KONSEP MAMLUKAH DAN KEHARUSAN MAṢLAHAH DALAM ETIKA KEKUASAAN RAJA ALI KELANA 1849-1927 Oleh Abd. Rahman, S.H.I. NIM: 1420311038 TESIS Diajukan kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Magister Studi Islam Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan Islam YOGYAKARTA 2016 ABSTRAK Abd. Rahman. Konsep Mamlukah dan Keharusan Maṣlahah dalam Etika Kekuasaan Raja Ali Kelana (1849-1927). Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2016. Konsep kekuasaan cukup ideal dalam tataran teoritis tetapi mengalami dilema dalam realitas, sehingga fenomena kekuasaan menjadi fokus penting dalam kajian politik. Idealitas dan realitas sering berbenturan sebab tidak lepas dari personalitas manusia. Sisi buruk dari realitas kekuasaaan itu ialah penyelewengan, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Di tengah fenomena seperti itu, etika penting sebagai pegangan moral dalam prilaku politik kekuasaan. Penulis tertarik melacak pemikiran etika kekuasaan dari cendekia Melayu, Raja Ali Kelana, guna menemukan pemikiran yang khas. Dengan demikian, fokus kajian ini ialah bagaimana pemikiran Raja Ali Kelana tentang etika kekuasaan dan bagaimana dalam konteks kekinian? Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori kekuasaan Abu Hassan alMawardi yang menyebutkan bahwa kekuasaan untuk menjaga agama dan mengurus hal keduniaan dan kuncinya ialah mencapai kemaslahatan manusia. Selain itu, digunakan juga teori etika Immanuel Kant, bahwa kewajiban sebagai hukum moral dasar. Kedua teori tersebut didukung dengan metode konten analisis dan pendekatan fenomenologi untuk mengungkap pemikiran Raja Ali Kelana secara konprehensif. Raja Ali Kelana mengibaratkan kekuasaan seperti anatomi tubuh manusia dengan fungsinya masing-masing. Faktor pelangkapnya adalah nyawa. Ia mengistilahkannya dengan mamlukah. Penguasa harus memeliki pedoman etik dalam menjalan kekuasaan dengan mengedepankan kemaslahatan. Penguasa yang tidak mengedepankan maslahah, akan menimbulkan kezaliman yang menyengsaran negeri. Karena itu, kezaliman penguasa akan mencederai angota mamlakah (negara). Maka kekuasaan yang diidealkan Raja Ali Kelana ialah mamlakah al-maṣlahah, bukan mamlakah al-maẓlumah. Konsep mamlukah sebagaimana perspektif Raja Ali Kelana merupakan konsep naturalistik normatif yang berkembang abad Pertengahan. Sedangkan dalam perspektif Kantian, etika kekuasaan yang demikian itu termasuk dalam imperatif kategoris, yakni kesadaran moral yang muncul sesuai fungsi dasar dalam strukur kekuasaan. Sedangkan fenomena kekuasaan kontemporer bersifat mekanistik rasional, di mana struktur kekuasaan bertindak berdasarkan kewenangan yang telah diatur sehingga aparatur tidak bisa karena kesadaran moralnya, melainkan sebagai pemenuhan tuntutan pekerjaan. Dengan demikian, etika kekuasaan Raja Ali Kelana tidak lagi relevan terhadap kekuasaan kontemporer. Namun, nilai-nilai normatif dalam pemikirannya bisa menyumbang kekosongan dalam sistem kekuasaan mekanistik rasional. Keyword: Etika kekuasaan, mamlukah, maṣlahah. vii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB - LATIN Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penulisan tesis ini berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987. A. Konsonan Tunggal Huruf arab Nama Huruf latin Nama ا Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ب ba’ b be ت ta’ t te ث sa’ s| es (dengan titik di atas) ج jim j je ح h}a’ h} ha (dengan titik di bawah) خ kha kh ka dan ha د dal d de ذ z|al z| zet (dengan titik di atas) ر ra’ r er ز zai z zet س sin s es ش syin sy es dan ye ص s}ad s} es (dengan titik di bawah) ض d}ad d} de (dengan titik di bawah) ط t}a t} te (dengan titik di bawah) ظ z}a z} ع ‘ain ‘ غ gain g viii zet (dengan titik di bawah) koma terbalik di atas ge ف fa f ef ق qaf q qi ك kaf k ka ل lam l ‘el م mim m ‘em ن nun n ‘en و waw w w ه ha’ h ha ء hamzah ‘ apostrof ي ya’ y ye B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah Ditulis Rangkap متع ّددة ditulis muta’addidah ع ّدة ditulis ‘iddah حكمة ditulis h}ikmah علة ditulis ‘illah C. Ta’ Marbut}ah Di Akhir Kata 1. Bila dimatikan ditulis h Ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap dalam bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya). 2. Bila diikuti dengan kata sandang „al‟, maka ditulis dengan h كرامة االؤلياء ditulis kara>mah al-auliya>’ زكا ةالفطر ditulis zaka>h al-fit}ri ix D. Vokal Pendek Dan Penerapannya __َ__ Fath}}ah ditulis __َ__ Kasrah ditulis i __َ__ D}ammah ditulis u فعل Fath}ah ditulis fa’ala ذكر Kasrah ditulis z|ukira يذهب D}ammah ditulis yaz||habu a E. Vokal Panjang 1 Fath}ah + alif جا هلية 2 Fath}ah + ya‟ mati تنسى 3 Kasrah + ya‟ mati كريم 4 D}ammah + wawu mati فروض ditulis ditulis a> ja>hiliyyah ditulis ditulis a> tansa> ditulis ditulis i> kari>m ditulis ditulis u> furu>d} F. Vokal Rangkap 1 Fath}ah + ya mati ب ْينكم 2 Fath}ah + wawu mati ق ْول x ditulis ditulis ai bainakum ditulis ditulis au qaul G. Vokal Pendek Yang Berurutan Dalam Satu Kata Dipisahkan Dengan Apostrof اانتم ditulis a'antum اعدت ditulis u'iddat لئن شكر تم ditulis La’in syakartum H. Kata Sandang Alif + Lam Bila diikuti huruf Qamariyyah maka ditulis dengan menggunakan kata sandang “al”, dan bila diikuti huruf Syamsiyyah maka ditulis dengan menggandakan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el) nya. القر ان ditulis al-Qur'an الشمس ditulis asy-Syams I. Penulisan Kata-Kata Dalam Rangkaian Kalimat Ditulis menurut penulisannya. ذوي الفروض ditulis z|awi al- furu>d} ا هل السنّة ditulis ahl as-sunnah xi KATA PENGANTAR ان الحمد هلل وحمدي َوىستعيىً َوستغفري َوعُذببهلل مه شرَر اوفسىب َمه سيئبت اعمبلىب مه اشٍد ان الالً االهللا َحدي الشريك لً َاشٍد ان.ًيٍدهللا فال مضل لً َمه يضللً فال ٌبدي ل ) (امب بعد.ًمحمدا عبدي َرسُل Ide dasar tesis ini telah penulis miliki sebelum menempuh jenjang pendidikan magister di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada 2014, yakni tentang dinamika politik dari khazanah dan tamadun Melayu di Riau-Lingga. Setelah melewati tahap belajar dari matakuliah yang berlaku di konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan Islam (SPPI) dan berdasarkan saran dari berbagai pihak, penulis tertarik untuk melakukan kajian tentang etika kekuasaan. Tema itu penulis anggap penting sebab fenomena kekuasaan di negeri ini begitu dilematis. Perjalanan panjang dari ide hingga penulisan tesis ini, telah melibatkan banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak selama proses pendidikan dan penulisan. 1. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Yudian Wahyudi, M.A, Ph.D. 2. Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Noorhaidi, M.A., M.Phil., Ph.D. yang juga telah bersedia memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi magister ini. 3. Dr. Munawar Ahmad, M.Si., selaku dosen dan pembimbing dalam penulisan tesis ini. Terima kasih atas kritik dan sarannya yang sangat membantu dalam proses penulisan ini. Terima kasih juga selama proses perkuliahan yang membuka cakrawala berpikir ilmiyah akademik. xii 4. Para dosen selama menempuh kuliah, Prof. Dr. Iskandar Zulkarnaen, Prof. Dr. Abd. Salam Arief, Dr. Subaidi, M.Si., Dr. Ahmad Yani Anshori, Dr. Ibn Burdah, M. Iqbal Ahnaf, Ph.D, Dr. A Muttaqin, Syahiron Syamsudin, M.Phil, Ph.D, Dr. Siti Fatimah, Dr. Ni‟matul Huda, Dr. Zuly Qodir, Dr. Abdul Rozaki, dan Dr. Hamdan Daulay. Terima kasih atas pencerahannya selama proses belajar. 5. Ibunda Nasiyah yang telah dengan sabar selalu menasehati penulis. Istri Ummi Sholeha dan anak-anak tercinta, Putri Zahira Salsabila dan Abdullah Zulkarnaen Muazzdam, yang harus “terlantar” selama proses pendidikan ini. Serta mertua yang telah sabar menemani si kecil berdua selama proses perkuliahan. Buat adik-adikku, Mohammad Ruslan, Dewi Musdalifa, Nur Aini, dan Mohammad Nur Faizi, semoga tetap berbakti kepada orang tua. 6. Pimpinan di koran harian Tribun Batam, pak bos Febby Mahendra Putra (pemred) dan opung Ricard Nainggolan (wapemred). Terima kasih telah mengizinkan penulis melanjutkan studi ini dengan masa cuti dua tahun. 7. Teman-teman di SPPI nonreguler, Zakky Abdillah dari Tuban, Ricky Aditya dari Tanjungpinang, A. Miftahul Amin dari Sidoarjo, Suciyani dari Purworejo, dan Mr. Faisol Mamang dari Patani Thailand. Buat Hady Warman, Ricky Santosa, dan Abu Laka karena mengulang matakuliah mempertemukan kita. Terima kasih atas diskusi dalam kelas maupun di luar kelas yang telah memberikan sumbangsih dalam pengetahuan dan pola berpikir kita. Berbagi pelangaman dengan kalian adalah sesuatu yang indah dan yang seru ialah petualangan ke lereng Merapi sebagai penutup perkuliah. xiii 8. Buat sahabatku, M. Yusuf, S.Pd.I, M.Pd.I dan istri Anita Suhana, S.E., Muslim dan istri, om Rubiansah dan mbak Eka, dan Rio H. Batubara. Terima kasih dan maaf telah sering merepotkan kalian semua selama pendidikan ini. 9. Kepada saudaraku Abdul Halim. S.T., Lailatul Fafriyah dan suaminya Marwanto, dan Zahratul Jannah. Semoga kalian segera bisa membahagiakan orangtua. 10. Teman-teman di kos Rudal Komplek PJKA/GK No. 748 yang telah mewarnai pergaulan “muda” dengan ngopi dan diskusi-diskusinya. Semoga tradisi diskusi Sabtu sore selalu konsisten dan menjadi proses transformasi keilmuan yang lebih baik. Dan kepada semua pihak yang telah membantu selama proses pendidikan dan penulisan tesis ini, baik yang tersebut di atas maupun yang tidak tersebutkan, penulis ucapkan terima kasih. Sumbangsih sekecil apapun dari semuanya cukup berarti bagi penulis dan hanya Allah sajalah yang dapat membalas kebaikan itu. barakallahu li walakum. Yogyakarta, 21 Maret 2016 Abd. Rahman, S.H.I xiv DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... PERNYATAAN KEASLIAN ....................................................................... PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI .......................................................... PENGESAHAN DIREKTUR ...................................................................... DEWAN PENGUJI ....................................................................................... NOTA DINAS PEMBIMBING .................................................................... ABSTRAK ..................................................................................................... PEDOMAN TRANSLITASI ........................................................................ KATA PENGANTAR ................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................. DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... DAFTAR GLOSARIUM .............................................................................. i ii iii iv v vi vii viii xii xv xvii xviii BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. A. Latar Belakang .................................................................................. B. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian ......................................... C. Telaah Pustaka .................................................................................. D. Kerangka Teori ................................................................................. E. Metode Penelitian .............................................................................. F. Sistematika pembahasan .................................................................... 1 1 7 8 12 18 22 BAB II ETIKA KEKUASAAN DALAM LINTAS SEJARAH PEMIKIRAN POLITIK .............................................................................................. 23 A. Dari Etika Politik ke Etika Kekuasaan ............................................. 23 B. Etika Kekuasaan Kuno ...................................................................... 28 C. Etika Kekuasaan Klasik-Pertengahan ............................................... 32 1. Etika Kekuasaan Islam .................................................................. 32 2. Etika Kekuasaan Barat .................................................................. 40 D. Etika kekuasaan Modern-Kontemporer ............................................ 48 1. Etika Kekuasaan Islam .................................................................. 49 2. Etika Kekuasaan Barat .................................................................. 54 BAB III DINAMIKA KEKUASAAN DI RIAU-LINGGA (1699-1913 M) DAN BIOGRAFAI RAJA ALI KELANA ......................................... 60 A. Dinamika Kekuasan di Kerajaan Riau Lingga ................................. 60 1. Perebutan Tahta dan Kehadiran Bangsawan Bugis ...................... 60 2. Traktat London dan Hegemoni Imprealisme ................................ 65 3. Kontrak Politik dan Intervensi Asing ........................................... 68 B. Raja Ali Kelana: Penggerak Intelektualisme dan Patriotisme .......... 71 1. Keluarga Darah Ningrat ................................................................ 71 2. Mengembara ke Timur Tengah ..................................................... 74 3. Menjalankan Tugas sebagai Kelana .............................................. 79 4. Melepas “Yang Dipertuan Muda” ................................................ 86 5. Raja Ali Kelana dan Gerakan Intelektualisme .............................. 91 xv 6. Andil dalam Sekolah Islam Modern ............................................. 99 7. Bisnis dan Penguatan Ekonomi .................................................... 102 8. Mengungsi dan Menjadi Syaikhul Islam di Johor ......................... 106 BAB IV MAMLAKAH DAN KEHARUSAN MAṢLAHAH ....................... A. Karya dan Pemikiran Raja Ali Kelana .............................................. 1. Pohon Perhimpunan ...................................................................... 2. Perhimpunan Pelakat .................................................................... 3. Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas .......................................... 4. Bughyat al-‘Āni fῑ Hurūf al-Ma’āni .............................................. 5. Rencana Mudah pada Mengenal Diri yang Indah ......................... 6. Kesempurnaan yang Lima bagi Islam Menerima ......................... B. Etika Kekuasaan Raja Ali Kelana ..................................................... 1. Kekuasaan ..................................................................................... 2. Aparatus ........................................................................................ 3. Rakyat ........................................................................................... 4. Keadilan ........................................................................................ 5. Sumpah Setia (Loyalitas) .............................................................. 6. Berhimpun Bersatu (Persatuan) .................................................... C. Konstruksi Mamlakah dan Keharusan Maṣlahah dalam Kajian Kritis ................................................................................................. D. Relevansi Etika Kekuasaan Raja Ali Kelana dalam konteks Indonesia ........................................................................................... 111 111 113 116 119 127 129 130 132 134 138 142 145 150 156 161 168 BAB V PENUTUP ......................................................................................... 174 A. Kesimpulan ......................................................................................... 174 B. Saran .................................................................................................... 177 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 178 BIOGRAFI PENULIS .................................................................................. 183 xvi DAFTAR SINGKATAN BBW : Batam Brick Work H : Hijriyah HAM : Hak Asasi Manusia Kemendagri : Kementrian dalam Negeri Republik Indonesia KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi KRBL : Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas M : Masehi Terj. : Terjemah W : Wafat YDB : Yang Dipertuan Besar YDM : Yang Dipertuan Muda SM : Sebelum Masehi xvii DAFTAR GLOSARIUM Cogan : Benda serupa dengan daun pohon berwarna kuning emas yang digunakan dalam prosesi penobatan sultan di Johor-PahangRiau-Lingga Imperatif : Suatu keharusan yang berkaitan dengan tindakan manusia Makzul : Pemberhentian secara paksa dari tahta atau jabatan dalam struktur kerajaan Mamlukah : Kekuasaan yang berkaitan dengan sistem, nilai, konsep, dan aparatus dalam pemikiran Raja Ali Kelana Maṣlahah : Nilai yang menjadi tujuan utama kebaikan Penceraian : Penjelasan bagian Regelia : Kumpulan perabotan kebesaraan yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan penting kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga xviii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dinamika kekuasaan merupakan bagian paling dominan dalam fenomena politik. Sesuatu yang berkaitan dengan negara, suksesi, otoritas, kebijakan, dan ideologi selalu saja berkaitan dengan kuasa politik. Hal ini terlihat bagaimana para politisi menebarkan janji-janji saat pemilu, kegaduhan saat membuat aturan dan kebijakan, berlomba untuk meneguhkan otoritas dalam struktur kekuasaan, dan lain sebagainya. Semuanya dilakukan atas nama kuasa untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Sejatinya, orientasi kekuasaan ialah memberikan kemaslahatan bagi rakyat dan negara.1 Para teoritisi juga menyandarkan teorinya dari aspek sosial manusia yang membutuhkan kekuasaan untuk mewujudkan kemaslahatan agar kehidupan bisa berjalan dengan baik dan mencapai tujuannya. Meski demikian, fenomena kekuasaan juga bisa melahirkan penyimpangan. Bentuk dan variannya cukup beragam, baik terkait dengan penguasanya, sistemnya, dan rakyat yang dikuasai. Tentang penguasa itu sendiri, bisa dilihat dari bagaimana kekuasaan dan penguasa telah memunculkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Menurut Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri), hingga Desember 2014 terdapat 343 kepala daerah yang terlibat kasus hukum, baik di kejaksaan, kepolisian, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut masalah 1 Di antara tujuan itu ialah menyejahterakan dan memakmurkan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, keadilan, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), rasa aman dan tentram, kedaulatan, perdamaian, melanggengkan kekuasaan, meraih kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan. Dua yang terakhir ini termasuk dalam kepentingan internal penguasa. Lihat Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2013), hlm. 95 1 2 pengelolaan keuangan daerah.2 Hal ini seakan mempertegas bahwa kekuasaan memang akan cendrung menimbulkan praktik koruptif. Dalam politik anggaran mempertegas bahwa sistem dan struktur kekuasaan itu bisa diselengwengkan untuk kepentingan para elite penguasa. Dan lebih pelik lagi ketika ―rebutan‖ kepentingan-kepentingan elite penguasa menyusup pada kebijakan politiknya.3 Ada dua indikasi kepentingan kolektif dan sektoral memasuki kebijakan politik; faktor internal dalam kekuasaan pada sebuah negara itu sendiri dan faktor eksternal yang berupa intervensi asing akibat suatu ketergantungan politis. Bahkan, kegaduhan antar lembaga kekuasaan yang seringkali tampak dalam dinamika politik di Indonesia memperlihatkan bahwa kekuasaan itu sendiri menimbulkan problem di internalnya.4 Sedangkan penyelewangan kekuasan dari sistem strukturalnya yang dirasakan langsung oleh rakyat bisa berupa tindakan represif, teror, dan pembiaran atas segala bentuk tindak kekerasan. Tidak jarang kekuasaan itu sendiri yang menciptakan konflik di tengah masyarakat, seperti praktik penggusuran dan pemaksaan pengambilalihan tanah rakyat atas nama pembangunan. Perselingkuhan kekekuasaan politik dan kekuasaan kapital juga tidak kalah 2 Laporan portal berita dengan judul Mendagri: 343 Kepala Daerah Tersangkut Kasus Hukum dalam http://nasional.kompas.com (diakses pada 4 Maret 2015). 3 Dennis F. Thompson mengistilahkannya dengan ―tangan-tangan kotor demokratik‖. Pejabat negara bisa mengatasnamakan rakyat untuk sebuah kebijakan yang hanya memenuhi kepentingan individu dan kelompoknya. Tindakan demikian, menurut Thompson termasuk perbuatan immoral dalam politik namun rakyatlah yang wajib membersihkannya. Keterangan lengkap lihat Dennis F. Thompson, Etika Politik Pejabat Negara, terj. Benyamin Molan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), hlm. 1-22 4 Dalam sistem kekuasaan modern, pro dan kontra pemerintahan telah menjadi dikotomi dalam politik praktis. Kelompok kontra pemerintahan atau opisisi selalu mengkritik keras kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berkaitan dengan kepentingan rakyat. Sedangkan yang pro berlaku sebaliknya. Hal ini terlihat dalam parlemen sebagai wakil rakyat. Keterangan lebih lengkap tentang konsep parlemen di Indonesia lihat, Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 37-56 3 peliknya. Rakyat yang semestinya bisa berdaulat di negarinya sendiri hanya bisa tunduk pada dua pilar kekuasaan itu.5 Akibatnya, masyarakat hanya menjadi pemenuh hasrat politik kekuasaan saja. Fenomena di atas memperlihatkan betapa kekuasan bisa diselewengkan dan dimanipulasi sehingga menjauhkan dari tujuan asal; kesejahteraan dan kebahagiaan. Posisi pentingnya kekuasaan dalam struktur politik, seringkali menimbulkan benturan antara konsep ideal dan praktik empiris, yakni malpraktik. Apabila terjadi malpraktik kekuasaan, bukan kesejahteraan yang didapatkan rakyat, malah justru kesengsaraan dan kemelaratan karena hak-hak rakyat terabaikan. Malpraktik kekuasaan juga bisa menimbulkan rezim tirani, otoriter, dan diktator. Dengan demikian, malpraktik kekuasaan merupakan kejahatan struktural.6 Berangkat dari latar belakang di atas, kajian politik selalu menarik dilakukan oleh peneliti, khususnya tentang etika politik, karena selalu terjadi benturan antara tataran idealitas dan realitas. Tatanan idealitas dari kekuasan itu melahirkan seni untuk mengatur masyarakat mencapai tujuannya yang disebut dengan ilmu politik. Dalam ilmu politik, ajaran filsafat moral diadopsi ke dalam filsafat politik yang diturunkan menjadi etika politik lalu ke etika kekuasaan. Hal ini untuk mengimbangi tujuan mulia dari kekuaasaan sementara manusia memiliki 5 Kegagalan negara sering kali karena faktor kepentingan individual dan kelompok yang menyusup dalam kekuasaan dan negara. Keterangan lebih lengkap tentang hubungan state, market, dan civil society, lihat Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, hlm. 99-150. 6 Haryatmoko menilai bahwa para elite dengan mental koruptif berpotensi besar melakukan kejahatan struktural. Lihat Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2004), hlm. 41-53 4 dua sifat dasar dalam diri, baik dan buruk.7 Norma dan etika adalah bagian penting dalam mengatur dan mengukur tingkah dan prilaku manusia agar tindakannya tidak semena-mena. Moral memiliki makna penting karena akan mengetuk nurani sehingga dalam kehidupan mudah disesuaikan dengan etika politik dalam penyelenggaraan negara atau etika kekuasaan. Dimensi moral ini merupakan dasar dari rasionalitas kegiatan politik.8 Hampir semua pemikir menitikberatkan bahwa tugas penguasa politik untuk melayani kepentingan umum guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Di kalangan ilmuan Islam, penguasa merupakan orang yang menggantikan posisi kenabian untuk mengurusi agama dan juga hal ihwal keduniaan.9 Pemikiran politik tentang etika kekuasaan ini berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Hal itu terlihat seperti pemikiran Raja Ali Kelana (w.1927), seorang cendekia Melayu yang meneruskan pemikiran dari para teoritisi Islam di dunia Melayu. Pemikiran politik Raja Ali Kelana, seperti yang terkandung dalam salah satu karyanya, Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas (KRBL)10 misalnya, banyak mengungkap peran penguasa dalam menjaga keutuhan pemerintahan dan wilayah 7 Filosof seperti Thomas Hobbes menilai bahwa pada dasarnya manusia didominasi oleh sifat buruk sehingga diperlukan kepastian hukum dan penguasa menjalankan kekuasaan dengan baik. Lihat Franz Magnes-Suseno, Etik Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 211-217 dan Henry J. Schmandt, Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 304322. Machiavelli bahkan membolehkan melakukan tindak kekerasan demi mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Lihat Noccolo Machiavelli, Sang Pangeran, terj. Noviatri (Jakarta: PT Alex Media Komputindo, 2014). 8 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, hlm. 23. 9 Lihat Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthoniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, (Beirut: Dar alFikr, tt), hlm. 5. 10 Menurut Jelani Harun, KRBL ini merupakan kitab ketatanegaraan terakhir yang dilahirkan oleh intelektual Riau-Lingga. Lihat Jaelani Harun, Kitab Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas: Karya Ketatanegaraan Melayu Terakhir, dalam jurnal International Journal of the Malay Word and Civilisation (Formerly SARI) Nomor 19 tahun 2001, hlm. 133-158. 5 kekuasaan agar tetap merdeka dan kehidupan rakyat bisa berjalan normal. Menurut Raja Ali Kelana, seorang pemimpin sangat menentukan nasib negara dan seluruh penduduk yang berada di dalamnya. Oleh sebab itu, penguasa harus bisa menjalankan fungsinya dengan tetap menjaga struktur kekuasaan.11 Secara struktural, dalam padangan Raja Ali Kelana, seorang raja itu ibarat anatomi anggota tubuh yakni raja ibarat hati, anak kepala ibarat istana, ilmu pengetahuan ibarat bentera kanan, akal ibarat bentera kiri, mata-telinga-hidungmulut ibarat menteri dalam, dua tangan dan kaki ibarat menteri luar, dan anakanak jari ibarat segala amir.12 Sedangkan secara fungsinonal, seorang pemimpin itu harus mampu memberikan rasa keadilan, ketentraman, dan kesejahteraan kepada rakyat. Maka seorang pemimpin itu memiliki fungsinya yang mampu memberikan dampak terhadap segala tindakan yang dilakukannya. Dinamika kekuasaan dalam fenomena politik sebagaimana dijelaskan di atas sangat bertolak belakang dengan gambaran kekuasaan seperti yang diidealkan Raja Ali Kelana. Hal ini memperlihatkan bahwa etika kekuasaan masih menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Sebab, beberapa pemikiran tentang kekuasaan itu sendiri memperlihatkan kesinambungan dari sisi tujuan. Hal ini menandakan bahwa pembahasan tentang etika kekuasaan akan terus menjadi 11 Dalam dunia Melayu, raja ataupun sultan merupakan seorang panutan yang harus memiliki kriteria ideal karena ia merupakan khalifatullah fi al-arḍ. Dan tidak sedikit dari raja-raja di Melayu yang menggunakan gelar ẓill Allah fi al-„alam atau ẓill Allah fi al-arḍ. Hal itu banyak disebut dalam karya-karya klasik seperti Taj al-Salatin karya Bukhari al-Jauhari tahun 1603 M, Sulālat al-Salātin atau yang dikenal dengan Sejarah Melayu oleh Tun Sri Lanang tahun 1612 M, Bustan al-Salātin oleh Nuruddin al-Raniri tahun 1638 M, dan Ṣamarah al-Muhimmah oleh Raja Ali Haji tahun 1870. menurut Mahdini, Raja Ali Haji menolak istilah itu karena dinilai terlalu berlebihan. Mahdini juga berpendapat bahwa gelar-gelar itu dipengaruhi oleh tradisi kerajaan Hindu Budha yang pernah berkembang di Nusantara. Lihat Mahdini, Konsep Raja dan Kerajaan Menurut Raja Ali Haji, (Disertasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2001), hlm. 5. 12 Raja Ali Kelana, Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas, (Singapura: Al-Imam, 1328 H), hlm. 4-10. 6 bagian penting selagi kekuasaan masih ada. Oleh sebab itu, penulis memilih studi pemikiran Raja Ali Kelana sebagai obyek dalam penelitian ini untuk menghidupkan kajian tentang etika kekuasaan. Ada dua alasan penulis memilih Raja Ali Kelana sebagai obyek penelitian ini. Pertama, ia salah satu intelektual yang berperan penting dalam khazanah keilmuan Melayu awal abad ke-20. Ia telah menumbuhkan semangat intelektualisme di kalangan cendekia Melayu di Penyengat dengan membentuk kelompok diskusi dalam organisasi yang bernama Rusydiah Klub.13 Ia telah mendorong tumbuh kembang tradisi intelektualisme sehingga melahirkan banyak tokoh dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kajian-kajian yang menjadi topik penting Raja Ali Kelana dan teman-temannya meliputi tema keagamaan yang terkait dengan hukum Islam, tasawuf dan fenomena sosial dari perspektif hukum Islam. Kemudian kelompok ini menaruh perhatian terhadap isu politik yang sedang berkembang di kerajaan Riau-Lingga. Maka, tidak heran bila tokoh-tokoh dalam kelompok Rusydiah Klub ini dinilai pemerintahan Hindia Belanda sebagai kelompok ―pembangkang‖ karena kerap mengkritisi keputusan politik yang dibuat oleh kerajaan Riau-Lingga dan pemerintah Hindia Belanda.14 Kedua, Raja Ali Kelana sempat menjabat sebagai Engku Kelana, yakni sebuah jabatan yang berada di bawah Yang Dipertuan Muda (YDM). Jabatan itu diemban sejak 1885-1900, mengurusi tentang jalannya pemerintahan dan 13 Rusdiyah Klub terdiri dari beberapa cendekia dan intelektual di Riau-Lingga. Raja Ali Kelana termasuk salah seorang yang berpengaruh di dalamnya. Organisasi ini kemudian menjelma sebagai oraganisasi yang banyak bergelut dalam dunia politik, dan oleh Belanda disebut sebagai tempat berkumpulnya para pembangkang. Lihat Aswandi Syahri, Raja Ali Kelana dan Pondasi Historis Industeri Pulau Batam, (Batam: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2007), hlm. 13-16 dan UU Hamidy, Teks dan Kepengarangan di Riau, (Pekanbaru: Unri Press, 2003) hlm. 62. 14 Ibid., hlm. 15. 7 sekaligus sebagai inspektorat terhadap kebijakan pemerintah di tingkat daerah. Namun, ia juga melepas jabatan sebagai Engku Kelana ketika ayahandanya, YDM Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi meninggal dunia pada 1899. Jabatan itu dilepas karena terjadi polemik terhadap jabatan YDM, padahal posisinya sebagai Kelana merupakan kandidat yang akan menenempati posisi tersebut.15 Akhirnya, posisi YDM dalam struktur kekuasaan di kerajaan Riau-Lingga dihapus oleh Sultan Abdurrahman Muazzam Syah (w.1930) atas dorongan dan persetujuan pemerintah Hindia Belanda. Pengalamannya masuk dalam struktur kekuasaan ini sangat berarti dalam pemikiran etika kekuasaan politiknya. Dari latar belakang di atas, penulis menilai bahwa kajian tentang etika kekuasaan merupakan kajian yang menarik untuk diteliti karena fenomena politik selalu berbenturan antara idealitas dan realitas. Sedangkan pemikiran Raja Ali Kelana menarik untuk mengukur fenomena politik saat ini. Karena itu, kajian ini berusaha untuk menempatkan pemikiran tentang etika kekuasaan pada kajian ilmu politik. B. Permasalahan dan Tujuan Berangkat dari latar belakang di atas, maka ada beberapa problematika yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini. 1. Bagaimana pandangan Raja Ali Kelana tentang etika kekuasaan? 2. Apa relevansi pemikiran Raja Ali Kelana tentang etika kekuasaan dalam konteks ke-Indonesia-an saat ini? 15 Ibid., hlm. 10. 8 Dari permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut yang meliputi; 1. Mengungkap pemikiran politik Raja Ali Kelana tentang etika kekuasaan. 2. Mencari nilai filosofis yang masih relevan untuk konteks Indonesia saat ini. Secara praktis, kajian ini untuk menambah khazanah pengetahuan tentang buah pemikiran dari para cendekiawan masa lalu sehingga nilai-nilai luhur yang ada di dalamnya bisa dipahami dan menjadi sumber pengetahuan bagi generasi sesudahnya. Kajian ini juga untuk melengkapi beberapa kajian yang telah dilakukan para peneliti sebelumnya. Sedangkan nilai-nilai etika kekuasaan yang terkandung di dalamnya juga bisa menjadi inspirasi bagi setiap penguasa di negeri ini agar menjadi pemimpin yang mampu memenuhi harapan masyarakat. Apalagi fenomena elite politik saat ini begitu dekat praktik koruptif, dan kejahatan struktural oleh aparatur negara yang justru menjauhkan rakyat cita-cita kesejahteraan, kemakmuran, dan ketentraman. C. Telaah Pustaka Sebagai cendekiawan di kesultanan Riau-Lingga, pemikiran-pemikiran Raja Ali Kelana masih belum banyak dikaji para peneliti, apalagi berkaitan dengan tema-tema politik. Beberapa upaya penelusuran yang penulis lakukan, hanya satu karya yang ditulis oleh Jelani Harun (2001) tentang pemikiran politik Raja Ali Kelana pada kitab Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas.16 Jelani Harun memfokuskan kajian pada gramatika sastra dengan studi komparasi terhadap 16 Keterangan lengkap dari karya itu yakni, Jaelani Harun, Kitab Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas: Karya Ketatanegaraan Melayu Terakhir, dalam jurnal International Journal of the Malay Word and Civilisation (Formerly SARI) Nomor 19 tahun 2001, hlm. 133-158. 9 karya serupa yang masyhur di Persia pada masa Abbasiyah. Kemudian, ia mengupas pokok-pokok pemikiran yang terkandung di dalamnya dengan metode analisa konten (content analisys). Jelani Harun menyimpulkan bahwa karya tersebut merupakan karya ketatanegaraan dengan gaya penulisan sastrawi. Ia juga menyebutkan tentang konsep kepemimpinan yang diidealkan oleh Raja Ali Kelana, tetapi ia tidak menaruh perhatian khusus pada tema etika kekuasaan, melainkan hanya mengulas tentang paparan ketatanegaraannya saja. Sedangkan Aswandi Syahri dalam karya yang berjudul Raja Ali Kelana dan Pondasi Historis Industri Pulau Batam (2007),17 membahas tentang peranan Raja Ali Kelana dalam kegiatan intelektual, politik, dan ekonomi. Adapun kegiatan intelektual dan politik lebih kepada pelangkap bagi biografi Raja Ali Kelana. Sedangkan fokus kajian buku ini ialah tentang sejarah industri kota Batam. Aswandi menyimpulkan bahwa pondasi historis industri di Batam di mulai sejak Raja Ali Kelana. Dari model kajian yang dilakukan oleh Aswandi, kajian lebih menitikberatkan pada kajian sejarah dan tidak fokus pada pemikiran politik Raja Ali Kelana. Sedikitnya penelitian terhadap pemikiran politik Raja Ali Kelana masih membuka peluang untuk penelitian lainnya. Meski demikian, beberapa peneliti telah ada yang menyinggung perihal karya-karya dari Raja Ali Kelana. Beberapa peneliti seperti Andaya (1977), Abu Hassan Sham (1983), dan Bernard (1994) lebih memfokuskan pada kupasan secara umum tentang manuskrip kesusasatraan Melayu dan juga buah karya Raja Ali Kelana. Telaah sastra dan sejarah lahir 17 Keterangan lengkap dari karya itu yakni, Aswandi Syahri, Raja Ali Kelana dan Pondasi Historis Industri Pulau Batam, (Batam: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batam, 2007). 10 sastra memang mendapatkan banyak perhatian di kalangan peneliti. Kajian filologi dan uraian konten telah memberikan informasi penting bagi penelitian selanjutnya. Sedangkan dalam kajian tesis ini tidak hanya melihat unsur kesusastraan belaka melainkan pada tema pokok yang terdapat di dalamnya, sebab sejatinya buah pemikiran merupakan pengetahuan yang hidup (life sciences). Karena itu, dengan fokus pada etika politik kekuasaan, maka tesis ini hendak mengungkap pemikiran lain dari Raja Ali Kelana yang terdapat dalam karyanya. Meski demikian, kajian politik umumnya dan etika kekuasaan khususnya, bukanlah kajian pertama yang dilakukan terhadap pemikiran pada cendekiawan Melayu, khususnya yang hidup di kerajaan Riau-Lingga. Seorang intelektual yang cukup masyhur dan mendapatkan banyak perhatian peneliti dalam bidang ilmu politik yakni buah karya dan pemikiran Raja Ali Haji, khususnya yang terdapat pada Muqaddimah fi Intiẓām dan Ṣamārah al-Muhimmah. Karya tersebut mengandung tema-tema fiqh siyāsah. Beberapa tema yang berkaitan dengan fiqh siyāsah dari penelitian tersebut telah dilakukan. Misalnya, penelitian yang berfokus tentang negara dan pemerintahan serta menyinggung tentang konsep kepemimpinan telah dilakukan oleh Syamsul Anwar (1991), Juramadi Esram (2010), Ahmad Syahid (2009), dan Khalif Muammar A Harris (2011). Kesemua karya tersebut menggunakan perspektif historis dan menggali pemikiranpimikiran dari Raja Ali Haji. Bahkan, sebagian besar hanyalah melakukan perbandingan saja antara karya Raja Ali Haji dengan karya cendekiawan lainnya seperti yang dilakukan dan Arba‘iyah Moh Noor (2014). Metode analisa konten masih sangat terlihat sekali dalam penelitian tersebut. 11 Sedangkan penelitian dengan fokus kajian tentang kepemimpinan dilakukan oleh Syamsul Anwar (1998), Mahdini (2000), Imam Mustafa (2007), dan Faisal Sadik (2008). Penelitian ini juga masih menggunakan perspektif historis kontektualis dengan mengali kajian yang terkandung di dalamnya yang disesuaikan pada konteks kekinian. Mereka mencoba untuk melihat nilai-nilai filosofis dari ide Raja Ali Haji yang masih memungkinkan untuk diterapkan pada era sekarang ini. Satu penelitian yang dilakukan oleh Mahdini (2002) terhadap Ṣamārah al-Muhimmah menggunakan teori intertekstualis dengan mencoba melacak kesinambungan pemikiran tentang politik dan pemerintahan pada karyakarya intelektul Melayu sebelumnya. Ia juga menerapkan teori filologi tradisional untuk menentukan keabsahan teks yang sesuai bentuk asli dari pengarangnya atau setidaknya mendekati pada kemurnian. Dari penelitiannya itu, Mahdini menyimpulkan bahwa karya Raja Ali Haji itu sebagai kesinambungan dari karyakarya serupa sebelumnya. Perbedaan tesis ini dengan kajian-kajian di atas terletak pada fokus pembahasan, yakni tentang etika politik kekuasaan. Penelitian tidak hanya tentang pemikiran politik yang terkait dengan konsep-konsep negara, kepemimpinan, hukum dalam negara, dan sistem pemerintahan saja, melainkan tentang etika politik yang menjadi titik tolak filsafat politik. Selain itu, perbedaan kajian tesis ini terletak pada studi kritis yang akan dilakukan terhadap nalar pemikiran Raja Ali Kelana, apalagi premis pengetahuan yang terbangun berlandaskan pada dogma ajaran Islam sehingga perlu ditelaah seberapa besar intrest yang terkandung di dalamnya. 12 Sebagaimana telah disinggung, bahwa kajian terhadap pemikiran Raja Ali Kelana masih belum banyak sehingga peluang penelitian masih luas untuk dilakukan. Beberapa kajian yang telah dilakukan para peneliti sebelumnya akan menjadi rujukan dalam setiap proses penelitian ini agar menjadi lebih komprehensif dalam memahami pola pemikiran dari intelektual Melayu, khususnya di kerajaan Riau-Lingga. Karena itu, menurut hemat penulis, penelitian ini layak dilakukan sebagai upaya untuk melestarikan pemikiran para cendekia masa lalu guna mencari benang merah dan relevansi dengan kondisi kekinian. D. Karangka Teori Kerangka konseptual yang dipakai pada kajian ini merujuk pada konsep kekuasaan Abu Hasan Al-Mawardi (972-1058 M), yang menyatakan bahwa kekuasaan itu bertujuan untuk membangun negara dengan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan serta sarana untuk menunjang perwujudan kemaslahatan tersebut.18 Dalam pandangannya, pemimpin ataupun penguasa memiliki sepuluh (10) tugas dan tanggungjawab yang harus dipenuhi.19 1. Menjaga agama Islam supaya tetap selalu berada di atas prinsip -prinsip yang konstan dan sesuai dengan pemahaman yang disetujui (disepakati) oleh generasi salaf. Artinya, kalaupun ternyata muncul pembuat bid‘ah atau kesesatan, maka khalifah wajib menjelaskan kepadanya hal yang benar, 18 Abu Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Baghdady Al-Mawardi (Selanjutnya disingkat Abu Hasan al-Mawardi), Ādab al-Dunyā wa al-Din, (Kairo: al-Dar al-Mishriyah alLubnaniyah, 1988), hlm. 69 19 Lihat Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyah, tt), hlm. 18 Dalam kitab Adab al-Dunya, al-Mawardi hanya menyebutkan tujuh tugas, kecuali tentang menghukum orang berperkara, jihad kepada kafir zimmi, memungut fai‟. Lihat Abu Hasan al-Mawardi, Ādab al-Dunyā wa al-Din, hlm. 171 13 sekaligus menuntunnya sesuai dengan hak dan aturan hukum yang ada, dengan tujuan pokok supaya agama tetap terlindungi dari kerancuan dan pemahaman yang keliru.20 2. Melaksanakan hukum pada pihak yang bersengkata agar keadilan akan dirasakan oleh semua orang sehingga yang kuat tidak semena-mena dan yang lemah tidak teraniaya. Dengan ungkapan lain, tidak ada orang zalim yang berani berbuat aniaya dan sebaliknya, tidak ada orang yang dizalimi yang tidak dapat membela dirinya. 3. Melindungi keamanan masyarakat sehingga mereka bisa hidup tenang dan bepergian dengan aman, tanpa rasa ketakutan mengalami penipuan dan ancaman atas diri dan hartanya. 4. Menjalankan hukum hudud, hingga larangan-larangan Allah tidak dilanggar dan menjaga hak-hak hamba Allah supaya tidak rusak. 5. Menjaga perbatasan negara dengan perangkat kekuatan yang semestinya dan angkatan yang bisa mempertahankan negara, hingga musuh-musuh negara tak bisa menyerang negara Islam dan tidak mampu menembus pertahanannya serta tak bisa mencederai umat Islam maupun orang yang telah mengadakan perjanjian. Ini berkaitan dengan kedaulatan dan integritas wilayah. 6. Berjuang melawan pihak yang menentang Islam, padahal sudah disampaikan dakwah kepada mereka, hingga sampai dia menganut Islam atau menjadi ahli zimmah (dalam jaminan negara Islam). Dengan demikian diharapkan usaha menjunjung tinggi agama Allah dapat diwujudkan. 20 Lihat Syamsul Anwar, Al-Mawardi dan Teorinya Tentang Khilafah, dalam jurnal AlJami‘ah, Nomor 35, Tahun XVI, 1987, hlm. 25 14 7. Menarik pajak (fa‟i) dari kaum dzimmi dan memungut zakat sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh syari‘at Islam. 8. Menentukan gaji kepada para pejabat, menyalurkan subsidi kepada rakyat, dan membayarkan honor pihak yang mengurusi baitul māl sesuai aturan jumlah dan waktu yang tepat. 9. Mengangkat pejabat yang dapat dipercaya dan menentukan orang-orang yang cakap untuk membantu melaksanakan amanah dan wewenang dan mengatur harta di bawah pengawasannya, hingga tugas-tugas itu bisa diselenggarakan dengan sempurna dan harta negara terkontrol dalam pengaturan orang-orang yang tepercaya. 10. Mengontrol pekerjaan para pembantu dan mengawasi jalannya program pemerintahan, hingga bisa menetapkan kebijakan politik umat Islam dengan baik dan menjaga negara. Para pemimpin tidak dibenarkan memberikan tugas ini kepada orang lain, disebabkan sibuk beribadah. Karena orang yang tadinya diberi kepercayaan bisa saja berkhiatan dan orang baik dapat saja menjadi penipu. Tugas-tugas tersebut, menurut Al-Mawardi, merupakan suatu keharusan yang mesti dilakukan oleh penguasa. Dalam tugas itu terdapat dimensi agama dan juga dimensi duniawi sebagaimana makna penting kekuasaan, yakni menjaga agama dan menyelenggarakan kepentingan duniawi.21 Urusan agama dan duniawi merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan bagi dimensi kehidupan manusia. Agama menjadi pedoman normatif bagi ahlak manusia. Kemaslahatan 21 Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkām al-Sulṭāniyyah, hlm. 5 15 harus menjadi acuan dalam kekuasaan sekaligus menjadi panduan moralnya. Hal ini sesuai dengan inti dari kekuasaan adalah memberikan kemaslahatan atau kebaikan bagi rakyat dan negaranya. Dalam kaidah disebutkan taṣarruf al-imām „ala al-ra‟iyyah mamnūthun bi al-maṣlahah.22 Dari konsep tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan itu mencakup tiga dimensi, yakni tujuan, sarana, aksi. Dimensi tujun ini meliputi hal yang paling penting yakni terkait dengan agama, kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat. Sedangkan dimensi sarana meliputi membentuk perangkat struktur instutisional dengan merekrut warga yang mumpuni untuk membantu melaksanakan tugastugas kekuasaan yang diamban. Adapun dimensi aksi merupakan dimensi yang paling penting dari semua itu yakni supremasi hukum, berjuang terhadap pihak yang menentang Islam, menarik pajak dan mendistribusikan subsidi bagi rakyat yang tidak mampu, dan lain sebagainya. Dengan demikian, konsepsi Al-Mawardi ini juga menyangkut tentang diri penguasa itu sendiri, sistem dan struktur kekuasaan, serta rakyat yang menjadi tujuan dari kekuasaan. Harus diakui bahwa untuk mewujudkan tujuan kekuasaan itu sendiri terkadang diperlukan pemaksaan-pemaksaan. Bahkan, menurut Niccolo Machiavelli bahwa orientasi politik itu ialah kekuasaan, sehingga setiap individu ataupun kelompok mempunyai kepentingan tersendiri. Dalam pandangan Machiavelli, politik yang baik ialah politik yang bisa mencapai tujuannya, apapun caranya sebab menurutnya tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat dipaksakan. Seorang penguasa boleh melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji— 22 Jalaluddin as-Suyūti, al-Aṣbah wa an-Naẓāir fi al-Furu‟, (Bairut: Darul Fikr Maktab alBuhus al-Dirasah, 1995), hlm. 85 16 kejam, bengis, khianat, kikir—asalkan baik bagi negara dan kekuasaanya. Seorang penguasa juga bisa menggunakan cara-cara binatang, terutama ketika menghadapi lawan-lawan politiknya.23 Di lain hal, Machiavelli mengingatkan bahwa penguasa yang terusmenerus melakukan kekerasan tanpa alasan yang jelas tidak akan dihormati dan dipuji sebagai pahlawan.24 Karena itu, meskipun seorang penguasa memiliki kekuasaan untuk berbuat dengan cara-cara kekerasan, hendaknya tidak dilakukan terlalu sering. Setelah melakukan tindakan demikian itu, ia juga harus mencari simpati dari rakyatnya dan selelu berjuang demi kebagiaan mereka. Bagi Machiavelli, kearifan dan kasih sayang kepada rakyat akan bisa meredam kemungkinan timbulnya pemberontakan. Dengan demikian, kekuasan memiliki dua sisi sekaligus, yakni sisi gelap dan sisi terang ataupun sisi manusiawi dan sisi hewani. Kedua sisi itu akan selalu membayangi bagi setiap penguasa. Telah banyak filosof yang memberikan gambaran bagaimana kekuasaan yang dijalankan memiliki landasan moral yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, etika politik, termasuk juga etika kekuasaan, adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia, atau cabang filsafat yang membahas prinsip-prinsip moralitas politik.25 Etika politik, dan juga etika kekuasaan, menyangkut aspek individual dan sosial karena membahas kualitas moral pelaku. Sedangkan di lain pihak, etika politik sekaligus etika institusional dan etika keutamaan, saling mendukung. Keutamaan ialah 23 Dalam Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, hlm. 206 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, hlm.134 dan periksa Machiavelli, Sang Pangeran, hlm. 145-167 25 Franz Magnes Suseno, Etika Politik, hlm. 3 24 17 faktor stabilisasi tindakan yang berasal dalam diri pelaku, sedangkan institusi menjadi stabilitas tindakan dari luar diri pelakunya.26 Keharusan-keharusan dalam etika kekuasaan akan didekati dengan perspektif Immanuel Kant (1724-1804). Menurut Kant, pada dasarnya manusia memiliki kesadaran yang hakiki dalam diri untuk menentukan perbuatan yang baik. Ia sangat menekankan kemurnian motivasi sebagai ciri pokok tindakan moral, dan kemurnian tersebut tampak dalam sikap menaati kewajiban moral demi hormat terhadap norma moralitas. Bagi Kant, pelaksanaan kewajiban moral demi tugas itu sendiri dan bukan demi tujuan-tujuan lain.27 Setiap orang bertindak tidak hanya sesuai dengan tugas dan kewajibannya, tetapi juga demi tugas dan kewajiban tersebut. Kant menyebutnya dengan keharusan moral imperatif. Pada dasarnya Kant memilah tentang kewajiban moralitas menjadi dua, yakni imperatif hipotesis (bersyarat) dan imperatif kategoris (mutlak). Kant memakai istilah imperatif dalam artian bukan sembarang perintah, melainkan mengungkapkan sebuah keharusan. Perintah yang dimaksud adalah perintah yang berdasarkan suatu keharusan objektif, bukan paksaan melainkan pertimbangan yang meyakinkan dan membuat kita taat. Menurut Franz Magnes-Suseno, rumusan imperatif kategoris Kant yang paling terkenal adalah ―bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maxim) yang dapat sekaligus kau kehendaki menjadi hukum umum (universal).‖28 26 Ayi Sufyan, Etika Politik Islami, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 59 J Sudarminta, Etika Umum: Kajian tentang beberapa masalah pokok dari Teori Etika Normatif, (Yogyakarta: Kanisius: 2013), hlm. 137 28 Franz mengartikan bahwa arti yang sempit dari kata maxime adalah prinsip. Maksim sendiri merupakan prinsip subyektif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap dan tindakan-tindakan konkret. Artinya prinsip dasar orang itu bertindak bisa saja baik 27 18 Dua pespektif di atas, yakni etika kekuasaan yang dirumuskan oleh AlMawardi akan dikombinasikan dengan teori moralitas Immanuel Kant. Hal ini karena perspektif Al-Mawardi hanya memberikan panduan tentang etika kekuasaan tanpa menjelaskan tentang nalar filosofis dari suatu tindakan tersebut. Oleh sebab itu, konsep imperatif dari Kant akan melengkapinya, yakni mengungkap tentang keharusan penguasa bertindak secara etis dalam menjalankan kekuasaannya. Dengan dua perspektif tersebut, setidaknya mampu mengungkat tentang etika kekuasaan dalam pandangan Raja Ali Kelana secara kritis, tidak hanya sekedar konsep-konsep etika kekuasaan secara lahiriah saja. E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan kajian dalam bidang ilmu politik dengan fokus pada pemikiran etika kekuasaan. Menurut Michael Freeden, kajian terhadap pemikiran politik saat ini lebih menekankan pada beberapa aspek; (1) konstruksi argumen yang sangat cermat, (2) rumusan normatif standar-standar politik, (3) produksi wawasan imajinatif, (4) eksplorasi wawasan geneologi terhadap asal dan perubahan, (5) analisa morfologi terhadap konsep dan kumpulan konsep.29 Ia menyebutkan bahwa tidak semuanya bisa dilakukan kajian melainkan hanya sebagiannya saja. Sebab itu, penelitian ini memfokuskan pada analisa morfologi konsep tentang etika kekuasan dari pemikiran politik Raja Ali Kelana. dan bisa buruk. Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika, : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 147 dan lihat juga S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Impertif Kategoris, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 50-55 29 Lihat Michael Freeden, Ideologi, Teori Politik dan Filsafat Politik, dalam Gerald F. Gaus dan Chandran Kukathas, Handbook Teori Politik, hlm. 54 19 Adapun obyek material dari kajian terhadap pemikiran Raja Ali Kelana ini ialah beberapa karyanya. Dengan demikian, jenis penelitian ini ialah penelitian pustaka (library research). Tetapi, karya-karya Raja Ali Kelana juga merupakan manuskrip kuno Melayu yang terbit era kesultanan Riau-Lingga, sehingga menjadi bagian dari kajian filologi.30 Sebagai bahan filologis, maka digunakan pula ilmu filologi terapan, yakni kajian terhadap teks dalam bentuk asli dalam tulisan Jawi maupun yang telah dialihaksarakan ke Romawi. Artinya, dalam penelitian ini, ilmu filologi merupakan ilmu bantu untuk mengklasifikasi dan memahami isi teks yang sebenarnya secara komprehensif.31 Metode filologi yang akan diterapkan ialah metode landasan,32 yakni mencari teks yang paling baik untuk bisa dipahami dan kemudian dijadikan sebagai landasan untuk penelitian tentang pemikiran politik Raj Ali Kelana. Setelah mendapati naskah yang baik untuk dijadikan ladasan penelitian tesis ini, maka akan digunakan metode konten analisis (analisys content). Metode ini dimaksudkan untuk mengungkap isi pemikiran seorang tokoh dari karyanya dengan membagi dan menggolongkan bahasan dalam teks untuk mendapatkan subtansi di dalamnya.33 Analisis konten ini dengan mengambil beberapa bahasan dalam teks yang terkait tentang etika kekuasaan seperti kesetiaan, kesatuan, 30 Filologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang teks dengan obyek kajiannya naskah atau teks lama. Lebih lengkap, lihat Elis Suryani NS, Filologi, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2012), hlm. 2-3. 31 Ibid., hlm. 18-21 dan lihat juga Nabilah Lubis, Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia, 2001), hlm. 65-69 32 Nabilah Lubis, Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi, hlm. 93 33 Nyoman Kutha Ratna, Metodelogi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), hlm. 358-359 20 musyawarah, keadilan, dan perang sebagai contoh tindakan ideal untuk menelaah pemikiran Raja Ali Kelana. Guna mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan komprehensif, maka pendekatan yang dilakukan pada penelitian ini ialah pendekatan fenomenologi (phenomenology approuch), yakni pendekatan yang lebih menetitikberatkan pada pengungkapan pemikiran secara utuh berdasarkan fenomena pada saat pemikiran itu dilahirkan. Sebagai sebuah karya pemikiran, tentu hal itu dilakukan secara sadar oleh Raja Ali Kelana, sebab fenomena merupakan manifestasi konkrit dan historis dari perkembangan pemikiran manusia. Termasuk dalam kajian ini ialah yang berkaitan dengan biografi Raja Ali Kelana, baik latar belakang pendidikan maupun sosial yang berpengaruh terhadap pemikirannya. Sebab menggunakan pendekatan fenomenologi, maka penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif-analitik, yakni menguraikan pembahasan dari tema yang dimaksud sekaligus menganalisis.34 Setiap pemikiran politik Raja Ali Kelana tersebut akan diuraikan secara deskriptif dengan memasukkan analisaanalisa di dalamnya sehingga memudahkan dalam mencapai satu pemahaman yang utuh. F. Sistematika Pembahasan Untuk memudahkan struktur pemahaman dalam penyusunan penelitian ini, maka penulis membagi beberapa bab dengan titik tekan yang berbeda pada masing-masing bab sesuai dengan nalar riset, pokok permasalahan, tujuan 34 Lihat Nyoman Kutha Ratna, Metodelogi Penelitian, hlm. 336 21 penelitian, dan metode yang digunakan. Adapun sistematika pembahasan dalam tesis ini secara keseluruhan terdiri enam bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, pemasahalan, tujuan penelitian, karangka teoritik dan metode yang digunakan dalampenelitian ini. Kesemuanya merupakan alur berpikir, alur penelitian dan alur uraian yang ditempuh selama penelitian berlangsung. Adapun bab kedua membahas tentang perkembangan etika kekuasaan dalam perkembangan pemikiran para teoritisi. Bab ini akan dimulai dengan perkembbangan dari pemikiran etika kekuasaan kuno yakni pada masa Yunani, seperti yang dikembangkan oleh Plato dan Aristotales. Sedangkan bagian kedua akan membahas etika kekuasaan menurut pada pemikir era klasik, baik dari kalangan pemikiran Barat maupun Islam. Dalam sejarah pemikiran, aliran keduanya saling mempengaruhi satu sama lain hingga berkembang pesat pada era kekinian. Dan bagian terakhir akan mengungkap pemikiran dua aliran itu dari para pemikir kontemporer. Adapun bab ketiga akan mengulas tentang dinamika kekuasan di kerajaan Riau-Lingga dan biografi Raja Ali Kelana. Historiografi ini lebih menekankan tentang sejarah kekuasaan yang berlangsung dalam sejarah kerajaan Riau-Lingga. Hal ini penting disampaikan untuk mengetahui setting situasi yang berkembang dalam kerajaan. Pada bab ini juga akan dibahas tentang biografi Raja Ali Kelana yang meliputi tentang latar belakang keluarga, latar bekalang sosial, latar belakang pendidikan, dan karir. Hal ini untuk memberikan gambaran secara konprehensif tentang pengalaman Riau-Lingga yang tentunya juga akan 22 mempengaruhi pemikiran Raja Ali Kelana, termasuk nilai-nilai dasar yang menjadi pijakan dalam pemikiran politik Raja Ali Kelana. Adapun bab keempat akan membahas tentang pemikiran politik Raja Ali Kelana tentang etika kekuasaan. Bagian pertama pada bab ini akan membahas tentang karya-karya Raja Ali Kelana yang memuat tentang pemikiran politik, khususnya tentang kekuasaan. Hal ini sebagai langkah awal untuk memasuki bagian kedua yang berisi tentang analisa konten dari pemikiran Raja Ali Kelana yang tersebar dari beberapa karya. Namun, fokus analisa dibatasi pata tema tentang penguasa, aparatur, rakyat, keadilan, loyalias, dan persatuan. Dan bagian terakhir pada bab ini ialah sebagai jawaban dari pertanyaan kedua sebagaimana yang diajukan pada pokok permasalahan, yakni tentang relevansi nilai-nilai filosofis pemikiran Raja Ali Kelana dalam konteks politik kontemporer. Bab kelima berisi kesimpulan dari seluruh kajian dalam tesis ini sehingga terlihat secara jelas tentang etika kekuasaan dalam pemikiran politik Raja Ali Kelana sebagaimana yang menjadi pokok permasalahan pada bagian pendahuluan. Pada bab penutup ini juga akan diisi saran maupun kritik berdasarkan hasil penelitian. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sepanjang analisis untuk melacak pemikiran etika kekuasaan dalam pemikiran politik Raja Ali Kelana, penulis menemukan bahwa ajaran etika kekuasaan selalu terselip dalam setiap pemikiran politik dengan berbagai bentuknya. Sebagai cendekia di Riau-Lingga, Raja Ali Kelana fokus mencurahkan pemikiran politiknya pada KRBL. Karya tersebut sebagai respon terhadap dinamika kuasa yang terjadi di kerajaan Riau-Lingga meskipun penyajian tetang pemikiran politiknya tidak utuh dalam karya tersebut. Ia juga mencoba menginterpretasikan norma dalam naṣ yang dengan melihat adat istiadat („urf) masyarakat Melayu. Maka, sebagai kesimpulan akhir dari analisis yang telah dilakukan bagianbagian sebelumnya dalam penelitian ini, penulis merujuk kembali pada dua pokok permasalahan sebagaimana yang diajukan di bagian pendahuluan. Adapun kesimpulannya sebagai berikut: 1. Konsep kekuasaan Raja Ali Kelana dibangun dari suatu pemahaman tentang kebutuhan manusia akan sebuah institusi yang mengatur sendi kehidupan manusia agar lebih tertib. Mamlukah dalam konsep Raja Ali Kelana bertujuan untuk menjaga agama dan negara (waṭan). Baginya, struktur kekuasaan itu diibaratkan dengan anatomi tubuh yang apabila cedera satu bagian, maka akan cedera pula tubuh tersebut. Etika keharusan mashlahah dalam pemikiran 174 175 Raja Ali Kelana mengikuti nilai moral dasar yang menjadi kesadaran fungsi layaknya fungsi-fungsi dalam organisme tubuh. Posisinya yang penting, seorang penguasa memiliki gelar ẓillullah fi al-„arḍ sehingga kebijakan dan prilaku seorang penguasa harus berlandaskan pada etika. Ketika baik penguasa, maka akan baiklah negeri itu. Apabila penguasa zalim, maka akan hancur keadaan negeri. Etika kekuasaan dalam pemikiran politik Raja Ali Kelana yakni mengandung prinsip tentang kesejahteraan umum atau maṣlahah al-āmmah. Dengan kemaslahatan. maka tujuan utama untuk memelihara agama dan negara akan tercapai. Konsep mamlukah Raja Ali Kelana, dalam kajian ilmu politik mengikuti pemikiran kalangan naturalistik yang bersifat normatif. Konsepi tersebut sangat dipengaruhi oleh dinamika kultur kekuasaan di Lingga berdasarkan pengalamannya selama terlibat dalam struktur kekuasaan dan nilai normatifitas yang dipegang oleh masyarakat setempat. Karena itu, kekuasaan yang diidealkan ialah mamlukah al-maṣlahah, bukan mamlukah almaẓlumah. 2. Fenomena politik kekuasaan di Indonesia termasuk dalam aliran mekanistik yang lebih mengedepankan administradtif. Aparatur sangat tidak fleksibel dalam berntidak karena prilakunya harus mengacu pada mekanisme yang berlaku, bukan atas kesadarannya untuk melakukan tindakan. Dengan sistem politik saat ini, kekuasaan menimbulkan dilema hiraskis karena aparatur kekuasaaan hanya tunduk terhadap mekanisme. Sesuatu yang melanggar 176 mekanisme, maka akan dianggap sebagai penyelewengan walaupun hal itu belum tentu bertentangan moral dasar yang penuh kesadaran. Melihat konteks Indonesia saat ini, birokrasi kekuasaan yang demikian itu melahirkan praktik korupsi yang lebih sistemis, kegaduhan antara lembaga kekuasaan, supremasi hukum yang tumpul terhadap para elite politik, dan persaingan yang tidak sehat dalam kekuasaan. Etika dalam praktik kekuasaan yang demikian itu tidak berdasarkan kesadaran moral, melainkan hanya melaksanakan tuntutan pekerjaan saja. Dalam perspektif Kantian, etika yang demikian disebut dengan imperatif hipotesis. Maka, dalam kondisi kekinian, etika kekuasaan Raja Ali Kelana yang bercorak naturalistik dan termasuk dalam imperatif kategoris, tidak lagi berkesesuaian dengan pola kekuasaan kontemporer. Meski demikian, landasaran moral filosofis yang terdapat dalam pemikirannya patut menjadi pertimbangan dalam etika kekuasaan. Kritik terhadap pemikiran Raja Ali kelana ialah bahwa pandangan naturalistik normatif dalam aliran ilmu politik merupakan karakter pemikiran Abad Pertengahan dan tidak lagi relevan untuk masyarakat kritis saat ini. Naturalistis normatif mengajarkan tentang keharusan-keharusan saja, tanpa bisa memberikan solusi terhadap problem yang dihadapi. Belum tentu pemikiran Raja Ali Kelana memberikan solusi yang sesuai di tengah kompleksitas relasi kekuasaan. Normatifitas tidak bisa dipraktikan namun sangat mendukung nilai kultural. Meski demikian, dalam penelitian ini penulis menemukan nilai-nilai luhur normatifitas yang selalu dipegang oleh kalangan naturalistik. Nilai tersebut 177 menjadi pedoman etika bagi masyarakat yang bersifat lokal dari perpaduan nilainilai Islami dan adat istiadat. B. Saran Berangkat dari penelitian ini maka penulis menilai diperlukan kajian etika kekuasaan yang sejalan dengan normatifitas, yakni kajian kultur politik dan kultur birokrasi agar normatifitas etik bisa terejawantahkan dalam etika kekuasaan kontemporer yang mekanistik. Maka, diperlukan pengembangan kajian terhadap kultur kekuasaan naturalistik normatif dan korelasinya dengan kekuasaan mekanistik rasional. Berikut beberapa saran pengembangan berdasarkan kajian dalam tesis ini: 1. Diperlukan kajian mendalam tentang Islam, kulutur politik, dan kultur birokrasi untuk mengisi kekosongan nilai-nilai dalam birokrasi kekuasaan yang bersifat mekanistik. 2. Perlu pengembangan metode kajian dan pengembangan maqāṣid alsyarῑ‟ah untuk melihat maṣlahah dalam ranah etika kekuasaan politik kekinian yang tidak hanya bersifat normatifisme an sich, melainkan normatif yang lebih kontekstual. Maka, penulis menilai perlu kajian sinergis antara konsep mamlakah Raja Ali Kelana yang bersifat naturalistik normatif dan birokrasi universal yang mekanis rasional, yakni normatifme mekanis. Kajian tersebut berguna untuk mengisi kekosongan norma etika yang menjadi nilai kultural di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Adil, Haji Buyong, Sejarah Johor, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1980. Ali, Raja (Haji), Silsilah Melayu Bugis, (Tanjungpinang: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2007. Ali, Raja (Haji), Tuhfah an-Nafis, dalam Virginia Matheson Hooker, Tuhfat alNafis: Sejarah Melayu-Islam, terj. Ahmad Fauzi Basri, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1991. Ali, Raja Haji (Kelana), Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas, Singapura: AlImam, 1328 H. _________, Perhimpunan Pelakat, dalam Hamzah Yunus, Alihaksara NaskahNaskah Kuno Riau, Penyengat: Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Riau Pulau Penyengat dan Yayasan Sosial Chevron dan Texaco Indonesia, 2001. _________, Pohon Perhimpunan, dalam Hamzah Yunus, Alihaksara NaskahNaskah Kuno Riau, Penyengat: Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Riau Pulau Penyengat dan Yayasan Sosial Chevron dan Texaco Indonesia, 2001. Anwar, Syamsul, Al-Mawardi dan Teorinya tentnag Khilafah, dalam jurnal AlJami‘ah, Nomor 35, Tahun XVI, 1987. Asba, A. Rasyid, Perkembangan Ekonomi Riau-Lingga-Johor-Pahang pada Masa Pemerintahan Mahmud Riayat Syah, dalam Abdul Malik, dkk., Sejarah Kejuangan dan Kepahlawanan Sultan Mahmud Riayat Syah, Lingga: Pemkab Lingga dan Pemprov Kepri, 2012. Azhar, Muhammad, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, Jakarta: Rajawali Press, 1996. Bernard, Timothy P., Taman Penghiburan: Entertainment in The Riau Elite in The Last 19 Century, dalam Journal Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, volume LXVII part 2. Borham, Abd Jalil, Pengaruh Khalifah Othmaniyyah dalam Pentadbiran Kerajaan Johor bagi Memartabatkan Sebuah Negara Islam Merdeka di Asia Tenggara, makalah dalam Simposium Isu-isu Sejarah dan Tamadun Islam di Universiti Kebangsaan Malaysia, 2011. Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2013. Elis Suryani NS, Filologi, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2012. 178 179 Freeden, Michael, Ideologi, Teori Politik dan Filsafat Politik, dalam Gerald F. Gaus dan Chandran Kukathas, Handbook Teori Politik, terj. Desta Sri Widowatie, Bandung: Nusa Media, 2013. Ghazali, Abu Hamid Al-, al-Iqtisad fi al-I„tiqad, Beirut: Dar al-Kutub al‗Ilmiyyah, tt. _________, al-Mustashfa min Ilm Ushul, Beirut: Al-Resalah, 1997. Hamidy, UU, Teks dan Kepengarangan di Riau, (Pekanbaru: Unri Press, 2002. Hall , D.G.E, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya: Usaha Nasional, 1988. Harun, Jaelani, Kitab Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas: Karya Ketatanegaraan Melayu Terakhir, dalam jurnal International Journal of the Malay Word and Civilisation (Formerly SARI) Nomor 19 tahun 2001. Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Pernerbit Kompas, 2004. Hooker, Virginia Matheson, Tuhfat al-Nafis: Sejarah Melayu-Islam (Ahmad Fauzi Basri, penerjemah), (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1991. _________, Pulau Penyegat: Nineteenth Century Islamic Centre of Riau, dalam jurnal Archiper, volume 37, 1989, Villes d‘Insulinde (II). Lubis, Nabilah, Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi, Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia, 2001. Machiavelli, Noccolo, Sang Pangeran, Jakarta: PT Alex Media Komputindo, 2014. Mahdini, Konsep Raja dan Kerajaan Menurut Raja Ali Haji, (Disertasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2001. Malik, Abdul, dkk., Sejarah Kejuangan dan Kepahlawanan Sultan Mahmud Riayat Syah, Lingga: Pemkab Lingga dan Pemprov Kepri, 2012. Maududi, Abul A‘la Al-, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, terj. Muhammad Al-Baqir, Bandung: Mizan, 1998. Mawardi, Abu Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Baghdady Al-, Adab alDunya wa al-Din, Kairo: al-Dar al-Mishriyah al-Lubnaniyah, 1988. _________, al-Ahkām as-Sulṭaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, Beirut: Dar alKutub al-‗Ilmiyah, tt. 180 Noor, Arba‘iyah Mohd, Raja Khalid Hitam Sebagai Pengarang “Bahwa Inilah Syair Pejalanan Sultan Lingga dan Yang Dipertuan Muda ke Singapura‖, dalam Arba‘iyah Mohd Noor, dkk., Perasada Jauhari: Kumulan Esai, Tanpa Keterangan penerbitan. Putten , Jan Van der Putten dan Al Azhar, Di dalam Berkenalan Persahabatan: Surat-surat Raja Ali Haji kepada Vaon de Wall, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2007. _________, Of Missed Opportunites, Colonial Law and Islam-phobia, dalam jurnal Indonesia and the Malay World Vol. 34, No. 100 November 2006. _________, Printing in Riau; Two steps toward modernity, dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153 (1997), nomor 4, Leiden. Ratna, Nyoman Kutha, Metodelogi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Rojak, Jeje Abdul, Politik Kenegaraan: Pemikiran-Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Surabaya: Bina Ilmu, 1999. Ruslan, Utsman Abdul Mu‘iz, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, Solo: Era Intermedia, 2000. Sahid, Komarudin, Memahami Sosiologi Politik, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011. Samad, Raja Syofyan, Negara dan Masyarakat: Studi Penerrasi Negara di Riau Kepulauan Masa Orde baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Schmandt, Henry J., Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Sudarminta, J, Etika Umum: Kajian tentang beberapa masalah pokok dari Teori Etika Normatif, Yogyakarta: Kanisius: 2013. Sufyan, Ayi, Etika Politik Islami, Bandung: Pustaka Setia, 2012. Sugiarto, I Bambang dan Bagus Rachmat W, Wajah Batu Etika dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2000. Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia, 2001. Suseno, Franz Magnes-, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1991. _________, 13 Tokoh Etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997. 181 Syahri, Aswandi dan Raja Murad, Cogan: Regalia Kerajaan Johor Riau Lingga Pahang, Tanjungpinang: Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Provinsi Kepulauan Riau, 2006. _________, Raja Ali Kelana dan Pondasi Historis Industri Pulau Batam, Batam: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2007. Syam, Firdus, Pemikiran Politik Barat: Serajah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya terhadap Dunia Ke-3, Jakarta: Bumi Aksara, 2007. Syari‘ati, Ali, Umah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989. Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim Asy-, Al-Muwafawat fi ushul al-Syari‟ah, Mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kura, 1975, 2 jilid. Taimiyah, Ibn, as-Syiyasyah al-Syar‟iyah, Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi, tt. Thompson, Dennis F., Etika Politik Pejabat Negara, terj. Benyamin Molan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000. Tjahjadi, S.P. Lili, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Impertif Kategoris, Yogyakarta: Kanisius, 1991. Undang-Undang Lima Pasal, dalam Hamzah Yunus, Alihaksara Naskah-Naskah Kuno Riau, Penyengat: Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Riau Pulau Penyengat dan Yayasan Sosial Chevron dan Texaco Indonesia, 2001. Varma, SP., Teori Politik Modern, terj. Yohanes Kristiarto, dkk., Jakarta: Rajawali Press, 2007. Yacob, M Amin, Sejarah Kerajaan Lingga: Johor-Pahang-Riau-Lingga, Pekanbaru: Unri Press, 2004. Zainuddin, A. Rahman, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibn Khaldun, Jakarta: Gramedia, 1992. Referensi internet http://www.royalark.net/Indonesia/riau7.htm (diakses pada 27 Agustus 2015). Aswandi Syahri, Verzeparty dan Lydelyk Verzet: Perdirian Roesidijah (Club) Riouw 1890-an -1991, dalam Tanjungpinangpos edisi 2 Maret 2013 melalui www.tanjungpinangpos.co.id (Diakses pada 20 Desember 2015). Mohd. Abdullah Shagir, Raja Ali Kelana-Ulama dan Pejuang Riau dan Johor, dalam koran Utusan edisi 12 Juli 2004 diakses melalui situs http://ww1.utusan.com.my/ (diakses pada 4 Desember 2015) . 182 _________, Syeikh Ahmad al-Fathani, Organisasi Dan Politik, dalam koran Utusan edisi 7 Juli 2008 diakses melalui http://ww1.utusan.com.my/ (diakses 4 Desember 2015). _________, Syeikh Ahmad al-Fathani dan Media Cetak, dalam koran Utusan edisi 14 Juli 2008 diakses melalui http://ww1.utusan.com.my/ (diakses 4 Desember 2015). Mendagri: 343 Kepala Daerah Tersangkut Kasus http://nasional.kompas.com (diakses pada 4 Maret 2015). Hukum dalam 183 CURRICULUME VITAE Nama TTL Alamat asal Nomor HP Email Istri Anak : Abd. Rahman : Gresik, 29 Oktober 1983 : Bengkong Indah II Jl. Melati Blok F No. 21 RT 5 RW V Kecamatan Bengkong, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau : 081277181310 : [email protected] : Ummi Sholeha : 1. Putri Zahira Salsabila 2. Abdullah Zulkarnaen Muazzam Riwayat Pendidikan SDN 024 Sei Panas, Kota Batam (lulus 1996) MTS Nurul Abrar Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur (lulus 1999) MA Badridduja Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur (lulus 2002) PP. Badridduja Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur (1996-2002) S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002-2008) S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2014-2016) Pengalaman Organisasi Ketua OSIS MA Badridduja (2000-2001) Wakil Bendahara PC IPNU Kraksaan 2001-2002 Anggota UKM JQH Al-Mizan UIN Sunan Kalijaga (2002-2008) Anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA UIN Sunan Kalijaga (20032008) Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Batam (2008-sekarang) Pengalaman Kerja Jurnalis di PT. Tribun Media Grafika yang menerbitkan koran harian Tribun Batam dan Bintan News sejak 2008-sekarang. Yogyakarta, 22 Maret 2016 Abd. Rahman