12 BAB II LANDASAN TEORI A. Kemampuan Berbicara 1. Kemampuan Berbicara sebagai Salah Satu Keterampilan Berbahasa Keterampilan berbahasa (language skill) dikelompokkan oleh Nida dan Harris (dalam Tarigan, 1998 : 1) menjadi empat komponen, yaitu : a. Keterampilan menyimak ( listening skills ) b. Keterampilan berbicara ( speaking skills ) c. Keterampilan membaca ( reading skills ) d. Keterampilan menulis ( writing skills ) Keempat keterampilan berbahasa tersebut pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, artinya antara komponen yang satu dengan komponen yang lainnya memiliki kaitan yang erat, saling mendukung, dan saling menunjang. Oleh karena itu, keempat keterampilan berbahasa tersebut sering disebut catur tunggal. Pemerolehan keterampilan berbahasa biasanya melalui suatu urutan hubungan yang teratur, yaitu mula-mula pada waktu kecil kita belajar menyimak, kemudian berbicara, sesudah itu kita belajar membaca dan terakhir kita belajar menulis. Menyimak dan berbicara dipelajari sebelum memasuki sekolah, sedangkan membaca dan menulis dipelajari sesudah memasuki sekolah. 13 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berbicara merupakan salah satu komponen keterampilan berbahasa. Kemampuan berbicara ini merupakan proses perubahan bentuk pikiran, perasaan atau ide yang mewujudkan bunyi bahasa yang bermakna. Kemampuan berbicara merupakan keterampilan yang produktif, terjadi secara langsung dan ekspresif. 2. Batasan Berbicara Masing-masing pakar memiliki pengertian tentang berbicara berbeda-beda. Tarigan ( 1998 : 5 ) mengatakan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Batasan ini diperluas sehingga berbicara merupakan sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang dapat kelihatan (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot tubuh manusia demi maksud, tujuan-tujuan, gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Lebih luas lagi, berbicara merupakan bentuk prilaku manusia yang memanfaatkan faktorfaktor fisik, psikologis, neurologis, semantik, dan linguistik secara luas sehingga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam kegiatan berbicara terjadi proses perubahan wujud pikiran atau perasaan menjadi wujud ujaran atau bunyi bahasa yang bermakna. Berbicara bukan hanya mengucap tanpa makna, melainkan berbicara sebagai kegiatan berbahasa, yaitu menyampaikan pikiran atau perasaan kepada orang lain melalui 14 ujaran atau dengan bahasa lisan, berbicara merupakan suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan, pikiran , ide yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan si pendengar. Sementara Kartini ( dalam Yuanita, 1996 : 15 ) mengungkapkan bahwa berbicara merupakan suatu peristiwa penyampaian maksud, gagasan, ide, pikiran, perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan, sehingga maksud tersebut dipahami oleh orang lain. Berbicara menghasilkan menurut bahasa Kridalaksana untuk adalah berkomunikasi perbuatan sebagai yang salah satu keterampilan dasar dalam berbahasa. Menurut Ahmadi ( 1990 : 18 ) memberi pengertian sebagai suatu keterampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan, perasaan, dan keinginan kepada orang lain. Kemudian Badudu-Zain (1994 : 180) mengartikan berbicara dengan kata-kata, berpidato, dan bercakap-cakap. Selanjutnya pengertian berbicara yang terdapat dalam speech communication in the classroom ( dalam Yuanita, 1996 : 16 ) berbunyi “speech is an activity wilst language is the structural pattern or system we use to convey our messege in speech”. Sedangkan berbicara menurut Webster Third New International Dictionary adalah “the factually of uttering articulate sound; the power of speaking”. Mengacu pada beberapa pengertian berbicara yang diungkapkan para ahli di atas, maka batasan-batasan yang dapat dijadikan kerangka 15 konsep berpikir dalam penelitian ini adalah pendapat Kartini yang mengungkapkan berbicara merupakan suatu peristiwa penyampaian maksud, gagasan, ide, pikiran, perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan, sehingga maksud tersebut dipahami oleh orang lain. 3. Tujuan Berbicara Tujuan utama berbicara adalah berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif maka seyogyanya si pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikannya, dia harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap para pendengarnya, dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan. Ochs dan Winker (dalam Tarigan, 1998 : 16) serta Keraf (1989 : 320) mengatakan bahwa pada dasarnya berbicara mempunyai tiga tujuan umum sebagai berikut : a. Memberitahukan, melaporkan ( to inform ) Bila pembicara ingin memberitahukan atau menyampaikan sesuatu kepada pendengar agar mereka dapat mengerti tentang suatu hal, atau memperluas bidang pengetahuan mereka, maka tujuan pembicaraan tersebut adalah memberitahukan. Reaksi yang diinginkan dari jenis uraian ini adalah agar pendengar mendapat pengertian yang tepat, menambah pengetahuan diketahuinya. mereka tentang hal-hal yang kurang atau belum 16 Berbicara untuk melaporkan atau memberi informasi (informative speaking) dilaksanakan jika seseorang berkeinginan untuk : 1) Memberi atau menanamkan pengetahuan, 2) Menetapakan atau menentukan hubungan antara benda-benda, 3) Menginterpretasikan atau menafsirkan suatu persetujuan ataupun menguraikan suatu tulisan ( Tarigan,1998:27 ). Semua hal tersebut merupakan situasi-situasi informativ karena masing-masing ingin membuat pengertian-pengertian menjadi jelas. Jenis atau sifat uraian ini adalah Instruktif atau komposisi yang mengandung ajaran (Keraf, 1989 : 322). b. Menjamu, menghibur ( to entertain ) Bila pembicara bermaksud menghibur atau menyenangkan atau menimbulkan suasana gembira pada suatu pertemuan atau jamuan, maka tujuan pembicaraan tersebut adalah menghibur. Pembicaraan, khususnya bercerita semacam ini biasanya ditemukan ketika orang tua akan menidurkan anaknya, seorang nenek menceritakan pengalaman masa lalunya kepada cucu-cucunya, dan pertemuan gembira lainnya. Kesegaran dan originalitas memainkan peranan yang sangat penting. Humor merupakan alat yang sangat penting dalam penyajian semacam ini. Reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan minat dan kegembiraan hati pendengarnya. Jenis dan uraian ini adalah rekreatif, atau menimbulkan kegembiraan dan kesenangan pendengarnya. 17 c. Membujuk, mengajak, mendesak atau meyakinkan ( to persuade ) Menurut Tarigan ( 1998 : 31 ), Aristoteles pernah mengatakan bahwa “persuasi (bujukan,desakan,peyakinan) adalah seni penanaman alasan-alasan atau motif-motif yang menuntun ke arah tindakan bebas yang konsekuensi”. Persuasi merupakan tujuan kalau kita menginginkan tindakan atau aksi. Pembicaraan yang besifat persuasi disampaikan kepada pendengar bila kita menginginkan penampilan suatu tindakan atau pengajaran suatu bagian dari suatu tindakan. Berkaitan dengan hal ini, Keraf (1989 : 321 ) mengatakan bahwa bila pembicara berusaha untuk mempengaruhi keyakinan atau sikap mental atau intelektual pendengar, maka pembicaraan ini bertujuan untuk meyakinkan. Pada umumnya bercerita yang disampaikan mengandung tujuan dan alat yang esensial dari komposisi lisan semacam ini adalah narasi, karena itu komposisi semacam ini biasanya disertai bukti-bukti atau fakta-fakta yang kongkret atau bahkan juga bisa berupa ilustrasi saja. Dengan demikian reaksi yang diharapkan dari pendengar adalah timbulnya kesesuaian cerita. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan terhadap tujuan berbicara di atas, maka dalam penelitian ini yang akan digunakan yaitu memberitahukan, meyakinkan, dan bahkan menyenangkan. 18 4. Ciri Khusus Berbicara Berbicara memiliki beberapa ciri-ciri khusus,Soedirman (dalam Yunita,1996: 50) mengemukakan tujuh macam ciri khusus dalam berbicara. Ciri-ciri tersebut adalah : a. Bertujuan Kegiatan berbicara membawa seseorang untuk mencapai tujuannya. Dengan berbicara dapat dicapai tujuan yang telah direncanakan siswa, seperti memberitahukan, membujuk, meyakinkan, dan menyenangkan. b. Bersifat interaktif Kegiatan berbicara bersifat interaktif. Artinya kegiatan berbicara itu tidak hanya mengisyaratkan hadirnya pembicara dan pendengar saja, melainkan diperlukan adanya dialog, tanya jawab, interaksi atau saling menanggapi antara kedua belah pihak selama proses komunikasi berlangsung. c. Kesementaraan Proses komunikasi atau kegiatan berbicara ini bersifat sementara, artinya komunikasi tersebut hanya berlangsung selama proses berbicara atau proses komunikasi itu terjadi. Seudah itu tidak dapat ditemukan dan diulang lagi, pengulangan sebuah proses komunikasi atau berbicara selalu tidak akan sama dengan aslinya, sedangkan yang bersifat nonsuara, seperti gerak-gerik, mimik tidak mungkin masuk ke dalam rekaman atau kaset. Disinilah letak kesementaraannya. 19 d. Terjadi dalam bingkai khusus Soedirman ( dalam Yunita, 1996 : 22 ) mengatakan bahwa bingkai khusus berbicara terdiri dari empat macam. Keempat macam bingkai khusus tersebut adalah : 1) komunikasi hanya terjadi dalam waktu tertentu, 2) komunikasi mengambil tempat tertentu, 3) komunikasi selalu mengambil topik tertentu, dan 4) kedua belah pihak dalam keadaan siap. Kegiatan berbicara ini umumnya dilakukan pada saat-saat tertentu, artinya kegiatan berbicara selalu memilih wadah tertentu dan tidak bersifat setiap saat. Memilih wadah tertentu maksudnya memerlukan halhal seperti tempat,waktu, dan topik. e. Alfa tanda baca Dalam kegiatan berbicara, tanda baca tidak begitu dihiraukan seperti halnya dalam menulis. Hal ini disebabkan karena tanda baca bukanlah tanda bunyi, oleh karena itu tidak diucapkan oleh pembicara. Dengan demikian, dalam komunikasi lisan banyak terjadi pengulangan kata-kata yang bersifat menekankan, mengulang, dan menanyakan. Ciriciri khusus ini ditandai dengan adanya pemakaian aksen dan intonasi, banyaknya kalimat yang panjang, struktur kalimat yang panjang, dan adanya penyimpangan kaidah bahasa. f. Kata-kata terbatas Selama pembicaraan berlangsung, terjadinya penggunaan katakata yang terbatas sering terjadi dan sukar dihindari. Hal ini disebabkan tidak adanya waktu bagi pembicara untuk memilih kata-kata. Di samping 20 itu,tuntutan spontanitas diharapkan oleh pendengarnya, akibatnya sering kita temukan pemakaian kata atau frase tertentu dengan frekuensi pemakian yang sama. Beberapa hal yang menyebabkan keterbatasan ini adalah waktu yang sangat terbatas dan lawan bicara yang langsung berhadapan. Memilih kata-kata berarti menghambat kelancaran komunikasi dan banyak waktu yang terbuang, akhirnya kata-kata tertentu memiliki frekuensi yang cukup besar. g. Pengalaman Pengalaman yang dimiliki seorang pembicara akan menentukan mahir tidaknya seorang pembicara di muka umum. Makin banyak variasi pengalaman yang dimiliki pembicara tersebut, makin banyak pula variasi berbicara yang dimilikinya. Karena itu, orang yang kurang berpengalaman dalam berbicara di muka umum akan mengalami kesukaran bila terpaksa harus terlibat di dalam kegiatan berbicara tersebut. 5. Metode Penyajian Berbicara Maksud dan tujuan pembicaraan, kesempatan, pendengar, ataupun waktu untuk persiapan dapat menentukan metode penyajian atau pembicara sendiri dapat menentukan yang terbaik dari empat metode yang mungkin dipilih, yaitu : 1) metode penyampaian secara mendadak, 2) metode ekstemporan (penyampaian tanpa persiapan naskah), 3) metode naskah, dan 4) metode menghafal atau penyampaian dari ingatan ( Keraf, 1989: 316; Tarigan 1998 : 24). 21 Beberapa metode-metode di atas dapat digabungkan untuk mencapai hasil yang lebih baik dan yang paling sering dilakukan adalah penggabungan antara metode naskah dengan metode ekstemporan. Pembicara menyiapkan uraiannya secara mendalam dan terperinci dengan menyiapkan sebuah naskah tertulis, namun ia tidak membaca seluruh naskah itu karena menguasai bahan dalam naskah itu. Pembicara akan berbicara secara bebas, sedangkan naskah itu hanya dipakai untuk membantunya dalam urutan-urutan gagasan yang akan dikemukakan. 6. Jenis- jenis Berbicara Kegiatan komunikasi ( diantaranya berbicara ) pada dasarnya adalah peristiwa penyampaian pesan dari pembicara kepada pendengar. Secara teoritis, pesan itu merupakan inti atau pokok komunikasi. Hal ini dikemukakan oleh Marie M. Stewart dan Zimmer ( dalam Yunita, 1996 : 4) dalam kalimat singkatnya yang berbunyi,“The heart of communication in the massage”. Berdasarkan pesan yang merupakan pokok komunikasi, berbicara dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, pembicara hanya menyampaikan pesan kepada pendengarnya yang kemudian dipahami oleh pendengar yang bersangkutan. Dalam hal ini tidak terjadi reaksi atau tanggapan dari pendengar. Yang termasuk kelompok ini diantaranya ceramah, berpidato, berkhotbah, penyampaian berita, pembawa acara, pendongeng dan lain-lain. Kelompok kedua, pembicara menyampaikan pesan kepada pendengarnya yang kemudian disusul dengan timbulnya 22 reaksi atau tanggapan atau respon pendengar, sehingga terjadi interaksi antara pembicara dengan pendengar dan posisi sebagai pembicara dan pendengar diduduki silih berganti. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya diskusi, seminar, simposium, rapat organisasi, dan lain-lain. Selanjutnya Ragan (dalam Yunita, 1996 : 25) mengemukakan beberapa bentuk ekspresi lisan. Ekspresi lisan tersebut, antara lain: a. cakap informal, b.diskusi dalam maksud dan tujuan tertentu, c. menyampaikan berita, mengumumkan, dan melaporkan, d. memainkan drama, e. khotbah, f. bercerita, g.cakap humor dan bertekateki, h. mengisi acara radio, i. rapat organisasi, dan j.memberikan pengarahan. Pembagian yang hampir sama dengan Ragan juga dikemukakan Lee yang mengatakan bahwa yang termasuk ke dalam jenis komunikasi lisan, yaitu : a. percakapan dan diskusi, b. berita, pengumuman, dan laporan, c. rencana dan evaluasi, d. kegiatan dramatis, e. penampilan kesenangan masyarakat, f. khotbah, g. bercerita informasi tentang lelucon dan tekateki, h. pembicaraan dalam dewan, i. rapat organisasi, j. acara radio dan televis, dan k. mempersiapkan rekaman. Jika kita perhatikan bentuk-bentuk komunikasi lisan yang telah dikemukakan oleh Ragan dan Lee di atas, belum mencakup semua jenis peristiwa berbicara. Di dalamnya masih belum ditemukan bentuk-bentuk 23 seperti wawancara, percakapan antara penjual dan pembeli, meendikte, dan lain-lain. 7. Faktor-faktor Penunjang Keefektifan Berbicara Berbicara pada dasarnya merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapakan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Berbicara memiliki tujuan utama yaitu untuk berkomunikasi. Menurut Arsjad dan Mukti ( 1993 : 17 ) agar dapat menyampaikan informasi dengan efektif, sebaiknya pembicara betul-betul memahami isi pembicaraannya, di samping itu juga harus dapat mengevaluasi efek komunikasinya terhadap pendengar. Jadi bukan hanya apa yang akan dibicarakan tetapi bagaimana mengemukakannya. Hal ini menyangkut masalah bahasa dan pengucapan bunyi-bunyi bahasa tersebut. Yang dimaksud ucapan adalah seluruh kegiatan yang kita lakukan dalam memproduksi bunyi bahasa yang meliputi, artikulasi, yaitu bagaimana posisi alat bicara, seperti lidah, gigi, bibir, dan langit-langit pada waktu kita membentuk bunyi, baik vocal maupun konsonan. Sebagai seorang pembicara yang baik, selain menguasai masalah yang dibicarakan juga harus menunjukan keberanian dan semangat dalam berbicara. Di samping itu juga harus jelas dan tepat mengingat hal tersebut, sebaiknya pembicara memperhatikan hal-hal berikut : a. Faktor kebahasaan, meliputi : 1) Ketepatan ucapan/pelafalan 24 2) Penempatan tekanan, nada sendi, dan durasi ( tempo ) yang sesuai 3) Pilihan kata ( diksi ) 4) Ketepatan sasaran pembicaraan b. Faktor non kebahasaan, meliputi : 1) Sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku 2) Gerak-gerik dan mimik yang tepat 3) Kenyaringan suara/volume suara 4) Kelancaran jalannya bercerita 8. Strategi Pembelajaran Kemampuan Berbicara Menurut Hidayat ( 1986 : 1 ) strategi adalah suatu landasan, ancangan, atau approach, dari landasan itu lahirlah metode dan dari metode lahirlah teknik. Approach, metode, dan teknik merupakan tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan. Dalam Longman Dictionary of Applied Linguistics, Richards dkk. (dalam Sabana,1986:19) mengatakan pengajaran bahasa sering dibicarakan dalam tiga aspek yang berkaitan, yakni pendekatan, metode, dan teknik. Yang menjadi persoalan adalah strategi pembelajaran berbicara seperti apakah yang dapat meningkatkan kemampuan berbahasa siswa? Keterampilan berbicara menurut Ahmadi (1990 :18) pada hakikatnya merupakan keterampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan, perasaan, dan keinginan kepada orang lain. Peralatan vocal seperti selaput suara, lidah, bibir, hidung dan telinga merupakan persyaratan alamiah yang dapat memproduksi suatu ragam yang luas dari bunyi 25 artikulasi, tekanan, nada, kesenyapan, dan lagu bicara. Keterampilan ini pula harus didasari oleh kepercayaan diri untuk berbicara secara wajar, jujur, benar, dan bertanggung jawab dengan menghilangkan masalah kejiwaan, seperti rasa malu, rendah diri, ketegangan, berat lidah dan sebagainya. M.E Fowler ( dalam Ahmadi, 1990 : 19 ) menjelaskan bahwa tujuan program pengajaran kemampuan berbicara meliputi: a. Mudah dan lancar atau fasih b. Kejelasan c. Bertanggung jawab d. Membentuk pendengaran yang kritis Adapun strategi pembelajaran kemampuan berbicara memiliki keterlibatan intelektual emosional siswa, antara lain : a. Bermain peran b. Berbagai jenis diskusi c. Wawancara d. Bercerita e. Berpidato f. Laporan lisan g. Membaca nyaring h. Merekam suara i. Bermain drama yang 26 9. Penilaian Kemampuan Berbicara Dalam pembelajaran kemampuan berbicara, setelah menyusun materi dan membuat strategi pembelajaran, maka faktor yang cukup penting dalam pembelajaran adalah penilaian. Dalam membuat penilaian, seseorang harus menyusun faktor-faktor apa saja yang akan dinilai dan menyusun pedoman penilaian. Berikut akan diuraikan faktor-faktor yang akan dinilai dan pedoman penilaian. a. Faktor-faktor yang dinilai Kemampuan berbicara merupakan keterampilan berbahasa yang sifatnya produktif. Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengubah bentuk pikiran atau perasaan menjadi bentuk tuturan, menjadi bentuk ujaran, dan menjadi bentuk bahasa lain. Untuk mengetahui terampil bicara atau tidaknya seseorang, tentu diperlukan faktor-faktor yang menjadi tolak ukur bagi seseorang sehingga dikatakan terampil atau tidak. Menurut Arsjad dan Mukti (1993:87) yang menjadi faktor penilaian dalam keterampilan berbicara adalah faktor kebahasaan dan non kebahasaan yang keduanya merupakan faktor penunjang keefektifan berbicara. Faktor kebahasaan mencakup, 1) pengucapan vocal, 2) pengucapan konsonan, 3) penempatan tekanan, 4) penempatan persendian, 5) penggunaan nada/irama, 6) pilihan kata, 7) pilihan 27 ungkapan, 8) variasi kata, 9) tata bentukan, 10) struktur kalimat, dan 11) ragam kalimat. Yang termasuk ke dalam non kebahasaan meliputi, 1) keberanian dan semangat, 2) kelancaran, 3) kenyaringan suara, 4) pandangan mata, 5) gerak-gerik dan mimik, 6) keterbukaan, 7) penalaran, dan 8) penguasaan topik. Senada dengan beberapa pendapat sebelumnya, Sapani (1995 : 35 ) mengatakan bahwa pada umumnya penilaian kemampuan berbicara bukan hanya penilaian lisan melainkan juga penilaian perbuatan/penampilan. Pada kemampuan berbicara ada sejumlah komponen yang biasanya dijadikan sasaran, yaitu : 1) Bahasa lisan yang digunakan meliputi : lafal dan intonasi, kosa kata dan pilihan kata, struktur bahasa, gaya bahasa dan pragmatik 2) Isi pembicaraan meliputi : hubungan topik pembicaraan dengan isi, struktur isi, dan kualitas isi 3) Teknik dan penampilan meliputi : gerak-gerik mimik, volume suara, dan jalannya bercerita. B. Teknik Bercerita sebagai Salah Satu Ragam Berbicara 1. Pengertian bercerita Bercerita adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau suatu kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain. Pada kurikulum 28 1994, bercerita dinyatakan sebagai salah satu metode yang dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar. Metode bercerita didefinisikan sebagai cara memberikan penerangan atau bertutur dan menyampaikan cerita secara lisan. Siswa sangat menyukai cerita atau dongeng sehingga bentuk metode cerita sangat cocok untuk mengajarkan moral pada siswa selain meningkatkan kemampuan berbicara. Dalam kehidupan sehari-hari terkadang siswa secara tidak langsung menceritakan pengalaman pribadi yang baru dialaminya kepada temannya, seperti pengalaman salama liburan, pergi jalan-jalan bersama keluarga atau kejadian yang dialami baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Menurut Bacthiar S. Bachri, 2005 (dalam Nurlaily dkk, 2010), bercerita dalam konteks komunikasi dapat dikatakan sebagai upaya mempengaruhi orang lain melalui ucapan dan penuturan tentang suatu (ide) pengalaman. Mengacu pada beberapa pengertian bercerita dari para ahli dapat disimpulkan bahwa bercerita adalah media komunikasi untuk mengungkapkan suatu gagasan, ide, perasaan, penyampai pesan sehingga dapat mempengaruhi orang lain yang mendengarnya. 2. Manfaat bercerita Cerita merupakan sarana pendidikan yang paling mudah dan mengasyikan. Pada dasarnya siswa Sekolah Dasar sangat menyukai cerita. Hal ini akan menjadi modal dasar yang sangat berarti. Dengan 29 memilih cerita yang tepat dan bercerita dengan cara memikat hati siswa, kita dapat memasukkan berbagi informasi yang berguna untuk mendidik mereka. Bimo mengatakan bahwa menurut para ahli pendidikan, bercerita kepada siswa-siswa memiliki beberapa fungsi yang amat penting, yaitu: a. Membangun kedekatan emosional antara pendidik dengan siswa b. Media penyampai pesan nilai moral dan agama yang efektif c. Pendidikan imajinasi/fantasi d. Menyalurkan dan mengembangkan emosi e. Membantu proses peniruan perbuatan baik tokoh dalam cerita f. Memberikan dan memperkaya pengalaman batin g. Sarana hiburan dan penarik perhatian h. Menggugah minat baca i. Sarana membangun watak mulia Manfaat bercerita diungkapkan pula oleh Susilawani. D. (2009), ada dua belas manfaat membacakan cerita atau mendongeng untuk siswa, antara lain : a. Menjadi fondasi dasar kemampuan berbahasa b. Meningkatkan kemampuan komunikasi verbal c. Meningkatkan kemampuan mendengar d. Mengasah logika berfikir dan rasa ingin tahu 30 e. Menanamkan minat baca dan menjadi pintu gerbang menuju ilmu pengetahuan f. Menambah wawasan g. Mengembangkan imajinasi dan jiwa petualang h. Mempererat ikatan batin orang tua siswa dan siswa i. Meningkatkan kecerdasan emosional j. Alat untuk menanamkan nilai moral, etika, dan membangun kepribadian k. Menyelami berbagai budaya yang berbeda l. Relaksasi jiwa Sejalan dengan ungkapan di atas, Meydiaderni ( 2009 ) menyatakan bahwa bercerita pada siswa berfungsi untuk mengembangkan potensi kemampuan berbahasa siswa melalui pendengaran dan kemudian menuturkannya kembali dengan tujuan melatih keterampilan siswa dalam bercakap-cakap untuk menyampaikan ide dalam bentuk lisan. 3. Isi cerita Sebelum bercerita, pendidik harus memahami terlebih dahulu tentang cerita apa yang hendak disampaikannya, tentu saja disesuaikan dengan karakteristik pendengarnya. Agar dapat bercerita dengan tepat, pendidik harus mempertimbangkan materi ceritanya. Pemilihan cerita antara lain ditentukan oleh: 31 a. Pemilihan tema dan judul yang tepat Seorang pakar psikologis pendidikan bernama Charles Buhler mengatakan bahwa siswa hidup dalam alam khayal. Siswa-siswa menyukai hal-hal yang fantastis, aneh, yang membuat imajinasinya “menari-nari”. Bagi siswa-siswa, hal yang menarik berbeda pada setiap tingkat usia, misalnya ; 1) Sampai pada usia 4 tahun, siswa menyukai dongeng fable dan horor 2) Pada usia 4-8 tahun, siswa menyukai dongeng jenaka, tokoh pahlawan dan kisah tentang kecerdikan 3) Pada usia 8-12 tahun, siswa menyukai dongeng petualangan fantastis rasional (sage). b. Waktu penyajian Dengan mempertimbangkan daya pikir, kemampuan bahasa, rentang konsentrasi dan daya tangkap siswa, maka para ahli dongeng menyimpulkan sebagai berikut: 1) Sampai usia 4 tahun, waktu cerita hingga 7 menit 2) Usia 4-8 tahun, waktu cerita hingga 10-15 menit 3) Usia 8-12 tahun, waktu cerita hingga 25 menit Namun tidak menutup kemungkinan waktu bercerita menjadi lebih panjang, apabila tingkat konsentrasi dan daya tangkap siswa dirangsang oleh penampilan penceritayang sangat baik, atraktif, komunikatif dan humoris. 32 c. Suasana ( situasi dan kondisi ) Suasana disesuaikan dengan acara atau peristiwa yang sedang atau akan berlangsung, seperti acara kegiatan keagamaan, hari besar nasional, ulang tahun, pisah sambut siswa didik, peluncuran produk, pengenalan profesi, program sosial dan lain-lain semua itu akan berbeda jenis dan materi ceritanya. Pendidik dituntut untuk memperkaya diri dengan materi cerita yang disesuaikan dengan suasana. Jadi selaras materi cerita dengan acara yang diselenggarakan, bukan satu atau beberapa cerita untuk segala suasana. 4. Teknik Bercerita Pendidik perlu mengasah keterampilannya dalam bercerita, baik dalam olah vocal, olah gerak, bahasa dan komunikasi serta ekspresi. Seorang pencerita harus pandai-pandai mengembangkan berbagai unsur penyajian cerita sehingga terjadi harmoni yang tepat. Berikut macam-macam teknik bercerita menurut Moeslichatoen, 1996 yaitu : a. Membaca langsung dari buku cerita Teknik ini mebacakan langsung dari buku cerita yang dimiliki guru dengan menyesuaikan kemampuan pemahaman siswa terhadap cerita tersebut terutama dikaitkan dengan pesan-pesan yang tersirat dalam cerita. b. Bercerita menggunakan ilustrasi gambar dari buku Teknik ini menggunakan ilustrasi gambar dari buku yang dipilih guru, harus menarik dan lucu sehingga siswa dapat mendengarkan 33 dan memusatkan perhatian lebih besar daripada buku cerita. Ilustrasi gambar yang digunakan sebaiknya cukup besar dilihat oleh siswa dan berwana serta urut dalam menggambarkan jalan cerita yang disampaikan. c. Menceritakan dongeng Mendongeng merupakan suatu cara untuk meneruskan warisan budaya yang bernilai luhur dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Menceritakan dongeng pada siswa dapat membantu siswa mengenal budaya leluhurnya dan menyerap pesan-pesan moral yang terkandung didalamnya. d. Bercerita dengan menggunakan papan flannel Teknik ini menekankan pada urutan cerita serta karaktertokoh yang terbuat dari papan flannel yang berwarna netral. Gambar tokohtokoh mewakili perwatakan tokoh cerita yang digunting dengan pola kertas dan ditempelkan pada kain flannel. e. Bercerita dengan menggunakan boneka Pemilihan cerita dan boneka tergantung pada usia dan pengalaman siswa. Boneka yang digunakan mewakili tokoh cerita yang akan disampaikan. f. Dramatisasi suatu cerita Teknik ini digunakan untuk memainkan cerita perwatakan tokoh dalam suatu cerita yang disukai siswa dan merupakan daya tarik 34 yang bersifat umum (Gordon, Browne, dalam Moeslichatoen,1996). g. Bercerita sambil memainkan jari Teknik ini memungkinkan guru berkreasi dengan menggunakan jari-jari tangan, dan ini tergantung kreativitas guru dalam memainkan jari-jarinya sesuai dengan perwatakan tokoh yang dimainkannya. Secara garis besar unsur-unsur penyajian cerita yang harus dikombinasikan secara proporsional adalah sebagai berikut : a. Narasi b. Dialog c. Ekspresi ( terutama mimik muka ) d. Visualisasi gerak/peragaan (acting) e. Ilustrasi suara, baik suara lazim maupun suara tak lazim f. Media/alat peraga (bila ada) g. Teknik ilustrasi lainnya, misalnya lagu, permainan, musik dan sebagainya.