Ini nih, scenario pertama blok musculoskeletal. Seorang wanita, umur 18 tahun, datang ke RS dengan nyeri tungkai bawah kiri, pyrexia, kemerahan, sinus di kulit yang hilang timbul. 2,5 tahun yang lalu mengalami kecelakaan sehingga terjadi patah tulang di tungkai bawah dimana tulang tampak dari luar. Kemudian dibawa ke dukun tulang. Pada pemeriksaan fisik sekarang didapatkan deformitas, scar tissue diameter 10 cm pada region anterior tibia kiri. Sinus dengan discharge seropurulen melkat pada tulang di bawahnya, ekskoriasi kulit sekitar sinus. Curiga adanya infeksi pada tulang, maka dilakukan plain photo dan didapatkan: -penebalan periosteum -bone resorption -sclerosis sekitar tulang -Involucrum -squester -angulasi tibia dan fibula (varus) Pasien ini dinyatakan oleh dokter menderita Osteomyelitis. Dari gejala awal, didapati nyeri, pyrexia (peningkatan suhu) dan kemerahan, ini bisa sebagai salah satu petunjuk yang mengarah adanya inflamasi, karena gejala-gejala inflamasi antara lain kalor (panas, suhu meningkat dari suhu normal), rubor (berwarna kemerahan), tumor (ada pembengkakakan), dolor (adanya nyeri) dan function lessa (luka). Kemudian pada kulit pasien didapati sinus yang hilang timbul. Penulis di sini mengartikan, terdapat ruang kosong di bawah kulit yang menimbulkan cekungan yang terlihat dari luar. Dan cekungan itu kadang terlihat namun kadang tidak. Hal ini mungkin disebabkan adanya cloaca yang terdapat di involucrum dan squestrum.Jadi kemungkinan patofisiologinya, pada saat jatuh 2,5 tahun yang lalu itu, terdapat potongan tulang yang belum dibersihkan saat berobat di dukun tulang. Potongan tulang ini merupakan tulang mati, karena sudah tidak mendapat pasokan darah. Potongan tulang mati di sekitar tulang yang masih sehat inilah yang disebut squestrum. Meskipun mati, squestrum ini, sebagaimana tulang lain, memiliki periosteum (lapisan pelindung tulang). Dimana priosteum ini merupakan salah satu tempat osteogenesis (pembentukan tulang). Yang mana ada kemungkinan periosteum dari squestrum ini masih aktif melakukan osteogenesis sehinggadi sekitar squestrum ini terdapat jaringan tulang baru yang disebut involucrum. Yang kemudian juga terlihat di plain photo. Di involucrum ini, terdapat suatu lubang yang disebut cloaca. Nah, dari cloaca ini lah kemungkinan akan muncul pus. Munculnya pus ini kemungkinan besar disebabkan adanya infeksi bakteri pada saat fraktur dahulu, apalagi disebutkan frakturnya terbuka. Pus ini tidak terus menerus keluar, system imun tubuh turut memegang peran penting di sini. Ketika sistem imun tubuh lemah,tubuh tidak bisa melawan bakteri, sehingga bakteri bisa menghasilkan pus yang dikeluarkan lewat cloaca, akibatnya sinus tidak terlihat. Namun ketika sistem imun tubuh bagus, bisa melawan bakteri dan pus tidak keluardari cloaca, dan sinus tetap terlihat. Pada pasien ditemukan deformitas dan angulasi tibia dan vibula (varus), ini mungkin disebabkan penyembuhan yang kurang sempurna. Adanya fraktur terbuka 2,5 tahun yang lalu, penutupan lukanya menyebabkan munculnya scar tissue. Adanya discharge seropurulen menunjukkan telah adanya infeksi pada luka tersebut. Discharge yang seropurulen (jernih) menunjukkan kalau bakteri yang menginfeksi adalah bakteri pyogenik. Karena jika bakteri non-pyogenik, discharge-nya granulamatosa. Terus di sekitar tempat keluar discharge terdapat ekskoriasi (pengelupasan kulit) kemungkinan disebabkan discharge itu sendiri yang mengiritasi permukaan kulit, sehingga kulit terkelupas. Dari hasil plain photo didapatkan penebalan periosteum, hal ini dikarenakan tulang yang masih sehat terus melakukan osifikasi intramembranosa, yaitu pembentukan tulang khususnya di daerah periosteum. Itu sebabnya dari hasil photo plain tampak adanya penebalan periosteum. Selain itu, juga terlihat adanya bone resorption. Hal ini dikarenakan aktivitas osteoklas yang berlebihan. Jadi, karena adanya proses inflamasi, sistem imun tubuh melepaskan makrofag, kemudian mediator-mediator pengaktif osteoklas ikut dilepaskan. Osteoklas yang telah diaktifkan kemudian meresorpsi tulang, sehingga kalsium dari tulang berpindah ke darah. Adanya sclerosis (pengerasan) di sekitar tulang juga disebabkan adanya proses osifikasi di periosteum, sehingga tampak gambaran adanya sclerosis pada plain photo. Adanya sequester dan involucrum seperti telah dijelaskan sebelumnya. Squester merupakan potongan tulang mati pada saat fraktur 2,5 tahun lalu namun belum sempat dibersihkan. Sedangkan involucrum adalah squestrum yang mengalami osifikasi intra membranosa, sehingga sequester akan dikelilingi oleh involucrum. Angulasi tibia dan fibula (varus) disebabkan penyembuhan yang kurang sempurna sehingga terjadi deformitas. Oleh dokter, penderita didiagnosa osteomyelitis karena memang terdapat proses peradangan di tulang dan sumsum tulangnya. Kemudian menurut penulis, berdasar gejala-gejalanya, jika menggunakan klasifikasi osteomyelitis berdasarkan penyebabnya maka termasuk osteomyelitis pyogenik. Sedangkan jika melihat penyebarannya termasuk osteomyelitis eksogenus, bukan osteomyelitis hematogenus. Kemudian jika berdasarkan waktu munculnya gejala-gejala dengan kejadian fraktur yang sudah 2,5 tahun yang lalu, termasuk osteomyelitis kronis. Diagnosis differential untuk osteomyelitis antara lain Ewing Sarcoma, Osteosarcoma, Sumsum tulang reaktif edema, trauma atau stress patah tulang, inflamasi arthritis, encok, myositis atau neurositis. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menghilangkan keraguan yaitu pemeriksaan histopatologis, pemeriksan radiologis plain photo, pemeriksaan serum darah untuk melihat leukosit yang kemungkinan meningkat, serta biopsi untuk melihat ada tidaknya penyebab keganasan. Penatalaksanaan untuk osteomyelitis adalah squestrektomi (operasi pengangkatan sequester), karena masalah utama pada pasien osteomyelitis adalah adanya sequester yang terjebak di antara tulang yang sehat, dan tempat infeksi bakteri adalah di squester. Yang kemudian dilakukan debridement (pemberian antibiotic di daerah operasi dalam jumlah besar). Dan juga dilakukan drainase, untuk mengambil dan membersihkan pus. Karena jika masih terdapat pus bisa terjadi inflamasi lagi. Sedang untuk terapi simptomatiknya bisa diberi analgesic untuk mengurangi nyeri, antipiretik untuk menurunkan suhunya. Prognosis untuk osteomyelitis beragam tergantung dari berbagai factor, seperti virulensi bakteri, imunitas host, dan penatalaksanaan. Diagnosis dini bisa member prognosis yang baik pada osteomyelitis sekalipun. Begitu pula osteomyelitis ringan jika penatalaksanaannya buruk, maka prognosisnya bisa jelek. Daftar Pustaka Kumar V, Cotran R.S, dan Robbin S.L. 2007. Buku Ajar Patologi Robbin. Edisi 7. Jakarta: EGC Price, S.A. dan Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Vol 2. Jakarta: EGC Sudoyo A.W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penervit FK UI Tim Penyusun BPP Laboratorium Histologi.2009. BPP Blok Muskuloskeletal. Surakarta: Bagian Histologi FK UNS. Didapatkan seorang pasien laki-laki, 20 tahun dengan keluhan nyeri tungkai bawah, pyrexia, kemerahan, sinus di kulit yang hilang timbul. Pasien pernah mengalami fraktur terbuka 2 tahun yang lalu dan diobati ke dukun tulang. dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya deformitas, scarrtissue diameter 10cm pada regia anterior tibia, sinus dengan discharge seropurulen dan ekskoriasi kulit. Dari hasil plain foto ditemukan adanya penebalan periosteum, bone resorpsion, sclerosis sekitar tulang, involucrum, sequester dan angulasi tibia dan fibula (varus). Dengan adanya gejala-gejala seperti pyrexia, rubor, dan dolor mengarahkan hipotesis ke arah infeksi bakteri piogenik. Hipotesis ini diperkuat dengan adanya riwayat fraktur terbuka dua tahun yang lalu. Kemungkinan pasien terkontaminasi kuman terjadi ketika terjadi fraktur terbuka yang mungkin tidak ditangani secara steril oleh dukun tulang. Kuman dapat memasuki tulang melalui jalur hematogen, penularan langsung dari tempat infeksi, atau melalui luka tusuk (Harrison, 1999). Fagosit berusaha mengatasi infeksi dan dalam prosesnya akan melepaskan enzim yang melisiskan tulang. Selain itu, fagosit juga akan melepaskan zatzat seperti bradikinin, histamin, dan sebagainya yang akan menimbulkan manifestasi seperti pyrexia, rubor, dan dolor. Selain itu, naiknya tekanan dalam tulang juga akan menimbulkan rasa nyeri. Pus yang terbentuk menyebar ke dalam saluran pembuluh darah, meningkatkan tekanan dalam tulang dan mengganggu aliran darah, setelah itu akan terbentuk sinus yang akan mengalirkan discharge seropurulen keluar dari daerah infeksi, sinus ini akan membuka untuk mengalirkan discharge lalu menutup kembali. Apabila infeksi yang terjadi tidak ditangani dengan baik maka akan terjadi osteomielitis kronik. Osteomielitis diklasifikasikan menjadi osteomielitis akut dan osteomielitis kronik. Nekrosis tulang akibat iskemi menyebabkan pemisahan fragmen tulang yang tidak mendapat vaskularisasi sehingga timbullah yang dinamakan dengan skuester. Jika nanah menembus korteks, subperiosteum, atau jaringan lunak akan membentuk abses dan periosteum yang terangkat mengendapkan tulang baru (involukrum) disekitar skuestrum. Hal ini pula yang mengakibatkan terjadinya gambaran penebalan periosteum. Deformitas tulang yang terjadi dapat diakibatkan teknik penyambungan tulang yang salah oleh dukun tulang sehingga pada akhirnya terjadi angulasi tibia dan fibula. Bone resorpsion terjadi akibat reaksi inflamasi yang disebabkan oleh adanya fraktur membuat pH darah menjadi asam sehingga kalsium larut dalam darah. Ekskoriasi sekitar sinus terjadi akibat proses penyembuhan luka yang mengeluarkan zat-zat tertentu yang dapat membuat rasa gatal sehingga terjadi luka garuk. Sklerosis sekitar tulang terjadi akibat penambahan jaringan ikat pada angulasi tibia dan fibula.