GAYA BAHASA PERUMPAMAAN/SIMILE DALAM NOVEL YUKIGUNI KARYA YASUNARI KAWABATA Sri Oemiati ([email protected]) Universitas Dian Nuswantoro Abstract: A literary work is a medium to transfer information about internal, social, and cultural conflict in the society described in the work. Writers have their own style in their works. Meanwhile, the study that concerns with language style is called stylistics. This research analyzes the figures of speech in the novel entitled Yukiguni using stylistic theory. The result shows that there are many figures of speech especially simile found in Yukiguni to describe the condition in snowy area. Key words: figures of speech, language style, novel Novel merupakan salah satu wujud dari karya sastra. Struktur novel sebagai sebuah karya sastra terdiri atas tema, penokohan, setting, alur, bahasa, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 1995:4). Karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan bahasa sebagai penyusun karya sastra. Teeuw (1983:1) menyatakan bahwa bahasa merupakan medium bagi pengarang/penyair untuk mengekspresikan gagasannya, sedangkan bagi pembaca/peneliti karya sastra, bahasa merupakan medium untuk memahami karya sastra. Bahasa merupakan sebuah sistem yang menjadi unsur mutlak dalam memahami dan mengarang karya sastra. Teks karya sastra merupakan suatu keutuhan atau bentuk pemadatan sebuah karya yang mengambil kegunaan bahasa secara homogeny ataupun spesifik (Leech, 1981: 12). Sebuah karya sastra tidak mungkin ‘diucapkan’ tanpa menggunakan bahasa. Peranan bahasa menjadi hal yang penting bagi seorang pengarang dalam menghasilkan sebuah karya sastra. Sebagai medium yang digunakan pengarang untuk menuangkan pengalaman estetis atau realitas, bahasa mempunyai makna yang tertuang dalam teks karya sastra. Hal ini disebabkan karya sastra adalah struktur yang bermakna (Pradopo, 2005: 120-121). Teeuw (1988: 72) menyatakan bahwa bahasa sastra adalah bahasa khusus dan membentuk dunianya sendiri, meskipun begitu, kekhasannya bukanlah berarti bahasa sastra tidak dapat diteliti. Rangkaian kata dalam teks karya sastra merupakan makna konotatif atau secondary modeling system. Hal inilah yang membedakan bahasa kolokial dengan bahasa sastra. Bahasa kolokial cenderung bermakna denotatif, sedangkan bahasa dalam karya sastra mempunyai tataran yang berbeda dengan bahasa pada umumnya dan cenderung bermakna konotatif. Walaupun makna bahasa sastra cenderung bermakna konotatif, makna kata dalam karya sastra juga tidak dapat dipisahkan dari makna denotatifnya (Nurgiyantoro, 1995: 273). Wellek (1962: 2223), membagi bahasa menjadi 3 macam, yaitu: bahasa sastra, bahasa ilmu, dan 135 136 Volume 6 No. 2, Juni 2010 bahasa kolokial/sehari-hari. Bahasa sastra itu merupakan secondary modeling system, sedangkan bahasa ilmu dan bahasa kolokial merupakan primary modeling system. Turner (1977: 20) berpendapat bahwa bahasa sastra adalah bahasa dalam konteks, kata penghubung satu dengan yang lainnya. Tiap detil sebuah karya sastra menjadi penunjang kualitas secara keseluruhan. Salah satu karya sastra yang menggunakan bahasa dan gaya bahasa yang singkat dan padat adalah Yukiguni karya Kawabata Yasunari. Meski menjadikan Yukiguni susah untuk dipahami, gaya bahasa Kawabata menjadi hal yang menarik bagi orang-orang yang ingin memahami ceritanya. Stilistika atau Stylistics adalah ilmu tentang style (gaya). Leech (1981: 13) mendefinisikan stilistika sebagai studi tentang gaya bahasa, yang secara sederhana adalah sebagai latihan dalam menggambarkan dalam fungsi ‘apa’ bahasa dibuat. Stilistika karya sastra mencoba menjelaskan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistiknya. Style/gaya bahasa menjadi sebuah konsep hubungan, dan tujuan stilistika sastra adalah menghubungkan dalam rasa yang lebih menarik dibanding yang telah disebutkan, menghubungkan kritik apresiasi estetik dengan deskripsi bahasa. Adapun Turner (1977: 7) berpendapat bahwa stilistika adalah bagian dari linguistik yang berkonsentrasi pada penggunaan bahasa tetapi tidak secara eksklusif, dengan perhatian khusus pada kesadaran dan penggunaan bahasa yang kompleks dalam karya sastra. Aminuddin (1995: 42) menyatakan stilistika merupakan studi yang ditinjau dari sasaran dan penjelasan yang dibuahkan hanya berpusat pada aspek gaya yang secara esensial berkaitan dengan wujud pemaparan karya sastra sebagai bentuk penyampaian gagasan pengarangnya, sedangkan Jassin (1991: 127) stilistika adalah ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa. Gaya bahasa sebuah karya sastra dapat dikaji melalui pilihan kata/diksi dan bahasa kiasan sebagai bagian dari kajian stilistika yang mengkaji gaya bahasa suatu karya sastra. Stilistika, sebagai kajian linguistik, hanya mempelajari struktur kebahasaan meliputi pemakaian atau penyusunan kata, kalimat, wacana, dan gaya pada suatu teks sastra sampai pada efek yang ditimbulkannya dan memberikan penilaian terhadapnya. Stilistika memanfaatkan linguistik untuk meneliti efek estetis bahasa (Wellek, 1995: 221). Kajian stilistika pada karya sastra merupakan sebuah kajian wacana sastra dengan orientasi linguistik. Stilistika juga digunakan oleh sastrawan dalam menciptakan karya sastra untuk menerangkan sesuatu yang berkaitan dengan fungsi artistik dan maknanya. Wellek (1989: 222-223) mengatakan bahwa kajian stilistika secara luas meneliti semua teknik yang dipakai untuk tujuan ekspresif tertentu dan meliputi wilayah yang lebih luas dari sastra atau retorika. Gaya bahasa (style) sebagai kajian utama stilistika, berasal dari bahasa latin Stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Kemudian pada perkembangannya style ditekankan pada keahlian untuk menulis. Style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata. Adapun jangkauan style mencakup unsur-unsur meliputi diksi, frasa, klausa, kalimat, wacana secara keseluruhan (Keraf, 1987: 112). Aminuddin (1995: v) mendefinisikan gaya bahasa sebagai cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Gaya bahasa dalam sastra menimbulkan efek puitis atau efek estetik. Soal pilihan kata Sri Oemiati, Gaya Bahasa Perumpamaan/Simile dalam Novel Yukiguni Karya Yasunari Kawabata 137 adalah soal gaya. Gaya bahasa mempelajari segala cara yang tujuannya ialah untuk mencapai suatu efek tertentu dalam pernyataan. Gaya bahasa dalam karya sastra juga merupakan sistem tanda yang mempunyai makna (Junus, 1989: 187). Makna yang berhubungan dengan gaya bahasa ada yang dapat dilihat dari segi kedekatan antar makna, ada pula yang dapat dilihat dari segi kesamaan antar makna. Kesamaan antar makna berhubungan dengan metafora, dan kedekatan antar makna berhubungan dengan metonimi (Pateda, 2001: 234). Gaya bahasa ada beberapa macam. Pradopo (2005: 8) membedakannya menjadi tiga, yaitu gaya bunyi, gaya kata dan gaya kalimat/gaya wacana. Gaya bunyi meliputi kiasan bunyi, sajak (rima), orkestrasi, dan irama. Gaya kata meliputi gaya bentuk kata (morfologi), arti kata (semantik)¸diksi dan bahasa kiasan, serta gaya asal usul kata (etimologi). Adapun gaya kalimat atau gaya wacana meliputi gaya bentuk kalimat dan sarana retorika. Gaya bahasa yang dikaji dalam penelitian ini merupakan gaya kata yang dikhususkan pada pemakaian bahasa kiasan. Bahasa kiasan merupakan salah satu unsur untuk mendapatkan nilai estetik (Pradopo, 2005: 61). Adapun gaya bahasa kiasan merupakan penggunaan bahasa kiasan/figurative language yaitu menyatakan suatu hal secara tidak langsung dengan menyamakan suatu hal dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama atau menyatakan suatu hal dengan hal lain untuk mendapatkan gambaran angan (imaji) yang jelas (Pradopo, 2005: 38). Bahasa kiasan juga merupakan pemakaian kata yang maknanya tidak sebenarnya (Kridalaksana, 1982: 103). Keraf (1987: 138-145) membagi jenis bahasa kiasan dalam bahasa Indonesia menjadi 16, yaitu: persamaan/simile; metafora; alegori, parabel, fabel; personifikasi/prosopopoeia; alusi; eponym; epitet; sinekdoke; metonimia; antonomasia; hipalase; ironi, sinisme, sarkasme; satire; innuendo; antifrasis; pun/paronomasia. Jassin (1991: 114-125) membagi jenis bahasa kiasan menjadi personifikasi, kiasan/metafora, perbandingan, kiasan klise/hiperbol. Adapun bahasa kiasan perbandingan ditandai dengan kata “seperti, macam, laksana, penaka, ibarat, dll”. Momiyama (1997: 31), membagi gaya bahasa Jepang menjadi metafora (隠 喩 inyu), metonimi ( 換喩 kanyu), dan sinekdoke (提喩 teiyu). Adapun Garyoan membedakan bahasa kiasan menjadi metafora ( 隠 喩 inyu); simile ( 直 喩 chokuyu); metonimi ( 換 喩 kanyu); sinekdoke ( 提 喩 teiyu); personifikasi (擬人法 gijinhou). (Garyoan, 2002, diakses dari www.melma.com). Adapun pengertian gaya bahasa perumpamaan/simile menurut Keraf (1987) adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Kata yang menunjukkan kesamaan antara lain: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan lain-lain. METODE PENELITIAN Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penulis mencari data-data berupa bahasa kiasan yang terdapat dalam Yukiguni kemudian menggolongkan bahasa kiasan sesuai dengan definisi dari masingmasing bahasa kiasan dan mencari bentuk-bentuk penyetaraan dari bahasa kiasan tersebut. Berdasarkan pendapat Garyoan dan Gorys Keraf, maka bahasa kiasan 138 Volume 6 No. 2, Juni 2010 yang terdapat pada Yukiguni digolongkan dalam bahasa kiasan persamaan/simile, metafora, metonimi, personifikasi dan sinekdoke. Akan tetapi dalam analisis ini penulis hanya akan membahas gaya bahasa perumpamaan/simile dalam Yukiguni. Teknik Analisis Data Langkah-langkah dalam analisis data yang penulis lakukan yaitu: 1. mengelompokkan kalimat yang mengandung gaya bahasa perumpamaan. 2. menganalisis kalimat yang mengandung gaya bahasa perumpamaan dan mencari makna dari kalimat tersebut. ANALISIS Simile adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan suatu hal dengan cara mengumpamakannya dengan suatu hal yang lain yang mempunyai kesamaan. Perumpamaan tersebut dilakukan secara eksplisit dengan cara menyertakan kata-kata ‘seperti’, ‘tampak’, ‘sama seperti’, ‘mirip’, ‘sama’, ‘sebagai’, ‘bagaikan’, ‘laksana’, dll. Adapun perumpamaan dalam bahasa Jepang dapat berupa ような/ように/よう、みたい/みる/みた、と同じ、似て いる(youna/youni/you, mitai/miru/mita, to onaji, nite iru)dll. 1. わらじ履きで、なかには饅頭笠を背負ったのもあって、托鉢の 帰りのようだった。烏が塒に急ぐ感じだった。(Kawabata: 133) Warajibakide, nakani ha manjuugasa wo se ottanomoatte, takuhatsu no kaeri no you datta. Karasu ga negura ni isogu kanji datta. (Para bikuni) dengan bersandal jerami dan capingpun tersampir di punggung pulang dari meminta sedekah. Mereka bagaikan burung gagak yang bergegas pulang ke sarang. Burung gagak (karasu), dalam kalimat di atas merupakan perumpamaan Kawabata untuk menggambarkan aktivitas para biksuni yang naik dan turun untuk meminta sedekah pada masyarakat untuk keperluan makan. Para bikuni tersebut berpenampilan bersahaja dengan memakai sandal jerami dan menyampirkan tudung cetok. Burung gagak merupakan padanan kata dari karasu yang dalam konteks kalimat tersebut di atas, burung gagak merupakan perumpamaan bikuni. Adapun penanda simile dalam kalimat di atas adalah bagaikan (you). 2. 乾いた豆幹から小豆が小粒の光のように踊り出る。(Kawabata: 89) Kawaita mamegara kara shoumame ga kotsubu no hikari no youni odori deru. Biji kacang merah itu berloncatan keluar dari kulitnya yang kering bagaikan biji cahaya. Bagaikan biji cahaya merupakan bentuk perumpamaan dari padanan kata kotsubu, yang secara leksikal berarti biji kecil. Biji cahaya memberikan rasa hangat dengan adanya cahaya matahari yang terpantul dari biji-biji kacang tersebut. Biji kacang tersebut dipukul-pukul di bawah terik matahari, sehingga biji Sri Oemiati, Gaya Bahasa Perumpamaan/Simile dalam Novel Yukiguni Karya Yasunari Kawabata 139 kacang yang keluar tertimpa sinar matahari menjadi tampak bersinar. Adapun penanda simile pada kalimat di atas adalah bagaikan (youni). 3. しかし目の前の蜻蛉の群は、なにか追いつめられたもののよう に見える。(Kawabata: 90) Shikashi me no mae no tonbo no gun ha, nanika oitsumerareta mono no youni mieru. Tapi sekawanan capung di depan mata terlihat bagaikan dikejar-kejar. Perumpamaan bagaikan dikejar-kejar memberikan gambaran bahwa hewan bernama capung itu hidupnya bergerombol. Hal ini mengingatkan pemandangan di desa, di mana masih dapat ditemukan segerombol capung yang terbang ke sana-sini di atas lahan pertaniaan sebab dikejar-kejar anak-anak yang berusaha menangkapnya. Akan tetapi, pemandangan seperti ini sulit ditemui di kota. Perbedaan ini diungkapkan dalam Yukiguni dengan pernyataan bahwa capung-capung yang berada di kota selalu dianiaya. Adapun penanda kalimat tersebut termasuk kelompok simile adalah youni (bagaikan). 4. 駒 子の く ちび るは 美 しい 蛭の 輪 のよ う に 滑 らかで あった 。 (Kawabata; 82) Komako no kuchibiru ha utsukushii hiru no wa no youni nameraka de atta. Bibir Komako licin bagaikan lingkaran lintah yang indah. 5. 細く高い鼻が少し寂しいけれども、その下に小さくつぼんだく ちびるはまことに美しい蛭の輪のように伸び縮みがなめらかで、 黙っている時も動いているかのような感じだから、 …(Kawabata: 27) Hosoku takai hana ga sukoshi sabishiikeredomo, sono shita ni chiisaku tsubonda kuchibiru wa makoto ni utsukushii hiru no wa no youni nobichijimi ga namerakade damatte iru toki mo ugoite iru ka no youna kanji dakara, … Meskipun agak risau dengan bentuk hidungnya yang lancip dan mancung, tapi bibir mungil di bawahnya betul-betul seperti lingkaran lintah yang indah yang saat merengutpun indah dan terasa selalu bergerak walaupun sedang diam, … Dalam Yukiguni, keindahan bibir diumpamakan dengan lingkaran lintah penuh dengan darah. Perumpamaan ini dapat dijumpai pada tata rias geisha, di mana bentuk bibirnya sangat mungil berbentuk lingkaran dan berwarna merah bagaikan lintah yang penuh dengan darah. Apabila bibir yang merah tersebut basah dan terkena cahaya maka bibir itu akan memantulkan cahaya. Keindahan bibir dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah bibir merah delima atau bibirnya seperti limau seulas. Pada perumpamaan di atas, penyandingan suatu keindahan dengan suatu yang menjijikkan pada Yukiguni berupaya mengangkat 140 Volume 6 No. 2, Juni 2010 pesan bahwa dalam kehidupan, manusia tidak dapat dipisahkan dengan dua oposisi biner antara keindahan dengan keburukan, kebahagiaan dengan kesedihan, kehidupan dengan kematian. Bibir yang indah didampingkan dengan lintah yang penuh dengan darah pada beberapa kalimat di atas, mendukung tema yang diusung dalam keseluruhan cerita Yukiguni. Terjemahan kalimat no. 5 agak kurang tepat karena kalimat “Hosoku takai hana ga sukoshi sabishiikeredomo” tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Istilah tersebut maksudnya adalah bagi orang Jepang bentuk hidung yang lancip dan mancung sebenarnya bukan membuat mereka bangga justru bentuk hidung yang demikian membuat mereka risau karena dianggap tidak lazim. Penanda simile dalam kalimat no. 4 adalah youni (bagaikan) dan penanda simile dalam kalimat no. 5 adalah youni (seperti). 6. 前髪が細かく生えつまっているというのではないけれども、毛 筋が男みたいに太くて、後れ毛一つなく、なにか黒い鉱物の重 ったいような光だった。(Kawabata: 33) Maegami ga hosokaku haetsumatte iru to iu no dewanai keredomo, kesuji ga otoko mitai ni futokute, okurege hitotsu naku, nanika kuroi koubutsu no juuttai youna hikari datta. Sasakannya bukanlah anak rambut yang tumbuh tipis tetapi garis rambutnya seperti laki-laki, subur dan anak rambutnya menjadi satu sehingga kelihatan bagaikan biji logam berat yang berkilauan. Perumpamaan biji logam berat ini merupakan bentuk penggambaran sasakan rambut seorang geisha di mana jambulnya berupa bulatan yang ditarik ke belakang tanpa diberi anak rambut. Sasakan rambut yang hitam tersebut ditata dibentuk bulatan yang mulus sehingga tampak seperti bulatan dari biji logam hitam yang diletakkan di atas kepala. Sasakan rambut yang diumpamakan dengan biji logam berat merupakan bentuk perumpamaan yang mengoposisikan keindahan dengan kejelekan. Warna hitam rambut jika terkena matahari tampak berkilauan merupakan gambaran rambut yang indah dan sehat, apalagi posisi rambut disasak sehingga tampak rapih. Adapun perumpamaan biji logam berat merupakan gambaran yang tidak indah apabila disandingkan dengan gaya tata rambut. Hal ini disebabkan gambaran logam berat apabila diletakkan di atas kepala akan menambah beban dan ketidaknyamanan bagi seseorang. Perumpamaan di atas kepala akan menambah beban dan ketidaknyamanan bagi seseorang. Perumpamaan di atas merupakan gaya bahasa pengarang untuk mengekspresikan keindahan tata rambut seorang geisha yang tertata mulus dan dipandangnya tampak seperti beban bagi yang melihat. Rasa beban penggunaan gaya rambut yang demikian dapat dirasakan pembaca Indonesia ketika tata riasnya menggunakan sanggul Jawa dengan beban terletak di kepala bagian belakang. Adapun penanda simile dalam kalimat di atas adalah youna (bagaikan). 7. 島村は虚しい切なさに曝されているところへ、温い明かりのつ いたように駒子が入ってきた。(Kawabata: 51) Shimamura wa munashii setsu nasani sarasarete iru tokoro he, nukui akari no tsuita youni komako ga haitte kita. Sri Oemiati, Gaya Bahasa Perumpamaan/Simile dalam Novel Yukiguni Karya Yasunari Kawabata 141 Sementara Shimamura merasa hampa dan sedih, masuklah Komako, bagaikan terpasang lampu yang hangat. Kehadiran seorang wanita (Komako) dapat memberikan sebuah kehangatan secara batin bagi laki-laki (Shimamura). Komako, sebagai seorang geisha yang cantik dan ramah, mempunyai keahlian untuk membuat tamunya merasa nyaman dan senang di dekatnya. Kemampuan Komako dalam bidang kesenian tradisional Jepang membawanya pandai dalam membawa dirinya. Shimamura, sebagai seorang pelancong yang datang ke daerah salju merasa kesepian dan memerlukan kehadiran seorang wanita untuk menemaninya selama dia di daerah salju. Bagi Shimamura, keberadaan Komako yang selalu datang menemaninya membuat hatinya yang hampa menjadi hangat. Kehangatan yang muncul tersebut disebabkan rasa cinta yang terpendam di antara mereka. Di sini digambarkan oleh Kawabata bahwa laki-laki memerlukan kehadiran perempuan, dan juga sebaliknya. Kehampaan dan kesedihan pada kalimat di atas merupakan oposisi biner dari kehangatan yang dirasakan Shimamura ketika Komako datang ke penginapannya. Terpasang lampu yang hangat (nukui akari no tsuita) merupakan bentuk perumpamaan dalam kalimat tersebut dengan penanda simile youni (bagaikan). 8. 遠い山々は雪が煙ると見えるような柔らかい乳色につつまれて いた。(Kawabata:55) Tooi yamayama ha yuki ga kemuru to mieru youna yawarakai chichi iro ni tsutsumareteita. Gunung-gunung di kejauhan diselimuti salju yang berwarna putih susu lembut yang terlihat seperti asap. Perumpamaan dalam kalimat di atas adalah gunung-gunung yang diselimuti saljunya yang terlihat seperti asap (kemuru to mieru). Suasana salju yang yang bagaikan asap akan sulit dibayangkan bagi pembaca Indonesia yang belum pernah melihat dan merasakan dinginnya salju. Akan tetapi, kondisi ini dapat coba dibayangkan dengan kita membuka bagian pembeku pada lemari es, di mana kita jumpai bunga-bunga es tersebut mengeluarkan asap putih yang dingin. Penggambaran Kawabata atas suasana gunung-gunung di daerah yang diliputi salju tampak seperti mengepulkan asap merupakan ekspresi Kawabata dalam menunjukkan rasa dingin di daerah salju. Warna salju diumpamakan dengan warna putih susu merupakan ekspresi untuk meningkatkan efek keindahan yang meliputi daerah salju tersebut. Adapun penanda simile dalam kalimat di atas adalah youna (seperti). Kata gunung-gunung diselimuti salju yang terlihat bagaikan asap merupakan bahasa kiasan untuk menggambarkan kondisi permukaan gunung-gunung di perbatasan tersebut ditutupi salju. Meskipun dalam bahasa Jepangnya tidak dinyatakan secara eksplisit bahwa gunung-gunung tersebut ditutupi salju, penggunaan kata salju berfungsi untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang suasana alam dari daerah di Jepang yang hampir seluruh bagiannya tertutup salju. 9. 駒 子 は 肩 の 痛 さ を こ ら え る か の よ う に 目 を つ ぶ る と 、 …(Kawabata: 67) Komako ha kata no itasa wo koraerukanoyouni me wo tsuburu to, … 142 Volume 6 No. 2, Juni 2010 Komako memejamkan mata seolah-olah menahan sakit pada bahunya, … Ekspresi seseorang ketika menahan sakit dapat melalui teriakan, menggigit bibir, memejamkan mata, dll. Komako memejamkan mata dapat dimaknai dia memang merasa kesakitan atas pegangan Yoko yang kuat atau dapat dimaknai bahwa Komako merasa sakit atas peristiwa yang sedang terjadi yaitu peristiwa sekaratnya Yukio, yang kabarnya merupakan tunangannya dan seseorang yang pernah berjasa padanya, disertai peristiwa tentang perginya Shimamura, seorang pelancong yang telah dicintainya. Istilah bahu digunakan dalam rangkaian perumpamaan itu disebabkan beban hidup seseorang digambarkan terletak pada bahunya. Istilah-istilah beban hidup terletak di bahu juga dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Idiom tentang bahu dalam bahasa Jepang yang juga terdapat dalam bahasa Indonesia yaitu 「この国の将来は君たちの肩のかかってい る。」Kono kuni no shourai wa kimitachi no kata no kakatte iru. (Masa depan bangsa ini ada di pundak/bahu kalian.) (Garrison, 2002: 65). Penanda simile dalam kalimat tersebut adalah youni (seolah-olah). 10. 国境の山を北から登って、長いトンネルを通り抜けてみると、 冬の午後の薄光りはその地中の闇へ吸い取られてしまったかの ように、また古ぼけた汽車は明るいからをトンネルに脱ぎ落と して来たかのように、もう峰と峰との重なりの間から暮色の立 ちはじめる山峡を下って行くのだった。(Kawabata: 71) Kokkyou no yama wo kita kara nobotte, nagai tonneru wo toorinukete miru to, fuyu no gogo no usuhikari ha sono chichuu no yami he suitorarete shimattakano youni, mata furuboketakisha ha akarui kara wo tonneru ni nugiotoshite kitakanoyouni, mou mine to mine to no omonari no aida kara boshoku no tachihajimeru sankyou wo sagatte ikuno datta. (Kereta api yang sudah tua itu) mendaki perbatasan gunung dari utara, mencoba melintasi terowongan yang panjang di mana cahaya redup sore hari di musim dingin seolah-olah terserap ke kegelapan dalam tanah itu dan meninggalkan terowongan, menuruni ngarai di mana warna senja sudah kelihatan di antara puncak-puncak gunung. Kereta api yang sudah usang yang seolah-olah meninggalkan terowongan setelah melintasi terowongan yang panjang merupakan perumpamaan yang merubah sebuah situasi yang biasa saja bahkan tidak menarik menjadi menarik. Kereta api yang datang dan pergi di daerah salju adalah kereta api yang sudah lama dan penampilannya tidak menarik karena usang. Adapun stasiun kereta di daerah salju yang lingkungannya dikelilingi oleh salju, dibangun di bawah terowongan supaya terhindar dari salju yang longsor. Ketika hari memasuki malam, suasana stasiun menjadi terang dibandingkan suasana sekitarnya. Ketika kereta api keluar dari stasiun menuju tujuannya, Kawabata mengumpamakannya seperti kupu-kupu yang meninggalkan kepompongnya untuk terbang kealam bebas. Perumpamaan ini menjadikan gambaran peristiwa kereta api yang usang Sri Oemiati, Gaya Bahasa Perumpamaan/Simile dalam Novel Yukiguni Karya Yasunari Kawabata 143 yang meninggalkan stasiun menjadi peristiwa yang sangat menarik dan eksotik karena pembaca diarahkan pada peristiwa keluarnya kupu-kupu dari kepompong. Penggambaran yang biasa dan cenderung tidak menarik dari peristiwa yang indah daripada keadaan sebenarnya. Penanda simile dalam bahasa kiasan di atas adalah you (seolah-olah). 11. …, 壁に座敷着のかかっているのなどは、狐狸の棲家のようであ った。(Kawabata: 121) …, kabe ni zasshikiki no kakatte iru no nado ha, kori no sumika no youde atta. …, di dinding tergantung kimono perjamuan (untuk acara-acara resmi), semuanya itu mengesankan seolah-olah kamar itu sebuah sarang rubah atau cerpelai. Perumpamaan seolah-olah kamar itu sebuah sarang rubah atau cerpelai disebabkan kamar Komako yang terletak di lantai dua tersebut sangat sempit, kotor dan sudah usang. Perumpamaan seperti ini menunjukkan bahwa kamar tersebut pada dasarnya tidak layak dihuni oleh manusia dan hanya layak dihuni oleh binatang seperti rubah atau cerpelai yang mempunyai tubuh kecil. Perumpamaan tersebut juga memberikan wawasan kepada pembaca bahwa kehidupan di daerah salju sangat sederhana dan bersahaja. Kesederhanaan dan kesahajaan masyarakat di daerah salju tercermin pada tempat hunian Komako, seorang geisha, yang secara ekonomi merupakan golongan masyarakat yang berpenghasilan dan berpenampilan elegan dengan kimono yang mahal dan indah, harus bertempat tinggal di rumah yang sudah usang dan kecil bersama penghuni rumah lainnya. Kondisi ini mempertentangkan antara keindahan dan keeleganan dengan kesederhanaan dan kesahajaan bahkan cerminan tingkat ekonomi yang rendah pada masyarakat di daerah salju. Adapun penanda simile dalam kalimat di atas adalah you (seolah-olah). 12. 月 は ま る で 青 い 氷 の な か の 刃 の よ う に 澄 み 出 て い た 。 (Kawabata: 63) Tsuki wa marude aoi koori no naka no yaiba no youni sumideteita. Bulan (itu) bundar bagaikan pedang yang berada di dalam es yang berwarna biru. Bulan sabit dan bulan purnama merupakan bentuk bulan yang sering digunakan orang-orang yang lagi kasmaran untuk membuat puisi ataupun prosa. Hal ini disebabkan suasana malam dengan sinar bulan ketika berbentuk bulan sabit dan bulan purnama menjadi lebih indah. Bulan berbentuk bulan sabit mempunyai sinar yang tidak terlalu terang ketika menyinari malam hari. Sinarnya cenderung redup di permukaan langit tampak jernih di malam hari. Di daerah salju, terang bulan yang menyinari bumi di malam hari merupakan sebuah pemandangan yang indah. Ketika sinar bulan masih berbentuk bulan sabit. Namun perumpamaan di atas menggambarkan situasi bulan sabit yang cahaya bintangbintang dari gugusan bima sakti sangat jelas menyinari bumi. Akan tetapi, sinar bulan sabit yang jernih akan cenderung redup di siang hari dengan latar belakang langit yang biru. Meskipun redup, sinar bulan tetap terpancar pada latar belakang langit yang biru, dengan perumpamaan mata pedang, sebuah simbol bahaya 144 Volume 6 No. 2, Juni 2010 bahkan kematian yang dapat mencengkeram seseorang kapanpun. Mata pedang merupakan sesuatu yang tajam dan dapat mencelakai seseorang apabila tidak berhati-hati dalam mempergunakannya. Keindahan bulan yang jernih dipertentangkan dengan mata pedang yang tajam merupakan perumpamaan yang mempertentangkan suatu keindahan dengan sesuatu yang dpat menyebabkan orang terluka bahkan kematian, merupakan tema yang diangkat dalam Yukiguni. Keindahan dapat disertai kematian yang secara eksplisit maupun implisit dimunculkan dalam perumpamaan di atas. Penyejajaran dua hal yang bertentangan antara keindahan dan salah satu alat yang dapat menyebabkan kematian menjadi perumpamaan yang indah ketika dilatari oleh suasana langit yang biru ataupun suasana siang hari sebagai simbol kehidupan manusia sebab pada dasarnya masyarakat dahulu menjadikan siang hari sebagai waktu untuk mereka beraktivitas mencari penghidupan dan malam hari sebagai waktu untuk beristirahat. Adapun penanda simile dalam kalimat di atas adalah you (bagaikan). 13. 柿の木の幹のように家も朽ち古びていた。 (Kawabata: 44) Kaki no ki no miki no youni ie mo kuchifurubiteita. Rumahnya pun sudah lapuk seperti batang pohon kesemek (yang mau tumbang). Gambaran di atas merupakan gambaran dari rumah yang selama ini ditempati Komako dan satu keluarga yang membantunya merawat rumah tersebut. Rumah yang sebagian besar penyusunnya adalah kayu, sehingga semakin lama dan dimakan hari, kondisi rumah tersebut tampak tidak layak dihuni oleh manusia. Kerusakan dan keusangan rumah yang selama ini ditempati oleh Komako diumpamakan seperti batang pohon kesemak. Pohon kesemak merupakan pohon yang mempunyai banyak cabang dan permukaan kulitnya bergelombanggelombang dan tidak mulus. Kondisi rumah yang diumpamakan dengan pohon menunjukkan bahwa kondisi rumahnya sudah tidak layak lagi untuk dihuni. Akan tetapi, sebab kondisi ekonomi orang-orang yang tinggal di rumah tersebut tidak memungkinkan untuk mencari tempat tinggal yang lebih layak lagi untuk ditempati. Dari seluruh orang yang tinggal di rumah tersebut, hanya Komako yang bekerja, sedangkan yang lainnya hanya sebatas membantu pekerjaan Komako. Perumpamaan tersebut di atas menunjukkan kesederhanaan dan kesahajaan masyarakat di daerah salju. Adapun penanda simile dalam kalimat di atas adalah youni (seperti). SIMPULAN Dari hasil pembacaan, Yukiguni merupakan novel yang di dalamnya banyak mengandung gaya bahasa terutama gaya bahasa perumpamaan. Hasil analisis menunjukkan bahwa gaya bahasa perumpamaan yang ada dalam novel Yukiguni menggunakan kata pembanding you, miru, to onaji, nite iru, tatoeba, sou. Kata penunjuk bahasa kiasan perumpamaan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “bagaikan, seolah-olah, seperti, seakan-akan”. Dari bahasa kiasan yang terdapat dalam Yukiguni, ditemukan ide pokok dari novel tersebut yaitu dalam kehidupan di dunia, jarak antara Sri Oemiati, Gaya Bahasa Perumpamaan/Simile dalam Novel Yukiguni Karya Yasunari Kawabata 145 keindahan/kebahagiaan dengan keburukan/kesedihan itu sangat dekat, seperti dua sisi mata uang. DAFTAR PUSTAKA Aminuddin, 1995. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang; IKIP Semarang Press Garyoan, 2002. Kyouyou gaido, Jinsei no Tomo. http://www.melma.com Jassin, H.B. 1976. Sastra Indonesia Sebagai Warga Dunia. Jakarta: Gramedia. __________.1991. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: haji Masagung Junus, Umar. 1989. Stilistik, satu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka kemetrian Pendidikan Malaysia. Keraf, Gorys. 1987. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Leech, Geoffrey N., and Short, Michael H. 1981. Style in Fiction. A Linguistic Introduction to English Fictional Prose. London and New York: Longman Paperback Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Edisi Kedua. Jakarta: Rineka Cipta Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press ___________________. 2005. Kajian Stilistika. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Tidak diterbitkan Teeuw. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia ______. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya ______. 1988. Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya Turner, G.W. 1977. Stylistics. New York: Penguin Books Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan (terj. Melani Budianta). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama