analisis pengaruh sektor perdagangan terhadap

advertisement
ANALISIS PENGARUH SEKTOR PERDAGANGAN TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN BEBERAPA FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI SEKTOR PERDAGANGAN DI KABUPATEN
BOGOR
OLEH
YOSHIKA MACKMUR TAMPUBOLON
H14102034
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
RINGKASAN
YOSHIKA MACKMUR TAMPUBOLON. Analisis Pengaruh Sektor
Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Beberapa Faktor Yang
Mempengaruhi Sektor Perdagangan di Kabupaten Bogor (dibimbing oleh DIDIN.
S. DAMANHURI).
Daerah–daerah di Indonesia mempunyai karakteristik yang bermacam–
macam baik dari segi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, demografi wilayah,
dan aksesibilitasnya terhadap pusat pemerintahan sehingga daerah yang satu
dengan daerah yang lain berbeda–beda. Di samping itu, pada masa sebelum
Otonomi Daerah kebijakan pemerintah sangat dominan terhadap daerah sehingga
terkadang apa yang diharapkan pemerintah tidak sesuai dengan harapan dari
daerah. Begitu juga yang terjadi dengan Kabupaten Bogor dimana kebijakan
pemerintah pusat sangat dominan. Maka Kabupaten Bogor turut memberlakukan
Otonomi Daerah pada tahun 2001 untuk mengatasi hal tersebut.
Oleh sebab itu, Otonomi Daerah yang berlaku di Kabupaten Bogor sejak
tahun 2001 dimaksudkan untuk meningkatkan potensi daerah dengan cara daerah
tersebut mengelola potensi dan sumberdayanya secara sendiri tanpa atau dengan
sedikit saja campur tangan dari pemerintah pusat. Otonomi Daerah dimaksudkan
untuk meningkatkan sektor perekonimian yang ada di Kabupaten Bogor.
Pertumbuhan ekonomi sektor–sektor perekonomian di Kabupaten Bogor dapat
dilihat dari berapa besar kontribusinya terhadap PDRBnya. Sektor perdagangan
merupakan salah satu sektor perekonomian yang ikut menyumbang pendapatan
atau nilai tambah yang cukup besar terhadap PDRB. Sektor perdagangan terdiri
dari 3 sub sektor yaitu perdagangan besar dan eceran, rumah makan/restoran dan
perhotelan. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini memiliki dua tujuan
utama. Pertama, Menganalisis pengaruh sektor perdagangan terhadap
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor sebelum dan pada masa Otonomi
Daerah. Kedua, Menganalisis pengaruh faktor–faktor lain seperti jumlah tenaga
kerja, upah tenaga kerja di sektor perdagangan, inflasi dan investasi terhadap
pertumbuhan sektor perdagangan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model
ekonometrika. Untuk meramalkan bagaimana pengaruh dari variabel–variabel
bebas (independent variable) terhadap variabel terikat (dependent variable)
digunakan metode OLS (Ordinary Least Square) dan software yang digunakan
adalah E-Views 4.1. Dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat
menjawab permasalahan dalam penelitian.
Data yang digunakan adalah data time series dari tahun 1990 hingga tahun
2004. Data diperoleh dari beberapa sumber antara lain dari Biro Pusat Statistik
(BPS) Kabupaten Bogor, Bapedda Kabupaten Bogor, Pemda Kabupaten Bogor,
Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta
instansi terkait.
Dengan menggunakan taraf nyata lima persen (α=10%), hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat PDRB Kabupaten Bogor dipengaruhi oleh sub sektor
perdagangan besar dan eceran, sub sektor perhotelan, dan sub sektor rumah
makan. Sub sektor perdagangan besar dan eceran berpengaruh positif yang
signifikan dengan koefisien sebesar 0.419297, sub sektor perhotelan berpengaruh
positif yang signifikan dengan koefisien sebesar 0.255663, dan sub sektor rumah
makan berpengaruh positif yang signifikan dengan koefisien sebesar 0.436111.
Sedangkan dummy Otonomi Daerah berpengaruh negatif tetapi secara statistika
tidak signifikan.
Variabel lain yang dianalisa mempengaruhi sektor perdagangan adalah
investasi pada dua periode sebelumnya berpengaruh positif tetapi tidak signifikan,
tingkat upah tenaga kerja berpengaruh negatif yang signifikan, jumlah tenaga
kerja berpengaruh positif tetapi tidak tidak signifikan, inflasi pada dua periode
sebelumnya berpengaruh negatif yang signifikan dan variabel dummy Otonomi
Daerah berpengaruh positif yang signifikan.
Oleh sebab itu, ada beberapa tindakan kebijakan yang dapat diambil antara
lain Otonomi Daerah yang berlangsung di Kabupaten Bogor perlu dilaksanakan
secara sungguh–sungguh supaya PDRB dapat tumbuh dengan baik sebab
pemerintah daerah lebih mengerti apa yang menjadi kebutuhan dari daerah itu
sehingga pelaksanaan Otonomi Daerah dapat berjalan dengan baik, Pemerintah
Kabupaten Bogor sebaiknya menanamkan investasi pada aset–aset yang
memberikan nilai tambah yang besar di masa yang akan datang. Seperti pada sub
sektor pada sektor perdagangan merupakan sektor yang baik untuk diinvestasikan
karena tidak menutup kemungkinan pada masa yang akan datang sektor
perdagangan merupakan sektor yang paling berkembang, Investasi yang ditanam
harus mampu meningkatkan pendapatan sektor perdagangan secara signifikan
karena pendapatan inilah nanti yang akan digunakan kembali untuk melakukan
investasi. Selain itu juga sangat perlu dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
proyek investasi agar tidak menyimpang dari rencana awalnya, Pemerintah perlu
menjaga tingkat inflasi yang ada di Kabupaten Bogor supaya tetap stabil karena
apabila terjadi inflasi yang tinggi akan dapat menyebabkan pertumbuhan sektor
perdagangan menjadi lambat akibat harga–harga di sektor perdagangan yang
melambung tinggi. Misalnya dengan melakukan investasi yang besar pada sektor–
sektor yang memberikan nilai tambah yang besar. Bagi penelitian selanjutnya
diharapkan dapat menganalisis variabel–variabel lainnya yang dapat
mempengaruhi sektor perdagangan, selain itu juga diharapkan untuk memperluas
pembahasaannya sehingga sektor perdagangan dapat dilihat dari sudut yang
berbeda.
ANALISIS PENGARUH SEKTOR PERDAGANGAN
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN BEBERAPA
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SEKTOR
PERDAGANGAN DI KABUPATEN BOGOR
OLEH
YOSHIKA MACKMUR TAMPUBOLON
H14102034
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPERTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:
Nama
: Yoshika Mackmur Tampubolon
Nomor Registrasi Pokok
: H14102034
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Pengaruh Sektor Perdagangan
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi
dan
Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Sektor
Perdagangan di Kabupaten Bogor
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. H. Didin. S. Damanhuri, SE. MS. DEA
NIP. 131 404 217
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS
NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR–BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2006
Yoshika Mackmur Tampubolon
NRP. H14102034
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Yoshika Mackmur Tampubolon lahir pada tanggal 2
Nopember 1983 di Porsea, sebuah kota kecil yang berada di Provinsi Sumatera
Utara. Penulis lahir sebagai anak pertama dari lima bersaudara, dari pasangan
Mispa Tampubolon dan Dominta Sitorus. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa
hambatan. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak–Kanak di TK
Sigura–Gura Paritohan pada tahun 1990, menyelesaikan pendidikan dasar di SD
Negeri Pintupohan pada tahun 1996, kemudian menyelesaikan pendidikan
menengah di SLTP Negeri 4 Pintupohan pada tahun 1999. Kemudian melanjutkan
pendidikan di SMU Negeri 1 Porsea dan lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2002 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan
studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi
pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan
mengembangkan pola pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu
Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa,
penulis aktif di beberapa organisasi seperti Hipotesa, Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia (GMKI) dan Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas
berkat dan karunia-Nya yang begitu melimpah sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “ Analisis Pengaruh Sektor
Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Beberapa Faktor Yang
Mempengaruhi Sektor Perdagangan di Kabupaten Bogor “. Sektor
perdagangan merupakan topik yang sangat menarik karena diharapkan
mempunyai sumbangsih yang besar terhadap peningkatan PDRB Kabupaten
Bogor. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik
ini, khususnya di Kabupaten Bogor. Disamping hal tersebut, penyusunan skripsi
ini merupakan salah satu syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar Sarjana
Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor (IPB).
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua orang tua penulis serta adik–adik penulis, yaitu Manoppo, Mahedi,
Maslon, dan Marissa atas semua kasih sayang, doa, motivasi, dan
dorongannya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
2. Bapak Prof. Dr. H. Didin. S. Damanhuri, SE. MS. DEA, yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan baik secara teknis maupun
teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan
dengan baik.
3. Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS yang telah menguji hasil karya ini.
Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam
penyempurnaan skripsi ini. Serta kepada Ibu Henny Reinhardt, MSc atas
perbaikan tata cara penulisan ini.
4. Seluruh dosen serta seluruh staf dan karyawan Departemen Ilmu Ekonomi
yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
5. Teman-teman satu sekolah SMU 1 Porsea yang telah memberikan semangat
kepada penulis (Rico, Rudman, Nursia).
6. Teman-teman penulis yang telah memberikan dukungan moral dan semangat
(Granson, Bathara, Julian, Intan, Perdana, Julius, Jevri). Serta teman-teman
VOE ( Erik, Herry, Lambok, Andros, Ruth S, Siera, Hanie, Sri Canse, Citra).
7. Anak-anak KOMPERS atas perhatian dan dukungan serta kebersamaannya
selama kuliah di IPB.
8. Seluruh angkatan 39 Departemen Ilmu Ekonomi yang tidak dapat disebutkan
satu persatu beserta kenangan-kenangan yang tidak terlupakan selama kuliah
di IPB.
Penulis menyadari bahwa kekurangan dari skripsi ini dikarenakan
keterbatasan kemampuan dalam hal mencari dan mengumpulkan data serta
keterbatasan waktu. Oleh karena itu, dengan keterbukaan penulis menerima
berbagai bentuk kritikan dan saran yang diberikan demi kesempurnaan skripsi ini.
Semoga kripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada
umumnya dan secara khusus kepada penulis sebagai penambah ilmu pengetahuan
dan pengalaman.
Bogor, Juli 2006
Yoshika Mackmur Tampubolon
NRP. H14102034
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv
I.
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................
7
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 10
1.4. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 10
1.5. Ruang Lingkup Penelitian................................................................... 11
II.
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….. 12
2.1. Pengertian Wilayah dan Pembangunan Wilayah ................................ 12
2.2. Otonomi Daerah .................................................................................. 14
2.3. Teori Pertumbuhan Ekonomi .............................................................. 18
2.3.1 Teori Pertumbuhan Harrod–Domar .......................................... 24
2.3.2 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi Dengan Sub Sektor
Perdagangan .............................................................................. 24
2.4. Teori Perdagangan .............................................................................. 25
2.4.1 Hubungan Antara Sektor Perdagangan dan Inflasi ................... 25
2.4.2 Macam-Maam Perdagangan ...................................................... 26
2.5. Teori Analisis Regresi......................................................................... 30
2.5.1. Model Regresi Berganda........................................................... 31
2.6. Teori Tenaga Kerja dan Upah Tenaga Kerja ...................................... 33
2.7. Variabel Lag........................................................................................ 34
III.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS……………………. 37
3.1. Kerangka Pemikiran............................................................................ 37
3.2. Hipotesis.............................................................................................. 39
IV.
METODE PENELITIAN…………………………………………….. 41
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 41
4.2. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 41
4.3. Model Ekonometrika........................................................................... 42
4.4. Metode Analisis Data.......................................................................... 43
4.5. Pengujian Kriteria Ekonomi Dan Statistika ........................................ 43
4.5.1. Uji t (Uji Parsial)........................................................................ 43
4.5.2. Uji F (Uji Serempak).................................................................. 44
4.5.3. Uji Koefisien Determinasi (R2)................................................... 44
4.6. Uji Ekonometrika ................................................................................ 45
4.6.1. Heteroskedastisitas..................................................................... 45
4.5.2. Autokorelasi ............................................................................... 45
4.5.3. Multikolinearitas ......................................................................... 46
4.7. Beberapa Kelemahan Ordinary Least Square (OLS) .......................... 47
V.
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN............................. 49
5.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian ................................................... 49
5.1.1. Geografi dan Pemerintahan........................................................ 49
5.1.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan ................................................. 50
5.1.3. Sosial ........................................................................................... 52
5.1.4. Perdagangan ................................................................................ 54
5.1.4.1 Perdagangan Besar ............................................................. 54
5.1.4.2 Perdagangan Eceran ........................................................... 55
5.1.4.3 Restoran Atau Rumah Makan ............................................ 56
5.1.4.4 Perhotelan........................................................................... 57
5.2. Perekonomian Kabupaten Bogor ........................................................ 58
5.2.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi ...................................................... 58
5.2.2. Struktur Ekonomi ....................................................................... 60
VI.
HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 62
6.1. Hasil Estimasi Variabel Dependen LPDRB........................................ 62
6.2. Uji Statistik dan Uji Ekonometrika ..................................................... 62
6.3. Analisis Hubungan Antara Sub Sektor Perdagangan dengan PDRB.. 65
6.3.1. Sub Sektor Perdagangan Besar dan Eceran (LPBE) ................. 65
6.3.2. Sub Sektor Perhotelan (LHOT)................................................. 67
6.3.3. Sub Sektor Rumah Makan/Restoran (LRM).............................. 68
6.3.4. Variabel Dummy Otonomi Daerah ............................................ 70
6.3.5. Pembahasan Ekonomi ................................................................ 71
6.4. Hasil Estimasi Variabel Dependen LPERD........................................ 72
6.5. Uji Kriteria Statistik dan Uji Kriteria Ekonometrika .......................... 73
6.6. Pembahasan Ekonomi ......................................................................... 76
VII.
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 81
7.1. Kesimpulan ......................................................................................... 81
7.2. Saran.................................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 84
LAMPIRAN ...................................................................................................... 86
14
DAFTAR TABEL
Nomor
1.
2.
3.
Halaman
Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga
Berlaku Tahun 2001–2004 (Dalam Persen)...............................................
4
Jumlah Tenaga Kerja yang Diserap Sektor–Sektor Perekonomian di
Kabupaten Bogor Tahun 2001–2004 .........................................................
6
Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga
Berlaku Tahun 2001–2004 (Dalam Persen)...............................................
9
4.
Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Pada Lapangan
Usaha di Kabupaten Bogor Tahun 2001–2004 .......................................... 51
5.
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 1990–2004........... 59
6.
Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bogor Tahun 1990–2004 ........... 61
7.
Hasil Estimasi Variabel Dependen LPDRB............................................... 62
8.
Hasil Estimasi Variabel Dependen LPERD............................................... 73
15
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Skema Kerangka Pemikiran Analisis Pengaruh Sub Sektor Perdagangan
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Beberapa Faktor Yang
Mempengaruhi Sektor Perdagangan di Kabupaten Bogor ........................... 40
16
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data Olahan Yang Digunakan Dalam Model Pertumbuhan PDRB ............. 87
2. Data Olahan Yang Digunakan Dalam Model Sektor Perdagangan ............. 88
3. Output Estimasi Model Pertumbuhan PDRB ............................................... 89
4. Output Estimasi Model Sektor Perdagangan ............................................... 91
17
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki kondisi fisik serta geografi
wilayah yang sangat beragam sehingga pengembangan wilayah sangat penting
dalam Pembangunan Nasional. Tujuan Pembangunan Nasional dalam Garis–Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) adalah berusaha untuk mewujudkan kehidupan
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, sehingga diperlukan
usaha untuk membentuk dasar yang efisien bagi pertumbuhan nasional dan
memperkokoh kesatuan ekonomi nasional. Upaya untuk membentuk landasan
pembangunan yang berupa rumusan dalam mewujudkan keseimbangan antar
daerah dalam tingkat pertumbuhan perlu dilaksanakan untuk mengurangi
perbedaan tingkat perkembangan antar daerah pedesaan dan perkotaan yang
merupakan akibat dari kurangnya konsep pemerataan secara nyata.
Daerah–daerah di Indonesia mempunyai karakteristik yang bermacam–
macam baik dari segi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, demografi wilayah,
dan aksesibilitasnya terhadap pusat pemerintahan sehingga daerah yang satu
dengan daerah yang lain berbeda–beda . Hal tersebut dapat memungkinkan
terjadinya pertumbuhan wilayah yang berbeda–beda. Dan hal ini jugalah yang
menyebabkan terjadinya ketimpangan antar daerah.
Diberlakukannya Otonomi Daerah menimbulkan harapan baru dalam
upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan antara kota dan
daerah sekaligus untuk mampu keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.
18
Otonomi Daerah merupakan manifestasi dari asas desentralisasi teritorial. Ahmad
(1998) mengatakan bahwa :
”Pada hakekatnya Otonomi Daerah merupakan upaya pelaksanaan
pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan
nasional guna mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan daerah
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.”
Pelaksanaan Otonomi Daerah saat ini merupakan desentralisasi dari
kebijakan pemerintah dalam menangani daerah masing–masing sesuai dengan
kebutuhan masing–masing. Pelaksanaan desentralisasi diharapkan sebagai suatu
pemecahan dan jalan keluar yang lebih baik terhadap permasalahan yang timbul
dari sentralitas pembangunan selama ini yang mengakibatkan timbulnya
ketimpangan pembangunan antar daerah.
Penerapan UU No.22 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 tentang
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sejak 1 Januari 2001, telah
membuat pemerintah sibuk mengatur daerahnya masing–masing agar sesuai
dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya. Kabupaten Bogor sebagai salah
satu daerah yang melaksanakan Otonomi Daerah berusaha untuk memaksimalkan
sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya untuk mengolah potensi yang ada.
Partisipasi dari masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam pelaksanakan Otonomi
Daerah. Masyarakat harus mendukung pemerintah daerah dalam mengolah semua
sumberdaya yang ada di daerah tersebut. Pranata (2004) mengatakan bahwa :
19
”Dalam pasal 1(h) UU No.22 tahun 1999 menyatakan bahwa Otonomi
Daerah adalah “kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang - undangan.”
Berdasarkan pasal 1 (h) di atas, kewenangan daerah tidak hanya terbatas pada
urusan yang telah diserahkan, tetapi daerah dapat menerapkan sendiri urusan yang
akan diatur dan dikelola berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya.
Koswara dalam Tambunan (2001) berpendapat bahwa :
”Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang luas harus dilaksanakan di atas
dasar prinsip–prinsip desentralisasi, peran serta masyarakat, pemerataan
dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah.”
Oleh karena itu, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah harus
dapat menentukan prioritas pembangunannya sesuai dengan potensi yang dimiliki
oleh daerah masing–masing. Namun dalam menentukan prioritas ini pemerintah
harus menyesuaikannya dengan sektor masing–masing daerah tersebut yang
sesuai dengan UU No.22 tahun 1999. Diantaranya adalah (1) pertanian,
peternakan, kehutanan dan perikanan, (2) pertambangan dan penggalian, (3)
industri pengolahan, (4) listrik, gas dan air bersih, (5) bangunan, (6) perdagangan,
hotel dan restoran, (7) pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, persewaan
dan perusahaan, dan (9) jasa–jasa.
20
Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor
yang harus
dikembangkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bogor. Karena sektor
perdagangan merupakan salah satu sektor penyumbang pendapatan terhadap
PDRB Kabupaten Bogor. Oleh sebab itu, perlu digali semua potensi yang ada di
sektor perdagangan. Sektor perdagangan dapat diarahkan pada salah satu
pencapaian tujuan pembangunan yaitu peningkatan pendapatan di Kabupaten
Bogor. Dengan meningkatnya pendapatan, maka diharapkan pada akhirnya akan
tercapai pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih baik.
Tabel 1. Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga
Berlaku Tahun 2001 – 2004 ( dalam persen).
No
Lapangan Usaha
2001
2002
2003
2004
1
Pertanian,peternakan, kehutanan
dan perikanan
7,64
7,25
6,84
6,52
2
Pertambangan dan penggalian
1,70
1,63
1,63
1,34
3
Industri pengolahan
59,52
59.89
59,99
60,52
4
Listrik, gas dan air bersih
3,76
3,80
3,83
3,88
5
Bangunan
3,21
3,24
3,31
3,36
6
Perdagangan,
restoran
15,39
15,32
15,52
15,54
7
Pengangkutan dan komunikasi
2,66
2,70
2,74
2.76
8
Keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan
1.75
1,76
1,76
1,75
9
Jasa - jasa
4,38
4,41
4,38
3,34
100,00
100,00
100,00
100,00
PDRB
hotel
dan
Sumber : Biro Pusat Statistik Kabupaten Bogor Tahun 2001-2004
21
Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa walaupun sektor perdagangan bukan
penyumbang terbesar dibanding sektor industri pengolahan terhadap Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bogor, namun setiap tahunnya
selalu mengalami kenaikan. Peranan sektor ini dari tahun ke tahun tetap
meningkat walaupun pada tahun 2002 mengalami penurunan namun secara
keseluruhan meningkat. Pada tahun 2002 PDRB mengalami penurunan sebesar
0,6 persen. Hal ini diduga disebabkan karena pada tahun 2002 sektor perdagangan
menyerap jumlah tenaga kerja yang sangat banyak sehingga PDRB-nya digunakan
sebagian untuk membayar upah tenaga kerja tersebut. Kemudian pada tahun 2003
dan 2004 mengalami peningkatan sebesar 15,52 persen dan 15,54 persen. Pada
masa Otonomi Daerah, sektor perdagangan Kabupaten Bogor juga merupakan
sektor yang banyak menyerap tenaga kerja.
22
Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Yang Diserap Sektor–Sektor Perekonomian
di Kabupaten Bogor Tahun 2001–2004
Lapangan Usaha Utama
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2001
377.410
2002
342.492
2003
241.818
2004
261.880
19.102
13.166
13.214
9.726
252.670
286.949
275.618
290.410
1.420
3.538
8.367
5.354
70.268
79.828
63.659
84.238
259.634
307.608
346.414
320.228
Komunikasi
88.568
120.180
100.914
117.776
Keuangan
23.934
24.769
24.458
12.252
Jasa – Jasa
190.992
172.134
188.994
188.182
0
849
3.040
0
1.283.992
1.251.513
1.266.496
1.290.046
Pertanian
Pertambangan dan Galian
Industri
Listrik, Gas
Minum
Konstruksi
dan
Perdagangan
Lainnya
Jumlah
Air
Sumber : Biro Pusat Statistik Kabupaten Bogor Tahun 2001-2004
Dari Tabel 2 tersebut terlihat bahwa tenaga kerja di Kabupaten Bogor yang
diserap oleh sektor perdagangan dari tahun 2001 sampai 2004 meningkat. Pada
tahun 2001 sektor perdagangan menyerap 259.634 tenaga kerja terbanyak setelah
sektor pertanian. Pada tahun 2002 sektor perdagangan menyerap 307.608 tenaga
kerja terbanyak kedua setelah sektor pertanian. Namun tahun 2003 dan tahun
2004 sektor perdagangan menyerap tenaga kerja terbanyak yaitu berturut–turut
346.414 tenaga kerja dan 320.228 tenaga kerja. Hal ini disebabkan karena banyak
tenaga kerja yang beralih dari sektor pertanian ke sektor lain. Dan salah satu
23
sektor yang menyerap tenaga kerja yang beralih tersebut adalah sektor
perdagangan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah tenaga kerja yang diserap sektor
perdagangan yang terus meningkat. Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa sektor
perdagangan merupakan sektor yang sangat banyak menyerap tenaga kerja.
Informasi mengenai perkembangan dari sektor perdagangan sangat
dibutuhkan oleh para investor untuk menanamkan modalnya dan dibutuhkan oleh
pemerintah daerah untuk menentukan arah kebijakan pembangunan. Oleh karena
itu, penelitian ini akan menganalisis pertumbuhan sektor perdagangan serta
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari PDRB-nya di
Kabupaten Bogor menggunakan metode analisis regresi (Ordinary Least Square
(OLS)). Serta melihat pengaruh faktor–faktor seperti jumlah tenaga kerja sektor
perdagangan, upah tenaga kerja sektor perdagangan, inflasi Kabupaten Bogor dan
investasi pada sektor perdagangan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan.
1.2
Perumusan Masalah
Kebijakan
pembangunan
yang
tersentralisasi
telah
menyebabkan
ketimpangan yang nyata pada pembangunan antar wilayah dan kelompok
pendapatan. Dengan demikian keadaan ini akan menyebabkan pembangunan di
Indonesia rentan terhadap goncangan yang secara terulang terjadi sehingga
menimbulkan krisis ekonomi, sosial politik yang pada akhirnya menyengsarakan
masyarakat.
Diberlakukannya
Otonomi
Daerah
menimbulkan
harapan
baru,
pelaksanaan Otonomi Daerah di Tingkat II (kabupaten) merupakan awal dari
24
redistribusi kekayaan negeri ini, pemerataan kesejahteraan dan meminimalisir
ketimpangan pusat dan daerah serta dengan adanya Otonomi Daerah diharapkan
inovasi dan inisiatif daerah bermunculan. Diberlakukannya Otonomi Daerah juga
diharapkan sektor
perekonomian di daerah tersebut akan meningkat khususnya
sektor perdagangan. Meningkatnya sektor perdagangan diharapkan dapat
menyerap tenaga kerja yang lebih banyak.
Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan
masyarakat, indikator makro yang diperlukan adalah PDRB yang disajikan secara
berkala.
PDRB dengan berbagai indikator ekonominya merupakan bahan
pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan langkah strategis
pembangunan ekonomi. Dengan demikian, skala prioritas pembangunan ekonomi
sektoral dapat lebih tajam dan mencapai sasaran sesuai dengan yang ditargetkan.
25
Tabel 3. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga
Berlaku Tahun 2001–2004 ( dalam persen).
No
Lapangan Usaha
2001
2002
2003
2004
1
Pertanian,peternakan, kehutanan
dan perikanan
8,76
5,92
6,23
8,27
2
Pertambangan dan penggalian
6,62
6,91
13,22
6,94
3
Industri pengolahan
12,85
12,24
12,87
14,66
4
Listrik, gas dan air bersih
11,17
12,75
12,52
15,05
5
Bangunan
12,80
12,72
15,20
15,20
6
Perdagangan,
restoran
11,89
11,02
14,21
13,77
7
Pengangkutan dan komunikasi
12,65
13,25
14,46
14,55
8
Keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan
11,34
12,48
12,54
13,16
9
Jasa - jasa
11,92
12,37
11,76
12,77
PDRB
100,00
100,00
100,00
100,00
hotel
dan
Sumber : Biro Pusat Statistik Kabupaten Bogor Tahun 2001-2004
Dari Tabel 3 terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi pada sektor perdagangan tahun
2001 sebesar 11,89 persen, kemudian pada tahun 2002 menjadi 11,02 persen.
Pada tahun 2003 meningkat menjadi 14,21 persen dan pada tahun 2004 turun
menjadi 13,77 persen. Namun secara rata–rata pertumbuhan PDRB pada sektor
perdagangan meningkat.
Sehubungan dengan hal di atas, maka permasalahan besar yang akan
diteliti dan dibahas adalah sebagai berikut :
26
1. Bagaimana peranan atau pengaruh sektor perdagangan terhadap pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Bogor?
2. Bagaimana pengaruh faktor–faktor lain seperti jumlah tenaga kerja di sektor
perdagangan, upah tenaga kerja di sektor perdagangan, inflasi dan investasi
pada sektor perdagangan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini antara lain :
1. Menganalisis pengaruh sektor perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Bogor sebelum dan pada masa Otonomi Daerah.
2. Menganalisis pengaruh faktor–faktor lain seperti jumlah tenaga kerja di sektor
perdagangan, upah tenaga kerja di sektor perdagangan, inflasi dan investasi
pada sektor perdagangan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan.
1.4
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memberikan gambaran mengenai pengaruh sub sektor
perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi sebelum dan pada masa Otonomi
Daerah dan pengaruh jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan, upah tenaga
kerja sektor perdagangan, inflasi serta investasi pada sektor perdagangan terhadap
pertumbuhan sektor perdagangan di Kabupaten Bogor yang dimulai dari tahun
1990 sampai tahun 2004.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan buat pemerintah
dalam mengembangkan sektor–sektor perekonomian yang cukup berperan dalam
27
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
khususnya
mengembangkan
sektor
perdagangan yang diharapkan pada masa yang akan datang dapat berkembang.
Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai bahan pustaka untuk
penelitian selanjutnya. Sedangkan bagi Penulis, penelitian ini sangat berguna
untuk menambah pengalaman dan sebagai media untuk menambah wawasan dan
pengetahuan yang sudah diperoleh selama di bangku kuliah.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor. Penelitian ini hanya melihat
pengaruh sektor perdagangan secara makro terhadap pertumbuhan ekonomi.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh sub sektor perdagangan sebagai
sektor yang paling berkembang setelah sektor industri pengolahan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah sebelum Otonomi Daerah dan dalam era Otonomi
Daerah. Dan pengaruh jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan, upah tenaga
kerja di sektor perdagangan, inflasi dan investasi pada sektor perdagangan
terhadap pertumbuhan sektor perdagangan. Apakah berpengaruh positif atau
mungkin berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan sektor perdagangan.
28
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Wilayah dan Pembangunan Wilayah
Wilayah adalah daerah–daerah atau ruang yang sudah ditentukan batas–
batasnya sehingga dapat diketahui dengan jelas batas–batasnya. Seperti misalnya
negara, propinsi, kabupaten, kecamatan, desa dan kota yang secara fungsional
saling berkaitan. Rahman (2003) mengatakan bahwa :
“ Wilayah adalah sebagai nodal atau wilayah polarisasi yang terdiri dari
satuan-satuan yang homogen seperti kota dan desa yang secara
fungsional saling berkaitan .”
Wilayah tersebut juga harus saling berkaitan sebab tidak bisa satu daerah
memenuhi semua kebutuhannya sendiri dan harus ada dukungan dan sokongan
dari daerah yang lain. Atas dasar pengertian tersebut wilayah dibagi menjadi tiga
tipe yaitu wilayah formal, wilayah fungsional dan wilayah perencanaan. Wilayah
formal atau wilayah homogen adalah sebagai bagian dari muka bumi atau wilayah
geografis yang seragam menurut kriteria tertentu.
Wilayah fungsional adalah wilayah geografis yang memperlihatkan suatu
koherensi fungsional tertentu seperti kota besar, kota-kota kecil dan desa yang
secara fungsional saling bergantungan. Sedangkan wilayah perencanaan meliputi
kombinasi wilayah formal dan wilayah fungsional, yang harus memperlihatkan
beberapa hal yaitu suatu wilayah harus cukup luas untuk memenuhi kriteria
investasi dan skala ekonomi, harus mampu menunjang industri dengan pengadaan
tenaga kerja, persamaan ekonomi, mempunyai paling tidak satu kota sebagai titik
29
tumbuh dan strategi pembangunan yang sama untuk memecahkan masalah yang
sama.
Di Indonesia pengertian wilayah secara unit program hierarki yang teratas
sampai terbawah adalah nasional, propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa.
Sehingga segala kegiatan pembangunan yang dilakukan dalam batas wilayah
administrasi disebut sebagai pembangunan wilayah atau pembangunan daerah
(Pranata, 2004).
Pembangunan merupakan suatu perubahan yang positif atau perubahan ke
arah yang lebih baik dengan menciptakan infrastruktur yang lebih baik, baik
secara fisik atau nonfisik sehingga dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
Kegiatan-kegiatan ini berlangsung dalam rangka mengelola sumberdaya yang
dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Hasil dari pembangunan ini tercermin
pada pendapatan daerah dan tingkat kesejahteraan penduduknya. Agar dicapai
pembangunan daerah yang optimal maka pembangunan harus dilaksanakan sesuai
dengan potensi yang ada di daerah masing–masing.
Pembangunan wilayah pada hakekatnya adalah pelaksanaan pembangunan
nasional di suatu wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial
wilayah tersebut, serta tetap menghormati peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Oleh karena itu, istilah wilayah merupakan hal yang penting untuk
didefinisikan secara tegas, terutama dalam menganalisis kegiatan ekonomi di
wilayah tersebut.
Setiap negara/daerah mempunyai karakteristik dan ciri–ciri yang berbeda
sehingga negara/daerah tersebut mempunyai tingkat pertumbuhan yang berbeda–
30
beda, sumberdaya alam yang berbeda, keadaan daerah yang berbeda, sumberdaya
manusia yang berbeda, dan lain sebagainya sehingga tingkat pembangunan
masing–masing negara/daerah juga akan berbeda–beda.
Purliani (2003)
mengatakan bahwa :
“Secara alami tingkat pembangunan di berbagai wilayah dalam suatu
daerah atau negara tidaklah sama.”
Dengan demikian, dalam suatu wilayah tertentu dapat diidentifikasikan adanya
wilayah yang kaya, maju, dinamis, dan berkembang serta wilayah yang miskin,
tradisional, statis, dan terbelakang.
Akibat adanya perbedaan tingkat perkembangan wilayah dan tingkat
pembangunan wilayah tertentu maka terjadi jurang kesejahteraan masyarakat
antara wilayah kaya dan wilayah miskin. Apabila tidak ada campur tangan
pemerinth secara aktif, maka keadaan tersebut akan bertambah buruk.
2.2
Otonomi Daerah
Sesuai dengan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 pasal 1 (h) yang
menyatakan bahwa “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah untuk mengatur serta mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturan
perundang–undangan
yang berlaku”.
Otonomi Daerah
adalah
wewenang daerah dalam mengurusi daerahnya sendiri karena daerah tersebut
lebih mengetahui apa yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Kesenjangan antar
daerah selama ini terjadi karena begitu banyaknya campur tangan pemerintah
pusat dalam menangani daerah sehingga terkadang apa yang menjadi kebutuhan
31
daerah tersebut tidak sesuai dengan apa yang menjadi program dari pemerintah
pusat. Majidi dalam Riyanto (1997) mengatakan bahwa :
”Otonomi Daerah merupakan penjabaran dari pelaksanaan asas
desentralisasi yaitu penyerahan sebagian urusan kepada daerah untuk
menjadi urusan rumah tangganya sendiri.”
Hal ini berarti bahwa daerah mempunyai wewenang untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat.
Pemberian Otonomi Daerah berdasarkan UU No.22 tahun 1999 kepada
suatu daerah harus benar–benar dipertimbangkan oleh pemerintah karena Daerah
tersebut harus mempunyai sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang
mungkin dapat digunakan untuk mengembangkan daerah tersebut. Daerah
tersebut juga harus mampu untuk mengurus rumah tangganya sendiri dan
mempunyai sistem pemerintahan yang bersih sehingga daerah tersebut mampu
berkembang. Otonomi Daerah juga diberikan supaya tidak terjadi kesenjangan
antar daerah. Dan daerah yang sudah berkembang diharapkan dapat membantu
daerah yang belum berkembang. Seperti halnya Riyanto (1997) berpendapat
bahwa :
”Prinsip-prinsip dasar dalam melaksanakan Otonomi Daerah ini adalah
otonomi yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab.”
Nyata maksudnya adalah bahwa pemberian Otonomi Daerah kepada daerah
otonom harus didasarkan pada faktor, perhitungan, tindakan, dan kebijaksanaan
yang benar–benar menjamin wilayah bersangkutan secara nyata mampu mengurus
32
rumah tangga sendiri. Dinamis berarti bahwa Otonomi Daerah tidak bersifat kaku
tetapi dapat dikembangkan dan dimekarkan karena keadaan yang terus
berkembang di masyarakat. Bertanggung jawab maksudnya bahwa pemberian
Otonomi Daerah harus sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan kegiatan
pembangunan dan memperkokoh persatuan dan kesatuan untuk kesejahteraan
masyarakat.
Diharapkan dengan adanya pemberian Otonomi Daerah persatuan dan
kesatuan bangsa semakin erat. Diharapkan juga dengan adanya Otonomi Daerah
pertumbuhan ekonomi daerah semakin kuat untuk menyokong pertumbuhan
ekonomi nasional. Seperti halnya pendapat Afrianto (2000) mengatakan bahwa :
”Pada tahun–tahun mendatang program desentralisasi dan pembangunan
Otonomi Daerah akan mendominasi pembangunan ekonomi daerah ”.
Hal ini jauh lebih luas dari pembangunan ekonomi daerah, yaitu meningkatkan
keadilan, mengembangkan partisipasi masyarakat serta untuk menjaga dan
memperkokoh kesatuan bangsa.
Pada hakekatnya pelaksanaan dan penerapan Otonomi Daerah diharapkan
untuk mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat untuk melaksanakan
pembangunan di daerah. Mengingat bahwa penentu kebijakan di daerah lebih
dekat dengan masyarakat dan lebih tahu tentang apa yang menjadi kebutuhan dari
daerah tersebut dan lebih mengerti apa yang menjadi aspirasi dari masyarakat
tersebut.
Pada
kenyataannya,
Otonomi
Daerah
belum
sepenuhnya
efektif
dilaksanakan. Daerah masih sangat tergantung terhadap pusat terutama dalam
33
merencanakan dan melaksanakan program–program daerah dan kegiatan–kegiatan
pembangunan. Daerah belum mampu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Oleh sebab itu pada masa yang akan datang diharapkan adanya sumberdaya
manusia yang berkualitas sehingga daerah tidak lagi bergantung kepada
pemerintah pusat tetapi mampu untuk menyelesaikan permasalahan–permasalahan
yang ada di daerah. Karena setiap perubahan di masyarakat perlu waktu untuk
menghadapi perubahan tersebut.
Sumber penerimaan daerah untuk melaksanakan hal–hal di atas adalah
melalui Penerimaan Asli Daerah (PAD). Namun sayangnya, sumbangan PAD
terhadap penerimaan daerah yang tercermin dalam PDRB relatif kecil. Hal ini
menyebabkan pembangunan di daerah relatif lambat dan terbatas.
Pemberian Otonomi Daerah kepada suatu daerah belum tentu daerah
tersebut dapat melaksanakan Otonomi Daerah dengan baik. Terkadang suatu
daerah ikut-ikutan melaksanakan Otonomi Daerah padahal sebenarnya daerah
tersebut belum mampu dan siap dalam melaksanakan Otonomi Daerah. Sehingga
pemberian Otonomi Daerah memerlukan kebijakan dan pertimbangan yang baik
supaya daerah tersebut dapat berkembang. Daerah yang sudah berkembang
dengan adanya Otonomi Daerah ditunjukkan dengan adanya sumberdaya alam
yang diolah dengan baik, sumberdaya manusia yang kompeten, keuangan daerah
yang memadai supaya Otonomi Daerah dapat terlaksana, birokrasi yang baik,
adanya kemauan yang kuat dari masyarakat untuk berkembang dan alat–alat lain
yang digunakan untuk menunjang berkembangnya daerah tersebut. Sama halnya
dengan Kaho dalam Riyanto (1997) yang menyatakan bahwa :
34
”Ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan
Otonomi Daerah :
1.
Sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor yang paling
esensial dari Otonomi Daerah sebagai subjek dan objek dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah.
2.
Keuangan merupakan faktor yang sangat menentukan pelaksanaan
Otonomi Daerah karena keuangan akan menentukan besarnya
PAD. PAD bersumber dari retribusi daerah, pajak, hasil
perusahaan daerah dan sebagainya.
3.
Peralatan yang cukup baik, baik berupa prasarana dan sarana
fisik yang memperlancar pembangunan.
4.
Organisasi dan manajemen merupakan lembaga dan organisasi,
pemerintah daerah yang akan menjadi eksekusif dan legislatif di
daerah.
Pemberian Otonomi Daerah harus secara sungguh–sungguh dilaksanakan
oleh daerah otonomi dan pemerintah pusat dengan berbagai kebijakan dan
pertimbangan
yang
strategis
dan
juga
perundang–undangan
sehingga
pelaksanaannya berjalan dengan baik.
2.3
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah yang meningkat dari tahun ke tahun
dapat dilihat dari banyak faktor. Misalnya antara lain pendapatan perkapita yang
meningkat, indeks perkembangan manusia yang meningkat di daerah tersebut,
35
investasi yang meningkat, Produk Domestik Regional Bruto yang selalu
meningkat tiap tahunnya, PAD (Penghasilan Asli Daerah) yang besar, sektor–
sektor perekonomian yang besar dan lain sebagainya.
Salah satu yang digunakan Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor
dalam mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor adalah
menggunakan PDRB-nya. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan suatu daerah, indikator makro yang dibutuhkan adalah Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) yang disajikan secara berkala (BPS Kabupaten
Bogor, 2004). PDRB yang meningkat dari tahun ke tahun akan menyebabkan
daerah tersebut mempunyai pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Oleh sebab
itu,
PDRB
dengan
berbagai
indikator
ekonominya
merupakan
bahan
pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan langkah strategis
pembangunan ekonomi. Dengan demikian, skala prioritas pembangunan ekonomi
sektoral dapat lebih tajam dan mencapai sasaran sesuai dengan yang ditargetkan.
PDRB lebih populer dengan istilah Pendapatan Regional (Regional
Income), merupakan data statistik yang merangkum perolehan nilai tambah dari
seluruh kegiatan ekonomi di suatu wilayah. PDRB dapat dihitung dalam dua cara,
yaitu atas dasar harga berlaku dan harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga
pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai
tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga pada suatu
tahun tertentu (tahun dasar) (BPS Kabupaten Bogor, 2004).
36
Dari dua penyajian PDRB ini diperoleh beberapa indikator ekonomi
makro yang banyak digunakan oleh berbagai kalangan baik birokrasi pemerintah,
peneliti maupun masyarakat dunia usaha (BPS Kabupaten Bogor, 2004). Indikator
tersebut adalah :
1. Tingkat pertumbuhan ekonomi
Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari PDRB daerah
tersebut. Apabila angka–angka PDRB disajikan atas dasar harga konstan, akan
menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Apabila angka–angka
dalam PDRB tersebut meningkat setiap tahunnya hal itu menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi daerah tersebut meningkat dan sebaliknya apabila angka–
angka yang disajikan dalam PDRB menurun setiap tahunnya maka hal itu
menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah tersebut menurun.
2. Tingkat kemakmuran suatu daerah
Suatu daerah yang mempunyai pertumbuhan perekonomian yang tinggi belum
tentu menjamin kemakmuran yang tinggi pula bagi masyarakatnya, apabila daerah
tersebut mempunyai pertumbuhan penduduk yang tinggi. Biasanya pertumbuhan
perekonomian dihitung secara makro sehingga belum tentu menunjukkan daerah
tersebut makmur atau tidak. Apabila suatu daerah dikatakan sudah makmur maka
daerah tersebut minimal sudah mampu memenuhi kebutuhan pokok sendiri. Oleh
sebab itu, salah satu indikator yang digunakan untuk melihat tingkat kemakmuran
suatu daerah adalah dengan menggunakan tingkat pertumbuhan pendapatan per
kapita. Tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita lebih menunjukkan
37
perkembangan kemakmuran sebab bila dilihat dari sudut konsumsi berarti
masyarakat di daerah tersebut mempunyai kualitas yang lebih baik.
Untuk mengetahui tingkat kemakmuran suatu daerah harus tersedia angka
pembanding dari daerah lain, dan untuk mengetahui perkembangannya diperlukan
adanya suatu angka perkembangan secara berkala.
3. Tingkat inflasi
Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh pemerintah adalah tingkat inflasi
yang selalu melonjak setiap tahunnya. Peningkatan pendapatan berupa uang yang
diterima masyarakat akan tidak berarti apabila diikuti oleh tingkat inflasi yang
tinggi, sebab akan menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat.0leh sebab itu
pemerintah harus menjaga tingkat inflasi agar tetap stabil yaitu salah satu caranya
dengan cara investasi yang besar pada sektor-sektor yang memberikan nilai
tambah yang besar seperti misalnya pada sektor perdagangan.
Masih banyak lagi indikator makro yang digunakan dalam mengukur
tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah seperti tingkat konsumsi di daerah
tersebut, indeks perkembangan manusia di daerah itu, angka kelahiran dan angka
kematian di daerah tersebut, sarana dan prasarana yang tersedia di daerah itu,
tingkat kemiskinan di daerah tersebut dan lain sebagainya. Namun pada penelitian
ini hanya terbatas pada beberapa indikator makro yang telah disebutkan di atas.
Ada beberapa manfaat penghitungan PDRB bagi suatu daerah antara lain
adalah (Biro Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2004) :
38
1. PDRB atas harga berlaku nominal menunjukkan kemampuan sumberdaya
ekonomi yang dihasilkan oleh suatu wilayah. Nilai PDRB yang besar
menunjukkan kemampuan sumberdaya ekonomi yang besar.
2. PDRB harga berlaku menunjukkan pendapatan yang memungkinkan dapat
dinikmati oleh penduduk suatu daerah. Semakin besar PDRB harga berlaku
yang diperoleh daerah tersebut maka semakin besar pendapatan yang mungkin
dapat dinikmati penduduk daerah tersebut.
3. PDRB atas harga konstan (rill) dapat digunakan untuk menunjukkan laju
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral dari tahun ke
tahun. Perhitungan PDRB dengan menggunakan harga konstan (riil) lebih baik
karena tidak hanya menunjukkan laju pertumbuhan suatu daerah namun dapat
menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi dari setiap sektor dari daerah
tersebut.
4. Distribusi PDRB atas dasar harga berlaku menurut sektor menunjukkan
struktur perekonomian yang menggambarkan peranan sektor ekonomi dalam
suatu wilayah. Sektor–sektor ekonomi yang mempunyai peranan besar
menunjukkan basis perekonomian yang mendominasi perekonomian wilayah
tersebut. Sektor–sektor ekonomi yang peranannya kecil menunjukkan non
basis perekonomian yang perlu untuk dikembangkan sehingga menjadi sektor
unggulan di masa yang akan datang.
39
Menurut Putong (2003), bahwa :
”Pertumbuhan ekonomi adalah pertambahan output (pendapatan daerah)
yang disebabkan oleh pertambahan alami dari tingkat pertambahan
penduduk dan tingkat tabungan.”
Sedangkan tingkat pertambahan penduduk adalah perubahan spontan dan
terputus–putus dalam keadaan stasioner yang senantiasa mengubah dan mengganti
situasi keseimbangan yang sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi dapat dihitung
dengan cara :
Pertumbuhan ekonomi = PDRBt – PDRBt-1
X 100%
PDRBt-1
Dimana :
PDRBt
= PDRB tahun sekarang
PDRBt-1
= PDRB tahun yang lalu
Pertumbuhan ekonomi dihitung dengan cara mengurangkan PDRB tahun sekarang
dengan PDRB tahun lalu kemudian membaginya dengan PDRB tahun lalu dikali
dengan 100 persen. Apabila perumbuhan ekonomi bertambah tiap tahunnya maka
daerah tersebut dapat dikatakan sebagai daerah yang cukup berkembang dan
sebaliknya apabila daerah tersebut mempunyai pertumbuhan ekonomi yang
semakin menurun maka daerah tersebut belum bisa dikatakan sebagai daerah yang
mapan. Setiap daerah tersebut menginginkan pertumbuhan yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun supaya daerah tersebut dapat berkembang.
40
2.3.1
Teori Pertumbuhan Harrod–Domar
Harrod–Domar mendasarkan teori pertumbuhannya pada investasi. Ada
dua hal yang dimiliki investasi yaitu pendapatan dan stok modal untuk
meningkatkan kapasitas produksi perekonomian. Investasi sangat dibutuhkan
dalam suatu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Investasi jangka panjang
akan dapat berpengaruh pada peningkatan pertumbuhan ekonomi sebab investasi
mempunyai nilai ekonomis jangka panjang yang selalu meningkat. Pertumbuhan
pendapatan yang nyata secara terus menerus pada tingkat yang cukup dan
mempertahankan pekerjaan dalam jangka panjang maka investasi harus senantiasa
diperbesar sehingga perekonomian akan berada pada jalur pertumbuhan yang
tetap.
Pada penelitian ini, pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan proksi dari
pendapatan yang dihasilkan oleh sektor perdagangan dari tahun ke tahun.
Investasi dapat meningkatkan pendapatan sektor perdagangan pada masa yang
akan datang. Investasi dilakukan dengan cara menunda pemakaian sekarang untuk
memperoleh manfaat yang lebih besar pada masa yang akan datang. Karena dari
pendapatan investasi inilah yang nanti digunakan lagi untuk berinvestasi.
2.3.2
Hubungan Pertumbuhan Ekonomi (Tingkat PDRB) dengan Sub
Sektor Perdagangan
Sektor perdagangan terdiri dari 3 sub sektor yaitu sub sektor perdagangan
besar dan eceran, sub sektor perhotelan, dan sub sektor rumah makan. Sektor
perdagangan merupakan salah satu sektor perekonomian yang ada di Kabupaten
Bogor. Pendapatan yang dihasilkan oleh sub sektor tersebut memberikan
41
pengaruh terhadap tingkat PDRB Kabupaten Bogor. Dengan meningkatnya
pendapatan yang dihasilkan sub sektor perdagangan maka nilai tambah PDRB
Kabupaten Bogor akan meningkat pula.
Begitu pula sebaliknya, penurunan
pendapatan sub sektor perdagangan akan menurunkan nilai tambah dari PDRB
Kabupaten Bogor. Asumsi Ceteris paribus. Hal ini menandakan bahwa adanya
hubungan positif atau searah antara tingkat PDRB dengan
sub sektor
perdagangan.
2.4
Teori Perdagangan
Sektor perdagangan merupakan sektor yang terdiri dari sub sektor–sub
sektor yaitu sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor perhotelan dan
sub sektor restoran (BPS Kabupaten Bogor, 2004). Sub sektor perdagangan besar
mencakup kegiatan pengumpulan dan penjualan kembali barang baru atau bekas
oleh pedagang dari produsen atau importer ke pedagang besar lainnya atau
pedagang eceran. Pedagang eceran mencakup kegiatan pedagang yang melayani
konsumen perorangan atau rumah tangga, tanpa merubah sifat, baik barang baru
atau barang bekas. Sub sektor hotel mencakup kegiatan penyediaan akomodasi
yang menggunakan sebagian atau seluruh bangunan sebagai tempat penginapan.
Sub sektor restoran mencakup kegiatan penyediaan makanan dan minuman jadi
yang pada umumnya dikonsumsi di tempat penjualan.
2.4.1
Hubungan antara Sektor Perdagangan dan Inflasi
Inflasi merupakan kenaikan harga-harga secara umum. Pada penelitian ini
inflasi yang digunakan adalah inflasi di Kabupaten Bogor. Inflasi yang meningkat
42
dari tahun ke tahun akan menyebabkan harga-harga di sektor perdagangan akan
meningkat. Hal ini akan menyebabkan daya beli di sektor perdagangan akan
menurun. Selanjutnya akan berdampak pada penurunan pendapatan yang
dihasilkan sektor perdagangan sehingga nilai tambah dari sektor perdagangan
menurun. Oleh sebab itu inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan sektor
perdagangan akan menurun. Oleh sebab itu, adanya hubungan antara tingkat
inflasi dengan pendapatan sektor perdagangan yang saling berlawanan atau
berhubungan negatif.
2.4.2
Macam-Macam Perdagangan
Perdagangan
merupakan
kegiatan
yang
dilakukan
antara
dua
negara/daerah atau lebih yang saling menjual atau membeli suatu barang. Dua
negara/daerah akan melakukan perdagangan secara sukarela apabila kedua
negara/daerah tersebut memperoleh keuntungan. Jika satu negara/daerah
memperoleh keuntungan sementara negara lainnya mengalami kerugian, maka hal
ini akan mendorong penolakan terhadap perdagangan.
Perdagangan tidak akan dapat berkembang apabila tidak didukung oleh
sektor–sektor atau faktor–faktor lain secara bersamaan. Untuk meningkatkan
sektor perdagangan suatu daerah salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
dengan adanya investasi. Investasi maksudnya menanamkan modal yang cukup
besar pada sektor tersebut dengan menunda pemakaian sekarang dengan harapan
pada masa yang akan datang memberikan keuntungan yang lebih besar. Dengan
dilakukannya investasi pada sektor perdagangan diharapkan sektor perdagangan
di masa yang akan datang dapat berkembang dengan lebih baik. Sektor
43
perdagangan juga dapat meningkat apabila adanya campur tangan dari
pemerintah. Campur tangan pemerintah sangat dibutuhkan apalagi jika sektor
perdagangan tersebut kurang dapat dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
suatu daerah. Dengan adanya campur tangan pemerintah diharapkan kontribusi
sektor tersebut cukup besar terhadap PDRB untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi suatu daerah.
Ada bermacam–macam teori perdagangan yang apabila semuanya
dilakukan oleh dua negara/daerah atau lebih atas kesepakatan negara/daerah yang
terlibat di dalamnya akan memperoleh keuntungan karena tidak ada negara/daerah
yang mau melakukan perdagangan jika mereka yang melakukannya tidak
memperoleh keuntungan.
Pada dasarnya perdagangan dapat dilakukan antara dua atau lebih
negara/daerah jika sebuah negara/daerah lebih efisien daripada (memiliki
keunggulan absolut) negara/daerah lain dalam memproduksi suatu komoditi,
namun kurang efisien dibanding (memiliki kerugian absolut) negara lain dalam
memproduksi komoditi lainnya maka kedua negara/daerah tersebut dapat
memperoleh keuntungan dengan cara masing–masing melakukan spesialisasi
dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut. Melalui proses
ini, sumberdaya di kedua negara/daerah dapat digunakan dalam cara yang paling
efisien. Output kedua komoditi yang diproduksi pun akan meningkat. Peningkatan
dalam output ini pun akan mengukur keuntungan dari spesialisasi produksi untuk
kedua negara/daerah yang melakukan perdagangan.
44
Smith dalam Salvatore (1997), mengatakan bahwa :
“Suatu
negara/daerah
negara/daerah
lain
dapat
apabila
melakukan
suatu
perdagangan
negara/daerah
dengan
(negara/daerah
pertama) lebih efisien dalam memproduksi suatu komoditi (komoditi 1)
dibanding negara/daerah lain (negara/daerah kedua) tetapi kurang efisien
dalam memproduksi komoditi yang lain (komoditi 2) dibanding negara
lain (negara/daerah kedua) tersebut dan negara/daerah kedua kurang
efisien dalam memproduksi komoditi 1 namun lebih efisien dalam
memproduksi komoditi 2. hal inilah yang disebut Smith dengan teori
keunggulan absolut (absolute advantage).”
Apabila kedua negara/daerah berspesialisasi pada komoditi yang menjadi
keunggulan negara/daerah masing–masing dan saling menukarkannya maka kedua
negara/daerah akan memperoleh keuntungan dari adanya perdagangangan
tersebut.
Ada juga perdagangan yang dapat dilakukan dengan cara apabila sebuah
negara/daerah meskipun kurang efisien dibanding (memiliki kerugian absolut)
negara/daerah lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih dapat
melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Daerah pertama
harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang
memiliki kerugian absolut lebih kecil (merupakan komoditi dengan keunggulan
komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih
besar (memiliki kerugian komparatif).
45
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Ricardo dalam Salvatore (1997)
yang mengatakan bahwa :
“Perdagangan antara kedua negara/daerah dapat juga dilakukan atas
keunggulan komparatif.”
Walaupun suatu negara/daerah (negara/daerah pertama) tidak mempunyai
keunggulan absolut sementara negara/daerah lain (negara/daerah kedua)
mempunyai keunggulan komparatif, kedua negara/daerah tersebut masih bisa
melakukan perdagangan dengan cara negara/daerah pertama melakukan
spesialisasi terhadap komoditi yang paling kecil kerugian absolutnya dan
mengekspornya ke negara/daerah kedua dan mengimpor komoditi yang paling
besar kerugian absolutnya.
Perdagangan yang didasarkan pada keunggulan komparatif dengan
memasukkan biaya oportunitas sering disebut sebagai Hukum Biaya Komparatif.
Berapa banyak komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh
tambahan produksi komoditi pertama. Semakin banyak komoditi kedua yang
dikorbankan maka tambahan komoditi pertama yang diproduksi semakin banyak.
Apabila komoditi tersebut mempunyai biaya oportunitas yang besar maka
komoditi tersebut tidak mempunyai keunggulan komparatif dan sebaliknya
apabila komoditi tersebut mempunyai biaya oportunitas yang kecil maka komoditi
tersebut mempunyai keunggulan komparatif. Haberler dalam Salvatore (1997)
mengatakan bahwa :
“Teori keunggulan komparatif berdasarkan pada teori oportunitas.
Menurut teori biaya oportunitas, biaya sebuah komoditi adalah jumlah
46
komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya
yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi pertama.”
Negara/daerah yang memiliki biaya oportunitas yang rendah dalam memproduksi
sebuah komoditi akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi tersebut
dan memiliki kerugian komparatif dalam komoditi yang lain. Dengan adanya
peningkatan biaya oportunitas, hubungan dagang di antara kedua negara/daerah
masih dapat berlangsung apabila selera atau preferensi permintaan dari kedua
negara/daerah berbeda satu sama lain.
Dengan adanya perdagangan, setiap negara/daerah dapat melakukan
spesialisasi dalam produksi komoditi yang memiliki keunggulan komparatif dan
menukarkan sebagian outputnya dengan negara/daerah lain untuk memperoleh
komoditi yang memiliki kerugian komparatif. Kedua negara/daerah akan
mengkonsumsi kedua komoditi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan
dengan tanpa perdagangan.
2.5
Analisis Model Regresi
Gujarati (1997) mengatakan :
”Analisis model regresi digunakan untuk mengkaji hubungan antar
peubah. Umumnya suatu peubah bersifat mempengaruhi peubah yang
lainnya, peubah pertama disebut peubah bebas (independence variable)
sedangkan peubah yang kedua adalah peubah terikat (dependence
variable).”
47
Yang termasuk dalam hal ini ke dalam peubah bebas antara lain sektor
perdagangan yang terdiri dari sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor
rumah makan dan sub sektor perhotelan dan peubah terikat adalah pertumbuhan
ekonomi yang ditunjukkan oleh pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor. Dan
untuk melihat pengaruh jumlah tenaga kerja pada sektor perdagangan, upah
tenaga kerja di sektor perdagangan, inflasi Kabupaten Bogor dan investasi pada
sektor perdagangan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan. Secara kuantitatif
hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat tersebut dapat dimodelkan
dalam persamaan matematik, sehingga dapat meramal atau menduga nilai suatu
peubah tak bebas jika diketahui peubah bebas. Dalam hal ini yang digunakan
adalah model regresi berganda.
2.5.1 Model Regresi Berganda
Persamaan regresi berganda adalah persamaan regresi yang melibatkan
dua atau lebih variabel dalam analisa. Tujuannya adalah untuk menghitung
parameter–parameter estimasi dan untuk melihat apakah ada atau tidaknya
hubungan antara variabel–variabel tersebut. Variabel yang diestimasi adalah
variabel terikat yang dalam hal ini pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor yang
ditunjukkan oleh Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor. Sedangkan variabel–
variabel yang mempengaruhi adalah variabel bebas antara lain sektor perdagangan
yang terdiri dari sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor rumah
makan dan sub sektor perhotelan. Dalam hal ini ingin melihat bagaimana
pengaruh sektor perdagangan terhadap PDRB Kabupaten Bogor sehingga
48
pertumbuhan ekonominya dapat meningkat. Apakah berhubungan positif atau
berhubungan negatif.
Di lain hal, sektor perdagangan menjadi variabel dependen sedangkan investasi
pada sektor perdagangan, jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan, upah tenaga
kerja di sektor perdagangan dan tingkat inflasi di Kabupaten Bogor menjadi
variabel independennya. Apakah berpengaruh positif atau mungkin negatif.
Firdaus (2004) mengatakan bahwa pada hakekatnya asumsi yang
digunakan dalam model regresi berganda antara lain :
1. E (εi) = 0 untuk setiap i.
2. Cov (εi, εj) =0, i≠j. Asumsi ini dikenal sebagai asumsi tidak adanya korelasi
berurutan atau tidak adanya autokorelasi.
3. Var (εi) = σ2, untuk setiap i. asumsi ini dikenal sebagai asumsi
homoskedastisitas, atau varians sama.
4. Cov (εi │X2i) = Cov (εi │X3i) = 0. Artinya kesalahan pengganggu εi dan
variabel bebas X tidak berkorelasi.
5. Tidak ada multikolinearitas (multicolinearity) yang berarti tidak terdapat
hubungan linearitas yang pasti di antara variabel bebas.
Dalam bentuk matematis persamaan regresi berganda contoh (sample) dapat
disajikan sebagai berikut :
Model struktural pertumbuhan PDRB dapat dirumuskan :
Yi = α0 + α1LPBE + α2LHOT + α3LRM + α4Dummy + e1 i
Model struktural sektor perdagangan dapat dirumuskan :
X1 = α5 + α6LINV + α7LUPAH + α8LTK + α9INF + α10Dummy + e2 i
49
2.6
Teori Tenaga Kerja dan Tingkat Upah Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang digunakan untuk
meningkatkan output atau pendapatan pada sektor perdagangan. Tenaga kerja
mempunyai
hubungan
positif
dengan
pendapatan.
Simanjuntak
(1985)
mengatakan :
” Tenaga kerja atau yang sering disebut dengan manpower mencakup
penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari
pekerjaan, dan yang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan
mengurus rumah tangga.”
Tenaga kerja yang banyak dengan tingkat produktivitas yang tinggi biasanya akan
meningkatkan pendapatan juga. Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor
yang cukup banyak menyerap tenaga kerja. Tenaga kerja yang banyak
menandakan bahwa sektor tersebut banyak melakukan kegiatan produksi.
Kemampuan tenaga kerja sangat dibutuhkan dalam meningkatkan pendapatan dari
sektor perdagangan tersebut. Apabila tenaga kerja yang tidak produktif sekalipun
jumlahnya sangat banyak biasanya kurang banyak kontribusinya terhadap
pendapatan.
Tenaga kerja mempunyai hubungan dengan tingkat upah dan pendapatan.
Simanjuntak (1985) mengatakan :
” Kenaikan tingkat upah mempengaruhi penyediaan tenaga kerja dengan
hubungan yang saling berlawanan.”
Tingkat upah yang rendah biasanya menyebabkan keluarga tersebut untuk
mengerahkan seluruh anggotanya untuk bekerja sehingga jumlah tenaga kerja
50
bertambah. Dengan bertambahnya jumlah tenaga kerja menyebabkan pendapatan
pada sektor perdagangan menjadi meningkat. Sebaliknya, dengan meningkatnya
tingkat upah menyebabkan pendapatan sektor perdagangan menjadi berkurang.
Untuk mempertahankan supaya pendapatan tersebut konstan (tetap) maka tenaga
kerja harus dikurangi. Dapat disimpulkan dengan meningkatnya upah maka
jumlah tenaga kerja menjadi berkurang.
2.7
Variabel Lag
Gujarati (1997) mengatakan :
” Pembahasan model regresi linear yang baku mengasumsikan bahwa
dalam perubahan pada sebuah variabel bebas mengakibatkan perubahan
variabel terikat dengan periode waktu yang sama dan selama periode
pengamatan”.
Dalam ilmu ekonomi, spesifikasi dalam masalah ini jarang ditemukan. Pada
umumnya suatu penyebab baru menimbulkan akibat setelah suatu selang waktu
tertentu, selang waktu inilah yang disebut dengan lag. Oleh sebab itu, perumusan
realitas
dari hubungan–hubungan ekonomi memerlukan nilai–nilai lag dari
variabel–variabel bebas atau juga memasukkan nilai–nilai lag dari variabel terikat.
Beberapa penyebab timbulnya lag dalam suatu sistem adalah (Gujarati,
1997) :
1. Alasan Psikologis
Disebabkan karena kebiasaan orang yang tidak merubah konsumsi mereka
dengan segera menuruti penurunan harga atau peningkatan pendapatan mungkin
51
karena proses perubahan melibatkan suatu kehilangan kegunaan segera sehingga
orang yang tiba–tiba mendapatkan pendapatan yang banyak, mungkin tidak
mengubah gaya hidupnya yang telah terbiasa baginya untuk waktu yang lama
karena mungkin mereka tidak tahu bagaimana bereaksi terhadap keberuntungan
yang tidak disangka dengan segera. Tentu saja dengan waktu yang cukup mereka
dapat belajar untuk hidup dengan keberuntungan yang baru saja diterima.
2. Alasan yang Bersifat Teknis
Misalkan harga modal dibandingkan dengan tenaga kerja relatif menurun
yang menyebabkan substitusi modal untuk tenaga kerja secara ilmu ekonomi
dimungkinkan. Tentu saja perubahan dalam modal memerlukan waktu (masa
persiapan) lebih jauh lagi jika penurunan dalam harga diharapkan setelah
penurunan harga modal yang bersifat sementara mungkin akan meningkat di atas
tingkat sebelumnya.
3. Alasan Kelembagaan
Alasan ini yang menyumbangkan terjadinya lag. Misalnya, kewajiban
yang bersifat kontrak yang mencegah perusahaan untuk beralih dari suatu sumber
tenaga kerja atau bahan mentah ke yang lainnya sekalipun pengalihan sangat
menguntungkan. Di samping itu, peraturan–peraturan tertentu juga menimbulkan
adanya lag. Misalnya, dana yang telah ditanamkan dalam tabungan jangka
panjang, 3 atau 7 tahun, akan terkunci tidak bisa segera ditarik, walaupun kondisi
pasar uang yang mengindikasikan bahwa menanam dana di tempat lain dapat
mendatangkan penghasilan yang lebih banyak.
52
Variabel lag terdiri dari dua jenis, yaitu variabel lag eksogen dan lag
endogen. Variabel lag eksogen mengasumsikan bahwa variabel endogen
tergantung pada nilai–nilai variabel eksogen yang lebih dari satu periode.
Sedangkan variabel lag endogen selain bergantung pada nilai–nilai variabel
eksogen, juga tergantung pada nilai–nilai variabel endogen pada periode
sebelumnya.
Disamping itu, ternyata bahwa penggunaan lag dalam suatu persamaan
atau model mengandung beberapa kelemahan ( Sarwoko, 2005) antara lain :
1. Memunculkan terjadinya gejala multikolinearitas yaitu terdapat hubungan
linearitas yang tinggi diantara variabel-variabel bebas.
2. Tidak ada jaminan bahwa menurunnya pengaruh karena meningkatnya lama
waktu sesuai dengan arah teori yang dijelaskan.
3. Mengakibatkan berkurangnya derajat kepercayaan.
Oleh sebab itu, untuk mengatasi kelemahan-kelemahan ini perlu dicari standar
praktis dengan menggunakan beberapa asumsi.
53
III.
3.1
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
Kerangka Pemikiran
Ditetapkannya Otonomi Daerah telah membuat pemerintah daerah sibuk
untuk mengurus daerahnya masing–masing dan melakukan pembangunan sesuai
dengan potensi daerah yang dimilikinya masing–masing. Pemerintah pusat hanya
sibuk untuk merancang perencanaan secara makro, sedangkan pemerintah daerah
merancang pelaksanaan pencapaian target sesuai dengan kondisi wilayah.
Melihat kondisi Indonesia yang sebagian areal tanahnya digunakan untuk
pertanian membuat sektor pertanian menjadi prioritas utama di dalam masyarakat.
Namun dalam kenyataannya sektor ini lama kelamaan mengalami penurunan
akibat banyaknya tenaga kerja yang beralih dari sektor pertanian ke sektor non
pertanian karena disebabkan oleh beberapa faktor antara lain sektor pertanian
telah jenuh dalam menyerap tenaga kerja, tenaga kerja tertarik oleh terbukanya
kesempatan kerja di sektor non pertanian dengan pendapatan yang lebih baik, di
pedesaan sendiri memandang rendah pekerjaan sebagai buruh petani terutama
pada golongan muda dan semakin tandusnya kesuburan tanah.
Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor dimana banyaknya
tenaga kerja yang beralih dari sektor pertanian. Sektor perdagangan merupakan
salah satu sumber pendapatan sebagian masyarakat khususnya Kabupaten Bogor.
Sektor perdagangan selain dapat meningkatkan pendapatan daerah juga dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah melalui kontribusinya terhadap
PDRB daerah tersebut. Supaya pembangunan perekonomian dapat dicapai secara
54
efektif dan efisien maka dapat dilakukan salah satunya dengan mengembangkan
perdagangan yang dapat berpengaruh pada pendapatan daerah. Sektor
perdagangan dibagi atas tiga sub sektor yaitu sub sektor perdagangan besar dan
eceran, sub sektor perhotelan dan sub sektor rumah makan (restoran).
Salah satu cara untuk mengetahui adanya hubungan atau tidak antara
sektor perdagangan dengan pertumbuhan ekonomi melalui kontribusi sektor
tersebut terhadap PDRB adalah dengan menggunakan analisis persamaan garis
regresi. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mencari parameter–parameter
estimasi yang paling baik untuk menjelaskan suatu fenomena dalam ekonomi dan
bisnis. Analisis ini sangat cocok untuk mengetahui dan mencari ada tidaknya
hubungan antara dua variabel atau lebih. Dalam hal ini untuk melihat hubungan
antara sektor perdagangan dengan pertumbuhan ekonomi, dalam hal ini
ditunjukkan oleh PDRB suatu wilayah. Apakah berpengaruh positif atau negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini juga dilihat dan dicari faktor–
faktor lain yang mempengaruhi sektor perdagangan. Dalam penelitian ini ada
empat faktor lain yang digunakan dan yang akan dihitung yaitu upah tanaga kerja
di sektor perdagangan, jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan, inflasi
Kabupaten Bogor dan investasi pada sektor perdagangan. Apakah upah tenaga
kerja, jumlah tenaga kerja, inflasi dan investasi berhubungan positif atau negatif
dengan pertumbuhan sektor perdagangan. Pengaruh jumlah tenaga kerja yang
besar, tingkat upah tenaga kerja, inflasi serta investasi terhadap pertumbuhan
sektor
perdagangan
diharapkan
dapat
meningkatkan
pendapatan
sektor
55
perdagangan khususnya di dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan
meningkatnya pertumbuhan ekonomi maka Kabupaten Bogor dapat berkembang.
Dengan demikian, program pembangunan sektor perdagangan dalam
usaha meningkatkan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi daerah
tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Salah satu tujuan
pembangunan adalah
untuk meningkatkan pendapatan daerah. Pembangunan
sektor perdagangan diharapkan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
pertumbuhan ekonomi wilayah. Hal ini dapat dilihat dari sumbangan sektor
perdagangan terhadap PDRB wilayah dan perlunya campur tangan pemerintah
daerah melalui berbagai kebijakan daerah. Dengan kebijakan yang sesuai dengan
arah pembangunan diharapkan daerah tersebut mampu berkembang dengan baik.
3.2
Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran serta permasalahan yang ingin
dipecahkan maka dirumuskan beberapa hipotesis di bawah ini antara lain :
1. Sub Sektor pada sektor perdagangan mempunyai hubungan yang positif
dengan pertumbuhan ekonomi (PDRB) Kabupaten Bogor.
2. Jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan dan investasi pada sektor
perdagangan berpengaruh secara positif dengan pertumbuhan sektor
perdagangan.
3. Inflasi Kabupaten Bogor dan tingkat upah tenaga kerja di sektor perdagangan
mempunyai hubungan yang negatif dengan pertumbuhan sektor perdagangan.
56
Kondisi Wilayah Kabupaten
Bogor
Sebelum Otonomi Daerah
Pada Masa Otonomi Daerah
Sektor – Sektor Perekonomian
Kabupaten Bogor
Inflasi
Investasi
Sektor Perdagangan :
- Sub Sektor Perdagangan
Besar dan Eceran
- Sub Sektor Perhotelan
- Sub Sektor Rumah Makan
Jumlah Tenaga Kerja
Upah Tenaga Kerja
Analisis Regresi
Pertumbuhan PDRB Kabupaten
Bogor
Keterangan :
: Alat analisis yang digunakan
: Hal-hal yang akan dianalisis
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Analisis Pengaruh Sektor
Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Beberapa Faktor Yang
Mempengaruhi Sektor Perdagangan Di Kabupaten Bogor
57
IV.
4.1
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penelitian
ini dilakukan dari bulan pebruari sampai bulan juni 2006. Pemilihan lokasi
dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan atas beberapa pertimbangan
antara lain :
a. Tersedianya data PDRB dan data pendukung lainnya yang relatif lengkap.
b. Pendapatan yang dihasilkan sektor perdagangan di Kabupaten Bogor dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan sehingga perlu diteliti untuk melihat
faktor–faktor penyebab berkembangnya sektor tersebut.
c. Sektor perdagangan merupakan penyumbang kedua terbesar terhadap PDRB
Kabupaten Bogor.
d. Aspek finansial berupa biaya untuk pencarian data dan pengolahannya yang
relatif tidak mahal.
4.2
Jenis dan Sumber Data
Pada penelitian ini, data yang digunakan adalah data time series dari tahun
1990 sampai tahun 2004. Data yang digunakan adalah data sekunder tentang
PDRB Kabupaten Bogor, nilai tambah perhotelan, perdagangan besar dan eceran
dan rumah makan/restoran dari tahun 1990 sampai tahun 2004, jumlah tenaga
kerja pada sektor perdagangan tahun 1990-2004, upah tenaga kerja pada sektor
perdagangan tahun 1990-2004, inflasi Kabupaten Bogor tahun 1990-2004, dan
investasi pada sektor perdagangan di Kabupaten Bogor tahun 1990–2004 yang
58
diperoleh dari beberapa sumber antara lain dari BPS Kabupaten Bogor, Bapedda
Kabupaten
Bogor,
Pemda
Kabupaten
Bogor,
Dinas
Perindustrian
dan
Perdagangan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, BPS Pusat serta instansi terkait
lainnya dalam pencarian dan pelengkapan data yang dibutuhkan.
4.3
Model Ekonometrika
Penelitian ini menggunakan dua persamaan struktural yang akan
diestimasi. Kedua persamaan tersebut adalah sebagai berikut :
Model struktural pertumbuhan PDRB dapat dirumuskan :
Yi = α0 + α1LPBE + α2LHOT + α3LRM + α4Dummy + e1 i .....................
1
Model struktural sektor perdagangan dapat dirumuskan :
X1 = α5 + α6LINV + α7LUPAH + α8LTK + α9INF + α10Dummy + e2 i ....
Keterangan :
Yi
= Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor (Rupiah),
X1
= Pertumbuhan Sektor perdagangan (Rupiah),
PBE
= Nilai tambah perdagangan besar dan eceran (Rupiah),
HOT = Nilai tambah perhotelan (Rupiah),
RM
= Nilai tambah rumah makan/restoran (Rupiah),
UPAH = Upah tenaga kerja di sektor perdagangan (Rupiah),
TK
= Jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan,
INV
= Investasi pada sektor perdagangan (Rupiah),
INF
= Inflasi Kabupaten Bogor,
αn
= Parameter yang diduga ( n = 1, 2, 3, ...) ,
e
= error (e1, e2, ...).
2
59
4.4
Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS)
dengan 2 model struktural. Untuk memudahkan dalam pengolahan data yang
digunakan dalam penelitian ini, maka data tersebut dimasukkan ke dalam
Microsoft Excel dan diolah dengan menggunakan Eviews 4.1.
4.5
Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik
Pengujian dapat dilakukan dengan kriteria ekonomi dan statistik.
Pengujian kriteria ekonomi dilakukan untuk melihat besaran dan tanda parameter
yang akan diestimasi, apakah sesuai dengan teori/keadaan atau tidak. Sedangkan
uji kriteria statistik dilakukan dengan: uji koefisien Determinasi (R2), uji t (uji
parsial), dan uji F (uji serempak).
4.5.1
Uji t (Uji Parsial)
Uji t (uji parsial) dilakukan untuk melihat apakah masing–masing variabel
bebas (independent variable) secara parsial berpengaruh pada veriabel terikatnya
(dependent variable).
Uji Dua Arah
H0 : b1 = b2 = ... = bi = 0
H1 : minimal ada salah satu bi ≠ 0
Tolak H0 bila thitung > tα/2 artinya variabel signifikan berpengaruh nyata pada taraf
nyata α.
60
Uji Satu Arah
H0 : b1 = b2 = ... = bi = 0
H1 : bi > 0 atau bi < 0
Tolak H0 bila thitung > tα artinya variabel signifikan berpengaruh nyata positif atau
negatif pada taraf α.
4.5.2
Uji F (Uji Serempak)
Uji F ini dilakukan untuk melihat apakah variabel–variabel bebas
(independent variable) secara serentak berpengaruh nyata pada variabel terikatnya
(dependent variable). Apabila uji F diterima (lebih kecil dari taraf nyata α) hal ini
menandakan bahwa ada minimal satu variabel yang berpengaruh secara signifikan
atau berpengaruh nyata pada keragaman variabel terikatnya pada taraf nyata α.
H0 : b1 = b2 = ... = bi = 0
H1 : bi ≠ 0
Tolak H0 jika Fhitung > Fα(k, n-k-1)
k : Banyaknya variabel bebas
4.5.3
Uji Koefisien Determinasi (R2)
Uji koefisien determinasi digunakan untuk melihat sejauh mana variabel
bebas mampu menerangkan keragaman variabel terikatnya. Nilai R2 mengukur
tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam memprediksi nilai
variabel terikatnya. Ada dua sifat R2 yaitu
61
1. Merupakan besaran non negatif
2. batasnya adalah antara 0 dan 1. jika R2 bernilai 1 berarti suatu kecocokan
sempurna, sedangkan jika R2 bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara
variabel terikat dengan variabel bebasnya.
4.6
Uji Ekonometrika
4.6.1
Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas terjadi bila adanya pelanggaran pada asumsi regresi.
Hal tersebut ditandai dengan variannya tidak tetap. Pelanggaran ini akan
menyebabkan parameter yang diduga menjadi tidak efisien. Gujarati (1997)
mengatakan :
“.Untuk mendekteksi ada tidaknya pelanggaran ini dengan menggunakan
White Heteroscedasticity Test.”
Nilai probabilitas Obs*R-squared dijadikan sebagai acuan untuk menolak atau
menerima H0 : homoskedastisitas.
Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata α, maka tolak H0
Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata α, maka terima H0
Apabila H0 ditolak maka akan terjadi gejala heteroskedastisitas, begitu juga
sebaliknya apabila terima H0 maka tidak akan terjadi gejala heteroskedastisitas.
4.6.2
Autokorelasi
Gujarati (1997) mengatakan :
“ Dalam model regresi akan terjadi autokorelasi apabila terjadi bentuk
fungsi yang tidak tepat, peubah penting dihilangkan dari model, terjadi
62
interpolasi data. Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi first degree
dapat digunakan nilai Durbin–Watson (DW) dari hasil regresi.”
Namun untuk melihat autokorelasi pada tingkat yang lebih tinggi digunakan
Breusch – Godfrey Lagrange Miltiplier Test (LM). Apabila adanya hubungan
korelasi antara error maka akan menyebabkan parameter yang diduga menjadi
tidak efisien. Probabilitas Obs*R-squared dijadikan untuk menolak atau
menerima H0 : no autokorelasi.
Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata α, maka tolak H0
Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata α, maka terima H0
Apabila H0 ditolak maka tidak terjadi autokorelasi begitu juga bila H0 diterima
maka terjadi autokorelasi.
4.6.3
Multikolinearitas
Multikolinieritas terjadi apabila pada regresi berganda tidak terjadi
hubungan antar variabel bebas atau terjadi karena adanya korelasi yang nyata
antar peubah bebas. Pelanggaran asumsi ini akan menyebabkan kesulitan untuk
menduga yang diinginkan.
Gujarati (1997) mengatakan :
“Untuk mendeteksi ada tidaknya multikoloniearitas adalah dengan
memperhatikan hasil probabilitas t statistik hasil regresi.”
Jika banyak koefisien parameter yang diduga menunjukkan hasil yang tidak
signifikan maka hal ini mengindikasikan adanya multikoloniearitas.
63
Salah satu cara yang paling mudah untuk mengatasi pelanggaran ini adalah
dengan menghilangkan salah satu variabel yang tidak signifikan tersebut. Hal ini
sering tidak dilakukan karena dapat menyebabkan bias parameter yang spesifikasi
pada model. Kemudian cara lain adalah dengan mencari variabel instrumental
yang berkorelasi dengan variabel terikat namun tidak berkorelasi dengan variabel
bebas lainnya. Namun hal ini agak sulit dilakukan mengingat tidak adanya
informasi tentang tipe variabel tersebut.
Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinier. Salah
satunya menurut Gujarati (1997) yaitu :
“Melalui correlation matric, dimana batas terjadinya korelasi antar
sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari | 0.80 |.”
Cara yang lainnya yaitu menurut Gujarati (1997) yaitu :
“Melalui correlation matric dapat pula digunakan Uji Klein dalam
mendeteksi multikolinieritas”.
Apabila terdapat nilai korelasi yang lebih tinggi dari | 0.80 | , maka menurut Uji
Klein multikolinearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut tidak
melebihi Adjusted R-squared-nya.
4.7
Beberapa Kelemahan Metode Ordinary Least Square (OLS)
Ketika menggunakan data runtut waktu (time series), seringkali muncul
kesulitan-kesulitan yang sama sekali tidak dijumpai pada saat menggunakan data
seksi silang (cross section). Sebagian besar kesulitan tersebut berkaitan dengan
urutan pengamatan. Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan dari metode
64
ordinary least square (OLS) dengan menggunakan data time series (Sarwoko,
2005) antara lain :
1. Suatu kondisi dimana satu variabel time series berubah secara konsisten dan
terprediksi sebelum variabel lain ditentukan demikian. Jika suatu variabel
mendahului variabel yang lain, tidak dapat dipastikan bahwa variabel pertama
tersebut menyebabkan variabel lain berubah, namun hamper dapat dipastikan
bahwa kebalikannya adalah bukan hal itu.
2. Variabel-variabel independen nampak lebih signifikan dari yang sebenarnya,
yaitu apabila variabel-variabel itu memiliki trend menaik yang sama dengan
variabel dependennya dalam kurun waktu periode sampel.
3. Terkadang variabel time series tidak stasioner. Maksudnya rata-rata dan
variannya tidak konstan sepanjang waktu dan nilai kovarian antara dua
periode waktu tergantung dari jarak atau lag antara kedua periode dari waktu
sesungguhnya dimana kovarian itu dihitung dan bukan dari periode pada
waktu itu.
4. Terkadang variabel time series tidak mempunyai kointegrasi yaitu dalam
jangka waktu tertentu tidak terdapat keseimbangan.
5. Sulit untuk menentukan kapan sebuah variabel bebas masuk ke dalam
persamaan regresi. Apakah variabel tersebut penting sebagaimana dijelaskan
dalam teori atau sebaliknya teorinya kurang jelas, maka akan muncul dilema.
6. Sulit untuk menentukan model persamaan mana yang lebih baik.
7. Perlakuan terhadap error semua model persamaan adalah sama.
65
V.
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
5.1
Keadaan Umum Wilayah Penelitian
5.1.1
Geografi dan Pemerintahan
Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung
dengan ibukota Republik Indonesia dan secara geografis mempunyai luas sekitar
2.301,95 Km2 dan terletak antara 6.190–6.470 lintang selatan dan 10601’–1070103’
bujur timur.
Wilayah ini berbatasan dengan :
Sebelah Utara
: Kota Depok
Sebelah Barat
: Kabupaten Lebak
Sebelah Barat Daya
: Kabupaten Tangerang
Sebelah Timur
: Kabupaten Purwakarta
Sebelah Timur Laut
: Kabupaten Bekasi
Sebelah Selatan
: Kabupaten Sukabumi
Sebelah Tenggara
: Kabupaten Cianjur
Pada tahun 2004 Kabupaten Bogor mempunyai 40 Kecamatan, 426
desa/kelurahan, 3.160 RW, 12.170 RT dan 862.919 rumah tangga. Dari jumlah
tersebut mayoritas mempunyai ketinggian sekitar kurang dari 500 meter terhadap
permukaan laut, yakni 232 desa, sedang di antara 500–700 meter ada 144 desa dan
sisanya 49 desa sekitar lebih dari 500 meter dari permukaan laut. Hampir sebagian
besar desa pada Kabupaten Bogor sudah terklasifikasi sebagai Desa Swakarya
66
yakni 235 desa, lainnya 191 desa merupakan Desa Swasembada dan tidak ada
Desa Swadaya.
Berdasarkan klasifikasi daerah tersebut, yang dilihat dari aspek potensi
lapangan usaha, kepadatan penduduk dan sosial terdapat kategori desa perkotaan
sebanyak 199 desa dan desa pedesaan sebanyak 227 desa.
5.1.2 Penduduk dan Ketenagakerjaan
Salah satu aset pembangunan yang paling dominan dipunyai di banyak
negara berkembang pada umumnya jumlah penduduk dan angkatan kerja yang
demikian besar jumlahnya. Hasil registrasi penduduk akhir tahun 2004 tercatat
bahwa penduduk Kabupaten Bogor yaitu 3.438.055 jiwa dan jumlah ini
merupakan yang paling besar diantara kabupaten/kota di Jawa Barat. Dari jumlah
tersebut penduduk laki–laki berjumlah 1.742.653 jiwa dan perempuan 1.695.402
jiwa dengan rasio jenis kelamin 103. Data berikut menyajikan jumlah penduduk
yang bekerja pada masing–masing sektor di Kabupaten Bogor.
67
Tabel 4. Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Pada
Lapangan Usaha di Kabupaten Bogor Tahun 2001–2004
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Lapangan
Usaha
Pertanian
Pertambangan
dan Galian
Industri
Listrik, Gas dan
Air Minum
Konstruksi
Perdagangan
Komunikasi
Keuangan
Jasa – Jasa
Lainnya
Jumlah
2001
377.410
19.102
Jumlah Pekerja Tahun
2002
2003
342.492
241.818
13.166
13.214
2004
261.880
9.726
252.670
1.420
286.949
3.538
275.618
8.367
290.410
5.354
70.268
259.634
88.568
23.934
190.992
0
1.283.992
79.828
307.608
120.180
24.769
172.134
849
1.251.513
63.659
346.414
100.914
24.458
188.994
3.040
1.266.496
84.238
320.228
117.776
12.252
188.182
0
1.290.046
Sumber : Survei Sosial Ekonomi 2001–2004 (Kabupaten Bogor Dalam Angka 2001– 2004)
Berdasarkan Tabel 4 di atas sektor perdagangan dalam dua tahun terakhir
yaitu tahun 2003 dan 2004 menjadi sektor yang paling banyak menyerap tenaga
kerja dibanding dengan sektor lain. Pada tahun 2001 dan 2002 sektor pertanian
merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini menandakan
bahwa sektor perdagangan merupakan sektor terpenting dalam penyerapan tenaga
kerja di Kabupaten Bogor pada tahun–tahun yang akan datang.
Besarnya jumlah penduduk yang akan membawa implikasi tertentu,
utamanya terhadap persebaran dan densitasnya (kepadatan penduduk). Pada tahun
2004 kecamatan yang mempunyai kepadatan penduduk yang berkisar di atas
2.000 jiwa/km2 sebanyak 16 kecamatan yakni : Cibungbulang, Ciampea,
Dramaga, Ciomas, Taman Sari, Ciawi, Cisarua, Megamendung, Sukaraja, Gunung
Putri, Cibinong, Bojong Gede, Tajur Halang, Kemang, Parung, dan Ciseeng.
68
Salah satu upaya dalam mengurangi tingginya densitas penduduk dan
tingkat persebaran telah dilakukan pemerintah Kabupaten Bogor melalui program
transmigrasi, baik itu transmigrasi umum, PIR, dan Non PIR. Tahun 2004 telah
diberangkatkan kira–kira 63 Kepala Keluarga (kira–kira 201 jiwa).
Dari segi struktur penduduk, Kabupaten Bogor mempunyai struktur
penduduk umur muda, hal ini akan membawa akibat semakin besarnya jumlah
angkatan kerja.
Partisipasi angkatan kerja merupakan perbandingan antara Jumlah
Angkatan Kerja dengan penduduk berumur 10 tahun lebih. Tahun 2004 Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Bogor untuk laki–laki 75,2 persen,
perempuan 27,15 persen dan secara total 51,68 persen. Jumlah penduduk yang
bekerja sebanyak 993,938 orang untuk laki–laki, 296.108 orang untuk perempuan
dan 1.290.046 orang untuk total Kabupaten Bogor. Sedangkan jumlah
pengangguran sebanyak 138.926 untuk laki–laki dan 96.100 orang untuk
perempuan dari 235.026 untuk total Kabupaten Bogor.
5.1.3
Sosial
Selama berlangsung kegiatan pembangunan telah ditekankan bahwa titik
beratnya pada bidang ekonomi, walaupun pembangunan bidang sosial tetap
berlangsung. Telah disadari bahwa peningkatan sumberdaya manusia menjadi
sangat perlu guna peningkatan kualitas manusia menghadapi tantangan kehidupan
di masa yang akan datang. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan di
Kabupaten Bogor merupakan salah satu wujud nyata dalam bidang pendidikan.
69
Tahun 2004 SD Negeri sebanyak 1.558 sekolah, SD Swasta sebanyak 75 sekolah
dengan jumlah guru sekitar 11.388 orang. SMTP Negeri sebanyak 60 sekolah dan
SMTP Swasta 356 sekolah dengan jumlah guru sebanyak 6.845 orang. SMTA
Negeri sebanyak 27 sekolah dan SMTA Swasta sebanyak 223 sekolah dengan
jumlah guru sebanyak 4.887 orang. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat
dapat diupayakan dengan tersedianya fasilitas kesehatan yang terjangkau jarak
dan biaya bagi kebanyakan penduduk. Pada tahun 2004 di Kabupaten Bogor telah
tersedia 3 rumah sakit pemerintah, 1 rumah sakit khusus, dan 4 rumah sakit
swasta. Sedangkan jumlah puskesmas sebanyak 101 puskesmas, 63 puskesmas
pembantu dan 23 puskesmas keliling. Jumlah dokter sebanyak 548 dokter umum,
130 dokter gigi dan 92 dokter spesialis.
Usaha membina kesejahteraan keluarga melalui perencanaan kelahiran
merupakan upaya dari program keluarga berencana (KB). Pencapainya telah
dibentuk klinik–klinik KB untuk pelayanan masyarakat. Banyaknya klinik KB
tahun 2003 sebanyak 183 klinik. Pencapaian target akseptor KB baru tahun 2004
di Kabupaten Bogor mencapai 95,48 persen untuk non MJP dan 4,52 persen untuk
MJP (IUD, MOP, MOW, dan IMPL). Sedangkan tingkat prevalensi
(perbandingan antara PA dan PUS) rata–rata sekitar 71,41 persen.
Penyediaan tempat ibadah bagi kalangan umat beragama merupakan salah
satu media komunikasi antara hamba-Nya dengan Sang Pencipta, dalam
meningkatkan derajat keimanan seseorang. Tahun 2004 terdapat sebanyak 2.762
mesjid, 817 mushola, 29 gereja, dan 15 vihara/pura.
70
Tahun 2004 di Kabupaten Bogor terdapat jumlah penduduk yang
beragama Islam sebanyak 3.201.606, Kristen Khatolik sebanyak 30.228, Kristen
Protestan 21.576, Hindu 12.427, dan Budha 21.322 orang.
5.1.4
Perdagangan
Perusahaan/usaha perdagangan adalah perusahaan/usaha yang dilakukan
penjualan kembali (tanpa perubahan teknis), barang-barang baru maupun bekas
meliputi perdagangan besar dan perdagangan eceran. Perdagangan terdiri dari
perdagangan besar dan perdagangan eceran.
5.1.4.1 Perdagangan Besar
Perdagangan besar adalah perdagangan barang baru maupun bekas dalam
partai besar kepada pedagang eceran, perusahan industri, kantor, rumah sakit,
rumah makan, dan akomodasi. Perdagangan besar tidak menjual barang dagangan
kepada konsumen rumahtangga.
Kegiatan perdagangan besar meliputi (BPS Kabupaten Bogor, 2004) :
-
Perdagangan besar (eksportir) adalah perusahan/usaha yang melakukan
kegiatan penjualan barang/jasa dari dalam ke luar wilayah Indonesia.
-
Perdagangan besar (importer) adalah perusahaan/usaha yang melakukan
kegiatan penjualan barang/jasa dari luar ke dalam wilayah Indonesia.
-
Distributor/penyalur adalah perusahaan/usaha yang berdiri sendiri yang
menjual barang perusahaan lain dan pada umunya mempunyai daerah kerja.
Termasuk juga distributor/penyalur tunggal. Meliputi : hasil pertanian,
71
pertambangan dan penggalian, dan barang-barang hasil industri olahan.
Contoh : distributor hasil bumi.
-
Perdagangan besar berdasarkan balas jasa (service fee) atau kontrak (contract
fee) adalah usaha yang dilakukan atas perusahaan/usaha lain atas dasar
kontrak/fee. Perdagangan besar berdasarkan balas jasa atau kontrak meliputi :
-
Agen adalah perusahaan/usaha perantara yang berdiri sendiri, bertindak
(membuat perjanjian-perjanjian) atas nama perusahaan yang memberikan
keagenan (principal) dan biasanya diangkat dengan perjanjian dan tidak
boleh mengadakan kegiatan yang sifatnya menyaingi principal. Termasuk
dalam hal ini agen tunggal dan wakil perusahaan. Contoh : agen sepatu
bata.
-
Makelar adalah pedagang perantara yang berusaha melakukan transaksi
atas nama satu atau lebih perusahaan/usaha lain yang dengannya tidak ada
hubungan tetap. Dan mendapat balas jasa yang disebut kurtase dari
transaksi yang berhasil dilaksanakan. Contoh : makelar motor atau mobil.
-
Komisioner/Pedagang Komisi adalah perusahaan/usaha (pihak pertama)
yang melakukan transaksi atau persetujuan dengan pihak ketiga atas nama
perusahaan/usaha sendiri tetapi atas nama amanat perusahaan/usaha lain
(pihak kedua) dan mendapat balas jasa yang disebut komisi. Komisioner
bertanggungjawab kepada pihak kedua dan ketiga.
5.1.4.2 Perdagangan Eceran
Perdagangan eceran adalah usaha perdagangan yang melakukan penjualan
kembali (tanpa perubahan teknis) barang-barang baru maupun bekas dalam partai
72
kecil. Umumnya kepada konsumen rumahtangga. Usaha perdagangan eceran
meliputi :
-
Perdagangan eceran barang-barang baru yang utamanya makanan, minuman
atau tembakau di dalam bangunan seperti waserba, toko kelontong dan
sejenisnya.
-
Perdagangan
eceran
barang-barang
baru
yang
utamanya
bukan
makanan/minuman atau tembakau di bangunan.
-
Perdagangan eceran komoditi makanan, minuman atau tembakau yang sejenis
di dalam bangunan seperti perdagangan eceran hasil pertanian, hasil industri.
-
Perdagangan eceran komoditi baru bukan makanan, minuman atau tembakau
yang sejenis di dalam bangunan.
-
Perdagangan eceran barang bekas di dalam bangunan.
-
Perdagangan eceran di luar bangunan.
5.1.4.3 Restoran/Rumah Makan
Ada beberapa jenis restoran/rumah makan antara lain :
-
Restoran/rumah makan/warung makan adalah jenis usaha jasa pangan yang
bertempat di sebagian atau seluruh bangunan tetap (tidak berpindah-pindah),
yang menyajikan dan menjual makanan dan minuman di tempat usahanya baik
dilengkapi maupun tidak dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses
pembuatan maupun penyimpanan dan belum mendapatkan ijin dan surat
keputusan dari instansi yang membinanya.
73
-
Kedai makanan dan minuman adalah usaha perdagangan eceran yang menjual
bermacam-macam makanan kecil dan minuman yang siap dikonsumsi di
tempat tetap.
-
Penjualan makanan dan minuman keliling/tempat tidak tetap adalah usaha
perdagangan eceran yang menjual bermacam-macam makanan dan minuman
siap dikonsumsi yang biasanya dijual melalui kios yang mudah dipindahpindahkan atau didorong sepanjang jalan, seperti pedagang bakso keliling.
-
Jasa boga (Catering) adalah usaha penjualan makanan jadi (siap dikonsumsi)
yang terselenggara melalui pesanan-pesanan untuk kantor, perayaan, pesta,
seminar, rapat dan sejenisnya. Biasanya makanan jadi yang dipesan diantar ke
tempat kerja, pesta, seminar/rapat dan sejenisnya berikut pramusaji yang akan
melayani tamu-tamu atau peserta seminar atau rapat pada saat pesta/seminar
berlangsung. Termasuk dalam kelompok ini jasa boga yang melayani pesawat
angkutan udara, tempat pengeboran minyak dan lokasi penggergajian kayu.
5.1.4.4 Perhotelan
-
Penginapan remaja (Youth Hotel) adalah usaha penyediaan jasa
penginapan yang biasanya digunakan bagi remaja sebagai akomodasi
dalam rangka kegiatan pariwisata dengan tujuan untuk rekreasi,
memperluas pengetahuan/pengalaman dan perjalanan.
-
Pondok wisata (Homestay) adalah usaha penyediaan jasa pelayanan
penginapan bagi umum dengan pembayaran harian, yang dilakukan
perseorangan dengan menggunakan sebagian atau seluruhnya dari tempat
tinggalnya.
74
-
Jasa akomodasi lainnya adalah usaha penyediaan jasa pelayanan
penginapan yang belum termasuk dalam kelompok di atas.
5.2
Perekonomian Kabupaten Bogor
5.2.1
Laju Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor disajikan dalam bentuk PDRB.
Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menunjukkan bahwa PDRB Kabupaten
Bogor mempunyai PDRB yang besar. Laju pertumbuhan ekonomi menunjukkan
bahwa adanya perubahan pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.
Laju pertumbuhan ekonomi dari sektor perdagangan sebelum Otonomi Daerah
menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun. Namun pada tahun 1997
ketika terjadi krisis moneter menyebabkan semua sektor–sektor pertanian
mengalami
pertumbuhan
ekonomi
yang
negatif
termasuk
juga
sektor
perdagangan. Kemudian setelah terjadi Otonomi Daerah yang dimulai tahun 2001
berangsur–angsur pertumbuhan ekonomi mulai membaik. Setiap daerah diberikan
kekuasaan untuk mengatur daerahnya masing–masing sesuai dengan potensi
daerah yang ada di daerah tersebut. Pada tahun 2004 yang mengalami
pertumbuhan ekonomi yang paling besar adalah sektor pertambangan dan
penggalian (13,26 persen) dan paling kecil adalah sektor pertanian (0,42 persen).
75
Tabel 5. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor tahun 1990–2004
Tahun
Pertanian
Pertambangan dan
Industri
Listrik, Gas dan
Penggalian
Pengolahan
Air Minum
Bangunan
Perdagangan
Pengangkutan dan
Keuangan
Jasa - Jasa
Komunikasi
1990
7,44
6,78
15,60
10,86
6,63
7,80
2,08
2,55
7,69
1991
4,13
5,60
12,82
22,67
8,24
8,91
10,64
-0,65
5,05
1992
8,90
6,57
7,16
14,51
8,47
9,13
5,51
4,24
5,84
1993
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1994
2,81
-7,04
17,02
10,10
9,53
11,50
6,91
8,39
4,10
1995
2,43
-7,84
14,69
7,91
7,35
9,32
4,94
6,23
3,72
1996
7,42
6,41
13,97
5,58
8,28
10,87
14,96
19,12
7,97
1997
-12,75
2,95
7,78
10,97
4,29
3,20
6,89
10,48
4,60
1998
-21,91
-20,33
-13,93
9,15
-46,65
-21,01
-18,83
-28,67
-2,08
1999
4,69
-5,14
1,38
4,37
-2,41
1,31
0,94
5,19
0,65
2000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2001
2,86
0,09
4,15
4,12
4,46
3,49
5,10
3,86
5,04
2002
0,02
1,61
4,98
4,86
5,22
4,38
5,62
5,22
5,01
2003
1,88
8,22
5,36
5,11
5,81
5,00
6,46
5,68
5,49
2004
0,42
13,26
6,28
5,92
6,68
5,83
7,34
6,08
6,34
Sumber : BPS Kabupaten Bogor Tahun 1990 – 2004
76
5.2.2
Struktur Ekonomi
Pada Tabel 6 di bawah ini, terlihat jelas bahwa pada masa sebelum
Otonomi Daerah, sektor perdagangan merupakan sektor kedua yang paling besar
sumbangannya setelah sektor industri pengolahan terhadap PDRB Kabupaten
Bogor. Dan pada masa Otonomi Daerah juga sektor perdagangan merupakan
sektor kedua terbesar penyumbang terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Dari sini
terlihat jelas bahwa sektor perdagangan juga mempunyai peranan yang cukup
penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor. Oleh
sebab itu, struktur perekonomian Kabupaten Bogor dari tahun 1990 sampai tahun
2004 didominasi oleh sektor industri pengolahan. Kemudian sektor perdagangan
dan seterusnya. Pada tahun 2004 struktur ekonomi Kabupaten Bogor didominasi
oleh sektor industri pengolahan (61,02 persen), kemudian sektor perdagangan
(15,42 persen). Dan yang paling kecil adalah sektor
penggalian.
pertambangan dan
77
Tabel 6. Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bogor Tahun 1990-2004
Tahun
Pertanian
Pertambangan dan
Industri
Listrik, Gas dan
Penggalian
Pengolahan
Air Minum
Bangunan
Perdagangan
Pengangkutan dan
Keuangan
Jasa - Jasa
Komunikasi
1990
16,23
0,72
29,45
2,31
9,93
24,09
5,61
0,18
5,45
1991
15,49
0,69
30,46
2,60
9,85
24,05
5,69
0,16
5,25
1992
15,63
0,69
30,23
2,76
9,90
24,31
5,56
0,15
5,14
1993
12,42
8,43
38,40
2,89
8,09
14,96
4,17
3,43
7,21
1994
11,62
7,13
40,87
2,90
8,06
15,17
4,05
3,38
6,82
1995
10,95
6,05
43,15
2,88
7,97
15,27
3,92
3,31
6,51
1996
13,14
1,27
48,77
2,89
8,04
12,53
3,88
3,46
6,02
1997
11,01
1,25
50,48
3,08
8,05
12,42
3,98
3,67
6,05
1998
10,44
1,21
52,80
4,09
5,22
11,92
3,93
3,18
7,20
1999
10,76
1,13
52,67
4,20
5,01
11,89
3,90
3,29
7,13
2000
7,74
1,75
59,85
3,78
3,22
15,43
2,67
1,76
3,80
2001
7,66
1,69
59,97
3,79
3,23
15,36
2,70
1,76
3,83
2002
7,33
1,59
60,29
3,80
3,26
15,36
2,73
1,77
3,86
2003
6,86
1,64
60,58
3,81
3,29
15,38
2,77
179
3,88
2004
6,53
1,35
61,02
3,83
3,32
15,42
2,82
1,80
3,91
Sumber : BPS Kabupaten Bogor Tahun 1990 – 2004
78
VI.
6.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Estimasi Variabel Dependen LPDRB
Dalam mengestimasi model yang dipakai, penelitian ini menggunakan
Metode Kuadrat Terkecil Biasa (Ordinary Least Square). Perangkat komputer
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data yang dimasukkan dalam Microsoft
excel dan diolah menggunakan Eviews 4.1. Hasil estimasi model ditunjukkan
dalam tabel di bawah ini.
Tabel 7. Hasil Estimasi Variabel Dependen LPDRB
Variabel
C
LPBE
LHOT
LRM
DUMMY
R-squared
Adjusted R-squared
Durbin-Watson stat
Koefisien
Standard Error
1.938795
1.669715
0.419297
0.058699
0.255663
0.057355
0.436111
0.121230
-0.014169
0.055537
t-hitung
Probabilitas
1.161153
0.2725
7.143144
0.0000
4.457531
0.0012
3.597390
0.0049
-0.255134
0.8038
0.978143 F-statistik
0.969400 Prob(F-statistik)
1.665345 Prob. Obs*R-squared (LM test)
Prob. Obs*R-squared (White
Heteroscedasticity)
111.8776
0.000000
0.092920
0.163792
Keterangan : Taraf Nyata α = 0,05 (5%)
6.2
Uji Statistik dan Uji Ekonometrika
Berdasarkan Tabel 7 di atas, maka diperoleh persamaan regresi sebagai
berikut :
LPDRBt = 1.938794951 + 0.4192974901 LPBEt + 0.255662837 LHOTt
+ 0.4361105637 LRMt - 0.01416943909 DUMMY
79
Estimasi parameter regresi dengan menggunakan Ordinary Least Square
(OLS) haruslah memenuhi lima asumsi dasar yang disebutkan dalam bab dua oleh
Firdaus (2004). Untuk melihat apakah kelima asumsi dasar tersebut terpenuhi,
perlu dilakukan pengujian setelah perhitungan dan uji hipotesis dilakukan.
Pengujian asumsi dasar tersebut meliputi uji multikolinearitas, uji autokorelasi
dan uji heteroskedastisitas. Pengujian ini dimaksudkan untuk mendeteksi ada
tidaknya pelanggaran terhadap asumsi dasar tersebut. Bila terjadi pelanggaran,
maka akan diperoleh hasil yang tidak valid.
Berdasarkan hasil pendugaan parameter pada Tabel 7, persamaan tingkat
PDRB tersebut memiliki daya penjelas (Adjusted R-squared) sebesar 0.969400.
Artinya yaitu variasi variabel dependen dari persamaan tingkat PDRB tersebut
dapat dijelaskan secara linier oleh variabel independen di dalam persamaan
sebesar 96,94 persen, dan sisanya 3,06 persen dijelaskan oleh faktor–faktor lain di
luar persamaan. Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,0000,
maka persamaan ini lulus uji-F. Nilai ini menandakan bahwa minimal ada satu
parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman
variabel dependennya (PDRB) pada taraf nyata lima persen.
Berdasarkan nilai statistik uji-t menunjukkan bahwa ada tiga variabel yang
berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan lima persen dan satu variabel yang
tidak berpengaruh secara nyata pada tingkat kepercayaan lima persen. Variabel
yang berpengaruh secara signifikan adalah sub sektor perdagangan besar dan
eceran, sub sektor perhotelan dan sub sektor rumah makan (restoran). Variabel
yang tidak berpengaruh secara signifikan yaitu variabel dummy Otonomi Daerah.
80
Selanjutnya uji kriteria ekonometrika berdasarkan hasil temuan empiris
dapat ditunjukkan bahwa pada uji heteroskedastisitas persamaan PDRB ini
memiliki nilai probabilitas Obs*R-squared sebesar 0,163792. Persamaan ini tidak
akan mengalami heteroskedastisitas jika nilai probabilitas Obs*R-squared lebih
besar dari taraf nyata. Pada persamaan ini taraf nyata yang digunakan adalah lima
persen. Jadi dapat disimpulkan bahwa probabilitas Obs*R-squared-nya lebih
besar dari taraf nyata sehingga persamaan ini tidak mengalami heteroskedastisitas
pada taraf nyata lima persen.
Pada uji autokorelasi, persamaan PDRB ini memiliki probabilitas Obs*Rsquared (LM Test) dengan nilai sebesar 0.0929. Sementara taraf nyata yang
digunakan dalam persamaan ini adalah sebesar lima persen. Apabila nilai
probabilitas Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata lima persen, maka
persamaan tersebut tidak mengalami autokorelasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa
persamaan tersebut tidak mengalami autokorelasi karena nilai probabilitas Obs*Rsquared-nya lebih besar dari taraf nyata lima persen.
Sementara itu pada uji multikolinearitas, persamaan ini menggunakan Uji
Klein dan tidak menunjukkan adanya gejala multikolinearitas. Hal ini dapat dilihat
pada correlation matric (Lampiran 3).
Sekalipun pada correlation matric tersebut masih terdapat nilai korelasi
yang lebih besar dari | 0.80 | , yaitu antara tingkat PDRB dan sub sektor
perhotelan
sebesar 0,916060 (Lampiran 3), namun karena pada uji
multikolinearitas ini menggunakan Uji Klein sehingga multikolinearitas masih
bisa diabaikan apabila nilai korelasi–korelasi antar variabel tersebut tidak
81
melebihi Adjusted R-squared-nya. Pada analisis ini menunjukkan bahwa nilai
Adjusted R-squared-nya diperoleh sebesar 0,9694, sedangkan korelasi terbesar
yang terjadi antar variabel adalah 0,,916060, maka dapat disimpulkan bahwa
persamaan ini tidak mengalami gejala multikolinearitas.
Dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa persamaan PDRB ini
memenuhi lima asumsi dasar pada bab dua, yaitu tidak mengalami gangguan
ekonometrika, baik itu heteroskedastisitas, autokorelasi dan multikolinearitas.
6.3
Analisis Hubungan antara Sub Sektor Perdagangan dengan PDRB
6.3.1
Sub Sektor Perdagangan Besar dan Eceran (LPBE)
Perdagangan besar adalah perdagangan barang baru maupun bekas pada
umumnya dalam partai besar kepada pedagang eceran, perusahan industri, kantor,
rumah sakit, rumah makan, dan akomodasi. Perdagangan besar tidak menjual
barang dagangan kepada konsumen rumahtangga. Perdagangan eceran adalah
usaha perdagangan yang melakukan penjualan kembali (tanpa perubahan teknis)
barang-barang baru maupun bekas dalam partai kecil. Umumnya kepada
konsumen rumahtangga. Di dalam sektor perdagangan, perdagangan besar dan
perdagangan eceran digabung menjadi satu sub sektor yaitu sub sektor
perdagangan besar dan eceran.
Sub sektor perdagangan besar dan eceran ini dihitung secara keseluruhan
(makro) per tahun dari tahun 1990 sampai tahun 2004 dengan melihat seberapa
besar nilai tambah yang dihasilkan sub sektor perdagangan besar dan eceran
82
terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Sub sektor ini tidak melihat per unit kegiatan
yang dilaksanakan dan dihasilkan tetapi sub sektor ini hanya menghitung secara
makro saja. Secara teori sub sektor perdagangan besar dan eceran ini berpengaruh
positf terhadap PDRB Kabupaten Bogor.
Pada Tabel 7, koefisien parameter pada variabel sub sektor perdagangan
besar dan eceran (LPBE) sebesar 0,419297, artinya kenaikan satu persen pada
pendapatan (nilai tambah) sub sektor perdagangan besar dan eceran menyebabkan
peningkatan sebesar 0,419297 persen terhadap PDRB Kabupaten Bogor.
Sebaliknya, penurunan sebesar satu persen dari pendapatan sub sektor ini akan
menyebabkan menurunnya PDRB Kabupaten Bogor sebesar 0,419297 persen. Hal
ini sesuai dengan teori bahwa pertumbuhan pada sub sektor perdagangan besar
dan eceran ini mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan PDRB
Kabuapten Bogor, maka apabila pemerintah memperhatikan sub sektor ini dengan
berbagai kebijakan maka sub sektor ini akan dapat berkembang dan memberikan
sumbangsih yang besar terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Asumsi ceteris
paribus.
Pada Tabel 7, terlihat bahwa probabilitas variabel sub sektor perdagangan
besar dan eceran (LPBE) sebesar 0,0000. Hal ini menandakan bahwa perdagangan
besar dan eceran mempunyai pangaruh yang signifikan terhadap PDRB dengan
tingkat taraf nyata lima persen. Berdasarkan hasil estimasi bahwa sub sektor
perdagangan besar dan eceran berpengaruh nyata terhadap PDRB.
83
6.3.2
Sub Sektor Perhotelan (LHOT)
Perhotelan adalah salah satu sub sektor dari sektor perdagangan.
Perhotelan adalah suatu tempat untuk menginap atau tempat peristirahatan yang
biasanya digunakan orang–orang untuk mencari ketenangan untuk tidur atau
untuk mencari suasana baru atau juga untuk digunakan sebagai tempat menginap
untuk sementara waktu dengan membayar sejumlah uang. Dalam hal ini
perhotelan yang dimaksud adalah nilai tambah yang dihasilkan oleh perhotelan
dari tahun 1990 sampai tahun 2004 baik itu hotel berbintang dan hotel tidak
berbintang. Perhitungannya dilakukan secara makro serta estimasinya juga
dilakukan secara makro. Hotel–hotel tersebut digabung ke dalam satu sub sektor
yaitu sub sektor perhotelan. Yang dianalisis bukan seberapa banyak jumlah hotel
yang ada di Kabupaten Bogor tetapi seberapa besar sumbangsih perhotelan
terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Sebab jumlah hotel yang banyak tidak
mencerminkan besarnya penerimaan terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Justru
yang paling diperhitungkan adalah seberapa besar nilai tambah yang dihasilkan
oleh aktivitas perhotelan tersebut.
Menurut hipotesis pada bab tiga dikatakan bahwa sub sektor perhotelan ini
mempunyai pengaruh yang positif terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Sehingga
dapat dikatakan bahwa secara makro peningkatan PDRB tersebut sebagian
dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan sub sektor perhotelan.
Kemudian pada Tabel 7, terlihat bahwa koefisien parameter pada variabel
sub sektor perhotelan sebesar 0,2556. artinya bahwa kenaikan sebesar satu persen
nilai tambah sub sektor perhotelan menyebabkan kenaikan rata–rata per tahun
84
PDRB Kabupaten Bogor sebesar 0,2556 persen. Begitu juga sebaliknya,
penurunan satu persen nilai tambah sub sektor perhotelan menyebabkan
penurunan sebesar 0,2556 persen PDRB Kabupaten Bogor. Asumsi ceteris
paribus.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa probabilitas variabel sub sektor
perhotelan sebesar 0,0012. Nilai ini lebih kecil dari taraf nyatanya sebesar lima
persen sehingga sub sektor perhotelan mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor. Hal ini sesuai dengan hipotesis
pada bab tiga. Oleh sebab itu dapat pula dikatakan bahwa sub sektor perhotelan
mempunyai hubungan yang positif atau searah dengan PDRB. Hal ini ditandai
dengan bernilai positifnya koefisien parameter dari variabel sub sektor perhotelan
tersebut terhadap PDRB. Nilai tambah sub sektor perhotelan meningkat maka
PDRB juga akan meningkat dalam jumlah yang kecil, karena sebenarnya masih
banyak faktor yang mempengaruhi meningkatnya PDRB. Karena dalam penelitian
ini hanya membahas sub sektor perdagangan, maka secara umum nilai tambah sub
sektor perhotelan dapat meningkatkan PDRB Kabupaten Bogor.
6.3.3
Sub Sektor Rumah Makan/Restoran (LRM)
Rumah makan/restoran adalah suatu tempat yang digunakan oleh orang–
orang untuk menikmati makanan dan minuman. Rumah makan/restoran adalah
jenis usaha jasa pangan yang bertempat di sebagian atau seluruh bangunan tetap
(tidak berpindah-pindah), yang menyajikan dan menjual makanan dan minuman
di tempat usahanya baik dilengkapi maupun tidak dengan peralatan dan
85
perlengkapan untuk proses pembuatan maupun penyimpanan. Semua tempat yang
menyajikan dan menjual makanan di tempat usahanya dihitung secara keseluruhan
yang tergabung dalam rumah makan/restoran.
Rumah makan/restoran dihitung dan diestimasi secara makro yaitu dengan
melihat nilai tambah yang dihasilkan rumah makan/restoran dari tahun 1990
sampai tahun 2004 dengan data tahunan. Dalam hal ini rumah makan/restoran
ingin diestimasi untuk melihat pengaruhnya terhadap PDRB Kabupaten Bogor.
Menurut hipotesis pada bab tiga, bahwa rumah makan/restoran mempunyai
hubungan yang positif dengan PDRB. Apabila rumah makan/restoran mengalami
peningkatan pendapatan maka PDRB juga akan mengalami peningkatan
pendapatan.
Pada Tabel 7, terlihat bahwa koefisien parameter dari variabel sub sektor
rumah makan/restoran sebesar 0,436111. Artinya bahwa peningkatan satu persen
pada pendapatan sub sektor rumah makan/restoran akan menyebabkan kenaikan
sebesar 0,4361111 persen PDRB Kabupaten Bogor. Begitu juga sebaliknya,
penurunan sebesar satu persen pada pendapatan sub sektor rumah makan/restoran
akan menyebabkan penurunan sebesar 0,436111 persen PDRB Kabupaten Bogor.
Asumsi ceteris paribus.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai probabilitas dari variabel sub
sektor rumah makan/restoran sebesar 0,0049 lebih kecil dari taraf nyata pada
penelitian ini sebesar lima persen. Artinya bahwa sub sektor rumah makan
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Maka
hal ini sesuai dengan hipotesis pada bab tiga. Artinya sub sektor rumah
86
makan/restoran mempunyai hubungan yang positif dengan PDRB. Hal ini ditandai
dengan bernilai positifnya koefisien parameter dari variabel sub sektor rumah
makan/restoran tersebut. Oleh sebab itu sub sektor rumah makan/restoran
mempunyai hubungan yang searah dengan PDRB. Peningkatan pada pendapatan
dari sub sektor rumah makan/restoran akan menyebabkan peningkatan juga pada
PDRB Kabupaten Bogor sehingga pertumbuhan ekonominya meningkat juga.
6.3.4
Variabel Dummy Otonomi Daerah
Pada penelitian ini dummy yang digunakan adalah dummy Otonomi
Daerah. Dummy Otonomi Daerah digunakan untuk melihat apakah pertumbuhan
PDRB Kabupaten Bogor yang dipengaruhi oleh sub sektor perdagangan lebih baik
pada masa Otonomi Daerah atau sebelum Otonomi Daerah. Apakah lebih efektif
apabila diserahkan wewenangnya kepada daerah atau harus ada campur tangan
yang besar dari pemerintah pusat.
Menurut hipotesis bahwa pertumbuhan PDRB ysng dipengaruhi sub sektor
perdagangan akan lebih baik pada masa Otonomi Daerah dibanding pada masa
sebelum Otonomi Daerah. Hal ini bisa dikatakan karena biasanya daerah lebih
mengerti apa yang menjadi kebutuhannya. Pada Tabel 7, terlihat bahwa koefisien
parameter dari variabel dummy sebesar -0.014169. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan yang negatif dengan pertumbuhan PDRB. Artinya pertumbuhan PDRB
tersebut lebih baik pada masa sebelum Otonomi Daerah dibanding pada masa
Otonomi Daerah. Hal ini bertolak belakang dengan hipotesis yang mengatakan
bahwa pertumbuhan PDRB akan lebih baik pada masa Otonomi Daerah. Nilai
87
PDRB sebelum Otonomi Daerah dan pada masa Otonomi Daerah berbeda sebesar
0.014169 persen.
Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa nilai probabilitas dari variabel
dummy sebesar 0.8038. Nilai dari variabel dummy lebih besar dari taraf nyata
sebesar lima persen. Hal ini menunjukkan bahwa Otonomi Daerah tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor.
Hal di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa Otonomi Daerah
pengaruh dari sub sektor perdagangan tidak signifikan terhadap PDRB Kabupaten
Bogor. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis. Pertumbuhan PDRB pada masa
Otonomi Daerah yang kurang baik diduga disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain pemerintah daerah kurang mampu dalam mengolah sumberdaya yang
tersedia, adanya pembuatan surat ijin usaha perdagangan (SIUP) yang sangat sulit,
bahwa sebenarnya pemerintah daerah belum siap dalam rangka Otonomi Daerah
karena sumberdaya manusia yang kurang kompeten dan berkualitas, pemerintah
daerah mungkin masih sangat tergantung terhadap pemerintah pusat, dan lain
sebagainya sehingga pada masa Otonomi Daerah pertumbuhan PDRB kurang
baik.
6.3.5
Pembahasan Ekonomi
Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 7, menunjukkan bahwa sub sektor
perdagangan besar dan eceran, sub sektor perhotelan dan sub sektor rumah makan
mempunyai hubungan yang positif dan secara signifikan mempengaruhi
pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor. Karena nilai probabilitasnya lebih kecil
88
dari taraf nyata sebesar 5 persen. Peningkatan pendapatan sub sektor perdagangan
besar dan eceran, sub sektor perhotelan, dan sub sektor rumah makan/restoran
akan meningkatkan PDRB Kabupaten Bogor. Begitu juga sebaliknya penurunan
nilai tambah sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor perhotelan dan
sub sektor rumah makan/restoran akan menurunkan PDRB Kabupaten Bogor. Hal
ini sesuai dengan hipotesis pada bab tiga. Jadi secara umum sub sektor
perdagangan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap PDRB Kabupaten
Bogor.
Namun pada masa Otonomi Daerah Pertumbuhan PDRB mengalami
penurunan namun tidak berpengaruh secara signifikan. Hal ini diduga disebabkan
oleh kurang mampunya pemerintah daerah dalam mengelola sub sektor
perdagangan dengan baik dengan sumberdaya manusia yang tersedia, pemerintah
daerah masih sangat tergantung dengan kebijakan–kebijakan dari pemerintah
pusat dalam mengelola sub sektor perdagangan, sumberdaya manusia yang kurang
berkualitas dan lain sebagainya.
6.4
Hasil Estimasi Variabel Dependen LPERD
Model kedua yang akan dianalisis adalah bagaimana pengaruh dari
beberapa faktor seperti investasi pada sektor perdagangan, jumlah tenaga kerja
pada sektor perdagangan, upah tenaga kerja di sektor perdagangan serta inflasi
Kabupaten Bogor terhadap pertumbuhan sektor perdagangan. Model ini akan
dianalisis dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS). Untuk mengetahui
beberapa faktor yang mempengaruhi sektor perdagangan (LPERD) di Kabupaten
89
Bogor dapat dilihat di bawah ini. Hasil estimasi model ditunjukkan pada Tabel 8
di bawah ini.
Tabel 8. Hasil Estimasi Variabel Dependen LPERD
Variabel
C
LINV(-2)
LUPAH
LTK
INF(-2)
DUMMY
R-squared
Adjusted R-squared
F-statistik
Prob(F-statistik)
6.5
Koefisien Standard Error
21.46884
2.268188
0.107742
0.099901
-0.481006
0.134801
0.395226
0.226765
-0.022741
0.002719
1.084525
0.209000
t-hitung
Probabilitas
9.465192
0.0000
1.078488
0.3166
-3.568265
0.0091
1.742889
0.1249
-8.364673
0.0001
5.189106
0.0013
0.973566 Durbin-Watson stat
0.954685 Prob. Obs*R-squared (LM Test)
51.56203 Prob. Obs*R-square
(White Heteroscedasticity)
0.000023
1.706815
0.674056
0.360698
Uji Kriteria Statistik dan Uji Kriteria Ekonometrika
Berdasarkan Tabel 8 di atas, maka diperoleh persamaan regresi sebagai
berikut :
LPERDt = 21.46883843 + 0.1077421367 LINVt-2 - 0.4810057909 LUPAHt +
0.395225756 LTKt - 0.02274085149 INFt-2
+ 1.084524989 DUMMY
Berdasarkan hasil pendugaan parameter pada Tabel 8, persamaan sektor
perdagangan memiliki daya penjelas (Adjusted R-squared) sebesar 0.954685,
artinya variasi variabel tak bebas dari persamaan sektor perdagangan dapat
dijelaskan secara linear oleh variabel bebas di dalam persamaan sebesar 95.46
persen. Sisanya sebesar 4.54 persen dijelaskan oleh faktor–faktor lain di luar
persamaan. Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.000023
90
maka persamaan di atas melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa persamaan di
atas telah mendukung keabsahan model, dan dapat juga dikatakan bahwa
variabel–variabel penjelas dalam model persamaan secara bersama–sama
berpengaruh nyata terhadap sektor perdagangan pada taraf nyata lima persen.
Selanjutnya untuk melakukan pengujian terhadap masing–masing faktor
(Uji-t) yang mempengaruhi pertumbuhan sektor perdagangan secara signifikan,
perlu dilakukan uji signifikan terhadap masing–masing faktor. Hal ini dapat
dilakukan dengan melihat probabilitas masing–masing variabel tersebut. Nilai
probabilitas kurang dari taraf nyata lima persen menandakan bahwa variabel
tersebut berpengaruh secara signifikan. Nilai probabilitas lebih dari taraf nyata
lima persen menandakan bahwa variabel tersebut tidak berpengaruh secara
signifikan. Pada Tabel 8 terlihat bahwa upah tenaga kerja di sektor perdagangan,
inflasi Kabupaten Bogor pada dua periode sebelumnya dan dummy Otonomi
Daerah berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan.
Sedangkan jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan dan investasi pada sektor
perdagangan pada dua periode sebelumnya tidak berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan sektor perdagangan.
Selanjutnya uji kriteria ekonometrika dilakukan untuk melihat apakah
model tersebut memenuhi kelima asumsi dasar yang disebutkan pada bab dua
tersebut. Untuk melihat apakah kelima asumsi dasar tersebut terpenuhi maka
dilakukan pengujian. Pengujian tersebut meliputi uji multikolinearitas, uji
autikorelasi dan uji heteroskedastisitas. Pengujian itu dilakukan untuk melihat
91
apakah ada pelanggaran terhadap terhadap kelima asumsi dasar tersebut. Apabila
ada pelanggaran maka akan diperoleh hasil yang tidak valid.
Berdasarkan hasil temuan empiris dapat ditunjukkan bahwa pada uji
heteroskedastisitas persamaan sektor perdagangan mempunyai nilai probabilitas
Obs*R-squared sebesar 0.360698. Artinya apabila nilai probabilitas Obs*Rsquared lebih kecil dari taraf nyata yang pada penelitian ini yaitu sebesar lima
persen, maka persamaan itu mengalami gejala heteroskedastisitas. Namun apabila
nilai probabilitas Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata lima persen maka
tidak akan mengalami gejala heteroskedastisitas. Dari hasil di atas, dapat
disimpulkan bahwa persamaan tersebut terbebas dari gejala heteroskedastisitas
karena nilai Obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata lima persen.
Selanjutnya kriteria ekonometrika dengan menggunakan uji autokorelasi
(LM test). Persamaan dari sektor perdagangan ini memiliki nilai probabilitas
Obs*R-squared sebesar 0.674056. Pada persamaan ini taraf nyata yang digunakan
adalah lima persen. Jadi dapat disimpulkan bahwa persamaan ini tidak mengalami
gejala autokorelasi. Hal ini disebabkan pada persamaan ini nilai taraf nyata yang
digunakan kurang dari nilai probabilitas Obs*R-squared-nya.
Pada uji multikolinearitas, persamaan ini tidak mengalami gejala
multikolinearitas. Hal ini dapat dilihat pada correlation matic (Lampiran 4). Pada
correlation matric tersebut nilai korelasi antar variabel yang tertinggi yaitu
sebesar 0.743775. Nilai ini masih lebih kecil dari | 0.80 | . Artinya apabila nilai
korelasi antar variabel tertinggi lebih kecil dari nilai | 0.80 | , maka persamaan
92
tersebut tidak mengalami gejala multikolinearitas. Oleh sebab itu persamaan
tersebut tidak mengalami gejala multikolinearitas.
Jadi dapat disimpulkan bahwa persamaan sektor perdagangan dalam
penelitian
ini
tidak
mengalami
gangguan
ekonometrika,
baik
itu
heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas.
6.6
Pembahasan Ekonomi
Dari hasil estimasi berdasarkan Tabel 8 di atas, diketahui bahwa variabel
besarnya investasi di Kabupaten Bogor pada dua periode sebelumnya memiliki
koefisien positif dan memiliki hubungan yang tidak signifikan terhadap sektor
perdagangan pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien 0.107742. Hal ini
menunjukkan bahwa jika investasi pada dua periode sebelumnya meningkat satu
persen maka tingkat pertumbuhan sektor perdagangan akan meningkat pula
sebesar 0.107742 persen. Sebaliknya, penurunan sebesar satu persen investasi
pada
dua
periode
sebelumnya
menyebabkan
akan
menurunnya
sektor
perdagangan sebesar 0.107742 persen pula. Investasi maksudnya menunda untuk
mengkonsumsi untuk memperoleh nilai yang lebih baik pada masa yang akan
datang. Hal ini kurang sesuai dengan teori pertumbuhan Harrod–Domar yang
mengatakan bahwa investasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan sektor perdagangan. Artinya investasi tidak berpengaruh secara
signifikan dengan pertumbuhan sektor perdagangan. Hal ini disebabkan karena
investasi pada sektor perdagangan yang ada di Kabupaten Bogor tidak
dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan karena investasi
sektor
93
perdagangan tidak memberikan nilai tambah yang cukup signifikan terhadap
pertumbuhan sektor perdagangan. Hal ini disebabkan juga karena investasi bukan
merupakan salah satu faktor penting dalam mempengaruhi pertumbuhan sektor
perdagangan. Ketika sektor perdagangan mengalami peningkatan pendapatan nilai
tambah dari investasi kurang memberikan kontribusi yang besar. Asumsi Ceteris
paribus.
Investasi sangat dibutuhkan untuk meningkatkan nilai tambah atau
penghasilan di masa yang akan datang sebab nilai dari suatu investasi tidak pernah
mengalami penurunan melainkan selalu mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Oleh karena itu untuk menjaga nilai dari investasi tersebut sangat penting
karena investasi yang baik dapat menentukan suatu sektor itu dapat berkembang
di masa yang akan datang. Peranan pemerintah Kabupaten Bogor juga sangat
diperlukan untuk menjaga investasi sektor perdagangan supaya dapat berkembang
dengan baik.
Tingkat upah tenaga kerja di sektor perdagangan memiliki koefisien yang
negatif dan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan sektor perdagangan
dengan nilai koefisien sebesar -0.481006. Artinya peningkatan sebesar satu persen
tingkat upah tenaga kerja maka pendapatan sektor perdagangan akan menurun
sebesar 0.481006 persen. Sebaliknya penurunan tingkat upah tenaga kerja justru
menaikkan pendapatan sektor perdagangan sebesar 0.481006 persen. Hal ini
sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara
tingkat upah tenaga kerja dengan pendapatan sektor perdagangan. Hal ini
disebabkan pada saat tingkat upah tenaga kerja meningkat akan mengakibatkan
94
pendapatan yang dihasilkan oleh sektor perdagangan tersebut akan menurun
karena membayar jumlah tenaga kerja yang konstan (tetap) yang terdapat di sektor
perdagangan tersebut. Oleh sebab itu pendapatan yang dihasilkan sektor
perdagangan menurun. Sebaliknya apabila tingkat upah tenaga kerja diturunkan
menyebabkan pendapatan sektor perdagangan menjadi meningkat. Oleh sebab itu
penurunan atau peningkatan upah tenaga kerja harus dijaga dan diatur oleh
pemerintah Kabupaten Bogor sesuai dengan peningkatan atau penurunan
pendapatan sektor perdagangan. Asumsi Ceteris paribus.
Variabel jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan memiliki koefisien
positif namun tidak berpengaruh signifikan dengan pendapatan sektor
perdagangan dengan nilai koefisien sebesar 0.395226. Peningkatan sebesar satu
persen terhadap jumlah tenaga kerja menyebabkan peningkatan sebesar 0.395226
persen terhadap pendapatan sektor perdagangan. Sebaliknya penurunan sebesar
satu persen jumlah tenaga kerja menyebabkan penurunan sebesar 0.395226 persen
pendapatan sektor perdagangan. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan
bahwa peningkatan jumlah tenaga kerja akan meningkatkan pendapatan pada
sektor perdagangan. Apabila jumlah tenaga kerja meningkat atau bertambah akan
menyebabkan pendapatan sektor perdagangan meningkat karena dengan
bertambahnya jumlah tenaga kerja akan menghasilkan pendapatan yang lebih
banyak. Namun pada penelitian ini pengaruh jumlah tenaga kerja pada sektor
perdagangan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan sektor
perdagangan. Hal ini diduga disebabkan sektor perdagangan bukan merupakan
sektor terbesar dan terbanyak dalam menyerap tenaga kerja dari tahun 1990
95
sampai tahun 2004, karena tenaga kerja yang terdapat di Kabupaten Bogor masih
banyak tenaga kerja muda yang tidak punya keahlian, tenaga kerjanya mempunyai
tingkat pendidikan yang rendah. Oleh sebab itu pemerintah Kabupaten Bogor
diharapkan memperhatikan kualitas dari tenaga kerja supaya mereka mempunyai
keahlian dan produktivitas yang tinggi. Memberikan dan menanamkan pendidikan
yang tinggi. Asumsi Ceteris paribus.
Variabel inflasi Kabupaten Bogor pada dua periode sebelumnya memiliki
koefisien negatif dan berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan sektor
perdagangan dengan nilai koefisien sebesar -0.022741. Jika inflasi pada dua
periode sebelumnya meningkat sebesar satu persen maka tingkat pendapatan
sektor perdagangan akan turun sebesar 0.022741 persen. Sebaliknya jika inflasi
pada dua periode sebelumnya menurun sebesar satu persen maka pendapatan
sektor perdagangan akan meningkat sebesar 0.022741 persen. Terdapat hubungan
yang negatif antara sektor perdagangan dengan inflasi, maka hasil estimasi ini
telah sesuai dengan tinjauan pustaka yang ada (BPS Kabupaten Bogor, 2004).
Ketika tingkat inflasi meningkat akan menyebabkan harga–harga khususnya
harga–harga pada sektor perdagangan meningkat. Dengan meningkatnya harga
tersebut menyebabkan biaya produksinya akan meningkat yang pada akhirnya
pendapatan yang dihasilkan sektor perdagangan menjadi berkurang. Asumsi
Ceteris paribus.
Variabel dummy yang merupakan dummy Otonomi Daerah memiliki
koefisien positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan sektor
perdagangan dengan nilai koefisien sebesar 1.084525, sehingga dapat disimpulkan
96
bahwa nilai sektor perdagangan antara sebelum Otonomi Daerah dan pada masa
Otonomi Daerah berbeda sebesar 1.084525 persen. Hal ini sesuai dengan teori
pada bab II. Artinya bahwa pertumbuhan sektor perdagangan lebih baik pada
masa Otonomi Daerah
dibandingkan pada masa sebelum Otonomi Daerah.
Dengan adanya Otonomi Daerah pendapatan Sektor perdagangan akan meningkat
sebesar 1.084525 persen dibanding pada masa sebelum Otonomi Daerah.
97
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh sektor perdagangan
terhadap pertumbuhan ekonomi serta beberapa faktor yang mempengaruhi sektor
perdagangan sebelum Otonomi Daerah dan pada masa Otonomi Daerah, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Tingkat PDRB Kabupaten Bogor sebelum Otonomi Daerah lebih baik
daripada pada masa Otonomi Daerah.
2. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa pengaruh sub sektor
perdagangan seperti perdagangan besar dan eceran, rumah makan (restoran),
dan perhotelan mempunyai pengaruh yang signifikan dan berpengaruh besar
terhadap PDRB Kabupaten Bogor. Hal ini disebabkan karena nilai probabilitas
dari masing–masing sub sektor perdagangan mempunyai nilai yang lebih kecil
dari taraf nyata lima persen.
3. Berdasarkan analisis bahwa sektor perdagangan dipengaruhi secara signifikan
oleh tingkat upah tenaga kerja di Kabupaten Bogor dan tingkat inflasi tetapi
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah tenaga kerja dan tingkat
investasi. Jumlah tenaga kerja tidak berpengaruh secara signifikan karena
sektor perdagangan tidak menyerap tenaga kerja yang paling besar dari tahun
ke tahun. Investasi tidak berpegaruh signifikan terhadap sektor perdagangan
karena pemerintah Kabupaten Bogor kurang memanfaatkannya secara baik.
98
4. Sektor perdagangan pada masa Otonomi daerah lebih baik daripada sebelum
Otonomi Daerah. Hal ini ditunjukkan oleh variabel dummy Otonomi Daerah
yang bernilai positif.
7.2
Saran
Berdasarkan analisis mengenai pengaruh sektor perdagangan terhadap
pertumbuhan ekonomi serta beberapa faktor yang mempengaruhi sektor
perdagangan sebelum Otonomi Daerah dan pada masa Otonomi Daerah, maka
saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :
1. Otonomi Daerah yang berlangsung di Kabupaten Bogor perlu dilaksanakan
secara sungguh–sungguh supaya PDRB dapat tumbuh dengan baik sebab
pemerintah daerah lebih mengerti apa yang menjadi kebutuhan dari daerah itu
sehingga pelaksanaan Otonomi Daerah dapat berjalan dengan baik.
2. Pemerintah Kabupaten Bogor sebaiknya menanamkan investasi pada aset–aset
yang memberikan nilai tambah yang besar di masa yang akan datang. Seperti
pada sub sektor pada sektor perdagangan merupakan sektor yang baik untuk
diinvestasikan karena tidak menutup kemungkinan pada masa yang akan
datang sektor perdagangan merupakan sektor yang paling berkembang.
3. Investasi yang ditanam harus mampu meningkatkan pendapatan sektor
perdagangan secara signifikan karena pendapatan inilah nanti yang akan
digunakan kembali untuk melakukan investasi. Selain itu juga sangat perlu
dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan proyek investasi agar tidak
menyimpang dari rencana awalnya.
99
4. Pemerintah perlu menjaga tingkat inflasi yang ada di Kabupaten Bogor supaya
tetap stabil karena apabila terjadi inflasi yang tinggi akan dapat menyebabkan
pertumbuhan sektor perdagangan menjadi lambat akibat harga–harga di sektor
perdagangan yang melambung tinggi. Misalnya dengan melakukan investasi
yang besar pada sektor–sektor yang memberikan nilai tambah yang besar.
5. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat menganalisis variabel–variabel
lainnya yang dapat mempengaruhi sektor perdagangan, selain itu juga
diharapkan untuk memperluas pembahasaannya sehingga sektor perdagangan
dapat dilihat dari sudut yang berbeda.
100
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, R. 2000. Analisis Pembangunan Wilayah Pertanian Dalam Menghadapi
Otonomi Daerah [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ahmad, R. 1998. Kajian Percontohan Otonomi Daerah Tingkat II Tahun Ke-3
Bidang Transmigrasi. Departemen Transmigrasi dan Pemukiman
Perambah Hutan, Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 2004. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan
Usaha. Kabupaten Bogor.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan. 2004. Kabupaten Bogor, Bogor, Jawa
Barat.
Dinas Pariwisata. 2004. Kabupaten Bogor, Bogor, Jawa Barat.
Dinas Ketenagakerjaan. 2004. Kabupaten Bogor, Bogor, Jawa Barat.
Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara,
Jakarta.
Gujarati, D. 1997. ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta.
Jhingan, M. L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Juanda, B. 1997. Metodologi Penelitian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kadariah. 1985. Ekonomi Perencanaan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta.
Lipsey el all. 1995. Pengantar Mikorekonomi. Wasana dan Kirbrandoko
[penerjemah]. Edisi ke-10, Jilid 1, Bina Rupa Aksara, Jakarta.
Pranata, E. W. 2004. Analisis Sektor Basis Perekonomian dalam Pembangunan
Wilayah di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Kabupaten Cianjur,
Propinsis Jawa Barat) [Skripsi]. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
101
Purliani, I. 2003. Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranan Fasilitas
Pelayanan Terhadap Pembangunan Wilayah Kota Tegal Dalam Era
Otonomi Daerah [Skripsi]. Program Studi Ekonomi Pertanian dan
Sumberdaya, Departemen Ilmu–Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro Dan Makro. Ghalia Indonesia
Rahman, M. A. 2003. Analisis Peranan Basis Sektor Pertanian dalam
Pembangunan Rilayah di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kabupaten
Kuningan, Propinsi Jawa Barat) [Skripsi]. Jurusan Ilmu–Ilmu Sosial
Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Riyanto. 1997. Analisis Kepekaan Sektor Perekonomian dalam Pembangunan
Wilayah Kabupaten Dati II Bangkelan Jawa Timur [Tesis]. Program Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rustiadi et all. 2003. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Munandar [Alih Bahasa] dan
Sumiharti [Editor]. Edisi ke-5, Jilid 1, Erlangga, Jakarta.
Sarwoko. 2005. Dasar-Dasar Ekonometrika. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Sastrowiharjo, M. 1989. Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi Propinsi
Jambi [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Supranto, J. 1996. Statistik Teori dan Aplikasi. Edisi Kelima, Jilid 1, Erlangga,
Jakarta.
Simanjuntak, P. J. 1985. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia. Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Tambunan, T. T. H. 2001. Transformasi Ekonomi di Indonesia. Salemba Empat,
Jakarta.
Tarigan, R. 2002. Perencanaan Pembangunan Wilayah: Pendekatan Ekonomi
dan Masyarakat. Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi
Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Medan.
Wiyanti, H. 2004. Analisis Sektor Basis Perekonomian Kabupaten Tangerang
Serta Implikasinya Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah dalam
Otonomi Daerah [Skripsi]. Departemen Ilmu–Ilmu Sosial Ekonomi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
102
103
Lampiran 1. Data Olahan yang Digunakan Dalam Model Pertumbuhan PDRB
Tahun
PDRB
(Juta rupiah)
Perdagangan Besar dan Eceran
(Juta rupiah)
Perhotelan
(Juta rupiah)
Rumah Makan/Restoran
(Juta rupiah)
1990
8367551,195
1544626,518
11653,51564
378389,3122
1991
9167363,608
1826415,373
13785,72178
375600,8509
1992
9887620,408
2032650,231
14460,89608
465880,9509
1993
13068558,75
1252527,372
34804,51973
667600,8811
1994
14276129,14
1418265,559
35990,43502
738006,1613
1995
15482823,85
1598342,081
37040,7964
811983,7904
1996
12744839,35
988647,9656
37462,7145
701026,584
1997
13498976,91
1068313,256
43420,95262
761312,2704
1998
11554563,31
1027042,85
41102,21746
725194,4524
1999
10269321,61
897861,8865
38809,57196
622562,747
2000
18226545,14
2109395,89
66165,52
636731,95
2001
17900741,48
2078751,803
64995,71316
627793,5948
2002
17848478,93
2053758,555
66371,78655
630140,3458
2003
18872529,68
2202821,585
72760,90701
671290,0463
2004
20191376,1
2347078,582
80065,13952
728471,4227
104
Lampiran 2. Data Olahan yang Digunakan Dalam Model Sektor Perdagangan
Tahun
Sektor Perdagangan
(Juta rupiah)
Investasi
(Rupiah)
Tenaga Kerja
(Jumlah)
UMK non
Manufaktur(Rupiah)
Inflasi
(%)
1990
1934669,346 3,82493E+13
239603
38700
9.79
1991
2215801,945 3,57226E+13
245797
48600
7.29
1992
2512992,078 3,81591E+13
251990
65100
5.29
1993
1954932,773 4,00747E+13
252400
75000
12.27
1994
2192262,155 4,58051E+13
252810
98500
7.75
1995
2447368,711
5,1798E+13
375997
108400
6.10
1996
1727137,264 6,14293E+13
219557
156000
2.51
1997
1873046,479 5,13206E+13
430526
172500
7.61
1998
1793339,519 3,86593E+13
378712
172500
72.03
1999
1559234,206 3,67464E+13
393240
286000
6.72
4,0181E+13
376437
344257
6.74
2001
2771541,111 3,76578E+13
259634
372000
8.93
2002
2750270,688 3,61598E+13
307608
514000
6.67
2003
2946872,538 3,55078E+13
346414
536102
5.54
2004
3155615,144 3,50013E+13
320228
570342
6.82
2000
2812293,36
105
Lampiran 3. Output Estimasi Model Pertumbuhan PDRB
Dependent Variable: LPDRB
Method: Least Squares
Date: 05/28/06 Time: 22:26
Sample: 1990 2004
Included observations: 15
Variable
Coefficient
C
LPBE
LHOT
LRM
DUMMY
1.938795
0.419297
0.255663
0.436111
-0.014169
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
0.978143
0.969400
0.049527
Sum squared resid
0.024530
Log likelihood
Durbin-Watson stat
26.83539
1.665345
Std. Error
t-Statistic
Prob.
1.669715 1.161153
0.058699 7.143144
0.057355 4.457531
0.121230 3.597390
0.055537 -0.255134
0.2725
0.0000
0.0012
0.0049
0.8038
Mean dependent var 16.42460
S.D. dependent var 0.283127
Akaike info criterion
2.911385
Schwarz criterion
2.675368
F-statistic
111.8776
Prob(F-statistic)
0.000000
Penaksiran dengan metode OLS mengaharuskan adanya pengujian
terhadap asumsi–asumsi yang mendasarinya. Pengujian–pengujian ini sangat
perlu agar diperoleh hasil estimasi yang terbaik yang tak bias (BLUE/Best Linier
Unbiased Estimator). Pengujian estimasi tersebut meliputi uji heteroskedastisitas,
uji autokorelasi dan uji multikolinearitas.
Korelasi Antar Variabel Bebas Persamaan Pertumbuhan PDRB
LPDRB
LPBE
LHOT
LRM
DUMMY
LPDRB
1.000000
0.488435
0.916060
0.673445
0.701813
LPBE
0.488435
1.000000
0.188805
-0.243169
0.631616
LHOT
0.916060
0.188805
1.000000
0.771325
0.637186
LRM
0.673445
-0.243169
0.771325
1.000000
0.171950
DUMMY
0.701813
0.631616
0.637186
0.171950
1.000000
106
Lanjutan Lampiran 3. Output Estimasi Model Pertumbuhan PDRB
Persamaan pertumbuhan PDRB ini juga telah terhindar dari masalah
autokorelasi dan heteroskedastisitas. Hal ini ditunjukkan dengan probabilitas
koefisien Obs*R-squared dari uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM dan Uji
White Heteroskedasticity yang keduanya menunjukkan lebih besar dari taraf nyata
yang digunakan yaitu sebesar 5 persen.
Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test
F-statistic
1.854814 Probability 0.217865
Obs*R-squared
4.752023
Probability
0.092920
White Heteroskedasticity Test
2.306531 Probability
0.146275
Uji Heteroskedastisitas
F-statistic
Obs*R-squared
10.46352
Probability
0.163792
Uji Normalitas
8
Series: Residuals
Sample 1990 2004
Observations 15
7
6
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis
5
4
3
2
1
0
-0.10
Jarque-Bera
Probability
-0.05
0.00
0.05
3.94E-15
0.012130
0.071229
-0.081278
0.041858
-0.572406
2.592144
0.923089
0.630310
107
Lampiran 4. Output Estimasi Model Sektor Perdagangan
Dependent Variable: LPERD
Method: Least Squares
Date: 06/02/06 Time: 14:43
Sample(adjusted): 1992 2004
Included observations: 13 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
C
LINV(-2)
LUPAH
LTK
INF(-2)
DUMMY
21.46884
0.107742
-0.481006
0.395226
-0.022741
1.084525
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
0.973566
0.954685
0.131702
Sum squared resid
0.121418
Log likelihood
Durbin-Watson stat
11.93134
1.706815
Std. Error
t-Statistic
Prob.
2.268188 9.465192
0.099901 1.078488
0.134801 -3.568265
0.226765 1.742889
0.002719 -8.364673
0.209000 5.189106
0.0000
0.3166
0.0091
0.1249
0.0001
0.0013
Mean dependent var 21.37454
S.D. dependent var 0.618684
Akaike info criterion
0.912514
Schwarz criterion
0.651769
F-statistic
51.56203
Prob(F-statistic)
0.000023
Uji Autokorelasi dan Uji Heteroskedastisitas
Probabilitas koefisien Obs*R-squared dari uji Breusch-Godfrey Serial
Correlation LM dan Uji White Heteroskedasticity, keduanya menunjukkan lebih
besar daritaraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 5 persen.
Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test
F-statistic
0.082770 Probability 0.783257
Obs*R-squared
0.176894
Probability
0.674056
108
Lanjutan Lampiran 4.
Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test
1.053338 Probability
F-statistic
Obs*R-squared
9.875010
Probability
0.543001
0.360698
Korelasi Antar Variabel Bebas Persamaan Sektor Perdagangan
LPERD
LINV
TK
UPAH
INF
LPERD 1.000000 0.015937 -0.278315 0.075722 -0.033736
LINV
0.015937 1.000000 -0.728989 0.007523 -0.173418
-0.278315 -0.728989 1.000000 0.295592 0.195740
TK
0.075722 0.007523 0.295592 1.000000 -0.122150
UPAH
-0.033736 -0.173418 0.195740 -0.122150 1.000000
INF
DUMMY 0.439095 0.177562 -0.063561 0.869933 -0.165548
DUMMY
0.439095
0.177562
-0.063561
0.869933
-0.165548
1.000000
Uji Normalitas
5
Series: Residuals
Sample 1992 2004
Observations 13
4
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis
3
2
-7.04E-15
0.006771
0.185854
-0.173498
0.100589
-0.043457
2.512209
1
Jarque-Bera
Probability
0
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.132976
0.935674
Download