BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Posisi Indonesia sebagai negara berkembang dan sebagai negara anggota World Trade Organizaiton (disingkat WTO) dewasa ini cukup berpengaruh dalam setiap forum perundingan perdagangan yang diselenggaran oleh WTO. Hal ini dipengaruhi karena Indonesia sebagai negara penghasil produk komoditas ekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia dan posisi geografis Indonesia sebagai salah satu negara perlintasan jalur perdagangan dunia. Pada akhir tahun 2013 lalu Indonesia diberikan kesempatan sebagai tuan rumah untuk penyelenggaraan K onferensi Tingkat M enteri World Trade Organization ke IX (disingkat KTM WTO ke-IX) di Bali. Dalam forum ini Indonesia membawa kepentingan yang sangat besar untuk mendorong kemajuan dari keberlanjutan putaran Doha Development Agenda (disingkat DDA) khususnya dalam sektor pertanian, dan implementasinya yakni dalam Special & Differential Treatment (disingkat S&D) yang berkaitan dengan kesejahteraan petani, pelindungan konsumen serta fasilitasi perdagangan sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan bagi negara-negara berkembang anggota WTO . 1 Selain itu juga, dalam pertemuan tersebut Pemerintah Indonesia 1 berusaha keras untuk Inderaja, Agus, “Dampak Hasil Kesepakatan W TO di Bali Desember 2013 Terhadap Indonesia 5 Tahun Kedepan”, www.detikfinance.com , diakses pada tanggal 4 M aret 2014. 1 2 mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap peran WTO yang semakin memudar pada waktu itu, hal ini disebabkan antara lain belum adanya hasil signifikan dari pertemuan KTM WTO ke-IV mengenai isu fasilitasi perdagangan yang digelar 12 tahun lalu. 2 Isu fasilitasi perdagangan ini pada awalnya diangkat dalam WTO Singapore Ministerial Conference tahun 1996 lalu, dimana ketika itu masih berlangsung Putaran Uruguay ( Uruguay Round), hingga kemudian menghasilkan Singapore Ministerial Declaration. Perundingan mengenai isu fasilitasi perdagangan ini masih berlanjut selama kurang lebih 17 tahun kemudian, hingga pada KTM WTO ke-IX tahun 2013 di Bali. Dalam perundingan tersebut Indonesia mempunyai posisi yang sangat strategis untuk mensukseskan kesepakatan mengenai isu fasilitasi perdagan gan dan subsidi pertanian bagi negara berkembang yang komoditas utama ekspornya berasal dari hasil pertanian, dimana pada saat itu kredibilitas WTO yang didominasi oleh negara-negara maju dipandang sebelah mata oleh sebagian besar negara berkembang anggota WTO lainnya. Sehingga dalam KTM WTO ke-IX kesepakatan yang diambil dalam forum atas isu yang diangkat tersebut sangat bergantung pada hasil perundingan yang akan dipim pin Indonesia. Pertemuan dalam KTM WTO ke-IX ini memuat isu-isu bidang pertanian, isu fasilitasi perdagangan,termasuk membawa kepentingan negaranegara baru berkembang atau Least Developing C ountries (LDCs) anggota WTO yang mengandalkan komoditas ekspor pertanian dalam hubungan dagang 2 Inderaja, Agus,ibid. 3 antar negara di dunia, dan juga dihadiri oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah negara anggota WTO hingga kalangan bisnis, akademisi, dan pemerhati perdagangan internasional. Setelah melalui proses perundingan yang cukup alot dalam KTM WTO ke-IX tersebut, dihasilkan suatu kesepakatan yang disebut “Bali Package Agreement” atau Kesepakatan Paket Bali yang pada umumnya semua negara anggota menyambut baik atas disepakatinya Paket Bali tersebut. Hasil dari KTM WTO ke-IX Tahun 2013 tersebut yang disepakati dalam “Bali Package Agreement”, antara lain: 1. Negara maju akan mengurangi subsidinya, negara berkembang diberi proteksi oleh negara maju; 2. Kemudahan sistem lalu lintas dan fasilitas i perdagangan untuk Least Development Country(disingkat LDC); 3. Fasilitasi perdagangan untuk meningkatkan peningkatan kapasitas pelayanan dari negara least development dan negara berkembang. Bagi Indonesia fasilitasi perdagangan dalam Bali Package Agreement telah sejalan dengan kebijakan Indonesia, misalnya pemangkasan biaya-biaya di pelabuhan, penyederhanaan prosedur dan perizinan, penerapan National Single Window, peningkatan transparansi di institusi bea dan cukai, serta perbaikan dan/atau peningkatan fasilitas pelabuhan internasional. 3 Selain itu juga, bentuk pelaksanaan fasilitasi perdagangan tersebut telah mengacu pada Trade Facilitation Agreement. 3 National Single W indow diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2008, yaitu sistem nasional Indonesia yang memungkinkan dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal (single submission of data and information), pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron (single and synchronous processing of data and information), dan pembuatan keputusan secara tunggal untuk pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang (single decision making for customs clearance and release of cargoes). 4 Seiring dengan perkembangan ekonomi global, fasilitasi perdagangan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan peningkatan ekonom i dan volume perdagangan suatu negara. Salah satu bentuk dari fasilitasi perdagangan yaitu pembangunan infrastruktur berupa pelabuhan untuk menghubungkan dan memperlancar arus perdagangan internasional. Indonesia sebagai negara kepulauan maritim tentunya me miliki beberapa pelabuhan besar dalam mendukung proses ekspor impor. Terkait hal ini p elabuhan-pelabuhan di Indonesia dituntut untuk meningkatkan kinerjanya dalam melakukan pengelolaan dan pembangunan guna meningkatkan efektifitas dan efisiensi menuju pencapaian target pelabuhan internasional. Penggunaan fasilitasi perdagangan akan mendorong sebuah roadmap bagaimana investasi dibidan g infrastruktur ini diperbesar yang tentunya akan diarahkan untukkepentingan nasional. 4 Berikut ini merupakan isi dari Trade Facilitation Agreement sebagai salah satu bagian dari Bali Package Agreement: 1. Publikasi dan Ketersediaan Informasi atas barang ekspor dan impor; 2. Kesempatan untuk memberikan tanggapan atas infomasi sebelum berlakunya/ratifikasi TFA di negara anggota WTO dan konsultasi; 4 Amin, M ., dan Haidar, J.I., 2013, “Trade Facilitation and Country Size ”, Policy Research W orking Paper Series 6692, The W orld Bank ”, www.worldbank.org, dikases pada tanggal 23 Oktober 2014. 5 3. Advance Rulings (Surat penegasan atas suatu transaksi pembayaran pajak atau bea) mengenai klasifikasi tarif dan asal barang, pelabuhan dan bea cukai, quota dan tariff quota kepada pemohon sebelum barang ekspor/im por masuk ke wilayah negara anggota WTO yang telah meratifikasi TFA; 4. Prosedur banding dan reviu atas dokumen admin istrasi kepabeanan di pelabuhan; 5. Pendekatan lain untuk meningkatkan ketidakberpihakan, no ndiskriminasi dan transparansi; 6. Ketaaatan mengenai biaya dan biaya yang dikenakan atau dalam hubungan dengan importasi dan eksportasi; 7. Release and Clereance atas barang; 8. Kerjasama antar lembaga/badan/in stitusi di perbatasan/pelabuhan; 9. Perpindahan/pergerakan barang yang dibawah kontrol institu si bea cukai khusus untuk impor; 10. Syarat formalitas & dokumentasi dalam hubungannya dengan importasi, eksportasi dan transit barang di pelabuhan; 11. Kebebasan transit barang; 12. Kerjasama antar institusi bea cukai 13. Pengaturan kelembagaan atas pelaksanaan TFA (Komite Fasilitasi Perdagangan & Komite Nasional Fasilitasi Perdagangan). 5 5 W TO, M inisterial Decision on M inisterial Conference Ninth Sessio n, Bali 3-6 December 2013, Agreement on Trade Facilitation, www.wto.org/publication/bali_package , diakses pada tanggal 6 M aret 2014. 6 Selanjutnya dalam kaitannya dengan hubungan dagang antara Indonesia dan U ni Eropa yang sama-sama sebagai negara anggota WTO yakni mengenai kebijakan dagang yang dikeluarkan oleh European Comm ission (Taxation and Customs Union) yang menyikapi lima hal penting yang menjadi fokus utama dalam fasilitasi perdagangan dan bea cukai dalam hubungannya dengan negara-negara lain yaitu: a) penyederhanaan persyaratan dan formalitas sehubungan dengan clearance barang, kolaborasi pada pengembangan prosedur yang memungkinkan pengajuan data impor atau ekspor ke agen tunggal; b) perbaikan metode kerja dan memastikan transparansi dan ef isiensi operasi bea cukai; c) pengurangan, penyederhanaan dan standarisasi data dalam dokumentasi yang diperlukan oleh bea cukai; d) penerapan teknik kepabeanan modern, termasuk penilaian risiko, prosedur yang disederhanakan untuk keluar masuk barang, posting kontrol rilis, dan metode audit perusahaan; e) ketentuan yang penyederhanaan memfasilitasi penggunaan impor prosedur barang melalui kepabeanan sebelum kedatangan dan pada saat diproses. 6 Kebijakan European Commision tersebut sayangnya diiringi dengan kebijakan lain mengenai pembatasan impor atas produk agrikultur yang berasal 6 ibid. 7 dari negara berkembang yang tidak mengikuti standar perlindungan atas lingkungan hidup. Standar produk yang harus melindungi lingkungan tersebut antara lain produk dari negara berkembang wajib melakukan pengendalian atas hutan dan perlindungan satwa liar, dalam hal ini isu tentang deforestasi hutan serta kebijakan energi alternative Bio Diesel. Beberapa sumber yang diperoleh penulis dalam beberapa seminar mengenai kebijakan Uni Eropa terkait energi alternatif, bahwa energi alternatif Bio D iesel tersebut dibuat dengan bahan baku utama dari CPO dan tambahan produk substitusi lainnya yang bersumber dari minyak kelapa sawit. S ebagian besar bahan baku pembuatan Bio Diesel berasal dari pasokan CPO danminyak kelapa saw it dari Indonesia. Hal ini pada dasarnya tidak memberikan dampak lang sung terhadap jumlah permintaan ekspor produk hasil kelapa sawit dari Indonesia, namun berkaitan dengan bentuk standarisasi tersebut kedepannya dapat memberikan pengaruh atas penurunan kuota ekspor hasil kelapa sawit dari Indonesia apabila Indonesia tidak dapat memperbaiki kualitas hasil dari kelapa sawit serta memperbaiki sistem, regulasi serta fasilitas pendukung kegiatan ekspor dan/atau impor. Perlu kita ketahui bahwa dalam proses produksi Bio Diesel, sebagai perbandingan untuk menghasilkan 4 ton Bio Diesel, Uni Eropa membutuhkan ekstraksi dari 3 jenis produk minyak nabati antara lain dibutuhkan campuran 4 ton minyak sayur (vegetables oil) yang dihasilkan oleh 1 ha (hectar are) lahan perkebunan kelapa saw it, 7 ha lahan perkebunan rapeseed/oliefera yang menghasilkan minyak rapa dan 7,5 ha lahan perkebunan bunga matahari yang 8 menghasilkan minyak dari biji bunga matahari. 7 Sehingga disini penulis melihat bahwa timbul ketidakefisienan penggunaan lahan untuk menghasilkan produk Bio D iesel atas kebijakan Uni Eropa melaui European Biodiesel Board tersebut. Tim bulnya inefisiensi dari penggunaan lahan untuk menghasilkan produk Bio D iesel tersebut, akan muncul dampak lain yakni polusi udara atau emisi gas rumah kaca (green house gas emission) atau menghasilkan gas CO2 per kapitanya sebanyak 7,5 meter kubik per tahun. Dibandingkan dengan Indonesia dapat kita lihat bahwa sumbangsih atas hasil dari gas emisi CO2 dari pembuatan minyak kelapa sawit adalah sebesar 1,8 meter kubik gas CO2 per tahunnya. Hal ini menjelaskan bahwa pada dasarnya kebijakan Bio Diesel Uni Eropa tersebut justru tidak ikut serta mendukung kelestarian lingkungan dan tidak mendukung program pengurangan emisi gas CO2 dunia. Kedepannya diharapkan bahwa Indonesia dan Uni Eropa dapat melakukan perundingan dagang untuk mempertegas bentuk hubungan dagang serta harmonisasi kebijakan perdagangan antara Indonesia dengan Uni Eropa untuk mengurangi hambatan perdagangan dalam kerangka hambatan non-tariff. Berkaitan dengan bentuk hambatan non-tariff, hambatan perdagangan yang dimaksud merupakan hambatan perdagangan selain hambatan berupa pembebanan pajak (custom duties) terhadap barang-barang yang melewati batas kenegaraan. Dalam hal ini hambatan non-tariff berupa: 1. Perbedaan mata uang antar negara; 2. Kualitas sumber daya manusi yang rendah; KBRI Brussel, ”Protect Paradise for All:An Animation on Anti-Palm Oil Dirty Secret”, www.youtube.com/watch?v=FQ5_ITx1JoU , diakses pada tanggal 14 Januari 2015. 7 9 3. Risiko kesulita n pembayaran antar negara; 4. Kebijakan impor suatu negara untuk melindungi produk dalam negeri; 5. Terjadinya perang; 6. Adanya organisasi-organisasi ekonomi regional; 7. Kebijakan kuota impor, subsidi, exchange control, state trading operation, politik dum ping. Nicolleti et al (2003) menyimpulkan bahwa “Telecommunications, infrastructure is also especially im portant for trade in service, where the main services traded (banking and busines s services, comm unications, and so on) are highly dependent on well-developed infrastructure both in the exporting and importing countries, and linking the tw o.”. Nicolleti et al melihat fasilitasi perdagangan sebagai suatu hal yang bukan hanya berhubunga n dengan kepabeanan tetapi juga lebih menekankan kepada infrastruktur yang dibangun dalam pelayanan guna memfasilitasi arus perdagangan terutama yang menyangkut perbankan, bisnis, komunikasi, dan sebagainya. 8 World Custom s Organization (disingkat WCO) mendefinisikan fasilitasi perdagangan yang dikaitkan dengan misinya yaitu untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi beadan cukai dengan harmonisa si dan penyederhanaan prosedur. 9 M erujuk pada definisi fasilitasi perdagangan menurut WTO dan WCO maka terdapat 4 pilar utama dalam fasilitasi perdagangan yakni Sim plification, Transparency, H arm onization, Standarization. Dari ke-4 pilar utama ini 8 Nicolleti et al, From Douglas H. Brooks and Susan F. Stone , 2008,Trade Facilitation and Regional Cooperation in Asia, London-United Kingdom,hlm:18 9 W orld Customs Organizations, “Trade Facilitation”, http://www.wcoomd.org/en/media/, diakses pada tanggal 14 Desember 2014. 10 memberikan fakta bahwa fasilitasi perdagangan dalam pelaksanaannya harus menjunjung prinsip simplifikasi, transparansi, harmonisasi, dan standarisasi, dalam hal ini fasilitasi perdagangan yang dimaksud juga membutuhkan pendanaan yang besar karena diamanatkan untuk membangun infrastr uktur pelabuhan maupun bandar udara, sehingga negara yang bersangkutan harus memiliki anggaran khusus dalam jumlah besar untuk mendukung pelaksanaan fasilitasi perdagangan. Selain itu juga, negara yang akan melaksanakan fasilitasi perdagangan akan mendapatkan bantuan dalam bentuk bantuan teknis serta capacity bulding. Berkaitan dengan peningkatan bantuan teknis dan capacity bulding di Indonesia, teknis pelaksanaan fasilitasi perdagangan serta capacity building utamanya dilaksanakan oleh D irektorat Jenderal Bea dan Cukai Republik Indonesia yang bertugas untuk menyediakan fasilitas pelabuhan bongkar muat yang baik dan memenuhi standar internasional, serta Kementerian Perdagangan Republik Indonesia melalui D irektorat Fasilitasi Ekspor Impor pada D irektorat Jenderal Kerjasama Perdagang an Internasional yang bertugas untuk membentuk sistem atau mekanisme informasi atas barang ekspor dan/atau impor yang dapat diakses secara online. Selanjutnya berkaitan dengan bentuk kontribusi ekonomi dari industri kelapa saw it Indonesia dewasa ini, industri kelapa saw it Indonesia memiliki peran sebagai penggerak roda perekonomian dalam negeri dan medongkrak peningkatan laju devisa negara karena merupakan barang komoditas ekspor terbesar dari sektor non m igas. Sejak tahun 2013 nilai ekspor kelapa sawit Indonesia mencapai sekitar US$ 15.000.000.000,00 dan nilai ekspor minyak 11 sawit mentah (CPO) serta produk turunannya mencapai US$ 19.100.000.000,00 dengan volume mencapai 21.200.000 ton minyak kelapa sawit per tahunnya. 10 Tingginya nilai volume dan hasil ekspor minyak kelapa sawit Indonesia diantara negara penghasil minyak kelapa sawit lainnya, maka menguatkan posisi Indonesia dalam perdagangan internasional untuk bidang agrikultur. Kuatnya posisi Indonesia tersebut, diharapkan sebagai negara anggota World Trade Organization (WTO) Indonesia harus memiliki strategi dan kebijakan politik perdagangan yang bersesuaian dengan ketentuan aturan dalam GATT 1994 serta dapat mengharmonisasikan kebijakan perdagangan internasional dengan kebijakan perdagangan dala m negeri dalam upaya mengurangi hambatan perdagangan. Kaitannya dengan fasilitasi perdagangan dalam Trade facilitation Agreement serta bentuk pelaksanaannya di Indonesia secara umum, maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan mengenai fasilitasi perda gangan tersebut, dalam hal ini ruang lingkup fasilitasi perdagangan tersebut berada pada lingkup teknis pelaksanaan fasilitasi perdagangan pada sekt or kepabeanan. Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisa lebih dalam mengenai bentuk pelaksanaan fasilitasi perdagangan di Indonesia secara khusus atas ekspor agrikultur crude palm oil (CPO) Indonesia ke Uni Eropa, menganalisa bentuk-bentuk perlindungan atas fasilitasi perdagangan dalam rangka kegiatan ekspor C PO 10 Kusumaastuti, Dewi M , Tantangan Global Industri Kelapa Sawit Indonesia , dipresentasikan dalam The 3 rd International Conference of European Studies in Indonesia FISIPOL UGM , kerjasama Kementerial Luar Negeri Republik Indonesia, Direktur Jenderal Kerjasama Intrakawasan Amerika dan Eropa dan RSPO Indonesia, 21 M ei 2014. 12 Indonesia ke Uni Eropa, serta menganalisa manfaat dan hambatan dalam pelaksanaan fasilitasi perdagangan di Indonesia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan dalam bagian sebelumnya, diambil permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk pelaksanaan fasilitasi perdagangan di Indonesia atas kegiatan ekspor agrikultur crude palm oil (CPO) berdasarkan Trade Facilitation Agreement ? 2. Bagaimana bentuk perlindungan dalam fasilitasi perdagangan terhadap ekspor crude palm oil (CPO) Indonesia ke Uni Eropa ? 3. M anfaat dan kendala apa yang terdapat pada pelaksanaan fasilitasi perdagangan secara umum, khususnya dalam ekspor crude palm oil (CPO) Indonesia? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif a. M engetahui dan menganalisa lebih dalam bagaimana bentuk pelaksanaan fasilitasi perdagangan di Indonesia atas kegiatan ekspor crude palm oil (CPO) ke Uni Eropa. Dalam hal ini akan dianalisa bentuk pelaksanaan fasilita si perdagangan di Indonesia secara umum, 13 serta secara khusus terkait dengan ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa. Analissa terkait bentuk pelaksanaan fasilitasi perdagangan tersebut akan dibatasi dalam ruang lingkup pelaksanaan fasilitasi perdagangan pada sektor kepabeanan dan teknis pelaksanaan fasilitasi perdagangan berdasarkan berdasarkan Trade Facilitation Agreement, GATT 1994 serta aturan perundang-undangan terkait yang berlaku di Indonesia. Pada bagian ini penulis akan menguraikan bentuk peraturan yang berlaku di Indonesia terkait pelaksanaan fasilitasi perdagangan, bentuk pelaksanaan fasilitasi perdagangan sert instansi pemerintahan maupun stakeholder yang terkait pelaksanaan fasilitasi perdagangan. b. M engetahui dan menganalisa bentuk perlindungan dalam fasilitasi perdagangan secara umum dan secara khusus mengenai bentuk perlindungan fasilitasi perdagangan atas kegiatan ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa. Serta menganalisa pengaruh pelaksanaan fasilitasi perdagangan terhadap pengurangan atau dalam hal ini penurunan biaya ekspor secara umum dan secara khusus terkait biaya ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa, dan pengaruh pelaksanaan fasilitasi perdagangan terhadap keseimbangan/stabilitas nilai tarif ekspor secara umum khususnya ekspor CPO Indonesia. Selain itu juga pada bagian ini akan duraikan dan dianalisa mengenai keterkaitan implementasi Single W indow, dengan Indonesia National Single Window (INSW), Indonesia National Trade Repository (INTR), ASEAN Single Window dan kaitannya dengan implementasi sertifikasi 14 Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) serta standarisasi RSPO (Rountable and Sustainable Palm Oil) dalam produksi hasil kelapa sawit di Indonesia. c. M engetahui dan menganalisa manfaat serta kendala yang muncul dalam pelaksanaan fasilitasi perdagangan di Indonesia secara umum, khususnya dalam kegiatan ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa berdasarkan Trade Facilitation Agreement. Pada bagian ini akan dianalisa mengenai manfaat pelaksanaan fasilitasi perdagangan di Indonesia secara umum serta analisa hambatan terk ait belum dilaksanakannya ratifikasi atas T rade Facilitation Agreement menjadi peraturan perundang-undangan di Indonesia dan analisa kesiapan dan kesesuaian bentuk impleentasi dan aturan mengenai fasilitasi perdagangan yang berlaku di Indonesia berdasarkan aturan dalam Trade Facilitation Agreement. 2. Tujuan Subjektif Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar M agister Hukum dari Program Pascasarjana Fakultas H ukum Universitas Gadjah M ada. 15 D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat baik dari segi akademis maupun dari segi praktis. 1. M anfaat Akademis Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam perkembangan ilmu hukum, yakni ilmu hukum bisnis, khususn ya ilmu hukum dagang internasio nal mengenai bentuk pelaksanaan fasilitasi perdagangan di Indonesia perdagangan dan area secara umum kepabeanan pada area teknis fasilitasi berdasarkan Trade Facilitation Agreement, secara khusus dalam kegiatan ekspor agrikultur CPO Indonesia ke Uni Eropa. M engetahui bentuk aturan hukum yang berlaku di Indonesia terkait pelaksanaan fasilitasi perdagangan, mengetahui bentuk perlindungan dalam fasilitasi perdagangan, serta manfaat dan pelaksanaan fasilitasi perdagangaan di Indonesia hambatan dalam berdasarkan Trade Facilitation Agreement. 2. M anfaat Praktis Peneliti juga berharap hasil penelitian ini dapat menjadi bahan koreksi dan pengalaman serta memperkaya pengetahuan bagi s iapa saja yang mendalami praktik perdagangan internasional dalam hal ini kegiatan ekspor dan impor, khususnya dalam hal bentuk dan pelaksanaan fasilitasi perdagangan di Indonesia berdasarkan Trade Facilitation Agreement, bentuk perlindungan fasilitasi perdagangan secara umum dan khususnya kegiatan ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa. Kemudian manfaat praktis 16 mengenai manfaat dan kendala dalam pelaksanaan fasilitasi perdagangan di Indonesia. E. Keaslian Penelitian Bahwa penelitian penulis dalam Tesis ini mengenai pelaksanaan fasilitasi perdagangan atas ekspor agrikultur crude palm oil (CPO) Indonesia ke Uni Eropa berdasarkan Trade Facilitation Agreement dan GATT 1994 merupakan penelitian studi kepustakaan dengan pendekatan empiris atau penelitian dengan sifat penelitian yuridis empiris. Pada awalnya penelitian mengenai fasilitasi perdagagan merupakan penelitian pada bidang kajian ilmu hubungan internasional khususnya dalam kajian diplomasi perdagangan global. Namun penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisa aspek hukum dagang internasional terakit pelaksanaan fasilitasi perdagangan atas ekspor agrikultur crude palm oil (CPO) Indonesia ke Uni Eropa berdasarkan Trade Facilitation Agreement. Sepanjang pengetahuan penulis belum ada kajian hukum yang secara khusus membahas mengenai pelaksanaan fasilitasi perdagangan atas ekspor agrikultur crude palm oil (CPO) Indonesia ke negara tujuan utama ekspor, hanya saja pada bidang kajian lintas ilmu yakni ilmu hubungan internas ional khususnya diplomasi perdagangan global telah ditemukan beberapa hasil penelitian baik skripsi, tesis, maupun artikel yang mengulas hal tersebut. Namun untuk menjamin keaslian penelitian ini, penulis mencantumkan beberapa hasil peneleitian yang mengulas permasalahan fasilitasi perdagangan. 17 Berikut beberapa penelitian terkait fasilitasi perdagangan dan kebijakan ekspor crude palm oil (CPO): 1. Analisa Peluang, Hambatan dan Tantangan F asilitasi Perdagangan Indonesia Terhadap AEC 2015, oleh Elio Diaz, S.IP., Tesis Pascasarjana Hubungan Internasional FISIPOL UGM -Program Global Trade Diplom acy. 2. Seri M onograp: Trade Policy Dimension 2011, Implikasi Kebijakan Standarisasi Produk Crude Palm Oil (CPO) melalui Indonesian Sustainable Palm O il (ISPO) Terhadap Perdagangan Ekspor Produk CPO Indonesia, oleh Irna N urhayati, Dina WK, Veri Antoni, Karina DNP. 3. Seri M onograp: Indonesia’s Strategic Topics In International Trade 2012, Kinerja Ekspor Crude Palm Oil (CPO) Sumatera Utara, oleh Prof. M asyhuri, F. Hafidz Saragih, Siti Arifah, Veri Antoni. 4. Seri M onograp: Indonesia’s Strategic Topics In International Trade 2012, Praktek New-Protectionism dalam Perdagangan Dunia: Pemanfaatan Isu Lingkungan Dalam Perdagangan Kayu Indonesia-Amerika Serikat, oleh Riza Noer Arfani, Dedy Perm adi, Syista Rahmania, M ichelle ACK. 5. Pengaruh Asean Trade Facilitation Terhadap Volume Perdagangan Produk Unggulan Jawa Tim ur, oleh: Perdana Rahardhan, S.E., M .Si., Adi Kusumaningrum, S.H., M .H., dan Fuad Aulia Rahman, S.E., M.Si., Ak., Publikasi Jurnal Perbankan dan S tabilitas Ekonomi Bank Indonesia. 6. Integrasi Ekonomi, Fasilitasi Perdagangan, dan Peran Organisasi Kepabeanan, oleh Pradika, Jurnal online “Scribd”.