interaksi - Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

advertisement
ISSN No. 1412 – 2952
Tahun 5 Nomor 5 Juni 2010
INTERAKSI
JURNAL KEPENDIDIKAN
Sodiq Anshori
Achmad Zainullah
Mohammad Harijanto
H. Sulistiyono
Adrawi Zaini
Sutini
Rahmad
Pengintegrasian Problem Bassed Learning
Dan Pendekatan Group Investigation
Hubungan Antara Cara Belajar Dan Motivasi
Berprestasi
Dengan
Prestasi
Belajar
Pendidikan Matematika I Mahasiswa S1
PGSD Universitas Terbuka
Peningkatan Hasil Belajar Dalam Menyajikan
Data ke Bentuk Grafik melalui Penggunaan
Metode Diskusi Pada Prodi Bahasa Inggris
FKIP UNIRA Pamekasan
Implementasi Pendekatan Kontekstual dalam
Pembelajaran Sastra Anak Di Sekolah Dasar
(Sebuah Tinjauan Teori Pembelajaran Sastra
Anak)
Peningkatan Hasil Belajar Matematika Dalam
Menuliskan Lambang Pecahan Melalui
Penggunaan Metode Diskusi Di Kelas IV SDN
Rek-Kerrek
III
Kecamatan
Palengaan
Kabupaten Pamekasan
Upaya Meningkatkan Minat Baca Siswa
Kelas III Sekolah Dasar
Ambiguitas Makna dalam Rora Bhâsa
Bahasa Madura
1
SUSUNAN PENYUNTING JURNAL INTERAKSI
Penanggung Jawab
Dra. Sri harini (Dekan FKIP)
Ketua Penyunting
Drs. Moh. Harijanto, M.Pd.
Wakil Ketua Penyunting
Rahmad, M.Pd.
Penyunting Pelaksana
Dra. Yanti Linarsih
Sri Indiati Hasanah, M.Pd.
Moh. Tauhed Supratman, S.Pd.
Nina Khayatul Virdina, M.Pd.
Drs. Zainal Arifin
Penyunting Ahli
Drs. H. kutwa, M.Pd.
Drs. Abd. Roziq
Alamat Penyunting dan Tata Usaha:
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Madura
(UNIRA) Pamekasan, Jl. Raya Panglegur Pamekasan, Telp. (0324)
322231, 325786. Fax. (0324) 32418, E-mail:[email protected]
JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI menerima sumbangan artikel
yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Artikel
diketik dengan spasi rangkap pada kertas kuarto, panjang antara
10-20 halaman.
Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Madura (UNIRA) Pamekasan
2
JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI
Tahun 5 Nomor 5 Juni 2010
Pengintegrasian Problem Bassed Learning Dan Pendekatan Group
Investigation
Oleh: Sodiq Anshori
Hubungan Antara Cara Belajar Dan Motivasi Berprestasi Dengan
Prestasi Belajar Pendidikan Matematika I Mahasiswa S1 PGSD
Universitas Terbuka
Oleh: Achmad Zainullah
Peningkatan Hasil Belajar Dalam Menyajikan Data ke Bentuk Grafik
melalui Penggunaan Metode Diskusi Pada Prodi Bahasa Inggris FKIP
UNIRA Pamekasan
Oleh: Mohammad Harijanto
Implementasi Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Sastra Anak
Di Sekolah Dasar (Sebuah Tinjauan Teori Pembelajaran Sastra Anak)
Oleh: H. Sulistiyono
Peningkatan Hasil Belajar Matematika Dalam Menuliskan Lambang
Pecahan Melalui Penggunaan Metode Diskusi Di Kelas IV SDN RekKerrek III Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan
Oleh Adrawi Zaini
4
13
21
33
41
Upaya Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas III Sekolah Dasar
Oleh: Sutini
52
Ambiguitas Makna dalam Rora Bhâsa Bahasa Madura
Oleh: Rahmad
60
JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI menerima sumbangan artikel
yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Artikel
diketik dengan spasi rangkap pada kertas kuarto, panjang antara
10-20 halaman
3
PENGINTEGRASIAN PROBLEM BASSED LEARNING
DAN PENDEKATAN GROUP INVESTIGATION
( Penelitian Tindakan Kelas pada Mahasiswa Semester I UPBJJ-UT
Surabaya Pokjar Kabupaten Ngawi )
Sodiq Anshori, [1], & Munasir, M.Si. [2]
[1] UPBJJ-UT Surabaya
[2] FMIPA Universitas Negeri Surabaya
Tutorial (tutoring) adalah bantuan atau bimbingan belajar yang bersifat akademik, yang
diberikan oleh seseorang (tutor) untuk membantu kelancaran proses belajar mandiri
mahasiswa secara perorangan atau kelompok, berkaitan dengan materi pada matakuliah
tertentu. Mahasiswa program pendidikan dasar S1-PGSD UT Pokjar Ngawi masa regristrasi
2009.2 tahap 2, pada umumnya adalah guru sekolah dasar (SD) aktif, dengan latar belakang
pendidikan pada saat sekolah menengah-nya, yaitu SPG, SMA / SMA dan D2-PGSD. Latar
belakang pendidikan ini menggambarkan kemampuan awal siswa dalam mengikuti kegiatan
perkuliahan di UT. Berdasarkan pengalaman, selama memberikan tutorial , keluhan yang
paling umum adalah minimnya bekal ilmu/ pengetahuan awal tetang matakuliah yang
diambil, khususnya untuk matakuliah eksak, seperti konsep dasar IPA SD. Bagi tutor,
implementasi pengguasaan model pembelajaran untuk meningkatkan kualitas tutorial, dengan
berbagai problem teknis yang dihadapi tutor dilapangan selama melakukan tugas sebagai
tutor, dengan berbekal idealisme peran dan tugas tutor sebagaimana dirumuskan dan menjadi
standar baku di UT. Maka dalam kesempatan ini akan di coba diterapkan suatu model
pembelajaran berdasarkan masalah (PBL) dengan pendekatan investigasi kelompok (grouping
investigation) sebagai suatu integrasi tindakan dalam pelaksanaan tutorial, dengan harapan
akan dapat menjadi suatu model pendekatan tutorial yang tepat terlebih dapat meningkatkan
kualitas proses tutorial dan hasil belajar mahasiswa untuk matakuliah tertentu yang dirasa
sangat sulit untuk dipelajari, sebagai kasus adalah untuk matakuliah konsep dasar IPA SD.
Hasil penelitian diperoleh bahwa : (1) telah dibuat perangkat pendukung tutorial /modul
(RAT, SAT, LKM dan LEM , RET) dengan hasil kelayakan (validasi) oleh tutor sejawat dan
mahasiswa peserta tutorial , kreteria baik, dengan rata-rata persentase keseluruhan indikator
78,24% dengan persentase tiap indikator >65% sehingga perangkat ini layak sebagai
instrumen pendukung tutorial matakuliah Kondas IPA SD, yang mengacu pada pendekatan
tutorial yang diterapkan ; (2) aktivitas tutor dan aktivitas mahasiswa selama proses tutorial,
mengacu pada model tutorial yang diterapkan, menujukan hasil yang meningkat pada tiap
siklus (siklus I 71,02%, siklus II 80,19% dan siklus III 92,61%) ; (3) perkembangan kelompok
belajar mahasiswa pada setiap kelas juga sudah sangat baik, karena rata-rata kelompok
mendapat perediket “super team” dan “good team” ; (4) aspek pengamatan selama kegitan
tutorial juga menujukan hasil yang aktif dan kondusif ; (5) hasil belajar mahasiswa setelah
kegiatan tutorial berlangsung yang mengacu pada model tutorial yang diterapkan,
menunjukan pada siklus 1, siklus 2 dan siklus 3 masing-masing terjadi peningkatan nilai rata
sebesar 20,18 ; 27,33 dan 31,32 dari nilai pre tes (52,02) , dan peningkatan jumlah mahasiswa
yang tuntas , pada siklus 1, siklus 2 dan siklus 3 masing-masing terjadi peningkatan sebesar
75,12 ; 84,89 dan 95,54 dari prrosentase awal (pretes).
Key words: PBL, Investigasi Kelompok,Tutorial
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Tutorial (tutoring) adalah bantuan
atau bimbingan belajar yang bersifat
akademik, yang diberikan oleh seseorang
(tutor) untuk membantu kelancaran proses
belajar
mandiri
mahasiswa
secara
perorangan atau kelompok, berkaitan
dengan materi pada matakuliah tertentu.
Tutorial dilaksanakan secara tatap muka
atau jarak jauh berdasarakan konsep
belajar mandiri. (UPBJJ-UT Sby, 2009).
Peran uama tutor adalah sebagai :
(1) pemicu kemandirian mahasiswa dalam
belajar, berfikir dan berdiskusi di kelas
tutorial; (2) pembimbing, fasilitator dan
mediator
bagi
mahasiswa
dalam
4
membangun pengetahuan, nilai , sikap dan
keterampilan akademik dan profesional
secara mandiri. Dan memberikan panduan
dan bimbingan kepada mahasiswa agar
mahasiswa
dapat
belajar
sendiri
memahami materi , memberikan motivasi
dan
membantu
mahasiswa
dalam
mengembangkan keterampilan belajarnya.
(UPBJJ-UT Sby, 2009)
Prinsip dasar tutorial yang baik,
agar penyelenggaraan tutorial berjalan
secara efektif, dan tidak terjebak pada
situasi perkuliahan biasa diantaranya,
adalah : (1) interaksi tutor-tutee sebaiknya
berjalan pada tingkat metakognitif, yang
menekankan
pada
pembentukan
keterampilan learning to learn atau think
how to think. (2) tutor harus membimbing,
mendorong dan memotivasi tutee untuk
sampai pada taraf pengertian yang
mendalam sehingga mampu menghasilkan
pengetahuan. (3) tutor harus demokratis,
dengan melibatkan semua peserta dalam
kelompok diskusi dalam memberikan
pendapat kebenaran suatu ilmu serta
meningkatkan kemampuan intelektual,
kerjasama yang lebih baik. (4) tutor
seyogyanya mampu membuat variasi
simulasi untuk belajar, sehingga tutee
tidak merasa bosan, jenuh dan/atau putus
asa. (5) tutor sebaiknya selalu memantau
kualitas kemajuan belajar tutee dengan
mengarahkan kajian sampai pada taraf
pengertian yang mendalam (indepth
understanding).(UPBJJ-UT Sby, 2009).
Untuk
merancang
dan
melaksanakan tutorial yang baik, tutor
harus : (1) memahami peta kompetensi
matakuliah ; (2) menyusun rancangan
aktivitas tutorial (RAT), (3) menyusun
satuan aktivitas tutorial (SAT), dan (4)
menyusun rancangan evaluasi tutorial
(RET)
.
Tutorial
dikembangkan
menggunakan beberapa model tutorial
yang dipandang tepat sesuai dengan
karakteristik mahasiswa, beberapa unsur
yang tercakup didalamnya , yaitu : (1)
landasan teori yang menjelaskan teori
yang melandasi pemilihan model dan
manfaat yang diharapkan, (2) kompetensi
yang diharapkan dikuasai melalui
penggunaan model tersebut, dalam
komponen
ini
dijelaskan
dampak
instruksional dan dampak pengiring dari
penerapan suatu model, (3) materi, yang
menggambarkan subtansi matakuliah yang
sesuai yang disajikan dengan model
melalui tutorial yang dipilih, (4) langkah
utama yang menggambarkan ciri dari
model tutorial yang diterapkan, (5)
evaluasi proses dan hasil belajar, yang
mengacu kepada kegiatan dan alat yang
telah
digunakan
untuk
mengukur
penguasaan mahasiswa terhadap dampak
instruksional dan pengiring yang telah
dirumuskan. Dan faktor yang harus
dipertimbangkan dalam pemilihan model
tutorial , diantaranya adalah : (1)
kemampuan yang harus dicapai peserta
tutorial, (2) karakteristik materi, (3)
karakteristik peserta tutorial, (4) fasilitas
yang tersedia, dan (5) kemampuan tutor
untuk menerapkan model tutorial. (UPBJJUT Sby, 2009).
Mahasiswa program pendidikan
dasar S1-PGSD UT, pada umumnya
adalah guru sekolah dasar (SD) aktif,
dengan latar belakang pendidikan pada
saat sekolah menengah-nya, yaitu SPG,
SMA / SMA dan D2-PGSD. Latar
belakang pendidikan ini menggambarkan
kemampuan awal siswa dalam mengikuti
kegiatan perkuliahan di UT, melalui
tutorial
tatap
muka.
Berdasarkan
pengalaman , selama memberikan tutorial ,
keluhan yang paling umum adalah
minimnya bekal ilmu / pengetahuan awal
tetang
matakuliah
yang
diambil,
khususnya untuk matakuliah eksak, seperti
konsep dasar IPA SD . Menghadapi
kendala tersebut, tutor seringkali dituntut
untuk
lebih
menerapkan
model
perkuliahan
konvensional,
meskipun
model ini tidak diharapkan dalam sistem
tutorial di UT. Disisi lain muatan
kurikulum yang begitu padat , materi yang
harus diselesaikan dalam 8 kali pertemuan
cukup banyak (8 modul), tutor dituntut
harus inovatif , kreatif dengan berpedoman
pada prinsip dasar tutorial yang menjadi
standar baku di UT.
Model pembelajaran mempunyai
empat ciri khusus yang tidak dimiliki
oleh strategi atau prosedur tertentu. Ciriciri tersebut adalah (1) rasional teoritik
yang logis yang disusun oleh para pencipta
atau pengembangnya; (2) landasan
pemikiran tentang apa dan bagaimana
siswa belajar (tujuan pembelajaran yang
akan dicapai); (3) tingkah laku mengajar
5
yang diperlukan agar model tersebut dapat
dilaksanakan dengan berhasil; dan (4)
lingkungan belajar yang diperlukan agar
tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.
(UPBJJ-UT Sby, 2009).
Model
pembelajaran
dapat
berfungsi sebagai sarana komunikasi yang
penting, apakah yang dibicarakan adalah
tentang mengajar di kelas, mobile, atau
praktek mengawasi anak-anak. Seperti
yang akan diuraikan pada subbab yang
akan datang,
model
pembelajaran
diklasifikasikan
berdasarkan
tujuan
pembelajarannya,
sintaksnya
(pola
urutannya),
dan
sifat
lingkungan
belajarnya.
Penggunaan
model
pembelajaran tertentu memungkinkan guru
dapat mencapai tujuan pembelajaran
tertentu dan bukan tujuan pembelajaran
yang lain.
Penguasaan tutor terhadap modelmodel
pembelajaran
yang banyak
diterapkan merupakan merupakan hal
yang tidak bisa terhindarkan. Diantara
model
pembelajaran
yang banyak
dikembangkan, diantaranya adalah :
pembelajaran langsung (direct instruction),
pembelajaran kooperatif (cooperative
learning), dan pembelajaran berdasarkan
masalah (problem based learning).
Pembelajaran langsung, yang
bertumpu pada prinsip-prinsip psikologi
perilaku dan teori belajar sosial, telah
dirancang secara khusus untuk menunjang
proses belajar mahasiswa yang berkaitan
dengan pengetahuan prosedural dan
deklaratif yang terstruktur dengan baik,
yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan
yang bertahap, selangkah demi selangkah.
Pembelajaran
kooperatif
merupakan suatu model pembelajaran di
mana mahasiswa belajar dalam kelompokkelompok kecil yang memiliki tingkat
kemampuan
berbeda.
Dalam
menyelesaikan tugas kelompok, setiap
anggota saling bekerja sama dan
membantu untuk memahami suatu bahan
pembelajaran (grouping investigation).
Belajar belum selesai jika salah satu teman
dalam kelompok belum menguasai bahan
pembelajaran. pembelajaran kooperatif
dapat memberi keuntungan baik pada
mahasiswa kelompok bawah maupun
kelompok atas yang bekerja bersama
menyelesaikan tugas-tugas akademik.
Mahasiswa kelompok atas akan menjadi
tutor bagi siswa kelompok bawah, jadi
memperoleh bantuan khusus dari teman
sebaya, yang memiliki orientasi dan
bahasa yang sama. Dalam proses tutorial
ini, mahasiswa kelompok atas akan
meningkat kemampuan akademiknya
karena memberi pelayanan sebagai tutor
membutuhkan pemikiran lebih mendalam
tentang hubungan ide-ide yang terdapat di
dalam materi tertentu,
Tujuan
penting
lain
dari
pembelajaran kooperatif adalah untuk
mengajarkan kepada siswa keterampilan
kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan
ini amat penting untuk dimiliki di dalam
masyarakat yang secara budaya semakin
beragam, yang saling bergantung satu
sama lain. Beberapa variasi dari model
pembelajaran kooperatif adalah STAD
(student
team-achievment
division),
Teams-Games-Tournaments (TGT) Jigsaw
Think-Pair-Share (TPS) Numberel-HeadTogether
(NHT),
dan
investigasi
kelompok (grouping investigation).
Model pembelajaran berdasarkan
masalah (Problem Based InstructionPBL), merupakan pendekatan yang sangat
efektif untuk mengajarkan proses-proses
berpikir tingkat
tinggi,
membantu
mahasiswa memproses informasi yang
telah
dimilikinya,
dan
membantu
mahasiswa
membangun
sendiri
pengetahuannya tentang dunia sosial dan
fisik di sekelilingnya. Pendekatanpendekatan pada PBL bertumpu pada
psikologi kognitif dan pandangan para
konstruktivis mengenai belajar. Model ini
mempunyai landasan pengetahuan yang
dikembangkan dengan baik, dan meskipun
rumit, tetap dapat dipelajari dan
dilaksanakan oleh guru dengan petunjuk
dan pelatihan yang cukup.
Implementasi pengguasaan model
pembelajaran untuk meningkatkan kualitas
tutorial, dengan berbagai problem teknis
yang dihadapi tutor dilapangan selama
melakukan tugas sebagai tutor, dengan
berbekal idealisme peran dan tugas tutor
sebagaimana dirumuskan dan menjadi
standar baku di UT. Maka dalam
kesempatan ini akan di coba diterapkan
suatu model pembelajaran berdasarkan
masalah (PBL) dengan pendekatan
investigasi
kelompok
(grouping
6
investigation) sebagai suatu integrasi
tindakan dalam pelaksanaan tutorial,
dengan harapan akan dapat menjadi suatu
model pendekatan tutorial yang tepat
terlebih dapat meningkatkan kualitas
proses tutorial dan hasil belajar mahasiswa
untuk matakuliah tertentu yang dirasa
sangat sulit untuk dipelajari, sebagai kasus
adalah untuk matakuliah konsep dasar
IPA SD. maka rumusan masalahnya
sebagai berikut (1) Bagaimanakah hasil
perangkat pembelajaran pendukung yang
meliputi RAT, SAT, LKM, LEM, LPA
Mahasiswa, LPA Tutor,
dan LUB
Mahasiswa yang mengacu pada model
tutorial yang diterapkan (2) Bagaimanakah
aktivitas tutor dan aktivitas mahasiswa
siswa selama proses KBM berlangsung
yang mengacu pada model tutorial yang
diterapkan? (3) Bagaimanakah hasil
belajar mahasiswa setelah kegiatan tutorial
berlangsung yang mengacu pada model
tutorial
yang
diterapkan?
(3)
Bagaimanakah respon mahasiswa terhadap
model / pendekatan tutorial yang
dikembangkan ?
B. Tujuan Penelitian
Terdapat beberapa tujuan yang ingin
dicapai pada penelitian ini. Tujuan-tujuan
tersebut adalah: (1) Menghasilkan
perangkat pembelajaran pendukung yang
meliputi RAT, SAT, LKM, LEM, LPA
Mahasiswa, LPA Tutor,
dan LUB
Mahasiswa yang mengacu pada model
tutorial
yang
diterapkan
?
(2)
Meningkatkan aktivitas tutor dan aktivitas
mahasiswa
selama
proses
tutorial
berlangsung yang mengacu pada model
tutorial
yang
diterapkan?
(3)
Meningkatkan hasil belajar mahasiswa
setelah kegiatan tutorial berlangsung yang
mengacu pada model tutorial yang
diterapkan? (4) Mengamati respon
mahasiswa terhadap model/pendekatan
tutorial yang dikembangkan ?
C. Manfaat Penelitian
Keberhasilan
penelitian
ini
memberikan beberapa manfaat. (1) Bagi
Tutor
tersedia
contoh
instrumen
pendukung modul matakuliah konsep
dasar IPA SD yang inovatif dan
memudahkan dalam pelaksanaan tutorial
konsep dasar IPA SD. (2) Bagi
Mahasiswa , hasil penelitian ini bagi
mahasiswa dapat dipakai sebagai bahan
masukan tentang pemilihan model belajar
atau strategi belajar yang tepat sesuai
dengan karakteristik matakuliah yang
ditempuh, juga dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan hasil belajar, peningkatan
prestasi belajar. (3) Bagi institusi UT,
hasil penelitian sebagai masukan untuk
peningkatan kualitas tutorial melalui
penyiapan bahan ajar ” modul kuliah”,
khusunya untuk matakuliah Kondas IPA
SD.
D. Karakteristik Matakuliah Konsep
Dasar
IPA SD
Matakuliah Konsep Dasar IPA SD
ini dirancang secara khusus untuk
mahasiswa PGSD program S1 , yang
bersifat memperkaya dan memperluas
wawasan
keilmuan
yang
sangat
bermanfaat bagi guru SD. Materi yang
terkandung dalamnya adalah mengacu
pada competency based curriculum untuk
bidang IPA yang dikeluarkan oleh
depdiknas.
Mata kuliah konsep Dasar IPA SD
ini berisi tentang topik-topik ciri-ciri dan
keanekaragaman makhluk hidup, mahkluk
hidup dan lingkungannya, organ tubuh
manusia, perkembangan makluk hidup,
struktur tubuh pada manusia, makanan,
kesehatan , penyakit dan pencegahannya,
kinematika dan dinamika, materi dan
sifatnya, gelombang dan bunyi, optik,
listrik dan magnet serta bumi dan alam
semesta. Matakuliah ini adalah merupakan
mata kuliah konsep dasar IPA di SD.
Dengan matakuliah ini mahasiswa
diharapkan dapat Mampu menerapkan
konsep-konsep
dasar
IPA
dan
mengembangkan konsep-konsep tersebut
untuk pembelajaran di SD , mhs lebih
memahami konsep dasar IPA dan terampil
mengajar IPA di SD. (Yosafat Sunardi,
dkk.UT. 2007)
Evaluasi belajar merupakan hal yang
essensial dalam proses pembelajaran.
Karena melalui evaluasi belajar tersebut ,
tingkat keberhasilan siswa dalam belajar
dan tingkat efektivitas Kegiatan Belajar
7
Mengajar (KBM) yang dilakukan oleh
dosen. Hasil evaluasi dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan untuk
melakukan remediasi.
Mengingat Manfaat yang besar dari
evaluasi, maka penyusunan alat evaluasi
harus dilakukan dengan cermat. Evaluasi
terhadap hasil belajar siswa harus bersifat
menyeluruh meliputi berbagai aspek yaitu
kognitif, afektid, dan psikomotor. Aspek
kognitif meliputi ingatan, pemahaman,
aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi (Gagne
et al, 1988). Oleh sebab itu perlu dibuat
alat evaluasi untuk aspek kognitif, afektif,
dan psikomotor.
Pengembangan alat evaluasi hasil
belajar meliputi tes produk untuk
mengukur ingatan, kinerja tradisional
untuk mengukur pemahaman, kinerja
proses untuk mengukur aspek kognitif
yang lebih tinggi, tes psikomotor untuk
mengukur keterampilan siswa, dan skala
sikap untuk mengukur afektif.
II. Metode Penelitian
A.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Pokjar
UT
Kabupaten
Ngawi.
Penelitian
dilaksanakan pada bulan September 2009Nopember 2009.
B.
Subyek Penelitian
Mahasiswa Program S-1 PGSD
Universitas Terbuka semester I masa ujian
2009.2, Tahap 2. Pokjar UT Kabupaten
Ngawi.
C.
Rencana dan Prosedur Penelitian
Metode atau langkah-langkah yang
digunakan dalam pengembangan ini
mengadaptasi model siklus pengembangan
instruksional yang dikembangkan oleh
Kemmis and Taggart (1999).
Pla
Reflect
Action/Observa
Siklu
Recived
Reflect
Action/Observa
Siklus
Recived
Reflect
Action/Observa
Siklus
Recived
Gambar 2. Siklus PTK (Kemmis, 1999,
dalam Wardani,IGAK, UT)
Menurut Kemmis langkah-langkah
tersebut dapat divisualisasikan seperti
pada gambar 1. Siklus pengembangan
instruksional tersebut meliputi fase :
planing, Action/ Observation, Reflective,
dan Recived Plan, merupakan kegiatan
yang berkelanjutan dilakukan pada tiap
fase di sepanjang siklus pengembangan
tersebut. Setelah setiap fase, seharusnya
dilakukan evaluasi atas hasil kegiatan
tersebut,
melakukan
revisi,
dan
mendapatkan
persetujuan
untuk
melanjutkan ke fase berikutnya (Kemmis,
dalam Wardany, IGAK, UT).
III. Hasil Penelitian dan Pembahasan.
A. Instrumen Pendukung Tutorial
Instrumen pendukung tutorial telah
divalidasi. Dari data validasi tersebut
kemudian dianalisis untuk mengetahui
kelayakan instrumen dan hasilnya adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.10. Hasil Analisis Instrumen
Pendukung Tutorial MK Kondas IPA SD
Indikator
Kelayakan Isi
Kebahasaan
Penyajian
Rata-rata
Persentase
(%)
75,40
76,32
80,25
77,32
Kriteria
Baik
Baik
Baik
Baik
8
Hasil validasi oleh tutor sejawat
pengampu matakuliah konsep dasar IPA
SD
diperoleh
persentase
rata-rata
keseluruhan indiaktor sebesar 77,32 %
dengan persentase tiap indiaktor >75 %
hal ini berarti bahwa perangkat
pembelajaran (RAT ,SAT, LKM dan
LEM) yang telah dibuat sudah baik
digunakan
sebagai
perangkat
pembelajaran.
Dari segi kelayakan isi persentase
yang diperoleh sebesar 75,40 % berarti
perangkat pembelajaran mata kuliah
kondas IPA SD (LKM dan LEM) yang
telah divalidasi tersebut baik digunakan.
Dari segi kebahasaan dari penulisan
perangkat pembelajaran mata kuliah
kondas IPA SD ini mendapat persentase
sebesar 76,32 %, hal ini berarti perangkat
pembelajaran yang telah dibuat ini sangat
baik digunakan sebagai perangkat
pembelajaran karena telah diupayakan
sedemikian
sehingga
keruntutan,
ketepatan tata bahasa dan ketepatan ejaan,
dalam
mendeskripsikan
konsep/teori
dalam perangkat pembelajaran fisika
statistik sudah baik.
Dari segi penyajian dari penulisan
pernagkat pemblajaran matakuliah mata
kuliah kondas IPA SD ini nmendapat skor
80,25 %, hal ini berarti desain penyajian
materi yang mencakup teknik penyajian,
pendukung penyajian materi dan penyajian
pembelajaran telah mendapat kreteria baik.
Gambar 2. Prosentase ketuntasan selama 3
siklus
B. Hasil Tes /Kuis
Dari hasil tes /kuis menunjukan
terjadi
peningkatan
nilai
rata-rata
mahasiswa (lihat gbr 1), pada siklus 1,
siklus 2 dan siklus 3 masing-masing
terjadi peningkatan sebesar 20,18 ; 27,33
dan 31,32 dari nilai pre tes (52,02).
Peningkatan tersebut juga diikuti dengan
peningkatan jumlah mahasiswa yang
tuntas (lihat gbr 2) pada siklus 1, siklus 2
dan siklus 3 masing-masing terjadi
peningkatan sebesar 75,12 ; 84,89 dan
95,54 dari prrosentase awal (pretes).
C. Aktivaitas Tutorial
Aktivitas mahasiswa selama tutorial
matakuliah Kondas IPA SD ditunjukan
pada gambar 3 , dibawah ini.
Gambar 1. Nilai tes selama 3 siklus
Pada siklus I aktivitas mahasiswa
selama pembelajaran adalah 14,92%
keaktifan,
3,87% kerjasama, 35,17%
mengerjakan tugas, 22,58% mengajukan
pertanyaan, 13,85% pemecahan masalah,
9,61% mengerjakan kuis.
Pada siklus II aktivitas mahasiswa
selama pembelajaran adalah 16,13%
keaktifan,
3,63% kerjasama, 34,5%
mengerjakan tugas, 20,25% mengajukan
pertanyaan, 14,52% pemecahan masalah,
10,97% mengerjakan kuis.
Pada siklus III aktivitas mahasiswa
selama pembelajaran adalah 15,47%
keaktifan,
4,30% kerjasama, 34,50%
9
mengerjakan tugas, 20,92% mengajukan
pertanyaan, 14,52% pemecahan masalah,
10,30% mengerjakan kuis.
sehingga sedikit mengganggu
tutorial Kondas IPA SD.
proses
Tabel 4.11. Perkembangan Kelompok
selama 3 siklus
(Kelas A,B dan C)
Penghargaan
Kel
I
II
III
IV
V
VI
Kelas A
Kelas B
Kelas C
Geat team
Geat team
Super team
Super team
Geat team
Super team
Super team
Good team
Super team
Geat team
Geat team
Geat team
Super team
Super team
Super team
Super team
Super team
Super team
E. Respon Mahasiswa
Gambar 3. Aktivitas Mahasiswa selama
tutorial
Kelayakan perangkat pembelajaran
oleh mahasiswa dilihat dari hasil angket
respon mahasiswa. Indikator yang terdapat
pada angket respon mahasiswa adalah
format media, kualitas media, kejelasan
media, dan ketertarikan mahasiswa.
Analisis data angket respon mahasiswa
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel.12. Ujicoba angket respon
D. Perkembangan Kelompok
Dari hasil perkembangan kelompok
untuk setiap kelompok belajar / diskusi
pada tiap kelas , dapat di analisis sebagi
berikut (tabel 2), perkembangan kelompok
setiap kelas , yang menunjukan hasil yang
sangat baik, dimana pada kelas A terdapat
3 kelompok dengan predikat ”super team”,
dan 3 kelompok dengan prediket ”great
team”. Dan pada kelas B, terdapat 2
kelompok ”super team”, 3 kelompok
”great team” dan ada 1 kelompok good
team. Demikian pula pada kelas C
menunjukan
prediket
yang
tebaik
dibanding dengan kelompok semua
kelompok menyandang prediket ”super
team”. Hal ini di mungkinkan karena pada
kelas C, kegiatan tutorial dengan waktu
yang palin optimal. Tutorial kondas jam
pertama biasanya dimulai di kelas B,
kemudian kelas C dan terakhir kelas A.
Sebelum jam pertama biasanya ada jam ke
nol, untuk tutorial matakuliah yang lain,
mahasiswa
Indikator
Format
penulisan
perangkat
Kualitas
perangkat
Kejelasan
perangkat
Ketertarikan
mahasiswa
Rata-rata
Persentase
(%)
Kriteria
79,90
Baik
75,73
Baik
74,26
Baik
83,08
78,24
Sangat
baik
Baik
Hasil validasi perangkat pendukung
tutorial (LKM dan LEM) oleh mahasiswa
diperoleh persentase rata-rata keseluruhan
indikator
sebesar
78,24%
dengan
persentase tiap indikator 65%-80%. Hal
ini berarti bahwa perangkat (RAT, SAT,
LKM, LEM/RET) tutorial Kondas IPA
10
SD, dapat dengan baik digunakan sebagai
perangkat
pendukung
pelaksanaan
tutorial.
F. Pengelolaan Tutorial
Adapun hasil penilaian lembar
pengamatan pengelolaan pembelahjaran
selama tiga siklus diperoleh persentase
seperti pada gambar 5 dibawah ini,
menunjukan bahwa dari siklus pertama,
kedua, dan ketiga terdapat peningkatan
terhadap pengelolaan tutorial, pada siklus I
pengelolaan
tutorial
mendapatkan
penilaian 71,02%, siklus II 80,19% dan
siklus III 92,61%. Berdasarkan hasil di
atas dapat dikatakan bahwa Tutor dalam
mengelola tutorialnya sudah sangat baik.
IPA SD, yang mengacu pada pendekatan
tutorial yang diterapkan.
Aktivitas tutor dan aktivitas
mahasiswa
selama
proses
tutorial
berlangsung yang mengacu pada model
tutorial yang diterapkan, menujukan hasil
yang meningkat pada tiap siklus ; pada
siklus I pengelolaan tutorial mendapatkan
penilaian 71,02%, siklus II 80,19% dan
siklus
III
92,61%.
Perkembangan
kelompok belajar mahasiswa pada setiap
kelas juga sudah sangat baik, karena ratarata kelompok mendapat perediket “super
team” dan “good team”. Demikian pula
aspek pengamatan selama kegitan tutorial
juga menujukan hasil yang aktif dan
kondusif.
Hasil belajar mahasiswa setelah
kegiatan tutorial
berlangsung yang
mengacu pada model tutorial yang
diterapkan, menunjukan pada siklus 1,
siklus 2 dan siklus 3 masing-masing
terjadi peningkatan sebesar 20,18 ; 27,33
dan 31,32 dari nilai pre tes (52,02).
Peningkatan tersebut juga diikuti dengan
peningkatan jumlah mahasiswa yang
tuntas , pada siklus 1, siklus 2 dan siklus 3
masing-masing terjadi peningkatan sebesar
75,12 ; 84,89 dan 95,54 dari prrosentase
awal (pretes).
B. Saran
Gambar 4. Pengelolaan Tutorial dengan
pendekatan PBL
IV. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan.
Telah dibuat perangkat pendukung
tutorial /modul (RAT, SAT, LKM dan
LEM , RET) dan sudah divalidasi dari
tutor sejawat dan mahasiswa peserta
tutorial , menunjukan kreteria baik, dengan
demikian instrumen tersebut dapat
digunakan sebagai instrumen pendukung
tutorial dengan rata-rata persentase
keseluruhan indikator 78,24% dengan
persentase tiap indikator >65% sehingga
perangkat ini layak sebagai instrumen
pendukung tutorial matakuliah Kondas
Untuk pengembangan berikutnya,
menuju desain tutorial dengan suatu
pendekatan pembelajaran yang inovatif,
khususnya pada matakuliah Kondas IPA
SD dimana materinya begitu padat (modul
1-6 materi biologi dan 7-12 materi fisika)
dan jumlah tatap muka delapan kali, maka
bahan ajar , desain tutorial yang
dikembangkan dan tutor punya peran yang
strategis. Kesulitan mahasiswa dalam
tutorial Kondas IPA SD yang paling
menonjol adalah pada penguasaan konsep
fisika (modul 7-12), perlu ada koreksi
penyajian materi khususnya pada modul 7
(konsep kinematika, dinamika partikel,
contoh aplikasi: pesawat sederhana) ,
modul 8 (materi dan sifatnya : termal) dan
modul 9 (konsep gelombang dan bunyi).
11
Science for All Children. Second
Edition. Boston: Allyn and Bacon.
Daftar Pustaka
Arends, R.I. 1997. Classroom Instruction
and Management. Boston: Allyn
and Bacon.
Depdiknas. 2004. Term of Reference
Proyek Pengembangan Lembaga
Penjamin Mutu Pendidikan Tahun
anggaran
2004.
Jakarta:
depdiknas Ditjen Dikdasmen
Direktorat Tenaga Kependidikan
Proyek Pengembangan LPMP.
Eggen. P.D., & Kauchak. D.P. 1996.
Strategies for Teacher. Teaching
Contens and Thinking Skill.
Boston: allyn and Bacon.
Gagne, R.M. Briggs, L.J., & Wager,W.W.
1988. principles of Instructional
Design. Florida: Holt Rinchart and
Winston.
Johnson, E.B. 2002. Contextual Teaching
and Learning. Thousand Oaks,
California: Corwinn Press.
Kemp, J.E., Morrison, G.R., & Ross, S.M.
1994.
Designing
Effective
Instructions. New York: Collage
Publishing Company.
Martin, R., Sexton, C., Wagner, K., &
Gerlovich, J. 1997. Teaching
Soewondo,
2004,
Pedoman
penyelenggaraan program S-1
PGSD . Jakarta. Universitas
Terbuka. Winataputra, U.S (1997).
Konsep dan Model Tutorial.
Makalah tidak dipublikasikan .
Jakarta. UT.
Slavin,
R.E.
1997.
Educational
Psychology Theory and Practice.
Boston: Allyn and Bacon.
Tim UT Sby, 2009. Pedoman pelaksanaan
Tutorial UT. Surabaya. UPBJJ-UT
Surabaya. Tidak di publikasikan.
Udin S. Winataputra, dkk. 2003. Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta : Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka
White, R.T. 1988. Learning Science.
Cambridge Massachusetts: Basil
Blackwell Ltd.
Wolfolk,
A.E.
1995.
Educational
Psychology. Sixth Edition. Boston:
Allyn and Bacon.
Wardani, IGAK. 2008. Penelitian
Tindakan Kelas. Modul UT.
Jakarta. Universitas Terbuka.
Yosafat Sunardi, dkk. 1997. Konsep Dasar
IPA SD. Modul UT. Jakarta
12
HUBUNGAN ANTARA CARA BELAJAR DAN MOTIVASI BERPRESTASI
DENGAN PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN MATEMATIKA I
MAHASISWA S1 PGSD UNIVERSITAS TERBUKA
Oleh:
Achmad Zainullah
Abstrak
Masalah penelitian adalah “adakah hubungan antara cara belajar dan
motivasi berprestasi dengan prestasi belajar pendidikan matematika
1 mahasiswa S1 PGSD ?”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara cara belajar dan motivasi berprestasi
dengan prestasi belajar pendidikan matematika 1. Subyek penelitian
terdiri dari mahasiswa S1PGSD di Kabupaten Madiun yang telah
menempuh matakuliah Pendidikan Matematika 1. Sampel diambil
secara stratified random sampling sejumlah 122 mahasiswa. Data
dikumpulkan melalui angket dan tes dan dianalisis secara deskriptif
dan regresi sederhana dan ganda. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara terpisah maupun bersama-sama, cara belajar dan
motivasi berprestasi tidak berhubungan signifikan dengan prestasi
belajar Pendidikan Matematika 1.
Kata kunci: cara belajar, motivasi berprestasi, prestasi belajar
Pendahuluan
Konsekwensi dari pembangun an adalah pembaharuan di berbagai
bidang, salah satunya di bidang
pendidikan. Untuk mempercepat laju
pembangunan diperlukan sumber daya
manusia (human resource) yang handal.
Di bidang pendidikan sumber daya
manusia sangat diperlukan, karena
merupakan ujung tobak pembinaan dan
peningkatan sumber daya manusia.
Sumber daya manusia di bidang
pendidikan khususnya guru sebagai
mediator dan motivator anak didik perlu
ditingkatkan kualitasnya. Program S1
Pendidikan
Guru
Sekolah
Dasar
(S1PGSD)
merupakan
program
pemerintah dalam hal ini Depertemen
Pendidikan Nasional untuk meningkatkan
kualitas guru SD sehingga dapat
melaksanakan
tugas-nya
secara
professional (teacher’s professionalism).
Menyadari pentingnya proses
belajar mengajar untuk mencapai hasil
yang maksimal diperlukan pengaturan cara
belajar yang baik dan dorongan atau
motivasi untuk mencapai prestasi belajar
yang baik. Rendahnya kesadaran mahasiswa untuk mengatur cara belajar yang
baik dan kurangnya motivasi untuk berprestasi merupakan salah satu penghambat
untuk mencapai prestasi belajar yang
diharapkan. Sistem belajar jarak jauh
yang diterapkan di Universitas Terbuka
yang menangani progran S1 PGSD
menuntut mahasiswa untuk belajar
mandiri. Tutorial yang dilaksanakan
hanya untuk membantu mahasiswa yang
mengalami kesulitan dalam memahami
materi modul. Mahasiswa S1 PGSD
adalah guru SD
yang memiliki
pengalaman mengajar, masa kerja yang
berbeda serta cara belajar dan motivasi
yang cendrung berbeda pula. Hambatan
yang dihadapi karena kesibukan pada
pagi hari mereka harus mengajar dan
pada siang hari mengikuti tutorial.
Sebagai konsekuensinya mereka harus
dapat mengatur cara belajar yang baik
dan tentunya dorongan atau motivasi
untuk berprestasi harus terus menerus
ditumbuhkembangkan.
Matematika
merupakan mata
pelajaran yang mempunyai sifat khas
apabila dibandingkan dengan mata
pelajaran lain. Karena itu dalam proses
belajar mengajarnya diperlu-kan cara atau
strategi yang berlainan pula dengan
memperhatikan
hakekat
matematika.
Matematika bersifat prerekuisit artinya
setiap kosep yang dipelajari harus
memperhatikan materi prasyaratnya.
13
Matematika
berhubungan
dengan struktur, simbol-simbol, aturan
dan
kebenaran-nya
dikembangkan
berdasarkan alasan yang logik dengan
mengguna-kan pembuktian deduktif.
Hodojo (1990) mengatakan bahwa matematika sebagai ilmu mengenai struktur
dan hubungan-hubungan, simbol-simbol
diperlukan
untuk
membantu
memanipulasi aturan-aturan dengan
operasi yang ditetap-kan. Selanjutnya
Karso dkk (2003) mengatakan bahwa
matematika adalah ilmu deduktif,
aksiomatik, formal, hirarkis, abstrak,
bahasa simbol yang padat arti, dan
semacamnya yang perlu kemampuan
khusus bagi seorang guru.
Untuk menunjang keberhasil-an
prestasi belajar persoalan yang menarik
untuk dikaji adalah, “apakah ada
hubungan antara cara belajar dan
motivasi berprestasi terhadap prestasi
belajar pendidikan matematika 1 baik
secara terpisah maupun bersama-sama?”
Cara belajar dan motivasi berprestasi
sebagai variabel bebas, sedangkan
variabel terikatnya adalah prestasi belajar
pendidikan mate-matika 1. Adapun
tujuan
penelitian
adalah
untuk
mengetahui signifikansi hubungan antara
cara belajar dan motivasi berprerstasi
dengan prestasi belajar pendidikan
matematika 1 baik secara terpisah
maupun secara bersama-sama. Manfaat
penelitian diharapkan dapat memberikan
kontri-busi atau bahan masukan dalam
usaha meningkatkan prestasi belajar
khususnya
matakuliah
pendidikan
matematika 1 dan matakuliah lain yang
relevan.
Kajian Pustaka
Proses Belajar Mengajar
Prestasi belajar merupakan hasil
belajar yang dicapai mahasiswa setelah
mengikuti proses belajar mengajar. Hasil
belajar
mensyaratkan
terjadinya
perubahan perilaku yang bersifat jangka
panjang dan relative tetap dalam hal
kecakapan, ketrampilan, dan sikap
(Gredler : 1991). Hasil belajar yang
merupakan
kompetensi
belajar
direfleksikan oleh pembelajar dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak
(Depdikbud, 1995); Depdiknas 2002).
Proses belajar mengajar mahasiswa
S1PGSD UT dilaksanakan dengan sistem
belajar jarak jauh dalam bentuk belajar
mandiri dari modul yang diorganisir
secara sistematis melalui tutorial. Bahan
belajar dilakukan melalui media, seperti
media cetak, kaset audio, dan alat
praktek. Tutorial bertujuan membantu
mahasiswa yang mengalami kesulitan
dalam mempelajari modul matakuliah
dengan bimbingan seorang tutor.
Aktifitas
tutorial
dalam
pembelajaran
matematika
perlu
memperhatikan
karakteristik
yang
dimiliki matematika, khususnya dalam
proses pembelajarannya. Beberapa teori
pendidikan tentang proses pembelajaran
matematika,
langkah-langkah
pembelajaran, metode dan strategi
belajar mengajar, serta evaluasi hasil
belajarnya perlu dipahami mahasiswa.
Mahasiswa dituntut belajar mandiri
melalui modul dengan melakukan
analisis materi esensial, mengembangkan
pokok-pokok materi, menyimpulkan
makna yang terkandung dalam materi,
membuat rangkuman.
Belajar berkenaan dengan proses
perubahan tingkah laku, sedangkan
perubahan tingkah laku seseorang
dipelajari melalui psikologi (Hudojo,
1990). Dalam belajar matematika perlu
memper-hatikan hakekat matematika dan
hakekat peserta didik. Pengetahuan awal
(prior knowledge) sangat penting dalam
mengatur
strategi
proses
belajar
mengajar.
Pembelajaran Matematika
Pembelajaran
matematika
merupakan salah satu kajian yang selalu
menarik untuk diperbincang-kan karena
adanya
perbedaan
karakteristik
khususnya antara hakekat anak didik
dengan hakekat matematika (Karso,
2003). Karakteristik yang dimiliki matematika diantaranya adalah bersifat
deduktif, aksiomatik, formal, hirar-kis,
abstrak,menggunakan bahasa simbol.
Sedangkan anak didik khu-susnya di
sekolah dasar cara berpikirnya belum
formal, mereka berpikirnya masih berada
pada tahapan konkret bahkan pra
konkret. Karena adanya perbedaan
karakteristik inilah diperlukan adanya
kemampuan khusus dari seorang guru
dalam pembelajaran untuk menjembatani
14
antara cara berpikir anak yang belum
mampu berpikir secara deduktif dengan
matematika yang bersifat deduktif.
Pembelajaran matematika diperlukan
model yang sesuai dengan karakteristik
anak didik. Model-model pembelajaran
matematika
yang
sesuai
dengan
karakteristik anak didik inilah yang harus
dikuasai oleh guru dan dikembangkan
dalam proses pem-belajaran matematika.
Ruseffendi (1991) mengatakan bahwa
penalaran dalam matematika mempunyai
ciri-ciri yang amat baik dan cocok untuk
melatih kebiasaan perilaku dan pola pikir
anak.
Dalam pembelajaran
matematika guru harus mengetahui tahapan
perkembangan intelektual atau berpikir
siswa. Menurut Karso dkk (1998) ada
beberapa kekekalan matematika dalam
perkembangan intelektual atau cara
berpikir siswa seperti (1) kekekalan
bilangan (banyak), (2) kekekalan materi
(zat), (3) kekekalan panjang, (4)
kekekalan luas, (5) kekekalan berat, (6)
kekekalan isi, (7) tingkat pemaham-an.
Semua
kekekalan
dan
tingkat
pemahaman ini harus dipahami dan
dimengerti oleh guru agar dapat
melakukan pembelajaran matematika
dengan baik dan materi mudah
dimengerti oleh anak didik. Dalam
pembelajaran
matematika
harus
diciptakan budaya belajar ‘learning how
to learn’ di samping prior knowledge.
Faktor yang Mempengaruhi Hasil
Belajar Matematika
Banyak perubahan tingkah laku
yang diharapkan tidak tercapai karena
adanya cara atau sistem belajar yang
kurang tepat sehingga mempengaruhi
pula hasil belajarnya. Hasil belajar yang
dicapai seseorang dipengaruhi
oleh
berbagai faktor diantaranya minat,
kemauan,
cara belajar,
motivasi,
kematangan dan faktor yang berasal dari
luar
seperti
kontiguitas,
latihan,
penguatan, lingkungan belajar.
Kondisi belajar meliputi kondisi
belajar intern dan kondisi belajar ekstern
(Gagne dalam Natawidjaja, 1989).
Kondisi belajar intern adalah unsur yang
mem-pengaruhi prestasi belajar yang ada
dalam diri seseorang, sedangkan kondisi
belajar ekstern merupakan unsur yang
mempengaruhi prestasi belajar yang
berasal dari luar diri seseorang. Kondisi
belajar ini sangat diperlukan dan
diperhitungkan dalam mencapai prestasi
belajar ma-tematika, dan dalam kondisi
belajar ini ada motivasi dan cara belajar
baik yang berasal dari dalam diri
seseorang maupun yang berasal dari luar
atau lingkungan. Disamping itu faktor
model pembelajaran ma-tematika yang
sesuai dengan materi yang diajarkan, dan
tahap-tahap yang harus dilakukan guru
sesuai dengan tahap perkembangan
intelektual atau berfikir siswa. Tahaptahap dalam pembelajaran matematika
yang dimaksud adalah tahap enaktif
(enactive), tahap ikonik (iconic), dan
tahap simbolik (symbolic) (Bruner dalam
Hudojo, 1990).
Cara Belajar dan Motivasi
Belajar
dengan
giat
dan
sistematis tentu penting bagi seseorang
yang ingin berhasil dalam prestasi
belajarnya. Belajar harus diatur secara
berencana agar supaya waktu, tenaga,
dan fikiran dapat digunakan secara
efektif dan efisien. Cara belajar
mengandung asas keteraturan, disiplin,
dan konsentrasi (The Liang Gie, 1988).
Asas keteraturan mengandung makna
bahwa seseorang melakukan kegiatan
belajar secara berencana dan teratur
setiap waktu, seperti mengikuti kegiatan
belajar mengajar, membaca buku,
membuat ringkasan, berdis-kusi, belajar
kelompok. Asas disiplin adalah bahwa
setiap belajar harus dilandasi disiplin
yang tinggi atas dasar kemauan sendiri
tanpa ada paksaan. Asas konsentrasi mengandung makna bahwa seseorang akan
melakukan kegiatan belajar dengan
penuh
perhatian.
Dengan
asas
keteraturan, disiplin, dan konsentrasi
prestasi belajar akan mudah dicapai.
Cara belajar bukan bakat yang
dibawa sejak kecil melainkan suatu
kecakapan yang dimiliki seseorang
dengan jalan latihan. Seseorang yang
selalu mempraktekkan cara belajar yang
baik setiap waktu, akan mempunyai
kebiasaan belajar yang baik pula. Cara
belajar yang baik akan memudahkan
seseorang untuk belajar. Kesulitan
belajar yang umumnya dihadapi oleh
orang yang belajar adalah tidak
15
cukupnya pengetahuan mereka mengenai
cara-cara belajar (Surakhmad, 1986).
Seseorang yang menyediakan waktu
secara sistematis untuk belajar, tidak
menunda-nunda jika ada tugas, selalu
berusaha
membuat
rangkuman
merupakan indikator bahwa mereka telah
menyusun cara belajar yang baik.
Seseorang melakukan sesuatu
termasuk belajar selalu didorong oleh
suatu keinginan untuk mencapai tujuan.
Kekuatan pendorong yang dimiliki
seseorang untuk melakukan sesuatu
aktivitas tertentu dinamakan motif dan
motif ini harus selalu dibangkitkan agar
seseorang termotivasi untuk melakukan
sesuatu. Merupakan kodrat manusia
bahwa ia mempunyai dorongan untuk
melakukan sesuatu karena alasan
tertentu. Kekuatan pendorong yang ada
dalam diri seseorang untuk melakukan
aktivitas-aktivitas
tertentu
untuk
mencapai sesuatu tujuan disebut motif,
dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan timbulnya dan berlangsungnya
motif itu sendiri disebut motivasi
(Hodojo, 1988). Sejalan dengan pendapat
tersebut
Sardiman
AM
(1988)
mengemuka-kan bahwa berawal dari
kata motif, maka motivasi dapat
diartikan sebagai daya penggerak yang
telah menjadi aktif pada saat-saat
tertentu, terutama bila kebutuhan untuk
mencapai tujuan sangat mendesak.
Dari berbagai batasan pengertian
motivasi nampaknya kebutuhan menjadi
dasar dari motivasi dan tujuan yang ada
di dalamnya memberikan arah untuk
mencapainya. Peranan motivasi adalah
menimbulkan dorongan untuk bertingkah
laku serta mempertahan-kan tingkah laku
itu dengan berorientasi kepada tujuan.
Dengan demikian cara belajar yang baik
yang dilakukan seseorang erat hubungan-nya dengan motivasi untuk mencapai
prestasi. Dengan demikian dapat
ditafsirkan bahwa cara belajar yang baik
dan diikuti oleh motivasi yang
berkelanjutan atau terus menerus dapat
berpengaruh terhadap prestasi belajar
seseorang.
Berdasarkan
kajian
teori
hipotesis penelitian adalah cara belajar
dan motivasi berprestasi secara terpisah
maupun
bersama-sama
memiliki
hubungan yang signifikan dengan
prestasi belajar pendidikan matematika 1.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di
Kabupaten Madiun dengan subyek
penelitian adalah mahasiswa S1PGSD
yang tersebar di 5 kecamatan, yaitu
Kebonsari, Dolopo, Geger, Kertosari,
dan Kecamatan Tiron
dengan 3
angkatan yaitu mahasiswa yang telah
menempuh
matakuliah
Pendidikan
Matematika 1 masa registrasi 2001.1,
2002.1, dan 2003.1 baik yang sudah
lulus maupun yang mengulang. Sampel
dilakukan dengan stratified randum
sampling. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan angket untuk variabel
cara belajar dan motivasi berprestasi,
sedangkan prestasi belajar dilakukan
dengan tes. Proses pengembangan
instrumen untuk variabel cara mengajar
dilakukan dengan melihat indikatorindikator: mengatur waktu belajar,
mengikuti tutorial, membaca modul,
membuat catatan/ringkasan, menghafal
dan memahami materi modul. Bentuk
alat ukurnya menggunakan skala
penilaian. Perumusan setiap itemnya
dilengkapi dengan 3 pilihan yaitu: ya,
kadang-kadang, dan tidak. Skor untuk
pilihan jawaban tergantung pada bentuk
pernyataan itemnya. Untuk pernyataan
positif, skor 3 (ya), 2 (kadang-kadang), 1
(tidak). Sedang-kan untuk pernyataan
negatif skornya adalah sebaliknya, 1
(ya), 2 (kadang-kadang), 3 (tidak).
Jumlah skor keseluruhan item untuk
masing-masing responden menyatakan
yang bersifat mendukung gagasan.
Sedangkan jumlah itemnya sebanyak
dengan
penyebaran
pada
setiap
aspeknya.
Angket motivasi berprestasi
disusun dan dikembangkan sesuai
konsep yang telah dibahas dalam
tinjauan pustaka. Indikator-indikator
motivasi berprestasi meliputi: keinginan
untuk maju/berprestasi, bekerja keras,
rasa
ingin
tahu,
senang
berkompetisi/bersaing,
tekun
mengerjakan sesuatu, dorongan untuk
bertanya, keinginan untuk berdiskusi,
dorongan untuk memecahkan masalah.
Bentuk alat ukurnya adalah skala
penilaian model Likert, dengan 5 pilihan
16
jawaban yaitu: selalu, sering, kadangkadang, jarang, dan tidak pernah. Skor
untuk masing-masing pilihan tergantung
pada bentuk pernyataan itemnya. Untuk
pernyataan positif skornya 5 (selalu), 4
(sering), 3 (kadang-kadang), 2 (jarang), 1
(tidak pernah). Untuk pernyataan negatif
skornya sebaliknya yaitu 1 (selalu), 2
(sering), 3 (kadang-kadang), 4 (jarang), 5
(tidak pernah).
Tes prestasi belajar pendidikan
matematika 1 disusun berdasarkan modul
matakuliah pendidikan matematika 1
termasuk pengayaannya. Bentuk tes
adalah pilihan jawaban berganda. Setiap
item dilengkapi dengan 4 pilihan salah
satu diantaranya adalah jawaban yang
benar/kunci jawaban. Responden yang
menjawab benar diberi skor 1, dan yang
salah diberi skor 0 untuk masing-masing
item. Jumlah skor keseluruhan item
untuk masing-masing responden, menunjukkan tingkat penguasaan responden
terhadap materi tes.
Intrumen
penelitian
diujicobakan, selanjutnya dilakukan analisis
item pada setiap instrumen. Instrumen
cara belajar dan motivasi berprestasi
analisis
item
dilakukan
dengan
menghitung koefisien korelasi product
moment. Suatu item dikatakan valid,
apabila nilai r hitung lebih besar dari
nilai r tabel pada taraf signifikan yang
dipilih yaitu 5%. Untuk mencari
koefisien reliabilitasnya menggunakan
koefisien alpha. Instrumen tes dilakukan
dengan melihat hasil koefisien korelasi
dwiserial point antara skor item ke-i
dengan skor total tes. Untuk mencari
koefisien reliabilitasnya menggunakan
KR-20. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan regresi seder-hana dan
ganda. Regresi sederhana dilakukan
untuk mengetahui tingkat signifikansi
hubungan variabel bebas dengan variabel
terikat secara terpisah, dan regresi ganda
dilakukan untuk mengetahui tingkat
signifikansi hubungan variabel bebas
dengan variabel terikat secara bersamasama.
Pengujian hipotesis digunakan uji " F “
dan untuk keperluan model regresi
digunakan statistik “ Uji-t”. Uji
independen dan linieritas regresi
digunakan analisis varians.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Deskripsi Cara Belajar
Distribusi frekuensi data variabel
cara belajar dapat dilihat pada tabel 1
berikut.
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Variabel Cara
Belajar
No
Interval
Freku
Freku
Kelas
ensi
ensi
Komu
latif
1.
68 – 71
1
1
2.
72 – 75
2
3
3.
76 – 79
8
11
4.
80 – 83
31
42
5.
84 – 87
41
83
6.
88 – 91
27
110
7.
92 – 95
102
122
Jumlah
122
Skor terendah
yang dicapai
adalah 68 dan skor tertinggi adalah 95.
Skor rerata sebesar 85,47, standar deviasi
4,64, median 86, dan modus 83. Apabila
data
diklasifikasikan
menjadi
3
kelompok maka terdapat 2,4 % (skor 68
– 76) responden yang mempunyai tingkat
cara belajar rendah, 46 % (skor 77 – 85)
responden yang mempunyai tingkat
belajar sedang, 51,5 % (skor 86 – 95)
responden yang mempunyai tingkat cara
belajar tinggi.
Deskripsi Motivasi Berprestasi
Distribusi frekuensi motivasi
berprestasi dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Motivasi
Berprestasi
No
Interval
Frekuen Frekuen
Kelas
si
si
Komula
tif
1.
67 – 71
12
12
2.
72 – 76
18
30
3.
77 - 81
24
54
4.
82 - 86
24
78
5.
87 – 91
27
105
6.
92 – 96
12
117
7.
97- 101
5
122
Jumlah
122
17
Dari data tersebut pada tabel 2
menunjukkan bahwa skor terendah 67
dan skor tertinggi 98. Skor rerata 82,47,
standar deviasi 8,039, median 82, dan
modus 89. Apabila data diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok terdapat 27,2%
(skor 67 – 77) responden yang
mempunyai motivasi berprestasi rendah,
43,6% (skor 78 – 88) responden yang
mempunyai tingkat motivasi berprestasi
sedang, dan 29,3% (skor 89 – 98)
responden yang mempunyai tingkat
motivasi berprestasi tinggi.
Deskripsi Prestasi Belajar
Diskripsi
prestasi
belajar
pendidikan matematika 1 dapat dili-hat
pada tabel berikut.
Tabel 3
Distribusi Frekuensi
Skor Prestasi Belajar Pendidikan
Matematika 1
No Interval Frekuen
Frekuensi
Kelas
si
Komulatif
1.
11 – 14
2
2
2.
15 – 18
23
25
3.
19 – 22
33
58
4.
23 – 26
39
97
5.
27 – 30
18
115
6.
31 – 34
6
121
7.
35 -- 38
1
122
Jumlah
122
Dari data pada tabel 3 di atas
skor terendah 11 dan skor tertinggi 38.
Skor rerata 22,87, standar deviasi 4,83,
modus 18, dan median 23. Apabila data
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok,
terdapat 26,1% (skor 11- 28) responden
yang mempunyai tingkat trestasi belajar
rendah, 59,9% (skor 20 – 28) responden
yang mempunyai tingkat prestasi belajar
sedang, dan 14% (skor 29 – 37)
responden yang mempunyai tingkat
prestasi belajar pendidikan matematika 1
yang tinggi.
Pengujian Persyaratan Analisis
Pengujian Asumsi Normalitas
Variabel yang diuji sebaran
normal datanya adalah cara belajar,
motivasi berprestasi, dan prestasi belajar
pendidikan matematika 1. Setelah
dilakukan perhitungan berdasarkan data
yang diperoleh harga chi-kudrat hitung
untuk masing-masing variabel lebih kecil
dari harga chi-kuadrat tabel pada taraf
signifikan 5% dengan derajat bebas 4,
maka sebaran data untuk masing-masing
variabel berdistribusi normal.
Pengujian Asumsi Linieritas
Variabel yang akan diuji
linieritasnya adalah cara belajar (X1) dan
motivasi berprestasi (X2) terhadap
prestasi belajar pendidikan matematika 1
(Y).
(1) Uji linieritas Prestasi Belajar
Pendidikan
Matematika
1(Y)
terhadap
Cara
Belajar
(X1).
Berdasarkan data yang diperoleh
persamaan regresi prestasi belajar
pendidikan matematika 1 (Y) atas
cara belajar (X1) adalah: Ý = 16,945
+ 0,069 X1,
Sedang nilai r 2 = 0,0042. Ini berarti
hanya 0,42% data yang dapat
dijelaskan oleh model linier yang
dipakai. Dengan demikian data yang
diuji tidak linier.
(2) Uji linieritas prestasi belajar
Pendidikan Matematika 1 (Y) atas
motivasi berprestasi
(X2). Berdasarkan data
yang
diperoleh persamaan regresi prestasi
belajar Pendidikan Matematika 1 (Y)
atas motivasi berprestasi (X2) adalah
Ý = 21,911 + 0,0116 X2. Sedang nilai
r2 = 0,01397. Ini berarti bahwa hanya
1,3% data yang dapat dijelaskan oleh
model linier yang dipakai. Dengan
demikian data yang diuji tidak linier.
Pengujian Hipotesis
Hasil
analisis
data
yang
diperoleh persamaan regresi prestasi
belajar Pendidikan Matematika 1 (Y)
atas cara belajar (X1) dan motivasi
berprestasi (X2) adalah:
Ý = 14,9367 + 0,03003 X1 + 0,06505
X2. Sedang F hitung diperoleh sebesar
0,8879 dan R2 = 0,01470. Harga F tabel
untuk dk. pembilang = 2 dan dk.
penyebut = 119 pada taraf signifikansi
5% sebesar 1,66. Dengan demikian harga
F hitung lebih kecil dari harga F tabel. Ini
berarti F hitung berada di bawah batas
penolakan, maka hipotesis penelitian
ditolak. Dapat disimpulkan bahwa cara
belajar dan motivasi berprestasi secara
bersama-sama tidak memiliki hubungan
yang signifikan terhadap prestasi belajar
pendidikan matematika 1.
18
Dari hasil perhitungan harga
koefisien determinasi sebesar 0,014703,
hal ini berarti hanya 1,47% variansi
prestasi belajar pendidikan matematika 1
dapat ditentukan oleh cara belajar dan
motivasi berprestasi secara bersamasama. Hasil perhitungan nilai F hitung
sebesar 20,6554 dan lebih besar dari F
tabel sebesar 1,75 dan bentuk regresi cara
belajar
dengan
prestasi
belajar
pendidikan matematika 1 tidak linier. Ini
berarti bahwa cara belajar tidak
berhubungan signifikan dengan prestasi
belajar pendidikan matematika 1. Dari
data yang ada juga diperoleh nilai r2
sebesar 0,0042. Jadi hanya 0,42%
variansi prestasi belajar pendidikan
matematika 1 dapat ditentukan oleh cara
belajar, suatu prosentase yang sangat
rendah atau sangat kecil. Hasil
perhitungan nilai F hitung sebesar 21,445
lebih besar dari F tabel sebesar 1,68.
Karena F hitung lebih besar dari F tabel
maka bentuk regresi motivasi berprestasi
dengan
prestasi
pendididkan
matematika1 tidak linier. Ini berarti
bahwa motivasi berprestasi tidak
berhubungan signifikan dengan prestasi
belajar pendidikan matematika 1. Nilai r2
sebesar 0,01397 berarti hanya 1,3%
variansi prestasi belajar pendidikan
matematika1 dapat ditentukan oleh
motivasi berprestasi.
Ada beberapa faktor dalam
penelitian ini yang diabaikan yang
mungkin atau cendrung berpengaruh
terhadap prestasi belajar seseorang
diantaranya intelegensi, bakat, sistem
penyampaian materi, pengalaman belajar
dan pengalaman yang lampau yang
menjadi prasyarat. Menurut Gagne
(1985) belajar adalah proses perubahan
dalam diri manusia karena pengalaman.
Demikian pula pengalaman mengajar
bagi guru SD sangat menentukan proses
dan cara belajarnya karena dapat
memilih sumber belajar yang baik.
Demikian pula faktor lingkungan sangat
mempengaruhi proses belajar yang
diyakini oleh kaum behavioris sangat
mempengaruhi perkembangan individu
karena interaksinya. Dworetzky (1990)
mengatakan bahwa kaum behavioris
mempercayai bahwa potensi individu
akan berkembang berdasarkan hasil
interaksinya dengan lingkungan. Masih
banyak faktor yang mem-pengaruhi
individu dalam mencapai prestasi
belajarnya.
Jika diperhatikan hasil perhitungan koefisien determinasi dari
masing-masing variabel ternyata sangat
kecil. Ini menunjukkan bahwa cara
belajar dan motivasi berprestasi baik
secara bersama-sama maupun terpisah
mempunyai pengaruh yang sangat kecil
terhadap prestasi belajar pendidikan
matematika 1, sehingga dikategorikan
tidak berhubungan signifikan. Cara
belajar dan motivasi seseorang dalam
meraih prestasi belajar bervariasi.
Demikian pula cara belajar dan motivasi
mahasiswa S1PGSD UT bervariasi.
Terlebih lagi dalam belajar matematika
yang banyak menggunakan simbolsimbol dan pola pikir yang deduktif,
serta memiliki materi prasyarat untuk
memahami suatu konsep.
Kesimpulan dan Saran
(1) Cara belajar dan motivasi berprestasi secara bersama-sama tidak
berhubungan signifikan dengan
prestasi
belajar
pendidikan
matematika 1. Persamaan regresi
prestasi
belajar
pendidikan
matematia 1 (Y) atas cara belajar
(X1) dan Motivasi berprestasi (X2)
adalah: Ý = 14,9367 + 0,03003 X1
+ 0,06505 X2 . Koefisien diterminasi
r2 = 0,01470265. Ini berarti hanya
ada 1,47% variansi prestasi belajar
pendidikan matematika 1 ditentukan
oleh cara belajar dan motivasi
berprestasi secara bersama-sama
dengan asumsi variabel
lain
diabaikan.
(2) Cara belajar tidak berhubungan
signifikan dengan prestasi belajar
pendidikan
matematika
1.
Persamaan regresi prestasi belajar
pendidikan matematika 1 (Y)
dengan cara belajar (X1) adalah: Ý =
16,945 + 0,0693 X1. Koefisien
determinasi r2 = 0,0042. Ini berarti
hanya 0,42% variansi prestasi
belajar pendidikan matematika 1
ditentukan oleh cara belajar, suatu
prosentase yang sangat kecil.
(3) Motivasi
berprestasi
tidak
berhubungan signifikan dengan
prestasi
belajar
pendidikan
19
matematika1. Persamaan regresi
prestasi
belajar
pendidikan
matematika 1 (Y) dengan motivasi
berprestasi (X2) adalah: Ý = 21,911
+ 0,0116 X2. Koefisien determinasi
r2 = 0,01397. Ini berarti hanya ada
1,39% variansi prestasi belajar
pendidikan matematika 1 ditentukan
oleh motivasi ber-prestasi, suatu
prosentase yang sangat kecil,
dengan asumsi variabel lain
diabaikan.
Dari kesimpulan hasil penelitian ini
diharapkan ada penelitian lanjutan
baik dengan variabel yang sama
maupun dengan variabel lain yang
sejenis
sehingga
dihasilkan
penelitian yang lebih akurat, valid,
dan lebih baik.
Daftar Pustaka
Dwiretzky, J.P (1990). (1990) Introduction
to Child Development. New York:
West Publishing Company
Depdikbud. (1995) Kurikulum Pendidikan
dasar: Garis-garis Besar Program
Pengajaran, Jakarta: Depdikbud.
Depdiknas, (2002) Kurikulum Berbasis
Kompetensi.
Jakarta:
Puskur
Balitbang Depdiknas.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(1993)
Katalog
Progran
Penyetaraan
D2PGSD
Universitas Terbuka, Jakarta
--------------- (1991) Panduan Tutorial
Program Penyetaraan D2 PGSD.
Jakarta
--------------(1991)
Penyelenggaraan
Penyetaraan
D2
Sekolah Dasar. Jakarta.
Sistem
Program
Guru
Djaali, H. (1987) Penilaian Pendidikan.
FMIPA IKIP Ujung Pandang.
Gredler, M.E.B (1991) Belajar dan
Membelajarkan, Jakarta: Rajawali
Pers.
Hudojo, H. (1990) Strategi Belajar
Mengajar Matematika. IKIP Malang
Karso dkk (2003) Pendidikan Matematika I
Pusat
Penerbitan
Universitas
Terbuka
Ruseffendi, E.T. (1991) Pendidikan
Matematika 1. Proyek Penataran
Guru SD Setara D2. Jakarta
__________
(1991)
Pendidikan
Matematika 3 Proyek Penataran
Guru SD Setara D2.Jakarta
Natawidjaja, R & Maleong L.J (1989)
Psikologi Pendidikan. Jakarta
Sardiman A.M (1989) Interaksi dan
Motivasi
Belajar
Mengajar.
Yogjakarta
Subroto, S (1983) Sistem Pengajaran
dengan Modul. Yogyakarta
Sudjana (1992) Metode Statistika. Tarsito.
Bandung
Sastrawijaya,T (1988) Preses Belajar
Mengajar di Perguruan Tinggi.
Depdikbud Dirjen Dikti. Jakarta
The Liang Gie (1988) Cara Belajar yang
Efektif. Tarsito. Bandung
Utomo, T & Kees Ruijter (1989).
Peningkatan dan Pengembangan
Pendidikan Gramedia. Jakarta
Surakhmad, W (1987) Strategi Belajar
Mengajar. Gramedia. Jakarta
Vembrianto, S.T (1991). Pengantar
Pengajaran Modul. Yogyakarta
Gagne, R.M (1985). The condition of
Learning and Theory of Instruction.
Canada:Rinehart and Winston Inc.
20
PENINGKATAN HASIL BELAJAR DALAM MENYAJIKAN DATA
KE BENTUK GRAFIK MELALUI PENGGUNAAN METODE DISKUSI
PADA PRODI BAHASA INGGRIS FKIP UNIRA PAMEKASAN
Mohammad Harijanto
ABSTRAK
Bagaimana upaya peningkatan hasil belajar mahasiswa dalam
Menyajikan Data ke Bentuk Grafik melalui penggunaan metode diskusi Pada
Prodi Bahasa Inggris FKIP Unira Pamekasan. Tujuan yang ingin dicapai adalah
mendeskripsikan hasil belajar dalam menyajikan data ke bentuk grafik pada Prodi
Bahasa Inggris FKIP Unira Pamekasan dan langkah-langkah penggunaan metode
diskusi dalam mempertinggi aktivitas dan tingkat penguasaan dalam menyajikan
data ke bentuk grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Hasil penelitian
siklus satu dalam hal merumuskan masalah berdasarkan topik bahasan dan tujuan
perkuliahan termasuk kategori muncul, dalam hal identifikasi masalah termasuk
kategori muncul, analisis masalah termasuk kategori muncul, analisis masalah
atau topik yang sedang dibicarakan termasuk kategori tidak muncul, penyusunan
laporan termasuk kategori tidak muncul, presentasi kelompok termasuk kategori
tidak muncul, menyimpulkan hasil diskusi termasuk kategori muncul. Sedangkan
hasil penelitian pada siklus dua dalam hal merumuskan masalah berdasarkan
topik bahasan dan tujuan perkuliahan termasuk kategori muncul, identifikasi
masalah termasuk kategori muncul, analisis masalah termasuk kategori muncul,
analisis masalah atau topik yang sedang dibicarakan termasuk kategori muncul,
penyusunan laporan termasuk kategori muncul, presentasi kelompok termasuk
kategori muncul, menyimpulkan hasil diskusi termasuk kategori muncul. Ratarata hasil tes pada siklus I = 5,81. Rata-rata hasil tes siklus II = 7,00. Ada 9
diantara 16 mahasiswa pada siklus I berhasil dalam belajarnya, 14 diantara 16
mahasiswa pada siklus II berhasil dalam belajarnya. Pada siklus I sebanyak 7 dari
16 mahasiswa memperoleh nilai rendah, pada siklus II sebanyak 2 diantara 16
mahasiswa memperoleh nilai rendah. Karena itu disarankan bahwa dalam
merumuskan masalah berdasarkan topik bahasan dan tujuan perkuliahan
hendaknya diarahkan pada tujuan perbaikan perkuliahan agar hasil belajar
tercapai secara maksimal, dalam mengidentifikasi masalah hendaknya diacukan
pada sub-sub persoalan yang ditemukan dalam perkuliahan, analisis masalah
hendaknya dilengkapi dengan uraian-uraian sampai pada bagian yang sekecilkecilnya, analisis masalah atau topik pembahasan hendaknya disusun sebelumnya
sehingga dalam pengelompokan mahasiswa dapat diarahkan pada pengelompokan
atas dasar kesamaan minat, penyusunan laporan hendaknya mendapatkan arahan
dari pembelajar secara intensif agar dapat dipresentasikan dengan baik oleh
wakil-wakil kelompok, dalam presentasi kelompok hendaknya pembelajar
bertindak sebagai moderator agar pada saat memasuki tanggapan pembicaraan
tidak didominasi oleh salah seorang mahasiswa, dan dalam menyimpulkan hasil
diskusi hendakmya memberi peluang pada mahasiswa untuk membuat catatan
penting.
Kata Kunci: Hasil Belajar, Metode Diskusi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi berkembang secara cepat di
era globalisasi. Era globalisasi merupakan
suatu kemajuan di segala bidang, termasuk
juga sumber daya manusia. Dengan kema-
juan sumber daya manusia akan lebih
mudah dalam melaksanakan tugas dan
kegiatan sehari-hari. Kemajuan suatu
masyarakat cendrung pada perubahan
tingkat kehidupan yang lebih sempurna
yang ditandai dengan beberapa penemuan
yang dapat memberi beberapa kemudahan
juga.
21
Era globalisasi tidak hanya ditandai
dengan kemajuan teknologi saja. Akan
tetapi, kemajuan dalam bidang pendidikan
merupakan kemajuan yang sangat
diperlukan dalam menciptakan Sumber
Daya Manusia yang poduktif dengan
kemajuan yang tinggi. Sehingga dalam
perkuliahan di tingkat pendidikan tinggi
sangat memerlukan peningkatan dan
perubahan
dari
seorang
pendidik
diantaranya penguasaan materi dan
berbagai jenis metode perkuliahan agar
mahasiswa dapat menerima materi
perkuliahan di dalam kelas serta
meningkatkan
hasil
belajar
yang
memuaskan
di
berbagai
materi
perkuliahan termasuk juga
materi
perkuliahan Statistik.
Proses perkuliahan dengan beberapa
penemuan
yang
inovatif
sangat
mendukung terciptanya sumber daya
manusia yang produktif sehingga menjadi
penerus bangsa yang benar. Dengan
strategi
belajar
mengajar
seorang
pembelajar diharapkan agar menguasai
keterampilan dasar mengajar. Karena
keterampilan dasar mengajar merupakan
suatu keterampilan yang menuntut latihan
yang terprogram untuk menguasainya.
Dengan
penguasaan
terhadap
keterampilan
dasar
mengajar
memungkinkan
pembelajar
mampu
mengelola kegiatan perkuliahan secara
lebih
efektif.
Menurut
Udin
S.
Winataputra (2005:7.1) keterampilan dasar
mengajar bersifat generik, yang berarti
bahwa keterampilan dasar mengajar ini
perlu dikuasai oleh semua pembelajar.
Dengan pemahaman dan penguasaan
keterampilan dasar mengajar, pembelajar
diharapkan mampu meningkatkan kualitas
proses
perkuliahan.
Ada
delapan
keterampilan dasar mengajar yang
dianggap
menentukan
keberhasilan
perkuliahan, yaitu: (1) Keterampilan
bertanya, (2) Keterampilan memberi
penguatan, (3) Keterampilan mengadakan
variasi, (3) Keterampilan menjelaskan, (4)
Keterampilan membuka dan menutup
materi perkuliahan, (5) Keterampilan
membimbing diskusi kelompok kecil, (6)
Keterampilan mengelola kelas, dan (7)
Keterampilan mengajar kelompok kecil
dan perorangan.
Dengan banyaknya keterampilan
dasar mengajar sebagaimana disebutkan di
atas maka peranan pembelajar dalam
menciptakan proses belajar mengajar
memegang posisi penting. Mengajar
adalah suatu perbuatan yang kompleks
karena menuntut kemampuan profesional,
personal dan sosial kultural secara terpadu
dalam proses belajar mengajar. J.J.
Hasibuan (2004:3) mengemukakan bahwa
mengajar adalah penciptaan sistem
lingkungan
yang
memungkinkan
terjadinya
proses
belajar.
Sistem
lingkungan
terdiri
atas
sejumlah
komponen yang saling mempengaruhi
yang dalam hal ini menurut J.J. Hasibuan
(2004:3)
komponen-komponen
yang
saling mempengaruhi adalah tujuan
instruksional yang ingin dicapai, materi
yang diajarkan, pembelajar dan mahasiswa
yang harus memainkan peranan serta ada
dalam hubungan sosial tertentu, jenis
kegiatan yang dilakukan, serta sarana dan
prasarana belajar mengajar yang tersedia.
Di sisi lain Mohamad Ali (1992:26)
menyatakan bahwa proses pengajaran
merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
mempunyai tujuan, yakni diperolehnya
hasil belajar. Hasil belajar berupa
perubahan tingkah laku benar berbentuk
kecakapan berpikir, sikap maupun
keterampilan melakukan suatu kegiatan
tertentu. Terjadinya perubahan tingkah
laku sesuai dengan tujuan yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor, benar
faktor yang berasal dari diri individu
maupun faktor yang berasal dari luar diri
individu.
Menurut Mohamad Ali (1992:26)
faktor yang ada dalam diri individu
mahasiswa dapat menjadi prasarat bagi
berlangsungnya proses belajar, sedangkan
yang datang dari luar dapat menjadi
pendorong terjadinya proses belajar.
Metode mengajar merupakan salah satu
komponen yang harus ada dalam kegiatan
perkuliahan. Pada dasarnya metode
mengajar merupakan suatu cara atau
tehnik yang digunakan oleh pembelajar
dalam melakukan interaksi dengan
mahasiswa dalam proses perkuliahan.
Metode mengajar menurut Nana Sudjana
(2004:76) ialah cara yang dipergunakan
pembelajar dalam mengadakan hubungan
dengan
mahasiswa
pada
saat
berlangsungnya pengajaran. Masingmasing metode ada kelemahan serta
keuntungannya.
22
Sehubungan dengan hal tersebut
maka tugas pembelajar menurut Nana
Sudjana (2004:77) adalah memilih
berbagai metode yang tepat untuk
menciptakan proses belajar mengajar.
Ketepatan penggunaan metode mengajar
sangat
bergantung
kepada
tujuan
perkuliahan yang ingin dicapai..
Metode mengajar yang sampai saat
ini masih banyak dipergunakan dalam
proses belajar mengajar menurut Nana
Sudjana (2004:89) adalah sebagai berikut:
(1) Metode Ceramah, (2) Metode Tanya
Jawab, (3) Metode Diskusi, (4) Metode
Tugas Belajar dan Resitasi, (5) Metode
Kerja Kelompok, (6) Metode Demonstrasi
dan Eksperimen, (7) Metode Sosiodrama,
(8) Metode Problem Solving, (9) Metode
Latihan, (10) Metode Karya Wisata. (11)
Metode Resource Person (Manusia
Sumber), dan (12) Metode Simulasi
Dengan
banyaknya
metode
mengajar sebagaimana disebutkan di atas
maka peranan metode mengajar sebagai
alat dan cara dalam menciptakan proses
belajar mengajar memegang posisi
penting. Dengan metode mengajar
diharapkan dapat tumbuh berbagai
kegiatan belajar mahasiswa sehubungan
dengan kegiatan mengajar pembelajar.
Namun demikian diharapkan agar
pembelajar
mampu
memilih
dan
menggunakan metode mengajar tertentu
agar mahasiswa selalu aktif dalam
menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.
Penggunaan metode pembelajaran
dari segi proses menurut Udin S.
Winataputra (2005:3.16) adalah sebagai
berikut: (1) Sebagai alat untuk mencapai
tujuan, (2) Sebagai gambaran aktivitas, (3)
Sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan alat penilaian, (4) Sebagai
bahan pertimbangan untuk menentukan
bimbingan.
Dalam beberapa kali kegiatan
perkuliahan Statistik ada 9 mahasiswa
dari 16 mahasiswa yang mencapai tingkat
kemampuan sebesar 24% ke bawah. Pada
saat pembelajar memberikan materi
perkuliahan pada umumnya mahasiswa
hanya
mendengarkan
apa
yang
disampaikan oleh pembelajar dalam kelas.
Selama perkuliahan berlangsung jarang
mahasiswa yang mengajukan pertanyaan
atau mendiskusikan atau memberikan
tanggapan terhadap penjelasan pembelajar.
Berdasarkan hal tersebut dapat
dinemukan permasalahan yang terjadi
dalam perkuliahan, yaitu: (1) Rendahnya
minat belajar mahasiswa terhadap
Statistik, (2) Mahasiswa tidak dapat
menjawab pertanyaan pembelajar, (3)
Mahasiswa acuh tak acuh pada saat proses
perkuliahan berlangsung karena terlalu
menekankan metode ceramah dan
kurangnya metode diskusi, (4) Kurangnya
media
pada
proses
perkuliahan
berlangsung sehingga mahasiswa kurang
termotivasi.
Melalui proses diskusi dengan
mahasiswa bahwa faktor penyebabnya
adalah: (1) Penjelasan kurang terfokus
atau terlalu abstrak, (2) Kurangnya
perhatian mahasiswa dalam proses
perkuliahan berlangsung
sehingga
kemampuan mahasiswa untuk menerima
materi Statistik sangat rendah, dan (3)
Penerapan
metode diskusi
kurang
maksimal.
Di
dalam
kelas
perkuliahan
menunjukkan bahwa:
1. Metode diskusi telah digunakan
pembelajar untuk Menyajikan Data ke
Bentuk Grafik Pada Prodi Bahasa
Inggris FKIP Unira Pamekasan
2. Pada saat perkuliahan ada sebagian
mahasiswa aktif berdiskusi dan dapat
menyelesaikan
tugas-tugas
perkuliahan dengan benar, dan setelah
diberi tes akhir hasilnya lemah
3. Pada saat perkuliahan ada sebagian
mahasiswa aktif berdiskusi dan dapat
menyelesaikan
tugas-tugas
perkuliahan dengan benar, dan setelah
diberi tes akhir hasilnya cukup baik.
4. Pada saat perkuliahan ada sebagian
mahasiswa kurang aktif berdiskusi dan
tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas
perkuliahan dengan benar, dan setelah
diberi tes akhir hasilnya lemah
5. Pada saat perkuliahan ada sebagian
mahasiswa kurang aktif berdiskusi dan
tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas
perkuliahan dengan benar, dan setelah
diberi tes akhir hasilnya cukup baik
Dari harapan dan kenyataan
sebagaimana disebutkan di atas maka
penulis merasa tertarik untuk membahas
dan meneliti melalui judul: “Peningkatan
Hasil Belajar Dalam Menyajikan Data ke
Bentuk Grafik melalui penggunaan
23
Metode Diskusi Pada Prodi Bahasa Inggris
FKIP Unira Pamekasan ”
B. Rumusan Masalah
Dengan metode mengajar diskusi
diharapkan agar dapat tumbuh berbagai
kegiatan belajar mahasiswa. Di samping
itu juga diharapkan agar pembelajar
mampu menggunakan metode mengajar
diskusi agar mahasiswa selalu aktif dalam
menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.
Kenyataan untuk sementara ini
menunjukkan bahwa metode diskusi telah
digunakan untuk menyajikan mata kuliah
Statistik pada Prodi Bahasa Inggris FKIP
Unira Pamekasan .
Pada saat perkuliahan ada sebagian
mahasiswa aktif berdiskusi dan sebagian
kurang aktif, serta dapat menyelesaikan
tugas-tugas perkuliahan dengan benar dan
ada juga yang tidak dapat menyelesaikan
tugas-tugas perkuliahan dengan benar, dan
setelah diberi tes akhir dalam Menyajikan
Data ke Bentuk Grafik hasilnya ada yang
lemah, ada yang sedang dan ada yang
cukup baik..
Atas dasar itulah maka timbul
permasalahan disekitar pertanyaan sebagai
berikut: Bagaimana upaya peningkatan
hasil belajar mahasiswa dalam Menyajikan
Data ke Bentuk Grafik melalui
penggunaan metode diskusi Pada Prodi
Bahasa Inggris FKIP Unira Pamekasan
C. Tujuan
Tujuan penelitian tindakan kelas ini
dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan hasil belajar berupa
hasil belajar dalam Menyajikan Data
ke Bentuk Grafik Pada Prodi Bahasa
Inggris FKIP Unira Pamekasan
2. Mendeskripsikan
langkah-langkah
penggunaan metode diskusi dalam
mempertinggi aktivitas dan tingkat
penguasaan dalam Menyajikan Data
ke Bentuk Grafik
D. Manfaat
Sebagaimana dijelaskan pada bagian
awal bahwa pelaksanaan penelitian
tindakan kelas memiliki konstribusi atau
bermanfaat bagi banyak pihak terkait.
Manfaatnya, dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Bagi pembelajar dapat memperbaiki
perkuliahan yang dikelolanya karena
sasaran akhir Penelitian Tindakan
Kelas
adalah:
(1)
perbaikan
perkuliahan dari satu siklus ke siklus
berikutnya, (2) pembelajar dapat
berkembang secara profesional karena
dapat
menunjukkan
kemampuan
menilai dan memperbaiki perkuliahan
dari satu siklus ke siklus berikutnya,
(3) membuat pembelajar lebih percaya
diri untuk mengadakan refleksi terkait
dengan pelaksanaan perkuliahan dari
satu siklus ke siklus berikutnya, dan
(4) mendapat kesempatan untuk
berperan
aktif
mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan sendiri.
2. Bagi mahasiswa dapat meningkatkan
hasil belajarnya dalam menyajikan
data ke bentuk grafik, dan sikap kritis
menjadi model bagi mahasiswa untuk
menyikapi kinerjanya yakni secara
individual dapat menjadi peneliti bagi
hasil belajarnya
3. Bagi institusi mempunyai kesempatan
untuk berkembang pesat untuk
pengelolaan kegiatan institusi secara
keseluruhan
dan
melaksanakan
perbaikan terkait dengan proses dan
hasil belajar, kondusifnya iklim
perkuliahan, dan dapat dijadikan
bahan pustaka atau kajian pustaka
bagi peningkatan mutu lulusan atau
mutu perkuliahan.
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian tentang Metode Diskusi
Metode ini sering digunakan dalam
perkuliahan kelompok, umpamanya kalau
menggunakan pendekatan CBSA dan
keterampilan proses dalam perkuliahan
metode ini cendrung akan digunakan.
Metode mengajar diskusi menurut Udin S.
Winataputra (2005:2.16) merupakan cara
mengajar
dalam
pembahasan
dan
penyajian materinya melalui suatu
problema atau pertanyaan yang harus
diselesaikan berdasarkan pendapat atau
keputusan secara bersama.
Metode
diskusi
memiliki
karakteristik, dan pengalaman belajar
menurut Udin S. Winataputra (2005:2.18)
tentang pengalaman belajar (learning
experience) sebagai berikut: (1) Bahan
materi
perkuliahan
dengan
topik
permasalahan/persoalan,
(2)
Adanya
pembentukan kelompok, (3) Ada yang
mengatur pembicaraan, (4) Aktivitas
24
mahasiswa berpendapat, (5) Mengarah
pada suatu kesimpulan/ pendapat bersama,
(6) Pembelajar lebih berperan sebagai
pembimbing/ motivator, (7) Mahasiswa
sebagai objek dan subjek dalam
perkuliahan, (8) Melatih sistematika logika
berpikir, dan (9) Melatih bahasa lisan
Sedangkan pengalaman belajar
peserta didik dapat dijabarkan sebagai
berikut:
(1)
Pemahaman
terhadap
persoalan belajar bersama (cooperative
learning), (2) Pendapat orang lain, (3)
Pembentukan rasa solidaritas terhadap
pengambilan keputusan, (4) Menerapkan
cara menyelesaikan persoalan, dan (5)
Menerapkan cara menyampaikan pendapat
Keuntungan
atau
keunggulan
metode diskusi dapat dijabarkan sebagai
berikut: (1) Mahasiswa bertukar pikiran,
(2)
Mahasiswa
dapat
menghayati
permasalahan, (3) Merangsang mahasiswa
untuk
berpendapat,
(4)
Dapat
mengembangkan
rasa
tanggung
jawab/solidaritas,
(5)
Membina
kemampuan berbicara, (6) Mahasiswa
belajar memahami pikiran orang lain, dan
(7) Memberikan kesempatan belajar
Sedangkan
kelemahan
metode
diskusi dapat dijabarkan sebagai berikut:
(1) Relatif memerlukan waktu yang
banyak, (2) Apabila mahasiswa tidak
memahami konsep dasar, diskusi tidak
efektif,
(3)
Terdapat
perbedaan
kemampuan perbendaharaan bahasa, dan
(4) Apabila pembelajar tidak dapat
membimbing diskusi tidak efektif
Prosedur metode diskusi menurut
Udin S. Winataputra (2005:3.17) hampir
sama dengan belajar kelompok, yaitu: (1)
Merumuskan masalah berdasarkan topic
bahasan dan tujuan perkuliahan, (2)
Identifikasi masalah, (3) Analisis masalah,
(4)
Analisis
masalah/topik,
(5)
Penyusunan laporan, (6) Presentasi
kelompok, dan (7) Menyimpulkan hasil
diskusi
Kompetensi
atau
kemampuan
pembelajar yang harus diperhatikan untuk
menunjang
keberhasilan
diskusi
diantaranya
adalah:
(1)
mampu
merumuskan permasalahan sesuai dengan
kurikulum yang berlaku, (2) Mampu
membimbing
mahasiswa
untuk
merumuskan
dan
mengidentifikasi
permasalahan serta menarik kesimpulan,
(3) Mampu mengelompokkan mahasiswa
sesuai dengan kebutuhan permasalahan
dan
pengembangan
kemampuan
mahasiswa, (4) Mampu mengelola
perkuliahan melalui diskusi, dan (5)
Menguasai
permasalahan
yang
didiskusikan.
Kompetensi
atau
kemampuan
mahasiswa yang harus diperhatikan untuk
menunjang pelaksanaan diskusi: (1)
Memiliki motivasi, perhatian, dan minat
dalam
berdiskusi,
(2)
Mampu
melaksanakan diskusi, (3) Mampu belajar
secara bersama, (4) Mampu mengeluarkan
isi pikiran atau pendapat/ide, dan (5)
Mampu memahami pendapat orang lain.
B. Kajian tentang Hasil Belajar
Belajar merupakan suatu proses di
mana
suatu
organisme
berubah
perilakunya sebagai akibat pengalaman.
Atribut pokok atau ciri utama belajar
adalah proses, perubahan perilaku, dan
pengalaman. Dilihat dari dimensi proses
Udin
S.
Winataputra
(2005:2.3)
mengemukakan bahwa belajar adalah
proses mental dan emosional atau proses
berpikir dan merasakan. Jadi peserta didik
dikatakan belajar apabila pikiran dan
perasaannya aktif.
Apabila hasil belajar atau hasil yang
diperoleh mahasiswanya baik berarti
pembelajar berhasil dalam menyajikan
materi perkuliahan yang telah disajikannya
kepada mahasiswanya. Hasil belajar
menurut Djadja Badjuri (dalam Udin S.
Winataputra, 2005:2.5) berupa perubahan
perilaku atau tingkah laku. Peserta didik
yang belajar akan berubah atau bertambah
perilakunya,
baik
yang
berupa
pengetahuan, keterampilan motorik, atau
penguasaan nilai-nilai (sikap). Perubahan
perilaku sebagai hasil belajar adalah
perubahan
yang
dihasilkan
dari
pengalaman
(interaksi
dengan
lingkungan), di mana proses mental dan
emosional terjadi.
materi
perkuliahan
Statistik
berfungsi
untuk
mengembangkan
kemampuan
berkomunikasi
dengan
menggunakan bilangan dan simbol simbol
serta ketajaman penalaran yang dapat
membantu
memperjelas
dan
menyelesaikan
permasalahan
dalam
kehidupan sehari hari. Di Sekolah Dasar
diutamakan agar mahasiswa mengenal,
memahami serta mahir menggunakan
25
bilangan dalam kaitannya dengan praktek
kehidupan sehari-hari.
Menurut Udin S. Winataputra
(2005:2.6) proses dan hasil belajar
mahasiswa bergantung pada kompetensi
pembelajar
dan
keterampilan
mengajarnya. Selanjutnya dinyatakan
bahwa
keefektifan
perkuliahan
dipengaruhi oleh karakteristik pembelajar
dan mahasiswa, bahan materi perkuliahan
dan aspek lain yang berkenaan dengan
situasi perkuliahan
Dari pendapat para ahli di atas dapat
diketahui
bahwa
faktor
yang
mempengaruhi hasil belajar adalah: (a)
Kompetensi Dasar, (b) Penguasaan
kompetensi
oleh
pembelajar,
(c)
Keterampilan pembelajar dalam mengajar,
(d)
Karakteristik
pembelajar
dan
mahasiswa, (e) Bahan materi perkuliahan,
dan (f) Situasi dan kondisi perkuliahan.
Tingkah laku sebagai hasil dari
proses belajar dipengaruhi oleh faktor
internal yaitu faktor dalam diri peserta
didik, dan faktor eksternal yakni faktor
yang berasal dari luar diri peserta didik.
Menurut Nana Sudjana (1989:8) hasil
interaksi berupa perubahan tingkah laku
dapat bermakna sesuai dengan hakikat
belajar sebagai suatu proses.
C. Kajian tentang Mata Kuliah
Statistik
Statistik dapat diartikan sebagai
kumpulan angka-angka mengenai suatu
masalah, sehingga dapat memberikan
gambaran mengenai masalah tersebut.
Dalam arti sempit statistik adalah data
kuantitatif. Menurut Narr Hariyanto
(2010:5) Statistik diartikan sebagai suatu
ukuran yang dihitung dari sekumpulan
data dan merupakan wakil dari data itu.
Ilmu pengetahuan atau metode ilmiah dan
sering disebut statistika. Statistika adalah
metode
ilmiah
yang
mempelajari
pengumpulan, pengaturan, perhitungan,
penggambaran, dan penelitianalisaan data,
serta penarikan kesimpulan yang valid
berdasarkan
penelitianalisaan
yang
dilakukan dan pembuatan keputusan yang
rasional.
Menurut
fungsinya
statistika
dibagi seperti berikut ini:
1. Statistika
deskriptif
(deduktif),
statistika yang hanya menggambarkan
dan menganalisis kelompok data yang
diberikan tanpa penarikan kesimpulan
mengenai kelompok data yang lebih
besar.
2. Statistika
inferensial
(induktif),
statistika
yang
menyangkut
kesimpulan yang valid.
Materi perkuliahan dapat dijabarkan
seperti berikut ini. Macam-macam Bentuk
Istilah dasar statistik untuk data tidak
terkelompok umumnya digunakan bagi
data yang berasal dari ukuran yang kecil.
Memiliki variabel deskrit, antara data yang
satu dengan data yang lainnya tidak
memiliki suatu hubungan, atau masingmasing data terpisah.
Istilah dasar statistik Batang adalah istilah
dasar statistik berdasarkan data berbentuk
kategori.
Langkah-langkah
dalam
membuat istilah dasar statistik batang
adalah:
1. Membuat dua buah sumbu, yaitu
sumbu datar dan sumbu tegak.
2. Masing-masing nama kategori untuk
batangnya, berupa empat persegi
panjang dengan tingginya sesuai nilai
frekuensi.
3. Masing-masing batang diberi warna
yang sama, atau diarsir dengan corak
yang sama
4. Di bagian tengah bawah diberi nomor
agar lebih mudah dalam pencarian
istilah dasar statistik.
Contoh: Jumlah siswa SD, SMP, SMA,
SMEA, dan STM di kota X pada tahun
1990 adalah:
Jumlah siswa SD ada 1500 orang
Jumlah siswa SMP ada 900 orang
Jumlah siswa SMA ada 1100 orang
Jumlah siswa SMEA ada 1250 orang
Jumlah siswa STM ada 870 orang
Istilah dasar statistik lingkaran adalah cara
penyajian sekumpulan data ke dalam
lingkaran, dengan lingkarannya dibagi
menjadi beberapa bagian sesuai dengan
pengklasifikasian datanya.
Langkah-langkah dalam membuat istilah
dasar statistik lingkaran adalah sebagai
berikut:
a. Ubah data absolut dalam bentuk
persentase
b. Ubah nilai data dalam bentuk
persentase ke dalam satuan derajat
untuk masing-masing kategori
c. Buat sebuah lingkaran dengan
menggunakan jangka
26
d.
Masukkan kategori pertama dengan
menggunakan busur derajat, mulai
dari titik yang tertinggi
e. Masukkan kategori lainnya ke dalam
lingkaran yang sesuai dengan arah
jarum
f. Diberi corak atau warna yang berbeda
g. Diberi identitas dengan:
1. Nama kategori disertai nilai
persentasenya
2. Nama kategori dicantumkan
pada catatan tersendiri
Macam-macam Bentuk Istilah dasar
statistik Untuk Data Terkelompok terfokus
pada tiga hal yaitu Histogram, Poligon,
dan Ogive.
PELAKSANAAN PERBAIKAN
A. Subjek Penelitian
Lokasi penelitian yaitu di FKIP
Unira tempat penulis bertugas. Waktu
pelaksanaan penelitian adalah sebagai
berikut: (1) Siklus I: tanggal 18 April
2010, (2) Siklus II: tanggal 25 April2010.
materi perkuliahan yang disajikan adalah
materi perkuliahan Statistik yang dalam
hal ini adalah menyajikan data ke bentuk
grafik. Kelas yang dijadikan ruang
perkuliahan baik siklus satu maupun siklus
dua adalah Kelas A Bing FKIP Unira.
Jumlah mahasiswa sebanyak 16 orang.
Karakteristik
mahasiswa
dalam
perkuliahan dilaksanakan sistem klasikal
karena dianggap homogen.
B. Deskripsi per siklus
Pada saat pelaksanaan perkuliahan,
kegiatan awal memiliki jatah waktu 10
menit, dimulai dengan membuka materi
perkuliahan, menciptakan kelas yang
kondusif,
menyiapkan
alat
materi
perkuliahan
dan
alat
peraga,
menginformasikan materi yang akan
dibahas dan langkah-langkah kegiatan
belajar yang akan ditempuh mahasiswa,
memotivasi mahasiswa yaitu melakukan
apersepsi melalui proses tanya jawab
materi materi perkuliahan sebelumnya
tentang istilah dasar statistik. Kegiatan Inti
memiliki jatah waktu 70 menit, dimulai
dengan penjelasan dalam menyajikan data
ke bentuk grafik, yang dalam hal ini juga
dilengkapi dengan media gambar, bertanya
jawab dalam menyajikan data ke bentuk
grafik, dan mahasiswa mengerjakan tugas
untuk Menyajikan Data ke Bentuk
Grafik.Kegiatan akhir memiliki jatah
waktu 20 menit, dengan rincian kegiatan
sebagai
berikut:
(1)
Memberikan
reinforcement atau penguatan terhadap
tugas-tugas yang dikerjakan mahasiswa,
(2) Melaksanakan tes akhir, yang
mencakup semua materi yang disajikan
sesuai dengan tujuan perkuliahan khusus,
(3) Kegiatan akhir berikutnya, mahasiswa
diberi tugas pekerjaan rumah untuk
menyajikan data ke bentuk grafik, dan (4)
Menutup perkuliahan dengan bersamasama membaca hamdalah dan diakhiri
dengan salam penutup.
Pada saat penelitian peneliti
menggunakan instrumen observasi seperti
berikut:
TABEL I: HASIL PENELITIAN
TENTANG
PENGGUNAAN
METODE DISKUSI PADA PRODI
BAHASA INGGRIS FKIP UNIRA
PAMEKASAN (SIKLUS I)
No
Aspek
yang
diobservasi
Hasil
Penelitian
Muncul
1
2
3
4
5
6
7
Merumuskan masalah
berdasarkan
topik
bahasan dan tujuan
perkuliahan.
Identifikasi masalah
Analisis masalah
Analisis
masalah/topic
Penyusunan laporan
Presentasi kelompok
Penyimpulan
hasil
diskusi
Tidak
V
V
V
V
V
V
V
Sedangkan hasil penelitian siklus
dua dapat diperhatikan pada tabel berikut
ini:
TABEL II: HASIL PENELITIAN
TENTANG
PENGGUNAAN
METODE DISKUSI PADA PRODI
BAHASA INGGRIS FKIP UNIRA
PAMEKASAN (SIKLUS II)
No
Aspek
yang
diobservasi
Hasil
Penelitian
Muncul
1
2
Tidak
Merumuskan masalah
berdasarkan
topik V
bahasan dan tujuan
perkuliahan.
Identifikasi masalah
V
27
3
4
5
6
7
Analisis masalah
Analisis
masalah/topic
Penyusunan laporan
Presentasi kelompok
Penyimpulan
hasil
diskusi
V
V
hamdalah dan diakhiri dengan
salam penutup.
V
V
V
c. Data Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian siklus
satu sebagaimana terdapat pada bab
sebelumnya, maka:
1. Dalam hal merumuskan masalah
berdasarkan topik bahasan dan tujuan
perkuliahan pada saat menggunakan
metode diskusi termasuk dalam
kategori muncul
2. Dalam hal identifikasi masalah pada
saat menggunakan metode diskusi
termasuk dalam kategori muncul
3. Dalam hal analisis masalah pada saat
menggunakan
metode
diskusi
termasuk dalam kategori muncul
4. Dalam hal analisis masalah atau topik
yang sedang dibicarakan pada saat
menggunakan
metode
diskusi
termasuk dalam kategori tidak muncul
5. Dalam hal penyusunan laporan pada
saat menggunakan metode diskusi
termasuk dalam kategori tidak muncul
6. Dalam hal presentasi kelompok pada
saat menggunakan metode diskusi
termasuk dalam kategori tidak muncul
7. Dalam hal menyimpulkan hasil diskusi
pada saat menggunakan metode
diskusi termasuk dalam kategori
muncul
Sedangkan hasil penelitian pada
siklus dua sebagaimana terdapat pada tabel
dua maka terjadi adanya peningkatan
seperti berikut:
1. Dalam hal merumuskan masalah
berdasarkan topik bahasan dan tujuan
perkuliahan pada saat menggunakan
metode diskusi termasuk dalam
kategori muncul
2. Dalam hal identifikasi masalah pada
saat menggunakan metode diskusi
termasuk dalam kategori muncul
3. Dalam hal analisis masalah pada saat
menggunakan
metode
diskusi
termasuk dalam kategori muncul
4. Dalam hal analisis masalah atau topik
yang sedang dibicarakan pada saat
menggunakan
metode
diskusi
termasuk dalam kategori muncul
5. Dalam hal penyusunan laporan pada
saat menggunakan metode diskusi
termasuk dalam kategori muncul
HASIL
PENELITIAN
PEMBAHASAN
DAN
A. Deskripsi per Siklus
Data tentang perkuliahan siklus
satu dapat diperhatikan pada uraian
berikut:
a. Pada saat pelaksanaan perkuliahan,
kegiatan awal memiliki jatah waktu 10
menit, dimulai dengan membuka
perkuliahan, menciptakan kelas yang
kondusif,
menyiapkan
mediaa
perkuliahan
dan
alat
peraga,
menginformasikan materi yang akan
dibahas dan langkah-langkah kegiatan
belajar
yang
akan
ditempuh
mahasiswa, memotivasi mahasiswa
yaitu melakukan apersepsi melalui
proses tanya jawab materi materi
perkuliahan
sebelumnya
tentang
istilah dasar statistik. Kegiatan Inti
memiliki jatah waktu 70 menit,
dimulai dengan penjelasan dalam
menyajikan data ke bentuk grafik,
yang dalam hal ini juga dilengkapi
dengan media gambar, bertanya jawab
dalam menyajikan data ke bentuk
grafik, dan mahasiswa mengerjakan
tugas pada saat berdiskusi untuk
menyajikan data ke bentuk grafik.
b. Pada kegiatan akhir yang memiliki
jatah waktu 20 menit dapat dibarkan
sebagai berikut:
1. Memberikan
reinforcement
terhadap
tugas-tugas
yang
dikerjakan mahasiswa.
2. Melaksanakan tes akhir, yang
mencakup semua materi yang
disajikan sesuai dengan tujuan
perkuliahan.
3. Kegiatan
akhir
berikutnya,
mahasiswa diberi tugas pekerjaan
rumah untuk menyajikan data ke
bentuk grafik.
4. Menutup
materi
perkuliahan
dengan bersama-sama membaca
28
6. Dalam hal presentasi kelompok pada
saat menggunakan metode diskusi
termasuk dalam kategori muncul
7. Dalam hal menyimpulkan hasil diskusi
pada saat menggunakan metode
diskusi termasuk dalam kategori
muncul.
e. Hasil Tes
Hasil tes akhir dapat diperhatikan
pada tabel berikut:
TABEL III: HASIL TES AKHIR
DALAM MENYAJIKAN DATA KE
BENTUK GRAFIK PADA PRODI
BAHASA INGGRIS FKIP UNIRA
PAMEKASAN (SIKLUS I)
No
Nama Mahasiswa
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
11.
12.
13
14.
15.
16.
SITI MUAZZAH
FARIYANTI
FATLAN
MOH. HASANUDDIN
MOH. MUHYI
MOH. YAMIN
ABDURRAHMAN
ABD. ROFIK
HOSRIYATI
ULFATUL JANNAH
SAHRONI
SULISWATI
SITI ROHMAH
NURUL KOMARIYAH
ULUL ALBAB
TAUHIDA
X
Hasil
Tes
6,5
6,5
5
5
6,5
5
6,5
6
4
7
6,5
6,5
5
7
5
5
93
Dari data tersebut maka rata-rata
hasil belajar dalam Menyajikan Data ke
Bentuk Grafik pada siklus satu adalah:
M=
X
N
93
=
16
= 5,81
Sedangkan hasil tes akhir siklus dua
dapat diperhatikan pada tabel berikut:
TABEL IV: HASIL TES AKHIR
DALAM MENYAJIKAN DATA KE
BENTUK GRAFIK PADA PRODI
BAHASA INGGRIS FKIP UNIRA
PAMEKASAN (SIKLUS II)
No
Nama Mahasiswa
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
11.
12.
13
14.
15.
16.
SITI MUAZZAH
FARIYANTI
FATLAN
MOH. HASANUDDIN
MOH. MUHYI
MOH. YAMIN
ABDURRAHMAN
ABD. ROFIK
HOSRIYATI
ULFATUL JANNAH
SAHRONI
SULISWATI
SITI ROHMAH
NURUL KOMARIYAH
ULUL ALBAB
TAUHIDA
X
Hasil
Tes
7
8
6
8
7
5
8
8
5
7
8
7
7
7
8
6
112
Dari data tersebut maka rata-rata
hasil belajar pada siklus satu adalah
sebagai berikut:
∑X
M=
N
112
=
16
= 7,00
f.
Keberhasilan
1. Ada 9 mahasiswa diantara 16
mahasiswa pada siklus satu
berhasil dalam belajarnya
2. Ada 14 mahasiswa diantara 16
mahasiswa pada siklus dua
berhasil dalam belajarnya
g. Kegagalan
1. Pada siklus satu sebanyak 7
mahasiswa dari 16 mahasiswa
memperoleh nilai rendah
2. Pada siklus dua sebanyak 2
mahasiswa diantara 16 mahasiswa
memperoleh nilai yang rendah.
B. Pembahasan dari Setiap Siklus
a. Pada
saat
pelaksanaan
perkuliahan,
kegiatan
awal
memiliki jatah waktu 10 menit,
dimulai dengan membuka materi
perkuliahan, menciptakan kelas
yang kondusif, menyiapkan alat
materi perkuliahan dan alat
peraga, menginformasikan materi
yang akan dibahas dan langkah-
29
langkah kegiatan belajar yang
akan
ditempuh
mahasiswa,
memotivasi mahasiswa
yaitu
melakukan apersepsi melalui
proses tanya jawab materi materi
perkuliahan sebelumnya tentang
istilah dasar statistik. Kegiatan Inti
memiliki jatah waktu 70 menit,
dimulai dengan penjelasan dalam
menyajikan data ke bentuk grafik,
yang dalam hal ini juga dilengkapi
dengan media gambar, bertanya
jawab dalam menyajikan data ke
bentuk grafik, dan mahasiswa
mengerjakan
tugas
untuk
menyajikan data ke bentuk grafik.
kegiatan akhir. kegiatan akhir
memiliki jatah waktu 10 menit,
dengan rincian kegiatan sebagai
berikut:
1. Memberikan
reinforcement
terhadap tugas-tugas yang
dikerjakan mahasiswa.
2. Melaksanakan tes akhir, yang
mencakup semua materi yang
disajikan
sesuai
dengan
tujuan perkuliahan.
3. Kegiatan akhir berikutnya,
mahasiswa
diberi
tugas
pekerjaan
rumah
untuk
menyajikan data ke bentuk
grafik.
4. Menutup perkuliahan dengan
bersama-sama
membaca
hamdalah dan diakhiri dengan
salam penutup.
b. Berdasarkan hasil penelitian siklus
satu sebagaimana terdapat pada bab
sebelumnya,
maka
dalam
hal
merumuskan masalah berdasarkan
topik bahasan dan tujuan perkuliahan
termasuk kategori muncul. Dalam hal
identifikasi masalah termasuk dalam
kategori muncul. Dalam hal analisis
masalah termasuk dalam kategori
muncul. Dalam hal analisis masalah
atau topik yang sedang dibicarakan
termasuk dalam kategori tidak
muncul. Dalam hal penyusunan
laporan termasuk dalam kategori tidak
muncul. Dalam hal presentasi
kelompok termasuk dalam kategori
tidak
muncul.
Dalam
hal
menyimpulkan hasil diskusi termasuk
dalam kategori muncul.
c. Sedangkan hasil penelitian tentang
penggunaan metode diskusi pada
siklus dua terjadi adanya peningkatan,
dalam hal merumuskan masalah
berdasarkan topik bahasan dan tujuan
perkuliahan pada saat menggunakan
metode diskusi termasuk dalam
kategori
muncul.
Dalam
hal
identifikasi masalah pada saat
menggunakan
metode
diskusi
termasuk dalam kategori muncul.
Dalam hal analisis masalah pada saat
menggunakan
metode
diskusi
termasuk dalam kategori muncul.
Dalam hal analisis masalah atau topik
yang sedang dibicarakan termasuk
dalam kategori muncul. Dalam hal
penyusunan laporan termasuk dalam
kategori muncul. Dalam hal presentasi
kelompok termasuk dalam kategori
muncul. Dalam hal menyimpulkan
hasil diskusi termasuk dalam kategori
muncul.
d. Rata-rata hasil tes siklus satu = 5,81
e. Rata-rata hasil tes dalam menyajikan
data ke bentuk grafik siklus dua = 7,00
f. Ada 9 mahasiswa diantara 16
mahasiswa pada siklus satu berhasil
dalam belajarnya
g. Ada 14 mahasiswa diantara 16
mahasiswa pada siklus dua berhasil
dalam belajarnya
h. Pada siklus satu sebanyak 7
mahasiswa dari 16 mahasiswa
memperoleh nilai rendah
i. Pada siklus dua sebanyak 2 mahasiswa
diantara 16 mahasiswa memperoleh
nilai yang rendah.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarakan data perkuliahan
siklus satu dan siklus dua, hasil penelitian
dan hasil tes akhir maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian siklus
satu dalam hal analisis masalah atau
topik yang sedang dibicarakan
termasuk kategori tidak muncul,
dalam hal penyusunan laporan pada
saat menggunakan metode diskusi
termasuk kategori tidak muncul,
dalam hal presentasi kelompok pada
saat menggunakan metode diskusi
termasuk kategori tidak muncul,
merumuskan masalah berdasarkan
30
topik bahasan dan tujuan perkuliahan
termasuk kategori muncul, dalam hal
identifikasi masalah termasuk kategori
muncul, dalam hal analisis masalah
termasuk kategori muncul, dalam hal
menyimpulkan hasil diskusi termasuk
kategori muncul.
2. Sedangkan hasil penelitian tentang
penggunaan metode diskusi pada
siklus dua, dalam hal merumuskan
masalah berdasarkan topik bahasan
dan tujuan perkuliahan termasuk
dalam kategori muncul, dalam hal
identifikasi masalah termasuk dalam
kategori muncul, dalam hal analisis
masalah termasuk dalam kategori
muncul, dalam hal analisis masalah
atau topik yang sedang dibicarakan
termasuk dalam kategori muncul,
dalam hal penyusunan laporan pada
saat menggunakan metode diskusi
termasuk dalam kategori muncul,
dalam hal presentasi kelompok
termasuk dalam kategori muncul,
dalam hal menyimpulkan hasil diskusi
termasuk dalam kategori muncul.
3. Rata-rata hasil tes d pada siklus satu =
5,81, dan rata-rata hasil tes pada siklus
dua = 7,00.
4. Ada 9 mahasiswa diantara 16
mahasiswa pada siklus satu berhasil
dalam belajarnya, dan ada 14
mahasiswa diantara 16 mahasiswa
pada siklus dua berhasil dalam
belajarnya.
5. Pada siklus satu sebanyak 7
mahasiswa dari 16 mahasiswa
memperoleh nilai rendah, dan pada
siklus dua sebanyak 2 mahasiswa
diantara 16 mahasiswa memperoleh
nilai yang rendah.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas
maka dapat diajukan saran sebagai berikut:
1. Dalam hal merumuskan masalah
berdasarkan topik bahasan dan tujuan
perkuliahan hendaknya diarahkan
pada tujuan perbaikan perkuliahan
agar hasil belajar tercapai secara
maksimal.
2. Dalam mengidentifikasi
masalah
hendaknya diacukan pada sub-sub
persoalan yang ditemukan dalam
perkuliahan.
3. Dalam analisis masalah hendaknya
dilengkapi
dengan
uraian-uraian
4.
5.
6.
7.
sampai pada bagian yang sekecilkecilnya
Dalam analisis masalah atau topik
pembahasan
hendaknya
disusun
sebelumnya sehingga dalam hal
pengelompokan mahasiswa dapat
diarahkan pada pengelompokan atas
dasar kesamaan minat.
Dalam hal penyusunan laporan
hendaknya mendapatkan arahan dari
pembelajar secara intensif agar dapat
dipresentasikan dengan baik oleh
wakil-wakil kelompok
Dalam hal presentasi kelompok
hendaknya
pembelajar
bertindak
sebagai moderator agar pada saat
memasuki tanggapan pembicaraan
tidak didominasi oleh salah seorang
mahasiswa.
Dalam menyimpulkan hasil diskusi
hendakmya memberi peluang pada
mahasiswa untuk membuat catatan
penting.
DAFTAR PUSTAKA
Abin Syamsudin dan Budiman Nandang.
(2005). Profesi Kepembelajaran 2.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Andayani dkk. (2007) Penelitian Tindakan
kelasl.
Jakarta:
Universitas
Terbuka.
Atif Sadiman. 2005. Media Pendidikan.
Jakarta:Rajawali
Asmawi Zainul dan Agus Mulyana.
(2005). Tes dan Asesmen di SD.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Asep
Herry Hermwan, dkk. (2006).
Pengembangan Kurikulum dan
Perkuliahan. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Departemen Pendidikan Nasional. (2004).
Kurikulum Berbasis Kompetensi
2004. Jakarta:Depdiknas.
.
Denny Setiawan, dkk. (2005). Komputer
dan Media Perkuliahan. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Hadiyanto Umaedi. dan Mahasiswantari.
(2007). Manajemen Berbasis
31
Sekolah. Jakarta: Universitas
Terbuka.
H. Dinn Wayudin. (2004). Penelitiantar
Pendidikan. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Herrhyanto, Nar dan Hamid, HM. Akib.
(2005). Statistika Dasar. Jakarta:
Universitas Terbuka.
I. G. A. K. Wardani. (2004). Penelitian
Tindakan
Kelas.
Jakarta:
Universitas Terbuka.
J.J. Hasibuan, dan Moedjiono. (2004).
Proses
Belajar
Mengajar.
Bandung:Remadja Rosdakarya.
JRE. Kiswoyo Kaligis, Samidjo Broto dan
Miarsyah,
Mieke.
(2007).
Pendidikan Lingkungan Hidup.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Pendidikan Anak di SD. Jakarta :
Universitas Terbuka.
Muhsetyo, Gatot dkk. (2005). Perkuliahan
Statistik SD. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Mulyani Sumantri, dan Syaodih, Nana.
(2005). Perkembangan Peserta
Didik.
Jakarta:
Universitas
Terbuka.
Nana Sudjana. (1996). CBSA Dalam
Proses
Belajar
Mengajar.
Bandung: Sinar Baru.
Oemar Hamalik. (1991). Strategi Belajar
Mengajar Berdasarkan CBSA.
Bandung: Sinar Baru
Suciati
dkk. (2005). Belajar dan
Perkuliahan
2.
Jakarta:
Universitas Terbuka.
Mohammad Ali. (1992). Konsep dan
Penerapan
CBSA
dalam
Pengajaran.
Bandung:Sarana
Pancakarya.
Suprayekti dkk. (2005). Pembaharuan
Perkuliahan
di
SD.
Jakarta:
Universitas Terbuka.
Mikarsa, Hera Lestari. Taufk, Agus dan
Priyanto, Puji Lestari. (2005).
Udin S. Winata Putra (2005). Strategi Belajar
Mengajar.
Jakarta:
Uniersitas
Terbuka.
32
IMPLEMENTASI PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM
PEMBELAJARAN
SASTRA ANAK DI SEKOLAH DASAR
(Sebuah Tinjauan Teori Pembelajaran Sastra Anak)
H. Sulistiyono
Abstrak
Pendekatan kontekstual dan strategi kontekstual merupakan salah satu
pendekatan dan strategi pembelajaran yang dapat dipilih dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pemilihan tersebut
didasarkan pada beberapa alasan: (1) guru dapat mendorong siswa
mampu mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, (2) guru dapat
mengkondisikan siswa mengalami langsung bukan menghafal atau
transfer pengetahuan dari guru, dan (3) guru dapat memaksimalkan
pemanfaatan berbagai lingkungan belajar dalam menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif. Tantangan bagi guru adalah bagaimana mendesain
lingkungan belajar yang memungkinkan siswa mampu mengaitkan
berbagai bentuk pengalaman sosial, budaya, fisik, dan psikologi dengan
pembelajaran yang dilaksanakan.
Adapun prosedur secara garis besar desain pendekatan dan strategi
pembelajaran kontekstual sebagai berikut: (1) mengkondisikan
pembelajaran yang lebih bermakna dengan cara membuat siswa bekerja,
menemukan, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan
yang baru, (2) mengkondisikan aktivitas inkuiri dalam setiap
pembelajaran, (3) mengkondisikan kelas dengan kegiatan yang
menghidupkan aktivitas bertanya, (4) mengemas pembelajaran yang
menjadikan kelas menjadi masyarakat belajar (belajar dalam kelompokkelompok), (5) melakukan pemodelan dari siapa saja dalam bentuk apa
saja sebagai contoh pembelaaran, (6) mengadakan refleksi di akhir
pertemuan, dan (7) menggunakan penilaian autentik dalam berbagai
bentuk pada setiap pembelajaran.
Kata Kunci: pendekatan kontekstual, sastra anak, sekolah dasar,
kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Pendahuluan
Siswa akan tumbuh kesenangan
belajar jika lingkungan diciptakan secara
alamiah. Belajar akan lebih bermakna
jika siswa mengalami langsung apa yang
dipelajarinya, bukan mengetahui dari
guru. Strategi pembelajaran lebih
dipentingkan daripada hasil belajar.
Maksudnya, guru lebih banyak berurusan
dengan strategi pembelajaran daripada
memberi informasi. Dengan demikian,
pengalaman
belajar
tidak
hanya
berorientasi pada guru dan buku teks,
tetapi juga dapat dikemas melalui
penggunaan pendekatan dan strategi
pembelajaran.
*)
Dosen FKIP-UT
Pendekatan
kontekstual
dan
strategi
pembelajaran
kontekstual
merupakan salah satu pendekatan dan
strategi pembelajaran yang dapat dipilih
dalam Kurikulum 2006. Beberapa hal
yang mendasari pemilihan yaitu (1)
sebuah
pendekatan
atau
strategi
pembelajaran yang tidak mengharuskan
siswa menghafal fakta-fakta, tetapi
mendorong siswa mengkonstruksikan
pengetahuan di benak mereka sendiri, (2)
siswa diharapkan belajar melalui
mengalami bukan menghafal atau tranfer
dari guru, dan
(3)
pemanfaatan
lingkungan belajar yang tidak berbatas
artinya guru didorong untuk mendesain
33
lingkungan belajar yang memungkinkan
untuk mengaitkan berbagai bentuk
pengalaman sosial, budaya, fisik, dan
psikologi dalam mencapai hasil belajar.
Pendekatan
pembelajaran
kontekstual
lebih mengutamakan
pemanfaatan lingkungan belajar siswa.
Konsep belajar tersebut dirancang dan
dilaksanakan berbeda dengan belajar
secara tradisional. Perbedaan tersebut
bukan
hanya
dalam
pembuatan
silabusnya,
pemilihan
materi,
pemanfaatan
media
atau
sumber,
penggunaan alat evaluasi, dan efek
interaksinya, tetapi juga perolehan
kompetensinya
yang
mencakup
pengembangan
aspek
pengetahuan,
keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang
dapat direfleksikan dalam kebiasaan
berpikir dan bertindak siswa.
Disamping pendekatan atau strategi
pembelajaran kontekstual,
bahan atau
materi juga layak untuk dipertimbangkan
baik yang terkait dengan pengetahuan dan
pengalaman guru yakni kekayaaan
pengalaman yang tumbuh dari perhatian
terhadap dunia anak-anak sehingga
menjadikan paham tentang sastra anakanak; ataupun yang terkait dengan cocok
tidaknya pemilihan bahan dengan dunia
anak, selera anak, serta pemanfaatan
bahan yang sesuai dengan konteks dunia
anak. Oleh karena itu, sastra anak-anak
yang dipilih isinya dalam jangkauan
pengalaman dan pemahaman anak,
sebagaimana dicontohkan oleh Huck, dkk.
(1987:5), the feeling of nostalgiais an
adult emotion that is foreign to most boys
and girls. Children seldom look back on
the childhood, but always forward. Such a
sentimental, nostalgic book as childhood
is a time of innoncence by Joan Walsh
Angunld is not for children but is about
childhood.
Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Pendekatan pembelajaran kontekstual
merupakan
suatu
konsepsi
yang
membantu guru mengaitkan isi materi
pelajaran dengan keadaan dunia nyata.
Pembelajaran ini memotivasi siswa untuk
menghubungkan
pengetahuan
yang
diperoleh di kelas dan penerapannya
dalam kehidupan siswa sebagai anggota
keluarga,
sebagai
anggota
masyarakat dan nantinya sebagai
tenaga kerja ( Kasihani, 2003:1).
Mirip dengan definisi di atas
Suparno (2003:2) mendefinisikan
pendekatan kontekstual merupakan
pembelajaran yang memiliki acuan
konsep mengajar dan belajar yang
membantu
guru
dalam
menghubungkan mata pelajaran
(konten) dengan situasi nyata dan
yang memotivasi siswa dalam
menghubungkan pengetahuan dan
menerapkan pengetahuannya itu
dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda sudut pandang
dengan kedua definisi di atas
Depdiknas
(2002:8)
mendefinisikan
pendekatan
kontekstual
sebagai
sebuah
pendekatan pembelajaran yang
mengakui
dan
menunjukkan
kondisi alamiah dari pengetahuan.
Melalui hubungan di dalam dan di
luar ruang kelas, suatu pendekatan
pembelajaran
kontekstual
menjadikan pengalaman lebih
relevan dan berarti bagi siswa
dalam membangun pengetahuan
yang akan mereka terapkan dalam
pembelajaran
seumur
hidup.
Pembelajaran
kontekstual
menyajikan suatu konsep yang
mengkaitkan materi pelajaran yang
dipelajari siswa dengan konteks
dimana materi tersebut digunakan,
serta
berhubungan
dengan
bagaimana seseorang belajar atau
gaya/cara siswa belajar.
Berdasarkan
ketiga
definisi di atas dapat dirumuskan
definisi pendekatan kontekstual
sebagai konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan materi
yang diajarkannya dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya
dengan
penerapannya
dalam
kehidupan
mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat.
Komponen
Pendekatan
Kontekstual
Pendekatan pembelajaran
kontekstual
memiliki
tujuh
34
komponen utama, yaitu konstruktivisme
(Constructivism), menemukan (Inquiry),
bertanya
(Questioning),
masyarakat
belajar
(Learning
Community),
pemodelan
(Modeling),
refleksi
(Reflection), dan penilaian autentik
(Authentic
Assessment).
Ketujuh
komponen tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut.
Konstruktivisme(Constructivism)
Konstruktivisme
merupakan
landasan
berpikir
pendekatan
kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit, yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas (sempit) dan tidak
sekaligus.
Pengetahuan
bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep atau
kaidah yang siap untuk diingat dan
diperoleh.
Manusia
yang
harus
mengkonstruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman
nyata. Dengan dasar itu, pembelajaran
harus
dikemas
menjadi
proses
mengkonstruksi
bukan
menerima
pengetahuan. Siswa membangun sendiri
pengetahuan mereka melalui keterlibatan
aktif dalam proses pembelajaran. Siswa
yang mengambil peran dalam waktu
belajar.
Penemuan (Inquiry)
apa yang telah diketahui, dan
mengarahkan perhatian pada aspek
yang
belum
diketahuinya.
Aktivitas bertanya dapat dilakukan
pada kegiatan siswa berdiskusi,
bekerja dalam kelompok, ketika
menemui kesulitan, dan ketika
sedang mengamati.
Masyarakat Belajar
Community)
(Learning
Konsep masyarakat belajar
mengisyaratkan agar hasil belajar
diperoleh dari kerjasama dengan
orang lain. Hasil belajar diperoleh
dari sharing antar teman, antar
kelompok atau bahkan dengan
orang di sekitarnya. Masyarakat
belajar akan terjadi apabila terjadi
proses komunikasi dua arah.
Kegiatan saling belajar ini bisa
terjadi apabila tidak pihak yang
merasa segan untuk bertanya, tidak
ada pihak yang menganggap paling
tahu,
semua
pihak
saling
mendengarkan. Setiap pihak harus
merasa bahwa setiap orang lain
memiliki
pengetahuan,
pengalaman, ketrampilan yang
berbeda yang perlu dipelajari.
Pemodelan (Modeling)
Menemukan merupakan bagian
pokok dari kegiatan pembelajaran dengan
pendekatan kontekstual. Pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh siswa
diharapkan hasil dari menemukan sendiri.
Diharapkan guru dapat mengemas
pembelajarannya yang menjadikan siswa
menemukan sendiri persoalan dan
pemecahannya. Adapun siklus inkuiri
yaitu observasi, bertanya, mengajukan
dugaan,
pengumpulan
data,
dan
penyimpulan.
Dalam
sebuah
pembelajaran, ada model yang bisa
ditiru. Pemodelan pada dasarnya
menbahasakan
gagasan
yang
dipikirkan, mendemontrasikan agar
siswanya belajar, melakukan agar
siswa-siswanya melakukan. Dalam
pendekatan kontekstual,
guru
bukan satu-satunya model. Model
bisa ditunjuk dari siswa atau orang
ahli yang didatangkan.
Bertanya (Questioning)
Reflkesi (Reflection)
Bertanya merupakan strategi yang
utama dalam pendekatan kontekstual.
Bertanya dalam pembelajaran dipandang
sebagai kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing, dan menilai kemampuan
berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan
bertanya merupakan bagian penting dalam
menggali informasi, mengkonfirmasikan
Reflkesi
adalah
cara
berpikir tentang apa yang baru
dipelajari atau berpikir ke belakang
tentang apa-apa yang sudah
dilakukan di masa yang lalu.
Refleksi meruppakan gambaran
terhadap
kegiatan
atau
pengetahuan yang baru diterima.
35
Siswa mengendapkan pengetahuan yang
baru
diperoleh
sebagai
struktur
pengatehuan yang baru. Untuk itu guru
perlu mengadakan refleksi dalam akhir
kegiatan pembelajarannya.
Penilaian
Assessment)
Autentik
(Authentic
Authentic Assessment adalah
prosedur penilaian pada pendekatan
pembelajaran kontekstual. Prinsip yang
digunakan dalam penilaian dan ciri-ciri
penilaian autentik adalah sebagai berikut:
(1) harus mengukur semua aspek
pembelajaran yang mencakup proses,
kinerja, dan produk; (2) dilaksanakan
selama dan sesudah proses pembelajaran;
(3) tes hanya salah satu cara atau alat
pengumpul data penilaian dalam arti
pertanyaan yang dijawab adalah apakah
anak-anak belajar?, bukan apa yang
sudah diketahui? Jadi siswa dinilai
kemampuannya dengan berbagai cara,
tidak hanya dari hanya dari hasil tes; dan
(4)
penilaian
harus
menekankan
kedalaman pengetahuan dan keahlian
siswa, bukan keluasannya (kuantitas).
Strategi Pembejaran Kontekstual
Beberapa
pakar
telah
mengemukakan strategi pembelajaran
kontekstual yang pada umumnya hampir
sama hanya ada sedikit perbedaan
penekanan.
Blanchard
(dalam
Kasihani,
2003:3)
menawarkan
strategi
pembelajaran kontekstual sebagai berikut:
(1) menekankan pentingnya pemecahan
masalah, (2) mengakui perlunya kegiatan
belajar-mengajar yang dilakukan dalam
berbagai
konteks
seperti
rumah,
masyarakat, dan tempat kerja, (3)
mengajar
siswa
memantau
dan
mengarahkan pembelajaran mereka agar
menjadi siswa yang dapat belajar sendiri,
(4) menekankan pelajaran pada konteks
yang berbeda-beda, (5) mendorong siswa
belajar dari sesama teman dan belajar
bersama, dan (6) menggunakan peniliaian
otentik. Sedangkan COR yaitu Center for
Occupational Researrch di Amerika
(dalam Suparno, 2003:3) menyusun
strategi kontekstual sebagai berikut: (1)
Relating adalah bentuk belajar dalam
konteks kehidupan nyata atau
pengalaman nyata. Pembelajaran
harus
digunakan
untuk
menghubungkan situasi sehari-hari
demham informasi baru untuk
dipahami tau dengan problem
untuk
dipecahkan;
(2)
Experiencing adalah belajar dalam
konteks
kegiatan
eksplorasi,
penemuan,
dan
penciptaan.
Kegiatan
ini
merupakan
jantungnya belajar kontekstual; (3)
Applying adalah belajar dalam
bentuk penerapan pengalaman
hasil belajar ke dalam penggunaan
dan kebutuhan praktis. Dalam
penerapan ini siswa menerapkan
konsep dan informasi ke dalam
kebutuhan kehidupan mendatang
yang
dibayangkan;
(4)
Cooperating adalah belajar dalam
bentuk berbagi informasi dan
pengalaman, saling merespon, dan
saling berkomunikasi. Bentuk
belajar ini tidak hanya membantu
siswa belajar tentang materi, tetapi
juga konsisten dengan penekanan
belajar kontekstual dalam dunia
nyata. Dalam kehidupan nyata
siswa akan menjadi warga yang
hidup
berdampingan
dan
berkomunikasi dengan warga lain;
dan (5) Transfering adalah
kegiatan belajar dalam bentuk
memanfaatkan pengetahuan dan
pengalamannya
berdasarkan
konteks baru untuk mendapatkan
pengetahuandan
pengalaman
belajar yang baru.
Mengacu pada sejumlah
strategi belajar yang ditawarkan di
atas maka dapat dirumuskan
prosedur secara garis besar
penerapan
pendekatan
pembelajaran kontekstual sebagai
berikut:
(1)
mengkondisikan
pembelajaran yang lebih bermakna
dengan cara membuat siswa
bekerja
sendiri,
menemukan
sendiri,
dan
mengkonstruksi
sendiri
pengetahuan
dan
keterampilan yang baru, (2)
mengkondisikan sktivitas ingkuiri
dalam
setiap
kegiatan
pembelajaran, (3) kondisikan kelas
dengan
kegiatan
yang
36
menghidupkan aktivitas bertanya, (4)
kemas pembelajaran yang menjadikan
kelas menjadi masyarakat belajar (belajar
dalam kelompok-kelompok), (5) lakukan
pemodelan dari siapa saja dalam bentuk
apa saja sebgai contoh pembelajaran, (6)
adaka refleksi di setiap akhir pertemuan,
dan (7) gunakan penilaian otentik dalam
berbagai bentuk pada setiap pembelajaran.
Pengembangan
Materi
Pembelajaran Kontekstual
dalam
Materi
pembelajaran
sebagai
komponen dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran menjadi sangat
penting
untuk
diperhatikan
dan
dipertimbangkan. Sebab walaupun guru
sangat paham terhadap berbagai strategi
akan tidak ada artinya jika keberadaan
materi pembelajaran diabaikan. Untuk itu,
guru
sudah
selayaknya
memiliki
pengetahuan dan pengalaman dalam hal
yang
berkaitan
dengan
materi
pembelajaran.
Dalam menyiapkan materi pembelajaran
guru
hendaknya
(1)
mempelajari
kompetensi dasar, indikator, dan hasil
belajar, (2) mempelajari hal-hal (fokus
pembelajaran), urutan, keutuhan, urutan
tingkat kesulitan dan satuan-satuan
pengalaman belajar yang secra potensial
dapat
dibuahkan
lewat
materi
pembelajaran dalam satuan waktu
tertentu, (3) mempelajari hubungan antara
hal-hal dan
pengalaman
belajar
yang
dapat
membuahkan materi pembelajaran yang
akan digunakan dengan satuan materi
pembelajaran
sebelumnya
dan
sesudahnya, (4) mempelajari kesesuaian
materi pembelajaran yang akan digunakan
dengan tingkat perkembangan anak,
konteks lingkungan kehidupan sosial
budaya,
dan
(5)
memperhatikan
kedalaman dan keluasan materi yang akan
diajarkan.
Dalam konsep Kurikulum KTSP 2006
dan Konsep Pendekatan Kontekstual,
istilah materi bukan hanya dibatasi pada
materi berupa buku pelajaran. Apa yang
disebut sebagai Materi dapat berupa
realitas
berujud obyek,
peristiwa,
dongeng, gambar, dan lain-lain (Norton,
1994). Sebab itulah materi
pembelajaran sebagai materials
(bahan-bahan) dapat mengacu pada
berbagai sesuatu yang secara
potensial
dapat
dijadikan
springboard yang akan dikemas
oleh
guru
melalui
strategi
pembelajaran. Dengan demikian,
pengemasan materi tersebut dapat
membuahkan pengalaman belajar
baik berupa kognitif, keterampilan,
sikap, maupun nilai-nilai tertentu.
Agar materi tidak meluas dan
melebar dalam penjabaran dan
penyesuaiannya
dengan
kemampuan dasar maka digunakan
kriteria
penyeleksian
sebagai
berikut: (1) Sahih (Valid), dalam
arti materi yang akan dituangkan
dalam pembelajaran benar-benar
telah teruji kesahihannya. Materi
tersebut aktual tidak ketinggalan
zaman dan prospektif; (2) Tingkat
kepentingan, dalam arti memilih
materi perlu mempertimbangkan
pertanyaan berikut:
Mengapa
materi itu penting dipelajari?
Penting untuk siapa? Di mana
materi itu penting untuk diberikan?
Dengan demikian, materi yang
dipilih
tentunya
benar-benar
diperlukan
oleh siswa;
(3)
Kebermanfaatan, dalam arti dilihat
dari semua sisi, baik secara
akademis maupun nonakademis.
Bermanfaat
secara
akademis
artinya guru harus yakin bahwa
materi yang diajarkan dapat
memberikan
dasar-dasar
pengetahuan dan keterampilan
yang akan dikembangkan lebih
lanjut pada jenjang pendidikan
lebih lanjut. Bermanfaat secara
nonakademis maksudnya bahwa
materi yang diajarkan dapat
mengembangkan kecakapan hidup
(life skills) dan sikap yang
dibutuhkan
dalam
kehidupan
sehari-hari; (4) Layak dipelajari,
artinya
materi
tersebut
memungkinkan untuk dipelajari
baik dari aspek tingkat kesulitan
maupun
aspek
kelayakannya
terhadap pemanfaatan bahan ajar
dan kondisi setempat; (5) Menarik
minat, dalam arti materi yang
37
dipilih hendaknya menarik minat dan
dapat
memotivasi
siswa
untuk
mempelajarinya lebih lanjut. Materi
tersebut dapat menumbuhkembangkan
rasa ingin tahu, sehingga memunculkan
dorongan untuk mengembangkan sendiri
kemampuan mereka (Depdiknas, 2002:7).
Materi
Sastra
Anak
dalam
Pembelajaran Kontekstual di Sekolah
Dasar
Guru di samping harus memiliki
pengetahuan tentang kriteria pemilihan
materi secara umum, juga harus memiliki
pengetahuan dan pengalaman tentang
kritria pemilihan materi secara khusus
pembelajaran
sasatra
anak-anak.
Pengetahuan dan pengalaman yang
dimaksud adalah kekayaan pengetahuan
dan pengalaman yang tumbuh dari
perhatian terhadap dunia anak-anak dan
penghayatan atas kompleksitas dunia
kehidupan yang nantinya juga mesti
dimasuki anak-anak. Di samping itu, guru
juga harus (1) memiliki kekayaan materi
cerita anak-anak dan (2) koleksi buku
cerita anak dan majalah anak, (3)
dongeng-dongeng yang ada di sekitar
sekolah anak.
Perspektif penulis dalam tulisan
ini melihat materi tidak terfokus pada
perihal unsur-unsur signifikan dalam
karya sastra, teori, dan sejarah sastra
melainkan pada karekteristik unsur
signifikan tersebut ditinjau dari konsepsi
teori belajar, tingkat perkembangan siswa,
dan pendekatan pembelajaran kontekstual.
Mengacu
pada
tahap
perkembangan kognitif Piaget’s, Cullinan
mengemukakan bahwa kegiatan bersastra
secara reseptif sudah bisa dirintis sejak
anak usia 18 bulan – 2 tahun (tahap
sensori motor). Pada tahap ini, orang tua
sudah perlu memperkenalkan buku
bergambar dan menceritakannya pada
anak. Pada usia 2 – 7 tahun (tahap
praoperasional),
anak
sudah
bisa
memahami cerita sebagaimana yang
didongengkan dan dibacakan orang tua.
Hanya saja pada tahap ini anak belum bisa
membedakan
antara
fantasi
dan
kenyataan.
Berbeda dengan tahap
praoperasional,
tahap
operasional
kongkrit (7 – 11 tahun), anak
sudah mulai bisa membedakan
antara kenyataan dan fantasi. Anak
yang bermain dengan boneka dan
mengidentifikasikan diri sebagai
ibu, ketika ditanya orang tuanya:
apakah bayinya sudah diberi susu?;
dengan
jengkel
anak
akan
menjawab: ini hanya boneka
mainan.
Pada tahap operasional
formal yakni usia 11 tahun ke atas,
siswa sudah mampu melakukan
penalaran. Pada tahap ini anak
sudah mampu melakukan upaya
pemahaman melalui penggunaan
hipotesis dan implementasi konsep
ataupun prinsip. Sebagai contoh
ketika anak membaca cerita
detektif “Pelarian dari Kota”,
berdasarkan
gambar
sampul
mereka
sudah
dapat
menggambarkan kemungkinan isi
cerita yyang akan dibacanya.
Gambaran kemungkinan tersebut,
lebih lanjut terkembangkan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang justru
menambah rasa ingin tahu mereka.
Demikian juga, tentang konsepsi
cerita yang memiliki rangkaian isi,
pelaku, perwatakan, dan setting
juga akan mengarahkan daya
tangkap atau pemahaman mereka
dalam proses membaca yang
dilakukannya (Cullinan, 1989: 1213).
Berdasarkan gambaran dunia
anak dan munculnya rasa bersastra
anak, maka dapat dibuat rumusan
definisi sastra anak-anak yang
tepat. Sastra anak-anak adalah
cerita yang dibuat anak-anak atau
crita yang dibuat oleh orang
dewasa untuk dikonsumsikan
anak-anak dengan bahasa dan
unsur intrinsik yang sederhana,
jelas, dan menarik.
Mengacu pada gambaran
dunia anak di atas, Huck (1987:
32-39) mengemukakan pedoman
tentang memilih materi sastra
anak-anak. Pedoman pemilihan
materi tersebut adalah (1) perlunya
untuk memilih, (2) prinsip-prinsip
dalam memilih, (3) siapa yang
akan memilih materi?, (4) kualitas
38
materi, (5) isi yang tepat, (6) kebutuhankebutuhan dan selera anak, dan (7)
kebutuhan-kebutuhan kurikulum sekolah.
Pengembangan Rencana Pembelajaran
Kontekstual
Dalam pembelajaran kontekstual,
rencana pembelajaran lebih merupakan
kegiatan kelas yang dirancang guru, yang
berisi skenario tahap demi tahap tentang
apa yang akan dilakukan bersama
siswanya sehubungan dengan topik yang
akan dipelajarinya. Dalam program
tercermin tujuan pembelajaran, media
untuk mencapai tujuan tersebut, langkahlangkah pembelajaran, dan authentic
assessment-nya.
Berbeda dengan rencana yang
dikembangkan paham yang bukan
konstrukstivis, penekanan program pada
pembelajaran kontekstual bukan pada
rincian dan kejelasan tujuan, tetapi pada
gambaran kegiatan tahap demi tahap dan
media yang dipakai. Perumusan tujuan
yang rinci bukan menjadi perioritas dalam
penyususnan rencana
pembelajaran
kontekstual, mengingat yang akan dicapai
bukan semata-mata hasil, tetapi lebih
pada strategi belajar.
Secara
umum,
tidak
ada
perbedaan mendasar format antara
rencana pembelajaran konvensional dan
rencana
pembelajaran
kontekstual.
Pembedanya, hanya pada penekanannya.
Rencana pembelajaran konvensional lebih
menekankan pada deskripsi tujuan yang
akan dicapai (jelas dan operasional),
sedangkan rencana untuk pembelajaran
kontekstual lebih menekankan pada
skenario pembelajarannya.
Atas dasar tersebut, dalam
penyusunan
rencana
pembelajaran
kontekstual
guru
diharapkan
memperhatikan hal-hal berikut: (1)
menyatakan
kegiatan
utama
pembelajarannya, (2) menyatakan tujuan
umum pembelajarannya, (3) merinci
media untuk mendukung kegiatan
tersebut, (4) membuat skenario tahap
demi tahap kegiatan siswa, dan (5)
menyatakan authentic assessment-nya.
Penutup
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan memberikan peluang
kepada sekolah dan guru. Peluang
tersebut antara lain indikator
keberhasilan kompetensi dasar
menjadi domain guru. Guru
diharapkan kreatif mengemas
pembelajaran
yang
dapat
menjadikan anak senang belajar.
Demikian juga, sekolah diharapkan
dapat menjadi agen penataan dan
perubahan
kehidupan
masyarakatnya. Hal ini, tentu
menjadi tantangan bagi kepala
sekolah,
guru
dan
seluruh
komponen
sekolah.
Karena
ketidaksanggupan kepala sekolah,
guru, dan seluruh komponen
sekolah
peluang
kesempatan
otonomi sekolah dan pemanfaatan
lingkungan
belajar
yang
kontekstual akan diambil alih oleh
birokrasi pendidikan dan penerbit
buku.
DAFTAR RUJUKAN
Aminuddin.
1988. Strategi
Pembelajaran
Apresiasi
Prosa di Sekolah Dasar.
Makalah disajikan dalam
Seminar Regional. Malang:
Program Pasca Sarjana IKIP
Malang.
Bogdan, Robert C. Dan Sari
Knopp
Biklen
dalam
terjemahan Munandir. 1982.
Riset
Kualitatif
untuk
Pendidikan:
PengantarTteori
dan
Metode. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Cullinan, Bernice E. 1989.
Literature and The Child.
San Diego: Harcourt Brace
Jovanovich.
39
Depdiknas. 2002. Pengembangan Silabus
Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang
Depdiknas.
Stewig, John Warren. 1980.
Children and Literature.
Chicago: Rand McNally
College
Publishing
Company.
Huck, dkk. 1987. Children Literature In
The Elementary School. New York:
Holt Rinehart.
K.
E. Suyanto, Kasihani.
Pembelajaran
Berbasis
Malang: FKSS UM Malang
2003.
CTL.
Kemmis, Stephen dan McTaggart, Robin.
1988. An Action Research Planner.
Victoria: Deakin University.
McNiff, Jean. 1992. Action Research:
Principles and Practice. London:
Macmilan Education Ltd.
Miles, Matthew B. Dan A. M. Huberman.
1992. Analisis Data Kualitatif
Terjemahan
Rohendi
Rohidi.
Jakarta:
Universitas
Indonesia
Press.
Nasution, 1992. Metode
Naturalistik-Kualitatif.
Tarsito.
Penelitian
Bandung:
Suparno. 2003. Pembelajaran Bahasa
Indonesia Kontekstual. Malang:
FKSS UM Malang.
40
PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA DALAM MENULISKAN
LAMBANG PECAHAN MELALUI PENGGUNAAN METODE DISKUSI DI
KELAS IV SDN REK-KERREK III KECAMATAN PALENGAAN
KABUPATEN PAMEKASAN
Oleh: Adrawi Zaini
Abstrak
Suatu problematika diajukan “bagaimana upaya peningkatan hasil belajar matematika
dalam menuliskan lambang pecahan melalui penggunaan metode diskusi di Kelas IV
SDN Rek-Kerrek III Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan. Tujuan yang ingin
dicapai adalah mendeskripsikan hasil belajar matematika dalam menuliskan lambang
pecahan Kelas IV SDN Rek-Kerrek III dan mendeskripsikan langkah-langkah
penggunaan metode diskusi dalam pembelajaran.
Lokasi yang ditempati penelitian adalah SDN Rek-Kerrek III Kecamatan Palengaan.
Waktu pelaksanaan penelitian dari masing-masing siklus adalah sebagai berikut adalah
Tanggal 10 Maret 2009 untuk siklus I dan Tanggal 14 Maret 2009 untuk siklus II.
Mata pelajaran yang disajikan adalah matematika khususnya dalam menuliskan
lambang pecahan. Kelas yang dijadikan ruang pelaksanaan praktek perbaikan baik
siklus satu maupun siklus dua adalah Kelas IV SDN Rek-Kerrek III Kecamatan
Palengaan Kabupaten Pamekasan. Karakteristik siswa ditinjau dari sudut usia berkisar
10 - 11 tahun. Karena usia rata-rata adalah 10 – 11 tahun, dan kemampuan siswa
dianggap homogen maka dalam pembelajaran dilaksanakan sistem klasikal.
Hasil yang dicapai pada siklus dua terjadi adanya peningkatan yaitu dalam memusatkan
perhatian, memperjelas masalah dan uraian pendapat, menganalisis pandangan,
meningkatkan uraian, menyebarkan kesempatan berpartisipasi, merumuskan
permasalahan untuk menuliskan lambang pecahan, dalam membimbing siswa untuk
merumuskan dan mengidentifikasi permasalahan serta menarik kesimpulan untuk
menuliskan lambang pecahan, dalam mengelompokkan siswa sesuai dengan kebutuhan
permasalahan dan pengembangan kemampuan siswa, dalam penguasaan permasalahan
yang didiskusikan, memotivasi, meningkatkan perhatian, dan minat untuk menuliskan
lambang pecahan, pada saat kegiatan inti pembelajaran untuk menuliskan lambang
pecahan, kemampuan belajar secara bersama untuk menuliskan lambang pecahan,
kemampuan mengeluarkan isi pikiran atau pendapat atau ide untuk menuliskan
lambang pecahan, dalam memahami pendapat orang lain untuk menuliskan lambang
pecahan, dalam menutup diskusi pada kegiatan akhir pembelajaran termasuk kategori
muncul, ada sebanyak 18 diantara 26 siswa untuk menuliskan lambang pecahan pada
siklus satu berhasil dalam belajarnya, ada sebanyak 25 dari 26 siswa untuk menuliskan
lambang pecahan pada siklus dua berhasil dalam belajarnya, ada sebanyak 8 dari 26
siswa untuk menuliskan lambang pecahan memperoleh nilai rendah pada siklus I dan
siklus II ada sebanyak 1 dari 26 siswa untuk menuliskan lambang pecahan memperoleh
nilai yang rendah. Jadi terlihat ada peningkatan.
Kata Kunci: hasil belajar, metode diskusi
I. PENDAHULUAN
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaian-nya
dengan
lingkungan,
kebutuhan
pembangunan nasional, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta
kesenian sesuai dengan jenis dan jenjang
masing-masing satuan pendidikan. Dengan
demikian maka kuri-kulum Sekolah Dasar
perlu memper-timbangkan lingkungan di
mana sekolah tersebut berada. Masih
banyak
ditemui
berbagai
masalah
implemen-tasi pembelajaran. Salah satu
penye-babnya adalah padatnya materi
pelajaran
dan
langkahnya
model
pembelajaran yang kreatif dan bervariasi
41
sehingga
mengakibatkan
munculnya
pembelajaran yang cenderung berpusat pada
guru dan bukan pada muid.
Pada prinsipnya siswa sebagai
peserta didik menurut Hera Lestari Mikarsa,
(2005:1.2) memiliki common sense tentang
belajar, yakni bahwa belajar memiliki
peranan yang sangat penting. Atas dasar
itulah maka siswa selalu termotivasi untuk
belajar. Di samping itu siswa menyadari
bahwa
dirinya
merupakan makhluk
individual dan makhluk sosial sehingga
siswa termotivasi untuk mencapai kebutuhannya yakni kebutuhan belajar. Siswa pada
hakikatnya adalah makhluk sosial, yang
sejak lahir tidak dapat hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain. Siswa akan merasa
berbahagia kalau dia bukan hanya karena
memperoleh bantuan dari sesama manusia,
akan tetapi juga dia memberikan bantuan
kepada
orang lain sesuai
dengan
kemampuan yang dia miliki Winataputra,
S.U., 2003:1.9).
Keberhasilan dalam mencapai
tugas/sesuatu yang menantang menurut
Hera Lestari Mikarsa (2005:5.28) dapat
membuat siswa lebih kompeten, sehingga
meningkat-kan self efficasy-nya. Guru
bertindak sebagai pendidik, pengajar, dan
pembimbing, sedangkan murid adalah
belajar dan belajar. Belajar menurut Gagne
(dalam Winataputra, S.U., 2005:2.3) adalah
suatu proses di mana suatu organisme
berubah perilakunya
sebagai
akibat
pengalaman.
Ada tiga atribut pokok atau ciri
utama belajar yakni proses, perubahan
perilaku, dan pengalaman. Dilihat dari
dimensi proses Winataputra, S.U. (2005:2.3)
mengemukakan bahwa belajar adalah proses
mental dan emosional atau proses berpikir
dan merasakan. Jadi peserta didik dikatakan
belajar apabila pikiran dan perasaannya
aktif.
Pembelajaran merupakan kegi-atan
yang bertujuan yang banyak melibatkan
aktivitas siswa dan aktivitas guru, untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang telah
disusun di perlukan alternatif metode
pembe-lajaran yang dapat dijadikan sebagai
alat untuk mencapai tujuan yang telah
dirumuskan. Menurut Sudjana, N (2004:76)
proses belajar mengajar yang baik
hendaknya mempergunakan berbagai jenis
metode mengajar secara bergantian atau
saling bahu membahu satu sama lain.
Metode mengajar merupakan salah satu
komponen yang harus ada dalam
kegiatan pembe-lajaran. Pada dasarnya
metode menga-jar merupakan suatu cara
atau tehnik yang digunakan oleh guru
dalam melakukan interaksi dengan siswa
dalam proses pembelajaran. Metode
mengajar menurut Sudjana, N (2004:76)
adalah cara yang diper-gunakan guru
dalam mengadakan hubungan dengan
siswa
pada
saat
pembelajaran
berlangsung. Masing-masing metode ada
kelemahan
serta
keuntungannya.
Sehubungan dengan hal tersebut maka
tugas guru menurut Sudjana, N
(2004:77) adalah memilih berbagai
metode yang tepat untuk menciptakan
proses belajar mengajar. Ketepatan
penggunaan metode menga-jar sangat
bergantung kepada tujuan. Menurut
Winataputra, S.U. (2005: 4.13) metode
mengajar yang diper- gunakan adalah:
(1) Metode Ceramah (lecture), (2)
Metode Diskusi, (3) Metode Simulasi,
(4) Metode Diskusi, dan (5) Metode
Eksperimen.
Sedang-kan
metode
mengajar yang sampai saat ini masih
banyak dipergunakan dalam proses
belajar mengajar menurut Sudjana, N
(2004:89) adalah sebagai berikut: (1)
Metode Ceramah, (2) Metode Tanya
Jawab, (3) Metode Diskusi, (4) Metode
Tugas Belajar dan Resitasi, (5) Metode
Kerja Kelompok, (6) Metode Diskusi
dan
Eksperimen,
(7)
Metode
Sosiodrama, (8) Metode Problem
Solving, (9) Metode Latihan, (10)
Metode Karya Wisata, (11) Metode
Resource Person (Manusia Sumber), dan
(12) Metode Simulasi.
Dengan banyaknya metode
mengajar sebagaimana disebutkan di atas
maka peranan metode mengajar sebagai
alat dan cara dalam menciptakan proses
belajar mengajar memegang posisi
penting. Dengan metode mengajar
diharapkan dapat tumbuh berbagai
kegiatan belajar siswa sehubungan
dengan kegiatan mengajar guru. Dalam
proses pembe-lajaran seorang guru
mempunyai harapan agar nantinya siswa
dapat menguasai materi yang telah
disajikan sehingga pada akhirnya terjadi
perubahan-perubahan perilaku yang baik
42
yang berupa pengetahuan, sikap, dan
keterampilan. Karena itu ketepa-tan
penggunaan metode mengajar sangat
bergantung kepada tujuan, isi proses belajar
mengajar, dan kegiatan belajar mengajar itu
sendiri atau dengan kata lain, terciptanya
interaksi edukatif. Karena dalam interaksi
guru berperan sebagai penggerak atau
pembimbing, sedangkan siswa berpe-ran
sebagai penerima atau yang dibimbing.
Menurut Sudjana, N (2004:76)
proses interaksi akan berjalan baik kalau
siswa banyak aktif dibandingkan dengan
guru. Oleh karenanya metode mengajar
yang baik adalah metode yang dapat
menumbuhkan kegiatan belajar siswa. Lain
halnya dengan pendapat Muhammad Ali
(1992:38) proses interaksi yang terjadi
dalam pembelajaran tergantung pada pendekatan yang digunakan. Pendekatan imposisi
mempunyai ciri, guru menyampaikan bahan
pelajaran dengan melalui penuturan, atau
dengan dilontarkan (ekspositoris) isi
pelajaran kepada siswa. Memang secara
tradisional menurut Muhammad Ali
(1992:24) mengajar diartikan sebagai suatu
proses penyampaian pengetahuan atau
keterampilan yang berkaitan dengan suatu
mata pelajaran tertentu kepada siswa
sebagaimana
yang
dituntut
dalam
penguasaan mata pelajaran tersebut.
Dari pengertian tersebut maka
jelaslah bahwa inti kegiatan mengajar
adalah menyampaikan bahan pelajaran, dan
menghafalkan apa yang diajarkan atau
terhadap apa yang dijelaskan oleh guru.
Kenyataan
untuk
sementara
ini
menunjukkan
adanya
indikasi
yang
teridentifikasi seperti berikut:
1. Metode diskusi telah digunakan dalam
menyajikan
materi
pelajaran
Matematika
khususnya
dalam
menuliskan lambang pecahan di Kelas
IV SDN Rek-Kerrek III Kecamatan
Palengaan Kabupaten Pamekasan.
2. Ada
sebagian
siswa
aktif
memperhatikan penjelasan dan dapat
menyelesaikan tugas pembelajaran
dalam menuliskan lambang pecahan
dengan baik pada saat berdiskusi, dan
setelah diberi tes akhir hasil belajar
siswa lemah, dan ada sebagian siswa
aktif memperhatikan penjelasan dan
dapat
menyelesaikan
tugas
pembelajaran
dalam
menuliskan
lambang pecahan dengan baik pada saat
berdiskusi, dan setelah diberi tes
akhir hasil belajar siswa baik
3. Ada sebagian siswa kurang aktif
memperhatikan penjelasan dan tidak
dapat
menyelesaikan
tugas
pembelajaran dalam menuliskan
lambang pecahan dengan baik pada
saat berdiskusi, dan setelah diberi tes
akhir hasil belajar siswa lemah, dan
ada sebagian siswa kurang aktif
memperhatikan penjelasan dan tidak
dapat
menyelesaikan
tugas
pembelajaran dalam menuliskan
lambang pecahan dengan baik pada
saat berdiskusi, dan setelah diberi tes
akhir hasil belajar siswa baik
4. Ada 30% dari jumlah sebanyak 26
siswa gagal dalam belajarnya karena
hasil belajarnya = 5. Ada 30% dari
jumlah sebanyak 26 siswa kurang
berhasil dalam belajarnya karena
hasil belajarnya = 6, dan ada 40%
dari jumlah sebanyak 26 siswa
berhasil
dengan
baik
dalam
belajarnya karena hasil belajarnya =
7 ke atas
Dari harapan dan kenyataan
sebagaimana disebutkan di atas maka
timbullah permasalahan yang jika
dirumuskan berkisar pada pertanyaan
sebagai berikut: “Bagaimana upaya
peningkatan hasil belajar matematika
dalam menuliskan lambang pecahan
melalui penggunaan metode diskusi di
Kelas IV SDN Rek-Kerrek III
Kecamatan
Palengaan
Kabupaten
Pamekasan”.
Tujuan yang ingin dicapai
adalah (1) mendeskripsikan hasil belajar
Matematika dalam menuliskan lambang
pecahan Kelas IV SDN Rek-Kerrek III
Kecamatan
Palengaan
Kabupaten
Pamekasan dalam mempertinggi tingkat
penguasaan siswa SDN Rek-Kerrek III
Kecamatan
Palengaan
Kabupaten
Pamekasan Kelas IV terhadap materi
pelajaran matematika dalam menuliskan
lambang pecahan, dan (2) Mendeskripsikan langkah-langkah penggunaan
metode diskusi dalam pembelajaran
Penelitian
ini
memiliki
konstribusi atau bermanfaat bagi banyak
pihak terkait dengan penelitian tindakan
kelas. Manfaatnya, adalah
1. Bagi guru dapat memperbaiki
pembelajaran
yang dikelolanya
43
karena
sasaran
akhir Penelitian
Tindakan Kelas adalah perbaikan
pembelajaran dari satu siklus ke siklus
berikutnya. Guru dapat berkembang
secara profesional karena dapat
menunjukkan kemampuan menilai dan
memperbaiki pembelajaran dari satu
siklus ke siklus berikutnya, membuat
guru lebih percaya diri untuk
mengadakan refleksi terkait dengan
pelaksanaan
pembelajaran
atau
perbaikan pembelajaran dari satu siklus
ke siklus berikutnya, dan guru mendapat
kesempatan untuk berperan aktif
mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan sendiri.
2. Manfaat bagi pembelajaran atau siswa
dapat meningkatkan hasil belajar siswa
khususnya dalam mata pelajaran
Matematika dalam menuliskan lambang
pecahan, dan sikap kritis menjadi model
bagi siswa untuk menyikapi kinerjanya
secara individual dapat menjadi peneliti
bagi hasil belajarnya.
3. Manfaat bagi institusi atau sekolah
mempunyai
kesempatan
untuk
berkembang pesat atas persetujuan
Kepala Sekolah dan atau atasan yang
berwenang seperti halnya Pengawas
TK/SD, pengelolaan kegiatan sekolah
secara keseluruhan khususnya dalam
pelaksanaan perbaikan pembelajaran,
dapat disebarkan ke sekolah lain yang
mempunyai kesempatan untuk berubah
secara menyeluruh, sumbangan positif
terhadap kemajuan sekolah, karena guru
perlu merencanakan dan melaksanakan
perbaikan pembelajaran, perbaikan
proses
dan hasil belajar, dan
kondusifnya iklim pendidikan di
sekolah, dan dapat dijadikan bahan
pustaka atau kajian pustaka bagi
peningkatan mutu lulusan atau mutu
pembelajaran dalam setiap tingkatan
kelas di SDN Rek-Kerrek III
Kecamatan
Palengaan
Kabupaten
Pamekasan.
II. KAJIAN PUSTAKA
Setiap
peserta
didik
dalam
pembelajaran pada saat menggunakan
metode diskusi diharapkan terlibat aktif
dalam
berdiskusi
untuk
mencari
kemufakatan
dalam berbagai
aspek
pembelajaran. Jika peserta didik berperan
aktif, akan mampu memperoleh hasil belajar
secara optimal. Bagi guru agar dapat
menguasai penggunaan metode diskusi
dengan baik diperlukan latihan secara
sistematis karena metode diskusi
menenamkan kedisiplinan siswa, dan
meningkatkan
pengetahuan
dalam
mengajukan pendapat dan menarik suatu
kesimpulan. Dengan perkataan lain,
dominasi guru di dalam kelas haruslah
dikurangi sehingga tersedia kesempatan
bagi siswa untuk berpartisipasi secara
aktif. Salah satu cara yang dapat
dilakukan guru dalam kaitan ini adalah
memberikan kesempatan kepada siswa
untuk berdiskusi kelompok. Melalui
diskusi kelompok diharapkan dapat
berpikir secara lebih kritis serta mampu
mengungkapkan pikiran dan perasaannya
dengan baik.
Tidak semua pembicaraan yang
dilakukan oleh sekelompok kecil peserta
didik dapat disebut sebagai diskusi.
Agar dapat disebut sebagai diskusi
menurut Winataputra, S.U. (2005:2.14)
ada beberapa syarat yang harus harus
dipenuhi,
yaitu:
(1)
Melibatkan
kelompok, yang anggotanya berkisar
antara 3-9 orang, (2) Berlangsung dalam
situasi tatap muka yang informal, artinya
semua anggota berkesempatan saling
melihat, mendengar, serta berkomunikasi
secara bebas dan langsung, (3)
Mempunyai tujuan yang mengikat
anggota kelompok sehingga terjadi kerja
sama
untuk
mencapainya,
(4)
Berlangsung menurut proses yang teratur
dan
sistematis
menuju
kepada
tercapainya tujuan pembelajaran.
Metode diskusi ini sering
digunakan
dalam
pembelajaran
kelompok,
umpamanya
kalau
menggunakan pendekatan Cara Belajar
Siswa Aktif dan keterampilan proses
dalam
pembelajaran
metode
ini
cenderung digunakan. Metode mengajar
diskusi menurut Winataputra, S.U. (2.16)
merupakan cara mengajar dalam
pembahasan dan penyajian materinya
melalui suatu problema atau pertanyaan
yang harus diselesaikan berdasarkan
pendapat atau keputusan secara bersama.
Metode diskusi memiliki karakteristik, dan pengalaman belajar menurut
Winataputra, S.U. (2005:2.18) tentang
pengalaman
belajar
(learning
experience) sebagai berikut: (1) Bahan
44
pelajaran dengan topik permasalahan/
persoalan, (2) Adanya pembentukan
kelompok, (3) Ada yang mengatur
pembicaraan,
(4)
Aktivitas
siswa
berpendapat, (5) Mengarah pada suatu
kesimpulan/ pendapat bersama, (6) Guru
lebih berperan sebagai pembimbing/
motivator, (7) Siswa sebagai objek dan
subjek dalam pembelajaran, (8) Melatih
sistematika logika berpikir, dan (8) Melatih
bahasa lisan. Sedangkan pengalaman belajar
peserta didik dapat dijabarkan sebagai
berikut: (1) Pemahaman terhadap persoalan
belajar bersama (cooperative learning), (2)
Pendapat orang lain, (3) Pembentukan rasa
solidaritas terhadap pengambilan keputusan,
(4) Menerapkan cara menyelesaikan
persoalan,
(5)
Menerapkan
cara
menyampaikan pendapat.
2. Keuntungan dan Kelemahan Metode
Diskusi
Keuntungan
atau
keunggulan
metode diskusi menurut Winataputra, S.U.
(2005:2.18) dapat dijabarkan sebagai
berikut: (1) Siswa bertukar pikiran, (2)
Siswa dapat menghayati permasalahan, (3)
Merangsang siswa untuk berpendapat, (4)
Dapat mengembangkan rasa tanggung
jawab/solidaritas, (5) Membina kemampuan
berbicara, (6) Siswa belajar memahami
pikiran orang lain, dan (7) Memberikan
kesempatan belajar. Sedangkan kelemahan
metode diskusi menurut Winataputra, S.U.
(2005:2.18) dapat dijabarkan sebagai
berikut: (1) Relatif memerlukan waktu yang
banyak, (2) Apabila siswa tidak memahami
konsep dasar, diskusi tidak efektif, (3)
Terdapat perbedaan kemampuan perbendaharaan bahasa, (4) Apabila guru tidak
dapat membimbing diskusi tidak efektif
Prosedur metode diskusi menurut
Winataputra, S.U. (2005:2.17) hampir sama
dengan belajar kelompok, yaitu: (1)
Merumuskan masalah berdasarkan topic
bahasan dan tujuan pembelajaran, (2)
Identifikasi masalah, (3) Analisis masalah,
(4) Analisis masalah/topik, (4) Penyusunan
laporan, (5) Presentasi kelompok, (6)
Menyimpulkan hasil diskusi
Kompetensi atau kemampuan guru yang
harus diperhatikan menurut Winataputra,
S.U.
(2005:2.18)
untuk
menunjang
keberhasilan diskusi diantaranya adalah: (1)
Mampu merumuskan permasalahan sesuai
dengan kurikulum yang berlaku, (2) Mampu
membimbing siswa untuk merumuskan dan
mengidentifikasi permasalahan serta
menarik kesimpulan, (3) Mampu
mengelompokkan siswa sesuai dengan
kebutuhan
permasalahan
dan
pengembangan kemampuan siswa, (4)
Mampu mengelola pembelajaran melalui
diskusi, (5) Menguasai permasalahan
yang
didiskusikan.
Sedangkan
kompetensi atau kemampuan siswa
menurut Winataputra, S.U. (2005:2.18)
yang
harus
diperhatikan
untuk
menunjang pelaksana-an diskusi di
antaranya: (1) Memiliki motivasi,
perhatian, dan minat dalam berdiskusi,
(2) Mampu melaksanakan diskusi, (3)
Mampu belajar secara bersama, (4)
Mampu mengeluarkan isi pikiran atau
pendapat/ide, (5) Mampu memahami
pendapat orang lain.
Belajar menurut Gagne (dalam
Winataputra, S.U., 2005:2.3) adalah
suatu proses di mana suatu organisme
berubah perilakunya sebagai akibat
pengalaman. Dari pengertian tersebut
terdapat tiga atribut pokok atau ciri
utama belajar yakni proses, perubahan
perilaku, dan pengalaman. Dilihat dari
dimensi proses Winataputra, S.U.
(2005:2.3)
mengemukakan
bahwa
belajar adalah proses mental dan
emosional atau proses berpikir dan
merasakan. Jadi peserta didik dikatakan
belajar apabila pikiran dan perasaannya
aktif.
Hasil belajar menurut Djadja
Badjuri (dalam Winataputra, S.U.,
2005:2.5) berupa perubahan perilaku
atau tingkah laku. Pesertadidik yang
belajar akan berubah atau bertambah
perilakunya,
baik
yang
berupa
pengetahuan, keterampilan motorik, atau
penguasaan nilai-nilai (sikap). Perubahan
perilaku sebagai hasil belajar adalah
perubahan
yangdihasilkan
dari
pengalaman
(interaksi
dengan
lingkungan), di mana proses mental dan
emosional terjadi. Selanjutnya, Djadja
Badjuri (dalam Winataputra, S.U.,
2005:2.6) mengemukakan bahwa belajar
adalah mengalami, dalam arti belajar
terjadi di dalam interaksi antara individu
dengan lingkungan, baik lingkungan
fisi8k maupun lingkungan sosial.
Menurut Sumantri, M (1999:18)
hasil belajar merupakan kemampuan
siswa dalam memenuhi suatu tahapan
45
pencapaian pengalaman belajar dalam satu
kompetensi dasar. Menurut Sudjana, N
(2005:22) hasil balajar adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa ia
menerima pengalaman belajar. Bentukbentuk hasil belajar siswa Sekolah Dasar
dapat berupa kebiasaan, keterampilan,
himpunan tanggapan, hafalan, kemapuan
menganalisis, dan sikap serta rujukan nilai.
Menurut pendapat Peter (dalam
Winataputra, S.U., 2005:2.6) proses dan
hasil belajar siswa bergantung pada
kompetensi
guru
dan
keterampilan
mengajarnya. Menurut pendapat Taba
(dalam Winataputra, S.U., 2005:2.6) bahwa
keefektifan pembelajaran dipengaruhi oleh
karakteristik guru dan siswa, bahan
pelajaran dan aspek lain yang berkenaan
dengan situasi pembelajaran
Dari pendapat para ahli di atas,
dapat disimpulkan beberapa faktor yang
mempengaruhi hasil belajar adalah: (1)
Kompetensi
Dasar,
(2)
Penguasaan
kompetensi oleh guru, (3) Keterampilan
guru dalam mengajar, (4) Karakteristik guru
dan siswa, (5) Bahan pelajaran, (6) Situasi
dan kondisi pembelajaran
Tingkah laku sebagai hasil dari
proses belajar dipengaruhi oleh faktor
internal yaitu faktor dalam diri peserta
didik, dan faktor eksternal yakni faktor yang
berasal dari luar diri peserta didik. Menurut
Sudjana, N (1989:8) hasil interaksi berupa
perubahan tingkah laku dapat bermakna
sesuai dengan hakikat belajar sebagai suatu
proses. Banyak faktor yang terdapat dalam
faktor internal. Yang tergolong pada faktor
internal
menurut Rachman Ntawidjaja
(1989:16) dapat dijabarkan sebagai berikut:
(a) Faktor jasmaniah (fisiologis), (b) Faktor
psikologis, dan (c) Faktor kematangan fisik
maupun psikis. Pada faktor jasmaniah
terdapat faktor yang bersifat bawaan dan
yang diperoleh. Yang termasuk pada faktor
jasmaniah
ini
adalah
penglihatan,
pendengaran, dan struktur tubuh, dan
sebagainya yang relevan dengan hal
tersebut.
Faktor psikologis terdiri atas faktor
intelektif, dan faktor non intelektif. Pada
faktor intelektif meliputi faktor potensial
yakni kecerdasan dan bakat, faktor
kecakapan nyata yakni hasil belajar yang
telah dimiliki. Sedangkan faktor non
intelektif adalah unsur-unsur kepribadian
tertentu, seperti halnya sikap, kebiasaan
belajar, minat belajar, kebutuhan belajar,
motivasi belajar, emosi dan penyesuaian
diri. Demikian pula pada faktor
eksternal, yaitu faktor eksternal (faktor
di luar diri) individu atau peserta didik
menurut Rachman Natawidjaja (1989:
17) adalah:
a. Faktor sosial meliputi faktor-faktor
berikut: (1) Lingkungan keluarga,
(2) Lingkungan sekolah,
(3)
Lingkungan
msyarakat,
(4)
Lingkungan kelompok
b. Faktor budaya seperti halnya adat
istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi
dan kesenian.
c. Faktor lingkungan fisik seperti
halnya fasilitas belajar, dan termasuk
pula iklim beljar.
d. Faktor lingkungan spiritual atau
keagamaan.
Pada faktor lingkungan keluarga
menyangkut masalah situasi dalam
keluarga itu sendiri, adakalanya situasi
dalam keluarga itu menunjang terhadap
proses belajaranak, dan adakalanya,
situasi dalam keluarga ada yang kurang
menunjang proses belajar anak, seperti
halnya kekacauan rumah tangga (broken
home), kurangnya perhatian dalam
belajarnya dan kurangnya fasilitas
belajar. Adakalanya juga karena tidak
dapat memanfaatkan waktu belajar,
sehingga proses belajar anak cenderung
tidak terencana, dan bahkan kurang
terarah sehingga pada akhirnya hal yang
demikian itu akan mempengaruhi hasil
belajarnya.
Faktor lingkungan sekolah,
adakalanya faktor lingkungan sekolah itu
menunjang, dan adakalanya faktor
lingkungan
sekolah
itu
kurang
menunjang proses pembelajaran seperti
halnya cara guru menyajikan materi atau
sedang membahas materi tertentu dengan
menggunakan model-model tertentu saja,
sikap guru yang kurang bersikap
interaktif, kurikulum atau materi modul
yang sedang dipelajari atau sedang
dibahas, dan perlengkapan belajar yang
kurang memadai.
Perlengkapan
belajar
yang
kurang memadai dalam hal ini bukan
disebabkan karena bahan pelajarannya
kurang, tetapi yang sering terjadi adalah
karena terlambatnya bahan pembelajaran
di tempat peserta didik belajar tidak ada
46
sama sekali karena juahnya transportasi.
Disamping itu juga cara dan alat evaluasi
yang digunakan pada setiap kegiatan akhir
pembelajaran, alat evaluasi yang menunjang
terhadap perolehan belajar peserta didik
cenderung memiliki validitas, memiliki
reliabilitas, memiliki kemudahan, dan
memiliki norma tertentu.
Selain hal di atas, adalah alat
evaluasi yang benar-benar menunjang
terhadap tercapainya tujuan pembelajaran
atau tujuan instruksional sebagaimana
terdapat dalam setiap bahan ajar, misalnya
berupa tugas belajar. Demikian pula
mengenai ruang belajar di dalam kelas
pembelajaran, sistem administrasi, waktu
belajar, keadaan kursi dan meja, serta situasi
sosial di dalam kelas pembelajaran, ada
yang terlihat baik, dan ada pula yang kurang
baik.
Pada faktor lingkungan sosial
masyarakat ada yang memadai, dan
adakalanya juga kurang memadai seperti
halnya pengaruh negatif dari pengulangan,
situasi masyarakat yang kacau, adanya
gangguan kebudayaan seperti film, bacaanbacaan, dan sebagainya. Dalam pergaulan
kadangkala terjadi: (a) Pergaualan atas dasar
kesenangan berkawan, biasanya proses dan
hasil belajarnya homogen, (b) Adakalanya
juga pergaulan itu didasari atas kesamaan
minat, terutama yang berkaitan dengan
minat belajar, dan biasanya hasil belajar
peserta didik cenderung heterogen. Jika
pergaulan belajar itu didasari oleh motivasi
dan minat belajar maka ada kecenderungan
bagi peserta didik tersebut memperoleh
hasil belajar yang optimal, karena hal ini
diwarnai oleh semangat belajar yang cukup
tinggi, dan motivasi belajar peserta didik
cukup tinggi. Demikian pula tentang situasi
masyarakat, situasi masyarakat yang kurang
menunjang
karena
disebabkan
oleh
beberapa hal, seperti halnya: (a) Gangguan
keamanan, (b) Seringnya terjadi pencurian,
(c) Adanya judi di tempat-tempat tertentu di
lingkungan masyarakat, (d) Adanya
gangguan kebudayaan seperti halnya (1)
Gangguan film, dan (2) Adanya buku-buku
bacaan yang kurang menunjang terhadap
proses pembelajarannya.
Matematika
merupakan ilmu
universal yang mendasari perkembangan
teknologi modern, mempunyai peran
penting dalam berbagai disiplin dan
memajukan
daya
pikir
manusia.
Perkembangan pesat dibidang teknologi
informasi dan komunikasi dewasa ini
dilandasi
oleh
perkembangan
matematika di bidang teori bilangan,
aljabar, analisis, teori peluang dan
matematika deskrit. Untuk menguasai
dan mencipta teknologi di masa depan
diperlukan penguasaan matematika yang
kuat sejak dini.
Tujuan mata pelajaran matematika menurut kurikulum 2004 adalah agar
peserta didik memiliki kemampuan
sebagai berikut: (1) Memahami konsep
matematika, menjelaskan keterkaitan
antar konsep dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma, secara luwes,
akurat, efisien dan tepat dalam
pemecahan masalah, (2) Menggunakan
penalaran pada pola dan sifat, melakukan
manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika, (3) Memecahkan masalah
yang meliputi kemampuan memahami
masalah, meranang model matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi
yang
diperoleh,
(4)
Mengomunikasikan gagasan dengan
simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau
masalah, (5) memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian,
dan
minat
dalam
mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya
diri
dalam
pemecahan
masalah.
Sedangkan ruang lingkup mata pelajaran
matematika pada satuan pendidikan
SD/MI meliputi aspek-aspek sebagai
berikut: (1) Bilangan, (2) Geometri dan
pengukuran, (3) Pengolahan data.
III. PELAKSANAAN PERBAIKAN
Lokasi yang ditempati penelitian
adalah SDN Rek-Kerrek III Kecamatan
Palengaan Kabupaten Pamekasan, dan
sekolah ini merupakan tempat penulis
bertugas.Waktu pelaksanaan penelitian
dari masing-masing siklus adalah
sebagai berikut: (1) Tanggal 10 Maret
2009 untuk siklus pertama, (2) Tanggal
14 Maret 2009 untuk siklus kedua.
Mata pelajaran yang disajikan
untuk mata pelajaran eksakta adalah
matematika
khususnya
dalam
menuliskan lambang pecahan. Kelas
47
yang dijadikan ruang pelaksanaan praktek
perbaikan baik siklus satu maupun siklus
dua adalah Kelas IV SDN Rek-Kerrek III
Kecamatan
Palengaan
Kabupaten
Pamekasan. Karakteristik siswa ditinjau dari
sudut usia berkisar 10 - 11 tahun. Karena
usia rata-rata adalah 10 – 11 tahun, dan
kemampuan siswa dianggap homogen maka
dalam pembelajaran dilaksanakan sistem
klasikal.
Refleksi, hasil pengamatan adalah
dalam memusatkan perhatian pada saat
pembelajaran untuk menuliskan lambang
pecahan termasuk dalam kategori muncul.
Dalam hal memperjelas masalah dan uraian
pendapat untuk menuliskan lambang
pecahan termasuk dalam kategori muncul.
Dalam hal menganalisis pandangan pada
saat pembelajaran untuk menuliskan
lambang pecahan termasuk dalam kategori
tidak muncul. Dalam meningkatkan uraian
pada saat pembelajaran untuk menuliskan
lambang pecahan termasuk kategori tidak
muncul. Dalam menyebarkan kesempatan
berpartisipasi pada saat berdiskusi untuk
menuliskan lambang pecahan termasuk
dalam kategori muncul. Dalam merumuskan
permasalahan pada saat berdiskusi untuk
menuliskan lambang pecahan termasuk
dalam kategori tidak muncul. Dalam
membimbing siswa untuk merumuskan dan
mengidentifikasi
permasalahan
serta
menarik kesimpulan pada saat pembelajaran
untuk menuliskan lambang pecahan
termasuk dalam katgori cukup. Dalam
Mengelompokkan siswa sesuai dengan
kebutuhan
permasalahan
dan
pengembangan kemampuan siswa pada saat
pembelajaran untuk menuliskan lambang
pecahan termasuk kategori muncul. Dalam
penguasaan
permasalahan
yang
didiskusikan pada saat pembelajaran
termasuk
kategori
muncul.
Dalam
memotivasi, meningkatkan perhatian, dan
minat dalam berdiskusi untuk menuliskan
lambang pecahan termasuk dalam kategori
tidak muncul. Dalam melaksanakan diskusi
pada saat pembelajaran untuk menuliskan
lambang pecahan termasuk kategori
muncul. Kemampuan belajar secara bersama
pada saat pembelajaran untuk menuliskan
lambang pecahan termasuk dalam kategori
tidak muncul. Kemampuan mengeluarkan
isi pikiran atau pendapatatau ide pada saat
pembelajaran untuk menuliskan lambang
pecahan termasuk kategori muncul. Dalam
memahami pendapat orang lain pada saat
pembelajaran untuk menuliskan lambang
pecahan termasuk dalam kategori tidak
muncul. Dalam menutup diskusi pada
saat pembelajaran untuk menuliskan
lambang pecahan termasuk kategori
muncul
Sedangkan hasil pengamatan
pada siklus dua terjadi adanya
peningkatan pada sebagian aspek
penilaian yaitu dalam memusatkan
perhatian pada saat pembelajaran untuk
menuliskan lambang pecahan termasuk
dalam kategori muncul. Dalam hal
memperjelas masalah dan uraian
pendapat pada saat pembelajaran untuk
menuliskan lambang pecahan termasuk
dalam kategori muncul. Dalam hal
menganalisis pandangan pada saat
pembelajaran untuk menuliskan lambang
pecahan termasuk dalam kategori
muncul. Dalam meningkatkan uraian
pada
saat
pembelajaran
untuk
menuliskan lambang pecahan termasuk
kategori muncul. Dalam menyebarkan
kesempatan berpartisipasi pada saat
berdiskusi untuk menuliskan lambang
pecahan termasuk dalam kategori
muncul.
Dalam
merumuskan
permasalahan pada saat berdiskusi untuk
menuliskan lambang pecahan termasuk
dalam
kategori
muncul.
Dalam
membimbing siswa untuk merumuskan
dan mengidentifikasi permasalahan serta
menarik
kesimpulan
pada
saat
pembelajaran untuk menuliskan lambang
pecahan termasuk dalam katgori baik.
Dalam mengelompokkan siswa sesuai
dengan kebutuhan permasalahan dan
pengembangan kemampuan siswa pada
saat pembelajaran untuk menuliskan
lambang pecahan termasuk kategori
muncul.
Dalam
penguasaan
permasalahan yang didiskusikan pada
saat pembelajaran untuk menuliskan
lambang pecahan termasuk kategori
muncul.
Dalam
memotivasi,
meningkatkan perhatian, dan minat
dalam berdiskusi pada saat pembelajaran
untuk menuliskan lambang pecahan
termasuk dalam kategori muncul. Dalam
melaksanakan
diskusi
pada
saat
pembelajaran untuk menuliskan lambang
pecahan termasuk kategori muncul.
Kemampuan belajar secara bersama
pada
saat
pembelajaran
untuk
48
menuliskan lambang pecahan termasuk
dalam kategori muncul. Kemampuan
mengeluarkan isi pikiran atau pendapat atau
ide pada saat pembelajaran untuk
menuliskan lambang pecahan termasuk
dalam kategori muncul. Dalam memahami
pendapat orang lain pada saat berdiskusi
untuk menuliskan lambang pecahan
termasuk dalam kategori muncul. Dalam
menutup diskusi pada saat pembelajaran
untuk menuliskan lambang pecahan
termasuk dalam kategori muncul.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan data tentang rencana
perbaikan pembelajaran, hasil pengamatan
dan hasil tes akhir maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
i.
Dalam memusatkan perhatian pada saat
pembelajaran
untuk
menuliskan
lambang
pecahan,
dalam
hal
memperjelas masalah dan uraian
pendapat pada saat berdiskusi untuk
menuliskan lambang pecahan, Dalam
hal menganalisis pandangan pada saat
pembelajaran
untuk
menuliskan
lambang pecahan, dalam meningkatkan
uraian pada saat pembelajaran untuk
menuliskan lambang pecahan, dalam
menyebarkan kesempatan berpartisipasi
pada saat berdiskusi untuk menuliskan
lambang pecahan termasuk dalam
kategori baik, salam merumuskan
permasalahan pada saat berdiskusi
untuk menuliskan lambang pecahan,
dalam membimbing siswa untuk
merumuskan dan mengidentifikasi
permasalahan serta menarik kesimpulan
pada saat berdiskusi untuk menuliskan
lambang
pecahan,
dalam
mengelompokkan siswa sesuai dengan
kebutuhan
permasalahan
dan
pengembangan kemampuan siswa pada
saat berdiskusi untuk menuliskan
lambang pecahan , dalam penguasaan
permasalahan yang didiskusikan untuk
menuliskan lambang pecahan, dalam
memotivasi, meningkatkan perhatian,
dan minat dalam berdiskusi untuk
menuliskan lambang pecahan,dalam
pelaksanaan diskusi pada saat kegiatan
inti untuk menuliskan lambang pecahan,
kemampuan belajar secara bersama
pada saat berdiskusi, kemampuan
mengeluarkan isi pikiran atau pendapat
ii.
atau ide pada saat berdiskusi untuk
menuliskan lambang pecahan, dalam
memahami pendapat orang lain pada
saat berdiskusi untuk menuliskan
lambang pecahan, dalam menutup
diskusi pada akhir pelaksanaan
diskusi
saat
pembelajaran
berlangsung
untuk
menuliskan
lambang pecahan termasuk dalam
kategori baik
Hasil pengamatan pada siklus dua
terjadi adanya peningkatan yaitu
dalam memusatkan perhatian pada
saat pembelajaran untuk menuliskan
lambang pecahan, dalam hal
memperjelas masalah dan uraian
pendapat pada saat berdiskusi untuk
menuliskan lambang pecahan, dalam
hal menganalisis pandangan pada
saat pembelajaran untuk menuliskan
lambang pecahan,
pada
saat
meningkatkan uraian pada saat
pembelajaran untuk menuliskan
lambang pecahan, dalam menyebarkan kesempatan berpartisipasi pada
saat
berdiskusi
pada
saat
pembelajaran untuk menuliskan
lambang
pecahan,
dalam
merumuskan permasalahan pada saat
berdiskusi
untuk
menuliskan
lambang pecahan, dalam membimbing siswa untuk merumuskan
dan mengidentifikasi permasalah-an
serta menarik kesimpulan pada saat
berdiskusi
untuk
menuliskan
lambang pecahan, dalam mengelompokkan siswa sesuai dengan
kebutuhan
permasalahan
dan
pengembangan kemampuan siswa
pada
saat
berdiskusi
untuk
menuliskan lambang pecahan, dalam
penguasaan permasalahan yang
didiskusikan pada saat pembelajaran
untuk menuliskan lambang pecahan,
dalam memoti-vasi, meningkatkan
perhatian, dan minat pada saat
berdiskusi
untuk
menuliskan
lambang
pecahan,
dalam
pelaksanaan diskusi pada saat
kegiatan inti pembelajaran untuk
menuliskan
lambang
pecahan,
kemampuan belajar secara bersama
pada
saat
berdiskusi
untuk
menuliskan
lambang
pecahan,
kemampuan
mengeluarkan
isi
pikiran atau pendapat atau ide pada
49
saat berdiskusi untuk menuliskan
lambang pecahan, dalam memahami
pendapat orang lain pada saat berdiskusi
untuk menuliskan lambang pecahan,
dalam menutup diskusi pada kegiatan
akhir pembelajaran untuk menuliskan
lambang pecahan termasuk dalam
kategori baik
iii.
Ada sebanyak 18 siswa diantara 26
siswa untuk menuliskan lambang
pecahan pada siklus satu berhasil dalam
belajarnya. Ada sebanyak 25 siswa
diantara 26 siswa untuk menuliskan
lambang pecahan pada siklus duaI
berhasil dalam belajarnya. Pada siklus
satu ada sebanyak 8 siswa dari 26 siswa
untuk menuliskan lambang pecahan
memperoleh nilai rendah, dan pada
siklus dua ada sebanyak 1 siswa
diantara 26 siswa untuk menuliskan
lambang pecahan memperoleh nilai
yang rendah.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas
dapat diajukan saran sebagai berikut:
1. Pada saat pembelajaran guru bersama
siswa hendaknya mampu merumuskan
permasalahan sesuai dengan tuntutan
kurikulum yang berlaku. Pada saat
pembelajaran guru hendaknya mampu
membim-bing siswa untuk merumuskan
dan mengidentifikasi permasalahan
serta menarik kesimpulan. Pada saat
pembelajaran guru hendaknya mampu
mengelompokkan siswa sesuai dengan
kebutuhan
perma-salahan
dan
pengembangan ke-mampuan siswa, san
pada saat pembelajaran guru hendaknya
mampu
mengelola
pembelajaran
melalui diskusi karena metode ini
digunakan untuk memecahkan masalah
yang menuntut kemampuan berpikir
tinggi
2. Sebelum
dilaksanakan
diskusi
hendaknya guru mempelajari kembali
permasalahan yang didiskusikan. Pada
saat pembelajaran hendaknya kondisi
dan
kemampuan
siswa
harus
diperhatikan
untuk
menunjang
pelaksanaan diskusi agar memiliki
motivasi, perhatian, dan minat dalam
berdiskusi,
mampu
melaksanakan
diskusi, mampu belajar secara bersama,
mampu mengeluarkan isi pikiran atau
pendapat/ide,
mampu
memahami
pendapat orang lain, dan sebelum
diskusi dimulai hendaknya guru
memusatkan
perhatian
siswa
terutama pada pokok persoalan yang
akan dibahas
3. Dalam
pembelajaran
guru
hendaknya memperjelas masalah
dan uraian pendapat pada saat
pelaksanaan diskusi, guru bersama
siswa
hendaknya
menganalisis
pandangan yang disampai-kan pada
saat diskusi. Dalam pembelajaran
guru perlu mening-katkan uraian
agar siswa memiliki gagasan yang
lebih luas tentang masalah yang
sedang dipelajari. Guru hendaknya
menyebarkan kesempatan berpartisipasi pada siswa yang jarang
mengemukakan pendapat atau ide
atau gagasan. Dalam pembelajaran
pada
saat
menutup
diskusi
hendaknya guru mengarahkan siswa
agar memiliki catatan penting terkait
dengan masalah yang sedang
dibahas.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. (1992). Konsep dan Penerapan
CBSA
dalam
Pengajaran.
Bandung:Sarana Pancakarya.
Asep HH, dkk. (2006). Pengembangan
Kurikulum dan Pembelajaran.
Jakarta: Uter.
Departemen
Pendidikan
Nasional.
(2004). Kurikulum Berbasis
Kompetensi
2004.
Jakarta:
Depdiknas.
Denny S, dkk. (2005). Komputer dan
Media Pembelajaran. Jakarta:
Uter.
Dinn W. (2004). Pengantar Pendidikan.
Jakarta: Uter.
Hamalik, O. (1991). Strategi Belajar
Mengajar Berdasarkan CBSA.
Bandung:Sinar Baru
Hasibuan, JJ, dkk. (2004). Proses
Belajar Mengajar. Bandung:
Remadja Rosdakarya.
Herryanto, N dan Hamid, HM. Akib.
(2005). Statistika Dasar. Jakarta:
Uter.
50
Hasibuan, JJ, dan Moedjiono. (2004).
Proses
Belajar
Mengajar.
Bandung:Remadja Rosdakarya.
Mikarsa, dkk. (2005). Pendidikan Anak di
SD. Jakarta : Uter.
Muhsetyo, Gatot dkk. (2005). Pembelajaran
Matematika SD. Jakarta: Uter.
Nasution, N (1999). Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Uter.
Sudjana, N. (1996). CBSA Dalam Proses
Belajar Mengajar. Bandung: Sinar
Baru.
Sumantri, M, dan Syaodih, Nana. (2005).
Perkembangan
Peserta
Didik.
Jakarta: Uter.
Suprayekti dkk. (2005). Pembaharuan
Pembelajaran di SD. Jakarta: Uter.
Wardani. (2004). Penelitian
Kelas. Jakarta: Uter.
Tindakan
Winataputra, S.U. (2005). Strategi Belajar
Mengajar.
Jakarta:
Uniersitas
Terbuka.
Zainul, A, dkk. (2005). Tes dan Asesmen di
SD. Jakarta: Uter.
51
UPAYA MENINGKATKAN MINAT BACA SISWA KELAS III
SEKOLAH DASAR
Oleh:
Sutini
Abstrak
Minat bacassiswa SD masih rendah. Meningkatkan siswa kelas III SD mulai ditekankan
kemampuan membaca pemahaman, minat bacanya perlu ditingkatkan. Untuk
meningkatkan minat baca siswa kelas III perlu adanya motivasi ekstrinsik yaitu :
Sekolah/guru, lingkungan keuarga, dan lingkungan masyarakat. Upaya sekolah/guru bisa
melalui pengadaan bahan bacaan, pengelolaan, dan pemodelan. Upaya lingkungan keluarga
adalah membina keluarga pembaca, memperhatikan kelemahan anak dalam membaca,
memperkaya skemata anak, dan berkunjung ke toko buku. Oleh lingkungan masyarakat
berupa pengadaan perpustakaan, papan pajan, lomba membaca.
Kata kunci : upaya meningkatkan, minat baca
Sekolah Dasar sebagai bagian dari
pendidikan dasar 9 tahun merupakan
lembaga pendidikan pertama
yang
menekankan siswa belajar membaca,
menulis dan berhitung. Kecapakan ini
merupakan landasan, wahana,dan syarat
mutlak bagi siswa untuk belajar menggali
dan menimba ilmu pengetahuan lebih
lanjut.Tanpa penguasaan tersebut bagi
siswa akan mengalami kesulitan menguasai
ilmu pengetahuan (Depdikbud, 1991/1992:11).
Membaca di Sekolah Dasar
merupakan
landasan
bagi
tingkat
pendidikan yang lebih tinggi. Sebagai
kemamuan
yang
mendasari
tingat
pendidikan selanjutnya, maka membaca
perlu mendapat perhatian guru, sebab jika
dasarnya tidak kuat pada tahap pendidikan
berikutnya siswa akan mengalami kesulitan
untuk dapat memperoleh dan memiliki
pengetahuan,
Ahmad
(dalam
Sunarsono
1994:72) menyatakan bahwa kemampuan
membaca siswa Sekolah Dasar tergolong
rendah. Ribuan anak-anak Sekolah Dasar
belum mampu membaca. Hal ini membuat
siswa
mengalami
kesulitan
dalam
menerima pelajaran lain. Pernyataan ini
dipertegas
oleh
Achmadi
(dalam
sumarsono:72) yang menyatakan bahwa
kemampuan membaca siswa SD di
Indonesia rata-rata paling rendah di tingkat
Asean.
Selain itu hasil studi perbandingan
tentang kemampuan memperoleh serta
memahami
informasi
dan
bacaan
terungkap dalam The International
Association
Evaluation
Achievement
(IAEA) terhadap kelas IV SD dari 30
negara, ternyata Indonesia menduduki
urutan yang ke-29 dari 30 negara peserta
(Totong, 1998:9). Pada tahun 1992 laporan
International for the Evaluation of
Educational
Achievement
(IEA)
menyatakan bahwa kemampuan membaca
siswa SD Indonesia menduduki peringkat
ke-26 dari 27 negara sample (Dekdikbud,
1997:25). Sedangkan kemapuan membaca
siswa SD di Malang diungkapkan oleh
Syafi’ie (1999:4) sebagai berikut :
Diharapkan
pada
caturwulan
ketiga, menjelang berakhirnya kelas, anakanak telah mampu membaca. Namun
kenyataannya tidaklah selalu demikian.
Dari beberapa observasi yang dilaksanakan
dibeberapa SD di kotamadya dan
kabupaten Malang misalnya, diketahui
bahwa banyak siswa di akhir tahun
pertama di kelas I SD belum mampu
membaca. Bahkan masih ditemui pula
52
beberapa siswa kelas II pada akhir cawu
kedua masih belum mamu membaca.
Rendahnya kemampuan membaca
dan memahami isi bacaan ini menurut
Achmad (dalam Sumarsono 1994:72),
diduga disebabkan antara lain oleh
kurangnya minat baca siswa. Sehubungan
dengan hal itu, Sugiharti (1997:39)
menyatakan bahwa minat baca anak
Indonesia tergolong paling rendah
didunia. Diperkirakan hanya sekitar 10%
anak Indonesia yang tergolong kelompok
gemar membaca.
Ajip Rosidi (1973:18) mengatakan
bahwa pembinaan minat baca bagi
masyarakat Indonesia dapat dibina sejak
mereka masih anak-anak (TK, SD, dan
terus
sampai
SLTP/SLTA).
Jika
pembinaan minat baca tidak dimulai sejak
dini, maka besar kemungkinan setelah
besar pun tetap tidak gemar membaca.
Kalaupun gemar membaca maka bahan
bacaan yang dipilih hanya berkisar pada
buku bacaan hiburan. Oleh karena itu
masalah minat baca siswa SD perlu
mendapat perhatian.
Minat baca siswa Sekolah Dasar
yang sudah dimulai di kelas I dan II tetap
dipertahankan di kelas III. Hal ini
mengingat siswa kelas III Sekolah Dasar
mulai ditekankan kemampuan membaca
pemahaman. Selain itu siswa kelas III
Sekolah Dasar memerlukan kemampuan
membaca pemahaman untuk menerima
mata pelajaran lain.
Permasalahan
yang
dapat
dirumuskan adalah upaya apakah yang
bisa dilakukan untuk meningkatkan minat
baca siswa kelas III Sekolah Dasar?
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam
pembahasan
makalah
ini
adalah
memberikan gambaran tentang upaya
yang bisa lakukan untuk meningkatkan
minat baca siswa kelas III Sekolah Dasar.
Minat dan Minat Baca
Perihal
minat
berhubungan
dengan kebiasaan. Minat dan kebiasaan
adalah dua pengertian yang berbeda tetapi
berkaitan. Pengertian minat menurut
Poerbakawatja
(1982:214)
adalah
”kesedian jiwa yang sifatnya aktif untuk
menerima sesuatu dari luar.”
Minat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu minat spontan dan minat
terpola.Minat spontan adalah minat yang
tumbuh secara spontan dari dalam diri
seseorang tanpa dipengaruhi oleh pihak
luar (Dawson dan Bamman, 1960:31).
Minat terpola adalah minat yang timbul
sebagai akibat adanya pengaruh dan
kegiatan yang berencana atau terpola
terutama kegiatan belajar mengajar,baik
disekolah maupun di luar sekolah
(Dawson dan Bamman,1960:15). Minat
terpola dapat dipersamakan dengan factor
eksternal, yang secara konkrit merupakan
akibat dari motivasi ekstrinsik. Dengan
demikian
minat
dapat
dihambat,
dipengaruhi,
bahkan
bisa
ditumbuhkembangkan.
Tentang minta ini Sarwana
(1982:34-36)
menguraikan
sebagai
berikut. Minat memiliki lima sifat: (1)
Pribadi, antara individu satu dengan yang
lain mempunyai minat yang berbedabeda. Kalau minat mereka sama, ada
perbedaan intensitasnya. (2) Dipelajari,
maksudnya minat bukan sesuatu yang
dibawa sejak lahir melainkan merupakan
hasil belajar sehingga minat dapat
berubah-ubah. Yang penting dalam
belajar adalah factor penguat yang bisa
berupa hadiah, ganjaran, atau hukuman.
(3) Erat hubungannya dengan sikap,
maksudnya minat bisa menimbulkan,
yaitu kecenderungan bertingkah positif
atau negatif pada suatu hal, dan sikap bias
menimbulkan minat. (4) Diskriminatif,
maksudnya dengan adanya minat, hal-hal
tertentu yang menjadi minat dikeluarkan
dari perhatian. Dengan demkian tingkah
laku menjadi terarah. (5) Usaha, artinya
minat dapat timbul sebagai hasil suatu
usaha dan minat juga dapat mendorong
usaha.
Faktor-faktor yang mendorong
minat adalah sebagai berikut. Pertama
factor
kebutuhan,
karena
adanya
53
kebutuhan tertentu orang mempunyai
minat untuk memenuhi kebutuhan itu.
Kedua faktor perasaan; perasaan sukses,
senang, mendorong timbulnya minat,
sedangkan perasaan kecewa, gagal,
menghambat atau bahkan menghilangkan
minat.
Ketiga,
faktor
lingkungan;
maksudnya minat dipengaruhi dorongan
untuk diterima atau diakui oleh
lingkungan.
Berdasarkan
uraian
tentang
minat, maka minat baca diartikan sebagai
perwujudan perilaku baca murid yang
disebabk oleh faktor-faktor pendorong
tertentu baik oleh factor internal maupun
eksternal. Pengertian ini sejalan dengan
pendapat yang menyebutkan bahwa minat
dan motivasi dapat timbul dari kesadaran
dan inisiatif diri seseorang dan dapat
timbul dari pengaruh luar, dalam bentukbentuk yang terpola atau tidak terpola
(Dawson dan Bamman, 1960: 140-144).
Dari uraian tersebut dapatlah
diketahui bahwa membaca bukanlah
objek dari minat tetapi membaca
merupaka kegiatan atau usaha yang
dilakukan
oleh
seseorang
untuk
memenuhi minatnya. Melalui membaca,
informasi dan pengetahuan yang berguna
bagi kehidupan dapat diperoleh. Inilah
motivasi pokok yang dapat mendorong
timbul dan berkembangnya minat anak.
Apabila minat ini sudah tumbuh dan
berkembang, dalam arti bahwa anak
sudah dimulai suka membaca, maka
minat baca pun akan meningkat.
Membaca Pemahaman
Membaca adalah melihat serta
memahami isi dari apa yang tertulis
(KBBI,1990:42). Pada membaca mata
mengenali kata, sementara pikiran
menghubungkan dengan maknanya.
Makna kata dihubungkan satu dengan
yang lain sehingga menjadi makna frase,
klause, kalimat, dan akhirnya makna
seluruh
bacaan.Membaca
diartikan
sebagai proses memetik serta memahami
arti atau makna yang terkandung dalam
bahasa tulis ( Banomo dalam Khalid A.
Harras, 1998:7 ).
Dari
pengertian
membaca
tersebut tersirat bahwa ketika anak
melakukan kegiatan membaca, kegiatan
tersebut harus disertai pemahaman.
Dengan kata lain, pada saat membaca
anak harus dapat memahami maksud atau
arti dari lambang-lambang bunyi bahasa
tulis yang dibacanya. Demikian pula
dikatakan oleh Harris (1988:8) membaca
adalah kegiatan interprestasi untuk
menghasilkan symbol verbal tulisan.
Membaca di Sekolah Dasar
dibedakan menjadi dua, yaitu membaca
permulaan
dan
membaca
lanjut
(membaca pemahaman). Dua tingkatan
membaca tersebut bukanlah tingkatan
yang bersifat terpisah tegas. Pada tingktan
membaca permulaan focus kegiatanya
adalah penguasaan system tulisan, namun
telah dimulai pula pengajaran membaca
pemahaman walaupun sangat terbatas.
Sebaliknya, pada tingkat membaca lanjut
yang focus kegiatannya adalah pada
pemahaman isi bahan bacaan, masih pula
dilaksanakan membaca teknik misalnya
perbaikan
dan
penyempurnaan
penguasaan teknik membaca.
Dalam
proses
membaca
pemahaman ada empat level yang
bertahap, yang meliputi (1) pemahaman
literal, (2) pemahaman interpretatif, (3)
pemahaman kritis, (4) pemahaman kreatif
(Burns,
1980:369).
Setiap
level
dipandang
sebagai
suatu
jenis
kemampuan tersendiri. Dalam prosesnya
untuk level yang lebih tinggi selalu
melewati proses pada level di bawahnya
(Nurhadi, 1987:72).
Agar pada siswa kelas III Sekolah
Dasar timbul minat dalam membaca, ia
harus dengan mudah memahami isi
bacaan. Untuk itu diperlukan bahan
bacaan yang yang memenuhi cerita
keterbacaan dan cerita kesesuaian.
Kreteria keterbacaan adalah patokan
mudah tidaknya suatu bahan bacaan bagi
anak-anak, khususnya anak usia SD. Halhal yang termasuk dalam cerita ini, ialah
54
mudah tidaknya bahasa yang digunakan
dan mudah tidaknya pesan yang
ditemukan. Sedangakan cerita kesesuaian
adalah patokan untuk menilai cocok
tidaknya suatu bahan bagi kelompok usia
atau lingkungan tertentu, khususnya anak
usia SD. Hal-hal yang termasuk ke dalam
criteria kesesuaian ini, ialah kesesuaian
dengan lingkungan tempat belajar anak.
Siswa kelas III Sekolah Dasar
dalam keadaan normal, telah mampu
membaca dengan lancar. Pada jenjang ini
menurut Piaget anak telah mencapai
jenjang operasi konkret. Sejalan dengan
itu siswa kelas III pada umumnya suka
cerita yang penuh petualangan dan penuh
misteri. Mereka yang menyukai dongeng,
cerita yang menakutkan seperti cerita
hantu.
Dengan Disediakannya bahan
bacaan yang sesuai, diharapkan anak akan
termotivasi untuk tumbuh minat bacanya.
Secara perlahan-lahan, tahap demi tahap
secara terus-menerus sehingga terbiasa
bergaul dengan bahan bacaan dan
akhirnya akan timbul kebiasaan gemar
membaca.
Upaya yang dapat Dilakukan untuk
Meningkatkan Minat Baca Siswa Kelas
III Sekolah Dasar
Kegemaran membaca siswa kelas
III SD tidak akan tumbuh secara optimis.
Oleh karena itu minat baca siswa kelas III
SD harus ditanamkan, ditumbuhkan serta
dipupuk , dan dibina sejak usia dini,
khususnya usia Sekolah Dasar.
Baik minat maupun motovasi,
keduanya mengacu dan berorientasi pda
pemenuhan kebutuhan dasar individu
murid, yaitu kebutuhan untuk memperoleh
rasa aman, status atau kedudukan tertentu,
afektif, dan kebebasan. Denngan kata lain,
kebutuhan-kebutuhan dasar individu
merupakan sumber yang menimbulkan
minat dan motivasi. Atas dasar itu, dapat
dikatakan bahwa kebutuhan dasar murid
dapat terpenuhi jika ada atau tersedia
sejumlah objek yang memungkinkan
timbulnya minat atau motivasi. Obyek
yang dimaksud di sini adalah buku
bacaan yang sesuai dengan tingkat
keterbacaan dan tingkat kesesuaian siswa
kelas III Sekolah Dasar. Adanya saling
pengaruh timbal balik antara kebutuhan
dasar murid menyebabkan timbulnya
minat dan motivasi untuk melakukan
kegiatan membaca.
Untuk meningkatkan rendahnya
minat baca siswa kelas III Sekolah Dasar
perlu adanya motivasi ekstrinsik, yaitu
motivasi yang timbul sebagai hasil atau
akibat adanya pengaruh pihak lain atau
pihak luar. Yang dimaksudkan pihak luar
disini adalah pihak di luar siswa kelas III
SD yaitu: sekolah/guru, lingkungan
keluarga, dan lingkungan masyarakat.
Berikut ini diuraikan satu demi satu.
Upaya yang dapat dilakukan oleh
sekolah/guru
Untuk meningkatkan minat dan
kebiasaan membaca pada siswa kelas III
SD, guru dapat memberikan tugas yang
dapat membuat siswa kelas III SD harus
membaca, tanpa melupakan minat setiap
siswa. Upaya sekolah/guru untuk
meningkatkan minat baca siswa kelas III
sekolah yang berkaitan dengan kegiatan
belajar mengajar di sekolah dapat melalui
bidang-bidang berikut ini.
Pengadaan Bahan Bacaan
Sekolah/guru mendata buku
bacaan yang sesuai untuk kelas III SD di
perpustakaan sekolah. Untuk menambah
buku bacaan dengan tema yang digemari
siswa kelas III SD, Kepala Sekolah minta
bantuan orang tua lewat BP. misanya
pengurus BP mengedarkan surat kepada
setiap siswa kelas III untuk membantu
pengadaan buku bacaan dengan tema
yang sesuai dengan siswa kelas III SD.
Adapun caranya sekolah/ guru mendata
buku bacaan yang temanya sesuai dengan
siswa kelas III SD di toko buku beserta
daftar harganya. Wali murid dapat
menyumbang langsung buku atau iuran
lewat BP.
55
Pengelolaan
Guru membacakan sejumlah
judul buku bacaan dan memperlihatkan
beberapa buku bacaan dengan tema yang
sesuai dengan siswa kelas III SD, yang
tersedia di perpustakaan sebagai salah
satu bentuk motivasi agar siswa berminat
membaca. Setelah itu guru memberikan
ulasan singkat yang menarik tentang salah
satu buku bacaan kepada siswa di depan
kelas, namun ulasan tersebut tidak
diselesaikan dengan maksud agar siswa
berupaya mencari lanjutan ceritanya.
Selain
itu,
sekolah/guru
menyediakan papan pajan sejumlah mata
pelajaran yang bisa dipajankan. Secara
bergantian siswa ditugasi membuat
ringkasan setiap materi pokok bahasan
mata pelajaran yang baru dipelajari
bersama. Adapun pelaksanaannya siswa
membuat
kelompk
sehingga
ada
kelompok Bahasa Indonesia, Kelompok
IPS, Kelompok PPKN dan Kelompok
sebagainya. Setiap kelompok secara
Individual membuat ringkasan pokok
bahasan mata pelajaran yang sesuai
bidangnya. Hasil ditempel dipapan pajan
yang telah tersedia di kelas. Dengan
demikian pada saat istirahat siswa dapat
membaca, berdiskusi dari berbagai mata
pelajaran. Tempelan diganti setiap pokok
bahasan selesai dipelajari. Ringkasan
yang baru dilepas disimpan dalam
stopmap, yang sewaktu-waktu diperlukan
mudah diambil. Sedangkan kelompok
maupun bidang studinya diusahakan
bergantian.
Pemodelan
Pertama, secara terbimbing, guru
menugasi siswa kelas III membaca
bacaan yang dicarinya sendiri dari
majalah anak-anak atau buku bacaan
sesuai dengan tema yang disenanginya.
Setelah itu guru menyusun jadwal
kegiatan murid untuk menyampaikan isi,
kesan, dan pengalaman setelah membaca
bacaan yang ditugaskan kepadanya.
Kedua, guru tidak pelit dalam
memberikan pujian atau penguatan
kepada siswa. Pujian itu sebaiknya tidak
terlalu umum tetapi mengarah pada
spesifikasi yang telah dicapai murid.
Misalnya bagi anak yang telah
menuliskan watak pelaku dalam bacaan
dengan baik diberi pujian ”watak yang
kamu uraikan untuk pelaku malin
kundang sudah bagus”.
Ketiga, siswa dibimbing guru
menciptakan kelas bahasa, khususnya
kelas membaca di kelas III. Setiap saat
bisa diganti atau ditambah dengan yang
baru, sehingga dalam kelas kaya akan
bahan bacaan.
Hal lain yang bisa dilakukan guru
untuk mendorong minat baca murid
adalah membuka kesempatan berdiskusi
dengan murid. Diskusi tersebut misalnya
tentang berbagi kesulitan yang dialami
siswa dalam membaca buku bacaan,
membuat ringkasan, atau membahas isi
buku yang telah dibaca siswa.
Upaya yang dapat Dilakukan oleh
Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga sangat
penting perannya dalam menciptakan
minat baca anak-anak sedang berkembang
pesat pada aspek motorik, emos,
perkembangan social, pemahan terhadp
konsep maupun bahasanya. Dengan
demikian
penanaman
minat
dan
kebiasaan membaca pada anak-anak,
sangat besar pengaruhnya.
Untuk masa-masa selanjutnya,
pentingnya peranan keluarga dalam
membaca dijelaskan oleh Thorndike
(dalam Kholid A Harras, 1998:129)
sebagai berikut: Diantara berbagai faktor
eksternal membaca (dia menyebutnya
factor sosiologis) dia menyebutkan konon
pengaruh keluargalah yang sangat tinggi
kontribusinya
dalam
mempengaruhi
terbentuknya minat serta kemahiran
membaca pada anak. Bahkan tidak
terdapat indikasi bahwa anak-anak yang
memliki minat serta kemahiran membaca
unggul sebagai akibat langsung (pengaruh)
56
dari
pengajaran
membaca
yang
diselenggarakan
di
sekolah-sekolah.
Sebaliknya berkat pengaruh serta dukungan
keluargalah minat serta ketrampilan
membaca mereka terbentuk.
Upaya yang dapat dilakukan oleh
orang tua/keluarga antara lain sebagai
berikut.
Orang tua/keluaga
harus
membina keluarga membaca. Budaya
membaca sangat perlu dibina dan
dikembangkan dalam keluarga. Membaca
surat kabar, buku dan bacaan lainnya bagi
keluarga setiap hari pada waktu-waktu
tertentu menjadi kebiasaan keluarga, akan
mendorong anak untuk melakuakn
kebiasaan membaca yang akhirnya anak
akan gemar membaca.
Orangtua perlu memperhatikan
kelemahan anak dalam membaca. Siswa
kelas III SD masih terbiasa membaca
bersuara, sehingga orang tua mudah
mengamati
kelemahannya.
Apabila
melihat gejala kelemahan anak dalam
membaca, orang tua perlu mencatanya,
kemudian membicarakannya dengan guru,
agar guru dapat juga memperhatikannya serta
membantu memperbaikinya.
Orangtua perlu mengajak anak
yang masih di kelas III SD jalan-jalan ke
kota (bagi anak desa), ke kebun binatang, ke
lapangan terbang yang terdekat, ke tempat
pariwisata yang mudah di jangkau, ke
musuem, dan hal – hal lainnya. Hal itu
perlu di lakukan untuk memperkaya
skemata anak.
Orangtua/keluarga perlu mengajak
anak untuk berkunjung ke toko buku,
keperpustakaan umum. Anak disuruh
melihat-lihat dan membaca buku bacaan
yang disenanginya. Jika memungkinkan
orangtua membelikan buku bacaan yang
disenangi anaknya.
Upaya yang dapat Dilakukan oleh
Lingkungan Masyarakat
Upaya
masyarakat
untuk
meningkatkan minta baca siswa SD dapat
melibatkan orangtua, guru, dan karang
taruna. Dengan bantuan guru, orangtua,
karang
taruna
masyarakat
dapat
menciptakan lingkungan baca yang tidak
jauh berbeda dengan lingkungan di
sekolah.
Misalnya
pengadaan
perpustakaan, papan pajan. Lingkungan
baca tersebut diadakan pada tingkat RT,
atau Pokja. Sedangkan pengelolanya bisa
guru atau karang taruna yang tinggal
dalam satu RT. Oleh karena untuk siswa
usia kelas III SD, perginya bermainnya
masih berada di lingkungan rumah.
Upaya lain yang bisa di lakukan
masyarakat untuk meningkatkan minat
baca siswa kelas III SD yaitu dengan
mengadakan lomba membaca pada harihari besar pada tingkat RT atau desa yang
bisa menampung banyak siswa kelas III
SD. Jenis lomba membacanya sangat
banyak, misalnya lomba ketrampilan
memahami isi, ketrampilan membaca
puisi, bercerita tentang buku yang telah di
baca, kemampuan mengingat judul dan
pelaku, atau jumlah buku yang telah
dibaca. Dengan banyaknya jenis lomba
dan hadiah yang tersedia akan mendorong
timbulnya minat siswa untuk gemar
membaca.
Simpulan dan Refleksi
Minat baca siswa kelas II SD
perlu ditingkatkan. Untuk meningkatkan
minat bacanya perlu ada motivasi
ekstrinsik antara lain: upaya dari
sekolah/guru, dari lingkungan keluarga,
dan upaya dari lingkungan masyarakat.
Upaya
sekolah/guru
bisa
berupa
pengadaan bahan bacaan, pengelolaan,
dan pemodelan. Upaya lingkungan
keluarga adalah membina keluarga
pembaca, memperhatikan kelemahan
anak dalam membaca, memperkaya
skemata anak, dan berkinjung ke toko
buku dan perpustakaan umum. Dari
lingkungan masyarakat berupa pengadaan
perpustakaan, papan pajan, lomba
membaca pada hari-hari besar.
Upaya meningkatkan minat baca
siswa
kelas
III
Sekolah Dasar
sebagaimana yang telah diuraikan, akan
57
terwujud apabila sekolah/guru, lingkunngan
keluarga, dan lingkungan masyarakat
melaksanakan program yang telah
dipaparkan. Hal tersebut merupakan
tantangan untuk menciptakan kegemaran
membaca siswa kelas III Sekolah Dasar.
Ada beberapa kendala dalam
mewujudkan tujuan dalam meningkatkan
mminat baca siswa kelas III Sekolah Dasar
tersebut, antara lain sebagai berikkut.
Meskipun sekolah sudah menyediakan
buku bacaan dengan tema yang digemari
anak, guru sudah menunjukkan judul
bacaan yang tersedia, guru memberikan
contoh tentang isi buku bacaan yang
menarik, namun kemungkinan masih ada
siswa yang tidak timbul minatnya untuk
membaca. Kepada mereka sebaiknya
diberikan tugas membaca dan melaporkan
hasilnya secara lisan/tertulis. Jika perlu
sekolah memberitahukan lewat surat atau
mengundang orang tua dari anak tersebut
ke sekolah untuk membicarakannya.
Untuk
mengadakan
lomba
keterampilan membaca, biasanya yang
mendaftar adalah siswa-siswa yang
berminat baca tinggi. Bagi siswa yang
berminat baca rendah guru harus
mengupayakan untuk mengikuti lomba
baca. Adapun caranya, guru yang sudah
mengetahui kemampuan baca siswa kelas
III mengatur peserta dengan jenis
lombanya. Misalnya untuk siswa yang
minat bacanya rendah diikutkan pada
lomba keterampilan memmbaca bersuara,
dan untuk siswa yang minat bacanya
tinggi diikutkan lomba kemampuan
mengingat judul dan pelaku.
Upaya menciptakan keluarga
menjadi keluarga membaca dalam
keluarga juga ada kendalanya, antara lain:
pendidikan orangtua siswa yang rendah,
ekonomi yang kurang, lokasi rumah yang
jauh dari keramaian, tidak memungkinkan
untuk membeli surat kabar atau bacaan.
Untuk mengupayakannya, guru kelas
mendata siswa di kelas yang orang tuanya
kurang mampu. Siswa tersebut secara
ajeg dipinjami majalah anak-anak atau
bacaan dari sekolah. Selain itu guru
memberikan pesan kepada orang tua
untuk mengawasinya.
Kemungkinan ada siswa kelas III
SD yang memilih untuk membaca buku
bacaan/majalah yang belum waktunya.
Untuk itu guru dan orang tua harus
mengawasinya dan membantu menyeleksi
bacaan yang cocok untuk siswa.
Pengaktifan perpustakaan desa,
RT, Pokja itu pun juga ada kendalanya,
antara lain siapa petugasnya, honorarium
petugasnya. Untuk mengupayakan agar
perpustakaan ituaktif bisa dijadikan
perpustakaan swalayan. Adapun tatacara
penggunaan perpustakaan tersebut bisa
diinformasikan lewat orang tua pada
pertemuan RT, Pokja. Sedangkan untuk
menjaga
kerapiannya
siswa
bisa
dipiketkan secara bergilir.
DAFTAR PUSTAKA
Burns, Roe, 1996. Teachcing Reading in
Today’s Elementary Schools.
Boston:
Houghton
Mifflin
Company.
Dawson, Mildred A. dan Henry A.
Bamman. 1960. Fundamentals of
Basic Reading Instruction. New
York: Longmans, Green and Co.
Depdikbud,
1991/1992.
Petunjuk
Pengajaran Membaca Menulis di
Kelas III-IV Sekolah Dasar.
Jakarta: Ditjen Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Depdikbud, 1997. Laporan Lokakarya
Pengembangan
Minat
dan
Kegemaran Membaca Siswa.
Jakarta: Depdikbud.
Harjasujana, Ahmat, Slamet. 1998.
Membaca I. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Harras, Khalid, A. 1998. Membaca I.
Jakarta: Depdikbud.
58
Harris, Albert, J. dan Sipay, Edward, R.
1980. How to Increase Reading
Ability. New York: Longman.
Nurhadi, 1997. Kapita Selekta Kajian
Bahasa,
Sastra,
dan
Pengajarannya. Malang: FPBS
IKIP Malang.
Poerbakawatja,
Suganda.
1992.
Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta:
Gunung Agung.
Pusat Pembinaan dan Pengembanngan
Bahasa. 1989. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Rosidi, Ajip, 1973. Pembinaan Minat
Baca Apresiasi dan Penelitian
Sastra. Jakarta: Panitia Tahun
Buku Nasional.
Sarwana,
Sarlita Wirawan,
1982.
Membanngkitkan
Minat
Membaca
di
Lingkungan
Keluarga Anda. Jakarta: Majalah
Sarinah.
Syafi’ie, Imam, 1999. Pengajaran
Membaca di Kelas-kelas Awal
SD: Pidato Pengukuhan Guru
Besar.
Malang:
Universitas
Negeri Malang
Sugihartati, Rahma. 1997. Perilaku dan
Kebiasaan
Anak
Gemar
Membaca
(Kasus
Keluarga
Perkotaan di Surabaya). Jakarta:
LP3S.
Tampubolon, 1993. Mengembangkan
Minat dan Kebiasaan Membaca
Pada Anak. Bandung: Penerbit
Angkasa.
Totong, 1998. Membaca Merupakan
Suatu Kebutuhan. Mutu Media
Komunikasi dan Informasi
Peningkatan Mutu Pendidikan
Dasar. Volume VI (04).
59
AMBIGUITAS MAKNA DALAM RORA BHÂSA
BAHASA MADURA
oleh: Rahmad *)
Abstrak: Secara teoritis ambiguitas dikemukakan oleh Ullman dalam Pateda
(2001:202-206) terdiri atas tiga macam, yaitu 1) ambiguitas pada tataran
fonetik, 2) ambiguitas pada tataran gramatika, dan 3) ambiguitas pada tataran
leksikal. Penelitian ini.memfokuskan diri pada ambiguitas pada tataran
gramatika atau pada tataran frase. Untuk mengungkapkan persoalan ambiguitas
makna pada tataran frase dalam rora bhâsa Bahasa Madura metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Melelaui
metode ini data berupa fase yang berwujud rora bhasa dalam Bahasa Madura
dikumpulkan, dianalisis, dan ditafsirkan. Untuk mendapatkan data yang cukup
variatif, penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara ke
sejumlah penutur bahasa Madura di Pamekasan. Validasi data dilakukan
melalui trianggulasi ke sejumlah narasumber para ahli sekaligus praktisi bahasa
Madura yang tergabung dalam Team Pakem Maddhu Pamekasan. Setelah
dilakukan analisis diperoleh sejumlah frase yang mengandung ambiguitas
dalam rora bhâsa Bahasa Madura, yaitu atana’ nasè’, nyèkot kalambhi,
Ngandhel biddhâng, Matoro’a jhuko’, Namen kembhâng, Mellè AQUA, Ngocek
Rojhă’, Nompa’ Honda, Băuna è kèding, Ngènom kopi, Namen bhâko, Maca
buku, Maca koran, Naè’ nyèyor, Mèsel roko’, Nyolet kompor, Ngalè somor,
Mogher keddhâng, dan Mokol salana. Frase-frase tersebut memiliki dua makna
yaitu secara kebahasaan dan secara komunikatif. Secara kebahasaan memiliki
makna sebagaimana yang dimaksudkan dalam kata-kata yang terungkap
sedangkan secara komunikatif memiliki makna sebagaimana yang
dimaksudkan penuturnya. Perbedaan makna tersebut tidak menimbulkan
kesalahpahaman komunikasi sebab frase-frase tersebut sudah biasa digunakan
oleh masyarakat Madura dengan makna sebagaimana yang dimaksudkan oleh
penuturnya.
Kata-Kata Kunci: Ambiguitas, frase, dan gramatikal.
Pendahuluan
Pada
umumnya
masyarakat
Indonesia dapat dikatakan sebagai
dwibahasawan, yaitu masyarakat yang bisa
dan biasa memakai dua bahasa atau lebih
dalam berinteraksi. Satu sisi menggunakan
bahasa daerah sebagai bahasa ibu atau
bahasa pertama dan sisi yang lain
menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional atau bahasa kedua. Bahasa
daerah disebut bahasa pertama atau bahasa
ibu karena yang pertama kali dipelajari
secara alamiah dari Ibu atau keluarga yang
memelihara seorang anak adalah bahasa
daerah. Bahasa Indonesia disebut bahasa
kedua karena baru dipelajari ketika masuk
sekolah atau setelah mengetahui bahasa
pertama (Chaer, 1995 : 107-108). Namun
demikian, pada perkembangan terakhir
tidak jarang dijumpai bahwa pada keluarga
tertentu -- keluarga yang terbentuk atas
perkawinan antarsuku-- bahasa Indonesia
digunakan sebagai bahasa ibu atau bahasa
pertama.
Indonesia adalah negara yang
wilayahnya sangat luas dengan penduduk
yang terdiri dari berbagai suku bangsa,
berbagai bahasa daerah, serta berbagai
latar belakang budaya yang tidak sama
(Chaer, 1995:294). Tiap-tiap suku bangsa
60
memiliki bahasa daerah tersendiri, seperti
suku Jawa memiliki bahasa Jawa, suku
Sunda memiliki bahasa Sunda, suku
Madura memiliki bahasa Madura, dan
sebagainya. Tiap-tiap bahasa daerah itu
merupakan ciri khas masyarakat penutur
bahasa daerah tersebut.
Dalam seminar bahasa daerah
(1975) dirumuskan bahwa bahasa daerah
ialah bahasa yang di samping bahasa
nasional dipakai bahasa perhubungan intra
daerah di wilayah Republik Indonesia.
Kedudukan bahasa-bahasa daerah dijamin
kehidupan dan kelestariannya seperti
dijelaskan pada pasal 36, Bab XV
Undang-Undang Dasar 1945 (Chaer,
1995:297).
Demikian pentingnya fungsi bahasa
daerah itulah, penelitian bahasa daerah
khususnya bahasa Madura mempunyai
makna yang sangat penting bagi
masyarakat dan bangsa. Daerah Madura
itu sendiri serta bagi perkembangan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional.
Bahasa Madura yang jumlah
penuturnya
relatif
besar,
wilayah
pemakainya relatif luas, dan didukung
oleh adat istiadat dan budaya yang sangat
kuat dapat dipastikan tidak akan
ditinggalkan oleh penuturnya. Hal itu
sesuai dengan pendapat Chaer (1995:300)
bahwa bahasa daerah yang jumlah
penuturnya
relatif
besar,
wilayah
pemakainya relatif luas, dan di dukung
oleh adat istiadat dan budaya yang kuat
(termasuk
karya
sastranya)
dapat
dipastikan tidak akan ditinggalkan oleh
penuturnya, setidaknya dalam waktu yang
relatif lama.
Bahasa Madura merupakan bahasa
ibu bagi penduduk asli yang tinggal di
pulau Madura dan pulau-pulau kecil di
sekitarnya seperti pulau Raas, Sepudi,
Kangean, Sapeken, dan pulau lain yang
termasuk wilayah Madura, serta beberapa
daerah lainnya di Jawa Timur, seperti
Probolinggo, Situbondo, Bondowoso,
Jember, dan daerah-daerah lain yang
banyak dihuni orang Madura.
Selain
itu,
bahasa
Madura
sebenarnya memilki keragaman bahasa
yang terdiri dari berbagai dialek, serta
keragaman pada bahasa sastranya yang
disebut dengan lalongèt. Namun terlepas
dari itu, bahasa Madura juga seperti
bahasa Indonesia atau bahasa lainnya yang
tak lepas dari keabsahan pada kaidah
bahasanya, sekalipun itu pada bahasa
sastra.
Hal yang penting tampak dalam
bahasa
Madura
kaitannya
dengan
ketaksaan atau ambiguitas makna terdapat
dalam rora bhâsa atau disebut juga bahasa
salah kaprah. Jika dikaji dari struktur
makna leksikal, bahasa dalam rora bhâsa
memang salah. Namun karena bahasa ini
sudah lumrah atau biasa dipakai oleh
masyarakat dan para penuturnya samasama mengerti, maka bahasa ini tidak
dapat dikatakan salah secara keseluruhan.
Banyak sekali bahasa atau ungkapan
dalam rora bhâsa yang menarik untuk
dikaji lebih jauh. Dalam hal ini, penulis
lebih khusus tertarik pada persoalan
ambiguitas
makna
yang
bersifat
gramatikal pada tataran frase.
Ambiguitas adalah keraguan atau
kebingungan dalam mengambil keputusan
tentang makna dan keanekatafsiran makna
atau bisa disebut sifat konstruksi yang
dapat diberi lebih dari satu tafsiran atau
makna (Chaer, 1994: 104).
Makna adalah suatu pengertian yang
diberikan
kepada
suatu
bentuk
kebahasaan, baik itu dalam bentuk kata
dan kalimat (Pateda, 2001: 79).
Rora bhâsa Madhura, sèttong bhâsa
sè nyatana kalèro manabi ètèngalè dâri
sosonan ca’-oca’na ta’ cocok sareng sè
èkamaksod sanaos sapanèka ta’ kèngèng
èobâ è dâlem sastra sabâb ampon sala
kappra (Dradjid, 2002: 54). Maksudnya
adalah rora bhasa merupakan bagian dari
sastra Madura yang sering disebut dengan
bahasa salah kaprah. Bahasa ini memang
dari segi struktur bahasa Madura kurang
lengkap, tetapi semua orang bisa mengerti
bahkan
justru kalau disebut secara
lengkap tidak dimengerti. Misalnya
“nyêkot kalambhi”, yang dimaksud nyêkot
kalambhi adalah bukan menjahit baju,
melainkan menjahit kain dijadikan baju.
Logikanya adalah pakaian jadi atau baju
tidak mungkin dijahit lagi atau dipotong
lagi.
Penelitian ini berkaitan dengan
sekitar ambiguitas dan macam-macamnya.
Di dalamnya juga terdapat bentuk-bentuk
penggunaan ambiguitas dalam rora bhâsa
bahasa Madura. Secara teoritik seperti
61
yang diungkapkan oleh Ullman dalam
Pateda (2001:202-206) ambiguitas terdiri
atas tiga macam, yaitu 1) ambiguitas pada
tataran fonetik, 2) ambiguitas pada tataran
gramatika, dan 3) ambiguitas pada tataran
leksikal.
Ambiguitas pada tingkat fonetik
timbul akibat membaurnya bunyi-bunyi
bahasa yang diujarkan. Ambiguitas pada
tataran Gramatikal biasanya muncul pada
satuan kebahasaan yang disebut kalimat
atau kelompok kata. Dan ambiguitas pada
tataran leksikal terjadi pada kata yang
bersifat polivalensi (multi makna).
Ambiguitas yang dikaji dalam
penelitian ini terdapat pada rora bhâsa.
Rora bhasa merupakan bagian sastra
Madura yang sering disebut dengan bahasa
salah kaprah yang sering digunakan dalam
masyarakat ketika melakukan komunikasi
sehari-hari. Bahasa Madura yang diteliti
mencakup ragam bahasa dalam bentuk
dialek dan tingkatan bahasa. Dialek dalam
bahasa Madura terdiri dari empat jenis,
yaitu (1) dialek Sumenep, (2) dialek
Pamekasan, (3) dialek Bangkalan, dan (4)
dialek Kangean. Tingkatan tutur bahasa
Madura terdiri dari ragam (1) Enja’ Iya,
(2) Engghi Enten, dan (3) Engghi
Bhunten.
Seluruh persoalan yang berkaitan
dengan variabel dalam penelitian ini tidak
diteliti. Penelitian difokuskan pada
ambiguitas yang bersifat gramatikal sebab
pada tataran inilah yang paling sering
muncul dan yang paling mudah
diidentifikasi jalan logikanya. Dialek yang
diteliti adalah dialek Pamekasan pada
tingkatan Enja’ Iya.
Berdasarkan
hal-hal
yang
dikemukakan di atas maka masalah yang
diteliti dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah ambiguitas makna pada
tataran gramatikal dalam rora bhâsa
bahasa Madura dialek Pamekasan?
Pembahasan Teoritis
Ambiguitas atau ketaksaan sering
diartikan sebagai kata yang bermakna
ganda atau mendua arti. Ambiguitas
timbul dalam berbagai variasi ujaran atau
bahasa tertulis. Kegandaan makna dalam
ambiguitas berasal dari satuan gramatikal
yang lebih besar, yakni frase atau kalimat,
dan terjadi sebagai akibat penafsiran
struktur gramatikal yang berbeda (Chaer,
1995: 104).
Sehubungan dengan ketaksaan ini
Ullman (1976) dalam Djajasudarma
(1999:54) menyebutkan ada tiga bentuk
utama ketaksaan, yaitu ketaksaan pada
tataran fonetik, gramatikal, dan leksikal.
Ketaksaan ini muncul bila kita sebagai
pendengar atau pembaca sulit untuk
menangkap pengertian yang kita baca,
atau yang kita dengar.
Bahasa lisan sering menimbulkan
ketaksaan sebab apa yang kita dengar
belum tentu tepat benar yang dimaksudkan
oleh si pembicara atau si penulis. Di dalam
tulisan kita mengenal tanda baca yang
akan memperjelas maknanya. Lebih-lebih
bila pembicara berbicara dengan cepat,
tanpa jeda. Tetapi di dalam bahasa tulis
penafsiran ganda dapat saja terjadi jika
penanda-penanda ejaan tidak lengkap
diberikan.
Demikian jika kita mendengar
ujaran “anak istri kapten cantik.” Kita
bingung, apakah yang dimaksud dengan
ujaran ini?. Apakah anak dan istri kapten
yang cantik? Apakah anak, istri, dan
kapten semuanya cantik? Semuanya masih
merupakan tanda Tanya pada kita.
Keraguan,
kebingungan
mengambil
keputusan tentang makna, dan keanekaan
tafsiran makna seperti ini, itulah yang
disebut ambiguitas.
Oleh karena itu, untuk menghindari
terjadinya ambigu atau ketaksaan atau
keraguan dalam menangkap sebuah
informasi, semua itu tergantung pada
pembicara dalam mengukuhkan atau
memperjelas makna kata atau kalimat
yang diucapkan atau diujarkan oleh sang
penutur.
1)
Jenis-Jenis Ambiguitas
Sehubungan
dengan
jenis
ambiguitas makna dibagi menjadi 3 bentuk
utama, yakni ambiguitas pada tingkat
fonetik, tingkat gramatikal, dan tingkat
leksikal. Ketiga jenis ambiguitas itu akan
dipaparkan berikut ini.
a.Ambiguitas Tingkat Fonetik
Ambiguitas pada tingkat fonetik
timbul akibat membaurnya bunyi-bunyi
bahasa yang diujarkan. Kata yang
membentuk kalimat bila dilafalkan terlalu
cepat, dapat mengakibatkan keraguan akan
62
maknanya. Misalnya ada ujaran /membeli
kantin/. Apakah yang dimaksud adalah
membelikan Tin, atau membeli kantin?.
Dalam kehidupan sehari-hari kadangkadang kita mendengar ujaran bakmi.
Apakah yang dimaksuda adalah sejenis
makanan yang disebut bakmi, ataukah bak
mi, yang bermakna seperti mi?. Ini semua
adalah hal yang berhubungan dengan
keraguan kita terhadap bunyi bahasa yang
kita dengar. Kadang-kadang karena raguragu, kita mengambil keputusan keliru.
Seorang kapten pesawat terbang dapat
merasa ragu, apakh fifteen ataukah fifty,
yang dapat membahayakan pesawat dan
seluruh awaknya, serta penumpangnya.
Oleh karena itu,
untuk menghindari
ketaksaan, si pendengar memohon kepada
pembicara untuk mengulangi apa yang
diujarkan.
b.
Ambiguitas
Tingkat
Gramatikal
Ambiguitas tingkat
gramatikal
biasanya muncul pada satuan kebahasaan
yang disebut kalimat atau kelompok kata.
Dengan demikian ambiguitas pada tingkat
gramatikal dapat dilihat dari 3 segi.
Kemungkinan
pertama
adalah
ambiguitas yang disebabkan oleh peristiwa
pembentukan kata secara gramatikal.
Misalnya pada tataran morfologi (proses
morfemis) yang mengakibatkan perubahan
makna, prefiks peN-: Pemukul bermakna
ganda: ‘orang yang memukul’ atau ‘alat
untuk memukul’, dengan demikian pula:
penidur ‘obat yang menyebabkan tidur’
atau ‘sifat’. Kemungkinan kedua, yakni
ambiguitas pada frase yang mirip. Tiap
kata membentuk frase sebenarnya jela,
tetapi
kombinasinya
mengakibatkan
maknanya dapat diartikan lebih dari satu
pengertian. Misalnya kalimat “I met a
number of old friends and acquaintances”
saya berjumpa dengan sejumlah teman
lama dan kenalan”, kata old friends dan
old
acquaintances
tidak
dapat
menimbulkan ketaksaan bila kita lihat
konteks dan intonasi. Di dalam bahasa
Indonesia frase orang tua dapat bermakna
ganda ‘orang yang tua’ atau ‘ibu-bapak’.
Kemungkinan ketiga, yakni ambiguitas
yang muncul dalam konteks, apakah
konteks orangan atau konteks situasi.
Misalnya kalimat minor “pergi?” Apakah
maksud kalimat ini? Orang dapat bertanya
:pergi kemana; dengan siapa pergi; pukul
berapa pergi; mengapa pergi; untuk apa
pergi? Untuk menghindarkan ambiguitas
pada konteks, orang harus mengetahui
betul pada konteks apa seseorang
berbicara.
c.Ambiguitas Tingkat Leksikal
Setiap kata dapat bermakna lebih
dari satu, dapat mengacu pada benda yang
berbeda, sesuai dengan lingkungan
pemakaiannya.
Misalnya
orang
mengujarkan bang mungkin mengacu
kepada ‘abang’ atau ‘bank’, bentuk seperti
itu dikatakan polyvalency yang dapat
dilihat dari dua segi, polisemi dan
homonimi.
Segi pertama yaitu polisemi.
Polisemi menunjukkan bahwa suatu kata
memiliki lebih dari satu mkna. Misalnya
kata haram di dalam Bahasa Indonesia
bermakna:
1. Terlarang, tidak halal
Haram hukumnya, apabila makna
daging bangkai.
2. Suci, tidak boleh dibuat
sembarangan
Tanah haram atau masjidilharam di
Mekah itu adalah semulia-mulia tempat di
atas bumi.
Segi kedua adalah homonimi adalah
kata-kata yang sama bunyinya. Misalnya
di dalam bahasa Inggris bila diujarkan kata
see ’melihat’ ataukah sea ‘laut’; di dalam
bahasa Indonesia bisa ‘dapat’ atau ‘racun’,
atau pukul ‘jam’ ataukah 'ketuk’ (mis., ia
berangkat pukul lima; tukang ketuk =
tukang pukul). Segi kedua ini tidak akan
menimbulkan ketaksaaan bila dilihat
pemakaiannya di dalam konteks.
Ambiguitas makna dapat muncul
akibat dari antara lain :
1). Sifat kata atau kalimat yang
bersifat umum (generik). Misalnya kata
buku yang memiliki makna ganda; kalimat
“anak ali amat sakit” belumlah jelas
kepada kita siapa yang sakit, tanpa
dibarengi unsur suprasegmental yang jelas.
2). Kata atau kalimat tidak pernah
sama seratus persen. Kata akan jelas
maknanya di dalam konteks, meskipun
kadang-kadang konteks itu kabur bagi
kita.
3). Batas makna yang dihubungkan
dengan bahasa dan yang di luar bahasa
63
tidak jelas. Misalnya sampai di mana
batasa kata pandai itu.
4). Sebabnya kata yang kita pakai
dengan acuannya (referentnya). Apa yang
dimaksud dengan kata demokrasi, politik,
dan apa pula maknanya demokrasi
terpimpin itu?
Kekaburan makna inidapat dihindari
dengan memperhatikan penggunaan kata
di dalam konteks atau ditentukan pula oleh
situasi, sebab ada kata-kata khusus
digunakan pada situasi tertentu.
Pembahasan Empiris
Di bawah ini adalah fakta
penggunaan ambiguitas makna dalam rora
bhâsa bahasa Madura yang biasa
digunakan oleh masyarakat Pamekasan.
1. Penggunaan Frase Atana’ nasè’
Frase “Atana’ nasè’ ” memiliki
makna ganda. Makna yang pertama secara
kebahasaan adalah ‘memasak nasi’,
sedangkan makna yang kedua secara
faktual yang dimaksudkannya adalah
‘memasak beras untuk dijadikan nasi’.
Berdasarkan maksud yang sesungguhnya
dan apabila dinyatakan secara gramatikal,
penggunaan frase “Atana’ nasè’”
seharusnya adalah “Atana’ bhârres
ghâbây nasè’”. Namun pada kenyataannya
masyarakat Madura tetap menggunakan
frase “Atana’ nasè’” dalam komunikasi
sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman,
seperti tampak dalam percakapan berikut.
N : “Apa bhâi sè è kalakonè è dâpor
jiyâ?”
E : “Atana’”
N : “Atana’ apa?”
E : “Atana’ nasè’ “ (Data 1)
Frase Atana’ nasè’ biasa digunakan
untuk menyatakan maksud ‘memasak
beras untuk dijadikan nasi’ dan tidak biasa
digunakan frase Atana’ bhârres ghâbây
nasè’’. Oleh karena merupakan suatu
kebiasaan maka maknanya dimengerti
oleh masyarakat Madura khususnya
masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut
merupakan bahasa yang salah kaprah.
Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak
Bambang (Anggota Anggota Team Pakem
Maddhu Pamekasan).
2. Penggunaan Frase Nyèkot kalambhi
Frase “nyèkot kalambhi” memiliki
makna ganda. Makna yang pertama adalah
‘menjahit baju’, sedangkan makna yang
kedua adalah ‘menjahit kain untuk
dijadikan baju’. Berdasarkan maksud
sesungguhnya dan apabila dinyatakan
secara gramatikal, penggunaan frase
“nyèkot kalambhi” adalah “nyèkot kain
ghâbây
kalambhi”.
Namun
pada
kenyataannya masyarakat Madura tetap
menggunakan frase nyèkot kalambhi
dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada
kesalahpahaman, seperti tampak dalam
percakapan berikut.
A : Nyoroaghi kalambhi.
R : Yâ…toju’ ghâllu.
Nyoroaghina kalambhi apa?
J : Apa ya ba’ kalambhi biyasa, modèl
biyasa kèn è angghuyâ nyoba’ wansukwanan.
R : O…bânnya’ polana modèlla satèya,
ano yâ mèlè dhibi’ yâ neng
ghâmbhâre apaan yâ.
J : Iyâ la…! Nyongngo’a ghâmbhârre
sèngko’. Yâ… sè nyaman kanta ba’
riska rèya satèya mosèmma na’ kana’
sakolah bânnya’ reng nyoroaghi
jhâi’en.
R : Dimma, iyâ mon sĕ bănnya’ ano
rowa, nyèkot băgiyân bhi kalambhi
sakolaan, jhâ’ rowa bâgiyân tailor
biyasana rowa, mon ghă-tatangghă
dimma tadă’ mon nyèkot kalambhi
bâgiyân sakolaan jiyâ, palèng ghun
nyèkot kalambhi sa-biyasa rowa, è
angguy ka mantan, è angguy dâ’
dimma dâ’ iyâ. (Data 2)
Frase nyèkot kalambhi
biasa
digunakan untuk menyatakan maksud
‘menjahit kain untuk dijadikan baju’ dan
tidak biasa digunakan frase nyèkot kain
ghâbây kalambhi. Oleh karena merupakan
suatu
kebiasaan
maka
maknanya
dimengerti oleh masyarakat Madura
khususnya masyarakat Pamekasan. Dan
frase tersebut merupakan bahasa yang
salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh
Bapak Bambang (anggota Anggota Team
Pakem Maddhu) dan Bapak M. Drajid,
B.A (anggota Anggota Team Pakem
Maddhu).
64
3. Penggunaan
Frase
Ngandhel
biddhâng
Frase
“ngandhel
biddhâng”
memiliki makna ganda. Makna yang
pertama adalah ‘memasak air yang sudah
bercampur dengan misalnya kopi dan gula
untuk diminum’, sedangkan makna yang
kedua adalah ‘memasak air mentah untuk
dijadikan minuman’. Berdasarkan maksud
yang
sesungguhnya
dan
apabila
dinyatakan secara gramatikal, penggunaan
frase “ngandhel biddhâng” adalah
“ngandhèl aeng ghâbây biddhâng”.
Namun pada kenyataannya masyarakat
Madura
tetap menggunakan frase
“ngandhel biddhâng” dalam komunikasi
sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman,
seperti tampak dalam percakapan berikut.
..........................
H : Tâ’ tao bâdâ è budiyân palèng.
B : Soro ghâbây ra.
H : Lè’…ya bâdâ nom Bai ya, lè’…bâ…!
Y : Apa?
H : Ya ngandhèl ano, ngandhèl biddhâng
Y : Lu’ jhâ’ endi ghâllu marèna ya!
B : Du… latorot bhing, sakèjjâ’ sèngko’
dâ’ dinna’, marèna la mangkadhâ
alako. (Data 3)
.............................
Frase ngandhel biddhâng biasa
digunakan untuk menyatakan maksud
‘memasak air mentah untuk dijadikan
minuman’ dan tidak biasa digunakan frase
ngandhèl aeng ghâbây biddhâng. Oleh
karena merupakan suatu kebiasaan maka
maknanya dimengerti oleh masyarakat
Madura
khususnya
masyarakat
Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan
bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini
dibenarkan oleh Bapak Bambang (anggota
Anggota Team Pakem Maddhu).
4. Penggunaan Frase Matoro’a jhuko’
Frase “Matoro’a jhuko’” memiliki
makna ganda. Makna yang pertama adalah
‘menitip ikan’, sedangkan makna yang
kedua adalah ‘menitipkan uang untuk
dibelikan ikan”. Berdasarkan maksud yang
sesungguhnya dan apabila dinyatakan
secara gramatikal, penggunaan frase
“Matoro’a jhuko’” seharusnya adalah
“Matoro’a pessè kabelliaghi jhuko’”.
Namun pada kenyataannya masyarakat
Madura
tetap menggunakan frase
“Matoro’a jhuko’” dalam komunikasi
sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman,
seperti tampak dalam percakapan berikut.
......................
N : Iyâ…iyâ…Jhâ’ endi ghâllu. Ko’
matoro’a dik.
J : Matoro’a apa ba’?
N : Matoro’a Jhuko’ Rp 5.000,J : Polè?
N : Wes la.
..................... (Data 4)
Frase Matoro’a jhuko’
biasa
digunakan untuk menyatakan maksud
‘menitipkan uang untuk dibelikan ikan”
dan tidak biasa digunakan frase Matoro’a
pessè kabelliaghi jhuko’. Oleh karena
merupakan
suatu
kebiasaan
maka
maknanya dimengerti oleh masyarakat
Madura
khususnya
masyarakat
Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan
bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini
dibenarkan oleh Bapak Bambang (anggota
Anggota Team Pakem Maddhu) dan
Bapak H. Sastro (anggota Team Pakem
Maddhu).
5. Penggunaan Frase Namen kembhâng
Frase “namen kembhâng” memiliki
makna ganda. Makna yang pertama adalah
‘menanam bunga’ sedangkan makna yang
kedua adalah ‘menanam batang pohon dari
bunga tersebut’. Berdasarkan maksud yang
sesungguhnya dan apabila dinyatakan
secara gramatikal, penggunaan frase
“namen kembhâng” seharusnya “namen
bhungkana kembhâng”. Namun pada
kenyataannya masyarakat Madura tetap
menggunakan frase “namen kembhâng”
dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada
kesalahpahaman, seperti tampak dalam
percakapan berikut.
.................................
M : Arapa cong?
Ha : Enje’ masè namen kembâng bâri’.
M : È kemma?
Ha : È tèmor romana.
Ho : Sèngko’ ro lè’ sè namen lè’.
Ha : Namen kembâng, kembâng apa
rowa ka’?
Ho : Kembâng ano rowa, apa rowa
nyamana, sekarjambi.
.................................. (Data 5)
65
Frase namen kembhâng
biasa
digunakan untuk menyatakan maksud
‘menanam batang pohon dari bunga
tersebut’ dan tidak biasa digunakan frase
namen bhungkana kembhâng. Oleh karena
merupakan suatu
kebiasaan
maka
maknanya dimengerti oleh masyarakat
Madura
khususnya
masyarakat
Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan
bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini
dibenarkan oleh Bapak Bambang (anggota
Team Pakem Maddhu) dan Bapak M.
Drajid, B.A. (anggota Team Pakem
Maddhu).
6. Penggunana Frase Mellĕ AQUA
Frase “Mellè AQUA” memiliki
makna ganda. Makna yang pertama adalah
‘membeli aqua’ sedangkan makna yang
kedua adalah ‘membeli air minum dalam
kemasan’. Berdasarkan maksud yang
sesungguhnya dan apabila dinyatakan
secara gramatikal, penggunaan frase
“Mellè AQUA” seharusnya adalah “Mellè
aèng mèrek AQUA”. Namun pada
kenyataannya masyarakat Madura tetap
menggunakan frase “Mellè AQUA” dalam
komunikasi
sehari-hari
tanpa
ada
kesalahpahaman, seperti tampak dalam
percakapan berikut.
........................................
S : Ghâbay apa ma’ mellè rokok cè’
bânnya’en.
A : Biyasa orèng sibu’.
S : Wa…dâ’ iyâ lakar mon orèng
penting.
A : Ha..ha…ha…
D : Cora’ bâdâ salameddhân yâ, ma’
mellè AQUA.
A : Dhuliyân nom ya, ko’ bâdâ tamoy
polana.
S : Bâ….tang andi’ ghâllu ba, krèna
ba…!
......................................... (Data 6)
Frase Mellè AQUA
biasa
digunakan untuk menyatakan maksud
‘membeli air minum dalam kemasan’ dan
tidak biasa digunakan frase Mellè aèng
mèrek AQUA. Oleh karena merupakan
suatu
kebiasaan
maka
maknanya
dimengerti oleh masyarakat Madura
khususnya masyarakat Pamekasan. Dan
frase tersebut merupakan bahasa yang
salah kaprah. Pendapat ini dibenarkan oleh
Bapak H. sastro (anggota Team Pakem
Maddhu).
7. Penggunaan Frase Ngocek rojhâk
Frase “ngocek rojhâk” memiliki
makna ganda. Makna yang pertama adalah
‘mengulek rujak’ yaitu rujak yang terdiri
dari bahan (timun, kerupuk, dan lain-lain)
dan bumbu (kacang, garam, petis, dan
lain-lain). Makna yang kedua adalah
‘mengulek bumbu dari rujak itu sendiri
yang terdiri dari kacang, garam, petis, dan
lain-lain’. Berdasarkan maksud yang
sesungguhnya dan apabila dinyatakan
secara gramatikal, penggunaan frase
“ngocek rojhâk “ seharusnya adalah
“ngocek plappana rojhâk“. Namun pada
kenyataannya masyarakat Madura tetap
menggunakan frase “ngocek rojhâk”
dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada
kesalahpahaman, seperti tampak dalam
percakapan berikut.
..................................................
A : Riya ri… mon panakan pagghun e
bârri’, lambhâ’ lakar riya ri…!
F : Ta’ ka è langan jhâ’ kalarangan
B : Tun sèmangkaddhâ ka mantan è
dântos Halima
F : Iyâ dântos ghâllu sèngko’ ghi’ ngocek
rojhâk karè duwâ’ aghi ya apa.
A : Mantan è dimma jiya nya…?
F : È larangan, marèna kol sanga’
mangkat
............. ................................... (Data 7)
Frase ngocek rojhâk
biasa
digunakan untuk menyatakan maksud
‘mengulek bumbu dari rujak itu sendiri
yang terdiri dari kacang, garam, petis, dan
lain-lain’ dan tidak biasa digunakan frase
ngocek plappana rojhâk. Oleh karena
merupakan
suatu
kebiasaan
maka
maknanya dimengerti oleh masyarakat
Madura
khususnya
masyarakat
Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan
bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini
dibenarkan oleh Bapak Bambang (anggota
Team Pakem Maddhu) dan Bapak M.
Drajid, B.A.
8. Penggunaan Frase Nompa’ honda.
Frase “Nompa’ honda” memiliki
makna ganda. Makna yang pertama adalah
‘naik kendaraan merek Honda’, sedangkan
66
makna yang kedua adalah ‘naik sepeda
motor’ (apa pun mereknya). Berdasarkan
maksud yang sesungguhnya dan apabila
dinyatakan secara gramatikal, penggunaan
frase “Nompa’ Honda” seharusnya adalah
“Nompa’ sapeda motor merek apa bhâi”.
Namun pada kenyataannya masyarakat
Madura
tetap menggunakan frase
“Nompa’ Honda” dalam komunikasi
sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman,
seperti tampak dalam percakapan berikut.
..................................................
M : Semangkaddhâ ka sorbhâjâ bile jiya?
O : Tangghâl empa’ bile tangghâl empa’?
I : Tangghâl empa’ sabto
M : Nompa’ apa? Nompa’ Honda
Nompa’ honda jiya non bâ’en. ........
(Data 8)
Frase Nompa’ Honda
biasa
digunakan untuk menyatakan maksud
naik sepeda motor (apa pun mereknya)’
dan tidak biasa digunakan frase Nompa’
sapeda motor merek apa bai. Oleh karena
merupakan suatu
kebiasaan
maka
maknanya dimengerti oleh masyarakat
Madura
khususnya
masyarakat
Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan
bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini
dibenarkan olehBapak M. Drajid, B.A dan
Bapak H. Sastro (anggota Team Pakem
Maddhu).
9. Penggunaan Frase Bâuna è kèding
Frase “Bâuna èkèding” termasuk
dalam jenis ambiguitas makna, pada
pergeseran dan perubahan makna, dan rora
bhâsa tersebut termasuk ke dalam jenis
metafora bercitra sinestesia yaitu salah
satu tipe metafora berdasarkan pengalihan
indra. Pengalihan dari salah satu indra
yang lain. Dari contoh rora bhâsa di atas
Frase
bâuna
èkèding
merupakan
pengalihan indra pencium (Bâuna) ke
indra pendengar (èkèding). Berdasarkan
maksud yang sesungguhnya dan apabila
dinyatakan secara gramatikal, penggunaan
frase “Bâuna èkèding” seharusnya adalah
“Bâuna ka siom”. Namun pada
kenyataannya masyarakat Madura tetap
menggunakan frase “Bâuna èkèding”
dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada
kesalahpahaman, seperti tampak dalam
percakapan berikut.
..................................................
A : Jhâ’ kadhâng sampe’ cèlleng rowa,
dhing kata din sami
F : Iyâ mon kopi ro nom
A : Enje’ cong, bek ano rowa ningkonengga rowa, kèng lakar
dhungaddhu rèya, bâuna bhâbâng
rèya ding è ghuring
F : Bâuna?
A : Iyâ bâuna è kèding man-dâ’emman.
E : Hhzzz…. (Data 9)
Frase Bâuna èkèding
biasa
digunakan untuk menyatakan maksud
‘baunya tercium’ dan tidak biasa
digunakan frase Bâuna ka siom. Oleh
karena merupakan suatu kebiasaan maka
maknanya dimengerti oleh masyarakat
Madura
khususnya
masyarakat
Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan
bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini
dibenarkan oleh Bapak H. Sastro (anggota
Team Pakem Maddhu).
10. Penggunaan Frase Ngènom kopi
Frase “Ngènom kopi” memiliki
makna ganda. Makna yang pertama adalah
‘minum kopi’ sedangkan makna yang
kedua adalah ‘minum minuman yang
terbuat dari campuran air, gula, dan kopi’
(biddhâng kopi). Berdasarkan maksud
yang
sesungguhnya
dan
apabila
dinyatakan secara gramatikal, penggunaan
frase “Ngènom kopi” seharusnya adalah
“Ngènom biddhâng kopi”. Namun pada
kenyataannya masyarakat Madura tetap
menggunakan frase “Ngènom kopi” dalam
komunikasi
sehari-hari
tanpa
ada
kesalahpahaman, seperti tampak dalam
percakapan berikut.
..................................................
H : Ngellas è musholla
S : Ta’ iyâ…malemma jiye taker malem
ko’ so eppa’en, adâ’ ko’ pas ta’
ngèddhâ tèdung malemma acacacaan, samalem ko’ Ris, sampe’
mole kol tello’ Ris. Ba ettara dateng
dâ’ iyâ sè adâna è musholla, mole ko’
cètak la nyello, tèdungga ta’ ngeddhâ,
bânnyâ’ ghâllu rowa Ngènom kopi,
jhâ’ bi’ emma’en è eberri’ sa emmo’,
ghun è kaduwei so eppa’en.
H : Sapa’an malemma nom?
S : Mon ghi’ bhâri’ rowa bâdâ Nanang
rowa, Tanya Hp rowa.
................................................. (Data 10)
67
Frase Ngènom kopi
biasa
digunakan untuk menyatakan maksud
‘minum air panas bercampur kopi dan
gula’ dan tidak biasa digunakan frase
Ngènom biddhâng kopi. Oleh karena
merupakan suatu
kebiasaan
maka
maknanya dimengerti oleh masyarakat
Madura
khususnya
masyarakat
Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan
bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini
dibenarkan oleh Bapak H.M. Dradjid,
B.A. (Anggota Team Pakem Maddhu)
11.Penggunaan Frase Namen bhâko
Frase “Namen bhâko” memiliki
makna ganda. Makna yang pertama adalah
‘menanam tembakau’ sedangkan makna
yang kedua adalah ‘menanam belta’.
Berdasarkan maksud yang sesungguhnya
dan apabila dinyatakan secara gramatikal,
penggunaan frase “Namen bhâko”
seharusnya adalah “Namen belta”. Namun
pada kenyataannya masyarakat Madura
tetap menggunakan frase “Namen bhâko”
dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada
kesalahpahaman, seperti tampak dalam
percakapan berikut.
..................................................
J : Ngastanè napa’an nom? Ghun ka sabâ
malolo arè?
S : Yâ lako apa polâ bhing, yâ…mon
mosèm bhâko namen bhâko, adâ’
polè lakona ghun dâ’ iyâ, rep-ngarep
tanè dâri sabâ rèya.
J : Èkadhibi’I nom nyèram? Nyannya ka’
dimma ta’ nolongi?
S : Yâ tao…dhângkadâng nolongi
nyannyana, yâ dhângkadâng enje’,
jhâ’ ko’ ta’ nyoro rowa, nyamana ni’
bini’ rèpot è dâpor, yâ padâ’ remmaa
polè, yâ la dhina dâ’ iyâ rèya, yâ mon
bâdâ kaka’en, sè abhânto, yâ mon ano
bi’ dhibi’en
.................................................. (Data 11)
Frase Namen bhâko
biasa
digunakan untuk menyatakan maksud
‘menanam tembakau’ dan tidak biasa
digunakan frase Namen belta. Oleh karena
merupakan suatu
kebiasaan
maka
maknanya dimengerti oleh masyarakat
Madura
khususnya
masyarakat
Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan
bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini
dibenarkan oleh Bapak H. Sastro (anggota
Team Pakem Maddhu).
12. Penggunaan Frase Maca buku dan
Maca Koran
Frase “maca buku atau maca koran”
memiliki makna ganda. Makna yang
pertama adalah yang dibaca buku atau
koran sebenarnya, sedangkan makna yang
kedua adalah yang dibaca tulisan yang ada
di dalam buku atau koran tersebut.
Berdasarkan maksud yang sesungguhnya
dan apabila dinyatakan secara gramatikal,
penggunaan frase “maca buku atau maca
koran” seharusnya adalah “maca tolèsan
sè bâdâ è buku otaba maca tolèsan sè
bâdâ è koran ”. Namun pada
kenyataannya masyarakat Madura tetap
menggunakan frase “maca buku atau maca
koran” dalam komunikasi sehari-hari
tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak
dalam percakapan berikut.
..................................................
M : Enje’ computer, lakona computer
kabbhi, riya asalla sittong lember
maso mèjâ kèng è rècarè
E : Jhâ’ iya’ ta’ terrang, bâ’en masa’ ghi’
ngatèla ba?
M : Enje’ ghi’ nyaman
E : Mon maca buku rowa?
M : Biyasa
E : Maca Koran ?
M : Iyâ biyasa
E : Lakar molaè ta’ perna ngangghuy
kaca mata bâ’en ba?
.................................................. (Data 12)
Frase maca buku atau maca koran
biasa digunakan untuk menyatakan
maksud ‘membaca tulisan yang ada di
buku atau koran’ dan tidak biasa
digunakan frase maca tolèsan sè bâdâ è
buku otaba maca tolèsan sè bâdâ è koran.
Oleh karena merupakan suatu kebiasaan
maka
maknanya
dimengerti
oleh
masyarakat Madura khususnya masyarakat
Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan
bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini
dibenarkan oleh Bapak H. Sastro (anggota
Team Pakem Maddhu).
13. Penggunaan Frase Naè’ nyèyor
Frase “Naè’ nyèyor”
memiliki
makna ganda. Makna yang pertama adalah
‘memanjat buah kelapa’, sedangkan
68
makna yang kedua adalah ‘memanjat
pohon kelapa’. Berdasarkan maksud yang
sesungguhnya dan apabila dinyatakan
secara gramatikal, penggunaan frase “Naè’
nyèyor”
seharusnya adalah “Naè’
bhungkana nyèyor”.
Namun pada
kenyataannya masyarakat Madura tetap
menggunakan frase “Naè’ nyèyor” dalam
komunikasi
sehari-hari
tanpa
ada
kesalahpahaman, seperti tampak dalam
percakapan berikut.
..................................................
F : Yâ maju tolongi ris…, yâ jhâ’ benni
ano rèya, tarèna ghâbây pellet
bâtteng, nèser rowa, parlo duwe’en
ghun, bâ’en bisa naè’?
A : Apa?
F : Naè’ nyèyor.
A : Ya sèngko’ sibo’ nom .
F : Ce’ sarana riya.
A : Ta’ tao ko’ nom naè’ nyèyor, ta’ tao.
F : Ngangghuy ghâle jhâ’ ma’semma’
jiya mon nyèyor konèng jiya ris…!
A : Coba’ ka pa’ Rasyid, pa’ Rasyid rowa
pola tao, sengghut rowa pa’ Rasyid
rowa pola nom, enje’ segghut rowa,
tanyaaghi ka elle’ ja, enje’ ongghuen
jiya..... (Data 13)
Frase Naè’ nyèyor biasa digunakan
untuk menyatakan maksud ‘memanjat
pohon kelapa’ dan tidak biasa digunakan
frase Naè’ bhungkana nyèyor. Oleh karena
merupakan suatu
kebiasaan
maka
maknanya dimengerti oleh masyarakat
Madura
khususnya
masyarakat
Pamekasan. Dan frase tersebut merupakan
bahasa yang salah kaprah. Pendapat ini
dibenarkan oleh Bapak M. Drajid, B.A dan
Bapak H. Sastro (anggota Team Pakem
Maddhu).
14. Penggunaan Frase Mèsel roko’
Frase “mèsel roko’ ” memiliki
makna ganda. Makna yang pertama adalah
‘menggulung
rokok
sudah
jadi’,
sedangkan makna yang kedua adalah
‘menggulung kertas yang diberi tembakau
untuk dibuat rokok’. Berdasarkan maksud
yang
sesungguhnya
dan
apabila
dinyatakan secara gramatikal, penggunaan
frase “mèsel roko’ ”
adalah “mèsel
dlubang è berri’ bhèko ghâbây roko’ ”.
Namun pada kenyataannya masyarakat
Madura tetap menggunakan frase “mèsel
roko’” dalam komunikasi sehari-hari tanpa
ada kesalahpahaman, seperti tampak
dalam percakapan berikut.
A : Ya’ nom roko’ anyar.
J : Roko’ pa jiya, roko’ pèsellan rowa?
A : Ta’ tao è berri’ ano ya nom Suhri.
J : Hu…h. lambâ’ la jiya, embana rowa
mèsel malolo mon ghun roko’ jiya,
ta’ mellè riya, mon la a roko’a mèsel,
ghân sa plastic kressek rowa roko’en.
A : Mèsel roko’ jiya nom?
J : Iyâ alakoa apa pole, ya sèngko’
aghâbây ya, pola bâ’en nyoba’a ya’.
masa mon nyoba’a, ya’ roko’
.................................................. (Data 14)
Frase mèsel roko’ biasa digunakan
untuk menyatakan maksud ‘menggulung
kertas yang diberi tembakau untuk dibuat
rokok’ dan tidak biasa digunakan frase
mèsel dlubang è berri’ bhèko ghâbây
roko’. Oleh karena merupakan suatu
kebiasaan maka maknanya dimengerti
oleh masyarakat Madura khususnya
masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut
merupakan bahasa yang salah kaprah.
Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak
Drajid, B.A dan Bapak H. Sastro (anggota
Team Pakem Maddhu).
15. Penggunaan Frase Nyolet kompor
Frase “Nyolet kompor” memiliki
makna ganda. Makna yang pertama adalah
‘menyalakan kompor’, sedangkan makna
yang kedua adalah ‘menyalakan sumbu
kompor’. Berdasarkan maksud yang
sesungguhnya dan apabila dinyatakan
secara gramatikal, penggunaan frase
“Nyolet kompor” seharusnya adalah
“Nyolet sombuna kompor”. Namun pada
kenyataannya masyarakat Madura tetap
menggunakan frase “Nyolet kompor”
dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada
kesalahpahaman, seperti tampak dalam
percakapan berikut.
M : O’ ma’ o’ sèngko’ ghâlle’ jârkalenjâr, èntar ka krèsidènan
O : Kol bârempa?
M : Kol bellu’ (8). Otao èntar, pas bâdâ
orèng jhuwel ba’so O’, yâ’ ko’ mellè
O’, otao ba’sona jâriya ta’ panas o’.
O : Ma’ pas ta’ panas jiya, dâ’ remma
orèng juwel ba’so jiya
M : Jhâ’ rèng ba’so ghâ-ohgâ, ba’sona
gemblung, otao dhing è congngo’
69
komporra ta’ odi’, yâ…sèngko’ sè
nyolet komporra terpaksa jiya, pas
nyaman ba’sona, pas anga’
O : Anga’ pole?
M : Iyâ mare mellè jiya, ko’ pas èntar lèmellè, mellè kunci, polè èntar ka
dâjana terminal laju ro…, èntar dâ’
dissa ko’.
................................................... (Data 14)
Frase Nyolet kompor
biasa
digunakan untuk menyatakan maksud
‘menyalakan sumbu kompor’ dan tidak
biasa digunakan frase Nyolet sombuna
kompor. Oleh karena merupakan suatu
kebiasaan maka maknanya dimengerti
oleh masyarakat Madura khususnya
masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut
merupakan bahasa yang salah kaprah.
Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak H.
Sastro (anggota Team Pakem Maddhu).
16. Penggunaan Frase Ngalè somor
Frase “Ngalè somor” memiliki
makna ganda. Makna yang pertama adalah
‘menggali sumur’, sedangkan makna yang
kedua adalah ‘menggali tanah untuk
membuat sumur’. Berdasarkan maksud
yang
sesungguhnya
dan
apabila
dinyatakan secara gramatikal, penggunaan
frase “Ngalè somor” seharusnya adalah
“Ngalè tana è ghâbây somor”. Namun
pada kenyataannya masyarakat Madura
tetap menggunakan frase “Ngalè somor”
dalam komunikasi sehari-hari tanpa ada
kesalahpahaman, seperti tampak dalam
percakapan berikut.
A : Sapa neng dinna’ tokang ngalè somor
yâ? Rèng ngalè somor, wa’ neng
tèmorenna korang dâlem, ra kèra
bârampa permèterra bâ’en ta’ tao ris?
H : Apa nom?
A : Orèng ngalè somor , masa’ bâ’en ta’
tao, atanya orèng ngalè somor sapa
neng dinna’ sè bisa?
H : Coba’ atanya ka nom Halil, jiyâ nom
Halil jiyâ, mon nom halil tao jiya.
Sèl…sèl … nom Halil olok ja, nom
alil, Halil…Halil olok, jiya
panggil…panggil om dâpor
Ha : Apa…? Huk…huk…
H : Ma’ bâto’an malolo nom?
Ha : Ta’ iyâ sèngko’ bâri’ pas alako din
marsudi ngalè somor jiya hu… ghi’
bhuru mare, tanana ghâli, teng-
katengan, è kocco’ bârempa kale
pagghun ..... (Data 16)
Frase Ngalè somor biasa digunakan
untuk menyatakan maksud ‘menggali
tanah untuk membuat sumur’ dan tidak
biasa digunakan frase Ngalè tana è ghâbây
somor. Oleh karena merupakan suatu
kebiasaan maka maknanya dimengerti
oleh masyarakat Madura khususnya
masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut
merupakan bahasa yang salah kaprah.
Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak
Drajid, B.A (anggota Team Pakem
Maddhu).
17. Penggunaaan
Frase
Mogher
keddhâng
Frase “Mogher keddhâng” memiliki
makna ganda. Makna yang pertama adalah
‘menebang buah pisang’, sedangkan
makna yang kedua adalah ‘menebang
pohon pisang’. Berdasarkan maksud yang
sesungguhnya dan apabila dinyatakan
secara gramatikal, penggunaan frase
“Mogher keddhâng” seharusnya adalah
“Mogher bhungkana keddhâng”. Namun
pada kenyataannya masyarakat Madura
tetap menggunakan frase “Mogher
keddhâng” dalam komunikasi sehari-hari
tanpa ada kesalahpahaman, seperti tampak
dalam percakapan berikut.
K : Tè’ ghâllu, rowa kan keddhâng sè è
dâjâenna somor, masè la ondung
rowa ba?
E : Iyâ
K : Din sapa rowa?
E : Din dhibi’ rowa persendiânna dhing
kambrat
K : Benni din Muhammad?
E : Benni din dhibi’ le jiya bi’ sèngko’ è
poghârre bhungkana, keddhânga
èyokebbe dâ’ iyâ, è ghâbây
persediaenna dhing kambrat.
K : Abbâ…sè è dâjâna somor rowa, enjâ’
polana bâri’ sèngko’ ngatèla
Muhammad mogher keddhâng neng
dissa
E : È dâjâenna lèkè jiya sè din
Muhammad. Benni din dhibi’, din
Muhammad è pogher dhibi’, mon
mogher din dhibi’ è ghi-ghiri bi’
sèngko’
K : Dhâddhi din bâ’en rowa ba?
E : Iyâ din dhibi’
70
..................................... (Data 17)
Frase Mogher keddhâng
biasa
digunakan untuk menyatakan maksud
‘menebang pohon pisang’ dan tidak biasa
digunakan frase Mogher bhungkana
keddhâng. Oleh karena merupakan suatu
kebiasaan maka maknanya dimengerti
oleh masyarakat Madura khususnya
masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut
merupakan bahasa yang salah kaprah.
Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak M.
Drajid, B.A (anggota Team Pakem
Maddhu).
18. Penggunaan Frase Mokol salana.
Frase “mokol salana” jika dikaji
dari segi gramatikal Frase “mokol salana”
adalah tidak benar, karena suatu kesalahan
itu tidak berwujud atau tampak sehingga
tidak dapat dipukul. Seharusnya adalah
memukul
orang
yang mempunyai
kesalahan. Berdasarkan maksud yang
sesungguhnya dan apabila dinyatakan
secara gramatikal, penggunaan frase
“mokol salana” seharusnya adalah “mokol
oreng sè andi’ sala”. Namun pada
kenyataannya masyarakat Madura tetap
menggunakan frase “mokol salana” dalam
komunikasi
sehari-hari
tanpa
ada
kesalahpahaman, seperti tampak dalam
percakapan berikut.
H
R
H
R
: Sulaiman dâ’ Emma Yu?
: Tao…amain wa.
: Main dimma?
: Tao… dâ’ bâre’ maso Vivin, è pokol
bi’ sèngko’ ghi’ bhuru pas nangis
polana noro’a kaka’en, kaka’en
belajar kelompok.
H : Jhâ’ ghun noro’a la è pokol, arapa
jhâ’ ghun kerja kelompok bânni a
sakola.
R : Ta’ iyâ aganggu, ta’ tenang, dhing
jhâr-ajhâren, pas ghun rok-ngèrok dâ’
bukuna. Dhina ra ma’le ta’ katomani,
sèpat dâ’ dimmaa pas noro’a, dhina
jhâ’ sèngko’ ta’ mokol orèngnga
mokol salana.
H : Yâ…enjâ’ kiya, mon ghun maso jiya
dhâle dâ’ iyâ, jhâ’ bâghi jiya
R : Ghuta’ la marè
.....................................(Data 18)
Frase mokol salana
biasa
digunakan untuk menyatakan maksud
‘memukul orang (biasanya anak-anak)
yang melakukan kesalahan’ dan tidak
biasa digunakan frase mokol oreng sè
andi’ sala. Oleh karena merupakan suatu
kebiasaan maka maknanya dimengerti
oleh masyarakat Madura khususnya
masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut
merupakan bahasa yang salah kaprah.
Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak M.
Drajid, B.A dan Bapak H. Sastro (anggota
Team Pakem Maddhu).
19. Penggunaan Frase Ngala’ wudhu’
Secara kebahasaan makna frase
ngala’ wudhu’ adalah ‘mengambil
wudhu’. Padahal dalam logika sederhana
dan dalam kenyataan tidak pernah wudhu’
bisa diambil. Berdasarkan logika dan fakta
yang ada tuturan tersebut seharusnya
adalah “Ngala’ aèng awudhu’â ” yang
bermakna
‘mengambil
air
untuk
berwudhu’. Namun pada kenyataannya
masyarakat Madura tetap menggunakan
frase “ngala’ wudhu’” dalam komunikasi
sehari-hari tanpa ada kesalahpahaman,
seperti tampak dalam percakapan berikut.
..........................................
W : Dhing ka somor?
E : Enje’ ca’en anga’
W : È…mon dhing sobbhu, mon ngala’
wudhu’ ngala’ è dimma rowa ma’?
E : È somor
W : Ngala’ wudhu’ è somor kiya. Ènje’
ca’en sèngko’ polana malem, arapa
jhâ’ ngamponga ka yu ideh can
sèngko’
E : Mon ngènep è dissa rowa, ngala’
wudhu’ è dissa kon ideh. Eppa’ soro
ngala’ aèng è dinna’ ta’ ande’
pagghun ngala’ ka tèmor. “ apa è
katako’a” è kowa.
........................................... (Data 19)
Frase ngala’ wudhu’
biasa
digunakan untuk menyatakan maksud
‘mengambil air untuk berwudhu’ dan tidak
biasa digunakan frase Ngala’ aèng
awudhu’â. Oleh karena merupakan suatu
kebiasaan maka maknanya dimengerti
oleh masyarakat Madura khususnya
masyarakat Pamekasan. Dan frase tersebut
merupakan bahasa yang salah kaprah.
Pendapat ini dibenarkan oleh Bapak M.
71
Drajid, B.A
Maddhu).
(anggota
Team
Pakem
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,
Suharsimi. 1998. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta : PT Rineka
Cipta.
Fakultas
Sastra
Negeri Jember.
Universitas
Team Pakem Maddhu. 2005. Bulletin
Pakem Maddhu. Surabaya : CV.
Karunia.
Tim Penyusun Kamus. 1990. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta :
Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. 2000. Tata Bahasa Praktis
Bahasa Indonesia. Jakarta : PT
Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 1995. Semantik Bahasa
Indonesia. Jakarta : PT Rineka
Cipta .
Chaer,
Abdul & A. Leonie. 1995.
Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta : PT Rineka Cipta .
Djajasudarma, Fatima.1999. Semantik 1
(Pengantar Ke Arah Ilmu
Makna). Bandung : PT Refika
Aditama.
Drajid, M. 2002. Pengajaran Bahasa
Madura
Kembang
Babur.
Pamekasan : Yudistira.
Hartono Hs, Bambang. 2001. Palappa
Genna’. Pamekasan : Rakhiai
Trunojoyo.
Keraf, Gorys. 2001. Komposisi. Flores :
Nusa Indah
Moleong, Lexy J. 2006. Metodelogi
Penelitian Kualitatif. Bandung :
Rosdakarya.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal.
Jakarta : PT Rineka Cipta.
Surakmad, Winarno, M, Se. Ed. Prof. Dr.
1998. Pengantar Penelitian
Ilmiah, Dasar Motode Teknik.
Bandung tarsito.
Team Peneliti. 1977/1978. Undak Usus
Bahasa Madura. Jember :
72
Download