40 BAB III KAJIAN TENTANG AL-GAZĀLĪ DAN IḤYA` ʻULŪM AL

advertisement
BAB III
KAJIAN TENTANG AL-GAZĀLĪ DAN IḤYA’ ʻULŪM AL-DĪN
A. Biografi Imām Al-Gazālī
1. Latar Belakang Sosio-Historis Imām Al-Gazālī
Nama lengkap Imām Al-Gazālī1 adalah Abū Ḥāmid Muḥammad Ibn
Muḥammad Ibn Muḥammad Ibn al-Thūsi al-Syafiʽī.2 Al-Gazālī dilahirkan
pada tahun 450 H/1058 M. di Thūs,3 salah satu kota di Khurāsān yang
diwarnai oleh perbedaan faham keagamaan, karena kota ini, selain di
1
Nama Al-Gazālī kadang-kadang diucapkan dengan al-Ghazzâlî (dua huruf z:
dengan tasydîd). kata ini berasal dari ghazzal, artinya tukang pintal benang, karena
pekerjaan ayahnya adalah pembuat tenun wol dari suku “Ghazzal”. Sedangkan Al-Gazālī,
(dengan satu huruf z: tanpa tasydīd), itu disandarkan kepada desa tempat tinggalnya
“Ghazaleh”, kota kecil di Thūs wilayah Khurāsān. Tidak banyak informasi yang dapat
diketahui tentang keluarga di mana Al-Gazālī dilahirkan. Namun, penting untuk
diperhatikan bahwa di dalam keluarga Al-Gazālī terdapat nama Ḥāmid Al-Gazālī
(w.435/1025) yang lain, yaitu pamannya sendiri, yang menurut riwayat adalah seorang
teolog dan ahli hukum (jurisconsult) yang termasyhur. Meski keluarga Al-Gazālī tergolong
“agak miskin” tetapi yang menarik ialah, keluarga ini ternyata cukup “akrab” dengan arus
perkembangan intelektual dan keagamaan yang ada pada saat itu. Lihat Ahmad Nawawi,
Perspektif Teologi & Filsafat Al-Ghazâlî & Hume, Kritik Dekonstruktif Nalar Kausalitas
dalam Teologi dan Filsafat, Malang: Madani, 2011, h.60-63.
2
Nama aslinya hanya Muḥammad. Nama Abū Ḥāmid diberikan kemudian setelah
ia mempunyai putra bernama Ḥāmid yang meninggal ketika masih bayi. Lihat A.Khudri
Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 80.
3
Thūs ( kota kedua terbesar di Khurāsān sesudah Nīsyāpūr) adalah gabungan dari
dua kota (Thabarun dan Tuqan). Pada abad ketiga Hijriah, Tuqan lebih besar daripada
Thabarun, tetapi pada abad-abad sesudahnya, Thabarun menjadi lebih besar. Imām ʽAli alRidhâ (w.813 M) dan khalifah Hârûn al-Rasyîd (w.809 M.) dimakamkan di kota ini. Lihat
Muḥammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Gazālī, Jakarta: Rajawali, 1988, h. 29.
Thūs tempatnya terkenal karena kesuburan tanah dan mineral yang dikandungnya. Negara
ini berada dalam wilayah kekuasaan Islam sejak era pemerintahan khalifah Utsman bin
Affan, terletak di antara sungai Amu Darya Utara dan Timur serta wilayah pegunungan
Hindukus Selatan di daerah Persia bagian Barat (saat ini Iran). Daerah ini lazim disebut
dengan negeri Seberang Sungai (mā wara’u al-nahar), yang lokasinya terbentang sampai
ke Sijistan. Thūs juga melahirkan orang-orang penting dalam sejarah Islam. Di antaranya
Abū ‘Ali al-Hasan Ibn Isḥāq, yang dikenal dengan Nizām al-Mulk (w.495/1092), juga
penyair Firdausî (w.416/1025) dan ʽUmar Khayyam (w.517/1125). Lihat Ahmad Nawawi,
Perspektif Teologi & Filsafat Al-Ghazâlî & Hume…, h.60-61. Pada tahun 1220 Masehi,
kota ini dihancurkan Mongol, tetapi kemudian di tempat kehancuran Thūs, muncul
Masyhad, kota besar sejak abad kedelapan Hijriah. Di Masyhad selain makam ʽAli arRidhâ dan Hârûn al-Rasyîd, ditemukan makam al- Firdausî (w.1025 M.) dan Al-Gazālī
(w.1111 M.). Lihat Muḥammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Gazālī…, h. 29.
40
41
dominasi oleh masyarakat Sunni dan sebagian kecil kelompok Syiah, juga
terdapat penduduk yang beragama Kristen.4 Lingkungan pertama yang turut
membentuk kesadaran Al-Gazālī adalah lingkungan keluarganya sendiri.
Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana, tetapi mempunyai
semangat keagamaan yang tinggi.5
Menurut Ahmad Nawawi, untuk lebih mudah memahami potret
kompleksitas kehidupan Al-Gazālī , maka secara kronologis, dinamika fase
kehidupannya dapat diklasifikasikan ke dalam 3 periode besar yakni:
a. Masa Belajar (Period of Learning) 450-484 H/1058-1091 M
Al-Gazālī mulai menjalani pendidikan dasarnya secara formal6 di
bawah bimbingan Ahmad Muḥammad al-Rādzkānī al-Thūsi, seorang
Faqīh. Sebelum beranjak 15 tahun (sekitar 465 H/1073 M), Al-Gazālī
seterusnya pergi ke Jurjān di Mazardāran untuk meneruskan studinya
4
Ahmad Nawawi, Perspektif Teologi & Filsafat Al-Ghazâlî & Hume…, h. 61.
5
Disebutkan bahwa ayahnya sangat menyenangi ulama dan sangat rajin
menghadiri majelis-majelis pengajian, bahkan sering memberikan sesuatu dari hasil jerih
payahnya kepada para ʽUlama sebagai ungkapan rasa simpatik. Ia sangat mengharapkan
anaknya menjadi ʽUlama yang selalu memberi nasihat kepada ummat (al-wuʽazh). Pola
kehidupan dan semangat keagamaan ayahnya menggambarkan suasana kehidupan
keluarganya. Lihat Muḥammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Gazālī…, h. 30.
6
Interaksi Al-Gazālī dengan pendidikan pertama kali dimulai di Thūs, kota
kelahirannya sendiri. Namun tidak ada keterangan yang jelas mengenai usia berapa AlGazālī memulai pendidikannya. Lihat Ahmad Nawawi, Perspektif Teologi & Filsafat AlGhazâlî & Hume…, h. 62-63. Menurut Muḥammad Yasir Nasution, ayah Al-Gazālī
meninggal, ketika Al-Gazālī dan saudaranya Ahmad masih kecil. Sebelum meninggal
dunia, Al-Gazālī dan adiknya Ahmad, kemudian dititipkan kepada salah seorang teman
ayahnya, seorang sufi yang hidup sangat sederhana. Suasana rumah tangga sufi ini menjadi
lingkungan kedua yang turut membentuk kesadaran Al-Gazālī . Hal ini terjadi karena
sesudah ayahnya meninggal tersebut. Di sini mereka belajar Al-Qur’an dan Hadits,
mendengarkan kisah-kisah ahli hikmah, bahkan juga menghafal puisi cinta mistis. Ketika
sufi yang mengasuh mereka tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, ia
menganjurkan agar mereka dimasukkan ke sekolah untuk memperoleh ilmu pengetahuan,
serta santunan kehidupan sebagaimana lazimnya ketika itu. Lihat Muḥammad Yasir
Nasution, Manusia Menurut Al-Gazālī…, h. 30.
42
dalam bidang fiqh pada Abū Nashr al-Ismāʻīlī. Namun, setelah 2 tahun,
Al-Gazālī kembali lagi ke Thūs. Pada masa ini ia berguru di bawah
asuhan seorang Syaikh sufi bernama Yūsuf al-Nassaj.
Menjelang ulang tahunnya yang ke 20 (470 H/1077 M), Al-Gazālī
berangkat ke Nīsyāpūr untuk melanjutkan pendidikannya di Akademi
Nizhāmiyyah. Di tempat ini Al-Gazālī kemudian belajar fiqh, kalām,
nazar, mantiq, dan falsafah, di bawah arahan intelektual besar Abū
Maʻālī ʽAbd al-Malik al-Juwainī yang bergelar Imām al-Ḥaramain.7 AlJuwainī-lah yang berjasa memperkenalkan Al-Gazālī
dengan kajian
teolog (kalām), logika (mantiq) dan filsafat (falsafah). Saat bersama
dengan Al-Juwainī tersebut, Al-Gazālī di samping belajar juga telah
diangkat menjadi asistennya. Bahkan dengan kecerdasan Al-Gazālī ini
yang membuat ia sangat popular di antara para mahasiswa yang lainnya. 8
Bidang studi lain yang merampas pikiran Al-Gazālī
adalah
sufisme. Ia mempelajari teori dan praktik ajarannya di bawah bimbingan
Abū ʽAli al-Farmadzī al-Thūsī.9 Di sini Al-Gazālī meskipun telah ambil
bagian dalam setiap jalan (tharīqah) dengan mengamalkan dzikr serta
7
Disebut Imām al-Ḥaramain karena ia pernah mengajar di dua kota suci, yaitu
Makkah dan Madinah. Lihat Ahmad Nawawi, Perspektif Teologi & Filsafat Al-Ghazâlî
& Hume…, h. 64.
8
Ibid., h. 65.
9
Al-Farmadzī ternyata adalah bekas murid paman Al-Gazālī sendiri. Ia juga
dikabarkan pernah berguru kepada Imām Al-Qusyairī (w.465/1072), seorang sosok sufi
besar, yang menulis “Al-Risālah al-Qusyairiyyah” kitab sufistik yang terkenal. Lihat
Ibid.
43
melakoni kehidupan spiritual sufistik, namun ia tidak mendapatkan apa
yang dicarinya. 10
b. Masa Popularitas (Period of Briliant Career) 484-488 H/1091-1095 M
Periode ini cukup pendek, yaitu kurang lebih sekitar 4 tahun (484488), namun masa ini memiliki signifikansi yang sangat penting dalam
arus kehidupan Al-Gazālī . Di tengah kesuksesan Al-Gazālī sebagai
mahasiswa di Nīsyāpūr pada tahun 477 H/1084 M Al-Farmadzī
meninggal dunia, yang setahun kemudian disusul oleh Imām al-Ḥaramain
al-Juwainī (w. 478 H/1085 M). kematian dua orang guru kharismatik
tersebut menjadi moment penting dan fase awal periode karier akademis
Al-Gazālī,
karena
peristiwa
ini
kemudian
menjadi
titik
independensi otoritasnya sebagai seorang sarjana. Al-Gazālī
tolak
saat itu
berusia 28 tahun, tampil begitu energik dan ambisius.11
Al-Gazālī kemudian pergi ke kamp Nizām al-Mulk (wazīr Dinasti
Saljuq), di bagian Timur Nīsyāpūr. Di tempat ini ia aktif terlibat dalam
interaksi ilmiyah bersama para ulama. Pada diskusi-diskusi tersebut, AlGazālī
berhasil menunjukkan kapasitas dirinya sebagai cendikiawan
“mumpuni”. Kenyataan tersebut akhirnya menarik perhatian perdana
menteri Nizām al-Mulk, untuk seterusnya memposisikan Al-Gazālī
menjadi guru besar teologi pada Akademi Nizhāmiyyah di Baghdad
(tahun 484 H/1091 M). Pengangkatan ini terjadi ketika Al-Gazālī
berumur 34 tahun. Ia sampai di Baghdad pada bulan Jumadil Awal
10
Ibid.
11
Ibid., h. 66.
44
484/Juni-Juli
1091.
Sebagai
guru
besar
Al-Gazālī
kemudian
menggantikan Abū ‘Abd Allāh at-Thabarī dan Abū Muḥammad al-Fāmī
al-Syirāzī (guru besar Nizhāmiyyah sebelumnya).12
Kehadiran Al-Gazālī di Baghdad menjadi daya tarik tersendiri
bagi kemajuan Akademi Nizhāmiyyah. Pengajarannya yang cemerlang
kritis, dan tajam begitu menggairahkan animo masyarakat luas. Hal ini
menjadikan Al-Gazālī sangat disegani bahkan dimuliakan oleh para
pengikutnya, termasuk kalangan bangsawan dan pejabat negara. 13
Al-Gazālī berhasil meniti karier yang cemerlang, menjadi guru
besar, dalam masa kurang lebih 4 tahun (484-488 H). Lewat aktivitas
akademisnya, ia kemudian menempati posisi yang sangat strategis.
Sebagai maskot cendikiawan par excellence, Al-Gazālī saat di Baghdad
ini tidak hanya atraktif dalam mengajar an sich (dengan kedalaman serta
keluasan khazanah pengetahuannya), tetapi ia juga sangat produktif
dalam berkarya. Bahkan karya tulis kontroversialnya “Taḥāfut alFalāsifah” (kerancuan para filosof) muncul pada periode ini.14
c. Masa Pensiun (Period of Retirement) 488-505 H/1095-1111 M
Di puncak reputasinya sebagai “Hujjat al-Islām,” Al-Gazālī
mengalami krisis spiritual.15 Selain krisis spiritual, ia juga pernah
12
Ibid., h. 67.
13
Ibid., h. 68.
14
Ibid., h. 67-68.
15
Dalam autobiografinya ”Al-Munqidz min al-Dhalāl” (Bebas dari
kesesatan) ia menceritakan:” pada bulan Rajab 488 H/Juli 1095 M (sekitar 6 bulan
setelah diselesaikannya buku “Taḥāfut al-Falāsifah” [kerancuan para filosof]), ia
45
mengalami krisis intelektual. Menurut Al-Gazālī sendiri, sebenarnya
pada waktu tinggal di Nīsyāpūr, ia telah mengalami satu periode krisis
yang pertama selama kurang lebih 2 bulan. Di waktu krisis Al-Gazālī
meragukan segalanya. Ia tidak bisa mempercayai indera, bahkan akal pun
ia tolak. Al-Gazālī berada pada sikap skeptis yang mendalam sehingga ia
mempertanyakan hal-hal yang dharūriyāt (kebenaran dasar yang sudah
jelas).16
Dalam kondisi krisis seperti ini, Al-Gazālī akhirnya memutuskan
untuk mengundurkan diri dari jabatan prestige-nya.17 Keputusan AlGazālī meletakkan gelar guru besar, meninggalkan karier dan kesuksesan
hidup, sangat mengejutkan serta membingungkan publik pada masanya. 18
Al-Gazālī memulai kehidupan sufistik di Masjid Umayyah
Damaskus, setelah ia meninggalkan Baghdad (Dzulqa’idah 488
merasakan krisis diri yang kedua karena studi sufismenya. Dengan mengklaim bahwa ia
telah menguasai doktrin dan ajaran kaum sufi seperti Al-Muhâsibî (w.243 H/837 M),
Al-Junaid (w.298 H/854 M), juga Al-Busthâmî (w.262 H/875 M), ia menyadari bahwa
selama ini apa yang telah dicapai dan dilakukan, bukanlah benar-benar “ikhlas” karena
Tuhan. Ilmu-ilmu yang ia tekuni tidaklah berharga secara religius. Hal ini kemudian
diperburuk dengan kesehatan fisiknya. Ia kehilangan kemampuan berbicara dan sistem
lambungnya tidak dapat mencerna. Sementara para dokter yang merawatnya terpaksa
menyerah. Terhadap penyakitnya tersebut, menurut Al-Gazālī, dokter berkata: “ini
adalah sebuah penyakit yang muncul dari problem kejiwaan. Dan untuk
menyembuhkannya, tidak ada cara lain, kecuali menyibak rahasia-rahasia dari
problem tersebut.” Lihat Ibid., h. 68-69.
16
Ibid., h. 68-69.
17
Pada konteks ini, terlepas dari pengakuan Al-Gazālī sendiri, MacDonald
secara kritis mencurigai adanya faktor-faktor yang bersifat politis dalam pengunduran
tersebut. Namun, Osman Bakar berpijak pada pendapat McCarthy menegaskan bahwa,
cerita Al-Gazālī mengenai motifnyalah yang seharusnya kita terima, yaitu perubahan
orientasi hidup ke dunia sufisme. Ia memilih jalur sufistik sebagai kehidupan baru
(ultimate goal). Al-Gazālī menyadari bahwa satu-satunya harapan untuk merengkuh
kepastian dan kenikmatan hidup selanjutnya terletak di jalan kaum sufi. Lihat Ibid., h.
71.
18
Ibid., h. 69.
46
H/November 1095 M). Sekitar 2 tahun di Damaskus, ia pindah ke
Yerusalem untuk meneruskan kontemplasinya dengan tinggal di
zāwiyah19 yang berlokasi sekitar Dome of Rock (Kubah Batu). Dari sini,
pada tahun yang sama (490 H/1097 M) sesudah berziarah di makam Nabi
Ibrâhîm (Hebron), dia kemudian menuju Makkah dan Madinah untuk
melakukan ibadah haji.20
Setelah mengasingkan diri kurang lebih hampir 11 tahun, AlGazālī akhirnya ke Nīsyāpūr (sekitar 499 H/1106 M) untuk mengajar
kembali ke Akademi Nizhāmiyyah Nīsyāpūr. Sekitar 3 tahun terlibat
dengan aktivitas back to campus-nya (502 H/1109 M), Al-Gazālī
meninggalkan kegiatan di Nīsyāpūr untuk kembali ke Thūs kota
kelahirannya. Di sini, ia menghabiskan sisa hidup dengan aktivitas
sufistiknya sampai kemudian wafat dengan usia 53 tahun pada 14
Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111 M. 21
Selama masa pengembaraannya ini, Al-Gazālī mendapatkan
“kekayaan petualangan spiritual” yang sangat luar biasa. Sepanjang
petualangan ini ia memperoleh berbagai pengetahuan yang tidak mudah
dideskripsikan. Salah satu produk kreatif dari pencerahan spiritualitas
yang terjadi pada periode ini, terekspresi dalam Magnum opus-nya “Iḥya’
ʻUlūm al-Dīn” (menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama). Pada tataran
ini, Al-Gazālī sukses menegakkan kembali supremasi kehidupan spiritual
19
Tempat kaum sufi melakukan khalwah.
20
Ibid., h. 71.
21
Ibid., h. 72.
47
(dimensi esoterik) dalam kerangka syarīʻah (deminsi eksoterik). Ia
bahkan berhasil menjembatani ketegangan “akut” yang terjadi antara
pendekatan keberagaman formalisme fiqh dengan spiritualisme tasawuf
dalam dinamika normativitas dan historitas Islam.22
2. Karya-karya Al-Gazālī
Al-Gazālī adalah figur cendikiawan yang memiliki dinamika
intelektualitas sangat kompleks.23 Di tunjang ilmu yang luas, logika yang
kuat dan bahasa yang lancar, Al-Gazālī produktif dalam menulis. Karyakaryanya meliputi berbagai disiplin keilmuan. Menurut Ahmad Nawawi,
Dalam pengantar “Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn,”Badhawi Thobanah memaparkan
sebanyak 47 karya-karya Al-Gazālī . Di antaranya yaitu:24
a. Tentang Teologi dan Filsafat:
-
Maqāshid al-Falāsifah (Tujuan Para Filosof)
-
Taḥāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filosof)
-
Al-Iqtishād fi al-Iʽitiqād (Moderasi dalam Berakidah)
-
Iljâm al-Awwām ʽan ʽIlm Kalām (Membentengi Orang Awam dari
Ilmu Kalam)
b. Tentang Logika:
-
Al-Qiṣtās al-Mustaqīm (Neraca yang Lurus)
22
Ibid., h. 73.
23
Apa yang menarik perhatian dalam sejarah hidup Al-Gazālī adalah curiocity-nya
yang begitu mendalam terhadap pengetahuan dan hakekat kebenaran. Dinamika
pengalaman intelektualitas dan spiritualitasnya, yang berpindah-pindah dari kecenderungan
teologis, ke filsafat, ke ta’limiyyah dan akhirnya ke tasawuf, membentuk karakter tersendiri
dalam corak pemikirannya. Lihat Ibid., h. 73.
24
Ibid., h. 73.
48
-
Maʽyār ʽIlm (Standar pengetahuan)
-
Mihaq al-Nażar fi al-Mantiq (batu-Uji Pemikiran Logis)
-
Mīzān al-ʽAmal (Timbangan Amal)
c. Tentang Fiqh dan Ushul Fiqh:
-
Al-Basīṭ (Pembahasan yang Mendalam)
-
Syifā’ al-Alīf fī al-Qiyās wa al-Ta’wīl (Terapi yang Tepat untuk
Analogi dan Takwil)
d. Tentang Politik:
-
Naṣīḥat al-Mulūk (Nasihat bagi Penguasa)
e. Tentang Al-Qur’an:
-
Jawāhir al-Qur’an (Rahasia-Rahasia Al-Qur’an)
-
Qanūnu al-Ta’wīl (Prinsif-Prinsif Takwil)
f. Tentang Etika dan Tasawuf:
-
Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama)
-
Kīmīyā al-Saʻādah (Kimia Kebahagian)
-
Misykāt al-Anwār (Relung-Relung Cahaya)
g. Tentang Autobiografi:
-
Al-Munqidz min al-Dhalāl (Bebas dari Kesesatan)
Semua karya-karya Al-Gazālī di atas menjadi indikator bahwasanya
Al-Gazālī termasuk orang yang mencurahkan segenap kehidupannya dalam
menggali dan mencari ilmu sehingga menjadi ulama yang mumpuni dalam
berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman. Dan di antara karya-karya Al-Gazālī
49
tersebut yang banyak dijadikan bahan materi pengajian dan sangat familiar
di pondok-pondok pesantren adalah Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn. 25
Meskipun Al-Gazālī banyak menghasilkan karya tulis, sampai saat
ini secara definitif belum disepakati berapa jumlah kitab yang ditulisnya.
Bahkan pada penelitian beberapa sarjana modern yang mengkaji sejumlah
buku Al-Gazālī, mereka meragukan keotentikan sebagian karyanya.26
B. Tinjauan Umum Kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn
1. Latar belakang penyusunannya
Al-Gazālī adalah fenomena menarik, memukau dan menakjubkan
dalam hal mengolah kata. Ia tidak hanya dikenal sebagai seorang teolog dan
mistikus, tetapi ia juga menguasai bidang yurisprudensi (hukum), etika,
logika bahkan kajian filsafat. Ia dinilai sebagai ilmuan Islam yang
ensklopedis dengan menguasai seluruh khazanah-khazanah keilmuan dari
berbagai disiplin yang sangat berbeda. Kemampuannya mengelaborasi serta
mengekspresikan gagasan-gagasan pemikiran pada setiap karya-karyanya,
dinilai sangat orisinil, kritis, bahkan komunikatif. Lewat pengaruh
25
Zurkani Jahja, Teologi Al-Gazālī
Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), 1996, h. 13.
26
(Pendekatan Metodologi), Yogyakarta:
Menyikapi hal ini ‘Abd al-Raḥmān Badawī dalam “Mu’allafāt Al-Gazālī ”
(karya-karya Al-Gazālī ), mencoba lebih jauh memetakan buku-buku yang berkaitan
dengan karya Al-Gazālī. Yaitu: Pertama, kelompok tulisan yang dipastikan sebagai karya
orisinil Al-Gazālī terdiri dari 72 kitab; Kedua, kelompok tulisan yang diragukan sebagai
karya otentik Al-Gazālī sekitar 22 kitab; Ketiga, kelompok tulisan yang dapat dipastikan
bukanlah karya Al-Gazālī sekitar 31 kitab. Dalam hal ini perlu diungkapkan, bahwa ketika
mencermati tulisan-tulisan Al-Gazālī, sering terdapat ketidakkonsistenan antar karya
berbeda. Untuk menjawab kasus ini, menurut Ahmad Nawawi yang mengutip perkataan
Sulaiman Dunya pada analisisnya menyatakan bahwa pemikiran Al-Gazālī tersebut
memiliki gradasi sasaran dan tingkat presentasi yang berbeda. Ada karya-karya yang
ditujukan untuk pembaca awam (jumhûr) dan ada pula yang diarahkan untuk kalangan
tertentu yang berkompeten (al-Maḍnūn bīhā ʽalā gayr ahlihā). Lihat Ahmad Nawawi,
Perspektif Teologi & Filsafat Al-Ghazâlî & Hume…, h. 75
50
pemikirannya Al-Gazālī tidak hanya mendapatkan gelar “Hujjat al-Islām”
(sang pembela agama), tetapi juga sebagai “Zain al-Dīn” (sang ornament
agama), dan“al-Mujaddid”(sang pembaharu).27
Tidak diragukan lagi bahwa Al-Gazālī adalah seorang penulis
produktif. Kegiatannya dalam bidang tulis menulis tidak berhenti sampai ia
meninggal dunia. Kehidupan menyendiri yang dilaluinya tidak membuatnya
berhenti menulis. Bahkan pada masa inilah ia menyusun karya yang terkenal
Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn.
Kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn, karya Al-Gazālī adalah salah satu karya
besar dalam perpustakaan Islam yang menjadi sebuah buku leteratur
sebagian besar Umat Islam di Indonesia, menjadi materi pelajaran seluruh
pondok pesantren tradisional di Indonesia. Hingga menjadi sumber rujukan
akademisi dalam resonansi filsafat dengan segala jenisnya. Imām Al-Gazālī
memberi judul karangannya tersebut dengan “Iḥya’ ‘Ulum al-Din”
(menghidupkan kembali ilmu agama), karena pada waktu itu ilmu-ilmu
Islam sudah hampir teledor oleh ilmu-ilmu lain, terutama oleh filsafat
Yunani.28
Pada hakekatnya kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn adalah hasil pengalaman,
pengembaraan, penjelajahan, dan pendalaman Al-Gazālī di dalam berbagai
ilmu. Kitab ini adalah hasil karya positif setelah ia ragu (syak/skeptis)
terhadap segala persoalan kepercayaan, dan pada akhirnya keraguan itu
27
Ibid., h. 71.
28
Hamka,“Sambutan Terjemahan Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn,” dalam Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn
atau Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama, Jilid I, Cetakan Keempat, Singapore: Pustaka
Nasional Pte Ltd, 1998, h. 13.
51
sendiri sedikit demi sedikit hilang, berganti dengan keyakinan. Hal itulah
kemudian disajikan oleh Al-Gazālī kepada kaum muslimin dengan kitabnya
yang terkenal di segala penjuru dunia. 29
Salah satu pertimbangan Al-Gazālī menulis Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn
adalah karena melihat praktek pelaksanaan ibadah umat sangat formalistik,
semata-mata menggunakan pendekatan hukum. Sehingga ibadah mahdhah
lebih ditekankan pada aspek formalitasnya. Dalam hal ini tentunya tidak
bisa dilepaskan dari pengaruh pemahaman fiqih yang formalistic tersebut.
2. Sistematika Pembahasan dan Isi Kitab
Kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn dibagi menjadi empat bagian menerangkan
berbagai macam disiplin ilmu, di antaranya adalah ilmu-ilmu dzhahiriyah
dan bathiniyah. Adapun bagian-bagian tersebut yaitu: Pertama, mengenai
ibadah. Kedua, seputar urusan dunia atau pekerjaan sehari-hari. Ketiga,
tentang kejahatan yang merusak atau perbuatan yang membinasakan.
Keempat, mengenai kebajikan yang membangun atau perbuatan yang
menyelamatkan.30
Bagian pertama berisikan seputar ibadah yang di dalamnya terdapat
sepuluh pembahasan. Pertama, pembahasan mengenai ilmu. Kedua, rukun
iman. Ketiga, mengenai rahasia kebersihan. Keempat, rahasia shalat.
Kelima, rahasia zakat. Keenam, seputar rahasia puasa. Ketujuh, rahasia haji.
Kedelapan, adab membaca Al-Qur'an. Kesembilan, adab berdzikir dan
29
Mansur Thoha Abdullah, Kritik Metodologi Hadis Tinjauan Atas Pemikiran AlGazālī, Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003, h. 47.
30
Al-Gazālī , Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn, jilid 1, Terj. Oleh Ibnu Ibrahim Ba’adillah,
Jakarta: Republika Penerbit, 2011, h.xxii.
52
berdoa. Kesepuluh, berisi pembahasan seputar pelaksanaan kewajiban
sehari-hari berdasarkan waktu yang telah ditetapkan.31
Bagian kedua membicarakan seputar urusan duniawi yang terdiri
dari sepuluh pembahasan. Pertama, pembahasan mengenai adab makan dan
minum. Kedua, adab pernikahan. Ketiga, adab mencari penghidupan.
Keempat, apa saja yang diperbolehkan dan yang dilarang. Kelima, adab
berteman dan bersaudara. Keenam, adab mengasingkan diri. Ketujuh, adab
mengadakan perjalanan. Kedelapan, mendengarkan dan merasakan.
Kesembilan, adab menyuruh yang maʻrūf dan mencegah yang munkar
(amar maʻrūf nahī munkar). Kesepuluh, adab menjalani kehidupan seperti
yang telah dicontohkan oleh kepribadian dan tindakan Rasulullah SAW.32
Bagian ketiga menjabarkan seputar kejahatan yang merusak. Bagian
ini juga terdiri dari sepuluh pembahasan. Pertama, pembahasan mengenai
keajaiban jiwa, kedua, disiplin jiwa. Ketiga, bahaya perut dan nafsu seksual.
Keempat, bahaya lisan. Kelima, bahaya marah, benci dan sikap iri. Keenam,
pembahasan seputar kejahatan dunia. Ketujuh, keburukan harta dan sikap
bakhil. Kedelapan, keburukan pamer (riyâ’) dan sikap sombong.
Kesembilan, keburukan memuji diri dan membanggakan diri sendiri (ʽujub).
Kesepuluh, pembahasan seputar keburukan sikap tertipu dengan kesenangan
duniawi.33
31
Ibid.
32
Ibid.
33
Ibid.
53
Pada bagian keempat menguraikan seputar kebajikan yang
membangun yang juga terdiri dari sepuluh pembahasan. Pertama,
pembahasan mengenai taubat, kedua, sabar dan sikap dermawan. Ketiga,
sikap takut dan harap (rajâ’). Keempat, kemiskinan dan sikap zuhud.
Kelima, tauhid (mengesakan Allah SWT) dan sikap pasrah. Keenam,
pembahasan seputar cinta dan kepuasan jiwa. Ketujuh, niat, kebenaran dan
ketulusan (sikap ikhlas). Kedelapan, mawas diri dan sikap intropeksi.
Kesembilan, berpikir dan bertafakkur. Kesepuluh, pembahasan seputar
kematian dan merenungkan kematian. 34
3. Kelebihan Kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn
Salah satu kelebihan dari kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn adalah
kompleksifitas berbagai macam disiplin ilmu yang pada kenyataannya
sering dipakai di dalam interaksi sesama manusia, di antaranya adalah ilmuilmu yang berkenaan dengan mu'amalah yang mengatur hukum dan tata cara
kehidupan manusia dalam melaksanakan aktivitas sosial ekonominya.35
Adapun ilmu Mu'amalah itu sendiri menurut Al-Gazālī dalam kitab
ini terbagi menjadi dua macam, yaitu muʽamalah zhâhiriyah dan muʽamalah
bâthiniyah, yang pada akhirnya masing-masing di antara muʽamalah ini
terbagi menjadi beberapa bagian, yang pertama adalah muʽamalah
zhâhiriyah terbagi menjadi dua macam, yang pertama adalah ibadah dan
34
Ibid.
35
Muḥammad Khairan, Kitab Iḥya’ Ulumuddin Sebuah Mahakarya Sarjana
Muslim
Yang
Sarat
Akan
Kompleksitas
Ilmu,
http://
khoirunnada.
blogspot.com/2011/01/kitab-ihya-ulumuddin-sebuah-mahakarya.html. diakses pada tanggal
15 September 2012.
54
yang kedua adab (tata karma). Sedangkan muʽamalah bâthiniyah itu sendiri
terbagi menjadi dua bagian juga, pertama adalah kewajiban orang mukallaf
untuk menjauhi dan membersihkan diri dari sifat-sifat tercela sedang yang
kedua adalah kewajiban bagi seorang mukmin untuk mengisi dan menghiasi
hatinya dengan sifat-sifat terpuji.36
Menurut Ali Yafie, kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn memiliki keistimewaan
tersendiri. Hal ini dapat ditinjau dari empat segi, yaitu:37
a. Dari segi bahasanya. Kitab ini tidak menggunakan bahasa hukum seperti
umumnya kitab-kitab ilmu fiqh. Tidak menggunakan bahasa kaku seperti
umumnya kita-kitab ilmu pengetahuan; dan juga tidak menggunakan
bahasa kode (ramziyah), seperti umumnya kitab-kitab tasawuf. Kitab
Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn
menggunakan bahasa popular yang mirip atau
cendrung kepada bahasa sastra, sehingga menarik untuk dibaca dan tidak
sulit untuk dipahami bagi mereka yang sudah mempunyai pendidikan
menengah.
b. Dari segi pendekatannya. Dengan bijaksana kitab ini mendekati masalah
secara rasional, dan tetap bertumpu pada unsur-unsur tradisional yang
telah mapan dalam ilmu-ilmu agama (religious sciences).
c. Dari segi sifatnya. Kitab ini menampilkan satu keberanian moral
(syajaʻah adabiyah) yang tinggi, dengan melakukan koreksi total si
semua bidang dan sudut dengan sorotan-sorotan yang tajam.
36
Ibid.
37
Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial; dari Soal Lingkungan Hidup hingga
Ukhwah, Cetakan Kedua, Bandung: Mizan, 1994, h. 124-125.
55
d. Dari segi materi dan berbagai obyek bahasannya. Materi dan berbagai
obyek bahasannya cukup menyeluruh dan mampu mencakup seluruh
perkembangan intelektual pada zamannya. Kesemua itu kemudian
dirangkai untuk memperkuat dan memperindah gagasan dan pendapat
yang
dikemukakannya.
Keselururuhan
sistematikanya
mantap.
Sasarannya dapat dicapai dengan baik melalui penyajian satu potret yang
cukup jelas tentang perkembangan kehidupan keagamaan dalam seluruh
lapisan masyarakat pada zamannya. Lalu ia menyajikan satu konsep
perbaikan yang menyeluruh, dalam suatu pola penghayatan yang utuh, di
bidang pemahaman keagamaan sebagaimana mestinya.
Ulama yang senang mengatakan, bahwa senadainya kitab-kitab
agama di dunia itu habis, dan yang tersisa hanya Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn, maka
cukuplah kitab itu sebagai pengganti seluruh kitab yang hilang tadi. Ketika
kitab ini masuk masyarakat Barat (mugharabah) seorang cendikiawan dari
mereka menyanggah dan menulis kitab sanggahan dengan judul, al-Imla fi
al-Radd ʻala al-Iḥya’. Tetapi setelah dipelajari ulang, dan ia mengakui
keikhlasan hati Al-Gazālī, maka ia meralat semua sanggahannya tersebut.
Dan masih banyak lagi pujian yang dialamatkan kepada kita Iḥya’ ʻUlūm alDīn ini.38
38
Chozin Nasuha, Kata Pengantar: Hadis Nabi dalam Kitab Al-Gazālī, dalam
Mansur Thoha Abdullah, Kritik Metodologi Hadis Tinjauan Atas Pemikiran Al-Gazālī,
Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003, h. XXVI.
56
4. Kekurangan kitab Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn
Stigma bahwa Al-Gazālī sangat menguasai berbagai dimensi
khazanah keilmuan, ternyata tidak sepenuhnya diakui Al-Gazālī sebagai
tokoh fenomenal dalam khazanah peradaban Islam, tidak luput dari kritikan.
Misalnya Abū Bakar Al-Thurthūsi menganggap bahwa keilmuan Al-Gazālī
tidaklah ensiklopedis, dia bahkan mengatakan: “Abū Ḥāmid Al-Gazālī telah
memenuhi bukunya Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn dengan hadits-hadits dhaʽîf.” Ibn
Al-Jauzi juga menyatakan yang senada, yaitu: “Abū Ḥāmid Al-Gazālī
menulis Iḥya’ ʻUlūm al-Dīn dalam perspektif sufistik dan melupakan sama
sekali ketentuan-ketentuan yurisprudensi Islam”. Sementara ad-Dzahabî
juga berpendapat:”Al-Gazālī tidak memiliki ilmu ātsār, juga tidak memiliki
Sunnah Nabawiyyah yang sah. 39
39
Ahmad Nawawi, Perspektif Teologi & Filsafat Al-Ghazâlî & Hume…, h. 58-59.
Download