BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia yang diperkenankan Tuhan untuk hidup di dunia ini pasti memiliki
masa lalu, dari mana ia berasal, di mana ia tinggal dan melakukan aktifitas, siapa yang
menjadi orang tuanya, dan selanjutnya. Masa lalu manusia itu sendiri hadir dalam suatu
kebudayaan, yang secara sadar ataupun tidak sadar telah dijalani dan turut mempengaruhi
segala keberadaan, aktifitas dan kebiasaan dari menusia itu sendiri. Secara Etimologis
kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “ buddhayah”, yaitu bentuk plural dari buddi
W
D
yang berarti akal. Di sini kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal.1
Sedangkan ahli Ekonomi yang memberikan definisi tentang kebudayaan secara sistematis
dan ilmiah adalah E.B.Tylor bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang di
dalamnya terkandung ilmu pengetahuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai
K
U
anggota masyarakat, pada sisi yang agak berbeda.
2
Sementara Koentjaraningrat
mendefinisikan kebudayaan sebagai kes eluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia, dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar.3 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara
@
belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Papua adalah salah satu daerah yang
masyarakatnya hidup dalam suatu sistem
kebudayaan yang cukup kuat, di antara beberapa daerah yang ada di Indonesia. Keragaman
komunitas suku-suku yang ada di Papua dikenal dengan sebutan Komunitas Adat Terpencil
(KAT) dikelompokkan menjadi 9 wilayah di Indonesia,4 yaitu suku bangsa yang hidup di
daerah dataran tinggi, pegunungan, daerah dataran rendah, di daerah rawa-rawa, pedalaman,
perbatasan, daerah sepanjang aliran sungai, di atas Perahu dan di daerah pantai/kepulauan.
Dari sembilan Wilayah Komunitas Adat terpencil (KAT) yang mewakili kondisi geografis
1
Yusuf Zainal Abidin, dan Beni Ahmad Saebani, Pengantar Sistem Sosial Budaya di Indonesia,(Bandung: CV.Pustaka
Setia 2014) hal.37.
2
J.Van Baal, Sejarah Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), (Jakarta: PT.Gramedia 1988)
hal.20.
3
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Angkasa Baru 1989 ) hal.180.
4
Menurut buku “Panduan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Komunitas Adat terpencil (KAT)” dalam Buku Potret
Manusia Pohon. Hanro Y. Lekitoo, ( Jakarta: Balai Pustaka 2012) hal.4.
1
dan sosial budaya di seluruh wilayah Indonesia di atas, delapan di antaranya terdapat di
wilayah Papua. Satu yang lain, yakni “manusia perahu” seperti yang terdapat pada Suku
Bajo di Sulawesi Selatan tidak terdapat di Papua.
Menurut Don A.L.Flassy, wilayah budaya di tanah papua dengan berpedoman pada
pengelompokkan 9 aspek kerangka etnografi, yakni lingkungan alam, mata pencaharian
hidup, pola pemukiman, hubungan kekerabatan, pola ekonomi, sistem kekuasaan, agama dan
kepercayaan, seni dan materi budaya, serta bahasa.5 Jumlah bahasa asli Papua adalah 276
bahasa,6 dan jika merujuk pada jumlah bahasa yang dimiliki, terdapat 276 suku asli di
Papua, namun lima (5) di antaranya sudah tidak ada lagi/punah, karena tidak ada lagi
penutur bahasanya. Dari 271 bahasa tersebut, dapat dikategorikan ke dalam dua kategori
W
D
phylum (golongan bahasa), yakni golongan
golongan (phylum) bahasa-bahasa Papua.
(phylum) bahasa-bahasa Austronesia dan
Bahasa-bahasa yang tergolong dalam phylum
Austronesia mempunyai kesamaan dengan bahasa Melayu umumnya, sedangkan bahasabahasa yang tergolong dalam phylum Papua adalah khas Papua yang umumnya berada di
K
U
daerah Papua dan Papua New Guinea.7
Sementara itu sistem kepemimpinan politik tradisional di Papua menurut Mansoben,
terdapat 4 sistem kepemimpinan tradisional, yaitu : 1. Sistem kepemimpinan big man (pria
berwibawa) yang diperoleh melalui pencapaian (achievement status), yang terdapat di
wilayah seperti pegunungan tengah pada suku Dani, Amungme, Mee, Moni, dll. Juga ada di
@
wilayah Selatan Papua seperti pada suku : Marind Anim, Yakhay, Korowai, dll. Serta juga di
wilayah kepala burung seperti Suku Maybrat, Tehid dan suku Moi. 2. Sistem Kepemimpinan
Kepala Klen (ondoafi) adalah sistem yang kedudukan seorang pemimpin diperoleh melalui
pewarisan ( ascribedment status ). Umumnya terdapat di wilayah Tabi, yakni suku-suku
seperti Tobati, Kayu Batu, dst. 3. Sistem Kepemimpinan Raja, kedudukan seorang raja
diperoleh melalui pewarisan dari ayah kepada anak laki-laki tertua atau ascribedment status.
Sistem ini umumnya terdapat di wilayah seperti Kepulauan Raja Ampat, Fak-fak, dan
Kaimana. 4. Sistem Kepemimpinan Mix (campuran) adalah di mana suatu daerah
kebudayaan terdapat kombinasi sistem kepemimpinan, yakni ada pemimpin yang statusnya
5
Don A.L. Flassy, dalam” Aspek dan Prospek Seni Budaya Irian Jaya”, 1983, Biro Mental Spiritual, Setda Tk.I, Irian
Jaya dan Indeks Irianika Entri Seputar Irian Jaya (Draft Enciklopedia Irianika), 1995, Biro Bina Mental Spiritual,
Setda Tk.I, Irian Jaya.
6
”Data Summer Institute of Linguistik”, tahun 2012, (Hasil diskusi dengan Jacqualine Menanti-Field Coordinator in
Papua dan Agustina Sawi (staf) dalam Potret Manusia Pohon, Hanro Y. Lekitoo, hal.12.
7
Lihat Ajamiseba dalam “Irian Jaya membangun masyarakat Majemuk” ( editor-Koentjaraningrat ).
2
diperoleh melalui pewarisan (Ascribedment) dan ada
yang melalui pencapaian
(Achievement). Sistem ini terdapat di wilayah-wilayah seperti, Biak-Numfor, Yapen,
Waropen, Wandamen, dan Manokwari.
Yapen adalah nama pulau panjang di sebelah Utara Teluk Cenderawasih, di mana
Ansus merupakan salah satu kampung yang besar di pulau itu. Semua rumah di kampung
Ansus didirikan di atas tiang yang berada di atas permukaan air laut. Di sana- sini terlihat
dahan-dahan pohon yang masih berdaun, bagaikan bendera-bendera melambai, yang
dipasang di rumah-rumah itu. Sebenarnya, rumah-rumah itu menjadi tempat tinggal para
pahlawan, yang merampok orang-orang Biak dan menjadikan mereka budak. Sekitar tahun
1897 dalam pelayaran pekabaran Injil oleh F.J.F. van Hasselt, ia bertemu dengan seorang
W
D
Residen Ternate yang mengunjungi Nieuw-Guinea (sebutan Papua pada saat itu).8
Pada saat ini pula van Hasselt menceritakan, bahwa kebudayaan/adat bayar membayar
sebagai penyelesaian terhadap masalah yang terjadi sudah berlangsung. Bahwa tidak
ada pemberian yang diberikan secara cuma-cuma pada saat itu. Selain F.J.F. van
Hasselt melakukan perjalanan penginjilan ke Papua, ia juga diberi tugas untuk membeli
berbagai peralatan sehari-hari orang Papua dalam rangka kegiatan Pameran yang akan
dilakukan di Paris pada tahun 1900. Ketika mereka sampai pada pulau Jamna
(perbatasan Nieuw-Guinea), van Hasselt melihat beberapa suling bambu yang panjang,
disandarkan pada dinding dalam rumah adat mereka, yang biasa dipakai dalam upacara
pemanggilan roh-roh. Berikutnya ketika mengunjungi sebuah kuil yang lain, orang
yang menjadi penuntun saya memperlihatkan beberapa suling pendek, yang tidak
disandarkan di dinding, tetapi ditiarapkan secara terpisah. Ia katakan bahwa sulungsuling tersebut sudah “meminum darah anak-anak”. Ketika Hasselt bertanya apa
maksudnya, ia menjawab: “ Pada waktu suling-suling ini ditahbiskan, ada seorang anak
yang dipersembahkan sebagai tumbal, lalu darahnya dipercikkan ke atas suling-suling
ini. Selanjutnya, ketika para ibu tidak lagi merelakan anak-anak mereka untuk
dipersembahkan, maka kami menyembelih binatang sebagai gantinya, tetapi sulingsuling ini, ya, masih “meminum darah anak-anak”.
Ketika van Hasselt hendak membeli salah satu suling itu, mereka semua sepakat untuk
tidak memberikannya. Namun ketika van Hasselt mengeluarkan sebuah pisau lipat
miliknya, yang diambil dari kantongnya untuk meruncingkan pensilnya yang patah,
mereka melihat bahwa pisau itu sangat bagus, mereka mengamati bagaimana pisau itu
dibuka atau dilipat, dan mereka ingin memilikinya. Mereka bertanya kepada van
Hasselt, apakah mereka bisa memilikinya, van Hasselt menjawab, bisa. Namun ditukar
dengan dua buah dari suling-suling itu. Mereka saling memandang penuh keanehan,
K
U
@
8
Sebutan Nieuw Guinee yang dipakai oleh Belanda berasal dari seorang pelaut Spanyol bernama Ynigo Ortiz de
Retes yang pernah mengunjungi Pantai Utara Irian Barat (Papua) tahun 1545 dan memberi nama Nueva Guinea
(Guinea Baru) kepada pantai itu. Hal ini rupa-rupanya karena de Retes ketika melihat penduduk Irian Barat (Papua)
yang berkulit hitam itu, ia teringat pada penduduk pantai-pantai di Afrika Barat. Kemudian sebutan de Retes tadi
tampak di peta-peta dari abad ke-16 dalam bentuk latinnya, ialah Nova Guinea. Sedangkan sebutan Papua
malahan lebih tua dari pada sebutan Nueva Guinea, yang pertama-tama digunakan oleh seorang pelaut Portugis,
Antonio d’Arbreu yang mengunjungi pantai Irian Barat (Papua) tahun 1521. Kata Papua rupanya berasal dari kata
Melayu yang artinya Keriting (M.W.Stirlingg,1943.p.4 dalam Koentjaraningrat,1963.p.4).
3
sedikit berbisik-bisik, dan kemudian berkata, bahwa mereka setuju. Tetapi van Hasselt
tidak boleh langsung membawa suling-suling itu. Kedua suling tersebut akan diantar ke
kapal pada malam hari, karena para wanita tidak boleh melihat suling-suling itu. Kalau
saja ada seorang wanita yang melihat suling itu, maka semua orang di Jamna akan
mendapat tulah borok yang mengerikan di kaki mereka. Malam harinya baru sulingsuling itu diantar ke kapal dengan dibungkus rapi oleh dedaunan dan kulit pohon.
Hasselt sekali lagi diingatkan agar tidak memperlihatkannya kepada seorang
wanitapun.
Selanjutnya dalam kunjungan mereka ke Ansus sekitar tahun 1911, mereka hendak
menyelesaikan persoalan pembunuhan yang dilakukan terhadap seorang pelayan oleh
penduduk pedalaman. Namun, masyarakat Ansuslah yang bersedia membayar denda itu
sesuai dengan permintaan Residen yang hadir mewakili keluarga korban pada saat itu.
Residen meminta 200 barang karena pada masa itu peredaran uang sangat sedikit dan
tidak menyeluruh, jadi denda dibayar dengan barang, tempayan tua dan sebagainya.9
Cara penyelesaian masalah dengan membayar denda inilah yang kemudian dijadikan
W
D
kebudayaan oleh orang tua di zaman dahulu, yang dilanjutkan oleh anak cucu sampai dengan
sekarang ini. Pada hari Minggu, 5 Februari 1855, Injil dibawa masuk ke tanah Papua oleh
dua penginjil asal Jerman Carl William Ottow dan Johann Gottlop Geissler. Harapan mereka
“ Semoga terang Sorgawi menyinari kamu yang hidup dalam kegelapan ini”. Harapan
K
U
mereka itu secara spontanitas muncul dalam doa sulung mereka “ Dengan nama Tuhan kami
menginjak tanah ini”. Lima Puluh tahun kemudian, sekitar tahun 1905-1915 berita Injil ini
menjangkau sampai ke Pulau Yapen (termasuk Ansus). Dan pada tahun 1918-1930 barulah
beberapa guru asal Maluku ditempatkan di sana, dalam proses penginjilan itu.10 Meskipun
sudah sekian lama Injil tumbuh dan berkembang di Tanah Papua, namun kehidupan
@
masyarakat Papua, masih juga melakukan hal-hal yang seringkali bertentangan dengan Injil
itu, baik sikap hidup mereka hari-hari, sampai pada sistem kebudayaan yang mengikat
mereka dan dijadikan standar hidup mereka.
Pemberian adalah salah satu kebudayaan yang juga dibangun dalam
masyarakat
Papua. Menurut Marcel Mauss, pemberian menunjukkan bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi
tukar menukar dalam masyarakat, yang menghasilkan adanya sistem tukar menukar dalam
masyarakat serta melibatkan kelompok masyarakat yang bersangkutan secara menyeluruh.
Setiap pemberian adalah bagian dari suatu sistem tukar menukar yang saling mengimbangi
di mana kehormatan dari si pemberi dan si penerima terlibat di dalamnya. Tukar menukar ini
adalah sebuah sistem yang menyeluruh (unsur kedudukan dan harta milik), termasuk di
dalamnya semua anggota masyarakat, yang terlibat di dalamnya dan dijalankan secara turun
9
F.J.F. Van Hasselt, Di Tanah Orang Papua, (Sentani: Yayasan Timotius Papua bekerjasama dengan Yayasan HAPIN
Belanda 2002) hal. 153-154.
10
http://infokamuky.wordpress.com/2009/11/06/kepulauan-Yapen-diantara-fakta-dan-sejarah.
4
menurun. Nilai dari pengembalian barang yang telah diterima, harus dapat mengimbangi
nilai barang yang telah diterima, karena bersamaan dengan pemberian tersebut, adalah nilai
kehormatan dari kelompok yang bersangkutan. Apa yang saling dipertukarkan, dilihat oleh
Mauss sebagai prestasi, yaitu nilai barang menurut sistem-sistem makna yang berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan dan bukannya nilai harfiah dari barang pemberian tersebut.
Prestasi yang dipertukarkan adalah prestasi yang menyeluruh, karena tukar menukar tersebut
melibatkan keseluruhan aspek kehidupan dan berlaku di antara kelompok-kelompok dan
bukan di antara individu-individu secara pribadi.11
Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pemberian dari kata dasar beri
yang artinya serahkan atau bagi sesuatu kepada orang lain. Sedangkan Pemberian itu sendiri
W
D
artinya sesuatu yang diberikan atau sesuatu yang didapat dari orang lain karena diberi.12
Pemberian ini kemudian diistilahkan dengan Resiprositas oleh beberapa ahli, yang diartikan
dengan pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok. Resiprositas ini dapat
terjadi, jika ada hubungan simetris yaitu hubungan sosial, di mana masing-masing pihak
K
U
menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama ketika proses pertukaran
berlangsung.13 Pada dasarnya tidak ada pemberian yang cuma-cuma. Segala bentuk
pemberian selalu dibarengi dengan suatu pemberian kembali atau imbalan.
Dalam konteks tertentu pemberian bisa juga merupakan suatu simbol terhadap
berlakunya pengampunan atau keselamatan itu. Misalnya, pemberian uang/piring besar di
@
depan pintu ketika peminangan seorang perempuan oleh keluarga dari pihak laki-laki dalam
budaya suku-suku di Papua (termasuk suku Ansus), mengisyaratkan, bahwa keluarga
menerima peminangan itu dan perempuan sudah menjadi bagian dari keluarga laki-laki.
Dalam proses pembayaran mas kawin ini, menjelaskan kepada kita tentang sebuah
pemberian yang disertai juga dengan pemberian. Pihak keluarga laki-laki akan mendatangi
keluarga perempuan dengan membawa mas kawin berupa uang, piring kecil dan piring
besar, juga membawa bahan makanan yang belum diolah berupa beras dan hasil kebun.
Sementara pihak perempuan akan mempersiapkan makanan yang siap saji untuk
dihidangkan bagi keluarga laki-laki. Dengan terjadinya pertemuan tersebut dalam suku
Ansus, maka otomatis perempuan yang diminang itu sudah menjadi milik keluarga laki11
Marcel Mauss, Pemberian,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1992) Kata Pengantar xix.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat ,(Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama 2002) hal.178.
13
Sjafri Sairin, Pujo Semedi, Bambang Hudayana, Pen gantar Antropologi Ekonomi,( Yogyakarta: Pustaka Belajar
2002) hal.44.
12
5
laki.14 Tidak hanya masalah peminangan, dalam kebudayaan suku Ansus, segala
permasalahan dan sesuatu yang akan melibatkan lebih dari satu keluarga untuk suatu tujuan
tertentu, biasanya akan dibawa ke Para-para Adat, yang pada zaman modern ini lebih
dikenal dengan Meja Adat (kemudian akan dipakai dalam penulisan ini),15 untuk
mempersiapkan dan menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Sebelum peminangan
berlangsung, selalu akan ada pertemuan di Meja Adat, untuk mempersiapkan segala sesuatu
yang akan dilakukan ketika peminangan itu berlangsung. Berapa banyak mas kawin yang
harus dibawa (sesuai dengan permintaan keluarga perempuan), berapa banyak uang yang
harus diberikan, bagaimana nanti prosesi itu dilakukan, dst.
Pada zaman dahulu, yang terjadi adalah bahwa peristiwa peminangan itu akan
W
D
berlangsung sampai pada perkawinan adat. Ketika peminangan itu, pembayaran mas kawin
akan berlangsung, yang kemudian dilanjutkan dengan perkawinan adat itu. Mereka akan
menggelar tikar, kedua calon mempelai akan didudukkan di atas tikar itu bersama dengan
seorang Nenek (yang kehidupan keluarganya langgeng dan baik). Nenek inilah yang
K
U
kemudian akan mempertemukan tangan laki-laki dan perempuan tersebut dengan
menyebutkan beberapa kalimat, yang intinya menginginkan mereka dalam hidup rumah
tangga akan baik dan menjadi berkat bagi keluarga dan bagi siapa saja, ” Langit dan bumi
menjadi saksi perkawinan kalian berdua, semoga kalian akan sehidup semati sesuai dengan
kehendak Tuhan dan akan menjadi berkat bagi keluarga, burung-burung di udara pun kalian
@
akan beri makan, kapal yang lewat di lautan pun kalian berdua akan beri makan”.16
Demikian pula dengan masalah pembunuhan, ketika dibawa ke meja adat untuk
penyelesaiannya, pihak korban maupun pelaku bersama anggota keluarga mereka akan
dihadirkan di sini. Ada sejenis pohon bambu yang biasanya dipakai sebagai media dalam
penyelesaian masalah pembunuhan ini. Bambu itu akan dipotong, ujung kedua sisinya akan
dipegang, yang satu oleh pelaku dan yang lain oleh korban. Secara bersama-sama mereka
akan mengangkat bambu itu ke atas, dengan mengucapkan kalimat seperti “Tuhanlah yang
menjadi saksi dalam perdamaian ini. Sudah tidak ada lagi dendam bahkan kutuk yang akan
ditimpakan kepada kami”. Setelah hal itu dilakukan, maka secara otomatis masalah itu
terselesaikan. Tetapi jika tidak dilakukan perdamaian itu, akan terus berdampak pada
kehidupan mereka, secara khusus pelaku dan keluarganya secara turun temurun. Contohnya,
14
Hasil Wawancara dengan kepala Suku Yapen Waropen di Manokwari, Bpk. Jan Ayomi, Selasa, 8 Juli 2014.
Hasil Wawancara dengan Bpk.Enos Werimon,Anggota Mambesak Group, Senin,14 July 2014.
16
Hasil Wawancara dengan Bpk. Enos Werimon, Anggota Mambesak Group. Senin , 14 July 2014.
15
6
jika tidak diselesaikan, pelaku dan keluarganya ketika menginjakkan kaki di tempat keluarga
korban, mereka akan menderita penyakit kulit tertentu, yang dianggap sebagai bentuk
hukuman. Tetapi perlu juga diingat, bahwa semua masalah yang hendak diselesaikan itu,
akan dimulai dengan pembayaran (uang sebagai pengikat antara kedua keluarga yang akan
bersatu, uang bayar malu untuk masalah perzinahan/kawin lari, uang bayar darah untuk
masalah pembunuhan, dst).
Sesuatu yang sangat berbeda, yang terjadi di zaman sekarang ini. Meja Adat tidak lagi
dilakukan sebagaimana mestinya dalam mempertahankan nilai-nilai yang ada pada
kebudayaan tersebut. Meja Adat hanya sebuah kamuflase, yang disertai dengan kepentingankepentingan dari orang-orang tertentu. Yang terjadi pada meja adat sekarang ini, setiap
W
D
masalah yang dibawa ke meja adat akan diselesaikan dengan membayar denda kepada
keluarga korban. Pemberian uang, piring-piring, dll, dijadikan sebagai satu-satunya alat
perdamaian, apapun masalahnya. Bahkan dengan pembayaran denda sesuai permintaan dari
keluarga korban, dapat mempengaruhi putusan pengadilan yang diberikan kepada pelaku,
K
U
dengan alasan masalah denda adat telah diselesaikan.17 Dengan demikian dapat kita
simpulkan, bahwa pembayaran denda dalam
menyelesaikan masalah di meja adat,
merupakan media kepada pemberian pengampunan itu, bahkan keselamatan dari kesalahan
yang telah dilakukan oleh pelaku. Pada situasi seperti ini, dapat pula dipastikan bahwa
Gereja tidak mempunyai peranan sama sekali. Dalam momen tertentu, mungkin ada yang
@
memanggil hamba Tuhan untuk hadir menyaksikan bahkan memulainya dengan doa, namun
tetap saja muatan yang ada dalam budaya itu tidak dihilangkan.
Pertanyaan yang muncul di sini : Bagaimana kebiasaan adat seperti ini kita
perhadapkan dengan perspektif Yesus? Oleh sebab itu perlu sekali dibahas perspektif Yesus
terhadap adat istiadat dengan mengacu pada Injil Markus 7:1-23, secara khusus.
17
Hasil Wawancara dengan Kepala Suku Yapen Waropen di Manokwari, Bpk. Jan Ayomi, Selasa, 8 July 2014.
7
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis melihat bahwa ada kecenderungan
masyarakat Ansus menaati adat dan menjadikannya sebagai suatu paradigma kehidupan
mereka, yang secara langsung maupun tidak langsung mengesampingkan kasih karunia
Allah dan kehendak Allah bagi mereka. Di sisi lain adat ini menjadi suatu keharusan yang
membelenggu kehidupan mereka tanpa mereka sadari, yang turut mempengaruhi seluruh
aspek kehidupan mereka, termasuk iman dan percaya mereka kepada Tuhan. Dengan
demikian penulis merasa perlu untuk melihat atau meninjau kembali adat istiadat suku
Ansus yang berkaitan dengan meja adat secara khusus, yang diserasikan dengan apa yang
menjadi kehendak Allah dalam kehidupan manusia sebagai umat-Nya dan
W
D
sebagai
masyarakat secara komunal, yang secara khusus ditinjau dari perspektif Yesus terhadap adat
istiadat itu sendiri dalam Injil Markus 7:1-23.
C. Batasan Masalah
K
U
Perjumpaan adat dan injil tentu membutuhkan suatu kajian yang lebih luas. Namun di
sini penulis membatasi permasalahan hanya pada konteks budaya masyarakat/suku Ansus,
dalam hal penyelesaian masalah pada meja adat dengan membayar denda, khusus yang
berdomisili di Fanindi Pantai Manokwari. Karena di tempat inilah penulis sementara
melayani, yang kemudian disejajarkan dengan sikap kekristenan terhadap budaya menurut
@
perspektif Yesus dalam Injil Markus 7:1-23 secara khusus.
D. Tujuan Penelitian
Yang menjadi tujuan utama dari penelitian ini adalah melihat kembali dan mengkritisi
praktek penyelesaian masalah dengan membayar denda pada meja adat di suku Ansus
berdasarkan perspektif Yesus sesuai Injil Markus 7:1-23. Penulis memfokuskan hanya pada
injil Markus 7:1-23, karena dalam Injil inilah dijelaskan secara terperinci pola pendekatan
dan pembaharuan Yesus terhadap adat istiadat. Dan untuk mencapai tujuan ini maka ada
beberapa hal yang harus dilakukan :
1. Mendiskripsikan praktek pembayaran denda pada meja adat di suku Ansus.
2. Mempertemukan point satu di atas dengan perspektif Yesus menurut Injil Markus 7:1-23,
secara kritis.
8
3. Menarik implikasinya bagi pelayanan gereja, sehingga gereja juga diharapkan turut
berperan dalam mewujudkan perspektif Yesus terhadap budaya di tengah-tengah
pelayanannya bagi masyarakat Ansus secara khusus.
E. Judul
Dengan mengacu pada masalah di atas, penulis mengajukan judul untuk penulisan tesis ini
yaitu :
“ PANDANGAN TEOLOGIS TERHADAP PENYELESAIAN MASALAH
MELALUI PEMBAYARAN DENDA PADA MEJA ADAT DI SUKU ANSUS
BERDASARKAN PERSPEKTIF MARKUS 7:1-23 “
W
D
F. Kerangka Teori
Dalam rangka membantu penjabaran tesis, penggunaan teori yang digunakan adalah
K
U
pandangan dari Jl. Packer, yang berkata: pertanyaannya bukanlah apakah kita memiliki
tradisi, tetapi apakah tradisi-tradisi itu konflik dengan satu-satunya standar mutlak kita yakni
Kitab Suci. Menurut Tom Hovestol,18 tradisi memberitahukan kita dari mana kita berasal,
tradisi mengeksternalisasi pola pikir kita dan menunjukkan apa yang kita percayai. Tradisi
menetapkan batas-batas untuk gaya hidup kita, dan mengajarkan bagaimana kita berperilaku.
Tradisi bisa baik namun juga bisa berdampak buruk. Selanjutnya Cooley,19 membedakan
@
tiga angkatan (matra) adat, yakni:
1.
Hukum adat, yang menyangkut segi Yuridis dari adat. Fungsinya adalah untuk
mengatur hubungan, memimpin dan mengontrol kelakuan dari anggota-anggota
komunitas (masyarakat) adat yang bersangkutan, agar terpelihara ketentraman, keadilan
dan keselarasan dalam komunitas (masyarakat) adat yang bersangkutan. Di sini terletak
fungsi kontrol-sosial dari suatu adat.
2.
Adat atau adat-istiadat, yang menyangkut segi sakral dari adat yang sifatnya informal.
Adat –istiadat ini mengandung segala keharusan untuk berperilaku sesuatu dengan caracara yang tertentu yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Setiap pelanggaran
18
http://mediakotbah.blogspot.com/2010/02/tradisi-dan-iman-kristen-markus-76-23.html-mnrt Merriamwebster.
19
Cooley dalam M.Th. Mawene, Artikel Injil dan Adat, Suatu Refleksi Historis sesudah 144 tahun Perjumpaan
antara Injil dan Adat di Tanah Papua, Dosen STT I.S.Kijne, Jayapura, 1999.hal.6-7.
9
dikenakan sangsi yang sama berat dengan pelanggaran terhadap hukum adat, sekalipun
sangsi itu diterapkan dengan cara yang lebih informal dari hukum adat.
3.
Adat-kebiasaan (Inggris: manners and costums) yakni kebiasaan-kebiasaan dalam
masyarakat yang bersifat luas, informal dan ringan (dari sudut sangsinya), yang
memberi gaya yang khas pada cara hidup suatu masyarakat.
Injil tidak dapat disetarakan dengan adat, karena Injil berasal dari Allah, sedangkan
adat bersumber pada leluhur yang menerimanya dari suatu roh atau ilah tertentu. Dalam
pengalaman sejarah perjumpaan dan interaksi antara kedua unsur ini, maka sebenarnya yang
terjadi adalah interaksi antara Kekristenan (Gereja) dengan adat. Dengan perkataan lain
W
D
dalam kenyataannya yang berjumpa dengan adat adalah kekristenan/Gereja (yang tentunya
dipengaruhi oleh latar belakang budaya zendeling/misionaris yang bersangkutan ). Hal ini
dapat digambarkan sebagai berikut :20
K
U
Gereja
Adat
@
Secara Teologis adalah benar jika dalam kasus ini yang kita
bicarakan, justru
perjumpaan antara Injil dengan Adat, atau lebih tepat “Injil menjumpai adat” sebagai wujud
dari kasih Allah yang menjumpai manusia yang terkungkung dalam budayanya. Maka jelas
dalam perjumpaan ini, sekalipun Injil diwakili oleh Gereja/Kekristenan, namun pada
akhirnya Injil itu akan menerangi, menggarami, membersihkan dan membaharui adat
sehingga adat memperoleh tempat yang benar dalam rangka tindakan Allah untuk
menyelamatkan dunia ini. 21
Manusia selalu cenderung kepada adat istiadat, tetapi kehidupan rohani adalah lebih
penting. Janganlah kita membuat terlalu banyak peraturan atau adat, sehingga membatasi
dan mengurangi kebebasan Roh. Roh itu menyatakan garis besar yang harus kita turuti. Dan
selanjutnya wajiblah kita menyerahkan diri kepada pimpinan Roh Tuhan di dalam segala
20
M.Th.Mawene, Injil dan Adat, Suatu Refleksi Historis sesudah 144 tahun Perjumpaan antara Injil dan Adat di
Tanah Papua.( Dosen Sekolah Tinggi Teologi “I.S.Kijne” Gereja Kristen Injili di Tanah Papua; di Jayapura,1999),hal.8.
21
Ibid.
10
persoalan. Banyak perbedaan, perselisihan, kesusahan dan kesombongan timbul, hanya
disebabkan oleh ketaatan kepada adat istiadat dan peraturan-peraturan dari sebuah gereja.
Dengan berbuat demikian kita yang picik melanggar kebebasan Roh yang menjadi warisan
kita.22 Penulis juga akan mencoba mengkaji lima (5) sikap Yesus terhadap budaya, yaitu
sikap Radikal, sikap Akomodatif, sikap Sintetik, sikap Dualistik dan sikap Transformatif,
menurut Richard Niebuhr.23 Sebagai suatu upaya untuk melihat apa dan bagaimana sikap
dan kehendak Yesus terhadap budaya itu sendiri.
G. Metode Penulisan
Dalam menunjang kelengkapan penulisan ini, penulis menggunakan metode penulisan
W
D
deskriptif analitis dengan pendekatan melalui pengamatan langsung, wawancara, data dari
internet dan studi literatur. Penulis berupaya untuk mendialogkan kenyataan-kenyataan yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat Ansus (berkaitan dengan meja adat), dengan apa yang
dilakukan dan diharapkan oleh Yesus terhadap budaya.
K
U
H. Metode Penelitian
1.
Metode Penelitian
Penulis akan melakukan penelitian lapangan dengan metode wawancara
@
mendalam kepada sejumlah informan, guna mendapatkan data-data yang diperlukan
berkaitan dengan penyelesaian masalah di meja adat pada suku Ansus. Apa nilai-nilai
yang terkandung di dalam budaya tersebut, dan bagaimana pelaksanaannya pada zaman
dahulu sampai zaman sekarang ini. Penulis juga menggali literatur yang berkaitan
dengan budaya dalam kehidupan masyarakat Papua (suku Ansus secara khusus). Di
sini penulis menganalisa data dengan mencoba memahami makna data itu dalam suatu
pemahaman, dengan lebih mengutamakan makna yang berasal dari fenomena yang
saling berkaitan satu sama lain.24 Metode ini dapat digunakan untuk mempelajari,
membuka, dan mengerti apa yang terjadi di belakang setiap fenomena yang baru sedikit
22
Walter M. Post, Tafsiran Injil Markus, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup 1998) hal.66.
H. Richard Niebuhr, dalam M.Th.Mawene, Injil dan Adat, Dosen STT I.S.Kijne, GKI di Tanah Papua, Jayapura 1999,
hal.9.
24
Desain Penelitian, diakses pada http://dinulislamjamilah.wordpres.com/2010/04/05/desain- penelitian/pada 27
Maret 2011.
23
11
diketahui.25 Selain itu juga, dalam pendekatan etnografi ini, pemaparan hasil penelitian
di lapangan bersifat etik dan emik. Etik berarti mengambil jarak dan memberikan
interpretasi tingkah laku seturut arti yang diberikan oleh peneliti, sementara Emik yang
berarti lebih berkonsentrasi pada fenomena atau fakta sebagaimana diartikan oleh
masyarakat setempat.26 Dari keseluruhan data inilah, penulis kemudian mengambil
kesimpulan, yang akan dikaji sesuia dengan yang menjadi perspektif Yesus terhadap
budaya itu.
2.
Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian adalah Fanindi Pantai Manokwari, Provinsi Papua Barat.
Karena di sinilah penulis ada dan melakukan pelayanan.
W
D
Informan yang diwawancarai penulis dalam penelitian ini adalah :
1.
Ketua Majelis Jemaat GKI Nazareth Fanindi Pantai Manokwari.
2.
Guru Jemaat, sebagai Pelayan Firman dalam jemaat GKI Nazareth.
3.
Guru Jemaat, sebagai Pelayan Firman dalam jemaat GKI Nazareth.
4.
Wakil Ketua Majelis Jemaat dan juga Pendiri Jemaat.
5.
Ketua Unsur PKB (Persekutuan Kaum Bapak)
6.
Pendiri Jemaat dan Orang Yang mengetahui adat.
7.
Anggota Jemaat, juga adalah orang tua tang mengetahui adat.
8.
Anggota Jemaat dan Kepala Suku Besar Yapen Waropen di Manokwari.
9.
Seorang anggota group Mambesak (group seni terkenal di Papua).
K
U
@
10. Anggota Jemaat dan Wakil Sekretaris PKB.
11. Anggota Jemaat.
12. Anggota Jemaat.
13. Seorang Ibu, anak dari pembuka pemukiman/kompleks ini.
14. Ketua Unsur PAR (Persekutuan Anak dan Remaja).
15. Anggota Jemaat.
16. Anggota Jemaat.
25
Briggite Holzner,” Penelitian berorientasi gender” dalam Ratna Saptari, Briggite Holzner, Perempuan Kerja dan
Perubahan Sosial, Sebuah Pengantar Studi Perempuan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 1997) hal.468.
26
John Mansford Prior, Meneliti Jemaat, (Jakarta: Riset Partisipations Gramedia 1997) hal.12.
12
I.
Sistematika Penulisan
Karya tulis ini akan disusun dengan sistematika seperti berikut :
BAB I :
Pendahuluan
Bab ini memaparkan latar belakang penulisan, perumusan masalah, batasan
masalah, tujuan penelitian, judul, kerangka teori, metode penulisan, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II :
Konteks kehidupan Masyarakat Ansus di Wilayah Fanindi Pantai
Manokwari
Bab ini memaparkan tentang gambaran umum tentang Provinsi Papua Barat,
W
D
Kabupaten Manokwari, dan secara khusus masyarakat Ansus yang berdomisili
di kompleks Fanindi Pantai. Bagaimana kehidupan masyarakatnya, apa yang
menjadi mata pencaharian mereka, bagaimana tingkat pendidikan mereka,
kesehatan, hubungan sosial, serta hasil penelitian dan analisis data, yang
K
U
berujung pada kesimpulan tentang penelitian yang dilakukan penulis.
BAB III :
Studi kritis terhadap Markus 7:1-23
Studi ini diawali dengan penjelasan tentang Injil Markus meliputi siapa penulis
Injil Markus, kapan Injil Markus ditulis, kepada siapa Injil Markus ditunjukan,
@
situasi yang terjadi ketika Injil Markus ditulis dan disampaikan, yang berakhir
dengan penafsiran terhadap Injil Markus 7:1-23. Apa dan bagaimana
pandangan dan sikap Yesus kepada orang Farisi dan ahli Taurat, berkaitan
dengan adat istiadat mereka. Yang selanjutnya merupakan kerinduan Yesus
untuk diterapkan dalam kehidupan bergereja.
BAB IV :
Hasil Studi Kritis Markus 7:1-23 Dalam Dialog dengan Konteks Meja
Adat Suku Ansus
Sikap dan tindakan Yesus, yang merupakan hasil studi dalam Markus 7:1-23,
dijelaskan dengan baik, yang kemudian diharapkan akan menjadi bagian dan
patut diteladani pada setiap penyelesaian masalah dalam seluruh aspek
kehidupan manusia termasuk kebudayaan, secara khusus yang berkaitan dengan
kebudayaan Ansus, yaitu Meja Adat.
13
BAB V :
Penutup
Berisi kesimpulan dari keseluruhan penelitian bersama relevansinya dan saran
sesuai dengan apa yang dilakukan dan diperintahkan oleh Yesus, untuk
selanjutnya diterapkan dalam berbagai konteks kehidupan manusia khususnya
pada Meja Adat dalam budaya suku Ansus.
W
D
K
U
@
14
Download