17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap ikan. Tingkat kematangan gonad ikan ditentukan secara morfologi berdasarkan bentuk, warna, ukuran, bobot gonad, dan perkembangan isi gonad. Penentuan tingkat kematangan gonad ikan menggunakan tabel modifikasi dari Cassie (Tabel 1). Pada Gambar 4 dan 5 disajikan gambar tingkat kematangan ikan kuniran (Upeneus moluccensis) yang diperoleh selama pengamatan untuk kedua jenis kelamin. TKG I TKG II TKG III TKG IV Gambar 4. Gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina 18 TKG I TKG II Gambar 5. Gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa ikan kuniran betina pada tingkat kematangan gonad pertama (TKG I) memiliki ovari seperti benang. Pada TKG II, ukuran ovari semakin besar dan berwarna merah kekuning-kuningan serta belum terlihat butir telur. Pada TKG III, ovari berwarna kuning dan secara morfologi butir telur mulai terlihat. Pada TKG IV, ukuran ovari semakin besar dan butir telur dapat terlihat dengan jelas, serta sudah dapat dipisahkan. Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa ikan kuniran jantan memiliki testes seperti benang dan berwarna transparan pada TKG I. Pada TKG II, ukuran testes semakin besar dan warna testes seperti agak keputihan. Untuk TKG III pada jantan permukaan testes tampak bergerigi dan warna makin putih. Adapun untuk TKG IV pada jantan tidak ditemukan selama penelitian. 4.1.2. Perbandingan jenis kelamin Proporsi kelamin atau perbandingan jenis kelamin merupakan perbandingan jenis kelamin betina dan jantan. Jenis kelamin betina dan jantan ditentukan secara morfologi dengan mengamati bentuk dan warna gonad ikan tersebut. Pada Tabel 2 disajikan proporsi kelamin ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina dan jantan selama tujuh bulan pengamatan. 19 Tabel 2. Proporsi kelamin ikan kuniran betina dan jantan Jumlah ikan contoh (ind) Betina Jantan Maret 34 58,824 April 83 Mei Proporsi (%) Uji Chi-square X² hitung X² tabel 41,177 5,733 3,182 Tidak seimbang 81,928 18,072 35,391 3,182 Tidak seimbang 70 82,857 17,143 35,261 3,182 Tidak seimbang Juni 68 57,353 42,647 1,699 12,706 Seimbang Juli 75 57,333 42,667 15,209 4,303 Tidak seimbang Agustus 60 36,667 63,333 27,306 3,182 Tidak seimbang September 63 53,968 46,032 10,512 3,182 Tidak seimbang Total 453 62,693 37,307 52,5733 3,1824 Tidak seimbang Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa pada seluruh bulan pengamatan kecuali pada bulan Agustus, proporsi ikan kuniran betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Ini berarti jumlah ikan betina yang tertangkap lebih banyak dibandingkan ikan jantan. Pada bulan Agustus, proporsi ikan kuniran jantan lebih besar dibandingkan dengan ikan betina. Menurut Effendie (1997), perbandingan jenis kelamin dalam pemijahan tiap-tiap spesies ikan berbeda-beda. Keadaan tidak seimbangnya proporsi antara ikan kuniran betina dan jantan diduga ikan betina dan ikan jantan tidak berada dalam satu area pemijahan sehingga peluang tertangkapnya ikan kuniran betina dan jantan tidak sama. Selain itu, sedikitnya jumlah ikan kuniran jantan yang tertangkap dapat disebabkan karena waktu pengambilan yang kurang tepat dan siklus ikan jantan lebih pendek. Adapun ikan contoh pada bulan Agustus, ikan kuniran betina diduga melakukan ruaya untuk pemijahan yang menyebabkan pada bulan tersebut jumlah ikan kuniran betina lebih sedikit tertangkap dibandingkan dengan ikan jantan. Namun, proporsi kelamin secara total menunjukkan bahwa proporsi ikan kuniran betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan dengan perbandingan 1,7:1. Setelah dilakukan uji Chi-square diperoleh hasil bahwa proporsi ikan kuniran betina dan jantan dalam suatu populasi pada tujuh bulan pengamatan dalam keadaan yang tidak seimbang, kecuali pada bulan Juni dimana proporsi ikan kuniran betina dan jantan dalam keadaan yang seimbang. Namun secara keseluruhan, proporsi ikan kuniran betina dan jantan dalam keadaan yang tidak seimbang (Lampiran 3). 20 4.1.3. Faktor kondisi Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan secara fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Berdasarkan hasil analisis terhadap ikan kuniran selama tujuh bulan pengamatan diperoleh bahwa faktor kondisi atau kemontokan ikan, baik betina maupun jantan, pada setiap bulan berbeda-beda. Pada Gambar 6 disajikan grafik faktor kondisi ikan kuniran betina dan jantan selama tujuh bulan pengamatan. (a) (b) Gambar 6. Nilai tengah faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina (a) dan jantan (b) berdasarkan bulan pengamatan Ikan kuniran memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif, yaitu pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan bobot. Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa terjadi perubahan faktor kondisi pada masing-masing bulan pengamatan untuk ikan kuniran betina dan jantan. Nilai faktor kondisi ikan kuniran betina lebih besar dibandingkan dengan jantan. Nilai faktor kondisi terbesar ikan kuniran jantan dan betina terdapat pada bulan Juli, yaitu sebesar 1,0668 dan 1,2143 (Lampiran 4). Hal tersebut diduga karena ikan kuniran sedang mengalami kematangan gonad. Pada bulan tersebut juga nilai faktor kondisi tertinggi terdapat pada TKG III dan IV. Menurut Patulu (1963) in Effendie (1997), nilai faktor kondisi 21 ikan berfluktuasi dengan ukuran ikan tersebut. Peningkatan nilai faktor kondisi terdapat pula pada waktu ikan mengisi gonadnya dengan cell sex dan akan mencapai puncaknya sebelum terjadi pemijahan (Effendie 1997). Nilai faktor kondisi rata-rata ikan kuniran berkisar antara 0,4848-1,3952 untuk ikan betina dan pada ikan kuniran jantan berkisar antara 0,6842-1,2184. Secara keseluruhan, nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Namun perbedaan nilai faktor kondisi tersebut tidak terlalu signifikan. 4.1.4. Ukuran pertama kali matang gonad Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode Spearman-Karber, ukuran pertama kali ikan kuniran (Upeneus moluccensis) matang gonad adalah 144 mm untuk ikan betina dan 159 mm untuk ikan jantan (Lampiran 5). Hal ini menunjukkan bahwa ikan kuniran betina lebih cepat mengalami matang gonad dibandingkan dengan ikan jantan. 4.1.5. Tingkat kematangan gonad (TKG) Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Komposisi tingkat kematangan gonad pada setiap saat dapat digunakan untuk menduga waktu pemijahan pada ikan. Pada Gambar 7 disajikan grafik tingkat kematangan gonad ikan kuniran betina dan jantan berdasarkan pengamatan terhadap ikan contoh setiap bulannya. (a) (b) Gambar 7. Tingkat kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina (a) dan jantan (b) berdasarkan bulan pengamatan 22 Berdasarkan Gambar 7 terlihat bahwa ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina dan jantan yang terdapat pada tiap bulan pengamatan dari bulan MaretSeptember lebih banyak didominasi oleh ikan-ikan yang masih dalam fase pertumbuhan (TKG I dan II). Hal ini menunjukkan bahwa ikan kuniran yang banyak tertangkap adalah ikan-ikan yang masih melakukan pertumbuhan dan belum mengalami matang gonad. Selain itu, terlihat bahwa ikan-ikan untuk kedua jenis kelamin yang telah matang gonad (TKG III dan IV) terdapat pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, dan September. Selama penelitian, tingkat kematangan gonad yang terdapat dalam satu bulan pengamatan berbeda-beda. 4.1.6. Indeks kematangan gonad (IKG) Indeks kematangan gonad merupakan cara untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada gonad pada setiap kematangan secara kuantitatif. Selain dengan mengetahui tingkat kematangan gonad, pendugaan waktu pemijahan pada ikan dapat ditentukan dari nilai indeks kematangan gonad ikan tersebut. Effendie (1997) menyatakan bahwa sejalan dengan pertumbuhan gonad, maka gonad yang dihasilkan akan semakin bertambah besar dan berat hingga batas maksimum ketika terjadi pemijahan. Pada Gambar 8 disajikan grafik indeks kematangan gonad ikan kuniran betina dan jantan selama tujuh bulan pengamatan. Gambar 8. Indeks kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina dan jantan berdasarkan bulan pengamatan 23 Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa nilai indeks kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di perairan Selat Sunda mengalami fluktuasi. Pada gambar juga menunjukkan bahwa nilai indeks kematangan gonad ikan kuniran yang terbesar terdapat pada bulan Maret dan Juli. Selain itu, nilai indeks kematangan gonad ikan kuniran betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan (Lampiran 6). 4.1.7. Fekunditas Fekunditas merupakan jumlah telur yang terdapat dalam ovari ikan dinamakan fekunditas individu, fekunditas mutlak atau fekunditas total (Nikolsky 1963). Nilai fekunditas pada ikan kuniran betina TKG III dan IV berdasarkan metode gabungan berada pada kisaran 15.611-156.300 butir telur (Lampiran 7). Hubungan antara fekunditas dengan panjang total ikan kuniran ditunjukkan melalui persamaan F=124,9891L0,0072 dan diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,0052 (Lampiran 8). Hubungan fekunditas terhadap bobot tubuh ikan kuniran ditunjukkan melalui persamaan F=20,8431W0,0438 dan diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,0188 (Lampiran 9). Hal ini menunjukkan bahwa hanya 0,52% dari keragaman nilai fekunditas ikan kuniran yang dapat dijelaskan oleh panjang total dan hanya 1,88% dari keragaman nilai fekunditas yang dapat dijelaskan oleh bobot tubuh. Dari hasil analisis diperoleh variasi nilai fekunditas yang cukup besar terhadap panjang dan bobot tubuh ikan. 4.1.8. Diameter telur Diameter telur dapat diukur dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler yang sudah ditera dengan mikrometer objektif terlebih dahulu (Sulistiono et al. 2001a). Prabhu (1956) dan Kagwade (1968) in Warjono (1990), tipe pemijahan ikan berhubungan dengan perkembangan diameter telur dalam ovarium. Pada Gambar 9 disajikan grafik diameter telur ikan kuniran betina TKG III dan IV secara total yang dilakukan selama pengamatan. 24 Gambar 9. Diameter telur ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina Berdasarkan Gambar 9 dapat terlihat bahwa sebaran diameter telur ikan kuniran mencapai puncak pada selang 0,2302-0,2518 mm yang selanjutnya terus mengalami penurunan (Lampiran 10). Diameter telur dengan frekuensi terendah terdapat pada selang kelas 0,4038-0,4254 mm. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebaran diameter telur ikan kuniran memiliki satu modus. Selain itu, selama penelitian diameter telur yang berada dalam ovarium berukuran sama. 4.2. Pembahasan 4.2.1. Proporsi kelamin Ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan dan betina di perairan Selat Sunda memiliki proporsi yang tidak seimbang yaitu 1:1,7. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Azhar (1992) in Sjafei dan Susilawati (2001) terhadap ikan kuniran (Upeneus tragula) di perairan Muara Kamal, Sjafei dan Susilawati (2001) terhadap ikan kuniran (U. moluccensis) di perairan Teluk Labuan, dan Triana (2011) terhadap ikan kuniran (U. moluccensis) di perairan Teluk Jakarta juga menunjukkan proporsi ikan kuniran jantan dan betina dalam keadaan yang tidak seimbang. Perbandingan ikan kuniran jantan dan betina yang diperoleh adalah 1:1,1 (Azhar 1992), 1:1,25 (Sjafei dan Susilawati 2001), dan 1:1,5 (Triana 2011). Begitu pula dengan hasil yang diperoleh oleh Ismen (2005) terhadap ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di Teluk 25 Iskenderun, Mediterania Timur bahwa rasio kelamin ikan jantan dan betina sebesar 1:1,07. Selain itu, diperoleh nilai L∞ sebesar 243 mm dan K sebesar 0,218 untuk ikan kuniran betina, sedangkan L∞ sebesar 225 mm dan K sebesar 0,236 untuk ikan kuniran jantan (Ismen 2005). Menurut hasil penelitian Fadlian (2012) terhadap ikan kuniran (U. moluccensis) di perairan Selat Sunda diperoleh L∞ sebesar 211,22 mm dan K sebesar 0,12 untuk ikan kuniran betina, sedangkan L∞ sebesar 166,27 mm dan K sebesar 0,23 untuk ikan kuniran jantan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan kuniran jantan memiliki koefisien pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan ikan betina, sehingga ikan kuniran jantan lebih cepat mencapai panjang asimtotik (panjang yang tidak dapat dicapai oleh ikan) yang pada akhirnya akan cepat mengalami kematian dan menyebabkan jumlah ikan kuniran betina lebih banyak tertangkap dibandingkan dengan ikan jantan. Purwanto et al. (1986) in Susilawati (2000) menyatakan bahwa perbandingan ikan jantan dan betina dalam suatu populasi diharapkan dalam keadaan yang seimbang yaitu 1:1, atau setidaknya ikan betina lebih banyak untuk mempertahankan kelestarian populasi (Purwanto et al. 1986 in Sulistiono et al. 2001b). Selain itu, ikan betina lebih aktif mencari makanan untuk proses perkembangan gonad agar dapat berkembang dengan baik dan menghasilkan telur yang baik pula (Nikolsky 1963). 4.2.2. Ukuran pertama kali matang gonad Ukuran pertama kali ikan kuniran (Upeneus moluccensis) matang gonad adalah 144 mm untuk ikan betina dan 159 mm untuk ikan jantan. Triana (2011) menyatakan bahwa ukuran pertama kali matang gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina di Teluk Jakarta sebesar 155 mm dan ikan jantan sebesar 173 mm. Hal ini menunjukkan bahwa ikan kuniran betina lebih cepat mengalami matang gonad dibandingkan dengan ikan jantan. Penelitian yang dilakukan oleh Sjafei dan Susilawati (2001) memperoleh ukuran pertama kali matang gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di perairan Teluk Labuan sebesar 120 mm untuk ikan jantan dan 125 mm untuk ikan betina. Sedangkan ukuran pertama kali matang gonad ikan kuniran (U. moluccensis) di Teluk Antalya, Turki sebesar 110 mm untuk ikan betina dan 105 mm untuk ikan jantan (Ozvarol et al. 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ismen (2005) terhadap ikan kuniran (U. moluccensis) di Teluk 26 Iskenderun, Mediterania Timur diperoleh ukuran pertama kali matang gonad ikan kuniran betina dan jantan adalah 110 mm. Adanya perbedaan kecepatan tumbuh (Nikolsky 1969 in Susilawati 2000), perbedaan strategis hidup atau pola adaptasi ikan (Busing 1987 in Susilawati 2000), serta adanya perbedaan kondisi perairan menyebabkan ikan-ikan muda yang berasal dari telur yang menetas pada waktu yang bersamaan akan mencapai tingkat kematangan gonad pada ukuran yang berlainan. Dengan demikian, dapat diduga bahwa ikan kuniran betina di perairan Selat Sunda lebih cepat mengalami matang gonad dibandingkan dengan ikan jantan untuk mempertahankan kelestariannya dalam suatu populasi. Ukuran pertama kali ikan matang gonad juga dipengaruhi oleh kelimpahan, ketersediaan makanan, suhu, periode, dan faktor lingkungan pada suatu habitat atau perairan yang berbeda-beda (Nikolsky 1963). 4.2.3. Waktu pemijahan Waktu pemijahan pada ikan dapat diduga dengan melihat komposisi tingkat kematangan gonad ikan tersebut. Novitriana et al. (2004) menyatakan bahwa waktu pemijahan ikan adalah bulan-bulan yang memiliki jumlah ikan jantan dan betina yang telah mengalami matang gonad, sedangkan puncak pemijahan dilihat pada bulan dimana ikan jantan dan betina yang telah matang gonad terdapat dalam jumlah yang besar. Menurut Ozvarol et al. (2010), musim atau waktu pemijahan terjadi ketika nilai indeks kematangan gonad untuk kedua jenis kelamin mencapai tingkat tertinggi. Pada Gambar 7 terlihat bahwa ikan-ikan untuk kedua jenis kelamin yang telah matang gonad (TKG III dan IV) terdapat pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, dan September, serta pada Gambar 8 terlihat bahwa nilai indeks kematangan gonad ikan kuniran yang terbesar terdapat pada bulan Maret dan Juli. Selain itu, waktu pemijahan pada ikan dapat terlihat dari nilai faktor kondisi yang dihasilkan. Nilai faktor kondisi ikan kuniran terbesar yang diperoleh terdapat pada bulan Juli. Faktor kondisi dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad, sehingga pada waktu pemijahan ikan membutuhkan makanan yang banyak. Namun pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan cenderung menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan 27 menurun (Rininta 1998 in Saadah 2000). Dengan demikian, dapat diduga bahwa waktu pemijahan ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di perairan Selat Sunda adalah pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, dan September dengan puncak pemijahan pada bulan Maret dan Juli. Waktu pemijahan ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di Teluk Jakarta terjadi pada bulan Juli-September (Triana 2011). Ismen (2005) memperoleh waktu pemijahan ikan kuniran (U. moluccensis) di Teluk Iskenderun, Mediterania Timur terjadi pada bulan Juni dan September. Penelitian yang dilakukan oleh Ozvarol et al. (2010) memperoleh waktu pemijahan ikan kuniran (U. moluccensis) di Teluk Antalya, Turki terjadi pada bulan Juli dan Oktober. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan kuniran (U. moluccensis) di perairan Selat Sunda melakukan pemijahan sebanyak dua kali selama satu tahun. Bagenal (1987) in Yustina dan Arnentis (2002) menyatakan bahwa ikan yang memiliki indeks kematangan gonad lebih kecil dari 20% adalah kelompok ikan yang dapat memijah lebih dari satu kali setiap tahunnya. Selama penelitian tingkat kematangan gonad yang terdapat dalam satu bulan pengamatan berbeda-beda. Ketidakseragaman perkembangan gonad ini diduga adanya dua kelompok ikan yang waktu pemijahannya berbeda (Brojo dan Sari 2002). Nilai faktor kondisi rata-rata ikan kuniran betina berkisar antara 0,48481,3952. Sedangkan pada ikan kuniran jantan berkisar antara 0,6842-1,2184. Menurut Effendie (1979), nilai K yang berkisar antara 2-4 menunjukkan badan ikan tersebut berbentuk agak pipih. Sedangkan nilai K yang berkisar antara 1-3 menunjukkan bahwa badan ikan tersebut berbentuk kurang pipih. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ikan kuniran di perairan Selat Sunda memiliki bentuk tubuh yang kurang pipih. Secara keseluruhan, nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Namun perbedaan nilai faktor kondisi tersebut tidak terlalu signifikan. Hal ini diduga bahwa ikan kuniran betina memiliki kondisi yang lebih baik untuk proses reproduksi dan bertahan hidup dibandingkan dengan ikan jantan (Effendie 1997). 28 4.2.4. Potensi reproduksi Potensi reproduksi pada ikan dapat diduga dengan melihat nilai fekunditas yang dihasilkan oleh ikan tersebut. Fekunditas merupakan jumlah telur yang terdapat dalam ovari ikan dinamakan fekunditas individu, fekunditas mutlak atau fekunditas total (Nikolsky 1963). Nilai fekunditas pada ikan kuniran betina TKG III dan IV berdasarkan metode gabungan berada pada kisaran 15.611-156.300 butir telur. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sjafei dan Susilawati (2001), nilai fekunditas yang dihasilkan oleh ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di perairan Teluk Labuan, Banten berkisar antara 19.116-89.344 butir telur. Penelitian yang dilakukan oleh Triana (2011) menunjukkan bahwa nilai fekunditas yang dihasilkan oleh ikan kuniran dengan spesies yang sama di perairan Teluk Jakarta berkisar antara 26.658-75.030 butir telur. Penelitian yang dilakukan oleh Ismen (2005) diperoleh nilai fekunditas ikan kuniran (U. moluccensis) di Teluk Iskenderun, Mediterania Timur berkisar antara 19.714-64.452 butir telur dan Ozvarol et al. (2010) memperoleh nilai fekunditas terhadap ikan kuniran (U. moluccensis) di Teluk Antalya, Turki berkisar antara 2.231-139.065 butir telur. Hal ini menunjukkan bahwa ikan kuniran memiliki potensi reproduksi yang cukup tinggi, karena diduga dapat menghasilkan jumlah individu baru yang melimpah. Brojo et al. (2001) in Mulyoko (2010) menyatakan bahwa fekunditas ikan di alam akan bergantung pada kondisi lingkungannya. Apabila ikan hidup pada kondisi yang banyak ancaman predator, maka jumlah telur yang dikeluarkan akan semakin banyak atau fekunditas yang dihasilkan akan semakin besar. Sedangkan ikan yang hidup pada kondisi yang sedikit predator, maka telur yang dikeluarkan akan sedikit pula atau fekunditas yang dihasilkan kecil. Oleh karena itu, semakin banyak fekunditas yang dihasilkan oleh ikan, maka potensi reproduksi dari suatu spesies juga akan semakin besar. Hubungan antara fekunditas dengan panjang total ikan kuniran ditunjukkan melalui persamaan F=124,9891L0,0072 dan diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,0052. Sedangkan hubungan bobot tubuh ikan kuniran ditunjukkan melalui persamaan F=20,8431W0,0438 dan diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,0188. Hal ini menunjukkan bahwa hanya 0,52% dari keragaman nilai fekunditas ikan kuniran yang dapat dijelaskan oleh panjang total dan hanya 1,88% dari 29 keragaman nilai fekunditas yang dapat dijelaskan oleh bobot tubuh. Analisis hubungan fekunditas terhadap panjang total dan bobot tubuh ikan kuniran memperoleh nilai determinasi yang kecil yaitu 0,52% dan 1,88% dan diperoleh variasi nilai fekunditas yang cukup besar terhadap panjang dan bobot tubuh ikan. Menurut Warjono (1990), keeratan hubungan antara fekunditas terhadap panjang dan bobot tubuh tidak dapat dilakukan. Variasi fekunditas ini disebabkan oleh adanya kelompok ikan yang baru memijah dan sudah memijah, sehingga produksi telur cenderung lebih tinggi daripada ikan yang baru memijah. Selain itu, variasi fekunditas tersebut juga disebabkan adanya penyebaran produksi telur yang tidak merata. 4.2.5. Pola pemijahan Pola pemijahan atau tipe pemijahan pada ikan diduga dari sebaran diameter telur. Sebaran diameter telur ikan kuniran mencapai puncak pada selang 0,23020,2518 mm. Sebaran frekuensi diameter telur ikan kuniran terdapat modus penyebaran satu puncak yang artinya kelompok spesies ikan kuniran mengeluarkan telur secara total (total spawner). Total spawner adalah tipe pemijahan yang tidak bertahap dimana ikan melepaskan telurnya secara menyeluruh (Sulistiono et al. 2001b). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sjafei dan Susilawati (2001), ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di perairan Teluk Labuan, Banten memiliki tipe pemijahan total spawner dengan kisaran diameter telur antara 0,334-0,371 mm. Begitu pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Triana (2011) dengan spesies yang sama di perairan Teluk Jakarta dengan diameter telur yang berkisar antara 0,150-0,410 mm. Ozvarol et al. (2010) memperoleh tipe pemijahan ikan kuniran (U. moluccensis) di Teluk Antalya, Turki adalah total spawner dengan ukuran diameter telur berkisar antara 0,250-0,620 mm. Selain itu, diameter telur yang berada dalam ovarium berukuran sama. Brojo dan Sari (2002) menyatakan bahwa keseragaman ukuran diameter telur diduga ikan memijah pada satu periode dalam setiap masa pemijahan dan melepaskan telur-telurnya sekaligus dalam jangka waktu yang singkat (total spawner). Pada umumnya ikan yang tergolong total 30 spawner memiliki ukuran diameter telur yang kecil, fekunditas yang besar, dan musim pemijahan yang tetap (Connell 1987 in Pellokila 2009). 4.3. Pengelolaan Ikan kuniran (Upeneus moluccensis) merupakan ikan demersal kecil di perairan Selat Sunda. Ikan kuniran ini merupakan ikan yang bernilai ekonomis bagi masyarakat setempat sebagai ikan konsumsi. Ikan ini dipasarkan dalam keadaan segar maupun dalam bentuk olahan. Masyarakat di Labuan mengolah ikan kuniran sebagai ikan asin yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan ikan dalam bentuk segar. Hal ini membuat para nelayan meningkatkan hasil tangkapan ikan kuniran. Jika upaya penangkapan terhadap ikan kuniran terus ditingkatkan, maka akan menyebabkan ikan-ikan yang tertangkap berukuran semakin kecil yang pada akhirnya akan menurunkan hasil tangkapan nelayan. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan yang tepat untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan dalam suatu perairan. Salah satu bentuk pengelolaan tersebut adalah melakukan pengaturan waktu penangkapan dan ukuran ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap. Berdasarkan penelitian, ikan kuniran memijah pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, dan September dengan puncak pemijahan pada bulan Maret dan Juli. Pengaturan waktu penangkapan ikan kuniran tidak terlalu bisa diterapkan, karena ikan kuniran diduga memijah sepanjang tahun. Menurut Widodo dan Suadi (2006), penutupan daerah atau musim penangkapan akan efektif untuk mengendalikan ukuran ikan yang tertangkap dengan syarat bahwa kedua faktor tersebut mempunyai pengaruh yang nyata atas ukuran ikan yang tertangkap. Namun, pengaturan dapat dilakukan dengan melakukan penangkapan terhadap ikan kuniran tidak pada puncak pemijahan ikan tersebut. Dari hasil penelitian tersebut juga diperoleh ukuran pertama kali ikan kuniran betina matang gonad sebesar 144 mm dan ikan jantan sebesar 159 mm. Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan kuniran betina lebih cepat mengalami matang gonad dibandingkan dengan ikan jantan. Ukuran pertama kali ikan matang gonad memiliki peranan penting dalam pengelolaan perikanan, yaitu dapat diduga ukuran ikan tersebut mencapai dewasa dan ukuran ikan yang boleh ditangkap (Susilawati 2000). Dalam rangka mempertahankan keberlanjutan populasi 31 ikan diperlukan adanya penerapan pengaturan ukuran ikan yang boleh ditangkap yaitu ikan-ikan yang memiliki ukuran yang lebih besar dari ukuran pertama kali ikan tersebut matang gonad, sehingga membiarkan ikan-ikan memijah minimal sekali dalam hidupnya yang akan mencegah degradasi stok (Moore 1999 in Musbir et al. 2006). Dengan demikian, ukuran ikan yang diperbolehkan ditangkap adalah ikanikan yang berada pada ukuran di atas ukuran pertama kali ikan tersebut matang gonad yaitu 159 mm.