Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Cina dalam

advertisement
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Cina dalam Membuat
Regulasi Human Organ Transplantation tahun 2002-2007
Rena Yuni Ardianti
International Relations Department
FISIP Airlangga University, Surabaya
([email protected])
ABSTRAK
Tidak
seimbangnya
permintaan
dan
penawaran
organ
mengakibatkan maraknya human organ trafficking di Cina. Hal ini
diperparah dengan pandangan Cina yang tidak melihat isu human
organ trafficking sebagai bentuk kriminal dengan diberlakukannya
“Rules Concerning the Utilization of Corpses or Organs for the
Corpses of Executed Prisoners” pada tahun 1984 yang menyatakan
diperbolehkannya donor organ melalui tahanan hukuman mati. Cina
juga melakukan penolakan dalam meratifikasi United Nations
Optional Protocol of Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (OPCAT) pada
tahun 2002. Namun, pada tahun 2007 Cina mengeluarkan kebijakan
Regulation on Human Organ Transplantation. Penelitian kali ini
membahas mengenai tekanan internasional yang pada akhirnya
mampu mempengaruhi Cina hingga membuat regulasi domestik
terkait isu human organ trafficking. Dengan menggunakan teori
interdependensi
kompleks, International Non-Governmental
Organizations, ‘naming and shaming campaign’, teori labelling, dan
teori aksi kolektif, diketahui bahwa Cina membuat kebijakan pada
tahun 2007 karena adanya tekanan internasional dimana
International Olympic Committee (IOC) merupakan katalisator
tekanan terkait persiapan penyelenggaraan Cina sebagai tuan rumah
Olimpiade 2008 Beijing. Dalam hal ini, IOC mampu meletakkan Cina
pada sorotan publikasi global melalui laporan-laporan INGOs
kemanusiaan terkait isu pelanggaran HAM. Label negatif pada Cina
dapat mempengaruhi persiapannya dalam menyambut Olimpiade.
Selain itu, publikasi INGOs kemanusiaan juga menghadirkan
tekanan dari negara-negara lain yang merespon isu human organ
trafficking di Cina dengan memberikan sanksi maupun ancaman
boikot.
Kata Kunci: Perdagangan Organ, Cina, Tekanan Internasional,
Konvensi, INGOs.
Metode transplantasi1 merupakan teknologi canggih dalam
menyelamatkan umat manusia (WHO Website 2013). Namun, dalam
1
Transplantasi organ merupakan satu-satunya upaya untuk mengatasi kerusakan
organ seperti kerusakan hati dan jantung. Aktivitas ini melibatkan pemindahan
organ dari tubuh pendonasi menuju ke tubuh penerima organ dengan syarat-syarat
legal termasuk persetujuan resmi dari pendonor.
metode ini terdapat ketidakseimbangan permintaan dan penawaran
(supply and demand) organ, sehingga menimbulkan kejahatan baru
di abad 21 yang bernama human organ trafficking.
Dinamika Human Organ Trafficking di Cina
Human organ trafficking melibatkan aktivitas suplai organ pada
masyarakat yang didapatkan oleh siapapun yang mampu membayar
mahal untuk ‘hidup baru’ (http://www.theepochtimes.com 2013).
Dalam hal ini, organ menjadi komoditas utama sumber keuntungan
material bagi aktor yang terlibat dibandingkan dengan kesehatan dan
keselamatan baik untuk pendonor maupun penerima donor
(recipients) (Budiani 2008, 925). Dalam hal ini, aktivitas tersebut
membahayakan kedua belah pihak karena ketidakjelasan sumber
organ berasal, sehingga akan meningkatkan posibilitas terjadinya
infeksi pada kesehatannya (Budiani 2008, 927).
Aktivitas human organ trafficking terjadi di banyak negara,
khususnya di Cina (Jiye 2007, 13). Cina merupakan negara terbesar
kedua, di bawah Amerika Serikat, yang dikenal dengan tingginya
aktivitas transplantasi organ dari tahanan mati di negaranya yang
juga dijadikan bisnis, seperti Yeson Healthcare Services (US
Committee of International Relation 2013). Di tahun 2001, bisnis
jasa tersebut memberikan biaya minimal £60 000 untuk
transplantasi hati dan jantung serta £30 000 untuk transplantasi
ginjal (Watss 2007). Di sisi lain, diperkirakan sebanyak lebih dari
900 ginjal dan hati telah ditransplantasikan pada turis luar yang
berasal dari sekitar 19 negara di Cina pada tahun 2004 (Tianjin
2005). World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa
sekitar 12.000 ginjal dan hati telah ditransplantasikan di Cina pada
tahun 2005 (Minhua 2005, 956). Fenomena ini diperkuat oleh
pernyataan Huang Jiefu, Menteri Kesehatan Cina, dalam
wawancaranya dengan South China Morning Post yang mengatakan,
“In China, overwhelming demand for organs and little supply has
given rise to underground networks that deal in organs and
transplants” (Macleod 2012).
Ketidakseimbangan
permintaan
dan
ketersediaan
organ
menyebabkan banyak pasien memilih jalan ilegal dalam melakukan
transplantasi di Cina. Berdasarkan statistik Kementerian Kesehatan,
yakni sebanyak 1,5 juta pasien membutuhkan transplantasi setiap
tahunnya di Cina namun hanya 10.000 organ yang tersedia (BBC
News 2007). Itu artinya, jumlah permintaan lebih banyak dari
ketersediaan organ yang ada. David Rotman, kepala Bellagio Task
Force menyebutkan bahwa kunjungan pada rumah sakit di Beijing
dan Shanghai meningkat di tahun 1995, yang menjadi salah satu
indikasi meningkatnya operasi transplantasi di Cina (Bellagio Task
Force Report on Transplantation 1997). Pada tahun 2005, diketahui
bahwa dokter di rumah sakit Cina telah melakukan transplantasi
sebanyak 8.102 ginjal, 3.741 hati, dan 80 jantung (Matas 2007).
Fenomena tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan banyak
pihak darimana sumber dari organ-organ tersebut berasal.
Menanggapi hal ini, pemerintah Cina tidak melihat bahwa isu
perdagangan organ merupakan kategori tindak kejahatan. Hal ini
dibuktikan dengan implementasi undang-undang yang dibuat oleh
Cina pada 1984 “Rules Concerning the Utilization of Corpses or
Organs for the Corpses of Executed Prisoners” yang menyatakan
diperbolehkannya donor organ melalui tahanan hukuman mati
(http://www1.american.edu/ted/prisonorgans.htm
2001).
Pemberlakuan undang-undang tersebut diperparah dengan rezim
represif Cina dibawah Partai Komunis Cina (Chinese Communist
Party/ CCP) (US Department of State 2011). Rezim represif Cina
memberlakukan banyak cara guna mengamankan kursi
pemerintahan, seperti dengan pemenjaraan tahanan dalam rumah
sekaligus anggota keluarganya, hingga melakukan penghilangan
orang secara paksa (forced disapperance) bagi yang dianggap
sebagai pembangkang ((US Department of State 2011).
Perlu diketahui, Cina juga memberlakukan ‘zero tolerance’ atau yang
disebut dengan toleransi nol pada berbagai bentuk pelanggaran
politik maupun bentuk ketidakpuasan masyarakat, seperti orangorang yang dianggap pro-negara barat, serta masyarakat yang kecewa
atas kebijakan pemerintah (Lizhi 2010). Dalam hal ini pemerintah
memberikan jangka waktu hukuman yang lama pada masyarakat
yang melakukan protes terhadap pemerintah (Lizhi 2010). ‘Zero
tolerance’ diimplementasikan dengan pengadaan hukuman mati di
Cina. Amnesty International menyebutkan bahwa Cina merupakan
negara dengan tingkat pemberian hukuman mati yang tinggi di
dunia, dengan kontribusinya sebanyak 60-80 persen dari total
hukuman mati dan eksekusi di seluruh dunia (Hong 2008, 1).
Diagram 2.1. Tingkat Eksekusi Mati Tahanan Cina tahun
1994-2007.
(Sumber: the Guardian 2011)
Seluruh aktivitas tersebut sesuai dengan faktor historis Cina yang
memang pada awalnya tidak memasukkan agenda HAM dalam
pemerintahannya, melainkan nilai-nilai patriotisme pada masa
pemerintahan Mao Zedong, yang kemudian perlahan berubah fokus
di ekonomi pembangunan pada masa Den Xiaoping tahun 1980an,
hingga modernisasi pada masa Jiang Zemin. Dalam prosesnya, Cina
mulai melakukan promosi ‘pencitraan baik’ (‘strategy image design’)
pada dunia internasional untuk memperlancar semua urusan
ekonomi (Shrik 2007, 5). Strategi ‘image design’ tersebut
menghadirkan konsekuensi lain bagi Cina, yakni menjadi negara
yang lebih ramah, kooperatif, dan terbuka (Regan, 10).
Dalam hal ini, isu pelanggaran HAM yang sangat melekat dengan
pemerintah Cina mulai dianggap sebagai tantangan Cina dalam
mewujudkan pencitraan baik karena berkaitan dengan ketahanan
kedudukan CCP dan penilaian negara lain terhadap Cina yang
tentunya akan menghambat kerjasama ekonomi Cina dengan negaranegara tersebut (Shrik 2007, 224). Isu HAM dianggap mampu
berpengaruh pada hubungan Cina ke luar (Hui 2005, 4). Hal ini
dibuktikan dengan peristiwa Tiananmen Square pada tahun 1989
yang menghadirkan banyak tekanan internasional, seperti ancaman
embargo ekonomi oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat
lain, sekaligus menghantarkan Cina pada kegagalannya dalam
memenangkan suara untuk menjadi tuan rumah Olimpiade pada
tahun 2000 (Hui 2005, 3). Oleh sebab itu, isu HAM dilihat memiliki
interdependensi dengan aspek pembangunan ekonomi Negara
(Neaggle 2009, 6).
Disisi lain, pemberitaan mengenai berbagai pelanggaran
kemanusiaan di Cina sulit dibendung. Pemberlakuan hukuman mati
di Cina yang dilakukan dengan tingkat kerahasiaan tinggi justru
menghadirkan kecurigaan banyak pihak, seperti organisasiorganisasi internasional non-pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah
Cina tidak melakukan publikasi tahanan mati yang telah dieksekusi
(Neaggle 2009, 17). Jessica Neaggle menyebutkan bahwa pada
undang-undang 1984 terdapat prioritas utama untuk penerima
organ-organ yang tidak dapat diidentifikasi, yakni pemerintah Cina,
militer, dan orang-orang kaya (Neaggle 2009, 19). Berdasarkan
dokumen resmi pemerintah Cina, dalam melakukan ekstraksi organ
dari tahanan mati untuk transplantasi dilakukan prinsip ranking
yang dimulai dari pemerintah, anggota militer, turis luar kaya, dan
yang terakhir adalah masyarakat sipil Cina (Neaggle 2009, 20).
Dengan
demikian,
transplantasi
tidak
dilakukan
untuk
menyelamatkan nyawa orang yang membutuhkan namun untuk
mendapatkan profit tinggi. Dengan kata lain, terdapat prioritas lebih
bagi turis luar dalam mendapatkan organ untuk transplantasi
dibandingkan dengan masyarakat sipil Cina, terkait dengan
kemampuannya membayar dengan harga tinggi (Shimazono 2006).
Keseluruhan aktivitas itulah yang menyebabkan berkembangnya
bisnis penjualan transplantasi organ, seperti ginjal, kornea, hati,
jantung, dan lainnya yang berasal dari organ tahanan hukuman
matidi Cina (Wolf 2007).
Situasi di Cina meenghadirkan kritik tajam dari komunitas
internasional, terutama pada tahun 2000 dimana merupakan sebuah
momentum bagi Cina karena banyaknya tekanan terkait dengan
pemberlakuan hukuman mati menjadi agenda penting bagi
penelitian para ilmuwan di Cina (Ning 2005, 2). Banyak aktivis
kemanusiaan dari negara-negara barat yang memonitor Cina terkait
isu ini menyebutkan bahwa Cina telah mengeksekusi sekitar 15.000
orang setiap tahun (Dellinger 2010). Hal ini tak terlepas dari
diperjualbelikannya organ tahanan eksekusi tersebut secara rahasia.
Oleh sebab itulah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) melihat
keseluruhan rangkaian aktivitas Cina sebagai pelanggaran HAM,
berdasarkan United Nations Convention Against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) pada
tahun 1988 (Lenning 2007 dalam Reeper 2011, 4-12). Hal ini tidak
terlepas dari persiapan Cina sebagai tuan rumah penyelanggaraan
Olimpiade pada tahun 2008 di Beijing yang harus menghargai
seluruh prinsip Olympism dalam Olympic Charter, termasuk
menghargai nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) (Olympic Charter
2008). Dalam CAT disebutkan bahwa segala bentuk penyiksaan
merupakan bentuk suatu pelanggaran, yang berbunyi:
“Any act by which severe pain or suffering,
whether physical or mental, is intentionally
inflicted on a person for such purposes as
obtaining from him or a third person,
information or a confession, punishing him for
an act he or a third person has committed or is
suspected of having committed, or intimidating
or coercing him or a third person, or for any
reason based on discrimination of any kind,
when such pain or suffering is inflicted by or at
the instigation of or with the consent or
acquiescence of a public official or other person
acting in an official capacity. It does not include
pain or suffering arising only from, inherent in
or incidental to lawful sanctions” (United
Nations Assembly 1984).
Perlu diketahui bahwa walaupun Cina telah meratifikasi CAT pada
tahun 19882 (UNTC 1984), namun Cina tidak setuju dengan protokol
yang ditambahkan pada tahun 2002 yang bernama Optional Protocol
to the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (OPCAT) (Lenning,
2007 dalam De Reeper 2011, 5). Dalam hal ini, negara yang
meratifikasi OPCAT diharuskan menyetujui adanya kunjungan
reguler, laporan secara berkala dan publikasi aktivitas-aktivitas
pemerintah terkait dengan isu kemanusiaan untuk kemudian
diserahkan pada Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) (UNTC 1984).
Penolakan Cina untuk meratifikasi protokol tambahan mampu
memperlemah kesempatan PBB untuk memonitor Cina dalam isu
human organ trafficking yang marak di negaranya (Lenning, 2007
dalam De Reeper 2011, 17-20).
Berbagai kritik yang ditujukan pada Cina kemudian dibantah olehnya
dengan alasan organ yang diperjualbelikan merupakan donasi
masyarakat umum dan para criminal (Watts, 2007). Hingga pada
tahun 2006, Huang Jiefu melakukan publikasi terkait dengan
banyaknya organ yang ditransplantasikan di Cina berasal dari
tahanan mati, namun hanya beberapa kasus saja (BBC News 2007).
Sementara itu, Qin Gang, juru bicara kepresidenan menambahkan
bahwa organ tersebut tidak diambil secara paksa tanpa persetujuan
dari tahanan maupun keluarganya (BBC News 2007). Namun perlu
diketahui bahwa prosedur pengambilan organ dari tahanan mati
tersebut mengandung suatu kontradiksi dari prinsip sukarelawan
karena basisnya adalah perlakuan koersif atau memaksa (Neaggle
2009, 3). Secara historis, Cina tidak memiliki basis organ donasi.
Sesuai dengan tradisinya, masyarakat Cina secara garis besar
memilih untuk mengubur jasadnya secara utuh. Konsekuensinya,
donasi organ di Cina bukanlah hal umum, yang kemudian dapat
United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (CAT) merupakan suatu konvensi yang
dibuat oleh PBB dengan perlunya peran negara untuk membentuk suatu tindakan
efektif untuk mencegah berbagai kekerasan pada warga negaranya serta melarang
adanya pengiriman warganya ke negara manapun dimana dipercaya bahwa di
negara tersebut akan dilakukan kekerasan.
2
dijadikan bukti bahwa persetujuan pemberian organ dari tahanan
mati tidak sesuai dengan kultur masyarakat Cina (US Committee of
International Relation 2001).
Melihat banyaknya kritik yang terus mengalir, Cina kemudian
memberikan informasi pada publik terkait penurunan angka tahanan
politik pada tahun 2005 (Lenning, 2007 dalam De Reeper 2001, 21).
Pada tahun 2007 pemerintah Cina membuat regulasi yakni
“Regulation on Human Organ Transplantation” (RoHOT) yang
melarang adanya praktik human organ trafficking (China Daily
2011). Peraturan tersebut terhitung aktif pada tanggal 1 Mei 2007
yang melihat praktik human organ trafficking sebagai bentuk
kejahatan, juga sebagai anomali dari undang-undang sebelumnya,
pada tahun 1948 (China Daily 2011). Pemerintah Cina melakukan
kesepakatan dengan Asosiasi Medis Cina (Chinese Medical
Association) dan Asosiasi Medis Dunia (World Medical Association)3
di Kopenhagen, yang menyetujui bahwa organ dari tahanan maupun
individual lain tidak boleh digunakan untuk transplantasi, kecuali
bagi anggota keluarganya (Medical News Today 2007). Para dokter
dan rumah sakit yang melanggar adanya perdagangan organ secara
komersial akan mendapatkan hukuman. Jumlah rumah sakit yang
diperbolehkan untuk melakukan transplantasi akan dikurangi dan
akan ditetapkan sebagai kejahatan apabila mengambil organ tanpa
persetujuan pendonor. Setiap kegiatan transplantasi yang dilakukan
harus disetujui terlebih dahulu oleh komite etik dengan menghargai
prinsip relawan dan bebas dari donasi (Medical News Today 2007).
Tekanan Internasional sebagai Katalisator Perubahan Cina
Keputusan Cina membuat regulasi Human Organ Transplantation
pada tahun 2007 merupakan anomali dari regulasi tahun 1984
karena melarang seluruh aktivitas perdagangan organ di Cina. Dalam
hal ini, indikasi perubahan Cina terlihat dari tahun 2005 yang mulai
mau memberikan angka penurunan tahanan politik, hingga tahun
2006 melakukan pengakuan atas penggunaan transplantasi organ
melalui tahanan mati dan puncaknya yakni tahun 2007 membuat
regulasi nasional. Oleh sebab itulah momentum penelitian
difokuskan pada fenomena-fenomena yang terjadi dalam kurun
waktu tersebut.
Diketahui bahwa pada tahun 2008, Cina mendapatkan kehormatan
sebagai tuan rumah penyelenggaraan Olimpiade. Hal ini tidak
terlepas dari peran International Olympic Committee (IOC) yang
memutuskan Cina sebagai tuan rumah Olimpiade Beijing tahun
World Medical Association adalah perserikatan asosiasi medis yang bergerak
secara independen di lebih dari 80 negara dengan terdiri dari delapan juta lebih
dokter yang terlibat di dalamnya untuk mendapatkan standar tertinggi dalam
ranah medis, etika medis, edukasi, dan yang berkenaan dengan hak asasi manusia
dalam bidang kesehatan untuk semua masyarakat.
3
2008.
IOC
merupakan
International
Non-Governmental
Organization (INGO) yang mengatur Olympic Movement
(International Olympic Committee, 2013).4 Olympic Movement
merupakan organisasi dunia dalam rangka mempromosikan aspek
Olympism5( International Olympic Committee., 2013).
Dengan demikian, seluruh peraturan dan kesiapan negara untuk
mengadakan pertandingan Olimpiade berada dalam aturan IOC.
Dalam hal ini, pertandingan Olimpiade menggerakkan IOC untuk
berperan sebagai INGO yang mampu mendorong pembangunan
internasional dengan tujuan utamanya adalah untuk meregulasi
penyelenggaraan Olimpiade dan memastikan adanya kepatuhan
pada Olympic Charter6 dan mengaplikasikan peraturan Olimpiade
dalam setiap tindakan partisipan acara tersebut (Nelson 1993, 901).
Seperti yang diketahui bahwa INGO mampu menjadi advokasi dalam
menjadikan isu-isu baru sebagai agenda penting dalam suatu Negara
(Council of Foreign Relation 2013). Hal ini dibuktikan oleh
keberadaan IOC yang memiliki kekuatan yuridiksi terhadap atlet
baru dan memberikan keputusan pada kesiapan negara
penyelenggara Olimpiade untuk fokus terhadap pelanggaran
kemanusiaan (Beijing 2008, 216).
Bukti dari kekuatan yuridiksi IOC terletak pada saat Olimpiade tahun
2000 dimana Cina mengajukan dirinya sebagai tuan rumah
Olimpiade, namun gagal karena selisih dua suara dengan Sydney,
Australia (Bose 2001). Hal ini disebabkan karena Cina memiliki
sejarah yang buruk terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia,
terutama peristiwa Tiananmaen Square pada tahun 1989 (Bose
2001). IOC juga lah yang memutuskan negara layak atau tidak
menjadi tuan rumah pertandingan Olimpiade. Selain itu, IOC juga
mewajibkan seluruh pihak yang terlibat dalam pertandingan
Olimpiade, termasuk tuan rumah penyelenggara, adalah berlaku
konsisten dan bertanggung jawab untuk mengorganisir acara sesuai
dengan Fundamental Principles of Olympism dalam Olympic
Charter:
“(Principle 4): The practice of sport is a
human right. Every individual must have the
Dibawah otoritas International Olympic Committee (IOC), Olympic Movement
meliputi organisasi, atlet, dan individu lain yang bersedia memenuhi Olympic
Charter.
5 Olympism adalah nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam Olympic Movement,
yakni non-diskriminasi, kesinambungan, kemanusiaan, universalitas, solidaritas,
aliansi antar cabang olahraga, edukasi, dan budaya.
6 Olympic Charter adalah kodifikasi dari prinsip-prinsip fundamental dalam
Olympism. Peraturan dan segala perundangan yang ada di dalamnya diadopsi dari
International Olympic Committee (IOC). Piagam ini mengatur organisasi, aksi, dan
fungsinya dalam menyebarkan nilai-nilai Olympic Movement. Selain itu, juga
membentuk hubungan antara International Federations, National Olympic
Committees dengan Olympic Movement.
4
possibility of practising sport, without
discrimination of any kind and in the Olympic
spirit, which requires mutual understanding
with a spirit of friendship, solidarity and fair
play./…/” (International Olympic Committee,
2013).
“(Principle 5): Any form of discrimination
with regard to a country or a person on
grounds of race, religion, politics, gender or
otherwise is incompatible with belonging to
the Olympic Movement (International
Olympic Committee, 2013).”
Selama proses tujuh tahun dalam persiapan penyelenggaraan
Olimpiade, IOC bertugas untuk memonitor perbaikan HAM di Cina.
Cina harus mampu membuktikan perbaikan isu human organ
trafficking pada IOC. IOC juga terus terhubung dengan berbagai
publikasi yang diberikan oleh Amnesty International, Human Rights
Watch, dan INGO kemanusiaan lainnya untuk memnatau persiapan
Olimpiade (Beijing 2008). Dengan demikian, IOC akan memberikan
perhatian lebih pada isu kemanusiaan di Cina. Oleh sebab itu,
keberadaan IOC disini mampu mempengaruhi Cina dalam
menempatkan isu HAM sebagai agenda nasional dalam
mempersiapkan Olimpiade 2008. Isu HAM dianggap sebagai salah
satu aspek penting bagi siapapun aktor yang terlibat dalam acara
Olimpiade, termasuk Cina yang berperan sebagai tuan rumah
penyelenggara.
Keputusan IOC yang menjadikan Cina sebagai tuan rumah
Olimpiade Beijing 2008, secara tidak langsung menjadi dasar dari
INGOs untuk semakin gencar dalam menuntut perbaikan isu HAM di
Cina. Dalam hal ini, IOC berperan sebagai katalisator tekanan untuk
menyorot Cina dan meletakkannya pada publikasi global. IOC
mampu mengatur dan memformulasikan generalisasi norma baru
bagi masyarakat dengan adanya Olympic Charter yang menghargai
isu HAM. Dengan demikian akan terbentuk stigma pada masyarakat
bahwa syarat utama sebagai penyelenggara Olimpiade adalah
mampu memperbaiki isu HAM di negaranya.
Kekuatan IOC sebagai katalisator tekanan internasional tidak
terlepas dari bagaimana Cina memandang Olimpiade sebagai
pertandingan yang penting bagi negaranya. Tanggal 13 Juli 2001
merupakan hari bersejarah bagi masyarakat Cina karena keputusan
International Olympic Committee (IOC) yang menyerahkan
penyelenggaraan Pertandingan Olimpiade 2008 pada Beijing. Wang
Wei, Jenderal Sekretaris Olimpiade Beijing menyatakan bahwa acara
ini merupakan bentuk kebanggan bagi Cina dengan mengatakan:
“Winning the host rights means winning the respect, trust, and favor
of the international community" (Economy 2008). Hal ini didukung
oleh pernyataan Agensi Surat Kabar Resmi Cina, yakni Xinhua yang
melihat momen ini sebagai titik balik Cina dalam meraih status
internasional dan peristiwa bersejarah untuk kebangkitan
masyarakat Cina (Economy 2008). Wali kota Beijing juga
memberikan pernyataan pada tahun 2001 terkait keputusan IOC
menjadikan Beijing sebagai tuan rumah penyelenggaraan
Pertandingan Olimpiade, "[The Olympic Games] will help promote
all economic and social projects and will also benefit the further
development of our human rights cause (Amnesty International
2007).”
Ambisi Cina sebagai tuan rumah Olimpiade didasari oleh adanya
kebanggaan, kompetisi dan prestise karena acara internasional ini
merupakan acara olahraga yang paling terkenal di dunia dalam
menghasilkan pahlawan di bidang olahraga dan juga titik sejarah
penting dalam ranah internasional (Pound dalam Neaggle 2001,
223). Pemerintah Cina melihat Olimpiade sebagai peluang untuk
memperoleh reputasi positif dalam dunia internasional, karena
dalam hal ini Olimpiade mampu memberikan kesempatan nilai
promosi bagi negara tuan rumah untuk memperkenalkan
masyarakat, budaya, industri, serta pariwisatanya (Nafziger dalam
Neaggle 2001, 224). James A.R Nafgizer mengatakan bahwa acara
olahraga internasional mampu membangun prestise negara untuk
menunjukkan bahwa dirinya layak untuk diajak bekerja sama dalam
bidang ekonomi maupun budaya dan wisata (Nafziger dalam Neaggle
2001, 224).
Tabel 3.1. Dampak Olimpiade terhadap Pembangunan
Ekonomi Kota Beijing dan Area
Peristirahatan
(Sumber: Li dan Duan 2005, dalam Kang Hsuan 2006).
Dalam World Tibet Networld News disebutkan bahwa melalui acara
ini, Cina mempersiapkan dirinya melalui kekuatan national power
dalam arena dunia dibalik supremasi olahraga. Tujuannya adalah
untuk memasukkan investasi negara Barat, konsolidasi kekuatan
domestik, dan meraih keuntungan melalui diplomasi internasional
(Quader 2001). Melalui penyelenggaraan Olimpiade ini, diperkirakan
Cina akan mengalami penambahan dalam Gross Domestic Product
(GDP) sebanyak 0,3 persen antara tahun 2002 hingga 2008 (Quader
2001). Hal ini dapat dilihat melalui penambahan GDP yang terus
bertambah dalam proses persiapan penyelenggaraan Olimpiade dari
tahun 2005 hingga 2007.
Tabel
3.2. Investasi Langsung dalam Proses
Persiapan Olimpiade Beijing bagi Kota
Beijing
(Sumber: Wang, 2008, dalam Kang Hsuan 2006)
Tabel 3.3 Pertumbuhan GDP di Cina dan Beijing
dalam Rangka Persiapan Olimpiade Beijing
(Sumber: China Statistical Yearbook 2006 dalam Kang Hsuan, 35)
Selama masa kampanye atas keberlangsungan Olimpiade di Beijing,
pemerintah Cina berjanji bahwa kondisi kemanusiaan di Cina akan
mengalami perbaikan apabila Beijing terpilih menjadi tuan rumah.
Hal ini didukung oleh pernyataan Wang Wei, “We are confident that
the Games coming to China not only promotes our economy but also
enhances all social conditions, including education, health and
human rights" (Amnesty International 2007). Sebagai calon tuan
rumah Olimpiade Beijing 2008, Cina diharuskan melakukan banyak
perbaikan dalam berbagai sektor yang dimulai pada tahun 2001
(Bondy 2004). Tidak hanya fokus terhadap pembangunan
pariwisata, fasilitas gedung pertandingan, hingga peraihan medali
emas, namun disisi lain Cina juga menghadapi konsekuensi isu
pelanggaran kemanusiaan, termasuk isu human organ trafficking,
yang akan semakin disorot tajam oleh komunitas internasional,
khususnya organisasi internasional dalam bidang kemanusiaan
(Quader 2001).
Negara-negara Barat dan organisasi kemanusiaan tidak menyetujui
keputusan IOC yang memberikan voting pada Cina sebagai tuan
rumah acara bergengsi ini. Amnesty International melakukan protes
dengan publikasi, sementara Amerika Serikat mulai melakukan
penyelidikan di Cina (Quader 2001). Aktivis kemanusiaan
memprotes bahwa seharusnya rezim komunis yang sangat tertutup
seharusnya tidak diberikan penghormatan sebagai tuan rumah event
bergengsi sebelum rezim tersebut memberikan kebebasan lebih bagi
masyarakatnya (Quader 2001). Selain itu, terdapat Olympic Watch,
yakni INGO yang berfokus untuk memonitor improvisasi Cina terkait
isu kemanusiaan yang melayangkan suratnya pada panitia Olimpiade
nasional di seluruh dunia pada tahun 2006 untuk lebih
memperhatikan proses perbaikan isu kemanusiaan di Cina sesuai
dengan Olympism (Olympic Watch 2006).
Fokus internasional terkait pembangunan isu kemanusiaan di Cina
merupakan bentuk tekanan yang penting bagi persiapan Olimpiade
Beijing tahun 2008. Hal tersebut sesuai yang tercantum dalam
Olympic Charter, Fundamental Principles of Olympism, paragraf
dua yang berbunyi, “The goal of Olympism is to place sport at the
service of the harmonious development of man, with a view to
promoting a peaceful society concerned with the preservation of
human dignity” (Amnesty International 2007). Hal ini didukung oleh
publikasi yang dilakukan oleh Amnesty International yang
menyebutkan bahwa Pertandingan Olimpiade sebagai bentuk
penghormatan atas martabat manusia dan juga prinsip etis, dimana
Cina, sebagai tuan rumah Olimpiade Beijing diwajibkan untuk
menghormati prinsip tersebut (Amnesty International 2007).
Dalam Beijing Briefing Kit 2007 juga disebutkan bahwa publikasi
yang dilakukan Amnesty International merupakan sumber referensi
IOC untuk memonitor isu kemanusiaan di Cina (International
Olympic Committee 2007). Hal ini tidak terlepas dari persiapan Cina
sebagai penyelenggara pertandingan Olimpiade 2008 membuat Cina
mendapatkan banyak sorotan sehingga mendapatkan publikasi
global. Matthew Krain menyebutkan bahwa publikasi global dapat
menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah melalui keberadaan
aktor non-negara seperti INGOs dalam mendukung gerakan dari
banyak kalangan yang melawan negara (Krain 2012). Dalam hal ini,
publikasi yang dilakukan oleh INGOs mampu menarik negara-negara
seperti Amerika Serikat dan Wakil Presiden Uni Eropa serta banyak
negara-negara lain yang penting bagi pembangunan ekonomi Cina.
Publikasi dimulai dari INGOs yang berfokus pada isu kemanusiaan
menekan Cina untuk memperbaiki isu praktek pengambilan organ
dan praktek hukuman mati (Hemphill 2007, 433). Dalam hal ini,
Amnesty International, sebagai salah satu International NonGvernmental Organizations (INGOs) yang menekan pemerintah Cina
untuk merespon isu human organ trafficking.
Kritik Amnesty International dalam situsnya dibuktikan dengan
munculnya artikel yang berjudul “Organ Procurement and Judicial
Execution in China“ di tahun 1994 setelah melakukan investigasi
dengan Human Rights Watch (HRW) (Human Rights Watch 1994).
HRW menyebutkan dalam situs resminya bahwa ditahun tersebut,
telah secara jelas terlihat adanya peningkatan penyalahgunaan organ
di Cina terkait tujuan transplantasi (Human Rights Watch 1994).
Aktivitas ini menyebabkan timbulnya dilema moral karena adanya
keyakinan bahwa praktik transplantasi di Cina dapat dikategorikan
dalam bentuk pelanggran hak asasi manusia dan juga etika medis
(Human Rights Watch 1994). Dalam artikel tersebut dijelaskan
bahwa adanya hubungan yang nyata antara pemberlakuan hukuman
mati secara ekstensif di Cina dengan adanya isu human organ
trafficking, terutama perdagangan organ.
Publikasi berbagai artikel INGOs tersebut tidak direspon oleh Cina
karena nyatanya, Cina tidak segera membuat perundang-undangan
domestik terkait isu human organ trafficking. Hal tersebut terbukti
dengan aktivitas human organ trafficking yang semakin meningkat
di Cina.
Diagram 3.4. Jumlah Transplantasi di Cina 1997-2007
(Sumber: Huang Jie Fu 2007)
Namun, setelah Cina memenangkan suara sebagai tuan rumah
penyelenggara Olimpiade pada tahun 2001, Amnesty International
semakin kuat mengkritik pemerintah Cina dengan melakukan
banyak publikasi dan memonitor kesiapan Cina sebagai
penyelenggara Olimpiade dalam memperbaiki isu kemanusiaan di
negaranya, khususnya terkait human organ trafficking. Berdasarkan
publikasinya pada tahun 2000 yang berjudul Amnesty International
Report 2000 - China, including Hong Kong and Macao7, Amnesty
International terus menerus melakukan kritik terhadap pemerintah
Cina dengan mengeluarkan publikasi-publikasi, seperti “People’s
Republic of China, Olympic Countdown” yang dikeluarkan hampir
setiap tahun (Amnesty International 2006).
Pada tahun 2006, Amnesty International mengklaim bahwa polisi,
lembaga pengadilan, dan pihak rumah sakit terlibat dalam
perdagangan organ karena aktivitas tersebut mampu menghasilkan
profit tinggi (MacLeod 2006). Hal inilah yang melatarbelakangi
penolakan Cina untuk memberikan keterangan dalam melarang
adanya pemberlakuan hukuman mati sebanyak kurang lebih antara
1.770 hingga 8000 orang pada tahun 2005 berdasarkan keterangan
Amnesty International. Di tahun ini pula, Amnesty International
mengeluarkan publikasi yang berjudul “People’s Republic of China:
China: Olympic Countdown” (Watts 2007). Artikel tersebut berisi
Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa penyiksaan dan perlakuan tidak
manusiawi bagi tersangka kriminal merupakan hal yang umum terjadi di Cina,
termasuk penggunaan berbagai metode sebagai bentuk intimidasi. Selain itu,
tahanan juga dilarang untuk menemui kunjungan kerabat maupun keluarganya
dalam rangka memberikan persediaan obat maupun makanan dalam Amnesty
International, Amnesty International Report.
7
kritik Amnesty International terkait pembangunan kemanusiaan di
Cina menjelang penyelenggaraan Pertandingan Olimpiade 2008.
Di tahun 2007 dalam artikel yang dimuat oleh Lancet disebutkan
bahwa Amnesty International mengestimasi sekitar 99% organ untuk
transplantasi di Cina berasal dari tahanan mati (Watss 2007). Hal ini
diperkuat oleh pernyataan Human Rights Watch dalam laporannya
yang mengatakan bahwa di Cina banyak terjadi pelanggaran HAM
seperti eksekusi yang tergesa-gesa untuk membuat tahanan mati
tetap hidup dengan sel-sel otak yang sudah mati (brain dead) dan
menyegerakan eksekusi tanpa persetujuan (Human Rights Watch,
dalam Peter McCallister 2008).
Sedangkan tekanan lain diberikan oleh The British Transplantation
Society, yang mengkritik Cina atas penggunaan tahanan mati untuk
transplantasi dalam kunjungan Hu Jintaou, Perdana Menteri Cina,
ke Amerika Serikat pada tahun 2006 (Gerlin 2006). Di tahun 2007,
The British Transplantation Society juga memperkenalkan kebijakan
baru dalam berinteraksi dengan Cina (Annika 2011). Isu terkait
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Cina ini menjadi sorotan
sejak tahun 2006 dalam Kongres Transplantasi Dunia di Boston.
Dalam kesempatan ini, disebutkan bahwa semua donasi dan
transplantasi harus ditunjang dalam legal framework yang
melindungi pendonor dan memastikan bahwa organ dari donor yang
telah meninggal dapat ditransplantasikan hanya apabila terdapat izin
dari pendonor (Membership Statement 2007). Selain itu, juga
disebutkan bahwa anggota baru dalam organisasi ini harus
menyetujui untuk tidak terlibat dalam transplantasi organ dari
tahanan mati maupun donor lain dimana terdapat resiko
ketidakjelasan izin dari donaturnya (Membership Statement 2007).
Berbagai publikasi yang dilakukan oleh INGOs kemanusiaan diatas
dilihat oleh peneliti sebagai bentuk ‘naming and shaming
campaign’. INGOs melakukan publikasi untuk meletakkan Cina
sebagai negara yang melanggar HAM (naming), serta memberikan
tekanan pada Cina untuk mengubah tindakannya (shaming). INGOs
kemanusiaan yang dalam hal ini adalah Amnesty International,
Human Rights Watch, Transplantation Society, dan World Medical
Association berperan sebagai aktor untuk menyalurkan informasi
yang kredibel melalui publikasi reguler untuk komunitas
internasional. Oleh sebab itulah, publikasi tersebut mampu
membahayakan reputasi Cina sebagai negara yang melanggar HAM
dan norma internasional. Hal ini kemudian menimbulkan reaksi atas
negara-negara lain dalam mengkritik pembangunan HAM di Cina
yang seharusnya terdapat perbaikan di dalamnya dalam rangka
persiapan Olimpiade di Beijing tahun 2008.
Pada Laporan Tahunan Komisi Eksekutif Amerika Serikat untuk
China tahun 20068 juga disebutkan bahwa adanya limited
improvement terkait isu kemanusiaan di Cina (CECC 2006). Negaranegara besar lain seperti Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat serta
delegasi PBB pun meminta klarifikasi bagi Cina atas praktik human
organ trafficking tersebut (Howie 2002). Hal ini tidak terlepas dari
publikasi yang diberikan INGOs terkait minimnya peningkatan HAM
di Cina yang mampu menggerakkan adanya bentuk ancaman boikot,
salah satunya oleh Uni Eropa. Elvira Dominguez Erdondo
menyatakan bahwa ‘naming and shaming’ mampu mendorong
negara lain untuk meresponnya dengan memberikan sanksi maupun
ancaman (Dominguez 2012, 18). Uni Eropa mengancam akan
memboikot Olimpiade di Beijing pada tahun 2008, apabila Cina
tidak mampu membuktikan adanya perbaikan isu HAM di negaranya
(Scott 2007). Hal ini dimulai dengan kunjungan ke Cina pada bulan
Mei 2006, oleh Wakil Presiden European Parliament, Edward
McMillan-Scott, karena masih maraknya isu human organ
trafficking terkait persiapan Olimpiades tahun 2008 dan
mengatakan:
“This month, I submitted a dossier to the
United Nations on torture and religious
freedom in China. It details the treatment of
just two of the people I had contact with
during my last visit to Beijing, in May 2006.
All were subsequently arrested, some
imprisoned, and three have been tortured.”
(Scott 2007).
Namun, pernyataan ini direspon oleh pemerintah Cina, bahwa semua
aktivitas boikot terkait Olimpiade Beijing hanya membuat
penghinaan. Jiang Yu, juru bicara Menteri Luar Negeri Cina
melakukan konferensi pers sebagai respon dari banyaknya
pemberitaan ancaman boikot terhadap Olimpiade dan mengatakan,
"If any one wants to take the world people's grand event as a stage for
political show, he or she has found a wrong place, and will only ask
for an insult" (Scott 2007).
Ni Jianping menyebutkan bahwa keberadaan INGOs kemanusiaan
dan para aktivis serta negara-negara yang menyorot isu HAM di Cina
merupakan tantangan bagi Cina dalam mempersiapkan Olimpiade di
tahun 2008 (Jianping 2008, 3). Dalam hal ini, Jianping melihat
bahwa seluruh aktor yang berperan dalam menyorot buruknya isu
HAM di Cina merupakan katalisator yang sukses untuk
mempengaruhi kebijakan Cina. Melalui intensitas frekuensi publikasi
INGOs, Cina akan meresponnya dengan mengubah kebijakan yang
8
The Congressional-Executive Commission on China dibentuk oleh Kongres pada
bulan Oktober 2000 untuk memonitor pembangunan kemanusiaan di Cina dan
memberikan laporan tahunan untuk Kongres dan Presiden Amerika.
berkenaan dengan penyelenggaraan acara Olimpiade 2008. Hal
tersebut disebabkan karena pemerintah Cina dituntut untuk
merespon berbagai protes dan kritik oleh masyarakat internasional
tanpa menggunakan kekerasan, karena semakin menghadirkan
sorotan media yang tajam untuk negaranya (Jianping 2008, 4).
Dalam Pertemuan Kongres Amerika Serikat dan Cina, disebutkan
bahwa tekanan melalui kampanye Olimpiade bukanlah hal yang siasia. Pemerintah Cina perlu menghindari tindakan represif yang
melampaui batas, guna memberikan label positif bagi masyarakat
internasional dalam rangka persiapan Olimpiade tahun 2008 di
Beijing (US Congressional-Executive Commission 2008, 49). Oleh
sebab itu, berbagai label negatif yang disematkan pada Cina melalui
publikasi ‘naming and shaming campaign’ oleh INGOs dilihat
sebagai suatu ancaman yang dapat memperburuk reputasi Cina dan
mempengaruhi keputusan IOC dalam menjadikan Cina sebagai tuan
rumah Olimpiade. Cina mencoba meyakinkan IOC untuk
memberikan kepercayaan kepada negaranya dan melakukan banyak
reformasi kebijakan HAM, salah satunya terkait dengan turunnya
angka tahanan mati pada tahun 2005 yang dipublikasikan bagi
masyarakat internasional (US Congressional-Executive Commission
2008, 3). Di tahun 2006, Menteri Kesehatan Cina mempublikasikan
“Interm Provision on Clinical Application and Management of
Human Organ Transplantation” sebagai simbol komitmennya dalam
memerangi isu human organ trafficking (Jingwei 2010). Pada tahun
2007, Cina membuat “Regulation on Human Organ Transplantation”
sebagai bukti kesungguhan negaranya dalam memerangi praktek
human organ trafficking.
Kesimpulan
Cina membuat kebijakan Human Organ Transplantation (HOT) pada
tahun 2007 akibat adanya tekanan melalui International NonGovernmental Organizations (INGOs) yakni International Olympic
Committee (IOC) sebagai INGOs yang membawahi Olimpiade.
Keberadaan IOC adalah sebagai katalisator tekanan internasional
bagi Cina. Dalam rangka persiapan Olimpiade Beijing tahun 2008,
keberadaan IOC mampu meletakkan Cina pada sorotan global
melalui generalisasi norma baru dimana HAM menjadi aspek
esensial bagi semua aktor yang terlibat Olimpiade. Pada kesempatan
ini, IOC memutuskan Cina untuk menjadi tuan rumah
penyelenggaraan Olimpiade.
Kekuatan IOC sebagai katalisator tekanan internasional juga tidak
terlepas dari pandangan Cina akan pentingnya Olimpiade. Hal ini
didukung oleh preposisi interdependensi yang melihat bahwa
terdapat kompleksitas dalam beberapa aspek yang berkaitan, seperti
permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembangunan
ekonomi. Olimpiade Beijing merupakan kesempatan besar bagi Cina
dalam mempromosikan budaya dan pariwisatanya yang tentunya
akan menunjang perbaikan citra Cina untuk mendukung
pembangunan negaranya. Seperti diketahui bahwa Cina saat ini Cina
berfokus pada pembangunan ekonomi sehingga Cina membutuhkan
label positif guna memperbaiki reputasinya dalam menarik banyak
negara untuk menanamkan investasi di negaranya. Hal inilah yang
menjadi dasar bahwa label merupakan aspek esensial bagi
perkembangan Cina, terutama dalam persiapannya menjelang
Olimpiade Beijing tahun 2008. Dalam hal ini, Cina dituntut untuk
mampu membuktikan pada IOC bahwa negaranya layak menjadi
tuan rumah acara global tersebut.
Perwujudan sorotan global bagi Cina dapat dilihat melalui banyaknya
publikasi INGOs di bidang kemanusiaan seperti Amnesty
International, Human Rights Watch, The British Transplantation
Society, dan World Medical Association. Melalui metode ‘naming
and shaming campaign’, INGOs tersebut memberikan laporan
berkala pada publik sekaligus pada IOC terkait perbaikan bidang
HAM di Cina, salah satunya adalah isu human organ trafficking,
guna menyambut Olimpiade Beijing tahun 2008. Hal ini
menimbulkan banyaknya reaksi negara-negara lain, yang menuntut
Cina untuk segera melakukan perbaikan HAM di negaranya.
Tuntutan tersebut dibuktikan dengan banyaknya ancaman boikot
dari negara-negara yang dapat membahayakan reputasi Cina dan
dilihat sebagai ancaman bagi keberlangsungan persiapan Olimpiade.
Menanggapi hal tersebut, Cina membuktikan pada masyarakat
internasional bahwa negaranya telah mulai memperhatikan
pembangunan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam proses
mempersiapkan Olimpiade, Cina melakukan reformasi kebijakan
terutama terkait dengan isu human organ trafficking, yang dimulai
pada tahun 2005 hingga tahun 2007 dengan membuat regulasi
Human Organ Transplantation yang melarang seluruh aktivitas
organ trafficking di negaranya dan bersedia memberikan sanksi bagi
pihak manapun yang terlibat. Penelitian ini dapat dilanjutkan
dengan menganalisis bagaimana perkembangan isu human organ
trafficking di Cina setelah Olimpiade berlangsung.
Daftar Pustaka
Buku
Shrik, Susan L, China: Fragile Superpower, New York: Oxford
University Press, 2007.
Jurnal Online
Amnesty International, “Legacy of the Beijing Olympics China’s
Choice”
(Amnesty
International
Publications,
2007).
http://www.refworld.org/pdfid/470c82602.pdf (diakses 2 Juni
2013).
Amnesty International, “People’s Republic of China, Olympic
Countdown”,
(2006).
(http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA17/046/2006/e
n/8aa65d80-d400-11dd-8743d305bea2b2c7/asa170462006en.pdf) diakses 13 Juni 2013.
Beijing 2008, “Taking a Bet on the Olympic Ideal. Will the IOC Heed
the Call for Human Rights in Tibet and China”, Free Tibet
Campaign Beijing 2008 Report, (2002): 3. (http://www.igfmmuenchen.de/china/olympia/Taking%20a%20Bet%20FTC.pdf
(diakses 3 Juni 2013).
CECC, “Congressional-Executive Commission on China 2006 Annual
Report” (Washington: U.S. Goverment Printing Office, 2006).
http://www.cecc.gov/pages/annualRpt/annualRpt06/CECCan
nRpt2006.pdf (diakses 8 April 2013).
De Reeper, Manon E & Liza Ruijs, “Organ Transplantation in China:
The Illegal Black Market Organ and the Role of the Chinese
government”,
(2011)
http://www.manonelieen.com/wpcontent/uploads/2012/10/Illegal-Organ-Transplantation-inChina.pdf (diakses 16 Desember 2012).
Economy, Elizabeth C, “China’s Olympic Nightmare” (2008).
http://www.foreignaffairs.com/articles/64447/elizabeth-ceconomy-and-adam-segal/chinas-olympic-nightmare
(diakes
30 Mei 2013).
Erdondo, Elvira Domininguez, “Universal Periodic Review: Is There
Life Beyond Naming and Shaming in Human Rights
Implementation”, New Zealand Law Review, (2012): 18.
http://www.academia.edu/1790209/Universal_Periodic_Revie
w_Is_There_Life_Beyond_Naming_and_Shaming_in_Huma
n_Rights_Implementation (diakses 12 Juni 2013).
Jingwei, Alex He, “Living Organ Transplantation Policy Transition in
Asia: towards Adaptive Policy Changes”, Global Health
Governance,
(2010).
http://ghgj.org/Living%20Organ%20Transpl.pdf. (diakses 16
Juni 2013).
Kang Hsuan, “Economic Impacts on Olympic Host Countries”,
(2006)
nccuir.lib.nccu.edu.tw/bitstream/140.119/37406/9/803009.pdf
(diakses 10 Juli 2013).
Matas, David, “Evidence”, Doctors Against Forced Organ
Harvesting. http://www.dafoh.org/evidence/ (diakses 10 Juni
2013).
Membership Statement. “Ethics Committee of the Transplantation
Society”,
(2007).
http://www.transplantationsoc.org/downloads/TTS_Ethics_Policy.pdf. (diakses 26 Mei
2013).
Nelson, Marcia B, “Stuck Between Interlocking Rings: Efforts to
Resolve the Conflicting Demands Placed on Olympic National
Governing Bodies”, Journal of Transnational Law, (1993), 901.
www.ii4u.com/Marcia-B-Nelson-PDF1048818.PDF (diakses 6
Juni 2013).
Smith, Athena, “Medical Tourism and Organ Trafficking”, African
Journal
of
Hospitality
(2012).
http://www.ajhtl.com/uploads/7/1/6/3/7163688/smith_a._vol
._2_1_-_2012.pdf (diakses 18 Maret 2013).
U.S. Department of State, 2011. “China includes Tibet, Hongkong,
and Macao”, Country Reports of Human Rights Practices 2011
dalam
http://www.state.gov/documents/organization/186478.pdf
(diakses 8 Juni 2013).
Hemphill, Joan E, “China’s Practice of Procuring Organ From
Excecuted
Prisoners”
(2007),
433.
(http://digital.law.washington.edu/dspacelaw/bitstream/handle/1773.1/595/16PacRimLPolyJ431.pdf?seq
uence=1) diakses 3 Juni 2013.
Hong, Lu, 2008. China’s Death Penalty: Reform on Capital
Punishment
dalam
http://www.eai.nus.edu.sg/BB412.pdf
(diakses 8 Juni 2013).
Jiefu, Huang et al “Government Policy and Organ Tranplantation in
China”,
The
Lancet.
http://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS01406736(08)61359-8/fulltext (diakses 3 Juni 2013).
Jianping, Ni, “The Beijing Olympics and China National Image
Building”, Shanghai Institute of American Studies, (2008): 3.
(http://www.cctr.ust.hk/materials/conference/workshop/14/ni
zp_olympics.pdf diakses 14 Juni 2013.
Artikel Koran Online dan Web
Annika, Tibell “The Transplantation Society’s Policy on Interaction
with
China”.
http://www.dafoh.org/the-transplantation-
societys-policy-on-interactions-with-china/ (diakses 26 Mei
2013).
Anonim, “Chinese Medical Association Research Agreement with
World Medical Association against Transplantation of
Prisoners’s Organs“, Medical News Today, 2007. http://w
ww.medicalnewstoday.com/releases/84754.php (diakses 20
November 2012).
Anonim, 2011. “Death Penalty Countries World”, the Guardian
dalam
http://www.guardian.co.uk/news/data/2011/mar/29/deathpenalty-countries-world#data (diakses 8 Juni 2013).
Anonim,“New Law Targets Organ Traders”, China Daily, (2011).
http://www.china.org.cn/china/201102/28/content_22016921.htm (diakses 20 November 2012).
Anonim, “Organ Sales Thriving in China”, BBC News,
(http://news.bbc.co.uk/2/hi/5386720.stm) diakses 3 Juni
2013.
Anonim, “China Says Boycotting Beijing will only Invite
Humiliation”,
English
People
Daily,
(2007),
(http://english.peopledaily.com.cn/90001/90776/6384965.ht
ml) diakses 13 Juni 2013.
Bose, Mihir, “High Stakes for Human Rights as IOC Gamble on
Improvement”,
the
Telegraph,
(2001).
http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/asia/china/1334
003/High-stakes-for-human-rights-as-IOC-gambles-onimprovement.html (diakses 1 Juni 2013).
Council of Foreign Relation, “The Global Human Rights Regime”
(2013).
http://www.cfr.org/human-rights/global-humanrights-regime/p27450 (diakses 11 Juni 2013).
Congressional-Executive Commission, “Hearing before the
Congressional-Executive Commission on China” (2008): 49.
http://www.gpo.gov/fdsys/pkg/CHRG110hhrg41150/pdf/CHRG-110hhrg41150.pdf (diakses tanggal 14
Juni 2013).
Fiji Association of Sports and National Olympic, “Olympic Values and
Olympism”.
http://www.sportingpulse.com/assoc_page.cgi?c=1-3653-0-00&sID=138368. (diakses 1 Juni 2013).
Gerlin, Andrea, “China’s Grim Harvest”, Time, (2006).
http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,1186611,0
0.html#ixzz2UMsbyC14 (diakses tanggal 26 Mei 2013).
Human Rights Watch, “Organ Procurement and Judicial Execution
China”
(1994),
(http://www.hrw.org/reports/1994/08/01/organprocurement-and-judicial-execution-china) diakses 25 Mei
2013.
Filip Bondy, “Beijing Games May be Chinese Victory Party”, MSNBC,
(2004). (http://www.msnbc.msn.com/id/5837943) diakses 12
Juni 2013.
Howie, John, “Ethical Issues for a New Millenium” (2002).
http://books.google.co.id (diakses 31 Maret 2013).
International
Olympic
Committee,
“Olympic
Charter”.
http://www.olympic.org/Documents/olympic_charter_en.pdf
(diakses 3 Juni 2013).
International Olympic Committee, “Beijing Briefing Kit” (2007),
http://www.swr.de/report/presse//id=3816966/property=download/nid=1197424/16fljuj/index.p
df (diakses 2 Juni 2013).
Lizhi, Chen, “China’s Widening Crackdown”, Socialist Magazine,
(2010).
http://www.socialismtoday.org/137/china.html
(diakses 8 Juni 2013).
McCallister, Peter, “Twenty Reasons for Boycott Beijing and
OneReason
We
Won’t”.
http://petermcallister.com/Boycott_Beijing.html (diakses 13
Juni 2013).
Macleod , Callum, “Organ Harvesting Changes in China Will be
Tough
to
Realize”,
USA
Today,
(2012).
http://usatoday30.usatoday.com/news/world/story/2012-0514/china-organ-transplant-ban/54964098/1 (diakses 21 Juni
2013).
Olympic Watch, “Olympic Watch Writes National Olympic
Committee”
(2006).
http://www.olympicwatch.org/news.php?id=102 (diakses 2
Juni 2013).
Shimazono, Yosuke, “The State of International Organ Trade: A
provisional Picture Based on Integration Available
Information”, Bulletin of The World Health Organization,
(2006): 955. www.who.int/entity/bulletin/volumes/85/12/06039370.pdf (diakses 4 Juni 2013).
Scott,
Edward
McMillan,
“Boycott
Beijing”,
(http://www.boycottbeijing.eu/) diakses 13 Juni 2013.
(2007).
United Nations General Assembly, “Convention Against Torture and
Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment”
(1984)
dalam
http://www.refworld.org/cgibin/texis/vtx/rwmain?docid=3ae6b3a94 (diakses 21 April
2013).
UNTC, “Convention Against Tortured and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment” , (New York: United
Nation,
1984).
http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&
mtdsg_no=IV-9&chapter=4&lang=en (diakses 18 Maret 2013).
Quader, Abdul, “Politics behind sports vis-à-vis Beijing Olympics
2008”
(World
Tibet
Network
News,
2001).
(http://www.tibet.ca/en/newsroom/wtn/archive/old?y=2001&
m=7&p=20_1). Diakses 2 Juni 2013.
Watts J. dalam Efforts to Curb Transplant Tourism.
http://www.medscape.com/viewarticle/716188_6 (diakses 30
Mei 2013).
Zhang Ning, “The Debate Over the Death Penalty Today’s in
China”,French Centre for Research on Contemporary China,
(2005),
http://chinaperspectives.revues.org/545(diakses 8
Juni 2013).
Download