PERILAKU SEKSUAL KAUM GAY DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (Studi Kasus pada Komunitas Gay di Salatiga) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam OLEH: FARIUL IBNU HUDA 21110019 JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015 i ii iii iv MOTTO “ILMU TANPA AMAL HANYALAH SIA-SIA SEDANGKAN AMAL TANPA ILMU ITU BERBAHAYA, dan JADIKAN IMAN SEBAGAI PENUNTUN KEDUANYA” v PERSEMBAHAN Untuk Orang-Orang yang Ku Sayangi Karya ini aku persembahkan kepada kedua orang tuaku yang tersayang, Bapak Munawar dan Ibu Sumarti. Adik Tercinta, IsnatainiNurFitriana Teman-teman Syakhsiyyah) seperjuangan di perkuliahan (Akhwal Teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Salatiga Terima kasih Atas doa dan support yang telah diberikan vi Al ABSTRAK Huda, Fariul Ibnu. 2015. Perilaku Seksual Kaum Gay dalam Tinjauan Hukum Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia (Studi Kasus Komunitas Gay di Salatiga).Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Ahwal Al-Syakhsyiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Kata Kunci: Perilaku Seksual, Kaum gay, Hukum Islam, dan Perundangundangan. Penelitian ini mengkaji tentang perilaku seksual kaum gay pada komunitas gay di Salatiga dalam tinjauan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia. Fokus penelitian yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana kebiasaan perilaku seksual kaum gay di Kota Salatiga?(2) Apa faktor-faktor yang mendorong seseorang menjadi seorang gay pada komunitas gay di Salatiga?(3) Bagaimana pandangan hukum dan perbandingan sanksi hukum dari hukum Islam dengan perundang-undangan di Indonesia?. Penelitian kualitatif deskriptif ini menggunnakan metode pengumpulan data, wawancara, dokumentasi dan studi kepustakaan. Penganalisaan deskriptif tersebut juga bertolak dari analisis yuridis sistimatis yang untuk pendalamannya dilengkapi dengan analisis komparatif. Temuan yang diperoleh dari penelitian ini antara lain: (1)Berdasarkan penelitian penelitian di lapangan dalam kehidupan komunitas homoseksual atau gay ditemukan beberapa istilah dalam kehidupan homoseksual. Istilah tersebut berdasarkan kegiatan seks yang dilakukan oleh pelaku homoseksual. Beberapa istilah tersebut, antara lain: gay bottom, gay top, gay vers, dan gay kucing. Gay bottom, merupakan istilah untuk menyebutkan seorang homoseksual yang orientasi seksualnya sebagai penerima atau objek. Gay top merupakan istilah untuk menyebutkan seorang homoseksual yang orientasi seksualnya sebagai pemberi. Gay vers merupakan homoseksual yang bisa menjadi gay bottom dan gay top, bergantung dari pasangan homoseksualnya. Gay kucing merupakan sebutan untuk homoseksual yang melakukan hubungan seksual hanya untuk mendapatkan imbalan. Istilah lain adalah pelacur laki-laki. (2) Dari hasil penelitian diketahui faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi seorang gay pada komunitas gay yaitu faktor biologis, faktor lingkungan dan faktor media sosial.(3)Dalam Hukum Islam perilaku hubungan sejenis adalah haram, baik itu dilakukan dengan orang yang belum dewasa maupun sesama orang dewasa. Di Indonesia penanganan kasus homoseksual masihlah kurang karena pemerintah tidak tegas melarangnya hanya untuk kasus-kasus komersial saja yang dipidanakan sedangkan untuk kasus-kasus sosialnya masih belum dipidanakan. Dalam perundang-undangan di Indonesia perilaku seksual homoseks secara eksplisit dapat didapati dalam pasal 292 KUHP dan pasal 4 ayat 1(a) UU No. 44 vii Tahun 2008 tentang Pornografi. Ancaman sanksi bagi pelaku tindak pidana homoseksual, dalam hukum Islam ada tiga pendapat bagi pelaku tindak pidana homoseksual jenis hukuman yang dijatuhkan adalah pertama dibunuh secara mutlak, kedua hadd sebagaimana hadd zina dan ketiga takzir. Sedangkan dalam KUHP pasal 292 perilaku homoseks hanya dilarang apabila dilakukan dengan orang yang belum dewasa dan diancam pidana penjara lima tahun. Dan dalam pasal pasal 4 ayat 1(a) UU No. 44 Tahun 2008 pemidanaan perilaku seksual homoseks dalam bentuk pornografi diancam pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan atau pidana denda paling sedikit dua ratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak enam milyar. viii KATA PENGANTAR Bismillahirrahminirrahim,Alhamdulillahirobbil ‘alamin, Peneliti menyampaikan rasa syukur yang mendalam atas nikmat yang Allah SWT anugerahkan, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “PERILAKU SEKSUAL KAUM GAY DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA(Studi Kasus Komunitas Gay Salatiga)” dengan baik dan penuh dedikasi. Penulisan ini dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah. 3. Sukron Ma’mun, M.Si selaku Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. 4. Munajat, Ph.D selaku pembimbing skripsi yang telah sudi kiranya meluangkan waktunya untuk membimbing dalam penulisan skripsi. 5. Kepada semua pihak yang belum dapat penulis sampaikan satu persatu. Semoga Allah berkenan untuk membimbing dan memberikan hidayah dalam setiap langkah hidupnya. Kemudian, semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat untuk pembaca. Salatiga, 14 September 2015 Fariul Ibnu Huda ix DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i NOTA PEMBIMBING ................................................................................. ii PENGESAHAN ............................................................................................. iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................... iv MOTTO ......................................................................................................... v PERSEMBAHAN .......................................................................................... vi ABSTRAK ..................................................................................................... vii PENGANTAR ............................................................................................... ix DAFTAR ISI .................................................................................................. x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................. 1 B. Rumusan Masalah .............................................................. 4 C. Tujuan Penelitian .............................................................. 5 D. Kegunaan Penelitian .......................................................... 5 E. Penegasan Istilah .............................................................. 5 F. Telaah Pustaka .................................................................. 7 G. Metodologi Penelitian ....................................................... 11 H. Sistematika Penulisan ....................................................... 15 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG GAY A. Konsep Seks, Seksualitas, Orientasi Seks, Perilaku Seksual, Seks Menyimpang, dan Gender .......................... 17 1. Seks ............................................................................. 17 2. Seksualitas ................................................................... 18 3. Orientasi Seks ............................................................. 20 4. Perilaku Seksual .......................................................... 20 5. Seks Menyimpang ....................................................... 22 x 6. Gender ......................................................................... 27 B. Homoseksual ..................................................................... 28 1. Pengertian Homoseksual ............................................. 28 2. Penyebab Homoseksual .............................................. 29 3. Kategori Homoseksual ................................................. 29 4. Macam-macam Homoseksual ..................................... 30 5. Pengakuan Diri ............................................................ 32 6. Bentuk Seksual ............................................................ 32 7. Akibat Homoseks ........................................................ 33 8. Perbedaan antara Gay, Waria, dan Laki-laki Seks Laki-laki ...................................................................... 34 C. Seksualitas dalam Hukum Islam dan Perundang -undangan di Indonesia ..................................................... 37 1. Seksualitas dalam Hukum Islam ................................. 37 2. Seksualitas dalam Perundang-undangan di Indonesia BAB III 45 FENOMEMA KOMUNITAS GAY DI SALATIGA A. Gambaran Umum Kota Salatiga ....................................... 50 B. Fenomena Komunitas Gay di Kota Salatiga ..................... 54 1. Komunitas Gay di Salatiga .......................................... 54 2. Faktor-faktor Menjadi seorang Gay ............................ 62 3. Proses Coming Out pada Gay ..................................... 63 4. Bentuk Perilaku Seksual pada Gay ............................. 67 5. Perkawinan Sejenis ..................................................... 68 6. Keberagamaan bagi Seorang Gay ............................... 70 C. Peran Serta Lembaga Keislaman dan Lembaga Pemerintah Daaerah terhadap Persoalan Komunitas Gay di Salatiga ................................................................... 73 1. Peran Lembaga Keislaman .......................................... 73 2. Peran Lembaga Pemerintah Daerah ............................ 74 xi BAB IV PERILAKU SEKSUAL KAUM GAY DI KOTA SALATIGA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Kebiasaan Perilaku Seksual Kaum Gay di Kota Salatiga .............................................................................. 77 B. Faktor-Faktor yang Mendorong Seseorang Menjadi Seorang Gay pada Komunitas Gay di Salatiga ................. 78 C. Pandangan Hukum dan Perbandingan Sanksi Hukum Dari Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia terhadap Perilaku Seksual Komunitas Gay di Salatiga .......................................................................... 81 1. Pandangan Hukum Islam terhadap Perilaku Seksual kaum Gay .................................................................... 81 2. Pandangan Perundang-undangan di Indonesia terhadap Perilaku Seksual kaum Gay .......................... 87 3. Bentuk Sanksi yang Diberikan terhadap Pelaku Homoseks Menurut Agama Islam ............................... 92 4. Bentuk Sanksi yang Diberikan terhadap Pelaku Homoseks Menurut Hukum Pidana ............................ 98 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................... 103 B. Saran .................................................................................. 105 DARTAR PUSTAKA .................................................................................... LAMPIRAN xii 107 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia yang tertuang dalam Pembukaan dan Pasal 28 UUD 1945. Sehingga, setiap orang memperoleh pengakuan, jaminan, kebebasan, perlindungan, dan kepastian hukum atas hak-hak mereka oleh negara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Masyarakat tidak dapat dipisahkan pula dengan kebudayaan. Dalam masyarakat selalu memiliki tatanan nilai, norma atau kaidah sebagai komponen kebudayaan yang berbeda antara tempat satu dengan yang lainnya. Di satu tempat ada perilaku yang dianggap melanggar atau menyimpang dari norma yang ada, tetapi di tempat yang lain dianggap tidak melanggar, bahkan menjadi hal yang wajar. Seksualitas merupakan sebuah persoalan yang selama ini dianggap sebagai penyimpangan publik, jika seksualitas tersebut tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Namun, seksualitas juga sangat 1 menarik perhatian dan sangat pribadi. Seksualitas juga dipandang sebagai faktor yang tidak pernah berubah, karena dianggap given secara biologis dan mutlak bagi kelangsungan hidup spesies. Seksualitas merepresentasikan kenyataan akan potensi kebebasan yang selama ini terpenjara oleh batas-batas peradaban. Seksualitas merupakan sebuah konstruksi sosial yang beroprasi dalam wilayah-wilayah kekuasaan (Giddens, 1992:1). Dalam masyarakat Jawa, persoalan seksualitas sering dianggap tabu atau tidak layak untuk dibicarakan secara umum. Akan tetapi, ada fenomena menarik di Kota Salatiga mengenai hal yang berhubungan dengan seksualitas diantaranya menyangkut homoseksualitas. Kaum homoseksual khususnya dalam komunitas gay di Salatiga, menyebut dirinya dengan sebutan MSM, kependekan dari “men who have sex with man”. Penggunaan istilah bahasa Inggris ini mereka gunakan untuk mengaburkan konotasi negatif dalam masyarakat. Dalam hubungan sesama jenis ini ternyata ada beberapa tingkatan mengenai ketertarikan sesama jenis diantaranya ada yang sebatas mengagumi secara fisik, tetapi ada juga yang sampai pada hubungan seksual sesama jenis. Tidak hanya di Salatiga, komunitas homoseksual juga tersebar di seluruh kota-kota di Indonesia dan dalam perilakunya mereka tidak menutupi status homoseksualnya, baik sesama gay maupun masyarakat umumnya. Mereka terang-terangan mengumbar kebersamaan dan kemesraan, perilaku tersebut dapat terlihat seperti bergandengan tangan, duduk berdekatan dengan mesra, dan berpelukan tanpa sedikitpun terlihat canggung dan malu. 2 Namun, permasalahan homoseksualitas di Indonesia dianggap tabu bagi masyarakat dan pemerintah karena jarang adanya diskusi publik membahas persoalan seksualiatas dalam bentuk apapun khusususnya tentang homoseksual dibicarakan secara terbuka. Serta penilaian masyarakat terhadap homoseksual dalam beberapa sudut pandang yaitu dilihat dari sudut pandang agama dianggap sebagai dosa, dari sudut pandang medis dianggap sebagai penyakit, dari sudut pandang hukum dianggap sebagai penjahat, dan dari sudut pandang pendapat masyarakat dianggap sebagai penyimpangan sosial. Dimanapun di seluruh dunia, hampir seluruh sistem sosial menolak kehidupan homoseksual termasuk di Negara Indonesia. Sehingga tidak mudah kehidupan homoseksual di Indonesia. Keberadaan kaum homoseksual dalam masyarakat masih dianggap ancaman, walaupun mereka tidak merugikan siapapun, baik secara fisik maupun spikis. Secara yuridis formal Indonesia, homoseksual bukanlah suatu kejahatan dengan demikian bentuk diskriminasi terhadap mereka termasuk pelanggaran hukum. Dalam hukum positif Indonesia, hubungan seksual antar sesama jenis diatur dalam pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur bahwa orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis yang diketahui dan sepatutnya belum dewasa diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Dalam pasal tersebut perilaku cabul sesama jenis bisa diindentikkan dengan homoseksual dan pelanggaran dalam pasal tersebut hanya berlaku bagi pelaku homoseksual terhadap anak di bawah umur. Berbeda dengan agama Islam yang diatur dalam Al Qur’an maupun Al 3 Hadits secara qath’i (tegas) dan muhkamat (jelas ketetapan hukumnya) menentang keras perilaku ini. Di dalam Al Qur’an Allah menyebut perbuatan homoseks sebagai perbuatan fashiyah (perbutan keji) dan terlaknat. Sedangkan dalam hadits perbuatan tersebut ditentang oleh nabi dan hukumannya pun beragam seperti dihukum dengan cara dera, had, dan takzir. Indonesia sebagai negara dan mayoritas muslim terbesar di dunia akan menjadi perhatian penting melihat kontradiksi hukum Islam dengan KUHP sebagai perundang-undangan di Indonesia sebagai produk hukum. Salah satu hal yang menarik membandingkan hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia terhadap persoalan perilaku homoseksual. Serta menjadi pekerjaan rumah bagi lembaga-lembaga keislaman dan lembaga pemerintah di Salatiga terhadap permasalahan komunitas homoseksual dalam hal ini peneliti memilih meniliti komunitas Gay di Salatiga. Dan setelah mengkaji lebih dalam peneliti membuat laporan dalam bentuk skripsi dengan judul: PERILAKU SEKSUAL KAUM GAY DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANGUNDANGAN DI INDONESIA (Studi Kasus pada Komunitas Gay di Salatiga). B. RUMUSAN MAASALAH Dari latar belakang di atas ada beberapa rumusan masalah: 1. Bagaimana kebiasaan perilaku seksual kaum gay di Kota Salatiga? 2. Apa faktor-faktor yang mendorong seseorang menjadi seorang gay pada komunitas gay di Salatiga? 4 3. Bagaimana pandangan hukum dan perbandingan sanksi hukum dari hukum Islam dan perundang-undangan terhadap perilaku seksual komunitas gay di Salatiga? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang ada, maka skripsi ini bertujuan untuk: 1. Menjelaskan kebiasaan perilaku seksual kaum gay di Salatiga. 2. Menjelaskan faktor yang mendorong seseorang menjadi seorang gay pada komunitas gay di Salatiga. 3. Menjelaskan pandangan hukum dan perbandingan sanksi hukum dari hukum Islam dengan perundang-undangan di Indonesia. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan program penelitian ini antara lain: 1. Secara teoritis yaitu menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya kajian hukum tentang pemahaman nilai, norma, landasan, dan sanksi dalam permasalahan komunitas gay. 2. Secara praktis yaitu dari hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan literatur bagi masyarakat Salatiga dan masyarakat luas. E. Penegasan Istilah 1. Perilaku Seksual Perilaku seksual adalah cara seseorang mengekspresikan hubungan seksualnya. Perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya, 5 interpretasi agama, adat tradisi, dan kebiasaan dalam suatu masyarakat. Karena itu, perilaku seksual merupakan konstruksi sosial, tidak bersifat kodrati, dan tentu saja dapat dipelajari. Di sinilah perbedaan mendasar antara orientasi seksual dan perilaku seksual. Sayangnya, tidak banyak orang yang mau memahami perbedaan kedua istilah ini secara arif. Akibatnya, tidak sedikit yang memahami keduanya secara rancu dan salah kaprah. Berbicara tentang perilaku seksual, ada banyak cara di samping cara yang konvensional memasukkan penis ke dalam vagina, juga dikenal cara lainnya dalam bentuk oral seks dan anal seks (disebut juga sodomi atau liwâth dalam bahasa Arab). Sodomi atau liwâth adalah memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam dubur (anus), baik dubur lelaki maupun dubur perempuan (Mulia dkk, 2011: 18). 2. Komunitas Adalah kelompok organisme (orang dan sebagainya) yg hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1995). Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti "kesamaan", kemudian dapat diturunkan 6 dari communis yang berarti "sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak" (Wenger, 2002: 4). 3. Gay Gay adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk merujuk orang homoseksual atau sifat-sifat homoseksual. Istilah ini awalnya digunakan untuk mengungkapkan perasaan "bebas/ tidak terikat", "bahagia" atau "cerah dan menyolok". Kata ini mulai digunakan untuk menyebut homoseksualitas mungkin semenjak akhir abad ke-19 M, tetapi menjadi lebih umum modern, gay digunakan pada orang terutama pria pada abad ke 20. sebagai kata gay Dalam bahasa sifat dan kata dan aktivitasnya, benda, Inggris merujuk serta budaya yang diasosiasikan dengan homoseksualitas (http://id.wikipedia.org/wiki/Gay diakses pada tanggal 1 November 2014). F. Telaah Pustaka Marzuki Umar Sa’abah dalam penelitiannya yang berjudul “Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Komtemporer Umat Islam” menyimpulkan homoseksual merupakan rasa tertarik dan mencintai pada kelamin sejenis. Untuk kaum pria sering juga dikenal kaum “gay” sedangkan wanita disebut “lesbian”. Dalam mengekspresikan dirinya dikenal 3 macam bentuk: 1. Aktif, bertindak sebagai pria agresif; 2. Pasif, bertingkah laku dan berperan pasif feminim sebagai wanita; 3. Berganti peran, kadang memerankan fungsi wanita, kadang-kadang jadi pria. 7 Penyebab homoseksual pada pria sampai saat ini masih dalam perdebatan, beberapa penyebab antara lain: a. faktor seks; b. pengaruh lingkungan yang tidak baik/tidak normal; c. seseorang selalu mencari kepuasan hubungan homoseks, karena ia pernah menghayati pengalaman homoseks yang menggairahkan pada masa remaja; d. bisa juga karena pengalaman traumatis dengan ibunya, sehingga timbul kebencian antipati terhadap ibu dan wanita pada umumnya. Drs. Jokie MS Siahaan, M. Si. dalam penelitiannya yang berjudul “Perilaku Menyimpang Pendekatan Sosiologi” menyimpulkan homoseks dapat dijelaskan dalam beberapa dimensi. Termasuk diantaranya adalah sikap untuk mengekspresikan hubungan seksual atau kecenderungan erotis, kesadaran akan konsep diri homoseksual, atau kenyataan hubungan seks dengan sesama jenisnya baik laki-laki maupun perempuan. Orang yang menjalani perilaku homoseksual ini (baik laki-laki maupun perempuan) berasal dari kelas sosial, tingkat pendidikannya bervariasi, mewakili semua jenis pekerjaan dan profesi, mempunyai bermacam kepentingan dan kegemaran, dan mungkin sudah menikah atau single. Dalam penelitian yang terkenal tentang seksualitas di Amerika, mengungkapkan sebanyak 37% laki-laki pernah mempunyai pengalaman homoseksual dalam suatau masa kehidupannya, tetapi hanya 4% yang benarbenar homoseksual yang mengekspresikan kecenderungan erotisnya pada sesama laki-laki. Adapun sisanya kemungkinan hanya karena rasa ingin tahu, dianiaya, atau dibatasi seksualnya. Temuan ini menjelaskan bahwa mempunyai 8 hubungan homoseksual tidak berarti seorang menjadi homoseks. Yang lebih penting secara sosiologis adalah pengungkapan identitas homoseksual. Salah satu konsep pemahaman homoseksual dan heteroseksual adalah identitas peran seks. Merupakan persatuan yang nyata antara takdir peran seks dan reaksi tak sadar bahwa takdir itu merupakan ciri-ciri dari peran seks. Dengan kata lain, seorang menghayati peran seks tertentu, mengembangkan konsep dirinya dengan jenis kelamin yang lain, dan mengadopsi sebagian besar karakteristik perilaku jenis kelamin lain tersebut. Neng Djubaedah, S.H., M.H. dalam penelitianya yang berjudul “Pornografi Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam” menyimpulkan hukum Islam sebagai salah satu sistem yang berlaku (di samping hukum Barat dan hukum Adat) dan merupakan bagian dari agama Islam berlaku di Indonesia berdasarkan pembukaan dan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 beserta perubahan. Pasal tersebut menentukan bahwa “negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hazairin (almarhum), guru besar Hukum Islam dan Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Indonesia telah menafsirkan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 beserta perubahannya dalam enam tafsiran. Tiga tafsiran di antaranya berkaitan dengan keberlakuan hukum-hukum seluruh agama yang berlaku di Indonesia, di antara hukum (agama) Islam. Pertama, di dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku suatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam begitu pula dengan agama lainnya. Kedua, Negara Republik Indonesia wajib melaksanakan syariat Islam bagi umat Islam begitu pula dengan agama 9 lainnya. Ketiga, syariat tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk melaksanakannya dan karena itu dapat sendiri dilakukan oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri menurut agamanya masingmasing. Febri Ayu Choiriyah dalam skripsinya yang berjudul “Kehidupan Waria Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Perilaku Keberagaman di Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis Notoyudan Yogyakarta)” menyimpulkan tidak seorangpun yang ingin hidup sebagai waria. Menjadi waria bukanlah pilihan. Mereka merasa tidak nyaman atas penciptaan dirinya dan merasa terjebak dalam fisik yang salah. Status waria tidak diakui sehingga cenderung dilecehkan masyarakat. Mereka kehilangan hak termasuk dibidang keagamaan. Diskriminasi ini telah memangkas akses mereka di sektor sosial-ekonomi, sehingga hanya mampu bertahan pada praktik-praktik pelacuran. Di sisi lain waria juga mempunyai kesadaran hidup secara religius. Penelitian tentang perilaku seksual memang sudah pernah dilakukan namun berdasarkan pengamatan penulis belum ada hukum yang konkret terhadap perilaku seksual kaum gay dalam tinjauan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia (Studi Kasus pada Komunitas Gay di Salatiga). Oleh karena itu, penulis ingin menggali lebih dalam bagaimana kedua hukum tersebut memandang kaum gay dari segi perilaku seksualnya serta sejauh mana perbedaan kedua hukum tersebut. 10 G. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian kualitatif dipillih untuk menghasilkan data deskriptif yang diperlukan dalam studi ini. Peneliti bertindak sebagai instrument sekaligus pengumpul data yang mana penulis terjun langsung mewawancarai beberapa orang gay dalam komunitas gay dan para tokoh lembaga keislaman maupun lembaga pemerintahan di Salatiga. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah suatu tempat atau wilayah dimana penelitian tersebut akan dilaksanakan. Adapun tempat atau lokasi penelitian dalam rangka penulisan proposal ini yaitu di Kota Salatiga. Pemilihan lokasi penelitian ini berkaitan langsung dengan masalah yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. 3. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Sumber data primer; yaitu hasil temuan data di lapangan melalui wawancara dengan komunitas gay dan tokoh-tokoh lembaga keislaman dan lembaga pemerintahan daerah di Salatiga. Adapun wawancara dengan tokoh-tokoh lembaga keislaman dan lembaga pemerintahan daerah bertujuan untuk mengetahui peran lembaga keislaman sebagai lembaga dakwah dan peran lembaga pemerintahan daerah sebagai 11 corong hukum terhadap fenomena perilaku seksual kaum gay di Salatiga. b. Sumber data sekunder; yaitu data yang diperoleh dari literatur bukubuku, surat kabar, majalah, catatan, perundang-undangan dan kepustakaan ilmiah lain yang menjadi referensi maupun sumber pelengkap penelitian. 4. Prosedur Pengumpulan Data a. Wawancara Metode wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto, 1998:115). Pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara langsung dengan pihak-pihak yang berkaitan. Wawancara dilakukan penulis dengan beberapa sumber: 1) Anggota komunitas gay di Salatiga. Dalam hal ini penulis mewawancarai 4 (empat) subjek yang berperilaku gay karena 4 (empat) orang inilah yang mau diajak untuk diwawancarai. 2) Tokoh pemuka pada lembaga keislaman dalam hal ini penulis ingin mewancarai ketua dari organisasi NU dan Muhammadiyah. Dan dari lembaga pemerintahan sendiri penulis mewawancarai dari pihak Komisi Penanggulangan AIDS Salatiga (KPA). Alasan penulis mengambil pengumpulan data dari kedua lembaga tersebut adalah untuk mengetahui peran lembaga keislaman sebagai lembaga dakwah dan peran lembaga pemerintahan daerah sebagai 12 corong hukum terhadap fenomena perilaku seksual kaum gay di Salatiga. b. Dokumentasi Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, agenda, dan sebagainya (Suharsimi, 1997 : 236). Dalam penelitian ini, penulis mencari data dari buku, majalah, transkrip, foto, dan catatan yang terkait aktivitas komunitas gay di Salatiga, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk menambah data yang ada pada peneliti. 5. Analisis Data Data yang diperoleh untuk gambaran yang komperehensif dan akurat dari penelitian ini, maka akan dilakukan analisis deskriptif kualitatif, sehingga kondisi faktual pada penelitian ini dapat dihasilkan. Dalam penelitian ini digunakan metode analisis data-data yang telah terkumpulkan melalui dokumen, interview atau wawancara untuk memperoleh perspektif yang jelas. 6. Pengecekan Keabsahan Data Pengecekan keabsahan data peneliti menggunakan triangulasi sebagai tehnik untuk mengecek keabsahan data. Di mana dalam pengertiannya triangulasi adalah tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap obyek penelitian (Moleng, 2004: 330). Pengecekan keabsahan 13 data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan informasi dari berbagai pihak yaitu para anggota komunitas gay, para tokoh lembaga keislaman, dan tokoh lembaga pemerintahan. Pengecekan keabsahan data dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan yang terlewati oleh penulis. 7. Tahap-tahap Penelitian Prosedur penelitian ini dilakukan meliputi tiga tahap yaitu : a. Tahap Prapenelitian Dalam tahap ini peneliti membuat rancangan penelitian, membuat instrumen penelitian dan membuat ijin penelitian. b. Tahap Penelitian 1) Melakukan penelitian, yaitu mengadakan wawancara kepada komunitas gay dan tokoh-tokoh lembaga Islam serta lembaga pemerintahan di Salatiga. 2) Pengamatan secara langsung mengenai kegiatan komunitas gay. 3) Kajian pustaka yaitu pengumpulan data dari informasi dan bukubuku. c. Tahap Pembuatan Laporan Dalam tahap ini peneliti menyususn data hasil penelitian untuk dianalisis kemudian dideskripsikan sebagai suatu pembahasan dan terbentuk suatu laporan hasil penelitian. 14 H. Sistematika Penulisan Pembahasan skripsi ini melalui tiga tahap, yaitu pendahuluan, isi, dan penutup. Dari bagian-bagian tersebut terdiri dari bab-bab dan dalam bab tersebut terdapat sub-sub bab. Sistematika pembahasannya dapat dilihat sebagai berikut: Bab Pertama: Pendahuluan. Bagian ini merupakan bagian yang paling umum pembahasannya karena berisi dasar-dasar penelitian ini. Isi dari bagian ini terdiri dari: Latar Belakang Masalah; yaitu menjelaskan faktor-faktor yang menjadi dasar atau pendukung timbulnya masalah yang akan diteliti serta memperjelas alasan-alasan yang dianggap menarik dan penting untuk diteliti, penegasan istilah; menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam judul skripsi agar tidak terjadi salah penafsiran, rumusan masalah; diperlukan untuk mengetahui permasalahan dalam penelitian secara komperensif dan terfokus. Telaah Pustaka; menjelaskan tentang penelitian sebelumnya selain mengumpulkan teori, peneliti menambahkan komentar, kritik (kelebihan dan atau kekurangan teori dalam pustaka), perbandingan dengan teori (pustaka) lain, kaitannya dengan penelitian yang sedang dilakukan. Tujuan penelitian, kegunaan penelitian; sebagai cara pandang dan acuan terhadap penelitian yang dilakukan. Metode penelitian; dimasukkan sebagai langkah-langkah yang aka ditempuh dalam menganalisa data. Bab Kedua. Pada bab ini membahas tentang studi tentang gay serta berbagai perspektif tentang gay. Sub bab pertama yaitu deskripsi tentang seksualitas, perilaku seksual, orientasi seksual, dan penyimpangan seksual. Sub 15 bab kedua deskripsi gay yang meliputi pengertian dan kategorisasi gay. Merupakan penjelasan proses menjadi gay, membedakan antara gay, waria, dan lelaki seks lelaki beserta ciri masing-masing. Sub bab ketiga yaitu seksualitas dalm perspektif Islam dan Perundang-undangan Indonesia. Bab Ketiga. Pada bab ini memuat tentang gambaran umum lokasi penelitian. Fenomena komunitas gay di Salatiga yang meliputi gambaran komunitas gay di Salatiga, faktor-faktor menjadi seorang gay, proses Coming Out pada gay, bentuk perilaku seksual pada gay, perkawinan gay, dan keberagamaan pada seorang gay. Gambaran peranan lembaga keislaman dan lembaga pemerintah dalam persoalan komunitas gay di Salatiga. Bab Keempat. Bab ini merupakan menganalisa kebiasaan perilaku seksual kaum gay di Salatiga, faktor-faktor yang mendorong seseorang menjadi seorang gay dan menganalisa pandangan dan perbandingan antara Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indoneisa terhadap kasus Gay di Salatiga. Bab Kelima. Penutup. Bagian ini terdiri dari kesimpulan dan saransaran sebagai akhir dari pengkajian ini. 16 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG GAY A. Konsep Seks, Seksualitas, Orientasi Seks, Perilaku Seksual, Seks Menyimpang, dan Gender 1. Seks Seks (sex) adalah sebuah konsep tentang pembedaan jenis kelamin manusia berdasarkan faktor-faktor biologis, hormonal, dan patologis. Karena dominannya pengaruh paradigma patriarkhis dan heteronormativitas dalam masyarakat, secara biologis manusia hanya dibedakan secara kaku ke dalam dua jenis kelamin (seks), yaitu laki-laki (male) dan perempuan (female). Demikian pula konsep jenis kelamin yang bersifat sosial, manusia juga hanya dibedakan dalam dua jenis kelamin sosial (gender), yakni laki-laki (man) dan perempuan (woman) (Mulia. dkk, 2011: 9). Makna lain seks lebih ditekankan pada keadaan anatomis manusia yang kemudian memberi “identitas” kepada yang bersangkutan. Seseorang yang memiliki anatomi penis disebut laki-laki. Sedangkan orang yang memliki anatomi vagina disebut perempuan. Istilah seks umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktifitas seksual. Karena penekanannya lebih pada hal-hal yang bersifat anatomis, maka seks kemudian sering dimaknai sempit sebagai hubungan badan 17 antara laki-laki dan permpuan. Nasarudin Umar menyebutkan bahwa istilah seks lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologis seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia hormone dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya (Syafi’ie, 2009: 25). 2. Seksualitas Seksualitas adalah sebuah proses sosial-budaya yang mengarahkan hasrat atau berahi manusia. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, agama, dan spiritualitas. Seksualitas merupakan hal positif, berhubungan dengan jati diri seseorang dan juga kejujuran seseorang terhadap dirinya. Sayangnya, masyarakat umumnya masih melihat seksualitas sebagai negatif, bahkan tabu dibicarakan. Ada perbedaan penting antara seks dan seksualitas. Seks adalah sesuatu yang bersifat biologis dan karenanya seks dianggap sebagai sesuatu yang stabil. Seks biasanya merujuk pada alat kelamin dan tindakan penggunaan alat kelamin itu secara seksual. Meskipun seks dan seksualitas secara analisis merupakan istilah yang berbeda, namun istilah seks sering digunakan untuk menjelaskan keduanya. Misalnya, seks juga digunakan sebagai istilah yang merujuk pada praktik seksual atau kebiasaan (Mulia. dkk, 2011: 11). Akan tetapi, perbedaan antara keduanya sangat jelas, seks merupakan hal yang given atau terberi. Sebaliknya, seksualitas merupakan konstruksi sosial-budaya. Seksualitas adalah konsep yang lebih abstrak, mencakup aspek yang tak terhingga dari keberadaan manusia, termasuk di 18 dalamnya aspek fisik, psikis, emosional, politik, dan hal-hal yang terkait dengan berbagai kebiasaan manusia. Seksualitas, sebagaimana dikonstruksikan secara sosial, adalah pernyataan dan penyangkalan secara rumit dari perasaan dan hasrat. Tidak heran jika seksualitas mempunyai konotasi, baik positif maupun negatif, serta mengakar dalam konteks masyarakat tertentu (Mulia. dkk, 2011: 11). Vance menyebutkan bahwa seksualitas melingkupi makna personal dan sosial, pandangan yang menyeluruh tentang seksualitas mencakup peran sosial, kepribadian, identitas, dan seksual, biologis, kebiasaan seksual, hubungan, pikiran, dan perasaan. Seksualitas, sebagaimana terdefinisi secara kultural dan berkembang dalam sejarah sosial, mempunyai konotasi berbeda dalam komunitas, masyarakat dan kelompok yang berbeda. Bahkan, dalam masyarakat yang sama, pemahaman seksualitas akan berbeda menurut umur, kelas sosial, budaya, dan agama (Mulia. dkk, 2011: 13). Seksualitas bukanlah bawaan atau kodrat, melainkan produk dari negosiasi, pergumulan, dan perjuangan manusia. Seksualitas merupakan ruang kebudayaan manusia untuk mengekspresikan dirinya terhadap orang lain dalam arti yang sangat kompleks, menyangkut identitas diri (self identity), tindakan seks (sex action), perilaku seksual (sexual behavior), dan orientasi seksual (sexual orientation) (Mulia. dkk, 2011: 14). 19 3. Orientasi Seks Orientasi seksual adalah kapasitas yang dimiliki setiap manusia berkaitan dengan ketertarikan emosi, rasa sayang, dan hubungan seksual. Orientasi seksual bersifat kodrati, tidak dapat diubah. Tak seorang pun dapat memilih untuk dilahirkan dengan orientasi seksual tertentu. Studi tentang orientasi seksual menyimpulkan ada beberapa varian orientasi seksual, yaitu heteroseksual (hetero), homoseksual (homo), biseksual (bisek), dan aseksual (asek). Disebut hetero apabila seseorang tertarik pada lain jenis. Misalnya, perempuan tertarik pada laki-laki atau sebaliknya. Dinamakan homo apabila seseorang tertarik pada sesama jenis. Lelaki tertarik pada sesamanya dinamakan gay, sedangkan perempuan suka perempuan disebut lesbian. Seseorang disebut bisek apabila orientasi seksualnya ganda: tertarik pada sesama sekaligus juga pada lawan jenis. Sebaliknya, aseksual tidak tertarik pada keduanya, baik sesama maupun lawan jenis (Mulia. dkk, 2011: 16). 4. Perilaku Seksual Perilaku seksual adalah cara seseorang mengekspresikan hubungan seksualnya. Perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya, interpretasi agama, adat tradisi, dan kebiasaan dalam suatu masyarakat. Karena itu, perilaku seksual merupakan konstruksi sosial, tidak bersifat kodrati, dan tentu saja dapat dipelajari. Di sinilah perbedaan mendasar antara orientasi seksual dan perilaku seksual. Sayangnya, tidak banyak orang yang mau memahami perbedaan kedua istilah ini secara arif. 20 Akibatnya, tidak sedikit yang memahami keduanya secara rancu dan salah kaprah (Mulia. dkk, 2011: 20). Perilaku seksual menurut Sarwono (2010:174) adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan senggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Perilaku seksual dibagi menjadi 2 macam (Demartoto, 9-10), yaitu: a. Seks Penetratif 1) Seks Vaginal 2) Seks anal: Hubungan seks dengan penetrasi kepada anus pasangannya. 3) Seks Oral a) Oro-Penile (Fellatio) Sexualoralisme (suatu keadaan dimana kepuasan didapat dengan menggunakan bibir, mulut dan lidah kepada organ genetalia pasangannya) yang dilakukan untuk melakukan rangsangan ke penis. b) Oro-Vulva (Cunnilingus) Sexualoralisme yang dilakukan dengan cara melakukan rangsangan ke vagina. 21 c) Oro-Anus (Anilungus) Sexualoralisme yang dilakukan dengan cara melakukan rangsangan ke anus. 4) seks dengan alat yang dimasukkan b. Seks non penetratif 1) Seks Manual 2) Seks dengan sentuhan/kontak badan 3) Seks dengan alat yang tidak dimasukkan. 4) Seks Sado-Masochist (S&M) 5) Melihat pornografi 6) Seks Fantasi 7) Seks lewat telepon/intemet 5. Macam-macam Seks yang Menyimpang Menurut Sigmund Freud yang dikutip Yatimin (2003: 54) bahwa kebutuhan seksual adalah kebutuhan vital pada manusia. Jika tidak terpenuhi kebutuhan ini akan mendatangkan gangguan kejiwaan dalam bentuk tindakan abnormal. Berbicara mengenai tindakan abnormal pasti berhadapan dengan masalah yang menyangkut tingkah laku normal dan tidak normal. Garis pemisah antara tingkah laku normal dan tidak normal selalu tidak jelas. Para ahli psikologi mengalami kesulitan untuk membedakan apa yang dimaksud dengan bertingkah laku normal dan abnormal. 22 Di lihat dari sudut pandang ilmu psikologi pendidikan, yang dimaksud dengan tingkah laku abnormal ialah tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma tertentu dan dirasa mengganggu orang lain atau perorangan (Yatimin, 2003: 54). Sarlito Wirawan (1982: 127) membagi tindakan abnormal (perilaku penyimpangan seksual dan perilaku penyimpangan seksual) kepada dua jenis, yaitu : a. Perilaku Penyimpangan Seksual karena Kelainan Pada Objek. Pada penyimpangan ini dorongan seksual yang dijadikan sasaran pemuasan lain dari biasanya. Pada manusia normal objek tingkah laku seksual ialah pasangan dari lawan jenisnya, tetapi pada penderita perilaku penyimpangan seksual objeknya bisa berupa orang dari jenis kelamin berbeda, melakukan hubungan seksual dengan hewan (betiality), dengan mayat (Necrophilia), sodomi, oral sexual, homoseksual, lesbianis, dan pedophilia. b. Perilaku Penyimpangan Etika Seksual karena Kelainan pada Caranya. Pada penyimpangan jenis ini dorongan seksual yang dijadikan sasaran pemuasan seksual tetap lawan jenis, tetapi caranya bertentangan dengan norma-norma susila dan etika. Yang termasuk perilaku penyimpangan etika seksual jenis ini ialah perzinaan, perkosaan, hubungan seks dengan saudaranya (mahramnya) sendiri, melacur, dan sejenisnya. 23 Ada beberapa jenis perilaku penyimpangan seksual dan perilaku penyimpangan etika seksual. Jenis-jenis tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Yatimin, 2003: 54-56). Yang termasuk perilaku penyimpangan seksual: 1. Sadisme adalah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan jalan menyakiti lawan jenisnya bahkan tidak jarang sampai meninggal dunia. 2. Masochisme ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan jalan menyakiti diri sendiri. 3. Exhibitionisme ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan cara menunjukkan organ seksual pada orang lain. 4. Scoptophilia ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan cara mengintip orang melakukan hubungan seksual. 5. Voyeurisme ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan cara mengintip orang mandi, sedang ganti pakaian, melihat wanita telanjang. 6. Troilisme ialah pemuasan nafsu seksual dengan cara saling mempertontonkan alat kelamin pada orang lain atau partnernya. 7. Transvestisme ialah pemuasan nafsu seksual dengan jalan memakai baju lawan jenisnya. 8. Trans-Seksualisme ialah kecenderungan pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan jalan ganti kelamin. 24 9. Seksual Oralisme ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan memadukan mulut dengan alat kelamin. 10. Sodomi (non vaginal coitus) ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan melalui dubur. 11. Homoseksual ialah pemuasan nafsu seksual dengan jalan hubungan badan dengan sesame jenisnya sendiri, yaitu laki-laki dengan laki-laki atau wanita dengan sesama wanita. 12. Pedophilia ialah pemuasan nafsu seksual dengan anak-anak sebagai objek. 13. Bestiality ialah pemuasan nafsu seksual dilakukan pada binatang. 14. Zoophilia ialah pemuasan nafsu seksual dengan jalan mengelus-elus binatang. 15. Nechropilia ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan cara mengadakan hubungan kelamin dengan wanita yang sudah meninggal. 16. Pornography ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan cara melihat gambar-gambar telanjang, membaca bacaan porno, menonton film romantic yang menjurus pada pornografi, film adeganadegan seksual erotik, dan sejenisnya. 17. Obscenity ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan cara mengeluarkan kata-kata kotor, humor seksual dan sejenisnya. 18. Fatishisme ialah pemuasan nafsu seksual dengan cara menggunakan simbol dari lawan jenis terutama pakaian. 25 19. Soliromantis ialah pemuasan nafsu seksual dengan cara mengotori lambang seksual dari orang yang disenangi. 20. My Sophilya ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan cara menggunakan benda-benda kotor. 21. Onani/Mastrubasi ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan tangan, yaitu mengesek-gesekkan bagian alat kelamin hingga mencapai orgasme atau menggunakan alat bantu lainnya. Yang termasuk perilaku penyimpangan etika seksual (Yatimin, 2003: 56) : a. Frottage ialah pemuasan nafsu seksual dengan cara meraba-raba orang yang disenangi (bukan suami istri), meraba bagian yang sensitif pada lawan jenisnya sampai melakukan hubungan seksual. b. Incest ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan mengadakan hubungan kelamin dengan kerabatnya sendiri. c. Wife-wapping ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan cara berganti-ganti pasangan, saling menukar pasangannya dengan pasangan-pasangan orang lain. d. Melacur ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan perempuan pelacur. Cara yang dilakukan ialah dengan melakukan tawar menawar harga pada wanita yang dianggap cocok, bila sesuai dengan seleranya ia melakukan transaksi dan melakukan hubungan seksual di sebuah tempat yang disepakati. 26 e. Zina ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan mengadakan hubungan kelamin pada wanita lain selain istrerinya yang sah dengan cara suka sama suka dan tidak pakai bayaran atau upah. f. Selingkuh ialah pemuasan seksual yang dilakukan dengan orang yang dicintai tetapi belum melangsungkan akad nikah. 6. Gender Kata gender berasal dari bahasa inggris yang artinya jenis kelamin. Di dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (Nasir, 2011: 13). Konsep gender menurut Mansour Faqih, adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun prempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, dapat dipertukarkan, dan bersifat relatif (Kodir dan Mukarnawati, 2013: 19). Kebanyakan orang biasanya mengidentifikasikan perempuan sebagai orang yang bersifat feminim; lemah lembut, cantik, gemulai, suka menangis, emosional, pengasih, pasif dalam banyak hal, mengalah, beraninya di belakang. Sementara jenis kelamin laki-laki diindentikkan dengan sifat-sifat maskulin; gagah, berani, kuat, perkasa, aktif, suka merebut, menantang, siap melawan siapapun dan menghadapi apapun (Kodir dan Mukarnawati, 2013: 20). 27 B. Homoseksual 1. Pengertian Homoseksual Kata homoseksual berasal dari 2 kata, yang pertama adalah dari kata “homo” yang berarti sama, yang “kedua” seksual berarti mengacu pada hubungan kelamin, hubungan seksual. Sehingga homoseksual adalah aktivitas seksual dimana dilakukan oleh pasangan yang sejenis. Sedangkan pengertian lain dari homoseksual adalah kesenangan yang terus-menerus terjadi dengan pengalaman erotis yang melibatkan kawan sesama jenis, yang dapat atau mungkin saja tidak dapat dilakukan dengan orang lain atau dengan kata lain, homoseksual membuat perencanaan yang disengaja untuk memuaskan diri sendiri dan terlibay dalam perilaku seksual dengan sesama jenis (Oetomo, 2000: 10). Homoseksual secara sederhana diartikan sebagai kecenderungan (orientasi) seksual sejenis, bisa sesama jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Untuk laki-laki, biasa disebut Gay, dan untuk perempuan disebut Lesbian. Jadi, Gay adalah tubuh laki-laki yang tertarik secara seksual kepada tubuh laki-laki, tidak kepada tubuh perempuan. Lesbian adalah tubuh perempuan yang tertarik secara seksual kepada tubuh perempuan, tidak kepada tubuh laki-laki. Tetapi di masyarakat istilah homoseksual umumnya hanya dipahami untuk laki-laki (Gay) atau sering juga disebut Waria atau banci. Sedangkan untuk perempuan tetap disebut Lesbian. Lawan kata dari homoseksual adalah heteroseksual, yakni kecenderungan (orientasi) seksual kepada lawan jenis kelamin, laki-laki 28 suka perempuan, atau sebaliknya perempuan suka laki-laki (Mulia. dkk, 2011: 87) 2. Penyebab Homoseksual Kartono (1989: 248) mengungkapkan ada empat penyebab seseorang menjadi homoseksual, yaitu: a. Faktor dalam berupa ketidakseimbangan hormon-hormon seks di dalam tubuh seseorang. b. Pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi perkembangan kematangan seksual yang normal. c. Seseorang selalu mencari kepuasaan relasi homoseksual yang menggairahkan pada masa remaja. d. Seorang anak laki-laki pernah mengalami pengalaman traumatis dengan ibunya sehingga timbul kebencian atau antipati terhadap ibunya dan semua wanita. Dari keempat faktor tersebut, homoseksual yang disebabkan oleh biologis dan psikodinamik (adanya gangguan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak) memungkinkan untuk tidak dapat dirubah menjadi heteroseksual. Sedangkan faktor lain masih dapat berubah menjadi heteroseksual asalkan orang tersebut mempunyai tekad dan keinginan kuat untuk menjauhi lingkungan tersebut. 3. Kategori Homoseksual Bell dan Weinberg (dalam Siahaan 2009:50-51), membuat 5 kategori homoseksual berdasarkan hubungan homoseksualnya, yaitu: 29 a. Closed Coupled, hidup bersama dengan homoseks lain dalam hubungan quasi nikah. Mereka cenderung tidak mempunyai atau mencari pasangan seksual lain. Mereka juga tidak mempunyai banyak masalah dalam hubungan tersebut dan juga tidak menyesal menjadi homoseksual. b. Open Coupled, tinggal bersama dengan homoseks namun masih mencari dan terlibat hubungan seksual di luar hubungan tersebut. c. Functional, melajang dan melakukan hubungan seksual dengan banyak homoseksual. Mereka mengalami masalah seksual dan sedikit menyesal menjadi homoseks. d. Disfuctional, mempunyai hubungan homoseksual tetapi mempunyai banyak masalah seksual serta menyesal menjadi homoseks. e. Asexual, memiliki sedikit hubungan homoseksual dan banyak mengalami masalah seksual serta menyesali orientasi seksualnya. 4. Macam-macam Homoseksual Dari segi psikiatri ada dua macam homoseksual (Demartoto, 19), yakni: a. Homoseksual Ego Sintonik (Sikron dengan Egonya) Seorang homoseks ego sintonik adalah homoseks yang tidak merasa terganggu oleh orientasi seksualnya, tidak ada konflik bawah sadar yang ditimbulkan, serta tidak ada desakan, dorongan atau keinginan untuk mengubah orientasi seksualnya. 30 Hasil penelitian beberapa ahli menunjukkan, orang-orang homoseksual ego sintonik mampu mencapai status pendidikan, pekerjaan, dan ekonomi sama tingginya dengan orang-orang bukan homoseksual. Bahkan kadang-kadang lebih tinggi. Wanita homoseksual dapat lebih mandiri, fleksibel, dominan, dapat mencukupi kebutuhannya sendiri dan tenang. Kelompok homoseksual ini juga tidak mengalami kecemasan dan kesulitan psikologis lebih banyak daripada para heterokseksual. Pasalnya, mereka menerima dan tidak terganggu secara psikis dengan orientasi seksual mereka, sehingga mampu menjalankan fungsi sosial dan seksual secara efektif. b. Ego Distonik (Tidak Sinkron dengan Egonya) Seorang homoseks ego distonik adalah homoseks yang mengeluh dan merasa terganggu akibat konflik psikis. Ia senantiasa tidak atau sedikit terangsang oleh lawan jenis dan hal itu menghambatnya untuk melalui dan mempertahankan hubungan heteroseksual yang sebetulnya didambakannya. Secara terus terang ia menyatakan dorongan homoseksualnya menyebabkan ia merasa tidak disukai, cemas, dan sedih. Konflik psikis tersebut menyebabkan perasaan bersalah, kesepian , malu, cemas, dan depresi. Karenanya, homoseks semacam ini dianggap sebagai gangguan psikoseksual. 31 5. Pengakuan Diri Troiden (dalam Siahaan 2009:51-52), menggambarkan tiga tahapan proses pengakuan menjadi homoseks, sebagai berikut: a. Sensitization, tahapan ini seseorang menyadari bahwa dia berbeda dari laki-laki lain. b. Dissaciation dan Signification, tahapan ini menggambarkan terpisahnya perasaan seksual seseorang dan menyadari orientasi dan perilaku seksualnya. Di sinilah seseorang mendapat pengalaman hiburan seksualnya dari laki-laki, tetapi mungkin gagal menunjukkan perasaannya atau mencoba untuk mengingkarinya. c. Coming Out (pengakuan), tahap ini merupakan tahap di mana homoseksualitas diambil sebagai jalan hidup. Tahap ini mungkin dapat diartikan bahwa telah terjadi kombinasi antara seksualitas dan emosi, dan mempunyai hubungan dengan pasangan tetap. 6. Bentuk Seksual Perilaku seksual pada umumnya, semua tipe kontak langsung genital didapati di kalangan mereka yang berperilaku homoseksual di Indonesia modern, pada gay, dikenal teknik mastrubasi mutual, fellatio (seks oral), koitus interfemoral dan “gesek-gesek” (frottage), serta koitus genito-anal (semburit). Secara umum didapatkan kesan bahwa orang Indonesia lebih berinhibisi dalam melakukan hubungan seksual apabila dibandingkan dengan orang Barat, misalnya. Kontak linguo anal (analingus), penestrasi anus dengan kepalan tinju (first fucking) dan 32 hubungan seks seperti sado-masokisme atau hubungan dengan ikatan dan displin (bondage and discipline) serta kebiasaan-kebiasaan eksotik yang melibatkan urine atau feaces tampaknya tidak umum di Indonesia sebagaimana dalam peradaban gay modern Barat (Oetomo, 2003:45). Dalam terminologi Islam, homoseks disebut “liwath” atau “luthiyah” artinya laki-laki yang mencampuri laki-laki pada duburnya (liang anus). Homoseks disebut liwath karena dihubungkan dengan kaum luth yang secara terang-terangan melakukan perbuatan keji itu (mujtabah dan ridlwan, 2010:146). 7. Akibat Homoseks Menurut Utsman Ath-Thawill (Machmunah, 2007: 39), akibat homo seks sebagai berikut: a. Praktek anal seks atau liwath (sodomi) sampai saat ini masih merupakan penyebab utama penularan HIV, virus penyebab AIDS. b. Perbuatan tersebut dapat melumpuhkan dan memusnahkan sperma sehingga mengakibatkan kemandulan. c. Penggemar anal seks atau liwath (sodomi) sangat rentan terhadap serangan berbagai jenis penyakit jiwa, syaraf serta keseimbangan otak, akibat kekurangan zat-zat yang dikeluarkan oleh kelenjar thyroid. d. Anal seks atau liwath (sodomi) dapat melemahkan pusat produksi sperma dan berpengaruh terhadap pembentukan cairan mani, sehingga akan berakhir dengan kemandulan dan tidak mampu untuk melahirkan keturunan. 33 8. Perbedaan antara Gay, Waria, dan Laki-Laki Seks Laki-Laki. a. Seperti yang sudah dipaparkan di atas gay termasuk bagian dari orientasi seksual yaitu Homoseksual. Penampilan gay secara fisik sama dengan pria, secara psikologis dia mengidentifikasi dirinya sebagai pria. Dapat juga terjadi penyeberangan terhadap identitas waria. Maksudnya, ada kaum homoseks (gay) yang kadang-kadang berdandan sebagaimana waria, bahkan untuk waktu yang agak lama disebut juga gay dendong. Dan ada juga istilah sisy (Purnamasari, 2013: 13), merupakan istilah untuk menyebutkan homoseksual yang perilakunya seperti perempuan. Istilah sisy juga sering disebut dengan istilah ngondek. b. Waria secara fisik ingin mengidentifikasi dirinya sebagai wanita, dan secara psikologis dia mengidentifikasi dirinya sebagai wanita. Para waria secara biologis adalah pria dengan organ reproduksi pria atau bisa disebut transgender. Memang ada beberapa waria yang kemudian berganti kelamin melalui operasi disebut juga sebagai transeksual. Tetapi organ reproduksi yang “baru” itu tidak bisa berfungsi sebagai organ reproduksi wanita. Misalnya dia tidak haid dan tidak bisa hamil karena tidak punya sel telur dan rahim. Dalam Islam dikenal dua hal berkaitan dengan fenomena waria (Choiriyah, 2011:12). Pertama, adalah istilah khuntsa dan kedua adalah takhanus. Keduanya meski mirip-mirip tapi berbeda secara mendasar. Khuntsa ialah seseorang yang jenis kelaminnya diragukan, 34 lelaki atau perempuan. Sebab, mereka memiliki alat kelamin lelaki dan perempuan secara bersamaan, atau tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik kelamin laki-laki ataupun kelamin perempuan. Muhammad Makhlif dalam ensiklopedia Islam membagi khunsa menjadi dua golongan yaitu: pertama, khunsa musykil mempunyai kelamin ganda dan berfungsi semuanya. Kedua, khunsa ghairu musykil mempunyai dua kelamin ganda hanya salah satu kelamin yang berfungsi. Adapun takhanus, yaitu orang yang berlagak atau berpurapura jadi khuntsa, padahal dari segi fisik dia punya organ kelamin yang jelas. Sehingga sama sekali tidak ada masalah dalam statusnya apakah laki-laki atau wanita. Dalam syarah Shahih Bhukari takhanus ini dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, mukhanas yang sejak lahir memang diciptakan seperti perempuan (berperilaku seperti perempuan, secara rohani seperti perempuan) sebagai bentuk kelainan yang diderita sejak kecil. Kedua, mukhanas yang berperilaku sebagian perempuan namun karena sengaja, karena kebutuhan hidup, atau karena terpaksa (dengan sengaja). c. Terminologi men who sex with men atau MSM (Demartoto, 28-29) dimaksudkan untuk menjelaskan semua laki-laki yang berhubungan dengan laki-laki, tanpa memandang identitas seksual mereka. Ini digunakan karena hanya sejumlah kecil dari laki-laki terlibat dalam perilaku seks sesama jenis yang didefinisikan sebagai gay, biseksual atau homoseksual tetapi 35 lebih tepat mengidentifikasi diri menggunakan identitas dan perilaku lokal sosial dan seksual. Mereka tidak menganggap hubungan seksual mereka dengan laki-laki lain dalam terminologi identitas atau orientasi seksual. Banyak yang berhubungan seks dengan laki-laki mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual bukannya homoseksual atau biseksual, terutama bila mereka juga berhubungan seks dengan perempuan, menikah, hanya memainkan peran sebagai pihak yang penetratif dalam anal seks, dan/atau berhubungan seks laki-laki demi uang atau kesenangan. Laki-laki seks laki-laki (LSL) termasuk kategori dari laki-laki yang dapat dibedakan menurut pengaruh dari variabel seperti: 1) Identitas seksual mereka, tanpa memandang perilaku seksual (gay, homoseksual, heteroseksual, biseksual, dan transgender, atau persamaannya, dan identitas lainnya); 2) Penerimaan dan keterbukaan mereka akan identitas seksual mereka yang bukan mainstream (terbuka atau tertutup); 3) Partner seksual mereka (laki-laki, perempuan, dan/atau trangender); 4) Alasan mereka memilih pasangan seksual tersebut (alami, pemaksaan atau tekanan, motivasi komersial, kesenangan atau rekreasi, dan/atau karena keberadaan di lingkunngan yang semuanya laki-laki); 5) Peran mereka dalam praktik khusus (penetratif, resepatif, atau keduanya); 36 6) Identitas terkait gender mereka, peranan dan perilaku (laki-laki atau perempuan, maskulin atau feminim/effeminate, berseberangan pakaian (cross-dressing) atau berpakaian sesuai gender). Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki menjadi terminologi yang terpopuler dalam konteks HIV dan AIDS dimana ia digunakan karena menggambarkan perilaku yang menempatkan mereka dalam resiko terinfeksi. Telah menjadi perdebatan bahwa terminologi tersebut terlalu terfokus pada perilaku seksual dan tidak mencukupi pada aspek yang lain seperti emosi, hubungan, dan identitas seksual diantara mereka yang juga merupakan determinan dari infeksi. Beberapa organisasi dan individu lebih suka memakai terminologi laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki, karena ia menunjukkan kelompok yang lebih luas dari sejumlah individu yang berhubungan seks dengan pasangan lain dari kelamin yang sama. C. Seksualitas dalam Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia 1. Seksualitas dalam Hukum Islam Pandangan Islam terhadap seksual bertitik tolak dari pengetahuan tentang fitrah manusia dan usaha pemenuhan seksualnya agar setiap individu dalam masyarakat tidak melampaui batas-batas fitrahnya. Ia harus berjalan dengan cara normal seperti yang telah digariskan Islam. Firman Allah SWT dalam Al Qur’an: 37 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. ArRhuum: 21). Islam menghendaki hubungan seks yang normal melalui pernikahan dengan niat mencurahkan semua waktunya untuk ibadah kepada Allah SWT. Untuk mengatasi kerusakan jiwa dan mengarahkan agar berahlak mulia, islam menghendaki fitrah manusia berjalan sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Hanya agama Islam yang tidak menyetujui pandangan bahwa mengekang naluriah seksual yang alami tidak dapat dikaitkan dengan tingginya derajat dan nilai kemuliaan seseorang. Pandangan tersebut bertentangan dengan seluruh konsep moral dan spiritual yang ditanamkan oleh Islam. Naluri alamiah, bahkan kecakapan mental atau kegagalan fisik sekalipun, adalah karunia Allah SWT. Kegiatan seksual yang berlebihan akan menghalangi aktivitas intelektual. Untuk mencapai daya intelektual yang penuh, perlu adanya perkembangan kelenjar yang baik serta pengendalian nafsu syahwat yang berdaya guna (Rahman, 1996: 215). Mempertimbangkan fakta bahwa dorongan birahi merupakan salah satu nafsu yang sangat sulit ditahan, maka, jika tidak ada jalan yang 38 akurat dan halal, yang akan terjadi adalah kerusakan moral dan penyimpangan perilaku seksual. Ajaran Islam memperlihatkan jalan yang praktis untuk menghadapi hawa nafsu, untuk menjauhkan diri dari kekuatan-kekuatan yang datang dari luar yang mendorong gairah birahi, dan untuk memanfaatkan kemampuan jiwa dan raga dengan cara yang positif yang sesuai dengan kehidupan manusia (Bahesyti dan Bahomar, 2003: 364). Tinjauan Islam tentang seksual dalam penulisan ini ialah perilaku manusia secara benar yang diridhai Allah SWT sesuai dengan fitrahnya, hidup harmonis dan dapat memenuhi tuntutan kehidupan secara normal tanpa mengabaikan kebutuhan lainnya. Adapun hubungan seksual terbagi atas dua jenis hubungan, yaitu: a. Hubungan seksual yang dihalalkan. Pada prinsipnya dalam Islam ada dua tujuan pokok dari lembaga perkawinan. Pertama, mendapatkan ketentraman hati, terhindar dari kegelisahan, dan kebimbangan yang tidak berujung pangkal. Kedua, melahirkan keturunan anak yang saleh/salihah, Allah SWT berfirman : 39 “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kami” (QS. An Nisaa: 1). “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucucucu, dan memberiku rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 72). Allah SWT memberikan kebebasan seksual sebebasbebasnya sesuai dengan firman-Nya : “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman” (QS. Al Baqarah: 223). 40 Dalil di atas menunjukkan, bahwa seksual adalah fitrah manusia yang harus disalurkan melalui nikah. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah. Nikah (kawin) menurut arti istilah ialah hubungan seksual tetapi arti majazi (methaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) nikah yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita. Menurut Imam Syafi’i, pengertian nikah adalah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazih artinya hubungan seksual. Mahmud Yunus mengartikan nikah sebagai hubungan seksual. Sedangkan Hazairin mengatakan bahwa inti perkawinan itu adalah hubungan seksual, menurut beliau tidak ada nikah (perkawinan) apabila tidak ada hubungan seksual. Selanjutnya, Ibrahim Hosen mengartikan nikah sebagai aqad dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita (Ramulyo, 2002: 1-3). Dari berbagai pengertian di atas, nikah lebih berkonotasi pada hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa hubungan seks yang halal dalam perspektif Islam adalah hubungan seks yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan melalui pernikahan. b. Hubungan seksual yang terlarang Hubungan seksual yang terlarang maksudnya ialah hubungan suami istri pada waktu-waktu tertentu seperti sedang haid, nifas dan 41 melakukan hubungan seksual kepada wanita lain selain istrinya yang sah. Berikut ini dalil hubungan seks yang terlarang: 1) Hubungan seksual ketika istri dalam keadaan haid atau nifas, Allah SWT berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ‘haid itu adalah kotoran’. Oleh sebab itu hendaklah kau menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al Baqarah: 222). 2) Homoseksual Dalam Islam, homoseksual disebut liwath atau “amal qaumi luthin”. istilah tersebut timbul karena perbuatan seperti itu pertama kali dilakukan oleh umat Nabi Luth yang hidup sezaman dengan Nabi Luth (Yatimin, 2003: 33). Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dengan firman-Nya: 42 “Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?. Sesungguhnya kamu mendatangi laki-laki untuk melepas nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas” (QS. An-Naml: 5455). 3) Hubungan seksual dengan cara zina Menurut Ahsin W. Al-Hafidz, (2005: 319-320), zina adalah terjadinya hubungan seks (memasukkan zakar atau kelamin laki-laki ke dalam farji minimal batas qulfah atau kepala zakar) laki-laki dan perempuan tanpa ada ikatan perkawinan yang sah. Dalam Islam, zina dikategorikan sebagai perbuatan keji dan merusak keturunan. Zina ada dua macam, yaitu zina gairu muhsan ialah zina yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan merdeka (bukan hamba sahaya) yang belum menikah atau belum berkeluarga. Hukuman bagi pelaku zina ghairu muhsan adalah didera (cambuk) sebanyak 100 kali dan dibuang ke luar daerah selama satu tahun bagi mereka yang merdeka, dan separuhnya bagi hamba sahaya. Sedangkan zina muhsan, yaitu zina yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang sudah pernah menikah atau dalam keadaan masih mempunyai ikatan pernikahan dan merdeka. Hukuman terhadap zina muhsan adalah rajam. Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an, surah Al-Israa’ ayat 32: “Dan 43 janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. 4) Onani dan Mastrubasi Onani menurut bahasa adalah mengeluarkan mani tidak dengan sewajarnya. Sedangkan kata mastrubasi berasal dari bahasa latin yang artinya mengotori diri dengan tangannya. (Akhmad Azhar Abu Miqdad, 2000: 83). Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum onani. Pengikut mazhab Syafi’i dan mazhab Maliki mengharamkan secara mutlak, dengan menyandarkan pada surah Al-Mu’minun ayat 5-7, sebagai dalil atas haramnya onani tersebut. (Akhmad Azhar Abu Miqdad, 2000: 83). Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Mu’minuun: 5-7). Pengikut imam Hanifah berpendapat bahwa onani adalah haram dalam suatu keadaan dan wajib dalam keadaan yang lain. 44 Pengikut mazhab Hambali mengatakan bahwa onani hukumnya haram kecuali jika takut akan berzina atau takut akan merusak kesehatan sedang ia tidak punya istri dan tidak mampu untuk melangsungkan pernikahan (Akhmad Azhar Abu Miqdad, 2000: 83). 2. Seksualitas dalam Perundang-undangan di Indonesia Perundang-undangan merupakan produk hukum dalam suatu negara selalu dirumuskan dengan semangat untuk memberikan keadilan bagi semua pihak. Hukum sebagai salah satu aspek dalam kehidupan sosial bertumbuh dan berkembang dalam tata aturan, norma dan kaidah-kaidah sosial yang melingkupinya. Produk hukum merupakan refleksi dari daya tarik menarik antara pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan kepentingan, baik yang berkaitan dengan kepentingan ideologis, politis, ekonomi, ras, maupun gender. Hal ini dapat dimengerti karena produk hukum merupakan alat legitimasi dan produk politik (Kodir dan Mukarnawati, 2013: 99). Seksualitas bukanlah bawaan atau kodrat, melainkan produk dari negosiasi, pergumulan, dan perjuangan manusia. Seksualitas merupakan ruang kebudayaan manusia untuk mengekspresikan dirinya terhadap orang lain dalam arti yang sangat kompleks, menyangkut identitas diri (self identity), tindakan seks (sex action), perilaku seksual (sexual behavior), dan orientasi seksual (sexual orientation) (Mulia dkk, 2011: 18). 45 Kontruksi seksualitas dalam perundang-undangan di Indonesia tertuang dan diatur dalam UUD 1945, Burgelijik Wetbook/KUHPerdata, KUHP, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi umat Islam di Indonesia, dan undang-undang lainnya. Di dalam UUD 1945 pasal 28 B UUD 1945 disebutkan bahwa: “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Dalam pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu. Dalam bab I pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan tersebut mengandung arti bahwa landasan perkawinan adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut aturan agama dan kepercayaan masing-masing. Sedangkan segi formalnya perkawinan itu harus dicatatkan pada kantor pencatatan sipil dan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan agama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Dalam KHI mendefinisikan perkawinan dalam pasal 2 sebagai berikut: “perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Adapun pasal 3 KHI menyebutkan 46 tujuan perkawinan sebagai berikut: “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warahmah”. Bahwa akad perkawinan adalah suatu perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalidhan). Dan salah satu tujuan berumah tangga adalah untuk menciptakan kehidupan yang penuh ketentraman dan bertabur kasih sayang setiap anggota yang ada di dalamnya atau keluarga sakinah, mawadah, wa rahmah. Negara menganut asas monogami/seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri diatur dalam pasal 3 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 27 KUHPerdata. Dan bila ingin menikah lebih dari satu maka harus memenuhi syarat yang diatur dalam pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974. Dan untuk KHI sendiri diatur dalam pasal 55-59 KHI. Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya. Dalam peraturan perundangan yang berlaku, ketentuan masih di bawah umur tersebut menurut KUHPerdata pasal 330 yang termasuk golongan di bawah umur (belum dewasa) adalah setiap orang yang belum genap berumur 21 tahun atau belum pernah kawin sebelumnya. Namun, dalam pasal 29 KUHPerdata seseorang laki-laki dianggap pantas melakukan perkawinan bila berumur 18 tahun dan perempuan berumur 15 tahun. Menurut UU No. 1 tahun 1974 pasal 7 ayat 1 bahwa perkawinan dapat diizinkan apabila laki-laki berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun. Dan dalam pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus 47 mendapat izin kedua orang tua. Untuk perkawinan yang dilarang dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur dalam pasal 8, di dalam KUHPerdata diatur pada pasal 30 dan 31, sedang di KHI diatur pada pasal 39-44. Secara garis besar kontruksi seksualitas pada perundang-undangan di Indonesia mempunyai prinsip-prinsip perkawinan: Pertama, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Kedua, sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Ketiga, pencatatan perkawinan. Keempat, asas monogami. Kelima, batas usia perkawinan. Keenam, mempersulit terjadinya perceraian. Kedelapan, hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang. Sedang dalam pasal-pasal KUHP berkaitan dengan kejahatan terhadap kesusilaan. Pasal 281 sampai dengan 303 KUHP mengatur tentang pidana bagi mereka yang melanggar kesusilaan; menyebarkan pornografi dan melanggar kesusilaan terhadap anak bawah umur; zina; perkosaan (di luar perkawinan); perkosaan dengan korban yang pingsan (di luar perkawinan); perkosaan dengan anak bawah umur (di luar perkawinan); perkawinan dengan anak bawah umur (di dalam perkawinan); perbuatan cabul; perbuatan cabul dengan anak bawah umur; perbuatan cabul dengan orang yang pingsan; perbuatan cabul sejenis; perbuatan cabul dengan rayuan atau iming-iming; perbuatan cabul dengan anak kandung, anak tiri, anak asuh yang belum cukup umur; pengguguran 48 kandungan; membuat seseorang dan anak mabuk; perdagangan anak kandung dan anak asuh; perjudian. 49 BAB III FENOMENA KOMUNITAS GAY DI KOTA SALATIGA A. Gambaran Umum Kota Salatiga 1. Letak Geografis Kota Salatiga Kota Salatiga adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah. Kota ini berbatasan sepenuhnya dengan Kabupaten Semarang. Salatiga terletak 49 km sebelah selatan Kota Semarang atau 52 km sebelah utara Kota Surakarta, dan berada di jalan negara yang menghubungan SemarangSurakarta. Luas wilayah kota Salatiga adalah 61.792 km2, terdiri atas 4 kecamatan, yakni Argomulyo, Tingkir, Sidomukti, dan Sidorejo.. Serta terdapat 22 kelurahan yang terbagi di empat kecamatan tersebut. Adapun pembagian wilayah adsministrasi perkelurahan: a. Kecamatan Sidomukti: Kecandran, Dukuh, Mangunsari, dan Kalicacing. b. Kecamatan Argomulyo: Noborejo, Ledok, Tegalrejo, Kumpulrejo, Randu Acir, dan Cebongan. c. Kecamatan Tingkir: Kutowinangun, Gendongan, Sidorejo Kidul, Kalibening, Tingkir Lor, dan tingkir Tengah. d. Kecamatan Sidorejo: Blotongan, Sidorejo Lor, Salatiga, Kauman kidul, Bugel, Pulutan. 50 Letak astronomi kota Salatiga terletak antara: 1100.27'.56,81"1100.32'.4,64" BT dan 007.17'.-007.17'.23" LS Salatiga terletak di ketinggian 450-825 mdpl, dan terletak di lereng timur Gunung Merbabu yang membuat daerah Salatiga menjadi lebih sejuk. Pemandangan Gunung Merbabu, Gunung Ungaran, Gunung Telomoyo, dan Rawa Pening yang indah membuat Salatiga menjadi daerah yang indah dan spektakuler. Seluruh Wilayah Salatiga dibatasi oleh Kabupaten Semarang, antara lain di bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Tuntang dan Kecamatan Pabelan, di bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Tengaran, di bagian barat berbatasan dengan Kecamatan Tuntang dan Kecamatan Getasan, di bagian timur berbatasan dengan Kecamatan Tengaran dan Kecamatan Pabelan. Adapaun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut: a. Sebelah Utara: 1) Kecamatan Pabelan : Desa Pabelan, Desa Pejaten 2) Kecamatan Tuntang : Desa Kesongo, Desa Watu Agung b. SebelahTimur: 1) Kecamatan Pabelan : Desa Ujung-ujung, Desa Sukoharjo, Desa Glawan. 2) Kecamatan Tengaran : Desa Bener, Desa Tegalwaton, Desa Nyamat. c. Sebelah Selatan: 51 1) Kecamatan Getasan : Desa Sumogawe, Desa Sa-mirono, Desa Jetak. 2) Kecamatan Tengaran : Desa Patemon, Desa Karang Duren. d. Sebelah Barat: 1) Kecamatan Tuntang : Desa Candirejo, Desa Jombor, Desa Sraten, Desa Gedangan. 2) Kecamatan Getasan : Desa Polobogo. Relief kota Salatiga terdiri dari 3 bagian : Daerah Bergelombang ± 65 %, terdiri dari Kelurahan Dukuh, Ledok, Kutowinangun, Salatiga dan Sidorejo Lor kemudian Kelurahan Bugel, Kumpulrejo dan Kauman Kidul. Daerah Miring ± 25 %, terdiri dari Kelurahan Tegalrejo, Mangunsari dan Sidorejo Lor dan Kelurahan Sidorejo Kidul, Tingkir Lor, Pulutan, Kecandran, Randuacir, Tingkir Tengah dan Cebongan. Daerah Datar ± 10 %, terdiri dari Kelurahan Kalicacing dan Keluarahan Noborejo, Kalibening dan Blotongan. 2. Data Kependudukan dan Pencatatan Sipil Mengenai jumlah penduduk kota Salatiga adalah 192.291 orang di Tahun 2013. Banyaknya jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dengan jumlah laki-laki mencapai 95.369 orang sedangkan untuk perempuan mencapai 96.922 orang. Banyaknya kelahiran di Salatiga berjumlah 2.025 orang dengan ketentuan anak laki-laki mencapai 1.050 orang dan untuk perempuan mencapai 975 orang, sedangkan untuk banyaknya kematian di Salatiga berjumlah 854 orang dengan ketentuan 52 untuk laki-laki mencapai 463orang dan untuk perempuan mencapai 391. Banyaknya mutasi pendatang dan mutasi pergi di kota Salatiga adalah 3.514 orang dengan ketentuan 2.121 orang laki-laki dan 2.464 orang perempuan untuk mutasi datang, sedangkan untuk mutasi pergi ada 1.656 orang laki-laki dan 1.858 orang perempuan. Penduduk usia di atas 18 tahun yang bekerja menurut mata pencaharian seluruh kecamatan adalah 2.736 petani sendiri, 1.273 buruh tani, 7 nelayan, 16.538 pengusaha/wiraswasta, 18.684 buruh industri, 4.410 pedagang, 0 buruh bangunan/lepas, 0 pengangkutan, 5.021 pegawai negeri, 4.288 pensiunan, 86.110 lain-lain. 3. Pendidikan dan Keagamaan Jumlah sekolah yang ada di Kota Salatiga adalah 249 sekolah termasuk Perguruan Tinggi yang terdiri dari Taman Kanak-kanak 76 sekolah, Sekolah Dasar 95 sekolah (81 Sekolah Negeri dan 14 Swasta), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 23 sekolah, Sekolah Menegah Atas 8 sekolah, Sekolah Menengah Kejuruan (3 Sekolah Negeri dan 16 Sekolah Swasta), 8 Perguruan tinggi, 13 Madrasah Ibtidaiyyah, 5 Madrasah Tsanawiyyah, dan 2 Madrasah Aliyah. Banyaknya pemeluk agama di Kota Salatiga adalah 190.894 orang yang terdiri dari 149.125 orang yang beragama Islam, 24.192 orang yang beragama Kristen, 16.541 orang yang beragama Khatolik, 688 orang yang beragama Budha, 321 orang yang beragama Hindu, dan 27 orang yang beragama Kong Hu Cu/lainnya. 53 B. Fenomena Komunitas Gay di Kota Salatiga Melihat keterbatasan penulis serta pendekatan penelitian yang digunakan penulis, maka subyek yang digunakan tidak keseluruhan homoseks atau gay yang ada di Salatiga, tetapi penulis mengambil 4 (empat) orang gay yakni subyek T, A, S, dan D. Penulis memilih ke semua subyek ini berdasarkan informan kunci di lapangan. Subyek T adalah alumni dari salah satu perguruan tinggi di Salatiga yang dulu juga masuk dalam LSM Gessang Solo kependekan dari Gerakan Sosial, Advokasi, dan HAM yang bergerak bukan hanya dimaksudkan untuk menampung kaum gay tetapi juga sebagai upaya antisipasi penyebaran virus HIV/AIDS bagi yang tergabung di dalamnya. Subyek A adalah teman dari T, dimana subyek A adalah salah satu pendiri dan senior dari komunitas GATSA dan dulu juga ikut dalam LSM LPASKA Salatiga yang bergerak dalam penanganan penyebaran virus HIV AIDS. Subyek D adalah teman dari A. Sedangkan subyek S adalah teman dari penulis. 1. Komunitas Gay di Salatiga Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagai lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa latin Communitas yang berarti “kesamaan”, kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti “sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak” (Wenger, 2002: 4). 54 Gay pun bisa membentuk suatu komunitas, fenomena gay yang terlihat di kota Salatiga telah menjadi sebuah komunitas yang bernama “GATSA” kependekan dari “Gay Transgender Salatiga”. Komunitas ini di kota Salatiga baru dibentuk tahun 2013, yang bergabung tidak hanya gay ataupun transgender dari kota Salatiga saja tapi juga di sekitar wilayah luar kota Salatiga. Akan tetapi, komunitas tersebut masih belum memiliki struktur anggota yang jelas. Dalam usaha untuk merangkul pihak-pihak yang memiliki orientasi seksual yang sama, GATSA tidak menggunakan cara ataupun syarat merekrut seseorang untuk menjadi bagian dari komunitas. Bagi siapapun seorang laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks dengan laki-laki meskipun hanya satu kali atau dalam komunitas gay disini diistilahkan dengan MSM “man who have sex with man”. Tapi ada satu sistem yang digunakan T dan A pada saat T dan A tergabung dalam suatu LSM, dalam mencari mereka yang termasuk bagian LSL “laki-laki seks laki-laki” dan waria yaitu dengan sistem “snowball”. Model pencarian dengan sistem ini adalah mencarinya dengan cara model pertemanan yang berantai dari satu teman ke teman yang lain sesama LSL dan waria. Contohnya T atau A mempunyai teman X yang juga gay, dari X dikenalkan dengan P, kemudian dari P berkenalan dengan teman lainnya dan seterusnya ke teman yang memiliki orientasi seksual yang sama. T/A X P Gambar 3.1 Pola Sistem Snow Ball 55 dan seterusnya Contoh dari gambar 3.1 merupakan system snowball dengan pola berantai yang mana dengan pola ini subyek T/A dapat menjaring semua orang yang termasuk dari bagian laki-laki seks laki-laki dengan model pertemanan. Kadang pula sistem ini berputar-putar pada orang yang sama yang biasa mereka sebut dengan lingkaran setan, karena kadang pula teman selanjutnya mengenalkan teman yang sudah dikenal T dan A atau kembali orang yang sama tapi dengan nama yang lain/nama inisial saat di komunitas. Model Snowball dalam pola lingkaran setan dapat digambarkan seperti gambar 3.2: P X/U (dengan nama inisial) R dan seterusnya T/A E/C (dengan nama inisial) W G dan seterusnya Gambar 3.2 Pola Snow Ball dalam Pola Lingkaran Setan Tidak diketahui secara pasti jumlah anggota GATSA karena belum adanya pendataan anggota secara pasti, kurang keaktifannya sejumlah anggota GATSA karena kesibukan masing-masing, dan anggotanya yang sering berpindah-pindah tempat tidak hanya di daerah Salatiga saja tapi juga di daerah sekitar wilayah luar kota Salatiga. Data dari KPA Salatiga sendiri dalam pemetaan PONCI adalah sebagai berikut: Tabel 3.1 Data Pemetaan Populasi Kunci (PONCI) Tahun 2014 Pelaku WPSTL Tempat lokasi Sarirejo Jumlah 220 56 MSM PP SAN-SAN dan Bugar Jati 9 Monalisa 20 ZHENSO 15 Jetis 10 Iwan Salon 8 L. PANCASILA 20 Sarirejo HRM 100 OP. 400 Tamu PP. SAN-SAN dan Bugar Jati 15 Monalisa 150 Zhenso 80 Kec. Sidorejo 81 Kec. Sidomukti 42 Kec. Tingkir 10 Kec. Argomulyo 87 Pamour 6 Jetis 12 PENASUN Waria Data diambil dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Salatiga PONCI (Populasi Kunci) adalah sebuah Organisasi Masyarakat Sipil yang berbentuk jaringan dan wilayah kerjanya mencakup seluruh wilayah Indonesia. Populasi Kunci adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebutkan kelompok yang selama ini paling terdampak oleh epidemi AIDS dan meliputi kelompok: ODHA, Pengguna Narkotika Suntik, LGBTIQ dan Pekerja Seks. Dari data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Salatiga pada tabel 3.1 jumlah MSM adalah 38 orang dan Waria adalah 18 orang. Dari pihak Komisi Penanggulangan AIDS sendiri 57 mendukung dengan adanya komunitas GATSA tersebut karena dengan keberadaan komunitas tersebut pembinaan dan penanganan penyebaran virus HIV AIDS lebih gampang dibandingkan dengan yang tidak ikut komunitas. Namun, data pada tabel 3.1 masih terbilang kurang karena mengingat banyaknya kaum gay dari berbagai kalangan masyarakat yang tertutup akan orientasi seksualnya dan takut serta malu kalau nanti ketahuan oleh banyak orang. Dan mereka pula enggan atau tidak mau ikut dalam komunitas tersebut. Hal ini diperjelas oleh penuturan T (28) wawancara tanggal 15 April 2014 bahwa kaum gay ada di berbagai kalangan masyarakat: “Kalau jamanku dulu saat masih kuliah, di Salatiga yang saya tahu hampir 200 gay. sekitar 60% diantaranya berasal dari kalangan mahasiswa itupun di bagi-bagi lagi menurut kelompoknya sendiri. Mahasiswa gay yang maskulin sendiri, yang ngondek sendiri, dan yang kutu bukupun sendiri pula. Dan sisanya 40% dari masyarakat umum yang terdiri dari berbagai lembaga dan instansi pemerintahan, pekerja, buruh sopir, becak dan lain-lain.” Bahkan santri pondok pesantren pun tak luput dari penyimpangan seksual ini, berikut penuturan dari A (40) wawancara tanggal 16 April 2014: “Kalau itu sih kebanyakan anak-anak mahasiswa juga ,sama biasanya sih rata-rata anak pondok malahan. Aku punya teman dari pondok punya pengalaman kayak gitu....Rata-rata anak-anak pondok meskipun sekali melakukan itu sudah termasuk bagian LSL.” Sedangkan penuturan dari S (25) wawancara pada tanggal 25 Februari 2015: “aku dah kenal hampir 40 orang, tapi 20 yang sudah bertemu langsung selebihnya cuma lewat sosial media. Mereka dari 58 berbagai kalangan, mulai dari SMA, mahasiswa, wirausaha, pegawai negeri dan swasta, juga tokoh agama.” Oleh karena itu, setiap tahun jumlah MSM atau LSL di Salatiga bertambah banyak. Melihat selama banyak kalangan masyarakat masih menutupi orientasi seksualnya dan banyaknya pendatang dari luar kota yang membawa culture dan kebiasaan yang berbeda termasuk halnya pengaruh orientasi seksual yang mereka bawa. Biasanya dalam sebuah komunitas memiliki sebuah arti khusus yang dijadikan sebagai sebuah identifikasi keanggotaan. Atau dengan kata lain memiliki sebuah interaksi nonverbal atau secara simbolik. Beberapa simbol tersebut antara lain kaos ketat berwarna merah, baju berwarna pelangi dan warna-warna mencolok seperti kuning cerah, pink, hijau cerah, biru cerah, dan lain-lain. Selain itu, ada juga cincin yang dipakai di kelingking kiri, anting di telinga kiri. Namun dewasa ini, lambang tersebut tidak lagi dipakai. Karena ada kemungkinan beberapa masyarakat yang memakai atribut demikian tidak termasuk anggota dari komunitas. Seseorang untuk mengetahui dan memahami seseorang itu adalah gay atau bukan hanya dapat menggunakan kepekaan naluri dalam berinteraksi. Jika interaksi yang dilakukan benar-benar intensif maka baru dapat mengetahui lebih dalam tentang status gay atau bukan. Berdasarkan wawancara dengan S (25) pada tanggal 25 Februari 2015, dia menuturkan: “Aku bisa tahu dari cara dia berpakaian, gaya berbicara, gaya berfoto, juga dari cara merenspon SMS/BBM/FB, biasanya agak intens, over, kadang-kadang to the point untuk berkata hal-hal yang berbau seks.” 59 Berbeda dengan penuturan T (28) pada tanggal 15 April 2014, berkenaan dengan ciri-ciri fisik seorang gay: “...dari segi fisik saya ga’ tahu, itu masalah hati. Seks itu bukan suatu yang harus ditonjolkan. Heteroseksual dan homoseksual itu sama, ga’ ada bedanya. Bedanya apa sih? Bedanya cuma yang diranjang, fisik bukan jadi acuan.” Untuk tempat komunitas ini berkumpul atau nongkrong, dalam bahasa gay nongkrong atau kumpul-kumpul disebut “Ngeber”. Tempat ngeber sebagai tempat pertemuan laki-laki gay tersebar meskipun relatif terselubung di berbagai tempat-tempat publik di seluruh Indonesia. Tempat ngeber sebagai salah satu titik utama dalam konstelasi dunia gay berfungsi tidak hanya untuk mencari pasangan hubungan seksual, tapi juga untuk bersosialisasi, membuka diri, dan mendapat penerimaan. Salatiga memiliki banyak tempat ngeber yang biasanya dijadikan tempat ngeber bagi kalangan gay, mereka sering berpindah-pindah tempat setiap kali ngeber seperti halnya tempat di Salatiga yang sering dijadikan tempat ngeber seperti alun-alun kota/Pancasila, Selasar Kartini, sepanjang jalan Sudirman, mal-mal, tempat karaoke, cafe-cafe khusus komunitas, rumah makan, dan tempat lainnya di Salatiga sesuai dengan perjanjian. Selain itu, meningkatnya penggunaan internet dan teknologi komunikasi, juga memiliki dampak yang sangat besar. Jika dulu untuk bertemu dengan “teman-teman sehati” lama ataupun baru orang-orang harus pergi ke lokasi tempat ngeber itu sendiri, sekarang janji pertemuan bisa dengan mudah dan secepat kilat dilakukan melalui internet yang makin mudah diakses siapapun dan bahkan melalui handphone. Tingkat 60 penggunaan Facebook, Twitter, dan Blackberry yang meningkat sangat pesat di Indonesia memungkinkan orang-orang untuk menggunakan blog, forum, Facebook, atau Twitter untuk mempublikasikan dan bertukar informasi. Memasuki tempat-tempat ngeber ini pun membawa resiko membuka diri dan diketahui relasi keluarga ataupun lingkungan kerja. Mal, kafe, karaoke menjadi alternatif ruang bertemu dengan janji yang dilakukan melalui komunikasi elektronik yang instan. Umumnya, orang-orang gay yang ingin bertemu dan berinteraksi seksual melakukan pertemuan secara online yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan offline, biasanya di tempat-tempat umum dan tempat lain-lain sesuai perjanjian. Interaksi ini bisa terjadi secara pribadi atau melibatkan komunitas dimana komunitas bisa berjanji untuk melakukan kopi darat (kopdar). Kapan dan di manapun kopdar ini dilakukan, bisa berganti-ganti sesuai perjanjian. Sedangkan, penampilan maupun pakaian laki-laki gay yang ngeber di komunitas GATSA tidak berbeda dari “laki-laki pada umumnya”. Kita tidak akan menyadari adanya perbedaan jika kita sekedar lewat. Tapi jika kita memperhatikan dengan lebih seksama, kita dapat melihat perilaku-perilaku yang sedikit ngondhek (kemayu), dan ekspresiekspresi afektif antar sesama laki-laki, mulai dari bergandengan tangan, berpelukan, hingga berciuman. Beberapa tampak cukup trendy dan mayoritas mengenakan pakaian laki-laki. Namun ada pula sebagian gay di komunitas tampak jelas mendandani wajahnya layaknya seorang cewek, 61 mereka hanya mendandani wajahnya jika berkumpul saat ngeber dengan sesama gay saja. 2. Faktor-faktor menjadi Seorang Gay Mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya homoseks atau gay sampai saat ini masih menjadi perdebatan para ahli. Hal ini dikarenakan faktor terjadinya homoseks sangat beragam, tidak mutlak dikarenakan oleh salah satu faktor. Sehingga kalau dipahami tidak ada faktor tunggal penyebab homoseks atau gay. Menurut Kartono (1989: 248) penyebab terjadinya homoseks atau gay adalah faktor biologis, pengaruh lingkungan yang tidak baik, pengalaman traumatis, dan adanya keinginan untuk mencari kepuasan relasi homoseks. Berikut penuturan dengan keempat subyek berkenaan dengan perihal faktor yang melatar belakangi kenapa mereka menjadi seorang gay: a. Wawancara dengan T (28) pada tanggal 15 April 2014: “Mungkin saya gay memang sejak lahir, kita tidak pernah menyebut seorang itu gay itu takdir. Siapa sih yang mau jadi seorang gay, cuma kami berusaha menjadi...oke!aku menjadi gay tidak masalah tapi bagaimana menjadi gay yang berarti dan bermanfaat disekitar aku itu sebagai kunci ke surga....”. b. Wawancara dengan A (40) pada 16 April 2014: “Klo itu sih dari dulu dari kecil, kan cuma dari dulu anak-anak belum menyadari kita itu seperti ini. Sampai istilahnya gini, sampai banyak teman-teman sudah punya keluarga tidak menyadari bisa sampai begini.” c. Wawancara dengan D (31) pada tanggal 21 April 2014: “Emmm, kayaknya sejak kecil deh. Heran aja waktu SD, gw kalau lihat cowok ganteng suka aja. Ya...namanya aja masih kecil 62 belum tahu apa itu suka atau cinta sama seseorang apalagi yang di sukai tuh cowok. Menurut gw, mungkin yaaa gw menjadi gay yaa itu sebuah takdir kali, takdir atau bukan gw ga’ peduli yang penting gw dah nyaman jadi begini (gay)....” d. Wawancara dengan S (25) pada tanggal 25 Februari 2015: “kurangnya perhatian saya masa saat masih kecil, sehingga tak ada bimbingan intensif dalam mengenali jati diri. Ditambah dengan faktor lingkungan, juga faktor media sosial. Faktor lingkungan dalam artian tempat dimana aku sering berinteraksi. Dalam hal ini adalah sekolah, banyak teman-teman yang seperti aku menjadi semakin terpengaruh dan tidak bisa mengontrol diri.” Dari hasil penelitian keempat subyek, tiga diantaranya faktor yang melatarbelakangi mengapa menjadi seorang gay adalah faktor biologis. Hanya satu subyek saja bisa menjadi seorang gay karena faktor lingkungan dan faktor media sosial. 3. Proses Coming Out pada Gay Pengertian coming out (Putri dan Zulkhaida, 2007: 3-4) adalah proses dari penemuan atau penerimaan diri sendiri dan pemberitahuan tentang orientasi lesbian atau gay seorang individu kepada orang lain. Sedangkan menurut Troiden (dalam Siahaan 2009: 51-52), Coming Out (pengakuan), tahap ini merupakan tahap di mana homoseksualitas diambil sebagai jalan hidup. Tahap ini mungkin dapat diartikan bahwa telah terjadi kombinasi antara seksualitas dan emosi, dan mempunyai hubungan dengan pasangan tetap. Tahapan-tahapan dalam Coming Out menurut Rothblum (dalam Putri dan Zulkhaida, 2007: 4): 63 a. Mengetahui: Seorang individu baru menyadari bahwa mereka berbeda dari heteroseksual. b. Penerimaan Diri: Tahap yang sangat sulit karena penilaian masyarakat dan ketakutan masyarakat terhadap homoseksual. Namun tahapan ini merupakan tantangan yang harus dijalani. c. Keterbukaan: Pengetahuan dan penerimaan seseorang untuk terbuka pada orang lain. d. Memberitahu pada Keluarga: Tahap ini merupakan keputusan yang sangat penting. Karena orang tua sulit menerima bahwa anaknya adalah sorang homoseks. e. Bergabung dalam Komunitas: Kebutuhan dasar seorang individu untuk data dimiliki, dan penguatan yang tidak didapat dari keluarga. Faktor-faktor yang mendasari terjadinya Coming Out menurut Coleman (dalam Putri dan Zulkhaida, 2007: 4): 1) Ingin berkembang menjadi individu yang berjiwa sehat dengan konsep diri positif. 2) Ingin mengubah mitos dan stereotype yang ada di masyarakat mengenai homoseksual. 3) Ingin memiliki rasa percaya diri yang baik. 4) Ingin dapat bersosialisasi dalam masyarakat tanpa memandang bahwa dirinya memiliki orientas seksual berbeda. 5) Ingin mengurangi gejala-gejala kecemasan. 64 Berikut hasil wawancara, berkenaan tahapan-tahapan coming Out para subyek penelitian: a. Wawancara dengan T (28) pada tanggal 15 April 2014: “Saat lahir saya biasa-biasa saja dan benar-benar jadi seorang gay dari SD. SMP udah masuk ke dunia malam dan udah jadi ‘kucing’ (gigolo). Selama dua tahun saya menjalani kehidupan yang demikian dan akhirnya saya mulai merasa resah dan berpikir, buat apa sih saya mencari uang dengan cara begitu? Meski waktu itu harga saya lagi tinggi, tapi saya memutuskan untuk meninggalkan dunia tersebut. SMP kelas tiga saya sudah memutuskan untuk tidak menjadi kucing lagi dan inilah untuk pertama kalinya saya jalan dengan cowok, meski pada waktu itu saya masih punya cewek. Menginjak bangku SMA, keberanian untuk masuk ke dalam komunitas gay secara besar-besaran baru muncul. Namun masyarakat dan orangtua saya belum tahu mengenai hal itu, karena saya masih harus menjaga imej. Apalagi, saat itu saya masih terlibat aktif dalam sie kerohanian di SMA....Baru tahun 2006 setelah lulus SMA, saya memberitahukan kepada orang tua akan orientasi seksual saya. Awalnya orang tua saat diberitahukan shock dan tidak setuju, selama beberapa hari keluarga cuma diam dan saya merasa asing berada di rumah. Namun, setelah itu kelurga berjalan normal kembali dan tidak mempermasalahkan orientasi seksual saya, mereka cuma mengingatkan saya selalu menjaga kesehatan. Dan di awal perkuliahan, saya memberanikan diri untuk terbuka untuk berani tampil dan menyatakan kepada masyarakat bahwa saya gay pada Januari 2007. “ b. Wawancara dengan A (40) pada 16 April 2014: “Klo itu sih dari dulu dari kecil, kan cuma dari dulu anak-anak belum menyadari kita itu seperti ini. Sampai istilahnya gini, sampai banyak teman-teman sudah punya keluarga tidak menyadari bisa sampai begini....Kemungkinan keluarga tahu, slama kita tertutup tidak terlalu open keluarga akan diam saja. Yang tahu saya begini (gay) cuma almarhum kakak saya....Sebelum ada komunitas pun saya sudah bertemu atau ngumpul-ngumpul dengan teman-teman sesama (gay), aku dimasukkan ke lembaga dengan mengurusi LSL itu dari komunitas. Orang kerja di komunitas itu lebih gampang masuk. Gampangnya gini, kita bukan bagian dari komunitas kita akan langsung di justice dari komunitas: ‘kamu cuma mau cari ini, kamu cuma...ya kayak gitu?’.....Intinya mereka (teman-teman 65 gay) lebih eksklusif (tertutup-tutup), soale memang aku sendiri pun dari komunitas mengalami hal seperti itu apalagi dari orang luar maksudnya seperti itu...sebenarnya bukan takut mas, piye yo? yo sisi lain mereka takut, di sisi lain mereka belum berani mengungkapkan jati diri mereka.” c. Wawancara dengan D (31) pada tanggal 21 April 2014: “Emmm, kayaknya sejak kecil deh. Heran aja waktu SD, gw kalau lihat cowok ganteng suka aja. Ya...namanya aja masih kecil belum tahu apa itu suka atau cinta sama seseorang apalagi yang di sukai tuh cowok. Menurut gw, mungkin yaaa gw menjadi gay yaa itu sebuah takdir kali, takdir atau bukan gw ga’ peduli yang penting gw dah nyaman jadi begini (gay)....Ya gw masih kalenganlah (tertutup) mas sama orang lain masih takut, kemungkinan orang tua gw dah tahu, soalnya gw kerjanya di salon. Kalau pagi gw nyalon malamnya kalau ada panggilan gw jadi kucing (gigolo) deh...komunitas bagi gw kayak hidup mati gw, soalnya enjoy aja kalau kumpul ama teman-teman sesama (gay) dan lebih terbuka aja sama teman-teman.” d. Wawancara dengan S (25) pada tanggal 25 Februari 2015: “Aku menyadari/merasa (gay) ketika awal SMA. Sejauh ini aku PD karena aku tidak membuat ulah dan tidak merugikan orang, serta aku tidak ada keinginan untuk heteroseks....Menjalani hidup sebagai gay terhadap keluarga saya lebih cenderung tertutup/pendiam, bersikap sewajarnya. Kepada teman pun saya bersikap sewajarnya (jika dengan teman yang belum akrab), tapi jika dengan yang sudah akrab lebih terbuka, bebas bercerita tanpa ada harus ditutup-tutupi. Jika dengan masyarakat hampir sama jawaban saya terhadap keluarga....Adanya komunitas gay di Salatiga saya tidak tahu dan tidak ingin tahu.” Dari keempat subyek diketahui bahwa ketiga subyek (T, A, dan D) mengetahui akan orientasi seksual (homoseks) mereka ketika mereka masih kecil sedangkan subyek S mengetahui orientasi seksualnya pada saat ia duduk di SMA dan juga keempat subyek mulai menerima orientasi seksual (homoseks) pada saat itu juga. Pada tahapan keterbukaan dengan orang lain hanya subyek T yang berani mengungkapkan/terbuka akan 66 orientasi seksualnya pada orang lain/masyarakat umum bahkan ia sudah memberitahukan juga kepada keluarganya. Sedangkan ketiga subyek lainnya belum berani untuk terbuka dengan orang lain bahkan dengan keluarganya hanya orang-orang terdekatnya/sesama komunitas saja yang diberitahukan. Dalam bahasa khas gay, seorang gay yang tertutup disebut “gay kalengan” sedangkan gay yang terbuka disebut “gay bobor”. Keempat subyek sudah merasa nyaman dan menerima akan orientasi seksual mereka sampai saat ini. Dari keempat subyek hanya subyek S yang tidak masuk dalam komunitas karena tidak mengetahui dan tidak ingin tahu akan komunitas gay tersebut. 4. Bentuk Perilaku Seksual pada Gay Berdasarkan penelitian penelitian di lapangan dalam kehidupan komunitas homoseksual atau gay ditemukan beberapa istilah dalam kehidupan homoseksual. Istilah tersebut berdasarkan kegiatan seks yang dilakukan oleh pelaku homoseksual. Beberapa istilah tersebut, antara lain: gay bottom, gay top, gay vers, dan gay kucing. Gay bottom, merupakan istilah untuk menyebutkan seorang homoseksual yang orientasi seksualnya sebagai penerima atau objek. Gay top merupakan istilah untuk menyebutkan seorang homoseksual yang orientasi seksualnya sebagai pemberi. Gay vers merupakan homoseksual yang bisa menjadi gay bottom dan gay top, bergantung dari pasangan homoseksualnya. Gay kucing merupakan sebutan untuk homoseksual yang melakukan hubungan seksual hanya untuk mendapatkan imbalan. Istilah lain adalah pelacur laki-laki. 67 Dari hasil wawancara dengan keempat subjek narasumber didapatkan dua subjek T dan D berperilaku seksual sebagai gay vers, subjek A berperilaku seksual sebagai gay top. Sedangkan subjek S sendiri berperilaku seksual hanya sebatas kontak seksual (pegang-pegang dan ciuman). 5. Perkawinan Sejenis Masa dewasa awal merupakan masa pencapaian intimasi menjadi tugas utama. Individu dewasa awal menjalin interaksi sosial yang lebih luas, individu mampu melibatkan diri dalam hubungan bersama yang memungkinkan individu saling berbagi hidup dengan seorang mitra yang intim (Hall dan Lindzey, 1993: 153). Hubungan cinta tersebut terkait dengan tugas perkembangan masa dewasa awal untuk memilih pasangan guna menikah dengan pasangan yang dipilih individu (Havighurst dalam Hurlock, 2004: 10). Perkawinan adalah suatu hal yang sakral antara kedua dua insan manusia (laki-laki dan perempuan), dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, melangsungkan garis keturunannya serta sebagai suatu bentuk ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di indonesia sendiri masalah perkawinan diatur dalam UU No 1 Tahun 1974. Namun menjadi suatu hal yang tidak lazim ketika pernikahan itu terjadi antara sesama jenis yaitu wanita dengan wanita atau pria dengan pria. Pernikahan sesama jenis tentu menjadi hal yang kontroversial karena menikahi orang yang berjenis kelamin sama. Dalam hal ini penulis ingin mengetahui 68 pendapat keempat subyek berkenaan dengan seandainya ada UU perkawinan sesama jenis di Indonesias serta pemilihan menikah mereka ketika akan menikah. Berikut hasil wawancara, berkenaan dengan keempat subjek memandang seandainya ada UU perkawinan sejenis di Indonesia: a. Wawancara dengan T (28) pada tanggal 15 April 2014: “Negara ini negara aneh, negara hukum yang megang negara HAM-nya terlalu tinggi banget, ya demokrasinya menjadi demokrasi yang salah. Kita sendiri juga tidak mau sih untuk menjadikan negara Indonesia menerima pernikahan sesama jenis...aku secara pribadi sih, ga setuju juga sih kalau ada pernikahan sesama jenis. Eee, gimana ya? Kalau dibilang kenapa aku gak suka soalnya itu juga berfikiran tentang agama juga sih. Kalau aku sih cinta ga’ harus dengan pernikahan. Kebahagian bukan hanya laki-laki dan perempuan saja dan kebahagiaan bukan berarti mempunyai anak saja....Yang aku pengen sih kebebasan di ruang publik, pembahasan di ruang publik ini maksudnya jangan mengotak-ngotakkan kami. Kalau kami fine kesehatan sudah, tapi dalam hal pendidikan bagaimana?, pekerjaan bagaimana?....Kalau pernikahan sesama jenis itu perjuangan 2 (dua) abad lagi, soalnya perjuangan yang terlalu muluk buat aku, kalau teman-teman di pusat memang memperjuangkan kesitu, cuma teman-teman daerah tidak sepakat dengan hal seperti itu...keinginan untuk menikah, aku kembalikan ke Tuhan, kalau Tuhan kasih jalan untuk menikah ya menikah. Sama laki-laki atau perempuan tergantung sama Tuhan.” b. Wawancara dengan A (40) pada 16 April 2014: “Aku ndak mau (pernikahan sesama jenis), alasannya ya memang aku ga’ mau aja...kalau nikah (dengan perempuan) sih ada pikiran pingin tapi kapan kan belum tahu.” c. Wawancara dengan D (31) pada tanggal 21 April 2014: “Kalau sekarang gw belum mikirin untuk menikah, ya nikahnya sama cowoklah. Kan dah dibilangin gw dah nyaman jadi gay. Ya ga’ tahu juga sih besoknya kayak gimana?....Soal kalau ada UU perkawinan sejenis, gw ga’ setuju aja soalnya kita aja masih belum diterima di masyarakat bahkan lihatnya aja dah jijik sama 69 kita serta kita takut jadi cibiran mereka, apalagi kalau ada UU itu. Entar aja kalau masyarakat dah terima kami, gw aja pro kontra pa lagi nanti nikah sesama jenis, ga’ setuju ajalah mas intinya.” d. Wawancara dengan S (25) pada tanggal 25 Februari 2015: “Belum memikirkan sejauh itu (tentang menikah), ingin fokus berkarir. Aku orang yang fleksibel, aku setuju-tuju saja jika ada UU tentang pelegalan hubungan seperti itu. Semua manusia berhak mendapatkan HAM tanpa syarat. Agar tidak ada lagi intimidasi terhadap kaum menyimpang. Jika hewan saja punya hak dilindungi, kenapa manusia tidak?” Dari keempat subyek belum ada keinginan ataupun berfikir untuk menikah dan untuk pelegalan perkawinan nikah sejenis ketiga subjek tidak setuju seandainya ada UU perkawinan sejenis, hanya satu subjek saja yang setuju seandainya ada UU tersebut. 6. Keberagamaan bagi Seorang Gay Masyarakat Salatiga juga merupakan masyarakat yang masih memegang nilai-nilai keagamaan sebagai basis moral dalam masyarakat, maka pandangan masyarakat Salatiga tidak bisa terlepas dari norma-norma dan nilai keagamaan yang mereka yakini. Pemahaman agama yang secara umum mengatakan bahwa perilaku maupun orientasi homoseksual merupakan perbuatan keji dan terlaknat, akan menjadi keraguan dan konflik internal bagi kaum gay di Salatiga dalam keberagamaannya. Keraguan dan konflik keberagamaan secara psikologis mereka alami, tapi disatu sisi mereka membutuhkan keberadaan agama itu dalam kehidupan, ketidak konsistenan tersebut membuat kepribadian gay yang beragama akan mengalami keraguan dan konflik psikologik antara pilihan mereka 70 menjadi gay dengan internalisasi ajaran-ajaran agama yang mereka peroleh dalam perkembangan kebergamaan. Religiusitas subjek dapat dilihat melalui lima dimensi yaitu dimensi ideologi, ritualistik, konsekuensi, pengetahuan, dan pengalaman. Dimensi ideologi tampak dalam keyakinan subjek akan adanya Tuhan. Tuhan telah menciptakan laki-laki dan perempuan, dan subjek diciptakan sebagai laki-laki, namun memiliki orientasi seksual terhadap laki-laki juga. Dimensi rutinitas ditunjukkan subjek dalam aktivitasnya menjalankan ibadah agama. Dimensi pengetahuan dapat dilihat dari pengetahuan religius subjek. Subjek mengetahui bahwa perilaku homoseksual sebenarnya tidak dibenarkan dalam agama, namun subjek tidak bisa menghindarinya karena subjek tidak pernah mengharapkan menjadi homoseksual. Dimensi pengalaman terjadi ketika subjek mengalami pengalaman religius. Keempat dimensi ini terkait dengan dimensi yang kelima yaitu dimensi konsekuensi. Pemahaman dan kesadaran subjek akan keyakinan agama yang dianutnya mempengaruhi perilaku subjek. Dimensi konsekuensi ini ditunjukkan dalam bentuk kontrol bagi subjek sebagai salah satu bentuk penyesuaian dirinya, terutama dalam hal hasrat seksualnya. Berikut hasil wawancara, berkenaan dengan religiutas para keempat subyek: a. Wawancara dengan T (28) pada tanggal 15 April 2014: “Agama dengan orientasi seksual ibarat kereta api. Pernah ada ujung kereta api menjadi satu?. Kalau kalian berpintar dalam 71 memilih artinya antara agama dengan orientasi seksual bisa bareng itu bagus. Tapi saat orang memunculkan orientasi seksnya lebih tinggi dari agamanya ya buruk. Jika memunculkan agama banget dan menghilangkan/menutup mata orientasi seksual ya buruk juga. Kalau mau bangun suatu negara ya barengin, dan ga’ mungkin rel kereta api jadi satu ujungnya ya kereta apinya tabrakan dong?ya sama kalau membangun suatu negara jangan pernah memikirkan agama dengan orientasi seksual, negara ini bukan negara agama banget...kita tidak pernah menyebut seorang itu gay itu takdir. Siapa sih yang mau jadi seorang gay, cuma kami berusaha menjadi...oke!aku menjadi gay tidak masalah tapi bagaimana menjadi gay yang berarti dan bermanfaat disekitar aku itu sebagai kunci ke surga deh...di agamaku aku dididik untuk ga’ usah mikirin tentang apa-apa di dunia ini yang penting kalau ada sedikit berkat ya dikasihkan ke orang....semua agama bukan melarang sih, ada patternnya ada rollnya sebenarnya, tapi aku selalu bilang ‘kalau Tuhan menciptakan manusia dengan cinta tapi kenapa Tuhan menciptakan aku dengan seorang pria’. Soalnya Tuhan yang menciptakan cinta, yo mosok aku meh nyalahin Tuhan yo ra isoh malah mlebu neraka entar, ya udah di jalanin aja.” b. Wawancara dengan A pada 16 (40) April 2014: “kalau soal ibadah sih masih naik turun, tapi ya itu banyak bolongnya. Pengetahuan agama ya standar kayak yang diajarkan orang tua waktu kecil kayak sholat, zakat, puasa...kalau dosa setiap orang pasti punya rasa takut to mas, tapi tergantung kita menyikapinya. Aku tu orangnya cuek sih mas” c. Wawancara dengan D (31) pada tanggal 21 April 2014: “Pilihan gw menjadi gay tidak menggangguku untuk ibadah itu adalah kebutuhan dan itu urusanku dengan Tuhan. Loh iya to mas, emang gay ga’ boleh beragama dan ga’ boleh beribadah.... Dosa pa ga’ dilihat dulu to mas, dulu gw baca cari referensi di buku-buku kalau kaum Nabi siapa ya yang sodom2 itu, lupa gw. Oh ya kaum Nabi luth ya, itukan Tuhan menghukum kaum luth lantaran mereka homo/gay dari tradisi/kebiasaan mereka, la kalau gw gimana coba gay sudah dari kecil(takdir). Berarti Tuhan ga adil to sama gw, kalau takdririn gw jadi gay trus gw di cap dosa. Kalau itu gw kembalikan aja ma Tuhan.” 72 d. Wawancara dengan S (25) pada tanggal 25 Februari 2015: “Sistem pendidikan dari keluarga tak begitu banyak, karena orang tua cuma lulusan SD dan pengajaran agama juga tak terlalu mendalam, lebih intensif tentang arahan sholat lima waktu....Untuk masalah ibadah saya masih mengerjakan walau belum sempurna....Kalau soal pengetahuan hukum tentang gay itu aku cuma tahu kalau itu dosa dan tidak tahu hukum yang panjang lebar.” Pernyataan di atas mengutarakan bahwa homoseks atau gay merupakan bagian dari umat beragama dan memiliki kebutuhan untuk melaksanakan ajaran agamanya. C. Peran Serta Lembaga Keislaman dan Lembaga Pemeritah Daerah terhadap Persoalan Komunitas Gay di Salatiga 1. Peran Lembaga Keislaman Di kota Salatiga mendapat julukan “Indonesia Mini” tidak hanya lantaran karena beragamnya ras, suku, etnis yang ada di Salatiga tapi juga beragamnya toleransi beragama. Mayoritas penduduk kota Salatiga adalah menganut agama Islam dan terdapat pula lembaga/organisasi dakwah Islam terbesar di kota Salatiga. Mengingat bahwasanya komunitas gay di Salatiga mayoritas beragama Islam. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian di dua organisasi Islam di Salatiga yaitu NU dan Muhammadiyah. Setelah penulis melakukan wawancara dengan masing-masing ketua dari organisasi NU dan Muhammadiyah kota Salatiga, ternyata dari dua lembaga/organisasi tersebut kurang atau belum mengetahui tentang 73 keberadaan komunitas gay di kota Salatiga. Sehingga penanganan ke depan terhadap problematika keberadaan komunitas gay sampai saaat ini belum ada. 2. Peran Lembaga Pemerintah Daerah Perkembangan komunitas gay di Salatiga tidak dapat lepas dari pihak pemerintah. Maksudnya pemerintah disini sebagai mitra kerja komunitas gay untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat, khususnya dalam kegiatan sosial seperti: penyuluhan HIV AIDS pada masyarakat, dan kegiatan sosial yang berkaitan dengan budaya. Pihak pemerintah yang dapat diajak kerjasama/mitra kerja komunitas gay meliputi: Dinas Kesehatan dan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS), Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Orientasi kerjasama yang dilakukan tidak mengarah kepada kegiatan ekonomi tetapi lebih kearah keberhasilan program kerja dari masing-masing pihak. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian di KPA saja sedangkan di dinas yang terkait belum terealisasikan karena memakan waktu untuk mendapatkan perijinan penelitian di dinas tersebut. KPA untuk menjalankan program tentang sosialisasi dan penyuluhan AIDS, yang dilaksanakan di komunitas gay, sebab komunitas ini juga rawan terjangkit virus HIV. Berikut hasil wawancara tanggal 27 Januari 2015 dengan asisten sekretaris KPA Kota Salatiga, Titik Kristiani Anggraeni: ”jumlah penderita HIV/AIDS di Kota Salatiga sejak 1994 hingga Juni 2014 tercatat 181 orang. Dari jumlah tersebut, Jumlah terbesar penderita yang terjangkit HIV/AIDS berada di usia produktif, yakni 25 hingga 34 tahun....Sementara dari 74 media penularan, 53 persen ditularkan aktivitas heteroseksual, 34 persen melalui penggunaan narkoba suntik (penasun), 10 persen ditularkan melalui aktivitas homoseksual, dan sisanya tiga persen ditularkan dari ibu kepada bayinya melalui persalinan (perinatal)”. Begitu pula dengan komunitas gay yang menyambut positif kegiatan KPA, bahkan yang mengawali kerjasama ini adalah pihak komunitas gay yang dimulai dengan pengakuan identitas seorang pelaku gay kepada dinas Kesehatan dan KPA. Hasil wawancara tanggal 15 April 2014 dengan T, 28 tahun: “Tahun 2006 ketika saya ingin melakukan tes voluntary counseling test (VCT) ke dinas kesehatan dan pada saat itu saya bilang ke dinas kalau saya seorang gay. Pada awalnya dinas ga’ mau yang menerima. Slama dua tahun saya melakukan advokasi ke pemerintah dan dinas-dinas tentang keberadaan kami, setelah itu kami diterima dan akhirnya difasilitasi pelayanan kesehatan gratis. Dan sekarang dinas yang cari-cari kami mas....”. Selain pihak-pihak diatas, komunitas gay juga mengembangkan sistem kerjasamanya dengan pemerintah daerah hal ini dilakukan agar komunitas gay pada masyarakat Salatiga mendapatkan pengakuan dan perlindungan, baik secara de-jure maupun de-facto. Kerjasama antara komunitas gay dengan pemerintah daerah sangat menguntungkan bagi komunitas gay. Kerjasama ini terlihat dengan tidak adanya Satpol PP atau petugas pemerintah lain yang menjaring ketika komunitas ini beroperasi (ngeber). Bahkan komunitas ini dianggap patner kerja dalam setiap event pemerintahan. Berikut penuturan T, 28 tahun wawancara tanggal 15 April 2014: 75 “Bila ada acara dari pemerintah, pemerintah mencari teman-teman waria dan gay dulu. Kata mereka (pemerintah): lebih punya kretifitas dan imajinasi tinggi dibandingkan dengan mereka yang heteroseks....” 76 BAB IV PERILAKU SEKSUAL KAUM GAY DI KOTA SALATIGA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Kebiasaan Perilaku Seksual Kaum Gay di Kota Salatiga. Berdasarkan penelitian penelitian di lapangan dalam kehidupan komunitas homoseksual atau gay ditemukan beberapa istilah dalam kehidupan homoseksual. Istilah tersebut berdasarkan kegiatan seks yang dilakukan oleh pelaku homoseksual. Beberapa istilah tersebut, antara lain: gay bottom, gay top, gay vers, dan gay kucing. Gay bottom, merupakan istilah untuk menyebutkan seorang homoseksual yang orientasi seksualnya sebagai penerima atau objek. Gay top merupakan istilah untuk menyebutkan seorang homoseksual yang orientasi seksualnya sebagai pemberi. Gay vers merupakan homoseksual yang bisa menjadi gay bottom dan gay top, bergantung dari pasangan homoseksualnya. Gay kucing merupakan sebutan untuk homoseksual yang melakukan hubungan seksual hanya untuk mendapatkan imbalan. Istilah lain adalah pelacur laki-laki. Dari hasil wawancara dengan keempat subjek narasumber didapatkan dua subjek T dan D berperilaku seksual sebagai gay vers, subjek A berperilaku 77 seksual sebagai gay top. Sedangkan subjek S sendiri berperilaku seksual hanya sebatas kontak seksual (pegang-pegang dan ciuman). B. Faktor-Faktor yang Mendorong Seseorang Menjadi Seorang Gay pada Komunitas Gay di Salatiga. Mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya homoseks atau gay sampai saat ini masih menjadi perdebatan para ahli. Hal ini dikarenakan faktor terjadinya homoseks sangat beragam, tidak mutlak dikarenakan oleh salah satu faktor. Sehingga kalau dipahami tidak ada faktor tunggal penyebab homoseks atau gay. Menurut Kartono (1989: 248) penyebab terjadinya homoseks atau gay adalah faktor biologis, pengaruh lingkungan yang tidak baik, pengalaman traumatis, dan adanya keinginan untuk mencari kepuasan relasi homoseks. Dari hasil penelitian keempat subyek yang menjadi seorang gay, tiga diantaranya faktor yang melatarbelakangi mengapa menjadi seorang gay adalah faktor biologis. Hanya satu subyek saja bisa menjadi seorang gay karena faktor lingkungan dan faktor media sosial. Faktor yang melatarbelakangi keempat subjek menjadi gay dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Faktor Biologis a. Susunan Kromosom Perbedaan homoseksual dan heteroseksual dapat dilihat dari susunan kromosomnya yang berbeda. Seorang wanita akan mendapatkan satu kromosom x dari ibu dan satu kromosom x dari ayah. Sedangkan pada pria mendapatkan satu kromosom x dan satu kromosom y dari ayah. 78 Kromosom y adalah penentu seks pria. Jika terdapat kromosom y, sebanyak apapun kromosom x,dia teteap berkelamin pria. Seperti yang terjadi pada pria yang menderita sindrom Klinefelter yang memiliki tiga kromosom xxy. Dan hal ini dapat terjadi pada 1 diantara 700 kelahiran bayi. Misalnya pada pria yang mempunyai kromosom 48xxy. Orang tersebut tetap berjenis kelamin pria, namun pada pria tersebut memiliki kelainan pada alat kelaminnya (Demartoto, 17). b. Ketidakseimbangan Hormon Seorang pria memiliki hormone testoteron, tetapi juga memiliki hormon yang dimiliki oleh wanita yaitu esterogen dan progesteron. Namun kadar hormone pada wanita ini sangat sedikit. Tetapi apabila seorang pria memiliki hormone esterogen dan progesterone yang cukup tinggipada tubuhnya, makahal inilah yang menyebabkan perkembangan seksual seorang pria mendekati karkteristik wanita (Demartoto, 17-18). c. Struktur Otak Struktur otak pada straight females dan straight males serta gay females dan gay males terdapat perbedaan. Otak bagian kiri dan kanan dari straight males sangat jelas terpisah dengan membranyang cukup tegas dan tebal. Straight females, otak antara bagian kiri dan kanan tidak begitu tegas dan tebal. Dan pada gay males, struktur otaknya sama dengan straight females, serta pada gay females struktur otaknya 79 sama dengan straight males, dan gay females ini biasa disebut lesbian (Demartoto, 18). d. Kelainan Susunan Syaraf Berdasarkan penelitian terakhir,diketahui bahwa kelainan sususnan syaraf otak dapat mempengaruhi perilaku seks heteroseksual maupun homoseksual. Kelainan susunan syaraf otak ini disebabkan oleh radang atau patah tulang dasar pada otak (Demartoto, 18). 2. Media Massa Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam waktu singkat, informasi tentang peristiwa-peristiwa, pesan, pendapat, berita, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya dengan mudah diterima. Oleh karena itu media massa seperti surat kabar, TV, film, majalah mempunyai peranan penting dalam proses transformasi nilai-nilai dan norma-norma baru terhadap remaja. Mereka akan cenderung mencoba dan meniru apa yang dilihat dan ditontonnya. Tayangan adegan kekerasan dan adegan yang menjurus ke pornografi, ditengarai sebagai penyulut perilaku agresif remaja, dan menyebabkan terjadinya pergeseran moral pergaulan, serta meningkatkan terjadinya berbagai pelanggaran norma susila. 3. Faktor Lingkungan Soekanto (2004:70), menjelaskan beberapa jenis lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku remaja yaitu: a. Orang tua, saudara-saudara dan kerabat yang merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh dalam diri remaja. Melalui 80 lingkungan ini, remaja mengenal lingkungan dan jenis pergaulanpergaulan berikutnya yang akan menambah banyak pengaruh yang lain. Usia remaja merupakan usia pancaroba di mana masih dalam rangka mencari indentitas tertentu, di mana pencarian identitas ini pertama tertuju pada sosok dalam diri orang tua, kerabat atau saudaranya. Jika tidak diperoleh dari orang tua, kerabat atau saudara ini, maka pelarian pencarian identitas tersebut akan beralih ke lingkungan berikutnya, bisa teman sepermainan atau teman di sekolah. b. Kelompok sepermainan, merupakan teman-teman bermain di luar rumah dan luar sekolah, bisa mempengaruhi remaja baik positif maupun negatif. c. Kelompok pendidikan, yaitu pergaulan di sekolah, yang melibatkan pergaulan siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa. Adanya pembiasaan dalam perbuatan baik dan mulia di sekolah, diharapkan bisa memberikan pengaruh positif dalam pembentukan karakter dan kebiasaan baik bagi remaja, sebab lingkungan sekolah juga berperan dalam mempengaruhi perilaku remajanya. C. Pandangan Hukum dan Perbandingan Hukum dari Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia terhadap Perilaku Seksual komunitas Gay di Salatiga 1. Pandangan Hukum Islam terhadap Perilaku Seksual Kaum Gay 81 Banyak dalil dalam hukum Islam mengenai pelarangan kaum gay (homoseksual) baik yang terdapat dalam Al-Qur ’an maupun hadits. Allah SWT menceritakan masalah homoseksual dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang terdapat dalam Surah Al A’raaf (7): 80-84, Al Hijr (15): 57-77, Al Anbiya (21): 74-75, Asy Syu’ara (26): 160-175, An Naml (27): 54-58, Al ankabut (29): 28-35, Ash Shaffat (37): 133-138, dan Al Qamar (54): 33-39. Antara lain dijelaskan oleh Allah SWT dengan firman-Nya: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisya itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu? (QS.(7) Al-A’raaf: 80). “Sesungguhnya kamu mendatangi laki-laki untuk melepas nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas” (QS. (7) Al-A’raaf: 81). Ayat di atas menyatakan: Dan Kami juga mengutus Nabi Luth. Ingatlah ketika dia berkata kepada kaumnya yang ketika itu melakukan kedurhakaan besar: Apakah kamu mengerjakan fahisyah yakni melakukan pekerjaan yang sangat buruk yaitu anal seks yang tidak satupun mendahului kamu mengerjakanya di alam raya, yakni di kalangan mahkluk hidup di dunia ini. Sesungguhnya kamu telah mendatangi lelaki untuk melampiaskan syahwat (nafsu) kamu melalui mereka sesama jenis kamu, bukan terhadap 82 wanita yang secara naluriah seharusnya kepada merekalah kamu menyalurkan naluri seksual. Hal itu kamu lakukan terhadap lelaki bukan disebabkan karena wanita tidak ada atau tidak mencukupi kamu, tetapi itu kamu lakukan karena kamu durhaka bahkan kamu adalah kaum yang melampaui batas sehingga melakukan pelampiasan syahwat bukan pada tempatnya. Muhammad Bin Ibrahim Az Zulfi berdasarkan surah Al A’raaf di atas mengatakan bahwa Allah SWT menamakan mereka dengan orangorang yang melampaui batas, dan orang-orang yang berlebih-lebihan (Yatimin, 2003:33). Maksud ayat di atas menunjukkan secara jelas pengharaman kaum gay dalam Islam. Dalam surah Al-Araaf: 81 ditegaskan bahwa perilaku tersebut melampaui batas. Ali Chasan Umar mengatakan bahwa di dalam Syari’ah Islam, perbuatan kaum gay adalah haram (Akhmad Azhar Abu Miqdad, 2000:87). Allah SWT menambahkan pada surah Huud sebagai berikut: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu, dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki” (QS. (11) Huud: 79). Nabi Luth adalah kemanakan dari Nabi Ibrahim. Ayahnya yang bernama Hasan bin Tareh adalah saudara sekandung dari Nabi Ibrahim. la beriman kepada pamannya, Nabi Ibrahim, mendampinginya dalam semua perjalanannya dan sewaktu mereka berada di Mesir, berusaha bersama dalam bidang peternakan yang berhasil dengan baik, binatang ternaknya 83 berkembang biak, sehingga dalam waktu singkat jumlah yang sudah berlipat ganda itu tidak dapat ditampung dalam tempat yang telah tersedia. Akhirnya perkongsian Ibrahim-Luth dipecah dan binatang-binatang ternak, serta harta milik perusahaan mereka dibagi dan berpisahlah Luth dari Ibrahim, pindah ke Yordania dan bermukim di sebuah tempat bernama Sadum. Masyarakat Sadum adalah masyarakat yang rendah tingkat moralnya, rusak mentalnya, tidak mempunyai pegangan agama atau nilai kemanusiaan yang beradab. Kemaksiatan dan kemungkaran merajalela dalam pergaulan hidup mereka. Pencurian, pembegalan dan perampasan harta milik merupakan kejadian sehari-hari, di mana yang kuat menjadi kuasa, sedang yang lemah menjadi korban penindasan dan perlakuan sewenang-wenang. Maksiat yang paling menonjol, yang menjadi ciri khas masyarakat mereka adalah perbuatan homosex (liwath) di kalangan prianya dan lesbian di kalangan wanitanya. Kedua macam mungkar ini begitu merajalela di dalam masyarakat sehingga merupakan suatu kebudayaan. Allah Swt sebagai Pencipta Alam Semesta ini tahu yang paling baik bagi umat manusia. Dia Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Segala hukum dan aturan yang telah Dia turunkan melalui Al Quran dan Sunnah adalah yang terbaik dan tidak akan bertentangan dengan fitrah manusia. Ketika ada sesuatu yang tidak sesuai atau berbeda dengan kondisi yang seharusnya maka sebenarnya itu adalah ujian. Fitrah adalah sifat dasar yang ada dalam diri manusia sejak awal penciptaannya. Dia menciptakan laki-laki dan perempuan dan menjadikannya berpasang-pasangan lawan jenis 84 (heteroseksual) seperti yang tertulis dalam QS. An Nisaa’ (4): 1, Al Hujuraat (49): 13, Al Faathir (35): 11 dan An-najm (53): 4: “Hai sekalian manusia,bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An Nisaa’: 1). “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bbertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al Hujuraat: 13). “Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula 85 dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah” (QS. Al Faathir: 11). “Dan sesungguhnya, Dialah yang menciptakan pasangan, laki-laki dan perempuan” (QS. An Najm: 45). Dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan pun Allah Swt menegaskan sejumlah peraturan agar manusia tidak terjerumus kepada lembah kehinaan. Rasulullah Saw mengajarkan muslim untuk beradab dalam bergaul, menjaga aurat dan batasan. Oleh karena itu status hukum yang diberikan oleh agama terhadap seseorang dilihat dari keadaaan lahiriahnya, termasuk status hukum menurut jenis kelamin. Adapun hadits yang mengatur masalah gay antara lain hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ّْ اَليا ّْْنظُ ُر وط او لا اعنا ٍ ُوم ل ِ ّللاُ ام ْن اع ِم ال اع ام ال قاوْ ِم لُو ٍط اولا اعنا ّللاُ ام ْن اع ِم ال اع ام ال قا وط ٍ ُوم ل ِ ّللاُ ام ْن اع ِم ال اع ام ال قا “Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth” [HR Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra IV/322 (no. 7337)]. اَل يا ْنظُ ُر ه َّللاُ إِلاى ار ُج ٍل أاتاى ار ُج اًل أا ْو ا ْم ارأاةا فِي ال ُّدبُ ِر 86 “Allah tidak mau melihat kepada laki-laki yang menyetubuhi lakilaki atau menyetubuhi wanita pada duburnya” [HR Tirmidzi : 1166, Nasa’i: 1456 dan Ibnu Hibban: 1456 dalam Shahihnya. Keterangan: hadits ini mencakup pula wanita kepada wanita]. Rasulullah sangat khawatir perbuatan kaum luth menimpa umatnya. Diriwayatkan Ibnu Majah dan At-Tirmidzi, dikatakan hadist Hasan Gharib, dari Jabir ra. Ia berkata, Rasulullah S.A.W bersabda: ُ إِ َّن أا ْخ اوفا اما أا اخ وط ٍ ُاف اعلاى أ ُ َّمتِي اع ام ُل قاوْ ِم ل “Sesungguhnnya suatu hal yang amat aku takuti terhadap umatku adalah pekerjaan yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth” [HR Ibnu Majah : 2563, 1457. Tirmidzi berkata : Hadits ini Hasan Gharib, Hakim berkata, Hadits shahih isnad]. 2. Pandangan Perundang-undangan di Indonesia terhadap Perilaku Seksual Kaum Gay Berbicara mengenai komunitas gay tak lepas dari Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlakuan diskriminasi terhadap kaum yang terpinggirkan. HAM sering dijadikan sebagai salah satu pembelaan terhadap kaum homoseks/gay. Hal ini dikarenakan negara Indonesia sendiri adalah negara hukum dan memegang hak asasi manusia sangat tinggi. Ini bisa terlihat dari rumusan HAM ke dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) khususnya pasal 28-28J dan UU NO. 39 Tahun 1999 tentang HAM, secara konstitusional hak asasi setiap warga negara dan penduduk Indonesia telah dijamin. Sehingga 87 mereka kaum gay juga mempunyai hak yang sama sebagai warga negara Indonesia lainnya. Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang sering menimpa kaum minoritas tersebut adalah bentuk perlakuan yang bersifat diskriminasi. Pengertian diskriminasi dalam UU No. 39 Tahun 1999 dalam pasal 1 ayat 3 adalah sebagai berikut: Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Sampai saat ini tidak ada hukum ada untuk melindungi warga negara Indonesia dari diskriminasi atau pelecehan atas dasar orientasi seksual atau identitas gender mereka. Padahal disisi lain pemerintah Indonesia memiliki kebijakan yang melindungi hak bebas diskriminatif setiap warga negaranya dan mendapatkan perlindungan dari setiap tindakan diskriminasi itu, mendapatkan perlindungan, pemenuhan dan menghormati hak asasi manusia sesuai dengan pasal 28I ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi: “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif tersebut”. Sehingga semua WNI dengan orientasi seksual berbeda harusnya diartikan dan dipahami oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia sebagai kelompok masyarakat yang juga diatur di dalam UUD 1945 yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Jadi,intinya di Indonesia 88 sendiri penanganan kasus homoseksual/gay masihlah kurang karena pemerintah tidak secara tegas melarangnya hanya untuk kasus-kasus komersial sajalah yang dipidanakan sedangkan untuk kasus-kasus sosialnya masih belum dipidanakan. Sistem internasional telah membuat langkah maju dalam hal memajukan kesetaraan gender dan perlindungan terhadap kekerasan di masyarakat, komunitas dan keluarga. Sebagai tambahan, mekanisme kunci HAM pada PBB telah menekankan kewajiban negara untuk menjamin perlindungan bagi semua orang dari berbagai diskriminasi berbasis orientasi seksual atau identitas gender. Tetapi, respon internasional terhadap pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual atau identitas gender telah terfragmentasi dan tidak konsisten. Diperlukan adanya suatu pemahaman komprehensif mengenai Undang-Undang HAM Internasional beserta aplikasinya terhadap isu-isu orientasi seksual atau identitas gender untuk menyikapi defisiensi yang telah terjadi. Yang penting untuk dilakukan adalah mengumpulkan dan menjelaskan tugas-tugas negara berdasarkan Undang-Undang HAM Internasional, untuk mensosialisasikan dan melaksanakan perlindungan HAM bagi setiap orang berdasarkan kesetaraan dan tanpa diskriminasi. International Commission of Jurists dan International Service for Human Rights, atas nama koalisi organisasi HAM telah melaksanakan suatu proyek untuk mengembangkan suatu perangkat prinsip hukum internasional tentang aplikasi UU HAM Internasional terhadap pelanggaran HAM berdasarkan 89 orientasi seksual atau identitas gender dalam memberikan kejelasan dan hubungan yang lebih besar mengenai kewajiban negara terhadap HAM. Sekelompok ahli HAM telah membuat draf, mengembangkan draf tersebut, mendiskusikan dan akhirnya menghasilkan prinsip-prinsip ini. Setelah pertemuan para ahli yang diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia pada tanggal 6 sampai 9 November 2006, 29 orang ahli HAM Internasional secara sepakat mengadopsi Prinsip-Prinsip Yogyakarta tentang Undang-Undang HAM Internasional terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Prinsip-Prinsip Yogyakarta adalah suatu tatanan prinsip-prinsip dalam penerapan Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Prinsipprinsip ini menegaskan standar hukum internasional yang mengikat yang harus dipatuhi oleh semua negara. Prinsip-Prinsip ini menjanjikan bentuk masa depan yang berbeda, dimana semua orang dilahirkan dengan bebas dan setara dalam hal martabat dan hak serta dapat memenuhi hak berharga tersebut yang mereka bawa sejak mereka dilahirkan. Prinsip-Prinsip Yogyakarta menyikapi besarnya kisaran standar HAM dan aplikasinya dalam isu orientasi seksual atau identitas gender. Hal ini mencakup eksekusi diluar hukum, kekerasan dan penyiksaan, akses pada keadilan, pribadi, non diskriminasi, hak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan berkumpul, mendapatkan pekerjaan, kesehatan, pendidikan, imigrasi dan isu pengungsian, partisipasi publik dan berbagai macam hak lainnya. Prinsip-Prinsip Yogyakarta menegaskan kewajiban utama negara 90 untuk mengimplementasikan HAM. Setiap Prinsip dilengkapi dengan rekomendasi terperinci bagi negara. Prinsip-Prinsip ini juga menekankan bahwa semua pihak memiliki tanggung jawab untuk memajukan dan melindungi HAM. Karena itu disusun juga rekomendasi tambahan bagi sistem HAM PBB, lembaga HAM nasional, media, LSM dan lain-lain. Terlepas dari itu semua, di Indonesia apakah keberadaan komunitas homoseks atau gay itu dilegalkan atau tidak itu tak lain seperti dipaparkan di atas di Indonesia sendiri penanganan kasus homoseksual/gay masihlah kurang karena pemerintah tidak secara tegas melarangnya hanya untuk kasus-kasus komersial sajalah yang dipidanakan sedangkan untuk kasuskasus sosialnya masih belum dipidanakan. Namun, dari segi keperdataan khususnya terkait masalah perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 di Indonesia hanya mengakui hubungan antara seorang pria dan seorang wanita (heteroseksual) dalam perkawinan yang sah dan dilakukan menurut masing-masing agamanya. Ini berarti negara hanya mengenal perkawinan antara wanita dan pria, negara juga mengembalikan lagi hal tersebut kepada agama masing-masing. Sehingga hubungan atau perkawinan sesama jenis (homoseks) itu tidak dibenarkan dan dilarang karena tanpa dipungkiri hubungan sesama jenis dapat menimbulkan keinginan untuk pernikahan sesama jenis dan hal tersebut pastilah juga telah melanggar norma-norma yang ada di tengah masyarakat Indonesia. Sedangkan dalam segi pidana, perilaku seksual homoseks secara eksplisit dapat didapati dalam KUHP pasal 292 dan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dalam KUHP 91 pasal 292 mengatur pelanggaran atau kejahatan kesusilaan terhadap pencabulan oleh orang dewasa dengan orang sesama jenis yang diketahui dan patut diduganya belum dewasa sedangkan dalam UU No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi dalam pasal 4 ayat 1(a) yang memuat tentang pelarangan setiap orang yang secara eksplisit memuat persenggamaan termasuk persenggamaan yang menyimpang dalam bentuk pornografi, dalam penjelasannya yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual. 3. Bentuk Sanksi Yang Diberikan Terhadap Pelaku Homoseksual Menurut Hukum Islam Tujuan pemidanaan menurut hukum Islam, adalah: a. Menjaga agama (hifdhu-din), b. Terjaminnya perlindungan hak hidup (hifdhun-nasf), c. Menjaga keturunan (hifdhun-nasl), d. Menjaga akal (hifdhul-aql), e. Menjaga harta (hifdhu-mal), f. Keadilan. Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukuman bagi homoseks. Ada tiga pendapat: 1. Dibunuh secara mutlak. 2. Dihad sebagaimana had zina. Bila pelakunya jejaka ia harus didera, bila pelakunya muhshan ia harus dihukum rajam. 92 3. Dikenakan hukuman ta’zir/sanksi. Pendapat pertama dikemukakan oleh sahabat Rasul, Nashir, Qasim bin Ibrahim, dan Imam Syafi’i (dalam suatu pendapat) ia menyatakan bahwa para pelaku homoseks dikenakan hukum bunuh, baik pelaku homoseks itu seorang jejaka, baik ia mengerjakan maupun yang dikerjai. Pendapat ini berdasarkan dalil-dalil: “Diriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibn Abbas bahwa ia berkata,‘Rasulullah saw. Bersabda: Barangsiapa yang kalian ketahui telah berbuat homoseks( perbuatan kaum Nabi Luth), maka bunuhlah kedua pelakunya, baik pelaku itu sendiri maupun partnernya.” (HR. Al-Khamsah kecuali Nasa’i). Dalam kitab An-Nail disebutkan pula hadis tersebut di atas telah dikeluarkan pula oleh Hakim dan Baihaqi. Selanjutnya Al-Hafizh mengatakan bahwa para rawi hadis ini dapat dipercaya, akan tetapi hadisnya masih diperselisihkan kebenarannya (Sabiq, 1981: 432-433). Mereka juga berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari Ali bahwasanya beliau merajam orang yang melakukan perbuatan ini. Imam Syafi’i mengatakan, berdasarkan ini maka kita menggunakan rajam untuk menghukum orang yang berbuat homoseks, baik orang itu muhshan atau tidak. “Diriwayatkan dari Abu Bakar bahwa beliau pernah mengumpulkan para shahabat Rasul untuk membahas kasus homoseks. Di antara para shahabat Rasul itu yang paling keras pendapatnya adalah Ali. Ia mengatakan: ‘Homoseks adalah perbuatan dosa yang belum pernah dikerjakan oleh para umat kecuali oleh satu umat (umat Luth), sebagaimana telah kalian maklumi. Dengan demikian, aku punya pendapat bahwa pelaku homoseks harus dibakar dengan api.’ Dengan disetujui pendapat Ali ini, maka Abu Bakar mengirim surat kepada Khalid bin Walid 93 untuk menyuruhnya membakar pelaku homoseks dengan api.” (hadist ini dikeluarkan oleh Baihaqi). Dengan dalil-dalil di atas, maka jelaslah bahwa had yang dijatuhkan kepada pelaku homoseks adalah hukum bunuh. Akan tetapi lebih lanjut lagi bagi mereka berbeda pendapat dalam masalah cara membunuh pelaku homoseks. Ada yang meriwayatkan dari abu Bakar dan Ali bahwa pelakunya harus dibunuh dengan pedang. Setelah itu baru dibakar dengan api mengingat besarnya dosa yang dilakukan (Sabiq, 1981: 433). Umar dan Ustman berpendapat bahwa pelaku homoseks harus dijatuhi benda-benda keras sampai mati. Ibnu Abbas berpendapat bahwa pelaku homoseks harus dijatuhkan dari atas bangunan yang paling tinggi di suatu daerah. Abdullah bin Abbas mengambil hukuman seperti ini dari hukuman yang Allah Subhaanahu wa ta’ala timpakan kepada kaum Luth dan Abdullah bin Abbaslah yang meriwayatkan sabda Nabi: ِ مَنَوج ْدمُتموهَي عملَعملَق ومَلمو ٍطَفاقْ تملمواَالْف اعلَوَالْم ْفعم ْولَبِه ْ ْ ْ ْ ْم ْ م “Siapa saja di antara kalian mendapati seseorang yang melakukan perbuatan kaum Luth maka bunuhlah pelakunya beserta pasangannya.” [ditakhrij oleh Abu Dawud 4/158 , Ibn Majah 2/856 , At Turmuzi 4/57 dan Darru Quthni 3/124]. Al-Bhagawi menceritakan dari Sya’by, Zuhry, Malik Ahmad dan Ishak, mengatakan bahwa pelaku homoseks harus dirajam. Hukuman serupa ini juga diceritakan oleh Tirmidzi dari Malik, Syafii, Ahmad dan Ishak (Mujtabah dan Ridlwan, 2010: 150). 94 Pendapat kedua dikemukakan oleh Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Hasan, Qatadah, Nasakh’i, Tsauri, Auza’i, Abu Thalib, Imam Yahya dan Imam Syafi’i (dalam satu pendapat), mengatakan bahwa pelaku homoseks harus di had sebagaimana had zina. Jadi pelaku homoseks yang masih jejaka dijatuhi had dera dan dibuang. Sedangkan pelaku homoseks yang muhshan dijatuhi hukuman rajam (Mujtabah dan Ridlwan, 2010: 150-151). Pendapat ini berdasarkan dalil-dalil: “Bahwasanya homoseks adalah perbuatan yang sejenis dengan zina. Karena homoseks itu perbuatan memasukkan farji (penis) ke farji (anus lelaki). Dengan demikian, maka pelaku homoseks dan patnernya masuk dibawah keumuman dalil dalam masalah zina, baik muhsan maupun tidak. Dan hujjah ini dikuatkan oleh hadist Rasulullah SAW: “jika seorang lelaki mendatangi lelaki lain, maka keduanya termasuk berzina.” “Andaikata homoseks tidak bisa dimasukkan di bawah keumuman dalil-dalil yang mengecam perbuatan zina, maka homoseks pun masih bisa disamakan dengan perbuatan zina dengan jalan qias.” Kemudian pendapat ketiga dikemukakan oleh Abu Hanifah, Muayyad, Billah, Murtadha, Imam Syafi’i (dalam satu pendapat) bahwa pelaku homoseks harus diberi sanksi, karena perbuatan tersebut bukanlah hakikat zina. Maka hukum zina tidak dapat diterapkan untuk menghukum pelaku homoseks (Sabiq, 1986: 135). Persoalan gay di Indonesia dijawab oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam rilis Fatwa MUI No. 57 Tahun 2014 tentang lesbian, gay, sodomi, dan pencabulan yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 2014. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang gay, lesbian, sodomi, dan pencabulan. 95 Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan, dalam fatwa ini diatur beberapa ketentuan hukum. Pertama, hubungan seksual hanya dibolehkan untuk suami istri. Yakni pasangan laki-laki dan wanita berdasarkan pernikahan yang sah secara syari. Kedua, orientasi seksual terhadap sesama jenis atau homoseksual adalah bukan fitrah tetapi kelainan yang harus disembuhkan. Ketiga, pelampiasan hasrat seksual kepada sesama jenis hukumnya haram. Tindakan tersebut merupakan kejahatan atau jarimah dan pelakunya dikenakan hukuman, baik had maupun takzir oleh pihak yang berwenang. Keempat, melakukan sodomi hukumnya haram dan merupakan perbuatan maksiat yang mendatangkan dosa besar dan pelakunya dikenakan had tu zina. Kelima, pelampiasan hasrat seksual dengan sesama jenis selain dengan cara sodomi hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman takzir. Jadi kalau takzir itu adalah jenis hukuman yang tidak ditetapkan kadarnya oleh nas tetapi diserahkan oleh kebijakan mekanisme peraturan perundang undangan. Had itu adalah ketentuan hukum yang kadar dan jenisnya itu sudah disebutkan di dalam nas baik Alquran dan Hadist. ketentuan lain yang diatur dalam fatwa ini, yaitu pelampiasan hasrat seksual dengan sesama jenis dan korbannya adalah anak-anak terkena hukuman had dan takzir. Selain itu pelakunya diberikan tambahan hukuman, pemberatan bahkan hingga hukuman mati. Kemudian, pelampiasan nafsu seksual kepada seseorang yang belum memiliki ikatan pernikahan yang sah baik itu kepada lawan jenis maupun sesama jenis. Baik dewasa atau anak-anak hukumnya haram 96 dan pelakunya dikenakan hukuman takzir. Yang terakhir, melegalkan aktivitas seksual sesama jenis dan orientasi seksual menyimpang lainnya hukumnya haram. Artinya, melegalkan sesuatu yang ilegal tentu tidak diperkenakan secara hukum (http://khazanah.republika.co.id/berita/duniaislam/islam-nusantara/15/01/15/ni76pd-hukuman-bagi-pelaku penyimpangan-seksual-dalam-fatwa-mui diakses pada tanggal 27 Maret 2015). Dalam rilis fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) terkait lesbi, gay, sodomi, dan pencabulan, MUI meminta kepada DPR RI agar tidak melegalkan keberadaan komunitas homoseksual; gay dan lesbi, serta komunitas lainnya yang menyimpang di Negara Indonesia. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Rekomendasi poin pertama halaman 14 tentang "Fatwa Lesbi, Gay, Sodomi, dan Pencabutan". KH. Ma'ruf Amin dalam mewakili pembacaan fatwa perihal di atas, atau yang lebih dikenal LGBT pun juga menyebutkan hukuman mati pantas dilakukan jika memang demikian adanya. Terutama hukuman itu ditujukan oleh pelaku sodomi. Untuk pelaku sodomi justru harus dikenakan hukum ta'zir (setingkat hukuman mati). Namun di poin selanjutnya dalam rilis yang masuk dalam 'ketentuan hukum', fatwa yang dikeluarkan oleh MUI ini juga memberikan bagaimana sebenarnya penyimpangan seksual tersebut. Misalnya saja perbuatan yang dikenal dengan LGBT (lesbi, gay, biseksual, dan transeksual). Dalam kategori atau poin itu MUI menghimbau agar pelaku yang memiliki kelainan seksual ini sebelum dijatuhi hukuman mati 97 oleh pengadilan, sekiranya pelaku dapat disembuhkan. Salah satunya cara yaitu dengan memberikan pemahaman atau pelurusan tentang bagaimana penyimpangan tersebut. Dan berikut poin-poin yang terdapat di 'Ketentuan Hukum' fatwa MUI Tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan. Sebagaiman tertuang dalam fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014. Di antaranya: Orientasi seksual terhadap sesama jenis adalah kelainan yang harus disembuhkan serta penyimpangan yang harus diluruskan; homoseksual, baik lesbian maupun gay hukumnya HARAM, dan merupakan bentuk kejahatan (karimah); pelaku homoseksual, baik lesbian maupun gay, termasuk biseksual dikenakan hukuman hadd dan/atau ta'zir (maksimal hukuman mati) oleh pihak yang berwenang; melegalkan aktifitas seksual sesama jenis dan orientasi seksual menyimpang lainnya adalah HARAM. Dikeluarkan MUI di Jakarta, pada tanggal 31 Desember 2014. Bertanda tangan Komisi Fatwa MUI, Prof. Hasanuddin Abdullah Fatah dan Sekretaris, DR. Asrorun Ni'am Sholeh (http://www.voaislam.com/read/indonesiana/2015/03/19/35983/mui-fatwakan-haram-danhukum-mati-bagi-lesbi-gay-sodomi-serta-pencabulan com diakses pada tanggal 27 Maret 2015) 4. Bentuk Sanksi Yang Diberikan Terhadap Pelaku Homoseksual Menurut Hukum Pidana Tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia, adalah sebagai berikut: a. Pembalasan (revenge) 98 b. penghapusan dosa (exspiation) c. Menjerakan (deterrent) d. Perlindungan terhadap umum (protection of the public) e. Memperbaiki si penjahat (rehabilitation of the criminal). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada pasal 292 yang secara eksplisit mengatur soal tindak sikap homoseksual yang dikaitkan dengan perilaku seksual. Isi pasal tersebut sebagai berikut: “orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” Dari pasal tersebut diketahui bahwa yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan anak yang belum dewasa yang sejenis dengan dia. Dalam hal ini orang dewasa dan orang yang belum dewasa yang dimaksudkan dalam KUHPerdata pasal 330 adalah mereka orang dewasa yang telah berumur 21 tahun atau belum mencapai umur itu tetapi sudah kawin, sedangkan orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Jenis kelamin yang sama dimaksudkan disini laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Mengenai perbuatan cabul, menurut Sugandhi (1981:309) termasuk pula onani. Sedangkan perbuatan cabul sendiri selalu terkait dengan perbuatan tubuh atau bagian tubuh terutama pada bagian-bagian yang dapat merangsang nafsu seksual, misalnya alat kelamin, buah dada, mulut dan sebagainya (Adami Chazawi, 2005:82). 99 Persetubuhan pun dapat disebut dengan perbuatan cabul, kecuali perbuatan cabul dalam Pasal 289 KUHP. Sedangkan sanksi pidana terhadap tindak kejahatan asusila tersebut adalah sanksi pidana penjara paling lama lima tahun. Jika dilihat dari pasal 292 KUHP di atas tidak melarang hubungan homoseksual pribadi dan yang tidak bersifat komersial antara orang dewasa karena seseorang baru dapat dipidanakan apabila ia melakukan perbuatan cabul dengan yang diketahuinya dan seharusnya patut diduganya belum dewasa yang sesama jenis. Dulu ada sebuah RUU nasional untuk mengkriminalisasi homoseksualitas, bersama dengan hidup bersama, perzinahan dan praktek sihir, gagal diberlakukan pada tahun 2003 dan tidak ada rencana berikutnya untuk memperkenalkan kembali undang-undang tersebut. Sedangkan dalam UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dalam Bab II pasal 4 ayat 1(a) memuat tentang perilaku seksual homoseks atau gay berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b) kekerasan seksual; c) masturbasi atau onani; d) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; 100 e) alat kelamin; atau f) pornografi anak.” Dalam pasal 4 ayat 1(a) di atas dalam penjelasannya yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual. Untuk sanksi dalam UU ini diatur dalam pasal 29 dan pasal 34, dalam pasal 29 disebutkan sanksi dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) untuk setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). Sedangkan dalam pasal 34 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Berbeda dengan pasal 292 KUHP, pemidanaan dapat dilakukan oleh orang dewasa yang berbuat cabul dengan orang yang belum dewasa yang sesama jenis. Sedangkan dalam pasal 4 UU No. 44 Tahun 2008 pemidanaan berlaku untuk setiap orang, setiap orang dalam UU ini adalah 101 orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 102 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dalam kehidupan komunitas homoseksual atau gay ditemukan beberapa istilah dalam kehidupan homoseksual. Istilah tersebut berdasarkan kegiatan seks yang dilakukan oleh pelaku homoseksual. Beberapa istilah tersebut, antara lain: gay bottom, gay top, gay vers, dan gay kucing. Gay bottom, merupakan istilah untuk menyebutkan seorang homoseksual yang orientasi seksualnya sebagai penerima atau objek. Gay top merupakan istilah untuk menyebutkan seorang homoseksual yang orientasi seksualnya sebagai pemberi. Gay vers merupakan homoseksual yang bisa menjadi gay bottom dan gay top, bergantung dari pasangan homoseksualnya. Gay kucing merupakan sebutan untuk homoseksual yang melakukan hubungan seksual hanya untuk mendapatkan imbalan. Istilah lain adalah pelacur laki-laki. 2. Dari hasil penelitian keempat gay yang menjadi seorang gay, tiga diantaranya faktor yang melatarbelakangi menjadi seorang gay adalah faktor biologis. Hanya satu gay karena faktor lingkungan dan faktor media sosial saja bisa menjadi seorang gay. 103 3. Perilaku seksual homoseksual atau gay ditinjau dari hukum Islam mengenai pelarangan kaum gay (homoseksual) baik yang terdapat dalam Al-Qur ’an maupun hadits. Allah SWT menceritakan masalah homoseksual dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang terdapat dalam Surah Al A’raaf (7): 80-84, Al Hijr (15): 57-77, Al Anbiya (21): 7475, Asy Syu’ara (26): 160-175, An Naml (27): 54-58, Al ankabut (29): 28-35, Ash Shaffat (37): 133-138, dan Al Qamar (54): 33-39. Adapun hadits yang mengatur masalah gay antara lain salah satu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma. Dan perilaku seksual homoseksual atau gay ditinjau dari perundang-undangan di Indonesia diatur dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam, KUHP pasal 292 dan UU No. 44 Tahun 2008 pasal 4 ayat 1(a). Untuk sanksi terhadap kaum gay pada hukum Islam, para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukuman bagi homoseks. Ada tiga pendapat yaitu pertama dibunuh secara mutlak, kedua dihad sebagaimana had zina. Bila pelakunya jejaka ia harus didera, bila pelakunya muhshan ia harus dihukum rajam, ketiga dikenakan hukuman ta’zir/sanksi. Dan tujuan pemidanaan menurut hukum Islam adala menjaga agama (hifdhu-din), terjaminnya perlindungan hak hidup (hifdhun-nasf), menjaga keturunan (hifdhun-nasl), menjaga akal (hifdhul-aql), menjaga harta (hifdhu-mal), keadilan. Sedangkan 104 untuk sanksi terhadap perilaku seksual dalam perundang-undangan di Indonesia diatur dalam KUHP pasal 292 dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan UU No. 44 Tahun 2008 pasal 29 dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) ) untuk setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, mengimpor, menggandakan, mengekspor, menyebarluaskan, menawarkan, menyiarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi dan pasal 34 dengan sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Adapun tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia, adalah sebagai berikut pembalasan (revenge), penghapusan dosa (exspiation), menjerakan (deterrent), perlindungan terhadap umum (protection of the public), memperbaiki si penjahat (rehabilitation of the criminal). B. Saran 1. Untuk masyarakat agar lebih peka dan ikut berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap fenomena keberadaan komunitas gay, 105 sadar atau tidak kaum gay berada di tengah-tengah masyarakat khususnya di lingkungan keluarga untuk selalu mengawasi serta memberikan pendidikan kepada anggota keluarga dengan sebaikbaiknya. 2. Untuk pemerintah dalam menyikapi fenomena komunitas tidak hanya sekedar memberikan penyuluhan dan penanggulangan virus HIV AIDS serta pelatihan dan penyaluran tenaga kerja kepada kaum gay saja, namun juga perlu pula dibentuk suatu lembaga untuk menampung para homoseksual agar mereka bisa bertobat dan kembali menjadi jati diri yang sebenarnya serta digalakkannya pendidikan seks usia dini di sekolah-sekolah sebagai upaya pencegahan free sex dan penyimpangan seksual lainnya. 3. Kepada tokoh agama untuk lebih lagi berjuang di jalan Allah dengan jalan berdakwah dan menghasilkan produk-produk hukum terhadap permasalahan yang semakin komplek di tengah masyarakat modern. 4. Perlunya kajian, diskusi, seminar yang lebih konprehensif tentang masalah homoseksual 5. Perlunya penjelasan yang lebih jelas dan tegas mengenai pemberian sanksi bagi pelaku homoseksual di dalam hukum pidana. 106 DAFTAR PUSTAKA Al-Hafidz, Ahsin W. 2005. Kamus Ilmu Al Qur’an. Amzah. Arikunto, Suharsini. 1998. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik). Jakarta: Rineka Cipta. Bahesyti, Moh. Husaini dan Bahomar, Jawad. 2003. Intisari Islam. Jakarta: PT. Lentera Basri Tama. Choiriyah, Febri Ayu. 2011. Kehidupan Waria Ditinjau dari Hukum Islam (Studi Kritis Perilaku Keberagamaan di Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis Notoyudan Yogyakarta). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga. Demartoto, Argyo. 2010. Seks, Gender, dan Seksualitas Lesbian. (Online). (http://argyo.staffUNS.ac.id/files/2010/08/seksgender-dan-seksualitas.pdf diakses pada tanggal 19 September 2014). Departemem Agama RI. 1999. Al Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: CV. Asy Syifa’. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Djubaedah, Neng. 2004. Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam Cetakan Ke-2. Jakarta Timur: Kencana. Doi. Abdur Rahman I. 1996. Syariah the Islamic Law. Terjemahan Zaimudin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Kartono, Kartini. 1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: CV. Bandar Maju. _____________. 2012. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Kohir, Faqihudin Abdul dan Mukarnawati, Ummu Azizah. 2013. Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: Komnas Perempuan. Kompilasi Hukum Islam Buku 1 tentang Hukum Perkawinan. 107 KUHAP dan KUHP. Tangerang Selatan: SL Media. Machmunah. 2007. Homoseks dalam Al Qur’an (Telaah Kritis Penafsiran Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah). Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: Fakultas Ushuludin Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang. Miqdad, Akhmad azar Abu. 2000. Pendidikan Seks bagi Remaja. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Moleong, Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Muhammad, Husein., Mulia, Siti Musdah., dan Wahid, Marzuki. 2011. Fiqh Seksualitas (Risalah Islam untuk Pemenuhan Hak-Hak Seksualitas). Jakarta: PKBI. Mujtabah, Saifudin dan Ridlwan, M. Yusuf. 2010. Nikmatnya Seks dalam Islami. Yogyakarta: Pustaka Marwa. Oetomo, Dede. 2003. Memberi Suara Pada yang Bisu. Yogyakarta: Galang Press. Purnamasari, Anggrahini Mahaputri. 2013. Kehidupan Homoseksual dalam Novel Pria Terakhir Karya Gusnaldi Kajian Sosiologi Sastra. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Sa’abah, Marzuki Umar. 2001. Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Islam. Yogyakarta: UII Press. Sabiq, Sayid. 1986. Fiqih Sunnah Jilid IX. Bandung: Al-Ma’arif. Salatiga dalam Angka 2014. (Online). (www.salatigakota.go.id diakses pada tanggal 27 Februari 2015). Sarwono, Sarlito Wirawan. 1982. Pengantar Ilmu Psikologi. Jakarta: Bulang Bintang. Siahaan, Jokie MS. 2009. Perilaku Menyimpang Pendekatan Sosiologi. Jakarta: PT. Indeks. Soimin, Soedharyo. 2011. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. Sugandhi. 1981. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional. 108 Syafi’ie, Mohammad. 2009. Seks dan Seksualitas dalam Islam (Studi Atas Pemikiran Fatima Mernissi). Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Syam, Nur. 2010. Agama Pelacur (Dramaturgi Transendental). Yogyakarta: LKIS. Undang-Undang republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Hak Asasi Manusia. Yatimin. 2003. Etika Seksual dan Penyimpangannya dalam Islam. PT. Amzah. Http://id.wikipedia.org/wiki/gay http://id.wikipedia.org/wiki/komunitas http://www.khazanah.republika.co.id/berita/dunia-Islam/Islamnusantara/15/01/15/ni76pd-hukuman-bagi-pelaku-penyimpangan-seksualdalam-fatwa-mui.com diakses pada tanggal 27 Maret 2015. http://www.voa-Islam.com/red/Indonesiana/2015/03/19/35983/mui-fatwakanharam-dan-hukum-mati-bagi-lesbi-gay-sodomi-serta-pencabulan.com. diakses pada tanggal 27 Maret 2015. 109 LAMPIRAN-LAMPIRAN 1 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Fariul Ibnu Huda Tempat, Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 29 Juni 1992 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Alamat Rumah Pendidikan : Isep-Isep Cebongan RT 01 RW 03 Kelurahan Cebongan Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga : 1. 2. 3. 4. 5. Pengalaman Organisasi TK Tabiyatul Banin SD N Cebongan 03 Salatiga MTS N Salatiga SMK N 1 Tengaran (Jurusan Tekhnik Otomotif) IAIN Salatiga : 1. Senat Mahasiswa Periode 2013 2. HMI Komisariat Karnoto Zarkasyi 3. HMI Cabang Salatiga 1 2 3 4 5 Peneliti saat mengadakan wawancara dengan kepada Ibu Titik selaku staff Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di kota Salatiga. 6 Tampak papan nama sekretariat KPA kota Salatiga yang berada di Jl. Hasanudin kota Salatiga Inilah komunitas GATSA (Gay Transdender Salatiga) saat mengikuti penyuluhan HIV AIDS oleh KPA Kota Salatiga. Foto wajah yang disamarkan adalah T (28) salah satu sumber informan pada saat wawancara tanggal 15 April 2014. 7