AMELIORASI TANAH GAMBUT MELALUI KEGIATAN AGROFORESTRY (Peat Soil Amelioration by Agroforestry Development) Oleh/by: Enny Widyati1, Ragil S. B. Irianto2 dan/and Made Hesti L. Tata3 1. 2. 3. Peneliti Biologi Tanah dan Kesuburan Tanah pada Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Jl. Gunung Batu no. 5 Bogor, telp. O251 8633234. email korespondensi: [email protected] Peneliti Mikrobiologi Tanah pada Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Jl. Gunung Batu no. 5 Bogor, telp. O251 8633234. Peneliti Silvikultur pada Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Jl. Gunung Batu no. 5 Bogor, telp. O251 8633234. ABSTRACT Agroforestry system can be adopted in peat swamp area to enhance successfulness of land rehabilitation and to improve national food security. Soil amelioration was performed in order to optimize crops’ productivity and to increase forestry commodities. However, the quantitative data of soil increment in agroforestry system that carried out in peat swamp area is not available. The purpose of the study was to quantify soil improvement and to see the relation between soil improvements with the growth of forest tree species in agroforestry system on peat swamp area. Soil samples were collected in purposive random sampling. The properties of chemist and biological were then analyzed. The diameter and height growth of the trees were measured. The result showed that soil amendment increased C organic content in peat swamp. This improved pH, base saturation (BS), cation exchange capacity (CEC) and raised the absorption efficiency of chemical fertilize, such as nitrogen (N), phosphorus (P), and potassium (K). Soil improvements also enhance population of beneficial soil microbes. As a result, the growth of jelutung (Dyera spp) at three years after planting improved. Cultivation of different crops resulted significant impact on soil quality and population of soil microbes. On the other hand, it did not affect the jelutung growth significantly. Key words: agroforestry, amelioration, peat land ABSTRAK Agroforestri dapat dikembangkan pada lahan gambut untuk meningkatkan keberhasilan rehabilitasi dan ketahanan pangan masyarakat. Ameliorasi dapat dilakukan untuk mengoptimasi produktivitas tanaman semusim dan meningkatkan pertumbuhan tanaman kehutanan. Namun demikian, belum ada data kuantitatif mengenai perbaikan tanah pada kegiatan agroforestry di lahan gambut yang dilakukan oleh masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data kuantitatif dan mengetahui hubungan perbaikan kualitas tanah dengan pertumbuhan tanaman kehutanan pada kegiatan agroforestry. Sampel tanah diambil menurut purposive random sampling kemudian dianalisis untuk mendapatkan data sifat kimia dan biologi tanah. Untuk mengetahui pertumbuhan tanaman kehutanan diukur tinggi dan diameter tanaman. Untuk mengetahui hubungan antar variabel dilakukan analisis korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ameliorasi tanah pada kegiatan agroforestry dapat meningkatkan kandungan C organik tanah sehingga dapat memperbaiki pH, KTK dan KB tanah. Hal ini mengakibatkan meningkatkannya efisiensi penyerapan pupuk N, P dan K. Membaiknya kondisi kesuburan tanah ternyata dapat meningkatkan populasi mikroba menguntungkan dalam tanah. Meningkatnya kualitas kimia (kesuburan) dan biologi tanah (populasi mikroba tanah) ternyata dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman jelutung umur tiga tahun di lapangan. Perbedaan jenis tanaman semusim yang dibudidayakan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perbaikan kualitas tanah dan populasi mikroba tanah tetapi tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman jelutung umur tiga tahun di lapangan. Kata kunci: agroforestry, ameliorasi, lahan gambut PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk sudah barang tentu meningkatkan permintaan terhadap produk pertanian untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu kebutuhan akan perluasan lahan pertanian juga meningkat. Lahan yang sebelumnya dianggap sebagai lahan marjinal, seperti lahan gambut, menjadi salah satu sasaran perluasan lahan pertanian. Walaupun sesungguhnya pengorbanan yang besar terhadap manfaat lahan gambut dalam hal jasa lingkungan tidak sesuai dengan manfaat ekonomi yang didapat dari budidaya pertanian di lahan gambut. Karena penggunaan lahan gambut untuk pertanian memberikan keuntungan ekonomi yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan lahan mineral. Rendahnya produktivitas lahan gambut karena lahan gambut merupakan lahan yang tidak subur. Menurut Agus dan Subiksa (2008) gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik yang merupakan gambut tidak subur. Hal ini sejalan dengan pendapat Handayani (2008), bahwa tanah gambut umumnya bereaksi masam (pH 3,0 4,5), gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0 - 5,1) daripada gambut dalam (pH 3,1 - 3,9). Tanah gambut mengandung unsur hara makro yang sangat rendah. Menurut Handayani (2008), kandungan N total termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N tinggi. Kadar abu merupakan petunjuk yang tepat untuk mengetahui tingkat kesuburan alami gambut (Handayani, 2008). Pada umumnya gambut dangkal (<1 m) yang terdapat di bagian tepi kubah mempunyai kadar abu sekitar 15%, bagian lereng dengan kedalaman 1 - 3 m berkadar sekitar 10%, sedangkan di pusat kubah yang lebih dari 3 m berkadar <10% bahkan <5%. Kandungan unsur hara mikro dalam tanah gambut juga termasuk sangat rendah dan diikat cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Hal ini karena adanya kondisi reduksi yang kuat yang menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk yang tidak dapat diserap oleh tanaman. Defisiensi unsur mikro, khususnya Cu, Bo dan Zn, namun kandungan besi (Fe) cukup tinggi merupakan masalah ketika melakukan budidaya pertanian di lahan gambut. Kandungan Al pada tanah gambut umumnya juga rendah sampai sedang, dan berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk mikro (Agus dan Subiksa, 2008). Disamping terjadi kekahatan unsur hara makro dan defisiensi unsur hara mikro, pada umumnya lahan gambut di daerah tropis (termasuk di Indonesia) mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah beriklim sedang. Hal ini karena gambut tropis terbentuk dari pohon-pohonan (Driessen dan Suhardjo, 1976). Lignin tersebut selanjutnya akan mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat (Agus dan Subiksa, 2008). Asam-asam fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Rachim, 1996). Turunan asam fenolat yang bersifat fitotoksik antara lain adalah asam ferulat, siringat, ρ-hidroksibenzoat, vanilat, ρ-kumarat, sinapat, suksinat, propionat, butirat, dan tartrat. Asam fenolat tersebut dapat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis (menguning) dan pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian tanaman (Rachim, 1996). Sifat tanah gambut yang marjinal tersebut untuk mencapai produktivitas optimal lahan gambut sebagai media tumbuh tanaman memerlukan berbagai input. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan kondisi tanah yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dibudidayakan. Menurut BBP2SLP (2008), pada prinsipnya kesuburan tanah gambut bukan ditentukan oleh apa yang terkandung dalam tanah, tetapi dari apa yang masuk ke dalam tanah. Menurut para pakar ilmu tanah salah satu cara memperbaiki sifat-sifat tanah gambut adalah dengan menambahkan bahan amelioran tanah. Rachim (1996) menjelaskan bahan amelioran adalah bahan-bahan yang diperlukan dalam jumlah banyak untuk memperbaiki sifatsifat kimia tanah. Bahan ini umumnya harus diberikan dahulu sebelum usaha pemupukan dilakukan. Wahyunto (2005) menerangkan amelioran dapat berupa bahan organik atau anorganik. Kegiatan penambahan amelioran tanah disebut ameliorasi tanah. Ameliorasi tanah gambut sepertinya sudah disadari oleh para petani lokal di Kalimantan yang memanfaatkan gulma, rumput, dan sisa panen untuk dikembalikan ke dalam tanah dalam penyiapan lahan. Dengan demikian rehabilitasi lahan gambut diharapkan hasilnya akan lebih optimal ketika melibatkan partisipasi masyarakat melalui kegiatan agroforestry. Pada kegiatan agroforestry yang dilakukan oleh masyarakat, tidak tersedia data mengenai proses perbaikan kualitas tanah secara kuantitatif akibat perlakuan ameliorasi. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data kuantitatif perbaikan kualitas kimia dan biologi tanah dari perlakuan ameliorasi pada kegiatan agroforestry. Penelitian juga bertujuan untuk mengetahui hubungan perbaikan kualitas tanah dengan pertumbuhan tanaman kehutanan. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Pengambilan sampel tanah dilakukan di Desa Berengbengkel, Kecamatan Sebangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Biologi dan Bioteknologi Tanah dan Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan antara bulan Juni sampai bulan Desember 2009. B. Alat dan Bahan Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kantong plastik, alat-alat menggali, alat dokumentasi dan alat tulis. Adapun bahan-bahan yang dipergunakan meliputi tanah gambut, bahan-bahan untuk analisis kimia tanah, media Nutrient agar (untuk analisis total mikroba tanah), media Rose Benghal (untuk analisis total fungi tanah), media Pikouvskaya agar (untuk analisis mikroba pelarut fosfat). C. Metode Untuk mengetahui perlakuan ameliorasi yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan wawancara kepada petani. Untuk mendapatkan data kuantitatif dilakukan pengambilan sampel tanah dari lokasi kegiatan agroforestry dengan menggunakan rancangan purposive random sampling, yaitu jenis tanaman semusim yang dibudidayakan dijadikan sebagai dasar pengelompokan. Pada masing-masing lokasi diambil tiga titik sampling di mana sampel tanah diambil secara komposit dari sub titik dengan jarak radius lima meter. Selanjutnya sampel tanah dianalisis di laboratorium untuk mengetahui perbedaan sifat kimia dan biologi tanah. Untuk pertumbuhan tanaman kehutanan dilakukan pengukuran tinggi dan diameter tanaman. Tinggi tanaman diukur menggunakan galah dari ujung tanaman sampai permukaan tanah. Sedangkan diameter batang diukur menggunakan kaliper pada bagian batang kurang lebih 15 – 20 cm dari permukaan tanah. Data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara statistik, yaitu analisis varian untuk mengetahui apakah perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel yang diukur. Perlakuan yang memberikan pengaruh yang nyata dilakukan analisis lanjutan dengan uji wilayah berganda dari Duncan (Duncan’s Multiple Range test). Hubungan antar variabel dihitung menggunakan analisis korelasi. HASIL PENELITIAN Hasil pengamatan di lapangan didapatkan data bahwa masyarakat Berengbengkel mengembangkan agroforestry jelutung dengan tanaman bawah berbagai macam tanaman semusim. Pemilihan jelutung didasarkan pada sifat tajuknya yang dapat memfasilitasi cahaya matahari optimal untuk agroforestry sepanjang daurnya dan memberi keuntungan ekonomi lebih besar. Mulai umur enam tahun jelutung disadap dan menghasilkan getah 100 – 300 gram per hari. Pada lokasi penelitian dapat dikelompokkan perlakuan ameliorasi berdasarkan jenis tanaman semusim yang dibudidayakan, sebagai berikut: lahan gambut yang ditanami cabai, ditanami bawang daun, ditanami sawi dan ditanami jagung. Sebagai pembanding adalah lokasi penanaman jelutung yang di bawahnya ditumbuhi gulma tumbuhan paku dan yang ditanam pada lokasi yang sama sekali tidak ditemukan gulma (tanpa tanaman). Perlakuan ameliorasi yang diberikan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sutikno Ketua Kelompok Tani Harapan Tani di Desa Berengbengkel, Kalimantan Tengah. Perlakuan yang diberikan meliputi pengelolaan lahan secara manual dipadu dengan drainase untuk mengurangi genangan air menggunakan pompa untuk mengoptimasi ameliorasi yang dilakukan. Ameliorasi dilakukan menggunakan abu (tanpa takaran), pupuk kandang 4 ton/ha yang diberikan pada awal penyiapan lahan. Ameliorasi tersebut dilanjutkan dengan pemupukan dengan N:P:K (2:2:1) 6,5 kuintal/ha. Agar pupuk yang diberikan efektif, pemupukan dilakukan secara bertahap, selama satu rotasi pemupukan dilakukan 4 – 5 kali sesuai dengan jenis komoditas yang diusahakan. Untuk tanaman cabe yang bisa dipanen sampai umur 6 bulan maka pemupukan dilakukan tiap 1 – 1,5 bulan, tanaman bawang daun dan sawi yang dipanen pada umur 1,5 – 2 bulan pemupukan dilakukan setiap 2 minggu, sedangkan untuk tanaman jagung yang dipanen pada umur 2 bulan pemupukan dilakukan tiap 2 minggu. A. Perbaikan Sifat-sifat Kimia Tanah 90.00 5.00 30.00 80.00 an ta na m ha n pa ku 0.00 m bu an pa ku ha n ta na m m bu 10.00 Tu i ng Sa w Ta np a Ba w Perlakuan Ja gu Ca be da un an g an pa ku ta na m ha n m bu Tu i ng Sa w Ja gu Ta np a Ca be Ba w an g da un 0.00 Tu 0.00 20.00 i 0.50 5.00 30.00 ng 1.00 40.00 Sa w 1.50 10.00 Ja gu 2.00 50.00 Ta np a 15.00 da un 2.50 60.00 Ca be 3.00 70.00 an g 20.00 KB (%) pH (H2O) 3.50 KTK (me/100 g gambut) 25.00 4.00 Ba w 4.50 Perlakuan Perlakuan Gambar (Figure)1. Perbaikan pH, kejenuhan basa (KB) dan kapasitas tukar kation (KTK) pada kegiatan budidaya tanaman semusim di bawah tegakan jelutung. (Improvement of pH, base saturation and cation exchange capacity resulted from annual crop cultivation under jelutung stand). Perlakuan ameliorasi melalui kegiatan agroforestry tersebut ternyata dapat memperbaiki pH, kejenuhan basa (KB) dan KTK (kapasitas tukar kation) tanah gambut (Gambar 1). Dari Gambar 1 secara umum budidaya cabai dan sawi memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap kualitas tanah gambut. Walaupun pengaruh terhadap pH hanya sekitar satu tingkat tetapi pH didapat dari hasil penghitungan –log[H+], sehingga peningkatan satu angka adalah penurunan konsentrasi ion H+ 10 kali lipat. Ameliorasi juga dapat memperbaiki kandungan C organik (Gambar 2), sehingga pemupukan NPK yang dilakukan menjadi lebih efisien. Akibatnya ketersediaan N, P dan K dalam tanah gambut meningkat (Gambar 2). Gambar 2 menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan pada penanaman cabai, sawi dan jagung dapat meningkatkan kandungan C organik paling tinggi, pada penanaman bawang daun memberikan peningkatan kandungan C yang hampir sama dengan yang diberikan oleh tumbuhan paku. Pengaruh peningkatan N relatif sangat kecil karena memang unsur ini sangat mudah hilang dari tanah. Peningkatan unsur hara makro yang paling baik adalah ketersediaan unsur P dan K (Gambar 2). 51.50 0.20 0.10 51.00 Perlakuan 40.00 20.00 Ca be 0.00 Ba w an g Sa w i Ja Ta gu np ng a ta Tu na m m bu an ha n pa ku Ca be Ba w an g Sa wi Ja Ta gu np ng a t a na Tu m mb an uh an pa ku Ca Ba be wa ng da un da un 0.00 50.50 60.00 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 Perlakuan Perlakuan Sa w i Ja Ta gu np ng a t a Tu na m m bu an ha np ak u 52.00 80.00 0.60 Ca be 52.50 0.30 0.70 an g 53.00 100.00 Ba w N total (%) C organik (%) 53.50 0.80 120.00 Sa w i Ja Ta gu np ng a ta Tu na m m bu an ha n pa ku 0.40 0.90 160.00 140.00 P tersedia (ppm) 54.00 180.00 da un 0.50 54.50 K (me/100 g gambut) 0.60 55.00 da un 55.50 Perlakuan Perlakuan 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 ng pe r la ku an ha n pa ku m bu Tu Sa w Ja gu pe r la Tu ku m an bu ha n pa ku i ng Ta np a Sa w Ja gu Perlakuan i 0.0 0.0 ab e pe rl ak ua n ha n pa ku m bu Tu i ng Sa w Ja gu Ta np a B aw an g da un ab e 0.0 0.5 C 2.0 1.0 da un 4.0 1.5 an g 6.0 2.0 aw 8.0 2.5 B 6 10.0 3.0 Ta np a 3.0 da un 12.0 3.5 Ca be 3.5 an g 14.0 4.0 Ba w 4.0 MoPP (x104/g BKM gambut) 4.5 16.0 Total Mikroba (x 10 spk/gram BKM gambut) 18.0 C BKM gambut) Total Fungi (x104 spk/gram Gambar (Figure) 2. Perbaikan ketersediaan unsur hara makro (Corg, N, P dan K) pada kegiatan budidaya tanaman semusim di bawah tegakan jelutung. (Macronutrients availability improvement resulted from annual crop cultivation under jelutung stand). Perlakuan Gambar (Figure) 3. Perbaikan populasi mikroba tanah (Soil microbes population improvement). Perbaikan kualitas lahan secara kimia ternyata juga menguntungkan bagi populasi mikroba tanah. Gambar 3 menunjukkan bahwa populasi total mikroba (TM), total fungi (TF) dan mikroba pelarut fosfat (MoPP) juga meningkat secara signifikan dibandingkan pada lahan tanpa tanaman dan lahan yang ditumbuhi tumbuhan paku. Untuk peningkatan populasi mikroba (TM) yang paling baik adalah yang terjadi pada kegiatan penanaman sawi dan Jagung. Untuk populasi fungi yang paling baik adalah perlakuan sawi, jagung dan cabe. Sedangkan untuk populasi MoPP yang paling baik adalah pada lahan yang ditanami cabe dan jagung, diikuti oleh penanaman sawi dan bawang daun (Gambar 3). Meningkatnya kualitas tanah baik secara kimia maupun biologi dari proses ameliorasi tanah gambut yang dilakukan melalui kegiatan agroforestry ternyata dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman jelutung. Gambar 4 menunjukkan bahwa semua perlakuan ameliorasi dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman jelutung yang berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol tetapi tidak menunjukkan perbedaan pengaruh yang nyata antar perlakuan. 400 50 an b. Pa ku ta na m Perlakuan Tu m Ta np a Sa wi Ja gu ng 0 3 1.36 2 1.76 1 0 Sa w i Ja gu ng a ta na m an Tu m b. Pa ku 100 4 Ta np 90 76 5 e 150 da un 7.64 6 da un 200 Ca be 8.46 7 Ca b 250 Diameter batang (cm) 299 Bw 7.94 8 300 Tinggi (cm) 8.28 9 356 344 326 Bw 350 Perlakuan Gambar (Figure) 4. Perbedaan pertumbuhan jelutung akibat perbedaan tanaman bawah yang diusahakan. (Difference of Jelutung growth caused by differentcrops cultivation). Perbedaan pertumbuhan akibat ameliorasi tanah melalui kegiatan agroforestry dapat diilustrasikan seperti Gambar 5. Gambar (Figure) 5. Keragaan jelutung umur 3 tahun pada areal agroforestry (kiri), pada areal tumbuhan paku (kanan). Jelutung growth performance at 3 years after planting at agroforestry system (left), at fern (right) Untuk mengetahui apakah perbaikan sifat tanah dari kegiatan ameliorasi juga berpengaruh terhadap variabel yang lain, maka dilakukan analisis korelasi. Tabel 1 menunjukkan bahwa penambahan amelioran telah meningkatkan kandungan C organik tanah. Meningkatnya C organik tanah berpengaruh positif terhadap semua sifat kimia tanah, yaitu meningkatnya pH, KTK, KB serta ketersediaan N, P dan K dalam tanah. Selanjutnya membaiknya pH tanah ternyata juga berpengaruh terhadap meningkatnya KB, KTK, ketersediaan N, P dan K tanah. Meningkatnya KTK ternyata berpengaruh positif terhadap KB (atau sebaliknya), ketersediaan N, P dan K dan terjadi saling mempengaruhi ketika terjadi peningkatan ketersediaan unsur hara makro (Tabel 1). Tabel (Table)1. Korelasi antara ameliorasi terhadap perubahan sifat tanah (Correlation between soil amelioration and soil propertiest) Korelasi Corg Corg pH KTK KB N P tersedia K 0.87 0.87 0.56 0.71 0.60 0.67 0.86 0.58 0.85 0.75 0.89 0.82 0.81 0.87 0.88 0.58 0.84 0.82 0.52 0.86 pH KTK KB N 0.87 P tersedia K Tabel 2 menunjukkan bahwa perbaikan sifat kimia tanah memberikan pengaruh yang positif terhadap meningkatnya populasi mikroba tanah. Meningkatnya pH sangat berpengaruh terhadap populasi MoPP. Sedangkan fungi yang umumnya menyukai pH agak masam, peningkatan pH juga berpengaruh positif terhadap peningkatan populasi mikrob kelompok ini. Yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan populasi mikrob tanah adalah peningkatan kandungan C organik dengan korelasi mendekati maksimal yaitu 1. Tabel (Table) 2. Korelasi antara perubahan sifat tanah terhadap populasi mikroba tanah (Correlation between soil properties and soil microbes population) Korelasi TM TF MoPP pH 0.75 0.69 0.96 Corg 0.91 0.88 0.92 N 0.56 0.41 0.69 P tersedia 0.60 0.69 0.75 K 0.58 0.55 0.78 Perbaikan kualitas tanah baik kimia maupun biologi memberikan pengaruh positif bagi pertumbuhan tanaman di lapangan. Tabel 3 menunjukkan bahwa hubungan semua variabel yang diukur dalam tanah sangat erat terhadap pertumbuhan pohon. Meningkatnya pH, KTK, KB dan kesuburan tanah serta meningkatnya populasi mikroba dalam tanah dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman jelutung umur 3 tahun. Tabel (Table) 3. Korelasi antara perubahan sifat tanah dan populasi mikrob tanah terhadap pertumbuhan bibit jelutung umur 3 tahun (Correlation among soil improvement and soil microbes population with jelutung growth 3 years after planting) Korelasi Tinggi Diameter Corg 0.80 0.86 pH 0.90 0.93 KTK 0.95 0.97 KB 0.84 0.81 N 0.77 0.80 P tersedia 0.93 0.89 K 0.95 0.94 TM 0.77 0.81 TF 0.77 0.81 MoPP 0.87 0.90 PEMBAHASAN Ameliorasi tanah umumnya dilakukan melalui penambahan bahan organik tanah (BOT). Pada penelitian ini ameliorasi menggunakan bahan organik abu dan pupuk kandang. Kandungan BOT merupakan indikator paling penting dan menjadi kunci dinamika kesuburan tanah. Karena BOT mempunyai peran yang multifungsi, yaitu mampu merubah sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi tanah (Kusumanto, 2009). Pada penelitian ini, BOT mampu memperbaiki sifat kimia tanah. Gambar 1 menunjukkan bahwa meningkatnya C organik tanah mengakibatkan meningkatnya pH, KTK dan KB. Meningkatnya KB dan KTK mengakibatkan ketersediaan N, P dan K yang diberikan melalui pemupukan menjadi lebih efisien. Secara statistik hubungan saling ketergantungan dapat diukur melalui penghitungan korelasi. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa meningkatnya kandungan bahan organik tanah sangat berpengaruh terhadap ketiga variabel sifat tanah tersebut dan meningkatkan efisiensi pemupukan (Tabel 1). Peningkatan pH pada perlakuan ini terjadi karena adanya reaksi buffering (penyanggaan) akibat penambahan pupuk kandang dan abu. Pupuk kandang akan terdekomposisi dan selanjutnya akan mengalami mineralisasi dengan salah satu hasilnya adalah (CO2). Menurut Bohn et al., 1985 dan Stevenson, 1994 pada kondisi anaerob (tergenang) maka CO2 akan berperan sebagai buffer sehingga dapat meningkatkan pH tanah. Disamping itu, meningkatnya pH terjadi karena adanya proses kesetimbangan muatan. Bahan organik, menurut Bohn et al. (1985), merupakan gugus bermuatan negatif sehingga akan mengikat ion H+ yang menjadi sumber rendahnya pH. Kesuburan tanah bisa diukur berdasarkan beberapa indikator yang biasa digunakan oleh para ahli ilmu tanah antara lain adalah kapasitas absorbsi (KTK), tingkat kejenuhan basa (KB) dan kandungan bahan organik. KTK dihitung dengan milli equivalent, adalah kemampuan tanah untuk mengikat/menarik suatu kation dari partikel-partikel koloid tanah yang secara langsung mencerminkan kemampuan tanah melakukan aktifitas pertukaran hara dalam bentuk kation (Kusumanto, 2009). Semakin tinggi nilai kapasitas absorbsi, maka tanah memiliki kesuburan yang semakin baik. Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), sehingga KTK akan naik bila pH gambut meningkat. Hasil penghitungan korelasi antara pH dan KTK (Tabel 1) menunjukkan angka 0,86 (-1<korelasi<1) yang menunjukkan bahwa KTK sangat dipengaruhi oleh pH. Menurut Anonim (1991), KB adalah perbandingan dari jumlah kation basa yang ditukarkan dengan kapasitas tukar kation yang dinyatakan dalam persen (%). Kejenuhan basa rendah berarti tanah memiliki kemasaman yang tinggi (sebagian besar koloid berisi H+) dan apabila kejenuhan basa mendekati 100% berarti tanah bersifal alkalis. Kemudahan tanah dalam melepaskan ion yang dijerat untuk tanaman tergantung pada derajat kejenuhan basa. Tanah sangat subur bila KB > 80%, berkesuburan sedang jika KB antara 50-80% dan tidak subur jika KB <50 % (Anonim, 1991). Pada penelitian ini tingkat kejenuhan basa masih tergolong sangat rendah (Gambar 1). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Agus dan Subiksa (2008) bahwa pada umumnya KB tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10%. Pada penelitian ini, menunjukkan bahwa KTK gambut sangat tinggi dan KB sangat rendah (Gambar 1). KTK tinggi menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun karena KB rendah kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga ketika dilakukan pemupukan akan mudah tercuci (Agus dan Subiksa, 2008). Oleh karena itu, petani Kelampangan melakukan pemupukan secara bertahap dengan frekuensi yang disesuaikan dengan jenis yang diusahakan, merupakan tindakan yang tepat untuk meningkatkan efisiensi pupuk tersebut. Perbaikan sifat kimia tanah ternyata dapat memperbaiki populasi mikroba dalam tanah (Tabel 2). Mikroba tanah merupakan salah satu indikator kesuburan tanah karena keragaman dan bobot biomas dari mikroba dalam tanah adalah sangat besar. Menurut Agus (2009) sebanyak 60-80% aktivitas metabolik dari metabolisme total dalam tanah adalah hasil kegiatan dari mikroflora tanah. Aktivitas mikroba tersebut ditentukan oleh jumlah kelompoknya (populasi) dalam tanah dan biomassa (ukuran selnya) (Agus, 2009). Mikroba tanah banyak yang berperan dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman (Kusumanto, 2009). Tiga unsur hara penting dalam tanaman yaitu Nitrogen (N), Fosfat (P) dan Kalium (K) seluruhnya melibatkan aktivitas mikroba (Kusumanto, 2009). Menurut Anas (1997) total mikroba dalam tanah dapat digunakan sebagai indeks kesuburan tanah (fertility index). Tingginya total mikroba tanah menunjukkan tanah tersebut subur karena menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup ditambah lagi dengan temperatur yang sesuai, ketersediaan air yang cukup, kondisi ekologi lain yang mendukung perkembangan mikroba pada tanah tersebut. Mikroba dalam tanah terdiri atas bakteri, funggi, aktinomisetes, algae, dll. Pada umumnya yang dijadikan indikator kesuburan adalah total fungi, total mikroba (fungi, bakteri, aktinomisetes) dan mikroba pelarut fosfat (fungi dan bakteri). Fungi berperan dalam perubahan susunan tanah. Fungi tidak berklorofil sehingga mereka menggantungkan kebutuhan akan energi dan karbon dari bahan organik. Tingginya populasi fungi menggambarkan tingginya bahan organik dalam tanah. Fungsi bakteri tanah yaitu turut serta dalam semua perubahan bahan organik, memegang monopoli dalam reaksi enzimatik yaitu nitrifikasi dan pelarut fosfat. Sedangkan aktinomisetes menyelesaikan perombakan yang tidak dapat dilakukan oleh bakteri dan fungi. Mikroba tanah dapat berfungsi sebagai penyedia unsur hara di dalam tanah diantaranya adalah kelompok penyedia unsur hara N dan pelarut P (phosphorus solubilizing organism). Hara N tersedia melimpah di udara. Kurang lebih 74% kandungan udara mengandung unsur N. Namun unsur N ini tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman. N harus ditambat oleh mikroba dan diubah bentuknya menjadi tersedia bagi tanaman. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis, ada juga yang hidup bebas. Mikroba penambat N simbiotik antara lain adalah Rhizobium sp.yang hidup di dalam bintil akar kacang-kacangan. Mikroba penambat N nonsimbiotik diantaranya Azotobacter beijerienckii, Azospirillum lepoperum, Azospirillum brasilense. Sedangkan kelompok mikroba pelarut P adalah: Aspergillus niger (fungi), Bacillus megatenum (bakteri), Lolium multiflorum, Bacillus cereus (bakteri), Pseudomonas diminuta (bakteri) dan Penicillium sp. (fungi) (Prihatini,1990; Izroi, 2004). Meningkatnya kesuburan tanah (sifat kimia dan biologi tanah) ternyata dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Tabel 3). Dari penghitungan korelasi menunjukkan bahwa setiap sifat tanah ternyata sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman baik tinggi maupun diameter batang. Meningkatnya C organik telah memperbaiki pH, KTK dan KB yang dapat meningkatkan efisiensi pemupukan N, P dan K yang diberikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Kusumanto (2009) bahwa dengan daya dukung kesuburan tanah yang optimal maka pertumbuhan tanaman menjadi normal, sehat dan produktif. Daya dukung optimal akan menyebabkan efektifnya pemupukan, sehingga tanaman menjadi produktif dan menyebabkan lebih hemat dan efisien pada biaya-biaya dan penggunaan tenaga kerja. Unsur N memegang peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan tanaman. N diasimilasikan oleh tanaman menjadi asam amino yang merupakan komponen utama protein dan asam nukleat. Protein merupakan penyusun ensim yang mengatur pembentukan kloroplas, mitokondria dan struktur lain yang menjadi tempat berlangsungnya proses-proses biokimia tanaman (Havlin et al., 1999). Menurut Hardjowigeno (2003) tanah sangat mudah kehilangan N disebabkan karena digunakan oleh tanaman atau mikroorganisme. Sehingga pada penelitian ini walaupun dipupuk secara teratur kandungan N tanah masih termasuk sangat rendah. Sebab kebutuhan N minimum bagi tanaman menurut Havlin et al., 1999 adalah 1 %. Unsur P memegang peranan yang sangat penting terutama dalam proses penyimpanan dan transportasi energi, yaitu sebagai penyusun ADP (adenosin difosfat) dan ATP (adenosin trifosfat) (Havlin et al., 1999). Energi yang diperoleh dari proses fotosintesis dan metabolisme karbohidrat disimpan dalam bentuk senyawa fosfat selanjutnya digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi. Unsur ini sangat penting dalam pembentukan biji dan pertumbuhan akar. Sehingga salah satu tanda dari cukup tidaknya pasokan fosfat dapat dilihat dari pertumbuhan akar tanaman (Havlin et al., 1999). Menurut Foth (1990) jika kekurangan fosfor, pembelahan sel pada tanaman terhambat dan pertumbuhannya kerdil. Gambar 2 menunjukkan bahwa kandungan P pada tanah yang tidak diagroforestry mempunyai kandungan P sangat rendah sehingga pertumbuhan tanaman sangat lambat (Gambar 3). Hal ini dapat dilihat dari hasil korelasi antara pertumbuhan dan kandungan P tersedia (Tabel 3) juga dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan tanaman di lapangan (Gambar 4). Tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara kandungan P tersedia sangat menentukan pertumbuhan tanaman jelutung di lapangan. Unsur K merupakan satu-satunya unsur makro monovalen yang diperlukan dalam jumlah besar oleh tanaman (Hardjowigeno, 2003). Unsur ini memegang peranan penting dalam proses-proses fisiologis tanaman. Menurut Havlin et al., 1999 bahwa lebih dari 80% ensim tanaman memerlukan unsur K sebagai aktivatornya. Tabel 3 menunjukkan bahwa hubungan antara kandungan K tanah terhadap pertumbuhan tanaman adalah sangat tinggi (0,95). Hasil analisis menunjukkan bahwa budidaya tanaman cabe secara konsisten meningkatkan pH, C organik, KTK, N dan K, tetapi memiliki kandungan P paling rendah dibanding perlakuan lainnya (Gambar 1 dan Gambar 2). Hal ini diduga karena cabe dipanen buahnya dan berkali-kali sehingga mengkonsumsi P paling tinggi untuk memproduksi buah. Budidaya sawi relatif konsisten dalam meningkatkan semua variabel tanah yang diukur. Hal ini karena rotasinya pendek sehingga diduga residu yang terdapat dalam tanah masih cukup tinggi. Sedangkan budidaya bawang daun memiliki populasi mikroba tanah yang paling rendah diantara ke-empat perlakuan ameliorasi. Hal ini diduga akar bawang daun mengeluarkan eksudat yang tidak disukai mikroba. Karena bawang daun memiliki bau yang menyengat. Walaupun demikian, perbedaan perlakuan ameliorasi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan tanaman jelutung. Hal ini karena dosis pupuk yang diberikan sama hanya berbeda frekuensinya. KESIMPULAN Ameliorasi dengan pupuk kandang dan abu pada kegiatan agroforestry dapat meningkatkan kandungan C organik tanah sehingga dapat memperbaiki pH, KTK dan KB tanah gambut. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi pemupukan N, P dan K yang diberikan. Membaiknya kondisi kesuburan tanah gambut ternyata dapat meningkatkan populasi mikroba menguntungkan dalam tanah gambut tersebut. Meningkatnya kualitas kimia (kesuburan) dan biologi tanah (populasi mikroba tanah) ternyata dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman jelutung umur 3 tahun di lapangan. Perbedaan perlakuan terhadap jenis tanaman semusim yang dibudidayakan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perbaikan kualitas tanah gambut dan populasi mikroba tanah tetapi tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman jelutung umur 3 tahun di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Agus, C. 2009. Biologi Tanah. Tersedia elisa.ugm.ac.id/files/cahyonoagus/.../BIOLOGI%20TANAH.ppt di: Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Anas I. 1997. Bioteknologi Tanah. Diktat kuliah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan) Anonim, 1991. Pertukaran Kation. Tersedia http://benito.staff.ugm.ac.id/PERTUKARAN%20KATION_files/filelist.xml di: Bohn HL, McNeal BL , O’Connor GA. 1985. Soil Chemistry. 2nd ed. John Willey&son. New York. Foth HD. 1990. Fundamentals of Soil Science. 8th ed. John Willey&son. New York. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Havlin, J.L., J.D. Beaton, S.L. Tisdale dan W.L. Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizer: An Introduction to Nutrient Management. Prentice Hall. New Jersey. Isroi. 2004. Bioteknologi Mikroba Untuk Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Pertanian Organik. Balai Penelitian Kusumanto, D., 2009. Pertanian Organik: Memahami konsep kesuburan tanah. Tersedia di: www.dian-kusumanto.blogspot.com [diakses 20 Januari 2010]. Prihatini,T. 1990. Penuntun Penelitian Mikrobiologi Tanah.Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Rachim, A. 1996. Diktat Pembinaan Uji Tanah dan Analisis Tanaman dalam Pelatihan Pembinaan Uji Tanah dan Analisis Tanaman. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reaction. 2nd ed. John Willey and Son. New york. Wahyunto S. Ritung, Suparto, dan H Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Driessen, P.M. dan H. Suhardjo. 1976. On the defective grain formation of sawah rice on peat. Bulletin Soil Research Institute (3): 20-44.