BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LatarBelakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181
km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi
iklim dan substrat yang menunjang, memungkinkan bagi vegetasi mangrove untuk
tumbuh dan berkembang. Wilayah Asia Tenggara mendominasi persebaran mangrove
dunia yaitu sebesar 75%, dan sekitar 27% luas mangrove dunia berada di Indonesia
dengan keanekaragaman tertinggi. Berdasarkan data terbaru dari Badan Informasi
Geospasial, luas hutan mangrove di Indonesia hanya 3,2 juta hektar (Anonim, 2012).
Ekosistem hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks dengan
interaksi antar komponen biotik dan antara komponen biotik dengan abiotik. Interaksi
tersebut membentuk suatu kondisi lingkungan yang sesuai dengan komponen
penyusun ekosistem. Masing-masing komponen saling mempengaruhi terhadap
komponen yang lain. Interaksi antar komponen biotik dan antara komponen biotik
dengan abiotik terjadi secara langsung maupun tidak langsung sehingga membentuk
kondisi lingkungan yang kompleks dan rumit.
Perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan
peningkatan jumlah penduduk yang mengakibatkan kenaikan kebutuhan hidup, hutan
mangrove tidak lepas dari ancaman perusakan yang bersifat antropogenik. Tidak
sedikit kawasan mangrove yang sudah mengalami kerusakan dengan berbagai
1
2
tingkatan. Banyak kawasan mangrove yang sudah berubah fungsi seperti menjadi
tambak, lahan pertanian, sampai pemukiman warga. Kerusakan ekosistem mangrove
dapat dirasakan akibatnya antara lain abrasi yang meningkat, gelombang pasang yang
menerjang kawasan pesisir, banjir rob, sampai terjadinya intrusi air laut yang
mengganggu suplai air bersih bagi masyarakat pesisir.
Dampak yang dirasakan di kawasan pesisir akibat kerusakan ekosistem
mangrove antara lain menurunnya ketersediaan benih alami, stok perikanan,
menurunnya kualitas air laut sebagai media budidaya tambak atau laut, dan
menurunnya hasil tangkapan nelayan setempat (Saparinto, 2007). Kegiatan yang
dirasa berperan penting dalam proses degradasi ekosistem mangrove adalah illegal
logging. Kayu jenis mangrove memiliki kualitas tinggi dan memiliki nilai ekonomis
tinggi. Illegal logging dalam skala besar digunakan untuk keperluan kayu konstruksi,
pulp dan kegunaan lainnya.
Konversi lahan juga banyak terjadi di beberapa wilayah. Wilayah yang
strategis untuk budidaya tambak sangat mempengaruhi keberadaan mangrove itu
sendiri. Masyarakat hanya menilai dari segi ekonomis, tidak memperhatikan fungsi
ekologis terhadap mangrove. Dengan demikian, perluasan tambak menjadi pilihan
daripada mempertahankan keberadaan mangrove. Penyebab lain yang patut
dipertimbangkan adalah berkurangnya suplai air tawar ke kawasan mangrove yang
diakibatkan adanya
pembelokan aliran sungai. Pembelokan aliran sungai ini
memungkinkan dilakukan di daerah hulu sebagai pemenuhan kegiatan pertanian. Hal
3
tersebut berakibat berubahnya volume, waktu dan kualitas air yang masuk ke
kawasan mangrove. Aktivitas masyarakat dan penggunaan lahan di daerah hulu juga
berperan penting terhadap keberadaan ekosistem mangrove karena habitat mangrove
terbentuk dari suplai air tawar dari sungai yang mengalir dari hulu ke muara sungai.
Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) memiliki beberapa lokasi hutan
mangrove. Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem penting dalam
pengelolaan taman nasional terutama di TNAP. Hutan mangrove memiliki manfaat
yang sangat besar tidak hanya fungsi ekosistemnya sebagai salah satu pendukung
sistem penyangga kehidupan, tetapi juga memiliki fungsi konservasi keanekaragaman
jenis baik jenis mangrove itu sendiri dan juga jenis satwa yang hidup di dalamnya.
Kawasan mangrove TNAP yang terluas berada di sekitar Sungai Segara Anak, Seksi
Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Tegaldlimo, seluas ±866 Ha. Di
sekitar Teluk Pangpang, terdapat SPTN Wilayah II Muncar, seluas ±198 Ha. Selain di
kedua lokasi tersebut masih terdapat hutan mangrove di wilayah lain dengan luasan
lebih kecil daripada dua lokasi tersebut diantaranya ditemukan di Sungai Ombo,
Perpat, Slenggrong dan Buyukan. Masing-masing lokasi tersebut memiliki luasan
kurang dari 5 ha (Sulastini, 2011b).
Kawasan mangrove Teluk Pangpang memiliki sumberdaya yang tidak kalah
dengan sumberdaya yang terdapat di mangrove Segara Anak. Akan tetapi, data
mengenai potensi dan kondisi sumberdaya alam di Teluk Pangpang masih sangat
minim. Keterbatasan informasi mengenai kondisi ekosistem mangrove Teluk
4
Pangpang tentunya akan menghambat upaya konservasi yang akan diterapkan di
kawasan tersebut. Keistimewaan mangrove di Teluk Pangpang ini karena letaknya
yang berhadapan langsung dengan laut, kondisi
ini yang membedakan dengan
mangrove di Segara Anak. Mangrove Segara Anak terletak di muara sungai yang
lebih terlindung dari hempasan gelombang dari laut, sedangkan mangrove Teluk
Pangpang terhampar menghadap ke laut. Posisi tersebut akan mempengaruhi habitat
mangrove masing-masing lokasi. Habitat yang bersifat berbeda tentunya akan
memiliki jenis-jenis penyusun yang berbeda juga. Letak mangrove Teluk Pangpang
yang demikian merupakan habitat yang yang sesuai untuk komunitas mangrove.
Dengan demikian mangrove Teluk Pangpang juga membutuhkan perhatian yang lebih
jika dibandingkan dengan mangrove Segara Anak mengingat kondisi kawasannya
yang lebih memungkinkan untuk vegetasi mangrove. Keberadaan mangrove Teluk
Pangpang sangat penting karena jika dilihat dari fungsi fisiknya mangrove Teluk
Pangpang ini melindungi daratan dari gelombang air laut. Sebagai upaya pendukung
kelestarian dan mengoptimalkan fungsi kawasan tersebut maka dibutuhkan informasiinformasi tetang kawasan mangrove Teluk Pangpang yang lebih mendalam, baik
mengenai habitat dan informasi mengenai vegetasi mangrove yang ada di dalamnya.
Hasil identifikasi pada tahun 2001 di temukan 26 jenis vegetasi mangrove
yang sebagian besar didominasi oleh beberapa jenis seperti Rhizophora apiculata,
Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorhyza, Bruguiera sp., Avicennia marina,
Avicennia sp., Cordia bantamensis, Cordia sp., Xylocarpus granatum, Heritiera
littoralis, Sonneratia alba, dan Sonneratia caseolaris (Ariyanto, et al.,2011). Sedikit
5
dari mangrove di Indonesia bersifat endemik dan langka. Terdapat 14 jenis langka di
Indonesia dua jenis diantaranya terdapat di hutan mangrove TNAP yaitu Ceriops
decandra dan Scyphiphora hydrophyllacea. C.decandra secara global berstatus
langka, tetapi di TNAP jenis ini sangat mudah ditemukan di sepanjang Segara Anak.
Adapun jenis S. hydrophyllacea hanya ditemukan di zona darat bagian hulu Sungai
Segara Anak. Kedua jenis tersebut di atas termasuk umum setempat tetapi langka
secara global sehingga berstatus rentan dan memerlukan perhatian khusus untuk
pengelolaannya.
Formasi vegetasi mangrove di Teluk Pangpang tidak seperti di Segara Anak.
Di Teluk Pangpang ditemukan C. decandra dan S. hydrophyllacea dalam jumlah
sedikit dan langka karena hanya berada di lokasi tertentu. Di kawasan ini jenis yang
mendominasi adalah Ceriops tagal, R.apiculata, B. gymnorrhizadan R. mucronata.
Kawasan mangrove di Teluk Pangpang TNAP merupakan salah satu kawasan
mangrove alami yang masih terjaga keberadannya. Oleh karena itu, pengelolaannya
harus dioptimalkan. Sebagai salah satu bentuk ekosistem di kawasan TNAP yang
membutuhkan pengelolaan menuju kelestarian maka dibutuhkan informasi yang
mendalam mengenai kondisi ekosistem mangrove di Teluk Pangpang. Selama ini
penelitian sudah banyak dilakukan di kawasan mangrove Segara Anak. Di Teluk
Pangpang masih sangat minim data mengenai kondisi ekosistem mangrovenya.
Menurut Sulastini (2011a) mangrove di Teluk Pangpang akan dikembangkan menjadi
wisata alam mangrove melihat potensi kawasan yang sangat tinggi untuk dijadikan
sebagai objek wisata alam. Untuk menunjang program tersebut maka dibutuhkan data
6
yang lebih lengkap agar perencanaan pengembangan ekowisata dapat segera
terealisasikan.
Klasifikasi unit ekologis berguna untuk mengetahui kesamaan faktor
pengendali pertumbuhan mangrove pada suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Hal
ini akan memudahkan bagi pengelola mengetahui karakteristik habitat masing-masing
wilayah sehingga dapat diketahui pengelolaan secara efektif yang sesuai kondisi
ekologis kawasannya dan berguna dalam optimalisasi pertumbuhan mangrove dan
meminimalkan kegagalan pengelolaan. Penelitian mengenai pola pengelompokan
vegetasi mangrove berdasarkan karakteristik habitat di Teluk Pangpang ini
diharapkan dapat memberi gambaran mengenai vegetasi penyusun ekosistem
sehingga berkontribusi positif terhadap perencanaan pengelolaan mangrove
berkelanjutan untuk mewujudkan kelestarian mangrove di kawasan TNAP.
1.2. RumusanMasalah
Hutan mangrove memiliki habitat yang lebih spesifik dibandingkan hutan
daratan. Habitat mangrove terbentuk karena adanya interaksi antar komponen
penyusun yang membentuk suatu ekosistem kompleks dan rumit. Komponen
penyusun ekosistem tersebut saling berinteraksi membentuk kesatuan yang utuh dan
tidak dapat berdiri sendiri. Oleh karena itu, ekosistem ini tidak dapat dilihat dari segi
vegetasinya saja, tetapi ekosistem mangrove harus dilihat secara utuh dengan
memperhatikan interaksi vegetasi dengan lingkungannya. Seringkali pengelolaan
7
hutan mangrove kurang sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan vegetasi tersebut
untuk berkembang karena faktor-faktor lingkungan pembentuknya yang kompleks
dan rumit. Faktor lingkungan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan dan
perkembangbiakan dan merupakan faktor penentu keberhasilan kegiatan rehabilitasi
dan pengelolaan mangrove. Poedjirahajoe (2011) menyatakan bahwa faktor habitat
akan sangat memengaruhi pada komposisi penyusun ekosistem mangrove bahkan
perubahan kualitas habitat secara kompleks dapat mengakibatkan pergeseran jenis
vegetasi
penyusunnya.
Hal
ini
akan
mengakibatkan
penurunan
tingkat
keanekaragaman vegetasi penyusun jika suatu kawasan hanya didominasi oleh
beberapa jenis vegetasi saja yaitu vegetasi yang mampu beradaptasi dengan
perubahan kualitas habitat. Untuk meminimalkan kegagalan pengelolaan maka perlu
diketahui kondisi ekologis dalam hal ini habitat mangrove yang sesuai dengan spesies
yang akan dikembangkan. Untuk mengetahui faktor lingkungan tersebut, maka perlu
dilakukan penyederhanaan terhadap faktor habitat mangrove menjadi unit-unit
ekologis yang memiliki kesamaan.
Faktor habitat merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangbiakan mangrove, terutama substrat lumpur dan salinitas. Untuk
mengetahui karakteristik vegetasi mangrove di Teluk Pangpang, dilakukan penelitian
yang mengkaji struktur dan komposisi jenis penyusunnya. Penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Hartanto (2011) mengelompokkan vegetasi mangrove dan
hubungannya pengelompokkan vegetasi dengan faktor habitat mangrove. Pada
8
penelitian tersebut kawasan mangrove Teluk Pangpang dibagi menjadi 5 blok sebagai
acuan pengelompokan vegetasi. Pengelompokan atau pengklasifikasian dilakukan
dengan metode ordinasi, tidak didasarkan pada pembagian unit ekologis masingmasing blok tersebut, sehingga tidak diketahui persamaan dan perbedaan karakteristik
habitat pada masing-masing blok. Penggunaan metode ordinasi dilakukan
penyusunan unit sampling unruk mengetahui hubungan antar unit sampling
berdasarkan posisi relatif terhadap sumbu koordinat yang tujuannya memberikan
informasi tentang kesamaan ekologisnya (Ludwig & Reynold, 1988). Oleh karena
itu,dibutuhkan penelitian tentang pengelompokan vegetasi mangrove yang didasarkan
pada persamaan karakter habitat mangrove dengan membagi kawasan menjadi unitunit ekologis yang memiliki kriteria habitat yang sama. Sebagai dasar pembentukan
ekologis tersebut dipilihlah faktor habitat berupa salinitas, tebal lumpur dan
kemiringan pantai. Faktor-faktor ini dipilih berdasarkan penelitian Poedjirahajoe
(2003) yang dilakukan di kawasan mangrove Pantai Utara Jawa Tengah bahwa faktor
habitat sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove dan ketiga faktor
tersebut memiliki peran penting dalam pertumbuhan vegetasi mangrove. Dengan
demikian, dapat diketahui bagaimana pola pengelompokan vegetasi mangrove di
Teluk Pangpang, dan faktor-faktor habitat beserta hubungannya dalam mempengaruhi
pola pengelompokan tersebut.
9
1.3.Tujuan
1. Menentukan unit ekologis berdasarkan karakteristik ekologis habitat
mangrove
2. Mengetahui pola pengelompokan vegetasi mangrove di Teluk Pangpang
TNAP
3. Mengetahui hubungan antara faktor habitat dengan pola pengelompokan
vegetasi mangrove.
1.4. ManfaatPenelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai gambaran kondisi
vegetasi mangrove di Teluk Pangpang sehingga dapat mengidentifikasi persoalan
yang ada dan bisa diketahui lebih dini. Dengan diketahui gambaran kondisi yang
lebih lengkap maka diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dan bahan
pertimbangan dalam memecahkan permasalahan yang ada serta membuat keputusan
perencanaan pengelolaan hutan mangrove yang sesuai dengan karakteristik habitat
sebagai penunjang pengelolaan mangrove yang berkelanjutan. Model pengelolaannya
juga dapat diterapkan pada kawasan mangrove lain yang memiliki kondisi ekologis
relatif sama dengan kondisi ekologis di lokasi penelitian.
Download