Desa Siaga, perkawinan dini, dan kerentanan AKI (Pengalaman Sukabumi) Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra1 Tulisan ini pada mulanya adalah penelitian yang dilaksanakan oleh Tim Pusat Kajian Wanita dan Gender UI di tiga wilayah: Sukabumi, Brebes, dan Manado. Tulisan ini mencoba menggambarkan pengalaman masyarakat desa Pamuruyan dan Warnajati, Sukabumi. Teknik Pengambilan Data dan Gambaran Informan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah FGD, wawancara mendalam, mapping desa dan observasi lapangan. Peneliti juga mengumpulkan data sekunder yang sebagian besar pengumpulannya dibantu oleh kader PEKKA, sebagai pendamping lapangan dalam penelitian ini. Di setiap desa dilakukan dua FGD yaitu: FGD 1: terdiri dari warga biasa/masyarakat akar rumput (perempuan dan suaminya, serta perempuan kepala keluarga, perempuan yang sedang hamil dan suaminya, orangtua yang sedang memiliki bayi/balita atau cucu berusia balita. Di desa Warnajati, FGD ini dihadiri oleh 10 peserta, dan di desa Pamuruyan dihadiri oleh 10 peserta. FGD 2: terdiri dari berbagai komponen (laki-laki dan perempuan), yaitu: kader PEKKA, PKK, kader Posyandu, tokoh lingkungan (RT/RW), Karang Taruna (remaja/pemuda lakilaki dan perempuan), tokoh masyarakat dan bidan desa. Di 1 Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 107 desa Warnajati, FGD ini dihadiri oleh 13 peserta, dan didesa Pamuruyan dihadiri oleh 10 peserta. Wawancara mendalam dilakukan dengan dua Bidan Desa di Warnajati dan satu bidan desa di Pamuruyan. Kepala Desa Warnajati dan Sekretaris Desa Pamuruyan ikut terlibat dalam FGD sehingga tidak dilakukan wawancara mendalam dengan mereka. Kepala Desa Pamuruyan sedang bertugas di luar kantor saat FGD berlangsung, jadi tidak bisa diwawancara. Dalam FGD dengan tokoh masyarakat di desa Warnajati dan Pamuruyan, peneliti memfasilitasi penyusunan peta desa secara sederhana untuk memetakan jumlah, lokasi dan kualitas dari fasilitas desa, seperti posyandu, sekolah, PAUD, Puskesmas, jalanan, dan lain-lain. Setelah itu, dengan berkendara mobil dan berjalan kaki, dilakukan penelusuran wilayah (RW) yang medannya sulit ditempuh karena letak area yang jauh dari pusat desa, dengan kondisi jalan yang buruk (tanah merah dan berbatuan), serta kontur tanah yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Gambaran Umum Geografi dan Demografi Sukabumi Geografi dan Topografi Desa Warnajati dan Desa Pamuruyan terletak bersebelahan. Kedua desa memiliki topografi dataran berbukit, dengan ketinggian tanah dari permukaan laut sekitar 550 meter. Lahan pertanian di kedua desa sangat luas, namun belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh pemiliknya. Ketika menyusuri kedua desa, wilayah desa Warnajati terasa jauh lebih kecil daripada desa Pamuruyan. Ini disebabkan kaerna wilayah desa Warnajati ‘terpotong’ cukup luas dengan kebun sawit yang dimiliki oleh perusahaan swasta. Desa Warnajati dan Desa Pamuruyan memiliki kemiripan yaitu terdiri dari dua situasi fisik: pedesaan dan perkotaan. Wilayah pedesaan memiliki lahan pertanian yang lebih luas 108 | Prosiding PKWG Seminar Series dan cukup jauh dari pusat desa, sedangkan wilayah perkotaan lebih dekat dengan jalan raya beraspal, hilir mudik kendaraan dan pusat kota (Kelurahan Cibadak). Beberapa RW dengan situasi pedesaan di Warnajati dan Pamuruyan cukup sulit untuk ditempuh karena lokasinya yang cukup jauh, dengan kontur tanah yang naik turun dan berbelok, jalanan yang terjal dan dengan kondisi buruk (berbatuan, bertanah merah dan licin). Wilayah rentan di desa Warnajati adalah RW 05, 06 dan 07, sedangkan wilayah rentan di desa Pamuruyan adalah RW 05, 10, 9 dan 13. Mata Pencaharian dan Migrasi Kedua desa masuk di dalam wilayah administratif Kecamatan Cibadak dengan jarak dari pusat kecamatan hanya 2 (dua) km. Kecamatan Cibadak dikelilingi oleh banyak perusahaan industri, seperti pabrik garmen dan pabrik pakan ayam. Industri membuka banyak kesempatan kerja bagi lakilaki dan perempuan dengan syarat pendidikan hanya lulus SLTP. Menurut salah satu narasumber FGD, perusahaan industri sekitar mulai mengutamakan perekrutan perempuan daripada laki-laki karena dianggap mudah diatur, dapat dibayar lebih rendah dari upah laki-laki, serta tidak akan ribut atau demo meminta kenaikan gaji. Banyaknya kesempatan kerja di Kelurahan/Kecamatan kemungkinan besar menyebabkan hanya sedikit masyarakat desa yang bermigrasi di dalam atau ke luar negeri. Tidak tersedia cukup data mengenai jumlah penduduk Warnajati dan Pamuruyan yang bekerja di perusahaan swasta yang berlokasi di sekitar, namun hasil diskusi di kedua desa menunjukkan bahwa tingkat migrasi cukup rendah dan kedua desa ini bukanlah kantung TKI. Menurut kader PEKKA, penelitian Kornas PEKKA menunjukkan hanya sekitar 5% warga yang bermigrasi dan bekerja di Jakarta, Bogor dan Bandung. Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 109 Selain menjadi buruh pabrik, penduduk memperoleh pendapatan dari pertanian. Sebagian besar penduduk Pamuruyan bermata pencaharian petani, yaitu berjumlah sekitar 24 % dari penduduk usia dewasa. Di Warnajati, persentasi masyarakat yang menjadi petani tidak dapat dihitung, karena tidak semua mata pencaharian penduduk usia produktif teridentifikasi dalam data yang diperoleh dari Kantor Desa. Tingkat Sosial Ekonomi Dilihat dari tingkat pendidikan, sebagian besar penduduk adalah lulusan Sekolah Dasar, yaitu sebesar 48.49% di desa Warnajati dan 48.63 % di desa Pamuruyan. Sebagian besar lainnya adalah lulusan SLTP yaitu sebanyak 31.03 % penduduk di desa Warnajati dan 19.45% di desa Pamuruyan. Hanya sebesar 13.37 % penduduk di Warnajati dan 11.1 % penduduk di Pamuruyan yang melanjutkan pendidikan hingga SLTA. Hal ini menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan penduduk di kedua desa. Di desa Pamuruyan, anak putus sekolah berjumlah 237 orang. Tidak tersedia data anak putus sekolah di desa Warnajati. Namun hasil diskusi FGD menunjukkan bahwa banyak anak yang putus sekolah dan juga banyak anak tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SD dan SMP. Kebanyakan anak langsung ingin dan/atau ‘tertuntut’ bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Putus sekolah berkaitan dengan pernikahan dini yang cukup banyak terjadi di kedua desa. Dari desa Pamuruyan, diperoleh data mengenai kondisi ekonomi rumah tangga. Sebanyak 4.233 adalah penduduk miskin, yang berasal dari 867 keluarga Pra Sejahtera dan 843 Keluarga Sejahtera 1. Ini berarti bahwa sekitar 79.57 % KK tergolong dalam tingkat ekonomi rendah. 110 | Prosiding PKWG Seminar Series Kepala Keluarga Perempuan Dari pengolahan data dari Kantor Desa dan PEKKA, maka diketahui bahwa di desa Warnajati, ada sebanyak 19 % kepala keluarga adalah perempuan, yaitu berjumlah 347 perempuan. Sedangkan di desa Pamuruyan, sebanyak 16.9 % kepala keluarga adalah perempuan yaitu sebanyak 363 perempuan. Ini berarti bahwa di kedua desa, sekitar 10 % dari total jumlah penduduk perempuan adalah kepala keluarga. Jumlah ini merupakan angka yang signifikan. Kasus Kekerasan Hasil FGD tidak dapat menggambarkan situasi kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di kedua desa. Beberapa peserta FGD menyebutkan bahwa mereka pernah melihat adanya kekerasan psikis dan fisik di rumah tetangga, namun mereka tidak memahami situasi yang terjadi dalam rumahtangga tersebut. PEKKA mencatat kasus kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yaitu sebanyak 6 kasus di desa Warnajati dan 17 kasus di desa Pamuruyan. Ini berarti bahwa presentasi rumah tangga di mana kekerasan tidak signifikan, yaitu hanya sebesar 0.3% dari jumlah KK di desa Warnajati dan sebesar 0.79% dari jumlah KK di desa Pamuruyan. Data mengenai jenis kekerasan dan kasus kekerasan domestik lainnya seperti kekerasan terhadap anak belum dapat diperoleh dalam kesempatan ini. Situasi Kesehatan Ibu dan Anak Kematian Ibu Angka kematian ibu di desa Warnajati dapat dikatakan kecil. Di desa Warnajati, pernah terjadi kasus kematian ibu saat melahirkan pada tahun 2008. Penyebab kematian ibu adalah terlambat ditolong dan terlambat mengambil Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 111 keputusan. Ibu hamil ini tinggal di RW 07 dengan kondisi jalan yang buruk dan posisi yang jauh dari fasilitas kesehatan. Setelah kejadian tersebut, tidak ada lagi kasus kematian ibu hingga pengumpulan data oleh tim peneliti dilakukan (November 2014). Desa Warnajati bukan daerah penyumbang angka kematian bayi di Kecamatan Cibadak dan di Kabupaten Sukabumi. Dengan sistem kesiagaannya, desa Warnajati mendapatkan juara Desa Siaga se-Kabupaten. Di desa Pamuruyan, angka kematian ibu juga kecil, namun desa ini menyumbang angka kematian ibu di Kecamatan Cibadak setidaknya 1-2 kasus per tahun. Kasus kematian ibu yang terjadi pada tahun 2014 menimpa seorang warga Desa Pamuruyan yang bekerja di sebuah perusahaan. Perempuan ini mendapatkan jaminan kesehatan yang cukup baik dari perusahaan tempat ia bekerja sehingga ia pun rutin memeriksakan kandungannya ke dokter di Rumah Sakit Kecamatan Cibadak. Perempuan ini merasa sudah cukup memeriksakan kandungannya ke Rumah Sakit dan menyebabkan ia tidak pernah memeriksakan kandungannya ke Bidan di Posyandu Desa. Saat tiba waktunya melahirkan, perempuan ini mengalami pendarahan selama 6 (enam) jam setelah melahirkan bayi kembar. Bayi kembar ini selamat, namun sang ibu tidak dapat diselamatkan. Bidan desa yang hadir dalam FGD meyakini bahwa prosedur rumah sakit sudah benar dan penyebab kematian bayi adalah komplikasi persalinan. Tabel 1. Kematian Ibu dan Bayi Desa Warnajati Desa Pamuruyan Kasus Kematian Ibu 1 kasus kematian ibu di tahun 2008 1 kasus kematian ibu di tahun 2014 Kasus Kematian Bayi (Neonatal) dan Balita 1 kasus kematian bayi neonatal prematur pada tahun 2014 1 kematian bayi neonatal pada tahun 2014 112 | Prosiding PKWG Seminar Series 1 kasus kematian bayi neonatal dan 1 kasus kematian bayi dalam kandungan (IUFD) Sumber: Data primer peneliti (Hasil diskusi FGD dan wawancara mendalam), serta data sekunder yaitu pencatatan oleh Posyandu dan Bidan Kematian Bayi dan Balita Di Warnajati, kasus kematian bayi neonatal terjadi satu kali pada tahun 2013 dan satu kali pada tahun 2014. Terjadi pula satu kasus bayi meninggal dalam kandungan (IUFD). Kematian bayi neonatal adalah kematian bayi dalam usia 0—28 hari. Penyebab kematian bayi yang biasa terjadi adalah karena berat badan kurang (BBLR) dan asfiksia (gagal nafas dan lahir biru).2 Menurut bidan desa dalam diskusi FGD, hal ini bisa disebabkan karena sang ibu kurang higienis (jamur dari keputihan tidak diobati), mengalami ketuban pecah, memiliki kandungan yang terlalu besar, memiliki struktur selaput ketuban yang lemah, serta kurang mengkonsumsi zat besi. Penyebab kematian bayi dari sisi sosial adalah karena sang ibu bekerja dan mengalami keletihan. Selain itu, ibu terlalu muda (berusia 17 tahun) dan pernah mengalami keguguran pada kehamilan pertama. Bidan desa menyampaikan bahwa ibu hamil kadang enggan mengikuti program ‘30 tablet 1 hari’ untuk menambah zat besi dalam darah, karena merasa lebih mual. Selain kematian bayi neonatal di desa Warnajati, ada satu kasus kematian anak lima tahun pada tahun 2013 yang disebabkan oleh suhu badan tinggi dan dehidrasi. Kematian 2 Skala asfiksia dilihat dari pernafasan, detak jantung, warna kulit, tonus otot. Skala asfiksia: berat (1-3), sedang (4-7) dan ringan (8-10). Sumber: wawancara dengan Bidan Desy dan Bidan Afri di desa Warnajati, 21 November 2014 Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 113 disebabkan karena kurang penanganan dari keluarga yang broken home dan kurang komunikasi dengan kader. Kader kesehatan yang ikut dalam diskusi FGD menyampaikan bahwa mereka sulit mengetahui kondisi kesehatan anak, jika anggota keluarga tidak bekerjasama dengan kader kesehatan, yaitu membagikan informasi tentang kondisi anak dan melaporkan bila terjadi kondisi darurat dan kebutuhan pertolongan. Di desa Pamuruyan, terhadi satu kasus kematian bayi neonatal dengan kondisi darurat dan komplikasi persalinan yang serius, seperti ditulis dalam kotak khusus berikut ini: Kotak 1. Kasus Kematian Bayi (Neonatal) di Desa Pamuruyan, 2014 Seorang perempuan hamil bernama ibu Ningsih (bukan nama sebenarnya) tinggal di RW 05 Desa Pamuruyan dengan lokasi berada di lembah yang curam dan sulit ditempuh dari jalan raya. Kondisi jalan buruk yaitu curam, tidak beraspal, serta licin karena bertanah merah. Bidan desa sebelumnya telah menyampaikan kepada Bu Ningsih bahwa posisi bayinya sungsang dan berpesan jika bu NIngsih merasakan kontraksi ingin melahirkan, dirinya harus segera memberitahu tetangga sekitar dan kader kesehatan agar dibawa ke rumah sakit. Namun Ibu Ningsih baru memberitahu kader kesehatan (istri kepala RW 05) ketika kaki bayi telah keluar dari lubang vagina. Kader segera memberitahu kepada bidan desa. Kirakira pada pukul 02.00 dini hari, bidan beserta dengan kepala RW mencari pertolongan. Kondisi tempat tinggal bu Ningsih yang sangat sulit dengan jalanan setapak yang licin dan curam di samping sungai, akhirnya membuat warga harus membawa bu Ningsih dengan tandu hingga mencapai jalanan desa yang cukup lebar dan dapat dilalui mobil. Dalam perjalanan, bidan sudah memberitahu agar bu Ningsih tidak boleh “ngeden” dan merapatkan kaki agar si bayi tidak keluar. Namun ketika tandu diturunkan di rumah sakit, bu NIngsih tidak kuat lagi menahan ‘ngeden’. Bayi segera dibawa ke ruang persalinan. Namun 114 | Prosiding PKWG Seminar Series ternyata kondisi sungsang disertai dengan komplikasi lain yaitu bayi terlilit tali pusar di leher dan kepala. Bayi tidak dapat tertolong lagi karena kehabisan oksigen Bidan desa yang hadir dalam FGD menganalisa faktor penyebab dari kematian bayi ini yaitu: a) kurangnya kesadaran perempuan hamil untuk melapor bahwa dirinya dalam kondisi darurat, karena pernah mengalami keberhasilan persalinan dengan kondisi sungsang sebelumnya dan merasa bahwa persoalannya dapat diatasi sendiri, b) ketakutan akan biaya persalinan yang mahal apalagi suami bu Ningsih sedang tidak berada di rumah karena mencari pekerjaan di Jakarta, dan saat itu Ia hanya memiliki uang sebesar seribu rupiah, c) komplikasi persalinan yang secara medis sulit ditangani, meski setiap prosedur medis sudah dijalani dengan benar. Bidan desa menyatakan bahwa sekiranya tidak terjadi komplikasi, dengan kondisi bayi sungsang dan kondisi genting mencapai rumah sakit, mungkin bayi masih dapat diselamatkan. Namun bidan desa mempercayai bahwa prosedur yang dijalankan oleh pihak rumah sakit sudah benar. Sumber: Data primer tim peneliti Peran suami Dalam persepsi masyarakat, suami berperan sebagai kepala keluarga, bekerja di luar rumah dan memenuhi kebutuhan keluarga, berarti termasuk juga memberi makan bagi istri dan anak-anaknya. Para suami yang ikut dalam FGD menyatakan bahwa mereka: a) menemani istrinya ketika melakukan cek kehamilan secara rutin ke bidan, b) menemani istri sepanjang proses persalinan, c) bersama dengan istri ikut berkonsultasi dengan bidan saat menentukan jenis kontrasepsi yang digunakan. Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 115 Namun tidak semua suami dapat menjalankan perannya secara optimal. Dalam pernikahan usia muda, para suami sulit mencari pekerjaan, akhirnya bekerja secara musiman atau menganggur. Ketiadaan dana membuat suami gagal memberikan gizi yang baik bagi istrinya saat hamil dan gagal mempersiapkan persalinan yang aman, seperti yang terjadi pada bu Ningsih di desa Pamuruyan. Selain itu, menurut para kader kesehatan, dalam kondisi gawat darurat terutama menjelang persalinan, kader kesehatan-lah yang lebih berperan daripada suami karena tidak sedang berada di samping istrinya. Mitos & Tradisi tentang Kehamilan dan Kelahiran Bayi Masyarakat di desa Warnajati dan desa Pamuruyan masih mempercayai mitos mengenai kehamilan ibu, yaitu hal-hal yang harus dilakukan oleh ibu hamil dan yang dilarang, misalnya: - - Harus banyak minum air Harus memanjangkan rambut agar ketika ‘mengedan’ saat melahirkan, ibu bisa bertahan dengan menggigit rambutnya sendiri. Makan dengan piring kecil, agar plasentanya juga kecil dan memperlancar jalan lahir. Tidak boleh makan timun, nanas dan pisang, karena nanti ‘becek’ (keputihan) Tidak boleh makan salak, karena nanti susah melahirkan Bawa bawang putih dan/atau gunting di dada untuk menolak bala Tidak boleh berdiri di depan pintu. Istilah pantang yaitu ‘pamali’. Nanti bisa menghalangi jalan lahir bayi Harus rajin bersih-bersih rumah, supaya anaknya lahir putih bersih Tidak boleh tidur siang 116 | Prosiding PKWG Seminar Series Mitos biasanya disampaikan oleh dukun beranak (paraji) atau orangtua perempuan yang sedang hamil dan masih diikuti hingga sekarang. Contohnya ibu Erni (22 tahun) yang sedang hamil ketika mengikuti FGD. Ia sedang membawa gunting di dadanya, yang dianggapnya akan melindungi dia dan bayinya dari kejahatan. Erni menyampaikan bahwa ia masih menuruti mitos tersebut karena khawatir hal buruk malah benar-benar kejadian padanya. Meski mitos-mitos masih diikuti oleh perempuan hamil sampai sekarang, perlahan-lahan banyak perempuan muda yang meninggalkan tradisi tersebut, dengan menentang dan tidak mengikuti anjuran orangtua/paraji. Diskusi mengenai tradisi penyambutan bayi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara penyambutan untuk bayi laki-laki dan bayi perempuan. Desa Warnajati siaga untuk menyambut kelahiran bayi laki-laki dan perempuan. Kader siap 24 jam, khususnya ketika tanggal melahirkan semakin dekat. Setelah kelahiran bayi, biasanya dilangsungkan tradisi Aqiqah, yaitu penyampaian rasa syukur yang ditandai dengan pencukuran rambut bayi. Aqiqah dilakukan untuk bayi perempuan dan laki-laki. Perbedaan hanya pada jumlah kambing yang dipotong yaitu 2 ekor untuk laki-laki dan 1 ekor untuk perempuan. Ini didasari pada perintah dalam Al-Quran. Namun hal ini bukan kewajiban yang mengikat dan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga. Keluarga Berencana Penyuluhan KB di kedua desa biasanya diberikan oleh Bidan Desa kepada pasutri. Pemasangan alat KB biasanya disertai dengan informed consent dari keduanya. Menurut bidan desa di Warnajati, keputusan menggunakan jenis kontrasepsi tertentu diambil secara bersama antara laki-laki dan perempuan. Tidak terjadi adanya paksaan dari suami Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 117 mengenai pemilihan alat KB. Meski demikian, pemasangan IUD sering tidak terlalu disetujui oleh suami. Sebagian besar pasutri di kedua desa memakai kontrasepsi suntik karena dianggap mudah dan ekonomis. Namun jenis kontrasepsi ini beresiko untuk menciptakan kehamilan lagi jika tidak secara rutin digunakan. Jarak pakai kontrasepsi suntik yang singkat (dengan interval satu bulan) kerap membuat istri kelupaan melanjutkan suntik dan akhirnya hamil lagi. Contoh kasus adalah Ibu Eem di desa Pamuruyan yang menikah di usia 15 tahun dan pada usia saat mengikuti FGD (37 tahun) sedang hamil anaknya yang ke-enam. Ia telah menggunakan alat kontrasepsi suntik, namun sering tidak rutin datang ke Bidan Desa untuk memakai alat suntik dengan alasan lupa dan malas. Saat diskusi terjadi, seorang kader kesehatan memberikan saran agar Ibu Eem melakukan steril rahim, namun ia bersikukuh tidak akan melakukan sterilisasi karena takut ada efek sakit berkepanjangan paska operasi. Banyak istri masih takut akan pemakaian kontrasepsi selain suntik, padahal jenis lainnya sebenarnya paling minim resiko, misalnya spiral atau IUD. Ada kepercayaan dan asumsi mengenai IUD yaitu bahwa pemasangannya menakutkan, memalukan (harus dengan posisi mengangkang) dan dengan alat speculum, serta menimbulkan pendarahan dan kesakitan. Para suami dikatakan mengeluh karena penisnya menyentuh bagian spiral ketika berhubungan seksual, padahal menurut Bidan Desa bagian tersebut hanyalah benang. Masyarakatpun membuat dan menyebarkan gambaran tentang IUD yang menyakitkan, yang membuat mereka sendiri terngiang dengan gambaran tersebut dan sedapat mungkin tidak menggunakan IUD. Saat diskusi, seorang peserta FGD (Ibu Merni) menyampaikan bahwa seharusnya laki-laki perlu berperan dalam memakai kontrasepsi, tidak hanya perempuan. Sebenarnya ada upaya suami menggunakan kondom, seperti diceritakan oleh Pak Jamaludin (38 tahun) dari Desa Warnajati 118 | Prosiding PKWG Seminar Series saat diskusi FGD. Ia beberapa kali gagal menggunakan kondom, sampai akhirnya ia dan istrinya memiliki empat anak. Sekarang istri pak Jamaludin (Ibu Ai Suningsih, 37 tahun) nya memakai alat suntik. Ada pula seorang laki-laki di desa Warnajati yang melakukan vasektomi, seperti diceritakan oleh Bu Ain (kader Pekka), namun setelah vasektomi, laki-laki ini mengalami kurang gairah dalam berhubungan seksual. Kasus ini mempengaruhi pilihan warga lain untuk tidak melakukan vasektomi. Semua peserta FGD menyampaikan bahwa penentuan jumlah anak di dalam keluarga disepakati oleh suami-istri. Namun menurut Bidan Desy di desa Warnajati, meski penentuan jumlah anak di dalam keluarga dipengaruhi bersama-sama antara suami dan istri, sesungguhnya laki-laki masih mendominasi keputusan. Laki-laki yang dimaksud adalah termasuk suami, ayah dan paman. Rencana jumlah anak biasanya dibuyarkan dengan pemakaian kontrasepsi yang salah atau tidak cocok seperti yang dijelaskan sebelumnya. Kader kesehatan dalam diskusi FGD menyampaikan bahwa perlu kecocokan dengan jenis kontrasepsi yang digunakan, dan masyarakat perlu juga menyadari mitos yang salah mengenai kontrasepsi. Kotak 2. Pengalaman KB dari Perempuan yang Menikah di Usia Muda Salah seorang warga di desa Pamuruyan yakni Ibu Kokom menceritakan bahwa Ia baru mengenal KB belum lama ini. Melalui kesepakatan dengan suaminya, Ibu Kokom menggunakan kontrasepsi berjenis pil. Bu Kokom menikah di usia muda (17 tahun) dan mengikuti program KB karena telah memiliki 5 orang anak. Memiliki lima anak diakuinya sebagai perwujudan anggapan masyarakat setempat, yang mempercayai konsep “banyak anak banyak rejeki”. Ibu Kokom mengatakan bahwa dahulu sebelum dikenalnya program KB, jumlah kasus aborsi di wilayahnya setempat Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 119 cukup tinggi. Namun sekarang, setelah program KB berjalan, tindakan aborsi sudah jauh berkurang. Tindakan aborsi disebabkan karena pertimbangan bahwa biaya pendidikan cukup tinggi dan menyulitkan keluarga. Saat ini Ibu Kokom dan suaminya sudah memiliki pemikiran yang cukup baik dengan tidak mengizinkan anak mereka untuk menikah di usia yang masih muda. Sumber: Data primer tim peneliti Kebijakan dan Program Kesehatan Ibu dan Anak Kebijakan dan Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang ada di desa Warnajati dan desa Pamuruyan memiliki kemiripan yaitu terdiri dari: 1) Desa Siaga dan RW Siaga 24 jam, dengan mekanisme yang akan dijelaskan selanjutnya. 2) Kemitraan antara Kader, Paraji dan Bidan, sesuai dengan Perda Kabupaten Sukabumi No.03/2013 tentang Kemitraan Bidan, Paraji dan Kader Kesehatan. Perda ini dikeluarkan untuk meminimalkan AKI. 3) Program kesehatan ibu dan anak yang terintegrasi di Posyandu. Posyandu di setiap RW. Misalnya: desa Warnajati memiliki 12 posyandu aktif dengan total jumlah kader sebanyak 60 orang. Posyandu memperoleh dana operasional dari APBD 1 (Pemerintah Propinsi), yaitu insentif kader sebesar Rp.200.000 per kader per tahun, serta dana revitalisasi Posyandu dari APBD 2 (Pemerintah Kabupaten) sebesar Rp. 750.000,- setahun. 4) Tabulin (Tabungan Ibu Bersalin) yang bertujuan agar keluarga menabung untuk meringankan biaya melahirkan nantinya. Namun tabulin ini kurang berjalan karena kesadaran masyarakat dalam menabung masih rendah, dan karena mengandalkan jaminan kesehatan dari pemerintah. 120 | Prosiding PKWG Seminar Series 5) Jamkesda dan Jamkesmas, mengikuti aturan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Kader membantu mengurus jamkesda dan jamkesmas selama surat administrasi memadai (KTP, KK, dan lain-lain), jadi warga cukup mendapatkan kemudahan. 6) Jampersal (jaminan persalinan), namun pada tahun 2014 ini tidak ada lagi di desa Warnajati dan desa Pamuruyan 7) Pos kesehatan desa (Poskesdes) yang melakukan tindakan preventif, promotif dan kuratif. Di Warnajati, Poskesdes belum berjalan secara rutin karena kekurangan tenaga kesehatan, khususnya perawat. Namun di desa Pamuruyan, Poskesdes sudah berjalan secara rutin. 8) Program Desa Sehat yang merupakan realisasi program dari pemerintah Kabupaten, yang akan dijelaskan selanjutnya. Mekanisme Desa Siaga dan RW Siaga 24 Jam Kader-kader Posyandu melakukan sweeping ke rumahrumah di Desa Pamuruyan untuk mendata perempuan yang sedang hamil. Mereka juga berusaha untuk menghubungi para ibu hamil melalui telepon untuk memastikan bahwa perempuan-perempuan yang tengah hamil tidak lupa memeriksakan kandungannya ke Posyandu atau bidan desa. Tiap ibu bersalin, termasuk yang beresiko tinggi, didampingi oleh petugas kesehatan. Ada home visit oleh bidan untuk setiap ibu hamil setiap sebulan sekali. Perkiraan tanggal kelahiran bayi biasanya ditetapkan oleh bidan dan diketahui oleh berbagai pihak (ibu hamil, suami, kader, tetangga). Ibu hamil dan suami melaporkan ke kader jika terdapat tanda-tanda kelahiran dan kedaruratan. Kader dan bidan siap 24 jam. Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 121 Desa juga mendata kendaraan-kendaraan milik warga yang dapat dijadikan transportasi untuk membantu para perempuan yang hendak melahirkan pergi ke Rumah Sakit. Ada kerjasama dengan pemilik kendaraan agar kendaraan dapat dipinjam secara darurat dan siaga 24 jam. Di Desa Warnajati, ada kontrak tertulis dengan pemilik kendaraan. Di desa Pamuruyan, masyarakat juga menjalin kerjasama dengan polisi agar pihak Polsek dapat meminjamkan kendaraan ambulance untuk dijadikan kendaraan darurat dalam program desa dan RW siaga ini. Setelah 5 tahun berjalannya program ini, telah terjadi lima perubahan yang cukup baik dalam kaitannya dengan fasilitas kesehatan seperti Posyandu menjadi lebih baik, ada pelatihan bagi kader Posyandu dan para perempuan, sanitasi dasar dan pelayanan kesehatan bayi dan ibu hamil yang terpadu di Posyandu. Jika ada tanda kedaruratan atau komplikasi, ibu hamil dapat langsung dibawa ke rumah sakit, tidak harus mendapat rujukan dulu dari Puskesmas. Pengurusan administrasi rujukan dapat menyusul dalam kurun waktu 1 x 24 jam. Kotak 3. Kesiagaan membantu Kehamilan Perempuan Schizophrenia Di RW 10 desa Pamuruyan, pernah terjadi kehamilan perempuan yang mengidap gangguan Schizophrenia yang prosesnya cukup membekas di memori para kader kesehatan. Perempuan ini (berinisial R) diperkosa oleh pemuda setempat yang sudah memiliki istri. R berasal dari keluarga miskin dengan letak rumah yang terpencil. Ibunda dari R juga mengidap schizophrenia, sehingga masyarakat menyimpulkan gangguan mental ini bersifat genetik. Hal menarik dari kasus ini adalah kesiagaan dan kekompakkan seluruh petugas kesehatan dan masyarakat dalam mempersiapkan kelahiran bayi. Masyarakat menyumbang dana sosial agar R dapat diperiksa secara rutin dengan USG. 122 | Prosiding PKWG Seminar Series Bahkan Direktur RSUD saat itu siap siaga menerima R melahirkan kapan saja jika terjadi gawat darurat. Saat malam Jumat Kliwon menjelang kelahiran bayi, hujan lebat datang. R merasakan ingin melahirkan dan dia berlarilarian hingga jatuh. Kader kesehatan telah siap membantu dan mengontak bidan Desa untuk datang. Tidak terjadi komplikasi saat persalinan dan R dapat melahirkan secara lancar di desa. Semua orang saat itu sorak bergembira atas keberhasilan kesiagaan mereka. Anak R lalu diadopsi oleh keluarga yang berasal dari Jakarta. Tidak ada tindakan hukum bagi pelaku perkosaan. R malah dikawinkan dengan pelaku, yang oleh masyarakat dianggap menyelesaikan permasalahan. R lalu diceraikan. Pelaku kemudian diusir oleh istri pertamanya keluar dari desa karena tidak kuat menanggung malu. Sumber: Data primer tim peneliti Program Desa Sehat Program Desa Sehat diprakarsai oleh pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk merespon tingginya AKI dan AKB. Di setiap desa, dibentuk Forum Desa Sehat sebagai pelaksana program Desa Sehat. Desa Warnajati dan desa Pamuruyan termasuk desa yang memiliki Forum Desa Sehat, yang perwakilannya hadir dalam diskusi FGD di kedua desa. Program Desa Sehat memiliki tiga unsur program yaitu: 1. Sanitasi Dasar (Sandas). Sanitasi Dasar berjalan di awal program Desa Sehat, yaitu pada tahun anggaran pertama. Cakupan program adalah penyediaan air bersih dan jamban. Sanitasi Dasar di desa Pamuruyan didasari atas temuan pada tahun 2003 yaitu bahwa hanya sekitar 45 % masyarakat memiliki kesadaran mengenai sanitasi dasar. Pada tahun pertama, setelah Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 123 ada akses air bersih dan jamban, terjadi peningkatan kesadaran masyarakat menjadi sekitar 47%. 2. Kontak Ibu. Unsur ini menitikberatkan pada permasalahan kesehatan ibu dan anak, termasuk persoalan kehamilan. 3. Masyarakat Mandiri Kesehatan (MMK), merupakan gabungan dari dua unsur yaitu Sanitasi Dasar dan Kontak Ibu. Di desa Pamuruyan, melalui penggabungan kedua unsur tersebut dan ditopang dengan kerjasama bersama seluruh lapisan masyarakat, maka tingkat kesadaran akan kebersihan dan kesehatan masyarakat naik dari 47% menjadi 60%. Fasilitas Umum Desa Di desa Warnajati, masyarakat dan kader kesehatan merasa bahwa fasilitas (alat, perlengkapan dan pelayanan) posyandu, puskesmas dan rumah sakit selama ini sudah cukup memadai. Hal yang kurang adalah jumlah tenaga kesehatan (perawat) di Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) sehingga tidak dapat berjalan dengan rutin. Fasilitas yang kurang lainnya adalah mobil ambulance yang siap membawa pasien. Di desa Warnajati, banyak jalanan berbatuan dan rusak dengan kontur di dataran tinggi (menanjak), khususnya jalanan yang melewati RW 07 dan 09. Jalanan sulit ditempuh dengan motor. Pada kondisi hujan, jalanan menjadi licin dan berbahaya. Karena ketidaksediaan mobil, seorang pasien sakit pernah harus dibawa turun ke kota dengan tandu. Di sisi lain, masyarakat Desa Pamuruyan merasakan bahwa pelayanan kesehatan masih sangat kurang. Desa Pamuruyan hanya memiliki 1 orang Bidan Desa yang harus melayani masyarakat yang berjumlah banyak dengan medan lokasi yang sulit ditempuh saat gawat darurat. Selain itu, bidan desa yang biasa melayani tidak tinggal di dalam desa. Masyarakat 124 | Prosiding PKWG Seminar Series berharap agar disediakan tempat tinggal khusus untuk bidan yang melayani di desa tersebut. Tabel 2. Fasilitas Kesehatan Fasilitas Desa Posyandu Jumlah bidan Poskesdes (Pos kesehatan desa) Desa Warnajati Desa Pamuruyan 12 posyandu 15 Posyandu Ket: Ada RW yang memiliki 2 posyandu, ada yang di rumah dan ada yang punya bangunan sendiri. Tidak semua memiliki administrasi yang rapi. Ket : Semua RW di Desa Pamuruyan memiliki fasilitas Posyandu 2 bidan, dibagi berdasarkan wilayah kerja 1 bidan dan masih kurang. 1 poskesdes. Tidak berjalan rutin Poskesdes (Pos kesehatan desa). Berjalan rutin, setiap hari Sedang menunggu kedatangan 1 (satu) bidan lagi yang akan ditetapkan oleh Dinas Kesehatan setempat. Namun prosesnya cukup lama. Sumber: Data primer tim peneliti (hasil diskusi dalam FGD dan wawancara) Anggaran Desa Di desa Warnajati, pemerintah desa mengajukan anggaran desa sebesar Rp.7 milyar untuk tahun 2014, namun dana yang Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 125 diturunkan kurang dari 1 milyar. Menurut Kades Warnajati, anggaran kesehatan biasanya 10% dari total anggaran desa. Pada umumnya, program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) terintegrasi di Posyandu. Karena itu, menurut peserta FGD, anggaran yang perlu dilihat adalah anggaran Posyandu yang biasanya berjumlah hanya sedikit, yaitu terdiri dari: - - Anggaran dari APBD 1 (Pemerintah Provinsi): Anggaran untuk Posyandu biasanya berupa insentif atau honor bagi kader Posyandu, sebesar Rp.200.000.per tahun per kader. Anggaran dari APBD 2 (Pemerintah Kabupaten): Anggaran revitalisasi posyandu sebesar Rp.750 ribu per tahun. Revitalisasi biasanya digunakan untuk memberbaiki tempat dan membeli alat-alat. Terkadang anggaran revitalisasi juga digunakan untuk pemberian MPASI bayi dan makanan tambahan (PMT) untuk ibu hamil yang kekurangan energi (KEK = LILA di bawah 23.5 cm). Menurut Bidan Desa Warnajati, dana operasional untuk kunjungan ke Posyandu hanya sebesar Rp.12,500.- untuk setiap kali perjalanan. Untuk 12 posyandu di desa, berarti dana yang diperoleh sebesar Rp.165ribu. Sedangkan perjalanan ke posyandu ditempuh dengan ojek dan secara aktual membutuhkan dana sebesar Rp.20-25 ribu per perjalanan. Jadi menurut bidan, pekerjaan ini merupakan aksi sosial dari para bidan. Di desa Warnajati, tidak ada ada anggaran khusus untuk Desa Siaga. Dana dikumpulkan dari masyarakat (yang disebut sebagai dasolkes = dana sosial kesehatan), dengan iuran sebesar Rp.1000.- atau 2000.- atau dengan menyumbang beras. Kades Warnajati sedang berupaya meminta anggaran untuk mobil siaga, sebesar kurang dari Rp.200 juta. Advokasi ini diperkuat oleh Apdesi, yaitu Asosiasi Kepala Desa se- 126 | Prosiding PKWG Seminar Series Propinsi yang mendorong Gubernur untuk menurunkan dana ini. Desa Pamuruyan memperoleh dana Program Desa Sehat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, yaitu sebesar Rp. 8 juta pada tahun pertama, Rp.8 juta pada tahun kedua, dan Rp.14 juta pada tahun ketiga. Selain itu, ada pula simpanan dana abadi sebesar 25 juta yang hanya dapat dicairkan bunganya untuk operasionalisasi Program Desa Sehat, yang biasanya digunakan untuk membeli keperluan bayi dan kegiatan penyuluhan. Perkawinan Dini (Anak) Tiga dari delapan perempuan yang hadir di FGD masyarakat akar rumput di Desa Warnajati menikah pada usia di bawah usia 18 tahun. Selebihnya menikah pada usia 20—21 tahun. Empat dari tujuh perempuan yang terlibat dalam FGD masyarakat akar rumput di Desa Pamuruyan menikah di bawah usia 18 tahun, sedangkan selebihnya menikah di usia 19—20 tahun. Ini berarti, dalam sampel ini, sebanyak 37.5 % dan 57% perempuan menikah pada usia di bawah 18 tahun di desa Warnajati dan desa Pamuruyan. Namun semua perempuan yang yang menikah muda ini menyatakan bahwa mereka tidak mengalami kesulitan dalam persalinan di usia muda. Pernikahan dini menjadi bagian yang wajar dari kebiasaan masyarakat di kedua desa. Pada tahun 1990-2000an, usia pernikahan di desa bagi perempuan adalah 15—17 tahun. Sedangkan usia pernikahan bagi laki-laki biasanya 20 tahun. Dalam lima tahun belakangan ini, pernikahan dini sudah berkurang, namun masih banyak terjadi. Menurut peserta FGD, pernikahan dini umumnya disebabkan oleh dua hal: Pertama, putus sekolah karena tidak dibiayai oleh orangtua. Kesulitan ekonomi menyebabkan Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 127 orangtua cepat-cepat mendorong anaknya menikah agar mengurangi beban untuk memenuhi kebutuhan makanan dan biaya sekolah. Di sisi lain, pernikahan muda juga memutus kesempatan pendidikan (pendidikan terhenti karena perempuan menikah dan hamil). Jadi keduanya sama-sama menjadi sebab akibat. Karena kesulitan ekonomi, banyak orangtua juga mendorong anaknya (perempuan dan laki-laki) untuk bekerja di pabrik setelah lulus SMP. Kedua, hubungan seksual dini oleh remaja, yang didorong oleh pergaulan di luar rumah, disertai dengan informasi yang minim mengenai kesehatan reproduksi. Pernikahan muda di jaman sekarang (tahun 2000-an dengan makin maraknya informasi teknologi yang canggih), lebih disebabkan oleh hubungan seks bebas sebelum menikah, bukan disebabkan oleh paksaan orangtua. Kades dan kader posyandu mengetahui bahwa Undangundang Perkawinan memperbolehkan anak perempuan menikah di usia 16 tahun, tetapi tidak menyetujui pernikahan dini. Usia pernikahan yang ideal bagi peserta FGD adalah perempuan seharusnya minimal 20 tahun dan usia untuk lakilaki setidaknya 25 tahun. Peserta FGD menyadari bahwa pernikahan terlalu muda beresiko bagi anak perempuan karena: - Mental tidak siap menjadi orangtua - Fungsi alat reproduksi belum sempurna sehingga kehamilan di usia muda beresiko tinggi - Memutus kesempatan pendidikan. Seharusnya perempuan bisa menyelesaikan sekolah dengan tingkat yang lebih tinggi. Dalam kasus kehamilan yang tidak direncanakan pada remaja, biasanya dilakukan sidang KUA agar dapat memperbolehkan pernikahan di usia tersebut. Biasanya kader memberikan penyuluhan bagi pasangan suami istri di usia 128 | Prosiding PKWG Seminar Series muda untuk melakukan PAP (penundaan anak pertama). Ini ditujukan untuk mempersiapkan kesehatan reproduksi perempuan. Semua peserta FGD menganggap bahwa peran orangtua yang paling harus banyak berperan dalam mencegah pernikahan usia muda. Orangtua perlu menerapkan program Gubernur Propinsi Jawa Barat yaitu ’15 menit bersama anak’. Walaupun pandangan masyarakat sudah berubah mengenai usia minimal dalam pernikahan, namun faktor budaya masih sangat berpengaruh dalam mendorong pernikahan dini. Misalnya pernikahan dini diperbolehkan dengan tujuan agar menghindari pergaulan bebas yang menjadi kekhawatiran para orang tua. Selain itu, masyarakat desa masih menganggap bahwa menikahkan anak merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial, ekonomi, bahkan tindakan criminal perkosaan. Keterlibatan Perempuan Perempuan cukup aktif terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, politik dan pembangunan desa. Organisasi perempuan di desa yang menonjol adalah PKK, PEKKA dan Majelis Taqlim. Tokoh perempuan desa dengan demikian berkaitan dengan organisasi yang ada yaitu kader kesehatan (Posyandu), kader PKK, tutor PAUD dan tokoh agama (Ustazah). Di bidang politik, ada satu perempuan menjadi wakil BPD yang masih didominasi oleh laki-laki (perbandingan 9 : 1), yaitu ibu Enti yang hadir dalam FGD ini. Di Desa Warnajati, kader PKK dan Posyandu juga aktif terlibat dalam penyusunan anggaran musrembang, yang biasanya dipimpin oleh Ibu Euis yang merupakan aktivis Pekka dan pendamping utama penelitian ini. Di bidang kesehatan, salah seorang kader kesehatan perempuan di desa Pamuruyan, yang juga bernama Ibu Enti, Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 129 pernah mengikuti Musrembang sampai tingkat Kabupaten. Ibu Enti, yang juga adalah kader PEKKA Sukabumi, bercerita mengenai pengalamannya dalam mempertahankan prioritas pembangunan yang berkaitan dengan isu-isu perempuan, dalam debat Musrenbang di tingkat Kecamatan. Ia menyatakan bahwa jika tidak ada perempuan dalam debat itu, maka isu-isu perempuan tidak akan terpilih menjadi prioritas. Menurut peserta FGD, keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam pembangunan desa sudah setara. Mereka mencontohkan keterlibatan perempuan dalam pembangunan desa dalam PNPM, yang memiliki SOP keterlibatan perempuan : laki-laki yaitu 1 : 3. Jadi jika komite pembangunan jalan/gang terdiri dari 9 orang, maka minimal 3 orang adalah perempuan. Menurut Kades Warnajati, ada perempuan yang menjadi Ketua komite. Namun jika dikaji lebih lanjut, ternyata sebagian besar perempuan terlibat dalam urusan konsumsi pertemuan. Menurut peserta FGD di kedua desa, pembangunan desa Warnajati terutama di bidang kesehatan dan pendidikan bertumbuh karena adanya keterlibatan perempuan. Perempuan adalah faktor pendorong adanya anggaran pendidikan dan kesehatan di desa. Anggaran kesehatan disusun oleh Pokja 4 dan anggaran pendidikan disusun oleh Pokja 2. Dengan kata lain, kesuksesan pembangunan desa disebabkan oleh faktor keterlibatan perempuan. Meski demikian, secara umum, pengambilan keputusan dalam penyusunan rencana dan anggaran pembangunan desa masih didominasi oleh laki-laki. Keterlibatan perempuan kepala keluarga di ranah publik juga telah dipandang wajar oleh masyarakat. Awalnya, perempuan kepala keluarga yang aktif di ranah sosial/publik mendapatkan stigma negatif, karena sering bepergian dalam waktu lama (misalnya menghadiri pelatihan). Namun dengan hadirnya jaringan PEKKA dan hasilnya, maka stigma atas janda sudah berkurang. 130 | Prosiding PKWG Seminar Series Kesimpulan Kedua desa yang dikunjungi oleh tim peneliti bukan merupakan desa yang AKI dan AKB nya tidak tinggi. Desa Warnajati pernah menjadi juara Desa Siaga pada tingkat Kabupaten. Desa Pamuruyan juga tidak memiliki AKI dan AKB yang tinggi, namun secara konsisten menyumbang angka dengan 1-2 kasus per tahun. Untuk mempertahankan rendahnya AKI dan AKB, desa Warnajati sedang membutuhkan satu tenaga perawat untuk Poskesdes dan satu mobil siaga (ambulance desa), sedangkan desa Pamuruyan membutuhkan tambahan satu bidan desa. Menurut pengamatan peneliti, desa Pamuruyan juga membutuhkan penambahan satu poskesdes di desa yang berada di lembah dan sulit dijangkau. Diperlukan upaya mendekatkan pos kesehatan desa ke rumah tinggal yang terpencil. Kader kesehatan di kedua desa pro-aktif dan rajin, sehingga dibanggakan oleh para bidan di kedua desa. Kader dilengkapi dengan pelatihan dan pengalaman, sehingga memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup dalam merespon permasalahan kesehatan (termasuk kehamilan dan persalinan), serta faktor yang menyertainya yaitu sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, bahkan politik. Kebijakan dan program kesehatan Ibu dan Anak cukup integratif di setiap level, yaitu Kabupaten, Kecamatan dan Kelurahan/Desa. Anggaran dari pemerintah Propinsi & Kabupaten untuk kesehatan Ibu dan Anak memang relatif kecil dibandingkan anggaran lain yaitu pembangunan fisik/insfrastruktur, namun kedua desa cukup aktif dalam menggalang dana masyarakat secara mandiri melalui iuran sosial. Meski AKI rendah di kedua desa, masih banyak perilaku masyarakat yang beresiko merentankan kehamilan dan persalinan, misalnya: Ruth Eveline dan Gratianus Prikasetya Putra | 131 - - - Ibu hamil masih menjalankan mitos yang menghindarkan mereka dari asupan nutrisi yang layak. Keluarga dan ibu hamil masih mengandalkan Paraji karena biaya yang lebih murah, meski keamanan bagi ibu dan calon bayi tidak terjamin. Pernikahan usia muda masih banyak terjadi di kedua desa. Kehamilan usia muda merentankan anak perempuan karena ketidaksiapan organ reproduksi. Karena pendidikannya yang rendah, anak perempuan juga kurang menyadari mengenai pentingnya nutrisi yang baik bagi dirinya saat menjalani kehamilan. Perilaku pasutri lainnya, misalnya peran suami yang kurang aktif secara ekonomi, ketakutan orangtua atas biaya persalinan yang mahal, kurang kerjasama dengan kader dalam mengurus jaminan kesehatan, sehingga membuat orangtua gagal dalam mempersiapkan kelahiran bayi secara tepat dan aman. Persoalan gender yang cukup serius di kedua desa adalah pernikahan di kalangan anak usia 15—18 tahun. Pernikahan dini merupakan bagian yang wajar di masyarakat, karena adanya budaya untuk menghindari pergaulan bebas atau untuk menyelesaikan persoalan sosial ekonomi. Pernikahan dini di jaman sekarang juga disebabkan oleh hubungan seks di luar pernikahan yang memaksa pasangan muda untuk menikah. Akibat pernikahan di usia muda, banyak anak perempuan harus putus sekolah. Tingkat pendidikan di kedua desa secara umum cukup rendah, yaitu penduduk rata-rata merupakan lulusan SD dan SMP. Namun, kedua desa bukan wilayah pengiriman TKI, karena terdapat banyak kesempatan kerja di industri untuk lulusan SLTP. Tingkat kasus kekerasan di kedua desa juga tidak parah, namun perlu kajian yang lebih mendalam untuk membuka kasus yang mungkin tersembunyi. 132 | Prosiding PKWG Seminar Series