Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 MOHAMMED ARKOUN DAN REKONSTRUKSI PEMIKIRAN ISLAM Oleh: Anisa Listiana, M.Ag.1 Abstract From the Islamic point of view, the predicament appears to be even more complicated. The present day, Muslim world lacks self-confidence because of its weak sosio-economic standing. Muslim intellectual but also put them at great risk. Thus an appropriate rejoinder and a suitable approach towards such a challenge are imperative. Ideologies are directly albeit not always perceptibly related to methodological and epistemological themes. Sosial psychology also reveals that knowledge depends upon policy of rejecyion or incorporation of various philosophies. Moreover Islam makes it an obligation for each one of us to manage complate prudence which contains everthing at its reasonable and appropriate palce. The persuit for a broader perspective of the world calls for taking into account every type of knowlegde and fuse them all into one particular splending system. To make Islam an essential ‘part of social and intellectual action and play the role it once did in the world history.’ Keyword: Reconstruction, Islamic Thougt A. PENDAHULUAN Tradisi Islam yang disamakan dengan keterbelakangan dan keprimitifan membuat beberapa pemikir Barat mempunyai persepsi bahwa Islam itu diidentifikasikan dengan gambaran-gambaran teokrasi dan terorisme yang menakutkan. Dalam dunia akademikpun fokus kajian Islam banyak yang tercurah pada pemahaman – pemahaman yang radikal tentang Islam diantaranya ada Islam Radikal, Islam Militan, Islam Fundamental, dll. 1 Peneliti di Lembaga el-Kasyf dan Staf Pengajar di STAIN Kudus Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 Jika ditelusuri secara historis pendapat tersebut tidaklah salah karena Islam secara historis sudah banyak memunculkan pemikiran dan juga pemahaman yang beraneka ragam. Akan tetapi pemahaman yang radikal tersebut menafikan tradisi -tradisi lainnya yang justru menjunjung keadilan, persamaan, kesetaraan, permusyawaratan, jaminan hak-hak kaum wanita dan non muslim di negara-negara Islam, pembelaan terhadap kebebasan berpikir, dan ini justru berbanding terbalik dengan kesan para sarjana Barat dan media-media yang ada hanya membuat sensasional tentang kaum ekstrimis muslim. Disisi lainnya banyak pemikir muslim yang dilematis terhadap apa yang disuarakannya karena banyak cendikiawan dan negarawan di negaranegara Islam masih berpikir konservatif sehingga ketika para pemikirpemikir modernis menawarkan ide-ide mereka yang modern dan liberal dianggap keluar dari jalur. Di antara pemikir-pemikir yang mempunyai pikiran progresif adalah Mohammed Arkoun yang pada kesempatan ini akan penulis bahas mulai dari biografi dan setting sosial politiknya, pokok-pokok pemikirannya, kerangka pemikirannya, pendekatan dan metodologinya, serta sumbangannya terhadap perkembangan pemikiran Islam. B. BIOGRAFI DAN SETTING SOSIAL POLITIK Arkoun lahir pada Tanggal 2 Januari 1928 di Taorirst Mimount Kabilia, suatu daerah pegunungan di sebelah timur Aljir. Ia merupakan anak dari seorang pedagang rempah-rempah di Desa Barber. Sejak kecil dia sudah mengenal tiga bahasa yaitu bahasa Barber sebagai bahasa ibu, bahasa Arab sebagai bahasa keagamaan dan bahasa Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 Perancis sebagai bahasa administrasi dan pendidikan.2 Pendidikannya mulai dari Sekolah Dasar di desa asalnya, kemudian sekolah menengah di kota Pelabuhan Oran (al-Wahran) Aljazair Barat. Pada tahun 19501954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir, pada saat yang sama ia juga mengajar di sekolah menengah al-Harrach. Di tengah-tengah perang kemerdekaan Aljazair dan Perancis (1954-1962). Arkoun melanjutkan studinya tentang bahasa dan sastra Arab serta pemikiran Islam di Universitas Sorbonne, Paris. Ketika itu dia sempat bekerja sebagai agregasi bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris, mengajar di SMU Lycee di Strasbourgh dan juga mengajar di Universitas Starbourgh (1956-1959). Pada Tahun 1961, Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne, Paris sampai tahun 1969, ketika dia menyelesaikan program Doktornya dengan disertasi mengenai Humanism dalam Pemikiran Etis Maskawaih (w. 1030 M). Tahun 1970 – 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan kembali lagi ke Paris sebagai Guru Besar Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Sorbonne Paris sampai sekarang walaupun sudah pensiun tetapi tetap membimbing karya penelitian. Arkoun juga banyak mengajar di berbagai universitas dunia seperti University of California, Princeton University, Temple University, Universitas Katolik Louvainla Neuve Belgia, University of Amsterdam, Institut Of Ismaily Studies di London dlsb. Arkoun banyak menghasilkan karya ilmiah baik artikel-artikel yang sudah dipublikasikan di sejumlah journal internasional terkemuka maupun buku-buku yang berbahasa Inggris 2 . Suadi Putro, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal.16 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 diantaranya adalah Rethinking Islam dan juga terjemahannya dalam bahasa Perancis maupun Arab. Secara sosiokultural, masyarakat Kabilia tidak mengenal tulisan dan hanya mengenal bahasa lisan dan juga Aljazair sendiri mayoritas beragama Islam yang masih melakukan tradisi lisan dengan praktik hafalan komunal dan mengesampingkan studi literer. Figur sentral adalah wali (marabout), yaitu orang yang memiliki kharisma dan kebanyakan adalah keturunan (mengklaim keturunan) Nabi atau shahabatnya, sehingga ummat Islam disini patuh pada apa yang diajarkan tanpa meninjau apakah ajaran atau pemikiran itu benar atau salah.3 Latar belakang inilah yang membuat Arkoun mempunyai pemikiran yang berbeda dengan komunitasnya di samping pendidikannya di Perancis. Arkoun juga terpengaruh dengan pemikiran tokoh-tokoh seperti Paul Ricour, Ferdinand de Sausure (Linguistik), Jaques Derrida(Gramatologi), Michael Focault (Epistimologi), Jacques Lacan (Psikologi), Roland Barthes (Semiologi), Pierre Bourdiiw, Jack Goady (Antropologi) dan Northrop Frye.4 Pertemuan dengan dengan pemikir-pemikir Baratlah akhirnya membuat Arkoun terinspirasi menggunakan Metode historisme yaitu pendekatan yang melihat seluruh fenomena sosial budaya melalui perspektif historis, menurutnya masa lalu harus dilihat menurut strata historis dan harus dibatasi menurut runtutan kronologis dan fakta-fakta nyata,5 sementara 3 John L. Esposito, The Oxford Encyclopedy of The Modern Islamic World, Vol. I. (New York: Oxford University Press, 1955), hal. 106-110 4 Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog Antar Agama, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hal. 33-34. 5 Johan Meuleman, Pengantar pada Arkoun, Nalar Islami, hal 9-10. Historisme dengan Historisisme sangatlah berbeda, jika historisme mengacu pada peristiwa masa lalu yang sesuai dengan kejadian dan kronologi sementara Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna lewat penghapusan relevansi antara teks dan konteks, dan jika berkaitan dengan teks-teks agama, maka yang diangkat adalah makna baru yang potensi ada dalam teks-teks itu. 6 metode rekonstruksi ini oleh Arkoun digunakan untuk menganalisis Nalar Islami dengan pendekatan Interpretatif antara teks dan konteks, maksudnya adalah untuk merekonstruksi konteks harus dilakukan dekonstruksi teks karena tradisi-tradisi yang muncul pada saat itu adalah tidak terlepas dari teksteks yang melatarbelakangi serta penafsiran dan juga produk yang dihasilkannya. Dengan analisis seperti itu Arkoun mengharapkan ada pemikiran-pemikiran serta tradisi-tradisi yang baru yang akhirnya banyak melahirkan tulisan-tulisan sertakarya-karyanya, diantara adalah: Al-Fikr al-Islamy, Naqd wa Ijtihad, Al-Islam al-Akhlaq wa al-Siyasah, Ouvertures sur I’Islam, Min Faisal al-Tafriqah ila Fasl al-Maqal, dll.7 C. METODE DAN PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN OLEH ARKOUN Arkoun merupakan salah satu pemikir Muslim yang gelisah melihat persoalan umat Islam dewasa ini, diantara permasalahan tersebut adalah hubungan antara upaya penegakan cita ideal masa lalu umat Islam dengan situasi dan era kehidupan modern.8 Menurut Arkoun masalah pokok yang mendasari kehidupan modern beserta historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna lewat penghapusan relevansi antara teks dan konteks. 6 Mohammed Arkoun, Tarikhiyah al-Fikr al-Araby al-Islami, (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1996), hal.4 7 Karya-karya Arkoun lebih lanjut baca Johan H. Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, (Yogyakarta: LKIS, 1996), hal. 163-167. 8 Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. hidayat, (Jakarta: INIS, 1994), hal.284-305. Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 implikasinya berakar pada problem epistimologi keilmuwan nalar klasik (Nalar Islam) yang dipandang tidak lagi kondusif untuk merespon masalah-masalah kekinian.9 Menyadari hal tersebut Arkoun berusaha menembus batas, melakukan kritik historis dan mendekonstruksi konsep dan bangunan epistimologi lama yang selama ini digunakan oleh umat Islam. Upaya tersebut dilakukan Arkoun dalam rangka membentuk konstruksi epistimologis keilmuan Islam yang baru. Usaha intelektual yang dilakukan oleh Arkoun berkaitan dengan pemikiran Islam yaitu mengevaluasi karakteristik dari sistem ilmu pengetahuan yang historis dan mitis dengan perspektif epistimologis yang baru. Tujuannya adalah untuk mengembangkan epistimologi yang baru bagi studi perbandingan terhadap budayabudaya melalui contoh yang dikembangkan oleh Islam sebagai agama dan sebagai produk sosial sejarah.10 Dalam pandangan Arkoun, pemikiran Islam kecuali dalam beberapa usaha pembaharuan ktitis yang bersifat sangat jarang dan mempunyai ruang perkembangan yang sempit, belum membuka pada pemikiran yang modern dan tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat Islam saat ini. Pemikiran Islam dianggap naïf karena mendekati agama atas dasar kepercayaan langsung tanpa kritik. Menurut Arkoun, Masyarakat muslim telah kehilangan kesadaran historis dan berkeyakinan bahwa pengertian Islam bersifat konstan sebagaimana apa adanya sejak masa turunnya Al-Qur’an sampai sekarang, mereka melupakan arti sinkronis dari berbagai peristilahan dengan demikian berarti mengingkari aspek 9 Arkoun, “Menuju Pendekatan Baru Islam”, dalam Jurnal Ilmu dan kebudayaan Ulumul Qur’an, No.7. Vol.II.1990/1411, hal. 85 10 Arkoun, “Rethinking Islam Today”, dalam Charles Kurzman (Ed.) Liberal Islam A Source Book (New York: Oxford University Press, 1998), hal. 206. Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 historisitas.11 Historisisme yang dimaksud oleh Arkoun adalah melihat seluruh fenomena sosial budaya lewat perpektif historis, semua fakta historis ini dilihat menurut runtutan kronologi dan fakta-fakta yang nyata.historisisme ini berperan sebagai metode rekonstruksi makna lewat penghapusan relevansi teks dan konteks. Jika metode ini diaplikasikan kepada teks-teks agama, yang dibutuhkan adalah maknamakna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut. Apa yang disebut oleh Arkoun Taqdiis al Afkar ad Diiniyyah telah mengurung umat Islam, maka Ia menghimbau kepada seluruh peneliti Islam agar melampaui batas studi Islam baik yang tradisional tidak hanya di dunia Barat tetapi juga di dunia Islam itu sendiri, yang mendekati Islam melalui karya tertulis berbagai tokoh klasik mengenai hal yang menyangkut pemikiran logis dan rasional, fiqh terutama teologi. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam bebas dari kejumudan dan ketertutupan yang menjadi ciri hingga saat ini, sehingga umat islam diharapkan dapat melahirkan suatu pemikiran islami yang mampu menjawab tantangan yang dihadapi dunia muslim kontemporer.12Untuk memperoleh kejelasan peta pemikiran menurut Amin Abdullah, yang 11 Dalam beberapa literatur menjelaskan bahwa hampir semua pemikir besar Islam yang berasal dari Maghribi (Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya) termasuk Arkoun, cenderung pada pendekatan dekonstruktif (pembongkaran) yang dikembangkan oleh Jaqkues Derrida. Hal ini disebabkan adanya pengaruh unsure bahasa Perancis, bahkan pengaruh tersebut tidak terbatas pada bahasa tetapi menjalar kepada gerakan pemikiran dan filsafat Perancis kontemporer, khususnya pada gerakan post strukturalisme, oleh karena itu tidaklah heran ketika pemikir-pemikir maghribi menganut paham strukturalisme karena yang dihadapipun juga permasalahan yang sama yaitu masalah teks dan konteks sehingga dekonstruksi dianggap sebagai metode yang paling pas. Lebih lanjut baca A. Luthfie As Syaukani, ”Tipologi dan wacana Pemikiran Arab” dalam Jurnal Paramadina, Vol. I. No. I/ 1998, hal 75. 12 Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat, Cet. I, (Jakarta: INIS, 1994) hal. 2 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 ada haruslah mengkaji ulang terhadap naskah – naskah keagamaan era klasik- skolastik yang taken for granted tanpa dikritisi oleh kaum muslim sekarang sehingga apa yang dilakukan oleh Arkoun menjadi berbeda dari kajian keislaman dari kaum orientalis yang tidak pernah menjelaskan asal-usul naskah-naskah dan teks-teks keagamaan secara antropologis dan hanya sekedar menerjemahkan naskah yang mereka temukan dari bahasa Arab klsik ke bahasa Inggris, Peancis, Jerman dan bahasa lainnya. Penelitian seperti itu sama sekali tidak dapat digunakan untuk mencaritahu bagaimana munculnya literature keagamaan islam yang sangat banyak sekali yang hanya dipenuhi dengan angan-angan sosial yang hidup pada saat itu dan dipaksakan untuk berlaku selamanya tanpa mempertimbangkan kesesuaian waktu yang sebetulnya terbatas pada era tertentu.13 Arkoun menggunakan metode antropologi karena dalam antropologi menyertakan kemajuan- kemajuan berbagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat yang lebih beraneka ragam untuk memahami mekanisme rumit dibalik perbedaanperbedaan superficial yang dijadikan pegangan oleh diskripsi etnografi, sejarah ataupun sosiologi.14dalam kajian Historisisme Arkoun menekankan kajian ulang atas pembacaan tradisi (turas) dengan memakai pendekatan: 1. Pendekatan Linguistik Pendekatan linguistik ini adalah membandingkan antara konsepsi gagasan umum sebagai penopang dasar pengetahuan logis dengan kata lambing sebagai sumber yang memunculkan pengertian dasar 13 M. Amin Abdullah, “Arkoun dan Kritik Nalar Islam” dalam Tradisi Kemodernan dan Modernisme: Membincangkan Pemikiran Arkoun, Penyunting, JH. Meuleman, (Yogyakarta: LKIS, 1994), hal. 15 14 Mohammed Arkoun, Islam Kemarin dan Hari Esok, (Bandung: Pustaka, 1997) hal. 125 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 yang serba beragam yang ditumbuhkembangkan oleh berbagai hubungan oposisi, implikasi, korelasi dan simetri. Penekanan kata tanda dengan kata lambang berarti memperkuat penekanan bahasa diskursif atau kongkrit ke dalam bahasa mitis dalam bible dan dalam perjanjian baru yang terdapat dalam Al-Qur’an. Secara Linguistik menurut Arkoun, Al-Qur’an adalah sebuah corpus terbatas dan terbuka pada berbagai ajaran dalam bahasa Arab, sepanjang kami hanya mempunyai akses terbatas pada naskah yang secara tertulis dibakukan setelah abad IV-X, keseluruhan naskah yang dibakukan ini telah diolah layaknya sebuah karya, karena dalam Al-Qur’an banyak mengandung ajaran-ajaran dan kandungan-kandungan yang oleh umat Islam diyakini sebagai penyempurna ajaran agama sebelumnya.15 Dengan demikian, mudahlah kita ketika kita mengatakan bahwa bahasa Al-Qur’an: a. Benar karena berhasilguna bagi kesadaran manusiawi yang tidak saja digiatkan oleh suatu bahasa mitis lain yang terbuka terhadap perspektif yang sepadan b. Berhasilguna karena berkaitan dengan masa ciptaan primordial dan meresmikan secara mandiri suatu masa istimewa, masa wahyu, masa kenabian dan para leluhur yang saleh. c. Spontan: suatu pancaran keyakinan-keyakinan berkesinambungan yang tidak bersandar pada pembuktian (nalar) tetapi pada kemampuan mendalam pada berbagai gelagat setiap kepekaan (batin) manusiawi. 15 Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Al-Qur’an, Johan Henrik Meuleman (penyunting). Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), hal. 91 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 d. Simbolis: dalam setiap surat dalam Al-Qur’an diakhiri informasi tentang surga Allah yang dihuni dengan gembira dan dilustrasikan sebagai tempat mengalirnya sungai anggur, sungai madu dan sebagainya. Berbagai gambaran surge dan neraka yang digali dalam sejarah suci, dan sebagai percontohan bagi orang yang selamat atau orang yang terkutuk. Berbagai perilaku ideal para nabi yang menjadi figure harapan konstitusi terhadap kondisi manusiawi manusia.16 Sebagai contoh, menurut Arkoun, lafal qissah (dongeng, narasi) yang kita temui dalam Al-Qur’an tentang nabi-nabi yang disajikan secatra mitis(mytical presentation) yang oleh para pelajar muslim disebut sebagai usturah dalam Al-Qur’an. Semua cerita yang ada dalam Al-Qur’an menggunakan konsep qissah yang berstruktur mitis dan oleh Arkoun mitis itu sendiri adalah konsep antropologi. 2. Pendekatan Semiotik Menurut Arkoun, mengapa ia menggunakan pendekatan semiotik dalam menganalisa Al-Qur’an (batasan teks), karana ada beberapa manfaat, diantaranya adalah: a. Pendekatan semiotik memandang suatu teks sebagai suatu keseluruhan dan sebagai sistem dari hubungan-hubungan intern. Pendekatan ini memungkinkan untuk memahami banyak aspek dari sebuah teks yang tidak dapat ditangkap atas dasar suatu analisis yang bertolak dari unsure tertentu yang terpisah dan berdiri sendiri dari teks yang bersangkutan. 16 Ibid….hal.55 Kasyf el Fikr b. Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 Pendekatan semiotik membuat kita mendekati suatu teks tanpa interpretasi tertentu sebelumnya atau pra anggapan lain.17 Akan tetapi, pendekatan semiotic ada keterbatasannya, karena semiotic sampai saat ini mengabaikan sifat khusus dari teks-teks keagamaan. Ahli semiotik belum banyak mengembangkan peralatan analisis khusus untuk teks tersebut. Teks-teks keagamaan berbeda dengan teks-teks lain karena berpretensi member petanda terakhir (pertanda transcendental), dan semiotik tidak memperhatikan aspek dasar itu dari teks-teks tersebut, dan menurut Arkoun, cenderung menghindari dengan sadar dan sengaja persoalan dari jenis itu.18 c. Pendekatan Hermeunetika Historis dengan metodologi Kritis Arkoun memilih pendekatan ini karena ia berpandangan bahwa sebuah tradisi akan mati, kering, jumud jika tidak dihidupkan secara terus menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. Ketika tiga elemen pokok hermeunetika yaitu pengarang, teks dan pembaca memiliki dunia sendiri-sendiri maka ketiganya akan bersifat rerbuka karena tanpa adanya wacana terbuka dan dinamis sebuah tradisi akan kehilangan pemahan dan pengalaman keagamaan sampai pada batas-bats tertentu yang merupakan refleksi atas penafsiran yang subyektif yang muncul dari dunia tradisi dan teks keagamaan. Oleh karena itu sebuah 17 Johan Henrik Meuleman, “Sumbangan dan Batas Semiotika dalam ilmu Agama”, dalam Tradisi Kemodernan ….hal. 42 18 Ibid….hal. 43 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 teks yang sama ketika divbaca ulang bisa melahirkan interpretasi yang berbeda dan melahirkan pemahaman yang baru.19 Dalam karya-karya arkoun ditemukan wacana kritis dari ketiga sumber utama yaitu Visi Al-Qur’an, kitab-kitab klasik dan Filsafat Barat Kontemporer, ketiga hal tersebut akan memunculkan informasi dan makna baru ketika didekati dengan pendekatan baru terutama dengan pendekatan hermeunitika historis, sehingga dari zaman ke zaman akan mengaktualkan pesan Al-Qur’an dan tataran tradisi keilaman yang tidak mengenal akhir. D. PEMIKIRAN-PEMIKIRAN ARKOUN Pemikiran Arkoun sangatlah rumit dikarenakan banyaknya karya-karya yang ditulis tidak pada satu waktu akan tetapi karyanya beragam dan ditorehkan dalm jenjang waktu yang berbeda. Dalam mengembangkan pemikirannya, Arkoun berangkat dari pemahaman “pemikiran Islam” dari spektrum yang lebih luas yaitu tradisi (atturast) dan modernitas (al-Jadid). Dengan perspektif yang beragam mulai dari semiotik, hermeunetik, antropologi, sejarah dan lainnya. Pemikiran Arkoun yang menonjol adalah tentang kritik epistimologi terhadap pemikiran Islam (Kritik Nalar Islam) yang berada pada titik kebekuan dan ketertutupan ummat Islam dan hanya terpaku pada pensakralan pemikiran keagamaan (Taqdisul Afkar Ad-Diniyyah). Hal inilah yang membuat keterbelakangan dunia Islam dalam berbagai lapangan kehidupan dibanding dengan dunia Barat. Nalar Islami yang dicita-citakan Arkoun adalah pemikiran Islami yang diperbaharui yaitu 19 A. Luthfie Syaukani, :Tipologi dan wacana Pemikiran Arab kontemporer” dalam Jurnal Paramadina, Vol. I. No. 1/1998, hal. 75-77 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 semangat keagamaan dan besarnya peranan angan-angan atau cita-cita sosial yang kurang dilestarikan di dunia Barat yang dikuasai oleh nalar modern. Cita-cita ini dibangun dari berbagai unsur sejarah, realitas sosial, dan lingkungan fisik kelompok yang bersangkutan namun diwujudkan kembali menjadi berbagai citra, cerita dan nilai-nilai serta cita-cita di masa depannya. Ada beberapa pemikiran besar yang disampaikan oleh Arkoun berkaitan dengan Al-Qur’an diantaranya adalah: 1. Wahyu dan Teks Al-Qur’an Allah SWT Lauh Mahfudl 1.Belum Terbaca Jibril -----------------Muhammad Tertutup) Utsman (Thinkeble) Ummat 2. Berbahasa Lisan (Korpus 3. Korpus Terbuka, tertulis 4. Penafsiran Menurut Arkoun, wahyu itu terbagi menjadi 4 fase yaitu yang Pertama fase Belum terbaca yaitu wahyu sebagai Firman Allah yang transenden, tidak terbatas dan tidak diketahui oleh manusia, yang letaknya masih di al-Lauh Mahfudl atau masih Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 sebagai Umm al-Kitab. Yang Kedua wahyu yang diturunkan dalam bentuk pengujaran lisan dalam realitas sejarah yang disebut sebagai discours religious, dan berfragmen sebagai bentuk Bibel (Taurat dan Zabur), Injil serta Al-Qur’an. Untuk Al-Qur’an sendiri merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT yang diwahyukan berbahasa Arab kepada Nabi Muhammad SAW dalam kurun waktu berangsur-angsur hingga dua puluh tahun (Corpus Officiel Close= Korpus Resmi Tertutup). Yang Ketiga, wahyu yang terekam dalam catatan, yang banyak menghilangkan banyak hal terutama yang berkaitan dengan situasi pembicaraan (asbabun nuzul yang belum dapat mengembalikan hal-hal yang hilang ketika suatu pembicaraan direkam dalam sebuah tulisan).20 Dalam hal ini apa yang dinamakan Pembukuan Al-Qur’an atau yaitu bermula dari tulisan parsial yang terserak-serak sampai pada pembuatan Mushaf Utsmani, pada saat ini Mushaf yang ada masih memungkinkan pembacaan yang berbeda-beda naming setelah adanya pembakuan yaitu yang pertama oleh Abu Bakar Ibn Mujahid pada tahun 324 H yang mengakhiri varian-varian bacaan dengan hanya mengesahkan tujuh bacaan atau yang biasa disebut Qiraah Sab’ah dan kedua adanya penerbitan Al-Qur’an standar Kairo tahun 1924 M yang kemudian disebarkan ke seluruh dunia. Dan yang Ke empat adalah corpus interpretes (korpus-korpus penafsir), ketika Al-Qur’an diterbitkan dan disebarkan ke seluruh dunia maka muncullah korpus-korpus penafsir yang lahir sebagai produktivitas teks dan bukan sebagai produktivitas wacana yang 20 St. Sunardi, “Membaca Qur’an Bersama Mohammed Arkoun” dalam Meuleman (Penyunting), Tradisi….hal. 82-84 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 kesemua itu disebut sebagai ajaran suci yang menghasilkan sejarah penyelamatan dunia. Yang dimaksud disini adalah ketika AlQur’an sudah tersebar ke seluruh dunia maka yang terjadi adalah muncullah banyak penafsir yang ada di daerah/ negara masingmasing sesuai dengan kondisi lokalnya masing-masing sehingga tidak bisa lagi memikirkan lagi persoalan-persoalan besar yang bisa membuka kemungkinan penyelidikan yang membedakan antara Qur’anic fact dengan Islamic fact.21 2. Pembacaan Al-Qur’an Kelahiran Al-Qur’an tidak hanya sebagai pedoman bagi ummat Islam tetapi menjadi kajian yang tidak ada habisnya di kalangan ummat Islam atau Islamolog, begitu juga telah terjadi perubahan mendasar di kalangan ummat berkaitan dengan pemahaman tentang wahyu. Nalar grafis telah mendominasi cara berpikir umat sehingga simbol kenabian didesak oleh simbol pengajaran yang akhirnya menjadikan minimnya pemahaman wahyu dari segala dimensi. Untuk kategori semiotik, teks AlQur’an sebagai parole22 didesak oleh teks sebagai langue23 21 Kenyataan Qur’ani bersifat transenden, transhistoris dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan pemaknaan, sedangkan kenyataan islami bersifat historis dan merupakan penjelasan dari salah satu makna yang terkandung dalam kenyataan Qur’ani. Kenyataan Islami lahir melalui penafsiran manusia (baik fuqoha’ maupun ahli kalam) terhadap kenyataan Qur’ani yang dibuktikan dengan berbagai macam aliran, corak, garis seperti Sunny, Shi’I, Kharijy, Mu’tazily, Qadiry. Jabiry dan berbagai cabang serta alirannya yang sebetulnya merupakan gerakan politik dan semuanya berusaha untuk mendapatkan pengakuan sebagai pemilik kebenaran tertentu. Lebih lanjut lihat Suaedy Putro, Mohammed Arkoun…, hal. 33-34. 22 Parole adalah keseluruhan apa yang diujarkan orang yang merupakan manifestasi individu dari bahasa, lihat harimurti Kridalaksana, “Mongin Ferdinand de Saussure…” dalam Ferdinand de Saussure, Pengantar Semiotik, hal. 6. Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 sehingga kini Al-Qur’an tetap menjadi parole bagi kaum mukmin. Untuk itulah menurut Arkoun tujuan qiraah atau pembacaan ada yaitu untuk comprende, mengerti, komunikasi kenabian yang hendak disampaikan lewat teks yaitu mencari makna yang hendak disampaikan lewat teks, yaitu mencari makna yang hendak disampaikan lewat teks tersebut dengan cara mengoptimalisasi setiap kemungkinan untuk memproduksi makna. 24 Menurut Arkoun ada tiga cara dalam pembacaan Al-Qur’an, yang Pertama, secara liturgis yaitu memperlakukan teks secara ritual yang dilakukan dalam keadaan shalat dan doa. Pembacaan liturgis ini mempunyai tujuan untuk mereaktualisasikan saat awal Nabi Muhammad mengujarkannya pertama agar didapatkannya ujaran (situation de discourse) “ ujaran I”. dengan cara inilah manusia mengkomunikasikan rohani, baik secara horizontal maupun vertikal dan sekaligus melakukan perenungan terhadap wahyu. Yang Kedua, pembacaan secara eksegesis yang berfokus utama pada “ujaran 2” yaitu yang terkandung di dalam mushaf seperti yang dilakukan oleh Fakhr al-Din al-Razi (w.606/1209). Yang Ketiga yaitu memanfaatkan temuan-temuan metodologis yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu Kemanusiaan dan Ilmu Bahasa. Ketiga cara baca tersebut tidak saling menyisihkan satu sama lain melainkan saling memberikan kontribusi untuk memahami teks23 Langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secar pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, ibid, hal. 7 24 St. Sunardi, “Membaca Qur’an Bersama Mohammed Arkoun” dalam Meuleman (Penyunting), Tradisi….hal. 65-24 Parole adalah keseluruhan apa yang diujarkan orang yang merupakan manifestasi individu dari bahasa, lihat harimurti Kridalaksana, “Mongin Ferdinand de Saussure…” dalam Ferdinand de Saussure, Pengantar Semiotik, hal. 6. 24 Langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secar pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, ibid, hal. 7 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 teks Ilahi yang tidak akan pernah tuntas dikupas oleh manusia.25 Dalam pembacaan ini, Arkoun menawarkan dua tahapan kritis yaitu linguistik kritis dan hubungan kritis. Untuk tahap linguistik kritis, pembacaan dilakukan dengan memakai data-data linguistic seperti halnya tanda bahasa, sintaksis, semantic untuk mengetahui maksud dari pengajar, sementara untuk tahap hubungan kritis, pembacaan dapat dilakukan dengan dua langkah yaitu eksplorasi historis yaitu meneliti khazanah tafsir klasik dengan berusaha untuk menemukan petanda terakhir yang ada di dalamnya dengan menggunakan kode-kode linguistik, keagamaan, kultural, simbolis, anagogis dan eksplorasi antropologis yaitu melakukan analisis mitis/sombolis dengan memeriksa tanda, symbol dan mitos yang menyertai qiraah.26 3. Hak Asasi Manusia HAM merupakan konsep awal dari Yunani - Romawi yang berkaitan dengan sikap manusia serta mengukur baik buruknya berdasarkan keserasiannya dengan hukum alam. Konsep inilah yang kemudian dikenal sebagai natural law doctrine atau doktrin hukum alam dan lebih menekankan kewajiban daripada hak.27 Menurut Arkoun peran agama dalam HAM sangatlah penting karena HAM ini bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dari 23 pasal yang terkandung di dalam rumusan persiapan Deklarasi Hak Asasi Islam Universal Tahun 1981 semuanya berdasarkan 25 26 27 hal. 177 Ibid, hal. 68 Ibid, hal. 69-88 Alwi Shihab, Islam Inklusif, cet. Ke.5 (Bandung: Mizan, 1999), Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dari kelompok Sunni yang resmi dan sudah terseleksi dan bukan dari kelompok Syi’i. HAM Islam bercorak tekratis yang terkandung prinsip-prinsip dasar hak-hak yang sudah ada sejak tahun 1400 tahun lalu, yang oleh Islam sudah memberikan isyarat HAM yang ideal kepada umat manusia yang bertujuan untuk memberikan kehormatan dan harga diri manusia dalam rangka menghapus eksploitasi, penindasan dan ketidakadilan. HAM dalam Islam bersumber langsung kepada Tuhan karena Tuhanlah yang membuat hukum dan pembuat HAM, oleh karena itu semua manusia dalam bentuk apapun entah sebagai penguasa, pemimpin dan lainnya tidak boleh ada yang melanggar, menghapus membatasi dengan cara apapun hak-hak yang diberikan oleh Tuhan.28Menurut Arkoun, HAM Islam itu mengatur perjanjian antara manusia dengan Tuhan, yang pada awalnya menyangkut orang mukmin tetapi secara universal juga menyangkut umat manusia secara umum sejauh mereka bisa diajak masuk dalamperjanjian tersebut. Pertanyaan selanjutnya kenapa wacana HAM ini muncul belakangan, karena Islam pada masa klasik telah kehilangan dinamika dan kemampuan untuk memperbaharui diri sebelum kedatangan kolonialisme di negara – negara Islam sehingga muncullah ideologi pembebasan nasional pada Tahun 1950an. Tujuan dari HAM baik secara ideologis maupun psikologis adalah untuk menegaskan kembali kepada warga yang beriman dengan cara memprolamirkan bahwa Tuhan menjamin hak-hak, menghancurkan tuntutan secular yang datang 28 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, Kata Pengantar Robert D. Lee, Terj. Yudian W. Asmin dan Latiful Khuluq, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 192 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 dari Barat dan juga membangun kembali kepercayaan diri akan modernitas hukum Islam dan karakter universalnya.29 Agama sangat berperan dalam perumusan hak-hak asasi baik di Barat maupun di Timur, oleh karena itu Arkoun menawarkan kembali problem wahyu dalam tiga agama monoteis yang tidak lagi dimulai dari definisi-definisi teologis tradisional melainkan juga dengan dukungan data dan persyaratan hermeunetik modern sehingga HAM ini bisa dipikirkan meskipun dengan kerangka sekular tetapi harus disertai dengan kemampuan intelektual dan kultural dalam menguasai semua problem lama maupun baru kaitannya dengan fenomena wahyu.30 4. Sekularisme Sekularisme sering dihubungkan dengan pemisahan total yang terjadi di dunia Barat antara gereja dan negara, “Berikanlah milik Kaisar kepada kaisar dan berikan milik Allah kepada Allah” yang sebenarnya berkaitan erat dengan wewenang tertinggi (gereja) dan kekuasaan politik (negara) yang dilakukan dengan mencurahkan ketaatan kepada yang Agung sehingga menurut Arkoun dalam menjalankan hubungan antara kekuasaan agama dan politik tidak ada perbedaan antara Yahudi, Kristen dan Islam. Selanjutnya menurut Arkoun, konsep sekularisme ini sudah disadari sebagai sebuah kesalahan oleh masyarakat Barat, mereka berharapdapat menemukan istilah baru sehingga kaum sekularis 29 30 Ibid, hal. 188-189 Ibid, hal. 192 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 bisa menerima agam tradisional secara kritis dan akum agamawanpun bersedia mengakui sekularisme sebagai langkah penting dalam membebaskan nalar manusia dari segala bentuk kesadaran yang salah, dan menurut Arkoun, dalam Al-Qur’an sendiri seringkali menggunakan konsep sekularisme guna menanggalkan kekeramatan dari segala bentuk dewa bangsa Arab pra –Islam. Setelah membongkar sejarah pemikiran dengan kritik dekonstruktif, Arkoun menghasilkan pemikiran-pemikiran tentang sekularisme diantaranya adalah: a. Sekularisme sudah ada dalam Al-Qur’an b. Khalifah bani Umayyah maupun Abbasiyah merupakan khalifah yng sekuler karena mengubah simbol agama menjadi aturan yang menjadi ideologi untuk mencapai kekuasaan. c. Kekuatan militer menjadi pemegang peranan penting dalam khilafah, sultan dan semua bentuk pemerintahan Islam dari sejak awal d. Para filosof sudah merasionalkan sekularisme dan menganggap sebagai sesuatu yang biasa. e. Klaim ortodoksi dari Syi’i, Sunni, Khariji yang menggunakan ideologi praktik dan keyakinan yang dianggap asli religius f. Semua yang sifatnya religious harus diuji kembali dengan teori pengetahuan modern g. Sekularisme merupakan sumber dan daerah kebebasan intelektual untuk memprakarsai teori dan praktik wewenang Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 baru yang harus juga dijalankan oleh masyarakat Barat saat ini.31 5. Perempuan dalam Syariah Islam Berkaitan dengan perempuan, Arkoun berpendapat bahwa Al-Qur’an dalam meningkatkan status perempuan pada tingkatan kewajiban spiritual sudah sama dengan kaum laki-laki, atau perempuan dalam Islam tidaklah ditundukkan sebagaimana perempuan di Barat. Anggapan praktik poligami, cerai talak, jilbab, pemisahan jenis kelamin, pembebanan tugas-tugas rumah tangga, ketergantungan terhadap suami, perempuan tidak punya hak-hak adalah keliru, Islam datang justru sedikit demi sedikit mengangkat derajat kaum perempuan. Meskipun ketika Al-Qur’an muncul belum dapat merubah dua aspek inti yang sudah mengurat mengakar yaitu pertama struktur-struktur kekurangan elementer dan kedua kontrol terhadap seksualitas, dalam hal ini adat dan kebudayaan belum bisa dirubah karena kepentingan-kepentingan. Aspek yang lainnya adalah masalah kewarisan, integritas tubuh, akses menuju keuntungan sosial, budaya, politik, adat istiadat yang jauh dari ketentuan Al-Qur’an dan norma –norma hukum Muslim yang dominan di tengah kelompok sosial sehingga kajian tentang perempuan sangat diperlukan untuk kesetaraan. Menurut Arkoun dibutuhkan studi sosiologis yang tepat terhadap penerapan hukum Islam dalam masyarakat yang dapat memungkinkan penghalusan pembedaan antara superioritas, permanen, bobot struktur di satu 31 Suadi Putro, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal.74-80 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 sisi dengan modifikasi Al-Qur’an terhadap etika religious bagi sistem yang mengatur antara pribadi dengan masyarakat. 32Sudah selayaknya para pemikir Muslim yang berpendidikan klasik dan juga berpengalaman dalam keilmuan transdisipliner modern menjadi tauladan, tidak melukai, berbuat kasar kepada umat, tetapi sebaliknya para ulama dan ilmuwan tersebut harus melaksanakan tugas sebagai mediator antara kesadaran umat dan perkembangan pengetahuan ilmiah modern.33 E. ANALISIS Pada dasarnya Arkoun telah melakukan banyak hal berkaitan dengan pemikiran Islam, sumbangan pemikirannya pada dunia Islam menggugah kesadaran umat Islam untuk keluar dari kehidupan yang terpaku dan terkurung dalam ajaran dogmatis menuju pemikiran Islam yang modern. Arloun mengajak kepada para intelektual untuk membahas ide-ide Islam dengan metode dan pendekatan interdisipliner modern sehingga membuka lapangan mendekonstruksi pemikiran islam. kajian Merubah baru dengan Nalar Islam yang logosentris menjadi Nalar Keilmuan Modern, mengubah tradisi (turats) klasik, scholastic menjadi renaissance/ aufklarung/ pencerahan menggunakan metode historisisme kritis, hermeunetika, dan juga semiotik. Pemikiran Arkoun ini berimplikasi memunculkan Islamic 32 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, Kata Pengantar Robert D. Lee, Terj. Yudian W. Asmin dan Latiful Khuluq, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 161. 33 Moham33 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, Kata Pengantar Robert D. Lee, Terj. Yudian W. Asmin dan Latiful Khuluq, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 161. med Arkoun, Nalar Islam dan nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat, Cet. I, (Jakarta: INIS, 1994), hal.285 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 Studies yang tidak hanya menghasilkan ilmu Fiqh, Ilmu tasawuf, Ilmu Kalam, Ilmu Akhlak akan tetapi memunculkan ilmu-ilmu Islamic Studies yang berkaitan dengan Social Science, Humanities. Pemikiran Arkoun ini berbeda dengan pemikir-pemkir sebelumnya, misalnya Sayyed Husein Nashr yang lebih menonjolkan filsafat dan tasawufnya, Ismail Raji Al- Faruqi dan Sayed Naguib AlAttas yang lebih mengedepankan nuansa Islamisasi ilmu pengetahuan, Fazlur Rahman yang tidak tegas dalam menguraikan metodologi dan alat keilmuan yang diperlukan dalam mencapai rekonstruksi sistematis yang diharapkan dan justru cenderung ragu untuk memilih model pemikiran normative atau historis empiris, dan juga Hasan Hanafi yang menonjolkan bobot kalam dan filsafatnya, dan Arkoun dengan tegas memilih historis empiris.34 Arkoun juga mengkritisi pemikiran Thaha Husein dan Ali Abd Raziq sebagai pemikir yang tidak bijaksana dalam mencari dasar untuk mencari kompromi antara kebebasan intelektual yang tercerahkan dengan prasangka keagamaan pada masanya. Akan tetapi Arkoun dapat ditempatkan posisinya seperti tokoh Edward Said, Fatima Mernissi, Hassan Hanafi yang melihat pembacaan teks sebagai tindakan politik, dan juga dapat ditempatkan seperti tokoh Nashr Hamid Abu Zaid yang menempatkan teks al-Qur’an sebagai sebuah hasil sosial budaya dan mengajukan pembacaan Al-Qur’an dengan perspektif ilmu semiotik historis.35 Menurut Amin Abdullah, karena wilayah yang dikaji oleh Arkoun merupakan wilayah kajian 34 Amin Abdullah, Arkoun dan Kritik Nalar Islami” dalam Meuleman (penyunting), Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, cet.II (Yogyakarta: LKIS, 1996), hal.1-6 35 Richard C. Martin, Mark R. Woodward, Dwi S. Atmaja, Defenders of Reason Islam, Mu’tazilism From Medieval School to Modern Symbol (Newyork: One world, 1977), hal. 205 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 epistimologi murni sehingga kurang menyentuh langsung pada bangunan pemikiran keagamaan dan menyebabkan karya Arkoun tidak banyak diminati oleh masyarakat pengikut berbagai agama dan juga bahasanya terlalu rumit sehingga agak menyulitkan bagi yang mengkajinya, akan tetapi pemikiran Arkoun ini merupakan pemikiran yang membuka horizon pemikiran bagi kaum akademisi Islam.36 F. PENUTUP Usaha Arkoun untuk menggabungkan antara nalar Islam dan nalar Modern yaitu meggabungkan rasionalitas, sikap kritis dan citacita umat Islam yang ideal. Nalar Islami yang dicita-kan Arkoun merupakan pemikiran Islami yang diperbaharui dengan semangat keagamaan dan besarnya angan-angan dan cita-cita sosial yang dikuasai oleh nalar Modern. Cita-cita ini dibangun dari berbagai unsur sejarah, realitas sosial dan lingkungan komunitas umat dan diwujudkan kembali menjadi berbagai citra dan nilai-nilai di masa depan. Arkoun mengajak kepada para intelektual untuk membahas ide- ide Islam dengan metode dan pendekatan interdisipliner modern sehingga akan membuka lapangan kajian baru dengan mendekonstruksi pemikiran Islam. Dengan demikian Arkoun dikategorikan sebagai pemikir Islam pascamodern atau menuju meta-modern yang menolak agama yang adalam sejarah Arab –Islam merupakan variabel pembentuk tradisi/turath dan angan-angan sosial serta keterkaitannya pada dunia. Kekurangan dari pemikiran Arkoun adalah tidak dilengkapinya 36 Amin Abdullah, Arkoun dan Kritik Nalar Islami….hal. 1-6 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 instrumen untuk merekonstruksi sehingga nalar yang dianalisa tersebut hanya sebuah pemikiran yang hanya sekedar teori.37 37 Ibid….hal. 6 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 DAFTAR PUSTAKA Alwi Shihab, Islam Inklusif, cet. Ke.5 Bandung: Mizan, 1999 A. Luthfie As Syaukani,”Tipologi dan wacana Pemikiran Arab” dalam Jurnal paramadina, Vol. I. No. I/ 1998. John L. Esposito, The Oxford Encyclopedy of The Modern Islamic World, Vol. I. New York: Oxford University Press, 1955 Johan H. Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, Yogyakarta: LKIS, 1996 Machasin, Mohammed Arkoun: Berbagai Pembacaan Al-Qur’an, Johan Henrik Meuleman (penyunting). Jakarta: INIS, 1997 Mohammad Arkoun, “Menuju Pendekatan Baru Islam”, dalam Jurnal Ilmu dan kebudayaan Ulumul Qur’an, No.7. Vol.II.1990/1411 Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat, Cet. I, Jakarta: INIS, 1994 ---------------------------, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, Kata Pengantar Robert D. Lee, Terj. Yudian W. Asmin dan Latiful Khuluq, Cet. I ,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996 ---------------------------,, Tarikhiyah al-Fikr al-Araby al-Islami, Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1996 ---------------------------,, Islam Kemarin dan Hari Esok, Bandung: Pustaka, 1997 ---------------------------,, “Rethinking Islam Today”, dalam Charles Kurzman (Ed.) Liberal Islam A Source Book, New York: Oxford University Press, 1998 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 Mohammad Nasir Tamara, “Mohammad Arkoun dan Islamologi Terapan”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Vol. I. 1989 M. Amin Abdullah, “Arkoun dan Kritik Nalar Islam” dalam Tradisi Kemodernan dan Modernisme: Membincangkan Pemikiran Arkoun, Penyunting, JH. Meuleman, Yogyakarta: LKIS, 1994 Richard C. Martin, Mark R. Woodward, Dwi S. Atmaja, Defenders of Reason Islam, Mu’tazilism From Medieval School to Modern Symbol , Newyork: One world, 1977. Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog Antar Agama, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000 Suadi Putro, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998 St. Sunardi, “Membaca Qur’an Bersama Mohammed Arkoun” dalam Meuleman (Penyunting), Tradisi Kemodernan dan Modernisme: Membincangkan Pemikiran Arkoun, Penyunting, JH. Meuleman, Yogyakarta: LKIS, 1994