Kualitas Perempuan Politisi di Legislatif

advertisement
LAPORAN HASIL PENELITIAN
KUALITAS PEREMPUAN POLITISI DI LEGISLATIF
OLEH
KALYANAMITRA
DIDUKUNG OLEH
JAKARTA, INDONESIA
NOVEMBER 2008
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. PERMASALAHAN
1
1
B. PERUMUSAN MASALAH
1
C. SIGNIFIKANSI PENELITIAN
1-2
D. KERANGKA KONSEPTUAL
2
E. METODOLOGI
3
BAB II. DESKRIPSI TEMUAN LAPANGAN
A. INFORMAN KONSITITUEN KELAS BAWAH
4
4
A .1 Muara Baru, Jakarta Utara
4-13
A. 2 Paseban, Jakarta Pusat
14-21
A. 3 Klender, Jakarta Timur
22-29
A. 4 Mampang, Jakarta Selatan
30-37
A. 5 Tanjung Duren, Jakarta Barat
38-46
B. INFORMAN KONSTITUEN KELAS MENENGAH
47-55
C. INFORMAN POLITISI
56-65
D. KATA-KATA KUNCI
BAB III. PEMBAHASAN
A. PANDANGAN TENTANG KUALITAS POLITISI
B. TEMUAN UTAMA
66
66-79
79
1. Pandangan terhadap Reformasi
81
2. Pemaknaan akan Kepemimpinan Perempuan
81
3. Kepercayaan terhadap Politisi
81
BAB IV. PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. REKOMENDASI
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
 Rancangan Proposal Penelitian
82
82-83
83-84
BAB I
PENDAHULUAN
A. PERMASALAHAN
Demokrasi memprasyaratkan kesetaraan dalam wilayah politik, yang memungkinkan terwakilinya
tiap kelompok masyarakat di parlemen. Politik keterwakilan merupakan jawaban yang cukup
signifikan dalam sistem demokrasi. Perempuan di Indonesia sebagai kelompok yang secara
kuantitatif memiliki jumlah yang besar daripada laki-laki (51 persen) menjadi kelompok sosial yang
memiliki potensi posisi tawar politik yang cukup besar. Dalam hal ini, pemerintah dan elit politik
lainnya harus memiliki kepedulian terhadap isu-isu perempuan (secara praktis dan strategis).
Setidaknya, perempuan memiliki wakil di parlemen yang mampu menyuarakan aspirasinya.
Persoalannya, selama dua kali pemilu yang digelar pasca Reformasi 1998, keterwakilan
perempuan di parlemen dan lembaga strategis negara lainnya masih kecil. Jumlah perempuan yang
duduk di parlemen sangat kecil, tidak sesuai dengan peraturan pemilu yang mengisyaratkan 30
persen keterwakilan perempuan. Pada Pemilu 2004, tidak ada satu partai pun yang dapat
memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.
Perempuan yang terpilih sebagai wakil rakyat di DPR (pusat dan daerah) pada kenyataannya tidak
sesuai dengan harapan pemilihnya, terutama kaum perempuan. Para perempuan politisi di legislatif
tidak melakukan fungsi sosial-politiknya sebagai wakil kaum perempuan. Peran mereka di legislatif
tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan para pemilihnya.
B. PERUMUSAN MASALAH
Penilaian rakyat terhadap perempuan politisi di legislatif memiliki basis masalah yang bersumber
dari kehidupan sehari-hari. Kebijakan pemerintah yang makin memiskinkan rakyat merupakan
persoalan kunci dalam memberikan penilaian dan harapan terhadap anggota legislatif.
Sikap dan perilaku para anggota legislatif perempuan diketahui oleh informan berdasarkan
informasi media. Sementara itu, komunikasi politik yang macet juga mempengaruhi pengetahuan
informan terhadap mereka. Dalam kenyataannya, banyak perempuan yang tidak mengenal secara
fisik dan politis anggota DPR terkait.
Pada saat yang bersamaan, anggota DPR perempuan pun perlu melakukan penilaian atas diri
mereka sendiri dan mitra kerjanya di DPR. Hal ini menjadi penting untuk dilakukan, mengingat para
anggota DPR pun adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat umumnya. Dengan
demikian, akan diperoleh pandangan yang menyeluruh mengenai kualitas anggota DPR
perempuan.
Penilaian yang diberikan oleh semua pihak menjadi hal utama yang hendak dibongkar dalam
penelitian ini. Dengan demikian, dapat diketahui persepsi yang menyeluruh tentang kualitas
perempuan politisi di legislatif.
C. SIGNIFIKANSI PENELITIAN
Akhir-akhir ini terjadi perubahan sistem politik yang mengarah pada terbukanya peluang perempuan
untuk terlibat aktif di legislatif dan eksekutif, juga jabatan struktural lainnya, termasuk untuk menjadi
pengurus partai politik. Dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan
DPD, pasal 8 ayat 1.d, dinyatakan “menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan
perempuan dalam kepengurusan partai politik pusat”. Dan pada pasal 57 secara tegas dinyatakan
tentang keterwakilan 30 persen perempuan dalam pencalonan anggota legislatif.
Keterwakilan perempuan haruslah menjadi jembatan emas dalam memperjuangkan aspirasi atau
kepentingan kaum perempuan dalam berbagai dimensi. Persoalannya, dalam dua kali pemilu yang
digelar pasca Reformasi 1998, sejumlah perempuan politisi yang terpilih untuk tingkat DPR RI,
DPRD, dan DPD tidak melaksanakan praktek politik yang merepresentasi keberpihakannya pada
kepentingan kaum perempuan. Begitu pun dengan lemahnya pengetahuan dan keterampilan
dalam menjalankan tugas-tugas politiknya.
Lemahnya kepedulian perempuan politisi untuk bersuara dan menyuarakan dan menyusun
kebijakan yang membela kepentingan perempuan menjadi persoalan mendesak yang layak untuk
dikritisi dan pelajari. Dalam kaitan itulah, penelitian ini Kalyanamitra lakukan.
D. KERANGKA KONSEPTUAL
Dalam perspektif sosiologis, kualitas seseorang dipahami sebagai hasil interaksi atau relasi yang
terjalin secara sosial dan juga personal. Perempuan politisi menjadi bagian yang menyatu dalam
keseluruhan proses sosial-politik di masyarakat dan juga negara. Dengan kata lain, kualitas yang
dimiliki dan ditampilkan oleh perempuan politisi sangat terkait erat dengan latar belakang sosial, di
mana ia dilahirkan, dibesarkan, dan dididik, serta tempat ia bekerja atau berorganisasi dan
berkiprah. Dalam hal ini, organisasi atau partai politik menjadi salah satu tempat sosial-politik yang
dapat mengasah kekualitasan perempuan politisi.
Sebagai seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial yang memiliki nilai hidup, yang secara
historis dan sosial telah dijadikan pegangan kolektif, maka perempuan politisi pun menjalankan
fungsi sosial-politiknya bersandarkan pada nilai-nilai yang dijunjung masyarakat. Religiusitas,
kekeluargaan, toleran, dan menghargai pluralisme menjadi nilai dasar masyarakat Indonesia yang
bahkan dianggap hal yang given. Dengan demikian, seorang politisi masuk dalam kerangka
pemahaman ini, bahwa ia adalah bagian dari anggota masyarakat yang juga harus memegang nilai
tersebut. Pada tahap tertentu, tuntutan untuk menjalankan dan menjaga nilai hidup, menjadi lebih
besar karena secara hierakhis sosial-politik, itu berada di lapisan kelas atas.
Secara eksternal, pendidikan (formal atau informal) menjadi salah satu hal yang menentukan
kualitas perempuan politisi. Asumsinya, semakin luas dan tinggi pendidikan, terutama pendidikan
formal yang ia peroleh, maka kian berkualitaslah seseorang. Walaupun, pendidikan formal tidak
serta merta menjadi penentu kualitas seseorang. Di sisi lain, pengetahuan yang dimiliki sebagai
hasil pengalaman hidup, menjadi dasar baginya sebagai tokoh politik untuk memahami dan
mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi dalam sikap (attitude) dan tindakan yang real atau
praktik politik.
Sebagai politisi yang menjadi anggota legislatif, dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang sistem
dan mekanisme kerja DPR/DPD. Begitu juga dengan keahlian kerja dalam menjalankan fungsinya
sebagai anggota legislatif. Hal-hal ini menjadi modal dalam memperjuangkan aspirasi rakyat yang
ditunjukkan melalui pengemasan dan pengartikulasian isu atau kebijakan yang berpihak kepada
kaum perempuan.
E. METODOLOGI
Informan dipilih berdasarkan kelas sosialnya, dengan komposisi sebagai berikut:
40% .............. kelas bawah
30% .............. kelas menengah
30%............... kelas atas
Bagan
Informan
Kls Atas
Pol Perm
Perempuan politisi
Kls Meng
Kls Bwh
Kelompok penilai
Kelompok yang dinilai
Dalam melakukan penilaian terhadap kualitas perempuan politisi di legislatif, maka aspek gender
menjadi perspektif semua pertanyaan yang ditujukan kepada informan. Selanjutnya, dalam
penelurusan atau pengungkapan fakta digunakan pendekatan kualitatif, yang menekankan pada
manfaat dan pengumpulan informasi dalam mendalami fenomena yang diteliti.1 Pemilihan metode
kualitatif dalam kegiatan ini karena tidak bermaksud melakukan pengujian kekuatan antar variabel,
tetapi berusaha melihat dan menggambarkan keseluruhan fenomena sosial yang berkaitan dengan
persoalan yang muncul dalam kegiatan ini. Alasan mengapa kegiatan ini menggunakan pendekatan
kualitatif adalah karena dalam melihat kondisi sosial perempuan dan pandangan politiknya harus
dilihat dan dilukiskan keseluruhan fenomena sosial yang terkait dengan persoalan tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif
merupakan salah satu bagian dalam penelitian kualitatif. Penelitian yang bersifat deskriptif memberi
gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok
tertentu.2
1
Koentjaraningrat, Metode-metode Kegiatan Masyarakat, (Jakarta : Gramedia, 1981), hlm 84.
Koentjaraningrat, “ Metode-Metode Penelitian Masyarakat”, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997,
hal 30.
2
BAB II
DESKRIPSI TEMUAN LAPANGAN
A. INFORMAN KONSTITUEN KELAS BAWAH
A.1. MUARA BARU, JAKARTA UTARA
I.
Konteks Geopolitik
Kota Jakarta Utara membentang sepanjang Teluk Jakarta, berbatasan dengan Tangerang di
sebelah Barat dan Bekasi di sebelah Timur. Wilayahnya mencakup Kepulauan Seribu yang masih
berstatus kabupaten administratif di bawah pengawasan Pemerintahan kota Jakarta Utara. Dengan
ketinggian 0-200 meter di atas permukaan laut, Jakarta Utara merupakan daerah yang paling
rendah secara geografis. Air rob akan terjadi setiap bulan pada saat purnama yang mengakibatkan
air laut pasang. Namun saat ini karena sistem drainase yang sangat buruk, air rob dapat terjadi
kapan saja, bahkan pada beberapa wilayahnya setiap hari akan terkena rob.
Total luas wilayah Jakarta Utara mencapai 146,6 km 2. Dengan jumlah penduduk 1.453.106 pada
tahun 2007, maka dapat dilihat tingkat kepadatan penduduk yang mencapai 9.908 jiwa/km 2 (paling
kurang padat di DKI Jakarta). Komposisi penduduk antara jumlah perempuan dan laki-laki tidak
terlalu besar selisihnya, yakni lebih banyak perempuannya 13.066 jiwa (720.020 laki-laki dan
733.086 perempuan). Dengan asumsi pertumbuhan penduduk 0,34%, maka tingkat kepadatan
penduduk hingga tahun 2008 ini akan semakin meningkat.
Secara administratif, Jakarta Utara terdiri atas 6 (enam) kecamatan yang terbagi dalam 31
kelurahan dan tersebar dalam 418 RW dan 4.885 RT. Persoalan yang cukup mendasar bagi
wilayah pesisir di Jakarta Utara adalah tidak diakuinya mereka sebagai warga ibukota dapat
dibuktikan dengan tidak dapat mengurus KTP, karena mereka tinggal di atas sungai, di daerah
muara bahkan tidak sedikit yang tinggal di perahu nelayannya, walaupun itu telah berlangsung
selama puluhan tahun.
Data tahun 2004 menyebutkan, bahwa Jakarta Utara adalah daerah termiskin jika dibandingkan
dengan kota-kota DKI Jakarta lainnya, yakni 27.131 rumah tangga atau sekitar 116.063 jiwa. Jika
kita kontekskan dengan kenaikan BBM, pencabutan subsidi dan lain-lain, maka sudah tentu jumlah
orang miskin maupun rumah tangga miskin di Jakarta Utara meningkat dengan pesat. Indikator
kemiskinan ini dapat juga kita lihat dari tingkat konsumsi air mereka, karena berada di wilayah
pesisir yang airnya tidak layak untuk digunakan maka 75,54% rumah tangga menggunakan air
ledeng, artinya akan menambah pos pengeluaran mereka untuk kebutuhan rumah tangga, ataupun
membeli air dalam jerigen. Sedangkan indikator kemiskinan yang lain dapat dilihat secara kasat
mata, di mana Jakarta Utara adalah wilayah yang sangat kumuh dan pekerjaan di sektor informal
menjadi satu-satunya sumber pendapatan bagi mereka.
Miskin, kumuh, padat, dan bau tak sedap adalah realitas sosial yang tersaji sepanjang daerah
Muara Baru, Jakarta Utara. Dengan penduduk yang sebagian besar merupakan pendatang dari
berbagai daerah, terutama dari Bugis, menjadikan daerah ini terasa bernuansa Sulawesi Selatan.
Daerah ini pun dihuni oleh pendatang yang berasal dari Serang dan Tasikmalaya. Mereka telah
menjadi bagian yang menyatu dengan masyarakat lainnya. Pembauran ini terjadi secara alamiah,
karena beberapa di antaranya adalah warga yang telah puluhan tahun mendiami wilayah ini.
Sepanjang jalan yang lebih tepat disebut lorong, dipenuhi anak-anak dan juga orang dewasa yang
melakukan aktivitasnya masing-masing, menunjukan kehidupan yang hampir sama dengan
daerah miskin lainnya terutama yang berada di pinggir pantai. Dengan jumlah penduduk yang
sebagian besar menghuni di atas tanah yang tidak besertifikat, melahirkan suatu kesadaran
tersendiri sebagai orang-orang pinggiran, bahwa kapan saja mereka terancam digusur. Rumah
yang berhimpitan tidak berarturan, bahkan ada warga yang hidup bersama sampah yang teronggok
yang mengeluarkan bau busuk yang menusuk hidung, menjadi bagian keseharian hidup di Muara
Baru.
Dari pusat perkotaan menuju Muara Baru dibutuhkan waktu kurang lebih 40 menit dengan
menggunakan motor atau kendaraan pribadi lainnya. Secara demografis, Muara Baru adalah
bagian wilayah ibu kota negara. Akan tetapi, kesenjangan yang terlalu dramatis menciptakan dunia
tersendiri bagi warga Muara Baru, sama halnya dengan daerah miskin dan padat lainnya yang
tersebar di Jakarta. Secara pemerintahan, ia masuk dalam wilayah adminstrasi DKI Jakarta. Tetapi
dalam kehidupan yang senyatanya, ia terbuang dan terasing.
II.
Profil Informan
Lima orang ibu rumah tangga yang diwawancarai dalam penelitian adalah bagian kecil dari kaum
perempuan yang memiliki latar belakang sosial-ekonomi yang rapuh. Mereka bertempat di dua RT
yang berbeda, tetapi masih dalam RW yang sama. Ibu-ibu ini mewakili keluarga miskin urban yang
menjadikan ibukota sebagai tumpuan hidupnya. Mereka berjuang, menghidupi keluarga dengan
atau tanpa suami. Salah seorang dari mereka adalah janda yang ditinggal mati suaminya satu
tahun terakhir. Dengan dua anak perempuan yang masih berusia sekolah, satu tamatan SMP dan
satunya lagi tamat Sekolah Menengah Atas.
Dalam usia produkstif antara 35-50 tahun, para ibu dihadapkan pada situasi yang mereka sendiri
tidak paham jalan keluarnya. Harapan ibu-ibu ini adalah terjadinya perubahan yang lebih baik dan
berpihak kepada mereka. Karena dalam hal ekonomi, beberapa di antarnya masih bergantung pada
suami yang juga berpenghasilan rendah, karena sebagai buruh kapal, pelalangan ikan, toko,
maupun restoran, sudah pasti penghasilan suami mereka paling tinggi setara UMR Jakarta.
Dengan latar belakang pendidikan yang di bawah rata-rata, dua orang tamat SMA/Aliyah, dua orang
tamatan SMP, dan satu orang keluaran sekolah dasar, menyulitkan ruang gerak para ibu ini untuk
memperoleh penghasilan yang lebih layak, yang mencukupi kebutuhan hidup mereka. Akan tetapi,
rata-rata dari mereka (3 orang) mampu menyiasati beban ekonomi dengan membuka usaha kecil di
lingkungan mereka tinggal. Bagi Ibu Yati 3, dan Ibu Asyah4 yang merupakan mantan ketua RT,
menjalani hari-harinya dengan berjualan kebutuhan harian warga sangat membantu ekonomi
keluarga. Sementara bagi Ibu Hindun5, membuat tas dari kertas semen merupakan satu-satunya
sumber penghasilannya bersama beberapa ibu yang tergabung dalam paguyuban kerajinan.
Perempuan-perempuan ini menjadi penopang ekonomi keluarganya.
Para informan tidak memiliki posisi tawar yang tinggi secara sosial-ekonomis. Mereka bersahaja,
miskin dan apa adanya. Akan tetapi, dalam percakapan yang berlangsung rata-rata satu jam setiap
ibu, terungkap hal-hal yang substansial dan mendalam. Beberapa ungkapan mampu
menggambarkan secara jujur apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka hadapi. Dengan
kalimat yang bersahaja, yang sering terlontar secara spontan, para ibu ini mampu menggambarkan
realitas sosial secara kritis.
Secara sosial, latar belakang ibu-ibu ini sesungguhnya
3
Nama samaran
idem
5
Idem
4
menggambarkan realitas masyarakat Indonesia yang plural, majemuk, dan miskin yang diabaikan
oleh pemerintah pada setiap rezim yang berkuasa. Mereka ada, tetapi ditiadakan.
III.
1.
Kondisi Sebelum dan Pasca Reformasi 1998
Perbandingan sosial-politik
Bagi informan, zaman Soeharto lebih baik daripada setelah Soeharto tidak lagi berkuasa. Ekonomi
stabil, aman, pekerjaan juga lebih mudah diperoleh. Segala perbandingan situasi ekonomi yang
menjurus pada pengakuan kesuksesan Suharto terlontar begitu saja dari para informan. Karena
mereka memiliki ukuran sendiri yang mungkin terdengar sederhana dan agak naif bagi kelas
menengah.
Dua persoalan besar yang kerap diperbandingkan adalah secara ekonomi dan politik. Mereka
melakukan perbandingan atas dasar persoalan hidup mereka sehari-hari. Pemerintah pasca
reformasi dianggap tidak berhasil membenahi dan menyelamatkan ekonomi rakyat. Nyatanya,
terjadi pemotongan subsidi BBM dan pendidikan. Lapangan pekerjaan pun semakin susah diakses
oleh rakyat miskin yang tidak berpendidikan tinggi.
“Zaman Suharto enak, pendapatan sedikit tapi kita bisa manjang, maksudnya bisa bertahan. Kalau
sekarang sudah gak bisa; dan kalau dulu gak ada demo.” Apa yang dikatakan oleh Ibu Lili ini,
sama juga dengan pernyataan Ibu Fatimah: “Zaman Soeharto lebih adem, tenang, apa-apa murah,
kerja gampang”.
Sementara itu, Ibu Yati mencoba melihat secara komprehensif “keberhasilan” ekonomi dengan
situasi sosial-politik. “ Zaman Soeharto, ekonomi lebih baik, tapi orang mudah dihilangin”.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa terjadi terjadi situasi yang berbeda. “Beda banget. Menurut
saya memang sih presiden itu katanya korupsi, tapi alhamdulilah rakyatnya sukses semua, tidak
pernah terjadi apa-apa waktu dia masih presiden. Yang penting lancar saja, saya gak tahu deh dia
korupsi apa tidak? Kalau sekarang kan korupsi mah tetap, susah mah tetap.”
Ibu Hindun mempunyai pandangan yang lebih kritis, walaupun tetap ada pengakuan bahwa zaman
Suharto situasi ekonomi lebih baik. “Kalau yang waktu itu, masih Soeharto, keliatannya kata orang
baik murah-murah, cuma kan ada pihak lain bilang dia kan banyak ngutangnya di luar negri. Jadi,
setelah dia turun masuk lagi penggantinya, BBM jadi naik. Ini katanya, kata orang, saya juga gak
bilang siapa-siapa, katanya kan mereka-mereka itu mau membayar utangnya Suharto, utang
negara. Jadi sampai dijual apalah kantor ya dijual ya karena untuk membayar utangnya Suharto”6
Dengan mengutip pendapat orang yang pernah didengar, Ibu Hindun menyimpulkan dengan lebih
ringkas bahwa: “...zaman Suharto semuanya murah, beras cuma seribu, kan murah-murah, tapi
akhirnya utang meledak. Sama juga kembali ke rakyat, resikonya susah.”
Begitu pula bagi Ibu Asyah, persoalan utang negara tidak diketahuinya, yang ia tahu bahwa harga
lebih murah pada zaman sebelum reformasi. “Saya tidak tahu ya, kalau masalah utang piutang
Indonesia, tapi harga tidak mahal kayak sekarang. Jadi mendingan Suharto waktu presiden. Begitu
diganti Habibie langsung naik BBM. Gus Dur juga sama, tahunya duit saja. Terus Megawati naik,
juga sama, harganya naik. Pas SBY naiknya lebih tinggi. Kalau SBY diganti, mungkin harga lebih
mahal lagi. Bisa potong leher nih masyarakat.”
6
Diungkapkan oleh Ibu HIndun
Warga Muara Baru berusaha untuk objektif dengan mengungkapkan fakta ketidak-demokratisan
Soeharto yang melakukan KKN dan melakukan penghilangan para aktivis atau orang-orang yang
vokal. “Wah kalau dulu, kita ngomong begini, besoknya pasti hilang”,7 pernyataan ini menunjukkan
kekritisan masyarakat bawah dalam menilai pemerintahan sebelum dan pasca Reformasi.
2.
Persoalan sosial-ekonomi
“...Semua orang pada nangis pas pertama naik sembako ini yah. Kita kan rakyat miskin begini yah,
kita mau bagaimana? Dan suami kadang kerja, kadang tidak. Sedangkan sembako naik terus. Nanti
bagaimana hidup kita? Ini bukan hanya saya saja yang ngomong, hampir semua ibu-ibu yang
ngomong di RT 16, Blok B ini.” Penyataan ini diungkapkan informan yang pernah menjadi ketua RT,
Ibu Asyah. Ia mewakili ibu-ibu lainnya. Sebagai mantan ketua RT, tentu ia dapat membandingkan
secara pasti kondisi hidup warga sebelum dan sesudah kenaikan harga sembako. Sambil menunjuk
seorang tetangganya yang lewat depan rumah, Ibu Asyah menceritakan bahwa, “...Ibu tadi pinjem
duit mau beli minyak tanah. Katanya udah dua hari kompornya kosong tidak ada minyak tanahnya.
Gajinya cuma enam ratus ribu perbulan, sedang minyak seliter 8 ribu”.
Pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bukanlah solusi yang bijak, justru menjerumuskan
warga. Satu sisi, BLT dinanti dan dibutuhkan, di sisi lain, pembagian yang dianggap tidak merata,
memunculkan rasa iri warga yang tidak mendapatkannya . Suara ibu-ibu memberikan kesaksian,
bahwa BLT tidak merata ke semua warga miskin yang memang layak menerima. Seperti yang
dituturkan Ibu Asyah: “...banyak yang tidak dapat. Yang BLT tahun kemarin itu dapat, terus
sekarang banyak yang tidak dapat....jadi cuma separoh di RT ini yang dapat bantuan itu. Terus
setelah diusut, ternyata ada yang keluar, tapi udah dipotong”.
Dan disadari, bahwa BLT berupa uang tunai Rp 300 ribu per tiga bulan tidaklah mampu menutupi
tingginya kebutuhan hidup mereka. Persoalannya, saat warga bersedia menggunakan kompor gas,
pemerintah justru tidak sanggup menyediakan gas dengan harga murah yang terjangkau rakyat
miskin. Hal ini terungkap dalam pernyataan Ibu Yati yang mengatakan: “...minyak tanah udah gak
ada, kalau ada juga mahal. Sekarang pakai gas, tapi juga dimahalin. Jadi percuma dikasih BLT, gak
ngaruh...”
Naiknya harga BBM, praktis telah menciptakan rantai kemiskinan yang merata pada semua warga
Muara Baru. Harga jual minyak tanah yang berkisar antara Rp 7500-8000 per liter sudah pasti
membebani warga. Ibu Lili menjelaskan bahwa: “...yang bikin warga menjerit, ya pasti dari masalah
ini, harga BBM. Yang gak kebagian gas dari pemerintah, harus membeli minyak tanah 1 liter itu
dengan harga 7500”. Kondisi ini diperkuat dengan pernyataan Ibu Fatimah: “...berasa banget. Ini
ibarat kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Mungkin kita sudah tidak makan apalagi anak sekolah,
kebutuhan ini, itulah. Dan kita tabah-tabahin aja, supaya anak kita bisa sekolah”.
Persoalan-persoalan tersebut berbaur dengan “realitas alam” yang tercipta karena keadaan wilayah
yang tidak tertata, kumuh, dan padat. Banjir tahunan menjadi ancaman rutin bagi warga Muara
Baru. Walaupun dalam pilkada maupun pemilu sering dikampanyekan tidak akan ada banjir lagi,
tetap saja, banjir tidak teratasi. “Ya, biasalah sama kaya Fauzi Bowo, katanya gak akan banjir, tapi
tetap aja sampai sekarang masih banjir juga”.8
Kekuatiran akan banjir, sama seperti kekuatiran warga akan adanya penggusuran terhadap
kampung mereka. Disadari, sewaktu-waktu rumah dan kampung mereka akan dibongkar oleh
7
8
Diungkapkan oleh Ibu Yati
Diungkapkan oleh Ibu Lili (nama samaran)
pemerintah. “...kita tahu, bahwa daerah kita ini bukan milik kita tanah ini semua, dan kita gak
pernah bayar pajak. Itu semua kita sadarin, tapi kita selalu mempertahankan. Kalau listrik dan air
kita jaminlah bayar.”9
Selain masalah tersebut, yang tidak kalah merisaukan warga adalah terbatasnya lapangan kerja
bagi anak-anak mereka. Dengan pendidikan anak yang paling tinggi tamatan SMA, sulit untuk
menembus dunia kerja yang “layak” dan yang berbeda dengan pekerjaan orang tuanya.
Menyelesaikan pendidikan tamat SMA adalah kemewahan. Hal ini terlihat dari pernyataanpernyataan yang cukup panjang dari seorang informan. Dengan antusias diungkapkan, bahwa anak
perempuannya tamat sekolah, tetapi karena ijazah belum diperoleh dari sekolah, maka kesempatan
kerja di Carefour terancam gagal. “Tetapi, ijazahnya belum dapat Mbak, padahal Carefour
sebenarnya sudah menerimanya, anak saya gak bisa kerja”, demikian ungkap Ibu Hindun. Kondisi
ini menyebabkan Ibu Hindun berpikir untuk menghentikan sekolah anaknya yang kedua. “Kalau
saya ini takut patah di jalan. Istilahnya kita udah bisa bayar uang muka. Sehari-harinya ini ntar
susah. Seharikan lebih dari goceng uang saku itu.”10
IV.
Perkenalan dengan Perempuan Politisi
Keberadaan perempuan politisi di Legislatif tidak memiliki ikatan kepentingan dengan perempuan di
Muara Baru. Karena tidak seorang pun mereka mengenal anggota DPRD maupun DPR RI, begitu
juga dengan anggota DPD. Walaupun ada juga yang mengatakan: “Waktu itu saya ingat, tapi gak
begitu jelas mukanya.”11 Anggota legislatif hanya diketahui melalui televisi dan informasi lainnya.
Nama Moeryati Soedibyo dikenal sebatas sebagai pengusaha jamu dan kosmetik. Ketika ditanya,
apakah pernah mendengar nama Moeryati Soedibyo? Seorang ibu mengatakan: “...pernah, tapi
saya kurang kenal ya nama itu. Mungkin mukanya tahu”.12 Senada dengan Ibu Fatimah yang
mengatakan: “...itu kayaknya saya gak pernah dengar ya. Soalnya ibu-ibu jarang ngomong politik
sih. Cuman kesusahan hidup di TV yang sering saya dengar aja. Sergap dan Patroli itu aja yang
kita dengar”. Beberapa nama anggota DPRD yang disebutkan peneliti, seperti A’an Rohana dari
PKS, Indri Oktavia dari Demokrat, Sumiyati Sukarno dari PDI Perjuangan, dan Wati Amir dari
Golkar, tidak mereka kenal. Informan Ibu Yati hanya menjawab: “...kita cuma tahu muka saja,
namanya tidak kita hafalin, memang banyak perempuannya, cakap-cakap lagi”.
Kondisi di atas diperkuat dengan adanya situasi yang tercipta akibat keelitisan para politisi.
Konstituen hanya diakui eksistensinya menjelang setiap pemilu yang digelar 5 tahun sekali. Karena
yang mereka ingat hanya hingar-bingar Muara Baru pada saat kampanye. Mereka dimobilisir
dengan menggunakan angkutan khusus, dikumpulkan dan dibawa keliling Jakarta. Mereka ingat
beberapa partai besar serta janji-janji besar partai. “Ingat sih waktu itu. Saya itu cuma ikut-ikut
doang di sini. Gak tahu partai mana? waktu itu partai Golkar, tahun 1999 kumpulkan warga.”13
Tetapi, berdasarkan pengakuan beberapa informan, mereka hanya mengikuti pemilu presiden atau
pilkada saja, sementara legislatif tidak pernah ada di Muara Baru. “Kita nyoblos presiden saja.
Pemilu presiden doang, gak pernah nyoblos yang lain. Gak pernah pemilu-pemiluan lain, kecuali
kalau gubernur.”14 Jadi, yang mereka kenal hanya pemimpin di tingkat eksekutif (presiden dan
gubernur).
9
idem
Diungkapkan oleh Ibu Hindun
11
Diungkapkan oleh Ibu Fatimah
12
Diungkapkan oleh Ibu Asyah
13
Diungkapkan oleh Ibu Lili
14
Diungkapkan oleh Ibu Hindun
10
V.
Komunikasi dan Partisipasi Politik
Selama menjadi warga Muara Baru, tidak seorang pun merasa pernah berkomunikasi secara
langsung maupun tidak langsung. Para anggota DPR RI/DPRD atau DPD Dapil DKI Jakarta tidak
pernah mengunjungi mereka. Sebaliknya, warga pun tidak pernah mendatangi kantor DPR RI atau
DPRD. Komunikasi secara tidak langsung hanya terjadi menjelang pemilu dan pilkada. Hal ini
diungkapkan oleh Ibu Hindun: “...setelah pemilu gak pernah datang. ...Gitu aja, cuma gak ada,
selesai itu, udah, gak nongol lagi”.
Sepanjang tahun 2004 hingga 2008, seingat Ibu Lili, tidak sekalipun ada anggota DPR RI maupun
DPRD yang berkunjung ke kampung mereka. Ketika ditanya apakah ketika reses anggota DPR tiga
bulan sekali, RT atau RW pernah mengumpulkan warga? Secara lugas dijawab oleh Ibu Lili: “Tidak
ada Mbak.” Jawaban ini semakin diperkuat dengan jawaban Ibu Yati yang mengatakan: “...jarang
yang mau turun ke bawah Mbak”. Lebih jauh, dijelaskan Ibu Lili bahwa: “...kita gak berharap
banyak. Yang penting perhatian ke kita. Kalau ada banjir dan kebakaran itu perlu cepat untuk
ditangani....” Tidak adanya hubungan antara wakil rakyat dengan rakyatnya, oleh Ibu Lili
disimpulkan bahwa: “...dia makin ke atas, dan kalau kita makin ke bawah terus”.
Alasan mendasar yang terungkap mengapa warga tidak penah mendatangi kantor DPR, karena
merasa sebagai “orang kecil” yang tidak layak datang ke rumah rakyat. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibu Fatimah, “saya mau laporkan, saya takut. Kita kan rakyat kecil, takut nanti tidak
diladeni”.
Alasan lain adalah persoalan ekonomi. Bagi warga, datang ke DPR menjadi hal yang tidak mudah,
karena mereka tidak mempunyai dana yang bisa digunakan untuk perjalanan. Realitas ini terungkap
dari pernyataan Ibu Asyah: “...ya, namanya di sini tuh gimana ya? Kadang-kadang masyarakat di
sini meskipun udah teriak, tapi namanya untuk jalan ke DPR kan harus pakai uang, ngambil uang
dari mana? Mungkin kalau ada yang mulai ngjak ke DPR, ada yang mau ibu-ibu itu kalau diajak.
Tapi kalau untuk sendiri pergi, tidak mungkin dia mau, karena dia mikir ongkos”.
VI.
Kekritisan terhadap Politisi
Secara langsung, warga memang tidak mengenal anggota legislatifnya. Namun, dalam keseharian
mereka, tetap mengikuti arah politik di parlemen, setidaknya mereka masih atau pernah
menyaksikan tayangan rapat paripurna di TV. Atau, paling tidak mereka memiliki penilaian tersendiri
terhadap cara kerja anggota legislatif. Kelima informan mempunyai kekritisan yang sama terhadap
anggota DPR, atau politisi yang mereka ketahui. Masing-masing mempunyai penilaian.
Secara keseluruhan Ibu Asyah mengatakan tidak adanya pembelaan anggota DPR kepada
rakyatnya. “Cuma ongkang-ongkang kaki doang. Terima jabatan dan tiap bulan terima gaji dan
rakyat diperas...” Pun begitu dengan penilaian Ibu Lili, “anggota DPR yang perempuan jangan
omong kosong terus, harusnya rajin turun, memberi tahu rakyat, istilahnya membimbinglah”. Dalam
bahasa yang terdengar lugas dan apa adanya, mereka bisa ungkapkan apa yang mereka inginkan
dari wakil rakyat.
Kekecewaan terhadap anggota legislatif cukup terlihat, ketika Ibu Yati berbicara tentang korupsi
yang dilakukan anggota legislatif. ”Korupsinya milyaran, tapi hukumannya cuma tiga tahun. Giliran
kita, cuma nyolong, hukumannya bertahun-tahun. Lebih jauh ia mengatakan: ”...sekarang mau
pemilihan lagi, pasti kampanye; sekolah terbaik, susu terbaik, telur terbaik. Janji-janji saja”.
Secara umum, kritikan terhadap anggota legislatif dilakukan dengan bersandar pada pengetahuan
informan yang memahami kerja anggota DPR itu adalah membimbing rakyat. Persoalan ada
anggota legislatif yang tertidur, berbicara atau menelepon dianggap sebagai tindakan yang tidak
dapat ditolerir. “Masa pemimpin berbicara sendiri, tidur dan telepon-telepon pakai HP. Pemimpin
apa itu? “15 Demikian juga penilaian Ibu Hindun, apa yang dikatakannya seia dengan Ibu Fatimah:
“...dia cuma mementingkan dia sendiri dan keluarganya.Kalau diliat di TV, ngomongnya doang.
Tidak becus, cuma mementingkan diri sendiri. Dia pengen jabatannya aja terus”.
VII.
1.
Konsep Kepemimpinan
Kepemimpinan pada umumnya
Dari berbagai pernyataan yang keluar secara spontan dan dengan bahasa tutur yang sederhana,
terungkap hal-hal yang substantif, yang mengindikasikan kejelian kelas bawah dalam mengamati,
memahami, dan menyimpulkan persoalan hidup mereka. Bagi mereka, pemimpin adalah sosok
yang mampu mengakomodir kepentingan berbagai kalangan yang berbeda-beda. “Dia harus bisa
kompromi”.16
“Pemimpin adalah orang yang bisa membimbing dan memberikan contoh yang baik.”17 Sifat yang
lain yang harus melekat pada diri pemimpin adalah bijaksana. “Maksudnya jangan mementingkan
orang atas, bantu-bantu orang bawah, kan kita juga manusia.” Demikian Ibu Yati menegaskan
eksistensi orang bawah, yang selayaknya mendapatkan perhatian dari para pemimpinnya. Bahkan,
ada informan mengasosiasikan pemimpin dengan bos tempat kita bekerja. Ibarat bos, dia harus
peduli dengan orang yang berkerja dengannya.18
Sementara bagi Ibu Hindun, pemimpin adalah orang yang bijaksana. “Ya, bisa bijaksana,
pokoknya perduli orang kecil. Terus kalau dia mau memimpin, bisa bijaksana kalau dia gak
ngejar kekayaan, tapi kan banyak pemimpin udah jadi pemimpin dia ngejar ya beli kapal beli
ini beli ini dia udah jadi pemimpin jadi kan rakyatnya mana bagiannya? Udah jadi warisan dia
semua buat anak-anaknya (sama cucu ya) istilahnya kayak pak harto lah gitu. Gak
usah jauh-jauh”.
2.
Kepemimpinan Perempuan
Perempuan sebagai pemimpin atau kepemimpinan menjadi wacana yang cukup mengakar dalam
kesadaran masing-masing informan. Semua menyatakan persetujuannya pada kepemimpinan
perempuan. Perempuan dapat menjadi pemimpin di lingkungan RT/RW, hingga menjadi presiden.
Menurut Ibu Asyah, perempuan memimpin, mengapa tidak? “Bolehlah. Kenapa tidak boleh? Kalau
dia bagus, kenapa kita tidak pilih. Kebanyakan perempuan juga bilang laki-laki yang harus pimpin,
tapi kalau dia tidak diketahui masyarakat buat apa? Apa salahnya perempuan jadi pimpinan, kalau
dia bisa melihat keadaan masyarakatnya di bawah.”
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibu Lili: “Ya, kita bukan gak mau pemimpin perempuan, perlu
juga. Karena gak semua pemimpin sebanding. Soalnya, tidak semua pemimpin laki-laki bisa
menjamin, kalau laki-laki gak bisa mengurus, ya gak apa-apa perempuan. Yang penting bisa
membawanya”. Begitu juga dengan Ibu Fatimah, ia mengatakan pandangannya, bahwa
perempuan boleh memimpin. “Ya, setuju aja sih, asal mau peduli sama kita.” Kesetaraan
perempuan dan laki-laki juga disadari oleh Ibu Yati. Ia mengatakan: “...kalau sekarang sih, sama aja
perempuan sama laki-laki, laki-laki juga gak ada yang bener”.
15
Diungkapkan oleh Ibu Fatimah
Diungkpakan oleh Ibu Asyah
17
Diungkapkan oleh Ibu Lili
18
Diungkapkan oleh Ibu Fatimah
16
Perempuan dianggap memiliki kepekaan dan empati yang lebih besar kepada masyarakat
dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan lebih muda iba. Dan yang pasti, mereka lebih paham
persoalan atau kesulitan yang dihadapi oleh para ibu ketika mengelola rumah tangganya. “Ya.
Haruslah ada perempuan juga di DPR. Jadi dia tahu juga kondisi perempuan bagaimana. Tapi yang
perempuan itu juga yang bagaimana dulu dianya. Sosialnya lah, yang jiwanya memandang orang
bawah itu bisa merasakan kesusahan gitu. Kalau orang yang gak bisa merasakan kesusahan yang
gak pernah susah, gak ngerasain ini susahnya ini orang-orang ini. Dia harus tahu sulitnya ini
belanja ke pasar bawa duit 20 ribu dapat apa? Itu yang harus dia pikirkan kalau dia mau jadi orang
itu. Bijaksana gitu. Kalau dia cuma mau mikirin dia aja, ini dia mah enak gajinya puluhan juta
perbulan”.19
Akan tetapi, terdapat perbedaan dalam memahami kepemimpinan perempuan di wilayah domestik
dan agama. Di rumah selama masih ada suami atau laki-laki, maka laki-laki adalah pemimpin,
terkecuali tidak mampu, maka perempuan berhak memimpin di rumah. “Kalau rumah tangga
memang gak boleh kan ada ayatnya juga, lelaki yang harus memimpin. Kalau rumah tangga tapi
kalau perempuan bisa, gak papa. Gak ada ayatnya kok ”.20 Secara keseluruhan, Ibu Hindun
mengatakan bahwa, “...katanya kan kalau soal pemimpin sejajar aja, lelaki sama perempuan bisa
sejajar. Yang gak bisa sejajar ini ke dalam rumah tangga harus lelaki yang memimpin ga boleh
perempuan. Terus kalau sholat harus lelaki yang imam itu aja dua. Kalau soal pemimpin jadi
presiden jadi apa sama perempuan kalau dia bisa juga”.
Demikian halnya dengan Ibu Asyah, ia pun memiliki pendapat yang dapat menyimpulkan
keseluruhan pandangannya tentang kepemimpinan perempuan di publik, domestik, dan agama.
“Kalau sholat memang gak boleh, tapi kalau pemimpin di masyarakat kenapa tidak boleh? Sholat
memang harus laki-laki. Kalau perempuan bisa mengatur masyarakat, kenapa tidak boleh? Kalau
harus laki-laki, tapi dia tidak bisa mengatur masyarakat buat apa? Saya sering berdebat sama
tetangga depan rumah yang laki-laki, dia bilang tidak ada itu perempuan jadi pemimpin. Kalau
sholat aja tidak ada laki-laki, perempuan jadi imam. Saya bilang itu kalau sholat, tapi apa salahnya
kalau pemimpin perempuan, kalau dia bisa mengatur masyarakat, saya bilang gitu. Ini SBY-JK
katanya bagus, tapi ternyata malah mencekik rakyat.”
VIII.
Nilai yang Harus Dipegang
Bagi pemimpin, nilai hidup yang harus dipegang adalah religius dan rajin beribadah. Akan tetapi,
kereligiusannya harus dibuktikan dalam tindakannya dengan memperhatikan rakyat. “Kalau agama
harus ya, karena kalau dia tidak punya iman, nanti janji doang. Sekarang orang sudah tidak ada
yang percaya Mbak sama janji-janji. Jadi percuma kita pilih, kalau nanti akhirnya kita begini juga,
jadi kebanyakan begitu. Tapi ada yang agamanya kuat, tapi janji hanya janji.”21
Bermoral, tidak melakukan pencurian hak orang lain atau korupsi. Kejujuran menjadi nilai yang
wajib dimiliki, dengan asumsi bahwa anggota legislatif yang jujur akan menjaga komitmennya untuk
tidak mencuri hak rakyat. “Kalau masalah kejujuran penting, apalagi dalam agama. Itu kan penting.
Untuk pendekatan ke masyarakat butuh kejujuran.”22
19
20
21
22
Diungkapkan oleh Ibu Hindun
Idem
Diungkapkan oleh Ibu Asyah
Diungkapkan oleh Ibu Lili
Nilai-nilai normatif yang berasal dari masyarakat seharusnya menjadi pegangan bagi para anggota
legislatif dalam menjalankan fungsinya. Menyayangi keluarga, memahami budaya dan tidak
diskriminatif terhadap rakyat dianggap sebagai nilai yang harus dijalankan dan dibuktikan oleh
pemimpin. “...Semuanya harus ada budayanya, juga rajin menyumbang. Itu saja yang penting.
Yang pertama, dia harus bijaksana. Bijaksana itu kan sifat yang paling bagus untuk jadi
pemimpin.”23 Sama halnya dengan Ibu Yati, dengan singkat ia mengatakan bahwa pemimpin yang
baik adalah, “...yang bijaksana, yang mikirin orang bawah”. “...Kalau ibadah sudah kewajiban kita
dan menyayangi keluarga...”24 Dengan asumsi, bahwa bila mereka menyayangi keluarga, maka
mereka pun akan menyayangi rakyat atau konstituennya.
IX.
Peran Pendidikan
Pada awal pertanyaan, tiga informan mengatakan bahwa pendidikan tinggi menjadi persyaratan
utama bagi anggota legislatif. “Ya harus sekolah tinggi. Kalau tidak ada sekolahnya, gimana?”25
Demikian juga dengan Ibu Lili yang mengatakan: “...Pendidikan itu penting. Kalau kita sekolah tinggi
itu juga harus. Biar kita punya wawasan yang lebih baik juga, dan dapat ilmu juga dari pergaulan.”
Begitu juga pendapat Ibu Hindun, dengan singkat ia mengatakan, “penting sekolah”. Sama halnya
dengan Ibu Yati yang menegaskan pentingnya sekolah: “...ya, iyalah pasi; harus pintar, kan
wawasannya harus luas.”
Akan tetapi, ketika diikuti dengan pertanyaan lain yang mengingatkan informan akan kelakuan
anggota DPR RI/DPRD/DPD yang tidak peduli dengan rakyat. Jawaban-jawaban di atas kemudian
diikuti dengan penjelasan lain yang mensyaratkan bahwa pendidikan bukan ukuran utama
berkualitas tidaknya seorang anggota DPR. Ada hal-hal lain yang juga menentukan, seperti
pengalaman dan keberpihakan kepada rakyat. “...Tapi kan sebetulnya kuliah atau titel tidak
menjamin kali ya Mbak? Yang jelas, mereka mendengar dan mewakili suara kita”26 Ibu Yati juga
pada akhirnya menyatakan kebingungannya, “...jadi kita bingung menilai orang. Sekolah tinggi
sama yang tidak sekolah sama aja, malah lebih parah orang yang sekolah tinggi. Otaknya pada
bejat.”
Adalah pengalaman hidup yang dapat membimbing seseorang dalam menjalankan fungsi dan
tugasnya sebagai pemimpin rakyat. Apalagi tidak ada jaminan seseorang yang berpendidikan tinggi
mempunyai kepedulian. Karena dalam banyak hal, terdapat kualitas hidup yang dimiliki oleh orang
yang tidak berpendidikan tinggi. Artinya, tidak ada jaminan bagi seseorang untuk langsung menjadi
pemimpin yang baik dan dicintai rakyatnya, hanya karena ia bersekolah tinggi. “...Biar dia sekolah
tinggi, kalau gak bisa mimpin percuma saja”, demikian ditegaskan Ibu Fatimah.
X.
Fungsi dan Tugas Politisi
Fungsi dan tugas anggota legislatif adalah mendengarkan suara rakyat. Kemudian menyusun dan
membahas rancangan undang-undang yang berpihak kepada rakyat. Penyusunan UU
didedikasikan bagi kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, apa yang seharusnya dilakukan oleh
anggota legislatif adalah melindungi rakyat melalui produk UU yang pro-rakyat. Akan tetapi, tugas
ini menurut Ibu Asyah tidak dilaksanakan secara maksimal, “ya, jadi suara rakyat tidak didengarin.
Cuma bikin rancangan-rancangan, tapi hasilnya tidak pernah ada.”
23
Diungkapkan oleh Ibu Hindun
Diungkapkan oleh Ibu Fatimah
25
Diungkapkan oleh Ibu Asyah
26
Diungkapkan oleh Ibu Asyah. Pernyataan ini ‘menegasikan’ jawaban pertama Ibu Asyah
24
Anggota legislatif harus mampu mengayomi rakyatnya. “...Anggota DPR harus bisa memberi contoh
yang di bawah. Dan bisa membimbing dan menagsih contoh yang baik. Kalau anggota DPR gak
begitu, bagaimana dengan rakyatnya. Kan dia juga yang membuat dan memberi undang-undang.”27
Tugas anggota DPR adalah menganyomi. Kalau tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan
maksimal, maka “dia jahat sama rakyat”. '28 Karena yang diinginkan oleh warga adalah adanya
pembelaan yang nyata, tidak hanya janji-janji saja. Persoalannya, banyak anggota legislatif yang
tidak menjalankan tugasnya.
Secara keseluruhan, fungsi dan tugas anggota legislatif dalam pemahaman warga adalah
memikirkan rakyat. Selama menjadi anggota DPR/DPRD/DPD, yang harus diprioritaskan untuk
dijalankan adalah yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Seperti yang dikatakan oleh Ibu
Yati, “tugas DPR ibaratnya mikirin rakyatnya, ya ngasih contoh yang baik ya”. Paling tidak anggota
legislatif harus memberi contoh yang baik kepada rakyat. “Membela kita, tapi kadang dia juga diem
aja. Nggak mau ngomong ya. Dia udah beruntung, kita gak dapat keuntungan”.29
XI.
Tanggung Jawab Politisi
Tanggung jawab utama anggota legislatif adalah membela rakyat. Harus benar-benar membela dan
memperjuangkan nasib rakyat. “...Harusnya wakil rakyat membela rakyat, tapi ini malah
mencekik...”30 Kemiskinan yang dialami oleh rakyat dianggap sebagai hasil ketidak-pedulian dan
tidak bertanggungjawabnya para pemimpin.
“...Harusnya mereka dengerin dan perhatikan nasib rakyat. “31 Sudah seharusnya anggota legislatif
berjuang untuk kepentingan rakyat. “...Tapi yang pasti, dia harus benar-benar membela dan
memperjuangkan rakyatnya.”32 Keberadaan mereka di legislatif karena suara yang diberikan oleh
konstituennya pada saat pemilu.
Mendengarkan suara dan tuntutan rakyat adalah tanggung jawab besar yang harus diemban para
anggota legislatif. Dalam bahasa Ibu Hindun, tanggung jawab anggota DPR/DPRD/DPD adalah:
“...melakukan kebijakan, melakukan kepedulian terhadap rakyat kecil. Pokoknya dia harus peduli
kita, dia harus tahu orang kecil, mendengarkan suara kita.” Walaupun mereka tidak melaksanakan
kontrak politik secara tertulis, tetapi dengan keikut-sertaan mereka dalam pemilu sudah merupakan
kontrak politik kepada rakyat, bahwa mereka adalah pemimpin yang akan menjalankan fungsi atau
tugasnya dengan baik, benar, jujur, dan maksimal. “Pemimpin itu harus abis-abisan dulu deh buat
rakyat. Ngasih contoh yang baik dulu untuk rakyat”, tegas Ibu Yati.
XII.
Harapan Konstituen
Anggota legislatif, terutama yang perempuan sudah saatnya melihat yang di bawah. “Ya, pedulilah
sama rakyat, jangan dicekik. Melihat ke bawah, jangan terus melihat ke atas. Rangkul semua
masyarakat. Kalau dia bisa merangkul masyarakat, pasti negara ini damai.”33
Karena beban hidup rakyat berat sekali, maka seharusnya angggota legislatif memperjuangkan
nasib rakyat. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Lili: “...jangan terlalu sih, kita sudah berat banget
27
diungkapkan oleh Ibu Lili
Diungkapkan oleh Ibu Fatimah
29
Diungkapkan oleh Ibu Hindun
30
Diungkapkan oleh Ibu Asyah
31
Diungkapkan oleh Ibu Fatimah
32
Diungkapkan oleh Ibu Lili
33
Diungkapkan oleh Ibu Asyah
28
beban kita. Sembako turunin dan BBM juga...” Begitu juga dengan Ibu Fatimah, ia berharap agar
harga barang stabil, “jangan sampai dinaikin lagilah”. Anggota DPR/DPRD/DPD agar lebih peduli
dengan orang miskin.34
Utang luar negeri yang diperoleh atas nama rakyat, seharusnya digunakan sebagaimana tujuan
awalnya, yakni digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sehingga sekolah dan
kesehatan yang layak dan murah atau gratis dapat diakses oleh rakyat kecil. Sebagaimana yang
diharapkan oleh Ibu Yati, “ya ekonomi dilancarin, sekolah, kesehatan dimurahin. karena itukan
nomor satu perlu”.
34
Diungkapkan oleh Ibu Hindun
A.2. PASEBAN, JAKARTA PUSAT
I.
Konteks Geopolitik
Secara sosial-politik, Paseban dikenal sebagai daerah ”rawan” konflik yang kental nuansa
politiknya. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang dikenal dengan istilah kumis (singkatan
kumuh dan miskin) sangat tepat, sesuai dengan keadaan kampung yang bergang-gang sempit,
yang berbelok-belok tak berujung. Lebih dari 50 persen warga Paseban saat ini adalah pendatang.
Penduduk Betawi yang merupakan penduduk asli makin berkurang, ketika mereka memilih
menyewakan bahkan menjual tanah mereka untuk pindah ke daerah pinggiran Jakarta. Pendatang
di daerah Paseban mayoritas berasal dari Jawa Tengah, Sunda, dan Sumatera. Sungai dan rel
kereta api serasa melingkari daerah Paseban di tengah hiruk-pikuk perbatasan Jakarta Pusat
dengan Jakarta Timur.
Secara politik, Paseban adalah basis PDI Perjuangan dan Golkar. Namun, dalam Pemilu 2004 yang
lalu, Paseban dimenangkan oleh Partai Demokrat. Kondisi sosial Paseban sangat dinamis dengan
jumlah angkatan muda produktif yang melimpah dan juga kasus-kasus yang berkembang di sekitar
Paseban. Saat ini, semua partai berlomba-lomba mengadakan aktivitas sosial-politik agar bisa
meraup suara sebanyak-banyaknya di Paseban. Seorang ibu yang menjadi salah satu informan
penelitian ini menyatakan, ”sudah mulai pembagian sembako dari partai-partai”. Dalam acara-acara
tersebut, anak-anak muda terlibat dalam pengobatan gratis dan buka bersama yang diadakan oleh
partai-partai.
II.
Profil Konstituen
Kelima ibu dari Paseban yang menjadi informan konstituen berasal dari kelas menengah ke bawah.
Dua ibu termasuk kelas menengah, dan tiga ibu lainnya berasal dari kelas bawah. Dua orang ibu
tidak bekerja dan mengatur pendapatan dari suaminya, dua orang lainnya mencari tambahan
penghasilan dengan berjualan kecil-kecilan, dan seorang ibu lagi harus bekerja keras sebagai kuli
cuci dan juga tukang masak untuk menghidupi lima orang anaknya, setelah suaminya meninggal
lima tahun yang lalu.
Dua orang ibu membantu penghasilan suami dengan berdagang kecil-kecilan. ”Kalau nggak
megang uang pusing kayaknya, yang penting ada kegiatan”. Dua ibu lainnya bergantung pada
hasil kerja suami, dan seorang ibu janda yang harus kerja sebagai pembantu rumah tangga untuk
menghidupi ke lima anaknya. Dengan usia antara 30-55 tahun, para ibu ini secara fisik masih sehat
dan kuat. Hal ini ditandai dengan aktivitas ekonomi dan sosial yang mereka jalani. Empat ibu aktif di
pengajian dan aktivitas RT setempat. Semua ibu mengeluhkan pendapatan yang tidak bertambah,
padahal pengeluaran keluarga melonjak. ”...saya juga udah bingung, sekarang aja dikasih duit Rp
50.000, kadang juga Rp 40.000, cuma bisa buat ongkos sekolah, ngumpulin nggak bisa buat
bayaran”, keluhnya tentang uang harian yang diberikan suaminya.
Dari lima informan, dua orang berpendidikan SD, dua orang berpendidikan SMP, dan satu orang
berpendidikan Diploma Satu (D1). Tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi, tidak menghalangi
kelima ibu ini berkomentar tentang kondisi sosial ekonomi termasuk kekritisan mereka terhadap
pada pemimpin bangsa ini.
III.
Kondisi Sebelum dan Pasca Reformasi 1998
1. Perbandingan ekonomi-politik
Kelima informan di Paseban sepakat bahwa zaman Suharto, ekonomi lebih baik dibanding
sekarang. ”Zaman Suharto harga-harga tidak mahal, cari kerja lebih gampang”. Ukuran yang
digunakan adalah kestabilan ekonomi yang ditandai dengan harga barang yang terjangkau,
kesediaan BBM, lapangan kerja yang masih tersedia, dan tanpa gejolak sosial. Kondisi ini terekam
dengan sangat baik dalam ingatan warga. Namun beberapa menyatakan bahwa, ”mungkin masalah
sekarang ini akibat dari zaman Suharto dulu kali ya”, imbuh yang lain.
Membandingkan dengan keadaan pasca Reformasi 1998, warga menyimpulkan kehidupan
ekonomi saat ini justru menjadi buruk. Naiknya harga BBM dan sembako yang sudah di atas batas
kemampuan ekonomi warga telah melahirkan ”kerinduan” yang mungkin bisa saja bersifat semu,
namun hal ini menunjukkan bahwa reformasi gagal mentransformasikan kesadaran baru kepada
rakyat, bahwa pada setiap perubahan dan transisi selalu melahirkan sebuah situasi yang tidak
pasti, dan ironisnya membuat rakyat makin terpuruk.
Secara ekonomi, zaman Suharto dianggap berhasil menyejahterakan rakyat. Akan tetapi, informan
memahami, bahwa zaman Suharto, ekonomi negara berfondasikan utang luar negeri. Secara
politik, dikatakan zaman Suharto represif, tidak ada kebebasan berorganisasi.
2. Persoalan sosial-ekonomi
Bagi warga Paseban, pembagian BLT tidak serta-merta menyelesaikan persoalan ekonomi mereka.
Seorang ibu secara tegas mengatakan, ”Bantuan tunai langsung, saya tidak setuju tuh bikin orang
malas, kalau menurut saya jangan dikasih dalam bentuk begitu, kadang kan yang kaya dapat
sementara yang miskin nggak dapat kan ribut, menurut saya lebih baik dibuat subsidi untuk
pendidikan atau kesehatan gitu”.35 Sistem pembagian yang tidak merata di tiap kampung disertai
dengan KKN semakin memperbesar potensi konflik secara horisontal.”...ya milih sistem sodara, ya
sodara aja yang dapet, ya kayak kita-kita begini susah, yang bapaknya aja kayak gini mana
mungkin dapat”, jelas seorang ibu36. Keadaan ini disadari sebagai keadaan yang tidak sehat.
Walaupun tidak semua ibu-ibu menyatakan secara tegas ketidaksetujuannya dengan pembagian
BLT.
Ditemukan sikap pragmatis warga yang berharap banyak pada pembagian sembako secara gratis
yang biasanya dilakukan oleh partai politik, terutama menjelang pemilu. ”Ya diterima, soalnya butuh
sih, kalau masalah nyoblos dia gak tau ya, saya kalo ada apa-apa biar aja yang penting
sembakonya dapat”.37
Untuk mendapatkan sembako, biasanya disertainya dengan penunjukan kartu anggota partai,
setidaknya orang-orang yang memegang KTA akan diprioritaskan. Menyisiasati kondisi ini, warga
sudah terbiasa dengan perangkapan KTA, sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang ibu, “kita
aja dibikinin kartu PAN, saya sih apa aja deh asal dapet sembako”,38 walau sebenarnya ia sudah
memiliki KTA PKS. Karena miskin, muncul sikap pragmatis.
Secara umum, ibu-ibu menganggap kenaikan BBM yang berakibat pada kenaikan harga-harga
membawa malapetaka bagi rakyat, ”cabe-cabe aja pada naik” jelas seorang ibu. Dalam pemikiran
35
Diungkapan oleh Ibu Ida (nama samaran)
Idem
37
Diungkapkan oleh Ibu Tati (nama samaran)
38
Diungkapkan oleh Ibu Leny (nama samaran)
36
mereka, masyarakat harus kuat iman sehingga tidak perlu bunuh diri seperti yang banyak terjadi
saat ini. Para ibu ini belajar dari banyak kejadian memilukan yang mereka ketahui dari TV maupun
koran, bahwa kemiskinan telah menyebabkan putus asa pada diri sebagian orang, sehingga tidak
jarang ibu-ibu melakukan bunuh diri.
Persoalan lain yang dirasakan oleh warga adalah masalah putus sekolah bagi anak-anak usia
sekolah. Banyak anak-anak yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah atas apalagi
perguruan tinggi, karena alasan ekonomi. Padahal, bagi ibu-ibu ini, pendidikan tinggi menjadi tiket
untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak bagi anak-anak mereka. ”Kadang-kadang saya
sedih melihat anak saya sudah lulus sekolah juga susah ngebiayainnya bagaimana caranya
sekolah biar bisa dapat ijazah SMA, eh udah lulus malah nganggur”, 39 jelas seorang ibu.
Kesulitan umum yang lazim dihadapi warga miskin terutama ketika terdapat sanak-saudara yang
menderita sakit. Begitu juga dengan Paseban. Bagi mereka, mahalnya beaya rumah sakit membuat
mereka semakin menderita. Untuk itu, mereka merasa sangat tertolong dengan adanya program
Gakin/SKTM. Mereka menaruh harapan pada program ini, yang sayangnya dalam pelaksanaannya,
masih banyak warga yang dipersulit untuk mengaksesnya. Setidaknya, mereka harus melewati
birokrasi berjenjang hanya untuk mendapat selembar surat keterangan miskin yang harus diurus
dari mulai tingkat RT, kelurahan dan kecamatan. Sekalipun telah mendapatkan SKTM, sering
keluarga pasien masih harus berhadapan dengan kerumitan pihak rumah sakit.
Akan tetapi, lepas dari persoalan tersebut, yang pasti warga merasa tertolong dengan program ini.
“Aduh enak bener ya, anak saya itu tagihan rumah sakit nya enam juta tujuh ratus dan saya kaget
dapet uang dri mana kan, kata si bas udah tenang aja saya yang urus nanti siang, dan saya abis
gitu pulang aja ke rumah, nah udah selesai seminggu saya disuruh urus kartu segala macem dan
sampai orang puskesmas dateng ke sini untuk lihat. Kalau saya kaya buat apa saya bohong ngaku
miskin dan abis gitu saya disuruh ngasih semua surat yang udah saya urus ke RSCM di sana saya
disuruh ketemu ama Pak Arifin dan pas besok dua hari lagi mau pulang dapet kartu biru untuk
kontrol setiap ke rumah sakit.”40
IV.
Perkenalan dengan Politisi
Empat ibu mengatakan tidak kenal dengan anggota DPR/DPRD/DPD. Seorang ibu mengenal
Marisa Haque dan Khofifah, juga Megawati sebagai mantan presiden. Pengenalan terhadap Marisa
Haque dan Khofifah, karena sering melihat di TV. Apalagi sebagai mantan artis.
Sementara terhadap Khofifah terdapat penilaian tersendiri yang menyatakan, bahwa ia adalah
pemimpin yang cerdas. Penilaian baik terhadap Megawati pun dilakukan berdasarkan apa yang
sudah dilakukan selama menjadi presiden. ”Waktu ada Megawati BBM gak pernah naik tuh, itu
yang saya senang”41, begitu komentar seorang ibu. Seorang ibu mengaku pernah melihat langsung
Megawati, “pernah melihat Megawati waktu turun di pasar Jatinegara.”42
Dalam memori beberapa ibu, seorang anggota DPRD pernah datang ke kampung mereka, tetapi ia
tidak mengingat namanya. ”Nggak inget namanya siapa ya”, 43 “Gak tahu ya, he...he..”. 44
Kenyataan ini merupakan jawaban atas hubungan yang jarang terjadi antara wakil rakyat dengan
39
Diungkapkan oleh Ibu Ida
Diungkapkan oleh Ibu Wiwik
41
Diugkapkan oleh Ibu Ida
42
Diungkapkan oleh Ibu Wiwik
43
Diungkapkan oleh Ibu Tati
44
Diungkapkan oleh Ibu Ani
40
konstituennya. Kesibukan sebagai ibu rumah tangga, dengan pekerjaan sebagai pedagang kecil,
aktif di pengajian atau acara RT, dan mengurus anak yang masih balita, menyebabkan kecilnya
kesempatan mereka untuk menyaksikan acara di TV.
V.
Komunikasi dan Partisipasi Politik
Berangkat dari komunikasi awal saat kampanye pemilu yang minim dari wakil rakyat, ini
mempengaruhi relasi sosial-politik selama ia menjadi wakil rakyat. Kondisi itu melahirkan keapatisan
warga yang tidak merasakan pengaruhnya bagi kehidupan mereka. Hadir tidak hadirnya anggota
DPR/DPRD/DPD di hadapan mereka, tidak menjadi persoalan. Karena belajar dari kondisi sosialekonomi yang mereka hadapi setelah pemilu usai, tetap tidak terjadi perubahan yang lebih baik bagi
kehidupan mereka. Hubungan yang dibangun berdasarkan kepentingan “sesaat” seperti yang
terungkap dari pengakuan Ibu Wiwik: “...di sini di peduliin ama PKS kalau ada rapat-rapat suka bagi
beras dan sembako. Tapi kata ibu-ibu di Jatinegara bilang sama saya, si Fauzi Bowo juga bagi-bagi
uang seratus ribu. Saya bilang lucu juga ya maen sogok-sogokan”.
“Ya pernah, membela partai Demokrat, pas pemilu kemarin….ngumpulin sampai seribu tuh, seribu
KTP, kalau yang lain gak pernah tuh, saya pikir karena yang lain gak pernah. Berarti pengganti
Presiden Megawati itu pasti bagus lebih bagus dari sebelumnya gitu, sampai ngumpulin seribu KTP
dari daerah ini aja tuh, memang menang tuh partai demokrat di daerah Paseban….eh akhirnya
begini…”45
Pernah seorang anggota DPRD datang ke kelurahan untuk melakukan penyuluhan penggunaan
kompor gas, itu pun tidak membawa kesan, karena informan tidak ingat nama politisi tersebut. Di
tingkat RT, warga pernah mendapat sosialisasi tentang KDRT. Minimnya komunikasi ini,
melebarkan kesenjangan sosial yang terjadi antara politisi dengan warga.
Sebaliknya, warga menjadi takut untuk menemui wakil rakyatnya. Warga tidak ingin ke DPR karena
takut diusir, karena para pemimpin sudah lupa pada para pemilihnya. ”Saya belum pernah ke DPR,
masak rakyat disuruh ke DPR nanti kita diusir, tapi kalau pakai baju gak rapi di usir nanti”, ungkap
Ibu Atin.
Rakyat hanya diposisikan sebagai mesin suara pada saat pemilu. Setelah pemilu usai, selesai
sudah tanggung jawab para politisi untuk mendatangi konstituennya.”Boro-boro inget, saya gak
mau janji-janji gitu saya males” jelas seorang ibu yang pernah menjadi tim sukses suatu parpol. Hal
ini menandakan lemahnya eksistensi warga di hadapan elite politik. Di tengah keterputusan
komunikasi ini, sesungguhnya tetap saja tersimpan harapan pada diri warga pada para
pemimpinnya agar mau melakukan sesuatu, khususnya dalam menurunkan harga-harga barang
yang menyebabkan rakyat menderita. ”Tapi kalo seumpama calon presiden perempuan , terus saya
dikasih tugas, mau gak memajukan partai ini nih gitu, saya pasti mau tuh”, jawab seorang ibu
dengan bersemangat.
VI.
Kekritisan terhadap Politisi
Eksistensi partai politik di hadapan warga memasuki masa kritis, karena dari rangkaian wawancara,
warga memiliki asumsi dan kesimpulan yang sama mengenai lemahnya keberpihakan partai politik.
Hal ini akan mempengaruhi pilihan politik pada saat Pemilu 2009.
45
Diungkapkan oleh Ibu Ida
Warga sudah mendapatkan pelajaran dari sepak-terjang partai politik. “Sekarang sudah males,
kalau bisa tusuk semua, soalnya sama saja sekarang gak ada yang benar.”46 Mereka Cuma
memikirkan diri sendiri, “cuma janji aja buktinya gak ada”47 . “Ya, (mereka) mikirin perut sendiri yang
saya tahu”.48
“Sekarang jadi pemimpin bisa kalau uang banyak buat nyogok untuk pemilu, mampu dan kalau
niatnya gak bagus jadi goncang, kasihan rakyatnya, apalagi kasus lumpur lapindo saya jadi mikirin
buat tidurnya dan sholatnya itu bagaimana?”49
Bagi warga, kondisi partai politik merepresentasikan para anggota atau pengurusnya, terutama
yang berada di legislatif. Muncul kesimpulan, bahwa para anggota DPR dapat melakukan
penyogokan untuk mendapatkan suara pada saat pemilu. “Pemimpin sekarang bisa nyogok waktu
pemilu, jadi niatnya gak bagus sehingga bisa goncang, kalo begitu kasihan rakyat yang
dipimpinnya”, begitu jelas seorang ibu.
Dalam bahasa yang tidak berbeda, ibu yang lain menyatakan bahwa pemimpin sekarang egois,
“...mereka hanya memikirkan perutnya sendiri”. Pun begitu dalam menilai kepemimpinan anggota
DPR yang perempuan. Informan konstituen merasa bahwa anggota dewan yang perempuan tidak
paham dengan isu-isu perempuan, makanya tidak pernah tampil untuk memperjuangkan hak-hak
perempuan. “Kalau saya sih pengennya, yang jadi pemimpin itu gimana caranya gitu, kan dulu citacitanya pengennya mengemong wong cilik, dan gak taunya kan sekarang malah menggencet
kan?”50
VII.
Konsep Kepemimpinan
1. Kepemimpinan pada umumnya
Pemahaman warga terhadap konsep kepemimpinan, mencerminkan harapan mereka terhadap
orang-orang yang disebut pemimpin. Pemimpin diidealkan sebagai orang atau pihak yang siap
menuntun dan memberikan yang terbaik untuk rakyat. Rakyat menjadi pihak yang harus
diprioritaskan dalam tiap kebijakan ekoonomi-politik dalam konteks kehidupan bernegara dan
berbangsa. ”Oh yang bermutu, ya menurut saya yang memperhatikan rakyatlah”. Seseorang dipilih
menjadi pemimpin karena dia peduli pada warganya, demikian penjelasan seorang ibu.
Dalam relasi sosial-politiknya, maka pemimpin menjadi pihak yang harus siap menanggung segala
resiko. “Seorang pemimpin harus punya kelebihan, tegas... baik buat rakyatnya dan jadi panutan
dan jadi contoh juga...” 51
Konsep ini secara tegas menyatakan dan menuntut pemimpin untuk siap berkorban. Sebagai
contoh masyarakat, maka pemimpin sudah pasti dapat mengarahkan kehidupan masyarakat
menjadi lebih baik. Walaupun untuk ini, warga dapat membandingkan secara jujur apa yang
diidealkan dengan apa yang menjadi kenyataan. Sesungguhnya, konsep kepemimpinan dalam
pemahaman warga adalah kepedulian elit politik atau wakil rakyat. Secara lugas dikatakan, bahwa
pemimpin bermutu adalah pemimpin yang memperhatikan rakyatnya. Dalam konteks di Paseban,
pemimpin yang bermutu adalah yang memperjuangkan sembako dan pengobatan murah, termasuk
yang mampu memperjuangkan pendidikan murah dan lapangan kerja untuk rakyat. Yang jelas
46
Diungkapkan oleh Ibu Tati
Diungkapkan oleh Ibu Wiwik
48
Diugkapkan oleh Ibu Ani
49
Diungkapkan oleh Ibu Atin
50
Diungkapkan oleh Ibu Ida
51
Diungkapkan oleh Ibu Ani
47
dikatakan, bahwa semua orang bisa jadi pemimpin, selama ada kemauan pasti bisa menjadi
pemimpin.
2. Kepemimpinan Perempuan
Dalam hal kepemimpinan berdasarkan jenis kelamin, tidak ada perbedaan pemahaman di antara
informan konstituen. Kelima ibu memiliki kesadaran yang maju, bahwa perempuan dapat menjadi
pemimpin terutama di wilayah publik. Bahkan pada beberapa hal yang mendasar, dikatakan bahwa
kepemimpinan perempuan jauh lebih baik dari laki-laki.”Mungkin begini ya...kalau pemimpin
perempuan itu untuk korupsi segen kali ye, dan kalau laki-laki buas, dan kalau perempuan ada
timbang rasa kalau dibanding laki-laki”, jelas Ibu Atin .
Sementara dengan nada yang hampir sama, keempat ibu yang lain menjelaskan bahwa kalau
perempuan jadi pemimpin dia akan lebih jujur, lebih adil kalau membagi sembako atau bantuan
yang lain, lebih punya inisiatif dalam melakukan aktivitas untuk ibu-ibu, karena naluri keibuan yang
dimiliki seorang perempuan. “Perempuan pemimpin bisa aktif dan peduli sama warganya,
perempuan lebih kreatif, lebih aktif, dan lebih berani dibanding laki-laki”, jelas seorang ibu. Akan
tetapi, dari penyataan-pernyataan tersebut terdapat catatan seorang ibu bahwa potensi
kepemimpinan tersebut, masih belum berani untuk dinyatakan dan dilakukan oleh perempuan.
Sementara untuk wilayah domestik, seorang ibu memposisikan dirinya sebagai pendukung
suaminya dalam mengambil keputusan “ kayak di rumah saya, kalau kasih masukan dirumah itu
saya, bukannya meremehkan, soalnya laki-laki ini kan emosional jadi saya mendinginkan ambil
jalan baiknya bagaimana, kalau laki-laki ambil keputusan langsung, kalau perempuan sering
dipikirin dulu”.
Terdapat kepercayaan yang diberikan pada kepemimpinan perempuan. “Beda, kalau perempuan
bisa nyimpan uang, jadi kita tidak terlalu banyak utang di luar negeri. Tapi kalau laki-laki main jorjoran saja”.52 Lima orang ibu dari Paseban ini memberikan perbandingan bahwa ketidakadilan
sosial termasuk tindak korupsi para pejabat adalah karena ulah pemimpin laki-laki. Bagi mereka,
perempuan pemimpin lebih segan korupsi dan memiliki timbang rasa dibandingkan laki-laki
pemimpin.
VIII.
Nilai yang Dipegang
Sebagai masyarakat yang hidup dalam kultur dan keyakinan yang beragam, maka dalam
memahami nilai-nilai yang harus dipegang oleh pemimpin, menjadi bersifat umum. Keumuman ini
mewakili akar sejarah masyarakat Indonesia yang pluralistik dan religius. Ketiga orang ibu
menjelaskan, bahwa pemimpin yang baik adalah yang punya iman dan takut kepada Tuhan.
Religiusitas yang bertahan dalam masyarakat transisi seperti di Jakarta, khususnya di Paseban,
memberikan gambaran yang agak khas yang menjadi ciri negara yang sedang berkembang.
Menurut Ibu Atin, nilai yang harus dipegang perempuan politisi adalah, “yang penting kepribadian
dia dan bijaksananya dia ikhlas. Jadi pemimpin gak semudah yang diucapkan orang, udah utang
banyak dan dia mau ngapain lagi makanya cari yang beriman kalau mau berbuat takut sama yang
di atas.” Sama halnya dengan Ibu Ani yang mengatakan bahwa pemimpin itu harus “harus bisa jadi
panutan, dan jadi contoh...”. “Harus bisa jadi panutan, dan jadi contoh sebagai pemimpin.”53
52
53
Diungkapkan oleh Ibu Ani
Diungkapkan oleh Ibu Wiwik
Aktivitas mengaji yang dilakukan oleh ibu-ibu di Paseban dijadikan ajang peningkatan kapasitas diri
sekaligus upaya untuk memperkuat iman. Seorang ibu merelakan rumahnya dijadikan tempat
mengaji: ”...setiap malam selasa dan malam sabtu sekitar 20 ibu-ibu mengaji disini, selain mengaji
kita banyak aktivitas...bikin kue dan masak”, jelasnya. Nilai seorang pemimpin dijelaskan seorang
ibu adalah sama dengan seorang uztajah yang memimpin pengajian. Di samping beriman, nilai
yang harus dipegang adalah memiliki kepribadian dan bijaksana. Kepribadian dalam konteks ini
adalah yang memiliki identitas yang patut dicontoh orang lain. ”Pemimpin sih dihormati karena
kelakuannya yang baik”, jelas seorang ibu.
Kelima ibu sependapat bahwa keberpihakan dan kepedulian pada orang miskin menjadi nilai
penentu bagi seorang pemimpin. Dengan logika sederhana, bahwa bila ia beriman pada Tuhan,
maka sudah seharusnya ia memperhatikan kepentingan rakyat. Dengan demikian, ia akan mengerti
setiap keinginan dan kebutuhan rakyat. Ikhlas dan jujur adalah hal-hal lain yang diinginkan oleh
warga kepada pemimpin.
IX.
Peran Pendidikan
Dengan pemahaman yang beragam, kelima informan konstituen dari Paseban beranggapan bahwa
pendidikan formal tetap menjadi prasyarat utama bagi angggota legislatif. Walaupun tetap diakui,
bahwa pengalaman hidup seseorang tetap menjadi bekal yang penting untuk memimpin.
”Pendidikan itu penting, tapi pengalaman juga penting”, jelas seorang ibu.
Seorang ibu berpikir bahwa bersekolah akan memiliki pengetahuan yang dibutuhkan dalam
memimpin negara. Walaupun disadari, bahwa anggota legislatif yang mereka kritik tidak memiliki
kepedulian kepada rakyat adalah orang-orang yang bersekolah tinggi, namun tidak mempengaruhi
pandangan bahwa sekolah tinggi adalah jaminan adanya kepemimpinan yang dapat memimpin dan
peduli kepada rakyat.
Dengan bersekolah tinggi, maka pemimpin dapat mengungkapkan dan memperjuangkan
kepentingan orang banyak, itulah harapan ibu-ibu. Seperti yang dikatakan seorang ibu “harus
berpendidikan biar pintar ngomong dan perilakunya baik”. “Punya ilmu pengetahuannya lebih dan
pengalaman..., tapi kan benar orang yang pintar, seperti saya waktu sekolah aja untuk jadi ketua
osis harus yang pintar, begitu juga pemimpin”.54
Namun demikian, pandangan tersebut dinetralisir oleh pandangan lain yang menyatakan, bahwa
untuk menjadi pemimpin, tidak harus sekolah tinggi. ”Ya, seharusnya pemimpin melihat ke bawah
supaya masyarakat makmur, saya juga ekonomi lemah ya apalagi yang lebih lemah kasian”.
X.
Fungsi dan Tugas Politisi
Tugas anggota legislatif dalam hal legislasi, anggaran, dan pengawasan pemerintah, oleh
pemahaman awan dibahasakan atau diidentikkan dengan tugas sosial-politik anggota legislatif
terhadap masyarakat bawah. “Pemimpin harus membuat masyarakat makmur, dengan turun
langsung ke masyarakat untuk melihat kondisi rakyat”, tegas seorang ibu. ”Jangan hanya
ajudannya yang turun sekali-kali turun biar tahu, dan rapiin yang miskin.”55
Menemui rakyat dan menanyakan persoalan yang mereka hadapi adalah komunikasi dua arah yang
harus dilakukan untuk memperoleh gambaran pasti dengan keadaan lapangan. Tugas di atas,
54
55
Diungkapkan oleh Ibu Ani
Diungkapkan oleh Ibu Atin
menjadi bagian yang terpadu yang harus dilakukan oleh anggota legislatif, khususnya perempuan
dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, seperti pendidikan gratis, lapangan kerja, pelatihan
untuk perempuan, dan lowongan kerja buat ibu-ibu. “Ya, harus menudukunglah. Maunya adalah
kegiatan buat ibu-ibu, lowongan kerja gitu ya, asal buat membantu anak-anak sekolah, ya mestinya
surveilah ke bawah tentang kehidupan di bawah”.56 “Ya...kalau dia tahu seharusnya dia perhatian
kerakyatnya, sebelah sini bagaimana dan sebelah sana bagaimana?”57
XI.
Tanggung Jawab Politisi
Tanggung jawab pemimpin dalam perspektif masyarakat bawah adalah menjalankan apa yang
dijanjikan, yaitu ngemong wong cilik. Hal utama yang dituntut oleh rakyat kepada pemimpinnya
adalah tidak ingkar janji. Setiap ucapan yang keluar dari mulut pemimpin membutuhkan
pertanggung-jawaban dengan pembuktian di lapangan. “Ya...dia memikirkan kesejahteraan rakyat
dan pendidikan”.58
Persoalan tersebut menjadi hal yang sensitif bagi rakyat. Belajar dari beberapa kali pemilu atau
pilkada, warga telah mempunyai kesimpulan sendiri tentang janji politik yang dilakukan oleh para
elit partai, yang belum maupun yang sudah menjadi anggota legislatif. “Harus lebih memikirkan
kaum miskin dong yang 90 persen itu.”59 “Ya seharusnya pemimpin melihat ke bawah supaya
masyarakat makmur.”60 Untuk itu, dalam
proses ke depan, yang dibutuhkan oleh warga adalah realisasi janji-janji peningkatan
kesejahteraan. Bukan sebaliknya.
XII.
Harapan Konstituen
Harapan kelima ibu-ibu di Paseban tersebut adalah harapan warga terhadap anggota legislative
yang harus memprioritaskan pembenahan ekonomi rakyat, yang membuat harga sembako dan
BBM kembali normal. Saat ini, harga-harga barang sudah melampau batas kesanggupan rakyat
untuk membelinya.
“Saya sih yang saya harapin itu, presiden sekarang tuh umpamnya lowongan kerja itu dibanyakin,
dulukan janjinya seperti itu,...Katanya kalo nanti Partai Demokrat menang, warga Paseban gak
akan ada yang nganggur. Terus, kepemimpinan ini bagus, pokoknya semua sekolah dari SD
sampai
SMA itu gratis, tapi ya cuma janji...”61
“Harga harus murah, gak membuat kita putus asa. Buat melanjutkan hidup sekarang aja morat
marit”.62 “Harapannya bisa kayak dulu, apa-apa murah...Kita sih pengennya makmur aja ya,
sembako jangan terlalu mahal, gas juga sekarang mahal, minyak tanah mahal. Kita bandingin aja
gas seminggu empat belas ribu, minyak dua liter 14 ribu. kita mau pake gas kita takut meledak
karna kalau masak kita suka tinggal-tinggal jadinya kita takut aja”.63
56
Diungkapkan oleh Ibu Ida
Diungkapkan oleh Ibu Ani
58
Diungkapkan oleh Ibu Ani
59
Diungkapkan oleh Ibu Ida
60
Diungkapkan oleh Ibu Atin
61
Diungkapkan oleh Ibu Ida
62
Diungkapkan oleh Ibu Ani
63
Diungkapkan oleh Ibu Wiwik
57
A.3. KLENDER, JAKARTA TIMUR
I.
Konteks Geopolitik
Kota Jakarta Timur adalah kota terluas di DKI Jakarta, membentang sepanjang timur Jakarta
berbatasan dengan Kota Bekasi di sebelah Timur, dan Kota Depok di sebelah selatan. Wilayahnya
mencakup daerah Cakung di sebelah Utara hingga daerah Cibubur di ujung Selatan. Total luas
wilayahnya 188,03 km2, dengan jumlah penduduk 2.421.419 (tahun 2007), atau kepadatannya
12.878 jiwa/km2 (paling kurang padat kedua setelah Jakarta Utara). Pertumbuhan penduduk antara
tahun 2000 hingga 2007 sebesar 0,44% (terbesar ketiga setelah Jakarta Selatan dan Jakarta
Barat). Komposisi penduduk antara jumlah perempuan dan laki-laki tidak terlalu besar selisihnya,
yakni lebih banyak perempuannya 13.981 jiwa (1.203.719 laki-laki dan 1.217.700 perempuan).
Secara administratif, Jakarta Timur terdiri dari 10 kecamatan yang terbagi dalam 65 kelurahan dan
tersebar dalam 698 RW dan 7.807 RT.
Hingga saat ini, Jakarta Timur belum cukup menarik bagi pengembangan properti karena fokus
pembangunan masih berpusat di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat, tetapi ke depan
jika wilayah-wilayah itu telah mengalami kejenuhan, maka Jakarta Timur menjadi daerah potensial
untuk pengembangan berikutnya. Rencana pemindahan terminal Pulogadung--sebagai gerbang
timur bagi para pendatang dari luar Jakarta--ke Pulogebang yang lebih dekat ke jalan tol Lingkar
Luar Jakarta (JORR) misalnya, atau semakin menyurutnya minat pengusaha membuka pabrik di
kawasan industri Pulogadung (dan banyak yang berubah menjadi pergudangan), menjadi isyarat
bahwa daerah ini ke depan akan menjadi pusat pertumbuhan.
Jumlah penduduk miskin di Jakarta Timur meningkat tajam dari 55.491 pada tahun 2003 menjadi
102.957 pada tahun 2004. Secara ekonomis, daerah Jakarta Timur merupakan wilayah termiskin
kedua di Jakarta setelah Jakarta Utara (JRS.IPDS.BPSDKI/2003). Daerah klender merupakan
komunitas miskin kota di sepanjang rel kereta jurusan Jatinegara-Bekasi.
II.
Profil Konstituen
Kelima informan dalam penelitian ini adalah ibu yang kehilangan anaknya dalam peristiwa 13-14
Mei 1998. Sampai saat ini, mereka terus berjuang untuk keadilan anak-anaknya. Berbagai lembaga
negara yang diharapkan membantu penyelesaian kasus Mei 1998 telah didatangi ibu-ibu tersebut
dalam rangka keadilan untuk anak-anak mereka yang sudah menjadi korban. Komnas HAM sudah
menetapkan bahwa kasus Mei 1998 merupakan kasus pelanggaran HAM berat karena ada unsur
meluas dan sistematis serta penyerangan terhadap masyarakat sipil. Namun sampai saat ini (tahun
2008), kasus mereka belum mampu masuk ke meja hijau dan masih tersimpan di Kejaksaan Agung
Republik Indonesia. Dalam perkembangannya, terbangun dua organisasi korban Mei 1998, yakni
Paguyuban Korban Mei 1998 (Paguyuban) dan Forum Komunikasi Korban Mei 98 (FKKM),
keduanya masih beraktivitas hingga kini. Kelima informan yang kami wawancarai, tiga orang di
antaranya berasal dari FKKM dan dua orang lainnya dari Paguyuban.
Seperti sebagian besar korban pelanggaran HAM di Indonesia, kelima informan ini berasal dari
kelas ekonomi menengah ke bawah; usia mereka antara 49-60 tahun, dengan tingkat pendidikan
tiga orang SD, satu orang SMP dan satu orang SMA.
Namum begitu, pancaran semangat untuk mendapatkan keadilan bagi anak-anak mereka sangat
kuat dan sangat terasa, ketika mereka menjawab tiap pertanyaan yang diberikan. Kepolosan,
kesederhanaan dan juga rasa sakit karena kehilangan anak yang mereka cintai terekam jelas
dalam setiap kata yang keluar sebagai jawaban. “Kami memang orang bodoh tapi kami tidak mau
dibodohi terus menerus, para pemimpin kita hanya berjanji saja tapi tidak pernah ditepati”.
Dalam hubungan dengan pemimpin perempuan, kelima ibu yang rajin mendatangi DPR RI untuk
minta keadilan pada wakil-wakil rakyat di sana menyatakan ketidakpuasannya dengan respon yang
diberikan oleh Komisi 3 DPR RI bidang Hukum dan HAM. Sebagai komunitas korban yang terus
berjuang, ibu-ibu ini mengharapkan agar kasus Mei 1998 segera dituntaskan dan keadilan
ditegakkan. Dan dengan semangat yang dimiliki, mereka menyadari sepenuhnya bahwa para
pemimpin saat ini tidak bisa diharapkan, termasuk proses pemilu 2009 mendatang. Empat dari lima
informan terlibat dalam proses pemilu 2004 lalu, satu informan tidak terlibat karena RW-nya tidak
memfasilitasi warganya untuk ikut pemilu walaupun sudah terdaftar, karena alasan teknis.
III.
Kondisi Sebelum dan Pasca Reformasi 1998
1. Perbandingan ekonomi-politik
“Kalau zamannya Suharto perbedaannya agak makmur dari segi ekonomi, tapi kita gak boleh
ngomong salah nanti hilang, dan gak boleh kumpul-kumpul bisa hilang...”64 “Saya bukan orang
munafik yah, zaman Soeharto itu ekonomi masih stabil, kalau orang gedean bilang uang dolar itu
stabil. Waktu itu walaupun kata orang dia ini begini, begitu, banyak orang menghujat dia, saya
sendiripun menghujat dia, tapi kalau di bidang ekonomi itu masih enakan pada zaman Soeharto.
Memang saya ga memungkiri hati saya sendiri, saya juga pun menghujat karena kasus anak saya
kan waktu zaman Soeharto. Tapi yang paling parah lagi sekarang, waktu zaman Habibi, Gus Dur,
Megawati masih lumayan, gak parah kayak sekarang ini”. 65
“Kalau menurut saya dari segi ekonomi untuk sekarang ini emang susah, tapi uang alhamdulilah
ada aja sedikit,. Kalau untuk zaman Soeharto saya tidak menikmati, tapi ada juga peninggalan juga
dari zaman nya dia, rumah ini peninggalannya dari zamannya dia jadi dulu katanya barangsiapa
yang rumahnya jelek akan di renovasi dan itu menggunakan uang pemerintah... Jadi kalau
menghina Pak Harto jangan terlalu menghina, karena ini ada kenang-kenangannya nih tapi kan kita
juga musuh sama dia, tapi memang zamannya Suharto sama sekarang ya mendingan dulu karna
masih murah, habibi juga masih murah tapi kalau sekarang aga sulit sih tapi memang masih ada
uang.”66
2. Persoalan sosial-ekonomi
Berkaitan dengan posisi khusus kelima ibu informan asal Klender sebagai keluarga korban
pelanggaran HAM, tiga dari lima ibu kehilangan anak pertamanya yang sangat disayangi. Dalam
kondisi sosial ekonomi saat ini, anak mereka itu merupakan tulang punggung keluarga. Kehilangan
anak pertama, berimbas pada tidak adanya sandaran bagi rumah tangga mereka, karena suami
yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Kondisi ekonomi saat ini dirasakan sangat menyulitkan
kehidupan mereka. Kenaikan harga BBM pada Mei 2008 lalu, makin memberatkan beban hidup
mereka. Sembako yang ikut naik dengan naiknya harga BBM, ditambah mahalnya pendidikan bagi
anak-anak mereka.
“Masalahnya kan ekonomi kita ekonomi lemah ya, namanya kerja orang serabutan, itu yang
pertama dan yang kedua anak-anak juga masih dibangku pendidikan. Biaya sekolah juga
melambung, kebutuhan sehari-hari juga meningkat. Sedangkan kerja serabutan itu kan gak ada
64
Diungkapkan oleh Ibu Tini
Diungkapkan oleh Ibu Sri
66
Diungkapakan oleh Ibu Parni
65
yang namanya naik gaji, ya gajinya segitu-gitu aja. Kalau ada nyuruh kerja, tapi kalau gak ya
nganggur kan suami saya. Jadi kan lebih parah sekarang, suami saya setelah SBY jadi presiden,
sebelum SBY masih lumayan gak begitu para.”67
Kemiskinan menciptakan sikap pragmatis warga dalam merespon pembagian uang dan sembako
menjelang pemilu yang biasa dilakukan oleh parpol maupun calon legisatif. Sikap pragmatis ini
bukan tanpa alasan, komentar seorang ibu, “ kami ini memang orang bodoh tapi sekali dua kali
dibodohi bolehlah, tapi kalo dibodohi seumur hidup ya saya nggak mau”. Dia menjelaskan bahwa
sekian kali pemilu dan memilih pemimpin, tetapi kondisi tidak berubah bahkan makin buruk. Para
calon pemimpin ketika berkampanye janjinya bagus-bagus, tetapi kenyataannya berbeda.
Pembodohan yang dilakukan calon pemimpin dalam perkembangannya menciptakan kecerdasan
tersendiri pada masyarakat di Klender dalam merespon pemilu. “Pembagian sembako dari partai
mana pun kami terima, tapi masalah pilihan kan tidak ada yang tahu pada saat kita mencoblos”,
ungkap seorang ibu dengan berbinar. “Kapan lagi mereka mau kasih sembako gratis kepada kita”,
imbuhnya penuh senyum kemenangan.
“Karena zaman sekarang harus dibantu, ga dibantu aja masih susah, kalau bantuan jangan diambil
karena sekarang ini aja masih ada yang makan nasi aking, itu masih ada di pinggir jalan orangnya
gagu dan lakinya tukang puntung, dan yang begitu harus dipikirkan. Istilahnya Indonesia kalau
diolah
itu bisa kaya”.68
Kalau pemimpin peduli dengan rakyat, maka harga BBM harusnya tidak perlu dinaikkan. Belum lagi
buat informan yang masih menyekolahkan anak-anak mereka. Dua dari lima informan mengeluhkan
biaya pendidikan yang sangat mahal. Di satu sisi, mereka merasa pendidikan tinggi sangat penting
buat anak-anaknya, akan tetapi jika dikaitkan dengan kemampuan ekonomi untuk membeayai
pendidikan anak-anaknya, mereka tidak tahu harus berbuat apa. Untuk TK sampai SD relatif bisa
diatasi, tetapi untuk SMP dan SMU, mereka sangat kesulitan.
“Kita kan kalau pakai gakin susah ya; saya aja pernah di permainkan sama pihak rumah sakit
dibilang gak ada kamarnya atau apa dan dikasih obat juga tidak, trus saya disuruh pulang katanya
disuruh cipto, saya bingung saya suruh aja saudara saya ke loket tebus obat dan minum obat itu
sembuh jadi gak usah di rawat juga gak apa-apa”.69
Istilah orang miskin dilarang sakit menjadi benar, ketika begitu banyak masyarakat menengah ke
bawah yang tidak mampu berobat ke rumah sakit, karena mahalnya beaya pengobatan. Surat
Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang diprogramkan pemerintah sering memposisikan si sakit
tidak mendapat pelayanan yang seharusnya di rumah sakit yang dirujuk. Berdasarkan pengalaman
yang mereka alami, semua mesti disiasati sehingga rakyat kecil dapat memperoleh layanan
kesehatan gratis.
IV.
Perkenalan dengan Politisi
Dua dari lima informan mengenal anggota perempuan DPR RI, yakni Tjiptaning dan Nursyahbani
K, karena kedekatan mereka dengan keluarga korban Mei 1998. Suka atau tidak, pengalaman
presiden perempuan di Indonesia melalui Megawati mengkondisikan informan untuk tidak alergi
terhadap pemimpin perempuan. Ungkapan seorang informan tentang anggota DPR RI, “...di DPR
67
Diungkapkan oleh Ibu Rini
Diungkapkan oleh Ibu Tini
69
Diungkapakan oleh Ibu Parni
68
belum pernah bertemu perempuan, yang ada hanya lelaki, yang berdasi yang kerjanya malas.
Tukang ngopi, berkualitas tinggi, gaji besar. Biarin aja, udah gaji besar, kerjaannya kasus satupun
gak ada yang selesai”, tandasnya marah.
Mereka juga menyadari sering lupa kalau hanya bertemu sekali dua kali dengan wakil perempuan di
DPR RI. Namun mereka menegaskan, bahwa seharusnya perempuan pemimpin lebih memikirkan
perempuan yang banyak menderita. “Yang jarang ketemu kalau ke sana juga orangnya suka gantiganti orang siapa...? Yang dulu aja gak kenal, ke sana ganti lagi orangnya, pokoknya tahun 2005
namanya si A, tahun 2006 namanya si B, dan 2007 lain-lain gitu, jadi tahunya saya Bu Nursyahbani
aja, kalau di Fraksi PDI dr Ning, kalau Fraksi Golkar siapa ya...?”70 Sementara itu, Ibu Parni
mengaku tidak tahu, “...saya belum pernah denger sama sekali tuh kalau yang perempuan”.
V.
Komunikasi dan Partisipasi Politik
Anggota legislatif belum pernah ada yang datang di kawasan Klender dan sekitarnya, sehingga
mereka tidak bisa menjelaskan kira-kira apa yang akan dikatakan dan dilakukan ketika mereka
datang. “Sering, kalau Bu Nursyahbani K itu kan sering datangin masyarakat, kalau Tjiptaning
sering nongol ke korbanlah dan masyarakat, dan kalau yang lain gak pernah sih punya pendekatan
ke
Masyarakat”.71
“Sering dari tahun 1998 saya ke DPR, ke Fraksi Golkar, PDI, PKB, pokoknya ke Fraksi-fraksi deh,
terus datang lagi ke komisi-komisi yang suka saya datang komisi III, itu juga jarang perempuannya,
kemarin bu nursyahbani ga ada, adanya yang satu lagi dan perempuan itu pada jarang nongollah,
dan saya pernah ke komisi 9 dan 10 tempat pendidikan jarang perempuannya laki melulu tapi
namanya saya lupa, dan kalau kebanyakan lupa.”72
Untuk komunitas korban pelanggaran HAM komunikasi dengan para pemimpin di eksekutif maupun
legislatif terjadi, bahkan cukup intens tetapi, “...mereka hanya mendengar dan menyatakan simpati
dan turut berduka cita, itu saya juga bisa, cuma tidak ada usaha konkrit dan bagus buat korban
supaya ada sumbang rasa, sumbang pikiran, semua hanya janji saja karena sampai sekarang
kasus Mei 1998 belum memperoleh keadilan”, jelas seorang ibu.
VI.
Kekritisan terhadap Politisi
“Apalagi perempuannya, cuma bilangnya ya, saya turut berduka cita, ya, itu saya juga bisa, Cuma
gak ada usahanya yang konkrit yang bagus buat korban supaya bagaimana nih sumbang rasa,
sumbang pikiran kalau lagi pada rapat orang nya. Kalau kita nih...keluarga lagi rapat apa yang
belum selesai di bahas salah satu sumbang pikiran istilahnya keputusannya bagus ga bagus biar
jelas, kalau di DPR bagaimana pada tidur ntar hantem-hanteman deh...jadi saya kalau mau ke DPR
susah ngomongnya soalnya gak ada pada tegas dan ibu-ibunya apalagi di situ ga pernah nongol
dan gak pernah ngebahas tentang perempuan, perempuan kaya apa dia gak ngerti...”73
Selanjutnya, informan lain mengatakan, “...tapi kalau yang saya lihat dalam kerjanya pimpinannya
masih pada tidur, tidur dalam bekerja, ya ga malu dengan masyarakat, misalnya minyak tanah naik
70
Diungkapkan oleh Ibu Tini
Diungkapkan oleh Ibu Tini
72
Diungkapkan oleh Ibu Tini
73
Diungkapkan oleh Ibu Tini
71
DPR bisanya apa coba dibahas bagaimana, kalau ibu-ibu kan maunya apa-apa murah dan duit
gampang, dijamin kesehatan terutama hidup, kan begitu; juga pendidikan…kalau hidup dijamin
semua ringan itukan perlu juga pemimpin perempuan di DPR tapi yang tegas, karena pemimpin
sekarang ini kalau sudah di bangkunya, dia lupa segala-galanya dan ga ngebahas apa-apa pada
tidur, dan ngebahasnya iya...iya dan di ganti yang baru begitu juga cuma cari muka aja pertamanya
semuanya sama dengan perempuan”.74
“Udah gaji besar, kerjaannya kasus satupun gak ada yang selesai. Saya ibu korban Mei 1998 Ibu
“Rini” kecewa sekali sama DPR...Sebenarnya yang namanya Dewan itu kan buat contoh kita orang
yang bodoh dan sudah seharusnya pemimpin kita, dan berhubung yang namanya dewan juga
begitu yah, saya bingung dengan pemimpin kita selama ini, saya merasa dari dulu saya gak pernah
ada yang
pimpin kok! Berdiri sendiri, gak ada yang mendukung, gak ada yang kasian sama saya. Masalah
kasus saya berdiri sendiri, hanya di Bantu oleh Kontras dan IKOHI. Ya…dewan itu, apa sih
namanya dewan!75
VII.
Konsep Kepemimpinan
1. Kepemimpinan pada umumnya
Bagi Ibu Parni, anggota DPR adalah pemimpin, “...ya pemimpinlah. Karena kan kita orang awam,
orang bodoh. kalau jadi seorang pemimpin kan harusnya orang yang pinter nah itu cocok jadi
pemimpin. Tapi kalau untuk orang seperti kita jangankan untuk menjadi pemimpin untuk menjadi
ketua RT aja kita masih minder”.76
“Kalau pemimpin itu kan, kata orang pinter ya presiden. Kalau dalam rumah tangga pemimpin itu
kan bapak sama ibu”.77
2. Kepemimpinan perempuan
“Kalau perempuan sudah menjadi pemimpin paling tidak condong kepada kaumnya sendiri, di mana
perempuan banyak yang tertindas dan dari segi ekonomi yang sekarang juga banyak yang
menghimpit perempuan yang miskin nah ini lah saya ingin ada perubahan kepada pemimpin
perempuan ini, ada gak jalan atau solusi kepada kami yang miskin bagaimana caranya, karna kan
mereka butuh hidup makanya saya mengharapkan pemimpin perempuan itu lebih memikirkan hal
yang kecil-kecil. kalau pemimpin perempuan bisa melihat dan merasakan penderitaan rakyat kecil
maka akan timbul rasa kepercayaan bahwa si pemimpin tersebut benar-benar memperhatikan kita
jadi tidak hanya basa basi.”78
“Kalau masalah kepala rumah tangga laki-laki saya tahu tapi yang saya maksud perempuan itu
jangan disepelein laki- laki tuh dan dalam agama bisa dirobah ga tuh kan ada perempuan nunduk
dan di tempelengin diam aja dan di suruh makan, kalau saya maunya dibagi rata, kalau saya sakit
bagaimana laki-laki juga harus membantu perempuan juga dong, kalau saya sih maunya barengbareng itu kan menurut pikiran saya, Bu....?.”79
74
Diungkapkan oleh Ibu Tini
Diungkapkan oleh Ibu Rini
76
Diungkapkan oleh Ibu Parni
77
Diungkapkan oleh Ibu Rini
78
Diungkapkan oleh Ibu Rahmah
79
Diungkapkan oleh Ibu Tini
75
“Kalau bedanya pasti ada aja, kalau perempuan kan pasti bisa aja ngayominnya bagian prempuan,
tapi kalau untuk laki-laki kurang aja ya. Karena kan kalau perempuan sama perempuan enak aja
lebih ngerti kayaknya.”80 “Saya enakan RTnya perempuan, soalnya dia kalau bagi apa-apa pasti
rata bener.”81
“Kalau perempuan itu kan kebanyakan gak tega, tapi kalau laki-laki kebanyakan gak begitu,
dikeluarga juga kan yang biasanya kejam itu bapak. Kebanyakan perempuan kan gak bisa di hasut
kesana kesini, kebanyakan jujur, karena dia merasa menjadi seorang ibu. Di Rumahtangga yang
keras pasti laki-laki, tapi jagan dikira permpuan itu gak bisa jadi pemimpin, perempuan juga bisa
maju tapi gak kayak laki-laki, perempuan biarpun jadi pemimpin dia tidak melupakan kodratnya
menjadi seorang ibu. Jauh perbandingan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan itu mudah
mengampuni kesalahan orang lain.”82
VIII.
Nilai yang Dipegang
Pendapat ibu-ibu ketika bicara tentang seorang pemimpin, maka mereka memberikan syarat umum
seorang pemimpin seperti bertanggung jawab, peduli dengan rakyat, adil, jujur, tegas, berani, dan
bermoral. Lepas dari segala kekecewaan mereka berhadapan dengan pemimpin yang berkebalikan
dari yang mereka harapkan dan juga kesedihan akan ketidakpedulian para pemimpin terhadap
kasus Mei 1998, maka kelima informan tetap mempunyai harapan akan hadirnya pemimpin yang
dapat melakukan perbaikan bagi masyarakat korban dan masyarakat indonesia lainnya. ”Yah,
sebenernya kalo anggota DPR itu bisa mengerjakan semua tugasnya terhadap korban, itu bisa juga
disebut pemimpin”, tegas seorang ibu.
Hal penting yang disuarakan kelima ibu di Klender tersebut bahwa pemimpin adalah contoh bagi
masyarakat, sehingga menjadi pemimpin bukan hal mudah. “Pemimpin yang harus kita hormatin
adalah tingkah laku dia, bukan kedudukan, soal kedudukan saya sih nomor dua, dan bisa bawa diri
baik-baik.”83
“Moralitas, perempuan jadi pemimpin ya mudah-mudahan dia bisa…yang namanya perempuan kan
hatinya lentur kayak seorang ibu, ya mudah-mudahan dia bisa jadi seorang ibu, karena dia
membayangkan di rumah tanganya sendiri. Mengurus anak, suami…bisa…ya bisa dong seorang
perempuan jadi pemimpin kenapa nggak! Emang hanya lelaki doang yang bisa maju, perempuan
juga bisa maju dong.”84
Dan yang pasti pemimpin harus peduli dan siap berkorban demi kesejahteraan rakyatnya. ”Saya
bingung dengan pemimpin kita selama ini. Saya merasa dari dulu saya gak pernah ada yang
mimpin kok, berdiri sendiri, gak ada yang mendukung, gak ada yang kasian sama saya”, ungkap
kecewa seorang ibu.
“Gak boleh...kalau pemimpin itu panutan masyarakat, kalau dia merebut suami orang bagaimana
dengan masyarakatnya, nantinya jadi menyebar aturan ga ikut-ikut jadi ikut-ikut, dan kalau panutan
harus jadi contoh, kalau punya problem itu sebisa-bisanya dia harus ditutupin kalau bisa jangan.”85
80
Diungkapkan oleh Ibu Parni
Idem
82
Diungkapkan oelh Ibu Rini
83
Diungkapkan oleh Ibu Tini
84
Diungkapkan oleh Ibu Rini
85
Diungkapkan oleh Ibu Tini
81
“Ya penting jadi putri Indonesia aja, harus berwawasan luas, harus bisa bahasa asing,
berorganisasi, harus bisa meninjau ke kampung-kampung….apalagi jadi pemimpin, atau anggota
dewan, gitu!”86 Menurut Ibu Parni, pelanggar HAM itu tidak bisa jadi pemimpin. “...karena kan dia
tidak bisa ya, karna sudah melanggar ham jadi saya tidak setuju.”
IX.
Peran Pendidikan
Seorang ibu dengan tegas menyatakan bahwa sekolah tidak perlu tinggi-tinggi karena terlalu tinggi
justru buat membodohi rakyatnya. Yang penting, dia berpihak pada rakyat. Pendidikan formal
dianggap sebagai syarat yang harus dimiliki seorang pemimpin. Ketika ditanya, apakah semua
orang dapat menjadi seorang pemimpin? Seorang ibu menyatakan, bahwa dia tidak mungkin
menjadi pemimpin karena pendidikannya sangat rendah. “Saya bisa baca tapi nulis nggak lancar,
karena cuman kelas 3 SD, Mbak”, alasannya. Ibu yang lain akan berusaha menyekolahkan
anaknya setinggi mungkin, karena menurut dia, pendidikan minimal bagi seorang pemimpin adalah
perguruan tinggi. Namun demikian, semua ibu sepakat bahwa keberpihakan dan kepedulian
kepada masyarakat lebih penting bagi seorang pemimpin.
“Bagaimana orangnya aja kalau titelnya tinggi dan cuma ditunjuk-tunjuk kerjanya ga bisa, sama aja
bohong.”87 Bagi Ibu Parni, pemimpin itu harus punya titel sarjana, “...ya, haruslah karna kalau tidak
mana bisa dipercaya kan?”
“Kalau saya yang orang bodoh menjadi pemimpin itu gak mudah, harus ada pendidikan paling
sedikit kuliah. Apalagi bagi keluarga yang mampu, kan bisa ke luar negeri. Nah dia kan sudah dapat
pendidikan yang berkualias jadi di bisa jadi anggota dewan, presiden, komnas perempuan, komnas
Ham, dan kejakasaan, tapi kenapa setelah berhasil jadi orang besar, gak jadi orang yang baik…ya,
gak masuk akal kalau orang jadi pemimpin itu gak sekolah. Itu namanya membabi buta, masa ada
orang jadi pemimpin gak bermodal ilmu..?”88
X.
Fungsi dan Tugas Politisi
Kelima ibu kurang memahami secara rinci tugas dan fungsi para wakilnya di DPR RI/DPRD/DPD.
Secara umum, mereka melihat bahwa tugas seorang wakil rakyat yakni memperjuangkan
kepentingan rakyatnya. Dan, yang real di mata lima ibu tersebut ialah ketidakpedulian wakil rakyat
terhadap kasus Mei 1998 yang sampai kini belum ada kejelasan tentang siapa pelaku yang harus
bertanggungjawab terhadap kematian anak-anak mereka. “Perwakilan rakyat kan, apa yang
diwakili, saya merasa gak pernah diwakili, karena saya gak dipeduliin.”
Kepedulian pemimpin kurang dirasakan oleh rakyat kecil, sehingga merasa asing dengan DPR.
“Saya kalo ke DPR mereka pada tidur dan hantem-henteman deh…, jadi kalau saya ke DPR susah
ngomongnya soalnya gak pada tegas dan ibu-ibunya apalagi gak pernah nongol dan gak pernah
ngebahas tentang perempuan, perempuan kayak apa dia nggak ngerti”, jelas seorang ibu. Semua
ibu mempunyai harapan yang sangat besar agar DPR bisa membantu menuntaskan kasus
pelanggaran Mei 1998 dan kasus HAM yang lainnya.
Fungsi dan tugas DPR sebagai wakil rakyat kurang tersosialisasi di masyarakat, sehingga
masyarakat hanya melihat bahwa fungsi DPR adalah wakil rakyat yang harus memperjuangkan
86
Diungkapkan oleh Ibu RIni
Diungkapkan oleh Ibu Tini
88
Diungkapkan oleh Ibu Rini
87
rakyatnya, dan itu sangat luas maknanya. Kelima informan masih sulit membedakan fungsi DPR
dengan fungsi lembaga tinggi lainnya.
XI.
Tanggung Jawab Politisi
Tanggung jawab yang dimaknai oleh masyarakat umum adalah bertanggung jawab terhadap
tugas-tugasnya. Artinya, semua orang sudah mengetahui tugas seorang anggota DPR. Karena
banyak orang yang tidak tahu tugas-tugas DPR, maka ada penyempitan makna tanggung jawab
dalam hal ini. Kelima ibu memaknai tanggung jawab lebih pada janji-janji yang pernah dilontarkan
pada saat proses pemilu, pilkada atau dengar pendapat dengan DPR. Seorang pemimpin tidak
bertanggung jawab ketika tidak melakukan apa yang sudah dijanjikan atau bahkan dilontarkan pada
masyarakat. Dalam konteks Klender, kelima ibu sering melakukan dengar pendapat dengan komisi
3 DPR RI bidang Hukum dan HAM, dan respon mereka adalah “…bagi dia (anggota DPR) kan
hanya didengerin dan nggak direspon…..bilangnya cuman saya turut berduka cita ya….itu saya
juga bisa, cuman nggak ada nggak ada usahanya yang konkrit yang bagus buat korban”, jelas
seorang ibu kesal.
“Karena DPR itu (banyak) perempuan, harusnya bisa memperhatikan kaum perempuan; warga
korban kan kebanyakan perempuan, dia harus memperhatikan dan punya perasaan sedikit
dong…sebagai seorang perempuan, saya juga kan perempuan punya anak kena musibah kayak
gitu perasaan saya gimana gitu, jadi harus memperhatiin, harus punya perasaan, korban Mei 1998
itu kan bukan karena kesalahan masyarakat...karena ada pelakunya, jadi ada provokatornya, yah
harusnya diselesain kasusnya yah maunya dia harus teliti kasus ini kan udah berapa lama 10 tahun
loh, gak ada pertanggungjawaban dari pemerintah. Jangan kan Presiden, Komnas HAM, DPR, dan
Kejaksaaan Agung itu sebenarnya juga harus tanggung jawab, diselidiki sampai tuntas kasusnya.
Kasus Mei 1998 itu kasus yang paling menyedihkan buat keluarga korban.”89
XII.
Harapan Konstituen
Harapan warga terhadap anggota Legislatif adalah penyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM,
memprioritaskan pembenahan ekonomi rakyat, sembako dan BBM kembali normal dan rakyat
sejahtera. Saat ini, harga-harga barang sudah melampau batas kesanggupan rakyat. Harapan ini
terutama ditujukan kepada pemimpin yang baru. Rakyat tidak butuh janji-janji, rakyat butuh tindakan
yang nyata seorang pemimpin.
“Pemimpin perempuan harus bisa menerima aspirasi masyarakat, rakyatnya kepengennya apa?
Tentang hukum supaya gampang bagaimana? Supaya masyarakat ngerti deh...tentang pendidikan
bagaimana, soalnya perempuannya ga pernah ditanyain apa-apa nih, kalau kita ini kan punya
masalah sama keluarga.”90
“Saya pengen pegawai (DPR) perempuan itu membela bener-benerlah…bisa ngurusin masyarakat
yang kena musibah…harus bisa diselesaikan harus bisa dipikirkan….yah gimanalah cara untuk
menyelidiki kebenarannya gimana, keluarga korban udah 10 tahun jalan maunya gimana…biar
ketemu
Pelakunya gimana…”91 “Kita sih pengennya kita punya kasus tuntas.”92 “Untuk pemimpin yang
akan memimpin nanti harap jadikan pelajaran apa yang sudah terjadi sekarang jangan sampe halhal kemarin terulang kembali.”93
89
Diunkgakpkan oleh Ibu Sri
Diungkapkan oleh Ibu Tini
91
Diungkapkan oleh Ibu Rembyak
90
A.4. MAMPANG, JAKARTA SELATAN
I.
Konteks Geopolitik
Kota Jakarta Selatan berbatasan dengan Kota Depok di bagian Selatan, terletak paling tinggi
dengan rata-rata ketinggian 26,2 meter di atas permukaan laut. Total luas wilayah Jakarta Selatan
141.27 km2. Dengan jumlah penduduk 2.100.930 pada tahun 2007, maka dapat dilihat tingkat
kepadatan penduduk yang mencapai 14.872 jiwa/km 2 (terpadat ketiga setelah Jakarta Pusat dan
Jakarta Barat). Komposisi penduduk antara jumlah perempuan dan laki-laki tidak terlalu besar
selisihnya, yakni lebih banyak laki-laki 15.210 jiwa (1.058.070 laki-laki dan 1.042.860 perempuan).
Pertumbuhan penduduk antara tahun 2000 hingga 2007 mencapai 2,36% per tahun (tertinggi di
seluruh DKI Jakarta).
Secara administratif, Jakarta Selatan terdiri dari 10 kecamatan yang terbagi dalam 65 kelurahan
dan tersebar dalam 569 RW dan 6.026 RT. Jakarta Selatan masih menjadi magnet bagi kelas
menengah atas Jakarta untuk bertempat tinggal dan berbisnis. Jumlah penduduk miskin paling
sedikit, data tahun 2004 menyebutkan 6.053 rumah tangga miskin atau 25.504 jiwa.
Kelurahan Mampang Prapatan terletak di antara jalan tol Gatot Subroto, Jalan Kapten Pierre
Tendean dan sedikit dibelah Jalan Raya Mampang Prapatan. Kelurahan ini mencakup daerah yang
sering disebut Tegal Parang tetapi sebetulnya masih tergabung dalam kelurahan Mampang
Prapatan. Penduduk Mampang Prapatan berasal dari latar belakang kelas menengah karena
semua responden selain memiliki rumah sendiri juga memiliki kamar atau rumah kontrakan yang
banyak disewa oleh para pekerja yang bekerja di seputar Mampang. Banyak pula rumah yang
dijadikan kantor yang bergerak di sektor jasa, bahkan beberapa lembaga organisasi nonpemerintah level nasional seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jaringan
Advokasi Tambang (Jatam) dan INFID berada di seputar Mampang ini. Para pekerja yang bekerja
di gedung-gedung perkantoran di sekitar Gatot Subroto, Tendean dan Mampang banyak yang
tinggal di kos-kosan atau rumah-rumah kontrakan.
Masyarakat Mampang cukup kuat religiusitasnya. Masjid dan mushola bertebaran di perkampungan
dalam jarak yang cukup berdekatan, dengan menara-menara dan kubah yang dapat disaksikan dari
atas jembatan penyeberangan jalan tol Gatot Subroto. Aktivitas keagamaan berlangsung semarak
di mesjid-mesjid, di kalangan ibu-ibu dengan pengajian majelis taklim, dari waktu subuh hingga
selepas isya, bahkan pada hari Minggu sering diadakan pemberian sumbangan oleh para
dermawan kepada masyarakat kurang mampu yang disalurkan melalui pengurus mesjid. Di
Mampang juga terdapat sekolah Islam yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat, dan
hampir semua warga Mampang dulunya menyekolahkan anak-anaknya di sana. Para orang tua
merasa bahwa sekolah Islam di bawah naungan Yayasan Al-Khairiyah ini cukup memberikan porsi
yang seimbang antara pendidikan umum dengan pendidikan agama.
Selama Orde Baru, kawasan Mampang Prapatan menjadi basis kuat PPP. Pada 21 Mei 1997,
masa ketika gejolak keresahan sosial dan atmosfir melawan kediktatoran Orde Baru pascakerusuhan 27 Juli 1996 menemukan momentumnya dengan ajang kampanye Pemilu 1997, massa
pendukung PPP yang mendapat energi baru dengan luasnya propaganda “Mega-Bintang-Rakyat”-koalisi antara kalangan pro-demokrasi, PDI pro-Mega, dan PPP--merusak atribut-atribut Golkar, dan
berniat bergabung dengan konvoi massa yang memenuhi jalan-jalan ibukota hari itu, terutama di
92
93
Diungkapakan oleh Ibu Ponirah
Diungkapkan oleh Ibu Sri
seputaran Jalan Otto Iskandardinata, Dewi Sartika, Pasar Minggu, Duren Tiga, Pondok Pinang dan
Tanah Abang. Tersebar kabar bahwa tiga anggota PPP dipukuli aparat di kawasan Pancoran dan
ditahan di kantor polisi. Massa yang marah mengepung kantor polisi dan membakar ban-ban bekas,
hingga akhirnya dibubarkan aparat dengan gas air mata dan tembakan peluru karet. Massa
berlarian hingga ke Warung Buncit. Di Mampang sendiri, pasukan anti huru-hara berhasil mendesak
massa hingga ke depan kantor harian Republika.
Pasca-reformasi, dukungan kepada partai-partai lebih bervariasi, tetapi masih dalam spektrum
Islam. Pada Pemilu 2004, seiring peningkatan drastis dukungan kepada PKS di DKI Jakarta--di
mana PKS berhasil meraih posisi pertama di ibukota RI ini, disusul Partai Demokrat--kawasan
Mampang maupun Jakarta Selatan pada umumnya dikuasai oleh PKS. Jika pada pemilu tahun
1999, PKS Jakarta Selatan hanya bisa meraih 55.692 suara, lima tahun kemudian suara yang
diperoleh meningkat menjadi 274.837 suara, atau 493%--nomor dua dalam hal persentase
kenaikan setelah Jakarta Barat (513%), dan di atas Jakarta Timur (433%), Jakarta Pusat (372%)
dan Jakarta Utara (372%). Untuk keseluruhan DKI Jakarta, suara tertinggi PKS diraih di kecamatan
Mampang Prapatan dengan kisaran 33%, meskipun Jakarta Timur PKS menempati nomor satu
dengan perolehan 30,9% suara. Hampir secara kebetulan, kantor DPP PKS sendiri terletak di Jalan
Raya Mampang Prapatan.
Kelompok-kelompok Islam lain juga berusaha membangun basis di kawasan Mampang melalui
penguasaan terhadap aktivitas di mesjid-mesjid, khususnya kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
yang posisi politiknya sering berseberangan dengan PKS.
II.
Profil Konstituen
Informan di Mampang kebanyakan adalah lapisan menengah bawah perkotaan, dengan ikatan
sosial keagamaan yang cukup kuat. Selain menjadi ibu rumah tangga, mereka juga mengajar di
lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD), yakni ibu Zainah dan Amaliyah atau di taman
pendidikan Al-Qur’an (TPA) seperti Ibu Urzilah, hanya Katisah yang bekerja di instansi swasta.
Mereka juga aktif di pengajian dan majelis taklim, serta arisan RT/RW dan PKK. Mereka adalah Ibu
Zainah, Amaliyah, Urzilah, Katisah dan Kurniawati. Termuda berusia 26 tahun, paling tua 53 tahun.
Suami mereka bekerja sebagai guru, wiraswasta dan pensiunan yang kemudian berwirausaha.
Jumlah anak mereka masing-masing berkisar 1-4 orang, dan satu orang yakni ibu Katisah belum
menikah. Dengan latar belakang pendidikan yang cukup tinggi hingga tingkat sarjana, dan
pendapatan suami yang relatif mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, para ibu ini
mempunyai tingkat kesadaran yang cukup tinggi dalam melihat persoalan sosial ekonomi yang ada.
Dalam proses wawancara, mereka bisa mengungkapkan dengan panjang lebar pandangan mereka
tentang kesulitan hidup yang dirasakan oleh masyarakat pada umumnya dan konsepsi serta
harapan mereka kepada para pemimpin perempuan.
III.
Kondisi Sebelum dan Pasca Reformasi 1998
1. Perbandingan sosial-politik
Keberhasilan rejim Orde Baru mengendalikan stabilitas ekonomi dan kontrol sosial yang ketat
secara top-down dinilai sebagai kelebihan era sebelum reformasi. “Harga sembako nggak pernah
naik-naik seperti saat ini”94, tutur salah seorang ibu. “Sama rakyat dia (Suharto - penulis) care, tahu
yang rakyatnya mau, bisa mengayomi rakyat, tidak seperti sekarang ini”95, kata ibu yang lain.
94
95
Diungkapkan oleh Ibu Zainah.
Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah.
Sedangkan era setelah reformasi ”sosial ekonomi sekarang makin buruk”96, karena “semuanya
serba mahal dan sulit didapat”97, padahal “harapannya reformasi lebih baik, malah makin buruk,
reformasi nggak ada hasilnya”98.
Mengenai otoriterisme Suharto, seorang ibu menilai bahwa, “...kewibawaan pemimpin ada,
dihormati bawahannya, nggak ada yang berani melawan pemimpin, sekarang terlalu berani seperti
nggak ada jarak antara pemimpin dengan bawahannya”99. Ibu yang lain menilai sebaliknya, pasca
Suharto “kebebasan berpendapat lebih baik sekarang, tiap hari orang demo bebas menyampaikan
pendapat di muka umum”100.
Tetapi dalam hal kepemimpinan perempuan, seorang ibu mengakui bahwa era reformasi
memberikan tempat bagi perempuan seperti Megawati untuk menjadi seorang presiden. “Benerbener terlihatlah bahwa perempuan itu ingin maju, tidak ingin ditindas, aku bisa untuk
perempuan”101, demikian pendapatnya.
2. Persoalan sosial-ekonomi
Sebagai ibu rumah tangga dan sering berkumpul bersama ibu-ibu RT/RW dalam pengajian majelis
taklim, para ibu yang menjadi informan paling merasakan dampak kenaikan harga BBM dan
naiknya harga-harga kebutuhan pokok, serta biaya pendidikan anak-anak yang makin mahal.
“Dalam setahun bisa dua tiga kali naik, sementara pendapatan segitu aja, besar pasak dari pada
tiang,”102 komentar seorang ibu. “Minyak tanah dan bahan makanan seperti telur dan ayam itu naiknaik terus, dulu Rp.8.000,- dapat sekilo sekarang cuman dapat setengah kilo, naik dua kali lipat,”103
kata ibu yang lain. “Minyak tanah sudah langka dan harganya mahal, sampai 11 ribu,”104 ibu yang
lain menambahkan. Ibu yang mempunyai toko kelontongan sendiri mengaku “saya kaget, harga di
pasar naik terus lha terus mau dijualnya berapa, yang beli selalu bilang kok harganya naik terus,
yah saya bilang dipasar juga naik terus”105.
Kenaikan harga BBM dipandang sebagai sumber persoalan, karena semua gerak perekonomian
membutuhkan BBM, bahkan dirasakan di persoalan pendidikan--meskipun pemerintah berulangulang mengatakan bahwa pendidikan digratiskan—namun kenyataannya banyak beaya di luar SPP
yang harus dibayar anak-anak sekolah, seperti buku-buku pelajaran, privat dan kegiatan ekstra
kurikuler. Di sektor kesehatan, meskipun diakui fasilitasnya cukup baik, namun masalahnya akses
masyarakat ke sana tidak merata. Ada puskesmas yang relatif murah, tetapi dirasakan
pengurusannya berbelit-belit, lebih mudah di dokter umum. Seorang ibu menambahkan persoalan
mahalnya lahan pemakaman di Mampang yang mencapai Rp 1.500.000 bahkan untuk urusan
orang meninggal pun serba mahal.
96
Diungkapkan oleh Ibu Urzilah.
Diungkapkan oleh Ibu Kurniawati.
98
Diungkapkan oleh Ibu Katisah.
99
Diungkapkan oleh Ibu Zainah.
100
Diungkapkan oleh Ibu Katisah.
101
Diungkapkan oleh Ibu Zainah.
102
Diungkapkan oleh Ibu Zainah.
103
Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah.
104
Diungkapkan oleh Ibu Katisah.
105
Diungkapkan oleh Ibu Kurniawati.
97
Mereka juga mengeluhkan seringnya terjadi kelangkaan barang-barang yang sangat dibutuhkan di
rumah tangga seperti gas, dan terutama minyak tanah. Rencana pemerintah untuk menghapuskan
sama sekali subsidi semua jenis bahan bakar, khususnya pengalihan minyak tanah ke gas elpiji,
membuat persoalan energi terus-menerus menghantui para ibu-ibu rumah tangga hingga beberapa
tahun ke depan. Jika sebelumnya warga menggunakan minyak tanah, kini dipaksa untuk berganti
ke elpiji, sementara harga elpiji masih terus bergerak naik mengikuti skema pengurangan subsidi
menuju harga pasar. Hal ini membuat para pedagang bingung, seperti diungkapkan seorang ibu
pemilik toko: “Saya memang tidak jualan gas, tapi sering juga orang tanya jual gas nggak bu,
karena udah cari dibeberapa tempat disini sering habis dan tidak ada stok.”106 Dan di tengah
ketidakpastian terhadap laju kenaikan harga, aksi borong maupun penimbunan oleh distributor
untuk meraup keuntungan selisih harga, menimbulkan kelangkaan yang menyengsarakan para ibu
rumah tangga.
Keresahan ini sangat mungkin menimbulkan tekanan psikologis, dan dengan pandangan
religiusnya seorang informan, mengungkapkan kepasrahannya kepada Tuhan, “Yah gimana yah
kalau ibu, misal kalau yang lain ribut soal kenaikan harga, kalau ibu mikir zamannya memang sudah
begitu yah kita ikutin saja, karena kalau nggak begitu kita bisa stress, kita lihat banyak yang stress,
bunuh diri, ngeri itu. Makanya kalau saya menganjurkan ke ibu-ibu di pengajian jangan terlalau
dibingungin ini naik itu naik, memang di dunia ini ada yang mimpin tapi di dunia inikan ada Allah
yang mimpin jadi kita berserah diri pada Allah. Kita lihat sudah banyak yang demo, tapi didengarkan
nggak sama yang mimpin, nggak kan... Kita yakin saja bahwa mereka yang di atas itupun akan
berakhir juga, yang penting kita hidup mulia saja di masyarakat.”107 Pandangan ini mencerminkan
apatisme politik yang kuat, mengingat kegagalan aktor-aktor sosial yang sering menyuarakan
protes-protes rakyat, misalnya melalui aksi-aksi demonstrasi tetapi tidak kunjung menghasilkan
perubahan yang signifikan, seperti tidak didengarkan oleh para pemimpin.
IV.
Perkenalan dengan Politisi
Kebanyakan ibu yang menjadi informan dapat menyebutkan sejumlah nama politisi perempuan
seperti mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Khofifah Indar Parawangsa, Menteri
Kesehatan Siti Fadhilah Supari, aktris/selebritis yang duduk di DPR seperti Marissa Haque dan
Angelina Sondakh, atau tokoh agama perempuan seperti Hj Tuty Alawiyah. Nama-nama politisi
perempuan itu sering muncul di televisi, seperti Menkes Siti Fadhilah Supari dalam kasus flu
burung, tetapi pengetahuan mereka sebatas apa yang diberitakan media massa. Kebanyakan di
antara tokoh itu tidak pernah turun ke basis, atau hanya tertarik pada aspek tertentu seperti
pelestarian seni batik yang dilakukan oleh Angelina Sondakh.
“Yang paling sering terjun ke masyarakat ya ibu Khofifah,” tutur salah seorang ibu, “ia sering
mengadakan pengajian dan memberikan bantuan di Pengadegan (Jakarta Selatan), memang saya
lihat langsung soalnya kakak saya tinggal di sana.”108 Tapi, ibu yang lain menimpali, “sekarang ibu
Khofifah pulang ke Jawa Timur untuk mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur”109, sehingga
aktivitasnya di Jakarta semakin berkurang.
Bahkan pada musim pemilu pun, hampir tidak ada calon-calon anggota legislatif yang datang dalam
kampanye di Mampang. “Orang datang ke TPS memilih karena pemilih konvensional, ikut keluarga
106
Diungkapkan oleh Ibu Kurniawati.
Diungkapkan oleh Ibu Urzilah.
108
Diungkapkan oleh Ibu Zainah.
109
Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah dan Ibu Urzilah.
107
yang milih PPP jadi ikut,”110 kata ibu yang menjadi pegawai swasta. Mampang adalah basis
tradisional partai-partai Islam, dulu PPP, sekarang PKS.
V.
Komunikasi dan Partisipasi Politik
Seperti halnya pengenalan para ibu terhadap para politisi, pemahaman mereka tentang komunikasi
para politisi dengan konstituennya hanya sebatas apa yang mereka saksikan lewat media massa
khususnya televisi. Seperti penuturan salah seorang ibu, “Yang saya lihat lumayan sosialisasinya
itu Menteri Kesehatan (Siti Fadhilah Supari), misal untuk kasus ‘manusia akar’ dan kasus suami
yang minta disuntik mati saja istrinya, dia terjun langsung.”111 Kedua kasus itu pernah menjadi
sorotan media massa dan menyedot perhatian masyarakat. Sedang ibu lainnya, mengaku pernah
mengikuti seminar yang menghadirkan Siti Fadhilah dan juga Khofifah, dan memandang mereka
“sosoknya tegas, tapi kalau skala besar saya kurang yakin”112.
Tidak adanya hubungan yang erat antara pemimpin dan basis konstituen, dan ketiadaan wadah
penggerak partisipasi warga--khususnya setelah runtuhnya Orde Baru dengan kontrol yang
mengakar hingga ke tingkat ibu-ibu rumah tangga melalui PKK atau Dharma Wanita--membuat para
ibu ini hanya mengandalkan struktur-struktur lokal yang ada khususnya majelis taklim sebagai
sarana berkumpul. Ibu Urzilah aktif di organisasi Muslimat NU setempat, tetapi mengaku tidak bisa
terlalu aktif karena masih harus mengurus urusan rumah tangga, menyisakan kelelahan dan ongkos
yang harus dikeluarkan untuk aktif dalam organisasi.
VI.
Kekritisan terhadap Politisi
Sebatas mengenal politisi dari media massa, dan aktivitas sosial kemasyarakatan yang terbatas
tanpa upaya para pemimpin untuk mengorganisasikan partisipasi masyarakat, membuat para ibu ini
bersikap skeptis terhadap para politisi. Bahkan sosok yang sebelumnya dipercaya, seperti pilihan
seorang ibu, “kebetulan ada yang laki seperti Saifudin Amsi jadi saya pilih dia kemarin (sebagai
anggota DPD), soalnya saya tahu karena sering ngisi pengajian”113, kini lebih disibukkan dengan
aktivitas di dewan alih-alih berhubungan dengan konstituen. Gambaran umum seperti para pejabat
yang “korupsi di mana-mana, hanya memikirkan diri sendiri nggak mikirin rakyat kecil, bagaimana
dia menumpuk kekayaan nggak ngelihat ke bawahnya ketika dia minta dipilih sama rakyat,”114 atau
seperti cerita ibu yang lain, “dulu pas zaman Bu Mega, saya punya anggota pengajian banyak ibu
pedagang, kalau bu Mega lewat semua harus bersih, gerobak langsung digusur”115, begitu melekat
dalam benak para ibu, bagian dari massa apatis di kalangan kelas menengah perkotaan.
Religiusitas yang melingkupi masyarakat setempat kembali menjadi saluran apatisme politik,
dengan meyakini bahwa para pemimpin yang telah menzalimi rakyat tidak akan mendapat restu
dari Tuhan, bahwa mereka hanya bisa berpasrah diri dan mengembalikan semuanya kepada
kehendak Tuhan. Pesan-pesan moral semacam ini sering menjadi isi propaganda partai-partai dan
organisasi-organisasi Islam dalam mengumpulkan massa pendukungnya, melalui pengajianpengajian dan tablig akbar, dan mengarahkan mereka untuk memberikan dukungan saat pemilu,
meyakini bahwa para pemimpin umat itu berjuang di jalan Tuhan, tanpa mereka mengerti
110
Diungkapkan oleh Ibu Katisah.
Diungkapkan oleh Ibu Zainah.
112
Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah.
113
Diungkapkan oleh Ibu Zainah.
114
Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah.
115
Diungkapkan oleh Ibu Urzilah.
111
konteksnya bahwa para elit agamawan itu pun tak lebih hanya memberi legitimasi spiritual kepada
penguasa dan sistem ekonomi yang menyengsarakan rakyat.
VII.
Konsep Kepemimpinan
1. Kepemimpinan pada umumnya
Bertanggung jawab kepada rakyat, menjadi konsep yang dibayangkan para ibu tentang arti
kepemimpinan. Menurut salah seorang ibu, para pemimpin haruslah “mempunyai dedikasi yang
tinggi, berwibawa, dan rajin melakukan sosialisasi kepada rakyat, tidak hanya mengumbar-umbar
janji belaka, tidak meninggalkan rakyat setelah terpilih menjadi pemimpin”116. Pembelaan kepada
rakyat merupakan bentuk tanggung jawab seorang pemimpin, begitu pendapat ibu yang lain, bahwa
“pemimpin harusnya bisa mengayomi rakyatnya, bisa membela rakyat jika bermasalah, bisa
menghibur rakyat jika sedang susah jadi nggak hanya bisa nunjuk-nunjuk aja, harus ada
komunikasi dua arah, jadi pemimpin itu bisa menjadi seperti teman, sahabat, orang tua. Rakyat kan
sedang susah tapi nggak ada yang ngasih solusi, tapi kan saat ini tidak seperti itu, rakyat dibiarkan
nyari sendiri solusinya.”117 Keteladanan juga merupakan bagian dari konsepsi kepemimpinan,
seperti penuturan ibu lainnya lagi, bahwa pemimpin harus ”bisa menjadi contoh dan jadi suri
teladan”118.
Konsep-konsep yang bernada moralis ini sesuai dengan cara pandang religiusitas keislaman.
Konsep kepemimpinan dalam Islam sangat kental dengan jargon-jargon keteladanan, diturunkan
dari konsep imamat atau khilafah, sebagai penerus kepemimpinan kenabian. Tapi bagaimana
konsep moral itu dilaksanakan dalam praktik sosial dan politik sering dihadapkan pada
kesenjangan, ketika pemimpin-pemimpin Islam yang ada saat ini--tercermin dari partai-partai Islam
di kabinet SBY-JK dan parlemen--justru memilih berkolaborasi dalam melahirkan kebijakan yang
menyengsarakan rakyat.
Sedangkan ibu yang pegawai swasta melihat kepemimpinan dari aspek kemasyarakatan,
“Pemimpin nggak cuma di politik tapi bagi saya semua orang itu pemimpin, juga di rumah,
meskipun ibu rumah tangga juga memimpin keluarga, mengatur keluarga berjalan dengan baik, itu
fungsi manajerial juga. Berikutnya setelah memimpin keluarga, baru di komunitas, kayak ada RT
perempuan, justru yang perempuan lebih aktif daripada laki-laki, seperti kesehatan, PKK. Pemimpin
itu orang yang memimpin kita, jadi tauladan dan contoh yang baik dan mengerti permasalahan yang
dihadapi anggota atau rakyatnya.”119
2. Kepemimpinan perempuan
Pada umumnya mereka meyakini baik perempuan maupun laki-laki bisa menjadi seorang pemimpin
asalkan memenuhi kualitas yang dibutuhkan, dan perempuan tidak kalah dengan laki-laki dalam hal
kepemimpinan. Referensi dalam sejarah Islam menunjukkan banyak perempuan yang tampil ke
depan, seperti dicontohkan seorang ibu, “pemimpin perang juga ada perempuan seperti Siti Aisyah
(isteri Nabi Muhammad)”120.
116
Diungkapkan oleh Ibu Zainah.
Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah.
118
Diungkapkan oleh Ibu Urzilah.
119
Diungkapkan oleh Ibu Katisah.
120
Diungkapkan oleh Ibu Urzilah.
117
Tetapi peran ganda perempuan dalam struktur sosial patriarkhal masih menjadi titik tolak konsep
para ibu tentang kepemimpinan perempuan. Meskipun “sekarang emansipasi”121, kata ibu yang lain,
telah membebaskan perempuan untuk bisa maju menjadi “pemimpin di masyarakat, tapi tidak bisa
melupakan kodrat di rumah sebagai pemimpin kedua”122, sebagai ibu rumah tangga. Perempuan
dianggap harus mengutamakan rumah tangga terlebih dulu sebelum berkiprah di luar rumah.
Karena itu, untuk menjadi seorang pemimpin dalam lingkup yang lebih luas harus mempunyai
dedikasi tinggi, artinya harus membereskan dulu urusan rumah tangga, sebagai aspek terkecil dari
kepemimpinan dalam masyarakat. Keberhasilan mengurus rumah tangga menjadi prasyarat untuk
berhasil memimpin di masyarakat. “Nanti akan ada celetukan, di rumah tangganya aja dia begini,
gimana kalau memimpin,” tuturnya lagi, “Ada perempuan yang mentingin karir lalu rumah
tangganya berantakan, dinomorduakan, anaknya jadi anak baby sitter”123. Dualisme peran
perempuan ini menjadi dilema tersendiri bagi seorang perempuan untuk maju ke depan.
Pengalaman pribadi seorang ibu misalnya, “jika saya memimpin sebuah lembaga, saya akan sibuk
ngatur orang, maka kerasa saya akan melalaikan anak-anak saya, pekerjaan rumah tangga saya.
Jika saya sibuk mana mungkin kepegang semua, karena anak dan rumah tangga akan terabaikan.
Pasti akan ada yang dikorbankan”124.
Karena itu, mereka menganggap perempuan agak sulit untuk maju mengisi jabatan-jabatan dalam
pemerintahan seperti menjadi lurah, camat, bupati, anggota parlemen, atau bahkan presiden.
Mereka lebih setuju peran kepemimpinan dalam lingkup yang lebih kecil, dalam organisasiorganisasi komunitas lokal, seperti pengajian yang biasa digeluti selama ini. Ibu yang pegawai
swasta mencontohkan sosok ketua RT perempuan di lingkungannya yang justru lebih aktif dan
mudah berkomunikasi dengan masyarakat ketimbang ketua RT yang laki-laki.
Keteladanan, sebagai nilai-nilai utama kepemimpinan, akan sulit ditampilkan seorang perempuan
yang berkiprah di masyarakat ketika ternyata harus mengorbankan urusan rumah tangga, aspek
yang menurut mereka menempati prioritas pertama. Peran domestik seorang perempuan
sebenarnya bisa menjadi keunggulan tersendiri jika dapat dikelola dengan baik. Di banyak
perkampungan, termasuk di kawasan Mampang, banyak ibu yang tidak mempunyai aktivitas
sampingan selain urusan-urusan domestik. Sebagian melibatkan diri dalam aktivitas pengajian.
Padahal jika diorganisasikan dengan baik, para ibu ini bisa menjalankan program-program sosial
kemasyarakatan yang lebih baik, pengasuhan bersama anak-anak misalnya, seperti dilakukan para
ibu-ibu ini dalam lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) atau taman pendidikan Al-Qur’an
(TPA) yang bisa disejajarkan dengan taman kanak-kanak (TK).
VIII.
Nilai yang Harus Dipegang
Perempuan layak untuk menjadi seorang pemimpin sama halnya dengan laki-laki, karena syaratsyarat kepemimpinan seperti “berwawasan luas, mampu di bidangnya, punya jiwa kepemimpinan
(bijaksana), berdedikasi tinggi”, diyakini seorang ibu, “nggak cuma dimiliki pemimpin laki-laki.”125
Kepemimpinan perempuan bahkan dinilai lebih peka kepada rakyat ketimbang laki-laki, mengingat
peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang lebih mengerti bagaimana uang harus
dibelanjakan. “Sekarang kita butuh pemimpin yang sensitif, kalau yang pintar banyak,” ibu yang lain
menambahkan, “banyak orang pintar tapi korupsi, nggak membantu rakyat, dan tidak sensitif
121
Diungkapkan oleh Ibu Zainah.
Diungkapkan oleh Ibu Zainah.
123
Diungkapkan oleh Ibu Zainah.
124
Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah.
125
Diungkapkan oleh Ibu Zainah.
122
dengan rakyat, menurut saya pemimpin itu harus sensitif dengan yang dialami rakyat. Terutama
karena saya perempuan, yang berpihak kepada perempuan.”126
Syarat keimanan kepada Tuhan tidak luput ditambahkan oleh ibu lainnya lagi, “karena kalau nggak
beriman dia akan bisa melakukan apa saja tanpa takut dengan Tuhannya, kalau nggak dia bisa
melakukan apa saja tanpa takut balasan dari Tuhan”127. Konsep “tanggung jawab moral” yang
ditujukan kepada Tuhan mencerminkan pandangan religiusitas yang bisa disejajarkan dengan
“kontrol sosial”, hanya saja apatisme mereka dengan para politisi yang bisa seenaknya berbuat
korupsi dan kezaliman menguatkan pandangan idealis keagamaan.
IX.
Peran Pendidikan
Pendidikan tinggi tidak menjadi syarat khusus kepemimpinan, yang penting mempunyai wawasan
luas, pengetahuan yang cukup dan kebijaksanaan. Seseorang yang berpendidikan tinggi belum
tentu mempunyai kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin. “Pendidikan mungkin
salah satu untuk melengkapi, walau saya percaya tiap orang punya talenta, yang penting
peningkatan kapasitas yang dimiliki perempuan, jika diberi kesempatan untuk memimpin bisa
meningkat kapasitasnya,”128 demikian pendapat seorang ibu.
X.
Fungsi dan Tugas Politisi
Meskipun tidak mengerti secara pasti fungsi dan tugas yang harus diemban seorang pemimpin,
tetapi para ibu meyakini bahwa pemimpin bertugas untuk membawa aspirasi rakyat, khususnya jika
ia seorang anggota DPR maka dijadikan bahan rembuk dalam forum-forum dewan. Karena dipilih
oleh rakyat, maka tugas pemimpin adalah membela rakyat terutama yang sedang mengalami
kesulitan, dengan menyusun program-program yang berorientasi kesejahteraan rakyat. “Karena
saya perempuan, kebutuhan sebagai perempuan juga terwakili,” demikian pendapat seorang ibu.
XI.
Tanggung Jawab Politisi
Tanggung jawab kepada konstituen yang telah memilih diwujudkan dengan menyuarakan aspirasi
rakyat, tidak melupakan janji-janji saat kampanye. Untuk persoalan-persoalan spesifik perempuan
seperti soal KDRT, pelecehan seksual dan PSK, seorang ibu mengatakan lebih “mendukung kalau
perempuan yang melakukan penanganan (karena) kalau perempuan sama perempuan sharingnya
akan lebih dekat, terbuka, (sedang) kalau diserahkan ke laki-laki takutnya malah dimanfaatkan”129.
Pemimpin juga harus cepat tanggap dalam mengatasi persoalan-persoalan rakyat, seperti
dicontohkan ibu yang lain, “untuk urusan TKI kok nggak cepat ditangani”130, padahal seharusnya
para pemimpin bisa berjuang untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, “biar nggak usah
ke luar negeri”131.
126
Diungkapkan oleh Ibu Katisah.
Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah.
128
Diungkapkan oleh Ibu Katisah.
129
Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah.
130
Diungkapkan oleh Ibu Urzilah.
131
Diungkapkan oleh Ibu Urzilah.
127
XII.
Harapan Konstituen
Kepada para pemimpin perempuan, para ibu mengharap mereka bisa “membawa aspirasi
perempuan, karena dia berdiri disitu atas nama perempuan juga”132, khususnya dalam masalah
pengendalian harga-harga kebutuhan pokok dan menurunkan beaya pendidikan. “Harapannya lebih
dapat menjawab kebutuhan perempuan, misal bagaimana calon-calon perempuan di parlemen bisa
paling nggak tahu dulu deh yang jadi kebutuhan perempuan kayak makan, kebutuhan dasar,
sembako, soal kesehatan, bahan bakar, terus soal pendidikan, kesehatan, itu bagaimana bisa
betul-betul sesuai kebutuhan perempuan dan rakyat selama ini susah mengakses,”133 ibu yang lain
menjelaskan. “Lebih memperhatikan kesulitan rakyat saat ini,”134 ibu yang lain menambahkan.
Para pemimpin diharapkan bisa menyerap aspirasi dan diturunkan dalam program-program yang
membasis, menciptakan komunikasi dua arah. “Yang ada malah kalau datang ngerepotin,
protokoler sibuk-sibuk, datang cuman 10 menit, bikin kita repot aja, tapi masalah utamanya nggak
tergali, malah bikin repot aja”135, komentar sinis seorang ibu.
Mereka juga diharapkan dapat membawa kemajuan bangsa dalam meluaskan pendidikan dan
menciptakan lapangan kerja. “Kalau ada lapangan kerja, mereka bekerja, akan ada penghasilan,
anak-anak bisa bersekolah dan mereka juga bisa beribadah dengan tenang,”136 kata ibu yang lain.
Dengan latar belakang religiusitasnya, mereka berharap Tuhan bisa menghadirkan pemimpin
seperti mereka harapkan. Mereka sudah bersikap apatis dan tidak percaya dengan pemimpinpemimpin sekarang yang melupakan rakyat setelah terpilih.
132
Diungkapkan oleh Ibu Zainah.
Diungkapkan oleh Ibu Katisah.
134
Diungkapkan oleh Ibu Kurniawati.
135
Diungkapkan oleh Ibu Amaliyah.
136
Diungkapkan oleh Ibu Urzilah.
133
A.5. TANJUNG DUREN, JAKARTA BARAT
I.
Konteks Geopolitik
Luas wilayah Jakarta Barat adalah 129.54 km2 (terkecil kedua setelah Jakarta Pusat). Pada tahun
2007 penduduknya berjumlah 2.172.878, dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 16.774
jiwa/km2 (terpadat kedua setelah Jakarta Pusat). Selisih antara perempuan dan laki-laki sebesar
19.834 jiwa (1.076.522 laki-laki dan 1.096.356 perempuan). Pertumbuhan penduduk antara tahun
2000 hingga 2007 meningkat sebesar 1,9% (tertinggi kedua setelah Jakarta Selatan).
Secara administratif, Jakarta Barat terdiri dari 8 kecamatan yang terbagi dalam 56 kelurahan dan
tersebar dalam 578 RW dan 6.401 RT. Kota Jakarta Barat sedang menjadi incaran pembangunan
properti setelah menyempitnya lahan di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan atau pesisir utara
Jakarta. Heboh rencana penggusuran besar-besaran di Meruya beberapa waktu lalu menunjukkan
minat tinggi para developer mengembangkan pembangunan properti di Jakarta Barat. Apalagi jika
pembangunan jalan tol Lingkar Luar Jakarta (JORR) antara Ulujami hingga Penjaringan selesai,
yang akan menjadi jalur tercepat menuju Bandara Soekarno-Hatta.
Jumlah rumah tangga miskin di Jakarta Barat pada tahun 2004 sebesar 14.787 atau 55.915 jiwa.
Dan Kampung Guji Baru (Tanjung Duren) adalah perkampungan rakyat miskin kota di Jakarta Barat
yang pernah terancam digusur pada tahun 2004. Warga melawan dengan menggelar demonstrasi
dan tekanan kepada pemerintah, dengan wadah organisasi Persatuan Rakyat Tergusur (PRT).
Setelah berhasil menggagalkan rencana penggusuran, para pemuda setempat mengorganisir diri
dalam perkumpulan Laskar Pemuda Rakyat Miskin (LPRM) yang kemudian bergabung dalam
tingkat nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI). Para pemuda ini berhasil mengajak warga
terutama para ibu untuk menuntut pembagian BLT dan melakukan pendampingan untuk mengurus
layanan kesehatan rakyat miskin di rumah-rumah sakit--yang biasanya sulit dilakukan jika tidak ada
tekanan dan pendampingan. Mereka juga membuka sanggar belajar untuk anak-anak dan
membuka perpustakaan yang menyediakan bacaan dan terutama buku-buku pelajaran yang sulit
dibeli dengan pendapatan orang tua yang tidak memadai.
Terletak di sisi jalan tol Jakarta-Merak, berdekatan dengan kompleks perumahan Tanjung Duren
dan pusat-pusat properti seperti Mal Taman Anggrek dan Mal CitraLand, warga Guji Baru
menempati kawasan sempit yang dibatasi oleh Kali Sekretaris yang berbau busuk dan kehitaman.
Lokasi ini secara administratif masuk kelurahan Duri Kepa, kecamatan Kebon Jeruk (Jakarta Barat).
Sepotong kecil wilayah terletak di antara Kali Sekretaris dan jembatan layang di atas tol (Jalan
Tanjung Duren) yang masuk kelurahan Tanjung Duren Utara, kecamatan Grogol Petamburan
(Jakarta Barat). Sebagian warga hidup dari mengumpulkan barang bekas. Sisanya menjadi
pedagang makanan keliling atau pekerjaan sektor informal lainnya, sedang para pemudanya ratarata menganggur. Mereka menempati rumah-rumah sempit yang hanya terdiri dari satu ruangan
dan kamar mandi, sebagian di antaranya dibangun vertikal, beberapa di antaranya hanya dengan
konstruksi kayu yang rawan kebakaran. Jalan di kampung kebanyakan adalah gang-gang sempit,
sebagian sangat sempit di antara rumah-rumah, dan hampir gelap karena cahaya matahari tak
pernah mencapai tanah terhalang tembok-tembok bangunan. Warga--para pemuda, ibu-ibu, anakanak dan orang dewasa--hidup berjejal mengais-ngais rezeki di ibukota yang tidak ramah.
Sedang daerah Kapuk adalah kawasan industri lama Jakarta yang sedang menuju kehancuran,
berubah menjadi kawasan pergudangan. Pabrik-pabrik berdiri sepanjang Jalan Raya Kapuk antara
Cengkareng dan Kota, yang hanya mempunyai dua lajur tetapi dilalui oleh kendaraan niaga,
angkutan umum dan truk-truk peti kemas, dan kemacetan luar biasa selalu terjadi pada jam-jam
sibuk. Pabrik PT Istana Magnoliatama terletak 100 meter dari Jalan Raya Kapuk, berdiri sejak 1980
dengan nama CV Melody yang waktu itu berada di daerah Pluit, Penjaringan. Total buruhnya 1000
orang, 85%-nya adalah perempuan, dengan 460 orang berstatus buruh tetap dan 540 orang buruh
kontrak. Sejak 1998 berdiri serikat pekerja tingkat perusahaan, tetapi tidak pernah berfungsi
membela kepentingan buruh, sehingga buruh lebih memilih bergabung dengan serikat buruh baru
yang dibentuk pada 2006, yaitu Serikat Buruh Karya Utama (SBKU). Pihak manajemen perusahaan
berusaha melakukan intimidasi dan mutasi terhadap 266 anggota dan pengurus serikat. Pada 5
September 2006, salah seorang pengurus dihukum dengan disuruh duduk di kantin pabrik tanpa
bekerja, dan 9 orang lainnya tidak boleh lembur. Pada Mei 2007, perusahaan menawarkan
pengunduran diri kepada 46 orang buruh yang dianggap sudah tidak produktif lagi, yaitu mereka
yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun. Semuanya menolak. Pada 17 Juli 2007 setelah makan
siang, pihak manajemen mengumumkan penutupan operasional pabrik, dan direspon para buruh
dengan melakukan pendudukan pabrik. Pada 25 Juli 2007 perusahaan menyebarkan formulir
pengunduran diri kepada seluruh buruh dengan ancaman jika menolak tidak akan mendapat apaapa dan uang Jamsostek tidak bisa diambil. Hampir 70% buruh menerima tawaran, tapi seluruh
anggota SBKU menolak. Pada 31 Juli 2007 perundingan tripartit dimulai dengan fasilitator
Sudinaker Jakarta Utara.
Selama proses perundingan yang berjalan satu tahun--dan dimenangkan oleh pihak buruh--pabrik
dibiarkan oleh perusahaan begitu saja, meninggalkan mesin-mesin, bahan baku, peralatan kantor
dan bahkan beberapa kendaraan operasional, sebagian di antaranya sempat tergenang banjir.
Sebanyak 85 buruh yang bertahan di pabrik, hampir seluruhnya perempuan, dan sebagian besar
tidak bekerja lagi, berusaha menghidupi diri dengan berjualan gorengan atau mengamen di
persimpangan jalan, atau dengan sokongan sebagian buruh yang sudah bekerja di pabrik lain.
II.
Profil Konstituen
Kelima perempuan yang menjadi informan berasal dari lapisan masyarakat bawah. Tiga orang
pertama (Halimah, Sulastri, Rasmiah) adalah ibu rumah tangga yang menghuni perkampungan
kaum miskin kota di daerah Tanjung Duren Jakarta Barat yang terancam digusur, sedang dua
orang terakhir (Suryati dan Siti Mualimah) adalah mantan buruh pabrik garmen di daerah Kapuk
yang terpaksa menganggur karena pabriknya ditutup secara sepihak oleh pengusaha, namun
bertempat tinggal di Tanjung Duren. Hanya Ibu Halimah yang mempunyai penghasilan sendiri
dengan menjadi pembantu rumah tangga karena suaminya sudah tua, hanya bekerja sekadarnya
dengan jual beli rongsokan. Ibu-ibu yang lain mengandalkan pendapatan dari hasil kerja suami
yang juga pendapatannya minim. Suami Ibu Sulastri misalnya, bekerja sebagai hansip/keamanan
dengan pendapatan sebulan Rp 450.000 untuk menghidupi isteri dan tiga orang anak. Hanya sekali
dalam setahun Sulastri bisa meraup sedikit penghasilan dengan bekerja menggantikan karyawan
mall Taman Anggrek yang mudik saat Lebaran. Suryati yang paling muda (28 tahun) belum
mempunyai anak, sedang yang lain mempunyai 1-3 orang anak yang rata-rata sedang menempuh
pendidikan SD hingga SMP.
Dengan hanya berlatar belakang pendidikan SD (2 orang) dan paling tinggi SMP (3 orang), sulit
bagi para ibu untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidup. Bahkan,
salah seorang yang sudah 14 tahun bekerja di pabrik pun harus menghadapi kenyataan pabriknya
ditutup, sebuah kondisi insecure dalam bekerja, di tengah-tengah situasi meluasnya praktik
outsourcing dalam hubungan kerja yang merugikan posisi tawar kaum buruh.
Meskipun menghadapi situasi yang sulit dan posisi tawar yang rendah, para ibu ini tidak patah
semangat dan tetap berjuang bersama rekan-rekannya melalui wadah organisasi. Tiga orang
pertama adalah pengurus organisasi Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) tingkat kecamatan
maupun RT, sedang dua orang terakhir menjadi anggota Serikat Buruh Karya Utama (SBKU)
tingkat pabrik. Mereka mampu menggambarkan kritisisme terhadap sistem yang ada dan para
politisi yang tidak pernah berpihak kepada rakyat dan menyimpan harapan untuk terjadinya
perubahan.
III.
Kondisi Sebelum dan Pasca Reformasi 1998
1. Perbandingan sosial-politik
Kegagalan aktor-aktor reformasi memperjuangkan kesejahteraan rakyat berbuah nostalgia
kerinduan pada masa lalu sebelum reformasi, ketika Soeharto masih berkuasa dan segala
sesuatunya serba “enak, dan cari duit gampang”137, dibandingkan dengan situasi sekarang yang
“ekonominya makin parah”138, bahkan “parah banget, semua serba mahal”139 dan “susah nyari
kerja”140.
Tetapi para informan yang semuanya berkecimpung dalam aktivitas organisasi merasakan manfaat
dari proses reformasi, yakni terbukanya ruang kebebasan berorganisasi. “Terutama dulu nggak
bebas dalam berkumpul, serba was-was, sekarang lebih bebas”141, orang-orang jadi lebih berani
menyuarakan haknya. Seorang informan malah memblejeti faktor utang yang melilit pemerintahan
zaman Soeharto yang meskipun kelihatannya “adem ayem, imbasnya (baru dirasakan)
sekarang”.142
Namun demikian, tidak berarti reformasi kebal kritik. Seorang informan menyoroti makin merosotnya
ikatan-ikatan sosial ditandai dengan meningkatnya kriminalitas dan hilangnya toleransi sosial. Pada
era Soeharto, hierarki kekuasaan yang sentralistik dan berlapis-lapis mampu menciptakan
mekanisme kontrol dari atas ke bawah, melahirkan komunikasi politik yang fenomenal seperti
Klompencapir. Era reformasi yang menggerus sentralisme menyebabkan buyarnya komunikasi dari
atas ke bawah. “Dulu dari atas masih ada bupati suka datang untuk periksa apa kegiatan
masyarakat,” demikian diungkapkan, “sekarang sama sekali nggak ada.”143 Otonomi daerah
menyebabkan banyak program-program warisan Orde Baru yang bersifat positif, meskipun tidak
sempurna dan cenderung dijalankan secara represif, menjadi terpinggirkan oleh kepentingan sesaat
para pemimpin di tingkat lokal yang mengutamakan pendapatan asli daerah untuk memperkaya diri
sendiri – kesempatan yang tidak pernah dirasakan di masa sentralisme Orde Baru. “Lima tahun
pertama setelah reformasi rasanya bagus, tapi habis itu kembali ke awal lagi. Dari 98 sampai 2002
bagus, habis itu sudah hilang reformasinya”144 , kesimpulan seorang informan.
Dalam hal kepemimpinan perempuan, salah seorang informan menilai pasca-reformasi telah
melahirkan banyak pemimpin perempuan sampai ke tingkat presiden (Megawati). “Banyak
perempuan yang berani, ilmunya sudah pinter”145, sehingga berani tampil ke depan, tidak kalah
dengan laki-laki.
137 Diungkapkan
138
oleh Ibu Sulastri.
Diungkapkan oleh Ibu Suryati.
139
Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah.
140
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
141
Diungkapkan oleh Ibu Suryati.
142
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
143
Diungkapkan oleh Ibu Suryati
144
Diungkapkan oleh Ibu Halimah.
145
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
2. Persoalan sosial-ekonomi
Semua ibu yang diwawancarai mengeluhkan parahnya persoalan ekonomi yang dihadapi rakyat,
terutama setelah kebijakan pemerintah mengkonversi minyak tanah ke gas yang menyebabkan
melambungnya harga minyak tanah. “Kita mau apa-apa susah”146, keluh salah seorang ibu. “Susah
cari uang, apa-apa mahal,”147 ibu yang lain menambahkan. Sementara kenaikan harga BBM
mendongkrak naiknya harga-harga kebutuhan pokok menyulitkan para ibu yang harus mengatur
belanja rumah tangga dari pendapatan suami yang tidak seberapa. “Tadinya duit 20 ribu bisa buat
sekolah anak-anak dan apa-apa, sekarang cuma buat biaya sekolah udah nggak bisa apa-apa
lagi,”148 kata salah seorang ibu. “Pendapatan suami saya ga mencukupi, sebulan 450 ribu, gajinya
350 ribu plus tambahan 100 ribu untuk makan sehari-hari nggak cukup. Saya sendiri nggak
kerja,”149 kata ibu yang lain.
Dua orang ibu mantan buruh PT Istana mengeluhkan kondisi kerja di pabrik-pabrik yang tidak
sepadan antara pendapatan dengan harga-harga kebutuhan pokok, terutama akibat kenaikan harga
BBM yang tidak diimbangi dengan kenaikan upah buruh. “Kondisi sekarang kayaknya gimana, kerja
juga nggak ada artinya, nggak ada harganya, sedikit banget hasilnya kerja dari pagi sampai sore
dapatnya nggak seberapa dibanding kebutuhan sehari-hari,”150 salah satu menuturkan. Pos belanja
utama mereka yaitu kontrakan dan makan semakin tergerus oleh dampak kenaikan harga BBM.
Sebelum-sebelumnya, meskipun gaji buruh rendah, harga kebutuhan pokok masih terjangkau.
“BBM naik tapi gaji buruh nggak naik, aturannya harusnya naik, biar seimbang kebutuhan dengan
gaji,”151 ibu yang lain menambahkan. Kini mereka terus-menerus menggali utang untuk menutup
pengeluaran, dan terpaksa harus berhemat untuk keperluan yang dianggap tidak terlalu mendesak.
IV.
Perkenalan dengan Politisi
Sebagian besar ibu yang diwawancarai tidak pernah mengenal secara dekat para politisi
perempuan baik di DPR, DPD, maupun DPRD DKI Jakarta atau yang duduk di eksekutif. “Nggak
tahu, pernah liat pas ada acara waktu kampanye tapi nggak kenal,”152 kata salah seorang ibu. “Ada
yang tahu paling yang artis, kalau yang orang biasa nggak tahu,” kata ibu yang lain, “tahu di TV
aja”153. Media massa terutama televisi menjadi sarana utama untuk mengenali nama-nama para
politisi atau artis yang menjadi politisi, seperti “Marissa Haque, Mooryati Sudibyo (anggota DPD),
Rieke Dyah Pitaloka, Angelina Sondakh. Kalau menteri perempuan, Menteri Keuangan Sri Mulyani,
Menkes Siti Fadilah Supari.”154 Hanya seorang ibu yang mengaku kenal baik dengan sejumlah
politisi perempuan, seperti “Ribka Tjiptaning, saya kenal waktu dulu di PDIP cabang Tangerang.
Saya juga masuk ke cabang, seksi wanita, sering ketemu kalau ada pertemuan. Ada lagi Clara
Sitompul yang dari Bandung. Ada lagi banyak kalau pertemuan di Jakarta Barat atau Tangerang.
Ada lagi yang dulu bendahara PDIP.”155
Sebagai warga negara yang dilibatkan dalam proses-proses politik demokrasi seperti pemilu, tidak
dikenalnya para politisi oleh konstituen menunjukkan fenomena elitisme, berjaraknya para politisi
146
Diungkapkan oleh Ibu Halimah.
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
148
Diungkapkan oleh Ibu Halimah.
149
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
150
Diungkapkan oleh Ibu Suryati.
151
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
152
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
153
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
154
Diungkapkan oleh Ibu Suryati dan Ibu Siti Mualimah.
155
Diungkapkan oleh Ibu Halimah.
147
dari rakyat, dalam format politik demokrasi liberal yang terbangun pasca-reformasi. Rakyat hanya
dijadikan mesin pengumpul suara pada masa kampanye, tanpa pernah benar-benar dikenali
dengan baik oleh para politisi, untuk kemudian ditinggalkan kembali setelah proses pemilu berakhir.
Salah seorang ibu mengkritik fenomena majunya para artis ke dalam kancah politik dengan sematamata mengandalkan popularitas--syarat yang dibutuhkan dalam sistem pemilihan langsung yang
berlaku saat ini--padahal mereka sama saja dengan politisi kebanyakan yang tidak pernah
merasakan apa yang dirasakan rakyat kecil di tingkat bawah.
V.
Komunikasi dan Partisipasi Politik
Organisasi SRMI Tanjung Duren termasuk cukup leading dalam membawa persoalan-persoalan
rakyat miskin sampai ke tingkat provinsi maupun pemerintah pusat. Dalam acara-acara diskusi
terbuka atau acara-acara organisasi lainnya, para politisi atau pejabat pemerintah sering diundang
datang ke perkampungan warga. “Kalau sengaja kita undang ya datang, tapi kalau tidak diundang
ya nggak datang,” ujar salah seorang ibu pengurus SRMI, “itupun harus atas nama organisasi,
bukan langsung masyarakat yang mengundang.”156 Elitisme yang menjangkiti para politisi nyata
tecermin dalam keengganan mereka untuk berinisiatif mendatangi warga, baik dalam kesempatan
resmi maupun informal, untuk menyerap aspirasi masyarakat. “Anggota DPR Komisi X pernah
datang ke Sanggar SRMI, dinas kesehatan pernah datang, itu pun karena tekanan masyarakat,”157
tambah ibu pengurus SRMI yang lain. Sementara seorang ibu pengurus SRMI lainnya lagi
mengatakan, “Nggak pernah, nggak ada (yang datang).”158
Sedangkan menurut dua orang ibu mantan buruh yang tengah berjuang melakukan pendudukan
pabrik PT Istana mengatakan sama sekali tidak pernah didatangi para politisi, bahkan untuk
sekadar menyatakan simpati dan dukungan. “Nggak ada, belum pernah (ada yang datang),”159 kata
salah seorang ibu. “Setahu saya nggak pernah,”160 kata ibu lainnya. Praktik politik demokrasi yang
berbeaya tinggi menyebabkan posisi-posisi dalam kekuasaan hanya bisa diisi oleh mereka yang
mampu membayar, atau dengan dukungan para pengusaha, menyebabkan sulitnya para politisi
untuk benar-benar serius memperjuangkan para buruh yang kepentingannya diametral dengan
kepentingan pengusaha.
Tidak diperhatikannya kondisi rakyat oleh para politisi mendorong warga untuk mengorganisasikan
sendiri perlawanannya melalui aksi-aksi demonstrasi ataupun pendudukan pabrik. Ibu-ibu pengurus
SRMI Tanjung Duren aktif mengkoordinasikan warga dalam pertemuan-pertemuan rutin di basis,
dan menjalankan program advokasi kesehatan untuk rakyat miskin di rumah sakit. Sedangkan ibuibu anggota serikat buruh SBKU PT Istana relatif baru mengenal organisasi, belum cukup banyak
mengikuti aktivitas keserikatburuhan pada umumnya. Mereka baru bergerak untuk
memperjuangkan hak-hak dasarnya untuk mendapatkan pembayaran upah selama pabrik ditutup
dan menuntut pabrik dibuka kembali serta mereka dipekerjakan seperti semula tanpa perubahan
sistem kerja menjadi buruh kontrak.
VI.
Kekritisan terhadap Politisi
Berada di lapisan terbawah tidak berarti warga tidak mengikuti proses politik yang sedang
berlangsung. Mereka dengan mudah, karena betul-betul merasakan dampaknya secara langsung,
156
Diungkapkan oleh Ibu Halimah.
Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah.
158
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
159
Diungkapkan oleh Ibu Suryati.
160
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
157
menilai buruknya kualitas pemerintahan era SBY-JK yang tanpa gentar melancarkan kebijakan
neoliberal dengan tidak mempedulikan dampaknya kepada rakyat miskin, ditandai dengan tiga kali
menaikkan harga BBM, bahkan melakukan kebijakan-kebijakan kontroversial seperti penarikan
minyak tanah untuk digantikan dengan gas, yang sangat merugikan rakyat kecil. Salah seorang ibu
bahkan bisa mengenali siapa aktor dalam pemerintahan SBY-JK yang paling bertanggung jawab
dalam menindas rakyat, “Sri Mulyani itu jahat, nggak denger sama sekali kondisi rakyat, error dia
itu!”161 Sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani berulang kali mengatakan Negara sudah merugi
triliunan rupiah, dan penghapusan subsidi kesejahteraan rakyat adalah jalan satu-satunya untuk
mencegah jebolnya APBN – solusi yang selaras dengan kebijakan neoliberalisme yang dipaksakan
oleh IMF dan Bank Dunia kepada Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. “Memang kita
nggak tahu berapa kebutuhan Negara, tapi gimana rakyat kan udah gini kok nggak ada kebijakan
sama sekali,”162 kritiknya lebih lanjut. Tidak ada solusi pro-rakyat, karena memang begitulah hakikat
neoliberalisme, yang justru berkeinginan untuk menggusur rakyat dari peran keberpihakan Negara
menuju kepada kebrutalan persaingan pasar bebas.
Sebagai perbandingan, mereka menilai era Megawati masih lebih baik karena “apa-apa masih
belum terlalu mahal”163. Pemerintahan era Megawati maupun Gus Dur dan Habibie memang masih
setengah-setengah dalam menjalankan strategi neoliberalisme, karena bangunan politik yang
belum cukup stabil dalam menyalurkan kritik-kritik dan keresahan di tingkat rakyat. “Meskipun Mega
juga nggak bagus, tapi nggak separah sekarang,”164 demikian pendapat salah seorang ibu.
Sementara ibu yang lain lebih tajam lagi mengkritik Megawati yang lebih banyak didikte oleh
suaminya yang berlatar belakang pengusaha, atau didukung oleh para pengusaha, sehingga dalam
masa pemerintahannya mengesahkan undang-undang yang melegalkan praktik sistem kerja
kontrak yang merugikan buruh. “Jadi walaupun dia perempuan tapi nggak bagus juga,165” begitu
kesimpulannya.
Sedangkan ibu yang pernah berkecimpung di PDIP membenarkan kelemahan watak Megawati
yang terlalu banyak disetir orang-orang di sekelilingnya. “Entah kurang tegas atau kurang wawasan
saya kurang tahu,”166 begitu penuturannya, sehingga apa-apa yang menjadi kebijakan partai dan
pemerintahannya tidak murni berdasarkan aspirasinya sendiri. Ia berharap adanya tokoh-tokoh
alternatif dari kalangan gerakan yang bisa mewakili kepentingan mereka jika terpilih menjadi
anggota DPR dalam Pemilu 2009 mendatang. “Kalau Dita (Dita Indah Sari – penulis) itu baru
bagus,”167 lanjutnya mencontohkan.
VII.
Konsep Kepemimpinan
1. Kepemimpinan pada umumnya
Persoalan keseharian menjadi inti dalam pemahaman para ibu mengenai konsep kepemimpinan.
“Pemimpin itu yang bisa ngemong rakyat,”168 “memperjuangkan kesejahteraan rakyat,”169 “yang
161
Diungkapkan oleh Ibu Suryati.
Diungkapkan oleh Ibu Suryati.
163
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
164
Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah.
165
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
166
Diungkapkan oleh Ibu Halimah.
167
Diungkapkan oleh Ibu Halimah.
168
Diungkapkan oleh Ibu Halimah.
169
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
162
bijaksana, jangan ngumbar janji”170, “tahu kondisi rakyat, mendengar aspirasi rakyat,”171 dan
“seharusnya mempertimbangkan kondisi rakyat”172 sebelum mengeluarkan kebijakan.
Yang penting bagi mereka adalah pemimpin bisa memperjuangkan agar harga-harga kebutuhan
lebih murah, sehingga terjangkau oleh rakyat. “Biar apa-apa murah,” kata salah seorang ibu,
“(soalnya) suami saya gajinya kecil, susah beli minyak tanah, saya sendiri menganggur.” 173
Sementara kenyataan yang terjadi adalah pemimpin yang ada malah beberapa kali mengeluarkan
kebijakan menaikkan harga BBM, menyebabkan rakyat kecil makin tertindas, dan penghasilan tidak
lagi menutup beban pengeluaran. Pemimpin yang ada tidak mau mendengarkan aspirasi rakyat
yang sudah melancarkan aksi protes di mana-mana sebagai jeritan suara hati nurani, menolak
kebijakan yang menyengsarakan. Pemerintah khususnya SBY-JK pernah mengumbar janji akan
melakukan perubahan untuk rakyat, bahkan pernah secara verbal menyatakan tidak akan lagi
menaikkan harga BBM, tapi kenyataannya berbeda 180 derajat. “Harusnya pemimpin itu tahu, bisa
mengayomi, jangan ngomongnya doang...,”174 ujar sinis salah seorang ibu.
2. Kepemimpinan perempuan
Hampir seluruh informan menyatakan persetujuan bahwa perempuan bisa menjadi seorang
pemimpin. “Sama saja (dengan laki-laki),”175 kata salah seorang ibu. Tapi kondisi nyata yang
dihadapi oleh rakyat, dan kegagalan tokoh-tokoh yang menyandang status pemimpin perempuan
dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat, menciptakan kritisisme mereka terhadap konsep
kepemimpinan perempuan. Bagi mereka pemimpin perempuan tidak ada bedanya dengan
pemimpin laki-laki. “Sama kayak pemimpin pada umumnya,”176 komentar salah seorang ibu. “Bisa
aja kayak dulu Megawati,”177 kata salah seorang ibu. Tapi “kalau bisa sih yang bijak, jangan kayak
kemarin Mega masih gagal juga,”178 kritik ibu yang lain. Ibu yang mengenal dengan baik persoalan
di internal PDIP malah bersikap lebih skeptis kepada kepemimpinan perempuan, dengan
mengambil contoh Megawati yang dinilainya “kurang tegas, kayak ibu ke anak-anaknya”179.
Problem masyarakat patriarki yang sangat kuat di Indonesia menyebabkan munculnya pemimpin
perempuan tidak berarti benar-benar memperjuangkan kepentingan perempuan, atau rakyat pada
umumnya. Tokoh-tokoh perempuan dalam kenyataannya masih terbelenggu oleh budaya patriarki
yang menyulitkannya bersikap independen, bahkan seringkali tidak mengenali kepentingan dirinya
sendiri selain demi kebahagiaan keluarga, yakni suami dan anak-anak, tanpa diri perempuan itu
sendiri.
VIII.
Nilai yang Harus Dipegang
Kejujuran menjadi faktor utama yang dianggap penting oleh para informan untuk menjadi nilai
anutan seorang pemimpin. “Kalau nggak jujur nanti korupsi,”180 kata salah seorang ibu mantan
buruh PT Istana. Korupsi dipandang sebagai biang kesengsaraan, karena dana-dana yang
semestinya untuk kesejahteraan rakyat malah disunat para pejabat.
170
Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah.
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
172
Diungkapkan oleh Ibu Suryati.
173
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
174
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
175
Diungkapkan oleh Ibu Suryati.
176
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
177
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
178
Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah.
179
Diungkapkan oleh Ibu Halimah.
180
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
171
Kebijaksanaan menjadi faktor penting lainnya. “Yang penting tahu nuraninya rakyat,”181 sehingga
“bisa membantu masyarakat miskin, jangan naikin sembako terlalu tinggi”182. Pemimpin seharusnya
“tahu yang diinginkan rakyat”183, sehingga kebijakan yang dikeluarkannya pun mencerminkan
kebijaksanaan.
Ketegasan menjadi nilai berikutnya. “Yang dibutuhin ya mental”184, agar pemimpin perempuan bisa
melepaskan diri dari kungkungan patriarki, dari orang-orang di lingkaran pemimpin yang
mempunyai kepentingannya sendiri-sendiri.
IX.
Peran Pendidikan
Pandangan kelima informan agak terbelah mengenai latar belakang pendidikan bagi seorang
pemimpin. “Pendidikan harus tinggi,”185 kata salah seorang ibu pengurus SRMI. “Kalau hanya
lulusan SD atau SMP kurang memenuhi syarat,”186 kata ibu pengurus SRMI lainnya. Dengan latar
belakang dirinya sendiri yang hanya lulusan SD atau SMP, ia menyadari wawasan dirinya yang
tidak cukup luas, dan merefleksikan pada pandangan bahwa seorang pemimpin sebaiknya
berpendidikan tinggi, “minimal SMA atau S1, seperti kata undang-undang sekarang”187.
Sedang dua orang ibu mantan buruh PT Istana menganggap faktor pendidikan tidaklah penting.
“Yang penting pengalaman,”188 kata salah seorang ibu. Kenyataan menunjukkan banyak politisi
karbitan yang hanya bermodal keturunan atau popularitas selebritis, tanpa pernah benar-benar
mengerti dan terlibat langsung dalam kehidupan rakyat kecil. Banyaknya para tokoh pemimpin yang
berpendidikan tinggi tetapi nyatanya justru paling pintar mengkorup uang rakyat menjadi sebab
kritisisme mereka terhadap faktor pendidikan. “Kalau tinggi tapi nggak jujur ya percuma,”189 kritik ibu
lainnya yang menganggap penting faktor kejujuran sebagai nilai utama seorang pemimpin. Masih
mending “nggak bertitel” tapi jujur.
Sedang ibu pengurus SRMI yang pernah aktif di PDIP mempunyai pandangan yang berbeda,
“Pendidikan itu penting, tapi yang lebih penting keberanian. Walaupun pendidikannya tinggi tapi
wawasan dan mentalnya kurang ya ga bagus juga.”190 Ia mengkritik sistem yang berlaku sekarang
yang menomorsatukan syarat pendidikan bagi majunya para calon pemimpin ke dalam struktur
kekuasaan Negara. Ibu pengurus SRMI yang menganggap pendidikan mutlak penting justru
membalikkan pendapatnya, bahwa kemampuan atau pengalaman, wawasan dan kebijaksanaan
tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. “Ibu-ibu SRMI gini kan nggak sekolah tapi
dibimbing lama-lama juga ngerti,”191 ujarnya.
Meskipun nampaknya saling bertentangan, tetapi pandangan kelima informan menunjukkan
keseragaman, bahwa terjadi kontradiksi dalam sistem rekrutmen kepemimpinan saat ini yang
mengutamakan syarat formal pendidikan, yang justru banyak menghasilkan pemalsuan ijazah atau
181
Diungkapkan oleh Ibu Suryati.
Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah.
183
Diungkapkan oleh Ibu Suryati.
184
Diungkapkan oleh Ibu Halimah.
185
Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah.
186
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
187
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
188
Diungkapkan oleh Ibu Suryati.
189
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
190
Diungkapkan oleh Ibu Halimah.
191
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
182
lembaga-lembaga pendidikan yang mengobral gelar tanpa kualitas yang sesungguhnya.
Sedangkan pada kenyataannya banyak tokoh perempuan di tingkat akar rumput, seperti halnya
kelima informan sendiri yang menjadi pemimpin di tingkat basis, yang hanya berlatar belakang
pendidikan SD atau SMP tetapi karena pengalamannya berorganisasi dan bersentuhan dengan
para aktivis yang mengajarkan wawasan luas dan keberanian untuk memperjuangkan hak-haknya
membuat mereka mampu dan percaya diri untuk memimpin. Persoalannya apakah mereka dapat
diberikan kesempatan untuk maju, dan berproses lebih lanjut dalam pergulatan sistem, menjadi
tanda tanya besar mengingat sistem rekrutmen yang membatasi partisipasi lapisan masyarakat
bawah ke dalam jaringan struktur kekuasaan.
X.
Fungsi dan Tugas Politisi
Mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat adalah fungsi dan tugas utama seorang
pemimpin. Mereka yang duduk di legislatif umpamanya, “tugasnya menyalurkan aspirasi rakyat,
paling tidak menyampaikannya dalam rapat-rapat dewan”192. Karena jika tidak ada laporan dan
pengaduan dari bawah, dikuatirkan para pengambil kebijakan yang ada di atas tidak mengerti.
Kalau misalnya ada penolakan dari bawah ditakutkan mereka yang di atas tidak tahu, seperti
contoh penyimpangan-penyimpangan dalam penyaluran dana BLT. Contoh lainnya dalam
pengurusan fasilitas kesehatan untuk rakyat miskin seperti diperjuangkan ibu-ibu SRMI selama ini.
Jika sebelumnya warga kesulitan untuk mengurus kartu keluarga miskin untuk berobat ke rumah
sakit, “sampai harus berantem dulu”193 dengan para petugas kesehatan, kini berkat aktivitas
advokasi yang dilakukan oleh SRMI jadi “lebih mudah dan lancar asal surat-suratnya lengkap”194.
Program jaminan kesehatan rakyat miskin sebetulnya sudah menjadi program resmi pemerintah,
dan dengan tegas diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Siti Fadhilah Supari, tetapi praktik di
lapangan sering berbeda.
Lemahnya fungsi kontrol DPR/DPRD ditandai dengan banyaknya aksi-aksi demonstrasi yang
dilakukan masyarakat. Seharusnya para anggota dewan lebih cepat merespon tuntutan
masyarakat, paling tidak menerima aspirasi rakyat yang sedang demo. Ironisnya, justru banyak
anggota dewan yang hanya mementingkan fasilitas untuk dirinya sendiri, “asal kenyang saja, dan
korupsi merajalela”195.
Tugas lembaga legislatif untuk melahirkan undang-undang yang seharusnya pro-rakyat tidak luput
dari kritik informan. “Undang-undangnya jangan malah mempersempit ruang gerak buruh, sekarang
UU membela pengusaha,”196 tuding salah satu ibu mantan buruh PT Istana.
Dalam hal-hal yang spesifik perempuan seperti soal KDRT, trafficking, kesehatan reproduksi dan
pelecehan seksual, para informan mengakui sudah berjalannya fungsi legislasi dengan keluarnya
berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan. Tapi mereka mengkritik tidak
tersosialisasinya perundang-undangan yang ada sehingga “belum banyak yang ngerti mesti
lapornya ke mana”197 jika menghadapi persoalan serupa. Mereka juga mengharapkan ketegasan
sikap para politisi dalam menjalankan undang-undang, mengingat praktik-praktik seperti KDRT
justru makin meluas. Dan di tengah-tengah situasi krisis menyebabkan terjadinya “banyak ibu-ibu
yang ngebunuh anaknya, atau bapaknya ngebunuh anak”198 karena tidak sanggup menanggung
192
Diungkapkan oleh Ibu Suryati.
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
194
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
195
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
196
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
197
Diungkapkan oleh Ibu Halimah.
198
Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah.
193
beban hidup rumah tangga. Mereka berharap para pemimpin khususnya yang perempuan dapat
memperhatikan kesejahteraan untuk ibu-ibu hamil dan menyusui, terutama ibu-ibu dari kalangan
rakyat miskin.
XI.
Tanggung Jawab Politisi
Menyejahterakan rakyat adalah tanggung jawab utama seorang pemimpin. Untuk itu, seorang
pemimpin diharapkan bersikap “kritis, wawasannya luas dan mendengarkan aspirasi rakyat”199.
Sebagai ibu rumah tangga dari kalangan bawah, seorang ibu pengurus SRMI mengatakan bahwa
seorang pemimpin semestinya bertanggung jawab untuk mengetahui kondisi masyarakat bawah,
karena “di Jakarta kan kebanyakan masyarakat bawah”200. Khusus kepada pemimpin perempuan,
informan juga menegaskan tanggung jawab untuk “lebih memperhatikan kondisi perempuan, tahu
apa yang dihadapi perempuan.”201 Secara umum, “mendengarkan suara rakyat”202, terutama rakyat
miskin, dan menyampaikan aspirasi rakyat tentang masalah ekonomi khususnya soal kebutuhan
pokok.
Mereka mengharapkan adanya tokoh perempuan yang bisa mengemban tanggung jawab seperti
itu, mengerti dan bisa bicara dengan bahasa yang enak kepada rakyat miskin, bisa bicara dengan
tegas ketika menyuarakan aspirasi rakyat, dan “bagus untuk mewakili rakyat miskin di DPR, bisa
menyampaikan aspirasi rakyat tentang masalah ekonomi, sembako”203.
XII.
Harapan Konstituen
Kesejahteraan rakyat menjadi harapan utama yang diletakkan di pundak para pemimpin dan calon
pemimpin perempuan. Para informan berharap seorang pemimpin “kalau bisa yang bijaksana”204,
“sering turun ke orang-orang bawah biar lihat kondisi seperti apa, biar tahu jalannya gimana”205,
“terutama tahu kondisi perempuan Indonesia”206, “mendengarkan aspirasi rakyat”207, “bisa
menyejahterakan rakyat”208, “diberangus korupsi”209, dan “tegas, berprinsip, jangan mau didikte kiri
kanan”210. Pemimpin perempuan “jangan kalah sama pria”211, tetapi juga agar tidak mengulang
kesalahan yang sama dengan pemimpin perempuan yang sudah gagal sebelumnya, gagal dalam
memperjuangkan agar harga BBM tidak dinaikkan dan harga kebutuhan pokok bisa murah. Mereka
juga berharap ada wakil mereka setidaknya di DPR pada Pemilu 2009 nanti yang bisa memenuhi
harapan-harapan tersebut.
199
Diungkapkan oleh Ibu Halimah.
Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah.
201
Diungkapkan oleh Ibu Suryati.
202
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
203
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
204
Diungkapkan oleh Ibu Rasmiah.
205
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
206
Diungkapkan oleh Ibu Suryati.
207
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
208
Diungkapkan oleh Ibu Sulastri.
209
Diungkapkan oleh Ibu Siti Mualimah.
210
Diungkapkan oleh Ibu Halimah.
211
Diungkapkan oleh Ibu Halimah.
200
B. INFORMAN KONSTITUEN KELAS MENENGAH
(KONSULTAN, LSM, WARTAWAN, TOKOH AGAMA)
I.
Profil Konstituen
Informan terdiri atas empat perempuan muda, yang tiga di antaranya adalah lajang, sementara
satu orang adalah ibu muda dengan satu anak. Dengan umur yang tidak terpaut jauh antara 32 –
44 tahun, keempat informan ini merupakan gambaran perempuan muda yang hidup dan bekerja
dengan rutinitas yang tidak terlalu berbeda dengan perempuan kelas menengah lainnya.Tetapi,
yang membuat mereka berbeda dengan perempuan menengah lainnya adalah aktivitas sosialpolitik yang dijalankan di luar pekerjaan tetap. Sebagai wartawan, pendeta, pekerja LSM, dan
konsultan, tentu memiliki pekerjaan rutin yang membutuhkan konsentrasi waktu. Namun, keempat
orang ini tetap memiliki waktu untuk kerja-kerja sosial-politiknya.
Kesadaran untuk berorganisasi, mengindentifikasikan bahwa di tengah kehidupan Jakarta yang
individual dan metropolitan, tidak serta merta menghilangkan solidaritas dan nilai sosial lainnya dari
sebagian warganya. Dari profesinya, dapat disimpulkan bahwa keempat orang ini adalah
perempuan lapangan yang ruang kerjanya tidak di belakang meja. Dengan latar belakang
pendidikan yang cukup tinggi, yakni dua di antara mereka berpendidikan S2, seorang lulusan
akademi dan SMA. Mereka memiliki pekerjaan yang beragam, dan sebagian besar (3 orang) selalu
bersinggungan dengan banyak orang.
II. Kondisi Sebelum dan Pasca Reformasi 1998
1. Perbandingan ekonomi-politik
Terdapat perbedaan yang krusial sebelum dan pasca Reformasi1998. Secara sosial-ekonomi,
semua informan tidak menolak bahwa zaman Soeharto berkuasa, ekonomi seakan-akan stabil,
padahal sebenarnya tidak. Bagi informan wartawan, “memang ekonomi nampak stabil, barang
murah, tetapi itu dibangun dengan fondasi yang rapuh. Ada ketergantungan yang kuat terhadap
asing”.212 Pada akhirnya, kita yang harus menanggung hutang peninggalan Orde Baru.
“Kebebasan berbicara, berserikat, dan organisasi ditentukan dan dikontrol sangat kuat dengan
adanya UU Subversif.”213 Penilaian ini, dilengkapi catatan bahwa pada saat yang bersamaan,
pelanggaran HAM juga terjadi. Kasus Tanjung Periok memberi catatan tersendiri bagi seorang
informan yang keluarganya termasuk salah seorang korban. “Aku ngalami sendiri, dari 84 sampai
98 aku itu sedang mencari jejak ayahku yang hilang dan di situ tidak bisa bergerak bebas,
walaupun dulu aku belum mengerti apa itu HAM, dan aku tahu pergi ke Guntur mencari jejak
ayahku yang hilang gak tahu ke mana rimbanya, dan saya mendapat tekanan “lu jangan ngomongngomong nanti keluarga mu terancam”. Dan ibu jadi trauma dan saya gak bisa bersuara seperti
sekarang. Aku gak ngerti apa itu aksi, apa itu demo, dan dulu kalau ada yang berpidato pasti ada
yang bermoncong seperti senjata orang yang berpakaian hijau, sampai 98 kita bungkam.”214
Pandangan para informan tersebut, diperkuat dengan pandangan tokoh agama. “Buat saya, sangat
beda, paling tidak, sekarang jauh beda ya. Kalau sekarang itu, sistem demokrasi itu sudah benarbenar mulai dilaksanakan, diwujudkan. Dan perempuan masuk itu sudah beda sekali gitu loh. Di
Orde Baru mungkin secara keamanan dan ekonomi mungkin itu tetap tenang, tidak ada kerusuhan,
tidak gampang turun ke jalan dan lainnya, tetapi tidak demokratis.”
212
Disampaikan oleh informan wartawan melalui wawancara telepon (sebagai tambahan data)
idem
214
Diungkapkan oleh pekerja LSM HAM yang merupakan keluarga korban Tanjung Periok
213
Semua informan menyadari bahwa kondisi pasca reformasi tidak selalu menguntungkan rakyat. Hal
ini dibuktikan dengan adanya krisis ekonomi yang terus berlanjut dan harga-harga makin mahal.
Angka kematian ibu hamil tetap tinggi dan jumlah TKW kian banyak, karena lapangan kerja di
dalam negeri tertutup bagi perempuan-perempuan muda yang tidak mengecap pendidikan tinggi.
Informan konsultan mengungkapkan, “...bahwa makin ke sini, orang hidupnya makin sulit. Cuma
kan kita tidak bisa menutup mata bahwa ada story behind. Semua peraturan yang terjadi, itu kan
juga yah,..kita menanggung hutang-hutang yang dilakukan oleh kabinetnya Soeharto. Jadi mungkin
itu dulu hidup lebih gampang yah…mencari pekerjaan juga tidak sesulit sekarang. Harga–harga
tidak setinggi sekarang. Jadi kita menanggung beban kebijakan–kebijakan pemerintah waktu di
zaman krisis Mbak”.
2. Persoalan sosial-ekonomi
Kemiskinan menjadi masalah yang sangat disoroti. Dalam perspektif yang berbeda, sesuai dengan
profesi masing-masing, diungkapkan bahwa naiknya harga BBM mengakibatkan beban ekonomi
kian tinggi. Akibatnya, terjadi bunuh diri massal ibu dan anak. Sebenarnya ibu-ibu miskin memiliki
pengetahuan tentang penyebab mereka miskin. Menghadapi persoalan yang sama memunculkan
“semangat kebersamaan” dan senasib dalam bentuk yang paling sederhana, yakni mereka memiliki
tema pembicaraan yang disampaikan dalam bentuk saling mengeluh.
Perasaan senasib yang tidak menemukan muaranya, memunculkan kekecewaan sosial yang lebih
memprihatinkan. Tidak heran, terjadi kasus bunuh diri ibu dan anak. Kondisi ini dianggap sebagai
kegagalan negara dalam memenuhi hak dasar perempuan dan anak. Dalam perspektif wartawan,
persoalan yang muncul dipahami sebagai bagian dari akses informasi yang berbeda dari tiap kelas
sosial. Walaupun dikatakan, bahwa kelas menengah yang memiliki akses informasi tidak serta
merta memiliki pemahaman terhadap persoalan sosial-ekonomi yang sedang dihadapi masyarakat.
Ada perbedaan kepentingan dan persoalan dalam tiap kelas sosial. Bagi kelas menengah ke atas,
sekalipun harga BBM naik, kebutuhan sekunder masih bisa mereka penuhi. Yang menjadi
persoalan mereka adalah “bagaimana mengadakan uang untuk dugem, tampil cantik. Ya, hanya
seputar yang menguntungkan pribadinya sendiri. Kalau kelas bawah kan, gak seperti itu,
problemnya benar-benar kolektif”. 215
Dengan lugas, informan yang bekerja di LSM menilai, bahwa pemerintah sudah tidak ada malu di
hadapan rakyat dan juga dunia internasional. “Kayanya sekarang, ibu-ibu sudah tahu sih dengan
carut marut, seperti BBM dan beras itu sangat membuat kesusahan rakyat, makanya kita harus
mengkampanyekan siapa yang harus kita pilih, soalnya pemerintah kita sudah gak ada malu di
mata internasioanal. Walaupun kita demo paling gak, dia hanya berkata biarin aja ntar juga dia
berhenti sendiri, begitulah sifat pemerintah kita. Dan kita aja yang menyadari sebagai rakyat, jangan
terhibur hanya dengan sebuah amplop dan nilainya, tapi pikirkan anak kita ke depan.”216
Bagi informan konsultan, “negara harus bertanggungjawab terhadap masalah ekonomi saat ini
Mbak, presiden yah utamanya. Karena fenomena bunuh diri massal isteri dan anak-anak itu ,
sangat menunjukkan bahwa beban dan ekonomi sosial itu sudah tidak tertanggulangi lagi oleh
perempuan, bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah itu sangat menyulitkan bagi perempuan,
tidak berpihak sama sekali”.
Dalam penilaian yang utuh, informan tokoh agama mengisyaratkan bahwa Jakarta menyimpan
beragam persoalan sosial-ekonomi, juga politik. “Kemiskinan yang paling miskin itu berada di
215
216
Diungkapkan oleh informan wartawan
Diungkapkan oleh informan LSM
Jakarta, dan kekayaan orang-orang yang mempertontonkan kekayaan yang luar biasa juga ada di
Jakarta.”
III. Perkenalan terhadap Politisi
Tidak hanya ibu-ibu rumah tangga kelas bawah yang mengatakan tidak mengenal politisi di
legislatif, ternyata para informan ini pun tidak mengenal secara pasti para anggota legislatif. Hanya
beberapa nama yang mereka ketahui, seperti Eva Sundari, Nursyahbani, Andy Rusbandi, Juliana
Paris, Tjiptaning, dan Khofifah, selebihnya tidak diingat. Nama-nama anggota DPR dapil DKI
Jakarta, hanya dikenal oleh informan wartawan. “...Itu lumayan lo Juliana dan Rusbandi, yang
sering dibicarakan di media itu loh. UU Parpol ini sering dimintai pendapat. Lena Marlena juga
bagus.”
Dalam konteks yang lebih besar, untuk politisi yang pernah menjabat di eksekutif, Megawati masih
sering disebut, sekalipun disertai kritik tajam. Begitu juga dengan Siti Fadilah. Pun dengan
keberadaan Nursyahbani, seorang informan menjelaskan bahwa “jika sedang hearing di di DPR,
jawabannya biasa-biasa saja. Kalau menurut aku, Nursyahbani dari Komisi 3 DPR RI, kalau kita ke
sana dan bertemu itu jawabannya biasa-biasa aja seperti kita dari kalangan aktivis dan teman kita.
Seharusnya anggota dewan itu lebih punya wawasan, seenggak-enggaknya ada harapan buat
kita.”
Sementara itu, bagi tokoh agama, Nursyahbani menjadi salah seorang yang dianggap cukup bagus
dibanding anggota DPR lainnya. “Saya melihat ada beberapa perempuan yang memang benarbenar punya integritas dan betul-betul berjuang bagi rakyat khususnya perempuan dan kejujuran
mereka dan tentunya dari berbagai yang saya kenal itu ada Eva Sundari, dari PDI Perjuangan,
kemudian Mbak Nursyahbani dari PKB, lalu kemudian ada beberapa dari PKB kemudian dari PAN
juga ada.”
Begitu juga dengan informan yang berprofesi sebagai konsultan mengatakan tidak mengenal para
anggota DPR, “karena memang saya rasa pertama tidak popular, dan kedua karena saya bukan
pengamat politik ya. Saya enggak terlalu konsen dengan itu. Bahkan kalau disuruh menyebutkan,
satu nama anggota DPR laki-laki, saya musti mikir juga dulu, apalagi yang perempuannya, karena
memang mereka tidak popular menurut saya , hmm kerjanya persoalan perempuan kan banyak
sekali ya, tapi jarang sekali kita mendengar persoalan perempuan di bahas gitu di level legislatif
ya.. buat saya sih itu menandakan mereka tidak popular...”
IV. Komunikasi dan Partisipasi Politik
Bagaimana mungkin anggota dewan bisa membuat UU yang mengkriminalkan masyarakat miskin
di Jakarta? Pertanyaan yang terlontar dari tokoh agama ini menandakan betapa akutnya persoalan
masyarakat tingkat bawah. “Salah satu contoh yang menurut saya paling luar biasa undang-undang
yang dihasilkan oleh anggota DPRD di DKI ini yaitu UU Tibum itu, untuk siapa mereka buat itu
apakah itu dibuat untuk rakyat kan sama sekali tidak, justru sangat mengkriminalkan rakyat miskin.
Bagaimana mungkin anggota dewan rakyat bisa membuat undang-undang yang mengkriminalkan
masyarakat miskin….dan masyarakat miskin di DKI ini 70%?” 217 Hal ini juga dikatakan informan
wartawan, bahwa pemerintah dan anggota legislatifnya tidak peduli pada masalah rakyat. “Setelah
Moeryati menjadi anggota DPD, dia diam aja kok, tidak ada yang dilakukannya, selain acara
seremonial saja.”218
217217
218
Diungkapkan oleh tokoh agama (pendeta)
Diungkapkan oleh informan wartawan
Ketika pembahasan RUU APP, justru yang banyak bicara adalah anggota DPR yang laki-laki.
“Iya….iya…RUU APP, kan sempat heboh tuh..ya..tapi waktu itu, yang banyak berbicara anggota
dewan yang laki–lakinya ya, ketimbang yang perempuannya. Waktu itu sih ..saya merasa mungkin
ya.. waktu itu sempat terlintas kenapa anggota dewan perempuan tidak banyak berbicara, karena
posisi mereka serba sulit. Orang katanya berpihak kepada si UU APP itu, dan mereka sebagai
minoritas, posisinya terjepit, mau ngomong apa di depan publik? Gitu, mereka kan mewakili partai.
Apakah statemen itu juga didukung oleh partainya, ya itu juga jadi dilematik, makanya saya pikir
seperti itu.”219
Dalam hal partisipasi politik kelas menengah dalam pemilu, terdapat sikap tidak terlalu peduli.
Berawal dari keraguan akan kemampuan dan keinginan baik partai politik untuk melakukan
perubahan. Sehingga ketika pemilu, yang terjadi adalah memilih dengan tidak yakin. Setidaknya hal
ini terungkap dari pernyataan informan dari LSM, “aku jujur aja dan aku golput dan coblos semua,
karena yang berpolitik uang jadi aku itu tidak di permainkan untuk menambah suara dengan
langkah yang curang, dan apapun yang menang hari ini, itu sebagai penilaian sebagai rakyat dan
menjadi kritikan bagi mereka, bukan hujatan ya.”
“Dengan persoalan politik itu kan, sudah menjadi nomor yang kesekian. Orang memilih mungkin
sama kasusnya kayak saya, karena terpaksa misalnya dari pada berantem ama mertua gitu. Atau
mungkin semata-mata agar suaranya tidak dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab. Mungkin cuma sedikit dari pemilih yang mencoblos seseorang gitu. Itu minim banget orang
yang punya optimis ketika saya memilih ini, saya yakin bahwa dia adalah seorang pemimpin yang
baik. I don’t thing so…sejauh ketika masa--masa pemilu gossip--gosip antar sesama teman kantor
kayaknya gak ada deh yang memilih karena rasa optimis bahkan yang saya temukan juga, ada satu
teman kantor yang simpatisan, tapi cukup loyal dengan satu partai tertentu, dia pun tidak yakin
bahwa partai dia bisa menyelesaikan banyak hal gitu.”220
“Jadi menurut saya, orang berpartisipasi bukan untuk perubahan ya…faktor x aja, atau mungkin
dari pada partai lain yang menang, mending partai ini aja deh ..walaupun dia tidak optimis, bahwa
partai dia sendiri bisa melakukan banyak hal untuk negara ini.”221 Jadi, daripada tidak memilih, atau
dituduh tidak berpartisipasi, akhirnya informan pergi juga ke TPS. Ketika berada di TPS, ia pun
melakukan golput dengan mencoblos semua partai, sehingga kartu suaranya tidak sah.
V. Kekritisan terhadap Politisi
Selemah apapun partai politik di hadapan informan, tetap saja parpol menjadi pilihan yang lebih
baik dalam sistem demokrasi. “Eh gue sih percaya yang namanya perubahan dengan partai politik.
Tapi, kalau sekarang parpol gak bisa dijadikan alat perubahan...Ideologi mereka sebenarnya udah
gak punya kok.” 222 Pernyataan ini hendak menegaskan bahwa sejatinya perubahan dapat
dilakukan melalui perjuangan partai politik. Walaupun dalam kenyataannya, “...orang sekarang kan
banyak yang melihat kalau partai politik sebagai jalan saja, baik politik dan ekonomi”. 223
Kondisi tersebut kemudian mempengaruhi mesin kerja partai secara keseluruhan, termasuk dalam
hal mekanisme pencalonan anggota legisltatif. “Ada banyak anggota dewan yang masih
konservatif, yang tidak tahu, yang hadir di sana hanya kebetulan perempuan, tapi sama sekali tidak
219
Diungkapkan oleh informan konsultan
Diungkapkan oleh informan konsultan
221
Idem
222
Diungkapkan oleh informan wartawan
223
Idem
220
tau kepentingan, tidak punya perspektif tentang perempuan dll. Jadi hadir saja di sana karena tadi
KKN atau apalah segala macam, atau karena suaminya”224
Dalam perspektif teologis, dikatakan bahwa saat ini, pimpinan masyarakat tidak ada lagi yang
peduli terhadap kaum miskin. Kelebihan dan kekurangan seorang politisi, dalam batas tertentu
masih dapat dikategorikan sebagai hal yang manusiawi, lumrah. Akan tetapi, tetap saja politisi
yang duduk di legislatif mempunyai tugas dan tanggung jawab sosial-politik yang harus
dilaksanakan seperti yang pernah mereka janjikan pada saat pemilu. Bagi informan pekerja LSM,
anggota DPR harus memperjuangkan persoalan rakyat, “jangan bisanya bersolek buat apa duduk
di DPR kalau ga punya misi dan visi”.225
Dalam pemahaman yang lebih kritis, seorang informan menegaskan, “bahwa anggota dewan itu
bukan pemimpin, karena mereka tidak mempunyai syarat-syarat dan kategori sebagai
pemimpin”.226 Untuk itu, harus dilihat apa yang telah mereka perjuangkan untuk rakyat, baik secara
legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dan harus dilihat berapa banyak kasus yang terselesaikan
dan yang diadvokasi. “Saya memilih semua, karena pada saat itu saya tidak menemukan bahwa
wakil yang dicalonkan tidak ada yang sesuai dengan hati nurani, dan visi saya…, jadi menurut saya
tidak ada yang perlu dipilih.”227
VI. Konsep Kepemimpinan
1. Kepemimpinan pada umumnya
Berpolitik masih dianggap tugas yang mulia, demi kemaslahatan bersama. “Politik itu kan tujuannya
mulia, kemaslahatan bersama. Nah kalau kepemimpinan politik berarti kepemimpinan yang
mengarahkan untuk tujuan itu. Tapi, yang sekarang ini menjadi komersialisasi, jadi kepemimpinan
politik tidak ada.”228 Dengan demikian, yang dimaksud kepemimpinan politik adalah yang
mengarahkan tujuannya pada kepentingan orang banyak.
Seorang informan lain mengatakan bahwa, “pemimpin adalah orang yang betul-betul berjuang bagi
rakyat yang dipimpinnya untuk menjawab masalah yang dihadapi oleh rakyatnya, Dan sungguhsungguh bisa dipercaya kata-katanya dan juga perbuatannya dan demokratis tentu saja…”229
“Pemimpin itu lebih fokus pada tanggung jawab yang diberikan kepada dia, karena dia sebagai
pemimpin kaya perusahaan, bagaimana turun majunya perusahaan, dan dia harus tahu bagaimana
kinerja-kinerja anggota dia di lingkungan kerjanya itu. Yang bermutu itu permimpin yang bisa
membawa kinerjanya yang bisa membawa anak buahnya.” 230
Pemimpin yang bermutu adalah yang bisa mendorong kinerjanya menjadi lebih baik, sehingga
dapat menuntun anggotanya. Jadi pemimpin yang baik adalah yang bertanggung jawab. Yang
pasti, pemimpin itu bukan kerja personal, melainkan kerja kolektif. Apapun kapasitasnya, ketika
timnya sukses, maka ia sudah menjadi pemimpin, “karena ketika kita ngomong soal kepemimpinan
bukan single person , bukan satu orang saja , tapi satu tim makanya apa pun kwalitas dia, apa pun
224
Diungkapkan oleh informan tokoh agama
Diungkapkan oleh informan LSM
226
Diungkapkan oleh informan konsultan
227
Idem
228
Diungkapkan oleh informan wartawan
229
Diungkapkan oleh informan tokoh agama
230
Diungkapkan oleh informan LSM
225
kapasitasnya dia, ketika timnya bisa bekerja, saya pikir dia sudah cukup sukses sebagai seorang
pemimpin.”231
2. Kepemimpinan Perempuan
Semua informan memahami bahwa kepemimpinan perempuan menjadi jauh lebih baik
dibandingkan laki-laki. Perempuan adalah agen perubahan yang memiliki strategi dan jeli dalam
memimpin. Pemimpin perempuan lebih detail dalam menjalankan pekerjaannya.
Bagi wartawan, kepemimpinan perempuan dibutuhkan, “sangat diperlukan, karena perempuan
adalah agen perubahan yang sangat hebat loh. Dia paling banyak cara mendekati segala macam
maka seumpamanya memang menjadi perempuan yang berkualitas itu yang paling tidak di dalam
keluarga mengkader satu perempuan sama aja mengkader lima orang. Karena di dalam keluarga
pasti akan ikut dia gitu loh.”
Di dalam rumah, ibu menjadi panutan secara sosial dan religius bagi anak-anaknya. Dalam
keadaan genting, perempuan bisa lebih mengendalikan diri. Kepekaan yang dimilikinya,
memungkinkan ia merawat lingkungannya, termasuk rumah tangganya. Kesabaran yang dimiliki
perempuan, membuatnya mampu memahami proses sebagai bagian yang terpenting dalam
mencapai hasil. “Perempuan itu dia lebih peka, terhadap masalah-masalah kehidupan, dia lebih
tersentuh dengan persoalan-persoalan kehidupan mungkin karena apa, itu karena dialah yang
memberi hidup itu sendiri dari dalam tubuhnya itu keluar harum hidup dan dia terbiasa dalam
merawat kehidupan. Oleh sebab itu kepedulian terhadap kehidupan, realitas kehidupan itu menurut
saya perempuan lebih peka.”232
Sementara laki-laki cenderung mementingkan hasil akhir. “Coba liat ibu-ibu rumah tangga itu, siapa
yang mengatur rumah tangga supaya baik, siapa yang memikirkan agar semua makanan dibagi
rata dengan uang yang tidak memadai dari suaminya? Akan tetapi sayangnya, dengan kemampuan
seperti itu, perempuan tidak dapat menjadi imam dalam ritual keagamaan.”233
“Perempuan mungkin lebih jeli ketimbang bapak-bapak, dan dia juga memerani sebagai ibu rumah
tangga juga dan tahu ukuran di rumahnya dan pasti dia juga tahu di dalam lingkungan kerjanya dari
pada sibapak-bapaknya. Dalam rumah tangga, bekerja masih punya anak yang harus
memperhatikan gak bisa lewat waktu...Perempuan sejenius apa dia, setitel apa dia, masih
mengingat kodrat seorang ibu.”234
Dalam pandangan seorang konsultan, kepemimpinan perempuan menjadi lebih baik daripada lakilaki, yang menghambat adalah soal kemauan. “Perempuan pasti bisa memimpin, kebanyakan
perempuankan hidupnya memimpin di rumah tangga, dia memimpin rumah tangganya, dan di
kantor juga sekarang kan. Di posisi pemimpin, lebih terbuka untuk perempuan, malah pengalaman
saya pribadi kebanyakan organisasi kerjaan saya malah dipimpin sama perempuan. Alasan
perempuan lebih tepat menjadi pemimpin salah satunya karena ketelitiannya. Pemimpin perempuan
lebih detail dalam menjalankan pekerjaannya”.
VII. Nilai yang Dipegang
Memegang teguh ideologi Pancasila, maka berarti dapat mengimplementasikan nilai luhur yang
harus dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat, berkeluarga, dan bernegara. Untuk itu, seorang
231
Diungkapkan oleh informan konsultan
Diungkapkan oleh informan tokoh agama
233
idem
234
Diungkapkan oleh informan LSM
232
politisi perempuan harus memiliki pemahaman dan kesadaran yang dibangun dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Asumsinya, bila seorang politisi mengerti dan menjalankan nilainilai Pancasila, maka berarti ia tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang cacat moral, seperti
berselingkuh, KDRT dll. “Ya kalo dia dengan konsisten dengan ideologi, kebijakan apapun harus
dengan ideologi. Contohnya seperti Ideologi di Indonesia ini apa? Ideologi Pancasila khan? Ya dia
harusnya ideologi dengan itu, bukan dg ideologi parpolnya dia. Seperti selingkuh…yang moral
domestik seperti itu jangan harap bisa dipilih sama masyarakat. Walaupun itu pribadi ya”235
“Kepemimpinan publik/umum itu harus punya kualitas-kualitas tertentu, nah kualitas tertentu itu
yang saya bilang tadi yang pertama adalah dia berjuang bagi rakyatnya, dan juga yang paling
penting adalah dia menggunakan kekuasaan itu untuk kepentingan semua, untuk kepentingan
mewujudkan program-programnya kekuasaan itu digunakan”236
Tidak egois dalam berpolitik, juga menjadi nilai yang penting, sehingga memungkinkan terjadinya
regenerasi kepemimpinan. Percaya bahwa kepemimpinan bersifat estafet. Hal ini untuk
menghindari kediktatoran seseorang. “Seorang pemimpin itu dia mendorong munculnya pemimpin
lain, yang muda yang baru dia harus membuka peluang supaya banyak sekali pemimpin-pemimpin
muda yang nantinya menggantikan dia dan mungkin mempunyai kualitas yang lebih.”237 Dalam
bahasa pekerja LSM, dikatakan bahwa“...dia harus bijak dan dia sudah tahu target ini mau kemana,
dan kalau mempunyai kekurangan dia harus tahu staf mana yang bisa membantu, aku baru sejauh
itu saja.”238
“Pemimpin itu yang bisa memimpin dan bisa mengkordinasikan kerja-kerja tim di bawahnya bisa
mendistribusikan kerja-kerja dengan baik.”239
Dengan demikian, dibutuhkan sifat yang bijak untuk mampu menjalankan tugas-tugas
kepemimpinan. Dalam konteks relasi secara vertikal dengan Tuhan, dikatakan oleh informan tokoh
agama bahwa religiusitas seseorang dalam hubungannya dengan Tuhannya, bersifat privat. Untuk
itu, tidak perlu dijadikan sandaran nilai atau persyaratan dalam memimpin.
“Menurut saya, religius kita itu kan privat yah, itu hubungan saya dengan Tuhan, dan hubungan itu
tidak perlu kita jadikan nilai tetapi itu kan nampak di dalam prilaku kita, nah itu tadi orang berpihak
kepada rakyat, kepada orang miskin, kepada perempuan itu ada orang-orang yang punya
hubungan baik dengan Tuhan, jadi tidak harus dia dengan arti visual, harus begini, begitu, harus
pakai rosario, atau bawa tasbih atau berjilbab dll, itu gak perlu menurut saya...”240
VIII.
Peran Pendidikan
Pendidikan formal tidak terlalu penting, yang penting punya dedikasi kepada rakyat. “Aku
membedakan formal dan informal. Informal itu banyak baca buku itu juga belajar, menurut gw
pendidikan formal itu tidak penting-penting amat. Karena kadang orang lebih banyak punya
dedikasi. Yang mempunyai pikiran Intelektual kan tidak hanya harus mempunyai ijazah saja.”241
Jadi, keintelektualan seseorang tidak identik dengan ijazah atau titel yang ia peroleh.
235
Diungkapakn oleh informan warawan
Diungkapkan oleh informan tokh agama
237
idem
238
Diungkapkan oleh informan pekerja LSM
239
Diungkapkan oleh informan konsultan
240
idem
241
Diungkapkan informan wartawan
236
Dua dari informan lain mengatakan bahwa sekolah itu penting selama ia dibarengi dengan kegiatan
berorganisasi. Dengan berorganisasi, pengetahuan yang diperoleh di bangku sekolah dapat diasah
dan diuji melalui organisasi. Di samping tentu saja peluang bertemu dengan berbagai kalangan
menjadi lebih besar, dibanding bila hanya kuliah saja.
Informan tokoh agama secara tegas mengatakan bahwa sekolah tinggi menjadi penting. Dengan
alasan yang sama, yakni seseorang menjadi lebih mudah bertemu dan membangun jaringan
dengan berbagai pihak. “Pendidikan formal paling tidak akan mempengaruhi, yah kita ini kan sudah
sampai pada zaman yang tinggi sekali, saya tetap percaya bahwa pendidikan itu mampu merubah.
Salah satu alat perubahan sebenarnya itu di dalam masyarakat itu lewat pendidikan.”242
“Dengan pendidikan formal sebenarnya bukan ijazah yang saya kejar, tetapi pengalaman bertemu
dengan yang lain dan juga ada hal-hal yang tidak didapat dari luar pendidikan formal, dan itu perlu
menurut saya, paling tidak harga diri dll di luar bisa terjaminlah. Saya tidak bilang kalau pendidikan
informal itu tidak penting, ya penting. Tapi itu jangan sampai ada ketimpangan karena menurut saya
itu sama pentingnya gitu loh...”243
Sedikit berbeda dengan informan tokoh agama, informan dari LSM berpandangan bahwa, “...dia
bukan harus pintar atau bertitel. Kalau tidak punya moral dan kejujuran, bagaimana tuh hancur
semua, ya?” Informan konsultan lebih menekankan pentingnya pengalaman seseorang, “...tapi ini
kan persoalan karakter dan persoalan pengalaman. Ketika seseorang pengalamannya banyak,
walau pun dia pendidikannya mungkin tidak setinggi yang lainnya, ya, saya yakin dia bisa
memimpin timnya dengan baik. Beda dengan orang yang hidupnya sekolah, tapi gak punya
pengalaman berorganisasi, gak punya pengalaman riil, ya buat saya sulit sekali orang itu untuk
survive memimpin sebuah timnya karena organisasi dan kelompok itu, gak di pelajari di sekolah
kan? Gak ada teorinya”.
IX. Fungsi dan Tugas Politisi
Tugas legislasi, anggaran, dan pengawasan, secara formal dijalankan hampir semua anggota DPR,
sekalipun hanya datang dan mendengarkan tanpa berpartisipasi aktif. Akan tetapi, tugas dan fungsi
anggota legislatif tidak hanya pada formalitas, melainkan harus dinyatakan dalam tindakan yang
jauh lebih konkrit. Pembelaan pada masalah rakyat menjadi hal penting yang harus dijalankan oleh
anggota DPR.
“Ada anggota DPR yang kerjaannya hanya dandan sampai kita menjulukinya wanita penampilan
tercantik...Ya kalau rakyat melihat shoping bermegah-megahan, sedangkan rakyat busung lapar,
berarti wakil rakyat gak punya empati kepada rakyat. Itu bukan sesosok pemimpinlah. Secara fomal
tugasnya dijalankan, tapi seharunya dipraktekkan, misalnya pembelaan ke ibu-ibu.” 244
Anggota legislatif yang perempuan mempunyai tugas khusus dalam memperjuangkan kepentingan
rakyat. Salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi perempuan. Dalam semua aspek, ia harus
hadir menyuarakan kepentingan perempuan, setelah itu ia baru memperjuangkan kepentingan
daerahnya atau kepentingan lain. Dengan demikian, seorang anggota legislatif harus mampu dan
mengetahui apa saja yang harus ia kerjakan dan perjuangkan selama menjadi wakil rakyat.
“...Dalam semua aspek di sana, dia sebagai politisi perempuan harus hadir untuk menyuarakan
242
Diungkapkan oleh tokoh agama
idem
244
Diungkapkan oleh informan wartawan
243
yang pertama sekali ialah kepentingan perempuan baru yang kedua adalah kepentingan yang
lain...kami harap memang seperti itu.”245
Dalam pemahaman pekerja LSM, yang jelas anggota DPR, “...harus menunjukkan wibawanya,
membuktikan kerja-kerjanya dan tanggungjawab. Dan jangan menonjolkan kepintaran dia, namun
di belakang dia gak tahu apa dan tidak di kerjakan.” Sementara bagi informan konsultan, tugas
anggota DPR adalah memberi masukan atau memecahkan persoalan masyarakat. “..Lebih sensitif,
itu maksudnya dia tahu persis kendala yang dihadapi oleh timnya dia. Bisa ngasih masukan,
bagaimana cara memecahkan persoalan bila itu sudah tidak bisa dipecahkan lagi. Jadi kenapa dia
punya nilai lebih karena, dia memang dibutuhkan untuk memberi masukan.”246
X. Tanggung Jawab Politisi
Tanggung jawab utama anggota legislataif adalah membuat masyarakat sadar politik. Dengan
sadar politik, maka masyarakat bisa melakukan perubahan yang lebih baik bagi kehidupannya.
“Membuat masyarakat sadar politik, dengan sadar politik, maka masyarakat bisa melakukan
perubahan. Kedua, membawa aspirasi rakyat.”247
Menemui masyarakat secara langsung untuk mengetahui dan mendengarkan persoalan sosialekonomi yang dihadapi merupakan salah satu tanggung jawab anggota legislatif. “Saya kira harus
langsung kepada rakyat melakukan pendidikan pemberdayaan, pendidikan penyadaran dan juga
mengembangkan ekonomi kerakyatan.”248 Bagi informan konsultan, tanggung jawab anggota DPR
adalah berhubungan dan menemui dengan rakyat. “Dia gak usah terlalu banyak duduk – duduk di
gedungnya yang mewah, dia harus lebih banyak bekerja dengan grassroot-nya”. “...Dan harus
lebih disiplin dan lebih mengerti kehidupan rakyat di luar, dan dia harus tahu dan sportif kerja dan
tanggung jawab, ” demikian ungkap informan LSM.
XI. Harapan Konstituen
Para politisi perempuan, harus punya kredibilitas dan intensibilitas. Mereka harus sadar, bahwa
keberadaan mereka di parlemen, karena didukung rakyat. Untuk itu, harus bekerja sepenuh hati
memperjuangkan kebijakan yang pro-perempuan. “Ya,…mereka harus punya kredibilitas dan
intensibilitaslah, mereka harus sadar. Sesadar-sadarnya, bahwa mereka itu kerja di situ tidak lain
hanya untuk kepentingan semua.”249
Perempuan harus diperjuangkan secara khusus oleh anggota legislatif yang perempuan.
Perempuan harus lebih kuat mengingatkan anggota DPR yang perempuan untuk terus berjuang.
Jadi, sesama perempuan harus saling menguatkan dan mengingatkan. Dengan adanya kontrol
yang kuat dari sesama perempuan, dapat mengingatkan anggota dewan untuk serius bekerja dan
berjuang.
“Memperjuangkan undang-undang yang mementingkan kepentingan perempuan dengan seluruh
produk perundang-undangan yang dibuat...memasukan seluruh kepentingan perempuan, itu yang
saya mau, dan mereka betul-betul berpihak kepada perempuan. Hadir di sana itu sebagai orang
yang memperjuangkan nasib perempuan. Karena saya tidak bisa berharap ada laki-laki yang bisa
memperjuangkan itu.”250
245
Diungkapkan oleh informan tokoh agama
Diungkapkan oleh informan konsultan
247
Diungkapkan oleh informan wartawan
248
Diungkapkan oleh tokoh agama
249
Diungkapkan oleh informan wartawan
250
Diungkapkan oleh informan tokoh agama
246
Begitu juga dengan harapan dari pekerja LSM yang mengatakan, “...harapan aku
sih...perempuanlah yang harus lebih kuat corongnya untuk menyampaikan kepada anggota DPR,
dan saling mengingatkan pada yang lain. Walaupun dia perempuan, dia jugakan wakil DPR, dia
harus memantau dan jeli, dan harus melihat pendidikan sembako dan BBM ini, itu membuat rakyat
tercekik, seperti buku pelajaran setiap tahun berganti terus.” Sementara itu, informan dari konsultan
menyatakan pesimisnya kepada anggota DPR, “kalau saya terus terang pesimis tuh Mbak, ada hak
dengar, tapi tak ada hak untuk berbuat sesuatu, dan ketika mereka punya hak dan kita sebagai
orang yang memilih mereka tak mempunyai hak gitu...untuk meminta mereka benar-benar serius
untuk memikirkan keluh kesah orang-orang”.
C. INFORMAN POLITISI
(DPR RI, DPRD, PARTAI POLITIK)
I.
Profil Politisi
Para ibu yang berpolitik ini terdiri dari enam orang perempuan yang mapan secara usia dan
ekonomi. Mereka memiliki keluarga dengan posisi pekerjaan suami yang cukup beragam (PNS,
wiraswasta, pensiunan guru, pekerja asuransi, penulis, dan kontraktor). Dengan jumlah anak yang
juga beragam. Lima di antaranya berusia 50-68 tahun, hanya seorang informan yang berusia 37
tahun.
Sebagai anggota legislatif dan pengurus parpol, mereka memiliki latar belakang pendidikan yang
setara, semua lulusan S1/S2, terkecuali seorang lulusan D3. Tingginya pendidikan mereka,
mencerminkan eksistensi mereka sebagai kelas menengah yang terdidik.
Keempat anggota DPR ini terdiri dari anggota Fraksi PDI Perjuangan (DPR RI), anggota Fraksi PKB
(DPR RI), anggota Fraksi PKS (DPRD), dan anggota Fraksi Demokrat (DPRD). Satu di antaranya
memiliki posisi politik yang sangat strategis sebagai ketua salah satu komisi. Sementara tiga orang
lainnya, sebagai anggota komisi dengan bidang yang berbeda-beda.
Untuk pengurus partai politik, satu orang mewakili pengurus tingkat anak cabang (kecamatan) dari
PDI Perjuangan. Satunya lagi pengurus pusat PBR. Keragaman posisi ini diharapkan dapat
memberi gambaran yang komprehensif mengenai kualitas perempuan dari beberapa sudut
pandang.
II.
Kondisi Sebelum dan Pasca Reformasi 1998
1. Perbandingan ekonomi-politik
Menanggapi dominannya pandangan konstituen tentang kestabilan ekonomi zaman Suharto,
seorang anggota DPR RI mengatakan bahwa hal itu menandakan gagalnya partai politik. “
Penilaian itu kegagalan partai-partai politik yang ada tidak bisa mengemas dan tanggap pada
penderitaan rakyat. Ketika Megawati berkuasa, juga kita harus jujur. Kita ini susahnya tidak
dibudayakan otokritik, sehingga itu dirasakan rakyat tidak ada artinya oleh rakyat, apalagi
menyusahkan rakyat...Statemen-statemen kegagalan partai politik dan kegagalan reformasi bisa
menjabarkan seolah-olah rakyat akhirnya melegitimasikan zaman Soeharto enak.”251
Bagi anggota DPR RI lainnya, hal itu muncul karena beberapa hal. “Ya...karena
variabel-variabel yang paling kelihatan publik kan dari sisi kebebasan, ada ruang juga dan
reformasi. Kesalahan kita itu adalah kita tidak mereformasi strukturnya. Prioritas manejemen kita
kan di gerakan oleh demokrasi. Di saat kita reformasi dulu, transisinya belum selesai betul,
sehingga ada perebutan nilai-nilai lama mencari tempat masing-masing, ini kan gak pada
tempatnya. Bayangin pejabat negara zaman Orde Baru masih terus berkuasa. Dan menurut saya,
struktur birokrasi tidak gerak sama sekali, kecuali di media ada kebebasan, ya, itu siapa sih Wiranto
dan Prabowo? Malah kita menumbangkan nilai lama, tetapi kita tidak bisa menduduki nilai baru.
251
Diungkapkan oleh anggota DPR RI FPDI Perjuangan. Dalam hal ini yang bersangkutan bukan dari Dapil
DKI Jakarta. Walau awalnya diharapkan dapat mewawancara DPR RI Dapil Jakarta.
Proses transaksi kita kan begitu, kadang-kadang ada yang arah reformasi ini dilacurkan, di
sabot.”252
Khusus untuk perempuan, Orde Baru berhasil mereduksi nilai keluarga dan masyarakat menjadi
nilai yang menjaga kemapanan politik Soeharto. “...Dulu perempuan masih lemah, kurang, dan
kesempatan juga kurang. Perempuan maunya gimana, harus punya keberanian, punya bekal,
wawasan yang lebih luas, bisa benar-benar mandiri seperti yang lain.” 253
Tetapi, sekarang, “perempuan yang berkiprah di dunia politik meningkat, secara jumlah meningkat.
Belakangan ini organisasi perempuan kan sangat gigih memperjuangkan kuota 30 persen,
bertahun-tahun akhirnya berhasil juga sekarang, tapi kita ngga bisa langsung pakai angka-angka
(kuantitas) harus pakai kualitas juga. Sekarang kelihatanya kan baru disetujui, artinya dilaksanakan
benar-benar, di KPU juga kalau ngga ada 30 persen dikembalikan, itu sudah kemajuan yang luar
biasa...”254 Hal ini juga dibenarkan oleh informan pengurus partai, “semakin bagus, makin banyak
tokoh perempuan...”255
Dari kacamata pengurus partai di tingkat kecamatan 256, apa yang dikatakan senada dengan
pendapat informan pada umumnya, bahwa secara sosial, “pada zaman reformasi ini sudah banyak
kemajuan, dan secara individu yang kita tidak tahu, darimana mereka akan mendapatkan uang?
Sosialnya sudah buruk, apa-apa mahal, tapi kenapa orang-orang kaya justru ngebangun
rumahnya ya, perusaahan, mall-mall banyak. Padahal ekonomi di Indonesia ini sudah buruk.
Apakah pemerintah tidak berpikir gitu, dengan masuknya ekonomi global, maka bertambah
hancurlah ekonomi di Indonesia ini.”
Kemudian, secara politik informan tersebut mengatakan bahwa, “banyak tekanan pada zaman
sebelum reformasi. Partai (Golkar) memaksakan kehendaknya terhadap partai yang kecil (PPP dan
PDI).”
2. Persoalan sosial-ekonomi
Secara politik, persoalan sosial-ekonomi yang dialami rakyat dipahami sebagai akibat keputusan
politik yang tidak memikirkan dampaknya bagi kehidupan perempuan dan anak.
Dalam pemahaman anggota DPR RI257, “sebetulnya kalau kita mau mengacu pada UUD 45 ada
perbedaan tentang itu, warga Indonesia di tanggung oleh negara, kesehatan pendidikan, pangan,
dan papan. Kalau sekarang masih buruk sekali, karena rakyat buruh masih miskin. Sebenarnya
uang
diminta buruh sangat dasar banget deh, untuk kesejahteraan rakyat, tapi sekarang ini belum
terpenuhi. Kalau di bilang upah buruh sudah naik 40 persen, BBMnya sudah 30 persen, dan kalau
ada kenaikan BBM berarti ada pengurangan buruh, PHK terjadi sehingga pengangguran
bertambah. Persoalan pengangguran, pemerintah mau simpelnya aja, pekerja ke luar negeri,
akhirnya ada penganiayaan...”
Tidak berbeda dengan pendapat informan lainnya, anggota DPR RI ini menyatakan bahwa, “ketika
252
Sama halnya dengan informan anggota DPR RI yang pertama, informan yang ini juga bukan dari Dapil
DKI Jakarta
253
Diungkapkan oleh anggota DPRD dari FPKS
254
Diungkapkan oleh anggota DPRD dari FDemokrat
255
Pengurus pusat PBR
256
PDI Perjuangan wilayah Jaksel
257
Anggota FPDI Perjuangan
ada BBM saya tidak melihat ada kartel, tapi bahwa ada susu anak yang dikurangi dalam anggaran
itu. Belanja-belanja nutrisi bagi Ibu hamil itu akan berkurang dan itu mindset yang ada pada kita.”
“Kalau ibu-ibu, ya memang banyaknya mempertanyakan tentang sekolah, rumah sakit, pegang
kartu
258
Gain.”
Naiknya harga BBM dan sembako menyebabkan anak-anak kekurangan gizi karena orang tua tidak
mampu membeli susu. Pemakaman, restribusi, dan pembuatan KTP menjadi persoalan yang sering
dialami warga Jakarta, di samping masalah lain seperti guru bantu, biaya kesehatan, dan biaya
pendidikan. Paling tidak, persoalan ini yang sering disampaikan oleh warga ke DPRD. Di samping
masalah tersebut, menurut informan pengurus partai tingkat kecamatan, kekerasan dalam rumah
tangga masih menjadi masalah utama yang dihadapi ibu-ibu. Sementara informan dari partai lain
mengatakan prioritas kerja partainya, “kita lebih konsen ke guru, nelayan, petani, daripada profesi”.
III.
Perkenalan terhadap Konstituen
Semuanya mengatakan mengenal konstituennya, kecuali informan dari PBR, yang secara jujur
mengatakan tidak mengetahui konstituen atau massanya. Pertanyaannya, bila anggota DPRD
mengenal konstituen, lalu mengapa ibu-ibu di lima wilayah mengatakan sebaliknya? Setidaknya,
mereka memiliki ukuran tersendiri. Bagi anggota DPR, mengunjungi konstituen saat reses adalah
upaya mendekatkan diri dengan rakyat. Persoalannya, perempuan dan warga pada umumnya
memahami kehadiran anggota secara fisik sebagai bentuk konkrit perkenalan mereka. Dijelaskan
seorang anggota DPR RI, bahwa untuk mengenal konstituen, tidak hanya lewat reses. Banyak cara
yang bisa digunakan secara dua arah, sehingga anggota DPR benar-benar dingat oleh rakyat.
IV.
Komunikasi dan Partisipasi Politik
Komunikasi politik dipahami sebagai penempatan anggota dewan yang perempuan di posisi
strategis. Hal ini diasumsikan akan membuka kesempatan bagi perempuan untuk berbicara di
media massa, sehingga pendapat dan kebijakannya diketahui oleh masyarakat luas. Dalam hal ini,
komunikasi yang dijalin searah dan diprioritaskan melalui media massa.
Akan tetapi, ada anggota dewan yang tetap melihat turun ke bawah sebagai komunikasi yang
efektif untuk mengetahui persoalan rakyat. Anggota dewan dapat mensosialisasi program
pemerintah yang dibutuhkan. “Justru kita reses perorangan, biasanya perjalanan dinas itu harus
eksekutif-eksekutif, tapi buat aku ga perlu. Gue ketemu eksekutif selain melalui kepartaian, orangorang umum karena itukan ketemuan 24 jam pelaporan-pelaporan orang miskin basis orang miskin
kita bicarain dulu tentang akseskin. Nah itu yang selalu gue pergunakan itu. Malah ga pernah,
paling sekali ketemu bupati, masalah pengawasan anggaran APBN rumah sakit, karena gue pikir
ga ada perlunyalah pejabat itu. Yang penting ketemu konstituen melalui jalur partai atau ranting,
dan orang-orang umum.”259
Mendatangi warga di perkampungan dilakukan secara teratur oleh beberapa partai. Ada partai yang
memang membagi tanggungjawab anggotanya yang duduk di DPR berdasarkan kecamatan,
sehingga komunikasi dengan warga terus terjalin. Berbagai kegiatan sosial dilakukan, seperti
pengobatan gratis, senam, pengajian. Seorang informan di DPRD, mengungkapkan cara
berkomunikasi dengan konstituen berdasarkan arahan partainya. “Kita dari PKS ada enam anggota
258
259
Dungkapkan oleh anggota DPRD FDemokrat
Diungkapan oleh anggota DPR RI FPDI P
legislatif (caleg) yang dari Jakarta Timur. Dari enam orang itu dibagi-bagi per kecamatan, masingmasing satu aleg itu mengurus 2 kecamatan. Saya sendiri di kecamatan Jatinegara dan Kampung
Makasar. Kita ada kerja sama dengan 2 kecamatan itu, kita kumpul di pengajian-pengajian, atau
kita kumpul di struktur PKS-nya sendiri, kalau kecamatan itu istilahnya pimpinan cabang...Kita
keliling dengan jadwal-jadwal tertentu, diundang atau tidak diundang kita datang, kita bikin jadwal
dengan mereka untuk mengetahui apa sih masukan dari mereka, juga solusinya.”260
“Saya sangat sering mendatangi basis, terutama orang-orang Tionghoa, ibu-ibu PKK di Jakarta
Barat. Kita di DPRD punya yang namanya reses setiap tiga bulan sekali, kalau dulu tidak ada
sistem itu tapi sejak saya bergabung saya memprogramkan ada reses setiap tiga bulan sekali.
Ketemu dengan masyarakat, kemudian ada talk show di Walikota Jakarta Barat, nah itu yang
datang dari seluruh perwakilan masyarakat.” Demikian informan anggota DPRD261 mengungkapkan
pola hubungannya dengan konstituen.
Sementara itu, bagi pengurus parpol yang bukan anggota dewan, dikatakan bahwa tugas anggota
dewan tidak hanya di internal partainya. “Yang saya sayangkan, anggota dewan yang perempuan,
karena mereka hanya berbicara tentang konstituennya saja, tentang partainya saja, tidak pernah
berbicara di luar itu. Mereka tidak tahu bahwa sebagai anggota dewan dia itu wakil rakyat, itu
harusnya apapun yang didapat, permasalahnya atau persoalan apapun yang dihadapin sekarang
selama dia masih menduduki jabatannya itu harus disampaikan ke masyarakat luas, bukan hanya
ke partainya”.262
Persoalan dan solusinya harus disampaikan ke masyarakat, sehingga terjadi komunikasi yang lebih
luas. Bagi pengurus pusat PBR, keterlibatannya di partai politik belum terlalu lama, sehingga wajar
tidak mengenal masyarakat. Sesekali mengikuti rombongan ketua umum berkeliling kampung.
Tetapi, itu pun belum membuatnya merasa cukup tahu tentang persoalan masyarakat.
V.
Kekritisan terhadap Sesama Politisi (dan Tanggapan Balik)
Menurut informan dari DPR RI, dari 11 persen anggota DPR yang perempuan, hanya 60 persen
yang berkualitas. Yang jelas, masing-masing partai mempunyai mekanisme perekrutan sendiri,
sehingga sedikit sulit untuk menentukan kualitas seseorang. “Banyak pengusaha di DPR, loh beda
kalau masuk DPR, pakai kalkulator; kalau saya ke DPR itu bawanya buku, jadi memang beda
aksentuasinya”.
Begitu juga kritik yang dilontarkan anggota DPR RI lainnya, “dan gue pernah mengalami ketika
persoalan buruh, kita dekati teman buruh, ternyata dekat sama manejemen itu, mengkhianati
rakyatkan? Sebetulnya wakil rakyat di DPR ini bukan wakil rakyat lagi, tapi wakil partai. Tanya lagi
partainya tinggal bagaimana harusnya kita wakil partai wakil rakyat juga, apa sih yang dimaukan
rakyat? Oh menolak BBM. Di luar, rakyat menolak BBM, di sini votingnya kalah, seharusnya
votingnya menang kenaikan impor beras. Tidak setuju sama impor beras, tetapi di sini akhirnya
menang, dan itu yang membuktikan ketidakseriusan, padahal gua lagi mimpin rapat teman-teman,
jangan saatnya kita butuh rakyat, tapi sekarang wakil rakyat yang butuh, apa sih yang
diperjuangkan? Jangan cuma waktu kita butuh aja, sekarang dia menilai nah rakyat ini sangat jeli,
apa sih yang diperbuat rakyat itu kalau gue pikir ngapain sih gue capek-capek begini ya? Gak bisa.
Banyak juga DPR di sini sebetulnya males juga diplomasinya, kita disini bikin UUD dan budget,
kalau kita menerima asperasi terus buat apa UUD, kalau gitu kan kita gak pro ke rakyat.”
260
Diungkapkan oleh DPRD FPKS
Diungkapkan oleh DPRD Fraksi Demokrat
262
Diungkapkan oleh pengurus partai tingkat kecamatan
261
Kritikan ibu-ibu di lima wilayah tidak ditolak oleh anggota DPR RI lainnya. Bahwa memang kualitas
anggota perempuan di DPR, tidak dapat diharapkan. Banyak yang hanya mengutamakan
penampilan. Keadaan ini seia dengan apa yang diungkapkan pengurus partai di tingkat kecamatan.
Ironisnya anggota dewan justru meremehkan warga yang melakukan aksi menuntut haknya.
Sebaliknya, yang mereka lakukan sangat tidak pantas untuk seorang pemimpin. “Anggota dewan
yang bercermin atau dandan sewaktu rapat, saya kutuk itu.”
Beberapa informan lainnya, tidak memberikan penilaian terhadap kinerja dan keberpihakan sesama
anggota DPR maupun sesama pengurus partai.
VI.
Konsep Kepemimpinan
1. Kepemimpinan pada umumnya
Bagi anggota DPR dan pengurus parpol, makna kepemimpinan tidak berbeda jauh dengan
informan lain. Anatar konsep dan praktek harus seimbang, seperti yang dikatakan oleh informan
DPR RI263, “...orang kalau berteori banyak, tapi realistis dia lakukan ga? Contoh, buruh datang 250
ribu, teman-teman ga ada yang mau nemanin, karena dia risih, dan dia banyak ngomong janganlah,
nanti dilemparnya batu, kok buruh sejelek itu sih? Tapi gue naik, ga ada seperti itu. Mungkin
merasa ketika itu dia punya jabatan. Harus memimpin, kalau ga memimpin itu pemimpi kurang satu
huruf tapi sudah beda artinya ya. Resikonya harus panas-panas harus capek-capek. Ketika datang,
ya, harus kita temuin. Pemimpin itu tidak memimpin di belakang meja, itu namanya mimpi terus,
tidak konsisten dan banyak terjadi”.
Dikatakan bahwa pemimpin sejati bisa mengayomi dan tegas, memberikan
ketenangan dalam arti hak hidup. Secara garis besar, pemimpin adalah orang yang bisa
me-manage bawahannya. Siapapun orangnya, harus sehat fisik, akal, dan mentalnya. “Kalau
saya seorang pemimpin sejatinya yang bisa mengadopsi kepentingan orang lain, memberikan
ketenangan dalam arti hak-hak hidup, kalau dari sisi odopsinya yaitu mengayomi. Saya kira itu yang
selama ini belum kita dapati, di samping itu mungkin indikator lain mungkin dari sisi ketegasan juga.
Saya kira itu kalau dari sisi moralitas berlaku umum.”264
Menurut anggota DPRD265, “seorang pemimpin itu bisa me-manage bawahannya yang dipimpin,
bisa mempengaruhi bawahan-bawahannya.” Lebih jauh lagi, seorang informan mengasosiasikan
dengan kepemimpinan tentara dan Ki Hajar Dewantoro, di depan memberi contoh, di tengah
memberi motivasi, dan di belakang memberi dorongan. “...Begini, ada dua konsep kepemimpinan.
Menurut ABRI itu ada 11 azas kepemimpinan, diantaranya yakni: Tut Wuri Handayani, Ing Madya
Mangun Karso, Ing Ngarso Suntulado, didepan memberi contoh, di tengah memberi motivasi dan
dibelakang memberi dorongan. Seorang pemimpin juga harus legowo, bisa regenerasi, jangan
sampai dia maunya terus berkuasa, ngga mau turun. Handar Beni, seperti ayam bisa mengayomi
anak-anaknya. Prasojo, hidup sederhana jangan foya-foya; geminastiti, hidup hemat, banyak lagi
...saya aga lupa, tapi ada 11 asas.”266
263
Anggota F PDI Perjuangan
Diungkapkan oleh anggota DPR RI FPKB
265
Anggota FPKS
266
Diungkapkan oleh anggota DPRD FDemokrat
264
Baginya, pemimpin harus seperti bulan, bulan itu tidak menyilaukan, tidak sombong. Dan pemimpin
itu harus seperti angin, bisa ke mana saja. Dan bisa seperti tanah, dia diinjak, diludahi, tetapi
diperlukan. Juga bisa seperti air, dan bintang.
Bagi pengurus parpol, apa yang dimaknai tentang pemimpin terasa lebih mendekat dengan
kebutuhan warga.Dan yang terpenting, pemimpin harus mempunyai hati nurani. “Pemimpin adalah
mereka yang banyak memperjuangkan hak rakyat, dan mereka yang bisa hidup seperti rakyat,
bukan yang dari konglomerat terus jadi pemimpin.”267 Pengurus parpol yang lain mengatakan
bahwa, “pemimpin itu orang yang bisa memberi contoh yang nyata, bukan sekadar bicara harus
begini-begitu tapi juga melakukan itu.”268
2. Kepemimpinan Perempuan
Latar belakang seseorang menentukan cara pandangnya. Dalam pemahaman anggota DPR yang
berasal dari Fraksi PKS, pemimpin perempuan sedikit berbeda dengan pemimpin laki-laki, karena
fitrahnya berbeda. Pemimpin perempuan memiliki keistimewaan yang lebih dibanding laki-laki.
Dengan peran ganda yang diembannya, perempuan memiliki kemampuan me-manage rumah
tangga, organisasi, dan masyarakat. Pandangan ini serupa dengan anggota DPR lainnya, juga
pengurus partai. Perempuan lebih mampu dan kuat daripada laki-laki. “Dan jika sekarang yang
memimpin perempuan, saya yakin tingkat korupsi menurun.”
Menurut informan DPR RI, “kalau kepemimpinan perempuan seutuhnya sih tidak ada problem, bisa
di terima masyarakat bisa memberikan contoh”. Pernyataan ini diberikan dengan catatan kritis yang
dapat menggambarkan realitas perempuan sekarang. “Memang lucu juga, perempuan katanya
tidak dikasih kesempatan, padahal kita harus merebut kalau bisa kita lebih dari 30 persen karena
kita wanita, tetapi dari sisi lain buat apa juga banyak-banyak anggota DPR perempuan, kalau ga
pernah bersuara juga menyuarakan tentang perempuan atau anak-anak, soalnya hubungannya ini
soal anak dan keluarga ga pernah bersuara. Dandan kitanya minta ampun, minta ampun senang
aja mereka berdandan, tetapi ga sesuai. Untuk apa dia DPR ini kan bisa di hitung juga PDI siapa
sih...PKS siapa...GOLKAR siapa? gitu-gitu kan bisa di hitung itu, ga juga harus 30 persen itu.”
Sisi humanis perempuan lebih menonjol dalam penentuan kebijakan. Sebagai contoh, dalam
kasus kenaikan BBM, politisi perempuan akan langsung mengaitkan mahalnya BBM dengan
kesanggupan ibu rumah tangga memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sementara politisi lakilaki cenderung melakukan kapitalisasi dalam tiap kebijakan politiknya. Hal ini diungkapkan oleh
informan DPR RI lainya, “...saya kira perempuan yang bisa melayani masyarakat, perempuan
punya potensi ingin tahu sebenarnya tiap individu dalam sebuah keluarga juga; saya tidak
mengkhususkan pemimpin perempuan dan laki-laki, saya pikir perempuan lebih care ya...politik
tangan kita, kalau dihitung dari laki-laki kapitalisasinya, kalau perempuan agak beda melihatnya dari
sisi kebutuhan dari sisi keringnya ya...dari sisi manajemen pengelolaan pasti sering budget-nya”.
Seorang informan dari DPRD lebih menitikberatkan pada kesehatan fisiknya. “Saya berpikir siapa
pun orangnya harus sehat fisik, harus kuat, karena diperlukan ketika harus mobile, fisiknya harus
kuat. Juga mental dan spiritnya juga kuat karena harus menghadapi berbagai macam hal di
lapangan.”269
267
Diungkapkan oleh pengurus parpol tingkat kecamatan
269
Anggota FPKS
Menurut anggota DPRD tersebut, perempuan sudah menjadi pemimpin sejak di rumah. “Di rumah
tangga saja kita telah jadi pemimpin, jadi pemimpin itu nggak hanya yang di organisasi, tapi juga
pemimpin di rumah tangga. Ada yang dominan isterinya dan banyak yang dominan suaminya. Baik
laki-laki atau perempuan, asal bisa memiliki asas menurut ABRI dan Bagawad Gita.”270
Bagi pengurus partai, pemimpin perempuan itu, “harus memiliki leadership, di samping punya skill,
wawasan luas juga loyalitasnya terhadap komunitasnya, konstituennya. Juga harus memahami
permasalahan di bawah secara kongkret. Jadi seorang pemimpin bukan hanya pandai bicara tapi
juga pandai memberi contoh yang baik bagaimana cara menolong rakyat, dan bagaimana cara
berbicara kepada rakyat dan apa yang harus diberikan kepada rakyat.”271
Lebih jauh dikatakan bahwa, “pada dasarnya perempuan itu lebih mampu dari laki-laki, dan itu mau
tidak mau harus diakui, bahwa perempuan itu lebih kuat dari lelaki. Dan jika sekarang yang
memimpin itu perempuan, saya yakin tingkat korupsi itu gak ada”.272
Pemimpin perempuan lebih memahami, karena dampak kenaikan BBM, sembako dan segala
macam, apa yang dirasakan ibu-ibu rumah tangga. Dan bila ada pemimpin perempuan, kalau dia
tidak bisa merasakan situasi seperti itu, akan sangat disesalkan. Tetapi, diyakini bahwa perempuan
itu sangat memperhatikan kenaikan bahan-bahan makanan dan ikut merasakan hal itu.
VII.
Nilai yang Dipegang
Dalam konteks perpolitikan Indonesia, karisma dipercaya sebagai hal yang menentukan
kepemimpinan seseorang. Ditegaskan, hal ini bukan berarti menghidupkan feodalisme. Karisma
dalam konteks ini berbeda dengan feodalisme. Yang jelas, dibutuhkan bakat-bakat tertentu
sehingga seseorang bisa memimpin. “Saya lihat ada bakat, karena itu karisma bukan artinya
mengumpulkan feodalisme. Emang orang punya intensi kemudian bisa dikuatkan. Kemudian punya
bakat-bakat tertentu, semua orang punya saya kira itu, tapi ukuran itu ada mungkin di setiap jenjang
dan level, misal dia unggul di leadership tapi yang lain nol, kalau yang kita mau pemimpin yang
paripurna.”273
“Ya pengaruhnya sedikit, itu masalah pendidikan agama. Yang penting begini, wakil rakyat yang
khususnya perempuan, dia bisa mengerti siapa sih yang kita wakili, misalnya komunitasnya rakyat
miskin, ya dia harus turun, makanya lucu kita dibilang partai wong cilik, tapi kita glamor sasaknya
dan perhiasanya mentereng dan ketemu rakyat miskin, ibu saya ga bisa bayar uang kontrakan,
anak saya sakit, dan dia bilang begini-begini, kenapa ga dicopot aja perhiasannya? Buat batin
rakyat, itu menyakitkan hati rakyat loh...mengeluh di depan kita dan kita bilang ga ada, tetapi
perhiasan kita mentereng begitu, kalau pendidikan gampang di raih, sekolah persamaan ada, tapi
hati nurani dia bisa menjiwai kalau kita dari wong cilik ya harus bisa wong cilik, tidak lari dari mereka
dan tidak ada jarak.”274
Kompentesi menjadi bagian penting yang dianggap mempengaruhi seseorang dalam memimpin,
termasuk dengan tidak meninggalkan fitrahnya sebagai perempuan. “Asal dia punya kompeten,
kemampuan di sisi itu dan tidak meninggalkan fitrah.”275
270
Anggota Fdemokrat. Lihat konsepnya tentang pemimpin
Diungkapkan oleh pengurus PDI Perjuangan tk kecamatan
272
idem
273
Diungkapkan oleh informan DPR RI PKB
274
Diungkapkan oleh informan DPR RI FPDI Perjuangan
275
Diungkapkan oleh DPRD dari Demokrat
271
Kesombongan menjadi sifat yang harus dihindari bila ingin menjadi pemimpin, tidak saling
menjatuhkan sesama perempuan. Dengan kata lain, sesama perempuan harus saling mendukung
dan menguatkan.276 Dan peduli kepada orang lain juga menjadi nilai yang diungkapkan oleh
informan pengurus partai lainnya.277
Bagi pengurus tingkat kecamatan, moral pemimpin menjadi sangat penting. Moral ini akan
menentukan loyalitas seseorang dalam berpolitik, termasuk dalam menjalankan rumah tangganya.
“Dibutuhkan moralitas. Kita disinikan punya raport itu yang dinilai pengalaman, hati nuraninya ada
ga…loyalitas itu bukan hanya dari segi materi ya tapi ya loyalitas itu kan luas…misalnya ada
undangan hajatan dari anggota gitu, terus yah ada ga loyalitas sebagai bagian dari itu datang tapi
ternyata tidak yang datang paling hanya ketua...278”
“Kalau dia bermoral, dia memperhatikan keharmonisan rumah tangganya; berarti dia tidak akan
menoleh ke kiri dan ke kanan...hanya satu pasangannya. Karena di negara ini moralnya sudah
sangat krisis. Kalau seorang pemimpin moralnya benar, tentu nasib kita gak begini. Yang
diharapkan kalau jadi pemimpin perempuan jangan sampai ada yang korupsi. Kalau dulu ada
anggota dewan yang berselingkuh (ini hanya dengar-dengar), jangan sampai anggota dewan yang
perempuan seperti itu.” 279
VIII.
Peran Pendidikan
Semua informan sepakat bahwa pendidikan tinggi tidak menentukan kepiawaian seseorang dalam
memimpin. Beberapa orang mengatakan bahwa sekolah tinggi perlu, tetapi bukan penentu. Yang
penting, dia punya bakat memimpin yang terasah melalui pengalaman hidup dan organisasi.
Internalisasi ideologi tidak didapat dari bangku kuliah, melainkan dari pengalaman hidup yang
terasah. Jadi pendidikan tinggi bagi anggota DPR RI280 bukan ukuran. “...Kalau perempuan dari
aktivis sangat beda karakternya. Kalau knowledge bisa dengan sekolah, proses internalisasi
ideologis yang gak kena.”281
Pernyataan yang sama keluar dari informan DPRD, “ngga mesti, kalau punya bakat pemimpin,
sudah biasa di organisasi sejak awal, dia bisa juga menjadi pemimpin”. 282 Demikian juga dengan
anggota DPRD dari Demokrat yang mengatakan, “tidak harus, tapi bagusnya yah berpendidikan
lah, syukur kalau berpendidikan tinggi. Tidak harus, karena belum tentu orang berpendidikan tinggi
bisa menjadi pemimpin, kalau sifatnya tidak bagus, apa gunanya. Misal orangnya sombong, angkuh
tidak mau turun ke bawah dan lainnya, susah untuk jadi pemimpin.”
“Pendidikan formal perlu, tetapi tidak mutlak, sarjana dari universitas apa, atau jurusan apa itu dia,
belum tentu mengerti penuh tentang politik.”283 pengurus parpol lain juga mengatakan hal yang
sama, bahwa pendidikan formal perlu tetapi tidak mutlak.
276
Diungkapkan oleh DPRD
Pernyatan dari pengurus partai
278
Pengurus PDIP tingkat Kecamatan
279
Idem
280
Dari PDI Perjuangan
281
Diungkapkan oleh DPR RI dari FPKB
282
Diungkapkan oleh DPRD FPKS
283
Diungkapkan oleh pengurus parpol tingkat Kecamatan
277
IX.
Fungsi dan Tugas Politisi
“Berapa anggota DPR perempuan? Paling persen 11 persen dan di anggaran gak ada, hanya 10
persen terlibat UU, kejeliannya masih kalah.”284
Bagi anggota DPR RI , semua bergantung pada kebijakan. “Ya...sebenarnya
saya sendiri merasa bahwa bisa memainkan peran agregasi kepentingan masyarakat secara
maksimal. Pertama, kekuatan fraksi termaksud fraksi yang tidak cukup besar, kemudian komposisi
perempuan juga begitu, kita lakukan bagaimana semaksimal mungkin keputusan politik, karena
saya di perdagangan bagaimana kita subsidi minyak goreng, dan kita subsidi kacang kedelai di
tingkat policy.”285
Keberadaan anggota yang perempuan disesuaikan dengan keanggotaannya dalam tiap komisi.
Dengan demikian, bila tiap anggota perempuan dapat memaksimalkan perannya, maka
peningkatan kesejahteraan bagi perempuan dapat dijalankan di tiap lini. “Kebetulan saya di komisi 2
(kesejahteraan) ada masalah perempuan, kesehatan, tentunya ada pemberdayaan masyarakat;
kesehatan juga ada, tentunya anggaran itu yang mengeluarkan panitia anggaran; masalah lain,
sekolah, transportasi, pembangunan, kesehatan...aspek perempuan ini misalnya masalah gerakan
sayang ibu, PKK, pencerahan untuk permepuan. Di situ ada. Cukuplah, insyaallah, untuk masalah
perempuan. Walaupun belum optimal, belum sempurna, kedepan lebih baik lagi.”286
Seperti yang dikaitkan anggota DPRD 287, “Komisi B sendiri fokusnya perekonomian, seperti
masalah pasar dan pedagang kaki lima, perindustrian, UKM”. Membina orang-orang yang
terpinggirkan merupakan bagian pelaksanaan amanat rakyat. Dengan demikian, apapun yaang
dijalankan anggota legislatif yang perempuan, tetap harus diarahkan bagi kepentingan masyarakat
dan perempuan secara khusus.
“Mengemban amanat rakyatlah. Bagaimana memperbaiki perekonomian di negara ini, sekarang
apa2
mahal. Perekonomian lesu, terpuruk banget ibu-ibu sekarang. Biaya sekolah, itu yang harus
diperjuangkan, kesehatan juga. Katanya SKTM gratis, ternyata ngga. Rakyat harus membayar
50 persen.” Untuk itu fungsi dan tugas anggota DPR adalah, “membina orang-orang yang
terpinggirkan, yang tidak diperhatikan selama ini”.288
X.
Tanggung Jawab Politisi
Keberpihakan kepada yang tidak mampu, dekat dengan masyarakat, dengan yang lemah, kita bisa
berbagi dengan mereka. Dalam agama dianjurkan dalam Al-Quran ta awwanul wal birri wa taqwa
(bertolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa}.289 “Sebagai seorang pemimpin
perempuan, anggota dewan perempuan, hendaknya memperjuangkan nasib rakyat.”290 Memiliki
“keberpihakan terhadap orang-orang yang susah”.291 dan harus dilakukan “penjabaran saja, kerja
nyata, ngga asyik-asyik duduk, ngga cuma di atas kertas.”292
284
Diungkapkan oleh anggota DPR RI FPDI Perjuangan
Diungkapkan oleh anggota DPR RI FPKB
286
Diungkpakan oleh anggota DPRD FPKS
287
Dari Fraksi DemokratDiungkapkan oleh DPRD FPKS
288
Diungkapkan oleh pengurus PBR
289
Diungkapkan oleh DPR RI dari PKS
290
Diungkapkan oleh pengurus PDI Perjuangan
291
Diungkapkan oleh DPRD FDemokrat
292
Diungkpakan oleh pengurus PBR
285
Dengan kata lain, tanggung jawab politisi perempuan adalah memperjuangkan nasib rakyat.
Sebagaimana dikatakan oleh anggota DPR RI293, “harus mempertanggung jawabkan persoalan
politik ketidak adilan kehidupan sosial ekonomi”.
XI.
Harapan Politisi
Diharapkan terjadi peningkatan yang bisa memrepsentasikan kualitas yang berprespektif gender.
“Jangan berteori dan menghujani rakyat, tapi berbuat...Tidak boleh salah memilih, orang-orang
parlemen maupun orang-orang yang di kabinet ketika mereka menang, tidak boleh lagi salah.”294
Sementara itu, informan lain dari DPR RI berharap terjadi peningkatan prestasi politisi
perempuan. “Untuk politisi perempuan tingkat presentasinya lebih maju, disisi kualitatif yang pasti
bisa presentasi yang berspektif jender tentang politik, kalau bisa itu dilakukan lumayan.”
Perempuan harus kuat dan menjaga pergaulan. Dengan perspektif yang kental keagamaan,
anggota DPRD dari PKS ini memahami dan mencoba mengingatkan tentang rentannya posisi
perempuan berhadapan dengan dunia yang masih didominasi laki-laki. “Kedepan diharapkan yang
muda-muda, pertama ikhlas, berniat ibadah. Perempuan terutama harus kuat menghadapi
tantangan-tantangan yang ada, di sisi pergaulan misalnya, kadang-kadang masing-masing tingkah
polah di pergaulan, tetap harus ada jarak, antara lawan jenis tetap dalam norma-norma agama.
Perempuan yang kadang-kadang rapat sampai jauh malam, mesti sekuat-kuatnya. Keluarga mesti
ikhlas, tetap mendukung, kadang-kadang keluarga kurang mendukung untuk seperti itu.”
“Kedepan harus harus ada perempuan lebih banyak, tapi belajar, jangan asal comot gitu.
Perempuan sekarang bolehlah asal comot, tapi kalau bisa diikutkan pendidikan.”295
“Di sisa waktu yang sedikit ini perbuat sesuatu untuk rakyat, saat ini rakyat sudah sangat kelaparan
dan menderita. Berani bersuara, berani menyuarakan hak rakyat dan juga berbuat sesuatu
untuk rakyat.”296 “Karena sebagai pemimpin harus peduli kepada orang lain, sesama...”297
293
Dari FPDI Perjuangan
idem
295
Diungkapkan oleh DPRD FDemokrat
296
Diungkapkan oleh pengurus PDI Perjungan tk kecamatan
297
Diungkapkan oleh pengurus pusat PBR
294
D. KATA-KATA KUNCI
Matrik Kata-kata Kunci*
PERSOALAN
INFORMAN
KONSTITUEN
KELAS BAWAH
(Ibu rumah tangga)
INFORMAN
KONSTITUEN KELAS
MENENGAH
(Konsultan, LSM,
wartawan, tokoh
agama)
INFORMAN
KELAS ATAS
/POLITISI
(DPR RI, DPRD,
parpol)
KONTEKS
GEOPOLITIK
Padat
Kumuh
Kaum urban
Plural
Tanah negara (Muara
Baru)
Sbg pusatnya org
miskin dan kaya
PROFIL
INFORMAN
Kelas bawah/Miskin
Pendidikan rendah
Ibu rumah tangga
/pedagang kecil
40-50 th
Bersuami buruh/KMK
/janda
Beranak
Pengangguran/sekolah
Menengah
Rumah kecil (tanpa
sertifikat tanah)
Berorganisasi
Kelas Menengah
Pendidikan tinggi
(S2/S1/D3)
Ibu rumah tangga
LSM/toga/wartawan/
Konsultan
32-42 th
Bersuami/lajang
Beranak/balita
Rumah kontrakan
Berorganisasi
Menengah/atas
Pendidikan tinggi
Bersuami/janda
Beranak
Penulis,
wiraswasta
Rumah sendiri
Berorganisasi
Pra:
Ekonomi stabil (harga
stabil)
Lap kerja tersedia
Kontrol sosial yg ketat
Eko dg hutang LN
Represif
idem
Orba mereduksi
nilai keluarga dan
masyarakat
KONDISI SBLM
DAN PASCA
REFORMASI 1998
1. Perbandingan
ekonomi-politik
2. Persoalan
Pasca:
Reformasi kebablasan
Ekonomi memburuk
Memberi tempat bg
perempuan utk berpolitik
Ada kebebasan
berbicara/berorganisasi
BBM
Pada reformasi tdk
terjadi
restrukturisasi
kepemimpinan
(Menyepakati
(Menyepakati
Sosial-ekonomi
PERKENALAN
KOMUNIKASI
DAN
PARTISIPASI
KEKRITISAN
KONSEP
KEPEMIMPINAN
1. Kepemimpinan
umumnya
Konversi MT ke Gas
Harga sembako
BLT/potensi konflik
Gakin
Akte kelahiran/KTP
Penggusuran
Pemakaman
Banjir
persoalan informan
kunci.)
Bunuh diri ibu dan
anak
Hilangnya harapan
Negara gagal
Perbedaan kebutuhan
antarkelas
persoalan informan
kunci)
Guru bantu
Buruknya gizi ibu
Keputusan pol yg
tdk berpihak
Tidak kenal
Kenal bbrp (Kofifah,
Nursyahbani, Tjiptaning,
Muoeryati sbg
pengusaha, Marisa,
Sondah)
Ingat programnya
Megawati/SBY/ST
Fadilah/Mulyani
Tidak ada hubungan yg
berkala (sesekali melalui
parpol)
Berhub hanya waktu
pemilu
(dimobilisir)
Politisi ingkar janji
Takut ke DPR
Pernah protes/aksik yg
apatis pd parpol
banya
Turun ke rakyat bila di
und saja
Anggota DPR hanya
sibuk di ktr
Anggota tdk berhub dg
konstituen
Hanya mengumbar janji
wkt pemilu
Anggota mengecewakan
rakyat
(Idem)
Kenal Andi Rusbandi,
Junliana Paris dll
Anggota DPR tdk
popular
Merasa mengenal
konstituennya
(Idem)
Kriminalisasi org
miskin
Dilematis (partai dg
rakyat?)
Berkomunikasi
melalui reses
Turun langsung ke
masyarakat
(pengobatan gratis,
bantuan pendidikan
dll)
Bicara di media
massa
Turun ke rakyat
(diundang atau tdk)
(Idem)
Parpol sbg alat
perjuangan
Anggota dewan byk yg
konservatif
Hadir di DPR krn KKN
60% anggota
dewan berkualitas
Byk yg pengusaha
(yg dipegang
kalkulator)
Byk yg prioritas
penampilan
Bertanggung jawab
Berdedikasi
Berwibawa
Rajin ke masyarakat
Tidak mengumbar janji
Tidak lupa rakyat/pemilih
Peduli
Kompromis
Yg punya tujuan utk
rakyat
Betul-betul berjuang
utk rakyat
Bisa dipercaya katakatanya
Mendorong kinerja lbh
baik
(Idem)
Sehat fisik, akal,
mental
Motivisator
2. Kepemimpinan
perempuan
Siap menuntun rakyat
Siap menanggung resiko
Memberikan yg terbaik
buat rakyat
Memperjuangkan dan
mengerti kebutuhan
rakyat
Semua bisa memimpin
selama ada kemauan
Demokratis
Bkn kerja personal tp
kerja tim
Wil publik: perempuan
lebih mampu
Jauh lebih baik dari laki2
Peduli, Jujur
Lebih kreatif, aktif, dan
berani
Lebih py hati nurani
Mudah iba
Lebih segan utk korupsi
Berjiwa sosial
Tegas
Blm sepenuhnya
terbebaskan dr budaya
patriarkhi (Jakbar)
Wil publik:
Agen perubahan
Teliti dlm bekerja
Pengendali
Menghargai proses
Wil Publik:
Adil
Py kemampuan
berorganisasi
Humanis
Wil Domestik:
-
Wil Domestik:
Perp hrs
berdasarkan
fitrahnya (PKS)
Wil Agama:
Panutan secara sosial
dan religius di rmh
Tdk dpt menjadi imam
Perawat lingkungan
Wil Agama:
Wil Domestik
Suami yg mimpin di
rumah
Wil
personal/religiusitas
Suami yg mimpin ritual
agama/sholat
Khusus Mampang:
Boleh aktif di luar,tp
memprioritaskan rumah
Sulit di posisi publik
Setuju peran perem di
lingkup yg kecil (mis: klp
pengajian)
NILAI
(Syarat)
Berpengetahuan luas
Mampu di bdg2 tertentu
Bijaksana
Beriman dan takut tuhan
Rajin beribadah
Bermoral/tdk mencuri hak
org lain
Pancasilais
Penjaga moral (tdk
berselingkuh)
Bkn pelaku KDRT
Tdk egois
Religiusitas bkn
ukuran kualitas (toga)
Berkarisma
Berkompetensi
Loyal
Sayang keluarga
Tdk diskriminatif
Berkepribadian
Solider
Berpihak pd org miskin
Ikhlas dan jujur
PENDIDIKAN
Penting/syarat utama
Bekal yg penting
Sekolah py keistimewaan
Tdk sek tinggi tdk
apa2/bukan
prasyarat/bkn jaminan
Yg penting bisa
memimpin dan peduli pd
rakyat
Yg penting
berdedikasi,
berpengalaman dan
berorganisasi
Sekolah dan
pengalaman sama
penting (toga)
Pendidikan tinggi
penting tp bukan
penentu
Yg ptg py bakat
memimpin
Pemimpin bs
otodidak
FUNGSI DAN
TUGAS
Memakmurkan rakyat
Berkomunikasi lgs dg
rakyat
Memikirkan rakyat
Memberi contoh yg baik
Secara formal
dijalankan
Tp tdk ada pembelaan
pd perempuan
Hrs menyuarakan
aspirasi perem
Berjuang melalui
fraksi
Membina org2
pinggiran
TANGGUNG
JAWAB
Menepati janji kampanye
Ngemong rakyat kecil
Membela rakyat
HARAPAN
Terjadinya pembenahan
ekonomi rakyat
BBM dan sembako
kembali normal/murah
Jangan ada
pembongkaran
Berhutang benar2 utk
rakyat
Membuat rakyat sadar
politik
Mengetahui lsg mslh
rakyat
Punya kredibilitas dan
Intensibilitas
Perempuan hrs saling
menguatkan
Dekat dg rakyat
Dan mau berbagi
Memperjuangkan
nasip rakyat
Terjadi
peningkatan
kualitas gender
Lebih perhatian pd
lansia, dan anakanak
*Diambil dari deskripsi temuan lapangan
BAB III
PEMBAHASAN
A. PANDANGAN TENTANG KUALITAS
I.
Persoalan Sosial-Ekonomi
Dalam struktur sosial masyarakat yang masih feodal dan patriakhal, persoalan sosial-ekonomi yang
dihadapi anggota masyarakat adalah bagian yang menyatu dari keseluruhan proses kebijakan
ekonomi politik kelompok yang berkuasa. Ikatan yang bersifat patron-client menempatkan anggota
masyarakat yang tidak dekat dengan kekuasaan menjadi kelompok yang terabaikan dan
termarjinal. Sebaliknya, dalam relasi politik yang timpang, terdapat kelompok yang diuntungkan
secara ekonomi, sosial, dan politik. Hubungan yang berlapis demikian melanggengkan eksistensi
kekuasaan yang menjadikan masyarakat bawah dan menengah sebagai pihak yang harus siap
berhadapan dengan kondisi yang bertolak-belakang dengan nilai kesetaraan, keadilan, dan
kesejahteraan.
Peter L. Berger melalui skema piramida sosialnya menggambarkan adanya klasifikasi sosial
masyarakat berdasarkan kelas sosialnya. Kelompok minoritas yang berada di strata tertinggi
menjadi pihak yang teristimewakan, yang memiliki legitimasi sosial, politik, bahkan transendental
dalam memegang dan mengendalikan kekuasaan. Dalam masyarakat feodal, menjadi absah
seseorang mendapatkan keistimewaannya melalui garis keturunan. Relasi “atas-bawah” masih
sangat mempengaruhi sistem birokrasi dan kehidupan masyarakat pada umumnya.
Perempuan menjadi kelompok yang paling termarjinalkan. Masyarakat, negara, dan keluarga
bersepakat dalam meminggirkan perempuan sebagai kelompok sosial yang tidak memiliki posisi
strategis dalam menentukan hidupnya. Persoalan yang dialami hampir semua perempuan kelas
bawah ialah bertahan hidup, tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk keluarganya.
Stratifikasi sosial yang memisahkan sekaligus mempertahankan keberadaan kelas sosial dalam
masyarakat telah menciptakan ruang pertentangan, dengan kualitas sosial-ekonomi yang berbeda
pula. Krisis ekonomi telah menciptakan pola bertahanan yang berbeda bagi masyarakat. Bagi
masyarakat kelas menengah ke bawah, bisa bertahan hidup sudah menjadi hal yang luar biasa.
Sementara bagi kelas atas, kebutuhan mendasar sebagai manusia bukan persoalan lagi. Makan,
minum, berpakaian, bertempat tinggal yang layak, pendidikan, dan akses informasi sudah
terpenuhi. Ketika krisis ekonomi terjadi, hanya kebutuhan mewah lainnya yang terganggu. Naiknya
harga bensin, membuat kelompok ini berpikir ulang untuk melakukan pemborosan. Atau, kebutuhan
untuk berbelanja dan menikmati dunia malam menjadi sedikit dikurangi. Walaupun dalam banyak
kasus, pengurangan ini tidak dilakukan semua keluarga kaya, namun kenyataannya, pusat
perbelanjaan mewah, dan mobil mewah makin banyak di jalan-jalan protokol di Jakarta. Fakta
sosial ini mengindikasikan bahwa krisis ekonomi memang tidak dirasakan kelas atas.
Kondisi tersebut diperkuat seorang wartawan yang mengatakan bahwa masalah sosial-ekonomi
memiliki karakteristik berdasarkan kelas sosial. Bagi kelas menengah ke atas, persoalannya yakni,
“...bagaimana menyediakan uang untuk dugem, tampil cantik, hanya seputar yang menguntungkan
pribadinya sendiri. Kalau kelas bawah tidak seperti itu. Problemnya benar-benar masalah
kolektif...Justru kelas atas tidak kena masalah. Kena sih masalah, tapi tidak secara langsung.
Masalah kelas atas itu masalah dekaden. Ekonomi bukan masalah pokok atau primer. Kalau kelas
bawah memang berjuang untuk itu. Kelas atas untuk mempercantik diri...”298
Dalam konteks Indonesia, Jakarta sebagai ibu kota negara menjadi harapan sekaligus masalah
bagi jutaan kaum urban yang meninggalkan kampung halamannya. Kemiskinan menjadi alasan
yang mendasar bagi sebagian besar kaum urban yang telah lama menetap dan bekerja di Jakarta.
Asumsinya, bila di daerah asal pemerintah mampu menyediakan peluang kerja dengan penghasilan
yang layak yang memenuhi kebutuhan hidup warganya, maka jumlah kaum urban dapat
diminimalisir. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, setiap tahun terjadi peningkatan kaum urban.
Mereka datang tidak untuk bersaing meningkatkan kualitas hidup, tetapi untuk bertahan hidup.
Realitas sosial seperti ini tercermin dari lima wilayah di DKI Jakarta yang menjadi sasaran kajian ini.
Walau karakteristik sosial dan tipikal warganya tidak terlalu sama, ada hal yang menyamakan
mereka. Mereka adalah kaum urban yang telah puluhan tahun tinggal dan bekerja di Jakarta.
Sebagian mereka tinggal di atas tanah yang mereka sadar itu bukan hak milikinya, sehingga
memunculkan ketidaknyaman, karena tahu bahwa suatu saat pasti penggusuran akan terjadi di
perkampungan mereka yang padat, kumuh, dan rentan tindak kriminal.
“...Ini bukan milik kita, tanah ini semua, dan kita gak pernah bayar pajak. Itu semua kita
sadari, tapi kita selalu mempertahankan. Kalau listrik dan air kita jaminlah bayar.” Demikian seorang
ibu muda dengan dua anak mengungkapkan posisi sosialnya.299
Realitas demikian mencitrakan eksistensi kaum urban yang tidak sukses. Jika terdapat orang-orang
yang sukses yang menetap di wilayah yang sama, mereka tidak mewakili kaum urban lainnya.
Karena kenyataannya, sebagaimana yang terungkap dalam wawancara di lima wilayah tersebut,
bahwa mereka miskin. Anak-anak mereka, bila mampu menyelesaikan tingkat SMU adalah suatu
kemewahan, bahkan di antara mereka hanya sanggup menyekolahkan anaknya sampai tingkat
menengah pertama. Kemiskinan menutup peluang mereka untuk hidup lebih baik, karena seperti
mereka sadari, bahwa bagaimana mungkin anak-anaknya dapat bersaing memperoleh pekerjaan,
bila tidak memiki ijazah?
“Anak-anak cuma tamat SMP tidak bisa diterima kerja sekarang. Jadi, kita orang kecil begini sulitlah
kehidupan.”300 Pernyataan ini, mewakili semua ibu yang tinggal di Muara Baru, bahwa anak-anak
mereka terancam tidak dapat melanjutkan sekolah atas. Karena di samping uang sekolah yang
mahal, anak-anak butuh uang transportasi. “Kalau saya takut patah di tengah jalan. Istilahnya kita
sudah bisa bayar uang muka, sehari-harinya ini ntar yang susah. Sehari kan lebih dari goceng uang
saku itu.” Akibatnya, harapan untuk hidup lebih baik menjadi sulit terwujud.
a. Persoalan yang Dihadapi Warga
1. Masalah Ekonomi
Kenaikan harga BBM telah merubah wajah masyarakat. Karena pemotongan subsidi untuk BBM
selalu diikuti dengan gejolak pasar yang membuat harga kebutuhan pokok meningkat dan sering
langka di pasar. Keadaan ini berlangsung hampir dalam setiap pemerintahan, bahkan dalam lima
tahun terakhir telah terjadi berkali-kali kenaikan BBM. Hal ini mengakibatkan munculnya sikap
298
Pernyataan disampaikan informan wartawan ketika diwawancara di Taman Ismail Marjuki,
Jakarta Pusat.
299
Ibu Lili (nama samaran) menetap di Muara Baru sejak tahun 90-an, berasal dari Jabar dan bersuamikan
laki-laki Makassar.
300
Diungkapkan ibu Hindun (nama samaran) berstatus janda dengan dua anak, menetap di Muara Baru.
apatis warga masyarakat. Persoalannya, bagi kebanyakan warga, kenyataan itu diterima sebagai
situasi yang given. Walaupun dalam pembagian BLT, mereka menganggap itu bukan solusi karena
hanya memunculkan konflik horisontal baru antar warga. Mereka memang tidak menolak bila
memperolehnya.
“Bukan saya sendiri ya yang merasakan. Banyak warga sini yang ketika BBM naik, hati kecilnya
menangis. Teriak juga, tapi walaupun nangis atau apa, BBM tetap aja naik. Terus turun bantuan
BLT, dan banyak yang tidak dapat.”301 Menurut Ibu Ida dari Paseban, masalah BLT ini, “jangan
dikasih dalam bentuk begitu, kadang kan yang kaya dapat sementara yang miskin nggak dapat kan
ribut, menurut saya lebih baik dibuat subsidi untuk pendidikan atau kesehatan gitu”.
Apa yang dikatakan Ibu Asyah dari Muara Baru, sama dengan Ibu Amaliyah warga Mampang,
“masalah ekonomi, makin hari makin sulit, terasa makin nggak enak dan nggak nyaman, barangbarang banyak yang udah langka, mahal lagi. Kalau biasanya barangnya ada tapi agak mahal, yah
bisalah kita usahkan beli, tapi kalau barangnya dah nggak ada gimana? Kok untuk kebutuhan vital
nggak ada seperti gas, minyak tanah dan bahan makanan seperti telur dan ayam itu naik-naik terus,
dulu Rp.8.000,- dapat sekilo, sekarang cuma dapat setengah kilo, naik dua kali lipat”. Senada
dengan Ibu Lili302, “...yang membuat warga menjerit adalah masalah harga BBM. Yang gak
kebagian gas dari pemerintah, harus membeli minyak tanah 1 liter itu, dengan harga 7500. Begitu
juga beras”.
Pernyataan Ibu Fatimah, warga Muara Baru303 dapat menjelaskan betapa beratnya beban
ekonomi perempuan, “...ini ibaratkan kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Mungkin kita sudah
tidak makan apalagi anak sekolah kebutuhan ini, itulah. Dan kita tabah-tabahin aja supaya
anak kita bisa sekolah”. Bagi Ibu Rini di Klender, masalahnya menjadi makin berat karena suaminya
hanya pekerja serabutan (lepas), “...kerja serabutan itu kan gak ada yang namanya naik gaji, ya
gajinya segitu-gitu aja. Kalau ada yang nyuruh ya kerja, tapi kalau gak ya nganggur. Jadi lebih
parah sekarang suami saya setelah SBY jadi presiden, sebelunya lumayan…”304
2. Masalah Kesehatan
Masyarakat miskin di Jakarta dapat diklasifikasi atas empat kategori. Kategori pertama adalah
orang miskin yang memang harus dirawat gratis 100 persen. Yang masuk kategori ini 498.000 jiwa
ditambah para penghuni 116 panti sosial (semua penghuni panti sosial mendapatkan layanan
kesehatan gratis), para penghuni di 35 rumah singgah untuk anak-anak jalanan dan Yayasan
Talasemia. Kategori kedua, orang miskin dengan KTP DKI Jakarta, tetapi tak mendapatkan kartu
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin) dan menghadapi masalah
biaya pelayanan kesehatan. Mereka diberi surat keterangan tidak mampu dari RT/RW. Kategori
ketiga adalah orang miskin yang tidak mempunyai kartu JPK Gakin dan tidak bisa mendapatkan
surat keterangan tidak mampu dari RT karena tidak mempunyai KTP DKI Jakarta. Kategori
keempat, orang miskin rujukan nasional dari seluruh Indonesia yang berobat ke DKI Jakarta.305
Persoalannya, rata-rata informan mengatakan sulit mengakses kartu Gakin, walaupun sudah
memiliki, sering masih dipersulit di rumah sakit. Hal ini pernah dialami oleh Ibu Parni, “kita kan
kalau pakai Gakin susah ya, saya aja pernah dipermainkan sama pihak rumah sakit, dibilang gak
ada kamarnya atau apa dan dikasih obat juga tidak, terus saya disuruh pulang katanya disuruh ke
301
Dijelaskan Ibu Asyah.
Warga Muara Baru.
303
Ibu beranak satu ini mengandalkan nafkah dari suaminya yang bekerja sebagai buruh kapal pengangkutan
kayu.
304
Diungkapkan Ibu Rini.
305
Koran Harian Kompas, 19 Maret 2005.
302
Cipto. Saya bingung, saya suruh saja saudara saya ke loket tebus obat dan minum obat itu,
sembuh jadi gak usah di rawat juga gak apa-apa”. 306
3. Masalah Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan di kalangan kaum urban adalah fakta sosial yang terjadi secara
berkesinambungan. Ketidakmampuan ekonomi mengakibatkan kesempatan anak untuk mengecap
bangku sekolah tidak terpenuhi. Pada beberapa informan dipahami bahwa putus sekolah akan
memutuskan harapan untuk bisa hidup kebih baik. Karena dalam masyarakat yang kapitalistik,
ijazah menjadi syarat untuk mendapatkan pekerjaan. Nyatanya, yang punya ijazah pun belum tentu
mudah mendapatkan pekerjaan, karena di tengah persaingan yang sangat ketat, ijazah SMU sudah
tidak cukup lagi. Ibu Ida warga Paseban, mengungkapkan apa yang ia alami, “…kadang-kadang
saya sedih melihat anak saya lulus sekolah juga susah ngebiayaainnya, bagaimana caranya
sekolah agar dapat ijazah SMA, eh udah lulus malah nganggur”.
Persoalannya, mengapa negara atau pemerintah tidak segera merealisasikan janji sekolah gratis
dengan dana yang diambil dari APBN sebesar 20 persen? Akibatnya, seperti yang diungkapkan
seorang ibu muda307 yang tinggal di Mampang, “biaya pendidikan jauh lebih mahal dari
sebelumnya, mungkin menurut saya juga dampak kenaikan BBM, karena semuanya pakai BBM,
katanya gratis padahal aspek lain ada tambahan ini itu, belum lagi anaknya minta privat, ada aja
tambahan, atau jualan buku, SPP murah atau gratis tapi ekstra kurikuler (ekskul) bayar.”
Untuk itu dibutuhkan konsistensi pemerintah dalam menjangkau anak-anak ini, sehingga sekolah
gratis tidak hanya menjadi slogan pemerintah. Dengan demikian, keluhan para ibu yang
menyatakan bahwa beaya sekolah gratis, tetapi murid harus membayar buku dan lainnya, tidak
perlu lagi terdengar.
4. Masalah Pelayanan Sosial Lainnya
Rendahnya layanan publik kepada masyarakat kelas menengah bawah merepresentasi keadaan
birokrasi di pemerintahan yang sering tidak sejalan dengan kebijakan politik, yang sudah diputuskan
di legislatif. Penggusuran tempat tinggal dan tempat berdagang, di satu sisi, adalah upaya Pemda
DKI Jakarta untuk meningkatkan citra Jakarta sebagai kota metropolitan. Namun, di sisi lain,
kebijakan ini dilakukan dengan mengabaikan hak dasar kaum perempuan untuk bekerja dan
bersosial.
Sebagai manusia dan warga negara, maka menjadi hak bagi siapa pun untuk mendapatkan
perlindungan oleh pemerintah. Untuk itu, menjadi tidak logis bila pengurusan akte kelahiran dan
pembuatan KTP masih dipersulit di tingkat birokrasi kelurahan. Begitu pun dengan masalah
pemakaman, pada beberapa kasus, seperti yang disampaikan pengurus salah satu parpol di
Jagakarsa, Jakarta Selatan, pernah dilakukan penggusuran makam yang kemudian di atas tanah
tersebut dibangun tempat perbelanjaan. Hal ini juga diungkapkan anggota DPRD dari FPKS, bahwa
terdapat beberapa persoalan yang hadapi warga Jakarta. “Umumnya selama ini masukan-masukan
masalah guru, guru bantu, guru honorer yang belum mendapatkan atau turun gajinya, belum
diangkat, masalah pemakaman, bagaimana retribusi, masalah pembuatan KTP, SPP anak-anak
sekolah.”
Dalam bahasa Marshall308, kondisi di atas, mengisyaratkan diabaikannya hak sosial, hak sipil, dan
hak politik warga negara. Sebagai warga negara, seharusnya negara dan terutama pihak yang
306
Hasil wawancara dengan Ibu Ponirah, warga Klender.
Berinisial Z.
308
Ekonom sekaligus Sosiolog.
307
berkuasa, dapat memenuhi kebutuhan warga negaranya. Untuk itu, hak-hak dasar warga negara
jangan hanya diangkakan, sebagaimana sering dilakukan pemerintah, termasuk anggota legislatif,
menjadikan persoalan kemiskinan sebatas angka. Ibu meninggal, TKW disiksa, ibu bunuh diri,
semua coba disederhana dengan angka. Oleh karena, harga diri perempuan sebagai manusia dan
warga negara tidak ada hubungannya dengan angka.
II.
Perkenalan terhadap Politisi
Tidak dikenalnya para politisi yang duduk di legislatif oleh para informan adalah fakta sosial yang
dapat menjelaskan kondisi perpolitikan di Indonesia, baik di eksekutif maupun di legislatif.
Keberadaan para politisi, terutama yang duduk di parlemen, adalah kepanjangan tangan warga
negara yang telah memberikan suaranya dalam setiap pemilu.
Dalam tataran formal demokrasi, perkenalan pertama anggota legislatif dengan konstituennya yakni
melalui kampanye pra pemilu. Dengan demikian, warga tiap wilayah akan mengenal secara fisik,
termasuk profil dan program kerja politisi bersangkutan. Interaksi yang terjalin biasanya dilakukan
secara langsung maupun tidak. Bagi warga yang memang tidak berminat dan tidak percaya lagi
dengan keberadaan partai politik peserta pemilu maupun calon independen lainnya, bukan berarti
tidak mengikuti perkembangan informasi pemilu, setidaknya dari percakapan antar warga akan
tersampaikan informasi tentang pemilu.
Ketika dalam realitas politiknya ternyata para politisi yang duduk di DPR tidak dikenal oleh
konstituennya, berarti ada proses berdemokrasi yang terabaikan. Ada situasi yang dimanipulasi,
karena ketika berbicara dan menyampaikan program kerjanya, berarti pada saat itu, seorang politisi
sedang mengatakan kepada konstituenya, bahwa ia siap berjuang untuk kepentingan rakyat. Dalam
logika formal, janji ini adalah ikatan yang mempertemukan kepentingan dua pihak yang sama-sama
berperan dalam politik. Karena dalam sistem politik yang demokratis, kontituen atau rakyat tidak
berada di luar lingkar kekuasaan. Artinya, kekuasaan itu akan nyata bila terjadi relasi yang imbang
dan terus-menerus antara berbagai pihak.
Secara historis politik, tidak dikenalnya anggota legislatif menemukan muaranya pada masa Orde
baru yang melakukan pengerdilan ruang politik bagi rakyat. Selama 30 tahun rakyat hidup dalam
aturan yang represif, pemilu di gelar hanya untuk menjalankan formalitas demokrasi. Tiga partai
politik merupakan sogokan manipulatif pemerintahan Orde Baru, bahwa rakyat dapat memilih
wakilnya untuk duduk di parlemen. Nyatanya, kedua partai lainnya hanya dijadikan pendamping
Golkar sebagai partai penguasa. Demokrasi semu ini telah menjauhkan rakyat dari pemimpinnya.
Pasca reformasi pun, berdasarkan ingatan beberapa ibu, mereka hanya dimobilisir untuk mengikuti
kampanye, tanpa mengetahui siapa yang sedang berkampanye dan untuk apa mereka
berkampanye.
Kondisi ini memberikan gambaran bahwa proses depolitisasi yang dilakukan Orde Baru kepada
rakyatnya telah melahirkan pola relasi yang tidak mengikat. Rakyat ikut pemilu, tetapi tidak tahu
alasan mengapa ia memilih. Begitu juga dengan politisi, berkampanye, menyebar program, namun
tidak paham dengan dan untuk siapa ia berbicara dan berjanji. “Yang saya tahu Megawati saja,
kalau parlemen tahunya Khofifah Indraparawangsa, yang lain nggak tahu. Saya pernah ikut
seminarnya Ibu Khofifah dan Ibu Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, jadi saya tahu sosoknya
tegas, tapi kalau skala besar saya kurang yakin”309, ungkap lugas seorang ibu dari Mampang.
309
Ibu berinisial A, berusia 35 tahun ini mengajar di PAUD, dan aktif di kegiatan sosial dan pengajian.
III.
Komunikasi dan Partisipasi Politik
Adalah hak rakyat untuk hidup sehat dan sejahtera, dan kebutuhan dasarnya sebagai manusia
terpenuhi. Oleh karena itu, pemerintah bertugas menggagas dan menjalankan serangkaian
kebijakan yang dapat mengakomodir kebutuhan rakyat. Dalam UUD 1945, Pasal 28H, ayat 1,
dinyatakan bahwa tiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh layanan kesehatan.
Hal ini dipertegas kembali dalam pasal 34, ayat 3 yang menyatakan bahwa negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak
(ayat 3).310 Pasal-pasal ini menjadi aturan hukum yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam
memenuhi hak dasar rakyat.
Komunikasi yang tidak berjalan ideal antara wakil rakyat dan konstituennya, dalam konteks tertentu,
dapat dikategorikan sebagai kekerasan politik. Karena ada pihak yang seharusnya
bertanggungjawab dan berkewajiban melayani orang-orang yang telah memberikannya
kepercayaan melalui proses politik setiap 5 tahun sekali, justru dengan sadar mengabaikannya. Hal
ini dapat dilihat dalam proses politik yang terjadi di parlemen. Dalam setiap rapat pembahasan dan
pengambilan keputusan, terutama yang tekait dengan hajat hidup rakyat, sikap yang ditunjukkan
wakil rakyat sering mengecewakan. Dalam hal kehadiran rapat dan antusias, hanya ditunjukkan
oleh partai politik yang memang berkepentingan atas kebijakan tersebut. Sebaliknya, proses yang
serius dan antusias akan ditunjukkan DPR dan elit politik lainnya, selama menguntungkan
kepentingan kelompoknya.
Kondisi di atas dapat dilihat dalam Rapat Paripurna DPR RI tgl (?) dengan agenda Daerah
Pemekaran dan Hak Angket BBM. Proses yang berlangsung sangat riuh, sepuluh daerah yang
berkepentingan atas pemekaran masing-masing menghadirkan massa pendukungnya lengkap
dengan atribut kedaerahannya. Saat yang bersamaan, anggota DPR pun sangat antusias dengan
keriuhan yang dihasilkan orang-orang daerah yang berada di atas balkon. Kondisi yang bertolakbelakang berlangsung saat pembahasan agenda kedua. Balkon menjadi sangat sepi, karena tidak
tiap orang dapat mengakses, kecuali dapat menunjukkan identitas. Kelompok mahasiswa yang
memang merencanakan hadir dan mengikuti proses voting dihambat tanpa alasan. Pada Rapat
Paripurna Hak Angket seminggu sebelumnnya, terjadi pengusiran tehadap sekelompok mahasiswa
yang hendak menggelar spanduk.
Dua peristiwa yang kontradiktif tersebut menunjukkan wajah anggota legislatif yang tidak konsisten
dan mendua dalam bersikap. Satu sisi, mengklaim berpihak dan empati pada kepentingan rakyat,
karena disadari bahwa kenaikan BBM berdampak sangat buruk bagi ibu dan anak, tetapi di sisi lain,
anggota dewan khususnya yang perempuan tidak melakukan tindakan yang dapat meminimalisir
kondisi buruk tersebut.
Keberpihakan yang dinyatakan hampir semua informan penunjang dari DPR RI dan DPRD, tidak
dapat dibuktikan dalam tindakan kongkrit. Karena yang diinginkan dan yang dipahami hampir
semua informan kunci, bahwa komunikasi langsung menjadi sangat penting untuk dilakukan,
setidaknya ketika masa reses, sehingga ibu-ibu dapat menyampaikan persoalan hidup keluarga
mereka. Persoalannya, kehadiran para politisi secara fisik jarang dilakukan dan terkesan tidak
diprioritaskan. Dalam situasi yang demikian, seharusnya anggota dewan dapat memaksimalkan
ruang berbicara dan berjuang lainnya, baik dalam ruang rapat maupun melalui media Dalam setiap
rapat, seperti yang diinginkan semua informan, seharusnya ibu-ibu anggota dewan dapat berperan
aktif, bersuara menyampaikan aspirasi rakyat.
310
UUD 1945 yang diamandemen, Pasal 28H ayat 1 dan Pasal 34, ayat 3.
Dalam pengakuan informan DPR, mereka rajin mengunjungi konstituennya sehingga mengetahui
persoalan yang dihadapi ibu-ibu. ‘“Saya sangat sering mendatangi basis, terutama orang-orang
Tionghoa, ibu-ibu PKK di Jakarta Barat. Kita di DPRD punya yang namanya reses setiap tiga bulan
sekali, kalau dulu tidak ada sistem itu, tapi sejak saya bergabung saya memprogramkan ada reses
setiap tiga bulan sekali. Ketemu dengan masyarakat, kemudian ada talk show di Walikota Jakarta
Barat, Nah, itu yang datang dari seluruh perwakilan masyarakat.”
Pengakuan anggota DPR tersebut berbeda dengan penyataan seorang informan dari Muara Baru.
“Kalau saya minta nih ya....untuk anggota DPR yang perempuan, jangan omong kosong terus yang
keluar, harusnya rajin turun, memberitahu rakyat, istilahnya membimbinglah”. 311
Ketidak-pedulian dan terjadinya pembiaran terhadap kemiskinan struktural yang dialami kaum
perempuan, dalam bahasa Johan Galtung, berarti telah terjadi kekerasan politik terhadap warga
negara. Dalam pemaknaan Galtung, kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik, melainkan ketika
tidak terjadi komunikasi yang seimbang dan lancar antara wakil rakyat dengan yang diwakilinya,
maka wakil rakyat telah melakukan tindak kekerasan. Bagi Galtung, kekerasan struktural selalu
memunculkan “situasi-situasi negatif” seperti tidak meratanya pendapatan ekonomi, kesempatan
kerja yang terbatas, mahalnya biaya pendidikan, disktibusi sumbre daya yang tidak merata.312
Dalam ingatan ibu-ibu di lima wilayah, komunikasi yang dilakukan oleh anggota legislatif hanya
terjadi saat menjelang Pemilu 2004. Beberapa partai melakukan kampanye dan memobilisir warga
untuk dibawa menuju tempat kampanye dengan menggunakan angkutan umum yang sudah
disediakan. Tetapi hampir semuanya tidak mengingat, siapa caleg yang pernah berkampanye.
Yang masih terekam cukup baik adalah kampanye calon presiden: Megawati dan SBY. Ibu-ibu
mengingat apa yang mereka janjikan dan apa yang mereka lakukan. Khusus untuk Muara Baru,
dari pengakuan lima orang ibu yang diwawancara, bahwa mereka tidak melakukan pemilu legislatif.
Mereka hanya mencoblos dalam pemilu presiden. Bila pengakuan ini mewakili kenyataan pada
tahun 2004, maka berarti telah terjadi pengebirian hak rakyat untuk berpartisipasi dalam politik.
Komunikasi yang tidak imbang dan tidak dua arah adalah indikasi tidak berjalannya sistem
demokrasi.
IV.
Kekritisan terhadap Politisi
Tingkat kekritisan ibu-ibu terhadap para politisi yang duduk di legislatif merepresentasikan
kepekaan dan kecerdasan mereka dalam menilai secara jujur realisasi janji politik yang diberikan
para politisi saat pemilu. Dalam memori yang terbatas, para ibu paham bahwa ada tanggung jawab
dan tugas yang tidak dijalankan para pemimpin. Ukuran yang digunakan sangat beragam, tetapi
secara dominan yang dijadikan penilaian adalah keterlibatan anggota dewan perempuan dalam
memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada perempuan. Dalam ukuran ini, mereka menyatakan
bahwa para pemimpin telah gagal. Nyatanya, subsidi BBM dipotong, harga barang tidak dapat
dikontrol,dan akibatnya para ibu melakukan antri BBM dan sembako, menjadi pemandangan yang
lazim di Jakarta.
Penggusuran yang dilakukan petugas trantib terhadap pedagang kaki lima, pengejaran dan
penangkapan terhadap pekerja seks memberikan kesimpulan tersendiri bagi para ibu tersebut,
bahwa pemimpinya gagal. Anggota DPR, terutama yang perempuan seharusnya membimbing
rakyatnya, bukan malah memanipusi rakyat. Yang terjadi saat ini, para ibu sudah tidak terlalu
311
312
Diungkapkan oleh Ibu Lili, Muara Baru.
M Windhu (1992;70).
percaya dengan partai politik, walaupun tetap ada yang mempertahankan bahwa parpol adalah alat
demokrasi yang masih dapat diandalkan. Dari kondisi ini tergambar, bahwa terjadi krisis
kepercayaan terhadap parpol.
V.
Perbandingan Sebelum dan Pasca Reformasi 1998
Di bawah pemerintahan Orde Baru, masyarakat tumbuh dan berkembang dalam suasana yang
tidak kondusif bagi terjadinya proses demokrasi. Budaya korup, sogok-menyogok dan asal bos
senang, telah melekat dalam birokrasi negara, sehingga masyarakat tidak mempunyai pilihan lain
kecuali mengikutinya. Dalam semua ruang sosial, penyakit sosial tersebut tidak dianggap sebagai
penyakit, karena dihadirkan sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Budaya KKN telah menjadi
budaya massal. Masyarakat menjadi akrab dengan simbol-simbol budaya dan keragaman tanpa
diberi ruang untuk mengetahui, mempelajari, mengkritisi, dan menjalankan konsep keragaman.
Bhineka Tunggal Ika, menjadi jargon yang tidak mampu memperkenalkan bahwa beragam berarti
budaya dan bahasa yang berbeda sebagai bagian dari proses bermasyarakat. Negara hanya
berhenti pada pengenalan simbol, tetapi tidak membuka ruang bagi masyarakat untuk berbeda dan
dapat mengkritisi pemerintah.
Dalam ketertundukan yang cukup lama pada kekuatan ekonomi asing, krisis ekonomi tahun 1997
yang terjadi secara berantai di Asia Selatan dan Tenggara dengan leluasa meruntuhkan fondasi
ekonomi nasional. Fondasi yang dibangun dengan kebijakan ekonomi yang sarat KKN. Realitas
sosial yang terjadi pada pertengahan tahun 1990-an telah mengantarkan dan melahirkan kelompok
masyarakat yang kritis, yang memahami demokrasi berbeda dengan demokrasi yang disodorkan
Orde Baru. Reformasi 1998 adalah proses lanjutan menguatnya kelompok masyarakat yang kritis
dan berani melawan rejim Orde Baru. Berawal dari kelompok diskusi di kampus-kampus kemudian
melakukan pembaruan dan advokasi secara langsung kasus-kasus rakyat. Membesarnya
penolakan terhadap pemerintahan Soeharto adalah jawaban masyarakat yang tidak lagi sanggup
hidup dalam kekangan, karena semua serba dikontrol. Lalu, mengapa dalam hitungan tahun pasca
reformasi, para ibu tersebut kembali merindukan kehadiran sosok Soeharto?
Sebagian rakyat sudah kehilangan harapannya. Kemiskinan yang mereka alami berhasil
disimpulkan dalam bahasa yang berbeda dengan kelas menengah umumnya. Kejahatan yang
dilakukan Orde Baru dapat diabaikan hanya karena saat itu BBM dan sembako belum lagi mahal,
uang masih berharga, dan lapangan pekerjaan tidak sulit diperoleh. Secara ekonomis, semua
mengatakan bahwa zaman Soeharto, ekonomi lebih baik, aman, dan stabil. Secara politik,
kekeritisan ibu-ibu kepada pemerintahan Soeharto tetap bertahan bahkan menguat. Bagi mereka,
pemerintahan Soeharto adalah pemerintahan yang paling represif, diktator, dan penuh praktek
KKN. Disadari pula, kestabilan ekonomi pada zaman Soerharto bersandarkan pada hutang luar
negeri. Ibu-ibu berada di posisi yang dilematis. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa Reformasi
1998 adalah jalan untuk hidup lebih baik, tetapi dalam prosesnya, mereka tetap miskin, bahkan
makin dimiskinkan.
VI.
Konsep Kepemimpinan
Bagi rakyat miskin khususnya perempuan, pemimpin diidealkan sebagai orang yang bertanggung
jawab dan berkomitmen penuh kepada rakyatnya. Seseorang yang akan menyelamatkan hidup
mereka dan lingkungannya. Sebagai pihak yang sering dikalahkan, sesungguhnya para perempuan
ini mengetahui bahwa ada hak-hak mereka yang diabaikan dengan sadar oleh negara melalui
aparatusnya. Untuk itu, idealisasi mereka tentang pemimpin terasah melalui pengalaman hidup
yang tidak ramah sepanjang menetap dan berkeluarga di Jakarta.
Kepemimpinan yang diimpikan adalah kepemimpinan yang lahir dari ibu kandung demokrasi. Dalam
formulasi yang sederhana, tersimpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang memiliki rasa
tanggung jawab terutama terhadap orang-orang yang sudah memberikan suaranya melalui
pemiluatau pilkada. Dalam konteks kepemimpinan publik atau politik, pemimpin diidentifikasi
sebagai orang yang berwibawa dan berdedikasi kepada rakyat. Kewibawaan menjadi karakter yang
dianggap penting yang harus dimiliki pemimpin.
“Pemimpin kategorinya luas; ada yang memimpin negara, ada yang memimpin perusahaan,
memimpin RT bahakan keluarga juga disebut pemimpin, yang mbak tanya skala yang mana? Kalo
seperti wakil rakyat di DPR/MPR, yah pemimpin yang harusnya bisa mengayomi rakyatnya dong,
yang bisa membela rakyat jika bermasalah, bisa menghibur rakyat jika sedang susah jadi nggak
hanya bisa nunjuk-nunjuk aja, harus ada komunikasi dua arah, jadi pemimpin itu bisa menjadi
seperti teman, sahabat, orang tua. Rakyatkan sedang susah tapi nggak ada yang ngasih solusi,
tapikan saat ini tidak seperti itu, rakyat dibiarkan nyari sendiri solusinya”, jelas seorang informan
dari Mampang313.
Selanjutnya, ibu tersebut mengungkapkan ketidakyamanannya. “Saya nggak nyaman dengan
kepemimpinan saat ini, kok semakin rusak banget, korupsi dimana-mana, pejabatnya memimpin
nggak benar, hanya memikirkan diri sendiri nggak mikirin rakyat kecil, bagaimana dia menumpuk
kekayaan nggak ngelihat kebawahnya ketika dia minta dipilih sama rakyat, ketika sudah naik
menjabat di atas nggak ingat lagi dengan janji-janjinya.” “Ya maunya kita dipedulikan. Namanya dia
pemimpin, ibarat kan dia bos kita, harus pedulikan yang kerja sama dia. Tapi gak ada yang peduli
sama kita, kayaknya sama aja.”314
Pemimpin harus rajin mendatangi masyarakat untuk mengetahui masalah yang sedang dihadapi
secara kolektif. Kehadiran politisi atau pemimpin di tengah massa menjadi cara dalam mengetahui
dan berdiskusi persoalan sehari-hari dengan warga. Rajin ke masyarakat, tidak mengumbar janji,
tidak lupa rakyat atau pemilih, peduli, dan kompromis, siap menuntun rakyat dan siap menanggung
resiko. Juga memperjuangkan dan mengerti kebutuhan rakyat. Semua ini adalah konsep
kepemimpinan yang dijadikan acuan dalam memilih pemimpin.
VII.
Kepemimpinan Perempuan
Mereka yang ter-subaltren, Gayatri Spivak menggambarkan posisi sosial-politik orang-orang yang
terpinggirkan, adalah perempuan yang sebagian besar kelompok yang terpinggirkan. Sebagai
negara-negara bekas jajahan Eropa, Asia mempunyai arah sejarah yang merepsresentasikan
kondisi manusia yang pernah terbelenggu sistem kolonial. Dalam hal ini, Spivak memahami
masyarakat dan sejarahnya adalah kelompok yang ter-subaltren. Pasca kolonial, kehidupan
perempuan di Asia khususnya di Indonesia, mengalami pergeseran yang memberi gambaran lain
tentang perempuan. Sebagai bangsa yang pernah dijajah ratusan tahun, maka persoalan sosialpolitik yang dihadapi diidentikan dengan pembebasan secara menyeluruh sebagai bangsa. Dalam
proses demikian, tokoh-tokoh besar perempuan juga lahir. Cut Nyak Din dan Kartini adalah dua
nama besar dari banyak tokoh perempuan yang mengisi panggung sejarah pergerakan Indonesia.
Enam puluh tiga tahun Indonesia merdeka, kehidupan perempuan mengalami pemunduran dalam
kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik. Perempuan yang memiliki kesadaran berorganisasi
dan berpolitik, setidaknya hal itu terimplementasi dalam Kongres Perempuan tahun 1928 adalah
313
314
Ibu dengan inisial A
Disampaikan oleh Ibu Fatimah, warga Muara Baru
pertemuan strategis bagi aktivis untuk konsolidasi kekuatan. Sayangnya, kudeta kekuasaan tahun
1965 telah membalikkan alur sejarah gerakan perempuan. Dalam politik, perempuan kembali
dimarjinalkan. Keperempuanannya digunakan sebagai alat pemenangan dan pertahanan
kekuasaan. Semua dilakukan dengan memobilisir perempuan dalam setiap pemilu. Tetapi pada
saat yang bersamaan, perempuan juga dirumahkan melalui berbagai peraturan pemerintah.
Pemaknaan subaltren dalam konteks demikian, menjadi tepat dalam membaca dan mengalisa
kemiskinan perempuan. Perempuan miskin yang hidup di Jakarta mampu merepresentasikan
perempuan miskin di berbagai daerah lainnya. Oleh karena mereka adalah urban yang membawa
kemiskinan ke Jakarta dengan semangat perubahan. Perubahan yang lebih baik. Faktanya, 10
tahun pasca Reformasi 1998, perempuan makin mapan dalam kemiskinannya. Mereka miskin dan
berpendidikan rendah!
Kemiskinan kaum perempuan urban di Jakarta tidak berarti mereka miskin secara pengetahuan
dan pengalaman. Pernyataan mereka tentang kepemimpinan perempuan pada awalnya adalah
idealisasi keinginan untuk hidup lebih baik. Belajar dari kebijakan ekonomi-politik pemerintah yang
kian memiskinkan kaum perempuan, sehingga melahirkan harapan hadirnya pemimpin-pemimpin
perempuan yang peduli dan mau memperjuangkan nasib mereka (rakyat).
Dibandingkan dengan kepemimpinan laki-laki, perempuan dianggap jauh lebih jujur dan peduli.
Kreatif, aktif, berani, dan lebih punya hati nurani. Identifikasi ini meletakkan perempuan sebagai
pihak yang lebih demokratis. Pada tataran normatif, mungkin pernyataan-pernyataan demikian agak
berlebihan, mengingat kepemimpinan perempuan baru direpresentasikan oleh beberapa orang,
yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah penduduk perempuan, sehingga belum cukup data
atau contoh mengenai kiprah perempuan pasca Reformasi 1998. Apalagi peran perempuan di
parlemen, dinilai tidak maksimal bahkan cenderung dianggap tidak mau tahu dengan nasib
perempuan miskin. Akan tetapi, di sisi lain, ibu-ibu ini sedang berusaha jujur dengan keinginan dan
harapan mereka. Kondisi ini mempengaruhi personifikasinya terhadap kepemimpinan perempuan.
Secara keseluruhan, kepemimpinan perempuan identik dengan rasa solidaritas, berjiwa sosial,
segan untuk korupsi, dan lebih tegas.
Penilaian positif tersebut diimbuhi dengan catatan kritis, bahwa dalam prakteknya, politisi
perempuan belum sepenuhnya terbebaskan dari budaya patriarkhal. Mereka masih harus
melakukan pekerjaan domestik yang porsinya lebih besar dari suaminya. Sejalan dengan
pernyataan beberapa informan, bahwa idealisasi mereka tentang perempuan pemimpin adalah
perempuan yang menjalankan peran domestiknya. Selama suami ada di rumah, maka yang
menjadi pemimpin adalah suami. Dalam hal ini, ada kompromi antara harapan dengan praktik yang
dijalankan ibu-ibu tersebut.
Perempuan dengan segala kemampuannya yang melebihi laki-laki berhak untuk menjadi pemimpin,
tetapi di rumah, paling tidak harus ada kompromi antara suami-isteri. Hal ini tercermin dalam
kehidupan mereka sehari-sehari. Praktik demokrasi coba diterapkan, tanpa mereka harus belajar
tentang demokrasi. Diskusi atau urun rembuk menjadi pola yang mereka terapkan dalam hal
pendidikan dan ekonomi keluarga.
Dengan demikian, terdapat penegasan antara peran publik, domestik, dan agama. Ketika
menjalankan ibadah, yang memimpin harus laki-laki. Hal ini diperkuat dengan informan penunjang
lainnya, bahwa keberadaan perempuan dalam wilayah agama belum mengalami perubahan yang
signifikan, terutama yang terkait dengan kepemimpinan. Berbeda dengan pandangan yang
berbasiskan nilai (dogma) sosial-budaya, memungkinkan terjadinya pergeseran nilai. Dalam
konteks ini, budaya bukan kondisi yang stagnan dan kaku, ia berubah dan bergeser sesuai keadaan
zaman. Kesadaran yang maju pada ibu-ibu diperoleh dari persoalan-persoalan sosial-ekonomi.
Walaupun mereka berpendidikan rendah, namun pengalaman hidup melahirkan pengalaman yang
membumi yang mereka lahirkan sendiri. Di sisi lain, keputusan politik juga mengubah pola pikir dan
kesadaran masyarakat, bahwa subordinasi perempuan dalam berbagai lini kehidupan adalah
kesalahan. UU KDRT, UU Pemilu tentang keterwakilan perempuan dan beberapa kebijakan yang
pro perempuan, mampu mengikis ketidak-setaraan gender. Paling tidak, kondisi ini terlihat dari
pemaknaan ibu-ibu tentang pemimpin perempuan.
Kemiskinan adalah musuh utama kaum perempuan. Karena dalam kemiskinannya, perempuan
sangat rentan untuk diperlakukan tidak adil oleh masyarakat, keluarga, dan negara. Oleh karena itu
menjadi sangat wajar dan rasional, bila para ibu mengharapkan adanya pemimpin perempuan. Bagi
mereka, perempuan adalah agen perubahan yang sesungguhnya, teliti dalam bekerja, dan mampu
mengendalikan situasi, serta menghargai proses. Perempuan lebih mudah berempati mengerti apa
yang dirasakan ibu-ibu ketika terjadi kenaikan harga BBM dan sembako. Perempuan pemimpin
dianggap lebih sensitif. Kondisi ini diasumsikan menjadikan perempuan sebagai pemimpin yang
ideal.
Dalam pemahaman para informan tidak terdapat penyataan yang bertolak-belakang. Mereka saling
menguatkan. Termasuk pendapat anggota DPRD yang mengatakan bahwa fitrah sebagai
perempuan tetap harus dijaga. Dalam konteks ini, tidak berbeda dengan informan kunci terutama
dari kelompok pengajian, yang memahami bahwa peran aktif perempuan di publik, jangan sampai
menafikan peran sebagai isteri dan ibu. Terhadap pandangan yang lebih liberal, peran ibu dalam
agama dipahami sebagai “sang panutan” bagi anak-anaknya. Religiusitas anak bercontoh pada
religiusitas ibu.
Secara keseluruhan, peran ibu dalam semua wilayah tidak berbenturan secara ekstrim, bahkan
terdapat pemakluman yang bersifat keyakinan, bahwa perempuan memang mampu secara sosial,
politik, dan di ruang privatnya ketika berhubungan dengan Tuhan. Para anggota DPR yang
memahami perempuan sebagai pemimpin, mereka sendiri menyadari hal itu. Walaupun terdapat
penolakan perempuan di wilayah padat, atau perempuan korban politik (Mei 1998) dan kelompok
wilayah lainnya, para politisi tetap memahami bahwa kepemimpinan perempuan adalah jawaban
atas semua beban sosial-ekonomi yang ditanggung selama puluhan tahun.
VIII.
Nilai yang Dipegang
Pemimpin yang Pancasilais, menjadi suatu rangkuman besar tentang nilai yang hidup dalam
masyarakat Indonesia, yang menjadi akar dari proses bernegara dan berbangsa. Sebagai ideologi
yang lahir dari perjalanan bangsa, maka di dalamnya mengandung nilai-nilai hidup yang lahir dan
tumbuh dari masyarakat. Weltanschauung, demikian Soekarno dalam pidato lahirnya Pancasila
pada 1 Juni 1945. Sesuatu yang mendasar, yang menjiwai proses berbangsa selama ratusan
tahun. Dalam konteks kekinian, Pancasila tetap menjadi pegangan dalam bernegara dan
berbangsa.
Dalam pemahaman kaum perempuan, perempuan pemimpin atau politisi yang duduk di legislatif
harus bijaksana, beriman, rajin beribadah dan takut pada Tuhan, bermoral, menyayangi keluarga,
dan tidak diskriminatif. Nilai ini tumbuh dan menjadi pegangan dalam kehidupan keluarga di daerah
mana pun di Indonesia, termasuk di Jakarta yang telah dan selalu mengalami pergeseran budaya
atau nilai. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat Indonesia yang hidup di tengah arus globalisasi
tetap bertahan pada nilai yang dianggap luhur dan agung. Sekalipun nilai-nilai itu tidak mudah
ditemukan dalam diri anggota dewan yang perempuan. Artinya, di tataran ide, nilai ini masih
dijadikan sandaran yang kuat, termasuk dalam perilaku sebagian masyarakat yang tinggal di
Jakarta.
Yang menjadi persoalan ialah, nilai tersebut tidak dipraktekkan oleh anggota DPR. Walaupun dalam
setiap wawancara, anggota DPR atau pengurus parpol juga menganggap penting nilai tersebut.
Tetapi, kenyataannya menjadi berbeda, karena ibu-ibu dapat membandingkan antara moral politik
anggota dewan dengan kebijakan ekonomi-politik yang disepakati anggota DPR yang merugikan
perempuan dan anak. Dalam hal ini, terjadi inkonsistensi.
Sebagai penjaga moral, tidak egois, dan bukan pelaku KDRT sulit untuk dipastikan, karena tidak
sedikit kasus yang melibatkan anggota DPR meskipun untuk anggota perempuan belum pernah
terpublikasikan. Dalam hal religiusitas, informan togoh agama, sebaliknya berpendapat bahwa
keimanan seseorang bukan ukuran kualitas. Beragamnya pandangan tentang nilai religi
menunjukkan keberagaman pandangan informan berdasarkan keyakinan masing-masing.
Berkepribadian, ikhlas, jujur, solider, dan berpihak pada orang miskin adalah bagian terpenting yang
harus dimiliki politisi di legislatif. Hal ini sangat terkait dengan kehidupan sosial-ekonomi warga di
lima wilayah. Terjadinya kemiskinan karena tidak adanya keberpihakan politisi kepada orang-orang
kecil. Dengan demikian, apa yang dipahami ibu-ibu tentang nilai adalah landasan bagi mereka
untuk hidup lebih baik. Ibu-ibu kelas bawah memahami nilai terkait dengan peningkatan kualitas
hidup, yang harus dimiliki pemimpin. Sementara bagi kelas menengah, nilai adalah identitas yang
dapat menjaga keberadaan kelas mereka, walaupun tidak dikatakan secara lugas. Nilai bukan
menjadi penentu kehidupan mereka, setidaknya, nilai hanya menjadi tambahan.
Bagi anggota dewan dikatakan, bahwa pemimpin itu harus berkarisma, memiliki
kompetensi dan loyal. Berkarisma identik dengan kemampuan mengarahkan (dan mengontrol
pengikut atau rakyatnya), bahwa pemimpin berkarisma tidak dengan sendirinya mau mempedulikan
rakyatnya. Sementara untuk loyalitas, dalam konteks partai politik, berarti anggota dewan harus
patuh terhadap keputusan partai, sekalipun itu merugikan rakat. Kondisi ini memungkinkan
terjadinya dualisme pada diri anggota. Seharusnya dalam pemahaman ini, loyalitas yang dimaksud
ditujukan kepada rakyat.
IX.
Pendidikan
Anak-anak kaum urban yang lahir dan besar di Jakarta, menjadi generasi baru yang mewakili dua
budaya besar. Budaya orang tua mereka yang masih dijaga di rumah. Kemudian budaya metropolis
yang diperoleh dan dikembangkan di wilayah publik. Hal ini menjadi ciri umum kehidupan kaum
urban di mana saja. Pembaruan yang terjadi berbentuk relasi-relasi yang tidak menyeluruh. Yang
menjadi persoalan besar bagi anak kaum urban ialah pendidikan dan pekerjaan untuk mereka.
Lulus SMU atau mengecap bangku kuliah adalah kemewahan bagi orang-orang miskin.
Persoalannya, untuk lulus SMU menjadi tidak mudah. Ibu-ibu di Muara Baru mengatakan bahwa
anaknya bersekolah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Nyatanya, banyak anak yang tidak
dapat melanjutkan sekolah atas karena orang tuanya tidak sanggup membeayai.
Di satu sisi, ibu-ibu menyadari bahwa dengan bersekolah anak-anaknya menjadi pintar dan
berpeluang mendapat kerja. Pandangan ini mempengaruhi cara pandang mereka terhadap anggota
dewan. Hampir semua mengatakan sekolah perlu, tetapi bukan yang menentukan kualitas
seseorang. Di tataran praksis, semua sepakat bahwa pengalaman beorganisasi berpengaruhi
dalam berpolitik. Idealnya, anggota dewan mengecap bangku kuliah minimal sarjana (S1), tetapi
semua anggota dewan yang diwawancarai mengatakan bahwa sekolah tinggi tidak perlu, yang
perlu adalah pengalaman beorganisasi.
Hanya seorang informan yang menegaskan bahwa pendidikan tinggi itu sangat diperlukan. Dengan
bersekolah tinggi, maka seseorang akan memiliki jaringan dan pengalaman yang bagus. Dengan
syarat, selama sekolah ia tetap bisa beorganisasi. Bagi Tan Malaka, misalnya, sekolah menjadi
penting karena pendidikan dapat dijadikan media pembebasan. Dengan bersekolah, peserta didik
akan diajarkan bagaimana menjadi manusia yang sadar akan eksistensinya sebagai makhluk yang
berharkat, yang sadar akan keadaan sosialnya. Menjadi manusia otonom, bebas dari segala
intervensi kekuasaan, berarti dengans sadar menjadikan dirinya sebagai makhluk yang
bermartabat.
Pandangan Tan Malaka sesungguhnya menjadi alternatif terhadap komersialisasi pendidikan yang
melanda semua pendidikan di Indonesia. Walaupun konteks zamannya berbeda, namun spirit yang
disampaikannya tetap sama. 315 Yang menjadi persoalan, yakni pendidikan bagi ibu-ibu miskin
menjadi alat ”naik kelas”, paling tidak anak-anak mereka akan mendapat ijazah dan mendapat
pekerjaan layak. Dalam hal ini, makna layak bukan lagi sebagai sesuatu yang manusiwi dan
bermartabat, tetapi hanya persoalan mendapatkan upah tetap. Sulitnya lapangan pekerjaan bagi
usia produktif yang tidak berbekal pendidikan tinggi, memacu ibu-ibu untuk menyekolahnya
anaknya, bukan untuk menjadi manusia yang bermartabat, melainkan untuk mendapatkan ijazah.
Bagi ibu-ibu tersebut, menjadi pemimpin tidak harus dengan bersekolah tinggi, selama seseorang
memiliki kemampuan dan keinginan untuk memimpin.
Konsep “Hadap Masalah’ yang ditawarkan Paulo Freire menegaskan bahwa sebagai makhluk yang
berada dalam proses menjadi (becoming), sebagai manusia yang tidak pernah selesai, tidak
sempurna, maka dalam ketidak-sempurnaan itu terletak akar pendidikan. Bahwa semua dapat
saling belajar, guru dan peserta didik memiliki kapasitas yang seimbang.316 Konsep Paulo Freire
maupun Tan Malaka menjadi sangat tepat dalam menjawab pendidikan kapitalis yang komersil kini.
Masalahnya, bagaimana cara agar anak-anak miskin dapat menikmati pendidikan yang berkualitas?
Sehingga, orientasi sekolah mereka tidak berhenti hanya untuk mencari pekerjaan di pabrik dan
atau pusat perbelanjaan?
Dalam konteks pendidikan bagi politisi, selama ia mengerti dan menghayati perannya sebagai
politisi, maka ia dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara baik dan demokratis.
Sesungguhnya hal yang ingin dicari bukan penting atau tidaknya bersekolah tinggi, karena dalam
batas tertentu, makin tinggi seseorang mengecap pendidikan kian lebar peluangnya untuk
mendapatkan jaringan kerja dan pengetahuan. Idealisasi tentang politisi yang bersekolah tinggi
adalah hal yang wajar dan sesuai kebutuhan. Yang pasti, pendidikan formal bukan tempat
melahirkan pemimpin, karena pemimpin lahir dan berada di tengah-tengah massa atau rakyatnya.
X.
Fungsi dan Tugas
Proses legislasi, anggaran, dan pengawasan oleh anggota legislatif dipahami ibu-ibu sebagai relasi
yang dijalankan wakil rakyat dengan pemilihnya, sehingga rakyat menjadi makmur. Anggota
legislatif harus dapat berkomunikasi langsung dengan rakyat, kemudian memikirkan persoalan dan
jalan keluarnya. Yang pasti adalah menjadi teladan bagi rakyatnya. Sementara itu, dengan
pemaknaan yang tidak berbeda, informan penunjang mengatakan secara formal, bahwa ketiga
fungsi di atas harus dijalankan. Esensi sebagai corong suara rakyat tidak dilakukan. Sangat jarang
kita mendengar anggota legislatif melakukan pembelaan langsung ke para korban. Ketika terjadi
penggusuran atau bencana alam, mereka tidak bersuara. Pembelaan terhadap perempuan justru
sering dilakukan LSM atau Ormas.
315
Nuraini, Skripsi tahun 2001: “Konsepsi Pendidikan Kerakyatan menurut Tan Malaka”, Fakultas Filsafat
UGM.
316
idem
Ketiga fungsi tersebut telah diatur melalui Tatib DPR RI No. 08/tahun 2005. Pertama, fungsi
legislasi bagi anggota dewan, berarti terbukanya peluang bagi mereka untuk menjalankan janji-janji
politik waktu pemilu, dengan memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada perempuan dan
rakyat pada umumnya. Tetapi, suara ibu-ibu mengatakan, tidak satu pun yang puas dengan kinerja
ini. Karena persoalan sosial-ekonomi yang dihadapi ibu-ibu miskin, salah satunya, akibat kebijakan
yang tidak berpihak.
Kedua, fungsi anggaran. Anggota dewan menyusun RAPBN berdasarkan kondisi perekonomian
negara dan kebutuhan rakyat. Pertanyaannya, mengapa terlalu banyak pos anggaran yang
digunakan untuk belanja pegawai yang membuka kesempatan korupsi? Dana 20 persen untuk
pendidikan yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945, sampai saat ini belum dijalankan.
Pemotongan subsidi BBM disepakati justru oleh wakil rakyat. Fungsi pengawasan lebih ditekankan
pada kinerja pemerintah. Dalam kenyataannya, pemerintah dan partai politik bergandengan tangan
meninggalkan rakyatnya. Ibu-ibu yang protes kenaikan BBM tidak didengar. Aksi-aksi mahasiswa
ditangani secara keras dan tidak demokratis. Hal ini menciderai demokrasi, karena pemerintah
menghalangi partisipasi politik warga. Bagi Huntington, partisipasi politik bisa dalam semua bentuk,
legal maupun ilegal, termasuk melakukan mobilisasi massa.
XI.
Tanggung Jawab
Menepati janji kampanye, ngemong atau melayani, dan membela rakyat adalah tanggung jawab
para politisi parlemen yang harus mereka laksanakan. Karena seperti itulah ibu-ibu kelas bawah
berbicara. Dalam pemahaman mereka, tanggung jawab berarti konsisten dengan janji yang
diucapkan selama kampanye. Melayani rakyat, berarti pemimpin siap menjadi pelayan rakyat.
Karena itulah inti dari seorang pemimpin.
Menjadi pelayan rakyat, berarti membuat rakyat sadar politik. Karena dengan sadar politik, mereka
akan mengetahui persoalan-persoalan hidupnya, dan kepada siapa mereka harus menuntut. Sadar
politik berarti tahu akan hak dan kewajibannya. Mendengarkan dan mengetahui persoalan rakyat
dapat dilakukan dalam setiap forum reses atau pertemuan lainnya. Sementara itu, anggota DPR
memahami tugasnya yakni untuk dekat dengan rakyat atau pemilihnya, mau berbagi, dan
memperjuangkan nasib mereka. Hal terpenting yang diinginkan ibu-ibu ialah agar anggota DPR
benar-benar memperjuangkan nasib mereka, sehingga terjadi perubahan yang lebih baik.
XII.
Harapan
Harapan kelas bawah dan kelas menengah kepada anggota DPR masih pada pemenuhan
kebutuhan hidup yang mendasar. Harapan yang sedikit tinggi adalah terjadinya pembenahan
ekonomi rakyat secara struktural. Persoalan sosial-ekonomi yang dihadapi menjadi harapan atau
tuntutan dominan semua informan. Mahalnya harga BBM dan sembako menjadi persoalan yang
sangat krusial. Ibu-ibu berharap agar BBM dan sembako kembali ke harga normal. Untuk itu, bila
negara harus manambah hutang luar negerinya, maka prioritas dana tersebut untuk
menyejahterakan rakyat, terutama ibu dan anak.
Di samping itu, diharapkan agar anggota DPR memiliki kredibilitas dan intensibilitas. Dengan
demikian, terjadi peningkatan kualitas gender yang berguna untuk perjuangan ke depan. Sesama
perempuan, baik yang berada di parlemen maupun di luar, diharapkan dapat saling menguatkan.
Dalam pemahaman yang lebih mikro, anggota DPRD akan memberikan perhatian yang lebih pada
usia lanjut dan anak-anak. Ini adalah persoalan yang sangat khas di Jakarta. Oleh karena anakanak sering dieksploitasi oleh orang dewasa dalam mencari nafkah. Dan semua itu karena
kemiskinan dan ketidak-pedulian anggota DPR. Harapan lain yakni berfungsinya peran politisi, baik
yang duduk di parlemen maupun yang hanya menjadi pengurus partai. Bila peran ini dijalankan,
maka ruang demokrasi akan terbuka semakin luas.
B. TEMUAN UTAMA PENELITIAN
Krisis ekonomi yang ditandai dengan menurunnya daya beli rakyat telah mempengaruhi pola hidup
masyarakat kelas bawah Jakarta. Dengan penghasilan di bawah standar UMP, warga miskin
Jakarta yang tersebar di lima wilayah mempunyai persoalan hidup yang sama, yakni ketidaksanggupan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang mendasar.
Dalam pemahaman kelas bawah, kemiskinan yang mereka alami adalah akibat tidak adanya
kepedulian para politisi di legislatif maupun pengurus partai politik yang sering mengumbar janji
terutama menjelang pemilu. Bagi kelas bawah, kenaikan harga BBM telah menjadi virus yang
menghancurkan sisi-sisi lain kehidupan mereka.
Kondisi sosial-ekonomi pasca Reformasi 1998 yang tidak berpihak pada kelas bawah telah
memunculkan “kerinduan” pada masa Orde Baru. Satu sisi, mereka tetap mengingat dan menyadari
bahwa pada Orde Baru tidak ada kebebasan berbicara, berkumpul, dan berorganisasi. Mereka
mengetahui pelanggaran HAM yang dilakukan para Jenderal, di antaranya korban pelanggaran
HAM (Klender dan Tanjung Periuk).
Kestabilan ekonomi yang ditandai dengan harga barang yang terjangkau, tersedianya lapangan
kerja, dan situasi ekonomi aman pada zaman Orde Baru diingat dan diinginkan kembali oleh
hampir semua informan konstituen di kelas bawah. Kesuksesan ekonomi zaman Suharto diakui
oleh informan konstituen kelas menengah.
Kelas bawah maupun kelas menengah membandingkan fakta sosial yang mereka alami setelah
reformasi dan sebelum reformasi. Bagi kelas bawah, ketidakdemokratisan pemerintahan Soeharto
mengarah pada masalah yang dapat dilupakan. Kelas menengah mengetahui kalau fondasi
ekonomi Orde Baru dibangun atas hutang luar negeri. Hal itu menjadi salah satu penyebab
berlangsungnya krisis ekonomi hingga kini. Pertanyaannya, mengapa kelas bawah kembali
menoleh pada masa lalu?
Kenyataan tersebut coba dijawab informan dari DPR RI yang mengatakan bahwa itu menandakan
gagalnya partai politik. “Penilaian itu merupakan kegagalan partai-partai politik yang ada karena
tidak bisa mengemas dan tanggap pada penderitaan rakyat. Juga ketika Megawati berkuasa, kita
harus jujur. Kita ini susahnya tidak dibudayakan otokritik, sehingga dirasakan rakyat tidak ada
artinya, apalagi menyusahkan rakyat…Statemen-statemen kegagalan partai politik dan kegagalan
reformasi bisa menjabarkan seolah-olah rakyat akhirnya melegitimasi zaman Soeharto enaklah.”317
Kesetaraan gender nyatanya tidak lagi didominasi kelas menengah yang terpelajar. kesadaran ini
telah menjadi milik kelas bawah. Dari wawancara dengan informan konstituen kelas bawah tidak
ada satu pun yang menolak peran sosial-politik perempuan di wilayah publik.
Perempuan dianggap memiliki kemampuan yang sama, bahkan pada banyak hal, perempuan
dianggap lebih mampu dalam menjalankan peran kepemimpinan. Perempuan memiliki empati,
kecekatan, terampil, dan komitmen yang besar terhadap persoalan masyarakat. Pemimpin
perempuan akan lebih bertanggung jawab dalam menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin.
Perempuan dapat menjadi pemimpin di semua lini publik.
317
Diungkapkan anggota DPR RI FPDI Perjuangan. Dalam hal ini yang bersangkutan bukan dari Dapil DKI
Jakarta. Walau awalnya diharapkan dapat mewawancaraI DPR RI Dapil Jakarta.
Bagi informan yang latar belakang sosialnya dikenal dengan “religius”, sepeti di Mampang,
informannya adalah ibu-ibu aktivis pengajian memiliki pandangan yang tidak berbeda dengan
informan di wilayah lain. Mereka sepakat dan mendukung perempuan sebagai pemimpin. Sekalipun
ada beberapa catatan yang mengingatkan tentang kondrat perempuan dan tanggung jawabnya di
rumah tangga. Memang ada juga yang mengatakan, sebaiknya perempuan memprioritaskan
urusan rumah tangga, baru mengurus publik, itu tidak mengurangi ‘keradikalan’ pandangan semua
informan.
Bagi informan kelas bawah dan kelas menengah, perempuan tidak hanya dapat menjadi pemimpin
di wilayah publik. Untuk kepemimpinan domestik, perempuan diposisikan sebagai pihak yang harus
mendampingi suami. Yang menjadi pemimpin adalah laki-laki, namun pandangan ini pun
dimoderasi beberapa informan yang mengatakan dan mencontohkan kehidupan keluarganya yang
demokratis. Bahwa beberapa hal, bila suami tidak sanggup, maka perempuan dapat menangani
peran tersebut.
Sama halnya untuk persoalan kepemimpinan di wilayah agama. hampir semuanya sepakat bahwa
laki-laki masih menjadi pemimpin, paling tidak dalam ritual keagamaan (sholat). Jadi dalam wilayah
ini, laki-laki masih memegang peran tradisionalnya sebagai pihak yang harus memimpin.
Perempuan hanya boleh mengambil alih tugas keagamaan tersbut bila tidak ada laki-laki.
I.
Pandangan terhadap Reformasi
Dalam perspektif gender, reformasi dapat diletakkan sebagai tahapan dalam memperjuangkan
kesetaraan dan keadilan gender. Reformasi sebagai proses transformasi sosial mengandung
makna keterikatan seseorang dengan kelompoknya terhadap situasi eksternal yang hendak
diperbaiki secara bersama. Sekalipun, kelompok perempuan mengambil posisi yang tidak dominan
dalam proses itu.
Sebagai pihak yang dilemahkan secara struktural oleh pemerintahan Orde Baru, tidak
mempengaruhi ibu-ibu ini dalam memahami kemiskinan hidup yang mereka alami. “Kenyaman” dan
kemudahan secara ekonomis yang diperoleh semasa Soeharto berkuasa, dijadikan pembenaran
terhadap eksistensi Soeharto sebagai figur yang berhasil secara ekonomi. Bukannya ibu-ibu
tersebut tidak tahu, bahwa ekonomi zaman Orba dibangun di atas fondasi hutang hutang luar
negeri, tetapi kemiskinan dalam lima tahun terakhir menjadikan mereka beromantika kepada situasi
yang dulu, meskipun itu represif, tidak ada kebebasan berorganisasi dan berbicara.
II.
Pemaknaan akan Kepemimpinan Perempuan
Secara garis besar, terjadi tiga pengelompokan dalam memaknai keberadaan dan kepemimpinan
perempuan. Di ruang publik, domestik, dan agama. Di ruang publik, perempuan boleh beraktivitas,
berpolitik, dan menjadi pemimpin. Di ruang domestik, perempuan tetap mendapat porsi dalam
mengambil kepemimpinan, akan tetapi selama suami ada dan memiliki kesanggupan memimpin
rumah tangga, maka isteri harus mau dipimpin oleh suami.
Di ruang agama, secara umum, memiliki pandangan yang sama, bahwa laki-laki adalah imam
dalam ritual agama. Dengan demikian, posisi perempuan masih dalam batasan sebagai pengikut.
Bukan berarti, bahwa perempuan tidak boleh memimpin. Perempuan boleh memimpin ritual
keagamaan (sholat) bila tidak ada laki-laki.
III.
Kepercayaan terhadap Politisi
Kekecewaan terhadap politisi yang duduk di legislatif sangat dominan sehingga mempengaruhi
informan dalam memandang partai politik. Secara keseluruhan, sikap ini tidak membuat mereka
apatis terhadap politisi dan partai politik. Setidaknya, hal itu dapat dilihat dari idealisasi pemimpin
dan harapan mereka terhadap pemimpin.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tiga puluh tahun ada dalam pemerintahan Orde Baru yang tidak demokratis telah mereduksi
tatanan nilai masyarakat dan sistem politik yang dibangun oleh pemerintahan sebelumnya. Orde
Baru secara gemilang menanamkan nilai-nilai atau dogma-dogma kepatuhan yang harus diadopsi
masyarakat dan menjadikannya sebagai kebenaran yang tidak dapat dipertanyakan.
Melalui program pendidikan, seperti penataran P4 yang diberikan kepada seluruh lapisan
masyarakat, akhirnya Orde Baru mampu meredam (menjinakkan) daya kritis dan keberanian
masyarakat, termasuk kaum perempuan. Dharma Wanita menjadi hadiah besar Orde Baru bagi
kaum perempuan. Perempuan dijauhkan sepenuhnya dari dunia politik. Eksistensi perempuan
diakui hanya sebagai mesin suara bagi kemenangan partai politik (khususnya Golkar). Selebihnya,
perempuan kembali di rumahkan.
Walaupun sejarah kemudian membuktikan, bahwa Orde Baru tidak berhasil sepenuhnya
membonsai kesadaran dan daya kritis masyarakat, nyatanya kekuatan masyarakat sipil muncul
dalam bentuk yang beragam. Kekuatan yang membesar dari masyarakat sipil pada akhirnya
mampu menurunkan Soeharto dari tampuk kepresidenannya. Hal ini menjadi modal dalam
melakukan perubahan yang lebih baik terutama bagi kelas menengah ke bawah.
Dua kali pemilu pasca refomasi 1998 telah melahirkan dan mengantarkan elit politik ke panggung
kekuasaan, baik di eksekutif maupun legislatif. Dengan berkendaraan partai politik yang berbeda
warna dan ideologi, para politisi menjadikan rakyat kecil atau kelas bawah sebagai sasaran
penopang utama dalam menjaga eksistensi politiknya. Betapa tidak, dalam setiap kampanye
pemilu/pilpres/pilkada, suara rakyat kecil menjadi penentu kemenangan.
Kaum perempuan selalu menjadi mesin suara yang paling menentukan dalam setiap pemilu. Untuk
itu, berbagai program yang menunjukkan keberpihakan kepada perempuan tidak jarang menjadi
program andalan para caleg atau parpol.
Dengan adanya aturan 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik, menjadi jalan bagi kaum
perempuan untuk lebih memaksimalkan kemampuannya dalam berpolitik di tingkat legislatif.
Keberadaan perempuan yang berkualitas di DPR, yang dapat memperjuangkan kepentingan
perempuan menjadi lebih terbuka.
Untuk mengubah kehidupan kelas bawah menjadi lebih baik, dibutuhkan kehadiran para
perempuan politisi yang berkualitas. Bagi para informan, kualitas perempuan politisi dimaknai dalam
tiga bagian yang merepresentasikan kenyataan hidup dan harapan mereka. Dengan demikian,
keberadaan politisi perempuan menjadi jawaban proses demokrasi yang berlangsung.
Pertama, persoalan ekonomi-sosial yang dihadapi kelas bawah dan menengah termasuk
perkenalan mereka terhadap figur politisi menjadi bagian yang tidak terpisah, yang mempengaruhi
cara pandang mereka terhadap peran politisi. Bagi mereka, politisi perempuan tidak menjalankan
tugas dan tanggung jawabnya sebagai anggota legislatif. Kondisi ini yang menyebabkan makin
terpuruknya kehidupan sosial-ekonomi masyarakat dan juga negara.
Kenyataan sosial-ekonomi yang tidak berpihak kepada kelas bawah (dan kelas menengah) telah
melahirkan pandangan dan idealisasi mengenai kualitas perempuan politisi, terutama yang berada
di legislatif.
Kedua, persoalan nilai yang harus dianut oleh para perempuan politisi, peran pendidikan dan
keluasan pengetahuan, dan kemampuannya dalam menjalankan fungsi atau tugasnya, serta
tanggung jawab politik para politisi menjadi bagian yang sangat terkait erat yang bersifat antitesis
realitas sosial yang berlangsung sebelum dan sesudah reformasi.
Ketiga, idealisasi tersebut melahirkan harapan yang bersifat jangka pendek maupun jangka
panjang. Hampir semua harapan tiap informan terkait erat dengan kemiskinan yang mereka hadapi.
Mereka inginkan kehidupan mereka menjadi lebih baik. Sanggup membeayai sekolah anakanaknya, sanggup membeli minyak tanah atau gas, dan sanggup ke rumah sakit tanpa takut ditolak
dan lainnya. Harapan mereka memang normatif, karena memang itulah persoalan mereka.
B. REKOMENDASI
Rekomendasi ditunjukkan kepada:
1. Partai-partai Politik dan Anggota Legislatif
Pertama, partai-partai politik sebaiknya merancang ulang sistem pendidikan kader-kadernya,
khususnya para kader perempuan. Sebagai kelompok yang dianggap lebih berpotensi dan memiliki
kepedulian yang lebih tinggi dibanding laki-laki, maka saatnya partai-partai politik mengasah dan
membuka peluang selebar-lebarnya bagi perempuan untuk berpolitik sesuai garis politik partai.
Dengan mendekatkan diri dengan konstituen atau basis massa akan mematangkan kader
perempuan dalam berkomunikasi dan berjaringan dengan warga maupun organisasi masyarakat.
Komunikasi lintas komunitas atau organisasi dapat memudahkan partai-partai politik dalam
menjaring aspirasi masyarakat. Kedekatan yang terbangun memberi nilai tersendiri yang
menguntungkan kedua belah pihak. Warga tidak membutuhkan janji politik, karena mereka sudah
makin kritis untuk memahami proses politik yang lebih strategis jangkauannya.
Kedua, partai-partai politik sebaiknya mendorong dan memberi ruang yang lebih longgar kepada
kadernya yang menjadi anggota legislatif, sehingga dapat lebih bersuara tanpa harus kuatir tidak
sesuai dengan politik partai. Karena kenyataannya, pernyataan anggota legislatif yang perempuan
memiliki kemampuan dalam mempengaruhi opini masyarakat terhadap kinerja parpol dan
politisinya. Jalan ini setidaknya menjadi pencerahan bagi warga untuk lebih optimis pada parpol.
2. Pemerintah Pusat dan Daerah
Untuk pemerintah pusat, sebaiknya segera menata ulang dan melakukan evaluasi kebijakan yang
terkait dengan kesejahteraan rakyat. Kenaikan BBM tidak sekadar bicara tentang penyediaan
minyak dan soal harga, melainkan lebih pada persoalan rapuhnya fondasi kehidupan dan martabat
warga kelas bawah.
Pemerintah diminta untuk berkomunikasi dengan warga tidak hanya dalam bentuk yang represif,
seperti penggusuran atau bentuk yang karikatif (hadir ketika terjadi bencana banjir). Yang bisa
dilakukan yakni memaksimalkan keberadaan birokrasi yang dapat melaksanakan dan
menyukseskan program pemerintah. Jadi bagaimana agar program yang direncanakan membantu
rakyat, justru memunculkan gesekan secara vertikal dan horisontal (seperti progman BLT). Terkait
peluang perempuan menjadi pemimpin di dalam berbagai birokrasi pemerintahan adalah agenda
reformasi birokrasi yang harus dilakukan mulai tingkat Daerah sampai Pusat.
3. Lembaga Masyarakat
Memaksimalkan kemampuannya dalam berhubungan secara langsung dengan warga untuk
melakukan pendekatan dan pendidikan kepada mereka (khususnya perempuan), sehingga ketika
terjadi permasalahan dapat dipecahkan bersama. Seperti yang dikeluhkan beberapa ibu, bahwa
mereka takut untuk menemui anggota DPR RI/DPRD. Kehadiran lembaga atau ormas hendaknya
menjadi penghubung yang bersifat demokratis antara berbagai pihak. Memberikan pendidikan
politik kepada komunitas adalah bentuk komunikasi yang paling efektif dalam memajukan kelas
bawah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Peter L. Berger, 1982, Piramida Korban Manusia, LP3S, Jakarta
Stephen K. Sanderson, 2003, Sosiologi Makro, Grafindo, Jakarta
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2005, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta
Marsana I. Windhu, 1992, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung, Kanisius,
Yogyakarta
DPP PDI Perjuangan, 2006, Pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, Jakarta
Nuraini, 2006, Melawan Ketidakadilan Gender, Yas. Sekar dan Yay. FES Indonesia, Jakarta
Koentjaraningrat, 1981, Metode-metode Kegiatan Masyarakat, Gramedia, Jakarta
Koentjaraningrat, 1997, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, PT.Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta
Skripsi
Nuraini, Skripsi 2001 “Konsepsi Pendidikan Kerakyatan menurut Tan Malaka”, Filsafat UGM,
Yogyakarta
Hasil Penelitian
Demos, 2007-2008, Satu Dekade Reformasi: Maju Mundurnya Demokrasi di Indonesia, Jakarta
The Ridep Institute, 2004, Apa Janji Partai Politik? Jakarta
Peraturan
UUD 1945 yang diamandemen, Pasal 28H ayat 1 dan Pasal 34, ayat 3
Tatib DPR RI No. 08 Th, 2005
Koran
Koran Harian Kompas, 19 Maret 2005
PROPOSAL PENELITIAN
“KUALITAS PEREMPUAN POLITISI DI LEGISLATIF”
I. SIGNIFIKANSI PENELITIAN
Kebijakan ekonomi Neoliberal yang dijalankan oleh pemerintah, telah menciptakan ruang sosial yang tidak sehat bagi
kehidupan perempuan. Pencabutan subsidi kesehatan, pendidikan, BBM, dan Tarif Dasar Listrik yang dilakukan secara
sepihak oleh pemerintah dalam beberapa dekade pemerintahan, menyebabkan terjadinya kemiskinan massal pada
kehidupan perempuan. Tingginya angka kematian ibu melahirkan (AKI) yang mencapai 307 per 100 kelahiran, tingginya
angka buta huruf perempuan yang mencapai 67% dari 15.686.161 keseluruhan angka buta huruf, begitu juga
dengan meningkatnya jumlah (72%) buruh migran perempuan selama 10 tahun terakhir,
merupakan fakta sosial yang dihasilkan dari praktek kebijakan ekonomi-politik yang tidak memiliki
kepedulian dan rasa keadilan kepada perempuan.
Berlakunya Perda Syariat Islam/agama di beberapa daerah, seperti di Tangerang, Padang, dan
Nanggro Aceh Darusalam, merupakan mimpi buruk bagi kaum perempuan. Karena cita-cita
Reformasi 98 yang diperjuangkan justru berbelok arah, dan memukul balik proses reformasi. Para
elit politik yang berada di legislatif dan juga eksekutif, baik di tingkat pusat maupun daerah,
menjalankan kebijakan yang merumahkan perempuan, bahkan pada tingkat yang ekstrim,
perempuan menjadi pihak yang sangat rentan untuk dikriminalkan. Kriminalisasi PSK dan juga
perempuan yang bekerja di malam hari merupakan implementasi dari lemahnya kesadaran dan
keberpihakan politisi kepada kaum perempuan. Dengan demikian, kebebasan secara politik dan
sosial yang dicapai dari proses reformasi, justru mengalami kemunduran318.
Di sisi lain, terjadi perubahan pada sistem politik yang mengarah pada terbukanya peluang
perempuan untuk terlibat aktif di legislatif dan eksekutif, juga jabatan struktural lainnya, termasuk
untuk menjadi pengurus partai politik. Dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR,
DPRD, dan DPD, pasal 8 ayat 1.d menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan
dalam kepengurusan partai politik pusat. Dan pada pasal 57 secara tegas dinyatakan tentang
keterwakilan 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif.
Dalam konteks Indonesia, keberadaan politisi perempuan dalam panggung kekuasaan memiliki nilai
strategis. Dengan jumlah perempuan yang mencapai 51% dibanding penduduk laki-laki, maka
perempuan menjadi pihak yang paling rentan menerima akibat dari kebijakan ekonomi-politik
pemerintah yang tidak berpihak. Sementara, dengan jumlah yang signifikan, perempuan menjadi
mesin suara bagi kemenangan partai politik/politisi dalam setiap pemilihan umum.
Dengan demikian, terdapat kondisi sosial-politik yang saling menentukan antara politisi perempuan
dengan konstituen perempuan. Politisi perempuan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar
untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, karena keperempuanan mereka menjadi ikatan
dengan pemilihnya, apalagi bila selama kampanye mereka menggunakan isu perempuan.
Keberadaan politisi perempuan di parlemen, diikuti dengan harapan yang besar dari masyarakat,
318
Laporan Eksekutif Survey Nasional Demos 2007-2008, delapan kesimpulan utama, hal. 9: para informan
kami menyatakan bahwa persoalan besar kemunduran tersebut tidak hanya menyangkut ’kebebasan
mendirikan partai di tingkat lokal dan nasional (termasuk peluang calon independen), merekrut anggota, dan
berkampanye untuk menduduki jabatan-jabatan pemerintah’, namun juga ’kebebasan beragama dan
berkeyakinan, menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan’, ’kebebasan berbicara, berkumpul dan
berorganisasi’, ’kebebasan pers, dunia seni dan dunia akademis’, ’partisipasi warganegara dalam organisasi
masyarakat yang independen’ dan ’akses publik terhadap berbagai pandangan dalam mendia, seni dan dunia
akademis, serta kemampuan media, seni dan dunia akademis untuk merefleksikannya’, mengalami
kemunduran.
terutama kaum perempuan, bahwa mereka memiliki kualitas sebagai politisi yang memiliki
keberpihakan kepada perempuan.
Persoalannya, dari dua kali pemilu yang digelar pascareformasi, sejumlah politisi perempuan yang
terpilih untuk tingkat DPR RI, DPRD, DPD (data terlampir) tidak melakukan praktek politik yang
merepresentasi keberpihakannya pada kepentingan kaum perempuan. Begitu juga dengan
pengetahuan dan skill dalam menjalankan tugas-tugas politiknya. Politisi perempuan, dalam banyak
level, menjadi berbeda dengan politisi laki-laki. Perbedaan ini, dapat dilihat dari ruang berbicara
mereka dengan media, konstituen dan juga dalam internal parlemen. Sebaliknya, beberapa produk
hukum-politik seperti Perda Syariat, dan terakhir pembahasan RUU Pornografi dihadirkan, justru di
tengah meningkatnya TKW yang disiksa majikan, anak busung lapar, dan ibu bunuh diri karena
miskin.
Lemahnya kepedulian dari politisi perempuan untuk bersuara dan menyusun kebijakan yang
membela perempuan menjadi persoalan yang layak untuk dikritisi dan pelajari, karena menyangkut
kualitas yang dimilikinya. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan menemukan jawaban atas
lemahnya kepedulian politisi perempuan dengan mengetahui latar belakang sosial-politknya. Hal ini
menjadi penting, karena berhadapan dengan sistem ekonomi Neolib, dibutuhkan para politisi yang
siap bersuara dan memperjuangkan hak-hak perempuan, termasuk memperjuangkan anggaran
yang properempuan. Untuk itu, hasil penelitian ini akan menjadi referensi bagi para politisi untuk
meningkatkan kualitas dirinya, sehingga berjalan seiring dengan harapan pemilih perempuan
tentang calon/anggota legislatif yang berkualitas.
II. PERMASALAHAN
Latar belakang sosial, ekonomi, dan politik seseorang, menentukan cara pandangnya terhadap
realitas sosialnya. Seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya sibuk dengan urusan rumah
tangga, memiliki pandangan yang berbeda dengan perempuan yang bersinggungan langsung
dengan dunia publik. Pun begitu dengan perempuan kelas menengah, tentu akan berbeda dengan
kelas bawah. Akses informasi yang diperoleh melalui media massa dan peluang berkomunikasi
dengan berbagai kalangan, memungkinkan terjadinya perbedaan cara pandang dan pilihan politik.
Sebagai pemilih dengan suara terbesar, perempuan memiliki posisi tawar terhadap para politisi.
Persoalannya, dalam perpolitikan yang belum demokratis dan patriarkhis, perempuan cenderung
dijadikan mesin suara yang disogok dengan program yang seakan-akan berpihak, namun dalam
kenyataannya, tidak pernah direalisir. Lemahnya tanggungjawab politik dari politisi,
menyumbangkan ketidaktertiban sosial yang berlapis dalam masyarakat. Di satu sisi, perempuan
‘menikmati’ ruang politik yang semakin terbuka, namun di sisi lain, perempuan harus menanggung
beban sosial-ekonomi yang kian memarginalkan keberadaan mereka sebagai warga negara
maupun sebagai anggota keluarga. Kenaikan BBM yang disertai naiknya harga sembako, telah
menambah tugas baru melakukan antrian untuk mendapatkan minyak/gas. Tugas-tugas domestik
yang semakin berat dan kompleks, telah menyita energi dan waktu perempuan, sehingga pada titik
ini, kesempatan perempuan untuk mendapatkan informasi dan mengasah diri dalam organisasi
(sosial atau politik) tidak dapat dimaksimalkan.
Kondisi seperti di atas, telah mengantarkan wajah perempuan yang asing terhadap politik.
Kesadaran politik perempuan, di beberapa wilayah, baru diapreasiasikan dalam bentuk kelompok
pengajian, arisan, posyandu, atau PKK. Sedikitnya jumlah perempuan yang berpolitik praktis,
sebagai pengurus partai politik atau menjadi anggota legislatif, merupakan hasil dari domestifikasi
perempuan yang berlangsung lama, sehingga politik dengan segala instrumen dan tindakannya,
masih menjadi wilayah yang didominasi laki-laki. Walaupun, instrumen politik telah memungkinkan
perempuan terlibat aktif dalam politik, setidaknya ditandai dengan adanya kesetaraan dan
kesamaan di hadapan hukum, dan adanya kontrol terhadap korupsi (Ringkasan Ekseskutif Demos
tahun 2007-2008), serta UU 10 Thn 2008 tentang Pemilu.
Keberadaan politisi perempuan di legislatif, secara statistik (terlampir) masih jauh dari jumlah lakilaki, sehingga tidak dapat merepresentasikan jumlah pemilih perempuan dalam setiap pemilu. Pada
akhirnya, keberadaan politisi perempuan di parlemen mendapatkan prasyarat yang spesifik, bahwa
politisi perempuan harus berkualitas. Walau prasyarat ini cenderung diskriminatif (karena secara
wacana, tidak berlaku pada politisi laki-laki), tetap saja, tuntutan untuk berkualitas merupakan
substansi dari demokrasi kerakyatan. Untuk itu, perlu dilakukan elaborasi terhadap pemahaman
dan kesadaran perempuan berbagai kalangan dalam menyikapi masa depan politik yang lebih baik
dan demokratis.
III. PERUMUSAN PERMASALAHAN
Terpilihnya seorang anggota legislatif (DPR RI, DPRD, dan DPD) merupakan fakta sosial yang
didahului dengan terjadinya relasi antara politisi dengan pemilih. Relasi ini seringkali terbentuk dan
berjalan pendek dan sesaat hanya menjelang dan pada saat pemilu. Setelah pemilu selesai, relasi
dalam bentuk komunikasi –salah satunya--, menjadi jarang terjadi dan besar kemungkinan tidak
terjadi sama sekali. Politisi perempuan dalam kampanyenya, merasa absah menggunakan isu
perempuan untuk menarik simpati dan dukungan dari pemilih perempuan. Ada kesadaran dari
politisi perempuan, bahwa kampanye mereka memang ditujukan bagi pemilih perempuan. Dengan
kata lain, politisi perempuan sedang mencitrakan dirinya sebagai wakil dari kaum perempuan yang
memang layak dipilih sebagai anggota legislatif.
Pencitraan sesaat ini, dalam realitasnya, seringkali berhasil menyakinkan pemilih untuk memilihnya.
Keberhasilan politisi, di samping karena kemampuan ‘merekayasa’ situasi, juga karena pemilih kita
belum sepenuhnya rasional. Pilihan pada seorang calon, belum karena kesadaran politik yang
dimilikinya secara otonom, melainkan masih karena pengaruh politik suami, ayah, mertua, dan atau
anak. Politik uang adalah cara berkomunikasi yang masih dominan digunakan oleh para politisi.
Kondisi ini semakin mengentalkan cara berpolitik yang tidak rasional.
Pemilih perempuan sesungguhnya memiliki filter tersendiri dalam menentukan pilihannya. Sebagai
kelompok masyarakat yang merasakan beban berlebih dari setiap dampak kebijakan yang tidak
pro-rakyat. Dan belajar dari pengalaman hidupnya, perempuan memiliki pemaknaan tersendiri
tentang kualitas. Dalam bahasa yang berbeda, perempuan dari berbagai kalangan, termasuk
politisinya sendiri, mempunyai pemaknaan yang disimpulkan dari pengalaman hidupnya masingmasing, pendidikan, dan juga kesadaran politiknya.
Berbicara kualitas politisi perempuan, berarti berbicara tentang proses hidup yang
mengantarkannya menjadi politisi. Oleh sebab itu, mengetahui kualitas seseorang, berarti ada
upaya mengetahui keseluruhan proses hidup hingga ia menjadi politisi. Untuk itu dibutuhkan
penguasaan atas peta yang jelas mengenai profil diri, yang didahului dengan data-data persoalan
secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Dengan demikian, kualitas politisi menjadi persoalan utama yang akan disusuri atas dasar penilaian
pemilih perempuan yang sangat berkepentingan terhadap adanya kualitas politisi. Persoalan yang
dihadapi oleh pemilih perempuan dan perempuan pada umumnya, bahwa kualitas dari politisi yang
mereka pilih seringkali mengecewakan secara sosial, ekonomi, dan politik.
IV. PERTANYAAN PENELITIAN
Dalam studi ini ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan. Pertanyaan utamanya adalah
bagaimana pemilih perempuan memahami kualitas politisi perempuan di legislatif ?
Pertanyaan lainnya adalah:
1. Apa saja variabel yang melatarbelakangi kualitas politisi perempuan?
2. Apa saja persoalan yang mempengaruhi lahirnya kebijakan yang pro perempuan terutama
menjelang Pemilu 2009?
V. KERANGKA KONSEPTUAL
Dalam perspektif sosiologis, kualitas seseorang dipahami sebagai hasil interaksi/relasi yang terjalin
secara sosial dan juga personal. Politisi perempuan menjadi bagian yang menyatu dalam
keseluruhan proses sosial-politik di masyarakat dan juga negara. Dengan kata lain, kualitas yang
dimiliki dan ditampilkan oleh politisi perempuan sangat terkait erat dengan latar belakang sosial, di
mana ia dilahirkan, dibesarkan, dan dididik,s erta termpat ia bekerja/berorganisasi. Dalam hal ini,
organisasi/partai politik menjadi salah satu tempat sosial-politik yang dapat mengasah kekualitasan
politisi perempuan.
Sebagai seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial yang memiliki nilai hidup, yang secara
historis dan sosial telah dijadikan pegangan kolektif, maka politisi perempuan pun menjalankan
fungsi sosial-politiknya bersandarkan pada nilai-nilai yang dijunjung masyarakat. Religiusitas,
kekeluargaan, toleran, dan menghargai pluralisme menjadi nilai dasar masyarakat Indonesia yang
bahkan dianggap hal yang given. Dengan demikian, seorang politisi masuk dalam pemahaman ini,
bahwa ia adalah bagian dari anggota masyarakat yang juga harus memegang nilai tersebut. Pada
tahap tertentu, tuntutan untuk menjalankan dan menjaga nilai hidup, menjadi lebih besar karena
secara hierakhi sosial-politik, ia berada pada lapisan kelas atas.
Secara eksternal, pendidikan (formal/informal) menjadi salah satu hal yang menentukan kualitas
politisi. Asumsinya, semakin luas dan tinggi pendidikan, terutama pendidikan formal yang ia
dapatkan, maka semakin berkualitaslah seseorang. Walau pendidikan formal tidak serta merta
menjadi penentu kualitas seseorang. Pada sisi lain, pengetahuan yang dimiliki sebagai hasil dari
pengalaman hidup, menjadi dasar baginya sebagai tokoh politik untuk memahami dan
mengimplementasikan nilai demokrasi dalam sikap (attitude) dan tindakan yang riil/praktek.
Sebagai politisi yang menjadi anggota legislatif, dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang sistem
dan mekanisme kerja DPR/DPD. Begitu juga dengan keahlian kerja dalam menjalankan fungsinya
sebagai anggota legislatif. Hal-hal ini menjadi modal dalam memperjuangkan aspirasi rakyat yang
ditunjukkan melalui pengemasan dan pengartikulasian isu/kebijakan yang berpihak kepada kaum
perempuan.
VI. RUANG LINGKUP DAN METODOLOGI
Ruang Lingkup Permasalahan
Politisi perempuan yang duduk sebagai anggota DPR RI, DPRD, dan DPD daerah pemilihan DKI
Jakarta.
Ruang Lingkup Wilayah
Wilayah yang menjadi fokus penelitian ini adalah daerah miskin kota yang berada di DKI Jakarta,
yang mempunyai ciri khusus secara sosial, ekonomi, politik, dan keagamaan. Lima wilayah ini
terdapat di Berlan-Palmerah (Jakarta Pusat), Klender (Jakarta Timur), Mampang (Jakarta Selatan),
Muara Baru (Jakarta Utara), dan Palmerah (Jakarta Barat). Kelima wilayah ini dipilih secara sengaja
berdasarkan beberapa pertimbangan secara politik, yang diwakili oleh Berlan-Palmeriam dan
Klender. Berlan-Palmeriam merepresentasi daerah yang suhu politiknya dinamis dan memiliki
sejarah politik sebagai daerah ’konflik’ antara PPP dan Golkar. Begitu juga dengan Klender,
mewakili komunitas korban politik (Kasus Mei 98) yang memiliki kesadaran untuk berorganisasi dan
memperjuangkan hak-hak sipilnya.
Mampang dipilih dengan pertimbangan menguatnya aktivitas keagamaan yang dimunculkan melalui
kelompok pengajian ibu-ibu. Sementara Palmerah adalah daerah padat dan miskin, di mana kaum
urban banyak bertempat tinggal. Sama halnya dengan Muara Baru, merupakan daerah miskin yang
bahkan tidak diakui dan tidak dicatat sebagai sebuah kelurahan.
Ruang Lingkup Informan
Sebanyak 35 orang akan dipilih menjadi informan berdasarkan kelas sosialnya, dengan komposisi
sbb:
40% .............. kelas bawah
30% .............. kelas menengah
30%............... kelas atas
Kls Atas
Pol Perm
Politisi Perempuan
Kls Meng
Kls Bwh
Klp penilai
Klp yang dinilai
Penentuan ini akan disesuaikan dengan kecenderungan data yang diperoleh oleh Tim Peneliti.
METODOLOGI
Dalam melakukan penilaian terhadap kualitas politisi perempuan, maka aspek gender menjadi
perspektif dari semua pertanyaan yang ditujukan kepada informan. Selanjutnya, dalam
penelurusan/pengungkapan fakta akan digunakan pendekatan kualitatif, yang menekankan pada
manfaat dan pengumpulan informasi dalam mendalami fenomena yang diteliti. 319 Pemilihan metode
kualitatif dalam penulisan kegiatan ini dikarenakan penulis tidak melakukan pengujian kekuatan
antar variabel tetapi berusaha melihat dan menggambarkan keseluruhan fenomena sosial yang
berkaitan dengan permasalahan yang muncul dalam kegiatan ini. Alasan mengapa kegiatan ini
menggunakan pendekatan kualitatif adalah karena dalam melihat kondisi sosial perempuan dan
pandangan politiknya harus dilihat dan digambarkan keseluruhan fenomena sosial yang terkait
dengan permasalahan tersebut.
Berdasarkan tipe penelitian, kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif merupakan salah satu bagian dalam penelitian kualitatif. Penelitian yang
bersifat deskriptif memberi gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan,
gejala atau kelompok tertentu.320 Menurut Melly G.Tan, penelitian deskriptif merupakan penelitian
yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu keadaan, gejala, atau kelompok
tertentu atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala
lainnya dalam masyarakat.321
Tahapan Pekerjaan:



Tahap Persiapan
Tahap Pengumpulan Data (Sekunder dan Primer)
Tahap Analisa data
Data yang telah terkumpul kemudian akan diproses melalui pemrosesan satuan,
kategorisasi, dan penafsiran data.
 Tahap Akhir
Tim Peneliti melakukan perbaikan untuk kesempurnaan hasil.
VII. WAKTU PELAKSANAAN
Penelitian akan dilaksanakan dalam waktu 3 (tiga) bulan (Juni – Agustus 2008)
Timeline Penelitian
No
1.
2.
3.
4.
5.
319
Kegiatan/Tahapan Penelitian
1
Juni
2 3
4
1
Juli
2 3
4
Penentuan Topik Penelitian
Penyusunan Rencana Penelitian
Pengumpulan Data Kualitatif
Pengumpulan Data Kuantitatif
Analisis Data
Koentjaraningrat, Metode-metode Kegiatan Masyarakat, (Jakarta : Gramedia, 1981), hlm 84.
Koentjaraningrat, “ Metode-Metode Penelitian Masyarakat”, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1997, hal 30
321
Melly G.Tan, “Masalah Perencanaan Penelitian”, dalam Koentjroningrat “ Metode-Metode
Penelitian Masyarakat”, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983, hal 29
320
1
Agustus
2 3 4
6.
7.
Interpretasi Data
Penulisan Laporan
Download