BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di kawasan Alun-Alun Utara dahulu terdapat banyak PKL, pedagang asongan, maupun tukang becak yang menunggu wisatawan untuk membeli sekaligus meramaikan kawasan tersebut. Tahun 2013 keberadaan PKL dan becak mulai diatur penataannya oleh Pemerintah Kota Yogyakarta bersama komunitas paguyuban pedagang setempat. PKL hanya diperbolehkan berjualan di sisi timur dan barat AlunAlun Utara dengan ukuran lapak yang seragam yaitu 4x5 meter serta berbagai ketentuan lainnya yang turut mengatur tukang becak (Rusqiyati, 2013). Setelah kebijakan tersebut berselang satu tahun, muncul kebijakan baru yang mengatur PKL dan becak agar tidak menempati kawasan Alun-Alun Utara untuk kegiatan apapun. Selain PKL dan becak, kawasan tempat parkir pun juga direlokasi ke tempat lain seperti Ngabean, Senopati dan Abu Bakar Ali. Sebagian pedagang kemudian difasiltasi gerobak yang mudah dipindahkan (Anugraheni, 2014). Untuk relokasi parkir, pemerintah menyediakan shuttle bus untuk melayani wisatawan, sedangkan diantara pendopo dibangun halte atau terminal bagi shuttle bus tersebut (Widyanto, 2014). Penataan tersebut meliputi penataan sisi timur, utara, barat, hingga meluas sampai pembangunan Terminal Ngabean. Oleh sebab itu, revitalisasi kawasan Alun-Alun ini merupakan inisiatif untuk menata agar daerah Keraton tampak rapi dan 1 estetik bagi wisatawan. Inisiatif ini digagas oleh, Pemerintah Provinsi DIY, Pemerintah Kota Yogyakarta, dan Keraton1. Pada pelaksanaannya, proses penataan kawasan Alun-Alun tidaklah berjalan mulus. Terdapat dua kubu paguyuban, baik yang mendukung maupun menentang mengenai kebijakan ini. Pihak yang menentang lebih dikarenakan aspek kawasan relokasi yang dinilai tidak strategis untuk menarik perhatian wisatawan serta masih banyak pedagang yang belum memperoleh lapak. Paguyuban Pelaku Ekonomi Pariwisata Alun-Alun Utara (Peta Altar) sebagai pihak yang menentang relokasi menolak penggusuran yang dilakukan pemerintah. Menurut salah seorang pengurus Peta Altar mengatakan bahwa kios yang disediakan pemerintah hanya ada 210, sementara pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini berjualan di Altar ada 500 lebih (Hasanuddin, 2016). Belum diketahui secara pasti nasib 290 pedagang sisanya, sebagian ada yang memilih pindah di tempat lain, walaupun sempat digulirkan wacana bahwa diberlakukan shift penggunaan gerobak antar pedagang (Rudiana, 2015). Di lain hal, pihak yang mendukung revitalisasi telah melakukan berbagai sosialisasi terhadap para PKL yang sepakat untuk pindah, serta merekrut beberapa tenaga untuk mengoperasionalkan transportasi shuttle “Si Thole” sejak 28 November 2014 yang dikelola oleh Forum Komunitas Kawasan Alun-Alun Utara (FKKAU). 1 Penataan ini sejalan dengan amanat pertanggungjawaban Dana Istimewa DIY yang diatur dalam Surat Gubernur DIY nomor 650/7601 tahun 2015. Sedangkan penggunaan dana istimewa tersebut berada dibawah Undang-Undang No 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY 2 Langkah FKKAU ini dianggap sebagai solusi atas warga yang terancam kehilangan pekerjaan karena kebijakan revitalisasi. FKKAU dianggap mampu memberdayakan para anggotanya, walaupun terdapat tantangan dalam hal bidang profesi yang berbeda dari sebelumnya yang sifatnya lebih formal. Pada fenomena tersebut, dapat diambil salah satu tema permasalahan yang ingin diteliti lebih lanjut yaitu mengenai adanya peralihan profesi para pelaku usaha sektor informal menjadi sektor formal dalam jasa transportasi Si Thole. Fenomena ini dipandang sebagai formalisasi usaha yang menimbulkan pergantian jenis pekerjaan oleh para pelakunya. Kermath dan Thomas (dalam Dahles, 1998) menyatakan bahwa ketika industri pariwisata berkembang, sektor informal akan tumbuh sejalan dengan meningkatnya peluang pekerjaan. Namun demikian, ketika industri pariwisata telah maju, sektor informal justru akan menghilang atau terasosiasi / melebur dalam sektor formal. Proses menuju formal atau formalisasi ini dipandang sebagai upaya menjadikan usaha-usaha kecil yang ada di perkotaan menjadi usaha yang formal. Sektor informal yang sejak awal memiliki ruang gerak terbatas kemudian diharuskan untuk pindah lokasi, mengurus perizinan, dan sebagainya (Mustafa, 2008). Hal ini dapat dilihat dalam fenomena dari Si Thole tersebut. Mantan pedagang dan juru parkir yang dahulu bekerja di kawasan Alun-Alun Utara secara informal, kini sebagian telah termobilisasi ke dalam sektor baru yang bersifat formal, khususnya dalam jasa transportasi wisata sebagai imbas dari program pemerintah yang bertajuk Revitalisasi Kawasan Alun-Alun Utara. Si Thole memiliki legalitas hukum, tempat permanen, dan mendapat fasilitasi dari intansi pemerintahan. 3 Oleh sebab itu, dampak formalisasi usaha ini perlu dikaji dalam konteks kepuasan kerja. Jika pada sektor informal tidak terikat oleh berbagai peraturan mengenai kedisiplinan, serta waktu yang tidak menentu bergantung musim ramainya wisatawan. Dengan demikian, adanya perubahan menuju sektor formal ini, pelaku usaha yang telah berubah menjadi pekerja, harus berdisiplin dengan waktu, terikat oleh peraturan, dan memiliki kontrak kerja tertulis yang diakui secara hukum. Oleh sebab itu, terjadi suatu proses adaptasi yang dilakukan oleh karyawan Si Thole di profesi baru yang mereka jalani saat ini, yang belum diketahui apakah memiliki rasa puas atau justru mengalami ketidakpuasan ditambah dengan persoalan baru yang dihadapi. Penelitian mengenai kepuasan kerja sudah banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian yang pernah dilakukan mencakup berbagai lingkup seperti di lingkungan pemerintah, institusi pendidikan, perusahaan, maupun komunitas. Penelitian terbaru yang terkait pernah dilakukan oleh Rina Estelita pada tahun 2015 yang berjudul, “Tingkat Kepuasan Terhadap Pekerjaan Dan Pendapatan Pada Masyarakat Desa Bejiharjo, Kabupaten Gunung Kidul”. Penelitian ini membahas kepuasan terhadap pekerjaan dan pendapatan pada masyarakat Desa Bejiharjo. Kepuasan terhadap pekerjaan dan pendapatan merupakan salah satu gambaran sisi subjektivitas masyarakat. Di samping itu, penelitian ini juga menelisik kepuasan tersebut sebagai indikasi pergeseran profesi. Hasil menunjukkan bahwa masyarakat setempat yang bekerja di sektor wisata Goa Pindul menyatakan puas dengan pekerjaan barunya. Hal ini dikarenakan adanya rasa solidaritas sosial masyarakat desa yang guyub, tolongmenolong antar sesama, dan juga sikap ‘nrima’ atas hasil usaha yang dijalankan. 4 Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Maharani Nur Fitriani pada tahun 2015 yang berjudul, “Identifikasi Faktor-Faktor Yang Terkait Dengan Kepuasan Kerja Yang Terjadi Di Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum” lebih menyinggung pada sektor kerja formal yaitu Dirjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, di Jakarta. Penelitian ini membahas mengenai faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja pegawai yaitu internal (keterampilan, umur, pendidikan, dan pengalaman) dan eksternal (gaji, karakter lembaga, promosi, interaksi dengan rekan kerja, dan sebagainya). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja yang dipengaruhi oleh faktor internal memberikan dampak yang positif bagi kepuasan kerja. Akan tetapi, dari faktor eksternal tidak memberikan dampak positif terhadap kepuasan, kecuali pada poin pengembangan kemampuan pegawai dan interaksi terhadap sesama rekan kerja. Penelitian yang dilakukan ini mengkaji mengenai kepuasan kerja bagi masyarakat kota yang notabenenya termasuk kelompok sosial patembayan. Patembayan berorientasi pada pemenuhan pribadi, berorientasi ekonomi, serta hubungan atas dasar kepentingan. Oleh sebab itu, penulis menganggap bahwa karyawan Si Thole tidak memiliki kepuasan kerja seperti yang dimiliki oleh masyarakat Desa Bejiharjo, karena rendahnya solidaritas masyarakat yang tinggal di perkotaan (kawasan Alun-Alun). Selanjutnya, dikaji mengenai faktor kepuasan kerja di sektor formal dalam jenis usaha Si Thole menggunakan indikator yang berbeda dari penelitian Maharani Fitriani di lingkungan Dirjen Cipta Karya. Oleh sebab itu akan diteliti lebih lanjut bagaimana kepuasan karyawan yang memilih bekerja di jasa 5 transportasi Si Thole yang mengalami alih profesi tersebut. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi evaluasi atas peran FKKAU dalam upayanya berkontribusi untuk memperbaiki kehidupan mantan pedagang dan juru parkir Alun-Alun yang sempat terancam kondisi kesejahteraannya. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, rumusan masalah yang akan dipelajari dalam penelitian ini adalah bagaimana kepuasan kerja karyawan “Si Thole” ? 1.3. Tujuan Penelitian Menurut substansi dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini meliputi: 1. Mengetahui dampak implementasi kebijakan Revitalisasi Kawasan AlunAlun Utara dari perspektif karyawan Si Thole 2. Menganalisis kepuasan pekerjaan baru para karyawan Si Thole setelah beralih dari sektor informal 1.4. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan diatas, maka manfaat yang diharapkan dari publikasi dan pengkajian penelitian ini yaitu: 6 1. Memberikan kontribusi bagi Pemerintah Kota Yogyakarta, Kraton, Pemerintah Provinsi DIY, dan instansi terkait dalam hal perencanaan formulasi kebijakan serta implementasinya terkait penataan kawasan AlunAlun kota maupun obyek wisata lainnya. 2. Memberikan perspektif alternatif dalam kajian pemberdayaan masyarakat khususnya terkait isu ketenagakerjaan dalam sektor pariwisata. 3. Bagi peneliti, hasil ini diharapkan sebagai pengalaman trial and error dalam praktek riset lapangan, dan melatih logika berpikir sebagai seorang peneliti dalam mengolah isu permasalahan 7 1.5. Tinjauan Pusataka 1.5.1. Kepuasan Kerja Kepuasan kerja selalu berkaitan dengan manajemen organisasi, karena dalam organisasi yang sehat terdapat sumber daya manusia yang hidup dalam lingkungan kerja yang mendukung, dan termotivasi dalam mengemban tugas yang dijalankan. Gruneberg (dikutip Davis & Newstrom, 1985) menjelaskan, bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian individual dari pekerja tentang tingkat kesenangan sebuah pekerjaan yang sifatnya relatif bagi masing-masing orang, serta menunjukkan kesesuaian antara harapan dengan hasil yang diterima dalam bekerja. Ekspektasi antara keinginan yang diharapkan terhadap hasil yang diterima menjadi poin penting dalam penentu kepuasan. Menurut Robbins (dikutip Andini, 2014) kepuasan kerja adalah sikap umum individu terhadap pekerjaannya, selisih antara jumlah imbalan yang diterima dan jumlah yang seharusnya mereka terima. Hal ini memperkuat bahwa tingkat kepuasan ditentukan melalui harapan (imbalan) atas usaha (kerja) yang dilakukan. Kepuasan kerja menjadi tolok ukur pengambilan kebijakan dalam sebuah perusahaan / tempat kerja, yang ditetapkan melalui suka atau tidaknya dalam bekerja (Buitendach & Rothman, 2009). Pekerja yang mengalami gejala ingin berpindah tempat kerja atau terdapat penurunan performa bekerja, maka pekerja tersebut memiliki kepuasan kerja yang rendah. Sedangkan pekerja yang puas akan menikmati 8 pekerjaannya, memiliki kemauan dan usaha meningkatkan kapasitas di perusahaan / tempatnya bekerja, serta menganggap gaji yang diterima sepadan. Hasil dari kepuasan kerja memiliki korelasi positif terhadap kesejahteraan subjektif. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepuasan hidup, yang menjadi salah satu indikator kesejahteraan subjektif, memiliki hubungan positif terhadap kepuasan kerja (Judge & Klinger, 2008). Kepuasan hidup yang mempengaruhi kepuasan bekerja diduga berawal dari dua faktor: spillover yaitu pengalaman kerja dapat mempengaruhi pengalaman hidup, serta kompensasi yaitu individu berusaha untuk mengimbangi pekerjaannya yang tidak memuaskan dengan mencari pemenuhan dan kebahagiaan melalui upaya mengalihkan diri dari urusan pekerjaan. Dari dua faktor ini, poin pertama adalah yang mayoritas dialami oleh kelompok pekerja. Hal ini membuktikan bahwa kepuasan hidup lebih banyak dipengaruhi oleh kepuasan dalam urusan pekerjaan. Oleh sebab itu, pembentukan suasana kerja yang suportif dan menyenangkan sangat dianjurkan sebagai upaya untuk menunjang kepuasan dalam menjalankan hidup. The Cornell Studies of Job Satisfaction menunjukkan terdapat lima aspek yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu pekerjaan yang dilakukan, gaji, pengawasan, kesempatan untuk promosi, sifat para rekan kerja (Winardi, 2004). Aspek pekerjaan yang dilakukan mengindikasikan bagaimana pekerja dalam menikmati dan berproses terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Aspek gaji mengindikasikan kepuasan pekerja terhadap gaji yang diperoleh apakah memenuhi ekspektasi atau tidak. Aspek pengawasan mengindikasikan peran atasan dalam membina bawahannya untuk 9 melakukan pengawasan maupun upaya meningkatkan kompetensi pekerja yang lebih baik. Aspek promosi mengindikasikan kesempatan pekerja dalam memperoleh jabatan yang lebih tinggi, dan aspek rekan kerja mengindikasikan kepuasan pekerja terhadap sesama rekannya. Studi kepuasan kerja menurut Britt & Jex (2008) memaparkan instrumen pengukuran yang lazim digunakan, salah satunya yaitu metode Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ). MSQ dikembangkan pada 1967 oleh tim peneliti Universty of Minnesota, yang merupakan instrument pengukur kepuasan kerja terdiri atas puluhan pertanyaan untuk menilai 20 indikator dalam kepuasan kerja. Keunggulan yang ditawarkan yaitu dapat membagi kepuasan kerja ke dalam dua nilai yaitu intrinsik dan ekstrinsik (Buitendach & Rothman, 2009). Nilai intrinsik memberikan gambaran bagaimana pekerja dapat menikmati pekerjaannya itu sendiri yang mempengaruhi hasil dari pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan ekstrinsik menekankan bagaimana pekerja dapat merasakan kepuasan yang dipengaruhi faktor-faktor di dalam suasana kerja dan di luar lingkungan pekerjaan termasuk hubungan sosial kemasyarakatan. Penelitian yang dilakukan mengenai tingkat kepuasan kerja karyawan jasa transportasi “Si Thole” menggunakan MSQ sebagai instrumen pengukuran. Namun demikian, terdapat beberapa penyesuaian indikator yang digunakan karena relevansi antara konsep terhadap konteks permasalahan. Dari dua puluh indikator, peneliti memilih menggunakan lima indikator menurut Manual for The Minnesota Satisfaction Questionnaire, (Davis & Weiss, 1967) yang meliputi Social Status yaitu kedudukan status sosial pekerja yang dilihat melalui nilai kehormatan sebuah pekerjaan; 10 Compensation yaitu pekerja mendapat gaji yang sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan; Creativity yaitu pekerja dapat melakukan caranya tersendiri dalam bekerja; Advancement yaitu pekerja berkesempatan untuk mendapatkan keahlian yang lebih baik atas pekerjaan yang ditekuni; Achievement yaitu perasaan berhasil / puas atas pekerjaan yang terselesaikan. 1.5.2. Pekerjaan Sebuah organisasi atau perusahaan yang memiliki iklim dinamis sekaligus kondusif tentu memiliki pekerja yang menguasai pekerjaan yang dilakukannya serta menjalankannya dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab. Kerja dan pekerjaan adalah dua hal yang berbeda, namun memiliki keterkaitan. Menurut Mathis & Jackson (2006) kerja (work) merupakan usaha yang ditujukan untuk memproduksi atau mencapai hasil. Sedangkan pekerjaan (job) adalah pengelompokan tugas, kewajiban, dan tanggungjawab yang merupakan penugasan kerja total untuk pekerja. Tugas, kewajiban, dan tanggungjawab dapat berubah sesuai waktu dan kebutuhan organisasi di mana pekerja tersebut terlibat. Kerja yang harus dilakukan, dan bagaimana upayanya agar dapat terselesaikan, harus bersinergi antara pemberi kerja dan pekerja yang melakukannya. Mathis & Jackson (2006) menyebutkan, elemen yang penting bagi pemberi kerja yaitu memiliki kerja yang diselesaikan dengan baik yang berguna sesuai dengan tujuan yang diharapkan suatu organisasi, memastikan bahwa kerja diatur secara logis menjadi pekerjaan yang dapat dikompensasi dengan adil, dan memiliki kerja yang disukai (bahkan sangat diinginkan) oleh orang-orang. 11 Sedangkan bagi pekerja, elemen penting yang harus ada yaitu memiliki pemahaman yang jelas mengenai apa yang diharapkan dalam pekerjaan tersebut, melakukan tugas yang dapat dinikmati oleh pekerja itu sendiri, dihargai dengan pantas atas kerjanya, dan memiliki perasaan bahwa yang dilakukan oleh pekerja adalah sesuatu yang penting dan patut dihargai. Oleh sebab itu, pemberi kerja harus menekankan dengan jelas tujuan organisasi yang hendak dicapai melalui pekerjanya dengan tetap memperhatikan kebutuhan, serta kompetensi yang dimiliki pekerja. Dengan demikian, pekerja harus mampu menganalisis diri kemampuannya sesuai dengan kebutuhan atas pekerjaan serta mengedepankan semangat kerja tinggi untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari tempat dirinya bekerja. Untuk memahami kepuasan dalam bekerja, seorang pemberi kerja perlu memetakan karkteristik pekerjaan agar dapat mengetahui potensi dari pekerja yang dimilikinya. Pekerja yang bekerja dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki, menunjukkan adanya keterikatan yang tinggi terhadap pekerjaan yang dilakukan. Hal ini sebagai pertanda bahwa pekerja tersebut memiliki motivasi, kinerja, serta kepuasan yang tinggi selama bekerja. Terdapat lima karakteristik pekerjaan menurut Hackman dan Oldham (dikutip Mathis & Jackson, 2006) yaitu: keanekaragaman keterampilan (skill variety); ciri-ciri tugas; arti tugas; otonomi; dan umpan balik. Keanekaragaman keterampilan merupakan indikator sejauh mana suatu pekerjaan membutuhkan beberapa aktivitas yang berbeda agar dapat diselesaikan sesuai target. Ciri-ciri tugas yaitu pemahaman seseorang atas pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya dari awal hingga akhir sehingga jika terjadi suatu masalah, pekerja dapat mengidentifikasi letak 12 permasalahan dan melakukan upaya penyelesaian. Arti tugas yaitu prioritas yang diletakkan bagi seorang pekerja atas pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya, atau sebuah pekerjaan menjadi lebih berarti jika pekerjaan tersebut penting bagi orang lain karena beberapa alasan. Otonomi yaitu tingkat kebebasan dan keleluasaan sesorang dalam bekerja. Sedangkan, umpan balik merupakan jumlah informasi yang diterima pekerja mengenai baik atau buruknya dalam bekerja, yang berguna untuk memahami efektivitas kinerja serta menambah pengetahuan dan masukan mengenai bagaimana seharusnya pekerjaan tersebut dilakukan. Aspek pekerjaan yang dilakukan mengindikasikan persepsi pekerja dalam menikmati dan berproses terhadap pekerjaan yang dilakukannya (Winardi, 2004). Pekerja yang melakukan pekerjaan sesuai keahlian yang dimiliki (ability), memiliki caranya tersendiri dalam bekerja tanpa memiliki tekanan dari orang lain (creativity), dan merasa berhasil atas pekerjaan yang dilakukannya (achievement) cenderung mendapat kepuasan kerja yang tinggi (Davis & Weiss, 1967). Hal ini diperkuat bahwa 96,5% responden yang mengaku puas terhadap pekerjaannya memiliki kecenderungan untuk mudah beradaptasi serta cenderung memiliki keinginan yang rendah untuk berpindah ke tempat kerja yang lain (Medina, 2012). Pekerja yang dapat menikmati pekerjaan yang dilakukannya cenderung lebih professional dan siap menanggung resiko atas hasil kerja yang dilakukannya. Hal ini menujukkan bahwa pekerja yang menikmati pekerjaan itu sendiri memiliki kepuasan kerja yang lebih baik dibandingkan yang tidak dapat menikmati pekerjaannya. 13 Pada penelitian ini, aspek kepuasan terhadap pekerjaan dilihat dari penguasaan keterampilan, memiliki kesempatan untuk berimprovisasi atau mencetuskan inovasi dalam menyelesaikan tugas, mendapat feedback (umpan balik) positif maupun negatif sebagai proses pembelajaran, serta mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi. Poin-poin tersebut menjelaskan mengenai kepuasan karyawan Si Thole ketika sedang menjalankan tugasnya masing-masing. 1.5.3. Kompensasi Kompensasi merupakan imbalan berupa uang atau bukan uang (natura), yang diberikan kepada karyawan dalam perusahaan atau organisasi. Kompensasi terbagi atas dua jenis yaitu langsung dan tidak langsung. Kompensasi langsung berupa gaji, sedangkan kompensasi tidak langsung berupa tunjangan. Gaji adalah balas jasa dalam bentuk uang yang diterima pekerja sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai seorang pekerja yang memberikan sumbangan dalam mencapai tujuan organisasi. Gaji dapat dikatakan sebagai bagian tetap yang diterima seseorang dari keanggotaannya dalam sebuah organisasi (Hariandja, 2005). Gaji dapat dibayarkan dalam periode bulanan, mingguan, atau harian tergantung pada kebijakan manajemen organisasi tersebut diterapkan. Menurut Hasibuan (2003) gaji dibayarkan secara periodik kepada pekerja tetap serta mempunyai jaminan pasti, yang berarti gaji harus tetap diberikan walaupun pekerja berhalangan hadir karena alasan yang logis seperti sakit, keluarga meninggal, keperluan dinas, dan sebagainya. Sedangkan tunjangan (benefit) adalah sebuah penghargaan tidak langsung yang berupa asuransi kesehatan, cuti berbayar, atau dana pensiun, diberikan untuk karyawan sebagai bagian dari keanggotaan 14 organisasional, tanpa menghiraukan kinerja (Mathis & Jackson, 2006). Baik gaji maupun tunjangan, keduanya masuk dalam konsep kompensasi. Dalam pemberian kompensasi, asas keadilan harus dijunjung, yang berarti pekerja tidak dapat menuntut gaji diluar kemampuan perusahaan, begitupula perusahaan tidak berhak memberi kompensasi tanpa kesepakatan dengan pekerja. Menurut Manullang (2004) faktor dalam menentukan kompensasi yaitu pengalaman, kemampuan perusahaan, dan jenis pekerjaan. Pengalaman yang dimaksud yaitu kompensasi antara pekerja yang belum berpengalaman sebaikanya dibedakan dengan pekerja yang sudah berpengalaman baik dari segi waktu dan teknis. Kemampuan perusahaan yang dimaksud adalah jika perusahaan mendapat keuntungan tinggi maka pekerja juga harus menikmati tambahan hasil keuntungan tersebut. Jenis pekerjaan yaitu terdapat pembedaan kompensasi antara pekerjaan yang membutuhkan keahlian terdidik dan keahlian terampil. Selain gaji, pada umumnya pekerja juga mendapatkan tunjangan sebagai penunjang kinerja diluar pemberian gaji pokok. Pada konteks penelitian ini, keuntungan tambahan dapat dilihat pada jumlah wisatawan yang melampaui target sehingga terjadi surplus pendapatan. Sedangkan pada jenis pekerjaan terdapat pembedaan gaji antara manajer, staf administrasi, pengemudi, dan petugas halte. Pada poin pemberian kompensasi, terdapat dua pendekatan yang dilakukan sebuah organisasi / perusahaan yaitu orientasi pemberian hak dan orientasi kinerja (Mathis & Jackson, 2006). Orientasi pemberian hak berprinsip bahwa terdapat kenaikan presentase kompensasi kepada pekerja setiap tahunnya. Kenaikan kompensasi merujuk pada kenaikan biaya hidup atau bahkan tidak memperhatikan 15 indikator ekonomi tertentu. Dalam orientasi ini terdapat kelemahan yaitu manajer kurang memperhatikan kinerja pekerja secara perseorangan sehingga rawan terjadi inefisiensi jika terdapat karyawan yang bekerja tidak produktif. Sedangkan orientasi kinerja menekankan upaya yang lebih selektif dalam memberikan kompensasi. Pekerja yang memuaskan atau mengalami peningkatan kinerja cenderung menerima kompensasi yang lebih besar, sebaliknya pekerja yang kinerjanya buruk atau stagnan cenderung mendapatkan kompensasi tetap sepanjang tahun. Sebuah organisasi memiliki tujuan pokok dalam menggaji para pekerjanya. Menurut Hasibuan (2003) tujuan penggajian yaitu ikatan kerja sama, meningkatkan motivasi kerja, menjaga stabilitas, kewajiban dari Peraturan Pemerintah; dan meningkatkan kepuasan kerja. Ikatan kerjasama yang dimaksud adalah dengan pemberian gaji, maka terjalin ikatan formal antara pekerja dengan pemberi kerja / manajer. Pekerja harus melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai perannya masingmasing sedangkan pemberi kerja wajib membayar gaji sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Meningkatkan motivasi kerja yaitu bahwa gaji dapat mendorong seseorang dalam melakukan sesuatu sesuai yang diperintahkan. Semakin tinggi balas jasa yang diberikan, motivasi kerja akan semakin meningkat. Sedangkan menjaga stabilitas bertujuan bahwa gaji dapat menjamin pekerja untuk tetap bertahan dalam sebuah organisasi atau kecil kemungkinan untuk keluar dari organisasi, asalkan pemberi kerja menerapkan prinsip keadilan dan kelayakan dalam memberikan gaji kepada pekerja. Dalam konteks peraturan pemerintah di Indonesia, gaji merupakan sesuatu yang bersifat mengikat pada hukum serta diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan 16 Pemerintah. Peraturan soal gaji diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh sebab itu, pemberi kerja memberi gaji harus sesuai dengan Upah Minimum masing-masing wilayah atau disesuaikan dengan kesepakatan, karena segala bentuk pelanggaran dapat dijerat oleh hukum. Poin terakhir pada tujuan penggajian yaitu kepuasan kerja. Studi dari The Cornell Studies of Job Satisfaction menyatakan bahwa gaji/kompensasi adalah salah satu indikator pokok dalam kepuasan kerja (Winardi, 2004). Selain itu, dalam MSQ juga menyertakan pemberian gaji rutin (harian/bulanan) dan kompensasi yang sebanding dengan hasil kerja sebagai bentuk kepuasan kerja (Britt & Jex, 2008). Aspek gaji mengindikasikan kepuasan pekerja terhadap gaji yang diperoleh apakah memenuhi ekspektasi atau tidak. Studi lain menyebutkan bahwa pekerja yang telah bertahan setidaknya 5 tahun cenderung untuk puas dalam bekerja serta menunjukkan adanya adaptasi yang tinggi di tempat bekerjanya. Hal ini karena ditunjang oleh peningkatan gaji dan tunjangan pensiun yang lebih baik (Medina, 2012). Nominal gaji dan kompensasi juga mempengaruhi kepuasan seseorang dalam bekerja. Pekerja yang mendapat gaji pada rentang quartil bawah cenderung untuk menginginkan pekerjaan lain yang lebih layak dalam hal gaji (Medina, 2012). Oleh sebab itu pekerja tersebut memiliki tingkat kepuasan rendah serta tidak mampu beradaptasi dalam lingkungan kerja, begitupula sebaliknya. Pada penelitian ini, kepuasan terhadap kompensasi dilihat dari jumlah nominal gaji yang diperoleh, peraturan potong gaji, dan keseimbangan antara beban kerja dan gaji. Ketiga poin tersebut menentukan kepuasan kerja karyawan dengan pendekatan 17 yang lebih deskriptif mengenai gaji dan tunjangan yang diterima dengan berbagai faktor yang menyebabkan rasa puas. 1.5.4. Dukungan Sosial Dukungan sosial menurut Sarafino (dikutip Afriyanti, 2008) yaitu kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diterimanya individu dari keluarga, kerabat dekat, teman maupun rekan kerja. Secara lebih rinci, Antonnuci (dikutip Afriyanti, 2008) membagi tiga sumber dukungan sosial berasal yaitu: sumber dukungan sosial dari orang-orang yang selalu ada sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dan mendukung sosok individu, misal keluarga dekat, pasangan (suami atau istri), atau teman dekat; sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan dalam hidup individu dan cenderung mengalami perubahan sesuai dengan waktu, misal teman kerja, sanak saudara, dan teman sepergaulan; dan sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang memberi dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah, misal dokter, tenaga ahli atau profesional, serta keluarga jauh. Selain sumber dukungan, terdapat lima bentuk dukungan sosial yang masingmasing memiliki karakternya tersendiri. Sarafino (dalam Afriyanti, 2008) membagi bentuk dukungan sosial berupa: dukungan emosional, yaitu ekspresi perhatian, empati, dan turut prihatin terhadap seseorang. Dukungan ini akan menyebabkan penerima dukungan merasa nyaman, tentram kembali, merasa dimiliki dan dicintai ketika dia mengalami stres, memberi bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, dan cinta; dukungan penghargaan, yaitu ketika seseorang memberikan penghargaan positif 18 kepada orang yang sedang stres, dorongan atau persetujuan terhadap ide ataupun perasaan individu, ataupun melakukan perbandingan positif antara individu dengan orang lain. Dukungan ini dapat menyebabkan individu yang menerima dukungan membangun rasa menghargai dirinya, percaya diri, dan merasa bernilai; dukungan instrumental, yaitu dukungan yang berupa bantuan secara langsung berwujud materill misalnya memberi atau meminjamkan uang atau membantu meringankan tugas orang yang sedang stress; dukungan informasi, yaitu dengan cara menyarankan beberapa pilihan tindakan yang dapat dilakukan individu dalam mengatasi masalah yang membuatnya stres. Upayanya dapat berupa nasehat, arahan, saran ataupun penilaian tentang bagaimana individu melakukan sesuatu; dukungan kelompok, yaitu dukungan yang dapat menyebabkan individu merasa bahwa dirinya bagian dari suatu kelompok dimana peran para anggotanya dapat saling berbagi. Menurut Rasmun (dalam Kirana, 2012), dengan adanya dukungan dari orang lain dari tempat asal, seperti keluarga, dan teman-teman, seseorang akan merasa lebih terdorong dan merasa lebih tegar dalam menghadapi segala macam kesulitan yang ditemui di lingkungan baru. Ia juga tidak akan merasa sendiri dalam menghadapi semua masalah yang menimpanya. Dukungan sosial juga memotivasi pekerja untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Pekerja yang mendapat penghargaan atas pekerjaannya dan bersikap suportif terhadap sesama rekan kerja, cenderung akan yang puas dalam menjalankan pekerjaannya (Britt & Jex, 2008). Selama menjalankan tugas, para pekerja berpotensi untuk mengalami stress akibat tekanan kerja atau terjadi ketidaksesuaian lainnya yang cenderung dapat menurunkan kepuasan dalam bekerja. 19 Oleh sebab itu dukungan sosial dapat berperan untuk mempengaruhi kondisi psikis maupun fisik pekerja yang menurut Sarafino (dalam Afriyanti, 2008) disebut sebagai buffering hypothesis. Kondisi ini dapat melindungi pekerja atau memperkecil resiko dari efek negatif yang timbul dari tekanan-tekanan pekerjaan. Pada penelitian ini, dukungan sosial fokus pada aspek dukungan dari keluarga inti dan rekan kerja. Hal ini dikarenakan dukungan dari kedua pihak tersebut dianggap yang paling intens dalam berinteraksi dan komunikasi, sehingga memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja yang dirasakan. 1.5.5. Status Sosial Polak mendefinisikan status sosial yaitu sebagai posisi sosial individu dalam kelompok serta dalam masyarakat (Filmillah, 2014). Status memiliki dua aspek. Pertama, aspeknya yang cukup stabil, dan kedua, aspeknya yang lebih dinamis. Status memiliki aspek struktural dan aspek fungsional. Pada aspek struktural sifatnya hirarki, yaitu mengandung perbandingan tinggi atau rendahnya secara relatif terhadap statusstatus lainnya. Sedangkan aspek yang kedua atau fungsional dimaksudkan sebagai peran sosial (social role) yang terkait dengan status tertentu, yang dimiliki oleh individu. Status sosial individu atau sekelompok orang dapat ditentukan oleh suatu indikator. Indikator yang dimaksud dapat diperoleh dari data kuantitatif maupun deskriptif, misalnya yang dicapai seseorang dalam masing-masing bidang seperti pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan relasi. Status sosial yang melekat pada setiap individu memiliki tiga jenis yang dibagi berdasarkan cara memperolehnya. Filmillah (2014) membagi tiga jenis status sosial 20 yang diperoleh melalui cara berikut: ascribed status, yaitu status sosial diperoleh secara alamiah sejak lahir tanpa melalui usaha seperti ras, jenis kelamin, agama, suku, dan kasta; achieved status, yaitu status sosial yang diperoleh melalui usaha individual yang kemudian menuai hasil berupa kekayaan, pendidikan, serta pekerjaan; dan assigned status, yaitu status sosial yang diberikan individu dari masyarakat atas jasa yang diusahakannya demi kepentingan dan kebermanfaatan kolektif kepada masyarakat seperti gelar pahlawan atau jabatan terhormat. Selain melalui cara perolehan, status sosial juga dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran kepemilikan yang berupa tingkat kepemilikan material (harta), rentang kekuasaan, posisi kehormatan, dan penguasaan ilmu pengetahuan. Terkait penilaian status, menurut Warner (dalam Filmillah, 2014) masyarakat menilai dari tiga komponen berupa: 1) pekerjaan, yaitu individu yang memiliki pekerjaan di sejumlah bidang memiliki penilaiannya masing-masing; 2) tipe rumah, yaitu kelayakan rumah yang dihuni menentukan penilaian yang diberikan oleh masyarakat; dan 3) kawasan tempat tinggal, yaitu lingkungan dimana individu tinggal dapat menentukan status sosialnya. Pada penelitian ini, konteks yang digunakan adalah achieved status, yaitu masyarakat yang semula bekerja secara informal sebagai tukang parkir lalu berpindah menjadi pengelola jasa transportasi wisata dapat dilihat sebagai perubahan status sosial dilihat dari segi pekerjaan. Ditinjau dari segi kepemilikan, terjadi penambahan penguasaan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang jasa transportasi. Selain itu, penilaian masyarakat cenderung mengalami perubahan yang semula memandang status sosial rendah sebagai tukang parkir atau pekerja informal lainnya, kini mengalami 21 peningkatan lebih baik karena memiliki pekerjaan formal dengan pendapatan yang dinilai lebih terjamin. Status sosial juga memiliki keterkaitan terhadap kepuasan kerja. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang sosial pada masyarakat Jawa (walaupun tidak berlaku secara umum) yang menjunjung status sosial di atas profesionalitas. Padahal bekerja pada sektor formal dituntut untuk menjadi individu yang menjunjung profesionalitas dengan berbagai tuntutan yang ada. Oleh sebab itu, Usman (2003) menunjukkan kekhawatiran yang terjadi dalam pembentukan komunitas professional pada masyarakat khususnya di Indonesia. Hal ini digambarkan bahwa karier profesional masih dipandang sebagai status sosial prestisius daripada sebagai aktivitas yang dipandang sebagai profesi. Pandangan ini berdampak bahwa orang yang memiliki pekerjaan ‘resmi’ akan lebih menonjolkan status yang dimilikinya, dibandingkan dengan pewujudan usaha yang harus dicapai dari tempat orang tersebut bekerja. Padahal profesionalitas menekankan bekerja tidak semata-mata untuk gaji, melainkan layak memperoleh gaji karena keahlian yang dimiliki melalui proses yang berlangsung lama. Pandangan ini memberi kesan bahwa seseorang yang telah tergabung dalam pekerjaan formal akan dinilai lebih mapan dan terjamin hidupnya di lingkungan masyarakat tempat pekerja tersebut tinggal. Bagi pekerja itu sendiri, status tersebut dapat meningkatkan rasa percaya diri karena adanya pengakuan dari masyarakat bahwa dirinya telah menjadi bagian dalam golongan orang yang mampu secara ekonomi. Walaupun dalam lingkungan kerja, dirinya belum tentu menunjukkan performa kerja 22 yang memuasakan. Oleh sebab itu perlu dianalisis mengenai kepuasan kerja yang berkaitan dengan posisi dalam status sosial. 1.5.6. Pendidikan Menurut Dewey (dikutip Bagoe, 2014) pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional terhadap alam maupun sesama manusia. Pendidikan membantu seseorang mempersiapkan diri untuk memiliki bekal pengetahuan, mengembangkan metode berfikir secara sistematis agar dapat memecahkan masalah yang akan maupun sedang dihadapi. Terkait dengan tujuan, Langeveld (dalam Bagoe, 2004) membagi tujuan pendidikan ke dalam bentuk umum, khusus, dan perantara. Tujuan umum pendidikan yaitu membentuk insan kamil atau manusia sempurna, tujuan khususnya yaitu disesuaikan dengan cita-cita pembangunan bangsa maupun tugas dari suatu lembaga tertentu, sedangkan tujuan perantara yaitu tujuan yang merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain. Adaptasi terhadap pekerjaan juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan. Pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan latar belakang pendidikan yang ditempuh akan mengurangi kesulitan dalam melaksanakan pekerjaan itu sendiri (Sulaeman, 1995). Oleh sebab itu, lebih mudah bagi pekerja yang memiliki latar pendidikan yang selaras dengan potensi maupun tantangan dalam pekerjaannya karena ilmu yang diperoleh waktu sekolah dapat menjadi titik tumpu dalam pengembangan karirnya di waktu mendatang, walaupun perlu ditunjang dengan pengalaman. Selain itu, tingkat pendidikan juga mempengaruhi adaptasi dalam bekerja. Sebuah studi menunjukkan bahwa 94% pekerja yang memiliki tingkat pendidikan rendah cenderung lebih memilih 23 untuk bertahan pada pekerjaannya, karena keterbatasan dalam peluang pekerjaan yang tersedia. Begitu pula sebaliknya, bahwa pekerja yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih mudah untuk berpindah kerja di tempat lain (Medina, 2012). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan memiliki kecenderungan untuk sering berpindah pekerjaan di berbagai tempat karena tingginya peluang yang didapatkan untuk memilih pekerjaan lain. Pada penelitian ini, aspek pendidikan formal tidak terlalu memberikan pengaruh langsung terhadap kepuasan kerja. Pendidikan formal membantu karyawan dalam memperoleh pengalaman kerja, baik yang berkaitan maupun yang tidak dengan kebutuhan keterampilan yang diperlukan untuk bekerja di Si Thole. Dengan demikian, pengalaman kerja yang dimiliki menjadi sarana bertukar pikiran oleh sesama rekan kerja dari latar belakang pekerjaannya masing-masing. 24