Penggunaan Kitosan dari Tulang Rawan Cumi-Cumi (Loligo pealli) untuk Menurunkan Kadar Ion Logam (Harry Agusnar) PENGGUNAAN KITOSAN DARI TULANG RAWAN CUMI-CUMI (LOLIGO PEALLI) UNTUK MENURUNKAN KADAR ION LOGAM Cd DENGAN MENGGUNAKAN SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM Harry Agusnar Departemen Kimia FMIPA Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan 20155 Abstrak Penelitin tentang penggunaan kitosan sebagai penyerap logam kadmuim telah dilakukan. Kitosan dibuat melalui proses demineralisasi dengan larutan HCl 2M, deproteinasi dengan larutan NaOH 2M dan deasetilasi kitin dengan larutan NaOH 40%. Kitosan yang diperoleh berupa padatan berwarna putih kekuningan, tidak larut dalam air, tetapi larut dalam asam asetat 96,78%. Larutan kitosan disediakan dengan variasi waktu kontak. Sampel dicampur dengan larutan larutan kitosan dan pembentukan flokulan dilakukan dengan metode Jar Tes. Masing-masing pelakuan diukur secara analisi kuantitatif dengan menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom. Data yang diperoleh dan dianalisis secara statistik dengan Analisis Variansi (ANAVA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan waktu kontak 75 menit diperoleh kondisi optimum dengan % penyerapan sebesar 35,74%. Kata kunci: Kitosan, Logam Kadmium, Tulang Rawan Cumi-Cumi (Loligo Pealli), Spektrofotometri Serapan Atom PENDAHULUAN Pencemaran lingkungan pada perairan disebabkan oleh adanya logam–logam berat seperti kadmium yang berasal dari limbah industri sudah lama diketahui. Untuk menghilangkan bahan pencemar perairan tersebut hinggga kini masih terus dikembangkan. Penggunaan biomaterial merupakan salah satu teknologi yang dapat dipertimbangkan, mengingat materialnya mudah didapat dan membutuhkan biaya yang relatif murah sebagai bahan penyerap senyawa beracun. Tulang rawan cumi–cumi yang berupa bagian dalam kulit dengan mudah didapatkan mengandung senyawa kimia berupa kitin dan kitosan, senyawa ini dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam–logam berat yang dihasilkan oleh limbah industri. Hal ini dimungkinkan karena senyawa kitin dan kitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat berfungsi sebagai absorben terhadap logam berat. Kitin merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda, annelida, molusca, corlengterfa, dan nematode. Kitin biasanya berkonyugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus, dan pada bagian dalam kulit pada cumi–cumi (Clarkson, 2006). Diketahui bahwa cumi-cumi (Loligo pealli) merupakan hewan invetebrata yang pada bagian tulang rawan cumi-cumi terkandung kitin yang terikat bersama-sama dengan senyawa anorganik lainnya (Muzzarelli, R.A.A, 1973). 15 Jurnal Sains Kimia Vol. 11, No.1, 2007: 15-20 Kadmium dan bentuk garamnya banyak digunakan pada beberapa jenis pabrik untuk proses produksinya, industri pelapisan logam adalah pabrik yang paling banyak menggunakan kadmium murni sebagai pelapis logam. Kasus toksisitas kadmium semakin meningkat sejalan dengan perkembangan ilmu kimia. Sampai sekarang diketahui bahwa kadmium merupakan logam berat yang paling banyak menimbulkan toksisitas pada makhluk hidup (Darmono, 2001). Sahala Panjaitan, (1997), telah melakukan penelitian tentang penyediaan tulang rawan cumi-cumi menjadi kitin sedangkan Syafrida Siregar, (2006), tentang penggunaan kitosan dari kulit udang sebagai penyerap logam berat Cd. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kitosan dapat menyerap logam dengan baik. Kitin dan kitosan diperoleh berdasarkan sumbernya dan karakteristik juga didapati berbeda untuk setiap sumber yang dihasilkan, seperti derajat deasetilasi, viskositas dan berat molekul (Muzzarelli, R.A.A, 1977). Dari uraian di atas penulis tertarik untuk membuat kitosan dari tulang rawan cumicumi yang digunakan untuk menyerap logam kadmium. BAHAN DAN METODA Alat Neraca Analitis, Jar Tes, pH meter, Spektrofotometer FTIR, Spektrofotometer Serapan Atom, Motor Stirer, Botol Akuades dan Alat-alat gelas yang ada di Laboratorium. Bahan Tulang rawan cumi-cumi (Loligo pealli), Natrium Hidroksida, Asam Klorida, Asam Asetat Glasial, Kristal CdCl2.H2O, dan air suling. 16 Pembuatan Larutan Induk Cd 1000 ppm 1,7917 gram kristal CdCl2.H2O dilarutkan dengan aquadest dalam labu ukur 1000 mL sampai garis tanda, sehingga diperoleh larutan standar Cd 1000 ppm. Pembuatan Kurva Kalibrasi Dari larutan standar Cd 1000 ppm dipipet sebanyak 10 ml lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, kemudian dicukupkan dengan aquadest sampai garis batas, sehingga diperoleh larutan Cd 100 ppm. Kemudian dari larutan standar 100 ppm dipipet sebanyak 2, 4, 6, 8 dan 10 ml lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan aquadest sampai garis tanda, sehingga diperoleh larutan Cd 2, 4, 6, 8 dan 10 ppm. Pembuatan Larutan Kitosan 1 gram kitosan tulang rawan cumi-cumi dilarutkan dengan asam asetat 1% dalam beaker glass 500 mL, lalu diaduk dengan magnetic stirrer di atas motor stirrer. Pembuatan Kitin 1. Sampel (tulang rawan cumi-cumi) dicuci lalu dikeringkan, kemudian direndam dalam HCl 2M selama 24 jam, didapatkan hasil perendaman dalam HCl. 2. Hasil perendaman dengan HCl dicuci dengan air mengalir hingga pH air cucian menjadi netral, lalu direndam dengan NaOH 2M selama 24 jam, didapatkan hasil perendaman dalam NaOH. 3. Hasil perendaman dengan NaOH dicuci dengan air mengalir sehingga diperoleh kitin basah. 4. Kitin basah yang diperoleh dikeringkan. Pembuatan Kitosan 1. Kitin kering direndam dengan larutan NaOH 40% selama 6 hari, diaduk setiap hari agar perendaman homogen kemudian disaring sehingga diperoleh kitosan basah. Penggunaan Kitosan dari Tulang Rawan Cumi-Cumi (Loligo pealli) untuk Menurunkan Kadar Ion Logam (Harry Agusnar) 2. Kitosan basah dikeringkan sehingga didapatkan kitosan kering, kemudian ditentukan dengan Spektrofotometer FTIR dan uji kelarutan. Karakterisasi Kitosan Analisis Spektrofotometri Infra Merah Padatan kitosan yang dihasilkan dibuat film. Kemudian, film kitosan dianalisis gugus fungsinya dengan menggunakan instrumentasi spektrofotometri infra merah. Uji Kelarutan Kitosan Uji kelarutan kitosan dalam larutan CH2O2 10% (v/v). Uji kelarutan kitosan dalam air. Uji kelarutan kitosan dengan melarutkan kitosan dalam CH3COOH 1% (v/v). Penentuan Waktu Kontak Optimum 1. Sebanyak 100 ml larutan Cd dengan konsentrasi 10 ppm dimasukkan ke dalam tabung Jar Test. 2. Ditambahkan 10 ml larutan kitosan 1% selanjutnya diaduk dengan pengaduk Jar Test dengan kecepatan 100 rpm dengan variasi waktu 15, 30, 45, 60, dan 75 menit. 3. Didiamkan selama 15 menit pada 0 rpm. 4. Diambil filtrate bagian atas dan diatur pH menjadi pH 3, kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer serapan atom. Perendaman dengan larutan NaOH 2M bertujuan untuk menghilangkan protein setelah perendaman, kitin basah yang dihasilkan segera dilakukan pencucian dengan air agar tidak terjadi proses deasetilasi yang dapat menyebabkan terjadinya kitan. Penyediaan Kitosan Kitin yang dihasilkan direndam dalam NaOH 40% selama 6 hari berturut-turut dan diaduk tiap harinya sehingga dihasilkan kitosan basah. Kitosan basah yang dihasilkan segera dilakukan pencucian dengan air agar tidak terjadi proses degradasi produk selama proses pengeringan. Kitosan yang diperoleh dari proses deasetilasi kitin dengan menggunakan larutan NaOH konsentrasi tinggi, dimana proses deasetilasi bertujuan untuk memutuskan gugus amido (-NHCO-) menjadi gugus amina (-NH2) yang akan menghasilkan kitosan. Uji Kelarutan Kitosan Dari uji kelarutan kitosan didapati bahwa dengan menggunakan larutan asam asetat 1% dan asam formiat 10% semua kitosan melarut dengan sempurna dan membentuk larutan bening dan kental, hal ini diduga karena pada kitosan telah mengandung gugus amino bebas lebih besar dari 60% setelah mengalami proses deasetilasi. Hasil uji kelarutan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji Kelarutan Kitosan HASIL DAN PEMBAHASAN Penyediaan Kitin Penyediaan kitin dalam penelitian ini berdasarkan metode Alimuniar. A, dan Zainuddin. R. (1992).(19) Penggunaan larutan HCL 2M adalah untuk menghilangkan mineral-mineral yaitu menguraikan dan menghilangkan CaCO3 dan Ca3(PO4)2, reaksi ini terjadi ditandai dengan adanya gelembung-gelembung gas jika tidak ada lagi gelembung-gelembung gas pada air cucian menunjukkan air cucian menjadi netral. No 1. 2. 3. Pelarut Air Asam asetat 1% Asam Formiat 10% Kelarutan kitosan Tidak larut Larut Larut Analisis FT-IR Kitosan Pemeriksaan FT-IR untuk sampel kitosan bertujuan untuk mengetahui gugus asetamida yang telah berubah menjadi gugus amina dan menghitung derajat deasetilasinya. 17 Jurnal Sains Kimia Vol. 11, No.1, 2007: 15-20 Hasil analisis spektrofotometri infra merah kitosan diperoleh puncak sebagai berikut: pita serapan (-OH) di daerah 3440.8 cm-1, pita serapan (-CH) alifatis di daerah 2889.2 cm-1, pita serapan amida (-NH) di daerah 1639.4 cm-1, pita serapan metil (-CH3) di daerah 1380.9 cm-1 dan pita serapan metilen (-CH2) di daerah 650-1000 cm-1. Spektrum kitosan menginformasikan adanya serapan di daerah 3440.8 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus (-OH). Lebarnya serapan dan pergeseran bilangan gelombang ini disebabkan adanya tumpang tindih dengan gugus (-NH) dari amina. Serapan yang dihasilkan oleh spektrum-spektrum di atas mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan teori. Hasil spektrum IR kitosan tulang rawan cumi-cumi dapat dilihat pada Gambar 1 berikut: Gambar 1. Spektrum FT-IR Kitosan Menurut teori, pita serapan untuk gugus hidroksil (-OH) dan amin primer (-NH2) berada di daerah 3000-3750 cm-1, ikatan (CH) alifatis 2700-3000 cm-1, amida (-NH) didaerah 1640-1670 cm-1, metal (-CH3) di daerah 1375-1450 cm-1, dan (-CH) di daerah 650-1000 cm-1. Berdasarkan spektrum kitosan baku terdapat perbedaan pita serapan. Kitosan baku mempunyai serapan (-OH) di daerah 3425.3 cm-1, serapan (-CH) alifatis di daerah 2877,6 cm-1, pita serapan amida (-NH) di daerah 1600.8 cm-1, sedangkan pita serapan metil sama-sama berada 1380.9 cm-1. Perbedaan pita serapan (-OH) pada kitosan baku dan kitosan hasil penelitian mungkin disebabkan adanya ikatan hidrogen dalam 18 molekul sehingga pita serapan bergeser ke angka gelombang yang lebih rendah (Dachriyanus, 2004). Selain itu, kitosan baku sudah berada dalam bentuk murni dan telah dihilangkan pengotor-pengotornya, sedangkan kitosan hasil penelitian ini kemungkinan masih mengandung bahan pengotor dan adanya uap air yang mungkin terserap sehingga mempengaruhi ikatan hidrogen antar molekul yang menyebabkan perbedaan puncak serapan –OH. Penentuan derajat deasetilasi yang paling berperan adalah pita serapan amida dan hidroksil. Semakin tinggi kandungan amina yang terkandung di dalam kitosan, maka semakin tinggi derajat deasetilasinya (Habibie,S, 1996). Kitosan mengandung gugus amina lebih besar dari 60%. Perbedaan kandungan amina merupakan patokan untuk menentukan senyawa tersebut dalam bentuk kitosan atau masih berada dalam bentuk kitin. Analisis spektrofotometri infra merah diperoleh derajat deasetilasi sebesar 96,78% sehingga diduga sampel adalah senyawa kitosan. Senyawa ini diperoleh dari hasil deasetilasi kitin. Pada proses deasetilasi terjadi pemutusan ikatan C-N pada gugus amido sehingga berubah menjadi gugus amin primer. Derajat deasetilasi yang dihasilkan kitosan yang menggunakan konsentrasi larutan NaOH 40% sebesar 96,78% lebih besar dari 85,52% yang merupakan derajat deasetilasi kitosan yang pernah dilakukan menggunakan konsentrasi larutan NaOH yang sama (Edmi, Yul, 1999). Besarnya derajat deasetilasi kitosan tergantung dari konsentrasi alkali yang digunakan, lamanya waktu perebusan, ukuran partikel kitin dan berat jenis (Sirait, I.R,2002) Untuk memperoleh kitin yang 100% dapat terdeasetilasi ternyata cukup sulit. Namun demikian, penghilangan gugus asetil sebanyak 80% sudah memenuhi pasaran kitosan. Kitosan dengan derajat deasetilasi minimum sebesar 70% dapat diterima di pasaran (Sawalluddin, 1999). Penggunaan Kitosan dari Tulang Rawan Cumi-Cumi (Loligo pealli) untuk Menurunkan Kadar Ion Logam (Harry Agusnar) Data Hasil Pengukuran Kadar Kadmium Data hasil pengukuran kadar kadmium yang diperoleh dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 2. Data Hasil Pengukuran Absorbansi Larutan Standar Kadmium Secara Spektrofotometer Serapan Atom. No. 1 2 3 4 5 Kadar (ppm) 2,0000 4,0000 6,0000 8,0000 10,0000 Absorbansi (A) 0,2290 0,3250 0,4450 0,5480 0,6250 Tabel 3. Data Hasil Pengukuran Kadar Kadmium dalam Sampel dengan Variasi Waktu Kontak Secara Spektrofotometer Serapan Atom Berat Kitosan (gram) 1,0 Waktu Kontak (menit) 15 30 45 60 75 Ulangan I II III 0,5860 0,5645 0,5350 0,5241 0,4570 0,5880 0,5748 0,5345 0,5240 0,4550 0,5870 0,5678 0,5355 0,5239 0,4560 Rata-rata Kadar (ppm) 0,5870 0,5690 0,5350 0,5240 0,4560 9,0039 ± 0,0486 8,6502 ± 0,0287 7,9803 ± 0,0243 7,7638 ± 0,0048 6,4252 ± 0,0491 Tabel 4. Rancangan Acak lengkap untuk Kadar Kadmium dengan Variasi Waktu Kontak Secara Spektrofotometri Serapan atom dalam Sampel Sumber Keragaman Waktu kontak Galat Total Ket: * = nyata Derajat Bebas 4 10 14 Jumlah Kuadrat 11,8819 0,0233 11,9052 Rancangan Acak Lengkap untuk Hasil Pengukuran Kadar Kadmium Dari hasil perhitungan rancangan acak lengkap untuk pengukuran kadar kadmium diperoleh daftar ANAVA pada Tabel 4 sehingga dapat dilihat bahwa: untuk taraf faktor waktu kontak larutan kitosan terhadap kadar Cd F hitung > F0,05. F hitung sebesar 1291,5217 adalah lebih besar dari F0,05 sebesar 3,48 berarti hipotesa nol (H0) ditolak dan hipotesa alternatif diterima. Kuadrat Tengah 2,9705 0,0023 F Hitung F Tabel 5% 1291,5217* 3,48 Hal ini menunjukkan bahwa waktu kontak kitosan mempunyai pengaruh nyata terhadap kadar kadmium. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kitosan yang diperoleh telah dilakukan pengujian seperti uji kelarutan di mana kitosan larut di dalam larutan asam asetat 19 Jurnal Sains Kimia Vol. 11, No.1, 2007: 15-20 1% dan asam formiat 10%, serta penentuan derajat deasetilasi dengan perhitungan melalui spektrum infra merah dan didapati DD sebesar 96,78%. 2. Kitosan mampu menyerap logam kadmium secara optimum pada waktu kontak 75 menit dengan % penyerapan sebesar 35,75%. Saran Untuk peneliti selanjutnya disarankan dalam penentuan derajat deasetilasi pada kitosan dengan menggunakan metode yang lain seperti UV dan TGA, sehingga dapat dibandingkan hasilnya dengan metode spektrofotometri infra merah dan dilakukan penelitian tentang penggunaan kitosan untuk logam-logam berat lainnya seperti Hg, Bi. DAFTAR PUSTAKA Clarkson. (2006). Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerapan Logam Berat (timbal, Kadmium, dan tembaga) di Perairan http://www.rudyct. topcities.com/pps702 71034/marganof.htm. Diakses tanggal 12 Februari 2006. Dachriyanus. 2004. Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektrofotometri Cetakan pertama. Padang: Universitas Andalas Press. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Cetakan Pertama. Jakarta: UIPress. Edmi, Yul. 1999. Penentuan Nisbah Kitin dan Kitan dalam Kitosan dengan Menggunakan Spektroskopi IR. Skripsi Medan: Universitas Sumatera Utara. Habibie, S. 1996. Penelitian Pembuatan Chitosan di Indonesia. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Kajian Material. Jakarta. Muzzarelli, R.A.A. 1973. Natural Chelating Polimer. Oxfort: Pergamon Press. Muzzarelli, R.A.A. 1977. Chitin, Oxfort: Pergamon Press. Sawalluddin. 1999. Ekstraksi Kitin dan Kitosan dari Kulit Udang. Skripsi Medan: Universitas Sumatera Utara. Sirait, I.R. 2002. Pemanfaatan Kitosan dari Kulit Udang Dan Cangkang Belangkas untuk Menurunkan Kadar Ni, Cr Limbah Cair Industri Pelapisan Logam. Tesis: Universitas Sumatera Utara. 20 Syafrida, S. 2006. Studi Perbandingan Penggunaan Pelarut Kitosan sebagai Penyerap Logam Berat Kadmium (Cd2+) dengan Menggunakan Metode Spektrofotometri Serapan Atom. Skripsi, Medan: Universitas Sumatera Utara.