LAPORAN HASIL PENELITIAN KUALITAS PEREMPUAN POLITISI DI LEGISLATIF OLEH KALYANAMITRA DIDUKUNG OLEH JAKARTA, INDONESIA NOVEMBER 2008 DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN 1 1 B. PERUMUSAN MASALAH 1 C. SIGNIFIKANSI PENELITIAN 1-2 D. KERANGKA KONSEPTUAL 2 E. METODOLOGI 3 BAB II. DESKRIPSI TEMUAN LAPANGAN A. INFORMAN KONSITITUEN KELAS BAWAH 4 4 A .1 Muara Baru, Jakarta Utara 4-13 A. 2 Paseban, Jakarta Pusat 14-21 A. 3 Klender, Jakarta Timur 22-29 A. 4 Mampang, Jakarta Selatan 30-37 A. 5 Tanjung Duren, Jakarta Barat 38-46 B. INFORMAN KONSTITUEN KELAS MENENGAH 47-55 C. INFORMAN POLITISI 56-65 D. KATA-KATA KUNCI BAB III. PEMBAHASAN A. PANDANGAN TENTANG KUALITAS POLITISI B. TEMUAN UTAMA 66 66-79 79 1. Pandangan terhadap Reformasi 81 2. Pemaknaan akan Kepemimpinan Perempuan 81 3. Kepercayaan terhadap Politisi 81 BAB IV. PENUTUP A. KESIMPULAN B. REKOMENDASI DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Rancangan Proposal Penelitian 82 82-83 83-84 BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN Demokrasi memprasyaratkan kesetaraan dalam wilayah politik, yang memungkinkan terwakilinya tiap kelompok masyarakat di parlemen. Politik keterwakilan merupakan jawaban yang cukup signifikan dalam sistem demokrasi. Perempuan di Indonesia sebagai kelompok yang secara kuantitatif memiliki jumlah yang besar daripada laki-laki (51 persen) menjadi kelompok sosial yang memiliki potensi posisi tawar politik yang cukup besar. Dalam hal ini, pemerintah dan elit politik lainnya harus memiliki kepedulian terhadap isu-isu perempuan (secara praktis dan strategis). Setidaknya, perempuan memiliki wakil di parlemen yang mampu menyuarakan aspirasinya. Persoalannya, selama dua kali pemilu yang digelar pasca Reformasi 1998, keterwakilan perempuan di parlemen dan lembaga strategis negara lainnya masih kecil. Jumlah perempuan yang duduk di parlemen sangat kecil, tidak sesuai dengan peraturan pemilu yang mengisyaratkan 30 persen keterwakilan perempuan. Pada Pemilu 2004, tidak ada satu partai pun yang dapat memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen. Perempuan yang terpilih sebagai wakil rakyat di DPR (pusat dan daerah) pada kenyataannya tidak sesuai dengan harapan pemilihnya, terutama kaum perempuan. Para perempuan politisi di legislatif tidak melakukan fungsi sosial-politiknya sebagai wakil kaum perempuan. Peran mereka di legislatif tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan para pemilihnya. B. PERUMUSAN MASALAH Penilaian rakyat terhadap perempuan politisi di legislatif memiliki basis masalah yang bersumber dari kehidupan sehari-hari. Kebijakan pemerintah yang makin memiskinkan rakyat merupakan persoalan kunci dalam memberikan penilaian dan harapan terhadap anggota legislatif. Sikap dan perilaku para anggota legislatif perempuan diketahui oleh informan berdasarkan informasi media. Sementara itu, komunikasi politik yang macet juga mempengaruhi pengetahuan informan terhadap mereka. Dalam kenyataannya, banyak perempuan yang tidak mengenal secara fisik dan politis anggota DPR terkait. Pada saat yang bersamaan, anggota DPR perempuan pun perlu melakukan penilaian atas diri mereka sendiri dan mitra kerjanya di DPR. Hal ini menjadi penting untuk dilakukan, mengingat para anggota DPR pun adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat umumnya. Dengan demikian, akan diperoleh pandangan yang menyeluruh mengenai kualitas anggota DPR perempuan. Penilaian yang diberikan oleh semua pihak menjadi hal utama yang hendak dibongkar dalam penelitian ini. Dengan demikian, dapat diketahui persepsi yang menyeluruh tentang kualitas perempuan politisi di legislatif. C. SIGNIFIKANSI PENELITIAN Akhir-akhir ini terjadi perubahan sistem politik yang mengarah pada terbukanya peluang perempuan untuk terlibat aktif di legislatif dan eksekutif, juga jabatan struktural lainnya, termasuk untuk menjadi pengurus partai politik. Dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD, pasal 8 ayat 1.d, dinyatakan “menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik pusat”. Dan pada pasal 57 secara tegas dinyatakan tentang keterwakilan 30 persen perempuan dalam pencalonan anggota legislatif. Keterwakilan perempuan haruslah menjadi jembatan emas dalam memperjuangkan aspirasi atau kepentingan kaum perempuan dalam berbagai dimensi. Persoalannya, dalam dua kali pemilu yang digelar pasca Reformasi 1998, sejumlah perempuan politisi yang terpilih untuk tingkat DPR RI, DPRD, dan DPD tidak melaksanakan praktek politik yang merepresentasi keberpihakannya pada kepentingan kaum perempuan. Begitu pun dengan lemahnya pengetahuan dan keterampilan dalam menjalankan tugas-tugas politiknya. Lemahnya kepedulian perempuan politisi untuk bersuara dan menyuarakan dan menyusun kebijakan yang membela kepentingan perempuan menjadi persoalan mendesak yang layak untuk dikritisi dan pelajari. Dalam kaitan itulah, penelitian ini Kalyanamitra lakukan. D. KERANGKA KONSEPTUAL Dalam perspektif sosiologis, kualitas seseorang dipahami sebagai hasil interaksi atau relasi yang terjalin secara sosial dan juga personal. Perempuan politisi menjadi bagian yang menyatu dalam keseluruhan proses sosial-politik di masyarakat dan juga negara. Dengan kata lain, kualitas yang dimiliki dan ditampilkan oleh perempuan politisi sangat terkait erat dengan latar belakang sosial, di mana ia dilahirkan, dibesarkan, dan dididik, serta tempat ia bekerja atau berorganisasi dan berkiprah. Dalam hal ini, organisasi atau partai politik menjadi salah satu tempat sosial-politik yang dapat mengasah kekualitasan perempuan politisi. Sebagai seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial yang memiliki nilai hidup, yang secara historis dan sosial telah dijadikan pegangan kolektif, maka perempuan politisi pun menjalankan fungsi sosial-politiknya bersandarkan pada nilai-nilai yang dijunjung masyarakat. Religiusitas, kekeluargaan, toleran, dan menghargai pluralisme menjadi nilai dasar masyarakat Indonesia yang bahkan dianggap hal yang given. Dengan demikian, seorang politisi masuk dalam kerangka pemahaman ini, bahwa ia adalah bagian dari anggota masyarakat yang juga harus memegang nilai tersebut. Pada tahap tertentu, tuntutan untuk menjalankan dan menjaga nilai hidup, menjadi lebih besar karena secara hierakhis sosial-politik, itu berada di lapisan kelas atas. Secara eksternal, pendidikan (formal atau informal) menjadi salah satu hal yang menentukan kualitas perempuan politisi. Asumsinya, semakin luas dan tinggi pendidikan, terutama pendidikan formal yang ia peroleh, maka kian berkualitaslah seseorang. Walaupun, pendidikan formal tidak serta merta menjadi penentu kualitas seseorang. Di sisi lain, pengetahuan yang dimiliki sebagai hasil pengalaman hidup, menjadi dasar baginya sebagai tokoh politik untuk memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi dalam sikap (attitude) dan tindakan yang real atau praktik politik. Sebagai politisi yang menjadi anggota legislatif, dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang sistem dan mekanisme kerja DPR/DPD. Begitu juga dengan keahlian kerja dalam menjalankan fungsinya sebagai anggota legislatif. Hal-hal ini menjadi modal dalam memperjuangkan aspirasi rakyat yang ditunjukkan melalui pengemasan dan pengartikulasian isu atau kebijakan yang berpihak kepada kaum perempuan. E. METODOLOGI Informan dipilih berdasarkan kelas sosialnya, dengan komposisi sebagai berikut: 40% .............. kelas bawah 30% .............. kelas menengah 30%............... kelas atas Bagan Informan Kls Atas Pol Perm Perempuan politisi Kls Meng Kls Bwh Kelompok penilai Kelompok yang dinilai Dalam melakukan penilaian terhadap kualitas perempuan politisi di legislatif, maka aspek gender menjadi perspektif semua pertanyaan yang ditujukan kepada informan. Selanjutnya, dalam penelurusan atau pengungkapan fakta digunakan pendekatan kualitatif, yang menekankan pada manfaat dan pengumpulan informasi dalam mendalami fenomena yang diteliti.1 Pemilihan metode kualitatif dalam kegiatan ini karena tidak bermaksud melakukan pengujian kekuatan antar variabel, tetapi berusaha melihat dan menggambarkan keseluruhan fenomena sosial yang berkaitan dengan persoalan yang muncul dalam kegiatan ini. Alasan mengapa kegiatan ini menggunakan pendekatan kualitatif adalah karena dalam melihat kondisi sosial perempuan dan pandangan politiknya harus dilihat dan dilukiskan keseluruhan fenomena sosial yang terkait dengan persoalan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan salah satu bagian dalam penelitian kualitatif. Penelitian yang bersifat deskriptif memberi gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu.2 1 Koentjaraningrat, Metode-metode Kegiatan Masyarakat, (Jakarta : Gramedia, 1981), hlm 84. Koentjaraningrat, “ Metode-Metode Penelitian Masyarakat”, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal 30. 2 BAB II DESKRIPSI TEMUAN LAPANGAN A. INFORMAN KONSTITUEN KELAS BAWAH A.1. MUARA BARU, JAKARTA UTARA I. Konteks Geopolitik Kota Jakarta Utara membentang sepanjang Teluk Jakarta, berbatasan dengan Tangerang di sebelah Barat dan Bekasi di sebelah Timur. Wilayahnya mencakup Kepulauan Seribu yang masih berstatus kabupaten administratif di bawah pengawasan Pemerintahan kota Jakarta Utara. Dengan ketinggian 0-200 meter di atas permukaan laut, Jakarta Utara merupakan daerah yang paling rendah secara geografis. Air rob akan terjadi setiap bulan pada saat purnama yang mengakibatkan air laut pasang. Namun saat ini karena sistem drainase yang sangat buruk, air rob dapat terjadi kapan saja, bahkan pada beberapa wilayahnya setiap hari akan terkena rob. Total luas wilayah Jakarta Utara mencapai 146,6 km 2. Dengan jumlah penduduk 1.453.106 pada tahun 2007, maka dapat dilihat tingkat kepadatan penduduk yang mencapai 9.908 jiwa/km 2 (paling kurang padat di DKI Jakarta). Komposisi penduduk antara jumlah perempuan dan laki-laki tidak terlalu besar selisihnya, yakni lebih banyak perempuannya 13.066 jiwa (720.020 laki-laki dan 733.086 perempuan). Dengan asumsi pertumbuhan penduduk 0,34%, maka tingkat kepadatan penduduk hingga tahun 2008 ini akan semakin meningkat. Secara administratif, Jakarta Utara terdiri atas 6 (enam) kecamatan yang terbagi dalam 31 kelurahan dan tersebar dalam 418 RW dan 4.885 RT. Persoalan yang cukup mendasar bagi wilayah pesisir di Jakarta Utara adalah tidak diakuinya mereka sebagai warga ibukota dapat dibuktikan dengan tidak dapat mengurus KTP, karena mereka tinggal di atas sungai, di daerah muara bahkan tidak sedikit yang tinggal di perahu nelayannya, walaupun itu telah berlangsung selama puluhan tahun. Data tahun 2004 menyebutkan, bahwa Jakarta Utara adalah daerah termiskin jika dibandingkan dengan kota-kota DKI Jakarta lainnya, yakni 27.131 rumah tangga atau sekitar 116.063 jiwa. Jika kita kontekskan dengan kenaikan BBM, pencabutan subsidi dan lain-lain, maka sudah tentu jumlah orang miskin maupun rumah tangga miskin di Jakarta Utara meningkat dengan pesat. Indikator kemiskinan ini dapat juga kita lihat dari tingkat konsumsi air mereka, karena berada di wilayah pesisir yang airnya tidak layak untuk digunakan maka 75,54% rumah tangga menggunakan air ledeng, artinya akan menambah pos pengeluaran mereka untuk kebutuhan rumah tangga, ataupun membeli air dalam jerigen. Sedangkan indikator kemiskinan yang lain dapat dilihat secara kasat mata, di mana Jakarta Utara adalah wilayah yang sangat kumuh dan pekerjaan di sektor informal menjadi satu-satunya sumber pendapatan bagi mereka. Miskin, kumuh, padat, dan bau tak sedap adalah realitas sosial yang tersaji sepanjang daerah Muara Baru, Jakarta Utara. Dengan penduduk yang sebagian besar merupakan pendatang dari berbagai daerah, terutama dari Bugis, menjadikan daerah ini terasa bernuansa Sulawesi Selatan. Daerah ini pun dihuni oleh pendatang yang berasal dari Serang dan Tasikmalaya. Mereka telah menjadi bagian yang menyatu dengan masyarakat lainnya. Pembauran ini terjadi secara alamiah, karena beberapa di antaranya adalah warga yang telah puluhan tahun mendiami wilayah ini. Sepanjang jalan yang lebih tepat disebut lorong, dipenuhi anak-anak dan juga orang dewasa yang melakukan aktivitasnya masing-masing, menunjukan kehidupan yang hampir sama dengan daerah miskin lainnya terutama yang berada di pinggir pantai. Dengan jumlah penduduk yang sebagian besar menghuni di atas tanah yang tidak besertifikat, melahirkan suatu kesadaran tersendiri sebagai orang-orang pinggiran, bahwa kapan saja mereka terancam digusur. Rumah yang berhimpitan tidak berarturan, bahkan ada warga yang hidup bersama sampah yang teronggok yang mengeluarkan bau busuk yang menusuk hidung, menjadi bagian keseharian hidup di Muara Baru. Dari pusat perkotaan menuju Muara Baru dibutuhkan waktu kurang lebih 40 menit dengan menggunakan motor atau kendaraan pribadi lainnya. Secara demografis, Muara Baru adalah bagian wilayah ibu kota negara. Akan tetapi, kesenjangan yang terlalu dramatis menciptakan dunia tersendiri bagi warga Muara Baru, sama halnya dengan daerah miskin dan padat lainnya yang tersebar di Jakarta. Secara pemerintahan, ia masuk dalam wilayah adminstrasi DKI Jakarta. Tetapi dalam kehidupan yang senyatanya, ia terbuang dan terasing. II. Profil Informan Lima orang ibu rumah tangga yang diwawancarai dalam penelitian adalah bagian kecil dari kaum perempuan yang memiliki latar belakang sosial-ekonomi yang rapuh. Mereka bertempat di dua RT yang berbeda, tetapi masih dalam RW yang sama. Ibu-ibu ini mewakili keluarga miskin urban yang menjadikan ibukota sebagai tumpuan hidupnya. Mereka berjuang, menghidupi keluarga dengan atau tanpa suami. Salah seorang dari mereka adalah janda yang ditinggal mati suaminya satu tahun terakhir. Dengan dua anak perempuan yang masih berusia sekolah, satu tamatan SMP dan satunya lagi tamat Sekolah Menengah Atas. Dalam usia produkstif antara 35-50 tahun, para ibu dihadapkan pada situasi yang mereka sendiri tidak paham jalan keluarnya. Harapan ibu-ibu ini adalah terjadinya perubahan yang lebih baik dan berpihak kepada mereka. Karena dalam hal ekonomi, beberapa di antarnya masih bergantung pada suami yang juga berpenghasilan rendah, karena sebagai buruh kapal, pelalangan ikan, toko, maupun restoran, sudah pasti penghasilan suami mereka paling tinggi setara UMR Jakarta. Dengan latar belakang pendidikan yang di bawah rata-rata, dua orang tamat SMA/Aliyah, dua orang tamatan SMP, dan satu orang keluaran sekolah dasar, menyulitkan ruang gerak para ibu ini untuk memperoleh penghasilan yang lebih layak, yang mencukupi kebutuhan hidup mereka. Akan tetapi, rata-rata dari mereka (3 orang) mampu menyiasati beban ekonomi dengan membuka usaha kecil di lingkungan mereka tinggal. Bagi Ibu Yati 3, dan Ibu Asyah4 yang merupakan mantan ketua RT, menjalani hari-harinya dengan berjualan kebutuhan harian warga sangat membantu ekonomi keluarga. Sementara bagi Ibu Hindun5, membuat tas dari kertas semen merupakan satu-satunya sumber penghasilannya bersama beberapa ibu yang tergabung dalam paguyuban kerajinan. Perempuan-perempuan ini menjadi penopang ekonomi keluarganya. Para informan tidak memiliki posisi tawar yang tinggi secara sosial-ekonomis. Mereka bersahaja, miskin dan apa adanya. Akan tetapi, dalam percakapan yang berlangsung rata-rata satu jam setiap ibu, terungkap hal-hal yang substansial dan mendalam. Beberapa ungkapan mampu menggambarkan secara jujur apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka hadapi. Dengan kalimat yang bersahaja, yang sering terlontar secara spontan, para ibu ini mampu menggambarkan realitas sosial secara kritis. Secara sosial, latar belakang ibu-ibu ini sesungguhnya 3 Nama samaran idem 5 Idem 4 menggambarkan realitas masyarakat Indonesia yang plural, majemuk, dan miskin yang diabaikan oleh pemerintah pada setiap rezim yang berkuasa. Mereka ada, tetapi ditiadakan. III. 1. Kondisi Sebelum dan Pasca Reformasi 1998 Perbandingan sosial-politik Bagi informan, zaman Soeharto lebih baik daripada setelah Soeharto tidak lagi berkuasa. Ekonomi stabil, aman, pekerjaan juga lebih mudah diperoleh. Segala perbandingan situasi ekonomi yang menjurus pada pengakuan kesuksesan Suharto terlontar begitu saja dari para informan. Karena mereka memiliki ukuran sendiri yang mungkin terdengar sederhana dan agak naif bagi kelas menengah. Dua persoalan besar yang kerap diperbandingkan adalah secara ekonomi dan politik. Mereka melakukan perbandingan atas dasar persoalan hidup mereka sehari-hari. Pemerintah pasca reformasi dianggap tidak berhasil membenahi dan menyelamatkan ekonomi rakyat. Nyatanya, terjadi pemotongan subsidi BBM dan pendidikan. Lapangan pekerjaan pun semakin susah diakses oleh rakyat miskin yang tidak berpendidikan tinggi. “Zaman Suharto enak, pendapatan sedikit tapi kita bisa manjang, maksudnya bisa bertahan. Kalau sekarang sudah gak bisa; dan kalau dulu gak ada demo.” Apa yang dikatakan oleh Ibu Lili ini, sama juga dengan pernyataan Ibu Fatimah: “Zaman Soeharto lebih adem, tenang, apa-apa murah, kerja gampang”. Sementara itu, Ibu Yati mencoba melihat secara komprehensif “keberhasilan” ekonomi dengan situasi sosial-politik. “ Zaman Soeharto, ekonomi lebih baik, tapi orang mudah dihilangin”. Selanjutnya ia mengatakan bahwa terjadi terjadi situasi yang berbeda. “Beda banget. Menurut saya memang sih presiden itu katanya korupsi, tapi alhamdulilah rakyatnya sukses semua, tidak pernah terjadi apa-apa waktu dia masih presiden. Yang penting lancar saja, saya gak tahu deh dia korupsi apa tidak? Kalau sekarang kan korupsi mah tetap, susah mah tetap.” Ibu Hindun mempunyai pandangan yang lebih kritis, walaupun tetap ada pengakuan bahwa zaman Suharto situasi ekonomi lebih baik. “Kalau yang waktu itu, masih Soeharto, keliatannya kata orang baik murah-murah, cuma kan ada pihak lain bilang dia kan banyak ngutangnya di luar negri. Jadi, setelah dia turun masuk lagi penggantinya, BBM jadi naik. Ini katanya, kata orang, saya juga gak bilang siapa-siapa, katanya kan mereka-mereka itu mau membayar utangnya Suharto, utang negara. Jadi sampai dijual apalah kantor ya dijual ya karena untuk membayar utangnya Suharto”6 Dengan mengutip pendapat orang yang pernah didengar, Ibu Hindun menyimpulkan dengan lebih ringkas bahwa: “...zaman Suharto semuanya murah, beras cuma seribu, kan murah-murah, tapi akhirnya utang meledak. Sama juga kembali ke rakyat, resikonya susah.” Begitu pula bagi Ibu Asyah, persoalan utang negara tidak diketahuinya, yang ia tahu bahwa harga lebih murah pada zaman sebelum reformasi. “Saya tidak tahu ya, kalau masalah utang piutang Indonesia, tapi harga tidak mahal kayak sekarang. Jadi mendingan Suharto waktu presiden. Begitu diganti Habibie langsung naik BBM. Gus Dur juga sama, tahunya duit saja. Terus Megawati naik, juga sama, harganya naik. Pas SBY naiknya lebih tinggi. Kalau SBY diganti, mungkin harga lebih mahal lagi. Bisa potong leher nih masyarakat.” 6 Diungkapkan oleh Ibu HIndun Warga Muara Baru berusaha untuk objektif dengan mengungkapkan fakta ketidak-demokratisan Soeharto yang melakukan KKN dan melakukan penghilangan para aktivis atau orang-orang yang vokal. “Wah kalau dulu, kita ngomong begini, besoknya pasti hilang”,7 pernyataan ini menunjukkan kekritisan masyarakat bawah dalam menilai pemerintahan sebelum dan pasca Reformasi. 2. Persoalan sosial-ekonomi “...Semua orang pada nangis pas pertama naik sembako ini yah. Kita kan rakyat miskin begini yah, kita mau bagaimana? Dan suami kadang kerja, kadang tidak. Sedangkan sembako naik terus. Nanti bagaimana hidup kita? Ini bukan hanya saya saja yang ngomong, hampir semua ibu-ibu yang ngomong di RT 16, Blok B ini.” Penyataan ini diungkapkan informan yang pernah menjadi ketua RT, Ibu Asyah. Ia mewakili ibu-ibu lainnya. Sebagai mantan ketua RT, tentu ia dapat membandingkan secara pasti kondisi hidup warga sebelum dan sesudah kenaikan harga sembako. Sambil menunjuk seorang tetangganya yang lewat depan rumah, Ibu Asyah menceritakan bahwa, “...Ibu tadi pinjem duit mau beli minyak tanah. Katanya udah dua hari kompornya kosong tidak ada minyak tanahnya. Gajinya cuma enam ratus ribu perbulan, sedang minyak seliter 8 ribu”. Pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bukanlah solusi yang bijak, justru menjerumuskan warga. Satu sisi, BLT dinanti dan dibutuhkan, di sisi lain, pembagian yang dianggap tidak merata, memunculkan rasa iri warga yang tidak mendapatkannya . Suara ibu-ibu memberikan kesaksian, bahwa BLT tidak merata ke semua warga miskin yang memang layak menerima. Seperti yang dituturkan Ibu Asyah: “...banyak yang tidak dapat. Yang BLT tahun kemarin itu dapat, terus sekarang banyak yang tidak dapat....jadi cuma separoh di RT ini yang dapat bantuan itu. Terus setelah diusut, ternyata ada yang keluar, tapi udah dipotong”. Dan disadari, bahwa BLT berupa uang tunai Rp 300 ribu per tiga bulan tidaklah mampu menutupi tingginya kebutuhan hidup mereka. Persoalannya, saat warga bersedia menggunakan kompor gas, pemerintah justru tidak sanggup menyediakan gas dengan harga murah yang terjangkau rakyat miskin. Hal ini terungkap dalam pernyataan Ibu Yati yang mengatakan: “...minyak tanah udah gak ada, kalau ada juga mahal. Sekarang pakai gas, tapi juga dimahalin. Jadi percuma dikasih BLT, gak ngaruh...” Naiknya harga BBM, praktis telah menciptakan rantai kemiskinan yang merata pada semua warga Muara Baru. Harga jual minyak tanah yang berkisar antara Rp 7500-8000 per liter sudah pasti membebani warga. Ibu Lili menjelaskan bahwa: “...yang bikin warga menjerit, ya pasti dari masalah ini, harga BBM. Yang gak kebagian gas dari pemerintah, harus membeli minyak tanah 1 liter itu dengan harga 7500”. Kondisi ini diperkuat dengan pernyataan Ibu Fatimah: “...berasa banget. Ini ibarat kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Mungkin kita sudah tidak makan apalagi anak sekolah, kebutuhan ini, itulah. Dan kita tabah-tabahin aja, supaya anak kita bisa sekolah”. Persoalan-persoalan tersebut berbaur dengan “realitas alam” yang tercipta karena keadaan wilayah yang tidak tertata, kumuh, dan padat. Banjir tahunan menjadi ancaman rutin bagi warga Muara Baru. Walaupun dalam pilkada maupun pemilu sering dikampanyekan tidak akan ada banjir lagi, tetap saja, banjir tidak teratasi. “Ya, biasalah sama kaya Fauzi Bowo, katanya gak akan banjir, tapi tetap aja sampai sekarang masih banjir juga”.8 Kekuatiran akan banjir, sama seperti kekuatiran warga akan adanya penggusuran terhadap kampung mereka. Disadari, sewaktu-waktu rumah dan kampung mereka akan dibongkar oleh 7 8 Diungkapkan oleh Ibu Yati Diungkapkan oleh Ibu Lili (nama samaran) pemerintah. “...kita tahu, bahwa daerah kita ini bukan milik kita tanah ini semua, dan kita gak pernah bayar pajak. Itu semua kita sadarin, tapi kita selalu mempertahankan. Kalau listrik dan air kita jaminlah bayar.”9 Selain masalah tersebut, yang tidak kalah merisaukan warga adalah terbatasnya lapangan kerja bagi anak-anak mereka. Dengan pendidikan anak yang paling tinggi tamatan SMA, sulit untuk menembus dunia kerja yang “layak” dan yang berbeda dengan pekerjaan orang tuanya. Menyelesaikan pendidikan tamat SMA adalah kemewahan. Hal ini terlihat dari pernyataanpernyataan yang cukup panjang dari seorang informan. Dengan antusias diungkapkan, bahwa anak perempuannya tamat sekolah, tetapi karena ijazah belum diperoleh dari sekolah, maka kesempatan kerja di Carefour terancam gagal. “Tetapi, ijazahnya belum dapat Mbak, padahal Carefour sebenarnya sudah menerimanya, anak saya gak bisa kerja”, demikian ungkap Ibu Hindun. Kondisi ini menyebabkan Ibu Hindun berpikir untuk menghentikan sekolah anaknya yang kedua. “Kalau saya ini takut patah di jalan. Istilahnya kita udah bisa bayar uang muka. Sehari-harinya ini ntar susah. Seharikan lebih dari goceng uang saku itu.”10 IV. Perkenalan dengan Perempuan Politisi Keberadaan perempuan politisi di Legislatif tidak memiliki ikatan kepentingan dengan perempuan di Muara Baru. Karena tidak seorang pun mereka mengenal anggota DPRD maupun DPR RI, begitu juga dengan anggota DPD. Walaupun ada juga yang mengatakan: “Waktu itu saya ingat, tapi gak begitu jelas mukanya.”11 Anggota legislatif hanya diketahui melalui televisi dan informasi lainnya. Nama Moeryati Soedibyo dikenal sebatas sebagai pengusaha jamu dan kosmetik. Ketika ditanya, apakah pernah mendengar nama Moeryati Soedibyo? Seorang ibu mengatakan: “...pernah, tapi saya kurang kenal ya nama itu. Mungkin mukanya tahu”.12 Senada dengan Ibu Fatimah yang mengatakan: “...itu kayaknya saya gak pernah dengar ya. Soalnya ibu-ibu jarang ngomong politik sih. Cuman kesusahan hidup di TV yang sering saya dengar aja. Sergap dan Patroli itu aja yang kita dengar”. Beberapa nama anggota DPRD yang disebutkan peneliti, seperti A’an Rohana dari PKS, Indri Oktavia dari Demokrat, Sumiyati Sukarno dari PDI Perjuangan, dan Wati Amir dari Golkar, tidak mereka kenal. Informan Ibu Yati hanya menjawab: “...kita cuma tahu muka saja, namanya tidak kita hafalin, memang banyak perempuannya, cakap-cakap lagi”. Kondisi di atas diperkuat dengan adanya situasi yang tercipta akibat keelitisan para politisi. Konstituen hanya diakui eksistensinya menjelang setiap pemilu yang digelar 5 tahun sekali. Karena yang mereka ingat hanya hingar-bingar Muara Baru pada saat kampanye. Mereka dimobilisir dengan menggunakan angkutan khusus, dikumpulkan dan dibawa keliling Jakarta. Mereka ingat beberapa partai besar serta janji-janji besar partai. “Ingat sih waktu itu. Saya itu cuma ikut-ikut doang di sini. Gak tahu partai mana? waktu itu partai Golkar, tahun 1999 kumpulkan warga.”13 Tetapi, berdasarkan pengakuan beberapa informan, mereka hanya mengikuti pemilu presiden atau pilkada saja, sementara legislatif tidak pernah ada di Muara Baru. “Kita nyoblos presiden saja. Pemilu presiden doang, gak pernah nyoblos yang lain. Gak pernah pemilu-pemiluan lain, kecuali kalau gubernur.”14 Jadi, yang mereka kenal hanya pemimpin di tingkat eksekutif (presiden dan gubernur). 9 idem Diungkapkan oleh Ibu Hindun 11 Diungkapkan oleh Ibu Fatimah 12 Diungkapkan oleh Ibu Asyah 13 Diungkapkan oleh Ibu Lili 14 Diungkapkan oleh Ibu Hindun 10 V. Komunikasi dan Partisipasi Politik Selama menjadi warga Muara Baru, tidak seorang pun merasa pernah berkomunikasi secara langsung maupun tidak langsung. Para anggota DPR RI/DPRD atau DPD Dapil DKI Jakarta tidak pernah mengunjungi mereka. Sebaliknya, warga pun tidak pernah mendatangi kantor DPR RI atau DPRD. Komunikasi secara tidak langsung hanya terjadi menjelang pemilu dan pilkada. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Hindun: “...setelah pemilu gak pernah datang. ...Gitu aja, cuma gak ada, selesai itu, udah, gak nongol lagi”. Sepanjang tahun 2004 hingga 2008, seingat Ibu Lili, tidak sekalipun ada anggota DPR RI maupun DPRD yang berkunjung ke kampung mereka. Ketika ditanya apakah ketika reses anggota DPR tiga bulan sekali, RT atau RW pernah mengumpulkan warga? Secara lugas dijawab oleh Ibu Lili: “Tidak ada Mbak.” Jawaban ini semakin diperkuat dengan jawaban Ibu Yati yang mengatakan: “...jarang yang mau turun ke bawah Mbak”. Lebih jauh, dijelaskan Ibu Lili bahwa: “...kita gak berharap banyak. Yang penting perhatian ke kita. Kalau ada banjir dan kebakaran itu perlu cepat untuk ditangani....” Tidak adanya hubungan antara wakil rakyat dengan rakyatnya, oleh Ibu Lili disimpulkan bahwa: “...dia makin ke atas, dan kalau kita makin ke bawah terus”. Alasan mendasar yang terungkap mengapa warga tidak penah mendatangi kantor DPR, karena merasa sebagai “orang kecil” yang tidak layak datang ke rumah rakyat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibu Fatimah, “saya mau laporkan, saya takut. Kita kan rakyat kecil, takut nanti tidak diladeni”. Alasan lain adalah persoalan ekonomi. Bagi warga, datang ke DPR menjadi hal yang tidak mudah, karena mereka tidak mempunyai dana yang bisa digunakan untuk perjalanan. Realitas ini terungkap dari pernyataan Ibu Asyah: “...ya, namanya di sini tuh gimana ya? Kadang-kadang masyarakat di sini meskipun udah teriak, tapi namanya untuk jalan ke DPR kan harus pakai uang, ngambil uang dari mana? Mungkin kalau ada yang mulai ngjak ke DPR, ada yang mau ibu-ibu itu kalau diajak. Tapi kalau untuk sendiri pergi, tidak mungkin dia mau, karena dia mikir ongkos”. VI. Kekritisan terhadap Politisi Secara langsung, warga memang tidak mengenal anggota legislatifnya. Namun, dalam keseharian mereka, tetap mengikuti arah politik di parlemen, setidaknya mereka masih atau pernah menyaksikan tayangan rapat paripurna di TV. Atau, paling tidak mereka memiliki penilaian tersendiri terhadap cara kerja anggota legislatif. Kelima informan mempunyai kekritisan yang sama terhadap anggota DPR, atau politisi yang mereka ketahui. Masing-masing mempunyai penilaian. Secara keseluruhan Ibu Asyah mengatakan tidak adanya pembelaan anggota DPR kepada rakyatnya. “Cuma ongkang-ongkang kaki doang. Terima jabatan dan tiap bulan terima gaji dan rakyat diperas...” Pun begitu dengan penilaian Ibu Lili, “anggota DPR yang perempuan jangan omong kosong terus, harusnya rajin turun, memberi tahu rakyat, istilahnya membimbinglah”. Dalam bahasa yang terdengar lugas dan apa adanya, mereka bisa ungkapkan apa yang mereka inginkan dari wakil rakyat. Kekecewaan terhadap anggota legislatif cukup terlihat, ketika Ibu Yati berbicara tentang korupsi yang dilakukan anggota legislatif. ”Korupsinya milyaran, tapi hukumannya cuma tiga tahun. Giliran kita, cuma nyolong, hukumannya bertahun-tahun. Lebih jauh ia mengatakan: ”...sekarang mau pemilihan lagi, pasti kampanye; sekolah terbaik, susu terbaik, telur terbaik. Janji-janji saja”. Secara umum, kritikan terhadap anggota legislatif dilakukan dengan bersandar pada pengetahuan informan yang memahami kerja anggota DPR itu adalah membimbing rakyat. Persoalan ada anggota legislatif yang tertidur, berbicara atau menelepon dianggap sebagai tindakan yang tidak dapat ditolerir. “Masa pemimpin berbicara sendiri, tidur dan telepon-telepon pakai HP. Pemimpin apa itu? “15 Demikian juga penilaian Ibu Hindun, apa yang dikatakannya seia dengan Ibu Fatimah: “...dia cuma mementingkan dia sendiri dan keluarganya.Kalau diliat di TV, ngomongnya doang. Tidak becus, cuma mementingkan diri sendiri. Dia pengen jabatannya aja terus”. VII. 1. Konsep Kepemimpinan Kepemimpinan pada umumnya Dari berbagai pernyataan yang keluar secara spontan dan dengan bahasa tutur yang sederhana, terungkap hal-hal yang substantif, yang mengindikasikan kejelian kelas bawah dalam mengamati, memahami, dan menyimpulkan persoalan hidup mereka. Bagi mereka, pemimpin adalah sosok yang mampu mengakomodir kepentingan berbagai kalangan yang berbeda-beda. “Dia harus bisa kompromi”.16 “Pemimpin adalah orang yang bisa membimbing dan memberikan contoh yang baik.”17 Sifat yang lain yang harus melekat pada diri pemimpin adalah bijaksana. “Maksudnya jangan mementingkan orang atas, bantu-bantu orang bawah, kan kita juga manusia.” Demikian Ibu Yati menegaskan eksistensi orang bawah, yang selayaknya mendapatkan perhatian dari para pemimpinnya. Bahkan, ada informan mengasosiasikan pemimpin dengan bos tempat kita bekerja. Ibarat bos, dia harus peduli dengan orang yang berkerja dengannya.18 Sementara bagi Ibu Hindun, pemimpin adalah orang yang bijaksana. “Ya, bisa bijaksana, pokoknya perduli orang kecil. Terus kalau dia mau memimpin, bisa bijaksana kalau dia gak ngejar kekayaan, tapi kan banyak pemimpin udah jadi pemimpin dia ngejar ya beli kapal beli ini beli ini dia udah jadi pemimpin jadi kan rakyatnya mana bagiannya? Udah jadi warisan dia semua buat anak-anaknya (sama cucu ya) istilahnya kayak pak harto lah gitu. Gak usah jauh-jauh”. 2. Kepemimpinan Perempuan Perempuan sebagai pemimpin atau kepemimpinan menjadi wacana yang cukup mengakar dalam kesadaran masing-masing informan. Semua menyatakan persetujuannya pada kepemimpinan perempuan. Perempuan dapat menjadi pemimpin di lingkungan RT/RW, hingga menjadi presiden. Menurut Ibu Asyah, perempuan memimpin, mengapa tidak? “Bolehlah. Kenapa tidak boleh? Kalau dia bagus, kenapa kita tidak pilih. Kebanyakan perempuan juga bilang laki-laki yang harus pimpin, tapi kalau dia tidak diketahui masyarakat buat apa? Apa salahnya perempuan jadi pimpinan, kalau dia bisa melihat keadaan masyarakatnya di bawah.” Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibu Lili: “Ya, kita bukan gak mau pemimpin perempuan, perlu juga. Karena gak semua pemimpin sebanding. Soalnya, tidak semua pemimpin laki-laki bisa menjamin, kalau laki-laki gak bisa mengurus, ya gak apa-apa perempuan. Yang penting bisa membawanya”. Begitu juga dengan Ibu Fatimah, ia mengatakan pandangannya, bahwa perempuan boleh memimpin. “Ya, setuju aja sih, asal mau peduli sama kita.” Kesetaraan perempuan dan laki-laki juga disadari oleh Ibu Yati. Ia mengatakan: “...kalau sekarang sih, sama aja perempuan sama laki-laki, laki-laki juga gak ada yang bener”. 15 Diungkapkan oleh Ibu Fatimah Diungkpakan oleh Ibu Asyah 17 Diungkapkan oleh Ibu Lili 18 Diungkapkan oleh Ibu Fatimah 16 Perempuan dianggap memiliki kepekaan dan empati yang lebih besar kepada masyarakat dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan lebih muda iba. Dan yang pasti, mereka lebih paham persoalan atau kesulitan yang dihadapi oleh para ibu ketika mengelola rumah tangganya. “Ya. Haruslah ada perempuan juga di DPR. Jadi dia tahu juga kondisi perempuan bagaimana. Tapi yang perempuan itu juga yang bagaimana dulu dianya. Sosialnya lah, yang jiwanya memandang orang bawah itu bisa merasakan kesusahan gitu. Kalau orang yang gak bisa merasakan kesusahan yang gak pernah susah, gak ngerasain ini susahnya ini orang-orang ini. Dia harus tahu sulitnya ini belanja ke pasar bawa duit 20 ribu dapat apa? Itu yang harus dia pikirkan kalau dia mau jadi orang itu. Bijaksana gitu. Kalau dia cuma mau mikirin dia aja, ini dia mah enak gajinya puluhan juta perbulan”.19 Akan tetapi, terdapat perbedaan dalam memahami kepemimpinan perempuan di wilayah domestik dan agama. Di rumah selama masih ada suami atau laki-laki, maka laki-laki adalah pemimpin, terkecuali tidak mampu, maka perempuan berhak memimpin di rumah. “Kalau rumah tangga memang gak boleh kan ada ayatnya juga, lelaki yang harus memimpin. Kalau rumah tangga tapi kalau perempuan bisa, gak papa. Gak ada ayatnya kok ”.20 Secara keseluruhan, Ibu Hindun mengatakan bahwa, “...katanya kan kalau soal pemimpin sejajar aja, lelaki sama perempuan bisa sejajar. Yang gak bisa sejajar ini ke dalam rumah tangga harus lelaki yang memimpin ga boleh perempuan. Terus kalau sholat harus lelaki yang imam itu aja dua. Kalau soal pemimpin jadi presiden jadi apa sama perempuan kalau dia bisa juga”. Demikian halnya dengan Ibu Asyah, ia pun memiliki pendapat yang dapat menyimpulkan keseluruhan pandangannya tentang kepemimpinan perempuan di publik, domestik, dan agama. “Kalau sholat memang gak boleh, tapi kalau pemimpin di masyarakat kenapa tidak boleh? Sholat memang harus laki-laki. Kalau perempuan bisa mengatur masyarakat, kenapa tidak boleh? Kalau harus laki-laki, tapi dia tidak bisa mengatur masyarakat buat apa? Saya sering berdebat sama tetangga depan rumah yang laki-laki, dia bilang tidak ada itu perempuan jadi pemimpin. Kalau sholat aja tidak ada laki-laki, perempuan jadi imam. Saya bilang itu kalau sholat, tapi apa salahnya kalau pemimpin perempuan, kalau dia bisa mengatur masyarakat, saya bilang gitu. Ini SBY-JK katanya bagus, tapi ternyata malah mencekik rakyat.” VIII. Nilai yang Harus Dipegang Bagi pemimpin, nilai hidup yang harus dipegang adalah religius dan rajin beribadah. Akan tetapi, kereligiusannya harus dibuktikan dalam tindakannya dengan memperhatikan rakyat. “Kalau agama harus ya, karena kalau dia tidak punya iman, nanti janji doang. Sekarang orang sudah tidak ada yang percaya Mbak sama janji-janji. Jadi percuma kita pilih, kalau nanti akhirnya kita begini juga, jadi kebanyakan begitu. Tapi ada yang agamanya kuat, tapi janji hanya janji.”21 Bermoral, tidak melakukan pencurian hak orang lain atau korupsi. Kejujuran menjadi nilai yang wajib dimiliki, dengan asumsi bahwa anggota legislatif yang jujur akan menjaga komitmennya untuk tidak mencuri hak rakyat. “Kalau masalah kejujuran penting, apalagi dalam agama. Itu kan penting. Untuk pendekatan ke masyarakat butuh kejujuran.”22 19 20 21 22 Diungkapkan oleh Ibu Hindun Idem Diungkapkan oleh Ibu Asyah Diungkapkan oleh Ibu Lili Nilai-nilai normatif yang berasal dari masyarakat seharusnya menjadi pegangan bagi para anggota legislatif dalam menjalankan fungsinya. Menyayangi keluarga, memahami budaya dan tidak diskriminatif terhadap rakyat dianggap sebagai nilai yang harus dijalankan dan dibuktikan oleh pemimpin. “...Semuanya harus ada budayanya, juga rajin menyumbang. Itu saja yang penting. Yang pertama, dia harus bijaksana. Bijaksana itu kan sifat yang paling bagus untuk jadi pemimpin.”23 Sama halnya dengan Ibu Yati, dengan singkat ia mengatakan bahwa pemimpin yang baik adalah, “...yang bijaksana, yang mikirin orang bawah”. “...Kalau ibadah sudah kewajiban kita dan menyayangi keluarga...”24 Dengan asumsi, bahwa bila mereka menyayangi keluarga, maka mereka pun akan menyayangi rakyat atau konstituennya. IX. Peran Pendidikan Pada awal pertanyaan, tiga informan mengatakan bahwa pendidikan tinggi menjadi persyaratan utama bagi anggota legislatif. “Ya harus sekolah tinggi. Kalau tidak ada sekolahnya, gimana?”25 Demikian juga dengan Ibu Lili yang mengatakan: “...Pendidikan itu penting. Kalau kita sekolah tinggi itu juga harus. Biar kita punya wawasan yang lebih baik juga, dan dapat ilmu juga dari pergaulan.” Begitu juga pendapat Ibu Hindun, dengan singkat ia mengatakan, “penting sekolah”. Sama halnya dengan Ibu Yati yang menegaskan pentingnya sekolah: “...ya, iyalah pasi; harus pintar, kan wawasannya harus luas.” Akan tetapi, ketika diikuti dengan pertanyaan lain yang mengingatkan informan akan kelakuan anggota DPR RI/DPRD/DPD yang tidak peduli dengan rakyat. Jawaban-jawaban di atas kemudian diikuti dengan penjelasan lain yang mensyaratkan bahwa pendidikan bukan ukuran utama berkualitas tidaknya seorang anggota DPR. Ada hal-hal lain yang juga menentukan, seperti pengalaman dan keberpihakan kepada rakyat. “...Tapi kan sebetulnya kuliah atau titel tidak menjamin kali ya Mbak? Yang jelas, mereka mendengar dan mewakili suara kita”26 Ibu Yati juga pada akhirnya menyatakan kebingungannya, “...jadi kita bingung menilai orang. Sekolah tinggi sama yang tidak sekolah sama aja, malah lebih parah orang yang sekolah tinggi. Otaknya pada bejat.” Adalah pengalaman hidup yang dapat membimbing seseorang dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai pemimpin rakyat. Apalagi tidak ada jaminan seseorang yang berpendidikan tinggi mempunyai kepedulian. Karena dalam banyak hal, terdapat kualitas hidup yang dimiliki oleh orang yang tidak berpendidikan tinggi. Artinya, tidak ada jaminan bagi seseorang untuk langsung menjadi pemimpin yang baik dan dicintai rakyatnya, hanya karena ia bersekolah tinggi. “...Biar dia sekolah tinggi, kalau gak bisa mimpin percuma saja”, demikian ditegaskan Ibu Fatimah. X. Fungsi dan Tugas Politisi Fungsi dan tugas anggota legislatif adalah mendengarkan suara rakyat. Kemudian menyusun dan membahas rancangan undang-undang yang berpihak kepada rakyat. Penyusunan UU didedikasikan bagi kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, apa yang seharusnya dilakukan oleh anggota legislatif adalah melindungi rakyat melalui produk UU yang pro-rakyat. Akan tetapi, tugas ini menurut Ibu Asyah tidak dilaksanakan secara maksimal, “ya, jadi suara rakyat tidak didengarin. Cuma bikin rancangan-rancangan, tapi hasilnya tidak pernah ada.” 23 Diungkapkan oleh Ibu Hindun Diungkapkan oleh Ibu Fatimah 25 Diungkapkan oleh Ibu Asyah 26 Diungkapkan oleh Ibu Asyah. Pernyataan ini ‘menegasikan’ jawaban pertama Ibu Asyah 24 Anggota legislatif harus mampu mengayomi rakyatnya. “...Anggota DPR harus bisa memberi contoh yang di bawah. Dan bisa membimbing dan menagsih contoh yang baik. Kalau anggota DPR gak begitu, bagaimana dengan rakyatnya. Kan dia juga yang membuat dan memberi undang-undang.”27 Tugas anggota DPR adalah menganyomi. Kalau tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan maksimal, maka “dia jahat sama rakyat”. '28 Karena yang diinginkan oleh warga adalah adanya pembelaan yang nyata, tidak hanya janji-janji saja. Persoalannya, banyak anggota legislatif yang tidak menjalankan tugasnya. Secara keseluruhan, fungsi dan tugas anggota legislatif dalam pemahaman warga adalah memikirkan rakyat. Selama menjadi anggota DPR/DPRD/DPD, yang harus diprioritaskan untuk dijalankan adalah yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Yati, “tugas DPR ibaratnya mikirin rakyatnya, ya ngasih contoh yang baik ya”. Paling tidak anggota legislatif harus memberi contoh yang baik kepada rakyat. “Membela kita, tapi kadang dia juga diem aja. Nggak mau ngomong ya. Dia udah beruntung, kita gak dapat keuntungan”.29 XI. Tanggung Jawab Politisi Tanggung jawab utama anggota legislatif adalah membela rakyat. Harus benar-benar membela dan memperjuangkan nasib rakyat. “...Harusnya wakil rakyat membela rakyat, tapi ini malah mencekik...”30 Kemiskinan yang dialami oleh rakyat dianggap sebagai hasil ketidak-pedulian dan tidak bertanggungjawabnya para pemimpin. “...Harusnya mereka dengerin dan perhatikan nasib rakyat. “31 Sudah seharusnya anggota legislatif berjuang untuk kepentingan rakyat. “...Tapi yang pasti, dia harus benar-benar membela dan memperjuangkan rakyatnya.”32 Keberadaan mereka di legislatif karena suara yang diberikan oleh konstituennya pada saat pemilu. Mendengarkan suara dan tuntutan rakyat adalah tanggung jawab besar yang harus diemban para anggota legislatif. Dalam bahasa Ibu Hindun, tanggung jawab anggota DPR/DPRD/DPD adalah: “...melakukan kebijakan, melakukan kepedulian terhadap rakyat kecil. Pokoknya dia harus peduli kita, dia harus tahu orang kecil, mendengarkan suara kita.” Walaupun mereka tidak melaksanakan kontrak politik secara tertulis, tetapi dengan keikut-sertaan mereka dalam pemilu sudah merupakan kontrak politik kepada rakyat, bahwa mereka adalah pemimpin yang akan menjalankan fungsi atau tugasnya dengan baik, benar, jujur, dan maksimal. “Pemimpin itu harus abis-abisan dulu deh buat rakyat. Ngasih contoh yang baik dulu untuk rakyat”, tegas Ibu Yati. XII. Harapan Konstituen Anggota legislatif, terutama yang perempuan sudah saatnya melihat yang di bawah. “Ya, pedulilah sama rakyat, jangan dicekik. Melihat ke bawah, jangan terus melihat ke atas. Rangkul semua masyarakat. Kalau dia bisa merangkul masyarakat, pasti negara ini damai.”33 Karena beban hidup rakyat berat sekali, maka seharusnya angggota legislatif memperjuangkan nasib rakyat. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Lili: “...jangan terlalu sih, kita sudah berat banget 27 diungkapkan oleh Ibu Lili Diungkapkan oleh Ibu Fatimah 29 Diungkapkan oleh Ibu Hindun 30 Diungkapkan oleh Ibu Asyah 31 Diungkapkan oleh Ibu Fatimah 32 Diungkapkan oleh Ibu Lili 33 Diungkapkan oleh Ibu Asyah 28 beban kita. Sembako turunin dan BBM juga...” Begitu juga dengan Ibu Fatimah, ia berharap agar harga barang stabil, “jangan sampai dinaikin lagilah”. Anggota DPR/DPRD/DPD agar lebih peduli dengan orang miskin.34 Utang luar negeri yang diperoleh atas nama rakyat, seharusnya digunakan sebagaimana tujuan awalnya, yakni digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sehingga sekolah dan kesehatan yang layak dan murah atau gratis dapat diakses oleh rakyat kecil. Sebagaimana yang diharapkan oleh Ibu Yati, “ya ekonomi dilancarin, sekolah, kesehatan dimurahin. karena itukan nomor satu perlu”. 34 Diungkapkan oleh Ibu Hindun A.2. PASEBAN, JAKARTA PUSAT I. Konteks Geopolitik Secara sosial-politik, Paseban dikenal sebagai daerah ”rawan” konflik yang kental nuansa politiknya. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang dikenal dengan istilah kumis (singkatan kumuh dan miskin) sangat tepat, sesuai dengan keadaan kampung yang bergang-gang sempit, yang berbelok-belok tak berujung. Lebih dari 50 persen warga Paseban saat ini adalah pendatang. Penduduk Betawi yang merupakan penduduk asli makin berkurang, ketika mereka memilih menyewakan bahkan menjual tanah mereka untuk pindah ke daerah pinggiran Jakarta. Pendatang di daerah Paseban mayoritas berasal dari Jawa Tengah, Sunda, dan Sumatera. Sungai dan rel kereta api serasa melingkari daerah Paseban di tengah hiruk-pikuk perbatasan Jakarta Pusat dengan Jakarta Timur. Secara politik, Paseban adalah basis PDI Perjuangan dan Golkar. Namun, dalam Pemilu 2004 yang lalu, Paseban dimenangkan oleh Partai Demokrat. Kondisi sosial Paseban sangat dinamis dengan jumlah angkatan muda produktif yang melimpah dan juga kasus-kasus yang berkembang di sekitar Paseban. Saat ini, semua partai berlomba-lomba mengadakan aktivitas sosial-politik agar bisa meraup suara sebanyak-banyaknya di Paseban. Seorang ibu yang menjadi salah satu informan penelitian ini menyatakan, ”sudah mulai pembagian sembako dari partai-partai”. Dalam acara-acara tersebut, anak-anak muda terlibat dalam pengobatan gratis dan buka bersama yang diadakan oleh partai-partai. II. Profil Konstituen Kelima ibu dari Paseban yang menjadi informan konstituen berasal dari kelas menengah ke bawah. Dua ibu termasuk kelas menengah, dan tiga ibu lainnya berasal dari kelas bawah. Dua orang ibu tidak bekerja dan mengatur pendapatan dari suaminya, dua orang lainnya mencari tambahan penghasilan dengan berjualan kecil-kecilan, dan seorang ibu lagi harus bekerja keras sebagai kuli cuci dan juga tukang masak untuk menghidupi lima orang anaknya, setelah suaminya meninggal lima tahun yang lalu. Dua orang ibu membantu penghasilan suami dengan berdagang kecil-kecilan. ”Kalau nggak megang uang pusing kayaknya, yang penting ada kegiatan”. Dua ibu lainnya bergantung pada hasil kerja suami, dan seorang ibu janda yang harus kerja sebagai pembantu rumah tangga untuk menghidupi ke lima anaknya. Dengan usia antara 30-55 tahun, para ibu ini secara fisik masih sehat dan kuat. Hal ini ditandai dengan aktivitas ekonomi dan sosial yang mereka jalani. Empat ibu aktif di pengajian dan aktivitas RT setempat. Semua ibu mengeluhkan pendapatan yang tidak bertambah, padahal pengeluaran keluarga melonjak. ”...saya juga udah bingung, sekarang aja dikasih duit Rp 50.000, kadang juga Rp 40.000, cuma bisa buat ongkos sekolah, ngumpulin nggak bisa buat bayaran”, keluhnya tentang uang harian yang diberikan suaminya. Dari lima informan, dua orang berpendidikan SD, dua orang berpendidikan SMP, dan satu orang berpendidikan Diploma Satu (D1). Tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi, tidak menghalangi kelima ibu ini berkomentar tentang kondisi sosial ekonomi termasuk kekritisan mereka terhadap pada pemimpin bangsa ini. III. Kondisi Sebelum dan Pasca Reformasi 1998 1. Perbandingan ekonomi-politik Kelima informan di Paseban sepakat bahwa zaman Suharto, ekonomi lebih baik dibanding sekarang. ”Zaman Suharto harga-harga tidak mahal, cari kerja lebih gampang”. Ukuran yang digunakan adalah kestabilan ekonomi yang ditandai dengan harga barang yang terjangkau, kesediaan BBM, lapangan kerja yang masih tersedia, dan tanpa gejolak sosial. Kondisi ini terekam dengan sangat baik dalam ingatan warga. Namun beberapa menyatakan bahwa, ”mungkin masalah sekarang ini akibat dari zaman Suharto dulu kali ya”, imbuh yang lain. Membandingkan dengan keadaan pasca Reformasi 1998, warga menyimpulkan kehidupan ekonomi saat ini justru menjadi buruk. Naiknya harga BBM dan sembako yang sudah di atas batas kemampuan ekonomi warga telah melahirkan ”kerinduan” yang mungkin bisa saja bersifat semu, namun hal ini menunjukkan bahwa reformasi gagal mentransformasikan kesadaran baru kepada rakyat, bahwa pada setiap perubahan dan transisi selalu melahirkan sebuah situasi yang tidak pasti, dan ironisnya membuat rakyat makin terpuruk. Secara ekonomi, zaman Suharto dianggap berhasil menyejahterakan rakyat. Akan tetapi, informan memahami, bahwa zaman Suharto, ekonomi negara berfondasikan utang luar negeri. Secara politik, dikatakan zaman Suharto represif, tidak ada kebebasan berorganisasi. 2. Persoalan sosial-ekonomi Bagi warga Paseban, pembagian BLT tidak serta-merta menyelesaikan persoalan ekonomi mereka. Seorang ibu secara tegas mengatakan, ”Bantuan tunai langsung, saya tidak setuju tuh bikin orang malas, kalau menurut saya jangan dikasih dalam bentuk begitu, kadang kan yang kaya dapat sementara yang miskin nggak dapat kan ribut, menurut saya lebih baik dibuat subsidi untuk pendidikan atau kesehatan gitu”.35 Sistem pembagian yang tidak merata di tiap kampung disertai dengan KKN semakin memperbesar potensi konflik secara horisontal.”...ya milih sistem sodara, ya sodara aja yang dapet, ya kayak kita-kita begini susah, yang bapaknya aja kayak gini mana mungkin dapat”, jelas seorang ibu36. Keadaan ini disadari sebagai keadaan yang tidak sehat. Walaupun tidak semua ibu-ibu menyatakan secara tegas ketidaksetujuannya dengan pembagian BLT. Ditemukan sikap pragmatis warga yang berharap banyak pada pembagian sembako secara gratis yang biasanya dilakukan oleh partai politik, terutama menjelang pemilu. ”Ya diterima, soalnya butuh sih, kalau masalah nyoblos dia gak tau ya, saya kalo ada apa-apa biar aja yang penting sembakonya dapat”.37 Untuk mendapatkan sembako, biasanya disertainya dengan penunjukan kartu anggota partai, setidaknya orang-orang yang memegang KTA akan diprioritaskan. Menyisiasati kondisi ini, warga sudah terbiasa dengan perangkapan KTA, sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang ibu, “kita aja dibikinin kartu PAN, saya sih apa aja deh asal dapet sembako”,38 walau sebenarnya ia sudah memiliki KTA PKS. Karena miskin, muncul sikap pragmatis. Secara umum, ibu-ibu menganggap kenaikan BBM yang berakibat pada kenaikan harga-harga membawa malapetaka bagi rakyat, ”cabe-cabe aja pada naik” jelas seorang ibu. Dalam pemikiran 35 Diungkapan oleh Ibu Ida (nama samaran) Idem 37 Diungkapkan oleh Ibu Tati (nama samaran) 38 Diungkapkan oleh Ibu Leny (nama samaran) 36 mereka, masyarakat harus kuat iman sehingga tidak perlu bunuh diri seperti yang banyak terjadi saat ini. Para ibu ini belajar dari banyak kejadian memilukan yang mereka ketahui dari TV maupun koran, bahwa kemiskinan telah menyebabkan putus asa pada diri sebagian orang, sehingga tidak jarang ibu-ibu melakukan bunuh diri. Persoalan lain yang dirasakan oleh warga adalah masalah putus sekolah bagi anak-anak usia sekolah. Banyak anak-anak yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah atas apalagi perguruan tinggi, karena alasan ekonomi. Padahal, bagi ibu-ibu ini, pendidikan tinggi menjadi tiket untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak bagi anak-anak mereka. ”Kadang-kadang saya sedih melihat anak saya sudah lulus sekolah juga susah ngebiayainnya bagaimana caranya sekolah biar bisa dapat ijazah SMA, eh udah lulus malah nganggur”, 39 jelas seorang ibu. Kesulitan umum yang lazim dihadapi warga miskin terutama ketika terdapat sanak-saudara yang menderita sakit. Begitu juga dengan Paseban. Bagi mereka, mahalnya beaya rumah sakit membuat mereka semakin menderita. Untuk itu, mereka merasa sangat tertolong dengan adanya program Gakin/SKTM. Mereka menaruh harapan pada program ini, yang sayangnya dalam pelaksanaannya, masih banyak warga yang dipersulit untuk mengaksesnya. Setidaknya, mereka harus melewati birokrasi berjenjang hanya untuk mendapat selembar surat keterangan miskin yang harus diurus dari mulai tingkat RT, kelurahan dan kecamatan. Sekalipun telah mendapatkan SKTM, sering keluarga pasien masih harus berhadapan dengan kerumitan pihak rumah sakit. Akan tetapi, lepas dari persoalan tersebut, yang pasti warga merasa tertolong dengan program ini. “Aduh enak bener ya, anak saya itu tagihan rumah sakit nya enam juta tujuh ratus dan saya kaget dapet uang dri mana kan, kata si bas udah tenang aja saya yang urus nanti siang, dan saya abis gitu pulang aja ke rumah, nah udah selesai seminggu saya disuruh urus kartu segala macem dan sampai orang puskesmas dateng ke sini untuk lihat. Kalau saya kaya buat apa saya bohong ngaku miskin dan abis gitu saya disuruh ngasih semua surat yang udah saya urus ke RSCM di sana saya disuruh ketemu ama Pak Arifin dan pas besok dua hari lagi mau pulang dapet kartu biru untuk kontrol setiap ke rumah sakit.”40 IV. Perkenalan dengan Politisi Empat ibu mengatakan tidak kenal dengan anggota DPR/DPRD/DPD. Seorang ibu mengenal Marisa Haque dan Khofifah, juga Megawati sebagai mantan presiden. Pengenalan terhadap Marisa Haque dan Khofifah, karena sering melihat di TV. Apalagi sebagai mantan artis. Sementara terhadap Khofifah terdapat penilaian tersendiri yang menyatakan, bahwa ia adalah pemimpin yang cerdas. Penilaian baik terhadap Megawati pun dilakukan berdasarkan apa yang sudah dilakukan selama menjadi presiden. ”Waktu ada Megawati BBM gak pernah naik tuh, itu yang saya senang”41, begitu komentar seorang ibu. Seorang ibu mengaku pernah melihat langsung Megawati, “pernah melihat Megawati waktu turun di pasar Jatinegara.”42 Dalam memori beberapa ibu, seorang anggota DPRD pernah datang ke kampung mereka, tetapi ia tidak mengingat namanya. ”Nggak inget namanya siapa ya”, 43 “Gak tahu ya, he...he..”. 44 Kenyataan ini merupakan jawaban atas hubungan yang jarang terjadi antara wakil rakyat dengan 39 Diungkapkan oleh Ibu Ida Diungkapkan oleh Ibu Wiwik 41 Diugkapkan oleh Ibu Ida 42 Diungkapkan oleh Ibu Wiwik 43 Diungkapkan oleh Ibu Tati 44 Diungkapkan oleh Ibu Ani 40 konstituennya. Kesibukan sebagai ibu rumah tangga, dengan pekerjaan sebagai pedagang kecil, aktif di pengajian atau acara RT, dan mengurus anak yang masih balita, menyebabkan kecilnya kesempatan mereka untuk menyaksikan acara di TV. V. Komunikasi dan Partisipasi Politik Berangkat dari komunikasi awal saat kampanye pemilu yang minim dari wakil rakyat, ini mempengaruhi relasi sosial-politik selama ia menjadi wakil rakyat. Kondisi itu melahirkan keapatisan warga yang tidak merasakan pengaruhnya bagi kehidupan mereka. Hadir tidak hadirnya anggota DPR/DPRD/DPD di hadapan mereka, tidak menjadi persoalan. Karena belajar dari kondisi sosialekonomi yang mereka hadapi setelah pemilu usai, tetap tidak terjadi perubahan yang lebih baik bagi kehidupan mereka. Hubungan yang dibangun berdasarkan kepentingan “sesaat” seperti yang terungkap dari pengakuan Ibu Wiwik: “...di sini di peduliin ama PKS kalau ada rapat-rapat suka bagi beras dan sembako. Tapi kata ibu-ibu di Jatinegara bilang sama saya, si Fauzi Bowo juga bagi-bagi uang seratus ribu. Saya bilang lucu juga ya maen sogok-sogokan”. “Ya pernah, membela partai Demokrat, pas pemilu kemarin….ngumpulin sampai seribu tuh, seribu KTP, kalau yang lain gak pernah tuh, saya pikir karena yang lain gak pernah. Berarti pengganti Presiden Megawati itu pasti bagus lebih bagus dari sebelumnya gitu, sampai ngumpulin seribu KTP dari daerah ini aja tuh, memang menang tuh partai demokrat di daerah Paseban….eh akhirnya begini…”45 Pernah seorang anggota DPRD datang ke kelurahan untuk melakukan penyuluhan penggunaan kompor gas, itu pun tidak membawa kesan, karena informan tidak ingat nama politisi tersebut. Di tingkat RT, warga pernah mendapat sosialisasi tentang KDRT. Minimnya komunikasi ini, melebarkan kesenjangan sosial yang terjadi antara politisi dengan warga. Sebaliknya, warga menjadi takut untuk menemui wakil rakyatnya. Warga tidak ingin ke DPR karena takut diusir, karena para pemimpin sudah lupa pada para pemilihnya. ”Saya belum pernah ke DPR, masak rakyat disuruh ke DPR nanti kita diusir, tapi kalau pakai baju gak rapi di usir nanti”, ungkap Ibu Atin. Rakyat hanya diposisikan sebagai mesin suara pada saat pemilu. Setelah pemilu usai, selesai sudah tanggung jawab para politisi untuk mendatangi konstituennya.”Boro-boro inget, saya gak mau janji-janji gitu saya males” jelas seorang ibu yang pernah menjadi tim sukses suatu parpol. Hal ini menandakan lemahnya eksistensi warga di hadapan elite politik. Di tengah keterputusan komunikasi ini, sesungguhnya tetap saja tersimpan harapan pada diri warga pada para pemimpinnya agar mau melakukan sesuatu, khususnya dalam menurunkan harga-harga barang yang menyebabkan rakyat menderita. ”Tapi kalo seumpama calon presiden perempuan , terus saya dikasih tugas, mau gak memajukan partai ini nih gitu, saya pasti mau tuh”, jawab seorang ibu dengan bersemangat. VI. Kekritisan terhadap Politisi Eksistensi partai politik di hadapan warga memasuki masa kritis, karena dari rangkaian wawancara, warga memiliki asumsi dan kesimpulan yang sama mengenai lemahnya keberpihakan partai politik. Hal ini akan mempengaruhi pilihan politik pada saat Pemilu 2009. 45 Diungkapkan oleh Ibu Ida Warga sudah mendapatkan pelajaran dari sepak-terjang partai politik. “Sekarang sudah males, kalau bisa tusuk semua, soalnya sama saja sekarang gak ada yang benar.”46 Mereka Cuma memikirkan diri sendiri, “cuma janji aja buktinya gak ada”47 . “Ya, (mereka) mikirin perut sendiri yang saya tahu”.48 “Sekarang jadi pemimpin bisa kalau uang banyak buat nyogok untuk pemilu, mampu dan kalau niatnya gak bagus jadi goncang, kasihan rakyatnya, apalagi kasus lumpur lapindo saya jadi mikirin buat tidurnya dan sholatnya itu bagaimana?”49 Bagi warga, kondisi partai politik merepresentasikan para anggota atau pengurusnya, terutama yang berada di legislatif. Muncul kesimpulan, bahwa para anggota DPR dapat melakukan penyogokan untuk mendapatkan suara pada saat pemilu. “Pemimpin sekarang bisa nyogok waktu pemilu, jadi niatnya gak bagus sehingga bisa goncang, kalo begitu kasihan rakyat yang dipimpinnya”, begitu jelas seorang ibu. Dalam bahasa yang tidak berbeda, ibu yang lain menyatakan bahwa pemimpin sekarang egois, “...mereka hanya memikirkan perutnya sendiri”. Pun begitu dalam menilai kepemimpinan anggota DPR yang perempuan. Informan konstituen merasa bahwa anggota dewan yang perempuan tidak paham dengan isu-isu perempuan, makanya tidak pernah tampil untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. “Kalau saya sih pengennya, yang jadi pemimpin itu gimana caranya gitu, kan dulu citacitanya pengennya mengemong wong cilik, dan gak taunya kan sekarang malah menggencet kan?”50 VII. Konsep Kepemimpinan 1. Kepemimpinan pada umumnya Pemahaman warga terhadap konsep kepemimpinan, mencerminkan harapan mereka terhadap orang-orang yang disebut pemimpin. Pemimpin diidealkan sebagai orang atau pihak yang siap menuntun dan memberikan yang terbaik untuk rakyat. Rakyat menjadi pihak yang harus diprioritaskan dalam tiap kebijakan ekoonomi-politik dalam konteks kehidupan bernegara dan berbangsa. ”Oh yang bermutu, ya menurut saya yang memperhatikan rakyatlah”. Seseorang dipilih menjadi pemimpin karena dia peduli pada warganya, demikian penjelasan seorang ibu. Dalam relasi sosial-politiknya, maka pemimpin menjadi pihak yang harus siap menanggung segala resiko. “Seorang pemimpin harus punya kelebihan, tegas... baik buat rakyatnya dan jadi panutan dan jadi contoh juga...” 51 Konsep ini secara tegas menyatakan dan menuntut pemimpin untuk siap berkorban. Sebagai contoh masyarakat, maka pemimpin sudah pasti dapat mengarahkan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Walaupun untuk ini, warga dapat membandingkan secara jujur apa yang diidealkan dengan apa yang menjadi kenyataan. Sesungguhnya, konsep kepemimpinan dalam pemahaman warga adalah kepedulian elit politik atau wakil rakyat. Secara lugas dikatakan, bahwa pemimpin bermutu adalah pemimpin yang memperhatikan rakyatnya. Dalam konteks di Paseban, pemimpin yang bermutu adalah yang memperjuangkan sembako dan pengobatan murah, termasuk yang mampu memperjuangkan pendidikan murah dan lapangan kerja untuk rakyat. Yang jelas 46 Diungkapkan oleh Ibu Tati Diungkapkan oleh Ibu Wiwik 48 Diugkapkan oleh Ibu Ani 49 Diungkapkan oleh Ibu Atin 50 Diungkapkan oleh Ibu Ida 51 Diungkapkan oleh Ibu Ani 47 dikatakan, bahwa semua orang bisa jadi pemimpin, selama ada kemauan pasti bisa menjadi pemimpin. 2. Kepemimpinan Perempuan Dalam hal kepemimpinan berdasarkan jenis kelamin, tidak ada perbedaan pemahaman di antara informan konstituen. Kelima ibu memiliki kesadaran yang maju, bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin terutama di wilayah publik. Bahkan pada beberapa hal yang mendasar, dikatakan bahwa kepemimpinan perempuan jauh lebih baik dari laki-laki.”Mungkin begini ya...kalau pemimpin perempuan itu untuk korupsi segen kali ye, dan kalau laki-laki buas, dan kalau perempuan ada timbang rasa kalau dibanding laki-laki”, jelas Ibu Atin . Sementara dengan nada yang hampir sama, keempat ibu yang lain menjelaskan bahwa kalau perempuan jadi pemimpin dia akan lebih jujur, lebih adil kalau membagi sembako atau bantuan yang lain, lebih punya inisiatif dalam melakukan aktivitas untuk ibu-ibu, karena naluri keibuan yang dimiliki seorang perempuan. “Perempuan pemimpin bisa aktif dan peduli sama warganya, perempuan lebih kreatif, lebih aktif, dan lebih berani dibanding laki-laki”, jelas seorang ibu. Akan tetapi, dari penyataan-pernyataan tersebut terdapat catatan seorang ibu bahwa potensi kepemimpinan tersebut, masih belum berani untuk dinyatakan dan dilakukan oleh perempuan. Sementara untuk wilayah domestik, seorang ibu memposisikan dirinya sebagai pendukung suaminya dalam mengambil keputusan “ kayak di rumah saya, kalau kasih masukan dirumah itu saya, bukannya meremehkan, soalnya laki-laki ini kan emosional jadi saya mendinginkan ambil jalan baiknya bagaimana, kalau laki-laki ambil keputusan langsung, kalau perempuan sering dipikirin dulu”. Terdapat kepercayaan yang diberikan pada kepemimpinan perempuan. “Beda, kalau perempuan bisa nyimpan uang, jadi kita tidak terlalu banyak utang di luar negeri. Tapi kalau laki-laki main jorjoran saja”.52 Lima orang ibu dari Paseban ini memberikan perbandingan bahwa ketidakadilan sosial termasuk tindak korupsi para pejabat adalah karena ulah pemimpin laki-laki. Bagi mereka, perempuan pemimpin lebih segan korupsi dan memiliki timbang rasa dibandingkan laki-laki pemimpin. VIII. Nilai yang Dipegang Sebagai masyarakat yang hidup dalam kultur dan keyakinan yang beragam, maka dalam memahami nilai-nilai yang harus dipegang oleh pemimpin, menjadi bersifat umum. Keumuman ini mewakili akar sejarah masyarakat Indonesia yang pluralistik dan religius. Ketiga orang ibu menjelaskan, bahwa pemimpin yang baik adalah yang punya iman dan takut kepada Tuhan. Religiusitas yang bertahan dalam masyarakat transisi seperti di Jakarta, khususnya di Paseban, memberikan gambaran yang agak khas yang menjadi ciri negara yang sedang berkembang. Menurut Ibu Atin, nilai yang harus dipegang perempuan politisi adalah, “yang penting kepribadian dia dan bijaksananya dia ikhlas. Jadi pemimpin gak semudah yang diucapkan orang, udah utang banyak dan dia mau ngapain lagi makanya cari yang beriman kalau mau berbuat takut sama yang di atas.” Sama halnya dengan Ibu Ani yang mengatakan bahwa pemimpin itu harus “harus bisa jadi panutan, dan jadi contoh...”. “Harus bisa jadi panutan, dan jadi contoh sebagai pemimpin.”53 52 53 Diungkapkan oleh Ibu Ani Diungkapkan oleh Ibu Wiwik Aktivitas mengaji yang dilakukan oleh ibu-ibu di Paseban dijadikan ajang peningkatan kapasitas diri sekaligus upaya untuk memperkuat iman. Seorang ibu merelakan rumahnya dijadikan tempat mengaji: ”...setiap malam selasa dan malam sabtu sekitar 20 ibu-ibu mengaji disini, selain mengaji kita banyak aktivitas...bikin kue dan masak”, jelasnya. Nilai seorang pemimpin dijelaskan seorang ibu adalah sama dengan seorang uztajah yang memimpin pengajian. Di samping beriman, nilai yang harus dipegang adalah memiliki kepribadian dan bijaksana. Kepribadian dalam konteks ini adalah yang memiliki identitas yang patut dicontoh orang lain. ”Pemimpin sih dihormati karena kelakuannya yang baik”, jelas seorang ibu. Kelima ibu sependapat bahwa keberpihakan dan kepedulian pada orang miskin menjadi nilai penentu bagi seorang pemimpin. Dengan logika sederhana, bahwa bila ia beriman pada Tuhan, maka sudah seharusnya ia memperhatikan kepentingan rakyat. Dengan demikian, ia akan mengerti setiap keinginan dan kebutuhan rakyat. Ikhlas dan jujur adalah hal-hal lain yang diinginkan oleh warga kepada pemimpin. IX. Peran Pendidikan Dengan pemahaman yang beragam, kelima informan konstituen dari Paseban beranggapan bahwa pendidikan formal tetap menjadi prasyarat utama bagi angggota legislatif. Walaupun tetap diakui, bahwa pengalaman hidup seseorang tetap menjadi bekal yang penting untuk memimpin. ”Pendidikan itu penting, tapi pengalaman juga penting”, jelas seorang ibu. Seorang ibu berpikir bahwa bersekolah akan memiliki pengetahuan yang dibutuhkan dalam memimpin negara. Walaupun disadari, bahwa anggota legislatif yang mereka kritik tidak memiliki kepedulian kepada rakyat adalah orang-orang yang bersekolah tinggi, namun tidak mempengaruhi pandangan bahwa sekolah tinggi adalah jaminan adanya kepemimpinan yang dapat memimpin dan peduli kepada rakyat. Dengan bersekolah tinggi, maka pemimpin dapat mengungkapkan dan memperjuangkan kepentingan orang banyak, itulah harapan ibu-ibu. Seperti yang dikatakan seorang ibu “harus berpendidikan biar pintar ngomong dan perilakunya baik”. “Punya ilmu pengetahuannya lebih dan pengalaman..., tapi kan benar orang yang pintar, seperti saya waktu sekolah aja untuk jadi ketua osis harus yang pintar, begitu juga pemimpin”.54 Namun demikian, pandangan tersebut dinetralisir oleh pandangan lain yang menyatakan, bahwa untuk menjadi pemimpin, tidak harus sekolah tinggi. ”Ya, seharusnya pemimpin melihat ke bawah supaya masyarakat makmur, saya juga ekonomi lemah ya apalagi yang lebih lemah kasian”. X. Fungsi dan Tugas Politisi Tugas anggota legislatif dalam hal legislasi, anggaran, dan pengawasan pemerintah, oleh pemahaman awan dibahasakan atau diidentikkan dengan tugas sosial-politik anggota legislatif terhadap masyarakat bawah. “Pemimpin harus membuat masyarakat makmur, dengan turun langsung ke masyarakat untuk melihat kondisi rakyat”, tegas seorang ibu. ”Jangan hanya ajudannya yang turun sekali-kali turun biar tahu, dan rapiin yang miskin.”55 Menemui rakyat dan menanyakan persoalan yang mereka hadapi adalah komunikasi dua arah yang harus dilakukan untuk memperoleh gambaran pasti dengan keadaan lapangan. Tugas di atas, 54 55 Diungkapkan oleh Ibu Ani Diungkapkan oleh Ibu Atin menjadi bagian yang terpadu yang harus dilakukan oleh anggota legislatif, khususnya perempuan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, seperti pendidikan gratis, lapangan kerja, pelatihan untuk perempuan, dan lowongan kerja buat ibu-ibu. “Ya, harus menudukunglah. Maunya adalah kegiatan buat ibu-ibu, lowongan kerja gitu ya, asal buat membantu anak-anak sekolah, ya mestinya surveilah ke bawah tentang kehidupan di bawah”.56 “Ya...kalau dia tahu seharusnya dia perhatian kerakyatnya, sebelah sini bagaimana dan sebelah sana bagaimana?”57 XI. Tanggung Jawab Politisi Tanggung jawab pemimpin dalam perspektif masyarakat bawah adalah menjalankan apa yang dijanjikan, yaitu ngemong wong cilik. Hal utama yang dituntut oleh rakyat kepada pemimpinnya adalah tidak ingkar janji. Setiap ucapan yang keluar dari mulut pemimpin membutuhkan pertanggung-jawaban dengan pembuktian di lapangan. “Ya...dia memikirkan kesejahteraan rakyat dan pendidikan”.58 Persoalan tersebut menjadi hal yang sensitif bagi rakyat. Belajar dari beberapa kali pemilu atau pilkada, warga telah mempunyai kesimpulan sendiri tentang janji politik yang dilakukan oleh para elit partai, yang belum maupun yang sudah menjadi anggota legislatif. “Harus lebih memikirkan kaum miskin dong yang 90 persen itu.”59 “Ya seharusnya pemimpin melihat ke bawah supaya masyarakat makmur.”60 Untuk itu, dalam proses ke depan, yang dibutuhkan oleh warga adalah realisasi janji-janji peningkatan kesejahteraan. Bukan sebaliknya. XII. Harapan Konstituen Harapan kelima ibu-ibu di Paseban tersebut adalah harapan warga terhadap anggota legislative yang harus memprioritaskan pembenahan ekonomi rakyat, yang membuat harga sembako dan BBM kembali normal. Saat ini, harga-harga barang sudah melampau batas kesanggupan rakyat untuk membelinya. “Saya sih yang saya harapin itu, presiden sekarang tuh umpamnya lowongan kerja itu dibanyakin, dulukan janjinya seperti itu,...Katanya kalo nanti Partai Demokrat menang, warga Paseban gak akan ada yang nganggur. Terus, kepemimpinan ini bagus, pokoknya semua sekolah dari SD sampai SMA itu gratis, tapi ya cuma janji...”61 “Harga harus murah, gak membuat kita putus asa. Buat melanjutkan hidup sekarang aja morat marit”.62 “Harapannya bisa kayak dulu, apa-apa murah...Kita sih pengennya makmur aja ya, sembako jangan terlalu mahal, gas juga sekarang mahal, minyak tanah mahal. Kita bandingin aja gas seminggu empat belas ribu, minyak dua liter 14 ribu. kita mau pake gas kita takut meledak karna kalau masak kita suka tinggal-tinggal jadinya kita takut aja”.63 56 Diungkapkan oleh Ibu Ida Diungkapkan oleh Ibu Ani 58 Diungkapkan oleh Ibu Ani 59 Diungkapkan oleh Ibu Ida 60 Diungkapkan oleh Ibu Atin 61 Diungkapkan oleh Ibu Ida 62 Diungkapkan oleh Ibu Ani 63 Diungkapkan oleh Ibu Wiwik 57 A.3. KLENDER, JAKARTA TIMUR I. Konteks Geopolitik Kota Jakarta Timur adalah kota terluas di DKI Jakarta, membentang sepanjang timur Jakarta berbatasan dengan Kota Bekasi di sebelah Timur, dan Kota Depok di sebelah selatan. Wilayahnya mencakup daerah Cakung di sebelah Utara hingga daerah Cibubur di ujung Selatan. Total luas wilayahnya 188,03 km2, dengan jumlah penduduk 2.421.419 (tahun 2007), atau kepadatannya 12.878 jiwa/km2 (paling kurang padat kedua setelah Jakarta Utara). Pertumbuhan penduduk antara tahun 2000 hingga 2007 sebesar 0,44% (terbesar ketiga setelah Jakarta Selatan dan Jakarta Barat). Komposisi penduduk antara jumlah perempuan dan laki-laki tidak terlalu besar selisihnya, yakni lebih banyak perempuannya 13.981 jiwa (1.203.719 laki-laki dan 1.217.700 perempuan). Secara administratif, Jakarta Timur terdiri dari 10 kecamatan yang terbagi dalam 65 kelurahan dan tersebar dalam 698 RW dan 7.807 RT. Hingga saat ini, Jakarta Timur belum cukup menarik bagi pengembangan properti karena fokus pembangunan masih berpusat di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat, tetapi ke depan jika wilayah-wilayah itu telah mengalami kejenuhan, maka Jakarta Timur menjadi daerah potensial untuk pengembangan berikutnya. Rencana pemindahan terminal Pulogadung--sebagai gerbang timur bagi para pendatang dari luar Jakarta--ke Pulogebang yang lebih dekat ke jalan tol Lingkar Luar Jakarta (JORR) misalnya, atau semakin menyurutnya minat pengusaha membuka pabrik di kawasan industri Pulogadung (dan banyak yang berubah menjadi pergudangan), menjadi isyarat bahwa daerah ini ke depan akan menjadi pusat pertumbuhan. Jumlah penduduk miskin di Jakarta Timur meningkat tajam dari 55.491 pada tahun 2003 menjadi 102.957 pada tahun 2004. Secara ekonomis, daerah Jakarta Timur merupakan wilayah termiskin kedua di Jakarta setelah Jakarta Utara (JRS.IPDS.BPSDKI/2003). Daerah klender merupakan komunitas miskin kota di sepanjang rel kereta jurusan Jatinegara-Bekasi. II. Profil Konstituen Kelima informan dalam penelitian ini adalah ibu yang kehilangan anaknya dalam peristiwa 13-14 Mei 1998. Sampai saat ini, mereka terus berjuang untuk keadilan anak-anaknya. Berbagai lembaga negara yang diharapkan membantu penyelesaian kasus Mei 1998 telah didatangi ibu-ibu tersebut dalam rangka keadilan untuk anak-anak mereka yang sudah menjadi korban. Komnas HAM sudah menetapkan bahwa kasus Mei 1998 merupakan kasus pelanggaran HAM berat karena ada unsur meluas dan sistematis serta penyerangan terhadap masyarakat sipil. Namun sampai saat ini (tahun 2008), kasus mereka belum mampu masuk ke meja hijau dan masih tersimpan di Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Dalam perkembangannya, terbangun dua organisasi korban Mei 1998, yakni Paguyuban Korban Mei 1998 (Paguyuban) dan Forum Komunikasi Korban Mei 98 (FKKM), keduanya masih beraktivitas hingga kini. Kelima informan yang kami wawancarai, tiga orang di antaranya berasal dari FKKM dan dua orang lainnya dari Paguyuban. Seperti sebagian besar korban pelanggaran HAM di Indonesia, kelima informan ini berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah; usia mereka antara 49-60 tahun, dengan tingkat pendidikan tiga orang SD, satu orang SMP dan satu orang SMA. Namum begitu, pancaran semangat untuk mendapatkan keadilan bagi anak-anak mereka sangat kuat dan sangat terasa, ketika mereka menjawab tiap pertanyaan yang diberikan. Kepolosan, kesederhanaan dan juga rasa sakit karena kehilangan anak yang mereka cintai terekam jelas dalam setiap kata yang keluar sebagai jawaban. “Kami memang orang bodoh tapi kami tidak mau dibodohi terus menerus, para pemimpin kita hanya berjanji saja tapi tidak pernah ditepati”. Dalam hubungan dengan pemimpin perempuan, kelima ibu yang rajin mendatangi DPR RI untuk minta keadilan pada wakil-wakil rakyat di sana menyatakan ketidakpuasannya dengan respon yang diberikan oleh Komisi 3 DPR RI bidang Hukum dan HAM. Sebagai komunitas korban yang terus berjuang, ibu-ibu ini mengharapkan agar kasus Mei 1998 segera dituntaskan dan keadilan ditegakkan. Dan dengan semangat yang dimiliki, mereka menyadari sepenuhnya bahwa para pemimpin saat ini tidak bisa diharapkan, termasuk proses pemilu 2009 mendatang. Empat dari lima informan terlibat dalam proses pemilu 2004 lalu, satu informan tidak terlibat karena RW-nya tidak memfasilitasi warganya untuk ikut pemilu walaupun sudah terdaftar, karena alasan teknis. III. Kondisi Sebelum dan Pasca Reformasi 1998 1. Perbandingan ekonomi-politik “Kalau zamannya Suharto perbedaannya agak makmur dari segi ekonomi, tapi kita gak boleh ngomong salah nanti hilang, dan gak boleh kumpul-kumpul bisa hilang...”64 “Saya bukan orang munafik yah, zaman Soeharto itu ekonomi masih stabil, kalau orang gedean bilang uang dolar itu stabil. Waktu itu walaupun kata orang dia ini begini, begitu, banyak orang menghujat dia, saya sendiripun menghujat dia, tapi kalau di bidang ekonomi itu masih enakan pada zaman Soeharto. Memang saya ga memungkiri hati saya sendiri, saya juga pun menghujat karena kasus anak saya kan waktu zaman Soeharto. Tapi yang paling parah lagi sekarang, waktu zaman Habibi, Gus Dur, Megawati masih lumayan, gak parah kayak sekarang ini”. 65 “Kalau menurut saya dari segi ekonomi untuk sekarang ini emang susah, tapi uang alhamdulilah ada aja sedikit,. Kalau untuk zaman Soeharto saya tidak menikmati, tapi ada juga peninggalan juga dari zaman nya dia, rumah ini peninggalannya dari zamannya dia jadi dulu katanya barangsiapa yang rumahnya jelek akan di renovasi dan itu menggunakan uang pemerintah... Jadi kalau menghina Pak Harto jangan terlalu menghina, karena ini ada kenang-kenangannya nih tapi kan kita juga musuh sama dia, tapi memang zamannya Suharto sama sekarang ya mendingan dulu karna masih murah, habibi juga masih murah tapi kalau sekarang aga sulit sih tapi memang masih ada uang.”66 2. Persoalan sosial-ekonomi Berkaitan dengan posisi khusus kelima ibu informan asal Klender sebagai keluarga korban pelanggaran HAM, tiga dari lima ibu kehilangan anak pertamanya yang sangat disayangi. Dalam kondisi sosial ekonomi saat ini, anak mereka itu merupakan tulang punggung keluarga. Kehilangan anak pertama, berimbas pada tidak adanya sandaran bagi rumah tangga mereka, karena suami yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Kondisi ekonomi saat ini dirasakan sangat menyulitkan kehidupan mereka. Kenaikan harga BBM pada Mei 2008 lalu, makin memberatkan beban hidup mereka. Sembako yang ikut naik dengan naiknya harga BBM, ditambah mahalnya pendidikan bagi anak-anak mereka. “Masalahnya kan ekonomi kita ekonomi lemah ya, namanya kerja orang serabutan, itu yang pertama dan yang kedua anak-anak juga masih dibangku pendidikan. Biaya sekolah juga melambung, kebutuhan sehari-hari juga meningkat. Sedangkan kerja serabutan itu kan gak ada 64 Diungkapkan oleh Ibu Tini Diungkapkan oleh Ibu Sri 66 Diungkapakan oleh Ibu Parni 65 yang namanya naik gaji, ya gajinya segitu-gitu aja. Kalau ada nyuruh kerja, tapi kalau gak ya nganggur kan suami saya. Jadi kan lebih parah sekarang, suami saya setelah SBY jadi presiden, sebelum SBY masih lumayan gak begitu para.”67 Kemiskinan menciptakan sikap pragmatis warga dalam merespon pembagian uang dan sembako menjelang pemilu yang biasa dilakukan oleh parpol maupun calon legisatif. Sikap pragmatis ini bukan tanpa alasan, komentar seorang ibu, “ kami ini memang orang bodoh tapi sekali dua kali dibodohi bolehlah, tapi kalo dibodohi seumur hidup ya saya nggak mau”. Dia menjelaskan bahwa sekian kali pemilu dan memilih pemimpin, tetapi kondisi tidak berubah bahkan makin buruk. Para calon pemimpin ketika berkampanye janjinya bagus-bagus, tetapi kenyataannya berbeda. Pembodohan yang dilakukan calon pemimpin dalam perkembangannya menciptakan kecerdasan tersendiri pada masyarakat di Klender dalam merespon pemilu. “Pembagian sembako dari partai mana pun kami terima, tapi masalah pilihan kan tidak ada yang tahu pada saat kita mencoblos”, ungkap seorang ibu dengan berbinar. “Kapan lagi mereka mau kasih sembako gratis kepada kita”, imbuhnya penuh senyum kemenangan. “Karena zaman sekarang harus dibantu, ga dibantu aja masih susah, kalau bantuan jangan diambil karena sekarang ini aja masih ada yang makan nasi aking, itu masih ada di pinggir jalan orangnya gagu dan lakinya tukang puntung, dan yang begitu harus dipikirkan. Istilahnya Indonesia kalau diolah itu bisa kaya”.68 Kalau pemimpin peduli dengan rakyat, maka harga BBM harusnya tidak perlu dinaikkan. Belum lagi buat informan yang masih menyekolahkan anak-anak mereka. Dua dari lima informan mengeluhkan biaya pendidikan yang sangat mahal. Di satu sisi, mereka merasa pendidikan tinggi sangat penting buat anak-anaknya, akan tetapi jika dikaitkan dengan kemampuan ekonomi untuk membeayai pendidikan anak-anaknya, mereka tidak tahu harus berbuat apa. Untuk TK sampai SD relatif bisa diatasi, tetapi untuk SMP dan SMU, mereka sangat kesulitan. “Kita kan kalau pakai gakin susah ya; saya aja pernah di permainkan sama pihak rumah sakit dibilang gak ada kamarnya atau apa dan dikasih obat juga tidak, trus saya disuruh pulang katanya disuruh cipto, saya bingung saya suruh aja saudara saya ke loket tebus obat dan minum obat itu sembuh jadi gak usah di rawat juga gak apa-apa”.69 Istilah orang miskin dilarang sakit menjadi benar, ketika begitu banyak masyarakat menengah ke bawah yang tidak mampu berobat ke rumah sakit, karena mahalnya beaya pengobatan. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang diprogramkan pemerintah sering memposisikan si sakit tidak mendapat pelayanan yang seharusnya di rumah sakit yang dirujuk. Berdasarkan pengalaman yang mereka alami, semua mesti disiasati sehingga rakyat kecil dapat memperoleh layanan kesehatan gratis. IV. Perkenalan dengan Politisi Dua dari lima informan mengenal anggota perempuan DPR RI, yakni Tjiptaning dan Nursyahbani K, karena kedekatan mereka dengan keluarga korban Mei 1998. Suka atau tidak, pengalaman presiden perempuan di Indonesia melalui Megawati mengkondisikan informan untuk tidak alergi terhadap pemimpin perempuan. Ungkapan seorang informan tentang anggota DPR RI, “...di DPR 67 Diungkapkan oleh Ibu Rini Diungkapkan oleh Ibu Tini 69 Diungkapakan oleh Ibu Parni 68 belum pernah bertemu perempuan, yang ada hanya lelaki, yang berdasi yang kerjanya malas. Tukang ngopi, berkualitas tinggi, gaji besar. Biarin aja, udah gaji besar, kerjaannya kasus satupun gak ada yang selesai”, tandasnya marah. Mereka juga menyadari sering lupa kalau hanya bertemu sekali dua kali dengan wakil perempuan di DPR RI. Namun mereka menegaskan, bahwa seharusnya perempuan pemimpin lebih memikirkan perempuan yang banyak menderita. “Yang jarang ketemu kalau ke sana juga orangnya suka gantiganti orang siapa...? Yang dulu aja gak kenal, ke sana ganti lagi orangnya, pokoknya tahun 2005 namanya si A, tahun 2006 namanya si B, dan 2007 lain-lain gitu, jadi tahunya saya Bu Nursyahbani aja, kalau di Fraksi PDI dr Ning, kalau Fraksi Golkar siapa ya...?”70 Sementara itu, Ibu Parni mengaku tidak tahu, “...saya belum pernah denger sama sekali tuh kalau yang perempuan”. V. Komunikasi dan Partisipasi Politik Anggota legislatif belum pernah ada yang datang di kawasan Klender dan sekitarnya, sehingga mereka tidak bisa menjelaskan kira-kira apa yang akan dikatakan dan dilakukan ketika mereka datang. “Sering, kalau Bu Nursyahbani K itu kan sering datangin masyarakat, kalau Tjiptaning sering nongol ke korbanlah dan masyarakat, dan kalau yang lain gak pernah sih punya pendekatan ke Masyarakat”.71 “Sering dari tahun 1998 saya ke DPR, ke Fraksi Golkar, PDI, PKB, pokoknya ke Fraksi-fraksi deh, terus datang lagi ke komisi-komisi yang suka saya datang komisi III, itu juga jarang perempuannya, kemarin bu nursyahbani ga ada, adanya yang satu lagi dan perempuan itu pada jarang nongollah, dan saya pernah ke komisi 9 dan 10 tempat pendidikan jarang perempuannya laki melulu tapi namanya saya lupa, dan kalau kebanyakan lupa.”72 Untuk komunitas korban pelanggaran HAM komunikasi dengan para pemimpin di eksekutif maupun legislatif terjadi, bahkan cukup intens tetapi, “...mereka hanya mendengar dan menyatakan simpati dan turut berduka cita, itu saya juga bisa, cuma tidak ada usaha konkrit dan bagus buat korban supaya ada sumbang rasa, sumbang pikiran, semua hanya janji saja karena sampai sekarang kasus Mei 1998 belum memperoleh keadilan”, jelas seorang ibu. VI. Kekritisan terhadap Politisi “Apalagi perempuannya, cuma bilangnya ya, saya turut berduka cita, ya, itu saya juga bisa, Cuma gak ada usahanya yang konkrit yang bagus buat korban supaya bagaimana nih sumbang rasa, sumbang pikiran kalau lagi pada rapat orang nya. Kalau kita nih...keluarga lagi rapat apa yang belum selesai di bahas salah satu sumbang pikiran istilahnya keputusannya bagus ga bagus biar jelas, kalau di DPR bagaimana pada tidur ntar hantem-hanteman deh...jadi saya kalau mau ke DPR susah ngomongnya soalnya gak ada pada tegas dan ibu-ibunya apalagi di situ ga pernah nongol dan gak pernah ngebahas tentang perempuan, perempuan kaya apa dia gak ngerti...”73 Selanjutnya, informan lain mengatakan, “...tapi kalau yang saya lihat dalam kerjanya pimpinannya masih pada tidur, tidur dalam bekerja, ya ga malu dengan masyarakat, misalnya minyak tanah naik 70 Diungkapkan oleh Ibu Tini Diungkapkan oleh Ibu Tini 72 Diungkapkan oleh Ibu Tini 73 Diungkapkan oleh Ibu Tini 71 DPR bisanya apa coba dibahas bagaimana, kalau ibu-ibu kan maunya apa-apa murah dan duit gampang, dijamin kesehatan terutama hidup, kan begitu; juga pendidikan…kalau hidup dijamin semua ringan itukan perlu juga pemimpin perempuan di DPR tapi yang tegas, karena pemimpin sekarang ini kalau sudah di bangkunya, dia lupa segala-galanya dan ga ngebahas apa-apa pada tidur, dan ngebahasnya iya...iya dan di ganti yang baru begitu juga cuma cari muka aja pertamanya semuanya sama dengan perempuan”.74 “Udah gaji besar, kerjaannya kasus satupun gak ada yang selesai. Saya ibu korban Mei 1998 Ibu “Rini” kecewa sekali sama DPR...Sebenarnya yang namanya Dewan itu kan buat contoh kita orang yang bodoh dan sudah seharusnya pemimpin kita, dan berhubung yang namanya dewan juga begitu yah, saya bingung dengan pemimpin kita selama ini, saya merasa dari dulu saya gak pernah ada yang pimpin kok! Berdiri sendiri, gak ada yang mendukung, gak ada yang kasian sama saya. Masalah kasus saya berdiri sendiri, hanya di Bantu oleh Kontras dan IKOHI. Ya…dewan itu, apa sih namanya dewan!75 VII. Konsep Kepemimpinan 1. Kepemimpinan pada umumnya Bagi Ibu Parni, anggota DPR adalah pemimpin, “...ya pemimpinlah. Karena kan kita orang awam, orang bodoh. kalau jadi seorang pemimpin kan harusnya orang yang pinter nah itu cocok jadi pemimpin. Tapi kalau untuk orang seperti kita jangankan untuk menjadi pemimpin untuk menjadi ketua RT aja kita masih minder”.76 “Kalau pemimpin itu kan, kata orang pinter ya presiden. Kalau dalam rumah tangga pemimpin itu kan bapak sama ibu”.77 2. Kepemimpinan perempuan “Kalau perempuan sudah menjadi pemimpin paling tidak condong kepada kaumnya sendiri, di mana perempuan banyak yang tertindas dan dari segi ekonomi yang sekarang juga banyak yang menghimpit perempuan yang miskin nah ini lah saya ingin ada perubahan kepada pemimpin perempuan ini, ada gak jalan atau solusi kepada kami yang miskin bagaimana caranya, karna kan mereka butuh hidup makanya saya mengharapkan pemimpin perempuan itu lebih memikirkan hal yang kecil-kecil. kalau pemimpin perempuan bisa melihat dan merasakan penderitaan rakyat kecil maka akan timbul rasa kepercayaan bahwa si pemimpin tersebut benar-benar memperhatikan kita jadi tidak hanya basa basi.”78 “Kalau masalah kepala rumah tangga laki-laki saya tahu tapi yang saya maksud perempuan itu jangan disepelein laki- laki tuh dan dalam agama bisa dirobah ga tuh kan ada perempuan nunduk dan di tempelengin diam aja dan di suruh makan, kalau saya maunya dibagi rata, kalau saya sakit bagaimana laki-laki juga harus membantu perempuan juga dong, kalau saya sih maunya barengbareng itu kan menurut pikiran saya, Bu....?.”79 74 Diungkapkan oleh Ibu Tini Diungkapkan oleh Ibu Rini 76 Diungkapkan oleh Ibu Parni 77 Diungkapkan oleh Ibu Rini 78 Diungkapkan oleh Ibu Rahmah 79 Diungkapkan oleh Ibu Tini 75 “Kalau bedanya pasti ada aja, kalau perempuan kan pasti bisa aja ngayominnya bagian prempuan, tapi kalau untuk laki-laki kurang aja ya. Karena kan kalau perempuan sama perempuan enak aja lebih ngerti kayaknya.”80 “Saya enakan RTnya perempuan, soalnya dia kalau bagi apa-apa pasti rata bener.”81 “Kalau perempuan itu kan kebanyakan gak tega, tapi kalau laki-laki kebanyakan gak begitu, dikeluarga juga kan yang biasanya kejam itu bapak. Kebanyakan perempuan kan gak bisa di hasut kesana kesini, kebanyakan jujur, karena dia merasa menjadi seorang ibu. Di Rumahtangga yang keras pasti laki-laki, tapi jagan dikira permpuan itu gak bisa jadi pemimpin, perempuan juga bisa maju tapi gak kayak laki-laki, perempuan biarpun jadi pemimpin dia tidak melupakan kodratnya menjadi seorang ibu. Jauh perbandingan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan itu mudah mengampuni kesalahan orang lain.”82 VIII. Nilai yang Dipegang Pendapat ibu-ibu ketika bicara tentang seorang pemimpin, maka mereka memberikan syarat umum seorang pemimpin seperti bertanggung jawab, peduli dengan rakyat, adil, jujur, tegas, berani, dan bermoral. Lepas dari segala kekecewaan mereka berhadapan dengan pemimpin yang berkebalikan dari yang mereka harapkan dan juga kesedihan akan ketidakpedulian para pemimpin terhadap kasus Mei 1998, maka kelima informan tetap mempunyai harapan akan hadirnya pemimpin yang dapat melakukan perbaikan bagi masyarakat korban dan masyarakat indonesia lainnya. ”Yah, sebenernya kalo anggota DPR itu bisa mengerjakan semua tugasnya terhadap korban, itu bisa juga disebut pemimpin”, tegas seorang ibu. Hal penting yang disuarakan kelima ibu di Klender tersebut bahwa pemimpin adalah contoh bagi masyarakat, sehingga menjadi pemimpin bukan hal mudah. “Pemimpin yang harus kita hormatin adalah tingkah laku dia, bukan kedudukan, soal kedudukan saya sih nomor dua, dan bisa bawa diri baik-baik.”83 “Moralitas, perempuan jadi pemimpin ya mudah-mudahan dia bisa…yang namanya perempuan kan hatinya lentur kayak seorang ibu, ya mudah-mudahan dia bisa jadi seorang ibu, karena dia membayangkan di rumah tanganya sendiri. Mengurus anak, suami…bisa…ya bisa dong seorang perempuan jadi pemimpin kenapa nggak! Emang hanya lelaki doang yang bisa maju, perempuan juga bisa maju dong.”84 Dan yang pasti pemimpin harus peduli dan siap berkorban demi kesejahteraan rakyatnya. ”Saya bingung dengan pemimpin kita selama ini. Saya merasa dari dulu saya gak pernah ada yang mimpin kok, berdiri sendiri, gak ada yang mendukung, gak ada yang kasian sama saya”, ungkap kecewa seorang ibu. “Gak boleh...kalau pemimpin itu panutan masyarakat, kalau dia merebut suami orang bagaimana dengan masyarakatnya, nantinya jadi menyebar aturan ga ikut-ikut jadi ikut-ikut, dan kalau panutan harus jadi contoh, kalau punya problem itu sebisa-bisanya dia harus ditutupin kalau bisa jangan.”85 80 Diungkapkan oleh Ibu Parni Idem 82 Diungkapkan oelh Ibu Rini 83 Diungkapkan oleh Ibu Tini 84 Diungkapkan oleh Ibu Rini 85 Diungkapkan oleh Ibu Tini 81 “Ya penting jadi putri Indonesia aja, harus berwawasan luas, harus bisa bahasa asing, berorganisasi, harus bisa meninjau ke kampung-kampung….apalagi jadi pemimpin, atau anggota dewan, gitu!”86 Menurut Ibu Parni, pelanggar HAM itu tidak bisa jadi pemimpin. “...karena kan dia tidak bisa ya, karna sudah melanggar ham jadi saya tidak setuju.” IX. Peran Pendidikan Seorang ibu dengan tegas menyatakan bahwa sekolah tidak perlu tinggi-tinggi karena terlalu tinggi justru buat membodohi rakyatnya. Yang penting, dia berpihak pada rakyat. Pendidikan formal dianggap sebagai syarat yang harus dimiliki seorang pemimpin. Ketika ditanya, apakah semua orang dapat menjadi seorang pemimpin? Seorang ibu menyatakan, bahwa dia tidak mungkin menjadi pemimpin karena pendidikannya sangat rendah. “Saya bisa baca tapi nulis nggak lancar, karena cuman kelas 3 SD, Mbak”, alasannya. Ibu yang lain akan berusaha menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, karena menurut dia, pendidikan minimal bagi seorang pemimpin adalah perguruan tinggi. Namun demikian, semua ibu sepakat bahwa keberpihakan dan kepedulian kepada masyarakat lebih penting bagi seorang pemimpin. “Bagaimana orangnya aja kalau titelnya tinggi dan cuma ditunjuk-tunjuk kerjanya ga bisa, sama aja bohong.”87 Bagi Ibu Parni, pemimpin itu harus punya titel sarjana, “...ya, haruslah karna kalau tidak mana bisa dipercaya kan?” “Kalau saya yang orang bodoh menjadi pemimpin itu gak mudah, harus ada pendidikan paling sedikit kuliah. Apalagi bagi keluarga yang mampu, kan bisa ke luar negeri. Nah dia kan sudah dapat pendidikan yang berkualias jadi di bisa jadi anggota dewan, presiden, komnas perempuan, komnas Ham, dan kejakasaan, tapi kenapa setelah berhasil jadi orang besar, gak jadi orang yang baik…ya, gak masuk akal kalau orang jadi pemimpin itu gak sekolah. Itu namanya membabi buta, masa ada orang jadi pemimpin gak bermodal ilmu..?”88 X. Fungsi dan Tugas Politisi Kelima ibu kurang memahami secara rinci tugas dan fungsi para wakilnya di DPR RI/DPRD/DPD. Secara umum, mereka melihat bahwa tugas seorang wakil rakyat yakni memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Dan, yang real di mata lima ibu tersebut ialah ketidakpedulian wakil rakyat terhadap kasus Mei 1998 yang sampai kini belum ada kejelasan tentang siapa pelaku yang harus bertanggungjawab terhadap kematian anak-anak mereka. “Perwakilan rakyat kan, apa yang diwakili, saya merasa gak pernah diwakili, karena saya gak dipeduliin.” Kepedulian pemimpin kurang dirasakan oleh rakyat kecil, sehingga merasa asing dengan DPR. “Saya kalo ke DPR mereka pada tidur dan hantem-henteman deh…, jadi kalau saya ke DPR susah ngomongnya soalnya gak pada tegas dan ibu-ibunya apalagi gak pernah nongol dan gak pernah ngebahas tentang perempuan, perempuan kayak apa dia nggak ngerti”, jelas seorang ibu. Semua ibu mempunyai harapan yang sangat besar agar DPR bisa membantu menuntaskan kasus pelanggaran Mei 1998 dan kasus HAM yang lainnya. Fungsi dan tugas DPR sebagai wakil rakyat kurang tersosialisasi di masyarakat, sehingga masyarakat hanya melihat bahwa fungsi DPR adalah wakil rakyat yang harus memperjuangkan 86 Diungkapkan oleh Ibu RIni Diungkapkan oleh Ibu Tini 88 Diungkapkan oleh Ibu Rini 87 rakyatnya, dan itu sangat luas maknanya. Kelima informan masih sulit membedakan fungsi DPR dengan fungsi lembaga tinggi lainnya. XI. Tanggung Jawab Politisi Tanggung jawab yang dimaknai oleh masyarakat umum adalah bertanggung jawab terhadap tugas-tugasnya. Artinya, semua orang sudah mengetahui tugas seorang anggota DPR. Karena banyak orang yang tidak tahu tugas-tugas DPR, maka ada penyempitan makna tanggung jawab dalam hal ini. Kelima ibu memaknai tanggung jawab lebih pada janji-janji yang pernah dilontarkan pada saat proses pemilu, pilkada atau dengar pendapat dengan DPR. Seorang pemimpin tidak bertanggung jawab ketika tidak melakukan apa yang sudah dijanjikan atau bahkan dilontarkan pada masyarakat. Dalam konteks Klender, kelima ibu sering melakukan dengar pendapat dengan komisi 3 DPR RI bidang Hukum dan HAM, dan respon mereka adalah “…bagi dia (anggota DPR) kan hanya didengerin dan nggak direspon…..bilangnya cuman saya turut berduka cita ya….itu saya juga bisa, cuman nggak ada nggak ada usahanya yang konkrit yang bagus buat korban”, jelas seorang ibu kesal. “Karena DPR itu (banyak) perempuan, harusnya bisa memperhatikan kaum perempuan; warga korban kan kebanyakan perempuan, dia harus memperhatikan dan punya perasaan sedikit dong…sebagai seorang perempuan, saya juga kan perempuan punya anak kena musibah kayak gitu perasaan saya gimana gitu, jadi harus memperhatiin, harus punya perasaan, korban Mei 1998 itu kan bukan karena kesalahan masyarakat...karena ada pelakunya, jadi ada provokatornya, yah harusnya diselesain kasusnya yah maunya dia harus teliti kasus ini kan udah berapa lama 10 tahun loh, gak ada pertanggungjawaban dari pemerintah. Jangan kan Presiden, Komnas HAM, DPR, dan Kejaksaaan Agung itu sebenarnya juga harus tanggung jawab, diselidiki sampai tuntas kasusnya. Kasus Mei 1998 itu kasus yang paling menyedihkan buat keluarga korban.”89 XII. Harapan Konstituen Harapan warga terhadap anggota Legislatif adalah penyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, memprioritaskan pembenahan ekonomi rakyat, sembako dan BBM kembali normal dan rakyat sejahtera. Saat ini, harga-harga barang sudah melampau batas kesanggupan rakyat. Harapan ini terutama ditujukan kepada pemimpin yang baru. Rakyat tidak butuh janji-janji, rakyat butuh tindakan yang nyata seorang pemimpin. “Pemimpin perempuan harus bisa menerima aspirasi masyarakat, rakyatnya kepengennya apa? Tentang hukum supaya gampang bagaimana? Supaya masyarakat ngerti deh...tentang pendidikan bagaimana, soalnya perempuannya ga pernah ditanyain apa-apa nih, kalau kita ini kan punya masalah sama keluarga.”90 “Saya pengen pegawai (DPR) perempuan itu membela bener-benerlah…bisa ngurusin masyarakat yang kena musibah…harus bisa diselesaikan harus bisa dipikirkan….yah gimanalah cara untuk menyelidiki kebenarannya gimana, keluarga korban udah 10 tahun jalan maunya gimana…biar ketemu Pelakunya gimana…”91 “Kita sih pengennya kita punya kasus tuntas.”92 “Untuk pemimpin yang akan memimpin nanti harap jadikan pelajaran apa yang sudah terjadi sekarang jangan sampe halhal kemarin terulang kembali.”93 89 Diunkgakpkan oleh Ibu Sri Diungkapkan oleh Ibu Tini 91 Diungkapkan oleh Ibu Rembyak 90 A.4. MAMPANG, JAKARTA SELATAN I. Konteks Geopolitik Kota Jakarta Selatan berbatasan dengan Kota Depok di bagian Selatan, terletak paling tinggi dengan rata-rata ketinggian 26,2 meter di atas permukaan laut. Total luas wilayah Jakarta Selatan 141.27 km2. Dengan jumlah penduduk 2.100.930 pada tahun 2007, maka dapat dilihat tingkat kepadatan penduduk yang mencapai 14.872 jiwa/km 2 (terpadat ketiga setelah Jakarta Pusat dan Jakarta Barat). Komposisi penduduk antara jumlah perempuan dan laki-laki tidak terlalu besar selisihnya, yakni lebih banyak laki-laki 15.210 jiwa (1.058.070 laki-laki dan 1.042.860 perempuan). Pertumbuhan penduduk antara tahun 2000 hingga 2007 mencapai 2,36% per tahun (tertinggi di seluruh DKI Jakarta). Secara administratif, Jakarta Selatan terdiri dari 10 kecamatan yang terbagi dalam 65 kelurahan dan tersebar dalam 569 RW dan 6.026 RT. Jakarta Selatan masih menjadi magnet bagi kelas menengah atas Jakarta untuk bertempat tinggal dan berbisnis. Jumlah penduduk miskin paling sedikit, data tahun 2004 menyebutkan 6.053 rumah tangga miskin atau 25.504 jiwa. Kelurahan Mampang Prapatan terletak di antara jalan tol Gatot Subroto, Jalan Kapten Pierre Tendean dan sedikit dibelah Jalan Raya Mampang Prapatan. Kelurahan ini mencakup daerah yang sering disebut Tegal Parang tetapi sebetulnya masih tergabung dalam kelurahan Mampang Prapatan. Penduduk Mampang Prapatan berasal dari latar belakang kelas menengah karena semua responden selain memiliki rumah sendiri juga memiliki kamar atau rumah kontrakan yang banyak disewa oleh para pekerja yang bekerja di seputar Mampang. Banyak pula rumah yang dijadikan kantor yang bergerak di sektor jasa, bahkan beberapa lembaga organisasi nonpemerintah level nasional seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan INFID berada di seputar Mampang ini. Para pekerja yang bekerja di gedung-gedung perkantoran di sekitar Gatot Subroto, Tendean dan Mampang banyak yang tinggal di kos-kosan atau rumah-rumah kontrakan. Masyarakat Mampang cukup kuat religiusitasnya. Masjid dan mushola bertebaran di perkampungan dalam jarak yang cukup berdekatan, dengan menara-menara dan kubah yang dapat disaksikan dari atas jembatan penyeberangan jalan tol Gatot Subroto. Aktivitas keagamaan berlangsung semarak di mesjid-mesjid, di kalangan ibu-ibu dengan pengajian majelis taklim, dari waktu subuh hingga selepas isya, bahkan pada hari Minggu sering diadakan pemberian sumbangan oleh para dermawan kepada masyarakat kurang mampu yang disalurkan melalui pengurus mesjid. Di Mampang juga terdapat sekolah Islam yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat, dan hampir semua warga Mampang dulunya menyekolahkan anak-anaknya di sana. Para orang tua merasa bahwa sekolah Islam di bawah naungan Yayasan Al-Khairiyah ini cukup memberikan porsi yang seimbang antara pendidikan umum dengan pendidikan agama. Selama Orde Baru, kawasan Mampang Prapatan menjadi basis kuat PPP. Pada 21 Mei 1997, masa ketika gejolak keresahan sosial dan atmosfir melawan kediktatoran Orde Baru pascakerusuhan 27 Juli 1996 menemukan momentumnya dengan ajang kampanye Pemilu 1997, massa pendukung PPP yang mendapat energi baru dengan luasnya propaganda “Mega-Bintang-Rakyat”-koalisi antara kalangan pro-demokrasi, PDI pro-Mega, dan PPP--merusak atribut-atribut Golkar, dan berniat bergabung dengan konvoi massa yang memenuhi jalan-jalan ibukota hari itu, terutama di 92 93 Diungkapakan oleh Ibu Ponirah Diungkapkan oleh Ibu Sri seputaran Jalan Otto Iskandardinata, Dewi Sartika, Pasar Minggu, Duren Tiga, Pondok Pinang dan Tanah Abang. Tersebar kabar bahwa tiga anggota PPP dipukuli aparat di kawasan Pancoran dan ditahan di kantor polisi. Massa yang marah mengepung kantor polisi dan membakar ban-ban bekas, hingga akhirnya dibubarkan aparat dengan gas air mata dan tembakan peluru karet. Massa berlarian hingga ke Warung Buncit. Di Mampang sendiri, pasukan anti huru-hara berhasil mendesak massa hingga ke depan kantor harian Republika. Pasca-reformasi, dukungan kepada partai-partai lebih bervariasi, tetapi masih dalam spektrum Islam. Pada Pemilu 2004, seiring peningkatan drastis dukungan kepada PKS di DKI Jakarta--di mana PKS berhasil meraih posisi pertama di ibukota RI ini, disusul Partai Demokrat--kawasan Mampang maupun Jakarta Selatan pada umumnya dikuasai oleh PKS. Jika pada pemilu tahun 1999, PKS Jakarta Selatan hanya bisa meraih 55.692 suara, lima tahun kemudian suara yang diperoleh meningkat menjadi 274.837 suara, atau 493%--nomor dua dalam hal persentase kenaikan setelah Jakarta Barat (513%), dan di atas Jakarta Timur (433%), Jakarta Pusat (372%) dan Jakarta Utara (372%). Untuk keseluruhan DKI Jakarta, suara tertinggi PKS diraih di kecamatan Mampang Prapatan dengan kisaran 33%, meskipun Jakarta Timur PKS menempati nomor satu dengan perolehan 30,9% suara. Hampir secara kebetulan, kantor DPP PKS sendiri terletak di Jalan Raya Mampang Prapatan. Kelompok-kelompok Islam lain juga berusaha membangun basis di kawasan Mampang melalui penguasaan terhadap aktivitas di mesjid-mesjid, khususnya kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang posisi politiknya sering berseberangan dengan PKS. II. Profil Konstituen Informan di Mampang kebanyakan adalah lapisan menengah bawah perkotaan, dengan ikatan sosial keagamaan yang cukup kuat. Selain menjadi ibu rumah tangga, mereka juga mengajar di lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD), yakni ibu Zainah dan Amaliyah atau di taman pendidikan Al-Qur’an (TPA) seperti Ibu Urzilah, hanya Katisah yang bekerja di instansi swasta. Mereka juga aktif di pengajian dan majelis taklim, serta arisan RT/RW dan PKK. Mereka adalah Ibu Zainah, Amaliyah, Urzilah, Katisah dan Kurniawati. Termuda berusia 26 tahun, paling tua 53 tahun. Suami mereka bekerja sebagai guru, wiraswasta dan pensiunan yang kemudian berwirausaha. Jumlah anak mereka masing-masing berkisar 1-4 orang, dan satu orang yakni ibu Katisah belum menikah. Dengan latar belakang pendidikan yang cukup tinggi hingga tingkat sarjana, dan pendapatan suami yang relatif mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, para ibu ini mempunyai tingkat kesadaran yang cukup tinggi dalam melihat persoalan sosial ekonomi yang ada. Dalam proses wawancara, mereka bisa mengungkapkan dengan panjang lebar pandangan mereka tentang kesulitan hidup yang dirasakan oleh masyarakat pada umumnya dan konsepsi serta harapan mereka kepada para pemimpin perempuan. III. Kondisi Sebelum dan Pasca Reformasi 1998 1. Perbandingan sosial-politik Keberhasilan rejim Orde Baru mengendalikan stabilitas ekonomi dan kontrol sosial yang ketat secara top-down dinilai sebagai kelebihan era sebelum reformasi. “Harga sembako nggak pernah naik-naik seperti saat ini”94, tutur salah seorang ibu. “Sama rakyat dia (Suharto - penulis) care, tahu yang rakyatnya mau, bisa mengayomi rakyat, tidak seperti sekarang ini”95, kata ibu yang lain. 94 95 Diungkapkan oleh Ibu Zainah. Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah. Sedangkan era setelah reformasi ”sosial ekonomi sekarang makin buruk”96, karena “semuanya serba mahal dan sulit didapat”97, padahal “harapannya reformasi lebih baik, malah makin buruk, reformasi nggak ada hasilnya”98. Mengenai otoriterisme Suharto, seorang ibu menilai bahwa, “...kewibawaan pemimpin ada, dihormati bawahannya, nggak ada yang berani melawan pemimpin, sekarang terlalu berani seperti nggak ada jarak antara pemimpin dengan bawahannya”99. Ibu yang lain menilai sebaliknya, pasca Suharto “kebebasan berpendapat lebih baik sekarang, tiap hari orang demo bebas menyampaikan pendapat di muka umum”100. Tetapi dalam hal kepemimpinan perempuan, seorang ibu mengakui bahwa era reformasi memberikan tempat bagi perempuan seperti Megawati untuk menjadi seorang presiden. “Benerbener terlihatlah bahwa perempuan itu ingin maju, tidak ingin ditindas, aku bisa untuk perempuan”101, demikian pendapatnya. 2. Persoalan sosial-ekonomi Sebagai ibu rumah tangga dan sering berkumpul bersama ibu-ibu RT/RW dalam pengajian majelis taklim, para ibu yang menjadi informan paling merasakan dampak kenaikan harga BBM dan naiknya harga-harga kebutuhan pokok, serta biaya pendidikan anak-anak yang makin mahal. “Dalam setahun bisa dua tiga kali naik, sementara pendapatan segitu aja, besar pasak dari pada tiang,”102 komentar seorang ibu. “Minyak tanah dan bahan makanan seperti telur dan ayam itu naiknaik terus, dulu Rp.8.000,- dapat sekilo sekarang cuman dapat setengah kilo, naik dua kali lipat,”103 kata ibu yang lain. “Minyak tanah sudah langka dan harganya mahal, sampai 11 ribu,”104 ibu yang lain menambahkan. Ibu yang mempunyai toko kelontongan sendiri mengaku “saya kaget, harga di pasar naik terus lha terus mau dijualnya berapa, yang beli selalu bilang kok harganya naik terus, yah saya bilang dipasar juga naik terus”105. Kenaikan harga BBM dipandang sebagai sumber persoalan, karena semua gerak perekonomian membutuhkan BBM, bahkan dirasakan di persoalan pendidikan--meskipun pemerintah berulangulang mengatakan bahwa pendidikan digratiskan—namun kenyataannya banyak beaya di luar SPP yang harus dibayar anak-anak sekolah, seperti buku-buku pelajaran, privat dan kegiatan ekstra kurikuler. Di sektor kesehatan, meskipun diakui fasilitasnya cukup baik, namun masalahnya akses masyarakat ke sana tidak merata. Ada puskesmas yang relatif murah, tetapi dirasakan pengurusannya berbelit-belit, lebih mudah di dokter umum. Seorang ibu menambahkan persoalan mahalnya lahan pemakaman di Mampang yang mencapai Rp 1.500.000 bahkan untuk urusan orang meninggal pun serba mahal. 96 Diungkapkan oleh Ibu Urzilah. Diungkapkan oleh Ibu Kurniawati. 98 Diungkapkan oleh Ibu Katisah. 99 Diungkapkan oleh Ibu Zainah. 100 Diungkapkan oleh Ibu Katisah. 101 Diungkapkan oleh Ibu Zainah. 102 Diungkapkan oleh Ibu Zainah. 103 Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah. 104 Diungkapkan oleh Ibu Katisah. 105 Diungkapkan oleh Ibu Kurniawati. 97 Mereka juga mengeluhkan seringnya terjadi kelangkaan barang-barang yang sangat dibutuhkan di rumah tangga seperti gas, dan terutama minyak tanah. Rencana pemerintah untuk menghapuskan sama sekali subsidi semua jenis bahan bakar, khususnya pengalihan minyak tanah ke gas elpiji, membuat persoalan energi terus-menerus menghantui para ibu-ibu rumah tangga hingga beberapa tahun ke depan. Jika sebelumnya warga menggunakan minyak tanah, kini dipaksa untuk berganti ke elpiji, sementara harga elpiji masih terus bergerak naik mengikuti skema pengurangan subsidi menuju harga pasar. Hal ini membuat para pedagang bingung, seperti diungkapkan seorang ibu pemilik toko: “Saya memang tidak jualan gas, tapi sering juga orang tanya jual gas nggak bu, karena udah cari dibeberapa tempat disini sering habis dan tidak ada stok.”106 Dan di tengah ketidakpastian terhadap laju kenaikan harga, aksi borong maupun penimbunan oleh distributor untuk meraup keuntungan selisih harga, menimbulkan kelangkaan yang menyengsarakan para ibu rumah tangga. Keresahan ini sangat mungkin menimbulkan tekanan psikologis, dan dengan pandangan religiusnya seorang informan, mengungkapkan kepasrahannya kepada Tuhan, “Yah gimana yah kalau ibu, misal kalau yang lain ribut soal kenaikan harga, kalau ibu mikir zamannya memang sudah begitu yah kita ikutin saja, karena kalau nggak begitu kita bisa stress, kita lihat banyak yang stress, bunuh diri, ngeri itu. Makanya kalau saya menganjurkan ke ibu-ibu di pengajian jangan terlalau dibingungin ini naik itu naik, memang di dunia ini ada yang mimpin tapi di dunia inikan ada Allah yang mimpin jadi kita berserah diri pada Allah. Kita lihat sudah banyak yang demo, tapi didengarkan nggak sama yang mimpin, nggak kan... Kita yakin saja bahwa mereka yang di atas itupun akan berakhir juga, yang penting kita hidup mulia saja di masyarakat.”107 Pandangan ini mencerminkan apatisme politik yang kuat, mengingat kegagalan aktor-aktor sosial yang sering menyuarakan protes-protes rakyat, misalnya melalui aksi-aksi demonstrasi tetapi tidak kunjung menghasilkan perubahan yang signifikan, seperti tidak didengarkan oleh para pemimpin. IV. Perkenalan dengan Politisi Kebanyakan ibu yang menjadi informan dapat menyebutkan sejumlah nama politisi perempuan seperti mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Khofifah Indar Parawangsa, Menteri Kesehatan Siti Fadhilah Supari, aktris/selebritis yang duduk di DPR seperti Marissa Haque dan Angelina Sondakh, atau tokoh agama perempuan seperti Hj Tuty Alawiyah. Nama-nama politisi perempuan itu sering muncul di televisi, seperti Menkes Siti Fadhilah Supari dalam kasus flu burung, tetapi pengetahuan mereka sebatas apa yang diberitakan media massa. Kebanyakan di antara tokoh itu tidak pernah turun ke basis, atau hanya tertarik pada aspek tertentu seperti pelestarian seni batik yang dilakukan oleh Angelina Sondakh. “Yang paling sering terjun ke masyarakat ya ibu Khofifah,” tutur salah seorang ibu, “ia sering mengadakan pengajian dan memberikan bantuan di Pengadegan (Jakarta Selatan), memang saya lihat langsung soalnya kakak saya tinggal di sana.”108 Tapi, ibu yang lain menimpali, “sekarang ibu Khofifah pulang ke Jawa Timur untuk mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur”109, sehingga aktivitasnya di Jakarta semakin berkurang. Bahkan pada musim pemilu pun, hampir tidak ada calon-calon anggota legislatif yang datang dalam kampanye di Mampang. “Orang datang ke TPS memilih karena pemilih konvensional, ikut keluarga 106 Diungkapkan oleh Ibu Kurniawati. Diungkapkan oleh Ibu Urzilah. 108 Diungkapkan oleh Ibu Zainah. 109 Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah dan Ibu Urzilah. 107 yang milih PPP jadi ikut,”110 kata ibu yang menjadi pegawai swasta. Mampang adalah basis tradisional partai-partai Islam, dulu PPP, sekarang PKS. V. Komunikasi dan Partisipasi Politik Seperti halnya pengenalan para ibu terhadap para politisi, pemahaman mereka tentang komunikasi para politisi dengan konstituennya hanya sebatas apa yang mereka saksikan lewat media massa khususnya televisi. Seperti penuturan salah seorang ibu, “Yang saya lihat lumayan sosialisasinya itu Menteri Kesehatan (Siti Fadhilah Supari), misal untuk kasus ‘manusia akar’ dan kasus suami yang minta disuntik mati saja istrinya, dia terjun langsung.”111 Kedua kasus itu pernah menjadi sorotan media massa dan menyedot perhatian masyarakat. Sedang ibu lainnya, mengaku pernah mengikuti seminar yang menghadirkan Siti Fadhilah dan juga Khofifah, dan memandang mereka “sosoknya tegas, tapi kalau skala besar saya kurang yakin”112. Tidak adanya hubungan yang erat antara pemimpin dan basis konstituen, dan ketiadaan wadah penggerak partisipasi warga--khususnya setelah runtuhnya Orde Baru dengan kontrol yang mengakar hingga ke tingkat ibu-ibu rumah tangga melalui PKK atau Dharma Wanita--membuat para ibu ini hanya mengandalkan struktur-struktur lokal yang ada khususnya majelis taklim sebagai sarana berkumpul. Ibu Urzilah aktif di organisasi Muslimat NU setempat, tetapi mengaku tidak bisa terlalu aktif karena masih harus mengurus urusan rumah tangga, menyisakan kelelahan dan ongkos yang harus dikeluarkan untuk aktif dalam organisasi. VI. Kekritisan terhadap Politisi Sebatas mengenal politisi dari media massa, dan aktivitas sosial kemasyarakatan yang terbatas tanpa upaya para pemimpin untuk mengorganisasikan partisipasi masyarakat, membuat para ibu ini bersikap skeptis terhadap para politisi. Bahkan sosok yang sebelumnya dipercaya, seperti pilihan seorang ibu, “kebetulan ada yang laki seperti Saifudin Amsi jadi saya pilih dia kemarin (sebagai anggota DPD), soalnya saya tahu karena sering ngisi pengajian”113, kini lebih disibukkan dengan aktivitas di dewan alih-alih berhubungan dengan konstituen. Gambaran umum seperti para pejabat yang “korupsi di mana-mana, hanya memikirkan diri sendiri nggak mikirin rakyat kecil, bagaimana dia menumpuk kekayaan nggak ngelihat ke bawahnya ketika dia minta dipilih sama rakyat,”114 atau seperti cerita ibu yang lain, “dulu pas zaman Bu Mega, saya punya anggota pengajian banyak ibu pedagang, kalau bu Mega lewat semua harus bersih, gerobak langsung digusur”115, begitu melekat dalam benak para ibu, bagian dari massa apatis di kalangan kelas menengah perkotaan. Religiusitas yang melingkupi masyarakat setempat kembali menjadi saluran apatisme politik, dengan meyakini bahwa para pemimpin yang telah menzalimi rakyat tidak akan mendapat restu dari Tuhan, bahwa mereka hanya bisa berpasrah diri dan mengembalikan semuanya kepada kehendak Tuhan. Pesan-pesan moral semacam ini sering menjadi isi propaganda partai-partai dan organisasi-organisasi Islam dalam mengumpulkan massa pendukungnya, melalui pengajianpengajian dan tablig akbar, dan mengarahkan mereka untuk memberikan dukungan saat pemilu, meyakini bahwa para pemimpin umat itu berjuang di jalan Tuhan, tanpa mereka mengerti 110 Diungkapkan oleh Ibu Katisah. Diungkapkan oleh Ibu Zainah. 112 Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah. 113 Diungkapkan oleh Ibu Zainah. 114 Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah. 115 Diungkapkan oleh Ibu Urzilah. 111 konteksnya bahwa para elit agamawan itu pun tak lebih hanya memberi legitimasi spiritual kepada penguasa dan sistem ekonomi yang menyengsarakan rakyat. VII. Konsep Kepemimpinan 1. Kepemimpinan pada umumnya Bertanggung jawab kepada rakyat, menjadi konsep yang dibayangkan para ibu tentang arti kepemimpinan. Menurut salah seorang ibu, para pemimpin haruslah “mempunyai dedikasi yang tinggi, berwibawa, dan rajin melakukan sosialisasi kepada rakyat, tidak hanya mengumbar-umbar janji belaka, tidak meninggalkan rakyat setelah terpilih menjadi pemimpin”116. Pembelaan kepada rakyat merupakan bentuk tanggung jawab seorang pemimpin, begitu pendapat ibu yang lain, bahwa “pemimpin harusnya bisa mengayomi rakyatnya, bisa membela rakyat jika bermasalah, bisa menghibur rakyat jika sedang susah jadi nggak hanya bisa nunjuk-nunjuk aja, harus ada komunikasi dua arah, jadi pemimpin itu bisa menjadi seperti teman, sahabat, orang tua. Rakyat kan sedang susah tapi nggak ada yang ngasih solusi, tapi kan saat ini tidak seperti itu, rakyat dibiarkan nyari sendiri solusinya.”117 Keteladanan juga merupakan bagian dari konsepsi kepemimpinan, seperti penuturan ibu lainnya lagi, bahwa pemimpin harus ”bisa menjadi contoh dan jadi suri teladan”118. Konsep-konsep yang bernada moralis ini sesuai dengan cara pandang religiusitas keislaman. Konsep kepemimpinan dalam Islam sangat kental dengan jargon-jargon keteladanan, diturunkan dari konsep imamat atau khilafah, sebagai penerus kepemimpinan kenabian. Tapi bagaimana konsep moral itu dilaksanakan dalam praktik sosial dan politik sering dihadapkan pada kesenjangan, ketika pemimpin-pemimpin Islam yang ada saat ini--tercermin dari partai-partai Islam di kabinet SBY-JK dan parlemen--justru memilih berkolaborasi dalam melahirkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Sedangkan ibu yang pegawai swasta melihat kepemimpinan dari aspek kemasyarakatan, “Pemimpin nggak cuma di politik tapi bagi saya semua orang itu pemimpin, juga di rumah, meskipun ibu rumah tangga juga memimpin keluarga, mengatur keluarga berjalan dengan baik, itu fungsi manajerial juga. Berikutnya setelah memimpin keluarga, baru di komunitas, kayak ada RT perempuan, justru yang perempuan lebih aktif daripada laki-laki, seperti kesehatan, PKK. Pemimpin itu orang yang memimpin kita, jadi tauladan dan contoh yang baik dan mengerti permasalahan yang dihadapi anggota atau rakyatnya.”119 2. Kepemimpinan perempuan Pada umumnya mereka meyakini baik perempuan maupun laki-laki bisa menjadi seorang pemimpin asalkan memenuhi kualitas yang dibutuhkan, dan perempuan tidak kalah dengan laki-laki dalam hal kepemimpinan. Referensi dalam sejarah Islam menunjukkan banyak perempuan yang tampil ke depan, seperti dicontohkan seorang ibu, “pemimpin perang juga ada perempuan seperti Siti Aisyah (isteri Nabi Muhammad)”120. 116 Diungkapkan oleh Ibu Zainah. Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah. 118 Diungkapkan oleh Ibu Urzilah. 119 Diungkapkan oleh Ibu Katisah. 120 Diungkapkan oleh Ibu Urzilah. 117 Tetapi peran ganda perempuan dalam struktur sosial patriarkhal masih menjadi titik tolak konsep para ibu tentang kepemimpinan perempuan. Meskipun “sekarang emansipasi”121, kata ibu yang lain, telah membebaskan perempuan untuk bisa maju menjadi “pemimpin di masyarakat, tapi tidak bisa melupakan kodrat di rumah sebagai pemimpin kedua”122, sebagai ibu rumah tangga. Perempuan dianggap harus mengutamakan rumah tangga terlebih dulu sebelum berkiprah di luar rumah. Karena itu, untuk menjadi seorang pemimpin dalam lingkup yang lebih luas harus mempunyai dedikasi tinggi, artinya harus membereskan dulu urusan rumah tangga, sebagai aspek terkecil dari kepemimpinan dalam masyarakat. Keberhasilan mengurus rumah tangga menjadi prasyarat untuk berhasil memimpin di masyarakat. “Nanti akan ada celetukan, di rumah tangganya aja dia begini, gimana kalau memimpin,” tuturnya lagi, “Ada perempuan yang mentingin karir lalu rumah tangganya berantakan, dinomorduakan, anaknya jadi anak baby sitter”123. Dualisme peran perempuan ini menjadi dilema tersendiri bagi seorang perempuan untuk maju ke depan. Pengalaman pribadi seorang ibu misalnya, “jika saya memimpin sebuah lembaga, saya akan sibuk ngatur orang, maka kerasa saya akan melalaikan anak-anak saya, pekerjaan rumah tangga saya. Jika saya sibuk mana mungkin kepegang semua, karena anak dan rumah tangga akan terabaikan. Pasti akan ada yang dikorbankan”124. Karena itu, mereka menganggap perempuan agak sulit untuk maju mengisi jabatan-jabatan dalam pemerintahan seperti menjadi lurah, camat, bupati, anggota parlemen, atau bahkan presiden. Mereka lebih setuju peran kepemimpinan dalam lingkup yang lebih kecil, dalam organisasiorganisasi komunitas lokal, seperti pengajian yang biasa digeluti selama ini. Ibu yang pegawai swasta mencontohkan sosok ketua RT perempuan di lingkungannya yang justru lebih aktif dan mudah berkomunikasi dengan masyarakat ketimbang ketua RT yang laki-laki. Keteladanan, sebagai nilai-nilai utama kepemimpinan, akan sulit ditampilkan seorang perempuan yang berkiprah di masyarakat ketika ternyata harus mengorbankan urusan rumah tangga, aspek yang menurut mereka menempati prioritas pertama. Peran domestik seorang perempuan sebenarnya bisa menjadi keunggulan tersendiri jika dapat dikelola dengan baik. Di banyak perkampungan, termasuk di kawasan Mampang, banyak ibu yang tidak mempunyai aktivitas sampingan selain urusan-urusan domestik. Sebagian melibatkan diri dalam aktivitas pengajian. Padahal jika diorganisasikan dengan baik, para ibu ini bisa menjalankan program-program sosial kemasyarakatan yang lebih baik, pengasuhan bersama anak-anak misalnya, seperti dilakukan para ibu-ibu ini dalam lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) atau taman pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang bisa disejajarkan dengan taman kanak-kanak (TK). VIII. Nilai yang Harus Dipegang Perempuan layak untuk menjadi seorang pemimpin sama halnya dengan laki-laki, karena syaratsyarat kepemimpinan seperti “berwawasan luas, mampu di bidangnya, punya jiwa kepemimpinan (bijaksana), berdedikasi tinggi”, diyakini seorang ibu, “nggak cuma dimiliki pemimpin laki-laki.”125 Kepemimpinan perempuan bahkan dinilai lebih peka kepada rakyat ketimbang laki-laki, mengingat peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang lebih mengerti bagaimana uang harus dibelanjakan. “Sekarang kita butuh pemimpin yang sensitif, kalau yang pintar banyak,” ibu yang lain menambahkan, “banyak orang pintar tapi korupsi, nggak membantu rakyat, dan tidak sensitif 121 Diungkapkan oleh Ibu Zainah. Diungkapkan oleh Ibu Zainah. 123 Diungkapkan oleh Ibu Zainah. 124 Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah. 125 Diungkapkan oleh Ibu Zainah. 122 dengan rakyat, menurut saya pemimpin itu harus sensitif dengan yang dialami rakyat. Terutama karena saya perempuan, yang berpihak kepada perempuan.”126 Syarat keimanan kepada Tuhan tidak luput ditambahkan oleh ibu lainnya lagi, “karena kalau nggak beriman dia akan bisa melakukan apa saja tanpa takut dengan Tuhannya, kalau nggak dia bisa melakukan apa saja tanpa takut balasan dari Tuhan”127. Konsep “tanggung jawab moral” yang ditujukan kepada Tuhan mencerminkan pandangan religiusitas yang bisa disejajarkan dengan “kontrol sosial”, hanya saja apatisme mereka dengan para politisi yang bisa seenaknya berbuat korupsi dan kezaliman menguatkan pandangan idealis keagamaan. IX. Peran Pendidikan Pendidikan tinggi tidak menjadi syarat khusus kepemimpinan, yang penting mempunyai wawasan luas, pengetahuan yang cukup dan kebijaksanaan. Seseorang yang berpendidikan tinggi belum tentu mempunyai kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin. “Pendidikan mungkin salah satu untuk melengkapi, walau saya percaya tiap orang punya talenta, yang penting peningkatan kapasitas yang dimiliki perempuan, jika diberi kesempatan untuk memimpin bisa meningkat kapasitasnya,”128 demikian pendapat seorang ibu. X. Fungsi dan Tugas Politisi Meskipun tidak mengerti secara pasti fungsi dan tugas yang harus diemban seorang pemimpin, tetapi para ibu meyakini bahwa pemimpin bertugas untuk membawa aspirasi rakyat, khususnya jika ia seorang anggota DPR maka dijadikan bahan rembuk dalam forum-forum dewan. Karena dipilih oleh rakyat, maka tugas pemimpin adalah membela rakyat terutama yang sedang mengalami kesulitan, dengan menyusun program-program yang berorientasi kesejahteraan rakyat. “Karena saya perempuan, kebutuhan sebagai perempuan juga terwakili,” demikian pendapat seorang ibu. XI. Tanggung Jawab Politisi Tanggung jawab kepada konstituen yang telah memilih diwujudkan dengan menyuarakan aspirasi rakyat, tidak melupakan janji-janji saat kampanye. Untuk persoalan-persoalan spesifik perempuan seperti soal KDRT, pelecehan seksual dan PSK, seorang ibu mengatakan lebih “mendukung kalau perempuan yang melakukan penanganan (karena) kalau perempuan sama perempuan sharingnya akan lebih dekat, terbuka, (sedang) kalau diserahkan ke laki-laki takutnya malah dimanfaatkan”129. Pemimpin juga harus cepat tanggap dalam mengatasi persoalan-persoalan rakyat, seperti dicontohkan ibu yang lain, “untuk urusan TKI kok nggak cepat ditangani”130, padahal seharusnya para pemimpin bisa berjuang untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, “biar nggak usah ke luar negeri”131. 126 Diungkapkan oleh Ibu Katisah. Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah. 128 Diungkapkan oleh Ibu Katisah. 129 Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah. 130 Diungkapkan oleh Ibu Urzilah. 131 Diungkapkan oleh Ibu Urzilah. 127 XII. Harapan Konstituen Kepada para pemimpin perempuan, para ibu mengharap mereka bisa “membawa aspirasi perempuan, karena dia berdiri disitu atas nama perempuan juga”132, khususnya dalam masalah pengendalian harga-harga kebutuhan pokok dan menurunkan beaya pendidikan. “Harapannya lebih dapat menjawab kebutuhan perempuan, misal bagaimana calon-calon perempuan di parlemen bisa paling nggak tahu dulu deh yang jadi kebutuhan perempuan kayak makan, kebutuhan dasar, sembako, soal kesehatan, bahan bakar, terus soal pendidikan, kesehatan, itu bagaimana bisa betul-betul sesuai kebutuhan perempuan dan rakyat selama ini susah mengakses,”133 ibu yang lain menjelaskan. “Lebih memperhatikan kesulitan rakyat saat ini,”134 ibu yang lain menambahkan. Para pemimpin diharapkan bisa menyerap aspirasi dan diturunkan dalam program-program yang membasis, menciptakan komunikasi dua arah. “Yang ada malah kalau datang ngerepotin, protokoler sibuk-sibuk, datang cuman 10 menit, bikin kita repot aja, tapi masalah utamanya nggak tergali, malah bikin repot aja”135, komentar sinis seorang ibu. Mereka juga diharapkan dapat membawa kemajuan bangsa dalam meluaskan pendidikan dan menciptakan lapangan kerja. “Kalau ada lapangan kerja, mereka bekerja, akan ada penghasilan, anak-anak bisa bersekolah dan mereka juga bisa beribadah dengan tenang,”136 kata ibu yang lain. Dengan latar belakang religiusitasnya, mereka berharap Tuhan bisa menghadirkan pemimpin seperti mereka harapkan. Mereka sudah bersikap apatis dan tidak percaya dengan pemimpinpemimpin sekarang yang melupakan rakyat setelah terpilih. 132 Diungkapkan oleh Ibu Zainah. Diungkapkan oleh Ibu Katisah. 134 Diungkapkan oleh Ibu Kurniawati. 135 Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah. 136 Diungkapkan oleh Ibu Urzilah. 133 A.5. TANJUNG DUREN, JAKARTA BARAT I. Konteks Geopolitik Luas wilayah Jakarta Barat adalah 129.54 km2 (terkecil kedua setelah Jakarta Pusat). Pada tahun 2007 penduduknya berjumlah 2.172.878, dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 16.774 jiwa/km2 (terpadat kedua setelah Jakarta Pusat). Selisih antara perempuan dan laki-laki sebesar 19.834 jiwa (1.076.522 laki-laki dan 1.096.356 perempuan). Pertumbuhan penduduk antara tahun 2000 hingga 2007 meningkat sebesar 1,9% (tertinggi kedua setelah Jakarta Selatan). Secara administratif, Jakarta Barat terdiri dari 8 kecamatan yang terbagi dalam 56 kelurahan dan tersebar dalam 578 RW dan 6.401 RT. Kota Jakarta Barat sedang menjadi incaran pembangunan properti setelah menyempitnya lahan di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan atau pesisir utara Jakarta. Heboh rencana penggusuran besar-besaran di Meruya beberapa waktu lalu menunjukkan minat tinggi para developer mengembangkan pembangunan properti di Jakarta Barat. Apalagi jika pembangunan jalan tol Lingkar Luar Jakarta (JORR) antara Ulujami hingga Penjaringan selesai, yang akan menjadi jalur tercepat menuju Bandara Soekarno-Hatta. Jumlah rumah tangga miskin di Jakarta Barat pada tahun 2004 sebesar 14.787 atau 55.915 jiwa. Dan Kampung Guji Baru (Tanjung Duren) adalah perkampungan rakyat miskin kota di Jakarta Barat yang pernah terancam digusur pada tahun 2004. Warga melawan dengan menggelar demonstrasi dan tekanan kepada pemerintah, dengan wadah organisasi Persatuan Rakyat Tergusur (PRT). Setelah berhasil menggagalkan rencana penggusuran, para pemuda setempat mengorganisir diri dalam perkumpulan Laskar Pemuda Rakyat Miskin (LPRM) yang kemudian bergabung dalam tingkat nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI). Para pemuda ini berhasil mengajak warga terutama para ibu untuk menuntut pembagian BLT dan melakukan pendampingan untuk mengurus layanan kesehatan rakyat miskin di rumah-rumah sakit--yang biasanya sulit dilakukan jika tidak ada tekanan dan pendampingan. Mereka juga membuka sanggar belajar untuk anak-anak dan membuka perpustakaan yang menyediakan bacaan dan terutama buku-buku pelajaran yang sulit dibeli dengan pendapatan orang tua yang tidak memadai. Terletak di sisi jalan tol Jakarta-Merak, berdekatan dengan kompleks perumahan Tanjung Duren dan pusat-pusat properti seperti Mal Taman Anggrek dan Mal CitraLand, warga Guji Baru menempati kawasan sempit yang dibatasi oleh Kali Sekretaris yang berbau busuk dan kehitaman. Lokasi ini secara administratif masuk kelurahan Duri Kepa, kecamatan Kebon Jeruk (Jakarta Barat). Sepotong kecil wilayah terletak di antara Kali Sekretaris dan jembatan layang di atas tol (Jalan Tanjung Duren) yang masuk kelurahan Tanjung Duren Utara, kecamatan Grogol Petamburan (Jakarta Barat). Sebagian warga hidup dari mengumpulkan barang bekas. Sisanya menjadi pedagang makanan keliling atau pekerjaan sektor informal lainnya, sedang para pemudanya ratarata menganggur. Mereka menempati rumah-rumah sempit yang hanya terdiri dari satu ruangan dan kamar mandi, sebagian di antaranya dibangun vertikal, beberapa di antaranya hanya dengan konstruksi kayu yang rawan kebakaran. Jalan di kampung kebanyakan adalah gang-gang sempit, sebagian sangat sempit di antara rumah-rumah, dan hampir gelap karena cahaya matahari tak pernah mencapai tanah terhalang tembok-tembok bangunan. Warga--para pemuda, ibu-ibu, anakanak dan orang dewasa--hidup berjejal mengais-ngais rezeki di ibukota yang tidak ramah. Sedang daerah Kapuk adalah kawasan industri lama Jakarta yang sedang menuju kehancuran, berubah menjadi kawasan pergudangan. Pabrik-pabrik berdiri sepanjang Jalan Raya Kapuk antara Cengkareng dan Kota, yang hanya mempunyai dua lajur tetapi dilalui oleh kendaraan niaga, angkutan umum dan truk-truk peti kemas, dan kemacetan luar biasa selalu terjadi pada jam-jam sibuk. Pabrik PT Istana Magnoliatama terletak 100 meter dari Jalan Raya Kapuk, berdiri sejak 1980 dengan nama CV Melody yang waktu itu berada di daerah Pluit, Penjaringan. Total buruhnya 1000 orang, 85%-nya adalah perempuan, dengan 460 orang berstatus buruh tetap dan 540 orang buruh kontrak. Sejak 1998 berdiri serikat pekerja tingkat perusahaan, tetapi tidak pernah berfungsi membela kepentingan buruh, sehingga buruh lebih memilih bergabung dengan serikat buruh baru yang dibentuk pada 2006, yaitu Serikat Buruh Karya Utama (SBKU). Pihak manajemen perusahaan berusaha melakukan intimidasi dan mutasi terhadap 266 anggota dan pengurus serikat. Pada 5 September 2006, salah seorang pengurus dihukum dengan disuruh duduk di kantin pabrik tanpa bekerja, dan 9 orang lainnya tidak boleh lembur. Pada Mei 2007, perusahaan menawarkan pengunduran diri kepada 46 orang buruh yang dianggap sudah tidak produktif lagi, yaitu mereka yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun. Semuanya menolak. Pada 17 Juli 2007 setelah makan siang, pihak manajemen mengumumkan penutupan operasional pabrik, dan direspon para buruh dengan melakukan pendudukan pabrik. Pada 25 Juli 2007 perusahaan menyebarkan formulir pengunduran diri kepada seluruh buruh dengan ancaman jika menolak tidak akan mendapat apaapa dan uang Jamsostek tidak bisa diambil. Hampir 70% buruh menerima tawaran, tapi seluruh anggota SBKU menolak. Pada 31 Juli 2007 perundingan tripartit dimulai dengan fasilitator Sudinaker Jakarta Utara. Selama proses perundingan yang berjalan satu tahun--dan dimenangkan oleh pihak buruh--pabrik dibiarkan oleh perusahaan begitu saja, meninggalkan mesin-mesin, bahan baku, peralatan kantor dan bahkan beberapa kendaraan operasional, sebagian di antaranya sempat tergenang banjir. Sebanyak 85 buruh yang bertahan di pabrik, hampir seluruhnya perempuan, dan sebagian besar tidak bekerja lagi, berusaha menghidupi diri dengan berjualan gorengan atau mengamen di persimpangan jalan, atau dengan sokongan sebagian buruh yang sudah bekerja di pabrik lain. II. Profil Konstituen Kelima perempuan yang menjadi informan berasal dari lapisan masyarakat bawah. Tiga orang pertama (Halimah, Sulastri, Rasmiah) adalah ibu rumah tangga yang menghuni perkampungan kaum miskin kota di daerah Tanjung Duren Jakarta Barat yang terancam digusur, sedang dua orang terakhir (Suryati dan Siti Mualimah) adalah mantan buruh pabrik garmen di daerah Kapuk yang terpaksa menganggur karena pabriknya ditutup secara sepihak oleh pengusaha, namun bertempat tinggal di Tanjung Duren. Hanya Ibu Halimah yang mempunyai penghasilan sendiri dengan menjadi pembantu rumah tangga karena suaminya sudah tua, hanya bekerja sekadarnya dengan jual beli rongsokan. Ibu-ibu yang lain mengandalkan pendapatan dari hasil kerja suami yang juga pendapatannya minim. Suami Ibu Sulastri misalnya, bekerja sebagai hansip/keamanan dengan pendapatan sebulan Rp 450.000 untuk menghidupi isteri dan tiga orang anak. Hanya sekali dalam setahun Sulastri bisa meraup sedikit penghasilan dengan bekerja menggantikan karyawan mall Taman Anggrek yang mudik saat Lebaran. Suryati yang paling muda (28 tahun) belum mempunyai anak, sedang yang lain mempunyai 1-3 orang anak yang rata-rata sedang menempuh pendidikan SD hingga SMP. Dengan hanya berlatar belakang pendidikan SD (2 orang) dan paling tinggi SMP (3 orang), sulit bagi para ibu untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidup. Bahkan, salah seorang yang sudah 14 tahun bekerja di pabrik pun harus menghadapi kenyataan pabriknya ditutup, sebuah kondisi insecure dalam bekerja, di tengah-tengah situasi meluasnya praktik outsourcing dalam hubungan kerja yang merugikan posisi tawar kaum buruh. Meskipun menghadapi situasi yang sulit dan posisi tawar yang rendah, para ibu ini tidak patah semangat dan tetap berjuang bersama rekan-rekannya melalui wadah organisasi. Tiga orang pertama adalah pengurus organisasi Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) tingkat kecamatan maupun RT, sedang dua orang terakhir menjadi anggota Serikat Buruh Karya Utama (SBKU) tingkat pabrik. Mereka mampu menggambarkan kritisisme terhadap sistem yang ada dan para politisi yang tidak pernah berpihak kepada rakyat dan menyimpan harapan untuk terjadinya perubahan. III. Kondisi Sebelum dan Pasca Reformasi 1998 1. Perbandingan sosial-politik Kegagalan aktor-aktor reformasi memperjuangkan kesejahteraan rakyat berbuah nostalgia kerinduan pada masa lalu sebelum reformasi, ketika Soeharto masih berkuasa dan segala sesuatunya serba “enak, dan cari duit gampang”137, dibandingkan dengan situasi sekarang yang “ekonominya makin parah”138, bahkan “parah banget, semua serba mahal”139 dan “susah nyari kerja”140. Tetapi para informan yang semuanya berkecimpung dalam aktivitas organisasi merasakan manfaat dari proses reformasi, yakni terbukanya ruang kebebasan berorganisasi. “Terutama dulu nggak bebas dalam berkumpul, serba was-was, sekarang lebih bebas”141, orang-orang jadi lebih berani menyuarakan haknya. Seorang informan malah memblejeti faktor utang yang melilit pemerintahan zaman Soeharto yang meskipun kelihatannya “adem ayem, imbasnya (baru dirasakan) sekarang”.142 Namun demikian, tidak berarti reformasi kebal kritik. Seorang informan menyoroti makin merosotnya ikatan-ikatan sosial ditandai dengan meningkatnya kriminalitas dan hilangnya toleransi sosial. Pada era Soeharto, hierarki kekuasaan yang sentralistik dan berlapis-lapis mampu menciptakan mekanisme kontrol dari atas ke bawah, melahirkan komunikasi politik yang fenomenal seperti Klompencapir. Era reformasi yang menggerus sentralisme menyebabkan buyarnya komunikasi dari atas ke bawah. “Dulu dari atas masih ada bupati suka datang untuk periksa apa kegiatan masyarakat,” demikian diungkapkan, “sekarang sama sekali nggak ada.”143 Otonomi daerah menyebabkan banyak program-program warisan Orde Baru yang bersifat positif, meskipun tidak sempurna dan cenderung dijalankan secara represif, menjadi terpinggirkan oleh kepentingan sesaat para pemimpin di tingkat lokal yang mengutamakan pendapatan asli daerah untuk memperkaya diri sendiri – kesempatan yang tidak pernah dirasakan di masa sentralisme Orde Baru. “Lima tahun pertama setelah reformasi rasanya bagus, tapi habis itu kembali ke awal lagi. Dari 98 sampai 2002 bagus, habis itu sudah hilang reformasinya”144 , kesimpulan seorang informan. Dalam hal kepemimpinan perempuan, salah seorang informan menilai pasca-reformasi telah melahirkan banyak pemimpin perempuan sampai ke tingkat presiden (Megawati). “Banyak perempuan yang berani, ilmunya sudah pinter”145, sehingga berani tampil ke depan, tidak kalah dengan laki-laki. 137 Diungkapkan 138 oleh Ibu Sulastri. Diungkapkan oleh Ibu Suryati. 139 Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah. 140 Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 141 Diungkapkan oleh Ibu Suryati. 142 Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 143 Diungkapkan oleh Ibu Suryati 144 Diungkapkan oleh Ibu Halimah. 145 Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 2. Persoalan sosial-ekonomi Semua ibu yang diwawancarai mengeluhkan parahnya persoalan ekonomi yang dihadapi rakyat, terutama setelah kebijakan pemerintah mengkonversi minyak tanah ke gas yang menyebabkan melambungnya harga minyak tanah. “Kita mau apa-apa susah”146, keluh salah seorang ibu. “Susah cari uang, apa-apa mahal,”147 ibu yang lain menambahkan. Sementara kenaikan harga BBM mendongkrak naiknya harga-harga kebutuhan pokok menyulitkan para ibu yang harus mengatur belanja rumah tangga dari pendapatan suami yang tidak seberapa. “Tadinya duit 20 ribu bisa buat sekolah anak-anak dan apa-apa, sekarang cuma buat biaya sekolah udah nggak bisa apa-apa lagi,”148 kata salah seorang ibu. “Pendapatan suami saya ga mencukupi, sebulan 450 ribu, gajinya 350 ribu plus tambahan 100 ribu untuk makan sehari-hari nggak cukup. Saya sendiri nggak kerja,”149 kata ibu yang lain. Dua orang ibu mantan buruh PT Istana mengeluhkan kondisi kerja di pabrik-pabrik yang tidak sepadan antara pendapatan dengan harga-harga kebutuhan pokok, terutama akibat kenaikan harga BBM yang tidak diimbangi dengan kenaikan upah buruh. “Kondisi sekarang kayaknya gimana, kerja juga nggak ada artinya, nggak ada harganya, sedikit banget hasilnya kerja dari pagi sampai sore dapatnya nggak seberapa dibanding kebutuhan sehari-hari,”150 salah satu menuturkan. Pos belanja utama mereka yaitu kontrakan dan makan semakin tergerus oleh dampak kenaikan harga BBM. Sebelum-sebelumnya, meskipun gaji buruh rendah, harga kebutuhan pokok masih terjangkau. “BBM naik tapi gaji buruh nggak naik, aturannya harusnya naik, biar seimbang kebutuhan dengan gaji,”151 ibu yang lain menambahkan. Kini mereka terus-menerus menggali utang untuk menutup pengeluaran, dan terpaksa harus berhemat untuk keperluan yang dianggap tidak terlalu mendesak. IV. Perkenalan dengan Politisi Sebagian besar ibu yang diwawancarai tidak pernah mengenal secara dekat para politisi perempuan baik di DPR, DPD, maupun DPRD DKI Jakarta atau yang duduk di eksekutif. “Nggak tahu, pernah liat pas ada acara waktu kampanye tapi nggak kenal,”152 kata salah seorang ibu. “Ada yang tahu paling yang artis, kalau yang orang biasa nggak tahu,” kata ibu yang lain, “tahu di TV aja”153. Media massa terutama televisi menjadi sarana utama untuk mengenali nama-nama para politisi atau artis yang menjadi politisi, seperti “Marissa Haque, Mooryati Sudibyo (anggota DPD), Rieke Dyah Pitaloka, Angelina Sondakh. Kalau menteri perempuan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menkes Siti Fadilah Supari.”154 Hanya seorang ibu yang mengaku kenal baik dengan sejumlah politisi perempuan, seperti “Ribka Tjiptaning, saya kenal waktu dulu di PDIP cabang Tangerang. Saya juga masuk ke cabang, seksi wanita, sering ketemu kalau ada pertemuan. Ada lagi Clara Sitompul yang dari Bandung. Ada lagi banyak kalau pertemuan di Jakarta Barat atau Tangerang. Ada lagi yang dulu bendahara PDIP.”155 Sebagai warga negara yang dilibatkan dalam proses-proses politik demokrasi seperti pemilu, tidak dikenalnya para politisi oleh konstituen menunjukkan fenomena elitisme, berjaraknya para politisi 146 Diungkapkan oleh Ibu Halimah. Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 148 Diungkapkan oleh Ibu Halimah. 149 Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 150 Diungkapkan oleh Ibu Suryati. 151 Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 152 Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 153 Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 154 Diungkapkan oleh Ibu Suryati dan Ibu Siti Mualimah. 155 Diungkapkan oleh Ibu Halimah. 147 dari rakyat, dalam format politik demokrasi liberal yang terbangun pasca-reformasi. Rakyat hanya dijadikan mesin pengumpul suara pada masa kampanye, tanpa pernah benar-benar dikenali dengan baik oleh para politisi, untuk kemudian ditinggalkan kembali setelah proses pemilu berakhir. Salah seorang ibu mengkritik fenomena majunya para artis ke dalam kancah politik dengan sematamata mengandalkan popularitas--syarat yang dibutuhkan dalam sistem pemilihan langsung yang berlaku saat ini--padahal mereka sama saja dengan politisi kebanyakan yang tidak pernah merasakan apa yang dirasakan rakyat kecil di tingkat bawah. V. Komunikasi dan Partisipasi Politik Organisasi SRMI Tanjung Duren termasuk cukup leading dalam membawa persoalan-persoalan rakyat miskin sampai ke tingkat provinsi maupun pemerintah pusat. Dalam acara-acara diskusi terbuka atau acara-acara organisasi lainnya, para politisi atau pejabat pemerintah sering diundang datang ke perkampungan warga. “Kalau sengaja kita undang ya datang, tapi kalau tidak diundang ya nggak datang,” ujar salah seorang ibu pengurus SRMI, “itupun harus atas nama organisasi, bukan langsung masyarakat yang mengundang.”156 Elitisme yang menjangkiti para politisi nyata tecermin dalam keengganan mereka untuk berinisiatif mendatangi warga, baik dalam kesempatan resmi maupun informal, untuk menyerap aspirasi masyarakat. “Anggota DPR Komisi X pernah datang ke Sanggar SRMI, dinas kesehatan pernah datang, itu pun karena tekanan masyarakat,”157 tambah ibu pengurus SRMI yang lain. Sementara seorang ibu pengurus SRMI lainnya lagi mengatakan, “Nggak pernah, nggak ada (yang datang).”158 Sedangkan menurut dua orang ibu mantan buruh yang tengah berjuang melakukan pendudukan pabrik PT Istana mengatakan sama sekali tidak pernah didatangi para politisi, bahkan untuk sekadar menyatakan simpati dan dukungan. “Nggak ada, belum pernah (ada yang datang),”159 kata salah seorang ibu. “Setahu saya nggak pernah,”160 kata ibu lainnya. Praktik politik demokrasi yang berbeaya tinggi menyebabkan posisi-posisi dalam kekuasaan hanya bisa diisi oleh mereka yang mampu membayar, atau dengan dukungan para pengusaha, menyebabkan sulitnya para politisi untuk benar-benar serius memperjuangkan para buruh yang kepentingannya diametral dengan kepentingan pengusaha. Tidak diperhatikannya kondisi rakyat oleh para politisi mendorong warga untuk mengorganisasikan sendiri perlawanannya melalui aksi-aksi demonstrasi ataupun pendudukan pabrik. Ibu-ibu pengurus SRMI Tanjung Duren aktif mengkoordinasikan warga dalam pertemuan-pertemuan rutin di basis, dan menjalankan program advokasi kesehatan untuk rakyat miskin di rumah sakit. Sedangkan ibuibu anggota serikat buruh SBKU PT Istana relatif baru mengenal organisasi, belum cukup banyak mengikuti aktivitas keserikatburuhan pada umumnya. Mereka baru bergerak untuk memperjuangkan hak-hak dasarnya untuk mendapatkan pembayaran upah selama pabrik ditutup dan menuntut pabrik dibuka kembali serta mereka dipekerjakan seperti semula tanpa perubahan sistem kerja menjadi buruh kontrak. VI. Kekritisan terhadap Politisi Berada di lapisan terbawah tidak berarti warga tidak mengikuti proses politik yang sedang berlangsung. Mereka dengan mudah, karena betul-betul merasakan dampaknya secara langsung, 156 Diungkapkan oleh Ibu Halimah. Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah. 158 Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 159 Diungkapkan oleh Ibu Suryati. 160 Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 157 menilai buruknya kualitas pemerintahan era SBY-JK yang tanpa gentar melancarkan kebijakan neoliberal dengan tidak mempedulikan dampaknya kepada rakyat miskin, ditandai dengan tiga kali menaikkan harga BBM, bahkan melakukan kebijakan-kebijakan kontroversial seperti penarikan minyak tanah untuk digantikan dengan gas, yang sangat merugikan rakyat kecil. Salah seorang ibu bahkan bisa mengenali siapa aktor dalam pemerintahan SBY-JK yang paling bertanggung jawab dalam menindas rakyat, “Sri Mulyani itu jahat, nggak denger sama sekali kondisi rakyat, error dia itu!”161 Sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani berulang kali mengatakan Negara sudah merugi triliunan rupiah, dan penghapusan subsidi kesejahteraan rakyat adalah jalan satu-satunya untuk mencegah jebolnya APBN – solusi yang selaras dengan kebijakan neoliberalisme yang dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia kepada Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. “Memang kita nggak tahu berapa kebutuhan Negara, tapi gimana rakyat kan udah gini kok nggak ada kebijakan sama sekali,”162 kritiknya lebih lanjut. Tidak ada solusi pro-rakyat, karena memang begitulah hakikat neoliberalisme, yang justru berkeinginan untuk menggusur rakyat dari peran keberpihakan Negara menuju kepada kebrutalan persaingan pasar bebas. Sebagai perbandingan, mereka menilai era Megawati masih lebih baik karena “apa-apa masih belum terlalu mahal”163. Pemerintahan era Megawati maupun Gus Dur dan Habibie memang masih setengah-setengah dalam menjalankan strategi neoliberalisme, karena bangunan politik yang belum cukup stabil dalam menyalurkan kritik-kritik dan keresahan di tingkat rakyat. “Meskipun Mega juga nggak bagus, tapi nggak separah sekarang,”164 demikian pendapat salah seorang ibu. Sementara ibu yang lain lebih tajam lagi mengkritik Megawati yang lebih banyak didikte oleh suaminya yang berlatar belakang pengusaha, atau didukung oleh para pengusaha, sehingga dalam masa pemerintahannya mengesahkan undang-undang yang melegalkan praktik sistem kerja kontrak yang merugikan buruh. “Jadi walaupun dia perempuan tapi nggak bagus juga,165” begitu kesimpulannya. Sedangkan ibu yang pernah berkecimpung di PDIP membenarkan kelemahan watak Megawati yang terlalu banyak disetir orang-orang di sekelilingnya. “Entah kurang tegas atau kurang wawasan saya kurang tahu,”166 begitu penuturannya, sehingga apa-apa yang menjadi kebijakan partai dan pemerintahannya tidak murni berdasarkan aspirasinya sendiri. Ia berharap adanya tokoh-tokoh alternatif dari kalangan gerakan yang bisa mewakili kepentingan mereka jika terpilih menjadi anggota DPR dalam Pemilu 2009 mendatang. “Kalau Dita (Dita Indah Sari – penulis) itu baru bagus,”167 lanjutnya mencontohkan. VII. Konsep Kepemimpinan 1. Kepemimpinan pada umumnya Persoalan keseharian menjadi inti dalam pemahaman para ibu mengenai konsep kepemimpinan. “Pemimpin itu yang bisa ngemong rakyat,”168 “memperjuangkan kesejahteraan rakyat,”169 “yang 161 Diungkapkan oleh Ibu Suryati. Diungkapkan oleh Ibu Suryati. 163 Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 164 Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah. 165 Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 166 Diungkapkan oleh Ibu Halimah. 167 Diungkapkan oleh Ibu Halimah. 168 Diungkapkan oleh Ibu Halimah. 169 Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 162 bijaksana, jangan ngumbar janji”170, “tahu kondisi rakyat, mendengar aspirasi rakyat,”171 dan “seharusnya mempertimbangkan kondisi rakyat”172 sebelum mengeluarkan kebijakan. Yang penting bagi mereka adalah pemimpin bisa memperjuangkan agar harga-harga kebutuhan lebih murah, sehingga terjangkau oleh rakyat. “Biar apa-apa murah,” kata salah seorang ibu, “(soalnya) suami saya gajinya kecil, susah beli minyak tanah, saya sendiri menganggur.” 173 Sementara kenyataan yang terjadi adalah pemimpin yang ada malah beberapa kali mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM, menyebabkan rakyat kecil makin tertindas, dan penghasilan tidak lagi menutup beban pengeluaran. Pemimpin yang ada tidak mau mendengarkan aspirasi rakyat yang sudah melancarkan aksi protes di mana-mana sebagai jeritan suara hati nurani, menolak kebijakan yang menyengsarakan. Pemerintah khususnya SBY-JK pernah mengumbar janji akan melakukan perubahan untuk rakyat, bahkan pernah secara verbal menyatakan tidak akan lagi menaikkan harga BBM, tapi kenyataannya berbeda 180 derajat. “Harusnya pemimpin itu tahu, bisa mengayomi, jangan ngomongnya doang...,”174 ujar sinis salah seorang ibu. 2. Kepemimpinan perempuan Hampir seluruh informan menyatakan persetujuan bahwa perempuan bisa menjadi seorang pemimpin. “Sama saja (dengan laki-laki),”175 kata salah seorang ibu. Tapi kondisi nyata yang dihadapi oleh rakyat, dan kegagalan tokoh-tokoh yang menyandang status pemimpin perempuan dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat, menciptakan kritisisme mereka terhadap konsep kepemimpinan perempuan. Bagi mereka pemimpin perempuan tidak ada bedanya dengan pemimpin laki-laki. “Sama kayak pemimpin pada umumnya,”176 komentar salah seorang ibu. “Bisa aja kayak dulu Megawati,”177 kata salah seorang ibu. Tapi “kalau bisa sih yang bijak, jangan kayak kemarin Mega masih gagal juga,”178 kritik ibu yang lain. Ibu yang mengenal dengan baik persoalan di internal PDIP malah bersikap lebih skeptis kepada kepemimpinan perempuan, dengan mengambil contoh Megawati yang dinilainya “kurang tegas, kayak ibu ke anak-anaknya”179. Problem masyarakat patriarki yang sangat kuat di Indonesia menyebabkan munculnya pemimpin perempuan tidak berarti benar-benar memperjuangkan kepentingan perempuan, atau rakyat pada umumnya. Tokoh-tokoh perempuan dalam kenyataannya masih terbelenggu oleh budaya patriarki yang menyulitkannya bersikap independen, bahkan seringkali tidak mengenali kepentingan dirinya sendiri selain demi kebahagiaan keluarga, yakni suami dan anak-anak, tanpa diri perempuan itu sendiri. VIII. Nilai yang Harus Dipegang Kejujuran menjadi faktor utama yang dianggap penting oleh para informan untuk menjadi nilai anutan seorang pemimpin. “Kalau nggak jujur nanti korupsi,”180 kata salah seorang ibu mantan buruh PT Istana. Korupsi dipandang sebagai biang kesengsaraan, karena dana-dana yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat malah disunat para pejabat. 170 Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah. Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 172 Diungkapkan oleh Ibu Suryati. 173 Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 174 Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 175 Diungkapkan oleh Ibu Suryati. 176 Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 177 Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 178 Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah. 179 Diungkapkan oleh Ibu Halimah. 180 Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 171 Kebijaksanaan menjadi faktor penting lainnya. “Yang penting tahu nuraninya rakyat,”181 sehingga “bisa membantu masyarakat miskin, jangan naikin sembako terlalu tinggi”182. Pemimpin seharusnya “tahu yang diinginkan rakyat”183, sehingga kebijakan yang dikeluarkannya pun mencerminkan kebijaksanaan. Ketegasan menjadi nilai berikutnya. “Yang dibutuhin ya mental”184, agar pemimpin perempuan bisa melepaskan diri dari kungkungan patriarki, dari orang-orang di lingkaran pemimpin yang mempunyai kepentingannya sendiri-sendiri. IX. Peran Pendidikan Pandangan kelima informan agak terbelah mengenai latar belakang pendidikan bagi seorang pemimpin. “Pendidikan harus tinggi,”185 kata salah seorang ibu pengurus SRMI. “Kalau hanya lulusan SD atau SMP kurang memenuhi syarat,”186 kata ibu pengurus SRMI lainnya. Dengan latar belakang dirinya sendiri yang hanya lulusan SD atau SMP, ia menyadari wawasan dirinya yang tidak cukup luas, dan merefleksikan pada pandangan bahwa seorang pemimpin sebaiknya berpendidikan tinggi, “minimal SMA atau S1, seperti kata undang-undang sekarang”187. Sedang dua orang ibu mantan buruh PT Istana menganggap faktor pendidikan tidaklah penting. “Yang penting pengalaman,”188 kata salah seorang ibu. Kenyataan menunjukkan banyak politisi karbitan yang hanya bermodal keturunan atau popularitas selebritis, tanpa pernah benar-benar mengerti dan terlibat langsung dalam kehidupan rakyat kecil. Banyaknya para tokoh pemimpin yang berpendidikan tinggi tetapi nyatanya justru paling pintar mengkorup uang rakyat menjadi sebab kritisisme mereka terhadap faktor pendidikan. “Kalau tinggi tapi nggak jujur ya percuma,”189 kritik ibu lainnya yang menganggap penting faktor kejujuran sebagai nilai utama seorang pemimpin. Masih mending “nggak bertitel” tapi jujur. Sedang ibu pengurus SRMI yang pernah aktif di PDIP mempunyai pandangan yang berbeda, “Pendidikan itu penting, tapi yang lebih penting keberanian. Walaupun pendidikannya tinggi tapi wawasan dan mentalnya kurang ya ga bagus juga.”190 Ia mengkritik sistem yang berlaku sekarang yang menomorsatukan syarat pendidikan bagi majunya para calon pemimpin ke dalam struktur kekuasaan Negara. Ibu pengurus SRMI yang menganggap pendidikan mutlak penting justru membalikkan pendapatnya, bahwa kemampuan atau pengalaman, wawasan dan kebijaksanaan tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. “Ibu-ibu SRMI gini kan nggak sekolah tapi dibimbing lama-lama juga ngerti,”191 ujarnya. Meskipun nampaknya saling bertentangan, tetapi pandangan kelima informan menunjukkan keseragaman, bahwa terjadi kontradiksi dalam sistem rekrutmen kepemimpinan saat ini yang mengutamakan syarat formal pendidikan, yang justru banyak menghasilkan pemalsuan ijazah atau 181 Diungkapkan oleh Ibu Suryati. Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah. 183 Diungkapkan oleh Ibu Suryati. 184 Diungkapkan oleh Ibu Halimah. 185 Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah. 186 Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 187 Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 188 Diungkapkan oleh Ibu Suryati. 189 Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 190 Diungkapkan oleh Ibu Halimah. 191 Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 182 lembaga-lembaga pendidikan yang mengobral gelar tanpa kualitas yang sesungguhnya. Sedangkan pada kenyataannya banyak tokoh perempuan di tingkat akar rumput, seperti halnya kelima informan sendiri yang menjadi pemimpin di tingkat basis, yang hanya berlatar belakang pendidikan SD atau SMP tetapi karena pengalamannya berorganisasi dan bersentuhan dengan para aktivis yang mengajarkan wawasan luas dan keberanian untuk memperjuangkan hak-haknya membuat mereka mampu dan percaya diri untuk memimpin. Persoalannya apakah mereka dapat diberikan kesempatan untuk maju, dan berproses lebih lanjut dalam pergulatan sistem, menjadi tanda tanya besar mengingat sistem rekrutmen yang membatasi partisipasi lapisan masyarakat bawah ke dalam jaringan struktur kekuasaan. X. Fungsi dan Tugas Politisi Mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat adalah fungsi dan tugas utama seorang pemimpin. Mereka yang duduk di legislatif umpamanya, “tugasnya menyalurkan aspirasi rakyat, paling tidak menyampaikannya dalam rapat-rapat dewan”192. Karena jika tidak ada laporan dan pengaduan dari bawah, dikuatirkan para pengambil kebijakan yang ada di atas tidak mengerti. Kalau misalnya ada penolakan dari bawah ditakutkan mereka yang di atas tidak tahu, seperti contoh penyimpangan-penyimpangan dalam penyaluran dana BLT. Contoh lainnya dalam pengurusan fasilitas kesehatan untuk rakyat miskin seperti diperjuangkan ibu-ibu SRMI selama ini. Jika sebelumnya warga kesulitan untuk mengurus kartu keluarga miskin untuk berobat ke rumah sakit, “sampai harus berantem dulu”193 dengan para petugas kesehatan, kini berkat aktivitas advokasi yang dilakukan oleh SRMI jadi “lebih mudah dan lancar asal surat-suratnya lengkap”194. Program jaminan kesehatan rakyat miskin sebetulnya sudah menjadi program resmi pemerintah, dan dengan tegas diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Siti Fadhilah Supari, tetapi praktik di lapangan sering berbeda. Lemahnya fungsi kontrol DPR/DPRD ditandai dengan banyaknya aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan masyarakat. Seharusnya para anggota dewan lebih cepat merespon tuntutan masyarakat, paling tidak menerima aspirasi rakyat yang sedang demo. Ironisnya, justru banyak anggota dewan yang hanya mementingkan fasilitas untuk dirinya sendiri, “asal kenyang saja, dan korupsi merajalela”195. Tugas lembaga legislatif untuk melahirkan undang-undang yang seharusnya pro-rakyat tidak luput dari kritik informan. “Undang-undangnya jangan malah mempersempit ruang gerak buruh, sekarang UU membela pengusaha,”196 tuding salah satu ibu mantan buruh PT Istana. Dalam hal-hal yang spesifik perempuan seperti soal KDRT, trafficking, kesehatan reproduksi dan pelecehan seksual, para informan mengakui sudah berjalannya fungsi legislasi dengan keluarnya berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan. Tapi mereka mengkritik tidak tersosialisasinya perundang-undangan yang ada sehingga “belum banyak yang ngerti mesti lapornya ke mana”197 jika menghadapi persoalan serupa. Mereka juga mengharapkan ketegasan sikap para politisi dalam menjalankan undang-undang, mengingat praktik-praktik seperti KDRT justru makin meluas. Dan di tengah-tengah situasi krisis menyebabkan terjadinya “banyak ibu-ibu yang ngebunuh anaknya, atau bapaknya ngebunuh anak”198 karena tidak sanggup menanggung 192 Diungkapkan oleh Ibu Suryati. Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 194 Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 195 Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 196 Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 197 Diungkapkan oleh Ibu Halimah. 198 Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah. 193 beban hidup rumah tangga. Mereka berharap para pemimpin khususnya yang perempuan dapat memperhatikan kesejahteraan untuk ibu-ibu hamil dan menyusui, terutama ibu-ibu dari kalangan rakyat miskin. XI. Tanggung Jawab Politisi Menyejahterakan rakyat adalah tanggung jawab utama seorang pemimpin. Untuk itu, seorang pemimpin diharapkan bersikap “kritis, wawasannya luas dan mendengarkan aspirasi rakyat”199. Sebagai ibu rumah tangga dari kalangan bawah, seorang ibu pengurus SRMI mengatakan bahwa seorang pemimpin semestinya bertanggung jawab untuk mengetahui kondisi masyarakat bawah, karena “di Jakarta kan kebanyakan masyarakat bawah”200. Khusus kepada pemimpin perempuan, informan juga menegaskan tanggung jawab untuk “lebih memperhatikan kondisi perempuan, tahu apa yang dihadapi perempuan.”201 Secara umum, “mendengarkan suara rakyat”202, terutama rakyat miskin, dan menyampaikan aspirasi rakyat tentang masalah ekonomi khususnya soal kebutuhan pokok. Mereka mengharapkan adanya tokoh perempuan yang bisa mengemban tanggung jawab seperti itu, mengerti dan bisa bicara dengan bahasa yang enak kepada rakyat miskin, bisa bicara dengan tegas ketika menyuarakan aspirasi rakyat, dan “bagus untuk mewakili rakyat miskin di DPR, bisa menyampaikan aspirasi rakyat tentang masalah ekonomi, sembako”203. XII. Harapan Konstituen Kesejahteraan rakyat menjadi harapan utama yang diletakkan di pundak para pemimpin dan calon pemimpin perempuan. Para informan berharap seorang pemimpin “kalau bisa yang bijaksana”204, “sering turun ke orang-orang bawah biar lihat kondisi seperti apa, biar tahu jalannya gimana”205, “terutama tahu kondisi perempuan Indonesia”206, “mendengarkan aspirasi rakyat”207, “bisa menyejahterakan rakyat”208, “diberangus korupsi”209, dan “tegas, berprinsip, jangan mau didikte kiri kanan”210. Pemimpin perempuan “jangan kalah sama pria”211, tetapi juga agar tidak mengulang kesalahan yang sama dengan pemimpin perempuan yang sudah gagal sebelumnya, gagal dalam memperjuangkan agar harga BBM tidak dinaikkan dan harga kebutuhan pokok bisa murah. Mereka juga berharap ada wakil mereka setidaknya di DPR pada Pemilu 2009 nanti yang bisa memenuhi harapan-harapan tersebut. 199 Diungkapkan oleh Ibu Halimah. Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah. 201 Diungkapkan oleh Ibu Suryati. 202 Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 203 Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 204 Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah. 205 Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 206 Diungkapkan oleh Ibu Suryati. 207 Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 208 Diungkapkan oleh Ibu Sulastri. 209 Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah. 210 Diungkapkan oleh Ibu Halimah. 211 Diungkapkan oleh Ibu Halimah. 200 B. INFORMAN KONSTITUEN KELAS MENENGAH (KONSULTAN, LSM, WARTAWAN, TOKOH AGAMA) I. Profil Konstituen Informan terdiri atas empat perempuan muda, yang tiga di antaranya adalah lajang, sementara satu orang adalah ibu muda dengan satu anak. Dengan umur yang tidak terpaut jauh antara 32 – 44 tahun, keempat informan ini merupakan gambaran perempuan muda yang hidup dan bekerja dengan rutinitas yang tidak terlalu berbeda dengan perempuan kelas menengah lainnya.Tetapi, yang membuat mereka berbeda dengan perempuan menengah lainnya adalah aktivitas sosialpolitik yang dijalankan di luar pekerjaan tetap. Sebagai wartawan, pendeta, pekerja LSM, dan konsultan, tentu memiliki pekerjaan rutin yang membutuhkan konsentrasi waktu. Namun, keempat orang ini tetap memiliki waktu untuk kerja-kerja sosial-politiknya. Kesadaran untuk berorganisasi, mengindentifikasikan bahwa di tengah kehidupan Jakarta yang individual dan metropolitan, tidak serta merta menghilangkan solidaritas dan nilai sosial lainnya dari sebagian warganya. Dari profesinya, dapat disimpulkan bahwa keempat orang ini adalah perempuan lapangan yang ruang kerjanya tidak di belakang meja. Dengan latar belakang pendidikan yang cukup tinggi, yakni dua di antara mereka berpendidikan S2, seorang lulusan akademi dan SMA. Mereka memiliki pekerjaan yang beragam, dan sebagian besar (3 orang) selalu bersinggungan dengan banyak orang. II. Kondisi Sebelum dan Pasca Reformasi 1998 1. Perbandingan ekonomi-politik Terdapat perbedaan yang krusial sebelum dan pasca Reformasi1998. Secara sosial-ekonomi, semua informan tidak menolak bahwa zaman Soeharto berkuasa, ekonomi seakan-akan stabil, padahal sebenarnya tidak. Bagi informan wartawan, “memang ekonomi nampak stabil, barang murah, tetapi itu dibangun dengan fondasi yang rapuh. Ada ketergantungan yang kuat terhadap asing”.212 Pada akhirnya, kita yang harus menanggung hutang peninggalan Orde Baru. “Kebebasan berbicara, berserikat, dan organisasi ditentukan dan dikontrol sangat kuat dengan adanya UU Subversif.”213 Penilaian ini, dilengkapi catatan bahwa pada saat yang bersamaan, pelanggaran HAM juga terjadi. Kasus Tanjung Periok memberi catatan tersendiri bagi seorang informan yang keluarganya termasuk salah seorang korban. “Aku ngalami sendiri, dari 84 sampai 98 aku itu sedang mencari jejak ayahku yang hilang dan di situ tidak bisa bergerak bebas, walaupun dulu aku belum mengerti apa itu HAM, dan aku tahu pergi ke Guntur mencari jejak ayahku yang hilang gak tahu ke mana rimbanya, dan saya mendapat tekanan “lu jangan ngomongngomong nanti keluarga mu terancam”. Dan ibu jadi trauma dan saya gak bisa bersuara seperti sekarang. Aku gak ngerti apa itu aksi, apa itu demo, dan dulu kalau ada yang berpidato pasti ada yang bermoncong seperti senjata orang yang berpakaian hijau, sampai 98 kita bungkam.”214 Pandangan para informan tersebut, diperkuat dengan pandangan tokoh agama. “Buat saya, sangat beda, paling tidak, sekarang jauh beda ya. Kalau sekarang itu, sistem demokrasi itu sudah benarbenar mulai dilaksanakan, diwujudkan. Dan perempuan masuk itu sudah beda sekali gitu loh. Di Orde Baru mungkin secara keamanan dan ekonomi mungkin itu tetap tenang, tidak ada kerusuhan, tidak gampang turun ke jalan dan lainnya, tetapi tidak demokratis.” 212 Disampaikan oleh informan wartawan melalui wawancara telepon (sebagai tambahan data) idem 214 Diungkapkan oleh pekerja LSM HAM yang merupakan keluarga korban Tanjung Periok 213 Semua informan menyadari bahwa kondisi pasca reformasi tidak selalu menguntungkan rakyat. Hal ini dibuktikan dengan adanya krisis ekonomi yang terus berlanjut dan harga-harga makin mahal. Angka kematian ibu hamil tetap tinggi dan jumlah TKW kian banyak, karena lapangan kerja di dalam negeri tertutup bagi perempuan-perempuan muda yang tidak mengecap pendidikan tinggi. Informan konsultan mengungkapkan, “...bahwa makin ke sini, orang hidupnya makin sulit. Cuma kan kita tidak bisa menutup mata bahwa ada story behind. Semua peraturan yang terjadi, itu kan juga yah,..kita menanggung hutang-hutang yang dilakukan oleh kabinetnya Soeharto. Jadi mungkin itu dulu hidup lebih gampang yah…mencari pekerjaan juga tidak sesulit sekarang. Harga–harga tidak setinggi sekarang. Jadi kita menanggung beban kebijakan–kebijakan pemerintah waktu di zaman krisis Mbak”. 2. Persoalan sosial-ekonomi Kemiskinan menjadi masalah yang sangat disoroti. Dalam perspektif yang berbeda, sesuai dengan profesi masing-masing, diungkapkan bahwa naiknya harga BBM mengakibatkan beban ekonomi kian tinggi. Akibatnya, terjadi bunuh diri massal ibu dan anak. Sebenarnya ibu-ibu miskin memiliki pengetahuan tentang penyebab mereka miskin. Menghadapi persoalan yang sama memunculkan “semangat kebersamaan” dan senasib dalam bentuk yang paling sederhana, yakni mereka memiliki tema pembicaraan yang disampaikan dalam bentuk saling mengeluh. Perasaan senasib yang tidak menemukan muaranya, memunculkan kekecewaan sosial yang lebih memprihatinkan. Tidak heran, terjadi kasus bunuh diri ibu dan anak. Kondisi ini dianggap sebagai kegagalan negara dalam memenuhi hak dasar perempuan dan anak. Dalam perspektif wartawan, persoalan yang muncul dipahami sebagai bagian dari akses informasi yang berbeda dari tiap kelas sosial. Walaupun dikatakan, bahwa kelas menengah yang memiliki akses informasi tidak serta merta memiliki pemahaman terhadap persoalan sosial-ekonomi yang sedang dihadapi masyarakat. Ada perbedaan kepentingan dan persoalan dalam tiap kelas sosial. Bagi kelas menengah ke atas, sekalipun harga BBM naik, kebutuhan sekunder masih bisa mereka penuhi. Yang menjadi persoalan mereka adalah “bagaimana mengadakan uang untuk dugem, tampil cantik. Ya, hanya seputar yang menguntungkan pribadinya sendiri. Kalau kelas bawah kan, gak seperti itu, problemnya benar-benar kolektif”. 215 Dengan lugas, informan yang bekerja di LSM menilai, bahwa pemerintah sudah tidak ada malu di hadapan rakyat dan juga dunia internasional. “Kayanya sekarang, ibu-ibu sudah tahu sih dengan carut marut, seperti BBM dan beras itu sangat membuat kesusahan rakyat, makanya kita harus mengkampanyekan siapa yang harus kita pilih, soalnya pemerintah kita sudah gak ada malu di mata internasioanal. Walaupun kita demo paling gak, dia hanya berkata biarin aja ntar juga dia berhenti sendiri, begitulah sifat pemerintah kita. Dan kita aja yang menyadari sebagai rakyat, jangan terhibur hanya dengan sebuah amplop dan nilainya, tapi pikirkan anak kita ke depan.”216 Bagi informan konsultan, “negara harus bertanggungjawab terhadap masalah ekonomi saat ini Mbak, presiden yah utamanya. Karena fenomena bunuh diri massal isteri dan anak-anak itu , sangat menunjukkan bahwa beban dan ekonomi sosial itu sudah tidak tertanggulangi lagi oleh perempuan, bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah itu sangat menyulitkan bagi perempuan, tidak berpihak sama sekali”. Dalam penilaian yang utuh, informan tokoh agama mengisyaratkan bahwa Jakarta menyimpan beragam persoalan sosial-ekonomi, juga politik. “Kemiskinan yang paling miskin itu berada di 215 216 Diungkapkan oleh informan wartawan Diungkapkan oleh informan LSM Jakarta, dan kekayaan orang-orang yang mempertontonkan kekayaan yang luar biasa juga ada di Jakarta.” III. Perkenalan terhadap Politisi Tidak hanya ibu-ibu rumah tangga kelas bawah yang mengatakan tidak mengenal politisi di legislatif, ternyata para informan ini pun tidak mengenal secara pasti para anggota legislatif. Hanya beberapa nama yang mereka ketahui, seperti Eva Sundari, Nursyahbani, Andy Rusbandi, Juliana Paris, Tjiptaning, dan Khofifah, selebihnya tidak diingat. Nama-nama anggota DPR dapil DKI Jakarta, hanya dikenal oleh informan wartawan. “...Itu lumayan lo Juliana dan Rusbandi, yang sering dibicarakan di media itu loh. UU Parpol ini sering dimintai pendapat. Lena Marlena juga bagus.” Dalam konteks yang lebih besar, untuk politisi yang pernah menjabat di eksekutif, Megawati masih sering disebut, sekalipun disertai kritik tajam. Begitu juga dengan Siti Fadilah. Pun dengan keberadaan Nursyahbani, seorang informan menjelaskan bahwa “jika sedang hearing di di DPR, jawabannya biasa-biasa saja. Kalau menurut aku, Nursyahbani dari Komisi 3 DPR RI, kalau kita ke sana dan bertemu itu jawabannya biasa-biasa aja seperti kita dari kalangan aktivis dan teman kita. Seharusnya anggota dewan itu lebih punya wawasan, seenggak-enggaknya ada harapan buat kita.” Sementara itu, bagi tokoh agama, Nursyahbani menjadi salah seorang yang dianggap cukup bagus dibanding anggota DPR lainnya. “Saya melihat ada beberapa perempuan yang memang benarbenar punya integritas dan betul-betul berjuang bagi rakyat khususnya perempuan dan kejujuran mereka dan tentunya dari berbagai yang saya kenal itu ada Eva Sundari, dari PDI Perjuangan, kemudian Mbak Nursyahbani dari PKB, lalu kemudian ada beberapa dari PKB kemudian dari PAN juga ada.” Begitu juga dengan informan yang berprofesi sebagai konsultan mengatakan tidak mengenal para anggota DPR, “karena memang saya rasa pertama tidak popular, dan kedua karena saya bukan pengamat politik ya. Saya enggak terlalu konsen dengan itu. Bahkan kalau disuruh menyebutkan, satu nama anggota DPR laki-laki, saya musti mikir juga dulu, apalagi yang perempuannya, karena memang mereka tidak popular menurut saya , hmm kerjanya persoalan perempuan kan banyak sekali ya, tapi jarang sekali kita mendengar persoalan perempuan di bahas gitu di level legislatif ya.. buat saya sih itu menandakan mereka tidak popular...” IV. Komunikasi dan Partisipasi Politik Bagaimana mungkin anggota dewan bisa membuat UU yang mengkriminalkan masyarakat miskin di Jakarta? Pertanyaan yang terlontar dari tokoh agama ini menandakan betapa akutnya persoalan masyarakat tingkat bawah. “Salah satu contoh yang menurut saya paling luar biasa undang-undang yang dihasilkan oleh anggota DPRD di DKI ini yaitu UU Tibum itu, untuk siapa mereka buat itu apakah itu dibuat untuk rakyat kan sama sekali tidak, justru sangat mengkriminalkan rakyat miskin. Bagaimana mungkin anggota dewan rakyat bisa membuat undang-undang yang mengkriminalkan masyarakat miskin….dan masyarakat miskin di DKI ini 70%?” 217 Hal ini juga dikatakan informan wartawan, bahwa pemerintah dan anggota legislatifnya tidak peduli pada masalah rakyat. “Setelah Moeryati menjadi anggota DPD, dia diam aja kok, tidak ada yang dilakukannya, selain acara seremonial saja.”218 217217 218 Diungkapkan oleh tokoh agama (pendeta) Diungkapkan oleh informan wartawan Ketika pembahasan RUU APP, justru yang banyak bicara adalah anggota DPR yang laki-laki. “Iya….iya…RUU APP, kan sempat heboh tuh..ya..tapi waktu itu, yang banyak berbicara anggota dewan yang laki–lakinya ya, ketimbang yang perempuannya. Waktu itu sih ..saya merasa mungkin ya.. waktu itu sempat terlintas kenapa anggota dewan perempuan tidak banyak berbicara, karena posisi mereka serba sulit. Orang katanya berpihak kepada si UU APP itu, dan mereka sebagai minoritas, posisinya terjepit, mau ngomong apa di depan publik? Gitu, mereka kan mewakili partai. Apakah statemen itu juga didukung oleh partainya, ya itu juga jadi dilematik, makanya saya pikir seperti itu.”219 Dalam hal partisipasi politik kelas menengah dalam pemilu, terdapat sikap tidak terlalu peduli. Berawal dari keraguan akan kemampuan dan keinginan baik partai politik untuk melakukan perubahan. Sehingga ketika pemilu, yang terjadi adalah memilih dengan tidak yakin. Setidaknya hal ini terungkap dari pernyataan informan dari LSM, “aku jujur aja dan aku golput dan coblos semua, karena yang berpolitik uang jadi aku itu tidak di permainkan untuk menambah suara dengan langkah yang curang, dan apapun yang menang hari ini, itu sebagai penilaian sebagai rakyat dan menjadi kritikan bagi mereka, bukan hujatan ya.” “Dengan persoalan politik itu kan, sudah menjadi nomor yang kesekian. Orang memilih mungkin sama kasusnya kayak saya, karena terpaksa misalnya dari pada berantem ama mertua gitu. Atau mungkin semata-mata agar suaranya tidak dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Mungkin cuma sedikit dari pemilih yang mencoblos seseorang gitu. Itu minim banget orang yang punya optimis ketika saya memilih ini, saya yakin bahwa dia adalah seorang pemimpin yang baik. I don’t thing so…sejauh ketika masa--masa pemilu gossip--gosip antar sesama teman kantor kayaknya gak ada deh yang memilih karena rasa optimis bahkan yang saya temukan juga, ada satu teman kantor yang simpatisan, tapi cukup loyal dengan satu partai tertentu, dia pun tidak yakin bahwa partai dia bisa menyelesaikan banyak hal gitu.”220 “Jadi menurut saya, orang berpartisipasi bukan untuk perubahan ya…faktor x aja, atau mungkin dari pada partai lain yang menang, mending partai ini aja deh ..walaupun dia tidak optimis, bahwa partai dia sendiri bisa melakukan banyak hal untuk negara ini.”221 Jadi, daripada tidak memilih, atau dituduh tidak berpartisipasi, akhirnya informan pergi juga ke TPS. Ketika berada di TPS, ia pun melakukan golput dengan mencoblos semua partai, sehingga kartu suaranya tidak sah. V. Kekritisan terhadap Politisi Selemah apapun partai politik di hadapan informan, tetap saja parpol menjadi pilihan yang lebih baik dalam sistem demokrasi. “Eh gue sih percaya yang namanya perubahan dengan partai politik. Tapi, kalau sekarang parpol gak bisa dijadikan alat perubahan...Ideologi mereka sebenarnya udah gak punya kok.” 222 Pernyataan ini hendak menegaskan bahwa sejatinya perubahan dapat dilakukan melalui perjuangan partai politik. Walaupun dalam kenyataannya, “...orang sekarang kan banyak yang melihat kalau partai politik sebagai jalan saja, baik politik dan ekonomi”. 223 Kondisi tersebut kemudian mempengaruhi mesin kerja partai secara keseluruhan, termasuk dalam hal mekanisme pencalonan anggota legisltatif. “Ada banyak anggota dewan yang masih konservatif, yang tidak tahu, yang hadir di sana hanya kebetulan perempuan, tapi sama sekali tidak 219 Diungkapkan oleh informan konsultan Diungkapkan oleh informan konsultan 221 Idem 222 Diungkapkan oleh informan wartawan 223 Idem 220 tau kepentingan, tidak punya perspektif tentang perempuan dll. Jadi hadir saja di sana karena tadi KKN atau apalah segala macam, atau karena suaminya”224 Dalam perspektif teologis, dikatakan bahwa saat ini, pimpinan masyarakat tidak ada lagi yang peduli terhadap kaum miskin. Kelebihan dan kekurangan seorang politisi, dalam batas tertentu masih dapat dikategorikan sebagai hal yang manusiawi, lumrah. Akan tetapi, tetap saja politisi yang duduk di legislatif mempunyai tugas dan tanggung jawab sosial-politik yang harus dilaksanakan seperti yang pernah mereka janjikan pada saat pemilu. Bagi informan pekerja LSM, anggota DPR harus memperjuangkan persoalan rakyat, “jangan bisanya bersolek buat apa duduk di DPR kalau ga punya misi dan visi”.225 Dalam pemahaman yang lebih kritis, seorang informan menegaskan, “bahwa anggota dewan itu bukan pemimpin, karena mereka tidak mempunyai syarat-syarat dan kategori sebagai pemimpin”.226 Untuk itu, harus dilihat apa yang telah mereka perjuangkan untuk rakyat, baik secara legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dan harus dilihat berapa banyak kasus yang terselesaikan dan yang diadvokasi. “Saya memilih semua, karena pada saat itu saya tidak menemukan bahwa wakil yang dicalonkan tidak ada yang sesuai dengan hati nurani, dan visi saya…, jadi menurut saya tidak ada yang perlu dipilih.”227 VI. Konsep Kepemimpinan 1. Kepemimpinan pada umumnya Berpolitik masih dianggap tugas yang mulia, demi kemaslahatan bersama. “Politik itu kan tujuannya mulia, kemaslahatan bersama. Nah kalau kepemimpinan politik berarti kepemimpinan yang mengarahkan untuk tujuan itu. Tapi, yang sekarang ini menjadi komersialisasi, jadi kepemimpinan politik tidak ada.”228 Dengan demikian, yang dimaksud kepemimpinan politik adalah yang mengarahkan tujuannya pada kepentingan orang banyak. Seorang informan lain mengatakan bahwa, “pemimpin adalah orang yang betul-betul berjuang bagi rakyat yang dipimpinnya untuk menjawab masalah yang dihadapi oleh rakyatnya, Dan sungguhsungguh bisa dipercaya kata-katanya dan juga perbuatannya dan demokratis tentu saja…”229 “Pemimpin itu lebih fokus pada tanggung jawab yang diberikan kepada dia, karena dia sebagai pemimpin kaya perusahaan, bagaimana turun majunya perusahaan, dan dia harus tahu bagaimana kinerja-kinerja anggota dia di lingkungan kerjanya itu. Yang bermutu itu permimpin yang bisa membawa kinerjanya yang bisa membawa anak buahnya.” 230 Pemimpin yang bermutu adalah yang bisa mendorong kinerjanya menjadi lebih baik, sehingga dapat menuntun anggotanya. Jadi pemimpin yang baik adalah yang bertanggung jawab. Yang pasti, pemimpin itu bukan kerja personal, melainkan kerja kolektif. Apapun kapasitasnya, ketika timnya sukses, maka ia sudah menjadi pemimpin, “karena ketika kita ngomong soal kepemimpinan bukan single person , bukan satu orang saja , tapi satu tim makanya apa pun kwalitas dia, apa pun 224 Diungkapkan oleh informan tokoh agama Diungkapkan oleh informan LSM 226 Diungkapkan oleh informan konsultan 227 Idem 228 Diungkapkan oleh informan wartawan 229 Diungkapkan oleh informan tokoh agama 230 Diungkapkan oleh informan LSM 225 kapasitasnya dia, ketika timnya bisa bekerja, saya pikir dia sudah cukup sukses sebagai seorang pemimpin.”231 2. Kepemimpinan Perempuan Semua informan memahami bahwa kepemimpinan perempuan menjadi jauh lebih baik dibandingkan laki-laki. Perempuan adalah agen perubahan yang memiliki strategi dan jeli dalam memimpin. Pemimpin perempuan lebih detail dalam menjalankan pekerjaannya. Bagi wartawan, kepemimpinan perempuan dibutuhkan, “sangat diperlukan, karena perempuan adalah agen perubahan yang sangat hebat loh. Dia paling banyak cara mendekati segala macam maka seumpamanya memang menjadi perempuan yang berkualitas itu yang paling tidak di dalam keluarga mengkader satu perempuan sama aja mengkader lima orang. Karena di dalam keluarga pasti akan ikut dia gitu loh.” Di dalam rumah, ibu menjadi panutan secara sosial dan religius bagi anak-anaknya. Dalam keadaan genting, perempuan bisa lebih mengendalikan diri. Kepekaan yang dimilikinya, memungkinkan ia merawat lingkungannya, termasuk rumah tangganya. Kesabaran yang dimiliki perempuan, membuatnya mampu memahami proses sebagai bagian yang terpenting dalam mencapai hasil. “Perempuan itu dia lebih peka, terhadap masalah-masalah kehidupan, dia lebih tersentuh dengan persoalan-persoalan kehidupan mungkin karena apa, itu karena dialah yang memberi hidup itu sendiri dari dalam tubuhnya itu keluar harum hidup dan dia terbiasa dalam merawat kehidupan. Oleh sebab itu kepedulian terhadap kehidupan, realitas kehidupan itu menurut saya perempuan lebih peka.”232 Sementara laki-laki cenderung mementingkan hasil akhir. “Coba liat ibu-ibu rumah tangga itu, siapa yang mengatur rumah tangga supaya baik, siapa yang memikirkan agar semua makanan dibagi rata dengan uang yang tidak memadai dari suaminya? Akan tetapi sayangnya, dengan kemampuan seperti itu, perempuan tidak dapat menjadi imam dalam ritual keagamaan.”233 “Perempuan mungkin lebih jeli ketimbang bapak-bapak, dan dia juga memerani sebagai ibu rumah tangga juga dan tahu ukuran di rumahnya dan pasti dia juga tahu di dalam lingkungan kerjanya dari pada sibapak-bapaknya. Dalam rumah tangga, bekerja masih punya anak yang harus memperhatikan gak bisa lewat waktu...Perempuan sejenius apa dia, setitel apa dia, masih mengingat kodrat seorang ibu.”234 Dalam pandangan seorang konsultan, kepemimpinan perempuan menjadi lebih baik daripada lakilaki, yang menghambat adalah soal kemauan. “Perempuan pasti bisa memimpin, kebanyakan perempuankan hidupnya memimpin di rumah tangga, dia memimpin rumah tangganya, dan di kantor juga sekarang kan. Di posisi pemimpin, lebih terbuka untuk perempuan, malah pengalaman saya pribadi kebanyakan organisasi kerjaan saya malah dipimpin sama perempuan. Alasan perempuan lebih tepat menjadi pemimpin salah satunya karena ketelitiannya. Pemimpin perempuan lebih detail dalam menjalankan pekerjaannya”. VII. Nilai yang Dipegang Memegang teguh ideologi Pancasila, maka berarti dapat mengimplementasikan nilai luhur yang harus dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat, berkeluarga, dan bernegara. Untuk itu, seorang 231 Diungkapkan oleh informan konsultan Diungkapkan oleh informan tokoh agama 233 idem 234 Diungkapkan oleh informan LSM 232 politisi perempuan harus memiliki pemahaman dan kesadaran yang dibangun dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Asumsinya, bila seorang politisi mengerti dan menjalankan nilainilai Pancasila, maka berarti ia tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang cacat moral, seperti berselingkuh, KDRT dll. “Ya kalo dia dengan konsisten dengan ideologi, kebijakan apapun harus dengan ideologi. Contohnya seperti Ideologi di Indonesia ini apa? Ideologi Pancasila khan? Ya dia harusnya ideologi dengan itu, bukan dg ideologi parpolnya dia. Seperti selingkuh…yang moral domestik seperti itu jangan harap bisa dipilih sama masyarakat. Walaupun itu pribadi ya”235 “Kepemimpinan publik/umum itu harus punya kualitas-kualitas tertentu, nah kualitas tertentu itu yang saya bilang tadi yang pertama adalah dia berjuang bagi rakyatnya, dan juga yang paling penting adalah dia menggunakan kekuasaan itu untuk kepentingan semua, untuk kepentingan mewujudkan program-programnya kekuasaan itu digunakan”236 Tidak egois dalam berpolitik, juga menjadi nilai yang penting, sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi kepemimpinan. Percaya bahwa kepemimpinan bersifat estafet. Hal ini untuk menghindari kediktatoran seseorang. “Seorang pemimpin itu dia mendorong munculnya pemimpin lain, yang muda yang baru dia harus membuka peluang supaya banyak sekali pemimpin-pemimpin muda yang nantinya menggantikan dia dan mungkin mempunyai kualitas yang lebih.”237 Dalam bahasa pekerja LSM, dikatakan bahwa“...dia harus bijak dan dia sudah tahu target ini mau kemana, dan kalau mempunyai kekurangan dia harus tahu staf mana yang bisa membantu, aku baru sejauh itu saja.”238 “Pemimpin itu yang bisa memimpin dan bisa mengkordinasikan kerja-kerja tim di bawahnya bisa mendistribusikan kerja-kerja dengan baik.”239 Dengan demikian, dibutuhkan sifat yang bijak untuk mampu menjalankan tugas-tugas kepemimpinan. Dalam konteks relasi secara vertikal dengan Tuhan, dikatakan oleh informan tokoh agama bahwa religiusitas seseorang dalam hubungannya dengan Tuhannya, bersifat privat. Untuk itu, tidak perlu dijadikan sandaran nilai atau persyaratan dalam memimpin. “Menurut saya, religius kita itu kan privat yah, itu hubungan saya dengan Tuhan, dan hubungan itu tidak perlu kita jadikan nilai tetapi itu kan nampak di dalam prilaku kita, nah itu tadi orang berpihak kepada rakyat, kepada orang miskin, kepada perempuan itu ada orang-orang yang punya hubungan baik dengan Tuhan, jadi tidak harus dia dengan arti visual, harus begini, begitu, harus pakai rosario, atau bawa tasbih atau berjilbab dll, itu gak perlu menurut saya...”240 VIII. Peran Pendidikan Pendidikan formal tidak terlalu penting, yang penting punya dedikasi kepada rakyat. “Aku membedakan formal dan informal. Informal itu banyak baca buku itu juga belajar, menurut gw pendidikan formal itu tidak penting-penting amat. Karena kadang orang lebih banyak punya dedikasi. Yang mempunyai pikiran Intelektual kan tidak hanya harus mempunyai ijazah saja.”241 Jadi, keintelektualan seseorang tidak identik dengan ijazah atau titel yang ia peroleh. 235 Diungkapakn oleh informan warawan Diungkapkan oleh informan tokh agama 237 idem 238 Diungkapkan oleh informan pekerja LSM 239 Diungkapkan oleh informan konsultan 240 idem 241 Diungkapkan informan wartawan 236 Dua dari informan lain mengatakan bahwa sekolah itu penting selama ia dibarengi dengan kegiatan berorganisasi. Dengan berorganisasi, pengetahuan yang diperoleh di bangku sekolah dapat diasah dan diuji melalui organisasi. Di samping tentu saja peluang bertemu dengan berbagai kalangan menjadi lebih besar, dibanding bila hanya kuliah saja. Informan tokoh agama secara tegas mengatakan bahwa sekolah tinggi menjadi penting. Dengan alasan yang sama, yakni seseorang menjadi lebih mudah bertemu dan membangun jaringan dengan berbagai pihak. “Pendidikan formal paling tidak akan mempengaruhi, yah kita ini kan sudah sampai pada zaman yang tinggi sekali, saya tetap percaya bahwa pendidikan itu mampu merubah. Salah satu alat perubahan sebenarnya itu di dalam masyarakat itu lewat pendidikan.”242 “Dengan pendidikan formal sebenarnya bukan ijazah yang saya kejar, tetapi pengalaman bertemu dengan yang lain dan juga ada hal-hal yang tidak didapat dari luar pendidikan formal, dan itu perlu menurut saya, paling tidak harga diri dll di luar bisa terjaminlah. Saya tidak bilang kalau pendidikan informal itu tidak penting, ya penting. Tapi itu jangan sampai ada ketimpangan karena menurut saya itu sama pentingnya gitu loh...”243 Sedikit berbeda dengan informan tokoh agama, informan dari LSM berpandangan bahwa, “...dia bukan harus pintar atau bertitel. Kalau tidak punya moral dan kejujuran, bagaimana tuh hancur semua, ya?” Informan konsultan lebih menekankan pentingnya pengalaman seseorang, “...tapi ini kan persoalan karakter dan persoalan pengalaman. Ketika seseorang pengalamannya banyak, walau pun dia pendidikannya mungkin tidak setinggi yang lainnya, ya, saya yakin dia bisa memimpin timnya dengan baik. Beda dengan orang yang hidupnya sekolah, tapi gak punya pengalaman berorganisasi, gak punya pengalaman riil, ya buat saya sulit sekali orang itu untuk survive memimpin sebuah timnya karena organisasi dan kelompok itu, gak di pelajari di sekolah kan? Gak ada teorinya”. IX. Fungsi dan Tugas Politisi Tugas legislasi, anggaran, dan pengawasan, secara formal dijalankan hampir semua anggota DPR, sekalipun hanya datang dan mendengarkan tanpa berpartisipasi aktif. Akan tetapi, tugas dan fungsi anggota legislatif tidak hanya pada formalitas, melainkan harus dinyatakan dalam tindakan yang jauh lebih konkrit. Pembelaan pada masalah rakyat menjadi hal penting yang harus dijalankan oleh anggota DPR. “Ada anggota DPR yang kerjaannya hanya dandan sampai kita menjulukinya wanita penampilan tercantik...Ya kalau rakyat melihat shoping bermegah-megahan, sedangkan rakyat busung lapar, berarti wakil rakyat gak punya empati kepada rakyat. Itu bukan sesosok pemimpinlah. Secara fomal tugasnya dijalankan, tapi seharunya dipraktekkan, misalnya pembelaan ke ibu-ibu.” 244 Anggota legislatif yang perempuan mempunyai tugas khusus dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi perempuan. Dalam semua aspek, ia harus hadir menyuarakan kepentingan perempuan, setelah itu ia baru memperjuangkan kepentingan daerahnya atau kepentingan lain. Dengan demikian, seorang anggota legislatif harus mampu dan mengetahui apa saja yang harus ia kerjakan dan perjuangkan selama menjadi wakil rakyat. “...Dalam semua aspek di sana, dia sebagai politisi perempuan harus hadir untuk menyuarakan 242 Diungkapkan oleh tokoh agama idem 244 Diungkapkan oleh informan wartawan 243 yang pertama sekali ialah kepentingan perempuan baru yang kedua adalah kepentingan yang lain...kami harap memang seperti itu.”245 Dalam pemahaman pekerja LSM, yang jelas anggota DPR, “...harus menunjukkan wibawanya, membuktikan kerja-kerjanya dan tanggungjawab. Dan jangan menonjolkan kepintaran dia, namun di belakang dia gak tahu apa dan tidak di kerjakan.” Sementara bagi informan konsultan, tugas anggota DPR adalah memberi masukan atau memecahkan persoalan masyarakat. “..Lebih sensitif, itu maksudnya dia tahu persis kendala yang dihadapi oleh timnya dia. Bisa ngasih masukan, bagaimana cara memecahkan persoalan bila itu sudah tidak bisa dipecahkan lagi. Jadi kenapa dia punya nilai lebih karena, dia memang dibutuhkan untuk memberi masukan.”246 X. Tanggung Jawab Politisi Tanggung jawab utama anggota legislataif adalah membuat masyarakat sadar politik. Dengan sadar politik, maka masyarakat bisa melakukan perubahan yang lebih baik bagi kehidupannya. “Membuat masyarakat sadar politik, dengan sadar politik, maka masyarakat bisa melakukan perubahan. Kedua, membawa aspirasi rakyat.”247 Menemui masyarakat secara langsung untuk mengetahui dan mendengarkan persoalan sosialekonomi yang dihadapi merupakan salah satu tanggung jawab anggota legislatif. “Saya kira harus langsung kepada rakyat melakukan pendidikan pemberdayaan, pendidikan penyadaran dan juga mengembangkan ekonomi kerakyatan.”248 Bagi informan konsultan, tanggung jawab anggota DPR adalah berhubungan dan menemui dengan rakyat. “Dia gak usah terlalu banyak duduk – duduk di gedungnya yang mewah, dia harus lebih banyak bekerja dengan grassroot-nya”. “...Dan harus lebih disiplin dan lebih mengerti kehidupan rakyat di luar, dan dia harus tahu dan sportif kerja dan tanggung jawab, ” demikian ungkap informan LSM. XI. Harapan Konstituen Para politisi perempuan, harus punya kredibilitas dan intensibilitas. Mereka harus sadar, bahwa keberadaan mereka di parlemen, karena didukung rakyat. Untuk itu, harus bekerja sepenuh hati memperjuangkan kebijakan yang pro-perempuan. “Ya,…mereka harus punya kredibilitas dan intensibilitaslah, mereka harus sadar. Sesadar-sadarnya, bahwa mereka itu kerja di situ tidak lain hanya untuk kepentingan semua.”249 Perempuan harus diperjuangkan secara khusus oleh anggota legislatif yang perempuan. Perempuan harus lebih kuat mengingatkan anggota DPR yang perempuan untuk terus berjuang. Jadi, sesama perempuan harus saling menguatkan dan mengingatkan. Dengan adanya kontrol yang kuat dari sesama perempuan, dapat mengingatkan anggota dewan untuk serius bekerja dan berjuang. “Memperjuangkan undang-undang yang mementingkan kepentingan perempuan dengan seluruh produk perundang-undangan yang dibuat...memasukan seluruh kepentingan perempuan, itu yang saya mau, dan mereka betul-betul berpihak kepada perempuan. Hadir di sana itu sebagai orang yang memperjuangkan nasib perempuan. Karena saya tidak bisa berharap ada laki-laki yang bisa memperjuangkan itu.”250 245 Diungkapkan oleh informan tokoh agama Diungkapkan oleh informan konsultan 247 Diungkapkan oleh informan wartawan 248 Diungkapkan oleh tokoh agama 249 Diungkapkan oleh informan wartawan 250 Diungkapkan oleh informan tokoh agama 246 Begitu juga dengan harapan dari pekerja LSM yang mengatakan, “...harapan aku sih...perempuanlah yang harus lebih kuat corongnya untuk menyampaikan kepada anggota DPR, dan saling mengingatkan pada yang lain. Walaupun dia perempuan, dia jugakan wakil DPR, dia harus memantau dan jeli, dan harus melihat pendidikan sembako dan BBM ini, itu membuat rakyat tercekik, seperti buku pelajaran setiap tahun berganti terus.” Sementara itu, informan dari konsultan menyatakan pesimisnya kepada anggota DPR, “kalau saya terus terang pesimis tuh Mbak, ada hak dengar, tapi tak ada hak untuk berbuat sesuatu, dan ketika mereka punya hak dan kita sebagai orang yang memilih mereka tak mempunyai hak gitu...untuk meminta mereka benar-benar serius untuk memikirkan keluh kesah orang-orang”. C. INFORMAN POLITISI (DPR RI, DPRD, PARTAI POLITIK) I. Profil Politisi Para ibu yang berpolitik ini terdiri dari enam orang perempuan yang mapan secara usia dan ekonomi. Mereka memiliki keluarga dengan posisi pekerjaan suami yang cukup beragam (PNS, wiraswasta, pensiunan guru, pekerja asuransi, penulis, dan kontraktor). Dengan jumlah anak yang juga beragam. Lima di antaranya berusia 50-68 tahun, hanya seorang informan yang berusia 37 tahun. Sebagai anggota legislatif dan pengurus parpol, mereka memiliki latar belakang pendidikan yang setara, semua lulusan S1/S2, terkecuali seorang lulusan D3. Tingginya pendidikan mereka, mencerminkan eksistensi mereka sebagai kelas menengah yang terdidik. Keempat anggota DPR ini terdiri dari anggota Fraksi PDI Perjuangan (DPR RI), anggota Fraksi PKB (DPR RI), anggota Fraksi PKS (DPRD), dan anggota Fraksi Demokrat (DPRD). Satu di antaranya memiliki posisi politik yang sangat strategis sebagai ketua salah satu komisi. Sementara tiga orang lainnya, sebagai anggota komisi dengan bidang yang berbeda-beda. Untuk pengurus partai politik, satu orang mewakili pengurus tingkat anak cabang (kecamatan) dari PDI Perjuangan. Satunya lagi pengurus pusat PBR. Keragaman posisi ini diharapkan dapat memberi gambaran yang komprehensif mengenai kualitas perempuan dari beberapa sudut pandang. II. Kondisi Sebelum dan Pasca Reformasi 1998 1. Perbandingan ekonomi-politik Menanggapi dominannya pandangan konstituen tentang kestabilan ekonomi zaman Suharto, seorang anggota DPR RI mengatakan bahwa hal itu menandakan gagalnya partai politik. “ Penilaian itu kegagalan partai-partai politik yang ada tidak bisa mengemas dan tanggap pada penderitaan rakyat. Ketika Megawati berkuasa, juga kita harus jujur. Kita ini susahnya tidak dibudayakan otokritik, sehingga itu dirasakan rakyat tidak ada artinya oleh rakyat, apalagi menyusahkan rakyat...Statemen-statemen kegagalan partai politik dan kegagalan reformasi bisa menjabarkan seolah-olah rakyat akhirnya melegitimasikan zaman Soeharto enak.”251 Bagi anggota DPR RI lainnya, hal itu muncul karena beberapa hal. “Ya...karena variabel-variabel yang paling kelihatan publik kan dari sisi kebebasan, ada ruang juga dan reformasi. Kesalahan kita itu adalah kita tidak mereformasi strukturnya. Prioritas manejemen kita kan di gerakan oleh demokrasi. Di saat kita reformasi dulu, transisinya belum selesai betul, sehingga ada perebutan nilai-nilai lama mencari tempat masing-masing, ini kan gak pada tempatnya. Bayangin pejabat negara zaman Orde Baru masih terus berkuasa. Dan menurut saya, struktur birokrasi tidak gerak sama sekali, kecuali di media ada kebebasan, ya, itu siapa sih Wiranto dan Prabowo? Malah kita menumbangkan nilai lama, tetapi kita tidak bisa menduduki nilai baru. 251 Diungkapkan oleh anggota DPR RI FPDI Perjuangan. Dalam hal ini yang bersangkutan bukan dari Dapil DKI Jakarta. Walau awalnya diharapkan dapat mewawancara DPR RI Dapil Jakarta. Proses transaksi kita kan begitu, kadang-kadang ada yang arah reformasi ini dilacurkan, di sabot.”252 Khusus untuk perempuan, Orde Baru berhasil mereduksi nilai keluarga dan masyarakat menjadi nilai yang menjaga kemapanan politik Soeharto. “...Dulu perempuan masih lemah, kurang, dan kesempatan juga kurang. Perempuan maunya gimana, harus punya keberanian, punya bekal, wawasan yang lebih luas, bisa benar-benar mandiri seperti yang lain.” 253 Tetapi, sekarang, “perempuan yang berkiprah di dunia politik meningkat, secara jumlah meningkat. Belakangan ini organisasi perempuan kan sangat gigih memperjuangkan kuota 30 persen, bertahun-tahun akhirnya berhasil juga sekarang, tapi kita ngga bisa langsung pakai angka-angka (kuantitas) harus pakai kualitas juga. Sekarang kelihatanya kan baru disetujui, artinya dilaksanakan benar-benar, di KPU juga kalau ngga ada 30 persen dikembalikan, itu sudah kemajuan yang luar biasa...”254 Hal ini juga dibenarkan oleh informan pengurus partai, “semakin bagus, makin banyak tokoh perempuan...”255 Dari kacamata pengurus partai di tingkat kecamatan 256, apa yang dikatakan senada dengan pendapat informan pada umumnya, bahwa secara sosial, “pada zaman reformasi ini sudah banyak kemajuan, dan secara individu yang kita tidak tahu, darimana mereka akan mendapatkan uang? Sosialnya sudah buruk, apa-apa mahal, tapi kenapa orang-orang kaya justru ngebangun rumahnya ya, perusaahan, mall-mall banyak. Padahal ekonomi di Indonesia ini sudah buruk. Apakah pemerintah tidak berpikir gitu, dengan masuknya ekonomi global, maka bertambah hancurlah ekonomi di Indonesia ini.” Kemudian, secara politik informan tersebut mengatakan bahwa, “banyak tekanan pada zaman sebelum reformasi. Partai (Golkar) memaksakan kehendaknya terhadap partai yang kecil (PPP dan PDI).” 2. Persoalan sosial-ekonomi Secara politik, persoalan sosial-ekonomi yang dialami rakyat dipahami sebagai akibat keputusan politik yang tidak memikirkan dampaknya bagi kehidupan perempuan dan anak. Dalam pemahaman anggota DPR RI257, “sebetulnya kalau kita mau mengacu pada UUD 45 ada perbedaan tentang itu, warga Indonesia di tanggung oleh negara, kesehatan pendidikan, pangan, dan papan. Kalau sekarang masih buruk sekali, karena rakyat buruh masih miskin. Sebenarnya uang diminta buruh sangat dasar banget deh, untuk kesejahteraan rakyat, tapi sekarang ini belum terpenuhi. Kalau di bilang upah buruh sudah naik 40 persen, BBMnya sudah 30 persen, dan kalau ada kenaikan BBM berarti ada pengurangan buruh, PHK terjadi sehingga pengangguran bertambah. Persoalan pengangguran, pemerintah mau simpelnya aja, pekerja ke luar negeri, akhirnya ada penganiayaan...” Tidak berbeda dengan pendapat informan lainnya, anggota DPR RI ini menyatakan bahwa, “ketika 252 Sama halnya dengan informan anggota DPR RI yang pertama, informan yang ini juga bukan dari Dapil DKI Jakarta 253 Diungkapkan oleh anggota DPRD dari FPKS 254 Diungkapkan oleh anggota DPRD dari FDemokrat 255 Pengurus pusat PBR 256 PDI Perjuangan wilayah Jaksel 257 Anggota FPDI Perjuangan ada BBM saya tidak melihat ada kartel, tapi bahwa ada susu anak yang dikurangi dalam anggaran itu. Belanja-belanja nutrisi bagi Ibu hamil itu akan berkurang dan itu mindset yang ada pada kita.” “Kalau ibu-ibu, ya memang banyaknya mempertanyakan tentang sekolah, rumah sakit, pegang kartu 258 Gain.” Naiknya harga BBM dan sembako menyebabkan anak-anak kekurangan gizi karena orang tua tidak mampu membeli susu. Pemakaman, restribusi, dan pembuatan KTP menjadi persoalan yang sering dialami warga Jakarta, di samping masalah lain seperti guru bantu, biaya kesehatan, dan biaya pendidikan. Paling tidak, persoalan ini yang sering disampaikan oleh warga ke DPRD. Di samping masalah tersebut, menurut informan pengurus partai tingkat kecamatan, kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi masalah utama yang dihadapi ibu-ibu. Sementara informan dari partai lain mengatakan prioritas kerja partainya, “kita lebih konsen ke guru, nelayan, petani, daripada profesi”. III. Perkenalan terhadap Konstituen Semuanya mengatakan mengenal konstituennya, kecuali informan dari PBR, yang secara jujur mengatakan tidak mengetahui konstituen atau massanya. Pertanyaannya, bila anggota DPRD mengenal konstituen, lalu mengapa ibu-ibu di lima wilayah mengatakan sebaliknya? Setidaknya, mereka memiliki ukuran tersendiri. Bagi anggota DPR, mengunjungi konstituen saat reses adalah upaya mendekatkan diri dengan rakyat. Persoalannya, perempuan dan warga pada umumnya memahami kehadiran anggota secara fisik sebagai bentuk konkrit perkenalan mereka. Dijelaskan seorang anggota DPR RI, bahwa untuk mengenal konstituen, tidak hanya lewat reses. Banyak cara yang bisa digunakan secara dua arah, sehingga anggota DPR benar-benar dingat oleh rakyat. IV. Komunikasi dan Partisipasi Politik Komunikasi politik dipahami sebagai penempatan anggota dewan yang perempuan di posisi strategis. Hal ini diasumsikan akan membuka kesempatan bagi perempuan untuk berbicara di media massa, sehingga pendapat dan kebijakannya diketahui oleh masyarakat luas. Dalam hal ini, komunikasi yang dijalin searah dan diprioritaskan melalui media massa. Akan tetapi, ada anggota dewan yang tetap melihat turun ke bawah sebagai komunikasi yang efektif untuk mengetahui persoalan rakyat. Anggota dewan dapat mensosialisasi program pemerintah yang dibutuhkan. “Justru kita reses perorangan, biasanya perjalanan dinas itu harus eksekutif-eksekutif, tapi buat aku ga perlu. Gue ketemu eksekutif selain melalui kepartaian, orangorang umum karena itukan ketemuan 24 jam pelaporan-pelaporan orang miskin basis orang miskin kita bicarain dulu tentang akseskin. Nah itu yang selalu gue pergunakan itu. Malah ga pernah, paling sekali ketemu bupati, masalah pengawasan anggaran APBN rumah sakit, karena gue pikir ga ada perlunyalah pejabat itu. Yang penting ketemu konstituen melalui jalur partai atau ranting, dan orang-orang umum.”259 Mendatangi warga di perkampungan dilakukan secara teratur oleh beberapa partai. Ada partai yang memang membagi tanggungjawab anggotanya yang duduk di DPR berdasarkan kecamatan, sehingga komunikasi dengan warga terus terjalin. Berbagai kegiatan sosial dilakukan, seperti pengobatan gratis, senam, pengajian. Seorang informan di DPRD, mengungkapkan cara berkomunikasi dengan konstituen berdasarkan arahan partainya. “Kita dari PKS ada enam anggota 258 259 Dungkapkan oleh anggota DPRD FDemokrat Diungkapan oleh anggota DPR RI FPDI P legislatif (caleg) yang dari Jakarta Timur. Dari enam orang itu dibagi-bagi per kecamatan, masingmasing satu aleg itu mengurus 2 kecamatan. Saya sendiri di kecamatan Jatinegara dan Kampung Makasar. Kita ada kerja sama dengan 2 kecamatan itu, kita kumpul di pengajian-pengajian, atau kita kumpul di struktur PKS-nya sendiri, kalau kecamatan itu istilahnya pimpinan cabang...Kita keliling dengan jadwal-jadwal tertentu, diundang atau tidak diundang kita datang, kita bikin jadwal dengan mereka untuk mengetahui apa sih masukan dari mereka, juga solusinya.”260 “Saya sangat sering mendatangi basis, terutama orang-orang Tionghoa, ibu-ibu PKK di Jakarta Barat. Kita di DPRD punya yang namanya reses setiap tiga bulan sekali, kalau dulu tidak ada sistem itu tapi sejak saya bergabung saya memprogramkan ada reses setiap tiga bulan sekali. Ketemu dengan masyarakat, kemudian ada talk show di Walikota Jakarta Barat, nah itu yang datang dari seluruh perwakilan masyarakat.” Demikian informan anggota DPRD261 mengungkapkan pola hubungannya dengan konstituen. Sementara itu, bagi pengurus parpol yang bukan anggota dewan, dikatakan bahwa tugas anggota dewan tidak hanya di internal partainya. “Yang saya sayangkan, anggota dewan yang perempuan, karena mereka hanya berbicara tentang konstituennya saja, tentang partainya saja, tidak pernah berbicara di luar itu. Mereka tidak tahu bahwa sebagai anggota dewan dia itu wakil rakyat, itu harusnya apapun yang didapat, permasalahnya atau persoalan apapun yang dihadapin sekarang selama dia masih menduduki jabatannya itu harus disampaikan ke masyarakat luas, bukan hanya ke partainya”.262 Persoalan dan solusinya harus disampaikan ke masyarakat, sehingga terjadi komunikasi yang lebih luas. Bagi pengurus pusat PBR, keterlibatannya di partai politik belum terlalu lama, sehingga wajar tidak mengenal masyarakat. Sesekali mengikuti rombongan ketua umum berkeliling kampung. Tetapi, itu pun belum membuatnya merasa cukup tahu tentang persoalan masyarakat. V. Kekritisan terhadap Sesama Politisi (dan Tanggapan Balik) Menurut informan dari DPR RI, dari 11 persen anggota DPR yang perempuan, hanya 60 persen yang berkualitas. Yang jelas, masing-masing partai mempunyai mekanisme perekrutan sendiri, sehingga sedikit sulit untuk menentukan kualitas seseorang. “Banyak pengusaha di DPR, loh beda kalau masuk DPR, pakai kalkulator; kalau saya ke DPR itu bawanya buku, jadi memang beda aksentuasinya”. Begitu juga kritik yang dilontarkan anggota DPR RI lainnya, “dan gue pernah mengalami ketika persoalan buruh, kita dekati teman buruh, ternyata dekat sama manejemen itu, mengkhianati rakyatkan? Sebetulnya wakil rakyat di DPR ini bukan wakil rakyat lagi, tapi wakil partai. Tanya lagi partainya tinggal bagaimana harusnya kita wakil partai wakil rakyat juga, apa sih yang dimaukan rakyat? Oh menolak BBM. Di luar, rakyat menolak BBM, di sini votingnya kalah, seharusnya votingnya menang kenaikan impor beras. Tidak setuju sama impor beras, tetapi di sini akhirnya menang, dan itu yang membuktikan ketidakseriusan, padahal gua lagi mimpin rapat teman-teman, jangan saatnya kita butuh rakyat, tapi sekarang wakil rakyat yang butuh, apa sih yang diperjuangkan? Jangan cuma waktu kita butuh aja, sekarang dia menilai nah rakyat ini sangat jeli, apa sih yang diperbuat rakyat itu kalau gue pikir ngapain sih gue capek-capek begini ya? Gak bisa. Banyak juga DPR di sini sebetulnya males juga diplomasinya, kita disini bikin UUD dan budget, kalau kita menerima asperasi terus buat apa UUD, kalau gitu kan kita gak pro ke rakyat.” 260 Diungkapkan oleh DPRD FPKS Diungkapkan oleh DPRD Fraksi Demokrat 262 Diungkapkan oleh pengurus partai tingkat kecamatan 261 Kritikan ibu-ibu di lima wilayah tidak ditolak oleh anggota DPR RI lainnya. Bahwa memang kualitas anggota perempuan di DPR, tidak dapat diharapkan. Banyak yang hanya mengutamakan penampilan. Keadaan ini seia dengan apa yang diungkapkan pengurus partai di tingkat kecamatan. Ironisnya anggota dewan justru meremehkan warga yang melakukan aksi menuntut haknya. Sebaliknya, yang mereka lakukan sangat tidak pantas untuk seorang pemimpin. “Anggota dewan yang bercermin atau dandan sewaktu rapat, saya kutuk itu.” Beberapa informan lainnya, tidak memberikan penilaian terhadap kinerja dan keberpihakan sesama anggota DPR maupun sesama pengurus partai. VI. Konsep Kepemimpinan 1. Kepemimpinan pada umumnya Bagi anggota DPR dan pengurus parpol, makna kepemimpinan tidak berbeda jauh dengan informan lain. Anatar konsep dan praktek harus seimbang, seperti yang dikatakan oleh informan DPR RI263, “...orang kalau berteori banyak, tapi realistis dia lakukan ga? Contoh, buruh datang 250 ribu, teman-teman ga ada yang mau nemanin, karena dia risih, dan dia banyak ngomong janganlah, nanti dilemparnya batu, kok buruh sejelek itu sih? Tapi gue naik, ga ada seperti itu. Mungkin merasa ketika itu dia punya jabatan. Harus memimpin, kalau ga memimpin itu pemimpi kurang satu huruf tapi sudah beda artinya ya. Resikonya harus panas-panas harus capek-capek. Ketika datang, ya, harus kita temuin. Pemimpin itu tidak memimpin di belakang meja, itu namanya mimpi terus, tidak konsisten dan banyak terjadi”. Dikatakan bahwa pemimpin sejati bisa mengayomi dan tegas, memberikan ketenangan dalam arti hak hidup. Secara garis besar, pemimpin adalah orang yang bisa me-manage bawahannya. Siapapun orangnya, harus sehat fisik, akal, dan mentalnya. “Kalau saya seorang pemimpin sejatinya yang bisa mengadopsi kepentingan orang lain, memberikan ketenangan dalam arti hak-hak hidup, kalau dari sisi odopsinya yaitu mengayomi. Saya kira itu yang selama ini belum kita dapati, di samping itu mungkin indikator lain mungkin dari sisi ketegasan juga. Saya kira itu kalau dari sisi moralitas berlaku umum.”264 Menurut anggota DPRD265, “seorang pemimpin itu bisa me-manage bawahannya yang dipimpin, bisa mempengaruhi bawahan-bawahannya.” Lebih jauh lagi, seorang informan mengasosiasikan dengan kepemimpinan tentara dan Ki Hajar Dewantoro, di depan memberi contoh, di tengah memberi motivasi, dan di belakang memberi dorongan. “...Begini, ada dua konsep kepemimpinan. Menurut ABRI itu ada 11 azas kepemimpinan, diantaranya yakni: Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karso, Ing Ngarso Suntulado, didepan memberi contoh, di tengah memberi motivasi dan dibelakang memberi dorongan. Seorang pemimpin juga harus legowo, bisa regenerasi, jangan sampai dia maunya terus berkuasa, ngga mau turun. Handar Beni, seperti ayam bisa mengayomi anak-anaknya. Prasojo, hidup sederhana jangan foya-foya; geminastiti, hidup hemat, banyak lagi ...saya aga lupa, tapi ada 11 asas.”266 263 Anggota F PDI Perjuangan Diungkapkan oleh anggota DPR RI FPKB 265 Anggota FPKS 266 Diungkapkan oleh anggota DPRD FDemokrat 264 Baginya, pemimpin harus seperti bulan, bulan itu tidak menyilaukan, tidak sombong. Dan pemimpin itu harus seperti angin, bisa ke mana saja. Dan bisa seperti tanah, dia diinjak, diludahi, tetapi diperlukan. Juga bisa seperti air, dan bintang. Bagi pengurus parpol, apa yang dimaknai tentang pemimpin terasa lebih mendekat dengan kebutuhan warga.Dan yang terpenting, pemimpin harus mempunyai hati nurani. “Pemimpin adalah mereka yang banyak memperjuangkan hak rakyat, dan mereka yang bisa hidup seperti rakyat, bukan yang dari konglomerat terus jadi pemimpin.”267 Pengurus parpol yang lain mengatakan bahwa, “pemimpin itu orang yang bisa memberi contoh yang nyata, bukan sekadar bicara harus begini-begitu tapi juga melakukan itu.”268 2. Kepemimpinan Perempuan Latar belakang seseorang menentukan cara pandangnya. Dalam pemahaman anggota DPR yang berasal dari Fraksi PKS, pemimpin perempuan sedikit berbeda dengan pemimpin laki-laki, karena fitrahnya berbeda. Pemimpin perempuan memiliki keistimewaan yang lebih dibanding laki-laki. Dengan peran ganda yang diembannya, perempuan memiliki kemampuan me-manage rumah tangga, organisasi, dan masyarakat. Pandangan ini serupa dengan anggota DPR lainnya, juga pengurus partai. Perempuan lebih mampu dan kuat daripada laki-laki. “Dan jika sekarang yang memimpin perempuan, saya yakin tingkat korupsi menurun.” Menurut informan DPR RI, “kalau kepemimpinan perempuan seutuhnya sih tidak ada problem, bisa di terima masyarakat bisa memberikan contoh”. Pernyataan ini diberikan dengan catatan kritis yang dapat menggambarkan realitas perempuan sekarang. “Memang lucu juga, perempuan katanya tidak dikasih kesempatan, padahal kita harus merebut kalau bisa kita lebih dari 30 persen karena kita wanita, tetapi dari sisi lain buat apa juga banyak-banyak anggota DPR perempuan, kalau ga pernah bersuara juga menyuarakan tentang perempuan atau anak-anak, soalnya hubungannya ini soal anak dan keluarga ga pernah bersuara. Dandan kitanya minta ampun, minta ampun senang aja mereka berdandan, tetapi ga sesuai. Untuk apa dia DPR ini kan bisa di hitung juga PDI siapa sih...PKS siapa...GOLKAR siapa? gitu-gitu kan bisa di hitung itu, ga juga harus 30 persen itu.” Sisi humanis perempuan lebih menonjol dalam penentuan kebijakan. Sebagai contoh, dalam kasus kenaikan BBM, politisi perempuan akan langsung mengaitkan mahalnya BBM dengan kesanggupan ibu rumah tangga memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sementara politisi lakilaki cenderung melakukan kapitalisasi dalam tiap kebijakan politiknya. Hal ini diungkapkan oleh informan DPR RI lainya, “...saya kira perempuan yang bisa melayani masyarakat, perempuan punya potensi ingin tahu sebenarnya tiap individu dalam sebuah keluarga juga; saya tidak mengkhususkan pemimpin perempuan dan laki-laki, saya pikir perempuan lebih care ya...politik tangan kita, kalau dihitung dari laki-laki kapitalisasinya, kalau perempuan agak beda melihatnya dari sisi kebutuhan dari sisi keringnya ya...dari sisi manajemen pengelolaan pasti sering budget-nya”. Seorang informan dari DPRD lebih menitikberatkan pada kesehatan fisiknya. “Saya berpikir siapa pun orangnya harus sehat fisik, harus kuat, karena diperlukan ketika harus mobile, fisiknya harus kuat. Juga mental dan spiritnya juga kuat karena harus menghadapi berbagai macam hal di lapangan.”269 267 Diungkapkan oleh pengurus parpol tingkat kecamatan 269 Anggota FPKS Menurut anggota DPRD tersebut, perempuan sudah menjadi pemimpin sejak di rumah. “Di rumah tangga saja kita telah jadi pemimpin, jadi pemimpin itu nggak hanya yang di organisasi, tapi juga pemimpin di rumah tangga. Ada yang dominan isterinya dan banyak yang dominan suaminya. Baik laki-laki atau perempuan, asal bisa memiliki asas menurut ABRI dan Bagawad Gita.”270 Bagi pengurus partai, pemimpin perempuan itu, “harus memiliki leadership, di samping punya skill, wawasan luas juga loyalitasnya terhadap komunitasnya, konstituennya. Juga harus memahami permasalahan di bawah secara kongkret. Jadi seorang pemimpin bukan hanya pandai bicara tapi juga pandai memberi contoh yang baik bagaimana cara menolong rakyat, dan bagaimana cara berbicara kepada rakyat dan apa yang harus diberikan kepada rakyat.”271 Lebih jauh dikatakan bahwa, “pada dasarnya perempuan itu lebih mampu dari laki-laki, dan itu mau tidak mau harus diakui, bahwa perempuan itu lebih kuat dari lelaki. Dan jika sekarang yang memimpin itu perempuan, saya yakin tingkat korupsi itu gak ada”.272 Pemimpin perempuan lebih memahami, karena dampak kenaikan BBM, sembako dan segala macam, apa yang dirasakan ibu-ibu rumah tangga. Dan bila ada pemimpin perempuan, kalau dia tidak bisa merasakan situasi seperti itu, akan sangat disesalkan. Tetapi, diyakini bahwa perempuan itu sangat memperhatikan kenaikan bahan-bahan makanan dan ikut merasakan hal itu. VII. Nilai yang Dipegang Dalam konteks perpolitikan Indonesia, karisma dipercaya sebagai hal yang menentukan kepemimpinan seseorang. Ditegaskan, hal ini bukan berarti menghidupkan feodalisme. Karisma dalam konteks ini berbeda dengan feodalisme. Yang jelas, dibutuhkan bakat-bakat tertentu sehingga seseorang bisa memimpin. “Saya lihat ada bakat, karena itu karisma bukan artinya mengumpulkan feodalisme. Emang orang punya intensi kemudian bisa dikuatkan. Kemudian punya bakat-bakat tertentu, semua orang punya saya kira itu, tapi ukuran itu ada mungkin di setiap jenjang dan level, misal dia unggul di leadership tapi yang lain nol, kalau yang kita mau pemimpin yang paripurna.”273 “Ya pengaruhnya sedikit, itu masalah pendidikan agama. Yang penting begini, wakil rakyat yang khususnya perempuan, dia bisa mengerti siapa sih yang kita wakili, misalnya komunitasnya rakyat miskin, ya dia harus turun, makanya lucu kita dibilang partai wong cilik, tapi kita glamor sasaknya dan perhiasanya mentereng dan ketemu rakyat miskin, ibu saya ga bisa bayar uang kontrakan, anak saya sakit, dan dia bilang begini-begini, kenapa ga dicopot aja perhiasannya? Buat batin rakyat, itu menyakitkan hati rakyat loh...mengeluh di depan kita dan kita bilang ga ada, tetapi perhiasan kita mentereng begitu, kalau pendidikan gampang di raih, sekolah persamaan ada, tapi hati nurani dia bisa menjiwai kalau kita dari wong cilik ya harus bisa wong cilik, tidak lari dari mereka dan tidak ada jarak.”274 Kompentesi menjadi bagian penting yang dianggap mempengaruhi seseorang dalam memimpin, termasuk dengan tidak meninggalkan fitrahnya sebagai perempuan. “Asal dia punya kompeten, kemampuan di sisi itu dan tidak meninggalkan fitrah.”275 270 Anggota Fdemokrat. Lihat konsepnya tentang pemimpin Diungkapkan oleh pengurus PDI Perjuangan tk kecamatan 272 idem 273 Diungkapkan oleh informan DPR RI PKB 274 Diungkapkan oleh informan DPR RI FPDI Perjuangan 275 Diungkapkan oleh DPRD dari Demokrat 271 Kesombongan menjadi sifat yang harus dihindari bila ingin menjadi pemimpin, tidak saling menjatuhkan sesama perempuan. Dengan kata lain, sesama perempuan harus saling mendukung dan menguatkan.276 Dan peduli kepada orang lain juga menjadi nilai yang diungkapkan oleh informan pengurus partai lainnya.277 Bagi pengurus tingkat kecamatan, moral pemimpin menjadi sangat penting. Moral ini akan menentukan loyalitas seseorang dalam berpolitik, termasuk dalam menjalankan rumah tangganya. “Dibutuhkan moralitas. Kita disinikan punya raport itu yang dinilai pengalaman, hati nuraninya ada ga…loyalitas itu bukan hanya dari segi materi ya tapi ya loyalitas itu kan luas…misalnya ada undangan hajatan dari anggota gitu, terus yah ada ga loyalitas sebagai bagian dari itu datang tapi ternyata tidak yang datang paling hanya ketua...278” “Kalau dia bermoral, dia memperhatikan keharmonisan rumah tangganya; berarti dia tidak akan menoleh ke kiri dan ke kanan...hanya satu pasangannya. Karena di negara ini moralnya sudah sangat krisis. Kalau seorang pemimpin moralnya benar, tentu nasib kita gak begini. Yang diharapkan kalau jadi pemimpin perempuan jangan sampai ada yang korupsi. Kalau dulu ada anggota dewan yang berselingkuh (ini hanya dengar-dengar), jangan sampai anggota dewan yang perempuan seperti itu.” 279 VIII. Peran Pendidikan Semua informan sepakat bahwa pendidikan tinggi tidak menentukan kepiawaian seseorang dalam memimpin. Beberapa orang mengatakan bahwa sekolah tinggi perlu, tetapi bukan penentu. Yang penting, dia punya bakat memimpin yang terasah melalui pengalaman hidup dan organisasi. Internalisasi ideologi tidak didapat dari bangku kuliah, melainkan dari pengalaman hidup yang terasah. Jadi pendidikan tinggi bagi anggota DPR RI280 bukan ukuran. “...Kalau perempuan dari aktivis sangat beda karakternya. Kalau knowledge bisa dengan sekolah, proses internalisasi ideologis yang gak kena.”281 Pernyataan yang sama keluar dari informan DPRD, “ngga mesti, kalau punya bakat pemimpin, sudah biasa di organisasi sejak awal, dia bisa juga menjadi pemimpin”. 282 Demikian juga dengan anggota DPRD dari Demokrat yang mengatakan, “tidak harus, tapi bagusnya yah berpendidikan lah, syukur kalau berpendidikan tinggi. Tidak harus, karena belum tentu orang berpendidikan tinggi bisa menjadi pemimpin, kalau sifatnya tidak bagus, apa gunanya. Misal orangnya sombong, angkuh tidak mau turun ke bawah dan lainnya, susah untuk jadi pemimpin.” “Pendidikan formal perlu, tetapi tidak mutlak, sarjana dari universitas apa, atau jurusan apa itu dia, belum tentu mengerti penuh tentang politik.”283 pengurus parpol lain juga mengatakan hal yang sama, bahwa pendidikan formal perlu tetapi tidak mutlak. 276 Diungkapkan oleh DPRD Pernyatan dari pengurus partai 278 Pengurus PDIP tingkat Kecamatan 279 Idem 280 Dari PDI Perjuangan 281 Diungkapkan oleh DPR RI dari FPKB 282 Diungkapkan oleh DPRD FPKS 283 Diungkapkan oleh pengurus parpol tingkat Kecamatan 277 IX. Fungsi dan Tugas Politisi “Berapa anggota DPR perempuan? Paling persen 11 persen dan di anggaran gak ada, hanya 10 persen terlibat UU, kejeliannya masih kalah.”284 Bagi anggota DPR RI , semua bergantung pada kebijakan. “Ya...sebenarnya saya sendiri merasa bahwa bisa memainkan peran agregasi kepentingan masyarakat secara maksimal. Pertama, kekuatan fraksi termaksud fraksi yang tidak cukup besar, kemudian komposisi perempuan juga begitu, kita lakukan bagaimana semaksimal mungkin keputusan politik, karena saya di perdagangan bagaimana kita subsidi minyak goreng, dan kita subsidi kacang kedelai di tingkat policy.”285 Keberadaan anggota yang perempuan disesuaikan dengan keanggotaannya dalam tiap komisi. Dengan demikian, bila tiap anggota perempuan dapat memaksimalkan perannya, maka peningkatan kesejahteraan bagi perempuan dapat dijalankan di tiap lini. “Kebetulan saya di komisi 2 (kesejahteraan) ada masalah perempuan, kesehatan, tentunya ada pemberdayaan masyarakat; kesehatan juga ada, tentunya anggaran itu yang mengeluarkan panitia anggaran; masalah lain, sekolah, transportasi, pembangunan, kesehatan...aspek perempuan ini misalnya masalah gerakan sayang ibu, PKK, pencerahan untuk permepuan. Di situ ada. Cukuplah, insyaallah, untuk masalah perempuan. Walaupun belum optimal, belum sempurna, kedepan lebih baik lagi.”286 Seperti yang dikaitkan anggota DPRD 287, “Komisi B sendiri fokusnya perekonomian, seperti masalah pasar dan pedagang kaki lima, perindustrian, UKM”. Membina orang-orang yang terpinggirkan merupakan bagian pelaksanaan amanat rakyat. Dengan demikian, apapun yaang dijalankan anggota legislatif yang perempuan, tetap harus diarahkan bagi kepentingan masyarakat dan perempuan secara khusus. “Mengemban amanat rakyatlah. Bagaimana memperbaiki perekonomian di negara ini, sekarang apa2 mahal. Perekonomian lesu, terpuruk banget ibu-ibu sekarang. Biaya sekolah, itu yang harus diperjuangkan, kesehatan juga. Katanya SKTM gratis, ternyata ngga. Rakyat harus membayar 50 persen.” Untuk itu fungsi dan tugas anggota DPR adalah, “membina orang-orang yang terpinggirkan, yang tidak diperhatikan selama ini”.288 X. Tanggung Jawab Politisi Keberpihakan kepada yang tidak mampu, dekat dengan masyarakat, dengan yang lemah, kita bisa berbagi dengan mereka. Dalam agama dianjurkan dalam Al-Quran ta awwanul wal birri wa taqwa (bertolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa}.289 “Sebagai seorang pemimpin perempuan, anggota dewan perempuan, hendaknya memperjuangkan nasib rakyat.”290 Memiliki “keberpihakan terhadap orang-orang yang susah”.291 dan harus dilakukan “penjabaran saja, kerja nyata, ngga asyik-asyik duduk, ngga cuma di atas kertas.”292 284 Diungkapkan oleh anggota DPR RI FPDI Perjuangan Diungkapkan oleh anggota DPR RI FPKB 286 Diungkpakan oleh anggota DPRD FPKS 287 Dari Fraksi DemokratDiungkapkan oleh DPRD FPKS 288 Diungkapkan oleh pengurus PBR 289 Diungkapkan oleh DPR RI dari PKS 290 Diungkapkan oleh pengurus PDI Perjuangan 291 Diungkapkan oleh DPRD FDemokrat 292 Diungkpakan oleh pengurus PBR 285 Dengan kata lain, tanggung jawab politisi perempuan adalah memperjuangkan nasib rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh anggota DPR RI293, “harus mempertanggung jawabkan persoalan politik ketidak adilan kehidupan sosial ekonomi”. XI. Harapan Politisi Diharapkan terjadi peningkatan yang bisa memrepsentasikan kualitas yang berprespektif gender. “Jangan berteori dan menghujani rakyat, tapi berbuat...Tidak boleh salah memilih, orang-orang parlemen maupun orang-orang yang di kabinet ketika mereka menang, tidak boleh lagi salah.”294 Sementara itu, informan lain dari DPR RI berharap terjadi peningkatan prestasi politisi perempuan. “Untuk politisi perempuan tingkat presentasinya lebih maju, disisi kualitatif yang pasti bisa presentasi yang berspektif jender tentang politik, kalau bisa itu dilakukan lumayan.” Perempuan harus kuat dan menjaga pergaulan. Dengan perspektif yang kental keagamaan, anggota DPRD dari PKS ini memahami dan mencoba mengingatkan tentang rentannya posisi perempuan berhadapan dengan dunia yang masih didominasi laki-laki. “Kedepan diharapkan yang muda-muda, pertama ikhlas, berniat ibadah. Perempuan terutama harus kuat menghadapi tantangan-tantangan yang ada, di sisi pergaulan misalnya, kadang-kadang masing-masing tingkah polah di pergaulan, tetap harus ada jarak, antara lawan jenis tetap dalam norma-norma agama. Perempuan yang kadang-kadang rapat sampai jauh malam, mesti sekuat-kuatnya. Keluarga mesti ikhlas, tetap mendukung, kadang-kadang keluarga kurang mendukung untuk seperti itu.” “Kedepan harus harus ada perempuan lebih banyak, tapi belajar, jangan asal comot gitu. Perempuan sekarang bolehlah asal comot, tapi kalau bisa diikutkan pendidikan.”295 “Di sisa waktu yang sedikit ini perbuat sesuatu untuk rakyat, saat ini rakyat sudah sangat kelaparan dan menderita. Berani bersuara, berani menyuarakan hak rakyat dan juga berbuat sesuatu untuk rakyat.”296 “Karena sebagai pemimpin harus peduli kepada orang lain, sesama...”297 293 Dari FPDI Perjuangan idem 295 Diungkapkan oleh DPRD FDemokrat 296 Diungkapkan oleh pengurus PDI Perjungan tk kecamatan 297 Diungkapkan oleh pengurus pusat PBR 294 D. KATA-KATA KUNCI Matrik Kata-kata Kunci* PERSOALAN INFORMAN KONSTITUEN KELAS BAWAH (Ibu rumah tangga) INFORMAN KONSTITUEN KELAS MENENGAH (Konsultan, LSM, wartawan, tokoh agama) INFORMAN KELAS ATAS /POLITISI (DPR RI, DPRD, parpol) KONTEKS GEOPOLITIK Padat Kumuh Kaum urban Plural Tanah negara (Muara Baru) Sbg pusatnya org miskin dan kaya PROFIL INFORMAN Kelas bawah/Miskin Pendidikan rendah Ibu rumah tangga /pedagang kecil 40-50 th Bersuami buruh/KMK /janda Beranak Pengangguran/sekolah Menengah Rumah kecil (tanpa sertifikat tanah) Berorganisasi Kelas Menengah Pendidikan tinggi (S2/S1/D3) Ibu rumah tangga LSM/toga/wartawan/ Konsultan 32-42 th Bersuami/lajang Beranak/balita Rumah kontrakan Berorganisasi Menengah/atas Pendidikan tinggi Bersuami/janda Beranak Penulis, wiraswasta Rumah sendiri Berorganisasi Pra: Ekonomi stabil (harga stabil) Lap kerja tersedia Kontrol sosial yg ketat Eko dg hutang LN Represif idem Orba mereduksi nilai keluarga dan masyarakat KONDISI SBLM DAN PASCA REFORMASI 1998 1. Perbandingan ekonomi-politik 2. Persoalan Pasca: Reformasi kebablasan Ekonomi memburuk Memberi tempat bg perempuan utk berpolitik Ada kebebasan berbicara/berorganisasi BBM Pada reformasi tdk terjadi restrukturisasi kepemimpinan (Menyepakati (Menyepakati Sosial-ekonomi PERKENALAN KOMUNIKASI DAN PARTISIPASI KEKRITISAN KONSEP KEPEMIMPINAN 1. Kepemimpinan umumnya Konversi MT ke Gas Harga sembako BLT/potensi konflik Gakin Akte kelahiran/KTP Penggusuran Pemakaman Banjir persoalan informan kunci.) Bunuh diri ibu dan anak Hilangnya harapan Negara gagal Perbedaan kebutuhan antarkelas persoalan informan kunci) Guru bantu Buruknya gizi ibu Keputusan pol yg tdk berpihak Tidak kenal Kenal bbrp (Kofifah, Nursyahbani, Tjiptaning, Muoeryati sbg pengusaha, Marisa, Sondah) Ingat programnya Megawati/SBY/ST Fadilah/Mulyani Tidak ada hubungan yg berkala (sesekali melalui parpol) Berhub hanya waktu pemilu (dimobilisir) Politisi ingkar janji Takut ke DPR Pernah protes/aksik yg apatis pd parpol banya Turun ke rakyat bila di und saja Anggota DPR hanya sibuk di ktr Anggota tdk berhub dg konstituen Hanya mengumbar janji wkt pemilu Anggota mengecewakan rakyat (Idem) Kenal Andi Rusbandi, Junliana Paris dll Anggota DPR tdk popular Merasa mengenal konstituennya (Idem) Kriminalisasi org miskin Dilematis (partai dg rakyat?) Berkomunikasi melalui reses Turun langsung ke masyarakat (pengobatan gratis, bantuan pendidikan dll) Bicara di media massa Turun ke rakyat (diundang atau tdk) (Idem) Parpol sbg alat perjuangan Anggota dewan byk yg konservatif Hadir di DPR krn KKN 60% anggota dewan berkualitas Byk yg pengusaha (yg dipegang kalkulator) Byk yg prioritas penampilan Bertanggung jawab Berdedikasi Berwibawa Rajin ke masyarakat Tidak mengumbar janji Tidak lupa rakyat/pemilih Peduli Kompromis Yg punya tujuan utk rakyat Betul-betul berjuang utk rakyat Bisa dipercaya katakatanya Mendorong kinerja lbh baik (Idem) Sehat fisik, akal, mental Motivisator 2. Kepemimpinan perempuan Siap menuntun rakyat Siap menanggung resiko Memberikan yg terbaik buat rakyat Memperjuangkan dan mengerti kebutuhan rakyat Semua bisa memimpin selama ada kemauan Demokratis Bkn kerja personal tp kerja tim Wil publik: perempuan lebih mampu Jauh lebih baik dari laki2 Peduli, Jujur Lebih kreatif, aktif, dan berani Lebih py hati nurani Mudah iba Lebih segan utk korupsi Berjiwa sosial Tegas Blm sepenuhnya terbebaskan dr budaya patriarkhi (Jakbar) Wil publik: Agen perubahan Teliti dlm bekerja Pengendali Menghargai proses Wil Publik: Adil Py kemampuan berorganisasi Humanis Wil Domestik: - Wil Domestik: Perp hrs berdasarkan fitrahnya (PKS) Wil Agama: Panutan secara sosial dan religius di rmh Tdk dpt menjadi imam Perawat lingkungan Wil Agama: Wil Domestik Suami yg mimpin di rumah Wil personal/religiusitas Suami yg mimpin ritual agama/sholat Khusus Mampang: Boleh aktif di luar,tp memprioritaskan rumah Sulit di posisi publik Setuju peran perem di lingkup yg kecil (mis: klp pengajian) NILAI (Syarat) Berpengetahuan luas Mampu di bdg2 tertentu Bijaksana Beriman dan takut tuhan Rajin beribadah Bermoral/tdk mencuri hak org lain Pancasilais Penjaga moral (tdk berselingkuh) Bkn pelaku KDRT Tdk egois Religiusitas bkn ukuran kualitas (toga) Berkarisma Berkompetensi Loyal Sayang keluarga Tdk diskriminatif Berkepribadian Solider Berpihak pd org miskin Ikhlas dan jujur PENDIDIKAN Penting/syarat utama Bekal yg penting Sekolah py keistimewaan Tdk sek tinggi tdk apa2/bukan prasyarat/bkn jaminan Yg penting bisa memimpin dan peduli pd rakyat Yg penting berdedikasi, berpengalaman dan berorganisasi Sekolah dan pengalaman sama penting (toga) Pendidikan tinggi penting tp bukan penentu Yg ptg py bakat memimpin Pemimpin bs otodidak FUNGSI DAN TUGAS Memakmurkan rakyat Berkomunikasi lgs dg rakyat Memikirkan rakyat Memberi contoh yg baik Secara formal dijalankan Tp tdk ada pembelaan pd perempuan Hrs menyuarakan aspirasi perem Berjuang melalui fraksi Membina org2 pinggiran TANGGUNG JAWAB Menepati janji kampanye Ngemong rakyat kecil Membela rakyat HARAPAN Terjadinya pembenahan ekonomi rakyat BBM dan sembako kembali normal/murah Jangan ada pembongkaran Berhutang benar2 utk rakyat Membuat rakyat sadar politik Mengetahui lsg mslh rakyat Punya kredibilitas dan Intensibilitas Perempuan hrs saling menguatkan Dekat dg rakyat Dan mau berbagi Memperjuangkan nasip rakyat Terjadi peningkatan kualitas gender Lebih perhatian pd lansia, dan anakanak *Diambil dari deskripsi temuan lapangan BAB III PEMBAHASAN A. PANDANGAN TENTANG KUALITAS I. Persoalan Sosial-Ekonomi Dalam struktur sosial masyarakat yang masih feodal dan patriakhal, persoalan sosial-ekonomi yang dihadapi anggota masyarakat adalah bagian yang menyatu dari keseluruhan proses kebijakan ekonomi politik kelompok yang berkuasa. Ikatan yang bersifat patron-client menempatkan anggota masyarakat yang tidak dekat dengan kekuasaan menjadi kelompok yang terabaikan dan termarjinal. Sebaliknya, dalam relasi politik yang timpang, terdapat kelompok yang diuntungkan secara ekonomi, sosial, dan politik. Hubungan yang berlapis demikian melanggengkan eksistensi kekuasaan yang menjadikan masyarakat bawah dan menengah sebagai pihak yang harus siap berhadapan dengan kondisi yang bertolak-belakang dengan nilai kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan. Peter L. Berger melalui skema piramida sosialnya menggambarkan adanya klasifikasi sosial masyarakat berdasarkan kelas sosialnya. Kelompok minoritas yang berada di strata tertinggi menjadi pihak yang teristimewakan, yang memiliki legitimasi sosial, politik, bahkan transendental dalam memegang dan mengendalikan kekuasaan. Dalam masyarakat feodal, menjadi absah seseorang mendapatkan keistimewaannya melalui garis keturunan. Relasi “atas-bawah” masih sangat mempengaruhi sistem birokrasi dan kehidupan masyarakat pada umumnya. Perempuan menjadi kelompok yang paling termarjinalkan. Masyarakat, negara, dan keluarga bersepakat dalam meminggirkan perempuan sebagai kelompok sosial yang tidak memiliki posisi strategis dalam menentukan hidupnya. Persoalan yang dialami hampir semua perempuan kelas bawah ialah bertahan hidup, tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk keluarganya. Stratifikasi sosial yang memisahkan sekaligus mempertahankan keberadaan kelas sosial dalam masyarakat telah menciptakan ruang pertentangan, dengan kualitas sosial-ekonomi yang berbeda pula. Krisis ekonomi telah menciptakan pola bertahanan yang berbeda bagi masyarakat. Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, bisa bertahan hidup sudah menjadi hal yang luar biasa. Sementara bagi kelas atas, kebutuhan mendasar sebagai manusia bukan persoalan lagi. Makan, minum, berpakaian, bertempat tinggal yang layak, pendidikan, dan akses informasi sudah terpenuhi. Ketika krisis ekonomi terjadi, hanya kebutuhan mewah lainnya yang terganggu. Naiknya harga bensin, membuat kelompok ini berpikir ulang untuk melakukan pemborosan. Atau, kebutuhan untuk berbelanja dan menikmati dunia malam menjadi sedikit dikurangi. Walaupun dalam banyak kasus, pengurangan ini tidak dilakukan semua keluarga kaya, namun kenyataannya, pusat perbelanjaan mewah, dan mobil mewah makin banyak di jalan-jalan protokol di Jakarta. Fakta sosial ini mengindikasikan bahwa krisis ekonomi memang tidak dirasakan kelas atas. Kondisi tersebut diperkuat seorang wartawan yang mengatakan bahwa masalah sosial-ekonomi memiliki karakteristik berdasarkan kelas sosial. Bagi kelas menengah ke atas, persoalannya yakni, “...bagaimana menyediakan uang untuk dugem, tampil cantik, hanya seputar yang menguntungkan pribadinya sendiri. Kalau kelas bawah tidak seperti itu. Problemnya benar-benar masalah kolektif...Justru kelas atas tidak kena masalah. Kena sih masalah, tapi tidak secara langsung. Masalah kelas atas itu masalah dekaden. Ekonomi bukan masalah pokok atau primer. Kalau kelas bawah memang berjuang untuk itu. Kelas atas untuk mempercantik diri...”298 Dalam konteks Indonesia, Jakarta sebagai ibu kota negara menjadi harapan sekaligus masalah bagi jutaan kaum urban yang meninggalkan kampung halamannya. Kemiskinan menjadi alasan yang mendasar bagi sebagian besar kaum urban yang telah lama menetap dan bekerja di Jakarta. Asumsinya, bila di daerah asal pemerintah mampu menyediakan peluang kerja dengan penghasilan yang layak yang memenuhi kebutuhan hidup warganya, maka jumlah kaum urban dapat diminimalisir. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, setiap tahun terjadi peningkatan kaum urban. Mereka datang tidak untuk bersaing meningkatkan kualitas hidup, tetapi untuk bertahan hidup. Realitas sosial seperti ini tercermin dari lima wilayah di DKI Jakarta yang menjadi sasaran kajian ini. Walau karakteristik sosial dan tipikal warganya tidak terlalu sama, ada hal yang menyamakan mereka. Mereka adalah kaum urban yang telah puluhan tahun tinggal dan bekerja di Jakarta. Sebagian mereka tinggal di atas tanah yang mereka sadar itu bukan hak milikinya, sehingga memunculkan ketidaknyaman, karena tahu bahwa suatu saat pasti penggusuran akan terjadi di perkampungan mereka yang padat, kumuh, dan rentan tindak kriminal. “...Ini bukan milik kita, tanah ini semua, dan kita gak pernah bayar pajak. Itu semua kita sadari, tapi kita selalu mempertahankan. Kalau listrik dan air kita jaminlah bayar.” Demikian seorang ibu muda dengan dua anak mengungkapkan posisi sosialnya.299 Realitas demikian mencitrakan eksistensi kaum urban yang tidak sukses. Jika terdapat orang-orang yang sukses yang menetap di wilayah yang sama, mereka tidak mewakili kaum urban lainnya. Karena kenyataannya, sebagaimana yang terungkap dalam wawancara di lima wilayah tersebut, bahwa mereka miskin. Anak-anak mereka, bila mampu menyelesaikan tingkat SMU adalah suatu kemewahan, bahkan di antara mereka hanya sanggup menyekolahkan anaknya sampai tingkat menengah pertama. Kemiskinan menutup peluang mereka untuk hidup lebih baik, karena seperti mereka sadari, bahwa bagaimana mungkin anak-anaknya dapat bersaing memperoleh pekerjaan, bila tidak memiki ijazah? “Anak-anak cuma tamat SMP tidak bisa diterima kerja sekarang. Jadi, kita orang kecil begini sulitlah kehidupan.”300 Pernyataan ini, mewakili semua ibu yang tinggal di Muara Baru, bahwa anak-anak mereka terancam tidak dapat melanjutkan sekolah atas. Karena di samping uang sekolah yang mahal, anak-anak butuh uang transportasi. “Kalau saya takut patah di tengah jalan. Istilahnya kita sudah bisa bayar uang muka, sehari-harinya ini ntar yang susah. Sehari kan lebih dari goceng uang saku itu.” Akibatnya, harapan untuk hidup lebih baik menjadi sulit terwujud. a. Persoalan yang Dihadapi Warga 1. Masalah Ekonomi Kenaikan harga BBM telah merubah wajah masyarakat. Karena pemotongan subsidi untuk BBM selalu diikuti dengan gejolak pasar yang membuat harga kebutuhan pokok meningkat dan sering langka di pasar. Keadaan ini berlangsung hampir dalam setiap pemerintahan, bahkan dalam lima tahun terakhir telah terjadi berkali-kali kenaikan BBM. Hal ini mengakibatkan munculnya sikap 298 Pernyataan disampaikan informan wartawan ketika diwawancara di Taman Ismail Marjuki, Jakarta Pusat. 299 Ibu Lili (nama samaran) menetap di Muara Baru sejak tahun 90-an, berasal dari Jabar dan bersuamikan laki-laki Makassar. 300 Diungkapkan ibu Hindun (nama samaran) berstatus janda dengan dua anak, menetap di Muara Baru. apatis warga masyarakat. Persoalannya, bagi kebanyakan warga, kenyataan itu diterima sebagai situasi yang given. Walaupun dalam pembagian BLT, mereka menganggap itu bukan solusi karena hanya memunculkan konflik horisontal baru antar warga. Mereka memang tidak menolak bila memperolehnya. “Bukan saya sendiri ya yang merasakan. Banyak warga sini yang ketika BBM naik, hati kecilnya menangis. Teriak juga, tapi walaupun nangis atau apa, BBM tetap aja naik. Terus turun bantuan BLT, dan banyak yang tidak dapat.”301 Menurut Ibu Ida dari Paseban, masalah BLT ini, “jangan dikasih dalam bentuk begitu, kadang kan yang kaya dapat sementara yang miskin nggak dapat kan ribut, menurut saya lebih baik dibuat subsidi untuk pendidikan atau kesehatan gitu”. Apa yang dikatakan Ibu Asyah dari Muara Baru, sama dengan Ibu Amaliyah warga Mampang, “masalah ekonomi, makin hari makin sulit, terasa makin nggak enak dan nggak nyaman, barangbarang banyak yang udah langka, mahal lagi. Kalau biasanya barangnya ada tapi agak mahal, yah bisalah kita usahkan beli, tapi kalau barangnya dah nggak ada gimana? Kok untuk kebutuhan vital nggak ada seperti gas, minyak tanah dan bahan makanan seperti telur dan ayam itu naik-naik terus, dulu Rp.8.000,- dapat sekilo, sekarang cuma dapat setengah kilo, naik dua kali lipat”. Senada dengan Ibu Lili302, “...yang membuat warga menjerit adalah masalah harga BBM. Yang gak kebagian gas dari pemerintah, harus membeli minyak tanah 1 liter itu, dengan harga 7500. Begitu juga beras”. Pernyataan Ibu Fatimah, warga Muara Baru303 dapat menjelaskan betapa beratnya beban ekonomi perempuan, “...ini ibaratkan kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Mungkin kita sudah tidak makan apalagi anak sekolah kebutuhan ini, itulah. Dan kita tabah-tabahin aja supaya anak kita bisa sekolah”. Bagi Ibu Rini di Klender, masalahnya menjadi makin berat karena suaminya hanya pekerja serabutan (lepas), “...kerja serabutan itu kan gak ada yang namanya naik gaji, ya gajinya segitu-gitu aja. Kalau ada yang nyuruh ya kerja, tapi kalau gak ya nganggur. Jadi lebih parah sekarang suami saya setelah SBY jadi presiden, sebelunya lumayan…”304 2. Masalah Kesehatan Masyarakat miskin di Jakarta dapat diklasifikasi atas empat kategori. Kategori pertama adalah orang miskin yang memang harus dirawat gratis 100 persen. Yang masuk kategori ini 498.000 jiwa ditambah para penghuni 116 panti sosial (semua penghuni panti sosial mendapatkan layanan kesehatan gratis), para penghuni di 35 rumah singgah untuk anak-anak jalanan dan Yayasan Talasemia. Kategori kedua, orang miskin dengan KTP DKI Jakarta, tetapi tak mendapatkan kartu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin) dan menghadapi masalah biaya pelayanan kesehatan. Mereka diberi surat keterangan tidak mampu dari RT/RW. Kategori ketiga adalah orang miskin yang tidak mempunyai kartu JPK Gakin dan tidak bisa mendapatkan surat keterangan tidak mampu dari RT karena tidak mempunyai KTP DKI Jakarta. Kategori keempat, orang miskin rujukan nasional dari seluruh Indonesia yang berobat ke DKI Jakarta.305 Persoalannya, rata-rata informan mengatakan sulit mengakses kartu Gakin, walaupun sudah memiliki, sering masih dipersulit di rumah sakit. Hal ini pernah dialami oleh Ibu Parni, “kita kan kalau pakai Gakin susah ya, saya aja pernah dipermainkan sama pihak rumah sakit, dibilang gak ada kamarnya atau apa dan dikasih obat juga tidak, terus saya disuruh pulang katanya disuruh ke 301 Dijelaskan Ibu Asyah. Warga Muara Baru. 303 Ibu beranak satu ini mengandalkan nafkah dari suaminya yang bekerja sebagai buruh kapal pengangkutan kayu. 304 Diungkapkan Ibu Rini. 305 Koran Harian Kompas, 19 Maret 2005. 302 Cipto. Saya bingung, saya suruh saja saudara saya ke loket tebus obat dan minum obat itu, sembuh jadi gak usah di rawat juga gak apa-apa”. 306 3. Masalah Pendidikan Rendahnya tingkat pendidikan di kalangan kaum urban adalah fakta sosial yang terjadi secara berkesinambungan. Ketidakmampuan ekonomi mengakibatkan kesempatan anak untuk mengecap bangku sekolah tidak terpenuhi. Pada beberapa informan dipahami bahwa putus sekolah akan memutuskan harapan untuk bisa hidup kebih baik. Karena dalam masyarakat yang kapitalistik, ijazah menjadi syarat untuk mendapatkan pekerjaan. Nyatanya, yang punya ijazah pun belum tentu mudah mendapatkan pekerjaan, karena di tengah persaingan yang sangat ketat, ijazah SMU sudah tidak cukup lagi. Ibu Ida warga Paseban, mengungkapkan apa yang ia alami, “…kadang-kadang saya sedih melihat anak saya lulus sekolah juga susah ngebiayaainnya, bagaimana caranya sekolah agar dapat ijazah SMA, eh udah lulus malah nganggur”. Persoalannya, mengapa negara atau pemerintah tidak segera merealisasikan janji sekolah gratis dengan dana yang diambil dari APBN sebesar 20 persen? Akibatnya, seperti yang diungkapkan seorang ibu muda307 yang tinggal di Mampang, “biaya pendidikan jauh lebih mahal dari sebelumnya, mungkin menurut saya juga dampak kenaikan BBM, karena semuanya pakai BBM, katanya gratis padahal aspek lain ada tambahan ini itu, belum lagi anaknya minta privat, ada aja tambahan, atau jualan buku, SPP murah atau gratis tapi ekstra kurikuler (ekskul) bayar.” Untuk itu dibutuhkan konsistensi pemerintah dalam menjangkau anak-anak ini, sehingga sekolah gratis tidak hanya menjadi slogan pemerintah. Dengan demikian, keluhan para ibu yang menyatakan bahwa beaya sekolah gratis, tetapi murid harus membayar buku dan lainnya, tidak perlu lagi terdengar. 4. Masalah Pelayanan Sosial Lainnya Rendahnya layanan publik kepada masyarakat kelas menengah bawah merepresentasi keadaan birokrasi di pemerintahan yang sering tidak sejalan dengan kebijakan politik, yang sudah diputuskan di legislatif. Penggusuran tempat tinggal dan tempat berdagang, di satu sisi, adalah upaya Pemda DKI Jakarta untuk meningkatkan citra Jakarta sebagai kota metropolitan. Namun, di sisi lain, kebijakan ini dilakukan dengan mengabaikan hak dasar kaum perempuan untuk bekerja dan bersosial. Sebagai manusia dan warga negara, maka menjadi hak bagi siapa pun untuk mendapatkan perlindungan oleh pemerintah. Untuk itu, menjadi tidak logis bila pengurusan akte kelahiran dan pembuatan KTP masih dipersulit di tingkat birokrasi kelurahan. Begitu pun dengan masalah pemakaman, pada beberapa kasus, seperti yang disampaikan pengurus salah satu parpol di Jagakarsa, Jakarta Selatan, pernah dilakukan penggusuran makam yang kemudian di atas tanah tersebut dibangun tempat perbelanjaan. Hal ini juga diungkapkan anggota DPRD dari FPKS, bahwa terdapat beberapa persoalan yang hadapi warga Jakarta. “Umumnya selama ini masukan-masukan masalah guru, guru bantu, guru honorer yang belum mendapatkan atau turun gajinya, belum diangkat, masalah pemakaman, bagaimana retribusi, masalah pembuatan KTP, SPP anak-anak sekolah.” Dalam bahasa Marshall308, kondisi di atas, mengisyaratkan diabaikannya hak sosial, hak sipil, dan hak politik warga negara. Sebagai warga negara, seharusnya negara dan terutama pihak yang 306 Hasil wawancara dengan Ibu Ponirah, warga Klender. Berinisial Z. 308 Ekonom sekaligus Sosiolog. 307 berkuasa, dapat memenuhi kebutuhan warga negaranya. Untuk itu, hak-hak dasar warga negara jangan hanya diangkakan, sebagaimana sering dilakukan pemerintah, termasuk anggota legislatif, menjadikan persoalan kemiskinan sebatas angka. Ibu meninggal, TKW disiksa, ibu bunuh diri, semua coba disederhana dengan angka. Oleh karena, harga diri perempuan sebagai manusia dan warga negara tidak ada hubungannya dengan angka. II. Perkenalan terhadap Politisi Tidak dikenalnya para politisi yang duduk di legislatif oleh para informan adalah fakta sosial yang dapat menjelaskan kondisi perpolitikan di Indonesia, baik di eksekutif maupun di legislatif. Keberadaan para politisi, terutama yang duduk di parlemen, adalah kepanjangan tangan warga negara yang telah memberikan suaranya dalam setiap pemilu. Dalam tataran formal demokrasi, perkenalan pertama anggota legislatif dengan konstituennya yakni melalui kampanye pra pemilu. Dengan demikian, warga tiap wilayah akan mengenal secara fisik, termasuk profil dan program kerja politisi bersangkutan. Interaksi yang terjalin biasanya dilakukan secara langsung maupun tidak. Bagi warga yang memang tidak berminat dan tidak percaya lagi dengan keberadaan partai politik peserta pemilu maupun calon independen lainnya, bukan berarti tidak mengikuti perkembangan informasi pemilu, setidaknya dari percakapan antar warga akan tersampaikan informasi tentang pemilu. Ketika dalam realitas politiknya ternyata para politisi yang duduk di DPR tidak dikenal oleh konstituennya, berarti ada proses berdemokrasi yang terabaikan. Ada situasi yang dimanipulasi, karena ketika berbicara dan menyampaikan program kerjanya, berarti pada saat itu, seorang politisi sedang mengatakan kepada konstituenya, bahwa ia siap berjuang untuk kepentingan rakyat. Dalam logika formal, janji ini adalah ikatan yang mempertemukan kepentingan dua pihak yang sama-sama berperan dalam politik. Karena dalam sistem politik yang demokratis, kontituen atau rakyat tidak berada di luar lingkar kekuasaan. Artinya, kekuasaan itu akan nyata bila terjadi relasi yang imbang dan terus-menerus antara berbagai pihak. Secara historis politik, tidak dikenalnya anggota legislatif menemukan muaranya pada masa Orde baru yang melakukan pengerdilan ruang politik bagi rakyat. Selama 30 tahun rakyat hidup dalam aturan yang represif, pemilu di gelar hanya untuk menjalankan formalitas demokrasi. Tiga partai politik merupakan sogokan manipulatif pemerintahan Orde Baru, bahwa rakyat dapat memilih wakilnya untuk duduk di parlemen. Nyatanya, kedua partai lainnya hanya dijadikan pendamping Golkar sebagai partai penguasa. Demokrasi semu ini telah menjauhkan rakyat dari pemimpinnya. Pasca reformasi pun, berdasarkan ingatan beberapa ibu, mereka hanya dimobilisir untuk mengikuti kampanye, tanpa mengetahui siapa yang sedang berkampanye dan untuk apa mereka berkampanye. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa proses depolitisasi yang dilakukan Orde Baru kepada rakyatnya telah melahirkan pola relasi yang tidak mengikat. Rakyat ikut pemilu, tetapi tidak tahu alasan mengapa ia memilih. Begitu juga dengan politisi, berkampanye, menyebar program, namun tidak paham dengan dan untuk siapa ia berbicara dan berjanji. “Yang saya tahu Megawati saja, kalau parlemen tahunya Khofifah Indraparawangsa, yang lain nggak tahu. Saya pernah ikut seminarnya Ibu Khofifah dan Ibu Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, jadi saya tahu sosoknya tegas, tapi kalau skala besar saya kurang yakin”309, ungkap lugas seorang ibu dari Mampang. 309 Ibu berinisial A, berusia 35 tahun ini mengajar di PAUD, dan aktif di kegiatan sosial dan pengajian. III. Komunikasi dan Partisipasi Politik Adalah hak rakyat untuk hidup sehat dan sejahtera, dan kebutuhan dasarnya sebagai manusia terpenuhi. Oleh karena itu, pemerintah bertugas menggagas dan menjalankan serangkaian kebijakan yang dapat mengakomodir kebutuhan rakyat. Dalam UUD 1945, Pasal 28H, ayat 1, dinyatakan bahwa tiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh layanan kesehatan. Hal ini dipertegas kembali dalam pasal 34, ayat 3 yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (ayat 3).310 Pasal-pasal ini menjadi aturan hukum yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam memenuhi hak dasar rakyat. Komunikasi yang tidak berjalan ideal antara wakil rakyat dan konstituennya, dalam konteks tertentu, dapat dikategorikan sebagai kekerasan politik. Karena ada pihak yang seharusnya bertanggungjawab dan berkewajiban melayani orang-orang yang telah memberikannya kepercayaan melalui proses politik setiap 5 tahun sekali, justru dengan sadar mengabaikannya. Hal ini dapat dilihat dalam proses politik yang terjadi di parlemen. Dalam setiap rapat pembahasan dan pengambilan keputusan, terutama yang tekait dengan hajat hidup rakyat, sikap yang ditunjukkan wakil rakyat sering mengecewakan. Dalam hal kehadiran rapat dan antusias, hanya ditunjukkan oleh partai politik yang memang berkepentingan atas kebijakan tersebut. Sebaliknya, proses yang serius dan antusias akan ditunjukkan DPR dan elit politik lainnya, selama menguntungkan kepentingan kelompoknya. Kondisi di atas dapat dilihat dalam Rapat Paripurna DPR RI tgl (?) dengan agenda Daerah Pemekaran dan Hak Angket BBM. Proses yang berlangsung sangat riuh, sepuluh daerah yang berkepentingan atas pemekaran masing-masing menghadirkan massa pendukungnya lengkap dengan atribut kedaerahannya. Saat yang bersamaan, anggota DPR pun sangat antusias dengan keriuhan yang dihasilkan orang-orang daerah yang berada di atas balkon. Kondisi yang bertolakbelakang berlangsung saat pembahasan agenda kedua. Balkon menjadi sangat sepi, karena tidak tiap orang dapat mengakses, kecuali dapat menunjukkan identitas. Kelompok mahasiswa yang memang merencanakan hadir dan mengikuti proses voting dihambat tanpa alasan. Pada Rapat Paripurna Hak Angket seminggu sebelumnnya, terjadi pengusiran tehadap sekelompok mahasiswa yang hendak menggelar spanduk. Dua peristiwa yang kontradiktif tersebut menunjukkan wajah anggota legislatif yang tidak konsisten dan mendua dalam bersikap. Satu sisi, mengklaim berpihak dan empati pada kepentingan rakyat, karena disadari bahwa kenaikan BBM berdampak sangat buruk bagi ibu dan anak, tetapi di sisi lain, anggota dewan khususnya yang perempuan tidak melakukan tindakan yang dapat meminimalisir kondisi buruk tersebut. Keberpihakan yang dinyatakan hampir semua informan penunjang dari DPR RI dan DPRD, tidak dapat dibuktikan dalam tindakan kongkrit. Karena yang diinginkan dan yang dipahami hampir semua informan kunci, bahwa komunikasi langsung menjadi sangat penting untuk dilakukan, setidaknya ketika masa reses, sehingga ibu-ibu dapat menyampaikan persoalan hidup keluarga mereka. Persoalannya, kehadiran para politisi secara fisik jarang dilakukan dan terkesan tidak diprioritaskan. Dalam situasi yang demikian, seharusnya anggota dewan dapat memaksimalkan ruang berbicara dan berjuang lainnya, baik dalam ruang rapat maupun melalui media Dalam setiap rapat, seperti yang diinginkan semua informan, seharusnya ibu-ibu anggota dewan dapat berperan aktif, bersuara menyampaikan aspirasi rakyat. 310 UUD 1945 yang diamandemen, Pasal 28H ayat 1 dan Pasal 34, ayat 3. Dalam pengakuan informan DPR, mereka rajin mengunjungi konstituennya sehingga mengetahui persoalan yang dihadapi ibu-ibu. ‘“Saya sangat sering mendatangi basis, terutama orang-orang Tionghoa, ibu-ibu PKK di Jakarta Barat. Kita di DPRD punya yang namanya reses setiap tiga bulan sekali, kalau dulu tidak ada sistem itu, tapi sejak saya bergabung saya memprogramkan ada reses setiap tiga bulan sekali. Ketemu dengan masyarakat, kemudian ada talk show di Walikota Jakarta Barat, Nah, itu yang datang dari seluruh perwakilan masyarakat.” Pengakuan anggota DPR tersebut berbeda dengan penyataan seorang informan dari Muara Baru. “Kalau saya minta nih ya....untuk anggota DPR yang perempuan, jangan omong kosong terus yang keluar, harusnya rajin turun, memberitahu rakyat, istilahnya membimbinglah”. 311 Ketidak-pedulian dan terjadinya pembiaran terhadap kemiskinan struktural yang dialami kaum perempuan, dalam bahasa Johan Galtung, berarti telah terjadi kekerasan politik terhadap warga negara. Dalam pemaknaan Galtung, kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik, melainkan ketika tidak terjadi komunikasi yang seimbang dan lancar antara wakil rakyat dengan yang diwakilinya, maka wakil rakyat telah melakukan tindak kekerasan. Bagi Galtung, kekerasan struktural selalu memunculkan “situasi-situasi negatif” seperti tidak meratanya pendapatan ekonomi, kesempatan kerja yang terbatas, mahalnya biaya pendidikan, disktibusi sumbre daya yang tidak merata.312 Dalam ingatan ibu-ibu di lima wilayah, komunikasi yang dilakukan oleh anggota legislatif hanya terjadi saat menjelang Pemilu 2004. Beberapa partai melakukan kampanye dan memobilisir warga untuk dibawa menuju tempat kampanye dengan menggunakan angkutan umum yang sudah disediakan. Tetapi hampir semuanya tidak mengingat, siapa caleg yang pernah berkampanye. Yang masih terekam cukup baik adalah kampanye calon presiden: Megawati dan SBY. Ibu-ibu mengingat apa yang mereka janjikan dan apa yang mereka lakukan. Khusus untuk Muara Baru, dari pengakuan lima orang ibu yang diwawancara, bahwa mereka tidak melakukan pemilu legislatif. Mereka hanya mencoblos dalam pemilu presiden. Bila pengakuan ini mewakili kenyataan pada tahun 2004, maka berarti telah terjadi pengebirian hak rakyat untuk berpartisipasi dalam politik. Komunikasi yang tidak imbang dan tidak dua arah adalah indikasi tidak berjalannya sistem demokrasi. IV. Kekritisan terhadap Politisi Tingkat kekritisan ibu-ibu terhadap para politisi yang duduk di legislatif merepresentasikan kepekaan dan kecerdasan mereka dalam menilai secara jujur realisasi janji politik yang diberikan para politisi saat pemilu. Dalam memori yang terbatas, para ibu paham bahwa ada tanggung jawab dan tugas yang tidak dijalankan para pemimpin. Ukuran yang digunakan sangat beragam, tetapi secara dominan yang dijadikan penilaian adalah keterlibatan anggota dewan perempuan dalam memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada perempuan. Dalam ukuran ini, mereka menyatakan bahwa para pemimpin telah gagal. Nyatanya, subsidi BBM dipotong, harga barang tidak dapat dikontrol,dan akibatnya para ibu melakukan antri BBM dan sembako, menjadi pemandangan yang lazim di Jakarta. Penggusuran yang dilakukan petugas trantib terhadap pedagang kaki lima, pengejaran dan penangkapan terhadap pekerja seks memberikan kesimpulan tersendiri bagi para ibu tersebut, bahwa pemimpinya gagal. Anggota DPR, terutama yang perempuan seharusnya membimbing rakyatnya, bukan malah memanipusi rakyat. Yang terjadi saat ini, para ibu sudah tidak terlalu 311 312 Diungkapkan oleh Ibu Lili, Muara Baru. M Windhu (1992;70). percaya dengan partai politik, walaupun tetap ada yang mempertahankan bahwa parpol adalah alat demokrasi yang masih dapat diandalkan. Dari kondisi ini tergambar, bahwa terjadi krisis kepercayaan terhadap parpol. V. Perbandingan Sebelum dan Pasca Reformasi 1998 Di bawah pemerintahan Orde Baru, masyarakat tumbuh dan berkembang dalam suasana yang tidak kondusif bagi terjadinya proses demokrasi. Budaya korup, sogok-menyogok dan asal bos senang, telah melekat dalam birokrasi negara, sehingga masyarakat tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengikutinya. Dalam semua ruang sosial, penyakit sosial tersebut tidak dianggap sebagai penyakit, karena dihadirkan sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Budaya KKN telah menjadi budaya massal. Masyarakat menjadi akrab dengan simbol-simbol budaya dan keragaman tanpa diberi ruang untuk mengetahui, mempelajari, mengkritisi, dan menjalankan konsep keragaman. Bhineka Tunggal Ika, menjadi jargon yang tidak mampu memperkenalkan bahwa beragam berarti budaya dan bahasa yang berbeda sebagai bagian dari proses bermasyarakat. Negara hanya berhenti pada pengenalan simbol, tetapi tidak membuka ruang bagi masyarakat untuk berbeda dan dapat mengkritisi pemerintah. Dalam ketertundukan yang cukup lama pada kekuatan ekonomi asing, krisis ekonomi tahun 1997 yang terjadi secara berantai di Asia Selatan dan Tenggara dengan leluasa meruntuhkan fondasi ekonomi nasional. Fondasi yang dibangun dengan kebijakan ekonomi yang sarat KKN. Realitas sosial yang terjadi pada pertengahan tahun 1990-an telah mengantarkan dan melahirkan kelompok masyarakat yang kritis, yang memahami demokrasi berbeda dengan demokrasi yang disodorkan Orde Baru. Reformasi 1998 adalah proses lanjutan menguatnya kelompok masyarakat yang kritis dan berani melawan rejim Orde Baru. Berawal dari kelompok diskusi di kampus-kampus kemudian melakukan pembaruan dan advokasi secara langsung kasus-kasus rakyat. Membesarnya penolakan terhadap pemerintahan Soeharto adalah jawaban masyarakat yang tidak lagi sanggup hidup dalam kekangan, karena semua serba dikontrol. Lalu, mengapa dalam hitungan tahun pasca reformasi, para ibu tersebut kembali merindukan kehadiran sosok Soeharto? Sebagian rakyat sudah kehilangan harapannya. Kemiskinan yang mereka alami berhasil disimpulkan dalam bahasa yang berbeda dengan kelas menengah umumnya. Kejahatan yang dilakukan Orde Baru dapat diabaikan hanya karena saat itu BBM dan sembako belum lagi mahal, uang masih berharga, dan lapangan pekerjaan tidak sulit diperoleh. Secara ekonomis, semua mengatakan bahwa zaman Soeharto, ekonomi lebih baik, aman, dan stabil. Secara politik, kekeritisan ibu-ibu kepada pemerintahan Soeharto tetap bertahan bahkan menguat. Bagi mereka, pemerintahan Soeharto adalah pemerintahan yang paling represif, diktator, dan penuh praktek KKN. Disadari pula, kestabilan ekonomi pada zaman Soerharto bersandarkan pada hutang luar negeri. Ibu-ibu berada di posisi yang dilematis. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa Reformasi 1998 adalah jalan untuk hidup lebih baik, tetapi dalam prosesnya, mereka tetap miskin, bahkan makin dimiskinkan. VI. Konsep Kepemimpinan Bagi rakyat miskin khususnya perempuan, pemimpin diidealkan sebagai orang yang bertanggung jawab dan berkomitmen penuh kepada rakyatnya. Seseorang yang akan menyelamatkan hidup mereka dan lingkungannya. Sebagai pihak yang sering dikalahkan, sesungguhnya para perempuan ini mengetahui bahwa ada hak-hak mereka yang diabaikan dengan sadar oleh negara melalui aparatusnya. Untuk itu, idealisasi mereka tentang pemimpin terasah melalui pengalaman hidup yang tidak ramah sepanjang menetap dan berkeluarga di Jakarta. Kepemimpinan yang diimpikan adalah kepemimpinan yang lahir dari ibu kandung demokrasi. Dalam formulasi yang sederhana, tersimpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang memiliki rasa tanggung jawab terutama terhadap orang-orang yang sudah memberikan suaranya melalui pemiluatau pilkada. Dalam konteks kepemimpinan publik atau politik, pemimpin diidentifikasi sebagai orang yang berwibawa dan berdedikasi kepada rakyat. Kewibawaan menjadi karakter yang dianggap penting yang harus dimiliki pemimpin. “Pemimpin kategorinya luas; ada yang memimpin negara, ada yang memimpin perusahaan, memimpin RT bahakan keluarga juga disebut pemimpin, yang mbak tanya skala yang mana? Kalo seperti wakil rakyat di DPR/MPR, yah pemimpin yang harusnya bisa mengayomi rakyatnya dong, yang bisa membela rakyat jika bermasalah, bisa menghibur rakyat jika sedang susah jadi nggak hanya bisa nunjuk-nunjuk aja, harus ada komunikasi dua arah, jadi pemimpin itu bisa menjadi seperti teman, sahabat, orang tua. Rakyatkan sedang susah tapi nggak ada yang ngasih solusi, tapikan saat ini tidak seperti itu, rakyat dibiarkan nyari sendiri solusinya”, jelas seorang informan dari Mampang313. Selanjutnya, ibu tersebut mengungkapkan ketidakyamanannya. “Saya nggak nyaman dengan kepemimpinan saat ini, kok semakin rusak banget, korupsi dimana-mana, pejabatnya memimpin nggak benar, hanya memikirkan diri sendiri nggak mikirin rakyat kecil, bagaimana dia menumpuk kekayaan nggak ngelihat kebawahnya ketika dia minta dipilih sama rakyat, ketika sudah naik menjabat di atas nggak ingat lagi dengan janji-janjinya.” “Ya maunya kita dipedulikan. Namanya dia pemimpin, ibarat kan dia bos kita, harus pedulikan yang kerja sama dia. Tapi gak ada yang peduli sama kita, kayaknya sama aja.”314 Pemimpin harus rajin mendatangi masyarakat untuk mengetahui masalah yang sedang dihadapi secara kolektif. Kehadiran politisi atau pemimpin di tengah massa menjadi cara dalam mengetahui dan berdiskusi persoalan sehari-hari dengan warga. Rajin ke masyarakat, tidak mengumbar janji, tidak lupa rakyat atau pemilih, peduli, dan kompromis, siap menuntun rakyat dan siap menanggung resiko. Juga memperjuangkan dan mengerti kebutuhan rakyat. Semua ini adalah konsep kepemimpinan yang dijadikan acuan dalam memilih pemimpin. VII. Kepemimpinan Perempuan Mereka yang ter-subaltren, Gayatri Spivak menggambarkan posisi sosial-politik orang-orang yang terpinggirkan, adalah perempuan yang sebagian besar kelompok yang terpinggirkan. Sebagai negara-negara bekas jajahan Eropa, Asia mempunyai arah sejarah yang merepsresentasikan kondisi manusia yang pernah terbelenggu sistem kolonial. Dalam hal ini, Spivak memahami masyarakat dan sejarahnya adalah kelompok yang ter-subaltren. Pasca kolonial, kehidupan perempuan di Asia khususnya di Indonesia, mengalami pergeseran yang memberi gambaran lain tentang perempuan. Sebagai bangsa yang pernah dijajah ratusan tahun, maka persoalan sosialpolitik yang dihadapi diidentikan dengan pembebasan secara menyeluruh sebagai bangsa. Dalam proses demikian, tokoh-tokoh besar perempuan juga lahir. Cut Nyak Din dan Kartini adalah dua nama besar dari banyak tokoh perempuan yang mengisi panggung sejarah pergerakan Indonesia. Enam puluh tiga tahun Indonesia merdeka, kehidupan perempuan mengalami pemunduran dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik. Perempuan yang memiliki kesadaran berorganisasi dan berpolitik, setidaknya hal itu terimplementasi dalam Kongres Perempuan tahun 1928 adalah 313 314 Ibu dengan inisial A Disampaikan oleh Ibu Fatimah, warga Muara Baru pertemuan strategis bagi aktivis untuk konsolidasi kekuatan. Sayangnya, kudeta kekuasaan tahun 1965 telah membalikkan alur sejarah gerakan perempuan. Dalam politik, perempuan kembali dimarjinalkan. Keperempuanannya digunakan sebagai alat pemenangan dan pertahanan kekuasaan. Semua dilakukan dengan memobilisir perempuan dalam setiap pemilu. Tetapi pada saat yang bersamaan, perempuan juga dirumahkan melalui berbagai peraturan pemerintah. Pemaknaan subaltren dalam konteks demikian, menjadi tepat dalam membaca dan mengalisa kemiskinan perempuan. Perempuan miskin yang hidup di Jakarta mampu merepresentasikan perempuan miskin di berbagai daerah lainnya. Oleh karena mereka adalah urban yang membawa kemiskinan ke Jakarta dengan semangat perubahan. Perubahan yang lebih baik. Faktanya, 10 tahun pasca Reformasi 1998, perempuan makin mapan dalam kemiskinannya. Mereka miskin dan berpendidikan rendah! Kemiskinan kaum perempuan urban di Jakarta tidak berarti mereka miskin secara pengetahuan dan pengalaman. Pernyataan mereka tentang kepemimpinan perempuan pada awalnya adalah idealisasi keinginan untuk hidup lebih baik. Belajar dari kebijakan ekonomi-politik pemerintah yang kian memiskinkan kaum perempuan, sehingga melahirkan harapan hadirnya pemimpin-pemimpin perempuan yang peduli dan mau memperjuangkan nasib mereka (rakyat). Dibandingkan dengan kepemimpinan laki-laki, perempuan dianggap jauh lebih jujur dan peduli. Kreatif, aktif, berani, dan lebih punya hati nurani. Identifikasi ini meletakkan perempuan sebagai pihak yang lebih demokratis. Pada tataran normatif, mungkin pernyataan-pernyataan demikian agak berlebihan, mengingat kepemimpinan perempuan baru direpresentasikan oleh beberapa orang, yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah penduduk perempuan, sehingga belum cukup data atau contoh mengenai kiprah perempuan pasca Reformasi 1998. Apalagi peran perempuan di parlemen, dinilai tidak maksimal bahkan cenderung dianggap tidak mau tahu dengan nasib perempuan miskin. Akan tetapi, di sisi lain, ibu-ibu ini sedang berusaha jujur dengan keinginan dan harapan mereka. Kondisi ini mempengaruhi personifikasinya terhadap kepemimpinan perempuan. Secara keseluruhan, kepemimpinan perempuan identik dengan rasa solidaritas, berjiwa sosial, segan untuk korupsi, dan lebih tegas. Penilaian positif tersebut diimbuhi dengan catatan kritis, bahwa dalam prakteknya, politisi perempuan belum sepenuhnya terbebaskan dari budaya patriarkhal. Mereka masih harus melakukan pekerjaan domestik yang porsinya lebih besar dari suaminya. Sejalan dengan pernyataan beberapa informan, bahwa idealisasi mereka tentang perempuan pemimpin adalah perempuan yang menjalankan peran domestiknya. Selama suami ada di rumah, maka yang menjadi pemimpin adalah suami. Dalam hal ini, ada kompromi antara harapan dengan praktik yang dijalankan ibu-ibu tersebut. Perempuan dengan segala kemampuannya yang melebihi laki-laki berhak untuk menjadi pemimpin, tetapi di rumah, paling tidak harus ada kompromi antara suami-isteri. Hal ini tercermin dalam kehidupan mereka sehari-sehari. Praktik demokrasi coba diterapkan, tanpa mereka harus belajar tentang demokrasi. Diskusi atau urun rembuk menjadi pola yang mereka terapkan dalam hal pendidikan dan ekonomi keluarga. Dengan demikian, terdapat penegasan antara peran publik, domestik, dan agama. Ketika menjalankan ibadah, yang memimpin harus laki-laki. Hal ini diperkuat dengan informan penunjang lainnya, bahwa keberadaan perempuan dalam wilayah agama belum mengalami perubahan yang signifikan, terutama yang terkait dengan kepemimpinan. Berbeda dengan pandangan yang berbasiskan nilai (dogma) sosial-budaya, memungkinkan terjadinya pergeseran nilai. Dalam konteks ini, budaya bukan kondisi yang stagnan dan kaku, ia berubah dan bergeser sesuai keadaan zaman. Kesadaran yang maju pada ibu-ibu diperoleh dari persoalan-persoalan sosial-ekonomi. Walaupun mereka berpendidikan rendah, namun pengalaman hidup melahirkan pengalaman yang membumi yang mereka lahirkan sendiri. Di sisi lain, keputusan politik juga mengubah pola pikir dan kesadaran masyarakat, bahwa subordinasi perempuan dalam berbagai lini kehidupan adalah kesalahan. UU KDRT, UU Pemilu tentang keterwakilan perempuan dan beberapa kebijakan yang pro perempuan, mampu mengikis ketidak-setaraan gender. Paling tidak, kondisi ini terlihat dari pemaknaan ibu-ibu tentang pemimpin perempuan. Kemiskinan adalah musuh utama kaum perempuan. Karena dalam kemiskinannya, perempuan sangat rentan untuk diperlakukan tidak adil oleh masyarakat, keluarga, dan negara. Oleh karena itu menjadi sangat wajar dan rasional, bila para ibu mengharapkan adanya pemimpin perempuan. Bagi mereka, perempuan adalah agen perubahan yang sesungguhnya, teliti dalam bekerja, dan mampu mengendalikan situasi, serta menghargai proses. Perempuan lebih mudah berempati mengerti apa yang dirasakan ibu-ibu ketika terjadi kenaikan harga BBM dan sembako. Perempuan pemimpin dianggap lebih sensitif. Kondisi ini diasumsikan menjadikan perempuan sebagai pemimpin yang ideal. Dalam pemahaman para informan tidak terdapat penyataan yang bertolak-belakang. Mereka saling menguatkan. Termasuk pendapat anggota DPRD yang mengatakan bahwa fitrah sebagai perempuan tetap harus dijaga. Dalam konteks ini, tidak berbeda dengan informan kunci terutama dari kelompok pengajian, yang memahami bahwa peran aktif perempuan di publik, jangan sampai menafikan peran sebagai isteri dan ibu. Terhadap pandangan yang lebih liberal, peran ibu dalam agama dipahami sebagai “sang panutan” bagi anak-anaknya. Religiusitas anak bercontoh pada religiusitas ibu. Secara keseluruhan, peran ibu dalam semua wilayah tidak berbenturan secara ekstrim, bahkan terdapat pemakluman yang bersifat keyakinan, bahwa perempuan memang mampu secara sosial, politik, dan di ruang privatnya ketika berhubungan dengan Tuhan. Para anggota DPR yang memahami perempuan sebagai pemimpin, mereka sendiri menyadari hal itu. Walaupun terdapat penolakan perempuan di wilayah padat, atau perempuan korban politik (Mei 1998) dan kelompok wilayah lainnya, para politisi tetap memahami bahwa kepemimpinan perempuan adalah jawaban atas semua beban sosial-ekonomi yang ditanggung selama puluhan tahun. VIII. Nilai yang Dipegang Pemimpin yang Pancasilais, menjadi suatu rangkuman besar tentang nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yang menjadi akar dari proses bernegara dan berbangsa. Sebagai ideologi yang lahir dari perjalanan bangsa, maka di dalamnya mengandung nilai-nilai hidup yang lahir dan tumbuh dari masyarakat. Weltanschauung, demikian Soekarno dalam pidato lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945. Sesuatu yang mendasar, yang menjiwai proses berbangsa selama ratusan tahun. Dalam konteks kekinian, Pancasila tetap menjadi pegangan dalam bernegara dan berbangsa. Dalam pemahaman kaum perempuan, perempuan pemimpin atau politisi yang duduk di legislatif harus bijaksana, beriman, rajin beribadah dan takut pada Tuhan, bermoral, menyayangi keluarga, dan tidak diskriminatif. Nilai ini tumbuh dan menjadi pegangan dalam kehidupan keluarga di daerah mana pun di Indonesia, termasuk di Jakarta yang telah dan selalu mengalami pergeseran budaya atau nilai. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Indonesia yang hidup di tengah arus globalisasi tetap bertahan pada nilai yang dianggap luhur dan agung. Sekalipun nilai-nilai itu tidak mudah ditemukan dalam diri anggota dewan yang perempuan. Artinya, di tataran ide, nilai ini masih dijadikan sandaran yang kuat, termasuk dalam perilaku sebagian masyarakat yang tinggal di Jakarta. Yang menjadi persoalan ialah, nilai tersebut tidak dipraktekkan oleh anggota DPR. Walaupun dalam setiap wawancara, anggota DPR atau pengurus parpol juga menganggap penting nilai tersebut. Tetapi, kenyataannya menjadi berbeda, karena ibu-ibu dapat membandingkan antara moral politik anggota dewan dengan kebijakan ekonomi-politik yang disepakati anggota DPR yang merugikan perempuan dan anak. Dalam hal ini, terjadi inkonsistensi. Sebagai penjaga moral, tidak egois, dan bukan pelaku KDRT sulit untuk dipastikan, karena tidak sedikit kasus yang melibatkan anggota DPR meskipun untuk anggota perempuan belum pernah terpublikasikan. Dalam hal religiusitas, informan togoh agama, sebaliknya berpendapat bahwa keimanan seseorang bukan ukuran kualitas. Beragamnya pandangan tentang nilai religi menunjukkan keberagaman pandangan informan berdasarkan keyakinan masing-masing. Berkepribadian, ikhlas, jujur, solider, dan berpihak pada orang miskin adalah bagian terpenting yang harus dimiliki politisi di legislatif. Hal ini sangat terkait dengan kehidupan sosial-ekonomi warga di lima wilayah. Terjadinya kemiskinan karena tidak adanya keberpihakan politisi kepada orang-orang kecil. Dengan demikian, apa yang dipahami ibu-ibu tentang nilai adalah landasan bagi mereka untuk hidup lebih baik. Ibu-ibu kelas bawah memahami nilai terkait dengan peningkatan kualitas hidup, yang harus dimiliki pemimpin. Sementara bagi kelas menengah, nilai adalah identitas yang dapat menjaga keberadaan kelas mereka, walaupun tidak dikatakan secara lugas. Nilai bukan menjadi penentu kehidupan mereka, setidaknya, nilai hanya menjadi tambahan. Bagi anggota dewan dikatakan, bahwa pemimpin itu harus berkarisma, memiliki kompetensi dan loyal. Berkarisma identik dengan kemampuan mengarahkan (dan mengontrol pengikut atau rakyatnya), bahwa pemimpin berkarisma tidak dengan sendirinya mau mempedulikan rakyatnya. Sementara untuk loyalitas, dalam konteks partai politik, berarti anggota dewan harus patuh terhadap keputusan partai, sekalipun itu merugikan rakat. Kondisi ini memungkinkan terjadinya dualisme pada diri anggota. Seharusnya dalam pemahaman ini, loyalitas yang dimaksud ditujukan kepada rakyat. IX. Pendidikan Anak-anak kaum urban yang lahir dan besar di Jakarta, menjadi generasi baru yang mewakili dua budaya besar. Budaya orang tua mereka yang masih dijaga di rumah. Kemudian budaya metropolis yang diperoleh dan dikembangkan di wilayah publik. Hal ini menjadi ciri umum kehidupan kaum urban di mana saja. Pembaruan yang terjadi berbentuk relasi-relasi yang tidak menyeluruh. Yang menjadi persoalan besar bagi anak kaum urban ialah pendidikan dan pekerjaan untuk mereka. Lulus SMU atau mengecap bangku kuliah adalah kemewahan bagi orang-orang miskin. Persoalannya, untuk lulus SMU menjadi tidak mudah. Ibu-ibu di Muara Baru mengatakan bahwa anaknya bersekolah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Nyatanya, banyak anak yang tidak dapat melanjutkan sekolah atas karena orang tuanya tidak sanggup membeayai. Di satu sisi, ibu-ibu menyadari bahwa dengan bersekolah anak-anaknya menjadi pintar dan berpeluang mendapat kerja. Pandangan ini mempengaruhi cara pandang mereka terhadap anggota dewan. Hampir semua mengatakan sekolah perlu, tetapi bukan yang menentukan kualitas seseorang. Di tataran praksis, semua sepakat bahwa pengalaman beorganisasi berpengaruhi dalam berpolitik. Idealnya, anggota dewan mengecap bangku kuliah minimal sarjana (S1), tetapi semua anggota dewan yang diwawancarai mengatakan bahwa sekolah tinggi tidak perlu, yang perlu adalah pengalaman beorganisasi. Hanya seorang informan yang menegaskan bahwa pendidikan tinggi itu sangat diperlukan. Dengan bersekolah tinggi, maka seseorang akan memiliki jaringan dan pengalaman yang bagus. Dengan syarat, selama sekolah ia tetap bisa beorganisasi. Bagi Tan Malaka, misalnya, sekolah menjadi penting karena pendidikan dapat dijadikan media pembebasan. Dengan bersekolah, peserta didik akan diajarkan bagaimana menjadi manusia yang sadar akan eksistensinya sebagai makhluk yang berharkat, yang sadar akan keadaan sosialnya. Menjadi manusia otonom, bebas dari segala intervensi kekuasaan, berarti dengans sadar menjadikan dirinya sebagai makhluk yang bermartabat. Pandangan Tan Malaka sesungguhnya menjadi alternatif terhadap komersialisasi pendidikan yang melanda semua pendidikan di Indonesia. Walaupun konteks zamannya berbeda, namun spirit yang disampaikannya tetap sama. 315 Yang menjadi persoalan, yakni pendidikan bagi ibu-ibu miskin menjadi alat ”naik kelas”, paling tidak anak-anak mereka akan mendapat ijazah dan mendapat pekerjaan layak. Dalam hal ini, makna layak bukan lagi sebagai sesuatu yang manusiwi dan bermartabat, tetapi hanya persoalan mendapatkan upah tetap. Sulitnya lapangan pekerjaan bagi usia produktif yang tidak berbekal pendidikan tinggi, memacu ibu-ibu untuk menyekolahnya anaknya, bukan untuk menjadi manusia yang bermartabat, melainkan untuk mendapatkan ijazah. Bagi ibu-ibu tersebut, menjadi pemimpin tidak harus dengan bersekolah tinggi, selama seseorang memiliki kemampuan dan keinginan untuk memimpin. Konsep “Hadap Masalah’ yang ditawarkan Paulo Freire menegaskan bahwa sebagai makhluk yang berada dalam proses menjadi (becoming), sebagai manusia yang tidak pernah selesai, tidak sempurna, maka dalam ketidak-sempurnaan itu terletak akar pendidikan. Bahwa semua dapat saling belajar, guru dan peserta didik memiliki kapasitas yang seimbang.316 Konsep Paulo Freire maupun Tan Malaka menjadi sangat tepat dalam menjawab pendidikan kapitalis yang komersil kini. Masalahnya, bagaimana cara agar anak-anak miskin dapat menikmati pendidikan yang berkualitas? Sehingga, orientasi sekolah mereka tidak berhenti hanya untuk mencari pekerjaan di pabrik dan atau pusat perbelanjaan? Dalam konteks pendidikan bagi politisi, selama ia mengerti dan menghayati perannya sebagai politisi, maka ia dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara baik dan demokratis. Sesungguhnya hal yang ingin dicari bukan penting atau tidaknya bersekolah tinggi, karena dalam batas tertentu, makin tinggi seseorang mengecap pendidikan kian lebar peluangnya untuk mendapatkan jaringan kerja dan pengetahuan. Idealisasi tentang politisi yang bersekolah tinggi adalah hal yang wajar dan sesuai kebutuhan. Yang pasti, pendidikan formal bukan tempat melahirkan pemimpin, karena pemimpin lahir dan berada di tengah-tengah massa atau rakyatnya. X. Fungsi dan Tugas Proses legislasi, anggaran, dan pengawasan oleh anggota legislatif dipahami ibu-ibu sebagai relasi yang dijalankan wakil rakyat dengan pemilihnya, sehingga rakyat menjadi makmur. Anggota legislatif harus dapat berkomunikasi langsung dengan rakyat, kemudian memikirkan persoalan dan jalan keluarnya. Yang pasti adalah menjadi teladan bagi rakyatnya. Sementara itu, dengan pemaknaan yang tidak berbeda, informan penunjang mengatakan secara formal, bahwa ketiga fungsi di atas harus dijalankan. Esensi sebagai corong suara rakyat tidak dilakukan. Sangat jarang kita mendengar anggota legislatif melakukan pembelaan langsung ke para korban. Ketika terjadi penggusuran atau bencana alam, mereka tidak bersuara. Pembelaan terhadap perempuan justru sering dilakukan LSM atau Ormas. 315 Nuraini, Skripsi tahun 2001: “Konsepsi Pendidikan Kerakyatan menurut Tan Malaka”, Fakultas Filsafat UGM. 316 idem Ketiga fungsi tersebut telah diatur melalui Tatib DPR RI No. 08/tahun 2005. Pertama, fungsi legislasi bagi anggota dewan, berarti terbukanya peluang bagi mereka untuk menjalankan janji-janji politik waktu pemilu, dengan memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada perempuan dan rakyat pada umumnya. Tetapi, suara ibu-ibu mengatakan, tidak satu pun yang puas dengan kinerja ini. Karena persoalan sosial-ekonomi yang dihadapi ibu-ibu miskin, salah satunya, akibat kebijakan yang tidak berpihak. Kedua, fungsi anggaran. Anggota dewan menyusun RAPBN berdasarkan kondisi perekonomian negara dan kebutuhan rakyat. Pertanyaannya, mengapa terlalu banyak pos anggaran yang digunakan untuk belanja pegawai yang membuka kesempatan korupsi? Dana 20 persen untuk pendidikan yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945, sampai saat ini belum dijalankan. Pemotongan subsidi BBM disepakati justru oleh wakil rakyat. Fungsi pengawasan lebih ditekankan pada kinerja pemerintah. Dalam kenyataannya, pemerintah dan partai politik bergandengan tangan meninggalkan rakyatnya. Ibu-ibu yang protes kenaikan BBM tidak didengar. Aksi-aksi mahasiswa ditangani secara keras dan tidak demokratis. Hal ini menciderai demokrasi, karena pemerintah menghalangi partisipasi politik warga. Bagi Huntington, partisipasi politik bisa dalam semua bentuk, legal maupun ilegal, termasuk melakukan mobilisasi massa. XI. Tanggung Jawab Menepati janji kampanye, ngemong atau melayani, dan membela rakyat adalah tanggung jawab para politisi parlemen yang harus mereka laksanakan. Karena seperti itulah ibu-ibu kelas bawah berbicara. Dalam pemahaman mereka, tanggung jawab berarti konsisten dengan janji yang diucapkan selama kampanye. Melayani rakyat, berarti pemimpin siap menjadi pelayan rakyat. Karena itulah inti dari seorang pemimpin. Menjadi pelayan rakyat, berarti membuat rakyat sadar politik. Karena dengan sadar politik, mereka akan mengetahui persoalan-persoalan hidupnya, dan kepada siapa mereka harus menuntut. Sadar politik berarti tahu akan hak dan kewajibannya. Mendengarkan dan mengetahui persoalan rakyat dapat dilakukan dalam setiap forum reses atau pertemuan lainnya. Sementara itu, anggota DPR memahami tugasnya yakni untuk dekat dengan rakyat atau pemilihnya, mau berbagi, dan memperjuangkan nasib mereka. Hal terpenting yang diinginkan ibu-ibu ialah agar anggota DPR benar-benar memperjuangkan nasib mereka, sehingga terjadi perubahan yang lebih baik. XII. Harapan Harapan kelas bawah dan kelas menengah kepada anggota DPR masih pada pemenuhan kebutuhan hidup yang mendasar. Harapan yang sedikit tinggi adalah terjadinya pembenahan ekonomi rakyat secara struktural. Persoalan sosial-ekonomi yang dihadapi menjadi harapan atau tuntutan dominan semua informan. Mahalnya harga BBM dan sembako menjadi persoalan yang sangat krusial. Ibu-ibu berharap agar BBM dan sembako kembali ke harga normal. Untuk itu, bila negara harus manambah hutang luar negerinya, maka prioritas dana tersebut untuk menyejahterakan rakyat, terutama ibu dan anak. Di samping itu, diharapkan agar anggota DPR memiliki kredibilitas dan intensibilitas. Dengan demikian, terjadi peningkatan kualitas gender yang berguna untuk perjuangan ke depan. Sesama perempuan, baik yang berada di parlemen maupun di luar, diharapkan dapat saling menguatkan. Dalam pemahaman yang lebih mikro, anggota DPRD akan memberikan perhatian yang lebih pada usia lanjut dan anak-anak. Ini adalah persoalan yang sangat khas di Jakarta. Oleh karena anakanak sering dieksploitasi oleh orang dewasa dalam mencari nafkah. Dan semua itu karena kemiskinan dan ketidak-pedulian anggota DPR. Harapan lain yakni berfungsinya peran politisi, baik yang duduk di parlemen maupun yang hanya menjadi pengurus partai. Bila peran ini dijalankan, maka ruang demokrasi akan terbuka semakin luas. B. TEMUAN UTAMA PENELITIAN Krisis ekonomi yang ditandai dengan menurunnya daya beli rakyat telah mempengaruhi pola hidup masyarakat kelas bawah Jakarta. Dengan penghasilan di bawah standar UMP, warga miskin Jakarta yang tersebar di lima wilayah mempunyai persoalan hidup yang sama, yakni ketidaksanggupan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang mendasar. Dalam pemahaman kelas bawah, kemiskinan yang mereka alami adalah akibat tidak adanya kepedulian para politisi di legislatif maupun pengurus partai politik yang sering mengumbar janji terutama menjelang pemilu. Bagi kelas bawah, kenaikan harga BBM telah menjadi virus yang menghancurkan sisi-sisi lain kehidupan mereka. Kondisi sosial-ekonomi pasca Reformasi 1998 yang tidak berpihak pada kelas bawah telah memunculkan “kerinduan” pada masa Orde Baru. Satu sisi, mereka tetap mengingat dan menyadari bahwa pada Orde Baru tidak ada kebebasan berbicara, berkumpul, dan berorganisasi. Mereka mengetahui pelanggaran HAM yang dilakukan para Jenderal, di antaranya korban pelanggaran HAM (Klender dan Tanjung Periuk). Kestabilan ekonomi yang ditandai dengan harga barang yang terjangkau, tersedianya lapangan kerja, dan situasi ekonomi aman pada zaman Orde Baru diingat dan diinginkan kembali oleh hampir semua informan konstituen di kelas bawah. Kesuksesan ekonomi zaman Suharto diakui oleh informan konstituen kelas menengah. Kelas bawah maupun kelas menengah membandingkan fakta sosial yang mereka alami setelah reformasi dan sebelum reformasi. Bagi kelas bawah, ketidakdemokratisan pemerintahan Soeharto mengarah pada masalah yang dapat dilupakan. Kelas menengah mengetahui kalau fondasi ekonomi Orde Baru dibangun atas hutang luar negeri. Hal itu menjadi salah satu penyebab berlangsungnya krisis ekonomi hingga kini. Pertanyaannya, mengapa kelas bawah kembali menoleh pada masa lalu? Kenyataan tersebut coba dijawab informan dari DPR RI yang mengatakan bahwa itu menandakan gagalnya partai politik. “Penilaian itu merupakan kegagalan partai-partai politik yang ada karena tidak bisa mengemas dan tanggap pada penderitaan rakyat. Juga ketika Megawati berkuasa, kita harus jujur. Kita ini susahnya tidak dibudayakan otokritik, sehingga dirasakan rakyat tidak ada artinya, apalagi menyusahkan rakyat…Statemen-statemen kegagalan partai politik dan kegagalan reformasi bisa menjabarkan seolah-olah rakyat akhirnya melegitimasi zaman Soeharto enaklah.”317 Kesetaraan gender nyatanya tidak lagi didominasi kelas menengah yang terpelajar. kesadaran ini telah menjadi milik kelas bawah. Dari wawancara dengan informan konstituen kelas bawah tidak ada satu pun yang menolak peran sosial-politik perempuan di wilayah publik. Perempuan dianggap memiliki kemampuan yang sama, bahkan pada banyak hal, perempuan dianggap lebih mampu dalam menjalankan peran kepemimpinan. Perempuan memiliki empati, kecekatan, terampil, dan komitmen yang besar terhadap persoalan masyarakat. Pemimpin perempuan akan lebih bertanggung jawab dalam menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin. Perempuan dapat menjadi pemimpin di semua lini publik. 317 Diungkapkan anggota DPR RI FPDI Perjuangan. Dalam hal ini yang bersangkutan bukan dari Dapil DKI Jakarta. Walau awalnya diharapkan dapat mewawancaraI DPR RI Dapil Jakarta. Bagi informan yang latar belakang sosialnya dikenal dengan “religius”, sepeti di Mampang, informannya adalah ibu-ibu aktivis pengajian memiliki pandangan yang tidak berbeda dengan informan di wilayah lain. Mereka sepakat dan mendukung perempuan sebagai pemimpin. Sekalipun ada beberapa catatan yang mengingatkan tentang kondrat perempuan dan tanggung jawabnya di rumah tangga. Memang ada juga yang mengatakan, sebaiknya perempuan memprioritaskan urusan rumah tangga, baru mengurus publik, itu tidak mengurangi ‘keradikalan’ pandangan semua informan. Bagi informan kelas bawah dan kelas menengah, perempuan tidak hanya dapat menjadi pemimpin di wilayah publik. Untuk kepemimpinan domestik, perempuan diposisikan sebagai pihak yang harus mendampingi suami. Yang menjadi pemimpin adalah laki-laki, namun pandangan ini pun dimoderasi beberapa informan yang mengatakan dan mencontohkan kehidupan keluarganya yang demokratis. Bahwa beberapa hal, bila suami tidak sanggup, maka perempuan dapat menangani peran tersebut. Sama halnya untuk persoalan kepemimpinan di wilayah agama. hampir semuanya sepakat bahwa laki-laki masih menjadi pemimpin, paling tidak dalam ritual keagamaan (sholat). Jadi dalam wilayah ini, laki-laki masih memegang peran tradisionalnya sebagai pihak yang harus memimpin. Perempuan hanya boleh mengambil alih tugas keagamaan tersbut bila tidak ada laki-laki. I. Pandangan terhadap Reformasi Dalam perspektif gender, reformasi dapat diletakkan sebagai tahapan dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Reformasi sebagai proses transformasi sosial mengandung makna keterikatan seseorang dengan kelompoknya terhadap situasi eksternal yang hendak diperbaiki secara bersama. Sekalipun, kelompok perempuan mengambil posisi yang tidak dominan dalam proses itu. Sebagai pihak yang dilemahkan secara struktural oleh pemerintahan Orde Baru, tidak mempengaruhi ibu-ibu ini dalam memahami kemiskinan hidup yang mereka alami. “Kenyaman” dan kemudahan secara ekonomis yang diperoleh semasa Soeharto berkuasa, dijadikan pembenaran terhadap eksistensi Soeharto sebagai figur yang berhasil secara ekonomi. Bukannya ibu-ibu tersebut tidak tahu, bahwa ekonomi zaman Orba dibangun di atas fondasi hutang hutang luar negeri, tetapi kemiskinan dalam lima tahun terakhir menjadikan mereka beromantika kepada situasi yang dulu, meskipun itu represif, tidak ada kebebasan berorganisasi dan berbicara. II. Pemaknaan akan Kepemimpinan Perempuan Secara garis besar, terjadi tiga pengelompokan dalam memaknai keberadaan dan kepemimpinan perempuan. Di ruang publik, domestik, dan agama. Di ruang publik, perempuan boleh beraktivitas, berpolitik, dan menjadi pemimpin. Di ruang domestik, perempuan tetap mendapat porsi dalam mengambil kepemimpinan, akan tetapi selama suami ada dan memiliki kesanggupan memimpin rumah tangga, maka isteri harus mau dipimpin oleh suami. Di ruang agama, secara umum, memiliki pandangan yang sama, bahwa laki-laki adalah imam dalam ritual agama. Dengan demikian, posisi perempuan masih dalam batasan sebagai pengikut. Bukan berarti, bahwa perempuan tidak boleh memimpin. Perempuan boleh memimpin ritual keagamaan (sholat) bila tidak ada laki-laki. III. Kepercayaan terhadap Politisi Kekecewaan terhadap politisi yang duduk di legislatif sangat dominan sehingga mempengaruhi informan dalam memandang partai politik. Secara keseluruhan, sikap ini tidak membuat mereka apatis terhadap politisi dan partai politik. Setidaknya, hal itu dapat dilihat dari idealisasi pemimpin dan harapan mereka terhadap pemimpin. BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Tiga puluh tahun ada dalam pemerintahan Orde Baru yang tidak demokratis telah mereduksi tatanan nilai masyarakat dan sistem politik yang dibangun oleh pemerintahan sebelumnya. Orde Baru secara gemilang menanamkan nilai-nilai atau dogma-dogma kepatuhan yang harus diadopsi masyarakat dan menjadikannya sebagai kebenaran yang tidak dapat dipertanyakan. Melalui program pendidikan, seperti penataran P4 yang diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat, akhirnya Orde Baru mampu meredam (menjinakkan) daya kritis dan keberanian masyarakat, termasuk kaum perempuan. Dharma Wanita menjadi hadiah besar Orde Baru bagi kaum perempuan. Perempuan dijauhkan sepenuhnya dari dunia politik. Eksistensi perempuan diakui hanya sebagai mesin suara bagi kemenangan partai politik (khususnya Golkar). Selebihnya, perempuan kembali di rumahkan. Walaupun sejarah kemudian membuktikan, bahwa Orde Baru tidak berhasil sepenuhnya membonsai kesadaran dan daya kritis masyarakat, nyatanya kekuatan masyarakat sipil muncul dalam bentuk yang beragam. Kekuatan yang membesar dari masyarakat sipil pada akhirnya mampu menurunkan Soeharto dari tampuk kepresidenannya. Hal ini menjadi modal dalam melakukan perubahan yang lebih baik terutama bagi kelas menengah ke bawah. Dua kali pemilu pasca refomasi 1998 telah melahirkan dan mengantarkan elit politik ke panggung kekuasaan, baik di eksekutif maupun legislatif. Dengan berkendaraan partai politik yang berbeda warna dan ideologi, para politisi menjadikan rakyat kecil atau kelas bawah sebagai sasaran penopang utama dalam menjaga eksistensi politiknya. Betapa tidak, dalam setiap kampanye pemilu/pilpres/pilkada, suara rakyat kecil menjadi penentu kemenangan. Kaum perempuan selalu menjadi mesin suara yang paling menentukan dalam setiap pemilu. Untuk itu, berbagai program yang menunjukkan keberpihakan kepada perempuan tidak jarang menjadi program andalan para caleg atau parpol. Dengan adanya aturan 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik, menjadi jalan bagi kaum perempuan untuk lebih memaksimalkan kemampuannya dalam berpolitik di tingkat legislatif. Keberadaan perempuan yang berkualitas di DPR, yang dapat memperjuangkan kepentingan perempuan menjadi lebih terbuka. Untuk mengubah kehidupan kelas bawah menjadi lebih baik, dibutuhkan kehadiran para perempuan politisi yang berkualitas. Bagi para informan, kualitas perempuan politisi dimaknai dalam tiga bagian yang merepresentasikan kenyataan hidup dan harapan mereka. Dengan demikian, keberadaan politisi perempuan menjadi jawaban proses demokrasi yang berlangsung. Pertama, persoalan ekonomi-sosial yang dihadapi kelas bawah dan menengah termasuk perkenalan mereka terhadap figur politisi menjadi bagian yang tidak terpisah, yang mempengaruhi cara pandang mereka terhadap peran politisi. Bagi mereka, politisi perempuan tidak menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai anggota legislatif. Kondisi ini yang menyebabkan makin terpuruknya kehidupan sosial-ekonomi masyarakat dan juga negara. Kenyataan sosial-ekonomi yang tidak berpihak kepada kelas bawah (dan kelas menengah) telah melahirkan pandangan dan idealisasi mengenai kualitas perempuan politisi, terutama yang berada di legislatif. Kedua, persoalan nilai yang harus dianut oleh para perempuan politisi, peran pendidikan dan keluasan pengetahuan, dan kemampuannya dalam menjalankan fungsi atau tugasnya, serta tanggung jawab politik para politisi menjadi bagian yang sangat terkait erat yang bersifat antitesis realitas sosial yang berlangsung sebelum dan sesudah reformasi. Ketiga, idealisasi tersebut melahirkan harapan yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Hampir semua harapan tiap informan terkait erat dengan kemiskinan yang mereka hadapi. Mereka inginkan kehidupan mereka menjadi lebih baik. Sanggup membeayai sekolah anakanaknya, sanggup membeli minyak tanah atau gas, dan sanggup ke rumah sakit tanpa takut ditolak dan lainnya. Harapan mereka memang normatif, karena memang itulah persoalan mereka. B. REKOMENDASI Rekomendasi ditunjukkan kepada: 1. Partai-partai Politik dan Anggota Legislatif Pertama, partai-partai politik sebaiknya merancang ulang sistem pendidikan kader-kadernya, khususnya para kader perempuan. Sebagai kelompok yang dianggap lebih berpotensi dan memiliki kepedulian yang lebih tinggi dibanding laki-laki, maka saatnya partai-partai politik mengasah dan membuka peluang selebar-lebarnya bagi perempuan untuk berpolitik sesuai garis politik partai. Dengan mendekatkan diri dengan konstituen atau basis massa akan mematangkan kader perempuan dalam berkomunikasi dan berjaringan dengan warga maupun organisasi masyarakat. Komunikasi lintas komunitas atau organisasi dapat memudahkan partai-partai politik dalam menjaring aspirasi masyarakat. Kedekatan yang terbangun memberi nilai tersendiri yang menguntungkan kedua belah pihak. Warga tidak membutuhkan janji politik, karena mereka sudah makin kritis untuk memahami proses politik yang lebih strategis jangkauannya. Kedua, partai-partai politik sebaiknya mendorong dan memberi ruang yang lebih longgar kepada kadernya yang menjadi anggota legislatif, sehingga dapat lebih bersuara tanpa harus kuatir tidak sesuai dengan politik partai. Karena kenyataannya, pernyataan anggota legislatif yang perempuan memiliki kemampuan dalam mempengaruhi opini masyarakat terhadap kinerja parpol dan politisinya. Jalan ini setidaknya menjadi pencerahan bagi warga untuk lebih optimis pada parpol. 2. Pemerintah Pusat dan Daerah Untuk pemerintah pusat, sebaiknya segera menata ulang dan melakukan evaluasi kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan rakyat. Kenaikan BBM tidak sekadar bicara tentang penyediaan minyak dan soal harga, melainkan lebih pada persoalan rapuhnya fondasi kehidupan dan martabat warga kelas bawah. Pemerintah diminta untuk berkomunikasi dengan warga tidak hanya dalam bentuk yang represif, seperti penggusuran atau bentuk yang karikatif (hadir ketika terjadi bencana banjir). Yang bisa dilakukan yakni memaksimalkan keberadaan birokrasi yang dapat melaksanakan dan menyukseskan program pemerintah. Jadi bagaimana agar program yang direncanakan membantu rakyat, justru memunculkan gesekan secara vertikal dan horisontal (seperti progman BLT). Terkait peluang perempuan menjadi pemimpin di dalam berbagai birokrasi pemerintahan adalah agenda reformasi birokrasi yang harus dilakukan mulai tingkat Daerah sampai Pusat. 3. Lembaga Masyarakat Memaksimalkan kemampuannya dalam berhubungan secara langsung dengan warga untuk melakukan pendekatan dan pendidikan kepada mereka (khususnya perempuan), sehingga ketika terjadi permasalahan dapat dipecahkan bersama. Seperti yang dikeluhkan beberapa ibu, bahwa mereka takut untuk menemui anggota DPR RI/DPRD. Kehadiran lembaga atau ormas hendaknya menjadi penghubung yang bersifat demokratis antara berbagai pihak. Memberikan pendidikan politik kepada komunitas adalah bentuk komunikasi yang paling efektif dalam memajukan kelas bawah. DAFTAR PUSTAKA Buku Peter L. Berger, 1982, Piramida Korban Manusia, LP3S, Jakarta Stephen K. Sanderson, 2003, Sosiologi Makro, Grafindo, Jakarta George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2005, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta Marsana I. Windhu, 1992, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung, Kanisius, Yogyakarta DPP PDI Perjuangan, 2006, Pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, Jakarta Nuraini, 2006, Melawan Ketidakadilan Gender, Yas. Sekar dan Yay. FES Indonesia, Jakarta Koentjaraningrat, 1981, Metode-metode Kegiatan Masyarakat, Gramedia, Jakarta Koentjaraningrat, 1997, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Skripsi Nuraini, Skripsi 2001 “Konsepsi Pendidikan Kerakyatan menurut Tan Malaka”, Filsafat UGM, Yogyakarta Hasil Penelitian Demos, 2007-2008, Satu Dekade Reformasi: Maju Mundurnya Demokrasi di Indonesia, Jakarta The Ridep Institute, 2004, Apa Janji Partai Politik? Jakarta Peraturan UUD 1945 yang diamandemen, Pasal 28H ayat 1 dan Pasal 34, ayat 3 Tatib DPR RI No. 08 Th, 2005 Koran Koran Harian Kompas, 19 Maret 2005 PROPOSAL PENELITIAN “KUALITAS PEREMPUAN POLITISI DI LEGISLATIF” I. SIGNIFIKANSI PENELITIAN Kebijakan ekonomi Neoliberal yang dijalankan oleh pemerintah, telah menciptakan ruang sosial yang tidak sehat bagi kehidupan perempuan. Pencabutan subsidi kesehatan, pendidikan, BBM, dan Tarif Dasar Listrik yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah dalam beberapa dekade pemerintahan, menyebabkan terjadinya kemiskinan massal pada kehidupan perempuan. Tingginya angka kematian ibu melahirkan (AKI) yang mencapai 307 per 100 kelahiran, tingginya angka buta huruf perempuan yang mencapai 67% dari 15.686.161 keseluruhan angka buta huruf, begitu juga dengan meningkatnya jumlah (72%) buruh migran perempuan selama 10 tahun terakhir, merupakan fakta sosial yang dihasilkan dari praktek kebijakan ekonomi-politik yang tidak memiliki kepedulian dan rasa keadilan kepada perempuan. Berlakunya Perda Syariat Islam/agama di beberapa daerah, seperti di Tangerang, Padang, dan Nanggro Aceh Darusalam, merupakan mimpi buruk bagi kaum perempuan. Karena cita-cita Reformasi 98 yang diperjuangkan justru berbelok arah, dan memukul balik proses reformasi. Para elit politik yang berada di legislatif dan juga eksekutif, baik di tingkat pusat maupun daerah, menjalankan kebijakan yang merumahkan perempuan, bahkan pada tingkat yang ekstrim, perempuan menjadi pihak yang sangat rentan untuk dikriminalkan. Kriminalisasi PSK dan juga perempuan yang bekerja di malam hari merupakan implementasi dari lemahnya kesadaran dan keberpihakan politisi kepada kaum perempuan. Dengan demikian, kebebasan secara politik dan sosial yang dicapai dari proses reformasi, justru mengalami kemunduran318. Di sisi lain, terjadi perubahan pada sistem politik yang mengarah pada terbukanya peluang perempuan untuk terlibat aktif di legislatif dan eksekutif, juga jabatan struktural lainnya, termasuk untuk menjadi pengurus partai politik. Dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD, pasal 8 ayat 1.d menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik pusat. Dan pada pasal 57 secara tegas dinyatakan tentang keterwakilan 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif. Dalam konteks Indonesia, keberadaan politisi perempuan dalam panggung kekuasaan memiliki nilai strategis. Dengan jumlah perempuan yang mencapai 51% dibanding penduduk laki-laki, maka perempuan menjadi pihak yang paling rentan menerima akibat dari kebijakan ekonomi-politik pemerintah yang tidak berpihak. Sementara, dengan jumlah yang signifikan, perempuan menjadi mesin suara bagi kemenangan partai politik/politisi dalam setiap pemilihan umum. Dengan demikian, terdapat kondisi sosial-politik yang saling menentukan antara politisi perempuan dengan konstituen perempuan. Politisi perempuan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, karena keperempuanan mereka menjadi ikatan dengan pemilihnya, apalagi bila selama kampanye mereka menggunakan isu perempuan. Keberadaan politisi perempuan di parlemen, diikuti dengan harapan yang besar dari masyarakat, 318 Laporan Eksekutif Survey Nasional Demos 2007-2008, delapan kesimpulan utama, hal. 9: para informan kami menyatakan bahwa persoalan besar kemunduran tersebut tidak hanya menyangkut ’kebebasan mendirikan partai di tingkat lokal dan nasional (termasuk peluang calon independen), merekrut anggota, dan berkampanye untuk menduduki jabatan-jabatan pemerintah’, namun juga ’kebebasan beragama dan berkeyakinan, menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan’, ’kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi’, ’kebebasan pers, dunia seni dan dunia akademis’, ’partisipasi warganegara dalam organisasi masyarakat yang independen’ dan ’akses publik terhadap berbagai pandangan dalam mendia, seni dan dunia akademis, serta kemampuan media, seni dan dunia akademis untuk merefleksikannya’, mengalami kemunduran. terutama kaum perempuan, bahwa mereka memiliki kualitas sebagai politisi yang memiliki keberpihakan kepada perempuan. Persoalannya, dari dua kali pemilu yang digelar pascareformasi, sejumlah politisi perempuan yang terpilih untuk tingkat DPR RI, DPRD, DPD (data terlampir) tidak melakukan praktek politik yang merepresentasi keberpihakannya pada kepentingan kaum perempuan. Begitu juga dengan pengetahuan dan skill dalam menjalankan tugas-tugas politiknya. Politisi perempuan, dalam banyak level, menjadi berbeda dengan politisi laki-laki. Perbedaan ini, dapat dilihat dari ruang berbicara mereka dengan media, konstituen dan juga dalam internal parlemen. Sebaliknya, beberapa produk hukum-politik seperti Perda Syariat, dan terakhir pembahasan RUU Pornografi dihadirkan, justru di tengah meningkatnya TKW yang disiksa majikan, anak busung lapar, dan ibu bunuh diri karena miskin. Lemahnya kepedulian dari politisi perempuan untuk bersuara dan menyusun kebijakan yang membela perempuan menjadi persoalan yang layak untuk dikritisi dan pelajari, karena menyangkut kualitas yang dimilikinya. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan menemukan jawaban atas lemahnya kepedulian politisi perempuan dengan mengetahui latar belakang sosial-politknya. Hal ini menjadi penting, karena berhadapan dengan sistem ekonomi Neolib, dibutuhkan para politisi yang siap bersuara dan memperjuangkan hak-hak perempuan, termasuk memperjuangkan anggaran yang properempuan. Untuk itu, hasil penelitian ini akan menjadi referensi bagi para politisi untuk meningkatkan kualitas dirinya, sehingga berjalan seiring dengan harapan pemilih perempuan tentang calon/anggota legislatif yang berkualitas. II. PERMASALAHAN Latar belakang sosial, ekonomi, dan politik seseorang, menentukan cara pandangnya terhadap realitas sosialnya. Seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya sibuk dengan urusan rumah tangga, memiliki pandangan yang berbeda dengan perempuan yang bersinggungan langsung dengan dunia publik. Pun begitu dengan perempuan kelas menengah, tentu akan berbeda dengan kelas bawah. Akses informasi yang diperoleh melalui media massa dan peluang berkomunikasi dengan berbagai kalangan, memungkinkan terjadinya perbedaan cara pandang dan pilihan politik. Sebagai pemilih dengan suara terbesar, perempuan memiliki posisi tawar terhadap para politisi. Persoalannya, dalam perpolitikan yang belum demokratis dan patriarkhis, perempuan cenderung dijadikan mesin suara yang disogok dengan program yang seakan-akan berpihak, namun dalam kenyataannya, tidak pernah direalisir. Lemahnya tanggungjawab politik dari politisi, menyumbangkan ketidaktertiban sosial yang berlapis dalam masyarakat. Di satu sisi, perempuan ‘menikmati’ ruang politik yang semakin terbuka, namun di sisi lain, perempuan harus menanggung beban sosial-ekonomi yang kian memarginalkan keberadaan mereka sebagai warga negara maupun sebagai anggota keluarga. Kenaikan BBM yang disertai naiknya harga sembako, telah menambah tugas baru melakukan antrian untuk mendapatkan minyak/gas. Tugas-tugas domestik yang semakin berat dan kompleks, telah menyita energi dan waktu perempuan, sehingga pada titik ini, kesempatan perempuan untuk mendapatkan informasi dan mengasah diri dalam organisasi (sosial atau politik) tidak dapat dimaksimalkan. Kondisi seperti di atas, telah mengantarkan wajah perempuan yang asing terhadap politik. Kesadaran politik perempuan, di beberapa wilayah, baru diapreasiasikan dalam bentuk kelompok pengajian, arisan, posyandu, atau PKK. Sedikitnya jumlah perempuan yang berpolitik praktis, sebagai pengurus partai politik atau menjadi anggota legislatif, merupakan hasil dari domestifikasi perempuan yang berlangsung lama, sehingga politik dengan segala instrumen dan tindakannya, masih menjadi wilayah yang didominasi laki-laki. Walaupun, instrumen politik telah memungkinkan perempuan terlibat aktif dalam politik, setidaknya ditandai dengan adanya kesetaraan dan kesamaan di hadapan hukum, dan adanya kontrol terhadap korupsi (Ringkasan Ekseskutif Demos tahun 2007-2008), serta UU 10 Thn 2008 tentang Pemilu. Keberadaan politisi perempuan di legislatif, secara statistik (terlampir) masih jauh dari jumlah lakilaki, sehingga tidak dapat merepresentasikan jumlah pemilih perempuan dalam setiap pemilu. Pada akhirnya, keberadaan politisi perempuan di parlemen mendapatkan prasyarat yang spesifik, bahwa politisi perempuan harus berkualitas. Walau prasyarat ini cenderung diskriminatif (karena secara wacana, tidak berlaku pada politisi laki-laki), tetap saja, tuntutan untuk berkualitas merupakan substansi dari demokrasi kerakyatan. Untuk itu, perlu dilakukan elaborasi terhadap pemahaman dan kesadaran perempuan berbagai kalangan dalam menyikapi masa depan politik yang lebih baik dan demokratis. III. PERUMUSAN PERMASALAHAN Terpilihnya seorang anggota legislatif (DPR RI, DPRD, dan DPD) merupakan fakta sosial yang didahului dengan terjadinya relasi antara politisi dengan pemilih. Relasi ini seringkali terbentuk dan berjalan pendek dan sesaat hanya menjelang dan pada saat pemilu. Setelah pemilu selesai, relasi dalam bentuk komunikasi –salah satunya--, menjadi jarang terjadi dan besar kemungkinan tidak terjadi sama sekali. Politisi perempuan dalam kampanyenya, merasa absah menggunakan isu perempuan untuk menarik simpati dan dukungan dari pemilih perempuan. Ada kesadaran dari politisi perempuan, bahwa kampanye mereka memang ditujukan bagi pemilih perempuan. Dengan kata lain, politisi perempuan sedang mencitrakan dirinya sebagai wakil dari kaum perempuan yang memang layak dipilih sebagai anggota legislatif. Pencitraan sesaat ini, dalam realitasnya, seringkali berhasil menyakinkan pemilih untuk memilihnya. Keberhasilan politisi, di samping karena kemampuan ‘merekayasa’ situasi, juga karena pemilih kita belum sepenuhnya rasional. Pilihan pada seorang calon, belum karena kesadaran politik yang dimilikinya secara otonom, melainkan masih karena pengaruh politik suami, ayah, mertua, dan atau anak. Politik uang adalah cara berkomunikasi yang masih dominan digunakan oleh para politisi. Kondisi ini semakin mengentalkan cara berpolitik yang tidak rasional. Pemilih perempuan sesungguhnya memiliki filter tersendiri dalam menentukan pilihannya. Sebagai kelompok masyarakat yang merasakan beban berlebih dari setiap dampak kebijakan yang tidak pro-rakyat. Dan belajar dari pengalaman hidupnya, perempuan memiliki pemaknaan tersendiri tentang kualitas. Dalam bahasa yang berbeda, perempuan dari berbagai kalangan, termasuk politisinya sendiri, mempunyai pemaknaan yang disimpulkan dari pengalaman hidupnya masingmasing, pendidikan, dan juga kesadaran politiknya. Berbicara kualitas politisi perempuan, berarti berbicara tentang proses hidup yang mengantarkannya menjadi politisi. Oleh sebab itu, mengetahui kualitas seseorang, berarti ada upaya mengetahui keseluruhan proses hidup hingga ia menjadi politisi. Untuk itu dibutuhkan penguasaan atas peta yang jelas mengenai profil diri, yang didahului dengan data-data persoalan secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dengan demikian, kualitas politisi menjadi persoalan utama yang akan disusuri atas dasar penilaian pemilih perempuan yang sangat berkepentingan terhadap adanya kualitas politisi. Persoalan yang dihadapi oleh pemilih perempuan dan perempuan pada umumnya, bahwa kualitas dari politisi yang mereka pilih seringkali mengecewakan secara sosial, ekonomi, dan politik. IV. PERTANYAAN PENELITIAN Dalam studi ini ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan. Pertanyaan utamanya adalah bagaimana pemilih perempuan memahami kualitas politisi perempuan di legislatif ? Pertanyaan lainnya adalah: 1. Apa saja variabel yang melatarbelakangi kualitas politisi perempuan? 2. Apa saja persoalan yang mempengaruhi lahirnya kebijakan yang pro perempuan terutama menjelang Pemilu 2009? V. KERANGKA KONSEPTUAL Dalam perspektif sosiologis, kualitas seseorang dipahami sebagai hasil interaksi/relasi yang terjalin secara sosial dan juga personal. Politisi perempuan menjadi bagian yang menyatu dalam keseluruhan proses sosial-politik di masyarakat dan juga negara. Dengan kata lain, kualitas yang dimiliki dan ditampilkan oleh politisi perempuan sangat terkait erat dengan latar belakang sosial, di mana ia dilahirkan, dibesarkan, dan dididik,s erta termpat ia bekerja/berorganisasi. Dalam hal ini, organisasi/partai politik menjadi salah satu tempat sosial-politik yang dapat mengasah kekualitasan politisi perempuan. Sebagai seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial yang memiliki nilai hidup, yang secara historis dan sosial telah dijadikan pegangan kolektif, maka politisi perempuan pun menjalankan fungsi sosial-politiknya bersandarkan pada nilai-nilai yang dijunjung masyarakat. Religiusitas, kekeluargaan, toleran, dan menghargai pluralisme menjadi nilai dasar masyarakat Indonesia yang bahkan dianggap hal yang given. Dengan demikian, seorang politisi masuk dalam pemahaman ini, bahwa ia adalah bagian dari anggota masyarakat yang juga harus memegang nilai tersebut. Pada tahap tertentu, tuntutan untuk menjalankan dan menjaga nilai hidup, menjadi lebih besar karena secara hierakhi sosial-politik, ia berada pada lapisan kelas atas. Secara eksternal, pendidikan (formal/informal) menjadi salah satu hal yang menentukan kualitas politisi. Asumsinya, semakin luas dan tinggi pendidikan, terutama pendidikan formal yang ia dapatkan, maka semakin berkualitaslah seseorang. Walau pendidikan formal tidak serta merta menjadi penentu kualitas seseorang. Pada sisi lain, pengetahuan yang dimiliki sebagai hasil dari pengalaman hidup, menjadi dasar baginya sebagai tokoh politik untuk memahami dan mengimplementasikan nilai demokrasi dalam sikap (attitude) dan tindakan yang riil/praktek. Sebagai politisi yang menjadi anggota legislatif, dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang sistem dan mekanisme kerja DPR/DPD. Begitu juga dengan keahlian kerja dalam menjalankan fungsinya sebagai anggota legislatif. Hal-hal ini menjadi modal dalam memperjuangkan aspirasi rakyat yang ditunjukkan melalui pengemasan dan pengartikulasian isu/kebijakan yang berpihak kepada kaum perempuan. VI. RUANG LINGKUP DAN METODOLOGI Ruang Lingkup Permasalahan Politisi perempuan yang duduk sebagai anggota DPR RI, DPRD, dan DPD daerah pemilihan DKI Jakarta. Ruang Lingkup Wilayah Wilayah yang menjadi fokus penelitian ini adalah daerah miskin kota yang berada di DKI Jakarta, yang mempunyai ciri khusus secara sosial, ekonomi, politik, dan keagamaan. Lima wilayah ini terdapat di Berlan-Palmerah (Jakarta Pusat), Klender (Jakarta Timur), Mampang (Jakarta Selatan), Muara Baru (Jakarta Utara), dan Palmerah (Jakarta Barat). Kelima wilayah ini dipilih secara sengaja berdasarkan beberapa pertimbangan secara politik, yang diwakili oleh Berlan-Palmeriam dan Klender. Berlan-Palmeriam merepresentasi daerah yang suhu politiknya dinamis dan memiliki sejarah politik sebagai daerah ’konflik’ antara PPP dan Golkar. Begitu juga dengan Klender, mewakili komunitas korban politik (Kasus Mei 98) yang memiliki kesadaran untuk berorganisasi dan memperjuangkan hak-hak sipilnya. Mampang dipilih dengan pertimbangan menguatnya aktivitas keagamaan yang dimunculkan melalui kelompok pengajian ibu-ibu. Sementara Palmerah adalah daerah padat dan miskin, di mana kaum urban banyak bertempat tinggal. Sama halnya dengan Muara Baru, merupakan daerah miskin yang bahkan tidak diakui dan tidak dicatat sebagai sebuah kelurahan. Ruang Lingkup Informan Sebanyak 35 orang akan dipilih menjadi informan berdasarkan kelas sosialnya, dengan komposisi sbb: 40% .............. kelas bawah 30% .............. kelas menengah 30%............... kelas atas Kls Atas Pol Perm Politisi Perempuan Kls Meng Kls Bwh Klp penilai Klp yang dinilai Penentuan ini akan disesuaikan dengan kecenderungan data yang diperoleh oleh Tim Peneliti. METODOLOGI Dalam melakukan penilaian terhadap kualitas politisi perempuan, maka aspek gender menjadi perspektif dari semua pertanyaan yang ditujukan kepada informan. Selanjutnya, dalam penelurusan/pengungkapan fakta akan digunakan pendekatan kualitatif, yang menekankan pada manfaat dan pengumpulan informasi dalam mendalami fenomena yang diteliti. 319 Pemilihan metode kualitatif dalam penulisan kegiatan ini dikarenakan penulis tidak melakukan pengujian kekuatan antar variabel tetapi berusaha melihat dan menggambarkan keseluruhan fenomena sosial yang berkaitan dengan permasalahan yang muncul dalam kegiatan ini. Alasan mengapa kegiatan ini menggunakan pendekatan kualitatif adalah karena dalam melihat kondisi sosial perempuan dan pandangan politiknya harus dilihat dan digambarkan keseluruhan fenomena sosial yang terkait dengan permasalahan tersebut. Berdasarkan tipe penelitian, kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan salah satu bagian dalam penelitian kualitatif. Penelitian yang bersifat deskriptif memberi gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu.320 Menurut Melly G.Tan, penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu keadaan, gejala, atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lainnya dalam masyarakat.321 Tahapan Pekerjaan: Tahap Persiapan Tahap Pengumpulan Data (Sekunder dan Primer) Tahap Analisa data Data yang telah terkumpul kemudian akan diproses melalui pemrosesan satuan, kategorisasi, dan penafsiran data. Tahap Akhir Tim Peneliti melakukan perbaikan untuk kesempurnaan hasil. VII. WAKTU PELAKSANAAN Penelitian akan dilaksanakan dalam waktu 3 (tiga) bulan (Juni – Agustus 2008) Timeline Penelitian No 1. 2. 3. 4. 5. 319 Kegiatan/Tahapan Penelitian 1 Juni 2 3 4 1 Juli 2 3 4 Penentuan Topik Penelitian Penyusunan Rencana Penelitian Pengumpulan Data Kualitatif Pengumpulan Data Kuantitatif Analisis Data Koentjaraningrat, Metode-metode Kegiatan Masyarakat, (Jakarta : Gramedia, 1981), hlm 84. Koentjaraningrat, “ Metode-Metode Penelitian Masyarakat”, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal 30 321 Melly G.Tan, “Masalah Perencanaan Penelitian”, dalam Koentjroningrat “ Metode-Metode Penelitian Masyarakat”, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983, hal 29 320 1 Agustus 2 3 4 6. 7. Interpretasi Data Penulisan Laporan