konsep mamlukah dan keharusan maṣlahah dalam etika

advertisement
KONSEP MAMLUKAH DAN KEHARUSAN
MAṢLAHAH DALAM ETIKA KEKUASAAN
RAJA ALI KELANA 1849-1927
Oleh
Abd. Rahman, S.H.I.
NIM: 1420311038
TESIS
Diajukan kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh
Gelar Magister Studi Islam
Program Studi Hukum Islam
Konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan Islam
YOGYAKARTA
2016
ABSTRAK
Abd. Rahman. Konsep Mamlukah dan Keharusan Maṣlahah dalam Etika
Kekuasaan Raja Ali Kelana (1849-1927). Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. 2016.
Konsep kekuasaan cukup ideal dalam tataran teoritis tetapi mengalami
dilema dalam realitas, sehingga fenomena kekuasaan menjadi fokus penting
dalam kajian politik. Idealitas dan realitas sering berbenturan sebab tidak lepas
dari personalitas manusia. Sisi buruk dari realitas kekuasaaan itu ialah
penyelewengan, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Di tengah
fenomena seperti itu, etika penting sebagai pegangan moral dalam prilaku politik
kekuasaan. Penulis tertarik melacak pemikiran etika kekuasaan dari cendekia
Melayu, Raja Ali Kelana, guna menemukan pemikiran yang khas. Dengan
demikian, fokus kajian ini ialah bagaimana pemikiran Raja Ali Kelana tentang
etika kekuasaan dan bagaimana dalam konteks kekinian?
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori kekuasaan Abu Hassan alMawardi yang menyebutkan bahwa kekuasaan untuk menjaga agama dan
mengurus hal keduniaan dan kuncinya ialah mencapai kemaslahatan manusia.
Selain itu, digunakan juga teori etika Immanuel Kant, bahwa kewajiban sebagai
hukum moral dasar. Kedua teori tersebut didukung dengan metode konten analisis
dan pendekatan fenomenologi untuk mengungkap pemikiran Raja Ali Kelana
secara konprehensif.
Raja Ali Kelana mengibaratkan kekuasaan seperti anatomi tubuh manusia
dengan fungsinya masing-masing. Faktor pelangkapnya adalah nyawa. Ia
mengistilahkannya dengan mamlukah. Penguasa harus memeliki pedoman etik
dalam menjalan kekuasaan dengan mengedepankan kemaslahatan. Penguasa yang
tidak mengedepankan maslahah, akan menimbulkan kezaliman yang
menyengsaran negeri. Karena itu, kezaliman penguasa akan mencederai angota
mamlakah (negara). Maka kekuasaan yang diidealkan Raja Ali Kelana ialah
mamlakah al-maṣlahah, bukan mamlakah al-maẓlumah. Konsep mamlukah
sebagaimana perspektif Raja Ali Kelana merupakan konsep naturalistik normatif
yang berkembang abad Pertengahan. Sedangkan dalam perspektif Kantian, etika
kekuasaan yang demikian itu termasuk dalam imperatif kategoris, yakni kesadaran
moral yang muncul sesuai fungsi dasar dalam strukur kekuasaan. Sedangkan
fenomena kekuasaan kontemporer bersifat mekanistik rasional, di mana struktur
kekuasaan bertindak berdasarkan kewenangan yang telah diatur sehingga aparatur
tidak bisa karena kesadaran moralnya, melainkan sebagai pemenuhan tuntutan
pekerjaan. Dengan demikian, etika kekuasaan Raja Ali Kelana tidak lagi relevan
terhadap kekuasaan kontemporer. Namun, nilai-nilai normatif dalam
pemikirannya bisa menyumbang kekosongan dalam sistem kekuasaan mekanistik
rasional.
Keyword: Etika kekuasaan, mamlukah, maṣlahah.
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB - LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penulisan tesis ini
berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan
0543b/U/1987.
A. Konsonan Tunggal
Huruf arab
Nama
Huruf latin
Nama
‫ا‬
Alif
Tidak dilambangkan
Tidak dilambangkan
‫ب‬
ba’
b
be
‫ت‬
ta’
t
te
‫ث‬
sa’
s|
es (dengan titik di atas)
‫ج‬
jim
j
je
‫ح‬
h}a’
h}
ha (dengan titik di bawah)
‫خ‬
kha
kh
ka dan ha
‫د‬
dal
d
de
‫ذ‬
z|al
z|
zet (dengan titik di atas)
‫ر‬
ra’
r
er
‫ز‬
zai
z
zet
‫س‬
sin
s
es
‫ش‬
syin
sy
es dan ye
‫ص‬
s}ad
s}
es (dengan titik di bawah)
‫ض‬
d}ad
d}
de (dengan titik di bawah)
‫ط‬
t}a
t}
te (dengan titik di bawah)
‫ظ‬
z}a
z}
‫ع‬
‘ain
‘
‫غ‬
gain
g
viii
zet (dengan titik di bawah)
koma terbalik di atas
ge
‫ف‬
fa
f
ef
‫ق‬
qaf
q
qi
‫ك‬
kaf
k
ka
‫ل‬
lam
l
‘el
‫م‬
mim
m
‘em
‫ن‬
nun
n
‘en
‫و‬
waw
w
w
‫ه‬
ha’
h
ha
‫ء‬
hamzah
‘
apostrof
‫ي‬
ya’
y
ye
B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah Ditulis Rangkap
‫متع ّددة‬
ditulis
muta’addidah
‫ع ّدة‬
ditulis
‘iddah
‫حكمة‬
ditulis
h}ikmah
‫علة‬
ditulis
‘illah
C. Ta’ Marbut}ah Di Akhir Kata
1. Bila dimatikan ditulis h
Ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap
dalam bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya, kecuali bila
dikehendaki lafal aslinya).
2. Bila diikuti dengan kata sandang „al‟, maka ditulis dengan h
‫كرامة االؤلياء‬
ditulis
kara>mah al-auliya>’
‫زكا ةالفطر‬
ditulis
zaka>h al-fit}ri
ix
D. Vokal Pendek Dan Penerapannya
__َ__
Fath}}ah
ditulis
__َ__
Kasrah
ditulis
i
__َ__
D}ammah
ditulis
u
‫فعل‬
Fath}ah
ditulis
fa’ala
‫ذكر‬
Kasrah
ditulis
z|ukira
‫يذهب‬
D}ammah
ditulis
yaz||habu
a
E. Vokal Panjang
1
Fath}ah + alif
‫جا هلية‬
2
Fath}ah + ya‟ mati
‫تنسى‬
3
Kasrah + ya‟ mati
‫كريم‬
4
D}ammah + wawu mati
‫فروض‬
ditulis
ditulis
a>
ja>hiliyyah
ditulis
ditulis
a>
tansa>
ditulis
ditulis
i>
kari>m
ditulis
ditulis
u>
furu>d}
F. Vokal Rangkap
1
Fath}ah + ya mati
‫ب ْينكم‬
2
Fath}ah + wawu mati
‫ق ْول‬
x
ditulis
ditulis
ai
bainakum
ditulis
ditulis
au
qaul
G. Vokal Pendek Yang Berurutan Dalam Satu Kata Dipisahkan Dengan
Apostrof
‫اانتم‬
ditulis
a'antum
‫اعدت‬
ditulis
u'iddat
‫لئن شكر تم‬
ditulis
La’in syakartum
H. Kata Sandang Alif + Lam
Bila diikuti huruf Qamariyyah maka ditulis dengan menggunakan kata
sandang “al”, dan bila diikuti huruf Syamsiyyah maka ditulis dengan
menggandakan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan
huruf l (el) nya.
‫القر ان‬
ditulis
al-Qur'an
‫الشمس‬
ditulis
asy-Syams
I. Penulisan Kata-Kata Dalam Rangkaian Kalimat
Ditulis menurut penulisannya.
‫ذوي الفروض‬
ditulis
z|awi al- furu>d}
‫ا هل السنّة‬
ditulis
ahl as-sunnah
xi
KATA PENGANTAR
‫ان الحمد هلل وحمدي َوىستعيىً َوستغفري َوعُذببهلل مه شرَر اوفسىب َمه سيئبت اعمبلىب مه‬
‫ اشٍد ان الالً االهللا َحدي الشريك لً َاشٍد ان‬.ً‫يٍدهللا فال مضل لً َمه يضللً فال ٌبدي ل‬
)‫ (امب بعد‬.ً‫محمدا عبدي َرسُل‬
Ide dasar tesis ini telah penulis miliki sebelum menempuh jenjang
pendidikan magister di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga,
Yogyakarta pada 2014, yakni tentang dinamika politik dari khazanah dan tamadun
Melayu di Riau-Lingga. Setelah melewati tahap belajar dari matakuliah yang
berlaku di konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan Islam (SPPI) dan
berdasarkan saran dari berbagai pihak, penulis tertarik untuk melakukan kajian
tentang etika kekuasaan. Tema itu penulis anggap penting sebab fenomena
kekuasaan di negeri ini begitu dilematis.
Perjalanan panjang dari ide hingga penulisan tesis ini, telah melibatkan
banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan
ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak selama proses
pendidikan dan penulisan.
1.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Yudian Wahyudi, M.A, Ph.D.
2.
Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Noorhaidi,
M.A., M.Phil., Ph.D. yang juga telah bersedia memberikan rekomendasi
kepada penulis untuk melanjutkan studi magister ini.
3.
Dr. Munawar Ahmad, M.Si., selaku dosen dan pembimbing dalam penulisan
tesis ini. Terima kasih atas kritik dan sarannya yang sangat membantu dalam
proses penulisan ini. Terima kasih juga selama proses perkuliahan yang
membuka cakrawala berpikir ilmiyah akademik.
xii
4.
Para dosen selama menempuh kuliah, Prof. Dr. Iskandar Zulkarnaen, Prof.
Dr. Abd. Salam Arief, Dr. Subaidi, M.Si., Dr. Ahmad Yani Anshori, Dr. Ibn
Burdah, M. Iqbal Ahnaf, Ph.D, Dr. A Muttaqin, Syahiron Syamsudin, M.Phil,
Ph.D, Dr. Siti Fatimah, Dr. Ni‟matul Huda, Dr. Zuly Qodir, Dr. Abdul
Rozaki, dan Dr. Hamdan Daulay. Terima kasih atas pencerahannya selama
proses belajar.
5.
Ibunda Nasiyah yang telah dengan sabar selalu menasehati penulis. Istri
Ummi Sholeha dan anak-anak tercinta, Putri Zahira Salsabila dan Abdullah
Zulkarnaen Muazzdam, yang harus “terlantar” selama proses pendidikan ini.
Serta mertua yang telah sabar menemani si kecil berdua selama proses
perkuliahan. Buat adik-adikku, Mohammad Ruslan, Dewi Musdalifa, Nur
Aini, dan Mohammad Nur Faizi, semoga tetap berbakti kepada orang tua.
6.
Pimpinan di koran harian Tribun Batam, pak bos Febby Mahendra Putra
(pemred) dan opung Ricard Nainggolan (wapemred). Terima kasih telah
mengizinkan penulis melanjutkan studi ini dengan masa cuti dua tahun.
7.
Teman-teman di SPPI nonreguler, Zakky Abdillah dari Tuban, Ricky Aditya
dari Tanjungpinang, A. Miftahul Amin dari Sidoarjo, Suciyani dari
Purworejo, dan Mr. Faisol Mamang dari Patani Thailand. Buat Hady
Warman, Ricky Santosa, dan Abu Laka karena mengulang matakuliah
mempertemukan kita. Terima kasih atas diskusi dalam kelas maupun di luar
kelas yang telah memberikan sumbangsih dalam pengetahuan dan pola
berpikir kita. Berbagi pelangaman dengan kalian adalah sesuatu yang indah
dan yang seru ialah petualangan ke lereng Merapi sebagai penutup perkuliah.
xiii
8.
Buat sahabatku, M. Yusuf, S.Pd.I, M.Pd.I dan istri Anita Suhana, S.E.,
Muslim dan istri, om Rubiansah dan mbak Eka, dan Rio H. Batubara. Terima
kasih dan maaf telah sering merepotkan kalian semua selama pendidikan ini.
9.
Kepada saudaraku Abdul Halim. S.T., Lailatul Fafriyah dan suaminya
Marwanto, dan Zahratul Jannah. Semoga kalian segera bisa membahagiakan
orangtua.
10. Teman-teman di kos Rudal Komplek PJKA/GK No. 748 yang telah mewarnai
pergaulan “muda” dengan ngopi dan diskusi-diskusinya. Semoga tradisi
diskusi Sabtu sore selalu konsisten dan menjadi proses transformasi keilmuan
yang lebih baik.
Dan kepada semua pihak yang telah membantu selama proses pendidikan
dan penulisan tesis ini, baik yang tersebut di atas maupun yang tidak tersebutkan,
penulis ucapkan terima kasih. Sumbangsih sekecil apapun dari semuanya cukup
berarti bagi penulis dan hanya Allah sajalah yang dapat membalas kebaikan itu.
barakallahu li walakum.
Yogyakarta, 21 Maret 2016
Abd. Rahman, S.H.I
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .....................................................................................
PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ..........................................................
PENGESAHAN DIREKTUR ......................................................................
DEWAN PENGUJI .......................................................................................
NOTA DINAS PEMBIMBING ....................................................................
ABSTRAK .....................................................................................................
PEDOMAN TRANSLITASI ........................................................................
KATA PENGANTAR ...................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................
DAFTAR SINGKATAN ...............................................................................
DAFTAR GLOSARIUM ..............................................................................
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
xii
xv
xvii
xviii
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................
A. Latar Belakang ..................................................................................
B. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian .........................................
C. Telaah Pustaka ..................................................................................
D. Kerangka Teori .................................................................................
E. Metode Penelitian ..............................................................................
F. Sistematika pembahasan ....................................................................
1
1
7
8
12
18
22
BAB II ETIKA KEKUASAAN DALAM LINTAS SEJARAH PEMIKIRAN
POLITIK .............................................................................................. 23
A. Dari Etika Politik ke Etika Kekuasaan ............................................. 23
B. Etika Kekuasaan Kuno ...................................................................... 28
C. Etika Kekuasaan Klasik-Pertengahan ............................................... 32
1. Etika Kekuasaan Islam .................................................................. 32
2. Etika Kekuasaan Barat .................................................................. 40
D. Etika kekuasaan Modern-Kontemporer ............................................ 48
1. Etika Kekuasaan Islam .................................................................. 49
2. Etika Kekuasaan Barat .................................................................. 54
BAB III DINAMIKA KEKUASAAN DI RIAU-LINGGA (1699-1913 M)
DAN BIOGRAFAI RAJA ALI KELANA ......................................... 60
A. Dinamika Kekuasan di Kerajaan Riau Lingga ................................. 60
1. Perebutan Tahta dan Kehadiran Bangsawan Bugis ...................... 60
2. Traktat London dan Hegemoni Imprealisme ................................ 65
3. Kontrak Politik dan Intervensi Asing ........................................... 68
B. Raja Ali Kelana: Penggerak Intelektualisme dan Patriotisme .......... 71
1. Keluarga Darah Ningrat ................................................................ 71
2. Mengembara ke Timur Tengah ..................................................... 74
3. Menjalankan Tugas sebagai Kelana .............................................. 79
4. Melepas “Yang Dipertuan Muda” ................................................ 86
5. Raja Ali Kelana dan Gerakan Intelektualisme .............................. 91
xv
6. Andil dalam Sekolah Islam Modern ............................................. 99
7. Bisnis dan Penguatan Ekonomi .................................................... 102
8. Mengungsi dan Menjadi Syaikhul Islam di Johor ......................... 106
BAB IV MAMLAKAH DAN KEHARUSAN MAṢLAHAH .......................
A. Karya dan Pemikiran Raja Ali Kelana ..............................................
1. Pohon Perhimpunan ......................................................................
2. Perhimpunan Pelakat ....................................................................
3. Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas ..........................................
4. Bughyat al-‘Āni fῑ Hurūf al-Ma’āni ..............................................
5. Rencana Mudah pada Mengenal Diri yang Indah .........................
6. Kesempurnaan yang Lima bagi Islam Menerima .........................
B. Etika Kekuasaan Raja Ali Kelana .....................................................
1. Kekuasaan .....................................................................................
2. Aparatus ........................................................................................
3. Rakyat ...........................................................................................
4. Keadilan ........................................................................................
5. Sumpah Setia (Loyalitas) ..............................................................
6. Berhimpun Bersatu (Persatuan) ....................................................
C. Konstruksi Mamlakah dan Keharusan Maṣlahah dalam Kajian
Kritis .................................................................................................
D. Relevansi Etika Kekuasaan Raja Ali Kelana dalam konteks
Indonesia ...........................................................................................
111
111
113
116
119
127
129
130
132
134
138
142
145
150
156
161
168
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 174
A. Kesimpulan ......................................................................................... 174
B. Saran .................................................................................................... 177
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 178
BIOGRAFI PENULIS .................................................................................. 183
xvi
DAFTAR SINGKATAN
BBW
: Batam Brick Work
H
: Hijriyah
HAM
: Hak Asasi Manusia
Kemendagri
: Kementrian dalam Negeri Republik Indonesia
KPK
: Komisi Pemberantasan Korupsi
KRBL
: Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas
M
: Masehi
Terj.
: Terjemah
W
: Wafat
YDB
: Yang Dipertuan Besar
YDM
: Yang Dipertuan Muda
SM
: Sebelum Masehi
xvii
DAFTAR GLOSARIUM
Cogan
: Benda serupa dengan daun pohon berwarna kuning emas yang
digunakan dalam prosesi penobatan sultan di Johor-PahangRiau-Lingga
Imperatif
: Suatu keharusan yang berkaitan dengan tindakan manusia
Makzul
: Pemberhentian secara paksa dari tahta atau jabatan dalam
struktur kerajaan
Mamlukah
: Kekuasaan yang berkaitan dengan sistem, nilai, konsep, dan
aparatus dalam pemikiran Raja Ali Kelana
Maṣlahah
: Nilai yang menjadi tujuan utama kebaikan
Penceraian
: Penjelasan bagian
Regelia
: Kumpulan perabotan kebesaraan yang digunakan dalam
kegiatan-kegiatan penting kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika kekuasaan merupakan bagian paling dominan dalam fenomena
politik. Sesuatu yang berkaitan dengan negara, suksesi, otoritas, kebijakan, dan
ideologi selalu saja berkaitan dengan kuasa politik. Hal ini terlihat bagaimana para
politisi menebarkan janji-janji saat pemilu, kegaduhan saat membuat aturan dan
kebijakan, berlomba untuk meneguhkan otoritas dalam struktur kekuasaan, dan
lain sebagainya. Semuanya dilakukan atas nama kuasa untuk memberikan
kesejahteraan bagi rakyat. Sejatinya, orientasi kekuasaan ialah memberikan
kemaslahatan bagi rakyat dan negara.1 Para teoritisi juga menyandarkan teorinya
dari aspek sosial manusia yang membutuhkan kekuasaan untuk mewujudkan
kemaslahatan agar kehidupan bisa berjalan dengan baik dan mencapai tujuannya.
Meski
demikian,
fenomena
kekuasaan
juga
bisa
melahirkan
penyimpangan. Bentuk dan variannya cukup beragam, baik terkait dengan
penguasanya, sistemnya, dan rakyat yang dikuasai. Tentang penguasa itu sendiri,
bisa dilihat dari bagaimana kekuasaan dan penguasa telah memunculkan praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Menurut Kementrian Dalam Negeri
Republik Indonesia (Kemendagri), hingga Desember 2014 terdapat 343 kepala
daerah yang terlibat kasus hukum, baik di kejaksaan, kepolisian, maupun Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut masalah
1
Di antara tujuan itu ialah menyejahterakan dan memakmurkan bangsa, mencerdaskan
kehidupan bangsa, keadilan, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), rasa aman dan tentram,
kedaulatan, perdamaian, melanggengkan kekuasaan, meraih kepentingan pribadi, kelompok, atau
golongan. Dua yang terakhir ini termasuk dalam kepentingan internal penguasa. Lihat Damsar,
Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2013), hlm. 95
1
2
pengelolaan keuangan daerah.2 Hal ini seakan mempertegas bahwa kekuasaan
memang akan cendrung menimbulkan praktik koruptif.
Dalam politik anggaran mempertegas bahwa sistem dan struktur
kekuasaan itu bisa diselengwengkan untuk kepentingan para elite penguasa. Dan
lebih pelik lagi ketika ―rebutan‖ kepentingan-kepentingan elite penguasa
menyusup pada kebijakan politiknya.3 Ada dua indikasi kepentingan kolektif dan
sektoral memasuki kebijakan politik; faktor internal dalam kekuasaan pada sebuah
negara itu sendiri dan faktor eksternal yang berupa intervensi asing akibat suatu
ketergantungan politis. Bahkan, kegaduhan antar lembaga kekuasaan yang
seringkali tampak dalam dinamika politik di Indonesia memperlihatkan bahwa
kekuasaan itu sendiri menimbulkan problem di internalnya.4
Sedangkan penyelewangan kekuasan dari sistem strukturalnya yang
dirasakan langsung oleh rakyat bisa berupa tindakan represif, teror, dan pembiaran
atas segala bentuk tindak kekerasan. Tidak jarang kekuasaan itu sendiri yang
menciptakan konflik di tengah masyarakat, seperti praktik penggusuran dan
pemaksaan
pengambilalihan
tanah
rakyat
atas
nama
pembangunan.
Perselingkuhan kekekuasaan politik dan kekuasaan kapital juga tidak kalah
2
Laporan portal berita dengan judul Mendagri: 343 Kepala Daerah Tersangkut Kasus
Hukum dalam http://nasional.kompas.com (diakses pada 4 Maret 2015).
3
Dennis F. Thompson mengistilahkannya dengan ―tangan-tangan kotor demokratik‖.
Pejabat negara bisa mengatasnamakan rakyat untuk sebuah kebijakan yang hanya memenuhi
kepentingan individu dan kelompoknya. Tindakan demikian, menurut Thompson termasuk
perbuatan immoral dalam politik namun rakyatlah yang wajib membersihkannya. Keterangan
lengkap lihat Dennis F. Thompson, Etika Politik Pejabat Negara, terj. Benyamin Molan, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2000), hlm. 1-22
4
Dalam sistem kekuasaan modern, pro dan kontra pemerintahan telah menjadi dikotomi
dalam politik praktis. Kelompok kontra pemerintahan atau opisisi selalu mengkritik keras
kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berkaitan dengan kepentingan rakyat. Sedangkan yang pro
berlaku sebaliknya. Hal ini terlihat dalam parlemen sebagai wakil rakyat. Keterangan lebih
lengkap tentang konsep parlemen di Indonesia lihat, Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.
37-56
3
peliknya. Rakyat yang semestinya bisa berdaulat di negarinya sendiri hanya bisa
tunduk pada dua pilar kekuasaan itu.5 Akibatnya, masyarakat hanya menjadi
pemenuh hasrat politik kekuasaan saja.
Fenomena di atas memperlihatkan betapa kekuasan bisa diselewengkan
dan dimanipulasi sehingga menjauhkan dari tujuan asal; kesejahteraan dan
kebahagiaan. Posisi pentingnya kekuasaan dalam struktur politik, seringkali
menimbulkan benturan antara konsep ideal dan praktik empiris, yakni malpraktik.
Apabila terjadi malpraktik kekuasaan, bukan kesejahteraan yang didapatkan
rakyat, malah justru kesengsaraan dan kemelaratan karena hak-hak rakyat
terabaikan. Malpraktik kekuasaan juga bisa menimbulkan rezim tirani, otoriter,
dan diktator. Dengan demikian, malpraktik kekuasaan merupakan kejahatan
struktural.6
Berangkat dari latar belakang di atas, kajian politik selalu menarik
dilakukan oleh peneliti, khususnya tentang etika politik, karena selalu terjadi
benturan antara tataran idealitas dan realitas. Tatanan idealitas dari kekuasan itu
melahirkan seni untuk mengatur masyarakat mencapai tujuannya yang disebut
dengan ilmu politik. Dalam ilmu politik, ajaran filsafat moral diadopsi ke dalam
filsafat politik yang diturunkan menjadi etika politik lalu ke etika kekuasaan. Hal
ini untuk mengimbangi tujuan mulia dari kekuaasaan sementara manusia memiliki
5
Kegagalan negara sering kali karena faktor kepentingan individual dan kelompok yang
menyusup dalam kekuasaan dan negara. Keterangan lebih lengkap tentang hubungan state, market,
dan civil society, lihat Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, hlm. 99-150.
6
Haryatmoko menilai bahwa para elite dengan mental koruptif berpotensi besar melakukan
kejahatan struktural. Lihat Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Penerbit Kompas,
2004), hlm. 41-53
4
dua sifat dasar dalam diri, baik dan buruk.7 Norma dan etika adalah bagian
penting dalam mengatur dan mengukur tingkah dan prilaku manusia agar
tindakannya tidak semena-mena. Moral memiliki makna penting karena akan
mengetuk nurani sehingga dalam kehidupan mudah disesuaikan dengan etika
politik dalam penyelenggaraan negara atau etika kekuasaan. Dimensi moral ini
merupakan dasar dari rasionalitas kegiatan politik.8
Hampir semua pemikir menitikberatkan bahwa tugas penguasa politik
untuk melayani kepentingan umum guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Di
kalangan ilmuan Islam, penguasa merupakan orang yang menggantikan posisi
kenabian untuk mengurusi agama dan juga hal ihwal keduniaan.9 Pemikiran
politik tentang etika kekuasaan ini berkembang seiring perkembangan ilmu
pengetahuan dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Hal itu terlihat seperti
pemikiran Raja Ali Kelana (w.1927), seorang cendekia Melayu yang meneruskan
pemikiran dari para teoritisi Islam di dunia Melayu.
Pemikiran politik Raja Ali Kelana, seperti yang terkandung dalam salah
satu karyanya, Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas (KRBL)10 misalnya, banyak
mengungkap peran penguasa dalam menjaga keutuhan pemerintahan dan wilayah
7
Filosof seperti Thomas Hobbes menilai bahwa pada dasarnya manusia didominasi oleh
sifat buruk sehingga diperlukan kepastian hukum dan penguasa menjalankan kekuasaan dengan
baik. Lihat Franz Magnes-Suseno, Etik Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 211-217 dan Henry J. Schmandt, Filsafat Politik: Kajian Historis
dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 304322. Machiavelli bahkan membolehkan melakukan tindak kekerasan demi mencapai dan
mempertahankan kekuasaan. Lihat Noccolo Machiavelli, Sang Pangeran, terj. Noviatri (Jakarta:
PT Alex Media Komputindo, 2014).
8
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, hlm. 23.
9
Lihat Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthoniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, (Beirut: Dar alFikr, tt), hlm. 5.
10
Menurut Jelani Harun, KRBL ini merupakan kitab ketatanegaraan terakhir yang
dilahirkan oleh intelektual Riau-Lingga. Lihat Jaelani Harun, Kitab Kumpulan Ringkas Berbetulan
Lekas: Karya Ketatanegaraan Melayu Terakhir, dalam jurnal International Journal of the Malay
Word and Civilisation (Formerly SARI) Nomor 19 tahun 2001, hlm. 133-158.
5
kekuasaan agar tetap merdeka dan kehidupan rakyat bisa berjalan normal.
Menurut Raja Ali Kelana, seorang pemimpin sangat menentukan nasib negara dan
seluruh penduduk yang berada di dalamnya. Oleh sebab itu, penguasa harus bisa
menjalankan fungsinya dengan tetap menjaga struktur kekuasaan.11
Secara struktural, dalam padangan Raja Ali Kelana, seorang raja itu ibarat
anatomi anggota tubuh yakni raja ibarat hati, anak kepala ibarat istana, ilmu
pengetahuan ibarat bentera kanan, akal ibarat bentera kiri, mata-telinga-hidungmulut ibarat menteri dalam, dua tangan dan kaki ibarat menteri luar, dan anakanak jari ibarat segala amir.12 Sedangkan secara fungsinonal, seorang pemimpin
itu harus mampu memberikan rasa keadilan, ketentraman, dan kesejahteraan
kepada rakyat. Maka seorang pemimpin itu memiliki fungsinya yang mampu
memberikan dampak terhadap segala tindakan yang dilakukannya.
Dinamika kekuasaan dalam fenomena politik sebagaimana dijelaskan di
atas sangat bertolak belakang dengan gambaran kekuasaan seperti yang
diidealkan Raja Ali Kelana. Hal ini memperlihatkan bahwa etika kekuasaan masih
menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Sebab, beberapa pemikiran tentang
kekuasaan itu sendiri memperlihatkan kesinambungan dari sisi tujuan. Hal ini
menandakan bahwa pembahasan tentang etika kekuasaan akan terus menjadi
11
Dalam dunia Melayu, raja ataupun sultan merupakan seorang panutan yang harus
memiliki kriteria ideal karena ia merupakan khalifatullah fi al-arḍ. Dan tidak sedikit dari raja-raja
di Melayu yang menggunakan gelar ẓill Allah fi al-„alam atau ẓill Allah fi al-arḍ. Hal itu banyak
disebut dalam karya-karya klasik seperti Taj al-Salatin karya Bukhari al-Jauhari tahun 1603 M,
Sulālat al-Salātin atau yang dikenal dengan Sejarah Melayu oleh Tun Sri Lanang tahun 1612
M, Bustan al-Salātin oleh Nuruddin al-Raniri tahun 1638 M, dan Ṣamarah al-Muhimmah oleh
Raja Ali Haji tahun 1870. menurut Mahdini, Raja Ali Haji menolak istilah itu karena dinilai terlalu
berlebihan. Mahdini juga berpendapat bahwa gelar-gelar itu dipengaruhi oleh tradisi kerajaan
Hindu Budha yang pernah berkembang di Nusantara. Lihat Mahdini, Konsep Raja dan Kerajaan
Menurut Raja Ali Haji, (Disertasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2001), hlm. 5.
12
Raja Ali Kelana, Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas, (Singapura: Al-Imam, 1328 H),
hlm. 4-10.
6
bagian penting selagi kekuasaan masih ada. Oleh sebab itu, penulis memilih studi
pemikiran Raja Ali Kelana sebagai obyek dalam penelitian ini untuk
menghidupkan kajian tentang etika kekuasaan.
Ada dua alasan penulis memilih Raja Ali Kelana sebagai obyek penelitian
ini. Pertama, ia salah satu intelektual yang berperan penting dalam khazanah
keilmuan Melayu awal abad ke-20. Ia telah menumbuhkan semangat
intelektualisme di kalangan cendekia Melayu di Penyengat dengan membentuk
kelompok diskusi dalam organisasi yang bernama Rusydiah Klub.13 Ia telah
mendorong tumbuh kembang tradisi intelektualisme sehingga melahirkan banyak
tokoh dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kajian-kajian yang menjadi topik
penting Raja Ali Kelana dan teman-temannya meliputi tema keagamaan yang
terkait dengan hukum Islam, tasawuf dan fenomena sosial dari perspektif hukum
Islam. Kemudian kelompok ini menaruh perhatian terhadap isu politik yang
sedang berkembang di kerajaan Riau-Lingga. Maka, tidak heran bila tokoh-tokoh
dalam kelompok Rusydiah Klub ini dinilai pemerintahan Hindia Belanda sebagai
kelompok ―pembangkang‖ karena kerap mengkritisi keputusan politik yang dibuat
oleh kerajaan Riau-Lingga dan pemerintah Hindia Belanda.14
Kedua, Raja Ali Kelana sempat menjabat sebagai Engku Kelana, yakni
sebuah jabatan yang berada di bawah Yang Dipertuan Muda (YDM). Jabatan itu
diemban sejak 1885-1900, mengurusi tentang jalannya pemerintahan dan
13
Rusdiyah Klub terdiri dari beberapa cendekia dan intelektual di Riau-Lingga. Raja Ali
Kelana termasuk salah seorang yang berpengaruh di dalamnya. Organisasi ini kemudian menjelma
sebagai oraganisasi yang banyak bergelut dalam dunia politik, dan oleh Belanda disebut sebagai
tempat berkumpulnya para pembangkang. Lihat Aswandi Syahri, Raja Ali Kelana dan Pondasi
Historis Industeri Pulau Batam, (Batam: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2007), hlm. 13-16 dan
UU Hamidy, Teks dan Kepengarangan di Riau, (Pekanbaru: Unri Press, 2003) hlm. 62.
14
Ibid., hlm. 15.
7
sekaligus sebagai inspektorat terhadap kebijakan pemerintah di tingkat daerah.
Namun, ia juga melepas jabatan sebagai Engku Kelana ketika ayahandanya, YDM
Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi meninggal dunia pada 1899. Jabatan itu
dilepas karena terjadi polemik terhadap jabatan YDM, padahal posisinya sebagai
Kelana merupakan kandidat yang akan menenempati posisi tersebut.15 Akhirnya,
posisi YDM dalam struktur kekuasaan di kerajaan Riau-Lingga dihapus oleh
Sultan Abdurrahman Muazzam Syah (w.1930) atas dorongan dan persetujuan
pemerintah Hindia Belanda. Pengalamannya masuk dalam struktur kekuasaan ini
sangat berarti dalam pemikiran etika kekuasaan politiknya.
Dari latar belakang di atas, penulis menilai bahwa kajian tentang etika
kekuasaan merupakan kajian yang menarik untuk diteliti karena fenomena politik
selalu berbenturan antara idealitas dan realitas. Sedangkan pemikiran Raja Ali
Kelana menarik untuk mengukur fenomena politik saat ini. Karena itu, kajian ini
berusaha untuk menempatkan pemikiran tentang etika kekuasaan pada kajian ilmu
politik.
B. Permasalahan dan Tujuan
Berangkat dari latar belakang di atas, maka ada beberapa problematika
yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini.
1.
Bagaimana pandangan Raja Ali Kelana tentang etika kekuasaan?
2.
Apa relevansi pemikiran Raja Ali Kelana tentang etika kekuasaan dalam
konteks ke-Indonesia-an saat ini?
15
Ibid., hlm. 10.
8
Dari permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut yang meliputi;
1.
Mengungkap pemikiran politik Raja Ali Kelana tentang etika kekuasaan.
2.
Mencari nilai filosofis yang masih relevan untuk konteks Indonesia saat ini.
Secara praktis, kajian ini untuk menambah khazanah pengetahuan tentang
buah pemikiran dari para cendekiawan masa lalu sehingga nilai-nilai luhur yang
ada di dalamnya bisa dipahami dan menjadi sumber pengetahuan bagi generasi
sesudahnya. Kajian ini juga untuk melengkapi beberapa kajian yang telah
dilakukan para peneliti sebelumnya. Sedangkan nilai-nilai etika kekuasaan yang
terkandung di dalamnya juga bisa menjadi inspirasi bagi setiap penguasa di negeri
ini agar menjadi pemimpin yang mampu memenuhi harapan masyarakat. Apalagi
fenomena elite politik saat ini begitu dekat praktik koruptif, dan kejahatan
struktural oleh aparatur negara yang justru menjauhkan rakyat cita-cita
kesejahteraan, kemakmuran, dan ketentraman.
C. Telaah Pustaka
Sebagai cendekiawan di kesultanan Riau-Lingga, pemikiran-pemikiran
Raja Ali Kelana masih belum banyak dikaji para peneliti, apalagi berkaitan
dengan tema-tema politik. Beberapa upaya penelusuran yang penulis lakukan,
hanya satu karya yang ditulis oleh Jelani Harun (2001) tentang pemikiran politik
Raja Ali Kelana pada kitab Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas.16 Jelani Harun
memfokuskan kajian pada gramatika sastra dengan studi komparasi terhadap
16
Keterangan lengkap dari karya itu yakni, Jaelani Harun, Kitab Kumpulan Ringkas
Berbetulan Lekas: Karya Ketatanegaraan Melayu Terakhir, dalam jurnal International Journal of
the Malay Word and Civilisation (Formerly SARI) Nomor 19 tahun 2001, hlm. 133-158.
9
karya serupa yang masyhur di Persia pada masa Abbasiyah. Kemudian, ia
mengupas pokok-pokok pemikiran yang terkandung di dalamnya dengan metode
analisa konten (content analisys). Jelani Harun menyimpulkan bahwa karya
tersebut merupakan karya ketatanegaraan dengan gaya penulisan sastrawi. Ia juga
menyebutkan tentang konsep kepemimpinan yang diidealkan oleh Raja Ali
Kelana, tetapi ia tidak menaruh perhatian khusus pada tema etika kekuasaan,
melainkan hanya mengulas tentang paparan ketatanegaraannya saja.
Sedangkan Aswandi Syahri dalam karya yang berjudul Raja Ali Kelana
dan Pondasi Historis Industri Pulau Batam (2007),17 membahas tentang peranan
Raja Ali Kelana dalam kegiatan intelektual, politik, dan ekonomi. Adapun
kegiatan intelektual dan politik lebih kepada pelangkap bagi biografi Raja Ali
Kelana. Sedangkan fokus kajian buku ini ialah tentang sejarah industri kota
Batam. Aswandi menyimpulkan bahwa pondasi historis industri di Batam di
mulai sejak Raja Ali Kelana. Dari model kajian yang dilakukan oleh Aswandi,
kajian lebih menitikberatkan pada kajian sejarah dan tidak fokus pada pemikiran
politik Raja Ali Kelana.
Sedikitnya penelitian terhadap pemikiran politik Raja Ali Kelana masih
membuka peluang untuk penelitian lainnya. Meski demikian, beberapa peneliti
telah ada yang menyinggung perihal karya-karya dari Raja Ali Kelana. Beberapa
peneliti seperti Andaya (1977), Abu Hassan Sham (1983), dan Bernard (1994)
lebih memfokuskan pada kupasan secara umum tentang manuskrip kesusasatraan
Melayu dan juga buah karya Raja Ali Kelana. Telaah sastra dan sejarah lahir
17
Keterangan lengkap dari karya itu yakni, Aswandi Syahri, Raja Ali Kelana dan Pondasi
Historis Industri Pulau Batam, (Batam: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batam, 2007).
10
sastra memang mendapatkan banyak perhatian di kalangan peneliti. Kajian
filologi dan uraian konten telah memberikan informasi penting bagi penelitian
selanjutnya. Sedangkan dalam kajian tesis ini tidak hanya melihat unsur
kesusastraan belaka melainkan pada tema pokok yang terdapat di dalamnya, sebab
sejatinya buah pemikiran merupakan pengetahuan yang hidup (life sciences).
Karena itu, dengan fokus pada etika politik kekuasaan, maka tesis ini hendak
mengungkap pemikiran lain dari Raja Ali Kelana yang terdapat dalam karyanya.
Meski demikian, kajian politik umumnya dan etika kekuasaan khususnya,
bukanlah kajian pertama yang dilakukan terhadap pemikiran pada cendekiawan
Melayu, khususnya yang hidup di kerajaan Riau-Lingga. Seorang intelektual yang
cukup masyhur dan mendapatkan banyak perhatian peneliti dalam bidang ilmu
politik yakni buah karya dan pemikiran Raja Ali Haji, khususnya yang terdapat
pada Muqaddimah fi Intiẓām dan Ṣamārah al-Muhimmah. Karya tersebut
mengandung tema-tema fiqh siyāsah. Beberapa tema yang berkaitan dengan fiqh
siyāsah dari penelitian tersebut telah dilakukan. Misalnya, penelitian yang
berfokus tentang negara dan pemerintahan serta menyinggung tentang konsep
kepemimpinan telah dilakukan oleh Syamsul Anwar (1991), Juramadi Esram
(2010), Ahmad Syahid (2009), dan Khalif Muammar A Harris (2011). Kesemua
karya tersebut menggunakan perspektif historis dan menggali pemikiranpimikiran dari Raja Ali Haji. Bahkan, sebagian besar hanyalah melakukan
perbandingan saja antara karya Raja Ali Haji dengan karya cendekiawan lainnya
seperti yang dilakukan dan Arba‘iyah Moh Noor (2014). Metode analisa konten
masih sangat terlihat sekali dalam penelitian tersebut.
11
Sedangkan penelitian dengan fokus kajian tentang kepemimpinan
dilakukan oleh Syamsul Anwar (1998), Mahdini (2000), Imam Mustafa (2007),
dan Faisal Sadik (2008). Penelitian ini juga masih menggunakan perspektif
historis kontektualis dengan mengali kajian yang terkandung di dalamnya yang
disesuaikan pada konteks kekinian. Mereka mencoba untuk melihat nilai-nilai
filosofis dari ide Raja Ali Haji yang masih memungkinkan untuk diterapkan pada
era sekarang ini. Satu penelitian yang dilakukan oleh Mahdini (2002) terhadap
Ṣamārah al-Muhimmah menggunakan teori intertekstualis dengan mencoba
melacak kesinambungan pemikiran tentang politik dan pemerintahan pada karyakarya intelektul Melayu sebelumnya. Ia juga menerapkan teori filologi tradisional
untuk menentukan keabsahan teks yang sesuai bentuk asli dari pengarangnya atau
setidaknya mendekati pada kemurnian. Dari penelitiannya itu, Mahdini
menyimpulkan bahwa karya Raja Ali Haji itu sebagai kesinambungan dari karyakarya serupa sebelumnya.
Perbedaan tesis ini dengan kajian-kajian di atas terletak pada fokus
pembahasan, yakni tentang etika politik kekuasaan. Penelitian tidak hanya tentang
pemikiran politik yang terkait dengan konsep-konsep negara, kepemimpinan,
hukum dalam negara, dan sistem pemerintahan saja, melainkan tentang etika
politik yang menjadi titik tolak filsafat politik. Selain itu, perbedaan kajian tesis
ini terletak pada studi kritis yang akan dilakukan terhadap nalar pemikiran Raja
Ali Kelana, apalagi premis pengetahuan yang terbangun berlandaskan pada
dogma ajaran Islam sehingga perlu ditelaah seberapa besar intrest yang
terkandung di dalamnya.
12
Sebagaimana telah disinggung, bahwa kajian terhadap pemikiran Raja Ali
Kelana masih belum banyak sehingga peluang penelitian masih luas untuk
dilakukan. Beberapa kajian yang telah dilakukan para peneliti sebelumnya akan
menjadi rujukan dalam setiap proses penelitian ini agar menjadi lebih
komprehensif dalam memahami pola pemikiran dari intelektual Melayu,
khususnya di kerajaan Riau-Lingga. Karena itu, menurut hemat penulis, penelitian
ini layak dilakukan sebagai upaya untuk melestarikan pemikiran para cendekia
masa lalu guna mencari benang merah dan relevansi dengan kondisi kekinian.
D. Karangka Teori
Kerangka konseptual yang dipakai pada kajian ini merujuk pada konsep
kekuasaan Abu Hasan Al-Mawardi (972-1058 M), yang menyatakan bahwa
kekuasaan itu bertujuan untuk membangun negara dengan mewujudkan
kemaslahatan-kemaslahatan
serta
sarana
untuk
menunjang
perwujudan
kemaslahatan tersebut.18 Dalam pandangannya, pemimpin ataupun penguasa
memiliki sepuluh (10) tugas dan tanggungjawab yang harus dipenuhi.19
1.
Menjaga agama Islam supaya tetap selalu berada di atas prinsip -prinsip yang
konstan dan sesuai dengan pemahaman yang disetujui (disepakati) oleh
generasi salaf. Artinya, kalaupun ternyata muncul pembuat bid‘ah atau
kesesatan, maka khalifah wajib menjelaskan kepadanya hal yang benar,
18
Abu Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Baghdady Al-Mawardi (Selanjutnya
disingkat Abu Hasan al-Mawardi), Ādab al-Dunyā wa al-Din, (Kairo: al-Dar al-Mishriyah alLubnaniyah, 1988), hlm. 69
19
Lihat Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkām al-Sulṭāniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyah, tt), hlm. 18 Dalam kitab Adab al-Dunya, al-Mawardi hanya
menyebutkan tujuh tugas, kecuali tentang menghukum orang berperkara, jihad kepada kafir zimmi,
memungut fai‟. Lihat Abu Hasan al-Mawardi, Ādab al-Dunyā wa al-Din, hlm. 171
13
sekaligus menuntunnya sesuai dengan hak dan aturan hukum yang ada,
dengan tujuan pokok supaya agama tetap terlindungi dari kerancuan dan
pemahaman yang keliru.20
2.
Melaksanakan hukum pada pihak yang bersengkata agar keadilan akan
dirasakan oleh semua orang sehingga yang kuat tidak semena-mena dan yang
lemah tidak teraniaya. Dengan ungkapan lain, tidak ada orang zalim yang
berani berbuat aniaya dan sebaliknya, tidak ada orang yang dizalimi yang
tidak dapat membela dirinya.
3.
Melindungi keamanan masyarakat sehingga mereka bisa hidup tenang dan
bepergian dengan aman, tanpa rasa ketakutan mengalami penipuan dan
ancaman atas diri dan hartanya.
4.
Menjalankan hukum hudud, hingga larangan-larangan Allah tidak dilanggar
dan menjaga hak-hak hamba Allah supaya tidak rusak.
5.
Menjaga perbatasan negara dengan perangkat kekuatan yang semestinya dan
angkatan yang bisa mempertahankan negara, hingga musuh-musuh negara tak
bisa menyerang negara Islam dan tidak mampu menembus pertahanannya
serta tak bisa mencederai umat Islam maupun orang yang telah mengadakan
perjanjian. Ini berkaitan dengan kedaulatan dan integritas wilayah.
6.
Berjuang melawan pihak yang menentang Islam, padahal sudah disampaikan
dakwah kepada mereka, hingga sampai dia menganut Islam atau menjadi ahli
zimmah (dalam jaminan negara Islam). Dengan demikian diharapkan usaha
menjunjung tinggi agama Allah dapat diwujudkan.
20
Lihat Syamsul Anwar, Al-Mawardi dan Teorinya Tentang Khilafah, dalam jurnal AlJami‘ah, Nomor 35, Tahun XVI, 1987, hlm. 25
14
7.
Menarik pajak (fa‟i) dari kaum dzimmi dan memungut zakat sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan oleh syari‘at Islam.
8.
Menentukan gaji kepada para pejabat, menyalurkan subsidi kepada rakyat,
dan membayarkan honor pihak yang mengurusi baitul māl sesuai aturan
jumlah dan waktu yang tepat.
9.
Mengangkat pejabat yang dapat dipercaya dan menentukan orang-orang yang
cakap untuk membantu melaksanakan amanah dan wewenang dan mengatur
harta di bawah pengawasannya, hingga tugas-tugas itu bisa diselenggarakan
dengan sempurna dan harta negara terkontrol dalam pengaturan orang-orang
yang tepercaya.
10. Mengontrol pekerjaan para pembantu dan mengawasi jalannya program
pemerintahan, hingga bisa menetapkan kebijakan politik umat Islam dengan
baik dan menjaga negara. Para pemimpin tidak dibenarkan memberikan
tugas ini kepada orang lain, disebabkan sibuk beribadah. Karena orang yang
tadinya diberi kepercayaan bisa saja berkhiatan dan orang baik dapat saja
menjadi penipu.
Tugas-tugas tersebut, menurut Al-Mawardi, merupakan suatu keharusan
yang mesti dilakukan oleh penguasa. Dalam tugas itu terdapat dimensi agama dan
juga dimensi duniawi sebagaimana makna penting kekuasaan, yakni menjaga
agama dan menyelenggarakan kepentingan duniawi.21 Urusan agama dan duniawi
merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan bagi dimensi kehidupan
manusia. Agama menjadi pedoman normatif bagi ahlak manusia. Kemaslahatan
21
Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkām al-Sulṭāniyyah, hlm. 5
15
harus menjadi acuan dalam kekuasaan sekaligus menjadi panduan moralnya. Hal
ini sesuai dengan inti dari kekuasaan adalah memberikan kemaslahatan atau
kebaikan bagi rakyat dan negaranya. Dalam kaidah disebutkan taṣarruf al-imām
„ala al-ra‟iyyah mamnūthun bi al-maṣlahah.22
Dari konsep tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan itu mencakup
tiga dimensi, yakni tujuan, sarana, aksi. Dimensi tujun ini meliputi hal yang paling
penting yakni terkait dengan agama, kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat.
Sedangkan dimensi sarana meliputi membentuk perangkat struktur instutisional
dengan merekrut warga yang mumpuni untuk membantu melaksanakan tugastugas kekuasaan yang diamban. Adapun dimensi aksi merupakan dimensi yang
paling penting dari semua itu yakni supremasi hukum, berjuang terhadap pihak
yang menentang Islam, menarik pajak dan mendistribusikan subsidi bagi rakyat
yang tidak mampu, dan lain sebagainya. Dengan demikian, konsepsi Al-Mawardi
ini juga menyangkut tentang diri penguasa itu sendiri, sistem dan struktur
kekuasaan, serta rakyat yang menjadi tujuan dari kekuasaan.
Harus diakui bahwa untuk mewujudkan tujuan kekuasaan itu sendiri
terkadang
diperlukan
pemaksaan-pemaksaan.
Bahkan,
menurut
Niccolo
Machiavelli bahwa orientasi politik itu ialah kekuasaan, sehingga setiap individu
ataupun kelompok mempunyai kepentingan tersendiri. Dalam pandangan
Machiavelli, politik yang baik ialah politik yang bisa mencapai tujuannya, apapun
caranya sebab menurutnya tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat
dipaksakan. Seorang penguasa boleh melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji—
22
Jalaluddin as-Suyūti, al-Aṣbah wa an-Naẓāir fi al-Furu‟, (Bairut: Darul Fikr Maktab alBuhus al-Dirasah, 1995), hlm. 85
16
kejam, bengis, khianat, kikir—asalkan baik bagi negara dan kekuasaanya. Seorang
penguasa juga bisa menggunakan cara-cara binatang, terutama ketika menghadapi
lawan-lawan politiknya.23
Di lain hal, Machiavelli mengingatkan bahwa penguasa yang terusmenerus melakukan kekerasan tanpa alasan yang jelas tidak akan dihormati dan
dipuji sebagai pahlawan.24 Karena itu, meskipun seorang penguasa memiliki
kekuasaan untuk berbuat dengan cara-cara kekerasan, hendaknya tidak dilakukan
terlalu sering. Setelah melakukan tindakan demikian itu, ia juga harus mencari
simpati dari rakyatnya dan selelu berjuang demi kebagiaan mereka. Bagi
Machiavelli, kearifan dan kasih sayang kepada rakyat akan bisa meredam
kemungkinan timbulnya pemberontakan.
Dengan demikian, kekuasan memiliki dua sisi sekaligus, yakni sisi gelap
dan sisi terang ataupun sisi manusiawi dan sisi hewani. Kedua sisi itu akan selalu
membayangi bagi setiap penguasa. Telah banyak filosof yang memberikan
gambaran bagaimana kekuasaan yang dijalankan memiliki landasan moral yang
dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, etika politik, termasuk juga etika
kekuasaan, adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia, atau
cabang filsafat yang membahas prinsip-prinsip moralitas politik.25 Etika politik,
dan juga etika kekuasaan, menyangkut aspek individual dan sosial karena
membahas kualitas moral pelaku. Sedangkan di lain pihak, etika politik sekaligus
etika institusional dan etika keutamaan, saling mendukung. Keutamaan ialah
23
Dalam Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, hlm. 206
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, hlm.134 dan periksa Machiavelli, Sang
Pangeran, hlm. 145-167
25
Franz Magnes Suseno, Etika Politik, hlm. 3
24
17
faktor stabilisasi tindakan yang berasal dalam diri pelaku, sedangkan institusi
menjadi stabilitas tindakan dari luar diri pelakunya.26
Keharusan-keharusan dalam etika kekuasaan akan didekati dengan
perspektif Immanuel Kant (1724-1804). Menurut Kant, pada dasarnya manusia
memiliki kesadaran yang hakiki dalam diri untuk menentukan perbuatan yang
baik. Ia sangat menekankan kemurnian motivasi sebagai ciri pokok tindakan
moral, dan kemurnian tersebut tampak dalam sikap menaati kewajiban moral demi
hormat terhadap norma moralitas. Bagi Kant, pelaksanaan kewajiban moral demi
tugas itu sendiri dan bukan demi tujuan-tujuan lain.27 Setiap orang bertindak tidak
hanya sesuai dengan tugas dan kewajibannya, tetapi juga demi tugas dan
kewajiban tersebut. Kant menyebutnya dengan keharusan moral imperatif.
Pada dasarnya Kant memilah tentang kewajiban moralitas menjadi dua,
yakni imperatif hipotesis (bersyarat) dan imperatif kategoris (mutlak). Kant
memakai istilah imperatif dalam artian bukan sembarang perintah, melainkan
mengungkapkan sebuah keharusan. Perintah yang dimaksud adalah perintah yang
berdasarkan suatu keharusan objektif, bukan paksaan melainkan pertimbangan
yang meyakinkan dan membuat kita taat. Menurut Franz Magnes-Suseno,
rumusan imperatif kategoris Kant yang paling terkenal adalah ―bertindaklah
semata-mata menurut prinsip (maxim) yang dapat sekaligus kau kehendaki
menjadi hukum umum (universal).‖28
26
Ayi Sufyan, Etika Politik Islami, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 59
J Sudarminta, Etika Umum: Kajian tentang beberapa masalah pokok dari Teori Etika
Normatif, (Yogyakarta: Kanisius: 2013), hlm. 137
28
Franz mengartikan bahwa arti yang sempit dari kata maxime adalah prinsip. Maksim
sendiri merupakan prinsip subyektif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil
sikap-sikap dan tindakan-tindakan konkret. Artinya prinsip dasar orang itu bertindak bisa saja baik
27
18
Dua pespektif di atas, yakni etika kekuasaan yang dirumuskan oleh AlMawardi akan dikombinasikan dengan teori moralitas Immanuel Kant. Hal ini
karena perspektif Al-Mawardi hanya memberikan panduan tentang etika
kekuasaan tanpa menjelaskan tentang nalar filosofis dari suatu tindakan tersebut.
Oleh sebab itu, konsep imperatif dari Kant akan melengkapinya, yakni
mengungkap
tentang
keharusan
penguasa
bertindak
secara
etis
dalam
menjalankan kekuasaannya. Dengan dua perspektif tersebut, setidaknya mampu
mengungkat tentang etika kekuasaan dalam pandangan Raja Ali Kelana secara
kritis, tidak hanya sekedar konsep-konsep etika kekuasaan secara lahiriah saja.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian dalam bidang ilmu politik dengan fokus
pada pemikiran etika kekuasaan. Menurut Michael Freeden, kajian terhadap
pemikiran politik saat ini lebih menekankan pada beberapa aspek; (1) konstruksi
argumen yang sangat cermat, (2) rumusan normatif standar-standar politik, (3)
produksi wawasan imajinatif, (4) eksplorasi wawasan geneologi terhadap asal dan
perubahan, (5) analisa morfologi terhadap konsep dan kumpulan konsep.29 Ia
menyebutkan bahwa tidak semuanya bisa dilakukan kajian melainkan hanya
sebagiannya saja. Sebab itu, penelitian ini memfokuskan pada analisa morfologi
konsep tentang etika kekuasan dari pemikiran politik Raja Ali Kelana.
dan bisa buruk. Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika, : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19,
(Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 147 dan lihat juga S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran
Immanuel Kant tentang Etika dan Impertif Kategoris, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 50-55
29
Lihat Michael Freeden, Ideologi, Teori Politik dan Filsafat Politik, dalam Gerald F. Gaus
dan Chandran Kukathas, Handbook Teori Politik, hlm. 54
19
Adapun obyek material dari kajian terhadap pemikiran Raja Ali Kelana ini
ialah beberapa karyanya. Dengan demikian, jenis penelitian ini ialah penelitian
pustaka (library research). Tetapi, karya-karya Raja Ali Kelana juga merupakan
manuskrip kuno Melayu yang terbit era kesultanan Riau-Lingga, sehingga
menjadi bagian dari kajian filologi.30 Sebagai bahan filologis, maka digunakan
pula ilmu filologi terapan, yakni kajian terhadap teks dalam bentuk asli dalam
tulisan Jawi maupun yang telah dialihaksarakan ke Romawi. Artinya, dalam
penelitian ini, ilmu filologi merupakan ilmu bantu untuk mengklasifikasi dan
memahami isi teks yang sebenarnya secara komprehensif.31 Metode filologi yang
akan diterapkan ialah metode landasan,32 yakni mencari teks yang paling baik
untuk bisa dipahami dan kemudian dijadikan sebagai landasan untuk penelitian
tentang pemikiran politik Raj Ali Kelana.
Setelah mendapati naskah yang baik untuk dijadikan ladasan penelitian
tesis ini, maka akan digunakan metode konten analisis (analisys content). Metode
ini dimaksudkan untuk mengungkap isi pemikiran seorang tokoh dari karyanya
dengan membagi dan menggolongkan bahasan dalam teks untuk mendapatkan
subtansi di dalamnya.33 Analisis konten ini dengan mengambil beberapa bahasan
dalam teks yang terkait tentang etika kekuasaan seperti kesetiaan, kesatuan,
30
Filologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang teks dengan obyek kajiannya naskah
atau teks lama. Lebih lengkap, lihat Elis Suryani NS, Filologi, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia,
2012), hlm. 2-3.
31
Ibid., hlm. 18-21 dan lihat juga Nabilah Lubis, Naskah, Teks dan Metode Penelitian
Filologi, (Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia, 2001), hlm. 65-69
32
Nabilah Lubis, Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi, hlm. 93
33
Nyoman Kutha Ratna, Metodelogi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), hlm.
358-359
20
musyawarah, keadilan, dan perang sebagai contoh tindakan ideal untuk menelaah
pemikiran Raja Ali Kelana.
Guna mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan komprehensif, maka
pendekatan yang dilakukan pada penelitian ini ialah pendekatan fenomenologi
(phenomenology approuch), yakni pendekatan yang lebih menetitikberatkan pada
pengungkapan pemikiran secara utuh berdasarkan fenomena pada saat pemikiran
itu dilahirkan. Sebagai sebuah karya pemikiran, tentu hal itu dilakukan secara
sadar oleh Raja Ali Kelana, sebab fenomena merupakan manifestasi konkrit dan
historis dari perkembangan pemikiran manusia. Termasuk dalam kajian ini ialah
yang berkaitan dengan biografi Raja Ali Kelana, baik latar belakang pendidikan
maupun sosial yang berpengaruh terhadap pemikirannya.
Sebab menggunakan pendekatan fenomenologi, maka penelitian ini juga
menggunakan metode deskriptif-analitik, yakni menguraikan pembahasan dari
tema yang dimaksud sekaligus menganalisis.34 Setiap pemikiran politik Raja Ali
Kelana tersebut akan diuraikan secara deskriptif dengan memasukkan analisaanalisa di dalamnya sehingga memudahkan dalam mencapai satu pemahaman
yang utuh.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan struktur pemahaman dalam penyusunan penelitian ini,
maka penulis membagi beberapa bab dengan titik tekan yang berbeda pada
masing-masing bab sesuai dengan nalar riset, pokok permasalahan, tujuan
34
Lihat Nyoman Kutha Ratna, Metodelogi Penelitian, hlm. 336
21
penelitian, dan metode yang digunakan. Adapun sistematika pembahasan dalam
tesis ini secara keseluruhan terdiri enam bab.
Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
pemasahalan, tujuan penelitian, karangka teoritik dan metode yang digunakan
dalampenelitian ini. Kesemuanya merupakan alur berpikir, alur penelitian dan alur
uraian yang ditempuh selama penelitian berlangsung.
Adapun bab kedua membahas tentang perkembangan etika kekuasaan
dalam perkembangan pemikiran para teoritisi. Bab ini akan dimulai dengan
perkembbangan dari pemikiran etika kekuasaan kuno yakni pada masa Yunani,
seperti yang dikembangkan oleh Plato dan Aristotales. Sedangkan bagian kedua
akan membahas etika kekuasaan menurut pada pemikir era klasik, baik dari
kalangan pemikiran Barat maupun Islam. Dalam sejarah pemikiran, aliran
keduanya saling mempengaruhi satu sama lain hingga berkembang pesat pada era
kekinian. Dan bagian terakhir akan mengungkap pemikiran dua aliran itu dari para
pemikir kontemporer.
Adapun bab ketiga akan mengulas tentang dinamika kekuasan di kerajaan
Riau-Lingga dan biografi Raja Ali Kelana. Historiografi ini lebih menekankan
tentang sejarah kekuasaan yang berlangsung dalam sejarah kerajaan Riau-Lingga.
Hal ini penting disampaikan untuk mengetahui setting situasi yang berkembang
dalam kerajaan. Pada bab ini juga akan dibahas tentang biografi Raja Ali Kelana
yang meliputi tentang latar belakang keluarga, latar bekalang sosial, latar
belakang pendidikan, dan karir. Hal ini untuk memberikan gambaran secara
konprehensif tentang pengalaman Riau-Lingga yang tentunya juga akan
22
mempengaruhi pemikiran Raja Ali Kelana, termasuk nilai-nilai dasar yang
menjadi pijakan dalam pemikiran politik Raja Ali Kelana.
Adapun bab keempat akan membahas tentang pemikiran politik Raja Ali
Kelana tentang etika kekuasaan. Bagian pertama pada bab ini akan membahas
tentang karya-karya Raja Ali Kelana yang memuat tentang pemikiran politik,
khususnya tentang kekuasaan. Hal ini sebagai langkah awal untuk memasuki
bagian kedua yang berisi tentang analisa konten dari pemikiran Raja Ali Kelana
yang tersebar dari beberapa karya. Namun, fokus analisa dibatasi pata tema
tentang penguasa, aparatur, rakyat, keadilan, loyalias, dan persatuan. Dan bagian
terakhir pada bab ini ialah sebagai jawaban dari pertanyaan kedua sebagaimana
yang diajukan pada pokok permasalahan, yakni tentang relevansi nilai-nilai
filosofis pemikiran Raja Ali Kelana dalam konteks politik kontemporer.
Bab kelima berisi kesimpulan dari seluruh kajian dalam tesis ini sehingga
terlihat secara jelas tentang etika kekuasaan dalam pemikiran politik Raja Ali
Kelana sebagaimana yang menjadi pokok permasalahan pada bagian pendahuluan.
Pada bab penutup ini juga akan diisi saran maupun kritik berdasarkan hasil
penelitian.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sepanjang analisis untuk melacak pemikiran etika kekuasaan dalam
pemikiran politik Raja Ali Kelana, penulis menemukan bahwa ajaran etika
kekuasaan selalu terselip dalam setiap pemikiran politik dengan berbagai
bentuknya. Sebagai cendekia di Riau-Lingga, Raja Ali Kelana fokus mencurahkan
pemikiran politiknya pada KRBL. Karya tersebut sebagai respon terhadap
dinamika kuasa yang terjadi di kerajaan Riau-Lingga meskipun penyajian tetang
pemikiran politiknya tidak utuh dalam karya tersebut. Ia juga mencoba
menginterpretasikan norma dalam naṣ yang dengan melihat adat istiadat („urf)
masyarakat Melayu.
Maka, sebagai kesimpulan akhir dari analisis yang telah dilakukan bagianbagian sebelumnya dalam penelitian ini, penulis merujuk kembali pada dua pokok
permasalahan sebagaimana yang diajukan di bagian pendahuluan. Adapun
kesimpulannya sebagai berikut:
1.
Konsep kekuasaan Raja Ali Kelana dibangun dari suatu pemahaman tentang
kebutuhan manusia akan sebuah institusi yang mengatur sendi kehidupan
manusia agar lebih tertib. Mamlukah dalam konsep Raja Ali Kelana bertujuan
untuk menjaga agama dan negara (waṭan). Baginya, struktur kekuasaan itu
diibaratkan dengan anatomi tubuh yang apabila cedera satu bagian, maka
akan cedera pula tubuh tersebut. Etika keharusan mashlahah dalam pemikiran
174
175
Raja Ali Kelana mengikuti nilai moral dasar yang menjadi kesadaran fungsi
layaknya fungsi-fungsi dalam organisme tubuh.
Posisinya yang penting, seorang penguasa memiliki gelar ẓillullah fi al-„arḍ
sehingga kebijakan dan prilaku seorang penguasa harus berlandaskan pada
etika. Ketika baik penguasa, maka akan baiklah negeri itu. Apabila penguasa
zalim, maka akan hancur keadaan negeri. Etika kekuasaan dalam pemikiran
politik Raja Ali Kelana yakni mengandung prinsip tentang kesejahteraan
umum atau maṣlahah al-āmmah. Dengan kemaslahatan. maka tujuan utama
untuk memelihara agama dan negara akan tercapai.
Konsep mamlukah Raja Ali Kelana, dalam kajian ilmu politik mengikuti
pemikiran kalangan naturalistik yang bersifat normatif. Konsepi tersebut
sangat dipengaruhi oleh dinamika kultur kekuasaan di Lingga berdasarkan
pengalamannya selama terlibat dalam struktur kekuasaan dan nilai
normatifitas yang dipegang oleh masyarakat setempat. Karena itu, kekuasaan
yang diidealkan ialah mamlukah al-maṣlahah, bukan mamlukah almaẓlumah.
2.
Fenomena politik kekuasaan di Indonesia termasuk dalam aliran mekanistik
yang lebih mengedepankan administradtif. Aparatur sangat tidak fleksibel
dalam berntidak karena prilakunya harus mengacu pada mekanisme yang
berlaku, bukan atas kesadarannya untuk melakukan tindakan. Dengan sistem
politik saat ini, kekuasaan menimbulkan dilema hiraskis karena aparatur
kekuasaaan hanya tunduk terhadap mekanisme. Sesuatu yang melanggar
176
mekanisme, maka akan dianggap sebagai penyelewengan walaupun hal itu
belum tentu bertentangan moral dasar yang penuh kesadaran.
Melihat konteks Indonesia saat ini, birokrasi kekuasaan yang demikian itu
melahirkan praktik korupsi yang lebih sistemis, kegaduhan antara lembaga
kekuasaan, supremasi hukum yang tumpul terhadap para elite politik, dan
persaingan yang tidak sehat dalam kekuasaan. Etika dalam praktik kekuasaan
yang demikian itu tidak berdasarkan kesadaran moral, melainkan hanya
melaksanakan tuntutan pekerjaan saja. Dalam perspektif Kantian, etika yang
demikian disebut dengan imperatif hipotesis.
Maka, dalam kondisi kekinian, etika kekuasaan Raja Ali Kelana yang
bercorak naturalistik dan termasuk dalam imperatif kategoris, tidak lagi
berkesesuaian dengan pola kekuasaan kontemporer. Meski demikian,
landasaran moral filosofis yang terdapat dalam pemikirannya patut menjadi
pertimbangan dalam etika kekuasaan.
Kritik terhadap pemikiran Raja Ali kelana ialah bahwa pandangan
naturalistik normatif dalam aliran ilmu politik merupakan karakter pemikiran
Abad Pertengahan dan tidak lagi relevan untuk masyarakat kritis saat ini.
Naturalistis normatif mengajarkan tentang keharusan-keharusan saja, tanpa bisa
memberikan solusi terhadap problem yang dihadapi. Belum tentu pemikiran Raja
Ali Kelana memberikan solusi yang sesuai di tengah kompleksitas relasi
kekuasaan. Normatifitas tidak bisa dipraktikan namun sangat mendukung nilai
kultural. Meski demikian, dalam penelitian ini penulis menemukan nilai-nilai
luhur normatifitas yang selalu dipegang oleh kalangan naturalistik. Nilai tersebut
177
menjadi pedoman etika bagi masyarakat yang bersifat lokal dari perpaduan nilainilai Islami dan adat istiadat.
B. Saran
Berangkat dari penelitian ini maka penulis menilai diperlukan kajian etika
kekuasaan yang sejalan dengan normatifitas, yakni kajian kultur politik dan kultur
birokrasi agar normatifitas etik bisa terejawantahkan dalam etika kekuasaan
kontemporer yang mekanistik. Maka, diperlukan pengembangan kajian terhadap
kultur kekuasaan naturalistik normatif dan korelasinya dengan kekuasaan
mekanistik rasional. Berikut beberapa saran pengembangan berdasarkan kajian
dalam tesis ini:
1. Diperlukan kajian mendalam tentang Islam, kulutur politik, dan kultur
birokrasi untuk mengisi kekosongan nilai-nilai dalam birokrasi
kekuasaan yang bersifat mekanistik.
2. Perlu pengembangan metode kajian dan pengembangan maqāṣid alsyarῑ‟ah untuk melihat maṣlahah dalam ranah etika kekuasaan politik
kekinian yang tidak hanya bersifat normatifisme an sich, melainkan
normatif yang lebih kontekstual.
Maka, penulis menilai perlu kajian sinergis antara konsep mamlakah Raja
Ali Kelana yang bersifat naturalistik normatif dan birokrasi universal yang
mekanis rasional, yakni normatifme mekanis. Kajian tersebut berguna untuk
mengisi kekosongan norma etika yang menjadi nilai kultural di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adil, Haji Buyong, Sejarah Johor, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pelajar Malaysia, 1980.
Ali, Raja (Haji), Silsilah Melayu Bugis, (Tanjungpinang: Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan, 2007.
Ali, Raja (Haji), Tuhfah an-Nafis, dalam Virginia Matheson Hooker, Tuhfat alNafis: Sejarah Melayu-Islam, terj. Ahmad Fauzi Basri, Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1991.
Ali, Raja Haji (Kelana), Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas, Singapura: AlImam, 1328 H.
_________, Perhimpunan Pelakat, dalam Hamzah Yunus, Alihaksara NaskahNaskah Kuno Riau, Penyengat: Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Riau
Pulau Penyengat dan Yayasan Sosial Chevron dan Texaco Indonesia, 2001.
_________, Pohon Perhimpunan, dalam Hamzah Yunus, Alihaksara NaskahNaskah Kuno Riau, Penyengat: Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Riau
Pulau Penyengat dan Yayasan Sosial Chevron dan Texaco Indonesia, 2001.
Anwar, Syamsul, Al-Mawardi dan Teorinya tentnag Khilafah, dalam jurnal AlJami‘ah, Nomor 35, Tahun XVI, 1987.
Asba, A. Rasyid, Perkembangan Ekonomi Riau-Lingga-Johor-Pahang pada Masa
Pemerintahan Mahmud Riayat Syah, dalam Abdul Malik, dkk., Sejarah
Kejuangan dan Kepahlawanan Sultan Mahmud Riayat Syah, Lingga:
Pemkab Lingga dan Pemprov Kepri, 2012.
Azhar, Muhammad, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat,
Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Bernard, Timothy P., Taman Penghiburan: Entertainment in The Riau Elite in
The Last 19 Century, dalam Journal Malayan Branch of the Royal Asiatic
Society, volume LXVII part 2.
Borham, Abd Jalil, Pengaruh Khalifah Othmaniyyah dalam Pentadbiran
Kerajaan Johor bagi Memartabatkan Sebuah Negara Islam Merdeka di
Asia Tenggara, makalah dalam Simposium Isu-isu Sejarah dan Tamadun
Islam di Universiti Kebangsaan Malaysia, 2011.
Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Kencana Pranada Media Group,
2013.
Elis Suryani NS, Filologi, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2012.
178
179
Freeden, Michael, Ideologi, Teori Politik dan Filsafat Politik, dalam Gerald F.
Gaus dan Chandran Kukathas, Handbook Teori Politik, terj. Desta Sri
Widowatie, Bandung: Nusa Media, 2013.
Ghazali, Abu Hamid Al-, al-Iqtisad fi al-I„tiqad, Beirut: Dar al-Kutub al‗Ilmiyyah, tt.
_________, al-Mustashfa min Ilm Ushul, Beirut: Al-Resalah, 1997.
Hamidy, UU, Teks dan Kepengarangan di Riau, (Pekanbaru: Unri Press, 2002.
Hall , D.G.E, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya: Usaha Nasional, 1988.
Harun, Jaelani, Kitab Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas: Karya
Ketatanegaraan Melayu Terakhir, dalam jurnal International Journal of the
Malay Word and Civilisation (Formerly SARI) Nomor 19 tahun 2001.
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Pernerbit Kompas, 2004.
Hooker, Virginia Matheson, Tuhfat al-Nafis: Sejarah Melayu-Islam (Ahmad
Fauzi Basri, penerjemah), (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementrian Pendidikan Malaysia, 1991.
_________, Pulau Penyegat: Nineteenth Century Islamic Centre of Riau, dalam
jurnal Archiper, volume 37, 1989, Villes d‘Insulinde (II).
Lubis, Nabilah, Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi, Jakarta: Yayasan
Media Alo Indonesia, 2001.
Machiavelli, Noccolo, Sang Pangeran, Jakarta: PT Alex Media Komputindo,
2014.
Mahdini, Konsep Raja dan Kerajaan Menurut Raja Ali Haji, (Disertasi UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2001.
Malik, Abdul, dkk., Sejarah Kejuangan dan Kepahlawanan Sultan Mahmud
Riayat Syah, Lingga: Pemkab Lingga dan Pemprov Kepri, 2012.
Maududi, Abul A‘la Al-, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah
Pemerintahan Islam, terj. Muhammad Al-Baqir, Bandung: Mizan, 1998.
Mawardi, Abu Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Baghdady Al-, Adab alDunya wa al-Din, Kairo: al-Dar al-Mishriyah al-Lubnaniyah, 1988.
_________, al-Ahkām as-Sulṭaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, Beirut: Dar alKutub al-‗Ilmiyah, tt.
180
Noor, Arba‘iyah Mohd, Raja Khalid Hitam Sebagai Pengarang “Bahwa Inilah
Syair Pejalanan Sultan Lingga dan Yang Dipertuan Muda ke Singapura‖,
dalam Arba‘iyah Mohd Noor, dkk., Perasada Jauhari: Kumulan Esai,
Tanpa Keterangan penerbitan.
Putten , Jan Van der Putten dan Al Azhar, Di dalam Berkenalan Persahabatan:
Surat-surat Raja Ali Haji kepada Vaon de Wall, Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG), 2007.
_________, Of Missed Opportunites, Colonial Law and Islam-phobia, dalam
jurnal Indonesia and the Malay World Vol. 34, No. 100 November 2006.
_________, Printing in Riau; Two steps toward modernity, dalam jurnal
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153
(1997), nomor 4, Leiden.
Ratna, Nyoman Kutha, Metodelogi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Rojak, Jeje Abdul, Politik Kenegaraan: Pemikiran-Pemikiran Al-Ghazali dan
Ibnu Taimiyah, Surabaya: Bina Ilmu, 1999.
Ruslan, Utsman Abdul Mu‘iz, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, Solo: Era
Intermedia, 2000.
Sahid, Komarudin, Memahami Sosiologi Politik, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Samad, Raja Syofyan, Negara dan Masyarakat: Studi Penerrasi Negara di Riau
Kepulauan Masa Orde baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Schmandt, Henry J., Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Zaman Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Sudarminta, J, Etika Umum: Kajian tentang beberapa masalah pokok dari Teori
Etika Normatif, Yogyakarta: Kanisius: 2013.
Sufyan, Ayi, Etika Politik Islami, Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Sugiarto, I Bambang dan Bagus Rachmat W, Wajah Batu Etika dan Agama,
Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia, 2001.
Suseno, Franz Magnes-, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1991.
_________, 13 Tokoh Etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19,
Yogyakarta: Kanisius, 1997.
181
Syahri, Aswandi dan Raja Murad, Cogan: Regalia Kerajaan Johor Riau Lingga
Pahang, Tanjungpinang: Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Provinsi
Kepulauan Riau, 2006.
_________, Raja Ali Kelana dan Pondasi Historis Industri Pulau Batam, Batam:
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2007.
Syam, Firdus, Pemikiran Politik Barat: Serajah, Filsafat, Ideologi, dan
Pengaruhnya terhadap Dunia Ke-3, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Syari‘ati, Ali, Umah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1989.
Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim Asy-, Al-Muwafawat fi ushul al-Syari‟ah, Mesir:
Maktabah al-Tijariyah al-Kura, 1975, 2 jilid.
Taimiyah, Ibn, as-Syiyasyah al-Syar‟iyah, Kairo: Dar al-Kitab al-Arabi, tt.
Thompson, Dennis F., Etika Politik Pejabat Negara, terj. Benyamin Molan,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000.
Tjahjadi, S.P. Lili, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan
Impertif Kategoris, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Undang-Undang Lima Pasal, dalam Hamzah Yunus, Alihaksara Naskah-Naskah
Kuno Riau, Penyengat: Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Riau Pulau
Penyengat dan Yayasan Sosial Chevron dan Texaco Indonesia, 2001.
Varma, SP., Teori Politik Modern, terj. Yohanes Kristiarto, dkk., Jakarta:
Rajawali Press, 2007.
Yacob, M Amin, Sejarah Kerajaan Lingga: Johor-Pahang-Riau-Lingga,
Pekanbaru: Unri Press, 2004.
Zainuddin, A. Rahman, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibn Khaldun,
Jakarta: Gramedia, 1992.
Referensi internet
http://www.royalark.net/Indonesia/riau7.htm (diakses pada 27 Agustus 2015).
Aswandi Syahri, Verzeparty dan Lydelyk Verzet: Perdirian Roesidijah (Club)
Riouw 1890-an -1991, dalam Tanjungpinangpos edisi 2 Maret 2013 melalui
www.tanjungpinangpos.co.id (Diakses pada 20 Desember 2015).
Mohd. Abdullah Shagir, Raja Ali Kelana-Ulama dan Pejuang Riau dan Johor,
dalam koran Utusan edisi 12 Juli 2004 diakses melalui situs
http://ww1.utusan.com.my/ (diakses pada 4 Desember 2015) .
182
_________, Syeikh Ahmad al-Fathani, Organisasi Dan Politik, dalam koran
Utusan edisi 7 Juli 2008 diakses melalui http://ww1.utusan.com.my/
(diakses 4 Desember 2015).
_________, Syeikh Ahmad al-Fathani dan Media Cetak, dalam koran Utusan edisi
14 Juli 2008 diakses melalui http://ww1.utusan.com.my/ (diakses 4
Desember 2015).
Mendagri: 343 Kepala Daerah Tersangkut Kasus
http://nasional.kompas.com (diakses pada 4 Maret 2015).
Hukum
dalam
183
CURRICULUME VITAE
Nama
TTL
Alamat asal
Nomor HP
Email
Istri
Anak
: Abd. Rahman
: Gresik, 29 Oktober 1983
: Bengkong Indah II Jl. Melati Blok F No. 21 RT 5 RW V
Kecamatan Bengkong, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau
: 081277181310
: [email protected]
: Ummi Sholeha
: 1. Putri Zahira Salsabila
2. Abdullah Zulkarnaen Muazzam
Riwayat Pendidikan
SDN 024 Sei Panas, Kota Batam (lulus 1996)
MTS Nurul Abrar Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur (lulus 1999)
MA Badridduja Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur (lulus 2002)
PP. Badridduja Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur (1996-2002)
S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002-2008)
S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2014-2016)
Pengalaman Organisasi
Ketua OSIS MA Badridduja (2000-2001)
Wakil Bendahara PC IPNU Kraksaan 2001-2002
Anggota UKM JQH Al-Mizan UIN Sunan Kalijaga (2002-2008)
Anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA UIN Sunan Kalijaga (20032008)
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Batam (2008-sekarang)
Pengalaman Kerja
Jurnalis di PT. Tribun Media Grafika yang menerbitkan koran harian Tribun
Batam dan Bintan News sejak 2008-sekarang.
Yogyakarta, 22 Maret 2016
Abd. Rahman
Download