Universal Coverage adalah sesuatu yang harus dilakukan Indonesia, tetapi apakah bisa dilaksanakan tanpa BPJS? dr. Sigit Riyarto, PMPK FK UGM UC segera dilaksanakan tetapi, BPJS‐nya belum ditentukan. Semua BP asuransi kesehatan seperti PT. Jamsostek dan PT ASKES ingin menjadi BPJSnya. Harusnya BPJS ini perlu disepakati terlebih dahulu. Tetapi kita harus siap menuju UC tanpa BPJS. Tiap BP sudah mempunyai skema yang bagus, tetapi masih belum memiliki satu skema yang terintegrasi. Misalnya Jamsostek masih belum mengcover penyakit yang katastropik, ASKES masih belum memberikan pelayanan yang adil, dsbnya. Saat ini para BP tersebut (JAMSOSTEK, ASKES, JAMKESMAS, JAMPERSAL, ASABRI, dsb) berlomba untuk meningkatkan kepersertaan. Meningkat kepesertaan ini apakah sifatnya politis. Termasuk jampersal yang menanggung 2,8 juta ibu hamil. Perlu diketahui bahwa peningkatan coverage dalam 30 tahun terakhir terjadi karena Askeskin/Jamkesmas dan Jamkesda. Bukan karena prestasi Askes, Jamsostek atau lembaga asuransi lain. Kebijakan yang menyerupai adalah jampersal (jaminan persalinan gratis). Diperkirakan akan meningkatkan coverage 1‐3 juta ibu hamil. UC tanpa BPJS ini beresiko karena terdapt pihak yang menganggap tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Fragmentasi pengelolaan akan terjadi. Artinya terdapat pengelolaan yang berbeda‐beda, dengan benefit yang juga berbeda‐beda. Pada akhirnya perlu didiskusikan, apakah semua scenario dapat mencapai UC? Ya, semua akan mencapai UC, tetapi yang paling cepar adalah kalau ada BPJS yang disepakati semua pihak. Rekomendasinya adalah negosiasi dan lobby politik tetap diusahakan dr. Prita, Seperi di RS, punya banyak spesialisasi tetapi tidak ada organisasi tim kerja. Demikian pula di departemen ksehatan, terlalu banyak skema tetapi tidak ada koordinasi satu dengan yang lain, hal ini menunjukkan adanya mis‐management Ahmad Anshori, JAMSOSTEK Saat ini UC terkendala masalah keinginan politik (political will). Proses politik di DPR justru memperkeruh suasana saat ini. Dikotomi siapa yang akan menjadi BPJS tunggal, bukan menjadi isu pertanyaan penting. Permasalahan yang muncul adalah kepastian hukumnya. Tiap BP mempunyai latar belakang kepentingan yang berbeda‐beda. Masalah yang ada sebetulnya adalah dalam UU no 40 tahun 2004 yang dikira banyak orang tidak mungkin salah. Padahal dalam UU tersebut ada materi yang belum sesuai dengan kondisi saat ini. Asih Eka Putri ( LSM) Jaminan Kesehatan di Indonesia ini masih di persimpangan jalan antara jaminan kesehatan dengan pembiayaan program kesehatan total oleh pemerintah. Sekarang ini pemerintah jangan terlalu terpaku kepada pola pola uji coba, harus segera implementasi. Saat ini potensi pajak kita sudah progresif, sehingga seharusnya sudah menetapkan pola pembiayaan kesehatan. Pemerintah harus cepat bertindak untuk menetapkan pola pembiayaan, baik secara regulasi perundangannya dan sistematika‐nya. UC harus segera berpikir bagaimana bisa mengkombinasi dari para BP ini. Termasuk salah satunya adalah jaminan bagi usia pension (>65 tahun). Setiap pilihan tentu saja ada resikonya. Tetapi ini lebih baik daripada harus berlama‐lama di tengah persimpangan jalan. dr. Prita Dari kelompok ini perlu jadi motor untuk ikut dalam pembahasan DPR, khususnya untuk membantu meyakinkan pemerintah dan DPR. Kemampuan pemerintah untuk monitoring dan evaluasi untuk seluruh program kesehatan. Misalnya akreditasi untuk RS masih belum berjalan dengan baik. SPM untuk pelayanan medik di RS sampai saat ini tidak terkontrol. Perlu ada standar baku SPM. Soewarta Kosen (Balitbangkes, Kemenkes) Kembali ke anggaran Kemkes, dipatok 5% (60T) tetapi dari anggaran tersebut hanya optimal 30T atau dengan komposisi 15T untuk public goods dari pemerintah, sisanya untuk asuransi social/jaminan kesehatan. Lebih dari itu akan membentuk program yang “tidak benar” jadi yang paling penting adalah adanya sense dari pemerintah untuk bisa mengalokasikan anggaran dengan benar. Isu yang penting adalah pemerataan, equity, yang saat ini pemerintah belum melihat hal ini menjadi suatu outcomes dari kebijakan pembiayaan. Dr Pujiyanto (FKM UI) Pemerintah tidak sadar bahwa anggaran ini harus dihabiskan tetapi harus kembali ke Rakyat. Jadi potensi sisa ini perlu ditindak lanjuti. Anggaran harus efisiensi, saat ini terjadi in‐efisiensi 10%‐30%. Untuk masalah BPJS, bisa lebih jelas lagi porsi masing‐masing BPJS sebagai sopir dari system jaminan kesehatan, sehingga mohon dikembalikan ke UU SJSN. Walaupun jika ada masalah, bisa dikembalikan atau di amandemen. Yang penting jalan, sambil ada pembenahan di tengah jalan jangan dipersimpangan. Ahmad Anshori ( JAMSOSTEK) Ada indikasi negative bahwa para BPJS ini ada keinginan terpendam, tetapi ketakutan ini perlu diatasi dengan menjalaninya terlebih dahulu, jika kemudian ada hambatan, bisa dilakukan pembenahan. Let’s do Something dimulai dari hal yang sederhana. Siapa yang menjadi BPJS merupakan hanya 1 masalah kecil, tetapi masalah yang besar adalah konten dari bentuk jaminan itu sendiri. Untuk BPJS sendiri, saat ini yang diperlukan ketegasan pemerintah untuk memulai bentuk dasar jaminan, dan para BP akan mengikutinya. UC perlu dilihat dari sisi lain, harus dilihat kebutuhan masyarakat, jadi jangan sampai masyarakat terus menunggu. Perlu segera diperjelas. Secara simple, justru semacam jamkesda terlihat lebih operasional, dan langsung “kena” di masyarakat. Jadi argument siapa yang jadi BPJS bukan masalah, yang ditunggu adalah tindakan langsung. Jadi perlu segera diputuskan. Eddy (FKM UI) Kita terbiasa membuat keputusan tidak selesai, dan sering kali membuat system tidak berjalan. Solusinya kita berpikir ke sebuah system besarnya dulu dibenahi, baru system kecilnya dipikirkan kemudian. Rizkyana Riskandi Putra ( Dir. Gizi dan KIA) Indonesia dengan disparitas yang luar biasa lebar, perlu dilihat dimana weakness kita, perlu dimediasi oleh perguruan tinggi. Perlu identifikasi problem dasar dan tujuan akhirnya. Jadi setuju pembenahan system besarnya, dan perlu ditindak lanjuti dengan kebijakan yang operasional, jangan hanya teori, perlu kerja sama antara pemerintah, legislative, akademisi dan LSM. Masalahnya tidak hanya straight benar dan salah. Kebijakan one for all tidak bisa dilakukan. Komentar Penutup dan kesimpulan: Perlu tindak lanjut untuk membantu pemerintah minimal jadi pendamping pemerintah memberikan masukan tentang kebijakan pembiayaan kesehatan public dan jaminan kesehatan. Dibutuhkan suatu jejaring bersama lintas sector yang concern masalah pembiayaan kesehatan: • Perlu tim work Æ berpikir as a one team for the country • Perlu Leadership Æ good leader • Perlu kembali ke permasalahan inti Æ health for all, kesehatan untuk masyarakat • Pentingnya Supervisi, Monitoring dan Evaluasi yang total dalam semua kegiatan dan program kesehatan. • Perdebatan politik tentang badan penyelenggara jaminan sosial akan tetap ada dan diprediksikan terjadi terus. • UGM menyarankan bahwa perdebatan tersebut tidak mengganggu pemerintah pusat dan daerah serta penyelenggara jaminan yang sudah ada sekarang untuk meningkatkan kepesertaan. • Cara untuk meningkatkan kepesertaan yang paling cepat adalah dengan menyediakan anggaran yang semakin besar yang berasal dari pemerintah pusat (APBN) dan pemerintah daerah (APBD).