ANALISIS PENGARUH SEKTOR PERDAGANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SEKTOR PERDAGANGAN DI KABUPATEN BOGOR OLEH YOSHIKA MACKMUR TAMPUBOLON H14102034 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN YOSHIKA MACKMUR TAMPUBOLON. Analisis Pengaruh Sektor Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Sektor Perdagangan di Kabupaten Bogor (dibimbing oleh DIDIN. S. DAMANHURI). Daerah–daerah di Indonesia mempunyai karakteristik yang bermacam– macam baik dari segi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, demografi wilayah, dan aksesibilitasnya terhadap pusat pemerintahan sehingga daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda–beda. Di samping itu, pada masa sebelum Otonomi Daerah kebijakan pemerintah sangat dominan terhadap daerah sehingga terkadang apa yang diharapkan pemerintah tidak sesuai dengan harapan dari daerah. Begitu juga yang terjadi dengan Kabupaten Bogor dimana kebijakan pemerintah pusat sangat dominan. Maka Kabupaten Bogor turut memberlakukan Otonomi Daerah pada tahun 2001 untuk mengatasi hal tersebut. Oleh sebab itu, Otonomi Daerah yang berlaku di Kabupaten Bogor sejak tahun 2001 dimaksudkan untuk meningkatkan potensi daerah dengan cara daerah tersebut mengelola potensi dan sumberdayanya secara sendiri tanpa atau dengan sedikit saja campur tangan dari pemerintah pusat. Otonomi Daerah dimaksudkan untuk meningkatkan sektor perekonimian yang ada di Kabupaten Bogor. Pertumbuhan ekonomi sektor–sektor perekonomian di Kabupaten Bogor dapat dilihat dari berapa besar kontribusinya terhadap PDRBnya. Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor perekonomian yang ikut menyumbang pendapatan atau nilai tambah yang cukup besar terhadap PDRB. Sektor perdagangan terdiri dari 3 sub sektor yaitu perdagangan besar dan eceran, rumah makan/restoran dan perhotelan. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, Menganalisis pengaruh sektor perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor sebelum dan pada masa Otonomi Daerah. Kedua, Menganalisis pengaruh faktor–faktor lain seperti jumlah tenaga kerja, upah tenaga kerja di sektor perdagangan, inflasi dan investasi terhadap pertumbuhan sektor perdagangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model ekonometrika. Untuk meramalkan bagaimana pengaruh dari variabel–variabel bebas (independent variable) terhadap variabel terikat (dependent variable) digunakan metode OLS (Ordinary Least Square) dan software yang digunakan adalah E-Views 4.1. Dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian. Data yang digunakan adalah data time series dari tahun 1990 hingga tahun 2004. Data diperoleh dari beberapa sumber antara lain dari Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor, Bapedda Kabupaten Bogor, Pemda Kabupaten Bogor, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta instansi terkait. Dengan menggunakan taraf nyata lima persen (α=10%), hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat PDRB Kabupaten Bogor dipengaruhi oleh sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor perhotelan, dan sub sektor rumah makan. Sub sektor perdagangan besar dan eceran berpengaruh positif yang signifikan dengan koefisien sebesar 0.419297, sub sektor perhotelan berpengaruh positif yang signifikan dengan koefisien sebesar 0.255663, dan sub sektor rumah makan berpengaruh positif yang signifikan dengan koefisien sebesar 0.436111. Sedangkan dummy Otonomi Daerah berpengaruh negatif tetapi secara statistika tidak signifikan. Variabel lain yang dianalisa mempengaruhi sektor perdagangan adalah investasi pada dua periode sebelumnya berpengaruh positif tetapi tidak signifikan, tingkat upah tenaga kerja berpengaruh negatif yang signifikan, jumlah tenaga kerja berpengaruh positif tetapi tidak tidak signifikan, inflasi pada dua periode sebelumnya berpengaruh negatif yang signifikan dan variabel dummy Otonomi Daerah berpengaruh positif yang signifikan. Oleh sebab itu, ada beberapa tindakan kebijakan yang dapat diambil antara lain Otonomi Daerah yang berlangsung di Kabupaten Bogor perlu dilaksanakan secara sungguh–sungguh supaya PDRB dapat tumbuh dengan baik sebab pemerintah daerah lebih mengerti apa yang menjadi kebutuhan dari daerah itu sehingga pelaksanaan Otonomi Daerah dapat berjalan dengan baik, Pemerintah Kabupaten Bogor sebaiknya menanamkan investasi pada aset–aset yang memberikan nilai tambah yang besar di masa yang akan datang. Seperti pada sub sektor pada sektor perdagangan merupakan sektor yang baik untuk diinvestasikan karena tidak menutup kemungkinan pada masa yang akan datang sektor perdagangan merupakan sektor yang paling berkembang, Investasi yang ditanam harus mampu meningkatkan pendapatan sektor perdagangan secara signifikan karena pendapatan inilah nanti yang akan digunakan kembali untuk melakukan investasi. Selain itu juga sangat perlu dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan proyek investasi agar tidak menyimpang dari rencana awalnya, Pemerintah perlu menjaga tingkat inflasi yang ada di Kabupaten Bogor supaya tetap stabil karena apabila terjadi inflasi yang tinggi akan dapat menyebabkan pertumbuhan sektor perdagangan menjadi lambat akibat harga–harga di sektor perdagangan yang melambung tinggi. Misalnya dengan melakukan investasi yang besar pada sektor– sektor yang memberikan nilai tambah yang besar. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat menganalisis variabel–variabel lainnya yang dapat mempengaruhi sektor perdagangan, selain itu juga diharapkan untuk memperluas pembahasaannya sehingga sektor perdagangan dapat dilihat dari sudut yang berbeda. ANALISIS PENGARUH SEKTOR PERDAGANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SEKTOR PERDAGANGAN DI KABUPATEN BOGOR OLEH YOSHIKA MACKMUR TAMPUBOLON H14102034 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPERTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama : Yoshika Mackmur Tampubolon Nomor Registrasi Pokok : H14102034 Program Studi : Ilmu Ekonomi Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Sektor Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Sektor Perdagangan di Kabupaten Bogor Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Menyetujui, Dosen Pembimbing, Prof. Dr. H. Didin. S. Damanhuri, SE. MS. DEA NIP. 131 404 217 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan: PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR–BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Juli 2006 Yoshika Mackmur Tampubolon NRP. H14102034 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Yoshika Mackmur Tampubolon lahir pada tanggal 2 Nopember 1983 di Porsea, sebuah kota kecil yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Penulis lahir sebagai anak pertama dari lima bersaudara, dari pasangan Mispa Tampubolon dan Dominta Sitorus. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak–Kanak di TK Sigura–Gura Paritohan pada tahun 1990, menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Pintupohan pada tahun 1996, kemudian menyelesaikan pendidikan menengah di SLTP Negeri 4 Pintupohan pada tahun 1999. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Porsea dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi seperti Hipotesa, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB. KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan karunia-Nya yang begitu melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “ Analisis Pengaruh Sektor Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Sektor Perdagangan di Kabupaten Bogor “. Sektor perdagangan merupakan topik yang sangat menarik karena diharapkan mempunyai sumbangsih yang besar terhadap peningkatan PDRB Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di Kabupaten Bogor. Disamping hal tersebut, penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Kedua orang tua penulis serta adik–adik penulis, yaitu Manoppo, Mahedi, Maslon, dan Marissa atas semua kasih sayang, doa, motivasi, dan dorongannya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 2. Bapak Prof. Dr. H. Didin. S. Damanhuri, SE. MS. DEA, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 3. Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Serta kepada Ibu Henny Reinhardt, MSc atas perbaikan tata cara penulisan ini. 4. Seluruh dosen serta seluruh staf dan karyawan Departemen Ilmu Ekonomi yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. 5. Teman-teman satu sekolah SMU 1 Porsea yang telah memberikan semangat kepada penulis (Rico, Rudman, Nursia). 6. Teman-teman penulis yang telah memberikan dukungan moral dan semangat (Granson, Bathara, Julian, Intan, Perdana, Julius, Jevri). Serta teman-teman VOE ( Erik, Herry, Lambok, Andros, Ruth S, Siera, Hanie, Sri Canse, Citra). 7. Anak-anak KOMPERS atas perhatian dan dukungan serta kebersamaannya selama kuliah di IPB. 8. Seluruh angkatan 39 Departemen Ilmu Ekonomi yang tidak dapat disebutkan satu persatu beserta kenangan-kenangan yang tidak terlupakan selama kuliah di IPB. Penulis menyadari bahwa kekurangan dari skripsi ini dikarenakan keterbatasan kemampuan dalam hal mencari dan mengumpulkan data serta keterbatasan waktu. Oleh karena itu, dengan keterbukaan penulis menerima berbagai bentuk kritikan dan saran yang diberikan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga kripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan secara khusus kepada penulis sebagai penambah ilmu pengetahuan dan pengalaman. Bogor, Juli 2006 Yoshika Mackmur Tampubolon NRP. H14102034 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................ 7 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 10 1.4. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 10 1.5. Ruang Lingkup Penelitian................................................................... 11 II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….. 12 2.1. Pengertian Wilayah dan Pembangunan Wilayah ................................ 12 2.2. Otonomi Daerah .................................................................................. 14 2.3. Teori Pertumbuhan Ekonomi .............................................................. 18 2.3.1 Teori Pertumbuhan Harrod–Domar .......................................... 24 2.3.2 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi Dengan Sub Sektor Perdagangan .............................................................................. 24 2.4. Teori Perdagangan .............................................................................. 25 2.4.1 Hubungan Antara Sektor Perdagangan dan Inflasi ................... 25 2.4.2 Macam-Maam Perdagangan ...................................................... 26 2.5. Teori Analisis Regresi......................................................................... 30 2.5.1. Model Regresi Berganda........................................................... 31 2.6. Teori Tenaga Kerja dan Upah Tenaga Kerja ...................................... 33 2.7. Variabel Lag........................................................................................ 34 III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS……………………. 37 3.1. Kerangka Pemikiran............................................................................ 37 3.2. Hipotesis.............................................................................................. 39 IV. METODE PENELITIAN…………………………………………….. 41 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 41 4.2. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 41 4.3. Model Ekonometrika........................................................................... 42 4.4. Metode Analisis Data.......................................................................... 43 4.5. Pengujian Kriteria Ekonomi Dan Statistika ........................................ 43 4.5.1. Uji t (Uji Parsial)........................................................................ 43 4.5.2. Uji F (Uji Serempak).................................................................. 44 4.5.3. Uji Koefisien Determinasi (R2)................................................... 44 4.6. Uji Ekonometrika ................................................................................ 45 4.6.1. Heteroskedastisitas..................................................................... 45 4.5.2. Autokorelasi ............................................................................... 45 4.5.3. Multikolinearitas ......................................................................... 46 4.7. Beberapa Kelemahan Ordinary Least Square (OLS) .......................... 47 V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN............................. 49 5.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian ................................................... 49 5.1.1. Geografi dan Pemerintahan........................................................ 49 5.1.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan ................................................. 50 5.1.3. Sosial ........................................................................................... 52 5.1.4. Perdagangan ................................................................................ 54 5.1.4.1 Perdagangan Besar ............................................................. 54 5.1.4.2 Perdagangan Eceran ........................................................... 55 5.1.4.3 Restoran Atau Rumah Makan ............................................ 56 5.1.4.4 Perhotelan........................................................................... 57 5.2. Perekonomian Kabupaten Bogor ........................................................ 58 5.2.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi ...................................................... 58 5.2.2. Struktur Ekonomi ....................................................................... 60 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 62 6.1. Hasil Estimasi Variabel Dependen LPDRB........................................ 62 6.2. Uji Statistik dan Uji Ekonometrika ..................................................... 62 6.3. Analisis Hubungan Antara Sub Sektor Perdagangan dengan PDRB.. 65 6.3.1. Sub Sektor Perdagangan Besar dan Eceran (LPBE) ................. 65 6.3.2. Sub Sektor Perhotelan (LHOT)................................................. 67 6.3.3. Sub Sektor Rumah Makan/Restoran (LRM).............................. 68 6.3.4. Variabel Dummy Otonomi Daerah ............................................ 70 6.3.5. Pembahasan Ekonomi ................................................................ 71 6.4. Hasil Estimasi Variabel Dependen LPERD........................................ 72 6.5. Uji Kriteria Statistik dan Uji Kriteria Ekonometrika .......................... 73 6.6. Pembahasan Ekonomi ......................................................................... 76 VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 81 7.1. Kesimpulan ......................................................................................... 81 7.2. Saran.................................................................................................... 82 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 84 LAMPIRAN ...................................................................................................... 86 14 DAFTAR TABEL Nomor 1. 2. 3. Halaman Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001–2004 (Dalam Persen)............................................... 4 Jumlah Tenaga Kerja yang Diserap Sektor–Sektor Perekonomian di Kabupaten Bogor Tahun 2001–2004 ......................................................... 6 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001–2004 (Dalam Persen)............................................... 9 4. Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Pada Lapangan Usaha di Kabupaten Bogor Tahun 2001–2004 .......................................... 51 5. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 1990–2004........... 59 6. Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bogor Tahun 1990–2004 ........... 61 7. Hasil Estimasi Variabel Dependen LPDRB............................................... 62 8. Hasil Estimasi Variabel Dependen LPERD............................................... 73 15 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Skema Kerangka Pemikiran Analisis Pengaruh Sub Sektor Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Sektor Perdagangan di Kabupaten Bogor ........................... 40 16 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Data Olahan Yang Digunakan Dalam Model Pertumbuhan PDRB ............. 87 2. Data Olahan Yang Digunakan Dalam Model Sektor Perdagangan ............. 88 3. Output Estimasi Model Pertumbuhan PDRB ............................................... 89 4. Output Estimasi Model Sektor Perdagangan ............................................... 91 17 I. 1.1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kondisi fisik serta geografi wilayah yang sangat beragam sehingga pengembangan wilayah sangat penting dalam Pembangunan Nasional. Tujuan Pembangunan Nasional dalam Garis–Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah berusaha untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, sehingga diperlukan usaha untuk membentuk dasar yang efisien bagi pertumbuhan nasional dan memperkokoh kesatuan ekonomi nasional. Upaya untuk membentuk landasan pembangunan yang berupa rumusan dalam mewujudkan keseimbangan antar daerah dalam tingkat pertumbuhan perlu dilaksanakan untuk mengurangi perbedaan tingkat perkembangan antar daerah pedesaan dan perkotaan yang merupakan akibat dari kurangnya konsep pemerataan secara nyata. Daerah–daerah di Indonesia mempunyai karakteristik yang bermacam– macam baik dari segi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, demografi wilayah, dan aksesibilitasnya terhadap pusat pemerintahan sehingga daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda–beda . Hal tersebut dapat memungkinkan terjadinya pertumbuhan wilayah yang berbeda–beda. Dan hal ini jugalah yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar daerah. Diberlakukannya Otonomi Daerah menimbulkan harapan baru dalam upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan antara kota dan daerah sekaligus untuk mampu keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. 18 Otonomi Daerah merupakan manifestasi dari asas desentralisasi teritorial. Ahmad (1998) mengatakan bahwa : ”Pada hakekatnya Otonomi Daerah merupakan upaya pelaksanaan pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional guna mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.” Pelaksanaan Otonomi Daerah saat ini merupakan desentralisasi dari kebijakan pemerintah dalam menangani daerah masing–masing sesuai dengan kebutuhan masing–masing. Pelaksanaan desentralisasi diharapkan sebagai suatu pemecahan dan jalan keluar yang lebih baik terhadap permasalahan yang timbul dari sentralitas pembangunan selama ini yang mengakibatkan timbulnya ketimpangan pembangunan antar daerah. Penerapan UU No.22 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sejak 1 Januari 2001, telah membuat pemerintah sibuk mengatur daerahnya masing–masing agar sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya. Kabupaten Bogor sebagai salah satu daerah yang melaksanakan Otonomi Daerah berusaha untuk memaksimalkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya untuk mengolah potensi yang ada. Partisipasi dari masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam pelaksanakan Otonomi Daerah. Masyarakat harus mendukung pemerintah daerah dalam mengolah semua sumberdaya yang ada di daerah tersebut. Pranata (2004) mengatakan bahwa : 19 ”Dalam pasal 1(h) UU No.22 tahun 1999 menyatakan bahwa Otonomi Daerah adalah “kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang - undangan.” Berdasarkan pasal 1 (h) di atas, kewenangan daerah tidak hanya terbatas pada urusan yang telah diserahkan, tetapi daerah dapat menerapkan sendiri urusan yang akan diatur dan dikelola berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya. Koswara dalam Tambunan (2001) berpendapat bahwa : ”Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang luas harus dilaksanakan di atas dasar prinsip–prinsip desentralisasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.” Oleh karena itu, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah harus dapat menentukan prioritas pembangunannya sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh daerah masing–masing. Namun dalam menentukan prioritas ini pemerintah harus menyesuaikannya dengan sektor masing–masing daerah tersebut yang sesuai dengan UU No.22 tahun 1999. Diantaranya adalah (1) pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4) listrik, gas dan air bersih, (5) bangunan, (6) perdagangan, hotel dan restoran, (7) pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, persewaan dan perusahaan, dan (9) jasa–jasa. 20 Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor yang harus dikembangkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor. Karena sektor perdagangan merupakan salah satu sektor penyumbang pendapatan terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Oleh sebab itu, perlu digali semua potensi yang ada di sektor perdagangan. Sektor perdagangan dapat diarahkan pada salah satu pencapaian tujuan pembangunan yaitu peningkatan pendapatan di Kabupaten Bogor. Dengan meningkatnya pendapatan, maka diharapkan pada akhirnya akan tercapai pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih baik. Tabel 1. Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001 – 2004 ( dalam persen). No Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 1 Pertanian,peternakan, kehutanan dan perikanan 7,64 7,25 6,84 6,52 2 Pertambangan dan penggalian 1,70 1,63 1,63 1,34 3 Industri pengolahan 59,52 59.89 59,99 60,52 4 Listrik, gas dan air bersih 3,76 3,80 3,83 3,88 5 Bangunan 3,21 3,24 3,31 3,36 6 Perdagangan, restoran 15,39 15,32 15,52 15,54 7 Pengangkutan dan komunikasi 2,66 2,70 2,74 2.76 8 Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 1.75 1,76 1,76 1,75 9 Jasa - jasa 4,38 4,41 4,38 3,34 100,00 100,00 100,00 100,00 PDRB hotel dan Sumber : Biro Pusat Statistik Kabupaten Bogor Tahun 2001-2004 21 Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa walaupun sektor perdagangan bukan penyumbang terbesar dibanding sektor industri pengolahan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bogor, namun setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan. Peranan sektor ini dari tahun ke tahun tetap meningkat walaupun pada tahun 2002 mengalami penurunan namun secara keseluruhan meningkat. Pada tahun 2002 PDRB mengalami penurunan sebesar 0,6 persen. Hal ini diduga disebabkan karena pada tahun 2002 sektor perdagangan menyerap jumlah tenaga kerja yang sangat banyak sehingga PDRB-nya digunakan sebagian untuk membayar upah tenaga kerja tersebut. Kemudian pada tahun 2003 dan 2004 mengalami peningkatan sebesar 15,52 persen dan 15,54 persen. Pada masa Otonomi Daerah, sektor perdagangan Kabupaten Bogor juga merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. 22 Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Yang Diserap Sektor–Sektor Perekonomian di Kabupaten Bogor Tahun 2001–2004 Lapangan Usaha Utama No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2001 377.410 2002 342.492 2003 241.818 2004 261.880 19.102 13.166 13.214 9.726 252.670 286.949 275.618 290.410 1.420 3.538 8.367 5.354 70.268 79.828 63.659 84.238 259.634 307.608 346.414 320.228 Komunikasi 88.568 120.180 100.914 117.776 Keuangan 23.934 24.769 24.458 12.252 Jasa – Jasa 190.992 172.134 188.994 188.182 0 849 3.040 0 1.283.992 1.251.513 1.266.496 1.290.046 Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Listrik, Gas Minum Konstruksi dan Perdagangan Lainnya Jumlah Air Sumber : Biro Pusat Statistik Kabupaten Bogor Tahun 2001-2004 Dari Tabel 2 tersebut terlihat bahwa tenaga kerja di Kabupaten Bogor yang diserap oleh sektor perdagangan dari tahun 2001 sampai 2004 meningkat. Pada tahun 2001 sektor perdagangan menyerap 259.634 tenaga kerja terbanyak setelah sektor pertanian. Pada tahun 2002 sektor perdagangan menyerap 307.608 tenaga kerja terbanyak kedua setelah sektor pertanian. Namun tahun 2003 dan tahun 2004 sektor perdagangan menyerap tenaga kerja terbanyak yaitu berturut–turut 346.414 tenaga kerja dan 320.228 tenaga kerja. Hal ini disebabkan karena banyak tenaga kerja yang beralih dari sektor pertanian ke sektor lain. Dan salah satu 23 sektor yang menyerap tenaga kerja yang beralih tersebut adalah sektor perdagangan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah tenaga kerja yang diserap sektor perdagangan yang terus meningkat. Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa sektor perdagangan merupakan sektor yang sangat banyak menyerap tenaga kerja. Informasi mengenai perkembangan dari sektor perdagangan sangat dibutuhkan oleh para investor untuk menanamkan modalnya dan dibutuhkan oleh pemerintah daerah untuk menentukan arah kebijakan pembangunan. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis pertumbuhan sektor perdagangan serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari PDRB-nya di Kabupaten Bogor menggunakan metode analisis regresi (Ordinary Least Square (OLS)). Serta melihat pengaruh faktor–faktor seperti jumlah tenaga kerja sektor perdagangan, upah tenaga kerja sektor perdagangan, inflasi Kabupaten Bogor dan investasi pada sektor perdagangan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan. 1.2 Perumusan Masalah Kebijakan pembangunan yang tersentralisasi telah menyebabkan ketimpangan yang nyata pada pembangunan antar wilayah dan kelompok pendapatan. Dengan demikian keadaan ini akan menyebabkan pembangunan di Indonesia rentan terhadap goncangan yang secara terulang terjadi sehingga menimbulkan krisis ekonomi, sosial politik yang pada akhirnya menyengsarakan masyarakat. Diberlakukannya Otonomi Daerah menimbulkan harapan baru, pelaksanaan Otonomi Daerah di Tingkat II (kabupaten) merupakan awal dari 24 redistribusi kekayaan negeri ini, pemerataan kesejahteraan dan meminimalisir ketimpangan pusat dan daerah serta dengan adanya Otonomi Daerah diharapkan inovasi dan inisiatif daerah bermunculan. Diberlakukannya Otonomi Daerah juga diharapkan sektor perekonomian di daerah tersebut akan meningkat khususnya sektor perdagangan. Meningkatnya sektor perdagangan diharapkan dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat, indikator makro yang diperlukan adalah PDRB yang disajikan secara berkala. PDRB dengan berbagai indikator ekonominya merupakan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan langkah strategis pembangunan ekonomi. Dengan demikian, skala prioritas pembangunan ekonomi sektoral dapat lebih tajam dan mencapai sasaran sesuai dengan yang ditargetkan. 25 Tabel 3. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001–2004 ( dalam persen). No Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 1 Pertanian,peternakan, kehutanan dan perikanan 8,76 5,92 6,23 8,27 2 Pertambangan dan penggalian 6,62 6,91 13,22 6,94 3 Industri pengolahan 12,85 12,24 12,87 14,66 4 Listrik, gas dan air bersih 11,17 12,75 12,52 15,05 5 Bangunan 12,80 12,72 15,20 15,20 6 Perdagangan, restoran 11,89 11,02 14,21 13,77 7 Pengangkutan dan komunikasi 12,65 13,25 14,46 14,55 8 Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 11,34 12,48 12,54 13,16 9 Jasa - jasa 11,92 12,37 11,76 12,77 PDRB 100,00 100,00 100,00 100,00 hotel dan Sumber : Biro Pusat Statistik Kabupaten Bogor Tahun 2001-2004 Dari Tabel 3 terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi pada sektor perdagangan tahun 2001 sebesar 11,89 persen, kemudian pada tahun 2002 menjadi 11,02 persen. Pada tahun 2003 meningkat menjadi 14,21 persen dan pada tahun 2004 turun menjadi 13,77 persen. Namun secara rata–rata pertumbuhan PDRB pada sektor perdagangan meningkat. Sehubungan dengan hal di atas, maka permasalahan besar yang akan diteliti dan dibahas adalah sebagai berikut : 26 1. Bagaimana peranan atau pengaruh sektor perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor? 2. Bagaimana pengaruh faktor–faktor lain seperti jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan, upah tenaga kerja di sektor perdagangan, inflasi dan investasi pada sektor perdagangan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini antara lain : 1. Menganalisis pengaruh sektor perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor sebelum dan pada masa Otonomi Daerah. 2. Menganalisis pengaruh faktor–faktor lain seperti jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan, upah tenaga kerja di sektor perdagangan, inflasi dan investasi pada sektor perdagangan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini memberikan gambaran mengenai pengaruh sub sektor perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi sebelum dan pada masa Otonomi Daerah dan pengaruh jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan, upah tenaga kerja sektor perdagangan, inflasi serta investasi pada sektor perdagangan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan di Kabupaten Bogor yang dimulai dari tahun 1990 sampai tahun 2004. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan buat pemerintah dalam mengembangkan sektor–sektor perekonomian yang cukup berperan dalam 27 meningkatkan pertumbuhan ekonomi khususnya mengembangkan sektor perdagangan yang diharapkan pada masa yang akan datang dapat berkembang. Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai bahan pustaka untuk penelitian selanjutnya. Sedangkan bagi Penulis, penelitian ini sangat berguna untuk menambah pengalaman dan sebagai media untuk menambah wawasan dan pengetahuan yang sudah diperoleh selama di bangku kuliah. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor. Penelitian ini hanya melihat pengaruh sektor perdagangan secara makro terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh sub sektor perdagangan sebagai sektor yang paling berkembang setelah sektor industri pengolahan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah sebelum Otonomi Daerah dan dalam era Otonomi Daerah. Dan pengaruh jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan, upah tenaga kerja di sektor perdagangan, inflasi dan investasi pada sektor perdagangan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan. Apakah berpengaruh positif atau mungkin berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan sektor perdagangan. 28 II. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Wilayah dan Pembangunan Wilayah Wilayah adalah daerah–daerah atau ruang yang sudah ditentukan batas– batasnya sehingga dapat diketahui dengan jelas batas–batasnya. Seperti misalnya negara, propinsi, kabupaten, kecamatan, desa dan kota yang secara fungsional saling berkaitan. Rahman (2003) mengatakan bahwa : “ Wilayah adalah sebagai nodal atau wilayah polarisasi yang terdiri dari satuan-satuan yang homogen seperti kota dan desa yang secara fungsional saling berkaitan .” Wilayah tersebut juga harus saling berkaitan sebab tidak bisa satu daerah memenuhi semua kebutuhannya sendiri dan harus ada dukungan dan sokongan dari daerah yang lain. Atas dasar pengertian tersebut wilayah dibagi menjadi tiga tipe yaitu wilayah formal, wilayah fungsional dan wilayah perencanaan. Wilayah formal atau wilayah homogen adalah sebagai bagian dari muka bumi atau wilayah geografis yang seragam menurut kriteria tertentu. Wilayah fungsional adalah wilayah geografis yang memperlihatkan suatu koherensi fungsional tertentu seperti kota besar, kota-kota kecil dan desa yang secara fungsional saling bergantungan. Sedangkan wilayah perencanaan meliputi kombinasi wilayah formal dan wilayah fungsional, yang harus memperlihatkan beberapa hal yaitu suatu wilayah harus cukup luas untuk memenuhi kriteria investasi dan skala ekonomi, harus mampu menunjang industri dengan pengadaan tenaga kerja, persamaan ekonomi, mempunyai paling tidak satu kota sebagai titik 29 tumbuh dan strategi pembangunan yang sama untuk memecahkan masalah yang sama. Di Indonesia pengertian wilayah secara unit program hierarki yang teratas sampai terbawah adalah nasional, propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Sehingga segala kegiatan pembangunan yang dilakukan dalam batas wilayah administrasi disebut sebagai pembangunan wilayah atau pembangunan daerah (Pranata, 2004). Pembangunan merupakan suatu perubahan yang positif atau perubahan ke arah yang lebih baik dengan menciptakan infrastruktur yang lebih baik, baik secara fisik atau nonfisik sehingga dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Kegiatan-kegiatan ini berlangsung dalam rangka mengelola sumberdaya yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Hasil dari pembangunan ini tercermin pada pendapatan daerah dan tingkat kesejahteraan penduduknya. Agar dicapai pembangunan daerah yang optimal maka pembangunan harus dilaksanakan sesuai dengan potensi yang ada di daerah masing–masing. Pembangunan wilayah pada hakekatnya adalah pelaksanaan pembangunan nasional di suatu wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial wilayah tersebut, serta tetap menghormati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, istilah wilayah merupakan hal yang penting untuk didefinisikan secara tegas, terutama dalam menganalisis kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Setiap negara/daerah mempunyai karakteristik dan ciri–ciri yang berbeda sehingga negara/daerah tersebut mempunyai tingkat pertumbuhan yang berbeda– 30 beda, sumberdaya alam yang berbeda, keadaan daerah yang berbeda, sumberdaya manusia yang berbeda, dan lain sebagainya sehingga tingkat pembangunan masing–masing negara/daerah juga akan berbeda–beda. Purliani (2003) mengatakan bahwa : “Secara alami tingkat pembangunan di berbagai wilayah dalam suatu daerah atau negara tidaklah sama.” Dengan demikian, dalam suatu wilayah tertentu dapat diidentifikasikan adanya wilayah yang kaya, maju, dinamis, dan berkembang serta wilayah yang miskin, tradisional, statis, dan terbelakang. Akibat adanya perbedaan tingkat perkembangan wilayah dan tingkat pembangunan wilayah tertentu maka terjadi jurang kesejahteraan masyarakat antara wilayah kaya dan wilayah miskin. Apabila tidak ada campur tangan pemerinth secara aktif, maka keadaan tersebut akan bertambah buruk. 2.2 Otonomi Daerah Sesuai dengan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 pasal 1 (h) yang menyatakan bahwa “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur serta mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku”. Otonomi Daerah adalah wewenang daerah dalam mengurusi daerahnya sendiri karena daerah tersebut lebih mengetahui apa yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Kesenjangan antar daerah selama ini terjadi karena begitu banyaknya campur tangan pemerintah pusat dalam menangani daerah sehingga terkadang apa yang menjadi kebutuhan 31 daerah tersebut tidak sesuai dengan apa yang menjadi program dari pemerintah pusat. Majidi dalam Riyanto (1997) mengatakan bahwa : ”Otonomi Daerah merupakan penjabaran dari pelaksanaan asas desentralisasi yaitu penyerahan sebagian urusan kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya sendiri.” Hal ini berarti bahwa daerah mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat. Pemberian Otonomi Daerah berdasarkan UU No.22 tahun 1999 kepada suatu daerah harus benar–benar dipertimbangkan oleh pemerintah karena Daerah tersebut harus mempunyai sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang mungkin dapat digunakan untuk mengembangkan daerah tersebut. Daerah tersebut juga harus mampu untuk mengurus rumah tangganya sendiri dan mempunyai sistem pemerintahan yang bersih sehingga daerah tersebut mampu berkembang. Otonomi Daerah juga diberikan supaya tidak terjadi kesenjangan antar daerah. Dan daerah yang sudah berkembang diharapkan dapat membantu daerah yang belum berkembang. Seperti halnya Riyanto (1997) berpendapat bahwa : ”Prinsip-prinsip dasar dalam melaksanakan Otonomi Daerah ini adalah otonomi yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab.” Nyata maksudnya adalah bahwa pemberian Otonomi Daerah kepada daerah otonom harus didasarkan pada faktor, perhitungan, tindakan, dan kebijaksanaan yang benar–benar menjamin wilayah bersangkutan secara nyata mampu mengurus 32 rumah tangga sendiri. Dinamis berarti bahwa Otonomi Daerah tidak bersifat kaku tetapi dapat dikembangkan dan dimekarkan karena keadaan yang terus berkembang di masyarakat. Bertanggung jawab maksudnya bahwa pemberian Otonomi Daerah harus sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan kegiatan pembangunan dan memperkokoh persatuan dan kesatuan untuk kesejahteraan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pemberian Otonomi Daerah persatuan dan kesatuan bangsa semakin erat. Diharapkan juga dengan adanya Otonomi Daerah pertumbuhan ekonomi daerah semakin kuat untuk menyokong pertumbuhan ekonomi nasional. Seperti halnya pendapat Afrianto (2000) mengatakan bahwa : ”Pada tahun–tahun mendatang program desentralisasi dan pembangunan Otonomi Daerah akan mendominasi pembangunan ekonomi daerah ”. Hal ini jauh lebih luas dari pembangunan ekonomi daerah, yaitu meningkatkan keadilan, mengembangkan partisipasi masyarakat serta untuk menjaga dan memperkokoh kesatuan bangsa. Pada hakekatnya pelaksanaan dan penerapan Otonomi Daerah diharapkan untuk mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat untuk melaksanakan pembangunan di daerah. Mengingat bahwa penentu kebijakan di daerah lebih dekat dengan masyarakat dan lebih tahu tentang apa yang menjadi kebutuhan dari daerah tersebut dan lebih mengerti apa yang menjadi aspirasi dari masyarakat tersebut. Pada kenyataannya, Otonomi Daerah belum sepenuhnya efektif dilaksanakan. Daerah masih sangat tergantung terhadap pusat terutama dalam 33 merencanakan dan melaksanakan program–program daerah dan kegiatan–kegiatan pembangunan. Daerah belum mampu untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Oleh sebab itu pada masa yang akan datang diharapkan adanya sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga daerah tidak lagi bergantung kepada pemerintah pusat tetapi mampu untuk menyelesaikan permasalahan–permasalahan yang ada di daerah. Karena setiap perubahan di masyarakat perlu waktu untuk menghadapi perubahan tersebut. Sumber penerimaan daerah untuk melaksanakan hal–hal di atas adalah melalui Penerimaan Asli Daerah (PAD). Namun sayangnya, sumbangan PAD terhadap penerimaan daerah yang tercermin dalam PDRB relatif kecil. Hal ini menyebabkan pembangunan di daerah relatif lambat dan terbatas. Pemberian Otonomi Daerah kepada suatu daerah belum tentu daerah tersebut dapat melaksanakan Otonomi Daerah dengan baik. Terkadang suatu daerah ikut-ikutan melaksanakan Otonomi Daerah padahal sebenarnya daerah tersebut belum mampu dan siap dalam melaksanakan Otonomi Daerah. Sehingga pemberian Otonomi Daerah memerlukan kebijakan dan pertimbangan yang baik supaya daerah tersebut dapat berkembang. Daerah yang sudah berkembang dengan adanya Otonomi Daerah ditunjukkan dengan adanya sumberdaya alam yang diolah dengan baik, sumberdaya manusia yang kompeten, keuangan daerah yang memadai supaya Otonomi Daerah dapat terlaksana, birokrasi yang baik, adanya kemauan yang kuat dari masyarakat untuk berkembang dan alat–alat lain yang digunakan untuk menunjang berkembangnya daerah tersebut. Sama halnya dengan Kaho dalam Riyanto (1997) yang menyatakan bahwa : 34 ”Ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah : 1. Sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor yang paling esensial dari Otonomi Daerah sebagai subjek dan objek dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. 2. Keuangan merupakan faktor yang sangat menentukan pelaksanaan Otonomi Daerah karena keuangan akan menentukan besarnya PAD. PAD bersumber dari retribusi daerah, pajak, hasil perusahaan daerah dan sebagainya. 3. Peralatan yang cukup baik, baik berupa prasarana dan sarana fisik yang memperlancar pembangunan. 4. Organisasi dan manajemen merupakan lembaga dan organisasi, pemerintah daerah yang akan menjadi eksekusif dan legislatif di daerah. Pemberian Otonomi Daerah harus secara sungguh–sungguh dilaksanakan oleh daerah otonomi dan pemerintah pusat dengan berbagai kebijakan dan pertimbangan yang strategis dan juga perundang–undangan sehingga pelaksanaannya berjalan dengan baik. 2.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi suatu daerah yang meningkat dari tahun ke tahun dapat dilihat dari banyak faktor. Misalnya antara lain pendapatan perkapita yang meningkat, indeks perkembangan manusia yang meningkat di daerah tersebut, 35 investasi yang meningkat, Produk Domestik Regional Bruto yang selalu meningkat tiap tahunnya, PAD (Penghasilan Asli Daerah) yang besar, sektor– sektor perekonomian yang besar dan lain sebagainya. Salah satu yang digunakan Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor dalam mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor adalah menggunakan PDRB-nya. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan suatu daerah, indikator makro yang dibutuhkan adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang disajikan secara berkala (BPS Kabupaten Bogor, 2004). PDRB yang meningkat dari tahun ke tahun akan menyebabkan daerah tersebut mempunyai pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Oleh sebab itu, PDRB dengan berbagai indikator ekonominya merupakan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan langkah strategis pembangunan ekonomi. Dengan demikian, skala prioritas pembangunan ekonomi sektoral dapat lebih tajam dan mencapai sasaran sesuai dengan yang ditargetkan. PDRB lebih populer dengan istilah Pendapatan Regional (Regional Income), merupakan data statistik yang merangkum perolehan nilai tambah dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu wilayah. PDRB dapat dihitung dalam dua cara, yaitu atas dasar harga berlaku dan harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga pada suatu tahun tertentu (tahun dasar) (BPS Kabupaten Bogor, 2004). 36 Dari dua penyajian PDRB ini diperoleh beberapa indikator ekonomi makro yang banyak digunakan oleh berbagai kalangan baik birokrasi pemerintah, peneliti maupun masyarakat dunia usaha (BPS Kabupaten Bogor, 2004). Indikator tersebut adalah : 1. Tingkat pertumbuhan ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari PDRB daerah tersebut. Apabila angka–angka PDRB disajikan atas dasar harga konstan, akan menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Apabila angka–angka dalam PDRB tersebut meningkat setiap tahunnya hal itu menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah tersebut meningkat dan sebaliknya apabila angka– angka yang disajikan dalam PDRB menurun setiap tahunnya maka hal itu menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah tersebut menurun. 2. Tingkat kemakmuran suatu daerah Suatu daerah yang mempunyai pertumbuhan perekonomian yang tinggi belum tentu menjamin kemakmuran yang tinggi pula bagi masyarakatnya, apabila daerah tersebut mempunyai pertumbuhan penduduk yang tinggi. Biasanya pertumbuhan perekonomian dihitung secara makro sehingga belum tentu menunjukkan daerah tersebut makmur atau tidak. Apabila suatu daerah dikatakan sudah makmur maka daerah tersebut minimal sudah mampu memenuhi kebutuhan pokok sendiri. Oleh sebab itu, salah satu indikator yang digunakan untuk melihat tingkat kemakmuran suatu daerah adalah dengan menggunakan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita. Tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita lebih menunjukkan 37 perkembangan kemakmuran sebab bila dilihat dari sudut konsumsi berarti masyarakat di daerah tersebut mempunyai kualitas yang lebih baik. Untuk mengetahui tingkat kemakmuran suatu daerah harus tersedia angka pembanding dari daerah lain, dan untuk mengetahui perkembangannya diperlukan adanya suatu angka perkembangan secara berkala. 3. Tingkat inflasi Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh pemerintah adalah tingkat inflasi yang selalu melonjak setiap tahunnya. Peningkatan pendapatan berupa uang yang diterima masyarakat akan tidak berarti apabila diikuti oleh tingkat inflasi yang tinggi, sebab akan menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat.0leh sebab itu pemerintah harus menjaga tingkat inflasi agar tetap stabil yaitu salah satu caranya dengan cara investasi yang besar pada sektor-sektor yang memberikan nilai tambah yang besar seperti misalnya pada sektor perdagangan. Masih banyak lagi indikator makro yang digunakan dalam mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah seperti tingkat konsumsi di daerah tersebut, indeks perkembangan manusia di daerah itu, angka kelahiran dan angka kematian di daerah tersebut, sarana dan prasarana yang tersedia di daerah itu, tingkat kemiskinan di daerah tersebut dan lain sebagainya. Namun pada penelitian ini hanya terbatas pada beberapa indikator makro yang telah disebutkan di atas. Ada beberapa manfaat penghitungan PDRB bagi suatu daerah antara lain adalah (Biro Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2004) : 38 1. PDRB atas harga berlaku nominal menunjukkan kemampuan sumberdaya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu wilayah. Nilai PDRB yang besar menunjukkan kemampuan sumberdaya ekonomi yang besar. 2. PDRB harga berlaku menunjukkan pendapatan yang memungkinkan dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah. Semakin besar PDRB harga berlaku yang diperoleh daerah tersebut maka semakin besar pendapatan yang mungkin dapat dinikmati penduduk daerah tersebut. 3. PDRB atas harga konstan (rill) dapat digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral dari tahun ke tahun. Perhitungan PDRB dengan menggunakan harga konstan (riil) lebih baik karena tidak hanya menunjukkan laju pertumbuhan suatu daerah namun dapat menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi dari setiap sektor dari daerah tersebut. 4. Distribusi PDRB atas dasar harga berlaku menurut sektor menunjukkan struktur perekonomian yang menggambarkan peranan sektor ekonomi dalam suatu wilayah. Sektor–sektor ekonomi yang mempunyai peranan besar menunjukkan basis perekonomian yang mendominasi perekonomian wilayah tersebut. Sektor–sektor ekonomi yang peranannya kecil menunjukkan non basis perekonomian yang perlu untuk dikembangkan sehingga menjadi sektor unggulan di masa yang akan datang. 39 Menurut Putong (2003), bahwa : ”Pertumbuhan ekonomi adalah pertambahan output (pendapatan daerah) yang disebabkan oleh pertambahan alami dari tingkat pertambahan penduduk dan tingkat tabungan.” Sedangkan tingkat pertambahan penduduk adalah perubahan spontan dan terputus–putus dalam keadaan stasioner yang senantiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi dapat dihitung dengan cara : Pertumbuhan ekonomi = PDRBt – PDRBt-1 X 100% PDRBt-1 Dimana : PDRBt = PDRB tahun sekarang PDRBt-1 = PDRB tahun yang lalu Pertumbuhan ekonomi dihitung dengan cara mengurangkan PDRB tahun sekarang dengan PDRB tahun lalu kemudian membaginya dengan PDRB tahun lalu dikali dengan 100 persen. Apabila perumbuhan ekonomi bertambah tiap tahunnya maka daerah tersebut dapat dikatakan sebagai daerah yang cukup berkembang dan sebaliknya apabila daerah tersebut mempunyai pertumbuhan ekonomi yang semakin menurun maka daerah tersebut belum bisa dikatakan sebagai daerah yang mapan. Setiap daerah tersebut menginginkan pertumbuhan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun supaya daerah tersebut dapat berkembang. 40 2.3.1 Teori Pertumbuhan Harrod–Domar Harrod–Domar mendasarkan teori pertumbuhannya pada investasi. Ada dua hal yang dimiliki investasi yaitu pendapatan dan stok modal untuk meningkatkan kapasitas produksi perekonomian. Investasi sangat dibutuhkan dalam suatu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Investasi jangka panjang akan dapat berpengaruh pada peningkatan pertumbuhan ekonomi sebab investasi mempunyai nilai ekonomis jangka panjang yang selalu meningkat. Pertumbuhan pendapatan yang nyata secara terus menerus pada tingkat yang cukup dan mempertahankan pekerjaan dalam jangka panjang maka investasi harus senantiasa diperbesar sehingga perekonomian akan berada pada jalur pertumbuhan yang tetap. Pada penelitian ini, pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan proksi dari pendapatan yang dihasilkan oleh sektor perdagangan dari tahun ke tahun. Investasi dapat meningkatkan pendapatan sektor perdagangan pada masa yang akan datang. Investasi dilakukan dengan cara menunda pemakaian sekarang untuk memperoleh manfaat yang lebih besar pada masa yang akan datang. Karena dari pendapatan investasi inilah yang nanti digunakan lagi untuk berinvestasi. 2.3.2 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi (Tingkat PDRB) dengan Sub Sektor Perdagangan Sektor perdagangan terdiri dari 3 sub sektor yaitu sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor perhotelan, dan sub sektor rumah makan. Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor perekonomian yang ada di Kabupaten Bogor. Pendapatan yang dihasilkan oleh sub sektor tersebut memberikan 41 pengaruh terhadap tingkat PDRB Kabupaten Bogor. Dengan meningkatnya pendapatan yang dihasilkan sub sektor perdagangan maka nilai tambah PDRB Kabupaten Bogor akan meningkat pula. Begitu pula sebaliknya, penurunan pendapatan sub sektor perdagangan akan menurunkan nilai tambah dari PDRB Kabupaten Bogor. Asumsi Ceteris paribus. Hal ini menandakan bahwa adanya hubungan positif atau searah antara tingkat PDRB dengan sub sektor perdagangan. 2.4 Teori Perdagangan Sektor perdagangan merupakan sektor yang terdiri dari sub sektor–sub sektor yaitu sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor perhotelan dan sub sektor restoran (BPS Kabupaten Bogor, 2004). Sub sektor perdagangan besar mencakup kegiatan pengumpulan dan penjualan kembali barang baru atau bekas oleh pedagang dari produsen atau importer ke pedagang besar lainnya atau pedagang eceran. Pedagang eceran mencakup kegiatan pedagang yang melayani konsumen perorangan atau rumah tangga, tanpa merubah sifat, baik barang baru atau barang bekas. Sub sektor hotel mencakup kegiatan penyediaan akomodasi yang menggunakan sebagian atau seluruh bangunan sebagai tempat penginapan. Sub sektor restoran mencakup kegiatan penyediaan makanan dan minuman jadi yang pada umumnya dikonsumsi di tempat penjualan. 2.4.1 Hubungan antara Sektor Perdagangan dan Inflasi Inflasi merupakan kenaikan harga-harga secara umum. Pada penelitian ini inflasi yang digunakan adalah inflasi di Kabupaten Bogor. Inflasi yang meningkat 42 dari tahun ke tahun akan menyebabkan harga-harga di sektor perdagangan akan meningkat. Hal ini akan menyebabkan daya beli di sektor perdagangan akan menurun. Selanjutnya akan berdampak pada penurunan pendapatan yang dihasilkan sektor perdagangan sehingga nilai tambah dari sektor perdagangan menurun. Oleh sebab itu inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan sektor perdagangan akan menurun. Oleh sebab itu, adanya hubungan antara tingkat inflasi dengan pendapatan sektor perdagangan yang saling berlawanan atau berhubungan negatif. 2.4.2 Macam-Macam Perdagangan Perdagangan merupakan kegiatan yang dilakukan antara dua negara/daerah atau lebih yang saling menjual atau membeli suatu barang. Dua negara/daerah akan melakukan perdagangan secara sukarela apabila kedua negara/daerah tersebut memperoleh keuntungan. Jika satu negara/daerah memperoleh keuntungan sementara negara lainnya mengalami kerugian, maka hal ini akan mendorong penolakan terhadap perdagangan. Perdagangan tidak akan dapat berkembang apabila tidak didukung oleh sektor–sektor atau faktor–faktor lain secara bersamaan. Untuk meningkatkan sektor perdagangan suatu daerah salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan adanya investasi. Investasi maksudnya menanamkan modal yang cukup besar pada sektor tersebut dengan menunda pemakaian sekarang dengan harapan pada masa yang akan datang memberikan keuntungan yang lebih besar. Dengan dilakukannya investasi pada sektor perdagangan diharapkan sektor perdagangan di masa yang akan datang dapat berkembang dengan lebih baik. Sektor 43 perdagangan juga dapat meningkat apabila adanya campur tangan dari pemerintah. Campur tangan pemerintah sangat dibutuhkan apalagi jika sektor perdagangan tersebut kurang dapat dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Dengan adanya campur tangan pemerintah diharapkan kontribusi sektor tersebut cukup besar terhadap PDRB untuk mendukung pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Ada bermacam–macam teori perdagangan yang apabila semuanya dilakukan oleh dua negara/daerah atau lebih atas kesepakatan negara/daerah yang terlibat di dalamnya akan memperoleh keuntungan karena tidak ada negara/daerah yang mau melakukan perdagangan jika mereka yang melakukannya tidak memperoleh keuntungan. Pada dasarnya perdagangan dapat dilakukan antara dua atau lebih negara/daerah jika sebuah negara/daerah lebih efisien daripada (memiliki keunggulan absolut) negara/daerah lain dalam memproduksi suatu komoditi, namun kurang efisien dibanding (memiliki kerugian absolut) negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya maka kedua negara/daerah tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing–masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut. Melalui proses ini, sumberdaya di kedua negara/daerah dapat digunakan dalam cara yang paling efisien. Output kedua komoditi yang diproduksi pun akan meningkat. Peningkatan dalam output ini pun akan mengukur keuntungan dari spesialisasi produksi untuk kedua negara/daerah yang melakukan perdagangan. 44 Smith dalam Salvatore (1997), mengatakan bahwa : “Suatu negara/daerah negara/daerah lain dapat apabila melakukan suatu perdagangan negara/daerah dengan (negara/daerah pertama) lebih efisien dalam memproduksi suatu komoditi (komoditi 1) dibanding negara/daerah lain (negara/daerah kedua) tetapi kurang efisien dalam memproduksi komoditi yang lain (komoditi 2) dibanding negara lain (negara/daerah kedua) tersebut dan negara/daerah kedua kurang efisien dalam memproduksi komoditi 1 namun lebih efisien dalam memproduksi komoditi 2. hal inilah yang disebut Smith dengan teori keunggulan absolut (absolute advantage).” Apabila kedua negara/daerah berspesialisasi pada komoditi yang menjadi keunggulan negara/daerah masing–masing dan saling menukarkannya maka kedua negara/daerah akan memperoleh keuntungan dari adanya perdagangangan tersebut. Ada juga perdagangan yang dapat dilakukan dengan cara apabila sebuah negara/daerah meskipun kurang efisien dibanding (memiliki kerugian absolut) negara/daerah lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Daerah pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (merupakan komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar (memiliki kerugian komparatif). 45 Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Ricardo dalam Salvatore (1997) yang mengatakan bahwa : “Perdagangan antara kedua negara/daerah dapat juga dilakukan atas keunggulan komparatif.” Walaupun suatu negara/daerah (negara/daerah pertama) tidak mempunyai keunggulan absolut sementara negara/daerah lain (negara/daerah kedua) mempunyai keunggulan komparatif, kedua negara/daerah tersebut masih bisa melakukan perdagangan dengan cara negara/daerah pertama melakukan spesialisasi terhadap komoditi yang paling kecil kerugian absolutnya dan mengekspornya ke negara/daerah kedua dan mengimpor komoditi yang paling besar kerugian absolutnya. Perdagangan yang didasarkan pada keunggulan komparatif dengan memasukkan biaya oportunitas sering disebut sebagai Hukum Biaya Komparatif. Berapa banyak komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh tambahan produksi komoditi pertama. Semakin banyak komoditi kedua yang dikorbankan maka tambahan komoditi pertama yang diproduksi semakin banyak. Apabila komoditi tersebut mempunyai biaya oportunitas yang besar maka komoditi tersebut tidak mempunyai keunggulan komparatif dan sebaliknya apabila komoditi tersebut mempunyai biaya oportunitas yang kecil maka komoditi tersebut mempunyai keunggulan komparatif. Haberler dalam Salvatore (1997) mengatakan bahwa : “Teori keunggulan komparatif berdasarkan pada teori oportunitas. Menurut teori biaya oportunitas, biaya sebuah komoditi adalah jumlah 46 komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi pertama.” Negara/daerah yang memiliki biaya oportunitas yang rendah dalam memproduksi sebuah komoditi akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi tersebut dan memiliki kerugian komparatif dalam komoditi yang lain. Dengan adanya peningkatan biaya oportunitas, hubungan dagang di antara kedua negara/daerah masih dapat berlangsung apabila selera atau preferensi permintaan dari kedua negara/daerah berbeda satu sama lain. Dengan adanya perdagangan, setiap negara/daerah dapat melakukan spesialisasi dalam produksi komoditi yang memiliki keunggulan komparatif dan menukarkan sebagian outputnya dengan negara/daerah lain untuk memperoleh komoditi yang memiliki kerugian komparatif. Kedua negara/daerah akan mengkonsumsi kedua komoditi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan tanpa perdagangan. 2.5 Analisis Model Regresi Gujarati (1997) mengatakan : ”Analisis model regresi digunakan untuk mengkaji hubungan antar peubah. Umumnya suatu peubah bersifat mempengaruhi peubah yang lainnya, peubah pertama disebut peubah bebas (independence variable) sedangkan peubah yang kedua adalah peubah terikat (dependence variable).” 47 Yang termasuk dalam hal ini ke dalam peubah bebas antara lain sektor perdagangan yang terdiri dari sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor rumah makan dan sub sektor perhotelan dan peubah terikat adalah pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor. Dan untuk melihat pengaruh jumlah tenaga kerja pada sektor perdagangan, upah tenaga kerja di sektor perdagangan, inflasi Kabupaten Bogor dan investasi pada sektor perdagangan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan. Secara kuantitatif hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat tersebut dapat dimodelkan dalam persamaan matematik, sehingga dapat meramal atau menduga nilai suatu peubah tak bebas jika diketahui peubah bebas. Dalam hal ini yang digunakan adalah model regresi berganda. 2.5.1 Model Regresi Berganda Persamaan regresi berganda adalah persamaan regresi yang melibatkan dua atau lebih variabel dalam analisa. Tujuannya adalah untuk menghitung parameter–parameter estimasi dan untuk melihat apakah ada atau tidaknya hubungan antara variabel–variabel tersebut. Variabel yang diestimasi adalah variabel terikat yang dalam hal ini pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor yang ditunjukkan oleh Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor. Sedangkan variabel– variabel yang mempengaruhi adalah variabel bebas antara lain sektor perdagangan yang terdiri dari sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor rumah makan dan sub sektor perhotelan. Dalam hal ini ingin melihat bagaimana pengaruh sektor perdagangan terhadap PDRB Kabupaten Bogor sehingga 48 pertumbuhan ekonominya dapat meningkat. Apakah berhubungan positif atau berhubungan negatif. Di lain hal, sektor perdagangan menjadi variabel dependen sedangkan investasi pada sektor perdagangan, jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan, upah tenaga kerja di sektor perdagangan dan tingkat inflasi di Kabupaten Bogor menjadi variabel independennya. Apakah berpengaruh positif atau mungkin negatif. Firdaus (2004) mengatakan bahwa pada hakekatnya asumsi yang digunakan dalam model regresi berganda antara lain : 1. E (εi) = 0 untuk setiap i. 2. Cov (εi, εj) =0, i≠j. Asumsi ini dikenal sebagai asumsi tidak adanya korelasi berurutan atau tidak adanya autokorelasi. 3. Var (εi) = σ2, untuk setiap i. asumsi ini dikenal sebagai asumsi homoskedastisitas, atau varians sama. 4. Cov (εi │X2i) = Cov (εi │X3i) = 0. Artinya kesalahan pengganggu εi dan variabel bebas X tidak berkorelasi. 5. Tidak ada multikolinearitas (multicolinearity) yang berarti tidak terdapat hubungan linearitas yang pasti di antara variabel bebas. Dalam bentuk matematis persamaan regresi berganda contoh (sample) dapat disajikan sebagai berikut : Model struktural pertumbuhan PDRB dapat dirumuskan : Yi = α0 + α1LPBE + α2LHOT + α3LRM + α4Dummy + e1 i Model struktural sektor perdagangan dapat dirumuskan : X1 = α5 + α6LINV + α7LUPAH + α8LTK + α9INF + α10Dummy + e2 i 49 2.6 Teori Tenaga Kerja dan Tingkat Upah Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang digunakan untuk meningkatkan output atau pendapatan pada sektor perdagangan. Tenaga kerja mempunyai hubungan positif dengan pendapatan. Simanjuntak (1985) mengatakan : ” Tenaga kerja atau yang sering disebut dengan manpower mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga.” Tenaga kerja yang banyak dengan tingkat produktivitas yang tinggi biasanya akan meningkatkan pendapatan juga. Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor yang cukup banyak menyerap tenaga kerja. Tenaga kerja yang banyak menandakan bahwa sektor tersebut banyak melakukan kegiatan produksi. Kemampuan tenaga kerja sangat dibutuhkan dalam meningkatkan pendapatan dari sektor perdagangan tersebut. Apabila tenaga kerja yang tidak produktif sekalipun jumlahnya sangat banyak biasanya kurang banyak kontribusinya terhadap pendapatan. Tenaga kerja mempunyai hubungan dengan tingkat upah dan pendapatan. Simanjuntak (1985) mengatakan : ” Kenaikan tingkat upah mempengaruhi penyediaan tenaga kerja dengan hubungan yang saling berlawanan.” Tingkat upah yang rendah biasanya menyebabkan keluarga tersebut untuk mengerahkan seluruh anggotanya untuk bekerja sehingga jumlah tenaga kerja 50 bertambah. Dengan bertambahnya jumlah tenaga kerja menyebabkan pendapatan pada sektor perdagangan menjadi meningkat. Sebaliknya, dengan meningkatnya tingkat upah menyebabkan pendapatan sektor perdagangan menjadi berkurang. Untuk mempertahankan supaya pendapatan tersebut konstan (tetap) maka tenaga kerja harus dikurangi. Dapat disimpulkan dengan meningkatnya upah maka jumlah tenaga kerja menjadi berkurang. 2.7 Variabel Lag Gujarati (1997) mengatakan : ” Pembahasan model regresi linear yang baku mengasumsikan bahwa dalam perubahan pada sebuah variabel bebas mengakibatkan perubahan variabel terikat dengan periode waktu yang sama dan selama periode pengamatan”. Dalam ilmu ekonomi, spesifikasi dalam masalah ini jarang ditemukan. Pada umumnya suatu penyebab baru menimbulkan akibat setelah suatu selang waktu tertentu, selang waktu inilah yang disebut dengan lag. Oleh sebab itu, perumusan realitas dari hubungan–hubungan ekonomi memerlukan nilai–nilai lag dari variabel–variabel bebas atau juga memasukkan nilai–nilai lag dari variabel terikat. Beberapa penyebab timbulnya lag dalam suatu sistem adalah (Gujarati, 1997) : 1. Alasan Psikologis Disebabkan karena kebiasaan orang yang tidak merubah konsumsi mereka dengan segera menuruti penurunan harga atau peningkatan pendapatan mungkin 51 karena proses perubahan melibatkan suatu kehilangan kegunaan segera sehingga orang yang tiba–tiba mendapatkan pendapatan yang banyak, mungkin tidak mengubah gaya hidupnya yang telah terbiasa baginya untuk waktu yang lama karena mungkin mereka tidak tahu bagaimana bereaksi terhadap keberuntungan yang tidak disangka dengan segera. Tentu saja dengan waktu yang cukup mereka dapat belajar untuk hidup dengan keberuntungan yang baru saja diterima. 2. Alasan yang Bersifat Teknis Misalkan harga modal dibandingkan dengan tenaga kerja relatif menurun yang menyebabkan substitusi modal untuk tenaga kerja secara ilmu ekonomi dimungkinkan. Tentu saja perubahan dalam modal memerlukan waktu (masa persiapan) lebih jauh lagi jika penurunan dalam harga diharapkan setelah penurunan harga modal yang bersifat sementara mungkin akan meningkat di atas tingkat sebelumnya. 3. Alasan Kelembagaan Alasan ini yang menyumbangkan terjadinya lag. Misalnya, kewajiban yang bersifat kontrak yang mencegah perusahaan untuk beralih dari suatu sumber tenaga kerja atau bahan mentah ke yang lainnya sekalipun pengalihan sangat menguntungkan. Di samping itu, peraturan–peraturan tertentu juga menimbulkan adanya lag. Misalnya, dana yang telah ditanamkan dalam tabungan jangka panjang, 3 atau 7 tahun, akan terkunci tidak bisa segera ditarik, walaupun kondisi pasar uang yang mengindikasikan bahwa menanam dana di tempat lain dapat mendatangkan penghasilan yang lebih banyak. 52 Variabel lag terdiri dari dua jenis, yaitu variabel lag eksogen dan lag endogen. Variabel lag eksogen mengasumsikan bahwa variabel endogen tergantung pada nilai–nilai variabel eksogen yang lebih dari satu periode. Sedangkan variabel lag endogen selain bergantung pada nilai–nilai variabel eksogen, juga tergantung pada nilai–nilai variabel endogen pada periode sebelumnya. Disamping itu, ternyata bahwa penggunaan lag dalam suatu persamaan atau model mengandung beberapa kelemahan ( Sarwoko, 2005) antara lain : 1. Memunculkan terjadinya gejala multikolinearitas yaitu terdapat hubungan linearitas yang tinggi diantara variabel-variabel bebas. 2. Tidak ada jaminan bahwa menurunnya pengaruh karena meningkatnya lama waktu sesuai dengan arah teori yang dijelaskan. 3. Mengakibatkan berkurangnya derajat kepercayaan. Oleh sebab itu, untuk mengatasi kelemahan-kelemahan ini perlu dicari standar praktis dengan menggunakan beberapa asumsi. 53 III. 3.1 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Ditetapkannya Otonomi Daerah telah membuat pemerintah daerah sibuk untuk mengurus daerahnya masing–masing dan melakukan pembangunan sesuai dengan potensi daerah yang dimilikinya masing–masing. Pemerintah pusat hanya sibuk untuk merancang perencanaan secara makro, sedangkan pemerintah daerah merancang pelaksanaan pencapaian target sesuai dengan kondisi wilayah. Melihat kondisi Indonesia yang sebagian areal tanahnya digunakan untuk pertanian membuat sektor pertanian menjadi prioritas utama di dalam masyarakat. Namun dalam kenyataannya sektor ini lama kelamaan mengalami penurunan akibat banyaknya tenaga kerja yang beralih dari sektor pertanian ke sektor non pertanian karena disebabkan oleh beberapa faktor antara lain sektor pertanian telah jenuh dalam menyerap tenaga kerja, tenaga kerja tertarik oleh terbukanya kesempatan kerja di sektor non pertanian dengan pendapatan yang lebih baik, di pedesaan sendiri memandang rendah pekerjaan sebagai buruh petani terutama pada golongan muda dan semakin tandusnya kesuburan tanah. Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor dimana banyaknya tenaga kerja yang beralih dari sektor pertanian. Sektor perdagangan merupakan salah satu sumber pendapatan sebagian masyarakat khususnya Kabupaten Bogor. Sektor perdagangan selain dapat meningkatkan pendapatan daerah juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah melalui kontribusinya terhadap PDRB daerah tersebut. Supaya pembangunan perekonomian dapat dicapai secara 54 efektif dan efisien maka dapat dilakukan salah satunya dengan mengembangkan perdagangan yang dapat berpengaruh pada pendapatan daerah. Sektor perdagangan dibagi atas tiga sub sektor yaitu sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor perhotelan dan sub sektor rumah makan (restoran). Salah satu cara untuk mengetahui adanya hubungan atau tidak antara sektor perdagangan dengan pertumbuhan ekonomi melalui kontribusi sektor tersebut terhadap PDRB adalah dengan menggunakan analisis persamaan garis regresi. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mencari parameter–parameter estimasi yang paling baik untuk menjelaskan suatu fenomena dalam ekonomi dan bisnis. Analisis ini sangat cocok untuk mengetahui dan mencari ada tidaknya hubungan antara dua variabel atau lebih. Dalam hal ini untuk melihat hubungan antara sektor perdagangan dengan pertumbuhan ekonomi, dalam hal ini ditunjukkan oleh PDRB suatu wilayah. Apakah berpengaruh positif atau negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini juga dilihat dan dicari faktor– faktor lain yang mempengaruhi sektor perdagangan. Dalam penelitian ini ada empat faktor lain yang digunakan dan yang akan dihitung yaitu upah tanaga kerja di sektor perdagangan, jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan, inflasi Kabupaten Bogor dan investasi pada sektor perdagangan. Apakah upah tenaga kerja, jumlah tenaga kerja, inflasi dan investasi berhubungan positif atau negatif dengan pertumbuhan sektor perdagangan. Pengaruh jumlah tenaga kerja yang besar, tingkat upah tenaga kerja, inflasi serta investasi terhadap pertumbuhan sektor perdagangan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan sektor 55 perdagangan khususnya di dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi maka Kabupaten Bogor dapat berkembang. Dengan demikian, program pembangunan sektor perdagangan dalam usaha meningkatkan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Salah satu tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan pendapatan daerah. Pembangunan sektor perdagangan diharapkan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Hal ini dapat dilihat dari sumbangan sektor perdagangan terhadap PDRB wilayah dan perlunya campur tangan pemerintah daerah melalui berbagai kebijakan daerah. Dengan kebijakan yang sesuai dengan arah pembangunan diharapkan daerah tersebut mampu berkembang dengan baik. 3.2 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran serta permasalahan yang ingin dipecahkan maka dirumuskan beberapa hipotesis di bawah ini antara lain : 1. Sub Sektor pada sektor perdagangan mempunyai hubungan yang positif dengan pertumbuhan ekonomi (PDRB) Kabupaten Bogor. 2. Jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan dan investasi pada sektor perdagangan berpengaruh secara positif dengan pertumbuhan sektor perdagangan. 3. Inflasi Kabupaten Bogor dan tingkat upah tenaga kerja di sektor perdagangan mempunyai hubungan yang negatif dengan pertumbuhan sektor perdagangan. 56 Kondisi Wilayah Kabupaten Bogor Sebelum Otonomi Daerah Pada Masa Otonomi Daerah Sektor – Sektor Perekonomian Kabupaten Bogor Inflasi Investasi Sektor Perdagangan : - Sub Sektor Perdagangan Besar dan Eceran - Sub Sektor Perhotelan - Sub Sektor Rumah Makan Jumlah Tenaga Kerja Upah Tenaga Kerja Analisis Regresi Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Keterangan : : Alat analisis yang digunakan : Hal-hal yang akan dianalisis Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Analisis Pengaruh Sektor Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Sektor Perdagangan Di Kabupaten Bogor 57 IV. 4.1 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan dari bulan pebruari sampai bulan juni 2006. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain : a. Tersedianya data PDRB dan data pendukung lainnya yang relatif lengkap. b. Pendapatan yang dihasilkan sektor perdagangan di Kabupaten Bogor dari tahun ke tahun mengalami peningkatan sehingga perlu diteliti untuk melihat faktor–faktor penyebab berkembangnya sektor tersebut. c. Sektor perdagangan merupakan penyumbang kedua terbesar terhadap PDRB Kabupaten Bogor. d. Aspek finansial berupa biaya untuk pencarian data dan pengolahannya yang relatif tidak mahal. 4.2 Jenis dan Sumber Data Pada penelitian ini, data yang digunakan adalah data time series dari tahun 1990 sampai tahun 2004. Data yang digunakan adalah data sekunder tentang PDRB Kabupaten Bogor, nilai tambah perhotelan, perdagangan besar dan eceran dan rumah makan/restoran dari tahun 1990 sampai tahun 2004, jumlah tenaga kerja pada sektor perdagangan tahun 1990-2004, upah tenaga kerja pada sektor perdagangan tahun 1990-2004, inflasi Kabupaten Bogor tahun 1990-2004, dan investasi pada sektor perdagangan di Kabupaten Bogor tahun 1990–2004 yang 58 diperoleh dari beberapa sumber antara lain dari BPS Kabupaten Bogor, Bapedda Kabupaten Bogor, Pemda Kabupaten Bogor, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, BPS Pusat serta instansi terkait lainnya dalam pencarian dan pelengkapan data yang dibutuhkan. 4.3 Model Ekonometrika Penelitian ini menggunakan dua persamaan struktural yang akan diestimasi. Kedua persamaan tersebut adalah sebagai berikut : Model struktural pertumbuhan PDRB dapat dirumuskan : Yi = α0 + α1LPBE + α2LHOT + α3LRM + α4Dummy + e1 i ..................... 1 Model struktural sektor perdagangan dapat dirumuskan : X1 = α5 + α6LINV + α7LUPAH + α8LTK + α9INF + α10Dummy + e2 i .... Keterangan : Yi = Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor (Rupiah), X1 = Pertumbuhan Sektor perdagangan (Rupiah), PBE = Nilai tambah perdagangan besar dan eceran (Rupiah), HOT = Nilai tambah perhotelan (Rupiah), RM = Nilai tambah rumah makan/restoran (Rupiah), UPAH = Upah tenaga kerja di sektor perdagangan (Rupiah), TK = Jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan, INV = Investasi pada sektor perdagangan (Rupiah), INF = Inflasi Kabupaten Bogor, αn = Parameter yang diduga ( n = 1, 2, 3, ...) , e = error (e1, e2, ...). 2 59 4.4 Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS) dengan 2 model struktural. Untuk memudahkan dalam pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini, maka data tersebut dimasukkan ke dalam Microsoft Excel dan diolah dengan menggunakan Eviews 4.1. 4.5 Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik Pengujian dapat dilakukan dengan kriteria ekonomi dan statistik. Pengujian kriteria ekonomi dilakukan untuk melihat besaran dan tanda parameter yang akan diestimasi, apakah sesuai dengan teori/keadaan atau tidak. Sedangkan uji kriteria statistik dilakukan dengan: uji koefisien Determinasi (R2), uji t (uji parsial), dan uji F (uji serempak). 4.5.1 Uji t (Uji Parsial) Uji t (uji parsial) dilakukan untuk melihat apakah masing–masing variabel bebas (independent variable) secara parsial berpengaruh pada veriabel terikatnya (dependent variable). Uji Dua Arah H0 : b1 = b2 = ... = bi = 0 H1 : minimal ada salah satu bi ≠ 0 Tolak H0 bila thitung > tα/2 artinya variabel signifikan berpengaruh nyata pada taraf nyata α. 60 Uji Satu Arah H0 : b1 = b2 = ... = bi = 0 H1 : bi > 0 atau bi < 0 Tolak H0 bila thitung > tα artinya variabel signifikan berpengaruh nyata positif atau negatif pada taraf α. 4.5.2 Uji F (Uji Serempak) Uji F ini dilakukan untuk melihat apakah variabel–variabel bebas (independent variable) secara serentak berpengaruh nyata pada variabel terikatnya (dependent variable). Apabila uji F diterima (lebih kecil dari taraf nyata α) hal ini menandakan bahwa ada minimal satu variabel yang berpengaruh secara signifikan atau berpengaruh nyata pada keragaman variabel terikatnya pada taraf nyata α. H0 : b1 = b2 = ... = bi = 0 H1 : bi ≠ 0 Tolak H0 jika Fhitung > Fα(k, n-k-1) k : Banyaknya variabel bebas 4.5.3 Uji Koefisien Determinasi (R2) Uji koefisien determinasi digunakan untuk melihat sejauh mana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel terikatnya. Nilai R2 mengukur tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam memprediksi nilai variabel terikatnya. Ada dua sifat R2 yaitu 61 1. Merupakan besaran non negatif 2. batasnya adalah antara 0 dan 1. jika R2 bernilai 1 berarti suatu kecocokan sempurna, sedangkan jika R2 bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebasnya. 4.6 Uji Ekonometrika 4.6.1 Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas terjadi bila adanya pelanggaran pada asumsi regresi. Hal tersebut ditandai dengan variannya tidak tetap. Pelanggaran ini akan menyebabkan parameter yang diduga menjadi tidak efisien. Gujarati (1997) mengatakan : “.Untuk mendekteksi ada tidaknya pelanggaran ini dengan menggunakan White Heteroscedasticity Test.” Nilai probabilitas Obs*R-squared dijadikan sebagai acuan untuk menolak atau menerima H0 : homoskedastisitas. Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata α, maka tolak H0 Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata α, maka terima H0 Apabila H0 ditolak maka akan terjadi gejala heteroskedastisitas, begitu juga sebaliknya apabila terima H0 maka tidak akan terjadi gejala heteroskedastisitas. 4.6.2 Autokorelasi Gujarati (1997) mengatakan : “ Dalam model regresi akan terjadi autokorelasi apabila terjadi bentuk fungsi yang tidak tepat, peubah penting dihilangkan dari model, terjadi 62 interpolasi data. Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi first degree dapat digunakan nilai Durbin–Watson (DW) dari hasil regresi.” Namun untuk melihat autokorelasi pada tingkat yang lebih tinggi digunakan Breusch – Godfrey Lagrange Miltiplier Test (LM). Apabila adanya hubungan korelasi antara error maka akan menyebabkan parameter yang diduga menjadi tidak efisien. Probabilitas Obs*R-squared dijadikan untuk menolak atau menerima H0 : no autokorelasi. Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata α, maka tolak H0 Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata α, maka terima H0 Apabila H0 ditolak maka tidak terjadi autokorelasi begitu juga bila H0 diterima maka terjadi autokorelasi. 4.6.3 Multikolinearitas Multikolinieritas terjadi apabila pada regresi berganda tidak terjadi hubungan antar variabel bebas atau terjadi karena adanya korelasi yang nyata antar peubah bebas. Pelanggaran asumsi ini akan menyebabkan kesulitan untuk menduga yang diinginkan. Gujarati (1997) mengatakan : “Untuk mendeteksi ada tidaknya multikoloniearitas adalah dengan memperhatikan hasil probabilitas t statistik hasil regresi.” Jika banyak koefisien parameter yang diduga menunjukkan hasil yang tidak signifikan maka hal ini mengindikasikan adanya multikoloniearitas. 63 Salah satu cara yang paling mudah untuk mengatasi pelanggaran ini adalah dengan menghilangkan salah satu variabel yang tidak signifikan tersebut. Hal ini sering tidak dilakukan karena dapat menyebabkan bias parameter yang spesifikasi pada model. Kemudian cara lain adalah dengan mencari variabel instrumental yang berkorelasi dengan variabel terikat namun tidak berkorelasi dengan variabel bebas lainnya. Namun hal ini agak sulit dilakukan mengingat tidak adanya informasi tentang tipe variabel tersebut. Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinier. Salah satunya menurut Gujarati (1997) yaitu : “Melalui correlation matric, dimana batas terjadinya korelasi antar sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari | 0.80 |.” Cara yang lainnya yaitu menurut Gujarati (1997) yaitu : “Melalui correlation matric dapat pula digunakan Uji Klein dalam mendeteksi multikolinieritas”. Apabila terdapat nilai korelasi yang lebih tinggi dari | 0.80 | , maka menurut Uji Klein multikolinearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut tidak melebihi Adjusted R-squared-nya. 4.7 Beberapa Kelemahan Metode Ordinary Least Square (OLS) Ketika menggunakan data runtut waktu (time series), seringkali muncul kesulitan-kesulitan yang sama sekali tidak dijumpai pada saat menggunakan data seksi silang (cross section). Sebagian besar kesulitan tersebut berkaitan dengan urutan pengamatan. Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan dari metode 64 ordinary least square (OLS) dengan menggunakan data time series (Sarwoko, 2005) antara lain : 1. Suatu kondisi dimana satu variabel time series berubah secara konsisten dan terprediksi sebelum variabel lain ditentukan demikian. Jika suatu variabel mendahului variabel yang lain, tidak dapat dipastikan bahwa variabel pertama tersebut menyebabkan variabel lain berubah, namun hamper dapat dipastikan bahwa kebalikannya adalah bukan hal itu. 2. Variabel-variabel independen nampak lebih signifikan dari yang sebenarnya, yaitu apabila variabel-variabel itu memiliki trend menaik yang sama dengan variabel dependennya dalam kurun waktu periode sampel. 3. Terkadang variabel time series tidak stasioner. Maksudnya rata-rata dan variannya tidak konstan sepanjang waktu dan nilai kovarian antara dua periode waktu tergantung dari jarak atau lag antara kedua periode dari waktu sesungguhnya dimana kovarian itu dihitung dan bukan dari periode pada waktu itu. 4. Terkadang variabel time series tidak mempunyai kointegrasi yaitu dalam jangka waktu tertentu tidak terdapat keseimbangan. 5. Sulit untuk menentukan kapan sebuah variabel bebas masuk ke dalam persamaan regresi. Apakah variabel tersebut penting sebagaimana dijelaskan dalam teori atau sebaliknya teorinya kurang jelas, maka akan muncul dilema. 6. Sulit untuk menentukan model persamaan mana yang lebih baik. 7. Perlakuan terhadap error semua model persamaan adalah sama. 65 V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Wilayah Penelitian 5.1.1 Geografi dan Pemerintahan Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan ibukota Republik Indonesia dan secara geografis mempunyai luas sekitar 2.301,95 Km2 dan terletak antara 6.190–6.470 lintang selatan dan 10601’–1070103’ bujur timur. Wilayah ini berbatasan dengan : Sebelah Utara : Kota Depok Sebelah Barat : Kabupaten Lebak Sebelah Barat Daya : Kabupaten Tangerang Sebelah Timur : Kabupaten Purwakarta Sebelah Timur Laut : Kabupaten Bekasi Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi Sebelah Tenggara : Kabupaten Cianjur Pada tahun 2004 Kabupaten Bogor mempunyai 40 Kecamatan, 426 desa/kelurahan, 3.160 RW, 12.170 RT dan 862.919 rumah tangga. Dari jumlah tersebut mayoritas mempunyai ketinggian sekitar kurang dari 500 meter terhadap permukaan laut, yakni 232 desa, sedang di antara 500–700 meter ada 144 desa dan sisanya 49 desa sekitar lebih dari 500 meter dari permukaan laut. Hampir sebagian besar desa pada Kabupaten Bogor sudah terklasifikasi sebagai Desa Swakarya 66 yakni 235 desa, lainnya 191 desa merupakan Desa Swasembada dan tidak ada Desa Swadaya. Berdasarkan klasifikasi daerah tersebut, yang dilihat dari aspek potensi lapangan usaha, kepadatan penduduk dan sosial terdapat kategori desa perkotaan sebanyak 199 desa dan desa pedesaan sebanyak 227 desa. 5.1.2 Penduduk dan Ketenagakerjaan Salah satu aset pembangunan yang paling dominan dipunyai di banyak negara berkembang pada umumnya jumlah penduduk dan angkatan kerja yang demikian besar jumlahnya. Hasil registrasi penduduk akhir tahun 2004 tercatat bahwa penduduk Kabupaten Bogor yaitu 3.438.055 jiwa dan jumlah ini merupakan yang paling besar diantara kabupaten/kota di Jawa Barat. Dari jumlah tersebut penduduk laki–laki berjumlah 1.742.653 jiwa dan perempuan 1.695.402 jiwa dengan rasio jenis kelamin 103. Data berikut menyajikan jumlah penduduk yang bekerja pada masing–masing sektor di Kabupaten Bogor. 67 Tabel 4. Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Pada Lapangan Usaha di Kabupaten Bogor Tahun 2001–2004 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Listrik, Gas dan Air Minum Konstruksi Perdagangan Komunikasi Keuangan Jasa – Jasa Lainnya Jumlah 2001 377.410 19.102 Jumlah Pekerja Tahun 2002 2003 342.492 241.818 13.166 13.214 2004 261.880 9.726 252.670 1.420 286.949 3.538 275.618 8.367 290.410 5.354 70.268 259.634 88.568 23.934 190.992 0 1.283.992 79.828 307.608 120.180 24.769 172.134 849 1.251.513 63.659 346.414 100.914 24.458 188.994 3.040 1.266.496 84.238 320.228 117.776 12.252 188.182 0 1.290.046 Sumber : Survei Sosial Ekonomi 2001–2004 (Kabupaten Bogor Dalam Angka 2001– 2004) Berdasarkan Tabel 4 di atas sektor perdagangan dalam dua tahun terakhir yaitu tahun 2003 dan 2004 menjadi sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dibanding dengan sektor lain. Pada tahun 2001 dan 2002 sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini menandakan bahwa sektor perdagangan merupakan sektor terpenting dalam penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Bogor pada tahun–tahun yang akan datang. Besarnya jumlah penduduk yang akan membawa implikasi tertentu, utamanya terhadap persebaran dan densitasnya (kepadatan penduduk). Pada tahun 2004 kecamatan yang mempunyai kepadatan penduduk yang berkisar di atas 2.000 jiwa/km2 sebanyak 16 kecamatan yakni : Cibungbulang, Ciampea, Dramaga, Ciomas, Taman Sari, Ciawi, Cisarua, Megamendung, Sukaraja, Gunung Putri, Cibinong, Bojong Gede, Tajur Halang, Kemang, Parung, dan Ciseeng. 68 Salah satu upaya dalam mengurangi tingginya densitas penduduk dan tingkat persebaran telah dilakukan pemerintah Kabupaten Bogor melalui program transmigrasi, baik itu transmigrasi umum, PIR, dan Non PIR. Tahun 2004 telah diberangkatkan kira–kira 63 Kepala Keluarga (kira–kira 201 jiwa). Dari segi struktur penduduk, Kabupaten Bogor mempunyai struktur penduduk umur muda, hal ini akan membawa akibat semakin besarnya jumlah angkatan kerja. Partisipasi angkatan kerja merupakan perbandingan antara Jumlah Angkatan Kerja dengan penduduk berumur 10 tahun lebih. Tahun 2004 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Bogor untuk laki–laki 75,2 persen, perempuan 27,15 persen dan secara total 51,68 persen. Jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 993,938 orang untuk laki–laki, 296.108 orang untuk perempuan dan 1.290.046 orang untuk total Kabupaten Bogor. Sedangkan jumlah pengangguran sebanyak 138.926 untuk laki–laki dan 96.100 orang untuk perempuan dari 235.026 untuk total Kabupaten Bogor. 5.1.3 Sosial Selama berlangsung kegiatan pembangunan telah ditekankan bahwa titik beratnya pada bidang ekonomi, walaupun pembangunan bidang sosial tetap berlangsung. Telah disadari bahwa peningkatan sumberdaya manusia menjadi sangat perlu guna peningkatan kualitas manusia menghadapi tantangan kehidupan di masa yang akan datang. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Bogor merupakan salah satu wujud nyata dalam bidang pendidikan. 69 Tahun 2004 SD Negeri sebanyak 1.558 sekolah, SD Swasta sebanyak 75 sekolah dengan jumlah guru sekitar 11.388 orang. SMTP Negeri sebanyak 60 sekolah dan SMTP Swasta 356 sekolah dengan jumlah guru sebanyak 6.845 orang. SMTA Negeri sebanyak 27 sekolah dan SMTA Swasta sebanyak 223 sekolah dengan jumlah guru sebanyak 4.887 orang. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat diupayakan dengan tersedianya fasilitas kesehatan yang terjangkau jarak dan biaya bagi kebanyakan penduduk. Pada tahun 2004 di Kabupaten Bogor telah tersedia 3 rumah sakit pemerintah, 1 rumah sakit khusus, dan 4 rumah sakit swasta. Sedangkan jumlah puskesmas sebanyak 101 puskesmas, 63 puskesmas pembantu dan 23 puskesmas keliling. Jumlah dokter sebanyak 548 dokter umum, 130 dokter gigi dan 92 dokter spesialis. Usaha membina kesejahteraan keluarga melalui perencanaan kelahiran merupakan upaya dari program keluarga berencana (KB). Pencapainya telah dibentuk klinik–klinik KB untuk pelayanan masyarakat. Banyaknya klinik KB tahun 2003 sebanyak 183 klinik. Pencapaian target akseptor KB baru tahun 2004 di Kabupaten Bogor mencapai 95,48 persen untuk non MJP dan 4,52 persen untuk MJP (IUD, MOP, MOW, dan IMPL). Sedangkan tingkat prevalensi (perbandingan antara PA dan PUS) rata–rata sekitar 71,41 persen. Penyediaan tempat ibadah bagi kalangan umat beragama merupakan salah satu media komunikasi antara hamba-Nya dengan Sang Pencipta, dalam meningkatkan derajat keimanan seseorang. Tahun 2004 terdapat sebanyak 2.762 mesjid, 817 mushola, 29 gereja, dan 15 vihara/pura. 70 Tahun 2004 di Kabupaten Bogor terdapat jumlah penduduk yang beragama Islam sebanyak 3.201.606, Kristen Khatolik sebanyak 30.228, Kristen Protestan 21.576, Hindu 12.427, dan Budha 21.322 orang. 5.1.4 Perdagangan Perusahaan/usaha perdagangan adalah perusahaan/usaha yang dilakukan penjualan kembali (tanpa perubahan teknis), barang-barang baru maupun bekas meliputi perdagangan besar dan perdagangan eceran. Perdagangan terdiri dari perdagangan besar dan perdagangan eceran. 5.1.4.1 Perdagangan Besar Perdagangan besar adalah perdagangan barang baru maupun bekas dalam partai besar kepada pedagang eceran, perusahan industri, kantor, rumah sakit, rumah makan, dan akomodasi. Perdagangan besar tidak menjual barang dagangan kepada konsumen rumahtangga. Kegiatan perdagangan besar meliputi (BPS Kabupaten Bogor, 2004) : - Perdagangan besar (eksportir) adalah perusahan/usaha yang melakukan kegiatan penjualan barang/jasa dari dalam ke luar wilayah Indonesia. - Perdagangan besar (importer) adalah perusahaan/usaha yang melakukan kegiatan penjualan barang/jasa dari luar ke dalam wilayah Indonesia. - Distributor/penyalur adalah perusahaan/usaha yang berdiri sendiri yang menjual barang perusahaan lain dan pada umunya mempunyai daerah kerja. Termasuk juga distributor/penyalur tunggal. Meliputi : hasil pertanian, 71 pertambangan dan penggalian, dan barang-barang hasil industri olahan. Contoh : distributor hasil bumi. - Perdagangan besar berdasarkan balas jasa (service fee) atau kontrak (contract fee) adalah usaha yang dilakukan atas perusahaan/usaha lain atas dasar kontrak/fee. Perdagangan besar berdasarkan balas jasa atau kontrak meliputi : - Agen adalah perusahaan/usaha perantara yang berdiri sendiri, bertindak (membuat perjanjian-perjanjian) atas nama perusahaan yang memberikan keagenan (principal) dan biasanya diangkat dengan perjanjian dan tidak boleh mengadakan kegiatan yang sifatnya menyaingi principal. Termasuk dalam hal ini agen tunggal dan wakil perusahaan. Contoh : agen sepatu bata. - Makelar adalah pedagang perantara yang berusaha melakukan transaksi atas nama satu atau lebih perusahaan/usaha lain yang dengannya tidak ada hubungan tetap. Dan mendapat balas jasa yang disebut kurtase dari transaksi yang berhasil dilaksanakan. Contoh : makelar motor atau mobil. - Komisioner/Pedagang Komisi adalah perusahaan/usaha (pihak pertama) yang melakukan transaksi atau persetujuan dengan pihak ketiga atas nama perusahaan/usaha sendiri tetapi atas nama amanat perusahaan/usaha lain (pihak kedua) dan mendapat balas jasa yang disebut komisi. Komisioner bertanggungjawab kepada pihak kedua dan ketiga. 5.1.4.2 Perdagangan Eceran Perdagangan eceran adalah usaha perdagangan yang melakukan penjualan kembali (tanpa perubahan teknis) barang-barang baru maupun bekas dalam partai 72 kecil. Umumnya kepada konsumen rumahtangga. Usaha perdagangan eceran meliputi : - Perdagangan eceran barang-barang baru yang utamanya makanan, minuman atau tembakau di dalam bangunan seperti waserba, toko kelontong dan sejenisnya. - Perdagangan eceran barang-barang baru yang utamanya bukan makanan/minuman atau tembakau di bangunan. - Perdagangan eceran komoditi makanan, minuman atau tembakau yang sejenis di dalam bangunan seperti perdagangan eceran hasil pertanian, hasil industri. - Perdagangan eceran komoditi baru bukan makanan, minuman atau tembakau yang sejenis di dalam bangunan. - Perdagangan eceran barang bekas di dalam bangunan. - Perdagangan eceran di luar bangunan. 5.1.4.3 Restoran/Rumah Makan Ada beberapa jenis restoran/rumah makan antara lain : - Restoran/rumah makan/warung makan adalah jenis usaha jasa pangan yang bertempat di sebagian atau seluruh bangunan tetap (tidak berpindah-pindah), yang menyajikan dan menjual makanan dan minuman di tempat usahanya baik dilengkapi maupun tidak dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan maupun penyimpanan dan belum mendapatkan ijin dan surat keputusan dari instansi yang membinanya. 73 - Kedai makanan dan minuman adalah usaha perdagangan eceran yang menjual bermacam-macam makanan kecil dan minuman yang siap dikonsumsi di tempat tetap. - Penjualan makanan dan minuman keliling/tempat tidak tetap adalah usaha perdagangan eceran yang menjual bermacam-macam makanan dan minuman siap dikonsumsi yang biasanya dijual melalui kios yang mudah dipindahpindahkan atau didorong sepanjang jalan, seperti pedagang bakso keliling. - Jasa boga (Catering) adalah usaha penjualan makanan jadi (siap dikonsumsi) yang terselenggara melalui pesanan-pesanan untuk kantor, perayaan, pesta, seminar, rapat dan sejenisnya. Biasanya makanan jadi yang dipesan diantar ke tempat kerja, pesta, seminar/rapat dan sejenisnya berikut pramusaji yang akan melayani tamu-tamu atau peserta seminar atau rapat pada saat pesta/seminar berlangsung. Termasuk dalam kelompok ini jasa boga yang melayani pesawat angkutan udara, tempat pengeboran minyak dan lokasi penggergajian kayu. 5.1.4.4 Perhotelan - Penginapan remaja (Youth Hotel) adalah usaha penyediaan jasa penginapan yang biasanya digunakan bagi remaja sebagai akomodasi dalam rangka kegiatan pariwisata dengan tujuan untuk rekreasi, memperluas pengetahuan/pengalaman dan perjalanan. - Pondok wisata (Homestay) adalah usaha penyediaan jasa pelayanan penginapan bagi umum dengan pembayaran harian, yang dilakukan perseorangan dengan menggunakan sebagian atau seluruhnya dari tempat tinggalnya. 74 - Jasa akomodasi lainnya adalah usaha penyediaan jasa pelayanan penginapan yang belum termasuk dalam kelompok di atas. 5.2 Perekonomian Kabupaten Bogor 5.2.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor disajikan dalam bentuk PDRB. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menunjukkan bahwa PDRB Kabupaten Bogor mempunyai PDRB yang besar. Laju pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa adanya perubahan pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan ekonomi dari sektor perdagangan sebelum Otonomi Daerah menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun. Namun pada tahun 1997 ketika terjadi krisis moneter menyebabkan semua sektor–sektor pertanian mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif termasuk juga sektor perdagangan. Kemudian setelah terjadi Otonomi Daerah yang dimulai tahun 2001 berangsur–angsur pertumbuhan ekonomi mulai membaik. Setiap daerah diberikan kekuasaan untuk mengatur daerahnya masing–masing sesuai dengan potensi daerah yang ada di daerah tersebut. Pada tahun 2004 yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang paling besar adalah sektor pertambangan dan penggalian (13,26 persen) dan paling kecil adalah sektor pertanian (0,42 persen). 75 Tabel 5. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor tahun 1990–2004 Tahun Pertanian Pertambangan dan Industri Listrik, Gas dan Penggalian Pengolahan Air Minum Bangunan Perdagangan Pengangkutan dan Keuangan Jasa - Jasa Komunikasi 1990 7,44 6,78 15,60 10,86 6,63 7,80 2,08 2,55 7,69 1991 4,13 5,60 12,82 22,67 8,24 8,91 10,64 -0,65 5,05 1992 8,90 6,57 7,16 14,51 8,47 9,13 5,51 4,24 5,84 1993 - - - - - - - - - 1994 2,81 -7,04 17,02 10,10 9,53 11,50 6,91 8,39 4,10 1995 2,43 -7,84 14,69 7,91 7,35 9,32 4,94 6,23 3,72 1996 7,42 6,41 13,97 5,58 8,28 10,87 14,96 19,12 7,97 1997 -12,75 2,95 7,78 10,97 4,29 3,20 6,89 10,48 4,60 1998 -21,91 -20,33 -13,93 9,15 -46,65 -21,01 -18,83 -28,67 -2,08 1999 4,69 -5,14 1,38 4,37 -2,41 1,31 0,94 5,19 0,65 2000 - - - - - - - - - 2001 2,86 0,09 4,15 4,12 4,46 3,49 5,10 3,86 5,04 2002 0,02 1,61 4,98 4,86 5,22 4,38 5,62 5,22 5,01 2003 1,88 8,22 5,36 5,11 5,81 5,00 6,46 5,68 5,49 2004 0,42 13,26 6,28 5,92 6,68 5,83 7,34 6,08 6,34 Sumber : BPS Kabupaten Bogor Tahun 1990 – 2004 76 5.2.2 Struktur Ekonomi Pada Tabel 6 di bawah ini, terlihat jelas bahwa pada masa sebelum Otonomi Daerah, sektor perdagangan merupakan sektor kedua yang paling besar sumbangannya setelah sektor industri pengolahan terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Dan pada masa Otonomi Daerah juga sektor perdagangan merupakan sektor kedua terbesar penyumbang terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Dari sini terlihat jelas bahwa sektor perdagangan juga mempunyai peranan yang cukup penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor. Oleh sebab itu, struktur perekonomian Kabupaten Bogor dari tahun 1990 sampai tahun 2004 didominasi oleh sektor industri pengolahan. Kemudian sektor perdagangan dan seterusnya. Pada tahun 2004 struktur ekonomi Kabupaten Bogor didominasi oleh sektor industri pengolahan (61,02 persen), kemudian sektor perdagangan (15,42 persen). Dan yang paling kecil adalah sektor penggalian. pertambangan dan 77 Tabel 6. Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bogor Tahun 1990-2004 Tahun Pertanian Pertambangan dan Industri Listrik, Gas dan Penggalian Pengolahan Air Minum Bangunan Perdagangan Pengangkutan dan Keuangan Jasa - Jasa Komunikasi 1990 16,23 0,72 29,45 2,31 9,93 24,09 5,61 0,18 5,45 1991 15,49 0,69 30,46 2,60 9,85 24,05 5,69 0,16 5,25 1992 15,63 0,69 30,23 2,76 9,90 24,31 5,56 0,15 5,14 1993 12,42 8,43 38,40 2,89 8,09 14,96 4,17 3,43 7,21 1994 11,62 7,13 40,87 2,90 8,06 15,17 4,05 3,38 6,82 1995 10,95 6,05 43,15 2,88 7,97 15,27 3,92 3,31 6,51 1996 13,14 1,27 48,77 2,89 8,04 12,53 3,88 3,46 6,02 1997 11,01 1,25 50,48 3,08 8,05 12,42 3,98 3,67 6,05 1998 10,44 1,21 52,80 4,09 5,22 11,92 3,93 3,18 7,20 1999 10,76 1,13 52,67 4,20 5,01 11,89 3,90 3,29 7,13 2000 7,74 1,75 59,85 3,78 3,22 15,43 2,67 1,76 3,80 2001 7,66 1,69 59,97 3,79 3,23 15,36 2,70 1,76 3,83 2002 7,33 1,59 60,29 3,80 3,26 15,36 2,73 1,77 3,86 2003 6,86 1,64 60,58 3,81 3,29 15,38 2,77 179 3,88 2004 6,53 1,35 61,02 3,83 3,32 15,42 2,82 1,80 3,91 Sumber : BPS Kabupaten Bogor Tahun 1990 – 2004 78 VI. 6.1 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Estimasi Variabel Dependen LPDRB Dalam mengestimasi model yang dipakai, penelitian ini menggunakan Metode Kuadrat Terkecil Biasa (Ordinary Least Square). Perangkat komputer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data yang dimasukkan dalam Microsoft excel dan diolah menggunakan Eviews 4.1. Hasil estimasi model ditunjukkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 7. Hasil Estimasi Variabel Dependen LPDRB Variabel C LPBE LHOT LRM DUMMY R-squared Adjusted R-squared Durbin-Watson stat Koefisien Standard Error 1.938795 1.669715 0.419297 0.058699 0.255663 0.057355 0.436111 0.121230 -0.014169 0.055537 t-hitung Probabilitas 1.161153 0.2725 7.143144 0.0000 4.457531 0.0012 3.597390 0.0049 -0.255134 0.8038 0.978143 F-statistik 0.969400 Prob(F-statistik) 1.665345 Prob. Obs*R-squared (LM test) Prob. Obs*R-squared (White Heteroscedasticity) 111.8776 0.000000 0.092920 0.163792 Keterangan : Taraf Nyata α = 0,05 (5%) 6.2 Uji Statistik dan Uji Ekonometrika Berdasarkan Tabel 7 di atas, maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : LPDRBt = 1.938794951 + 0.4192974901 LPBEt + 0.255662837 LHOTt + 0.4361105637 LRMt - 0.01416943909 DUMMY 79 Estimasi parameter regresi dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS) haruslah memenuhi lima asumsi dasar yang disebutkan dalam bab dua oleh Firdaus (2004). Untuk melihat apakah kelima asumsi dasar tersebut terpenuhi, perlu dilakukan pengujian setelah perhitungan dan uji hipotesis dilakukan. Pengujian asumsi dasar tersebut meliputi uji multikolinearitas, uji autokorelasi dan uji heteroskedastisitas. Pengujian ini dimaksudkan untuk mendeteksi ada tidaknya pelanggaran terhadap asumsi dasar tersebut. Bila terjadi pelanggaran, maka akan diperoleh hasil yang tidak valid. Berdasarkan hasil pendugaan parameter pada Tabel 7, persamaan tingkat PDRB tersebut memiliki daya penjelas (Adjusted R-squared) sebesar 0.969400. Artinya yaitu variasi variabel dependen dari persamaan tingkat PDRB tersebut dapat dijelaskan secara linier oleh variabel independen di dalam persamaan sebesar 96,94 persen, dan sisanya 3,06 persen dijelaskan oleh faktor–faktor lain di luar persamaan. Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,0000, maka persamaan ini lulus uji-F. Nilai ini menandakan bahwa minimal ada satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel dependennya (PDRB) pada taraf nyata lima persen. Berdasarkan nilai statistik uji-t menunjukkan bahwa ada tiga variabel yang berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan lima persen dan satu variabel yang tidak berpengaruh secara nyata pada tingkat kepercayaan lima persen. Variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor perhotelan dan sub sektor rumah makan (restoran). Variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan yaitu variabel dummy Otonomi Daerah. 80 Selanjutnya uji kriteria ekonometrika berdasarkan hasil temuan empiris dapat ditunjukkan bahwa pada uji heteroskedastisitas persamaan PDRB ini memiliki nilai probabilitas Obs*R-squared sebesar 0,163792. Persamaan ini tidak akan mengalami heteroskedastisitas jika nilai probabilitas Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata. Pada persamaan ini taraf nyata yang digunakan adalah lima persen. Jadi dapat disimpulkan bahwa probabilitas Obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata sehingga persamaan ini tidak mengalami heteroskedastisitas pada taraf nyata lima persen. Pada uji autokorelasi, persamaan PDRB ini memiliki probabilitas Obs*Rsquared (LM Test) dengan nilai sebesar 0.0929. Sementara taraf nyata yang digunakan dalam persamaan ini adalah sebesar lima persen. Apabila nilai probabilitas Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata lima persen, maka persamaan tersebut tidak mengalami autokorelasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa persamaan tersebut tidak mengalami autokorelasi karena nilai probabilitas Obs*Rsquared-nya lebih besar dari taraf nyata lima persen. Sementara itu pada uji multikolinearitas, persamaan ini menggunakan Uji Klein dan tidak menunjukkan adanya gejala multikolinearitas. Hal ini dapat dilihat pada correlation matric (Lampiran 3). Sekalipun pada correlation matric tersebut masih terdapat nilai korelasi yang lebih besar dari | 0.80 | , yaitu antara tingkat PDRB dan sub sektor perhotelan sebesar 0,916060 (Lampiran 3), namun karena pada uji multikolinearitas ini menggunakan Uji Klein sehingga multikolinearitas masih bisa diabaikan apabila nilai korelasi–korelasi antar variabel tersebut tidak 81 melebihi Adjusted R-squared-nya. Pada analisis ini menunjukkan bahwa nilai Adjusted R-squared-nya diperoleh sebesar 0,9694, sedangkan korelasi terbesar yang terjadi antar variabel adalah 0,,916060, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan ini tidak mengalami gejala multikolinearitas. Dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa persamaan PDRB ini memenuhi lima asumsi dasar pada bab dua, yaitu tidak mengalami gangguan ekonometrika, baik itu heteroskedastisitas, autokorelasi dan multikolinearitas. 6.3 Analisis Hubungan antara Sub Sektor Perdagangan dengan PDRB 6.3.1 Sub Sektor Perdagangan Besar dan Eceran (LPBE) Perdagangan besar adalah perdagangan barang baru maupun bekas pada umumnya dalam partai besar kepada pedagang eceran, perusahan industri, kantor, rumah sakit, rumah makan, dan akomodasi. Perdagangan besar tidak menjual barang dagangan kepada konsumen rumahtangga. Perdagangan eceran adalah usaha perdagangan yang melakukan penjualan kembali (tanpa perubahan teknis) barang-barang baru maupun bekas dalam partai kecil. Umumnya kepada konsumen rumahtangga. Di dalam sektor perdagangan, perdagangan besar dan perdagangan eceran digabung menjadi satu sub sektor yaitu sub sektor perdagangan besar dan eceran. Sub sektor perdagangan besar dan eceran ini dihitung secara keseluruhan (makro) per tahun dari tahun 1990 sampai tahun 2004 dengan melihat seberapa besar nilai tambah yang dihasilkan sub sektor perdagangan besar dan eceran 82 terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Sub sektor ini tidak melihat per unit kegiatan yang dilaksanakan dan dihasilkan tetapi sub sektor ini hanya menghitung secara makro saja. Secara teori sub sektor perdagangan besar dan eceran ini berpengaruh positf terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Pada Tabel 7, koefisien parameter pada variabel sub sektor perdagangan besar dan eceran (LPBE) sebesar 0,419297, artinya kenaikan satu persen pada pendapatan (nilai tambah) sub sektor perdagangan besar dan eceran menyebabkan peningkatan sebesar 0,419297 persen terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Sebaliknya, penurunan sebesar satu persen dari pendapatan sub sektor ini akan menyebabkan menurunnya PDRB Kabupaten Bogor sebesar 0,419297 persen. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pertumbuhan pada sub sektor perdagangan besar dan eceran ini mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan PDRB Kabuapten Bogor, maka apabila pemerintah memperhatikan sub sektor ini dengan berbagai kebijakan maka sub sektor ini akan dapat berkembang dan memberikan sumbangsih yang besar terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Asumsi ceteris paribus. Pada Tabel 7, terlihat bahwa probabilitas variabel sub sektor perdagangan besar dan eceran (LPBE) sebesar 0,0000. Hal ini menandakan bahwa perdagangan besar dan eceran mempunyai pangaruh yang signifikan terhadap PDRB dengan tingkat taraf nyata lima persen. Berdasarkan hasil estimasi bahwa sub sektor perdagangan besar dan eceran berpengaruh nyata terhadap PDRB. 83 6.3.2 Sub Sektor Perhotelan (LHOT) Perhotelan adalah salah satu sub sektor dari sektor perdagangan. Perhotelan adalah suatu tempat untuk menginap atau tempat peristirahatan yang biasanya digunakan orang–orang untuk mencari ketenangan untuk tidur atau untuk mencari suasana baru atau juga untuk digunakan sebagai tempat menginap untuk sementara waktu dengan membayar sejumlah uang. Dalam hal ini perhotelan yang dimaksud adalah nilai tambah yang dihasilkan oleh perhotelan dari tahun 1990 sampai tahun 2004 baik itu hotel berbintang dan hotel tidak berbintang. Perhitungannya dilakukan secara makro serta estimasinya juga dilakukan secara makro. Hotel–hotel tersebut digabung ke dalam satu sub sektor yaitu sub sektor perhotelan. Yang dianalisis bukan seberapa banyak jumlah hotel yang ada di Kabupaten Bogor tetapi seberapa besar sumbangsih perhotelan terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Sebab jumlah hotel yang banyak tidak mencerminkan besarnya penerimaan terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Justru yang paling diperhitungkan adalah seberapa besar nilai tambah yang dihasilkan oleh aktivitas perhotelan tersebut. Menurut hipotesis pada bab tiga dikatakan bahwa sub sektor perhotelan ini mempunyai pengaruh yang positif terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Sehingga dapat dikatakan bahwa secara makro peningkatan PDRB tersebut sebagian dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan sub sektor perhotelan. Kemudian pada Tabel 7, terlihat bahwa koefisien parameter pada variabel sub sektor perhotelan sebesar 0,2556. artinya bahwa kenaikan sebesar satu persen nilai tambah sub sektor perhotelan menyebabkan kenaikan rata–rata per tahun 84 PDRB Kabupaten Bogor sebesar 0,2556 persen. Begitu juga sebaliknya, penurunan satu persen nilai tambah sub sektor perhotelan menyebabkan penurunan sebesar 0,2556 persen PDRB Kabupaten Bogor. Asumsi ceteris paribus. Hasil estimasi menunjukkan bahwa probabilitas variabel sub sektor perhotelan sebesar 0,0012. Nilai ini lebih kecil dari taraf nyatanya sebesar lima persen sehingga sub sektor perhotelan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor. Hal ini sesuai dengan hipotesis pada bab tiga. Oleh sebab itu dapat pula dikatakan bahwa sub sektor perhotelan mempunyai hubungan yang positif atau searah dengan PDRB. Hal ini ditandai dengan bernilai positifnya koefisien parameter dari variabel sub sektor perhotelan tersebut terhadap PDRB. Nilai tambah sub sektor perhotelan meningkat maka PDRB juga akan meningkat dalam jumlah yang kecil, karena sebenarnya masih banyak faktor yang mempengaruhi meningkatnya PDRB. Karena dalam penelitian ini hanya membahas sub sektor perdagangan, maka secara umum nilai tambah sub sektor perhotelan dapat meningkatkan PDRB Kabupaten Bogor. 6.3.3 Sub Sektor Rumah Makan/Restoran (LRM) Rumah makan/restoran adalah suatu tempat yang digunakan oleh orang– orang untuk menikmati makanan dan minuman. Rumah makan/restoran adalah jenis usaha jasa pangan yang bertempat di sebagian atau seluruh bangunan tetap (tidak berpindah-pindah), yang menyajikan dan menjual makanan dan minuman di tempat usahanya baik dilengkapi maupun tidak dengan peralatan dan 85 perlengkapan untuk proses pembuatan maupun penyimpanan. Semua tempat yang menyajikan dan menjual makanan di tempat usahanya dihitung secara keseluruhan yang tergabung dalam rumah makan/restoran. Rumah makan/restoran dihitung dan diestimasi secara makro yaitu dengan melihat nilai tambah yang dihasilkan rumah makan/restoran dari tahun 1990 sampai tahun 2004 dengan data tahunan. Dalam hal ini rumah makan/restoran ingin diestimasi untuk melihat pengaruhnya terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Menurut hipotesis pada bab tiga, bahwa rumah makan/restoran mempunyai hubungan yang positif dengan PDRB. Apabila rumah makan/restoran mengalami peningkatan pendapatan maka PDRB juga akan mengalami peningkatan pendapatan. Pada Tabel 7, terlihat bahwa koefisien parameter dari variabel sub sektor rumah makan/restoran sebesar 0,436111. Artinya bahwa peningkatan satu persen pada pendapatan sub sektor rumah makan/restoran akan menyebabkan kenaikan sebesar 0,4361111 persen PDRB Kabupaten Bogor. Begitu juga sebaliknya, penurunan sebesar satu persen pada pendapatan sub sektor rumah makan/restoran akan menyebabkan penurunan sebesar 0,436111 persen PDRB Kabupaten Bogor. Asumsi ceteris paribus. Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai probabilitas dari variabel sub sektor rumah makan/restoran sebesar 0,0049 lebih kecil dari taraf nyata pada penelitian ini sebesar lima persen. Artinya bahwa sub sektor rumah makan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Maka hal ini sesuai dengan hipotesis pada bab tiga. Artinya sub sektor rumah 86 makan/restoran mempunyai hubungan yang positif dengan PDRB. Hal ini ditandai dengan bernilai positifnya koefisien parameter dari variabel sub sektor rumah makan/restoran tersebut. Oleh sebab itu sub sektor rumah makan/restoran mempunyai hubungan yang searah dengan PDRB. Peningkatan pada pendapatan dari sub sektor rumah makan/restoran akan menyebabkan peningkatan juga pada PDRB Kabupaten Bogor sehingga pertumbuhan ekonominya meningkat juga. 6.3.4 Variabel Dummy Otonomi Daerah Pada penelitian ini dummy yang digunakan adalah dummy Otonomi Daerah. Dummy Otonomi Daerah digunakan untuk melihat apakah pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor yang dipengaruhi oleh sub sektor perdagangan lebih baik pada masa Otonomi Daerah atau sebelum Otonomi Daerah. Apakah lebih efektif apabila diserahkan wewenangnya kepada daerah atau harus ada campur tangan yang besar dari pemerintah pusat. Menurut hipotesis bahwa pertumbuhan PDRB ysng dipengaruhi sub sektor perdagangan akan lebih baik pada masa Otonomi Daerah dibanding pada masa sebelum Otonomi Daerah. Hal ini bisa dikatakan karena biasanya daerah lebih mengerti apa yang menjadi kebutuhannya. Pada Tabel 7, terlihat bahwa koefisien parameter dari variabel dummy sebesar -0.014169. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang negatif dengan pertumbuhan PDRB. Artinya pertumbuhan PDRB tersebut lebih baik pada masa sebelum Otonomi Daerah dibanding pada masa Otonomi Daerah. Hal ini bertolak belakang dengan hipotesis yang mengatakan bahwa pertumbuhan PDRB akan lebih baik pada masa Otonomi Daerah. Nilai 87 PDRB sebelum Otonomi Daerah dan pada masa Otonomi Daerah berbeda sebesar 0.014169 persen. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa nilai probabilitas dari variabel dummy sebesar 0.8038. Nilai dari variabel dummy lebih besar dari taraf nyata sebesar lima persen. Hal ini menunjukkan bahwa Otonomi Daerah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor. Hal di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa Otonomi Daerah pengaruh dari sub sektor perdagangan tidak signifikan terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis. Pertumbuhan PDRB pada masa Otonomi Daerah yang kurang baik diduga disebabkan oleh beberapa faktor antara lain pemerintah daerah kurang mampu dalam mengolah sumberdaya yang tersedia, adanya pembuatan surat ijin usaha perdagangan (SIUP) yang sangat sulit, bahwa sebenarnya pemerintah daerah belum siap dalam rangka Otonomi Daerah karena sumberdaya manusia yang kurang kompeten dan berkualitas, pemerintah daerah mungkin masih sangat tergantung terhadap pemerintah pusat, dan lain sebagainya sehingga pada masa Otonomi Daerah pertumbuhan PDRB kurang baik. 6.3.5 Pembahasan Ekonomi Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 7, menunjukkan bahwa sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor perhotelan dan sub sektor rumah makan mempunyai hubungan yang positif dan secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor. Karena nilai probabilitasnya lebih kecil 88 dari taraf nyata sebesar 5 persen. Peningkatan pendapatan sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor perhotelan, dan sub sektor rumah makan/restoran akan meningkatkan PDRB Kabupaten Bogor. Begitu juga sebaliknya penurunan nilai tambah sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor perhotelan dan sub sektor rumah makan/restoran akan menurunkan PDRB Kabupaten Bogor. Hal ini sesuai dengan hipotesis pada bab tiga. Jadi secara umum sub sektor perdagangan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Namun pada masa Otonomi Daerah Pertumbuhan PDRB mengalami penurunan namun tidak berpengaruh secara signifikan. Hal ini diduga disebabkan oleh kurang mampunya pemerintah daerah dalam mengelola sub sektor perdagangan dengan baik dengan sumberdaya manusia yang tersedia, pemerintah daerah masih sangat tergantung dengan kebijakan–kebijakan dari pemerintah pusat dalam mengelola sub sektor perdagangan, sumberdaya manusia yang kurang berkualitas dan lain sebagainya. 6.4 Hasil Estimasi Variabel Dependen LPERD Model kedua yang akan dianalisis adalah bagaimana pengaruh dari beberapa faktor seperti investasi pada sektor perdagangan, jumlah tenaga kerja pada sektor perdagangan, upah tenaga kerja di sektor perdagangan serta inflasi Kabupaten Bogor terhadap pertumbuhan sektor perdagangan. Model ini akan dianalisis dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS). Untuk mengetahui beberapa faktor yang mempengaruhi sektor perdagangan (LPERD) di Kabupaten 89 Bogor dapat dilihat di bawah ini. Hasil estimasi model ditunjukkan pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8. Hasil Estimasi Variabel Dependen LPERD Variabel C LINV(-2) LUPAH LTK INF(-2) DUMMY R-squared Adjusted R-squared F-statistik Prob(F-statistik) 6.5 Koefisien Standard Error 21.46884 2.268188 0.107742 0.099901 -0.481006 0.134801 0.395226 0.226765 -0.022741 0.002719 1.084525 0.209000 t-hitung Probabilitas 9.465192 0.0000 1.078488 0.3166 -3.568265 0.0091 1.742889 0.1249 -8.364673 0.0001 5.189106 0.0013 0.973566 Durbin-Watson stat 0.954685 Prob. Obs*R-squared (LM Test) 51.56203 Prob. Obs*R-square (White Heteroscedasticity) 0.000023 1.706815 0.674056 0.360698 Uji Kriteria Statistik dan Uji Kriteria Ekonometrika Berdasarkan Tabel 8 di atas, maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : LPERDt = 21.46883843 + 0.1077421367 LINVt-2 - 0.4810057909 LUPAHt + 0.395225756 LTKt - 0.02274085149 INFt-2 + 1.084524989 DUMMY Berdasarkan hasil pendugaan parameter pada Tabel 8, persamaan sektor perdagangan memiliki daya penjelas (Adjusted R-squared) sebesar 0.954685, artinya variasi variabel tak bebas dari persamaan sektor perdagangan dapat dijelaskan secara linear oleh variabel bebas di dalam persamaan sebesar 95.46 persen. Sisanya sebesar 4.54 persen dijelaskan oleh faktor–faktor lain di luar persamaan. Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.000023 90 maka persamaan di atas melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa persamaan di atas telah mendukung keabsahan model, dan dapat juga dikatakan bahwa variabel–variabel penjelas dalam model persamaan secara bersama–sama berpengaruh nyata terhadap sektor perdagangan pada taraf nyata lima persen. Selanjutnya untuk melakukan pengujian terhadap masing–masing faktor (Uji-t) yang mempengaruhi pertumbuhan sektor perdagangan secara signifikan, perlu dilakukan uji signifikan terhadap masing–masing faktor. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat probabilitas masing–masing variabel tersebut. Nilai probabilitas kurang dari taraf nyata lima persen menandakan bahwa variabel tersebut berpengaruh secara signifikan. Nilai probabilitas lebih dari taraf nyata lima persen menandakan bahwa variabel tersebut tidak berpengaruh secara signifikan. Pada Tabel 8 terlihat bahwa upah tenaga kerja di sektor perdagangan, inflasi Kabupaten Bogor pada dua periode sebelumnya dan dummy Otonomi Daerah berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan. Sedangkan jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan dan investasi pada sektor perdagangan pada dua periode sebelumnya tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan. Selanjutnya uji kriteria ekonometrika dilakukan untuk melihat apakah model tersebut memenuhi kelima asumsi dasar yang disebutkan pada bab dua tersebut. Untuk melihat apakah kelima asumsi dasar tersebut terpenuhi maka dilakukan pengujian. Pengujian tersebut meliputi uji multikolinearitas, uji autikorelasi dan uji heteroskedastisitas. Pengujian itu dilakukan untuk melihat 91 apakah ada pelanggaran terhadap terhadap kelima asumsi dasar tersebut. Apabila ada pelanggaran maka akan diperoleh hasil yang tidak valid. Berdasarkan hasil temuan empiris dapat ditunjukkan bahwa pada uji heteroskedastisitas persamaan sektor perdagangan mempunyai nilai probabilitas Obs*R-squared sebesar 0.360698. Artinya apabila nilai probabilitas Obs*Rsquared lebih kecil dari taraf nyata yang pada penelitian ini yaitu sebesar lima persen, maka persamaan itu mengalami gejala heteroskedastisitas. Namun apabila nilai probabilitas Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata lima persen maka tidak akan mengalami gejala heteroskedastisitas. Dari hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa persamaan tersebut terbebas dari gejala heteroskedastisitas karena nilai Obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata lima persen. Selanjutnya kriteria ekonometrika dengan menggunakan uji autokorelasi (LM test). Persamaan dari sektor perdagangan ini memiliki nilai probabilitas Obs*R-squared sebesar 0.674056. Pada persamaan ini taraf nyata yang digunakan adalah lima persen. Jadi dapat disimpulkan bahwa persamaan ini tidak mengalami gejala autokorelasi. Hal ini disebabkan pada persamaan ini nilai taraf nyata yang digunakan kurang dari nilai probabilitas Obs*R-squared-nya. Pada uji multikolinearitas, persamaan ini tidak mengalami gejala multikolinearitas. Hal ini dapat dilihat pada correlation matic (Lampiran 4). Pada correlation matric tersebut nilai korelasi antar variabel yang tertinggi yaitu sebesar 0.743775. Nilai ini masih lebih kecil dari | 0.80 | . Artinya apabila nilai korelasi antar variabel tertinggi lebih kecil dari nilai | 0.80 | , maka persamaan 92 tersebut tidak mengalami gejala multikolinearitas. Oleh sebab itu persamaan tersebut tidak mengalami gejala multikolinearitas. Jadi dapat disimpulkan bahwa persamaan sektor perdagangan dalam penelitian ini tidak mengalami gangguan ekonometrika, baik itu heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas. 6.6 Pembahasan Ekonomi Dari hasil estimasi berdasarkan Tabel 8 di atas, diketahui bahwa variabel besarnya investasi di Kabupaten Bogor pada dua periode sebelumnya memiliki koefisien positif dan memiliki hubungan yang tidak signifikan terhadap sektor perdagangan pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien 0.107742. Hal ini menunjukkan bahwa jika investasi pada dua periode sebelumnya meningkat satu persen maka tingkat pertumbuhan sektor perdagangan akan meningkat pula sebesar 0.107742 persen. Sebaliknya, penurunan sebesar satu persen investasi pada dua periode sebelumnya menyebabkan akan menurunnya sektor perdagangan sebesar 0.107742 persen pula. Investasi maksudnya menunda untuk mengkonsumsi untuk memperoleh nilai yang lebih baik pada masa yang akan datang. Hal ini kurang sesuai dengan teori pertumbuhan Harrod–Domar yang mengatakan bahwa investasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan. Artinya investasi tidak berpengaruh secara signifikan dengan pertumbuhan sektor perdagangan. Hal ini disebabkan karena investasi pada sektor perdagangan yang ada di Kabupaten Bogor tidak dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan karena investasi sektor 93 perdagangan tidak memberikan nilai tambah yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan. Hal ini disebabkan juga karena investasi bukan merupakan salah satu faktor penting dalam mempengaruhi pertumbuhan sektor perdagangan. Ketika sektor perdagangan mengalami peningkatan pendapatan nilai tambah dari investasi kurang memberikan kontribusi yang besar. Asumsi Ceteris paribus. Investasi sangat dibutuhkan untuk meningkatkan nilai tambah atau penghasilan di masa yang akan datang sebab nilai dari suatu investasi tidak pernah mengalami penurunan melainkan selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Oleh karena itu untuk menjaga nilai dari investasi tersebut sangat penting karena investasi yang baik dapat menentukan suatu sektor itu dapat berkembang di masa yang akan datang. Peranan pemerintah Kabupaten Bogor juga sangat diperlukan untuk menjaga investasi sektor perdagangan supaya dapat berkembang dengan baik. Tingkat upah tenaga kerja di sektor perdagangan memiliki koefisien yang negatif dan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan sektor perdagangan dengan nilai koefisien sebesar -0.481006. Artinya peningkatan sebesar satu persen tingkat upah tenaga kerja maka pendapatan sektor perdagangan akan menurun sebesar 0.481006 persen. Sebaliknya penurunan tingkat upah tenaga kerja justru menaikkan pendapatan sektor perdagangan sebesar 0.481006 persen. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara tingkat upah tenaga kerja dengan pendapatan sektor perdagangan. Hal ini disebabkan pada saat tingkat upah tenaga kerja meningkat akan mengakibatkan 94 pendapatan yang dihasilkan oleh sektor perdagangan tersebut akan menurun karena membayar jumlah tenaga kerja yang konstan (tetap) yang terdapat di sektor perdagangan tersebut. Oleh sebab itu pendapatan yang dihasilkan sektor perdagangan menurun. Sebaliknya apabila tingkat upah tenaga kerja diturunkan menyebabkan pendapatan sektor perdagangan menjadi meningkat. Oleh sebab itu penurunan atau peningkatan upah tenaga kerja harus dijaga dan diatur oleh pemerintah Kabupaten Bogor sesuai dengan peningkatan atau penurunan pendapatan sektor perdagangan. Asumsi Ceteris paribus. Variabel jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan memiliki koefisien positif namun tidak berpengaruh signifikan dengan pendapatan sektor perdagangan dengan nilai koefisien sebesar 0.395226. Peningkatan sebesar satu persen terhadap jumlah tenaga kerja menyebabkan peningkatan sebesar 0.395226 persen terhadap pendapatan sektor perdagangan. Sebaliknya penurunan sebesar satu persen jumlah tenaga kerja menyebabkan penurunan sebesar 0.395226 persen pendapatan sektor perdagangan. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa peningkatan jumlah tenaga kerja akan meningkatkan pendapatan pada sektor perdagangan. Apabila jumlah tenaga kerja meningkat atau bertambah akan menyebabkan pendapatan sektor perdagangan meningkat karena dengan bertambahnya jumlah tenaga kerja akan menghasilkan pendapatan yang lebih banyak. Namun pada penelitian ini pengaruh jumlah tenaga kerja pada sektor perdagangan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan. Hal ini diduga disebabkan sektor perdagangan bukan merupakan sektor terbesar dan terbanyak dalam menyerap tenaga kerja dari tahun 1990 95 sampai tahun 2004, karena tenaga kerja yang terdapat di Kabupaten Bogor masih banyak tenaga kerja muda yang tidak punya keahlian, tenaga kerjanya mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Oleh sebab itu pemerintah Kabupaten Bogor diharapkan memperhatikan kualitas dari tenaga kerja supaya mereka mempunyai keahlian dan produktivitas yang tinggi. Memberikan dan menanamkan pendidikan yang tinggi. Asumsi Ceteris paribus. Variabel inflasi Kabupaten Bogor pada dua periode sebelumnya memiliki koefisien negatif dan berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan sektor perdagangan dengan nilai koefisien sebesar -0.022741. Jika inflasi pada dua periode sebelumnya meningkat sebesar satu persen maka tingkat pendapatan sektor perdagangan akan turun sebesar 0.022741 persen. Sebaliknya jika inflasi pada dua periode sebelumnya menurun sebesar satu persen maka pendapatan sektor perdagangan akan meningkat sebesar 0.022741 persen. Terdapat hubungan yang negatif antara sektor perdagangan dengan inflasi, maka hasil estimasi ini telah sesuai dengan tinjauan pustaka yang ada (BPS Kabupaten Bogor, 2004). Ketika tingkat inflasi meningkat akan menyebabkan harga–harga khususnya harga–harga pada sektor perdagangan meningkat. Dengan meningkatnya harga tersebut menyebabkan biaya produksinya akan meningkat yang pada akhirnya pendapatan yang dihasilkan sektor perdagangan menjadi berkurang. Asumsi Ceteris paribus. Variabel dummy yang merupakan dummy Otonomi Daerah memiliki koefisien positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan sektor perdagangan dengan nilai koefisien sebesar 1.084525, sehingga dapat disimpulkan 96 bahwa nilai sektor perdagangan antara sebelum Otonomi Daerah dan pada masa Otonomi Daerah berbeda sebesar 1.084525 persen. Hal ini sesuai dengan teori pada bab II. Artinya bahwa pertumbuhan sektor perdagangan lebih baik pada masa Otonomi Daerah dibandingkan pada masa sebelum Otonomi Daerah. Dengan adanya Otonomi Daerah pendapatan Sektor perdagangan akan meningkat sebesar 1.084525 persen dibanding pada masa sebelum Otonomi Daerah. 97 VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh sektor perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi serta beberapa faktor yang mempengaruhi sektor perdagangan sebelum Otonomi Daerah dan pada masa Otonomi Daerah, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Tingkat PDRB Kabupaten Bogor sebelum Otonomi Daerah lebih baik daripada pada masa Otonomi Daerah. 2. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa pengaruh sub sektor perdagangan seperti perdagangan besar dan eceran, rumah makan (restoran), dan perhotelan mempunyai pengaruh yang signifikan dan berpengaruh besar terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Hal ini disebabkan karena nilai probabilitas dari masing–masing sub sektor perdagangan mempunyai nilai yang lebih kecil dari taraf nyata lima persen. 3. Berdasarkan analisis bahwa sektor perdagangan dipengaruhi secara signifikan oleh tingkat upah tenaga kerja di Kabupaten Bogor dan tingkat inflasi tetapi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah tenaga kerja dan tingkat investasi. Jumlah tenaga kerja tidak berpengaruh secara signifikan karena sektor perdagangan tidak menyerap tenaga kerja yang paling besar dari tahun ke tahun. Investasi tidak berpegaruh signifikan terhadap sektor perdagangan karena pemerintah Kabupaten Bogor kurang memanfaatkannya secara baik. 98 4. Sektor perdagangan pada masa Otonomi daerah lebih baik daripada sebelum Otonomi Daerah. Hal ini ditunjukkan oleh variabel dummy Otonomi Daerah yang bernilai positif. 7.2 Saran Berdasarkan analisis mengenai pengaruh sektor perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi serta beberapa faktor yang mempengaruhi sektor perdagangan sebelum Otonomi Daerah dan pada masa Otonomi Daerah, maka saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut : 1. Otonomi Daerah yang berlangsung di Kabupaten Bogor perlu dilaksanakan secara sungguh–sungguh supaya PDRB dapat tumbuh dengan baik sebab pemerintah daerah lebih mengerti apa yang menjadi kebutuhan dari daerah itu sehingga pelaksanaan Otonomi Daerah dapat berjalan dengan baik. 2. Pemerintah Kabupaten Bogor sebaiknya menanamkan investasi pada aset–aset yang memberikan nilai tambah yang besar di masa yang akan datang. Seperti pada sub sektor pada sektor perdagangan merupakan sektor yang baik untuk diinvestasikan karena tidak menutup kemungkinan pada masa yang akan datang sektor perdagangan merupakan sektor yang paling berkembang. 3. Investasi yang ditanam harus mampu meningkatkan pendapatan sektor perdagangan secara signifikan karena pendapatan inilah nanti yang akan digunakan kembali untuk melakukan investasi. Selain itu juga sangat perlu dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan proyek investasi agar tidak menyimpang dari rencana awalnya. 99 4. Pemerintah perlu menjaga tingkat inflasi yang ada di Kabupaten Bogor supaya tetap stabil karena apabila terjadi inflasi yang tinggi akan dapat menyebabkan pertumbuhan sektor perdagangan menjadi lambat akibat harga–harga di sektor perdagangan yang melambung tinggi. Misalnya dengan melakukan investasi yang besar pada sektor–sektor yang memberikan nilai tambah yang besar. 5. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat menganalisis variabel–variabel lainnya yang dapat mempengaruhi sektor perdagangan, selain itu juga diharapkan untuk memperluas pembahasaannya sehingga sektor perdagangan dapat dilihat dari sudut yang berbeda. 100 DAFTAR PUSTAKA Afrianto, R. 2000. Analisis Pembangunan Wilayah Pertanian Dalam Menghadapi Otonomi Daerah [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ahmad, R. 1998. Kajian Percontohan Otonomi Daerah Tingkat II Tahun Ke-3 Bidang Transmigrasi. Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Jakarta. Biro Pusat Statistik. 2004. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha. Kabupaten Bogor. Dinas Perindustrian dan Perdagangan. 2004. Kabupaten Bogor, Bogor, Jawa Barat. Dinas Pariwisata. 2004. Kabupaten Bogor, Bogor, Jawa Barat. Dinas Ketenagakerjaan. 2004. Kabupaten Bogor, Bogor, Jawa Barat. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara, Jakarta. Gujarati, D. 1997. ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta. Jhingan, M. L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Juanda, B. 1997. Metodologi Penelitian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kadariah. 1985. Ekonomi Perencanaan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Lipsey el all. 1995. Pengantar Mikorekonomi. Wasana dan Kirbrandoko [penerjemah]. Edisi ke-10, Jilid 1, Bina Rupa Aksara, Jakarta. Pranata, E. W. 2004. Analisis Sektor Basis Perekonomian dalam Pembangunan Wilayah di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Kabupaten Cianjur, Propinsis Jawa Barat) [Skripsi]. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 101 Purliani, I. 2003. Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranan Fasilitas Pelayanan Terhadap Pembangunan Wilayah Kota Tegal Dalam Era Otonomi Daerah [Skripsi]. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu–Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro Dan Makro. Ghalia Indonesia Rahman, M. A. 2003. Analisis Peranan Basis Sektor Pertanian dalam Pembangunan Rilayah di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kabupaten Kuningan, Propinsi Jawa Barat) [Skripsi]. Jurusan Ilmu–Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Riyanto. 1997. Analisis Kepekaan Sektor Perekonomian dalam Pembangunan Wilayah Kabupaten Dati II Bangkelan Jawa Timur [Tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rustiadi et all. 2003. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Munandar [Alih Bahasa] dan Sumiharti [Editor]. Edisi ke-5, Jilid 1, Erlangga, Jakarta. Sarwoko. 2005. Dasar-Dasar Ekonometrika. Penerbit Andi, Yogyakarta. Sastrowiharjo, M. 1989. Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi Propinsi Jambi [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Supranto, J. 1996. Statistik Teori dan Aplikasi. Edisi Kelima, Jilid 1, Erlangga, Jakarta. Simanjuntak, P. J. 1985. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Tambunan, T. T. H. 2001. Transformasi Ekonomi di Indonesia. Salemba Empat, Jakarta. Tarigan, R. 2002. Perencanaan Pembangunan Wilayah: Pendekatan Ekonomi dan Masyarakat. Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Medan. Wiyanti, H. 2004. Analisis Sektor Basis Perekonomian Kabupaten Tangerang Serta Implikasinya Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah dalam Otonomi Daerah [Skripsi]. Departemen Ilmu–Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 102 103 Lampiran 1. Data Olahan yang Digunakan Dalam Model Pertumbuhan PDRB Tahun PDRB (Juta rupiah) Perdagangan Besar dan Eceran (Juta rupiah) Perhotelan (Juta rupiah) Rumah Makan/Restoran (Juta rupiah) 1990 8367551,195 1544626,518 11653,51564 378389,3122 1991 9167363,608 1826415,373 13785,72178 375600,8509 1992 9887620,408 2032650,231 14460,89608 465880,9509 1993 13068558,75 1252527,372 34804,51973 667600,8811 1994 14276129,14 1418265,559 35990,43502 738006,1613 1995 15482823,85 1598342,081 37040,7964 811983,7904 1996 12744839,35 988647,9656 37462,7145 701026,584 1997 13498976,91 1068313,256 43420,95262 761312,2704 1998 11554563,31 1027042,85 41102,21746 725194,4524 1999 10269321,61 897861,8865 38809,57196 622562,747 2000 18226545,14 2109395,89 66165,52 636731,95 2001 17900741,48 2078751,803 64995,71316 627793,5948 2002 17848478,93 2053758,555 66371,78655 630140,3458 2003 18872529,68 2202821,585 72760,90701 671290,0463 2004 20191376,1 2347078,582 80065,13952 728471,4227 104 Lampiran 2. Data Olahan yang Digunakan Dalam Model Sektor Perdagangan Tahun Sektor Perdagangan (Juta rupiah) Investasi (Rupiah) Tenaga Kerja (Jumlah) UMK non Manufaktur(Rupiah) Inflasi (%) 1990 1934669,346 3,82493E+13 239603 38700 9.79 1991 2215801,945 3,57226E+13 245797 48600 7.29 1992 2512992,078 3,81591E+13 251990 65100 5.29 1993 1954932,773 4,00747E+13 252400 75000 12.27 1994 2192262,155 4,58051E+13 252810 98500 7.75 1995 2447368,711 5,1798E+13 375997 108400 6.10 1996 1727137,264 6,14293E+13 219557 156000 2.51 1997 1873046,479 5,13206E+13 430526 172500 7.61 1998 1793339,519 3,86593E+13 378712 172500 72.03 1999 1559234,206 3,67464E+13 393240 286000 6.72 4,0181E+13 376437 344257 6.74 2001 2771541,111 3,76578E+13 259634 372000 8.93 2002 2750270,688 3,61598E+13 307608 514000 6.67 2003 2946872,538 3,55078E+13 346414 536102 5.54 2004 3155615,144 3,50013E+13 320228 570342 6.82 2000 2812293,36 105 Lampiran 3. Output Estimasi Model Pertumbuhan PDRB Dependent Variable: LPDRB Method: Least Squares Date: 05/28/06 Time: 22:26 Sample: 1990 2004 Included observations: 15 Variable Coefficient C LPBE LHOT LRM DUMMY 1.938795 0.419297 0.255663 0.436111 -0.014169 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression 0.978143 0.969400 0.049527 Sum squared resid 0.024530 Log likelihood Durbin-Watson stat 26.83539 1.665345 Std. Error t-Statistic Prob. 1.669715 1.161153 0.058699 7.143144 0.057355 4.457531 0.121230 3.597390 0.055537 -0.255134 0.2725 0.0000 0.0012 0.0049 0.8038 Mean dependent var 16.42460 S.D. dependent var 0.283127 Akaike info criterion 2.911385 Schwarz criterion 2.675368 F-statistic 111.8776 Prob(F-statistic) 0.000000 Penaksiran dengan metode OLS mengaharuskan adanya pengujian terhadap asumsi–asumsi yang mendasarinya. Pengujian–pengujian ini sangat perlu agar diperoleh hasil estimasi yang terbaik yang tak bias (BLUE/Best Linier Unbiased Estimator). Pengujian estimasi tersebut meliputi uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi dan uji multikolinearitas. Korelasi Antar Variabel Bebas Persamaan Pertumbuhan PDRB LPDRB LPBE LHOT LRM DUMMY LPDRB 1.000000 0.488435 0.916060 0.673445 0.701813 LPBE 0.488435 1.000000 0.188805 -0.243169 0.631616 LHOT 0.916060 0.188805 1.000000 0.771325 0.637186 LRM 0.673445 -0.243169 0.771325 1.000000 0.171950 DUMMY 0.701813 0.631616 0.637186 0.171950 1.000000 106 Lanjutan Lampiran 3. Output Estimasi Model Pertumbuhan PDRB Persamaan pertumbuhan PDRB ini juga telah terhindar dari masalah autokorelasi dan heteroskedastisitas. Hal ini ditunjukkan dengan probabilitas koefisien Obs*R-squared dari uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM dan Uji White Heteroskedasticity yang keduanya menunjukkan lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 5 persen. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test F-statistic 1.854814 Probability 0.217865 Obs*R-squared 4.752023 Probability 0.092920 White Heteroskedasticity Test 2.306531 Probability 0.146275 Uji Heteroskedastisitas F-statistic Obs*R-squared 10.46352 Probability 0.163792 Uji Normalitas 8 Series: Residuals Sample 1990 2004 Observations 15 7 6 Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis 5 4 3 2 1 0 -0.10 Jarque-Bera Probability -0.05 0.00 0.05 3.94E-15 0.012130 0.071229 -0.081278 0.041858 -0.572406 2.592144 0.923089 0.630310 107 Lampiran 4. Output Estimasi Model Sektor Perdagangan Dependent Variable: LPERD Method: Least Squares Date: 06/02/06 Time: 14:43 Sample(adjusted): 1992 2004 Included observations: 13 after adjusting endpoints Variable Coefficient C LINV(-2) LUPAH LTK INF(-2) DUMMY 21.46884 0.107742 -0.481006 0.395226 -0.022741 1.084525 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression 0.973566 0.954685 0.131702 Sum squared resid 0.121418 Log likelihood Durbin-Watson stat 11.93134 1.706815 Std. Error t-Statistic Prob. 2.268188 9.465192 0.099901 1.078488 0.134801 -3.568265 0.226765 1.742889 0.002719 -8.364673 0.209000 5.189106 0.0000 0.3166 0.0091 0.1249 0.0001 0.0013 Mean dependent var 21.37454 S.D. dependent var 0.618684 Akaike info criterion 0.912514 Schwarz criterion 0.651769 F-statistic 51.56203 Prob(F-statistic) 0.000023 Uji Autokorelasi dan Uji Heteroskedastisitas Probabilitas koefisien Obs*R-squared dari uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM dan Uji White Heteroskedasticity, keduanya menunjukkan lebih besar daritaraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 5 persen. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test F-statistic 0.082770 Probability 0.783257 Obs*R-squared 0.176894 Probability 0.674056 108 Lanjutan Lampiran 4. Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test 1.053338 Probability F-statistic Obs*R-squared 9.875010 Probability 0.543001 0.360698 Korelasi Antar Variabel Bebas Persamaan Sektor Perdagangan LPERD LINV TK UPAH INF LPERD 1.000000 0.015937 -0.278315 0.075722 -0.033736 LINV 0.015937 1.000000 -0.728989 0.007523 -0.173418 -0.278315 -0.728989 1.000000 0.295592 0.195740 TK 0.075722 0.007523 0.295592 1.000000 -0.122150 UPAH -0.033736 -0.173418 0.195740 -0.122150 1.000000 INF DUMMY 0.439095 0.177562 -0.063561 0.869933 -0.165548 DUMMY 0.439095 0.177562 -0.063561 0.869933 -0.165548 1.000000 Uji Normalitas 5 Series: Residuals Sample 1992 2004 Observations 13 4 Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis 3 2 -7.04E-15 0.006771 0.185854 -0.173498 0.100589 -0.043457 2.512209 1 Jarque-Bera Probability 0 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.132976 0.935674