KAJIAN PENGARUH PERUBAHAN SISTEM SOSIAL TERHADAP WUJUD PERUPAAN KARYA I DEWA PUTU MOKOH DI UBUD PENDAHULUAN A. Latar Belakang Modus representasi seni rupa di Bali berubah sejajar dengan transformasi mendalam dari pengetahuan teknis ataupun teoritis, dan sejajar pula dengan perubahan sistim sosial masyarakat Bali akibat evolusi fisik serta evolusi sistim tata nilai. Nyatanya dalam waktu satu abad seni lukis seni lukis di Bali bergerak mulai dari etnik, klasik, tradisional berubah menjadi seni lukis yang variatif, heterogen, individu dengan sentuhan modern. Gelombang-gelombang perubahan terjadi dalam rentang waktu lama melalui beberapa tahap, dan paling mencolok terjadi akibat bergulirnya ekonomi serta budaya kapitalistis khususnya pariwisata yang menyebangkan seni lukis tradisi kurang mendapat minat dari masyarakat modern. Cepat atau lambat seni lukistradisional Bali akan terkikis dan tergantikan oleh sesuatu yang baru, yang hampir dapat dipastikan akan sangat merugikan bagi pelestarian. Dengan hilangnya kesenian tradisi khususnya seni lukis yang berbasiskan ketempilan turun-temurun akan mengakibatkan putusnya proses transfer keahlian pada generasi berikutnya. Sehubungan dengan hal tersebut berarti hilangnya kemungkinan pengembangan dibidang perupaan dan teknologi tradisi yang pernah kita miliki. Namun dalam situasi yang demikian, ternyata kreativitas seni lukis tradisional pedesaan masih dapat bertahan dan cukup menggembirakan. Hal itu terbukti beberapa seniman pelukis trasisional Bali pewaris kebesaran Pita Maha masih eksis berkarya. Salah satunya adalah I Dewa putu Mokoh dari Desa Pengosekan, Mas, Ubud, Gianyar. Karya seni lukisnya sangat menarik perhatian karena ”nafas baru” berupa pengembangan teknik dan pendekatan tema yang lebih modern. Bahkan dalam buku Pengantar Koleksi Lukisan Museum Neka, dikelompokan sebagai pelukis Bali yang unik (Neka, 1985: 12). 1 Talenta I Dewa putu Mokoh terutama pada visual yang humorik, membangkitkan pada orang perasaan yang menggelikan. Representasi objek yang ditampilkan memiliki propporsi yang terkadang jauh dari anatomi plastis. Begitu juga ekspresi seni lukis yang menggambarkan seksualitas sebagai medianya lebih cendrung untuk melakukan pengembangan tiada batas dalam rangka mencapai ruang-ruang pengucapan dengan cara berkelakar. Cara berkelakar dengan penapilan seksualitas sebagai ungkapan potret sosial manusia sangat menggelitik. I Dewa Putu Mokoh adalah sosok yang humoris, hal itu juga nampak pada lukisannya yang humor dengan narasi pribadi yang polos tentang dunia sekitarnya. Karyanya juga merupakan peralihan dari fase mistis ketika karya seni lukis masih menjadi media kolektif atau religius dengan wayang sebagai bahasa satu-satunya ke narasi pribadi. Identitas tradisi masih bisa terlacak yaitu pada ciri khasnya yakni dasar grafis dengan pola-pola ikonik tetap, penggunaan warna tidak bebas karena terbatas pada bidang-bidang kontur, simetris, dan sejajar unsur-unsur grafis. Karyanya seperti berada di tengah suatu kesadaran glabal dengan membangun identitas lokal yang baru sebagai bagian intrinsik dari dunia Bali tanpa dikotomi. Proses dan cara baru itu ditemukan dalam kerangka tetap mengembangkan serta mempertahankan seni lukis tradisiBali dari kepunahan. Salah satu usahanya adalah dengan mengembangkan teknik-teknik baru dan konsep berkarya yang baru. Untuk itu harus mengandalkan apa yang selama ini menjadi ciri kuat tradisi yaitu garis. Pengembangan seni tradisional oleh I Dewa Putu Mokoh melalui inovasi tidak diartikan sebagai keterputusan (repture) atau diskontinuitas dari konteks lokal, akan tetapi sebaliknya, menghargai kembali nilai lokal (pastiche), tidak dengan jalan mengkonservasinya secara kaku, tetapi melakukan proses reinterpretasi dan rekontekstualisasi. Pengembangan yang dilakukan untuk menghasilkan keunggulan lokal, telah berjalan dengan berbagai strategi: 1) reinterpretasi (reinterpretation) dalam konteks masa kini, 2) pelintasan esterik (transestheics), 3) dialogisme budaya (cultural dialogism), 4) keterbukaan kritis 2 (critical openness), 5) diferensiasi pengetahuan lokal (knowledge diferentiation), dan 6) gaya hidup (life style). Dari paparan tersebut di atas, jelas penelitian ini sangat penting untuk dilaksanakan dan mendesak sifatnya, untuk menemukan jatidiri, sehingga dapat dikembangkan identitas seni rupa Indonesia di masa depan. Penelitian yang menyangkut seni tradisi sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa yang keberadaaanya sudah terdesak sangat penting diupayakan sebagai suatu tindakan untuk mendukumentasikan seni tradisi untuk kepentingan masa depan. Desain penelitian ini akan mengkaji perubahan sistem sosial terhadap wujud perupaan karya I Dewa Putu Mokoh di Ubud B. Rumusan Masalah 1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan perubahan wujud perupaan karya I Dewa Putu Mokoh. 2. Sejauh mana perubahan sistim sosial merubah perupaan hasil karya I Sewa Putu Mokoh. C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui daya kreativitas seniman I Dewa Putu Mokoh dari segi konsep pemikiran-pemikiran yang membawa perubahan baru dalam seni lukis tradisi Bali baik pengembangan teknik, tema dan kontinuitas dalam berkarya. 2. Untuk mendapat informasi-informasi deskritif baik internal dan eksternal karya dari I Dewa putu Mokoh. 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebudayaan pada suatu waktu akan berubah. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab terjadinya perubahan kebudayaan. Pertama, adalah terjadinya perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Kedua, terjadinya kontak dengan bangsa lain yang mungkin menyebabkan diterimanya kebudayaan asing sehingga terjadilah perubahan dalam nilai-nilai dan tata kelakukan yang ada. Kemampuan berubah merupakan sifat penting dalam kebudayaan manusia (Haviland, 1988: 251). Kebudayaan masing-masing etnis berbeda-beda sesuai dengan sifat kebudayaan itu sendiri. Karena itu, perubahannya pun menjadi berbeda-beda. Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi proses perubahan di dalam kebudayaan tertentu mencakup sampai seberapa jauh sebuah kebudayaan mendukung dan menyetujui adanya fleksibilitas, kebutuhan-kebutuhan kebudayaan itu sendiri pada waktu tertentu, dan yang terpenting adalah tingkat kecocokan di antara unsur-unsur baru dan matriks kebudayaan yang ada. Perubahan kebudayaan dapat berjalan secara lamban, agak lama, dan cepat. Dalam rangkaian kesatuan pertumbuhan budaya, unsur-unsur lama dan baru tumpang tindih, bercampur baur, atau kadang-kadang hadir berdampingan. Angka-angka tahun hanyalah merupakan pembagi perkiraan yang menandai adanya perkenalan ide-ide atau teknik-teknik baru, tanpa perlu dijelaskan tentang lenyapnya kepercayaan-kepercayaan serta kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Untuk itu perlu adanya pembaharuan sudut pandang dalam mengamati seni lukis di Bali. Tentang Tradisi Tradisi didefinisikan sebagai bentuk karya, gaya, konvensi atau kepercayaan yang dipresentasikan sebagai kelanjutan dari masa lalu ke masa kini. Tradisi, dengan demikian merupakan sesuatu yang tidak pernah berubah, dan dijalankan sebagai sebuah pengulangan-pengulangan (repetition). Tradisi adalah „repetisi‟ dan „reproduksi‟. Tradisi dilanjutkan dari satu generasi ke generasi berikutnya 4 sebagai sebuah pengetahuan (knowledge) dan kebenaran (truth), yang tidak perlu dipertanyakan atau direinterpretasikan (reinterpretation). Inilah pengertian konvensional tradisi. Dalam pengertiannya yang konvensional itu, penggabungan istilah tradisi dan perubahan (change) – seperti perubahan atau pengembangan tradisi – menghasilkan sebuah kontradiksi semantik. Bahwa, tradisi adalah reproduksi atau kelanjutan masa lalu, dan ia akan kehilangan sifat tradisi bila ia dirubah. Perubahan dianggap sebagai musuh tradisi, yang mengancam keaslian, otentisitas dan keberlanjutannya. Begitu juga penggabungan istilah tradisi dan pengembangan, karena bila tradisi dikembangkan, maka tentunya ia tidak tradisi lagi. Akan tetapi, banyak yang melihat bahwa pemahaman konvensional seperti itu tidak sepenuhnya benar, oleh karena dalam perjalanan waktu selalu saja ada interpretasi dan reinterpretasi (reinterpretation) terhadap tradisi, dan ia tetap saja disebut tradisi. “Masa yang akan datang diperlukan cara berpikir dan sikap pandang baru yang melihat seni tradisi dan modern sebagai suatu rangkaian kesatuan atau kontinuum (continuum). Memasuki milinea ketiga batas pemisah antara kesenian tradisi dengan yang modern akan semakin tidak jelas (kabur). Akibat proses globalisasi, interaksi budaya (termasuk seni lukis), baik antar bangsa (intercultural) maupun antar suku bangsa (intra-cultural), menjadi semakin akrab sehingga perbedaan-perbedaan kesenian semakin kabur disebabkan oleh proses interaksi, adaptasi, adopsi, dan bahkan oleh “perkawinan” berbagai unsur seni budaya. Dalam konteks berikutnya Bali tidak mungkin tetap bertahan sebagai mana Bali pada awalnya, karena pengaruh yang dibawa oleh para wisatawan dan juga pendatang lainnya. Para wisatawan tentunya membawa budaya yang mereka miliki, yang juga belum tentu sesuai dengan budaya Bali. Wisatawan cenderung membawa budaya modern dan Bali kental dengan budaya tradisinya. Pengaruh yang membawa perubahan bisa terjadi di semua sektor kehidupan termasuk dalam bidang seni lukis. 5 Tidak sedikit para peneliti baik dalam maupun dari luar negeri telah meneliti keberadaan seni lukis di Bali. Merujuk pendapat Stutterheim dalam Claire Holt (1967), membagi seni Bali kuna menjadi tiga periode, yaitu 1) perode Bali Hindu, dari abad VIII sampai abad X , “yang selama itu meminjam pengaruh langsung dari India (Bhuddhisme), atau pengaruh dari Jawa atau keduanya, seni pahat yang benar-benar berkarakter India dicipta”, 2) masa Bali Kuna, abad X sampai abad XIII. “ yang pasti pengaruh-pengaruh India diadaptasi serta digabungkan dalam sebuah seni yang dengan jelas menjadi Bali dan dengan tidak terelakan lebih primitif pada awalnya dari seni periode yang mendahului, 3) periode Bali Tengah, berkembang selama abad XIII dan XIV, membentuk sebuah transisi ke seni Bali modern (Holt, 2000: 244). Serupa apa yang dicatat Jean Couteau seni rupa prakolonial Bali adalah warisan dari tatanan ideoreligius budaya agraris Hindu-Budha yang berkembang di Bali sejak paling sedikit abad X, ketika didirikannya kerajaan-kerajaan “terIndia-kan” yang pertama. Ragam budaya Bali pra-penjajahan merupakan pembauran antara unsur pribumi lokal dengan aneka unsur Indo-Jawa yang terutama masuk menyusul invansi Majapahit tahun 1343. Seni lukis yang dikenal pada waktu itu didominasi oleh genre “wayang”, yaitu merupakan ilustrasi naratif baik cerita maupun ikonografinya diturunkan langsung dari kesenian wayang (Couteau, 2002: 106) . Seni lukis seni lukis wayang klasik Bali (Kamasan) merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sudah dan sedang berada dalam proses perubahan akibat interaksi yang intensif dengan berbagai ragam kesenian bangsa lain, sehingga bentuk seni lukis tersebut menjadi interkulturalisme. Seni lukis Kamasan sejak awal pertumbuhannya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kesenian bangsa lain. Anasir-anasir ekspresi budaya bangsa lain telah berpengaruh pada seni lukis Kamasan juga tidak terlepas dari perjalanan seni lukis Indonesia. Begitu juga peran Rudolf Bonnet dan Walter Spiese yang datang ke Bali. R. Bonnet dan W. Spiese adalah seniman asing yang menaruh perhatian sangat besar terhadap kesenirupaan di Bali. Mereka membentuk perkumpulan yang melibatkan seniman, masyarakat, pemuka desa, dan budayawan melalui pendekatan dan 6 musyawarah dengan berbagai kalangan terutama pihak penguasa Puri Ubud, akhirnya perkumpulan terbentuk pada tahun 1930-an dengan nama “Pita Maha” (Kusnadi, 1990-1991: 255). “Pita” artinya luhur dan “Maha” artinya agung, jadi ”Pita Maha” berarti ikatan seniman yang luhur dan agung. Maksud dan tujuannya adalah untuk memajukan dan mengembangkan nilai-nilai luhur hasil karya seni dan mengangkat kesejahtraan para senimannya. “Pita Maha” menjadi wadah para seniman Bali untuk mengembangkan kreativitasnya. Perpaduan estetika modern Barat dengan estetika klasik Bali yang berlandaskan ajaran agama Hindu. Estetika modern yang dibawa oleh seniman Barat R. Bonnet dan W. Speis mengakumulasi konsep dan fungsi karya seni religius ke ruang profan yang bermuara pada perluasan tema dari pewayangan menjadi objek sehari-hari, mengenalkan semangat individu serta mengenalkan nilai komersial. Dinamika kebudayaan ini melahirkan lukisan-lukisan gendre yang menunjukan eksistensi seni lukis baru seperti gaya Ubud, Batuan, Young Artist, Keliki, Sanur dan yang lainnya. Pada era pemerintahan orde baru tahun 1966, dengan kebijakan program pembangunan dalam berbagai sektor, khususnya kebijakan program pemerintah, Bali dicanangkan sebagai daerah pariwisata di kawasan Indonesia bagian timur. Sejalan dengan program tersebut pemiliki modal mulai menanamkan modalnya di Bali untuk mendukung pembangunan sektor praiwisata dengan munculnya art shop dan gallery untuk menampung hasil kreativitas para seniman. Interkulturalisme seni lukis di Bali yang ditandai oleh interaksi yang demikian intensif dengan berbagai pengaruh kemudian dipadukan dengan konsep seni lukis etnis Bali. Ini merupakan wacana interkulturalisme dalam dunia kesenian, dari etnik dengan tradisi baru yaitu wilayah yang menyimpan berbagai rekaman „persetubuhan‟ antara seni etnik dengan berbagai pengaruh seni lainnya. Istilah interkultural, menunjukan bahwa ia mengandung lebih dari dua budaya yang saling bersentuhan dan adanya proses interaksi. Interkulturalisme merupakan persoalan keberagaman dan silang budaya antar kelompok budaya dalam dimensi waktu yang bergerak ke masa lampau dan masa depan. 7 Tentang Perubahan Sistim Sosial Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang lebih memusatkan perhatian pada unsur-unsur atau gejala khusus dalam masyarakat manusia, dengan menganalisa kelompok-kelompok sosial yang khusus (social groupings), hubungan antara kelompok-kelompok atau individu-individu (social relations) atau proses-proses yang terdapat dalam kehidupan suatu Masyarakat (social processes) (Soejono, 2004: 9). Jadi siologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi social dan hasil-hasilnya yaitu organisasi social dengan mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahanperubahan social. Kebudayaan sebagai sebuah learning process, maka kesenian/seni sebagai bagian dari kebudayaan tentu juga akan berkembang sejalan dengan makin meningkatnya intelektual manuasia. Segala prilaku manusia yang berakar dari cipta, rasa dan karsaakan mengalami perkembangan seiring perjalanan waktu. Seniman dalam proses penciptaan seni tidak terlepas dari unsur-unsur di luar dirinya. Unsur luar (ekstern) yang diterima akan menjadi suatu pengalaman tertentu yang dapat mengendap dalam alam kesadaran. Sedangkan hal-hal yang dapat menimbulkan perasaan indah disebut dengan pengalaman estetis. Penciptaan suatu karya seni kerap muncul sebagai luapan endapan pengalaman estetis seseorang . Pengendapan perasaan estetik itu sendiri sudah bias berjalan sangat lama atau baru daslam itungan detik yang telah lalu. Pengalaman estetik timbul akibat reaksi positif terhadap penanggapan lingkungan disekitar yang dapat memunculkan perasaan indah. Pengalaman estetik sering tersimpan dalam alam pikiran bawah sadar manusia. Tidak seperti halnya dalam mengingat angka-angka yang sifatnya lebih spontan. Kumpulan-kumpulan itu akan bergerak (keatas) dengan sendirinya apabila terjadi suatu penangkapan perasaan yang mendalam terhadap konteks yang sama pada suatu ketika. Dalam situasi atau konteks tertentu, jiwa dapat bergerak terpanggil untuk mengekpresikan endapan tersebut ke dalam wujud vusual. Dengan demikian terciptanya suatu karya seni akibat munculnya suatu 8 stimulant yang dapat menggugah perasaan seseorang untuk mengekpresikan pengalaman yang dimilikinya. Dalam kehidupan serba plural sekarang ini, ada semacam kecendrungan pergeseran tatanan nilai-nilai tertentu dalam masyarakat. Hal itu tidak terlepas dari badai modernisme yang melanda. Tidak jarang ada perasaan keterasingan terhadap kebudayaan sendiri termasuk dalam kehidupan berkesenian. Dalam keadaan inilah sering timbul pandangan yang justeru tradisional, dimana seni dianggap digeluti dan diapresiasi hanya segelintyir orang saja. Sering kali para artis dianggap berasil kalau mereka secara kreatif berhasil menghentikan konfensi-konfensi yang ada dengan, dengan menghasilkan kreasikreasi baru yang berbeda dengan kreasi-kreasi sebelumnya. Kreativitas mereka diperoleh dari masyarakat dan hanya berkembang didalam konteks social budaya tertentu. Melalui karya seni, para artis mengekpresikan pandanagan hidup, nilainilai dan pelbagai kekayaan batin yang terdapt dalam lingkungan masyarakat mereka. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi mengapa dan bagaimana orang itu mencipta, atau bagaimana karya seni itu diciptakan. Ada pun aspek-aspek tersebut diantaranya: 1. Inner Aspect (aspek dalam), yang terkadang disebut dengan mental aspect atau mental template berupa: a. Motivation (dorongan), merupakan keinginan yang kuat yang tumbuh dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu. b. Stimulan (rangsangan), factor ini terkadang bersifat memaksa mengapa orang harus melakukan sesuatu dan terkadang sangat erat dengan pemenuhan kebutuhan pokok termasuk sering terjadi dalam dunia penciptaan seni sekalipun. c. Transformation and interprertation (perubahan bentuk dan interpretasi), ini mesti dipahami dalam sebuah kritik atau apresiasi seni bahwa sesungguhnya karya seni yang tercipta adalah merupakan perubahan bentuk bentuk atau transformasi dari ide, 9 ilham atau tidak jarang darikarya seni sebelumnya yang dijadikan acuan. 2. Other Aspect (aspek luar) yang terkdang disebut physical aspect, atau physical template berupa: a. Uses (kegunaa), factor ini lebih bersifat material, realistis, kenyataan, karena katrya seni yang diciptakan atau dalam menganalisa karya seni pandangan lebih mengarah pada kegunaa secara konvensional. Uses adalah nilai partikel pada suatu karya. b. Function (fungsi), mempunyai sifat sedikit berbeda , factor ini lebih merujuk pada suatu arti, meaning, nilai simbolik. 3. Other Parameter (factor lain) berupa: a. Climate (suasana), seperti suasana sedih, gembira, tertekan, ketegangan dan sebagainya. Dapat mempengaruhi karakter penciptaan seni atau karya seni. b. Seasons (perubahan musim), terutama daerah-daerah yang memiliki banyak musim setiap pengantian musim dapat mengubah pola hidup yang berdapat pula pada tingkah laku dan hasil ciptaanya, misalnya pesta musim panas akanakan menampilkan karya seni atau fashion yang berbeda dengan musim semi. c. Other Elements (penggunaan material lain), hal ini sering mengundang wacana bila material pengganrti yang digunakan tidak memenuhi syarat akan dianggap suatu yang bersifat fenomenologis. Interkulturalisme dan multikulturalisme Istilah interkulturalisme lebih disenangi daripada transkulturalisme dan multi-kulturalisme, seperti yang diungkapkan (Nieto, 1992: 48). Istilah ini kelihatannya tepat dalam usaha mencapai pertukaran dialektis antar budaya. Istilah ini tidak dengan sendirinya menunjukan bahwa ia mengandung dua budaya yang saling bersentuhan di dalamnya, tetapi ia dapat memiliki lebih dua budaya berbeda yang berinteraksi, merangsang dan menjawab pertanyaan seseorang 10 terhadap orang lain. Istilah ini akan berguna dalam melihat "benturan-benturan" budaya yang telah memegang peranan penting selama beratus-ratus tahun. Sementara istilah trans-kulturalisme dan multikulturalisme tanpak tidak menunjukan proses dialektika secara lebih jelas. Kedua istilah ini dapat menjangkau di luar lingkupnya, namun istilah ini tidak dapat menampilkan suatu percampuran "ramuan-ramuan" budaya yang berbeda. Interkulturalisme merupakan persoalan keberagaman dan silang budaya yang dihadapi setiap komunitas dan mencegat kesadaran masyarakat terbuka. Istilah ini merujuk pada proses kerjasama, interaksi dan persilangan antar kelompok budaya. Silang budaya memperoleh dimensinya yang baru berkenaan dengan persentuhan intensif antar kebudayaan baik karena proses globalisasi maupun revolusi media. Persentuhan antar budaya, tidak saja melampaui batasbatas geografis, tetapi juga bersilangan dalam dimensi waktu yaitu bergerak ke masa lampau dan masa depan. Pemadatan ruang dan waktu dalam proses silang budaya, membongkar kelaziman transmisi nilai yang biasanya diwariskan dari generasi ke generasi (Rahzen, 1999: viii). Rustom Barrucha menegaskan bahwa interkulturalisme bukanlah otonom. Bukan juga sebuah permainan yang adil, sejauh ini pada prakteknya dimungkinkan lewat pertukaran dengan dasar yang tidak adil. Sampai hari ini interkulturalisme berlanjut untuk dijadikan teori, retorika, konsep, kerangka, peta, dan dana, hampir di seluruh lokasi dunia pertama (Barrucha, 1999: 14). Untuk istilah multikulturalisme ada yang memahaminya sebagai penekanan terhadap ras, mengacu pada keanekaragaman yang menunjukan keharmonisannya, namun mengabaikan masalah bahasa dan budaya (Bagus, 2001: 9-11). Akibatnya justru akan menimbulkan konflik seperti Indonesia saat ini. Untuk itu konsep inter-kulturalisme harus dimaknai sebagai sesuatu yang tidak diartikan semata-mata sebagai pluralisme antara ras, melainkan juga seperti reaksi yang meliputi budaya, bahasa ditinjau secara lebih rinci terutama yang berkaitan dengan munculnya kekuatan dominasi antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Jadi arah yang dikemukakan I Gusti Ngurah Bagus merupakan keseimbangan antara kepentingan etnik tertentu dengan etnik yang lain yang saling berinteraksi. 11 Wacana multikulturalisme masih relatif baru. Australia dan Kanada merupakan dua negara penting selama dua dekade terakhir ini secara sistematik dan komprehensif menerapkan pendekatan multikulturalisme melalui berbagai hal berkaitan dengan pendidikan, bahasa, ekonomi dan komponen-komponen sosial serta mekanisme institusional (Hartiningsih, 2001: 34). Proses interkulturalisme bukan membunuh kebudayaan etnik, tetapi mencoba memadukan kebudayaan etnik dengan etnik yang lain sehingga menciptakan sesuatu yang nampak baru dan dapat dinikmati oleh seluruh etnik yang mendukungnya. Kebudayaan etnik tetap hidup dan berkembang sesuai dengan fungsinya. Penciptaan sesuatu yang baru justru akan menambah kekayaan jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Di sini perubahan itu akan terlihat. Landasan Teori 1. Teori Evolusi Pada garis besarnya teori evolusi menggambarkan perkembangan masyarakat sebagai berikut: pertama, menggangap perubahan sosial merupakan gerakan searah seperti garis lurus, dengan kata lain masa depan masyarakat dunia sudah jelas dan dapat diramalan yakni pada suatu ketika kelak dalam masa peralihan yang relatif panjang, dunia akan menjadi maju. Kedua, teori evolusi membaurkan antara pandang-an subjektifnya tentang nilai dan tujuan akhir perubahan social. Perubahan masya-rakat modern, merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, oleh masyarakat modern merupakan bentuk masyarakat yang dicita-citakan, yang mengandung semua unsur yang disebut dengan baik dan sempurna didalamnya terdapat apa yang oleh teori evolusi juga beranggapan, bahwa perubahan social berjalan secara perlahan dan bertahap (Suwarsono, dkk. 1994: 10). Teori Evolusi dalam penulisan ini mencermati pergerakan dari perkembangan seni lukis klasik di Bali, dari seni etnik (wong-wongan) mendapat interkultural dari Jawa (Majahpait) menjadi seni lukis klasik wayang Kamasan, bergerak kemasa kolonial dan sekarang dalam pengaruh pariwisata melahirkan berbagai seni lukis “gendre”. Ini menunjukan evolusi dari etnik menjadi klasik, 12 tradisi, modern bakkan post modern. Perubahan bukan saja dalam hal bentuk tapi juga fungsi dan makna ikut bergeser seiring evolusi yang dialaminya. 2. Teori Konflik Konflik pada hakikatnya merupakan gejala sosial yang melekat dalam kehidup-an setiap masyarakat yang dipengaruhi oleh power, order, inteest, dominasi serta hegemoni. Konflik dalam masyarakat senantiasa memiliki derajat dan polanya masing-masing yang disebabkan oleh tiga sumber, yaitu 1) perebutan sumber daya, alat-alat produksi dan kesempatan kerja, 2) perluasaan batas-batas sosial budaya dan identitas sosial dan kepentingan politik, 3) benturan kepentingan politik, ideologi dan agama (Pitana, 2004: 21-22). Pada posisi itulah konflik para seniman di Bali dalam menyerap ide-ide modern yang dibawa oleh wisatawan (made to order), dimana sebelumnya seniman terbiasa mengerjakan seni lukis bergaya klasik/tradisi dihadapkan dengan permintaan terhadap karya yang bernapaskan touristic sehingga menimbulkan konflik ide dalam pengungkapan wujud/format seni lukis. 3. Teori Modernisasi Modernisasi diartikan sebagai proses trasformasi. Dalam rangka mencapai status modern, struktur dan nilai-nilai tradisional secara total harus diganti dengan seperangkat struktur dan nilai-nilai modern. Untuk hal ini Hungtington seperti yang dikutip Suarsono dkk. menyatakan bahwa teori modernisasi melihat modern dan tradisional sebagai dua konsep yang pada dasarnya bertentangan. Dalam hal ini teori modernisasi menguraikan secara rinci apa yang menjadi karakteristik masyarakat modern, sementara ciri-ciri masyarakat tradisional terlupakan untuk dibahas. Dengan mendasarkan diri pada perumusan kerangka teori dan metode pengkajiannya, teori modernisasi mampu menurunkan berbagai implikasi kebijaksanaan pembangunan yang perlu diikuti oleh negara ketiga dalam usaha memodernisasikan dirinya (Pitana, 2004: 23-24 ). Dengan menggunakan teori ini dapat dicermati perubahan keindahan seni lukis di Bali dari etnik yang bergerak ke keindahan modern. Seni modern adalah 13 seni yang selalu menunjukkan realitas baru tidak terbatas oleh corak dan gaya tertentu, melainkan ungkapan dan sikap bathin penciptanya yang berlandaskan pada semangat eksplorasi, dilengkapi dengan bingkai referensi berupa informasi estetika barat. DAFTAR PUSTAKA Bagus, I Gusti Ngurah. (2001), "Reformasi, Multikulturalisme, dan Masalah Politik Bahasa di Indonesia", Makalah Seminar di Program Studi S2 dan S3 Kajian Linguistik Universitas Udayana Denpasar-Bali pada tanggal 25 Mei 2001. Barrucha, Rustom. 1998/1999. “Interkulturalisme dan Multikulturalisme di Era Globalisasi: Diskriminasi, Ketidakpuasan, dan Dialog”. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Th. IX: Bandung: MSPI. Couteau, Jean. (2002), Wacana Seni Rupa Bali Modren, dalam Paradigma Pasar Aspek-Aspek Seni Visual Indoneisa, Yogyakarta, Yayasan Cemeti. Hartiningsih, Maria. (200), "Asimilasionisme vs Multikulturalisme", Jakarta, Kompas, Rabu 14 Maret 2001. Haviland, William A. (1988), Antropologi. Jilid I dan II (Terjemahan R.G. Sukardjito), Jakarta, Erlangga. Holt, Claire. (2000), Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia (Terjemahan R.M. Soedarsono), Bandung, Arti Line untuk MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indoneia). Kusnadi. (1990-1991), “Seni Rupa Indonesia di Masa Perintisan”, dalam Perjalanan Seni Rupa Indonesia dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini, Panitia Pameran KIAS. Neka, Suteja. (1985), Pengantar Museum Neka, Ubud, Yayasan Yudistira 14 Nieto, Sonia. (1992), Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multicultural Education, New York, Longman. Pitana, I Gede. (1994) Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, Denpasar, Bali Post Rahzen, Taufik. (1998/1999), “Keragaman dan Silang Budaya: Mencari Beberapa Agenda” dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Th. IX, Bandung, MSPI. Suwarsono, Alvin Y.So, Tugiman, Srinatih (1994), Perubahan Sosial dan Pembangunan, Jakarta, Pustaka LP3ES. Soejono, Soekanto. 2004, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Latar Belakang Salah satu fenomena yang paling menarik pada peta dunia seni rupa Bali adalah berdatangan para pelukis ‟luar‟ baik dari daerah-daerah Indonesia bahkan dari mancanegara dengan culture memori-nya yang beragam. Mereka menjadikan Bali sebagai tempat persinggahan, sumber inspirasi, tempat bermukim serta menguasai pasaran, sehingga seniman lukis tradisional Bali makin terpinggirkan. Tema pewayangan dengan makna simbolis religius yang padat itu terasa asing, dan konsep ruang seni lukis tradisional Bali yang penuh berisi ikon-ikon sulitdinikmati pasar modern. Kondisi produksipun tidak menguntungkan karena 15 perlu berbulan-bulan membuat satu karya dengan teknik sigar mangsi dari lapislapis tinta cina dan warna yang berulang-ulang dibandingkan dengan lukisan modern. Cepat atau lambat seni lukistradisional Bali akan terkikis dan tergantikan oleh sesuatu yang baru, yang hampir dapat dipastikan akan sangat merugikan bagi pelestarian. Dengan hilangnya kesenian tradisi khususnya seni lukis yang berbasiskan ketempilan turun-temurun akan mengakibatkan putusnya proses transfer keahlian pada generasi berikutnya. Sehubungan dengan hal tersebut berarti hilangnya kemungkinan pengembangan dibidang perupaan dan teknologi tradisi yang pernah kita miliki. Namun dalam situasi yang demikian, ternyata kreativitas seni lukis tradisional pedesaan masih dapat bertahan dan cukup menggembirakan. Hal itu terbukti beberapa seniman pelukis trasisional Bali pewaris kebesaran Pita Maha masih eksis berkarya. Salah satunya adalah I Dewa putu Mokohdari Desa Pengosekan, Mas, Ubud, Gianyar. Karya seni lukisnya sangat menarik perhatian karena ”nafas baru” berupa pengembangan teknik dan pendekatan tema yang lebih modern. Bahkan dalam buku Pengantar Koleksi Lukisan Museum Neka, dikelompokan sebagai pelukis Bali yang unik (Neka, 1985: 12). Begitu juga karyanya sering dipakai ilustrasi buku seperti The 100 th Anniversary at Puri Besakih oleh Victor Mason, dan Silih Bali Tale of Bali yang ditulis oleh Scrob. Talenta I Dewa putu Mokoh terutama pada visual yang humorik, membangkitkan pada orang perasaan yang menggelikan. Representasi objek yang ditampilkan memiliki propporsi yang terkadang jauh dari anatomiplastis. Begitu juga ekspresi seni lukis yang menggambarkan seksualitas sebagai medianya lebih cendrung untuk melakukan pengembangan tiada batas udalam rangka mencapai ruang-ruang pengucapan dengan cara berkelakar. Cara berkelakar dengan penapilan seksualitas sebagai ungkapan potret sosial manusia sangat menggelitik. Anatomi yang tidak plastis nampaknya memang janggal bahwa salah satu katagori keindahan adalah ketidak beraturan (kejelekan). Hal yang jelek kontraktiktif terhadap hal yang indah, namun tidak berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri 16 yang membuat suatu benda disebut indah karena dapat dapat membangkitkan suatu emosi humorik. I Dewa Putu Mokoh adalah sosok yang humoris, hal itu juga nampak pada lukisannya yang humor dengan narasi pribadi yang polos tentang dunia sekitarnya. Karyanya juga merupakan peralihan dari fase mistis ketika karya seni lukis masih menjadi media kolektif atau religius dengan wayang sebagai bahasa satu-satunya ke narasi pribadi. Identitas tradisi masih bisa terlacak yaitu pada ciri khasnya yakni dasar grafis dengan pola-pola ikonik tetap, penggunaan warna tidak bebas karena terbatas pada bidang-bidang kontur, , simetris, dan sejajar unsur-unsur grafis. Karyanya seperti berada di tengah suatu kesadaran glabal dengan membangun identitas lokal yang baru sebagai bagian intrinsik dari dunia Bali tanpa dikotomi. Proses dan cara baru itu ditemukan dalam kerangka tetap mengembangkan serta mempertahankan seni lukis tradisiBali dari kepunahan. Salah satu usahanya adalah dengan mengembangkan teknik-teknik baru dan konsep berkarya yang baru. Untuk itu harus mengandalkan apa yang selama ini menjadi ciri kuat tradisi yaitu garis. Dari paparan tersebut di atas, jelas penelitian ini sangat penting untuk dilaksanakan dan mendesak sifatnya, untuk menemukan jatidiri, sehingga dapat dikembangkan identitas seni rupa Indonesia di masa depan. Penelitian yang menyangkut seni tradisi sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa yang keberadaaanya sudah terdesak sangat penting diupayakan sebagai suatu tindakan untuk mendukumentasikan seni tradisi untuk kepentingan masa depan. Desain penelitian ini akan mengkaji perubahan sistem sosial terhadap wujud perupaan karya I Dewa Putu Mokoh di ubud 17