Microsoft Word - ANALISIS PANDANGAN TOKOH

advertisement
Bab 2
Landasan Teori
2.1. Teori Penokohan
Menurut Aminudin dalam Siswanto (2002: 142) tokoh adalah pelaku yang
mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu
cerita, sedangkan sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. Istilah tokoh
mengacu pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 1995: 165). Tokoh adalah salah
satu unsur yang penting dalam suatu novel atau cerita rekaan. Menurut Abrams dalam
Nurgiyantoro (1995:165) tokoh cerita merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif atau drama oleh pembaca kualitas moral dan kecenderungan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan dilakukan dalam
tindakan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa tokoh cerita adalah individu
rekaan yang mempunyai watak dan perilaku tertentu sebagai pelaku yang mengalami
peristiwa dalam cerita.
2.1.1. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Menurut Nurgiyantoro (1995:176) berdasarkan peranan dan tingkat pentingnya,
tokoh terdiri atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang
diutamakan penceritaanya dalan novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang
paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
Tokoh tambahan kejadiannya lebih sedikit dibandingkan tokoh utama. Kejadiannya
hanya ada jika berkaitan dengan tokoh utama secara langsung.
Penentuan tokoh utama dalam sebuah cerita dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1. melihat dan mengamati apakah tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau
tema.
2. paling banyak berhubungan dengan tokoh lain.
3. paling banyak memerlukan waktu penceritaan.
Selain itu pembaca dapat menentukan tokoh utama dengan jalan melihat keseringan
pemunculannya dalam suatu cerita. Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang
sering diberi komentar dan dibicarakan oleh pengarangnya. Selain itu lewat judul cerita
juga dapat diketahui tokoh utamanya (Aminudin, 2002:80).
2.1.2. Penokohan dan Perwatakan
Menurut Jones dalam Nurgiyantoro (1995:165) penokohan adalah pelukisan
gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Ada dua
penggambaran perwatakan dalam prosa fiksi menurut Nurgiyantoro (1995:194-210):
1. Secara eksplositori
Teknik eksplositori sering juga disebut sebagai teknik analitis, yaitu pelukisan tokoh
cerita dilakukan dengan memberikan diskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung.
2. Secara dramatik
Penampilan tokoh cerita dalan teknik dramatik dilakukan secara tidak langsung.
Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah
laku tokoh. Wujud penggambaran teknik dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah
teknik, di antaranya adalah:
1. Teknik cakapan (verbal)
Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan
untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.
2. Teknik tingkah laku (non verbal)
Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa
yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku dapat dipandang sebagai
menunjukkan reaksi tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat
kediriannya.
2.2. Teori Otaku
Menurut Carey dalam Pelliteri (2010 : 198), secara leksikal Otaku dalam bahasa
Jepang berarti “Rumah Anda” , sama seperti penggunaan kata “vous” dalam bahasa
Perancis, yakni sebuah kata yang lebih formal dibanding kata “tu”. Panggilan otaku
sekarang ini sudah tidak menjadi sebuah bentuk menghormati seseorang, namun sebuah
aksi untuk membuat jarak yang cukup jauh terhadap mereka. Jadi dapat disimpulkan
bahwa hubungan diantara para otaku adalah ramah namun jauh dari menjadi dekat atau
intim.
Teori Otaku yang akan penulis fokuskan dalam penelitian ini adalah teori menurut
Okada Toshio. Okada lebih lanjut memaparkan tentang teori Otaku dalam bukunya yang
berjudul “Otaku wa Sude ni Shindeiru” (Otaku telah mati). Berikut ini adalah tiga
macam teori yang ia kemukakan.
1. オタク=秋葉原にいる人 (Otaku adalah seseorang yang tinggal di Akihabara)
Kutipan:
“当たり前ですがオタクがそこに住んでいるわけでもないですし、そこに行
かないと、オタクになれないわけでもありません。オタクの多くがそこに
買い物に行っているというだけのことです。” (Okada, 2008 : 46)
Terjemahan:
“Tentu saja otaku tidak tinggal di sana (Akihabara) dan bukan berarti jika tidak
pergi ke Akiba tidak bisa menjadi seorang Otaku. Banyak Otaku yang pergi
ke sana hanya untuk berbelanja.”
Okada menyimpulkan bahwa dari 100 orang yang pergi ke Akihabara, 70 diantaranya
kemungkinan besar adalah otaku. Namun, jika mengumpulkan 100 orang otaku, maka
10 diantaranya tidak mengunjungi Akihabara.
Menurut Morikawa dalam Galbraith (2009 : 14), alasan Akihabara bisa menjadi pusat
perbelanjaan para otaku adalah karena pada tahun 1997 pada saat anime Evangelion
menjadi populer, perusahaan figur Kaiyodo memindahkan kantor pusatnya dari Shibuya
ke Akihabara. Penjualannya sukses dan Kaiyodo tidak memiliki saingan, sehingga
banyak toko-toko lain yang mengikuti jejak mereka. Dari sinilah “tempat suci” otaku
diperluas, pada era 1990-an.
2. Otaku adalah orang yang tidak atau kurang bersosialisasi
Okada memaparkan banyak orang-orang yang berpikir bahwa Otaku itu seperti
orang yang putus asa dan tidak dapat bersosialisasi dengan baik. Dahulu, banyak yang
berpendapat tidak demikian, mereka berpikir bahwa otaku itu adalah orang yang ceria,
dan dapat bersosialisasi. Namun akhir-akhir ini pandangan tersebut berubah.
3. Otaku adalah orang yang tergila-gila akan hobinya.
Kata 萌える dapat berarti mekar, dan dalam bahasa manga, ini berarti orang yang
sangat obsesif akan hobinya. Saat ini dalam drama televisi, hampir 100 persen dari otaku
pasti mengucapkan kata “Moe”.
Menurut Okada (2008), istilah Otaku memiliki sedikit perbedaan dengan istilah
maniak. Dalam hal ini, penulis menggunakan ‘Otaku’ untuk merujuk kepada seseorang
yang memiliki pengetahuan umum dan budaya bersama, sedangkan maniak untuk
seseorang yang sangat terpikat dengan suatu hal dan ia tidak bisa melihat hal lain
melebihi hal tersebut.
Dalam jurnal berjudul
Assesment of implicit attitudes towards “Otaku” concepts
with a paper and pencil implicit association test (2007), dikatakan bahwa kata otaku
memiliki stereotip yang negatif
sejak tahun 1990, karena kasus pembunuhan yang
dilakukan oleh seorang otaku bernama Miyazaki Tsutomu. Otaku dianggap sebagai
orang yang mengunci diri di kamar dan tidak bersosialisasi.
Penulis akan mengutip pandangan dari beberapa tokoh berikut ini yang menunjukkan
pandangan negatif terhadap kaum otaku. Tokoh-tokoh ini menyampaikan pandangannya
dalam buku dan jurnal.
1. Pandangan Shirley Steinberg terhadap kaum Otaku:
Kutipan:
“The typical negative stereotype of otaku generally portrays a young man in his
teens or twenties who is either overweight or skinny, unkempt, and lacks social
graces, leading to social isolation (except among other otaku).”(Steinberg, 2006 :
191).
Terjemahan:
“Stereotip negatif yang khas dari otaku pada umumnya menunjukkan seorang
pemuda dalam usia remajanya atau usia 20-an, baik yang kelebihan berat badan
atau yang kurus, adalah seorang yang berpenampilan tidak rapih, dan kurang
mampu bersosialisasi bahkan sampai menuju kepada tahap isolasi sosial (kecuali
terhadap otaku lainnya)”
Gibson dalam Steinberg (2006 : 191) menyebut otaku sebagai orang yang sangat
terobsesi. Kemudian Grassmuck dalam Steinberg (2006 : 191) mendeskripsikan otaku
sebagai “pemuja informasi”. Dalam arti yang mendasar, otaku adalah seseorang sangat
mendedikasikan dirinya kepada suatu hal dan mencari informasi dari manapun dan
siapapun untuk menambah pengetahuannya terhadap hal itu, baik demi tujuan
bersenang-senang atau mungkin demi suatu keuntungan.
2. Asaba dalam Kikuchi (2007) mendeskripsikan bahwa otaku adalah seorang maniak
yang hanya bergaul kepada orang-orang yang hobinya sama. Mereka tidak mampu
berkomunikasi layaknya orang normal, dan disebut juga “kurai hito” (orang yang
depresi).
3. Tamaki (2006, 12), mengatakan bahwa Otaku adalah orang-orang yang tidak dewasa
yang tumbuh dewasa dengan ketidakmampuan untuk melepaskan objek transisi yang
kekanak-kanakan seperti anime dan monster. Mereka takut akan hubungan orang
dewasa, terutama hubungan dengan lawan jenis dan hubungan seksual. Oleh karena
itu otaku menemukan simulasi seksual hanya dalam dunia fiksi mereka.
4. Menurut Schodt (1996 : 46), istilah otaku merujuk kepada pemuda yang tidak lagi
bisa berhubungan dengan orang-orang dalam dunia nyata (terutama wanita), dan
membenamkan diri mereka kepada anime dan manga porno, yang akan menuju
kepada penyakit mental dan menjadi ancaman bagi masyarakat.
5. Nakamori dalam Schodt (1996 : 44), mengemukakan pendapatnya ketika ia
mengunjungi acara Komiket (semacam festival komik dan anime). Nakamori berkata
bahwa semua otaku di sana terlihat sangat aneh, seperti orang-orang yang tidak bisa
berolahraga dan berkerumun di kelas pada jam istirahat, seperti babi putih yang
memakai kacamata, dan itu sangat mengganggu.
2.3. Teori Persepsi
Menurut Walgito (2002 : 88), persepsi merupakan pengorganisasian dan
penginterpretasian terhadap stimulus yand diinderanya, sehingga merupakan sesuatu
yang berarti, dan merupakan respon yang terintegrasi dalam diri individu. Sedangkan
menurut Plotnik (2005 : 124), persepsi adalah pengalaman yang dimiliki individu setelah
otak menyusun dan mengombinasikan ribuan sensasi (hasil penginderaan) yang tidak
bermakna menjadi suatu pola atau kesan yang bermakna. Persepsi merupakan tiruan
yang jarang persis atau akurat dari stimulus yang asli. Persepsi biasanya berubah
menjadi bias, terwarnai, terdistorsi oleh seperangkat pengalaman yang unik. Jadi
persepsi merupakan interpretasi pribadi tentang dunia yang nyata.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan karena perasaan, kemampuan berpikir,
pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka dalam memersepsi stimulus, hasil
persepsi mungkin akan berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain.
Persepsi bersifat individual.
Persepsi berarti analisis mengenai cara mengintegrasikan penerapan kita terhadap
hal-hal di sekeliling individu dengan kesan-kesan atau konsep yang sudah ada, dan
selanjutnya mengenali benda tersebut. Untuk memahami hal ini, akan diberikan contoh
sebagai berikut: individu baru pertama kali menjumpai buah yang sebelumnya tidak kita
kenali, dan kemudian ada orang yang memberitahu kita bahwa buah itu namanya
mangga. Individu kemudian mengamati serta menelaah bentuk, rasa, dan lain sebagainya,
dari buah itu secara saksama. Lalu timbul konsep mengenai mangga dalam benak
(memori) individu. Pada kesempatan lainnya, saat menjumpai buah yang sama, maka
individu akan menggunakan kesan-kesan dan konsep yang telah kita miliki untuk
mengenali bahwa yang kita lihat itu adalah mangga (Taniputera, 2005).
Menurut Sunaryo (2002 : 93), persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang
diawali oleh proses pengindraan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indra,
kemudian individu ada perhatian, lalu diteruskan ke otak, dan baru kemudian individu
menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi.
Persepsi adalah pola pandang seseorang terhadap sebuah permasalahan (suatu hal).
Persepsi timbul dari pengalaman hidup seseorang, penanaman dari orang yang memiliki
otoritas, dan juga proses belajar. Persepsi seseorang terhadap sebuah permasalahan atau
suatu hal menjadi motor penggerak sikap seseorang terhadap hal tersebut. (Dwiyani,
2008 : 8)
2.3.1. Proses Terjadinya Persepsi
Plotnik (2005) lebih lanjut menjelaskan mengenai proses persepsi.
1. Proses alamiah atau proses fisik, yaitu proses stimulus yang diterima oleh alat
indera.
2. Proses fisiologis stimulus yang telah diterima oleh alat indera tersebut kemudian
diteruskan oleh syaraf sensoris ke dalam otak.
3. Proses psikologis, proses yang terjadi di dalam otak sebagai pusat kesadaran
terjadinya proses tersebut, sehingga individu menyadari apa yang dilihat, apa
yang didengar, apa yang diraba, dan lain-lain
2.3.2. Persepsi Sosial
Menurut Baron (2008 : 75), persepsi sosial adalah penilaian- penilaian yang terjadi
dalam upaya manusia memahami orang lain. Ada 4 hal yang mempengaruhi terjadinya
persepsi sosial:
1. Komunikasi verbal, adalah komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol verbal.
2. Komunikasi non verbal
Dasar komunikasi nonverbal menurut Baron & Byrne (2002):
1. Ekspresi wajah
Ada enam emosi dasar yang terpantul dalam wajah, yakni: takut, sedih,
bahagia (senang), marah, jijik, terkejut.
2. Kontak mata
3. Gerak tubuh
4. Postur tubuh
5. Sentuhan
3. Atribusi
Atribusi adalah upaya kita untuk memahami penyebab dibalik tingkah laku orang lain,
dan juga penyebab tingkah laku kita sendiri. Pada umumnya, penyebab tingkah laku
diasalkan pada faktor internal (disposisional) dan eksternal (situasional).
Menurut Heider dalam Baron (2008), setiap orang pada dasarnya adalah ”naive
psychologist”, karena berusaha untuk mencari tahu penyebab tingkah laku orang lain.
Misalnya, saat kita melihat ada orang menangis atau duduk sendiri sambil tersenyumsenyum, tentunya kita akan memberi suatu penilaian. Setiap orang memiliki dorongan
untuk memberi pendapat tentang penyebab tingkah laku orang lain. Pendapat-pendapat
mereka tersebut dinamakan ”naive psychology”.
4. Impresi/Pembentukan pesan
Pembentukan pesan adalah proses ketika kita membentuk kesan tentang orang
lain, bagaimana kesan pertama yang dibentuk dapat mempengaruhi penilaian
atau keputusan kita tentang orang lain. Pembentukan kesan pertama terhadap
seseorang yang baru bertemu terjadi dalam waktu sangat pendek, relatif singkat.
Penyebabnya
adalah
implicit
personality
theory,
yaitu
kecenderungan
menggabungkan beberapa sifat sentral dan peripheral (contoh: orang cantik pasti
baik). Kesan pertama seringkali salah karena lebih percaya teori sendiri daripada
kenyataan. Perspektif kognitif dalam pembentukan pesan telah memberikan
peran openting dalam usaha memahami karakteristik dan proses pembentukan
kesan.
Manajemen kesan adalah usaha seseorang untuk menampilkan kesan pertama yang
disukai pada orang lain. Manajemen kesan ada dua bentuk:
1. Strategi self-enhancement: usaha untuk meningkatkan daya tarik diri pada orang
diri pada orang lain, meliputi meningkatkan penampilan fisik melalui gaya
berbusana, karisma diri, dan penggunaan berbagai atribut sehingga berusaha
membuat deskripsi diri yang positif.
2. Strategi other-enhancement: upaya untuk membuat orang yang dituju merasa
nyaman dalam berbagai cara. Misalkan dengan pujian (membuat pernyataan
yang memuji orang yang kita tuju, sifat-sifat atau kesuksesannya) atau
menyatakan terang-terangan persetujuan kita pada pandangan orang lain,
menunjukan minat besar pada orang tersebut, member bantuan-bantuan kecil,
meminta nasihat dan umpan balik pada mereka. Atau menunjukan kesukaan
dengan cara nonverbal.
2.4. Teori Prasangka Sosial
Prasangka merupakan sikap negatif terhadap sesuatu yang lebih berada pada taraf
individual. Disebut individual pada dasarnya yang berprasangka itu adalah manusia
individu, dan bukan manusia sebagai kelompok. Namun bila semakin banyak orang
dalam kelompok yang dihinggapi prasangka yang sama, atau prasangka tersebut
semakin meluas di kalangan masyarakat, maka prasangka itu disebut prasangka sosial,
atau stereotip. (Gea, 2002 : 166)
Seperti dijelaskan di atas bahwa dalam masyarakat, ada banyak hal yang memang
dipandang negatif secara meluas. Contohnya orang yang memakai narkoba pasti buruk.
Hal ini disebut dengan stereotip. Menurut Johnson dalam Liliweri (2005 : 208), stereotip
adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasi sifat-sifat tertentu yang cenderung
negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman
bersama. Keyakinan itu membuat orang untuk memperkirakan perbedaan antar
kelompok yang mungkin terlalu tinggi atau terlalu rendah sebagai ciri khas individu atau
kelompok sasaran.
2.5. Teknik Montase
Menurut Humprey dalam Mindedrop (2005 : 162), metode paling mendasar dalam
sinema adalah teknik montase. Istilah montase berasal dari film yang berarti memilah-
milah, memotong-motong, serta menyambung-nyambung pengambilan gambar sehingga
menjadi suatu keutuhan.
Fungsi utama dari teknik montase adalah untuk menggambarkan dua kehidupan
tokoh dalam suatu kisahan, yaitu kehidupan jasmani dan rohani. Penonton/pembaca
harus kembali menelusuri alur untuk kembali ke latar dan memposisikan diri pada
keadaan sebenarnya supaya penonton/pembaca bisa memahami lebih baik setiap situasi
yang diputus atau disambung.
Teknik montase dapat menciptakan serangkaian impresi dan observasi yang diatur
secara tepat. Teknik montase juga dapat menyajikan kesibukan latar, misalnya hiruk
pikuk kota, atau suatu kekalutan seperti kekalutan pikiran, juga aneka tugas seorang
tokoh secara simultan dan dinamis.
Download