Terorisme Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Pancasila Dosen

advertisement
Terorisme
Untuk Memenuhi Tugas Akhir
Mata Kuliah Pancasila
Dosen : Khalis Purwanto MM
Disusun Oleh
:
Nama
: Cahyo Adiwinata
Nim
: 11.02.8124
Program
: D3
Jurusan
: MANAJEMEN INFORMATIKA
STMIK AMIKOM YOGYAKARTA
2011
Page 1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah pancasila ini dengan judul “
Terorisme “. Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas akhir pancasila
Ucapan terima kasih
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Khalis Purwanto, M
M selaku dosen STMIK AMIKOM yang telah meluangkan waktu untuk membimbing kami baik
diwaktu jam pelajaran maupun diluar jam pelajaran dalam menyelesaikan tugas ini
Page 2
Daftar isi
Judul
.....................................................................................
1
Kata pengantar ....................................................................
2
Ucapan trimakasih ...............................................................
2
Daftar isi
3
..............................................................................
Bab I Pendahuluan
I.1
Latar belakang
............................................................
I.2
Maksud dan tujuan
I.3
Permasalahan
4
.....................................................
5
...............................................................
5
II.1 Istilah terorisme ...........................................................
7
Bab II Pembahasan
II.2 Kajian Akademis terhadap
UU Anti Terorisme Indonesia
....................................
II.3 Sisi Negatif Pendekatan Legal Formal
8
......................
12
..................................
14
III.1 Kesimpulan dan saran ...............................................
16
III.2 Penutup
17
II.4 Pendekatan Sosio-Kultural
sebagai alternatif penyelesaian
Bab III Penututup
.......................................................................
III.3 Daftar pustaka
.............................................................
18
Page 3
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang Masalah
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama
sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada
tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban.
Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan
menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap
oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua
diantaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung
Pentagon.
Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh
negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme
sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan
Terorisme Internasional. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali I, tanggal 12
Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia,
yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak
Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari
Tragedi Bom Bali I, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas
Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa
tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan
pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme.
Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai
untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk
membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada
Page 4
tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
I.2 Maksud dan Tujuan
a. Maksud
Maksud penulisan makalah ini adalah disamping untuk melaksanakan penugasan
pembuatan makalah yang materinya menyangkut masalah terorisme dari Dosen, makalah
ini pula bertujuan sebagai sarana untuk belajar dalam menuangkan pemikiran saya
tentang Mata Kuliah Ilmu Politik yang diterima dengan ditunjang dengan beberapa
referensi – referensi yang relevan dengan permasalahan ini.
b. Tujuan
Dengan penulisan makalah ini, kami mengharapkan agar makalah ini dapat
dijadikan sebagai referensi dan tambahan wawasan / pengetahuan bagi pembaca
mengenai hal-hal yang berkenaan upaya meminimalisir aksi terorisme dengan melalui
pendekatan hukum dan sosial yang membawa pengaruh terhadap kondisi keamanan
dalam dan luar negeri.
I.3 Permasalahan
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia
demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan
kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya
dalam keadaan apapun. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan dibanyak negara
untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran terhadap
prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa
penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung
meningkat. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus
diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus
dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa
memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tapi
dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia 1. Melawan
Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan sebaliknya
Page 5
membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak
memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan.
Melihat kenyataan dan akibat yang ditimbulkan diatas dapat diambil beberapa pokok
permasalahan yang akan penulis coba bahas antara lain :
a. Apakah yang dimaksud dengan terorisme atau teroris dan apa latar belakang terjadinya
aksi terorisme tersebut ?
b. Bagaimana kajian akademis yang berbasis hukum nasional dan internasional terhadap
pasal-pasal yang ada pada UU anti teroris Indonesia yaitu Perpu No. 1 tahun 2002 dan
revisi UU No. 15 tahun 2003 ?
c. Apakah terdapat kelemahan pendekatan legal formal yang diterapkan melalui UU anti
terorisme Indonesia dalam menindak para pelaku terorisme ?
d. Apakah pendekatan sosio-kultural dapat dilakukan sebagai cara alternatif untuk
mengurangi aksi terorisme di Indonesia ?
Page 6
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Istilah Terorisme
Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan
kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala
lebih kecil daripada perang . Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad
18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror ( under the terror ), berasal dari bahasa
latin ”terrere” yang berarti gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut2.
Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa
teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan
terhadap publi. Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering
digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah
kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang yang diserang. Polarisasi
tersebut terbentuk dikarenakan ada relativitas makna terorisme yang mana menurut Wiliam
D Purdue ( 1989 ), the use word terorism is one method of delegitimation often use by side
that has the military advantage3.
Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi
terorisme. Penggunaan istilah teroris meluas dari warga yang tidak puas sampai paada non
komformis politik.
Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai
alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan
terhadap penduduk sipil menggunakn istilah positif untuk kombatan mereka, misalnya antara
lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan
negara, bagaimanapun lebih diterima daripada yang dilakukan oleh ” teroris ” yang mana
Page 7
tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan.
Negara yang teribat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk
sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Meski kemudian muncul istilah State Terorism,
namun mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan
terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal
kompromi , korban bisa saja militer atau sipil , pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak,
kaya miskin, siapapun dapat diserang.
Kebanyakan dari definisi terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria,
antara lain target, tujuan, motivasi dan legitmasi dari aksi terorisme tersebut. Pada Bulan
November 2004 , Panel PBB mendifinisikan terorisme sebagai4 :
” Any action intended to cause death or serious bodily harm to civilians, non combatans,
when the purpose of such act by is nature or context, is to intimidate a population or compel
a government or international organization to do or to abstain from doing any act” .
( Yang dalam terjemahan bebasnya adalah segala aksi yang dilakukan untuk menyebabkan
kematian atau kerusakan tubuh yag serius bagi para penduduk sipil, non kombatan dimana
tujuan dari aksi tersebut berdasarkan konteksnya adalah untuk mengintimidasi suatu populasi
atau memaksa pemerintah atau organisasi internasional untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu ).
Dapat dikatakan secara sederhana bahwa aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh
motif – motif tertentu seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam dan
motif-motif berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Namun patut disadari bahwa terorisme
bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekedar strategi ,
instrumen atau alat untuk mencapai tujuan . Dengan kata lain tidak ada terorisme untuk
terorisme, kecuali mungkin karena motif-motif kegilaan ( madness )5.
II.2 Kajian Akademis terhadap UU Anti Terorisme Indonesia
Terdapat kesan yang kuat bahwa pemerintah lebih mengedepankan pendekatan legal
formal dan represif dalam menangani masalah terorisme di tanah air. Indikasi ini diperkuat
dengan bersemangatnya pemerintah mengeluarkan undang-undang untuk mengatasi masalah
Page 8
terorisme ini , termasuk usulan untuk mengeluarkan Internal Security Act yang diyakini oleh
banyak pihak pasti akan bersifat represif. Pada saat akan disahkan Perpu 1 tahun 2002
menjadi UU No. 15 tahun 2003 banyak kecaman yang menyulut pertentangan dan kritik
terhadap seputar hak-hak asasi manusia berkenaan dari berbagai hal antara lain Asas
Retroakif, waktu penangkapan yang 7 X 24 jam , laporan intelejen dan sebagainya
Dalam Revisi UU No. 15 tahun 2003 ada pencantuman beberapa tindak pidana
dimana beberapa pasal bukan hanya dirumuskan terlalu luas, tetapi berpotensi melanggar
HAM . Hal tersebut terlihat dengan adanya kriminalisasi atau menjadikan perbuatan sebagai
tindak pidana pada aktivitas – aktivitas untuk perbuatan sebelum terjadinya tindak pidana
terorisme seperti pada Pasal 9 A , yang berbunyi :
a. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, setiap orang dengan sengaja dan
melawan hukum memperdagangkan bahan-bahan utama yang berpotensial untuk
digunakan sebagai bahan peledak
b. Apabila bahan-bahan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti digunakan dala
tindak pidana terorisme , pelaku dipidana paling lama 15 Tahun.
Rancangan UU tersebut tidak menjelaskan jenis bahan-bahan peledak yang dimaksud
, padahal produsen pupuk , nelayan kecil-kecilan dan pekerja tambang pun membutuhkan
bahan-bahan yag jika dicampur dengan bahan-bahan tertentu dapat menjadi peledak. Bahkan
bensin, kain dan botol kosong pun dapat menjadi bahan peledak. Jika ketentuan pasal
tersebut disahkan akan terjadi ketidakadilan dan kerancuan dalam penerapannya di lapangan.
Untuk itu ada baiknya diperlukan peraturan distribusi bahan-bahan kimia serta badan
pengawas yang bertugas mengawasi peredaran bahan kimia yang berpotensi sebagai bahan
peledak di pasaran. Dimana hal tersebut tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit
dalam pelaksanaannya dan diragukan terealisasi dengan baik. Selain itu menimbulkan
kerancuan siapa dapat digolongkan sebagai pembeli yang legal atau illegal berdasarkan dari
itikad pembeliannya. .
Pada pasal 26 RUU dinyatakan bahwa laporan intelejen dapat dijadikan sebagai bukti
permulaan . Laporan intelejen pada ayat (1a) jika berasal dari instansi lain selain dari
Kepolisian RI wajib diautentifikasi oleh Kapolri atau pejabat yang ditunjuk. Namun tidak
Page 9
disebutkan siapa pejabat lain yang ditunjuk itu. Selain itu diakui oleh Direktur Jenderal
Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan Mayor Jenderal Sudradjat bahwa memang pasal
ini ditambahkan untuk memberikan perluasan kewenangan intelejen untuk memburu dan
menangkap pihak-pihak yang berencana melakukan aksi terorisme. Laporan intelejen
tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti sebagai alat bukti sebagaimana revisi pasal 27 UU
Anti Terorisme. Sebelumnya dalam UU No. 15 Tahun 2003, Laporan Intelejen tidak
dijadikan sebagai alat bukti ( Primary Evidence ) melainkan sebagai bukti permulaan yang
merupakan bukti pendukung ( Supporting Evidence ).
Dalam hukum pidana terdapat perbedaan mendasar antara pengertian intelegence
evidence dan crime evidence. Crime evidence dapat mencakup intellegence evidence . Tetapi
intelegence evidence tidak dapat dianggap sebagai crime evidence karena intelegnce evidence
tidak memerlukan sebagai fakta hukum untuk merumuskan perbuatan-perbuatan sebagai
indkasi atau dasar adanya tindak pidana. Hal ini dikarenakan intelegence evidence
merupakan abstraksi data yang seringkali tidak memerlukan pembuktian. Misalnya korban
tewas yang dikarenakan bom mobil atau keterlibatan Noordin M Top dan Dr Azhari dalam
peledakan Bom Kuningan adalah intelegence evidence. Sedangkan crime evidence
merupakan fakta hukum yang konkret sebagai ciri rule of law, disini berarti Noordin M Top
dan Dr Azhari harus didengar kesaksiannya di pengadilan. Dengan menggunakan laporan
intelejen sebagai alat bukti jelas mengabaikan azas praduga tak bersalah ( presumption of
innocent ) dan tidak dapat diabaikan kemungkinan dilakukannya inkriminasi terhadap para
tersangka terorisme.
Pasal 31 RUU juga memasukkan hak-hak penyidik untuk membuka, memeriksa dan
menyita surat dan kiriman melalui pos serta melakukan penyadapan pembicaraan. Pasal itu
bahkan tidak memberikan batasan terhadap tindakan penyadapan apa saja yang boleh
dilakukan oleh penyidik. Penyidik cukup memiliki bukti permulaan yang cukup untuk bisa
melakukan itu semua.
Pada Pasal 34 RUU dicantumkan bahwa pemeriksaan dapat dilakukan secara jarak
jauh tanpa melakukan tatap muka dengan tersangka dengan menggunakan layar monitor.
RUU ini mengijinkan penggunaan teleconferenci sebagai alternatif kehadiran saksi di muka
Page 10
sidang pengadilan. Namun RUU tidak menjelaskan apa prasyarat tehnis untuk membuat
suatu kesaksian di pengadilan dengan menggunakan teleconferenci seperti sertifikasi sistem
komunikasi dan keamanan ruangan saksi yang diperiksa melaui teleconferenci sehigga
keterangan saksi terlepas dari intervensi yang dilakukan oleh penyidik di belakang layar
teleconference tersebut.
Terorisme memiliki kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga
pandangan mengenai terorisme seringkali bersifat subjektif11. Dalam Perpu No. 1 Tahun
2002 sebenarnya terdapat pasal-pasal yang sangat riskan melanggar HAM yaitu Pasal 46
tentang Asas Retroaktif. Kemudian pada Bulan Juli 2004 MK menyatakan bahwa UU No. 15
Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 mengenai pemberantasan tindak
pidana terorisme pada peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 tidak memiliki kekuatan
yang mengikat.
Mahkamah Konstitusi ( MK ) mempertimbangkan Asas Retroaktif adalah asas hukum
yang bersifat universal yang hanya dapat diberlakukan ada jenis kejahatan tertentu yang
berupa Kejahatan Genosida ( crimes of genocide ), kejahatan terhadap kemanusiaan ( crimes
againts humaninity ), kejahatan perang ( war crimes ) dan kejahatan agresi ( crimes of
agression ), merujuk pada Statuta Roma Tahun 1998 dan UU No. 39 Tahun 2002 tentang
Hak Asasi Manusia. Menurut MK, terorisme merupakan kejahatan biasa yang sangat kejam,
maka kejahatan terorisme untuk Bom Bali tidak dapat diberlakukan asas retroaktif. Ini
artinya, terorisme bukanlah kejahatan terhadap genosida , kejahatan kemanusiaan, kejahatan
perang dan kejahatan agresi. UU No. 15 Tahun 2003 tidak dapat diberlakukan Asas
Retroaktif karena hal tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) dan pasal 28 i ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini tentunya menimbulkan kontroversi para praktisi hukum di Indonesia karena
keputusan MK tersebut hanya memperhatikan Hak Asasi para pelaku Terorisme saja tidak
mempertimbangkan akibat dari terorisme itu sendiri termasuk para korban, keluarga korban,
masyarakat pada umumnya bahkan akibat terorisme itu akan menyebabkan persepsi negatif
bangsa-bangsa dunia terhadap indonesia bahwa indonesia merupakan sarang terorisme dan
beranggapan bahwa situasi keamanan indonesia tidak aman.
Page 11
Di lingkup internasional penertian terorisme masih terdapat perdebatan alot.
Perdebatan tersebut berputar pada apakah terorisme dapat dimasukkan sebagai kejahatan
terhadap kemanusian ( crimes againts humanity ) atau kejahatan luar biasa ( extra ordinary
crimes ), tetapi bukan sebagai kejahatan kemanusian. Dan ternyata terdapat desakan yang
sangat kuat untuk memasukkan kejahatan treaty based crimes related to terorism and drug
trafficking sebagai kejahatan kemanusiaan sehingga banyak ahli hukum yang mendukung
International Criminal Court ( ICC ) untuk memasukkan kejahatan-kejahatan tersebut dalam
yurisdiksinya.
International Criminal Court ( ICC ) adalah lembaga prospektif yang seharusnya
tidak hanya menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan yang ditentukan oleh
Statuta Roma Tahun 1998. Dalam hal ini , asas legalitas tetap dipandang sebagai asas
fundamental. Namun berkaitan dengan yurisdiksi ICC , asas ini dapat disimpangi bila negara
yang bersangkutan telah membuat pernyataan bahwa negara tersebut dapat menerima
pelaksanaan yurisdiksi oleh pengadilan yang berkaitan dengan kejahatan masa lalu. Bertitik
tolak dari pembahasan mengenai yurisdiksi ICC diatas, maka sewajarnyalah bahwa kejahatan
terorisme termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena korbannya massal dan
menghancurkan kemanusiaan dan peradaban.
II.3 Sisi Negatif Pendekatan Legal Formal
Kebijakan yang terlalu bertumpu kepada pendekatan legal formal dan bersifat
represif, perlu ditinjau ulang karena bukan saja tidak mampu mengatasi masalah terorisme
tetapi justeru dapat meningkatkan tindakan kekerasan semacam itu di masa depan. Hal itu
terbukti makin banyaknya 2004. Pemerintah perlu memikirkan alternatif pendekatan dalam
menyelesaikan masalah terorisme di tanah air diluar pendekatan legal formal / represif.
Ada beberapa hal efek negatif dapat menyebabkan cara penyelesaian berbasis legal
formal/represif itu kurang mampu menyelesaikan masalah terorisme yaitu :
a. Logika dibelakang pendekatan melalui pendekatan melalui mekanisme hukum itu
berlawanan dengan logika yang dianut para teroris itu sendiri. Sanksi pidana pada
Page 12
dasarnya untuk mencegah agar sesorang tidak melakukan tindakan tersebut dan atau
menghukum mereka yang melakukan tindakan yang dilarang dengan harapan pelaku
dan orang lain tidak melakukan hal yang sama kelak dengan cara menerapkan sanksi
fisik bagi para pelanggar, mulai yang teringan sampai dengan yang terberat seperti
hukuman mati. Tetapi, logika itu berlawanan dengan logika para pelaku teroris yang
bertindak melampaui rasa takut untuk melakukannya bahkan mereka rela mati untuk
mewujudkan tujuan mereka.
b. Cara memerangi terorisme yang bersifat legal formal dan represif seperti ini dapat
menimbulkan efek balik yang berlawanan dengan tujuan semula untuk memerangi
terorisme. Tindakan semacam itu tidak mustahil justeru dapat memicu perlawanan
dan radikalisme baru yang lebih hebat , bukan hanya dari kelompok masyarakat yang
dituding sebagai pelaku terorisme tetapi menimbulkan reaksi negatif dari kelompokkelompok lainnya. Apalagi tiap penerapan cara penanganan semacam itu seringkali
bukannya mengobati dan menyembuhkan luka dan rasa frustasi suatu kelompok
dalam masyarakat tetapi cenderung berakibat pada kian mendiskreditkan dan
memojokkan mereka. Kolompok masyarakat lain akan memberikan stigma negatif
pada kelompok masyarakat tersebut sehingga kelompok yang menerima stigma
tersebut akan berdampak melakukan perlawanan kepada pemerintah dan kelompok
lainnya.
c. Penerapan UU yag represif seperti UU anti terorisme dan internal security act dapat
membawa implikasi negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya
kehidupan masyarakat demokrasi. Jika ISA diberlakukan wewenang aparat negara
akan lebih besar sehingga terbuka peluang untuk disalahgunakan. Ada kemungkinan
orang yang dicuriagai sebagai teroris dapat diperiksa dan ditangkap tanpa prosedur
hukum yang sah dan benar. Tiap-tiap lawan politik yang berseberangan misalnya
dapat dikenakan dengan pasal-pasal ini sehingga memunculkan state terorism yang
tentunya akan menimbulkan masalah panjang yang tidak berkesudahan.
Keberhasilan membuat perangkat hukum yang baik belum tentu memberikan dampak
positif dalam mewujudkan maksud dan tujuan hukum. Sebagus apappun produk hukum
Page 13
formal yang ada tidak akan ada artinya tanpa disertai penerapan yang baik. Ironisnya,
Indonesia dipandang sebagai negara yang pandai membuat perangkat hukum namun masih
lemah penerapannya. Hal ini jika dibiarkan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap hukum itu sendiri.
II.4 Pendekatan Sosio-Kultural sebagai alternatif penyelesaian
Dalam jangka panjang memerangi terorisme tidaklah cukup dan tidak akan pernah
berhasil hanya dengan menindak pelaku teror dan peledakan bom dengan kekerasan. Kita
melihat bagaimananya Amerika Serikat dan sekutunya dalam menjalankan kampanye
”Perang Terhadap Terorisme”. Justeru kampanye tersebut telah menimbulkan masalah
tersendiri yang telah memakan korban warga negara mereka itu sendiri dan mengeluarkan
biaya yang tidak sedikit untuk menindak para pelaku teror. Para pelaku teror tersebut akan
terus meningkatkan perlawanannya seiring semakin hebatnya USA dan sekutunya untuk
memerangi pelaku teroris. Fakta telah menunjukkan bahwa membunuh pelaku teror,
mengisolasinya dan memenjarakan para pemimpin organisasi teroris tidak mampu
menghentikan tindakan terorisme dalam waktu lama.
Sementara itu di Indonesia munculnya tindakan terorisme menandakan adanya yang
salah dalam sistem sosial, politik dan ekonomi . Para pelaku teroris menjadi sedemikian
radikal disebabkan mereka merasa termarginalisasi dan terasing dari kehidupan sosial, politik
dan ekonomi masyarakat. Keterasingan tersebut pada umumya bersifat struktural yang
termanifestasi dalam kebijakan pemerintah yang kurang akomodatif atau merugikan dalam
waktu panjang. Hal ini akan mengakibatkan perasaaan tidak puas dan benci pada pemerintah
dan kelompok masyarakat tertentu seperti orang kaya, penguasa dan orang asing yang
dianggap telah melangkahi kepentingan mereka. Namun upaya untuk mengatasi rasa
keterasingan tersebut secara normal mengalami hambatan karena tidak ada ruang bagi
mereka untuk berpartisipasi dan menyalurkan harapan serta kepentingan mereka sehingga
timbullah aksi radikal seperti terorisme.
Amatlah penting untuk menerapkan cara-cara lain yang lebih persuasif dan
akomodatif terhadap kepentingan terhadap kelompok yang berpotensi melakukan tindakan
Page 14
terorisme. Misalnya dengan menerapkan kebijakan yang lebih sensitif terhadap kepentingan
berbagai kelompok yang merasa termarginalisasi atau dirugikan dengan berbagai kebijakan
yang telah diterapkan selama ini. Termasuk kemungkinan penerapan tindakan yang bersifat
dan mengandung unsur konsesi dan rekonsiliasi antara pemerintah dan masyarakat serta
unsur-unsur dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga memperkecil pilihan penggunaan
kekerasan untuk mencapai tujuannya.
Selain itu pula dalam rangka mengeliminir perekrutan pelaku terorisme pemerintah
dapat bersinerji dengan para tokoh setiap agama yang ada di Indoensia untuk melepaskan
label atau stigma dari suatu kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya yang dicurigai
sebagai pelaku terorisme. Sehingga perlunya lebih merekatkan kerjasama di dalam kelompok
masyarakat Indonesia dan menjalin komunikasi untuk menyamakan persamaan pandangan
dari dalam seluruh kelompok masyarakat bahwa terorisme bukanlah nilai / ajaran suatu
kelompok tertentu.
Page 15
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan penjelasan penulis diatas bahwa dapat terlihat bahwa Terorisme timbul
dengan dilatar belakangi berbagai sebab dan motif. Naun patut kita sadari bahwa terorisme
bukan merupakan ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama . Terorisme
merupakan strategi , instrumen dan atau alat mencapai tujuan.
Penerapan UU anti terorisme di dalam No 15 Tahun 2003 sangat berpotensi
mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi para tersangka terorisme dan tidak
memberikan efektifitas untuk mengurangi orang untuk bertindak sebagai teroris. Wewenang
yang terlalu luas bagi aparat untuk memberantas terorisme tanpa disertai tanggungjawab
dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan suatu terorisme baru yang dilakukan terhadap
negara terhadap warga negaranya atau State Terorism. Hal inilah yang ditakutkan oleh para
ahli hukum pidana. Untuk itu pemerintah perlu memikirkan pendekatan yang tidak legalis
represif terhadap terorisme salah satunya antara lain memikirkan kemungkinan rekonsialisasi
dan terbukanya komunikasi intensif antara pemerintah-masyarakat dan unsur-unsur di dalam
masyarakat itu sendiri.
Patut disadari bahwa terorisme merupakan rangkaian tindakan yang kompleks, maka
pada dasarnya pengaturan anti terorisme tidak akan memadai jika hanya dilakukandalam satu
undang-undang. Selain itu sudah sepatutnya aparat penegak hukum mengefektifkan
ketentuan hukum yang sudah ada dan terpancar dalam berbagai undang-undang, dengan cara
mengintegrasikan kedalam kerangka hukum yang komprehensif. Revisi UU anti terorisme
harus sesuai dengan kerangka hukum yang harus mengatur aspek-aspek yang berkaitan
dengan pengawasan perbatasan, keamanan transportasi, bea cukai, keimigrasian, money
loundring, basis rekruitmen dan pelatihan ( milisi atau pelatihan militer illegal ), keuangan,
bahan peledak, bahan kimia dan persenjataan serta perlindungan terhadap masyarakat sipil.
Serta mewajibkan setiap prosedur dan tindakan hukum dilakukan secara nondiskriminatif ,
melindungi dan menghormati HAM.
Page 16
III.2 P e n u t u p
Demikian Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen Mata
Kuliah Pancasila , penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna maka penulis
meminta koreksi dan kritik yang membangun dari para dosen dan pembaca demi lebih
baiknya makalah ini dikemudian hari.
Page 17
DAFTAR PUSTAKA
1.
HHTP://en. www.pemantauperadilan.com . Diakses tanggal 21 April 2008.
2.
“History and causes of terrorism “ hhtp://en.wikipedia.org/wiki/terrorism. Diakses tanggal 21
April 2008.
3.
Tb Ronny Rahman Nitibaskara, “State Terorism”. Kompas Cyber Media , www.kompas.com
edisi Sabtu, 20 April 2002. Diakses tanggal 22 April 2008.
4.
HHTP://en.wikipedia.org/wiki/definitions_of_terorism. Diakses tanggal 22 April 2008.
5.
Kompas Cyber Media, “ Revisi UU Anti Terorisme Diakui untuk menambah Kewenangan
Intelejen” , Sabtu, 30 Agustus 2003 .www.kompas.com, diakses tanggal 23April 2008.
6.
Dr. Indrianto SenoAdjie , SH, MH, “Terorisme” Perpu No. 1 Tahun 2002 dalam perspektif
hukum pidana, Hal 45 , Buku OC Kaligis & Associates, Terorisme : Tragedi Umat Manusia ,
Jakarta, April 2003.
7.
Amir Syamsuddin, “ Menegakkan Hukum Tanpa Rasa Keadilan”, Kompas Cyber Media, 30
Juli 2004, www.kompas.com , diakses tanggal 25 April 2008.
8.
Frans Hendra Winata, “ Terorisme itu Kejahatan Luar Biasa” , Kompas Cyber Media, 11
September 2004, www.kompas.com. Diakses tanggal 25 April 2008.
9.
Dafri Agussalim, “ Mencari Cara Memerangi Terorisme”, Kompas Cyber Media, Kamis 23
Agustus 2003 www.kompas.com . Diakses tanggal 25 April 2008.
10.
Robert A Pape, “ The Strategic Logic of Sucide Terorism”, hal 14-15, American Political
Science Review, Washington ,14 Juli 2003.
Page 18
Download