Kasyf el Fikr - WordPress.com

advertisement
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
MOHAMMED ARKOUN DAN REKONSTRUKSI PEMIKIRAN
ISLAM
Oleh: Anisa Listiana, M.Ag.1
Abstract
From the Islamic point of view, the predicament appears to be even more
complicated. The present day, Muslim world lacks self-confidence because of its
weak sosio-economic standing. Muslim intellectual but also put them at great risk.
Thus an appropriate rejoinder and a suitable approach towards such a challenge
are imperative.
Ideologies are directly albeit not always perceptibly related to
methodological and epistemological themes. Sosial psychology also reveals that
knowledge depends upon policy of rejecyion or incorporation of various
philosophies.
Moreover Islam makes it an obligation for each one of us to manage
complate prudence which contains everthing at its reasonable and appropriate
palce. The persuit for a broader perspective of the world calls for taking into
account every type of knowlegde and fuse them all into one particular splending
system. To make Islam an essential ‘part of social and intellectual action and play
the role it once did in the world history.’
Keyword: Reconstruction, Islamic Thougt
A. PENDAHULUAN
Tradisi Islam yang disamakan dengan keterbelakangan dan
keprimitifan membuat beberapa pemikir Barat mempunyai persepsi
bahwa Islam itu diidentifikasikan dengan gambaran-gambaran teokrasi
dan terorisme yang menakutkan. Dalam dunia akademikpun fokus
kajian Islam banyak yang tercurah pada pemahaman – pemahaman
yang radikal tentang Islam diantaranya ada Islam
Radikal, Islam
Militan, Islam Fundamental, dll.
1
Peneliti di Lembaga el-Kasyf dan Staf Pengajar di STAIN Kudus
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
Jika ditelusuri secara historis pendapat tersebut tidaklah salah
karena Islam secara historis sudah banyak memunculkan pemikiran dan
juga pemahaman yang beraneka ragam. Akan tetapi pemahaman yang
radikal tersebut menafikan tradisi -tradisi lainnya yang justru
menjunjung
keadilan,
persamaan,
kesetaraan,
permusyawaratan,
jaminan hak-hak kaum wanita dan non muslim di negara-negara Islam,
pembelaan terhadap kebebasan berpikir, dan ini justru berbanding
terbalik dengan kesan para sarjana Barat dan media-media yang ada
hanya membuat sensasional tentang kaum ekstrimis muslim. Disisi
lainnya banyak pemikir muslim yang dilematis terhadap apa yang
disuarakannya karena banyak cendikiawan dan negarawan di negaranegara Islam masih berpikir konservatif sehingga ketika para pemikirpemikir modernis menawarkan ide-ide mereka yang modern dan liberal
dianggap keluar dari jalur. Di antara pemikir-pemikir yang mempunyai
pikiran progresif adalah Mohammed Arkoun yang pada kesempatan ini
akan penulis bahas mulai dari biografi dan setting sosial politiknya,
pokok-pokok pemikirannya, kerangka pemikirannya, pendekatan dan
metodologinya, serta sumbangannya terhadap perkembangan pemikiran
Islam.
B. BIOGRAFI DAN SETTING SOSIAL POLITIK
Arkoun lahir pada Tanggal 2 Januari 1928 di Taorirst Mimount
Kabilia, suatu daerah pegunungan di sebelah timur Aljir. Ia merupakan
anak dari seorang pedagang rempah-rempah di Desa Barber. Sejak
kecil dia sudah mengenal tiga bahasa yaitu bahasa Barber sebagai
bahasa ibu, bahasa Arab sebagai bahasa keagamaan dan bahasa
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
Perancis sebagai bahasa administrasi dan pendidikan.2 Pendidikannya
mulai dari Sekolah Dasar di desa asalnya, kemudian sekolah menengah
di kota Pelabuhan Oran (al-Wahran) Aljazair Barat. Pada tahun 19501954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir, pada saat
yang sama ia juga mengajar di sekolah menengah al-Harrach. Di
tengah-tengah perang kemerdekaan Aljazair dan Perancis (1954-1962).
Arkoun melanjutkan studinya tentang bahasa dan sastra Arab serta
pemikiran Islam di Universitas Sorbonne, Paris. Ketika itu dia sempat
bekerja sebagai agregasi bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris,
mengajar di SMU Lycee di Strasbourgh dan juga mengajar di
Universitas Starbourgh (1956-1959). Pada Tahun 1961, Arkoun
diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne, Paris sampai tahun
1969, ketika dia menyelesaikan program Doktornya dengan disertasi
mengenai Humanism dalam Pemikiran Etis Maskawaih (w. 1030 M).
Tahun 1970 – 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan kembali
lagi ke Paris sebagai Guru Besar Sejarah Pemikiran Islam di
Universitas Sorbonne Paris sampai sekarang walaupun sudah pensiun
tetapi tetap membimbing karya penelitian. Arkoun juga banyak
mengajar di berbagai universitas dunia seperti University of California,
Princeton University, Temple University, Universitas Katolik Louvainla Neuve Belgia, University of Amsterdam, Institut Of Ismaily Studies
di London dlsb. Arkoun banyak menghasilkan karya ilmiah baik
artikel-artikel
yang sudah dipublikasikan di sejumlah journal
internasional terkemuka maupun buku-buku yang berbahasa Inggris
2
. Suadi Putro, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta:
Paramadina, 1998), hal.16
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
diantaranya adalah Rethinking Islam dan juga terjemahannya dalam
bahasa Perancis maupun Arab.
Secara sosiokultural, masyarakat Kabilia tidak mengenal tulisan
dan hanya mengenal bahasa lisan dan juga Aljazair sendiri mayoritas
beragama Islam yang masih melakukan tradisi lisan dengan praktik
hafalan komunal dan mengesampingkan studi literer. Figur sentral
adalah wali (marabout), yaitu orang yang memiliki kharisma dan
kebanyakan adalah keturunan (mengklaim keturunan) Nabi atau
shahabatnya, sehingga ummat Islam disini patuh pada apa yang
diajarkan tanpa meninjau apakah ajaran atau pemikiran itu benar atau
salah.3
Latar belakang inilah yang membuat Arkoun mempunyai
pemikiran
yang
berbeda
dengan
komunitasnya
di
samping
pendidikannya di Perancis. Arkoun juga terpengaruh dengan pemikiran
tokoh-tokoh seperti Paul Ricour, Ferdinand de Sausure (Linguistik),
Jaques Derrida(Gramatologi), Michael Focault (Epistimologi), Jacques
Lacan (Psikologi), Roland Barthes (Semiologi), Pierre Bourdiiw, Jack
Goady (Antropologi) dan Northrop Frye.4 Pertemuan dengan dengan
pemikir-pemikir Baratlah akhirnya membuat Arkoun terinspirasi
menggunakan Metode historisme yaitu pendekatan yang melihat
seluruh fenomena sosial budaya melalui perspektif historis, menurutnya
masa lalu harus dilihat menurut strata historis dan harus dibatasi
menurut runtutan kronologis dan fakta-fakta nyata,5 sementara
3
John L. Esposito, The Oxford Encyclopedy of The Modern Islamic World,
Vol. I. (New York: Oxford University Press, 1955), hal. 106-110
4
Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog Antar Agama, (Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 2000), hal. 33-34.
5
Johan Meuleman, Pengantar pada Arkoun, Nalar Islami, hal 9-10.
Historisme dengan Historisisme sangatlah berbeda, jika historisme mengacu pada
peristiwa masa lalu yang sesuai dengan kejadian dan kronologi sementara
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna lewat
penghapusan relevansi antara teks dan konteks, dan jika berkaitan
dengan teks-teks agama, maka yang diangkat adalah makna baru yang
potensi ada dalam teks-teks itu. 6 metode rekonstruksi ini oleh Arkoun
digunakan untuk menganalisis Nalar Islami dengan pendekatan
Interpretatif antara teks dan konteks, maksudnya adalah untuk
merekonstruksi konteks harus dilakukan dekonstruksi teks karena
tradisi-tradisi yang muncul pada saat itu adalah tidak terlepas dari teksteks yang melatarbelakangi serta penafsiran dan juga produk yang
dihasilkannya. Dengan analisis seperti itu Arkoun mengharapkan ada
pemikiran-pemikiran serta tradisi-tradisi yang baru yang akhirnya
banyak melahirkan tulisan-tulisan sertakarya-karyanya, diantara adalah:
Al-Fikr al-Islamy, Naqd wa Ijtihad, Al-Islam al-Akhlaq wa al-Siyasah,
Ouvertures sur I’Islam, Min Faisal al-Tafriqah ila Fasl al-Maqal, dll.7
C. METODE DAN PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN OLEH
ARKOUN
Arkoun merupakan salah satu pemikir Muslim yang gelisah
melihat persoalan umat Islam dewasa ini, diantara permasalahan
tersebut adalah hubungan antara upaya penegakan cita ideal masa lalu
umat Islam dengan situasi dan era kehidupan modern.8 Menurut
Arkoun masalah pokok yang mendasari kehidupan modern beserta
historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna lewat penghapusan
relevansi antara teks dan konteks.
6
Mohammed Arkoun, Tarikhiyah al-Fikr al-Araby al-Islami, (Beirut:
Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1996), hal.4
7
Karya-karya Arkoun lebih lanjut baca Johan H. Meuleman, Tradisi,
Kemodernan dan Metamodernisme, memperbincangkan Pemikiran Mohammed
Arkoun, (Yogyakarta: LKIS, 1996), hal. 163-167.
8
Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan
Baru, terj. Rahayu S. hidayat, (Jakarta: INIS, 1994), hal.284-305.
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
implikasinya berakar pada problem epistimologi keilmuwan nalar
klasik (Nalar Islam) yang dipandang tidak lagi kondusif untuk
merespon masalah-masalah kekinian.9 Menyadari hal tersebut Arkoun
berusaha
menembus
batas,
melakukan
kritik
historis
dan
mendekonstruksi konsep dan bangunan epistimologi lama yang selama
ini digunakan oleh umat Islam. Upaya tersebut dilakukan Arkoun
dalam rangka membentuk konstruksi epistimologis keilmuan Islam
yang baru. Usaha intelektual yang dilakukan oleh Arkoun berkaitan
dengan pemikiran Islam yaitu mengevaluasi karakteristik dari sistem
ilmu pengetahuan yang historis dan mitis dengan perspektif
epistimologis yang baru. Tujuannya adalah untuk mengembangkan
epistimologi yang baru bagi studi perbandingan terhadap budayabudaya melalui contoh yang dikembangkan oleh Islam sebagai agama
dan sebagai produk sosial sejarah.10 Dalam pandangan Arkoun,
pemikiran Islam kecuali dalam beberapa usaha pembaharuan ktitis
yang bersifat sangat jarang dan mempunyai ruang perkembangan yang
sempit, belum membuka pada pemikiran yang modern dan tidak dapat
menjawab tantangan yang dihadapi umat Islam saat ini. Pemikiran
Islam dianggap naïf karena mendekati agama atas dasar kepercayaan
langsung tanpa kritik. Menurut Arkoun, Masyarakat muslim telah
kehilangan kesadaran historis dan berkeyakinan bahwa pengertian
Islam bersifat konstan sebagaimana apa adanya sejak masa turunnya
Al-Qur’an sampai sekarang, mereka melupakan arti sinkronis dari
berbagai peristilahan dengan demikian berarti mengingkari aspek
9
Arkoun, “Menuju Pendekatan Baru Islam”, dalam Jurnal Ilmu dan
kebudayaan Ulumul Qur’an, No.7. Vol.II.1990/1411, hal. 85
10
Arkoun, “Rethinking Islam Today”, dalam Charles Kurzman (Ed.)
Liberal Islam A Source Book (New York: Oxford University Press, 1998), hal. 206.
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
historisitas.11 Historisisme yang dimaksud oleh Arkoun adalah melihat
seluruh fenomena sosial budaya lewat perpektif historis, semua fakta
historis ini dilihat menurut runtutan kronologi dan fakta-fakta yang
nyata.historisisme ini berperan sebagai metode rekonstruksi makna
lewat penghapusan relevansi teks dan konteks. Jika metode ini
diaplikasikan kepada teks-teks agama, yang dibutuhkan adalah maknamakna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks
tersebut. Apa yang disebut oleh Arkoun Taqdiis al Afkar ad Diiniyyah
telah mengurung umat Islam, maka Ia menghimbau kepada seluruh
peneliti Islam agar melampaui batas studi Islam baik yang tradisional
tidak hanya di dunia Barat tetapi juga di dunia Islam itu sendiri, yang
mendekati Islam melalui karya tertulis berbagai tokoh klasik mengenai
hal yang menyangkut pemikiran logis dan rasional, fiqh terutama
teologi. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam bebas dari kejumudan
dan ketertutupan yang menjadi ciri hingga saat ini, sehingga umat islam
diharapkan dapat melahirkan suatu pemikiran islami yang mampu
menjawab tantangan yang dihadapi dunia muslim kontemporer.12Untuk
memperoleh kejelasan peta pemikiran menurut Amin Abdullah, yang
11
Dalam beberapa literatur menjelaskan bahwa hampir semua pemikir
besar Islam yang berasal dari Maghribi (Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya) termasuk
Arkoun, cenderung pada pendekatan dekonstruktif (pembongkaran) yang
dikembangkan oleh Jaqkues Derrida. Hal ini disebabkan adanya pengaruh unsure
bahasa Perancis, bahkan pengaruh tersebut tidak terbatas pada bahasa tetapi menjalar
kepada gerakan pemikiran dan filsafat Perancis kontemporer, khususnya pada
gerakan post strukturalisme, oleh karena itu tidaklah heran ketika pemikir-pemikir
maghribi menganut paham strukturalisme karena yang dihadapipun juga
permasalahan yang sama yaitu masalah teks dan konteks sehingga dekonstruksi
dianggap sebagai metode yang paling pas. Lebih lanjut baca A. Luthfie As Syaukani,
”Tipologi dan wacana Pemikiran Arab” dalam Jurnal Paramadina, Vol. I. No. I/
1998, hal 75.
12
Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan nalar Modern: Berbagai
Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat, Cet. I, (Jakarta: INIS, 1994) hal.
2
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
ada haruslah mengkaji ulang terhadap naskah – naskah keagamaan era
klasik- skolastik yang taken for granted tanpa dikritisi oleh kaum
muslim sekarang sehingga apa yang dilakukan oleh Arkoun menjadi
berbeda dari kajian keislaman dari kaum orientalis yang tidak pernah
menjelaskan asal-usul naskah-naskah dan teks-teks keagamaan secara
antropologis dan hanya sekedar menerjemahkan naskah yang mereka
temukan dari bahasa Arab klsik ke bahasa Inggris, Peancis, Jerman dan
bahasa lainnya. Penelitian seperti itu sama sekali tidak dapat digunakan
untuk mencaritahu bagaimana munculnya literature keagamaan islam
yang sangat banyak sekali yang hanya dipenuhi dengan angan-angan
sosial yang hidup pada saat itu dan dipaksakan untuk berlaku
selamanya
tanpa
mempertimbangkan
kesesuaian
waktu
yang
sebetulnya terbatas pada era tertentu.13 Arkoun menggunakan metode
antropologi
karena
dalam
antropologi
menyertakan
kemajuan-
kemajuan berbagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat yang lebih
beraneka ragam untuk memahami mekanisme rumit dibalik perbedaanperbedaan superficial yang dijadikan pegangan oleh diskripsi etnografi,
sejarah
ataupun
sosiologi.14dalam
kajian
Historisisme
Arkoun
menekankan kajian ulang atas pembacaan tradisi (turas) dengan
memakai pendekatan:
1. Pendekatan Linguistik
Pendekatan linguistik ini adalah membandingkan antara konsepsi
gagasan umum sebagai penopang dasar pengetahuan logis dengan
kata lambing sebagai sumber yang memunculkan pengertian dasar
13
M. Amin Abdullah, “Arkoun dan Kritik Nalar Islam” dalam Tradisi
Kemodernan dan Modernisme: Membincangkan Pemikiran Arkoun, Penyunting, JH.
Meuleman, (Yogyakarta: LKIS, 1994), hal. 15
14
Mohammed Arkoun, Islam Kemarin dan Hari Esok, (Bandung: Pustaka,
1997) hal. 125
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
yang serba beragam yang ditumbuhkembangkan oleh berbagai
hubungan oposisi, implikasi, korelasi dan simetri. Penekanan kata
tanda dengan kata lambang berarti memperkuat penekanan bahasa
diskursif atau kongkrit ke dalam bahasa mitis dalam bible dan
dalam perjanjian baru yang terdapat dalam Al-Qur’an. Secara
Linguistik menurut Arkoun, Al-Qur’an adalah sebuah corpus
terbatas dan terbuka pada berbagai ajaran dalam bahasa Arab,
sepanjang kami hanya mempunyai akses terbatas pada naskah yang
secara tertulis dibakukan setelah abad IV-X, keseluruhan naskah
yang dibakukan ini telah diolah layaknya sebuah karya, karena
dalam
Al-Qur’an
banyak
mengandung
ajaran-ajaran
dan
kandungan-kandungan yang oleh umat Islam diyakini sebagai
penyempurna ajaran agama sebelumnya.15 Dengan demikian,
mudahlah kita ketika kita mengatakan bahwa bahasa Al-Qur’an:
a. Benar karena berhasilguna bagi kesadaran manusiawi yang
tidak saja digiatkan oleh suatu bahasa mitis lain yang terbuka
terhadap perspektif yang sepadan
b. Berhasilguna karena berkaitan dengan masa ciptaan primordial
dan meresmikan secara mandiri suatu masa istimewa, masa
wahyu, masa kenabian dan para leluhur yang saleh.
c. Spontan:
suatu
pancaran
keyakinan-keyakinan
berkesinambungan yang tidak bersandar pada pembuktian
(nalar) tetapi pada kemampuan mendalam pada berbagai
gelagat setiap kepekaan (batin) manusiawi.
15
Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Al-Qur’an, Johan Henrik
Meuleman (penyunting). Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), hal. 91
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
d. Simbolis: dalam setiap surat
dalam Al-Qur’an diakhiri
informasi tentang surga Allah yang dihuni dengan gembira
dan dilustrasikan sebagai tempat mengalirnya sungai anggur,
sungai madu dan sebagainya. Berbagai gambaran surge dan
neraka yang digali dalam sejarah suci, dan sebagai
percontohan bagi orang yang selamat atau orang yang
terkutuk. Berbagai perilaku ideal para nabi yang menjadi
figure
harapan
konstitusi
terhadap
kondisi
manusiawi
manusia.16 Sebagai contoh, menurut Arkoun, lafal qissah
(dongeng, narasi) yang kita temui dalam Al-Qur’an tentang
nabi-nabi yang disajikan secatra mitis(mytical presentation)
yang oleh para pelajar muslim disebut sebagai usturah dalam
Al-Qur’an.
Semua cerita yang ada dalam Al-Qur’an
menggunakan konsep qissah yang berstruktur mitis dan oleh
Arkoun mitis itu sendiri adalah konsep antropologi.
2. Pendekatan Semiotik
Menurut Arkoun, mengapa ia menggunakan pendekatan semiotik
dalam menganalisa Al-Qur’an (batasan teks), karana ada beberapa
manfaat, diantaranya adalah:
a.
Pendekatan semiotik memandang suatu teks sebagai suatu
keseluruhan dan sebagai sistem dari hubungan-hubungan
intern. Pendekatan ini memungkinkan untuk memahami
banyak aspek dari sebuah teks yang tidak dapat ditangkap
atas dasar suatu analisis yang bertolak dari unsure tertentu
yang terpisah dan berdiri sendiri dari teks yang bersangkutan.
16
Ibid….hal.55
Kasyf el Fikr
b.
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
Pendekatan semiotik membuat kita mendekati suatu teks
tanpa interpretasi tertentu sebelumnya atau pra anggapan
lain.17
Akan tetapi, pendekatan semiotic ada keterbatasannya,
karena semiotic sampai saat ini mengabaikan sifat khusus
dari teks-teks keagamaan. Ahli semiotik belum banyak
mengembangkan peralatan analisis khusus untuk teks
tersebut. Teks-teks keagamaan berbeda dengan teks-teks lain
karena berpretensi member petanda terakhir (pertanda
transcendental), dan semiotik tidak memperhatikan aspek
dasar itu dari teks-teks tersebut, dan menurut Arkoun,
cenderung menghindari dengan sadar dan sengaja persoalan
dari jenis itu.18
c.
Pendekatan Hermeunetika Historis dengan metodologi Kritis
Arkoun memilih pendekatan ini karena ia berpandangan
bahwa sebuah tradisi akan mati, kering, jumud jika tidak
dihidupkan secara terus menerus melalui penafsiran ulang
sejalan dengan dinamika sosial. Ketika tiga elemen pokok
hermeunetika yaitu pengarang, teks dan pembaca memiliki
dunia sendiri-sendiri maka ketiganya akan bersifat rerbuka
karena tanpa adanya wacana terbuka dan dinamis sebuah
tradisi
akan
kehilangan
pemahan
dan
pengalaman
keagamaan sampai pada batas-bats tertentu yang merupakan
refleksi atas penafsiran yang subyektif yang muncul dari
dunia tradisi dan teks keagamaan. Oleh karena itu sebuah
17
Johan Henrik Meuleman, “Sumbangan dan Batas Semiotika dalam ilmu
Agama”, dalam Tradisi Kemodernan ….hal. 42
18
Ibid….hal. 43
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
teks yang sama ketika divbaca ulang bisa melahirkan
interpretasi yang berbeda dan melahirkan pemahaman yang
baru.19 Dalam karya-karya arkoun ditemukan wacana kritis
dari ketiga sumber utama yaitu Visi Al-Qur’an, kitab-kitab
klasik dan Filsafat Barat Kontemporer, ketiga hal tersebut
akan memunculkan informasi dan makna baru ketika
didekati
dengan
pendekatan
baru
terutama
dengan
pendekatan hermeunitika historis, sehingga dari zaman ke
zaman akan mengaktualkan pesan Al-Qur’an dan tataran
tradisi keilaman yang tidak mengenal akhir.
D. PEMIKIRAN-PEMIKIRAN ARKOUN
Pemikiran Arkoun sangatlah rumit dikarenakan banyaknya
karya-karya yang ditulis tidak pada satu waktu akan tetapi karyanya
beragam dan ditorehkan dalm jenjang waktu yang berbeda. Dalam
mengembangkan pemikirannya, Arkoun berangkat dari pemahaman
“pemikiran Islam” dari spektrum yang lebih luas yaitu tradisi (atturast) dan modernitas (al-Jadid). Dengan perspektif yang beragam
mulai dari semiotik, hermeunetik, antropologi, sejarah dan lainnya.
Pemikiran Arkoun yang menonjol adalah tentang kritik epistimologi
terhadap pemikiran Islam (Kritik Nalar Islam) yang berada pada titik
kebekuan dan ketertutupan ummat Islam dan hanya terpaku pada
pensakralan pemikiran keagamaan (Taqdisul Afkar Ad-Diniyyah). Hal
inilah yang membuat keterbelakangan dunia Islam dalam berbagai
lapangan kehidupan dibanding dengan dunia Barat. Nalar Islami yang
dicita-citakan Arkoun adalah pemikiran Islami yang diperbaharui yaitu
19
A. Luthfie Syaukani, :Tipologi dan wacana Pemikiran Arab
kontemporer” dalam Jurnal Paramadina, Vol. I. No. 1/1998, hal. 75-77
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
semangat keagamaan dan besarnya peranan angan-angan atau cita-cita
sosial yang kurang dilestarikan di dunia Barat yang dikuasai oleh nalar
modern. Cita-cita ini dibangun dari berbagai unsur sejarah, realitas
sosial, dan lingkungan fisik kelompok yang bersangkutan namun
diwujudkan kembali menjadi berbagai citra, cerita dan nilai-nilai serta
cita-cita di masa depannya. Ada beberapa pemikiran besar yang
disampaikan oleh Arkoun berkaitan dengan Al-Qur’an diantaranya
adalah:
1. Wahyu dan Teks Al-Qur’an
Allah SWT
Lauh Mahfudl
1.Belum Terbaca
Jibril
-----------------Muhammad
Tertutup)
Utsman
(Thinkeble)
Ummat
2. Berbahasa Lisan (Korpus
3. Korpus Terbuka, tertulis
4. Penafsiran
Menurut Arkoun, wahyu itu terbagi menjadi 4 fase yaitu
yang Pertama fase Belum terbaca yaitu wahyu sebagai Firman
Allah yang transenden, tidak terbatas dan tidak diketahui oleh
manusia, yang letaknya masih di al-Lauh Mahfudl atau masih
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
sebagai Umm al-Kitab. Yang Kedua wahyu yang diturunkan dalam
bentuk pengujaran lisan dalam realitas sejarah yang disebut
sebagai discours religious, dan berfragmen sebagai bentuk Bibel
(Taurat dan Zabur), Injil serta Al-Qur’an. Untuk Al-Qur’an sendiri
merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT yang
diwahyukan berbahasa Arab kepada Nabi Muhammad SAW dalam
kurun waktu berangsur-angsur hingga dua puluh tahun (Corpus
Officiel Close= Korpus Resmi Tertutup). Yang Ketiga, wahyu
yang terekam dalam catatan, yang banyak menghilangkan banyak
hal terutama yang berkaitan dengan situasi pembicaraan (asbabun
nuzul yang belum dapat mengembalikan hal-hal yang hilang ketika
suatu pembicaraan direkam dalam sebuah tulisan).20 Dalam hal ini
apa yang dinamakan Pembukuan Al-Qur’an atau yaitu bermula
dari tulisan parsial yang terserak-serak sampai pada pembuatan
Mushaf Utsmani, pada saat ini Mushaf yang ada masih
memungkinkan pembacaan yang berbeda-beda naming setelah
adanya pembakuan yaitu yang pertama oleh Abu Bakar Ibn
Mujahid pada tahun 324 H yang mengakhiri varian-varian bacaan
dengan hanya mengesahkan tujuh bacaan atau yang biasa disebut
Qiraah Sab’ah dan kedua adanya penerbitan Al-Qur’an standar
Kairo tahun 1924 M yang kemudian disebarkan ke seluruh dunia.
Dan yang Ke empat adalah corpus interpretes (korpus-korpus
penafsir), ketika Al-Qur’an diterbitkan dan disebarkan ke seluruh
dunia maka muncullah korpus-korpus penafsir yang lahir sebagai
produktivitas teks dan bukan sebagai produktivitas wacana yang
20
St. Sunardi, “Membaca Qur’an Bersama Mohammed Arkoun” dalam
Meuleman (Penyunting), Tradisi….hal. 82-84
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
kesemua itu disebut sebagai ajaran suci yang menghasilkan sejarah
penyelamatan dunia. Yang dimaksud disini adalah ketika AlQur’an sudah tersebar ke seluruh dunia maka yang terjadi adalah
muncullah banyak penafsir yang ada di daerah/ negara masingmasing sesuai dengan kondisi lokalnya masing-masing sehingga
tidak bisa lagi memikirkan lagi persoalan-persoalan besar yang
bisa membuka kemungkinan penyelidikan yang membedakan
antara Qur’anic fact dengan Islamic fact.21
2. Pembacaan Al-Qur’an
Kelahiran Al-Qur’an tidak hanya sebagai pedoman bagi
ummat Islam tetapi menjadi kajian yang tidak ada habisnya di
kalangan ummat Islam atau Islamolog, begitu juga telah terjadi
perubahan mendasar di kalangan ummat berkaitan dengan
pemahaman tentang wahyu. Nalar grafis telah mendominasi cara
berpikir umat sehingga simbol kenabian didesak oleh simbol
pengajaran yang akhirnya menjadikan minimnya pemahaman
wahyu dari segala dimensi. Untuk kategori semiotik, teks AlQur’an sebagai parole22 didesak oleh teks sebagai langue23
21
Kenyataan Qur’ani bersifat transenden, transhistoris dan terbuka
terhadap berbagai kemungkinan pemaknaan, sedangkan kenyataan islami bersifat
historis dan merupakan penjelasan dari salah satu makna yang terkandung dalam
kenyataan Qur’ani. Kenyataan Islami lahir melalui penafsiran manusia (baik fuqoha’
maupun ahli kalam) terhadap kenyataan Qur’ani yang dibuktikan dengan berbagai
macam aliran, corak, garis seperti Sunny, Shi’I, Kharijy, Mu’tazily, Qadiry. Jabiry
dan berbagai cabang serta alirannya yang sebetulnya merupakan gerakan politik dan
semuanya berusaha untuk mendapatkan pengakuan sebagai pemilik kebenaran
tertentu. Lebih lanjut lihat Suaedy Putro, Mohammed Arkoun…, hal. 33-34.
22
Parole adalah keseluruhan apa yang diujarkan orang yang merupakan
manifestasi individu dari bahasa, lihat harimurti Kridalaksana, “Mongin Ferdinand de
Saussure…” dalam Ferdinand de Saussure, Pengantar Semiotik, hal. 6.
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
sehingga kini Al-Qur’an tetap menjadi parole bagi kaum mukmin.
Untuk itulah menurut Arkoun tujuan qiraah atau pembacaan ada
yaitu untuk comprende, mengerti, komunikasi kenabian yang
hendak disampaikan lewat teks yaitu mencari makna yang hendak
disampaikan lewat teks, yaitu mencari makna yang hendak
disampaikan lewat teks tersebut dengan cara mengoptimalisasi
setiap kemungkinan untuk memproduksi makna.
24
Menurut
Arkoun ada tiga cara dalam pembacaan Al-Qur’an, yang Pertama,
secara liturgis yaitu memperlakukan teks secara ritual yang
dilakukan dalam keadaan shalat dan doa. Pembacaan liturgis ini
mempunyai tujuan untuk mereaktualisasikan saat awal Nabi
Muhammad mengujarkannya pertama agar didapatkannya ujaran
(situation de discourse) “ ujaran I”. dengan cara inilah manusia
mengkomunikasikan rohani, baik secara horizontal maupun
vertikal dan sekaligus melakukan perenungan terhadap wahyu.
Yang Kedua, pembacaan secara eksegesis yang berfokus utama
pada “ujaran 2” yaitu yang terkandung di dalam mushaf seperti
yang dilakukan oleh Fakhr al-Din al-Razi (w.606/1209). Yang
Ketiga yaitu memanfaatkan temuan-temuan metodologis yang
disumbangkan oleh ilmu-ilmu Kemanusiaan dan Ilmu Bahasa.
Ketiga cara baca tersebut tidak saling menyisihkan satu sama lain
melainkan saling memberikan kontribusi untuk memahami teks23
Langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secar pasif yang
diajarkan oleh masyarakat bahasa, ibid, hal. 7
24
St. Sunardi, “Membaca Qur’an Bersama Mohammed Arkoun” dalam
Meuleman (Penyunting), Tradisi….hal. 65-24 Parole adalah keseluruhan apa yang
diujarkan orang yang merupakan manifestasi individu dari bahasa, lihat harimurti
Kridalaksana, “Mongin Ferdinand de Saussure…” dalam Ferdinand de Saussure,
Pengantar Semiotik, hal. 6.
24
Langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secar pasif yang
diajarkan oleh masyarakat bahasa, ibid, hal. 7
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
teks Ilahi yang tidak akan pernah tuntas dikupas oleh manusia.25
Dalam pembacaan ini, Arkoun menawarkan dua tahapan kritis
yaitu linguistik kritis dan hubungan kritis. Untuk tahap
linguistik kritis, pembacaan dilakukan dengan memakai data-data
linguistic seperti halnya tanda bahasa, sintaksis, semantic untuk
mengetahui maksud dari pengajar, sementara untuk tahap
hubungan kritis, pembacaan dapat dilakukan dengan dua langkah
yaitu eksplorasi historis yaitu meneliti khazanah tafsir klasik
dengan berusaha untuk menemukan petanda terakhir yang ada di
dalamnya dengan menggunakan kode-kode linguistik, keagamaan,
kultural, simbolis, anagogis dan eksplorasi antropologis yaitu
melakukan analisis mitis/sombolis dengan memeriksa tanda,
symbol dan mitos yang menyertai qiraah.26
3. Hak Asasi Manusia
HAM merupakan konsep awal dari Yunani - Romawi yang
berkaitan dengan sikap manusia serta mengukur baik buruknya
berdasarkan keserasiannya dengan hukum alam. Konsep inilah
yang kemudian dikenal sebagai natural law doctrine atau doktrin
hukum alam dan lebih menekankan kewajiban daripada hak.27
Menurut Arkoun peran agama dalam HAM sangatlah penting
karena HAM ini bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dari
23 pasal yang terkandung di dalam rumusan persiapan Deklarasi
Hak Asasi Islam Universal Tahun 1981 semuanya berdasarkan
25
26
27
hal. 177
Ibid, hal. 68
Ibid, hal. 69-88
Alwi Shihab, Islam Inklusif, cet. Ke.5 (Bandung: Mizan, 1999),
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dari kelompok Sunni yang resmi
dan sudah terseleksi dan bukan dari kelompok Syi’i. HAM Islam
bercorak tekratis yang terkandung prinsip-prinsip dasar hak-hak
yang sudah ada sejak tahun 1400 tahun lalu, yang oleh Islam sudah
memberikan isyarat HAM yang ideal kepada umat manusia yang
bertujuan untuk memberikan kehormatan dan harga diri manusia
dalam
rangka
menghapus
eksploitasi,
penindasan
dan
ketidakadilan. HAM dalam Islam bersumber langsung kepada
Tuhan karena Tuhanlah yang membuat hukum dan pembuat HAM,
oleh karena itu semua manusia dalam bentuk apapun entah sebagai
penguasa, pemimpin dan lainnya tidak boleh ada yang melanggar,
menghapus membatasi dengan cara apapun hak-hak yang
diberikan oleh Tuhan.28Menurut Arkoun, HAM Islam itu mengatur
perjanjian antara manusia dengan Tuhan, yang pada awalnya
menyangkut
orang
mukmin
tetapi
secara
universal
juga
menyangkut umat manusia secara umum sejauh mereka bisa diajak
masuk dalamperjanjian tersebut. Pertanyaan selanjutnya kenapa
wacana HAM ini muncul belakangan, karena Islam pada masa
klasik telah kehilangan dinamika dan kemampuan untuk
memperbaharui diri sebelum kedatangan kolonialisme di negara –
negara Islam sehingga muncullah ideologi pembebasan nasional
pada Tahun 1950an. Tujuan dari
HAM baik secara ideologis
maupun psikologis adalah untuk menegaskan kembali kepada
warga yang beriman dengan cara memprolamirkan bahwa Tuhan
menjamin hak-hak, menghancurkan tuntutan secular yang datang
28
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon
Answers, Kata Pengantar Robert D. Lee, Terj. Yudian W. Asmin dan Latiful Khuluq,
Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 192
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
dari Barat dan juga membangun kembali kepercayaan diri akan
modernitas hukum Islam dan karakter universalnya.29 Agama
sangat berperan dalam perumusan hak-hak asasi baik di Barat
maupun di Timur, oleh karena itu Arkoun menawarkan kembali
problem wahyu dalam tiga agama monoteis yang tidak lagi dimulai
dari definisi-definisi teologis tradisional melainkan juga dengan
dukungan data dan persyaratan hermeunetik modern sehingga
HAM ini bisa dipikirkan meskipun dengan kerangka sekular tetapi
harus disertai dengan kemampuan intelektual dan kultural dalam
menguasai semua problem lama maupun baru kaitannya dengan
fenomena wahyu.30
4. Sekularisme
Sekularisme sering dihubungkan dengan pemisahan total
yang terjadi di dunia Barat antara gereja dan negara, “Berikanlah
milik Kaisar kepada kaisar dan berikan milik Allah kepada Allah”
yang sebenarnya berkaitan erat dengan wewenang tertinggi
(gereja) dan kekuasaan politik (negara) yang dilakukan dengan
mencurahkan ketaatan kepada yang Agung sehingga menurut
Arkoun dalam menjalankan hubungan antara kekuasaan agama dan
politik tidak ada perbedaan antara Yahudi, Kristen dan Islam.
Selanjutnya menurut Arkoun, konsep sekularisme ini sudah
disadari sebagai sebuah kesalahan oleh masyarakat Barat, mereka
berharapdapat menemukan istilah baru sehingga kaum sekularis
29
30
Ibid, hal. 188-189
Ibid, hal. 192
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
bisa menerima agam tradisional secara kritis dan akum
agamawanpun bersedia mengakui sekularisme sebagai langkah
penting dalam membebaskan nalar manusia dari segala bentuk
kesadaran yang salah, dan menurut Arkoun, dalam Al-Qur’an
sendiri
seringkali
menggunakan
konsep
sekularisme
guna
menanggalkan kekeramatan dari segala bentuk dewa bangsa Arab
pra –Islam. Setelah membongkar sejarah pemikiran dengan kritik
dekonstruktif, Arkoun menghasilkan pemikiran-pemikiran tentang
sekularisme diantaranya adalah:
a. Sekularisme sudah ada dalam Al-Qur’an
b. Khalifah bani Umayyah maupun Abbasiyah merupakan
khalifah yng sekuler karena mengubah simbol agama menjadi
aturan yang menjadi ideologi untuk mencapai kekuasaan.
c. Kekuatan militer menjadi pemegang peranan penting dalam
khilafah, sultan dan semua bentuk pemerintahan Islam dari
sejak awal
d. Para
filosof
sudah
merasionalkan
sekularisme
dan
menganggap sebagai sesuatu yang biasa.
e. Klaim ortodoksi dari Syi’i, Sunni, Khariji yang menggunakan
ideologi praktik dan keyakinan yang dianggap asli religius
f. Semua yang sifatnya religious harus diuji kembali dengan
teori pengetahuan modern
g. Sekularisme merupakan sumber dan daerah kebebasan
intelektual untuk memprakarsai teori dan praktik wewenang
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
baru yang harus juga dijalankan oleh masyarakat Barat saat
ini.31
5. Perempuan dalam Syariah Islam
Berkaitan dengan perempuan, Arkoun berpendapat bahwa
Al-Qur’an dalam meningkatkan status perempuan pada tingkatan
kewajiban spiritual sudah sama dengan kaum laki-laki, atau
perempuan dalam Islam tidaklah ditundukkan sebagaimana
perempuan di Barat. Anggapan praktik poligami, cerai talak,
jilbab, pemisahan jenis kelamin, pembebanan tugas-tugas rumah
tangga, ketergantungan terhadap suami, perempuan tidak punya
hak-hak adalah keliru, Islam datang justru sedikit demi sedikit
mengangkat derajat kaum perempuan. Meskipun ketika Al-Qur’an
muncul belum dapat merubah dua aspek inti yang sudah mengurat
mengakar yaitu pertama struktur-struktur kekurangan elementer
dan kedua kontrol terhadap seksualitas, dalam hal ini adat dan
kebudayaan belum bisa dirubah karena kepentingan-kepentingan.
Aspek yang lainnya adalah masalah kewarisan, integritas tubuh,
akses menuju keuntungan sosial, budaya, politik, adat istiadat yang
jauh dari ketentuan Al-Qur’an dan norma –norma hukum Muslim
yang dominan di tengah kelompok sosial sehingga kajian tentang
perempuan sangat diperlukan untuk kesetaraan. Menurut Arkoun
dibutuhkan studi sosiologis yang tepat terhadap penerapan hukum
Islam dalam masyarakat yang dapat memungkinkan penghalusan
pembedaan antara superioritas, permanen, bobot struktur di satu
31
Suadi Putro, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas,
(Jakarta: Paramadina, 1998), hal.74-80
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
sisi dengan modifikasi Al-Qur’an terhadap etika religious bagi
sistem yang mengatur antara pribadi dengan masyarakat. 32Sudah
selayaknya para pemikir Muslim yang berpendidikan klasik dan
juga berpengalaman dalam keilmuan transdisipliner modern
menjadi tauladan, tidak melukai, berbuat kasar kepada umat, tetapi
sebaliknya para ulama dan ilmuwan tersebut harus melaksanakan
tugas sebagai mediator antara kesadaran umat dan perkembangan
pengetahuan ilmiah modern.33
E. ANALISIS
Pada dasarnya Arkoun telah melakukan banyak hal berkaitan
dengan pemikiran Islam, sumbangan pemikirannya pada dunia Islam
menggugah kesadaran umat Islam untuk keluar dari kehidupan yang
terpaku dan terkurung dalam ajaran dogmatis menuju pemikiran Islam
yang modern. Arloun mengajak kepada para intelektual untuk
membahas ide-ide Islam dengan metode dan pendekatan interdisipliner
modern
sehingga
membuka
lapangan
mendekonstruksi pemikiran islam.
kajian
Merubah
baru
dengan
Nalar Islam yang
logosentris menjadi Nalar Keilmuan Modern, mengubah tradisi (turats)
klasik, scholastic menjadi renaissance/ aufklarung/
pencerahan
menggunakan metode historisisme kritis, hermeunetika, dan juga
semiotik. Pemikiran Arkoun ini berimplikasi memunculkan Islamic
32
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon
Answers, Kata Pengantar Robert D. Lee, Terj. Yudian W. Asmin dan Latiful Khuluq,
Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 161.
33
Moham33 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions,
Uncommon Answers, Kata Pengantar Robert D. Lee, Terj. Yudian W. Asmin dan
Latiful Khuluq, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 161.
med Arkoun, Nalar Islam dan nalar Modern: Berbagai Tantangan dan
Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat, Cet. I, (Jakarta: INIS, 1994), hal.285
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
Studies yang tidak hanya menghasilkan ilmu Fiqh, Ilmu tasawuf, Ilmu
Kalam, Ilmu Akhlak akan tetapi memunculkan ilmu-ilmu Islamic
Studies yang berkaitan dengan Social Science, Humanities.
Pemikiran
Arkoun
ini
berbeda
dengan
pemikir-pemkir
sebelumnya, misalnya Sayyed Husein Nashr yang lebih menonjolkan
filsafat dan tasawufnya, Ismail Raji Al- Faruqi dan Sayed Naguib AlAttas yang lebih mengedepankan nuansa Islamisasi ilmu pengetahuan,
Fazlur Rahman yang tidak tegas dalam menguraikan metodologi dan
alat keilmuan yang diperlukan dalam mencapai rekonstruksi sistematis
yang diharapkan dan justru cenderung ragu untuk memilih model
pemikiran normative atau historis empiris, dan juga Hasan Hanafi yang
menonjolkan bobot kalam dan filsafatnya, dan Arkoun dengan tegas
memilih historis empiris.34 Arkoun juga mengkritisi pemikiran Thaha
Husein dan Ali Abd Raziq sebagai pemikir yang tidak bijaksana dalam
mencari dasar untuk mencari kompromi antara kebebasan intelektual
yang tercerahkan dengan prasangka keagamaan pada masanya. Akan
tetapi Arkoun dapat ditempatkan posisinya seperti tokoh Edward Said,
Fatima Mernissi, Hassan Hanafi yang melihat pembacaan teks sebagai
tindakan politik, dan juga dapat ditempatkan seperti tokoh Nashr
Hamid Abu Zaid yang menempatkan teks al-Qur’an sebagai sebuah
hasil sosial budaya dan mengajukan pembacaan Al-Qur’an dengan
perspektif ilmu semiotik historis.35 Menurut Amin Abdullah, karena
wilayah yang dikaji oleh Arkoun merupakan wilayah kajian
34
Amin Abdullah, Arkoun dan Kritik Nalar Islami” dalam Meuleman
(penyunting), Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan
Pemikiran Mohammed Arkoun, cet.II (Yogyakarta: LKIS, 1996), hal.1-6
35
Richard C. Martin, Mark R. Woodward, Dwi S. Atmaja, Defenders of
Reason Islam, Mu’tazilism From Medieval School to Modern Symbol (Newyork: One
world, 1977), hal. 205
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
epistimologi murni sehingga kurang menyentuh langsung pada
bangunan pemikiran keagamaan dan menyebabkan karya Arkoun tidak
banyak diminati oleh masyarakat pengikut berbagai agama dan juga
bahasanya terlalu rumit sehingga agak menyulitkan bagi yang
mengkajinya, akan tetapi pemikiran Arkoun ini merupakan pemikiran
yang membuka horizon pemikiran bagi kaum akademisi Islam.36
F. PENUTUP
Usaha Arkoun untuk menggabungkan antara nalar Islam dan
nalar Modern yaitu meggabungkan rasionalitas, sikap kritis dan citacita umat Islam yang ideal. Nalar Islami yang dicita-kan Arkoun
merupakan pemikiran Islami yang diperbaharui dengan semangat
keagamaan dan besarnya angan-angan dan cita-cita sosial yang
dikuasai oleh nalar Modern. Cita-cita ini dibangun dari berbagai unsur
sejarah, realitas sosial dan lingkungan komunitas umat dan diwujudkan
kembali menjadi berbagai citra dan nilai-nilai di masa depan. Arkoun
mengajak kepada para intelektual untuk membahas ide- ide Islam
dengan metode dan pendekatan interdisipliner modern sehingga akan
membuka lapangan kajian baru dengan mendekonstruksi pemikiran
Islam. Dengan demikian Arkoun dikategorikan sebagai pemikir Islam
pascamodern atau menuju meta-modern yang menolak agama yang
adalam
sejarah
Arab
–Islam
merupakan
variabel
pembentuk
tradisi/turath dan angan-angan sosial serta keterkaitannya pada dunia.
Kekurangan dari pemikiran Arkoun adalah tidak dilengkapinya
36
Amin Abdullah, Arkoun dan Kritik Nalar Islami….hal. 1-6
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
instrumen untuk merekonstruksi sehingga nalar yang dianalisa tersebut
hanya sebuah pemikiran yang hanya sekedar teori.37
37
Ibid….hal. 6
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
DAFTAR PUSTAKA
Alwi Shihab, Islam Inklusif, cet. Ke.5 Bandung: Mizan, 1999
A. Luthfie As Syaukani,”Tipologi dan wacana Pemikiran Arab”
dalam Jurnal paramadina, Vol. I. No. I/ 1998.
John L. Esposito, The Oxford Encyclopedy of The Modern Islamic
World, Vol. I. New York: Oxford University Press, 1955
Johan H. Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme,
Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, Yogyakarta: LKIS,
1996
Machasin, Mohammed Arkoun: Berbagai Pembacaan Al-Qur’an,
Johan Henrik Meuleman (penyunting). Jakarta: INIS, 1997
Mohammad Arkoun, “Menuju Pendekatan Baru Islam”, dalam Jurnal Ilmu
dan kebudayaan Ulumul Qur’an, No.7. Vol.II.1990/1411
Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan nalar Modern: Berbagai
Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat, Cet. I, Jakarta: INIS,
1994
---------------------------, Rethinking Islam: Common Questions,
Uncommon Answers, Kata Pengantar Robert D. Lee, Terj. Yudian W.
Asmin dan Latiful Khuluq, Cet. I ,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
---------------------------,, Tarikhiyah al-Fikr al-Araby al-Islami,
Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1996
---------------------------,, Islam Kemarin dan Hari Esok, Bandung:
Pustaka, 1997
---------------------------,, “Rethinking Islam Today”, dalam Charles
Kurzman (Ed.) Liberal Islam A Source Book, New York: Oxford University
Press, 1998
Kasyf el Fikr
Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
Mohammad Nasir Tamara, “Mohammad Arkoun dan Islamologi
Terapan”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Vol. I. 1989
M. Amin Abdullah, “Arkoun dan Kritik Nalar Islam” dalam Tradisi
Kemodernan dan Modernisme: Membincangkan Pemikiran Arkoun,
Penyunting, JH. Meuleman, Yogyakarta: LKIS, 1994
Richard C. Martin, Mark R. Woodward, Dwi S. Atmaja, Defenders
of Reason Islam, Mu’tazilism From Medieval School to Modern Symbol ,
Newyork: One world, 1977.
Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog Antar Agama, Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 2000
Suadi Putro, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas,
Jakarta: Paramadina, 1998
St. Sunardi, “Membaca Qur’an Bersama Mohammed Arkoun”
dalam Meuleman (Penyunting), Tradisi Kemodernan dan Modernisme:
Membincangkan Pemikiran Arkoun, Penyunting, JH. Meuleman,
Yogyakarta: LKIS, 1994
Download