Pengaruh Rotasi Tanaman dan Agen Pengendali Hayati terhadap Nematoda Parasit Tanaman Nadiyatus Sa’ada Thirdyawati1), Suharjono1), Titiek Yulianti 2) 1) Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, 2) Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Email: [email protected] ABSTRAK Tanah merupakan komponen yang terbentuk secara alamiah sebagai media pertumbuhan mahluk hidup, dari jenis tanaman hingga mikroba. Mikroba memiliki peran sebagai dekomposer sehingga dapat memertahankan keseimbangan ekosistem. Terdapat beberapa faktor pembatas dalam menjaga kualitas dan kuantitas tanah, yaitu tingginya serangan patogen dan nematoda parasit tanaman. Berbagai cara dilakukan untuk menanggulangi hal tersebut, mulai dari penggunaan pestisida sintetik hingga persilangan varietas unggul, sampai ditemukan upaya pengendalian yang ramah lingkungan dan tidak berdampak buruk bagi organisme non-target, yaitu rotasi tanaman dan pemanfaatan agen pengendali hayati. Upaya tersebut terbukti mampu memperbaiki dan meningkatkan mikro-flora dalam tanah akibat kerusakan alami maupun buatan. Meningkatnya jumlah mikroba dalam tanah, merupakan indikasi dari yang tanah sehat, dan berdampak positif bagi peningkatan produktivitas tanaman. Kata kunci: Agen pengendali hayati, antagonis, rotasi tanaman, tanah. ABSTRACT Soil is a component formed naturally as the growth media of living things, from plants to microbes. Microbes have roles as decomposers, so they can maintain the balance of the ecosystem. There are some limiting factors in maintaining soil quality and quantity, those are the height of pathogen attack and plant parasitic nematodes. Various methods are used to overcome them, start from the use of synthetic pesticides to crossing superior varieties, until discovered the environmentally friendly control efforts and no adverse impact for non-target organisms, those are the crop rotation and the utilization of biological control agents. Those efforts proven can repair and improve the microflora in the soil as a result of natural or artificial damage. The increasing number of microbes in the soil, as the indication of a healthy soil, have positive impact on enhancing crop productivity. Key words: biological control agent, antagonist, crop rotation, soil. PENDAHULUAN Dalam kehidupan sehari-hari, tanah sering dikaitkan sebagai media pertumbuhan tanaman. Kenyataannya, tanah juga berperan sebagai media tumbuh untuk mikroba. Tidak hanya tanah, jenis tanaman juga memengaruhi jumlah mikroba dalam tanah. Mikroba inilah yang berperan sebagai dekomposer sehingga struktur kualitas tanah tetap terjaga, sekaligus memertahankan keseimbangan ekosistem. Banyak cara yang dilakukan oleh para peneliti untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas tanah yang baik, namun hal ini sangatlah sulit karena tingginya serangan patogen yang dapat Jurnal Biotropika | Vol.1 No. 5 | 2013 mengakibatkan kematian pada tanaman hingga 100 %. Seringkali dilakukan cara praktis yaitu menggunakan pestisida ataupun nematisida sintetik secara berkala dan dalam jangka waktu yang panjang. Selain biayanya yang mahal, hal ini dapat menimbulkan spesies patogen yang resisten serta menurunkan kesuburan dan kandungan bahan organik dalam tanah [1]. Salah satu penyebab menurunnya produksi tanaman yaitu serangan nematoda parasit tanaman. Seiring berkembangnya teknologi, masyarakat mengenal beberapa teknik pengendalian nematoda, salah satunya yaitu menggunakan varietas tanaman yang tahan terhadap nematoda. Apabila akan menggunakan 211 varietas tanaman yang tahan, para petani ataupun peneliti wajib memerhitungkan ketersediaan sumber genetik ketahanan terhadap suatu penyakit. Jika tidak maka varietas tersebut hanya dapat digunakan untuk beberapa periode tanam dan hanya dapat digunakan oleh komunitas petani tertentu [2]. Efisiensi varietas tahan berbeda-beda antara satu jenis tanaman dengan yang lainnya. Pada tanaman kedelai masih memerlukan informasi lebih lanjut terhadap daya ketahanannya terhadap serangan nematoda [3]. Pada tanaman kenaf (Hibiscus cannabinus), sudah diketahui efisiensi ketahanannya apabila disilangkan dengan mrambos merah (Hibiscus radiatus) [4]. Oleh karena itu dibutuhkan referensi yang mendukung sesuai dengan penelitian yang diharapkan, dan penggunaan varietas tahan ini juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti jenis tanah, suhu, kelembaban, dan lain-lain. Upaya lain dalam mengendalikan patogen, sekaligus dapat meningkatkan jumlah mikroba dalam tanah adalah rotasi tanaman [1]. Rotasi tanaman menggunakan jenis tanaman yang berbeda, juga dapat memerbaiki unsur hara dalam tanah [5]. Unsur hara tersebut digunakan oleh tanaman untuk keberlangsungan hidupnya, sehingga meningkatkan produksi tanaman. Upaya pengendalian patogen selanjutnya adalah inokulasi agen pengendali hayati (APH) berupa mikroba antagonis. Mikroba yang dapat digunakan berupa bakteri, jamur, mikroriza, dan aktinomisetes. Mikroba tersebut bersimbiosis mutualisme dengan jaringan tanaman [1]. Namun mekanisme APH terhadap parasit tanaman, seperti nematoda, dengan cara kolonisasi pada rizosfer dan induksi resistensi tanaman [6]. ROTASI TANAMAN Dalam mengatasi berbagai masalah penyakit tanaman yang disebabkan oleh patogen maupun hama, diperlukan usaha dengan sistem yang ramah lingkungan. Salah satu cara untuk merealisasikan hal tersebut dengan rotasi tanaman. Rotasi tanaman merupakan aktivitas pertanian yang dipercaya mampu memertahankan kandungan bahan organik dalam tanah, terutama peranannya dalam hal menurunkan penyakit akibat patogen tular tanah yang bersifat biotrofik, terutama bagi patogen dengan kemampuan yang rendah dalam memertahankan hidupnya sebagai saprofit [7]. Rotasi tanaman juga berperan dalam memberikan lingkungan yang tidak sesuai Jurnal Biotropika | Vol.1 No. 5 | 2013 dengan syarat tumbuh patogen maupun hama, dengan menggunakan tanaman bukan inang, sehingga populasi patogen semakin rendah. Sebaiknya dalam aplikasi rotasi tanaman ini diperlukan pemahaman mengenai jenis patogen yang menjadi sumber permasalahan bagi tanaman, sehingga diketahui jenis tanaman yang merupakan inang sekaligus tanaman bukan inang bagi patogen tersebut. Rotasi tanaman terbukti memiliki kontribusi yang tinggi terhadap hasil tanaman, memelihara kualitas tanah, mengendalikan penyakit, hama, gulma, dan serangga, meningkatkan nutrisi biota tanah, meningkatkan level bahan organis, menurunkan erosi tanah, meningkatkan struktur hara tanah, kontribusi nitrogen dari tanaman kacang-kacangan [8], dan menginduksi bakteri endofit yang berperan sebagai penekan bakteri patogen [9]. Rotasi tanaman menyebabkan tingginya variabilitas dalam komunitas mikroba. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian yang membuktikan bahwa rotasi tanaman memiliki efek yang rendah terhadap kelimpahan mikroba [10, 11]. Perbedaan ini sangat dimungkinkan karena banyaknya faktor pembatas yang terdapat di lingkungan. Beberapa faktor pembatas tersebut adalah jenis tanah yang digunakan, cara pengolahan tanah, faktor lingkungan, iklim, serta ada atau tidaknya residu yang ditambahkan kedalam tanah. Residu akar tanaman perotasi yang masih tertinggal dalam tanah terbukti meningkatkan jumlah bakteri, aktinomisetes, dan Pseudomonas flourescent. Kandungan zat karbon dalam residu akar tersebut berfungsi sebagai nutrisi tambahan bagi mikroba tanah. Fungsi lain dari residu akar adalah memperbaiki kondisi tanah sehingga tanah tidak mudah terserang oleh patogen [12]. Teknik pengendalian patogen ataupun parasit tanaman menggunakan rotasi tanaman sejauh ini memang tidak menimbulkan kerugian, hanya saja membutuhkan waktu yang relatif lama. Waktu yang digunakan untuk rotasi tanaman berbeda-beda sesuai dengan sasaran penelitian, jenis tanaman, dan faktor lingkungan. Semakin lama aktivitas rotasi ini dilakukan, maka penurunan populasi patogen semakin baik. Maka semakin tinggi tingkat serangan patogen, maka semakin panjang waktu yang dibutuhkan untuk rotasi tanaman, sekaligus semakin banyak variasi tanaman yang digunakan setiap musim tanamnya [13]. Dibalik tingginya intensitas waktu yang dibutuhkan, hasil dari rotasi tanaman memang sangat memuaskan, sehingga rotasi dengan pergiliran tanaman tertentu dapat membantu 212 memulihkan unsur hara dalam tanah akibat perusakan. Pada sistem rotasi kuno, para petani menggunakan sistem bera, atau pengistirahatan tanah dalam jangka waktu tertentu tanpa ditanami jenis tanaman apapun. Sistem bera juga dapat menurunkan populasi patogen dalam tanah dengan memutuskan rantai makanan patogen tersebut. Namun seiring dengan bertambahnya populasi mahluk hidup, yang diikuti dengan menyempitnya lahan dan tingginya kebutuhan pangan, usaha rotasi tanaman saat ini menggunakan tanaman yang mengandung bahan aktif yang terbukti efektif dalam menekan populasi patogen sekaligus dapat diambil hasil produksinya, tanpa menggunakan sistem bera [14]. Pendapat lain mengenai rotasi tanaman disebutkan bahwa evaluasi yang efektif untuk praktek pertanian yang sesungguhnya, pengambilan sampel tanah dilakukan saat kondisi tanah mencapai beberapa tingkat ekuilibrium. Pengambilan sampel tidak hanya dilakukan saat tanam awal maupun saat panen saja [15]. Pendapat tersebut dapat direalisasikan apabila sasaran penelitian yang dilakukan adalah mengetahui jenis mikroba-mikroba tertentu yang hidup tingkat ekuilibrium yang berbeda. Hal tersebut digunakan sebagai data pendukung dan data pembanding, sehingga data yang didapatkan lebih lengkap dengan sumber pustaka yang memadai. PEMANFAATAN AGEN PENGENDALI HAYATI Pemanfaatan agen pengendali hayati (APH) berupa mikroba antagonis sangat dianjurkan karena APH tidak memberikan efek yang merugikan terhadap lingkungan dan mahluk hidup non-target. Beberapa isolat mikroba antagonis bisa didapatkan dari berbagai sampel tanaman dan harus diujikan terlebih dahulu untuk mengetahui kemampuan antagonsinya dalam menekan pertumbuhan patogen secara in vitro. Sebenarnya uji yang dilakukan secara in vitro dan in vivo terkadang memberikan efek yang berbeda. Uji secara in vivo lebih banyak menemui kendala, karena faktor lingkungan dan faktor nutrisi yang tidak dapat dikendalikan seperti halnya pada uji in vitro. Pada uji in vitro, penggunaan alat dan bahan yang steril, teknik pengerjaan yang aseptis, kandungan nutrisi dari media yang bisa dikendalikan, dan hanya diujikan dengan satu macam patogen saja Jurnal Biotropika | Vol.1 No. 5 | 2013 menyebabkan kemampuan dari mikroba antagonis tersebut bisa diujikan secara maksimal. Setelah melalui serangkaian uji antagonisme secara in vitro, sasaran selanjutnya adalah aplikasi langsung secara in vivo. Peneliti dianjurkan untuk menyesuaikan kondisi lapangan sehomogen mungkin, dengan melakukan penelitian di dalam rumah kaca. Selain itu juga dibutuhkan sterilisasi media tumbuh, dan media pendukung (bila perlu) agar mikroba antagonis tetap dapat bertahan dalam tanah dalam jangka waktu yang panjang. Terdapat beberapa keuntungan pengendalian patogen dengan menggunakan APH, yaitu memiliki spesifisitas yang tinggi, tidak berdampak negatif bagi lingkungan dan mahluk hidup non-target, serta lebih murah. Dalam jangka waktu yang panjang, mikroba APH dapat tetap berada di lingkungan dengan mengontrol keberadaannya. Salah satu keuntungan APH adalah memiliki spesifisitas yang tinggi, maka APH hanya dapat digunakan untuk mengendalikan satu jenis patogen saja. APH juga memiliki batasan dari keuntungannya yaitu efeknya dalam menekan patogen yang lebih lambat, apabila dibandingkan dengan pestisida sistetik. Beberapa macam mikroba antagonis seperti Bacillus sp., Streptomyces sp., dan Pseudomonas flourescent diketahui memiliki kontribusi langsung terhadap telur dan pergerakan dari nematoda [6]. Jenis mikroba antagonis tersebut juga telah diketahui kemampuannya memroduksi metabolit sekunder berupa antibiotik yang dapat menghambat penetasan telur nematoda Salah satu mekanisme APH dalam menekan jumlah nematoda adalah induksi resistensi tanaman. Sifat tahan atau resisten sebagai bentuk pertahanan diri aktif dari tanaman terhadap nematoda karena tanaman tersebut menghasilkan suatu zat atau substansi yang dapat menetralkan mekanisme terbentuknya sel yang tidak normal akibat serangan nematoda. Adapula bentuk ketahanan diri tanaman secara pasif setelah akar berhasil dilukai oleh larva nematoda yaitu dengan menahan masuknya larva tersebut ke dalam akar atau dengan membatasi induksi makanan bagi larva [15]. Prinsip utama dari inokulasi APH kedalam tanah adalah bukan untuk menekan patogen maupun hama secara langsung, namun lebih kearah pengaturan sistem lingkungan untuk meningkatkan kesehatan tanah. Meningkatnya kesehatan tanah ditandai dengan meningkatnya populasi mikroba menguntungkan yang disertai 213 dengan mengembalikan populasi patogen pada tingkat yang tidak merugikan. Tidak seluruh APH mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi di lingkungan. Sebagian besar dari APH lebih mudah beradaptasi pada kondisi lingkungan asalnya (rizosfer), sehingga APH tersebut lebih mudah beradaptasi sekaligus dapat mengoptimalkan kemampuan antagonisnya pada jenis patogen setempat [14]. Jika peneliti ataupun para petani ingin menggabungkan antara perlakuan rotasi tanaman dengan pemanfaatan APH, hal ini sangat dianjurkan. Penggabungan aktivitas tersebut dapat memunculkan inovasi baru terhadap usaha penekanan patogen, dan jika terealisasikan maka batasan dari APH yang memiliki efek lambat tersebut dapat dimaksimalkan dengan jangka waktu perlakuan rotasi tanaman yang relatif panjang. artikel, Eka Dwi Tricahyadi, Rikza Hakin, Rahmi Masita, dan Rosyta Dwi W. Penulis mengharapkan kritik dan saran kepada para pembaca, karena menyadari adanya ketidaksempurnaan dalam pemilihan kata. DAFTAR PUSTAKA [1] Prihastuti. 2011. Struktur Komunitas [2] [3] PENUTUP Usaha pengendalian populasi nematoda parasit tanaman telah banyak mengalami pembaharuan kearah yang positif. Penggunaan pestisida dan nematisida sintetik dalam jangka waktu panjang, ternyata memberikan kesadaran terhadap masyarakat akan bahaya permanen yang ditimbulkan. Akhirnya timbul gagasan dan penemuan baru mengenai cara penekanan jumlah patogen, dengan cara menyilangkan varietas unggul, rotasi tanaman, dan pemanfaatan agen pengendali hayati berupa mikroba antagonis. Usaha-usaha tersebut terbukti ramah lingkungan, tidak berdampak negatif pada manusia, dan juga tetap pada tujuan awal yaitu menekan populasi patogen. [4] [5] [6] UCAPAN TERIMA KASIH [7] Puji syukur atas kehadirat Allah SWT dan junjungan-Nya Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga jurnal review ini dapat terlaksana. Ucapan terima kasih juga untuk seluruh pihak keluarga yang selalu mendukung, Bapak Dr. Suharjono, M. Si. selaku pembimbing I, Ibu Ir. Titiek Yulianti, MAgrSc., Ph.D. selaku pembimbing II, beserta Bapak Dr. Bagyo Yanuwiadi selaku penguji dengan saran-saran yang mendukung, akhirnya menjatuhkan keputusan terhadap jurnal review ini sehingga tidak merugikan pihak manapun. Kepada pihakpihak yang selalu membantu selama pelaksanaan penelitian hingga pengerjaan naskah maupun Jurnal Biotropika | Vol.1 No. 5 | 2013 [8] [9] Mikroba Tanah dan Implikasinya dalam Mewujudkan Sistem Pertanian Berkelanjutan. Jurnal El-Hayah 1(4): 174181. Thomas, J. B. dan E. D. P. Whelan. 1991. Genetic of wheat curl mite resistence in wheat : Recombination of Cmcl with the 6D centromer. Crop Sciences 31: 936-938. Adnan, A. M. 2000. Ketahanan Beberapa Varietas Kedelai terhadap Nematoda Puru Akar (Meloidogyne incognita). Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 12(1): 1116. Adegbite, A. A., G. O. Agbaje, M. O. Akande, N. A. Amusa, J. A. Adentumbi, dan O. O. Edeyeye. 2005. Expression of resistance to Meloidogyne incognita in kenaf cultivars under field conditions. World Journal of Agriculture Sciences 1(1): 14-17. Carrera, L. M. 2007. Effects of cover crops, compost, and manure amendments on soil microbial community structure in tomato production systems. Applied Soil Ecology 37: 247-55. Kerry, B. R., 2000. Rhizosphere interactions and the exploitation of microbial agents for the biological control of plant parasitic nematodes. Annual Review of Phytopathology 38: 423-441. Bailey, K. L. dan L. J. Duczek. 1996. Managing cereal diseases under reduced tillage. Canadian Journal of Plant Pathology 18: 159-167. Gupta, V. V. S. R. dan K. Sivasthamparam. 2003. Relevance of plant root pathogens to soil biological fertility. In Abbott, L.K. and Murphy, D.V.(eds.). Soil Biological Fertility- A Key to Sustainable Land Use in Agriculture. Kluwer Academic Publishers. Netherlands. Sturz, A.V., B. R. Christie, dan J. Nowak. 2000. Bacterial endophyte: potential role in developing sustainable system of crop production. Critical Review of Plant Science 19: 1-30. 214 [10] Silva, A. P., L. C. Babujia, L. S. Matsumoto, M. F. Guimaraes, dan M. Hungria. 2013. Bacterial Diversity Under Different Tillage and Crop Rotation Systems in an Oxisol of Southern Brazil. The Open Agriculture Journal 7(1): 40-47. [11] Esperchutz, J., A. Gattinger, dan P. Mader. 2007. Response of soil microbial biomass and community structures to conventional and organic farming systems under identical crop rotations. FEMS Microbiology Ecology 61: 26-37. [12] Govaerts, B., M. Mezzalama, K. D. Sayre, J. Crossa, K. Lichter, V. Troch, K. Vanherck, P. D. Corte, dan J. Deckers. 2008. Longterm consequences of tillage, residue management, and crop rotation on selected soil micro-flora groups in the subtropical highlands. Applied Soil Ecology 38: 197210. [13] Priour, S., P. Aley, E. Chujoy, B. Lemaga, dan E. French. 2000. Integrated Control of Bacterial Wilt of Potato. International Potato Center. Peru. [14] Yulianti, T. 2009. Pengelolaan Patogen Tular Tanah untuk Mengembalikan Kejayaan Tembakau Temanggung di Kabupaten Temanggung. Perspektif 8(1): 1-16. [15] Luc, M., R. A. Sikora, dan J. Bridge. 1995. Nematoda parasitik tumbuhan, di pertanian subtropik dan tropik. Terjemahan Supraptoyo. Gajahmada University Press. Yogyakarta. Jurnal Biotropika | Vol.1 No. 5 | 2013 215