BAB II PERJANJIAN MENURUT KUH PERDATA DAN PERJANJIAN

advertisement
BAB II
PERJANJIAN MENURUT KUH PERDATA DAN PERJANJIAN
MENURUT PENGANGKUTAN
A. Pengertian Perjanjian Dan Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,
Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan suatu persetujuan adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) yang dimaksud dalam Pasal
1313 KUHPerdata hanya terjadi atas izin atau kehendak (toestemming) dari semua
mereka yang terkait dengan persetujuan itu, yaitu mereka yang mengadakan
persetujuan atau perjanjian yang bersangkutan. 3
Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula
terlalu luas. 4Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai
perjanjian sepihak saja.Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup
perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan
perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam
KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III
kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang.
Menurut R. Wirjono Projodikoro, suatu perjanjian diartikan sebagai suatu
perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak dalam
3
Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya, Cetakan 2,
(Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1990), hlm. 430.
4
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan
Penjelasannya, Alumni, Bandung , 1993, hlm. 65.
15
Universitas Sumatera Utara
16
mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau
tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan
janji itu. 5R. Wirjono Prodjodikoro, juga mendefinisikan perjanjian adalah suatu
perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu
pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk
tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji
itu”. 6
Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. 7
Dari pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang
memberi
wujud
pengertian
perjanjian,
antara
lain
hubungan
hukum
(rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)
atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain
tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjian/verbintennis adalah hubungan
hukum/ rechtbe-trekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara
perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum
antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam
lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan
suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam
harta benda
5
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertulis, Bandung:
Subur,1991, hlm.1.
6
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Subur, 1991, hlm. 9.
7
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1994, hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
17
Salah satu sumber perikatan adalah perjanjian.Perjanjian melahirkan
perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian
tersebut. Adapun
pengertian perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313
KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Rumusan dalam Pasal
1313 KUHPerdata menegaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang
mengikatkan
dirinya
terhadap
orang
lain. 8Ini
berarti
suatu
perjanjian
menimbulkan kewajiban atau prestasi dari satu orang kepada orang lainnya yang
berhak atas pemenuhan prestasi tersebut. Dengan kata lain, bahwa dalam suatu
perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana pihak yang satu wajib untuk
memenuhi suatu prestasi dan pihak lain berhak atas prestasi tersebut.
Sebagaimana telah dinyatakan di atas bahwa perjanjian menimbulkan
prestasi terhadap para pihak dalam perjanjian tersebut. Prestasi merupakan
kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh salah satu pihak
(debitur)kepada pihak lain (kreditur) yang ada dalam perjanjian. Prestasi terdapat
baik dalam perjanjian yang bersifat sepihak atau unilateral agreement, artinya
prestasi atau kewajiban tersebut hanya ada pada satu pihak tanpa adanya suatu
kontra prestasi atau kewajiban yang diharuskan dari pihak lainnya. 9Prestasi juga
terdapat dalam perjanjian yang bersifat timbal balik atau bilateral (or reciprocal
agreement), dimana dalam bentuk perjanjian ini masing-masing pihak yang
8
Karitini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian. (Jakarta
:RajaGrafindo Perkasa), hlm. 92.
9
Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum
Perdata (Suatu Pengantar), (Jakarta : CV. Gitama Jaya, 2005), hlm. 150.
Universitas Sumatera Utara
18
berjanji mempunyai prestasi atau kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pihak
yang lainnya. 10
Pengaturan hukum perikatan menganut sistem terbuka.Artinya setiap
orang bebas melakukan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun belum
diatur.Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkn bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagaiundang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Ketentuan tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk: 11
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya
d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Menurut
Mariam
Darus
Badrulzaman,
syarat
sahnya
perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dapat dibedakan syarat
subjektif, dan syarat objektif. Dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara
syarat subjektif dengan syarat objektif.Syarat subjektif adalah kedua syarat yang
pertama, sedangkan syarat objektif kedua syarat yang terakhir. 12
Sedangkan Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 KUHPerdata
yaitu: 13
a. Syarat subjektif dimana syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat
dibatalkan, meliputi:
10
Ibid.
Martin Roestamy & Aal Lukmanul Hakim, Bahan Kuliah Hukum Perikatan, Fakultas
Hukum Universitas Djuanda Bogor, hlm. 5.
12
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hlm. 98.
13
Abdul R. Saliman, et. al. Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus,
Jakarta: Prenada, 2004, hlm. 12-13.
11
Universitas Sumatera Utara
19
1) Kecakapan untuk membuat kontrak dimana para pihak diharuskan
dewasa dan tidak sakit ingatan.
2) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Syarat objektif dimana syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal
demi hukum meliputi:
1) Suatu hal (objek) tertentu.
2) Sesuatu sebab yang halal (kausa).
Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri
dari : 14
a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu.
b. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu.
c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak
tertentu
d. Syarat izin dari yang berwenang.
Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata bahwa untuk sahnya
perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif karena syarat
tersebut mengenai subyek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat
14
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001, hlm. 34.
Universitas Sumatera Utara
20
obyektif, karena mengenai obyek dari perjanjian.Perjanjian yang sah diakui dan
diberi akibat hukum sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut tidak diakui oleh hukum. Tetapi bila pihak-pihak mengakui dan
mematuhi perjanjian yang mereka buat, tidak memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh undang-undang tetapi perjanjian itu tetap berlaku diantara mereka,
namun bila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakui sehingga timbul
sengketa maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.
Keempat syarat di atas merupakan syarat yang esensial dari suatu
perjanjian, artinya syarat-syarat tersebut harus ada dalam suatu perjanjian, tanpa
suatu syarat ini, perjanjian dianggap tidak pernah ada atau perjanjian itu tidak
sah.Namun dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka
berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.Dengan kata
sepakat suatu perjanjian sudah lahir. Sehubungan dengan syarat kesepakatan
mereka yang mengikatkan diri, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal
yang merupakan faktor, yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan
tersebut, yaitu:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Adanya kata sepakat berarti terdapat suatu persesuaian kehendak diantara
para pihak yang mengadakan perjanjian.Perjanjian sudah lahir pada saat
tercapainya kata sepakat diantara para pihak, dikenal dengan asas konsensualisme
yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian.Menurut Abdul Kadir
Muhammad persetujuan kehendak adalah kesepakatan seia-sekata. Pihak-pihak
mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga
Universitas Sumatera Utara
21
dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak
lagi dalam perundingan. 15
Pernyataan kehendak atau persetujuan kehendak harus merupakan
perwujudan kehendak yang bebas, artinya tidak ada paksaan dan tekanan (dwang)
dari pihak manapun juga, harus betul-betul atas kemauan sukarela para
pihak.Dalam pengertian kehendak atau sepakat itu termasuk juga tidak ada
kekhilafan (dwaling) dan tidak ada penipuan (bedrog).Apabila ada kesepakatan
terjadi karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalan kepada hakim (vernietigbaar). Hal
ini sesuai dengan Pasal 1321 KUHPerdata yang bunyinya: “tidak ada sepakat
yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya
dengan paksaan atau penipuan”. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang
melakukan kegiatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan
jasmani maupun dengan upaya menakut-takuti, sehingga dengan demikian orang
itu tidak terpaksa menyetujui perjanjian (Pasal 1324 KUHPerdata).Dan dikatakan
tidak ada kekhilafan atau kekeliruan mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat
penting obyek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian
itu.Dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan penipuan menurut arti
Undang-undang (Pasal 1328 KUHPerdata).Penipuan menurut arti Undang-undang
ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan
palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui. 16
15
Abdul Kadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. Bandung, Cipta Aditya Bhakti,
1990, hlm. 228-229.
16
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, (Bandung,
Citra Aditya Bhakti, 1986), hal. 123.
Universitas Sumatera Utara
22
2.
Cakap untuk membuat suatu perikatan
Pada dasarnya semua orang cakap membuat perjanjian, sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-undang Pasal 1329 KUHPerdata kecuali yang diatur
dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan
perbuatan hukum termasuk pula membuat perjanjian ialah bila ia sudah dewasa
yaitu berumur 21 tahun dan telah kawin. Ukuran orang dewasa 21 tahun atau
sudah kawin, disimpulkan secara a contrario redaksi Pasal 330 KUHPerdata.
Sedangkan mereka yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, sebagaimana
diatur Pasal 1330 KUHPerdata ialah:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh
undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undangundang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
3.
Adanya suatu hal tertentu
Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah
objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian
yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan
suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam KUH Perdata
Pasal 1333 angka 1 menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu
hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak masalah asalkan dikemudian hari di tentukan
4.
Adanya suatu sebab/kausa yang halal
Universitas Sumatera Utara
23
Yang dimaksud dengan sebab/kausa di sini bukanlah sebab yang
mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu
perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan
adanya suatu sebab yang dimaksud tidak lain daripada isi perjanjian. Pada pasal
1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah
apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban
umumdan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal
akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum. 17
B. Asas-Asas Hukum Dalam Suatu Perjanjian
Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar
yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang
terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif.Asas hukum dapat diketemukan dengan mencari sifatsifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. 18
Menurut Maris Feriyadi setidaknya adalima asas yang harus diperhatikan
dalam membuat perjanjian, yaitu: 19
1.
Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk: 20
17
Sri Soedewi Masjachan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan
dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1980, hal. 319
18
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, 2006
19
M.
Harianto,
Asas-Asas
Dalam
Perjanjian,
http://blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07/asas-asas-perjanjian.html, diakses tanggal 10 Maret
2014.
Universitas Sumatera Utara
24
a. membuat atau tidak membuat perjanjian
b. mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan
2.
Asas konsensualisme
Dalam hukum perjanjian berlaku asas konsensualisme. Perkataan ini
berasal dari perkataan latinconsensus
yang berarti sepakat. Arti asas
konsensualisme adalah perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah
dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.Perjanjian itu sudah sah apabila
sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok walaupun belum ada perjanjian
tertulisnya sebagai sesuatu formalitas. Asas konsensualisme tersebut lazimnya
disimpulkan dari pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Karena suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan,maka
perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Menurut
ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak
yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam
surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya
20
Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Ketiga,
Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 25.
Universitas Sumatera Utara
25
kesepakatan. Karena perjanjian sudah lahir maka tak dapat lagi ia ditarik kembali
jika tidak seizin pihak lawan.
Pengecualian terhadap asas konsensualisme yaitu penetapan formalitasformalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya
perjanjian tersebut apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud, misalnya
perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tak bergerak harus dilakukan
dengan akta notaris dan perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis, dan
lain sebagainya. Perjanjian yang memerlukan formalitas tertentu dinamakan
perjanjian formil. 21
Asas konsensualisme berhubungan dengan saat lahirnya suatu perjanjian
yang mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata
sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, mengenai saat terjadinya
kesepakatan dalam suatu perjanjian, yaitu antara lain:
a. Teori Pernyataan (utingstheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada
saat yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima
penawaran itu. Jadi dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat
menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah
terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap
kesepakatan terjadi secara otomatis.
21
Prinsip-Principle, Sistem Terbuka dan Asas Konsensualisme dalam Hukum Perjanjian,
http://www.blogprinsip.blogspot.com/2012/10/sistem-terbuka-dan-asas-konsensualisme.html,
diakses tanggal 10 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara
26
b. Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menerima penawaran mengirimkan telegram.
c. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila yang
menawarkan itu mengetahui adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu
belum diterimanya atau tidak diketahui secara langsung.
d. Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi pada saat pihak
yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
3.
Asas pacta sunt servanda
Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan
perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh
karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat
ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal
1338 ayat 2 KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu.
4.
Asas itikad baik
Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian
yaitu:
a. itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam
melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap
Universitas Sumatera Utara
27
batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam
arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.
b. itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus
didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu
kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai
pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan.
Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan
salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya
bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan
memperhatikan norma-norma yang berlaku.
5.
Asas kepribadian(personality)
Asas ini berhubungan dengan subyek yang terikat dalam suatu
perjanjian.Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam pasal 1340 ayat 1
yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya.Pernyataan ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh
para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan mengenai hal
ini ada pengecualiannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata
yaitu, dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,
mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini memberi pengertian bahwa
seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan
suatu syarat yang telah ditentukan.Sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata,
Universitas Sumatera Utara
28
tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan
ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.
Hukum benda mempunyai sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian
menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas
dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa,
sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak
melanggar undang-ndang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari
hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional
law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki
oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat
ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian
dan diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjianperjanjian yang mereka adakan itu. Apabila pihak-pihak yang membuat perjanjian
itu tidak mengatur sendiri sesuatu soal, maka berarti mengenai soal tersebut akan
tunduk kepada undang-undang. Karena itu hukum perjanjian disebut hukum
pelengkap, karena fungsinya melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara
tidak lengkap.
Sistem terbuka, yang mengandung asas kebebasan membuat perjanjian,
dalam KUHPerdata lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1), yang
berbunyi demikian:“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Penekanan pada perkataan
semua menyatakan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang
Universitas Sumatera Utara
29
berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja dan perjanjian itu akan mengikat
mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang.
C. Sifat-Sifat Dan Cara Penyerahan Objek Perjanjian
Penyerahan sebagai perbuatan pengalihan hak milik atas suatu benda dari
seseorang pemilik semula kepada orang lain dalam sistim hukum perdata
Indonesia dapat ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 584 KUHPerdata.
Pasal 584 KUHPerdata menyatakan :
“Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain,
melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa,
karena pewarisan baik menurut undang-undang maupun menurut surat
wasiat dan karena penunjukan atau penyerahan atas suatu peristiwa
perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang
berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”.
Dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut di atas jelas mengatur
bahwa penyerahan (levering) adalah salah satu cara memperoleh hak milik atas
sesuatu benda, di samping cara-cara lainnya yang telah diatur secara limitatif cara
perolehan hak milik atas sesuatu benda tersebut. Bahkan dari cara-cara perolehan
hak milik yang diatur dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut maka yang
terpenting dan bahkan yang sering terjadi di masyarakat cara perolehan hak milik
itu adalah dengan cara penyerahan (levering).
Vollmar berpendapat bahwa cara-cara untuk mendapatkan eigendom
dalam Pasal 584, yang terpenting adalah penyerahan dan diatur dalam Pasal 612618 KUHPerdata. 22
22
H.F.A.Vollmar I., Hukum Benda, Bandung: Tarsito, 1987, hlm. 98.
Universitas Sumatera Utara
30
Subekti mengemukakan penyerahan yang sering juga disebut dengan
istilah “levering” atau “overdracht” mempunyai dua arti.Pertama perbuatan yang
berupa penyerahan kekuasaan belaka (“feitelijke levering”). Kedua perbuatan
hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (juridische
levering”). 23 Kedua pengertian tersebut akan tampak lebih jelas dalam
pemindahan hak milik atas benda tak bergerak, karena pemindahan hak milik atas
benda itu tak cukup hanya dilakukan dengan pengalihan/pengoperan kekuasaan
atas bendanya tetapi harus dibuat surat penyerahan yang disebut akte van
transport dan harus didaftar di lembaga pendaftaran yang diperuntukkan untuk
itu.
Perbuatan penyerahan atas sesuatu benda bukanlah suatu perbuatan yang
berdiri sendiri melainkan merupakan suatu perbuatan yang mengikuti perbuatan
yang mendahuluinya yang disebut sebagai peristiwa perdata untuk memindahkan
hak milik.Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut di
atas yang menyatakan bahwa berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk
memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas
terhadap kebendaan itu.
Dari ketentuan pasal tersebut di atas jelas disyaratkan ada 2 (dua) hal yang
menjadi syarat utama dari penyerahan tersebut yaitu :
a. bahwa penyerahan itu haruslah berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk
memindahkan hak milik dan
b. dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas atas kebendaan itu.
23
R.Subekti I., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT.Intermasa, 1980, hlm. 71.
Universitas Sumatera Utara
31
Peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik tersebut dimaksudkan
adalah perbuatan-perbuatan hukum berupa perjanjian yang bermaksud untuk
memindahkan hak milik seperti perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar,
perjanjian hibah.Perbuatan-perbuatan hukum yang demikian inilah yang menjadi
dasar atau alas hak pemindahan hak milik.Penyerahan itu dilakukan oleh seorang
yang berhak berbuat bebas dimaksudkan bahwa orang yang akan menyerahkan
atau mengalihkan hak milik atas sesuatu benda tersebut harus orang yang
berkuasa atau berhak untuk memindahkan/mengalihkan yaitu sebagai seorang
pemilik ataupun seorang yang diberi kuasa untuk itu.
Subektimenyatakan
bahwa
menurut
sistem
KUHPerdata,
suatu
pemindahan hak terdiri atas dua bagian.Pertama suatu “obligatoire overeenkomst”
dan kedua suatu “zakelijke overeenkost”.Yang dimaksud dengan yang pertama,
ialah tiap perjanjian yang bertujuan memindahkan hak itu, misalnya perjanjian
jual beli atau pertukaran, sedangkan yang kedua, ialah pemindahan hak itu
sendiri. 24
Mengingat dalam suatu pemindahan hak milik atas sesuatu benda ada 2
(dua) tahap atau perbuatan yang dilakukan yaitu tahap yang disebut sebagai
obligatoire overemkomst dimana pada tahap ini baru menimbulkan/ melahirkan
hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak misalnya dalam perjanjian jual beli
pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang yang dijualnya kepada si
pembeli.Hak milik atas barang itu belum berpindah kepada sipembeli sepanjang
belum dilakukan penyerahan oleh penjual kepada pembeli.Hal ini ditegaskan
24
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
32
dalam Pasal 1459 KUHPerdata.Pasal 1459 KUHPerdata yang menyebutkan “Hak
milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada sipembeli, selama
penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612,613 dan 616”.Tahap
selanjutnya adalah perbuatan pemindahan hak milik yang disebut penyerahan
(levering).Pada tahap ini pihak-pihak seolah-olah bersepakat lagi yaitu untuk
memindahkan hak milik, tahap ini disebut perjanjian kebendaan (zakelijke
overemkomst).
Mengingat penyerahan (levering) tersebut adalah suatu perbuatan hukum
yang mengalihkan hak milik atas sesuatu barang, maka persoalan penyerahan
(levering) menjadi sesuatu hal yang sangat essensial terutama menyangkut
keabsahannya, selain itu bahwa penyerahan (levering) adalah merupakan
perbuatan lanjutan dari perbuatan yang bermaksud memindahkan hak milik yaitu
berupa perjanjian seperti jual-beli, tukar-menukar dan penghibahan, maka
keabsahan dari penyerahan itu sendiri sudah barang tentu terkait dengan
keabsahan perjanjian dimaksud.
Penyerahan adalah merupakan cara memperoleh hak milik yang penting
dan yang paling sering terjadi di masyarakat. Penyerahan ini merupakan lembaga
hukum yang hanya dikenal khusus dalam sistem hukum perdata.H.F.A.Vollmar
mengemukakan arti dari perkataan penyerahan yang dipergunakan oleh undangundang, dibedakan atas penyerahan nyata (feitelijke levering) yaitu penyerahan
pengusaan nyata atas suatu benda.Selain penyerahan nyata terdapat penyerahan
Universitas Sumatera Utara
33
yuridis (juridische levering) yaitu perbuatan hukum pada mana atau dengan mana
hak eigendom diserahkan. 25
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyebutkan yang dimaksud dengan
penyerahan itu adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau atas namanya
kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda
itu. 26Dengan demikian
penyerahan menurut
sistem KUHPerdata adalah
merupakan suatu perbuatan hukum untuk memindahkan hak milik, namum
perbuatan hukum penyerahan ini haruslah didasarkan atas suatu peristiwa perdata
untuk memindahkan hak milik yang disebut alas hak, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 584 KUHPerdata yang menyatakan bahwa berdasar atas suatu
peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik dan dilakukan oleh seorang yang
berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu. Dan yang merupakan alas hak yang
bermaksud memindahkan hak milik tersebut menurut KUHPerdata adalah
perjanjian jual beli, tukar-menukar dan perjanjian hibah.memindahkan hak milik
tersebut menurut KUHPerdata adalah perjanjian jual beli, tukar-menukar dan
perjanjian hibah.
Berdasar pada Pasal 584 KUHPerdata disebut bahwa dalam sistem
KUHPerdata penyerahan (levering) itu merupakan lembaga hukum ataupun
merupakan suatu perbuatan hukum memindahkan hak milik. Dalam sistem hukum
perdata yang lain misalnya Perancis tidak mengenal lembaga penyerahan ini.
Sistem hukum yang terbanyak diikuti ialah yang menganut sistem Code Civil,
25
26
H.F.A.Vollmar I., op-cit, hal 93.
Sri soedewi Maschoen Sofwan., Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, 1981, hlm. 67.
Universitas Sumatera Utara
34
yaitu perpindahan hak atas barang itu terjadi pada saat penutupan perjanjian
sedangkan penyerahan merupakan suatu feitelijk-daad saja.
Bahwa apa yang diserahkan itu adalah benda dalam arti kepemilikan atas
suatu benda beralih dari seseorang kepada orang lain yang menerimanya. Adapun
yang dimaksud dengan hak milik menurut KUHPerdata adalah hak untuk
menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas
terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan
dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu
kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang
lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak
itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan
pembayaran ganti-rugi (Pasal 570 KUHPerdata).
D. Hal-Hal Yang Membatalkan Perjanjian
Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus
dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan
bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.Suatu kesepakatan dikatakan
mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar
sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam
memberikan kata sepakatnya.Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena
kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula
karena penipuan.Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan
salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau
Universitas Sumatera Utara
35
kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi pincang
tidak sempurna. 27
Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap
tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif,
dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti
kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada
perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah
diberikan itu adalah perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syaratsyarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Paksaan seperti inilah
yang dimaksudkan undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk
menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaan yang membuat perjanjian atau
perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.
Tentang
halnya
kekeliruan
atau
kesilapan
undang-undang
tidak
memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang
dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus melihat pendapat
doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap
sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain
bahwa kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan
yang apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal
tersebut
perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang
diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang
27
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan
Penjelasanny, Op.Cit., hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
36
bersangkutan untuk mengadakan perjanjian. Sesuatu kekeliruan atau kesilapan
untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah
dipenuhi persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu
dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin
adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata
lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak
lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan
seseorang yang silap.
Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya
mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia
memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang
mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan
kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama namanya. 28Kekeliruan atau
kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah kekeliruan terhadap
orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian
justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang
dimaksudkannya. Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat,
maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifatsifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan
oleh pihak lawannya.Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas
dasar perbuatan melawan hukum atau sebagaimana diatur Pasal 1365 KUH
Perdata.
28
Ibid., hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
37
Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata.Yuriprudensi dalam hal
penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan
atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan
mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian
kebohongan.Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran
yang keliru dan membawa kerugian kepadanya.Syarat kedua untuk sahnya suatu
perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal
1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat kita bedakan secara umum
dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah dan secara
khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan
perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUHPerdata yang menyatakan batalnya
suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri.
Sedangkan perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa
orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH
Perdata ada tiga, yaitu :
a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa
b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan
c. Wanita yang bersuami
Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi
kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu
sendiri.Menurut pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya
adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain
Universitas Sumatera Utara
38
oleh undang-undang.Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau
mendapat izin dari suaminya. Walau, demikian, melihat kemajuan zaman, dimana
kaum wanita telah berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi,
kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan Surat
Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal
108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk
melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa
izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.
Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat mereka yang tergolong
tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa
perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu
sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengadakan bahwa
perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konsekwensinya adalah segala akibat
dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak
berhak atau tidak berkuasa adalah bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan
oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat
suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut,
kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada
hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan
ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana
dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang
Universitas Sumatera Utara
39
wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh
perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan
tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit
diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu
adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang
pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa
sesungguhnya tanggung-jawab itu. Pembatasan termaksud di atas itu kiranya
sesuai apabila dipandang dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu
mengejar ketertiban hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat
perjanjian
itu
pada
dasarnya
berarti
juga
mempertaruhkan
harta
kekayaannya.Maka adalah logis apabila orang-orang yang dapat berbuat itu
adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap
harta kekayaannya itu.Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat
dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah pengampuan atau
orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya ataupun
pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.
Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya
hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan
harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam
perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat 1 KUH
Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal
saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
40
Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja
yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang
mereka buat itu. “Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat
dilaksanakan , maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi
syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”. 29
Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320 KUH
Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang
halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri.
Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu azas-azas hukum
perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan
hal sesuatu keadaan belaka.Selanjutnya beliau mengatakan dalam pandangan
saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang
menyebabkan adanya perjanjian itu. 30Selaku suatu causa dalam perjanjian,
haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan
sesuatu hal yang terlarang.Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung
causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si
pembeli membunuh orang” 31
Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian
telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat
subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu
dapat dikatakan batal demi hukum.Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang
29
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 2000, hlm. 94.
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hlm. 36.
31
Subekti, Op.Cit, hlm. 20.
30
Universitas Sumatera Utara
41
tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak
mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.
Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka dapat
dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat subyektif yang tidak dipenuhi,
maka perjanjian itu batal demi hukum.Perjanjian juga dapat berakhir karena:
a. ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu
b. undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian
c. para
pihak
atau
undang-undang
menentukan
bahwa
dengan
terjadinyaperistiwaertentu maka persetujuan akan hapus.
Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht)
yang diaturdalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata.Keadaan memaksa adalah
suatu keadaandimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur
yang disebabkanadanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya
karena adanya gempabumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat
dibagi menjadi dua macamyaitu:
1. keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama
sekalitidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena
adanya
gempabumi,
banjir
bandang,
dan
adanya
lahar
(force
majeur).Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) mengakibatkan:
a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
b. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi
hukum bebasdari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi,
kecuali untuk yang disebutdalam Pasal 1460 KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
42
2. keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan
debiturmasih mungkin untuk melaksanakan prestasinya tetapi pelaksanaan
prestasi ituharus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak
seimbang ataumenggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan
manusia atau kemungkinantertimpa bahaya kerugian yang sangat besar.
Keadaan memaksa ini tidakmengakibatkan beban resiko apapun, hanya
masalah waktu pelaksanaan hak dankewajiban kreditur dan debitur.
Pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan
olehkedua belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang
bersifatsementara misalnya perjanjian kerja.
Universitas Sumatera Utara
Download