Abu 4,6 Protein Kasar 27,42 Serat Kasar 20,39 Lemak Kasar 3,26 Beta-N 44,20 TDN 66,71 Sumber : Istirahayu (1993) 5 Daun Kembang Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis) Daun kembang sepatu merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Tanaman ini banyak ditanam orang di halaman sebagai tanaman hias atau sebagai pagar hidup. Tanaman ini dikenal dengan nama kembang Wora Wari (Jawa) dan bunga Wera (Sunda). Kembang Sepatu diklasifikasikan ke Kingdom: (Tumbuhan Plantae berpembuluh), Magnoliophyta (Tumbuhan), Super Divisi: (Tumbuhan Sub kingdom: Spermatophyta berbunga), Tracheobionta (Menghasilkan Kelas: biji), Magnoliopsida dalam Divisi: (berkeping dua/dikotil), SubKelas: Dilleniidae, Ordo: Malvales, Famili: Malvaceae (suku kapaskapasan), Genus: Hibiscus, Spesies: Hibiscus rosa-sinensis L. Kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) biasanya banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Pada umumnya, tinggi tanaman sekitar 1 sampai 4 meter. Tumbuh di daerah rendah sampai pegunungan, daun tunggal benbentuk bulat telur dengan tepi bergerigi kasar dan tulang daun menjari, ujung meruncing, panjang daun 3,5-9,5 cm dan lebar 2-6 cm dengan daun penumpu berbentuk garis. Daun mempunyai tangkai yang panjangnya 1-3,7 cm. Bunga tunggal, keluar dari ketiak daun, sedikit menggantung, dengan tangkai bunga beruas, warnanya ada yang merah, kuning, putih, orange, dadu dan sebagainya (Wijayakusuma, 2000). Gambar 2. Tanaman Kembang Sepatu Sumber: Tanaman obat (2011). Kembang sepatu dapat digunakan sebagi obat. Selain untuk pengobatan, kembang sepatu juga dapat digunakan sebagai bahan makanan ternak. Kandungan nutrisi dari kembang sepatu berdasarkan bahan kering yaitu BK 89,77%, abu 13,03%, lemak 7,91%, serat kasar 11,20%, BETN 46,65%, dan protein kasar 21,21% (Despal, 1993). Daun, bunga, dan akar kembang sepatu mengandung flavonoida. Di 6 samping itu daunnnya juga mengandung saponin dan polifenol, bunga mengandung saponin dan polifenol, akarnya juga mengandung tanin, saponin, skopoletin, cleomiscosin A, dan cleomiscosin C (Harborne,1996). Baik daun dan bunga dari kembang sepatu memiliki senyawa bioaktif saponin. Oleh sebab itu, menurut Sutardi (1980) kembang sepatu dapat dijadikan agensia defaunasi dari populasi protozoa Tanin Tanin terdiri atas dua kelompok, yaitu condensed tannin (tanin padat) dan hydrolizable tannin (tanin yang dapat dihidrolisis). Kelompok condensed tannin merupakan tipe tanin yang terkondensasi, tahan terhadap degradasi enzim, tahan terhadap hidrolisis asam, dimetilasi dengan penambahan metionin, sering strukturnya kompleks dan banyak dijumpai dalam biji-bijian sorgum. Condensed tannin diperoleh dari kondensasi flavonoid seperti katekhin dan epikatekhin, tidak mengandung gula dan mengikat protein sangat kuat sehingga menjadi rusak. Tannin hydrolizable merupakan tannin yang mudah terhidrolisis oleh asam-asam alkali serta enzim, menghasilkan glukosa dan asam aromatik yaitu asam galat dan asam ellagat, yang terdiri atas residu gula-gula. Tanin yang dapat dihidrolisis sering juga disebut dengan asam galat karena merupakan senyawa karbohidrat yang terdiri atas molekul glukosa dan 10 asam galat. Tanin yang dapat dihidrolisis terdiri dari dua macam, yaitu gallotannin dan ellagitannin. Gallotannin merupakan senyawa ester glukosa dengan asam galat. Ellagitannin merupakan ester glukosa dengan asam ellagat (asam heksahidroksifelat) (Widodo, 2007). Tanin mempunyai kemampuan mengendapkan protein, karena tanin mengandung sejumlah kelompok fungsional ikatan yang kuat dengan molekul protein dan menghasilkan ikatan silang yang besar dan kompleks yaitu protein tanin. Tiga mekanisme reaksi antara tanin dengan protein sehingga terjadi ikatan yang cukup kuat antara ke duanya, yaitu :1) Ikatan hidrogen dengan gugus OH pada tanin dan gugus reseptornya, 2) Ikatan ion antara gugus anion pada tanin dengan gugus kation pada protein dan 3) Ikatan cabang kovalen antara quinon dan bermacammacam gugus reaktif pada protein. Ikatan-ikatan tersebut menyebabkan tanin akan segera mengikat protein pakan dalam saluran pencernaan dan menyebabkan pakan menjadi sulit dicerna oleh enzim-enzim pencernaan. Interaksi tanin dengan protein dalam ludah (saliva) dan glikoprotein dalam mulut menyebabkan rasa mengkerut 7 (menyempit) pada mulut (widodo, 2007). Mekanisme perlindungan tanin terkondensasi terhadap protein pada ternak ruminansia dapat dilihat pada Gambar 3. Saponin Saponin didefinisikan sebagai senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa bila dikocok dalam air dan dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah sehingga dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis darah. Saponin diambil dari kata latin sapo yang berarti sabun. Fungsi dalam tumbuhan tidak diketahui, diduga sebagai bentuk penyimpanan karbohidrat atau merupakan waste product dari metabolisme tumbuhan yang dapat berguna untuk melindungi tumbuhan tersebut dari predator (Robinson, 1995). Sifatsifat saponin antara lain berasa pahit, berbusa dalam air, mempunyai sifat detergen yang baik, mempunyai aktivitas hemolisis (merusak sel darah merah) dan tidak beracun bagi hewan berdarah panas (Robinson, 1995). Saponin adalah senyawa fitokimia yang tersusun atas steroid atau sapogenintriterpenoid yang membentuk satu atau lebih ikatan gula. Saponin ditemukan pada tanaman yang secara umum dikelompokkan sebagai faktor antinutrisi atau racun dan menyebabkan fotosensitasi (Pirez et al., 2002). Saponin merupakan deterjen alami yang memiliki bahan surfaktan karena mengandung inti lemak dan air yang mudah larut. Saponin terdiri atas gula yang biasanya mengandung glukosa, galaktosa, asam glukoronat, xylosa, rhamnosa atau methylpentosa yang berikatan membentuk glikosida dengan hydrophobic aglycone (sapogenin) yang membentuk triterpenoid atau steroid (Gambar 4). Saponin bersifat toksik pada ternak babi, tetapi ternak ruminansia dapat mentoleransi saponin karena adanya mikroba rumen. Pada tenak ruminansia, saponin berpotensi sebagai agen defaunasi dalam manipulasi proses fermentasi di dalam rumen. Penggunaannya sebagai agen defaunasi karena protozoa dianggap predator bakteri sehingga keberadaab protozoa dapat menurunkan populasi bakteri dan suplai protein mikroba ke organ pasca rumen. Penggunaan saponin yang ditambahkan ke dalam ransum dapat menurunkan populasi protozoa rumen secara parsial atau keseluruhan (Wiseman dan Cole,1990). Saponin mampu membunuh atau melisiskan protozoa dengan membentuk ikatan yang kompleks dengan sterol yang terdapat pada permukaan membran protozoa (Wallace et al., 2002). 8 Mulut Tanin terkondensasi + protein pakan Kompleks tanin terkondensasi dengan protein pakan Rumen (pH 6 – 7) Tanin terkondensasi bebas Perlindungan tanin terhadap protein dari degradasi mikroba Pemisahan dari komplek Abomasum (pH 2.5 – 3.5) Protein Usus (pH 8 – 9) Pemisahan dari komplek Tanin terkondensasi bebas Protein Dicerna dan diserap Gambar 3. Mekanisme Perlindungan Tanin Terkondensasi terhadap protein pada Ternak Ruminansia Sumber : D’Mello (1992). Gambar 4. Struktur Kimia Sapogenin: (a) Triterpenoid, (b) Steroid Sumber: Francis et al. (2002). Hristov et al. (1999) menyatakan bahwa penambahan saponin dapat menurunkan populasi protozoa dalam rumen. Beberapa penelitian menunjukkan efek 9 yang menguntungkan dari pemberian saponin terhadap ternak dan pengaruhnya terhadap lingkungan, yaitu mengurangi produksi metan (Wallace et al., 2002). Suparjo (2008) menambahkan bahwa populasi bakteri rumen tidak mengalami gangguan karena dinding membran bakteri berupa ikatan peptida dengan gliserol (peptidoglikan). Bakteri tidak mempunyai sterol yang dapat berikatan dengan saponin selain itu bakteri mempunyai kemampuan untuk memetabolisme faktor antiprotozoa tersebut dengan menghilangkan rantai karbohidrat dari saponin. Cairan Rumen Rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang menyimpan dan mencampur pakan hasil fermentasi mikroba. Kondisi dalam rumen adalah anaerobic dan hanya mikroorganisme yang paling sesuai dapat hidup di dalamnya. Tekanan osmosis dalam rumen mirip dengan tekanan aliran darah dan suhunya 3842o C. cairan rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mempertahankan pH tetap pada nilai 6,8. Ternak dewasa, volume rumen mempunyai proporsi lebih besar daripada bobot badan, volume untuk ternak ruminansia kecil adalah 10 liter atau lebih. Ternak muda, rumen belum berkembang dan masih didominasi oleh abomasum. Perkembangan bakteri rumen terjadi karena adanya kontaminasi dari lingkungan dan kontak langsung induknya sehingga dengan demikian, perkembangan populasi bakteri rumen akan terus meningkat seiring bertambahnya umur ternak. Pemberian hijauan dan pakan berserat tinggi pada ternak ruminansia akan menstimulasi perkembangan rumen (Hobson dan Stewart, 1997). Rumen dipadati oleh mikroorganisme yang mengahsilkan selulase sehingga dapat memecah selulosa, dan menghasilkan D-glukosa, yang kemudian akan difermentasi menjadi asam lemak berantai pendek, karbondioksia, dan gas metan (Lehninger, 1982). Mikroba Rumen Mikroorganisme yang mendominasi saluran pencernaan dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok utama, yaitu : bakteri, protozoa, dan kapang (Mackie et al., 2000). Mikroba yang terdapat dalam rumen dibagi menjadi empat jenis mikroorganisme anaerob, yaitu bakteri, protozoa, fungi dan mikroorganisme lainnya seperti virus.cacahan sel per gram isi rumen dapat mencapai 1010-1011 (McDonald et al., 2002), bakteri rumen yang telah ditemukan sebanyak 200 Spesies (Mackie et al., 10 2000). Sedangkan populasi kedua yang tertinggi adalah protozoa yang dapat mencapai 105-106 pada kondisi ternak yang sehat (McDonald et al., 2002), dan genus yang ditemukan dalam cairan rumen untuk protozoa adalah 25 genus (Mackie et al., 2000). Populasi fungi rumen (zoospora) di dalam rumen adalah 102-105 per ml dan terdapat 5 genus, sedangkan populasi bakteriofage 107-109 partikel per ml (Mackie et al., 2000). Widyastuti (2004) menyatakan bahwa mikroba rumen mempunyai karkteristik : suhu lingkungan sesuai dengan suhu saluran pencernaan 39-40oC, kondisi lingkungan anaerob dengan pH 5,5-7,0. Mikroba rumen menghasilkan produk fermentasi berupa volatil fatty acid ( asam asetat, asam propionat, asam butirat, dan asam valerat), CO 2 , CH 4 , dan NH 3. Zat makanan yang didegradasi adalah karbohidrat, lemak, dan protein. Interaksi yang terjadi antar mikroba rumen adalah simbiosis mutualisme. Bakteri dan protozoa yang hidup dalam rumen menjadikan ruminansia mampu mencerna serat kasar tinggi (McDonald et al., 2002). Populasi mikroorganisme rumen pada satu ternak dengan ternak yang lainnya berbeda. Hal ini karena populasi mikroba rumen dipengaruhi oleh manajemen pemberian pakan (Hobson dan Stewart, 1997). Menurut Suminar (2005), rumen segar mengandung bakteri total 3,7 x 109 sel per ml, di dalam rumen adalah 102-105 per ml dan terdapat sebanyak 5 genus, sedangkan mikroba amilolitiknya 3,0 x 106 sel per ml, total mikroba selulolitik berjumlah 1,7 x 103 sel per ml, total mikroba lipolitik 5,0 x 103 sel per ml, dan total mikroba pembentuk asam adalah 1,1 x 104 sel per ml. Metanogen merupakan salah satu jenis mikroba yang hidup di dalam rumen. Metanogen bukan termasuk jenis bakteri, berbentuk eukariot. Jika dilihat dari komponen selnya, metanogen dapat diindentifikasi sebagai antibodi. Hasil sisa dari pencernaan metanogen berupa endapan yang akan menempel pada hidrogen sehingga menghasilkan metan (Hobson dan Stewart, 1997). Bakteri Rumen Bakteri merupakan biomassa terbesar di dalam rumen, terdapat sekitar 50% dari total bakteri hidup bebas dalam cairan rumen dan sekitar 30-40% menempel pada partikel makanan. Bakteri mampu memecah struktur selulosa, hemiselulosa, pectin, fruktosa, pati, dan polisakarida lainnya menjadi monomer atau dimer dari gula melalui proses fermentasi (Hobson dan Stewart, 1997). Beberapa jenis bakteri 11 dari species Micrococcus, Staphylococcus, Streptococcus, Corynebacterium, Lactobasillus, Fusobacterium dan Propionibacterium ditemukan menempel pada epitel dinding rumen, disamping itu terdapat spesies bakteri methanogen yang hidup menempel pada protozoa (Dehority, 2004). Bakteri rumen terdiri dari jenis gram positif dan gram negatif. Perbedaan utama antara bakteri gram positif dan gram negatif terletak pada struktur dinding sel. Dinding sel bakteri gram negatif merupakan struktur berlapis, sedangkan bakteri gram positif mempunyai satu lapis yang tebal. Bakteri gram positif memiliki kandungan peptidoglikan yang tinggi di bandingkan bakteri gram negatif, disamping itu kandungan lipid pada dinding sel bakteri gram positif lebih rendah dari dinding sel bakteri gram negatif (Waluyo, 2005). Hungate (1966) telah mengidentifikasikan beberapa spesies bakteri yang terdapat dalam rumen antara lain : 1. Sarcina bakteri : merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk sel batang dan mempunyai diameter 3-4 µm. 2. Borrelia : merupakan bakteri rumen yang berbentuk spiral. 3. Lapropedia : merupakan bakteri rumen yang berbentuk coccus. 4. Oscilospira guilliermondii : merupakan bakteri rumen yang bergerak bebas dan berbentuk koma. 5. Selenomonas : merupakan bakteri rumen yang berflagel pada salah satu sisinya dengan ukuran yang besar. 6. Peptostreptococcus elsdenii : merupakan bakteri berbentuk coccus rantai panjang. Bakteri yang penting dalam proses fermentasi pakan adalah bakteri yang mampu mendegradasi selulosa dan hemiselulosa, pati, gula, protein. Bakteri penghasil enzim selulolitik yang dapat diidentifikasi di dalam rumen adalah Bacteroides amylophilus, Butyrivibrio sp., Selenomonas ruminantium, Lachnospiro multipharus dan Peptostreptococcus elsdenii. Sebagian besar bakteri tersebut mempunyai aktivitas exopeptidase (Arora, 1995). Pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh adanya keberadaan gas atsmosfer seperti oksigen dan karbondioksida. Terdapat empat kelompok besar bakteri, yaitu : (1) aerob adalah mikroorganisme yang membutuhkan oksigen; (2) anaerob adalah 12 mikroorganisme yang tidak membutuhkan oksigen dalam hidupnya; (3) anaerob fakultatif organisme yang dapat tumbuh dalam lingkungan aerobic maupun anaerobic; (4) mikroaerofilik adalah organisme yang tumbuh dengan baik jika hanya ada sedikit oksigen dalam lingkungannya (Pelezar dan Chan, 1986). Hobson dan Stewart (1997) menyatkan bahwa bakteri di dalam rumen dapat dibedakan berdasarkan jenis bahan yang dicernanya. Bakteri pencerna pati biasa disebut bakteri amilolitik. Jumlah bakteri amilolitik di dalam rumen cukup banyak dibanding bakteri lainnya. Bebrapa jenis bakteri amilolitik antara lain : (1) Bacteroides ruminicola ; (2) Prevotella sp. ; (3) Succinivibrio dextrinosolvens ; (4) Ruminobacter amylophilus. Bakteri pencerna serat dari tanaman biasa dikenal bakteri selulolitik. Bakteri selulolitik menghasilkan enzim yang dapat menghidrolisis ikatan glukosida 1,4, sellulosa dan dimer selobiosa. Sepanjang yang diketahui tak satupun hewan yang mampu memproduksi enzim selulase sehingga pencernaan selulosa sangat tergantung pada bakteri yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan pakan. Beberapa jenis bakteri yang termasuk dalam bakteri selulolitik antara lain, Syntrophococcus sucromutans dan Ruminococcus species. Bakteri pencerna asam amino dikenal dengan bakteri proteolitik. Asam amino dicerna dengan mengunakan enzim peptidoglikan yang dihasilkan bakteri-bakteri proteolitik. Jenis bakteri proteolitik antara lain Selenomonas ruminatium dan Ruminobacter amylophilus. Protozoa Rumen Protozoa merupakan mikroorganisme yang ada dalam rumen dengan jumlah protozoa dalam rumen lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah bakteri. Ukuran tubuhnya lebih besar dengan panjang tubuh sekitar 20-200 mikron, oleh karena itu biomassa total dari protozoa hampir sama dengan biomassa total bakteri dan kontribusinya 60% dari biomassa rumen (McDonald et al., 2002). Protozoa bersifat anaerob, apabila kadar oksigen atau pH isi rumen tinggi, maka protozoa tidak dapat membentuk cyste untuk mempertahankan diri dari lingkungan yang jelek, sehingga dengan cepat akan mati (Arora, 1995). Jumlah protozoa di dalam rumen pada kondisi normal sekitar 106 sel/ml cairan rumen. Hal tersebut dipengaruhi oleh ransum dan meliputi sekitar 40% dari total nitrogen mikroba rumen (Hungate, 1966). Protozoa tidak mampu secara langsung menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen. Sumber nitrogen untuk 13 pertumbuhan protozoa selain berasal dari protein pakan juga berasal dari bakteri rumen yang dimangsanya. Sebesar 50 % dari nitrogen yang dikonsumsi protozoa tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk amonia dan asam-asam amino. Biomassa protozoa dalam rumen bervariasi, tergantung jenis ransum yang dimakan ternak induk semang. Pada ruminansia, protozoa yang bersilia berkembang di dalam rumen dan membantu pencernaan zat-zat mkanan dari rumput-rumputan yang kaya akan serat kasar. Protozoa jenis Holotrica terutama memecah gula terlarut seperti glukosa, maltosa, sukrosa dan pati terlarut dan melepaskan asam asetat, asam butirat, asam laktat, CO 2 , H 2 , dan amilopektin. Protozoa memangsa bakteri untuk memenuhi kebutuhannya karena kemampuan protozoa untuk mensintesa asam amino dan vitamin B kompleks sangat rendah. Protozoa memperoleh dua golongan zat makanan tersebut dari bakteri dan dapat menghidrogenasi asam-asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh. Sebagian besar protozoa memakan bakteri untuk memperoleh sumber nitrogen dan mengubah protein bakteri menjadi protein protozoa, bersamaan dengan itu memperoleh tambahan sumber protein dan pati dari ingesta rumen (Jouany, 1991). Protozoa juga bersimbiosis dengan bakteri metanogenik dengan memproduksi H 2 yang akan dimanfaatkan bakteri tersebut, untuk kemudian diubah menjadi gas CH 4 (Arora, 1995). Leng et al. (1984) menyatakan bahwa sebagian besar biomassa protozoa tidak tersedia untuk pencernaan di usus halus dikarenakan protozoa cenderung retained (tertahan) di dalam rumen. Sebagian kecil saja protozoa yang mengalir ke organ pasca rumen. Komposisi asam amino dan kecernaan sel protozoa lebih baik dibandingkan sel bakteri, namun kelebihan ini hanya sedikit kontribusinya untuk ternak induk semang dikarenakan aliran protozoa dari rumen sangat kecil. Sumbangan atau andil biomassa protozoa rumen bagi nutrisi ternak induk semang pada kenyataannya tidak begitu besar. Ditinjau dari faktor inilah defaunasi merupakan langkah yang essensial jika dapat mengontrol ekosistem mikroba dalam rumen sehingga menguntungkan proses pencernaan (Jouany, 1991). Produksi Gas Metan dalam Rumen Pada sektor peternakan, gas metan (CH 4 ) yang dibentuk merupakan hasil fermentasi anaerob karbohidrat struktural maupun non struktural oleh metanogen 14 (bakteri penghasil metan) di dalam rumen ternak ruminansia, dan selanjutnya dikeluarkan ke atmosfer melalui proses eruktasi. Pembentukan gas metan di dalam rumen merupakan hasil akhir dari fermentasi pakan. Emisi metan dari proses enterik fermentation merupakan hasil fermentasi anaerob karbohidrat struktural maupun non struktural oleh metanogen (bakteri penghasil metan) di dalam rumen ternak ruminansia, dan selanjutnya dikeluarkan ke atmosfer melalui proses eruktasi. Pembentukan gas metan di dalam rumen merupakan hasil akhir dari fermentasi pakan. Fermentasi anaerobik menghasilkan gas bio yang terdiri dari metan sebanyak 30-50%, karbondioksida 25-45%, sedikit hidrogen, nitrogen dan hidrogen sulfide (Soejono et al., 1990). Pada prinsipnya, pembentukan gas metan di dalam rumen terjadi melalui reduksi CO 2 oleh H 2 yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik. Menurut jalur reaksi seperti berikut: CO 2 + 4H 2 ===> CH 4 + 2H 2 O ; ΔG 0 = – 32,75 kJ/mol H 2 (reaksi-1) Metanogenesis dapat menyebabkan kehilangan energi hingga 15 % dari total energi kimia yang tercerna (Boccazzi dan Patterson, 1995). Pembentukan gas metan melalui jalur metanogenesis rumen berpengaruh besar terhadap pembentukan produk-produk akhir fementasi di rumen, yakni terutama berpengaruh terhadap jumlah mol ATP yang terbentuk, yang selanjutnya berpengaruh terhadap efisiensi produksi mikrobial rumen (Pinares-Patino et al., 2001). Populasi protozoa di dalam rumen berbanding langsung dengan produksi gas metan, artinya produksi gas metan berkurang apabila populasi protozoa rumen menurun. Dengan demikian, emisi gas metan dapat dikurangi dengan memberikan zat defaunator seperti saponin. Penurunan populasi protozoa dapat meningkatkan aktivitas bakteri amilolitik di dalam rumen, sehingga menghasilkan lebih banyak asam propionat dan lebih sedikit gas metan. Dengan demikian, defaunasi memberikan harapan untuk menurunkan kontribusi gas metan dari ternak ruminansia terhadap akumulasi gas rumah kaca antara lain berdasarkan sifat toksik terhadap bakteri metanogen, sehingga mengurangi reduksi CO 2 oleh hidrogen, seperti senyawa asam lemak berantai panjang tidak jenuh (Arora, 1989; McDonald, 2002). 15 Percobaan in vitro Menurut Hungate (1966), metode in vitro adalah proses metabolisme yang terjadi di luar tubuh ternak. Prinsip dan kondisinya sama dengan proses yang terjadi di dalam tubuh ternak yang meliputi proses metabolisme dalam rumen dan abomasum. pH retikulo-rumen biasanya berkisar antara 5,5-7,0 dan bervariasi dengan rasio pemberian konsentrat. Metode in vitro (metode tabung) harus menyerupai sistem in vivo agar dapat menghasilkan pola yang sama sehingga nilai yang didapat juga mendekati sistem in vivo (Arora, 1995). Metode in vitro menurut Tilley dan Terry (1963) adalah metode yang menyamakan kondisi lingkungan sama dengan kondisi di dalam rumen. Metode pengukuran gas (gas test) digunakan untuk mengevaluasi nilai nutrisi pakan dan kecernaan bahan organik serta energi metabolis yang terkandung dalam pakan. Metode ini menggunakan syringe yang mengutamakan produk fermentasi. Metode gas in vitro ini lebih efisien dibandingkan dengan metode in sacco dalam mengevaluasi efek zat anti nutrisi. Metode pengukuran gas tidak memerlukan peralatan yang rumit atau ternak yang terlalu banyak, membantu dalam pemilihan pakan yang berkualitas tidak hanya berdasarkan kecernaan bahan kering, tetapi sintesis mikroba juga. Hasil dari metode ini didapatkan berdasarkan produksi CO 2 dan CH 4 yang berasal dari proses fermentasi pakan dalam cairan rumen (Menke et al., 1979). 16