OPINI Konsep Pain-Free Hospital Indra Chuandy, Sugeng Budi Santosa Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Indonesia ABSTRAK Alasan tersering pasien mencari pertolongan medis adalah nyeri. Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional tidak menyenangkan yang berhubungan atau digambarkan berkaitan dengan kerusakan jaringan atau organ. Pengendalian nyeri optimal memerlukan tim penanganan nyeri yang terorganisasi, pengetahuan pasien, pelatihan, pendidikan yang terus-menerus, penggunaan analgesik multimodal, dan pemeriksaan derajat nyeri yang seragam.Penilaian dampak utama penanganan nyeri meliputi: tingkat rasa nyeri, efek samping terapi, frekuensi penggunaan analgetik, saat pasien pulang, dan tingkat kecemasan. Proyek “Menuju pain-free hospital” pertama kali diperkenalkan di St. Luc Hospital, Montreal (Kanada) pada tahun 1992. Tujuan proyek ini adalah untuk memperkenalkan dan mempertahankan standar analgesik post-operatif tertinggi. Salah satu elemen kunci proyek ini adalah pendidikan berkelanjutan. Masyarakat dan pasien harus disadarkan atas kemungkinan dan pentingnya penanganan nyeri, perlunya kerja sama dengan para petugas medis dan hak mereka agar nyerinya diobati. Kata kunci: Nyeri, pain-free hospital, sertifikasi ABSTRACT Pain in one of the most common reason to seek medical attention. The optimal control of pain requires an organized pain management team, patient education, training and lifelong learning, use of multimodal analgesia, and uniformity of pain severity examination. The assessment of pain management include: level of pain, side effects from therapy, frequency of analgesics use, patient discharge time, and level of anxiety. A project called “Towards a pain-free hospital” was first introduced in St. Luc Hospital, Montreal (Canada) in 1992. The purpose of this project is to introduce and maintain the highest standard postoperative analgesia. The main element of this project is continuing education. Patients and public should be aware on the importance of pain management, the need for cooperation with medics and their right to be treated. Indra Chuandy, Sugeng Budi Santosa. Concepts of Pain-Free Hospital. Keywords: Pain, pain-free hospital, certification PENDAHULUAN Salah satu alasan tersering pasien mencari pertolongan medis adalah karena nyeri, tetapi terapi nyeri di unit gawat darurat dapat tertunda. Penundaan ini menyangkut waktu untuk melakukan triase dan pemeriksaan pasien, dilanjutkan dengan instruksi, pengambilan, dan pemberian obat. Meskipun selama beberapa dekade terakhir telah banyak kemajuan menyangkut penelitian dan penanganan nyeri, nyeri masih sering dianggap remeh dan jarang ditangani secara baik, di rumah sakit ataupun dalam praktek klinis medis sehari-hari. Hal ini nampaknya Alamat korespondensi disebabkan oleh tiga alasan utama yang meliputi: nyeri sering dianggap tak terhindarkan, nyeri tidak dianggap prioritas, dan pengetahuan staf medis mengenai nyeri masih kurang.1,2 Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional tidak menyenangkan yang berhubungan atau digambarkan berkaitan dengan kerusakan jaringan atau organ (IASP 1997). Kelompok pasien yang sangat rentan terhadap pengendalian nyeri tidak adekuat adalah anak-anak, lansia, dan yang menderita gangguan komunikasi.3-5 Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 telah mendeklarasikan bahwa penanganan nyeri merupakan salah satu hak asasi manusia. Acute pain services (pelayanan nyeri akut) pertama kali diperkenalkan di Jerman dan Amerika Serikat pada tahun 1980-an, tetapi data efisiensi terapi nyeri akut di bangsal non-bedah di seluruh dunia masih sangat kurang. Menyikapi hal ini, proyek painfree hospital (rumah sakit bebas nyeri) dimulai di Jerman sejak tahun 2003; Polish Pain Association telah memulai proyek pain-free hospital di tahun 2008. Proyek ini sangat terkenal di Polandia dan banyak email: [email protected] CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015 209 OPINI center telah bergabung.6,7 Malaysia telah mengimplementasikan nyeri sebagai tanda vital ke-5 di seluruh rumah sakit sejak tahun 2008. Kemudian di tahun 2011, diperkenalkan konsep pain-free hospital sehubungan dengan deklarasi Montreal pada International Pain Summit di tahun 2010.8 KARAKTERISTIK PAIN-FREE HOSPITAL10 1. Pemberlakuan pain-free hospital secara aktif akan melibatkan efisiensi kebijakan institusional dengan sasaran penanganan nyeri. 2. Pain-free hospital mempunyai departemen khusus yang misinya memberi penanganan nyeri. 3. Pain-free hospital memastikan personil medis tetap diikutsertakan dalam pelatihan nyeri. 4. Pain-free hospital memastikan edukasi dan informasi pasien, baik secara tertulis maupun lisan. 5. Di pain-free hospital, para staf medis secara aktif mendeteksi dan mencatat adanya nyeri. 6. Di pain-free hospital, personil medis sehari-hari menggunakan alat pemeriksaan nyeri. 7. Di pain-free hospital, terdapat jaminan rekamjejak pemeriksaan dan evaluasi penanganan nyeri. 8. Di pain-free hospital, informasi tentang nyeri diperoleh dan ditangani secara bersama-sama. 9. Di pain-free hospital, nyeri diobati berdasarkan protokol tertulis dan tervalidasi. 10. Pain-free hospital memastikan proses berkelanjutan perbaikan kualitas penanganan nyeri. KAMPANYE PAIN-FREE HOSPITAL Kesadaran akan adanya rasa nyeri yang tak perlu, telah memunculkan kampanye dunia untuk meningkatkan kontrol nyeri di rumah sakit. Frase “tanda vital kelima” biasanya merujuk pada pengukuran skala nyeri seperti yang dipersepsi pasien pada skala nyeri 0 – 10. Veteran Administrations menjadikan hal ini kebijakan mereka di tahun 1999. Dalam klinis, pasien dan staf medis mungkin menciptakan banyak penghalang yang sering tak terlihat karena adanya perbedaan latar belakang, budaya, dan status sosial, serta buruknya komunikasi antar pasien dan staf. Beberapa penghalang yang ditemui dapat berupa:9 210 1. Sikap / perilaku pasien: - Stoisisme (sikap tidak memperlihatkan rasa nyeri). - Keinginan untuk menyenangkan dokter dan tidak melaporkan nyeri. 2. Sikap / perilaku petugas kesehatan: - Anggapan dibuat berdasarkan perilaku pasien (misalnya meminta terlalu banyak obat anti-nyeri, tidak mampu mengungkapkan rasa nyeri). - Anggapan bahwa ‘nyeri tak dapat dihindari’, sehingga pasien dibiarkan merasa nyeri. 3. Anggapan pasien, petugas medis, dan perawat: - Opioid dapat menyebabkan adiksi. - Nyeri merupakan kerusakan jaringan. - Dosis berlebihan (overdosis) merupakan masalah. - Analgetik memiliki efek samping yang jauh lebih buruk daripada manfaatnya. 4. Kegagalan keterampilan klinis: - Nyeri pasien diserahkan pada ‘ahli nyeri’ dan menghindari tanggung jawab pribadi. - Pengobatan nyeri atas ‘permintaan’, daripada pemberian obat secara rutin. - Rendahnya pengenalan toleransi obat. - Penggunaan pedoman nyeri yang tidak konsisten. 5. Ketidakmampuan pasien: - Efek samping yang tidak mampu ditolerir. - Informasi dan penjelasan rencana penanganan nyeri yang tergesa-gesa. - Kesulitan memperoleh obat anti-nyeri. - Lingkungan yang depersonalisasi. Sebuah proyek “Menuju pain-free hospital” pertama kali diperkenalkan di St. Luc Hospital, Montreal, Kanada, pada tahun 1992 dan selanjutnya banyak diadopsi oleh berbagai negara dengan koordinasi internasional. Empat pokok utama kampanye tersebut adalah: - Nyeri merupakan masalah seluruh spesialistik medik. - Setiap ahli profesional rumah sakit selalu dihadapkan pada masalah nyeri. - Seluruh rumah sakit harus diikutsertakan dalam kampanye ini. - Masyarakat umum perlu diikutsertakan juga dalam kampanye ini.2-4 Pengendalian nyeri optimal memerlukan tim penanganan nyeri yang terorganisasi, pengetahuan pasien, pelatihan dan pendidikan yang terus menerus, penggunaan analgesik multimodal, dan pemeriksaan derajat nyeri yang seragam. Diperlukan perspektif teoritikal untuk memahami masalah ini secara menyeluruh.4,7 PROYEK PAIN-FREE HOSPITAL Tujuan proyek ini adalah untuk memperkenalkan dan mempertahankan standar analgesik post-operatif tertinggi, dimulai saat anamnesis pasien pre-operatif, pemeriksaan nyeri, dan mencatat penanganan nyeri postoperatif untuk mengetahui efek samping dan komplikasi penanganan. Salah satu elemen kunci proyek ini adalah pendidikan berkelanjutan. Sasarannya adalah untuk memberikan informasi terbaru pedoman dan teknik untuk kalangan profesi medis.7 Di Polandia 137 rumah sakit dan 32 departemen telah bersertifikat pain-free hospital.7 Sertifikasi pain-free hospital dapat diperoleh setelah rumah sakit tersebut memenuhi kriteria menyangkut kualitas penanganan nyeri: 1. Staf medis yang terlibat dalam perawatan perioperatif perlu mengikuti kursus penanganan nyeri sekurang-kurangnya sekali setahun. Termasuk mengembangkan sebuah kebijakan institusional dan prosedur menyangkut penanganan nyeri post-operatif di mana tenaga medis ataupun pasien harus diberi pendidikan dan pelatihan. Pasien maupun keluarga dapat diberi edukasi mengenai teknik kontrol perilaku nyeri.3,7 2. Pemeriksaan nyeri post-operatif sebaiknya dikerjakan pada semua pasien yang menjalani prosedur pembedahan sekurangkurangnya 4 kali sehari (idealnya 6 kali dalam 24 jam). Pemeriksaan meliputi riwayat nyeri, pemeriksaan fisis, dan mengembangkan rencana kontrol nyeri bagi masing-masing pasien. Menurut pedoman ASA (American Society of Anesthesiologists), pemantauan nyeri perioperatif harus disertai dokumentasi data dan pemantauan institusional harus memperhatikan kondisi akhir pasien. Selain itu, di rumah sakit tersebut harus ada seorang ahli anestesi selama 24 jam.3,7 3. Informasi nyeri post-operasi sebaiknya diberikan kepada pasien sebelum pem- CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015 OPINI bedahan. Johansson, dkk. (2004) dalam pembahasan sistematisnya selama kurun waktu 1990-2003, mendokumentasikan efektifitas pemberian informasi pasien mengenai nyeri post-operatif. Ronco, dkk. yang meneliti intervensi edukasi pre-operatif dan post-operatif pasien bedah mayor selama kurun waktu 2004 hingga 2010 menemukan hasil sangat memuaskan. Pemberian informasi pasien harus meliputi edukasi dini, peningkatan frekuensi informasi melalui beberapa intervensi ataupun kegiatan, meningkatkan informasi penanganan postoperatif, dan pengukuran kondisi akhir yang meliputi aspek kognitif, pengalaman, dan biofisiologis pasien.3,7 4. Catatan derajat nyeri dan penanganan dijaga tetap akurat. Langkah ini dapat dikerjakan dengan memberdayakan program APS (Acute Pain Service). Persiapan preoperatif untuk mengurangi derajat nyeri meliputi penyesuaian dan pengobatan berkelanjutan, penanganan nyeri dan kecemasan yang telah ada sebelumnya, serta pemberian premedikasi analgesik multimodal sebagai bagian program penanganan nyeri. Penanganan nyeri perioperatif dapat melalui analgetik opioid intratekal atau epidural, analgetik terkontrol pasien menggunakan opioid sistemik, dan teknik anestesi regional dengan blok saraf perifer, infiltrasi post-insisi dengan anestesi lokal.3,7 5. Pengawasan dan pelaporan efek samping analgetik atau komplikasi prosedur. Penanganan nyeri biasanya dilakukan dengan teknik analgesik multimodal yang bertujuan mengurangi efek samping dan komplikasi. Teknik analgesik multimodal dapat terdiri dari: a. Opioid oral yang dikombinasikan dengan obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID), obat-obat golongan penghambat siklooksigenase-2 (Coxib), atau asetaminofen. b. Blok regional dengan anestesi lokal. c. Regimen kontrol nyeri yang disesuaikan dengan individu tertentu.3,7 Pemberian analgesik multimodal harus memperhatikan populasi tertentu, misalnya pasien pediatri, geriatri, atau kelompok pasien penyakit tertentu, misalnya gangguan kognitif (penyakit Alzheimer), atau pada kelompok pasien yang sulit berkomunikasi (misalnya CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015 karena hambatan bahasa ataupun kendala budaya).3,7 Seluruh prosedur di atas digunakan untuk menilai dampak utama penanganan nyeri yang meliputi: tingkat rasa nyeri, efek samping terapi, frekuensi penggunaan analgetik, saat kepulangan pasien, dan tingkat kecemasan.3 Penanganan nyeri yang efektif merupakan hal vital dan bukan hanya untuk alasan kemanusiaan. Rasa nyeri akan memperpanjang masa perawatan di rumah sakit, yang dapat mempengaruhi seluruh sistem organ meliputi: pernapasan (misalnya pengurangan refleks batuk, retensi sputum, hipoksemia); kardiovaskuler (misalnya peningkatan konsumsi oksigen miokard, iskemia); sistem gastrointestinal (misalnya perlambatan pengosongan lambung, penurunan motilitas usus, konstipasi); saluran kemih (misalnya retensi urin); neuroendokrin (misalnya hiperglikemia, katabolisme protein, dan retensi natrium); sistem muskuloskeletal (misalnya pengurangan mobilisasi, nyeri penekanan, dan meningkatnya risiko trombosis vena dalam / DVT); dan secara psikologis juga menyebabkan pasien cemas dan mudah lelah.3 Pedoman untuk mewujudkan pain-free hospital:2 1. Membentuk komite “pain-free hospital”, anggotanya harus melibatkan setiap perwakilan manajemen rumah sakit yang berpartisipasi, para ahli penelitian dan pengobatan nyeri, ahli dalam bidang tertentu (misalnya penyakit dalam, bedah, ataupun anak), dan khususnya perawat karena peran mereka yang langsung berhubungan dengan pasien, juga ahli farmasi. Kewajiban komite ini adalah mengkoordinasi berbagai tugas, menyusun pedoman observasi masalah nyeri pasien rumah sakit, melaksanakan edukasi dan pelatihan bagi staf medis, serta memberikan informasi kepada masyarakat umum. 2. Melaksanakan survey nyeri pasien, dan pengetahuan serta sikap staf medis dalam pendekatan dan pengobatan nyeri pasien. Survey ini berguna sebagai titik awal penerapan proyek dan evaluasi hasil. 3. Mengatur kursus bagi staf medis dengan topik utama yang berhubungan dengan nyeri, sehingga dapat memenuhi pengetahuan mereka. Kursus ini harus mempertimbangkan berbagai hal, misalnya kebutuhan edukasi yang berbeda di setiap lingkungan kerja, keikutsertaan perawat ataupun dokter, dan dukungan profesional setelah kursus berakhir. Berdasarkan pengalaman, tingkat kehadiran perawat (yang lebih termotivasi) lebih tinggi daripada dokter. 4. Memperkenalkan pemeriksaan nyeri harian, sebagai “tanda vital kelima”. Perawat harus bertanya ke pasien mengenai nyeri yang mereka rasakan, intensitas nyeri saat pasien beristirahat dan selama bergerak, sekurangkurangnya dua kali sehari menggunakan instrumen seragam seperti Visual Analog Scale atau Numerical Rating Scale (NRS), dan mencatat nilainya di dokumen pasien. Untuk anak – anak dan pasien yang tidak kooperatif, lebih disukai penggunaan skala nyeri wajah dan skala neurobehavioural. Hal ini menjadi dasar terapi nyeri;keefektifannya dalam meningkatkan komunikasi, perhatian, dan pengobatan telah dibuktikan oleh berbagai penelitian.7,8 5. Langkah berikutnya adalah identifikasi pedoman penanganan nyeri yang spesifik menurut bidang spesialis tertentu, dan diikuti semua profesi. Pedoman harus menyertakan masalah ambang intensitas untuk peresepan obat, urutan penggunaan analgetik, dan kebijakan penggunaan teknologi analgetik terbaru. 6. Pada saat yang sama, publik juga harus diberiinformasi mengenai proyek ini dan diikutsertakan. Masyarakat dan pasien harus disadarkan akan kemungkinan dan pentingnya penanganan nyeri, perlunya kerja sama dengan para petugas medis dan hak mereka agar nyerinya diatasi. Pertemuan, jumpa pers, ataupun pembuatan brosur dapat dilakukan. 7. Semua tahap harus dipantau menurut indikator yang sesuai, sebagai contoh: - Jumlah angka nyeri sebelum dan setelah penerapan proyek. - Pengetahuan profesional sebelum dan setelah kursus. - Kesadaran perawat dengan pemeriksaan nyeri harian. - Persentasi terapi nyeri yang diberi atas permintaan pasien dan keefektifannya. 211 OPINI - Penyusunan kursus dan keikutsertaan staf. - Persiapan pedoman penanganan nyeri. - Persiapan materi informasi bagi pasien. - Penelusuran kepuasan pasien akan penanganan nyeri. SERTIFIKASI PAIN-FREE HOSPITAL Untuk pengajuan, rumah sakit di Polandia perlu mengisi daftar pertanyaan dan mengirimkannya ke PSSP (Polish Society for the Study of Pain).7 1. Setelah daftar diterima, unit tersebut (rumah sakit, bangsal, klinik) memiliki waktu 3 bulan untuk memperkenalkan prosedur pemenuhan kriteria pain-free hospital. 2. Setelah 3 bulan, pengajuan sertifikat dikirim kembali ke PSSP. 3. Sertifikat diberikan oleh komite yang terdiri dari ahli PSSP yang ditunjuk setelah melakukan audit sebelum keputusan ditetapkan. 4. Sertifikat “pain-free hospital” berlaku selama 3 tahun. Setelah itu akan dilakukan audit ulang. SIMPULAN Tujuan sertifikasi “pain-free hospital” adalah untuk membantu rumah sakit menerapkan prosedur demi peningkatan kenyamanan pasien pada masa perioperatif dan memperbaiki penanganan nyeri postoperatif. Manfaat penerapannya, yakni kontrol rasa nyeri yang merupakan hak pasien. Penanganan nyeri yang adekuat akan mempercepat pemulihan dan meminimalkan komplikasi, sehingga mempersingkat lama perawatan di rumah sakit (menekan biaya kesehatan) dan meningkatkan kepuasan pasien. DAFTAR PUSTAKA 1. French SC, Chan SB, Ramaker J. Education on prehospital pain management: A follow-up study. Western J. Emergency Med. 2013; XIV-2:96-102. 2. Viscentin M. Towards a pain-free hospital: A project to improve the approach to the patient in pain. J Headache Pain 2002;3:59-61. 3. Eldor J, Kotlovker V, Orkin D. Pain-free hospital – availability (24 hours) of anesthesiologists. J Anesthesiol Clin Sci [Internet]. 2013. [cited 2014 Oct 14]; 2049-9752: 1-4. Available from: http:// 4. Piscitelli A, D’Alterio V. Medical staff attitudes towards patients in acute pain: An application of categorical principal component analysis. Universita Degli Studi di Napoli. 2009:1-8. 5. Rosenquist RW, Vrooman BM. Chronic pain management. In: Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, eds. Morgan & Mikhail’s clinical anesthesiology. 5th ed. McGraw-Hill; 2013. pp. 6. Maier C, Nestler N, Richter H, Hardinghaus W, Pogatzki-Zahn E, Zenz M, et al. The quality of pain management in German Hospitals. Deutsches Arzteblatt Internat [Internet]. 2010 [cited 7. Malec-Milewska M, Horosz B, Rupniewska-Ladyko A. Pain-free hospital: Recommendations for the acute pain management in Poland. J Pain Relief [Internet]. 2013 [cited 2014 Sep 30]; 2-2: 8. Cardosa M, Ming LE. Pain as the 5th vital sign guidelines. 2nd ed. Ministry of Health Malaysia. 2013;270-13:4-12. 9. Holdcroft A. Ethical standards and guidelines in pain management. In: Holdcroft A, Jaggar S, eds. Core topics in pain. Cambridge University Press; 2005. p.325-6. www.hoajonline.com/journals/pdf/2049-9752-2-17.pdf 1025-6. 2014 Oct 1]; 107(36): 607-14. Available from: https://www.aerzteblatt.de/pdf/DI/107/36/m607.pdf 1-4. Available from: http://omicsgroup.org/journals/Pain-Free-Hospital-Recommendations-for-the-Acute-Pain-Management-in-Poland-2167-0846.1000120.pdf 10. Moldavian Society for Study and Management of Pain. Initiative pain free hospital – a conceptual program on ensuring quality in pain management area. 2009:1-5. 212 CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015