5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Mutakhir Penelitian

advertisement
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Mutakhir
Penelitian mengenai dampak interkoneksi DG terhadap rugi-rugi daya dan
keandalan pada jaringan distribusi tenaga listrik telah banyak dilakukan dan
menunjukkan hasil yang positif terhadap penurunan nilai rugi-rugi daya serta
mampu meningkatkan keandalan pada jaringan distribusi. Berikut beberapa ulasan
penelitian mengenai dampak DG terhadap rugi-rugi daya dan keandalan pada
jaringan distribusi tenaga listrik:
1. Penelitian mengenai pengaruh beroperasinya DG terhadap penurunan nilai
rugi daya telah dilakukan oleh Dion A.P, 2015. Pada penelitian tersebut
dilakukan analisis terhadap rugi daya dengan menggunakan metode bagi
dua yaitu membagi penyulang menjadi dua bagian untuk memperoleh nilai
rugi daya terendah. Hasil penelitian tersebut adalah penurunan nilai rugirugi daya pada jaringan distibusi Penyulang Bangli. Sebelum terpasangnya
PLTS 1 MWp besarnya rugi daya pada penyulang Bangli adalah 168,7 kW
yang kemudian menjadi 107,4 kW setelah terpasangnya PLTS 1 MWp pada
penyulang tersebut.
2. Penelitian mengenai pengaruh pemasangan DG terhadap perbaikan
keandalan sistem distribusi telah dilakukan oleh Sunanda, 2013. Pada
penelitian tersebut Metode analisis sensitivitas bus digunakan untuk
mengetahui lokasi terbaik pemasangan DG dengan parameter peningkatan
keandalan pada sistem. Berdasarkan semua studi kasus yang sudah
dilakukan, perbaikan indeks keandalan (indeks keandalan sistem maupun
indeks keandalan setiap beban) yang paling optimum terjadi ketika DG
dipasang pada bus 4. Nilai indeks keandalan sistem pada kondisi tersebut
adalah SAIFI sebesar 3,14 pemutusan/pelanggan, SAIDI sebesar 23,2052
jam/pelanggan, CAIDI sebesar 7,39 jam/pemutusan, ASAI = 0,9974 atau
99,74 %, dan ASUI sebesar 0,0026 atau 0,26 %.
5
6
3. Analisis mengenai dampak pemasangan Distributed Generation terhadap
rugi–rugi daya telah dilakukan oleh Bawan, 2012. Pada penelitian tersebut
dilakukan analisis mengenai dampak pemasangan DG tehadap rugi-rugi
daya. Metode penempatan yang digunakan adalah metode Sectional, dengan
mempersentasekan panjang penyulang dan parameter yang digunakan
adalah rugi-rugi daya pada sistem. Hasil yang diperoleh pada penelitian
tersebut yaitu dengan injeksi pada lokasi bus 77 (65% panjang saluran dari
grid) dengan besar injeksi 85% kapasitas DG, penurunan rugi daya sebesar
dari 240,15 KW menjadi 99,39 KW atau penghematan sebesar 58,61%.
4. Penelitian mengenai pengaruh pemasangan distributed generation (DG)
terhadap nilai susut daya pada sistem distribusi tenaga listrik dilakukan oleh
Supardi, 2012 dengan memodelkan sistem jaringan distribusi 18 bus dan
DG pada software ETAP dengan melakukan load flow simulation pada
berbagai macam kondisi untuk mengetahui nilai susut daya yang dihasilkan.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa penambahan DG pada sistem distribusi
dapat menurunkan nilai susut daya pada sistem distribusi. Dengan
pemasangan DG berkapasitas 250 kW pada bus 25 atau 26 akan
menghasilkan nilai susut daya sistem yang rendah yaitu 117,4 kW.
5. Penelitian mengenai dampak pemasangan pembangkitan distribusi terhadap
tegangan dan losses pada jaringan distribusi telah dilakukan oleh Tjahjono,
2010. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa pemasangan
DG sangat berpengaruh pada losses total sistem. Dengan pemasangan DG
dapat meminimalkan losses total pada jaringan distribusi Penyulang III
Keputih Gardu Induk Rawang. Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan
diperoleh losses total sebelum terpasangnya DG pada jaringan adalah 48,7
kW dan losses total setelah terpasangnya DG pada jarigan secara optimal
menjadi 28,6 kW.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian-penelitian tersebut merupakan acuan
yang digunakan dalam tugas akhir / skripsi ini. Perbedaan penelitian-penelitian
tersebut dengan tugas akhir / skripsi ini adalah adanya pengembangan dari DG yang
digunakan serta metode yang digunakan untuk mengetahui pengaruh interkoneksi
7
DG terhadap rugi-rugi daya dan keandalan pada sistem distribusi tenaga listrik.
Pada tugas akhir ini DG yang digunakan adalah sebuah pembangkit listrik tenaga
sampah yang diinterkoneksikan ke sistem distribusi tenaga listrik, sedangkan untuk
mengetahui pengaruh interkoneksi DG maka dilakukan analisis menggunakan Load
Flow Analysis dan Reliability Assessment yang masing-masing digunakan dalam
analisis rugi-rugi daya dan keandalan pada sistem distribusi tenaga listrik.
2.2
Distributed Generation (DG)
DG merupakan pembangkit skala kecil maupun menengah dengan kisaran
daya yang dihasilkan antara 1 kW sampai dengan 10 MW, yang disambungkan pada
sistem distribusi dan biasanya ditempatkan pada bus yang langsung menyuplai
pusat beban dan atau pada gardu induk distribusi. Berikut adalah contoh
interkoneksi DG pada jaringan diribusi tenaga listrik:
Distributed Generation
Gardu
Induk
Gambar 2.1 Interkoneksi DG pada Jaringan Distribusi Tenaga Listrik
Berdasarkan fungsinya, DG dibedakan atas dua macam yaitu sebagai unit
yang difungsikan untuk mengantisipasi apabila terjadi pemutusan dari suplai daya
grid atau stand by unit dan difungsikan sebagai unit yang dipasang pada jam-jam
beban puncak atau peaking unit (Sunanda. W, 2013). Karakteristik DG adalah skala
kecil, terdistribusi dan dekat dengan pusat beban (closed to load), terinterkoneksi
dengan sistem distribusi, membatasi pembangunan jaringan transmisi dan memiliki
aliran daya satu arah. Pembangkit ini ramah lingkungan, andal dalam merespon
perubahan beban, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, deregulasi dalam
pasar kelistrikan dan sejumlah keuntungan lainnya (Viawan, 2008). Pada akhir
8
1990-an, DG secara luas diselidiki oleh International Council on Large Electric
Systems (CIGRE). CIGRE telah mendefinisikan Distributed Generation sebagai
setiap unit pembangkit dengan kapasitas maksimum 5 MW sampai 10 MW, yang
terhubung ke jaringan distribusi (Bawan, 2011). Selain itu definisi lain juga
diberikan oleh Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE) yang
mendefinisikan Distributed Generation sebagai pembangkitan yang menghasilkan
energi dalam kapasitas yang lebih kecil dibandingkan pusat-pusat pembangkit
konvensional dan dapat dipasangkan hampir pada setiap titik sistem tenaga listrik
dengan kapasitas dibawah 10 MW. Berikut adalah daftar penggolongan DG
berdasarkan range daya yang mampu dihasilkannya:
Tabel 2.1 Tipe DG Berdasarkan Range Daya Yang Dihasilkan
Tipe DG
Micro DG
Small DG
Medium DG
Large DG
Range Daya
1 watt < 5 kW
5 kW < 5 MW
5 MW < 50 MW
< 300 MW
(Sumber: Muljono A.B dkk, 2009)
2.2.1
Interkoneksi DG Pada Sistem Distribusi Tenaga Listrik
Meningkatnya penggunaan unit DG dapat menyebabkan aliran daya
mengalir dari jaringan bertegangan rendah ke jaringan bertegangan menengah.
Aliran daya dua arah ini membutuhkan skema proteksi yang berbeda pada kedua
level tegangan tersebut, dan skema proteksi yang baru tersebut dapat
memungkinkan aliran daya yang terbalik namun dengan tetap menjamin kegagalan
hanya terjadi ketika muncul gangguan di sisi jaringan bertegangan menengah.
Interkoneksi juga terkena dampak jika dilihat dari aspek topologi jaringan. Pada
jaringan radial, tegangan rendah dipasok oleh transformator tegangan menengah
yang relatif lebih mudah untuk dirancang. Akan tetapi, dalam kasus ini profil
tegangan untuk jaringan radial lebih rentan, DG yang memiliki daya di atas rating
daya tertentu dapat mempunyai pengaruh buruk terhadap profil tegangan.
Selain itu, untuk meningkatkan fleksibilitas DG maka dibutuhkan usaha yang lebih
di sisi operasi jaringan.
9
Beroperasinya unit-unit pembangkit tersebar (generator sinkron) dapat
mengubah kestabilan dinamis keseluruhan sistem tenaga, hal ini bergantung pada
seberapa besar unit-unit pembangkit ini mengubah struktur ataupun topologi dari
sistem terinterkoneksi dan titik operasinya. Berdasarkan sudut pandang matematis,
hubungan antara suatu generator dengan jaringan tenaga menghasilkan adanya
pengembangan parameter, sebuah titik operasi yang baru terbentuk dan kestabilan
titik ini harus dipelajari menggunakan perhitungan batasan stabilitas (Muljono A.B.
dkk, 2009).
Teknologi DG micro systems seperti photovoltaic modules, baterai, fuel cell
dan micro hydro turbines yang dikoneksikan menggunakan piranti antarmuka
converter pada jaringan akan memproduksi arus langsung. Piranti daya elektronik
modern memberikan solusi yang berbeda untuk mengkonversi arus DC ke AC,
tegangan dan arus aktif / reaktif sesuai frekuensi yang diperlukan. Power electronic
converters juga memberikan dampak kemungkinan untuk pengintegrasian jaringan.
Converter daya digunakan untuk mengontrol tegangan jaringan distribusi. Hal
tersebut dapat menyebabkan fluktuasi daya dan osilasi pada jaringan distribusi
meskipun
kasus
tersebut
tergolong
langka.
Banyaknya
pilihan
dalam
menghubungkan jaringan distribusi dengan DG membuat analisis permasalahan
pengintegrasian menjadi sangat kompleks. Oleh karena itu, setiap jaringan
memerlukan analisis yang lebih rinci. Perkembangan standar industri untuk desain
pemasangan sebuah DG memerlukan standar interkoneksi dari sumber DG untuk
mencapai jaringan operasi yang aman. Standar yang biasa digunakan berdasarkan
rekomendasi IEEE (Institute of Electrical and Electronics Engineers) atau ANSI
(American National Standards Institute) (Dion A.P, 2015)
2.2.2 Perkembangan Teknologi Distributed Generation di Indonesia
Infrastruktur tenaga listrik telah ada lebih dari satu abad yang lalu ketika
sebuah generator kecil yang terisolasi digunakan untuk menyuplai beban dengan
jarak yang dekat. Sebagai infrastruktur dengan perkembangan yang cepat,
keuntungan dari sistem yang didasarkan pada pembangkitan terpusat terus
bermunculan. Pembangkitan terpusat dalam sistem interkoneksi memberikan
10
manfaat berupa diversifikasi beban, peningkatan fleksibilitas sumber energi, dan
peningkatan keandalan. Akhir-akhir ini perubahan peraturan, kemajuan teknis, dan
dampak lingkungan telah menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam aplikasi
DG (IEEE Power & Energy, 2014).
Teknologi DG di Indonesia telah berkembang sejak lama seiring
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 “Tentang Penyediaan
dan Pemanfaatan Energi” yang mengijinkan pembelian terhadap kelebihan energi
listrik (excess power). Perkembangan teknologi DG terus berkembang dengan
memanfaatkan pembangkit listrik skala kecil (mikro) yang dikelola oleh pihak PLN
atau swasta (Independent Power Producer). Sejak tahun 2002, teknologi DG di
Indonesia dikenal sebagai “Pembangkit Listrik Skala Kecil Tersebar” seperti yang
tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2002. Melalui PP Nomor 31
tahun 2009, Pemerintah juga mendorong penggunaan sumber energi baru,
terbarukan dan energi primer yang yang lebih efisien untuk pembangkit tenaga
listrik, dan diberikan kesempatan bagi Pembangkit Skala Kecil Swasta dan
Koperasi (PSKSK) untuk menjual tenaga listriknya kepada PLN. Harga jual tenaga
listrik dari PSKSK adalah harga pada titik interkoneksi dengan Sistem PLN dan
harga jual ini disesuaikan setiap tahunnya berdasarkan perhitungan biaya marginal
Sistem PLN. Dewasa ini, skema pemanfaatan teknologi DG di Indonesia dibagi
menjadi 2 yaitu (Priatna, 2014):
1. Skema IPP (Independent Power Producer)
Skema ini berisi perjanjian yaitu teknologi DG harus mengirim tenaga
listriknya ke sistem PLN secara kontiniu (24 jam). Skema ini biasanya
memiliki kontrak dalam jangka waktu yang lama (minimal 15 tahun) dan
dapat diperpanjang sesuai kebutuhan atas kesepakatan bersama.
2. Skema Pembelian Excess Power (Kelebihan Tenaga Listrik)
Skema ini berisi perjanjian yaitu teknologi DG mengirim kelebihan tenaga
listriknya ke sistem PLN pada waktu-waktu tertentu (biasanya pada Waktu
Beban Puncak). Skema ini biasanya memiliki kontrak jangka pendek (1
tahun) dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan atas kesepakatan bersama.
11
Perkembangan pembangkit tersebar pada sistem tenaga diperkirakan akan
semakin menyebar. Uni Eropa sebagai pelopor DG memperkirakan penggunaan
pembangkit tersebar / Distributed Generation (DG) 12% dari total pembangkitan
pada tahun 2000, 13-18% pada tahun 2010 dan 15-22% pada tahun 2020. Oleh
karena itu saat ini perhatian mulai bergeser ke arah mempertimbangkan efek
kumulatif pada sistem tenaga akibat adanya level kapasitas DG yang signifikan.
Dapat diperkirakan bahwa DG ukuran besar akan memberikan dampak secara
global. Penelitian-penelitian saat ini lebih memperhatikan dampak pemasangan DG
terhadap stabilitas sistem (Muljono A.B dkk, 2009).
2.3
Sistem Distribusi Tenaga Listrik
Sistem distribusi tenaga listrik merupakan subsistem tenaga listrik yang
berfungsi untuk menyalurkan atau mendistribusikan energi listrik dari sumber
energi listrik besar (Bulk Power Source) sampai ke konsumen. Jadi sistem distribusi
ini merupakan subsistem yang berhubungan langsung dengan pelanggan karena
catu daya pada pusat-pusat beban secara langsung dilayani oleh sistem distribusi
ini. Sistem distribusi tenaga listrik dapat dibagi menjadi 2 berdasarkan besarnya
tegangan yang didistribusikan, yaitu sistem distribusi primer dan sistem distribusi
sekunder. Sedangkan berdasarkan konfigurasi jaringannya, sistem distribusi dibagi
menjadi 3 yaitu sistem distribusi radial, ring/loop, dan spindel (Suswanto D, 2009).
2.3.1
Sistem Distribusi Primer
Sistem distribusi primer atau sering disebut jaringan distribusi tegangan
menengah terletak diantara gardu induk dengan gardu pembagi atau gardu distribusi
yang memiliki tegangan sistem lebih tinggi dari tegangan untuk konsumen. Standar
tegangan untuk jaringan distribusi primer ini adalah 6 kV, 10 kV, dan 20 kV (SPLN
1, 1995). Pada sistem distribusi primer saluran yang digunakan untuk menyalurkan
energi listrik ke konsumen disebut sebagai penyulang (Feeder). Umumnya setiap
penyulang diberi nama sesuai dengan daerah beban yang dilayani oleh penyulang
tersebut. Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam mengingat dan menandai
jalur-jalur beban yang dilayani oleh penyulang tersebut.
12
2.3.2 Sistem Distribusi Sekunder
Sistem distribusi sekunder atau sering disebut jaringan distribusi tegangan
rendah, merupakan jaringan yang berfungsi sebagai penyalur tenaga listrik dari
gardu-gardu pembagi atau gardu distribusi ke pusat-pusat beban (konsumen tenaga
listrik). Besarnya standar tegangan untuk jaringan ditribusi sekunder ini adalah
127/220 V untuk sistem lama, dan 220/380 V untuk sistem baru, serta 440/550 V
untuk keperluam industri. Besarnya tegangan maksimum yang diizinkan adalah
+5% dan -10% dari tegangan nominalnya (SPLN 1, 1978). Penetapan ini sebanding
dengan besarnya nilai tegangan jatuh (voltage drop) yang telah ditetapkan, bahwa
rugi-rugi daya pada suatu jaringan adalah 15 %. Dengan adanya pembatasan
tersebut stabilitas penyaluran daya ke pusat-pusat beban tidak terganggu (Suswanto
D, 2009).
2.3.3
Sistem Distribusi Radial
Sistem distribusi tipe radial merupakan sebuah sistem yang hanya terhubung
ke satu sumber dan antara titik sumber dan titik bebannya hanya terdapat satu
saluran (line), tidak ada alternatif saluran lainnya. Sistem radial pada jaringan
distribusi merupakan sistem terbuka, yaitu tenaga listrik yang disalurkan secara
radial melalui gardu induk ke konsumen-konsumen dilakukan secara terpisah satu
sama lainnya. Sistem ini merupakan sistem yang paling sederhana diantara sistem
yang lain dan paling murah, sebab sesuai konstruksinya sistem ini menghendaki
sedikit sekali penggunaan material listrik, apalagi jika jarak penyaluran antara
gardu induk ke konsumen tidak terlalu jauh (Suswanto D, 2009). Dinamakan radial
karena saluran ini ditarik secara radial dari suatu titik yang merupakan sumber dari
jaringan itu dan dicabang-cabang ke titik-titik beban yang dilayani. Namun jaringan
yang hanya mempunyai satu pasokan tenaga listrik, jika terjadi gangguan akan
terjadi “black‐out” atau padam pada bagian yang tidak dapat dipasok (Buku I PLN,
2010). Sistem distribusi tipe radial dapat dilihat pada gambar 2.2.
13
Gambar 2.2 Konfigurasi Sistem Distribusi Tipe Radial
(Sumber : SPLN 59, 1985)
2.3.4
Sistem Distribusi Ring/Loop
Sistem distribusi ring/loop pada jaringan distribusi merupakan suatu sistem
penyaluran melalui dua atau lebih saluran penyulang atau feeder yang saling
berhubungan membentuk rangkaian berbentuk cincin (Ring). Sistem ini secara
ekonomis menguntungkan, karena gangguan pada jaringan terbatas hanya pada
saluran yang terganggu saja. Sedangkan pada saluran yang lain masih dapat
menyalurkan tenaga listrik dari sumber lain dalam rangkaian yang tidak terganggu.
Sehingga kontinuitas pelayanan sumber tenaga listrik dapat terjamin dengan baik.
Yang perlu diperhatikan pada sistem ini apabila beban yang dilayani bertambah,
maka kapasitas pelayanan untuk sistem rangkaian tertutup ini kondisinya akan lebih
jelek. Tetapi jika digunakan titik sumber (Pembangkit Tenaga Listrik) lebih dari
satu di dalam sistem jaringan ini maka sistem ini akan benyak dipakai, dan akan
menghasilkan kualitas tegangan lebih baik, serta regulasi tegangannya cenderung
kecil (Suswanto D, 2009). Sistem ini cocok untuk digunakan pada daerah beban
yang padat dan memerlukan keandalan tinggi. Sistem distribusi tipe ring / loop
dapat dilihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Konfigurasi Sistem Distribusi Tipe Ring / Loop
(Sumber : SPLN 59, 1985)
14
2.3.5
Sistem Distribusi Spindel
Konfigurasi spindel umumnya dipakai pada saluran kabel bawah tanah.
Pada konfigurasi ini dikenal 2 jenis penyulang yaitu pengulang cadangan (standby
atau express feeder) dan penyulang operasi (working feeder). Penyulang cadangan
tidak dibebani dan berfungsi sebagai back‐up supply jika terjadi gangguan pada
penyulang operasi. Untuk konfigurasi 2 penyulang, maka faktor pembebanan hanya
50%. Berdasarkan konsep Spindel jumlah penyulang pada 1 spindel adalah 6
penyulang operasi dan 1 penyulang cadangan sehingga faktor pembebanan
konfigurasi spindel penuh adalah 85 %. Ujung‐ujung penyulang berakhir pada
gardu yang disebut Gardu Hubung dengan kondisi penyulang operasi “NO”
(Normally Open), kecuali penyulang cadangan dengan kondisi “NC” (Normally
Close) Dalam keadaan normal memang express feeder ini sengaja dioperasikan
tanpa beban (Buku I PLN, 2010). Sistem distribusi tipe spindel dapat dilihat pada
gambar 2.4.
Gambar 2.4 Konfigurasi Sistem Distribusi Tipe Spindel
(Sumber : SPLN 59, 1985)
2.4
Saluran Distribusi Tenaga Listrik
Saluran distribusi tenaga listrik merupakan saluran yang digunakan untuk
mendistribusikan energi listrik dari sumber ke konsumen. Sebagai saluran utama
yang digunakan untuk mendistribusikan energi listrik ke konsumen, saluran
distribusi tenaga listrik dituntut agar memiliki rugi-rugi daya yang kecil dan tingkat
keandalan yang tinggi dengan tujuan agar konsumen dapat menggunakan energi
listrik sesuai standar yang telah ditetapkan oleh PLN sebagai perusahaan utama
milik negara yang bertanggungjawab atas penyediaan dan penyaluran energi listrik.
15
Saluran distribusi tenaga listrik atau jaringan tegangan menengah 20 kV biasanya
menggunakan penghantar saluran udara tanpa isolasi, kabel udara pilin / twisted
tegangan menengah, atau kabel bawah tanah tegangan menengah.
2.4.1
Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM)
Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM) merupakan sistem penyaluran
tenaga listrik melalui kawat penghantar tanpa isolasi. Sistem ini merupakan
konstruksi termurah untuk penyaluran tenaga listrik dan paling banyak digunakan
untuk melayani konsumen. Ciri utama jaringan ini adalah penggunaan penghantar
tanpa bahan isolasi yang ditopang dengan isolator pada tiang besi/beton.
Penggunaan penghantar tanpa isolasi harus memperperhatikan faktor yang terkait
dengan keselamatan ketenagalistrikan seperti jarak aman minimum yang harus
dipenuhi penghantar bertegangan 20 kV tersebut. Baik antar phasa, jarak
penghantar dengan bangunan, dengan tanaman maupun dengan jangkauan manusia.
Penggunaan penghantar ini tidak menjamin keamanan terhadap tegangan sentuh
yang dipersyaratkan akan tetapi untuk mengurangi resiko gangguan temporer
(Buku 5 PLN, 2010) .
Gambar 2.5 Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM)
Dalam pengoperasian saluran udara tegangan menengah perlu mempertimbangkan jenis penghantar yang digunakan dalam saluran tersebut. Penentuan
jenis penghantar sangat diperlukan untuk menentukan karakteristik mekanis
maupun karakteristik listrik saat aliran daya terjadi. Penghantar saluran distribusi
16
umumya berbahan tembaga atau alumunium dengan inti baja (Alumunium
Conductor, Steel-Reinforced atau ACSR) Jenis-jenis kawat penghantar yang biasa
digunakan antara lain (Dion A.P, 2015):
a. Tembaga dengan konduktivitas 100% (Cu 100%)
b. Tembaga dengan konduktivitas 97,5% (Cu 97,5%)
c. Alumunium dengan konduktivitas 61% (Al 61%)
Penggunaan penghantar berbahan alumunium mulai menggantikan
penggunaan penghantar berbahan tembaga. Untuk memperbesar kuat tarikan dari
pengahantar alumunium, digunakan campuran alumunium (alumunium alloy).
Penghantar alumunium terdiri dari berbagai jenis, seperti gambar sebagai berikut
(Dion A.P, 2015):
a. AAC (All-Alumunium Conductor), yaitu kawat penghantar yang
seluruhnya terbuat dari alumunium.
b. AAAC (All-Alumunium-Alloy Conductor), yaitu kawat penghantar yang
seluruhnya terbuat dari campuran alumunium.
Gambar 2.6 Jenis-jenis Kawat Penghantar Tenaga Listrik
(sumber: Dion A.P, 2015)
2.4.2
Saluran Kabel Udara Tegangan Menengah (SKUTM)
Saluran Kabel Udara Tegangan Menengah (SUTM) merupakan sistem
penyaluran tenaga listrik melalui kawat penghantar berisolasi atau kabel.
Penggunaan kabel pada sistem distribusi tegangan menengah 20 kV adalah untuk
meningkatkan keamanan dan keandalan penyaluran tenaga listrik. Penggunaan
penghantar telanjang atau penghantar yang berisolasi setengah pada konstruksi
jaringan Saluran Udara Tegangan Menengah 20 kV, dapat digantikan dengan
konstruksi penghantar berisolasi penuh yang dipilin (Buku 5 PLN, 2010). Jenis
17
kabel yang biasa digunakan pada saluran kabel udara tegangan menengah adalah
XLPE dan berselubung PVC berpenggantung penghantar baja dengan tegangan
Pengenal 12/20 (24) kV Penghantar jenis ini khusus digunakan untuk SKUTM dan
berisolasi penuh (SPLN 43-5-2, 1995). Berikut merupakan gambar dari kabel yang
digunakan untuk saluran udara tegangan menengah yang ditunjukkan pada gambar
2.7.
Gambar 2.7 Kabel Udara Tegangan Menengah (KUTM)
(Sumber : Buku 5 PT. PLN Persero, 2010)
2.4.3
Saluran Kabel Tanah Tegangan Menengah (SKTM)
Konstruksi SKTM pada dasarnya memiliki fungsi yang sama seperti SUTM
yaitu menyalurkan tenaga listrik melalui kawat penghantar. Hanya saja penghantar
yang digunakan pada konstruksi ini adalah penghantar berisolasi dan tertanam
didalam tanah. Konstruksi ini memang lebih mahal dibandingkan dengan
konstruksi SUTM akibat konstruksi isolasi penuh pada penghantar per phasa dan
pelindung mekanis yang dipersyaratkan sesuai keamanan ketenagalistrikan. Namun
konstruksi ini memiliki keuntungan seperti tidak terpengaruh oleh cuaca buruk,
bahaya petir, badai, tertimpa pohon dan gangguan lain yang sifatnya eksternal
(Suswanto D, 2009). Penggunaan Saluran Kabel bawah tanah Tegangan Menengah
(SKTM) sebagai jaringan utama pendistribusian tenaga listrik merupakan upaya
utama peningkatan kualitas pendistribusian. Dibandingkan dengan SUTM,
penggunaan SKTM akan memperkecil resiko kegagalan operasi akibat faktor
eksternal dan meningkatkan keamanan ketenagalistrikan (Buku 5 PLN, 2010).
18
Gambar 2.8 Kabel Tanah Tegangan Menengah (KTM)
(Sumber : Buku 5 PT. PLN Persero, 2010)
2.4.4
Impedansi Saluran
Impedansi (Z) terdiri dari Resistansi (R) dan Reaktansi (X). Impedansi
merupakan parameter utama pada suatu saluran transmisi atau distribusi.
Kombinasi antara resistansi dan reaktansi disebut dengan impedansi yang
dinyatakan dalam satuan Ohm dengan lambing Ω. Impedansi pada saluran transmisi
atau distribusi perlu diketahui untuk melakukan analisa sistem, baik untuk analisa
aliran daya, hubung singkat dan proteksi, kestabilan sistem maupun kontrol sistem.
Nilai resistansi dan reaktansi (induktif dan kapasitif) ditentukan oleh jarak antar
saluran dan jumlah serat kawat penghantarnya. Biasanya untuk sistem bertegangan
rendah dan menengah, reaktansi kapasitif dapat diabaikan, karena nilainya relatif
kecil dibandingkan dengan reaktansi induktif (Tanjung A, 2012). Besarnya
impedansi dinyatakan dengan persamaan berikut:
Z = R + jX .......................................................................................... (2.1)
Dimana,
Z = Impedansi saluran (Ohm)
R = Tahanan saluran (Ohm)
jX = Reaktansi (Ohm)
2.4.5
Resistansi Saluran
Setiap konduktor memberi perlawanan atau tahanan terhadap mengalirnya
arus listrik dan hal ini dinamakan resistansi. Resistansi atau tahanan dari suatu
konduktor (kawat penghantar) adalah penyebab terpenting dari rugi daya (power
19
losses) pada saluran transmisi, resistansi yang dimaksud adalah resistansi efektif
yaitu perbandingan rugi daya pada penghantar dengan arus pangkat dua. Resistansi
efektif sama dengan resistansi arus searah (dc), Rdc ini tergantung kepada jenis
bahan kawatnya (Tanjung A, 2012). Besarnya resistansi dinyatakan dengan
persamaan berikut:
𝑙
R = ρ ................................................................................................ (2.2)
𝐴
dimana,
R = Resistansi (Ohm)
ρ = Resistivitas atau tahanan jenis penghantar (Ohm)
l = Panjang kawat (m)
A = Luas penampang kawat (mm2)
2.4.6
Reaktansi Penghantar (Reaktansi Induktif)
Konduktor yang dialiri oleh arus listrik dikelilingi oleh garis-garis magnetik
yang berbentuk lingkaran-lingkaran konsentrik. Arus bolak-balik medan yang
berada disekeliling konduktor tidaklah konstan, melainkan akan selalu berubahubah dan akan mengait konduktor itu sendiri maupun dengan konduktor-konduktor
lainnya yang terletak berdekatan. Dengan adanya kaitan-kaitan fluks tersebut maka
saluran akan memiliki sifat induktansi. Reaktansi pada saluran transmisi atau
distribusi terdiri dari reaktansi induktif (jX) dan rektansi kapasitif (-jX). Namun
pada saluran distribusi, reaktansi kapasitif sangat kecil, sehingga biasanya
diabaikan (Tanjung A, 2012). Besarnya reaktansi induktif (X) dinyatakan dengan
persamaan berikut:
X = 2 π f L .......................................................................................... (2.3)
dimana,
f = Frekuensi (Hz)
L = Induktansi (Henry)
X = Reaktansi Induktif (Ohm)
π = 3,14
20
2.5
Analisis Rugi-Rugi Daya Menggunakan Load Flow Analysis
Untuk menilai performansi sistem distribusi daya dan untuk menguji
keefektifan perubahan-perubahan yang direncanakan pada suatu sistem pada tahap
perencanaan, sangat penting untuk dilakukan analisis aliran daya. Studi aliran daya
ini dilakukan untuk menentukan (Adrianti, 2008):
a. Aliran daya aktif dan reaktif pada cabang – cabang rangkaian
b. Tidak ada rangkaian yang mempunyai beban lebih dan tegangan busbar
dalam batas – batas yang dapat diterima.
c. Pengaruh penambahan atau perubahan pada suatu sistem.
Dalam perencanaan pengembangan sistem untuk masa yang akan datang,
studi aliran daya sangat penting dilakukan. Hal tersebut dikarenakan dimasa yang
akan datang tidak diketahui secara pasti kondisi yang akan dianalisis, maka dalam
analisis aliran daya dapat dilakukan asumsi terhadap pengembangan sistem tenaga
listrik. Hal penting yang dapat diperoleh dari studi aliran daya adalah besar dan
sudut fasa tegangan pada setiap bus dan daya nyata serta daya reaktif yang mengalir
dalam setiap saluran.
Hilang daya (rugi daya) utama pada saluran adalah besarnya daya yang
hilang pada saluran, yang besarnya sama dengan daya yang disalurkan dari sumber
daya yang dikurangi besarnya daya yang diterima pada perlengkapan hubungan
bagi utama. Rugi daya dipengaruhi oleh tahanan dan besarnya arus yang mengalir
pada saluran, hingga timbul rugi energi berupa panas yang hilang pada saluran
(Tanjung A, 2012). Terjadinya rugi rugi daya pada sistem kelistrikan merupakan
salah satu acuan untuk mengetahui efesien atau tidaknya sistem kelistrikan tersebut
dalam beroperasi. Rugi-rugi daya selalu diukur dalam kurun waktu tertentu, dan
idealnya dihitung dalam kurun waktu satu tahun. Perhitungan rugi-rugi daya
dilakukan dengan menghitung selisih antara daya yang dibangkitkan dengan daya
yang terjual. Karena itulah ukuran efisiensi pada sistem ketenagalistrikan sangat
berkaitan dengan rugi-rugi daya yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, sebab
rugi-rugi daya sangat berpengaruh dengan jumlah daya yang hilang dengan daya
yang dibangkitkan.
21
2.5.1
Klasifikasi Bus
Untuk mengetahui besarnya nilai aliran daya dan rugi-rugi daya dalam
setiap saluran distribusi maka terlebih dahulu dilakukan perhitungan besarnya
(magnitude) tegangan dan sudut fasa tegangan pada setiap bus dalam sistem tenaga
listrik yang dianalisis. Terdapat 4 (empat) parameter atau besaran pada setiap bus
dalam sistem tenaga listrik, meliputi (Sulasno, 1993):
1. Injeksi netto daya nyata (net real power injected), mempunyai simbol “P”
dengan satuan Mega Watt (MW).
2. Injeksi netto daya semu (net reactive power injected), memiliki simbol ”Q”
dengan satuan Mega Volt Ampere Reaktif (MVAR).
3. Besaran (magnitude) tegangan, mempunyai simbol “V” dengan satuan kilo
Volt (kV).
4. Sudut fasa tegangan, mempunyai simbol “” dengan satuan radian.
Dalam analisis aliran daya pada setiap bus sistem tenaga listrik, maka harus
diketahui dua buah besaran dari empat besaran yang terdapat pada setiap bus sistem
tenaga listrik dan bergantung pada parameter–parameter yang telah diketahui
sebelumnya. Dengan demikian setiap bus dalam sistem tenaga listrik dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga), yaitu (Sulasno, 1993):
1. Bus Beban (Load Bus)
Load bus biasanya disebut bus P,Q, karena besaran-besaran yang diketahui
adalah P dan Q, sedangkan besaran V dan  tidak diketahui.
2. Bus Kontrol (Generator Bus)
Generator bus biasanya disebut bus P, V, karena hanya besaran P dan V saja
yang diketahui, sedangkan besaran  dan Q tidak diketahui.
3. Bus Ayun (Slack Bus)
Besaran-besaran yang diketahui dalam slack bus adalah V dan , dan
biasanya  bernilai nol ( = 0). Selama perhitungan aliran daya, besaran V
dan  akan tetap dan tidak berubah. Slack bus akan selalu memiliki
generator dengan kapasitas daya yang dimiliki paling besar.
22
2.5.2 Persamaan Aliran Daya
Persamaan umum analisis aliran daya mengenai arus yang mengalir dari
suatu bus ke bus yang lain dalam sistem ketenagalistrikan (Pai,1979) :
I1 = Y11 V1 + Y12 V2 + Y13 V3 + … + Y1nVn
I2 = Y21 V1 + Y22 V2 + Y23 V3 + … + Y2n Vn
I3 = Y31 V1 + Y32 V2 + Y33 V3 + … + Y3n Vn ..................................... (2.4)
In = Yn1 V1 + Yn2 V2 + Yn3 V3 + … + Ynn Vn
Secara sedehana dapat ditulis sebagai berikut:
𝑛
𝐼𝑝 = ∑ π‘Œπ‘π‘ž π‘‰π‘ž ; 𝑝 = 1,2, … , 𝑛
...........................................................(2.5)
π‘ž=1
Daya kompleks pada bus p tersebut adalah :
𝑆𝑝 = 𝑝𝑝 + 𝑗𝑄𝑝 = 𝑉𝑝 𝐼𝑝∗ ..................................................................... (2.6)
dengan memasukkan Persamaan (2.5) ke Persamaan (2.6) akan menghasilkan:
𝑛
∗ ∗ .................................................................... (2.7)
𝑃𝑝 + 𝑗𝑄𝑝 = 𝑉𝑝 ∑ π‘Œπ‘π‘ž
π‘‰π‘ž
π‘ž=1
Apabila bagian real dan imajiner dari Persamaan (2.7) dipisahkan maka akan
diperoleh :
𝑛
∗ ∗]
𝑃𝑝 = 𝑅𝑒 [𝑉𝑝 ∑ π‘Œπ‘π‘ž
π‘‰π‘ž .................................................................... (2.8)
π‘ž=1
𝑛
∗ ∗ ] .................................................................... (2.9)
𝑄𝑝 = πΌπ‘š [𝑉𝑝 ∑ π‘Œπ‘π‘ž
π‘‰π‘ž
π‘ž=1
23
Besaran daya pada sistem tenaga listrik juga dapat dinyatakan dalam 3 (tiga) bentuk
umum, antara lain (El-Hawary, 1982):
a. Bentuk Siku-siku (Rectangular Form).
b. Bentuk Kutub (Polar Form)
c. Bentuk Hibrid (Hybrid Form), yang merupakan perpaduan dari bentuk
siku-siku dan bentuk polar.
Jika tegangan dinyatakan dalam bentuk polar maka diperoleh persamaan:
Vp = Vp   p ..................................................................................... (2.10)
Vq = Vq   q .................................................................................... (2.11)
Jika impedansi dinyatakan dalam bentuk siku-siku maka diperoleh persamaan:
Ypq = Gpq + jBpq .................................................................................. (2.12)
sehingga persamaan daya pada Persamaan (2.8) dan (2.9) akan menjadi:
𝑛
𝑃𝑝 = |𝑉𝑝 | ∑|π‘‰π‘ž |[πΊπ‘π‘ž cos(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž ) + π΅π‘π‘ž sin(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž )] .............. (2.13)
π‘ž=1
𝑛
𝑄𝑝 = |𝑉𝑝 | ∑|π‘‰π‘ž |[πΊπ‘π‘ž sin(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž ) − π΅π‘π‘ž cos(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž )]............... (2.14)
π‘ž=1
Analisis aliran daya pada saluran sistem tenaga listrik dapat ditentukan dengan
persamaan aliran daya kompleks saluran seperti berikut:
∗
π‘ƒπ‘π‘ž + π‘—π‘„π‘π‘ž = 𝑉𝑝 πΌπ‘π‘ž
.......................................................................... (2.15)
Arus yang mengalir pada bus kirim (p) dari suatu saluran p ke q adalah :
πΌπ‘π‘ž = (𝑉𝑝 − π‘‰π‘ž )π‘Œπ‘π‘ž + 𝑉𝑝
′
π‘¦π‘π‘ž
2
............................................................. (2.16)
dengan :
ypq
′
π‘¦π‘π‘ž
𝑉𝑝
= Admitansi saluran
= Admitansi line charging total
′
π‘¦π‘π‘ž
2
= Arus yang mengalir pada bus p akibat adanya line charging.
24
Sehingga dapat diketahui daya yang mengalir dari bus p ke bus q adalah:
∗
π‘†π‘π‘ž = π‘ƒπ‘π‘ž + π‘—π‘„π‘π‘ž = 𝑉𝑝 πΌπ‘π‘ž
................................................................ (2.17)
Sedangkan arus yang mengalir dari bus q ke bus p adalah :
πΌπ‘π‘ž = (π‘‰π‘ž − 𝑉𝑝 )π‘Œπ‘π‘ž + π‘‰π‘ž
′
π‘¦π‘π‘ž
2
.............................................................. (2.18)
Jadi daya yang mengalir dari bus q ke bus p adalah :
π‘†π‘žπ‘ = π‘ƒπ‘žπ‘ + 𝑗 π‘„π‘žπ‘ = π‘‰π‘ž πΌπ‘žπ‘ ............................................................... (2.19)
Dari persamaan persamaan tersebut dapat diketahui untuk rugi-rugi daya
pada saluran p-q (SLpq) menjadi :
SLpq = Spq + Sqp.................................................................................. (2.20)
2.5.3
Penerapan Metode Newton Raphson Pada Analisis Aliran Daya
Untuk menyelesaikan studi aliran daya, metode yang sering digunakan
adalah metode Gauss-Seidel dan Newton Raphson. Metode Newton Raphson lebih
cepat mencapai nilai konvergen sehingga proses iterasi yang berlangsung lebih
sedikit namun setiap iterasinya memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Karena
jumlah iterasinya lebih sedikit maka secara keseluruhan waktu yang diperlukan
lebih singkat dalam proses penyelesaian studi aliran daya. Metode Newton Raphson
pada dasarnya merupakan metode Gauss-Seidel yang telah diperluas dan
disempurnakan. Metode ini dapat mengatasi kelemahan dari metode Gauss Seidel
antara lain dalam hal ketelitian dan jumlah iterasi (Sulasno, 1993). Dalam
penyelesaian analisis iterasi pada metode Newton Raphson, nilai dari daya aktif (Pp)
dan daya reaktif (Qp) yang telah dihitung harus dibandingkan dengan nilai yang
ditetapkan, dengan menggunakan persamaan analisis sebagai berikut (Pai,1979) :
Pp = Pp spec – Pp calc
𝑛
βˆ†π‘ƒπ‘ =
𝑠𝑝𝑒𝑐
𝑃𝑝
− |𝑉𝑝 | ∑|π‘‰π‘ž |[πΊπ‘π‘ž cos(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž ) + π΅π‘π‘ž sin(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž )] ...........(2.21)
π‘ž=1
p = 1,2,…,n ; p ο‚Ή s
25
Qp = Qpspec – Qpcalc
𝑛
βˆ†π‘ƒπ‘ =
𝑠𝑝𝑒𝑐
𝑃𝑝
− |𝑉𝑝 | ∑|π‘‰π‘ž |[πΊπ‘π‘ž sin(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž ) + π΅π‘π‘ž cos(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž )]........... (2.22)
π‘ž=1
p = 1,2,…,n ; p ο‚Ή s ; p ο‚Ή g
Superskrip spec merupakan yang ditetapkan (specified) dan calc merupakan yang
dihitung (calculated). Analisis proses iterasi ini berlangsung hingga perubahan
daya aktif (Pp) dan perubahan daya reaktif (Qp) tersebut telah mencapai nilai
konvergen (ο₯ ) yang telah ditentukan. Umumnya nilai konvergen yang ditentukan
berkisaran antara 0,01 sampai 0,0001 (Sulasno, 1993).
Matrik Jacobian terdiri dari turunan parsial dari P dan Q terhadap masingmasing variabel, besar dan sudut fasa tegangan. Nilai besar dan sudut fasa tegangan
yang diasumsikan serta daya aktif dan daya reaktif yang dihitung digunakan untuk
mendapatkan elemen-elemen Jacobian. Setelah itu akan diperoleh harga dari
perubahan besar tegangan,
βˆ†|𝑉|
,
|𝑉|
dan perubahan sudut fasa tegangan, . Secara
umum persamaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut (Pai, 1979):
[
βˆ†π‘ƒ
𝐻
] =[
βˆ†π‘„ (π‘˜)
𝐽
βˆ†π›Ώ
𝑁
] [βˆ†|𝑉|]
𝐿 (π‘˜)
|𝑉| (π‘˜) ............................................................... (2.23)
Submatrik H, N, J, L menunjukkan turunan parsial dari Persamaan (2.13) dan (2.14)
terhadap V  dan , dengan matrik yang disebut matrik Jacobian. Nilai dari masingmasing elemen Jacobian sebagai berikut (Pai, 1979):
a.
Untuk p ο‚Ή q
π»π‘π‘ž =
𝛿𝑃𝑝
= |𝑉𝑝 ||𝑉𝑝 |[πΊπ‘π‘ž sin(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž ) − π΅π‘π‘ž cos(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž )]
𝛿 π›Ώπ‘ž
.......... (2.24)
π‘π‘π‘ž =
𝛿𝑃𝑝
𝛿|π‘‰π‘ž |
= |𝑉𝑝 ||𝑉𝑝 |[πΊπ‘π‘ž cos(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž ) + π΅π‘π‘ž sin(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž )]
26
π½π‘π‘ž =
𝛿𝑄𝑝
= −|𝑉𝑝 ||𝑉𝑝 |[πΊπ‘π‘ž cos(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž ) + π΅π‘π‘ž sin(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž )]
𝛿 π›Ώπ‘ž
πΏπ‘π‘ž =
𝛿𝑃𝑝
𝛿|π‘‰π‘ž |
= |𝑉𝑝 ||𝑉𝑝 |[πΊπ‘π‘ž sin(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž ) − π΅π‘π‘ž cos(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž )]
b. Untuk p = q
𝐻𝑝𝑝 =
𝑁𝑝𝑝 =
𝐽𝑝𝑝
𝛿 𝑃𝑝
2
= −𝑄𝑝 − 𝐡𝑝𝑝 |𝑉𝑝 |
𝛿 𝛿𝑝
𝛿 𝑃𝑝
𝛿 |𝑉𝑝 |
2
= 𝑃𝑝 + 𝐺𝑝𝑝 |𝑉𝑝 |
𝛿 𝑄𝑝
2
=
= 𝑃𝑝 − 𝐺𝑝𝑝 |𝑉𝑝 |
𝛿 𝛿𝑝
𝐻𝑝𝑝 =
............................................................... (2.25)
𝛿 𝑃𝑝
2
= 𝑄𝑝 − 𝐡𝑝𝑝 |𝑉𝑝 |
𝛿 𝛿𝑝
Dengan,
𝑛
𝑃𝑝 = |𝑉𝑝 | ∑|π‘‰π‘ž |[πΊπ‘π‘ž cos(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž ) + π΅π‘π‘ž sin(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž )] .........................(2.26)
π‘ž=1
𝑛
𝑄𝑝 = |𝑉𝑝 | ∑|π‘‰π‘ž |[πΊπ‘π‘ž sin(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž ) − π΅π‘π‘ž cos(𝛿𝑝 − π›Ώπ‘ž )] .........................(2.27)
π‘ž=1
Setelah seluruh persamaan diselesaikan, maka harga dari magnitude
tegangan dan sudut fasa tegangan yang baru dapat diperoleh dengan menambahkan
nilai koreksi magnitude tegangan dan sudut fasa tegangan dengan nilai sebelumnya
(Pai, 1979):
𝛿 π‘˜+1 = 𝛿 π‘˜ + βˆ†π›Ώ π‘˜
............................................................................. (2.28)
|𝑉|(π‘˜+1) = |𝑉|π‘˜ + βˆ†|𝑉|π‘˜ = |𝑉 |π‘˜ (1 +
βˆ†|𝑉|π‘˜
) ....................................... (2.29)
|𝑉|π‘˜
27
2.6
Keandalan Sistem Distribusi Tenaga Listrik
Keandalan (reliability) didefinisikan sebagai peluang suatu komponen atau
sistem memenuhi fungsi yang dibutuhkan dalam periode waktu yang diberikan
selama digunakan dalam kondisi beroperasi. Dengan kata lain keandalan berarti
peluang tidak terjadi kegagalan selama beroperasi. Sistem yang mempunyai
keandalan tinggi akan mampu memberikan tenaga listrik setiap saat dibutuhkan,
sedangkan sistem mempunyai keandalan rendah bila tingkat ketersediaan
tenaganya rendah yaitu sering padam. Adapun macam – macam tingkatan
keandalan dalam pelayanan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) hal antara lain (Hartati
dkk, 2007):
1.
Keandalan sistem yang tinggi (High Reliability System).
Pada kondisi normal, sistem akan memberikan kapasitas yang cukup untuk
menyediakan daya pada beban puncak dengan variasi tegangan yang baik.
Dan dalam keadaan darurat bila terjadi gangguan pada jaringan, maka
sistem ini tentu saja diperlukan beberapa peralatan dan pengaman yang
cukup banyak untuk menghindarkan adanya berbagai macam ganngguan
pada sistem.
2.
Keandalan sistem yang menengah (Medium Reliability System).
Pada kondisi normal sistem akan memberikan kapasitas yang cukup untuk
menyediakan daya pada beban puncak dengan variasi tegangan yang baik.
Dan dalam keadaan darurat bila terjadi gangguan pada jaringan, maka
sistem tersebut masih bisa melayani sebagian dari beban meskipun dalam
kondisi beban puncak. Jadi dalam sistem ini diperlukan peralatan yang
cukup banyak untuk mengatasi serta menanggulangi gangguan – gangguan
tersebut.
3.
Keandalan sistem yang rendah (Low Reliability System).
Pada kondisi normal, sistem akan memberikan kapasitas yang cukup untuk
menyediakan daya pada beban puncak dengan variasi tegangan yang baik.
Tetapi bila terjadi suatu gangguan pada jaringan, sistem sama sekali tidak
bisa melayani beban tersebut. Jumlah pengaman pada sistem ini lebih
sedikit dibandingkan pada sistem dengan keandalan tinggi.
28
Kontinyuitas pelayanan, penyaluran jaringan distribusi tergantung pada
jenis dan macam sarana penyalur dan peralatan pengaman. Sarana penyalur
(jaringan distribusi) mempunyai tingkat kontinyuitas yang tergantung pada susunan
saluran dan cara pengaturan sistem operasinya, yang pada hakekatnya direncanakan
dan dipilih untuk memenuh kebutuhan dan sifat beban. Tingkat kontinyuitas
pelayanan dari sarana penyalur disusun berdasarkan lamanya upaya menghidupkan
kembali suplai setelah pemutusan karena gangguan.
2.6.1
Indeks Keandalan
Indeks keandalan merupakan suatu indikator keandalan yang dinyatakan
dalam suatu besaran probabilitas. Sejumlah indeks sudah dikembangkan untuk
menyediakan suatu kerangka untuk mengevaluasi keandalan sistem tenaga.
Evaluasi keandalan sistem distribusi terdiri dari indeks titik beban dan indeks sistem
yang dipakai untuk memperoleh pengertian yang mendalam kedalam keseluruhan
capaian. Untuk menghitung indeks keandalan titik beban dan indeks keandalan
sistem yang biasanya digunakan meliputi angka keluar (outage number) dan lama
perbaikan (repair duration) dari masing-masing komponen (Hartati dkk, 2007).
1.
Keluar (Outage) adalah : Keadaaan suatu komponen tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya, diakibatkan karena beberapa peristiwa yang
berhubungan dengan komponen tersebut (SPLN 59, 1985). Angka keluar
adalah angka perkiraan dari suatu komponen yang mengalami kegagalan
beroperasi per satuan waktu (umumnya pertahun). Suatu Keluar (Outage)
dapat atau tidak dapat menyebabkan pemadaman, hal ini masih tergantung
pada konfigurasi dari sistem
2.
Lama Keluar (Outage Duration): Periode dari saat permulaan komponen
mengalami keluar sampai saat komponen dapat dioperasikan kembali sesuai
dengan fungsinya (SPLN 59, 1985). Standar perkiraan angka keluar dan
waktu perbaikan dari komponen yang biasa dipakai adalah sesuai standar
SPLN 59 tahun 1985.
29
2.6.1.1 SAIFI (System Average Interruption Frequency Index)
SAIFI (system average interruption frequency index) adalah indeks
frekuensi gangguan sistem rata-rata setiap tahun. Menginformasikan tentang
frekuensi gangguan permanen rata-rata setiap konsumen dalam suatu area yang
dievaluasi.
Jumlah Total Banyaknya Pemadaman Pada Pelanggan
Jumlah Total Pelanggan Yang Dilayani
SAIFI =
Atau dapat ditulis dengan persamaan berikut (Billinton, 1996):
SAIFI =
∑ λ𝑖N𝑖
∑ N𝑖
.............................................................................. (2.30)
Dengan :
λi
= angka kegagalan rata-rata/frekuensi padam
Ni = jumlah pelanggan yang dilayani pada titik beban i
2.6.1.2 SAIDI (System Average Interruption Duration Index)
SAIDI adalah indeks keandalan yang merupakan jumlah dari perkalian lama
padam dan pelanggan padam dibagi dengan jumlah pelanggan yang dilayani.
Dengan indeks ini, gambaran mengenai lama pemadaman rata-rata yang
diakibatkan oleh gangguan pada bagian-bagian dari sistem dapat dievaluasi
(Billinton, 1996).
SAIDI =
Jumlah Total Durasi Pemadaman Pada Pelanggan
Jumlah Total Pelanggan Yang Dilayani
Atau dapat ditulis dengan persamaan berikut (Billinton, 1996):
SAIDI =
∑ U𝑖N𝑖
................................................................................ (2.31)
∑ N𝑖
Dengan :
Ui = waktu padam pelanggan dalam periode tertentu (jam/tahun)
Ni = jumlah pelanggan yang dilayani pada titik beban i
30
2.6.1.3 CAIDI (Customer Average Interruption Duration Index)
Indeks ini menggambarkan lama waktu (durasi) rata-rata setiap
pemadaman. Indeks ini merupakan perbandingan antara SAIDI dan SAIFI yang
dirumuskan dengan (Billinton, 1996):
CAIDI =
atau
CAIDI =
Jumlah Total Durasi Pemadaman Pada Pelanggan
Jumlah Total Banyaknya Pemadaman Pada Pelanggan
∑ U𝑖N𝑖
∑ λ𝑖N𝑖
................................................................................ (2.32)
Besarnya nilai CAIDI ini dapat digambarkan sebagai besarnya durasi
pemadaman sistem distribusi keseluruhan ditinjau dari sisi pelanggan.
2.6.1.4 ASAI (Average Service Availability Index)
Indeks ini menggambarkan tingkat ketersediaan layanan (Suplai daya) yang
diterima oleh pelanggan. Indeks ini dirumuskan dengan (Billinton, 1996):
ASAI =
Jumlah Durasi Ketersediaan Suplai Daya ke Pelanggan
Jumlah Durasi Suplai Daya Yang Diperlukan Pelanggan
ASAI =
∑ N𝑖 π‘₯ 8760−∑ U𝑖N𝑖
.......................................................... (2.33)
∑ N𝑖π‘₯8760
atau
Dengan 8760 adalah total jumlah jam dalam satu tahun kalender.
2.6.1.5 ASUI (Average Service Unavailability Index)
Indeks ini menggambarkan ketidaktersediaan layanan (Suplai daya) yang
diterima oleh pelanggan. Indeks ini dirumuskan dengan (Billinton, 1996):
ASUI =
Jumlah Durasi Ketidaktersediaan Suplai Daya ke Pelanggan
Jumlah Durasi Suplai Daya Yang Diperlukan Pelanggan
atau
ASUI =
∑ U𝑖N𝑖
∑ N𝑖π‘₯8760
.......................................................................... (2.34)
Dengan 8760 adalah total jumlah jam dalam satu tahun kalender.
31
Informasi dari indeks kegagalan memiliki kegunaan yang seperti berikut ini
(Priatna, 2014):
1. Melengkapi manajemen dengan data capaian mengenai mutu layanan
pelanggan pada sistem kelistrikan secara keseluruhan.
2. Untuk mengidentifikasi subsistem dengan capaian dibawah standar dan
untuk memastikan penyebabnya.
3. Melengkapi manajemen dengan data capaian mengenai mutu layanan
pelanggan untuk masing-masing daerah operasi.
4. Menyediakan historisis keandalan dari sirkit individu untuk diskusi dengan
pelanggan sekarang atau calon pelanggan.
5. Memenuhi syarat pelaporan pengaturan.
6. Menyediakan suatu basis untuk menetapkan ukuran-ukuran kesinambungan
layanan.
7. Menyediakan data capaian yang penting bagi suatu pendekatan probabilistik
untuk studi keandalan sistem distribusi.
Standar nilai untuk indeks keandalan sistem distribusi tenaga listrik
ditunjukkan oleh tabel berikut :
Tabel 2.2 Standar Indeks Keandalan Sistem Spindel
Indeks
SAIFI
SAIDI
Standar
1,7 kali/tahun
4,8 jam/tahun
(Sumber: SPLN 68-2 : 1986)
Download