Siti Zulaikah Enterob Vol.2 No.1

advertisement
Siti Zulaikah Enterob Vol.2 No.1
PEMERIKSAAN ENTEROBIASIS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI II PUTAT
KIDUL KEC. GONDANGLEGI KAB. MALANG
PADA BULAN AGUSTUS TAHUN 2011
Oleh
Siti Zulaikah
Dosen Analis Kesehatan Akademi Analis Kesehatan Malang
INTISARI
Cacing Enterobius vermicularis menyebabkan infeksi cacing kremi yang disebut juga
Enterobiasis atau Oxyuriasis. Infeksi ini biasanya terjadi melalui 2 tahap. Pertama, telur cacing
pindah dari daerah sekitar anus penderita ke pakaian, seprei atau mainan. Kemudian melalui jarijari tangan, telur cacing pindah ke mulut anak yang lainnya dan akhirnya tertelan. Telur cacing
juga dapat terhirup dari udara kemudian tertelan. Setelah telur cacing tertelan, lalu larvanya
menetas di dalam usus kecil dan tumbuh menjadi cacing dewasa di dalam usus besar. Cacing
dewasa betina bergerak ke daerah di sekitar anus (biasanya pada malam hari) untuk menyimpan
telurnya di dalam lipatan kulit anus penderita. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan apakah
terdapat penyakit infeksi Enterobiasis yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis pada
beberapa siswa Sekolah Dasar Negeri Putat Kidul II yang dilakukan secara acak dari kelas 1
sampai dengan kelas 6. Metode pemeriksaan yang digunakan adalah “adhesive cellophane tape”
yang kemudian dilakukan pemeriksaan dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 10/45 dan
menggunakan metode penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan
Enterobiasis pada siswa Sekolah Dasar Negeri Putat Kidul II, dari 50 sampel yang diperiksa
secara acak didapatkan 14 siswa yang positif Enterobiasis, dimana 6 anak dari siswa kelas 1, 3
dari siswa kelas 2, 2 dari siswa kelas 3, 2 dari siswa kelas 4, dan 1 dari siswa kelas 5. Jika di
hitung prosentasenya maka didapatkan 28% anak yang positif terinfeksi Enterobiasis dan 72%
anak yang negatif atau tidak terinfeksi Enterobiasis.
Kata kunci: Enterobius vermicularis, Swap anal, Anak-anak
PENDAHULUAN
Latar belakang
Masalah kesehatan yang sampai sekarang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia salah
satunya adalah penyakit yang disebakan oleh parasit cacing usus (Viqar et al, 2008). Parasit
cacing usus ini mempunyai macam-macam cara penularan, cara penularan cacing usus
digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu: tipe langsung, modifikasi tipe langsung, dan penetrasi kulit.
Adapun cara penularan yang tipe langsung yaitu cara penularannya melalui autoinfeksi dan
retroinfeksi. Diantara nematoda usus yang penularannya tergolong tipe langsung tetapi banyak
ditemukan adalah E. Vermicularis (Indan, 2003), yang nama lainnya adalah Oxyuris vermicularis,
Ascaris vermicularis, cacing kremi, pinworn. (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 1989)
Manusia bisa terinfeksi cacing ini apabila menelan telur infektif, telur akan menetas di
dalam usus (daerah sekum) dan kemudian akan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing
betina biasanya memerlukan waktu kira-kira 1 bulan untuk menjadi matur dan mulai dengan
produksi telurnya. Setelah membuahi cacing betina, cacing jantan biasanya mati dan mungkin
akan keluar bersama tinja. Di dalam cacing betina yang gravid, hampir seluruh tubuhnya
dipenuhi oleh telur. Pada saat ini, cacing betina akan turun ke bagian bawah kolon dan keluar
melalui anus, telur-telur akan diletakkan di perianal dan di kulit perineum ( Lynne et al, 1996).
Sedangkan untuk diagnosis infeksi ini, kadang-kadang cacing dewasa dapat di ambil
dengan pita perekat. Meskipun telur biasanya tidak diletakkan di dalam usus, tetapi beberapa
telur dapat ditemukan di dalam tinja. Telur tersebut menjadi matang dan infektif dalam waktu
beberapa jam. Telur-telur tersebut digambarkan sebagai bola tangan dengan bentuknya yang
lonjong dan satu sisi mendatar (Lynne et al, 1996).
Meskipun beberapa obat sangat efektif untuk membasmi cacing ini, akan tetapi
pengobatan sangat jarang diberikan sebab kebanyakan infeksi ini tidak menunjukan gejala.
Dalam pengobatan, seringkali juga di dalamnya termasuk bimbingan dan nasehat kepada orang
tua yang tidak menyangka bahwa anaknya menderita cacingan. Kebanyakan orang tua tidak
menyadari prevalensi dari infeksi ini, terutama pada anak-anak, dan kenyataannya bahwa banyak
anak-anak yang terinfeksi cacing ini tetapi tidak menunjukan gejala atau menderita akibat infeksi
ini (Lynne et al, 1996). Selain itu jika dilihat dari kerugianya Enterobiasis tidak menimbulkan
kerugian secara materi akan tetapi cenderung membuat anak rewel dan sukar tidur atau insomnia,
sehingga membuat para orang tua binggung dan menjadi kurang istirahat di malam hari akibat
insomnia yang terjadi pada anak mereka, dimana keadaan ini juga menyebabkan gangguan
tumbuh kembang pada anak (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 1989).
Karena infeksi ini umum terjadi dan penularanya sangat mudah, di antaranya dapat
melalui kontaminasi dari anus ke mulut, pakaian yang kotor, telur-telur yang berada di udara,
mainan anak-anak dan benda lainnya, maka dibutuhkan peningkatan kesehatan perorangan dan
kelompok untuk dapat membantu pencegahan infeksi cacing E. vermicularis ini. Juga dianjurkan
pada anak-anak untuk tidur dengan pakaian tertutup dan menjaga kuku tetap pendek dan bersih
(Lynne et al, 1996).
Tinjauan Pustaka
Definisi Enterobius vermicularis
Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk ke tubuh melalui makanan,
pakaian, bantal, sprai serta inhalasi debu yang mengandung telur yang kemudian akan bersarang
di usus dan akan dihancurkan oleh enzim usus, telur yang lolos akan berkembang menjadi larva
dewasa (Dep. Kes RI, 1989).
Nama umum yang dipakai untuk cacing ini ada banyak, seperti Enterobius vermicularis,
Pinworm, Buttworm, Seatworm, Threadworm, dan dalam bahasa indonesia disebut Cacing Kremi.
Kemudian penyakit yang ditimbulkannya disebut Oxyuriasis atau Enterobiasis (Bernadus, 2007).
Klasifikasi Enterobius vermicularis:
Phylum
: Nematoda
Kelas
: Plasmidia
Ordo
: Rhabditia
Genus
: Enterobius
Spesies
: Enterobius vermicularis (Bernardus, 2007)
Morfologi
1 Telur Enterobius vermicularis
Telur Enterobius vermicularis planconvex, berdinding dua lapis. Lapisan luar terdiri
dari albumin dan lapisan dala mengandung bahan lipiodal. Kandungan albumin pada telur
menyebabkan telur tadi merangsang kulit dan mukosa manusia, sehingga sewaktu dideposit di
perianal sering menimbulkan perasaan gatal. Ukuran telur 50-60 mikron x 3,0-3,2 mikron
(Bernadus, 2007). Telur berisi masa bergranula kecil-kecil teratur atau berisi larva cacing yang
melingkar. Telur tidak berwarna dan transparan. Telur berembrio merupakan bentuk infektif. Di
daerah perianal telur dapat menetas dan larva yang ditetaskan dapat masuk kembali ke usus besar
melalui anus atau retroinfeksi (Heru, 2003).
Gambar 1. Telur Enterobius vermicularis
(http://www.asm.org/division/c/photo/pinworm2.jpg, 2010)
2.Cacing Dewasa
Cacing Enterobius vermicularis dewasa berukuran keci dan berwarna putih. Cacing
betina jauh lebih besar daripada jantan (Heru, 1996). Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,3-0,5
mm. Intestinumnya berakhir di anus yang terletak 1/3 bagian badannya, sedangkan vulvanya
terletak di pertengahan bagian anteriornya badan. Uterus biasanya penuh dengan telur.
Sedangkan cacing jantan dewasa berukuran 2-5 mm x 0,1-0,2 mm. Esofagus pada cacing jantan
melanjutkan diri sebagai intestinum berakhir di kloaka (Bernadus, 2007). Cacing jantan juga
jarang dijumpai karena sesudah mengadakan kopulasi dengan betinanya ia segera mati (Pusat
Pendidikan Tenaga Kesehatan, 1989).
Gambar 2. Enterobius vermicularis Betina
(http://www.virtualpediatrichospital.org/patient.cqqa/pinworm.shtml, 2010)
Gambar 3. Enterobius vermicularis Jantan
(http://www.britannica.com.sg/zoologi/pinworm-375316.html, 2010)
Distribusi Geografis
Cacing ini terdapat di seluruh dunia, tetapi paling prevalen di daerah iklim sedang dan tropis.
Namun, dengan makin banyaknya dijual bebas obat cacing, maka prevalensinya mulai menurun.
Di negara yang berkembang seperti di Amerika dan Eropa, cacing ini dianggap paling prevalen
dibandingkan dengan prevalensi cacing-cacing lain, sebab pada musim dingin kebanyakan orang
berpakaian tebal yang menyebabkan suhu dalam pakaian sangat ideal bagi kehidupan cacing ini
(Bernadus, 2007).
Cacing ini sebagian besar menginfeksi anak-anak, meski tak sedikit orang dewasa terinfeksi
cacing tersebut. Meskipun penyakit ini banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah, pasien
rumah sakit jiwa, anak panti asuhan, tak jarang mereka dari golongan ekonomi yang lebih mapan
juga terinfeksi (Viqar and Mary, 2008)
Epidemiologi
Pada cacing E. vermicularis ini tidak dikenal adanya reservoir host, jadi anjing dan kucing
bukan merupakan ancaman dalam hal penularan penyakit infeksi akibat cacing E. vermicularis
ini. Penularan biasanya dari tangan ke mulut atau melalui makanan, minuman dan debu
(Bernardus, 2007)
Cara penularan Enterobius vermicularis dapat melalui tiga jalan:
1. Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri (auto infeksi) atau pada orang lain sesudah
memegang benda yang tercemar telur infektif misalnya alas tempat tidur atau pakaian dalam
penderita.
2. Melalui pernafasan dengan menghisap udara yang tercemar telur yang infektif.
3. Penularan secara retroinfeksi yaitu penularan yang terjadi pada penderita sendiri. Oleh karena
larva yang menetas di daerah perianal mengadakan migrasi kembali ke usus penderita dan
tumbuh menjadi cacing dewasa (Dep. Kes RI, 1989).
1.
2.
3.
4.
5.
Patomekanisme Terjadinya Infeksi Enterobiasis
Manusia terinfeksi bila menelan telur infektif dari parasit Enterobius vermicularis ini,
adapun perjalanan penyakit dari parasit Enterobius vermicularis ini adalah sebagai berikut:
Cacing betina gravit keluar dan turun dari rektum untuk meletakkan telurnya di daerah sekitar
perianal.
Tangan yang tanpa sengaja menyentuh daerah anus atau tangan yang kurang bersih yang telah
digunakan membasuh anus saat buang air besar. Kemudian digunakan untuk makan atau
memegang makanan dan benda lain, maka larva telur infektif dari cacing Enterobius
vermicularis menjadi semakin menyebar dan menginfeksi manusia disekitarnya.
Larva cacing Enterobius vermicularis masuk kedalam tubuh melalui makanan atau tangan yang
terkontaminasi.
Larva telur Enterobius vermicularis masuk kedalam usus manusia dan menetas didalamnya (di
sekum). Kemudian berkembang menjadi larva dewasa yang dapat bertahan hidup antara 2-3
bulan didalam tubuh manusia.
Didalam usus kepala cacing direkatkan pada mukosa usus, hal ini dapat menimbulkan
peradangan ringan oleh karena perlekatan tersebut merupakan iritasi mekanis dan akan
memberikan gejala klinis seperti nyeri perut atau diare (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan,
1989)
Gambar 4. Perjalanan Infeksi Cacing Enterobius vermicularis
(http://galaktosa.blokspot.com/2010_05_01_archive.html, 2010)
Gambar 5. Cacing Enterobius vermicularis saat berada dalam usus
manusia atau
dalam sekum (http://arcticboy.arcticboy.com/pinworm-art-picture, 2010)
Siklus Hidup Enterobius vermicularis
Gambar 6. Siklus
hidup Cacing Enterobius vermicularis
(http://hermanypk.blogspot.com/2010_03_01_archive.html, diakses 18-11-2010)
Cacing betina dewasa yang telah dibuahi akan mulai bermigrasi ke anus untuk bertelur.
Telur yang dihasilkan oleh cacing betina desawa per hari sekitar 11.000 butir yang diletakkan di
daerah perianal. Telur tersebut akan menjadi infeksius setelah berumur 6 jam. Telur yang
infeksius ini biasanya mengandung protein yang mudah mengiritasi dan mudah lengket baik
pada rambut, kulit atau pakaian. Telur akan tinggal disitu sampai 2-6 minggu (Bernadus, 2007).
Telur yang tertelan dan masuk kedalam tubuh manusia akan menetas didalam usus
(daerah sekum) dan kemudian akan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing betina mungkin
memerlukan waktu kira-kira 1 bulan untuk menjadi matur dan mulai dengan produksi telurnya.
Setelah membuahi cacing betina, cacing jantan biasanya mati dan mungkin akan keluar bersama
tinja. Didalam cacing betina yang gravid, hampir seluruh tubuhnya dipenuhi oleh telur. Pada saat
ini cacing betina akan turun kebagian bawah kolon dan keluar dari anus untuk meletakkan
telurnya didaerah perianal, dan siklus kembali berputar lagi (Lynne et al, 1996).
Telur cacing Enterobius vermicularis yang diletakkan di perianal akan menjadi infek
menetas di dalam usus (daerah sekum) dan kemudian akan berkembang menjadi dewasa. Cacing
betina mungkin memerlukan waktu kira-kira 1 bulan untuk menjadi matur dan mulai dengan
produksi telurnya. Setelah membuahi cacing betina, cacing jantan akan mati dan mungkin akan
keluar bersama tinja. Di dalam cacing betina yang gravid, hampir seluruh tubuhnya dipenuhi
oleh telur. Pada saat ini cacing betina akan turun ke bagian kolon dan keluar melalui anus, telurtelur akan diletakkan di perianal dan di kulit perineum (Lynne et al, 1996).
Gejala Klinis
Enterobiasis sering tidak menimbulkan gejala (asimptomatis). Gejala klinis yang menonjol
berupa gatal-gatal di daerah sekitar anus atau perianal, disebabkan oleh iritasi disekitar anus
akibat migrasi cacing betina ke perianal untuk meletakkan telur-telurnya. Gatal-gatal di daerah
anus terjadi saat malam hari, karena migrasi cacing betina terjadi di waktu malam (Lynne et al,
1996)
Infeksi cenderung banyak pada anak-anak dan lebih sering pada wanita daripada pria. Pada
wanita dengan infeksi berat, dapat menyebabkan vaginitis disertai keluarnya cairan mukoid dari
vagina diikuti migrasi cacing ke dalam vagina, uterus atau tuba fallopy (Lynne et al, 1996).
Perlekatan kepala cacing pada mukosa usus menimbulkan peradangan ringan oleh karena
perlekatan tersebut merupakan iritasi mekanis dan akan memberi gejala klinis berupa nyeri perut,
diare atau tanpa gejala (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 1989). Gejala-gejala lainnya yang
dihubungkan dengan infeksi cacing kremi, terutama pada anak-anak adalah gelisah, insomnia,
mimpi buruk dan kadang kejang (Lynne et al, 1996).
Permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah penyebab penyakit infeksi parasit
yang sering terjadi pada manusia terutama pada anak-anak? dan Apakah terdapat penyakit
infeksi Enterobiasis yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis pada beberapa siswa
Sekolah Dasar Negeri Putat Kidul II yang dilakukan secara acak dari kelas 1 sampai dengan
kelas 6?
METODE PENELITIAN
Tujuan pwenelitian ini adalah untuk membuktikan keberadaan parasit yang sering
menginfeksi manusia terutama anak-anak dan membuktikan adanya parasit Enterobius
vermicularis pada beberapa sampel siswa SDN Putat Kidul II Kec. Gondanglegi Kab. Malang.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi Sekolah Dasar Negeri Putat Kidul II
dari kelas 1 hingga kelas 6 di Desa Putat Kidul, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang.
Sedangkan sampel penelitian diambil secara acak dari rata-rata jumlah keseluruhan siswa yakni
dipilih 50 siswa untuk kelas 1-6 yang bertempat tinggal hanya di Desa Putat Kidul .
Variabel penelitian ini terdiri dari Variabel bebas yaitu penyakit infeksi pada manusia
akibat parasit dan Variabel terikat yaitu keberadaan telur dan cacing Enterobius vermicularis.
Pengumpulan data diperoleh dari data perihal kejadian infeksi cacing kremi diperoleh
dengan cara melakukan pemeriksaan laboratorim dari swap perianal menggunakan metode
Adhesive cellophane tape (Lynne et al, 2007).Data perihal usia siswa sekolah dasar mulai kelas 1
hingga 6 diperoleh dengan melakukan observasi langsung.
Metode analisis data secara statistik dilakukan dengan menghitung besaran prevalensi
yang dinyatakan dalam satuan persentase (%) dan grafik atau diagram.
1. Obyek telur Enterobius vermicularis yang ditemukan pada sampel diolah berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium, dan selanjutnya diolah menjadi kategori yaitu: “positif” apabila
ditemukan telur atau cacing dewasa E. vermicularis dan “negatif” apabila tidak ditemukan telur
atau cacing dewasa E. vermicularis.
2. Subyek siswa sekolah dasar kelas 1-6 yang digunakan sebagai sampel diolah berdasarkan
banyaknya yang terinfeksi pada masing-masing katagori dan selanjutnya dihitung prosentasenya.
Prosedur Penelitian
1 Alat dan Bahan
Alat yang dipakai dalam penelitian ini adalah Adhesive cellophane tape (pita plastik
perekat), objek glass, sendok yang panjangnya 10 cm atau alat penekan lidah dari kayu (spatel),
kertas label dan mikroskop. Bahan yang diperlukan untuk pemeriksaan berupa perianal swab dari
anak Sekolah Dasar Negeri Putat Kidul II di Desa Putat Kidul, Kecamatan Gondanglegi,
Kabupaten Malang.
2.Metode Kerja
Prinsip Pemeriksaan:Plastik perekat direntangkan pada sebuah kaca objek, dimulai ½ inci
drai tepi kaca objek dan demikian juga di ujung lainnya. Letakkan sehelai kertas berukuran ½
inci di antara kaca objek dan plastik perekat pada salah satu ujungnya. Kemudian untuk
mengambil sampel, lepas kembali pita plastik perekat dan letakkan pada katu spatel lidah
dengan bagian perekat diluar, kemudian tekankan pita plastik tersebut ke kanan dan ke kiri di
lekukan perianal. Letakkan kembali plastik perekat, tulis identitas pasien dan periksa (Lynne dan
David, 1996).
3.Waktu Pengambilan Spesimen
Waktu pengambilan spesimen yang dilakukan dalam pemeriksaan Enterobiasis dengan
menggunakan teknik “Adhesive cellophane tape” adalah pagi hari sebelum penderita buang air
besar dan mencuci pantat (cebok). Itu adalah waktu yang tepat untuk mendapatkan hasil yang
terbaik. Selain itu, waktu pengambilan juga dapat dilakukan pada malam hari yaitu sebelum tidur
terutama saat gejala rasa gatal muncul disekitar anus. Karena pada saat itu cacing betina
bemigrasi ke daerah perianal tempat telur di letakkan (Bernardus, 2007)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pemeriksaan
Analisa dilakukan terhadap 50 sampel. Dari 50 sampel tersebut diperiksa dan diperoleh data
sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil pemeriksaan Enterobiasis siswa SDN Putat Kidul II
di Laboratorium Parasitologi AAKMAL
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
Nama
Dimas Dwi Pratama
Feri Irawan
Nur Baitul Asikin
Yoga Prasetio
Hari
Septian Prabowo(asep)
Andik Kurniawan
Arisuhadak
Jefri Fajar Pamula
Santi
Suliswati
Maria Putri
Riska Amelia
Agustina W
Ananda Febrianto
Siti Ratnawati
Amirudin
Toni Prayoga
Doni Nofianto
Ulfa Maulidia
Yusuf Efendi
Hanum Faruroh
Disa Andini
Ahmad Arifudin(aan)
M. Dicky Prasetio
Suci Nur Yati
M. Abdurrahman
Sarifatul Aini
Yogi Wibowo
Siti Solikha
M. Endras
Ari Budi
Lindasari
Anita Pasya Mandarita
Siska Agustina
Alfin Irfani
Widia Dwi D
Usia
Kelas
6th
7th
7th
7th
7th
6th
7th
6th
6th
7th
7th
8th
8th
8th
8th
7th
7th
8th
7th
8th
8th
9th
9th
8th
8th
9th
9th
9th
10th
9th
9th
9th
9th
10th
11th
11th
10th
1 (satu)
1 (satu)
1 (satu)
1 (satu)
1 (satu)
1 (satu)
1 (satu)
1 (satu)
1 (satu)
1 (satu)
2 (dua)
2 (dua)
2 (dua)
2 (dua)
2 (dua)
2 (dua)
2 (dua)
2 (dua)
3 (tiga)
3 (tiga)
3 (tiga)
3 (tiga)
3 (tiga)
3 (tiga)
3 (tiga)
3 (tiga)
4 (empat)
4 (empat)
4 (empat)
4 (empat)
4 (empat)
4 (empat)
4 (empat)
4 (empat)
5 (lima)
5 (lima)
5 (lima)
Hasil
(-) Negatif
(+) Positif
(+) Positif
(+) Positif
(+) Positif
(-) Negatif
(+) Positif
(+) Positif
(-) Negatif
(-) Negatif
(+) Positif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(+) positif
(-) Negatif
(-) negatif
(+) positif
(+) positif
(+) positif
(-) negatif
(-) negatif
(-) negatif
(-) negatif
(-) negatif
(-) negatif
(+) positif
(-) negatif
(-) negatif
(-) negatif
(+) positif
(-) negatif
(-) negatif
(-) negatif
(-) negatif
(+) positif
(-) negatif
1.
38. Hendianto
39. Anto Hendrawan(antok)
40. Dian Pradana
41. Siti Kasrotin(iin)
42. Elisa Damayanti
43. Dwi Andini
44. M. Afikurrahman(apik)
45. M. Alif
46. Dani Wahyu
47. Zaidin
48. Wiwik Utari
49. Ahmad Alwibi
50. Kurniawati
Keterangan :
Hasil positif : Apabila ditemukan telur
anal, seperti pada gambar dibawah ini:
10th
10th
10th
11th
11th
12th
11th
11th
12th
11th
12th
12th
12th
5 (lima)
5 (lima)
5 (lima)
5 (lima)
5 (lima)
6 (enam)
6 (enam)
6 (enam)
6 (enam)
6 (enam)
6 (enam)
6 (enam)
6 (enam)
(-) negatif
(-) negatif
(-) negatif
(-) negatif
(-) negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
atau cacing Enterobius vermicularis pada sediaan swap
Ekor Enterobius vermicularis betina
Gambar 7. Ekor cacing Enterobius vermicularis betina (hasil penelitian dari sampel swap anal)
Telur Enterobius vermicularis
Gambar 8. Telur cacing Enterobius vermicularis (hasil penelitian dari
sampel swap anal)
2.
Gambar di atas didapat dari mikroskop dengan pembesaran 40x dan di foto dengan
kamera handphone 2 megapixel. Dan dari gambar di atas dapat dilihat bahwa ditemukan cacing
(sebelah kiri) dan telur (sebelah kanan) dari Enterobius vermicularis pada beberapa sampel swap
anal siswa Sekolah Dasar Negeri Putat Kidul II Kec. Gondanglegi Kab. Malang.
Hasil negatif : Apabila tidak ditemukan telur atau cacing Enterobius vermicularis pada sediaan
swap anal, seperti pada gambar dibawah ini:
Tidak ditemukan telur atau cacing dari Enterobius vermicularis, hanya kotoran pada swap anal
sampel.
Gambar 9. Hasil penelitian dari sampel swap anal yang
menunjukkan hasil negatif.
Gambar di atas didapat dari mikroskop dengan pembesaran 40x dan di foto dengan
kamera handphone 2 megapixel. Dan dari gambar di atas dapat dilihat bahwa tidak ditemukan
cacing ataupun telur Enterobius vermicularis diantara beberapa sampel swap anal siswa Sekolah
Dasar Negeri Putat Kidul II Kec. Gondanglegi Kab. Malang.
Analisa Data
Dari tabel diatas dapat diambil data sebagai berikut:
1. Jumlah sampel keseluruhan
= 50
2. Jumlah sampel yang menunjukkan hasil positif
3. Jumlah sampel yang menunjukkan hasil negatif
 Prosentase hasil pemeriksaan positif
% = jumlah sampel positif x 100%
= 14 x 100%
= 28% (Irianto, 2005)
= 14
= 36
Jumlah sampel keseluruhan 50
 Prosentase hasil pemeriksaan negatif
%= jumlah sampel negatif x 100%
= 36 x 100%
= 72% (Irianto, 2005)
Jumlah sampel keseluruhan 50
Keterangan:
1. Sampel positif
2. Sampel negatif
Gambar 10. Diagram lingkaran prosentase infeksi cacing kremi siswa SDN Putat Kidul II
Prosentase siswa yang terinfeksi 28% dari jumlah keseluruhan sampel yang diambil secara
acak dari kelas1-6. Dari diagram di atas dapat diketahui bahwa sampel yang menunjukkan hasil
positif telah menempati ≥1/4 lingkaran dan sampel yang menunjukkan hasil negatif 72% yang
menempati ±3/4 bagian lingkaran. Hal ini menunjukkan penyakit infeksi akibat E. vermicularis
sudah mulai berkembang di desa Putat Kidul ini terutama pada siswa SDN Putat Kidul II yang
28% dari mereka menunjukkan hasil positif.
PEMBAHASAN
Pengambilan sampel dilakukan di Sekolah Dasar Negeri Putat Kidul II desa Putat Kidul
kecamatan Gondanglegi kabupaten Malang. Daerah ini diduga memenuhi syarat dalam
penyebaran cacing Enterobius vermicularis dimana sebagian masyarakatnya kurang begitu
memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan.
Penelitian dilakukan terhadap 50 sampel yang diambil dari 10 siswa kelas1, 8 siswa
kelas2, 8 siswa kelas3, 8 siswa kelas4, 8 siswa kelas5 dan 8 siswa kelas6. Dari 50 sampel
tersebut diperiksa dan didapatkan hasil seperti yang terdata dalam tabel dibawah ini.
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Enterobiasis Siswa SDN Putat Kidul II yang dikelompokkan
Berdasarkan Kelas dan Usia
Kelas
Usia
Jumlah
Hasil Penelitian
Sampel
Positif
Negatif
1 (satu)
6-7 th
10
6
4
2 (dua)
7-8 th
8
3
5
3 (tiga)
8-9 th
8
2
6
4 (empat)
9-10 th
8
2
6
5 (lima)
10-11 th
8
1
7
6 (enam)
11-12 th
8
0
8
50
14
36
Jumlah
Prosentase hasil pemeriksaan positif dan negatif berdasarkan klasifikasi data di atas adalah
sebagai berikut:
Gambar 11. Diagram batang hasil pemeriksaan Enterobiasis dengan jumlah 14 siswa yang
positif terinfeksi yang di prosentase berdasarkan kelas.
Gambar 12. Diagram batang hasil pemeriksaan Enterobiasis dengan jumlah 36 siswa yang
negatif atau tidak terinfeksi yang di prosentase berdasarkan kelas.
Dari 50 sampel yang diperiksa didapatkan 14 siswa yang positif Enterobiasis, dimana 6 dasi
siswa kelas 1, 3 dari siswa kelas 2, 2 dari siswa kelas 3, 2 dari siswa kelas 4, dan 1 dari siswa
kelas 5. Hal ini menunjukkan bahwa pada siswa kelas 1 yang interval usianya antara 6 sampai 7
tahun lebih banyak terinfeksi Enterobiasis dibandingkan pada anak kelas 2, 3, 4, 5 dan 6 yang
mempunyai rentang usia di atasnya, hal itu bisa terjadi karena kemampuan siswa kelas 1 dalam
menjaga kebersihan dirinya masih sangat kurang dibanding dengan siswa kelas 2, 3, 4, 5 dan 6 di
atasnya. Walaupun pada kelas 2, 3, 4, 5 dan 6 masih merupakan rentang usia 7-12 tahun yang
juga resiko terpapar infeksi Enterobiasis dari sumber penularan infeksi yang sama yaitu melalui
debu di ruangan sekolah yang mudah diterbangkan oleh angin sehingga telur melalui debu akan
tertelan, akan tetapi tingkat kebersihan diri siswa kelas 1 masih sangat kurang dibanding kelas di
atasnya. Oleh karena itu siswa kelas 1 menunjukkan hasil positif cukup tinggi dan di ikuti
penurunan pada siswa kelas lainnya yang bisa dilihat pada diagram batang diatas (Gambar 11).
Diagram tersebut menunjukkan bahwa dari kelas 1 sampai kelas 6 terjadi penurunan infeksi.
Sedangkan diagram kedua (Gambar 12) menunjukkan peningkatan hasil negatif dari kelas 1
sampai kelas 6.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan Enterobiasis pada siswa Sekolah
Dasar Negeri Putat Kidul II, dari 50 sampel yang diperiksa secara acak didapatkan 14 siswa yang
positif terinfeksit Enterobius vermicularis, dimana 6 anak dari siswa kelas 1, 3 dari siswa kelas 2,
2 dari siswa kelas 3, 2 dari siswa kelas 4, dan 1 dari siswa kelas 5. Hal ini menunjukkan bahwa
anak pada usia sekolah dasar, kususnya mulai usia 6 sampai 12 tahun sangat rentan terhadap
infeksi ini. Jika di hitung prosentasenya maka didapatkan 28% anak yang positif terinfeksi
Enterobiasis dan 72% anak yang negatif atau tidak terinfeksi Enterobius vermicularis.
Saran
Bagi Masyarakat lebih memperhatikan kebersihan diri sendiri dan lingkungan agar
terhindar dari infeksi akibat parasit Enterobius vermicularis. 2). Menyadari pentingnya menjaga
kebersihan diri dan lingkungan guna menghambat penyebaran infeksi akibat parasit Enterobius
vermicularis, kususnya dilingkungan sekolah hendaknya memberi fasilitas tempat mencuci
tangan bagi anak didiknya untuk menghindari penyebaran penyakit infeksi kususnya infeksi dari
parasit Enterobius vermicularis ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Penuntun Praktikum Parasitologi Kedokteran. Jakarta: FKUI.
Anonim. http://arcticboy.arcticboy.com/pinworm-egg-picture, diakses 18-11-2011.
Anonim. http://galaktosa.blogspot.com/2011_05_01_archive.html, diakses 18-11-2011.
Anonim. http://www.asm.org/division/photo/pinworm2.jpg, diakses 18-11-2011.
Anonim. http://www.britannica.com.sg/zoology/pinworm-375316.html, diakses 18-11-2011.
Anonim. http://www.virtualpediatrichospital.org/patients/cqqa/pinworm.shtml, diakses 18-11-2011.
Aritonang, Ir. Irianto. 2005. Aplikasi Statistika. Yogyakarta: Media Presindo.
Entjang, dr. Indan. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi Untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah
Tenaga Kesehatan yang Sederajat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Garcia, Lynne S. & Bruckner, David A. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Jakarta: ECG.
Herman. 2011. http://hermanypk.blogspot.com/2011_03_01_archive.html, diakses 18-11-2011.
Prasetyo, Heru. 1996. Pengantar Praktikum:Helmintologi Kedokteran. Surabaya: Airlangga University
Press.
Prasetyo, Hru. 2003. Atlas Berwarna:Helmintologi Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Press.
Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. 1989. Parasitologi Medik II. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Sandjaja, Bernardus. 2007. Parasitologi Kedokteran:Helmintilogi Kedokteran. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Zaman, Vigar. & Mary, Ng Mah-Lee. 2008. Atlas of Medical Parasitologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Download