Intensitas Komunikasi dan Persepsi Peternak Terhadap

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Konseptualisasi Komunikasi
Mulyana (2001:61) dalam bukunya llmu Komunikasi Suatu Pengantar
mengemukakan bahwa setidaknya terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai
komunikasi, yaitu: ( 1 ) komunikasi sebagai tindakan satu arah, (2) komunikasi
sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai transaksi.
Komunikasi Sebagai Tindakan Satu Arah. Pemahaman komunikasi sebagai
proses satu arah disebutkan oleh Micheal Burgoon, sebagai "definisi berorientasi
sumbet" (source oriented definition) yang mengisyaratkan komunikasi sebagai
kegiatan yang sengaja dilakukan seseorang untuk menyampaikan ransangan guna
membangkitkan respons orang lain. Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan
satu arah ini mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif.
Komunikasi Sebagai Interaksi. Pandangan komunikasi sebagai interaksi ini
menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi yang
arahnya bergantian dan lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit lebih dinamis
daripada komunikasi satu arah, meskipun masih
membedakan para komunikate
sebagai komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi sumber,
meskipun kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi yang
berlangsung pada dasarnya juga masih bersifat mekanis dan statis.
Komunikasi Sebagai Transaksi. Dalam konteks komunikasi ini, proses
penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan
simultan diantara para komunikate. Semakin banyak orang yang berkomunikasi
semakin rumit transaksi komunikasi yang terjadi karena akan terdapat banyak peran,
hubungan yang lebih rumit, serta lebih banyak pesan verbal dan non verbal.
Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi tersebut
tidak membatasi komunikate pada komunikasi yang disengaja atau respon yang
dapat diamati. Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah
berlangsung bila seserang telah menafsirkan perilaku orang lain baik perilaku verbal
maupun perilaku non verbal. Artinya konseptualisasi komunikasi ini lebih sesuai
untuk konteks komunikasi interpersonal karena lebih bersifat dinamis dar~ para
pelaku komunikasi tidak dibedakan antara sumber dan penerima, melainkan
semuanya saling berpatisipasi dalam interaksi sebagai partisipan komunikasi.
Ketiga konsep pemahaman komunikasi tersebut sangat dipengaruhi oleh
ketepatan komunikasi (fidelity of communication). Dengan ketepatan komunikasi
yang tinggi, para komunikate akan memperoleh apa yang mereka kehendaki dari
tujuan berkomunikasinya. Komunikator akan puas karena pesan yang disampaikan
dapat diterima dan dilaksanakan komunikan seperti yang dikehendaki, dan
komunikanpun akan puas karena pesan yang diterimanya sesuai dengan
kebutuhan. Ketepatan komunikasi tersebut merupakan indikator dari efektivitas
komunikasi.
Berlo (1960:41) mengemukakan, ada enam elemen dasar yang menentukan
efektivitas komunikasi yaitu : Sumber
-
encoder, pesan, saluran, dan penerima
pesan - dekoder.
-
(a) Sumber enkoder.
Agar komunikasi menjadi efektif, seorang komunikator
dalam proses
berkomunikasi harus menentukan strategi bagaimana cara mempengaruhi
komunikannya dan menganalisis pesan yang diterima sebelum memberi respons
(encoding) terhadap pesan balik yang diterimanya. Ketepatan komunikasi sumber
ditentukan oleh empat faktor yaitu : (1) ketrampilan berkomunikasi (communication
skills) secara lisan dan tulisan , (2) sikap jujur dan bersahabat (attitude), (3) tingkat
pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan (knowledge), dan (4)
mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural system)
komunikan.
Menurut Berlo (1960:41) terdapat lima ketrampilan kotnunikasi verbal yaitu
menulis, dan berbicara (ketrampilan meng-encoding),
ketrampilan membaca,
dan mendengar 1 menyimak (ketrampilan meng-decoding), serta pemikiran atau
pertimbangan (thought or reasoning) merupakan ketrampilan
yang paling penting
didalam meng-encodingmaupun meng-decoding pesan.
Sikap komunikator (attitude). Sikap seorang komunikator yang bersahabat,
hangat dan jujur sangat mempengaruhi efktifitas komunikasi. Menurt Berlo (60:45),
sikap
komunikator
mempengaruhi
kebiasaannya
berkomunikasi. Berlo
mengartikan kata "sikap" dalam arti sempit dengan menjawab pertanyaan : How do
the attitude of the source affect communication ? Selanjutnya Berlo menjabarkan
sikap komunikator menjadi tiga sikap yatu: (1) sikap terhadap diri sendiri (attitude
toward selt), yang berkaitan dengan kepribadian indvidu dalam berkomunikasi; (2)
Sikap terhadap materi (pesan) yang dikomunikasikan (attitude toward subject
matter). Bila seorang komunikator tidak yakin terhadap subject matter nya, maka ha1
ini akan menyulitkan dia berkomunikasi secara efektif tentang subjek 1 materi itu. (3)
Sikap terhadap komunikan (attitude toward receiver). Sikap komunikator pada
komunikannya
berpengaruh terhadap
mengilustrasikan; Bila
komunikasi diantara
mereka.
Berlo
pembaca atau pendengar menyadari bahwa apa yang
ditulisldibicarakan sama seperti yang mereka rasakan, maka kritik terhadap pesan
yang dibacaldidengar akan sangat minim. Artinya kemungkinan besar pesan yang
disampaikan oleh penulis atau pembicara akan diterima oleh komunikan bila pesan
itu sesuai kebutuhan mereka.
Sedangkan pengertian sikap dalam konteks perilaku organisasi menurut
Robbins (2001:138), adalah pernyataan evaluatif mengenai objek, orang atau
peristiwa. Sikap tidak sama dengan nilai, tapi keduanya saling berhubungan. Saling
keterhubungan antara sikap dan nilai tersebut dapat dilihat pada tiga komponen dari
suatu sikap yaitu: (1) pengertian (cognation), (2) keharuan (affection), dan (3)
perilaku (behavior). Komponen kognitif suatu sikap merupakan segmen pendapat
atau keyakinan akan suatu sikap. Komponen afektif merupakan segmen emosional
atau perasaan dari suatu sikap, sedangkan komponen perilaku suatu sikap
merupakan suatu maksud untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap
seseorang atau sesuatu. Lebih lanjut Robbins menegaskan bahwa istilah sikap
(attitude) pada hakekatnya merujuk kebagian afektif dari tiga komponen itu.
Bila kita kaitkan pengertian istilah sikap yang dikemukakan oleh Robins
dengan istilah sikap komunikator yang dikemukakan oleh Berlo, maka dapat
disimpulkan bahwa
implementasi istilah sikap komunikator lebih mengarah pada
komponen perilaku (behavior) dari sikap. Sedangkan dalam perilaku organisasi,
istilah sikap lebih mengarah pada komponen afektifnya.
Tingkat pengetahuan (knowledge). Seorang komunikator harus memiliki
tingkat pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan sehingga dia
kredibel dimata khalayaknya. Menurut Aristoteles (diacu dalam Cangara; 2000),
seorang komunikator itu kredibel apabila memiliki ethos, pathos dan logos. Ethos
ialah kekuatan yang dimiliki pembicara dari karakter pribadinya sehingga ucapanucapannya dapat dipercaya. Pathos adalah kekuatan yang dimiliki pembicara dalam
mengendalikan emosi
pendengarnya. Sedangkan Logos ialah kekuatan yang
dimiliki komunikator melalui argumentasinya (argumentasi kuat bila ditunjang tingkat
pengetahuan yang luas). Memperluas pendapat Aristoteles, McCroskey,l966
(Cangara,2000:96)) mengungkapkan bahwa kredibilitas seorang komunikator dapat
bersumber dari kompetensi (competence), sikap (attitude), tujuan (intention),
kepribadian (personality), dan dinamika (dynamism). Kompetensi ialah pengusaan
komunikator terhadap masalah yang dibahas (tingkat pengetahuan terhadap materi
yang bahas cukup luas). Sikap menunjukkan pribadi komunikator apakah tegar atau
toleran dalam prinsip. Tujuan menunjukan apakah hal-ha1 yang disarnpaikan itu
memiliki maksud baik atau tidak. Kepribadian menunjukkan apakah komunikator
memiliki pribadi yang hangat dan bersahabat. Sedangkan dinamika menunjukkan
apakah ha1 yang disampikan itu menarik atau justru membosankan.
Mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural
system) komunikannya.
Berlo menyatakan bahwa derajat pesan yang dapat
diserap oleh penerima dipengaruhi oleh berbagai ha1 diantaranya adalah sistem
sosial budaya penerima. Karena itu seorang komunikator seyogyanya memahami
sistem sosial budaya komunikannya.
(b) Pesan.
Berlo (1960:54) menegaskan pesan adalah sebagai produk fisik aktual
(actual physical product) dari komunikator-komunikan. Ketika seseorang berpidato,
menulis, menggambar, dan menggerakkan anggota tubuh sebagai isyarat, maka isi
pidato, tulisan, gambar,
dan menggerakkan tangan serta ekspresi wajahnya
merupakan pesan.
Tiga faktor yang terkandung dalam pesan adalah kode pesan, isi pesan dan
perlakuan pesan. Ketiga faktor tersebut ditinjau dari elemen dan struktur dari
masing-masing faktor (elemen dan struktur dari kode pesan, elemen dan struktur
dari isi pesan serta elemen dan struktur dari perlakuan pesan).
Elemen dan struktur pesan. Struktur pesan merupakan gabungan dari
elemen-elemen pesan. Misalnya kita menulis sebuah kata An~ga,maka Angga
merupakan struktur yang tersusun dari elemen-elemen huruf a, n, g, g, dan a. Hal
yang penting diketahui dalam komunikasi adalah perbedaan antara bentuk (struktur)
dan substansi (elemen) dalam proses komunikasi. Berlo menyatakan, perlu
diperjelas dan menjadi bahan perdebatan dalam komunikasi, mana yang lebih
penting antara ide (elemen) atau organisasi ide (struktur).
Kode pesan. Pesan yang dikirim komunikator kepada komunikan terdiri atas
rangkaian simbol dan kode. Simbol adalah lambang yang memiliki suatu objek.
Sedangkan kode adalah simbol yang tersusun secara sistematis dan teratur
sehingga memiliki arti. Dengan demikian simbol yang tidak memiliki arti bukanlah
kode (Berlo,1960 diacu dalam Cangara,2000:102). Lampu pengatur lalu lintas
(Traffic light) adalah simbol polisi lalu lintas, sedangkan simbol warna adalah kode
bagi pemakai jalan.
Ketika kita meng-encode pesan, kita harus memutuskan kode yang akan
digunakan meliputi (1) kode yang mana saja, (2) elemen kode yang mana, dan (3)
metode struktur elemen dari kode mana yang kita pilih. Tujuan pemilihan tersebut
adalah agar pesan dapat diterima komunikan tanpa distorsi.
Isi pesan. Isi pesan merupakan materi pesan yang terseleksi oleh
komunikator untuk mengekspresikan tujuan. Yang termasuk isi pesan adalah
pernyataanlpemaknaan yang kita buat, informasi yang kita tampilkan, kesimpulan
yang kita buat, dan pembenaran Uudgments) yang kita maksud dalam pesan.
Perlakuan pesan. Perlakuan pada pesan adalah keputusan komunikator
untuk memilih dan menyusun kode dan isi pesan yang dikirim. Faktor penentu
perlakuan pada pesan adalah keperibadian, karakter individu, keterampilan, sikap,
pengertahuan, budaya, dan status dalam sistem sosial. Perlakuan pesan bisa juga
disimpulkan sebagai cara komunikator menyusun kode dan isi pesan. Berlo
menambahkan kita dapat mengidentifikasi individu berdasarkan karakter perilaku
pesan melalui tulisan seseorang, musik yang dihasilkan, dl1 kemudian menganalisis
pesan yang disampaikan dari segi kode, isi, dan perlakuan pesan. Jadi karakter
individu dapat dianalisis melalui pesan yang dihasilkan.
(c) Saluran (chanel)
Saluran komunikasi adalah alat untuk menyalurkan pesan dari komunikator
ke komunikan. Rogera dan Shoemaker (1971:24) membedakan saluran komunikasi
atas dua jenis yaitu (1) saluran media massa, dan (2) saluran interpersonal. Saluran
media massa adalah alat penyampai pesan yang memungkin pencapaian
komunikan dalam jumlah besar, yang dapat menembus batasan waktu dan ruang
seperti
radio, TV, koran, dan sebagainya. Sedangkan saluran interpersonal
merupakan saluran komunikasi melalui pertemuan tatap muka antara komunikator
dan komunikan.
Hanafi (1986:118) dalam
bukunya Memasyarakatkan Ide-ide
Banr
menambahkan, saluran interpersonal dapat bersifat kosmopolit dan lokalit. Saluran
interpersonal kosmopolit adalah saluran komunikasi yang melibatkan komunikator
yang berasal dari luar sistem sosial komunikan. Sedangkan saluran interpersonal
lokalit adalah saluran komunikasi dimana komunikator berasal dari dalam sistem
sosial komunikan.
Penentuan dan penggunaan saluran komunikasi yang tepat sangatlah
penting didalam proses difusi inovasi. Saluran komunikasi media massa lebih efektif
digunakan pada tahap pengenalan inovasi. Dimana saluran tersebut berfungsi untuk
menyampaikan informasi 1 pengetahuan (knowlegde) kepada khalayak dalam jumlah
yang besar. Sedangkan
saluran komunikasi interpersonal lebih tepat digunakan
pada tahapan persuasi karena kontak antara komunikator dan komunikan lebih
banyak bersifat pribadi, sehingga akibat yang timbulkan
banyak berupa
pembentukkan dan perubahan sikap sehingga saluran interpersonal dapat
memainkan peranan penting pada tahap persuasi. Jadi perbedaan kedua saluran
tersebut pada dampak (efek) yang ditimbulkan. Media interpersonal mempunyai efek
yang tinggi pada pembentukkan dan perubahan sikap dan rendah pads kognitif.
Sedangkan media massa berefek tinggi pada kognitif dan rendah pada
pembentukkan dan perubahan sikap komunikan (audience)
Penggunaan saluran komunikasi ternyata berbeda antara negara-negara
maju dengan negara-negara berkembang. Sebagaimana dijelaskan oleh Hanafi
(1986:121) bahwa di negara berkembang media interpersonal masih memegang
peranan penting dalam tahap pengenalan inovasi, terutama saluran interpersonal
kosmopolit. Hal tersebut menurut hanafi kemungkinan disebabkan oleh (1) kurang
tersedianya media massa yang dapat menjangkau komunikan di wilayah pedesaan,
(2) masih tingginya tingkat buta huruf penduduk, dan (3) tidak relevannya pesan-
pesan yang dimuat media massa itu dengan kebutuhan masyarakat, atau (4)
mungkin media massa lebih dipandang sebagai sarana hiburan daripada sebagai
media informasi.
(d) Komunikan.
Komunikan biasa disebut juga dengan istilah penerima pesan, decoder,
khalayak, sasaran,audience dan lain sebagainya. Komunikan merupakan salah satu
aktor dalam proses komunikasi.
Berhasil tidaknya proses komunikasi sangat
ditentukan oleh komunikan.
Komunikan dalam studi komunikasi bisa berupa individu, kelompok dan
masyarakat (Cangara:2000:151). Karena itu sebelum memulai proses komunikasi
seorang komunikator harus mengetahui siapa dan bagaimana khlayaknya.
Lebih lanjut Cangara menambahkan ada tiga aspek yang parlu diketahui
komunikator tentang komunikannya yaitu: aspek sosiodemografik, aspek profil
psikologi, dan Aspek karakteristik perilaku. Aspek sosiodernografik antara lain
adalah: jenis kelamin, usia, jumlah populasi, lokasi, tingkat pendidikan, bahasa yang
digunakan, agama, pekerjaan, ideologi, dan pemilikan media massa. Aspek profil
psikologis ialah memahami komunikan dari segi kejiwaan seperti : emosi
(bagaimana temperamenya), bagaimana pendapat-pendapat mereka,
adakah
keinginan mereka yang perlu dipenuhi, dan sebagainya. Sedangkan dari aspek
karakteristik perilaku komunikan yang perlu diketahui diantaranya adalah hobi, nilai
dan norma, mobilitas sosial, dan perilaku komunikasi, kebiasaan suka berterus
terang atau tidak.
Terlepas dari ha1 itu semua, perlu diingat bahwa derajat pesan yang dapat
diserap (didecode) oleh komunikan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya
adalah ketrampilan berkomunikasi, tingkat pengetahuan, dan sistem sosial budaya
komunikan. Sama halnya dengan komunikator seperti penjelasan sebelumnya.
Parsepsi
Rakhmat (2000:51) menyatakan persepsi adalah pengalaman tentang objek,
peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan menafsirkan pesan. Dengan demikian persepsi merupakan inti komunikasi
dimana interpretasi merupakan inti persepsi (Mulyana,2000:167). Dengan kata lain
persepsi adalah pemberian makna pada stimuli indrawi. Pemberian makna pada
stimuli indrawi
melibatkan sensasi, atensi, ekspekt.asi, motivasi dan memori
(Desiderato, 1976, dalam Rakhmat, 2000:51). Persepsi juga mempengaruhi
keberhasilan suatu komunikasi, sebab dalam prosesnya persepsi mempengaruhi
rangsangan (stimulus) 1 pesan yang kita terima dan makna yang kita berikan
(Devito, 2000:75). Karena itu
kegagalan komunikasi seringkali terjadi karena
ketidakcermatan dalam persepsi interpersonal (Tubbs-Moss,2000:64). Menurut
Samovar et a1 (1981), persepsi adalah proses yang terjadi didalam individu untuk
memilih, mengevaluasi, dan mengorganisasi rangsangan
dari iingkungan
sekitarnya. Senada dengan Samovar, Gibson (1994), mendefinisikan persepsi
sebagai proses memberikan arti terhadap lingkungan oleh individu. Berkaitan
dengan Gibson, Effendi (1992:127) mengartikan persepsi sebagai penginderaan
terhadap sesuatu yang timbul dalam lingkungan dan penginderaan itu dipengaruhi
oleh pengalaman, kebiasaan dan kebutuhan. Dengan demikian persepsi merupakan
suatu proses dimana seseorang menjadi sadar tentang
keadaan alam
lingkungannya (Kemp et al.1975). Borrnan (1991) mengemukakan persepsi kita
terhadap lingkungan sekitar berbeda-beda. Kita lebih sering memahaminya dengan
mencocokkan berbagai bagiannya dengan bentuk lain yang dapat kita kenal.
Wilson (1998) mengakui persepsi adalah selektif sehingga dapat merupakan
psycological nois, " We tend to see, hear and believe only what we want to see,
hear and believe" (kita cenderung untuk melihat, mendengar dan percaya hanya
pada apa yang ingin kita lihat, dengar dan percayai).
Asngari (1984) lebih menekankan pada proses pembentukkan persepsi,
yaitu proses dimana inforrnasi yang diterima seseorang melalui seleksi, kemudian
disusun menjadi satu kesatuan yang bermakna kemudian diinterpretasikan. Lebih
lanjut dikatakan, pengalaman berperanan penting dalam penginterpretasian
tersebut. Sedangkan Rogers dan Shoemaker (1971) lebih menekankan persepsi
pada fungsi knowledge, dimana individu dibukakan pengetahuannya tentang
keberadaan inovasi, sehingga menambah pemahamannya. Pada fungsi ini secara
psikologis
terjadi
tahapan
persepsi
terseleksi,
kecenderungan
untuk
menginterpretasikan pesan komunikasi berdasarkan sikap dan keyakinannya.
Karena persepsi akan mempengaruhi sikap dan keyakinan individu, maka
keputusan mengadopsi atau
persepsi individu terhadap
menolak suatu inovasi
berubungan erat dengan
inovasi tersebut.
Berdasarkan uraian teoritis diatas, teknologi perbaikan pakan sapi perah
perode kering introduksi BPTP Yogyakarta kepada para peternak di Kabupaten
Sleman, akan diadopsi atau tidak sangat berhubungan dengan persepsi peternak
terhadap teknologi tersebut. Persepsi tersebut melalui proses penyadaran diri
berdasarkan kerangka acuan I frame of reference mereka ( faktor-faktor
fungsional/personal) atau sikap dan pengalaman masa lalu yang telah tersimpan
dalam ingatannya (frame of experience), kemudian menginterpretasikan manfaat
terknologi introduksi tersebut bagi mereka, sehingga dari hasil proses psikologis
tersebut, memungkinkan menjadi pendorong potensial bagi diri masing-masing
melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya.
Selama terjadi perbedaan kerangka acuan dan kerangka pengalaman yang
mendasari sikap individu, memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi tentang
manfaat teknologi yang diitroduksikan pada individu bersangkutan.
Dengan kata lain,
persepsi individu terhadap suatu stimuli
(teknologi
introduksi) bukan ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli itu, melainkan oleh
karakteristik
individu
yang
memberikan
respons
pada
stimuli
tersebut
(Rakhmat,2000:56).
Karakteristik lndividu
Karakteristik individu turut mempengaruh persepsi seseorang. Sebagaimana
dinyatakan oleh Rakhmat (2000:49) bahwa secara psikologis setiap orang
mempersepsi stimuli sesuai dengan karakteristik personalnya. Karena itu, pesan
yang sama dapat diberi makna berbeda oleh orang yang berlainan; sehingga
Rakhmat menyatakan, "word don't mean; people mean" (kata-kata tidak mempunyai
makna; oranglah yang memberi makna). Newcomb et a1 (1978:122) menjabarkan
karakteristik individu diantaranya meliputi : umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
status sosial ekonomi, bangsa dan agama.
Dalam disertasi Harun R, pada university of the Philippines at Los Banos
(1987) dalam Danuredja (1999:20 ), dinyatakan bahwa karakteristik personal seperti
umur, tingkat pendidikan, pengalaman, status sosial ekonomi, keanggotaan pada
suatu organisasi, serta perilaku mencari informasi, merupakan peubah yang
berhubungan dengan persepsi dan sikap terhadap inovasi. Sedangkan
hasil
penelitian Danuredja (1999:73) di Jawa Barat yang melihat
hubungan antara
karakteristik
persepsi mereka
individu (masyarakat kurang mampu) dengan
tentang manfaat program P3DT, menemukan persepsi respondenya relatif tidak
memiliki hubungan positif dengan karakteristik umur dan pendapatan keluarga
kecuali tingkat pendidikan formal.
Dilain pihak hasil penelitian Suryadi (2000:iv) di Kabupaten Bogor,
menyimpulkan bahwa karakteristik penyuluh dan petani nelayan kecil (PNK) sangat
menentukan persepsinya tentang kendala berkomunikasi diantara mereka. Hal
senada juga diungkapkan oleh Saedinobrata (1998:63) dalam penelitiannya tentang
hambatan-hambatan komunikasi dalam organisasi di Kabupaten Sukabumi
menyimpulkan bahwa persepsi tentang hambatan-hambatan komunikasi dalam
organisasi berbeda menurut karakterisrik masing-masing. Karakteristik dimaksud
meliputi : umur, pendidikan formal, pendapatan dan frekwensi pertemuan. Begitu
pula dengan Maksum (1994:i) yang dalam penelitiannya di Kabupaten Cilacap
menyimpulkan bahwa persepsi petani tentang faktor-faktor penghambat adopsi
embung berbeda menurut karakteristik masing-masing.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi,
Soekartawi (1988:87-94),
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi proses difusi inovasi, diantaranya
adalah mencakup faktor
personal dan
situasional. Faktor personal yang
mempengaruhi difusi inovasi meliputi: umur, pendidikan dan karakteristik psikologis
(rasionalitas, refleksibilitas mental, dogmatis, orientasi menuju kegiatan pertanian
dan kemudahan inovasi). Sedangkan faktor situasionalnya meliputi : pendapatan
usahatani, ukuran usahatani, prestise, sumber-sumber informasi yang digunakan
dan tingkat kehidupan. Dilain pihak Rogers dan Shoemaker (1971), menyatakan
kecenderungan individu
menginterpretasikan pesan-pesan komunikasi menurut
sikap, kepentingan, kebutuhan dan keyakinannya sangat dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan, status sosial,
keterdedahan pada media komunikasi, kontak
interpersonal, partisipasi sosial dan kekosmopolitan.
Berkaitan dengan berbagai landasan teori diatas maka dalam penelitian ini
karakteristik individu yang diamati
melipqti : umur, pendidikan, pemilikan ternak,
pendapatan rumah tangga, pengalaman beternak sapi perah, dan kekosmopolitan.
Intensitas Komunikasi
Berkaitan dengan dinamika receiver dalam mendapatkan informasi (pesan
komunikasi), Rogers dan Shoemaker membedakan saluran komunikasi atas dua
macam yakni saluran media massa dan saluran interpersonal. Selanjutnya saluran
interpersonal dibedakan atas saluran interpersonal lokalit dan saluran interpersonal
kosmopolit. Saluran interpersonal lokalit adalah saluran antar pribadi yang
berlangsung sebatas daerah atau sistim sosial itu saja. Sedangkan saluran
interpersonal kosmopolit adalah komunikasi yang berlangsung antara receiver
dengan sumber pesan dari luar sistem sosial receiver.
Berdasarkan ha1 tersebut, penelitian ini akan melihat sejauh mana dinamika
peternak sapi perah di Kecamataln Cangkringan melakukan kontak interpersonal
atau intensitas komunikasi mereka dalam mencari dan menerima informasi yang
berkaitan dengan teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering, dengan
berbagai pihak baik yang bersifat lokalit maupun kosmopolit; serta hubungannya
dengan keputusan inovasi mereka.
Menurut Rogers dan
Shoemaker (1971), kecenderungan
individu
menginterpretasikan pesan menurut kebutuhan dan lain-lain, diantaranya sangat
dipengaruhi oleh kontak interpersonal dan kekosmopolitan individu bersangkutan.
Proses Pengambilan Keputusan lnovasi
Rogers dan Shoemaker (1986:35)mengklasifikasikan keputusan inovasi atas
dua tipe. Pertama, keputusan otoritas yaitu keputusan yang dipaksakan kepada
seseorang, oleh individu yang berada dalam posisi atasan. Kedua, keputusan
individual, keputusan yang lebih bersifat demokratis dimana individu yang
bersangkutan turut mengambil peranan didalam menentukan keputusan itu. Lebih
lanjut Rogers dan Shoemaker mengklasifikasikan keputusan individual tersebut atas
dua jenis yakni keputusan opsional dan keputusan kolektif. Keputusan opsional
merupakan keputusan individual yang terlepas dari keputusan yang dibuat oleh
anggota sistem. Sedangkan keputusan kolektif merupakan keputusan-keputusan
yang dibuat oleh individu-individu didalam sistem sosial melalui suatu konsensus.
Dari klasifikasi keputusan inovasi tersebut penelitidn ini lebih memfokuskan
diri pada tipe keputusan individual opsional para peternak sapi perah didalam proses
keputusan inovasi mereka terhadap teknologi perbaikan pakan sapi perah periode
kering yang diintroduksikan oleh BPTP Yogyakarta.
Para ahli sosiologi pedesaan tahun 1955 (Rogers dan Shoemaker 1986:36)
menyatakan bahwa keputusan inovasi merupakan suatu "proses adopsi", dimana
keputusan individu untuk menerima atau menolak inovasi merupakan serangkaian
proses dalam kurun waktu tertentu. Proses adopsi tersebut menurut mereka terdiri
atas 5 tahapan proses yaitu: (1) kesadaran (awamess), pada tahap ini dikatakan,
seseorang mengetahui adanya inovasi (ide baru) namun kurang memiliki informasi
tentang ha1 tersebut. (2) tahap minat (inferst), individu berminat terhadap inovasi itu
dan mulai mencari informasi tentang ha1 itu. (3) tahap penilaian (evaluation),
penilaian individu
terhadap
inovasi bagi kepentingan dirinya dan kemudian
menentukan untuk mencobanya atau tidak. (4) tahap mencoba (trial), pada tahapan
ini individu mulai menerapkan inovasi tersebut dalam skal kecil guna melihat
manfaatnya. (5) tahap penerimaan inovasi (adoption), tahapan diaman individu itu
menggunakan inovasi tersebut secara tetap dalam skala luas. Kelima tahap proses
adopsi tersebut lebih familiar dengan sebutan (akronim) AIETA.
Konsep ini belakangan dikritik karena memiliki beberapa kelemahan: (1)
konsep itu menyatakan bahwa "proses adopsi" berakhir dengan keputusan adopsi.
Padahal hasil akhir
dari keputusan inovasi tidak selalu dengan mengadopsi
melainkan bisa juga penolakan. Karena itu istilah "proses adopsi" perlu diperluas
lagi; (2) Kelima tahapan proses tersebut terjadi secara berurutan, padahal dalam
kenyataannya bisa juga terjadi beberapa tahapan dilewatkan; (3) Proses keputusan
inovasi jarang berakhir dengan adopsi. Biasanya proses tersebut masih berlanjut
dengan pencarian informasi lain untuk mengukuhkan keputusan yang telah dibuat.
Berdasarkan ha1 tersebut Rogers kemudian merumuskan kembali pengertian
"proses adopsi" sebagai "proses keputusan inovasi"
sebagaimana
dituangkan
dalam bukunya dengan judul Diffusion of Inovation yang pertama kali diterbitkan
tahun 1962 yang edisi ketiganya diterbitkan tahun 1983. Dalam buku tersebut
Rogers (1983:163) mendefinisikan proses keputusan inovasi sebagai proses yang
terjadi pada seseorang atau unit pembuat keputusan lainnya, sejak pertama kali
mengetahui atau mengenal
keputusan
adanya suatu inovasi sampai mengambil suatu
mengadopsi atau menolak dan mengimplementasikan
serta
mengkonfirmasi keputusan tersebut untuk tetap mengadopsi (sustainable adoption)
atau menolak terknologi itu. Lebih lanjut Rogers (1983:164) merinci tahapan yang
umum dilalui dalam proses pengambilan keputusan inovasi adalah:
(1) tahap
pengenalan (knowledge), individu 1 unit pengambil keputusan diperkenalkan pada
suatu inovasi dan memperoleh gambaran / pengertian tentang fungsi dari inovasi
tersebut. (2) tahap persuasi (persuasion), individu / unit pengambil keputusan mulai
membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan dengan inovasi tersebut. (3) tahap
keputusan (decision), individu / unit pengambil keputusan menetapkan untuk
menerima atau menolak inovasi tersebut. (4) tahap penerapan (implementation),
individu / unit pengambil keputusan mulai melaksanakan apa yang telah diputuskan
pada tahap pengambilan keputusan tersebut, dan
(5) tahap konfirmasi
(confirmation), pada tahapan ini, individu / unit pengambil keputusan mencari
penguatan atau pengukuhan terhadap inovasi yang telah diterimanya. Pada tahap
ini, bila informasi baru yang diperoleh lebih mengukuhkan inovasi yang telah
diiplementasikan tadi, maka inovasi tersebut tetap diadopsi. Sebaliknya bila
informasi baru yang diperoleh melemahkan inovasi yang telah diadopsi, maka pada
tahapan konfirmasi ini akan berakhir dengan penolakan.
Tingkat kecepatan adopsi suatu inovasi pada masing-masing individu
berbeda-beda karena itu Rogers dan Shoemaker (198638) mengkategorikan
adopter berdasarkan waktu (cepat-lambat) penerimaan suatu inovasi, dalam 5
kategori yaitu : (1) Perintis (inovator), (2) Pelopor ( early adopter), (3) Pengikut dini
/ Mayoritas awal (early mayority), (4) Pengikut akhir 1 Mayoritas akhir (late mayor@)
dan (5) Kaum kolot (laggard).
Cepat atau lambatnya proses adopsi suatu inovasi oleh individu tergantung
juga pada ciri-ciri yang melekat pada inovasi. Ciri-ciri tersebut adalah (1) keuntungan
relatif, yaitu derajat kebaikan suatu inovasi (gagasan atau teknologi baru) dibanding
dengan inovasi sebelum / sesudahnya, (2) kompabilitas, yaitu derajat kesamaan
atau keterkaitan inovasi dengan nilai-nilai, kepercayaan, dan pengalamanpengalaman termasuk cara-cara lama yang sudah diketahui, yang dimiliki penerima
inovasi. lnovasi seyogyanya memiliki kompabilitas dengan kebutuhan adopternya.
Kompabilitas inovasi berhubungan positif dengan
kecepatan adopsi,
(3)
kompleksitas (kerumitan inovasi), adalah tingkat dimana suatu inovasi dianggap
relaif sulit untuk dimengerti dan digunakan. Kerumitan suatu inovasi berhubungan
negatif dengan kecepatan adopsinya, (4) Triabilitas suatu inovasi adalah tingkat
kemungkinan dapat dicoba inovasi itu dalam skala kecil / terbatas. Triabilitas suatu
inovasi berhubungan secara positif dengan kecepatan adopsi , (5) observabilitas,
yaitu tingkat dimana hasil-hasil inovasi dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain.
Observabilitas suatu inovasi berhubungan secara positif dengan kecepatan adopsi
(Rogers dan Shoemaker, 1986:146).
Berkaitan dengan kecepatan adopsi inovasi tersebut Levis (1996),
menyatakan bahwa kecepatan adopsi inovasi juga sangat ditentukan oleh semakin
intensif dan seringnya intensitas promosi yang dilakukan oleh agen pembaru
(penyuluh) setempat dan atau pihak lain yang juga berkepentingan dengan proses
adopsi tersebut, seperti lembaga penelitian, pedagang atau sumber inovasi itu
sendiri. Lebih lanjut Levis menyatakan, kecepatan adopsi suatu inovasi oleh
seseorang
atau suatu komunitas tertentu sangat ditentukan oleh urgensitas
(kepentingan segerah) masalah dan kebutuhan masyarakat. Sedangkan Soekartawi
(1990) dalam Levis (1996), menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan proses
komunikasi dan adopsi inovasi berbagai paket teknologi pembangunan, transfer
teknologi memerlukan waktu relatif cukup lama. Hal tersebut dipengaruhi oleh
adanya interaksi individu dan kelompok para adopter. Dengan demikian, lambat
atau terhambatnya proses adopsi inovasi bukanlah semata-mata karena lemahnya
posisi petani (rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan, minimnya modal usaha
dsb), melainkan juga dipengaruhi oleh lingkungan atau kelompok sekitarnya.
Program Penelitian Sistim Usahatani (SUT)
Penelitian dan pengembangan pertanian pada prinsipnya diarahkan untuk
menghasilkan teknologi pertanian dalam upaya memecahkan masalah-masalah
petani dan pengguna lainnya. Dilain pihak dalam upaya untuk mempercepat
terwujudnya pertanian tangguh dan modern, Badan Litbang Pertanian telah
melakukan reorganisasi dan reorientasi kegiatan penelitian dan pengembangan
pertanian.
Salah satu ha1 yang menonjol dalam rangkaian reorganisasi Badan Litbang
Pertanian berdasarkan SK Mentan No. 7981KPTSIOT/210112/94 tanggal 13
Desember 1994 adalah pembentukan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP),
Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) dan Instalasi Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Pertanian (IP2TP).
Rangkaian reorganisasi Badan Litbang tersebut diatas, selanjutnya telah
mengalami penyempurnaan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.350
IKptsl OT.2101 61 2001 tanggal 14 Juni 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP),
ditingkatkan statusnya
dimana LPTP dan IP2TP
menjadi BPTP. Dengan demikian IP2TP Yogyakarta
berdasarkan SK Mentan tersebut secara otomatis menjadi BPTP Yogyakarta.
Karena itu sebutan IP2TP Yogyakarta selanjutnya disebut BPTP Yogyakarta.
Kecuali untuk pustakalliteratur yang diterbitkan sebelum SK mentan terakhir, tetap
disebut IP2TP Yogyakarta.
Tugas dan fungsi
BPTP. Dalam penyelenggaraan tugasnya sesuai SK
Mentan No.350 IKptsl OT.2101612001tanggal 14 Juni 2001 adalah melaksanakan
pengkajian dan perakitan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi. Dalam
melaksanakan tugas tersebut
BPTP
menyelenggarakan beberapa fungsi
diantaranya adalah : inventarisasi dan identifikasi kebutuhan teknologi pertanian
tepat guna spesifik lokasi; penelitian pengkajian dan perakitan teknologi tepat guna
spesifik lokasi; serta penyiapan paket teknologi hasil pengkajian dan perakitan untuk
bahan penyusunan materi penyuluhan.
Cakupan program penelitian dan perakitan teknologi pertanian spesifik lokasi
meliputi: (1) Penelitian Sistem Usahatani ISUT (farming system research, FSR), (2)
penelitian terapan di kebun percobaan, (on-station applied research ), (3) penelitian
adaptif dilahan petani (on-farm adaptive research), (4) Pengkajian Sistem Usaha
Pertanian (SUP), (5) penelitian sosial ekonomi dan analisis kebijaksanaan
pembangunan pertanian wilayah, dan (6) diseminasi hasil penelitian dan pengkajian
teknologi pertanian.
Penelitian SUT, merupakan satu diantara kegiatan penelitian dan pengkajian
teknologi Badan Litbang Pertanian yang dilaksanakan oleh BPTP. Dalam
pelaksanaannya dilakukan di lahan petani oleh suatu tim dengan latar belakang
multidisiplin ilmu,
bekerjasama dengan petani dan penyuluh. Penelitian ini untuk
merakit paket teknologi usahatani spesifik lokasi sesuai dengan keunggulan
sumberdaya dan kondisi sosial ekonomi setempat .
Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kinerja penelitian SUT (faming
system research, FSR) menurut Knipscheer dan Harwood (1989) diacu dalam
Badan Litbang Pertanian (1999:7)
antara lain: (1) sejauhmana teknologi
rekomendasi dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi petani, (2) tipe dari
inovasi (teknologi baru atau perbaikan teknologi petani), (3) kuantitas dan kualitas
informasi yang ingin diketahui oleh petani dari
penerapan suatu teknologi, (4)
derajat keterlibatan petani dan umpan balik yang mungkin diperoleh, (5) waktu dan
alokasi sumberdaya yang diperlukan dalam penerapan teknologi maju, (6) apakah
petani yang dilibatkan cukup mewakili kelompok sasaran yang ingin dicapai, dan (7)
apakah secara partisipatif petani memang ingin bekerjasama serta sejauhmana
aksesibilitasnya" dalam kegiatan penelitian tersebut. Dari penelitian SUT ini
diharapkan dapat diperoleh komponen atau paket teknologi spesifik lokasi.
Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering
Dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha ternak sapi
perah di Sleman Yogyakarta, maka
perlu dirakit dan didesiminasikan paket
teknologi tepat guna spesifik lokasi berbasis sapi perah kepada para peternak
setempat. Untuk itu BPTP Yogyakarta telah melaksanakan penelitian SUT berbasis
sapi perah guna merakit teknologi tepat guna spesifik lokasi tersebut. Satu diantara
beberapa penelitian SUT berbasis sapi perah yang telah dilaksanakan BPTP
Yogyakarta adalah penelitian teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering.
Kegiatan penelitian teknologi ini
telah dilaksanakan pada tahun anggaran
199912000, di Dusun Jambu dan Kaliadem Desa Kepuharjo Kecamatan
Cangkringan Kabupaten sleman.
Teknologi pemberian pakan sapi perah periode kering adalah teknologi
berupa informasi tentang pemberian pakan konsentrat dalam ransum ternak sapi
perah saat ternak dalam masa kering. Spesifikasi teknologi tersebut adalah
informasi tentang volume pemberian pakan konsentrat dalam ransum ternak saat
periode kering sebanyak 1,5 % dari berat badan ternak.
Dalam laporan hasil penelitian BPTP Yogyakarta (IP2TP, 2000:2) dinyatakan
bahwa pemberian pakan (ransum) berkualitas pada ternak di periode kering (masa
kehamilan bulan ke-8
hingga berakhirnya masa menyusui) berpengaruh sangat
signifikan terhadap produksi susu yang dihasilkan baik kuantitas maupun
kualitasnya. Salah satu komponen ransum berkualitas adalah pakan konsentrat
(pakan komersial).
Menurut Wardhani (2002:31), umumnya peternak kurang memperhatikan
kondisi pakan ternak sapi induk (terutama pemberian pakan konsentrat) saat ternak
tersebut dalam masa kering atau non laktasi. Dengan pertimbangan peternak bahwa
pada periode tersebut ternak perahnya sedang tidak menghasilkan 1 non produktif.
Hal ini menunjukkan bahwa persepsi peternak terhadap pemberian ransum ternak
dengan jumlah yang memadai hanya diberikan pada periode produktif (laktasi) saja.
Lebih lanjut Wardhani menyatakan bahwa persepsi tersebut adalah keliru. Sebab
periode kering merupakan masa persiapan untuk laktasi baru, sehingga periode
tersebut tidak dipersepsi sebagai masa akhir laktasi melainkan masa persipan
laktasi baru. Karena itu, pemberian ransum dengan mengurangi pakan konsentrat
mengakibatkan ternak akan kekurangan nutrien pada periode hamil tua menjelang
melahirkan. Kondisi ini akan mengakibatkan produksi susu masa laktasi berikutnya
akan berkurang disamping berat lahir pedet juga tidak optimal. Menurut Hutjens
(1997) dalam Wardhani (2002:31), ternak sapi perah yang memiliki potensi produksi
tinggi, bila diberikan pakan tambahan berkualitas baik dalam jumlah memadai saat
periode kering, akan dapat meningkatkan produksi susu laktasi berikutnya 2 25 %
serta penurunan produksi pasca puncak produksi tidak terlalu rendah.
Download