Listrik Padam, Mengusik Hubungan Rakyat – Negara Oleh Dr. H. Abustan, SH. MH Komisioner BPKN RI Tak dapat dipungkiri, bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya raya. Berbagai macam sumber energi tersedia dan dapat dihasilkan dari perut bumi Nusantara, tetapi ironisnya kekurangan pasokan terjadi dibanyak daerah. Bahkan, listrik dapat dihasilkan dari tenaga air, surya, panas bumi, gas, batu bara, dan bahan bakar nabati. Semua ada didepan mata, menunggu dimanfaatkan. Hamparan kekayaan yang dimiliki bangsa ini tinggal dikelolah dengan sebaik baiknya. Permasalahannya, mengapa pemerintah tidak memiliki langkah taktis untuk mengatasi dan menghadapi kendala yang ada. Mengapa tidak punya antisipasi menghadapi datangnya krisis listrik. Bukankah ketahanan listrik menjadi kunci ketahanan energi nasional untuk mengiringi laju pembangunan?. Revolusi listrik Hubungan negara dengan rakyat yang paling emosional (intim) adalah melalui listrik. Oleh karena itu, jika ingin melihat rakyat (konsumen)bergembira dan bersuka ria pada negara, maka nyalakan listrik atau beri sinar penerangan dikampung kampung. Artinya, jika ingin melihat rakyat memuji muji negara, maka murahkanlah dan mudahkanlah listrik bagi mereka. Begitupun sebaliknya,jika ingin melihat rakyat terusik dan mencacimaki pemerintahnya, maka padamkanlah listrik berkali kali. Pada titik ini, listrik menjadi simbol hubungan intim Negara dan rakyat. Bahkan, sektor ini(listrik) menjadi salah satu indikator kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Maka tidak heran kalau sepuluh tahun lalu, sebuah kampung yang masyarakatnya tergolong kaya, tetapi tidak merasakan kehadiran Negara yang initim karena suasananya masih sepi atau masih gelap gulita karena belum ada aliran listrik(PLN). Dengan demikian, energi merupakan derap langkah pembangunan. Dengan tenaga yang hidup segan matipun tak mau, jelas Indonesia akan terseok seok mengejar pertumbuhan ekonomi 7% yang dicanangkan untuk lima tahun mendatang. Bila tidak ingin target pertumbuhan berupa menjadi khayalan, pemerintah harus bergerak cepat membangun pembangkit pembangkit listrik baru. Karena itu, instruksi Presiden RI yang baru saja menjalankan pemerintahannya di sektor ketenaga listrikan perlu mendapat apresiasi dalam meningkatkan penyediaan listrik mencapai 35.000 Mega Watt dalam lima tahun mendatang. Walaupun, rezim pemerintah sebelumnya memprogramkan dua tahap percepatan pembangunan listrik 10.000 Mega Watt. Jadi total 20.000 Mega Watt yang ditargetkan. Namun, dalam tempo 10 tahun daya yang bisa ditambah masih kurang dari separuhnya atau tidak sampai 10.000 Mega Watt. Begitu kompleks problemnya, mulai dari pembebasan lahan, produksi listrik yang kurang efisien, sampai pada harga yang tidak cukup memberikan keuntungan bagi investor. Tetapi kini, 35.000 Mega Watt yang menjadi fokus sasaran dengan waktu yang lebih pendek. Meskipun, kendala kendala yang sama tetap menghadang, namun bukan tidak mungkin target itu bisa diwujudkan. Tentu hanya dibutuhkan upaya optimal, kerja keras, dan tidak terjebat pada wacana dan retorita belaka. Dengan kondisi seperti itu, negeri ini butuh revolusi listrik untuk mensejahterakan rakyat . Demi pencapaiian sasaran untuk terlayaninya seluruh rakyat Indonesia, sehingga bukan hanya dikota kota besar yang akan mendapat suplai listrik, tetapi juga termasuk wilayah pedesaan dan daerah daerah pelosok. Beberapa rekomendasi Dengan komitmen pemerintah seperti itu, maka negara diyakini akan hadir di hati masyarakat. Sebab negara telah mewujudkan keberadaannya untuk membangun wibawa dimata rakyat. Maka dari itu, PT.PLN (Persero) sebagai operator haruslah pula mengelola harapan rakyat (konsumen) melalui penegasan yang amanah dan transfaran. Sebagaimana penegasaan dalam konstitusi kita, perlindungan hukum konsumen merupakan pengakuan dan perlindungan terhadap hak hak asasi manusia. Seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 28D ayat(1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan , jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Hak hak konsumen tersebut, lebih lanjut dijabarkan dalam ketentuan Pasal 4 Undang undang Nomor8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hak hak konsumen yang dimaksud adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan, hak untuk memilih barang dan /atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi yang dijanjikan, hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa, dan hak hak lain yang berkaitan dengan advokasi, dan mendapatkan kompensasi. Oleh sebab itu, untuk menjawab tantangan kedepan, pemerintah saat ini perlu lebih memberikan perhatian kepada pengguna/pemakai listrik yaitu masyarakat konsumen. Sehubungan dengan itu, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) berdasarkan Pasal 33 Jo 34 UUPK memberikan saran, pertimbangan dan beberapa rekomendasi kepada Pemerintah dalam upaya menjaga hubungan konsumen terkait pembangunan sektor ketenaga listrikan. Pertama, pengembangan sektor ketenaga listrikan merupakan hajat hidup orang banyak, sehingga dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Sesuai amanat Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena itu, persoalan listrik sangat erat hubungannya dengan perlindungan konsumen. Sebab pembangunan kelistrikan bertujuan dan bermuara pada kesejahteraan rakyat. Kedua, reformasi kelembagaan pembangunan dan penyediaan ketenagaan listrikan di Indonesia. Fakta dilapangan menunjukan, penyediaan ketenaga listrikan saat ini sangat berbelit, tidak adanya sinkronisasi regulasi. Akibatnya, program ketenaga listrikan pemerintah sering justru merugikan posisi konsumen. Padahal, tenaga listrik berkaitan dengan kebijakan perekonomian Nasional, yang harus digunakan seefisien mungkin, dengan prinsip kebersamaan, berkeadilan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi Nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (4). Ketiga, Perlu mengingatkan dan menegaskan bahwa hubungan hukum (causalitas) antara konsumen dengan pihak PLN adalah berdasarkan perikatan. Baik perikatan yang bersumber karena perjanjian yaitu Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik(SPJTL) maupun hubungan antara konsumen dengan PLN karena Undang Undang, yaitu UUPK Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlinduangan Konsumen dan Undang Undang Ketenagalistrikan yaitu Undang Undang Nomor 30 tahun 2009 Keempat, Pemerintah dalam hal ini Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (SDM) dan Kementrian Badan Usaha Milik Negara(BUMN) selaku regulator, harus benar benar memperhatikan /memastikan bahwa regulasi yang disusun dan yang dikeluarkan mampu mencerminkan pemihakan /perlindungan kepada konsumen. Berangkat dari rekomendasi tersebut, diharapkan pemerintah konsisten dan fokus menangani pembangunan kelistrikan dalam rangka memberikan kenyamanan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, mega proyek 35000 Mega Watt (MW) menjadi isu aktual dan harapan besar masyarakat untuk mengurangi krisis listrik yang sudah mulai dirasakan. Serta berbagai inovasi dan terobosan yang dilakukan oleh PLN selaku operator, seperti gagasan listrik Prabayar(Listrik Pintar) keberadaannya benar benar memberikan kenyamanan, keselamatan dan keamanan kepada konsumen. Sebab bagaimanapun, ketahanan listrik menjadi kunci ketahanan energi Nasional untuk mengikuti laju pembangunan. Dalam konteks itulah, maka sekali lagi janganlah membiarkan rakyat hidup dalam cahaya remang remang dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang suram. Tetapi sebaliknya, bagaimana Negara mampu menyediakan layanan kepada publik (konsumen) dengan standart mutu yang berkualitas dan tidak diskriminatif.