1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan adanya perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum dalam bidang pertanahan berarti bahwa setiap warga negara Indonesia dapat menguasai tanah secara aman dan mantap.1 Penguasaan yang mantap berarti ditinjau dari aspek waktu/lamanya seseorang dapat mempunyai/menguasai tanah sesuai dengan isi kewenangan dari hak atas tanah tersebut, sedangkan penguasaan secara aman berarti si pemegang hak atas tanah dilindungi dari gangguan baik dari sesama warga negara dalam bentuk misalnya penguasaan illegal ataupun dari penguasa. Hak atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegangnya untuk memakai suatu bidang tanah tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan tertentu. Sedangkan tujuan pemakaian tanah pada hakekatnya ada 2 yaitu : 1. Untuk diusahakan misalnya untuk Pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan. 2. Tanah dipakai sebagai tempat membangun misalnya bangunan gedung, lapangan, jalan, dan lain-lain.2 Hak atas tanah dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. 1 Arie Sukanti Hutagalung, Analisa Yuridis Keppres 55 Tahun 1993,(Diklat DDN: Jakarta,2001), halaman 1. 2 Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya , Jilid I, (Jakarta,Djambatan,2003), halaman 288. 1 Universitas Sumatera Utara 2 Hak-hak atas tanah dimaksud memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Didalam sistem hukum nasional demikian halnya dengan hukum tanah, maka harus sejalan dengan kontitusi yang berlaku di Negara kita yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang dasar 1945, yang menegaskan bahwa ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, yang dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan tanah khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan penguasaan dan hak-hak atas tanah dan pengaturan dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang aman dan adil, diperlukan lembaga yang berhak memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah dan pelayanan untuk urusan-urusan yang berkaitan dengan tanah. Lembaga yang dimaksud adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Badan Pertanahan Nasional dibentuk dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pertanahan, melaui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 Tanggal 11 April 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, dimana dalam Perpres tersebut BPN merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang merupakan instansi vertikal. Berdasarkan Perpres tersebut BPN diberikan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Universitas Sumatera Utara 3 Salah satu tugas pemerintahan yang diemban oleh BPN adalah melaksanakan pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia dalam rangka menjamin kepastian hukum mengenai letak, batas dan luas tanah, status tanah dan subyek yang berhak atas tanah dan pemberian surat berupa sertipikat yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar. Selain UUPA juga diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997. Menurut Badan Pertanahan Nasional jumlah bidang-bidang tanah diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini tidak kurang dari 80 juta bidang. Apabila mempertimbangkan pokok-pokok tujuan dari UUPA diatas, jelas bahwa semestinya terhadap 80 juta bidang tanah tersebut, telah dapat diberikan kepastian hukumnya bagi para pemilik bidang tanah yang bersangkutan. Namun, kenyataan yang ada nampaknya tidaklah demikian, sebab pencapaian dari pendaftaran tanah yang dilakukan hingga saat ini baru berkisar 30 juta sertipikat bidang tanah.3 Dengan demikian masih jauh lebih banyak bidang-bidang tanah diwilayah Indonesia ini yang belum memiliki kepastian hukum. Hal ini menunjukkan bahwa betapa besarnya beban yang ditanggung oleh UUPA untuk mengentaskan 3 Badan Pertanahan Nasional, Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta ; Biro Hukum dan Humas BPN, 2005), halaman 4. Universitas Sumatera Utara 4 ketidakpastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi para pemilik tanah di Indonesia. Apabila jumlah bidang tanah yang telah terdaftar (bersertipikat) tersebut dihitung dalam kurun waktu 45 tahun, maka rata-rata hasil pendaftaran tanah yang dilakukan setiap tahun hanya berkisar 650.000 bidang. Selanjutnya apabila diasumsikan pada masa yang akan datang rata-rata tingkat kinerja pendaftaran tanah ini sama dengan masa sebelumnya, maka sisa bidang tanah yang belum memiliki kepastian hukum diseluruh persada nusantara ini akan selesai dalam jangka waktu 75 tahun dari sekarang.4 Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut, maka dapat diringkas bahwa Kepastian Hukum mengenai hak-hak atas tanah sebagaimana yang diamanatkan UUPA mengandung dua dimensi yaitu kepastian obyek hak atas tanah dan kepastian subyek hak atas tanah. Salah satu indikasi kepastian obyek hak atas tanah ditunjukkan oleh kepastian letak bidang tanah yang berkoordinat georeferensi dalam suatu peta pendaftaran tanah, sedangkan kepastian subyek diindikasikan dari nama pemegang hak atas tanah tercantum dalam buku pendaftaran tanah pada instansi pertanahan. Secara ringkas, salinan dari peta dan buku pendaftaran tanah tersebut dikenal dengan sebutan sertipikat tanah. Namun demikian dalam prakteknya, kepastian hukum hak atas tanah ini kadangkala tidak terjamin sebagaimana yang diharapkan. Pada beberapa daerah terdapat sejumlah kasus sertipikat ganda yaitu sebidang tanah terdaftar dalam 2 (dua) buah sertipikat yang secara resmi sama-sama diterbitkan 4 Ibid, halaman 6. Universitas Sumatera Utara 5 oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Akibat dari terbitnya sertipikat ganda tersebut menimbulkan sengketa antara para pihak, dan untuk membuktikan jaminan kepastian hukum atas tanah tersebut diselesaikan melalui lembaga peradilan. Masalah tanah dilihat dari segi yuridisnya saja merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya. Kesamaan terhadap konsep sangat diperlukan agar terdapat kesamaan persepsi yang akan menghasilkan keputusan yang solid dan adil bagi pihak-pihak yang meminta keadilan. Persamaan yang memerlukan persamaan persepsi tersebut misalnya berkenaan antara lain dengan sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah, berkenaan dengan kedudukan sertipikat tanah, sertipikat yang mengandung cacat hukum dan cara pembatalan dan atau penyelesaiannya. 5 Pemberian jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan memerlukan tersedianya perangkat hukum tertulis yang lengkap, jelas, dan dilaksanakan secara konsisten, serta penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif. Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapapun yang berkepentingan akan dengan mudah mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang diperlukannya, bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban, serta larangan-larangan apa yang ada dalam menguasai tanah dengan hakhak tertentu, sanksi apa yang dihadapinya jika diabaikan ketentuan-ketentuan yang 5 Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi, (Jakarta, Kompas, 2001), halaman 163. Universitas Sumatera Utara 6 bersangkutan, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyainya.6 Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dalam Peraturan Pemerintah yang menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, tetap dipertahankan tujuan dan sistem yang digunakan, yang pada hakekatnya sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan dan sistem publikasinya adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.7 Sertipikat hak atas tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran tanah berisi data fisik (keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah, serta bagian bangunan atau bangunan yang ada diatasnya bila dianggap perlu) dan data yuridis (keterangan tentang status tanah dan bangunan yang didaftar, pemegang hak atas tanah dan hakhak pihak lain, serta beban-beban yang ada diatasnya). Dengan memiliki sertipikat, maka kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanahnya, subyek hak dan obyek haknya menjadi nyata. Bagi pemegang hak atas tanah, memiliki sertipikat mempunyai nilai lebih. Sebab dibandingkan dengan alat bukti tertulis, sertipikat 6 Boedi Harsono (b), Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Djambatan, 2005), halaman 69. 7 A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999, halaman 17. Universitas Sumatera Utara 7 merupakan tanda bukti hak yang kuat, artinya harus dianggap benar sampai dibuktikan sebaliknya di pengadilan dengan alat bukti yang lain.8 Jaminan kepastian hukum pendaftaran tanah atau kebenaran data fisik dan data yuridis bidang tanah dalam sertipikat, sangat tergantung pada alat bukti kepemilikan tanah yang digunakan dasar bagi pendaftaran tanah. Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 telah diatur penentuan alat-alat bukti untuk menentukan adanya hak-hak atas tanah secara jelas dan mudah dilaksanakan serta memberikan kepastian hukum bagi pemilik hak yang bermaksud mendaftarkan haknya. Alat bukti pendaftaran tanah dimaksud adalah alat bukti hak baru dan alat bukti hak lama. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dengan terbitnya sertipikat, yang merupakan output pendaftaran tanah, terbuka kesempatan untuk memperoleh haknya kembali dengan menunjukkan bukti-bukti kepemilikan yang sah melalui pengajuan gugatan ke lembaga peradilan. Gugatan dapat diajukan ke peradilan umum atau ke peradilan Tata Usaha Negara sesuai dengan materi gugatan dan kompetensi masingmasing peradilan. Dalam kapasitasnya, peradilan mengeluarkan keputusan mengenai status hukum terhadap subyek maupun obyek bidang tanah yang digugat tersebut. Apabila pemberian hak atas tanah oleh pejabat yang berwenang dirasa merugikan maka dalam gugatan dapat diminta untuk dibatalkan, hal ini dimungkinkan karena sistem pendaftaran tanah yang dianut di Indonesia yaitu sistem negatif bertendensi positif yang berarti pemegang hak yang sebenarnya dilindungi dari tindakan orang 8 Ibid, halaman 182. Universitas Sumatera Utara 8 lain yang mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak sebenarnya. Ciri pokok dari sistem negatif bertendensi positif ini adalah pendaftaran tanah tidak menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar adalah pemilik sebenarnya. Nama dari pemegang hak sebelumnya dari mana pemohon hak memperoleh tanah tersebut untuk kemudian didaftarkan merupakan mata rantai dari perbuatan hukum dalam pendaftaran hak atas tanah.9 Sertipikat hak atas tanah merupakan surat tanda bukti hak yang kuat, dalam arti selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar dalam perbuatan hukum maupun dalam sengketa di pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah, karena sesuai Undang-Undang Pokok Agraria, sertipikat hak atas tanah menggunakan sistem publikasi negatif. Oleh karena demikian, sedapat mungkin data fisik maupun data yuridis yang tertuang dalam surat keterangan kepala desa/lurah merupakan data yang sebenarnya yang dapat dipertanggungjawabkan. Diharapkan administrasi pertanahan juga dilaksanakan di instansi terbawah dengan tertib, ditingkat desa/kelurahan, sehingga walaupun terdapat pergantian pejabat, data yang pernah dikeluarkan kepala desa/lurah terdahulu tetap menjadi acuan dan menjadi sinkron dengan data yang dikeluarkan kepala desa/lurah berikutnya. Perlu ada kehati-hatian dalam penerbitan Surat Keterangan Tanah, karena dengan meningkatnya kegiatan pembangunan dan 9 A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah dan Konversi Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA, (Bandung : Alumni, 1985), halaman 37. Universitas Sumatera Utara 9 jumlah serta mobilitas penduduk, permasalahan tanah makin meningkat. Hal itu juga disebabkan kebutuhan tanah makin meningkat, sedangkan luas tanah yang tersedia tidak bertambah, dan sebagian besar belum didaftar dan belum ada bukti haknya. Peran kepala desa/lurah sangat besar dalam turut mengurangi adanya sengketa tanah, karena selama ini jika ada sengketa tanah yang selalu menjadi instansi yang tergugat pihak BPN selaku penerbit sertipikat. Penggugat tidak melihat dan tidak tahu bahwa dalam proses pendaftaran tanah banyak pihak yang berperan. Ketika terjadi sengketa tanah akibat dari data awal yang tidak benar, karena faktor kesengajaan atau tidak, ujung-ujungnya masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan akan menderita, karena sengketa tersebut memakan waktu lama. Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) dibidang pertanahan antara siapa dengan siapa, badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respon/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah). Negara hukum atau rechtstaat secara mendasar merupakan cita-cita hukum sekaligus sebagai landasan dasar bagi seluruh tindakan dan keputusan yang dilakukan oleh aparatur yang tersusun dalam setiap lembaga-lembaga negara. Menurut Friedrich Julius Stahl sebagaimana dikutip oleh A. Siti Soetami, di negara hukum pada dasarnya segala perbuatan dan keputusan yang dilakukan oleh pembuat Universitas Sumatera Utara 10 kebijakan dapat diawasi oleh lembaga peradilan. Peradilan Tata Usaha Negara dalam konteks penegakan negara hukum merupakan sarana control on the administration.10 Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana tercantum pada Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah dirubah dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara) mengatur bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Tugas dan wewenang pengadilan yang diberikan oleh undang-undang itu menunjukkan bahwa pada dasarnya Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan seluruh sengketa yang berkaitan dengan terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara. Seperti halnya dapat kita lihat dalam Putusan PTUN No. 53/G.TUN/2005/PTUN-MDN, terdapat adanya 2 (dua) sertipikat dalam satu bidang tanah yaitu sertipikat Hak Milik nomor 672/Helvetia Timur tertanggal 01 Agustus 1998 terdaftar atas nama Firman Fantas Asalan Siregar dan Sertipikat Hak Milik Nomor 1172/Helvetia Timur tertanggal 19 April 2000 terdaftar atas nama Damaris Sinta Taruli Br. Hutabarat. Dalam hal ini, Firman Fantas Asalan Siregar memperoleh tanah tersebut berdasarkan pelepasan hak yang dilakukan Salim Lumbanbatu dengan Firman Fantas Asalan Siregar didasarkan pada alas hak Surat Keterangan Tanah 10 A. Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Bandung : PT. Eresco, 1997), halaman 7. Universitas Sumatera Utara 11 (SKT) yang diketahui oleh Camat Kepala Wilayah Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan No. 185/AKT/MS/1975 tertanggal 12 Desember 1975 serta Surat Keterangan No. 413/SKT/XI/M/1985 yang dikeluarkan oleh Lurah Helvetia Kecamatan Medan Sunggal tentang batas-batas penguasaan tanah dan Surat Keterangan Bebas dari Silang Sengketa tertanggal 14 Nopember 1985 (berdasarkan surat-surat keterangan diatas Penggugat Firman Fantas Asalan Siregar pada tahun 1998 mengajukan permohonan Sertipikat Hak Milik Nomor 672 atas obyek tanah dimaksud kepada Tergugat dalam hal ini Kantor Pertanahan Kota Medan). Sedangkan Damaris Sinta Taruli Br. Hutabarat memperoleh tanah tersebut berdasarkan alas hak yang diberikan Kepala Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara kepada suaminya Salim Lumbanbatu (Alm) berdasarkan Akte Ganti Rugi Nomor 144/1973 tanggal 26 Mei 1973 yang disaksikan oleh Kepala Kampung Helvetia, Kecamatan Sunggal dilampiri dengan Gambar Situasi pembagian tanah yang disalin sesuai aslinya tanggal 20 Juni 1974. Dalam kasus tersebut Majelis Hakim memutuskan bahwa Sertipikat Hak Milik Nomor 1172/Helvetia Timur atas nama Damaris Sinta Taruli Br. Hutabarat dinyatakan batal demi hukum. B. Perumusan Masalah Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana faktor-faktor penyebab timbulnya sengketa pembatalan sertipikat ganda? Universitas Sumatera Utara 12 2. Bagaimana Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam pembatalan sertipikat ganda? 3. Bagaimana Pertimbangan Hukum Hakim dalam pembatalan sertipikat ganda? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah ; 1. Untuk mengkaji faktor-faktor penyebab timbulnya sengketa pembatalan sertipikat ganda. 2. Untuk mengkaji Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam pembatalan sertipikat ganda. 3. Untuk mengkaji Pertimbangan Hukum Hakim dalam pembatalan sertipikat ganda. D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya mengenai pertanahan. 2. Secara Praktis Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang diteliti dan disamping itu hasil penelitian ini dapat mengungkapkan teori-teori baru serta pengembangan teori-teori yang sudah ada. Universitas Sumatera Utara 13 E. Keaslian Penulisan Berdasarkan penelusuran kepustakaan baik Perpustakaan Pusat maupun yang ada di sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, ternyata belum ditemukan judul mengenai Tinjauan Yuridis Pembatalan Sertipikat Ganda : Studi Kasus Putusan PTUN No. 53/G.TUN/2005/PTUN-MDN. Oleh karena itu, berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan yang diajukan belum pernah diteliti dan dibahas. Memang pernah penelitian sebelumnya yang membahas tentang sertipikat hak atas tanah, yang dilakukan oleh : Aminagia Femindonta G, Nim 067011017, Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2008 dengan judul : “ Kajian Yuridis Atas Keberadaan Sertipikat Ganda dan Sertipikat Palsu : Penelitian di Kantor Pertanahan Kota Medan”. Adapun permasalahan yang diteliti adalah : 1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya sertipikat ganda dan sertipikat palsu atas tanah di masyarakat? 2. Bagaimana akibat hukum dengan terjadinya sertipikat ganda dan sertipikat palsu atas tanah di masyarakat? 3. Bagaimanakah upaya hukum dari kantor pertanahan jika terjadi sertipikat ganda dan sertipikat palsu atas tanah di masyarakat? Apabila diperhadapkan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitan ini maka permasalahan yang diteliti adalah berbeda. Oleh karena itu penelitian ini dapat dinyatakan asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara akademis. Universitas Sumatera Utara 14 F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, 11 sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem peradilan para ahli hukum sendiri. Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya. Bukan karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat melainkan juga karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup masyarakat.12 Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup fakta yang luas.13 Sedangkan kerangka teori pada penelitian hukum sosiologis/empiris merupakan kerangka teoritis berdasarkan pada kerangka acuan hukum karena tanpa ada acuan hukum maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologi dan kurang relevan bagi ilmu hukum.14 Teori yang murni tentang hukum merupakan teori hukum positif. Hal itu merupakan suatu teori hukum positif umum, dan bukan mengenai suatu tertib hukum 11 W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum (legal Theory) diterjemahkan oleh Mohamad Arifin, (Jakarta : Rajawali Pers, 1990), halaman 2. 12 Jujun S. Suryasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999), halaman 237. 13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta 1984, halaman 126. 14 Ibid, halaman 127. Universitas Sumatera Utara 15 khusus. Teori tadi merupakan teori umum tentang hukum, yang bukan merupakan suatu penafsiran terhadap kaidah-kaidah hukum nasional tertentu atau kaidah-kaidah hukum internasional, akan tetapi hal itu memberikan suatu teori penafsiran.15 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, 16 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.17 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.18 Teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaktis yaitu mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang dihadapi.19 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Menurut D.H.M.Meuwissen, hukum bukanlah gejala yang netral, yang semata-mata merupakan hasil rekaan bebas manusia, tetapi berada dalam jalinan yang 15 Soerjono Soekanto, Teori Yang Murni Tentang Hukum, (Bandung : Alumni, 1985), halaman 1. 16 J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta : FE-UI, 1996), halaman 203. 17 Ibid, halaman 16. 18 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Bandar Maju, 1994), halaman 80. 19 Snelbecker, dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), halaman 34-35. Universitas Sumatera Utara 16 sangat erat dengan masalah-masalah dan perkembangan kemasyarakatan. Pada satu sisi, hukum dapat dijelaskan dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan, pada sisi lain gejala-gejala kemasyarakatan dapat dijelaskan dengan bantuan hukum. 20 Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum, yakni teori yang menjelaskan bahwa suatu pendaftaran tanah harus mempunyai kekuatan hukum yang pasti dengan segala akibatnya dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum. Tugas kaidah-kaidah hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguh-sungguh menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian dalam hubungan antara sesama manusia.21 Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.22 Pertumbuhan penduduk dan kebutuhannya yang terus meningkat, ternyata tidak mampu diimbangi oleh suplai tanah, sehingga membawa konsekuensi yang 20 Satjipto Rahardjo, Teorisasi Hukum, (Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004), halaman 69-70. 21 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta : Rineka Cipta, 1995) halaman 49-50. 22 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta : Liberty, 1988), halaman 58. Universitas Sumatera Utara 17 sangat serius terhadap pola hubungan antara tanah dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan manusia yang berobyek tanah.23 Ketidakseimbangan itu akan semakin timpang atau bahkan didaerah tertentu terjadi polarisasi penguasaan tanah apabila mekanisme penguasaan tanah tidak segera mendapatkan regulasi untuk mencegahnya. Berhubung kebutuhan manusia yang harus dipenuhi oleh tanah, baik sebagai basis dari terciptanya kebutuhan itu ataupun sebagai faktor produksi akan terus meningkat, meskipun seandainya pertumbuhan penduduk Indonesia akan berhenti pada titik zero population growth. Maka muncul beragam individu atau lembaga berbadan hukum yang sangat rakus tanah yang selalu berupaya dengan segala kemampuannya untuk menguasai, mengumpulkan tanah orang-orang lemah yang dihimpit oleh jeratan kemajuan ekonomi. Keserakahan yang dibiarkan bergerak bebas itu terus mendesak dan mengkondisikan orang lain menjadi miskin dan lapar tanah, bahkan menyerobot atau menduduki tanah liar, tanah terlantar dan tanah negara tanpa alas hak yang cukup kuat. Ia juga mengkondisikan orang miskin itu untuk hidup kumuh, berdesakdesakan, ditanah yang telah jenuh dan menolak kehadirannya. Atau bahkan mengkondisikan orang-orang marjinal itu untuk terpaksa merusak dalam mengolah tanah, meskipun produktivitasnya terus menurun.24 23 Ali Sofwan Husein, Konflik Pertanahan, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997), halaman 40. 24 Ali Sofwan Husein, Ekonomi Politik Penguasaan Tanah, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), halaman 90. Universitas Sumatera Utara 18 Filosofi dari suatu peralihan hak (istilah yang lazim dipergunakan dalam hukum tanah) yang sifatnya derivatif seperti jual beli, tukar menukar, hibah adalah merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit) berupa berpindah atau beralihnya suatu hak kepemilikan (hak atas tanah) disebabkan adanya perbuatan atau tindakan hukum jual beli, tukar menukar dan hibah. Didalam hukum perdata perbuatan hukum pemindahan atau peralihan hak kepemilikan atas tanah seperti jual beli, tukar menukar atupun hibah masuk dalam wilayah hukum perjanjian yang melahirkan suatu perikatan. Ketentuan hukum perjanjian pemindahan atau peralihan hak kepemilikan atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang merupakan alat dan tanda bukti adanya suatu peralihan atau pemindahan hak kepemilikan atas tanah bagi pemegang haknya sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ( disingkat dengan PP No. 24 Tahun 1997). Suatu perjanjian yang bermaksud untuk memindahkan hak kepemilikan harus memenuhi persyaratan agar perbuatan hukum pemindahan hak kepemilikan atas tanah yang merupakan bagian dari suatu perjanjian menjadi sah menurut hukum. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi adalah : 1. Adanya kesepakatan (toesteming) dari para pihak. Hal ini merupakan cerminan dari asas konsensualitas, arti bahwa perjanjian sudah sah bila sudah adanya kata sepakat dari para pihak (consensus). Menurut Subekti, asas konsensualisme pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.25 Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak diperlukan sesuatu formalitas. Kesepakatan artinya bahwa 25 R.Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2001), halaman 15. Universitas Sumatera Utara 19 perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian pemindahan hak atas tanah harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri merupakan syarat pertama untuk sahnya perjanjian atau persetujuan pemindahan atau peralihan hak atas tanahnya. Menjadi tidak sah perjanjian tersebut bila terjadi adanya paksaan (dwang), kekhilafan atau kekeliruan (dwaling) atau adanya penipuan atau tipu muslihat (bedrog ). 2. Adanya kecakapan dari pihak yang membuat perjanjian. Perbuatan atau tindakan hukum kedua belah pihak dalam melakukan perjanjian pemindahan hak atas tanah haruslah cakap bertindak menurut hukum sebagaimana ditentukan Undang-Undang. Dalam hukum, ukuran orang yang dianggap cakap dalam melakukan perbuatan hukum adalah sudah dewasa atau sudah kawin, sehat akal pikiran yang tidak dilarang oleh peraturan perundangundangan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu. Dalam hukum ada beberapa golongan yang oleh hukum tidak cakap yakni orang yang masih dibawah umur (minderjarigheid), orang dibawah pengampuan atau pengawasan. Ketentuan Pasal 1330 BW ini dicabut berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo. SEMA No. 3 tahun 1963. Bila terjadi perjanjian dengan mereka yang masuk dalam golongan ini maka akibat hukumnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan. 3. Ada obyek tertentu yang menjadi obyek perjanjian (onderwerp der overeenkomst). Artinya, suatu perjanjian harus jelas jenisnya, berupa apa wujudnya dan sebagainya. Tujuannya untuk menetapkan persyaratan dan kewajiban para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. 4. Adanya hal (causa = Latin atau Oorzaak=Belanda) yang tidak dilarang (geoorloofde oorzaak), bahwa suatu perjanjian harus adanya suatu kausa (oorzaak) yang tidak dilarang, artinya sebab yang diperbolehkan oleh undangundang, tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan hukum atau kesusilaan (Pasal 1320 BW). UUPA merupakan peraturan dasar yang mengatur penguasaan, pemilikan, peruntukan, penggunaan, dan pengendalian pemanfaatan tanah yang bertujuan terselenggaranya pengelolaan dan pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Salah satu aspek yang dibutuhkan untuk tujuan tersebut adalah mengenai kepastian hak atas tanah yang menjadi dasar utama dalam rangka kepastian hukum kepemilikan tanah. Universitas Sumatera Utara 20 Kepastian hukum mengenai obyek hak tergantung dari kebenaran data yang diberikan pemohon hak dan adanya kesepakatan batas-batas tanah dengan pemilik berbatasan (contradictoire delimitatie) yang secara fisik ditandai pemasangan patokpatok batas tanah di lapangan. Hak atas sebidang tanah disamping pemegang haknya, juga terkait kepentingan pihak lain termasuk masyarakat. Keterkaitan pihak lain dapat secara langsung misalnya dalam hubungan penggunaan, atau jaminan dan lain-lain. Dalam hal kepastian hukum subyek hak atas tanah, pemegang hak mempunyai kewenangan untuk berbuat atas miliknya, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang atau melanggar hak atau kepentingan orang lain. Disamping hak-hak dan kewenangan-kewenangan yang dimiliki tersebut, juga melekat kewajiban-kewajiban, baik terhadap negara maupun terhadap masyarakat. Didalam menikmati hak-hak dan kewenangan-kewenangannya, pemilik membutuhkan ketenangan dan perlindungan hukum yang lahir dari adanya kepastian hukum hak atas tanahnya. Sehubungan dengan hal itu, unsur-unsur hukum yang harus dipenuhi dalam rangka pendaftaran dan penerbitan sertipikat hak atas tanah, yaitu unsur hukum tertulis. Hukum tertulis dijumpai dalam bentuk peraturan perundang-undangan (undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, yurisprudensi dan sebagainya). Dalam hukum tanah nasional, UUPA sebagaimana Universitas Sumatera Utara 21 ditegaskan dalam penjelasannya bahwa sebagai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pada pokoknya bertujuan :26 1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. 2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. 3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Dasar-dasar tersebut merupakan manifestasi dari prinsip dasar yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang menegaskan, ”Bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok kemakmuran rakyat sehingga harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pendaftaran tanah27 merupakan persoalan yang sangat penting dalam UUPA, karena pendaftaran tanah merupakan awal dari proses lahirnya sebuah bukti 26 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, (Jakarta : Kencana, 2010), halaman 1. 27 Dalam Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa : pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satu-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Pendaftaran tanah berasal dari kata cadastre (bahasa Belanda). Kadaster adalah suatu istilah teknis suatu record (rekaman) yang menunjukkan kepada luas, nilai dan kemilikan (atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Sebenarnya kadaster ini mulanya berasal dari bahasa latin capitastrum , yang berarti register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi (capotatio Torrens). Universitas Sumatera Utara 22 kepemilikan hak atas tanah. Begitu pentingnya persoalan pendaftaran tanah tersebut sehingga UUPA memerintahkan kepada pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19 UUPA dinyatakan sebagai berikut :28 1. Untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. 2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi : a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah. b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peraliha hak-hak tersebut,. c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial dan ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. 4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran tanah termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Dalam pendaftaran tanah terdapat asas yang harus menjadi patokan dasar dalam melakukan pendaftaran tanah. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana,29 aman,30 terjangkau,31 mutakhir32 dan terbuka. 28 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), halaman 152. Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksud agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama hak atas tanah. 30 Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri. 31 Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan. 32 Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya. Dan data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang 29 Universitas Sumatera Utara 23 Sejalan dengan asas yang terkandung dalam pendaftaran tanah, maka tujuan yang ingin dicapai dari adanya pendaftaran tanah tersebut diatur lebih lanjut pada Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997, dinyatakan pendaftaran tanah bertujuan : a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Berkaitan dengan tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 di atas, A.P. Parlindungan mengatakan bahwa :33 a. Dengan diterbitkannya sertipikat hak atas tanah maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum. b. Dizaman informasi ini maka kantor pertanahan sebagai kantor digaris depan haruslah memelihara dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk suatu bidang tanah, baik untuk pemerintah sendiri sehingga dapat merencanakan pembangunan negara dan juga bagi masyarakat sendiri. Informasi itu penting untuk dapat memutuskan sesuatu yang diperlukan dimana terlibat tanah, yaitu data fisik dan yuridisnya, termasuk untuk satuan rumah susun, informasi tersebut mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas ini menuntut pula dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat, dan itulah yang berlaku pula pada asas terbuka. 33 A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia (Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997), (Bandung : Mandar Maju, 1999), halaman 2. Universitas Sumatera Utara 24 bersifat terbuka untuk umum artinya dapat diberikan informasi apa saja yang diperlukan atas sebidang tanah/bangunan yang ada. c. Sehingga untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan sesuatu hal yang wajar. Maka dalam hal ini dibutuhkan kinerja yang baik dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) selaku Instansi yang melaksanakan tugas Pemerintahan dibidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Adapun syarat yang dipenuhi agar pendaftaran tanah dapat menjamin kepastian hukum adalah : 1. Tersedianya peta bidang tanah yang merupakan hasil pengukuran secara kadasteral yang dapat dipakai untuk rekonstruksi batas dilapangan dan batasbatasnya merupakan batas yang sah menurut hukum. 2. Tersedianya daftar umum bidang-bidang tanah yang dapat membuktikan pemegang hak yang terdaftar sebagai pemegang hak yang sah menurut hukum. 3. Terpeliharanya daftar umum pendaftaran tanah yang selalu mutakhir, yakni setiap perubahan data mengenai hak atas tanah seperti peralihan hak tercatat dalam daftar umum. Terhadap peta bidang tanah yang merupakan hasil pengukuran tersebut dapat dikatakan memenuhi kaedah yuridis apabila bidang tanah yang dipetakan batasbatasnya telah dijamin kepastian hukumnya berdasarkan kesepakatan dalam penunjukan batas oleh pemilik dan pihak-pihak yang berbatasan (Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997), ditetapkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997) dan diumumkan secara langsung kepada masyarakat setempat untuk memberikan kesempatan kepada pihak lain Universitas Sumatera Utara 25 menyampaikan keberatannya (Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Sedang daftar umum bidang tanah disediakan pada Kantor Pertanahan yang menyajikan data fisik dan data yuridis bidang tanah yang terdiri dari peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan daftar nama (Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997), setiap orang yang berkepentingan berhak mengetahui data fisik dan data yuridis yang tersimpan dalam daftar umum (Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Dengan adanya pendaftaran tanah dan penerbitan sertipikat, maka akan tercapailah kepastian hukum akan hak-hak atas tanah, karena data yuridis dan data fisik yang tercantum dalam sertipikat tanah tersebut diterima sebagai data yang benar adalah baik dalam melaksanakan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jaminan kepastian hukum dalam pendaftaran tanah adalah pemerintah menjamin bahwa pemegang hak (subyek) benarbenar berhak atau mempunyai hubungan hukum dengan tanahnya (obyeknya), dibuktikan dengan adanya pembukuan data yuridis dan data fisik bidang tanah yang diterima sebagai data yang benar dan didukung dengan tersedianya peta hasil pengukuran secara kadasteral, daftar umum bidang-bidang tanah yang terdaftar dan terpeliharanya daftar umum tersebut dengan data yang mutakhir serta kepada pemegang hak diberikan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat yang lazim disebut sertipikat tanah. Universitas Sumatera Utara 26 Secara prosedural, pemberian hak atas tanah yang dikaitkan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 terlebih dahulu dilakukan pengukuran dan pemetaan, kegiatan pengukuran dan pemetaan berdasarkan Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 meliputi : 1. Pembuatan peta dasar pendaftaran. 2. Penetapan batas bidang-bidang tanah. 3. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran. 4. Pembuatan daftar tanah. 5. Pembuatan surat ukur. Terhadap ketentuan dalam proses pemberian hak tersebut yang penting menyangkut pemeriksaan tanahnya oleh Panitia/Tim/Petugas yang dibentuk untuk itu. Panitia yang dibentuk untuk melakukan pemeriksaan tanah diatur dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah jo Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 1992 tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah. Dalam ketentuan tersebut terdapat 4 (empat) lembaga yang diberi tugas melakukan pemeriksaan tanah (termasuk penelitian dan pengkajian data fisik dan data yuridis bidang tanah baik di lapangan maupun di kantor), yakni : 1. Panitia Pemeriksaan Tanah A (Panitia A) dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah Negara, Hak Pengelolaan dan permohonan pengakuan hak atas tanah. Universitas Sumatera Utara 27 2. Panitia Pemeriksaan Tanah B (Panitia B), dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian, perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Usaha. 3. Tim Peneliti Tanah (Tim Peneliti), dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian hak atas tanah-tanah instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah. 4. Petugas Pemeriksaan Tanah (Petugas Konstatasi), dalam rangka pemberian hak atas tanah yang berasal dari tanah yang sudah terdaftar dan perpanjangan serta pembaharuan hak atas tanah, kecuali Hak Guna Usaha. Pada dasarnya pendaftaran hak atas tanah menimbulkan hubungan hukum pribadi antara seseorang dengan tanah, sebagaimana pendapat Pitlo yang dikutip Abdurrahman berikut ini: Pada saat dilakukannya pendaftaran tanah, maka hubungan hukum pribadi antara seseorang dengan tanah diumumkan kepada pihak ketiga atau masyarakat umum, sejak saat itulah pihak-pihak ketiga dianggap mengetahui adanya hubungan hukum antara orang dengan tanahnya dimaksud, untuk mana ia menjadi terikat dan wajib menghormati hal tersebut sebagai suatu kewajiban yang timbul dari kepatutan.34 Hak atas tanah (HAT) adalah hak perorangan atas suatu bidang tanah yang memberi wewenang untuk menggunakan tanah,35 baik untuk ditanami maupun untuk dibangun. Hak atas tanah itu diakui dalam Pasal 4 ayat 1-2 UUPA yaitu : “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, 34 Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), halaman 23. 35 Irene Eka Sihombing, Segi-segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, (Jakarta : Trisakti, 2005), halaman 19. Universitas Sumatera Utara 28 yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang lain serta badanbadan hukum (ayat 1). Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk menggunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada diatasnya sekedar untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undangundang dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (ayat 2). Pendaftaran tanah menurut Boedi Harsono adalah :36 ”Suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh negara/pemerintah secara terus menerus dan teratur berupa pengumpulan keterangan atau data tettentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada diwilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya. Sedangkan pengertian pendaftaran tanah menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah: "Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pembukuan dan penyajian data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya." Dengan adanya pendaftaran tanah ini barulah dapat dijamin tentang hak-hak seseorang diatas tanah. Pihak ketiga secara mudah dapat melihat hak-hak apa atau beban apa yang terletak diatas bidang tanah. Hal ini berarti terpenuhi syarat-syarat 36 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 2003), halaman 72. Universitas Sumatera Utara 29 tentang pengumuman (openbaarheid), yang merupakan salah satu syarat melekat kepada hak-hak yang bersifat kebendaan.37 Konsep pendaftaran tanah yang baik itu harus dapat mengakomodir pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, yang mana dalam hal itu dibutuhkan faktor penunjang tercapainya cita-cita pendaftaran tanah sesuai yang diharapkan oleh rakyat Indonesia, maka oleh karena itu diperlukan ketersediaannya perangkat hukum tertulis yang lengkap dan jelas serta dilaksanakan secara konsisten dan yang terakhir adalah terciptanya penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif.38 Keberadaan PP Nomor 24 Tahun 1997 ini memberikan nuansa yang sangat berbeda dengan PP Nomor 10 Tahun 1961. PP Nomor 24 Tahun 1997 berusaha memberikan kepastian hukum terhadap pemilik atau yang menguasai tanah untuk melakukan pendaftaran tanah. Hal ini terlihat dengan adanya sistem pendaftaran tanah secara sporadik dan sistem pendaftaran secara sistematik. Dalam pendaftaran tanah yang dilakukan dengan cara sporadik yaitu pendaftaran mengenai bidang tanah 37 Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung : Citra Aditya, 1993), halaman 47. 38 Boedi Harsono menjelaskan, bahwa pada tanggal 8 Juli 1997 ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961, yang sejak tahun 1961 mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria. Peraturan Pemerintah tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 57 tahun 1997, sedang penjelasannya dalam tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 369. dalam mengkomentari atas diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, beliau menambahkan bahwa belum tersedia hukum tertulis yang lengkap dan jelas. Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan : 1. tersedianya perangkat hukum tertulis, yang lengkap dan jelas serta dilaksanakan secara konsisten. 2. penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif. Universitas Sumatera Utara 30 tertentu atas permintaan pemegang atau penerima hak yang bersangkutan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah secara sistematik merupakan pendaftaran tanah yang melibatkan pemerintah (Badan Pertanahan Nasional) sebagai pelaksana dibantu oleh panitia independen. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 8 PP Nomor 24 Tahun 1997 dinyatakan sebagai berikut : a. Dalam melaksanakan pendaftaran secara sistematik, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh sebuah panitia ajudikasi yang dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. b. Susunan panitia ajudikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : 1. Seorang pegawai Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kemampuan pengetahuan dibidang pendaftaran tanah. 2. Seorang pegawai Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kemampuan pengetahuan dibidang hak-hak atas tanah. 3. Kepala Desa/Kelurahan yang bersangkutan dan atau seorang pamong desa/kelurahan yang ditunjuknya. c. Keanggotaan panitia ajudikasi dapat ditambah dengan seorang anggota yang sangat diperlukan dalam penilaian kepastian data yuridis mengenai bidang-bidang tanah di wilayah desa/kelurahan yang bersangkutan. d. Dalam melaksanakan tugasnya, panitia ajudikasi dibantu oleh satuan tugas pengukuran dan pemetaan, satuan tugas pengumpul data yuridis dan satuan administrasi yang tugas dan susunannya diatur oleh Menteri. Universitas Sumatera Utara 31 Kegiatan ajudikasi dalam pendaftaran tanah adalah untuk pendaftaran tanah yang pertama sekali merupakan prosedur khusus yang prosesnya dilakukan pada pemberian status hukum atas bagian-bagian tanah yang benar-benar oleh pemilik yang berwenang. Pada Pasal 1 ayat 8 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya. Tugas ajudikasi sebenarnya adalah tugas lembaga peradilan yakni memberikan keputusan atau putusan. Namun ditemukan dalam pendaftaran tanah diberikan kepada tugas eksekutif. Sehingga pada intinya tugas ini adalah disamping tugas investigasi yang meneliti dan mencari kebenaran formal bukti yang ada, juga adalah tugas justifikasi yakni membuat penetapan dalam pengesahan bukti yang sudah ditelitinya tersebut. Dengan kata lain, pihak eksekutif (sebagai pelaksana) pendaftaran tanah akan meneliti kebenaran bahwa data-data yuridis awal yang dimiliki oleh pemegang tanah tersebut. Lalu setelah kebenaran bukti-bukti itu diperiksa dengan seksama kemudian di akuilah, ditetapkan dan disahkan oleh tim ajudikasi sebagai alat bukti awal untuk dijadikan sebagai bukti yang sah, sebagai dasar pemberian hak atau untuk dapat didaftarkan haknya. 39 39 Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2010), halaman 128. Universitas Sumatera Utara 32 2. Kerangka Konsepsi Kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti, bukan merupakan gejala yang akan diteliti. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa, ”kerangka konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengaruh, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisidefinisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.”40 Definisi operasional sangat bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran, oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus ada definisi beberapa konsep dasar sebagai acuan, agar hasil dari penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, yaitu : a. Pembatalan adalah cara, perbuatan membatalkan.41 b. Sertipikat adalah surat tanda bukti hak yang dijilid dan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, dimana data tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.42 c. Sertipikat Ganda adalah sertipikat-sertipikat yang menguraikan satu bidang tanah yang sama. Jadi dengan demikian satu bidang tanah diuraikan dengan dua sertipikat atau lebih yang berlainan datanya. 40 41 42 Soerjono Soekanto, Ibid, halaman 133. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), halaman 111. http://www-notaris.co.cc/fungsi-sertipikat-tanah, tanggal 15 Januari 2011. Universitas Sumatera Utara 33 G. Metode Pelitian 1. Spesifikasi Penelitian Dari judul dan permasalahan yang dalam penelitian ini dan supaya dapat memberikan hasil yang bermanfaat maka penelitian ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat normatif atau doktrin yang juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen, karena lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan. Pada penelitian normatif, data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 43 2. Metode Pendekatan Metode Pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode pendekatan normatif yang secara deduktif, dimulai analisis terhadap pasalpasal yang mengatur hal-hal yang menjadi permasalahan terhadap pembatalan sertipikat ganda. Metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yaitu hubungan peraturan yuridis normatif, yaitu dengan meneliti sumber dengan peraturan lain serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek. 43 Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada : a. Penelitian terhadap asas-asas hukum. b. Penelitian terhadap sistematika hukum. c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum. d. Penelitian terhadap sejarah hukum. e. Penelitian terhadap perbandingan hukum. dikutip dari Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), halaman 14-15. Universitas Sumatera Utara 34 3. Sumber Data Penelitian ini dititik beratkan pada studi kepustakaan, sehingga data sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan dari data primer. Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder. Data sekunder tersebut diperoleh dari : Data sekunder yang diteliti terdiri atas : a. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan antara lain UndangUndang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan dan sebagainya. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa bahan-bahan hukum primer tersebut, antara lain berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya tulis ilmiah dan berbagai makalah yang berkaitan. Universitas Sumatera Utara 35 c. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, kamus umum, kamus bahasa, majalah, surat kabar, artikel, internet, dan jurnal-jurnal hukum.44 4. Alat Pengumpulan Data Dalam penelitian ini untuk memperoleh data yang diperlukan, dipergunakan alat pengumpulan data sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan dengan mempelajari dokumen resmi berupa peraturan perundang-undangan dan dokumen resmi lain yang berlaku dan menelaah literatur-literatur yang berhubungan dengan objek penelitian. b. Wawancara Wawancara dilakukan pada beberapa nara sumber sebagai informan yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Medan (BPN) dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya. 5. Analisis Data Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori 44 Soerjono Soekanto, Op. cit, halaman 52. Universitas Sumatera Utara 36 dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.45 Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun data yang diperoleh di lapangan sebagai data primer, selanjutnya akan dianalisa dengan pendekatan kualitatif.46 Analisa kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya. Dalam menganalisis data yang diperoleh akan digunakan cara berpikir yang bersifat Deduktif yaitu data hasil penelitian dari hal yang bersifat khusus menjadi yang bersifat umum. Dengan metode deduktif diharapkan akan diperoleh jawaban permasalahan. 45 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), halaman 103. 46 Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), halaman 10. Universitas Sumatera Utara