7 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Alam dan Selancar 2.1.1 Wisata Alam Bentuk-bentuk wisata dapat dikembangkan berdasarkan pada bentuk atraksi utama dari kegiatan wisata tersebut, diantaranya adalah ekowisata (ecotourism), wisata petualangan (adventure tourism), wisata berdasarkan waktu (gateway and stay), wisata budaya (cultural tourism), dan wisata alam (nature tourism) (Kelly 1998). Namun, pada prakteknya wisata alam sering disatukan dengan wisata petualangan karena sama-sama dilakukan di kawasan yang terbuka (outdoor). Menurut Direktorat Pemanfaatan Alam dan Jasa Lingkungan (2002) wisata alam adalah suatu kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam, Taman Buru, Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Sedangkan Gun (1994) menyatakan bahwa wisata alam merupakan kegiatan wisata dengan atraksi utamanya berupa lima bentuk dasar alam: air, perubahan topografi, flora, fauna dan iklim. Lebih jauh lagi Hiola (2004) menyatakan bahwa bentuk sumberdaya yang umum untuk dikembangkan adalah air, seperti danau, sungai, laut, pantai, dan sebagainya. Potensi alam seperti daerah yang memiliki perbedaan ketinggian tertentu dan mengalami modifikasi lanskap yang akan sangat menarik bagi pengunjung. Flora dan fauna endemik yang sangat bervariatif untuk dijadikan objek berbagai kegiatan seperti pengamatan, pemotretan hingga berburu. Bahkan perbedaan iklim juga bisa menjadi peluang terbentuknya suatu kegiatan wisata. Dilihat dari beberapa pemaparan di atas maka dapat diketahui bahwa karakteristik wisata alam mengharuskan adanya kegiatan wisata yang dilakukan di alam, dimana bentuk interaksi yang dilakukan pengunjung dengan objek wisata tersebut dapat secara langsung (arum jeram, panjat tebing, selancar, dll) atau secara tidak langsung (birdwatching, melihat pemandangan alam, dll). 8 McKinnon dkk (1990) menyatakan beberapa faktor yang membuat suatu kawasan menarik bagi pengunjung, yakni: a. Letak, dekat atau jauh terhadap bandar udara internasional atau pusat wisata. b. Perjalanan ke kawasan tersebut mudah dan nyaman, perlu sedikit usaha, sulit atau berbahaya. c. Kawasan tersebut memiliki atraksi yang menonjol misalnya satwa liar yang menarik atau khas untuk tempat tertentu. d. Kemudahan untuk melihat atraksi atau satwa dijamin. e. Memiliki beberapa keistimewaan berbeda. f. Memiliki budaya yang sangat menarik. g. Unik dalam penampilannya. h. Mempunyai objek rekreasi pantai, danau, sungai, air terjun, kolam renang, atau tempat rekreasi lainnya. i. Dekat dengan lokasi lain yang menarik wisatawan sehingga dapat menjadi bagian kegiatan wisata lain. j. Pemandangan yang indah di sekitar kawasan. k. Ketersediaan makanan dan akomodasi. 2.1.2 Selancar Kegiatan selancar merupakan suatu bentuk dari wisata petualangan yang memiliki peminat dalam jumlah yang cukup banyak. Buckley (2002) menyatakan bahwa terdapat lebih dari 10 juta orang yang melakukan kegiatan selancar di seluruh dunia. Kegiatan ini dilakukan di berbagai daerah pesisir dengan kondisi fisik yang sesuai. Kegiatan selancar sendiri diprakarsai oleh orang Polinesian yang tinggal di Pulau Hawai yang terletak di pusat samudra Pasifik pada akhir tahun 1700-an (Longman 2000). Kegiatan selancar merupakan suatu seni untuk mengendarai ombak menggunakan papan selancar (Britton 2000). Seiring berkembangnya ketertarikan terhadap kegiatan selancar, selancar kini mengalami perkembangan yang sangat pesat yang dimulai sejak tahun 1950an. Sejak saat itu selancar bukan hanya sekedar kegiatan semata melainkan sudah mempengaruhi gaya hidup (Britton 2000). Penelitian terbaru yang dilakukan oleh 9 Neushul dan Westwick (2008) menemukan bahwa saat ini wisata selancar dilakukan oleh lebih dari dua puluh juta orang di seluruh dunia, dengan pendapatan bagi industrinya mencapai 15 juta dolar Amerika. Kegiatan selancar sendiri memiliki beberapa bagian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, baik dari peralatan, kemampuan hingga kondisi biofisik kawasan. 2.1.2.1 Kondisi Alam yang Mempengaruhi Kegiatan Selancar 2.1.2.1.1 Ombak Walaupun ombak merupakan keadaan alam yang terbentuk oleh perpaduan berbagai kondisi fisik alam namun selancar merupakan suatu bentuk olahraga yang memiliki interaksi langsung dengan ombak. Keberadaan ombak dan pengetahuan tentang ombak merupakan kemutlakan yang harus dimiliki oleh setiap peselancar (Britton 2000). Ombak yang tinggi tidak selalu menghasilkan kegiatan selancar yang baik, dan ombak yang rendah juga bukan berarti ketiadaan kegiatan selancar. Terdapat tiga jenis ombak yang didasarkan pada pecah gelombang yaitu (Robison 2010) : a. Plunging breaker Ombak jenis ini merupakan ombak yang umumnya terbentuk oleh angin lepas pantai dengan cara menahan pecahnya puncak gelombang. Dengan tertahannya puncak gelombang tersebut maka yang dihasilkan dari gelombang ini akan memiliki barrel atau beban air yang cukup besar (Thurman dan Trujillo 2004). Berselancar menggunakan ombak jenis ini membutuhkan keahlian yang cukup tinggi karena beban yang tinggi pada puncak gelombangnya akan memberikan dorongan hempasan yang cukup kuat kearah permukaan pantai. b. Spilling breaker Ombak jenis ini terbentuk dari gelombang laut yang tertahan oleh dasar permukaan yang landai dan secara bertahap pecah menjadi ombak. Jenis ombak ini merupakan jenis ombak yang paling baik bagi pemula. Namun, ombak ini terbentuk pada jarak yang cukup jauh dari pantai. 10 Tetapi terdapat kemungkinan terbentuk dekat pantai akibat angin pantai, sehingga mempermudah pemula dan tidak perlu melakukan paddling (berenang diatas papan selancar dengan cara mengayuh menggunakan tangan), sayangnya hal tersebut jarang terjadi. Gambar 2. Jenis-jenis ombak. c. Surging breaker Ombak jenis ini terbentuk oleh gelombang yang berada di kedalaman yang tinggi dengan bentuk permukaan laut yang curam. Gelombang ini baru akan pecah tepat dipinggir pantai. Keadaan inilah yang menyebabkan ombak tersebut sulit untuk digunakan pada kegiatan selancar, walaupun bentuknya menyerupai ombak spilling breaker (Thurman dan Trujillo 2004). 11 2.1.2.1.2 Arus Arus dan gelombang serta ombak memiliki keterkaitan yang sangat kuat dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Hal ini menimbulkan keharusan bagi peselancar untuk memberikan perhatian yang cukup terhadap arus yang ada di suatu kawasan selancar sebelum mereka masuk kedalam kawasan tersebut dan berselancar di dalamnya. Terdapat beberapa arus yang terbentuk di kawasan pantai yaitu arus pesisir, arus bawah dan gelombang surut, dan arus balik (Robison 2010). Tiap-tiap arus memiliki arah dan memberikan pengaruh tersendiri bagi kegiatan selancar. Arus pesisir (longshore currents) merupakan arus yang bergerak paralel ke arah pantai dan terbentuk pada saat ombak mendekati pantai dengan posisi tertentu yang mendorong air searah dengan arah pecahnya ombak. Arus ini umumnya sulit untuk dirasakan oleh peselancar karena air dan peselancar bergerak dengan kecepatan yang sama. Arus ini biasanya menyeret peselancar keluar dari zona selancar, untuk menghindari hal tersebut peselancar harus mengingat posisinya dan mengayuh (paddle) sesekali untuk mempertahankan posisinya. Arus lain yang ada di kawasan pantai adalah arus bawah dan gelombang surut. Arus bawah merupakan arus yang terbentuk akibat pergerakan kembali massa air ke arah laut yang berasal dari puncak lengkungan ombak yang tinggi. Arus bawah merupakan suatu fenomena yang hanya terjadi sebentar. Pada saat puncak gelombang telah pecah, maka arus ini pun berhenti. Fenomena arus bawah ini sering terjadi pada pantai dengan kemiringan yang curam. Arus ini dapat berbahaya bagi anak kecil karena dapat menarik mereka ke perairan yang lebih dalam. Gelombang surut merupakan ombak yang memantul dari pinggir pantai yang curam ke arah laut. Pada saat gelombang ini bertemu dengan gelombang datang maka akan membentuk gelombang ganda yang menyebabkan peselancar yang berada sedang berselancar di ombak tersebut terlempar. Arus yang paling menarik perhatian peselancar berkaitan dengan resiko dan bahaya yang dihadapinya dalam berselancar adalah arus balik. Arus balik merupakan aliran air yang cukup kuat kearah laut dengan luas bidang area yang 12 sempit. Arus balik terbentuk akibat pecahnya ombak di pinggir pantai yang pergerakannya (momentum wave) berubah dari putaran menjadi lajur air. Lajur air tersebut kemudian bergerak kembali kearah laut pada satu bidang sempit (Yu 2003) Peselancar umumnya dapat dengan mudah mengetahui letak arus balik dan memanfaatkannya untuk menuju ke zona selancar tanpa harus menghasbiskan banyak tenaga. Mereka juga dengan mudah mampu keluar dari arus balik tersebut yaitu dengan berenang atau mengayuh menyerong dengan arah arus atau paralel dengan garis pantai. Beberapa hal yang dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui letak arus balik adalah warna air yang lebih gelap dengan warna yang kecoklatan akibat adanya pasir yang tertarik, serta sebidang air yang berombak atau beriak sedangkan kondisi air disekitarnya tenang (Leatherman 2003). 2.1.2.1.3 Angin Kegiatan selancar tidak hanya dipengaruhi oleh kecepatan angin saja, melainkan juga oleh arah angin tersebut. Angin yang berada jauh dari pantai memberikan pengaruh terhadap pembentukan gelombang yang pada akhirnya menghasilkan ombak, sedangkan kondisi angin yang berada didaerah pantai memberikan pengaruh terhadap bentuk dan tekstur ombak (Robison 2010). Angin yang ke arah laut dapat menahan penggulungan ombak lebih lama, memberikan kesempatan bagi peselancar untuk mengendarai ombak lebih lama sebelum akhirnya ombak tersebut pecah. Angin ini juga membentuk cekungan ombak bagi peselancar. Namun, apabila angin ini bertiup cukup kencang, maka akan memberikan kesulitan tersendiri bagi peselancar karena terbentuknya mogulmogul kecil di muka ombak yang menyebabkan peselancar kesulitan untuk Gambar 3. Arah angin dan bentuk ombak yang terbentuk oleh angin ke arah laut. 13 menangkap ombak karena dorongan angin pada ujung papan selancar (Robison 2010). Umumnya peselancar melakukan adaptasi dengan cara menempatkan dirinya lebih curam kearah air sehingga terbantu oleh gaya gravitasi dan dengan melakukan kayuhan yang lebih kuat. Berbeda halnya dengan angin yang bertiup ke arah laut, angin yang bertiup ke arah pantai menyebabkan ombak pecah lebih awal karena adanya dorongan terhadap puncak ombak oleh angin tersebut. Ombak yang terbentuk oleh angin ini cenderung tidak teratur, bergelombang dan berombak, sulit untuk diduga, dan hanya dapat dikendarai dalam waktu yang singkat. Angin jenis ini cocok digunakan untuk latihan bagi peselancar pemula (Robison, 2010). Gambar 4. Arah angin dan bentuk ombak yang terbentuk oleh angin ke arah pantai. Kondisi angin lain yang dapat terjadi di pantai adalah angin yang melintasi pantai atau searah dengan garis pantai. Angin ini merupakan angin dengan periode yang kecil dan singkat serta bergerak dengan kisaran sudut 90 derajat dengan arah gelombang. Pada saat angin bertiup bersinggungan dengan gelombang yang besar dan belum pecah maka ombak yang terbentuk akan berupa ombak yang besar dengan waktu pecah yang cukup cepat, namun pada saat kekuatan angin rendah mengenai gelombang, maka pembentukan ombaknya akan lebih lambat. Hasil akhir yang didapatkan berupa beberapa seksi ombak yang berbeda yang secara dramatis memperkecil potensi lamanya ombak tersebut untuk dikendarai (Robison 2010). 14 Gambar 5. Arah angin dan bentuk ombak yang terbentuk oleh angin sejajar garis pantai. 2.1.2.1.4 Pasang Surut Pasang surut memiliki keterkaitan dengan kedalaman air, faktor ini memiliki peranan yang penting dalam menentukan kapan, bagaimana dan dimana gelombak akan pecah menjadi ombak. Namun, terdapat beberapa ombak yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh pasang surut. Jika pasang terlalu tinggi, ombak yang terbentuk dapat terlalu lemah atau bahkan tidak pecah sama sekali. Namun, jika terlalu rendah, maka kedalaman air akan sangat dangkal sehingga ombak akan pecah tepat dipinggir pantai atau hamparan karang, yang menyebabkan peselancar tidak dapat berselancar. Pasang surut untuk setiap kawasan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh pergeseran waktu kemunculan bulan 50 menit lebih lambat dari hari sebelumnya, sehingga menyebabkan perubahan pasang surut disuatu kawasan untuk setiap harinya juga (Weaver dan Bannerot 2009). Pasang surut memiliki kisaran yang bervariasi, dari beberapa inchi hingga mencapai ketinggian 40 kaki. Pengukuran pasang surut didasarkan pada mean ketinggian tinggi air terendah. Merupakan hal yang umum bagi peselancar untuk memeriksa keadaan pasang surut yang ada di kawasan selancarnya. Dibeberapa kawasan selancar bahkan menyediakan chart pasang surut untuk kawasannya. 15 2.1.2.1.5 Fauna Laut Fauna laut turut memberikan pengaruh pada kegiatan selancar. Hal ini berpengaruh terhadap kemungkinan dapat berselancar atau tidak. Keberadaan fauna laut dalam kandungan air tertentu pada kawasan selancar dapat menyebabkan peselancar disarankan bahkan dilarang untuk berselancar. Fauna laut yang cenderung diperhatikan keberadaannya dalam kegiatan selancar adalah ikan hiu. Terdapat lebih dari 400 jenis ikan hiu yang ada di dunia, namun yang sering menyebabkan terjadinya pelarangan kegiatan selancar adalah ikan hiu jenis Carchadoron carcharias, Galeocerdo cuvier dan Carcharihinus leucas (Leatherman 2003). Ikan hiu cenderung tidak memangsa manusia, umumnya serangan yang dilakukan oleh hiu pada peselancar dikarenakan adanya kemiripan antara peselancar dengan mangsanya (Leatherman 2003). Beberapa kekeliruan tersebut dapat diakibatkan oleh warna pakaian peselancar yang umumnya berwarna hitam sehingga menyerupai warna singa laut atau siluet peselancar diatas papan selancar yang menyerupai penyu. Ubur-ubur adalah fauna laut lain yang diperhatikan dalam kegiatan selancar. Ubur-ubur memiliki bisa yang dapat disuntikkan ke dalam tubuh peselancar melalui tentakelnya apabila bersentuhan dengan kulit peselancar yang dapat menyebabkan rasa sakit hingga kematian. Walaupun tidak semua bisa ubur-ubur berbahaya namun peselancar umumnya selalu diingatkan tentang keberadaan fauna tersebut. 2.2 Pengelolaan Bahaya dan Resiko Pengelolaan bahaya dan resiko pada kondisi alam merupakan suatu hal yang dibuat secara seksama dengan memperhatikan berbagai bentuk bahaya dan resiko yang diberikan oleh kondisi alam dari kawasan tersebut. Pengelolaan bahaya dan resiko pada kondisi alam suatu kawasan melibatkan faktor ketidakpastian karena sifat alam yang tidak pasti. Terdapat beberapa proses yang harus dilakukan dalam mengelola bahaya dan resiko. Proses yang pertama adalah melakukan identifikasi terhadap bahaya dan resiko yang terdapat di dalamnya, proses identifikasi ini ditentukan dengan cara 16 mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan bahaya dan resiko dari kawasan yang dikelola (O’Loughlin 2011). Informasi tersebut dapat berupa hasil pengukuran maupun informasi yang dikumpulkan dari pihak-pihak yang memiliki keterlibatan dengan kawasan tersebut. Tahapan berikutnya adalah penurunan tingkat resiko dari bahaya yang ada (O’Loughlin 2011). Tahapan ini merupakan penentuan tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk menurunkan peluang terealisasinya resiko baik terhadap fisik maupun kesehatan peselancar yang diakibatkan oleh kondisi alam kawasan (Jubenville 1987). Tahapan ini baru dapat dilakukan pada saat tahapan identifikasi terhadap bahaya dan resiko telah dilakukan, yaitu berupa pembuatan klasifikasi atau prioritas terhadap bahaya dan resiko untuk menentukan tindakan yang sesuai untuk tiap tingkatannya. Setiap tindakan yang ditentukan harus disesuaikan dengan bentuk bahaya yang akan diturunkan tingkat resikonya. Bahaya dengan tingkatan resiko yang signifikan harus mendapatkan prioritas yang lebih tinggi dalam pengelolaan. Berbagai bentuk modifikasi atau tindakan lainnya yang ditentukan dalam pengelolaan harus dapat menurunkan tingkat resiko untuk setiap bahaya yang ada tanpa mengurangi daya tarik dari kawasan itu sendiri (Jubenville 1987). Tahapan yang terakhir adalah pengawasan terhadap resiko-resiko tersebut sehingga dapat diketahui apabila terdapat perubahan bentuk ataupun peningkatan resiko dari suatu bahaya tertentu (Tweedale 1994), pada tahapan ini setiap elemen bahaya dan tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menurunkan tingkat resiko diperiksa secara berkala baik perubahan bahayanya maupun keefektifan dari setiap tindakan-tindakan yang dilakukan. Oleh karena itu maka perlu dipahami sebelumnya tentang konsep dari bahaya dan resiko itu sendiri serta bahaya dan resiko apa saja yang terdapat pada kegiatan selancar. 2.2.1 Resiko Resiko memiliki banyak definisi, tergantung pada aplikasi spesifik dan konteks yang digunakan, menurut Ricci (2006) resiko adalah peluang terjadinya efek yang merugikan terhadap suatu hal dengan tingkatan tertentu. Pada kegiatan 17 selancar, resiko yang dipaparkan bagi peselancar memiliki kisaran yang relatif besar, dari resiko yang sangat rendah hingga sangat tinggi, dimana masing-masing resiko tersebut bergantung pada tantangan dari tiap tingkat selancar yang dilakukan. Resiko dalam kegiatan selancar terkait dengan peluang keberadaan suatu resiko dan kerentanan peselancar untuk terpapar pada resiko tersebut. Dalam analisis resiko, peluang tersebut dikaitkan dengan bentuk kerugian yang ada dan konteks dari kerugian tersebut (kesehatan atau fisik). Peluang adalah kemungkinan terjadinya kejadian bahaya. Jika dalam mendefinisikan resiko menggunakan sudut pandang peluang, maka resiko dengan nilai peluang mendekati 1 (mengingat nilai probabilitas antara 0 dan 1) dapat dikatakan sebagai resiko dengan kategori tinggi. Kerugian atau yang disebut juga sebagai konsekuensi adalah hasil dari terjadinya kejadian resiko yang mencakup terganggunya kesehatan atau luka pada seseorang. Jika dalam mendefinisikan resiko menggunakan sudut pandang keparahan, maka resiko yang menghasilkan kerugian terbesar dapat dikatakan sebagai resiko dengan kategori tinggi. Dalam kegiatan selancar, resiko terbesar yang ada berupa kematian. Selain itu, secara umum bila peluang suatu resiko bertambah atau kerugiannya meningkat maka resiko tersebut juga meningkat. Penilaian terhadap resiko tersebut sebelumnya harus didahului dengan identifikasi terhadap resiko yang ada, setelah seluruh resiko telah teridentifikasi maka dapat diketahui resiko mana yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari resiko lainnya. Penentuan hal tersebut didasarkan pada tingkat peluang dan kerugian yang dimiliki oleh masingmasing resiko. Sebuah resiko dengan potensi kerugian yang besar dan peluang kemunculan rendah akan diperlakukan berbeda dengan resiko lain yang potensi kerugiannya rendah namun sering terjadi (peluangnya tinggi) (Tatsiopoulus et al 2005). Untuk menghindari atau mengurangi kesalahan dalam penilaian resiko, maka tiap-tiap tingkat peluang dan kerugian harus dapat diidentifikasikan dengan jelas dan dikonversikan kedalam angka-angka tertentu. Definisi yang jelas dari setiap level tersebut akan sangat membantu dalam menilai resiko-resiko yang ada. 18 Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa kegawatan atau keparahan dari resiko yang memiliki dampak tinggi lebih diperhatikan daripada resiko dengan peluang tinggi, dalam mengevaluasi rata-rata tingkatan resiko (Kahneman dan Tversky 1982 dalam Baccarini et al 2000). Dengan kata lain resiko dengan peluang rendah dan dampak tinggi cenderung dianggap mempunyai nilai resiko yang lebih berbahaya daripada resiko dengan peluang yang tinggi dan keparahan yang rendah. Carter (2006) menyatakan bahwa fungsi identifikasi terhadap resiko adalah untuk memahami skala dan konteks resiko tersebut karena paparannya yang bersifat acak. Selain itu, dengan memahami resiko yang ada maka dapat diketahui bentuk pengelolaan yang bisa dilakukan terhadapnya. 2.2.2 Bahaya Bahaya merupakan suatu hal atau situasi yang pada kondisi tertentu dapat mengakibatkan suatu kerugian (Pritchard 2000) yang terkadang berkaitan dengan aktivitas manusia yang dapat mengakibatkan kerugian bagi peselancar baik berupa gangguan terhadap kesehatan, luka atau cidera bahkan hingga kematian (Williams dan Micallef 2009). Bahaya sendiri merupakan fungsi dari resiko, paparan dan reaksi yang bila tidak terdapat interaksi dengan manusia (dalam hal ini peselancar) maka bahaya tersebut tidak akan dikatakan ada (Smith dan Petley 2004). Penentuan bahaya dapat dilakukan berdasarkan kondisi alam suatu kawasan. Penentuan tersebut dilakukan dengan cara melakukan pengukuran terhadap berbagai kondisi alam kawasan yang memiliki pengaruh keselamatan peselancar. Bahaya dalam kegiatan selancar tidak dapat ditentukan secara pasti. Keadaan ini didorong oleh sifat dari pantai sebagai kawasan selancar yang tidak pasti dan selalu mengalami perubahan. Namun, ketidakpastian tersebut dapat diperkecil dengan cara melihat pola yang terbentuk dari alam kawasan. Pada kegiatan selancar terdapat berbagai bentuk bahaya yang terpapar bagi peselancar karena interaksi yang dilakukannya secara langsung terhadap air yang merupakan sumber utama dari bahaya baik itu berupa arus balik, ombak yang 19 tinggi dan besar, zona selancar yang berkarang hingga paparan sinar UV. Kondisi biologi tertentu juga dapat menjadi sumber bahaya bagi peselancar. Pada kawasan tertentu yang memiliki kondisi biologi yang tak seimbang dapat terjadi perkembangbiakan berlebihan (blooming) dari fauna tertentu seperti ubur-ubur jenis Aurelia aurita ataupun jenis Cortylorhiza tuberculata juga memberikan bahaya tersendiri bagi peselancar. Walker dkk (2000) mengemukakan beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam identifikasi bahaya yaitu : a. Identifikasi bahaya, menentukan lokasi dan potensi kejadian bahaya yang akan timbul di suatu kawasan termasuk sumber bahayanya. b. Pendugaan bahaya, suatu tindakan untuk menduga tingkat kerugian dari paparan resiko tersebut terhadap peselancar apakah tinggi, sedang atau rendah. c. Rekomendasi, pada tahap ini bentuk resiko dievaluasi dan ditentukan rekomendasi bentuk pengelolaan keselamatan yang dapat diaplikasikan pada kawasan tersebut. d. Pengawasan, proses ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas bentuk pengelolaan keselamatan pengunjung yang telah dilakukan di kawasan. e. Pengembangan, setelah pengawasan dilakukan, bagian-bagian pengelolaan keselamatan yang dianggap kurang baik diperbaiki dalam bentuk pengembangan pengelolaan keselamatan pengunjung. 2.2.3 Bahaya dan Resiko dalam Kegiatan Selancar Kegiatan selancar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan di daerah pantai yang memiliki berbagai karakteristik bahaya dan resiko tertentu sesuai dengan kondisi alam kawasannya. Bahaya dan resiko yang ada dalam kegiatan selancar dapat berasal dari fisik kawasan seperti ombak dan arus ataupun dari biologi pantai berupa fauna lautnya. Ombak merupakan potensi sumber resiko atau bahaya yang harus paling diperhatikan. Walaupun kegiatan selancar memang merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengendarai ombak setinggi mungkin dengan waktu yang selama mungkin, namun hal yang sering tidak disadari berkaitan dengan bahaya dan 20 resiko yang diberikan oleh ombak adalah energi yang dihasilkan dari suatu ombak. Energi yang dihasilkan oleh suatu ombak dengan ketinggian tertentu memiliki nilai kuadrat dari ketinggian ombaknya, sehingga ombak dengan ketinggian 3 kaki memiliki energi sembilan kali lebih besar dibandingkan dengan ombak dengan ketinggian satu kaki (Weaver dan Bannerot 2009). Diantara ketiga jenis ombak yang ada, jenis ombak yang paling menantang bagi peselancar adalah jenis plunging breaker (Hutabarat dan Evans 1984), namun jenis ini juga merupakan jenis ombak yang paling berbahaya, kuat dan cepat. Ombak ini terbentuk secara tiba-tiba pada saat massa air dari gelombang laut memasuki kawasan dengan kedalaman rendah. Gelombang tersebut kemudian terdorong hingga membentuk puncak yang tajam kemudian pecah menjadi ombak secara tiba-tiba dengan pusat tumpahan massa air disatu tempat. Diketahui bahwa diantara jenis ombak lainnya, justru jenis plunging breaker merupakan ombak yang kerap menciptakan arus balik pada pantai yang landai (Leatherman 2003). Arus balik sendiri disebabkan oleh sejumlah massa air yang cukup besar yang ditekan jauh ke arah laut akibat adanya pecahan gelombang. Pada saat gelombang pecah maka akan terbentuk swash atau massa air yang bergerak ke atas dan ke bawah pada muka pantai (Leatherman 2003). Semakin besar ombaknya maka massa airnya akan semakin besar pula, dan ombak jenis plunging breaker merupakan jenis ombak yang menghasilkan air putih (air laut dengan buih putih) yang kemudian mendorong swash lebih jauh dari pantai. Massa air tersebut yang tertekan ke arah pantai kemudian secara alami bergerak kembali ke arah laut, massa air tersebut kembali ke arah laut melalui area tertentu yang sempit, aliran air pada area sempit tersebut itulah yang disebut sebagai arus balik (Leatherman 2003). Sinar matahari merupakan salah satu aspek yang memiliki bahaya dan resiko yang paling besar bagi peselancar, namun kerap diabaikan (Peattie et al 2003). Paparan sinar matahari yang diterima oleh peselancar dalam kesehariannya (diluar aktivitas selancar) menyebabkan mereka cenderung mengabaikan adanya bahaya dan resiko yang dapat ditimbulkan oleh sinar matahari. Kegiatan selancar yang sulit untuk dipisahkan dengan bermandikan sinar matahari juga turut mendorong pengabaian tersebut. 21 Sinar matahari masuk kedalam daftar teratas dari bahaya dan resiko di kawasan pantai. Hal ini karena sinar matahari dapat menyebabkan gangguan pada kulit mulai dari sunburn (kulit yang terbakar sinar matahari) hingga kanker kulit. Waktu puncak radiasi sinar UV adalah antara jam 11.00 hingga 13.00 (Williams dan Micallef 2009). Bahaya dan resiko yang datang dari faktor biologi kawasan dapat berupa fauna laut yang berada di kawasan tersebut. Terdapat beberapa fauna laut yang berbahaya bagi peselancar diataranya adalah ular laut. Ular laut memiliki beberapa jenis racun yang berbahaya, dan sebagian besar gigitan dari jenisnya memiliki resiko dan bahaya yang cukup fatal. Walaupun pada dasarnya fauna laut ini tidak bersifat agresif, namun mereka akan tetap menyerang peselancar apabila merasa terganggu atau terancam. Fauna lain yang juga sering dijumpai oleh peselancar dan memberikan bahaya dan resiko tertentu adalah ubur-ubur. Ubur-ubur jenis tertentu memiliki racun dengan tingkatan bahaya dan resiko yang beragam. Racun tersebut disuntikan kepada korbannya melalui tentakel yang memiliki 900 sel penyengat. Tentakel dari ubur-ubur sendiri dapat mencapai panjang hingga 50 kaki, sedangkan racun yang disuntikkan dari tentakel tersebut dapat menyebabkan rasa sakit yang sangat, hingga kematian, namun hal tersebut sangat jarang terjadi (Leatherman 2003). Bulu babi juga merupakan fauna laut lainnya yang memiliki resiko dan bahaya bagi peselancar. Fauna ini umumnya tinggal disela-sela karang dan dapat melukai kaki peselancar apabila menginjak tubuhnya karena tubuh bulu babi yang dilindungi oleh duri-duri yang bervariasi panjangnya, tergantung pada jenis dan umur dari bulu babi tersebut (Robison 2010). Kondisi biologi lain yang memberikan resiko dan bahaya bagi peselancar adalah kandungan mikroorganisme dalam air. Pada saat indeks keragaman mikroorganisme dalam air laut masih dibawah batas normal (3), maka hal tersebut tidak akan memberikan pengaruh apapun bagi peselancar, namun apabila terjadi perkembangbiakan yang berlebihan dari salah satu jenis mikroorganisme tertentu (blooming) maka hal tersebut dapat berubah menjadi suatu resiko dan bahaya 22 tersendiri bagi peselancar (Häder et al 2007). Umumnya, hal ini dapat menimbulkan ruam pada kulit yang disertai rasa gatal.