implementasi pembelajaran penemuan terbimbing - e

advertisement
Vol. 1 No. 1 (2012) : Jurnal Pendidikan Matematika Hal. 66-69
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING
TERHADAP HASIL BELAJAR
Fauzan Azmi1), Irwan2), Jazwinarti3)
1
2,3
) FMIPA UNP, [email protected]
) Staf pengajar jurusan matematika FMIPA UNP
Abstract
This experiment research aims to examine if students’ mathematics achievement that is learn by using guidence discovery
methode is better than students’ mathematics achievement that learn by conventional methode. This is experiment study
with it’s kind is quasy experiment and use randomized control-group only design. After taking sample randomly, gott X 3
as experiment class and X4 as control class. Based on the analysis of the data by using t-test, it is got the value of tcount > t
table then h0 is denied, it means the students’ mathematics achievement by using guidence discovery methode is higher than
students’ mathematics achievement by using conventional methode. The conclution of this study is the students’
mathematics achievement by using guidence discovery methode is better than students’ mathematics achievement by
using conventional methode.
Key Word – guided discovery, conventional methode dan students’ achievement
PENDAHULUAN
Matematika menjadi salah satu bidang studi dari
jenjang pendidikan dasar hingga jenjang perguruan tinggi
yang memegang peranan dalam penciptaan sumber daya
manusia yang berkualitas. Kegiatan matematika merupakan
alat ampuh dalam membentuk daya nalar, daya kreasi dan
daya cipta yang berorientasi kepada penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu matematika
menjadi salah satu mata pelajaran yang dibutuhkan oleh siswa
untuk mendapatkan kemampuan yang lebih baik dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Fakta yang di jumpai di SMAN 1 Kampar yang
terletak di Kabupaten Kampar Riau, terkhusus di kelas X
menunjukkan bahwa di kalangan siswa, matematika masih
merupakan pelajaran yang kurang disenangi. Mereka merasa
kesulitan untuk memahami yang sarat akan konsep serta
simbol-simbol atau bahasa numerik secara baik, apalagi untuk
memperoleh hasil yang maksimal. Hal ini sesuai dengan
definisi matematika yang dikemukakan oleh Johnson dan
Rising (dalam Suherman, 2003) bahwa : Matematika adalah
pola berfikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang
logik, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan
istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat,
representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa
simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi. Banyak siswa
yang cenderung tidak tertarik belajar matematika, membuat
mereka lemah dalam penguasaan konsep atau teorema dan
jika terjadi kesalahan konsep maka kesalahan konsep itu akan
berlanjut yang dipastikan akan menimbulkan kesulitan dalam
pembelajaran matematika dijenjang berikutnya.
Seperti yang terjadi di lapangan, dalam proses
pembelajaran masih banyak siswa yang belum memahami
materi yang diterangkan guru. Ketika guru memberikan
latihan, hanya sebagian siswa yang mampu mengerjakan soal
– soal tersebut dengan benar, sedangkan kebanyakan siswa
lainnya hanya menunggu jawaban dari guru maupun dari
temannya sehingga proses pembelajaran yang dilakukan
belum mencapai hasil yang optimal. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar siswa kesulitan dalam memahami
konsep pada pembelajaran matematika terkhusus dalam
mengingat rumus, teorema, pola, aturan dan sejenisnya.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh guru untuk
menunjang keberhasilan siswa dalam pembelajaran
matematika, diantaranya menerapkan metode dalam
pembelajaran, memotivasi siswa dengan menciptakan kondisi
belajar yang menyenangkan dan membangkitkan rasa ingin
tahu siswa terhadap materi yang dipelajari. Namun, pada
kenyataannya masih terdapat permasalahan – permasalahan
yang muncul dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan kenyataan di atas, maka guru hendaknya
mampu melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran.
Keterlibatan siswa akan memberikan pengalaman belajar
yang bermakna sehingga pembelajaran tidak lagi menekankan
pada hafalan. Justru itu, diperlukan suatu metode
pembelajaran yang dapat menjadikan siswa berinteraksi dan
dapat mengarahkan siswa untuk memahami materi yang
dipelajari. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk
tujuan tersebut adalah metode penemuan terbimbing.
Penggunaan metode penemuan merupakan suatu cara untuk
mengembangkan cara belajar siswa aktif. Dengan
menemukannya sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang
diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan,sehingga
tidak mudah dilupakan oleh siswa. Pengertian yang
ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul
dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi
66
Vol. 1 No. 1 (2012) : Jurnal Pendidikan Matematika Hal. 66-69
lain. Dengan metode penemuan ini juga, anak belajar berpikir
analisis dan mencoba memecahkan problema yang dihadapi
sendiri, sehingga kebiasaan ini akan ditransfer dalam
kehidupan bermasyarakat.
Metode penemuan menuntut siswa agar aktif dalam
menemukan sendiri konsep yang dipelajari. Menurut Sund
dalam Roestiyah (2008:20) penemuan adalah proses mental
dimana siswa mampu membentuk atau menemukan suatu
konsep/prinsip. Dengan menemukan sendiri sebuah konsep,
siswa akan mampu memahami konsep tersebut dan siswa
akan mampu mendapatkan hasil belajar yang baik. Hal ini
sejalan dengan pendapat Slavin (2011:3) yang menyatakan
bahwa agar siswa benar-benar memahami konsep dan
sanggup mengaplikasikan, siswa harus menemukan sendiri
konsep tersebut dan berupaya menyelesaikan masalah yang
berkaitan dengan konsep tersebut.
Metode penemuan terbimbing mengharuskan adanya
interaksi antara siswa dengan guru. Bentuk dan bimbingan
yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, arahan,
pertanyaan sehingga diharapkan siswa mampu memahami
materi yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Markaban (2006:11) bahwa guru dapat memancing berpikir
siswa dengan arahan atau pertanyaan sehingga siswa mampu
memahami materi yang dipelajari. Dengan demikian, metode
penemuan terbimbing diharapkan mampu meningkatkan hasil
belajar matematika siswa.
Hasil belajar merupakan indikator keberhasilan
seseorang siswa dalam mengikuti kegiatan belajar. Hasil
belajar merupakan perubahan yang didapat setelah melakukan
kegiatan belajar. Perubahan tersebut berupa perubahan dalam
hal pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap
dalam artian meliputi penugasan terhadap ranah kognitif,
afektif, dan psikomotor. Hasil belajar dalam penelitian ini
adalah hasil belajar dalam ranah kognitif yang diperoleh dari
tes akhir. Menurut Dimyati dan Mudjiono (1994:3), hasil
belajar merupakan hasil suatu interaksi tindak belajar dan
tindakan mengajar. Hasil belajar diberikan dalam bentuk nilai
dan biasanya dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan kualitas
pembelajaran. Dari keterangan diatas jika guru pandai
membuat suasana kelas menjadi aktif serta siswa dilibatkan
secara langsung tentu hasil belajar yang dicapai akan
memuaskan karena siswa mengalami sendiri apa yang
dikerjakannya.
Adapun hasil belajar dalam ranah afektif berkaitan
dengan sikap siswa. Gagne dalam Ibrahim (2005:15)
mengatakan bahwa sikap adalah suatu keadaan yang ada
dalam diri seseorang yang mempengaruhi dan mengubah
tindakan yang dipilihnya. Jadi tindakan yang dipilih
seseorang adalah tindakan yang dipengaruhi oleh sikapnya.
Sikap bersikap abstrak sehingga untuk melihat dan mengukur
sikap seseorang dilakukan dengan melihat dan mengukur
manifestasi dari sikapnya yaitu berupa tindakan yang
dipilihnya.
Menurut Ibrahim (2005:14), “Hasil belajar psikomotor
adalah suatu keterampilan yang dapat dilakukan oleh
seseorang dengan melibatkan koordinasi antara indra dan
otot”. Hasil evaluasi kemudian dianalisis oleh guru dan
diberikan penilaian. Menurut Arikunto (2006:7) :Tujuan
penilaian adalah untuk dapat mengetahui siswa-siswa mana
yang berhak melanjutkan pelajaran karena sudah berhasil
menguasai materi dan siswa mana yang belum berhasil
menguasai materi, serta mampu menguasai apakah metode
mengajar yang digunakan sudah tepat atau belum.
Hasil belajar dapat diukur dengan teknik tes dan non
tes. Tes dapat dilakukan dengan mengukur kemampuan
kognitif dan keterampilan siswa sedangkan non tes digunakan
untuk mengukur kemampuan afektif siswa. Hasil tes ini
kemudian diolah dan dinilai oleh guru. Tujuan penilaian hasil
belajar menurut Arikunto (2008: 7) adalah “Untuk
mengetahui apakah materi yang diberikan dapat dipahami
siswa, dan apakah metode yang digunakan sudah tepat atau
belum”. Berdasarkan pendapat Arikunto tersebut, maka tes
yang diberikan pada akhir bertujuan untuk melihat hasil
belajar siswa pada materi yang telah dipelajari.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang
dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini yaitu: “Apakah hasil belajar metematika siswa dengan
menggunakan metode penemuan terbimbing lebih baik
daripada hasil belajar matematika siswa dengan menggunakan
metode pembelajaran konvensional?”.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di SMAN 1 Kampar yang
terletak di Kabupaten Kampar Riau, dilaksanakan pada
semester genap tahun pelajaran 2011/2012. Populasi dalam
penelitian ini adalah kelas X SMAN 1 Kampar. Pengambilan
sampel dilakukan secara acak dan diambil dua kelas, kelas X3
sebagai kelas eksperimen yang mendapatkan pembelajaran
menggunakan meode penemuan terbimbing dan kelas X 4
sebagai kelas kontrol yang mendapatkan pembelajaran
menggunakan metode konvensional. Jumlah siswa masingmasing kelas 40 siswa. Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian eksperimen yang dikategorikan kedalam
jenis penelitian semu (quasi experiment). Metode eksperimen
kuasi digunakan karena tidak dapat mengontrol semua
variabel yang berpengaruh terhadap hasil penelitian. Untuk
melihat pengaruh perlakuan terhadap hasil belajar matematika
siswa digunakan rancangan penelitian Randomized ControlGroup Posttest Only Design (Lufri, 2007).
Pengumpulan data hasil belajar matematika siswa
dilakukan dengan menggunakan instrumen, yaitu tes hasil
belajar pada akhir setelah semua materi pembelajaran
diberikan. Bentuk soal yang digunakan berupa essay
sebanyak enam soal. Setiap soal dalam penyelesaiannya
diberi bobot nilai. Soal tes terlebih dahulu diujicobakan pada
kelas lain yang bukan merupakan kelas sampel kemudian
dilakukan analisis soal uji coba untuk mendapatkan kualitas
soal yang baik. Setelah dilakukan analisis soal uji coba, maka
didapatkan soal yang baik untuk diujikan pada kelompok
sampel.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk
menguji apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak.
Untuk menganalisis data hasil penelitian digunakan uji-t.
Sebelum itu, dilakukan uji normalitas dan homogenitas
67
Vol. 1 No. 1 (2012) : Jurnal Pendidikan Matematika Hal. 66-69
variansi dari kedua sampel. Jika data yang diperoleh normal
dan variansinya homogen maka dapat digunakan uji-t. Jika
datanya normal dan tidak homogen digunakan uji-t’. Dan jika
datanya tidak normal maka digunakan uji-u.
Fhitung data tes akhir kedua kelas sampel dapat dilihat pada
Tabel III berikut.
TABEL III
HASIL UJI HOMOGENITAS VARIANSI
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelas
n
s
Data hasil belajar siswa diperoleh setelah diberikan tes
akhir kepada kedua kelas sampel, yaitu kelas X3 dan kelas X4.
Nilai tes akhir hasil belajar dapat dilihat pada Lampiran 17.
Pelaksanaan tes akhir diikuti oleh 39 orang siswa dari kelas
eksperimen dan 39 orang siswa dari kelas kontrol. Data tes
akhir dianalisis sehingga diperoleh deskripsi statistik nilai
dari kedua kelas sampel. Hasil análisis data tes akhir hasil
belajar dapat dilihat pada Tabel I berikut.
Eksperimen
39
16,661
Kontrol
39
13,172
TABEL I
HASIL ANALISIS DATA TES AKHIR HASIL BELAJAR
Kelas
n
x
s
X maks
X min
Eksperimen
39
62,82
16,661
95
35
Kontrol
39
54,15
13,172
83
23
Dari Tabel I di atas, dapat dilihat perbedaan hasil
belajar matematika siswa kelas kontrol dengan siswa kelas
eksperimen. Pada kelas eksperimen nilai tertinggi mencapai
95, sedangkan pada kelas kontrol nilai tertinggi adalah 83.
Selain itu, rata-rata siswa kelas eksperimen lebih tinggi dari
kelas kontrol. Nilai rata-rata kelas eksperimen yaitu 62,82 dan
nilai rata-rata kelas kontrol yaitu 54,15.
Untuk dapat menarik kesimpulan tentang data nilai tes
hasil belajar matematika siswa maka dilakukan análisis secara
statistik parametrik. Sebelum uji hipótesis, terlebih dahulu
dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas variansi
terhadap hasil belajar kedua kelas sampel.
a. Uji Normalitas
Untuk melihat apakah data berdistribusi normal atau
tidak dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji
Lilliefors. Dari perhitungan yang dilakukan, diperoleh harga
L0 dan Lt untuk kedua kelas sampel pada taraf nyata = 0,05
pada Tabel II berikut.
TABEL II
HASIL UJI NORMALITAS KELAS SAMPEL
Kelas
N
L0
Lt
Distribusi
Eksperimen
39
0,116697
0,141874
Normal
Kontrol
39
0,100049
0,141874
Normal
Dari Tabel II di atas, terlihat bahwa kedua kelas
sampel memiliki nilai L0 < Lt artinya kedua kelas terdistribusi
normal.
b. Uji Homogenitas Variansi
Untuk melihat apakah data tes yang diperoleh
homogen atau tidak maka dilakukan uji-F. Hasil perhitungan
F hitung
F tabel
Keterangan
1,6
1,7
Homogen
Dari Tabel III di atas, terlihat bahwa Fhitung ˂ Ftabel,
sehingga dapat dikatakan kelas eksperimen dan kelas kontrol
memiliki variansi yang homogen.
c. Uji Hipotesis
Berdasarkan uji normalitas dan uji homogenitas kelas
sampel diketahui bahwa data tes hasil belajar matematika
siswa pada kedua kelas tersebut berdistribusi normal dan
memiliki variansi yang homogen, untuk menguji hipótesis
digunakan uji-t satu arah. Dengan hipotesis statistiknya yaitu:
H0: 1
2
H a: 1
2
Setelah dilakukan uji-t satu arah maka hasilnya dapat dilihat
pada Tabel IV berikut.
TABEL IV
HASIL UJI HIPOTESIS
Kelas
N
Eksperimen
39
Ratarata
62,82
Kontrol
39
54,15
varians
16,661
13,172
thitung
ttabel
2,55
1,67
Dari Tabel IV di atas, hasil uji-t diperoleh thitung = 2,55
dan ttabel = 1,67 dengan = 0,05 dan dk = 76 terlihat bahwa
thitung > ttabel maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis kerja
diterima, yaitu hasil belajar matematika siswa kelas
eksperimen lebih baik dari kelas kontrol.
Berdasarkan hasil deskripsi dan analisis data hasil
belajar matematika siswa didapat bahwa nilai rata-rata kelas
eksperimen adalah 62,82, sedangkan kelas kontrol adalah
54,15. Hal ini berarti rata-rata hasil belajar matematika siswa
kelas eksperimen lebih baik daripada rata-rata hasil belajar
kelas kontrol.
Berdasarkan perhitungan variansi diperoleh variansi
kelas eksperimen 16,661 dan kelas kontrol 13,172.
Berdasarkan uji-t diperoleh bahwa thitung > ttabel sehingga
hipotesis nol ditolak dan hipotesis kerja diterima (pada taraf
nyata 5%). Hal ini berarti hasil belajar siswa dengan
menggunakan metode penemuan terbimbing lebih baik
daripada hasil belajar siswa yang diajarkan dengan
menggunakan pembelajaran konvensional.
Berdasarkan hasil penelitian, didapat bahwa hasil
belajar siswa kelas eksperimen lebih baik daripada siswa
kelas kontrol.
68
Vol. 1 No. 1 (2012) : Jurnal Pendidikan Matematika Hal. 66-69
Hasil belajar kelas eksperimen lebih baik dari kelas
kontrol
disebabkan
oleh
beberapa
hal
yang
mempengaruhinya, antara lain:
1. Dalam metode penemuan terbimbing menuntut siswa aktif
dalam menemukan sendiri konsep materi yang dipelajari.
Melalui konsep yang ditemukan sendiri, maka siswa akan
memahami konsep materi tersebut dan mampu
menyelesaikan masalah yang diberikan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Slavin (2011:3) yang menyatakan bahwa
agar siswa benar-benar memahamai materi yang dipelajari
dan sanggup mengaplikasikannya, siswa harus
menemukan sendiri konsep materi tersebut dan berupaya
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan konsep
tersebut.
2. Adanya interaksi yang terjadi dalam pembelajaran.
Surakhmad (1984:11) menyatakan bahwa interaksi sangat
penting dalam proses pembelajaran karena mempengaruhi
proses dan hasil pembelajaran. Interaksi yang terjadi
berupa interaksi anatara siswa dengan siswa yaitu berupa
sharing yang terjadi dalam kelompok maupun antara guru
dengan siswa dalam memberikan bimbingan atau
menjawab pertanyaan siswa. Dalam suatu kelompok
terdiri dari siswa yang tergolong pada kemampuan tinggi,
sedang, dan rendah sehingga siswa yang belum paham
akan dibantu oleh temannya yang sudah paham dalam
masing-masing kelompok. Dengan begitu, maka siswa
akan lebih mudah memahami konsep dan mendaptkan
pembelajaran yang bermakna.
3. Adanya bimbingan, arahan atau petunjuk yang diberikan
oleh guru, sehingga siswa akan lebih terarah dalam
menemukan konsep materi yang dipelajari. Hal ini sesuai
dengan pendapat Slavin (2011:8) bahwa dalam penemuan
terbimbing guru memainkan perannya yang lebih aktif,
dengan memberikan petunjuk, menata bagian-bagian
kegiatan, atau memberikan garis besar. Markaban
(2006:9) juga mengatakan bahwa penemuan tanpa
bimbingan guru dapat memakan waktu berhari-hari dalam
pelaksanaannya atau siswa tidak berbuat apa-apa karena
tidak tahu, begitu pula dengan proses penemuannya.
4. Adanya kesempatan yang diberikan kepada kelompok
untuk mempresentasi hasil temuan mereka. Hal ini
membuat siswa aktif dan mampu menjelaskan kepada
teman-temannya mengenai konsep yang ditemukan. Bagi
siswa yang lain diberikan kesempatan untuk bertanya.
5. Kalimat kesimpulan diserahkan kepada siswa untuk
menyusunnya dengan kalimat sendiri. Hal ini membuat
siswa lebih mudah memahami konsep materi yang telah
ditemukannya.
6. Dengan penemuan yang dilakukan siswa, siswa merasa
senang dan menikmati pembelajaran yang berlangsung
sehingga siswa menjadi lebih termotivasi untuk belajar.
Berdasarkan keseluruhan uraian diatas, jelas bahwa
“Hasil belajar matematika siswa kelas eksperimen yang
diajarkan dengan menggunakan metode penemuan terbimbing
lebih baik daripada hasil belajar siswa kelas kontrol dengan
menggunakan pembelajaran konvensional”.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan pembahasan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika
siswa dengan menggunakan metode penemuan terbimbing
lebih baik daripada siswa dengan menggunakan metode
konvensional. Hal ini dapat dilihat rata-rata hasil belajar kelas
eksperimen yaitu 62,82 sedangkan kelas kontrol yaitu 54,15
dan uji hipotesis yang dilakukan.
Tingginya hasil belajar siswa kelas eksperimen
disebabkan oleh metode yang diterapkan yaitu metode
penemuan terbimbing. Metode penemuan terbimbing
memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif
menemukan sendiri konsep-konsep yang dipalajari. Dengan
menemukan sendiri siswa akan lebih memahami konsep
materi yang dipelajari dan mampu mengaplikasikan konsep
serta mampu menyelasaikan masalah sesuai dengan konsep
tersebut. Metode penemuan terbimbing memusatkan
pembelajaran pada siswa sehingga siswa benar-benar
merasakan makna pembalajaran tersebut dan konsep yang
dipelajari akan kokoh dalam dirinya.
Metode penemuan terbimbing dapat dijadikan sebagai
salah satu alternatif untuk meningkatkan hasil belajar siswa
dalam belajar. Dalam pembelajaran guru harus mampu
mengelola kelas dengan baik, sehingga pembelajaran dapat
berlangsung dengan baik. Namun dalam proses pembelajaran
guru diharapkan dapat lebih memperhatikan kemampuan
dasar penguasaan konsep siswa agar tidak terjadi miskonsepsi
dalam pembelajaran matematika serta lebih kreatif dan
inovatif dalam memilih model pembelajaran untuk siswa.
Penelitian ini hanya sebagai referensi kita dalam kontribusi
dunia pendidikan, selebihnya mungkin peneliti lain dapat
memilih model pembelajaran lain atau mengembangkan
model pembelajaran ini dengan lebih baik dan sebaiknya
sesuaikan model pembelajaran yang dipakai dengan kondisi
lingkungan dan kondisi siswa di kelas agar belajar dapat
berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Arikunto, Suharsimi. 2008. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
[2] ________ .2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
[3] Dimyati dan Mudjiono.1994.Belajar dan Pembelajaran.Jakarta.Reka
Cipta.
[4] Ibrahim, Muslimin. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya:
UNESA University Press
[5] Lufri. 2007. Kiat Memahami Dan Melakukan Penelitian. Padang:
UNP Press.
[6] Markaban. 2006. Model Pembelajaran Matematika dengan
Pendekatan Penemuan Terbimbing. Yogyakarta : Departemen
Pendidikan Nasional.
[7] Roestiyah. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
[8] Slavin, Robert E. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Indeks.
[9] Suherman, Erman. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung : JICA-Universitas Pendidikan Indonesia.
[10] Surakhmad, Winarno. 1984. Pengantar Interaksi Mengajar-Belajar.
Bandung: Tarsito.
69
Download