BAB III KAJIAN TENTANG AL-GAZĀLĪ DAN IḤYA’ ʻULŪM AL-DĪN A. Biografi Imām Al-Gazālī 1. Latar Belakang Sosio-Historis Imām Al-Gazālī Nama lengkap Imām Al-Gazālī1 adalah Abū Ḥāmid Muḥammad Ibn Muḥammad Ibn Muḥammad Ibn al-Thūsi al-Syafiʽī.2 Al-Gazālī dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M. di Thūs,3 salah satu kota di Khurāsān yang diwarnai oleh perbedaan faham keagamaan, karena kota ini, selain di 1 Nama Al-Gazālī kadang-kadang diucapkan dengan al-Ghazzâlî (dua huruf z: dengan tasydîd). kata ini berasal dari ghazzal, artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayahnya adalah pembuat tenun wol dari suku “Ghazzal”. Sedangkan Al-Gazālī, (dengan satu huruf z: tanpa tasydīd), itu disandarkan kepada desa tempat tinggalnya “Ghazaleh”, kota kecil di Thūs wilayah Khurāsān. Tidak banyak informasi yang dapat diketahui tentang keluarga di mana Al-Gazālī dilahirkan. Namun, penting untuk diperhatikan bahwa di dalam keluarga Al-Gazālī terdapat nama Ḥāmid Al-Gazālī (w.435/1025) yang lain, yaitu pamannya sendiri, yang menurut riwayat adalah seorang teolog dan ahli hukum (jurisconsult) yang termasyhur. Meski keluarga Al-Gazālī tergolong “agak miskin” tetapi yang menarik ialah, keluarga ini ternyata cukup “akrab” dengan arus perkembangan intelektual dan keagamaan yang ada pada saat itu. Lihat Ahmad Nawawi, Perspektif Teologi & Filsafat Al-Ghazâlî & Hume, Kritik Dekonstruktif Nalar Kausalitas dalam Teologi dan Filsafat, Malang: Madani, 2011, h.60-63. 2 Nama aslinya hanya Muḥammad. Nama Abū Ḥāmid diberikan kemudian setelah ia mempunyai putra bernama Ḥāmid yang meninggal ketika masih bayi. Lihat A.Khudri Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 80. 3 Thūs ( kota kedua terbesar di Khurāsān sesudah Nīsyāpūr) adalah gabungan dari dua kota (Thabarun dan Tuqan). Pada abad ketiga Hijriah, Tuqan lebih besar daripada Thabarun, tetapi pada abad-abad sesudahnya, Thabarun menjadi lebih besar. Imām ʽAli alRidhâ (w.813 M) dan khalifah Hârûn al-Rasyîd (w.809 M.) dimakamkan di kota ini. Lihat Muḥammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Gazālī, Jakarta: Rajawali, 1988, h. 29. Thūs tempatnya terkenal karena kesuburan tanah dan mineral yang dikandungnya. Negara ini berada dalam wilayah kekuasaan Islam sejak era pemerintahan khalifah Utsman bin Affan, terletak di antara sungai Amu Darya Utara dan Timur serta wilayah pegunungan Hindukus Selatan di daerah Persia bagian Barat (saat ini Iran). Daerah ini lazim disebut dengan negeri Seberang Sungai (mā wara’u al-nahar), yang lokasinya terbentang sampai ke Sijistan. Thūs juga melahirkan orang-orang penting dalam sejarah Islam. Di antaranya Abū ‘Ali al-Hasan Ibn Isḥāq, yang dikenal dengan Nizām al-Mulk (w.495/1092), juga penyair Firdausî (w.416/1025) dan ʽUmar Khayyam (w.517/1125). Lihat Ahmad Nawawi, Perspektif Teologi & Filsafat Al-Ghazâlî & Hume…, h.60-61. Pada tahun 1220 Masehi, kota ini dihancurkan Mongol, tetapi kemudian di tempat kehancuran Thūs, muncul Masyhad, kota besar sejak abad kedelapan Hijriah. Di Masyhad selain makam ʽAli arRidhâ dan Hârûn al-Rasyîd, ditemukan makam al- Firdausî (w.1025 M.) dan Al-Gazālī (w.1111 M.). Lihat Muḥammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Gazālī…, h. 29. 40 41 dominasi oleh masyarakat Sunni dan sebagian kecil kelompok Syiah, juga terdapat penduduk yang beragama Kristen.4 Lingkungan pertama yang turut membentuk kesadaran Al-Gazālī adalah lingkungan keluarganya sendiri. Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi.5 Menurut Ahmad Nawawi, untuk lebih mudah memahami potret kompleksitas kehidupan Al-Gazālī , maka secara kronologis, dinamika fase kehidupannya dapat diklasifikasikan ke dalam 3 periode besar yakni: a. Masa Belajar (Period of Learning) 450-484 H/1058-1091 M Al-Gazālī mulai menjalani pendidikan dasarnya secara formal6 di bawah bimbingan Ahmad Muḥammad al-Rādzkānī al-Thūsi, seorang Faqīh. Sebelum beranjak 15 tahun (sekitar 465 H/1073 M), Al-Gazālī seterusnya pergi ke Jurjān di Mazardāran untuk meneruskan studinya 4 Ahmad Nawawi, Perspektif Teologi & Filsafat Al-Ghazâlî & Hume…, h. 61. 5 Disebutkan bahwa ayahnya sangat menyenangi ulama dan sangat rajin menghadiri majelis-majelis pengajian, bahkan sering memberikan sesuatu dari hasil jerih payahnya kepada para ʽUlama sebagai ungkapan rasa simpatik. Ia sangat mengharapkan anaknya menjadi ʽUlama yang selalu memberi nasihat kepada ummat (al-wuʽazh). Pola kehidupan dan semangat keagamaan ayahnya menggambarkan suasana kehidupan keluarganya. Lihat Muḥammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Gazālī…, h. 30. 6 Interaksi Al-Gazālī dengan pendidikan pertama kali dimulai di Thūs, kota kelahirannya sendiri. Namun tidak ada keterangan yang jelas mengenai usia berapa AlGazālī memulai pendidikannya. Lihat Ahmad Nawawi, Perspektif Teologi & Filsafat AlGhazâlî & Hume…, h. 62-63. Menurut Muḥammad Yasir Nasution, ayah Al-Gazālī meninggal, ketika Al-Gazālī dan saudaranya Ahmad masih kecil. Sebelum meninggal dunia, Al-Gazālī dan adiknya Ahmad, kemudian dititipkan kepada salah seorang teman ayahnya, seorang sufi yang hidup sangat sederhana. Suasana rumah tangga sufi ini menjadi lingkungan kedua yang turut membentuk kesadaran Al-Gazālī . Hal ini terjadi karena sesudah ayahnya meninggal tersebut. Di sini mereka belajar Al-Qur’an dan Hadits, mendengarkan kisah-kisah ahli hikmah, bahkan juga menghafal puisi cinta mistis. Ketika sufi yang mengasuh mereka tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, ia menganjurkan agar mereka dimasukkan ke sekolah untuk memperoleh ilmu pengetahuan, serta santunan kehidupan sebagaimana lazimnya ketika itu. Lihat Muḥammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Gazālī…, h. 30. 42 dalam bidang fiqh pada Abū Nashr al-Ismāʻīlī. Namun, setelah 2 tahun, Al-Gazālī kembali lagi ke Thūs. Pada masa ini ia berguru di bawah asuhan seorang Syaikh sufi bernama Yūsuf al-Nassaj. Menjelang ulang tahunnya yang ke 20 (470 H/1077 M), Al-Gazālī berangkat ke Nīsyāpūr untuk melanjutkan pendidikannya di Akademi Nizhāmiyyah. Di tempat ini Al-Gazālī kemudian belajar fiqh, kalām, nazar, mantiq, dan falsafah, di bawah arahan intelektual besar Abū Maʻālī ʽAbd al-Malik al-Juwainī yang bergelar Imām al-Ḥaramain.7 AlJuwainī-lah yang berjasa memperkenalkan Al-Gazālī dengan kajian teolog (kalām), logika (mantiq) dan filsafat (falsafah). Saat bersama dengan Al-Juwainī tersebut, Al-Gazālī di samping belajar juga telah diangkat menjadi asistennya. Bahkan dengan kecerdasan Al-Gazālī ini yang membuat ia sangat popular di antara para mahasiswa yang lainnya. 8 Bidang studi lain yang merampas pikiran Al-Gazālī adalah sufisme. Ia mempelajari teori dan praktik ajarannya di bawah bimbingan Abū ʽAli al-Farmadzī al-Thūsī.9 Di sini Al-Gazālī meskipun telah ambil bagian dalam setiap jalan (tharīqah) dengan mengamalkan dzikr serta 7 Disebut Imām al-Ḥaramain karena ia pernah mengajar di dua kota suci, yaitu Makkah dan Madinah. Lihat Ahmad Nawawi, Perspektif Teologi & Filsafat Al-Ghazâlî & Hume…, h. 64. 8 Ibid., h. 65. 9 Al-Farmadzī ternyata adalah bekas murid paman Al-Gazālī sendiri. Ia juga dikabarkan pernah berguru kepada Imām Al-Qusyairī (w.465/1072), seorang sosok sufi besar, yang menulis “Al-Risālah al-Qusyairiyyah” kitab sufistik yang terkenal. Lihat Ibid. 43 melakoni kehidupan spiritual sufistik, namun ia tidak mendapatkan apa yang dicarinya. 10 b. Masa Popularitas (Period of Briliant Career) 484-488 H/1091-1095 M Periode ini cukup pendek, yaitu kurang lebih sekitar 4 tahun (484488), namun masa ini memiliki signifikansi yang sangat penting dalam arus kehidupan Al-Gazālī . Di tengah kesuksesan Al-Gazālī sebagai mahasiswa di Nīsyāpūr pada tahun 477 H/1084 M Al-Farmadzī meninggal dunia, yang setahun kemudian disusul oleh Imām al-Ḥaramain al-Juwainī (w. 478 H/1085 M). kematian dua orang guru kharismatik tersebut menjadi moment penting dan fase awal periode karier akademis Al-Gazālī, karena peristiwa ini kemudian menjadi titik independensi otoritasnya sebagai seorang sarjana. Al-Gazālī tolak saat itu berusia 28 tahun, tampil begitu energik dan ambisius.11 Al-Gazālī kemudian pergi ke kamp Nizām al-Mulk (wazīr Dinasti Saljuq), di bagian Timur Nīsyāpūr. Di tempat ini ia aktif terlibat dalam interaksi ilmiyah bersama para ulama. Pada diskusi-diskusi tersebut, AlGazālī berhasil menunjukkan kapasitas dirinya sebagai cendikiawan “mumpuni”. Kenyataan tersebut akhirnya menarik perhatian perdana menteri Nizām al-Mulk, untuk seterusnya memposisikan Al-Gazālī menjadi guru besar teologi pada Akademi Nizhāmiyyah di Baghdad (tahun 484 H/1091 M). Pengangkatan ini terjadi ketika Al-Gazālī berumur 34 tahun. Ia sampai di Baghdad pada bulan Jumadil Awal 10 Ibid. 11 Ibid., h. 66. 44 484/Juni-Juli 1091. Sebagai guru besar Al-Gazālī kemudian menggantikan Abū ‘Abd Allāh at-Thabarī dan Abū Muḥammad al-Fāmī al-Syirāzī (guru besar Nizhāmiyyah sebelumnya).12 Kehadiran Al-Gazālī di Baghdad menjadi daya tarik tersendiri bagi kemajuan Akademi Nizhāmiyyah. Pengajarannya yang cemerlang kritis, dan tajam begitu menggairahkan animo masyarakat luas. Hal ini menjadikan Al-Gazālī sangat disegani bahkan dimuliakan oleh para pengikutnya, termasuk kalangan bangsawan dan pejabat negara. 13 Al-Gazālī berhasil meniti karier yang cemerlang, menjadi guru besar, dalam masa kurang lebih 4 tahun (484-488 H). Lewat aktivitas akademisnya, ia kemudian menempati posisi yang sangat strategis. Sebagai maskot cendikiawan par excellence, Al-Gazālī saat di Baghdad ini tidak hanya atraktif dalam mengajar an sich (dengan kedalaman serta keluasan khazanah pengetahuannya), tetapi ia juga sangat produktif dalam berkarya. Bahkan karya tulis kontroversialnya “Taḥāfut alFalāsifah” (kerancuan para filosof) muncul pada periode ini.14 c. Masa Pensiun (Period of Retirement) 488-505 H/1095-1111 M Di puncak reputasinya sebagai “Hujjat al-Islām,” Al-Gazālī mengalami krisis spiritual.15 Selain krisis spiritual, ia juga pernah 12 Ibid., h. 67. 13 Ibid., h. 68. 14 Ibid., h. 67-68. 15 Dalam autobiografinya ”Al-Munqidz min al-Dhalāl” (Bebas dari kesesatan) ia menceritakan:” pada bulan Rajab 488 H/Juli 1095 M (sekitar 6 bulan setelah diselesaikannya buku “Taḥāfut al-Falāsifah” [kerancuan para filosof]), ia 45 mengalami krisis intelektual. Menurut Al-Gazālī sendiri, sebenarnya pada waktu tinggal di Nīsyāpūr, ia telah mengalami satu periode krisis yang pertama selama kurang lebih 2 bulan. Di waktu krisis Al-Gazālī meragukan segalanya. Ia tidak bisa mempercayai indera, bahkan akal pun ia tolak. Al-Gazālī berada pada sikap skeptis yang mendalam sehingga ia mempertanyakan hal-hal yang dharūriyāt (kebenaran dasar yang sudah jelas).16 Dalam kondisi krisis seperti ini, Al-Gazālī akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan prestige-nya.17 Keputusan AlGazālī meletakkan gelar guru besar, meninggalkan karier dan kesuksesan hidup, sangat mengejutkan serta membingungkan publik pada masanya. 18 Al-Gazālī memulai kehidupan sufistik di Masjid Umayyah Damaskus, setelah ia meninggalkan Baghdad (Dzulqa’idah 488 merasakan krisis diri yang kedua karena studi sufismenya. Dengan mengklaim bahwa ia telah menguasai doktrin dan ajaran kaum sufi seperti Al-Muhâsibî (w.243 H/837 M), Al-Junaid (w.298 H/854 M), juga Al-Busthâmî (w.262 H/875 M), ia menyadari bahwa selama ini apa yang telah dicapai dan dilakukan, bukanlah benar-benar “ikhlas” karena Tuhan. Ilmu-ilmu yang ia tekuni tidaklah berharga secara religius. Hal ini kemudian diperburuk dengan kesehatan fisiknya. Ia kehilangan kemampuan berbicara dan sistem lambungnya tidak dapat mencerna. Sementara para dokter yang merawatnya terpaksa menyerah. Terhadap penyakitnya tersebut, menurut Al-Gazālī, dokter berkata: “ini adalah sebuah penyakit yang muncul dari problem kejiwaan. Dan untuk menyembuhkannya, tidak ada cara lain, kecuali menyibak rahasia-rahasia dari problem tersebut.” Lihat Ibid., h. 68-69. 16 Ibid., h. 68-69. 17 Pada konteks ini, terlepas dari pengakuan Al-Gazālī sendiri, MacDonald secara kritis mencurigai adanya faktor-faktor yang bersifat politis dalam pengunduran tersebut. Namun, Osman Bakar berpijak pada pendapat McCarthy menegaskan bahwa, cerita Al-Gazālī mengenai motifnyalah yang seharusnya kita terima, yaitu perubahan orientasi hidup ke dunia sufisme. Ia memilih jalur sufistik sebagai kehidupan baru (ultimate goal). Al-Gazālī menyadari bahwa satu-satunya harapan untuk merengkuh kepastian dan kenikmatan hidup selanjutnya terletak di jalan kaum sufi. Lihat Ibid., h. 71. 18 Ibid., h. 69. 46 H/November 1095 M). Sekitar 2 tahun di Damaskus, ia pindah ke Yerusalem untuk meneruskan kontemplasinya dengan tinggal di zāwiyah19 yang berlokasi sekitar Dome of Rock (Kubah Batu). Dari sini, pada tahun yang sama (490 H/1097 M) sesudah berziarah di makam Nabi Ibrâhîm (Hebron), dia kemudian menuju Makkah dan Madinah untuk melakukan ibadah haji.20 Setelah mengasingkan diri kurang lebih hampir 11 tahun, AlGazālī akhirnya ke Nīsyāpūr (sekitar 499 H/1106 M) untuk mengajar kembali ke Akademi Nizhāmiyyah Nīsyāpūr. Sekitar 3 tahun terlibat dengan aktivitas back to campus-nya (502 H/1109 M), Al-Gazālī meninggalkan kegiatan di Nīsyāpūr untuk kembali ke Thūs kota kelahirannya. Di sini, ia menghabiskan sisa hidup dengan aktivitas sufistiknya sampai kemudian wafat dengan usia 53 tahun pada 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111 M. 21 Selama masa pengembaraannya ini, Al-Gazālī mendapatkan “kekayaan petualangan spiritual” yang sangat luar biasa. Sepanjang petualangan ini ia memperoleh berbagai pengetahuan yang tidak mudah dideskripsikan. Salah satu produk kreatif dari pencerahan spiritualitas yang terjadi pada periode ini, terekspresi dalam Magnum opus-nya “Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn” (menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama). Pada tataran ini, Al-Gazālī sukses menegakkan kembali supremasi kehidupan spiritual 19 Tempat kaum sufi melakukan khalwah. 20 Ibid., h. 71. 21 Ibid., h. 72. 47 (dimensi esoterik) dalam kerangka syarīʻah (deminsi eksoterik). Ia bahkan berhasil menjembatani ketegangan “akut” yang terjadi antara pendekatan keberagaman formalisme fiqh dengan spiritualisme tasawuf dalam dinamika normativitas dan historitas Islam.22 2. Karya-karya Al-Gazālī Al-Gazālī adalah figur cendikiawan yang memiliki dinamika intelektualitas sangat kompleks.23 Di tunjang ilmu yang luas, logika yang kuat dan bahasa yang lancar, Al-Gazālī produktif dalam menulis. Karyakaryanya meliputi berbagai disiplin keilmuan. Menurut Ahmad Nawawi, Dalam pengantar “Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn,”Badhawi Thobanah memaparkan sebanyak 47 karya-karya Al-Gazālī . Di antaranya yaitu:24 a. Tentang Teologi dan Filsafat: - Maqāshid al-Falāsifah (Tujuan Para Filosof) - Taḥāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filosof) - Al-Iqtishād fi al-Iʽitiqād (Moderasi dalam Berakidah) - Iljâm al-Awwām ʽan ʽIlm Kalām (Membentengi Orang Awam dari Ilmu Kalam) b. Tentang Logika: - Al-Qiṣtās al-Mustaqīm (Neraca yang Lurus) 22 Ibid., h. 73. 23 Apa yang menarik perhatian dalam sejarah hidup Al-Gazālī adalah curiocity-nya yang begitu mendalam terhadap pengetahuan dan hakekat kebenaran. Dinamika pengalaman intelektualitas dan spiritualitasnya, yang berpindah-pindah dari kecenderungan teologis, ke filsafat, ke ta’limiyyah dan akhirnya ke tasawuf, membentuk karakter tersendiri dalam corak pemikirannya. Lihat Ibid., h. 73. 24 Ibid., h. 73. 48 - Maʽyār ʽIlm (Standar pengetahuan) - Mihaq al-Nażar fi al-Mantiq (batu-Uji Pemikiran Logis) - Mīzān al-ʽAmal (Timbangan Amal) c. Tentang Fiqh dan Ushul Fiqh: - Al-Basīṭ (Pembahasan yang Mendalam) - Syifā’ al-Alīf fī al-Qiyās wa al-Ta’wīl (Terapi yang Tepat untuk Analogi dan Takwil) d. Tentang Politik: - Naṣīḥat al-Mulūk (Nasihat bagi Penguasa) e. Tentang Al-Qur’an: - Jawāhir al-Qur’an (Rahasia-Rahasia Al-Qur’an) - Qanūnu al-Ta’wīl (Prinsif-Prinsif Takwil) f. Tentang Etika dan Tasawuf: - Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama) - Kīmīyā al-Saʻādah (Kimia Kebahagian) - Misykāt al-Anwār (Relung-Relung Cahaya) g. Tentang Autobiografi: - Al-Munqidz min al-Dhalāl (Bebas dari Kesesatan) Semua karya-karya Al-Gazālī di atas menjadi indikator bahwasanya Al-Gazālī termasuk orang yang mencurahkan segenap kehidupannya dalam menggali dan mencari ilmu sehingga menjadi ulama yang mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman. Dan di antara karya-karya Al-Gazālī 49 tersebut yang banyak dijadikan bahan materi pengajian dan sangat familiar di pondok-pondok pesantren adalah Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn. 25 Meskipun Al-Gazālī banyak menghasilkan karya tulis, sampai saat ini secara definitif belum disepakati berapa jumlah kitab yang ditulisnya. Bahkan pada penelitian beberapa sarjana modern yang mengkaji sejumlah buku Al-Gazālī, mereka meragukan keotentikan sebagian karyanya.26 B. Tinjauan Umum Kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn 1. Latar belakang penyusunannya Al-Gazālī adalah fenomena menarik, memukau dan menakjubkan dalam hal mengolah kata. Ia tidak hanya dikenal sebagai seorang teolog dan mistikus, tetapi ia juga menguasai bidang yurisprudensi (hukum), etika, logika bahkan kajian filsafat. Ia dinilai sebagai ilmuan Islam yang ensklopedis dengan menguasai seluruh khazanah-khazanah keilmuan dari berbagai disiplin yang sangat berbeda. Kemampuannya mengelaborasi serta mengekspresikan gagasan-gagasan pemikiran pada setiap karya-karyanya, dinilai sangat orisinil, kritis, bahkan komunikatif. Lewat pengaruh 25 Zurkani Jahja, Teologi Al-Gazālī Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), 1996, h. 13. 26 (Pendekatan Metodologi), Yogyakarta: Menyikapi hal ini ‘Abd al-Raḥmān Badawī dalam “Mu’allafāt Al-Gazālī ” (karya-karya Al-Gazālī ), mencoba lebih jauh memetakan buku-buku yang berkaitan dengan karya Al-Gazālī. Yaitu: Pertama, kelompok tulisan yang dipastikan sebagai karya orisinil Al-Gazālī terdiri dari 72 kitab; Kedua, kelompok tulisan yang diragukan sebagai karya otentik Al-Gazālī sekitar 22 kitab; Ketiga, kelompok tulisan yang dapat dipastikan bukanlah karya Al-Gazālī sekitar 31 kitab. Dalam hal ini perlu diungkapkan, bahwa ketika mencermati tulisan-tulisan Al-Gazālī, sering terdapat ketidakkonsistenan antar karya berbeda. Untuk menjawab kasus ini, menurut Ahmad Nawawi yang mengutip perkataan Sulaiman Dunya pada analisisnya menyatakan bahwa pemikiran Al-Gazālī tersebut memiliki gradasi sasaran dan tingkat presentasi yang berbeda. Ada karya-karya yang ditujukan untuk pembaca awam (jumhûr) dan ada pula yang diarahkan untuk kalangan tertentu yang berkompeten (al-Maḍnūn bīhā ʽalā gayr ahlihā). Lihat Ahmad Nawawi, Perspektif Teologi & Filsafat Al-Ghazâlî & Hume…, h. 75 50 pemikirannya Al-Gazālī tidak hanya mendapatkan gelar “Hujjat al-Islām” (sang pembela agama), tetapi juga sebagai “Zain al-Dīn” (sang ornament agama), dan“al-Mujaddid”(sang pembaharu).27 Tidak diragukan lagi bahwa Al-Gazālī adalah seorang penulis produktif. Kegiatannya dalam bidang tulis menulis tidak berhenti sampai ia meninggal dunia. Kehidupan menyendiri yang dilaluinya tidak membuatnya berhenti menulis. Bahkan pada masa inilah ia menyusun karya yang terkenal Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn. Kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn, karya Al-Gazālī adalah salah satu karya besar dalam perpustakaan Islam yang menjadi sebuah buku leteratur sebagian besar Umat Islam di Indonesia, menjadi materi pelajaran seluruh pondok pesantren tradisional di Indonesia. Hingga menjadi sumber rujukan akademisi dalam resonansi filsafat dengan segala jenisnya. Imām Al-Gazālī memberi judul karangannya tersebut dengan “Iḥya’ ‘Ulum al-Din” (menghidupkan kembali ilmu agama), karena pada waktu itu ilmu-ilmu Islam sudah hampir teledor oleh ilmu-ilmu lain, terutama oleh filsafat Yunani.28 Pada hakekatnya kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn adalah hasil pengalaman, pengembaraan, penjelajahan, dan pendalaman Al-Gazālī di dalam berbagai ilmu. Kitab ini adalah hasil karya positif setelah ia ragu (syak/skeptis) terhadap segala persoalan kepercayaan, dan pada akhirnya keraguan itu 27 Ibid., h. 71. 28 Hamka,“Sambutan Terjemahan Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn,” dalam Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn atau Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama, Jilid I, Cetakan Keempat, Singapore: Pustaka Nasional Pte Ltd, 1998, h. 13. 51 sendiri sedikit demi sedikit hilang, berganti dengan keyakinan. Hal itulah kemudian disajikan oleh Al-Gazālī kepada kaum muslimin dengan kitabnya yang terkenal di segala penjuru dunia. 29 Salah satu pertimbangan Al-Gazālī menulis Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn adalah karena melihat praktek pelaksanaan ibadah umat sangat formalistik, semata-mata menggunakan pendekatan hukum. Sehingga ibadah mahdhah lebih ditekankan pada aspek formalitasnya. Dalam hal ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemahaman fiqih yang formalistic tersebut. 2. Sistematika Pembahasan dan Isi Kitab Kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn dibagi menjadi empat bagian menerangkan berbagai macam disiplin ilmu, di antaranya adalah ilmu-ilmu dzhahiriyah dan bathiniyah. Adapun bagian-bagian tersebut yaitu: Pertama, mengenai ibadah. Kedua, seputar urusan dunia atau pekerjaan sehari-hari. Ketiga, tentang kejahatan yang merusak atau perbuatan yang membinasakan. Keempat, mengenai kebajikan yang membangun atau perbuatan yang menyelamatkan.30 Bagian pertama berisikan seputar ibadah yang di dalamnya terdapat sepuluh pembahasan. Pertama, pembahasan mengenai ilmu. Kedua, rukun iman. Ketiga, mengenai rahasia kebersihan. Keempat, rahasia shalat. Kelima, rahasia zakat. Keenam, seputar rahasia puasa. Ketujuh, rahasia haji. Kedelapan, adab membaca Al-Qur'an. Kesembilan, adab berdzikir dan 29 Mansur Thoha Abdullah, Kritik Metodologi Hadis Tinjauan Atas Pemikiran AlGazālī, Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003, h. 47. 30 Al-Gazālī , Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn, jilid 1, Terj. Oleh Ibnu Ibrahim Ba’adillah, Jakarta: Republika Penerbit, 2011, h.xxii. 52 berdoa. Kesepuluh, berisi pembahasan seputar pelaksanaan kewajiban sehari-hari berdasarkan waktu yang telah ditetapkan.31 Bagian kedua membicarakan seputar urusan duniawi yang terdiri dari sepuluh pembahasan. Pertama, pembahasan mengenai adab makan dan minum. Kedua, adab pernikahan. Ketiga, adab mencari penghidupan. Keempat, apa saja yang diperbolehkan dan yang dilarang. Kelima, adab berteman dan bersaudara. Keenam, adab mengasingkan diri. Ketujuh, adab mengadakan perjalanan. Kedelapan, mendengarkan dan merasakan. Kesembilan, adab menyuruh yang maʻrūf dan mencegah yang munkar (amar maʻrūf nahī munkar). Kesepuluh, adab menjalani kehidupan seperti yang telah dicontohkan oleh kepribadian dan tindakan Rasulullah SAW.32 Bagian ketiga menjabarkan seputar kejahatan yang merusak. Bagian ini juga terdiri dari sepuluh pembahasan. Pertama, pembahasan mengenai keajaiban jiwa, kedua, disiplin jiwa. Ketiga, bahaya perut dan nafsu seksual. Keempat, bahaya lisan. Kelima, bahaya marah, benci dan sikap iri. Keenam, pembahasan seputar kejahatan dunia. Ketujuh, keburukan harta dan sikap bakhil. Kedelapan, keburukan pamer (riyâ’) dan sikap sombong. Kesembilan, keburukan memuji diri dan membanggakan diri sendiri (ʽujub). Kesepuluh, pembahasan seputar keburukan sikap tertipu dengan kesenangan duniawi.33 31 Ibid. 32 Ibid. 33 Ibid. 53 Pada bagian keempat menguraikan seputar kebajikan yang membangun yang juga terdiri dari sepuluh pembahasan. Pertama, pembahasan mengenai taubat, kedua, sabar dan sikap dermawan. Ketiga, sikap takut dan harap (rajâ’). Keempat, kemiskinan dan sikap zuhud. Kelima, tauhid (mengesakan Allah SWT) dan sikap pasrah. Keenam, pembahasan seputar cinta dan kepuasan jiwa. Ketujuh, niat, kebenaran dan ketulusan (sikap ikhlas). Kedelapan, mawas diri dan sikap intropeksi. Kesembilan, berpikir dan bertafakkur. Kesepuluh, pembahasan seputar kematian dan merenungkan kematian. 34 3. Kelebihan Kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn Salah satu kelebihan dari kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn adalah kompleksifitas berbagai macam disiplin ilmu yang pada kenyataannya sering dipakai di dalam interaksi sesama manusia, di antaranya adalah ilmuilmu yang berkenaan dengan mu'amalah yang mengatur hukum dan tata cara kehidupan manusia dalam melaksanakan aktivitas sosial ekonominya.35 Adapun ilmu Mu'amalah itu sendiri menurut Al-Gazālī dalam kitab ini terbagi menjadi dua macam, yaitu muʽamalah zhâhiriyah dan muʽamalah bâthiniyah, yang pada akhirnya masing-masing di antara muʽamalah ini terbagi menjadi beberapa bagian, yang pertama adalah muʽamalah zhâhiriyah terbagi menjadi dua macam, yang pertama adalah ibadah dan 34 Ibid. 35 Muḥammad Khairan, Kitab Iḥya’ Ulumuddin Sebuah Mahakarya Sarjana Muslim Yang Sarat Akan Kompleksitas Ilmu, http:// khoirunnada. blogspot.com/2011/01/kitab-ihya-ulumuddin-sebuah-mahakarya.html. diakses pada tanggal 15 September 2012. 54 yang kedua adab (tata karma). Sedangkan muʽamalah bâthiniyah itu sendiri terbagi menjadi dua bagian juga, pertama adalah kewajiban orang mukallaf untuk menjauhi dan membersihkan diri dari sifat-sifat tercela sedang yang kedua adalah kewajiban bagi seorang mukmin untuk mengisi dan menghiasi hatinya dengan sifat-sifat terpuji.36 Menurut Ali Yafie, kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn memiliki keistimewaan tersendiri. Hal ini dapat ditinjau dari empat segi, yaitu:37 a. Dari segi bahasanya. Kitab ini tidak menggunakan bahasa hukum seperti umumnya kitab-kitab ilmu fiqh. Tidak menggunakan bahasa kaku seperti umumnya kita-kitab ilmu pengetahuan; dan juga tidak menggunakan bahasa kode (ramziyah), seperti umumnya kitab-kitab tasawuf. Kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn menggunakan bahasa popular yang mirip atau cendrung kepada bahasa sastra, sehingga menarik untuk dibaca dan tidak sulit untuk dipahami bagi mereka yang sudah mempunyai pendidikan menengah. b. Dari segi pendekatannya. Dengan bijaksana kitab ini mendekati masalah secara rasional, dan tetap bertumpu pada unsur-unsur tradisional yang telah mapan dalam ilmu-ilmu agama (religious sciences). c. Dari segi sifatnya. Kitab ini menampilkan satu keberanian moral (syajaʻah adabiyah) yang tinggi, dengan melakukan koreksi total si semua bidang dan sudut dengan sorotan-sorotan yang tajam. 36 Ibid. 37 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial; dari Soal Lingkungan Hidup hingga Ukhwah, Cetakan Kedua, Bandung: Mizan, 1994, h. 124-125. 55 d. Dari segi materi dan berbagai obyek bahasannya. Materi dan berbagai obyek bahasannya cukup menyeluruh dan mampu mencakup seluruh perkembangan intelektual pada zamannya. Kesemua itu kemudian dirangkai untuk memperkuat dan memperindah gagasan dan pendapat yang dikemukakannya. Keselururuhan sistematikanya mantap. Sasarannya dapat dicapai dengan baik melalui penyajian satu potret yang cukup jelas tentang perkembangan kehidupan keagamaan dalam seluruh lapisan masyarakat pada zamannya. Lalu ia menyajikan satu konsep perbaikan yang menyeluruh, dalam suatu pola penghayatan yang utuh, di bidang pemahaman keagamaan sebagaimana mestinya. Ulama yang senang mengatakan, bahwa senadainya kitab-kitab agama di dunia itu habis, dan yang tersisa hanya Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn, maka cukuplah kitab itu sebagai pengganti seluruh kitab yang hilang tadi. Ketika kitab ini masuk masyarakat Barat (mugharabah) seorang cendikiawan dari mereka menyanggah dan menulis kitab sanggahan dengan judul, al-Imla fi al-Radd ʻala al-Iḥya’. Tetapi setelah dipelajari ulang, dan ia mengakui keikhlasan hati Al-Gazālī, maka ia meralat semua sanggahannya tersebut. Dan masih banyak lagi pujian yang dialamatkan kepada kita Iḥya’ ʻUlūm alDīn ini.38 38 Chozin Nasuha, Kata Pengantar: Hadis Nabi dalam Kitab Al-Gazālī, dalam Mansur Thoha Abdullah, Kritik Metodologi Hadis Tinjauan Atas Pemikiran Al-Gazālī, Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003, h. XXVI. 56 4. Kekurangan kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn Stigma bahwa Al-Gazālī sangat menguasai berbagai dimensi khazanah keilmuan, ternyata tidak sepenuhnya diakui Al-Gazālī sebagai tokoh fenomenal dalam khazanah peradaban Islam, tidak luput dari kritikan. Misalnya Abū Bakar Al-Thurthūsi menganggap bahwa keilmuan Al-Gazālī tidaklah ensiklopedis, dia bahkan mengatakan: “Abū Ḥāmid Al-Gazālī telah memenuhi bukunya Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn dengan hadits-hadits dhaʽîf.” Ibn Al-Jauzi juga menyatakan yang senada, yaitu: “Abū Ḥāmid Al-Gazālī menulis Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn dalam perspektif sufistik dan melupakan sama sekali ketentuan-ketentuan yurisprudensi Islam”. Sementara ad-Dzahabî juga berpendapat:”Al-Gazālī tidak memiliki ilmu ātsār, juga tidak memiliki Sunnah Nabawiyyah yang sah. 39 39 Ahmad Nawawi, Perspektif Teologi & Filsafat Al-Ghazâlî & Hume…, h. 58-59.