5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Mutakhir Penelitian mengenai dampak interkoneksi DG terhadap rugi-rugi daya dan keandalan pada jaringan distribusi tenaga listrik telah banyak dilakukan dan menunjukkan hasil yang positif terhadap penurunan nilai rugi-rugi daya serta mampu meningkatkan keandalan pada jaringan distribusi. Berikut beberapa ulasan penelitian mengenai dampak DG terhadap rugi-rugi daya dan keandalan pada jaringan distribusi tenaga listrik: 1. Penelitian mengenai pengaruh beroperasinya DG terhadap penurunan nilai rugi daya telah dilakukan oleh Dion A.P, 2015. Pada penelitian tersebut dilakukan analisis terhadap rugi daya dengan menggunakan metode bagi dua yaitu membagi penyulang menjadi dua bagian untuk memperoleh nilai rugi daya terendah. Hasil penelitian tersebut adalah penurunan nilai rugirugi daya pada jaringan distibusi Penyulang Bangli. Sebelum terpasangnya PLTS 1 MWp besarnya rugi daya pada penyulang Bangli adalah 168,7 kW yang kemudian menjadi 107,4 kW setelah terpasangnya PLTS 1 MWp pada penyulang tersebut. 2. Penelitian mengenai pengaruh pemasangan DG terhadap perbaikan keandalan sistem distribusi telah dilakukan oleh Sunanda, 2013. Pada penelitian tersebut Metode analisis sensitivitas bus digunakan untuk mengetahui lokasi terbaik pemasangan DG dengan parameter peningkatan keandalan pada sistem. Berdasarkan semua studi kasus yang sudah dilakukan, perbaikan indeks keandalan (indeks keandalan sistem maupun indeks keandalan setiap beban) yang paling optimum terjadi ketika DG dipasang pada bus 4. Nilai indeks keandalan sistem pada kondisi tersebut adalah SAIFI sebesar 3,14 pemutusan/pelanggan, SAIDI sebesar 23,2052 jam/pelanggan, CAIDI sebesar 7,39 jam/pemutusan, ASAI = 0,9974 atau 99,74 %, dan ASUI sebesar 0,0026 atau 0,26 %. 5 6 3. Analisis mengenai dampak pemasangan Distributed Generation terhadap rugi–rugi daya telah dilakukan oleh Bawan, 2012. Pada penelitian tersebut dilakukan analisis mengenai dampak pemasangan DG tehadap rugi-rugi daya. Metode penempatan yang digunakan adalah metode Sectional, dengan mempersentasekan panjang penyulang dan parameter yang digunakan adalah rugi-rugi daya pada sistem. Hasil yang diperoleh pada penelitian tersebut yaitu dengan injeksi pada lokasi bus 77 (65% panjang saluran dari grid) dengan besar injeksi 85% kapasitas DG, penurunan rugi daya sebesar dari 240,15 KW menjadi 99,39 KW atau penghematan sebesar 58,61%. 4. Penelitian mengenai pengaruh pemasangan distributed generation (DG) terhadap nilai susut daya pada sistem distribusi tenaga listrik dilakukan oleh Supardi, 2012 dengan memodelkan sistem jaringan distribusi 18 bus dan DG pada software ETAP dengan melakukan load flow simulation pada berbagai macam kondisi untuk mengetahui nilai susut daya yang dihasilkan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penambahan DG pada sistem distribusi dapat menurunkan nilai susut daya pada sistem distribusi. Dengan pemasangan DG berkapasitas 250 kW pada bus 25 atau 26 akan menghasilkan nilai susut daya sistem yang rendah yaitu 117,4 kW. 5. Penelitian mengenai dampak pemasangan pembangkitan distribusi terhadap tegangan dan losses pada jaringan distribusi telah dilakukan oleh Tjahjono, 2010. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa pemasangan DG sangat berpengaruh pada losses total sistem. Dengan pemasangan DG dapat meminimalkan losses total pada jaringan distribusi Penyulang III Keputih Gardu Induk Rawang. Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan diperoleh losses total sebelum terpasangnya DG pada jaringan adalah 48,7 kW dan losses total setelah terpasangnya DG pada jarigan secara optimal menjadi 28,6 kW. Hasil yang diperoleh dalam penelitian-penelitian tersebut merupakan acuan yang digunakan dalam tugas akhir / skripsi ini. Perbedaan penelitian-penelitian tersebut dengan tugas akhir / skripsi ini adalah adanya pengembangan dari DG yang digunakan serta metode yang digunakan untuk mengetahui pengaruh interkoneksi 7 DG terhadap rugi-rugi daya dan keandalan pada sistem distribusi tenaga listrik. Pada tugas akhir ini DG yang digunakan adalah sebuah pembangkit listrik tenaga sampah yang diinterkoneksikan ke sistem distribusi tenaga listrik, sedangkan untuk mengetahui pengaruh interkoneksi DG maka dilakukan analisis menggunakan Load Flow Analysis dan Reliability Assessment yang masing-masing digunakan dalam analisis rugi-rugi daya dan keandalan pada sistem distribusi tenaga listrik. 2.2 Distributed Generation (DG) DG merupakan pembangkit skala kecil maupun menengah dengan kisaran daya yang dihasilkan antara 1 kW sampai dengan 10 MW, yang disambungkan pada sistem distribusi dan biasanya ditempatkan pada bus yang langsung menyuplai pusat beban dan atau pada gardu induk distribusi. Berikut adalah contoh interkoneksi DG pada jaringan diribusi tenaga listrik: Distributed Generation Gardu Induk Gambar 2.1 Interkoneksi DG pada Jaringan Distribusi Tenaga Listrik Berdasarkan fungsinya, DG dibedakan atas dua macam yaitu sebagai unit yang difungsikan untuk mengantisipasi apabila terjadi pemutusan dari suplai daya grid atau stand by unit dan difungsikan sebagai unit yang dipasang pada jam-jam beban puncak atau peaking unit (Sunanda. W, 2013). Karakteristik DG adalah skala kecil, terdistribusi dan dekat dengan pusat beban (closed to load), terinterkoneksi dengan sistem distribusi, membatasi pembangunan jaringan transmisi dan memiliki aliran daya satu arah. Pembangkit ini ramah lingkungan, andal dalam merespon perubahan beban, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, deregulasi dalam pasar kelistrikan dan sejumlah keuntungan lainnya (Viawan, 2008). Pada akhir 8 1990-an, DG secara luas diselidiki oleh International Council on Large Electric Systems (CIGRE). CIGRE telah mendefinisikan Distributed Generation sebagai setiap unit pembangkit dengan kapasitas maksimum 5 MW sampai 10 MW, yang terhubung ke jaringan distribusi (Bawan, 2011). Selain itu definisi lain juga diberikan oleh Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE) yang mendefinisikan Distributed Generation sebagai pembangkitan yang menghasilkan energi dalam kapasitas yang lebih kecil dibandingkan pusat-pusat pembangkit konvensional dan dapat dipasangkan hampir pada setiap titik sistem tenaga listrik dengan kapasitas dibawah 10 MW. Berikut adalah daftar penggolongan DG berdasarkan range daya yang mampu dihasilkannya: Tabel 2.1 Tipe DG Berdasarkan Range Daya Yang Dihasilkan Tipe DG Micro DG Small DG Medium DG Large DG Range Daya 1 watt < 5 kW 5 kW < 5 MW 5 MW < 50 MW < 300 MW (Sumber: Muljono A.B dkk, 2009) 2.2.1 Interkoneksi DG Pada Sistem Distribusi Tenaga Listrik Meningkatnya penggunaan unit DG dapat menyebabkan aliran daya mengalir dari jaringan bertegangan rendah ke jaringan bertegangan menengah. Aliran daya dua arah ini membutuhkan skema proteksi yang berbeda pada kedua level tegangan tersebut, dan skema proteksi yang baru tersebut dapat memungkinkan aliran daya yang terbalik namun dengan tetap menjamin kegagalan hanya terjadi ketika muncul gangguan di sisi jaringan bertegangan menengah. Interkoneksi juga terkena dampak jika dilihat dari aspek topologi jaringan. Pada jaringan radial, tegangan rendah dipasok oleh transformator tegangan menengah yang relatif lebih mudah untuk dirancang. Akan tetapi, dalam kasus ini profil tegangan untuk jaringan radial lebih rentan, DG yang memiliki daya di atas rating daya tertentu dapat mempunyai pengaruh buruk terhadap profil tegangan. Selain itu, untuk meningkatkan fleksibilitas DG maka dibutuhkan usaha yang lebih di sisi operasi jaringan. 9 Beroperasinya unit-unit pembangkit tersebar (generator sinkron) dapat mengubah kestabilan dinamis keseluruhan sistem tenaga, hal ini bergantung pada seberapa besar unit-unit pembangkit ini mengubah struktur ataupun topologi dari sistem terinterkoneksi dan titik operasinya. Berdasarkan sudut pandang matematis, hubungan antara suatu generator dengan jaringan tenaga menghasilkan adanya pengembangan parameter, sebuah titik operasi yang baru terbentuk dan kestabilan titik ini harus dipelajari menggunakan perhitungan batasan stabilitas (Muljono A.B. dkk, 2009). Teknologi DG micro systems seperti photovoltaic modules, baterai, fuel cell dan micro hydro turbines yang dikoneksikan menggunakan piranti antarmuka converter pada jaringan akan memproduksi arus langsung. Piranti daya elektronik modern memberikan solusi yang berbeda untuk mengkonversi arus DC ke AC, tegangan dan arus aktif / reaktif sesuai frekuensi yang diperlukan. Power electronic converters juga memberikan dampak kemungkinan untuk pengintegrasian jaringan. Converter daya digunakan untuk mengontrol tegangan jaringan distribusi. Hal tersebut dapat menyebabkan fluktuasi daya dan osilasi pada jaringan distribusi meskipun kasus tersebut tergolong langka. Banyaknya pilihan dalam menghubungkan jaringan distribusi dengan DG membuat analisis permasalahan pengintegrasian menjadi sangat kompleks. Oleh karena itu, setiap jaringan memerlukan analisis yang lebih rinci. Perkembangan standar industri untuk desain pemasangan sebuah DG memerlukan standar interkoneksi dari sumber DG untuk mencapai jaringan operasi yang aman. Standar yang biasa digunakan berdasarkan rekomendasi IEEE (Institute of Electrical and Electronics Engineers) atau ANSI (American National Standards Institute) (Dion A.P, 2015) 2.2.2 Perkembangan Teknologi Distributed Generation di Indonesia Infrastruktur tenaga listrik telah ada lebih dari satu abad yang lalu ketika sebuah generator kecil yang terisolasi digunakan untuk menyuplai beban dengan jarak yang dekat. Sebagai infrastruktur dengan perkembangan yang cepat, keuntungan dari sistem yang didasarkan pada pembangkitan terpusat terus bermunculan. Pembangkitan terpusat dalam sistem interkoneksi memberikan 10 manfaat berupa diversifikasi beban, peningkatan fleksibilitas sumber energi, dan peningkatan keandalan. Akhir-akhir ini perubahan peraturan, kemajuan teknis, dan dampak lingkungan telah menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam aplikasi DG (IEEE Power & Energy, 2014). Teknologi DG di Indonesia telah berkembang sejak lama seiring dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 “Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Energi” yang mengijinkan pembelian terhadap kelebihan energi listrik (excess power). Perkembangan teknologi DG terus berkembang dengan memanfaatkan pembangkit listrik skala kecil (mikro) yang dikelola oleh pihak PLN atau swasta (Independent Power Producer). Sejak tahun 2002, teknologi DG di Indonesia dikenal sebagai “Pembangkit Listrik Skala Kecil Tersebar” seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2002. Melalui PP Nomor 31 tahun 2009, Pemerintah juga mendorong penggunaan sumber energi baru, terbarukan dan energi primer yang yang lebih efisien untuk pembangkit tenaga listrik, dan diberikan kesempatan bagi Pembangkit Skala Kecil Swasta dan Koperasi (PSKSK) untuk menjual tenaga listriknya kepada PLN. Harga jual tenaga listrik dari PSKSK adalah harga pada titik interkoneksi dengan Sistem PLN dan harga jual ini disesuaikan setiap tahunnya berdasarkan perhitungan biaya marginal Sistem PLN. Dewasa ini, skema pemanfaatan teknologi DG di Indonesia dibagi menjadi 2 yaitu (Priatna, 2014): 1. Skema IPP (Independent Power Producer) Skema ini berisi perjanjian yaitu teknologi DG harus mengirim tenaga listriknya ke sistem PLN secara kontiniu (24 jam). Skema ini biasanya memiliki kontrak dalam jangka waktu yang lama (minimal 15 tahun) dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan atas kesepakatan bersama. 2. Skema Pembelian Excess Power (Kelebihan Tenaga Listrik) Skema ini berisi perjanjian yaitu teknologi DG mengirim kelebihan tenaga listriknya ke sistem PLN pada waktu-waktu tertentu (biasanya pada Waktu Beban Puncak). Skema ini biasanya memiliki kontrak jangka pendek (1 tahun) dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan atas kesepakatan bersama. 11 Perkembangan pembangkit tersebar pada sistem tenaga diperkirakan akan semakin menyebar. Uni Eropa sebagai pelopor DG memperkirakan penggunaan pembangkit tersebar / Distributed Generation (DG) 12% dari total pembangkitan pada tahun 2000, 13-18% pada tahun 2010 dan 15-22% pada tahun 2020. Oleh karena itu saat ini perhatian mulai bergeser ke arah mempertimbangkan efek kumulatif pada sistem tenaga akibat adanya level kapasitas DG yang signifikan. Dapat diperkirakan bahwa DG ukuran besar akan memberikan dampak secara global. Penelitian-penelitian saat ini lebih memperhatikan dampak pemasangan DG terhadap stabilitas sistem (Muljono A.B dkk, 2009). 2.3 Sistem Distribusi Tenaga Listrik Sistem distribusi tenaga listrik merupakan subsistem tenaga listrik yang berfungsi untuk menyalurkan atau mendistribusikan energi listrik dari sumber energi listrik besar (Bulk Power Source) sampai ke konsumen. Jadi sistem distribusi ini merupakan subsistem yang berhubungan langsung dengan pelanggan karena catu daya pada pusat-pusat beban secara langsung dilayani oleh sistem distribusi ini. Sistem distribusi tenaga listrik dapat dibagi menjadi 2 berdasarkan besarnya tegangan yang didistribusikan, yaitu sistem distribusi primer dan sistem distribusi sekunder. Sedangkan berdasarkan konfigurasi jaringannya, sistem distribusi dibagi menjadi 3 yaitu sistem distribusi radial, ring/loop, dan spindel (Suswanto D, 2009). 2.3.1 Sistem Distribusi Primer Sistem distribusi primer atau sering disebut jaringan distribusi tegangan menengah terletak diantara gardu induk dengan gardu pembagi atau gardu distribusi yang memiliki tegangan sistem lebih tinggi dari tegangan untuk konsumen. Standar tegangan untuk jaringan distribusi primer ini adalah 6 kV, 10 kV, dan 20 kV (SPLN 1, 1995). Pada sistem distribusi primer saluran yang digunakan untuk menyalurkan energi listrik ke konsumen disebut sebagai penyulang (Feeder). Umumnya setiap penyulang diberi nama sesuai dengan daerah beban yang dilayani oleh penyulang tersebut. Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam mengingat dan menandai jalur-jalur beban yang dilayani oleh penyulang tersebut. 12 2.3.2 Sistem Distribusi Sekunder Sistem distribusi sekunder atau sering disebut jaringan distribusi tegangan rendah, merupakan jaringan yang berfungsi sebagai penyalur tenaga listrik dari gardu-gardu pembagi atau gardu distribusi ke pusat-pusat beban (konsumen tenaga listrik). Besarnya standar tegangan untuk jaringan ditribusi sekunder ini adalah 127/220 V untuk sistem lama, dan 220/380 V untuk sistem baru, serta 440/550 V untuk keperluam industri. Besarnya tegangan maksimum yang diizinkan adalah +5% dan -10% dari tegangan nominalnya (SPLN 1, 1978). Penetapan ini sebanding dengan besarnya nilai tegangan jatuh (voltage drop) yang telah ditetapkan, bahwa rugi-rugi daya pada suatu jaringan adalah 15 %. Dengan adanya pembatasan tersebut stabilitas penyaluran daya ke pusat-pusat beban tidak terganggu (Suswanto D, 2009). 2.3.3 Sistem Distribusi Radial Sistem distribusi tipe radial merupakan sebuah sistem yang hanya terhubung ke satu sumber dan antara titik sumber dan titik bebannya hanya terdapat satu saluran (line), tidak ada alternatif saluran lainnya. Sistem radial pada jaringan distribusi merupakan sistem terbuka, yaitu tenaga listrik yang disalurkan secara radial melalui gardu induk ke konsumen-konsumen dilakukan secara terpisah satu sama lainnya. Sistem ini merupakan sistem yang paling sederhana diantara sistem yang lain dan paling murah, sebab sesuai konstruksinya sistem ini menghendaki sedikit sekali penggunaan material listrik, apalagi jika jarak penyaluran antara gardu induk ke konsumen tidak terlalu jauh (Suswanto D, 2009). Dinamakan radial karena saluran ini ditarik secara radial dari suatu titik yang merupakan sumber dari jaringan itu dan dicabang-cabang ke titik-titik beban yang dilayani. Namun jaringan yang hanya mempunyai satu pasokan tenaga listrik, jika terjadi gangguan akan terjadi “blackβout” atau padam pada bagian yang tidak dapat dipasok (Buku I PLN, 2010). Sistem distribusi tipe radial dapat dilihat pada gambar 2.2. 13 Gambar 2.2 Konfigurasi Sistem Distribusi Tipe Radial (Sumber : SPLN 59, 1985) 2.3.4 Sistem Distribusi Ring/Loop Sistem distribusi ring/loop pada jaringan distribusi merupakan suatu sistem penyaluran melalui dua atau lebih saluran penyulang atau feeder yang saling berhubungan membentuk rangkaian berbentuk cincin (Ring). Sistem ini secara ekonomis menguntungkan, karena gangguan pada jaringan terbatas hanya pada saluran yang terganggu saja. Sedangkan pada saluran yang lain masih dapat menyalurkan tenaga listrik dari sumber lain dalam rangkaian yang tidak terganggu. Sehingga kontinuitas pelayanan sumber tenaga listrik dapat terjamin dengan baik. Yang perlu diperhatikan pada sistem ini apabila beban yang dilayani bertambah, maka kapasitas pelayanan untuk sistem rangkaian tertutup ini kondisinya akan lebih jelek. Tetapi jika digunakan titik sumber (Pembangkit Tenaga Listrik) lebih dari satu di dalam sistem jaringan ini maka sistem ini akan benyak dipakai, dan akan menghasilkan kualitas tegangan lebih baik, serta regulasi tegangannya cenderung kecil (Suswanto D, 2009). Sistem ini cocok untuk digunakan pada daerah beban yang padat dan memerlukan keandalan tinggi. Sistem distribusi tipe ring / loop dapat dilihat pada gambar 2.3. Gambar 2.3 Konfigurasi Sistem Distribusi Tipe Ring / Loop (Sumber : SPLN 59, 1985) 14 2.3.5 Sistem Distribusi Spindel Konfigurasi spindel umumnya dipakai pada saluran kabel bawah tanah. Pada konfigurasi ini dikenal 2 jenis penyulang yaitu pengulang cadangan (standby atau express feeder) dan penyulang operasi (working feeder). Penyulang cadangan tidak dibebani dan berfungsi sebagai backβup supply jika terjadi gangguan pada penyulang operasi. Untuk konfigurasi 2 penyulang, maka faktor pembebanan hanya 50%. Berdasarkan konsep Spindel jumlah penyulang pada 1 spindel adalah 6 penyulang operasi dan 1 penyulang cadangan sehingga faktor pembebanan konfigurasi spindel penuh adalah 85 %. Ujungβujung penyulang berakhir pada gardu yang disebut Gardu Hubung dengan kondisi penyulang operasi “NO” (Normally Open), kecuali penyulang cadangan dengan kondisi “NC” (Normally Close) Dalam keadaan normal memang express feeder ini sengaja dioperasikan tanpa beban (Buku I PLN, 2010). Sistem distribusi tipe spindel dapat dilihat pada gambar 2.4. Gambar 2.4 Konfigurasi Sistem Distribusi Tipe Spindel (Sumber : SPLN 59, 1985) 2.4 Saluran Distribusi Tenaga Listrik Saluran distribusi tenaga listrik merupakan saluran yang digunakan untuk mendistribusikan energi listrik dari sumber ke konsumen. Sebagai saluran utama yang digunakan untuk mendistribusikan energi listrik ke konsumen, saluran distribusi tenaga listrik dituntut agar memiliki rugi-rugi daya yang kecil dan tingkat keandalan yang tinggi dengan tujuan agar konsumen dapat menggunakan energi listrik sesuai standar yang telah ditetapkan oleh PLN sebagai perusahaan utama milik negara yang bertanggungjawab atas penyediaan dan penyaluran energi listrik. 15 Saluran distribusi tenaga listrik atau jaringan tegangan menengah 20 kV biasanya menggunakan penghantar saluran udara tanpa isolasi, kabel udara pilin / twisted tegangan menengah, atau kabel bawah tanah tegangan menengah. 2.4.1 Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM) Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM) merupakan sistem penyaluran tenaga listrik melalui kawat penghantar tanpa isolasi. Sistem ini merupakan konstruksi termurah untuk penyaluran tenaga listrik dan paling banyak digunakan untuk melayani konsumen. Ciri utama jaringan ini adalah penggunaan penghantar tanpa bahan isolasi yang ditopang dengan isolator pada tiang besi/beton. Penggunaan penghantar tanpa isolasi harus memperperhatikan faktor yang terkait dengan keselamatan ketenagalistrikan seperti jarak aman minimum yang harus dipenuhi penghantar bertegangan 20 kV tersebut. Baik antar phasa, jarak penghantar dengan bangunan, dengan tanaman maupun dengan jangkauan manusia. Penggunaan penghantar ini tidak menjamin keamanan terhadap tegangan sentuh yang dipersyaratkan akan tetapi untuk mengurangi resiko gangguan temporer (Buku 5 PLN, 2010) . Gambar 2.5 Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM) Dalam pengoperasian saluran udara tegangan menengah perlu mempertimbangkan jenis penghantar yang digunakan dalam saluran tersebut. Penentuan jenis penghantar sangat diperlukan untuk menentukan karakteristik mekanis maupun karakteristik listrik saat aliran daya terjadi. Penghantar saluran distribusi 16 umumya berbahan tembaga atau alumunium dengan inti baja (Alumunium Conductor, Steel-Reinforced atau ACSR) Jenis-jenis kawat penghantar yang biasa digunakan antara lain (Dion A.P, 2015): a. Tembaga dengan konduktivitas 100% (Cu 100%) b. Tembaga dengan konduktivitas 97,5% (Cu 97,5%) c. Alumunium dengan konduktivitas 61% (Al 61%) Penggunaan penghantar berbahan alumunium mulai menggantikan penggunaan penghantar berbahan tembaga. Untuk memperbesar kuat tarikan dari pengahantar alumunium, digunakan campuran alumunium (alumunium alloy). Penghantar alumunium terdiri dari berbagai jenis, seperti gambar sebagai berikut (Dion A.P, 2015): a. AAC (All-Alumunium Conductor), yaitu kawat penghantar yang seluruhnya terbuat dari alumunium. b. AAAC (All-Alumunium-Alloy Conductor), yaitu kawat penghantar yang seluruhnya terbuat dari campuran alumunium. Gambar 2.6 Jenis-jenis Kawat Penghantar Tenaga Listrik (sumber: Dion A.P, 2015) 2.4.2 Saluran Kabel Udara Tegangan Menengah (SKUTM) Saluran Kabel Udara Tegangan Menengah (SUTM) merupakan sistem penyaluran tenaga listrik melalui kawat penghantar berisolasi atau kabel. Penggunaan kabel pada sistem distribusi tegangan menengah 20 kV adalah untuk meningkatkan keamanan dan keandalan penyaluran tenaga listrik. Penggunaan penghantar telanjang atau penghantar yang berisolasi setengah pada konstruksi jaringan Saluran Udara Tegangan Menengah 20 kV, dapat digantikan dengan konstruksi penghantar berisolasi penuh yang dipilin (Buku 5 PLN, 2010). Jenis 17 kabel yang biasa digunakan pada saluran kabel udara tegangan menengah adalah XLPE dan berselubung PVC berpenggantung penghantar baja dengan tegangan Pengenal 12/20 (24) kV Penghantar jenis ini khusus digunakan untuk SKUTM dan berisolasi penuh (SPLN 43-5-2, 1995). Berikut merupakan gambar dari kabel yang digunakan untuk saluran udara tegangan menengah yang ditunjukkan pada gambar 2.7. Gambar 2.7 Kabel Udara Tegangan Menengah (KUTM) (Sumber : Buku 5 PT. PLN Persero, 2010) 2.4.3 Saluran Kabel Tanah Tegangan Menengah (SKTM) Konstruksi SKTM pada dasarnya memiliki fungsi yang sama seperti SUTM yaitu menyalurkan tenaga listrik melalui kawat penghantar. Hanya saja penghantar yang digunakan pada konstruksi ini adalah penghantar berisolasi dan tertanam didalam tanah. Konstruksi ini memang lebih mahal dibandingkan dengan konstruksi SUTM akibat konstruksi isolasi penuh pada penghantar per phasa dan pelindung mekanis yang dipersyaratkan sesuai keamanan ketenagalistrikan. Namun konstruksi ini memiliki keuntungan seperti tidak terpengaruh oleh cuaca buruk, bahaya petir, badai, tertimpa pohon dan gangguan lain yang sifatnya eksternal (Suswanto D, 2009). Penggunaan Saluran Kabel bawah tanah Tegangan Menengah (SKTM) sebagai jaringan utama pendistribusian tenaga listrik merupakan upaya utama peningkatan kualitas pendistribusian. Dibandingkan dengan SUTM, penggunaan SKTM akan memperkecil resiko kegagalan operasi akibat faktor eksternal dan meningkatkan keamanan ketenagalistrikan (Buku 5 PLN, 2010). 18 Gambar 2.8 Kabel Tanah Tegangan Menengah (KTM) (Sumber : Buku 5 PT. PLN Persero, 2010) 2.4.4 Impedansi Saluran Impedansi (Z) terdiri dari Resistansi (R) dan Reaktansi (X). Impedansi merupakan parameter utama pada suatu saluran transmisi atau distribusi. Kombinasi antara resistansi dan reaktansi disebut dengan impedansi yang dinyatakan dalam satuan Ohm dengan lambing Ω. Impedansi pada saluran transmisi atau distribusi perlu diketahui untuk melakukan analisa sistem, baik untuk analisa aliran daya, hubung singkat dan proteksi, kestabilan sistem maupun kontrol sistem. Nilai resistansi dan reaktansi (induktif dan kapasitif) ditentukan oleh jarak antar saluran dan jumlah serat kawat penghantarnya. Biasanya untuk sistem bertegangan rendah dan menengah, reaktansi kapasitif dapat diabaikan, karena nilainya relatif kecil dibandingkan dengan reaktansi induktif (Tanjung A, 2012). Besarnya impedansi dinyatakan dengan persamaan berikut: Z = R + jX .......................................................................................... (2.1) Dimana, Z = Impedansi saluran (Ohm) R = Tahanan saluran (Ohm) jX = Reaktansi (Ohm) 2.4.5 Resistansi Saluran Setiap konduktor memberi perlawanan atau tahanan terhadap mengalirnya arus listrik dan hal ini dinamakan resistansi. Resistansi atau tahanan dari suatu konduktor (kawat penghantar) adalah penyebab terpenting dari rugi daya (power 19 losses) pada saluran transmisi, resistansi yang dimaksud adalah resistansi efektif yaitu perbandingan rugi daya pada penghantar dengan arus pangkat dua. Resistansi efektif sama dengan resistansi arus searah (dc), Rdc ini tergantung kepada jenis bahan kawatnya (Tanjung A, 2012). Besarnya resistansi dinyatakan dengan persamaan berikut: π R = ρ ................................................................................................ (2.2) π΄ dimana, R = Resistansi (Ohm) ρ = Resistivitas atau tahanan jenis penghantar (Ohm) l = Panjang kawat (m) A = Luas penampang kawat (mm2) 2.4.6 Reaktansi Penghantar (Reaktansi Induktif) Konduktor yang dialiri oleh arus listrik dikelilingi oleh garis-garis magnetik yang berbentuk lingkaran-lingkaran konsentrik. Arus bolak-balik medan yang berada disekeliling konduktor tidaklah konstan, melainkan akan selalu berubahubah dan akan mengait konduktor itu sendiri maupun dengan konduktor-konduktor lainnya yang terletak berdekatan. Dengan adanya kaitan-kaitan fluks tersebut maka saluran akan memiliki sifat induktansi. Reaktansi pada saluran transmisi atau distribusi terdiri dari reaktansi induktif (jX) dan rektansi kapasitif (-jX). Namun pada saluran distribusi, reaktansi kapasitif sangat kecil, sehingga biasanya diabaikan (Tanjung A, 2012). Besarnya reaktansi induktif (X) dinyatakan dengan persamaan berikut: X = 2 π f L .......................................................................................... (2.3) dimana, f = Frekuensi (Hz) L = Induktansi (Henry) X = Reaktansi Induktif (Ohm) π = 3,14 20 2.5 Analisis Rugi-Rugi Daya Menggunakan Load Flow Analysis Untuk menilai performansi sistem distribusi daya dan untuk menguji keefektifan perubahan-perubahan yang direncanakan pada suatu sistem pada tahap perencanaan, sangat penting untuk dilakukan analisis aliran daya. Studi aliran daya ini dilakukan untuk menentukan (Adrianti, 2008): a. Aliran daya aktif dan reaktif pada cabang – cabang rangkaian b. Tidak ada rangkaian yang mempunyai beban lebih dan tegangan busbar dalam batas – batas yang dapat diterima. c. Pengaruh penambahan atau perubahan pada suatu sistem. Dalam perencanaan pengembangan sistem untuk masa yang akan datang, studi aliran daya sangat penting dilakukan. Hal tersebut dikarenakan dimasa yang akan datang tidak diketahui secara pasti kondisi yang akan dianalisis, maka dalam analisis aliran daya dapat dilakukan asumsi terhadap pengembangan sistem tenaga listrik. Hal penting yang dapat diperoleh dari studi aliran daya adalah besar dan sudut fasa tegangan pada setiap bus dan daya nyata serta daya reaktif yang mengalir dalam setiap saluran. Hilang daya (rugi daya) utama pada saluran adalah besarnya daya yang hilang pada saluran, yang besarnya sama dengan daya yang disalurkan dari sumber daya yang dikurangi besarnya daya yang diterima pada perlengkapan hubungan bagi utama. Rugi daya dipengaruhi oleh tahanan dan besarnya arus yang mengalir pada saluran, hingga timbul rugi energi berupa panas yang hilang pada saluran (Tanjung A, 2012). Terjadinya rugi rugi daya pada sistem kelistrikan merupakan salah satu acuan untuk mengetahui efesien atau tidaknya sistem kelistrikan tersebut dalam beroperasi. Rugi-rugi daya selalu diukur dalam kurun waktu tertentu, dan idealnya dihitung dalam kurun waktu satu tahun. Perhitungan rugi-rugi daya dilakukan dengan menghitung selisih antara daya yang dibangkitkan dengan daya yang terjual. Karena itulah ukuran efisiensi pada sistem ketenagalistrikan sangat berkaitan dengan rugi-rugi daya yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, sebab rugi-rugi daya sangat berpengaruh dengan jumlah daya yang hilang dengan daya yang dibangkitkan. 21 2.5.1 Klasifikasi Bus Untuk mengetahui besarnya nilai aliran daya dan rugi-rugi daya dalam setiap saluran distribusi maka terlebih dahulu dilakukan perhitungan besarnya (magnitude) tegangan dan sudut fasa tegangan pada setiap bus dalam sistem tenaga listrik yang dianalisis. Terdapat 4 (empat) parameter atau besaran pada setiap bus dalam sistem tenaga listrik, meliputi (Sulasno, 1993): 1. Injeksi netto daya nyata (net real power injected), mempunyai simbol “P” dengan satuan Mega Watt (MW). 2. Injeksi netto daya semu (net reactive power injected), memiliki simbol ”Q” dengan satuan Mega Volt Ampere Reaktif (MVAR). 3. Besaran (magnitude) tegangan, mempunyai simbol “V” dengan satuan kilo Volt (kV). 4. Sudut fasa tegangan, mempunyai simbol “ο€” dengan satuan radian. Dalam analisis aliran daya pada setiap bus sistem tenaga listrik, maka harus diketahui dua buah besaran dari empat besaran yang terdapat pada setiap bus sistem tenaga listrik dan bergantung pada parameter–parameter yang telah diketahui sebelumnya. Dengan demikian setiap bus dalam sistem tenaga listrik dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga), yaitu (Sulasno, 1993): 1. Bus Beban (Load Bus) Load bus biasanya disebut bus P,Q, karena besaran-besaran yang diketahui adalah P dan Q, sedangkan besaran V dan ο€ tidak diketahui. 2. Bus Kontrol (Generator Bus) Generator bus biasanya disebut bus P, V, karena hanya besaran P dan V saja yang diketahui, sedangkan besaran ο€ dan Q tidak diketahui. 3. Bus Ayun (Slack Bus) Besaran-besaran yang diketahui dalam slack bus adalah V dan ο€, dan biasanya ο€ bernilai nol (ο€ = 0). Selama perhitungan aliran daya, besaran V dan ο€ akan tetap dan tidak berubah. Slack bus akan selalu memiliki generator dengan kapasitas daya yang dimiliki paling besar. 22 2.5.2 Persamaan Aliran Daya Persamaan umum analisis aliran daya mengenai arus yang mengalir dari suatu bus ke bus yang lain dalam sistem ketenagalistrikan (Pai,1979) : I1 = Y11 V1 + Y12 V2 + Y13 V3 + … + Y1nVn I2 = Y21 V1 + Y22 V2 + Y23 V3 + … + Y2n Vn I3 = Y31 V1 + Y32 V2 + Y33 V3 + … + Y3n Vn ..................................... (2.4) In = Yn1 V1 + Yn2 V2 + Yn3 V3 + … + Ynn Vn Secara sedehana dapat ditulis sebagai berikut: π πΌπ = ∑ πππ ππ ; π = 1,2, … , π ...........................................................(2.5) π=1 Daya kompleks pada bus p tersebut adalah : ππ = ππ + πππ = ππ πΌπ∗ ..................................................................... (2.6) dengan memasukkan Persamaan (2.5) ke Persamaan (2.6) akan menghasilkan: π ∗ ∗ .................................................................... (2.7) ππ + πππ = ππ ∑ πππ ππ π=1 Apabila bagian real dan imajiner dari Persamaan (2.7) dipisahkan maka akan diperoleh : π ∗ ∗] ππ = π π [ππ ∑ πππ ππ .................................................................... (2.8) π=1 π ∗ ∗ ] .................................................................... (2.9) ππ = πΌπ [ππ ∑ πππ ππ π=1 23 Besaran daya pada sistem tenaga listrik juga dapat dinyatakan dalam 3 (tiga) bentuk umum, antara lain (El-Hawary, 1982): a. Bentuk Siku-siku (Rectangular Form). b. Bentuk Kutub (Polar Form) c. Bentuk Hibrid (Hybrid Form), yang merupakan perpaduan dari bentuk siku-siku dan bentuk polar. Jika tegangan dinyatakan dalam bentuk polar maka diperoleh persamaan: Vp = οΌVp οΌ ο ο€p ..................................................................................... (2.10) Vq = οΌVq οΌ ο ο€q .................................................................................... (2.11) Jika impedansi dinyatakan dalam bentuk siku-siku maka diperoleh persamaan: Ypq = Gpq + jBpq .................................................................................. (2.12) sehingga persamaan daya pada Persamaan (2.8) dan (2.9) akan menjadi: π ππ = |ππ | ∑|ππ |[πΊππ cos(πΏπ − πΏπ ) + π΅ππ sin(πΏπ − πΏπ )] .............. (2.13) π=1 π ππ = |ππ | ∑|ππ |[πΊππ sin(πΏπ − πΏπ ) − π΅ππ cos(πΏπ − πΏπ )]............... (2.14) π=1 Analisis aliran daya pada saluran sistem tenaga listrik dapat ditentukan dengan persamaan aliran daya kompleks saluran seperti berikut: ∗ πππ + ππππ = ππ πΌππ .......................................................................... (2.15) Arus yang mengalir pada bus kirim (p) dari suatu saluran p ke q adalah : πΌππ = (ππ − ππ )πππ + ππ ′ π¦ππ 2 ............................................................. (2.16) dengan : ypq ′ π¦ππ ππ = Admitansi saluran = Admitansi line charging total ′ π¦ππ 2 = Arus yang mengalir pada bus p akibat adanya line charging. 24 Sehingga dapat diketahui daya yang mengalir dari bus p ke bus q adalah: ∗ πππ = πππ + ππππ = ππ πΌππ ................................................................ (2.17) Sedangkan arus yang mengalir dari bus q ke bus p adalah : πΌππ = (ππ − ππ )πππ + ππ ′ π¦ππ 2 .............................................................. (2.18) Jadi daya yang mengalir dari bus q ke bus p adalah : πππ = πππ + π πππ = ππ πΌππ ............................................................... (2.19) Dari persamaan persamaan tersebut dapat diketahui untuk rugi-rugi daya pada saluran p-q (SLpq) menjadi : SLpq = Spq + Sqp.................................................................................. (2.20) 2.5.3 Penerapan Metode Newton Raphson Pada Analisis Aliran Daya Untuk menyelesaikan studi aliran daya, metode yang sering digunakan adalah metode Gauss-Seidel dan Newton Raphson. Metode Newton Raphson lebih cepat mencapai nilai konvergen sehingga proses iterasi yang berlangsung lebih sedikit namun setiap iterasinya memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Karena jumlah iterasinya lebih sedikit maka secara keseluruhan waktu yang diperlukan lebih singkat dalam proses penyelesaian studi aliran daya. Metode Newton Raphson pada dasarnya merupakan metode Gauss-Seidel yang telah diperluas dan disempurnakan. Metode ini dapat mengatasi kelemahan dari metode Gauss Seidel antara lain dalam hal ketelitian dan jumlah iterasi (Sulasno, 1993). Dalam penyelesaian analisis iterasi pada metode Newton Raphson, nilai dari daya aktif (Pp) dan daya reaktif (Qp) yang telah dihitung harus dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan, dengan menggunakan persamaan analisis sebagai berikut (Pai,1979) : οPp = Pp spec – Pp calc π βππ = π πππ ππ − |ππ | ∑|ππ |[πΊππ cos(πΏπ − πΏπ ) + π΅ππ sin(πΏπ − πΏπ )] ...........(2.21) π=1 p = 1,2,…,n ; p οΉ s 25 οQp = Qpspec – Qpcalc π βππ = π πππ ππ − |ππ | ∑|ππ |[πΊππ sin(πΏπ − πΏπ ) + π΅ππ cos(πΏπ − πΏπ )]........... (2.22) π=1 p = 1,2,…,n ; p οΉ s ; p οΉ g Superskrip spec merupakan yang ditetapkan (specified) dan calc merupakan yang dihitung (calculated). Analisis proses iterasi ini berlangsung hingga perubahan daya aktif (οPp) dan perubahan daya reaktif (οQp) tersebut telah mencapai nilai konvergen (ο₯ ) yang telah ditentukan. Umumnya nilai konvergen yang ditentukan berkisaran antara 0,01 sampai 0,0001 (Sulasno, 1993). Matrik Jacobian terdiri dari turunan parsial dari P dan Q terhadap masingmasing variabel, besar dan sudut fasa tegangan. Nilai besar dan sudut fasa tegangan yang diasumsikan serta daya aktif dan daya reaktif yang dihitung digunakan untuk mendapatkan elemen-elemen Jacobian. Setelah itu akan diperoleh harga dari perubahan besar tegangan, β|π| , |π| dan perubahan sudut fasa tegangan, οο€. Secara umum persamaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut (Pai, 1979): [ βπ π» ] =[ βπ (π) π½ βπΏ π ] [β|π|] πΏ (π) |π| (π) ............................................................... (2.23) Submatrik H, N, J, L menunjukkan turunan parsial dari Persamaan (2.13) dan (2.14) terhadap οΌV οΌ dan ο€, dengan matrik yang disebut matrik Jacobian. Nilai dari masingmasing elemen Jacobian sebagai berikut (Pai, 1979): a. Untuk p οΉ q π»ππ = πΏππ = |ππ ||ππ |[πΊππ sin(πΏπ − πΏπ ) − π΅ππ cos(πΏπ − πΏπ )] πΏ πΏπ .......... (2.24) πππ = πΏππ πΏ|ππ | = |ππ ||ππ |[πΊππ cos(πΏπ − πΏπ ) + π΅ππ sin(πΏπ − πΏπ )] 26 π½ππ = πΏππ = −|ππ ||ππ |[πΊππ cos(πΏπ − πΏπ ) + π΅ππ sin(πΏπ − πΏπ )] πΏ πΏπ πΏππ = πΏππ πΏ|ππ | = |ππ ||ππ |[πΊππ sin(πΏπ − πΏπ ) − π΅ππ cos(πΏπ − πΏπ )] b. Untuk p = q π»ππ = πππ = π½ππ πΏ ππ 2 = −ππ − π΅ππ |ππ | πΏ πΏπ πΏ ππ πΏ |ππ | 2 = ππ + πΊππ |ππ | πΏ ππ 2 = = ππ − πΊππ |ππ | πΏ πΏπ π»ππ = ............................................................... (2.25) πΏ ππ 2 = ππ − π΅ππ |ππ | πΏ πΏπ Dengan, π ππ = |ππ | ∑|ππ |[πΊππ cos(πΏπ − πΏπ ) + π΅ππ sin(πΏπ − πΏπ )] .........................(2.26) π=1 π ππ = |ππ | ∑|ππ |[πΊππ sin(πΏπ − πΏπ ) − π΅ππ cos(πΏπ − πΏπ )] .........................(2.27) π=1 Setelah seluruh persamaan diselesaikan, maka harga dari magnitude tegangan dan sudut fasa tegangan yang baru dapat diperoleh dengan menambahkan nilai koreksi magnitude tegangan dan sudut fasa tegangan dengan nilai sebelumnya (Pai, 1979): πΏ π+1 = πΏ π + βπΏ π ............................................................................. (2.28) |π|(π+1) = |π|π + β|π|π = |π |π (1 + β|π|π ) ....................................... (2.29) |π|π 27 2.6 Keandalan Sistem Distribusi Tenaga Listrik Keandalan (reliability) didefinisikan sebagai peluang suatu komponen atau sistem memenuhi fungsi yang dibutuhkan dalam periode waktu yang diberikan selama digunakan dalam kondisi beroperasi. Dengan kata lain keandalan berarti peluang tidak terjadi kegagalan selama beroperasi. Sistem yang mempunyai keandalan tinggi akan mampu memberikan tenaga listrik setiap saat dibutuhkan, sedangkan sistem mempunyai keandalan rendah bila tingkat ketersediaan tenaganya rendah yaitu sering padam. Adapun macam – macam tingkatan keandalan dalam pelayanan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) hal antara lain (Hartati dkk, 2007): 1. Keandalan sistem yang tinggi (High Reliability System). Pada kondisi normal, sistem akan memberikan kapasitas yang cukup untuk menyediakan daya pada beban puncak dengan variasi tegangan yang baik. Dan dalam keadaan darurat bila terjadi gangguan pada jaringan, maka sistem ini tentu saja diperlukan beberapa peralatan dan pengaman yang cukup banyak untuk menghindarkan adanya berbagai macam ganngguan pada sistem. 2. Keandalan sistem yang menengah (Medium Reliability System). Pada kondisi normal sistem akan memberikan kapasitas yang cukup untuk menyediakan daya pada beban puncak dengan variasi tegangan yang baik. Dan dalam keadaan darurat bila terjadi gangguan pada jaringan, maka sistem tersebut masih bisa melayani sebagian dari beban meskipun dalam kondisi beban puncak. Jadi dalam sistem ini diperlukan peralatan yang cukup banyak untuk mengatasi serta menanggulangi gangguan – gangguan tersebut. 3. Keandalan sistem yang rendah (Low Reliability System). Pada kondisi normal, sistem akan memberikan kapasitas yang cukup untuk menyediakan daya pada beban puncak dengan variasi tegangan yang baik. Tetapi bila terjadi suatu gangguan pada jaringan, sistem sama sekali tidak bisa melayani beban tersebut. Jumlah pengaman pada sistem ini lebih sedikit dibandingkan pada sistem dengan keandalan tinggi. 28 Kontinyuitas pelayanan, penyaluran jaringan distribusi tergantung pada jenis dan macam sarana penyalur dan peralatan pengaman. Sarana penyalur (jaringan distribusi) mempunyai tingkat kontinyuitas yang tergantung pada susunan saluran dan cara pengaturan sistem operasinya, yang pada hakekatnya direncanakan dan dipilih untuk memenuh kebutuhan dan sifat beban. Tingkat kontinyuitas pelayanan dari sarana penyalur disusun berdasarkan lamanya upaya menghidupkan kembali suplai setelah pemutusan karena gangguan. 2.6.1 Indeks Keandalan Indeks keandalan merupakan suatu indikator keandalan yang dinyatakan dalam suatu besaran probabilitas. Sejumlah indeks sudah dikembangkan untuk menyediakan suatu kerangka untuk mengevaluasi keandalan sistem tenaga. Evaluasi keandalan sistem distribusi terdiri dari indeks titik beban dan indeks sistem yang dipakai untuk memperoleh pengertian yang mendalam kedalam keseluruhan capaian. Untuk menghitung indeks keandalan titik beban dan indeks keandalan sistem yang biasanya digunakan meliputi angka keluar (outage number) dan lama perbaikan (repair duration) dari masing-masing komponen (Hartati dkk, 2007). 1. Keluar (Outage) adalah : Keadaaan suatu komponen tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, diakibatkan karena beberapa peristiwa yang berhubungan dengan komponen tersebut (SPLN 59, 1985). Angka keluar adalah angka perkiraan dari suatu komponen yang mengalami kegagalan beroperasi per satuan waktu (umumnya pertahun). Suatu Keluar (Outage) dapat atau tidak dapat menyebabkan pemadaman, hal ini masih tergantung pada konfigurasi dari sistem 2. Lama Keluar (Outage Duration): Periode dari saat permulaan komponen mengalami keluar sampai saat komponen dapat dioperasikan kembali sesuai dengan fungsinya (SPLN 59, 1985). Standar perkiraan angka keluar dan waktu perbaikan dari komponen yang biasa dipakai adalah sesuai standar SPLN 59 tahun 1985. 29 2.6.1.1 SAIFI (System Average Interruption Frequency Index) SAIFI (system average interruption frequency index) adalah indeks frekuensi gangguan sistem rata-rata setiap tahun. Menginformasikan tentang frekuensi gangguan permanen rata-rata setiap konsumen dalam suatu area yang dievaluasi. Jumlah Total Banyaknya Pemadaman Pada Pelanggan Jumlah Total Pelanggan Yang Dilayani SAIFI = Atau dapat ditulis dengan persamaan berikut (Billinton, 1996): SAIFI = ∑ λπNπ ∑ Nπ .............................................................................. (2.30) Dengan : λi = angka kegagalan rata-rata/frekuensi padam Ni = jumlah pelanggan yang dilayani pada titik beban i 2.6.1.2 SAIDI (System Average Interruption Duration Index) SAIDI adalah indeks keandalan yang merupakan jumlah dari perkalian lama padam dan pelanggan padam dibagi dengan jumlah pelanggan yang dilayani. Dengan indeks ini, gambaran mengenai lama pemadaman rata-rata yang diakibatkan oleh gangguan pada bagian-bagian dari sistem dapat dievaluasi (Billinton, 1996). SAIDI = Jumlah Total Durasi Pemadaman Pada Pelanggan Jumlah Total Pelanggan Yang Dilayani Atau dapat ditulis dengan persamaan berikut (Billinton, 1996): SAIDI = ∑ UπNπ ................................................................................ (2.31) ∑ Nπ Dengan : Ui = waktu padam pelanggan dalam periode tertentu (jam/tahun) Ni = jumlah pelanggan yang dilayani pada titik beban i 30 2.6.1.3 CAIDI (Customer Average Interruption Duration Index) Indeks ini menggambarkan lama waktu (durasi) rata-rata setiap pemadaman. Indeks ini merupakan perbandingan antara SAIDI dan SAIFI yang dirumuskan dengan (Billinton, 1996): CAIDI = atau CAIDI = Jumlah Total Durasi Pemadaman Pada Pelanggan Jumlah Total Banyaknya Pemadaman Pada Pelanggan ∑ UπNπ ∑ λπNπ ................................................................................ (2.32) Besarnya nilai CAIDI ini dapat digambarkan sebagai besarnya durasi pemadaman sistem distribusi keseluruhan ditinjau dari sisi pelanggan. 2.6.1.4 ASAI (Average Service Availability Index) Indeks ini menggambarkan tingkat ketersediaan layanan (Suplai daya) yang diterima oleh pelanggan. Indeks ini dirumuskan dengan (Billinton, 1996): ASAI = Jumlah Durasi Ketersediaan Suplai Daya ke Pelanggan Jumlah Durasi Suplai Daya Yang Diperlukan Pelanggan ASAI = ∑ Nπ π₯ 8760−∑ UπNπ .......................................................... (2.33) ∑ Nππ₯8760 atau Dengan 8760 adalah total jumlah jam dalam satu tahun kalender. 2.6.1.5 ASUI (Average Service Unavailability Index) Indeks ini menggambarkan ketidaktersediaan layanan (Suplai daya) yang diterima oleh pelanggan. Indeks ini dirumuskan dengan (Billinton, 1996): ASUI = Jumlah Durasi Ketidaktersediaan Suplai Daya ke Pelanggan Jumlah Durasi Suplai Daya Yang Diperlukan Pelanggan atau ASUI = ∑ UπNπ ∑ Nππ₯8760 .......................................................................... (2.34) Dengan 8760 adalah total jumlah jam dalam satu tahun kalender. 31 Informasi dari indeks kegagalan memiliki kegunaan yang seperti berikut ini (Priatna, 2014): 1. Melengkapi manajemen dengan data capaian mengenai mutu layanan pelanggan pada sistem kelistrikan secara keseluruhan. 2. Untuk mengidentifikasi subsistem dengan capaian dibawah standar dan untuk memastikan penyebabnya. 3. Melengkapi manajemen dengan data capaian mengenai mutu layanan pelanggan untuk masing-masing daerah operasi. 4. Menyediakan historisis keandalan dari sirkit individu untuk diskusi dengan pelanggan sekarang atau calon pelanggan. 5. Memenuhi syarat pelaporan pengaturan. 6. Menyediakan suatu basis untuk menetapkan ukuran-ukuran kesinambungan layanan. 7. Menyediakan data capaian yang penting bagi suatu pendekatan probabilistik untuk studi keandalan sistem distribusi. Standar nilai untuk indeks keandalan sistem distribusi tenaga listrik ditunjukkan oleh tabel berikut : Tabel 2.2 Standar Indeks Keandalan Sistem Spindel Indeks SAIFI SAIDI Standar 1,7 kali/tahun 4,8 jam/tahun (Sumber: SPLN 68-2 : 1986)