resistensi pedagang pasar sumber arta bekasi

advertisement
RESISTENSI PEDAGANG PASAR SUMBER ARTA
BEKASI BARAT
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Disusun Oleh:
M. Tri Panca W.
Nim. 106032201088
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H./2011 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Agustus 2011
M. Tri Panca W.
RESISTENSI PEBAGANG PASAR SUMBER ARTA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakar
ta
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
M. Tr
i Panca W
NIM. 106032201088
Pembimbing Skr
ipsi:
SaifudiiVAsrori. M. Si
NIP. 19770119 200912 1 001
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
Abstrak
M. Tri Panca W.
Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta Bekasi Barat
Pasar Sumber Arta merupakan pasar tradisional dengan status kepemilikan
swasta. Pasar ini resmi berdiri tahun 1988 yang kemudian menjelma menjadi
pusat perdagangan dan jasa, sumber penghasilan pedagang dan lembaga sosial.
Penggusuran yang telah dilakukan pengelola pasar pada tahun 2008 menghasilkan
resistensi (perlawanan) dari pedagang. Perlawanan sendiri tidak selalu bentrokan
fisik namun juga berbentuk perilaku seperti yang dilakukan oleh pedagang pasar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perlawanan yang
dilakukan pedagang pasar, berbagai faktor yang melatarbelakangi perlawanan dan
bentuk-bentuk resistensi yang terjadi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teori pembangunan dari Rostow yaitu lima tahap pembangunan, teori
Clifford Geertz tentang pasar tradisional yaitu sebuah bentuk konkret bagi segala
kegiatan, suatu lingkungan hidup yang dalam pandangannya bersifat alamiah
disamping bersifat kultural yang seluruh kehidupan dibentuk olehnya. Kemudian
teori resistensi dari James Scott yaitu sebuah bentuk perlawanan sehari-hari yang
dilakukan oleh kelompok lemah (everyday forms of resistance). Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif yaitu penelitian
yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadiankejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi atau daerah
tertentu. Sedangkan pendekatan kualitatif menghasilkan data berupa kata-kata
tertulis atau dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi serta studi
kepustakaan. Wawancara dilakukan dengan informan sebanyak sembilan orang.
Hasil penelitian menunjukkan gambaran perlawanan, faktor-faktor dan
bentuk resistensi. Pertama, gambaran perlawanan. yaitu bagaimana resistensi itu
terjadi. Kedua, faktor penyebab terjadinya resistensi pedagang Pasar Sumber Arta
yaitu a) masa hak pakai yang telah berakhir, b) pasar pengganti yang tidak
kunjung dibangun, c) terdapat proses intimidasi sehingga menghasilkan akumulasi
kekecewaan terhadap pihak pengelola. Dan yang terakhir, kurang berfungsinya
perkumpulan Warga Rusun Pasar (WRP) yang menjadi alat komunikasi antar
pedagang serta menjadi tempat membangun pemikiran dan sikap kolektif dalam
melakukan sikap resisten. Adapun bentuk-bentuk resistensi pedagang Sumber
Arta, terdapat dua bentuk yaitu resistensi tertutup dan semi-terbuka. Masingmasing dari bentuk resistensi tertutup yaitu menggerutu, berkata kasar, menarik
diri dari pertemuan dan bersikap acuh tak acuh terhadap pengelola. Sedangkan
bentuk resistensi semi-terbuka ialah mengadakan pertemuan yang diinisatif oleh
pedagang terhadap pengelola dan membuat spanduk pernyataan sikap.
i
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya, serta tidak lupa shalawat dan salam dihaturkan selalu kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, sahabat dan umatnya. Seorang figur yang pantas
untuk ditauladani bagi manusia dalam kehidupan.
Skripsi ini tentunya tidak dapat rampung tanpa bantuan, bimbingan,
arahan, dukungan dan kontribusi dari beberapa pihak. Oleh karena itu penulis juga
tak lupa mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah memberi
inspirasi dan juga banyak berkontributif dalam memberikan sumbangan
pemikiran, pesan moral dan lain-lain sehingga penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan, diantaranya adalah:
1. Kedua orang tuaku tercinta dan tersayang, H.M. Sardi A.R. dan
Hj. Siti Rohaeni yang telah memberikan pendidikan, kepercayaan,
kesabaran, semangat, pengorbanan, serta segala doa yang selalu
terus mereka panjatkan untuk penulis agar sukses dan berhasil
dalam penulisan skripsi ini dengan nilai yang terbaik.
2. Kakakku tersayang, Adri Rubiyanto, Budi Luhur, Sofia Maulida,
Kak Diah yang kerap kali mengajarkan penulis tentang artinya
manusia berpendidikan dan pentingnya renungan spiritual, di saat
penulis mengalami perasaan stagnansi dan kemunduran diri dalam
proses penulisan.
ii
3. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA.
4. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof. Dr. Bahtiar
Effendy.
5. Ketua jurusan Prodi Sosiologi Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Dr. Zulkifly, MA dan Sekretaris
jurusan Ibu Joharotul Jamilah, S. Ag. M.Si.
6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada program studi sosiologi atas
segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan dan
pengalaman yang mendorong penulis selama menempuh studi.
7. Dosen pembimbing Bapak Saifudin Asrori, M.Si yang selalu setia
dalam memberikan saran, kritik dan gagasan dalam proses
penulisan skripsi ini.
8. Sahabat-sahabatku Andri Prakarsa yang berbagi pengalaman dan
menemaniku sejak zaman putih abu-abu hingga sekarang, you’re
the best, my friend. Para pejuang sosiologi M. al-Aufar,
Muhammad Ayub, Irvan Matondang, Ghundar Muhammad alHasan yang telah menjadi sahabat terbaik, pengalaman kita
terekam tak pernah mati. Teman-teman sosiologi 2006 lainnya
Nana, Erfan, Fina, Azharina, Rahmi, Rizkiyah, Dijah, Budiman,
iii
Pebri, Hajuri, Fyan, Fajar, Fuad, Hamidah, Syofah, Yandi, Betty,
yang memberikan kekonyolan dan pelangi disetiap interaksi kita.
9. Seseorang disana yang tetap memberikan dukungannya dikala
penulis mengalami stagnansi.
10. Pedagang pasar, pengelola serta organisasi terkait yang menerima
penulis dengan terbuka untuk melakukan penelitian skripsi, serta
para karyawan yang tentunya tidak bisa penulis sebutkan satupersatu.
11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini,
yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna, begitu pula
dengan skripsi ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun dari para pembaca untuk perbaikan di masa mendatang
sangat penulis harapkan.
Jakarta, Agustus 2011
M. Tri Panca W.
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR ...………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI.…………………………………………………………………….. v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………….1
B. Tinjauan Pustaka.…………………………………………….. 8
C. Pembatasan dan Pertanyaan Penelitian………………........... 11
D. Model Analisis…………………………………………….....11
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian…….………………………...12
F. Metodologi Penelitian……………………….…………….....13
1. Jenis Penelitian….…………………………………...... ...13
2. Teknik Pengumpulan Data.……………………………... 14
3. Instrumen Penelitian………………....………………….. 16
G. Sistematika Penulisan..…………………………………….... 17
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pembangunan………………………………………………...19
1. Definisi…………………………………………………...19
2. Strategi Pembangunan Ala Rostow………………………21
v
B. Pasar Tradisional……...………………………………….......24
1. Pengertian, Manfaat dan Fungsi………………………….24
C. Resistensi……………………………………………………..27
1. Pengertian………………………………………………...27
2. Bentuk Resistensi………………………………………...31
BAB III
GAMBARAN UMUM PENELITIAN
A. Sejarah Sumber Arta……………………………………..34
B. Kondisi Sosial Lingkungan Kampung Cibening…………38
C. Kondisi Ekonomi………………………………………...40
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN
A. Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta……………………..43
B. Bentuk-Bentuk Resistensi…………………….……………...47
1. Resistensi Tertutup……………………………………….47
2. Resistensi Semi-Terbuka…..……………………………..50
C. Faktor Penyebab……………………………………………...55
1. Masa Hak Pakai Yang Telah Berakhir…………………...55
2. Pasar Baru Yang Tak Kunjung Dibangun………………..55
3. Intimidasi Pengelola……………………………………...57
4. Warga Rusun Pasar (WRP)………………………………58
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.………………………………………………….61
vi
B. Saran.…………………………………………………………62
DAFTAR PUSTAKA..………………………………………………………....64
LAMPIRAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pertumbuhan sektor informal merupakan ciri khas yang melekat pada
pembangunan perkotaan.1 Di Indonesia sektor ini dianggap sumber perekonomian
yang melekat pada sektor formal, contoh pertumbuhan industri membuat
berkembangnya kebutuhan akan pakaian, makan, tempat tinggal dan lain-lain.
Sektor informal mempunyai fungsi sebagai penampung gejolak sosial (holding
tank) dan urbanisasi prematur sehingga keberadaannya sering tergusur oleh
pembangunan.2 Penggusuran Pasar Sumber Arta di daerah Bekasi Barat
merupakan salah satu bukti konkrit ketidakberdayaan sektor informal berhadapan
dengan modal dan Negara.
Sumber Arta merupakan sebuah pasar tradisional yang berdiri dan
diresmikan pada tahun 1988 yang tumbuh serta hidup bersama di masyarakat.
Pasar ini mempunyai beberapa fungsi: pertama, menaungi sektor informal seperti
pedagang sayur, buah, kelontong, daging, pakaian dan sebagainya. Kedua, sebagai
jalur distribusi barang dan jasa yaitu jenis barang yang diperjualbelikan tidak
1
International Labour Organization (ILO) mendefinisikan sektor informal sebagai pekerjaanpekerjaan di pinggiran kota besar, tetapi juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi antara lain
ditandai dengan: mudah untuk dimasuki, bersandar pada sumberdaya lokal, usaha milik sendiri,
operasinya dalam skala kecil, padat karya dan teknologinya bersifat adaptif, keterampilan dapat
diperoleh diluar sistem sekolah formal, dan tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya
bersifat kompetitif.
2
Ahmad Erani Yustika, Negara Vs. Kaum Miskin (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 90.
1
2
besar, mudah dibawa, bahan pangan yang mudah disimpan, tekstil, barang pecah
belah kecil dan sejenisnya. Kemudian yang terakhir, sebagai tempat bertemunya
berbagai macam kepentingan masyarakat.
Munculnya sektor informal di perkotaan sebenarnya tidak terlepas dengan
adanya proses urbanisasi. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
urbanisasi yaitu pertama makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan, seperti
menurunnya daya dukung lingkungan, susahnya memperoleh hasil tambang, kayu
atau bahan pertanian. Kedua, menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal
akibat lahan pertanian yang semakin tidak ada, sedangkan yang ketiga karena
alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan.3 Strategi industrialisasi yang
terlalu menitikberatkan pada pergeseran sektor pertanian ke sektor industri pun
menyebabkan meningginya eskalasi urbanisasi di Indonesia. Proses urbanisasi
semakin meningkat ditambah dengan kebijakan yang memusatkan ekonomi di
perkotaan, sedangkan sektor pertanian dianggap penyangga untuk proses
kelangsungan dan keberhasilan industrialisasi. Sumber Arta sebagai pasar
tradisional juga merupakan penampung gejolak sosial urbanisasi, hal ini terlihat
dari beragamnya jenis etnis suku yang berjualan di pasar tersebut antara lain
Sunda, Jawa, Batak, Minangkabau, etnis Tionghoa dan lain-lain.4
Faktor lain dari industrialisasi adalah meningkatnya kepadatan penduduk
yang disebabkan sentralitas ekonomi di perkotaan. Terjadinya ledakan penduduk
di perkotaan ikut berimplikasi terhadap tingkat pengangguran yang cenderung
3
Chotib, “Mobilitas Penduduk,” artikel diakses pada 16 Agustus 2011 dari
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/ea3efedb6ec0bdbe7c574fcb773661d5a24a8cce.pdf
4
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 12 Juni 2011.
3
naik akibat urbanisasi. Keadaan ini berbanding terbalik dengan pedesaan dimana
semakin sedikit tenaga kerja yang berada di desa disebabkan oleh perpindahan
tenaga kerja ke daerah perkotaan. Bila kita cermati persoalan urbanisasi ini
ternyata perpindahan penduduk dari desa ke kota selalu melampaui tingkat
penciptaan lapangan pekerjaan di kota. Dengan kata lain perkotaan tidak dapat
menyerap tenaga kerja yang terlampau tinggi akibat urbanisasi. Fenomena ini
terjadi akibat kurang cepatnya proses industrialisasi dikembangkan, akan
berkecenderungan semakin mempertinggi tingkat tenaga kerja yang datang ke
kota tersebut.
Efek negatif dari tidak terserapnya tenaga kerja tersebut melahirkan
pengangguran di perkotaan yaitu tenaga kerja produktif yang tidak bekerja.
Berdasarkan
data
Sakernas
sampai Agustus
2007, angka
Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) pemuda tingkat nasional sebanyak 15,30 persen,
dengan TPT laki-laki 13,52 persen dan perempuan 18,20 persen. Sementara
TPT pemuda di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan TPT pemuda di
perdesaan yaitu 19,70 persen dan 11,71 persen. Jika dilihat dari
wilayah,
pengangguran terbuka pemuda di wilayah perkotaan jauh lebih besar
dibandingkan dengan pemuda di wilayah perdesaan. Hal ini dimungkinkan
karena
tenaga
Menumpuknya
kerja pemuda pedesaan terserap di sektor
pertanian.
pengangguran terbuka pemuda di perkotaan dapat memicu
kriminalitas dan konflik sosial.
4
Tabel Tingkat Pengangguran Terbuka Pemuda Menurut Jenis Kelamin dan
Wilayah Perkotaan/Pedesaan per Propinsi Tahun 20075
Sumber: BPS, Sakernas, Agustus 2007
Sedangkan angka pengangguran muda pada bulan Agustus 2010 mencapai
7, 14 persen dari 220 juta penduduk Indonesia.
5
Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, Laporan Akhir: Strategi
Pengembangan SDM di Bidang Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Jakarta:
Bappenas, 2009), h. 106.
5
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2008–2010
(persen)6
Tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat pengangguran masih tetap tinggi
meski mengalami penurunan. Namun Badan Pusat Statistik (BPS) menilai angka
pengangguran terbuka turun tidak signifikan. Karena signifikansi pertumbuhan
ekonomi hanya sekitar 6 persen saja dan ditambah adanya intervensi pemerintah
seperti mulainya pembangunan sarana pendidikan dan pembebasan biaya
pendidikan di beberapa daerah.7 Pasang surutnya pengangguran bukan tidak
mungkin disebabkan oleh kebijakan struktural yang kurang memperhatikan
kepentingan masyarakat arus bawah yang banyak dijumpai dalam tingkatan
produktif.
6
Badan Pusat Statistik, KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2010, No. 77/12/Th. XIII
(Jakarta: BPS, 2010), h. 6.
7
Erlangga Djumena, “Pengangguran Turun Sedikit,” artikel diakses pada4 Februari 2011dari
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/12/02/15420920/Pengangguran.Turun.Sedikit
6
Kembali pada konteks problematika sosial yang dihadapi pedagang pasar,
terkait dengan pasar tradisional dan pembangunan setidaknya hal yang sering
mencuat adalah penggusuran pasar. Yaitu fenomena di daerah perkotaan yang
menggambarkan banyak kasus tentang bagaimana pembangunan kurang
bersimpati pada masyarakat. Selanjutnya adalah rasa ketidakpuasan pedagang atas
perlakuan yang dialami pedagang dengan dalih ketertiban dan terkadang terdapat
motif ekonomi yang lebih besar dibalik kejadian tersebut. Potret kondisi sosial
seperti ini seharusnya menjadi concern para stakeholder, terlebih pemerintah
sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan terkait dengan kesejahteraan sosial
dan pemberdayaan masyarakat kecil.
Jika kita melihat pasar sebagai sebuah bentuk sistem perekonomian
tradisional, kita akan mendapatkan gambaran bagaimana sektor informal ini dapat
bertahan di tengah arus pembangunan yang serasa mencekik sektor ini. Pasar
bukan saja sebagai distribusi barang dan saja tetapi juga sebuah lingkungan
kehidupan bagi masyarakat hidup berdampingan,
berkembang dan kemudian
menjadi habitus, menjadi sifat kultural yang kemudian kehidupan bermasyarakat
dibentuk olehnya. Tidak sedikit pasar tradisional yang hilang dari relasi kehidupan
bermasyarakat dan berganti menjadi gedung mewah, apartemen hingga pasar
modern. Akibat hilangnya pasar, otomatis berkurangnya pendapatan bagi para
pedagang. Implikasi yang paling jelas adalah perlawanan terhadap penggusuran
tempat mereka berjualan. Perlawanan tersebut dapat bermacam mulai dari
perlawanan terbuka hingga tertutup yang tidak begitu mencuat ke permukaan.
Contoh kasus penggusuran pasar sudah banyak terjadi, namun tingkat perlawanan
7
di setiap kasusnya mungkin berbeda. Bentuk perlawanan pedagang pasar yang
sering terlihat dan terbuka ialah bentrokan fisik antara pedagang dengan aparat
pemerintah (Satpol PP) yang kadang berujung korban, pedagang dengan pedagang
serta pedagang dengan pengembang dalam kasus penggusuran pasar oleh
apartemen maupun pusat perbelanjaan modern. Inilah yang menjadi sebuah
kecemasan sosial bagaimana pasar yang seharusnya menjadi perekonomian idola
masyarakat arus bawah harus dijaga dan bukan digusur untuk kepentingan
ketertiban ekonomi suatu kota atau permainan modal.
Common sense yang tercipta di masyarakat yaitu perlawanan selalu
dikaitkan dengan bentrokan fisik, ini tidak terlepas dari peran media yang melihat
konflik pedagang selalu dari sisi bentrokan terbuka fisik. Bagi James Scott justru
strategi perlawanan yang seharusnya menarik untuk dilihat dan dikaji ialah
everyday forms of resistance yang terdiri dari kumpulan pola perilaku sehari-hari
dari para pedagang untuk melakukan perlawanan.8 Strategi tersebut dapat
dikatakan perlawanan khas dari pekerja sektor informal dimana dalam kasus ini
ialah pedagang pasar.
Pasar sebagai tiang penyangga ekonomi masyarakat, seringkali menjadi
korban akibat perspektif kelembagaan pemerintah terhadap sektor ini. Mungkin
perspektif ini menelurkan kebijakan yang cenderung kurang bersahabat dengan
para pedagang pasar sebagai salah satu civil society yang berdiri sendiri dan
mandiri.9 Seakan menjadi lumrah bahwa terkadang kebijakan dipengaruhi oleh
8
9
Marzani Anwar, Adaptasi dan Resistansi (Jakarta: Penamadani, 2006),h. 150.
Ahmad Erani Yustika, Negara Vs. Kaum Miskin, h. 91.
8
motivasi ekonomi dalam membangun tingkat perekonomian kota tersebut.
Sehingga dapat dikatakan perspektif kebijakan pemerintah akan sektor informal
tergantung pada berfungsi atau tidaknya pasar tersebut bagi pendapatan daerah.
Bila dianggap tidak mendukung maka sikap yang diambil pemerintah ialah
penggusuran.10
Pedagang Pasar Sumber Arta sepertinya tak henti-henti mendapatkan
kejutan dalam ruang lingkup tempat mereka berjualan. Penggusuran yang telah
terjadi sepertinya menyimpan masalah yang tak begitu mencuat ke permukaan.
Tempat mereka yang hancur untuk digantikan lahan apartemen menjadi kenyataan
di depan mata, nasib mereka dalam mempertahankan pilar ekonomi dan institusi
sosial masyarakat kini berganti gedung apartemen. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa persoalan penting yang dikaji dalam membahas resistensi
dengan kaitannya pembangunan di Indonesia adalah masalah faktor penyebab,
bentuk-bentuk resistensi dan gambaran perlawanan. Untuk itu peneliti tertarik
mengambil mengambil tema masalah konflik dengan judul “Resistensi Pedagang
Pasar Sumber Arta Bekasi Barat” untuk melihat gambaran resistensi,
bentuknya serta faktor penyebab.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Terdapat beberapa penelitian tentang resistensi di Indonesia, peneliti akan
mencoba mereview penelitian yang dibuat oleh Eko Siswono tahun 2009 dan I
10
Ahmad Erani Yustika, Negara Vs. Kaum Miskin, h. 98.
9
Gusti Ngurah Jayanti tahun 2010. Karena kedua penelitian tersebut layak untuk
menjadi model penelitian tentang resistensi di Indonesia.
Pertama, Eko Siswono dalam disertasinya Resistensi dan Akomodasi:
Suatu Kajian Tentang Hubungan-Hubungan Kekuasaan pada Pedagang Kaki
Lima (PKL), Preman dan Aparat di Depok mendeskripsikan mengenai resistensi
pedagang kaki lima akibat Peraturan Daerah (Perda).11 Ia menekankan bagaimana
relasi kuasa terjalin diantara tiga komponen dalam dalam melakukan strategi
untuk menguatkan kontrol atas lahan trotoar. Ia memakai Gidden untuk
menjelaskan praktek sosial diantara mereka, oleh sebab itulah menandai
bekerjanya kekuasaan akibat hubungan antara struktur dan agensi. Resistensi
terjadi karena Perda yang menurut para pedagang PKL tidak sesuai dengan
realitas yang harus mereka hadapi.
Kedua, tesis dari I Gusti Ngurah Jayanti dengan judul Resistensi Terhadap
Kebijakan Pemerintah Atas Penutupan Kegiatan Galian C di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Unda Klungkung: Sebuah Kajian Budaya.12 Ia menerangkan
bagaimana resistensi terjadi karena kebijakan yang cenderung dari atas ke bawah
top-down tanpa adanya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan
kebijakan, sehingga dianggap tidak transparan dan melahirkan resistensi
11
Eko Siswono, “Resistensi dan Akomodasi: Suatu Kajian Tentang Hubungan-Hubungan
Kekuasaan pada Pedagang Kaki Lima (PKL), Preman dan Aparat di Depok,” (Disertasi S3
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Antropologi Program Pasca Sarjana,
Universitas Indonesia, 2009), h. 13.
12
I Gusti Ngurah Jayanti, “Resistensi Terhadap Kebijakan Pemerintah Atas Penutupan Kegiatan
Galian C di Daerah Aliran Sungai (DAS) Unda Klungkung: Sebuah Kajian Budaya,” diakses 17
Agustus 2011 dari http://culturalstudiesbali.wordpress.com/2010/08/03/resistensi-terhadapkebijakan-pemerintah-atas-penutupan-kegiatan-galian-c-di-daerah-aliran-sungai-das-undaklungkung-sebuah-kajian-budaya/.
10
komunitas penambang pasir. Bentuk resistensi yang dilakukan oleh masyarakat
salah satunya menempuh jalur formal dengan menyampaikan inspirasi mereka
pada lembaga pemerintahan. Komunitas penambang pasir berunjuk rasa ke kantor
Bupati dan Gedung Dewan Perwakilan Daerah Klungkung. Resistensi juga
terlihat dengan tetap dilakukannya aktivitas penambangan secara diam-diam.
Pada penelitian pertama, Eko Siswono meninjau resistensi dengan
menggunakan analisa struktur dan agen milik Gidden dalam melihat fenomena
perlawanan PKL dan mentendesikan penelitian tersebut pada negosiasi dan
akomodasi para aktor yang berkaitan dengan PKL. Misalnya sikap aparat
pemerintah kota yang mendua. Resistensi menjadi jalur alternatif lunak ketika
melunaknya penertiban karena terjadinya kepentingan dikedua pihak. Akibatnya
terjadi kontra-produktif dan distorsi dari aparat terhadap PKL. Perbedaan dalam
memaknai ruang terbuka publik juga menjadi penekanan dalam penelitian ini
yaitu trotoar. Adapun pada penelitian kedua I Gusti melihat resistensi masyarakat
karena disebabkan oleh menetapkan kebijakan tanpa partisipasi masyarakat
sehingga mereka memilih jalur terbuka dengan berunjuk rasa ke Gedung Bupati
dan mendatangi Gedung Perwakilan Daerah.
Dua
penelitian
sebelumnya
memang
mendeskripsikan
bagaimana
resistensi kelompok lemah itu berjalan melawan kelas penguasa. Berbeda dengan
kajian sebelumnya penelitian ini mencoba menggambarkan bagaimana resistensi
akibat penggusuran dapat terjadi di pasar tradisional Sumber Arta yang
merupakan pasar dengan status kepemilikan swasta.
Peneliti mencoba
11
mengungkapkan bentuk dan faktor apa yang membuat para pedagang di pasar
Sumber Arta berani melakukan resistensi.
C. PEMBATASAN DAN PERTANYAAN PENELITIAN
Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti mencoba untuk membatasi pada
resistemsi (perlawanan) pedagang pasar Sumber Arta. Perlawanan tidak selalu
bentrok fisik namun juga berbentuk perilaku yang dilakukan oleh pedagang pasar
Sumber Arta, Bekasi.
Sedangkan pertanyaan penelitian yang akan menjadi kajian dalam penelitian
ini adalah :
a. Bagaimana bentuk-bentuk resistensi yang dilakukan pedagang terhadap
pembangunan apartemen di pasar Sumber Arta?
b. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pedagang pasar berani
melakukan resistensi?
D. MODEL ANALISIS
12
Penggusuran pasar yang dilakukan pengelola Pasar Sumber Arta
menyebabkan resistensi (perlawanan) dari para pedagang pasar. Terdapat dua
bentuk resistensi yang dilakukan oleh pedagang pasar yaitu resistensi tertutup dan
semi-terbuka. Resistensi pedagang muncul dikarenakan dua faktor antara lain:
psikologi sosial dan struktural.
E. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui faktor penyebab resistensi pedagang Pasar Sumber
Arta.
2. Untuk menggambarkan bentuk-bentuk resistensi pedagang pasar terhadap
penggusuran Pasar Sumber Arta.
Manfaat dari penelitian ini adalah
Penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada para pelaku sektor
informal khususnya pedagang Pasar Sumber Arta, dan Pemerintah Kota
Bekasi umumnya untuk bersama-sama memberikan kontribusi pada
kebijakan pembangunan yang memperhatikan sektor informal.
13
F. METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi yang penulis pakai dalam melakukan penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam menganalisa fenomena resistensi
pedagang
Pasar
Sumber
Arta
yaitu
kualitatif.
Karena
untuk
menggambarkan resistensi pedagang pasar Sumber Arta metode ini dirasa
pantas dalam meneliti perilaku sehari-hari, bahasa percakapan dan
kejadian yang berkaitan dengan pedagang. Berdasarkan hal tersebut
diharapkan dapat menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif
juga merupakan salah satu turunan dari tradisi yang fundamental dalam
ilmu pengetahuan di bidang sosial, yang terkait dengan individu dengan
bahasa dan peristiwanya.13 Sedangkan metode penelitian deskriptif yaitu
penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta,
atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat
populasi atau daerah tertentu. Dalam penelitian deskriptif cenderung tidak
perlu mencari atau menerangkan saling hubungan dan menguji hipotesis.14
13
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan: Teori-Aplikasi (Jakarta:PT Bumi
Aksara, 2006), h. 92.
14
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan: Teori-Aplikasi, h. 47.
14
2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data di lapangan peneliti menggunakan teknik
sebagai berikut:
a. Wawancara
Teknik wawancara merupakan sebuah proses interaksi dan
komunikasi verbal dengan tujuan untuk mendapatkan informasi
penting yang diinginkan. Wawancara ialah alat pengumpul informasi
dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk
dijawab secara lisan pula. Ciri utama dari wawancara adalah adanya
kontak langsung dengan tatap muka antara pencari informasi
(interviewer) dan sumber informasi (interviewee).15 Teknik wawancara
merupakan salah satu elemen penting dalam proses penelitian.
Wawancara
(interview)
dapat
diartikan
sebagai
cara
yang
dipergunakan untuk mendapatkan informasi (data) dari responden
dengan cara bertanya lengsung secara tatap muka (face to face)16.
Peneliti melakukan wawancara dengan lima pedagang pasar (dua
penjual sayur, satu penjual buah, satu penjual daging dan satu penjual
pakaian), tiga tokoh masyarakat dan seorang karyawan dari pengelola
pasar Sumber Arta.
15
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan: Teori-Aplikasi, h. 179.
Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 69.
16
15
b. Observasi
Sutrisno Hadi mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu
proses yang kompleks, digunakan bila berkenaan dengan perilaku
manusia, proses kerja, dan bila informan yang diamati tidak terlalu
besar.
17
Observasi juga tidak terbatas pada orang, tetapi juga objek-
objek lainnya. Sedangkan S. Margono mengartikan observasi adalah
pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang
tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan dilakukan
terhadap objek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa.
Metode observasi sebagai alat pengumpul data, dapat dikatakan
berfungsi ganda, sederhana, dan dapat dilakukan tanpa menghabiskan
biaya. Namun, dalam melakukan observasi peneliti dituntut memiliki
keahlian dan penguasaan kompetensi tertentu.18 Penelitian ini
menggunakan teknik observasi langsung yaitu dengan mengamati,
meneliti, menyaksikan kejadian langsung bersama objek yang
diselidiki atau yang diamati di Pasar Sumber Arta dan lingkungan
Kampung Cibening karena berkaitan dengan sejarah pasar yang tidak
terlepas dari wilayah kampung tersebut.
17
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2008), h.
145.
18
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan Teori-Aplikasi, h. 173.
16
3. Instrumen Penelitian
Beberapa instrumen yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu
pertama, buku kecil untuk mencatat kejadian, hasil pengamatan dan
wawancara. Kedua, tape recorder untuk melakukan rekam wawancara
terhadap informan untuk mendapatkan data yang terkadang tidak tercatat
di buku kecil hasil wawancara. Ketiga, buku catatan untuk melakukan
sistematisasi hasil dari pengumpulan data-data yang belum sudah
dianalisa. Keempat, kamera untuk memfoto kejadian, keadaan demografis,
geografis dan kejadian yang menarik serta penting untuk kelengkapan data
penelitian.
4. Sumber Data
Dalam penelitian ini dikategorikan kedalam dua jenis, yaitu: data
primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah data
yang diperoleh melalui hasil wawancara dengan informan dan observasi.
Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui
kepustakaan, seperti buku-buku, skripsi, tesis, dan internet, yang
berhubungan dengan penelitian.
5. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu dan penelitian ini dimulai sejak bulan Februari 2011 sampai
dengan Juni 2011. Sedangkan lokasi penelitian dilakukan di Pasar Sumber
Arta, Bekasi.
17
6. Pengolahan dan Analisis Data
Data dikumpulkan dari para informan yang kemudian membentuk suatu data yang
sistematis dan menghasilkan kesimpulan. Kesimpulan merupakan jawaban dari
data yang telah didapatkan. Sedangkan tenik dalam penulisan skripsi mengacu
pada buku “Pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center for Quality Development
and Assurance ( CeQDA) tahun 2007.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I PENDAHULUAN
Membahas tentang latar belakang masalah yang diangkat dalam penelitian,
pembatasan dan pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka, model analisis, tujuan
dan manfaat, metodologi penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II KAJIAN TEORI
Membahas kajian teori mengenai
1. Pembangunan
a. Definisi
b. Strategi Pembangunan ala Rostow
18
2. Pasar Tradisional
a. Pengertian, manfaat dan fungsi
3. Resistensi
a. Pengertian
b. Bentuk Resistensi
BAB III DESKRIPSI GEOGRAFIS DAN DEMOGRAFI
Membahas kondisi sejarah pasar Sumber Arta, kondisi ekonomi dan
keadaan sosial di lingkungan Kampung Cibening.
BAB IV TEMUAN HASIL PENELITIAN
Temuan hasil dari penelitian tentang bagaimana gambaran resistensi
pedagang pasar terhadap penggusuran pasar Sumber Arta, bagaimana bentuk
resistensi para pedagang dan faktor yang menyebabkan resisteni dapat terjadi.
BAB V PENUTUP
Terdiri dari kesimpulan dan saran mengenai fenomena di dalam penelitian.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pembangunan
1. Definisi
Untuk mendefinisikan isitilah pembangunan memang terdapat perbedaan
diantara ilmuwan. Namun secara umum dapat diartikan sebagai suatu upaya
terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada
setiap warga Negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling
manusiawi.18 Di Indonesia, kata pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi
segala hal yang diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat
dan warganya. Seringkali, kemajuan yang dimaksud terutama adalah kemajuan
material. Maka, pembangunan sering diartikan sebagai kemajuan yang dicapai
oleh sebuah masyarakat dibidang ekonomi.19 Dari beberapa studi kepustakaan,
masalah sentral dalam studi mengenai pembangunan sepertinya berkutat pada
persoalan ekonomi. Problematika seperti meningkatkan tingkat
produktifitas
bekerja suatu negara, meletakkan dasar-dasar ekonomi agar bisa bersaing di pasar
internasional hingga yang paling mendasar seperti bagaimana bertahan hidup.
18
Syamsiah Badruddin, “Teori dan Indikator Pembangunan,” artikel diakses pada 21 Februari
2011 dari http://profsyamsiah.wordpress.com/2009/03/19/pengertian-pembangunan/.
19
Arief Budiman, Teori Perkembangan Dunia Ketiga (Jakarta: Gramedia, 1995), h. 1.
19
20
Pembangunan dapat dilihat dari dua macam, pertama adalah pembangunan
materiil, yaitu pembangunan berorientasi ekonomi yaitu mengenai apa yang mau
dihasilkan dan dibagi. Kedua, pembangunan spiritual, yaitu pembangunan yang
mentendensikan kualitas dari manusia-manusia di dalam masyarakat tersebut.20
Tetapi kemudian pembangunan seringkali meminggirkan permasalahan sumber
daya manusia, karena manusia masih dianggap sebagai faktor pendukung
produksi untuk meningkatkan produksi. Oleh karena itu masalah yang kurang
dipersoalkan adalah bagaimana menciptakan kondisi lingkungan, baik lingkungan
politik maupun lingkungan budaya, yang mendorong lahirnya manusia kreatif
yang berorientasi bagaimana potensi nilai-nilai individu yang ada dimasyarakat
dimaksimalkan untuk menunjang proses pembangunan, contohnya pendidikan.
Dalam mengusung pembangunan, dua aspek inilah yang semestinya di dorong
agar terjadi balance antara pembangunan materi yang menekankan pada
pembangunan berorientasi fisik seperti sarana dan gedung pusat pelayanan publik
dengan skill individu yang menyeimbangi kemajuan teknologi tersebut. Banyak
teoritisi menekankan bahwa pembangunan itu harus berorientasi ekonomi, karena
masalah internal seperti ini harus diperbaiki terlebih dahulu sehingga ketika
sistem perekonomian modern mulai 4terwujud maka persoalan seperti pendidikan,
kesejahteraan, politik dan sebagainya akan mengekor dengan sendirinya.
Stabilitas masyarakat akan tetap terjaga selama pondasi internal berkembang
sesuai dengan arahnya. Hal tersebut mirip dengan bangunan pemikiran sosiolog
klasik Karl Marx yang menyatakan bahwa ekonomi sebagai pondasi bagi
20
Arief Budiman, Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005 (Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2006), h. 25.
21
suprastruktur seperti pendidikan, politik, hukum dan lain-lain.21 Ironisnya ide
ekonomi sebagai pondasi, sepertinya dipahami bahwa ekonomi diatas segalagalanya sehingga kerap kali melupakan asas sosial budaya.
2. Strategi Pembangunan Ala Rostow
Dalam bukunya yang berjudul, The Stages of Economic Growth, A NonCommunist Manifesto, W.W. Rostow mencoba memformulasikan tahapan
pembangunan dalam sebuah masyarakat. Untuk mencapai sebuah pembangunan
yang mumpuni ia membagi pembangunan menjadi lima tahap, yaitu:
1. Masyarakat Tradisional
Pada masyarakat ini ilmu pengetahuan masih belum banyak dikuasai.
Karena masyarakat masih diliputi oleh mitos dan kepercayaankepercayaan lokal. Manusia masih dikuasai oleh alam sehingga
produksi masih sangat terbatas. Kemajuan berjalan lambat dan pola
produksi masih dipakai untuk konsumsi pribadi.
2. Prakondisi untuk Lepas Landas
Fase ini berawal dengan adanya factor eksternal yaitu campur tangan
dari masyarakat yang sudah lebih maju. Dampak dari ekspansi luar
menyadarkan
masyarakat
sedikit
demi
sedikit,
seperti
mulai
meningkatnya ketertarikan terhadap peningkatan tabungan, investasi
pada sektor-sektor produktif yang menguntungkan, seperti pendidikan.
21
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 240.
22
Investasi ini tidak hanya dilakukan oleh negara tapi juga perorangan
sehingga terbentuk peningkatan produksi yang semakin melaju.
3. Lepas Landas
Tahapan ini ditandai dengan mulai berkembangnya industri-industri
baru dengan sangat pesat. Keuntungan sebagian besar diinvestasikan
kembali ke pabrik yang baru. Sektor perekonomian modern pun mulai
berkembang. Di sektor pertanian, teknik-teknik baru juga tumbuh
seiring masuknya teknologi yang kemudian menjadikan pertanian
sebagai usaha komersial untuk mencari keuntungan, dan tidak lagi
sekedar konsumsi pribadi.
4. Bergerak ke Kematangan Ekonomi
Industri berkembang pesat seiring pertumbuhan penduduk, negara pun
memantapkan posisinya dalam perekonomian global. Laju lalu lintas
barang ke dalam dan keluar pun menjadi rutinitas perdagangan
nasional. Produksi tidak terbatas pada pemenuhan barang konsumtif
tetapi juga barang modal. Impor menjadi sebuah kebutuhan baru.
5. Jaman Konsumsi Massal yang Tinggi
Akibat naiknya pendapat masyarakat dalam perekonomian, konsumsi
tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok, tetapi meningkat ke
kebutuhan yang lebih tinggi. Pada fase terakhir ini, investasi tidak lagi
menjadi tujuan yang paling utama. Karena ketika taraf kedewasaan
dicapai maka terjadi surplus ekonomi akibat stabilitas.22
22
Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, h. 26.
23
Syamsyiah
Badrudin
dalam
sebuah
tulisan
mengatakan
bahwa
merumuskan pembangunan melalui kebijakan ekonomi dalam banyak hal
membuktikan keberhasilan.23 Dikatakan berhasil ketika beberapa faktor berikut
sangat dipertimbangkan yaitu seperti kebijakan ekonomi di negara-negara tersebut
yang umumnya dirumuskan secara konsepsional dengan melibatkan pertimbangan
dari aspek sosial lingkungan serta didukung mekanisme politik yang bertanggung
jawab sehingga setiap kebijakan ekonomi dapat diuraikan kembali secara
transparan, adil dan memenuhi kaidah-kaidah perencanaan.24 Dalam aspek sosial,
bukan saja aspirasi masyarakat ikut dipertimbangkan tetapi juga keberadaan
lembaga-lembaga sosial (social capital) juga ikut dipelihara bahkan fungsinya
ditingkatkan. Sementara dalam aspek lingkungan, aspek fungsi kelestarian natural
capital juga sangat diperhatikan demi kepentingan umat manusia. Dari semua itu,
yang terpenting pengambilan keputusan juga berjalan sangat bersih dari beragam
perilaku lobi yang bernuansa kekurangan (moral hazard) yang dipenuhi
kepentingan tertentu (vested interest) dari keuntungan semata (rent seeking).25
Pada akhirnya seringkali terdapat statement bahwa pembangunan
merupakan suatu proses yang dapat bergerak maju atas kekuatan sendiri (self
sustaining process) tergantung kepada manusia dan struktrur sosialnya, sehingga
pembangunan bukan hanya yang dikonsepsikan sebagai usaha pemerintah
belaka.26 Hal ini tak sepenuhnya benar, karena dalam proses pembangunan
23
Syamsiah Badruddin, “Teori dan Indikator Pembangunan,”
Syamsiah Badruddin, “Teori dan Indikator Pembangunan.”
25
Syamsiah Badruddin, “Teori dan Indikator Pembangunan.”
26
H. Bintoro Tjokromidjojo dan Mustopadidjaja A.R., Teori & Strategi Pembangunan Nasional
(Jakarta: CV. Haji Masagung, 1990), h. 1.
24
24
terdapat stakeholder yang saling berkaitan yaitu, Negara, Pasar (pengusaha), dan
Masyarakat. Dalam pengelolaan negara, Indonesia telah bertekad berpijak pada
asas keadilan sosial sebagai tujuan akhir dari pembangunan. Semua strategi dan
kebijakan serta pelaksanaan pembangunan dipilih untuk kemaslahatan bersama,
keseimbangan antara si kaya dan si miskin yang kemudian harus selalu di perkecil
untuk menghindari ketidakadilan. Hal ini bukan tanpa dasar bahwa keadilan sosial
sebagai syarat utama sebuah pembangunan harus dihadapkan dengan realitas
masyarakat Indonesia yang dihuni oleh berbagai macam kultur, adat, agama dan
etnis yang beragam sehingga tanpa adanya tali keadilan niscaya keragaman
tersebut mudah menyulut keretakan.27
B. Pasar Tradisional
1. Pengertian, manfaat dan fungsi
Dalam arti yang luas, pasar merupakan sebuah bentuk transaksi jual beli
yang melibatkan keberadaan produk barang atau jasa dengan alat tukar berupa
uang atau alat tukar lainnya sebagai alat transaksi pembayaran yang sah dan
disetujui oleh kedua belah pihak.
28
Menurut Clifford Geertz pasar tradisional
merupakan suatu lembaga ekonomi dan suatu cara hidup, suatu bentuk umum
kegiatan perdagangan yang mencakup semua segi kehidupan masyarakat
disamping merupakan suatu alam kebudayaan masyarakat yang hamper-hampir
27
Ahmad Erani Yustika, Negara Vs. Kaum Miskin, h. 3.
Harry Waluyo, Pasar Tradisional Sebagao Daya Tarik Wisata Belanja (Jakarta: Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, 2006), h, 4.
28
25
saja merupakan suatu kebulatan yang lengkap.29 Pasar tersebut merupakan
latarbelakang kongkrit bagi segala bentuk kegiatan, suatu lingkungan hidup yang
dalam pandangannya bersifat alamiah disamping bersifat kultural yang seluruh
kehidupan dibentuk olehnya. Ada beberapa point of view yang kita dapat gunakan
untuk menganalisa sebuah pasar dengan segala proses kegiatan didalamnya,
Geertz menyatakan, untuk dapat memahami pasar dalam bentuknya yang luas,
kita harus melihat dari tiga sudut pandang.
Sudut pandang pertama, yaitu sebagai suatu pola aliran barang dagang dan
jasa. Salah satu ciri pasar yang menonjol adalah jenis barang yang
diperjualbelikan tidak besar, mudah dibawa, bahan pangan yang mudah disimpan,
tekstil, barang pecah belah kecil dan sejenisnya. Kedua, sebagai sebuah suatu
kumpulan mekanisme ekonomi yang mempertahankan dan mengatur aliran-aliran
barang dan jasa, yaitu menjaga ciri khas sistem tawar-menawar dalam setiap
transaksi, apapun barangnya meskipun ukurannya kecil, lakunya sangat cepat.
Barang-barang mengalir sangat cepat di jalur pasar dan melalui transaksi kecil
yang banyak. Aliran barang tersebut tidak bersifat langsung, namun cenderung
berputar-putar dari satu pedangang ke pedagang lain untuk waktu yang cukup
lama. Dan yang ketiga, sebagai sebuah sistem sosial dan kultural di dalam mana
mekanisme tersebut berada. Pasar bukan sekedar sarana distribusi yang sederhana,
tetapi juga sebagai tempat memproduksi barang yang diperlukan. Karena pada
29
Taufik Abdulllah, ed., Agama, Etos Kerja dan Perkembangan EkonomI (Jakarta: LP3ES, 1982),
h. 161.
26
umumnya barang yang diperdagangkan dalam pasar diolah dan dibuat di dalam
pasar juga.30
Sebagai sekumpulan mekanisme ekonomi yang memelihara dan mengatur
aliran barang dan jasa, ada beberapa hal penting yang menurut Geertz harus
diperhatikan yaitu: suatu sistem harga bergeser, suatu neraca kredit yang
kompleks yang dikelola secara hati-hati dan terbaginya resiko dari laba.31 Hal
yang disebutkan tersebut merupakan beberapa ciri yang terjadi di dalam
mekanisme penjualan barang dan jasa di pasar tradisional. Ketiga hal itu tidak
dapat dipisahkan dari peran pedagang pasar sebagai pelakunya. Pedagangpedagang pasar adalah individu-individualis dalam pengertian bahwa mereka
bekerja sendiri-sendiri lepas dari organisasi ekonomi, mengambil keputusan sama
sekali atas dasar apa yang menurut pandangan mereka adalah kepentingan mereka
sendiri.32
Hubungan antara pedagang pasar adalah hubungan sosial yang sangat
spesifik yaitu hubungan perdagangan yang dipisahkan secara berhati-hati dari
relasi kemasyarakatan umum.33 Persahabatan, hubungan tetangga dan bahkan
hubungan kekerabatan adalah suatu hal, sedangkan perdagangan adalah hal yang
lain. Tawar-menawar, hutang piutang dan persekutuan dagang umumnya bebeas
dari kekangan norma yang batasannya samar-samar. Jadi, ekonomi pasar
tradisional itu diatur oleh kebiasaan-kebiasaan tetap yang diperkuat oleh
30
Abdulllah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, h. 161.
Abdulllah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, h. 162.
32
Abdulllah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, h. 164.
33
Abdulllah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, h. 165.
31
27
penggunaan terus menerus selama berabad-abad. Apa yang tak dipunyai oleh
ekonomi pasar tradisional bukan ruang gerak tetapi organisasi, bukan kebebasan
tetapi bentuk.34
C. Resistensi
1. Pengertian
Tema mengenai resistensi atau perlawanan menjadi sesuatu yang menarik
bagi para ilmuwan sosial. Di akhir tahun 1980-an, resistensi menjadi trend dalam
menelaah kasus-kasus yang mudah diamati serta bersifat empiris. Bagi para
peneliti sosial, resistensi dianggap
berciri kultural, sebab ia muncul melalui
ekspresi serta tindakan keseharian masyarakat. Analisa resistensi sendiri terhadap
suatu fenomena banyak melihat hal-hal yang ada dalam keseharian masyarakat
baik berupa kisah-kisah, tema pembicaraan, umpatan, serta puji-pujian dan
perilaku lainnya sehingga resistensi menjadi gayung bersambut dalam keilmuan
sosial.35
Sebagian orang berpendapat isu mengenai resistensi sendiri mencuat sejak
tahun 1960-an dimana saat itu mulai banyak otokritik terhadap ilmu-ilmu sosial
yang dianggap menganut paradima positivistik yang kerap mereduksi makna
manusia menjadi sekumpulan angka-angka dan kehilangan semangat untuk
perubahan. Situasi sejarah saaat 1960-an adalah ketika tengah berjayanya rezim
34
Abdulllah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, h. 166.
Yusran Darmawan, “Resistensi dalam Kajian Antropologi,”artikel diakses pada 27 April 2011
dari http://timurangin.blogspot.com/2009/08/resistensi-dalam-kajian-antropologi.html.
35
28
totaliter seperti Hitler di Jerman, Mussoulini di Italia serta berbagai rezim lainnya
di Afrika. Kondisi seperti ini seperti menjadi ancaman bagi kelangsungan
memproduksi metode ilmu sosial sebab harus memproduksi suatu pengetahuan
yang menguntungkan satu rezim. Pada saat inilah muncul ilmu sosial kritis yang
tidak hanya mengkritik pada tataran ideologi namun juga mengkritik konfigurasi
sistem sosial yang represif.36
Dalam khazanah antropologi, benih-benih kritik internal atau refleksi yang
dapat dilihat sebagai upaya resistensi telah muncul terhadap arus besar keilmuan
antropologi saat itu. Kritis tersebut mencuat ketika Talal Asad mengeluarkan buku
berjudul Anthropology as Colonial Encounter. Ia melihat bahwa realitas
kebanyakan antropolog masih terharu-biru oleh imajinasi para penjelajah Eropa
yang terobsesi menemukan masyarakat primitif untuk dianalisa dan ditekuk dalam
satu kategori.37 Imaji tentang penaklukan, kekuasaan, serta menemukan
masyarakat primitif dan eksotik telah membimbing antropolog pada bentuk
etnografi. Poin yang dipetik dari Talal Asad adalah mereka para antropolog
(ilmuwan sosial) masih terbelenggu dalam dikotomi masyarakat primitif dan
modern sehingga seakan-akan terdapat sebuah ego bahwa primitif itu adalah
barbar dan tak berperadaban.
Berbeda dengan penelitian ilmuwan sosial sebelumnya yang masih
cenderung untuk menemukan primitifnya suatu sistem sosial di sebuah
masyarakat atau kelompok, Lila Abu-Lughod mencoba menggambarkan dalam
36
37
Yusran Darmawan, “Resistensi dalam Kajian Antropologi.”
Yusran Darmawan, “Resistensi dalam Kajian Antropologi.”
29
penelitiannya mengenai resistensi perempuan di sebuah komunitas Bedouin,
Gurun Mesir Barat. Penelitian yang bertujuan mendeskripsikan bagaimana kaum
yang sering disisihkan (perempuan) melakukan perlawanan terhadap struktur yang
ada. Lila mencoba mengangkat bagaimana strategi dan bentuk perlawanan
perempuan di dalam sebuah struktur budaya yang mengekang hak-hak kaum
perempuan.
Lila Abu-Lughod mengungkapkan dalam sebuah tulisannya mengenai
resistensi sebagai berikut.
“…resistance is, I would argue, a growing disaffection with ways we have
understood power, and the most interesting thing to emerge from this work on
resistance is a greater sense of the complexity of the nature and forms of
domination.”38 (...perlawanan, saya berpendapat, sebuah ketidakpuasan yang
berkembang
dengan cara-cara kita memahami kekuatan, dan
hal paling
menarik yang muncul dari ini bekerja pada resistensi adalah rasa yang lebih
besar dari kompleksitas sifat dan bentuk-bentuk dominasi).
Dari beberapa fakta yang didapatkannya mengenai bentuk perlawanan
perempuan terhadap kuasa laki-laki dalam struktur sosial, ia mengungkapkan
bahwa sesungguhnya untuk mempelajari hal tersebut diperlukan interpretasi
dalam memotret fenomena sehingga akan membawa kita pada berbagai bentuk
relasi di dalam sebuah struktur komunitas yang saling bertalian. Lila juga
menganjurkan resistensi sebagai sebuah strategi untuk menganalisa kuasa
(resistance as a diagnostic of power). Hal tersebut ia dapat setelah terinspirasi
38
Lila Abu-Lughod, “The Romance of Resistance: Tracing Transformation of Power Through
Bedouin Women,” artikel diakses pada 17 Juni 2011 dari http://www.jstor.org/pss/645251
30
dari tulisan Foucault, sesungguhnya dimana ada kekuasaan disitu terdapat
resistensi (where there is power, there is resistance).39
Di kalangan ilmuwan sosial, resistensi terkadang dimaksudkan dalam
paradigma konflik, padahal keduanya memiliki bentuk yang berbeda. Lazimnya
resistensi menjadi titik tengah dari dinamika teori konflik Marxian dan teori
konflik Non-Marxian. Jika konflik masih berkutat pada frame teoritis dalam
melihat realitas, maka resistensi menekankan pada aspek empiris serta melakukan
sensitizing atau dialog secara kreatif terhadap realitas sosial. 40 Inilah yang
kemudian menjadi titik tengah atau jalan keluar dari kecenderungan teori konflik
yang lebih melihat persoalan dari atas sehingga sarat dengan adanya generalisasi.
Berdasarkan hal tersebut maka resistensi lebih menekankan pada aspek manusia
yang kemudian hal ini selaras dengan lahirnya studi etnografi baru (new
ethnography) yang telah mengalami pergeseran memandang manusia yaitu dari
obyek ke subyek.41 Antropolog Cliffort Geerrtz sendiri mengatakan bahwa
antropolog tampaknya harus berada di tengah-tengah karena posisinya yang tidak
melulu pemikiran teori, melainkan lapangan empiris yang langsung bersumber
dari warga masyarakat yang nyata.42 Hal ini terlihat bagaimana ia melakukan
metode etnografi dalam melakukan studi atas Islam di Mojokuto, Geerzt
melakukan partisipasi lapangan dalam kehidupan bermasyarakat di Jawa, ikut
39
Lila Abu-Lughod, “The Romance of Resistance: Tracing Transformation of Power Through
Bedouin Women.”
40
Yusran Darmawan, “Resistensi dalam Kajian Antropologi.”
41
Yusran Darmawan, “Resistensi dalam Kajian Antropologi.”
42
Yusran Darmawan, “Resistensi dalam Kajian Antropologi.”
31
merasa, sehingga dapat menggambarkan bagaimana sistem sosial hadir dalam
keseharian masyarakat.
Sejarah resistensi memang bermula pada khazanah antropologi karena
memang gagasan tersebut berada pada posisi di tengah-tengah antara pemikiran
Marxisme dalam antropologi dan pemikiran antropologi simbolik yang lebih
berorientasi pada kebudayaan atau yang memiliki sensitivitas budaya. Dalam
keilmuan sosiologi sepertinya bermula ketika terjadi kritik internal oleh mazhab
Frankfurt Jerman, sosiologi dikritik karena saintisme-nya, karena menjadikan
metode ilmiah sebagai tujuan itu sendiri, selain itu sosiologi juga dituduh
melanggengkan status quo sehingga keilmuan ini tidak mampu menyumbangkan
hal-hal bermakna bagi perubahan politik yang dapat melahirkan “masyarakat yang
adil dan manusiawi”.43 Resistensi bermaksud melakukan rekonsiliasi dari dua
kutub pemikiran antropologi. Jika jalan tengah ini diterima, maka isu materi yang
ada pada kajian Marx bisa tercermin dalam kajian antropologi yang menganalisis
berbagai peristiwa lokalitas.
2. Bentuk Resistensi
James Scott dalam studinya Weapons of the Weak: Everyday Forms of
Peasant Resistance tentang resistensi petani di Malaysia.44 Menurutnya selama ini
telah banyak bermunculan literatur mengenai bentuk-bentuk resistensi yang
dipakai oleh petani. Terlebih pada bentuk perlawanan diantara kelompok sosial
43
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), h. 303.
44
John Martinussen, Society, State and Market: A guide to competing theories of development
(London & New York: Zed Books Ltd, 1999), h. 316.
32
dalam civil society. Berbeda dengan sebelumnya, Scott mencoba mengobservasi
serta mendeskripsikan tentang merasakan serta tingkahlaku masyarakat miskin di
perkampungan Malaysia yang menjadi sebuah kerangka sosial kehidupan mereka
dalam melakukan kegiatan perlawanan. Scott membuat tiga level perbedaan atas
resistensi:
a. Ketika tingkat ekonomi makro dan proses perpolitikan diberikan kepada
petani namun hal tersebut jauh dari kerangka sosial yang diharapkan oleh
para petani.
b. Intervensi pemerintah yang kurang melakukan observasi terhadap norma
dalam kehidupan masyarakat sekitar.
c. Dan yang terakhir, terdiri dari peristiwa lokal dan kondisi perasaan serta
pengalaman dari masing-masing individu.45
Scott mendokumentasikan kehidupan sehari-hari warga dan sejarah
mereka, dan menunjukkan bagaimana mereka melakukan perlawanan dari campur
tangan negara dan agen perusahaan ekonomi. Bentuk-bentuk perlawanan mereka
yaitu teknik rendah diri (low-profile techniques), sebagian bersembunyi dan
menghindar, mengidentifikasikan diri dengan menyeret kaki mereka (footdragging evasions) dan pasif, daripada penolakan terbuka atau perlawanan
terbuka (open rejection or struggle).46 Meski menurut Scott bentuk-bentuk
perlawanan tersebut kurang efektif, tetapi karena ada satu alasan bagi mereka
45
John Martinussen, Society, State and Market: A guide to competing theories of development, h.
316.
46
John Martinussen, Society, State and Market: A guide to competing theories of development, h.
317.
33
melakukannya yaitu mereka tidak ingin tergabung kedalam pola produksi kapitalis
dan terjebak pada relasi kelas.
Resistensi dalam studi James Scott yaitu fokus pada bentuk-bentuk
perlawanan yang sebenarnya ada dan terjadi disekitar kita dalam kehidupan
sehari-hari, ia menggambarkan dengan jelas bagaimana bentuk perlawanan kaum
minoritas lemah. Mereka yang tidak punya kekuatan dalam melakukan penolakan
terbuka ternyata mempunyai cara lain dalam menghindari intervensi dari negara
dan perusahaan. Menurut Scott terdapat beberapa bentuk resistensi yaitu:
a. Resistensi tertutup (simbolis atau ideologis) yaitu gossip, fitnah, penolakan
terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat, serta
penarikan kembali rasa hormat kepada pihak penguasa.
b. Resistensi semi-terbuka (protes sosial atau demostrasi)
c. Resistensi terbuka, merupakan bentuk resistensi yang terorganisasi,
sistematis dan berprinsip. Manifestasi yang digunakan dalam resistensi
adalah cara-cara kekerasan (violent) seperti pemberontakan.47
Pada akhirnya pendekatan terhadap penelitian level lokal dan bentukbentuknya mungkin dapat bernilai dalam memahami dinamika pembangunan.
Perlawanan sehari-hari dan bentuknya merupakan gejala yang terjadi disekitar
kita, yang kadang sering terlupa bahwa perlawanan atau penolakan akan suatu hal
tidak harus terbuka, karena memang secara tidar sadar kita melakukan perlawanan
secara diam-diam (tak terbuka).
47
Andi Suriadi, “Resistensi Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Perdesaan,”
Komunitas Vol. 4, no 3, (November 2008), h. 54-55.
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Sejarah Sumber Arta
Sumber Arta merupakan pasar yang terbentuk dari kegiatan ekonomi
sekelompok warga yang mencoba menjual hasil dari kebun pribadi, toko
kelontong, hingga warung makan dalam skala kecil di Kampung Cibening pada
tahun 1950-an.46 Kegiatan tersebut semakin mantab dilakukan warga saat
dimulainya proyek besar pembangunan sungai buatan Kalimalang di tahun
1956.47 Pembuatan sungai buatan yang dimulai era presiden Soekarno itu,
bermaksud untuk membantu pengairan sawah dan minum untuk daerah Jakarta
yang kekurangan air. Setelah proyek Kalimalang selesai berefek pada
berdatangannya warga dari luar daerah untuk ikut serta dalam proses perdagangan
di Kampung Cibening.
Awalnya kemunculan lokasi berjualan berada di sepanjang bagian Barat
kampung Cibening yang berbatasan dengan Kelurahan Pondok Kelapa, Jakarta
Timur. Konsentrasi pedagang yang paling banyak sebenarnya berada di bagian
Selatan yang disebut dengan daerah Kincan yang kemudian harus ikut bergabung
dengan pedagang di bagian Utara akibat proyek Kalimalang. Semenjak
perpindahan pedagang dari bagian selatan tersebut, kemudian menjadi kumpulan
46
47
Wawancara Pribadi dengan HS, Bekasi, 23 Februari 2011.
Wawancara Pribadi dengan SM, Bekasi, 1 Agustus 2011.
34
35
pedagang yang tidak pisah karena sekarang berada disatu lokasi. Kondisi inilah
yang kemudian menjadi cikal bakal Pasar Sumber Arta.
Perpindahan beberapa pedagang dari bagian selatan ke utara telah
membentuk sebuah sistem sosial yang baru karena menurut salah satu mantan
pedagang yang kini telah digantikan anaknya, para pedagang merasakan
keharusan membentuk sebuah pasar. Hal itu masih berada pada tataran kultural
karena mereka belum mampu untuk mengkoordinasikan untuk membentuk pasar
seutuhnya. Maksudnya adalah membangun bentuk fisik, disebabkan lahan yang
mereka tempati merupakan hak milik Entong Kukuh yang sebelumnya telah dibeli
dari Kuncoro yang sama-sama merupakan tuan tanah keturunan etnis TiongHoa.
Disaat kepemilikan Kuncoro, bagian utara Kampung Cibening dibeli untuk
dibangun perumahan kavling namun beralih kepemilikan kepada Entong Kukuh.
Ia belum mempunyai rencana membangun sesuatu di area seluas +/- 2 hektar
karena itu ia membiarkan kegiatan perdagangan yang sudah berjalan dengan
membangun fisik pasar bagi masyarakat yang berjualan.48
Tidak cukup berhenti membangun fisik pasar, Pak Entong (panggilan
warga terhadapnya) juga membangun terminal kecil lengkap dengan mobil
transportasi, membuka jalan dan mengaspalnya. Hal ini di kemudian hari
diteruskan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk ditindaklanjuti seperti
diresmikannya trayek Sumber Arta - Pondok Kopi dan peresmian terminal
Sumber Arta. Hingga sekarang semua yang dibangun masih bisa dilihat bentuk
fisiknya kecuali pasar yang sudah digusur.
48
Wawancara Pribadi dengan informan HS, Bekasi, 23 Februari 2011.
36
Sebagai pusat perdagangan tradisional bagi masyarakat sekitar, Sumber
Arta telah tiga kali mengalami perubahan fungsi.49 Pertama, Kuncoro sebagai
pemilik pertama lahan berencana untuk membangun kavling perumahan. Kedua,
setelah beralih kepemilikan kavling yang tidak jadi dibangun difungsikan menjadi
pasar tradisional serta menjadi misbar (gerimis bubar).50 Ketiga, dibangun
bangunan fisik guna memudahkan, menata serta memfungsikan seutuhnya
menjadi pasar tradisional. Nama Sumber Arta sendiri diberikan oleh Entong
Kukuh sebagai pemilik yang selanjutnya diresmikan oleh Bupati Bekasi pada
tahun 1988. Peresmian tersebut menandakan bahwa pasar telah resmi diakui
sebagai pasar tradisional warga Bekasi.
49
Wawancara Pribadi dengan informan HS. Bekasi, 23 Februari 2011.
Menurut warga sekitar misbar adalah sebutan tempat bagi masyarakat untuk menonton film
dengan biaya yang murah. Misbar adalah tempat luas dengan layar putih dimana film dipantulkan
ke layar dari roll yang diputar oleh manusia dengan proyektor manual. Misbar merupakan cikal
bakal tontonan bioskop modern.
50
37
Sumber: Google Maps, Agustus 2011
Keterangan Gambar: A: Penampungan Sementara/ Pasar yang sekarang
B: Apartemen
Garis menunjukkan luas wilayah pasar yang lama.
38
Struktur diatas tidak baku kecuali pemilik, maksudnya adalah tidak
terdapat struktur yang sistematis seperti perusahaan pada umumnya. Menurut KS,
salah satu pegawai pengelola pasar, karena Sumber Arta merupakan pasar pribadi
di bawah naungan PT. Sempurna Abadi Dinamika milik Pak Entong.51
B. Kondisi Sosial Kampung Cibening
Pasar Sumber Arta berdiri dilingkungan kampung Cibening tepatnya di jalan
KH. Noer Ali RT 05 RW 03 kelurahan Bintara Jaya kecamatan Bekasi Barat.
Pasar sendiri berada di bagian selatan kelurahan Bintara Jaya, menurut tokoh
masyarakat setempat Kampung Cibening itu lebih luas dari Kelurahan Bintara
Jaya. Kelurahan Bintara Jaya mempunyai luas wilayah 234,168 ha (dua ratus tiga
puluh empat koma seratus enam puluh delapan hektar are) dengan batas wilayah
sebagai berikut.52
1. Utara : Berbatasan dengan Kelurahan Bintara Kecamatan Bekasi Barat.
2. Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan Jatibening Kecamatan Pondok
Gede.
3. Timur : Berbatasan dengan Kelurahan Jakasampurna Kecamatan Bekasi
Barat.
4. Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Pondok Kelapa dan Kelurahan
Pondok Kopi – Jakarta Timur.
51
52
Wawancara pribadi dengan informan K, Bekasi, 17 Juni 2011.
Data di dapat dari Kelurahan Bintara Jaya, 9 Juli 2011.
39
Kemudian, untuk jumlah pemeluk beragama di kampung Cibening
berdasarkan jumlah penduduk adalah sebagai berikut.
1. Islam
: 31.471 jiwa
2. Kristen Protestan
: 1.236 jiwa
3. Kisten Katholik
:
927 jiwa
4. Hindu
:
256 jiwa
5. Budha
:
90 jiwa
Berdasarkan data yang didapat dari Kelurahan Bintara Jaya, terdapat
gambaran bahwa mengapa begitu banyak masyarakat yang berdagang di kampung
Cibening. Berikut adalah data jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan dan
mata pencaharian.53
Berdasarkan Tingkat Pendidikan
53
Data di dapat dari Kelurahan Bintara Jaya, 9 Juli 2011.
40
Berdasarkan Mata Pencaharian
C. Kondisi Ekonomi
Struktur ekonomi masyarakat di kampung Cibening pada umumnya bergerak
di sektor jasa perdagangan dan industri kecil. Perekonomian ini didukung oleh
Usaha Menengah Kecil (UKM) yang berjumlah sembilan yang antara lain yaitu: 54
54
Data di dapat dari Kelurahan Bintara Jaya, 9 Juli 2011.
41
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa pergerakan sektor
ekonomi kampung Cibening sebenarnya terletak pada sektor informal. Hal ini
diperkuat bila dilihat tingkat pendidikan dan mata pencaharian.
Sumber Arta sebagai sebuah pelampung gejolak sosial pengangguran di
kampung Cibening juga mempunyai peran besar dalam menyerap pengangguran.
Seorang pedagang mengungkapkan salah satu alasan mengapa dirinya berjualan
adalah
ketidakinginannya
untuk
menganggur,
maka
pedagang
tersebut
memutuskan untuk berjualan. Disamping alasan keengganan untuk menganggur,
faktor lainnya adalah pendidikan yang tergolong rendah, yaitu lulusan SMP. Di
kampung Cibening terdapat 8.772 orang yang lulus sampai SMP saja selebihnya
memilih bergerak di sektor informal. Pedagang pasar Sumber Arta terdiri dari
berbagai macam etnis, suku dan agama. Dalam sebuah wawancara P menuturkan.
“Para pedagang tersebut banyak yang datang dari luar daerah, rata-rata dari
mereka datang ke sini karena mengikuti saudara mereka yang telah dulu berjualan disini
dan ada juga yang memang sudah turun temurun” 55
Berdasarkan
wawancara
dan
observasi
para
pedagang
rata-rata
mengontrak rumah petakan di belakang pasar, meski ada juga yang sudah
mempunyai rumah sendiri. Sebut saja UK seorang bos daging yang berdagang di
pasar semenjak tahun 90-an yang kini telah mempunyai rumah pribadi dan
memiliki 8 orang anak buah yang semuanya berjualan daging. Menurutnya
mengapa mereka berjualan, alasannya adalah perekonomian keluarga yang tidak
mendukung untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi agar dapat
mencari pekerjaan.
55
Wawancara Pribadi dengan informan P, Bekasi, 5 Maret 2011.
42
“Sekarang sih udah enak, masuk SD dan SMP tidak bayar, coba dulu, boro-boro
buat sekolah, buat makan sehari aja nemu, udah bersyukur”56
Dari wawancara tersebut, masalah yang sering diutarakan bila berkaitan
dengan alasan berdagang adalah penghasilan ekonomi yang rendah berdampak
pada pendidikan. Maka dari itu banyak masyarakat yang berpendidikan rendah
serta perekonomiannya dibawah rata-rata memasuki sektor informal dikarenakan
kurang terserapnya tenaga produktif yang berurbanisasi dari desa ke kota.
Begitupun penghasilan pedagang yang diwawancarai oleh peneliti, P seorang
penjual buah yang dahulu mempunyai kios kini tidak lagi menuturkan.
“Kalo masalah modal, kita itung-itungannya perhari, karena sekarang
disesuaikan kondisi. Pendapatan yang sekarang mah berkurang drastis, palingan 250
ribu. Itu belum dihitung ongkos lain-lain yang gak keliatan. Jadi kalo perhitungan saya,
57
sebulan kadang dapat dikit keuntungan kadang enggak”
Percakapan diatas tidak jauh berbeda dengan percakapan dengan pedagang
lainnya, karena akibat penggusuran yang telah terjadi cukup membuat penurunan
drastis pendapatan para pedagang. Faktanya banyak dari kios pedagang disewakan
untuk gudang pakaian, obat dan sebagainya. Sedangkan para pemiliknya
berdagang ditempat lain, karena kecewa dengan kondisi pasar.
56
57
Wawancara Pribadi dengan informan UK, Bekasi, 5 Maret 2011.
Wawancara Pribadi dengan informan P, Bekasi, 5 Maret 2011.
BAB IV
Temuan Hasil Penelitian
A. Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta
Resistensi tidak selalu terlihat, karena implementasi dari resistensi itu
sendiri berbeda-beda. Ada yang hanya sekedar “tidak ikut”, apatis, sampai pada
aksi “perlawanan”, tergantung dari kadar perubahan maupun kekuatan
individu/komunitas yang resisten. Kadar perubahan itulah yang akan menentukan
sikap perlawanan yang akan tercipta, bagaimana strategi melawan tersebut
dilakukan serta seperti apa bentuknya.
Fenomena pembangunan apartemen dan penggusuran Pasar Sumber Arta
di Kampung Cibening merupakan perubahan besar bagi pedagang. Apartemen
yang memperoleh izin dari Walikota Bekasi kini terhenti prosesnya seiring waktu.
Menurut salah satu pekerja pengelola pasar, proses terhenti disebabkan Walikota
Bekasi Moechtar Mohammad terjerat kasus korupsi sehingga berimbas pada
proses penyelesaian apartemen. Transaksi pembelian apartemen juga terhenti
karena belum jelasnya status Pasar Sumber Arta, apakah ditiadakan atau
direlokasi kembali dari penampungan sementara.
Pemerintah Kota Bekasi sebagai stakeholder yang mempunyai wewenang
dalam merencanakan pembangunan tata ruang kota ternyata baru memiliki
43
44
masterplan di tahun 2011 ini.57 Masterplan sebagai sebuah cetak biru bagi sebuah
kota merupakan hal yang vital mengingat akan menentukan arah perkembangan
kota tersebut. Perencanaan yang strategis untuk membangun sebuah tata ruang
kota juga menjadi aspek penting, misalnya aspek sejarah, ekonomi dan sosialbudaya.58 Maka diperlukan sebuah kerangka membangun yang mempunyai relasi
fungsional misalnya pembangunan apartemen di Kampung Cibening seharusnya
tidak sampai mengganggu keberadaan lingkungan sekitar yaitu Pasar Sumber
Arta. Namun kenyataan di lapangan mengungkapkan terjadinya penggusuran
hingga ketidakjelasan status pasar tradisional tersebut. Terkait dengan
pembangunan apartemen di tengah lokasi Pasar Sumber Arta, dapat dikatakan
bahwa pembangunan apartemen berada diluar rencana masterplan Kota Bekasi.
Hal ini diperkuat dengan kurangnya sikap proaktif dari wakil rakyat daerah Bekasi
dalam mengawasi pembangunan apartemen.
Bila dilihat dari analisa budaya, apartemen merupakan salah satu jawaban
alternatif bagi masyarakat yang tingkat mobilitasnya tinggi. Masyarakat
bermobilitas tinggi biasanya identik dengan masyarakat perkotaan dimana segala
akses dan mobilitas diutamakan. Maka seharusnya apartemen lebih cocok berada
di tengah kota bukan dipinggiran kota seperti di Kampung Cibening. Selain itu
fakta bahwa terdapat pasar tradisional masyarakat yang digusur demi kepentingan
pembangunan apartemen merupakan bukti konkrit bahwa Pemerintah Kota Bekasi
lamban dalam mengatasi gejolak sosial seperti ini.
57
Teguh setiawan, “Kota Bekasi Masih Tunggu Masterplan,” artikel diakses pada 19 September
2011 dari http://bataviase.co.id/node/406468
58
Dony, “Konsep Pembangunan Kota,” artikel diakses pada 20 September 2011 dari
http://kotabekasinews.blogspot.com/2009/12/konsep-pembangunan-kota.html
45
Kembali pada konteks fenomena Pasar Sumber Arta, sebelum melakukan
proses penggusuran pihak pengelola telah melakukan sosialisasi terhadap
pedagang dalam bentuk edaran yang ditempel di dinding-dinding kios hingga
pertemuan diantara keduanya.59 Rentang waktu sosialisasi resmi dari pihak
pengelola adalah satu bulan, sedangkan isu penggusuran telah didengar para
pedagang sudah lama. Ini terjadi karena kedekatan beberapa sekuriti dengan para
pedagang, karena rata-rata sekuriti adalah warga kampung Cibening yang bekerja
di kantor Pasar Sumber Arta. Pada proses akhir diputuskan pasar tetap digusur
dengan beberapa penggantian yang diajukan oleh pihak pengelola. Pertama,
pedagang akan dibuatkan penampungan sementara untuk pengganti pasar lama.
Sedangkan yang kedua, pihak pengelola berjanji akan membangun pasar baru
dengan infrastruktur yang lebih bagus.
Perubahan sosial yang dialami pedagang pasar Sumber Arta menjadi
sebuah inspirasi untuk melakukan gerak perlawanan. Penggusuran pasar seluas 2
hektar menjadi ± 1 hektar telah berganti dengan bangunan apartemen yang
hingga tulisan ini ditulis belum selesai pengerjaannya. Kondisi penampungan
yang tidak sesuai dengan harapan pun menambah rasa kecewa pedagang terhadap
pengelola yang seakan kurang peduli dengan nasib mereka. Menurut AM, salah
satu faktor penggusuran Pasar Sumber Arta adalah karena terjadi permainan kuasa
oleh pemilik, yaitu dapat berdirinya apartemen di tengah pasar karena pemilik
apartemen tersebut masih satu keluarga dengan Pak Entong.60
59
60
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 21 Maret 2011.
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 23 Juli 2011.
46
Tiga tahun berlalu sejak penggusuran Agustus 2008, pedagang di
penampungan
sementara
menanyakan
janji
pihak
pengelola
mengenai
pembangunan pasar baru. Namun tidak ada penjelasan konkret yang didapat oleh
pedagang, seperti yang dituturkan AD.
“Ketika kami bertanya mengenai kapan akan dibangun pasar baru,
mereka hanya menjawab rencana pasar baru ini sedang dalam proses di
pemerintah. Jika penggusuran pasar saja tidak melibatkan pemerintah, masa
membangun melibatkan, ada yang aneh disini.”61
Fakta tentang penggusuran, kondisi penampungan sementara yang tidak
sesuai harapan, serta pasar baru yang belum dibangun membuat kelompok lemah
ini melakukan sikap resisten terhadap pengelola. Sikap serta tindakan ini
kemudian terakumulasi dalam bentuk perlawanan yang sepertinya tidak kasat
mata, James Scott menyebutnya everyday forms of resistance. Perlawanan seharihari yang cocok dilakukan oleh kelompok lemah untuk mengungkapkan
ketidaksetujuan mereka terhadap penguasa yang dalam hal ini pengelola. Sumber
Arta merupakan pasar dengan status kepemilikan pribadi, yang berdasarkan fakta
tersebut mengharuskan pedagang mengikuti kebijakan pengelola. Kedudukan
pedagang inilah yang menyebabkan pedagang Pasar Sumber Arta sebagai
kelompok lemah. Salah satu contoh pedagang Pasar Sumber Arta dalam posisi
lemah adalah ketika terjadi kasus kebakaran pada Mei 1997. Adalah BP seorang
pedagang yang memiliki kios pakaian cukup besar menjadi korban, kemudian ia
mencoba menuntut ganti rugi terhadap pengelola. Namun setelah mencoba
berbagai cara mulai dari protes terhadap pengelola, bertemu dengan para tokoh
masyarakat hingga sempat menemui pengacara, hasilnya tetap nihil karena pasar
61
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 4 Februari 2011.
47
tersebut adalah pasar dengan kepemilikan pribadi serta terdapat perjanjian yang
lemah antara pedagang dengan pengelola.
“Ibarat perkataan, kita ini hanya menumpang tapi bayar, jadi segala
resiko kita yang tanggung.”62
B. Bentuk-Bentuk Resistensi
1. Resistensi Tertutup
Merupakan resistensi yang dilakukan masyarakat, serta mengembalikan rasa
hormat kepada pihak penguasa.63 Dalam kasus ini pengelola sebagai sasaran
utama pedagang dalam melakukan perlawanan. Selama melakukan penelitian di
lokasi pasar ditemukan media oleh pedagang dalam mencetuskan kekesalan pada
pihak pengelola.
a. Mengomel, menggerutu, berkata kasar, dan membicarakan pengelola
pasar
Mengomel dan menggerutu karena ketidakjelasan atas pembangunan lokasi
pasar yang diharapkan. Bagi mereka ini dilakukan untuk menghindari konfrontasi
langsung dari pihak pengelola. Sikap ini diambil karena dirasa aman serta
keengganan pedagang yang nantinya berurusan dengan pihak pengelola. Sikap ini
jelas terlihat saat wawancara bersama informan berinisial P.
62
63
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 5 Februari 2011
Andi Suriadi, “Resistensi Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Perdesaan,” h. 54.
48
“Mereka (pengelola) memang tidak mau mengerti masalah yang kami
hadapi. Sudah tiga generasi keluarga saya berdagang disini, tapi sepertinya
mereka tidak peduli pada nasib kami sebagai pedagang di pasar ini.”64
Kemudian dalam obrolan santai ditengah lapak tukang sayur, informan lain
mengatakan.
“Ah! tampang seperti mereka mana mau mengerti, yang mereka pikirkan
cuma gimana supaya dapat duit dari pasar ini dan dari apartemen. Liat saja di
depan lapak ini, sudah tiga tukang daging nutup kios. Mereka harusnya sadar
dong, mereka dapat makan juga dari kita, jadi kita tahu sama tahulah.”65
Ketika perkataan tersebut selesai terucap, terdapat celetukan suara dengan
nada tinggi dan kasar dari salah satu pedagang. Hal tersebut memang tidak asing
bila ada pembicaraan mengenai perlakuan pengelola terhadap pasar. Pembicaraan
yang menjurus kepada penjatuhan atau menghilangkan rasa hormat pada pihak
pengelola selalu terjadi bila mereka melihat kawan-kawan sesama mereka yang
tutup dan tidak berjualan. Seperti julukan kepada salah satu pekerja di bagian
pengelola yang dijuluki sebagai “bos besar”, sebutan ini sebenarnya bermakna
penjatuhan kehormatan bagi yang bersangkutan yaitu H. Bukan tanpa sebab hal
tersebut diidentikkan dengannya, karena fakta bahwa H bukanlah pemilik dari
perusahaan yang menaungi pasar Sumber Arta.
“Sikapnya seperti yang punya pasar ini, padahal kita tahu siapa dia, ada
hubungan darah pun tidak ada!”66
64
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 4 Februari 2011
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 15 Maret 2011.
66
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 12 Juni 2011.
65
49
b. Menarik diri dalam pertemuan
Dari beberapa informan diperoleh informasi bahwa seringkali ketika akan
dilakukan pertemuan resmi oleh pihak pengelola para pedagang enggan
menghadiri acara tersebut. Sikap pedagang yang melakukan hal itu disebabkan
oleh faktor akumulasi kekecewaan yang dirasakan akibat janji pihak pengelola
yang tak kunjung direalisasikan sejak pernyataan yang diucapkan pihak pengelola
terhadap pedagang Agustus 2008, bahwa pengelola akan membangun pasar yang
baru di area terminal kecil yang sekarang ditempati transportasi umum.
“Sebelum digusur memang ada pemberitahuan lalu mereka berjanji akan
membangun pasar baru yang nantinya akan lebih bagus seperti pasar Kranji.
Namun kenyataannya sejak penggusuran Agustus 2008 sampai sekarang belum
ada tuh bentuk jadinya, malahan kita yang semakin tercekik dengan segala
macam masalah di penampungan sementara. Jadi kalau ada pertemuan semacam
itu, paling pada malas datang karena cuma akan diberi ucapan manis.”67
Resistensi pedagang dengan tidak ikut hadir dalam acara pertemuanpertemuan, menurut James Scott merupakan resistensi simbolis, yaitu salah satu
bentuk perlawanan pedagang terhadap pengelola karena akumulasi kekesalan
akibat dipertemuan-pertemuan tersebut hanya akan diberikan janji tanpa bukti.
Hal ini juga dilakukan pedagang untuk menunjukkan sikap atau paling tidak
menurut mereka agar pengelola ngeh pada nasib mereka.
c. Bersikap acuh tak acuh
Sikap ini dilakukan ketika ada pihak pengelola yang mendatangi pedagang
untuk mendata ataupun sekedar berkeliling pasar. Mereka bersikap kurang
kooperatif terhadap petugas tersebut. Misalnya saat petugas itu menyapa para
67
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 12 Juni 2011.
50
pedagang yang hanya disambut dengan anggukan dan ekspresi malas. Tidak
semua pedagang melakukan sikap ini, ini dikarenakan terdapat pedagang baru
yang kurang mengerti kondisi pasar.
2. Resistensi semi terbuka
a. Pertemuan yang diadakan oleh inisiatif pedagang
Perubahan luas bangunan pasar yang semakin menyempit, akses menuju
lorong ke dalam pasar yang juga mengecil, serta eskalasi harga barang dagang
yang tidak tentu menjadi sumber kekuatan tersendiri bagi mereka untuk
melakukan protes. Berbeda dengan tindakan-tindakan resistensi yang lain, kali ini
pedagang mencoba melakukan pertemuan dengan pihak pengelola pasar. Bila
sebelumnya pola pertemuan antara keduanya up to bottom sekarang menjadi
bottom to up. Pedagang berkumpul untuk mengatakan bagaimana nasib dan
kondisi mereka di dalam penampungan sekarang.
“Mereka tidak merasakan sesaknya kondisi di penampungan, tempat yang
panas, sempit, kecil serta becek gara-gara bekas tumpukan sampah terdahulu.
Belum lagi masyarakat yang malas datang kemari karena kondisi seperti ini”68
Dari beberapa informan, yang paling gelisah dalam mengutarakan masalah ini
yaitu AM (23 tahun).
“Kami sudah pernah melakukan pertemuan sebelumnya tapi yang ini
kayanya beda, karena kami akan mengutarakannya, bagaimana selama tiga
68
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 12 Juni 2011.
51
tahun dipenampungan diterlantarkan tanpa kejelasan bagaimana pasar akan
dibangun”69
Namun, seperti yang sudah diketahui oleh pedagang, pada akhirnya mereka
kembali kepada aktivitas semula yaitu berdagang karena dengan alasan untuk
kepentingan bersama. Pedagang sepertinya merasakan tahu sama tahu, karena bila
protes tersebut terlalu keras dilakukan mereka tetap kalah, karena dalam
perjanjian dengan pihak pengelola di tahun 1988. Pedagang diberi hak untuk
menempati/berdagang selama 20 tahun yang telah habis masanya di tahun 2008
bersamaan dengan waktu penggusuran.
Hal ini sesuai dengan Perda Bekasi
tentang retribusi pasar pasal 3 tahun 2005. Seperti yang diungkapkan oleh KS.
“Pedagang hanya diberikan hak pakai untuk menempati pasar selama 20
tahun setelah habis masanya kebijakan ada pada PT. Sempurna Abadi Dinamika
selaku yang bertanggungjawab atas Pasar Sumber Arta ini, mau menggusur kek,
mau ngebebangun apartemen kek”70
Dilihat dari pernyataan KS dapat dilihat bahwa pedagang memang dalam
posisi tawar yang lemah untuk melakukan perlawanan. Karena mereka hanya
diberikan hak pakai dengan jangka waktu. Namun informan yang dahulu sempat
merasakan punya dua kios mengatakan.
“Seingat saya, terdapat peraturan bahwa pasar Sumber Arta akan diambil
alih oleh pemerintah Kota Bekasi, karena tidak diperbolehkan adanya
kepemilikan atas pasar pribadi lebih dari tiga tahun”71
Perkataan P juga diperkuat oleh Pak KS selaku bagian Pemasaran pasar
Sumber Arta dalam wawancara tertutup.
69
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 12 Juni 2011.
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 17 Juni 2011.
71
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 7 Maret 2011
70
52
“Terdapat Memorandum of Understanding (MoU) antara PT. Sempurna
Abadi Dinamika dengan Pemerintah Kota Bekasi mengenai penyerahan pasar
setelah dibangun dan dikelola selama lima tahun.”72
Semenjak diresmikan pada tahun 1988 hingga sekarang praktis belum ada
proses pemindahan wewenang dari PT. Sempurna Abadi Dinamika kepada
Pemerintah Kota Bekasi.
“Pasar ini belum dibangun tapi sudah dikelola. Belum dibangun karena
bentuk fisiknya masih begini, nah kalau sudah dibangun seperti rencana yang
dicanangkan kemudian berlalu lima tahun. Barulah kita serahkan kepada
Pemerintah Kota Bekasi untuk mengelolanya.”73
Perbedaan makna pembangunan antara pedagang dengan pengelola sepertinya
menjadi salah satu penyebab mengapa begitu lama pengerjaan pasar yang
rencanya akan dibuat tiga tingkat tersebut. Bagi pedagang makna membangun
pasar adalah cukup seperti merenovasi infrastruktur tanpa menggusur,
memperbaiki tanpa menghancurkan bangunan yang lama. Karena menurut mereka
bila kejadiannya seperti itu akan menghemat biaya. Sedangkan menurut pengelola
membangun pasar yaitu membangun fisik pasar, seperti pasar semi modern seperti
pasar Kranji yang berada di Bekasi Selatan. Namun setidaknya sudah terdapat
aksi kolektif dari pedagang untuk melakukan pertemuan yang digagas oleh
mereka. Aksi kolektif dengan mengadakan forum dari pihak pedagang terhadap
pengelola dalam proses menagih janji pembangunan pasar baru, karena adanya
keyakinan bersama yang memungkinkan terjadi dan terciptanya suatu pemikiran
yang kemudian di manifestasikan dalam aksti kolektif.
72
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 17 Juni 2011
Makna dibangun berdasarkan pernyataan KS yaitu dibangun pasar secara fisik seperti pasar
Kranji di Bekasi Selatan dengan 3 tingkat dan bangunan yang semi-modern.
73
53
b. Membuat Spanduk Pernyataan
Proses terpasangnya spanduk yang berada di Terminal Sumber Arta
merupakan inisiatif dari pedagang yang kecewa terhadap sikap pengelola. Setelah
dua tahun berlalu pasca penggusuran pedagang memberanikan diri untuk
memasang pernyataan sikap. Sikap tersebut diambil menurut AD, karena isu yang
berkembang dikalangan pedagang adalah penghilangan Pasar Sumber Arta dan
cap jelek terhadap Pasar Sumber Arta.
“Memang, kami akui pasar lama becek, tapi coba lihat sekeliling abang
sekarang? Keadaan dipenampungan ini terlalu parah. Kalo siang panas, hujan
sedikit banjir, dan semrawut. Lebih semrawut dari pasar lama. Jadi kalau pasar
ini dibilang jelek, semrawut, panas dan gak pantas didirikan, salah mereka
(pengelola) dong yang membuatnya seperti ini. Kita udah bayar dengan harga
yang gak dikit jumlahnya.”74
Pada awalnya memang tidak ada maksud untuk memasang spanduk tersebut,
karena pedagang mengerti bahwa Sumber Arta merupakan milik Pak Entong.
Namun hal itu tidak cukup menahan akumulasi kekecewaan pedagang. Salah satu
informan menuturkan bahwa ketika isu tersebut berkembang, pedagang merasa
nilai atas eksistensi mereka terancam.
“Sengaja kami pasang spanduk disana, agar pengelola tahu bahwa kami
tak ingin ada penggusuran lagi sebelum ada bukti nyata pasar baru yang
dijanjikan!”75
Spanduk yang bertuliskan “Kami Pedagang Pasar Akan Tetap Menjaga dan
Mengelola Pasar Tradisional Sumber Arta ini”. Maksud dari kalimat yang tertulis
di spanduk adalah bentuk kekecewaan pedagang terhadap isu akan ditiadakannya
pasar. Karena pedagang merasa respon pengelola terhadap pasar semakin
74
75
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 23 Juni 2011.
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 23 Juni 2011.
54
berkurang, terlebih semakin jarangnya komunikasi antara kedua belah pihak
didalam forum. Menurut peneliti, tindakan memasang spanduk merupakan cara
arena hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, pihak lemah yang berada pada
struktur bawah berusaha menyeimbangkan hubungan mereka melalui resistensi
agar tidak terlalu terekspolitasi oleh pengelola.
“Kita hanya bisa berbuat seperti ini, beda dengan pasar lain yang kalo
ada apa-apa langsung demo. Kalau disini tidak, yang ada malah takut karena kita
gak punya kesatuan yang kuat. Pasar ini kalo diistilahkan itu pasar sabar, ya ada
kebijakan ini ya ngikut, ada kebijakan itu ngikut juga, ya karena faktor itu.” 76
Data di atas menunjukkan bahwa pedagang akan melakukan tindakan
terhadap apa yang dianggap akan merugikan dirinya. Bagi pedagang yang terkena
dampak memandang bahwa upaya penggusuran telah sedikit banyak menurunkan
pendapatan usahanya dan akan membawa kepada suatu bentuk penderitaan jika
kehilangan pendapatan, karena itu harus dilakukan tindakan protes. Protes dengan
menggunakan spanduk menurut Scott termasuk bentuk resistensi semi-terbuka
yang dilakukan oleh pedagang, menunjukkan bahwa mereka memilih bentuk
perlawanan demikian karena berusaha menghindari kerugian yang Iebih besar.
Kerugian besar disini adalah terdapat rencana penampungan sementara yang
sekarang ditempati pedagang akan digusur kembali. Keberadaan tempat usaha
yang
terancam
akibat penggusuran mengancam sumber pendapatan pedagang
sehingga pedagang pun memprotes secara agak terbuka.
76
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 12 Juni 2011.
55
C. Faktor Penyebab
1. Masa Hak Pakai Yang Telah Berakhir
Sepertinya salah satu faktor penyebab terbesar pedagang Pasar Sumber Arta
tidak melakukan resistensi terbuka adalah karena dalam perjanjian antara PT.
Sumber Abadi Dinamika (SAD) milik Pak Entong yang menaungi Sumber Arta
dengan Pemkot Bekasi disebutkan bahwa izin pakai/sewa berlaku untuk jangka
waktu selama dua puluh tahun (20) pada Perda Kota Bekasi pasal 4 ayat 2 tentang
Retribusi Pasar Di Kota Bekasi. Faktanya jangka waktu hak pakai telah berakhir
tahun 2008 terhitung semenjak diresmikan pada tahun 1988. Jadi, sebenarnya
pedagang telah mengetahui hal ini sejak lama, namun mereka mempunyai alasan
kuat untuk melakukan sikap resisten yaitu mereka membayar uang iuran untuk
pasar yang akan dibangun nantinya. Fakta unik yang terdapat dari Sumber Arta
adalah Pasar tersebut di resmikan oleh Bupati Bekasi Sukamartono sehingga
seringkali terjadi bias isu apakah pasar akan ditiadakan atau tetap dipertahankan.
2. Pasar Baru Yang Tak Kunjung Dibangun
Menurut KS, pengelola berencana membangun pasar tradisional dengan
bangunan fisik yang modern. Pasar dengan bangunan tiga tingkat dimana masingmasing tingkat mempunyai fungsi.
“Pengelola berencana mendirikan pasar yang baru untuk pedagang dengan
tiga tingkat. Tingkat satu untuk pedagang sayur, tingkat dua untuk pedagang
pakaian, kelontong dan sebagainya dan tingkat tiga dikhusukan bagi parkir. Tapi
semua itu baru rencana, karena masih prosesnya masih tertahan di walikota.”77
77
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 17 Juni 2011.
56
Dari wawancara dengan informan tersebut, ia mengungkapkan kebenaran akan
dibangunnya pasar untuk pengganti pasar lama yang digusur. Namun, proses
rencana tersebut masih tertahan di walikota Bekasi, karena berdasarkan Perda
Kota Bekasi tentang Retribusi Pasar Di Kota Bekasi nomor 8 pasal 9 ayat 3 tahun
2005 yaitu sebelum pelaksanaan pembangunan atau renovasi pasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini, terlebih dahulu harus memiliki izin
prinsip dari walikota.78 Pengelola beralasan bahwa walikota Bekasi saat ini sedang
dalam status nonaktif sehingga rancangan dan prosesnya terhambat akibat
masalah kaskus penyuapan. Namun alasan ini dibantah oleh pedagang dengan
alasan justru pada saat walikota belum menjadi status tersangka, pasar sudah lebih
dahulu digusur.
“Bagi kami, alasan seperti itu gak masuk akal, digusurnya kapan, masuk
penjaranya kapan. Pihak pengelola hanya berkilah dengan alasan itu.”79
Kehadiran bangunan apartemen pun merupakan salah satu sebab utama Pasar
Sumber Arta digusur dan menjadi salah satu faktor sosio-psikologis karena sistem
sosial yang dahulu telah terbangun lama kini berubah akibat pembangunan itu.
Contohnya adalah manajemen pengelolaan dan penempatan blok-blok pedagang
yang semrawut. Dahulu lokasi berjualan ditentukan oleh blok agar rapih
sedangkan kondisi yang terjadi dipenampungan sekarang adalah sebaliknya.
Lapak
jual daging berdekatan dengan toko kelontong, toko obat berdekatan
dengan tukang daging, toko pakaian dekat dengan penjual ayam potong dan ikan
asing.
78
79
Perda Kota Bekasi tentang Retribusi Pasar Di Kota Bekasi nomor 8 pasal 9 ayat 3 tahun 2005.
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 1 Agustus 2011.
57
Berdasarkan observasi dilapangan, belum terlihat adanya sebuah kegiatan
membangun pasar baru seperti yang dikatakan oleh pengelola. Fenomena di atas
dapat dikategorikan sebagai adanya kondisi deprivasi relatif yang dialami
pedagang dalam melihat kenyataan yang terjadi di Pasar Sumber Arta, yakni ada
kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Dalam tipologi deprivasi relatif Gurr,
fenomena tersebut termasuk deprivasi relatif aspirasional, yaitu terjadinya
kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang dialami oleh pedagang.
Masyarakat semakin meningkat ekspektasinya terhadap terjadinya perubahanperubahan, walaupun kenyataannya belum terlaksana.80
3. Intimidasi Pengelola
Berdasarkan wawancara mendalam diketahui bahwa terdapat proses intimidasi
dari pihak pengelola terhadap pedagang. Proses intimidasi biasanya dilakukan
oleh H yang biasa disebut “Bos Besar” oleh pedagang.
“Kalo disini yang paling sering dialami pedagang itu diambil barang
dagangnya kemudian gak dibayar. Saya kesal tapi karena dia yang megang pasar
ini, saya mau ngomong apa. Contohnya dia minta sayur yang saya jual tapi gak
dibayar. Kalo saya bilang keberatan nanti ada orang suruhan kantor yang
datangi saya. Jadi mau tidak mau kita harus merelakan bila tidak mau repot
kedepannya.”81
Pedagang yang biasanya menjadi objek intimidasi adalah penjual sayur.
Menurut AM, ini berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari.82 Berbeda dengan
penjual sayur, penjual daging juga mendapat perlakuan yang sama, tapi tidak
sesering penjual sayur karena masih ada faktor segan terhadap bos daging disini
80
Andi Suriadi, “Resistensi Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Perdesaan,” h. 55.
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 12 Juni 2011.
82
Maksud dari kebutuhan sehari-hari adalah sayur yang merupakan salah satu bahan yang
biasanya dimasak untuk keperluan sehari-hari.
81
58
yang juga ketua Rukun Warga Pasar (WRP). Pedagang umumnya sudah sangat
hapal jika ada orang atas itu datang, karena hanya dia yang mempunyai pengaruh
besar di pasar. Belum lagi ada biaya lainnya seperti biaya koordinasi.
Berikut ungkapan informan tersebut.
“Dulu setiap bulan puasa dan menjelang lebaran pasti kita dimintai duit
THR sebesar Rp. 30.000. Padahal kan saya cuma pedagang bukan pekerja yang
dapat THR, masa mereka meminta pada kita? Biarpun sekarang sudah Rp10.000,
tetap saja saya merasa kurang sreg terlebih karena persoalan pasar yang tak
kunjung dibangun.”83
Bagi pedagang perlakuan H terhadap pedagang dikatakan sebagai ancaman
karena bila secara terbuka mengatakan keberatan dengan perbuatannya, pedagang
akan dipersulit dalam proses pembangunan pasar nanti. Jadi H menggunakan
tekanan kuasa dari pihak berkuasa terhadap pedagang dipihak yang lemah.
4. Warga Rusun Pasar (WRP)
Warga Rusun Pasar (WRP) merupakan suatu kesatuan yang dibentuk oleh
salah satu pejabat dari pihak pengelola yang diperuntukkan bagi pedagang pasar
di pertengahan tahun 2009. Menurut peneliti WRP seperti koperasi yang
menaungi
pedagang
pasar,
karena
di
dalam
prakteknya
WRP
hanya
mengumpulkan iuran untuk biaya tampungan di pasar yang baru. Walaupun
demikian, WRP inilah yang menjadi alat bagi pedagang untuk menyalurkan
aspirasinya dalam bentuk pertemuan yang diadakan sendiri oleh pedagang
terhadap pengelola. Terlebih uang iuran yang pedagang bayar dikelola oleh pihak
pengelola selain itu terdapat „orang dalam‟ di salah satu pendiri WRP yang
83
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 12 Juni 2011.
59
menurut pedagang adalah orang yang peduli terhadap masalah pasar. Ini menjadi
sebuah wadah bagi mereka untuk membangun pemikiran dan sikap kolektif. WRP
memungkinkan dijadikan alat perlawanan kolektif.
WRP sendiri tidak mempunyai struktur organisasi yang baku, maksudnya
hanya mempunyai ketua dan sekretaris. WRP diketuai oleh UK seorang bos
daging yang cukup dihormati oleh pedagang pasar maupun pihak pengelola
sedangkan sekretaris oleh S yang bertugas sebagai pengumpul iuran dan
menyerahkan ke pengelola. Dengan adanya WRP sebagai wadah komunikasi,
akhirnya pedagang dapat sedikit berani melakukan resisten terhadap pengelola
secara kolektif. Pada contoh kasus pemasangan spanduk, tidak tertulis nama WRP
namun sebenarnya adalah inisatif dari beberapa pedagang yang tergabung dalam
WRP. Pemasangan spanduk tersebut juga tidak melalui pertemuan resmi, karena
mereka yang tergabung dalam WRP hampir semua menyetujui. Maka WRP
merupakan salah satu faktor struktural yang dapat menyebabkan sikap resisten
oleh pedagang yakni adanya kondisi struktural (sosial politik) yang menurut
Smelser memungkinkan masyarakat mempunyai ruang gerak dalam
memanifestasikan aspirasinya.84
Tidak terjadinya resistensi terbuka dalam fenomena penggusuran Pasar
Sumber Arta disebabkan beberapa faktor antara lain hampir 70 persen orang yang
bekerja pada pengelola merupakan warga asli sekitar dan para pedagang yang
telah tiga generasi berjualan di pasar tersebut.85 Ada yang menikah dengan warga
84
85
Suriadi, “Resistensi Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Perdesaan,” h. 55.
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 20 Juni 2011.
60
sekitar dan adapula yang menetap karena sudah tidak mempunyai keluarga di
kampung halamannya. Sekiranya gambaran ini dapat memperlihatkan bahwa
kondisi Pasar Sumber Arta merupakan “Pasar Sabar” (menurut pedagang), tidak
dapat melakukan demontrasi seperti kasus-kasus ditempat lain karena ada
beberapa pihak yang menjembatani agar dapat meredam sikap resisten berbentuk
kekerasan.86 Dari pihak pengelola sendiri antara lain terdapat MS sebagai ketua
koordinator keamanan sekaligus menjabat sebagai ketua organisasi informal FBR.
Sedangkan dari pedagang, ada UK yang juga berteman dengan MS di lingkungan
Kampung Cibening.
86
Wawancara Pribadi dengan informan, Bekasi, 12 Juni 2011.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Resistensi pedagang pasar terhadap penggusuran yang telah terjadi
di Pasar Sumber Arta ternyata tidak sampai pada perlawanan terbuka,
melainkan hanya dua bentuk, yaitu pertama, resistensi tertutup dengan
cara mengomel, menggerutu, berkata kasar, dan membicarakan pengelola
pasar, menarik diri dalam pertemuan, Bersikap acuh tak acuh karena
adanya penggusuran yang menyebabkan kekecewaan pedagang. Kedua,
resistensi semi-terbuka yakni melakukan protes terhadap dampak sosialekonomi karena terancam kehilangan sumber pendapatan bila tak segera
melakukan pernyataan sikap. Tidak terjadinya resistensi terbuka
disebabkan oleh efektifnya mekanisme dalam meredam konflik karena
adanya hubungan kekerabatan, tokoh masyarakat dan ketetanggaan dengan
beberapa orang yang bekerja di pengelola.
Resistensi pedagang Pasar Sumber Arta ternyata disebabkan oleh
empat faktor, pertama adalah masa hak pakai yang telah berakhir, kedua,
janji pengelola yang belum terealisasi untuk membangun pasar baru
hingga sekarang. Padahal dalam edaran yang diberikan pengelola berjanji
akan segera membangun pasar pengganti yang lebih bagus. Ketiga, adanya
intimidasi dari pengelola terhadap pedagang dalam waktu-waktu tertentu
yang membuat pedagang kesal. Keempat, kurang berfungsinya WRP
61
62
sebagai wadah bagi pedagang untuk menyalurkan aspirasinya untuk
bergerak secara kolektif.
B. Saran
Dalam penelitian ini, dapat ditegaskan bahwa ada kecenderungan,
semakin besar dampak sosial-ekonomi yang dirasakan oleh para pedagang
akibat ketidakjelasan nasib mereka, maka resistensinya cenderung akan
mngarah pada bentuk menguat (semi-terbuka). Sebaliknya, bila efek dari
kondisi tersebut tidak terlalu mempengaruhi aspek sosial-ekonomi, maka
resistensinya cenderung akan stagnan dan melemah karena dilihat dari
bentuk perlawanan dan status pedagang yang habis masa pakai sesuai
Perda Kota Bekasi nomor 8 tahun 2005 pasal 4 ayat 2.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi munculnya resistensi
pedagang dalam kasus di Pasar Sumber Arta dapat direkomendasikan halhal sebagai berikut:
1. Perlu adanya bukti nyata dari pengelola terhadap pedagang terkait
membangun pasar baru yang dijanjikan, karena menyangkut iuran
yang telah dibayarkan secar rutin sejak penggusuran terjadi.
2. Perlunya memperbaiki komunikasi pengelola dengan pedagang agar
terjadinya simbiosis mutualisme ke depannya.
3. Perlunya mendudukkan stakeholder terkait seperti pemerintah, tokoh
masyarakat, tokoh pedagang serta pengelola dalam forum untuk
menjelaskan bagaimana duduk persoalan mengenai kejelasan nasib
63
para pedagang. Agar mereka mendapatkan legalitas formal dari atas
dan juga memiliki legitimasi dari bawah (grass root). Hal ini terkait
dengan diresmikannya pasar oleh Bupati Bekasi terdahulu dan hak
masa pakai yang kini sudah habis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta:
LP3ES, 1982.
Anwar, Marzani. Adaptasi dan Resistansi. Jakarta: Litbang Agama dan
Penamadani, 2006.
Badan Pusat Statistik. KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2010, No.
77/12/Th. XIII. Jakarta: BPS, 2010.
Budiman, Arief. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia, 1995.
Budiman, Arief. Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 19652005. Jakarta: Freedom Institute, 2006.
Candra, I. Robby. Konflik Dalam Hidup Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Coser, Lewis A. dan Rosenberg, Bernard. Sociological Theory: A Book of
Readings. New York: The Macmillan Company, 1969.
Dahrendorf, Ralf. Konflik dan Konflik Dalam Maysarakat Industri, Sebuah
Analisa-Kritik. Jakarta: Rajawali Pers, 1986.
Erani Yustika, Ahmad. Negara Vs. Kaum Miskin. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Giddens, Anthony. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta: UI Press, 1986.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia, 2007.
Kuper, Adam dan Jessica Kuper. Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali
Pers, 2000.
Lembaran Daerah Kota Bekasi. Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 08 Tahun
2005 Tentang Retribusi Pasar Di Kota Bekasi. Bekasi: Lembaran Daerah
Kota Bekasi, 2006.
Martinussen, John. Society, State and Market: A Guide to Competing Theories of
Development. London and New York: Zed Books Ltd, 1999.
64
65
Nasuhi, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi). Ciputat: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta:
Rajawali Pers, 2002.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Sosiologi: Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern.
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009.
Roxborough, Ian. Teori-Teori Keterbelakangan. Jakarta: LP3ES, 1990.
Scott, James C. Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2000.
Setio, Budi Eko, ed. Prospek dan Masa Depan Ekonomi Indonesia Berbasis
Sektoral. Jakarta: Iskandarsyah Institute, 2006.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2008.
Sumarno. Kontribusi Sikap Mental Wiraswasta untuk Berprestasi. Jakarta: CV.
Era Swasta, 1984.
Suwarsono dan Alvin Y. So. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta:
LP3ES, 1994.
Suyanto, Bagong dan Sutinah. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada, 2005.
Tjokroamidjojo, Bintoro dan A.R., Mustopadidjaja. Teori & Strategi
Pembangunan Nasional. Jakarta: CV. Haji Masagung, 1990.
Zuriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan: Teori-Aplikasi.
Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006.
66
Website:
Badruddin, Syamsiah. “Pengertian Pembangunan.” Artikel diakses pada 21
Februari 2011 dari
http://profsyamsiah.wordpress.com/2009/03/19/pengertian-pembangunan/
Darmawan, Yusran. “Resistensi dalam Kajian Antropologi.” Artikel diakses pada
27 April 2011 dari http://timurangin.blogspot.com/2009/08/resistensi-dalamkajian-antropologi.html
Djumena, Erlangga. “Pengangguran Turun Sedikit,” Artikel diakses pada 4
Februari 2011dari
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/12/02/15420920/
Pengangguran.Turun.Sedikit
Dony. “Konsep Pembangunan Kota,” Artikel diakses pada 20 September 2011
dari
http://kotabekasinews.blogspot.com/2009/12/konsep-pembangunan-kota.html
Lila Abu, Lughod. “The Romance of Resistance: Tracing Transformation of
Power Through Bedouin Women.” Artikel diakses pada 17 Juni 2011 dari
http://www.jstor.org/pss/645251
Setiawan, Teguh. “Kota Bekasi Masih Tunggu Masterplan.” Artikel diakses pada
19 September 2011 dari http://bataviase.co.id/node/406468
Lokasi Penggusuran
Plang Pengelola Pasar Sumber Arta
Terminal Sumber Arta yang rencananya akan dibangun pasar pengganti
Lokasi Penampungan Sementara
Pedoman pertanyaan untuk pengelola pasar
Nama:
Jabatan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Kapan tepatnya pasar Sumber Arta berdiri?
Siapa yang mengelola pasar ini?
Mengenai penggusuran pasar, kapan hal itu terjadi?
Mengapa pasar harus digusur?
Apakah ada proses sosialisasi penggusuran terhadap pedagang?
Seperti apa bentuknya?
Peran apa yang dilakukan oleh pengelola terhadap pasar?
Mengapa pengelola tidak menyerahkan pasar kepada pemerintah daerah?
Pedoman wawancara untuk pedagang pasar:
Nama:
Umur:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Sejak kapan anda berdagang di Pasar Sumber Arta ini?
Sebagai pedagang, apa manfaat Pasar Sumber Arta bagi anda?
Seberapa penting Pasar Sumber Arta bagi anda?
Ketika ada isu pasar digusur, bagaimana anda menanggapai hal tersebut?
Apakah anda rela digusur?
Kenapa anda rela digusur?
Mengapa anda tidak rela digusur?
Mengenai pembangunan apartemen dibekas lahan pasar yang dulu,
bagaimana anda menanggapi hal itu?
9. Bagaimana respon pengelola pasar terhadap pedagang setelah penggusuran
pasar terjadi?
10. Ketika terjadi penggusuran, apakah para pedagang diberikan kompensasi?
11. Adakah proses intervensi pihak lain dalam proses penggusuran pasar?
Intimidasi?
12. Apakah ada organisasi persatuan pedagang?
13. Apakah ada upaya untuk menolak penggusuran pasar?
14. Bagaimana upaya itu dilakukan?
15. Perubahan yang anda rasakan ketika sebelum dan sesudah pasar digusur?
16. Suku apa saja yang paling berperan di dalam pasar?
Data Pedagang Pasar Sumber Arta
2011
Keterangan
Jenis Barang
Jumlah Pedagang
Blok A
Blok B
Blok C
Blok D
Blok E
Pakaian Jadi, Kelontong
103
214
120
121
210
Pedagang Lama
tidak dipenampungan
Pemesan Baru
Total
20
53
11
908
Sumber: Pengelola Pasar Sumber Arta
Download