BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review Terdapat

advertisement
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
State of The Art Review
Terdapat beberapa penelitian yang mendukung dari tugas akhir ini, dimana
pada penelitian tersebut dijadikan dasar acuan pada penelitian pada tugas akhir ini
yatu :
Tahun 2010 Penerapan Metode Pendekatan Teknik Untuk Meningkatkan
Keandalan Sistem Distribusi. Penelitian ini dilakukan oleh Rukmi Sari Hartati dan
I Wayan Sukerayasa dimana dalam penelitian ini menggunakan Metode
pendekatan teknik yang digunakan untuk meningkatkan keandalan sistem
distribusi dengan menentukan lokasi recloser yang optimal pada penyulangpenyulang yang akan ditingkatkan keandalannya, sehingga diperoleh nilai indeks
keandalan yang lebih baik. Telah dilakukan penelitian dengan menggunakan
metode tersebut untuk meningkatkan keandalan pada penyulang Penebel dan
Marga untuk memenuhi target PLN ke depan yakni mencapai WCS (World
Customer Service) serta WCC (World Class Company) yaitu SAIFI = 3
kali/pelanggan/tahun dan SAIDI = 100 menit/pelangggan/tahun.
Dari hasil
penelitian pada 2 penyulang tersebut diperoleh nilai indeks keandalan SAIDI dan
SAIFI untuk kedua penyulang tersebut sudah mendekati target WCS dan jauh
lebih baik dibandingkan dengan kondisi sebelum dipasang recloser. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode pendekatan teknik untuk
meningkatkan keandalan sistem distribusi cocok untuk diterapkan, terutama pada
sistem distribusi di Bali.
Tahun 2011 Evaluasi Keandalan Sistem Distribusi Jaringan Spindel GI
Nusa Dua PT. PLN (Persero) Distribusi Bali – UJ Kuta. Penelitian yang dilakukan
oleh I Wayan Suardiawan yaitu menganalisis keandalan sistem distribusi jaringan
spindel pada gardu Induk Nusa Dua. Tujuan yang ingin dicapai pada tugas akhir
tersebut adalah sebagai evaluasi bagi PT. PLN (Persero) Distribusi Bali
khususnya Unit Jaringan Kuta dalam memperbaiki kinerja penyulang-penyulang
yang ada pada Gardu Induk Nusa Dua. Metode yang digunakan antara lain
4
5
pengumpulan data, pengolahan data, serta penganalisisan keandalan sistem
distribusi. Nilai SAIFI untuk WCS adalah 3, GI Nusa Dua adalah 0,911 dan
Sistem Bali 1,65, sedangkan nilai SAIDI untuk WCS adalah 100, GI Nusa Dua
adalah 54 dan Sistem Bali 61,43. Dari hasil perbandingan tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa keandalan dari Gardu Induk Nusa Dua sudah cukup baik,
karena nilai yang didapat lebih baik bila dibandingkan dengan standar WCS yang
telah diterapkan maupun dengan keseluruhan sistem bali itu sendiri.
Tahun 2012 Analisis Keandalan Sistem Distribusi Di PT. PLN (Persero)
APJ Kudus Menggunakan Software Etap (Electrical Transient Analysis Progam)
Dan Metode Section Technique. Penelitian ini dilakukan oleh Henki Projo
Wicaksono dkk melakukan Studi keandalan sistem distribusi 20 kV yang
dilakukan yaitu pada APJ Kudus, dengan mengambil plant pada penyulang KDS
2, KDS 4, KDS 8, PTI 3 dan PTI 5. Penyulang yang digunakan sebagai model
sistem pada pembahasan ini adalah penyulang KDS 2. Tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui keandalan sistem distribusi 20 kV
di APJ Kudus, Jawa Tengah. Metode yang digunakan yaitu metode Section
Technique dibandingkan dengan running Software ETAP, langkah-langkah yang
dilakukan antara lain pengumpulan data, pengolahan data, serta menganalisis
keandalan sistem distribusi 20 kV. Hasil yang didapat dari perhitungan
menggunakan metode Section Technique adalah nilai indeks keandalan penyulang
KDS 2 berupa indeks SAIFI = 2.4982 kali/tahun, SAIDI = 7.6766 jam/pertahun,
dan CAIDI = 3.072852 jam/tahun. Sedangkan hasil yang didapat dari perhitungan
menggunakan Running Software ETAP adalah nilai indeks keandalan penyulang
KDS 2 berupa indeks SAIFI = 2.9235 kali/tahun, SAIDI = 7.8902 jam/tahun, dan
CAIDI = 2.699 jam/tahun. Untuk meningkatkan nilai keandalan yaitu dengan
mengurangi frekuensi terjadinya gangguan dan dilakukan pemeliharaan jaringan
secara preventif dan mengoptimalkan kondisi tie switch pada jaringan distribusi.
Tahun 2013 Analisis Keandalan Sistem Distribusi Tenaga Listrik
Penyulang Jember Kota Dan Kalisat Di PT. PLN APJ Jember. Penelitian ini
dilakukan oleh M. Yudistya Perdana dkk yaitu menganalisis keandalan sistem
distribusi. PT. PLN Jember mempunyai 3 gardu induk (GI), yaitu GI Jember,
6
Tanggul dan Lumajang. Penyulang Jember Kota dan Kalisat disuplai tenaga dari
satu gardu induk (GI) yaitu GI Jember. Penyulang Jember Kota mempunyai
jumlah pelanggan sebanyak 19710 pelanggan. Penyulang ini mempunyai dua jenis
kabel, yaitu kabel bawah tanah dan kabel saluran udara dengan panjang kabel
bawah tanah 0.15 kms kabel saluran udara 172 kms. Penyulang Kalisat
mempunyai jumlah pelanggan sebanyak 37119 pelanggan. Penyulang ini
mempunya dua jenis kabel, yaitu kabel bawah tanah dan kabel saluran udara
dengan panjang kabel bawah tanah adalah adalah 0.9 kms dan kabel saluran udara
adalah 137,5 km. Penyulang Jember Kota mempunyai nilai realisasi SAIDI per
tahun sebesar 3,987 jam/tahun, dan SAIFI per tahun sebesar 8,343
pemadaman/tahun, dalam arti bahwa SAIDI-SAIFI di penyulang Jember Kota
relatif sedikit dari nilai realisasi yang ditargetkan. Hal ini menunjukkan bahwa
penyulang Jember Kota mempunyai tingkat keandalan yang tinggi. Penyulang
Kalisat mempunyai nilai realisasi SAIDI per tahun sebesar 8,345 jam/tahun, dan
SAIFI per tahun sebesar 7,085 pemadaman/tahun, dalam arti bahwa SAIDI-SAIFI
di penyulang Kalisat relatif sedikit dari nilai realisasi yang ditargetkan. Hal ini
menunjukkan bahwa penyulang Kalisat mempunyai tingkat keandalan yang
tinggi.
Tahun 2014 Analisis Keandalan Sistem Distribusi 20kV Pada Penyulang
Pekalongan 8 Dan 11 yang dilakukan oleh Aditya Teguh Prabowo dkk, Pada
tugas akhir ini, dilakukan simulasi suatu model keandalan jaringan distribusi
untuk mencari nilai indeks keandalan load point maupun secara keseluruhan.
Perhitungan ini berdasarkan nilai laju kegagalan (λ) dan lama perbaikan (r) dari
masing-masing komponen yang digunakan dalam jaringan distribusi radial.
Jumlah elemen atau komponen yang digunakan dan panjangnya jaringan akan
mempengaruhi hasil nilai indeks keandalan. Dua penyulang yang dianalisis
diambil dari Gardu Induk Pekalongan. Untuk PKN 8 dan PKN 11 hasil pengujian
menunjukkan bahwa diperoleh nilai SAIFI, SAIDI dan CAIDI untuk penyulang
PKN 8 sebesar 2,7468 kali/tahun, 9,3642 jam/tahun dan 3,4092 jam/pelanggan
sedangkan untuk penyulang PKN 11 sebesar 2,218 kali/tahun, 8,26 jam/tahun dan
3,7176 jam/pelanggan.
7
2.2
Saluran Distribusi Tenaga Listrik
Salah satu tahapan penyaluran tenaga listrik menuju konsumen, disalurkan
melalui saluran distribusi tegangan menengah. Sebagai jaringan utama, saluran
distribusi tenaga listrik diharapkan mampu meminimalisir rugi-rugi daya / losses
jaringan, tanpa mengabaikan kestabilan tegangan yang harus disediakan oleh PT
PLN Persero selaku pemegang kuasa utama penyaluran energi listrik. Jaringan
tegangan menengah biasanya menggunakan penghantar saluran udara tanpa
isolasi, kabel udara pilin / twisted tegangan menengah, atau kabel bawah tanah
tegangan menengah.
2.2.1 Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM)
Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM) adalah sebagai konstruksi
termurah untuk penyaluran tenaga listrik pada daya yang sama. Konstruksi ini
terbanyak digunakan untuk konsumen, ciri utama jaringan ini adalah penggunaan
penghantar telanjang yang ditopang dengan isolator pada tiang besi/beton.
Penggunaan penghantar tak beerisolasi, dengan sendirinya harus diperhatikan
faktor yang terkait dengan keselamatan ketenagalistrikan seperti jarak aman
minimum yang harus dipenuhi penghantar bertegangan 20 kV tersebut antar phasa
atau dengan bangunan atau dengan tanaman atau dengan jangkauan manusia.
Penggunaan penghantar ini tidak menjamin keamanan terhadap tegangan sentuh
yang dipersyaratkan akan tetapi untuk mengurangi resiko gangguan temporer.
Gambar 2.1 Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM)
8
2.2.1.1 Penghantar Saluran Udara Tegangan Menengah
Pengoperasian
saluran
udara
tegangan
menengah
perlu
mempertimbangkan konduktor yang digunakan dalam saluran tersebut. Penentuan
jenis konduktor sangat diperlukan untuk menentukan karakteristik mekanis
maupun karakteristik listrik saat aliran daya terjadi. Konduktor saluran distribusi
umumya berbahan tembaga atau alumunium dengan inti baja (Alumunium
Conductor, Steel-Reinforced atau ACSR) Jenis-jenis kawat penghantar yang biasa
digunakan antara lain (Pramono. 2010):
a. Tembaga dengan konduktivitas 100% (Cu 100%)
b. Tembaga dengan konduktivitas 97,5% (Cu 97,5%)
c. Alumunium dengan konduktivitas 61% (Al 61%)
Kawat penghantar alumunium telah mulai menggantikan kedudukan kawat
tembaga, untuk memperbesar kuat tarik dari kawat alumunium, digunakan
campuran alumunium (alumunium alloy). Untuk saluran transmisi tegangan
tinggi, dimana jarak antara menara atau tiang berjauhan, maka dibutuhkan kuat
tarik yang lebih tinggi, maka digunakan kawat penghantar ACSR. Kawat
penghantar alumunium, terdiri dari berbagai jenis, dengan lambang sebagai
berikut (Stevenson. 1994):
a.
AAC (All-Alumunium Conductor), yaitu kawat penghantar yang seluruhnya
terbuat dari alumunium.
b.
AAAC (All-Alumunium-Alloy Conductor), yaitu kawat penghantar yang
seluruhnya terbuat dari campuran alumunium.
Gambar 2.2 Jenis-jenis Kawat Penghantar Tenaga Listrik
(sumber: Pramono, 2010)
9
2.2.1.2 Kemampuan Hantar Arus Penghantar Saluran Udara
Ketentuan data teknis kemampuan hantar arus penghantar pada ambient
temperatur 30°C memberikan kemampuan hantar arus jenis penghantar saluran
udara tegangan menengah dan jangkauan pada beban dan jatuh tegangan tertentu.
Tabel 2.1 Tahanan ( R ) dan reaktansi ( XL ) penghantar AAC tegangan 20 kV (SPLN 64: 1985)
Luas Penampang
(mm2)
Jari –
Jari
(mm)
KHA
GMR
(mm)
Impedansi urutan
positif (Ohm / km)
Impedansi urutan Nol
(Ohm / km)
16
2,2563 110 1,6380
1,8382 + j 0,4035
1,9862 + j 1,6910
25
2,8203 145 2,0475
1,1755 + j 0,3895
1,3245 + j 1,6770
35
3,3371 180 2,4227
0,8403 + j 0,3791
0,9883 + j 1,6666
50
3,9886 225 2,8957
0,5882 + j 0,3677
0,7362 + j 1,6552
70
4,7193 270 3,4262
0,4202 + j 0,3572
0,5682 + j 1,6447
95
5,4979 340 4,1674
0,3096 + j 0,3464
0,4576 + j 1,6339
150
6,9084 455 5,2365
0,1961 + j 0,3305
0,3441 + j 1,6180
240
8,7386 625 6,6238
0,1225 + j 0,3157
0,2705 + j 1,6032
Sumber : SPLN 41-6_1981 Hantaran Al (AAC)
Tabel 2.2 Tahanan ( R ) dan reaktansi ( XL ) penghantar AAAC tegangan 20 kV(SPLN 64: 1985)
Luas
Penampang
(mm2)
Jari - Jari
(mm)
16
2,2563
105 1,6380 2,0161 + j 0,4036
2,1641 + j 1,6911
25
2,8203
135 2,0475 1,2903 + j 0,3895
1,4384 + j 1,6770
35
3,3371
170 2,4227 0,9217 + j 0,3790
1,0697 + j 1,6665
50
3,9886
210 2,8957 0,6452 + j 0,3678
0,7932 + j 1,6553
70
4,7193
155 3,4262 0,4608 + j 03572
0,6088 + j 1,6447
95
5,4979
320 4,1674 0,3096 + j 0,3449
0,4876 + j 1,6324
150
6,9084
425 5,2365 0,2162 + j 0,3305
0,3631 + j 1,6180
240
8,7386
585 6,6238 0,1344 + j 0,3158
0,2824 + j 1,6034
KHA
GMR
(mm)
Impedansi urutan
positif (Ohm / km)
Sumber : SPLN 41-8_1981 Hantaran Al Campuran (A3C)
Impedansi urutan
Nol (Ohm / km)
10
2.2.2 Saluran Kabel Tanah Tegangan Menengah (SKTM)
Sistem listrik dari saluran distribusi bawah tanah dengan kabel banyak
ragamnya. Dahulu sistem di Jepang adalah sistem tiga-fasa tiga kawat dengan netral
yang tidak ditanahkan. Sekarang, sistem pembumiannya adalah dengan tahanan tinggi
atau dengan reactor kompensasi, untuk mengkompensasikan arus pemuat pada kabel
guna menjamin bekerjanya rele serta guna membatasi besarnya tegangan lebih. Di
Eropa sistem pembumian dengan reactor banyak dipakai, sedang di Amerika sistem
pembumian langsung atau sistem pembumian dengan tahanan yang kecil banyak
digunakan. Juga di Jepang sekarang banyak terlihat sistem Amerika yang terakhir itu
dipakai, terutama untuk saluran kabel diatas 66 kV.
Konstruksi SKTM adalah konstruksi yang aman dan andal untuk
mendistribusikan tenaga listrik tegangan menengah, tetapi relatif lebih mahal
untuk penyaluran daya yang sama. Keadaan ini dimungkinkan dengan konstruksi
isolasi penghantar per Fase dan pelindung mekanis yang dipersyaratkan.Pada
rentang biaya yang diperlukan, konstruksi ditanam langsung adalah termurah bila
dibandingkan dengan penggunaan konduit atau bahkan tunneling (terowongan
beton / gorong-gorong).
Gambar 2.3 Saluran Kabel Tanah Tegangan Menengah (SKTM)
(Sumber : Buku 5 PT. PLN Persero Nomor :606.K/DIR/2010)
11
Penggunaan Saluran Kabel bawah tanah Tegangan Menengah (SKTM)
sebagai jaringan utama pendistribusian tenaga listrik adalah sebagai upaya utama
peningkatan kwalitas pendistribusian. Dibandingkan dengan SUTM, penggunaan
SKTM akan memperkecil resiko kegagalan operasi akibat faktor eksternal /
meningkatkan keamanan ketenagalistrikan.Penerapan instalasi SKTM seringkali
tidak dapat lepas dari instalasi Saluran Udara Tegangan Menengah sebagai satu
kesatuan sistem distribusi sehingga masalah transisi konstruksi diantaranya tetap
harus dijadikan perhatian.
2.2.2.1 Kemampuan Hantar Arus Penghantar Saluran Kabel Tanah
Kemampuan antar arus kabel bawah tanah baik tipe multi core atau single
core dibatasi oleh ketentuan sebagai berikut :

Suhu tanah 30°C

Resistance panas jenis tanah 100°C

Digelar sendiri / hanya satu kabel

Kabel digelar sedalam 70 cm dibawah permukaan tanah

Suhu penghantar maksimum 90° C untuk kabel berisolasi XPLE dan 65° C
untuk kabel berisolasi PVC.
Jenis Kabel yang digunakan pada saluran kabel tanah adalah : NAAXSEY,
Multicore yang memiliki spesifikasi yang terlihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Impedansi Kabel Tanah Dengan Penghantar NAAXSEY
A
R
(mm2)
(Ω/km)
L
C
Impedansi
(mH/km) (mf/km) urutan positif
(Ω /km)
Impedansi
urutan Nol
(Ω/km)
150
0,206
0,33
0,26
0,206 + j 0,104 0,356 + j 0,312
240
0,125
0,31
0,31
0,125 + j0,097
300
0,100
0,30
0,34
0,100 + j0,094 0,250 + j0,282
0,275 +j0,029
Sumber : SPLN 43-5-4_1995 Kabel Tanah Inti Tiga Berisolasi XLPE Dan Berselubung
12
2.2.3 Saluran Kabel Udara Tegangan Menengah (SKUTM)
Untuk lebih meningkatkan keamanan dan keandalan penyaluran tenaga
listrik, penggunaan penghantar telanjang atau penghantar berisolasi setengah pada
konstruksi jaringan Saluran Udara Tegangan Menengah 20 kV, dapat
jugadigantikan dengan konstruksi penghantar berisolasi penuh yang dipilin.Isolasi
penghantar tiap phasa tidak perlu di lindungi dengan pelindung mekanis.Berat
kabel pilin menjadi pertimbangan terhadap pemilihan kekuatan beban kerja tiang
beton penopangnnya. Jenis kabel yang biasa digunakan pada saluran kabel udara
adalah kabel tanah tipe XPLE, N2XSEKBY, NA2XSEKBY,Twisted Cable.
Gambar 2.4 Kabel Udara Tegangan Menengah (KUTM)
(Sumber : Buku 5 PT. PLN Persero Nomor :606.K/DIR/2010)
2.2.3.1 Kemampuan Hantar Arus Penghantar Saluran Kabel Udara
Jenis Kabel yang biasa digunakan pada saluran kabel tanah adalah
N2XSEKBY / NA2XSEKBY yang memiliki spesifikasi seperti pada tabel 2.4.
13
Tabel 2.4 Tahanan, induktansi dan kapasitansi kabel isolasi XLPE : N2XSEKBY / NA2XSEKBY
Tegangan 12 / 20 kV.
Penghantar
∑
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Luas
penampang
mm2
Cu
/Al
35
50
70
95
120
150
185
240
300
Tahanan
pada AC
temp
900C
Saat Operasi
Ohm/km
Induktansi
(L)
mH/km
Kapasitansi
(C)
mF/km
CU
0,6680
0,520
Al
1,1130
Cu
Maksimum
kapasitas arus
temp 300C
di tanah di udara
Arus hub
singkat
selama
1 detik
Amp
Amp
kA
0,131
164
173
5,01
0,520
0,131
127
139
3,29
0,4940
0,497
0,143
194
206
7,15
Al
0,8220
0,497
0,143
148
161
4,70
Cu
0,3420
0,467
0,162
236
257
10,01
Al
0,5680
0,467
0,162
179
204
6,58
Cu
0,2470
0,445
0,180
283
313
13,59
Al
0,4110
0,445
0,180
214
242
8,93
Cu
0,1960
0,430
0,195
322
360
17,16
Al
0,3250
0,430
0,195
246
292
11,28
Cu
0,1590
0,414
0,213
362
410
21,45
Al
0,2650
0,414
0,213
264
313
14,10
Cu
0,1280
0,404
0,227
409
469
26,46
Al
0,2110
0,404
0,227
308
365
17,39
Cu
0,0980
0,382
0,263
474
553
34,32
Al
0,1620
0,382
0,273
358
425
22,56
Cu
0,0790
0,376
0,276
533
629
42,90
Al
0,1300
0,376
0,276
398
481
28,20
Sumber : SPLN 43-5-2_1995 Kabel Pilin Udara Berisolasi XLPE dan Berselubung
2.3
Konfigurasi Sistem Distribusi
Pada suatu sistem distribusi terdapat beberapa konfigurasi sistem distribusi
yang dapat digunakan dan diterapkan sesuai dengan kebutuhan sistem distribusi di
suatu tempat. Konfigurasi sistem distribusi dipilih berdasarkan pertimbangan yang
matang agar dapat menghasilkan suatu sistem yang optimal pada tempat di mana
14
konfigurasi sistem distribusi tersebut digunakan. Berikut merupakan enam jenis
konfigurasi sistem distribusi (Pabla, 2008) :
2.3.1 Sistem Radial
Jaringan pada sistem radial ini hanya terhubung pada satu sumber suplai.
Sehingga kemungkinan terjadinya gangguan pada sistem ini akan cukup sering
terjadi, terutama yang disebabkan oleh kegagalan transformator, kegagalan kabel
bawah tanah dan kegagalan pada saluran udara. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa jika gangguan sering terjadi maka tingkat keandalan yang dimiliki sistem
ini juga akan menjadi semakin rendah. Untuk komponen seperti penyulang dan
transformator memiliki keterbatasan dalam menghadapi kegagalan yang terjadi,
namun hal tersebut masih dapat diprediksi. Recloser pada penyulang akan bekerja
secara sensitif terhadap beban. Sehingga sistem ini cocok digunakan pada beban
kecil.
Gambar 2.5 Konfigurasi sistem distribusi jaringan radial
(Sumber : Pabla, 2008)
2.3.2 Sistem Primary Loop
Sistem primary loop atau biasa disebut dengan sistem cincin terbuka.
Sistem ini merupakan pengembangan dari sistem radial. Karena sistem ini diatur
dengan menambahkan sumber suplai, sehingga daya didapat dari dua penyulang.
Listrik mengalir ke konsumen melalui jalur tunggal dari kedua sisi sistem loop
pada saat yang bersamaan, tergantung pada status tutup atau buka dari
sectionalizers dan reclosers. Loop pada umumnya dioperasikan dengan saklar
sectionalizer terbuka. Setiap baris dari loop harus memiliki kapasitas yang cukup
15
untuk melayani semua beban sebagai langkah antisipasi bila terjadi gangguan
pada salah satu penyulang.
Gambar 2.6 Konfigurasi sistem distribusi jaringan primary loop
(Sumber : Pabla, 2008)
2.3.3 Sistem Selective Primary
Sistem selective primary menggunakan komponen dasar yang sama seperti
sistem primary loop. Setiap transformator dapat memiliki pasokan dari dua
sumber. Switching otomatis tegangan tinggi dipasang pada transformator sebelum
masuk ke konsumen. Dalam hal ini terjadi susut pada feeder, transfer daya ke
feeder kedua dilakukan secara otomatis sehingga durasi gangguan dapat dibatasi
hingga dua atau tiga detik. Skema ini biasanya digunakan bagi konsumen yang
menggunakan daya besar.
Gambar 2.7 Konfigurasi sistem distribusi jaringan selective primary
(Sumber : Pabla, 2008)
16
2.3.4 Sistem Secondary Selective
Sistem secondary selective menggunakan dua transformator pada sistem
jaringannya, masing-masing dipasang pada feeder primer yang terpisah dan
dengan switching tegangan rendah. Beban umumnya dibagi antara dua bus,
dengan kedua transformer yang terus menerus mengalirkan daya. Saklar beban tie
dari bus sekunder biasanya terbuka dan saling bertautan dengan saklar sekunder
dari feeder. Keandalan dari sistem ini lebih baik daripada dalam sistem selective
primary karena adanya redundansi tambahan transformer. Sistem ini umumnya
digunakan untuk industri besar dan lembaga-lembaga seperti rumah sakit.
Gambar 2.8 Konfigurasi sistem distribusi jaringan secondary selective
(Sumber : Pabla, 2008)
2.3.5 Sistem Jaringan Grid
Sistem jaringan grid menyediakan keandalan yang maksimum dari operasi
yang fleksibilitas. Dalam sistem ini beban disuplai dari beberapa penyulang
dengan transformator-transformator yang beroperasi secara paralel. Dalam
jaringan grid, tidak ada pemadaman pada pihak konsumen yang disebabkan oleh
jadwal pemeliharaan berkala pada sumber utama. Sistem jaringan grid dapat
menangani perubahan beban yang cepat dan gangguan yang berhubungan dengan
sistem motor besar, tanpa dimulai dengan adanya tegangan dips atau lonjakan.
Sebuah jaringan grid yang kuat cukup kaku dari kesalahan dalam satu unit
sehingga tidak mengganggu tegangan di luar batas toleransi beban sensitif. Sistem
ini merupakan sistem yang paling ekonomis dan efektif dalam melayani
kepadatan yang tinggi dalam hal penggunaan beban di kota-kota besar.
17
Gambar 2.9 Konfigurasi sistem distribusi jaringan grid
(Sumber : Pabla, 2008)
2.3.6 Sistem Jaringan Spot
Sistem ini mirip dengan sistem cincin tertutup. Pada bus tegangan rendah,
energi disalurkan oleh semua unit yang beroperasi secara paralel. Jika pada salah
satu penyulang terjadi gangguan, itu merupakan yang terisolasi oleh pengaman
pada penyulang. Switching untuk pemeliharaan penyulang primer dapat dilakukan
tanpa adanya gangguan ke konsumen. Pada sebuah jaringan spot, karena
keragaman penyulang dan transformer yang sangat handal, durasi pemadaman
sesaat dan panjang hampir tidak ada. Sistem jaringan spot umumnya digunakan di
kota besar atau wilayah beban dengan kepadatan yang tinggi untuk proses industri
yang besar.
Gambar 2.10 Konfigurasi sistem distribusi jaringan spot
Sumber : (Pabla, 2008)
18
2.4
Analisis Aliran Daya (Load Flow)
Analisis aliran daya juga sangat diperlukan dalam perencanaan
pengembangan sistem tenaga listrik pada masa yang akan datang. Hal tersebut
dapat dikaitkan dengan adanya penambahan beban baru, penambahan pembangkit
baru, hubungan interkoneksi dengan sistem daya lain, dan hubungan jaringan
transmisi baru. Dengan kata lain studi aliran daya sangat penting dilakukan untuk
menganalisis kelayakan operasi suatu sistem dalam keaadaan existing bila
dibandingkan dengan keadaan/ perencanaan sistem untuk masa yang akan datang.
Tujuan diadakannya studi aliran daya ialah untuk menentukan tegangan, arus,
daya aktif atau daya reaktif pada berbagai macam titik atau bus pada jaringan
listrik pada kondisi operasi normal (Stevenson, 1994). Ada empat langkah utama
dalam perhitungan aliran daya secara garis besar, yaitu (Sonixtus, 2008):
1. Menghitung dan menentukan 4 variabel wajib, yaitu: besarnya tegangan (V),
sudut fasa, daya aktif (P) dan daya reaktif (Q).
Menghitung dan membuat beberapa persamaan. Persamaan pertama dalam
perhitungan ini adalah persamaan yang menyatakan hubungan antara tegangan
(V), arus (I), daya aktif (P) dan daya reaktif (Q) pada suatu bus i, yaitu :
Ii 
Pi  jQi
Vi  ............................................................. (2.1)
dimana Vi* adalah conjugate tegangan dan bus i.
I, diberi tanda positif apabila mengalir ke bus i dan diberi tanda negatif apabila
mengalir meninggalkan bus.
Persamaan kedua yang dipakai adalah persamaan yang menggambarkan
hubungan antara besarnya arus di bus I, yaitu I dengan tegangan di semua bus
dalam sistem (bus j) melalui matriks.
n
I i  V j  Yij ......................................................... (2.2)
j 1
dimana j = 1, 2, 3, ....n,
n adalah jumlah bus yang ada pada sistem, dan
Yij merupakan admitansi.
19
Arus yang ada di bus i yaitu li, harus dapat memenuhi persamaan 2.1 dan
persamaan 2.2. Hal ini dapat dilakukan sebagai berikut : Dari persamaan 2.1
didapat :
Pi  jQi  Vi  I i ...................................................... (2.3)
Nilai Ii dari persamaan 2.3 dimasukkan ke dalam persamaan 2.1 memberikan :
Pi  jQi  Vi

n
V
j 1
j
 Yij
........................................... (2.4)
dimana i = 1, 2, 3, …n
Jika bagian riil (Ri) dan bagian imajiner (Im) dipisahkan maka didapat :
Pi  Ri  Vi  V j  Yij
................................................. (2.5)
Qi  I m  Vi  V j  Yij
................................................ (2.6)
Selanjutnya daya nyata dan daya reaktif dapat dinyatakan sebagai berikut :
Pi  Vi
 V G
n
j 1
j
ij



cos  i   j  Bij sin  i   j 
...... (2.7)
dimana i = 1, 2, 3, …n
Pi  Vi
 V G
n
j 1
j
ij



sin  i   j  Bij cos i   j 
...... (2.8)
Dengan menggunakan persamaan 2.7 dan 2.8 untuk n buah bus dalam sistem,
didapat 2n persamaan, sedangkan seperti yang telah disebutkan diatas, di
setiap bus ada 4 (empat) variabel, jadi diperlukan 4n persamaan untuk sistem
dengan n buah bus.
2. Di dalam proses menghitung 4n variabel yang terdapat pada n buah bus seperti
diuraikan di atas ada 2n persamaan. Untuk memecahkan persoalan ini, 2n
variable perlu ditentukan terlebih dahuhu sehingga 2n variabel yang lain dapat
dicari dengan menggunakan 2n persamaan yang ada. Penentuan 2n variable
berikutnya dilakukan dengan menentukan beberapa macam bus dalam sistem,
yaitu (Sulasno, 1993) :
20
1. Bus Beban (Load Bus)
Load bus biasanya disebut bus P,Q, karena besaran-besaran yang diketahui
adalah P dan Q, sedangkan besaran V dan tidak diketahui.
2. Bus Kontrol (Generator Bus)
Generator bus biasanya disebut bus P, V, dimana hanya besaran P dan V
saja yang diketahui, sedangkan besaran  dan Q tidak diketahui.
3. Bus Ayun (Slack Bus)
Besaran-besaran yang diketahui dalam slackbus adalah V dan , dimana
biasanya  bernilai nol ( = 0). Selama perhitungan aliran daya, besaran V
dan  akan tetap dan tidak berubah. Slackbus akan selalu memiliki
generator dimana kapasitas daya yang dimiliki paling besar.
Selanjutnya, dikarenakan Persamaan 2.7 dan 2.8 masing-masing adalah
persamaan yang non-linear, maka dalam penyelesaiannya perlu dilakukan
proses iterasi sampai dengan mendekati batas nilai toleransi yang ditentukan.
Dalam menggunakan analisis aliran daya, seringkali digunakan satuan per unit
(pu) dalam memudahkan perhitungan dalam besaran sistem tenaga listrik,
yaitu arus, tegangan, daya dan impedansi. Besaran per unit dapat dihitung
dengan cara menentukan besaran dasar terlebih dahulu. Selanjutnya nilai per
unit bias dihitung dengan membagi nilai actual dengan nilai dasar.
N pu 
N actual
N base ............................................................ (2.9)
dimana :
N
= Besaran yang dicari (bias berupa arus, tegangan, daya maupun
impedansi)
Npu
= Nilai besaran yang dicari (dalam satuan pu)
Nactual = Nilai besaran sebenarnya
Nbase
= Nilai besaran awal yang ditentukan
2.4.1 Metode-Metode dalam Analisis Aliran Daya
Dalam analisis aliran daya, terdapat beberapa metode klasik yang sering
digunakan, antara lain sebagai berikut (Momoh, 2007):
21
1. Metode Gauss-Seidal
2. Metode Newton-Raphson
3. Metode Fast-Decouple
2.4.1.1 Analisis Aliran Daya dengan Metode Newton Raphson
Pada Metode Newton Raphson, slack bus diabaikan dari perhitungan
iterasi untuk menentukan tegangan-tegangan, karena besar dan sudut tegangan
pada slack bus telah ditentukan. Sedangkan pada generator bus , daya aktif dan
magnitude tegangan bernilai tetap, sehingga hanya daya reaktif yang dihitung
pada setiap iterasinya. Dalam analisis aliran daya, ada dua persamaan yang harus
diselesaikan pada tiap-tiap bus. Dalam penyelesaian iterasi pada metode Newton
Raphson, nilai dari daya aktif (Pp) dan daya reaktif (Qp) yang telah dihitung harus
dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan, dengan persamaan sebagai berikut:
(Agustini, 2010 ).
⎡
⎢
∆
⎡∆ ⎤
⎢
⎢ … ⎥= ⎢⋯
⎢
⎥
⎢
⎢∆ ⎥
⎢
⎣∆ ⎦
⎢
⎣
⋮
⋯
⋮
⋮
⋮
|
|
|
|
⋯ ⋯
|
|
|
|
|⎤
∆
⎥ ⎡∆
| |⎥ ⎢ …
⋯ ⎥⎢ ∆
⎥⎢
| |⎥ ⎢ ∆
⎥⎣
| |⎦
|
⎤
⎥
⎥ .............. (2.10)
⎥
⎥
⎦
Proses iterasi ini akan berlangsung sampai perubahan daya aktif (ΔP p) dan
perubahan daya reaktif (ΔQp) tersebut telah mencapai nilai konvergen (ε)
yang telah ditetapkan. Pada umumnya nilai konvergen antara 0,01 sampai
0,0001. Matrik Jacobian terdiri dari turunan parsial dari P dan Q terhadap
masing-masing variabel, besar dan sudut fasa tegangan. Besar dan sudut fasa
tegangan yang diasumsikan serta daya aktif dan daya reaktif yang dihitung
digunakan untuk
mendapatkan
elemenelemen
Jacobian. Setelah itu akan
∆| |
diperoleh harga dari perubahan besar tegangan, | | , dan perubahan sudut fasa
tegangan, Δδ. Secara umum persamaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut :
22
∆
∆
∆
=
................................................... ( 2.11)
P dan Q merupakan selisih daya (power mismatch) antara daya pembebanan
yang telah diketahui dengan daya yang diperoleh dari hasil perhitungan.
Persamaan untuk daya yang dihitung adalah :
=
=
∑
+
∑
........................... (2.12)
+
.......................... (2.13)
Sehingga selisih daya (power mismatch) yang terjadi adalah:
∆
∆
2.5
=
=
−
−
∑
∑
+
+
........... (2.14)
.......... (2.15)
Susut (Losses)
Susut energi adalah sejumlah energi yang hilang dalam proses pengaliran
energi listrik mulai dari Gardu Induk sampai dengan konsumen. Apabila tidak
terdapat Gardu Induk, susut dimulai dari Gardu distribusi sampai dengan
konsumen. Terjadinya susut atau rugi rugi energi pada sistem kelistrikan
merupakan salah satu acuan untuk mengetahui efesien atau tidaknya sistem
kelistrikan tersebut beroperasi. Susut energi selalu diukur dalam kurun waktu
tertentu, dan idealnya susut dihitung dalam kurun waktu satu tahun. Perhitungan
susut energi dilakukan dengan menghitung selisih antara daya yang dibangkitkan
dengan daya yang terjual. Karena itulah ukuran efisiensi pada sistem
ketenagalistrikan sangat berkaitan dengan susut yang terjadi dalam kurun waktu
tertentu, sebab susut sangat berpengaruh dengan jumlah energi yang hilang
dengan energi yang dibangkitkan. Adapun hal yang mempengaruhi susut energi
diantaranya adalah panjang penghantar, luas penampang penghantar, dan kawat
penghantar menjadi panas.
23
2.5.1 Jenis Susut
Ada dua jenis susut (losses) energi listrik, yaitu :
1. Berdasarkan sifatnya:
a. Susut Teknis, yaitu energi listrik yang dibangkitkan pada saat disalurkan
hilang karena berubah menjadi energi panas. Susut teknis ini tidak dapat
dihilangkan (fenomena alam).
b. Susut Non Teknis, yaitu energi listrik yang dikonsumsi pelanggan maupun
non pelanggan hilang karena tidak tercatat dalam penjualan.
2. Berdasarkan tempat terjadinya:
a. Susut Transmisi, yaitu energi listrik yang dibangkitkan hilangpada saat
disalurkan melalui jaringan transmisi ke gardu induk.
b. Susut Distribusi, yaitu hilangnya energi listrik yang didistribusikan dari
gardu induk melalui jaringan distribusi ke pelanggan.
2.5.2 Susut Energi pada Jaringan Distribusi
Dalam pendistribusian energi listrik, terjadi selisih antara jumlah energi
yang masuk ke jaringan (input) dan energi yang keluar dari jaringan (output).
Selisih itulah yang merupakan susut distribusi, yang terjadi secara alamiah dan
merupakan sejumlah energi yang tidak mungkin dimanfaatkan. Energi output
adalah energi yang diambil dari jaringan distribusi yang merupakan energi yang
dimanfaatkan. Energi output ini terdiri dari empat kelompok, yaitu energi yang
dimanfaatkan
untuk
pemakaian
sendiri
sistem
distribusi,
energi
yang
dimanfaatkan oleh pelanggan, energi yang dimanfaatkan oleh pelanggan namun
tidak tercatat dan energi yang dimanfaatkan oleh pihak lain secara tidak sah.
Jumlah dua jenis output yang terakhir ini biasa disebut susut non teknis sedangkan
susut yang terjadi secara alamiah disebut susut teknis. Jadi susut nonteknik
sesungguhnya adalah output, namun dipandang dari sisi pengusahaan tenaga
listrik ia menjadi susut. Susut ini terjadi karena kekeliruan manusia, baik di sisi
pengguna tenaga listrik (yang tidak sah) ataupun di sisi pengusahaan (salah catat,
administratif). Jumlah dari susut teknis dan susut non teknis disebut susut total.
Kedua macam susut ini harus ditekan jumlahnya secara optimal karena susut di
24
jaringan merupakan pemborosan energi jika persentasenya terlalu besar. Jika susut
teknis dapat dihitung, maka selisih antara susut total dan susut teknis merupakan
susut non teknis. Perhitungan susut teknis dan non teknis juga dapat dilakukan
dengan menggunakan bantuan aplikasi program komputer, yang menyediakan
tampilan single line diagram dan juga simulasinya. Cara-cara ini harus didukung
dengan data jaringan dan data pembebanan yang akurat.
2.5.3 Susut Daya
Susut daya dipengaruhi oleh dua hal penting yaitu tahanan penghantar dan
arus beban. Arus beban sangat dipengaruhi oleh dua pola konsumsi energi listrik
pelanggan. Pada sektor industri fluktuasi konsumsi energi sepanjang hari akan
hampir sama, sehingga perbandingan beban puncak terhadap beban rata-rata
hampir mendekati 1 (satu), sedangkan pada pelanggan perumahan fluktuasi
konsumsi energi listrik sangat besar dengan perbedaan yang signifikan antara
konsumsi energi listrik pada siang hari dan malam hari.
Perhitungan rugi daya dilakukan pada bagian sistem yang datanya sudah
diketahui pasti seperti pada saluran transmisi dan distribusi. Dalam perhitungan
susut daya perlu mengasumsikan arus beban sepanjang penghantar, sebesar
peramalan beban yang diukur pada ujung jaringan kirim. Untuk persamaan susut
daya dapat di uraikan sebagai berikut ( Daniel, 2008 ):
=
100% ............. (2.16)
2.5.4 Load Factor
Ada parameter yang harus dianalisis terlebih dahulu sebelum membahas
mengenai analisis load factor. Adapun persamaan yang akan digunakan dalam
analisis Load Factor adalah sebagai berikut:
1. Beban Rata-Rata
Beban rata-rata (Br) didefinisikan sebagai perbandingan antara energi yang
terpakai (kWh) dengan waktu. Atau dituliskan menurut persamaan 1 periode
harian :
25
2. Load Factor
=
............................. (2.17)
Faktor beban (load factor) didefinisikan sebagai perbandingan antara beban
rata-rata dengan beban puncak yang diukur untuk suatu periode waktu
tertentu. Beban puncak yang dimaksud adalah beban puncak sesaat atau beban
puncak rata-rata dalam interval tertentu, pada umumnya dipakai beban puncak
pada waktu 15 menit atau 30 menit. Untuk prakiraan besarnya faktor beban
pada masa yang akan datang dapat didekati dengan data statistik yang ada.
Dari definisi faktor beban dapat dituliskan menurut persamaan berikut:
=
(
(
)
)
.............................................. (2.18)
Pada persamaan tersebut beban rata-rata akan selalu bernilai lebih kecil dari
kebutuhan maksimum atau beban puncak, sehingga faktor beban akan selalu
lebih kecil dari 1 (satu).
2.5.5 Loss Factor
Perhitungan susut energi tahunan secara empiris dapat dilakukan dengan
menggunakan konstanta yang disebut dengan loss factor. Loss factor ditentukan
dari pola beban harian pada sistem yang akan diteliti. Loss factor dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:
= 0.15
Dimana:
FLS
= Loss factor
FLD
= Load factor
+ (1 − 0.15 )
......................... (2.19)
2.5.6 Susut Energi
Untuk perhitungan susut energi digunakan persamaan dengan parameter
rugi tembaga dan rugi beban kuadrat. Rugi tembaga atau rugi-rugi lainnya
berbanding lurus dengan kuadrat beban dan dengan adanya kurva beban dengan
waktu atau kurva lamanya pembebanan, maka dapatlah dibuat kurva rugi daya
dibagi waktu atau kurva lamanya rugi daya dimana setiap ordinatnya berbanding
26
lurus dengan kuadrat setiap ordinat kurva bebannya. Dari kurva lamnya rugi daya,
dapat pula ditentukan rugi daya rata-ratanya selama periode tersebut. Luas dari
kurva lamanya rugi daya merupakan rugi energi selama periode tersebut. Dalam
perhitungan rugi energi sebaiknya dipakai faktor rugi yaitu perbandingan antara
rugi daya rata-rata dan rugi daya pada beban puncak dalam periode tertentu. Jadi
rugi daya rata-rata (susut energi) adalah:
Susut energi = Rugi Daya pada Beban Puncak × Loss Factor × 8760 ........ (2.20)
dimana:
8760 merupakan jumlah jam dari periode tersebut (satu tahun)
2.6
Keandalan Sistem Distribusi
Keandalan sistem distribusi merupakan tingkat keberhasilan suatu sistem
distribusi untuk dapat menghasilkan hasil yang lebih baik pada periode waktu dan
dalam kondisi operasi tertentu. Untuk menentukan tingkat keandalan dari suatu
sistem distribusi, harus diadakan analisis maupun perhitungan terhadap tingkat
keberhasilan kinerja dari sistem yang akan ditinjau pada periode waktu tertentu
kemudian membandingkannya dengan standar yang ditetapkan sebelumnya.
Struktur jaringan tegangan menengah memegang peranan penting dalam
menentukan keandalan penyaluran tenaga listrik karena jaringan yang baik
memungkinkan
dapat
melakukan
manuver
tegangan,
yaitu
dengan
mengalokasikan beban pada jaringan yang mengalami gangguan ke jaringan lain
yang tidak mengalami gangguan.
Kontinuitas pelayanan tergantung kepada berbagai jenis sarana penyalur
dan peralatan pengaman. Jaringan distribusi sebagai sarana penyalur tenaga listrik
mempunyai tingkat kontinuitas yang tergantung kepada susunan saluran dan cara
pengaturan operasinya. Tingkat kontinuitas pelayanan dari sarana penyalur
disusun berdasarkan berapa lama waktu atau durasi dalam upaya menghidupkan
kembali suplai setelah mengalami gangguan. Ada 3 (tiga) macam tingkatan
keandalan dalam pelayanan, yaitu ( Billinton,1996 ) :
1. Keandalan sistem yang rendah (Low Reliability System). Pada kondisi normal,
sistem akan menyediakan kapasitas yang cukup untuk memberikan daya pada
27
saat beban puncak dengan variasi tegangan yang baik. Akan tetapi bila terjadi
suatu gangguan pada jaringan, sistem sama sekali tidak bisa melayani beban
tersebut. Jadi perlu diperbaiki terlebih dahulu. Pada sistem ini peralatanperalatan pengamannya relatif sangat sedikit jumlahnya.
2. Keandalan sistem yang menengah (Medium Reliability System). Pada kondisi
normal, sistem akan menyediakan kapasitas yang cukup untuk memberikan
daya pada beban puncak dengan variasi tegangan yang baik. Jika terjadi
gangguan pada jaringan, sistem tersebut masih dapat melayani sebagian dari
beban meskipun dalam kondisi beban puncak. Jadi pada sistem ini terdapat
peralatan pengaman yang cukup banyak untuk mengatasi serta menanggulangi
gangguan – gangguan tersebut.
3. Keandalan sistem yang tinggi (High Reliability System). Pada kondisi normal,
sistem akan menyediakan kapasitas yang cukup untuk memberikan daya pada
beban puncak dengan variasi tegangan yang baik. Jika terjadi gangguan pada
jaringan, maka sistem ini tentu saja memerlukan beberapa peralatan pengaman
yang cukup banyak untuk menghindari berbagai macam ganngguan pada
sistem.
2.6.1 Indeks Keandalan
Indeks keandalan dapat dievaluasi dengan menggunakan konsep-konsep
klasik yaitu tingkat kegagalan, durasi pemadaman rata-rata dan durasi pemadaman
rata-rata tahunan. Perlu dicatat, bagaimanapun, bahwa mereka bukan nilai-nilai
deterministik, rata-rata nilai dari suatu probabilitas distribusi yang mendasari dan
karenanya hanya mewakili nilai-nilai jangka panjang. Meskipun tiga indeks utama
adalah fundamental penting, mereka tidak selalu memberikan representasi
lengkap dari perilaku sistem dan respon. Untuk Misalnya, indeks yang sama akan
dievaluasi terlepas dari apakah satu pelanggan atau 100 pelanggan yang terhubung
ke titik beban atau apakah beban rata-rata di titik beban adalah 10 kW atau 100
MW. Dalam rangka untuk mencerminkan keparahan atau signifikansi terjadi
pemadaman sistem, indeks keandalan tambahan dapat dan sering yang dievaluasi.
.Indeks kegagalan titik beban yang biasanya digunakan meliputi tingkat kegagalan
28
λ (kegagalan/ tahun), rata-rata waktu keluar (outage) r (jam/kegagalan) dan ratarata ketidaktersediaan tahunan U (jam/tahun) ( Billinton, 1996 ).
Pada sistem distribusi radial antara komponen satu dengan yang lain
dihubungkan secara seri. Misalkan sebuah penyulang tersusun secara seri antara
Circuit Breaker, Disconnecting Switch, Saluran, Fuse, dan Gardu Distribusi.
Secara sederhana susunan seri antar komponen dapat dilihat pada gambar 2.11.
A
B
Gambar 2.11 Sistem Seri
Sumber: (Billinton, 1996)
Sistem yang ditunjukkan pada gambar 2.11 adalah sebuah sistem yang
terdiri dari komponen A dan komponen B. Dua komponen tersebut terhubung
secara seri, Jika λA adalah laju kegagalan komponen A dan λB laju kegagalan
komponen B maka (Billinton, 1996):
=
+
=
..................................................... (2.21)
................................................... (2.22)
=
.................................................... (2.23)
Untuk n komponen maka persamaan menjadi:
=∑
=
Keterangan:
=
∑
∑
...................................................... (2.24)
....................................................... (2.25)
.................................................... (2.26)
λA : Laju kegagalan komponen A (fault/year)
λB : Laju kegagalan komponen B (fault/year)
rA : Waktu keluar(Outage time) komponen A (hours/fault)
rB : Waktu keluar (Outage time) komponen B (hours/fault)
λSYS : Laju kegagalan sistem (fault/year)
rSYS : Rata-rata waktu keluar(outage time) system (hours/fault)
USYS : Rata-rata ketaktersediaan (Unavailability) sistem (hours/year)
29
Blok diagram untuk sistem paralel dengan 2 (dua) komponen ditunjukkan
pada gambar 2.12 sebagai berikut :
A
B
Gambar 2.12 Sistem Paralel
Sumber : (Billinton, 1996)
Kalau dua komponen parelel maka:
.
=
.......................................................... (2.27)
Sedangkan laju kegagalan sistem paralel adalah :
=
(
.
.
( .
) (
)
.
)
..................................... (2.28)
Berbeda dengan sistem seri, persamaan sistem parallel 2 (dua) komponen tidak
mudah untuk diperluas bagi n komponen, hanya dalam sistem paralel tertentu
dapat mudah untuk menggabungkan 2 (dua) komponen dalam satu waktu.
Nilai rata-rata dari ketiga indeks titik beban dasar untuk titik beban x dapat
dihitung dari sejarah operasi (up-down) dari titik beban dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut ( Billinton, 1996 ) :
1. SAIFI (System Average Interruption Frequency Index). Merupakan ukuran
jumlah rata-rata dari gangguan yang terjadi dalam satu tahun dan ditetapkan
ke dalam bentuk persamaan :
=
=
∑
∑
.
ℎ
ℎ
..............................................................................(2.29)
2. SAIDI (System Average Interruption Duration Index). Merupakan waktu
kegagalan rata-rata dalam satu tahun untuk tiap pelanggan dan ditetapkan ke
dalam bentuk persamaan :
=
ℎ
ℎ
30
=
∑
∑
.
............................................................................(2.30)
3. CAIDI (Customer Average Interruption Duration Index). Merupakan lama
rata-rata dari sebuah gangguan yang pernah dialami oleh pelanggan dan
ditetapkan ke dalam bentuk persamaan :
=
=
∑
.
∑
ℎ
ℎ
............................................................................(2.31)
4. CAIFI (Customer Average Interrruption Frequency Index). Merupakan lama
rata-rata dari gangguan pada pelanggan yang pernah mengalami gangguan
paling tidak satu kali dan ditetapkan ke dalam persamaan berikut :
=
=
∑
.
∑
ℎ
ℎ
.............................................................................(2.32)
5. MAIFI (Momentary Average Interruption Frequency Index). Merupakan
frekuensi pemadaman rata-rata untuk tiap konsumen dalam kurun waktu
setahun yang disebabkan oleh gangguan sesaat dan ditetapkan ke dalam
persamaan berikut :
=
∑
∑
.
............................................................................(2.33)
6. ASAI (Average System Availability Index). Disebut juga sebagai System
Reliability Index dan ditetapkan ke dalam bentuk persamaan :
=
...................................................................... (2.34)
= 1−
=
7. ASUI (Average System Unavailability Index).
.......................................................... (2.35)
Kegunaan dari informasi indeks keandalan sistem yang paling umum
meliputi:
1. Menyediakan sejarah keandalan dari sirkit individu untuk didiskusikan dengan
pelanggan sekarang atau calon pelanggan.
31
2. Untuk mengidentifikasi subsistem dan sirkit dengan capaian di bawah standar
dan untuk memastikan penyebabnya.
3. Menyediakan data capaian yang penting bagi suatu pendekatan probabilistik
untuk studi keandalan sistem distribusi.
4. Melengkapi manajemen dengan data capaian mengenai mutu layanan
pelanggan untuk masing-masing area operasi.
5. Melengkapi manajemen dengan data capaian mengenai mutu layanan
pelanggan pada sistem listrik secara keseluruhan.
6. Menyediakan suatu basis untuk menetapkan ukuran-ukuran kesinambungan
layanan.
7. Memenuhi syarat pelaporan pengaturan.
Standar nilai untuk indeks keandalan, dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.5 Standar Indeks Keandalan
Indeks
SAIFI
SAIDI
Standar
3.2 kali/tahun
21 jam/tahun
Sumber : (SPLN 68-2 : 1986)
2.7
Laju Kegagalan
Laju kegagalan (λ) adalah harga rata-rata dari jumlah kegagalan per satuan
waktu pada suatu selang waktu pengamatan (T). laju kegagalan ini dihitung
dengan satuan kegagalan per tahun. Untuk selang waktu pengamatan diperoleh :
Dimana :
= ..........................................................................
(2.36)
λ = Laju kegagalan konstan (kegagalan/tahun)
d = banyaknya kegagalan yang terjadi selama selang waktu
T = jumlah selang waktu pengamatan (tahun)
Nilai laju kegagalan akan berubah sesuai dengan umur dari sistem atau
peralatan listrik selama beroperasi.
32
2.8
Metode Section Technique
Section Technique merupakan suatu metode terstruktur untuk menganalisa
suatu sistem. Metode ini dalam mengevaluasi keandalan sistem distribusi
didasarkan pada bagaimana suatu kegagalan dari suatu peralatan mempengaruhi
operasi sistem. Efek atau konsekuensi dari gangguan individual peralatan secara
sistematis diidentifikasi dengan penganalisaan apa yang terjadi jika gangguan
terjadi. Kemudian masing-masing kegagalan peralatan dianalisa dari semua titik
beban (load point). Pendekatan yang dilakukan dari bawah ke atas dimana yang
dipertimbangkan satu mode kegagalan pada suatu waktu.
Dalam metode Section Technique diasumsikan kegagalan peralatan tidak
saling berhubungan, peralatan masing-masing dapat dianalisa secara terpisah. Jika
kegagalan perlatan saling dihubungkan, maka perhitungan keandalan sistem
menjadi lebih kompleks. Maka untuk menyederhanakan perhitungan tersebut
dengan mengasumsikan bahwa setiap kegagalan tidak saling berhubungan
Indeks keandalan yang dihitung adalah indeks-indeks titik beban (load
point) dan indeks-indeks sistem baik secara section maupun keseluruhan. Indeks
load point antara lain:
a. Frekuensi gangguan (failure rate) untuk setiap load point λLP, merupakan
penjumlahan laju kegagalan semua peralatan yang berpengaruh terhadap load
point, dengan persamaan:
Dimana:
=∑
..................................................
(2.37)
λi = laju kegagalan untuk peralatan K
K = semua peralatan yang berpengaruh terhadap load point
b. Lama/durasi gangguan tahunan rata-rata untuk load point ULP, dengan
persamaan:
Dimana:
=∑
=∑
..........................
(2.38)
rj = waktu perbaikan (repairing time atau switching time)
Berdasarkan indeks-indeks load point ini, diperoleh sejumlah indeks
keandalan untuk mengetahui indeks keandalan sistem secara keseluruhan yang
33
dapat dievaluasi dan bisa didapatkan dengan lengkap mengenai kinerja sistem.
Indeks-indeks ini adalah frekuensi dan lama pemadaman rata-rata tahunan.
2.9
Konsep Pendekatan Teknik
Konsep dan mendekatan teknik ini adalah salah satu metode yang
digunakan untuk meningkatkan keandalan sistem distribusi, yaitu dengan
menempatkan recloser disuatu lokasi tertentu pada jaringan tersebut. Recloser
ditempatkan di jaringan distribusi dengan beberapa tujuan yang berbeda
diantaranya untuk mengisolasi seksi yang terganggu, rekonfigurasi jaringan dan
lainnya yang secara umum akan memperbaiki keandalan. Metode yang digunakan
dalam menentukan lokasi recloser secara optimal ini didasarkan pada evaluasi
indeks-indeks keandalan dari suatu sistem distribusi secara umum. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam penerapan metode ini adalah sebagai berikut:
1. Sistem tidak perlu disederhanakan/direduksi, dan hanya direpresentasikan
secara sederhana dengan menggunakan cabang-cabangnya, komponenkomponennya, titik supply dan titik beban/load point.
2. Untuk setiap komponen diperlukan data keandalan yang relevan seperti :
tingkat kegagalan (failure rate), waktu perbaikan (repair time), dan waktu
switching (switching time).
3. Recloser diperlakukan sebagai komponen sistem dan alokasinya disesuaikan
dengan konfigurasi jaringan untuk memisahkan load point.
Prosedur dasar dari metode pendekatan ini dimulai dengan memodelkan
jaringan yang dianalisa.
Topologi sistem direpresentasikan dengan cabang-
cabang sistem. Suatu cabang didefinisikan sebagai satu set komponen yang
terhubung seri dan berujung pada dua busbar. Setiap cabang dan semua komponen
yang diperhitungkan perlu diidentifikasikan, antara lain : jumlah cabang dan
ujung cabang, Jumlah komponen, jumlah supply point, load point yang akan
dianalisa dan jumlah tie-switch normally open serta data pelanggan dan data daya
listrik dan keandalan untuk tiap komponen.
Berdasarkan pertimbangan ekonomis dan konfigurasi jaringan, selanjutnya
recloser ditempatkan di calon lokasi-lokasi yang diusulkan. Pada setiap perubahan
34
lokasi dan/atau jumlah recloser, indeks-indeks keandalan dihitung. Perhitungan
dilakukan untuk setiap calon lokasi, sehingga akhirnya prioritas penempatan yang
optimal dapat diperoleh (Ying He, dkk, 1999).
Struktur algoritma dari pendekatan ini adalah sebagai berikut :
a. Masukkan data jaringan, data konsumen, data daya listrik dan data keandalan
komponen.
b. Konfigurasi jaringan dan jumlah recloser yang diinvestasikan merupakan
batasan yang harus diperhatikan untuk menentukan keandalan sistem.
c. Untuk setiap kegagalan pada setiap load point tentukan indeks keandalan
sistem. Pada setiap gangguan pada salah satu load point, lakukan :
1. Hitung indeks keandalan load point.
2. Ulangi untuk setiap kegagalan dan untuk setiap load point.
3. Untuk menentukan indeks keandalan sistem, jumlahkan semua indeks
keandalan load point.
d. Ubah lokasi recloser sesuai konfigurasi jaringan dan lanjutkan kelangkah (c).
e. Ulangi untuk setiap lokasi recloser yang mungkin.
f. Tentukan solusi optimal dengan membandingkan indeks-indeks keandalan
yang diperoleh untuk setiap lokasi recloser yang mungkin.
2.10
Rekonfigurasi Jaringan
Rekonfigurasi jaringan (Network Reconfiguration) merupakan suatu usaha
merubah bentuk konfigurasi jaringan distribusi dengan mengoperasikan
pensakelaran terkontrol jarak jauh (switching remotely controlled) pada jaringan
distribusi tanpa menimbulkan akibat yang beresiko pada operasi dan bentuk
sistem jaringan distribusi secara keseluruhan. Dalam kondisi operasi normal,
rekonfigurasi jaringan dilakukan karena dua alasan (Zimmerman, 2005) :
1. Mengurangi rugi-rugi daya pada sistem (loss reduction).
2. Mendapatkan pembebanan yang seimbang untuk
yang berlebih pada jaringan (load balancing).
mencegah pembebanan
35
2.11
Generator Set
Generator set adalah salah satu jenis pembangkit listrik tenaga diesel
dalam kapasitas kecil hingga sedang yang biasanya digunakan di sisi konsumen
(end-user) sebagai sumber energi listrik cadangan jika sumber listrik utama
mengalami gangguan atau padam. Secara garis besar generator set dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu (Suhana, 2002):
1. Penggerak mula (motor diesel)
2. Generator
Motor diesel adalah bagian yang akan menghasilkan energi mekanik
(prime over) hasil dari proses pembakaran, selanjutnya akan memutar poros yang
terhubung dengan generator sehingga akhirnya menghasilkan energi listrik. Motor
ini menggunakan bahan bakar diesel sehingga motor jenis ini disebut juga dengan
motor diesel. Sedangkan untuk generator konstruksinya sama dengan generator
pada umumnya prinsip kerjanyapun sama memanfaakan medan magnet untuk
mengubah energi mekanik menjadi energi listrik, ukuran generator pun beraneka
ragam tergantung kemampuannya menghasilkan daya listrik
Gambar 2.13 Pemnggunaan Generator set sebagai daya cadangan
(Sumber : Mullin, 2002)
Gambar 2.13 menunjukan pengguaan sebuah generator set sebagai daya
cadangan, ketika sumber daya utama mengalami pemadaman maka generator set
akan menyuplai beban. Generator set membutuhkan beberapa detik ( + 8 detik)
hingga siap untuk dibebani atau tidak dapat menyuplai beban seketika.
Pemindahan daya dari sumber utama melalui sebuah transfer device yang dapat
bekerja secara otomatis maupun manual. Ketika sumber utama kembali normal
36
maka generator akan terputus dari beban selanjutnya dimatikan, generator set
tidak dapat dimatikan seketika karena generator set membutuhkan waktu untuk
colling down, waktu yang dibutuhkan sekitar 120 detik (Suhana, 2002). Generator
set menurut rating-nya dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Continous yaitu jika generator set tersebut digunakan terus menerus (24 jam)
2. Prime yaitu jika generator set tersebut digunakan secara regular (missal 2 jam
sehari)
3. Standby yaitu jika generator set hanya digunakan bila sumber utama
mengalami gangguan atau padam.
Pada pabrik-pabrik yang menggunakan daya listrik yang besar biasanya
memiliki generator set lebih dari satu sebagai daya cadangan. Dalam pemilihan
generator set, penggunaan beberapa generator set kecil lebih menguntungkan
dibandingkan dengan satu generator set yang memiliki daya yang besar karena
(Hendaraningsih, 2004):
1. Daya cadangan selalu tersedia ketika salah satu unit sedang dalam perawatan
2. Kemungkinan tidak start-nya seluruh mesin sangat kecil dibandingkan satu
unit besar.
3. Memungkinkan
dibutuhkan.
peningkatan
kapasitas
langkah
demi
langkah
yang
Download