َٱ لْح ي وٰةَِّ َ ََُعَٰ ت م َ ِّلَٰ ذ َ و ٱ لْح رْثَِّ َ َِّمَٰ عْنَ ْل

advertisement
Logika Bahasa Alquran (2)
Oleh Muhbib Abdul Wahab
Kaprodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Logika bahasa Alquran bukan hanya memberikan kejelasan penalaran yang logis, tetapi
menuntun kita untuk “tunduk” kepada kebenaran substantif dari ayat-ayat Alquran. Logika
bahasa Alquran menuntun kita untuk menjadikan logika tidak semata-mata sebagai metode
berpikir (thariqat at-tafkir) untuk memperoleh kebenaran (ilmu, keyakinan, dan realitas),
melainkan juga menuntun kita untuk berlogika secara baik, benar, dan santun.
Muhammad Taqi al-Modarresi, penulis buku al-Manthiq al-Islami: Ushuluhu wa
Manahijuhu, menjelaskan bahwa logika formal (al-manthiq as-shuri) yang diwariskan
Aristoteles itu memiliki tiga kelemahan mendasar. Pertama, sistem penalaran dalam logika
Aristoteles itu mengabaikan peran negatif manusia dalam menyesatkan pemikiran. Kedua,
absolutisme orientasi logika, sehingga menyebabkan absolutisme pemikiran di kalangan
Aristotelian. Ketiga, transformasi logika menjadi pemikiran, padahal logika hanyalah metode
berpikir. Dengan kata lain, logika manusia atau metode berpikir manusia boleh jadi salah dan
menyesatkan jika pola dan paradigma berpikirnya dikendalikan dan dijustifikasi oleh tendensi
hawa nafsu dan kepentingan tertentu.
Oleh karena itu, Alquran hadir dengan logikanya yang khas, otentik, dan rasional. Tidak
hanya pilihan kosakata (diksi) yang tepat sesuai dengan konteks (li kulli maqal maqam), tetapi
juga memandu kita berpikir yang benar, logis, dan integratif. Dalam konteks ini, sekadar contoh,
hukum kausalitas (logika sebab-akibat) menjadi salah satu metode berpikir qurani yang sangat
menarik. Perhatikanlah ayat berikut:
َ‫ث َذَٰ ِّلَ َمت َٰ َُع َٱلْحي ٰوَِّة‬
َِّ ‫ت َ ِّمنَ َٱلنِّسآَِّء َوٱلْبنِّيَ َوٱلْقن َٰ ِّط َِّي َٱلْ ُمقنطرَِّة َ ِّمنَ َٱ َّذلهبَِّ َوٱلْ ِّفضَّ َِّة َوٱلْخ ْي َِّل َٱلْ ُمس َّوم َِّة َوٱ ْ َْلنْع َٰ َِّم َوٱلْح ْر‬
َِّ ‫اس َ ُحبَ َٱلشَّ ه َٰو‬
َ ِّ َّ‫ُزيِّنَ َلِّلن‬
﴾١٤﴿ََِّ‫ٱدلنْياَوٱ َّ ُّللََ ِّعند ُهۥَ ُح ْس َُنَٱلْمـَاب‬
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa
perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak,
kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik. (QS 'Ali `Imran [3]:14)
Cinta terhadap yang diinginkan, seperti cinta wanita, anak-anak, dan harta benda/properti
(emas, perak, kendaraan, hewan, dan sawah ladang) itu dikategorikan sebagai kesenangan hidup
di dunia. Kesenangan hidup di dunia ini bersifat sementara, tidak abadi, dan cenderung
“menghinakan” manusia, jika dikendalikan nafsu syahwat. Karena itu, Alquran menuntun
manusia agar tidak sesat pikir dan salah orientasi dalam memaknai kesenangan duniawi, yaitu
dengan menunjukkan orientasi akhirat yang jauh lebih dahsyat daripada kesenangan duniawi.
Dengan kata lain, logika bahasa Alquran menyadarkan manusia agar tidak salah orientasi dalam
memilih kesenangan hidup. Artinya, jika manusia memilih kesenangan hidup duniawi semata,
maka hidupnya di mata Allah Swt. menjadi hina, terpedaya oleh aneka syahwat. Sebaliknya, jika
ingin selamat, mulia, dan memperoleh kesenangan hidup yang lebih abadi, maka manusia harus
1
memiliki orientasi ukhrawi dengan menunjukkan kesadaran eskatologis bahwa hidup manusia itu
akan kembali ke “kampung Ilahi”, akhirat, tidak berakhir dan selesai di dunia ini.
Jadi, logika bahasa Alquran memberikan wawasan dan metode berpikir kausalitas dan
opsi pemikiran yang proporsional. Jika cinta wanita, anak, dan harta itu identik dengan
kesenangan hidup duniawi (orientasi hidup jangka pendek), maka kesadaran eskatologis dengan
meyakini adanya kehidupan akhirat melalui proses “kembali” kepada Allah sebagai tempat
kembali yang baik (orientasi hidup jangka panjang dan abadi) itu idealnya membuat manusia
tidak “lupa daratan”, tidak menghalalkan segala cara (al-ghayah tubarrir al-wasail) untuk
meraih kesenangan duniawi tersebut. Dengan demikian, seruan logis Alquran adalah bahwa
manusia harus menjadikan semua kesenangan duniawi itu sebagai “kendaraan”, sarana, dan
media untuk meraih kesenangan ukhrawi yang jauh lebih abadi dan membahagiakan, tidak
menyesatkan dan tidak pula menghinakan hidup manusia.
Sebagai komparasi, jika dibandingkan dengan logika atau nalar demokrasi yang oleh
penganutnya dianggap sebagai sistem terbaik untuk pemilihan pemimpin atau wakil rakyat,
logika bahasa Alquran tersebut membimbing akal menggunakan nalarnya dengan benar dan
berorientasi jangka panjang. Sebaliknya, jika dikritisi, sistem demokrasi yang “diagungkan”
Barat ternyata banyak mengandung kelemahan. Di antaranya, suara terbanyak yang diperoleh
seorang calon pemimpin atau wakil rakyat, tidak selamanya mencerminkan dan
merepresentasikan kebenaran. Jika mayoritas para pemilih, sebut saja pilkada di daerah x itu
bandit, koruptor atau konglomerat hitam, maka dapat dipastikan pemimpin yang terpilih itu
berasal dari kalangan mereka, yang pada gilirannya akan menyandra dan mengabdi kepada
kepentingan mereka, bukan memihak kepada kebenaran yang sejati.
Selain itu, logika bahasa Alquran dalam menarasikan suatu malasah pada umumnya juga
mengajarkan prinsip ekonomi dan efisiensi. Ekonomi dan efisiensi bahasa Alquran itu sejalan
dengan konteks sosio-kultural ayat. Sebagai contoh, semua doa dalam Alquran itu tidak satupun
diawali dengan /ya/ atau /Allahumma/ sebagai instrumen untuk memanggil, namun langsung
menyebut: ‫ ربنا‬atau َ‫رب‬. Mengapa partikel ya’ an-nida’ –sebagaimana dalam doa berikut— tidak
digunakan dalam gaya bahasa doa (uslub ad-du’a) di dalam Alquran?
﴾١٢٧﴿َ‫ْتَوإ ْس َٰ ِّعي َُلَربَّناَتق َّب َْلَ ِّمنََّآَإن َّكََ َٱنتََٱ َّلس ِّمي َُعَٱلْع ِّل َُي‬
َِّ ‫) وإ َْذَي ْرف َُعَإ ْب َٰر ِّهۦ َُمَٱلْقوإ ِّعدََ ِّمنََٱلْبي‬1
ِ
ِ
﴾١٢٨﴿َ‫إبَٱ ََّلر ِّح َُي‬
َُ ‫ُبَعل ْينَآَإن َّكََ َٱنتََٱلتَّ َّو‬
َْ ‫لَو َٱ ِّرنََمن ِّاسكناَوت‬
َ َّ ََ‫يَلََو ِّمنَ ُذ ِّريَّتِّن َِآَ ُٱ َّمةََم ْس ِّلمة‬
َِّ ْ ‫) ربَِّناَوٱ ْجعلْناَ ُم ْس ِّلم‬2
ِ
﴾١٢٩﴿َ‫ثَ ِّف ِّهي َْمَر ُسولََ ِّمْنْ ُ َْمَي ْتلُوإََعلهيْ ِّ َْمَءإي َٰ تِّكََويُع ِّل ُمهُ َُمَٱلْ ِّكت َٰ بََوٱلْ ِّح ْْكةََويُز ِّك ِّهي َْمَإن َّكََ َٱنتََٱلْع ِّز َُيزَٱلْح ِّك َُي‬
َْ ‫) ربَّناَوٱبْع‬3
ِ
﴾٢٠١﴿َ‫) و ِّمْنْ ُمَ َّمنَي ُقو َُلَربَّنَآَءإتِّناَ ِّ َفَٱدلنْياَحس نةََو ِّ َفَٱ ْلءإ ِّخرَِّةَحس نةََو ِّقناَعذإبََٱلنَّا َِّر‬4
﴾٢٥٠﴿ََ‫نُصنََعلََٱلْق ْوَِّمَٱلْك َٰ ِّف ِّرين‬
ْ ُ ‫) ول َّماَبر ُزوإََ ِّلجالُوتََو ُجنُو ِّد ِّهۦَقالُوإََربَّنَآَ َٱفْ ِّرَْغَعل ْيناَص ْْبإَوثبِّتََْ َٱ ْقدإمناَوٱ‬5
َ‫ْف‬
َ ُ ‫) ربَّناَلََتُؤإ ِّخ ْذ َنَٓإنَن َّ ِّسينَآَ َٱ َْوَ َٱخْطأْنََربَّناَولََ َْت ِّم َْلَعل ْينَآَإ ْْصإََكَََحلْتهُۥَعلََٱ َّ ِّذلينََ ِّمنَق ْب ِّلناَربَّناَولََ َُت ِّملْناَماَلََطاقةََلناَبِّ ِّهۦَوٱع‬6
ِ
ِ
﴾٢٨٦َ:‫نُصنََعلََٱلْق ْوَِّمَٱلْك َٰ ِّف ِّرينََ﴿إلبقرة‬
ْ ُ ‫عنَّاَوٱ ْغ ِّف َْرَلناَوٱ ْر َْحنَا َٓ َٱنتََم ْول ٰىناَفأ‬
﴾٨َ:‫َّابَ﴿ٱلَمعرإن‬
َُ ‫بَلناَ ِّمنَ َّ ُدلنكََر َْحةََإن َّكََ َٱنتََٱلْوه‬
َْ ‫) ربَّناَلََتُ ِّزَْغَقُلُوبناَب ْعدََإ َْذَهديْتناَوه‬7
ِ
ِ
﴾١٦﴿َ‫) ٱ َّ ِّذلينََي ُقولُونََربَّنَآَإن َّنَآَءإمنَّاَفأ ْغ ِّف َْرَلناَ ُذنُوبناَو ِّقناَعذإبََٱلنَّا َِّر‬8
ِ
﴾٥٣﴿ََ‫) ربَّنَآَءإمنَّاَبِّمَآَ َٱ لنزْتََوٱتَّب ْعناَٱ َّلر ُسولََفأ ْك ُتبْناَمعََٱلشَّ َٰ هِّ ِّدين‬9
﴾١٤٧﴿ََ‫نُصنََعلََٱلْق ْوَِّمَٱلْك َٰ ِّف ِّرين‬
ْ ُ ‫) وماََكنََق ْوله َُْمَإ ََّل َٓ َٱنَقالُوإََربَّناَٱ ْغ ِّف َْرَلناَ ُذنُوبناَوإ ْْسإفناَ ِّ َٓفَ َٱ ْم ِّرنََوثبِّتََْ َٱ ْقدإمناَوٱ‬10
ِ
﴾٣٨﴿َ‫بَ ِّ َلَ ِّمنَ َّ ُدل ِنكََ ُذ ِّريَّةََطيِّبةََإن َّكََ ِّسي َُعَٱدلعَآَِّء‬
َْ ‫الَدعاَزك ِّر ََّّيَربَّهُۥَقالََربََِّه‬
َ ِّ ‫) هُن‬11
ِ
﴾٨٣َ:‫نَبِّأ َّلص َٰ ِّل ِّحيََ﴿إلشعرإء‬
َ ِّ ‫بَ ِّ َلَ ُح ْْكاَو َٱلْ ِّح ْق‬
َْ ‫بَه‬
َِّ ‫) ر‬12
﴾١٠٠﴿ََ‫بَ ِّ َلَ ِّمنََٱ َّلص َٰ ِّل ِّحي‬
َْ ‫بَه‬
َِّ ‫) ر‬13
2
﴾٤٠:‫تَربَّناَوتق َّب َْلَدُعآَِّءَ﴿إبرإهي‬
َ ِّ َّ ‫نَ ُم ِّقيََٱ َّلصل ٰوَِّةَو ِّمنَ ُذ ِّري‬
َ ِّ ْ‫بَٱ ْجعل‬
َِّ ‫) ر‬14
َ‫ّلل َوٱلْي ْوَِّم َٱ ْلءإ ِّخ َِّر َقالَ َومن َكفرَ َفأُمتِّ ُعهُۥ‬
َِّ َّ ‫ت َم َْن َءإمنَ َ ِّمْنْ ُم َبِّأ‬
َِّ ‫) َوإ َْذ َقالَ َإ ْب َٰر ِّهۦ َُم َربَِّ َٱ ْجع َْل َه َٰ ذإ َبَلإ َءإ ِّمنا َوٱ ْر ُزقَْ َ َٱهَْلُۥ َ ِّمنَ َٱلثَّم َٰر‬15
ِ
َ ﴾١٢٦َ:‫ق ِّل ِيلََ ََُّثَ َٱضْ طر ُهَۥَٓإ َٰلَعذإبََِّٱلنَّا َِّرَو ِّبئْسََٱلْم ِّص َُيَ﴿إلبقرة‬
ِ
Jawaban dan argumentasi untuk menjelaskan “delasi” (hadzf ya’) –atas dasar prinsip
ekonomi dan efisiensi bahasa— adalah bahwa ya’ itu dalam gramatika bahasa Arab digunakan
untuk memanggil munada (yang dipanggil) yang berada agak jauh atau sangat jauh dari sang
penyeru atau pendoa. Sementara Allah itu Maha Dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi sang
pendoa itu sendiri, sesuai firman Allah berikut: َ‫ن‬
َْ ‫ب ََإل ْي َِّه َ ِّم‬
َُ ‫سَ ِّب ِّهۦ َن ْف ُسهُۥَو َْن َُن َ َٱ ْقر‬
َ ُ ‫ولقدَْ َخل ْقنا َٱ ْلنس َٰ نَ َون ْع َُل َما َتُو ْس ِّو‬
ِ
ِ
﴾١٦﴿َ ‫ح ْبلَِّ َٱلْو ِّري َِّد‬. Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (QS Qaf
[50]:16)
Karena itu, logika bahasa Alquran itu mendidik kita berprinsip ekonomis dalam berdoa,
dengan tidak menggunakan ya’ karena Dzat yang diseru dan dimintai itu Maha Hadir dan sangat
dekat dengan diri kita sendiri. Logika bahasa Alquran, seperti dalam ayat-ayat doa tersebut, juga
mengandung pesan pentingnya efisiensi dan dispensasi (takhfif) dalam berbahasa. Pelajaran
logika bahasa Alquran ini sekaligus mengkritisi sikap dan perilaku manusia yang cenderung
tidak konsisten dalam berdoa, sebagaimana ditegaskan oleh Allah Swt dalam ayat: َ َ‫وإذَإ ٓ َ َٱن ْع ْمنا َعل‬
﴾٥١﴿َ َ‫لّش َف ُذو َدُعآءَ َع ِّريض‬
َ َّ ‫“ ٱ ْلنس َٰ َِّن َ َٱعْرضَ َونـَا َِِّبا ِّن ِّب ِّهۦ َوإذإ َم َّس َُه َٱ‬Dan apabila Kami berikan nikmat kepadaِ
ِ
manusia, dia berpaling danِ menjauhkan diri (dengan sombong); tetapi apabila ditimpa
malapetaka maka dia banyak berdoa.” (QS. Fushshilat [41]: 51). Dengan demikian, logika
bahasa Alquran menunjukkan pentingnya berpikir logis, ekonomis, dan strategis sesuai dengan
konteks internal teks (as-siyaq ad-dakhili) dan konteks sosio-kulturalnya.
Wallahu a’lam bi ash-shawab!
3
Download