Pentingnya Kaderisasi Intelektual dalam Usaha

advertisement
Pentingnya Kaderisasi Intelektual dalam Usaha Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat didorong oleh kualitas pendidikan manusia.
Ilmu pengetahuan memang bersifat objektif dan universal, tetapi tidak jarang ditemukan produkproduk ilmu pengetahuan ini tidak sesuai dengan doktrin wahyu yang diyakini oleh ilmuwan
muslim sebagai sumber ilmu dengan kebenaran yang absolut. Hal itu semestinya mendorong
adanya pengembangan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan ajaran islam oleh para ilmuwan
muslim, atau yang biasa disebut juga Islamization of Knowledge. Namun, perkembangan jumlah
umat muslim yang berpendidikan secara kasat mata tidak selaras dengan perkembangan ilmu
pengetahuan hasil dari Islamization of Knowledge. Pengarahan landasan berpikir dalam
mengembangkan ilmu yang demikian memerlukan adanya kesadaran bagi ilmuwan atau calon
ilmuwan muslim. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan membuka hubungan antar mereka
dalam forum dan diberikan pengarahan atau pemicu atas esensi dari memanfaatkan wahyu dari
Allah sebagai salah satu sumber mengembangkan ilmu pengetahuan.
Mutlaknya Kebenaran Islam bagi Ilmuwan Muslim
Muslim adalah sebutan bagi orang yang beragama Islam. Memeluk agama Islam, dalam aqidah
Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yaitu meyakini enam rukun iman1. Lima di antara yang wajib diyakini
terdapat dalam Alquran Surah Albaqarah ayat 177, “Tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orangorang yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi.”Dan
satu lagi yaitu beriman kepada qadha dan qadar atau secara umum disebut sebagai takdir,
sebagaimana disebutkan dalam Alquran Surah Al-Hajj ayat 70 “Apakah kalian tidak mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang
demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauhul Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat
mudah bagi Allah.”
Apabila dilihat dari enam rukun iman tersebut (Iman kepada Allah, Malaikat, Nabi, Kitab, Hari
Akhir, dan Takdir), maka hanya dua di antaranya yang konsekuensi dari keimanan atasnya
memengaruhi pengetahuan seorang yang beriman, yaitu keimanan atas kitab-kitab Allah dan nabinabi Allah. Hal ini dikarenakan dua objek iman tersebut merupakan sumber dari pengetahuan
seorang yang beriman dalam menjalani kehidupan beragamanya. Berbeda dengan para nabi yang
sumber pengetahuannya adalah dari Allah, baik secara langsung maupun melalui perantara
malaikat.
1Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan,
dalam Iman Kepada Rasul-Rasul
Meyakini kebenaran absolut dari Alquran dan Hadits sahih Rasulullah saw merupakan konsekuensi
dari beriman kepada Allah dalam Agama Islam. Sebagaimana dalam Alquran Surah Albaqarah ayat
kedua, “Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. Ini
menunjukkan bahwa seorang yang beriman akan memosisikan Alquran sebagai sumber
pengetahuan yang agung, yang tidak berubah, dan kebenarannya dinilai absolut. Begitupula dengan
beriman kepada para nabi, dalam Alquran surah Albaqarah 136-137 “Katakanlah, ‘Kami beriman
kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’qub, dan anak cucunya, dan kepada apa yang diberikan kepada
Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami berserah diri kepadaNya.’ Maka jika
mereka telah beriman sebagaimana yang kalian imani, sungguh, mereka telah mendapat petunjuk.
Tetapi jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam penentangan yang keras
(terhadapmu),
maka
Allah
akan
melindungimu
(Muhammad)
dari
mereka
(dengan
pertolonganNya). Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dengan demikian, turut
hilang juga keraguan atas apa yang nabi-nabi Allah. Bersama dengan itu, maka Alquran dan Hadits
menjadi rujukan ilmu pengetahuan yang kebenarannya bernilai absolut bagi umat muslim, termasuk
para ilmuwannya.
Standar Dunia Keilmuan dan Worldview
Ilmu pengetahuan yang berkembang hingga saat ini dibangun atas paradigma yang sekuler,
memisahkan antara doktrin agama dengan ilmu pengetahuan. Hal ini dimulai sejak adanya
pergerakan sekulerisme di masyarakat eropa pada abad pertengahan, di mana ada kecenderungan
kuat oleh orang-orang yang religius untuk tidak menyukai kegiatan-kegiatan yang bertujuan
keduniawian atau urusan manusia, dan hanya untuk merenungi Tuhan dan kehidupan akhirat.
sebagai respon atas kecenderungan ini, pada era renaissans, sekulerisme muncul mengembangkan
nilai humanisme, di mana orang-orng memulai untuk menunjukkan pencapaian kultural manusia
dan segala kemungkinan atas pemenuhan hajatnya di dunia2. Keberlanjutan darinya adalah usaha
pemisahan antara kehidupan antara dunia dan agama, termasuk ilmu pengetahuannya karena gereja
dinilai memiliki kebenaran yang mutlak atas segala cara pandangnya dan mengabaikan
kemungkinan lain yang menggunakan penalaran akal manusia.
Pada hakikatnya, ilmu pengetahuan dipahami sebagai jalan yang mendekatkan pada kebenaran, dan
tidak memberikan kepastian bahwa sesuatu itu adalah benar. Hal ini dilihat dari berbagai
perkembangan teori-teori ilmu pengetahuan yang terus diperbarui untuk melengkapi atau
2www.britannica.com/topic/secularism
mengoreksi pemahaman yang lebih lama. Sehingga seorang filsuf dari Jerman, Neitzche berkata
bahwa “Kebenaran adalah kekeliruan yang belum dibantah”.
Dalam contoh yang dekat, yaitu ketika sekolah-sekolah mengajarkan siswanya tentang teori evolusi
darwin, di mana kepada siswa yang beragama islam diharuskan untuk mengesampingkan dahulu
pemahaman Islam mereka tentang nabi adam. Permisalan di atas tidak bermaksud untuk
menunjukkan kekeliruan di antara dua pemahaman, tetapi intinya adalah terjadi kondisi di mana dua
pemahaman itu tidak terhubung dan tidak saling mendukung satu sama lain sehingga menimbulkan
keragu-raguan di antara salah satunya. Dengan landasan paradigma sekuler, siswa yang beragama
Islam tidak bisa serta merta berkata bahwa teori itu salah hanya karena keimanan dia tidak selaras
dengan teori yang diterima dalam standar keilmuan. Akhirnya, sumber kebenaran yang dia yakini
sebagai mutlak hanya berfungsi sebagai alat verifikasi pengetahuan yang pasif menunggu adanya
teori dari ilmu yang sekuler yang terlihat cocok, tidak bisa menjadi alat falsifikasi yang dapat
diandalkan.
Islamization of Knowledge
Berkembangnya sekulerisasi telah mendorong para intelektual muslim untuk bertindak dalam
diskusi atau tulisan-tulisan yang mengarah pada penguatan posisi Alquran dan Hadits sebagai
sumber ilmu pengetahuan sebagai andalan baik dalam memverifikasi maupun memfalsifikasi teori
keilmuwan yang dibangun dari paradigma yang sekuler. Istilah Islamisasi ilmu pengetahuan atau
“Islamization of Knowledge” digunakan pertama kali oleh cendekiawan asal Malaysia yang
bernama Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya “Islam and Secularism” yang
dipublikasikan pada 1978. Istilah ini juga diangkat oleh filsuf asal Palestina, Ismail al-Faruqi pada
tahun 1982, sebagai respon atas kondisi yang dia sebut “The Malaise of Ummah”. Dia melihat
adanya pemutusan hubungan antara penggunaan alat, konsep, dan juga mode analisis yang
dibangun dari negara barat yang sekuler dengan kondisi keilmuan di negeri muslim. Ada
ketidakmampuan dalam menghormati dan bahkan mengganggu etika dalam Islam itu sendiri terkait
dengan masalah tersebut. Menurutnya, diperlukan adanya usaha oleh para ilmuwan muslim untuk
mengembangkan ilmu dengan metodenya sendiri sesuai dengan standar keilmuan yang modern
yang mana itu merupakan hambatan bagi ulama-ulama tradisional yang ijtihadnya dalam ilmu
pengetahuannya tidak dianggap ilmiah3.
Dalam urusan agama, umat Islam akan mengikuti apa yang dipahami oleh ulamanya, tetapi tidak
demikian halnya apabila merambah pada urusan yang keduniawian. Sebagaimana cara berpikir
3en.wikipedia.org/wiki/Islamization_of_knowledge
sekulerisme telah masuk, dipahami bahwa untuk bidang selain peribadatan dan aturan hukum
seperti obat-obatan, agrikultur, ekologi, teknologi dan lain sebagainya memang terkesan terlepas
dari bahasan dalam Alquran dan Hadits, tetapi disitu pula lah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
termasuk. Mengambil langkah awal dari kebenaran mutlak Alquran dan Hadits, beraliansi (bukan
memusuhi atau skeptis terhadap) para ulama.
Dengan demikian, ilmuwan-ilmuwan muslim dapat memanfaatkan dengan baik keimanannya atas
Alquran dan Hadits, tidak mengesampingkannya hanya karena ada ilmu pengetahuan yang
berlandaskan sekulersime yang tengah mendominasi. Akan tetapi, menurut Aslam Haneef,
pengetahuan yang dibangun bukan berarti meninggalkan semua pemahaman dari ilmu yang sekuler,
justru harus memahami dengan baik disiplin ilmunya karena fokus utamanya adalah analisis kritis
di antara dua landasan ilmu yang terlihat memiliki hubungan, baik itu saling mendukung atau saling
menolak serta peninjauan atas permasalahan umat manusia.
Kaderisasi Intelektual untuk Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dengan adanya keperluan untuk memahami dengan baik disiplin ilmu yang tengah dipelajari
ilmuwan muslim dari berbagai landasan, yaitu sekuler dan Islam, maka tentunya itu bukanlah
pekerjaan yang mudah. Jelas terlihat bahwa itu memiliki satu tahapan yang lebih banyak ketimbang
mengembangkan ilmu biasa yang berlandaskan sekulerisme. Apalagi secara empiris ilmuwan
muslim saat ini masih berada pada tahap berkembang, belum bisa terlihat mengalahkan para
ilmuwan yang tidak menemukan pertengangan dalam hatinya (Ilmuwan sekuler yang
mengembangkan ilmu dengan landasan yang sekuler pula). Apabila dipaparkan, maka yang
diperlukan dalam melakukan Islamisasi ini adalah pemahaman tentang ilmu, pemahaman tentang
sumber pengetahuan dalam Islam yang menjelaskan perihal terkait. Dan dalam menjalaninya, harus
diperhatikan perbandingannya atas dua dimensi, yaitu dimensi substantif yang membandingkan isi
(konsep, teori, asumsi) di antara dua landasan tersebut, dan juga dimensi formal atau teknikal yang
mempertimbangkan sisi epistemologi (metodologi dari ilmu modern dan Islam).
Usaha yang cukup berat ini bukan berarti hal ini tidak dapat direalisasikan, bagaimanapun itu harus
diusahakan karena efek dari pergesekan pemahaman ilmu pengetahuan yang modern dengan
pemahaman agama Islam ini tidak dapat disepelekan. Sebagaimana dalam Alquran Surah Alinshirah
ayat 5 dijelaskan “… Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”, maka ini menunjukkan
sikap optimis yang tidak boleh dilepaskan dari semangan umat Islam dalam menjalani hidup,
termasuk dalam memerjuangkan kebenaran pemanfaatan akal yang mana menjaganya adalah
termasuk dalam salah satu Maqashid Al-Khamsah4.
Dalam Alquran Surah Almaidah ayat 2, dijelaskan “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. Ayat ini menjelaskan bahwa
sesungguhnya dalam kesulitan yang tengah dialami dalam umat Islam, telah diperintahkan untuk
saling tolong menolong. Pada masalah beratnya usaha mengembangkan ilmu pengetahuan yang
selaras sepenuhnya dengan ajaran Islam, maka tolong-menolong ini adalah salah satu kunci yang
tidak bisa diabaikan, Yaitu usaha berjuang dalam mengagungkan sumber kebenaran yang absolut
secara bersama-sama.
Di sinilah pentingnya dibentuk hubungan yang serius di antara para ilmuwan dan calon ilmuwan
muslim. Di mana di antara mereka terdapat adanya pembagian bidang dan usaha saling dukung
sebagai saudara seperjuangan. Membentuk hubungan yang serius dalam bersama berjuang tidak
akan efektif jika dilakukan secara lepas tanpa wadah atau komitmen. Maka dari itu, usaha yang
sistematis dalam menghubungkan dan mendukung untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dari
berbagai bidang dan dimensi Islamisasi sangatlah diperlukan.
4Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam, Sahroni, Oni, Adiwarman Karim, dalam Ragam Maqashid
Syariah,
Download