9 BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 PENGERTIAN TUBERKULOSIS Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang umumnya disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Meskipun dapat menyerang hampir semua organ tubuh, namun penyakit TB lebih sering menyerang organ paru (8085%). Tuberkulosis yang menyerang organ paru disebut tuberkulosis paru dan yang menyerang organ selain paru disebut tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru dengan hasil pemeriksaan sputum menunjukkan BTA positif, dikategorikan sebagai tuberkulosis paru (Depkes, 2005). 2.2 PENYEBAB TUBERKULOSIS Penyebab penyakit tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. Mycobacterium tuberculosis adalah suatu basil gram-positif tahan asam dengan pertumbuhan sangat lamban (Tjay dan Rahardja, 2007). 9 10 2.3 CARA PENULARAN Tuberkulosis menyebar dari orang ke orang, yaitu dari penderita TB paru BTA positif kepada orang yang berada di sekelilingnya, terutama kontak erat. Kuman menyebar melalui udara dalam bentuk percikan kecil (droplet nuclei) yaitu berupa partikel berdiameter sekitar 5 µm, setiap droplet dapat mengundang sekitar 3 kuman. Droplet diproduksi penderita TB paru BTA positif saat batuk, bersin, berbicara atau menyanyi. Berbicara selama 5 menit menghasilkan sekitar 3000 droplet, menyanyi menghasilkan sekitar 3000 droplet per menit, sedangkan bersin menghasilkan droplet lebih banyak dan terlontar lebih jauh sehingga dapat menyebar sampai 10 kaki (Jansen, 2005). Kuman yang terdapat pada droplet dapat bertahan hidup di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi orang lain apabila terhirup dan masuk ke dalam sistem pernafasan. Bahkan bakteri ini dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh lain seperti otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru (dapat dilihat pada gambar berikut ini). 11 Gambar 2.I : Penyebaran bakteri TB Sumber : http://www.kesimpulan.co.cc/2009/04/tuberkulosistb-paru.html Tingkat penularan dari penderita tergantung pada konsentrasi kuman yang dikeluarkannya. Derajat positif hasil pemeriksaan dahak, dapat menunjukkan tingkat keparahan penyakit, makin tinggi derajat positif makin menular penderita tersebut (Depkes, 2005). 2.4 GEJALA-GEJALA TUBERKULOSIS Keluhan pada penderita tuberkulosis paru dapat dibagi menjadi gejala lokal di paru dan keluhan pada seluruh tubuh secara umum. 12 2.4.1. Batuk Gejala batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Biasanya batuknya ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul pada waktu penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari. Bila proses destruksi berlanjut, sekret dikeluarkan terus-menerus sehingga batuk menjadi lebih dalam dan sangat mengganggu penderita pada waktu siang maupun malam hari. Bila yang terkena trakea atau bronkus, batuk akan terdengar sangat keras, lebih sering atau terdengar berulang-ulang (paroksimal). Bila laring yang terserang, batuk terdengar sebagai hollow sounding cough, yaitu batuk tanpa tenaga dan disertai suara serak. 2.4.2. Batuk Darah Darah yang dkeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak (profus). Batuk darah jarang merupakan tanda permulaan dari penyakit tuberkulosis atau initial symptom karena batuk darah merupakan tanda telah 13 terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kavitas. Batuk darah pada pemerisaan radiologis tampak ada kelainan. Sering kali darah yang dibatukkan pada penyakit tuberkulosis bercampur dahak yang mengandung basil tahan asam. Batuk darah juga dapat terjadi pada tuberkulosis yang sudah sembuh karena robekan jaringan paru atau darah berasal dari bronkiektasis yang merupakan salah satu penyulit tuberkulosis paru. Pada saat seperti ini dahak tidak mengandung basil tahan asam (negatif). 2.4.3. Nyeri Dada Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di daerah aksila, di ujung skapula). 2.4.4. Sesak Napas Sesak napas pada tuberkulosis disebabkan oleh penyakit yang luas pada paru atau oleh penggumpalan cairan di rongga pleura sebagai komplikasi TB Paru. Penderita yang sesak napas sering mengalami demam dan berat badan turun. 14 2.4.5. Demam Merupakan gejala paling sering dijumpai dan paling penting. Sering kali panas badan sedikit meningkat pada siang maupun sore hari. Panas badan meningkat atau menjadi lebih tinggi bila proses berkembang menjadi progresif sehingga penderita merasakan badannya hangat atau muka terasa panas. 2.4.6. Menggigil Dapat terjadi bila panas badan naik dengan cepat, tetapi tidak diikuti pengeluaran panas dengan kecepatan yang sama atau dapat terjadi sebagai suatu reaksi umum yang lebih erat. 2.4.7. Keringat Malam Keringat malam bukan gejala yang patognomonis untuk penyakit tuberkulosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut, kecuali pada orang-orang dengan vasomotor labil, keringat malam dapat timbul lebih dini. Nausea, takikardi dan sakit kepala timbul bila ada panas. 2.4.8. Anoreksia Anoreksia yaitu tidak selera makan dan penurunan berat badan merupakan manifestasi lebih sering dikeluhkan bila proses progresif. Rendahnya asupan 15 makanan yang disebabkan oleh anoreksia, menyebabkan peningkatan metabolisme energi dan protein dan utilisasi dalam tubuh. Asupan yang tidak kuat menimbulkan pemakaian cadangan energi tubuh yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan. 2.5 PERJALANAN PENYAKIT 2.5.1. Tuberkulosis primer Merupakan sindrom yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis pada pasien non-sensitif yaitu mereka yang sebelumnya belum pernah terinfeksi. Pasien biasanya tanpa gejala (Rubenstein, 2008). Tuberkulosis primer sering terjadi pada anak (Hidayat, 2006), tetapi bisa terjadi pada orang dewasa dengan daya tahan tubuh yang lemah, seperti penderita HIV, DM, orang tua, dan sebagainya (Luhur, 2008). TB paru primer dimulai dengan masuknya Mycobacterium tuberculosis secara aerogen ke dalam alveoli yang mempunyai tekanan oksigen tinggi, atau melalui traktus digestivus (Malueka, 2007). Bakteri yang terhirup membentuk satu fokus infeksi di paru, disertai keterlibatan kelenjar limfe hilus (kompleks 16 primer). Biasanya hanya timbul sedikit gejala, dan pemulihan sering terjadi secara spontan. Individu yang bersangkutan tidak menular bagi orang lain dan bereaksi negatif terhadap uji bakteriologis walaupun uji kulit tuberkulinnya (Heaf test) mungkin sensitif. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif (Zulkoni, 2010). Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumoni, berkomplikasi dan menyebar secara per kontinuitatum yakni menyebar ke sekitarnya, secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya, secara limfogen, ke organ tubuh lainnya, secara hematogen, ke organ tubuh lainnya (Sudoyo, 2007). 2.5.2. Tuberkulosis post primer Merupakan sindrom yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis pada yang pernah terinfeksi dan oleh karenanya pasien sensitif terhadap 17 tuberkulin (Rubenstein, 2008). TB paru post primer biasanya terjadi akibat dari infeksi laten sebelumnya. Infeksi ini dapat menimbulkan suatu gejala TB bila daya tahan tubuh host menurun. Mikroorganisme yang laten dapat berubah menjadi aktif dan menimbulkan nekrosis. TB sekunder progresif menunjukkan gambaran yang sama dengan TB primer progresif (Icksan dan Luhur, 2008). Pemulihan spontan tidak dijumpai pada tuberkulosis post primer dan pasien mungkin menular bagi orang lain sebelum diterapi secara efektif (Gould dan Brooker, 2003). Tuberkulosis post primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas tuberkulosis post primer adalah kerusakan paru yang luas dan parah (Zulkoni, 2010). 2.6 KLASIFIKASI TUBERKULOSIS PARU Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI 2006), terdapat beberapa klasifikasi TB berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) : paru, yaitu 18 2.6.1. Tuberkulosis paru BTA (+), yaitu : 1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. 2. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. 3. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan perkembangbiakan positif. 2.6.2. Tuberkulosis paru BTA (-), yaitu : 1. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif. 2. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan perkembangbiakan M. tuberculosis positif. 2.7 DIAGNOSA TUBERKULOSIS PARU 2.7.1. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan pucatnya konjungtiva mata atau kulit pucat karena anemia, suhu demam subfebril, badan kurus atau berat badan 19 menurun (Amin, 2007). Tempat kelainan lesi Tuberkulosis paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial dan ditemukan juga suara nafas berupa ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikular melemah. Pada keadaan konsolidasi dan fibrosis meningkatkan penghantaran getaran sehingga pada palpasi didapati frenitus meningkat serta pada auskultasi suara nafas menjadi bronkovesikuler atau bronkhial. Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura dalam pernafasan perkusi akan memberikan suara pekak (Halim, 1998). 2.7.2. Pemeriksaan Bakteriologik Pemeriksaan menegakkan dahak diagnosa, berfungsi menilai untuk keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan yaitu: Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) 20 (Depkes RI, 2006). Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lainnya (cairan pleura, CSF, bilasan bronkus, bilasan lambung, urin, feses dan jaringan biopsi dapat dilakukan dengan cara mikroskopis dan biakan) (PDPI, 2006). Pemeriksaan mikroskopis dengan menggunakan pewarnaan ZiehlNielssen, sedangkan pemeriksaan biakan dengan menggunakan Egg Base Media Lowenstein-Jensen atau Ogama (PDPI, 2006). 2.7.3. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan yang sensitif tapi tidak spesifik untuk mendiagnosa suatu tuberkulosis aktif (Barker, 2009). Beberapa bagian kelainan yang dapat digunakan pada foto rontgen adalah : 1. Sarang berbentuk awan dengan densitas rendah atau sedang dan batas tidak tegas. Sarangsarang seperti ini biasanya menunjukkan bahwa proses aktif, 2. Lubang (kavitas) selalu berarti proses aktif kecuali bila lubang sudah sangat kecil yang dinamakan lubang sisa (residual cavity), 3. Sarang seperti garis-garis (fibrotik) atau bintik-bintik kapur yang menunjukkan bahwa proses telah baik (Rasad, 2008). 21 2.7.4. Indikasi pemeriksaan foto toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu disesuaikan dengan indikasi sebagai berikut (Depkes RI, 2006) : 1. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. 2. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasil BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 3. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotoraks, pleuritis, eksudatif, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemioptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma). Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA) 22 pada 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sesuai dengan indikasinya, tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambar yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi over diagnosis (Depkes RI, 2006). 2.8 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA TUBERKULOSIS PARU 2.8.1. Umur Beberapa faktor resiko penularan penyakit TB di Amerika yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian serta infeksi AIDS. Variabel umur berperan dalam kejadian TB. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. 23 Pada wanita prevalensi mencapai maksimum pada umur 40-50 tahun kemudian berkurang, sedangkan pada pria prevalensi terus meningkat sekurangkurangnya mencapai usia 60 tahun (Crofton, 2002). Resiko untuk mendapatkan TB dapat dikatakan hanya seperti kurva terbalik, yaitu tinggi ketika awalnya, menurun ketika di atas dua tahun hingga dewasa memiliki daya tangkal terhadap TB dengan baik. Puncaknya pada dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua (Achmadi, 2005). Hasil survei TB paru di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi TB paru berbeda secara signifikan berdasarkan kelompok umur, dimana kelompok umur di bawah 45 tahun (74/100.000) lebih rendah dari kelompok umur 45 tahun ke atas (211/100.000) (Soemantri, 2005). 2.8.2. Jenis kelamin Wanita pada usia reproduksi mempunyai resiko lebih tinggi untuk menderita TB di bandingkan dengan laki-laki pada usia yang sama. Prevalensi TB paru pada wanita secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan dengan pria. Peningkatan prevalensi 24 seiring dengan usia yang relatif kurang tajam dibandingkan dengan peningkatan pada pria, namun pada wanita prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun (Crofton, 2002). Hal ini sejalan dengan hasil prevalensi TB paru di Indonesia tahun 2004, dimana prevalensi TB paru pada pria adalah 138/100.000 lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi pada wanita sebesar 72/100.000. 2.8.3. Tingkat pendidikan Tingkat mempengaruhi pendidikan terhadap seseorang pengetahuan akan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya (Helda, 2009), dan pada mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi umumnya lebih mudah dalam menyerap dan menerima informasi masalah kesehatan dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih rendah, sehingga mempengaruhi 25 terhadap keputusan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia. Suatu studi kasus yang dilakukan di Myanmar menunjukkan bahwa proporsi kejadian TB banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai tingkat pendidikan rendah. Kelompok tersebut juga lebih banyak mencari pengobatan tradisional dibandingkan pada pelayanan medis yang tersedia (WHO, 2002). 2.8.4. Jenis pekerjaan Jenis pekerjaan menentukan faktor resiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu terpapar partikel debu di terjadinya Paparan daerah terpapar gangguan kronis pada udara akan mempengaruhi saluran yang pernafasan. tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan. Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terdapat pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari di antara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai 26 pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB paru. 2.8.5. Kebiasaan merokok Menurut (Aditama, 2002), perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok. Seperti halnya perilaku lain, perilaku merokok pun muncul karena adanya faktor internal (faktor biologis dan faktor psikologis, seperti perilaku merokok dilakukan untuk mengurangi stres) dan faktor eksternal (faktor lingkungan sosial). Didapat bahan-bahan kimia yang dikandung dalam rokok seperti nikotin, CO (Karbonmonoksida) dan tar akan memacu kerja dari susunan syaraf pusat dan susunan simpatis sehingga mengakibatkan tekanan darah meningkat dan detak jantung bertambah cepat, menstimulasi kanker dan berbagai penyakit yang lain seperti penyempitan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, jantung, paruparu dan bronchitis kronis. Seseorang yang dikatakan perokok berat adalah bila mengkonsumsi rokok lebih 27 dari 21 batang perhari dan selang merokoknya lima menit setelah bangun pagi. Perokok sedang menghabiskan 11-21 batang dan perokok ringan menghabiskan rokok kurang dari 10 batang (Aditama, 2002). Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali (Sitepoe, 2000). Didapat data riset kesehatan dasar (Riskesdas, 2010) usia perokok di Indonesia adalah pada usia 5-9 tahun sebesar 1,7%, usia 10-14 tahun 17,5%, usia 1519 tahun sebesar 43,3%, usia 20-24 tahun sebesar 14,6%, usia 25-29 sebesar 4,3% dan usia ≥ 30 tahun sebesar 3,95%. 2.8.6. Status gizi Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian TB paru. Kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan dan daya tahan tubuh dan respon imunologik terhadap penyakit. Beberapa studi menunjukkan adanya 28 hubungan antara gizi dengan kejadian tuberkulosis. Oleh sebab itu salah satu upaya untuk menangkalnya adalah status gizi yang baik, baik untuk wanita, lakilaki, anak-anak maupun dewasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologi terhadap penyakit (Achmadi, 2005). 2.8.7. Perilaku Faktor resiko perilaku lainnya yang berhubungan dengan kejadian TB paru adalah : kebiasaan tidur dengan anggota keluarga lain yang terinfeksi TB, tidak menjemur kasur dan bantal, membuang ludah sembarangan, tidak membuka jendela kamar tidur setiap hari, tidak pernah membersihkan lantai, tidak menutup mulut saat bersin atau batuk (Edwan, 2008). Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara 29 pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit dan akhirnya berakibat menjadi sumber penularan bagi orang di sekelilingnya (Helda, 2009). 2.9 KERANGKA KONSEP Kerangka penelitian ini menggambarkan bahwa angka kejadian TB paru disebabkan oleh faktor lingkungan rumah, jenis pekerjaan, kebiasaan merokok. Kerangka konsep dari kejadiaan TB paru adalah sebagai berikut : Skema 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Variabel bebas Variabel terikat Jenis pekerjaan Kebiasaan merokok Kejadian TB paru pada pria dan wanita 2.10 HIPOTESIS Menurut (Sugiyono, 2010), hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara tehadap rumusan masalah penelitian. Terdapat dua macam hipotesis yaitu : hipotesis nol dan hipotesis alternatif. Hipotesis nol diartikan sebagai tidak 30 adanya perbedaan antara parameter dengan statistik, atau tidak adanya perbedaan antara ukuran populasi dan ukuran sempel. Dalam penelitian ini, hipotesis yang ditetapkan adalah sebagai berikut : a. Ha : ada perbandingan jenis pekerjaan dan kebiasaan merokok pada pria dan wanita yang menderita penyakit TB paru di RSPAW Salatiga. b. Ho: tidak ada perbandingan jenis pekerjaan dan kebiasaan merokok pada pria dan wanita yang menderita penyakit TB paru di RSPAW Salatiga.